Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat


mengakibatkan konsumsi energi semakin meningkat pula tetapi hal ini tidak
sebanding dengan ketersediaan cadangan energi yang semakin menurun.
Kebutuhan akan energi alternatif disamping energi konvensional saat ini sedang
meningkat. Keterbatasan energi tak terbarukan menjadikan bioetanol merupakan
salah satu produk bioindustri yang dapat dijadikan sebagai energi alternatif saat ini.
Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat mengurangi
ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus pemasok energi
nasional. Bioetanol dapat diperoleh dari fermentasi bahan-bahan yang
mengandung amilum, sukrosa, glukosa, maupun fruktosa.
Bioetanol merupakan produk bioindustri yang memiliki prospek sangat baik
untuk diproduksi. Hal tersebut disebabkan karena sifatnya yang terbarukan dan
bahan baku yang mudah diperoleh. Bahan baku bioetanol dapat terbagi menjadi 3
bagian yaitu : Bahan berpati, berupa singkong atau ubi kayu, ubi jalar, tepung
sagu, biji jagung, biji sorgum, gandum, kentang, ganyong, garut, umbi dahlia ;
Bahan bergula, berupa molase (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira batang
sorgum manis, nira aren (enau), gewang, nira lontar; dan bahan berselulosa, berupa
limbah logging, limbah pertanian seperti jerami padi, ampas tebu, janggel
(tongkol) jagung, onggok (limbah tapioka), batang pisang, serbuk gergaji.
Bahan baku bioetanol harus mudah diperoleh dan selalu tersedia sepanjang
tahun dalam jumlah besar. Selain itu, substrat harus mengandung gula
sederhana yang cukup tinggi, yaitu glukosa, fruktosa, atau sukrosa,
sehingga dapat digunakan oleh Rhizopus oryzae, Zymomonas mobilis, maupun
Saccharomyces cerevisiae dalam tahap fermentasi. Setelah tahap fermentasi
bioetanol harus dipisahkan dari bahan dasar pembuatnya yaitu dengan proses
destilasi berdasarkan perbedaan titik uap dari etanol dan bahan dasar sehingga
diperoleh etanol murni yang dapat digunakan sebagai sumber energi.

1
Tujuan

Praktikum ini bertujuan mengetahui dan memahami proses pembuatan


bioetanol dari substrat yeng mengandung gula serta menganalisis etanol yang
dihasilkan.

2
METODOLOGI

Alat bahan

Peralatan yang digunakan pada praktikum ini adalah erlenmeyer, pH meter,


wadah kecil, otoklaf, lup, leher angsa, neraca, dan incubator. Bahan yang dibutuhkan
pada praktikum ini adalah Saccharomyces cereviseae, molasses, akuades, larutan
urea, asam sulfat encer, biakan khamir, asam sulfat 10%, dan media steril.

Metode

3
Larutan Urea

Larutan Molases

Diinkubasi dengan suhu kamar

ngamatan terhadap jumlah gas, pH, OD 660 nm, kadar gula sisa

urea dan Asam sulfat encer

Hasil pengamatan

Larutan urea dan molases

4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

[Terlampir]

Pembahasan

Etanol atau lebih dikenal dengan alkohol mempunyai rumus kimia C 2H5OH.
Etanol sudah ditemukan sejak ratusan tahun lalu yakni pada proses peragian gula
menjadi arak yang dikenal sebagai minuman keras. Pada saat ini etanol banyak
digunakan sebagai bahan kosmetik, obat-obatan, pembuatan karet sintesis bahkan
sebagai bahan bakar motor yang dikenal sebagai gasohol, petranol. Adanya krisis
energi minyak bumi yang terjadi selama ini maka usaha pemanfaatan etanol sebagai
bahan bakar motor/mobil semakin intensif. Fermentasi merupakan salah satu upaya
untuk mengubah senyawa karbohidrat menjadi etanol dengan bantuan
mikroorganisme.
Salah satu metode pembuatan etanol yang paling terkenal adalah fermentasi.
Fermentasi mempunyai pengertian suatu proses terjadinya perubahan kimia pada
suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme. Bahan baku untuk proses fermentasi berupa bahan mentah seperti
mono/disakarida (gula tebu, tetes tebu), bahan berpati (padi, jagung, umbi, dll),
maltodekstrin, molase, dan bahan selulosa (kayu, limbah pertanian). Ragi yang dapat
digunakan dalam proses fermentasi etanol adalah Saccharomyces cerivisiae,
Saccharomyces uvarum (tadinya Saccharomyces carlsbergensis), Candida utilis,
Saccharomyces anamensis, Schizosccharomyces pombe. Proses fermentasi dapat
dijalankan secara batch maupun kontinyu. Fermentasi secara batch membutuhkan
waktu sekitar 50 jam, pH awal 4,5 dan suhu 20-30 oC untuk menghasilkan yield
etanol 90% dari nilai gula teoritis. Hasil akhir etanol sekitar 10-16% v/v (Bailey,
1986).
Secara teoritik tiap molekul glukosa akan menghasilkan 2 mol etanol dan 2
mol karbondioksida, dan melepaskan energi. Nutrien diperlukan dalam pertumbu han

5
ragi. Nutrien yang ditambahkan adalah karbon, nitrogen, fosfor, belerang, dan
hidrogen, sedangkan nutrien dalam jumlah kecil yaitu kalium, magnesium, kalsium,
mineral, dan senyawa-senyawa organik seperti vitamin, asam nukleat, dan asam
amino. Temperatur operasi yang digunakan tergantung pada jenis ragi, umumnya
adalah 30-40 oC. Berikut ini adalah tahapan fermentasi oleh mikroorganisme
Saccharomyces cerevisiae :

Gambar 1 Lintasan Embden Meyerhof Parnas

Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia yang disebabkan oleh


aktivitas mikroba ataupun oleh aktivitas enzim yang dihasilkan mikroba. Jalur
metabolisme karbohidrat yang pernah diselidiki adalah sistem fermentasi etanol oleh
khamir. Salah satu jenis khamir yang produktif dan sering digunakan ialah
Saccharomyces cerevisiae. Dalam fermentasi ini glukosa didegradasi menjadi etanol
dan CO2 melalui suatu jalur metabolisme yang disebut glikolisis. Jalur glikolisis
disebut juga sebagai jalur EmbdenMeyerhofParnas. Secara keseluruhan

6
mekanisme utama fermentasi etanol melalui jalur EmbdenMeyerhofParnas terlihat
pada Gambar 1 (Berry 1988). Penggunaan Saccharomyces cerevisiae dalam
produksi etanol secara fermentasi telah banyak dikembangkan di beberapa
negara, seperti Brasil, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat (Kustyawati et al 2013).
Hal ini disebabkan karena Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi etanol
dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi terhadap alkohol yang tinggi.
Pembuatan produk bioetanol ini menggunakan beberapa bahan antara lain
molases dan urea sebagai substrat serta khamir Saccharomyces cereviseae sebagai
agen reaksi enzimatis. Fungsi masing-masing komponen tersebut yakni molases
sebagai substrat yang mengandung gula (sumber karbon) dan urea sebagai sumber
nitrogen. Kedua nutrisi ini dibutuhkan oleh Saccharomyces cereviseae sebagai
nutrien untuk keperluan tumbuh serta melakukan proses metabolisme. Menurut
Waluyo (2005), peran utama nutrien adalah sebagai sumber energi, bahan
pembangun sel, dan sebagai aseptor elektron dalam reaksi bioenergetik (reaksi yang
menghasilkan energi). Oleh karenanya bahan makanan yang diperlukan terdiri dari
air, sumber energi, sumber karbon, sumber aseptor elektron, sumber mineral, faktor
pertumbuhan, dan nitrogen. Selain itu, secara umum nutrient dalam media harus
mengandung seluruh elemen yang penting untuk sintesis biologik oranisme baru
(Jawetz 2001). Semua organisme memerlukan karbon, energi dan elektron untuk
aktivitas metabolismenya. Karbon merupakan komponen utama dan penting bagi
sistem hidup khususnya sebagai kerangka makromolekul seluler. Nitrogen
merupakan komponen utama protein dan asam nukleat, yaitu sebesar lebih kurang 10
persen dari berat kering sel bakteri (Suriawiria 1999). Pada produksi bioetanol ini,
gula yang ada pada substrat molases akan dikonversi melalui reaksi enzimatis dalam
metabolisme sel Saccharomyces cereviseae sehingga akan terkonversi menjadi
etanol dan pertumbuhan sel Saccharomyces cereviseae.
Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses fermentasi
adalah derajat keasaman (pH), karena pH mempengaruhi pertumbuhan
Saccharomyces cerevisiae. Oleh karena itu, pada awal pelaksanaan penelitian
substrat yang akan dipakai terlebih dahulu diuji pHnya. Menurut Roukas (1994),
bahwa kisaran pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae adalah pada pH 3.6-6.5.
Namun, pada kondisi basa Saccharomyces cerevisiae tidak dapat tumbuh. Menurut

7
Sassner et al (2008) bahwa produksi etanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae
paling optimal pada pH 4.5 dan suhu 300C.

Asam sulfat (H2SO4) merupakan asam yang sering digunakan sebagai katalis
kimia untuk hidrolisis asam meskipun asam yang lain juga bisa digunakan seperti
asam klorida (HCl). Hidrolisa merupakan tahapan proses yang sangat penting yang
dapat mempengaruhi perolehan yield etanol. Proses ini bertujuan memecah ikatan
lignin, menghilangkan kandungan lignin dan hemisellulosa, merusak struktur krital
dari sellulosa serta meningkatkan porositas bahan. Rusaknya struktur kristal sellulosa
akan mempermudah terurainya sellulosa menjadi glukosa. Hidrolisis asam dapat
memecah hemiselulosa dengan efektif menjadi monomer-monomer gula (arabinosa,
galaktosa, glukosa, manosa, dan xilosa) dan larutan oligomer yang meningkatkan
konversi selulosa, lalu akan difermentasi oleh mikroorganisme menghasilkan etanol
(Osvaldo et al 2012).

Hidrolisa asam dapat dikelompokkan menjadi hidrolisa asam pekat dan


hidrolisis asam encer. Hidrolisa asam pekat menghasilkan gula yang tinggi (90% dari
hasil teoritik) dibandingkan dengan hidrolisa asam encer, dan dengan demikian akan
menghasilkan ethanol yang lebih tinggi. Dalam hal ini, H 2SO4 10% berfungsi
sebagai asam dalam proses hidrolisis asam pekat. Selain itu, H 2SO4 encer berfungsi
sebagai asam dalam proses hidrolisis asam encer. Hidrolisa asam encer dilakukan
dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan dalam kondisi yang lebih lunak dan
akan menghidrolisis hemiselulosa (misal 0,7% asam sulfat, 190oC). Tahap kedua
dilakukan pada suhu yang lebih tinggi, tetapi dengan konsentrasi asam yang lebih
rendah untuk menghidrolisa selulosa (215oC, 0,4% asam sulfat) (Osvaldo et al 2012).

Semakin tinggi konsentrasi asam sulfat, maka kadar glukosa yang dihasilkan
semakin besar. Asam sulfat dalam hal pembuatan bioetanol bertindak sebagai
katalisator yang bertujuan untuk mempercepat jalannya reaksi hidrolisis (Muin et al
2014). Menurut Artati et al (2006), semakin banyak jumlah katalisator yang
digunakan dalam pembuatan bioetanol, maka semakin cepat reaksi hidrolisis yang
terjadi. Namun, meningkatnya konsentrasi asam dalam proses hidrolisis dapat
mengakibatkan glukosa dan senyawa gula lain mengalami degradasi menjadi

8
senyawa Hidroksi Metil Furfural (HMF) dan furfural yang akan membentuk asam
formiat (Taherzadeh et al 2008).

Dilakukan pengukuran derajat keasaman pada praktikum pembuatan


bioetanol ini. Pengukuran dilakukan dengan interval 24 jam (1 hari). Pada jam ke-0
pengukuran menunjukkan pH sebesar 4,2 kemudian di jam ke-24 dan seterusnya
hingga jam ke-96 pengukuran menunjukkan derajat keasaman pH sebesar 4,4.
Terjadi kenaikan pH sebanyak 0,2 di hari pertama namun stagnan di hari ketiga dan
seterusnya hingga hari keempat. Hasil yang diperoleh ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian Sarmidi (1993) dan Gozan dkk.(2007). Sarmidi (1993) menyatakan bahwa
selama fermentasi, derajat keasaman (pH) mula-mula menurun sampai hari ketiga,
dan selanjutnya meningkat sedikit demi sedikit sampai hari kelima. Hal ini juga
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gozan et al. (2007), bahwa pada
tahap fermentasi 3 hari, yeast belum berada pada fase eksponensial (log phase) yaitu
fase dimana yeast menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat hidup.
Terjadinya penurunan nilai pH setelah fermentasi 3 hari disebabkan
karena aktivitas yeast S. cereviceae mengalami fase penyesuaian dimana yeast
akan menyesuaikan diri terlebih dahuludengan lingkungan sekitarnya sehingga
menghasilkan enzim yang dapat merombak gula menjadi alkohol. Ketidaksesuaian
data yang diperoleh dapat disebabkan karena kesalahan alat ukur pH dan kesalahan
praktikan dalam mengkalibrasi pH meter.
Pertumbuhan khamir S. Cereviceae dalam praktikum ini dapat dianalisis
melalui beberapa parameter antara lain bobot CO2, sisa gula, serta jumlah etanol.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, bobot CO2 pada pengamatan jam ke 0 bernilai 0
karena belum ada CO2 yang dihasilkan oleh khamir, dan bobot CO2 cenderung
meningkat dari waktu pengamatan 48 jam hingga 72 jam, sedangkan dari produk
dengan waktu pengamatan 72 jam hingga 96 jam hanya terdapat sedikit peningkatan
yang tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa pada tahap fermentasi 3
hari, yeast belum berada pada fase eksponensial (log phase) yaitu fase dimana yeast
menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat hidup (Gozan et al 2007). Oleh
karena itu, bobot CO2 yang meningkat ini menunjukkan bahwa ada produk
metabolisme yang dihasilkan oleh khamir hidup yang telah tumbuh.

9
Parameter gula sisa menunjukkan sisa gula yang belum terkonversi oleh
khamir. Gula yang didapat dari substrat molases masih terdapat dalam campuran
produk bioetanol, dari hasil pengamatan didapatkan bahwa nilai gula sisa terus
menurun seiring dengan lamanya waktu kultivasi. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin lama waktu kultivasi maka semakin banyak gula yang terkonversi menjadi
produk bioetanol oleh khamir. Hal ini juga sesuai dengan literatur bahwa
pertumbuhan khamir akan meningkat pada kultivasi hari ke-3 dan memasuki masa
stasioner pada hari ke-5.
Selanjutnya yaitu parameter jumlah produk etanol yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa produk etanol yang didapat
jumlahnya meningkat sejalan dengan waktu kultivasi. Hal ini sesuai dengan literatur
yang ada dan sesuai dengan hasil gula sisa yang terus menurun. Gula sisa yang
menurun seiring dengan waktu kultivasi berkaitan dengan peningkatan produk
etanol. Hal ini disebabkan karena gula yang terkandung dalam substrat telah
dikonversi menjadi produk bioetanol oleh khamir.

10
PENUTUP

Simpulan

Salah satu metode pembuatan etanol yang paling terkenal adalah fermentasi.
Fermentasi substrat gula menjadi etanol dapat dilakukan dengan bantuan khamir
Saccharomyces cerevisiae. . Dalam fermentasi ini glukosa didegradasi menjadi
etanol dan CO2 melalui suatu jalur metabolisme yang disebut glikolisis. Pembuatan
produk bioetanol yang dilakukan menggunakan beberapa bahan antara lain molases
dan urea sebagai substrat serta khamir Saccharomyces cereviseae sebagai agen reaksi
enzimatis. Fungsi masing-masing komponen tersebut yakni molases sebagai substrat
yang mengandung gula (sumber karbon) dan urea sebagai sumber nitrogen. Kedua
nutrisi ini dibutuhkan oleh Saccharomyces cereviseae sebagai nutrien untuk
keperluan tumbuh serta melakukan proses metabolisme. Salah satu faktor penting
yang harus diperhatikan dalam proses fermentasi adalah derajat keasaman (pH),
karena pH mempengaruhi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Kisaran
pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae adalah pada pH 3.6-6.5. Analisis dilakukan
terhadap pH, bobot CO2, sisa gula, serta jumlah etanol. Hasil yang didapat sesuai
dengan literatur bahwa semua parameter tersebut menunjukkan fase pertumbuhan
yang dialami oleh khamir yang tumbuh dalam kondisi batch yakni fase penyesuaian,
fase logaritmik, dan fase stasioner.
Saran

Praktikum sudah berjalan dengan cukup baik. Akan tetapi lebih baik jika
peralatan yang ada di laboratorium ditingkatkan kinerja dan jumlahnya agar kegiatan
praktikum dapat berjalan dengan lebih baik dan praktikan semakin memahami materi
dan menguasai materi praktikum bioindustri.

11
DAFTAR PUSTAKA

Artati, Enny Kriswiyanti dan A, Andik P. 2006. Pengaruh Konsentrasi Asam


Terhadap Hidrolisis Pati Pisang. Surakarta (ID) : Fakultas Teknik, Universitas
Negeri Sebalas Maret

Bailey James E dan David F. Ollis. 1986. Biochemical Engineering Fundamentals.


2ndedition. Singapore (SN) : McGraw-Hill Book Co.
Berry D R. 1988. Physiology of Industrial Fungi. Blackwell Scientific Publications.
London (UK) : Oxford.
Gozan Misri dan Samsuri M. 2007. Sakarifikasi dan Fermentasi Bagas Menjadi
Ethanol Menggunakan Enzim Selulase dan Enzim Sellobiase.Jurnal
Teknologi.21(3). 209-215.
Jawetz. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta (ID) : Salemba Medika.

Kestyawati E, Sari M, Haryati T. 2013. Efek fermentasi dengan Saccharomyces


cerevisiae terhadap karakteristik biokimia tapioka. J Agritech. 33(3):281-288

Muin R, Lestari D, Sari T W. 2014. Pengaruh konsentrasi asam sulfat dan waktu
fermentasi terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan dari biji alpukat.
Jurnal Teknik Kimia. 4(20) : 5-10.

Osvaldo ZS, Putra PS, Faizal M. 2012. Pengaruh Konsentrasi danWaktu pada Proses
Hidrolisis dan Fermentasi Pembuatan Bioetanol dari Alang Alang. Jurnal
Teknik Kimia. 18 (2) : 52-62.

Roukas T. 1994. Continuous ethanol productions from carob pod extract by


immobilized Saccharomyces cerevisiae in a packed bed reactor. J Chem
Technol Biotecnhol. 59 (9): 387-393.

Sarmidi A. 1993. Mutu Kakao. Iptek Proses Enzimatis Pada Fermentasi Untuk
Perbaikan Pemacu Pembangunan Bangsa. Tanggerang (ID) : Laboratorium
Teknologi Proses BPPT.
Sassner P, CG Martensson, M Galbe, G Zacchi. 2008. Steam pretreatment of H2SO4-
impregnated Salix for production of bioethanol. Journal Bioresource Technol.
99 (1) : 137-145

12
Suriawiria unus. 1999. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung (ID) : Aksara.

Taherzadeh M J, Karimi, Keikhosro. 2008. Pretreatment of lignocellulosic wastes to


improve ethanol and biogas production: a review. International Journal of
Molecular Sciences. 9 (9) : 1621-1651.

Waluyo Lud. 2005. Mikrobiologi Umum. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah


Malang Prees.

13
LAMPIRAN

Waktu Bobot CO2 PH Gula Sisa Etanol (g/l)


(Brix)
0 0 4.2 19.4 0
24 1.27 4.4 13.6 8
48 2.78 4.4 11.0 16
72 5.25 4.4 10.8 10
96 5.57 4.4 9.8 20

Pembagian kerja

No Nama (NIM) Tugas Paraf Nilai


1 Silva Latisya Konten no.2
(F34140045) Konten no. 5b
Editor
Simpulan dan saran
2 Mohamad Metodologi
Isnaeni Konten no.3
Konten no.4
(F34140059)
3 Rizqi Agustianto Pendahuluan
(F34140062) Konten no.1
Konten no.5a

14

Anda mungkin juga menyukai