Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

MTsN Malang 1
Kelas 8 Semester 3 Tahun Pelajaran 2014/2015

8F
Kebudayaan pada Masa Dinasti
Abbasiyah

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT; yang membahagiakan
dan menyengsarakan; yang mematikan dan menghidupkan; yang
membuat manusia menangis dan tertawa serta menjadikan mereka
miskin dan kaya.
Kemudian dari itu, kekuasaan dan kejayaan Dinasti Umayyah
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid bin
Abdul Malik. Sesudah itu, kekuasaan mereka menurun. Dari beberapa
khalifah Dinasti Umayyah, hanya Khalifah Marwan II yang memerintah
dalam waktu yang agak lama. Perpindahan kekuasaan setelah
meninggalnya Khalifah Hisyam ditandai dengan pertikaian keluarga.
Keadaan internal Dinasti Umayaah pada waktu itu sudah sulit
diselamatkan dari kehancuran.
Lalu seiring dengan menyebarnya Islam ke luar Jazirah Arab
membuat bangsa Arab berinteraksi langsung dengan bangsa non-Arab.
Dalam interaksi tersebut, muncullah berbagai kelas dalam masyarakat
Islam. Beberapa kelas itu adalah kaum muslim Arab, kaum muslim nonArab, dan kaum nonmuslim (zimmi).
Oleh karena itu, kita sebagai muslim setidaknya mengetahui sejarah
berkembangnya agama dan kebudayaan Islam. Semoga dengan
dibuatnya makalah ini, kita semua dapat terbantu dalam memahami
sejarah-sejarah Islam.

1.2 Rumusan Masalah


A. Bagaimanakah kondisi sosial pada masa Dinasti Abbasiyah?
B. Apa saja kemajuan kebudayaan pada masa Dinasti Abbasiyah?
C. Seperti apakah kemajuan di bidang politik dan militer pada masa
Dinasti Abbasiyah?
D. Bagaimana proses kejaayaan peradaban Islam dan apa
pengaruhnya terhadap peradaban Barat?

1.3 Tujuan
Dengan adanya penjelasan dari hal-hal yang telah ditentukan pada
rumusan masalah diatas, diharapkan siswa dapat memahami dan
menelaah lebih jauh tentang materi yang telah dipelajari, yaitu tentang
kondisi sosial, kemajuan kebudayaan, kemajuan politik dan militer, dan
kejayaan peradaban Islam serta pengaruhnya ke peradaban barat pada
masa Dinasti Abbasiyah. Selain itu siswa juga ditargetkan bisa mengkaji
lebih dalam serta mengaplikasikan pemahaman yang telah didapat dari
materi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

1.4 Ruang Lingkup Masalah


Agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada
masalah dan tujuan penelitian maka dengan ini penulis membatasi
masalah penelitian hanya tentang sejarah kebudayaan pada masa Dinasti
Abbasiyah saja.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Sosial
Pada masa Dinasti Umayyah, kelas kaum muslim Arab yang tinggal
di Suriah menempati tingkatan yang tertinggi. Hal itu menimbulkan
kecemburuan masyarakat Islam lainnya. Akhirnya, hal itu menjadi sebab
utama runtuhnya Dinasti Umayyah. Kekecewaan yang terus menerus
membuat mereka memberontak.
Berdirinya Dinasti Abbasiyah tidak terlepas dari bantuan masyarakat
muslim lainnya. Kaum muslim Arab yang mendukung Dinasti
Abbasiyah terdiri dari penduduk Mekah, Madinah, Irak, dan kaum
Syiah (keturunan Ali). Dinasti Abbasiyah berhasil mendapatkan
dukungan tersebut dengan seruan sebagai sesama kaum yang tertindas
dan sesama keturunan Hasyim. Dukungan kaum muslim non-Arab
terbesar datang dari orang-orang Persia. Mereka dianggap sebagai kaum
mawali pada masa Dinasti Umayyah dan dianggap sebagai warga negara
kelas dua. Mereka merasa hak-haknya sebagai warga negara terabaikan.
Dukungan tersebut membuat Dinasti Abbasiyah memiliki kekuatan yang
besar hingga mampu menumbangkan Dinasti Umayyah.
Oleh karena itu, pada masa Dinasti Abbasiyah hak-hak mereka
disamakan. Dalam beberapa periode, masyarakat muslim non-Arab
memegang peranan yang penting dalam pemerintahan. Beberapa
golongan non-Arab yang mempunyai peranan penting dalam
pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah keluarga Barmak, Dinasti
Buwaihiyah, dan Dinasti Seljuk.
Keluarga Barmak adalah keluarga bangsawan terpandang asal Balkh,
Persia. Khalid bin Barmak adalah orang pertama dari keluarga Barmak
yang membina hubungan dengan para khalifah Dinasti Abbasiyah.
Mereka ikut berjuang dalam gerakan dakwah Dinasti Abbasiyah dan
ikut berperan besar dalam proses berdirinya dinasti ini. Khalid bin
Barmak berjasa besar dalam usaha meredakan pemberontakan di
Mesopotamia. Untuk beberapa saat lamanya, ia menjadi gubernur di
sana.
Ketika Khalifah Abu Jafar Al-Mansur memunculkan jabatan wazir,
keluarga Barmak mendapat kepercayaan memegang jabatan ini hingga
hampir 50 tahun lamanya. Khalid bin Barmak menjabat sebagai wazir

pertama. Jabatan itu kemudian dipegang oleh anaknya, Yahya bin


Khalid. Kedudukan itu kemudian diwariskan lagi kepada anaknya, Jafar
bin Yahya. Adapun anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat dan Khurasan.
Golongan lain yang berpengaruh pada masa Dinasti Abbasiyah adalah
Dinasti Buwaihiyah. Mereka berasal dari golongan Syiah dan
memegang peranan penting selama hampir satu abad (945-1055 M).
Pada masa tersebut, khalifah hanya dianggap sebagai simbol, sedangkan
kekuasaan dipegang oleh Dinasti Buwaihiyah.
Dinasti Buwaihiyah merupakan putra-putra Buwaih yang berasal dari
suku Dailami yang menempati daerah pegunungan di sebelah barat daya
Laur Kaspia. Mereka terdiri dari Ali bin Buwaih yang berkuasa di
Isfahan, Hasan bin Buwaih yang berkuasa di Ray dan Jabal, dan Ahmad
bin Buwaih yang berkuasa di al-Ahwaz dan Khuzistan. Mereka diakui
sebagai sultan oleh khalifah Dinasti Abbasiyah. Sebaliknya, mereka juga
mengakui kedudukan khalifah Dinasti Abbasiyah.
Keberadaan Dinasti Seljukdalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah
hampir sama dengan Dinasti Buwaihiyah. Mereka menjadi penguasa
yang sesungguhnya, sementara khalifah Dinasti Abbasiyah hanya
menjadi simbol di Istana Bagdad. Berbeda dengan Dinasti Buwaihiyang
yang beraliran Syiah, Dinasti Seljuk adalah golongan Islam Suni, sama
dengan Dinasti Abbasiyah. Interaksi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa
non-Arab itu memberikan khazanah baru dalam bidang sosial dan
budaya. Selama pemerintahan Dinasti Abbasiyah tidak ada pembedaan
kelas antara penduduk Arab dan non-Arab. Dengan demikian, mereka
mampu memberikan sumbangan yang penting dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan peradaban.

2.2 Kemajuan Kebudayaan


Perkembangan kebudayaan Islam berjalan seiring dengan penyebaran
Islam. Pada masa Dinasti Abbasiyah, wilayah pemerintahan Islam
meluas sampai ke Spanyol di barat dan India di timur. Untuk masa
beberapa ratus tahun, penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan itu tetap
dalam agama masing-masing. Setelah mereaka menyaksikan kemajuan
peradaban Arab Islam dan rapinya pemerintahan dalam negara-negara
itu, mereka masuk Islam dengan sukarela. Lebih jauh dari itu, mereka
bukan saja menjadi Islam, tetapi juga menjadi Arab. Contohnya adalah
penduduk Mesir, Suriah, Palestina, Persia, Aljazair, Maroko, Libia,

Tunisia, dan Spanyol. Mereka adalah orang-orang non-Arab yang


menjadi Arab. Namun, Persia berhasil kembali menegakkan
nasionalisme mereka. Walaupun demikian, mereka telah terarabkan
dalam beberapa abad.
Pada masa itu, Bagdad dan Andalusia menjadi pusat peradaban dan
ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa non-Arab yang telah masuk dalam
wilayah Islam memakai bahasa Arab dan adat istiadat Arab dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka juga bersekolah di perguruan-perguruan
Arab. Contohny adalah raja-raja Spanyol nonmuslim, misalnya Peter I,
Raja Aragon. Ia bahkan hanya mengenal huruf Arab. Alfonso IV juga
mencetak uang dengan memakai tulisan Arab.
Di Sisilia, hal yang hampir sama juga terjadi. Raja Normandia, Roger
I menjadikan istananya sebagai tempat pertemuan para filsuf, dokterdokter, dan ahli Islam lainnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Ketika Roger II menjadi raja, ia bahkan lebih terpengaruh budaya Arab.
Pakaian kebesarang yang dipilihnya adalah pakaian Arab. Gerejanya
dihiasi dengan ukiran dan tulisan-tulisan Arab. Wanita Kristen Sisilia
meniru wanita Islam dalam soal mode pakaian.
Peradaban Islam bahkan juga berpengaruh atas bangsa-bangsa di luar
kekuasaan Islam. Penuntut ilmu dari Prancis, Inggris, Jerman, serta Italia
datang dan belajar ke universitas dan perguruan di Andalusia dan Sisilia.
Di antara mereka terdapat pemuka-pemuka Kristen, seperti Gerbert
dAurillac yang belajar di Andalusia. Gerbert dAurillac kemudian
menjadi Paus di Roma dari tahun 999-1003 M dengan nama Sylvester
II.
Beberapa bangsa yang terarabkan itu banyak yang sudah lupa akan
bahasa dan kebudayaan mereka sendiri. Oleh karena itu, saat ini
pengertian Arab sudah meluas dan tidak terbatas pada bangsa yang
mendiami Jazirah Arab saja. Hal itu dapat dilihat dari kota-kota yang
menjadi pusat budaya Arab tidak terbatas pada kota-kota di Jazirah Arab
saja, melainkan meliputi kota-kota di luar Jazirah Arab, seperti
Damaskus, Bagdad, Kairo, dan Kordoba.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid dan Khalifah almamun, peradaban Islam mencapai masa keemasannya. Kebudayaan
India dan Yunani juga telah memberikan sumbangan yang berarti bagi
perkembangan kebudayaan Islam. Kota-kota Jundisapur, Harran,
Antakiyah, dan Iskandariyah merupakan pusat-puat peradaban Yunani

sebelum Islam menguasai kota-kota itu. Setelah Islam datang, tradisi itu
tetap terjaga bahkan mengalami perkembangan yang semakin pesat.
Beberapa sastrawan dan budayawan yang muncul pada masa itu adalah
Umar Khayam, az-Zamakhsyari, al-Qusyairi, an-Nafisi, Ibnu
Maskawaih, dan al-Kindi.
Umar Khayam adalah seorang penyair besar yang lahir di Nisabur,
Khurasan. Ia juga merupakan seorang ilmuwan di bidang matematika,
astronomi, dan filsafat. Semasa hidupnya, ia bekerja pada Sultan
Maliksyah, raja Dinasti Seljuk yang menguasai Persia. Sebagai seorang
sastrawan, Umar Khayam termasyhur dengan rubaiat-nya (empat
berpasangan dua-dua). Rubaiat adalah sajak yang terdiri dari dua baris.
Setiap baris terdiri dari dua kalimat setengah syair sehingga jumlah
seluruhnya menjadi empat baris dan biasa dinamakan kuatren.
Sebagai seorang sufi, Umar Khayam banyak memberikan kritik dan
koreksi terhadap para ilmuwan dalam syair-syair rubaiatnya. Menurut
Umar Khayam, para ilmuwan telah menjadikan kebenaran relatif yang
dijadikan sebagai bahan perselisihan, sebagai kebenaran mutlak. Dalam
sajaknya, Umar Khayam selalu mencari pembuktian logis dalam
menghadapi problem-problem dalam bidang filsafat pada masanya.
Pengetahuan yang dimilikinya tidakmembuatnya sombong. Bahkan,
sajak-sajaknya selalu menampakkan kerendahan hatinya. Umar Khayam
justru sering merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa di tengah-tengah
suasana mudahnya orang menyalahkan lawan dan membennarkan diri
sendiri.
Ilmuwan lainnya adalah az-Zamakhsyari. Ia merupakan salah satu
pakar ilmu bahasa dan kesusastraan Arab. Karya-karyanya dalam bahasa
dan kesusastraan Arab, antara lain tentang nahwu, balagah, dan arud.
Beberapa karya tulisnya adalah Asas al-Balagah (Asas Balagah), alMufrad wa al-Muallaf fi an-Nahwi (Satu dan Kesatuan Sifat dalam
Ilmu Tata Bahasa), dan al-Mustaqim fi Amsal al-Arab (Peribahasa
dalam Bahasa Arab).
Perkembangan kebudayaan pada masa Dinasti Abbasiyah juga
ditunjukkan oleh adanya peninggalan-peninggalan bersejarah.
Peninggalan itu, antara lain berupa istana, masjid, dan bangunan lainnya.
Peninggalan bersejarah itu banyak yang masih dapat disaksikan hingga
saat ini dan menunjukkan betap tingginya peradaban yang telah dicapai
umat Islam pada waktu itu.

Pada masanya, Khalifah Abu Abbas as-Saffah membangun Istana alHasyimiyah. Pembangunan yang lebih fenomenal dilakukan oleh
Khalifah Abu Jafar al-Mansur ketika membangun Kota Bagdad.
Pembangunan kota yang memrlukan perencanaan yang matang itu telah
menunjukkan tingginya kemampuan para ahli bangunan pada masa itu.
Selain itu, pada masa Dinasti Abbasiyah banyak dibangun masjid
yang berfungsi sebagai pusat kegiatan umat Islam. Berdasarkan bentuk
dan corak seninya, perkembangan masjid terbagi dalam tiga periode,
yaitu periode permulaan, periode pertengahan, dan periode modern.
Bentuk dan corak seni masjid yang dibangun pada masa Dinasti
Abbasiyah termasuk dalam periode permulaan. Pada masa Dinasti
Abbasiyah, selain sebagai tempat salat, masjid juga menjadi tempat
berkumpulnya para ulama dan ilmuwan yang mendiskusikan berbagai
macam ilmu pengetahuan. Beberapa masjid yang dibangun pada masa
Dinasti Abbasiyah adalah
1. Masjid al-Mansur, dibangun oleh Khalifah Abu Jafar al-Mansur;
2. Masjid Raya ar-Risyafah, dibangun oleh Khalifah al-Mahdi;
3. Masjid Jami Qasr al-Khilafah, dibangun oleh Khalifah al-Muktafi;
4. Masjid Qatiah Umm Jafar, dibangun oleh Khalifah al-Muktafi;
5. Masjid Kufah;
6. Masjid Raya Samarra, dibangun oleh Khalifah al-Mutawakkil;
7. Masjid Agung Isfahan, dibangun oleh Sultan Maliksyah;
8. Masjid Talkhatan Baba di Merv;
9. Masjid Alauddin Kaikobad di Nedge.

2.3 Kemajuan Politik dan Militer


Perkembangan politik dan militer Dinasti Abbasiyah terbagi dalam
lima periode. Dalam setiap periode terjadi perubahan pemegang
kekuasaan, sistem pemerintahan, dan kebijaksanaan militer. Pembahasan
berikut ini akan mengemukakan perkembangan politik dan militer
Dinasti Abbasiyah pada setiap periode tersebut.
1. Periode Pertama
Periode ini disebut juga periode pengaruh Persia pertama. Hal itu
disebabkan pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada periode ini
dipengaruhi dengan sangat kuat oleh sebuah keluarga dari bangsa
Persia, yaitu keluarga Barmak. Pendiri keluarga Barmak, yaitu Khalid
bin Barmak, adalah orang yang ikut berjasa dalam usaha militer
Dinasti Abbasiyah ketika menumbangkan Dinasti Umayyah. Pada

masa Khalifah Abu Jafar al-Mansur, Khalid bin Barmak diangkat


sebagai wazir. Keluarga Barmak selanjutnya memiliki pengaruh dan
peranan yang sangat penting dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah
hingga masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Usaha militer merupakan usaha yang terus-menerus dilakukan
oleh para khalifah Dinasti Abbasiyah sejak yang pertama hingga
khalifah terakhir. Tegaknya pemerintahan dan negara bisa terwujud
dengan dukungan bala tentara dan sistem kemiliteran yang kuat.
Usaha mendirikan kekhalifahan Dinasti Abbasiyah melalui gerakan
militer merupakan usaha militer pertama dari dinasti tersebut. Setelah
itu, usaha militer dilakukan dalam mempertahankan keutuhan negara
dari ancaman pemberontakan dan serangan kerajaan lain.
Khalifah Abu Abbas as-Saffah melakukan usaha militer dengan
menghancurkan sisa-sisa kekuatan Dinasti Umayyah. Paman Khalifah
Abu Abbas as-Saffah yang bernama Abdullah bin Ali mengatur
dengan segala cara untuk melenyapkan semua keluarga dan pengikut
Dinasti Umayyah. Keberanian dan kekejaman dalam rangkaian
peperangan pada zamannya membuat Abu Abbas mendapat gelar asSaffah, yang berarti si Haus Darah.
Khalifah Abu Abbas as-Saffah meninggal pada tahun 754 M dan
digantikan oleh saudaranya, Abu Jafar al-Mansur. Ia mampu
mengonsolidasikan kekuatan pendukung Dinasti Abbasiyah dan
bersikap tegas terhadap siapa pun yang membahayakan kelangsungan
Dinasti Abbasiyah.
Sikap itu ia tunjukkan kepada Abdullah bin Ali, pamannya yang
diangkat sebagai Gubernur Suriah oleh Abu Abbas as-Saffah.
Abdullah bin Ali pernah mendapat janji dari Khalifah Abu Abbas asSaffah bahwa ia akan diangkat sebagai penggantinya kelak. Naiknya
Abu Jafar al-Mansur sebagai khalifah membuatnya kecewa.
Abdullah bin Ali kemudian memberontak. Abu Jafar al-Mansur
kemudian mengirimkan Abu Muslim al-Khurasani untuk menumpas
pemberontakan itu. Dalam pertempuran yang terjadi di dekat Nasibin,
pasukan Abdullah bin Ali berhasil dihancurkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Abu Muslim al-Khurasani
dianggap Khalifah Abu Jafar al-Mansur sangat membahayakan
kedudukannya secara politis. Hal itu disebabkan Abu Muslim alKhurasani mempunyai pendukung yang sangat besar di Khurasan.

Khalifah Abu Jafar al-Mansur berencana untuk memindahkannya


sebagai gubernur di Suriah. Akan tetapi, Abu Muslim al-Khurasani
menolak karena merasa bahwa Khurasan adalah negerinya. Karena
penolakan itu, Abu Muslim al-Khurasani dijatuhi hukuman mati pada
tahun 755 M. Para pengikut Abu Muslim al-Khurasani kemudian
memberontak, tetapi dapat dipadamkan oleh Khalifah Abu Jafar alMansur.
Pada tahun 758 M, kaum Rawandiyah memberontak. Setelah
pemberontakan itu dapat dipadamkan, muncullah pemberontakan
Muhammad dan Ibrahim. Khalifah Abu Jafar al-Mansur kemudian
bersikap keras terhadap mereka yang akhirnya memunculkan
pemberontakan ini. Tentara Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Isa
bin Mahan berhasil menghancurkan mereka.
Tidak lama kemudian, kaum Khajar dan kaum Kurdi
memberontak di Mesopotamia. Untuk mengatasinya, Khalid bin
Barmak diangkat sebagai gubernur di sana. Ia berhasil mengendalikan
pemerintaham. Sementara itu, kaum Khawarij di Afrika Utara juga
memberontak. Untuk mengatasi hal itu, Khalifah Abu Jafar alMansur mengangkat Aglab sebagai gubernur di sana pada tahun 765
M. Ia berhasil mengatasi pemberontakan itu. Selain itu, Khalifah Abu
Jafa al-Mansur berusaha merebut kembali Spanyol dari tangan
Abdurrahman ad-Dakhil. Akan tetapi, usahanya ini gagal.
Selain mengatasi pemberontakan dalam negeri, Khalifah Abu
Jafar al-Mansur juga berperang melawan Bizantium. Pada tahun 759
M, Khalifah Abu Jafar al-Mansur memimpin langsung sebuah
ekspedisi ke Tabaristan.
Abu Jafar al-mansur digantikan oleh anaknya, al-Mahdi. Khalifah
al-Mahdi berbeda dari ayahnya. Ia menghadapi lawan politiknya
dengan cara yang lebih lembut. Ia membebaskan lawan politik yang
dipenjarakan oleh ayahnya. Di antaranya adalah Hasan, anak Ibrahim.
Ia juga mengembalikan hak-hak istimewa Kota-Kota Suci yang
dicabut oleh ayahnya. Harta para keturunan Nabi dan Ali bin Abi
Talib yang dirampas juga dikembalikan lagi.
Pada masa Khalifah al-Mahdi, muncul seorang penipu yang
bernama Hisyam bin Hakim. Ia mengaku sebagai Nabi yang
Berkerudung. Hisyam bin Hakim adalah seorang laki-laki bertubuh
kecil yang berwajah jelek. Ia menyembunyikan wajah jeleknya di

balik sebuah topeng yang selalu dipakainya. Oleh karena itu, ia


mendapat julukan al-Muqanna. Ia berhasil memperoleh banyak
pengikut dan menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Akhirnya,
ia berhasil dikalahkan dan dibunuh.
Setelah itu, seorang syaikh bernama Ibnu Abdul Quddus
mendakwahkan ajaran-ajaran yang merupakan Zoroasterianisme yang
terselubung. Para pengikutnya disebuk kaum Zindik. Khalifah alMahdi menganggap mereka telah merusak kebiasaan masyarakat dan
keyakinan agama. Mereka akhirnya ditumpas habis.
Peperangan dengan Bizantium berkobar lagi ketika mereka
menyerang wilayah-wilayah provinsi perbatasan. Khalifah al-Mahdi
mengirimkan Ibnu Kahtaba. Ia berhasil memukul mundur tentara
Bizantium. Setelah itu, Khalifah al-Mahdi berangkat ke Mosul untuk
memerangi orang-orang Romawi. Tentara Romawi berhasil
dihancurkan. Ratu Bizantium yang bernama Irene, janda Raja Leo IV,
meminta perdamaian dan bersedia membayar upeti tahunan kepada
kaum muslimin.
Khalifah al-Mahdi digantikan oleh al-Hadi. Masa
pemerintahannya sangat singkat, hanya sekitar satu tahun. Pada masa
itu, terjadi pemberontakan keturunan Ali yang hebat. Seorang
keturunan Ali yang bernama Idris, saudara Muhammad dan Ibrahim,
melarikan diri ke Magrib (Maroko) dan menetap di Kota Fez. Ia
kemudian berhasil mendirikan Dinasti Idirisiah yang bertahan selama
hampir dua abad. Wilayahnya meiputi bagian utara Afrika yang
sekarang termasuk wilayah Maroko dan Aljazair. Pada tahun 786 M,
Khalifah al-Mahdi meninggal karena serangan penyakit.
Takhta khalifah selanjutnya diduduki oleh Harun ar-Rasyid. Ia
merupakan khalifah terbesar dalam sejarah Dinasti Abbasiyah.
Namanya melegenda dalam kisah Seribu Satu Malam. Kebesaran
Harun ar-Rasyid disepadankan dengan Charlemagne (Karel Agung),
Raja Franka yang kemudian menjadi Kaisar Romawi. Dua raja besar
ini menjalin hubungan diplomatik. Mereka bersekutu untuk
menghadapi Dinasti Umayyah di Spanyol dan Byzantium. Selain itu,
Harun ar-Rasyid juga menjadil hubungan dengan raja-raja Cina.
Pada masa awal pemerintahannya, kaum Khawarij kembali
memberontak. Ibrahim bin Aglab kemudian diangkat menjadi
gubernur di sana. Ia berhasil memulihkan keamanan dan ketentraman.

Ia juga berhasil mengirimkan 40.000 dinar tiap tahun ke Bagdad.


Khalifah Harun ar-Rasyid kemudian memberikan jabatan Gubernur
Afrika Utara kepada Ibrahim dan anak keturunannya. Mereka itu
dikenal sebagai Dinasti Aglabiah.
Di Armenia, orang Khazan memberontak. Mereka dibantu oleh
orang-orang Yunani, Khalifah Harunar-Rasyid segera bertindak cepat
dan berhasil menumpas mereka. Pada tahun 787 M, kaum muslimin
berhasil menguasai Kabul dan Sanjar. Setelah itu, wilayah-wilayah
perbatasan kembali diserbu dan dikacau oleh tentara Byzantium.
Ketika itu, Byzantium dipimpin oleh Irene. Pada tahun 802 M, Irene
dibunuh oleh panglimanya sendiri, seorang perwira Romawi yang
bernama Nicheporus. Nicheporus selanjutnya menguasai takhta
Byzantium. Melihat adanya perpecahan di kalangan penguasa
Byzantium tersebut, Khalifah Harun ar-Rasyid segera menyerang
Byzantium. Ia berhasil menyerang Heraclea dan Tyana pada tahun
806 M.
Masa Khalifah Harun ar-Rasyid juga ditandai dengan jatuhnya
kekuasaan Barmak. Keberhasilan merreka dalam mendukung
pemerintaha khalifah-khalifah sebelumnya telah membuat merek
menjadi keluarga yang kaya raya. Merreka membangun tempat
tinggal dan istana yang megah. Kemegahannya hanya kalah oleh
istana khalifah. Demikian pula kemasyhuran mereka. Hanya para
khalifahlah yang lebih masyhur dan terkenal daripada mereka. Hal itu
membuat banyak bangsawan Arab di istana Dinasti Abbasiyah
menjadi iri. Pemimpin bangsawan Arab yang bernama Fazal bin Rabi
memberi laporan kepada khalifah bahwa keluarga Bamak
mengadakan gerakan rahasia untuk menghancurkan Dinasti
Abbasiyah. Mendengar laporan itu, Khalifah Harun ar-Rasyid marah.
Ia menghukum seluruh anggota keluarga Barmak.
Khalifah Harun ar-asyid meninggal pada tahun 809 M. Ia
digantikan oleh putranya, al-Amin. Atas permintaan Ratu Zubaidah
dan saudaranya, Isa bin Kafa, ketiga putra mereka akan diangkat
sebagai khalifah berturut-turut. Mereka adalah al-Amin, al-Mamun,
dan Qasim. Tidak berapa lama kemudian, kedua bersaudara, yaitu alAmin dan al-Mamun, terlibat dalam perang saudara karena
memperebutkan takhta kekhalifahan. Perebutan takhta itu akibat
persaingan yang sengit dan kecemburuan antara bangsawan Arab dan

bangsawan Persia di Istana Bagdad. Golongan bangsawan Arab


mendukung al-Amin, sedangkan golongan bangsawan Persia
mendukung al-Mamun. Keadaan itu memaksa al-Mamun segera
membuat basis pertahanan yang kuat di Khurasan. Al-Amin
kemudian mengirimkan 50.000 orang tentara yang dipimpin Ali bin
Isa. Al-Mamun kemudian mengirimkan Tahir bin Husain dan 40.000
tentara untuk menghadapi tentara al-Amin tersebut. Dengan gemilang,
Tahir bin Husain mampu mengalahkan Ali bin Isa dalam sebuah
pertempuran di dekat Ray pada tahun 811 M. Tidak lama kemudian,
jenderal-jenderal al-Mamun berhasil mengalahkan tentara al-Amin.
Mereka kemudian mengepung Bagdad. Pada tahun 813 M, pasukan
al-Mamun berhasil menguasai Bagdad, sedangkan al-Amin terbunuh
dalam peristiwa itu. Secara politis, kemenangan al-Mamun atas alAmin bisa diartikan sebagai dominasi bangsa Persia atas bangsa Arab.
Setelah al-Mamun naik takhta, enam tahun pertamanya ia
gunakan untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan di Merv,
Khurasan. Ia tidak segeraa menduduki takhta di Bagdad. Hal itu
dilakukannya dengan tujuan
a. Mendinginkan perasaan dan reaksi penduduk ibu kota atas
meninggalnya al-Amin;
b. Menjajaki kekuatan pendukung al-Amin dalam lingkungan
keluarga Dinasti Abbasiyah.
Selama masa itu, pemerintahan diserahkan kepada Fazal bin
Sahal. Pada masa awal pemerintahannya, Fazal bin Sahal menghadapi
pemberontakan Nasar bin Sabah. Ia seorang pengikut al-Amin yang
setia. Pemberontakan ini segera dapat dipadamkan. Setelah itu, Fazal
bin Sahal menghadapi pemberontakan orang-orang Badui di Irak serta
orang-orang Syiah yang selalu memperjuangkan haknya atas
kekhalifahan.
Di lain pihak, selama pengasingannya di Merv, Khalifah alMamun justru terkena pengaruh Syiah. Ia bahkan berniat
mewariskan kekhalifahannya kepada Imam Ali Reza. Namun, Imam
Ali Reza terlebih dahulu meninggal sehingga perpindahan kekuasaan
itu tidak terlaksana.
Pada tahun 819 M, Khalifah al-Mamun memegang sendiri
pemerintahan. Ia kemudian memercayakan pemerintahan Kota-Kota
Suci kepada seorang keturunan Ali. Kufah dan Basrah diserahkan

kepada dua orang saudara khalifah. Tahir bin Husain diangkat


menjadi Gubernur Khurasan. Anak Tahir bin Husain yang bernama
Abdullah dipercayai memegang jabatan gubernur di Mesir dan Suriah.
Pada tahun 826 M, Khalifah al-Mamun menikah dengan
Khadijah Buran, anak Hasan bin Sahal. Khadijah Buran pada masa
selanjutnya memberi pengaruh yang besar dalam berbagai kebijakan
khalifah. Sementara itu, kaum Khawarij memberontak di Khurasan.
Tahir bin Husain berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Ia dan
keturunannya kemudian memerintah di Khurasan secara turuntemurun sehingga terkenal sebagai Dinasti Tahiriyah. Selain itu,
Khalifah al-Mamun juga terlibat peperangan dengan bangsa
Romawi. Ia mendirikan beberapa benteng sebagai pertahanan militer
di Tayanna, Asia Kecil.
Setelah Khalifah al-Mamun meninggal pada tahun 833 M, takhta
diduduki oleh al-Mutasim, saudara Khalifah al-Mamun. Sama
halnya dengan Khalifah al-Mamun, Khalifah al-Mutasim juga
menganut paham Muktazilah. Keputusannya yang paling penting
adalah merekrut orang-orang Turki sebagai tentara yang dibayar
secara profesional. Tentara Turki ini dibentuk untuk mengimbangi
kekuatan pengawal pribadi khalifah yang tuntutannya tidak bisa
dipenuhi oleh khalifah.
Namun, dalam perkembangannya, tentara Turki tersebut makin
mendominasi pemerintahan. Bahkan, mereka ikut mencampuri
pengangkatan raja-raja dan gubernur di wilayah Dinasti Abbasiyah,
khalifah al-Mutasim kemudian berusaha menghilangkan dominasi
tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibu kota ke Samarra. Di
sana, ia mendirikan istana dan barak-barak bagi 250.000 tentara.
Sebagian kota itu diberikannya kepada kepala-kepala suku Turki.
Khalifah al-Mutasim kemudian menghadapi pemberontakan
kaum Zatt. Kaum Zatt adalah orang-orang yang bermigrasi ke Persia
beberapa abad sebelumnya. Mereka bermukim di pinggir Sungai
Tigris dan Eufrat. Mereka merampok kafilah-kafilah dagang,
menyerang pemukiman, dan memungut bea atas kapal-kapal yang
melewati daerah mereka. Akibatnya, pasokan barang ke Bagdad
terputus.
Khalifah al-Mutasim menumpas pemberontakan itu dengan
tegas. Mereka dipaksa pindah ke perbatasan Cilicia. Beberapa

kelompok dari mereka menyebrang ke Eropa dan sebagian yang lain


pergi mengembara. Pada tahun 839 M, seorang pangeran dari
Tabaristan yang bernama Maizar memberontak, tapi segera dapat
ditumpas.
Khalifah al-Mutasim digantikan oleh Khalifah al-Wasiq. Ia
merupakan khalifah terakhir pada periode pertama. Kebijakannya
yang paling menentukan adalah dengan mengangkat seorang perwira
Turki bernama Asyans sebagai wakilnya. Hal itu sangat
menguntungkan posisi orang-orang Turki dan merugikan posisi
orang-orang Arab. Pada masa itu, terjadi pemberontakan orang suci
yang bernama Ahmad bin Nasr di Bagdad. Ia menentang penindasan
penguasa Dinasti Abbasiyah terhadap kaum non-Muktazilah. Ahmad
bin Nasr berhasil ditangkap, diadili dengan tuduhan melakukan bidah,
dan dihukum mati.
2. Periode Kedua
Periode ini merupakan periode pengaruh Turki yang pertama.
Para perwira militer Turki betul-betul mendominasi pemerintahan
Dinasti Abbasiyah. Figur khalifah hanya menjadi simbol di Istana
Bagdad. Orang-orang Turki itu berbuat sekehendaknya dan bahkan
ikut campur tangan dalam penggantian khalifah. Mulai periode ini
hingga periode keempat, peran politik khalifah bisa dikatakan hilang.
Mereka hanya menjadi simbol keagaaman bagi pejabat negara dengan
memberi legitimasi keagamaan bagi setiap kebijakan yang diambil
oleh mereka.
Setelah Khalifah al-Wasiq meninggal, ia digantikan oleh alMutawakkil. Khalifah al-Mutawakkil memerintah selama lima belas
tahun. Masa pemerintahannya menjadi awal kemunduran Dinasti
Abbasiyah. Ia tidak lagi menggunakan teologi Muktazilah. Imam
Ahmad bin Hambal pun dibebaskan. Sejumlah pembesar dan pemuka
kaum Muktazilah meninggal di tangannya. Khalifah al-Mutawakkil
juga tidak begitu toleran terhadap keturunan Ali. Kebun Fedak milik
keluarga Nabi, yang pernah disita oleh Khalifah Marwan dan
dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, disita kembali oleh
Khalifah al-Mutawakkil.
Ditengah ketidakstabilan pemerintahan Dinasti Abbasiyah,
Bizantium menyerang provinsi muslim di Sisilia, Asia Kecil dan
merebut Dimyat di Mesir. Rakyat banyak yang tidak puas. Hal itu

menimbulkan banyak kekacauan. Pasukan pengawal Turki


mengambil keuntungan dari situasi itu dan mencoba mengambil alih
kekuasaan. Kalifah al-Mutawakkil berusaha menghindari pasukan
Turki tersebut dengan memindahkan ibu kota ke Damaskus. Akan
tetapi, pasukan pengawal Turki tersebut malah membunuhnya.
Khalifah berikutnya adalah al-Muntasir. Namun, ia meninggal
ketika baru memerintah selama 6 bulan. Ia digantikan oleh alMustain. Karena perseteruannya dengan pengawal Turkinya,
Khalifah al-Mustain melarikan diri ke Bagdad.
Para pengawal Turki itu kemudian mengangkat al-Mutas, anak
al-Mutawakkil sebagai khalifah. Setelah memerintah selama tiga
tahun, Khalifah al-Mutas dipaksa turun oleh al-Muhtadi. Khalifah alMuhtadi berusaha mengembalikan kekuasaan khalifah. Hal itu segera
membuatnya bentrok dengan pasukan pengawal Turki. Ia
dipenjarakan hingga meninggal. Khalifah kemudian dijabat oleh alMutamid, anak sulung al-Mutawkkil yang masih hidup. Ia
memerintah selama 12 tahun. Setelah itu, takhta kekhalifahan
dipegang oleh al-Mutadid. Ia seorang pemberani yang memerintah
selama 12 tahun. Usaha militernya ditantai dengan keberhasilannya
merebut Mesir dari tangan bangsa Romawi.
Khalifah al-Mutadid meninggal pada tahun 902 M dan digantikan
oleh anaknya, al-Muktafi. Ia seorang penguasa yang bijaksana dan
adil. Ia meninggal setelah memerintah selama 5 tahun. Ia digantikan
oleh al-Muktadir yang menduduki takhta selama 25 tahun. Ia
memiliki seorang menteri yang saleh dan cakap bernama Ibnu Furat.
Menjelang akhir masa kekuasaannya, pemegang kendali
pemerintahan yang sebenarnya adalah ibunya. Ia seorang wanita yang
berwatak mulia dan mempunyai kecakapan yang mengagumkan.
Setelah kematian Khalifah al-Muktadir takhta khalifah dipegang Abu
Mansur. Ia adalah anak al-Mutadid yang lain dan bergelar al-Qahir.
Ia seorang yang kejam. Oleh karena itu, ia dibenci oleh orang-orang
Turki. Ia segera diturunkan dari takhta dan digantikan oleh ar-Radi,
anak al-Muktadi. Pada masa pemerintahannya, Muhammad bin
Raikam, Gubernur Wasit dan Basra merebut kekhalifahan. Akan
tetapi, ia digulingkan oleh Jenderal Turki yang bernama Balkam.
Khalifah ar-Radi kemudian digantikan oleh al-Muttaqi. Akan
tetapi, ia hanya merupakan boneka dari seorang jenderal Turki yang

bernama Tuzun. Pada masa pemerintahannya, orang-orang Yunani


menyerang Edessa dan membunuh kaum muslimin.
3. Periode Ketiga
Periode ini merupakan periode pengaruh Persia kedua. Setelah
Khalifah al-Muttaqi meninggal, Tuzun mengangkat al-Muktafi pada
tahun 944 M sebagai khalifah. Pada masa Khalifah al-Muktafi ini
terjadi perubahan politik yang penting. Di masa itu, muncul penguasa
baru dari daerah Dailam, yaitu Dinasti Buwaihiyah. Untuk
mengurangi dominasi para pengawal Turki, Khalifah al-Muktafi
mengundang Dinasti Buwaihiyah ke Bagdad. Ia menginginkan agar
para pengawal Turki tersebut disingkirkan. Pada tahun 945 M,
Ahmad bin Buwaih datang ke Bagdad dengan tentara yang besa.
Tentara-tentara Turki itu diusir dari Istana Bagdad. Ahmad bin
Buwaih kemudian diangkat sebagai amr al-umar oleh khalifah.
Pemegang kekuasaan yang sebenarnya pun pindah ke tangan Dinasti
Buwaihiyah.
Namun, keadaan khalifah tetap tidak lebih baik. Khalifah alMuktafi memerintah selama dua tahun hingga tahun 945 M. Ia
digantikan oleh al-Muti. Khalifah al-Muti memerintah hingga tahun
947 M. Ia digantikan oleh at-Tai yang menduduki takhta khalifah
hingga tahun 991 M. Ia tak disukai oleh penguasa Dinasti Buwaihiyah
dan diturunkan dari takhta. Ia digantikan oleh al-Qadir. Khalifah alQadir termasyhur karena kesalehannya serta kemuliaan akhlaknya.
Al-Qadir digantikan oleh anaknya, Abu Jafa Abdullah yang bergelar
al-Qaim. Pada masa khalifah-khalifah dalam periode ini, kondisi
politik sering tidak stabil. Hal itu disebabkan adanya perebutan
jabatan amr al-umar di antara para penguasa Dinasti Buwaihiyah.
Pada masa itu, para khalifah bahkan kehilangan legitimasi
keagamaannya. Posisi mereka sebagai khatib salat Jumat diserahkan
kepada orang-orang Dinasti Buwaihiyah. Hal itu disebabkan, Dinasti
Buwaihiyah menganut aliran Syiah, sedangkan Dinasti Abbasiyah
menganut aliran Suni.
4. Periode Keempat
Khalifah al-Qaim mengawali pemerintahan Dinasti Abbasiyah
pada periode ini. Periode ini disebut periode pengaruh Turki kedua.
Masuknya pengaruh Turki ini dimulai pada masa Khalifah al-Qaim
yang tidak menyukai dominasi Dinasti Buwaihiyah. Khalifah al-

Qaim ingin melepaskan diri dari pengaruh Dinasti Buwaihiyah. Pada


tahun 1055 M, terjadi kekacauan yang disebabkan oleh pertikaian
internal Dinasti Buwaihiyah di Bagdad. Khalifah al-Qaim kemudian
meminta bantuan Tugrul Bek, pemimpin Dinasti Seljuk untuk
mengusir Dinasti Buwaihiyah dari istananya. Dinasti Seljuk kemudian
mengembalikan kekuasaan khalifah di bidang keagamaan. Khalifah
kembali mengisi khotbah dalam salat Jumat di Bagdad. Jabatan amr
al-umar juga diberikan kepada Tugrul Bek. Untuk mempererat
hubungan antara Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti Seljuk, Khalifah
al-Qaim menikahkan seorang putrinya dengan Tugrul Bek.
Khalifah al-Qaim meninggal pada tahun 1075 M. Ia digantikan
oleh cucunya, Abu Qasim Abdullah yang bergelar al-Muqtadi.
Khalifah al-Muqtadi berkuasa selama 19 tahun hingga 1094 M. Ia
kemudian diganti oleh anaknya, Abu Abbas Ahmad yang bergelar alMustazir. Khalifah al-Mustazir memberikan toleransi yang besar
kepada pemeluk agama lain. Ia menduduki takhta selama 25 tahun
dan kemudian digantikan oleh anaknya, Abu Mansur yang bergelar
al-Mustarsid. Dalam masa pemerintahannya, Khalifah al-Mustarsid
terlibat perseteruan dengan Masud, saudara Sultan Mahmud dari
Dinasti Seljuk. Akibatnya, ia dibunuh pada tahun 1135 M. Ia
digantikan oleh anaknya, ar-Rasyid yang memerintah hanya selama
beberapa bulan, khalifah ar-Rasyid diberhentikan oleh penguasa
Dinasti Seljuk dan digantikan oleh Abu Abdullah, anak al-Mustazir
yang bergelar al-Muqtafi. Khalifah al-Muqtafi berhasil memulihkan
situasi kacau yang terjadi di bebrapa wilayah provinsinya.
Khalifah al-Muqtafi digantikan oleh anaknya, Abu Muzaffa Yusuf
yang bergelar al-Mustanjid. Ia berusaha menegakkan aturan-aturan
keagamaan dengan tegas. Khalifah al-Mustanjid meninggal pada
tahun 1170 M dan digantikan oleh anaknya Abu Muhammad Hasan
yang bergelar al-Mustadi. Khalifah al-Mustadi berhasil kembali
menegakkan kekuasaannya atas Irak, Mesopotamia, Fars, Syiraz, dan
provinsi-provinsi Delta. Ia berkuasa selama 10 tahun hingga tahun
1180 M. Ia digantikan oleh anaknya, an-Nasir. Khalifah an-nasir
berhasil membentuk tentara yang kuat. Pada masa pemerintahannya
ini pula Dinasti Seljuk mengalami kehancuran. Mereka dihancurkan
oleh Khawarizm Syah pada tahun 1195 M. Setelah itu, para khalifah
Dinasti Abbasiyah memiliki kekuasaan penuh dalam bidang politik

dan keagamaan. Hanya, wilayah kekuasaannya tidak sebesar pada


masa sebelumnya, yakni hanya meliputi wilayah Irak dan sekitarnya.
5. Periode Kelima
Khalifah an-Nasir bisa dianggap sebagai khalifah yang berhasil.
Pemerintahannya berlangsung selama 45 tahun. Apalagi, dengan
hancurnya Dinasti Seljuk pemerintahannya menjadi makin megah dan
semarak, ia kemudian digantikan oleh anaknya, az-Zahir. Namun,
Khalifah az-Zahir hanya memerintah selama satu tahun. Ia digantikan
oleh anaknya, Abu Jafar al-mansur yang bergelar al-Mustansir. AlMustansir adalah seorang khalifah yang berani dan penguasa yang
adil. Ia mampu memelihara kekuatan dan kebesaran kekhalifahan. Ia
memerintah selama 16 tahun hingga 1242 M. Ia digantikan oleh
anaknya, Abu Ahmad Abdullah dengan gelar al-Mustasim. Khalifah
al-Mustasim merupakan khalifah yang lemah. Berbeda dengan
ayahnya, ia lebih suka bersenang-senang. Akibatnya,
pemerintahannya selalu dalam keadaan kacau dan keluarganya
menjadi hancur pula.
Kehancuran Dinasti Abbasiyah datang seiring dengan serangan
Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Kota Bagdad dan berbagai
peninggalan bersejarah dihancurkan. Khalifah al-Mustasim dan
keluarganya dibunuh. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan
Dinasti Abbasiyah. Kekuatan politik dan militernya yang begitu
unggul pada masa sebelumnya lenyap saat itu juga. Setelah itu,
Bagdad dan wilayah Islam lainnya jatuh dalam kekuasaan bangsa
Mongol.

2.4 Kejayaan Peradaban Islam dan Pengaruhnya ke


Peradaban Barat
1. Sebab-Sebab dan Proses Pertumbuhan Peradaban
Islam
Proses pertumbuhan peradaban Islam terjadi karena adanya dua
sebab besar. Kedua hal tersebut meliputi sebab dari dalam dan sebab
dari luar ajaran Islam.
a. Sebab dari Dalam Ajaran Islam
Ajaran Islam itu bersumber dari Al-Quran dan as-sunnah. Hal
itu mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga menarik orangorang yang membacanya. Tidak jarang, banyak orang yang

semula mempelajari Al-Quran dan as-sunnah utuk mencari


kelemahan umat Islam, justru tertarik menjadi pemeluk Islam
yang taat.
b. Sebab dari Luar Ajaran Islam
Kehidupan dalam sejarah umat Islam banyak dijiwai oleh nilainilai ajaran Islam. Hal tersebut menjadi salah satu sebab
perkembangan peradaban Islam.secara garis besar, sebab-sebab
tersebut dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu semangat
Islam; perkembangan organisasi Negara; perkembangan ilmu
pengetahuan; perluasan daerah Islam.
1) Semangat Islam
Semangat Islam dari kaum muslimin sangat besar
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan
peradaban Islam. Semangat ini telah ditanamkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya dari zaman awal perkembangan
Islam sampai zaman kejayaan. Semangat ini bersumber dari alQuran yang menjadi dasar dalam membentuk kebudayaan
Islam.
2) Perkembangan Organisasi Negara
Perkembangan ini disesuaikan dengan kebutuhan umat yang
semakin kompleks. Berdasarkan hal tersebut, dibuatlah sebuah
rancangan organisasi dari tingkat yang rendah sampai jabatan
dan fungsi-fungsi khusus, seperti departemen politik, ekonomi,
keuangan, keamanan, sekretaris negara, presiden, parlemen,
dan sebagainya.
3) Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pada zaman Rasulullah, para sahabat berlomba-lomba
menuntut ilmu di tempat yang jauh sehingga dengan cepat
lahirlah berbagai kalangan ahli dalam bidang ilmu
pengetahuan. Para tawanan perang pun dapat dibebaskan
apabilaa bisa mengajar dan menulis.
Gerakan ilmu pengetahuan mula-mula melalui bahasa Arab
sebagai bahasa pemersatu. Gerakan filsafat pun dimulai
sehingga lahir ilmu-ilmu yang lain, seperti logika, kimia,
filsafat, dan kedokteran. Para ilmuwan dan ulama bebas
mempelajari dan meluaskam ilmu pengetahuan. Mereka diberi
berbagai fasilitas oleh khalifah, bahkan diberi kebebasan keluar

masuk istana untuk menggali dan berdiskusi mengenai berbagai


ilmu pengetahuan.
4) Perluasan Daerah Islam
Ketinggian kebudayaan Islam juga didorong oleh adanya
gerakan memperluas daerah kekuasaan Islam. Pada zaman
Rasulullah, ketika daerah Islam baru meliputi Saudi Arabia,
kebudayaan Islam baru mempunyai corak satu bangsa, yaitu
bangsa Arab. Namun, setelah zaman Khulafaurrasyidin, lalu
zaman Muawiyyah, dan akhirnya masa Abbasiyah, bangsabangsa yang bernaung di bawah kekuasaan Islam menjadi
berpuluh-puluh suku bangsa dan memiliki corak kebudayaan
yang berbeda. Oleh karena itu, corak kebudayaan yang muncul
meliputi berbagai jenis, sesuai dengan corak kebudayaan
bangsa-bangsa yang dikuasai. Namun, semuanya dapat
dipadukan dalam satu payun kebudayaan, yaitu kebudayaan
Islam.
Pada zaman Muawiyyah, daerah Islam membujur dari India
dan perbatasan Tiongkok di sebelah timur sampai ke Spanyol
dan Afrika Utara di sebelah barat, dari pulau-pulau Cyprus di
Rodhus serta negeri-negeri sekitar laut Kaspia di sebelah utara,
sampai Lautan Hindia di sebelah selatan.
Untuk mengatur keamanan, dibentuk kepolisian yang kuat,
baik polisi darat maupun polisi lautan. Derah Hijaz yang kering
dihijaukan agar penduduknya tidak selalu mengharapkan belas
kasihan dari pendatang-pendatang yang menunaikan haji.
Segala mata uang asing disatukan menjadi mata uang Islam
yang dicetak sendiri. Arsitektur disebarkan di berbagai kota
besar untuk membangun masjid, asrama, pabrik-pabrik tenun,
alat-alat rumah tangga, dan lainnya. Usaha mengembangkan
kebudayaan Islam sejak zaman daulat Bani Umayyah
disempurnakan oleh Bani Abbasiyah sampai mencapai puncak
kejayaannya. Kebesaran kebudayaan Islam itu telah menyinari
seluruh daerah kekuasaan Islam, dari India sampai ke Spanyol
di Eropa.

2. Bentuk-Bentuk Peradaban Islam dan Tokoh-tokohnya


Bentuk-bentuk peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah, dapat
dibagi menjadi beberapa bentuk, yakni kota-kota pusat peradaban

Islam, bangunan-bangunan, penemuan-penemuan, dan tokohtokohnya.


a. Kota-Kota Pusat Peradaban
Di antara kota pusat peradaban Bani Umayyah yang terkenal
adalah Bagdad. Kota ini merupakan kota yang paling indah yang
pembangunannya dikerjakan oleh lebih dari 100.000 pekerja.
Proyek ini dipimpin oleh Hajaj bin Arhal dan Amran bin Wazzah.
Di sana terdapat istana di pusat kota, asrama pengawal, rumah
kepala polisi, dan rumah-rumah keluarga khalifah. Istana yang
disebut Qaruzzabad ini seluas 160.000 hasta persegi, dibuat
sangat indah. Pada bangunan itu terdapat empat jalan utama ke
luar kota. Di kiri-kanan jalan itu dibuat gedung-gedung bertingkat.
Di luar Kota Bagdad dibangun kota-kota satelit, yaitu Rushafah
dan Karakh. Kedua kota ini dilengkapi dengan kantor, toko-toko,
rumah-rumah, taman-taman, kolam, dan bangunan lainnya.
Dengan demikian, Bagdad seolah menjadi kota kerinduan seluruh
dunia.
Kota lainnya adalah Samarra. Letaknya di sebelah timur Sungai
Tigria, kurang lebih 60 km dari Kota Bagdad. Kotanya nyaman,
indah, dan teratur. Nama Samarra diberikan oleh Khalifah alManshur. Nama tersebut berasal dari kata sarra manraa, artinya
senang memandangnya. Di kota itu terdapat 17 istana cantik
mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota
lain.
b. Bangunan-Bangunan
Bangunan-bangunan yang ada pada masa dinasti ini adalah
sebagai berikut.
1. Madrasah, didirikan pertama kali oleh Nizamul Mulk,
seorang perdana Menteri pada tahun 456-486 H. terdapat di
Kota Bagdad, Balkan, Muro, Tabrisan, Naisabur, Hara,
Isfahan, Mausil, Basrah, dan kota lain.
2. Kuttab, yaitu tempat belajar bagi pelajar tingkat rendah dan
menengah.
3. Masjid, biasanya digunakan untuk tempat belajar tingkat
tinggi dan takhassus.
4. Majelis Munazarah, yaitu tempat pertemuan para pujangga,
ahli fikih, dan para saejana untuk menyeminarkan masalah-

5.

6.
7.
8.
9.

masalah ilmiah. Majelis ini banyak dijumpai di kota-kota


besar.
Darul Hikmah, merupakan perpustakaan pusat, dibangun
oleh Khalifah Harun ar-Rasyid dan diteruskan oleh alMakmun.
Masjid Raya Kordoba, dibangun pada tahun 786 M.
Masjid Ibnu Ttaulon di Kairo, dibangun tahun 876 M.
Istana al-Hamra di Kordoba.
Istana al-Cazar.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
berbagai konflik politik, keagamaan, sosial, dan kebudayaan yang terjadi
selama masa kedinastian Dinasti Abbasiyah. Sejak awal mula dinasti
tersebut didirikan hingga runtuh telah di jabarkan dalam bab
pembahasan di atas. Dengan ini yang penulis harapkan adalah kita
semua dapat meneladani hal-hal positif dari perjuangan tokoh-tokoh
Dinasti Abbasiyah serta kebudayaannya.

3.2 Saran
Setelah menerima dan memahami materi yang telah disajikan,
diharapkan para pembaca dapat mengkaji lebih dalam dengan mencari
sumber dan referensi yang lebih banyak guna mendapatkan kebenaran
yang valid.

DAFTAR PUSTAKA
Darsono, H. & T. Ibrahim, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 2, Solo:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013.

Anda mungkin juga menyukai