MTsN Malang 1
Kelas 8 Semester 3 Tahun Pelajaran 2014/2015
8F
Kebudayaan pada Masa Dinasti
Abbasiyah
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT; yang membahagiakan
dan menyengsarakan; yang mematikan dan menghidupkan; yang
membuat manusia menangis dan tertawa serta menjadikan mereka
miskin dan kaya.
Kemudian dari itu, kekuasaan dan kejayaan Dinasti Umayyah
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin
Abdul Malik. Sesudah itu, kekuasaan mereka menurun. Dari beberapa
khalifah Dinasti Umayyah, hanya Khalifah Marwan II yang memerintah
dalam waktu yang agak lama. Perpindahan kekuasaan setelah
meninggalnya Khalifah Hisyam ditandai dengan pertikaian keluarga.
Keadaan internal Dinasti Umayaah pada waktu itu sudah sulit
diselamatkan dari kehancuran.
Lalu seiring dengan menyebarnya Islam ke luar Jazirah Arab
membuat bangsa Arab berinteraksi langsung dengan bangsa non-Arab.
Dalam interaksi tersebut, muncullah berbagai kelas dalam masyarakat
Islam. Beberapa kelas itu adalah kaum muslim Arab, kaum muslim nonArab, dan kaum nonmuslim (zimmi).
Oleh karena itu, kita sebagai muslim setidaknya mengetahui sejarah
berkembangnya agama dan kebudayaan Islam. Semoga dengan
dibuatnya makalah ini, kita semua dapat terbantu dalam memahami
sejarah-sejarah Islam.
1.3 Tujuan
Dengan adanya penjelasan dari hal-hal yang telah ditentukan pada
rumusan masalah diatas, diharapkan siswa dapat memahami dan
menelaah lebih jauh tentang materi yang telah dipelajari, yaitu tentang
kondisi sosial, kemajuan kebudayaan, kemajuan politik dan militer, dan
kejayaan peradaban Islam serta pengaruhnya ke peradaban barat pada
masa Dinasti Abbasiyah. Selain itu siswa juga ditargetkan bisa mengkaji
lebih dalam serta mengaplikasikan pemahaman yang telah didapat dari
materi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Sosial
Pada masa Dinasti Umayyah, kelas kaum muslim Arab yang tinggal
di Suriah menempati tingkatan yang tertinggi. Hal itu menimbulkan
kecemburuan masyarakat Islam lainnya. Akhirnya, hal itu menjadi sebab
utama runtuhnya Dinasti Umayyah. Kekecewaan yang terus menerus
membuat mereka memberontak.
Berdirinya Dinasti Abbasiyah tidak terlepas dari bantuan masyarakat
muslim lainnya. Kaum muslim Arab yang mendukung Dinasti
Abbasiyah terdiri dari penduduk Mekah, Madinah, Irak, dan kaum
Syiah (keturunan Ali). Dinasti Abbasiyah berhasil mendapatkan
dukungan tersebut dengan seruan sebagai sesama kaum yang tertindas
dan sesama keturunan Hasyim. Dukungan kaum muslim non-Arab
terbesar datang dari orang-orang Persia. Mereka dianggap sebagai kaum
mawali pada masa Dinasti Umayyah dan dianggap sebagai warga negara
kelas dua. Mereka merasa hak-haknya sebagai warga negara terabaikan.
Dukungan tersebut membuat Dinasti Abbasiyah memiliki kekuatan yang
besar hingga mampu menumbangkan Dinasti Umayyah.
Oleh karena itu, pada masa Dinasti Abbasiyah hak-hak mereka
disamakan. Dalam beberapa periode, masyarakat muslim non-Arab
memegang peranan yang penting dalam pemerintahan. Beberapa
golongan non-Arab yang mempunyai peranan penting dalam
pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah keluarga Barmak, Dinasti
Buwaihiyah, dan Dinasti Seljuk.
Keluarga Barmak adalah keluarga bangsawan terpandang asal Balkh,
Persia. Khalid bin Barmak adalah orang pertama dari keluarga Barmak
yang membina hubungan dengan para khalifah Dinasti Abbasiyah.
Mereka ikut berjuang dalam gerakan dakwah Dinasti Abbasiyah dan
ikut berperan besar dalam proses berdirinya dinasti ini. Khalid bin
Barmak berjasa besar dalam usaha meredakan pemberontakan di
Mesopotamia. Untuk beberapa saat lamanya, ia menjadi gubernur di
sana.
Ketika Khalifah Abu Jafar Al-Mansur memunculkan jabatan wazir,
keluarga Barmak mendapat kepercayaan memegang jabatan ini hingga
hampir 50 tahun lamanya. Khalid bin Barmak menjabat sebagai wazir
sebelum Islam menguasai kota-kota itu. Setelah Islam datang, tradisi itu
tetap terjaga bahkan mengalami perkembangan yang semakin pesat.
Beberapa sastrawan dan budayawan yang muncul pada masa itu adalah
Umar Khayam, az-Zamakhsyari, al-Qusyairi, an-Nafisi, Ibnu
Maskawaih, dan al-Kindi.
Umar Khayam adalah seorang penyair besar yang lahir di Nisabur,
Khurasan. Ia juga merupakan seorang ilmuwan di bidang matematika,
astronomi, dan filsafat. Semasa hidupnya, ia bekerja pada Sultan
Maliksyah, raja Dinasti Seljuk yang menguasai Persia. Sebagai seorang
sastrawan, Umar Khayam termasyhur dengan rubaiat-nya (empat
berpasangan dua-dua). Rubaiat adalah sajak yang terdiri dari dua baris.
Setiap baris terdiri dari dua kalimat setengah syair sehingga jumlah
seluruhnya menjadi empat baris dan biasa dinamakan kuatren.
Sebagai seorang sufi, Umar Khayam banyak memberikan kritik dan
koreksi terhadap para ilmuwan dalam syair-syair rubaiatnya. Menurut
Umar Khayam, para ilmuwan telah menjadikan kebenaran relatif yang
dijadikan sebagai bahan perselisihan, sebagai kebenaran mutlak. Dalam
sajaknya, Umar Khayam selalu mencari pembuktian logis dalam
menghadapi problem-problem dalam bidang filsafat pada masanya.
Pengetahuan yang dimilikinya tidakmembuatnya sombong. Bahkan,
sajak-sajaknya selalu menampakkan kerendahan hatinya. Umar Khayam
justru sering merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa di tengah-tengah
suasana mudahnya orang menyalahkan lawan dan membennarkan diri
sendiri.
Ilmuwan lainnya adalah az-Zamakhsyari. Ia merupakan salah satu
pakar ilmu bahasa dan kesusastraan Arab. Karya-karyanya dalam bahasa
dan kesusastraan Arab, antara lain tentang nahwu, balagah, dan arud.
Beberapa karya tulisnya adalah Asas al-Balagah (Asas Balagah), alMufrad wa al-Muallaf fi an-Nahwi (Satu dan Kesatuan Sifat dalam
Ilmu Tata Bahasa), dan al-Mustaqim fi Amsal al-Arab (Peribahasa
dalam Bahasa Arab).
Perkembangan kebudayaan pada masa Dinasti Abbasiyah juga
ditunjukkan oleh adanya peninggalan-peninggalan bersejarah.
Peninggalan itu, antara lain berupa istana, masjid, dan bangunan lainnya.
Peninggalan bersejarah itu banyak yang masih dapat disaksikan hingga
saat ini dan menunjukkan betap tingginya peradaban yang telah dicapai
umat Islam pada waktu itu.
Pada masanya, Khalifah Abu Abbas as-Saffah membangun Istana alHasyimiyah. Pembangunan yang lebih fenomenal dilakukan oleh
Khalifah Abu Jafar al-Mansur ketika membangun Kota Bagdad.
Pembangunan kota yang memrlukan perencanaan yang matang itu telah
menunjukkan tingginya kemampuan para ahli bangunan pada masa itu.
Selain itu, pada masa Dinasti Abbasiyah banyak dibangun masjid
yang berfungsi sebagai pusat kegiatan umat Islam. Berdasarkan bentuk
dan corak seninya, perkembangan masjid terbagi dalam tiga periode,
yaitu periode permulaan, periode pertengahan, dan periode modern.
Bentuk dan corak seni masjid yang dibangun pada masa Dinasti
Abbasiyah termasuk dalam periode permulaan. Pada masa Dinasti
Abbasiyah, selain sebagai tempat salat, masjid juga menjadi tempat
berkumpulnya para ulama dan ilmuwan yang mendiskusikan berbagai
macam ilmu pengetahuan. Beberapa masjid yang dibangun pada masa
Dinasti Abbasiyah adalah
1. Masjid al-Mansur, dibangun oleh Khalifah Abu Jafar al-Mansur;
2. Masjid Raya ar-Risyafah, dibangun oleh Khalifah al-Mahdi;
3. Masjid Jami Qasr al-Khilafah, dibangun oleh Khalifah al-Muktafi;
4. Masjid Qatiah Umm Jafar, dibangun oleh Khalifah al-Muktafi;
5. Masjid Kufah;
6. Masjid Raya Samarra, dibangun oleh Khalifah al-Mutawakkil;
7. Masjid Agung Isfahan, dibangun oleh Sultan Maliksyah;
8. Masjid Talkhatan Baba di Merv;
9. Masjid Alauddin Kaikobad di Nedge.
5.
6.
7.
8.
9.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
berbagai konflik politik, keagamaan, sosial, dan kebudayaan yang terjadi
selama masa kedinastian Dinasti Abbasiyah. Sejak awal mula dinasti
tersebut didirikan hingga runtuh telah di jabarkan dalam bab
pembahasan di atas. Dengan ini yang penulis harapkan adalah kita
semua dapat meneladani hal-hal positif dari perjuangan tokoh-tokoh
Dinasti Abbasiyah serta kebudayaannya.
3.2 Saran
Setelah menerima dan memahami materi yang telah disajikan,
diharapkan para pembaca dapat mengkaji lebih dalam dengan mencari
sumber dan referensi yang lebih banyak guna mendapatkan kebenaran
yang valid.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono, H. & T. Ibrahim, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 2, Solo:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013.