NS 15 tetes
per menit, bactesyn 200 mg per 8 jam, mikosin 90 mg per 24 jam,
kalmethason 0,3 cc per 8 jam, nebulizer (ventolin 1, 25 mg dan pulmocort 1
ml per 8 jam), sanmol 0,6 ml bila panas.
C. Perumusan Masalah Keperawatan
Dari data tersebut kemudian penulis merumuskan diagnosa
keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan mukus
dalam jumlah yang berlebih, ditandai dengan data subyektif ibu klien
mengatakan An.K sesak napas dan batuk, data obyektif adalah An.K terlihat
sesak, terpasang oksigen 2 liter per menit, respirasi 40 kali per menit, terdapat
suara stridor, pada pemeriksaan laboratoriun didapat Hb: 9,3
g
/
dl
dan pada
pemeriksaan rongten thorak didapat hasil kedua bronkus terdapat
penumpukan sekret.
D. Perencanaan
Setelah penulis melakukan analisa data maka intervensi atau rencana
tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
Pada diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih. Tujuan yang dibuat
penulis adalah setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 kali 24 jam
diharapkan jalan napas paten dengan kriteria hasil menurut Nic dan Noc:
klien tidak sesak napas, irama napas teratur, frekuensi pernapasan normal
20 30 kali per menit, tidak ada sianosis, dan tidak ada sekret. Intervensi atau
rencana tindakan yang akan dilakukan adalah observasi keadaan umum dan
sistem pernapasan klien untuk mengetahui penyebab dan penanganan, berikan
posisi nyaman semi fowler untuk menurunkan kerja otot pernapasan dengan
pengaruh gravitasi, intruksikan kepada keluarga tentang bagaimana mengisap
jalan napas sesuai dengan kebutuhan untuk mengefektifkan pernapasan,
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen dan nebulizer untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan menurunkan kerja otot pernapasan.
E. Implementasi
Setelah penulis melakukan analisa data serta merencanakan tindakan
keperawatan maka implementasi yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai
berikut :
Tindakan keperawatan hari pertama yang dilakukan pada hari kamis, 5
April 2012 jam 10.00 yaitu mengobservasi keadaan umum dan sistem
pernapasan klien didapatkan respon subyektif ibu An.K mengatakan An.K
sesak napas dan respon obyektif suhu 38 derajat celcius, respirasi 40 kali per
menit, nadi 112 kali per menit, An. K tampak sesak napas, terpasang oksigen 2
liter per menit. Jam 10.30 memberikan posisi nyaman semi fowler dan
didapatkan respon subyektif Ibu An. K memperbolehkan saat An. K akan
diberikan posisi semi fowler dan data obyektif An. K tidak rewel dengan
posisi yang telah diberikan. Jam 10.45 melakukan pengisapan sekret secara
manual dengan waslap dan menganjurkan keluarga untuk melakukan
pengisapan sesuai yang telah diajarkan dan sesuai kebutuhan dan didapatkan
respon subyektif Ibu An. K memperhatikan cara pengisapan yang dilakukan
perawat dan bersedia untuk mengulangi pengisapan sesuai yang diajarkan dan
sesuai kebutuhan data obyektif didapatkan sekret kurang lebih 5 cc. Jam 12.30
melakukan nebulizer yang diberi ventolin 1, 25 mg dan pulmicort 1 mL dan
didapatkan respon subyektif ibu An. K mengatakan anaknya sesak napas dan
sekret keluar saat selesai di nebulizer. Respon objektif sekret keluar melalui
mulut dan hidung kurang lebih 2 cc.
Tindakan keperawatan hari kedua yang dilakukan pada hari jumat, 6
April 2012 jam 08.00 yaitu mengobservasi keadaan umum dan sistem
pernapasan klien didapatkan respon subyektif ibu An. K mengatakan An. K
masih sesak napas dan respon obyektif suhu 38,6 derajat celcius, respirasi 36
kali per menit, nadi 112 kali per menit, An. K tampak sesak napas, An. K
tampak gelisah dan terpasang oksigen 2 liter per menit. Jam 08.10
memberikan posisi nyaman semi fowler dan didapatkan respon subyektif Ibu
An. K memperbolehkan saat An. K akan diberikan posisi semi fowler dan
respon obyektif An.K tidak rewel saat diposisikan semi fowler. Jam 10.35
melakukan pengisapan sekret secara manual dengan waslap dan menganjurkan
keluarga untuk melakukan pengisapan sesuai yang telah diajarkan dan sesuai
kebutuhan dan didapatkan respon subyektif Ibu An. K memperhatikan cara
pengisapan yang dilakukan perawat dan mengatakan sudah mencoba cara
yang diajarkan perawat, data obyektif didapat sekret kurang lebih 3 cc. Jam
12.30 melakukan nebulizer yang berisi ventolin 1, 25 mg dan pulmicort 1 mL
dan didapatkan respon subyektif ibu An. K mengatakan anaknya sesak napas
dan sekret keluar saat selesai di nebulizer, respon objektif sekret keluar kurang
lebih 3 cc.
Tindakan keperawatan hari ketiga yang dilakukan pada hari sabtu, 7
April 2012 jam 08.00 yaitu mengobservasi keadaan umum dan sistem
pernapasan klien didapatkan respon subyektif ibu An. K mengatakan An. K
masih tetap sesak napas dan respon obyektif suhu 37,6 derajat celcius,
respirasi 38 kali per menit, nadi 104 kali per menit, An. K tampak sesak napas,
An. K tampak gelisah terpasang oksigen 2 liter per menit. Jam 08.15
memberikan posisi nyaman semi fowler dan didapatkan respon subyektif Ibu
An. K memperbolehkan saat An. K akan diberikan posisi semi fowler dan
respon obyektif An. K tidak rewel saat diposisikan semi fowler. Jam 13.30
melakukan pengisapan sekret secara manual dengan waslap dan menganjurkan
keluarga untuk melakukan pengisapan sesuai yang telah diajarkan dan sesuai
kebutuhan dan didapatkan data obyektif didapat sekret 6 cc. Jam 12.30
melakukan nebulizer yang berisi ventolin 1, 25 mg dan pulmicort 1 ml dan
didapatkan respon subyektif ibu An. K mengatakan anaknya sesak napas dan
sekret keluar saat selesai di nebulizer respon objektif sekret keluar kurang
lebih 4 cc.
F. Evaluasi
Setelah penulis melakukan analisa data, merencanakan tindakan
keperawatan dan melakukan tindakan keperawatan maka evaluasi yang
didapat dari implementasi keperawatan adalah sebagai berikut :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, hasil evaluasi hari pertama
yang dilakukan pada hari kamis, 5 April 2012 jam 13.15 wib dengan
menggunakan metode SOAP yang hasilnya adalah ibu An. K mengatakan An.
K sesak napas, dari hasil observasi An. K tampak sesak, terpasang oksigen 2
liter per menit, suhu 38 derajat celcius, respirasi 40 kali per menit, nadi 112
kali per menit, terdapat sekret keluar saat pengisapan secara manual dan
nebulizer kurang lebih 7cc dari semua tindakan keperawatan yang telah
dilakukan didapatkan hasil masalah keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif belum teratasi sehingga intervensi dilanjutkan untuk observasi keadaan
umum dan sistem pernapasan klien, berikan posisi nyaman semi fowler,
anjurkan pada keluarga untuk melakukan pengisapan jalan napas dengan
waslap sesuai dengan kebutuhan, lanjutkan terapi sesuai advis dokter :
kalmethason 0,3 cc per 8 jam dan nebulizer berisi ventolin 1, 25 mg dan
pulmicort 1 ml per 8 jam.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan hari kedua, hasil evaluasi
yang dilakukan pada hari jumat, 6 April 2012 jam 13.30 WIB dengan
menggunakan metode SOAP yang hasilnya adalah ibu An.K mengatakan
An.K masih sesak napas, dari hasil observasi An.K tampak sesak, terpasang
oksigen 2 liter per menit, suhu 38,6 derajat celcius, respirasi 36 kali per menit,
nadi 112 kali permenit, terdapat sekret keluar saat pengisapan secara manual
dan nebulizer kurang lebih 6 cc dari semua tindakan keperawatan yang telah
dilakukan didapatkan hasil masalah keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif belum teratasi sehingga intervensi dilanjutkan untuk observasi keadaan
umum dan sistem pernapasan klien, berikan posisi nyaman semi fowler,
anjurkan pada keluarga untuk melakukan pengisapan jalan napas dengan
waslap sesuai dengan kebutuhan, lanjutkan terapi sesuai advis dokter :
kalmethasin 0,3 cc per 8 jam dan nebulizer berisi ventolin 1, 25 mg dan
pulmicort 1 ml per 8 jam.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan hari ketiga, hasil evaluasi
yang dilakukan pada hari sabtu, 7 April 2012 jam 13.55 WIB dengan
menggunakan metode SOAP yang hasilnya adalah ibu An. K mengatakan An.
K masih tetap sesak napas, dari hasil observasi An. K tampak sesak, terpasang
oksigen 2 liter per menit, suhu 37,5 derajat celcius, respirasi 38 kali per menit,
nadi 104 kali per menit, terdapat sekret keluar saat pengisapan secara manual
dan nebulizer kurang lebih 10 cc dari semua tindakan keperawatan yang telah
dilakukan didapatkan hasil masalah keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif belum teratasi sehingga intervensi dilanjutkan untuk observasi ku dan
sistem pernapasan klien, berikan posisi nyaman semi fowler, anjurkan pada
keluarga untuk melakukan pengisapan jalan napas dengan waslap sesuai
dengan kebutuhan, lanjutkan terapi sesuai advis dokter : kalmethason 0,3 cc
per 8 jam, nebulizer berisi ventolin 1, 25 mg dan pulmicort 1 ml per 8 jam dan
berikan gamimune (kekebalan tubuh) jam 16.30 WIB apabila panas tidak
turun.
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang Asuhan Keperawatan
Pemenuhan Oksigenasi Pada An. K Dengan Bronkopneumonia di Ruang Bakung
Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta Prinsip dari pembahasan ini dengan
memfokuskan kebutuhan dasar manusia di dalam asuhan keperawatan.
A. Pembahasan
Menurut Paskalis,dkk dalam jurnal managemen terpadu balita sakit
(2009), Pneumonia merupakan salah satu dari lima penyebab kematian pada
anak balita, dan 75 % berada dinegara berkembang termasuk Indonesia.
Survai mortalitas di Indonesia tahun 2005 memperkirakan bahwa penyebab
kematian terbesar pada balita adalah pneumonia 23,6%. Menurut Retno, dkk
dalam jurnal devisi respirologi bagian ilmu kesehatan anak (2006),
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita
anak-anak di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan
pneumonia pada dewasa. Di Amerika dan Eropa yang merupakan negara
maju angka kejadian pneumonia masih tinggi, diperkirakan setiap tahunnya
30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 16-20 kasus per
1000 pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 pada umur 9 tahun dan
remaja.Di Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya, jumlah kasus pneumonia
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 dirawat sebanyak 190
pasien. Tahun 2004 dirawat sebanyak 231 pasien, dengan jumlah terbanyak
pada anak usia kurang dari 1 tahun (69%). Pada tahun 2005, anak umur
kurang dari 5 tahun yang dirawat sebanyak 547 kasus dengan jumlah
terbanyak pada umur 1-12 bulan sebanyak 337 orang.
Pneumonia merupakan keradangan pada parenkim paru yang terjadi
pada masa anak-anak dan sering terjadi pada masa bayi (Hidayat, 2008).
Pembagian pneumonia secara anatomis adalah pneumonia lobaris, pneumonia
lobularis atau bronkopneumonia, dan pneumonia interstitialis. Menurut
Muscari (2005), Pneumonia diklasifikasikan menurut agen etiologinya dan
juga menurut lokasi dan luas paru yang terkena yaitu, pneumonia lobaris
menyerang segmen luas pada satu lobus atau lebih, bronkopneumonia dimulai
pada ujung bronkiolus dan mengenai lobulus yang terdekat, pneumonia
intersisial menyerang dinding alveolus dan jaringan peribronkial serta lobular.
Menurut Wong (2003), bronkopneumonia atau disebut juga
pneumonia lobularis terjadi pada ujung akhir bronkiolus yang tersumbat oleh
eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang
berada didekatnya. Menurut Hidayat, (2009), Bronkopneumonia adalah
peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur,
ataupun benda asing yang ditandai dengan gejala panas tinggi, gelisah,
dispnea, napas cepat dan dangkal, muntah, serta batuk kering dan produktif.
Menurut Price (2005), Dispnea terjadi akibat ketidakseimbangan antara kerja
pernapasan dengan kapasitas ventilasi. Pada kasus An. K dengan
bronkopneumonia di RS Panti Waluyo Surakarta didapatkan suhu 38 derajat
celcius, respirasi 40 kali per menit, An. K tampak gelisah, dispnea, terpasang
oksigen 2 liter per menit, muntah 2 kali dalam sehari, serta terdapat batuk
kering. Dari teori yang disampaikan oleh Hidayat (2009) didapatkan
kesesuaian dengan kenyataan yang penulis dapatkan di Rumah Sakit.
Menurut Arief (2009), faktor lain yang mempengaruhi timbulnya
bronkopneumonia antara lain adalah penyakit manahun, trauma paru, berat
badan yang turun karena kurang kalori protein. Pada anak-anak usia lebih dari
1 tahun dengan gizi baik, biasanya bronkopneumonia timbul karena
komplikasi infeksi saluran napas akut. Tanda dan gejala yang muncul adalah
biasanya gejala penyakit datang mendadak namun kadang-kadang didahului
oleh infeksi saluran napas bagian atas, pertukaran udara di paru- paru tidak
lancar dimana pernapasan agak cepat dan dangkal (bahkan sampai pernapasan
cuping hidung), dalam waktu singkat suhu naik dengan cepat sehingga
kadang- kadang terjadi kejang, anak merasa nyeri didaerah dada sewaktu
batuk kering dan bernapas (rasa nyeri tersebut akibat gesekan pleura
meradang), batuk disertai sputum yang kental, dan napsu makan yang
menurun. Berdasarkan hal tersebut sesuai dengan kasus An. K, dimana An. K
mengatakan 1 hari yang lalu An. K mengalami sesak napas ringan dan setelah
beberapa jam sesak semakin parah hingga timbul suara ngrok- ngrok pada
pernapasan An. K disertai batuk. Ibu An. K juga mengatakan bahwa
sebelumnya An. K pernah mengalami penyakit sesak napas pada usia 5 bulan
yaitu flek paru. Pada saat pengkajian didapatkan respirasi 40 kali per menit,
suhu 38 derajat celcius dan pada An. K didapatkan pula penurunan napsu
makan dan didapatkan data berat badan 6,5 dan apabila dikategorikan ke
dalam status Z- SCORE hasil yang didapatkan WAZ 3,36 dan digolongkan
pada gizi buruk, HAZ -2,6 dan digolongkan pada tinggi badan pendek, WHZ
-2,37 dan digolongkan kurus. Menurut Sampurno (2007), Imunisasi campak
pada anak juga berperan dalam terjadinya penyakit pernapasan karena
imunisasi campak dapat memberikan kekebalan seumur hidup. Imunisasi
campak diberikan pada anak usia 9 bulan (Rahayu, 2009). Pada An. K saat
pengkajian ibu An. K mengatakan bahwa sampai saat ini An. K belum
mendapatkan imunisasi campak dengan keterangan berat anak pada usia 9
bulan sampai sekarang belum mencapai 7 kilogram.Menurut beberapa
referensi dan kenyataan yang ada kemudian penulis mengambil kesimpulan
bahwa didapatkan kesesuaian antara teori dan kenyataan yang mendukung
terjadinya bronkopneumonia pada An. K.
Menurut Ngastiyah (2005), pasien pneumonia hampir selalu
mengalami masukan makanan yang kurang, Suhu tubuh yang tinggi selama
beberapa hari dan masukan cairan yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi.
Untuk mencegah dehidrasi dan kekurangan kalori maka dilakukan
pemasangan infus. Pada An. K terlihat bahwa An. K mengalami penurunan
napsu makan serta mengalami peningkatan suhu tubuh hingga 38 derajat
celcius, sehingga di lakukan pemasangan infus mikro D5
NS 15 tetes per
menit dengan tujuan mencegah terjadinya dehidrasi akibat penurunan napsu
makan dan suhu yang tinggi. Dari teori tersebut penulis kemudian
membandingkan dengan kenyataan pasien dan didapatkan kesesuaian antara
teori dan kenyataan.
Menurut Ngastiyah (2005), Pemeriksaan diagnosis pada
bronkopneumonia, pada foto thorak terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu
atau beberapa lobus. Sedangkan menurut Nursalam (2008), pada pemeriksaan
foto dada didapatkan hasil terdapat bercak-bercak infiltrat yang tersebar atau
yang meliputi satu atau sebagian besar lobus. Menurut Riyadi (2009)
penyebab terjadinya bercak-bercak infiltrate pada bronkus diakibatkan bakteri
yang masuk keparu melalui saluran napas masuk bronkus dan alveoli
menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang
kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial. Secara hematogen
maupun langsung (lewat penyebaran sel) mikroorganisme yang terdapat
diparu dapat menyebar ke bronkus, setelah terjadi fase peradangan lumen
bronkus berserbukan sel radang akut, terisi eksudat (nanah), dan sel epitel
rusak, bronkus dan sekitarnya penuh dengan netrofil (bagiam lekosit yang
banyak pada awal fase peradangan dan bersifat fagositosis) dan sedikit
eksudat fibrinosa. Eksudat pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh
selanjutnya berubah menjadi purulen dan menyebabkan sumbatan pada
bronkus sehingga menimbulkan suara stridor.
Hal tersebut sesuai dengan kasus pada An. K pada pemeriksaan foto
thorak tanggal 4 April 2012 didapatkan hasil terdapat penumpukan sekret
pada kedua lobus atau bronkus. Pneumonia dapat menyebabkan anak berada
dalam keadaan dispnea dan sianosis karena adanya radang paru dan
banyaknya lendir didalam bronkus atau paru. Agar pasien dapat bernapas
secara lancar lendir yang berada di lobus tersebut harus dikeluarkan serta
untuk memenuhi kebutuhan oksigen perlu dibantu dengan memberikan
oksigen 2 Liter per menit. Oksigenasi merupakan salah satu intervensi
kolaboratif yang dilakukan oleh perawat sebagai bagian dari tim kesehatan
dalam upaya menyelesaikan masalah pasien terutama yang berkaitan dengan
gangguan sistem pernafasan.Menurut Rufaidah (2005) dalam jurnal
ikhsanuddin, oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital
dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup
seluruh sel tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup
udara ruangan dalam setiap kali bernafas. Adanya kekurangan oksigen
ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat
menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan.
Menurut Potter dan Perry (2005), hipoksia adalah kondisi dimana
oksigenasi jaringan yang tidak adekuat pada tingkat jaringan. Pada kasus An,
dari hasil oemeriksaan laboratorium tanggal 5 April 2012 didapatkan hasil
hemoglobin An. K 9,3
g
/
dl
dimana dengan kadar hemoglobin yang menurun
menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen pada anak terganggu ditandai dengan
An. K mengalami dispnea sehingga pada An. K mendapatkan terapi oksigen 2
liter per menit melalui nasal kanul untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada
An. K. Menurut potter dan perry (2005) Dispnea merupakan tanda klinis
hipoksia dan termanifestasi dengan sesak napas. Dari tinjauan teori tersebut
penulis membandingkan dengan kenyataan yang dapat disimpulkan bahwa
teori tersebut sesuai dengan kenyataan.
Menurut Ngastiyah (2005), komplikasi yang terjadi terutama
disebabkan oleh lendir yang tidak dapat dikeluarkan sehingga terjadi
atelektasis atau bronkiektasis. Untuk menghindari terjadinya lendir yang
menetap maka sikap baring pasien terutama bayi harus diubah posisinya
setiap 2 jam dan pengisapan lendir harus sering dilakukan. Pada kasus yang
dialami oleh An. K, penulis melakukan pengisapan sekret dengan waslap
sesuai dengan landasan teori. Menurut Ngastiyah (2005), Setiap mengubah
posisi pasien lakukan sambil menepuk-nepuk punggung pasien kemudian jika
terlihat lendir keluar maka segera diusap. Apabila lendir banyak dapat
dilakukan fisioterapi dengan drainase postural.
Menurut Lubis (2005), Fisioterapi dada adalah salah satu dari pada
fisioterapi yang sangat berguna bagi penderita penyakit respirasi, baik yang
bersifat akut maupun kronis. Fisioterapi dada ini walaupun caranya kelihatan
tidak istimewa tetapi sangat efektif dalam upaya mengeluarkan sekret dan
memperbaiki ventilasi pada pasien dengan fungsi paru yang terganggu.
Kontra indikasi fisioterapi dada ada yang bersifat mutlak seperti kegagalan
jantung, status asmaitikus, renjatan dan perdarahan masif, sedangkan kontra
indikasi relatif seperti infeksi paru berat, patah tulang iga atau luka baru bekas
operasi, tumor paru dengan kemungkinan adanya keganasan serta adanya
kejang rangsang. Sehingga tujuan dari fisioterapi dada pada penyakit paru
adalah mengembalikan dan memelihara fungsi otot-otot pernapasan dan
membantu membersihkan sekret dari bronkus dan untuk mencegah
penumpukan sekret. Menurut Muscari (2005), fisioterapi dada berguna untuk
mengeluarkan mucus atau sebagai ekspektorasi. Berdasarkan teori tersebut
penulis tidak melakukan fisioterapi dada dikarenakan kondisi An. K dengan
tingkat kesadaran apatis dan gelisah sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan fisioterapi dada. Dari data tersebut penulis menemukan kecocokan
atau kesesuaian antara teori dan kenyataan.
Pada kasus bronkopneumonia An. K penulis merumuskan diagnosa
prioritas berdasarkan masalah utama yang dialami pasien. Berdasarkan hasil
pengkajian pada An. K, penulis merumuskan diagnose bersihan jalan napas
tidak efektif berhubungan dengan mucus dalam jumlah yang berlebih.
Menurut Nanda (2009), diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan mukus dalam jumlah yang berlebih merupakan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran
pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang bersih. Menurut Nic dan
Noc (2006), batasan karakteristik antara lain dispnea, adanya bunyi napas
tambahan, perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan, sianosis,
kesulitan untuk bersuara, penurunan bunyi napas, ortopnea, kegelisahan,
adanya sputum, dan mata terbelalak saat melihat. Pada perbandingan
diagnosa antara teori dengan kenyataan diambil kesimpulan tidak ada
perbedaan antara teori dan kenyataan.
Menurut Petter dan Perry (2005), intervensi adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tujuan yang berpusat pada klien dari hasil
perkiraan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai
tujuan tersebut. Penulis mencantumkan diagnosa ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan mucus dalam jumlah berlebih, dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam jalan nafas
paten dengan kriteria hasil menurut Nic dan Noc adalah sesak nafas
berkurang, irama napas teratur, tidak ada sianosis, tidak ada sekret, frekwensi
pernafasan dalam rentang normal yaitu 20 sampai 30 kali per menit.
Penulis membuat intervensi keperawatan yang akan dilakukan dengan
rasional menurut Doenges (2000), yaitu : Intervensi yang pertama adalah
observasi keadaan umum dan sistem pernapasan klien, penulis merencanakan
tersebut dengan rasional untuk mengetahui penyebab dan penanganan
penyakitnya. Intervensi yang kedua berikan posisi nyaman semi fowler.
Menurut Wilkinson (2005) dalam jurnal Supadi, dkk menjelaskan dengan
semi fowler akan mengurangi kerusakan membran alveolus akibat
tertimbunnya cairan. Hal ini dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga oksigen
menjadi optimal dan sesak napas akan berkurang.Intervensi yang ketiga
adalah instruksikan kepada keluarga tentang bagaimana mengisap jalan napas
sesuai dengan kebutuhan untuk mengefektifkan pernapasan. Intervensi yang
keempat adalah kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen 2 liter per
menit, nebulizer berisikan ventolin 1, 25 mg dan pulmicort 1 mL per 8 jam,
antibiotikbactesyn 200 mg per 8 jam dan mikasin 90 mg per 24 jam, dan
kortikostreroid kalmethason 0,3 cc per 8 jam. Menurut Mubarak (2008),
pemberian oksigen dengan tujuan memberikan penambahan oksigen kedalam
sistem baik kimia maupun fisika. Menurut Muscari (2005), pemberian
bronkodilator berguna untuk meningkatkan relaksasi otot halus paru dan
memperbaiki fungsi pernapasan. Menurut Arief (2009), pemberian antibiotik
ditujukan untuk mengurangi resiko infeksi bakteri sekunder. Sedangkan
menurut Muscari (2005), antibiotic digunakan pada kasus infeksi pernapasan
seperti pneumonia dan epiglotitis. Menurut Muscari (2005), pemberian
kortikosteroid berfungsi untuk mengurangi reaktivitas jalan napas dan
inflamasi. Menurut Alsagaff (2006), pemberian kortikosteroid berguna
sebagai anti radang dan efektif untuk pengobatan pada obstruksi jalan napas
yang reversible. Sedangkan menurut Helmy (2007), Pemberian kortikosteroid
berguna untuk mengurangi jumlah sel inflamasi pada saluran napas. Dari
intervensi tersebut penulis membandingkannya antara teori dan kenyataan
dan didapatkan hasil yang sama antara teori dan kenyataan.
Implementasi adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan
dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry,
2005).Selama mengelola kasus kelolaan penulis melakukan tindakan
keperawatan sesuai dengan intervensi keperawatan yang telah direncanakan
penulis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama tiga hari, hasil
evaluasi yang didapatkan penulis pada hari sabtu, 7 April 2012 jam 13.55 wib
dengan menggunakan metode SOAP yang hasilnya adalah ibu An.K
mengatakan An.K masih tetap sesak napas, dari hasil observasi An.K tampak
sesak napas, terpasang oksigen 2 liter per menit, suhu 37,5 derajat celcius,
respirasi 38 kali per menit, nadi 104 kali per menit, terdapat sekret keluar saat
pengisapan secara manual dan nebulizer kurang lebih 10 cc dari semua
tindakan keperawatan yang telah dilakukan didapatkan hasil masalah
keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif belum teratasi hal ini
dikarenakan kondisi pasien yang buruk dan tingkat kesadaran yang apatis
sehingga sulit diatasi dalam waktu 3 kali 24 jam. Dari data tersebut intervensi
tetap dilanjutkan untuk observasi keadaan umum dan sistem pernapasan
klien, berikan posisi nyaman semi fowler, anjurkan pada keluarga untuk
melakukan pengisapan jalan napas dengan waslap sesuai dengan kebutuhan,
lanjutkan terapi sesuai advis dokter : kalmethason 0,3 cc per 8 jam, nebulizer
berisi ventolin 1, 25 mg dan pulmicort 1 mL per 8 jam dan berikan gamimune
(kekebalan tubuh) jam 16.30 apabila panas tidak turun.
B. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Berdasarkan masalah yang penulis dapatkan dalam studi kasus dan
pembahasan pada asuhan keperawatan pada An.K dengan
Bronkopneumonia di ruang Bakung RS Panti Waluya Surakarta, maka
penulis mengambil kesimpulan meliputi:
a. Penulis mampu melakukan pengkajian data dasar pada An.K dengan
bronkopneumonia, pengumpulan data dapat diperoleh melalui data
subyektif yaitu ibu klien mengkatakan An. K sesak napas, batuk dan
muntah 2 kali dalam sehari. Data obyektif yang diperoleh penulis yaitu
pada pemeriksaan tanda- tanda vital didapatkan hasil pernapasan 40
kali per menit, nadi 112 kali per menit, suhu 38 derajat celcius, An. K
tampak gelisah, napas cepat dan dangkal, dispnea, batuk kering dan
pada pemeriksaan antopomentri didapatkan berat badan An. K 6,5
kilogram. Pada pemeriksaan foto thorak An. K pada tanggal 4 April
2012 didapatkan hasil kedua bronkus terdapat penumpukan sekret.
b. Penulis mampu memproritaskan diagnosa Menurut Nanda (2009),
bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan mukus dalam
jumlah yang berlebih.
c. Penulis mampu menyusun rencana tindakan yaitu observasi keadaan
umum dan sistem pernapasan klien, berikan posisi nyaman semi
fowler, instruksikan kepada keluarga tentang bagaimana mengisap
jalan napas sesuai dengan kebutuhan untuk mengefektifkan
pernapasan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen,
nebulizer.
d. Penulis mampu melakukan implementasi sesuai dengan rencana yang
telah direncanakan.
e. Penulis mampu melakukan evaluasi asuhan keperawatan yang penulis
lakukan selama 3 hari pada An.K, didapatkan masalah keperawatan
bersihan jalan napas pada An.K belum teratasi sehingga perlu
dilanjutkan intervensi.
f. Penulis mampu menganalisa kondisi pada An. K dengan bersihan jalan
napas tidak efektif pada bronkopneumonia ditemukan penumpukan
sekret pada kedua lobus, suhu meningkat, kesadaran apatis, GCS E3
V4 M5, gelisah dan ditemukan sesak atau dispnea.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyampaikan
beberapa saran antara lain:
a. Bagi pasien
Keluarga agar segera membawa anak pada tempat pelayanan terdekat
apabila anak mengalami kesulitan bernapas, sesak napas, batuk, dan
juga terdapat suara tambahan dalam pernapasan.
b. Bagi rumah sakit
Diharapkan bagi Tim kesehatan untuk memberikan pelayanan yang
berkhualitas dalam menanggani kasus pada Anak terutama dengan
sistem gangguan pernapasan.
c. Bagi institusi pendidikan
Agar dapat dijadikan referensi dalam mengetahui penyakit dari
bronkopneumonia pada anak dan tanda gejala dari penyakit tersebut.