Anda di halaman 1dari 78

PENGARUH BREATHING RELAXATION DENGAN TEKNIK BALLON

BLOWING TERHADAP SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN


TUBERCULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT UMUM IMELDA PEKERJA
INDONESI MEDAN TAHUN 2021

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

RINI PANGGABEAN
NIM: 1714201022

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS IMELDA MEDAN

TAHUN 2021
LEMBAR PERSETUJUAN

PENGARUH BREATHING RELAXATION DENGAN TEKNIK BALLON


BLOWING TERHADAP SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN
TUBERCULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT UMUM IMELDA PEKERJA
INDONESI MEDAN TAHUN 2021

Untuk Dipertahankan Didepan


Tim Penguji

Pembimbing

(Sarida Surya Manurung, S.Kep, Ns. M.Kes)

Diketahui :
Ketua Prodi S-1 Keperawatan Imelda Medan

(Rostinah Manurung S.Kep, Ns, M. Kes)


LEMBAR PENGESAHAN

Penelitian dengan judul :

PENGARUH BREATHING RELAXATION DENGAN TEKNIK BALLON


BLOWING TERHADAP SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN
TUBERCULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT UMUM IMELDA PEKERJA
INDONESI MEDAN TAHUN 2021

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji


Pada Tanggal 30 September Tahun 2021

Penguji I : Sarida Surya Manurung S.Kep.,Ns.,M.Kes ( )

Penguji II : Paskah Rina Situmorang S.Kep.,Ns.,M.Kep ( )

Penguji III : Siddik Karo-Karo S.Kom.,M.Kom ( )

Diketahui :
Ketua Prodi S-1 Keperawatan Imelda Medan

(Rostinah Manurung S.Kep, Ns, M. Kes)


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Diri

Nama : Rini Panggabean

Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 21 Oktober 1999

Agama : Islam

Jumlah Saudara : Anak ke lima dari lima bersaudara

Status : Belum Menikah

Nama Ayah : Mahyudin II

Nama Ibu : Juniati Hasibuan

Alamat : A.K.S. Tubun Sarudik

II. Riwayat Pendidikan

1. Tahun 2006 – 2011 : SD Negeri 086441 Kota Sibolga

2. Tahun 2011 – 2014 : MTS Negeri Sibolga

3. Tahun 2014 – 2017 : SMK Negeri 2 Sibolga

4. Tahun 2017 – 2021 : Sekarang Sedang Menjalani pendidikan Sarjana

Keperawatan di Universitas Imelda Medan


UNIVERSITAS IMELDA MEDAN
Nama : Rini Panggabean
Nim : 1714201022
Judul :Pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing
terhadap saturasi oksigen pada pasien tuberculosis di rumah
sakit umum imelda pekerja indonesia medan tahun 2021

ABSTRAK

Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

bakteri Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), yakni bakteri aerob yang

dapat hidup terutama di paru. Perubahan fisiologis dan psikologik secara statistik

merupakan gejala yang sering dialami penderita tuberkulsis yang dapat

menurunkan kualitas hidup pasien. Breathing relaxation dengan teknik ballon

blowing merupakan salah satu bentuk latihan pernapasan yang dapat memperbaiki

fungsi paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh breathing

relaxation dengan tehnik ballon blowing terhadap saturasi oksigen pada pasien

tuberculosis di rumah sakit umum imelda pekerja indonesia medan tahun 2021.

Desain penelitian ini adalah pre experiment dengan pre post test one design.

Sempel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang. Data dianalisis secara univariat

dan bivariat menggunakan uji Wilcoxon Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terjadi perubahan secara signifikan terhadap saturasi oksigen sebelum dan sesudah

diberikan intervensi selama 6 hari. Hasil analisis statistik menunjukkan p value =

0,01<0,05 pada variabel saturasi oksigen. breathing relaxation dengan

menggunakan teknik ballon blowing dapat meningkatkan saturasi oksigen pada

pasien tuberkulosis.

Kata kunci : Ballon Blowing, Saturasi Oksigen, Tuberkulosis


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis sampai saat ini masih diberikan

hikmat dan kebijakan sebagai dasar dalam menyelesaikan skripsi ini dengan judul

Pengaruh Breathing Relaxation Dengan Teknik ballon Blowing Terhadap Saturasi

Oksigen pada pasien Tuberculosis di ruang rawat inap Rumah Sakit Imelda

Pekerja Indonesia (IPI) Medan. Skripsi ini disusun sebagai syarat dalam

menyelesaikan Program Studi Ilmu Keperawatan Universita Imelda Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan,

bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr,H.R.I, M.Sc selaku ketua Universitas Imelda Medan.

2. Dr. dr Imelda L.Ritonga, S.Kp, M.Pd, MN selaku ketua Universitas Imelda

Medan.

3. dr. Hedy Tan, MARS, MOG, Sp.OG selaku Direktur Rumah Sakit Imelda

Pekerja Indonesia Medan.

4. Rostinah Manurung, S.Kep, Ns, M.Kes selaku ketua program studi S-1

Keperawatan Universitas Imelda Medan.

5. Sarida Surya Manurung, S.Kep., Ns., M.Kes, selaku Dosen Pembimbing yang

selalu memberikan arahan kepada penulis mulai dari awal sampai

terselesainya skripsi ini.

6. Edi Syahputra Ritonga S.Kep., Ns., M.Kep selaku wali kelas SI keperawatan

tingkat IV yang telah banyak memberikan arahan dan inspirasi.


7. Seluruh staf Dosen S-1 Keperawatan Universitas Imelda Medan yang telah

membekali penulis dengan ilmu pengetahuan.

8. Teristimewa penulis sampaikan rasa hormat dan cinta yang sebesar-besarnya

dengan tulus hati kepada orang tua saya (Juniati Hasibuan) yang telah banyak

memberi dukungan baik berupa motivasi maupun materi serta curahan kasih

sayang yang diberikan kepada penulis serta doa yang tulus dan ikhlas sampai

terselesainya penelitian ini.

9. Abang, kakak, dan adik tersayang: Muhammad Majid Panggabean, Mahyuniar

Panggabean, Nur Amina Panggabean, Rahma Wati Panggabean, Muhammad

Irson, Syifa Rizkia, Pendi, Sri rahayu.

10. Teman satu kamar Yuliana, Riza Febriani, Sri Mega, Asri, Zahra Sukma

Fatriza, Zain.

11. Teman satu bimbingan dalam menyelesaikan skripsi Yuliana, Tri, Juniaman

Zega.

12. Sahabat yang memerikan motivasi dan dorongan pada penulis : Arman Saleh

Pohan.

13. Responden yang telah bersedia memberi waktu dan membantu peneliti dalam

menyelesaikan skripsi ini.

14. Seluruh teman-teman seperjuangan khususnya S1 tingkat IV yang telah

banyak membantu dan memberi motivasi.


Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih banyak kekurangan,

oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk

kesempurnaan dan kebaikan dalam penulisan skripsi ini.

Medan, 26 Juli 2021

Penulis

(Rini Panggabean)

1714201022
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ABSTRAK
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Batasan Masalah.......................................................................... 4
1.3. Rumusan Masalah........................................................................ 5
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
1.5. Manfaat Penelitian....................................................................... 5
1.5.1. Bagi Peneliti.................................................................... 5
1.5.2. Bagi Responden.............................................................. 5
1.5.3. Bagi Masyarakat.............................................................. 6
1.6.4. Bagi Institusi................................................................... 6
1.6.5. Penelitian Selanjutnya..................................................... 6
BAB II : TINJAUAN TEORI
2.1. Konsep Tubercullosis................................................................ 7
2.1.1. Defenisi........................................................................... 8
2.1.2. Etiologi............................................................................ 9
2.1.3. Patogenesis ..................................................................... 9
2.1.4. Gejala Klinis.................................................................... 9
2.1.5. Diagnosis......................................................................... 11
2.1.6. Klasifikasi....................................................................... 13
2.1.7. Faktor Determinan.......................................................... 16
2.1.8. Tipe Penderita................................................................. 22
2.1.9. Komplikasi...................................................................... 23
2.1.10. Epidemiologi................................................................. 24
2.1.11. Pencegahan.................................................................... 25
2.1.12. Penanggulangan............................................................ 29
2.2. Konsep Dasar Saturasi Oksigen Pada Tubercullosis................ 31
2.2.1. Defenisi Saturasi Oksigen............................................... 31
2.2.2. Faktor – Faktor Penurunan Saturasi Oksigen................. 32
2.2.3. Proses Penurunan Saturasi Oksigen................................ 34
2.2.4. Tanda Dan Gejala Penurunan Saturasi Oksigen............. 35
2.2.5. Pengukuran Saturasi Oksigen......................................... 37
2.2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Saturasi O2.. 38
2.2.7. Kategori Hasil Saturasi Oksigen..................................... 39
2.3. Konsep Dasar Breathing Relaxtion, Teknik Ballon Blowing... 40
2.3.1. Pengertian Breathing Relaxtion..................................... 40
2.3.2. Tujuan............................................................................ 41
2.3.3. Latihan............................................................................ 41
2.3.4. Pengaruh.......................................................................... 42
2.4. Kerangka Konsep...................................................................... 43
2.5. Hipotesis.................................................................................... 45
BAB III : METODE PENELITIAN
3.1.Jenis dan rancangan Penelitian................................................... 46
3.2. Waktu dan Tempat penelitian................................................... 47
3.2.1. Waktu Penelitian............................................................. 47
3.2.2. Tempat Penelitian............................................................ 47
3.3. Populasi,Sampling dan Sampel Penelitian................................ 47
3.3.1. Populasi........................................................................... 47
3.3.2. Sampel............................................................................. 48
3.4.Tehnik Pengumpulan Data......................................................... 47
3.5. Jenis Dan Metode Pengumpulan Data...................................... 48
3.5.1. Jenis Data........................................................................ 48
3.5.2. Metode Pengumpulan Data............................................. 49
3.5.3. Instrumen......................................................................... 49
3.6. Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional.......................... 49
3.6.1. Variabel........................................................................... 49
3.6.2. Definisi Operasional........................................................ 50
3.7. Tehnik Pengolahan Data........................................................... 52
3.8. Tehnik Analisa Data.................................................................. 53
3.8.1. Analisa Univariat................................................................... 53
3.8.2. Analisa Bivariat...................................................................... 53
BAB IV : HASIL PENELITIAN
4.1. Hasil Univariat........................................................................ 56
4.1.1. Data Umum................................................................ 56
4.2. Hasil Bivariat.......................................................................... 58
BAB V : PEMBAHASAN PENELITIAN
5.1. Pembahasan............................................................................... 60
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan............................................................................... 63
6.2. Saran.......................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Hal
Table 2.1. Derajat Hipoksemia Berdasarkan Nilai Pa02 dan SaO2..................
Tabel 3.1 Rancangan Penelitian Pengaruh Breathing Relaxion Dengan Tehnik
Ballon Blowing Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien Tuberculosis Di RS IPI
Medan...............................................................................................................
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian.........................................
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.....
Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Tabel 4.4 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 4.5. Distribusi Uji Wilcoxon
DAFTAR GAMBAR

Hal

Skema 2.1. Kerangka Konsep Penelitian..........................................................


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Survei Awal dari Universita Imelda Medan

Lampiran 2. Surat Balasan dari RSU IPI Medan

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian dari Universitas Imelda Medan

Lampiran 4. Surat Balasan Izin Penelitian dari RSU IPI Medan

Lampiran 5. Lembar Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 6. Lembar Persetujuan Responden

Lampiran 7. Satuan acara penyuluhan

Lampiran 8. Lembar Kuesioner

Lampiran 9. Master Tabel

Lampiran 10. Hasil Penelitian

Lampiran 11. Lembaran Konsul

Lampiran 12. Lembar revisi

Lampiran 13. Berita acara


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis paru yang sering dikenal dengan TBC paru disebabkan bakteri

Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) dan termasuk penyakit menular,

Penularan TBC paru terjadi ketika penderita Tuberkulosis paru BTA positif,

Kuman tuberkulosis paru menyebar kepada orang lain melalui transmisi atau

aliran udara secara tidak langsung penderita mengeluarkan droplet, dahak di

udara dan terdapat ±3000 percikan dahak yang mengandung kuman (Kemenkes

RI, 2017).

Menurut data Global Tuberculosis Report 2017 yang disusun oleh World

Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa Tuberkulosis paru masih

terpilih jadi satu dari sepuluh penyebab kematian di seluruh dunia. Penyakit ini

mendapat peringkat kesembilan menjadi pembunuh atau penyebab kematian.

Dari data epidemiologi 2016 menjelaskan bahwa dari 10.400.000 orang yang

menderita TB paru, 1.700.000 diantaranya meninggal dunia. TB paru adalah

penyebab utama kematian di negara-negara berkembang yang disebabkan oleh

infeksi bagi orang dewasa dengan umur 15-59 tahun. TB paru mulai muncul di

beberapa negara industri, sebab meningkatnya migrasi penduduk karena

ekonomi, politik dan penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang

semakin meluas. Karena itu, penyebaran penyakit ini sangat cepat, dan upaya

yang dilakukan di masa lalu tidak memadai untuk mengendalikan tuberkulosis di

suatu wilayah. Jika tidak ditangani dan ditindak lanjuti sesegera mungkin,
diperkirakan yang akan terjadi adalah 70.000.000 orang mungkin meninggal

akibat TB paru dari saat ini hingga tahun 2020 (WHO, 2017)

Menurut World Health Organizatin (WHO) pada tahun 2017 menyebutkan

bahwa jumlah kasus insiden Tuberkulosis paru pada tahun 2016 secara global

yaitu Asia Tenggara (45%), Afrika (25%), Pasifik Barat (17%), Mediternia

Timur (7%), Eropa (3%) dan Amerika (3 persen). Kira-kira ada 10,4 juta orang

jatuh sakit dengan TB paru dimana 90 persen orang dewasa dan 65 persen laki-

laki termasuk 56 persen orang yang hidup di lima negara dimana salah satunya

yaitu Indonesia. Insiden TB paru di Asia Tenggara sebesar tiga juta kasus dengan

satu juta kematian. Indonesia termasuk salah satu negara yang memberikan

kontribusi lebih dari 95 persen kasus secara regional dan dalam satu hari ada

lebih dari 1.500 orang meninggal karena TB paru.

Jumlah kasus baru atau jumlah kejadian insiden Tuberkulosis paru di

Indonesia tahun 2016 sebesar 298.128 kasus. BTA positif ditemukan sebesar

156.723 kasus diantaranya 39 persen perempuan dan 61 persen laki-laki dimana

1 persen anak-anak dan 99 persen dewasa. Dimana Case Notification Rate

(CNR) atau angka notifikasi kasus, angka yang menunjukkan jumlah pasien baru

tuberkulosis BTA positif yang ditemukan dan tercatat sebesar 61 persen. Diikuti

dengan Case Detection Rate (CDR) atau angka penemuan kasus, presentase

jumlah psien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati ada sebesar 60,59

persen (Kemenkes RI, 2017).

Menurut data profil Dinas Kesehatan provinsi Sumatera Utara tahun 2016

menyebutkan bahwa jumlah kasus baru TB paru di Sumatera Utara tahun 2016

ditemukan sebesar 17.798 kasus. BTA positif ditemukan sebesar 11.771 kasus
diantaranya 34 persen perempuan dan 66 persen laki-laki diantaranya 1 persen

anak-anak dan 99 persen dewasa. Dimana CNR tuberkulosis dengan BTA positif

sebesar 83 persen CDR sebesar 66 persen. Menurut data tersebut juga

mengatakan bahwa ada 3 (tiga) Kabupaten/Kota tertinggi angka kejadian

Tuberkulosis Paru, diantaranya adalah Kota Medan sebesar 3.006 per 100.000,

Kabupaten Deli Serdang sebesar 2.184 per 100.000 dan Kabupaten Simalungun

sebesar 962 per 100.000 (Depkes RI, 2016).

Renuka, K. et al (2019), melakukan penelitian tentang pengaruh balloon

therapy terhadap saturasi pernapasan pasien yang mengalami gangguan pada

saluran pernapasan bawah juga dilakukan oleh peneliti lain. Merupakan

penelitian pre eksperimental pre post desain. Subjek penelitian adalah pasien

yang mengalmai gangguan saluran pernapasan bawah sebanyak 20 pasien.

Intervensi dilakukan selama 7 hari, setiap hari pasien harus melakukan intervensi

meniup balon sebanyak 8-10 kali sampai balon berdiameter 7 inci. Variabel yang

diukur adalah skala sesak napas, frekwensi pernapasan dan fungsi paru. Hasil

penelitian menunjukkan terdapat nilai yang signifikan terhadap respirasi rate (p <

0,001), skala sesak napas (p <0 ,01) dan kapasitas paru (p < 0,05) setelah

diberikan intervensi balloon therapy.

Breathing relaxation dapat memberikan pengaruh terhadap saturasi oksigen

pasien TBC secara klinis jika dilihat dari signifikasi nilai klinis pasien TBC.

Pedoman tatalaksana pasien TBC menyebutkan Saturasi oksigen pasien TBC

adalah 90-100 % dan harus mendapatkan terapi oksigen ketika saturasi oksigen

turun dari 90 % (PDPI, 2011).


Breathing relaxation dengan teknik balloon blowing dapat menjadi alternatif

dalam proses penatalaksanaan tuberculosis, relaksasi pernapasan dengan meniup

balon mampu meregangkan paru sehingga dapat menurunkan tegangan pada

permukaan paru dan dapat mempermudah peningkatan kapasitas vital.

Peningkatan kapasitas vital, dapat mengakibatkan semakin besarnya kuantitas

gas yang dapat berdifusi melewati membran alveolus. Hal tersebut dapat

berdampak pada meningkatnya ikatan oksinhemoglobin dalam sel darah merah

pada pembuluh darah arteri sehingga dapat meningkatkan saturasi oksigen

(Boyle, Olinick and Lewis, 2017)

Pada tahun 2020 jumlah pasien Tubercullosis di Rumah Sakit Umum Imelda

Pekerja Indonesia Medan berjumlah 250 orang data ini diambil dari Rumah Sakit

Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan. Berdasarkan latar belakang peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Breathing Relaxation

Dengan Tehnik Ballon Blowing Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien

Tuberculosis Di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan Tahun

2021”.

1.2. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis ingin mengetahui

pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing terhadap saturasi

oksigens pada pasien tuberculosis di rumah sakit umum imelda pekerja indonesia

medan tahun 2021.


1.3. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing

terhadap saturasi oksigen pada pasien tuberculosis di rumah sakit umum imelda

pekerja indonesia medan tahun 2021.?

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon

blowing terhadap saturasi oksigen pada pasien tuberculosis di rumah sakit umum

imelda pekerja indonesia medan tahun 2021?

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi peneliti

Penelitian ini dibuat untuk megaplikasikan manfaat pendidikan kesehatan

terhadap pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing terhadap

saturasi oksigen pada pasien tuberculosis di rumah sakit umum imelda pekerja

indonesia medan tahun 2021.

1.5.2. Bagi responden

Dengan adanya penelitian ini diharapkan pasien dapat mengetahui

pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing terhadap saturasi

oksigen .
1.5.3. Bagi masyarakat

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan

masyarakat tentang pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing

terhadap saturasi oksigen .

1.5.4. Bagi Instusi

Dapat meningkatkan literatur sebagai bahan pustaka tambahan bagi

Universitas Imelda Medan (UIM) khususnya program studi S1 Keperawatan

mengenai pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing terhadap

saturasi oksigen .

1.5.5. Bagi peneliti selanjutnya

Memberikan manfaat bagi peneliti selanjutnya dan dapat di terapkan untuk

penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pengaruh breathing relaxation dengan

tehnik ballon blowing terhadap saturasi oksigen .


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Tuberculosis

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

bakteri Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), yakni bakteri aerob yang

dapat hidup terutama di paru karena mempunyai tekanan parsial oksigen yang

tinggi (Depkes RI, 2016).

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat

lama dikenal pada manusia, yang dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah

urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan

tulang vertebra torak yang khas tuberkulosis dari kerangka yang digali di

Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal

dari mumi dan ukiran pada dinding piramida di Mesir kuno pada tahun 2000-4000

SM. Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan bakteri penyebabnya yang

memiliki bentuk batang dan diidentifikasi sebagai bakteri Mycobacterium

tuberculosis (Sudoyono, dkk, 2015)

Sekitar 80% Mycobacterium tuberculosis menginfeksi paru, tetapi dapat

juga menginfeksi organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, tulang

belakang, kulit, saluran kemih, otak, usus, mata dan organ lain karena penyakit

tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yaitu penyakit yang dapat menyerang

seluruh bagian tubuh dan dapat menimbulkan kerusakan yang progresif ( Algasaff

dkk, 2015).
2.1.2. Etiologi Tuberculosis

Penyebab tuberkulosis paru adalah Mycobacterium Tuberculsis. Ada

beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. Tuberculosis, M. Africanum, M.

Bovis, M. Leprae dan sebagainya. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam

(BTA). Kelompok mikobakterium selain Mycobacterium Tuberculosis yang bisa

menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT

(mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang mengganggu

penegakan diagnosis dan pengobatan TB (Menkes RI, 2017). Sifat kuman

Mycobacterium Tuberculosis menurut Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 67

Tahun 2016adalah sebagai berikut:

a. Berbentuk batang , panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.


b. Bersifat tahan asam
c. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
d. Tahan terhadap suhu 4 0C – 70 0C.
e. Sangat peka terhadap panas , sinar matahari dan sinar ultra violet. Dalam
dahak pada suhu 30-37 derajad celcius akan mati dalam
f. Kuman dapat bersifat dorman (Kemenkes, 2016)..

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap

pencucian warna dengan asam (HCL) dan alkohol sehingga disebut basil tahan

asam (BTA). Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya

terjadi pada malam hari. Bakteri dapat bertahan hidup pada udara kering maupun

dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena bakteri berada dalam sifat dormant.

Dari sifat dormant ini bakteri dapat hidup kembali dan menjadi tuberkulosis aktif

lagi. Bakteri ini merupakan aerobik obligat yang memperoleh energi dari oksidasi

beberapa senyawa karbon sederhana.


2.1.3. Patogenesis Tuberculosis

Penularan penyakit Tuberkulosis Paru tergantung pada beberapa faktor,

seperti jumlah bakteri, tingkat keganasan bakteri, dan daya tahan tubuh orang

yang tertular (Kemenkes RI, 2016).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri

yang dikeluarkan daru parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan

dahak, makin menular pendferita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif,

maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang

terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan

lamanya menghirup udara tersebut (Zulkoni, 2017).

Tidak semua bakteri tuberkulosis Paru yang masuk ke dalam tubuh akan

berkembang menjadi penyakit. Mekanisme pertahanan tubuh akan bekerja dan

bakteri yang masuk akan dilumpuhkan, namun apabila keadaan kesehatan sedang

buruk maka kemungkinan untuk terjadinya penyakit akan lebih besar.

2.1.4. Gejala Klinis Tuberculosis

Menurut Sudoyono, dkk. 2015 gejala klinis Tuberkulosis paruyang paling

banyak dirasakan oleh penderita yaitu:

1. Demam

Demam biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. serangan demam pertama

dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah

seterusnya, sehingga pasien tidak pernah terbebas dari serangan demam


influenza. Keadaan ini sangan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien

dan berat ringannya infeksi bakteri yang masuk.

2. Malaise

Tuberkulosis Paru bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa

tidak enak badan, pegal pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin

kurus, sakit kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat

terjadi gangguan siklus haid. Gejala ini makin lama makin berat dan

terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

3. Batuk

Batuk merupakan gejala yang paling banyak ditemukan dan yang paling

dini dikeluhkan . Batuk akan timbul ketika penyakit telah mengenai

bronkus, dan batuk mula-mula disebabkan karena iritasi bronkus,

selanjutnya akibat terjadi peradangan pada bronkus sehingga terjadi batuk

yang produktif yang berguna untuk membuang produk ekskresi

peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid atau purulen., batuk ini dapat

terjadi 2-3 minggu.

4. Batuk Darah

Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah, berat ringannya

batuk darah yang timbul tergantung pada besar kecilnya pembuluh darah

yang pecah. Batuk darah dapat juga terjadi pada tuberkulosis yang sudah

sembuh, hal ini disebabkan oleh robekan jaringan paru. Pada keadaan ini

dahak sering tidak mengandung basil tahan asam (negatif). Batuk darah

tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga
dapat terjadi akibat ulserasi pada mukosa bronkus. Batuk darah inilah yang

paling sering membawa penderita untuk berobat ke dokter.

5. Sesak napas

Pada penyakit yang ringan belum dirasakan. Gejala ini ditemukan pada

penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup luas, pada awal

penyakit gejala ini tidak pernah didapat.

6. Nyeri dada

Gejala ini jarang ditemukan, biasanya ditemukan pada penderita yang

mempunyai keluhan batuk kering (non produktif) dan nyeri ini akan

bertambah bila penderita batuk, gejala ini timbul bila infiltrasi radang

sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Akan terasa

apabila terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik /melepaskan

napasnya.

2.1.5. Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosa tuberkulosis adalah upaya untuk menegakkan atau mengetahui

jenis penyakit yang diderita seseorang, untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis

dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemi, demam (subfebris),

badan kurus. Dalam penampilan klinis, tuberkulosis paru sering

asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan


radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin positif

(Sudoyono, dkk, 2015)

2. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan ini merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi

tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

dibanding pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan

keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier.

Yang diagnosisnya hanya bisa didapat melalui diagnosis radiologis tapi

tidak dengan diagnosis sputum dimana hampir selalu negatif. Pemeriksaan

radiologis dada yang lebih canggih saat ini yaitu Computed Tomography

Scanning (CT Scan). Dimana perbedaan densitas jaringan terlihat lebih

jelas dan sayatan dapat dibuat transversal (Rab Tabrani, 2018)

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya tidak sensitif

dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis aktif maka kadar leukosit akan

meningkat dengan kadar limfosit masih dibawah normal dan laju endap

darahmulai meningkat. Bila tuberkulosis mulai sembuh kadar leukosit

kembali normal dengan jumlah limfosit tinggi dan laju endap darah mulai

menurun kembali normal.

b. Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukan bakteri

BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Pemeriksaan ini

mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas).


Sebelum melakukan pemeriksaan ini pasien dianjurkan minum air

sebanyak ± 2 liter sehari sebelum pemeriksaan dan diajarkan melakukan

refleks batuk (Sudoyono, dkk, 2015).

4. Tes Tuberkulin

Pada tes tuberkulin diagnosis ditegakkan dengan melihat luasnya daerah

indurasi pada kulit tetapi saat ini di Indonesia, tes tidak mempunyai arti

dalam menentukan diagnosis tuberkulin pada orang dewasa sebab

sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobakterium

tuberculosis karena tingginya prevalensi tuberkulosis. Pemeriksaan ini

masih banyak dipakai untuk membantu penegakan diagnosis tuberkulosis

pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan

menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (purified Protein Derivative)

intrakutan berkekuatan 5 T.U (intermediate strength). Setelah 48-72 jam

tuberkulin disuntukkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan

yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara

antibodi seluler dan antigen tuberkulin (Rab Tabrani, 2018).

2.1.6. Klasifikasi Tuberkulosis

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru

memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu :

1. Organ tubuh yang sakit: Paru atau ektra paru.

2. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung: BTA positif atau

BTA negatif.
3. Riwayat pengobatan tuberkulosis sebelumnya: baru atau sudah pernah

diobati.

4. Status HIV pasien

2.1.6.1. Klasifikasi Tuberkulosis Primer

Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui batuk atau bersin oleh penderita

menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi dapat bertahan dalam udara

bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya sinar matahari dalam hal

ini sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan kelembaban ruangan. Dalam suasana

yang lembab dan gelap, bakteri tuberkulosis dapat bertahan berhari-hari sampai

berbulan-bulan (Sudoyono dkk, 2015).

Bakteri tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru sehingga akan membentuk sarang pneumoni yang disebut sarang

primer atau afek primer. Sarang primer akan terbentuk di bagian mana saja yang

ada di dalam paru. Dari sarang primer akan timbul peradangan getah bening

menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah

bening hilus (limfadenifitis regional). Sarang primer bersama-sama dengan

limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal dengan kompleks primer.

Kompleks primer selanjutnya akan menjadi salah satu dari:

1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad

integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti Ghon, fibrotik, perkapuran)

3. Menyebar dengan cara:


a. Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya. Sebagai contoh adalah

pembesaran kelenjar limfe di hilus, sehingga menyebabkan penekanan

bronkus lobus medius, berakibat atelektasis. Bakteri akan menjalar

sepanjang bronkus yang tersumbat menuju lobus yang atelektasis,

menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis, hal ini disebut

sebagai epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di leher, dapat

menjadi abses yang disebut scrofuloderma. Penyebaran ke pleura

menyebabkan efusi pleura.

b. Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru sebelahnya,

atau tertelan bersama dahak sehingga terjadi penyebaran di usus.

c. Penyebaran secara hematogen dan lomfogen ke organ lain seperti

tuberkulosis milier, meningitis, tulang, ginjal, dan genetalia (Wibisono

dkk, 2017).

2.1.6.2. Klasifikasi Tuberculosis Postprimer

Tuberkulosis postprimer terjadi karena bakteri yang dormant pada

tuberkulosis primer muncul setelah bertahun-tahun setelahnya sebagai infeksi

endogen. Tuberkulosis ini muncul kembali disebabkan oleh imunitas menurun

karena malnutrisi, alkohol, penyakit malagna, diabetes, AIDS, gagal ginjal.

Tuberkolusis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di

segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior menginvasi daerah parenkim

paru-paru. tuberkulosis postprimer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari

usia muda menjadi tuberkulosis usia tua, yang bergantung pada jumlah
bakteri,virulensi dan imunitas seseorang. Secara keseluruhan akan terdapat 3

macam sarang yakni:

1. Sarang yang sudah sembuh yang tidak memerlukan pengobatan lagi.

2. Sarang aktif eksudatif butuh pengobatan yang lengkap dan sempurna.

3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh yang dapat sembuh spontan

tetapi dapat berkemungkinan terjadinya eksaserbi kembali, seharusnya

diberikan pengobatan yang sempurna (Sudoyono dkk, 2015).

2.1.7. Faktor Determinan Tuberkulosis Paru

1. Host

Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan

arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Manusia

merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis,

bakteri tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita

tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2018).

Host untuk bakteri tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host

yang dimaksud disini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi

penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :

a. Jenis kelamin

Beberapa penelitian menunjukan bahwa laki-laki sering terkena

Tuberkulosis paru dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki

memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga

kemungkinan terpapar lebih besar pada laki-laki. Menurut jenis kelamin,


jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuanyaitu 1,5 kali

dibandingkan pada perempuan (KEMENKES, 2016)

b. Umur

Di Indonesia diperkirakan 75% penderita Tuberkulosis Paru adalah

kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Kementrian Kesehatan RI,2015).

Karena Pada usia produktif selalu dibarengi dengan aktivitas yang meningkat

sehingga banyak berinteraksi dengan kegiatan kegiatan yang banyak pengaruh

terhadap resiko tertular penyakit tuberkulosis paru.

c. Kondisi sosial ekonomi

WHO 2003 menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin

(Fatimah,2008). Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya

kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan

berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan

menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena

infeksi Tuberkulosis Paru.

d. Kekebalan

Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan

buatan. Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita

tuberkulosis paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan

kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis

Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka bakteri

tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru

(Fatimah, 2018).
e. Status gizi

Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan

berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap

infeksi bakteri tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka

akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan

kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko

tuberkulosis paru.

2. Agen

Agen adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent

dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana

sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab

utama/esensial dalam terjadinya penyakit (Werdhani, 2019).

Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi.

a. Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan

penyakit pada host. Pathogenitas bakteri tuberkulosis paru termasuk

pada tingkat rendah.

b. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh

host dan berkembangbiak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang

sama infektifitas bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat

menengah.
c. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan

sumber yang sama virulensi bakteri tuberkulosis termasuk tingkat

tinggi.

3. Environment

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar dari host (pejamu), baik

benda tidak hidup, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang

terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen tersebut, termasuk host yang

lain (Suswati, 2017). Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam

penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat.

Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh

besar terhadap status kesehatan penghuninya. Adapun syarat-syarat yang

dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh terhadap

kejadian tuberkulosis paru antara lain:

a. Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir atau

tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit

tuberkulosis. Peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya

berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya

sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab

di daerah endemis penyakit tuberkulosis. Umumnya penularan terjadi

dalam ruangan tempat percikan dahak berada dalam waktu yang lama.

Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari

langsung dapat membunuh bakteri (Keman, 2015) .

b. Kepadatan Penghuni Rumah. Ukuran luas ruangan suatu rumah erat

kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi


Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury mendapat kesimpulan secara

statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar diakibatkan oleh

keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya.

Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam

rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang

semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan

tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan

meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi

kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium

tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak bakteri yang terhisap

oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan. Menurut Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, kepadatan penghuni diketahui dengan

membandingkan luas lantai rumah dengan jumlah penghuni, dengan

ketentuan untuk daerah perkotaan 6 m² per orang daerah pedesaan 10 m²

per orang.

c. Kelembaban Rumah . Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70

% dan suhu ruangan yang ideal antara 180C – 300C. Bila kondisi suhu

ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat

lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila

kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang

tertentu dapat menimbulkan alergi.

Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan

mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri

spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke


dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban yang tinggi dapat

menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga kurang

efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang

meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk

bakteri tuberkulosis (Keman, 2015). Kelembaban di dalam rumah dapat

disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :

a) Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp )

b) Merembes melalui dinding ( percolating damp )

c) Bocor melalui atap ( roof leaks )

Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase

atau saluran air di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambungan

pondasi dengan dinding harus kedap air, atap tidak bocor dan tersedia

ventilasi yang cukup.

1. Jendela dan lubang ventilasi

selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai lubang

pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut

tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang

memenuhi syarat kesehatan adalah = 10% luas lantai rumah dan luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas

lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak

memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya

konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang

bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya


ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena

terjadinya proses penguapan cairan dai kulit dan penyerapan.

2. Pencahayaan Sinar Matahari

Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga

mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Sinar matahari dapat

dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberculosis.

3. Lantai rumah

Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air

dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses

kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan.

Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas

lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang

berbahaya bagi penghuninya.

2.1.8. Tipe Penderita Tuberculosis

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2016 Ada beberapa tipe penderita

yaitu:

1. Kasus baru

Kasus baru dalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

2. Kambuh (Relaps)

Kambuh adalah penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh,


kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA

positif.

3. Pindahan (Transfer In)

Pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu

kabupaten lain, kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.

4. Pengobatan setelah lalai (Default / Drop-out )

Pengobatan adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan

dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.

umumnya penderita tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA

positif.

5. Gagal

a. Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi

positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan setelah pengobatan) atau

lebih.

b. Penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA

positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

6. Lain-lain Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk pasien dengan kasus kronik, yaitu pasien dengan

hasil pemeriksaan masih BTA positif selesai pengobatan ulangan.

2.1.9. Komplikasi Tuberculosis

Komplikasi Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar

akan menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema,


laringitis,tuberkulosis usus. Menurut Depkes (2015) komplikasi yang sering

terjadi pada penderita Tuberkulosis Paru stadium lanjut:

1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya

jalan nafas.

2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.

3. Bronkiectasis dan fribosis pada Paru.

4. Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru.

5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal

dan sebagainya.

6. Insufisiensi Kardio Pulmoner

2.1.10. Epidemiologi Tuberculosis

Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit

sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan

lingkungan (environment). Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan

perlunya analis dan pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi

karena adanya ketidak seimbangan antar ketiga komponen tersebut. Model ini

lebih di kenal dengan model triangle epidemiologi atau triad epidemilogi dan

cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi sebab peran agent (yakni

mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari lingkungan.

Penyakit tuberkulosis paru tersebar di seluruh dunia. Pada awalnya di

negara industri penyakit tuberkulosis paru menunjukkan kecenderungan yang

menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya selama beberapa tahun, namun di


akhir tahun 1980an jumlah kasus yang dilaporkan mencapai grafik mendatar dan

kemudian meningkat di daerah dengan populasi yang prevalensi Human

Immunodeficiency Virus (HIV) tinggi dan di daerah yang penduduknya

merupakan pendatang dari daerah dengan prevalensi tuberkulosis paru yang tinggi

(Aditama, 2019).

2.1.11. Pencegahan Tuberculosis

Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu menjadi

acuan dalam penanggulangan penyakit Tuberkulosis Paru di masyarakat. Dalam

buku Kementrian Kesehatan RI, 2016 upaya pencegahan yang harus dilakukan

dapat dikelompokkan menjadi :

A. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu upaya awal pencegahan penyakit Tuberkulosis

Paru sebelum seseorang menderita Tuberkulosis Paru. Pencegahan ini

ditujukan kepada kelompok yang mempunyai faktor risiko tinggi. Dengan

adanya pencegahan ini diharapkan kelompok berisiko ini dapat mencegah

berkembangnya Tuberkulosis Paru secara dini. Pecegahan primer dapat

dilakukan dengan cara:

1. Imunisasi BCG

2. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain :

a. Menjemur peralatan tidur.

b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar

matahari masuk.
c. Aliran udara (ventilasi) yang baik dalam ruangan dapat mengurangi

jumlah bakteri di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan

bakteri.

d. Makan makanan bergizi.

e. Tidak merokok dan minum-minuman keras.

f. Lakukan aktivitas fisik/olahraga secara teratur.

g. Mencuci peralatan makan dan minuman dengan air bersih mengalir

dan memakai sabun.

h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun.

B. Pencegahan Skunder

Minum obat tuberkulosis secara lengkap dan teratur sampai sembuh.

Pengobatan tuberkulosis paru bertujuan untuk menyembuhkan penderita,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai

penularan dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti

Tuberkulosis (OAT).

Panduan OAT di Indonesia berdasarkan rekomendasi WHO dan IUATLD

(International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease) :

1. Kategori I (2HRZE / 4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H),

Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) Obat-obat tersebut

diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan

dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan Rifampisin (R)

diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4 H3R3). Obat ini

diberikan untuk :
a. Penderita baru TUBERKULOSISC Paru BTA Positif

b. Penderita TUBERKULOSISC Paru BTA negatif Rontgen positif yang

sakit berat

c. Penderita TUBERKULOSISC Ekstra Paru berat.

2. Kategori II (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3) Tahap intensif diberikan

selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin

(R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan

dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga

kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin

diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk:

a. Penderita kambuh ( relaps )

b. Penderita Gagal ( failure )

c. Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default )

3. Kategori III (2HRZ / 4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan

setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri

dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini

diberikan untuk :

a. Penderita baru BTA negatif rontgen positif sakit ringan

b. Penderita ekstra paru ringan yaitu tuberkulosis kelenjar limfe

(limfadenitis) pleuritis eksudativa unilateral tuberkulosis kulit,

tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar

adrenal.

Pengobatan terhadap penderita Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip

sebagai berikut :
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat

2. Obat dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan.

3. Untuk menjamin kepatuhan penderita minum obat, dilakukan pengawasan

langsung oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).

4. Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan

lanjut

Tahap Intensif yaitu penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Jika pengobatan

intensif diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular

dalam kurung waktu dua minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA(+)

menjadi BTA(-) (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan yaitu penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalamjangka waktu yang lebih lama. Pada tahap ini pentung untuk membunuh

bakteri sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

C. Pencegahan Tersier

1. Pasien tuberkulosis harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk

karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan bakteri

tuberkulosis keluar melalui percikan dahak. Bakteri tuberkulosis yang

keluar bersama percikan dahak yang dikeluarkan pasien tuberkulosis saat :

a. Bicara : 0-200 bakteri

b. Batuk : 0-3500 bakteri


c. Bersin : 4500-1.000.000 bakteri

2. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat

khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah/kaleng

tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian

timbunlah kedalam tanah.

3. Mencegah supaya jangan sampai terjadi kelalaian, dan resistensi OAT

dengan memberikan penatalaksanaan kasus dan manajemen yang baik

melalui konsep DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

4. Melakukan upaya rehabilitasi mental dan psikologis terhadap penderita

untuk mengembalikan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri

sendiri

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis

Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh

yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (Pedoman

Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2016).

2.1.12. Penanggulangan Tuberculosis

Program Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2016)

Penanggulangan penyakit tuberkulosis dengan strategi DOTS dapat memberikan

angka kesembuhan yang tinggi.

1. Tujuan Penanggulangan Tuberkulosis

a. Jangka Panjang
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit tuberkulosis

dengan cara memutus rantai penularan, sehingga penyakit ini tidak lagi

merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

b. Jangka Pendek

a.) Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua

penderita baru BTA positif yang ditemukan

b.) Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap

sehingga pada tahun 2005 dapat mencapai 70% dari perkiraan

semua penderita baru BTA positif

c.) Mencegah MDR-Tuberkulosis MDR-Tuberkulosis adalah keadaan

resistensi tuberkulosis terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R)

dengan atau tanpa obat tuberkulosis (OAT) lainnya

2. Kebijakan Operasional (Depkes RI, 2016) Untuk mencapai tujuan

tersebut, ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut :

a. Penanggulangan tuberkulosis dilaksanakan dengan desentralisasi

sesuai kebijakan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. B.

b. Penagulangan tuberkulosis dilaksankan oleh seluruh Unit Pelayanan

Kesehatan (UPK) meliputi puskesmas, rumah sakit pemerintah dan

swasta, BP4 serta praktek dokter swasta dengan melibatkan peran serta

masyarakat secara paripurna dan terpadu.

c. Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan penanggulangan

tuberkolosis, prioritas rujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan,

penggunaan obat yang rasional dan paduan obat yang sesuai dengan

strategi DOTS.
d. Target program adalah angka konversi pada akhir pengobatan tahap

intensif minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus

baru BTA positif dengan pemeriksaan dahak dengan kesalahan

maksimal 5%.

e. Pemberian obat anti Tuberkulosis kepada penderita secara cuma-cuma

dan dijamin ketersediaannya.

f. Untuk mempertahankan kualitas pelaksanaan program diperlukan

sistem pemantauan, supervisi, dan evaluasi program.

g. Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan program terkait sektor

pemerintah dan swasta.

2.2. Konsep Dasar Saturasi Oksigen Pada Tuberculosis

2.2.1. Pengertian Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen adalah jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin,

ditulis sebagai persentasi total oksigen yang terikat pada hemoglobin. Saturasi

oksigen merupakan jumlah total oksigen yang terikat dengan hemoglobin di

dalam darah arteri (Guyton and Hall, 2016).

Saturasi oksigen adalah ukuran banyaknya persentase oksigen yang dibawa

oleh hemoglobin. Oksimetri nadi merupakan alat invasif yang digunakan untuk

mengukur saturasi oksigen dalam darah arteri. Oksimetri nadi dapat mendeteksi

hipoksemia sebelum tanda dan gejala klinis muncul. Nilai normal saturasi oksigen

yang diukur menggunakan oksimetri nadi berkisar antara 95-100% (Kozier et al.,

2019).
2.2.2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Saturasi Oksigen

Banyak faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen. Faktor secara klinis

penting yaitu Suhu, pH, dan PCO2

a. Suhu

Suhu tubuh yang normal berkisar antara 36,5ºC-37,5ºC. Semakin

tinggi temperatur dalam tubuh jumlah oksigen yang lepas dari

hemoglobin juga akan meningkat. Panas merupakan hasil samping dari

reaksi metabolisme jaringan. Metabolisme semakin aktif akan

membutuhkan semakin banyak oksigen dan semakin banyak asam dan

panas yang dihasilkan (Djaja, 2014).

b. pH

Kurva disoisasi hemoglobin-oksigen, apabila darah menjadi sedikit

asam, dengan penurunan pH dari normal 7,4 menjadi 7,2 terjadi karena

pergeseran ratarata 15% ke kanan (Guyton and Hall, 2016).

Peningkatan keasaman (penurunan pH) akan meningkatkan pelepasan

oksigen dari hemoglobin. Asam utama dihasilkan adalah jaringan yang

aktif secara metabolik diantaranya adalah asam laktat dan asam

karbonat. Pengurangan afinitas hemoglobin saat pH turun disebut

dengan efek bohr. Efek bohr bekerja dengan dua jalur yaitu

peningkatan H+ dalam darah dapat menyebabkan O2 terlepas dari

hemoglobin dan peningkatan oksigen ke hemoglobin dapat

menyebabkan pelepasan H+ dari hemoglobin yang berfungsi sebagai

buffer. Asam amino akan berikatan dengan hemoglobin, H+ akan

mengubah struktur dari hemoglobin sehingga kemampuan dalam


membawa oksigen turun. Efek bohr berkaitan dengan fakta bahwa

hemoglobin yang terdeoksigenasi mengikat pada H+ lebih aktif

daripada hemoglobin yang teroksigenasi. PH selain itu akan turun pada

saat kadar CO2 mengikat (Guyton and Hall, 2016).

c. PCO2

Peningkatan pada CO2 dan ion hidrogen di dalam darah memberi

pengaruh yang penting dalam meningkatkan pelepasan oksigen dari

darah dalam jaringan dan meningkatkan oksigenasi dalam darah paru.

Semakin tinggi PCO2 maka O2 semakin mudah terlepas dari

hemoglobin (Guyton and Hall, 2016). Beberapa dari peneliti member

batasan angka PCO2 normal antara 35-45 mmHg (Guyton and Hall,

2016).

d. Usia

Salah satu faktor yang mempengaruhi oksigenasi, kadar oksigen

dalam darah, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan adalah usia.

Faal paru pada setiap individu akan bertambah atau meningkat

volumenya sejak masa kanakkanak dan mencapai maksimal pada usia

19-21 tahun, setelah itu nilai faal paru terus menurun sesuai

bertambahnya usia, karena dengan meningkatnya usia seseorang maka

kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, terutama pada individu

dengan pekerjaan yang berkaitan dengan menurunnya fungsi paru,

seperti bekerja di tempat dengan tingkat polusi udara yang tinggi

(Price& Wilson, 2016).


e. Jenis Kelamin

Setelah usia pubertas anak laki-laki menunjukkan kapasitas faal

paru yang lebih besar dari pada anak perempuan. Kapasitas vital rata-

rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6 liter dan perempuan muda

kurang lebih 3,1 liter, meskipun nilainilai ini jauh lebih besar pada

beberapa orang dengan berat badan yang sama pada orang lain (Price,

Sylvia A & Wilson, 2016).

2.2.3. Proses Penurunan Saturasi Oksigen Pada Tuberculosis

Udara yang sebagian besar dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai

pada daerah pertukaran gas, tetapi hanya mengisi saluran napas yang tidak

mengalami pertukaran gas, seperti hidung, faring, dan trakea. Udara ini disebut

udara ruang rugi karena tidak berguna untuk pertukaran gas. Ekspirasi pada waktu

pertama kali dikeluarkan merupakan udara dalam ruang rugi, sebelum udara

dalam alveoli sampai ke luar. Ruang rugi merupakan kerugian untuk pengeluaran

gas ekspirasi paru (Guyton and Hall, 2016)

Peningkatan ruang rugi ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan difusi

oksigen. Kerusakan difusi oksigen menyebabkan berkurangnya afinitas

hemoglobin terhadap oksigen sehingga terjadi penurunan pada saturasi oksigen.

Penurunan pada saturasi oksigen dapat mengakibatkan hipoksemia. Tahap akhir

penyakit eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan yang dapat

mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam arteri (hiperkapnia)

dan menyebabkan asidosis respiratorius (Brunner and Suddarth, 2015).


2.2.4. Tanda Dan Gejala Penurunan Saturasi Oksigen Pada Tuberculosis

a. Sianosis

Sianosis merupakan warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput lender

akibat dari peningkatan jumlah absolute hemoglobin tereduksi

(hemoglobin yang tidak berkaitan dengan oksigen). Sianosis dapat

digunakan sebagai tanda dari insufisiensi pernapasan, tetapi bukan

merupakan tanda yang dapat diandalkan. Terdapat dua jenis sianosis:

sianosis sentral dan sianosis perifer. Sianosis sentral dapat disebabkan oleh

insufisiensi oksigenasi hemoglobin dalam paru, dan yang paling mudah

diketahui pada bagian wajah, bibir, cuping telinga, serta pada bagian

bawah lidah. Sianosis biasanya diketahui sebelum jumlah hemoglobin

tereduksi mencapai 5 g per 100 ml atau lebih pada seseorang dengan

konsentrasi hemoglobin yang normal (SaO2 kurang dari 90%). Jumlah

normal hemoglobin tereduksi dalam jaringan kapiler yaitu 2,5 per 100 ml

pada orang dengan konsentrasi hemoglobin yang normal sianosis akan

pertama kali dapat terdeteksi pada SaO2 75% dan PaO2 50 mmHg atau

kurang (Price, Sylvia A & Wilson, 2016).

Selain sianosis sentral, akan terjadi sianosis perifer apabila aliran

darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi vena, dan

akan menyebabkan suatu daerah menjadi berwarna biru. Sianosis perifer

dapat terjadi akibat dari insufisiensi jantung, sumbatan yang terjadi pada

aliran darah atau vasokontriksi pembuluh darah akibat suhu yang dingin

(Price, Sylvia A & Wilson, 2016).


b. Hipoksemia dan Hipoksia

Istilah dari hipoksemia menyatakan nilai PaO2 yang rendah dan sering ada

hubungannya dengan hipoksia, atau oksigenasi jaringan yang tidak

memadai. Hipoksemia tidak selalu disertai dengan hipoksia jaringan.

Seseorang yang masih dapat memiliki PaO2 normal tetapi menderita

hipoksia jaringan (karena adanya gangguan pengiriman oksigen

penggunaan oksigen oleh sel-sel). PaO2 dengan hipoksia jaringan ada

hubungan, meskipun terdapat nilai PaO2 yang tepat pada jaringan yang

menggunakan O2. Umumnya nilai PaO2 yang terus menerus kurang dari

50 mmHg disertai dengan hipoksia jaringan dan asidosis (yang disebabkan

oleh metabolisme anaerobic). Hipoksia dapat terjadi pada nilai PaO2

normal maupun nilai yang rendah sehingga evaluasi pengukuran gas darah

harus dikaitkan dengan pengamatan klinik dari yang bersangkutan (Price,

Sylvia A & Wilson, 2016).

c. Hiperkapnia

Ventilasi dianggap memadai apabila suplai O2 seimbang dengan

kebutuhan O2, pembuangan CO2 melalui paru-paru dianggap memadai

apabila pembuangannya seimbang dengan pembentukan CO2. CO2 sangat

mudah mengalami difusi sehingga tekanan CO2 dalam alveolus sama

dengan tekanan CO2 dalam arteri, sehingga PaCO2 merupakan gambaran

dari ventilasi alveolus yang langsung dan segera berhubungan dengan

kecepatan metabolisme. PaCO2 digunakan untuk menilai adanya

kecukupan ventilasi alveolar (VA) karena adanya pembuangan CO2 dari

paru seimbang dengan VA sehingga PaCO2 berkaitan langsung dengan


produksi CO2 (VCO2) dan sebaliknya berkaitan dengan ventilasi alveolar

PaCO2α VCO2 / VA. Ventilasi memadai mempertahankan kadar PaCO2

sebesar 40 mmHg. Hiperkapnia merupakan peningkatan PaCO2 sampai

diatas 45 mmHg. Hiperkapnia selalu disertai dengan hipoksia dalam

derajat tertentu apabila bernapas dengan udara yang terdapat di dalam

ruangan (Price, Sylvia A & Wilson, 2016).

Penyebab hiperkapnia adalah penyakit obstruksi pada saluran

napas, obatobat yang menekan ke fungsi pernapasan, kelemahan pada otot

pernapasan, trauma pada dada atau pembedahan abdominal yang dapat

mengakibatkan pernapasan menjadi dangkal, dan kehilangan jaringan

paru. Tanda klinik yang dikaitkan dengan hiperkapnia yaitu: kekacauan

mental yang berkembang menjadi koma, sakit kepala, asteriksis atau

tremor kasar pada bagian tangan yang teregang, dan volume denyut nadi

yang disertai tangan dan kaki terasa berkeringat dan panas akibat dari

vasodilatasi perifer karena hiperkapnia). Hiperkapnia kronik merupakan

akibat dari penyakit paru kronik yang dapat mengakibatkan pasien sangat

toleran terhadap PaCO2 yang tinggi, sehingga pernapasan dikendalikan

oleh hipoksia. Hiperkapnia kronik bila diberikan oksigen dengan kadar

yang tinggi, pernapasan akan dihambat sehingga hiperkapnia menjadi

bertambah berat (Price, Sylvia A & Wilson, 2016).

2.2.5. Pengukuran saturasi oksigen pada tuberculosis

Saturasi oksigen dapat diukur dengan menggunakan metode invasif berupa

penilaian analisa gas darah (AGD) dan menggunakan metode non invasif dengan
oksimetri nadi yang merupakan alat ukur dari saturasi oksigen yang digunakan

dalam penelitian ini. Nilai yang tertera pada oksimetri nadi yaitu rata-rata dari

beberapa nilai yang diambil pada periode 3-10 detik (Morton et al., 2017).

Oksimetri nadi merupakan suatu cara yang efektif digunakan untuk

memantau keadaan pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang mendadak.

Probe sekali pakai dilekatkan pada ujung jari, dahi, daun telinga, atau pada batang

hidung. Sensor ini dapat mendeteksi perubahan tingkat saturasi oksigen dengan

memantau signal cahaya yang dibangkitkan oleh oksimeter dan direfleksikan oleh

darah yang berdenyut melalui probe. Nilai SaO2 yang normal adalah 95 % - 100

%. Nilai saturasi dibawah 85% menunjukkan adanya jaringan yang tidak

mendapatkan cukup oksigen dan membutuhkan evaluasi lebih jauh (Brunner and

Suddarth, 2015).

2.2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Saturasi Oksigen

Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dari saturasi oksigen (SaO2)

yaitu :

1. Penurunan denyut arteri

a. Penyakit pembuluh darah perifer (raynaud arterosklerosis) dapat

mengurangi volume nadi.

b. Hipotermia pada pengkajian dapat menurunkan aliran darah

perifer.

c. Vasokontriktor farmakologis (neosinefrin, epinefrin, dopamin)

akan dapat menurunkan volume nadi perifer.


d. Curah jantung yang rendah dan hipotensi dapat menurunkan aliran

darah ke arteri perifer.

e. Edema perifer dapat membuat denyut arteri tidak jelas.

2. Gangguan karena transmisi cahaya

a. Sumber cahaya dari luar dapat mengganggu kemampuan oksimetri

nadi untuk dapat memproses cahaya yang direfleksikan

b. Karbon monoksida disebabkan karena menginhalasi asap atau

keracunan secara artificial dapat menaikkan SaO2 dengan

mengabsosi cahaya yang mirip dengan oksigen.

c. Gerakan klien yang dapat mengganggu kemampuan oksimetri

untuk memproses cahaya yang direfleksikan.

d. Ikterik dapat mengganggu kempuan oksimeter untuk memproses

cahaya yang direfleksikan.

e. Zat berwarna biru metilen (intravascular) mengabsorbsi cahaya

yang mirip dengan deoksihemoglobin dan secara artificial dapat

menurunkan saturasi (Potter and Perry, 2019).

2.2.7. Kategori hasil saturasi oksigen

Tingkat dari saturasi oksigen menunjukan presentasi dari hemoglobin yang

mengikat oksigen. Saturasi oksigen darah arteri dengan PaO2 100 mmHg sekitar

97,5%, sedangkan saturasi oksigen darah vena dengan PaO2 40 mmHg sekitar

75%. Hipoksemia terjadi karena adanya penurunan tekanan oksigen dalam darah

(PaO2) (Septia, Wungouw and Doda, 2016).


Tabel 2.1

Derajat Hipoksemia Berdasarkan Nilai PaO2 dan SaO2

Derajat Hipoksemia PaO2 SaO2


Normal 97-100 95-100
Kisaran Normal >79 >94
Hipoksemia Ringan 60-79 90-94
Hipoksemia Sedang 40-59 75-89
Hipoksemia Berat <40 <75
Sumber: Septia, Wungouw and Doda (2016)

2.3. Konsep Dasar Breathing Relaxation dengan Teknik Balloon Blowing

pada penderita tuberculosis

2.3.1. Pengertian Breathing Relaxation Dengan Teknik Balloon Blowing

Breathing relaxation adalah latihan relaksasi pernapasan dengan teknik

bernapas secara perlahan dan dalam, yang menggunakan otot diafragma, sehingga

memungkinkan abdomen terangkat secara perlahan dan dada dapat mengembang

penuh (Smeltzer and Bare, 2016).

Balloon blowing atau latihan pernapasan dengan meniup balon merupakan

salah satu latihan relaksasi pernapasan dengan menghirup udara melalui hidung

dan mengeluarkan udara melalui mulut kedalam balon. Relaksasi ini dapat

memperbaiki transport oksigen, membantu pasien untuk memperpanjang

ekshalasi dan untuk pengembangan paru yang optimal. Berdasarkan pengertian

diatas dapat disimpulkan bahwa breathing relaxation dengan teknik balloon

blowing adalah relaksasi pernapasan yang menghirup udara secara perlahan dan

dalam kemudian mengeluarkan udara melalui mulut kedalam balon. (Kim, 2015).

2.3.2. Tujuan Breathing Relaxation Dengan Teknik Balloon Blowing


Tujuan breathing relaxation dengan teknik balloon blowing yaitu untuk

memperbaiki transport oksigen, menginduksi pola napas lambat dan dalam,

memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan napas selama

ekspirasi, mengurangi jumlah udara yang terjebak dalam paru-paru, mencegah

terjadinya kolaps paru (Kim, 2015).

2.3.3. Latihan breathing relaxation dengan teknik balloon blowing

Breathing relaxation dengan teknik balloon blowing menurut (Boyle,

Olinick and Lewis, 2017) sebagai berikut :

a. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin, jika pasien mampu untuk

berdiri maka lakukan sambil berdiri karena dengan posisi berdiri tegak

lebih meningkatkan kapasitas paru dibandingkan dengan posisi duduk.

Jika pasien melakukan dengan posisi tidur maka pasien menekuk kaki

atau menginjak tempat tidur (posisi supinasi), dan posisi badan lurus

atau tidak memakai bantal.

b. Menginstruksikan pasien agar tetap rileks agar teknik meniup balon

dapat berjalan secara efektif dan efisien.

c. Menyiapkan balon / memegang balon dengan kedua tangan, atau satu

tangan memegang balon tangan yang lain rileks.

d. Menarik napas secara maksimal melalui hidung, kemudian tiupkan ke

dalam balon secara maksimal dengan waktu 2 detik lebih lama dari

waktu tarik napas. Menarik napas selama 3-4 detik ditahan selama 2-3

detik kemudian lakukan ekhalasi dengan meniup balon selama 5-8

detik.
e. Meminta pasien untuk menutup balon dengan jari-jari.

f. Memberikan perlakuan breathing relaxation dengan teknik balloon

blowing sebanyak 6 hari dalam 1 set latihan.

2.3.4. Pengaruh Breathing Relaxation Dengan Teknik Balloon Blowing

Terhadap Saturasi Oksigen Pada Tuberculosis

Pada pasien tuberculosis terjadi proses inflamasi kronis yang dapat

menyebabkan peningkatan hiperreaktivitas dan penyempitan pada jalan napas

yang disebabkan oleh bronkospasme dan hipersekresi mucus yang kental (Price,

Sylvia A & Wilson, 2016).

Upaya untuk meningkatkan saturasi oksigen dengan memaksimalkan

proses difusi yang dapat dicapai dengan cara meningkatkan kapasitas paru.

Meningkatkan kapasitas vital paru diperlukan kekuatan yang cukup untuk

mendorong diafragma ke atas untuk meningkatkan tekanan intra abdomen.

Breathing relaxation dengan teknik balloon blowing dapat menjadi

alternatif dalam proses penatalaksanaan tuberculosis, relaksasi pernapasan dengan

meniup balon mampu meregangkan paru sehingga dapat menurunkan tegangan

pada permukaan paru dan dapat mempermudah peningkatan kapasitas vital.

Peningkatan kapasitas vital, dapat mengakibatkan semakin besarnya kuantitas gas

yang dapat berdifusi melewati membran alveolus. Hal tersebut dapat berdampak

pada meningkatnya ikatan oksinhemoglobin dalam sel darah merah pada

pembuluh darah arteri sehingga dapat meningkatkan saturasi oksigen (Boyle,

Olinick and Lewis, 2017)


2.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan dapat membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antar variabel (Nursalam, 2017). Adapun kerangka konsep dari penelitian ini

dijabarkan sebagai berikut :

Variabel independen Variabel dependen

Pemeberian Breathing Relaxation

dengan Teknik Balloon Blowing. Saturasi Oksigen

Gambar 2.1. Kerangka konsep

Keterangan :

Variable yang diteliti :

Mempengaruhi :

2.5. Hipotesis

Ha : Ada pengaruh breathing relaxation dengan teknik balloon blowing

terhadap saturasi oksigen pada Pasien tuberculosis .

BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian perlakuan yaitu pre-experimental

design karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh didalam

terbentuknya variabel dependent dan tidak adanya variabel kontrol dan sampel

tidak dipilih secara random dengan menggunakan rancangan one group pre and

post test design yaitu rancangan penelitian yang mengungkapkan mengenai

hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Perlakuan

yang diberikan yaitu breathing relaxation dengan teknik balloon blowing. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui perbedaan saturasi oksigen sebelum dan sesudah

diberikan perlakuan. Adapun rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Rancangan Penelitian Pengaruh Breathing Relaxation dengan Teknik Balloon


Blowing terhadap Saturasi Oksigen pada pasien tuberculosis di Rumah Sakit
Umum Imelda Pekerja Indonesia Tahun 2021

Subjek Pre Test Perlakuan Post Test


K O I O1
Time 1 Time 2 Time 3
Sumber : Nursalam (2017)
Keterangan :
K : Subjek perlakuan (pasien dengan tuberculosis)

O : Pengukuran saturasi oksigen sebelum perlakuan

I : Intervensi (breathing relaxation dengan teknik balloon blowing selama


30 kali dalam 1 set latihan dan istirahat selama 3 menit)

O1: Pengukuran saturasi oksigen sesudah perlakuan

3.2 Waktu dan Tempat penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari awal penyusunan proposal sampai penyusunan

hasil yaitu pada bulan April s/d bulan Juli 2021

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia

Medan Kecamatan Medan Timur, Kota Medan, Sumatera Utara.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau

subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2017).

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita tuberculosis yang mengalami

penurunan saturasi oksigen pada bulan April sampai Juli tahun 2021 di Rumah

Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan. Rata-rata jumlah populasi pasien

dengan tuberculosis yang datang ke Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja

Indonesia Medan selama sebulan sebanyak 137 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian besar dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi (Setiawan, dkk 2015). Sampel dalam penelitian ini penderita

Tuberculosis paru di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan.


Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah metode

asidental sampling dimana asidental sampling adalah mengambil responden

sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan

bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel. Jika orang yang ditemui

cocok sebagai sumber data dengan kriteria inklusi dan ekslusi.

a. Kriteria inklusi:

Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target dan terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2017). Kriteria

inklusi sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Pasien tuberculosis

2) Pasien berusia 15-60 tahun.

3) Pasien yang bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed

consent saat pengambilan data.

4) Pasien yang sadar sepenuhnya.

5) Pasien tuberculosis yang telah mendapatkan pengobatan awal nebulizer

6) Pasien yang dirawat di Rumah Sakit Imelda Pekerja Indonesia Medan

b. Kriteria eksklusi :

Kriteria eksklusi yaitu mengeliminasi subjek atau sampel yang tidak

memenuhi kriteria inklusi atau tidak layak menjadi sampel (Nursalam, 2017).

Kriteria eksklusi sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Pasien yang memiliki komplikasi selain penyakit tuberculosis.

2) Pasien dengan tuberculosis yang mengalami penurunan kesadaran.

3) Pasien dengan tuberculosis yang mengalami gangguan psikologis.


3.4 Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk

memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode

pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan (Nazir Moh,

2017). Sebelum melakukan proses pengumpulan data, tahap awal yang harus

dilakukan adalah melakukan persiapan untuk kelancaran pelaksanaan penelitian,

berupa surat izin survey awal dan surat izin penelitian ke tempat yang akan

dijadikan lokasi penelitian. Selain melakukan survey terlebih dahulu, peneliti juga

harus melakukan pendekatan kepada pasien di Rumah Sakit Umum Imelda

Pekerja Indonesia Medan yang akan dijadikan responden pada penelitian yang

akan dilakukan. Hal ini bertujuan menjelaskan alasan dan tujuan dari informed

consent kepada responden. Responden diberikan Pemeberian Breathing

Relaxation dengan Teknik Balloon Blowing, kemudian dilaksanakan proses

pengambilan data dari tempat penelitian.

3.5. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

3.5.1. Jenis Data Yang Dikumpulkan.

Data primer merupakan data yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil

pengukuran, pengamatan, survei dan lain-lain (Setiadi, 2015). Jenis data yang

dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dari sampel penelitian yaitu

nilai saturasi oksigen sebelum dan sesudah diberikan breathing relaxation

dengan teknik balloon blowing. Data sekunder yaitu rekam medis pasien untuk

mengetahui diagnosa medis pasien dengan penyakit tuberculosis pada bulan

April sampai dengan Juli 2021 di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia

Medan.
3.5.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan teknik

pemeriksaan fisik yaitu menggunakan alat pulse oximetry yang sudah terkalibrasi

atau terstandar sehingga pengukurannya sudah valid. Potter and Perry (2019)

menjelaskan alat pulse oximetry ini mudah untuk digunakan dan merupakan cara

yang efektif untuk memantau penderita terhadap perubahan konsentrasi oksigen

yang kecil dan mendadak.

3.5.3. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen / alat yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah satu

set alat oksimetri nadi (pulse oximetry) yang sudah terkalibrasi atau terstandar

sehingga pengukurannya sudah valid. Terdiri dari monitor oksimeter dan sensor

oksimeter (sensor probe). Probe oksimeter dijepitkan pada ibu jari tangan kanan

dengan tuberculosis dan ditunggu selama 5 detik sampai muncul angka saturasi

oskigen pada pasien TBC pada layar monitor. Alat lainnya yang digunakan

untuk mengumpulkan data yaitu balon yang sangat lentur dan mudah ditiup oleh

responden. Sebelum penelitian dilakukan peneliti sudah melakukan uji coba

balon yang akan digunakan kepada pasien dengan tuberculosis. Balon

didapatkan dari satu tempat penjualan balon sehingga tidak ada perbedaan jenis

balon yang digunakan dalam penelitian ini pada semua responden.

3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.6.1. Variabel

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian dapat ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2017).

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu :

a. Variabel bebas

Variabel bebas adalah variabel yang variasi nilainya dapat

mempengaruhi variabel terikat. Variabel bebas disebut juga variabel

independent, variabel pengaruh, variabel penyebab atau variabel

perlakuan (Supardi and Rustika, 2013). Dalam penelitian ini variabel

bebasnya adalah Breathing Relaxation dengan Teknik Balloon Blowing.

b. Variabel terikat

Variabel terikat adalah variabel yang variasi nilainya diakibatkan oleh

satu atau lebih variabel bebas. Variabel terikat disebut juga variabel

dependent, variabel terpengaruh, atau variabel akibat (Supardi and

Rustika, 2014). Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah Saturasi

Oksigen.

3.6.2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur dari penelitian yang menjelaskan

bagaimana caranya untuk menentukan variabel dan mengukur suatu variabel,

sehingga definisi operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah yang akan

membantu penelitian lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Setiadi,

2015). Definisi operasional variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel

3 sebagai berikut :
Tabel 3.2
Definisi Operasional Variabel Penelitian Pengaruh Breathing
Relaxation dengan Teknik Balloon Blowing terhadap Saturasi
Oksigen pada pasien tuberculosis di Rumah Sakit Umum Imelda
Pekerja Indonesia Tahun 2021

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skor Skala


Variabel

1 2 3 4 5
Variabel Latihan relaksasi Standart - Nomi
nal
Independent pernapasan dengan teknik Operasiona
Breathing meniup balon yang l Prosedur
Relaxation dilakukan dengan posisi pelaksanaa
dengan berdiri tegak. Menarik n breathing
Teknik napas secara maksimal relaxation
Balloon melalui hidung, kemudian dengan
Blowing tiupkan ke dalam balon teknik
secara maksimal dengan balloon
waktu 2 detik lebih lama blowing
dari waktu tarik napas.
Menarik napas selama 3-4
detik ditahan selama 2-3
detik kemudian lakukan
ekhalasi dengan meniup
balon selama 5-8 detik.
Meminta pasien untuk
menutup balon dengan jari-
jari. Pemberian breathing
relaxation dengan teknik
balloon blowing diberikan
30 kali dalam 1 set latihan
dan istirahat selama 3
menit.
Variabel Angka yang muncul pada Pulse 97-100 Int
erv
Depende alat pulse oximetry setelah Oximetry >79 al
nt alat dijepitkan pada salah yang sudah 60-79
Saturasi satu jari tangan selama 5 terkalibrasi 40-59
Oksigen detik, sampai muncul nilai <40
saturasi pada tampilan
monitor (pulse oximetry).
Pengukuran dilakukan pre
dan post test pada
kelompok
perlakuan.

3.7. Tehnik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka peneliti melakukan pengolahan data melalui

beberapa tahap yaitu sebagai berikut:

1. Editing

untuk memeriksa dan mengevaluasi kembali kelengkapan data yang

sudah di kumpulkan dari semua pertanyaan responden terhadap

kuesioner yang di kembalikan responden.

2. Coding

Melakukan coding dari setiap jawaban untuk memudahkan peneliti

3. Scoring untuk menentukan skor atau nilai baik skor 2 dan buruk skor 1

4. Processing
Setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar serta telah dikode

jawaban responden pada kuesioner kedalam aplikasi pengolahan data

di komputer.

5. Tabulating

menyusun dan menghitung data hasil pengkodean, untuk kemudian

disajikan dalam bentuk tabel untuk mempermudah analisa data.

3.8. Tehnik Analisa Data

3.8.1. Analisa Univariat

Analisa univariat digunakan untuk menjabarkan secara dekriptif mengenai

distribusi frekuensi dan proporsi dari masing-masing variabel yang akan diteliti.

Data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.

3.8.2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara variabel

bebas (indevenden variabel) dengan variabel terikat (dependen variabel). Untuk

membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara variabel terikat digunakan

analisis Wilcoxon Test, pada batas kemaknaan perhitungan statistik P value (0,05).

Apabila hasil perhitungan menunjukkan nilai P<P value (0,05) maka dikatakan

(Ho) ditolak dan (Ha) diterima, artinya kedua variabel secara statistik mempunyai

hubungan yang signifikan.


BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Univariat

Setelah dilakukannya penelitian dengan judul “Pengaruh breathing

relaxation dengan tehnik ballon blowing terhadap saturasi oksigen pada

pasien tuberculosis di rumah sakit umum imelda pekerja indonesia medan

tahun 2021” terhadap 30 responden yang diambil dengan cara purposive

sampling maka diperoleh hasil sebagai berikut :

4.1.1. Data Umum

Tabel 4.1.
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tentang Pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon
blowing terhadap saturasi oksigen pada pasien tuberculosis
Di RS Imelda Medan 2021
No Karakteristik Frekuensi Persentase %
Berd
1 Laki-laki 22 73,3
2 Perempuan 8 26,7
asar kan
Jumla 30 100
h
table 4.1

diatas dapat disimpulkan bahwa mayoritas penderita tuberculosis adalah lansia

yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 22 responden (73,3%) sedangkan yang

bejenis kelamin perempuan sebanyak 8 responden (26,7%).

Tabel 4.2.
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tentang
Pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing terhadap
saturasi oksigen pada pasien tuberculosis
Di RS Imelda Medan 2021
No Karakteristik Frekuensi Persentase %
1 15-24 7 23,3
2 25-44 9 30,0
3 45-60 14 46,7
Jumla 30 100
h
Dari table 4.2 dapat disimpulkan bahwa responden yang menderita

tuberculosis di usia 45-60 berjumlah 14 responden (44,7%), 25-44

berjumlah 9 responden (30,0%), 15-24 berjumlah 7 responden (23,3).

Table 4.3.
Distribusi Karakteritik Responden Berdasarkan Pendidikan Tentang
Pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing
terhadap saturasi oksigen pada pasien tuberculosis
di RS Imelda Medan 2021
No Karakteristik Frekuensi Persentase
1 SD 4 13,3
2 SMP 6 20,0
3 SMA Sederajat 16 53,3
4 Sarjana 4 13,3
Jumlah 30 100

Dari table 4.3 dapat disimpulkan bahwa responden yang menderita

tuberkulosis yang tamat SD sebanyak 4 responden (13,3%), yang tamat

SMP sebanyak 6 responden (20,0%), yang tamat SMA sebanyak 16

responden (53,3%), dan yang tamat Sarjana sebanyak 4 responden

(13,3%).

Table 4.4.
Distribusi karakteristik responden berdasarkan pekerjaan tentang
Pengaruh breathing relaxation dengan tehnik ballon blowing
terhadap saturasi oksigen pada pasien tuberculosis
di RS Imelda Medan 2021
Dari No Karakteristik Frekuensi Persentase %
1 IRT 4 13,3
2 Nelayan 4 13,3
3 PNS 3 10,0
4 Wiraswasta 7 23,3
5 Buruh 8 26,7
6 Pensiun 1 3,3
7 Tidak bekerja 3 10,0
Jumlah 30 100
table 4.4 dapat disimpulkan responden yang menderita tuberculosis sebagai IRT 4

responden (13,3%), Nelayan 4 responden (13,3%), PNS 3 responden (10,0%),

wiraswasta 7 responden (23,3%), Buruh 8 responden (26,7%), Pensiun 1

responden (3,3%), Tidak bekerja 3 responden (10,0%).

4.2 Hasil Bivariat

Pada penelitian ini data yang diperoleh dapat dianalisa dengan analisis

bivariate yaitu untuk mengetahui pengaruh ballon blowing terhadap

saturasi oksigen pada pasien yuberculosis di Rumah Sakit Umum Imelda

Pekerja Indonesia Medan dapat dilihat pada tabel hasil uji Wilcoxon di

bawah ini.

Tabel 4.5
Distribusi Uji Wilcoxon

No Variabel Jumlah Mean P. value


(n)
1. Sebelum (pre- 30 70,43
test) 0.01
2. Sesudah (post- 30 80,30
test)

Ket : P<0,05 maka ada pengaruh ballon blowing terhadap saturasi

oksigen sebelum dengan sesudah. Berdasarkan tabel diatas Teknik


ballon blowing terhadap saturasi oksigen pada pasien tuberculosis

sangat berpengaruh. Sebelum diterapkan terapi ballon blowing rata

rata saturasi oksigen pasien tuberculosis 70,43 %, sedangkan

sesudah diterapkan terapi ballon blowing rata rata saturasi oksigen

pasien tuberculosis 80,30%. Berdasarkan tabel diatas, diketahui

bahwa mayoritas pendetita Tuberculosis mengalami peningkatan

saturasi oksigen. Hasil analisis data menggunakan wilcoxon test

diperoleh nilai p hitung 0,01 < 0,05.

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan

Berdasarkan Hasil penelitian ini rata rata menunjukkan bahwa sesudah

melakukan terapi ballon blowing saturasi oksigen penderita tubercullosis mampu

naik rata-rata dari 70,43% menjadi 80,30% . Meski sebagian besar mengalami

peningkatan akan tetapi tidak terjadi penurunan yang sangat signifikan. Peneliti

berpendapat bahwa hal tersebut terjadi akibat dari tidak adanya pengawasan

langsung mengenai pelaksanaan terapi ballon blowing.

Berdasarkan penelitian dan uji statistik di atas semakin menguatkan bahwa

melakukan terapi ballon blowing pada pasien tuberculosis mampu meningkatkan

saturasi oksigen. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Wilcoxcon


didapatkan nilai p value sebesar 0,01 P<0,05 yang berarti ada pengaruh terhadap

saturasi oksigen pada penderita tuberculosis di RSU IPI Medan

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Renuka, K. et al (2019),

melakukan penelitian tentang pengaruh balloon therapy terhadap saturasi

pernapasan pasien yang mengalami gangguan pada saluran pernapasan bawah

juga dilakukan oleh peneliti lain. Merupakan penelitian pre eksperimental pre

post desain. Subjek penelitian adalah pasien yang mengalami gangguan saluran

pernapasan bawah sebanyak 20 pasien. Intervensi dilakukan selama 7 hari, setiap

hari pasien harus melakukan intervensi meniup balon sebanyak 8-10 kali sampai

balon berdiameter 7 inci. Variabel yang diukur adalah skala sesak napas,

frekwensi pernapasan dan fungsi paru. Hasil penelitian menunjukkan terdapat

nilai yang signifikan terhadap respirasi rate (p < 0,001), skala sesak napas (p <0 ,

01) dan kapasitas paru (p < 0,05) setelah diberikan intervensi balloon therapy.

Saturasi oksigen yang rendah pada responden dengan penyakit

tubercullosis sebagian besar bisa diakibatkan oleh beberapa faktor seperti adanya

jaringan yang tidak mendapatkan cukup oksigen dan membutuhkan evaluasi lebih

jauh. Saturasi oksigen adalah jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin,

ditulis sebagai persentasi total oksigen yang terikat pada hemoglobin. Saturasi

oksigen merupakan jumlah total oksigen yang terikat dengan hemoglobin di

dalam darah arteri (Guyton and Hall, 2016). Pada pasien tuberculosis terjadi

proses inflamasi kronis yang dapat menyebabkan peningkatan hiperreaktivitas dan

penyempitan pada jalan napas yang disebabkan oleh bronkospasme dan

hipersekresi mucus yang kental (Price, Sylvia A & Wilson, 2016).


Semakin kecil gradient tekanan transmural dibentuk selama inspirasi

semakin kecil komplikasi paru. Semakin kecil komplikasi paru yang dihasilkan

akan berakibat tidak optimalnya pengembangan paru. Pengembangan paru yang

tidak optimal dapat berdampak pada terjadinya penurunan kapasitas vital paru.

Penurunan kapasitas vital paru menyebabkan semakin kecilnya perbedaan tekanan

pada parsial gas antara tekanan parsial gas dalam alveoli dan tekanan parsial gas

dalam darah kapiler pada paru (Guyton and Hall, 2016).

Upaya untuk meningkatkan saturasi oksigen dengan memaksimalkan

proses difusi yang dapat dicapai dengan cara meningkatkan kapasitas paru.

Meningkatkan kapasitas vital paru diperlukan kekuatan yang cukup untuk

mendorong diafragma ke atas untuk meningkatkan tekanan intra abdomen.

Breathing relaxation dengan teknik balloon blowing dapat menjadi

alternatif dalam proses penatalaksanaan tuberculosis, relaksasi pernapasan dengan

meniup balon mampu meregangkan paru sehingga dapat menurunkan tegangan

pada permukaan paru dan dapat mempermudah peningkatan kapasitas vital.

Peningkatan kapasitas vital, dapat mengakibatkan semakin besarnya kuantitas gas

yang dapat berdifusi melewati membran alveolus. Hal tersebut dapat berdampak

pada meningkatnya ikatan oksinhemoglobin dalam sel darah merah pada

pembuluh darah arteri sehingga dapat meningkatkan saturasi oksigen (Boyle,

Olinick and Lewis, 2017)


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap 30 orang berdasarkan hasil analisis data dan

disimpulkan bahwa:

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesudah melakukan terapi ballon

blowing pada penderita diabetes mellitus mampu naik rata-rata dari 70,

43% menjadi 80,30 %.

2. Meski sebagian kecil ada yang mengalami penurunan saturasi oksigen

akan tetapi dari hasil analisa menunjukkan bahwa ada pengaruh

melakukan ballon blowing terhadap saturasi oksigen pada penderita

tubercullosis. Dimana dapat diperhatikan dari uji statistik wilcoxon yang

menunjukkan nilai signifikansi (p=0,01).


6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat penulis sampaikan

adalah sebagai berikut :

1. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini hendaknya berguna untuk peneliti selanjutnya, dan disarankan

menjadi referensi penelitian yang sama dengan jumlah sampel yang lebih

besar dan di tempat yang berbeda.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai referensi perpustakan STIKes Imelda dan sebagai masukan khususnya

yang berkaitan dengan penatalaksanaan DM tipe 2

3 Bagi Responden

Disarankan kepada responden agar tetap menjaga kadar gula darah dengan

melakukan latihan jasmani seperti jalan cepat.

4 Bagi Rumah Sakit

Agar dapat menerapkan terapi komplementer seperti jalan cepat untuk dapat

membantu proses penyembuhan pasien khususnya jalan cepat.


DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y. 2004. Masalah Tuberkulosis Indonesia. Media Indonesia. Jakarta

Algasaff, H, dkk. 2015. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan Ke-3.


Airlangga University Press. Surabaya

Boyle, K. L., Olinick, J. and Lewis, C. (2017) ‘The Value Of Blowing Up A


Ballon’, North American Journal of Sports Physical Therapy, 5(3), pp. 179–
188.

Brunner and Suddarth (2015) Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta:


Kedokteran EGC.

Depkes RI. 2016. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta

Depkes RI. 2016. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang


Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta

Depkes RI. 2018. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. (2016). Profil Kesehatan Provinsi


Sumatera Utara Tahun 2015. Diakses dari https://www.depkes.go.id/resou
rces/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2016/02_Sumut_2016.pdf

Djaja, S. (2014) ‘Pola Penyebab Kematian Kelompok Bayi Dan Anak Balita,
Hasil Sistem Registrasi Kematian Di Indonesia Tahun 2012’, Ekologi
Kesehatan, 13.
Fatimah Siti. 2018. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Tb Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan :Sidareja,
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 20018
(Tesis). Program Pascasarjana FKM Undip Semarang

Guyton and Hall (2016) Textbook of Medical Physiology. Saunders: Elsevier.

Keman, Soedjajadi, 2015. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman,


Journal Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1, Juli 2015

Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta

Kemenkes RI. 2016. Penanggulangan TB. Jakarta

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.


Diakses dari https://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil
-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2016.pdf

Kim, J.-S. (2015) ‘Effects of a Balloon-Blowing Exercise on Lung Function of


Young Adult Smokers’, J. Phys. Ther. Sci., 24.

Kozier, B. et al. (2019) Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Morton, P. G. et al. (2017) Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik


Edisi 8. Jakarta: EGC.

Nursalam (2017) Metode Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis. 4th


edn. Jakarta: Salemba Medika.

Potter, P. A. and Perry, A. G. (2019) Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi


4. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Price, Sylvia A & Wilson, L. M. (2016) Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses


Penyakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Rab, Tabrani. 2018. Ilmu Penyakit Paru. Trans Info Media. Jakarta

Renuka K., et al. (2019). Effectiveness of Balloon Therapy on Respiratory Status of


Patients with Lower Respiratory Tract Disorders. International Journal of Science
and Research (IJSR) ISSN (Online): 2319-7064 Index Copernicus Value (2019):
6.14 | Impact Factor (2019): 4.438
Septia, N., Wungouw, H. and Doda, V. (2016) ‘Hubungan merokok dengan
saturasi oksigen pada pegawai di fakultas kedokteran universitas Sam
Ratulangi Manado’, Jurnal e-Biomedik, 4(2), pp. 2–7.

Setiadi (2015) Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. 2nd edn.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. (2016) Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta.

Sudoyono,A., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibtara, M., Setiadi, S., 2015. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta.

Sugiyono, P. D. (2017) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R & D.


Bandung: Alfabeta

Supardi, S. and Rustika (2014) Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Buku


Kesehatan.

Suswati, E. 2017. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten


Jember. Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Jember

Werdhani, RA. 2019. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.


Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga. FKUI
Uniersity Press. Jakarta

Wibisono, MJ.,Winariani, Hariadi, S. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.


Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR- RSUD Dr. Soetomo. Surabaya

World Health Organitation. (2018). The top 10 cause death. Diakses 24 Mei 2018,
dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/the-top-10-causesof-
death

Zulkoni, A. 2017.Parasitologi Untuk Keperawatan ,Kesehatan Masyarakat dan


Teknik Lingkungan. Muha Medika, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai