Anda di halaman 1dari 181

1

BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Isu pangan menjadi penting seiring dengan semakin terbatasnya
sumberdaya alam dan bertambahnya jumlah penduduk. Pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Persoalan pangan selain terkait dengan pemenuhan kebutuhan sendiri,
juga menjadi komoditas ekonomi yang cukup penting. Berbagai proses
perbaikan telah dilakukan untuk melakukan peningkatan kualitas dan
kuantitas pangan, terutama perbaikan sumber atau bahan dan proses
pengolahan.
Isu pangan juga terkait dengan industralisasi, terutama pada
proses pengolahan makanan untuk keperluan perdagangan. Hasil dari
pengolahan makanan, disebut sebagai makanan olahan, yang merupakan
hasil dari pengolahan produk primer ataupun produk setengah jadi
menjadi produk jadi pada komoditas pertanian, peternakan dan perikanan
yang dimanfaatkan sebagai pangan untuk dikonsumsi manusia. Pangan
olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau
metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Semakin sempitnya lahan pertanian dan peternakan, karena
pertambahan penduduk, maka langkah pada upaya pemenuhan
kebutuhan perlu memanfaatkan sumberdaya yang selama ini kurang
dimanfaatkan, yaitu sektor kelautan. Ikan merupakan hasil terpenting dari
sektor kelautan dalam bidang pangan. Selama ini, sektor perikanan laut di
J awa Tengah lebih banyak diusahakan secara tradisional, tanpa proses
pengolahan dalam skala industri, sehingga nilai yang dihasilkan relatif
sedikit.
2

Pada kondisi seperti ini diperlukan solusi bagaimana melakukan
perbaikan produk pangan berbahan ikan laut, sehingga secara kualitas
maupun kuantitas nilainya menjadi lebih baik. Makanan olahan berbahan
baku ikan adalah produk akhir hasil pengolahan produk primer atau
setengah jadi pada komoditas ikan yang dimanfaatkan atau dikonsumsi
manusia. Industri pengolahan makanan dari bahan baku ikan merupakan
aktifitas atau proses memproduksi makanan hasil pengolahan yang
bahan bakunya dari ikan dengan modal, sarana, teknologi dan
persyaratan tertentu yang diperlukan oleh konsumen.
Sebagian besar produk perikanan J awa Tengah didominasi jenis
ikan laut yang sebagian dijual dalam bentuk ikan. Produksi ikan laut J awa
Tengah sebesar 55% dari total produksi perikanan di J awa Tengah pada
tahun 2008. Hanya sebagian kecil ikan laut tersebut diolah menjadi produk
makanan seperti ikan asin, pindang, ikan panggang, kerupuk, dan terasi.
J enis makanan ini relatif murah harganya dan banyak dikonsumsi
masyarakat. Industri pengolahan makanan dari bahan baku ikan laut ini
menjadi salah satu sektor yang diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan peluang bekerja, dan
meningkatkan pendapatan. Hasil perikanan dan makanan olahan
berbahan baku ikan merupakan komoditas yang memiliki pasar domestik
dan ekspor cukup besar nilainya.
Persoalannya, kebanyakan ekspor ikan Indonesia masih dalam
bentuk bahan mentah dan sedikit yang diolah. Potensi yang besar
tersebut saat ini hanya dimanfaatkan secara eksploitatif, ikan yang
ditangkap kemudian langsung dijual tanpa pengolahan lebih lanjut
sehingga nilai relatif kecil. Sesuai dengan apa yang dijelaskan di atas,
maka proses pengolahan ikan laut menjadi berbagai jenis produk
makanan merupakan potensi yang cukup menonjol, terutama di wilayah
pesisir. Industri Pengolahan Ikan dapat diklasifikasikan menjadi: 1).
Industri pengalengan ikan, 2). Industri penggaraman/pengeringan ikan, 3).
Industri pengasapan ikan, 4). Industri pembekuan ikan, 5). Industri
3

pemindangan ikan, 6). Industri pengolahan pengawetan lainnya (tepung
ikan, tepung udang, rumput laut, trasi, petis dan sejenisnya).
Beberapa jenis produk industri makanan berbahan baku ikan di
J awa Tengah antara lain ikan kering asin/tawar, ikan pindang, ikan
panggang/asap, terasi, petis, kerupuk dan lainnya. Ikan yang digunakan
sebagai bahan baku industri makanan seperti ikan tenggiri untuk bahan
campuran pembuatan krupuk. Udang ukuran kecil (rebon) digunakan
sebagai bahan baku pembuatan terasi. Ikan layang, ikan kembung dan
beberapa jenis ikan pelagis lainnya digunakan sebagai bahan baku ikan
pindang. Ikan pari, ikan manyung, ikan tonggkol dan ikan cucut umumnya
digunakan sebagai bahan baku untuk ikan panggang/asap. Kemudian
ikan tiga waja, ikan kuniran, dan beberapa jenis ikan dasar (demersal)
lainnya digunakan sebagai bahan baku ikan asin/tawar kering.
Industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di J awa Tengah
tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di pantai Utara dan Selatan J awa
Tengah. Perkembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan
tersebut antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku ikan laut
yang didaratkan di tempat-tempat pendaratan ikan di setiap
Kabupaten/Kota di pantai utara maupun pantai Selatan J awa Tengah.
Ketersedian bahan baku ikan di suatu lokasi industri makanan umumnya
dipengaruhi oleh musim, ketika musim ikan (ikan banyak didaratkan di
tempat-tempat pendaratan ikan), ikan sebagai bahan baku industri
makanan mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan
pada saat tidak musim ikan. Hal ini mencirikan karakteristik industri rumah
tangga sebagaimana digambarkan oleh Tambunan (2002; 49) yang
tradisional, tergantung musim, tanpa pengorganisasian yang baik,
kekurangan modal, sarana dan teknologi.
Pada saat ikan sebagai bahan baku industri makanan sukar
didapat atau jumlahnya tidak mencukupi untuk keperluan industri di
daerah sekitar lokasi industri, umumnya pabrik/industri makanan berbahan
baku ikan tersebut mencari ke daerah lain yang terkadang harganya relatif
mahal dan sulit didapat dalam jumlah yang diperlukan. Pada kondisi
4

seperti ini umumnya pengelola pabrik/industri tidak melakukan proses
produksi. Beberapa perusahaaan/industri makanan menggunakan ikan
sebagai bahan baku industri diperolah dari import seperti ikan
layang/kembung di import dari Cina dengan harga yang relatif lebih murah
dibandingkan ikan yang didaratkan di wilayah J awa Tengah.
Ketersediaan ikan yang dapat ditangkap sebagai bahan baku
industri makanan dipengaruhi oleh jumlah sediaan (stok ikan) dan
teknologi alat tangkap yang digunakan. Semakin padat stok ikan dan alat
tangkap yang digunakan sesuai maka hasil tangkapan ikan yang dapat
didaratkan ditempat-tempat pendaratan ikan semakin banyak.
Sumberdaya ikan yang terdapat di laut sekitar Utara dan Selatan J awa
Tengah merupakan bagian dari ikan-ikan yang menjadi stok atau densitas
ikan yang berada di perairan laut di seluruh di Indonesia.
Untuk mengoptimalkan potensi perikanan tersebut, pemerintah
Provinsi J awa Tengah telah mengupayakan berbagai cara untuk
meningkatkan produksi perikanan tangkap. Berdasarkan data statistik
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi J awa Tengah (2010), total
produksi perikanan tangkap mengalami peningkatan rata-rata sebesar
1,27% per tahun, yaitu 192.414,30 ton pada tahun 2008 menjadi
194.861,80 ton pada tahun 2009. Namun demikian, pada sisi nilai pasar
dan penjualan, secara umum belum mencapai peningkatan, bahkan
cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi J awa Tengah, diperkirakan volume ekspor hasil
perikanan J awa Tengah mengalami penurunan sebesar 6,73% yaitu
17.794,07 ton pada tahun 2008 turun menjadi 16.596,52 pada tahun 2009.
Penurunan tersebut disebabkan oleh pengaruh krisis global yang melanda
di beberapa negara maju. Sedangkan konsumsi makan ikan bagi rata-rata
penduduk J awa Tengah mengalami peningkatan sebesar 2,40% dari
15,83 kg/kapita/ tahun (2008) menjadi 16,21 kg/kapita/tahun (2009),
walaupun masih rendah jika dibanding tingkat konsumsi nasional 28,67
kg/kapita/tahun dan pola konsumsi harapan dari UNESCO 30,5
kg/kapita/tahun.
5

Potensi perikanan selain ditingkatkan dalam upaya peningkatan
hasil tangkapan maupun budidaya, juga perlu ditingkatkan kualitas,
melalui proses pengolahan sehingga nilai jualnya bertambah. Potensi
pengolahan perikanan sebagai salah satu jenis industri manufaktur di
J awa Tengah cukup baik, karena selain didukung oleh sumberdaya alam,
SDM, sarpras dan teknologi juga cukup tersedia, namun perlu
dikembangkan. Pentingnya pengembangan sektor pengolahan perikanan
laut karena nilainya yang cukup besar dan memberikan kontribusi penting
bagi PDRB J awa Tengah. Saat ini, dukungan sektor perikanan dan
pengolahan ikan masih tergolong kecil dibanding sektor lainnya dalam
industri manufaktur. Tabel 1.1 di bawah ini menggambarkan kontribusi
sektor perikanan dan industri manufaktur.
Tabel 1.1 Peran sektor perikanan dan industri pengolahan secara makro
dalam PDRB J awa Tengah (%)
No Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1. PDRB Perikanan 1,02 0,91 0,88 0,95 0,98 0,94
2. Perkembangan perikanan 124,51 134,61 156,39 187,27 225,55 232.42
3. Pertumbuhan Perikanan 11,85 8,12 16,18 19,74 20,44 3.05
4. PDRB Industri Pengolahan 32,64 33,71 32,85 32,14 33,08 31.45
5. Perkembangan Inds.
Pengolahan
176,91 221,47 259,60 281,40 336,43 346.32
6. Pertumbuhan Inds.
Pengolahan
12,68 25,18 17,22 8,40 19,56 2.94
Sumber: J awa Tengah dalam Angka 2009
Dari tabel di atas, nampak peran industri pengolahan dalam PDRB
cukup baik, namun sektor perikanan belum dikembangkan dengan baik.
Sehingga diperlukan penguatan industri pengolahan di J awa Tengah.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, karena
pengembangan potensi pengolahan ikan laut di J awa Tengah masih
menghadapi permasalahan baik internal maupun eksternal, serta
kurangnya dukungan dari berbagai pihak dalam upaya mengembangkan
industri pengolahan ikan laut tersebut.
Saat ini di J awa Tengah terdapat 17 daerah penghasil ikan tangkap
di laut dengan hasil total sebesar Rp 1,103,715,212,200,- pada tahun
2009. Beberapa daerah di sekitar pantai lebih banyak bergerak pada
penangkapan ikan, dengan sedikit industri pengolahan ikan seperti pada
tabel 1.2 di bahwa ini.
6

Tabel 1.2 Nilai hasil Ikan laut di J awa Tengah tahun 2009
No Kabupaten / Kota Nilai Ikan Tangkap Laut
1 Kabupaten Brebes 8,523,576,600
2 Kabupaten Tegal 6,678,750,000
3 Kota Tegal 144,343,723,000
4 Kabupaten Pemalang 60,158,360,000
5 Kabupaten Pekalongan 7,539,613,500
6 Kota Pekalongan 146,523,221,500
7 Kabupaten Batang 94,308,575,000
8 Kabupaten Kendal 8,953,392,000
9 Kota Semarang 649,994,680
10 Kabupaten Demak 7,329,215,000
11 Kabupaten J epara 31,226,511,000
12 Kabupaten Pati 150,191,818,670
13 Kabupaten Rembang 205,461,297,500
14 Kabupaten Wonogiri 230,946,000
15 Kabupaten Purworejo 1,546,954,000
16 Kabupaten Kebumen 28,757,321,340
17 Kabupaten Cilacap 201,291,942,410
J umlah 1,103,715,212,200
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan J awa Tengah Tahun 2010

Dari tabel 1.2 di atas diketahui bahwa Kabupaten Cilacap,
Rembang, Pati, Pekalongan dan Kota Tegal merupakan wilayah
penangkapan terbesar di J awa Tengah. Namun tidak semua daerah
tersebut mengolah ikan yang ditangkap, sebagian besar dijual dalam
bentuk mentah. Sedangkan beberapa daerah selain penangkapan ada
juga pengolahan, serta ada daerah yang lebih banyak pengolahan ikan
dibanding penangkapan. Hal inilah yang menjadi tantangan, bagaimana
memperbanyak pengolahan ikan untuk meningkatkan nilai ikan baik pada
pasar nasional maupun ekspor. J umlah yang cukup besar tersebut,
seharusnya bisa menjadi lebih besar lagi dan mampu bersaing di pasar
ekspor jika didukung oleh penguasaan teknik pengolahan ikan. Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang besar dalam industri
pengolahan ikan, namun belum dikembangkan secara serius.
Berbagai porgram bantuan dalam upaya penangkapan dan
budidaya ikan yang terdiri dari aspek sarana dan prasarana, teknologi dan
permodalan telah membantu peningkatan produksi dan nilai produksi
Pada tahun 2011, nilai produksi ikan laut dalam skala kecil ,mencapai Rp.
3,5 trilyun, sebagaimana dijelaskan tabel 1.3 di bawah ini.

7

Tabel.1.3 Produksi dan Nilai Produksi Pengolahan Ikan Laut
di J awa Tengah Tahun 2011.
BULAN
SKALA BESAR SKALA KECIL
Produk (Kg) Nilai (Rp. 000) Produk (Kg) Nilai (Rp. 000)
J anuari 87,602 189,349 11,931,079 289,521,175
Februari 92,345 573,838 11,668,685 289,677,939
Maret 83,909 906,232 11,343,212 293,305,099
April 92,097 430,411 12,612,295 297,402,201
Mei 86,166 329,500 11,916,150 294,389,544
J uni 66,150 222,276 12,201,694 295,014,122
J uli 90,405 522,768 13,772,433 296,550,868
Agustus 85,401 158,852 13,830,293 296,811,752
September 93,349 21,492 14,738,249 306,102,309
Oktober 28,759 15,435 14,309,522 302,099,394
Nopember - - 11,981,920 283,987,130
Desember - - 11,375,022 263,847,035
Jumlah 806,183 3,370,153 151,680,554 3,508,708,568
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi J awa Tengah 2012
Selama ini ada beberapa teknik pengolahan yang dominan
dilakukan di J awa Tengah yang secara umum dapat dikelompokkan
menjadi pengolahan ikan dan penambahan nilai ikan. Pengolahan ikan
merupakan upaya mengawetkan ikan sebelum dijual, yaitu dengan cara
pemindangan, asin atau kering, pengasapan dan sebagainya. Sedangkan
penambahan nilai meliputi olahan lanjutan dari ikan seperti daging olahan
(nugget, fillet, kaki naga), kerupuk ikan, terasi dan sebagainya.
Sebagian besar industri pengolahan ikan tersebut berbentuk
industri rumah tangga dan industri kecil yang sebagian besar
menggunakan tata cara tradisional, seperti manajemen usaha, teknologi
dan proses produksi yang sederhana dan kurang memperhatikan kualitas
serta higienitas.
Terdapat berbagai kendala baik dukungan pemerintah,
permodalan, sarana prasarana, teknologi, pemasaran, serta masalah
lingkungan yang menyertainya. Sebagian besar pengrajin olahan ikan
masih menggunakan cara-cara dan teknologi tradisional secara turun
temurun, sehingga kualitasnya kurang bersaing dan target pasarnya
adalah pasar lokal. Persoalan lain yang sangat mempengaruhi industri
olehan ikan adalah ketersediaan bahan baku. Hal ini berkaitan dengan
musim dan masa panen ikan yang selama ini menjadi bahan baku para
pengrajin. Ketika musim ikan jarang, maka sebagian pengrajin akan
8

berusaha mengurangi produksi serta mengambil bahan baku dari ikan
impor.
Sehingga masalah umum adalah menghadapi persaingan dari
sektor industri besar dan barang-barang impor dengan teknologi yang
lebih tinggi. Namun demikian, ada potensi di mana sampai saat ini industri
tersebut masih bisa bertahan. Menurut Tambunan (2002;2-3), industri
makanan dan minuman di Indonesia tetap dapat bertahan dan menikmati
pertumbuhan meskipun mendapat saingan dari industri besar dan impor,
karena memiliki segmentasi pasar yang berbeda. UKM memiliki
keuntungan karena memiliki keuntungan dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan dan permintaan pasar, sehingga berpotensi bersaing dengan
perusahaan besar.
Sesuai pengalaman selama ini, survival capability dari UKM sangat
tergantung dari tingkat fleksibiltasnya dalam melakukan penyesuaian-
penyesuaian di segala bidang yang berkaitan dengan perubahan
teknologi, serta penguatan SDM menjadi sangat krusial (Tambunan, 2002
11). Menurut Tambunan (220; 21) UKM di Indonesia sangat penting
terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. argumentasi ini
didasarkan pada kenyataan bahwa di satu pihak jumlah angkatan kerja
cukup besar sedangkan sektor usaha besar tidak dapat menampung
semua pencari kerja. Tantangan yang cukup berat bagi UKM adalah
memperbaiki aspek pekerja, organisasi, manajemen, metode atau pola
produksi, teknologi dan tenaga kerja, produk, lokasi usaha.
Maka, industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di J awa
Tengah menghadapi persoalan antara lain: regulasi pemerintah,
permodalan, ketersediaan bahan baku, teknologi pengolahan, sarana dan
prasarana, tenaga kerja, serta masalah pengembangan pasar. Dalam sisi
regulasi, pengaturan kawasan atau lokasi sentra industri makanan,
persyaratan mutu bahan baku dan produk makanan olahan, dan tata
niaga produk makanan olahan dari bahan baku ikan belum banyak
diterapkan.
9

Dalam sisi modal yang diperlukan untuk pengadaan bahan baku,
sarana, prasarana seta teknologi yang diperlukan guna menunjang
industri makanan relatif terbatas. Dalam hal bahan baku berupa ikan laut
yang diperlukan untuk menghasilkan produk makanan tidak tersedia
menurut jumlah dan mutu serta kontinuitas yang diharapkan.
Keterampilan, pengetahuan dan profesionalitas tenaga kerja dalam
mendukung industri makanan olahan berbahan baku ikan relatif terbatas.
Selain itu, industri makanan berbahan baku ikan juga menghadapi
permasalahan distribusi dan penjualan, sehingga kurang mampu
memanfaatkan potensi pasar yang besar, di dalam maupun luar negeri.
Di sisi lain, menghadapi era globalisasi, persiangan menjadi
semakin ketat, sehingga untuk tetap dapat bersaing diperlukan kekuatan
dalam hal kualitas produk. Hal ini tentu sulit untuk dilakukan oleh industri
olahan ikan yang mayoritas berbentuk UMKM tradisional. Selama ini
penjualan ikaan di J awa tengah 40% masih dalam bentuk ikan segar dan
hanya 60% yangd iolah sceara sederhana. Sebesar 90% dari industri
olahan ikan di J awa Tengah adalah UMKM tradisional. Dengan demikian
sangat dibutuhkan upaya pengembangan UMKM tersebut menjadi lebih
berkualitas dan memiliki daya saing. J ika langkah tersebut tidak
dilakukan, maka potensi ikan dan olahannya akan semakin memudar
karena terkalahkan oleh produk dari negara lain yang lebih bekrualitas.
Sehingga Indonesia,, termasuk jawa Tengah ahnya akan menjadi
produsen bahan baku saja yang nilainya cukup rendah. Dengan demikian,
penelitian ini perlu dilakukan untuk menganalisis aspek-aspek yang
berpengaruh dalam pengembangan industri makanan olehan berbahan
baku ikan laut tersebut.
Berdasarkan pengamatan awal di lapangan dan data-data
pendukung diperlohe adanya 7 aspek yang sangat mempengaruhi
perkembangan industri olahan ikan laut di J awa Tengah. Pertama, adalah
aspek kebijakan. Kebijakan baik peemrintah pusat maupun pemerintah
daerah dipandang sebagai kunci pembangunan yang menciptakan iklim
yang mendukung pengembangan industri secara startegis. Di sisi lain, jika
10

kebijakan kurang tepat maka akan menjadi hambatan yang berdampak
luas dan panjang terhadap kemajuan industri olahan ikan. Kebijakan
dalam hal ini meliputi visi-misi, program, kegiatan, anggaran dan
kelembagaan serta tsruktur tata kelola industri.
Kedua, adalah aspek bahan baku. Bahan baku sangat menentukan
kualitas produk olahan. Ketersediaan bahan baku yang cukup secara
kuantitas dan kualitas yang memenuhi standar pada saat-saat tertentu
menjadi permasalahan. Pada musim badai misalnya, ketersediaan bahan
baku sangat kurang sheingga pengolah harus membeli ikan impor. Di sisi
lain dalam proses penyimpannan dan perlakuan bahan baku juga kadang
merusak kualitas ikan.
Ketiga, aspek sarana dan prasarana. Sebagian besar UMKM
mengahdapi permasalahan minimnya sarana dan prasarana yang
memadai, higienis dan efisien. Keterbatasan sarana ini menjadikan
kualitas produk olahan tidak dapat memenuhi standar mutu pangan yang
baik sebagaiamna ditetapkan pemerintah. Akibatnya produk tidak dapat
bersaing.
Keempat, adalah aspek tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan
pemeran utama dalam menjaga kualitas produk olahan. Per,asalahan
yang dihadapi adalah keterbatasan pengetahuan tenaga kerja, budaya
kerja yang higinienis dan efisien. Dalam sisi ketersediaan tenaga kerja
juga kurang kontiny karena sangat jarang tenaga kerja tetap, kabanyakan
adalah tenaga borongan yang juga merupakan tenaga borongan di sektor
pertanian.
Kelima, adalah aspek teknologi. Teknologi merupakan unsur
penting dalam mengasilkan produk berkualitas dan efisiensi dalam proses
produksi. Permasalahannya adalah teknologi UMKM sanga tertinggal dan
kurang dapat memproduksi olahan dalam jumlah yang besar.
Keenam, adalah sapek modal. Dalam beberapa hal permodalan
tidak menjadi persoalan karena para pengolah hanya memproduksi sesuai
ketersediaan modal mereka. Akan tetapi sebagai upaya pengembangan
11

untuk bersaing dengan industri maju, permodalan menjadi sangat penting
untuk ditingkatkan.
Ketujuh, adalah aspek pasar. Selama ini para pengolah hanya puas
dengan pasar lokal, sehingga nilai pasar ekspor terabaikan. Oleh sebab
itu diperlukan upaya penanganan pasar yang lebih luas agar nilai usaha
menjadi berkembang.
Dengan demikian, industri makanan berbahan baku ikan laut perlu
dikembangkan sehingga menjadi pendorong perekonomian yang penting
di J awa Tengah, dengan mnghilangkan berbagai penghambat, mengingat
potensi sumberdaya yang begitu besar serta pasar yang cukup luas.
Pengolahan ikan laut perlu ditingkatkan baik untuk konsumsi dalam negeri
maupun untuk tujuan ekspor. Oleh karena itulah perlu dijawab beberapa
persoalan sebagaimana disampaikan di atas. Untuk menjawab hal
tersebut diperlukan upaya komprehensif dalam berbagai bidang yang
diawali dengan pendalaman melalui penelitian. Oleh karena itulah
penelitian ini dilakukan untuk memberikan masukan bagi pengembangan
industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut di J awa Tengah.
Dengan demikian, urgensi dilakukannya penelitian ini adalah;
1. Sangat dibutuhkan sebagai input untuk menentukan kebijakan,
program dan strategi dalam pengembangan usaha industri makanan
olahan berbahan baku ikan laut.
2. Sangat dibutuhkan sebagai bahan informasi dalam hal
mengembangkan ekonomi kerakyatan melalui pemberdayaan industri
makanan olahan berbahan baku ikan laut.

B. Pokok Permasalahan
Industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di J awa Tengah
kurang berkembang karena menghadapi banyak persoalan maka perlu
diselesaikan. Adapun masalah utama yang mendesak untuk segera
diselesaikan pada Industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di
J awa Tengah terseubt, adalah : regulasi pemerintah, permodalan,
ketersediaan bahan baku, teknologi pengolahan, sarana dan prasarana,
12

tenaga kerja, serta masalah pengembangan pasar. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka permasalahan yang dihadapi dalam
mengembangkan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut maka
dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut : mengapa pengembangan
potensi pengolahan ikan laut di J awa Tengah masih menghadapi
permasalahan baik internal maupun eksternal, serta kurangnya dukungan
dari berbagai pihak dalam upaya mengembangkan industri pengolahan
ikan laut ? Oleh sebab itu, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitiannya sebagai berikut:
1. Bagaimana peran regulasi atau kebijakan pemerintah maupun
pemerintah daerah dalam mendukung pengembangan industri
makanan olahan berbahan baku ikan?
2. Bagaimana ketersediaan ikan bahan penunjang sebagai bahan baku
industri makanan ?
3. Bagaimana kondisi sarana dan prasarana dalam mengembangkan
industri makanan berbahan baku ikan?
4. Bagaimana kondisi tenaga kerja yang mendukung pengembangan
industri makanan berbahan baku ikan?
5. Bagaimana kondisi teknologi yang mendukung pengembangan
industri makanan berbahan baku ikan?
6. Bagaimana modal yang diperlukan dalam pengembangan industri
makanan berbahan baku ikan ?
7. Bagaimana kondisi pasar hasil industri makanan olahan berbahan
baku ikan?

C. Maksud dan Tujuan
Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka maksud
penelitian ini ialah:
1. Menganalisis regulasi atau kebijakan pemerintah maupun pemerintah
daerah dalam mendukung pengembangan industri makanan olahan
berbahan baku ikan
13

2. Menganalisis ketersediaan ikan bahan penunjang sebagai bahan baku
industri makanan
3. Menganalisis kondisi sarana dan prasarana dalam mengembangkan
industri makanan berbahan baku ikan
4. Menganalisis tenaga kerja yang mendukung pengembangan industri
makanan berbahan baku ikan
5. Menganalisis teknologi yang mendukung pengembangan industri
makanan berbahan baku ikan
6. Menganalisis modal yang diperlukan dalam pengembangan industri
makanan berbahan baku ikan
7. Menganalisis pasar hasil industri makanan olahan berbahan baku ikan

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah tersusunnya
dokumen masukan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam
menetapkan kebijakan dan memberikan fasilitasi bagi industri perikanan.
Dengan demikian, keluaran yang menjadi tujuan penelitian ini adalah
menyediakan hasil berupa:
1. Data dan informasi mengenai kebijakan menyangkut kelembagaan dan
tata kelola yang terkait dengan pengembangan industri makanan
olahan berbahan baku ikan laut
2. Data dan informasi ketersediaan ikan bahan penunjang sebagai bahan
baku industri makanan olahan ikan laut
3. Data dan informasi kondisi sarana dan prasarana dalam
mengembangkan industri makanan berbahan baku ikan laut
4. Data dan informasi tenaga kerja yang mendukung pengembangan
industri makanan berbahan baku ikan laut
5. Data dan informasi teknologi yang mendukung pengembangan industri
makanan berbahan baku ikan laut
6. Data dan informasi modal yang diperlukan dalam pengembangan
industri makanan berbahan baku ikan laut
7. Data dan informasi pasar hasil industri makanan olahan berbahan
baku ikan laut.
14


D. Metodologi Pelaksanaan
1. Tinjauan Pustaka
a. Industri
Industri merupakan kegiatan ekonomi yang berupa pengolahan
bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi, dan barang jadi menjadi
barang dengan nilai yang nilainya lebih tinggi, atau menciptakan nilai
tambah dari bahan yang ada menjadi barang baru dengan tujuan
memperoleh keuntungan. Industri dapat dibedakan menjadi industri
ekstraktif yang mengolah langsung dari bahan alam, industri non-esktraktif
dan industri jasa. Industri pengolahan ikan termasuk dalan industri
ekstraktif, yaitu pengolahan langsung dari bahan alam.
Berdasarkan skala usahanya, ada industri skala rumah tangga
(mikro), kecil, menengah dan besar. Industri pengolahan ikan di J awa
Tengah termasuk dalam skala rumah tangga dan kecil. Menurut
Tambunan (2002; 49-51), Industri Rumah Tangga (IRT) umumnya adalah
usaha tradisional, tidak menerapkan sistem organisasi dan manajemen
yang baik, tidak ada pembagian kerja dan pembukuan yang jelas, tidak
punya tempat khusus, teknologi sederhana dan tenaga yang tidak dibayar,
sebagian besar terdapat di perdesaan, kadang sifatnya musiman karena
terkait dengan sektor pertanian, barang diproduksi tidak atas permintaan
pasar. Sedangkan industri kecil lebih modern, memproduksi barang untuk
permintaan pasar, pekerja dibayar, ada pembagian kerja, penghasilan
pekerja relatif tinggi memakai lebh banyak tenaga kerja
Kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun IRT di
Indonesia berdasarkan survey BPS adalah masalah kesulitan pemasaran,
masalah finansial, SDM, Bahan Baku dan teknologi (Tambunan, 2002;
73-80). Kesulitan pemasaran pada umumnya adalah persaingan dengan
usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di pasar ekspor, karena
tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas serta pelayanan
yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar juga
mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan seperti
15

masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak, dengan
standard yang tidak mampu dipoenuhi oleh UKM di Indoensia.
Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi
modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan
output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM
mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan
kurangnya informasi para pelaku UKM terhadap pembiayaan.
Kebanyakan IRT dan industri kecil menggunakan uang dari modal sendiri
atau pinjaman teman dan kerabat dibanding dana pinjaman perbankan,
terutama indusri makanan, minuman, dan sebagainya.
Keterbatasan SDM dialami UKM dalam aspek entrepreneurship,
manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, engineering design,
quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik
pemasaran dan penelitian pasar. Rendahnya pendidikan pekerja menjadi
penghambat, di mana lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atu tidak
tamat sekolah. Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus
juga menjadikan lemahnya kualitas SDM.
Masalah bahan baku berupa kelangkaan bahan atau mahalnya
harga bahan baku yang tidak terjangkau, kualitas yang rendah serta
kurangnya pemenuhan. Keterbatasan teknologi karena teknologi yang
rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas yang rendah,
kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam produksi sehingga
meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal investasi, keterbatasan
informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM yang mampu
mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga menghambat
penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar global.
Menurut Tambunan (2002; 29) faktor-faktor keunggulan kompetitif
yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan untuk dapat bersaing di pasar
dunia terutama adalah; penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas
tinggi, etos kerja, kreatifitas dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas
yang tinggi, kualitas dan mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas
dan agresif, sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik,
16

pelayanan teknis maupun non teknis yang baik, adanya skala ekonomis
dalam proses produksi, modal dan sarana serta prasarana yang cukup,
jaringan bisnis dalam dan luar negeri dan proses produksi tepat waktu,
serta jiwa entrepreneurship yang tinggi.

b. Makanan Olahan
Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi
Pangan, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang
tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan,
menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas
kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan. Industri rumah tangga
pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat
tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi
otomatis. Pengertian pangan olahan menurut aturan tersebut di atas
adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode
tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Pangan olahan diwajibkan
memenuhi standar keamanan pangan. Keamanan pangan adalah kondisi
dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Persyaratan keamanan pangan adalah standar yang harus dipenuhi
untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Kemanan pangan
meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran
pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi Sanitasi pangan adalah
17

upaya untuk pencegahan terhadap memungkinan bertumbuh dan
berkembang biaknya jasad renik membusuk dan patogen dalam
makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak
pangan dan membahayakan manusia.

c. Pengolahan Ikan Laut (bahan Baku)
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan, dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di
dalam lingkungan perairan. Ikan laut dibagi kedalam beberapa kategori
utama, yaitu golongan demersal, pelagik kecil, pelagik besar, anadromus,
dan katradromus. Golongan demersal merupakan ikan yang hidup di
lautan dalam. Pelagik baik besar maupuan kecil merupakan ikan kecil di
permukaan atau di lapisan atas. Kemudian golongan anadromus adalah
ikan yang hidup di air payau yang berasal dari laut seperti ikan bandeng
dan salem. Sedangkan golongan katradromus adalah jenis ikan payau
yang berasal dari air tawar.
Menurut kajian yang dilakukan oleh Indroyono & Budiman
(2003:103) bahwa produk laut Indonesia sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi penghasil devisa nyata, karena bahan bakunya
lokal, modalnya rupiah namun hasilnya dollar. Persoalan yang lebih
penting adalah upaya untuk mengolah, tidak hanya mengekspor dalam
bentuk mentah, karena nilainya cenderung rendah. Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia, di mana luas wilayah daratannya
lebih kecil dari pada luas wilayan lautnya. Luas daratannya mencapai 1,9
juta km
2
, wilayah laut sekitar 5,8 juta km
2
, jumlah pulaunya sebanyak
17.508 buah dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia
setelah Kanada yaitu 81.000 km (Dahuri, 2005).
Dengan kondisi seperti ini, Indonesia memiliki potensi sumberdaya
perikanan laut yang sangat besar. Hasil pengkajian stok ikan di Perairan
Indonesia yang pernah dilaporkan Badan Riset Kelautan dan Perikanan
18

(BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2001 (dalam Purwanto, 2003)
bahwa potensi lestari (MSY) atau jumlah sumber daya ikan laut yang
dapat ditangkap dan tidak mengganggu kelestarian di perairan Indonesia
mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah penangkapan yang
diperbolehkan 5,1 juta ton per tahun (80 % dari MSY), dengan potensi
lestari ikan demersal yakni 1.370.090 ton per tahun. Kondisi tersebut
memberikan dukungan penyediaan bahan baku yang cukup bagi industri
pengolahan ikan.
Pengolahan ikan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian
Sistem J aminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam pasal 1
dijelaskan bahwa pengolahan ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau
perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk
konsumsi manusia. Kemudian dalam Peraturan Direktur J enderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor: Per.09/Dj-
P2hp/2010 Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, dan
Format Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Pasal 1 dijelaskan bahwa
Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari
bahan baku.Pengolahan ikan wajib memenuhi persyaratan umum
hyangiene, prosedur yang baik, sarana dan parasarana yang baik,
pengemasan dan proses pemasaran yang memenuhi standar higienitas.
Secara garis besar, industri pengolahan ikan laut dapat dibedakan
menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok pengolah ikan serta
kelompok penambahan nilai ikan. Kelompok pengolah ikan merupakan
upaya melakukan pengawetan ikan secara tradisional dengan hasil akhir
masih berupa ikan, terdiri dari pemindangan, pengeringan/penggaraman,
pengasapan/pemanggangan. Sedangkan penambahan nilai ikan
merupakan hasil olahan turunan dari ikan baik dari daging, kulit maupun
tulang ikan. Kelompok ini terdiri dari surimi (daging ikan giling) dan
turunannya seperti bakso ikan, nugget ikan, otak-otak, kaki naga, kerupuk
ikan, terasi dan olahan lainnya.
19

Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat J enderal
PPHP melakukan pembinaan terhadap industri pengolahan ikan dengan
mengembangkan sentra-sentra pengolahan ikan di seluruh Indonesia.
Konsep tersebut merupakan aplikasi dari paradigm baru pengembangan
sentra pengolahan hasil perikanan dengan arahan; 1). lokasi/kawasan
tempat pengolahan ikan dengan sebagian besar produk olahan yang
sama, 2). jumlah pengolah yang memenuhi persyaratan/cukup,
3).pasokan bahan baku yang cukup dan adanya akses pasar/tujuan
pemasaran, 4). bersedia dijadikan lokasi/kawasan sentra pengolahan, dan
5). program pengembangan sentra tidak harus bangunan fisik, tapi dapat
berupa bantuan bintek, peralatan dan sarana penunjang lainnya,
Sampai dengan tahun 2012, di J awa Tengah telah ditetapkan
sebanyak 5 daerah Kabupaten/Kota sebagai penerima program
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan (PHP).\
Tabel.1.4.Lokasi Program Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan dari Kementerian Kelautan & Perikanan di jawa
Tengah sampai Tahun 2012
No Kab/Kota J enis Olahan Tahun
1 Kota Tegal Fillet Ikan Laut 2006, 2007
2 Kab. Boyolali Olahan Lele 2008, 2011
3 Kab. J epara Panggang Ikan Laut 2008
4 Kab. Pati Fillet Ikan Laut 2010, 2011
5 Kab. Demak Panggang Ikan Laut Dan Lele 2010, 2011
Sumber: DInas Kelautan dan Perikanan Prov. J ateng 2012
Namun demikian, masih terdapat berbagai kendala dalam
pengembangan selanjutnya, baik di 5 wilayah tersebut maupun wilayah
lainnya. Persoalan utama adalah penyediaan lahan yang sulit dilakukan
oleh pemerintah daerah. Selain persoalan sumberdaya tersebut, hasil
evaluasi sementara terhadap sentra-sentra yang ada adalah belum
optimalnya penggunaan sarana yang ada karena budaya atau kebiasaan,
belum mampunya SDM pengelola untuk menerapkan perilaku
bersih,belum ada jaminan dalam kontinuitas /ketersediaan bahan baku,
serta terbatasnya akses pasar untuk produk yang dihasilkan.
20

Dalam era globalisasi ini, tentu peningkatan daya saing industri
sangat diperlukan. Selain potensi perikanan yang besar, permintaan
dalam negeri maupun luar negeri terhadap produk ikan sebagai sumber
nutrisi cukup tinggi. Dengan demikian sangat disayangkan apabila potensi
tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kebutuhan mengembangkan pengolahan ikan berkaitan erat
dengan pengembangan perekonomian daerah di J awa Tengah. Untuk
dapat melakukan itu, ada beberapa prasyarat yang cukup penting untuk
dipenuhi. Untuk dapat bersaing, ada potensi keunggulan kompetitif yang
harus dimiliki oleh setiap UKM untuk dapat bersaing di pasar dunia.
Penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas
dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan
mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem
nanajemen dan struktur organisasi yang baik, pelayanan teknis maupun
nonteknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi,
modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan
luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship
yang tinggi merupakan faktor keunggulan UKM (Tambunan, 2002;29).
Untuk menyikapi hal tersebut, UKM terutama pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut harus mampu menghadapi berbagai persoalan
mendasar. Menurut studi yang dilakukan oleh BPS dalam Tambunan
(2002; 73-80) bahwa kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun
industri rumah tangga di Indonesia (termasuk makanan olahan berbahan
baku ikan laut) adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial,
SDM, bahan baku dan teknologi.
Kesulitan pemasaran yang dihadapi UKM pada umumnya adalah
persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di
pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas
serta pelayanan yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar
juga mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan
seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak,
dengan standard yang tidak mampu dipenuhi oleh UKM di Indonesia,
21

serta kebijakan dumping dan sebagainya yang merugikan industri dalam
negeri.
Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi
modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan
output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM
mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan
kurangnya informasi para pelaku UKM terhadap pembiayaan.
Kebanyakan industri kecil dan rumah tangga menggunakan uang dari
modal sendiri dibanding dana pinjaman perbankan, terutama industri
makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM
dalam aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi
bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar.
Rendahnya pendidikan pekerja UKM menjadi penghambat di mana
lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atau tidak tamat sekolah.
Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan
lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangakaan bahan
atau mahalnya harga bahan baku yang tak terjangkau, kualitas yang
rendah serta kurangnya pemenuhan.
Teknologi yang rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas
yang rendah, kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam
produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal
investasi, keterbatasan informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM
yang mampu mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga
menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar
global.

2. Definisi Konseptual
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan definisi
konseptual sebagai berikut:
1) Ikan Laut adalah segala jenis ikan yang ditemukan di perairan laut
dangkal maupun dalam yang diperoleh dengan proses penangkapan
22

2) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan
air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan
makanan atau minuman
3) Makanan olahan, adalah merupakan hasil dari pengolahan produk
primer ataupun produk setengah jadi menjadi produk jadi pada
komoditas pertanian yang dimanfaatkan sebagai pangan untuk
dikonsumsi manusia.
4) Makanan olahan berbahan baku ikan laut adalah merupakan aktifitas
atau proses memproduksi makanan hasil pengolahan yang bahan
bakunya dari ikan laut dengan modal, sarana, teknologi dan
persyaratan tertentu yang diperlukan oleh konsumen, meliputi proses
penggaraman, pengasapan, pengeringan, pembekuan, pemindangan,
pembuatan minyak, kecap atau teping, pembuatan kerupuk, terasi,
petis dan jenis-jensi lainnya.
5) Kebijakan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
adalah segala aturan formal/regulasi, kebijakan teknis, fasilitasi
maupun pendampingan terhadap industri makanan olahan berbahan
baku ikan laut yang dilakukan oleh pemerintan dan pemerintah daerah.
6) Bahan baku industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
adalah segala sesuatu yang dibuuhkan sebagai bahan yang diolah,
baik utama maupun pendukung dalam proses pengolahan, yaitu ikan,
garam, air, tepung dan sebagainya.
7) Sarana dan prasarana industri pengolahan makanan berbahan baku
ikan laut adalah seluruh infrastruktur yang dibutuhkan sebagai
pendukung terhadap berjalannya proses produksi pengolahan ikan.
8) Teknologi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
merupakan keseluruhan alat dan cara yang digunakan untuk mengolah
ikan menjadi produk lainnya yang lebih baik nilainya.
23

9) Tenaga kerja industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
adalah seluruh pihak yang terlibat secara lagsung dalam proses
pengolahan ikan, baik tingkat manajer maupun karyawan biasa.
10) Modal industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut berupa
uang (financial) maupun non uang yang digunakan sebagai input atau
masukan bagi pengadaan alat dan bahan pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut
11) Pasar industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah
sasaran berupa individu dan organisasi yang membutuhkan untuk
konsumsi maupun melakukan penjualan kembali barang dan jasa
setelah hasil pengolahan untuk mendapatkan keuntungan.

3. Rancangan (Riset Desain)
Sebagaimana dijelaskan di atas, penelitian ini merupakan upaya
membangun konsep pengembangan industri makanan olahan berbahan
baku ikan laut di J awa Tengah dengan menganalisis berbagai hal.
Penelitian dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya
pengembangan industri tersebut dalam rangka meningkatkan daya saing
di pasar nasional maupun global. Ada beberapa aspek penting yang
diperhatikan, mulai dari kebijakan, modal, bahan baku dan sarana sampai
pasar, dan menjadi bagian dari sebuah sistem sebagaimana digambarkan
di bawah ini.

Gambar 1.1. Alur Pikir Pengembangan Industri Pengolahan Makanan
Berbahan Baku Ikan Laut

24

Siklus sebagaimana digambarkan dalam sistem di atas kemudian
diterjemahkan ke dalam kerangka pemikiran penelitian yang bertujuan
menganalisis setidaknya 7 aspek utama dalam industri pengolahan ikan,
yaitu kebijakan, bahan baku, sarana dan prasarana, teknologi, modal,
tenaga kerja dan pasar. Masing-masing aspek tersebut akan menjadi
variabel dalam memahami bagaimana upaya pengembangan industri
makanan olahan berbahan baku ikan laut tersebut dilakukan. Dengan
demikian, dapat digambarkan bangunan kerangka variabel penelitian
seperti gambar di bawah ini.













Gambar 1.2 Kerangka Penelitian Pengembangan Industri Makanan
Berbahan Baku Ikan Laut

Ketujuh aspek di atas kemudian dianalisis untuk menilai kondisi saat
ini, kendala dan prospek pengembangan ke depan.
1) Kebijakan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
Ada dua aspek penting dalam kebijakan, yaitu mengenai bagaimana
kelembagaan dalam industri dan bagaimana tata kelola industri diatur.
Sedangkan indikator kebijakan meliputi adanya regulasi atau aturan
yang ditetapkan secara formal, dukungan dari pemerintah dan
Bahan Baku &
Penunjang
Sarana dan
Prasarana
Produk
Kebijakan/Regulasi, Kelembagaan
dan Tata Kelola
Pasar
Modal
Proses
Tenaga Kerja
Teknologi
25

pemerintah daerah serta fasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah
terhadap industri pengolahan ikan.
2) Bahan baku industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
Bahan baku dalam hal ini dikelompokkan menjadi 2, yaitu bahan baku
utama, dalam hal ini ikan dan bahan pendukung. Bahan baku ikan,
dilihat dari indikator berupa: J umlah ikan yang didaratkan, jenis ikan,
mutu ikan, waktu ikan didaratkan, asal ikan ditangkap, alat tangkap
yang digunakan, fasilitas penyimpanan ikan di kapal, dan harga ikan
sebagai bahan baku penunjang industri. Sedangkan bahan baku
penunjang, dalam hal ini terdiri dari Garam, Es Balok/Curah, air bersih
dan beberapa jenis lainnya dilihat dari indkator: J umlah, J enis, Harga,
Lokasi bahan baku penunjang tersebut tersedia
3) Sarana dan prasarana industri pengolahan makanan berbahan baku
ikan laut
Sarana produksi makanan olahan berbahan baku ikan laut, dalam hal
ini berupa bangunan, peralatan, bahan lain, dan obatobatan, serta
sanitasi lingkungan. Prasarana yang digunakan dalam makanan
olahan, yaitu jalan, transportasi, dan penerangan. Indikator dalam
sarana dan prasarana adalah tingkat pemenuhan bangunan, jalan,
energi, air dan sarana penunjang lainnya.
4) Teknologi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
Teknologi/peralatan adalah segala macam peralatan dan metode/cara
yang digunakan dalam keseluruhan rangkaian produksi pengolahan
ikan laut. Teknologi menjamin adanya kontinuitas produksi,
keseragaman kualitas, packing, labeling, dan lain-lain, Indikator
teknologi adalah ketersediaan alat, dan cara sesuai dengan
permintaan dan kebutuhan produksi memenuhi permintaan pasar.
5) Tenaga kerja industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
Tenaga kerja pada sektor pengolahan ikan adalah seluruh orang, baik
karyawan maupun manajer yang terlibat secara langsung dalam
proses pengolahan ikan. Mata pencaharian utama mereka adalah
pada sektor pengolahan ikan. Indikator tenaga kerja dalam hal ini ialah
26

pekerjaan utama atau lama bekerja pada pengolahan ikan, tingkat
pendapatan dan tingkat penyerapan sektor industri pengolahan ikan
terhadap tenaga kerja. Sedangkan secara individu meliputi kualitas
(tingkat pendidikan, ketrampilan, kompetensi), komitmen, etos kerja
dan motivasi.
6) Modal industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan
uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai
ekonomis sebagai masukan pada pendirian industri maupun proses
pengolahan atau operasional produksi. Indikator adalah bagaimana
kondisi permodalan, akses untuk memperoleh modal, sumber modal,
kemudahan lembaga keuangan dalam memberikan pinjaman dan lain-
lain. Aspek finansial sangat penting untuk diperhatikan, karena setiap
kegiatan usaha selalu membutuhkan dana untuk menjalankan usaha
yang meliputi permodalan, pembiayaan gaji karyawan, operasional
lainnya, penerimaan dan analisis finansial.
7) Pasar industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
Aspek pemasaran merupakan aspek penting dalam rangka
menciptakan kesinambungan proses produksi (sustainability of
production process). Terdapat 3 pertanyaan mendasar yang timbul
dalam memasarkan (menyalurkan) produk dari produsen sampai
kekonsumen, yaitu :
What : J enis produk apa yang akan disalurkan ?
Who : Siapa yang akan menyalurkan produk tersebut ?
How : Bagaimana cara menyalurkan jenis produk tersebut ?
Aspek pasar dan pemasaran merupakan salah satu aspek yang
sangat penting. Hal ini dikarenakan aspek pasar dan pemasaran
sangat menentukan hidup matinya perusahaan atau setiap kegiatan
usaha (Kasmir dan J akfar, 2003).
a). Permintaan makanan olahan ikan; untuk menghitung estimasi
permintaan makanan olahan ikan, peneliti menggunakan data
permintaan ikan nasional lima tahun terakhir
27

b). Penawaran makanan olahan ikan; data penawaran makanan
olahan ikan digunakan data nasional kondisi terakhir.

4. Lokus Kegiatan
Subjek penelitian atau populasi dalam penelitian ini ialah pelaku
industri atau pengrajin makanan berbahan dasar ikan laut di J awa
Tengah. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan pertimbangan dengan
tujuan tertentu. Pertama, adalah wilayah yang menghasilkan produk ikan
tangkap dan olahan terbsar di J awa Tengah, yaitu Kabupaten Rembang.
Kedua, adalah daerah yang disamping menghasilkan ikan tangkap laut
juga merupakan sentra budidaya dan olahan ikan budidaya tambak,
terutama bandeng, yaitu Kabupaten Pati. Ketiga, adalahd aerah yang
memiliki komitmen tinggi (pimpinan daerah) dalam mengembangkan
sektor perikanan dengan menyatakan diri sebagai daerah Minapolitan,
meskipun pada saat yang sama terjadi penurunan produksi ikan tangkap
yaitu Kota Pekalongan. Keempat, adalah daerah dimana potensi
perikanan cukup tinggi akan tetapi belum terdapat upaya serius dan
komitmen tinggi dari peemrintah daerah, yaitu Kabupaten Brebes. Kelima,
adalah wilayah yang mewakili pantai selatan sebagai daerah penghasil
ikan terbesar di wilayah selatan J awa Tengah serta penghasil utama ikan
demersal di J awa Tengah.
Selain itu, berdasarkan pertimbangan produk olahan ada 5 daerah
penghasil olahan ikan di J awa Tengah dengan kekhasan olahan unggulan
yang berbeda-beda dibanding daerah lain, yaitu seperti tabel 1.5 bawah
ini.
Tabel 1.5. Daftar Sampel Penelitian dari Sentra Pemasaran Hasil
Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di J awa Tengah Tahun 2011
No Kabupaten / Kota Olahan Unggulan
1 Kabupaten Rembang Pindang, Kering/Asin, Terasi, Asap
2 Kabupaten Pati Pindang, Terasi, Asap, Bandeng,
Bandeng olahan
3 Kota Pekalongan Ikan Olahan (bakso dll), Ikan Kering
4 Kabupaten Brebes Pindang, Asap, Kering
5 Kabupaten Cilacap Kering, Segar, Kerupuk
Sumber: Data Primer, 2012
28


Responden adalah pemerintah daerah dan para pengolah ikan
khususnya yang terdapat di Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kota
Pekalongan, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Cilacap. Sampel
ditentukan secara purposive, dalam pengumpulan data dengan
memperhatikan informan dan key person di lapangan dengan
menggunakan teknik snowball.
J umlah dan latar belakang sampel penelitian ini disesuaikan dengan
kondisi lapangan dan kebutuhan penelitian. Secara umum, terkait dengan
tema penelitian, maka informan penelitian adalah pihak yang terkait, yaitu
instansi pemerintah daerah, pelaku usaha (penyuplai ikan, pengolah ikan,
distributor) serta pihak-pihak terkait lainnya.

5. Fokus Kegiatan
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis. Menurut
Surachmad (1982), penelitian diskriptif analisis merupakan penelitian yang
mencoba mencari serta menemukan hubungan antara data yang
diperoleh di lapangan dengan landasan teori yang digunakan, dengan
demikian dapat memberikan gambaran-gambaran yang konstruktif
mengenai permasalahan yang diteliti. Menurut Arikunto (2002), penelitian
deskriptif dilakukan untuk mengetahui keadaan sesuatu mengenai apa
dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana dan sebagainya.
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,
adalah pendekatan deduktif/kualitatif dan pendekatan induktif (Babie,
1993:46). Pendekatan deduktif berdasarkan pada teori-teori disusun
hipotesis yang kemudian akan diuji kebenarannya secara empirik
berdasarkan data dan observasi yang dilakukan. Menurut Sugiyono
(2009), metode penelitian kulitatif adalah penelitian di mana data yang
terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif. Menurut Bungin (2008)
penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis ilmiah yaitu
seorang peneliti memulai berpikir secara induktif, menangkap berbagai
fakta dan fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan lapangan,
29

kemudian menganalisis dan melakukan teorisasi berdasarkan apa yang
diamati. Selanjutnya berdasarkan data dan observasi tersebut disusun
suatu model sebagai upaya membuat generalisasi (pendekatan induktif).

6. Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan ini ialah berupa penelitian lapangan yang
dilengkapi dengan studi pustaka untuk menganalisis kondisi yang ada dan
menemukan solusi persoalan tersebut. Dengan demikian, teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu: a).Teknik observasi, b).
Teknik wawancara (interview guide), dam c).Desk study
Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan data
sekunder. Data primer berasal dari wawancara mendalam dan isian
kuesionar dari para informan yang berisi tentang pendapat dan
pemahaman mengenai industri perikanan. Data sekunder berasal dari
dokumen terkait obyek penelitian dari berbagai sumber.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah panduan
wawancara dan daftar pertanyaan terbuka. Informan tertentu
diwawancarai secara mendalam dan sebagian yang lain diminta mengisi
daftar pertanyaan terbuka yang disediakan. Informasi yang didapat dari
metode di atas diharapkan akan saling melengkapi. Metode seperti ini
dilakukan agar data yang didapat benar-benar valid dan reliabel. Selain
data yang didapatkan mendalam, peneliti juga dapat melakukan uji silang
terhadap jawaban yang diberikan informan yang satu dengan informan
lainnya agar data yang didapatkan valid dan reliabel.
Dalam penelitian ini teknik analisis yang digunakan trianggulasi
sebagaimana penelitian kualitatif. Data dianalisis secara kualitatif dengan
dilakukan analisis induktif seperti gambar dibawah ini .





30









Gambar 1.3. Alur Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang dikembangkan oleh
Miles dan Huberman seperti yang dikutip Sugiyono (2009). Analisis model
Miles dan Huberman merupakan siklus dalam proses pengambilan data,
pengolahan dan analisis yang dilakukan secara simultan sehingga data
yang diperoleh semakin mendalam dan mampu menggambarkan kondisi
secara lebih baik.
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei Okotber 2012 di Kabupaten
Rembang, Kabupaten Pati, Kota Pekalongan, Kabupaten Brebes dan
Kabupaten Cilacap, di Provinsi J awa Tengah.














Pengumpulan Data

Sajian Data Emik dan Etik

Verifikasi Data dan Penarikan
Kesimpulan

Reduksi Data
31

BAB II
PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
1. Perkembangan Kegiatan
a. Tahap Awal
1) Persiapan Penyusunan Riset Desain (RD)/ instrumen survey (IS)
Rapat persiapan penyusunan Riset Desain (RD) dan Instrumen Survey
(IS) bertujuan melakukan penajaman arah dan inventarisasi dalam
rangka penyusunan riset desain dan instrumen survey. Penysusunan
Riset Desain dan Instrumen Survey dilakukan dengan memperhatikan
masukan dan penajaman dalam rapat sebelumnya. Kegiatan ini
dilaksanakan selama 25 hari, dimulai tanggal 16 Mei 9 J uni 2012 .
kegiatan ini dilakukan oleh Tim peneliti.
2) Rapat Pembahasan RD/IS
Pembahasan Riset Desain dan Instrumen SUrvei dilakukan dengan
tujuan mendapatkan masukan dari stakeholder dan pihak yang
memiliki kompetensi agar penelitian yang akan dilakukans sesuai
dengan kebutuhan. Kegiatan ini dilakukan tanggal 12 J uni 2012, pukul
13.00 15.00 Wib di ruang siding badan Penelitian dan
Pengembangan Provinsi J awa Tengah. Peserta yang hadir sebanyak
40 orang terdiri dari tim peneliti, narasumber, tim adminsitrasi, sertra
undangan yang memiliki keterkaitan dan kompetensi.
3) Pra Survey
Pra survey dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan yang
sesungguhnya serta melakukan uji terhadap keandalan instrument
penelitian yang telah disusun. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 13
J uni 2012 dengan tujuan Kota Pekalongan. Kegiatan dilakukan oleh
tim peneliti.
4) Rapat Persiapan Penyempurnaan RD/IS
Kegiatan rapat persiapan penyempurnaan RD/IS dilakukan untuk
mempersiapkan fokus penyempurnaan RD/IS yang dilakukan tanggal
32

14 dan 15 J uni 2012 dengan dihadiri oleh Tim Peneliti, Narasumber
dan Tim Administrasi.
5) Penyempurnaan RD/IS
Penyempurnaan RD/IS dilakukan untuk memperbaiki RD/IS yang telah
dibahas sesuai dengan masukan dalam pembahasan serta pra survey
sehingga sesuai dengan kondisi lapangan. Kegiatan tersebut dilakukan
selama 15 hari dimulai tanggal 16 30 J uni 2012 yang dilakukan oleh
Tim Peneliti.
6) Seminar RD/IS
Seminar dilakukan sebagai media sosialisasi rencana kegiatan
penelitian ini kepada para pemangku kepentingan. Kegiatan ini
dilakukan tanggal 2 J uli 2012.

b. Tahap Pelaksanaan
1) Pengambilan Data Lapangan
Pengambilan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara dan
diskusi bersama pihak-pihak yang merupakan pelaku utama dari
isndustri makanan olahan berbahan baku ikan laut, dengan rincian
jadwal sebagai berikut;
a) Kunjungan ke Kabupaten Rembang tanggal 3 - 4 J uli dan 30 - 31
J uli 2012.
b) Kunjungan ke Kabupaten Pati tanggal 5 - 6 J uli dan 3 - 4 Agustus
2012
c) Kunjungan ke Kota Pekalongan tanggal 9,-10 J uli dan 6 - 7
Agustus 2012
d) Kunjungan ke Kabupaten Brebes tanggal 12 J uli dan 9 - 11
Agustus 2012
e) Kunjungan ke Kabupaten Cilacap tanggal 17 J uli dan 12 -14
Agustus 2012



33

2) Pengolahan Data
Dilakukan pada bulan Agustus, setelah semua data terkumpul,
didahului dengan screening dan input data, kemduian dilanjutkan
dengan tabulasi. Kegiatan ini dilakukan oleh tim pengolah data.
3) Persiapan Penyusunan Draft Laporan Akhir
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya dilakukan
persiapan penyususnan draft laporan akhir pada tanggal 22 dan 23
Agustus 2012 pukul 13.00 15.00 WIB dengan dihadiri oleh Tim
Peneliti, Narasumber dan Tim Administrasi.
4) Penyusunan Draft Laporan Akhir
Penyusunan draft laporan akhir dilakukan setelah dilakukan input data
dan pengolahan, selama 32 hari yang dimulai tanggal 24 Agustus 24
September. Kegiatan tersebut dilakukan oleh tim peneliti.
5) Pembahasan Draft Laporan Akhir
Pembahasan draft laporan akhir dilakukan untuk mendapatkan koreksi
dan masukan dari berbagai pihak terkait yang dilakukan tanggal 2
Oktober 2012 pukul 13.00 15.00 wib di Badan Penelitian dan
Pengembangan Provinsi J awa Tengah. Peserta yang hadir sebanyak
40 orang terdiri dari tim peneliti, narasumber, tim administrasi, sertra
undangan yang memiliki keterkaitan dan kompetensi.
6) Persiapan Penyempurnaan Laporan Akhir
Setelah dilakukan pembahasan dan adanya masukan, maka
dipersiapkan penyempurnaan laporan akhir yang dilakukan tanggal 3
dan 4 Oktober 2012. dengan dihadiri oleh Tim Peneliti, Narasumber
dan Tim Administrasi.
7) Penyempurnaan Laporan Akhir
Penyempurnaan draft laporan akhir yang telah dibahas sebelumnya
dilakukan selama 16 hari yang dimulai tanggal 5 - 20 Oktober 2012.
kegiatan tersebut dilakukan oleh tim peneliti.

c. Tahap AKhir
1) Sosialisasi Hasil Penelitian Sebagai Masukan Kebijakan
34

Kegiatan ini bertujuan mensosialisasikan hasil penelitian kepada
pemerintah daerah sebagai masukan kebijakan. Hasil-hasil penelitian
dirumuskan dalam bentuk rekomendasi kebijakan kepada pemerintah
daerah.
2) Seminar Laporan Akhir
Seminar laporan akhir dilakukan pada tanggal 5 - 7 Nopember 2012, di
J akarta sebagai media sosialisasi di tingkat pusat, sekaligus menjalin
koordinasi implementasi kebijakan dari hasil penelitian.

2. Kendala-Hambatan Pelaksanaan Kegiatan
Kendala utama yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian ini
ialah permasalahan pendanaan. Pendanaan penelitian yang tidak lancer
menyebabkan pelaksanaan penelitian di lapangan juga terhambat.

B. Pengelolaan Administrasi Manajerial
1. Perencanaan Anggaran
Anggaran penelitian ini sebesar Rp. 250.000.000,-. (Dua ratus lima
puluh juta rupiah). Perencanaan angggaran dilakukan dengan
memperhatikan pedoman PKPP 2012 sebagaimana dikeluarkan oleh
Kementerian Ristek. Namun ada beberapa penyesuaian sesuai kondisi
lapangan dengan rincian dipergunakan untuk honorarium peneliti, tenaga
administrasi, narasumber, pembantu lapangan, surveyor dan pengolah
data sebesar mendekati angka 60% dan untuk belanja habis pakai,
keperluan perjalanan, serta belanja lain sebesar 40%.

2. Mekanisme Pengelolaan Anggaran
Pengelolaan anggaran dilaksanakan sesuai dengan pedoman
PKPP 2012. Mekanisme pengeluaran anggaran dan
pertanggungjawabannya menggunakan kaidah anggaran berbasis kinerja
dengan memperhatikan kesesuaian antara pengeluaran dan outputnya.




35

3. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset
Penelitian ini menghasilkan aset nonfisik berupa rekomendasi
kebijakan pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan
laut yang akan disampaikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi J awa Tengah, maupun pemerintah Kabupaten/Kota dimana
terdapat industri pengolahan ikan tersebut. Media yang digunakan dalah
diseminasi hasil penelitian, dalam bentuk buku dan terbitan di media
ilmiah (jurnal) serta berbentuk policy papper.

4. Kendala Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial
Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan administrasi
manajerial kegiatan ini ialah mekanisme pencairan dan
pertanggungjawaban anggaran yang cukup rumit sehingga sulit
menyesuaikan dengan kondisi lapangan.



















36

BAB III
METODOLOGI PENCAPAIAN TARGET KINERJA

A. Metode - Proses Pencapaian Target Kinerja
1. Kerangka Metode - Proses
Kerangka metode proses industri makanan berbahan baku ikan laut
di J awa Tengah mencakup persyaratan industri makanan olahan sesuai
peraturan perundangan yang berlaku di Negri ini. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan
Gizi Pangan, dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun
yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan,
menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas
kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan. Industri rumah tangga
pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat
tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi
otomatis. Pengertian pangan olahan menurut aturan tersebut di atas
adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode
tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Pangan olahan diwajibkan
memenuhi standar keamanan pangan. Keamanan pangan adalah kondisi
dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Persyaratan keamanan pangan adalah standar yang harus dipenuhi
untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Kemanan pangan
meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran
37

pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi Sanitasi pangan adalah
upaya untuk pencegahan terhadap memungkinan bertumbuh dan
berkembang biaknya jasad renik membusuk dan patogen dalam
makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak
pangan dan membahayakan manusia.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan tersebut di atas,
maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan standar sarana dan
prasarana pengolahan yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan Provinsi
J awa Tengah adalah sebagai berikut :
Persyaratan Sapras Pengolahan Ikan
a. Sarana Pengolahan
Peralatan yang dipergunakan untuk produksi dibuat berdasarkan
perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene serta
menjamin kelancaran proses penanganan dan pengolahan.
b. Prasarana Pengolahan
1) Tersedianya infrastruktur pendukung (jalan, air dan sumber listrik)
2) Lokasi bangunan harus berada ditempat yang bebas pencemaran
3) Konstruksi kuat dan mendukung kelancaran proses pengolahan
dan sanitasi
Persyaratan teknis
a. Sarana Pengolahan
1) Sesuai dengan jenis produk
2) Terbuat dari bahan yang tidak korosif, tidak mencemari produk dan
tidak menyerap air
3) Permukaan kontak dengan produk harus halus, tidak bercelah,
tidak mengelupas
4) Mudah dibersihkan Tahan lama
5) Tahan lama
b. Persyaratan Gedung atau bangunan tempat pengolahan Ikan
1) Dinding. Warna: Terang, Permukaan harus rata dan halus,
pertemuan sudut melengkung sehingga mudah dibersihkan.
38

2) Lantai harus tahan terhadap minyak ikan, lemak, air garam/air laut,
deterjen dan desinfektan. Warna terang, kedap air, rata tidak
berpori dan mudah dibersihkan keramik yang tidak licin,
kemiringan 3-5 ke arah saluran pembuangan (drainage) untuk
menghindari terjadinya genangan air
3) Atap harus mampu melindungi ikan yang dijual dari sinar matahari,
hujan yang akan mengakibatkan kontaminasi, kerusakan fisik dan
mutu
4) Ruangan Pasar harus memiliki cahaya penerangan yang cukup
melalui cahaya alami dan dilengkapi dengan lampu yang memadai.
Lampu harus dilindungi pelindung untuk menghindari pecahan
lampu
Persyaratan Sanitasi
a. Sirkulasi udara cukup/ventilasi minimal 20% luas ruangan
b. Air : Tersedia air bersih yang cukup dilengkapi tandon air;
c. Kualitas air bersih diperiksa setiap 6 bulan;
d. Es: harus tersedia dalam keadaan curah dan yang digunakan harus
memenuhi standar.
e. Instalasi limbah/saluran pembuangan harus terbuat dari bahan
yang kedap air, rata, tidak berpori, halus agar mudah untuk
dibersihkan. Konstruksi saluran harus berbentuk U agar mudah
dibersihkan, mengalirkan limbah/air dengan lancar.
f. Saluran harus ditutup dengan jeruji logam dan tidak mudah karat
g. Toilet harus tersedia cukup bagi pengunjung dan pedagang yang
ada di pasar; harus dilengkapi dengan tempat mencuci tangan dan
harus selalu dalam kondisi bersih.
h. Fasilitas cuci tangan seharusnya tersedia di dekat meja display,
dapat digunakan pembeli baik sebelum maupun sesudah memilih
ikan
Persyaratan peralatan pemasaran
a. Meja: sebaiknya portable, tidak mudah dipindahkan, bahan tahan
karat, pada ujung sisi meja sebaiknya dilengkapi dengan tempat
39

saluran air yang terhubung langsung ke saluran pembuangan.
Setiap sisi meja seharusnya disediakan kran air bersih untuk
pencucian dan tempat sampah yang mudah diangkat dan
dipindahkan;
b. Talenan dari bahan plastik/polipelin;
c. Pisau tajam, tidak berkarat;
d. Timbangan: bahan yang tidak mudah korosif dan mengkontaminasi
ikan
e. Seharusnya dalam kondisi pas dan selalu dilakukan kalibrasi
secara rutin.
f. Keranjang: dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak
mengkontaminasi produk
g. Trolly : dari bahan yang tidak mengkontaminasi produk
h. Pakaian bersih;
i. Memakai celemek, sepatu boot, penutup kepala, sarung tangan;
j. Selalu mencuci tangan setelah bertransaksi;
k. Pemeriksaan kesehatan berkala setiap 6 bulan;
l. Tidak membuang sampah sembarangan;
m. Berhenti berjualan apabila sedang sakit;
Persyaratan pasar ikan
Persyaratan pasar ikan yang harus di lakukan seperti singkatan di
bawah ini :
P : Pergunakan perlengkapan diri seperti celemek, sarung tangan
dan sepatu bot
A : Aman dari bahan berbahaya seperti formalin dan borax
S : Selama menjual ikan hindari merokok, meludah dan bersin
A : Apabila sedang sakit yang dapat mencemari ikan (Flu, Diare,
TBC) jangan berjualan
R : Rutin membuang sampah dari los dagangan setiap hari ke
tempat pembuangan sampah
Persyaratan Ikan
Persyaratan ikan yang harus di siapkan seperti singkatan di
40

bawah ini :
I : Ingat untuk selalu menggunakan peralatan yang bersih
K : Ketersediaan es dan air yang cukup
A : Amankan dari hama / hewan perusak seperti serangga, tikus dan
sebagainya
N : Nuansa pasar yang bersih dan segar.

b. Indikator Keberhasilan
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan, dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di
dalam lingkungan perairan. Ikan laut dibagi kedalam beberapa kategori
utama, yaitu golongan demersal, pelagik kecil, pelagik besar, anadromus,
dan katradromus. Golongan demersal merupakan ikan yang hidup di
lautan dalam. Pelagik baik besar maupuan kecil merupakan ikan kecil di
permukaan atau di lapisan atas. Kemudian golongan anadromus adalah
ikan yang hidup di air payau yang berasal dari laut seperti ikan bandeng
dan salem. Sedangkan golongan katradromus adalah jenis ikan payau
yang berasal dari air tawar.
Indikator keberhasilan dari usaha pengembangan industri makanan
berbahan baku ikan laut di J awa Tengah yaitu sejauh mana permasalahan
pengembangan yang ada sampai dengan saat ini dapat dikurangi sampai
dihilangkan. Menurut kajian yang dilakukan oleh Indroyono & Budiman
(2003:103) bahwa produk laut Indonesia sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi penghasil devisa nyata, karena bahan bakunya
lokal, modalnya rupiah namun hasilnya dollar.
Persoalan yang lebih penting adalah upaya untuk mengolah, tidak
hanya mengekspor dalam bentuk mentah, karena nilainya cenderung
rendah. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, di
mana luas wilayah daratannya lebih kecil dari pada luas wilayan lautnya.
Luas daratannya mencapai 1,9 juta km
2
, wilayah laut sekitar 5,8 juta km
2
,
41

jumlah pulaunya sebanyak 17.508 buah dengan panjang garis pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu 81.000 km (Dahuri, 2005).
Dengan kondisi seperti ini, Indonesia memiliki potensi sumberdaya
perikanan laut yang besar yang dapat dijadikan sebagaipasokan dan
cadangan bahan baku indusrti makanan berbahan baku ikan laut. Hasil
pengkajian stok ikan di Perairan Indonesia yang pernah dilaporkan Badan
Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan
Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun
2001 (dalam Purwanto, 2003) bahwa potensi lestari (MSY) atau jumlah
sumber daya ikan laut yang dapat ditangkap dan tidak mengganggu
kelestarian di perairan Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan
jumlah penangkapan yang diperbolehkan 5,1 juta ton per tahun (80 % dari
MSY), dengan potensi lestari ikan demersal yakni 1.370.090 ton per
tahun. Kondisi tersebut memberikan dukungan penyediaan bahan baku
yang cukup bagi industri pengolahan ikan.
Pengolahan ikan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian
Sistem J aminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam pasal 1
dijelaskan bahwa pengolahan ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau
perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk
konsumsi manusia. Kemudian dalam Peraturan Direktur J enderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor: Per.09/Dj-
P2hp/2010 Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, dan
Format Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Pasal 1 dijelaskan bahwa
Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari
bahan baku.Pengolahan ikan wajib memenuhi persyaratan umum
hyangiene, prosedur yang baik, sarana dan parasarana yang baik,
pengemasan dan proses pemasaran yang memenuhi standar higienitas.
Secara garis besar, industri pengolahan ikan laut dapat dibedakan
menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok pengolah ikan serta
kelompok penambahan nilai ikan. Kelompok pengolah ikan merupakan
upaya melakukan pengawetan ikan secara tradisional dengan hasil akhir
42

masih berupa ikan, terdiri dari pemindangan, pengeringan/penggaraman,
pengasapan/pemanggangan. Sedangkan penambahan nilai ikan
merupakan hasil olahan turunan dari ikan baik dari daging, kulit maupun
tulang ikan. Kelompok ini terdiri dari surimi (daging ikan giling) dan
turunannya seperti bakso ikan, nugget ikan, otak-otak, kaki naga, kerupuk
ikan, terasi dan olahan lainnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat J enderal
PPHP melakukan pembinaan terhadap industri pengolahan ikan dengan
mengembangkan sentra-sentra pengolahan ikan di seluruh Indonesia.
Konsep tersebut merupakan aplikasi dari paradigma baru pengembangan
sentra pengolahan hasil perikanan dengan arahan; 1). lokasi/kawasan
tempat pengolahan ikan dengan sebagian besar produk olahan yang
sama, 2). jumlah pengolah yang memenuhi persyaratan/cukup,
3).pasokan bahan baku yang cukup dan adanya akses pasar/tujuan
pemasaran, 4). bersedia dijadikan lokasi/kawasan sentra pengolahan, dan
5). program pengembangan sentra tidak harus bangunan fisik, tapi dapat
berupa bantuan bintek, peralatan dan sarana penunjang lainnya,
Sampai dengan tahun 2012, di J awa Tengah telah ditetapkan
sebanyak 5 daerah Kabupaten/Kota sebagai penerima program
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan (PHP).
Tabel.3.1. Lokasi Program Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan dari Kementerian Kelautan & Perikanan di jawa
Tengah sampai Tahun 2012
No Kab/Kota J enis Olahan Tahun
1 Kota Tegal Fillet Ikan Laut 2006, 2007
2 Kab. Boyolali Olahan Lele 2008, 2011
3 Kab. J epara Panggang Ikan Laut 2008
4 Kab. Pati Fillet Ikan Laut 2010, 2011
5 Kab. Demak Panggang Ikan Laut Dan Lele 2010, 2011
Sumber: DInas Kelautan dan Perikanan Prov. J ateng 2012
Namun demikian, masih terdapat berbagai kendala dalam
pengembangan selanjutnya, baik di 5 wilayah tersebut maupun wilayah
lainnya. Persoalan utama adalah penyediaan lahan yang sulit dilakukan
43

oleh pemerintah daerah. Selain persoalan sumberdaya tersebut, hasil
evaluasi sementara terhadap sentra-sentra yang ada adalah belum
optimalnya penggunaan sarana yang ada karena budaya atau kebiasaan,
belum mampunya SDM pengelola untuk menerapkan perilaku bersih,
belum ada jaminan dalam kontinuitas /ketersediaan bahan baku, serta
terbatasnya akses pasar untuk produk yang dihasilkan.
Dalam era globalisasi ini, tentu peningkatan daya saing industri
sangat diperlukan. Selain potensi perikanan yang besar, permintaan
dalam negeri maupun luar negeri terhadap produk ikan sebagai sumber
nutrisi cukup tinggi. Dengan demikian sangat disayangkan apabila potensi
tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kebutuhan mengembangkan pengolahan ikan berkaitan erat
dengan pengembangan perekonomian daerah di J awa Tengah. Untuk
dapat melakukan itu, ada beberapa prasyarat yang cukup penting untuk
dipenuhi. Untuk dapat bersaing, ada potensi keunggulan kompetitif yang
harus dimiliki oleh setiap UKM untuk dapat bersaing di pasar dunia.
Penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas
dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan
mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem
nanajemen dan struktur organisasi yang baik, pelayanan teknis maupun
nonteknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi,
modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan
luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship
yang tinggi merupakan faktor keunggulan UKM (Tambunan, 2002;29).
Untuk menyikapi hal tersebut, UKM terutama pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut harus mampu menghadapi berbagai persoalan
mendasar. Menurut studi yang dilakukan oleh BPS dalam Tambunan
(2002; 73-80) bahwa kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun
industri rumah tangga di Indonesia (termasuk makanan olahan berbahan
baku ikan laut) adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial,
SDM, bahan baku dan teknologi.
44

Kesulitan pemasaran yang dihadapi UKM pada umumnya adalah
persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di
pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas
serta pelayanan yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar
juga mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan
seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak,
dengan standard yang tidak mampu dipenuhi oleh UKM di Indonesia,
serta kebijakan dumping dan sebagainya yang merugikan industri dalam
negeri.
Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi
modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan
output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM
mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan
kurangnya informasi para pelaku UKM terhadap pembiayaan.
Kebanyakan industri kecil dan rumah tangga menggunakan uang dari
modal sendiri dibanding dana pinjaman perbankan, terutama industri
makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM
dalam aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi
bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar.
Rendahnya pendidikan pekerja UKM menjadi penghambat di mana
lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atau tidak tamat sekolah.
Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan
lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangakaan bahan
atau mahalnya harga bahan baku yang tak terjangkau, kualitas yang
rendah serta kurangnya pemenuhan.
Teknologi yang rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas
yang rendah, kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam
produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal
investasi, keterbatasan informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM
yang mampu mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga
45

menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar
global.
Selain persoalan-persoalan di atas, ada beberapa isu strategis
yang menjadi sorotan Dinas Perikanan Provinsi J awa Tengah saat ini,
yaitu masalah dalam hal :
1. J aminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Lemah
a. Kapasitas Otoritas Kompeten (Pusat dan Daerah)
b. Regulasi tidak mutakhir dan tidak komprehensif
c. Tidak semua pelaku sadar mutu dan keamanan pangan
d. Nelayan/pembudidaya/UMKM pengolahan kesulitan menerapkan
standar
2. Susut Hasil Masih Tinggi (27,8 %)
a. Rendahnya apresiasi terhadap mutu
b. Kurangnya pengetahuan pelaku (termasuk petugas) akan
penerapan sistem rantai dingin
c. Terbatasnya sarana prasarana (terutama pabrik es, air bersih)
sistem rantai dingin
3. Utilitas Industri Rendah (<50%)
a. Kuantitas (IUU, BBM, lokasi kurang tepat)
b. Kualitas (85% produksi oleh nelayan skala kecil kurang
memenuhi standar bahan baku)
c. Kurang kerjasama antara industri penangkapan/budidaya dengan
industri pengolahan
4. Penggunaan Bahan Ilegal Marak
a. Penggunaan formalin
b. Penggunaan air keras
5. Pola Dan J enis Produksi Hasil Perikanan Tidak Berubah
a. Tradisional (selalu kering, pindang, fermentasi, dll)
b. Modern (selalu beku dan kaleng)
c. Investasi dalam pengembangan produk terbatas
d. Iptek pengembangan produk kurang dikuasai
6. Pola Konsumsi Ikan Tidak Berubah
46

Perhitungan angka konsumsi belum tepat konsumsi sebenarnya
tidak diketahui
a. Rendah dan tidak merata
b. Intensitas promosi rendah
Disampng kendala internal di atas, terdapat faktor ektsernal yang
sangat berpengaruh, yaitu:
1. Meningkatnya persyaratan dan standar internasional;
2. Persaingan ketat (ancaman negara pesaing: Vietnam, Thailand dan
Malaysia);
3. Pasar cenderung tetap (UE, J epang, USA), pasar baru kurang dijajaki;
4. Hambatan tarif dan kecenderungan FTA.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan definisi
konseptual sebagai landasan untuk menentukn indikator keberhasilan
yang menjadi target point yang harus dipenuhi dalam upaya
mengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut, definisi
konseptual sebagai berikut:
1. Ikan Laut adalah segala jenis ikan yang ditemukan di perairan laut
dangkal maupun dalam yang diperoleh dengan proses
penangkapan
2. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan
dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman
3. Makanan olahan, adalah merupakan hasil dari pengolahan produk
primer ataupun produk setengah jadi menjadi produk jadi pada
komoditas pertanian yang dimanfaatkan sebagai pangan untuk
dikonsumsi manusia.
4. Makanan olahan berbahan baku ikan laut adalah merupakan
aktifitas atau proses memproduksi makanan hasil pengolahan yang
bahan bakunya dari ikan laut dengan modal, sarana, teknologi dan
47

persyaratan tertentu yang diperlukan oleh konsumen, meliputi
proses penggaraman, pengasapan, pengeringan, pembekuan,
pemindangan, pembuatan minyak, kecap atau teping, pembuatan
kerupuk, terasi, petis dan jenis-jensi lainnya.
5. Kebijakan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
adalah segala aturan formal/regulasi, kebijakan teknis, fasilitasi
maupun pendampingan terhadap industri makanan olahan
berbahan baku ikan laut yang dilakukan oleh pemerintan dan
pemerintah daerah.
6. Bahan baku industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
adalah segala sesuatu yang dibuuhkan sebagai bahan yang diolah,
baik utama maupun pendukung dalam proses pengolahan, yaitu
ikan, garam, air, tepung dan sebagainya.
7. Sarana dan prasarana industri pengolahan makanan berbahan
baku ikan laut adalah seluruh infrastruktur yang dibutuhkan sebagai
pendukung terhadap berjalannya proses produksi pengolahan ikan.
8. Teknologi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
merupakan keseluruhan alat dan cara yang digunakan untuk
mengolah ikan menjadi produk lainnya yang lebih baik nilainya.
9. Tenaga kerja industri pengolahan makanan berbahan baku ikan
laut adalah seluruh pihak yang terlibat secara lagsung dalam
proses pengolahan ikan, baik tingkat manajer maupun karyawan
biasa.
10. Modal industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
berupa uang (financial) maupun non uang yang digunakan sebagai
input atau masukan bagi pengadaan alat dan bahan pengolahan
makanan berbahan baku ikan laut
11. Pasar industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
adalah sasaran berupa individu dan organisasi yang membutuhkan
untuk konsumsi maupun melakukan penjualan kembali barang dan
jasa setelah hasil pengolahan untuk mendapatkan keuntungan.

48

c. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Litbangyasa
1) Profil Industri Pengolahan Ikan di Jawa Tengah
J awa Tengah memiliki garis pantai 791,76 Km yang tediri dari
panjang pantai utara 502,69 Km dan pantai selatan 289,07 Km. Di pantai
utara J awa Tengah dengan potensi perikanan di Laut J awa, terdapat
Kabupaten Rembang, Pati, J epara, Demak, Kota Semarang, Kabupaten
Kendal, Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan,
Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, dan Kabupaten
Brebes sebagai wilayah penangkapan dan pengolahan ikan. Sedangkan
di selatan, dengan potensi Samudera Indonesia beserta ZEE yang
dimilikinya, terdapat Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Cilacap yang berpotensi namun
kurang dikambangkan.
Sesuai data Profil Perikanan Tangkap J awa Tengah, potensi
perikanan laut di sekitar wilayah J awa Tengah sekitar 1.873.530 ton/tahun
yang berasal dari Laut J awa sekitar 796.640 ton/tahun dan Samudera
Indonesia sekitar 1.076.890 ton/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi J awa Tengah, 2006). Dari potensi tersebut sesuai hasil penelitian
Triarso (2004), bahwa potensi ikan demersal di J awa yaitu Samudera
Indonesia sekitar 135.000 ton pertahun dengan tingkat eksploitasi 84%
dan Laut J awa potensinya 431.000 ton per tahun dengan tingkat
eksploitasi 56%. Sedangkan potensi pelagis kecil di J awa yaitu Samudera
Indonesia potensinya 430.000 ton per tahun dengan tingkat eksploitasi
41% dan Laut J awa potensinya 340.000 ton per tahun dengan tingkat
eksploitasi 130%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka usaha perikanan
tangkap khususnya ikan pelagis kecil sudah mengalami overfishing
khususnya Laut J awa (130%) sedangkan ikan demersal masih dapat
dikembangkan baik di Samudera Indonesia (84%) dan Laut J awa (56%)
terutama untuk menunjang pengembangan industri makanan olahan
berbahan baku ikan demersal. Dari potensi tersebut maka produksi dan
49

nilai produksi perikanan tangkap yang didaratkan di wilayah J awa Tengah
dari tahun 2000-2005 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel.3.2. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut di J awa Tengah Tahun
2000 2005.
No Tahun Produksi (ton) Nilai Produksi (000)
1 2000 261.269,8 1.071.494.608
2 2001 274.809,1 1.035.984.852
3 2002 281.267 1.122.530.171
4 2003 236.235 773.621.116
5 2004 244.389,50 836.661.634
6 2005 190.937 780.525.819
Sumber : Profil Perikanan Tangkap J awa Tengah, DKP J ateng 2006.
Dari tabel 3.2 di atas dapat dilihat bahwa produksi perikanan
tangkap yang didaratkan di wilayah J awa Tengah mencapai produksi
tertinggi pada tahun 2002 yaitu 281.267 ton per tahun dan mengalami
penurunan produksi pada tahun 2005 dengan produksi 190.937 ton per
tahun (turun 32,11 %). Dengan harga rerata berdasarkan jenis ikan dan
waktu, maka dapat diperoleh nilai produksi ikan. Nilai produksi tertinggi
dicapai pada tahun 2002 yaitu Rp.1.122.530.171 dan nilai produksi
terendah pada tahun 2003 yaitu Rp.773.621.116. Data ini menunjukan
bahwa produksi dan nilai produksi perikanan tangkap di J awa Tengah
mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh tingginya harga BBM dan
terkait dengan penurunan sumberdaya perikanan. Hal ini juga
dipengaruhi jumlah nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan di
J awa Tengah, pada tahun 2005 jumlah nelayan 168.133 orang, tahun
2004 jumlah nelayan 174.418 orang, sehingga mengalami penurunan
sekitar 3,6 % (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi J awa Tengah,
2006).
Persoalan yang kini dihadapi dalam perikanan terutama di J awa
adalah gejala overfishing. Saat ini telah terjadi gejala overfishing di Pantai
Utara J awa yang tak dapat dihindari, oleh karena itu diperlukan perubahan
pola pikir, kalau dulu hanya berburu menangkap ikan kini harus mulai
dipikirkan budidayanya. Hal inilah yang menjadi potensi keunggulan
perikanan masa depan di Indonesia. Akan tetapi ada persoalan penting
50

yang perlu dihadapi, yaitu kendala teknologi, yang selama ini kurang
ditangani secara baik (Indroyono & Budiman, 2003; 113).
Dengan demikian, selain potensi perikanan tangkap sebagaimana
digambarkan di atas, perlu dipikirkan secara serius potensi budidaya ikan
yang selama ini dilakukan pada beberapa daerah di J awa Tengah,
terutama di sekitar pantai utara juga berkembang usaha perikanan tambak
dengan potensi yang juga cukup besar. Perikanan tambak juga menjadi
bahan baku penting pada industri pengolahan ikan di J awa Tengah,
seperti bandeng duri lunak dan terasi. Peran penting perikanan tambak
juga tidak dapat diabaikan.meskipun jumlahnya relatif kecil, namun
nilainya cukup besar dibandingkan dengan perikanan tangkap. Bahkan
potensi perikanan tangkap cenderung menurun dan perikanan tambak
cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana
ditunjukkan pada tabel 3.3 di bawah ini.
Tabel.3.3 Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut dan Tambak di J awa
Tengah Tahun 2004 2008.
No Tahun
Hasil Ikan
Laut (ton)
Nilai Ikan laut
(000)
Hasil ikan
Tambak
(ton)
Nilai ikan
Tambak
(000)
1. 2004 244 389,5 836 664 635,0 57 293,9 694 097 429
2. 2005 190 935,3 780 525 818,8 52 381,2 671 977 425
3. 2006 181 533,2 774 094 647,0 58 935,4 836 362 435
4. 2007 153 698,6 764 646 109,0 67 819,2 884 643 608
5 2008 174 587,9 884 111 955,0 68 395,8 718 417 682
6. 2009 198,569.5 1,105,922,214.0 73,033.0 873,901,887
Sumber: J awa Tengah Dalam Angka 2009
Pada tahun 2009, tercatat bahwa terdapat kenaikan nilai ikan
tangkap dari Rp. 884.111.955.000,- menjadi Rp. 1.105.922.214.000,-.
Berdasarkan data pada tabel 4.2 di atas, walaupun jumlah hasil ikan
tambak lebih sedikit tetapi nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan
perikanan tangkap. Hal tersebut disebabkan oleh proses pengolahan yang
meningkatkan nilai jual hasil ikan. Kebanyakan perikanan tambak diolah
menjadi beberapa produk, sampai pada produk turunan dengan baik
sehingga nilainya menjadi berlipat. Sedangkan kebanyakan ikan tangkap
51

masih dijual langsung atau sekedar pengawetan sederhana sehingga
nilainya kurang baik.
Menurut data Dinas Perikanan Provinsi J awa Tengah
(http://diskanlut-jateng.go.id), potensi sumberdaya ikan laut J awa Tengah
sekitar 1.873.530 ton/tahun meliputi Laut J awa sekitar 796.640 ton/tahun
dan Samudera Indonesia sekitar 1.076.890 ton/tahun. Beberapa jenis ikan
yang paling banyak meliputi ikan pelagis besar (tuna, hiu), pelagis kecil,
demersal, ikan hias, ikan karang, udang, kepiting, kerang-kerangan,
teripang, dan lain-lain.

Gambar 3.1. Peta Tempat Pendaratan ikan Laut di J awa Tengah
Kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian daerah di J awa
Tengah cukup penting. Pada tahun 2009, tercatat bahwa sektor perikanan
memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) hampir
mencapai 6 trilyun rupiah (Rp. 15.971.525.067.000,-). Pada tahun 2012,
nilai ekspor yang dihasilkan dari perikanan di J awa Tengah mencapai 46,7
miliar rupiah (Rp. 45.692.111.460,-). Tentunya potensi tersebut masih
perlu dikembangkan dalam hal pengolahan ikan lebih baik agar nilai jual
dari produk perikanan menjadi meningkat. Disinilah peran industri
52

pengolahan ikan dalam rangka menjaga mutu ikan dan memberikan nilai
tambah pada produk perikanan dan turunannya.
Tabel 3.4 Potensi Perikanan di J awa Tengah Tahun 2005 - 2010
URAIAN
TAHUN
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Peri kanan Tangkap
Produk 208.763,40 199.115,30 169.690,40 192.124,70 213,296.30 156,709.26
Nilai 922.177.539,00 890.473.815,30 885.915.493,60 1.009.627.448,30 1,264,397,039.00 1,129,799,475.00
Perikanan Budidaya
Produk 101.080,90 91.473,89 114.007,80 128.705,80 145,015.10 124,620.33
Nilai 1.190.388.736,00 988.651.632,25 1.305.231.253,00 1.325.903.853,00 1,632,343,058.20 1,477,093,761.00
Perikanan Total
Produk 300.196,20 305.549,18 283.698,20 301.215,29 358,311.40 281,329.59
Nilai 2.080.862.551,30 1.940.833.454,58 2.191.146.746,60 2.355.531.301,30 2,896,740,097.20 2,606,893,236.00
Ekspor
Produk 17.064.736,82 17.064.736,82 19.938.399,15 17.794.068,77 16,596,516.84 11,597,192.93
Nilai 70.614.933,33 70.614.933,33 74.643.244,22 71.762.355,41 60,124,572.18
Konsumsi Ikan
Kg/Kapita/Th) 9,47 13,76 13,32 15,05 15.57
PAD
(Rp. 1.000,-) 13.296.539,921 12.611.926,258 13.731.076,23 16.938.108.109
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2012
Ada sebanyak 17 Kabupaten/Kota yang memiliki garis pantai baik di
utara maupun selatan dengan panjang garis pantai mencapai 791,76 Km.
Di Pantau Utara (Pantura) terdapat sebanyak 13 Kabupaten/Kota dengan
garis pantai sepanjang 502,69 km dan di selatan terdapat 4 Kabupaten
dengan garis pantai sepanjang 289,07 km.
Kabupaten Rembang merupakan daerah penghasil ikan tangkap
terbesar di J awa Tengah dengan total produksi tahun 2009 sebesar
40.449.06 ton. Hal tersebut juga diimbangi dengan besarnya potensi
industri pengolahan skala kecil dan menengah yang ada di Kabupaten
Rembang, terutama dalam pengawetan ikan seperti pindang, asin/garam
dan asap. Sedangkan di wilayah pantai selatan, Kabupaten Cilacap
merupakan daerah penghasil ikan tangkap laut terbesar dengan total
produksi tahun 2009 mencapai 14.667,43 ton. Sebagian besar ikan yang
ditangkap di wilayah selatan merupakan ikan demersal dan cara
pengolahan dilakukan dengan pengeringan. Kabupaten Wonogiri
merupakan wilayah yang paling sedikit menghasilkan ikan tangkap laut,
yaitu hanya sekitar 24,30 ton pada tahun 2009.



53

Tabel 3.5 Produksi ikan laut di laut di J awa Tengah Tahun 2005- 2009
No KABUPATEN/KOTA
TAHUN
2005 2006 2007 2008 2009
1 Kabupaten Brebes 4,376.0 1,774.4 1,334.6 2,386.3 2,503.78
2 Kabupaten Tegal 341.1 493.9 388.5 434.7 588.10
3 Kota Tegal 23,519.0 20,816.1 20,783.1 20,961.5 25,231.30
4 Kabupaten Pemalang 12,821.0 14,471.8 10,058.2 10,791.5 11,014.41
5 Kabupaten Pekalongan 1,751.7 1,842.7 1,550.5 1,714.6 1,764.10
6 Kota Pekalongan 47,695.2 34,641.9 31,476.5 31,675.3 33,045.30
7 Kabupaten Batang 12,048.9 20,293.4 18,455.1 22,853.6 23,296.20
8 Kabupaten Kendal 1,569.4 1,064.3 1,185.6 1,312.0 1,530.76
9 Kota Semarang 36.8 67.8 58.2 164.1 175.14
10 Kabupaten Demak 1,918.1 1,091.3 986.2 1,809.7 1,903.90
11 Kabupaten J epara 5,813.1 5,740.8 5,858.0 5,940.0 5,992.60
12 Kabupaten Pati 34,895.1 22,479.8 24,119.8 31,067.2 31,132.45
13 Kabupaten Rembang 37,228.9 40,575.5 27,057.0 32,372.1 40,449.06
14 Kabupaten Wonogiri 19.3 20.0 19.0 21.2 24.30
15 Kabupaten Purworejo 19.0 30.6 40.6 53.7 67.40
16 Kabupaten Kebumen 918.0 1,397.6 1,973.9 2,244.3 2,249.44
17 Kabupaten Cilacap 7,616.0 11,180.1 8,353.8 9,028.9 14,667.43
TOTAL 192,586.6 177,982.0 153,698.6 174,830.70 195,635.67
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2012
Sejalan dengan besaran produksi yang dihasilkan di atas, maka nilai
yang dihasilkan dari perikanan terbesar adalah Kabupaten Rembang yaitu
sebesar Rp. 205.461.298.000,- sedangkan nilai terendah adalah
Kabupaten Wonogiri dengan hasil hanya sebesar Rp. 230.946.000,-.
Tabel 3.6 di bawah ini menunjukkan besaran nilai produk perikanan
tangkap laut di J awa Tengah.
Tabel. 3.6 Nilai Produksi Ikan Tangkap Laut di J awa Tengah
No Kabupaten/ Kota
Ni l ai Produksi Peri kanan Tangkap Laut (dal am ribuan rupi ah)
2005 2006 2007 2008 2009
1 Kabupaten Brebes 14,135,530 5,644,545 4,938,294 7,594,194 8,523,577
2 Kabupaten Tegal 2,979,592 3,711,324 3,096,070 2,937,823 6,678,750
3 Kota Tegal 93,333,550 94,798,749 99,405,200 130,368,240 144,343,723
4 Kabupaten Pemalang 46,203,812 54,395,320 43,380,370 54,264,522 60,158,360
5 Kabupaten Pekalongan 6,813,940 8,628,195 8,975,569 12,225,350 7,539,614
6 Kota Pekalongan 211,256,452 168,609,442 148,388,816 137,340,967 146,523,222
7 Kabupaten Batang 36,293,122 59,854,112 65,565,393 80,210,441 94,308,575
8 Kabupaten Kendal 5,978,751 5,228,506 4,237,718 7,232,465 8,953,392
9 Kota Semarang 9,307,300 405,645 185,270 463,732 649,995
10 Kabupaten Demak 6,849,060 5,763,110 4,024,980 6,923,600 7,329,215
11 Kabupaten J epara 24,766,253 30,644,292 30,222,270 25,504,961 31,226,812
12 Kabupaten Pati 130,749,185 80,649,065 91,081,874 144,455,318 150,190,819
13 Kabupaten Rembang 139,176,786 152,957,650 143,165,949 161,615,105 205,461,298
14 Kabupaten Wonogiri 230,100 244,300 223,850 239,556 230,946
15 Kabupaten Purworejo 90,980 258,933 474,184 838,550 1,546,954
16 Kabupaten Kebumen 11,356,688 20,057,202 21,492,076 30,967,225 28,757,321
17 Kabupaten Cilacap 78,929,726 59,150,643 95,788,205 108,142,151 201,291,942
Jumlah 818,450,827 751,001,033 764,646,088 911,324,200 1,103,714,513
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2012
54

Karakter eksploitasi di pantai utara dan selatan cenderung berbeda.
Dengan karakter laut yang tenang, eksploitasi di pantai utara lebih banyak
pada ikan-ikan pelagis, sedangkan di pantai selatan lebih banyak ikan-
ikan demersal. Ekpsloitasi ikan pelagis di pantai utara sudah mencapai
130 %. Dan untuk ikan demersal hanya sebesar 56%. Sedangkan di
pantai selatan dimana berhadapan langsung dengan Samudera Hindia,
eksploitasi lebih banyak pada ikan-ikan demersal dengan tingkat
eksploitasi mencapai 84% sedangkan ikan pelagis hanya 41% (Triarso,
2004). Dengan demikian dalam konteks eksploitasi, maka diperlukan
upaya penyeimbangan baik antara pantai utara maupun selatan dan
antara ikan pelagis dan demersal sehingga potensi yang ada dapat
dimanfaatkan dengan optimal.
Selain ikan tangkap, juga terdapat potensi ikan budidaya yang sangat
mendukung ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan. Meskipun
didominasi oleh perikanan air tawar, namun J awa Tengah juga memiliki
potensi budidaya ikan laut yang memiliki kemungkinan pengembangan
kedepan. Saat ini hanya terdapat sekitar 4.000 m
2
lahan budidaya ikan
laut, sebagaimana ditampilkan tabel 3.7 di bawah ini.
Tabel 3.7 Potensi Ikan Budidaya di J awa Tengah
No Kawasan Budidaya
Potensi
(ha)
Potensi
diusahakan
(ha)
Potensi
Dikembangkan
(ha)
1 Per pedalaman 9.000 66,18 8.933,82
2 Kolam 50.000 3.286,60 46.713,40
3 Sawah 190.000 4.654,20 185.345,80
4 Tambak 40.000 37.600,30 2.399,70
5 Laut 4.000 4.000,00 4.000,00
J umlah 293.000 45.607,28 247.392,72
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2012
Dari potensi lahan di atas, memang total produksi dan nilai produksi
dari budidaya perikanan di laut masih tergolong kecil. Total produksi
perikanan budidaya di laut pada tahun 2010 hanya sebesar 7.132,5 ton
sebagaimana ditampilkan dalam tabel 3.8 di bawah ini.


55

Tabel 3.8 Produksi Budidaya Laut di J awa Tengah
No Kabupaten/ Kota 2006 2007 2008 2009 2010
1 KOTA SEMARANG 0,0 0,0 0,0 4,0 0,0
2 KABUPATEN DEMAK 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
3 KABUPATEN J EPARA 0,0 0,0 2249,0 2929,8 6674,9
4 KABUPATEN PATI 2.531,8 1.852,6 0,0 0,0 0,0
J umlah 2.531,8 1.854,0 2.249,0 2.933,8 7.132,9
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2012
Dari jumlah produksi di atas, hanya dihasilkan nilai sebesar Rp.
7.970.500.000,- pada tahun 2010. Kabupaten J epara merupakan daerah
yang menghasilkan nilai tambah tertinggi dalam budidaya ikan laut di
J awa Tengah, sebagaimana tabel 3.9 di bawah ini.
Tabel 3.9 Nilai Budidaya Laut di J awa Tengah
No Kabupaten/ Kota 2006 2007 2008 2009 2010
1 KABUPATEN BREBES 0,0 0,0 0,0 0,0 1.832.000,0
2 KOTA SEMARANG 0,0 0,0 0,0 6.000,0 0,0
3 KABUPATEN J EPARA 1.265.875,0 1.233.850,0 1.271.525,0 2.201.000,0 6.138.500,0
4 KABUPATEN PATI 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
5 KABUPATEN REMBANG 0,0 650,0 0,0 0,0 0,0
6 KABUPATEN KEBUMEN 0,0 60,0 0,0 0,0 0,0
J umlah 1.265.875,0 1.234.560,0 1.271.525,0 2.207.000,0 7.970.500
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2012

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah terus berupaya
mengembangkan produksi dan nilai produksi ikan melalui berbagai
program fasilitasi. Baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap
mengalami peningkatan produktifitas dan nilai jual dari tahun 2010 sampai
tahun 2011, dan pada tahun 2012 ditargetkan terus mengalami
peningkatan cukup tinggi. Hasil olahan ikan ditargetkan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai 5 kali lipat dari kondisi
tahun 2011, sebagaimana ditampilkan tabel 3.10 di bawah ini.
Tabel 3.10 Capaian dan Target Hasil Perikanan di J awa Tengah
No Indikator
Volume ( Ton )
Capaian Target
Tahun 2010
Capaian Target
Tahun 2011
Target
Tahun 2012
1 Volume Produksi
Perikanan Budidaya
189.000 244.545 348.901
2 Volume Produksi
Perikanan Tangkap
212.635,1 249.592,4 270.039
3 Volume Produksi Ikan
Hasil Olahan
134.891 171.290 607.260
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2012

Sentra pengolahan ikan tidak terdapat di semua daerah penghasil
ikan, hanya sebagian yang menghasilkan dan mengolah. Untuk
pengolahan ikan terdapat sekitar 7.854 industri kecil dan menengah yang
56

bergerak dalam bidang pengolahan ikan laut yang tersebar di 35
Kabupaten/Kota di J awa Tengah. Kabupaten J epara dan Rembang
merupakan wilayah yang memiliki jumlah industri pengolahan ikan
terbesar di J awa Tengah.
Industri pengolahan ikan di J awa Tengah didominasi oleh industri
skala UMKM yang memiliki jangkauan pasar lokal serta beberapa kota
lainnya di pulau J awa. Di J awa Tengah terdapat beberapa industri besar
yang telah memilki pangsa pasar mapan di luar negeri. Kualitas produk
olahan tersebut telah memenuhi semua standar mutu keamanan pangan,
namun selama ini belum terjalin kerjasama dengan UKM/IKM untuk lebih
berkembang.
Tabel 3.11. Perusahaan Pengolah Ikan Ekspor di J awa Tengah
No Nama Alamat Produk Pasar
1 PT. Aorta Semarang Udnag Beku J epang
2 PT. Aquafarm
Nusantara
Semarang Fillet, kulit ikan, ikan beku USA, J erman, Belanda,
Perancis
3 PT. Blue Sea Industry Pekalongan Surimi Beku Taiwan, Korea
4 PT. Cassanatama
Naturindo
Semarang Kerupuk Udang Belanda, Inggris, Belgia
5 PT. Indosigma Surya C Semarang Kerupuk Udang Belanda
6 PT.J ui Fa International
Food
Cilacap Tuna Kaleng, Tuna Pouch,
Frozen
Thailand, USA
7 PT. Kusuma Sui San
J aya
Cilacap Ubur-ubur kering China , Malaysia, Taiwan
8 PT. Maya Food Industri Pekalongan Ikan Kaleng, Sardine Malaysia, Hongkong,
Ghana, Kamboja,
Singapura, Kinshasa,
Chile, Haiti, Togo, J epang,
Nigeria
9 PT. Misaja Mitra Pati Udang Beku Taiwan, Korea
10 PT. Nam Kyung Korea
Indonesia
Pekalongan Surimi Beku Taiwan, Korea
11 PT. Philips Seafood
Indonesia
Pemalang Rajungan kaleng Malaysia, Thailand, India,
Australia, Dubai, Inggris,
kanada
12 PT. Seafer General
Foods
Kendal Udang Beku, Paha Katak
Beku, Lele, Beku, Bandeng
Beku, Fillet Nila
Belanda, Inggris, Belgia
13 PT. Sinar Bahari Agung Kendal Surimi Beku Singapura, Malaysia,
Taiwan
14 PT. Telaga Godeli Semarang Ikan Segar Singapura
15 PT. Tongatiur Putra Rembang Rajungan Kaleng, Ikan
Kering, Crab Cake, Daging
Kerang, Himega, Kepiting
Beku, Teri Nasi, Udang
Beku, Fillet Tilapia, Cumi-
cumi, Ikan Selar Kuning
USA, Singapura, J epang,
Korea, Rusia, Inggris,
Autralia, China, Taiwan,
Thailand
16 PT. Toxindo Prima Cilacap Udang Beku, Bawal Beku,
Lobster Beku, Layur Beku
J epang
17 PT. Wako Semarang Teri Nasi J epang
18 PT. Windika Utama Semarang Rajungan kaleng, Crab
Cake
USA, Singapura, J epang,
Rusia, Inggris, Australia,
Korea, China, Taiwan,
Thailand
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi J awa Tengah
57

Di sisi lain, ada ribuan industri menengah, kecil dan mikro dengan
berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Mayoritas hanya memenuhi
pasar lokal di dalam daerah, ada beberapa yang menjual di luar daerah
dan pulau-pulau lain. Potensi industri ini sangat besar dengan melibatkan
pekerja cukup banyak, namun daya saing mereka sangat lemah.
Pengolahan ikan memungkinkan bertambahnya nilai jual ikan
beberapa kali lipat dibanding dengan penjualan segar atau pengawetan
sederhana. Pengolahan ikan terdapat di hampir semua daerah di J awa
Tengah, sebagaimana ditampilkan tabel 3.12 di bawah ini.
Tabel 3.12 Industri Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di J awa Tengah
Tahun 2011
No Kab/ Kot a kal eng beku
Garam/
keri ng
Pi n
dang
Asap ragi ekstrak
Surimi
& jel ly
segar Lai n2 Jumlah
1 Kab. Cilacap 0 2 250 27 8 14 5 0 9 11 326
2 Kab. Banyumas 0 0 2 150 0 1 16 0 0 17 186
3 Kab. Purbalingga 0 0 0 7 0 2 8 0 0 12 29
4 Kab. Banjarnegara 0 0 0 0 0 4 1 0 0 29 34
5 Kab. Wonosobo 0 0 0 5 0 0 2 0 0 8 18
6 Kab. Temanggung 0 0 0 0 0 0 3 0 0 13 16
7 Kab. Kebumen 0 0 9 2 13 2 2 0 0 12 40
8 Kab. Purworejo 0 0 0 26 1 0 0 0 0 15 42
9 Kab. Magelang 0 0 0 5 0 0 6 0 0 108 119
10 Kota Magelang 0 0 0 5 0 0 0 0 0 3 8
11 Kab. Sragen 0 0 0 2 0 0 0 0 0 14 16
12 Kota Surakarta 0 0 0 10 0 1 3 0 0 13 27
13 Kab. Karanganyar 0 0 0 4 0 0 5 0 0 6 15
14 Kab. Sukoharjo 0 0 2 21 0 0 0 0 0 23 46
15 Kab. Wonogiri
16 Kab. Klaten 0 0 0 14 0 0 1 0 0 128 143
17 Kab. Boyolali 0 0 6 1 0 0 11 1 0 5 24
18 Kota Salatiga 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 4
19 Kab. Semarang 0 0 19 20 4 0 4 1 35 92 175
20 Kab. Brebes 1 0 131 47 113 69 16 0 85 2 464
21 Kab. Tegal 0 2 67 222 262 58 12 0 2 40 665
22 Kota Tegal 0 0 109 5 24 41 5 0 60 26 270
23 Kab. Pemalang 0 0 129 180 125 39 2 0 30 17 522
24 Kab. Pekalongan 0 0 53 114 127 11 1 0 12 16 334
25 Kota Pekalongan 0 0 49 27 15 35 0 0 0 7 133
26 Kab. Batang 0 0 120 170 215 34 3 0 14 16 572
27 Kab. Kendal 1 1 105 65 86 43 1 0 7 70 379
28 Kota Semarang 0 2 6 82 187 33 17 0 3 65 395
29 Kab. Demak 0 0 74 20 257 12 5 0 19 49 436
30 Kab. J epara 0 0 175 184 372 5 0 0 1 64 801
31 Kab. Kudus 0 0 0 30 36 1 2 0 0 13 82
32 Kab. Pati 0 1 43 150 404 40 2 0 55 33 728
33 Kab. Rembang 1 1 155 240 188 31 3 3 68 72 762
34 Kab. Blora 0 0 0 0 26 0 0 0 0 0 0
35 Kab. Grobogan 0 0 3 4 16 1 4 0 0 15 43
JUMLAH 3 9 1507 1843 2479 477 140 5 400 1014 7854
Sumber: Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi J awa Tengah Tahun 2011

Ada beberapa daerah yang lebih banyak menghasilkan ikan
tangkap dibanding pengolahan, seperti Kota Tegal dan Kabupaten Pati. Di
58

sisi lain juga terdapat daerah yang lebih banyak mengolah ikan, seperti
Kota Pekalongan. Sementara sebagian daerah baik penangkapan
maupun pengolahan cukup besar, seperti Kabupaten Brebes, Kabupaten
Cilacap dan Kabupaten Rembang. Para pengolah telah memiliki strategi
dalam melihat kondisi kelangkaan bahan maupun peluang pasar. Setiap
pengolah memiliki pasar tersendiri dan tidak terdapat standar harga yang
sama antar daerah dan antar pengusaha seperti ditunjukkan dalam tabel
3.13 dibawah ini.
Tabel 3.13 Sentra Pemasaran Hasil Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di
J awa Tengah Tahun 2011
No Kab/Kota Pengumpul
Pedagang
Besar
Pengecer
Rumah
Makan
Cateri ng Hotel Jumlah
1 Kab. Cilacap 12 50 1363 482 36 7 1950
2 Kab. Banyumas 0 2 862 772 67 5 1708
3 Kab. Purbalingga 6 3 417 574 11 0 1011
4 Kab. Banjarnegara 43 65 1322 251 27 0 1708
5 Kab. Wonosobo 1 3 696 16 0 0 716
6 Kab. Temanggung 8 3 318 15 2 0 346
7 Kab. Kebumen 122 4 641 94 37 0 898
8 Kab. Purworejo 0 1 427 56 45 0 529
9 Kab. Magelang 2 5 695 293 85 0 1082
10 Kota Magelang 2 18 89 25 8 1 143
11 Kab. Sragen 0 3 235 59 8 0 305
12 Kota Surakarta 0 6 542 239 182 14 983
13 Kab. Karanganyar 0 1 359 601 71 7 1039
14 Kab. Sukoharjo 1 3 348 112 102 1 567
15 Kab. Wonogiri
16 Kab. Klaten 16 4 543 117 2 0 682
17 Kab. Boyolali 12 0 447 698 60 1 1218
18 Kota Salatiga 0 1 189 11 9 2 212
19 Kab. Semarang 0 11 354 375 97 2 839
20 Kab. Brebes 0 66 1806 69 0 0 1941
21 Kab. Tegal 0 53 882 993 74 2 2004
22 Kota Tegal 2 12 757 226 49 7 1053
23 Kab. Pemalang 6 3 1550 194 1 0 1754
24 Kab. Pekalongan 0 7 672 62 44 0 785
25 Kota Pekalongan 0 4 441 177 61 4 687
26 Kab. Batang 13 10 486 70 43 2 624
27 Kab. Kendal 0 23 833 50 50 0 956
28 Kota Semarang 2 137 1736 911 426 26 3238
29 Kab. Demak 8 21 2716 507 39 0 3291
30 Kab. J epara 0 36 2830 234 61 2 3163
31 Kab. Kudus 0 4 870 168 61 3 1106
32 Kab. Pati 41 5 2884 187 13 2 3132
33 Kab. Rembang 0 20 1588 86 40 0 1734
34 Kab. Blora 0 2 419 279 67 2 769
35 Kab. Grobogan 11 17 780 1148 32 2 1990
JUMLAH 308 603 3.1097 10.151 1.910 92 44.163
Sumber: Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi J awa Tengah Tahun 2012


2) Pengolahan Ikan di Kabupaten Rembang
Kabupaten Rembang terletak di ujung timur pesisir utara J awa
Tengah, berbatasan dengan Tuban J awa Timur dan Kabupaten Pati.
59

Kabupaten Rembang merupakan penghasil ikan tangkap dan pengolah
ikan terbesar di J awa Tengah. Potensi perikanan tangkap mencapai
32,370.00 ton per tahun. Terdapat dua daerah sentra perikanan, yaitu di
wilayah kecamatan Rembang dan Lasem. Ada sebanyak 16.100 nelayan
dengan armada penangkapan sebanyak 2.015 unit, serta 13 tempat
pelelangan ikan (TPI) yang tersebar pada 5 Kecamatan. Pemasaran hasil
pengolahan ikan tersebar hampir di berbagai wilayah Indonesia, yaitu
meliputi J awa Tengah, J awa Timur, J awa Barat, Sumatra, Sulawesi, Bali,
Kalimantan. Pemasaran ekspor ke China, Korea, Malaysia, Singapura,
Colombo (Srilangka), Spanyol dan beberapa negara lainnya.
Dengan besarnya potensi perikanan, maka pengolahan ikan juga
besar potensinya. Pengolahan ikan merupakan aktifitas yang sudah turun
temurun dijalankan oleh masyarakat Kabupaten Rembang. Sistem
pengolahan yang digunakan sampai saat ini mayoritas menggunakan cara
lama seperti menggunakanbahan bakar kayu, dengan sedikit perubahan
peralatan yang digunakan.
Sentra-sentra pengolahan ikan terdapat di Kecamatan Rembang,
Lasem dan Bonang. J enis-jenis pengolahan ikan yang banyak terdapat di
wilayah ini adalah pengeringan (asin), pemindangan, pengasapan,
peragian (terasi) dan produk ikan segar. Seluruhnya terdapat sekitar 767
unit usaha pengolahan dengan omset per tahun mencapai Rp.
166.566.700.000,- dengan total asset sebesar Rp. 38.301.000.000,- dan
melibatkan sebanyak 6.579 tenaga kerja.
Sebagian besar pengolah tersebut memiliki skala usaha mikro atau
rumah tangga, yaitu sebanyak 664 unit usaha yang bergerak dibidang
pengolahan penggaraman (pengeringan), pemindangan, pengasapan,
peragian (terasi), pereduksian, surimi (daging ikan giling), penjualan ikan
segar, pembekuan dan jenis lainnya seperti pengolahan rajungan,
sebagaimana ditampilkan dalam tabel 3.14 di bawah ini.



60

Tabel 3.14. Profil Pengolahan Ikan di Kabupaten Rembang
No J enis Olahan
Omset/
tahun (Rp.
J uta)
Aset (Rp.
J uta)
Tenaga
Kerja
J umlah
Pengolah
A Skala Menengah
1 Pengeringan 7,690 1,030 322 4
2 pemindangan 3,210 449 128 2
3 Surimi 22,000 0 465 4
4 pengalengan 10,000 355 200 1
Jumlah 42,900 1,834 1,115 11
B Skala Kecil
1 pengeringan 38,764 10,846 1,757 44
2 pemindangan 24,497 7,158 1,159 29
3 pengasapan 4,610 6 5 4
4 peragian 260 200 26 1
5 Ikan segar 8,900 1,144 219 8
6 Lainnya 7,261 305 194 6
Jumlah 84,292 19,658 3,360 92
C Skala Mikro
1 penggaraman 6,338 2,812 518 108
2 pemindangan 11,845 2,690 494 209
3 pengasapan 9,492 2,924 368 184
4 peragian 1,576 129 129 30
5 pereduksian 142 29 17 3
6 Surimi 810 995 13 3
7 Ikan segar 7,160 7,023 342 60
8 pembekuan 162 12 8 1
9 Lainnya 1,851 196 215 66
Jumlah 39,375 16,809 2,104 664
Total 166,566.7 38,301.0 6,579.0 767.0
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang tahun 2012

Setiap jenis pengolahan memiliki persoalan masing-masing, baik
dari persoalan bahan baku, teknis pengolahan, sarana prasarana, tenaga
kerja, permodalan, serta pemasaran. Selain itu, dari skala usaha yang
berbeda juga memiliki persoalan yang berbeda-beda. Kebanyakan yang
memiliki persoalan lebih banyak adalah skala usaha kecil dan mikro,
dimana biasanya terdapat persoalan permodalan, higienitas, bahan baku,
dan sistem pemasaran yang memberikan beban tambahan bagi pengolah.
Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah juga memberikan pengaruh
dalam keberlangsungan usaha mereka.
61

Pemerintah Kabupaten Rembang belum mengeluarkan kebijakan
secara khusus dalam upaya peningkatan industri pengolahan ikan.
Namun, untuk pengelolaan perikanan dan pasar ikan telah ditetapkan
Peraturan Daerah mengenai tata niaga, khususnya melalui Tempat
Pelelangan Ikan. Kebijakan pemerintah daerah adalah mengharuskan
setiap nelayan melakukan transaksi atau menjual ikannya di TPI.
Sedangkan kebijakan untuk pengolahan ikan saat ini berupa program dan
kegiatan di beberapa Satuan Kerja secara terpisah dalam hal pembinaan,
fasilitasi dan pelatihan serta bantuan sarana dan prasarana.
Selama ini para pengusaha / pengolah ikan lebih banyak bertahan
karena usaha sendiri dan mereka telah memiliki jaringan tersendiri baik
dalam penyediaan bahan baku, teknologi maupun pasar. Di sisi lain,
setiap jenis pengolahan ikan memiliki permasalahan tersendiri baik dalam
pemenuhan bahan baku, proses produksi maupun pasarnya.
Penggaraman / Pengeringan
Pada jenis usaha pengeringan atau penggaraman ikan di
Kabupaten Rembang, bahan baku yang digunakan sebagian besar
merupakan ikan pelagis kecil. Ada dua jenis ikan kering yaitu yang masih
utuh dan tanpa kepala, tergantung permintaan pasar. Skala usaha
sebagian besar merupakan usaha kecil dan mikro, dengan jumlah tenaga
kerja di bawah 20 orang, kebanyakan hanya memiliki 5 orang tenaga
kerja. Para pekerja adalah para ibu rumah tangga dengan sistem
borongan, yaitu per kilogram ikan.
Tenaga kerja ini sifatnya tidak tetap, mereka bekerja jika sedang
musim ikan, pada saat musim tanam sebagian dari mereka menjadi buruh
tani. Pekerja ini tidak membutuhkan banyak ketrampilan khusus, hanya
kebiasaan yang diturunkan dari pendahulu, karena mereka hanya
merendam ikan, membersihkan dan menjemur di atas keranjang bamboo.
Proses produksi terbilang sangat sederhana dengan peralatan
seadanya. Ikan direndam dalam box plastic dengan air larutan garam, dan
beberapa diantara pengusaha mencampurkannya dengan hydrogen
peroksida dnegan tujuan menambah daya tahan ikan dan memperbaiki
62

penampilan ikan. Banguinan yang digunakan berlantai plester atau
kramik, namun proses pencucian dan perendaman kurang higienis. Air
yang dgunakan juga kurang terjamun kebersiahnya. Pemberishan
dilakukan di atas lantaiyang jurang terajga kebersihannya.
Ikan-ikan yang dikeringkan merupakan ikan-ikan kecil yang
biasanya tidak layak untuk diolah dalam bentuk lain. Para pengolah
mengambil dari TPI dengan sistem pembayaran selama 1 hari, atau cash.
Dalam hal jumlah pembelian mereka menyesuaikan dengan permodalan
yang dimiliki. Selama ini para pengolah tidak terlalu banyak menggunakan
perbankan, tetapi menggunakan jaringan kekerabatan atau pertemanan
untuk mencukupi modal mereka.
Pasar hasil olahan kebanyakan adalah pasar lokal dan regional.
Ikan kering selain di jual di dalam daerah juga dijual ke beberapa kota lain
di J awa. Penjualan degan jaringan pertemanan atau kepercayaan dengan
para pedagang. Pengolah tidak langsung mendapatkan pembayaran dari
pedagang ketika mereka megirimkan brang, namun pada pengiriman
barang selanjutnya, pedagang memnbayar dagangan sebelumnya.
Seorang pengolah biasanya memiliki sekitar 10 jaringan pedagang,
sehingga mereka harus menanggung biaya produksi 10 kali lipat setiap
proses karena hasil mereka tidak langsung dibayar oleh pedagang.
Pemindangan
Pemindangan merupakan jenis olahan terbesar di Kabupaten
Rembang, atau menjadi produk unggulan, namun demikian persebaran
pasar masih di sekitar J awa, Sumatera dan Kalimantan. Sebagian besar
merupakan industri kecil dan mikro dengan tenaga kerja 10 sampai 15
orang dan jumlah asset yang kecil. Rata-rata jenis usaha ini sudah lama
dan warisan dari pendahulunya.
Seperti disampaikan oleh Bapak Mulyanto selaku pengusaha ikan
pindang dan ketua kelompok pengolah ikan Rukun Bahari yang berada di
Kelurahan Tasiuk Agung Kecamatan Rembang. Usaha miliknya adalah
merupakan usaha warisan orang tuanya yang didirikan pada tahun 1985
dan perkembangannya mengikuti usaha keluarga. Saat ini kelompok
63

Rukun Bahari ada sebanyak 50 orang anggota, terdiri dari pemindang,
ikan segar, pemanggang. Ada 20 anggota pemindang yang aktif dalam
kelompok.
Dari aspek bahan baku, ada kesulitan kelangkaan dan harga jual.
Bahan baku ikan diperolah dari TPI dengan sistem pembayaran 1 x 24
jam lunas, dan ketika paceklik akan membeli ikan impor yang sudah
disiapkan di J uwana tentunya dengan harga lebih tinggi. Ketika bahan
baku langka, kebanyakan pengusaha akan menurunkan jumlah
produksinya guna meminimalisir kerugian atau pembengkakan modal.
Pengusaha juga mengeluhkan harga ikan segar, tidak ada standar baku
mutu harga ikan di pasaran, sehingga sangat diperlukan bantuan
pemerintah. Saat ini bantuan pemerintah masih dirasa sangat kurang.
Selain tidak adanya kepastian harga ikan segar, pengusaha juga
disulitkan dengan sistem tata niaga. Mereka membeli bahan baku dari
TPI, diambil pengusaha kemudian harus dilunasi 24 jam kemudian,
sedangkan dari pengusaha kepada pedagang sistemnya pembayaran di
belakang, bisa beberapa hari, bahkan dalam satu tahun pedagang kadang
masih menunggak banyak. Sehingga pengusaha harus memiliki modal
cukup banyak beberapa kali lipat biaya produksi (minimal 10 kali). Bahan
lainnya yang cukup menyita modal adalah keranjang, atau pembungkus
ikan. Pengusaha sangat tergantung pada suplay keranjang, sehingga jika
keranjang terbatas maka produksi terhambat. Biaya keranjang saat ini
mencapai 40 50% dari biaya produksi, dimana harga ikan Rp 300 per
keranjang, harga keranjang Rp 150 Rp 200,-
Sarana dan prasarana masih sangat terbatas, baik dari segi
kapasitas maupun higienitas. Peralatan usaha pemindang ikan yang
sangat diperlukan adalah bangunan, Kompor gas, tungku pemasak, mobil,
besek, kotak pendingin, garam. Kualitas air yang digunakan kurang
higienis, selain itu perilaku pekerja dalam bekerja juga kurang higienis.
Pengusaha tidak bisa menjamin higienitas karena para pekerja
atau karyawannya cukup enggan bekerja dengan higienis karena cukup
repot. Untuk air perebusan misalnya, seharusnya diganti setiap 2 kali,
64

namun pekerja enggan mengganti sehingga mereka seharian tidak
mengganti air perebusan, hanya menambah. Kurag higinersi dialam
pengolahan juga karena ada kondisi pasar penjualan yang kurang higiensi
serta adanya permintaan konsumen adalah pindang yang memang diolah
sederhana sehingga harga murah.
Teknologi yang digunakan terbilang masih sederhana. Dari aspek
penanganan produksi ditemukan penggunaan H2O2 untuk memperbaiki
tampilan ikan dari peralatan yang digunakan mereka menggunakan
tungku minyak dan bak perebusan dari stainless steel. Mereka
menggunakan bahan bakar adalah minyak solar yang saat ini bisa
diterima pekerja, sedangkan gas kurang diterima. Biaya produksi minyak
solar 2 x dari kayu, namun nyala api yang besar disukai oleh pekerja. Saat
ini bagi pelaku usaha pindang belum ada teknologi kompor gas yang
sesuai, karena belum ada yang berhasil mencobanya, ada yang pernah
menggunakan gas namun hasilnya tidak maksimal.
Untuk pembungkus ikan mereka menggunakan keranjang bambu
yang dianyam. Hal tersebut terkendala cuaca dimana pembunkus belum
bisa menghadapi cuaca yang lemban dimana akan mempengaruhi
kelembaban ikan
Tenaga kerja yang digunakan bukankah tenaga kerja terampil,
karena ketrampilan yang digunakan diperoleh secara turun temurun.
Tenaga kerja ada yang membersihkan, memasak dan angkut, biasanya
perempuan merupakan tenaga pembersihan dan laki-laki memasak dan
angkutan, jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak, Bapak Mulyono
memiliki 10 orang pekerja pemindang, 2 pemasak, dan 1 orang pembantu
lain-lain. Sedangkan UD Alvian memiliki 70 orang pekerja.
Kebanyakan pekerja tidak tetap, mereka bekerja jika sedang
musim, di lain waktu mereka bekerja di sekitar laon. Masalah tenaga kerja
berbenturan dengan sektor pertanian, jika musim tanam terjadi
kelangkaan pekerja Karena mereka juga digunakan di sektor pertanian.
Para pekerja kebanyakan adalah masyarakat sekitar. Pekerja dibayar
dngen upah yang standar antar pengusaha, yaitu Rp 250 per ikat untuk
65

perempuan dan Rp 300 per ikat untuk laki-laki, ditambah dengan tenaga
angkut bongkar muat.
Modal yang diperolah sebagian dari rekan dan sebagian pinjam
dari berbagai perbankan. Semakin besar modal, semakin besar kekuatan
terhadap pembelian bahan baku. Selama ini majamemen pasar dan
produksi hanya berdasarkan feeling atau kebiasaan pelaku usaha.
Kondisi pasar sangat berpengaruh pada produksi. Bapak Mulyono
memproduksi rata-rata 1 -2 ton per hari, pengusaha lain ada yang sampai
10 ton per hari. Lokasi pemasaran ikan pindang disekitar pasar tradisional
di daerah sekitar, Demak, Kudus dan Cepu. Pasar pindang adalah kelas
menengah bawah. Harga ikan pindang setiap pengusaha bisa berbeda
sesuai dengan pasarnya di daerah berbeda harganya akan berbeda.
Harga jual kepada konsumen tergantung dari pasarnya, terdapat
perbedaan jenis ikan untuk pasar berbeda, pasar J ateng dengan ikan
besar-besar, 2 ikan per keranjang, untuk J awa Timur ikan kecil-kecil, 4-5
ikan per keranjang. Selain itu, pasar juga mempengaruhi teknik penjualan,
sebelumya pemindang di wilayah Rembang menggunakan sistem lama
yaitu pemindangan dengan kendil, yang dalam satu kendil berisi cukup
banyak ikan, sehingga pembelian harus dalam jumlah banyak antara 15
20 ikan.
Tahun 1990 an, setelah kedatangan pengusaha dari J awa Timur
menggunakan keranjang bamboo, mereka mulai menggunakan keranjang
bambu karena kemasan kecil sehingga penjualan bisa diecer, karena
dalam satu keranjang hanya berisi 2 5 ikan. Selama ini pasar masih
menghendaki pengemasan dengan keranjang bamboo, belum ada
perubahan karena pasar masih menginginkan dan belum ada alternatif
lain selain bambu.
Peragian
Pengolahan peragian berbentuk terasi. Produk trasi berbahan
udang rebon dan ikan kecil yang digiling dan dibentuk benjadi kotak kecil-
kecil dari ukuran seperempat kg, setengah kg. dengan seri kualitas produk
kelas biasa, median dan kelas super. Tempat pemasaran trasi dari daerah
66

sekitar dan provinsi J awa Timur. Harga tujuh ribu rupiah kelas biasa,
sepuluh ribu rupiah kelas sedang dan dua belas ribu rupiah kelas super
setiap seperempat kilogram.
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan diantaranya tempat
penggilingan, mesin penggiling, lantai jemur, daun pisang dan plastik serta
kertas. Tenaga kerja ibu rumah tangga, pengupahan borongan. Ada tiga
macam jenis terasi, yaitu terasi supar terbuat dari udang rebon, terasi
kelas dua udang rebon dicampur ikan dan terasi kelas tiga terbuat dari
ikan segar. Pengolahan dengan mesin sederhana,. penjemuran secara
alami serta adanya penambahan pewarna dalam proses pembuatan.
Suri mi
Olahan udang sedang mendapat perhatian adalah dari bahan
surimi atau daging ikan giling yang bisa menjadi produk turunan lainnya
seperti bakso ikan, nugget, kaki naga dan sebagainya. Produk ini
berbahan baku ikan giling yang diolah menjadi produk:Bakso, Nugget,
Kaki Naga, Krupuk. Usahanya masih bersifat home industry dilakukan
oleh ibu rumah tangga. Pemasarannya lewat jaringan keluarga dan orang
kenalannya. Produksi didasarkan dengan peluang pesan dari pedagang.

3) Pengolahan Ikan di Kabupaten Pati
Kabupaten Pati berada di sebelah barat Kabupaten Rembang
dengan potensi perikanan yang tidak kalah besarnya. Sentra perikanan
terbesar Kabupaten Pati berada di J uwana, baik untuk perikanan tangkap
maupun tambak. Terdapat sebanyak 8 TPI di seluruh Kabuoaten pati.
Produksi ikan segar di Kabupaten Pati berasal dari perikanan laut dan
perikanan budidaya. Produksi perikanan budidaya berupa tambak paling
besar terdapat pada 8 kecamatan yaitu : Kecamatan Kayen, Kecamatan
Batangan, J uwana, Wedarijaksa, Trangkil, Margoyoso, Tayu dan
Dukuhseti. Potensi tambak terbesar berada di Kecamatan J uwana.




67

Tabel 3.15. Data Produksi Perikanan Kabupaten Pati
No Tahun TPI (Kg) Budidaya (Kg) Kolam
Perairan
Umum (Kg)
1. 2009 35.377.479 17.365.726 1.357.092 107.920
2. 2010 35.358.718 20.996.320 2.612.747 110.541
3. 2011 39.638.987 26.961.200 1.878.710 111.825
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati tahun 2012
Kabupaten Pati memiliki potensi sumberdaya kelautan dan
perikanan yang terdiri dari sumberdaya perairan pantai sepanjang 60
Km dengan lebar 4 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut,
sumberdaya perikanan air payau berupa tambak seluas 10.604 Ha yang
terdapat di sepanjang pesisir dan sumberdaya perikanan air tawar yang
semakin berkembang.
Di Kabupaten Pati memiliki tujuh tempat pelelangan ikan yaitu TPI
Banyutowo, TPI Puncel, TPI Pecangaan, TPI Sambiroto, TPI Margomulyo,
TPI Bajomulyo I dan Bajomulyo II. Salah satu potensi yang sangat
menonjol adalah produksi ikan yang dihasilkan di PPI Bajomulyo J uwana
yang mana produksi dan pendapatan hasil lelang (raman) menunjukkan
hasil yang cukup baik. Untuk melihat perkembangan produksi dan nilai
perikanan laut di Kabupaten Pati dapat dilihat pada tabel di bawah :
Tabel 3.16. Produksi dan Nilai / Raman Perikanan Laut Kabupaten Pati
No Tahun Produksi (Kg) Nilai/ Raman (Rp.)
1 2004 53.002.752 161.251.465.500
2 2005 34.893.900 130.746.707.300
3 2006 20.893.900 71.447.951.600
4 2007 33.405.047 115.665.147.000
5 2008 31.472.000 164.414.750.000
6 2009 35.377.479 150.044.003.700
7 2010 34.846.244 177.797.924.770
8 2011

39.638.987 210.524.761.500
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati tahun 2012
Produksi ikan segar (70%) dipasarkan keluar daerah dan sebagian
di ekspor. Ikan segar tersebut dipasarkan ke wilayah DKI J akarta (Muara
Angke), J abar (Bandung), J awa Tengah (Semarang & Pekalongan) dan
J awa Timur (Surabaya). Negara tujuan ekspor ikan segar adalah :
Singapura, Hongkong dan Malaysia.
68

Disamping itu telah ada pedagang lokal yang melaksanakan ekspor
ke Hongkong dan Afrika. Produksi ikan olahan (30 %) seperti : Pindang
dipasarkan ke kotakota di J awa Tengah, J awa Timur, J awa Barat
(Tasikmalaya) dan DKI J akarta. Ikan Asin dipasarkan ke kotakota di
J awa Tengah, J awa Timur, J awa Barat (Tasikmalaya), DKI J akarta dan
Palembang. Panggang dipasarkan ke sekitar wilayah Kabupaten Pati,
Kudus, Purwodadi, dan lain-lain.
Sebagian besar hasil budidaya ikan di Kabupaten Pati dipasarkan
dalam keadaan segar : Produksi Udang dipasarkan ke Perusahaan
Pembekuan Udang (Cold Storage) di PT. Misaja Mitra (Margoyoso Pati),
Semarang, Surabaya dan Bandung untuk di ekspor ke luar negeri.
Bandeng dijual dalam keadan segar dan diolah.
Tabel 3.17. Data TPI, J umlah Kapal, J umlah Kapal Mendarat, Nelayan,
Produksi Ikan, KUD, RAMAN Kabupaten Pati Tahun 2011
No
TPI/PPI/PPP/
PPN/PPS
J ML
KAPAL
NELA
YAN
KAPAL
MENDARAT
PRODUKSI
(kg)
RAMAN
(Rp.)
1 PPP.Bajumulyo 297 15.756 8.740 29.771.114 110.043.639.000
2 PPI. Banyutowo 648 18.720 1.381.311 4.573.078.000
3 PPI.Pecangaan 107 3.098 22.824 254.380.000
4 TPI.Sambiroto 82 2.374 33.269 430.858.500
5 TPI.Margomulyo 208 5.985 8.445 443.905.600
6 TPI.Puncel 411 11.839 172.853 1.627.503.800
7 TPI. Alasdowo 165 4.685 3.733 233.938.000
J umlah 1.918 15.756 55.441 31.393.549 7.563.661.900
Sumber: KUD Sarono Mini - Dinas Kelautan & Perikanan Kab Pati, 2012

Pada tahun 2009 jumlah nelayan di Kabupaten Pati 15.756 orang
yang tersebar diberbagai daerah sekitar tempat pelelangan ikan yang ada
di Kabupaten Pati, sedangkan jumlah tempat pelelangan ikan yang
digunakan 7 lokasi meliputi : Pelabuhan Perikanan Pantai Bajomulyo,
Pangkalan Pendaratan Ikan Banyutowo, Pecangaan, Tempat Pendaratan
Ikan Sambiroto, Margomulyo, Puncel, dan Tempat Pelelangan Ikan
Alasdowo. J umlah kapal yang ada disekitar tempat pelelangan ikan 1.918
kapal.
Sedangkan jumlah kapal yang mendarat sekitar tempat pelelangan
ikan untuk bongkar muatan ikan 55.441 kapal. J umlah produksi ikan yang
dijual melalui tempat pelelangan ikan 31.393.549 kg. Dengan raman
sebesar Rp. 7.563.661.900,- Hasil tangkapan ikan di Kabupaten Pati
69

dikonsumsi segar sebanyak 70 % sedangkan yang diolah sebanyak 30%.
Produksi yang diolah (30%) berupa : Pindang : 35 %, Ikan asin : 46
%, dan Panggang : 19 %.
Pengolah Ikan di Kabupaten Pati terbilang cukup besar,
pengolahan tradisional berupa pengeringan, pemindangan dan
pengasapan merupakan yang terbesar. Selain itu, pengolahan Bandeng
juga cukup besar karena terdapatnya potensi tambak yang sangat besar,
terutama di Kecamatan J uwana, sebagaimaan tabel 3.18 di bawah ini.
Tabel 3.18. Data Pengolah Ikan Kabupaten Pati Kecamatan J uwana 2011
No Alamat
J enis
Olahan
Peng
Olah
Ikan
Kapasitas
Produksi
/Hr
Modal
Tenaga
Kerja
Pasar
1. Ds. Bendar
Kec. J uwana
Asin 4 5.5.000 kg/hr 40 juta 95 orang Ponorogo,
Madi un,
Magetan
2. Ds.Bajomulyo
Kec. J uwana
Asin 3 12 ton/hr 30 juta 60 orang J ateng, J atim,
J abar
3 Ds. Dukutalit
Kec. J uwana
Pindang 8 18 ton/hr 60 juta 520 orang Solo, Yogya,
Wonogiri,
Klaten
4. Ds.Bajomulyo
Kec. J uwono
Pindang 5 14 ton/hr 51.juta 330 org Solo, Yogya,
Sra gen
5. Ds. Langenharjo
Kec.J uwono
Trasi 2 600 kg/hr 15 juta 30 org J awa Tengah
6. Ds.Bendar
Kec.J uwono
Panggang 7 900 kg/hr 8 juta 16 org J uwono, Pati
7. Ds. Doropayung
Kec.J uwono
Pindang
kendil
5 125 kg/hr 1 juta 10 org J uwono
8. Ds. Doropayung
Kec.J uwono
Panggang 19 385 kg/hr 920
ribu/
38 org J owono
9. Ds. Doropayung
Kec. J uwono
Presto 3 90 kg/hr 915
ribu/ hr
8 org Pati, Kudus,
Purwodadi
10. Ds. Dukutalit
Kec. J uwono
Presto 9 275 kg/hr 3.025/hr 18 org Pati, Kudus,
Purwodadi
11 Ds. Bakaran Ku
lon
Kec. J uwono
Presto 1 25 kg/hr 200
ribu/hr
2 org J uwono
12. Ds. Bendar
Kec. J uwono
Kerupuk
ikan
21 345 kg/hr 21.600/
hr
30 org J uwono

Jumlah 89
1.157
orang

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati, 2011
Di Kabupaten Pati terdapat 587 orang pengolah ikan, yang terdiri
dari pengolah ikan asin =18 UKM, pindang =28 UKM, trasi =24 UKM,
panggang =495 UKM, dan presto =22 UKM.dengan jumlah tenaga kerja
yang dibutuhkan setiap hari rata-rata 3 orang, dengan demikian tenaga
kerja yang dibutuhkan 1.095 orang.
70

Di wilayah Kabupten Pati jumlah pengolah ikan 334 , dengan
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan rata-rata setiap harinya 3 - 5 orang,
kecuali untuk pembuatan pengolah ikan pindang, dan pengolah ikan filet
yang membutuhkan tenaga kerja lebih banyak rata-rata 10 -15 orang
pekerja mulai dari pembersihan ikan, penggaraman, penataan ikan dalam
keranjang, dan kemudian pemasakan , dengan demikian tenaga kerja
yang ada di Kabupaten Pati untuk pengolahan ikan 2.249 orang. Tenaga
kerja yang dipakai biasanya buruh dari warga sekitar dan ada yang
diambil dari keluarga sendiri.
Dari pengolahan ikan tersebut juga dihasilkan produk sampingan
berupa petis ikan, kerupuk catak (kerupuk dari laberin ikan manyung)
yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dan limbah pengasapan yaitu arang
tempurung kelapa juga mempunyai nilai jual sebagi bahan arang karbon.
Di Kecamatan J uwana terdapat home industry pengolahan ikan
yang jumlahnya 89 usaha dengan kegiatan yang berupa pembuatan ikan
asin, pindang, trasi, panggang, presto, dan kerupuk ikan, yang terdapat di
berbagai Desa seperti Desa Bendar, Bajomulyo, Dukutalit, Langenharjo,
Doropayung, dan Bakaran Kulon. Kegiatan ini dapat menyerap tenaga
kerja 1.157 orang.
Pengeringan / Asin
Ikan Asin sebagaimana disampaikan oleh pengusaha pengolahan
ikan asing Bapak Muri usaha ini termasuk usaha kecil dengan tenaga
kerja 10 sampai 15 orang, tenaga kerjanya sebagian besar ibu rumah
tangga, pengupahan dengan borongan, jenis ketrampilan sederhana.
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan air bersih untuk pencucian,
garam, bedeng dari bamboo tempat penjemuran, lantai jemur untuk
pengeringan dari sinar mata hari.
Pemindangan
Proses pengolahan ikan pindang cukup sederhana pertama-tama
ikan dicuci dengan air laut dibersihkan dimasukan ke besek, dilumuri
garam dapur selanjutnya di olah ke dalam dandang pengolahan selama
kurang lebih satu jam diatas kompor gas. Tenaga kerjanya bapak-bapak
71

serta ibu rumah tangga dengan upah borongan. Pemasaran dilakukan di
pasar tradisional sekitarnya serta antar daerah. Sarana prasarana yang
dibutuhkan kompor gas, dandang pemasak, garam dapur, besek bamboo,
air pencucian, saluran pembuang limbah.
Pengasapan
J enis ikan yang diolah adalah jenis ikan mayung J awa dan mayung
Cina, proses pengolah cukup sederhana pertama-tama ikan di potong
kepala dan ekornya sehingga badan ikan dibelah dibuang kotoran ikan,
lalu di iris-iris menjadi daging ikan setebal 5 sampai 10 cm selanjutnya
dibakar ditungku pembakaran dengan menggunakan tempurung kelapa
atau bonggol jagung.
Pemasarannya dilakukan dipasar tradisional sekitarnya dan
bekerja sama dengan agen pemilik modal. Sarana prasarana yang
dibutuhkan diantaranya meliputi tungku pengasapan, bahan bakar
tempurung kelapa, bonggol jagung. Adapun tenaga kerja yang
diguanakan bersasal dari anggota keluarga.
Lokasi pengasapan berada di pinggir sungai yang keruh, di
sekelilingnya tambak. air untuk mencuci ikan diambil dari sungai tersebut.
Terdapat gubuk-gubuk sebagai tempat pengolahan, untuk mencuci,
memotong dan memanggang. Bahan bakar pemanggangan adalah batok
kelapa, di atas bara api dipasang bilah-bilah besi tempat meletakkan ikan
yang sudah ditopong, kemudian asap dialirkan ke tunggu
Harga ikan per kg 13.000 17.000, setiap pembelian terdiri dari
karung-karung berisi 30 kg. Sisa pengolahan berupa organ dalam dibuang
ke sungai, kepala ikan dijual di pasar sebagai bahan masakan. Persoalan
pengasapan di Kabupaten Pati adalah higientias, sanitasi yang baik,
peralatan yang bersih dan tata cara pengolahan yang efisien, sehingga
pemerintah perlu memfasilitasi sarana dan prasarana yang higienis.
Banyaknya usaha pengolahan pengasapan/ pemanggangan ikan di
Desa Wonosari yang di lakukan berdampingan dengan pemukiman
penduduk, menimbulkan polusi udara, yang berdampak mengganggu
72

kesehatan yaitu banyaknya warga dari anak anak sampai orang dewasa
banyak yang teserang penyakit ISPA (Inpeksi Saluran Pernapasan). \
Pengolahan yang dilakukan oleh Masyarakat kebanyakan
dilakukan secara sederhana dengan tempat pengolahan seadanya dan
kurang higienis, sehingga mempengaruhi Kualitas/ Mutu hasil, maka
dipandang perlu adanya pembinaan dan peningkatan sarana dan
prasarana pengolahan yang lebih baik , tersentral dan terpisah dari
pemukiman penduduk, mengingat usaha pengolahan semakin bertambah
setiap tahunnya. Dengan bertambahnya pengusaha pengasapan di dalam
pemukiman penduduk, dapat dibayangkan kondisi kesehatan masyarakat
dikemudian hari.
Pengolahan Daging Ikan (Suri mi)
Potensi pengolah ikan di J uwana sangat besar. Ada tambak seluas
10.600 Ha, dengan masa panen 6-7 bulan. Petani melakukan pola
pembenihan dan panen secara berkala, sehingga setiap saat bisa panen,
tidak serempak. Mayoritas petambak tidak memiliki lahan, mereka
menyeewa lahan dari orang lain. Produk unggulan J uwana adalah
Bandeng yang diolah menjadi berbagai macam jenis olahan turunan.
Sebagaimana disampaikan oleh pengusaha olahan berbahan
surimi Bapak Sugito selaku ketua kelompok dan koperasi Kelumpuk
Usaha bersama (KUB) Mina Barokah di J uwana serta sebagai motivator
pelatihan pengolahan ikan berbahan surimi, produk yang dihasilkan
diantaranya Naged, Bandeng cabut duri, Bandeng krispi, Krupuk, Kaki
Naga, Bakso. Tanaga kerjanya dari ibu rumah tangga jenis usahanya
home industri. Pemasaran di pulau J awa dengan system pesanan lewat
biro travel. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan antara lain, freseer,
Colk Box, timbangan, pengemasan.
Di J uwana terdapat sentra pengolahan Pindang, Asap, Kerupuk,
Prresto dan Ikan segar lainnya. Pengolahan ikan di J uwana tanpa limbah;
daging untuk fillet, bakso, dll, tulang digunakan untuk kerupuk, kepala ikan
digunakan untuk petis. Pak gito dengan 9 karyawan melakukan usaha
pengolahan Bandeng menjadi fillet, kerupuk tulang, bandengtanpa duri,
73

banding krispi, bakso, nugget, kaki naga. Bahan baku utama yang
digunakan adalah ikan banding diperoleh dari petambak dan TPI, jika
langka baru membeli ikan impor. Pasar penjualan J akarta, J awa Timur,
Yogyakarta, Bali dan pulau-pulau lain dengan jaringan kekerabatan dan
pertemanan. Persoalan dalam pemasaran surimi dan turunannya adalah
rantai dingin
Kendala kebijakan; masih terkesan top down, kurang memahami
persoalan di lapangan sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan kurang
efektif. Banyak program dan kegiatan terkesan proyekl semata kurang
memahami kebutuhan pelaku usaha. Kebijakan lebih banyak tidak tepat
sasaran.
Saat ini kebijakan terhadap pengembangan industri pengolahan
makanan berbahan baku ikan laut dalam hal bahan baku adalah
pengembangan bahan baku ikan dengan nilai nan ekonomis yaitu swangi
kurisi, mata besar, kuniran, dsb ubtuyk di fillet dan pengembangan produk
berbahan baku serba bandeng. Dalam bidangs arana dan prasarana
adalah pengembangan sarana prasarana berupa gedung pemfilletan ikan,
peraltan fillet, gedung pendinginan, cold storage, dan alat-alat untuk
melaksanakan pengolahan ikan. Untuk tenaga kerja dengan pengadaan
sarana dan prasarana baru dan dukungan modal, maka semakin banyak
menyerap tenaga kerja untuk pemanfaatan gedung pemifilletan, pinbdang,
cold storage, dsb.
Dalam aspek teknologi ada pengembangan teknologi pembekuan
dengan pengadaan cold storage dan pengembangan teknologi sarana
dan prasarana penbgolahan ikan kecil untuk dibuat kerupuk, abon ikan
laut, dsb. Untuk permodalan adalah pengembangan modal untuk pelaqku
usaha dilaksanakan dengan dana APBD maupun APBN dalam bentuk
kredit pengembalian bunga rendah dan bantuan modal Cuma-Cuma
dalam hal pasar mengembangkan pasar ikan (los pasar ikan) dengan
sarana dan prasarana yang lebih memadai berupa meja, tempat display
dan alat-alat penyimpanan untuk mendukung sarana rantai dingin serta
sanitasi yang higienis.
74

Program yang telah dilaksanakan untuk pengembangan industry
makanan olahan berbahan baku ikan laut, dalam hal:
a). Bahan Baku
1) Sosialisasi pengembangan produk olahan berbahan baku ikan laut
untuk surimi
2) Pengembangan produk olahan berbahan baku nan ekonomis untuk
pe,filletan
b). Sarana dan Prasarana
1) Pembangunan ruang berpendingin (cold storage) tahun 2006 dan
2007 . rehabilitasi ruang berpendingin ikan tahun 2010, 2011, 2012
2) Memabngun gedung sentra pengolahan ikan (gedung pemfilletan)
2010, 2012
3) Membangun gedung pemindangan ikan tahun 2012
4) Pemanfaatan sarana dan prasarana pengolahan ikan mulai tahun
1998 s/d 2012
c). Tenaga Kerja
1) Pelatihan untuk tenaga kerja pengolahan maupun pengusaha
pengolahan ikan diafakan oleh pemda kab pati, DKP Provisni dan
DKP RI
2) Monitoring dan pembinaan kepada tenaga kerja secara rutin
maupun pembinaan untuk motivasi kerja dan usaha
d). Teknologi
1) Program pengadaan sarana teknologi rantai dingin (cold storage)
2) Pengadaan teknologi pmasak minyak dan daging ikan (Spinner)
3) Teknologi pengolahan yang lebih efektif, efisien dan higienis
berupa fish ball machine, presti cooper, pengemas produk, cool
box, freezer
e). Modal
1) KUR kerjasama dengan Bank Swasta Nasional (BNI +BRI)
2) Kredit dana bergulir dengan dana APBD Kab Pati
3) PUMP P2 HP dari Kementerian Kelautamn RI
f). Pasar
75

1) Pengembangan sarana prasarana di pasar ikan tradisional berupa
meja display (los ikan) untuk 3 pasar dengan dana TP APBN 2011
2) Pengembangan sarana-prasarana SRD di pasar berupa freezer,
cool box, dan bleng berinsulasi untuk 3 kelompok pengecer ikan di
3 los pasar ikan
Berdasarkan evaluasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabuoatebn
Pati, maka kendala yang dialami pengusaha pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut dalam hal :
a). Bahan Baku
1) Ketersediaan bahan baku ikan fillet semakin tergantung dengan
alam
2) Ketersediaan bahan baku ikan pindang masih belum mencukupu
b). Sarana dan Prasarana
1) Sarana dan prasarana yang digunakan masih sederhana
2) Masih kurangnya pengadaan sarana dan prasarana untuk
pengolah maupun pengecer ikan di pasar dan pedagang ikan
keliling
c). Tenaga Kerja : Tenaga kerja belum memperhatikan dan belum sadar
akan sanitasi dan higienitas
d). Teknologi
1) Teknologi masih tradisional
2) IPAL belum dikembangkan
e). Modal : Modal bantuan dari APBD dan APBN belum memenuhi
f). Pasar
1) Sanitasi dan higienitas masih kurang, diperlukan pembinaan\
2) Sarana dan prasarana di pasar dan pedagang ikan keliling masih
belum memadai
Sehingga, hal-hal yang dibutuhkan untuk pengembangan industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan laut dalam hal :
a). Bahan Baku; Kontinuitas ketersediaan bahan baku pindang
b). Sarana dan Prasarana
1) Pengembangan sarana dan prasarana pengolahan ditingkatkan
76

2) Pengadaan lahan untuk pengembangan sarana-prasarana
c). Tenaga Kerja; Pembinaan dan pelatihan untuk tata cara pengolahan
ikan yang baik, tata cara pemasaran ikan yang lebih baik dan sanitasi
higienis dikembangkan lebih lanjut
d). Teknologi; Pengembangan teknologi pengolahan dan teknologi lain
ditingkatkan
e). Modal; Pengembangan bantuan modal kepada pengusaha pengolahan
ditingkatkan jumlah dan variasinya
f). Pasar
1) Pengadaan sarana dan prasarana pasar dan pedagang ikan
2) Pengembangan modal untuk pemasar (bakul pengecer keliling ikan
di pasar)
3) Pelatihan sanitasi dan higienis
Berdasarkan observasi di lapangan serta keterangan beberapa
nara sumber, maka terdapat permasalahan pengolahan ikan di Kabupaten
Pati berupa :
a). Sarana prasarana pembuangan sampah belum tersedia. (depo
sampah dan alat angkut sampah)
b). Suply Bahan Baku masih dipermainkan oleh tengkulak
c). Pemasaran ke Pasar Modern masih skala kecil (Mall, Indomaret,
alfamart, dan lain-lain) masih terkendala kemasan dan kualitas produk
dan sistem pembayaran terlalu lama.

4) Pengolahan Ikan di Kota Pekalongan
Kota Pekalongan Berada di pantai Utara J awa Tengah, terletak di
bagian Tengah. Kota Peklaongan telah menyatakan diri sebagai kota ikan
dan mengembangkan Minapolitin. Akan tetapi pada dekade 2000 an
terjadi fenomena menurunnya perikanan tangkap berdampak pada
menurunnya industri pengolah ikan, penurunan industri pengolahan ikan
smeenjak krissi 1998 mencapai 75%.
Kebijakan pemerintah Kota Pekalongan adalah mengembnagkan
konseo minapolitin, sehingga perlunya komitmen pemerintah provinsi
77

dalam mendukung konsep minapolitin beserta sumberdayanya. Di sisi lain
tidak ada kebijakan secara spesifik dari pemerintah daerah terkait dengan
pengembangan industri ikan. Pelaku usaha membutuhkan bantuan
multisektor. Saat ini para pengolah ikan bekerja dengan konsep factory
by order produksi berdasrakan pesanan serta ketersediaan bahan baku
Tabel 3.19. Data Pengolah Ikan Kota Pekalongan
No J enis Olahan
Tahun
2009 (kg) 2010 (kg) 2011 (Kg)
1 Pengasinan 6.514.000 6.640.000 6.972.000
2 Pemindangan 984.600 787.680 520.000
3 Pengasapan 2.400 3.400 4.100
4 Ikan Segar 4.955.900 5.451.490 5.724.060
5 Kaki Naga 150 100 88
6 Baso Ikan 50 300 605
7 Nugget 1.200 1.350 1.500
8 Abon Ikan 150 155 335
9 Bandeng Presto 600 650 755
10 Kerupuk Ikan 1.200 2.100 3.570
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pekalongan, 2012
Sebagaimana diungkapkan di atas, belum ada kebijakan khusus
tentang pengembangan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan
laut baik dalam bahan baku, sarana prasarana, tenaga kerja, dan lain-lain.
Dalam hal bahan baku, upaya pemerintah Kota Pekalongan adalah
membuka kerjasama dengan pemasok ikan dan bahan baku dari daerah
lain. Dalam peningkatan sarana dan prasarana dilakukan berbagai
program seperti Program PUMP dan KKP RI Ditjen P2HP yang bertujuan
memebrikan bantuan peralatan pada pengolah ikan. Dalam hal tenaga
kerja dilakukan Program pelatihan bagi masyarakat pesisisr dan anggota
KUB/ Poklahsar untuk standar UMKM.
Peningkatan teknologi dengan pelatihan teknologi diversifikasi
olahan ikan untuk jenis olahan ikan bernilai tambah / added value, misal;
pembuatan bakso ikan, nugget ikan, kaki naga ekkado, pangsit ikan, otak-
otak, banding cabut duri, dan lain-lain. Untuk meningkatkan permodalan.
Ada program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ditjen P2HP bagi KUB pengolah
dan pemasar ikan serta Kredit Ketahanan Pangan yang dikelola oleh Bank
78

Pasar Kota Pekalongan. Untuk pemasaran mencari kerjasama dengan
pemasar ikan yang telah mempunyai cakupan pasar yang luas agar dapat
membantu pengolah lainnya.
Berbagai kendala yang dihadapi pengolah ikan sampai saat ini
masih kurang penanganan. Kendala bahan baku adalah kelangkaan, jika
tidak musim ikan maka bahan ikan sulit didapat kalaupun ada maka harga
akan melonjak naik. Dalam hal sarana dan prasarana tidak banyak
mengalami kendala karena sudah ada program PUMP yang dapat untuk
pemenuhan sarana prasarana untuk pengolah skala UMKM. Sedangkan
untuk tenaga kerja Saat musim ikan kekurangan tenaga kerja karena
tenaga yang digunakan tidak tetap dan mereka bekerja di sektor lain.
Dalam hal teknologi pengolahan ikan yang berkembang maka
pengusaha perlu mengikuti trend yang ada agar produk tetap lancar.
Untuk permodalan ada kekurangan modal karena setiap pengiriman
produk perikanan tidak / belum tentu dibayar tunai. Sedangkan untuk
pasar sangat tergantung permintaan dan kurang memiliki pangsa yang
luas. Sehingga yang dibutuhkan untuk pengembangan pengolahan ikan di
Kota Pekalongan adalah meliputi:
a. Bahan Baku; Ketersediaan bahan baku yang konstan dengan cara
pengembangan budidaya ikan laut pada daerah yang memungkinkan
atau bentuk kerjasama dengan daerah lain sebagai pemasok bahan
baku
b. Sarana dan Prasarana; Adaya peralatan pengolahan yang memadai
dalam pengolahan ikan seperti mesin-mesin pengolahan ikan untuk
skala UMKM
c. Tenaga Kerja; Keperluan pelatihan ketrampilan dalam hal pengolahan
ikan sehingga dapat tercipta diversifikadsi pengolahan ikan
d. Teknologi; Perlu teknologi tepat guna bagi UMKM sesuai dengan
kondisi dan potensi daerah masing-masing
e. Modal; Perlu adanya penambahan modal kerja dengan kredit usaha
yang prosedurnya mudah dan bunga rendah serta jangka waktu
panjang
79

f. Pasar; Perlu kerjasama dengan pihak lain untuk kelancaran
pemasaran produk berbahan baku ikan

5) Pengolahan Ikan di Kabupaten Brebes
Kabupaten Brebes terletak di Pantura ujung Barat J awa Tengah,
dengan potensi perikanan yang cukup. Selain itu Kabupaten Brebes juga
memiliki potensi rumput lat yang besar. Pengolahan ikan di Kabupaten
Brebes tergolong variatif, baik ikan tangkap maupun budidaya. Industri
pengolahan ikan juga ada yang bersakal besar sedang dan kecil.
Tabel 3.20. Data Skala Usaha Pengolah Ikan di Kabupaten Brebes
No Skala Usaha J umlah
1 skala besar 35
2 skala sedang 12
3 skala kecil 235
J umlah 282
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, 2012
J enis olahan di Kabupaten Brebes sangat bervariasi. Terdapat
indsutri pengolahan ikan dan peningkatan nilai tambah. Selain itu terdapat
pengolahan ikan budidaya seperti bandeng.
Tabel 3.21. J enis Pengolah Ikan di Kabupaten Brebes
No J enis Olahan
J umlah
pngolah
Kapasitas /
Hari
1 Pengeringan / Asin 79 677,939
2 Pemanggangan 103 3,496
3 Terasi 36 4,918
4 Bandeng presto 8 325
5 Bandeng duri lunak 31 1,210
6 Pembekuan 1 350
7 Kerupuk 6 6,600
8 Fillet 1 2,000
9 Pemindangan 4 60
10 Ebi dan Petis 13 1,095
J umlah 282 697,993
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, 2012
Sebagian besar hasil olahan dijual di pasar lokal dan beberapa
daerah sekitarnya. Beberapa bahkan menembus pasar nasional di kota-
kota besar di J awa.

80

Tabel 3.22. Persebaran Pasar Olahan Ikan di Kabupaten Brebes
No Pasar J umlah Keterangan
1 Lokal 249 Pasar tradisional di Kabupaten Brebes
2 Luar Daerah 33 Bandung, Cirebon, J akarta, Cilacap,
Banyumas, Tegal, Kebumen
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, 2012
Saat ini saja kebijakan terhadap pengembangan industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan laut dalam hal bahan baku
adalah menghasilkan produk olahan yang bermutu dan aman dikonsumsi,
untuk bahan baku produk olahan harus menggunakan bahan baku yang
layak dikonsumsi. Sedangkan dalam sarana dan prasarana adalah
penggunaan sarana dan prasarana yang telah kami lakukan agar dapat
dimanfaatkan.
Untuk tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja memanfaatkan
tenaga kerja yang siap untuk dibimbing. Di sektor teknologi penggunaan
peralatan yang dapat mendukung upaya proses produksi agar
menghasilkan produk yang maksimal. Dalam hal modal adalah
permodalan diarahkan kepada pihak-pihak yang terkait perbankan,
sedangkan untuk pasar, pemasaran produk hasil perikanan
dikembangkan dengan mengikuti pameran-pameran produk unggulan di
daerah maupun luar daerah.
Beberapa program utama yang telah dilaksanakan adalah pelatihan
dalam hal mengenai pengolah maupun penanganan mulai dari bahan
baku sampai menjadi produk, bersama dengan pemerintah pusat
memberikan teknologi peralatan yang semi modern kepada pengolah
untuk mengembangkan produknya. Bekerjasama dengan perbankan
untuk memperlancar program permodalan bagi pengusaha perikanan
dalam hal permodalan. Kendala yang dihadapi oleh industri pengolahan
ikan di Kabupaten Brebes adalah sarana seperti : coolbox, permodalan di
perbankan dan pengembangan sentra usaha. Hal tersebut perlu
dukungan serius dari pemerintah pusat dan daerah.



81

6) Pengolahan Ikan di Kabupaten Cilacap
Kabupaten Cilacap berada di Ujung barat Pantai Selatan J awa
Tengah. Wilayah ini merupakan daerah poenghasil produk perikanan
terbesar di J awa bagian Selatan, dengan potensi perikanan mencapai
72.000 ton per tahun. Akan tetapi masih banyak dibutuhkan
pengembangan area baru hanya 14.982,2 ton atau 21% yang sudah
dimanfaatkan. Kabupaten Cilacap juga menerapkan konsep minapolitan.
Secara kuantitas produk ikan laut di Cilacap memang menurun,
akan tetapi justru nilainya meningkat. Hal ini terkait dengan upaya
pengolahan lanjutan yang dilakukan oleh para pengrajin terutama ikan
demersal seperti pari dan hiu cucut. Selama tahun 2007 2010 jumlah
produk menurun separuhnya, akan tetapi nilai produk mengalami
peningkatan sampai lebih dari 2,5 kali lipat sebagaiamna tabel 3.23 di
bawah ini.
Tabel 3.23 Produksi dan nilai produk ikan laut di Kabupaten Cilacap
No Tahun Produksi (Kg) Nilai (Rp.000)
1 2007 5,519,661.89 29,799,720.21
2 2008 5,830,294.58 40,942,336.15
3 2009 3,878,247.43 47,632,655.80
4 2010 2,778,994.27 70,216,701.86
Sumber; Cilacap Dalam Angka 2010
Kecamatan Cilacap Selatan merupakan penghasil ikan tangkap
terbesar di Kabupaten Cilacap. J umlah ikan tangkap mencapai 76,3% dari
seluruh Kabupaten Cilacap dan nilainya hampir mencapai 92% dari nilai
keseluruhan di Kabupaten Cilacap sebagaimana tabel 3.24 di bawah ini.
Tabel. 3.24 Produksi Ikan Laut dan Nilai Ikan Laut Menurut Kecamatan di
Kabuoaten Cilacap.
No Kecamatan Produksi (Kg) Nilai (Rp.000)
1 Kesugihan 378,915.59 3,471,863.99
2 Adipala 14,395.00 187,135.00
3 Nusawungu 267,453.10 2,203,786.48
4 Cilacap Selatan 2,118,230.58 64,353,916.39
Jumlah 2,778,994.27 70,216,701.86
Sumber; Cilacap Dalam Angka 2010
Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap,
potensi perikanan laut diperkirakan mencapai 72.000 ton/tahun, di sisi lain
pemanfaatan oleh nelayan baru mencapai 14.982,2 ton atau 21%.
82

Pemanfaatan potensi yang dimanfaatkan adalah ikan pelagis besar
sebesar 7.131,5 ton/tahun meliputi Tuna, Cakalang, Tongkol, Tengiri,
Marline, Layaran, Lemadang, Cucut. Sedangkan ikan pelagis kecil
meliputi Lemuru, Layang/Selar, Kembung, Teri, Tetengkek, Kuwe, Ubur-
ubur, Cumi-cumi sebesar 2.232,8 ton/tahun. Untuk ikan demersal adalah
Udang, Kakap, Pari, Kerapu, Layur, Tigawaja, Petek, Bawal, Tembang,
Lidah, sebelah, Bloso, Remang, Manyung, Keong, udang, rajungan, dan
kepiting sebesar 5.618,3 ton/tahun.
Kabupaten Cilcap memiliki keunggulan dalam produksi ikan pelagis
besar dan ikan demersal dengan pasaran eksport. Kebanyakan ikan-ikan
tersebut diolah menjadi bahan makanan untuk pasar luar negeri, baik Asia
Timur maupun Eropa. Kebijakan pemerintah pusat yang mengutamakan
jenis ikan Tuna, Tongkol dan Cakalang sesuai dengan potensi yang ada di
Kabupaten Cilacap sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 3.25.. Potensi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Kabupaten
Cilacap.
No Sumber Ikan Jenis Ikan Pasar
1 Perikanan
tangkap di laut
Tuna Yellofine, Tuna Albacore,
Tuna Big Eye, Tuna Blue fine,
Bawal, Kerapu, Ubur-ubur, Udang
,Lobster, Udang Windu, Udang
Banana/J erbung, Udang Rebon
besar, Layur besar, Ubur-ubur
Pasar Eksport
Cakalang, Tongkol, Tengiri,
Layang, Lemuru, Bawal
hitam, Kakap, Pari, Udang, Cucut,
Marline, Meka, Udang rebon,
Udang
krosok, Udang Barat, Udang
J erbung
Pasar dalam
negeri
2 Perikanan
budidaya
Udang Windu, Udang Vanamei Pasar Eksport
dan domestik
Sumber; Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap
Mayoritas produk ikan di Kabupaten Cilacap adalah ikan tangkap
laut yang berkarakter ikan demersal atau di laut dalam. Dengan samudera
yang luas maka potensi ikan demersal juga sangat besar. Cilacap juga
tercaptat memiliki pelabuhan samudera yang cukup besar. Pelabuhan
83

Perikanan Samudera (PPS) Cilacap adalah pelabuhan yang terletak di
teluk Cilacap.
Industri pengolah Ikan di Kabupaten Cilacap terdiri dari beragam
jenis, baik ikan tangkap laut maupun budidaya. Pengolahan tradisional
kebanyakan berbentuk pindang, kering/asin, terasi serta kerupuk.
Sementara di sisi lain bahan baku ikan demersal yang besar dijual dalam
bentuk segar dan olahan kering, seperti hiu cucut dan pari.
Pengolahan pengeringan melalui penjemuran dan penggaraman
menghasilkan berbagia bentuk olahan seperti kerupuk, ikan kering dan
keripik. Pengolahan pindang dan pengasapan dilakukan dengan metode
tradisional namun unsur higienitas sudah sedikit diperhatikan. Pemasaran
hasil pengolahan kering pinsang, terasi dan kerupuk adalah pasar lokal
dan regional, sedangkan ikan segar dari ikan hiu dan pari dipasarkan
untuk tujuan ekspor. Selain itu, ikan hiu diolah untuk menghasilkan minyak
ikan.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap telah memiliki
beberapa agenda peningkatan pengolah ikan di Kabupaten Cilacap. Ada
beberapa kelompok yang mendapat perhatian terkait dengan produk
unggulan yang mereka hasilkan. Di bawah ini adalah data kelompok yang
difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Cilacap.
Tabel 3.26. Data Kelompok Pengolah Ikan di Kabupaten Cilacap
No.
Nama J enis Usaha J umlah Tanggal
POKLAHSAR Pengolahan Kecamatan Anggota Pendirian
1 Mugi Laras Keripik Belut Maos 10 5-Mar-09
2 Mekar Sari Keripik Kerang Maos 10 4-Apr-10
3 Karya Mina Brownies ikan Maos 12 20-Feb-10
4 Indomina Abon Ikan Nusawungu 20 1-J an-08
5 Mekarsari Pindang Adipala 10 17-Sep-09
6 Mina Berkah Ikan Asin Cilacap Selatan 16 9-J an-11
7 Mina Bhakti Asri Ikan Asin Cilacap Tengah 15 20-Mar-02
8 Usaha Mandiri Ikan Teri Krispi Cilacap Tengah 8 1-Sep-11
9 Mina Rasa Kerang Krispi J eruklegi 10 16-Okct-10
10 Mapan J aya Terasi Dayeuhluhur 12 30-Mar-09
11 Mina Kencana Bandeng Presto Adipala 19 17 -Des-06
12 Mina Tawangsari Bandeng Presto Cilacap Selatan 11 14-Feb-11
13 Mina Bander J aya Ikan dan Udang krispi Kroya 10 01-J uli-2011
14 Mina Kerang Kerajinan Kerang Cilacap Selatan 16 17-J an-11
15 Mina Pamrih
rahayu
Sirip Ikan Hiu, Minyak
Ikan, Kulit Ikan Pari
Kesugihan 65
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap, 2012
84

Industri pengolahan ikan di Kabupaten Cilacap dalam beberapa hal
memiliki perbedaan dengan daerah lain di Pantura, baik dari segi jenis
ikan maupun cara pengolahan dan pasarnya. Pengolahan ikan di
Kabupaten Cilacap sebagian besar berupa pengolahan ikan-ikan besar
dalam bentuk segar maupun bahan makanan siap jadi untuk pasar ekspor
maupun dalam negeri. Pengolahan ikan yang cukup banyak adalah
pendinginan, pengalengan, pemindangan, terasi dan kerupuk
sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 3.27. Unit-unit Usaha Penanganan dan Pengolahan Hasil
Perikanan di Kabupaten Cilacap
No. Jenis Usaha Jml
Kapasita
s
Jenis Olahan Ket (Pasar)
1 Pengepul
Ikan
99 2000-
15000kg/
hr
Tuna,cakalang;
cucut,pari Uda
ng,Tongkol,(J e
nisi kan
Pelagasis dan
demersal)
Cilcap,J ogja,
J awa Barat, Solo
Semarang
2 Pendinginan
Ikan
3 Tuna,Udang Uni Eropa,J epang
Hongkong
3 Pengalengan
Ikan
1

440000kg
/bln
Tuna Uni Eropa,
Amerika
4 Pengolahan
Pindang
32 10425kg/
bln
Pindang
Tongkl, Bande
ng,Kembung
Bandung,Cilacap
Purwokerto
5 Pengolahan
Ikan
150 300-
20000kg/
bln
Pari,Cucut,Man
yung, Cumi,
Tigawaja,Teri A
sin ,Tembang,
Udang Lidah,
Bloso, dll
J awa Tengah
J awa Barat
6 Pengolahan
Terasi
13 50-
1500kg/
bln
Udang Rebon Cilacap,
Purwokerto
7 Pengolahan
Ikan
62

3883kg/hr

Cucut,Pari,Marl
ine, Panggang/
Asap , Lemada
ng
Lokal Cilacap,
Banyumas
8 Pengolahan
Krupuk
10 57567kg
/bln

Udang,Tengiri

Cilacap,J akarta,
Bogor,Bandung,
J awa Tengah
Sumber; Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap

85

B. Potensi Pengembangan Ke Depan
Potensi pengembangan ke depan industri makanan berbahan baku
ikan laut di J awa Tengah mempunyai prospek besar dalam menunjang
perekonomian daerah. Penelitian ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari
pemerintah daerah, pengusaha pengolah ikan maupun jaringan
pemasaran, sehingga pengembangannya ke depan diharapkan dapat
senergi dengan pengembangan sektor lain dan diharapkan dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah.
Sebagaimaa dikemukakan sebelumnya, bahwa penelitian ini
dilakukan di 5 daerah penghasil olahan ikan di J awa Tengah dengan
kekhasan olahan unggulan yang berbeda-beda, seperti tabel 3.28.
Tabel 3.28. Sentra Pemasaran Hasil Makanan Berbahan Baku Ikan Laut
di J awa Tengah Tahun 2011
No Kabupaten / Kota Olahan Unggulan
1 Kabupaten Rembang Pindang, Kering/Asin, Terasi, Asap
2 Kabupaten Pati Pindang, Terasi, Asap, Bandeng, Bandeng
olahan
3 Kota Pekalongan Ikan Olahan (bakso dll), Ikan Kering
4 Kabupaten Brebes Pindang, Asap, Kering
5 Kabupaten Cilacap Kering, Segar, Kerupuk
Sumber: Data Primer
Dapat dilihat dari tabel di 3.28 atas, bahwa sebagian besar
pengolahan ikan di J awa Tengah berbentuk olahan sederhana seperti
ikan kering/asin, pemindangan, asap/panggang, terasi dan ikan olahan.
Maka sampel dalam penelitian ini juga memcerminkan hal tersebut.
Tabel 3.29. J enis Olahan Makanan Berbahan Baku Ikan Laut
di J awa Tengah Tahun 2012
No J enis Olahan J umlah Persentase
1 Pengeringan / Garam 38 29,23
2 Pindang 31 23,85
3 Panggang 8 6,15
4 Terasi 9 6,92
5 Kerupuk 5 3,85
6 Bandeng 4 3,08
7 Daging Olahan 11 8,46
8 Beku 2 1,54
9 Campuran / Lainnya 22 16,92
Jumlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012.
86


Penelitian ini melibatkan pengusaha pengolah ikan dalam skala
mikro, kecil dan menengah dari berbagai jenis olahan sesuai dengan
komposisi yang ada. Sebagaimana dikemukakan di atas, sebagian besar
jenis olahan adalah pengeringan, pindang, panggang dan olahan ikan.
Dalam penelitian ini ada sebanyak 130 unit usaha pengolahan ikan yang
terlibat sebagai sumber informasi dan unit analisis. Pengolah ikan terdiri
dari beragam jenis sesuai dengan komposisi yang ada di J awa Tengah,
sebagaimana data tabel 3.30 di atas.
Tabel 3.30. Umur Usaha Pengolahan Ikan
No Umur Usaha Frekuensi Persentase
1 1 - 5 Tahun 38 29.23
2 6-10 Tahun 29 22.31
3 11-15 Tahun 13 10
4 16-20 Tahun 13 10
5 21-25 Tahun 6 4.61
6 26-30 Tahun 6 4.61
7 31-35 Tahun 2 1.54
8 36-40 Tahun 1 0.77
9 40 Tahun 2 1.54
10 Tdk Menjawab 20 15.384
J UMLAH 130 100
Sumber: Data Primer, 2012

Mayoritas usaha pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian
ini adalah usaha berusia muda, yaitu kurang dari 15 tahun. Sebagian
besar pelaku usaha tersebut merupakan kelompok muda yang juga
mewarisi jenis usaha serupa dari orang tua mereka. Hanya beberapa
pelaku usaha kelompok tua yang masih beroperasi sampai saat ini.
Tabel 3.31. Skala Usaha Pengolahan Ikan
No Skala Usaha Frekuensi Persentase
1 Mikro 72 55.38
2 Kecil 28 21.54
3 Menengah 10 7.694
4 Besar 1 0.77
5 Tdk Menjawab 19 14.61
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
87

Seperti halnya kondisi pengolahan ikan di J awa Tengah yang
didominasi oleh kelompok mikro dan kecil, maka sampel penelitian ini
sebagian besar juga berasal dari skala usaha mikro dan kecil.
Tabel 3.32. Status Badan Hukum usaha Pengolahan Ikan
No Status Usaha Frekuensi Persentase
1 Berbadan Hukum 6 4.62
2 Tdk Berbadan Hukum 78 60
3 Tdk Menjawab 46 35.39
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012

Dengan skala usaha mikro dan kecil, serta produktifitas yang tidak
kontinyu, maka sangat sedikit diantara mereka yang status usahanya
berbadan hukum. Sebagian besar adalah industri rumah tangga yang
tidak memiliki sistem manajemen sebagaimana layaknya industri skala
menengah dan besar.
Tabel 3.33. J umlah Tenaga Kerja Pengolahan Ikan
No J umlah Tenaga Kerja (Org) Frekuensi Persentase
1 1-10 81 62.31
2 11-20 21 16.15
3 21-30 15 11.54
4 31-40 3 2.31
5 41-50 4 3.08
6 51-60 2 1.58
7 Tdk Menjawab 4 3.08
J UMLAH 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Dalam hal penyerapan lapangan pekerjaan, sebagian besar industri
tersebut juga berkapasitas kecil. Sebagian besar pelaku usaha hanya
memiliki pekerja di bawah 20 orang. J umlah tersebut juga tidak selalu
sama, karena sangat jarang pengusaha yang memiliki karyawan tetap,
kebanyakan adalah karyawan borongan, yang bertambah banyak ketika
musim panen ikan, di lain waktu, mereka menjadi buruh tani.
1. Kerangka Pengembangan Ke Depan
a. Aspek Kebijakan/Regulasi
Sesuai ketentuan Peraturan Direktur J enderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Nomor : Per.09/Dj-P2hp/2010
Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, Dan Format
88

Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), disebutkan bahwa pengolahan
Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan
sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Unit Pengolahan
Ikan (UPI) adalah tempat yang digunakan untuk mengolah ikan, baik yang
dimiliki oleh perorangan, kelompok maupun badan usah.
Industri pengolahan ikan khususnya yang berskala menengah, kecil
dan mikro merupakan wilayah urusan yang menjadi kewenangan berbagai
pihak sekaligus, yaitu kewenangan perikanan, perindustrian dan
perdagangan serta UMKM. Tidak jarang berbagai program dan kegitan
dari beberapa sdatuan kerja pemerintah pusat maupun daerah saling
bersinggungan namun tidak terintegrasi dan sangat parsial.
Menurut kewenagan perikanan, induk pengaturan terdapat pada
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dalam Pasal
25C ayat (1) ditegaskan bahwa Pemerintah membina dan memfasilitasi
berkembangnya industri perikanan nasional dengan mengutamakan
penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia dalam negeri.
Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan pula bahwa Pemerintah membina
terselenggaranya kebersamaan dan kemitraan yang sehat antara industri
perikanan, nelayan dan/atau koperasi perikanan. Dalam penjelasan
disebutkan bahwa industri perikanan diantaranya meliputi industri yang
bergerak di bidang penyediaan sarana dan prasarana penangkapan serta
industri pengolahan perikanan.
Sampai saat ini, upaya pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam pengembangan industri pengolahan ikan telah dilakukan dalam
bentuk pemberian bantuan peralatan dan pelatihan. Namun demikian
upaya tersebut baru menyentuh sebagian kecil perusahaan yang parsial,
serta sasarannya juga masih terbatas. Dalam skala yang lebih makro,
belum terdapat sebuah skema kebijakan yang memberikan dukungan
secara komprehensif pada industri perikanan dalam negeri, baik dalam
penyediaan bahan baku, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan
teknologi, kemudahan permodalan, serta pemasaran yang luas.
89

Pada aspek mutu produk, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu
Dan Gizi Pangan. Disebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Sesuai aturan tersebut, industri pengolahan makanan harus
memenuhi persyaratan tata cara produksi yang baik. Cara produksi
pangan olahan yang baik adalah cara produksi yang memperhatikan
aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara :
1) mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia
dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan;
2) mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta
mengurangi jumlah jasad renik lainnya;
3) mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan
bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan
atau pengangkutan.
Selain tata cara pengolahan, industri pangan juga harus
memperhatikan distribusi yang baik, yaitu;
1) melakukan cara bongkar muat pangan yang tidak menyebabkan
kerusakan pada pangan.
2) mengendalikan kondisi lingkungan, distribusi dan penyimpanan
pangan khususnya yang berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan
tekanan udara, mengendalikan sistem pencatatan yang menjamin
penelusuran kembali pangan yang didistribusikan.
Selain itu juga terdapat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian Sistem J aminan Mutu
90

dan Keamanan Hasil Perikanan yang mengatur bahwa setiap pelaku
usaha turut bertanggung jawab di dalam memberikan jaminan. Aturan
tersebut menetapkan adanya verifikasi dan evaluasi mutu olahan ikan
untuk memastikan bahwa rencana Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) dan Sistem J aminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan telah
dilaksanakan sesuai dengan standar nasional dan internasional yang
berlaku.
Sesuai ketentuan Peraturan Direktur J enderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Nomor: Per.09/Dj-P2hp/2010
Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, Dan Format
Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), disebutkan bahwa Sertifikat
Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan kepada UPI
yang telah menerapkan Cara Pengolahan Yang Baik (Good Manufacturing
Practices/GMP) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi Sanitasi
Standar (Standard Sanitation Operating Procedure/SSOP). Setiap Unit
Pengolahan Ikan (UPI) baik yang dimiliki oleh perorangan maupun badan
usaha wajib memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP).
Agenda pemerintah Provinsi J awa Tengah dalam peningkatan
sektor perikanan di daerah adalah melaksanakan Program
Pengembangan Sumber Daya Perikanan dengan beberapa kegiatan
utama yaitu:
a. Pembinaan dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan melalui
Pengembangan Pola Permodalan dan Investasi Dalam Negeri dan
Asing,
b. Pengembangan Data dan Statistik Perikanan,
c. Penguatan dan Pengembangan Pemasaran Dalam Negeri dan Ekspor
Hasi Perikanan melalui Peningkatan Konsumsi Ikan Melalui Program
Nasional Gemarikan dan Promosi Produk, Fasilitasi Pembangunan
dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pemasaran Dalam Negeri
dan Pembinaan Ekspor Produk Perikanan,
d. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan
melalui Pengembangan Sistem Rantai Dingin (Cool Chain System),
91

Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Pengawasan
Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Peningkatan Kompetensi
Lembaga Sertifikasi, Penguatan Kompetensi Laboratorium Penguji
a. Penyelenggaraan Revitalisasi Perikanan
Dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan,
Pemerintah porovinsi J awa Tengah mengagendakan kebijakan berupa:
a. Peningkatan daya saing melalui penciptaan iklim yang kondusif,
melalui regulasi atau deregulasi serta peningkatan mutu dan
keamanan produk
b. Pemantapan struktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan
nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait serta
akademisi
c. Membangun kelembagaan agribisnis perikanan (Akuabisnis) melalui
penataan kelembagaan dan ekonomi yang baik, keterpaduan antara
pemasok bahan baku, industri pengolahan, serta pemasaran dan
upaya terwujudnya produk akhir yang berkualitas dan berdaya saing.
Setiap Kabupaten/Kota juga memiliki kebijakan turunan tersendiri,
baik yang bersinergi dengan pemerintah pusat maupun provinsi. Namun
demikian, berdasarkan temuan lapangan tidak ditemukan adanya
kebijakan dan regulasi khusus dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam
upaya pengembangan industri pengolahan ikan. Sebagian besar regulasi
perikanan hanya mengatur mengenai mekanisme tata niaga ikan melalui
TPI, sedangkan dalam aspek pengembangan industri makanan olahan
tidak terdapat regulasi khusus.
Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bertugas sebagai fasilitator dan
melengkapi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, terutama dalam
memberikan bantuan sarana dan prasarana serta pelatihan kepada
sebagian kecil pengolah. Sebagian besar program dan kegiatan
merupakan implementasi dan duplikasi dari program Kementerian yang
berupa pembinaan melalui kelompok-kelompok terbatas. Beberapa
kebutuhan utama lainnya seperti permodalan, jaringan pasar, jaringan
antar pengolah dan aspek teknologi belum begitu banyak mendapatkan
92

kemajuan dari bantuan pemerintah daerah. Dengan demikian masih
diperlukan adanya peningkatan dalam regulasi dan kebijakan serta
program-program yang relevan dalam upaya pengembangan kemampuan
pengolah.
Sebagian pelaku usaha menganggap selama ini sudah ada
evaluasi terhadap kebijakan pemerintah, namun disis lain banyak yang
menyatakan belum ada evaluasi. Sementara sebagian lagi merasa acuh
dengan kebijakan pemerintah, sebagaimana ditampilkan dalam tabel di
bawah ini.
Tabel 3.34. Pendapat Responden Tentang Evaluasi Kebijakan Pemerintah
No Evaluasi Program Frekuensi Persentase
1 Pernah 37 28.46
2 Tidak Pernah 8 6.15
3 Tidak Tahu 24 18.46
4 Tidak Menjawab 61 46.92
J umlah 130 99.99
Sumber: Data Primer, 2012
Seperti halnya dengan evaluasi kebijakan, responden juga
sebagian besar tidak mengetahui dan tidak peduli dengan besarnya
anggaran yang dialokasikan pemerintah.
Tabel 3.35. Pengetahuan Responden Tentang Anggaran Pemerintah
No Mengetahui Alokasi Anggaran Frekuensi Persentase
1 Ya 12 9.23
2 Tidak 54 41.54
3 Tidak Menjawab 64 49.23
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Selama ini pemerintah telah memberikan berbagai bantuan kepada
pengelola, namun hanya sebagian kecil yang menerima manfaat.
Mayoritas tidak memperdulikan adanya agenda tersebut.
Tabel 3.36. Prosedur Bantuan Pemerintah Kepada Pengolah ikan
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Gratis/Cuma-Cuma 47 36.15
2 Membayar/Membeli 1 0.77
3 Tidak Menjawab 82 63.08
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
93

Untuk bantuan permodalan, sebagian besar resonden menyatakan
bahwa sebagian bantuan permodalan diberikan melalui perbankan,
koperasi dan melalui kelompok. Sebagian besar juga tidak memperdulikan
adanya bantuan tersebut, sebagaimana dalam tabel di bawah ini/
Tabel 3.37. Skema Bantuan Permodalan dari Pemerintah
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Koperasi 5 3.85
2 Bank 27 20.77
3 Lainnya 15 11.54
4 Tidak Menjawab 83 63.85
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Untuk mengembangkan industri makanan berbahan baku ikan,
pemerintah telah membantu pengusaha membuka jaringan kemitraan ke
super market/hiper market/swalayan yang ada, namun hanya sebgaian,
sebagaimana dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3.38. Menerima Dukungan dari Pemerintah dalam Pengembangan
Pasar di Pasar Modern
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Ya 32 24.62
2 Tidak 34 26.15
3 Tidak Menjawab 64 49.23
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Dalam aspek pengembangan sentra, pemerintah telah melakukan
beberapa kegiatan dalam menciptakan sentra-sentra dengan sarana dan
prasarana yang memadai.
Tabel 3.39. Pengembangan Sentra Pengolahan Ikan Oleh Pemerintah
Daerah
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Ya 22 16.92
2 Tidak 44 33.85
3 Tidak Menjawab 64 49.23
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan jawaban-jawaban responden di atas, nampak bahwa
respon pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah dapat dikatakan
kurang antusias. Kebijakan-kebijakan yang ada tidak memberikan
dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha merasa
94

dihambat karena kebijakan tersebut. Sehingga mereka merasa tersingkir
atau tidak mampu berkembang dibanding usaha skala besar. Contohnya
peraturan mengenai higienitas, standar keamanan pangan dan aturan
mengenai badan usaha tentu sulit untuk dipenuhi olah skala industri
rumah tangga, namun d i sisi lain tidak adanya upaya konkret pemerintah
agar pelaku usaha mampu memenuhi standar tersebut di atas.
Sehingga kebijakan pemerintah dirasa justru memberikan ruang
bagi usaha skala besar dan importir, bukan memberikan ruang
berkembang bagi usaha skala mikro dan kecil. Oleh karena itu,
perumusan kebijakan sebaiknya memperhatikan kondisi nyata dari pelaku
usaha di lapangan.

3) Aspek Bahan Baku
Selama ini salah satu kendala utama para pengolah ikan tradisional
adalah ketersediaan bahan baku utama yaitu ikan yang konsisten dengan
kualitas yang terjamin dan harga terjangkau. Ketersedian bahan baku
penunjang seperti garam, es, dan lainnya juga menjadi faktor pembatas
tidak akan disoroti dalam penelitian ini. Ketersediaan bahan baku utama
sangat tergantung pada musim, karena perkembangan teknologi
penangkapan yang ada sampai saat ini umumnya belum dapat
mengantisipasi masalah musim. Ketika musim ikan langka, maka para
pengolah akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan bahan baku.
Ketika menghadapi kesulitan maka pengolah akan menurunkan
produksinya. Di sisi lain untuk menutupi kekurangan pasokan bahan baku,
Para pengusaha pengolah ikan akan mengganti bahan baku dengan jenis
ikan lain, misalnya pemindang akan menggunakan ikan tongkol kecil jika
bahan baku ikan kembung/layang berkurang.
Sebagian besar pengusaha lainnya akan mencari bahan baku di
luar daerah, tetapi harga ikan menjadi lebih mahal karena tambahan untuk
transportasi dan pengawetan. Sebagian pengolah akan mengambil bahan
baku dari ikan yang didatangkan dari luar negri seperti dari Cina (ikan
import) yang biasanya mereka dapatkan dari daerah J uwana Kabupaten
95

Pati dan J akarta. Para pengolah ikan di kelima daerah pengamatan
umumnya mengalami kesulitan untuk melakukan penyimpanan sementara
sebelum dilakukan pengolahan. Umumnya para pengolah tidak/belum
memiliki gudang-gudang penyimpanan untuk stok ikan ketika musm
panen (cool storage) dan penyumpanan produk olahan sebelum
dipasarkan.
Di sisi lain, pemenuhan bahan baku melalui gudang-gudang impor
terkendala peraturan pemerintah menegnai jenis-jenis ikan yang boleh
diimpor. Sebagian pengolah merasa kesulitan dengan jenis ikan yang
boleh diimpor tersebut, karena bukan merupakan bahan baku terbaik
untuk industri mereka.
Sesuai paturan Direktur J enderal Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perikanan Nomor : Kep.025/Dj-P2hp/2012 Tentang Penetapan
J enis-J enis Hasil Perikanan Yang Dapat Dimasukkan Ke Dalam Wilayah
Negara Republik Indonesia ditetapkan bahwa Bahan Baku Industri
Pengolahan Hasil Perikanan yang Menghasilkan Ikan Kaleng hanya boleh
mengimpor berupa ikan Sarden (Sardinella spp.), sednagkan untuk industri
Ikan Tradisional Berupa Pemindangan hanya boleh memasukkan ikan
Salem (Scomber japonicus).
Selama ini kebanyakan pengolah mendapatkan bahan baku dari
TPI terdekat melalui proses lelang. Mereka biasanya diharuskan
membayar dalam jangka waktu sehari semalam, sebagaiaman tabel di
bawah ini.
Tabel 3.40. Cara Pengolah ikan memperoleh bahan baku
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Membeli di TPI setempat dgn cara lelang 75 57.69
2 Membeli di pasar ikan setempat 12 9.23
3 Membeli di agen depot di luar daerah 24 18.46
4 Membeli di TPI & pasar ikan di luar daerah 7 5.38
5 Tidak menjawab 12 9.23
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Bahan baku yang diperoleh dari TPI, sebagian mencukupi namun
ketika musim paceklik mereka akan mendatangkan bahan baku dari luar
96

daerah. Dengan demikian terkadang bahan baku tercukupi tetapi
terkadang tidak, sebagaimana dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3.41. Ketercukupan bahan baku
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Ya 66 50.77
2 Tidak 21 16.15
3 Gabungan (terkadang ya, terkadang tidak ) 33 25.38
4 Tidak menjawab 10 7.69
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Bahan baku yang diperoleh dari dalam daerah dekat sentra
pengolahan umumya tingkat kesegarannya masih cukup baik. Sebagian
bahan baku yang diperoleh dari TPI di luar daerah sentra pengolahan
umumnya tingkat kesegarannya kurang segar, seperti tampak pada tabel
di bawah ini.
Tabel 3.42. Mutu Bahan Baku
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Segar 111 85.38
2 Kurang segar 6 4.62
3 Rusak 0 0
4 Tidak menjawab 13 10
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Dalam pengelolaan pengadaan bahan baku, sebagian pengolah
umumya telah mengikuti prosedur rantai dingin dan sebagian lagi tidak
mengikutinya seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.43. Bahan Baku Mengikuti Rantai Dingin
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Ya 86 66.15
2 Tidak 20 15.38
3 Kadang-kadang 9 6.92
4 Tidak menjawab 15 11.54
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Dengan kondisi sistem rantai dingin yang cukup baik, maka bahan
baku yang diperoleh masih memenuhi standar bahan baku yang baik,
sebagaimana tabel di bawah ini.


97

Tabel 3.44. Kondisi bahan baku Ikan harus baik
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Ya 106 81.54
2 Tidak 4 3.08
3 Kadang-kadang 4 3.08
4 Tidak menjawab 16 12.30
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Cara pengangkutan bahan baku mulai dari TPI sampai ke tempat
pengolahan, sebagian pengolah menggunakan kendaraan sendiri,
transportasi umum atau lainnya sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 3.45. Pengangkutan Bahan Baku
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Transportasi sendiri 51 39.23
2 Transportasi umum 26 20
3 Gabungan 39 30
4 Tidak menjawab 14 10.77
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Sebelum bahan baku tersebut digunakan sebagai bahan baku
pengolahan, sebagian pengusaha melakukan perlakuan/penanganan
terhadap bahan baku lainnya agar kualitas dapat dipertahankan baik,
sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 3.46. Penanganan Bahan Baku Sebelum Diolah
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Ya 79 60.77
2 Tidak 22 16.92
3 Kadang-kadang 8 6.15
4 Tidak menjawab 21 16.15
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Sebagian pengolah melakukan stocking bahan baku sesuai
kapasitasnya, sedangkan sebagian pengolah lagi tidak melakukannya,
sebagaimana tabel di bawah ini. Pengolah ikan yang melakukan stocking
karena mereka memiliki fasilitas tempat penyimpanan seperti coolbox.
Sebagian besar pengolah tidak melakukan stocking (43,85%) karena
umumnya tidak memiliki tempat penyimpanan bahan baku.


98

Tabel 3.47. Stocking Bahan Baku
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Ya 44 33.85
2 Tidak 57 43.85
3 Kadang-kadang 16 12.31
4 Tidak menjawab 13 10
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Beberapa macam cara perlakukan terhadap bahan baku sebelum
digunakan untuk bahan baku ikan olahan, yaitu penyimpanan,
pengawetan dan perlakuan penyimpanan dan pengawetan. Perlakuan
bahan baku dengan penyimpanan saja umumnya ditaruh dalam tempat
seperti drum lastik yang diberi es, sedangkan bahan baku ikan yang
diawetkan umumnya diperlakukan dengan es dan garam. Responden
pengolah yang tidak menjawab yaitu pengolah yang langsung
menggunakan bahan baku sebagai produk olahan ikan.
Tabel 3.48. J enis Perlakuan Bahan Baku
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Penyimpanan dengan es 36 27.69
2 Pengawetan dengan garam 18 13.85
3

Penyimpanan & pengawetan
dengan es & garam
7

5.38

4 Tidak menjawab 69 53.08
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Tingkat keberlanjutan usaha pengolahan sangat bergantung pada
penyediaan bahan baku ikan setiap harinya. Pengadaan bahan baku oleh
pengolah ikan sagat bervariasi, hal ini tergantung dari kapasitas modal
yang dimiliki setiap pengusaha untuk pengadaan bahan baku ikan dan
tempat penyimpanan & bahan pengawet ikan, seperti tampak pada tabel
di bawah ini.
Tabel 3.49. Tingkat Ketersediaan bahan baku
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Selalu ada 37 28.46
2 Tidak tentu 63 48.46
3 Tidak menjawab 30 23.08
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
99

Dari tabel tersebut sebagian besar pengolah tidak tentu
mengadakan bahan baku. Untuk pengolah ikan pindang, ikan kering, ikan
asap umumnya disebabkan didak memiliki tempat dan modal untuk
melakukan pengadaan bahan baku terutama pada saat tidak musim ikan.
Pola kerjasama antar pengolah dalam pengadaan haban baku tampaknya
belum dilakukan.
Oleh karena itu permasalahan pengadaan bahan baku salah satu
pemecahannya adalah dengan membentuk kerjasama antar anggota
kelompok pengolah ikan pindang/asin/asap. Bagi pengolah ikan yang
menjawab selalu menjawab mengadakan bahan baku umumnya dilakukan
oleh pengolah bakso, nugget, sosis dan beberapa pengolah kerupuk ikan
dan terasi, karena umumnya mereka memiliki sarana penyimpanan bahan
baku dan modal.

4) Aspek Sarana dan Prasarana
Kondisi sarana dan prasarana pengolah ikan yang ada di daerah
penelitian menggambarkan kondisi secara umum industry pengolahan
ikan di J awa Tengah yang masih sangat sederhana dan jauh dari
memenuhi standar higienitas. Namun demikian, para pelaku usaha tidak
merasa kesulitan memproduksi olahan ikan sesuai keinginan konsumen
yang mayoritas kelas menengah kebawah.











100

Tabel 3.50. Profil Sarana dan Prasarana Pengolah Ikan (%)
No Keterangan Ya Tidak Lainnya
1 Bangunan Milik Pribadi 70.77 12.31 16.92
2 Bangunan Sudah mencukung 60.00 21.54 18.46
3 Mendapat dukungan masyarakat
setempat
79.23 0.77 20.00
4 Memenuhi unsur sanitasi dan
higienitas
46.15 30.77 23.08
5 Menginginkan memenuhi standar
sanitasi & higienitas
39.23 3.08 57.69
6 Limbah mengganggu lingkungan 26.92 10.00 63.08
7 Peralatan milik Sendiri 81.54 2.31 16.15
8 Peralatan sudah memadai 52.31 27.69 20.00
9 Perlu pembaharuan (modernisasi)
peralatan
69.23 10.77 20.00
10 Perlu ada yang menawarkan
peralatan modern
60.77 10.00 29.23
11 Alat-alat modern snagat membantu 66.92 1.54 31.54
12 Memanfaatkan bantuan alat yang
diberikan kepada kelompok
76.92 1.54 21.54
13 Memiliki peralatan penyimpan
frozen, cold storage
63.08 23.08 13.85
14 Memiliki peralatan packing yang baik 36.92 45.38 17.69
15 Air untuk mengolah ikan sumbernya
jauh
78.46 3.85 17.69
16 Tergantung dgn banyaknya air 45.38 34.62 20.00
17 Air yang ada sudah mencukupi 82.31 3.08 14.62
18 Ada kesulitan didalam sarana 72.31 3.85 23.85
19 Prasarana jalan sudah memadai 63.85 16.92 19.23
20 Peralatan sering rusak , terlalu lama
digunakan
44.62 26.92 28.46
21 Ada kesulitan dalam transportasi
pengiriman
4.62 73.08 22.31
22 Ada kesulitan dalam penerangan 1.54 70.77 27.69
23 Proses transportasi dapat
menyebabkan penurunan kualitas
bahan baku ikan
10.77 53.85 35.38
24 Kendaraan transportasi bisa
menjaga kualitas bahan baku
35.38 28.46 36.15
25 Kendaraan transportasi milik sendiri 30.77 18.46 50.77
Sumber : Data primer diolah, 2012
Dari data di atas, dijelaskan bahwa profil sarana dan prasarana
pengolahan ikan di Provinsi J awa Tengah yang sudah dimiliki antara lain
meliputi: Bangunan milik pribadi, Bangunan pendukung, Mendapat
101

dukungan masyarakat, peralatan milik sendiri, peralatan sudah memadahi,
pembaruan, alat-alat moderen, memanfaatkan bantuan peralatan,
mempunyai peralatan penyimpang frozen, cold storage, air sudah
mencukupi, prasarana jalan sudah memadahi.
Sebagian besar bangunan pengolahan ikan milik pribadi, sebesar 70
% letak bangunan ini menyatu dengan bangunan induk rumah tingggal
dan pemukiman penduduk. Letak bangunan pengolahan ikan sudah
mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar dikarenakan sebagian
warga masyarakat mempunyai aktifitas pengolah ikan jadi soal poplusi
udara yang berbau ikan anggota masyarakat sudah terbiasa.
Sanitasi air bersih cukup tersedia dari sumber PDAM dan air tanah
dari sumur 60 %, sedangkan pembuangan limbah kotoran ikan dari
pengolahan dibuang di saluran pembuangan air setempat belum ada
treatment pengolah limbah terpadu, sehingga menimbulkan bau yang
kurang sedap.
Kondisi peralatan pengolahan ikan yang dipergunakan untuk ikan
pindang dan ikan asap antara lain berupa kompor gas, air bersih,
dandang, besek bambu, garam, frozen, cooll storage, packing sebesar
80% peralatan ini merupakan milik sendiri.. Peralatan tersebut dibuat dan
di desain sendiri oleh pengrajin kerjasama bengkel dengan menggunakan
teknologi tepat guna. Bantuan dari pemerintah yang berupa peralatan
bertehnologi modern sebesar 69 % sangat dibutuhkan oleh pengrajin
pengolahan ikan agar tujuan pengolahan ikan berkualitas dan efisien.
Sarana jalan dari tempat pengolahan ikan menuju pasar 63 %
dalam kondisi baik. Sedang jenis alat transportasi yang dimiliki dan
digunakan antara lain: sepeda motor roda dua, viar roda tiga dan mobil
box roda empat, dari jenis alat transpotasi sudah mencukupi akan tetapi
dikarena kepadatan arus lalu lintas antar kota besar hal ini menyebabkan
terjadi keterlambatan pengiriman ikan sampai di pasar sehingga
menyebabkan menurunkan kualitas ikan sampai di pasar 10 %.


102

Tabel 3.51. Asal Peralatan Pengolah
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Buatan sendiri 18 13.85
2 Membeli 70 53.85
3 Dipinjami 1 0.77
4 Membeli & dipinjami 1 0.77
5 Membeli & buatan sendiri 1 0.77
6 Bantuan 1 0.77
7 Membeli & bantuan 1 0.77
8 Tidak menjawab / 0 37 28.46
J umlah 130 100.00
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Dari data tabel di atas dapat diketahui bahwa frekuensi asal
peralatan pengolahan ikan berasal buatan sendiri 18 orang, peralatan
berasal membeli di pasar sebanyak 80 orang. Selebihnya peralatan
pengolahan ikan berasal dari bantuan dan warisan dan pinjaman dari
orang lain sebanyak 37 orang lebih.
Tabel 3.52. Sumber Biaya Pembelian Peralatan Pengolah Ikan
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Biaya sendiri 58 44.62
2 Bantuan pemerintah 19 14.62
3 Biaya sendiri & bantuan pemerintah 18 13.85
4 Pinjaman 6 4.62
5 Tidak menjawab / lainnya 29 22.31
J umlah 130 100.00
Sumber: Data Primer Diolah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sumber biaya untuk
membeli peralatan pengolahan ikan berasal dari: tabungan pribadi 58
orang, bantuan dari pemerintah 19 orang, berasal dari keduanya 18
orang, pinjaman 6 buah, sedangkan yang tidak menjawab 37 orang,
sedangkan yang tidak menjawab 29 orang.




103

Tabel 3.53. Sumber Air Pembersih Ikan
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Air sumber 84 64.62
2 Air ledeng 22 16.92
3 Air laut 1 0.77
4 Air sumber & air ledeng 1 0.77
5 Air sumber & air sungai 1 0.77
6 Air ledeng & air sungai 1 0.77
7 Sungai 2 1.54
8 Sumur 1 0.77
9 Tidak menjawab 17 13.08
J umlah 130 100.00
Sumber: Data Primer Diolah
Dari tabel di atas sumber air yang digunakan dalam pencucian ikan
berasal dari sumber air tanah 84 orang, berasal dari air ledeng (PDAM) 22
orang, sedangkan yang tidak menjawab 17 orang.
Tabel 3.54. Pihak Penanggungjawab Pemelihara prasarana jalan
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Masyarakat 6 4.62
2 Murni pemerintah 59 45.38
3 Masyarakat & Pemerintah 41 31.54
4 Tidak menjawab / lainnya 24 18.46
J umlah 130 100.00
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pihak yang
bertanggungjawab dalam pemeliharaan prasarana jalan adalah
Pemerintah 59 orang, Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat 41
orang, sedangkan yang tidak menjawab 24 orang.
Tabel 3.55. J enis Penerangan Dalam Memproduksii ikan olahan
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 PLN 100 76.92
2 Genzet - -
3 PLN & genzet 1 0.77
4 Tidak menjawab / lainnya 29 22.31
J umlah 130 100.00
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
104

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jenis penerangan yang
digunakan dalam proses pengolahan ikan dari PLN 100 orang , PLN &
Genzet 1 orang, sedangkan yang tidak menjawab 29 orang.
Tabel 3.56. Bahan Bakar Pengolah Ikan
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Kayu bakar 25 19.23
2 Kompor gas 26 20.00
3 Kayu bakar dan Kompor gas 13 10.00
4 Tidak menjawab / lainnya 66 50.77
J umlah 130 100.00
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Dari tabel di atas dapat diketahui bahan bakar yang digunakan
dalam proses pengolahan ikan berasal dari kayu bakar sebanyak 25
orang, dari kompor gas 26 orang, kayu bakar dan kompor gas (gabungan)
13 orang, selebihnya yang tidak menjawab 66 orang.
Persoalan sarana dan prasarana memang menjadi hambatan
paling besar dalam meningkatkan mutu hasil perikanan. Hampir semua
pengolah ikan tradisional belum memiliki sarana prasarana yang memadai
sebagai standar keamanan pangan yang baik. Persoalan sanitasi dan
higienitas belum bisa diwujudkan dengan sarana dan prasarana yang
dimiliki pengusaha.
Persoalan lain adalah dalam pengemasan dan pengiriman hasil
olahan. Sebagain besar mengalami kesulitan dalam menjaga kualitas
produk, baik berupa kelembaban maupun perlindungan dari bakteri.
Persoalan pokok sarana dan prasarana pengolahan ikan meliputi
rendahnya sanitasi air bersih, rendahnya kualitas bahan baku, pengolahan
belum masuk ke sentra pemasaran, pengolahan belum masuk bahan
baku dan pemasaran,
Di Kabupaten Rembang sebagai penghasil pengolahan ikan
pindang mengalami kekurangan tentang sarana dan prasarana, antara
lain: bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es sanitasi, alat
timbang, kotak pendingin, alat transportasi. Di Kabupaten Pati potensi
terbesarnya adalah pengolahan ikan pindang dan ikan asap kondisi
105

sarana dimana menggunakan sanitasi yang kotor, pembuangan limbah
dan peralatan pengolahan yang terbilang kotor.
Di Kota Pekalongan sebagai sentra penghasil ikan asin dan olahan
ikan kondisi sarana dan prasarananya berupa bangunan, garam, rak
bambu, kotak pendingin, penggilingan ikan, pencucian, alat rebus, alat
penggorengan, pengemasan alat transportasi.). Kabupaten Brebes
sebagai sentra penghasil ikan asap dan ikan asin kondisi sarana
prasarananya berupa bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es
sanitasi, alat timbang, kotak pendingin, Garam, rak bambu, alat
transportasi. Kabupaten Cilacap sebagai sentra penghasil ikan segar dan
ikan asap kondisi sarana prasarana berupa bangunan, pisau, alat
timbang, sanitasi, garam dan kotak pendingin, alat transportasi.
Ringkasan kebutuhan sarana dan prasarana di lokasi penelitian seperti
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.57. Kebutuhan Sarana Dan Prasarana Pada Industri Makanan
Berbahan Baku Ikan Laut di derah penelitian
No
Kabupaten /
Kota
Produk olahan
Kebutuhan Sarana dan prasarana
1 Kab.
Rembang
Pindang,
Kering/Asin,
Terasi, Asap
Cool box , Cold stroge, Cerobong
pengasapan, Treatmen
pembungan limbah, Tempat
pejemuran ikan, PDAM atau air
bersih.
2 Kab. Pati Pindang,
Terasi, Asap,
Bandeng,
Bandeng
olahan
Blung berinsulasi, Cool box , Cold
stroge, Cerobong pengasapan,
Treatmen pembungan limbah,
Tempat pejemuran ikan, PDAM
atau air bersih.
3 Kota
Pekalongan
Ikan Olahan.
Ikan Kering
Trays, Troley, Ice crusher, Chest
frezeer, Treatmen pembungan
limbah, Tempat pejemuran ikan,
PDAM atau air bersih
4 Kab. Brebes Pindang,
Asap, Kering
Troley, Cerobong pengasapan,
Treatmen pembungan limbah,
Tempat pejemuran ikan, PDAM
atau air bersih.
5 Kab. Cilacap Kering, Segar,
Kerupuk
Ice crusher , Chest frezeer,
Peralatan pengolahan, Mesin
pembuat sosis, Meat bone
sparator, Cold storage
Sumber: Data Primer
106


Dari data di atas, di jelaskan bahwa secara umum kebutuhan
pengembangan sentra pengolahan makanan olahan berbahan ikan di lima
Kabupaten, Kota membutuhkan intitusi baik berupa Koperasi yang
menyediakan kebutuhan: Permodalan, Stok bahan baku ikan segar dan
sejumlah peralatan pengolahan secara terperincian sebagai berikut:
Kabupaten Rembang sebagai sentra Pindang, Ikan kering/asin,
terasi dan ikan asap membutuhkan: Cool box , Cold stroge, Cerobong
pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan,
PDAM atau air bersih.
Kabupaten Pati sebagai sentra Ikan Pindang, terasi, ikan asap,
Pindang bandeng lunak, dan bandeng olahan membutuhkan: Blung
berinsulasi, Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen
pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih.
Kota Pekalongan sebagai sentra Ikan Olahan. Ikan Kering
membutukan: Trays, Troley, Ice crusher, Chest frezeer, Treatmen
pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih.
Kabupaten Brebes sebagai sentra Ikan Pindang, Ikan Asap dan
Ikan kering membutuhkan: Troley, Cerobong pengasapan, Treatmen
pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih.

5) Aspek Teknologi
Teknologi menjadi persoalan yang sering diabaikan namun
sebenarnya memberikan dampak yang cukup luas. Pada industri
pengolahan tradisional, teknologi yang digunakan kadang memberikan
beban tambahan cukup besar bagi biaya produksi. Untuk pemindangan
misalnya, selama ini di Kabupaten Rembang menggunakan bahan bakar
minyak solar dengan konsumsi yang cukup tinggi, jika dibandingkan
dengan bahan bakar kayu mencapai 2 kali lipatnya. Minyak solar
digunakan akibat kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah. Selama
ini pengrajin sudah merasa cocok dengan nyala api yang dihasilkan oleh
minyak solar yang diberi tekanan udara. Sebaliknya, mereka enggan
107

menggunakan gas karena tekanan api kurang tinggi, terutama jika isi
tangki sudah mendekati separuhnya.
Dalam aspek pengemasan pindang menggunakan keranjang
dengan isi ikan antara 2 5 ekor. Hal tersebut menyesuaikan dengan
keinginan pembeli dimana mereka bisa membeli eceran dengan kuantitas
rendah sehingga harganya murah. Akan tetapi bagi pengusaha itu
merupakan ongkos tambahan karena selama ini biaya keranjang
mencapai Rp 200,- dari harga ikan tiap keranjang sekitar Rp 1.500,-
Aspek lainnya adalah pengemasan dan pengiriman. Kebanyakan
pengemasan belum bisa memenuhi unsur higienitas dan daya tahan
produk. Dalam pengiriman, terutama untuk produk daging olahan (surimi)
seperti : bakso, nugget dan sebagainya yang memerlukan teknologi rantai
dingin yang sangat diperlukan untuk menjaga kualitas produk. Rantai
dingin juga menjadi persoalan pada saat panen ikan dari laut, ikan
didaratkan di TPI dan ketika ikan masuk di tempat pengolahan.
Seringkali kekurangan teknologi menjadikan kualitas bahan baku
ikan rendah. Dalam hal pengawetan, juga masih ditemukan banyaknya
nelayan maupun pengolah yang menggunakan hidrogen peroksida (H
2
O
2
)
dan formalin untuk penampilan ikan bersih/putih dan mempertahankan
kesegaran ikan.
Aspek teknologi pengolahan inilah yang menjadikan kualitas olahan
ikan belum bisa menembus pasar ekspor karena rendahnya mutu dan
kualitas produk. Beberapa program telah dilaksanakan oleh pemerintah
dalam upaya peningkatan teknologi, akan tetapi orientasi program hanya
sekedar proyek sehingga bantuan yang diberikan kadang kurang sesuai
dengan kebutuhan dan kapasitas pengolah. Tingginya ongkos produksi,
biaya untuk bahan bakar dan daya listrik yang terlalu tinggi menjadikan
bebebrapa peralatan teknologi pengolahan yang lebih canggih belum bisa
digunakan seperti mixer besar, vacum fraying dan lainnya.
Selain itu, perilaku para pengolah juga kadang menghambat
peningkatan kualtas produk. Perilaku yang higines belum terbiasa ketika
para bekerja memproduksi ikan olahan. Sarana dan prasarana pendukung
108

lainnya juga turut mendukung perilaku para pekerja untuk bekerja secara
higines.
Dari daftar pertanyaan tentang profil teknologi pengolahan yang
saat ini digunakan oleh para pengolah ikan dalam mengembangkan
usahanya, diperoleh jawaban seperti tampak pada tabel di bawah ini
Tabel 3.58. Profil Teknologi Pengolah Ikan (%)
No Keterangan Ya Tidak Lainnya
1 Teknologi berpengaruh pada jumlah
produksi
55.38 10 34.61
2 Apakah memiliki kekuatan dalam
pengadaaan teknologi
23.08 20 56.92
3 Bersedia meneriman teknologi baru 39.23 6.92 53.85
4 Teknologi baru memberikan nilai
hasil produksi
46.15 6.15 47.69
5 Utk keberlanjutan usaha perlu
pemanfaatan teknologi baru
29.23 14.61 56.15
6 Siap menerima inovasi teknologi baru 51.54 5.38 43.07
7 Diversifikasi produk baru 30.77 27.69 41.54
Sumber: Data Primer, 2012
Dari tabel di atas tampak teknologi sangat menentukan kuantitas
dan kualitas produk olahan berbahan baku ikan. Ketika ditanya
kemampuan pengusaha pengolah ikan untuk mengadakan teknologi,
ketersediaan menerima teknologi baru, keberlanjutan usaha yang harus
ditunjang dengan teknologi dan melakukan diversifikasi produk dengan
teknologi ternyata sebagian besar menyatakan tidak tahu (menjawab
lainya).
Hal ini menggambarkan bahwa para pengolah ikan di daerah
sampel umumnya tidak terlalu memikirkan tentang teknologi dalam
kegiatan usahanya. Mereka umumnya melakukan kegiatan pengolahan
berdasarkan informasi/teknolgi yang diturunkan oleh para orang tua
mereka, karena sebagian besar mereka adalah pengusaha pengolah ikan
yang secara turun temurun.




109

Tabel 3.59. Asal Ketersediaan Teknologi Pengolahan
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Buatan Sendiri 34 26.15
2 Membeli 21 16.15
3 Dipinjami 4 3.07
4 Diberi 3 2.31
5 Membeli& Dipinjami 2 1.54
7 Tidak Menjawab (turun temurun) 66 50.77
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer, 2012
Kondisi seperti pertanyaan tentang asal muasal teknologi yang
digunakan umumnya menjawab tidak tahu seperti pada tabel di atas
umumnya tidak menjawab (50,77%). Hal ini menggambarkan bahwa
teknologi yang mereka gunakan sudah ada sejak mereka belum
malakukan usaha pengolahan ikan, teknologi yanng digunakan diwariskan
oleh para orang tua mereka. Namun demikian mereka umumnya siap
menerima bimbingan dan penyuluhan dari para petugas pembina
terutama pengolah yang 26,15% (pada tabel di atas) mampu melakukan
inovasi teknologi untuk mengembangkan usahanya.

6) Aspek Tenaga Kerja
Aspek ketenagakerjaan dalam melakukan kegiatan usaha
memproduksi mananan berbahan baku ikan seperti tampak pada tabel di
bawah
Tabel 3.60. Profil tenaga kerja pengolahan (%)
No Keterangan Ya Tidak Lainnya
1 Dibutuhkan tenaga ahli 12.31 65.38 22.31
2 Dibutuhkan keahlian khusus 13.08 51.54 35.38
3 Pergantian tenaga kerja dalam
bekerja
3.08 67.69 29.23
4 Tenaga kerja diberikan insentif 29.23 52.31 18.46
5 Tenaga kerja diberikan jaminan
berupa asuransi kerja
0.77 80.00 19.23
6 Tenaga kerja diberi cuti kerja 35.38 45.38 19.23
7 Tenaga kerja diberi
pendidikan/latihan
13.85 66.15 20.00
8 Pekerja perlu diberikan pelatihan
sesuai perkembangan teknologi
46.15 24.62 29.23
Sumber: Data Primer Diolah, 2012.

110

Dari tabel di atas, potensi tenaga kerja yang ada di lingkungan
pengolah ikan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan disekitar
perumahan nelayan, khususnya di lokasi penelitian dalam pengelolaan
pengolahan ikan telah memanfaatkan potensi tenaga kerja yang ada
disekitar lingkungan perumahan nelayan seperti tenaga kerja.
J umlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengolahan ikan
tergantung kepada bahan baku yang diperoleh berupa ikan, makin banyak
bahan baku yang diperoleh makin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk mengolah ikan, mulai dari pembersihan ikan sampai dengan
pemasakan ikan, minimal tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah
rata-rata 5 orang, kecuali untuk mengolah ikan pindang.
Untuk pengolahan filet dibutuhkan tenaga kerja rata-rata 10 orang.
Kendala yang dihadapi untuk mencari tenaga kerja adalah pada waktu
musim ikan semua pengolah ikan membutuhkan tenaga kerja, sehingga
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk pengolah ikan.
J enis kelamin dan usia tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
mengolah ikan sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga yang usianya
diatas 40 tahun. Kegiatan ini dilakukan untuk menambah penghasilan
keluarga serta untuk menghindari kejenuhan ditinggal suami pergi melaut
mencari ikan. Pengusaha pengolah ikan lebih cocok untuk memilih tenaga
perempuan disamping rajin juga upahnya lebih murah yaitu Rp.25.000,-
mulai pukul 08.00 16.00 WIB. dan tidak ada perjanjian yang mengikat
antar kedua belah.
Komposisi tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengolahan ikan,
ternyata tenaga perempuan lebih banyak ketimbang tenaga kerja laki-laki.
Hal ini disebabkan tenaga kerja perempuan dianggap lebih teliti
dibandingkan tenaga laki-laki, banyak tenaga perempuan yang usianya
diatas 40 tahun waktunya banyak lebih luang karena menunggu suaminya
pergi melaut mencari ikan, waktu luangnya digunakan untuk bekerja
mengolah ikan untuk menambah penghasilan keluarga. Dengan
penghasilan buruh nelayan bertambah maka akan berakibat
kesejahteraan nelayan akan meningkat.
111

Pendidikan yang dibutuhkan untuk mengolah ikan tidak sangat
dibutuhkan karena pekerjaan mengolah ikan tidak memerlukan pendidikan
khusus tetapi yang dibutuhkan adalah kemauan untuk bekerja, dimana
jumlah pekerja yang demikian banyak berada dilingkungan sekitar
perumahan nelayan dan dengan upah yang tidak begitu mahal. Namun
ada kendala untuk tenaga kerja yaitu pada waktu musim ikan para
pengolah ikan banyak yang membutuhkan tenaga kerja. Dan, akhirnya
para Usaha Kecil dan Menengah pengolah ikan mencari bahan baku
berupa ikan disesuaikan dengan jumlah tenaga kerja yang ada.
Para pengusaha Usaha Kecil dan Menengah pengolah ikan tidak
perlu membutuhkan tenaga ahli untuk memproses bahan baku berupa
ikan menjadi hasil ikan olahan, yang dibutuhkan hanya tenaga yang biasa
mengolah ikan, dimana tenaga kerja yang biasa mengerjakan mengolah
ikan banyak ditemukan dilingkungan sekitar perumahan nelayan atau
tetangga.
Rata-rata pengalaman tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
memproses makanan berbahan baku ikan menjadi ikan olahan yang
berupa ikan pindang, ikan panggang, ikan asin, ikan vilet, trasi, dan
krupuk, adalah tenaga kerja yang sudah ada, dan rata-rata sudah bekerja
minimal tiga tahun lebih.
Daerah asal tenaga kerja yang sudah ada tersebut untuk
mengerjakan pengolahan ikan dari lingkungan disekitar perumahan
nelayan yang tidak jauh dari lokasi pengolahan ikan, dengan demikian
tidak perlu transportasi tetapi cukup jalan kaki saja seperti pada tabel di
bawah.
Tabel 3.61. Daerah Asal Tenaga Kerja Pengolahan Ikan
No Keterangan Frekuensi Persentase
1 Dalam Kota/Kab 102 78.46
2 Luar Kota/Kab - -
3 Dalam & Luar Kota/Kab 5 3.85
4 Lainnya 2 1.54
5 Tidak Menjawab 21 16.15
J umlah 130 100.00
Sumber: Data Primer, 2012

112

Sesuai dengan pendalaman di lapangan, kendala yang dihadapi
oleh pengusaha pengolah ikan meliputi :
1. Pada waktu musim ikan dimana ikan dalam kondisi banyak
pengusaha pengolah ikan berlomba untuk mengolah ikan dengan
jumlah yang lebih banyak dari pada pada waktu tidak musim ikan,
sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak sedangkan tenaga
kerja yang mau bekerja sebagai pengolah ikan terbatas, sedangkan
pengolah ikan yang membutuhkan tenaga kerja sangat banyak dari
pada hari-hari tidak musim ikan, akhirnya tenaga kerja memilih lokasi
pengolah ikan yang tidak jauh dari lokasi rumahnya, dan pengusaha
pengolah ikan tidak dapat menambah produksi pengolahan ikan pada
waktu musim ikan, pengusaha pengolah ikan yang mendapatkan ikan
banyak melebihi dari biasanya hanya disimpan dalam boks pendingin
penyimpan ikan dimanfaatkan apabila pada waktu tidak musim ikan
yaitu pada waktu musim ombak besar dan angin kencang sehingga
nelayan tidak dapat pergi melaut mencari ikan dilaut.
2. Pengusaha pengolah ikan mengalami kendala dalam pembuangan
limbah ikan, terutama air kotor dari pencucian ikan.
3. Udara yang tidak sehat dari limbah pengolahan ikan.
4. Pencemaran udara dari hasil pengasapan ikan dilingkungan
perumahan.
5. Permodalan dimana setiap pembelian melalui Tempat Pelelangan Ikan
harus dibayar secara tunai, sedangkan hasil produki pengolahan ikan
dipasarkan dibayar tidak dengan tunai tetapi dibayar dengan secara
bertahap itupun harus menyetorkan lagi dagangan berupa ikan olahan
begitu seterusnya, sehingga permodalan yang diperlukan para
pengusaha pengolah ikan secara berlipat agar dagangan laku
dipasaran.
Peluang pengusaha pengolah didalam memanfaatkan tenaga kerja
yang ada selama ini meliputi :
a. J umlah tenaga kerja didalam lingkungan perumahan nelayan sangat
banyak dan mudah didapat.
113

b. Upah tenaga kerja selama ini bisa dikatakan sangat murah
c. Tenaga kerja yang digunakan untuk mengolah ikan tidak diperlukan
tenaga ahli
d. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah ikan tidak diperlukan
pendidikan yang tinggi cukup yang penting mau bekerja dengan upah
yang telah ditentukan sebelumnya.
Ancaman bagi pengusaha pengolahan ikan didalam memanfaatkan
tenaga kerja yang ada :
a. Pada waktu musim ikan banyak kesulitan untuk menambah tenaga
yang ada hal ini disebabkan pengusaha pengolah ikan juga
membutuhkan tenaga kerja yang sama banyaknya, sehingga ikan
yang melimpah sementara disimpan pada boks pendingin ikan agar
ikan dapat bertahan lama.
b. Tenaga kerja muda yang ada dilingkungan perumahan nelayan tidak
mau bekerja sebagai pengolah ikan karena upahnya dirasakan terlalu
sedikit dan sekarang ini masih didominasi dengan tenaga kerja yang
usianya diatas 40 tahun sehingga lama kelaman mereka sudah tidak
bisa kerja lagi karena sudah lanjut usia.
c. Upah yang dibayarkan oleh pengusaha pengolah ikan selama ini
dirasakan masih murah dan tidak didasarkan pada peraturan tenaga
kerja yang berlaku seperti halnya pada upah minimum (UMK atau
UMR) tenaga kerja.

7) Aspek Modal
Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa sebagian besar
pengusaha ikan olahan bekerja dengan menggunakan modal sendiri
tanpa menggunakan pinjaman. Pengusaha yang termasuk dalam
kelompok ini merupakan pengusaha kecil dan menengah. Adapun jumlah
pengusaha yang terbiasa dengan mengandalkan modal sendiri sebanyak
49 pengusaha atau 37,69%, dan biasanya pasar/konsumen yang mereka
layani relatif kecil dan sudah tertentu.

114

Tabel 3.62. Sumber Permodalan Pengolah Ikan
No Keterangan Frekuensi Prosentase
1 Modal Sendiri 49 37.69
2 Pinjaman 15 11.54
3 Gabungan 38 29.23
4 Tidak menjawab 28 21.54
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer Diolah
Pengusaha yang mengandalkan dana pinjaman sebanyak
15 pengusaha atau 11, 54 %, pengusaha jenis ini adalah pengusaha
skala menengah dan besar karena mereka mempunyai aset yang
dijaminkan, mempunyai jaringan dengan pemerintah, perbankan dan
memperoleh informasi serta berbagai fasilitas dari pemerintah, sedangkan
pengusaha yang menggunakan kombinasi modal sendiri dan modal
pinjaman sebanyak 38 pengusaha atau 29,23 %.
Para pengusaha ini didalam menjalankan usahanya sudah tertata
rapi manajemennya sehingga mereka fleksibel untuk melakukan
kombinasi dalam menggunakan modal, mereka punya asset, punya
informasi, punya fasilitas dan punya akses untuk mendapatkan modal,
yang lebih penting mereka sudah biasa melakukan analisis kebutuhan
modal dan mampu untuk mengkombinasikan kebutuhan modal untuk
menjalankan usahanya. Responden yang tidak berpendapat/ tidak mau
menjawab sebanyak 21,54 %, pengusaha ini biasanya masih sangat
merahasiakan masalah keuangan perusahaan, sehingga agak tertutup
untuk memberikan informasi.
Dari hasil interview, sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa
masalah modal bukan menjadi halangan pengusaha pengolah ikan,
namun demikian para pengusaha selalu ingin meningkatkan skala
usahanya dari mikro menjadi skala kecil, kemudian meningkat menjadi
pengusaha skala menengah dan meningkat lagi menjadi pengusaha skala
sedang dan besar, sehingga modal yang dibutuhkan selalu meningkat
sesuai dengan peningkatan skala usaha. Namun pada skala usaha
sekarang pengusaha ikan olahan relatif tidak mengalami kendala
permodalan, bahkan mereka memiliki modal yang lebih dari cukup
115

mengingat pemasaran hasil olahanya kadang-kadang dibayar dengan
tenggang waktu yang cukup lama.

8) Aspek Pasar
Kondisi pasar produk olahan ikan yang diproduksi para pengolah di
daerah sampel saat ini seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.63. Perbandingan Kualitas produk dengan perusahaan lain
No Keterangan Frekuensi Prosentase
1 Sama 55 42.31
2 Berbeda 16 12.31
3 Kadang Sama & Kadang Berbeda 35 26.92
4 Tdk Menjawab / 0 24 18.46
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Dari tabel tersebut jumlah responden sebanyak 130 pengusaha
ternyata sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa kualitas produk
yang dihasilkan oleh perusahaannya tidak berbeda dengan yang
dihasilkan oleh perusahaan lain. J umlah yang mengatakan kualitas produk
yang dihasilkan sama sebanyak 55 pengusaha atau 42,31%, sedangkan
yang mengatakan bahwa produk yang dihasilkan berbeda dengan yang
dihasilkan pengusaha lain sebanyak 16 pengusaha atau 12,31%. Para
pengolah merasa bahwa produk yang dihasilkan kualitasnya berbeda
dengan yang dihasilkan oleh perusahaan lain walaupun jenis barang yang
dihasilkan sama.
Sedangkan 35 responden atau 26,92% mengatakan bahwa produk
yang dihasilakan oleh perusahaannya kualitasnya kadang sama kadang
berbeda, ini bisa dipahami bahwa untuk perusahaan kecil bisanya
usahanya turun temurun maka para pengolah mengatakan sama tetapi
barang kali sudah ada perlakuan yang lain walaupun produk yang
dihasilkan sama, itulah yang membedakan dengan produk yang sama.
Oleh karena itu sebanyak 24 pengusaha tidak menjawab terhadap
pertanyaan ini atau 18,46%.
Responden yang memasarkan produknya dalam kecamatan
sebanyak 12 pengusaha atau 9,23%. Produk ini biasanya adalah produk
116

ikan asap yang umumnya dipasarkan untuk pasar lokal, atau tengkulak
datang untuk membeli dan membawanya ke pasar regional yang jaraknya
tidak jauh dari lokasi produk dihasilkan. Pasar yang dijangkau yang paling
besar adalah gabungan antara pasar dalam kecamatan dan luar
kecamatan yaitu sebanyak 55 responden atau 42,31%. Pasar yang
dijangkau umumnya pasar lokal, regional dan nasional. Produk yang
dipasarkan ke pasar lokal, regional dan nasional umumnya seperti :
produk ikan pindang, ikan kering, trasi, dan surimi serta ikan asap.
Upaya meningkatkan kualitas harapannya ada pengembangan dan
inovasi alat produksi, namun kadang ada bantuan alat produksi dari
pemerintah yang tidak digunakan karena bantuan tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Pengusaha ikan olahan yang tradisional kadang juga
susah untuk diajak melakukan inovasi karena tidak sesuai tradisi dan
budaya.
Tabel 3.64. Pasar Produksi Ikan Olahan
No Keterangan Frekuensi Prosentase
1 Dalam Kecamatan 12 9.23
2 Luar Kecamatan 31 23.85
3 Dalam dan Luar Kecamatan 55 42.31
4 Tidak Menjawab 32 24.61
J umlah 130 100
Sumber: Data Primer Diolah, 2012

J umlah responden yang memasarkan produknya ke luar
kecamatan sebanyak 31 pengusaha atau 23,85%, jangkauan pasar ini
biasanya pasar regional J awa Tengah, produk yang dipasarkan
kebanyakan ikan pindang, ikan asap, ikan asin dan ikan bandeng yang
pasarnya sudah tertentu.
Tabel 3.65. Profil Produk hasil olahan ikan (%)
No Keterangan Ya Tidak Lainnya
1 Tampilan (produk & kemasan)
dirasa sudah menarik
36.15 43.85 20
2 Produk yang dihasilkan sudah
memenuhi standar higienitas
53.08 24.61 22.31
3 Produk sudah terdaftar pada
Kemenkes & BPOM
30 52.31 17.69
4 Produk sudah diekspor 0.8 5 25.38
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
117


Selain faktor pemasaran menjadi kunci sukses sebuah usaha tidak
kalah pentingnya adalah kondisi produk, sesuai dengan tabel 4.59 maka
tampilan hasil olahan belum baik sebanyak 43,85 %, dan yang
mengatakan sudah baik 36,15%. Dari segi kesehatan produk yang sesuai
standar sebesar 53,08%, dan yang belum memenuhi standar 24,61%.
Dari sisi legalitas perusahaan yang sudah terdaftar di kemenkes 30% dan
yang belum terdaftar 52,31%, dan perusahaan yang sudah melakukan
ekspor baru 0,8%.

2. Strategi Pengembangan Ke Depan
a. Kebijakan/Regulasi
Ada beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan
dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di
tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam
memahami kebutuhan dan arah kebijakan. Dalam teori kebijakan, ada
proses awal dimana sebuah kebijakan harus menjadi isu bersama, setelah
menjadi isu maka akan dirumuskan menjadi sebuah agenda seting
kebijakan yang melibatkan segenap unsur. Setelah itu ditetapkan model
kebijakan dan secara teknis mengatur pelaksanaannya.
Selama ini kebijakan pengembangan pengolahan ikan sifatnya
sangat top down, kurang memperhatikan kebutuhan dan kapasitas para
pengolah ikan atau masyarakat bawah. Sehingga bentuk-bentuk kebijakan
dan hasilnya kurang memberikan dampak yang berarti. Seringkali ada
salah sasaran, salah objek, kapasitas yang tidak sesuai dan bantuan yang
tidak berdasarkan kebutuhan.
Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan
dan program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu
perlunya sinergi antar sektor terutama dalam lembaga pemerintahan agar
bisa memberikan dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif
dan sasaran kebijakan dapat tertata dengan baik.

118

b. Bahan Baku
Dari hasil pengamatan lapangan dan interview dengan para
petugas dan pelaku yang terkait dengan pengembangan usaha
pengolahan ikan, ketersediaan bahan baku menjadi salah satu aspek
kendala pengembangan yang harus dicari pemecahannya. Dari analisis
faktor-faktor yang berpengaruh pada pengembangan usaha pengolahan
ikan dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan ekternal. Faktor
yang menjadi potensi atau kekuatan yang berhubungnan dengan bahan
baku adalah ketersediaan ikan sebagai bahan baku pada saat musim ikan
sebenarnya banyak didaratkan di Tempat tempat Pendaratan Ikan (TPI)
di kota Pekalongan dan sekitarnya yang harganya relatif lebih murah
dibanding ketika tidak musim ikan.
Sebagai kekuatan lain dalam mengembangkan industri pengolahan
ikan yaitu berbagai macam/banyak ragak jenis ikan baik kelompok ikan
demersal (ikan petek, ekor kuning, kakap, pari, cucut , dan lain-lain),
kelompok ikan pelagis (layang kembung, tenggiri, tongkol, dan lain-lain),
Crustaceae/udang-udangan (udang windu, udang krosok, udang rebon,
kepiting, udang karang, dan lain-lain), moloska/kekerangan (kerang,
simping, siput, dan lain-lain), rumput laut (glasilaria, euchema, see gras,
dan lain-lain). Disamping itu produksi ikan air payau (seperti ikan
bandeng, nila, udang tambak, dan lain-lain), ikan air tawar (seperti ikan
lele, nila, patin, dan lain-lain) sudah banyak diproduksi di beberapa daerah
di perairan pesisir.
Faktor kendala atau kelemahan terkait dengan bahan baku yaitu
bahan baku yang bisa di adakan akan disimpan dimana, tempat
menyimpanan sementara (gudang/cool box) umumnya tidak dimiliki oleh
pengusaha pengolah ikan pada umumnya. Kemudian
keterampilan/keahlian serta peralatan untuk mengolah bahan baku lain
juga tidak dimiliki.
Kemudian faktor ekternal yang mempengaruhi industri pengolahan
ikan terkait dengan pengadaan bahan baku adalah faktor peluang. Faktor
peluang yaitu permintaan pasar tradisional (pasar desa) maupun pasar
119

moderen (pasar swalayan di kota) untuk produk pengolahan setengah jadi
maupun produk akhir siap konsumsi yang memenuhi standarisasi
keamanan pangan masih cukup banyak dan umumnya belum terpenuhi.
Permintaan akan produk olahan ikan yang cederung meningkat ini seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk dan kenaikan tingkat kesejahtraan
masyarakat.
Peluang untuk mengembangkan industri pengolahan dari aspek
bahan baku yaitu potensi ikan laut maupun ikan air tawar yang dapat
diproduksi di tempat-tempat pendaratan ikan (TPI) yang agak jauh dari
pusat industri pengolahan ikan. Kemudian bahan baku impor dalam
bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi dengan kualitas yang
lebih baik, produk tersebut dapat dengan mudah dipesan dan dengan
harga relatif lebih murah. J aringan komunikasi antar pasar produk olahan
ikan maupun bahan baku telah ada di setiap wilayah. Selanjutnya yang
menjadi ancaman dalam mengembangkan produk olahan makanan dari
bahan baku ikan adalah produk makanan yang berbahan baku ikan
banyak membanjiri pasar di dalam negri terutama di pasar swalayan.
Oleh karena itu, pengadaan bahan baku yang diharapkan dalam
upaya mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku
ikan adalah :
1) Pengadaan tempat penyimpanan sementara bahan baku ketika
musim ikan dengan cara sewa atau membeli, atau mengolah bahan
baku menjadi bahan setengah jadi ketika musin ikan.
2) Pada saat tidak musim ikan mengembangkan jaringan komunikasi
untuk pengadaan bahan baku diluar TPI/pasar ikan terdekat.
3) Membuat kontrak/kerjasama pengadaan bahan baku ikan laut/ikan
hasil budidaya dengan para pedagang ikan/nelayan/petani ikan di
daerah terdetekat maupun yang jauh dengan sentra produksi
pengolahan.
4) Diversifikasi pengadaan bahan baku lokal dan impor guna melakukan
mengembangkan penganekaragaman produk olahan berbahan baku
ikan seperti produk olahan import.
120


c. Sarana dan Prasarana
Kabupaten Cilacap sebagai sentra Ikan Kering, Ikan segar,
Kerupuk membutuhkan: Ice crusher, Chest frezeer, Peralatan
pengolahan, Mesin pembuat sosis, Meat bone sparator, Cold storage.
Kebijakan dari Pemerintah Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP)
Provinsi J awa Tengah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
menaruh perhatian besar pada : Mengembangkan menyalurkan bantuan
secara simbolis bernilai kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan
pengolah/pemasar hasil perikanan seperti yang telah dilakukan di
Kabupaten Brebes
Dalam upaya mendorong pengembangan industri makanan
berbahan baku ikan laut di Kabupaten Brebes, KKP berencana
membangun sistem rantai dingin dan ketersediaan cold storage dalam
menjamin ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan
ikan.
Di beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan sentra-sentra
pengolahan telah dipasilitasi dengan Sarpras agar dapat mampu
menunjang Sistem Logisitik Ikan Nasional. Di beberapa daerah telah di
bangun dan akan di bangun cold storage sebagai tempat penyimpanan
ikan di sentra-sentra pengolahan ikan agar dapat menunjang
pengemangan industri pengolahan ikan
KKP juga mengembangkan program revitalisasi sarana dan
prasarana lain untuk penunjang pelabuhan perikanan yang memadai,
dapat meningkatkan efektivitas rantai suplai ikan sehingga dapat
meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar domestik maupun
ekspor.
Revitalisasi pelabuhan perikanan yang dapat menjamin pasokan
ikan serta peningkatan kapasitas industri pengolahan hasil perikanan.
Selanjutnya KKP juga mengembangkan pengawasan sistem jaminan
mutu dan traceability (ketelusuran) produk hasil perikanan dan jaminan
akan ketersediaan bahan baku industri
121


d. Teknologi
Faktor internal dan ekternal terkait dengan pengembangan
teknologi industri makanan berbahan baku ikan laut yaitu perilaku/budaya
yang higinies, peralatan yang dimiliki, permintaan pasar, dan kebijakan
pengawasan sanitasi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan
laut. J enis teknologi yang diperlukan dalam pengembangan indusrti
makanan berbahan baku ikan yaitu teknologi proses pengolahan,
pengemasan dan penanganan limbah. Pengembangan penerapan
teknolgi dalam industri makanan berbahan baku ikan laut tentu untuk
waktu sementara akan meningkatkan biaya produksi yang menyebabkan
industri pengolahan menjadi tidak efisien.
Oleh karena itu, dalam mengembangkan usaha industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan, para pengolah harus selalu
berusaha berorientasi pada IPTEK agar produk yang dihasilkan dapat
bersaing dengan produk yang dihasilkan pengusaha dalam maupun luar
daerah. Pemerintah selaku fasilitator dan dinamisator dalam
mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan
sekala kecil menengah harus melakukan upaya meningkatkan budaya
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) antara lain dengan memberikan
pelatihan dan bimbingan teknis (bintek) kepada masyarakat pengolah
sehingga tumbuh perilaku berbudaya IPTEK.
Kemudian pemerintah juga harus mengembangkan sistem
fasilitasi/insentif kepada para pengusaha pengolahan ikan yang memiliki
potensi/kemampuan mengembangkan teknologi. Selanjutnya melakukan
pendampingan dan evaluasi pengembangan industri pengolahan
makanan berbahan baku ikan untuk dikembangkan lebih lanjut.
Sebelum masyarakat pengolah melek dan berperilaku budaya
teknologi, program pendampingan/penguatan tersebut sebaiknya tidak
diberhentikan. Bersamaan dengan upaya peningkatan berbudaya IPTEK
kepada para pengolah ikan, pemerintah juga harus melakukan
pengembangan sosialisasi kepada para konsumen akan manfaat produk
122

makanan berbahan baku ikan bagi kesehatan dan kesejahtraan manusia,
sehingga akan meningkatkan permintaan produk makanan berbahan baku
ikan. J ika masyarakat sudah gemar dan berbudaya makan ikan (mananan
berbahan baku ikan) diharapkan akan meningkatkan permintaan produk
industi makanan berbahan baku ikan.

e. Tenaga Kerja
Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan selama ini
dibutuhkan permodalan dengan bunga yang ringan hal ini disebabkan
Usaha Kecil dan Menengah yang ada membutuhkan modal kerja rangkap
tiga dimana hasil olahan ikan yang dipasarkan pada umumnya tidak
semuanya dibayar secara lunas, tetapi beberapa hari kemudian baru
dibayarkan itupun harus disetori lagi dan begitu seterusnya, sehingga
modal yang dibutuhkan harus berlipat ganda., Kondisi yang demikian ini
sudah berlangsung lama hingga sekarang.
Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan tidak diperlukan
tenaga ahli, tetapi permodalan yang cukup, dimana untuk pembelian ikan
segar melalui Tempat Pelelangan Ikan harus dibayar secara kontan, tetapi
hasil produksi pengolahan apabila dijual dipasar tidak dibayar secara
kontan, tetapi dibayarkan secara bertahap, itupun harus dikirim barang
lagi baru dibayarkan sebagian, untuk pengusaha pengolah membutuhkan
permodalan yang besar untuk itu diperlukan adanya campur tangan
pemerintah untuk membuka jaringan dengan lembaga keuangan seperti
Bank sehingga bunganya yang lebih murah.
Waktu yang dibutuhkan para pengusaha pengolah ikan untuk
memproses ikan menjadi ikan olahan mulai dari pembersihan ikan,
pemotongan, penggaraman ikan, pemasakan ikan, pengepakan ikan,
hingga dinaikan diatas kendaraan waktu yang dibutuhkan selama 8 jam
setiap hari untuk mengolah ikan,. dimana upah yang diberikan kepada
pekerja rata-rata Rp. 25.000. setiap harinya. Semuanya pekerjaan sifatnya
borongan sehingga kalau bekerjanya secara cepat dapat selesai maka
akan mendapatkan upah lebih banyak lagi.
123

Tenaga kerja untuk mengolah ikan bekerja tidaknya sangat
tergantung ada tidak ikan. J ika tidak ada ikan maka tidak bekerja.
Disamping cara bekerjanya dilakukan secara borongan dimana ikan
dihitung secara beratnya, adapula yang dilakukan secara per keranjang
diluar itu tidak ada insentif yang diberikan oleh pengusaha pengolah ikan.
Dengan demikian, tenaga kerja sebagai pengolah ikan tidak memikirkan
peraturan tenaga kerja tetapi yang penting mereka bisa bekerja dan
mendapatkan upah setiap harinya, karena kalau tidak bekerja tidak
dibayar. Tenaga kerja yang ada selama ini mempunyai prinsip dari pada
dirumah menganggur hanya menunggu suaminya pergi melaut mencari
ikan maka lebih baik sang isteri nelayan memanfaatkan waktu yang luang
untuk bisa bekerja, sehingga dapat menambah penghasilan keluarga.
Yang mendapatkan pelatihan untuk pengolahan ikan adalah para
anggota kelompok pengolah ikan dimana hasil pelataihannya dapat
digunakan untuk mengembangkan usahanya sebagai pengolah ikan.
Mengingat kesibukan para pengusaha pengolah ikan setiap harinya maka
untuk itu yang dikirimkan untuk mengikuti pelatihan pengolahan ikan
hanya perwakilan saja sesuai dengan hasil musyawarah para anggota
kelompok pengolah ikan dan tergantung dari jenis pelatihannya dalam
bidang pengolahan ikan apa yang dibutuhkan.
Yang dibutuhkan untuk pelatihan pengolahan ikan adalah pelatihan
cara mengolah ikan yang memenuhi persyaratan kesehatan mulai dari
pembersihan ikan, pemotongan ikan, penggaraman ikan yng benar,
pengepakan ikan yang benar, pemasakan ikan yang benar, dan
penyimpanan ikan agar tidak cepat busuk, serta dihindari dengan
pemakaian formalin sehingga hasil pengolahan ikan dapat dikumsumsi
oleh konsumen dengan sehat .

f. Modal
Masalah permodalan bagi pengusaha ikan bukan merupakan
kendala bagi seluruh pengusaha ikan olahan, besar kecilnya modal
sangat tergantung pada skala usaha ,pasar yang dijangkau, ketersediaan
124

bahan baku, dan rantai pemasaran, sistem penjualan. Perputaran modal
pengusaha ikan olahan bervariasi ada yang cepat ada pula yang lama, ini
sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku, ketika bahan baku sulit
didapat maka modal banyak tertanam pada persediaan bahan baku ikan
sebaliknya jika bahan baku mudah diperoleh maka modal yang
dibutuhkan untuk membeli bahan baku relative tidak besar, panjang
pendeknya rantai pemasaran juga menentukan besar kecilnya modal.
Ketika rantai pasarnya panjang modal yang ditanam relative besar karena
jangka waktu pemabyaran memakan waktu yang lama, sebaliknya jika
rantai pemasarannya pendek maka modal yang dibutuhkan tidak terlalu
besar.
Untuk ikan kering modal yang dibutuhkan adalah modal tempat
usaha dan modal kerja, modal kerja yang dibutuhkan relatif tidak
terkendala mengingat sistem penjualannya tunai, pasar yang dijangkau
local dan regional, bahan bakunya relatif mudah di peroleh.
Ikan asap, modal yang dibutuhkan relatif kecil mengingat bahan
baku mudah diperoleh, sebagian besar berbahan baku ikan segar, proses
produksi relatif singkat, skala usaha kecil, pasar yang dijangkau adalah
pasar lokal
Ikan Pindang, bahan baku yang dibutuhkan relatif banyak, skala
usaha sedang, pasarnya regional, sistem pembayaran menggunakan
tenggang waktu mengingat penjualan dari pengusaha tidak langsung pada
konsumen tetapi kepada pedagang pengepul.
Suri mi, merupakan olahan ikan yang merupakan bahan baku
antara (sebagai bahan baku filet, bakso, nugget dsb), membutuhkan
peralatan yang relatif mahal, bahan baku bisa ikan segar bisa ikan dingin,
pemasarannya bersifat nasional, sehingga pengusaha membutuhkan
modal tempat usaha dan modal kerja relative besar.
Terasi merupakan produk ikan/udang/rebon yang difermentasi,
proses produksinya memakan waktu yang agak lama, produk dibuat
sesuai pesanan, pasarnya nasional, namun demikian modal yang
dibutuhkan tidak begitu besar.
125

Para pengusaha pengolah ikan kering, ikan asap, ikan pindang,
surimi dan terasi merupakan usaha skala mikro, kecil dan menengah
merupakan usaha keluarga yang turun temurun dan umumnya
mengandalakan pada modal sendiri. Namun rata-rata kurang tertib
administrasi mengingat usaha keluarga susah untuk memisahkan
kekayaan pribadi dan kekayaan perusahaan, kualitas SDM rendahm dana
banyak diinvestasikan ke dalam kebutuhan pribadi bukan inve pada
keperluan perusahaan.
Pemerintah melalui lembaga perbankan dan non perbankan serta
melalui anggaran pemerintah pusat maupun daerah memfasilitasi bantuan
permodalan kepada pengusaha makanan ikan olahan, namun para
pengusaha skala mikro, kecil, dan menengah perlu mewaspadai
kehadiran pengusaha ikan bermodal besar, dan arus global mengingat
pemerintah susah membatasi impor ikan segar maupun ikan olahan.

g. Pasar
Pengusaha ikan olahan masih banyak terkendala pada bahan
baku(bahan baku impor ataupun penyimpanan bahan baku masih lemah),
sehingga sering mengganggu pengusaha ikan olahan. Pengusaha ikan
olahan dalam skala mikro dan kecil masih menggantungkan pasar local
dan regional, sehingga ketika pasar tradisional tidak dijaga
kelangsungannya maka bukan tidak mungkin pengusaha ikan olahan
menjadi gulung tikar. Oleh karena itu disamping dilakukan inovasi dan
peningkatan ketrampilan memproduk ikan olahan maka perlu adanya
inovasi pengolahan dan peningkatan produk serta pemasaran.
Pada pemasaran ikan kering disamping kualitas produk juga
diperlukan inovasi kemasan produk, saluran distribusi, sesuai dengan
bentuk produk yang tahan lama maka perlu dikembangkan saluran
distribusi mulai dari produsen, pedagang besar, pedagang kecil,sampai
pada konsumen. Pasar ikan kering bisa dikembangkan menjadi skala
nasional bahkan ekspor.
126

Pada pemasaran hasil Ikan asap yang perlu diperhatikan adalah
proses produksi, kemasan dan kualitas produk. Hasil olahan jenis ini rata-
rata hanya memiliki pasar tradisional lokal. Hasil olahan dari produsen
biasanya dipasarkan sendiri ke pasar-pasar tradisional yang jaraknya
relatif tidak jauh dari tempat produsen, namun dengan kemudahan
transportasi bisa dikembangkan pada skala regional.
J enis produk Ikan Pindang banyak diminati oleh masyarakat,
namun demikian kemasan dan tampilan produk dari waktu kewaktu relatif
tidak mengalami perubahan, produk tidak tahan lama tetapi pasarnya
berskala regional, oleh karena itu dalam pengembangan produk ini
diperlukan pedagang besar, pedagang kecil dan pengecer. Mengingat
produk tidak tahan lama maka yang dibutuhkan adalah ketersediaan
transportasi yang memadai sehingga produk sampai dengan konsumen
tidak mengalami kerusakan.
Produk Surimi merupakan produk olahan generasi baru, pasarnya
sangat luas, peralatan yang dibutuhkan semi modern, kualitas dan
kemasan produk sudah dirancang dan diciptakan secara baik, sehingga
lembaga pemasarannyapun sudah tertata rapi, kebanyakan produk ini
masuk pada pasar modern.
Produk terasi merupakan produk hasil fermentasi , kemasan
produk dari yang bersifat tradisional sampai pada kemasan modern sudah
ada, pasarnya berskala nasional karena sifat produk ini tahan lama,
sehingga pasarnya bisa dirancang mulai dari produsen, pedagang besar,
pedagang kecil samapai pada konsumen. Pasarnya pun bisa melalui
pasar tradisional maupun pasar modern.







127

BAB IV
SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Si nergi Koordinasi Kelembagaan Program
1. Kerangka Sinergi Koordinasi
Penelitian ini merupakan upaya membangun konsep
pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di J awa
Tengah dengan menganalisis berbagai hal. Penelitian ini sebagai bagian
tak terpisahkan dari upaya pengembangan industri tersebut dalam rangka
meningkatkan daya saing di pasar nasional maupun global. Ada beberapa
pemangku kepentingan yang perlu diperhatikan dalam mencapai
keberhasilan pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut,
mulai dari instansi/lembaga pemerintah maupun swasta yang
mengeluarkan kebijakan pengembangan industri makanan, lembaga
permodalan, lembaga penyediaan bahan baku, lembaga/instansi penyedia
sarana dan prasarana usaha, lembaga penyedia tenaga kerja, lembaga
penghasil teknologi sampai lembaga pemasaran.
Dalam analisis kelembagaan, masing-masing lembaga yang terkait
dengan pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut
tersebut harus menjadi variabel dalam upaya pengembangan industri
makanan olahan berbahan baku ikan laut tersebut dilakukan.
Ketujuh lembaga/instansi/bidang/sub bidang terkait pengembangan
industri pengolahan berbahan baku ikan di atas melakukan penilaian
sendiri untuk melakukan sinergi koordinasi kelembagaan berdasarkan
kendala dan prospek pengembangan.
Institusi terkait dengan kebijakan industri pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut. Terdapat dua aspek penting dalam kebijakan,
yaitu mengenai bagaimana kelembagaan dalam industri dan bagaimana
tata kelola industri diatur. Sedangkan indikator kebijakan meliputi adanya
regulasi atau aturan yang ditetapkan secara formal, dukungan dari
pemerintah dan pemerintah daerah serta fasilitasi pemerintah dan
pemerintah daerah terhadap industri pengolahan ikan.
128

Instansi yang berhubungan dengan bahan baku industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan laut, dikelompokkan menjadi 2,
yaitu lembaga penyedia bahan baku utama, dalam hal ini ikan dan bahan
pendukung. Bahan baku ikan, dilihat dari indikator berupa: J umlah ikan
yang didaratkan, jenis ikan, mutu ikan, waktu ikan didaratkan, asal ikan
ditangkap, alat tangkap yang digunakan, fasilitas penyimpanan ikan di
kapal, dan harga ikan sebagai bahan baku penunjang industri. Sedangkan
lembaga penyedia bahan baku penunjang, dalam hal ini terdiri dari
Garam, Es Balok/Curah, air bersih dan beberapa jenis lainnya dilihat dari
indkator: J umlah, J enis, Harga, Lokasi bahan baku penunjang tersebut
tersedia.
Kelembagaan terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana
industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut. Sarana produksi
makanan olahan berbahan baku ikan laut, dalam hal ini berupa bangunan,
peralatan, bahan lain, dan obatobatan, serta sanitasi lingkungan.
Prasarana yang digunakan dalam makanan olahan, yaitu jalan,
transportasi, dan penerangan. Indikator dalam sarana dan prasarana
adalah tingkat pemenuhan bangunan, jalan, energi, air dan sarana
penunjang lainnya.
Pemangku kepentingan yang berhubungan dengan lembaga
penyedia dan penghasil teknologi industri pengolahan makanan berbahan
baku ikan laut. Teknologi adalah segala macam peralatan dan
metode/cara yang digunakan dalam keseluruhan rangkaian produksi
pengolahan ikan laut. Teknologi menjamin adanya kontinuitas produksi,
keseragaman kualitas, packing, labeling, dan lain-lain, Indikator teknologi
adalah ketersediaan alat, dan cara sesuai dengan permintaan dan
kebutuhan produksi memenuhi permintaan pasar.
Lembaga penyedia tenaga kerja industri pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut bertangung jawab terhadap aspek
ketenagakerjaan. Tenaga kerja pada sektor pengolahan ikan adalah
seluruh orang, baik karyawan maupun manajer yang terlibat secara
langsung dalam proses pengolahan ikan. Mata pencaharian utama
129

mereka adalah pada sektor pengolahan ikan. Indikator tenaga kerja dalam
hal ini ialah pekerjaan utama atau lama bekerja pada pengolahan ikan,
tingkat pendapatan dan tingkat penyerapan sektor industri pengolahan
ikan terhadap tenaga kerja. Sedangkan secara individu meliputi kualitas
(tingkat pendidikan, ketrampilan, kompetensi), komitmen, etos kerja dan
motivasi.
Lembaga permodalan bertugas untuk mendukung kegiatan industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan laut yang terdiri dari Bank
pemerintan maupun swasta. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau
bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang
mempunyai nilai ekonomis sebagai masukan pada pendirian industri
maupun proses pengolahan atau operasional produksi. Indikator
permodalan adalah bagaimana kondisi permodalan, akses untuk
memperoleh modal, sumber modal, kemudahan lembaga keuangan dalam
memberikan pinjaman dan lain-lain. Aspek finansial sangat penting untuk
diperhatikan, karena setiap kegiatan usaha selalu membutuhkan dana
untuk menjalankan usaha yang meliputi permodalan, pembiayaan gaji
karyawan, operasional lainnya, penerimaan dan analisis finansial.
Organisasi lain yang tekait dengan industri pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut yaitu lembaga pemasaran, lembaga ini
merupakan aspek penting dalam rangka menciptakan kesinambungan
proses produksi (sustainability of production process). Terdapat 3
pertanyaan mendasar yang timbul dalam memasarkan (menyalurkan)
produk dari produsen sampai kekonsumen, yaitu :
What : J enis produk apa yang akan disalurkan ?
Who : Siapa yang akan menyalurkan produk tersebut ?
How : Bagaimana cara menyalurkan jenis produk tersebut ?
Aspek pasar dan pemasaran merupakan salah satu aspek yang
sangat penting. Hal ini dikarenakan aspek pasar dan pemasaran sangat
menentukan hidup matinya perusahaan atau setiap kegiatan usaha
(Kasmir dan J akfar, 2003).
130

Ketujuh lebaga tersebut pada taham awal melakukan analisis
status dan posisi masing-masing, kemudian mengidentifikasi
permasalahan pengembangan industri makanan berbahan baku ikan,
selanjutnya menentukan tahapan rencana kerja, dan dilanjutkan dengan
melakuka aksi dan evaluasi untuk engembngan lebih lanjut. Hal ini harus
dilakukan setiap saat ketika terjadi perubahan permintaan akan produk
industri makanan berbahan baku ikan yang diinginkan konsumen.

2. Indikator Keberhasilan Sinergi
Industri makanan berbahan baku ikan sesuai Peraturan Menteri
Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.19/Men/2010
Tentang Pengendalian Sistem J aminan Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pengolahan ikan adalah
rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai
menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia.
Kemudian dalam Peraturan Direktur J enderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan Nomor: Per.09/Dj-P2hp/2010 Tentang
Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, dan Format Sertifikat
Kelayakan Pengolahan (SKP), Pasal 1 dijelaskan bahwa Pengolahan Ikan
adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku.
Pengolahan ikan wajib memenuhi persyaratan umum hyangiene, prosedur
yang baik, sarana dan parasarana yang baik, pengemasan dan proses
pemasaran yang memenuhi standar higienitas.
Secara garis besar, industri pengolahan ikan laut dapat dibedakan
menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok pengolah ikan serta
kelompok penambahan nilai ikan. Kelompok pengolah ikan merupakan
upaya melakukan pengawetan ikan secara tradisional dengan hasil akhir
masih berupa ikan, terdiri dari pemindangan, pengeringan/penggaraman,
pengasapan/pemanggangan. Sedangkan penambahan nilai ikan
merupakan hasil olahan turunan dari ikan baik dari daging, kulit maupun
tulang ikan. Kelompok ini terdiri dari surimi (daging ikan giling) dan
131

turunannya seperti bakso ikan, nugget ikan, otak-otak, kaki naga, kerupuk
ikan, terasi dan olahan lainnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat J enderal
PPHP melakukan pembinaan terhadap industri pengolahan ikan dengan
mengembangkan sentra-sentra pengolahan ikan di seluruh Indonesia.
Konsep tersebut merupakan aplikasi dari paradigma baru pengembangan
sentra pengolahan hasil perikanan dengan arahan; 1). lokasi/kawasan
tempat pengolahan ikan dengan sebagian besar produk olahan yang
sama, 2). jumlah pengolah yang memenuhi persyaratan/cukup,
3).pasokan bahan baku yang cukup dan adanya akses pasar/tujuan
pemasaran, 4). bersedia dijadikan lokasi/kawasan sentra pengolahan, dan
5). program pengembangan sentra tidak harus bangunan fisik, tapi dapat
berupa bantuan bintek, peralatan dan sarana penunjang lainnya,
Sampai dengan tahun 2012, di J awa Tengah telah ditetapkan
sebanyak 5 daerah Kabupaten/Kota sebagai penerima program
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan (PHP).
Tabel.4.1 Lokasi Program Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan dari Kementerian Kelautan & Perikanan di jawa
Tengah sampai Tahun 2012
No Kab/Kota J enis Olahan Tahun
1 Kota Tegal Fillet Ikan Laut 2006, 2007
2 Kab. Boyolali Olahan Lele 2008, 2011
3 Kab. J epara Panggang Ikan Laut 2008
4 Kab. Pati Fillet Ikan Laut 2010, 2011
5 Kab. Demak Panggang Ikan Laut Dan Lele 2010, 2011
Sumber: DInas Kelautan dan Perikanan Prov. J ateng 2012
Namun demikian, dalam pelaksanaannya untuk dapat mewujudkan
target dan sasaran pengembangan masih terdapat berbagai kendala, baik
di 5 wilayah tersebut maupun wilayah lainnya. Persoalan utama adalah
penyediaan lahan yang sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain
persoalan sumberdaya tersebut, hasil evaluasi sementara terhadap
sentra-sentra yang ada adalah belum optimalnya penggunaan sarana
yang ada karena budaya atau kebiasaan, belum mampunya SDM
132

pengelola untuk menerapkan perilaku bersih, belum ada jaminan dalam
kontinuitas /ketersediaan bahan baku, serta terbatasnya akses pasar
untuk produk yang dihasilkan.
Dalam era globalisasi ini, tentu peningkatan daya saing industri
sangat diperlukan. Selain potensi perikanan yang besar, permintaan
dalam negeri maupun luar negeri terhadap produk ikan sebagai sumber
nutrisi cukup tinggi. Dengan demikian sangat disayangkan apabila potensi
tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kebutuhan mengembangkan pengolahan ikan berkaitan erat
dengan pengembangan perekonomian daerah di J awa Tengah. Untuk
dapat melakukan itu, ada beberapa prasyarat yang cukup penting untuk
dipenuhi. Untuk dapat bersaing, ada potensi keunggulan kompetitif yang
harus dimiliki oleh setiap UKM untuk dapat bersaing di pasar dunia.
Penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas
dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan
mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem
nanajemen dan struktur organisasi yang baik, pelayanan teknis maupun
nonteknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi,
modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan
luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship
yang tinggi merupakan faktor keunggulan UKM (Tambunan, 2002;29).
Untuk menyikapi hal tersebut, UKM terutama pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut harus mampu menghadapi berbagai persoalan
mendasar. Menurut studi yang dilakukan oleh BPS dalam Tambunan
(2002; 73-80) bahwa kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun
industri rumah tangga di Indonesia (termasuk makanan olahan berbahan
baku ikan laut) adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial,
SDM, bahan baku dan teknologi.
Kesulitan pemasaran yang dihadapi UKM pada umumnya adalah
persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di
pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas
serta pelayanan yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar
133

juga mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan
seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak,
dengan standard yang tidak mampu dipenuhi oleh UKM di Indonesia,
serta kebijakan dumping dan sebagainya yang merugikan industri dalam
negeri.
Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi
modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan
output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM
mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan
kurangnya informasi para pelaku UKM terhadap pembiayaan.
Kebanyakan industri kecil dan rumah tangga menggunakan uang dari
modal sendiri dibanding dana pinjaman perbankan, terutama industri
makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM
dalam aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi
bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar.
Rendahnya pendidikan pekerja UKM menjadi penghambat di mana
lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atau tidak tamat sekolah.
Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan
lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangakaan bahan
atau mahalnya harga bahan baku yang tak terjangkau, kualitas yang
rendah serta kurangnya pemenuhan.
Teknologi yang rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas
yang rendah, kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam
produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal
investasi, keterbatasan informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM
yang mampu mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga
menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar
global.
Selain persoalan-persoalan di atas, ada beberapa isu strategis
yang menjadi sorotan Dinas Perikanan Provinsi J awa Tengah saat ini,
yaitu : 1) J aminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Lemah,
134

mencakup; Kapasitas Otoritas Kompeten (Pusat dan Daerah) yang belum
jelas; Regulasi tidak mutakhir dan tidak komprehensif; Tidak semua
pelaku sadar mutu dan keamanan pangan; Nelayan/ pembudidaya/
UMKM pengolahan kesulitan menerapkan standar mutu yang ditetapkan;
2) nilai susut Hasil tangkapan ikan masih tinggi (27,8 %), hal ini terkait
dengan: apresiasi terhadap mutu hasil masih rendah; Kurangnya
pengetahuan pelaku (termasuk petugas) akan penerapan sistem rantai
dingin Terbatasnya sarana prasarana (terutama pabrik es, air bersih)
sistem rantai dingin; 3) Tingkat Utilitas Industri masih Rendah (<50%),
hal ini behuhungan dengan : Kuantitas (IUU, BBM, lokasi kurang tepat);
Kualitas (85% produksi oleh nelayan skala kecil dan produk tersebut
kurang memenuhi standar bahan baku); Kurang kerjasama antara industri
penangkapan/budidaya dengan industri pengolahan; 4) Penggunaan
Bahan Ilegal Marak yang erat dengan masalah : Penggunaan formalin dan
Penggunaan air keras; 5) Pola Dan J enis Produksi Hasil Perikanan Tidak
Berubah, hal ini terkait dengan : sifat usaha masih tradisional (selalu
kering, pindang, fermentasi, dll); industri modern (selalu beku dan kaleng);
Investasi dalam pengembangan produk terbatas; Iptek pengembangan
produk kurang dikuasai; dan 6) Pola Konsumsi Ikan Tidak Berubah, hal ini
berhubungan dengan : perhitungan angka konsumsi belum tepat sehingga
konsumsi sebenarnya tidak diketahui; pola konsumsi yang rendah dan
tidak merata; Intensitas promosi rendah.
Disampng kendala internal di atas, terdapat faktor ektsernal yang
sangat berpengaruh, yaitu: Meningkatnya persyaratan dan standar mutu
di tingkat internasional; Persaingan produk ketat (ancaman negara
pesaing: Vietnam, Thailand dan Malaysia); Pasar cenderung tetap (UE,
J epang, USA), pasar baru kurang dijajaki; dan Hambatan tarif dan
kecenderungan FTA.
Keberhasilan pengembangan industri pengolahan berbahan baku
ikan laut di Tawa Tengan akan sebanding dengan seberapa banyak
(tingkat perkembangan) dalam memecahkan kendala dan hambatan
pengembangan tersebut.
135


3. Perkembangan Sinergi Koordinasi
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah terus berupaya
mengembangkan produksi dan nilai produksi ikan melalui berbagai
program fasilitasi. Baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap
mengalami peningkatan produktifitas dan nilai jual dari tahun 2010 sampai
tahun 2011, dan pada tahun 2012 ditargetkan terus mengalami
peningkatan cukup tinggi. Hasil olahan ikan ditargetkan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai 5 kali lipat dari kondisi
tahun 2011, sebagaimana ditampilkan tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2 Capaian dan Target Hasil Perikanan di J awa Tengah
No Indikator
Volume ( Ton )
Capaian Target
Tahun 2010
Capaian Target
Tahun 2011
Target
Tahun 2012
1 Volume Produksi
Perikanan Budidaya
189.000 244.545 348.901
2 Volume Produksi
Perikanan Tangkap
212.635,1 249.592,4 270.039
3 Volume Produksi Ikan
Hasil Olahan
134.891 171.290 607.260
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2012

Sentra pengolahan ikan tidak terdapat di semua daerah penghasil
ikan, hanya sebagian yang menghasilkan dan mengolah. Untuk
pengolahan ikan terdapat sekitar 7.854 industri kecil dan menengah yang
bergerak dalam bidang pengolahan ikan laut yang tersebar di 35
Kabupaten/Kota di J awa Tengah. Kabupaten J epara dan Rembang
merupakan wilayah yang memiliki jumlah industri pengolahan ikan
terbesar di J awa Tengah.
Industri pengolahan ikan di J awa Tengah didominasi oleh industri
skala UMKM yang memiliki jangkauan pasar lokal serta beberapa kota
lainnya di pulau J awa. Di J awa Tengah terdapat beberapa industri besar
yang telah memilki pangsa pasar mapan di luar negeri. Kualitas produk
olahan tersebut telah memenuhi semua standar mutu keamanan pangan,
namun selama ini belum terjalin kerjasama dengan UKM/IKM untuk lebih
berkembang.

136

Tabel 4.3. Perusahaan Pengolah Ikan Ekspor di J awa Tengah
No Nama Alamat Produk Pasar
1 PT. Aorta Semarang Udnag Beku J epang
2 PT. Aquafarm
Nusantara
Semarang Fillet, kulit ikan, ikan beku USA, J erman, Belanda,
Perancis
3 PT. Blue Sea Industry Pekalongan Surimi Beku Taiwan, Korea
4 PT. Cassanatama
Naturindo
Semarang Kerupuk Udang Belanda, Inggris, Belgia
5 PT. Indosigma Surya C Semarang Kerupuk Udang Belanda
6 PT.J ui Fa International
Food
Cilacap Tuna Kaleng, Tuna Pouch,
Frozen
Thailand, USA
7 PT. Kusuma Sui San
J aya
Cilacap Ubur-ubur kering China , Malaysia, Taiwan
8 PT. Maya Food Industri Pekalongan Ikan Kaleng, Sardine Malaysia, Hongkong,
Ghana, Kamboja,
Singapura, Kinshasa,
Chile, Haiti, Togo, J epang,
Nigeria
9 PT. Misaja Mitra Pati Udang Beku Taiwan, Korea
10 PT. Nam Kyung Korea
Indonesia
Pekalongan Surimi Beku Taiwan, Korea
11 PT. Philips Seafood
Indonesia
Pemalang Rajungan kaleng Malaysia, Thailand, India,
Australia, Dubai, Inggris,
kanada
12 PT. Seafer General
Foods
Kendal Udang Beku, Paha Katak
Beku, Lele, Beku, Bandeng
Beku, Fillet Nila
Belanda, Inggris, Belgia
13 PT. Sinar Bahari Agung Kendal Surimi Beku Singapura, Malaysia,
Taiwan
14 PT. Telaga Godeli Semarang Ikan Segar Singapura
15 PT. Tongatiur Putra Rembang Rajungan Kaleng, Ikan
Kering, Crab Cake, Daging
Kerang, Himega, Kepiting
Beku, Teri Nasi, Udang
Beku, Fillet Tilapia, Cumi-
cumi, Ikan Selar Kuning
USA, Singapura, J epang,
Korea, Rusia, Inggris,
Autralia, China, Taiwan,
Thailand
16 PT. Toxindo Prima Cilacap Udang Beku, Bawal Beku,
Lobster Beku, Layur Beku
J epang
17 PT. Wako Semarang Teri Nasi J epang
18 PT. Windika Utama Semarang Rajungan kaleng, Crab
Cake
USA, Singapura, J epang,
Rusia, Inggris, Australia,
Korea, China, Taiwan,
Thailand
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi J awa Tengah
Di sisi lain, ada ribuan industri menengah, kecil dan mikro dengan
berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Mayoritas hanya memenuhi
pasar lokal di dalam daerah, ada beberapa yang menjual di luar daerah
dan pulau-pulau lain. Potensi industri ini sangat besar dengan melibatkan
pekerja cukup banyak, namun daya saing mereka sangat lemah.
Pengolahan ikan memungkinkan bertambahnya nilai jual ikan
beberapa kali lipat dibanding dengan penjualan segar atau pengawetan
sederhana. Pengolahan ikan terdapat di hampir semua daerah kabupaten
kota di J awa Tengah. Di beberapa daerah yang banyak menghasilkan
ikan tangkap tetapi sedikit menghasilkan produk ikan olahannya, seperti
Kota Tegal dan Kabupaten Pati, di daerah lain seperti Kota Pekalongan
137

lebih banyak memproduksi hasil pengolahan ikan. Kemudian di
Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Rembang
menunjukan jumlah hasil penangkapan maupun produk pengolahan
ikannya cukup besar. Para pengolah telah memiliki strategi dalam melihat
kondisi kelangkaan bahan maupun peluang pasar. Setiap pengolah
memiliki pasar tersendiri dan tidak terdapat standar harga yang sama
antar daerah dan antar pengusaha.
Perkembangan sinergi koordinasi lembaga/instansi terkait
pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut ditunjukan
dengan dikembangkannya KUD mina dan pendirian ruang pendingin
tempat penyimpanan ikan di beberapa daerah seperti di Kota Pekalongan.
Pengadaan bahan baku secara bersama antar pengolah dan antar
pengelola tempat pendaratan ikan di J awa Tengah diperlukan dalam
menghadapi masalah dan tantangan pengembangan usaha pengolahan
ikan.

B. Pemanfatan Hasil Litbangyasa
1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil
Kebijakan/Regulasi Pemerintah
Agenda pemerintah Provinsi J awa Tengah dalam peningkatan
sektor perikanan di daerah adalah melaksanakan Program
Pengembangan Sumber Daya Perikanan dengan beberapa kegiatan
utama yaitu:
a. Pembinaan dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan melalui
Pengembangan Pola Permodalan dan Investasi Dalam Negeri dan
Asing,
b. Pengembangan Data dan Statistik Perikanan,
c. Penguatan dan Pengembangan Pemasaran Dalam Negeri dan Ekspor
Hasi Perikanan melalui Peningkatan Konsumsi Ikan Melalui Program
Nasional Gemarikan dan Promosi Produk, Fasilitasi Pembangunan
dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pemasaran Dalam Negeri
dan Pembinaan Ekspor Produk Perikanan,
138

d. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan
melalui Pengembangan Sistem Rantai Dingin (Cool Chain System),
Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Pengawasan
Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Peningkatan Kompetensi
Lembaga Sertifikasi, Penguatan Kompetensi Laboratorium Penguji
e. Penyelenggaraan Revitalisasi Perikanan
Dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan,
Pemerintah porovinsi J awa Tengah mengagendakan kebijakan berupa:
a. Peningkatan daya saing melalui penciptaan iklim yang kondusif,
melalui regulasi atau deregulasi serta peningkatan mutu dan
keamanan produk
b. Pemantapan struktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan
nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait serta
akademisi
c. Membangun kelembagaan agribisnis perikanan (Akuabisnis) melalui
penataan kelembagaan dan ekonomi yang baik, keterpaduan antara
pemasok bahan baku, industri pengolahan, serta pemasaran dan
upaya terwujudnya produk akhir yang berkualitas dan berdaya saing.
Setiap Kabupaten/Kota juga memiliki kebijakan turunan tersendiri,
baik yang bersinergi dengan pemerintah pusat maupun provinsi. Namun
demikian, berdasarkan temuan lapangan tidak ditemukan adanya
kebijakan dan regulasi khusus dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam
upaya pengembangan industri pengolahan ikan. Sebagian besar regulasi
perikanan hanya mengatur mengenai mekanisme tata niaga ikan melalui
TPI, sedangkan dalam aspek pengembangan industri makanan olahan
tidak terdapat regulasi khusus.
Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bertugas sebagai fasilitator dan
melengkapi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, terutama dalam
memberikan bantuan sarana dan prasarana serta pelatihan kepada
sebagian kecil pengolah. Sebagian besar program dan kegiatan
merupakan implementasi dan duplikasi dari program Kementerian yang
berupa pembinaan melalui kelompok-kelompok terbatas. Beberapa
139

kebutuhan utama lainnya seperti permodalan, jaringan pasar, jaringan
antar pengolah dan aspek teknologi belum begitu banyak mendapatkan
kemajuan dari bantuan pemerintah daerah. Dengan demikian masih
diperlukan adanya peningkatan dalam regulasi dan kebijakan serta
program-program yang relevan dalam upaya pengembangan kemampuan
pengolah.
Berdasarkan jawaban pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah
dapat menyatakan kurang antusias. Kebijakan-kebijakan yang ada tidak
memberikan dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha
merasa dihambat karena kebijakan tersebut. Sehingga mereka merasa
tersingkir atau tidak mampu berkembang dibanding usaha skala besar.
Contohnya peraturan mengenai higienitas, standar keamanan pangan dan
aturan mengenai badan usaha tentu sulit untuk dipenuhi olah skala
industri rumah tangga, namun di sisi lain tidak adanya upaya konkret
pemerintah agar pelaku usaha mampu memenuhi standar tersebut di
atas.
Sehingga kebijakan pemerintah dirasa justru memberikan ruang
bagi usaha skala besar dan importir, bukan memberikan ruang
berkembang bagi usaha skala mikro dan kecil. Oleh karena itu,
perumusan kebijakan sebaiknya memperhatikan kondisi nyata dari pelaku
usaha di lapangan.
Beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan
dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di
tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam
memahami kebutuhan dan arah kebijakan. Dalam teori kebijakan, ada
proses awal dimana sebuah kebijakan harus menjadi isu bersama, setelah
menjadi isu maka akan dirumuskan menjadi sebuah agenda seting
kebijakan yang melibatkan segenap unsur. Setelah itu ditetapkan model
kebijakan dan secara teknis mengatur pelaksanaannya.
Selama ini kebijakan pengembangan pengolahan ikan sifatnya
sangat top down, kurang memperhatikan kebutuhan dan kapasitas para
pengolah ikan atau masyarakat bawah. Sehingga bentuk-bentuk kebijakan
140

dan hasilnya kurang memberikan dampak yang berarti. Seringkali ada
salah sasaran, salah objek, kapasitas yang tidak sesuai dan bantuan yang
tidak berdasarkan kebutuhan.
Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan
dan program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu
perlunya sinergi antar sektor terutama dalam lembaga pemerintahan agar
bisa memberikan dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif
dan sasaran kebijakan dapat tertata dengan baik.

Penyediaan Bahan Baku
Sesuai paturan Direktur J enderal Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perikanan Nomor : Kep.025/Dj-P2hp/2012 Tentang Penetapan
J enis-J enis Hasil Perikanan Yang Dapat Dimasukkan Ke Dalam Wilayah
Negara Republik Indonesia ditetapkan bahwa Bahan Baku Industri
Pengolahan Hasil Perikanan yang Menghasilkan Ikan Kaleng hanya boleh
mengimpor berupa ikan Sarden (Sardinella spp.), sednagkan untuk
industri Ikan Tradisional Berupa Pemindangan hanya boleh memasukkan
ikan Salem (Scomber japonicus).
Tingkat keberlanjutan usaha pengolahan sangat bergantung pada
penyediaan bahan baku ikan setiap harinya. Pengadaan bahan baku oleh
pengolah ikan sagat bervariasi, hal ini tergantung dari kapasitas modal
yang dimiliki setiap pengusaha untuk pengadaan bahan baku ikan dan
tempat penyimpanan & bahan pengawet ikan. Sebagian besar pengolah
tidak tentu mengadakan bahan baku. Untuk pengolah ikan pindang, ikan
kering, ikan asap umumnya disebabkan didak memiliki tempat dan modal
untuk melakukan pengadaan bahan baku terutama pada saat tidak musim
ikan. Pola kerjasama antar pengolah dalam pengadaan haban baku
tampaknya belum dilakukan.
Oleh karena itu permasalahan pengadaan bahan baku salah satu
pemecahannya adalah dengan membentuk kerjasama antar anggota
kelompok pengolah ikan pindang/asin/asap. Bagi pengolah ikan yang
menjawab selalu menjawab mengadakan bahan baku umumnya dilakukan
141

oleh pengolah bakso, nugget, sosis dan beberapa pengolah kerupuk ikan
dan terasi, karena umumnya mereka memiliki sarana penyimpanan bahan
baku dan modal.
Dari hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada
pengembangan usaha pengolahan ikan dapat dikelompokan menjadi
faktor internal dan ekternal. Faktor yang menjadi potensi atau kekuatan
yang berhubungnan dengan bahan baku adalah ketersediaan ikan
sebagai bahan baku pada saat musim ikan sebenarnya banyak
didaratkan di Tempat tempat Pendaratan Ikan (TPI) di kota Pekalongan
dan sekitarnya yang harganya relatif lebih murah dibanding ketika tidak
musim ikan.
Sebagai kekuatan lain dalam mengembangkan industri pengolahan
ikan yaitu berbagai macam/banyak ragak jenis ikan baik kelompok ikan
demersal (ikan petek, ekor kuning, kakap, pari, cucut , dan lain-lain),
kelompok ikan pelagis (layang kembung, tenggiri, tongkol, dan lain-lain),
Crustaceae/udang-udangan (udang windu, udang krosok, udang rebon,
kepiting, udang karang, dan lain-lain), moloska/kekerangan (kerang,
simping, siput, dan lain-lain), rumput laut (glasilaria, euchema, see gras,
dan lain-lain). Disamping itu produksi ikan air payau (seperti ikan
bandeng, nila, udang tambak, dan lain-lain), ikan air tawar (seperti ikan
lele, nila, patin, dan lain-lain) sudah banyak diproduksi di beberapa daerah
di perairan pesisir.
Faktor kendala atau kelemahan terkait dengan bahan baku yaitu
bahan baku yang bisa di adakan akan disimpan dimana, tempat
menyimpanan sementara (gudang/cool box) umumnya tidak dimiliki oleh
pengusaha pengolah ikan pada umumnya. Kemudian
keterampilan/keahlian serta peralatan untuk mengolah bahan baku lain
juga tidak dimiliki.
Kemudian faktor ekternal yang mempengaruhi industri pengolahan
ikan terkait dengan pengadaan bahan baku adalah faktor peluang. Faktor
peluang yaitu permintaan pasar tradisional (pasar desa) maupun pasar
moderen (pasar swalayan di kota) untuk produk pengolahan setengah jadi
142

maupun produk akhir siap konsumsi yang memenuhi standarisasi
keamanan pangan masih cukup banyak dan umumnya belum terpenuhi.
Permintaan akan produk olahan ikan yang cederung meningkat ini seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk dan kenaikan tingkat kesejahtraan
masyarakat.
Peluang untuk mengembangkan industri pengolahan dari aspek
bahan baku yaitu potensi ikan laut maupun ikan air tawar yang dapat
diproduksi di tempat-tempat pendaratan ikan (TPI) yang agak jauh dari
pusat industri pengolahan ikan. Kemudian bahan baku impor dalam
bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi dengan kualitas yang
lebih baik, produk tersebut dapat dengan mudah dipesan dan dengan
harga relatif lebih murah. J aringan komunikasi antar pasar produk olahan
ikan maupun bahan baku telah ada di setiap wilayah. Selanjutnya yang
menjadi ancaman dalam mengembangkan produk olahan makanan dari
bahan baku ikan adalah produk makanan yang berbahan baku ikan
banyak membanjiri pasar di dalam negri terutama di pasar swalayan.
Oleh karena itu, pengadaan bahan baku yang diharapkan dalam
upaya mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku
ikan adalah :
1) Pengadaan tempat penyimpanan sementara bahan baku ketika
musim ikan dengan cara sewa atau membeli, atau mengolah bahan
baku menjadi bahan setengah jadi ketika musin ikan.
2) Pada saat tidak musim ikan mengembangkan jaringan komunikasi
untuk pengadaan bahan baku diluar TPI/pasar ikan terdekat.
3) Membuat kontrak/kerjasama pengadaan bahan baku ikan laut/ikan
hasil budidaya dengan para pedagang ikan/nelayan/petani ikan di
daerah terdetekat maupun yang jauh dengan sentra produksi
pengolahan.
4) Diversifikasi pengadaan bahan baku lokal dan impor guna melakukan
mengembangkan penganekaragaman produk olahan berbahan baku
ikan seperti produk olahan import.

143

Sarana dan Prasarana
Kondisi sarana dan prasarana pengolah ikan yang ada di daerah
penelitian menggambarkan kondisi secara umum industry pengolahan
ikan di J awa Tengah yang masih sangat sederhana dan jauh dari
memenuhi standar higienitas. Namun demikian, para pelaku usaha tidak
merasa kesulitan memproduksi olahan ikan sesuai keinginan konsumen
yang mayoritas kelas menengah kebawah.
Dari hasil penelitian ini bahwa profil sarana dan prasarana
pengolahan ikan di Provinsi J awa Tengah yang sudah dimiliki antara lain
meliputi: Bangunan milik pribadi, Bangunan pendukung, Mendapat
dukungan masyarakat, peralatan milik sendiri, peralatan sudah memadahi,
pembaruan, alat-alat moderen, memanfaatkan bantuan peralatan,
mempunyai peralatan penyimpang frozen, cold storage, air sudah
mencukupi, prasarana jalan sudah memadahi.
Sebagian besar bangunan pengolahan ikan milik pribadi, sebesar 70
% letak bangunan ini menyatu dengan bangunan induk rumah tingggal
dan pemukiman penduduk. Letak bangunan pengolahan ikan sudah
mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar dikarenakan sebagian
warga masyarakat mempunyai aktifitas pengolah ikan jadi soal poplusi
udara yang berbau ikan anggota masyarakat sudah terbiasa.
Sanitasi air bersih cukup tersedia dari sumber PDAM dan air tanah
dari sumur 60 %, sedangkan pembuangan limbah kotoran ikan dari
pengolahan dibuang di saluran pembuangan air setempat belum ada
treatment pengolah limbah terpadu, sehingga menimbulkan bau yang
kurang sedap.
Kondisi peralatan pengolahan ikan yang dipergunakan untuk ikan
pindang dan ikan asap antara lain berupa kompor gas, air bersih,
dandang, besek bambu, garam, frozen, cooll storage, packing sebesar
80% peralatan ini merupakan milik sendiri.. Peralatan tersebut dibuat dan
di desain sendiri oleh pengrajin kerjasama bengkel dengan menggunakan
teknologi tepat guna. Bantuan dari pemerintah yang berupa peralatan
144

bertehnologi modern sebesar 69 % sangat dibutuhkan oleh pengrajin
pengolahan ikan agar tujuan pengolahan ikan berkualitas dan efisien.
Sarana jalan dari tempat pengolahan ikan menuju pasar 63 %
dalam kondisi baik. Sedang jenis alat transportasi yang dimiliki dan
digunakan antara lain: sepeda motor roda dua, viar roda tiga dan mobil
box roda empat, dari jenis alat transpotasi sudah mencukupi akan tetapi
dikarena kepadatan arus lalu lintas antar kota besar hal ini menyebabkan
terjadi keterlambatan pengiriman ikan sampai di pasar sehingga
menyebabkan menurunkan kualitas ikan sampai di pasar 10 %.
Persoalan sarana dan prasarana memang menjadi hambatan
paling besar dalam meningkatkan mutu hasil perikanan. Hampir semua
pengolah ikan tradisional belum memiliki sarana prasarana yang memadai
sebagai standar keamanan pangan yang baik. Persoalan sanitasi dan
higienitas belum bisa diwujudkan dengan sarana dan prasarana yang
dimiliki pengusaha. Persoalan lain adalah dalam pengemasan dan
pengiriman hasil olahan. Sebagain besar mengalami kesulitan dalam
menjaga kualitas produk, baik berupa kelembaban maupun perlindungan
dari bakteri. Persoalan pokok sarana dan prasarana pengolahan ikan
meliputi rendahnya sanitasi air bersih, rendahnya kualitas bahan baku,
pengolahan belum masuk ke sentra pemasaran, pengolahan belum
masuk bahan baku dan pemasaran,
Di Kabupaten Rembang sebagai penghasil pengolahan ikan
pindang mengalami kekurangan tentang sarana dan prasarana, antara
lain: bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es sanitasi, alat
timbang, kotak pendingin, alat transportasi. Di Kabupaten Pati potensi
terbesarnya adalah pengolahan ikan pindang dan ikan asap kondisi
sarana dimana menggunakan sanitasi yang kotor, pembuangan limbah
dan peralatan pengolahan yang terbilang kotor.
Di Kota Pekalongan sebagai sentra penghasil ikan asin dan olahan
ikan kondisi sarana dan prasarananya berupa bangunan, garam, rak
bambu, kotak pendingin, penggilingan ikan, pencucian, alat rebus, alat
penggorengan, pengemasan alat transportasi.). Kabupaten Brebes
145

sebagai sentra penghasil ikan asap dan ikan asin kondisi sarana
prasarananya berupa bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es
sanitasi, alat timbang, kotak pendingin, Garam, rak bambu, alat
transportasi. Kabupaten Cilacap sebagai sentra penghasil ikan segar dan
ikan asap kondisi sarana prasarana berupa bangunan, pisau, alat
timbang, sanitasi, garam dan kotak pendingin, alat transportasi.
Secara umum kebutuhan pengembangan sentra pengolahan
makanan olahan berbahan ikan di lima Kabupaten - Kota sebagai daerah
peneliltian membutuhkan intitusi baik berupa Koperasi yang menyediakan
kebutuhan: Permodalan, Stok bahan baku ikan segar dan sejumlah
peralatan pengolahan secara terperincian sebagai berikut : Kabupaten
Rembang sebagai sentra Pindang, Ikan kering/asin, terasi dan ikan asap
membutuhkan: Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen
pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih.
Kabupaten Pati sebagai sentra Ikan Pindang, terasi, ikan asap, Pindang
bandeng lunak, dan bandeng olahan membutuhkan: Blung berinsulasi,
Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan
limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kota Pekalongan
sebagai sentra Ikan Olahan. Ikan Kering membutukan: Trays, Troley, Ice
crusher, Chest frezeer, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran
ikan, PDAM atau air bersih. Kabupaten Brebes sebagai sentra Ikan
Pindang, Ikan Asap dan Ikan kering membutuhkan: Troley, Cerobong
pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan,
PDAM atau air bersih.
Oleh karena itu dari hasil penelitian tersebut maka kabupaten kota
dimana terdapat pengusaha/industri makanan berbahan baku ikan laut
perlu melakukan upaya-upaya pengembangan
Kabupaten Cilacap sebagai sentra Ikan Kering, Ikan segar,
Kerupuk membutuhkan: Ice crusher, Chest frezeer, Peralatan
pengolahan, Mesin pembuat sosis, Meat bone sparator, Cold storage.
Kebijakan dari Pemerintah Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP)
Provinsi J awa Tengah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
146

menaruh perhatian besar pada : Mengembangkan menyalurkan bantuan
secara simbolis bernilai kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan
pengolah/pemasar hasil perikanan seperti yang telah dilakukan di
Kabupaten Brebes
Dalam upaya mendorong pengembangan industri makanan
berbahan baku ikan laut di Kabupaten Brebes, KKP berencana
membangun sistem rantai dingin dan ketersediaan cold storage dalam
menjamin ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan
ikan.
Di beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan sentra-sentra
pengolahan telah dipasilitasi dengan Sarpras agar dapat mampu
menunjang Sistem Logisitik Ikan Nasional. Di beberapa daerah telah di
bangun dan akan di bangun cold storage sebagai tempat penyimpanan
ikan di sentra-sentra pengolahan ikan agar dapat menunjang
pengemangan industri pengolahan ikan
KKP juga mengembangkan program revitalisasi sarana dan
prasarana lain untuk penunjang pelabuhan perikanan yang memadai,
dapat meningkatkan efektivitas rantai suplai ikan sehingga dapat
meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar domestik maupun
ekspor.
Revitalisasi pelabuhan perikanan yang dapat menjamin pasokan
ikan serta peningkatan kapasitas industri pengolahan hasil perikanan.
Selanjutnya KKP juga mengembangkan pengawasan sistem jaminan
mutu dan traceability (ketelusuran) produk hasil perikanan dan jaminan
akan ketersediaan bahan baku industri

Ketersediaan Pengembangan Teknologi
Teknologi menjadi persoalan yang sering diabaikan namun
sebenarnya memberikan dampak yang cukup luas. Pada industri
pengolahan tradisional, teknologi yang digunakan kadang memberikan
beban tambahan cukup besar bagi biaya produksi. Untuk pemindangan
misalnya, selama ini di Kabupaten Rembang menggunakan bahan bakar
147

minyak solar dengan konsumsi yang cukup tinggi, jika dibandingkan
dengan bahan bakar kayu mencapai 2 kali lipatnya. Minyak solar
digunakan akibat kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah. Selama
ini pengrajin sudah merasa cocok dengan nyala api yang dihasilkan oleh
minyak solar yang diberi tekanan udara. Sebaliknya, mereka enggan
menggunakan gas karena tekanan api kurang tinggi, terutama jika isi
tangki sudah mendekati separuhnya.
Dalam aspek pengemasan pindang menggunakan keranjang
dengan isi ikan antara 2 5 ekor. Hal tersebut menyesuaikan dengan
keinginan pembeli dimana mereka bisa membeli eceran dengan kuantitas
rendah sehingga harganya murah. Akan tetapi bagi pengusaha itu
merupakan ongkos tambahan karena selama ini biaya keranjang
mencapai Rp 200,- dari harga ikan tiap keranjang sekitar Rp 1.500,-
Aspek lainnya adalah pengemasan dan pengiriman. Kebanyakan
pengemasan belum bisa memenuhi unsur higienitas dan daya tahan
produk. Dalam pengiriman, terutama untuk produk daging olahan (surimi)
seperti : bakso, nugget dan sebagainya yang memerlukan teknologi rantai
dingin yang sangat diperlukan untuk menjaga kualitas produk. Rantai
dingin juga menjadi persoalan pada saat panen ikan dari laut, ikan
didaratkan di TPI dan ketika ikan masuk di tempat pengolahan.
Seringkali kekurangan teknologi menjadikan kualitas bahan baku
ikan rendah. Dalam hal pengawetan, juga masih ditemukan banyaknya
nelayan maupun pengolah yang menggunakan hidrogen peroksida (H
2
O
2
)
dan formalin untuk penampilan ikan bersih/putih dan mempertahankan
kesegaran ikan.
Aspek teknologi pengolahan inilah yang menjadikan kualitas olahan
ikan belum bisa menembus pasar ekspor karena rendahnya mutu dan
kualitas produk. Beberapa program telah dilaksanakan oleh pemerintah
dalam upaya peningkatan teknologi, akan tetapi orientasi program hanya
sekedar proyek sehingga bantuan yang diberikan kadang kurang sesuai
dengan kebutuhan dan kapasitas pengolah. Tingginya ongkos produksi,
biaya untuk bahan bakar dan daya listrik yang terlalu tinggi menjadikan
148

bebebrapa peralatan teknologi pengolahan yang lebih canggih belum bisa
digunakan seperti mixer besar, vacum fraying dan lainnya.
Selain itu, perilaku para pengolah juga kadang menghambat
peningkatan kualtas produk. Perilaku yang higines belum terbiasa ketika
para bekerja memproduksi ikan olahan. Sarana dan prasarana pendukung
lainnya juga turut mendukung perilaku para pekerja untuk bekerja secara
higines.
Faktor internal dan ekternal terkait dengan pengembangan
teknologi industri makanan berbahan baku ikan laut yaitu perilaku/budaya
yang higinies, peralatan yang dimiliki, permintaan pasar, dan kebijakan
pengawasan sanitasi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan
laut. J enis teknologi yang diperlukan dalam pengembangan indusrti
makanan berbahan baku ikan yaitu teknologi proses pengolahan,
pengemasan dan penanganan limbah. Pengembangan penerapan
teknolgi dalam industri makanan berbahan baku ikan laut tentu untuk
waktu sementara akan meningkatkan biaya produksi yang menyebabkan
industri pengolahan menjadi tidak efisien.
Oleh karena itu, dalam mengembangkan usaha industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan, para pengolah harus selalu
berusaha berorientasi pada IPTEK agar produk yang dihasilkan dapat
bersaing dengan produk yang dihasilkan pengusaha dalam maupun luar
daerah. Pemerintah selaku fasilitator dan dinamisator dalam
mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan
sekala kecil menengah harus melakukan upaya meningkatkan budaya
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) antara lain dengan memberikan
pelatihan dan bimbingan teknis (bintek) kepada masyarakat pengolah
sehingga tumbuh perilaku berbudaya IPTEK.
Kemudian pemerintah juga harus mengembangkan sistem
fasilitasi/insentif kepada para pengusaha pengolahan ikan yang memiliki
potensi/kemampuan mengembangkan teknologi. Selanjutnya melakukan
pendampingan dan evaluasi pengembangan industri pengolahan
makanan berbahan baku ikan untuk dikembangkan lebih lanjut.
149

Sebelum masyarakat pengolah melek dan berperilaku budaya
teknologi, program pendampingan/penguatan tersebut sebaiknya tidak
diberhentikan. Bersamaan dengan upaya peningkatan berbudaya IPTEK
kepada para pengolah ikan, pemerintah juga harus melakukan
pengembangan sosialisasi kepada para konsumen akan manfaat produk
makanan berbahan baku ikan bagi kesehatan dan kesejahtraan manusia,
sehingga akan meningkatkan permintaan produk makanan berbahan baku
ikan. J ika masyarakat sudah gemar dan berbudaya makan ikan (mananan
berbahan baku ikan) diharapkan akan meningkatkan permintaan produk
industi makanan berbahan baku ikan.

Ketersediaan Tenaga Kerja
Dari hasil peneltian pengembangan industri makanan berbahan
baku ikan laut di J awa Tengah, bahwa kendala yang dihadapi oleh
pengusaha pengolah ikan meliputi :
a. Pada waktu musim ikan dimana ikan dalam kondisi banyak
pengusaha pengolah ikan berlomba untuk mengolah ikan dengan
jumlah yang lebih banyak dari pada pada waktu tidak musim ikan,
sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak sedangkan tenaga
kerja yang mau bekerja sebagai pengolah ikan terbatas, sedangkan
pengolah ikan yang membutuhkan tenaga kerja sangat banyak dari
pada hari-hari tidak musim ikan, akhirnya tenaga kerja memilih lokasi
pengolah ikan yang tidak jauh dari lokasi rumahnya, dan pengusaha
pengolah ikan tidak dapat menambah produksi pengolahan ikan pada
waktu musim ikan, pengusaha pengolah ikan yang mendapatkan ikan
banyak melebihi dari biasanya hanya disimpan dalam boks pendingin
penyimpan ikan dimanfaatkan apabila pada waktu tidak musim ikan
yaitu pada waktu musim ombak besar dan angin kencang sehingga
nelayan tidak dapat pergi melaut mencari ikan dilaut.
b. Pengusaha pengolah ikan mengalami kendala dalam pembuangan
limbah ikan, terutama air kotor dari pencucian ikan.
c. Udara yang tidak sehat dari limbah pengolahan ikan.
150

d. Pencemaran udara dari hasil pengasapan ikan dilingkungan
perumahan.
e. Permodalan dimana setiap pembelian melalui Tempat Pelelangan Ikan
harus dibayar secara tunai, sedangkan hasil produki pengolahan ikan
dipasarkan dibayar tidak dengan tunai tetapi dibayar dengan secara
bertahap itupun harus menyetorkan lagi dagangan berupa ikan olahan
begitu seterusnya, sehingga permodalan yang diperlukan para
pengusaha pengolah ikan secara berlipat agar dagangan laku
dipasaran.
Peluang pengusaha pengolah didalam memanfaatkan tenaga kerja
yang ada selama ini meliputi :
a. J umlah tenaga kerja didalam lingkungan perumahan nelayan sangat
banyak dan mudah didapat.
b. Upah tenaga kerja selama ini bisa dikatakan sangat murah
c. Tenaga kerja yang digunakan untuk mengolah ikan tidak diperlukan
tenaga ahli.
d. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah ikan tidak diperlukan
pendidikan yang tinggi cukup yang penting mau bekerja dengan upah
yang telah ditentukan sebelumnya.
Ancaman bagi pengusaha pengolahan ikan didalam memanfaatkan
tenaga kerja yang ada :
a. Pada waktu musim ikan banyak kesulitan untuk menambah tenaga
yang ada hal ini disebabkan pengusaha pengolah ikan juga
membutuhkan tenaga kerja yang sama banyaknya, sehingga ikan
yang melimpah sementara disimpan pada boks pendingin ikan agar
ikan dapat bertahan lama.
b. Tenaga kerja muda yang ada dilingkungan perumahan nelayan tidak
mau bekerja sebagai pengolah ikan karena upahnya dirasakan terlalu
sedikit dan sekarang ini masih didominasi dengan tenaga kerja yang
usianya diatas 40 tahun sehingga lama kelaman mereka sudah tidak
bisa kerja lagi karena sudah lanjut usia.
151

c. Upah yang dibayarkan oleh pengusaha pengolah ikan selama ini
dirasakan masih murah dan tidak didasarkan pada peraturan tenaga
kerja yang berlaku seperti halnya pada upah minimum (UMK atau
UMR) tenaga kerja.
Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan selama ini
dibutuhkan permodalan dengan bunga yang ringan hal ini disebabkan
Usaha Kecil dan Menengah yang ada membutuhkan modal kerja rangkap
tiga dimana hasil olahan ikan yang dipasarkan pada umumnya tidak
semuanya dibayar secara lunas, tetapi beberapa hari kemudian baru
dibayarkan itupun harus disetori lagi dan begitu seterusnya, sehingga
modal yang dibutuhkan harus berlipat ganda., Kondisi yang demikian ini
sudah berlangsung lama hingga sekarang.
Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan tidak diperlukan
tenaga ahli, tetapi permodalan yang cukup, dimana untuk pembelian ikan
segar melalui Tempat Pelelangan Ikan harus dibayar secara kontan, tetapi
hasil produksi pengolahan apabila dijual dipasar tidak dibayar secara
kontan, tetapi dibayarkan secara bertahap, itupun harus dikirim barang
lagi baru dibayarkan sebagian, untuk pengusaha pengolah membutuhkan
permodalan yang besar untuk itu diperlukan adanya campur tangan
pemerintah untuk membuka jaringan dengan lembaga keuangan seperti
Bank sehingga bunganya yang lebih murah.
Waktu yang dibutuhkan para pengusaha pengolah ikan untuk
memproses ikan menjadi ikan olahan mulai dari pembersihan ikan,
pemotongan, penggaraman ikan, pemasakan ikan, pengepakan ikan,
hingga dinaikan diatas kendaraan waktu yang dibutuhkan selama 8 jam
setiap hari untuk mengolah ikan,. dimana upah yang diberikan kepada
pekerja rata-rata Rp. 25.000. setiap harinya. Semuanya pekerjaan sifatnya
borongan sehingga kalau bekerjanya secara cepat dapat selesai maka
akan mendapatkan upah lebih banyak lagi.
Tenaga kerja untuk mengolah ikan bekerja tidaknya sangat
tergantung ada tidak ikan. J ika tidak ada ikan maka tidak bekerja.
Disamping cara bekerjanya dilakukan secara borongan dimana ikan
152

dihitung secara beratnya, adapula yang dilakukan secara per keranjang
diluar itu tidak ada insentif yang diberikan oleh pengusaha pengolah ikan.
Dengan demikian, tenaga kerja sebagai pengolah ikan tidak memikirkan
peraturan tenaga kerja tetapi yang penting mereka bisa bekerja dan
mendapatkan upah setiap harinya, karena kalau tidak bekerja tidak
dibayar. Tenaga kerja yang ada selama ini mempunyai prinsip dari pada
dirumah menganggur hanya menunggu suaminya pergi melaut mencari
ikan maka lebih baik sang isteri nelayan memanfaatkan waktu yang luang
untuk bisa bekerja, sehingga dapat menambah penghasilan keluarga.
Yang mendapatkan pelatihan untuk pengolahan ikan adalah para
anggota kelompok pengolah ikan dimana hasil pelataihannya dapat
digunakan untuk mengembangkan usahanya sebagai pengolah ikan.
Mengingat kesibukan para pengusaha pengolah ikan setiap harinya maka
untuk itu yang dikirimkan untuk mengikuti pelatihan pengolahan ikan
hanya perwakilan saja sesuai dengan hasil musyawarah para anggota
kelompok pengolah ikan dan tergantung dari jenis pelatihannya dalam
bidang pengolahan ikan apa yang dibutuhkan.
Yang dibutuhkan untuk pelatihan pengolahan ikan adalah pelatihan
cara mengolah ikan yang memenuhi persyaratan kesehatan mulai dari
pembersihan ikan, pemotongan ikan, penggaraman ikan yng benar,
pengepakan ikan yang benar, pemasakan ikan yang benar, dan
penyimpanan ikan agar tidak cepat busuk, serta dihindari dengan
pemakaian formalin sehingga hasil pengolahan ikan dapat dikumsumsi
oleh konsumen dengan sehat .

Permodal Pengembangan Usaha
Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa sebagian besar
pengusaha ikan olahan bekerja dengan menggunakan modal sendiri
tanpa menggunakan pinjaman. Pengusaha yang termasuk dalam
kelompok ini merupakan pengusaha kecil dan menengah. Adapun jumlah
pengusaha yang terbiasa dengan mengandalkan modal sendiri sebanyak
49 pengusaha atau 37,69%, dan biasanya pasar/konsumen yang mereka.
153

Pengusaha yang mengandalkan dana pinjaman sebanyak 15 pengusaha
atau 11, 54 %, pengusaha jenis ini adalah pengusaha skala menengah
dan besar karena mereka mempunyai aset yang dijaminkan, mempunyai
jaringan dengan pemerintah, perbankan dan memperoleh informasi serta
berbagai fasilitas dari pemerintah, sedangkan pengusaha yang
menggunakan kombinasi modal sendiri dan modal pinjaman sebanyak 38
pengusaha atau 29,23 %.
Para pengusaha ini didalam menjalankan usahanya sudah tertata
rapi manajemennya sehingga mereka fleksibel untuk melakukan
kombinasi dalam menggunakan modal, mereka punya asset, punya
informasi, punya fasilitas dan punya akses untuk mendapatkan modal,
yang lebih penting mereka sudah biasa melakukan analisis kebutuhan
modal dan mampu untuk mengkombinasikan kebutuhan modal untuk
menjalankan usahanya. Responden yang tidak berpendapat/ tidak mau
menjawab sebanyak 21,54 %, pengusaha ini biasanya masih sangat
merahasiakan masalah keuangan perusahaan, sehingga agak tertutup
untuk memberikan informasi.
Dari hasil interview, sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa
masalah modal bukan menjadi halangan pengusaha pengolah ikan,
namun demikian para pengusaha selalu ingin meningkatkan skala
usahanya dari mikro menjadi skala kecil, kemudian meningkat menjadi
pengusaha skala menengah dan meningkat lagi menjadi pengusaha skala
sedang dan besar, sehingga modal yang dibutuhkan selalu meningkat
sesuai dengan peningkatan skala usaha. Namun pada skala usaha
sekarang pengusaha ikan olahan relatif tidak mengalami kendala
permodalan, bahkan mereka memiliki modal yang lebih dari cukup
mengingat pemasaran hasil olahanya kadang-kadang dibayar dengan
tenggang waktu yang cukup lama.
Masalah permodalan bagi pengusaha ikan bukan merupakan
kendala bagi seluruh pengusaha ikan olahan, besar kecilnya modal
sangat tergantung pada skala usaha ,pasar yang dijangkau, ketersediaan
bahan baku, dan rantai pemasaran, sistem penjualan. Perputaran modal
154

pengusaha ikan olahan bervariasi ada yang cepat ada pula yang lama, ini
sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku, ketika bahan baku sulit
didapat maka modal banyak tertanam pada persediaan bahan baku ikan
sebaliknya jika bahan baku mudah diperoleh maka modal yang
dibutuhkan untuk membeli bahan baku relative tidak besar, panjang
pendeknya rantai pemasaran juga menentukan besar kecilnya modal.
Ketika rantai pasarnya panjang modal yang ditanam relative besar karena
jangka waktu pemabyaran memakan waktu yang lama, sebaliknya jika
rantai pemasarannya pendek maka modal yang dibutuhkan tidak terlalu
besar.
Untuk ikan kering modal yang dibutuhkan adalah modal tempat
usaha dan modal kerja, modal kerja yang dibutuhkan relatif tidak
terkendala mengingat sistem penjualannya tunai, pasar yang dijangkau
local dan regional, bahan bakunya relatif mudah di peroleh.
Ikan asap, modal yang dibutuhkan relatif kecil mengingat bahan
baku mudah diperoleh, sebagian besar berbahan baku ikan segar, proses
produksi relatif singkat, skala usaha kecil, pasar yang dijangkau adalah
pasar lokal
Ikan Pindang, bahan baku yang dibutuhkan relatif banyak, skala
usaha sedang, pasarnya regional, sistem pembayaran menggunakan
tenggang waktu mengingat penjualan dari pengusaha tidak langsung pada
konsumen tetapi kepada pedagang pengepul.
Suri mi, merupakan olahan ikan yang merupakan bahan baku
antara (sebagai bahan baku filet, bakso, nugget dsb), membutuhkan
peralatan yang relatif mahal, bahan baku bisa ikan segar bisa ikan dingin,
pemasarannya bersifat nasional, sehingga pengusaha membutuhkan
modal tempat usaha dan modal kerja relative besar.
Terasi merupakan produk ikan/udang/rebon yang difermentasi,
proses produksinya memakan waktu yang agak lama, produk dibuat
sesuai pesanan, pasarnya nasional, namun demikian modal yang
dibutuhkan tidak begitu besar.
155

Para pengusaha pengolah ikan kering, ikan asap, ikan pindang,
surimi dan terasi merupakan usaha skala mikro, kecil dan menengah
merupakan usaha keluarga yang turun temurun dan umumnya
mengandalakan pada modal sendiri. Namun rata-rata kurang tertib
administrasi mengingat usaha keluarga susah untuk memisahkan
kekayaan pribadi dan kekayaan perusahaan, kualitas SDM rendahm dana
banyak diinvestasikan ke dalam kebutuhan pribadi bukan inve pada
keperluan perusahaan.
Pemerintah melalui lembaga perbankan dan non perbankan serta
melalui anggaran pemerintah pusat maupun daerah memfasilitasi bantuan
permodalan kepada pengusaha makanan ikan olahan, namun para
pengusaha skala mikro, kecil, dan menengah perlu mewaspadai
kehadiran pengusaha ikan bermodal besar, dan arus global mengingat
pemerintah susah membatasi impor ikan segar maupun ikan olahan.

Aspek Pemasaran
Kondisi pasar produk olahan ikan yang diproduksi para pengolah di
daerah penelitian
sebanyak 130 pengusaha ternyata sebagian besar pengusaha
mengatakan bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh perusahaannya
tidak berbeda dengan yang dihasilkan oleh perusahaan lain. J umlah yang
mengatakan kualitas produk yang dihasilkan sama sebanyak 55
pengusaha atau 42,31%, sedangkan yang mengatakan bahwa produk
yang dihasilkan berbeda dengan yang dihasilkan pengusaha lain
sebanyak 16 pengusaha atau 12,31%. Para pengolah merasa bahwa
produk yang dihasilkan kualitasnya berbeda dengan yang dihasilkan oleh
perusahaan lain walaupun jenis barang yang dihasilkan sama.
Sedangkan 35 responden atau 26,92% mengatakan bahwa produk
yang dihasilakan oleh perusahaannya kualitasnya kadang sama kadang
berbeda, ini bisa dipahami bahwa untuk perusahaan kecil bisanya
usahanya turun temurun maka para pengolah mengatakan sama tetapi
barang kali sudah ada perlakuan yang lain walaupun produk yang
156

dihasilkan sama, itulah yang membedakan dengan produk yang sama.
Oleh karena itu sebanyak 24 pengusaha tidak menjawab terhadap
pertanyaan ini atau 18,46%.
Responden yang memasarkan produknya dalam kecamatan
sebanyak 12 pengusaha atau 9,23%. Produk ini biasanya adalah produk
ikan asap yang umumnya dipasarkan untuk pasar lokal, atau tengkulak
datang untuk membeli dan membawanya ke pasar regional yang jaraknya
tidak jauh dari lokasi produk dihasilkan. Pasar yang dijangkau yang paling
besar adalah gabungan antara pasar dalam kecamatan dan luar
kecamatan yaitu sebanyak 55 responden atau 42,31%. Pasar yang
dijangkau umumnya pasar lokal, regional dan nasional. Produk yang
dipasarkan ke pasar lokal, regional dan nasional umumnya seperti :
produk ikan pindang, ikan kering, trasi, dan surimi serta ikan asap.
Upaya meningkatkan kualitas harapannya ada pengembangan dan
inovasi alat produksi, namun kadang ada bantuan alat produksi dari
pemerintah yang tidak digunakan karena bantuan tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Pengusaha ikan olahan yang tradisional kadang juga
susah untuk diajak melakukan inovasi karena tidak sesuai tradisi dan
budaya.
J umlah responden yang memasarkan produknya ke luar
kecamatan sebanyak 31 pengusaha atau 23,85%, jangkauan pasar ini
biasanya pasar regional J awa Tengah, produk yang dipasarkan
kebanyakan ikan pindang, ikan asap, ikan asin dan ikan bandeng yang
pasarnya sudah tertentu.
Selain faktor pemasaran menjadi kunci sukses sebuah usaha tidak
kalah pentingnya adalah kondisi produk, sesuai dengan tabel 4.59 maka
tampilan hasil olahan belum baik sebanyak 43,85 %, dan yang
mengatakan sudah baik 36,15%. Dari segi kesehatan produk yang sesuai
standar sebesar 53,08%, dan yang belum memenuhi standar 24,61%.
Dari sisi legalitas perusahaan yang sudah terdaftar di kemenkes 30% dan
yang belum terdaftar 52,31%, dan perusahaan yang sudah melakukan
ekspor baru 0,8%.
157

Pengusaha ikan olahan masih banyak terkendala pada bahan
baku(bahan baku impor ataupun penyimpanan bahan baku masih lemah),
sehingga sering mengganggu pengusaha ikan olahan. Pengusaha ikan
olahan dalam skala mikro dan kecil masih menggantungkan pasar local
dan regional, sehingga ketika pasar tradisional tidak dijaga
kelangsungannya maka bukan tidak mungkin pengusaha ikan olahan
menjadi gulung tikar. Oleh karena itu disamping dilakukan inovasi dan
peningkatan ketrampilan memproduk ikan olahan maka perlu adanya
inovasi pengolahan dan peningkatan produk serta pemasaran.
Pada pemasaran ikan kering disamping kualitas produk juga
diperlukan inovasi kemasan produk, saluran distribusi, sesuai dengan
bentuk produk yang tahan lama maka perlu dikembangkan saluran
distribusi mulai dari produsen, pedagang besar, pedagang kecil,sampai
pada konsumen. Pasar ikan kering bisa dikembangkan menjadi skala
nasional bahkan ekspor.
Pada pemasaran hasil Ikan asap yang perlu diperhatikan adalah
proses produksi, kemasan dan kualitas produk. Hasil olahan jenis ini rata-
rata hanya memiliki pasar tradisional lokal. Hasil olahan dari produsen
biasanya dipasarkan sendiri ke pasar-pasar tradisional yang jaraknya
relatif tidak jauh dari tempat produsen, namun dengan kemudahan
transportasi bisa dikembangkan pada skala regional.
J enis produk Ikan Pindang banyak diminati oleh masyarakat,
namun demikian kemasan dan tampilan produk dari waktu kewaktu relatif
tidak mengalami perubahan, produk tidak tahan lama tetapi pasarnya
berskala regional, oleh karena itu dalam pengembangan produk ini
diperlukan pedagang besar, pedagang kecil dan pengecer. Mengingat
produk tidak tahan lama maka yang dibutuhkan adalah ketersediaan
transportasi yang memadai sehingga produk sampai dengan konsumen
tidak mengalami kerusakan.
Produk Surimi merupakan produk olahan generasi baru, pasarnya
sangat luas, peralatan yang dibutuhkan semi modern, kualitas dan
kemasan produk sudah dirancang dan diciptakan secara baik, sehingga
158

lembaga pemasarannyapun sudah tertata rapi, kebanyakan produk ini
masuk pada pasar modern.
Produk terasi merupakan produk hasil fermentasi , kemasan produk
dari yang bersifat tradisional sampai pada kemasan modern sudah ada,
pasarnya berskala nasional karena sifat produk ini tahan lama, sehingga
pasarnya bisa dirancang mulai dari produsen, pedagang besar, pedagang
kecil samapai pada konsumen. Pasarnya pun bisa melalui pasar
tradisional maupun pasar modern.

2. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan
Indikator keberhasilan pemanfaatan hasil litbangyasa ini sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004
Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan, antara lain dijabarkan dan
dirumuskan pada standar sarana dan prasarana pengolahan yang
ditetapkan oleh Dinas Perikanan Provinsi J awa Tengah adalah sebagai
berikut :
a. Persyaratan Sapras Pengolahan Ikan. Sarana Pengolahan berupa
peralatan yang dipergunakan untuk produksi dibuat berdasarkan
perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene serta
menjamin kelancaran proses penanganan dan pengolahan.
b. Prasarana Pengolahan. Dalam prasarana pengolahan, harus
tersedia infrastruktur pendukung (seperti jalan, air dan sumber
listrik). Lokasi bangunan harus berada ditempat yang bebas
pencemaran. Konstruksi bangunan harus kuat dan mendukung
kelancaran proses pengolahan dan sanitasi.
c. Persyaratan teknis sarana Pengolahan harus sesuai dengan jenis
produk; harus terbuat dari bahan yang tidak korosif; tidak
mencemari produk dan tidak menyerap air; permukaan kontak
dengan produk harus halus, tidak bercelah, tidak mengelupas;
peralatan tersebut harus mudah dibersihkan dan tahan lama.
d. Persyaratan Gedung atau bangunan tempat pengolahan Ikan:
Dinding harus berwarna Terang; Permukaan dinding harus rata
159

dan halus; pertemuan sudut dinding melengkung sehingga mudah
dibersihkan.
e. Lantai harus tahan terhadap minyak ikan, lemak, air garam/air laut,
deterjen dan desinfektan. Warna terang, kedap air, rata tidak
berpori dan mudah dibersihkan, keramik yang tidak licin,
kemiringan 3-5 ke arah saluran pembuangan (drainage) hal ini
diperlukan untuk menghindari terjadinya genangan air.
f. Atap bangunan harus mampu melindungi ikan yang dijual dari sinar
matahari, hujan yang akan mengakibatkan kontaminasi, kerusakan
fisik dan mutu.
g. Ruangan Pasar harus memiliki cahaya penerangan yang cukup
melalui cahaya alami dan dilengkapi dengan lampu yang memadai.
Lampu harus dilindungi pelindung untuk menghindari pecahan
lampu.
h. Persyaratan Sanitasi : Sirkulasi udara cukup/ventilasi minimal 20%
luas ruangan. Air : Tersedia air bersih yang cukup dilengkapi
tandon air, Kualitas air bersih diperiksa setiap 6 bulan, Es: harus
tersedia dalam keadaan curah dan yang digunakan harus
memenuhi standar.
i. Instalasi limbah/saluran pembuangan harus terbuat dari bahan
yang kedap air, rata, tidak berpori, halus agar mudah untuk
dibersihkan. Konstruksi saluran harus berbentuk U agar mudah
dibersihkan, mengalirkan limbah/air dengan lancar. Saluran harus
ditutup dengan jeruji logam dan tidak mudah karat.
j. Toilet harus tersedia cukup bagi pengunjung dan pedagang yang
ada di pasar; harus dilengkapi dengan tempat mencuci tangan dan
harus selalu dalam kondisi bersih.
k. Fasilitas cuci tangan seharusnya tersedia di dekat meja display,
dapat digunakan pembeli baik sebelum maupun sesudah memilih
ikan.
l. Persyaratan peralatan pemasaran. Meja: sebaiknya portable, tidak
mudah dipindahkan, bahan tahan karat, pada ujung sisi meja
160

sebaiknya dilengkapi dengan tempat saluran air yang terhubung
langsung ke saluran pembuangan. Setiap sisi meja seharusnya
disediakan kran air bersih untuk pencucian dan tempat sampah
yang mudah diangkat dan dipindahkan; Talenan dari bahan
plastik/polipelin; Pisau tajam, tidak berkarat; Timbangan: bahan
yang tidak mudah korosif dan mengkontaminasi ikan. Seharusnya
dalam kondisi pas dan selalu dilakukan kalibrasi secara rutin.
Keranjang: dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak
mengkontaminasi produk. Trolly : dari bahan yang tidak
mengkontaminasi produk. Pakaian bersih; Memakai celemek,
sepatu boot, penutup kepala, sarung tangan; Selalu mencuci
tangan setelah bertransaksi; Pemeriksaan kesehatan berkala
setiap 6 bulan; Tidak membuang sampah sembarangan; Berhenti
berjualan apabila sedang sakit.
Persyaratan pasar ikan. Persyaratan pasar ikan yang harus di
lakukan seperti singkatan di bawah ini :
P : Pergunakan perlengkapan diri seperti celemek, sarung tangan
dan sepatu bot
A : Aman dari bahan berbahaya seperti formalin dan borax
S : Selama menjual ikan hindari merokok, meludah dan bersin
A : Apabila sedang sakit yang dapat mencemari ikan (Flu, Diare,
TBC) jangan berjualan
R : Rutin membuang sampah dari los dagangan setiap hari ke
tempat pembuangan sampah.
Persyaratan Ikan. Persyaratan ikan yang harus di siapkan seperti
singkatan di bawah ini :
I : Ingat untuk selalu menggunakan peralatan yang bersih
K : Ketersediaan es dan air yang cukup
A : Amankan dari hama / hewan perusak seperti serangga, tikus dan
sebagainya
N : Nuansa pasar yang bersih dan segar.

161

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan, dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di
dalam lingkungan perairan. Ikan laut dibagi kedalam beberapa kategori
utama, yaitu golongan demersal, pelagik kecil, pelagik besar, anadromus,
dan katradromus. Golongan demersal merupakan ikan yang hidup di
lautan dalam. Pelagik baik besar maupuan kecil merupakan ikan kecil di
permukaan atau di lapisan atas. Kemudian golongan anadromus adalah
ikan yang hidup di air payau yang berasal dari laut seperti ikan bandeng
dan salem. Sedangkan golongan katradromus adalah jenis ikan payau
yang berasal dari air tawar.
Indikator keberhasilan dari usaha pengembangan industri makanan
berbahan baku ikan laut di J awa Tengah yaitu sejauh mana permasalahan
pengembangan yang ada sampai dengan saat ini dapat dikurangi sampai
dihilangkan. Menurut kajian yang dilakukan oleh Indroyono & Budiman
(2003:103) bahwa produk laut Indonesia sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi penghasil devisa nyata, karena bahan bakunya
lokal, modalnya rupiah namun hasilnya dollar.
Persoalan yang lebih penting adalah upaya untuk mengolah, tidak
hanya mengekspor dalam bentuk mentah, karena nilainya cenderung
rendah. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, di
mana luas wilayah daratannya lebih kecil dari pada luas wilayan lautnya.
Luas daratannya mencapai 1,9 juta km
2
, wilayah laut sekitar 5,8 juta km
2
,
jumlah pulaunya sebanyak 17.508 buah dengan panjang garis pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu 81.000 km (Dahuri, 2005).
Dengan kondisi seperti ini, Indonesia memiliki potensi sumberdaya
perikanan laut yang besar yang dapat dijadikan sebagaipasokan dan
cadangan bahan baku indusrti makanan berbahan baku ikan laut. Hasil
pengkajian stok ikan di Perairan Indonesia yang pernah dilaporkan Badan
Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan
Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun
162

2001 (dalam Purwanto, 2003) bahwa potensi lestari (MSY) atau jumlah
sumber daya ikan laut yang dapat ditangkap dan tidak mengganggu
kelestarian di perairan Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan
jumlah penangkapan yang diperbolehkan 5,1 juta ton per tahun (80 % dari
MSY), dengan potensi lestari ikan demersal yakni 1.370.090 ton per
tahun. Kondisi tersebut memberikan dukungan penyediaan bahan baku
yang cukup bagi industri pengolahan ikan.
Pengolahan ikan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian
Sistem J aminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam pasal 1
dijelaskan bahwa pengolahan ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau
perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk
konsumsi manusia. Kemudian dalam Peraturan Direktur J enderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor: Per.09/Dj-
P2hp/2010 Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, dan
Format Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Pasal 1 dijelaskan bahwa
Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari
bahan baku.Pengolahan ikan wajib memenuhi persyaratan umum
hyangiene, prosedur yang baik, sarana dan parasarana yang baik,
pengemasan dan proses pemasaran yang memenuhi standar higienitas.
Secara garis besar, industri pengolahan ikan laut dapat dibedakan
menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok pengolah ikan serta
kelompok penambahan nilai ikan. Kelompok pengolah ikan merupakan
upaya melakukan pengawetan ikan secara tradisional dengan hasil akhir
masih berupa ikan, terdiri dari pemindangan, pengeringan/penggaraman,
pengasapan/pemanggangan. Sedangkan penambahan nilai ikan
merupakan hasil olahan turunan dari ikan baik dari daging, kulit maupun
tulang ikan. Kelompok ini terdiri dari surimi (daging ikan giling) dan
turunannya seperti bakso ikan, nugget ikan, otak-otak, kaki naga, kerupuk
ikan, terasi dan olahan lainnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat J enderal
PPHP melakukan pembinaan terhadap industri pengolahan ikan dengan
163

mengembangkan sentra-sentra pengolahan ikan di seluruh Indonesia.
Konsep tersebut merupakan aplikasi dari paradigma baru pengembangan
sentra pengolahan hasil perikanan dengan arahan; 1). lokasi/kawasan
tempat pengolahan ikan dengan sebagian besar produk olahan yang
sama, 2). jumlah pengolah yang memenuhi persyaratan/cukup,
3).pasokan bahan baku yang cukup dan adanya akses pasar/tujuan
pemasaran, 4). bersedia dijadikan lokasi/kawasan sentra pengolahan, dan
5). program pengembangan sentra tidak harus bangunan fisik, tapi dapat
berupa bantuan bintek, peralatan dan sarana penunjang lainnya,
Sampai dengan tahun 2012, di J awa Tengah telah ditetapkan
sebanyak 5 daerah Kabupaten/Kota sebagai penerima program
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan (PHP).
Tabel.4.4 Lokasi Program Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan dari Kementerian Kelautan & Perikanan di jawa
Tengah sampai Tahun 2012
No Kab/Kota J enis Olahan Tahun
1 Kota Tegal Fillet Ikan Laut 2006, 2007
2 Kab. Boyolali Olahan Lele 2008, 2011
3 Kab. J epara Panggang Ikan Laut 2008
4 Kab. Pati Fillet Ikan Laut 2010, 2011
5 Kab. Demak Panggang Ikan Laut Dan Lele 2010, 2011
Sumber: DInas Kelautan dan Perikanan Prov. J ateng 2012
Namun demikian, masih terdapat berbagai kendala dalam
pengembangan selanjutnya, baik di 5 wilayah tersebut maupun wilayah
lainnya. Persoalan utama adalah penyediaan lahan yang sulit dilakukan
oleh pemerintah daerah. Selain persoalan sumberdaya tersebut, hasil
evaluasi sementara terhadap sentra-sentra yang ada adalah belum
optimalnya penggunaan sarana yang ada karena budaya atau kebiasaan,
belum mampunya SDM pengelola untuk menerapkan perilaku bersih,
belum ada jaminan dalam kontinuitas /ketersediaan bahan baku, serta
terbatasnya akses pasar untuk produk yang dihasilkan.
Dalam era globalisasi ini, tentu peningkatan daya saing industri
sangat diperlukan. Selain potensi perikanan yang besar, permintaan
164

dalam negeri maupun luar negeri terhadap produk ikan sebagai sumber
nutrisi cukup tinggi. Dengan demikian sangat disayangkan apabila potensi
tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kebutuhan mengembangkan pengolahan ikan berkaitan erat
dengan pengembangan perekonomian daerah di J awa Tengah. Untuk
dapat melakukan itu, ada beberapa prasyarat yang cukup penting untuk
dipenuhi. Untuk dapat bersaing, ada potensi keunggulan kompetitif yang
harus dimiliki oleh setiap UKM untuk dapat bersaing di pasar dunia.
Penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas
dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan
mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem
nanajemen dan struktur organisasi yang baik, pelayanan teknis maupun
nonteknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi,
modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan
luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship
yang tinggi merupakan faktor keunggulan UKM (Tambunan, 2002;29).
Untuk menyikapi hal tersebut, UKM terutama pengolahan makanan
berbahan baku ikan laut harus mampu menghadapi berbagai persoalan
mendasar. Menurut studi yang dilakukan oleh BPS dalam Tambunan
(2002; 73-80) bahwa kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun
industri rumah tangga di Indonesia (termasuk makanan olahan berbahan
baku ikan laut) adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial,
SDM, bahan baku dan teknologi.
Kesulitan pemasaran yang dihadapi UKM pada umumnya adalah
persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di
pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas
serta pelayanan yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar
juga mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan
seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak,
dengan standard yang tidak mampu dipenuhi oleh UKM di Indonesia,
serta kebijakan dumping dan sebagainya yang merugikan industri dalam
negeri.
165

Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi
modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan
output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM
mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan
kurangnya informasi para pelaku UKM terhadap pembiayaan.
Kebanyakan industri kecil dan rumah tangga menggunakan uang dari
modal sendiri dibanding dana pinjaman perbankan, terutama industri
makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM
dalam aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi
bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar.
Rendahnya pendidikan pekerja UKM menjadi penghambat di mana
lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atau tidak tamat sekolah.
Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan
lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangakaan bahan
atau mahalnya harga bahan baku yang tak terjangkau, kualitas yang
rendah serta kurangnya pemenuhan.
Teknologi yang rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas
yang rendah, kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam
produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal
investasi, keterbatasan informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM
yang mampu mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga
menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar
global.

3. Perkembangan Pemanfaatan Hasil
Sentra pengolahan ikan tidak terdapat di semua daerah penghasil
ikan di J awa Tengah, hanya sebagian yang menghasilkan dan mengolah.
Untuk pengolahan ikan terdapat sekitar 7.854 industri kecil dan menengah
yang bergerak dalam bidang pengolahan ikan laut yang tersebar di 35
Kabupaten/Kota di J awa Tengah. Kabupaten J epara dan Rembang
166

merupakan wilayah yang memiliki jumlah industri pengolahan ikan
terbesar di J awa Tengah.
Industri pengolahan ikan di J awa Tengah didominasi oleh industri
skala UMKM yang memiliki jangkauan pasar lokal serta beberapa kota
lainnya di pulau J awa. Di J awa Tengah terdapat beberapa industri besar
yang telah memilki pangsa pasar mapan di luar negeri. Kualitas produk
olahan tersebut telah memenuhi semua standar mutu keamanan pangan,
namun selama ini belum terjalin kerjasama dengan UKM/IKM untuk lebih
berkembang.
Di J awa Tenah terdapat ribuan industri menengah, kecil dan mikro
dengan berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Mayoritas hanya
memenuhi pasar lokal di dalam daerah, ada beberapa yang menjual di
luar daerah dan pulau-pulau lain. Potensi industri ini sangat besar dengan
melibatkan pekerja cukup banyak, namun daya saing mereka sangat
lemah. Pengolahan ikan memungkinkan bertambahnya nilai jual ikan
beberapa kali lipat dibanding dengan penjualan segar atau pengawetan
sederhana. Pengolahan ikan terdapat di hampir semua daerah di J awa
Tengah.
Pemanfaatan hasil litbangyasa sampai saat ini, telah dilakukan
sejak dilakukan pengumpulan data, penyusunan laporan dan
mendiseminasikan hasil litbangyasa di lima kabupaten-kota daerah
pengamatan. Dengan metoda FGD yang melibatkan para pengolah ikan,
petugas penyuluh lapang, pengelola/pembina pengolah ikan (DKP),
perbankan, instansi koperasi, perdagangan, perindustrian, kesehatan, dan
Pemda setempat serta dari perguruan tinggi .
Hasil litbangyasa ini sedikit banyak telah direspon para perserta
FGD untuk perencanan pengembangan usaha yang sedang dilakukan,
perencanaan pembinaan dan Bintek oleh SKPD terkait, serta
pengembangan penelitian lebih lanjut oleh para peneliti dan perekayasa di
lembaga Litbang dan Universitas.



167

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan
industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut di J awa Tengah
sebagai berikut :

Kebijakan pemerintah :
Pelaku usaha menganggap kebijakan pemerintah tidak
memberikan dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha
merasa dihambat karena kebijakan tersebut. Kebijakan pengembangan
pengolahan ikan sifatnya sangat top down, kurang memperhatikan
kebutuhan dan kapasitas para pengolah ikan atau masyarakat bawah.
Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan dan
program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu perlunya
sinergi antar sektor (perikanan, industri, perdagangan, tenaga kerja,
UMKM) terutama dalam lembaga pemerintahan agar bisa memberikan
dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif dan sasaran
kebijakan dapat tertata dengan baik.
Selain kebijakan itu sendiri bermasalah, persoalan lain yang terjadi
adalah minimnya sumberdaya dalam implementasi kebijakan, misalnya
kebijakan membangun sentra terkendala tersedianya lahan yang
seharusnya disediakan Pemda. Dengan demikian, implementasi kebijakan
memerlukan partisipasi dari pelaku usaha.
Pada tingkat penerimaan kebijakan juga terkendala oleh perilaku
pengusaha dan pekerja. Misalnya kebijakan higienitas terkendala perilaku
kurang sehat dan minimalisir biaya produksi dari pengusaha agar harga
pasar bisa lebih murah. Masalah lain adalah perilaku manajemen usaha
dari para pengusaha yang masih mengandalkan metode tradisional, serta
sulit untuk melakukan perubahan secara mendasar. Dengan demikian ada
beberapa faktor budaya dan perilaku dalam pengolahan ikan yang dapat
168

menghambat implementasi kebijakan pemerintah jika paradigma
implementasinya top down, namun jika melibatkan masyarakat dan
memahami nila-nilai yang ada, akan lebih mudah..
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah
yang mendukung pengembangan industri makanan berbahan baku ikan
laut telah ada antara lain tentang pernyaratan bahan baku, proses
produksi, kualitas hasil produksi, permodalan, dan pemasaran, sarana dan
prasarana penunjang, ketenagakerjaan yang terampil, serta
pengembangan teknologi. Namun demikian kebijakan pemerintah tersebut
belum dapat dilaksanakan dengan baik, disebabkan rendahnya kapasitas
SDM di daerah serta anggaran yang terbatas. Hal ini terkait dengan
penyusunan kebijakan makro, penjabaran kebijakan pada tingkat mikro,
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pengolah.

Bahan Baku :
Kesimpulan terkait dengan bahan baku utama dalam
mengembangkan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut, yaitu:
a. Ketersediaan bahan baku utama dalam mengembangkan industri
olahan makanan berbahan baku ikan yaitu berbagai jenis ikan
pelagis, ikan demersal, binatang lunak, dan krustasea.
b. Pada saat musim ikan, kertesediaan ikan tidak menjadi masalah,
tetapi sarana/tempat penyimpanan sementara menjadi masalah
pengembangan usaha. Pada saat tidak musim ikan, sulit diperoleh
ikan dan harganya relatif lebih mahal serta sebagian besar
produsen mengambil bahan dari ikan impor.
c. Pengadaan bahan baku industri makanan berbahan baku ikan laut
oleh para pengolah ikan dipengaruhi oleh kemampuan kerjasama
pengadaan dengan berbagai pihak, kualitas dan kuantitas ikan,
serta keberadaan bahan baku tersebut.

Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana utama kegiatan industri pengolahan ikan
berbahan baku ikan laut masih relatif sederhana, jumlah dan kualitasnya
169

belum sesuai yang diharuskan dalam mengembangkan industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan. Kerersediaan sarana dan
prasarana penunjang industri makanan berbahan baku ikan laut yang
difasilitasi pemerintah maupun swasta belum memadai.
Kondisi sarana dan prasarana industri makanan berbahan baku
ikan laut di J awa Tengah memang menjadi hambatan paling besar dalam
meningkatkan mutu hasil perikanan, karena kondisi secara umum sebagai
berikut:
a. Hampir semua pengrajin pengolah ikan masih bersifat tradisional
belum memiliki sarana prasarana yang memadai sebagai standar
keamanan pangan yang baik. Persoalan sanitasi dan higienitasi
belum bisa diwujudkan dengan sarana dan prasarana yang
memenuhi standar baku mutu.
b. Persoalan lain adalah dalam pengemasan dan pengiriman hasil
olahan sebagain besar masih mengalami kesulitan dalam menjaga
kualitas produk, baik berupa kelembaban maupun pelrindungan
dari bakteri.
c. Persoalan pokok sarana dan prasarana pengolahan ikan meliputi
rendahnya sanitasi air bersih, rendahnya kualitas penyimpanan
bahan baku, peralatan pengolahan belum memenuhi standar
kualitas.

Sedangkan kondisi khusus di lima lokasi penelitian di J awa Tengah
sebagai berikut:
a. Di Kabupaten Rembang sebagai penghasil pengolahan ikan
pindang, kering, terasi dan asap mengalami kekurangan tentang
sapras antara lain: bangunan, kompor, dandang, es, sanitasi, kotak
pendingin, alat transportasi.
b. Di Kabupaten Pati potensi terbesarnya adalah pengolahan ikan
pindang, ikan asap dan bandeng olahan, kondisi sarana dimana
menggunakan sanitasi yang kotor, pembuangan limbah dan
peralatan pengolahan yang terbilang kotor.
170

c. Di Kota Pekalongan sebagai sentra penghasil Ikan asin dan olahan
ikan kondisi sarana dan prasarana kekurangan dalam kualitas
bangunan, garam, rak bambu, kotak pendingin, penggilingan ikan,
pencucian, alat rebus, alat penggorengan, pengemasan alat
transportasi.
d. Kabupaten Brebes sebagai sentra penghasil ikan asap dan ikan
asin kondisi sarana prasarananya menghadapi persoalan dalam hal
bangunan, kompor, dandang, garam, kotak pendingin, alat
transportasi.
e. Kabupaten Cilacap sebagai sentra penghasil ikan segar, kering
dan ikan asap kondisi sarana prasarana kekurangan dalam hal
bangunan, sanitasi dan kotak pendingin, alat transportasi.

Tenaga Kerja
Kegiatan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut
banyak memerperlukan sejumlah tenaga kerja yang memerlukan
keterampilan khusus. Ketersediaan jumlah dan keterampilan tenaga kerja
pengolah ikan di pengaruhi oleh kegiatan usaha lain, pada saat musim
panen pertanian-perikanan ketersediaan tenaga kerja kurang, sehingga
kegiatan industri pengolahan menurun sampai menutup kegiatan usaha.
Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan tidak diperlukan
tenaga ahli, cukup tenaga kerja yang terampil dan tekun. dimana upah
yang diberikan kepada pekerja rata-rata Rp. 25.000. setiap harinya.
Semuanya pekerjaan sifatnya borongan sehingga kalau bekerjanya
secara cepat dapat selesai maka akan mendapatkan upah lebih banyak
lagi.Tenaga kerja untuk mengolah ikan bekerja sangat tergantung ada
tidak ikan. J ika tidak ada ikan maka tidak bekerja. Disamping cara
bekerjanya dilakukan secara borongan dimana ikan dihitung secara
beratnya, adapula yang dilakukan secara per keranjang diluar itu tidak ada
insentif yang diberikan oleh pengusaha pengolah ikan. Dengan demikian,
tenaga kerja sebagai pengolah ikan tidak memikirkan peraturan tenaga
171

kerja tetapi yang penting mereka bisa bekerja dan mendapatkan upah
setiap harinya, karena kalau tidak bekerja tidak dibayar.
Kendala yang dihadapi oleh pengusaha pengolah ikan meliputi.
Pada waktu musim ikan dimana ikan dalam kondisi banyak pengusaha
pengolah ikan berlomba untuk mengolah ikan dengan jumlah yang lebih
banyak dari pada pada waktu tidak musim ikan, sehingga membutuhkan
tenaga kerja lebih banyak sedangkan tenaga kerja yang mau bekerja
sebagai pengolah ikan terbatas
Peluang pengusaha pengolah didalam memanfaatkan tenaga kerja
yang ada selama ini meliputi :a. J umlah tenaga kerja didalam lingkungan
perumahan nelayan sangat banyak dan mudah didapat, b. Upah tenaga
kerja selama ini bisa dikatakan sangat murah, c. Tenaga kerja yang
digunakan untuk mengolah ikan tidak diperlukan tenaga ahli, d. Tenaga
kerja yang dibutuhkan untuk mengolah ikan tidak diperlukan pendidikan
yang tinggi cukup yang penting mau bekerja dengan upah yang telah
ditentukan sebelumnya.
Ancaman bagi pengusaha pengolahan ikan didalam memanfaatkan
tenaga kerja yang ada : a. Pada waktu musim ikan banyak kesulitan untuk
menambah tenaga yang ada hal ini disebabkan pengusaha pengolah ikan
juga membutuhkan tenaga kerja yang sama banyaknya, b. Tenaga kerja
muda yang ada dilingkungan perumahan nelayan tidak mau bekerja
sebagai pengolah ikan karena upahnya dirasakan terlalu sedikit.

Teknologi
Kesimpulan terkait dengan teknologi dalam mengembangkan
industri makanan olahan berbahan baku ikan laut, yaitu;
a. Teknologi yang telah dikembangkan umumnya teknologi sederhana
yang sebagian besar berasal dari teknologi yang diwariskan oleh
orang tua para pengolah.
b. Teknolgi yang digunakan dalam industri makanan berbahan baku
ikan laut yaitu taknologi perlakuan bahan baku, teknologi
prosesing/proses pengolahan (awal proses pengolahan, selama
172

proses pengolahan, dan akhir proses pengolahan), dan teknologi
pengemasan, serta teknologi pemasaran.
c. Pengembangan teknologi pengolahan ikan yang dihadapi para
pengolah ikan yaitu : kebiasaan/budaya/perilaku para pengolah
terhadap teknologi, lokasi/sumber dan kemudahan teknologi
tersebut diperoleh, banyak dan mutunya teknologi.

Modal
a. Modal yang dimiliki oleh para pengolah hasil produksi perikanan
umumnya modal sendiri dan pengelolaan modal yang dimiliki belum
optimal.
b. Ketersediaan modal di lembaga permodalan (pemerintah dan
swasta) cukup banyak dengan skema pinjaman yang belum
seluruhnya berorientasi pada pengembangan UMKM.

Pasar
a. Pasar produk makanan olahan berbahan baku ikan sebagaian
besar untuk memenuhi permintaan pasar lokal, sebagian kecil
produk olahan makanan berbahan baku ikan laut yang dipasarkan
di pasar swalayan.
b. Pemasaran produk hasil olahan ikan dipengaruhi oleh jumlah
produksi dan mutu produkai, pengemasan, trasportasi, dan harga
produk.

Setelah diambil kesimpulan sebagaimana penjelasan di atas, maka
langkah selanjutnya adalah sebagai berikut;
1. Tahapan Pelaksanaaan Kegiatan
a. Penelitian diawali dengan survey pendahuluan ke lokasi
pengembangan industri pengolahan berbahan baku ikan laut di
Pantai Utara J awa Tengah, kemudian konsultasi dengan instansi
pembina (DKP, Disperindag, Disyankop dan UKM, Dinkes Provinsi
J awa Tengah) dan perusahaan besar industri makanan berbahan
173

baku ikan laut di Semarang. Kemdian konsultasi metodologi ke
UNES dan UNDIP untuk menyusun proposal penelitian.
b. Penyusunan dan pembahasan proposal penelitian disesuaikan
batasan/aturan lembaga donor dana penelitian (PKPP
Kemenristek 2012) melalui BPP Kemendagri.
c. Setelah proposal disetujui kemudian mengirimkan daftar
pertanyaan mix (terbuka & tertutup) kepada 150 an responden
pengolah, pemasar, dan petugas pembina di ke 5 lokasi sampel
penelitian.
d. Setelah daftar pertanyaan kembali, kemudian dilakukan tabulasi
selanjutnya melakukan kros cek dan indept interview. Hasil
sementara terkait data dan informasi penngembangan industri
makanan berbahan baku ikan laut di sampaikan dalam FGD yang
dihadiri para wakil kelompok pengolah ikan, tokoh masyarakat,
LSM, petugas dari lembaga/instansi pemerintah dan swasta dalam
acara tersebut untuk melakukan klarifikasi dan pendalaman konsep
pemecahan masalah pengembangan industri pengolahan.
e. Kemudian penyusun laporan awal dan menyeminarkan hasil
penelitian di berbagai kesempatan, mempubilkasikan di berbagai
media, sosialisasi hasil penelitian di 5 lokasi penelitian dan
menyusun laporan akhir penelitian.

2. Metode Pencapaian Target Kinerja
Metode pencapain target kinerja ialah melalui kegiatan penelitian
lapangan yang bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yang digunakan
untuk mencapai target kinerja penelitian ini, adalah dengan pendekatan
deduktif/kualitatif dan pendekatan induktif.
Subjek penelitian atau populasi dalam penelitian ini ialah pelaku
industri atau pengrajin makanan berbahan dasar ikan laut di J awa
Tengah. Responden adalah pemerintah daerah dan para pengolah ikan
khususnya yang terdapat di Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kota
Pekalongan, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Cilacap. Sampel
174

ditentukan secara purposive, dalam pengumpulan data dengan
memperhatikan informan dan key person di lapangan dengan
menggunakan teknik snowball. J umlah dan latar belakang sampel
penelitian ini disesuaikan dengan kondisi lapangan dan kebutuhan
penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu: a) Teknik
observasi; b) Teknik wawancara (interview guide), c) FGD dan d) Desk
study. Teknik analisis yang digunakan trianggulasi sebagaimana
penelitian kualitatif. Data dianalisis secara kualitatif dengan dilakukan
analisis induktif. Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman.
Hasil dari penelitian ini kemudian disosialisasikan kepada pihak-
pihak terkait sebagai bahan rekomendasi kebijakan. Selain itu, sosialisasi
dilakukan dalam rangka membangun sinergi kebijakan.

3. Potensi Pengembangan Ke Depan
Ada beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan
dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di
tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam
memahami kebutuhan dan arah kebijakan.

4. Sinergi Koordinasi kelembagaan - Program
Masing-masing lembaga yang terkait dengan pengembangan industri
makanan berbahan baku ikan laut tersebut harus menjadi variabel dalam
upaya pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut
dimana terjadi saling koordinasi dan sinkronisasi program antar sektor.

5. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa
a. Kebijakan : Penjabaran sesuai pelaku/penguna dengan sosialisasi
dan koordinasi implementasi
b. Bahan Baku : Kerjasama kelompok secara efektif & efissien
c. Tenaga Kerja : Sistim Diklat Pengolah Ikan dan Permodalan
d. Sarana & Prasarana : Diklat Sarpras dan Permodalan
175

e. Teknologi : Bintek dan skema permodalan
f. Modal : diklat managemen dan perbankan berorientasi UMKM
g. Pasar : Pemasyarakatan makan ikan, diklat packaging, dan sistim
permodalan UMKM

B. Saran
1. Keberlanjutan Pemanfaatan Hasil Kegiatan
Agenda pemerintah Provinsi J awa Tengah dalam peningkatan
sektor perikanan di daerah adalah melaksanakan Program
Pengembangan Sumber Daya Perikanan dengan beberapa kegiatan
utama yaitu:
a. Pembinaan dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan melalui
Pengembangan Pola Permodalan dan Investasi Dalam Negeri dan
Asing,
b. Pengembangan Data dan Statistik Perikanan,
c. Penguatan dan Pengembangan Pemasaran Dalam Negeri dan Ekspor
Hasi Perikanan melalui Peningkatan Konsumsi Ikan Melalui Program
Nasional Gemarikan dan Promosi Produk, Fasilitasi Pembangunan
dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pemasaran Dalam Negeri
dan Pembinaan Ekspor Produk Perikanan,
d. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan
melalui Pengembangan Sistem Rantai Dingin (Cool Chain System),
Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Pengawasan
Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Peningkatan Kompetensi
Lembaga Sertifikasi, Penguatan Kompetensi Laboratorium Penguji
e. Penyelenggaraan Revitalisasi Perikanan
Dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan,
Pemerintah porovinsi J awa Tengah mengagendakan kebijakan berupa:
a. Peningkatan daya saing melalui penciptaan iklim yang kondusif,
melalui regulasi atau deregulasi serta peningkatan mutu dan
keamanan produk
176

b. Pemantapan struktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan
nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait serta
akademisi
c. Membangun kelembagaan agribisnis perikanan (Akuabisnis) melalui
penataan kelembagaan dan ekonomi yang baik, keterpaduan antara
pemasok bahan baku, industri pengolahan, serta pemasaran dan
upaya terwujudnya produk akhir yang berkualitas dan berdaya saing.
Setiap Kabupaten/Kota juga memiliki kebijakan turunan tersendiri,
baik yang bersinergi dengan pemerintah pusat maupun provinsi. Namun
demikian, berdasarkan temuan lapangan tidak ditemukan adanya
kebijakan dan regulasi khusus dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam
upaya pengembangan industri pengolahan ikan. Sebagian besar regulasi
perikanan hanya mengatur mengenai mekanisme tata niaga ikan melalui
TPI, sedangkan dalam aspek pengembangan industri makanan olahan
tidak terdapat regulasi khusus.
Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bertugas sebagai fasilitator dan
melengkapi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, terutama dalam
memberikan bantuan sarana dan prasarana serta pelatihan kepada
sebagian kecil pengolah. Sebagian besar program dan kegiatan
merupakan implementasi dan duplikasi dari program Kementerian yang
berupa pembinaan melalui kelompok-kelompok terbatas. Beberapa
kebutuhan utama lainnya seperti permodalan, jaringan pasar, jaringan
antar pengolah dan aspek teknologi belum begitu banyak mendapatkan
kemajuan dari bantuan pemerintah daerah. Dengan demikian masih
diperlukan adanya peningkatan dalam regulasi dan kebijakan serta
program-program yang relevan dalam upaya pengembangan kemampuan
pengolah.
Berdasarkan jawaban pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah
dapat menyatakan kurang antusias. Kebijakan-kebijakan yang ada tidak
memberikan dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha
merasa dihambat karena kebijakan tersebut. Sehingga mereka merasa
tersingkir atau tidak mampu berkembang dibanding usaha skala besar.
177

Contohnya peraturan mengenai higienitas, standar keamanan pangan dan
aturan mengenai badan usaha tentu sulit untuk dipenuhi olah skala
industri rumah tangga, namun di sisi lain tidak adanya upaya konkret
pemerintah agar pelaku usaha mampu memenuhi standar tersebut di
atas.
Sehingga kebijakan pemerintah dirasa justru memberikan ruang
bagi usaha skala besar dan importir, bukan memberikan ruang
berkembang bagi usaha skala mikro dan kecil. Oleh karena itu,
perumusan kebijakan sebaiknya memperhatikan kondisi nyata dari pelaku
usaha di lapangan.
Beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan
dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di
tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam
memahami kebutuhan dan arah kebijakan. Dalam teori kebijakan, ada
proses awal dimana sebuah kebijakan harus menjadi isu bersama, setelah
menjadi isu maka akan dirumuskan menjadi sebuah agenda seting
kebijakan yang melibatkan segenap unsur. Setelah itu ditetapkan model
kebijakan dan secara teknis mengatur pelaksanaannya.
Selama ini kebijakan pengembangan pengolahan ikan sifatnya
sangat top down, kurang memperhatikan kebutuhan dan kapasitas para
pengolah ikan atau masyarakat bawah. Sehingga bentuk-bentuk kebijakan
dan hasilnya kurang memberikan dampak yang berarti. Seringkali ada
salah sasaran, salah objek, kapasitas yang tidak sesuai dan bantuan yang
tidak berdasarkan kebutuhan.
Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan
dan program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu
perlunya sinergi antar sektor terutama dalam lembaga pemerintahan agar
bisa memberikan dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif
dan sasaran kebijakan dapat tertata dengan baik.



178

2. Keberlanjutan Dukungan Program Ristek
Dukungan Kementerian terkait seperti KKP, Kemenrtian koperasi
UKM, Indag dan lainnya khususnya dari Kemenristek untuk
mengembangkan industri makanan berbahan baku ikan laut di J awa
Tengah. Aspek yang memerlukan dukungan dana dan sarana untuk
dikembangkan yaitu Inovasi IPTEK pengolahan ikan, peningkatan
kapasitas SDM pengolah ikan, mengembangan Sarpras penunjang
pengolahan ikan, dukungan modal yang pro UMKM dan pemasaran hasip
produksi pengolahan ikan, dan dukungan kebijakan teknis yang sesuai
kondisi keadaan sosial masyarakat pengolah.
Pola dukungan insentif LITBANG melalui sistim inkubasi yang saat
ini telah dikembangkan Kemenristek perlu ditingkatkembangkan terutama
di 5 daerah penelitian (Kota Pekalongan, kabupaten Cilacap, Brebes, Pati
dan Kabupaten Rembang).


















179

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini, 2000, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,
Rineka Cipta, J akarta
Aritonang, I. 2000. Krisis Ekonomi : Akar Masalah Gizi. Cetakan I.
Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
Buchari, Alma, 1998. Manajemen Pemasaaran dan Pemasaran J asa.
Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.
Bungin, Burhan, 2008, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Prenada Media Group,
J akarta
Direktorat Gizi- Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bharata Aksara, J akarta.
Djakapermana, RD., 2003. Pengembangan kawasan agropolitan dalam
rangka pengembangan wilayah berbasis Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional. Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah RI. J akarta.
Husainie Syahrani, H.A. 2001. Penerapan agropolitan dan agribisnis
dalam pembangunan ekonomi daerah. FRONTIR Nomor 33, Maret
2001. UGM Yogyakarta
Kotler, P. 1987. Dasar-Dasar Pemasaran. Penerbit Intermedia. Cetakan I,
J akarta.
Mowen J .C. dan Minor M., 2002. Perilaku Konsumen. Penerbit Erlangga,
J akarta.
Pasaribu, M., 1999. Kebijakan dan Dukungan PSD-PU dalam
Pengembangan Agropolitan. Makalah pada Seminar Sehari
Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis serta Dukungan
Prasarana dan Sarana, J akarta, 3 Agustus 1999.
Pemerintah Daerah Provinsi J awa Tengah. 2005. RPPK J awa Tengah.
Peter J .P. dan Olson J .C., 2000. Consumer Behavior. Penerbit
Erlangga,J akarta Suratman. 2001. Studi Kelayakan Proyek, Teknik
dan Prosedur Penyusunan Laporan Edisi I. J & J Learning.
Yogyakarta.
Soekartawi. 1993. Manajemen Pemasaran Dalam Bisnis Modern. Cetakan
Pertama. Penerbit Pustaka Sinar Harapan, J akarta.
__________, 2001. Pengantar Agroindustri. Penerbit PT. Raja Grafindo
Persada, J akarta.
180

___________,, 2003. Agribisnis (Teori dan Aplikasinya). Penerbit PT.
RajaGrafindo Persada, J akarta.
Soesilo, Indroyono & Budiman, 2003, Laut Indonesia; Teknologi dan
Pemanfaatannya, Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan
Indonesia (LISPI), J akarta
Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Penerbit Universitas
Muhammadiyah Malang. Edisi ke -2, Cetakan ke-2, Malang.
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta
Bandung
Surachmad, Wiratno, 1982, Dasar dan Teknik Penelitian Researh
Pengantar, Alumni, Bandung
Sutrisno Hadi, 1986. Metodologi Research. Yayasan Penerbitan Fak.
Psikologi UGM Yogyakarta.
Swasta B. dan Sukotjo. 1997. Pengantar Bisnis Modern. Liberti.
Yogyakarta.
Swastha, B. 1990. Azaz-azaz Marketing. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Tambunan, Tulus TH, 2002, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia;
Beberapa Isu Penting, Salemba Empat, J akarta
Triarso, I. 2004. Final Report : Study On Total Allowable Catch
Determination. PT.Garda Mandiri Tunggal, Semarang.

Dokumen tanpa penerbit
Bappeda Provinsi J awa Tengah & BPS Provinsi J awa Tengah, 2009,
J awa Tengah Dalam Angka 2009
Permenkes 1096 th 2011 tentang Higiene Sanitasi J asa Boga
Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan no 15 th 2011 tentang
Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2006, Profil
Perikanan Tangkap J awa Tengah
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2007, Profil
Perikanan Tangkap di Perairan Umum J awa Tengah
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi J awa Tengah, 2010, Profil
Perikanan Tangkap di Perairan Umum J awa Tengah
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi J awa Tengah, Potensi
Industri Makanan J awa Tengah Tahun 2011
181

UU no 32 th 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
UU no 40 th 2009 tentang Perseroan Terbatas
UU no 25 th 2007 tentang Penanaman Modal

Website
http://diskanlut-jateng.go.id

Anda mungkin juga menyukai