Anda di halaman 1dari 2

Sinopsis Umang

Judul : Umang
Penulis : Ferry Irawan Am
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit : 2009
Tebal Buku : 356 Halaman
Novel ini bertemakan perjalanan hidup dengan tokoh Umang, dengan waktu sekitar tahun
1980-an yang bertempat di pulau Sumatra tepatnya daerah transmigran, pulau Jawa meliputi
Surabaya, Jombang, Jakarta, dengan suasana yang mengharukan.
Desa Donorejo, Kecamatan Jayaloka, kabupaten Musi Rawes, Sumatra Selatan tempat awal
perjalanan hidup Firmansyah.
Firman benar-benar tidak akan mengetahui latar belakang kehidupannya, jika lelaki yang
dianggapnya ayah selama ini, Burhan, tidak meninggal dunia. Firman merasa kehidupannya
oleng, begitu mengetahui siapa lelaki yang telah merampas kebahagian dari kehidupannya.
Ia ternyata anak orang kaya, korban dari gerombolan Burhan yang telah membunuh kedua
orangtuanya. Namun Firman tak bisa menaruh benci apalagi dendam pada Burhan, karena
berkat ayah angkatnya itulah, ia selamat dari amukan api dan dibesarkan layaknya anak
sendiri.
Awalnya mereka berdua tinggal di hutan, dengan mengandalkan hidup dari hasil bercocok
tanam. Namun seiring dijadikan daerah itu sebagai daerah transmigrasi, kawasan itu menjadi
lebih ramai. Walau antara daerah transmigrasi dan tempat tinggalnya, dibatasi sungai yang
terkadang berair deras.
Hingga suatu hari, ayah angkat Firman muntah darah dan sebelum ajal menjemput, ia
menceritakan asal usul Firman. Sejak saat itu, Firman hidup sebatang kara, dan gairah hidup
tercerabut dari dirinya.
Ia pun banyak menangis di pusara ayah angkatnya, sampai akhirnya ia dicap gila oleh warga
transmigrasi. Penderitaannya bertambah, di kala ia menolong anak perempuan Pak Salim
yang terjatuh di jalan.
Firman dituduh berbuat tak senonoh dan hujanan hinaan serta pukulan mendarat di tubuhnya
yang ceking. Ia pun diusir bak anjing buduk, dan akibat pukulan itu, ia hanyut di sungai tanpa
sadar.
Untunglah ia ditemukan Budiman, direktur di perusahaan minyak. Kisah nasibnya yang
tragis, membuat ia diangkat sebagai anak oleh keluarga Budiman.
Sayang kebahagiannya sebagai bagian dari keluarga Budiman tak berlangsung lama. Setamat
SD, ia harus kehilangan ayah angkatnya yang kedua, karena kecelakaan kerja. Setelah itu,
Firman harus kehilangan ibu angkatnya, yang dibawa anggota keluarganya ke Medan. Firman
kembali sebatang kara.
Ia pun memutuskan merantau ke Tanah Jawa dengan berbekal seadanya. Berbagai kejadian ia
alami, hingga ia tak sengaja menghina kuburan Sunan Ampel.
Dari mimpi bertemu sang sunan, ia diberitahu kalau ia termasuk dalam garis keturunan Sunan
Kalijaga. Ia juga disebut sebagai kader dakwah, yang akan meneruskan syiar Islam. Dan
Firman diberi petunjuk agar dia harus pergi ke pesantren Darul Qurra Wal Hadits yang
dipimpin oleh Abah Anom. Dari pesantren itu, banyak kisah yang dialami Firman mulai dari
hatinya yang tertambat ke hati Neng Hesti dan bertemu dengan Mayang Sari, teman kecilnya
dulu yang sekarang berubah keyakinan.
Lambat hari dia mengetahui bahwa Abah Anom adalah Sadewa, salah satu bromocorah buto
ijo yang telah membunuh orangtuanya.
Firman sempat mengikuti tes untuk beasiswa di Qatar, tetapi dia gagal. Di sisi lain, Neng
Hesti menolak perjodohan dari kakak ipar dan orangtuanya. Dia lebih memilih bersekolah di
Yaman, demi menunggu kepastian cinta Firman.
Puncak prestasi Firman adalah grup musik santri mbalule. Dengan santri mbalulenya Firman
dapat pentas di TMII Jakarta. Mendekati pementasan dia merasa gelisah. Untuk mengetahui
kegelisahannya Firman mencari tahu dengan ilmu pengracut jiwanya. Di situ Firman hanya
melihat darah berceceran, tulang berhamburan dan jeritan yang tiada hentinya karena
ketakutan, Firman memutuskan untuk kembali ke jasatnya.
Awal pementasan berjalan dengan lancar, tak dikira Firman membawakan syair di luar
kesadarannya, ia menceritakan tragedi kereta api KRD nomor 225 jurusan Rangkas Bitung-
Jakarta Kota dan Kereta api nomor 220 jurusan Tanah Abang-Merak.
Di lain pihak Mayang tidak sabar untuk meghadiri pementasan Firman. Karena ban mobilnya
bocor , dia memutuskan naik kereta jurusan menuju Jakarta.
Naas nasib Mayang, kereta yang ditumpanginya kecelakaan, dan menjadikan tubuhnya
remuk. Dipemakaman Firman, Kang Jaka, dan Mazako sahabatnya mendoakan Mayang
sebagai seorang muslim.
Rasa kesedihan setelah kehilangan Mayang tertebus oleh datangnya Syakh Ibrahim, salah
satu panitia dalam beasiswa di Qatar. Syakh Ibrahim menawarkan Firman untuk sekolah di
sana. Firman pun menerimanya dengan senang hati. Tak disangka kehidupannya berujung
dengan kebahagiaan.

Anda mungkin juga menyukai