PEMANFAATAN LIGNOSELULOSA DARI AMPAS TEBU MENJADI BIOETANOL
MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI
OLEH Rabiah Surrianingsih 1015021009 Richo Firdaus Tumanggor 1015021011 Ahmad Ramadhani 1015021019 Hotman Hutagalung 1015021037 Stefanus Dian P 1015021054
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Bahan lignoselulosa merupakan bio-massa yang berasal dari tanaman dengan komponen utama lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Ketersediaannya yang cukup melimpah, terutama sebagai limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan, menjadikan bahan ini berpotensi sebagai salah satu sumber energi melalui proses konversi, baik proses fisika, kimia maupun biologis.
Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula merupakan salah satu bahan lignoselulosa yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi seperti bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi etanol pada dasarnya terdiri atas perlakuan pendahuluan, hidrolisis selulosa menjadi gula, fermentasi gula menjadi etanol, dan pemurnian etanol melalui proses destilasi dan dehidrasi. Potensi perolehan etanol dari ampas tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula di Indonesia mencapai 614.827 kL/tahun sehingga berpeluang membantu upaya pemenuhan kebutuhan etanol untuk bahan bakar yang diperkirakan sekitar 1,10 juta kL.
Oleh karena itu, berbagai penelitian dilakukan untuk memperbaiki proses produksi mulai dari tahap perlakuan pendahuluan, hidrolisis selulosa, fermentasi gula menjadi etanol sampai dengan pemurnian etanol. Dengan memerhatikan potensi biomassa lignoselulosa, khususnya ampas tebu sebagai bahan dasar bioetanol, perlu dilakukan pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian dalam upaya pemanfaatan bahan tersebut.
b. Tujuan
1. Memenuhi tugas matakuliah Energi Biomassa 2. Mengetahui proses pembuatan bioethanol lignoselulosa dari ampas tebu melalui proses fermentasi II. ISI
BAHAN LIGNOSELULOSA Bioetanol merupakan merupakan salah satu energi alternatif pengganti minyak bumi. Bahan limbah pertanian dan industri dapat digunakan untuk produksi bioetanol. Komponen utama pada limbah pertanian dan industri yang digunakan untuk produksi bioetanol adalah lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignoselulosa merupakan bahan utama produksi bioetanol untuk jangka panjang.Enzim yang berperan dalam degradasi lignoselulosa adalah enzim yang bersifat selulolitik, hemiselulolitik dan lignolitik. Enzim utama yang berperan penting pada produksi bioetanol merupakan enzim kompleks yang mampu mendegradasi lignoselulosa. Produksi bioetanol sangat dipengaruhi oleh komposisi bahan baku, jenis mikroorganisma dan kondisi fermentasi yang digunakan. Lignoselulosa terutama tersusun atas lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Kandungannya bervariasi tergantung pada jenis dan umur tanaman. Dari sekian banyak bahan yang tersedia di alam selain bahan berpati, bahan lignoselulosa merupakan substrat terbanyak yang belum digunakan secara maksimal. Selama ini peruntukannya banyak untuk pakan. Akan tetapi komponen bahan lignoselulosa ini sangatlah kompleks, sehingga dalam penggunaannya sebagai substrat untuk produksi bioetanol harus melalui beberapa tahapan, antara lain delignifikasi untuk melepas selulosa dan hemiselulosa dari ikatan kompleks lignin, depolimerisasi untuk mendapatkan gula bebas dan fermentasi gula heksosa dan pentosa untuk mendapatkan produksi bioetanol. Enzim pendegradasi lignoselulosa adalah selulase yang banyak digunakan dalam berbagai industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil, detergen, dan sebagainya (Hidaka etal., 1998). Umumnya enzim yang digunakan saat ini masih impor. Enzim dapat diproduksi oleh kelompok bakteri, kapang maupun khamir. Mikroba yang umum digunakan adalah Trichoderma reesei (Sim and Oh, 1993). Selain itu juga telah diteliti produksi selulase dari jenis mikroba lain seperti Scopulariopsis brevicaulis OF 1212 (Nakatani et. al, 1998) dan Ruminococcus albus (Ohara, et al., 1998). Clostridium, Cellulomonas, Trichoderma, Penicillium, Neurospora, Fusarium, Aspergillus, dan lain-lain juga menunjukkan adanya kemampuan aktivitas selulolitik dan hemiselulolitik yang tinggi pada proses fermentasi untuk menghasilkan gula (Chandel, et al., 2007). Walaupun demikian, peluang untuk mengembangkan enzim dari mikroorganisme lain masih terbuka lebar. Bahan baku untuk proses produksi Bioetanol diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu gula, pati dan selulosa. Sumber gula yang berasal dari gula tebu, gula bit, molase dan buah-buahan, dapat langsung dikonversi menjadi etanol. Sumber dari bahan berpati seperti jagung, singkong, kentang dan akar tanamanharus dihidrolisisterlebih dahulu menjadi gula. Sumber selulosa yang berasal dari kayu, limbah pertanian, limbah pabrik pulp dan kertas, semuanya harus dikonversi menjadi gula dengan bantuan asam mineral (Lin and Tanaka, 2006). Produksi bioetanol dapat dilakukan dengan menggunakan biomasa berupa bagas melalui proses sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan menggunakan enzim xilanase (Samsuri, dkk., 2007). Biokonversi glukosa menjadi bioetanol, memerlukan perantara mikroba lain yang umumnya menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Zymomonas mobilis. Beberapa hal penting yang perlu diketahui pada proses produksi bioetanol antara lain, komponen lignoselulosa dan enzim pendegradasinya. Produksi bioetanol 99,5% (FGE) dari serat lignoselulosa (limbah) pertanian / kehutanan, nira dan pati (termasuk algae). Pada skala komersial, Bioetanol dengan absorben sumber daya Karbohidrat untuk bahan baku bioetanol Teknologi Proses fermentasi Serat Lignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol & bahan bakar Teknologi membran untuk dehidrasi produksi bioetanol meliputi proses penghalusan bahan dasar, proses delignifikasi, sakarifikasi, fermentasi dan dilanjutkan proses pemurnian dengan cara destilasi. Selain untuk produksi bioetanol, bahan-bahan yang meliputi gula, pati dan lignoselulosa dapat juga diproses menjadi produk yang bermanfaat lainnya seperti pupuk dan gas bio yang selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar.
a. Lignin
Lignin adalah bagian utama dari dinding sel tanaman yang merupakan polimer terbanyak setelah selulosa. Lignin yang merupakan polimer aromatik berasosiasi dengan poli-sakarida pada dinding sel sekunder tanamandan terdapat sekitar20- 40%. Komponen lignin pada sel tanaman (monomer guasil dan siringil) berpengaruh terhadap pelepasan dan hidrolisis polisakarida. Struktur kimia asal lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang tinggi dan asam, seperti pada pretreatment dengan uap panas. Reaksi pada temperature tinggi di atas 200 o C, lignin terpecah menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa . Penelitian awal pada lignin kayu keras menunjukkan bahwa ikatan -O-4 aryl ether terpecah pada saat perlakuan steam-explotion yang menyebabkan penurunan bobot molekul dan meningkatkan kandungan phenolic.
Enzim pendegradasi lignin (lignolitik) terdiri dari lakase (polifenol oksidase), lignin peroksidase (Li-P) dan mangan peroksidase (Mn-P). Ketiganya merupakan multi enzim ekstraseluler yang berperan dalam proses depolimerisasi lignin. Ketiga enzim tersebut dapat dihasilkan oleh jamur pelapuk putih Omphalina sp. dan Pleurotus ostreatus (Widyastuti, dkk.., 2007). Lakase, selain berperan dalam proses bioremediasi, juga bermanfaat dalam industri kertas (bio-pulping dan bio- bleaching). Produksi lakase dari Omphalina sp. Cukup potensial digunakan untuk mendelignifikasi material lignoselulosa dari tandan kosong kelapa sawit (Siswanto dkk.,2007). Selain itu Lentinus squarrosulus dan Psathyrella atroum bonata juga diketahui dapat mendegradasi lignin (Wuyep, et al., 2003). Lobos, et al., (2001) melaporkan bahwa Ceriporiopsis subvermispora juga mempunyai kemampuan kuat dalam mendegradasi lignin. Selain dengan cara enzimatis, proses degradasi lignin dapat dilakukan secara kimia yaitu dengan menambahkan asam (asam sulfat,asam perklorat danasam khlorida).
b. Selulosa
Selulosa adalah salah satu komponen utama dari lignoselulosa yang terdiri dari unit monomer D-glukosa yang terikat pada ikatan 1,4-glikosidik. Selulosa cenderung membentuk mikrofibril melalui ikatan inter dan intra molekuler sehingga memberikan struktur yang larut. Mikrofibril selulosa terdiri dari 2 tipe, yaitu kristalin dan amorf. Selulase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari eksoselulase atau ekso- biohidrolase, endoselulase atau endo-1,4 glukanase dan glukosidase atau selobiase. Ekso-1,4 glukanase atau selobiohidrolase bekerja dengan cara melepas unit-unit selobiosa dari ujung rantai selulosa. Aktivitasnya sangat tinggi pada selulosa kristal tetapi sangat rendah pada selulosa amorf. Endo-1, 4-glukanase mampu menghidrolisis selulosa secara acak menghasilkan selodextrin, selobiosa dan glukosa. Enzim ini sangat aktif memutus ikatan selulosa yang dapat larut (amorf) seperti karboksil metil selulosa (CMC). Glukosidase atau selobiase dapat menghidrolisis selobiosa dan selo-oligomer pendek lainnya untuk menghasilkan glukosa.
Gugus fungsional dari rantai selulosa adalah gugus hydroxyl. Gugus OH ini dapat berinteraksi satu sama lain dengan gugus O, -N, dan S, membentuk ikatan hydrogen. Ikatan H juga terjadi antara gugus OH selulosa dengan air. Gugus-OH selulosa menyebabkan permukaan selulosa menjadi hidrofilik. Rantai selulosa memiliki gugus-H di kedua ujungnya. Ujung C1 memiliki sifat pereduksi. Struktur rantai selulosa distabilkan oleh ikatan hydrogen yang kuat disepanjang rantai. Di dalam selulosa alami dari tanaman, rantai selulosa diikat bersama-sama membentuk mikrofibril yang sangat terkristal (highly crystalline) dimana setiap rantai selulosa diikat bersama-sama dengan ikatan hydrogen. Sebuah kristal selulosa mengandung sepuluh rantai glukan dengan orientasi pararel. Tujuh kristal polymorphs telah diidentifikasi untuk selulosa, yang dikodekan dengan I, I, II, IIII,IIIII, IVI dan IVII. Di alam, kristal selulosa jenis I dan I ditemukan melimpah. Sebagai tambahan di dalam area yang sangat terkristal, selulosa alami mengandung area amorphous yang lebih sedikit.
c. Hemiselulosa
Hemiselulase adalah polimer hetero-polisakarida yang merupakan multi enzim dengan komponen utama C5. Enzim-enzim yang termasuk komponen hemiselulase antara lain xilanase, manannase, L-arabino-furanosidase, D- glucuronidase, xylosidase dan hemisellulolitik esterase (Shallom and Shoham, 2003). Hemisellulase banyak dihasilkan oleh kapang Aspergillus dan Trichoderma. Hemiselulosa umumnya dikelompokkan berdasarkan residu gula utama yang menyususun rangkanya, seperti: xylan, mannan, galactan, dan glucan, dengan xylan dan mannan adalah gugus utama dari hemiselulosa. Hemiselulosa umumnya dilaporkan berasosiasi secara kimia atau terikat-silang dengan polisakarida, protein, atau lignin. Xylan kemungkinan sebagai wilayah ikatan utama antara lignin dan karbohirat lain. Hemiselulosa lebih mudah larut daripada selulosa, dan dapat diisolasi dari kayu dengan ekstraksi. Rata-rata derajat polimerisasi (DP) dari hemiselulosa bervariasi antara 70 dan 200 tergantung pada jenis kayu. Hemiselulosa di dalam kayu keras dan tanaman semusim terutama tersusun atas xylan (15-30%), sedangkan hemiselulosa kayu lunak tersusun atas galaktoglukomannan (15 20%) dan xylan (7 10%). Xylan kayu keras terdiri atas unit -D-xylopyranosyl, yang mengandung asam 4-O-methyl--D-glucuronic dan gugus samping acetil. Asam 4-O-methyl-- D-glucuronic diikat ke rangka xylan melalui ikatan O-glycosidic dan asam asetik diesterifikasi pada gugus karbon 2 dan/atau 3 hydroxyl. Rasio molar antara xylosa : asam glukoronat : residu acetil adalah antara 10:1:7. Xylan kayu lunak adalah arabino-4-O- methylglucuronoxylan, di mana tidak terasetilasi, tetapi rangka xylan disubstitusi pada karbon 2 dan 3 secara berurutan dengan asam 4-O-methyl--D-glucuronic dan residu -L-arabinofuranosyl.
PROSES PEMBUATAN BIO ETHANOL Secara umum proses pembuatan bioethanol meliputi persiapan bahan baku, sakarifikasi, fermentasi dan pemurnian. Persiapan bahan baku untuk bahan lignoselulosa termasuk pretreatment harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Hasil ini penting untuk pengembangan teknologi biokonversi dalam skala komersial. Dengan perlakuan ini dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis, dan dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Hidrolisis merupakan proses pemecahan polisakarida di dalam biomasa lignoselulosa, yaitu selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gulayang dapat dilakukan secara kimia ataupun enzimatis. Dibandingkan proses secara kimia, hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan karena ramah lingkungan. Proses fermentasi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri dari berbagai spesies yaitu Saccharomyces cerevisiae, Kluyveromyces fragilis, Kluyveromyces marxianus, Candida utilis dan Pachysolen tannophilus dalam berbagai kondisi fermentasi. Untuk mendapatkan bioetanol dengan kemurnian tinggi, harus dilakukan proses pemurnian dengan cara destilasi. Destilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari broth fermentasi yang sebagian besar adalah air. Untuk mendapatkan etanol sampai dengan kemurnian 95% volume, dilakukan destilasi bertingkat dengan mengumpankan hasil destilasi pertama ke unit destilasi selanjutnya. Dengan demikian, teknologi proses yang efektif menggunakan bahan baku lignoselulosa dapat menghasilkan produk bioetanol untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. Kondisi optimum pada proses produksi bioetanol tergantung dari sumber karbon dan jenis mikroba pendegradasi. Selain itu, komposisi bahan mentah, jenis dan kondisi mikroba sangat berpengaruh terhadap konsentrasi bioetanol yang dihasilkan. Berikut ini adalah grafik pembuatan bio-ethanol menggunakan lignoselulosa :
Graphic 1 Untuk memperoleh fuel-grade ethanol , dilakukan pemurnian yang terdiri atas destilasi dan dehidrasi. Dengan mengamati potensi biomassa lignoselulosa, khususnya ampas tebu sebagai bahan dasar bioetanol, perlu dilakukan pengkajian terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan para peneliti untuk memanfaatkan bahan tersebut.
Proses konversi bahan lignoselulosa menjadi etanol terdiri atas tiga tahap, yaitu perlakuan pendahuluan, sakarifikasi atau hidrolisis selulosa menjadi gula-gula sederhana, dan fermentasi gula-gula sederhana menjadi etanol. Selanjutnya, dilakukan pemurnian etanol melalui destilasi dan dehidrasi untuk memperoleh fuel-grade ethanol . Dalam proses konversi bahan lignoselulosa menjadi etanol, dapat dilakukan beberapa integrasi reaksi seperti yang disajikan pada Figure 1 Graphic 2 Figure 1 dan dijelaskan lebih lanjut di Figure 2.
Figure 2 Di antara keempat proses integrasi reaksi tersebut, proses SSF adalah yan paling banyak dilakukan. Perlakuan Pendahuluan Perlakuan pendahuluan bertujuan untuk menghilangkan lignin, mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Proses ini juga sangat berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan pada proses selanjutnya, misalnya penggunaan enzim pada proses sakarifikasi. Proses perlakuan pendahuluan yang baik adalah yang dapat mengurangi penggunaan enzim yang harganya mahal (Wyman et al. 2005). Oleh karena itu, Cardona dan Sanchez (2007) menyatakan tahap tersebut merupakan tantangan utama pada konversi biomassa lignoselulosa menjadi etanol. Perlakuan pendahuluan dapat di-lakukan secara fisika, fisiko-kimia, kimia, biologis maupun kombinasi dari cara-cara tersebut (Sun dan Cheng 2002). 1) Perlakuan pendahuluan secara fisika antara lain berupa pencacahan secara mekanik, penggilingan , dan penepungan untuk memperkecil ukuran bahan dan mengurangi kristalinitas selulosa. 2) Perlakuan pendahuluan secara fisiko-kimia antara lain adalah steam explosion , ammonia fiber explosion (AFEX), dan CO 2 explosion. Pada metode ini, partikel biomassa dipaparkan pada suhu dan tekanan tinggi, kemudian tekanannya diturunkan secara cepat sehingga bahan mengalami dekompresi eksplosif. 3) Perlakuan pendahuluan secara kimia, di antaranya adalah ozonolisis, hidrolisis asam, hidrolisis alkali, delignifikasi oksidatif, dan proses organosolv. 4) Perlakuan secara biologis. Pada metode ini, digunakan mikroorganisme jamur pelapuk coklat, jamur pelapuk putih, dan jamur pelunak untuk mendegradasi lignin dan hemiselulosa yang ada dalam bahan lignoselulosa. Di antara ketiga jamur tersebut, yang paling efektif untuk perlakuan pendahuluan pada bahan lignoselulosa ada-lah jamur pelapuk putih (white-rot fungi). Dibandingkan dengan bahan ligno-selulosa lain yang banyak tersedia sebagai hasil samping industri pertanian dan perkebunan, misalnya jerami padi dan tandan kosong kelapa sawit, ampas tebu memiliki kelebihan, terutama dalam hal bentuk dan ukuran bahan. Ampas tebu dari pabrik gula sudah merupakan partikel kecil yang tidak lagi memerlukan proses perlakuan pendahuluan secara fisika berupa pencacahan atau penggilingan untuk memperkecil ukuran bahan. Ampas tebu dapat langsung diberi perlakuan pendahuluan lanjutan untuk mendegradasi lignin dalam bahan. Reaksi yang diintegrasikan antara lain adalah reaksi sakarifikasi atau hidrolisis selulosa menjadi gula dan reaksi fermentasi gula heksosa menjadi etanol atau yang biasa dikenal dengan proses sakarifikasi dan fermentasi serentak (simultaneous saccharification and fermentation /SSF). Reaksi-reaksi lain yang dapat diintegrasikan adalah fermentasi heksosa dan pentosa yang disebut co- fermentation (CF), reaksi sakarifikasi, fermentasi heksosa dan pentosa yang disebut simultaneous saccharification and co-fermentation (SSCF) serta reaksi SSCF ditambah dengan produksi selulase yang disebut consolidated bioprocessing. Bahan baku yang berbeda akan memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda pula. Oleh karena itu, tidak ada satu metode umum yang berlaku untuk perlakuan pendahuluan semua bahan lignoselulosa. Sakarifikasi Pada tahap sakarifikasi, selulosa diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa. Hidrolisis selulosa dapat dilakukan menggunakan larutan asam atau secara enzimatis, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Proses hidrolisis secara enzimatis biasanya berlangsung pada kondisi yang ringan (pH sekitar 4,80 dan suhu 4550 C) dan tidak menimbulkan masalah korosi. Kelemahannya adalah harga enzim cukup mahal. Komponen biaya enzim dapat mencapai 5365% dari biaya bahan kimia, dan biaya bahan kimia sekitar 30% dari biaya total. Enzim selulase biasanya merupakan campuran dari beberapa enzim, Sedikitnya ada tiga kelompok enzim yang terlibat dalam proses hidrolisis selulosa, yaitu : 1) endoglukanase yang bekerja pada wilayah serat selulosa yang mempunyai kristalinitas rendah untuk memecah selulosa secara acak dan membentuk ujung rantai yang bebas, 2) eksoglukanase atau selobio-hidrolase yang mendegradasi lebih lanjut molekul tersebut dengan memin-dahkan unit-unit selobiosa dari ujung-ujung rantai yang bebas, 3) -gluko-sidase yang menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Jumlah enzim yang diperlukan untuk hidrolisis selulosa berbeda-beda, bergantung pada kadar padatan tidak larut air ( water insoluble solids) pada bahan yang akan dihidrolisis. Sampai tahap tertentu, semakin banyak selulase yang digunakan, semakin tinggi rendemen dan kecepatan hidrolisis, namun juga meningkatkan biaya proses. Hidrolisis selulosa juga dapat dilakukan dengan menggunakan mikroba yang menghasilkan enzim selulase, seperti Trichodermareesei , Trichoderma viride, dan Asper-gillus niger . Proses hidrolisis selulosa mengg-nakan asam encer dilakukan pada suhu dan tekanan tinggi dalam waktu yang singkat, beberapa detik sampai beberapa menit, sehingga memungkinkan untuk dilakukan secara terus menerus. Proses hidrolisis selulosa menggunakan asam pekat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dan tekanan yang diperlukan hanyalah untuk memompa bahan dari satu alat ke alat lain. Waktu reaksi hidrolisis biasanya lebih lama dibanding waktu reaksi menggunakan asam encer. Selanjutnya dijelaskan bahwa metode ini pada umumnya menggunakan asam sulfat pekat yang diikuti pengenceran menggunakan air untuk melarutkan dan menghidrolisis substrat menjadi gula. Berbeda dengan sakarifikasi menggunakan enzim yang bersifat spesifik, proses sakarifikasi menggunakan asam bersifat tidak spesifik. Selain glukosa, sakarifikasi dengan asam dapat menghasilkan produk samping seperti senyawa furan, fenolik, dan asam asetat. Produk samping tersebut apabila tidak dihilangkan dapat menghambat proses selanjutnya, yakni fermentasi. Sakarifikasi menggunakan asam juga dapat memicu degradasi glukosa sehingga rendemen glukosa dan etanol menurun. Oleh karena itu, proses menggunakan enzim biasanya lebih disukai daripada proses menggunakan asam karena enzim bekerja lebih spesifik sehingga tidak menghasilkan produk yang tidak diharapkan, dapat digunakan pada kondisi proses yang lebih ringan, dan lebih ramah lingkungan. Komponen hemiselulosa pada bahan lignoselulosa dapat pula dihidrolisis dan selanjutnya difermentasi untuk menghasilkan etanol. Hidrolisis hemiselulosa dapat menggunakan enzim yang menyerang hemiselulosa, seperti glukuronidase, asetil esterase, xilanase, -xilosidase, galaktomannanase, dan glukomannanase. Beberapa mikroba dapat menghasilkan enzim tersebut, misalnya jamur Trichoderma spp. Dan Aspergillus niger, bakteri Bacillus spp. dan Streptomyces spp. penghasil xilanase, jamur Thielavia terrestris dan Polyporus versicolor, bakteri Bacillus, Aeromonas hydrophila, Streptomyces sp., dan Pseudomonas sp. penghasil mannanase. Fermentasi Teknologi dan peralatan yang diperlukan untuk proses fermentasi gula dari selulosa pada prinsipnya sama dengan yang digunakan pada fermentasi gula dari pati atau nira yang tersedia secara komersial. Pada proses ini, gula-gula sederhana yang terbentuk difermentasi menjadi etanol dengan bantuan bakteri seperti Saccharo-myces cerevisiae dan bakteri Zymmo-monas mobilis. Fermentasi biasanya dilakukan pada suhu 30C, pH 5, dan sedikit aerobik. Pada proses fermentasi glukosa, satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul etanol dan dua molekul karbon dioksida (CO 2 ). Fermentasi hasil hidrolisis komponen hemiselulosa seperti xilosa menjadi etanol dapat menggunakan bakteri Pichia stipitis atau Candida shehatae. Pada fermentasi xilosa, tiga molekul xilosa menghasilkan lima molekul etanol, lima molekul CO 2 , dan lima molekul air. Fermentasi pentosa yang berasal dari hemiselulosa dilakukan pada reaktor terpisah karena mikroba yang menggunakan pentosa bekerja lebih lambat dalam mengubah heksosa dan pentosa menjadi etanol dibanding mikroba yang hanya mengubah heksosa menjadi etanol, serta bersifat lebih sensitif terhadap senyawa inhibitor dan produk etanol. Etanol dan CO 2 yang terbentuk dapat menghambat proses fermentasi, atau biasa dikenal dengan end-product inhibition. Selain itu, sel hidup bakteri hanya toleran terhadap etanol pada konsentrasi tertentu. Pada media di mana bakteri bekerja mengubah gula menjadi etanol, jika konsentrasi etanol mencapai 12%, sel bakteri akan mati dan proses fermentasi berhenti. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan mendaur ulang bakteri yang terdapat dalam aliran produk untuk meningkatkan densitas sel dalam reaktor, atau dengan menggunakan teknologi fermentasi berlanjut. Dengan cara ini, produk yang terbentuk segera dipindahkan dari reaktor dan dalam waktu yang bersamaan memasok substrat. Karbon dioksida yang dihasilkan dikeluarkan dan ditangkap dengan gas scrubber . Karbon dioksida dapat diolah dan dijual, misalnya dimurnikan untuk digunakan sebagai bahan baku minuman berkarbonat. Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak Pada proses SSF, hidrolisis selulosa dan fermentasi gula tidak dilakukan secara terpisah atau bertahap, tetapi secara simultan. Mikroba yang digunakan pada proses SSF biasanya adalah jamur penghasil enzim selulase, seperti T. reesei, T. viride, dan S. cerevisiae.
III. PENUTUP
Proses atau teknologi konversi biomassa menjadi etanol atau bioetanol untuk biomassa penghasil karbohidrat jenis pati atau sukrosa, seperti ubi kayu, jagung, molasse, dan gula tebu. Untuk biomassa lignoselulosa, masalahnya agak berbeda karena dalam bahan lignoselulosa terdapat lignin yang terlebih dulu harus dipisahkan dari selulosa dan hemiselulosa. Selain itu, selulosa merupakan senyawa yang mempunyai bagian yang berstruktur kristal yang agak sulit didegradasi oleh mikroba atau enzim selulase.