Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah


Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998, banyaknya
perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan
pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara sungguhsungguh merealisasikan konsep
otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep
otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini.
Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai
dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar
hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara
pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang
digunakan juga belum seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana
mengatur urusan rumah tangga (Marbun, 2005:45).
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari
provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak
otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di
Indonesia melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif
masyarakat daerah, peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian
otonomi tersebut. Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah
yang mencoba merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini,
diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi ruang
gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi pemanfaatan sumber
daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga muncul formulasi dan model
pembangunan daerah yang efisien dan terdesentralisasi.
Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era
Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali diturunkan
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian
dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan


memanajemen potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah
daerah. Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan di luar yang
menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah
untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang
tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan
serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi
masyarakat di daerah. Sungguhpun demikian, selama kurun waktu hampir satu dasa warsa
pelaksanaan otonomi daerah pasca Reformasi 1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi,
kewenangan dan tanggung jawab serta implementasi dari regulasiregulasi yang telah
ditetapkan.
Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya
merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi
kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih minimnya
pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau mungkin karena kurang siapnya baik itu
masyarakat atau pemimpin daerah dalam menjalankan proses otonomi daerah. Berangkat dari
kenyataankenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi
daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis
untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat judul Otonomi
Daerah di Indonesia Pada Masa Reformasi.

B.

Rumusan dan Pembatasan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa
permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi
pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah Bagaimana Pelaksanaan Otonomi Daerah
pada Masa Reformasi?. Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, penulis
mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1.

Bagaimana latar belakang munculnya Otonomi Daerah?

2.

Bagaimana implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan pendidikan
pada masa Reformasi?

3.

Bagaimana permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi daerah
pada masa Reformasi?

C.

Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini
memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun yang menjadi tujuan umumnya yaitu
bermaksud untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan otonomi daerah pada masa
Reformasi. Sedangkan tujuan khusus dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui latar belakang munculnya Otonomi Daerah.

2.

Untuk mengidentifikasi implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan
pendidikan pada masa Reformasi.

3.

Untuk menganalisis permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi
daerah pada masa Reformasi.

D.

Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik bagi penulis maupun yang membacanya. Bagi penulis sendiri sebagai sarana
untuk memperluas ilmu, wawasan serta pengalaman dalam melakukan suatu penulisan.
Selain itu juga dapat digunakan sebagai landasan awal untuk penulisan selanjutnya. Bagi
pembaca dapat memberikan informasi mengenai otonomi daerah yang terjadi di indonesia
baik dalam bidang politik, ekonomi maupun pendidikan pada masa era Reformasi. Bagi
Jurusan Pendidikan Sejarah, dapat memperkaya referensi tentang penulisan sejarah. Dan
lebih luasnya bagi Universitas Pendidikan Indonesia, sebagai pelengkap dalam memperkaya
khasanah keilmuan dan melengkapi kepustakaan karya tulis ilmiah.

E.

Metode dan Teknik Penulisan


Metode yang digunakan adalah metode historis. Metode sejarah menurut Gottschalk
(1985: 32) adalah proses kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Metodologi sejarah
merupakan suatu keseluruhan metode-metode, prosedur, konsep kerja, aturan-aturan dan
teknik yang sistematis yang digunakan oleh para penulis sejarah atau sejarawan dalam
mengungkapkan peristiwa sejarah. Dalam metodologi penelitian sejarah, terdapat beberapa
tahapan diantaranya: pertama, heuristik yaitu merupakan tahap awal dalam penulisan sejarah

seperti mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta atau sumber-sumber. Kedua,


kritik yaitu suatu proses menyelidiki serta menilai secara kritis terhadap sumber data yang
diperoleh, penilaian terhadap sumber-sumber itu meliputi dua aspek yakni kritik intern dan
kritik ekstern. Ketiga, interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah aufassung.
Tahap keempat, historiografi yaitu pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa
yang terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan hasil penelitian dan disusun
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah
dengan studi kepustakaan, sebagai langkah awal penulis mengumpulkan sumber-sumber yang
sesuai dengan fokus kajian penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber atau literatur. Baik
dari buku, internet, dan berbagai sumber lainnya yang relevan dengan topik kajian yang
dibahas, sehingga diharapkan bisa memperkaya isi dari karya ilmiah ini. Setelah itu penulis
menganalisis setiap sumber yang diperoleh dengan membandingkan antara sumber yang satu
dengan sumber yang lain, sehingga diperoleh data-data yang penulis anggap otentik,
kemudian data-data tersebut penulis paparkan dalam bentuk karangan deskriptif-naratif
berupa penulisan makalah ini.

F.

Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha untuk memaparkan dan
menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah yang terbagi menjadi
beberapa permasalahan dan pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penulisan sesuai
dengan permasalahan utama, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode dan tekhnik
penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Kepustakaan, disini akan dijabarkan mengenai konsep-konsep atau
teori-teori yang terdapat dalam permasalahan yang dikaji, yang berisi mengenai suatu
pengarahan dan penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis angkat dengan
mengacu pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga dapat
memperjelas isi pembahasan yang penulis uraikan berdasarkan data-data temuan yang
didapatkan.
Bab III Pembahasan/Isi, yaitu membahas mengenai bab hasil penulisan tentang
Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia. Pembahasan bab ini dikembangkan
menjadi beberapa sub pokok bahasan, yaitu pertama, mengenai latar belakang otonomi
daerah. Kedua, mengenai implikasi kebijakan otonomi daerah dalam bidang politik, ekonomi

dan pendidikan. Ketiga, mengenai permasalahan yang timbul dalam otonomi daerah dan cara
penyelesaiannya.
Bab IV Penutup, berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan pada bab isi dan hasil
analisis

yang

penulis

lakukan

merupakan

kesimpulan

secara

menyeluruh

yang

menggambarkan mengenai Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia, sesuai


dengan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

HAKIKAT OTONOMI DAERAH


Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri dan
nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian, otonomi pada dasarnya
memuat makna kebebasan dan kemandirian. Otonomi daerah berarti kebebasan dan
kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri (Widarta, 2001:2).
Sarundajang (1999:35) menyatakan bahwa otonomi daerah pada hakekatnya adalah:
1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari
wewenang pangkal dan urusan-urusan Pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah.
Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian
suatu daerah;
2.

Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah
tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah
daerahnya;

3.

Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain
sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;

4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri tidak merupakan hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.
Dalam menyelenggarakan Pemerintahannnya dianut tiga asas yaitu:
1.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah


otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

2.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada


Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

3.

Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
Pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari Pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
menurut Muslimin bahwa otonomi diartikan sebagai Pemerintahan sendiri. Sedangkan
pengertian otonomi daerah menurut Fernandez adalah pemberian hak, wewenang, dan
kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
Pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan
(Salam, 2004:89).
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan daerah otonom selanjutnya disebut
daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

B.

ASAS-ASAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH


Dalam pelaksanaan otonomi, dikenal tiga bentuk asas dalam penyelenggaraan
Pemerintahan daerah yakni :
1.

Asas Desentralisasi

a.) Menurut Rondinelli, desentralisasi merupakan sebagai transfer tanggng jawab dalam
perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari Pemerintah pusat dan agenagennya kepada unit kementerian Pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level Pemerintah,
otoritas atau korporasi publik semi otonom, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah
yang luas, atau lembaga privat non Pemerintah dan organisasi nirlaba (Rosyada, 2005:150).
b.)

Menurut M. Turner dan D. Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud dengan


desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan
kepada publik dari seseorang atau agen Pemerintah pustaa kepada beberapa individu atau
agen lain yang lebih dekat ke publik yang dilayani (Rosyada, 2005:151).
Dari pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa hal,
diantaranya: (1) desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan; (2)
desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai

pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta (4)
desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah Pemerintahan.

2.

Asas Dekonsentrasi
Menurut Laica Marzuki, dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau
delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan Negara di
pusat

kepada

instansi

bawahan,

guna

melaksanakan

pekerjaan

tertentu

dalam

penyelenggaraan Pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena


instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama Pemerintah pusat.
Sedangkan menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan
penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk). Kehadiran
dekonsentarsi semata-mata untuk melancarkan penyelenggaraan Pemerintahan sentral di
daerah. Penerapan asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan mendapat
legitimasi yang kuat, mengingat keberadaannya telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (8)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayahnya. (UU
No. 32 Tahun 2004, ps 1 ayat 8).

3.

Asas Tugas Pembantuan


Daerah otonom selain melaksanakan asas desentralisasi juga dapat diserahi
kewenangan untuk melaksanakan tugas pembantuan (medebewind). Tugas pembantuan
dalam Pemerintahan daerah adalah tugas untuk ikut melaksanakan peraturan perundangundangan bukan saja yang ditetapkan oleh Pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan
oleh Pemerintah daerah tingkat atasnya.
Menurut Irawan Soejito (1981: 117), tugas pembantuan itu dapat berupa tindakan
mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas eksekutif (beschikken). Daerah yang
mendapat tugas pembantuan diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan kepada yang
menugaskan. Amrah Muslim menafsirkan tugas pembantuan (medebewind) adalah
kewenangan Pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari Pemerintah pusat atau
Pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Daerah terikat melaksanakan peraturan
perundang-undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam rangka
tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam

terminal menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada daerah atau tugas pembantuan
merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh.
C.

LANDASAN OTONOMI DAERAH


Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah telah
dihadirkan berbagai Peraturan Perundangan yang mengatur penyelengaraan mengenai
Pemerintahan Daerah antara lain:
1.

UU No. 1 tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada
dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan Pemerintahan Pusat.

2.

UU No. 22 tahun 1948. Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan
pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya
peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat Pemerintah pusat.

3.

UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di
mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat Pemerintah
pusat.

4.

Penetapan Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih
menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh Pemerintah
pusat terutama dari kalangan pamong praja.

5.

UU No. 18 tahun 1965. Kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi


dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi
diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.

6.

UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman
dalam pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya
UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan.

7.

UU No. 22 tahun 1999. Pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan
Pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.

Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945,


kebijakan tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan yang cukup mendasar.
Perubahan dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah
dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Otonomi daerah memberi
keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara demokratis dan
bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa reformasi

diberlakukannya UU no. 22 dan 29 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dengan berbagai
macam perubahan dan kebutuhan, UU tersebut akhirnya direvisi menjadi UU no. 32 dan 33
tahun 2004 Pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur segala urusan rumah
tangganya masing-masing. Tuntutan bagi Pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi
yang dimiliki dengan menjalankan roda Pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai dengan
kemampuan masing-masing daerah.
BAB III
PARADIGMA BARU OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA

A.

Latar Belakang Otonomi Daerah


Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap

berbagai kewenangan yang selama 20 tahun Pemerintahan Orde Baru menjalankan mesin
sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disusul
dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya
sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya
tumbuh sebelum Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol
kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi
alasan pertama bagi Orde Baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari
rakyat. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan
otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh
berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal
yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk
efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang
panjang.
Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi
kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya
kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya,
namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan
akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi
daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi, namun sebagai upaya
membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa, maka
otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.

Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004,


Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan
revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada
dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses penyusunan
yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar
pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan menyangkut
tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU
tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut
anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan
berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR
menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No.
32 tahun 2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara de
facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan
pembahasan kebijakan yang sangat krusial.
Tibalah saatnya Pemerintahan diuji kesungguhannya untuk menjalankan amanat
politik rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut
desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah harus segera
digantikan

dengan

penciptaan

sistem

Pemerintahan

di

tingkat

lokal

yang

demokratis. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan upaya yang sistematis untuk
melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan desentralisasi yang berlangsung
selama ini. Dibutuhkan indikator desentralisasi yang membuka ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal (political equality),
mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability), dan
meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan
masyarakat setempat (local responsibility). Selain harus tercermin dalam produk kebijakan,
indikator-indikator itu juga harus terimplementasi dalam praktek desentralisasi yang
dijalankan oleh Pemerintahan lokal.
B.

Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah di bidang Politik, Ekonomi dan Pendidikan


Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR
sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung
jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara Pemerintah pusat dan Pemerintah

daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup,
daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab
penyelenggaraan Pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah
akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan Pemerintahan
maupun pembangunan daerahnya masing-masing. Adapun implikasi otonomi daerah dalam
beberapa bidang yaitu sebagai berikut :
1.

Bidang Politik
Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa implikasi yang luas diantaranya
terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu yang menyangkut masalah
kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan perundangan yang sudah ada, yaitu
Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75 UU
no.22 tahun 1999 yang menyatakan Norma, standar dan prosedur mengenai pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan
kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil daerah, ditetapkan dengan
perundang-undangan.
Akan tetapi daerah mempunyai wewenang yang luas, khususnya propinsi, kabupaten,
dan kota untuk membuat perencanaan kepegawaian yang sesuai dengan kebutuhan pada
waktu tertentu. Demikian pula daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan,
pendidikan dan latihan bagi aparat penyelenggara pemerintah daerah. Hal itu dinyatakan
dengan tegas pula dalam pasal 76 UU no.22 tahun 1999, yaitu daerah mempunyai
wewenang untuk melakukan pengangkatan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji
tunjangan, dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan
daerah berdasarkan perundang-undangan.
Tentu saja hal ini akan membawa implikasi yang sangat luas, terutama yang
menyangkut pola rekrutmen dan pembinaan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah
mengingat potensi daerah berbeda satu sama lainnya maka sudah seharusnya memperhatikan
dimensi keadilan dan kesetaraan antara satu daerah dengan daerah lainnya, jangan sampai
menimbulkan diskrepansi sosial yang membawa akibat gejolak sosial politik di daerah.

2.

Bidang Ekonomi
Sektor perekonomian sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses otonomi
daerah. Pembangunan ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik apabila diselenggarakan
dengan konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu
masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi

seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya
perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989)
Dalam proses pengembangan ekonomi lokal, Pemerintah daerah bersama dengan
organisasi berbasis masyarakat mendorong dan merangsang kegiatan yang dapat
meningkatkan aktivitas usaha serta penciptaan lapangan pekerjaan. Dalam pelaksanaan
otonomoi daerah, pembangunan ekonomi lokal (PEL) memiliki pengaruh besar terhadap
suatu daerah. Hal ini tidak lain adalah untuk penguatan daya saing ekonomi lokal untuk
pengembangan ekonomi daerah. Kemandirian dalam melakukan kegitan ekonomi dapat
menambah pendapatan asli daerah (PAD), selain itu tingkat pemberdayaan masyarakat kecil
juga dapat terlaksana.
Dengan adanya otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk lebih peka dan
bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi
ekonomi yang dimilikinya. Maka dari itu perlu adanya tata kelola ekonomi daerah supaya
terbentuk otonomi daerah yang baik. Di negara kita maupun di berbagai macam daerah sering
meneriakkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, partisipasi yang tidak lain
hanya menuju ke arah good governance. Seperti halnya otonomi daerah harus memiliki tata
kelola ekonomi yang baik, dengan mempertimbangkan fungsi desentralisasi yang semakin
kompleks khususnya di bidang ekonomi.
Ciri utama suatu daerah yang mampu menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari
kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan di daerahnya dengan tingkat
ketergantungan kepada Pemerintah pusat dengan proporsi yang sangat kecil. Artinya
kemandirian keuangan adalah hal yang paling diutamakan dalam terwujudnya otonomi
daerah. Dengan adanya kemandirian tersebut, suatu daerah diharapkan mampu dalam
pengumpulan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang menjadi bagian terbesar dalam mobilisasi
dana penyelenggaraan Pemerintahan daerah dan sudah sewajarnya PAD dijadikan tolak ukur
dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang
diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil
pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan
daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu
yang diperoleh Pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan
(otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah.
Sumber pendapatan daerah terdiri Pendapatan asli daerah, yaitu:

a.)

Hasil Pajak Daerah. Menurut Davey ( 1988:118) Pemerintah daerah memiliki wewenang
untuk menjangkau sumber pajak di daerah yakni melalui pemungutan langsung serta
menetapkan tarif di daerah. Pajak- pajak tersebut antara lain pajak atas jasa, pajak atas
produksi, pajak atas kendaraan, dan lain-lain.

b.)

Hasil Retribusi Daerah. Pemerintah Daerah juga memiliki wewenang dalam menetapkan
retribusi daerah serta menarik retribusi dalam rangka pemasukan daerah.

3. Bidang Pendidikan
Pada otonomi daerah banyak Undang-undang yang mengatur khusus mengenai
pendidikan salah satu undang-undang yang diimplementasikan dalam pendidikan yaitu UU
Nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, privatisasi Perguruan Tinggi Negeri
dengan status baru BHMN melalui PP no 60 tahun 2000 sampai UU No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola
pendidikan juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun
daerah.
Desentralisasi pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu,
pertama desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan kedua desentralisasi pendidikan
dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat sekolah. Konsep
pertama berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintah dari pusat ke daerah sebagai wujud
dari demokratisasi, kebijakaan yang dimaksud lebih pada kebijakaan pendidikan dan aspek
pendanaannya dari Pemerintah pusat ke daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap
pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat manejemen sekolah untuk meningkatkan
kualitas pendidikannya.
Adanya desentralisasi pendidikan bukan berarti Pemerintah pusat lepas tangan atau
tidak

mencampuri

urusan

pendidikan.

Pemerintah

pusat

masih

mempertahankan

kewenangannya dalam dunia pendidikan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 25 tahun 2000 mengenai kewenangan Pemerintah dan kewenangan provinsi
sebagai daerah otonomi. Kewenangan tersebut diantaranya berhubungan dengan standar
kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum nasional, standar materi pelajaran pokok, gelar
akademik, biaya penyelenggaraan pendidikan, benda cagar budaya dan kalender akademik.
Kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan memberikan dampak baik positif
maupun negatif. Daerah yang dapat memanfaatkan kondisi yang ada tentu saja akan
memberikan dampak positif dari otonomi daerah tersebut. Fenomena muncul raja-raja kecil

didaerah diakibatkan ketika kontrol Pemerintah pusat tidak lagi berperan dalam pengambilan
keputusan dan pengawasan hal ini menjadi dampak negatif jika Pemerintah belum siap dalam
desentralisasi. Kebijakan desentralisasi ini kemungkinan akan menimbulkan jurang pemisah
antara daerah yang maju dan tidak. Pemerataan yang tidak berhasil terlihat jelas dari kualitas
pendidikan yang dihasilkan tiap daerah. Kemungkinan yang terjadi karena tidak meratanya
pendistribusian tenaga guru. Daerah yang kaya akan jauh lebih banyak menyedot tenaga guru
yang berkualitas. Akhirnya daerah-daerah tertentu di Indonesia akan kelebihan guru dan
daerah yang lainnya kekurangan tenaga guru. Desentralisasi pendidikan menentukan pula
hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus materi pembelajaran dibuat
berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Perbedaan-perbedaan
tersebut memberikan kemungkinan terjadinya hasil belajar siswa.
Salah satu hasil dari desentralisasi pendidikan adanya implikasi konsep manajemen
berbasis sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-Sekolah Dasar dan
Menengah di beberapa provinsi di Indonesia. Desentralisai pendidikan menajadi suatu
gagasan yang brilian namun juga menjadi suatu tantangan bagi kita. Dalam bukunya Sam M.
Chan dan Tuti T.Sam yang berjudul Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, dituliskan:
Adapun tantangan yang harus diperhitungkan dalam pengimplementasian kebijakan ini
adalah munculnya individu-individu/lembaga-lembaga serakah yang mencari kesempatan
dalam kesempitan...( Sam, 2005:12).
C.

Permasalahan Dan Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah
Pada Masa Reformasi
1.

Permasalahan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah


Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setelah berlakunya peraturan tersebut, daerah diberi berbagai kewenangan untuk
mengatur urusan rumah tangganya, hal ini menimbulkan berbagai masalah timbul akibat
kewenangan tersebut. Permasalahan yang timbul antara lain:

a.)

Kondisi

SDM

aparatur

pemerintahan

yang

belum

menunjang

sepenuhnya

pelaksanaan otonomi daerah.


Penyelenggaraan otonomi daerah yang baik haruslah didukung oleh kondisi SDM
aparatur pemerintah yang memiliki kualitas yang cakap sehingga dapat menjalankan berbagai
kewenangan pemerintah daerah. Namun sayangnya hal ini cukup sulit untuk diwujudkan.
Pentingnya posisi manusia karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang

bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi Pemerintahan. Oleh sebab itu
kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya
melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah.
Manusia pelaksana Pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
1.)

Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup
menjamin tuntutan kualitas yang ada.

2.) Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah.
3.) Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber
energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
Para aparatur Pemerintah daerah pada umumnya memiliki kualitas yang belum
memadai, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut
pegawai baru yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja
(2003:37) Daerah mempunyai kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun
belum cukup jelas kewenangannya untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di luar
struktur Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi,
kalangan Swasta Profesional dan lain-lain. Hal ini menyebabkan daerah sulit untuk
mendapatkan calon-calon pegawai yang cakap.

b.) Bergesernya Korupsi Dari Pusat Ke Daerah


Korupsi yang awalnya terjadi pada Pemerintah pusat bergeser ke daerah karena daerah
diberikan wewenang sendiri dalam mengatur keuangannya. Banyak pejabat daerah yang
masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ke luar Negeri
dengan alasan studi banding. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang sangat penting
bagi kepala daerah. Hal ini juga menyebabkan adanya kedekatan pribadi antara kepala daerah
dan pengusaha yang ingin berinvestasi di daerah. Dengan begitu maka akan terjadi
pemerasan dan penyuapan.

c.) Eksploitasi Pendapatan Daerah


Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah
muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi,
bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa

daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat
yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping
itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan alasan di atas, biasanya
Pemerintah daerah kemudian berusaha mencari pendapatan daerah sebanyak mungkin, seperti
melalui pemungutan pajak, retribusi, hingga eksploitasi daerah yang maksimal.
d.) Kurangnya Pemahaman Terhadap Konsep Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
terdesentralisasi. Pada kenyataan pemahaman terhadap desentralisasi dan otonomi daerah
masih kurang. Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah masih belum memaksimalkan
perannya dalam Pemerintahan. Mentalitas dari aparat Pemerintah baik pusat maupun daerah
masih belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem
tidak dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem
Pemerintahan yang baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya
mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai pengguna jasa adalah
pelayanan publik yang ideal. Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai
dengan asas desentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari aparat
birokrasi sebagai unsur utama dalam pencapaian tata Pemerintahan lokal.

e.)

Penyediaan Aturan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Belum Memadai


Pada awalnya peraturan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di tetapkan dalam
Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Selanjutnya lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya
UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU
No. 5/1974 yang sentralistik. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
daerah, ditetapkan berdasarkan kuatnya tuntutan masyarakat akan perlunya mengatur diri
sendiri sebagai dampak negatif dari sentralisasi yang dirasakan terlalu lama semasa Orde
Baru. Oleh karena tuntutan masyarakat itu terlalu mendesak dan harus direspon dalam waktu
singkat, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR-RI mengeluarkan undang-undang tentang
Pemerintah daerah. Namun sesuai dengan prosesnya yang mendesak, tentu saja materi isi dan

substansinya masih banyak kekurangan dan kelemahan dan perlu diantisipasi oleh daerah.
(Widjaja, 1999:1-2).
Menurut Widjaja (2003:35-37) ada beberapa hal yang harus dicermati mengenai
peraturan pelaksanaan Pemerintah daerah yang telah di susun, antara lain:
1.

Pembagian Daerah.

2.

Pembentukan dan Susunan Daerah

3.

Kewenangan Daerah

4.

Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah

f.)

Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah


Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena
primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa
kebijakan di daerah yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah,
rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu, ancaman disintegrasi
juga dapat memicu sebuah konflik. Dengan adanya pelimpahan pelimpahan wewenang
kepada daerah menyebabkan daerah menjadi terbagi-bagi dan muncul kesenjangan yakni
ketimpangan pembangunan antara daerah yang sumber dayanya kaya dengan daerah yang
hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit.
Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan
dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut.
Di era otonomi daerah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana.
Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkepingkeping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi duatiga kabupaten, dan seterusnya, semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah
separatisme dan perpecahan terjadi.

2.

Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah Pada Masa
Reformasi
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi
daerah adalah sebagai berikut :

a.) Pemerintah pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah
dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.

b.) Bahwa tujuan dan semangat yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali
sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD masing-masing
daerah menuju peningkatan kesejahteraan masing-masing daerah menuju peningkatan
masyarakat daerah, oleh karena itu untuk mencegah kondisi disintesif, pemda dalam rangka
otonomi daerah perlu mengembangkan strategi efesiensi dalam segala bidang.
c.) Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan
secara sistematis, mensinergikan kegiatan lembaga/institusiriset pada PTN/PTS di daerah
dengan industri kecil menengah dan tradisional.
d.) Merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah
rapuh, dengan mengembangkan usaha kecil/menengah dan koperasi menjadi lebih produktif
serta berupaya terus untuk memberantas kemiskinan structural.
e.) Memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan
yang tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.
f.)

Mendorong desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah


khususnya DPRD untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk
hukum pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan,
pengelolaan, pendayagunaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah
pembangunan yang di rumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.

D.

Studi Kasus
Otonomi Daerah Provinsi Banten
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping
sebagai sarana pemberdayaan publik, termasuk juga pendidikan politik lokal didalamnya.
Untuk itu, pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti: (1)
kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) luas wilayah, (4) kependudukan, (5)
pertimbangan aspek sosial-politik, (6) pertimbangan aspek sosial-budaya, serta (7)
pertimbangan dan syarat lainnya, untuk dapat memungkinkan daerah itu dapat
menyelenggarakan dan mewujdukan tujuan dibentuknya daerah otonom. Pemekaran pun
terjadi di tanah Banten, melalui Undang-undang No 23 tahun 2000 Propinsi Banten akhirnya
terbentuk setelah memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat.
Sampai pada tahun 1998, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang, masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa
Barat. Terjadi pula isu pemekaran pada tingkat kabupaten/kota di Propinsi Banten yakni
pemekaran dari Kabupaten Pandeglang menjadi 2 kabupaten baru, yakni Calon Kabupaten

Caringin dan Calon Kabupaten Cibaliung. Sedangkan isu pemekaran di Kabupaten Lebak
menjadi Calon Kabupaten Cilangkahan (Lebak Selatan) yang telah melewati kajian akademik
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri maupun dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
dengan predikat lulus bersyarat, serta di Kabupaten Serang saat ini telah dimekarkan dengan
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Serang
dimana sekarang ini Kabupaten Serang sedang mencari lokasi untuk menentukan ibu kota
kabupaten. Kemudian Kabupaten Tangerang yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten
Tangerang dan Kabupaten Tangerang Selatan. Isu-isu pemekaran ini menimbulkan pro dan
kontra diantara masyarakat banyak, bahkan terkadang antara eksekutif dengan legislatif
mengalami perbedaan pandangan apakah mendukung atau tidak mendukung proses
pemekaran suatu daerah.
Faktor kepentingan juga lah yang bermain, cost and benefit yang cukup menentukan
dalam membagi kelompok pro dan kontra, yang akan diuntungkan otomatis akan mendukung
proses pemekaran sedangkan yang dirugikan akan menolak proses pemekaran ini. Sebuah
kabupaten induk akan menolak proses pemekaran apabila akibat dari pemekaran yang terjadi
akan mengurangi PAD kabupaten tersebut, bahkan akan mengganggu kelangsungan
pendapatan kabupaten induk. Lain halnya ketika kabupaten baru yang terbentuk dari proses
pemekaran ini adalah beban bagi kabupaten induk, proses pemekaran akan didukung.
Demikian pula pemekaran di level kecamatan pun banyak terjadi di berbagai wilayah, dimana
seharunya memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Di
Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa pemekaran dalam level kecamatan yakni diantaranya
adalah Kecamatan Cijaku dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong,
Kecamatan Malingping dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan
Panggarangan dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah
dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cilograng. Pada level desa, jumlah desa/kelurahan di
Provinsi Banten pada tahun 2008 hanya terdapat 1.504 desa/kelurahan bertambah menjadi
1.535 desa/kelurahan pada akhir tahun 2010 berarti ada penambahan sebanyak 31 desa dalam
rentang 24 bulan, artinya setiap bulan lebih dari satu desa (1,29) baru terbentuk/dimekarkan.
Provinsi Banten sampai saat ini memiliki 8 Kabupaten/Kota. Berikut ini Nama
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai tahun 1998, sebelum ada pemekaran daerah, yaitu
: Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan
Kabupaten Serang. Dan berikut ini Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Banten yang
merupakan hasil pemekaran daerah sejak tahun 1999, yaitu : Kota Cilegon, pemekaran dari
Kabupaten Serang, 20 April 1999. Kota Serang, pemekaran dari Kabupaten Serang, 17 Juli

2007. Kota Tangerang Selatan, pemekaran dari Kabupaten Tangerang, 29 Oktober 2008.
(http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsibanten/).

Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Kehidupan Masyarakat Banten


1.

Bidang Politik
Dampak pemekaran wilayah Banten menjadi sebuah provinsi dalam bidang politik
adalah Banten memiliki pemerintahan daerah sendiri . Dengan adanya kewenangan daerah
yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka Banten berhak melakukan pemilihan kepala
daerah sendiri dalam hal ini yang menjadi kepala pemerintahan Banten adalah Gubernur dan
wakil gubernur yang dipilih langsung oleh masyarakat Banten melalui Pilkada. Walaupun
pada awal pembentukan Banten menjadi sebuah provinsi, gubernur pertama Banten Gubernur
Hakamuddin Djamal dipilih oleh Pemerintah Pusat. Namun selanjutnya Pada tahun 2002
pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten di pilih oleh DPRD Banten yang memilih
Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten
pertama. Dan Akhirnya masyarakat Banten memiliki hak untuk memilih langsung gubernur
dan wakil gubernurnya sendiri yakni, tanggal 6 Desember 2006 dilaksanakan Pemilihan
Kepala Daerah langsung, yang dimenangi oleh pasangan Ratu Atut Choisiyah dan
Mohammad Masduki, kedua-duanya menjabat pada periode 2007-2011. Selanjutnya selain
memiliki pemerintahan sendiri, Banten juga memiliki wilayah pemerintahan sendiri tanpa
terikat dengan provinsi sebelumnya yakni provinsi Jawa Barat. Wilayah Banten terletak di
antara 57'50"-71'11" Lintang Selatan dan 1051'11"-1067'12" Bujur Timur, berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah
9.160,70 km. Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 154 kecamatan, 262
kelurahan, dan 1.273 desa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Banten)

2.

Bidang Sosial Budaya


Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten sebagai suatu provinsi memiliki
pengakuan bahwa secara kultural Banten memiliki budaya sendiri yang berbeda dengan
provinsi lainnya di Indonesia. Potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain
seni bela diri Pencak silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari Cokek,
Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur
antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak
peninggalan lainnya. Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy Dalam

merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi antimodernisasi, baik cara
berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar
Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di
daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah
tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh
dirusak.

3.

Bidang ekonomi
Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dilihat dari pergeseran bersih, yaitu
penjumlahan dari komponen PP dan PPW. Apabila pergeseran bersih bernilai positif, maka
pertumbuhan sektor-sektor perekonomian termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat, dan
apabila pergeseran bersih bernilai negatif maka pertumbuhan sektor-sektor perekonomian
pada suatu wilayah termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Berdasarkan tabel
dibawah, menunjukkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah tahun 1994-1996, hanya
ada satu sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat, yaitu sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan. Delapan sektor lainnya, yaitu sektor pertanian, sektor
pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sector bangunan,
sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor
jasa-jasa termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Secara keseluruhan pertumbuhan
ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang lambat.

Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum dan Pada


Masa Otonomi Daerah
Sebelum Otonomi Daerah
No

Sektor

1994-1996

Masa Otonomi

1997-1999

2000-2002

(Rp)

(%)

(Rp)

(%)

(Rp)

(%)

Pertanian

-68.761

-5

132.221,28

62.801,97

Pertambangan

-5.360

-16

-16.511,04

-42

924,84

Industri
pengolahan
Listrik, Gas
dan Air Bersih

-204.495

-45

-1.136.990,04

-12

333.485,66

-13.671

-3

-81.638,44

-13

45.413,15

6,5

Bangunan

-25.047

-4

-317.715,34

-38

51.714,32

13

Perdagangan,
Hotel dan
Restoran
Pengangkutan
dan
Komunikasi
Keuangan,
Persewaan dan
Jasa
Perusahaan
Jasa-jasa

-193.131

-8

-12.357,47

-0.4

172.299,35

-83.467

-7

-233.832,60

-15

262.726,88

20

17.349

-162.918,96

-24

-8.748,80

-2

-136.893

-18

99.685,52

11

17.905,25

Total

-713.476

-102

-1.730.057,09

-125,4

938.552,62

58,5

7
8

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-2002; BPS Provinsi Banten, 2000-2002 (Nazara,
2006:90).
Pada masa sebelum otonomi periode 1997-1999, ada dua sektor yang termasuk dalam
pertumbuhan cepat, yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Tujuh sektor lainnya termasuk
dalam kelompok pertumbuhan lambat, yaitu sektor
pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor
bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tetapi pada periode tersebut secara
keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang lambat.
Pada masa otonomi daerah tahun 2000-2002,
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan masuk dalam kelompok pertumbuhan
lambat, sedangkan delapan sektor lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat.
Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada masa otonomi daerah
memiliki pertumbuhan yang cepat.
Dengan

adanya

otonomi

daerah,

maka

Banten

dapat

mengatur

sendiri

perekonomiannya. Potensi sektor pertanian terus dikembangkan. Luas lahan panen dan
besarnya produksi padi yang dihasilkan terus bertambah, dari 337.986 ha dan 1.756.037 ton
pada 2005 menjadi 364,721 ha, dan 1.812.495 ton pada 2006. Praktik budidaya selama kurun
tahun 2002 2004 semakin membaik, tercermin dari laju pertumbuhan produksi rata rata lebih
tinggi, (11,16% per tahun) dari laju pertumbuhan lahan panen rata rata (2,33% per tahun).
Meskipun laju pertumbuhan produksi perluas lahan panen untuk jenis tanaman palawija
meningkat, pola dan praktis produksinya relatif belum berkembang. Laju pertumbuhan rata
rata luas lahan panen 2,48% per tahun, namun laju pertumbuhan rata-rata produksinya hanya
4,08% per tahun, atau dengan rasio mencapai 1,64%. Di antara semua tanaman palawija, ubi

kayu dan kacang kedelai memiliki rasio laju pertumbuhan produksi rata rata berbanding laju
pertumbuhan luas panen rata rata di angka 1 (masing masing 1,41 dan 6,75). Budidaya ternak
meningkat dari tahun ke tahun, mulai dart sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing,
domba dan babi. jumlah populasi ternak yang di budidayakan semakin meningkat antara
tahun 2002 2004 dengan rata rata laju pertumbuhan jumlah dan jenis populasi sebesar
24,97% per tahun.
Kenerja sektor perikanan mencakup perikanan tangkap (laut dan perairan umum) dan
perikanan budidaya (laut, tambak, kolam, sawah, keramba, jaring terapung). Produksi
perikanan hingga 2004 mancapai 76.324,05 ton dengan nilai Rp 538.130 miliar, menurun
dibanding produksi tahun 2002 mencapai 87.279,40 ton dengan nilai produksi Rp 588.101
niliar, karena pengaruh menurunya produksi perikanan tangkap hingga sebesar 2,95%.
Kontribusi perikanan tangkap terhadap total produksi perikanan mancapai 70,98%, dengan
milai produksi sebesar 54,24%. Sedangkan kontribusi perikanan budidaya sebesar 29,02%
dengan nilai produksi 45,76%. Sektor pariwisata juga merupakan salah satu sektor yang
dikembangkan oleh pemerintah daerah Banten karena Banten merupakan provinsi yang kaya
akan potensi pariwisata, antara lain, taman nasional ujung kulon, pantai carita, pantai umang,
dan

lain-lain.

(http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-Banten/sumber-

daya-alam).
4.

Bidang Infrastruktur
Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten sebagai suatu provinsi memiliki hak
dan tanggung jawab untuk membangun berbagai instruktur yang menunjang bagi kehidupan
masyarakat Banten. Hal ini terlihat dengan adanya pembangunan infrastruktur pemerintahan,
seperti pembangunan kantor DPRD, kantor Gubernur, dan lain-lain. Dalam bidang
pendidikan, pemerintah daerah Banten berupaya membangun sekolah-sekolah maupun
memperbaiki sekolah yang keadaannya tidak layak. Selain itu, pembangunan infrastruktur
jalan raya di provinsi Banten juga di lakukan karena banyak mengalami kerusakan. Menurut
Portal Nasional RI PT Banten Global Development (BGD) menyiapkan lima proyek
infrastruktur prioritas guna mengembangkan wilayah Banten. Lima proyek tersebut adalah
Jembatan Selat Sunda (JSS), kawasan ekonomi khusus (KEK) Tanjung Lesung, Bandara
Panimbang, tol Panimbang-Serang, dan mass rapid transit (MRT) rute Serpong-TangerangRawa

Buntu.

(http://www.indonesia.go.id/in/kementrian/kementrian/kementrianperindustrian/695-saranadan-prasarana/11527-bgd-siapkan lima-proyek-infrastruktur-di-Banten).

BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN
Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Pemberian
otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat serta peningkatan daya saing
daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pada
hakikatnya tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan
rakyat.
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR
sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari
beberapa aspek, diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam
Desentralisasi politik adanya sebuah birokrasi yang muncul, dalam pendidikan otonomi
daerah menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk mengelola
pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan
keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan
munculnya kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber
daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan
Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan
profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan
daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar,
sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggung jawab.
Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi
oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya
pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara
daerah yang pendapatannya tinggi dengan daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat

bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di


Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Davey, K.J. (1988). Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: UI Press.


Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 19452005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak
Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten. Skripsi pada
FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.

Rosyada, D. et al. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani. Jakarta: Tim Icce
Uin Jakarta dan Prenada Media.
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya.
Bandung: Djambatan.
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soejito, I. (1981). Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.
Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah(refleksi pemikiran partai golkar.
Jakarta: LASPI.
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Widjaja, H. (2003). Pemerintah Desa/marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Widjaja, H. (2003). Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah.
Nahrawi. (2009). Pemekaran Daerah Di Provinsi Banten. [Online]. Tersedia :
http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsi-banten/.
[27
November 2012].
Portal

Nasional RI. (2009). Sumber Daya Alam Banten. [Online]. Tersedia:


http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-banten/sumber-daya-alam
[09
Desember 2012].

Portal Nasional RI. (2012). BGD Siapkan Lima Proyek Infrastrukrut Di Banten. [Online]. Tersedia:
http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-perindustrian/695sarana-dan-prasarana/11527-bgd-siapkan-lima-proyek-infrastruktur-di-banten [09 Desember
2012]

Anda mungkin juga menyukai