02 Jurnal Tekmira Mei 2006
02 Jurnal Tekmira Mei 2006
C,
dan bulk density sekitar 2,1 2,8 g/ml.
Keunggulan dari refraktori cor dibandingkan dengan
refraktori berbentuk bata adalah pemasangannya yang
mudah dan cepat (J. Silvonen, 2001), yaitu dengan
cara cor adonan ke dalam cetakan sesuai bentuk iso-
lator tanur yang diinginkan. Cara ini menghasilkan
bentuk isolator panas yang mengisi tempat-tempat
yang sulit dalam bentuk yang presisi. Dalam jangka
waktu tertentu refraktori ini sudah mengering (set-
ting) dan siap dipakai. Bahan tahan api hasil
pengecoran ini mampu membentuk refraktori dengan
struktur yang seragam (uniform), porositas rendah,
tahan korosi dan abrasi, tahan suhu tinggi, umur
pemakaian lebih lama. Selain itu untuk memasang
refraktori di tempat yang tinggi dapat dilakukan
dengan bantuan pompa sluri (pumpable castable
refractory).
Abu terbang (fly ash) sebagai salah satu limbah
industri PLTU berbahan bakar batu bara mempunyai
potensi sebagai salah satu bahan baku refraktori.
Banyak studi pemanfaatan limbah abu PLTU ini yang
telah dilakukan oleh berbagai instansi LITBANG dan
perguruan tinggi di Indonesia seperti LIPI, BPPT, ITB,
UI, Departemen Kimpraswil, yaitu mengenai
pemanfaatan abu terbang untuk campuran bahan
baku pembuatan semen portland, pembuatan agregat
beton, bahan baku semen posolan, pembuatan zeolit
(PT. PLN dan PT Kema Technology Indonesia, 1997).
Namun demikian penelitian pemanfaatan abu
terbang untuk bahan baku pembuatan refraktori cor
belum ada yang melakukannya. Faktor-faktor yang
menjadi alasan untuk dilakukannya penelitian ini
adalah :
a) bahan baku melimpah yang mempunyai
komposisi kimia aluminosilika aktif (disebabkan
telah kontak dengan suhu tinggi, sekitar 1200
C
di dalam dapur pembakaran batubara PLTU);
b) harga refraktori cor di pasaran yang cukup tinggi,
sekitar Rp 15.000 per kg;
c) mengurangi ketergantungan impor dalam
memenuhi kebutuhan refraktori oleh industri;
d) turut mengatasi limbah yang mencemari
lingkungan. Penelitian dan aplikasi pemanfaatan
abu terbang sebagai bahan refraktori sudah
dilakukan di negara-negara maju, India dan
Cina.
Sehubungan akan bertambahnya jumlah
pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di In-
donesia, maka jumlah limbah abu terbang juga akan
terus meningkat. Studi yang pernah dilakukan
beberapa tahun yang lalu menunjukkan bahwa pada
tahun 2000 akan terdapat limbah abu dari PLTU
sebanyak 1,66 juta ton. Jumlah ini akan terus
meningkat, dan pada tahun 2006 diperkirakan akan
terdapat limbah abu sekitar 2 juta ton. Khusus untuk
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 28 20
limbah abu dari PLTU Suralaya, sejak tahun 2000
hingga tahun 2006 diperkirakan ada akumulasi
jumlah abu sebanyak 219.000 ton/tahun. Jika limbah
abu ini tidak dimanfaatkan akan menjadi masalah
pencemaran lingkungan.
2. METODOLOGI
2.1 Karakteristik Refraktori Cor Komersial
Refraktori cor (castable refractory) berbentuk bubuk
yang dijual di pasaran digunakan sebagai bahan
pembanding atau kontrol terhadap hasil-hasil uji coba
dalam penelitian ini. Bahan pembanding tersebut
adalah refraktori cor tipe CAJ-14 dan tipe CAJ-16
yang masing-masing tahan terhadap suhu 1400
C
dan 1600
C.
Karakterisasi dilakukan terhadap refraktori cor
komersial ini yang meliputi distribusi ukuran butir,
komposisi mineral, tekstur, komposisi kimia, sifat
fisika hasil cetak, dan kerefraktoriannya (PCE). Hasil
karakterisasi akan digunakan sebagai pembanding
terhadap hasil karakterisasi refraktori cor yang dibuat.
2.2 Abu Terbang dan Abu Dasar PLTU di
Indonesia
Karakteristik abu PLTU Suralaya dapat dilihat pada
Tabel 1 masing-masing mengandung Al
2
O
3
30,8%
dan 24% serta mengandung SiO
2
sebanyak 54% dan
63,4%. Karena kandungan CaO sekitar 4% maka
abu ini termasuk kualitas ASTM kelas C yang lebih
cocok berfungsi sebagai bahan cementing castables
refractory yang tahan suhu relatif rendah, padahal
yang diinginkan adalah klasifikasi low/ultra-low ce-
ment castable refractory yang tahan suhu tinggi.
Kandungan CaO maksimum 1% adalah kualitas
ASTM kelas F (Hwang,1991). Oleh karena itu,
diperlukan penambahan aluminium oksida ke dalam
abu batubara untuk mengurangi kadar CaO, Fe
2
O
3
.
Komposisi kimia limbah PLTU-Suralaya seperti
terlihat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Kadar
Al
2
O
3
<SiO
2
yaitu Al
2
O
3
: SiO
2
= 30,8% : 50%
atau nilai Al
2
O
3
/SiO
2
=0,57. Bahan refraktori yang
baik harus memiliki kadar Al
2
O
3
>SiO
2
dengan
perbandingan Al
2
O
3
: SiO
2
= 65% : 35% atau nilai
Al
2
O
3
/SiO
2
=1,85. Oleh karena itu, limbah abu
terbang dan abu dasar PLTU-Suralaya dapat
digunakan sebagai bahan penambah pembuatan
refraktori.
2.3 Pembuatan Refraktori Cor
Pada prinsipnya pembuatan refraktori cor sama
dengan pembuatan refraktori bata, hanya saja produk
refraktori cor dibuat berbentuk bubuk, sedangkan
produk refraktori bata dibuat/dicetak berbentuk bata.
Bahan baku refraktori cor pada umumnya dibuat dari
mineral yang ada di alam, terdiri dari campuran ag-
gregate dan binder dengan perbandingan tertentu.
Ada berbagai jenis aggregate yang berfungsi sebagai
grog antara lain kalsium silikat, tabular alumina.
Grog adalah material granular yang dibuat dari bahan
tahan api hancur (crushed brick) sebagai pengisi bodi
berukuran kasar yang dapat berfungsi mengurangi
shrinkage dan thermal expansion, serta meningkatkan
stabilitas saat mengalami suhu tinggi. Ada berbagai
jenis binder antara lain clay atau chamotte, kalsium
aluminat. Aggregate dan binder dicampur
menggunakan mesin homogenizer. Campuran aggre-
gate + binder + abu terbang kemudian dibakar/di-
sinter pada suhu tinggi (>1300
C) agar membentuk
klinker. Klinker digerus untuk mendapatkan ukuran
tertentu sesuai persyaratan perdagangan. Klinker
halus ini adalah produk akhir yang disebut sebagai
refraktori cor.
Berdasarkan sifatnya abu terbang dapat berfungsi
ganda, yaitu sebagai aggregate sekaligus binder.
Penelitian pembuatan refraktori cor dengan
menggunakan abu terbang ini diharapkan dapat
mengurangi pemakaian aggregate dan binder yang
harganya mahal dalam pembuatan refraktori cor.
Tabel 1. Komposisi kimia abu pada limbah
PLTU Suralaya
Senyawa
Abu dasar Abu terbang
% %
Al
2
O
3
24,0 30,8
CaO 2,7 4,0
Fe
2
O
3
5,5 4,6
K
2
O 0,17 0,18
MgO 1,3 1,9
Na
2
O 1,0 1,3
P
2
O
5
- -
SO
3
0,18 0,23
SiO
2
63,4 54,0
TiO
2
- -
Fe+Si+Al 92,9 89,4
CaO bebas <0,06 <0,06
Kand. Silika - 53,4
LOI 0,68 <0,5
D50 - 15,5 (m)
D90 - 67,9 (m)
21 Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor ... Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
Refraktori cor dibuat dari campuran agregat dan
binder. Agregat terdiri atas abu terbang, grog (crushed
brick), dan aluminium oksida. Sebagai binder adalah
calcium aluminate. Abu terbang memiliki fungsi
ganda selain sebagai agregat juga sebagai binder.
Campuran agregat dan binder dibuat dalam beberapa
komposisi dengan nilai Al
2
O
3
/SiO
2
sebesar 1,5
sampai 2,4. Setiap campuran diaduk dengan alat ho-
mogenizer untuk mendapatkan campuran yang
homogen. Terhadap masing-masing campuran
dilakukan pengujian distribusi ukuran butir,
komposisi mineral, komposisi kimia, dan bulk den-
sity. Campuran ditambah 15% air dan diaduk sampai
merata membentuk adonan. Adonan dicorkan ke
dalam cetakan yang telah disiapkan dan dibiarkan
sampai mengering. Hasil adonan ini disebut
komposit mentah. Terhadap hasil cetak dilakukan
pengujian porositas, densitas, komposisi mineral,
dan tekstur. Terhadap campuran refraktori cor ini
juga dilakukan pengujian kerefraktoriannya dengan
teknik uji PCE, dan uji pembakaran (firing) terhadap
benda uji hasil cetak. Sebagai pembanding (kontrol)
adalah hasil uji salah satu refraktori cor komersial.
Porositas diuji berdasarkan SNI 13-3604-1994, dan
uji densitasnya berdasarkan SNI 13-3602-1994,
tekstur diuji menggunakan SEM. Uji pembakaran
untuk menentukan nilai PCE didasarkan pada SNI
15-4936-1998. Dapur untuk pembakaran digunakan
muffle furnace. Pengambilan contoh menggunakan
teknik basung prapat, uji distribusi ukuran
menggunakan Fritsch Particle Sizer dan ayakan mesh
Tyler. Uji mineralogi dengan X-RD, dan analisis
kimia dengan AAS.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Refraktori Cor Komersial
Refraktori cor yang dijual di pasaran digunakan
sebagai pembanding terhadap hasil pengujian
pembuatan refraktori cor dari abu terbang ini.
Refraktori cor komersial tersebut adalah tipe CAJ-
14 dan CAJ-16 yang masing-masing tahan terhadap
suhu 1400
C dan 1600
C. Tabel 2 menunjukkan
karakteristik refraktori cor komersial yang meliputi
distribusi ukuran butir, komposisi mineral, tekstur,
komposisi kimia, sifat fisika hasil cetak, dan PCE.
Komposisi mineral : komposisi mineral untuk kedua
tipe refraktori cor komersial tersebut adalah sama
yaitu Corundum (Al
2
O
3
), Mullite (Al
6
Si
2
O
13
) dan
Cristobalite (SiO
2
).
Ukuran butir : distribusi ukuran butir ditunjukkan
pada Tabel 2 yang terlihat bahwa sekitar 44% butiran
berukuran +30 mesh.
Tekstur : Uji spot EDS menggunakan SEM terhadap
butiran kasar (+30 mesh) dan butiran halus (-200
mesh) menunjukkan butiran kasar bertekstur seperti
butiran gula pasir (sugary), dan partikel halus (fine)
menunjukkan selain sugary juga tekstur jarum (needle)
yang panjangnya sekitar 3 m (Gambar 1).
Menurut Supomo dkk, (1997) dan Soewanto,1997
kristal menjarum atau memanjang adalah
karakteristik khas dari mineral mullite, sedangkan
kristal sugary adalah khas corundum. Adapun kristal
yang berbentuk sugary tetapi bersudut diperkirakan
mineral cristobalite. Mineral-mineral tersebut (mul-
lite, cristobalite dan corundum) adalah mineral-mi-
neral yang tahan suhu tinggi.
Komposisi kimia : Komponen/senyawa kimia yang
terdeteksi dari analisis SEM untuk butiran kasar adalah
Al
2
O
3
=72,7%, SiO
2
=16,6%, CaO=1,18%,
ZrO
2
=9,4% juga terdapat sedikit FeO dan MoO
3
.
Sedangkan untuk partikel halus terdiri atas senyawa
Al
2
O
3
=72,2%, SiO
2
=8,9%, ZrO
2
=5,71%,
Ta
2
O
5
=13,2% dan juga sedikit CaO, MgO, C
(karbon). Keberadaan senyawa zirkonia dan tantalum
menambah ketahanan refraktori terhadap suhu tinggi.
Adanya komponen C (karbon) kemungkinan berasal
dari bahan abu terbang atau waktu proses sinterisasi
menggunakan bahan bakar batubara.
Hasil analisis kimia terhadap contoh refraktori cor
komersial menunjukkan komposisi kimia seperti
tercantum pada Tabel 3. CAJ-14 memiliki nilai
Al
2
O
3
/SiO
2
= 0,9 dan CAJ-16 memiliki nilai
Al
2
O
3
/SiO
2
= 1,6. Kandungan pengotor Fe
2
O
3
,
TiO
2
dan CaO nampak relatif tinggi.
Data lain adalah pH pada 10% padatan= 10,0 dan
Bulk density bubuk = 1,74 gr/ml.
Dari hasil karakterisasi terlihat bahwa komposisi
kimia utama bubuk refraktori cor tipe CAJ-16 adalah
Al
2
O
3
, SiO
2
, Ta
2
O
5
dan ZrO
2
dengan nilai Al
2
O
3
/
SiO
2
= 1,6 mengandung mineral-mineral mullite,
cristobalite dan corundum. Tekstur dari partikel-
partikelnya adalah sugary dan needle yang saling
berikatan. Tipe CAJ-14 mempunyai nilai Al
2
O
3
/SiO
2
= 0,9. Diketahui bahwa semakin tinggi nilai Al
2
O
3
/
SiO
2
, semakin tinggi sifat kerefraktoriannya.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 28 22
Tabel 2. Distribusi ukuran butir refraktori cor komersial (CAJ -14 dan CAJ -16)
Mesh +30 -30+60 -60+100 -100+140 -140+200 -200 Total
Berat, % 44,33 14,86 7,75 5,10 3,67 24,47 100
Tabel 3. Komposisi kimia refraktori cor komersial
Kode %SiO
2
%Al
2
O
3
%Fe
2
O
3
%TiO
2
%CaO %MgO %K
2
O %Na
2
O %LOI
CAJ-14 38,2 35,3 1,48 1,28 3,64 0,53 0,88 0,7 0,58
CAJ-16 29,1 47,2 1,2 1,62 4,04 0,17 0,58 0,62 0,72
Komposisi mineral CAJ-14 dan CAJ-16 sama yaitu corundum, mullite dan cristobalite
3.2 Karakteristik Bahan Baku
3.2.1 Abu Terbang PLTU-Suralaya
Distribusi ukuran butiran :
Dari hasil analisis distribusi ukuran menggunakan
Fritch particle sizer, menunjukkan bahwa ukuran
partikel-partikel abu terbang Suralaya berkisar antara
0.31 - 300.74 m, dengan distribusi 80% berukuran
Butiran
kasar
Butiran
halus
Gambar 1. Mikrostruktur refraktori cor
komersial (bentuk bubuk)
Sample code: CAJ-16, Detected particle; Chunk Magnification 10,000%
Sample code: CAJ-16; Detected particle; fine grain
Magnificatio: 10,000X
Gambar 2. Bentuk partikel mikro abu terbang
PLTU-Suralaya
Material : alumina silicate
Material : alumina silicate
0.31 - 40.99 m, atau d
50
= 6,22 m. Ukuran
partikel yang sangat halus ini cocok sebagai bahan
pengisi (fine grog) dalam sistem refraktori cor.
Bentuk partikelnya menunjukkan bentuk-bentuk
membulat (spheres), berukuran kira-kira <15 m
seperti terlihat pada Gambar 2. Partikel-partikel yang
membulat tersebut satu sama lain terlepas (tidak
berikatan). Bentuk membulat kemungkinan
23 Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor ... Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
disebabkan karena pada saat aluminosilikat
mengalami pembakaran suhu tinggi dalam boiler
PLTU, alkali di permukaan partikel meleleh. Terlihat
pada Gambar 2 bahwa permukaan partikel membulat
tersebut tidak merata yang menunjukkan
kemungkinan proses pelelehannya belum sempurna.
Partikel-partikel yang permukaannya meleleh belum
sempurna dan berukuran halus ini cenderung
bergerak/berputar di dalam boiler akibat tekanan
udara panas dan terbang melalui cerobong sehingga
disebut abu terbang. Unsur-unsur yang terkandung
dalam abu terbang adalah C-K, Al-K Si-K dan Fe-K
dengan komponen C = 32,5%, Al
2
O
3
= 3,98%,
SiO
2
= 4,5% dan FeO = 59%. Bentuk partikel
halus yang membulat cocok untuk bahan tahan api
cor, karena memiliki sifat lambat pengendapan dan
self flowing yang lebih baik. Keunggulan dari sifat
pengendapan yang lambat cenderung membentuk
distribusi merata, sehingga produk refraktori cor akan
mempunyai struktur fisik yang uniform dengan daya
tahan abrasif yang lebih baik.
Mullite yang terdeteksi melalui XRD mungkin
jumlahnya sangat kecil, karena tidak nampak adanya
tekstur menjarum/memanjang (tekstur khas mulite)
seperti pada tekstur refraktori cor komersial. Selain
itu juga belum nampak adanya tekstur yang berikatan
satu sama lain yaitu tekstur akibat perlakuan suhu
tinggi/pelelehan. Oleh karena itu, abu terbang-PLTU
Suralaya belum bersifat refraktori.
Komposisi mineral :
Hasil uji terhadap contoh abu terbang PLTU-Suralaya
menunjukkan bahwa mineral dominan adalah kuarsa
dan sedikit mullite. Keberadaan mullite
menunjukkan bahwa aluminosilikat pada abu
terbang telah mengalami kontak dengan suhu tinggi
di dalam tungku pembakaran batubara PLTU. Mul-
lite (3Al
2
O
3
.2SiO
2
) adalah mineral alumina silikat
yang tahan terhadap suhu tinggi hingga sekitar
1875
C.
Terlihat pula dari data dalam Tabel 8 adanya
kecenderungan penurunan ketahanan terhadap suhu
dengan bertambahnya komponen abu terbang yang
secara grafis diperlihatkan pada Gambar 6. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena abu terbang
memiliki kandungan SiO
2
yang tinggi, berarti dalam
campuran terjadi peningkatan komposisi SiO
2
yang
secara teoritis menurut kurva titik leleh dan
kerefraktorian akan menurunkan ketahanan suhunya
(penurunan nilai PCE). Senyawa alkali yang
terkandung dalam abu terbang seperti CaO, K
2
O dan
Na
2
O turut mempengaruhi turunnya nilai PCE.
Dalam klasifikasi refraktori, low/ultra-low cement
castable refractory yang tahan suhu tinggi, kandungan
CaO nya maksimum 1% (kualitas ASTM kelas F)
(Hwang,1991).
Gambar 6. Pengaruh penambahan abu
terbang terhadap ketahanan suhu
Gambar 3. Pengaruh penambahan abu
terbang terhadap kadar Al
2
O
3
pada campuran semen, crushed
brick, aloxi =1 : 2 :1)
y = -2.25x + 56.6
R
2
= 0.4188
48
50
52
54
56
58
60
0 1 2 3 4
Volume abu terbang
A
l
O
(
%
)
2
3
y = 0.15x + 47.7
R
2
= 0.0132
46
46.5
47
47.5
48
48.5
49
49.5
0 1 2 3 4
Volume semen aluminate
A
l
O
(
%
)
2
3
Gambar 4. Pengaruh penambahan semen
aluminate terhadap kadar Al
2
O
3
pada campuran (abu, crushed
brick, aloxi =3 : 2 : 1)
y = 4.3x + 42.467
R
2
= 0.9886
46
48
50
52
54
56
0 1 2 3 4
Volume aluminium oksida
A
l
O
(
%
)
2
3
Gambar 5. Pengaruh penambahan alumina
oksida terhadap kadar Al
2
O
3
pada campuran (abu, semen,
crushed brick =3,2,2)
0
500
1000
1500
2000
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Volume abu terbang
K
e
t
a
h
a
n
a
n
s
u
h
u
(
C
)
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 18 28 26
Tabel 8. Sifat fisik benda uji mentah refraktori cor dan nilai kerefraktoriannya
No Kode Setting Bulk density Porositas PCE Titik leleh
benda uji time (jam) (g/ml) (%) (SK.No) (
C)
1 A <24 2,58 23,04 SK.34 1750
2 B <24 2,43 27,14 SK.16 1460
3 C <24 2,28 31,66 SK.16 1460
4 D <24 2,10 36,74 SK.12 1350
5 E <24 2,04 36,37 SK.12 1350
6 F <24 1,83 39,58 SK.9 1280
7 G <24 1,97 37,36 SK.12 1350
8 H <24 1,82 41,11 SK,16 1460
9 I <24 1,80 42,79 SK.16 1460
10 J <24 1,85 41,32 SK.10 1300
11 K <24 2,06 29,74 SK.9 1280
12 L <24 1,88 40,49 SK.10 1300
Namun demikian dari data dalam Tabel 8 dapat juga
dilihat adanya perlakuan lain yang cukup signifikan
yaitu dengan penambahan abu terbang yang relatif
banyak masih dapat mempunyai nilai PCE relatif
tinggi yaitu SK-16 seperti pada kode contoh H
dan I jika penambahan volume semen aluminat
atau volume crushed brick juga relatif tinggi yaitu
abu terbang : semen aluminate : crushed brick : alu-
mina oksida = 3 : 2 : 3 : 2.
Dengan demikian, komposisi campuran bahan baku
yang terbaik dalam percobaan ini adalah abu terbang,
calcium aluminate, grog, aluminium oksida dengan
perbandingan volume masing-masing 3 : 2 : 3 : 2 (I)
atau 3 : 3 : 2 : 1 (H) dengan nilai PCE = SK-16 yang
setara dengan ketahanan suhu 1460
C. Perbandingan
komposisi Al
2
O
3
/SiO
2
= 1,7 dan 1,8 mendekati/
sama dengan komposisi refraktori cor komersial yaitu
Al
2
O
3
/SiO
2
= 1,8 (lihat Tabel 7 dan 8, kode benda
uji A, HdanI)
Menurut Hwang (1991) dan Hwang, dkk (1995)
peningkatan kadar Al
2
O
3
dapat meningkatkan
ketahanan refraktori terhadap suhu. Namun
demikian, dalam percobaan ini, upaya peningkatan
kadar Al
2
O
3
dalam campuran bahan baku dengan
menambahkan alumina oksida (corundum) tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
ketahanan suhu, bahkan cenderung nilai ketahanan
suhunya turun. Penambahan alumina oksida
sebanyak 3(tiga) bagian memberikan nilai ketahanan
suhu paling rendah yaitu 1280
C 1300
C.
Perlakuan ini mungkin disebabkan karena corundum
yang ditambahkan adalah bahan yang sudah stabil/
inert, sehingga waktu pembentukan bahan uji dengan
ditambahkan air serta waktu pembakaran bahan uji
tidak terjadi reaksi kimia. Oleh karena itu, dalam
penelitian selanjutnya perlu dicoba dengan
menambahkan alumina yang bersifat reaktif yang
mungkin dalam bentuk alumina hidroksida Al(OH)
3
atau alumina reaktif lainnya.
Bahan-bahan baku yang telah dicampur menjadi
komposit mentah dan telah dicetak membentuk
benda uji mentah dengan cara menambahkan air (15
20%) bereaksi membentuk komposit baru yang
mempunyai karakteristik berbeda dari bahan asalnya
serta mempunyai sifat kerefraktorian yang lebih baik
(Hwang, dkk 1995 dan Kumar et.al, 2003). Untuk
membuktikan hal ini, telah dilakukan uji XRD dan
SEM terhadap benda uji mentah tersebut. Hasil uji
SEM terhadap contoh A dibandingkan dengan
contoh I dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 menunjukkan adanya perbedaan tekstur
yang mencolok antara refraktori komersial yang telah
ditambah air (contoh benda uji mentah A) dengan
refraktori rekayasa hasil campuran bahan-bahan baku
(abu terbang + calcium aluminate + grog + alu-
minium oksida) yang juga telah ditambah air yang
sama (contoh benda uji mentah I). Contoh A
teksturnya didominasi bentuk serat memanjang tajam
seperti ciri khas silika dan terlihat kompak (padat)
saling berikatan. Porositasnya 23% dengan bulk den-
sity sekitar 2,6 g/ml. Berbeda dengan sewaktu masih
berbentuk bubuk (belum ditambah air) seperti terlihat
pada Gambar 1, yaitu teksturnya berbentuk seperti
gula pasir (sugary) dan jarum (needle). Mineral-
mineralnya sama seperti contoh sebelum dicetak yaitu
corundum, mullite dan cristobalite. Dari hasil uji
27 Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor ... Muchtar Aziz dan Ngurah Ardha
dan pengamatan ini juga tampak bahwa bubuk
refraktori cor komersial merupakan bahan refraktori
yang sangat reaktif terhadap air dengan membentuk
struktur baru, struktur yang tahan terhadap suhu
maksimum 1750
C.
Sebaliknya contoh I strukturnya didominasi oleh
fragmen-fragmen yang membentuk aglomerat yang
terdiri dari partikel-partikel menyudut dan partikel-
partikel membulat (sphere) yang berasal dari abu
batubara. Di antara fragmen-fragmen aglomerat
tersebut membentuk rongga-rongga yang terlihat
poros. Porositasnya 42,8% dengan bulk density 1,8
g/ml. Jika dibandingkan dengan contoh benda uji
mentah A ternyata bubuk rekayasa refraktori cor
belum menunjukkan reaktifitas yang tinggi terhadap
air, namun hanya mampu membentuk aglomerat
dengan porositas tinggi. Kandungan mineral-
mineralnya sama seperti contoh bahan rekayasa
sebelum dicetak yaitu corundum, mullite dan
cristobalite. Struktur ini hanya mampu tahan
terhadap suhu maksimum 1460
C.
3.5 Pembakaran (Firing) terhadap Benda Uji
Benda uji bakar (firing) selama 1 jam pada suhu
1000
C yaitu nilai
tertinggi dihasilkan dari percobaan ini, dengan
perbandingan komposisi Al
2
O
3
/SiO
2
=1,7 yang
mendekati refraktori cor komersial.
- Penambahan abu terbang yang relatif banyak
masih dapat mempunyai nilai PCE relatif tinggi,
jika penambahan jumlah calcium aluminate dan
grog juga relatif banyak.
- Pemakaian aluminium oksida (corundum) hanya
dapat meningkatkan kadar Al
2
O
3
tetapi tidak
mampu meningkatkan nilai PCE.
Benda uji mentah dari bahan pembanding
(setelah ditambah air 15%) mempunyai struktur
kompak berbentuk serat memanjang. Sebaliknya
benda uji mentah dari bahan rekayasa (setelah
ditambah air 15%) mempunyai struktur frag-
ment-fragment membentuk aglomerat dengan
porositas relatif tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa secara fisik hasil rekayasa refraktori cor
menggunakan abu terbang belum mampu
menyamai sifat-sifat refraktori cor komersial.
Untuk merekayasa refraktori cor dengan kualitas yang
setara dengan refraktori cor komersial, penelitian ini
perlu dilanjutkan dengan melakukan:
- Mencari alternatif bahan lain sebagai penambah
Al
2
O
3
yaitu harus menggunakan senyawa alu-
minium reaktif
- Perlu dilakukan uji coba sinterisasi terhadap
campuran bahan baku
DAFTAR PUSTAKA
Hwang, J.Y, 1991. Beneficial Use of Fly Ash, Tech-
nical Report, Michigan Technologycal Univer-
sity. http://www.ceramicbulletin.org, 28
Jan.2004.
Hwang, J.Y dan Huang, X. 1995. Refractory Mate-
rial Produced from Beneficiated Fly Ash, Pro-
ceedings 11
th
International Symposium on Use
and Management of Coal-Combustion By-Prod-
ucts, Orlando, January, Vol.1, p.32-1-13.
Kumar, D.S. Kumar, M.P. and Sankar R., 2003. Ef-
fect of Syntetic Aggregate on Alumina Castables
Based on Fly Ash, Kyanite and Sillimanite,
Bulletin of American Ceramic Society, Abstract
on http://www.ceramicbulletin.org. 28 Janu-
ary.2004.
PT.Indoporlen Refractories Indonesia, 2001. (Brosur).
PT. PLN (Persero) dan PT. Kema Technology Indo-
nesia, 1997. Pengelolaan Abu Terbang dan Abu
Dasar Pembangkit Listrik Dengan Bahan Bakar
Batubara di Indonesia, Laporan Teknik.
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2001.
Buletin Statistik Komoditi Mineral Indonesia,
No. 28.
Sharadaa Ceramic Ltd, 2000. Product data of
Castables Refractories, India, http://
www.castablerefractories.com. 4 Febr 2004.
Silvonen, J. 2001. Porous Ceramic Castable Refrac-
tories, Presentation Outline, TUT, Institute of
Materials Science, Ceramic Materials Labora-
tory.
Soewanto, R. dan Sagala, M., 1997. Karakterisasi
Kromit Sulawesi Tengah Sebagai Bahan
Refraktori, Prosiding Kolokium Pengolahan
Mineral Untuk Industri di Indonesia, Puslitbang
Teknologi Mineral, hlm 165.
Supomo, Sagala, M. dan Pranggono, P. 1997,
Pembuatan Mulit dari Topaz, Prosiding
Kolokium Pengolahan Mineral Untuk Industri
di Indonesia, Puslitbang Teknologi Mineral,
hlm 119.
29 Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang ... Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
UJI TOKSISITAS AKUT LC50 BAHAN ABU TERBANG
DAN ABU DASAR SERTA PENGARUHNYA TERHADAP
REPRODUKSI DAPHNIA CARINATA KING
NIA ROSNIA HADIJAH, HERNI KHAERUNISA DAN SITI RAFIAH UNTUNG
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211, Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373
SARI
Uji toksisitas akut dengan organisme uji Dahnia carinata King dilakukan terhadap contoh abu dasar dan abu
terbang batubara. Abu batubara yang digunakan berasal dari PLTU Ombilin dan PLTU Asam-asam yang kemudian
diekstraksi dan digunakan sebagai larutan uji. Metodologi yang digunakan adalah metode OECD (Organiza-
tion for Economic Cooperation and Developments). Pengamatan dilakukan selama 21 hari, kemudian total
neonate yang ditetaskan dihitung. Hasil penelitian menunjukkan, nilai LC50 - 48 jam adalah sebesar 10.000
hingga 100.000 ppm, menunjukkan larutan uji termasuk dalam kriteria hampir tidak toksik. Dilakukan analisis
data varians terhadap tingkat reproduksi Daphnia carinata King pada tingkat kepercayaan 0.05. Dari hasil
perhitungan Anava dinyatakan bahwa masing-masing larutan uji menurunkan tingkat reproduksi maupun
pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata King.
Kata kunci : uji toksisitas akut, abu dasar, abu terbang, Daphnia carinata King
ABSTRACT
Chronic toxicity tests using Daphnia carinata King were applied for examination of bottom ash and fly ash.
Coal ash was sampled from PLTU Ombilin and PLTU Asam-asam, and used for the test after solid-phase
extraction. The chronic test was carried out according to the Organization for Economic Cooperation and
Developments (OECD) method. The duration was 21 days and the total number of live neonate produced per
parent animal was counted. The results of the tests showed, The 48-h LC50 values were 10,000 to 100,000
ppm, indicate that the sample was almost non toxic. Collected data were analyzed using analysis of variance
test at significant level of 0.05. The result indicated that each sample to reduced the reproduction and the
growth (length) of Daphnia carinata King neonate.
Keywords : chronic toxicity test, bottom ash, fly ash, Daphnia carinata
1. PENDAHULUAN
Abu terbang dan abu dasar merupakan limbah padat
utama dari hasil pembakaran batubara di Pembangkit
Listrik Tenaga Uap dan Industri seperti semen dan
tekstil. Limbah abu batubara ini tidak mudah larut
dan memerlukan tempat pembuangan tersendiri agar
tidak mengotori lingkungan. Limbah abu terbang
biasanya ditempatkan pada lokasi pembuangan
tersendiri seperti dam, kolam pembuangan, atau
penimbunan. Di atas timbunan itu kemudian
ditanami rumput dan pepohonan. Masih banyak abu
terbang yang teronggok di lokasi penimbunan,
padahal produksi limbah abu terbang yang mencapai
ratusan ribu hingga jutaan ton per tahun itu
memerlukan biaya yang besar untuk menanganinya.
Salah satu penanganan lingkungan yang dapat
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 29 36 30
diterapkan adalah memanfaatkan limbah tersebut
untuk berbagai keperluan seperti dalam bidang
konstruksi terutama sebagai campuran pembuatan
semen dan beton serta pembenah lahan pertanian.
Namun, pemanfaatan yang dilakukan masih tergolong
rendah. Bahkan, peraturan yang berlaku saat ini di
Indonesia menyebutkan abu terbang dan abu dasar
sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti
yang tercantum dalam Daftar Limbah B3 dari Sumber
yang Spesifik pada PP No. 85 Tahun 1999. Hal ini
karena terdapat kandungan oksida logam berat yang
akan mengalami pelindian secara alami dan
mencemari lingkungan, sehingga menyebabkan
kendala dalam memasyarakatkan hasil pemanfaatan
abu batubara tersebut.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka dilakukan
penelitian terhadap abu batubara untuk mengetahui
tingkat toksisitas abu batubara tersebut terhadap
makhluk hidup dengan pengujian secara biologi.
Salah satu bentuk dari pengujian biologi adalah uji
toksisitas akut yang dinyatakan dalam konsentrasi
letal (Lethal Concentration/LC) atau dosis letal (Le-
thal Dose/LD). LC dan LD merupakan salah satu cara
untuk mengukur potensi racun suatu bahan dalam
waktu pendek. Konsentrasi letal biasanya menyatakan
konsentrasi kimia di udara tetapi dalam kajian
lingkungan dapat juga menyatakan konsentrasi kimia
dalam air. LC dan LD bisa dinyatakan dalam kisaran
0 100, namun yang umum dipakai adalah angka
50. Dengan demikian, LC50 menyatakan konsentrasi
kimia di udara/air yang dapat menyebabkan kematian
50 % dari kelompok hewan uji dalam jangka waktu
tertentu (biasanya 48 96 jam) (<http:/
www.ccohs.ca>).
Organisme uji yang digunakan pada penelitian ini
adalah Daphnia (kutu air) dari spesies Daphnia
carinata King. Daphnia sp. sangat peka terhadap zat
pencemar. Kemampuan hidup dan reproduksi dari
Daphnia sp. sangat dipengaruhi oleh komposisi dari
berbagai jenis bahan aditif yang terkandung dalam
media hidupnya (Calow,1993). Selain itu Daphnia
sp. telah memenuhi berbagai persyaratan sebagai
hewan uji. (EPS,1992)
Kriteria toksisitas (Toxicity rating) LC50 secara umum
menurut Australian Petroleum Energi Association
(APEA) 1994 dan Energy Research and Development
Corporation (ERDC) 1994 disajikan pada Tabel 1.
Untuk melihat pengaruh lebih jauh toksisitas suatu
larutan uji terhadap hewan uji Daphnia carinata
King, dilakukan uji reproduksi dengan mengamati
tingkat reproduksi dan pertumbuhan panjang neo-
nate Daphnia carinata dari masing-masing larutan
uji dan sebagai pembanding disiapkan kontrol.
2. BAHAN DAN PERCOBAAN
Penelitian berlangsung selama kurang lebih 3 bulan
dan dilaksanakan pada tahun 2004. Percobaan
dilakukan di dua tempat, yaitu di laboratorium
lingkungan Puslitbang Tekmira dan laboratorium
toksikologi PPSDAL Lembaga Penelitian UNPAD,
Bandung.
2.1 Bahan
Bahan percobaan terdiri atas contoh abu batubara
dan bahan kimia. Contoh abu batubara yang dipakai
dalam penelitian, adalah abu terbang dan abu dasar
asal PLTU Ombilin (kode contoh FAO & BAO) serta
abu terbang dan abu dasar asal PLTU Asam Asam
(kode contoh FAA & BAA). Bahan kimia yang pa-
ling banyak dipakai adalah asam asetat dan natrium
hidroksida. Bahan kimia tersebut digunakan untuk
membuat larutan pengekstrak dalam percobaan TCLP
(Toxicity Characteristic Leaching Procedure).
Peralatan yang dipakai antara lain mesin pengocok,
penyaring, dan peralatan gelas laboratorium.
Tabel 1. Kriteria tingkat toksisitas LC50
No Kriteria Toksisitas Nilai (ppm)
1 Sangat toksik < 1 ppm
2 Toksik 1 100 ppm
3 Daya Racun Sedang (Moderately Toxic) 100 1.000 ppm
4 Daya Racun Rendah/Sedikit (Slightly Toxic) 1.000 10.000 ppm
5 Hampir Tidak Toksik (Almost Non Toxic) 10.000 100.000 ppm
6 Tidak Toksik (Non Toxic) > 100.000 ppm
31 Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang ... Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
2.2 Percobaan
Percobaan terdiri atas 4 (empat) tahapan, yaitu :
- Analisis kimia
Pada analisis kimia contoh abu baturara dan
saringan (filtrat) hasil TCLP, unsur-unsur yang
diperiksa adalah unsur-unsur kelumit.
- TCLP
Percobaan TCLP dengan metode EPA 1311,
dilakukan terhadap masing-masing contoh abu
batubara. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan
dan dijadikan media uji toksisitas akut.
- Uji toksisitas akut (LC50)
Uji toksisitas akut terdiri atas uji pendahuluan
(Critical Range Test/CRT) dan uji lanjutan (Real
Test). Uji pendahuluan disebut juga uji ambang
batas kritis karena uji ini untuk menentukan
kisaran konsentrasi larutan pada uji lanjutan.
Uji dilakukan selama 48 jam tanpa pengulangan
dan sebagai pembanding disiapkan kontrol
(konsentrasi 0 %). Wadah uji menggunakan
beaker glass 250 ml dan volume larutan uji
sebanyak 200 ml. Air pengencer yang digunakan
harus sudah diaerasi minimal 2 jam. Setelah
pembuatan larutan dilakukan, kemudian 10
ekor Daphnia yang berusia kurang dari 24 jam
(neonate) didedahkan ke dalam setiap beaker
glass. Total Daphnia carinata yang mati selama
48 jam menjadi dasar dalam penentuan
konsentrasi untuk uji lanjutan (Real test).
Uji lanjutan pengerjaannya hampir sama dengan
uji pendahuluan. Namun, uji lanjutan dilakukan
dengan 3 kali ulangan untuk setiap konsentrasi
pada setiap bahan uji (EPS, 1990). Selama uji
toksisitas, organisme tidak diberi pakan dan
tidak diaerasi serta media tidak diganti. Para-
meter yang diamati adalah jumlah kematian
organisme dengan pengamatan kondisi
lingkungan yang berupa pH dan temperatur serta
nilai kandungan oksigen terlarut (DO) yang
dilakukan sebelum dan setelah pengujian. Pada
akhir pengamatan dihitung jumlah total
organisme yang mati untuk menentukan nilai
LC50 dengan menggunakan perhitungan analisis
probit.
- Uji reproduksi Daphnia
Pada uji reproduksi, konsentrasi larutan uji
adalah 50 % dari nilai konsentrasi LC50 dan
pengujian berlangsung selama 21 hari dengan
ulangan sebanyak 10 kali. Sebagai pembanding
selalu disediakan kontrol dengan ulangan yang
sama dan media kontrol yang dipakai adalah
air pengencer media uji (air tawar). Wadah uji
menggunakan beaker glass 250 ml dan volume
larutan uji sebanyak 100 ml. Induk betina Daph-
nia carinata yang digunakan adalah yang berusia
kurang dari 24 jam (neonate). Jumlah Daphnia
yang didedahkan adalah satu ekor untuk setiap
beaker glass. Parameter yang diamati dalam uji
reproduksi adalah jumlah neonate yang
ditetaskan dari setiap induk Daphnia carinata,
waktu reproduksi, dan pertumbuhan panjang
neonate (anakan) yang baru ditetaskan. Semua
itu dibandingkan dengan kontrol (OECD, 1996).
Lalu, data yang diperoleh diolah secara statistik.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Kimia Abu Batubara
Hasil analisis unsur kelumit batubara disajikan pada
Tabel 2. Dari tabel diketahui bahwa kadar logam
dalam abu terbang dari PLTU Asam-asam lebih
tinggi daripada unsur dalam abu terbang yang berasal
Tabel 2. Hasil analisis kimia unsur-unsur kelumit abu batubara PLTU
No Jenis Abu Batubara
Cu Pb Zn Cd Cr As Hg
ppm
1 Fly ash Asam-asam, FAA 298 19 391 11 224 10 tt
2 Bottom Ash Asam-asam, BAA 62 tt 138 tt 288 tt tt
3 Fly ash Ombilin, FAO 87 15 153 tt 120 155 tt
4 Bottom ash Ombilin, BAO 44 tt 37 tt 160 tt tt
Ket : - contoh diperiksa dari bahan asal
- tt = tidak terdeteksi
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 29 36 32
dari PLTU Ombilin. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kondisi geologi pengendapan yang berbeda.
Unsur-unsur kelumit yang biasa ditentukan dalam
TCLP adalah logam Cu, Pb, Zn, Cd, Cr, As, dan
Hg. Pengujian unsur kelumit pada hasil saringan
(filtrat) pelindian TCLP dari abu batubara tercantum
pada Tabel 3. Kadar logam-logam yang diperoleh
dari semua contoh filtrat yang dianalisis tidak ada
yang melebihi standar limbah B3 di Indonesia untuk
ijin pembuangan yang diperoleh berdasarkan uji
pelindian (leaching) TCLP menurut Keputusan
Kepala Bapedal No. Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah B3, bahkan
sebagian besar nilainya kecil.
3.2 Uji Toksisitas Akut
Kehidupan kutu air (Daphnia) dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan terutama suhu. Untuk
memastikan agar kondisi uji hayati memenuhi
persyaratan pengujian maka diadakan pengukuran
dan analisis beberapa parameter kualitas air, yaitu
suhu, pH dan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/
DO).
3.2.1 Temperatur
Kisaran temperatur untuk setiap larutan uji
dicantumkan dalam Tabel 4.
Temperatur air dalam kultur Daphnia sebaiknya
berkisar antara 24 hingga 26
o
C (EPS, 1992) karena
pada kisaran temperatur tersebut merupakan
temperatur yang paling baik untuk pertumbuhan,
perkembangan serta tingkat reproduksi dari Daph-
nia. Hal ini sangat berkaitan erat dengan kerja enzim
yang ada di dalam tubuh makhluk hidup. Enzim
merupakan senyawa organik yang tersusun atas pro-
tein yang dalam peristiwa metabolisme bertindak
sebagai katalisator, artinya zat yang mampu
mempercepat reaksi kimia namun tidak ikut bereaksi.
Kerja enzim sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang salah satunya adalah temperatur. Jika temperatur
terlalu tinggi atau terlalu rendah maka aktivitas
enzim akan terhambat, sehingga proses metabolisme
akan terhambat yang berakibat pada proses
pertumbuhan, perkembangan dan termasuk di
dalamnya reproduksi Daphnia carinata akan pula
terhambat. Daphnia sp. adalah hewan yang dapat
dikembangbiakkan dalam kisaran temperatur yang
luas, namun Daphnia sp. harus dilindungi dari
perubahan temperatur yang terlalu mendadak karena
dapat menyebabkan kematian (EPA, 1991).
3.2.2 Derajat Keasaman (pH)
Dalam EPS (1990) dinyatakan bahwa derajat
Tabel 4. Kisaran temperatur untuk setiap larutan uji
No Larutan Uji Kisaran Temperatur (
o
C) Kisaran Normal (
o
C) Kondisi
1 BAA 23,5 24,7
24,0 26,0
Normal
2 BAO 23,4 24,7 Normal
3 FAA 23,8 24,1 Normal
4 FAO 24,4 24,9 Normal
Tabel 5. Kisaran pH untuk setiap larutan uji
No Larutan Uji
Kisaran pH
Kisaran pH
Kondisi
Awal Akhir
Normal
1 BAA 5,89 7,74 7,59 7,71 Normal
2 BAO 5,48 6,83 5,63 7,52 6,00 8,50 Normal Asam
3 FAA 5,79 6,67 6,90 7,73 Normal
4 FAO 5,54 6,70 6,86 7,99 Normal Asam
Tabel 3. Hasil analisis kimia rata-rata larutan
hasil pelindian (leaching) TCLP
Kode FAA BAA FAO BAO Standar
Pb (ppm) 3.1 tt 2.3 tt 5,0
Zn (ppm) 4.3 3.1 3.2 2.7 50,0
As (ppm) tt tt tt tt 5,0
Cr (ppm) tt tt tt tt 5,0
Cd (ppm) 0.2 tt tt tt 1,0
Cu (ppm) 2.2 0.2 1.3 tt 10,0
33 Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang ... Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
keasaman yang paling cocok untuk media kehidupan
Daphnia sp. adalah antara 6 hingga 8,5. Pada Tabel
5, nilai pH untuk setiap larutan uji masih berada
pada kisaran yang normal walaupun pada larutan
uji BAO (Bottom-ash PLTU Ombilin) dan FAO (Fly-
ash PLTU Ombilin) nilai pH cenderung asam namun
masih mendekati kisaran pH yang normal. Kondisi
air yang terlalu asam akan menghambat pembentukan
kulit baru, sedangkan air yang terlalu basa akan
menyebabkan Daphnia menjadi lebih sensitif
sehingga akan mengganggu kehidupan Daphnia
(EPS.1990).
3.2.3 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut sangat penting bagi proses respirasi
dan merupakan komponen utama proses
metabolisme makhluk hidup. Daphnia masih dapat
bertahan hidup pada kandungan oksigen terlarut 3
5 mg/l. Meskipun demikian disarankan agar
kandungan oksigen terlarut di dalam media uji lebih
besar dari 5 mg/l (EPA,1991). Untuk menghindari
penurunan kandungan oksigen dalam suatu larutan
uji maka sebelum digunakan, air pengencer tersebut
harus diaerasi terlebih dahulu minimal selama 30
menit (EPS,1990).
Tabel 6 menunjukkan pengukuran DO untuk setiap
larutan uji didapatkan kisaran DO antara 7,33 hingga
8,18 mg/l. Dari hasil pengukuran tersebut kandungan
oksigen di dalam larutan uji masih mencukupi untuk
kebutuhan hidup dari Daphnia carinata.
3.2.4 LC50
Hasil uji hayati toksisitas akut abu batubara
dinyatakan melalui nilai LC50 (Letal Concentration)
selama 48 jam terhadap hewan uji Daphnia carinata
King. Besarnya nilai LC50 untuk setiap larutan uji
disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7 menunjukkan nilai LC50 masing-masing
larutan uji tersebut ternyata memberikan nilai yang
berbeda. Nilai LC50
yang terbesar adalah larutan uji
Bottom-ash PLTU Ombilin (BAO), sedangkan nilai
LC50 yang terkecil adalah larutan uji Fly-ash PLTU
Ombilin (FAO). Keempat nilai LC50 tersebut
dibandingkan dengan standar yang tercantum pada
Tabel 1 memiliki kriteria hampir tidak toksik karena
nilai LC50 berada di antara kisaran 10.000 hingga
100.000 ppm.
3.3 Uji Reproduksi
3.3.1 Data Reproduksi Daphnia carinata King
Menurut ASTM (1984), konsentrasi uji reproduksi
yang aman digunakan dalam suatu larutan uji adalah
yang tidak memberikan pengaruh buruk bagi
kehidupan, perkembangan dan reproduksi Daphnia.
Pada penelitian ini konsentrasi yang digunakan dalam
uji reproduksi adalah 50 % dari konsentrasi LC50
yang diperoleh dari analisis probit karena pada
konsentrasi tersebut masih merupakan konsentrasi
yang aman bagi kehidupan Daphnia carinata.
Tabel 6. Fluktuasi DO untuk setiap larutan uji
No Larutan Uji Kisaran Nilai DO (mg/L) Kisaran Normal (mg/l) Kondisi
1 BAA 7,57 8,11 Normal
2 BAO 7,34 8,18 > 5,00 Normal
3 FAA 7,68 8,00 Normal
4 FAO 7,33 7,77 Normal
Tabel 7. Nilai LC50-48 jam abu batubara PLTU terhadap Daphnia
No Larutan Uji Nilai LC50
(%) Nilai LC50
(ppm) Kriteria Toksisitas
1 BAA 7,729 77.729 Hampir tidak toksik
2 BAO 8,935 89.350 Hampir tidak toksik
3 FAA 7,000 70.000 Hampir tidak toksik
4 FAO 6,498 64.980 Hampir tidak toksik
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 29 36 34
Uji reproduksi dilakukan selama 21 hari, setelah 21
hari pengujian kemudian dihitung total neonate
Daphnia carinata yang ditetaskan dari masing-masing
larutan uji. Setiap larutan uji dilakukan pengulangan
sebanyak 10 kali. Data pengamatan uji reproduksi
dapat dilihat pada Tabel 8.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing larutan
uji terhadap tingkat reproduksi Daphnia carinata
maka data hasil pengamatan uji reproduksi tersebut
dihitung secara stastistik dengan menggunakan Uji
Anava (Analisis varian), dimana F hitung yang
dihasilkan dibandingkan dengan F tabel dengan taraf
kepercayaan 0,05 dan 0,01. Hasil perhitungan Anava
disajikan pada Tabel 9.
Dari hasil perhitungan Anava, terdapat perbedaan
yang sangat nyata terhadap tingkat reproduksi dari
Daphnia carinata King dari masing-masing perlakuan.
Untuk melihat sampai sejauh mana perbedaan
tingkat reproduksi Daphnia carinata dari masing-
masing larutan uji yang dibandingkan dengan kontrol,
ditunjukkan pada Gambar 1. Dari gambar tersebut
tampak adanya penurunan tingkat reproduksi dari
masing-masing larutan yang diberi perlakuan jika
dibandingkan dengan kontrol.
3.3.2 Data Ukuran Panjang Neonate Daphnia
carinata King
Selain tingkat reproduksi Daphnia carinata
pengamatan juga dilakukan terhadap pertumbuhan
panjang neonate Daphnia carinata yang baru
ditetaskan dalam kurun waktu kurang dari 15 jam.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
masing-masing larutan uji terhadap pertumbuhan
panjang dari neonate Daphnia carinata yang
ditetaskan. Data ukuran panjang neonate Daphnia
carinata ditampilkan dalam Tabel 10.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing larutan
uji terhadap tingkat pertumbuhan panjang neonate
Daphnia carinata maka data hasil pengamatan pada
Tabel 10 dihitung secara stastistik dengan
menggunakan Uji Anava (Analisis varian), F hitung
yang dihasilkan dibandingkan dengan F tabel dengan
taraf kepercayaan 0,05 dan 0,01. Hasil perhitungan
Anava disajikan pada Tabel 11.
Dari hasil perhitungan Anava terdapat perbedaan
yang sangat nyata terhadap tingkat pertumbuhan
panjang neonate Daphnia carinata King. Untuk
melihat sampai sejauh mana perbedaan tingkat
Tabel 8. Hasil pengamatan uji reproduksi Daphnia carinata king
No
Perlakuan Total neonate dari ulangan ke- (ekor)
Jumlah Rataan
Kode Kons. I II III IV V VI VII VIII IX X
Perlakuan (T) Perlakuan
1 Kontrol 0 % 70 83 87 84 75 83 79 77 82 65 785 78.5
2 BAA 3,9 % 17 23 20 18 23 20 20 13 18 16 188 18.8
3 BAO 4,5 % 18 20 18 9 31 25 11 26 16 13 187 18.7
4 FAA 3,5 % 23 30 25 17 58 19 12 21 31 12 248 24.8
5 FAO 3,2 % 17 15 48 5 6 10 6 24 23 5 159 15.9
Jumlah umum (G) 1567
Rataan umum 156.7
Tabel 9. Hasil penghitungan anava uji reproduksi Daphnia carinata king
Sumber Keragaman
Derajat Jumlah Kuadrat
F Hitung
F Tabel
Bebas(d.b) Kuadrat(J.K) Tengah(K.T)
0,05 0,01
Perlakuan 4 28222,22 7055,63 82,81** 2,58 3,77
Galat Percobaan 45 4174,70 85,20
Umum 49 32397,22
Keterangan : ** Sangat berbeda nyata
35 Uji Toksisitas Akut LC50 Bahan Abu Terbang ... Nia Rosnia Hadijah, Herni Khaerunisa dan Siti Rafiah Untung
Tabel 11. Hasil penghitungan anava pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata king
Sumber keragaman
Derajat Jumlah Kuadrat
F Hitung
F Tabel
bebas(d.b) kuadrat (J.K) tengah(K.T)
0,05 0,01
Perlakuan 4 152230,5 38057,63 16,08** 2,58 3,77
Galat Percobaan 45 116007,0 2367,49
Umum 49 268237,5
Keterangan : ** Sangat berbeda nyata
Tingkat Reproduksi Daphnia carinata
J
u
m
l
a
h
n
e
o
n
a
t
e
(
e
k
o
r
)
Rata-rata tingkat reproduksi
Gambar 1. Diagram tingkat reproduksi Daphnia
carinata king untuk setiap larutan uji
yang dibandingkan dengan kontrol
Pertumbuhan Panjang Neonate Daphnia carinata
U
k
u
r
a
n
p
a
n
j
a
n
g
n
e
o
n
a
t
e
(
m
i
k
r
o
n
)
Rata-rata ukuran panjang neonate
1000
800
600
400
200
0
863.8
761.6 778.1
737
697.7
Kontrol BAA 3,9% BAO 4,5% FAA 3,5% FAO 3,2%
Gambar 2. Diagram tingkat pertumbuhan
panjang neonate Daphnia carinata
king untuk setiap larutan uji yang
dibandingkan dengan kontrol
pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata dari
masing-masing larutan uji yang dibandingkan dengan
kontrol, ditunjukkan pada Gambar 2.
Menurut APHA (1975), ukuran neonate pada fase
instar muda awal memiliki panjang antara 0,8 hingga
1,0 mm (800 hingga 1000 mikron) dan dapat terlihat
tanpa menggunakan alat optik. Gambar 2
menunjukkan adanya penurunan tingkat pertumbuhan
panjang neonate Daphnia carinata pada larutan yang
diberi perlakuan bila dibandingkan dengan kontrol.
Meskipun mengalami penurunan, rata-rata ukuran
Tabel 10. Data hasil pengamatan pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata
No
Perlakuan
Rata-rata ukuran panjang neonate
Jumlah
Rataan
Daphnia ulangan ke- (mikron)
perlakuan
perlakuan
Kode Kons. I II III IV V VI VII VIII IX X
(T)
1 Kontrol 0 % 822 814 963 845 835 842 961 799 984 773 8638 863.8
2 BAA 3,9 % 707 816 772 720 846 715 787 752 799 702 7616 761.6
3 BAO 4,5 % 804 818 748 757 820 807 757 735 757 778 7781 778.1
4 FAA 3,5 % 739 705 709 754 715 748 834 705 732 729 7370 737
5 FAO 3,2 % 660 689 740 682 728 793 700 672 683 630 6977 697.7
Jumlah umum (G) 38382
Rataan umum 3838.2
Keterangan : 1 mm = 1000 mikron
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 29 36 36
panjang neonate Daphnia carinata dari masing-
masing larutan uji masih berada dalam kisaran
ukuran yang normal.
4. KESIMPULAN
1. Seluruh contoh abu batubara mengandung
beberapa logam berat, yaitu Cu, Pb, Zn, Cd,
Cr, As dalam jumlah sekelumit, sedangkan Hg
tidak terdeteksi. Kandungan logam-logam berat
abu batubara asal PLTU Asam Asam sebagian
besar lebih tinggi daripada abu batubara asal
PLTU Ombilin.
2. Uji TCLP dari semua contoh abu batubara
menunjukkan hasil yang masih di bawah
standar B3 ( 0,2 4,3 ppm) bahkan banyak
logam-logam yang tidak terdeteksi.
3. Dari hasil pengukuran selama pengujian
berlangsung, parameter-parameter air yang
diperiksa (T, pH, dan DO) masuk pada kisaran
normal.
4. Uji hayati menunjukkan seluruh larutan uji
masuk dalam kriteria toksisitas hampir tidak
toksik (almost non toxic) bagi hewan uji Daph-
nia carinata King. Hal ini dapat dibuktikan
dengan nilai LC50 48 jam berada di antara
kisaran 10.000 hingga 100.000 ppm.
5. Hasil uji reproduksi terhadap Daphnia carinata
King, melalui Uji Anava menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata dari masing-
masing larutan uji terhadap tingkat reproduksi
maupun pertumbuhan panjang neonate Daph-
nia carinata King. Tingkat reproduksi dan
pertumbuhan panjang neonate Daphnia carinata
untuk setiap larutan uji menunjukkan
penurunan jika dibandingkan dengan kontrol.
Walaupun berdasarkan nilai LC50, seluruh larutan
uji menunjukkan kriteria toksisitas yang hampir tidak
beracun, akan tetapi disarankan untuk melakukan
uji kronis, karena dengan uji ini akan didapatkan
lebih banyak informasi misalnya konsentrasi yang
paling aman bagi lingkungan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan selesainya penelitian ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Drs. Hilmi Salim,
M.Sc selaku Koordinator Lab. Toksikologi PPSDAL-
LP UNPAD yang telah memberi ijin pemakaian
fasilitas laboratoriumnya selama percobaan. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada Dra. Retno
Damayanti, Dipl.EST, Irna Haerani, S.Si, R. Dhea
Riska Ardhini, S.Si, dan Abdul Hakim yang telah
banyak membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
American Public Health Association,1975. Standard
Methods for The Examination of Water and
Waste Water. APHA. Washington DC.
American Standard Testing Materials (ASTM), 1984.
Standard Guide for Conducting Renewal Life-
Cycle Toxicity Test with Daphnia magna, An-
nual Book of ASTM Standards.
What is an LD50 & LC50? Canadian Center for Oc-
cupational Health & Safety (CCOHS),12
Februari 2004, <http:/www.ccohs.ca>.
Calow, P., 1993. Handbook of Ecotoxicology. De-
partment of Animal and Plant Sciences. The
University of Sheffield. Blackwell Scientific
Publication. Oxford.
Environmental Protection Agency (EPA), 1991. Met-
hods for Measuring the Acute Toxicity of Eff-
luents and Receiving Waters to Freshwater and
Marine Organisms, 4
th
Edition, United States
Environmental Protection Agency, Washington
DC.
Environmental Protection Agency (EPA), 1995.
Toxicity Characteristics Leaching Procedure, SW
846, Method 1311.
Environmental Protection Series (EPS), 1990. Bio-
logical Test Method, Acute Lethality Test
Using Daphnia spp. Report EPS 1/ RM/11, En-
vironment Canada.
Environmental Protection Series (EPS), 1992. Bio-
logical Test Method. Test of Reproduction and
Survival Using Cladoceran Ceriodaphnia dubia.
Report EPS 1/RM/21. Environment Canada.
Organization for Economic Cooperation and Deve-
lopments (OECD), 1996. Guidelines for Tes-
ting of Chemicals; Daphnia magna Reproduc-
tion Test, Revised Draft Document.
37 Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
MODIFIKASI BOILER INDUSTRI BERBAHAN BAKAR
MINYAK MENJADI BERBAHAN BAKAR BATUBARA
MENGGUNAKAN PEMBAKAR SIKLON
SUMARYONO, STEFANO MUNIR, YENNY SOFAETY, NANA HANAFIAH, TATANG KOSWARA, EDI
SOMADI, LELY AGUSTINA, E. KOSASIH DAN AAT
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211, Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373
SARI
Dengan dikuranginya subsidi BBM secara drastis maka banyak industri beralih dari penggunaan BBM ke batubara
sebab harga BBM naik lebih dari 300%. Banyak diantaranya yang membeli boiler baru dengan bahan bakar
batubara, sementara boiler lama dengan BBM tidak digunakan karena tidak ekonomis lagi. Dalam kegiatan
penelitian ini dicoba untuk memanfaatkan boiler BBM dengan memodifikasinya menjadi boiler batubara
dengan cara mengganti pembakar BBMnya dengan pembakar batubara. Dalam percobaan ini boiler BBM yang
dimodifikasi adalah jenis boiler vertikal berkapasitas 2 ton uap/jam. Pembakar batubara yang digunakan adalah
pembakar yang karakteristiknya mirip dengan pembakar BBM, yaitu pembakar siklon. Pembakar siklon yang
digunakan berkapasitas pembakaran 220 kg batubara ukuran partikel 30 mesh per jam dengan blower 4 in,
0,7 pk, 3000 rpm. Pembakar siklon dipasang di bagian atas boiler. Pengoperasian boiler yang telah dimodifikasi
dengan sistem terbuka dicapai kapasitas boiler 585 kg uap basah/jam, konsumsi batubara 5537 kkal/kg adalah
75 kg/jam dan efisiensi energi rata-rata 86,7%. Masih rendahnya kapasitas yang dicapai disebabkan natural
draft yang lemah sehingga kapasitas siklon juga rendah, sebab banyaknya hambatan (friction head) dalam
boiler sistem vertikal ini. Untuk meningkatkan kapasitas perlu dorongan draft (forced draft), jadi perlu
dimodifikasi sistem tertutup dengan tekanan positif dalam sistem. Untuk itu diperlukan blower siklon yang
berdaya lebih tinggi seperti sistem BBM sebelumnya yang menggunakan blower 3 pk. Selain itu perlu pengumpan
sistem tertutup yaitu pengumpan ulir. Namun demikian, dengan dicapainya efisiensi energi yang baik (86,7%)
menunjukkan interaksi yang baik dari sistem pembakar siklon dengan boiler eks BBM tersebut. Proses perpindahan
panas dari api pembakaran batubara ke dalam boiler berlangsung dengan efisien.
Kata kunci : boiler batubara, pembakar batubara, pembakar siklon, efisiensi energi
ABSTRACT
Paralel with the drastic reduction of the subsidy of fuel oil, there are a number of industries changing their fuel
from oil into coal since the fuel oil price increases more than 300%. Many of them install new coal based
boilers, while the former fuel oil based boilers are not operated as they are now uneconomical. This experi-
ment was aimed to beneficiate those fuel oil based boilers by modifying them into coal based boilers. Their
oil burners were altered by coal combustors. In this experiment a vertical boiler of 2 ton/hour steam capacity
was used. The coal combustor characteristic resembles to the oil burner. In this case a cyclone combustor of
220 kg/hour, -30 mesh coal capacity and 4 inch, 0.7 pk 3000 rpm air blower were used. This combustor was
installed at the top of the boiler to alter the position of the oil burner. The operation under atmospheric system
(open system) produced 585 kg/hour wet steam, consumed 75 kg/hour of 5537 kcal/kg coal, attained average
energy efficiency of 86.7%. The steam product was still low since the opened system produced weak natural
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 37 45 38
draft, therefore the cyclone capacity was low, due to the friction heads in this vertical boiler. A forced draft is
required in this vertical boiler using closed system. A higher air blower capacity was required as in the former
fuel oil system which used 3 pk blower. A closed system feeder such as screw feeder was also required. A
fairly good energy efficiency attained, (86,7%) indicates that the interaction of the boiler with the cyclone
combustor was good and the heat transfer to the boiler tube was fairly efficient.
Keywords : coal based boiler, coal combuster, cyclone combustor, energy efficiency
1. PENDAHULUAN
Dengan dicabutnya subsidi BBM untuk industri maka
harga BBM naik sampai lebih dari 300%, khususnya
BBM untuk boiler industri. Batubara berpeluang besar
untuk menggantikan posisi BBM sebagai bahan bakar
boiler industri. Kerugian pengoperasian boiler BBM
berkapasitas 16 ton/jam adalah lebih dari Rp
30.000.000,- per hari jika dibandingkan
pengoperasian dengan boiler batubara, sehingga
mengakibatkan banyak industri yang beralih ke boiler
batubara dan meninggalkan boiler BBM-nya.
Boiler BBM dapat dimanfaatkan dengan dimodifikasi
menjadi berbahan bakar batubara dengan cara
mengganti pembakar BBM-nya dengan alat pembakar
batubara. Pembakar batubara yang digunakan
disesuaikan dengan karakteristik pembakar BBM
sebelumnya. Jenis-jenis pembakar batubara yang
dapat digunakan antara lain pembakar siklon, un-
derfeed stoker, unggun terfluidakan dan pembakar
batubara halus (pulverized fuel combustor).
Karakteristik pembakar siklon mendekati pembakar
BBM, jadi dalam penelitian ini dipilih sebagai alat
pembakar batubara yang akan digunakan untuk
mengganti posisi pembakar BBM dalam boiler
(H.M.S.O, 1963 dan Sumaryono, 1999).
Keuntungan lain dari teknik pembakar siklon adalah
batubara yang dibakar berupa bubuk 30 mesh. Di
masa depan akan semakin sulit untuk mendapatkan
batubara bongkahan di Indonesia karena sebagian
besar batubara Indonesia berperingkat muda yang
mudah hancur baik dalam proses penambangan,
pengangkutan maupun penyimpanannya.
Maksud kegiatan ini adalah mencoba penggunaan
pembakar siklon untuk mengganti pembakar BBM
dalam boiler BBM dengan meneliti parameter-pa-
rameter yang berpengaruh sehingga dicapai efisiensi
yang baik dan meneliti efek negatif yang timbul serta
cara mengatasinya.
Saat ini proses modifikasi tersebut telah ditawarkan
di kalangan industri. Modifikasi yang ditawarkan
menggunakan pembakar batubara sistem kisi berjalan
dengan efisiensi energi turun menjadi sekitar 50%.
Diharapkan modifikasi dengan pembakar batubara
jenis siklon ini dapat mencapai efisiensi energi yang
lebih baik, paling sedikit 70% (Reka Boiler Utama,
2002).
2. TINJAUAN TEKNIS
Dalam boiler yang akan dimodifikasi, BBM dibakar
dalam ruang pembakaran dalam silinder I
(Gambar 1) dengan cara disemprotkan berupa kabut
menggunakan tekanan atau tiupan bertekanan
kemudian bercampur dengan udara dan terbakar
dalam volume pembakaran tertentu. Karakteristik
pembakaran BBM dalam silinder I ini harus dapat
disamai atau didekati dengan karakteristik
pembakaran batubara yang harus berlangsung dalam
ruang pembakaran yang sama.
Karena ruang pembakaran dalam silinder I dilengkapi
oleh pipa air maka dalam suasana bertemperatur
rendah ini sulit dilakukan proses pembakaran
batubara yang efektif. Pembakaran batubara dapat
dilakukan dalam tungku lain, kemudian api
pembakarannya dikirim ke ruang pembakaran silinder
I yang sebelumnya adalah ruang bakar BBM.
Dalam percobaan ini pembakaran batubara dilakukan
dalam tungku siklon. Pembakar siklon merupakan
alat pembakar yang efektif karena batubara berukuran
kecil (-3 mm) dibakar dalam silinder bertemperatur
tinggi dalam suasana turbulensi yang tinggi. Dalam
kondisi demikian dapat dicapai efisiensi pembakaran
yang tinggi sehingga limbah yang dihasilkan sudah
tidak banyak mengandung bahan dapat terbakar lagi
(Elliot, 1981).
Alat pembakar siklon standar membakar batubara
berukuran sampai 5 mm, khususnya batubara
dengan titik leleh abu rendah. Lelehan abu pada
dinding bagian dalam siklon akan melekatkan
partikel-partikel batubara yang kasar sehingga
kecepatan relatif partikel batubara terhadap aliran
39 Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
udara pembakar naik. Karena pembakaran akan
dilakukan dengan batubara yang banyak terdapat di
pasaran, yang biasanya bertitik leleh abu tinggi, maka
tidak akan diperoleh lelehan abu pada dinding siklon.
Oleh karena itu sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya, untuk membakar batubara bertitik leleh
abu tinggi, batubara harus dihaluskan sampai 25
mesh.
3. METODOLOGI
3.1 Alat yang Digunakan
3.1.1 Boiler BBM
Gambar 1 adalah penampang boiler BBM yang akan
dimodifikasi. Boiler ini adalah jenis boiler vertikal.
Susunan intinya terdiri atas tiga silinder. Silinder
pertama (I) paling dalam adalah susunan dari
kumparan pipa air. Ruang dalam silinder I ini
merupakan ruang pembakaran BBM.
BBM disemprotkan dari bukaan di bagian atas silinder
I ini. Api memanaskan permukaan dalam kumparan,
gas pembakarannya ke bawah kemudian naik lagi
melewati ruang antara silinder I dan silinder II
(silinder tengah). Di sini permukaan kumparan luar
terpanaskan. Sampai di atas, asap pembakaran masuk
ke cerobong pembuangan. Udara pembakar ditiupkan
oleh blower melalui ruang antara silinder II dan
silinder III (silinder terluar). Di sini udara pembakar
terpanaskan oleh dinding silinder II, sehingga
pembakaran BBM menjadi lebih baik. Pompa air
memasukkan air ke dalam pipa dan produk uap keluar
dari bagian atas.
3.1.2 Pembakar Siklon
Pembakar siklon berupa silinder yang dibuat dari
susunan bata tahan api. Diameter f dalam = 75
cm, f luar = 100 cm, panjang = 200 cm. Bagian
luar adalah pelat besi kemudian di bagian dalamnya
dilapisi isolator silikat dan selanjutnya bata api
serong yang disusun dengan perekat semen api.
Gambar 1 . Penampang boiler BBM skala 1 : 25
uap
katup
pengaman
BBM
cerobong
pipa
air
pompa
air
Blower
I
II
III
P
T
nozel
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 37 45 40
Batubara halus dari pengumpan disalurkan ke pipa
batubara, ditiup ke dalam ruang siklon oleh blower
secara tangensial. Di dalam siklon batubara
menelusuri dinding bagian dalam siklon, maju
sambil berputar dan terbakar dalam ruang silinder
siklon. Api pembakaran sebagian besar di dalam
siklon dan sebagian lainnya ke luar ruang siklon,
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
industri.
3.2 Bahan Baku
a. Batubara
Batubara yang digunakan adalah batubara sub
bituminous. Tabel 1 adalah hasil analisis
proksimat dan ultimatnya.
b. Bahan kimia untuk analisis gas
Pyrogalol
KOH
Cu
2
Cl
2
H
2
SO
4
Methyl Orange
3.3 Tahap Pengerjaan
Pentahapan pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan
ini adalah :
a. Persiapan boiler.
Boiler yang akan dimodifikasi dipelajari
kinerjanya dan bagian-bagian yang rusak
diperbaiki.
b. Pembuatan pembakar siklon dan uji
operasionalnya.
Pembakar siklon dibuat dengan kapasitas sesuai
dengan kebutuhan boiler, diuji kinerjanya dan
dipasang pada boiler.
c. Pengoperasian boiler dengan pembakar siklon.
Dipelajari interaksi antara pembakar siklon
dengan batubara dan boiler.
d. Evaluasi kinerja boiler termodifikasi
4. HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Persiapan Boiler
Sebelum dilakukan modifikasi perlu dipastikan
bahwa kinerja setiap bagian masih baik.
- Sistem BBM
Sistem aliran BBM dan proses pembakarannya
dipelajari kemudian dilepas. Sistem spuyer
pengkabut dan udara peniup dilepas dari bagian
atas boiler. Tersedia bukaan berdiameter 30 cm
(Gambar 2).
Api dari pembakar siklon masuk ke boiler
melalui bukaan ini. Bukaan ini sulit diperlebar
karena dibuat dari besi cor.
- Sistem Aliran Air
Air masuk ke boiler dengan pemompaan
berkapasitas lebih. Air yang berlebih
diresirkulasi. Kebocoran pada pompa diperbaiki
dengan mengganti seal-nya. Pipa aliran masuk
dilengkapi dengan flow-meter.
- Sistem Aliran Uap
Uap yang dihasilkan boiler disalurkan ke pipa
produksi uap dan pipa pengaman. Jika tekanan
terlalu tinggi, akan terjadi pelepasan uap melalui
pipa pengaman.
Tabel 1. Hasil analisis proksimat dan ultimat
dari batubara (a.d.b)
No Unsur Kadar
1 Air lembab 19,1%
2 Abu 2,16%
3 Zat terbang 40,65%
4 Karbon tertambat 38,08%
5 Nilai Kalori 5537 kkal/kg
6 C 55,3%
7 H 4,2%
8 O 18,53%
9 N 0,6%
10 S 0,11%
Gambar 2. Bukaan ke ruang pembakar
41 Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
- Sistem Cerobong
Asap dari pembakaran turun, sampai ke dasar
boiler naik melalui ruang antara silinder I dan
II (Gambar 1), kemudian berkumpul ke cerobong
yang berdiameter 35 cm, berbelok ke atas
sepanjang 7 m. Sistem cerobong ini mempunyai
hambatan cukup besar, jika belum panas perlu
dibantu dengan kipas pengisap.
4.2 Pembuatan Pembakar Siklon dan Uji
Operasionalnya
4.2.1 Pembuatan Pembakar Siklon
Pembakar siklon dibuat dengan dimensi seperti telah
diuraikan di sub bab 3.1.2. sebelum bata api
dipasang, permukaan pelat dilapisi isolator silikat
(Gambar 3).
di dalam siklon belum terlihat penuh. Lidah
api berpusar menyusuri dinding siklon. Ruang
tengah (inti) masih kosong. Dalam keadaan
pembakaran bersih (bening), komposisi gas
buang adalah :
CO = 0,0% O
2
= 13,5%
CO
2
= 5,2% N
2
= 81,3%
Berdasarkan hasil analisis ultimat dari batubara,
setiap 100 kg batubara memerlukan udara
pembakar stoikiometris sebanyak 21,28 kmol
atau 615 kg.
Berdasarkan komposisi gas buang di atas, maka
jumlah udara pembakar lebih (excess air) adalah
319%. Udara lebih sebanyak ini termasuk
berlebihan. Walaupun hasil proses
pembakarannya bersih/bening tetapi dapat
mengakibatkan turunnya efisiensi. Temperatur
di dalam siklon 1190 1230C.
- Pembakaran 130 kg/jam
Dengan kecepatan ini, api berpusar menyusur
dinding siklon, kadang-kadang terputus-putus.
Udara pembakar dari blower dikurangi sampai
api terlihat agak keruh (kuning dengan ujung-
ujung lidah api kurang bening). Temperatur
1190 1240C. Dalam suasana ini hasil
analisis gas buangnya adalah :
CO = 0,3% O
2
= 5,2%
CO
2
= 21,0% N
2
= 73,5%
Berdasarkan komposisi gas buang tersebut,
untuk 100 kg batubara dipasok 19,6 kmol udara
atau 92% dari seharusnya. Akibatnya masih
terbentuk gas CO.
- Pembakaran 180 kg/jam
Dengan kecepatan pembakaran 180 kg/jam,
selain menyusuri dinding di bagian tengah
siklon juga mulai terisi lidah api pembakaran
batubara, walaupun tidak terus menerus.
Dengan api oksidasi, hasil analisis gas buang
adalah :
CO = 0,0% O
2
= 9,2%
CO
2
= 13,0% N
2
= 77,8%
Dengan hasil analisis tersebut, udara pembakar
yang ditiupkan adalah 34,11 kmol. Jadi udara
lebihnya = 60%. Dengan udara lebih sebesar
ini dan api yang belum memenuhi ruang siklon
menunjukkan bahwa kapasitas pembakaran
siklon masih dapat ditingkatkan.
Gambar 3. Pembuatan pembakar siklon
Bata api yang digunakan adalah bata api serong yang
dilekat dengan semen tahan api. Pipa pengumpan
batubara dipasang tepat menyinggung lingkaran di-
ameter dalam siklon. Bagian-bagian dari besi dilapisi
kastable.
4.2.2 Uji Operasional Siklon
Pembakar siklon yang telah dibuat diuji untuk
pembakaran batubara. Dalam uji ini diamati
kecepatan pembakaran, komposisi gas buang dan
parameter lainnya. Dari komposisi gas buang dapat
dihitung jumlah udara pembakarannya.
- Pembakaran 90 kg/jam
Pembakaran batubara ukuran partikel 30 mesh
dengan kecepatan pengumpanan 90 kg/jam, api
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 37 45 42
- Pembakaran 218 kg/jam
Pembakaran dengan kecepatan 218 kg/jam
mula-mula dilakukan dengan udara lebih yang
cukup besar. Api pembakaran memenuhi ruang
siklon, bahkan lidah apinya keluar dari siklon
sampai sejauh 1 meter. Temperatur di dalam
siklon 1205 1250C. Hasil analisis gas buang:
CO = 0,0% O
2
= 9,5%
CO
2
= 9,5% N
2
= 81%
Hasil analisis ini menunjukkan adanya udara
pembakar lebih sebanyak 128%. Pembakaran
batubara dengan udara lebih sebanyak ini
berlangsung dengan baik. Udara lebih ini perlu
dikurangi sampai sekitar 15% dengan
memperkecil bukaan blower. Dengan terus
memperkecil bukaan blower, mula-mula timbul
api agak keruh tetapi kemudian menjadi bening
di ujung siklon. Hasil analisis gas buang dalam
kondisi ini adalah :
CO = 0,0% O
2
= 5,5%
CO
2
= 17,2% N
2
= 77,3%
Jika aliran udara pembakar diturunkan lagi,
ternyata terjadi pengendapan batubara,
khususnya fraksi berukuran lebih kasar. Jadi
kondisi di atas sudah mendekati kapasitas
maksimum dari pembakar siklon ini. Pada
kondisi tersebut udara pembakar lebihnya
adalah 20,2%. Kapasitas pembakaran siklon
dapat dinaikkan lagi dengan memanaskan udara
pembakar terlebih dahulu (preheated).
Secara singkat hasil-hasil percobaan pembakaran
ini dapat dilihat dalam Tabel 2.
4.3 Pengoperasian Boiler dengan Pembakar
Siklon
4.3.1 Persiapan
Pembakar siklon yang telah diuji kinerja
Gambar 4. Pembakar siklon dipasangkan ke
boiler
Tabel 2. Hasil percobaan pembakaran batubara dalam siklon
No Kecepatan umpan kg/jam Bukaan blower (cm) CO
2
CO O
2
N
2
Udara lebih
% % % % %
1 90 5 5.2 0 13.5 81.3 319
2 130 1.5 21 0.3 5.2 73.5 -8
3 180 4 13 0 9.2 77.8 60
4 218 6 9.5 0 9.5 81 128
5 218 4 17.2 0 5.5 77.3 20.2
pembakarannya dipasang pada boiler menggantikan
fungsi pembakar BBM (Gambar 4).
Api dari pembakaran batubara dalam pembakar siklon
yang posisinya mendatar dialirkan ke boiler yang
posisinya vertikal melalui bukaan ruang pembakaran
boiler. Untuk itu pembakar siklon dihubungkan ke
boiler dengan terowongan yang dibuat dari susunan
bata tahan api yang direkat dengan semen api.
Sebelum pengoperasian boiler, disediakan 4500 li-
ter air yang sudah dihilangkan kesadahannya dengan
resin penukar ion. Air tersebut disimpan dalam
tangki. Selama beroperasi proses pengolahan air terus
berjalan mengisi tangki yang juga terus digunakan
untuk mengisi boiler.
Setelah seluruh rangkaian pembakar siklon, boiler,
sistem aliran air, produk uap dan sistem cerobong
telah siap dilakukan uji operasionalnya menggunakan
bahan bakar kayu. Setelah hasil uji operasional
tersebut menunjukkan semua sistem termasuk
indikator temperatur, tekanan dan kecepatan aliran
air, katup pengaman bekerja dengan normal maka
dapat dilangsungkan uji operasional dengan
batubara.
43 Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
4.3.2 Uji Operasional dengan Batubara
4.3.2.1 Uji Coba Pendahuluan
Setelah seluruh sistem bekerja dengan normal, uji
operasional dengan batubara dimulai. Pertama kali
pompa air dijalankan sehingga pipa air dalam boiler
terisi penuh. Pembakaran batubara dimulai dengan
penyalaan awal menggunakan kayu bakar.
Pemasukan batubara dimulai dengan kecepatan 30
kg/jam. Berangsur-angsur dengan semakin habisnya
kayu, kecepatan batubara dinaikkan sampai 40 kg
kemudian 50 kg/jam. Kecepatan pemasukan air ke
dalam pipa boiler distabilkan sehingga air yang
keluar sedikit mungkin. Mula-mula 10 liter/menit,
terus dikurangi menjadi 9, 8 sampai 7 liter/menit.
Proses pembakaran batubara stabil sekitar 50 kg/jam
dengan api oksidasi. Tekanan produk uap 1 atmosfer
atau lebih sedikit sedangkan temperatur uap sekitar
100C atau lebih sedikit tergantung pada fluktuasi
tekanan produk uap.
Usaha meningkatkan konsumsi batubara terus
dilakukan, dengan selalu menjaga proses
pembakaran batubara berlangsung dengan baik.
Ternyata kecepatan pembakaran 50 kg/jam sulit
ditingkatkan lagi karena pada kecepatan 60 kg/jam
mulai terbentuk asap dan terjadi kebocoran pada
lorong penghubung dari siklon ke boiler. Sebagian
udara juga keluar melalui penutup siklon. Pada
kondisi ini jumlah air yang diuapkan adalah 6,6 li-
ter/menit menghasilkan uap basah bertekanan 1
atmosfer, temperatur 100C.
Efisiensi energi :
Temperatur air mula-mula = 27C.
6,6 x 60 x 613
= x 100%
50 x 5537
= 87,6%
Pembahasan :
Efisiensi energi yang dicapai sebesar 87,6% relatif
cukup tinggi, lebih tinggi dari sasaran semula yaitu
paling sedikit 70%. Hal ini dapat dipahami karena
dalam sistem termodifikasi tersebut banyak faktor
penunjang yang positif antara lain :
- Pembakaran batubara dengan pembakar siklon
dikenal sebagai alat pembakar yang efisien
karena tingkat turbulensinya yang tinggi. Hal
ini ditunjukkan dengan emisi asap yang tipis
berwarna putih dan tidak berbau hidrokarbon
hasil proses pembakaran oksidasi.
- Proses perpindahan panas ke pipa boiler
berlangsung efisien karena bidang pipa
menghadap bagian dalam silinder I
(Gambar 1) terpanaskan oleh api yang turun
dari siklon ke dalam boiler dan bidang pipa
lainnya di bidang luar silinder I terpanaskan
oleh api yang naik di antara silinder I dan II
menuju cerobong. Hal ini sangat berbeda
dengan modifikasi yang dilakukan PT Reka
Boiler Utama menggunakan kisi berjalan yang
dimasukkan ke dalam ruang pembakaran boiler
eks BBM horisontal. Di sini pipa boiler yang
terekspose api dari kisi berjalan secara efektif
adalah pipa di atas kisi saja, sehingga luas
permukaan untuk perpindahan panas jauh lebih
kecil dan efisiensi yang dicapai 50%.
- Emisifitas api pembakaran batubara tinggi karena
api dari batubara bersifat luminous sehingga
perpindahan panas secara radiasi tinggi.
- Temperatur gas buang di cerobong sekitar 60
80C adalah termasuk tidak tinggi menunjukkan
penyerapan panas oleh sistem berlangsung
dengan baik.
4.3.2.2 Usaha Peningkatan Produksi Uap
Hasil percobaan pendahuluan, produksi uap basah
hanya 6,6 kg/menit atau 396 kg/jam. Hal ini
disebabkan kapasitas pembakaran batubara yang
masih terlalu kecil, 50 kg/jam padahal pembakar
siklon yang digunakan mampu membakar 220 kg
batubara/jam.
Hal ini disebabkan oleh rendahnya kecepatan udara
pembakar, yang disebabkan oleh :
- Draft yang tidak cukup kuat.
- Kipas pengisap (exhaust fan) kurang besar daya
isapnya. Aliran ke cerobong terlalu banyak
berbelok-belok. Mula-mula dari siklon berbelok
90 ke bawah (ke ruang pembakaran silinder
I), kemudian berbalik ke atas 360 di antara
silinder I dan II, kemudian berbelok 90 menuju
cerobong. Setelah 2 m berbelok lagi 90 ke atas
sejauh 7 m. Banyaknya belokan-belokan ini
menyebabkan hambatan yang tinggi sehingga
diperlukan kipas berdaya lebih besar.
Percobaan berikut dilakukan setelah kebocoran-
kebocoran disambungan siklon dengan boiler
maupun dinding penutup siklon diperbaiki.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 37, Tahun14, Mei 2006 : 37 45 44
Lorong penghubung siklon boiler dibongkar,
dipasang lebih banyak bata api serong dengan
mengurangi penggunaan semen api. Penutup siklon
diperkuat sehingga udara pembakar yang ditiupkan
seluruhnya masuk ke boiler.
Setelah kebocoran-kebocoran diperbaiki, uji coba
dilakukan dengan batubara. Dengan kecepatan
pembakaran 60 kg/jam, sulit untuk dinaikkan lagi.
Kebocoran pada penutup siklon telah dapat diatasi,
tetapi kebocoran pada lorong penghubung siklon
boiler terjadi kembali. Terdapat retakan-retakan yang
mengakibatkan api menerobos dari celah-celah. Hal
ini disebabkan adanya getaran pada boiler yang
disebabkan oleh getaran dari pompa air yang
menempel di badan boiler. Adanya getaran
mengakibatkan sambungan-sambungan semen api
kurang kuat lagi. Dengan kondisi ini kecepatan
pembakaran batubara dapat dipertahankan pada 60
kg/jam.
Pada keadaan ini aliran air ke boiler yang dapat
diubah menjadi uap basah adalah 468 kg/jam.
Efisiensi energi yang dicapai adalah :
468 x 613
= x 100%
60 x 5537
= 86,3%
Usaha berikutnya adalah menutup kebocoran pada
lorong penghubung dari siklon boiler. Untuk
keperluan tersebut digunakan semen kastabel yaitu
semen refraktori yang lebih tahan getaran.
Pemasangan semen dilakukan dengan penguatan
menggunakan anyaman kawat.
Setelah lorong penghubung diperkuat dengan
kastabel, dilakukan uji pembakaran dengan batubara
(Gambar 5).
Kecepatan pembakaran dari 60 kg/jam dapat terus
dinaikkan sampai 75 kg/jam. Blower yang digunakan
berukuran 4 inci 550 watt, 3000 rpm dibuka
maksimum. Setelah pembakaran batubara stabil,
kecepatan pembakaran batubara dicoba dinaikkan
lagi. Ternyata 75 kg/jam sudah merupakan kecepatan
maksimum. Penambahan kecepatan mengakibatkan
keluarnya asap dan partikel batubara yang belum
terbakar. Hal ini menunjukkan kurangnya udara
pembakar. Blower yang digunakan perlu diganti
dengan blower yang berdaya jauh lebih tinggi untuk
mengatasi hambatan-hambatan (friction head) dalam
sistem boiler ini.
Pada kondisi tersebut di atas dengan umpan batubara
75 kg/jam, produksi uap basah adalah 9,75 kg/menit
atau 585 kg/jam.
Efisiensi energi :
585 x 613
= x 100%
75 x 5537
= 86,3%
Kapasitasnya yang masih rendah (585 kg/jam) maka
perlu upaya yang lebih mendasar untuk dapat
mencapai kapasitas sebelumnya dengan BBM yaitu
1 atau 2 ton/jam.
Berbeda dengan boiler horisontal, boiler vertikal ini
mempunyai hambatan aliran asap yang besar
sehingga perlu adanya tekanan positif dalam ruang
pembakaran yang cukup besar.
Beberapa kelemahan dari modifikasi yang telah
dilakukan adalah :
a. Sistemnya masih terbuka dengan tekanan
atmosfer. Pengumpanan batubara mengandalkan
gaya gravitasi.
b. Blower yang digunakan berdaya kecil, sekitar
0,7 pk padahal blower asli sistem BBM
menggunakan blower 3 pk.
c. Mengandalkan natural draft dari cerobong yang
kurang efektif. Penggunaan kipas pengisap biasa
Gambar 5. Pengoperasian boiler
termodifikasi dengan batubara
menggunakan pembakar siklon
45 Modifikasi Boiler Industri Berbahan Bakar Minyak ... Sumaryono, dkk
kurang dapat menolong. Perlu kipas pengisap
yang lebih besar dayanya dan tahan panas.
d. Jika dimodifikasi dengan sistem tertutup,
dengan tekanan positif di dalam, maka
pengumpan batubara dapat dilakukan dengan
pengumpan ulir (screw feeder) dan blower yang
digunakan berdaya tinggi.
5. KESIMPULAN
1. Setelah boiler dimodifikasi, mengganti burner
BBM dengan pembakar siklon batubara ternyata
pembakar siklon dapat berinteraksi baik dengan
boiler yang ditunjukkan oleh efisiensi energi
yang cukup baik, rata-rata 86,7% dan produksi
uap langsung normal dalam waktu kurang dari
30 menit setelah penyalaan.
2. Efisiensi energi yang cukup baik menunjukkan
proses perpindahan panas dari api pembakaran
batubara berlangsung secara efisien. Biasanya
efisiensi energi untuk sistem BBM adalah 85
95%.
3. Kapasitas boiler termodifikasi masih rendah. Hal
ini disebabkan :
a. Hasil modifikasi adalah sistem terbuka
bertekanan 1 atmosfer, mengandalkan natu-
ral draft dari cerobong yang tidak begitu kuat.
b. Blower yang digunakan berdaya rendah
(0,7 pk). Pada sistem BBM sebelumnya
digunakan blower 3 pk, dalam sistem
tertutup.
4. Untuk meningkatkan kapasitas boiler
termodifikasi, sistemnya harus tertutup dengan
tekanan positif. Untuk itu diperlukan blower
berdaya lebih tinggi dan sistem pengumpan
batubara dengan teknik pengumpan ulir.
DAFTAR PUSTAKA
Elliot, M.A., 1981. Chemistry of Coal Utilization,
New York.
H.M.S.O, 1963. The Efficient Use of Fuel, London.
Reka Boiler Utama, 2002. Clean Coal Technology
Boilers With Automatic Chain Grate Firing,
Brosur, Bekasi.
Sumaryono, 1999. Pembakaran Batubara Halus
Dengan Pembakar Siklon, Prosiding Seminar
Nasional III Kimia Dalam Pembangunan,
JASAKIAI, Yogyakarta, 666 676.
Petunjuk Bagi Penulis 46
1. Naskah dan berkas dalam disket dikirim ke
Pemimpin Redaksi Jurnal tekMIRA, Jl. Jend. Sudirman
No. 623 Bandung 40211. Naskah dalam disket akan
sangat membantu dalam proses peredaksian.
2. Naskah harus asli dan belum pernah diterbitkan
dalam publikasi lain. Judul naskah harus bersifat
deskriptif dan ringkas.
3. Redaksi akan melakukan seleksi dan memberitahukan
ke penulis, bila naskah sudah diterima atau bila naskah
tidak sesuai untuk penerbitan ini.
4. Naskah diketik dalam dua spasi menggunakan
kertas ukuran A4 dengan lebar margin kanan dan
atas 3 cm serta kiri dan bawah 2 cm.
5. Gambar dan tabel harus diberi judul dengan jelas
dan dalam kertas terpisah serta ditunjukkan
mengenai penempatan gambar dan tabel tersebut
dalam naskah tulisan. Foto harus jelas dan siap
untuk dicetak (tidak dalam bentuk negatif film).
Peta maksimum berukuran A4 dan harus memakai
skala. Semua huruf dalam peta harus jelas dan bila
ukuran peta harus diperkecil, tinggi huruf dalam
peta tersebut tidak lebih kecil dari 1,5 mm.
6. Jumlah halaman naskah tidak ditentukan. Naskah
ditulis secara ringkas sesuai isinya.
7. Nama penulis diketik pada halaman pertama di
bawah judul naskah. Nama organisasi, alamat, nomor
telpon dan faksimili, serta alamat e-mail (bila ada).
8. Intisari naskah (abstract) memuat ringkasan yang
jelas dari naskah tersebut dan kata kunci serta ditulis
dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
9. Hanya rumus matematika yang penting yang
dimuat dalam naskah.
10. Daftar pustaka ditulis secara alfabet dengan huruf
pertama (bila penulis lebih dari seorang). Urutan
penulisan : nama penulis, judul referensi, penerbit,
kota tempat buku diterbitkan dan tahun penerbitan.
11. Hanya artikel-artikel yang dipublikasikan yang
dimasukkan sebagai referensi. Bilamana mengacu
kepada artikel yang tidak dipublikasikan agar
dijelaskan cara memperoleh bahan tersebut.
12. Catatan kaki supaya dihindarkan.
13. Izin untuk memproduksi hak cipta material adalah
tanggung jawab penulis. Pengutipan seminimal
mungkin. Bila pengutipan melebihi 250 kata penulis
harus memperoleh izin tertulis dari penerbit dan
penulis referensi yang bersangkutan.
Petunjuk Bagi Penulis