1
hidup, yakni jenis pendidikan yang merupakan lanjutan dari
pendidikan formal dan biasanya ditujukan untuk orang dewasa.
Bila dicermati secara seksama Anwar dan Sagala (2004:36)
dapat diketahui bahwa ternyata yang dimaksud dengan pendidikan
formal adalah pendidikan melalui jalur sekolah, sedangkan selebihnya
termasuk pendidikan jalur pendidikan luar sekolah atau non-sekolah
disebut pendidikan jalur nonformal atau informal. Adapun persamaan
antara pendidikan formal dengan pendidikan non-formal antara lain
adalah sebagai berikut: materi pendidikan sengaja diprogram
sebelumnya; keduanya sama-sama memerlukan waktu pembelajaran
secara khusus; keduanya memerlukan evaluasi program, walaupun
mungkin dilakukan di akhir pembelajaran; keduanya dapat
diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta; keduanya
memberikan tanda sertifikat; dan lain-lain.
Pendidikan telah menjadi sebuah kekuatan bangsa ini dengan
taraf keragamannya yang begitu tinggi. Melalui pendidikan
berbangsa, telah tumbuh semangat persatuan yang kokoh menjiwai
segala keragaman sebagai potensi persatuan dan kesatuan bangsa.
Pendidikan yang memahami keragaman ini ternyata telah mampu
menjadi sumber kekuatan, bukannya sebagai sumber masalah.
Pendidikan merupakan landasan utama dalam pengembangan
sumberdaya manusia, yang berlangsung secara formal, nonformal,
dan informal. Dalam arti yang luas menurut Makmun (2003:22)
pendidikan dapat mencakup seluruh proses hidup dan segenap
bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal,
nonformal, maupun informal dalam rangka mewujudkan dirinya
sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya secara optimal
sehingga ia mencapai suatu tarap kedewasaan tertentu. Lembaga-
lembaga pendidikan menuntut adanya manajemen pendidikan yang
modern dan profesional yang mampu mewujudkan peranannya
secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses
belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan
harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan
orang tua/masyarakat.
2
Dalam arti terbatas, menurut Makmun (2003) pendidikan
dapat merupakan salah satu proses interaksi belajar mengajar dalam
bentuk formal yang dikenal sebagai pengajaran (instructional). Gage
and Berliner, antara lain menjelaskan dalam konteks ini guru
berperan, bertugas, dan bertanggungjawab sebagai (1) perencana
(planner) harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan dalam
proses belajar mengajar (pre-teaching problems); (2) pelaksana
(organizer) harus menciptakan situasi, memimpin, merangsang,
menggerakkan, dan mengarah kan kegiatan belajar mengajar sesuai
dengan rencana. Ia bertindak sebagai orang sumber (resource
person), konsultan kepemimpinan (leader) yang bijaksana dalam arti
demokratis dan humanistik (manusiawi) selama proses mengajar
berlangsung (during teaching problems); dan (3) penilai (evaluator)
yang harus mengumpulkan, menganalisis, menafsirkan, dan akhirnya
harus memberikan pertimbangan (judgement) atas tingkat
keberhasilan belajar mengajar berdasarkan kriteria baik mengenai
aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produk (output)-nya.
Tugas guru mengubah perilaku (behavioral changes) peserta didik
menuju pada kedewasaan.
Memasuki abad 21 menurut Makagiansar (1996) pendidikan
akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi (1)
dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar
berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra
hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan
kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik
(akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5)
dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat
teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang
terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi
eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan
memperhatikan pendapat tersebut nampak bahwa pendidikan
dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan
tuntutan yang bersifat kompetitif. Praktek pembelajaran yang terjadi
3
sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak
dijumpai di abad industri.
Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan
pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah
pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar
dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan memegang peranan kunci dalam
pengembangan sumberdaya manusia dari insan yang berkualitas.
Secara umum berbagai hasil penelitian mengungkapkan problematika
pendidikan (1) pelayanan pendidikan belum merata, berkualitas, dan
terjangkau; (2) tingginya jumlah penduduk buta aksara; (3)
rendahnya cakupan layanan pendidikan anak usia dini; (4) rendahnya
partisipasi pendidikan; (5) kesenjangan kemampuan bersekolah
(geografis, sosial, ekonomi, gender); (6) APK SMP/MTs/SMPLB 78,86%
(2003) dan SMA/SMK/MA/MAK mencapai 48,96% (2003); (7) mutu
lulusan yang relatif masih belum kompetitif; (8) ketersediaan dan
mutu guru yang cenderung rendah; (9) pengembangan IPTEKS yang
masih terbatas; dan (10) penguasaan IPTEKS yang belum optimal.
Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-
negara maju. Baik wadah (institusi) maupun isinya masih memerlukan
perhatian ekstra dari pemerintah maupun masyarakat. Namun
pendidikan formal masih merupakan institusi yang paling efektif
untuk menyebarkan gagasan-gagasan inovatif, pembaharuan,
pemberdayaan dan demokrasi, dibandingkan institusi lain.
Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta,
institusi yang mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga
merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang
tumbuh. Guru yang profesional memiliki peran utama dalam sistem
pendidikan nasional khususnya dan kehidupan umumnya.
Penghargaan yang bernilai tinggi dari pemerintah, akan membantu
mewujudkan pendidikan yang diinginkan. Dalam konteks ini seorang
guru yang ideal dapat bertugas dan berperan, antara lain sebagai (1)
konservator (pemelihara) sistem nilai merupakan sumber norma
kedewasaan dan inovator (pengembang) sistem nilai ilmu
pengetahuan; (2) transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut
4
kepada sasaran didik; (3) transformator (penerjemah) sistem-sistem
nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadi dan perilakunya
melalui proses interaksinya dengan sasaran didik; dan (4) organisator
(penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat
dipertanggungjawabkan baik secara formal maupun secara moral.
Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai
dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan
dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin,
profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin,
wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin.
1. Satuan Pendidikan Sebagai Sistem
5
Kualitas yang dimaksud adalah kualitas output satuan pendidikan
yang bersifat akademik dan non akademik. Mutu output satuan
pendidikan dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input dan proses belajar
mengajar.
Gambar 1.
Satuan Pendidikan sebagai Sistem
Kualitas dan Inovasi
Efektifitas
Produktivitas
Efisiensi Internal
Efisiensi Eksternal
6
Analisis biaya manfaat merupakan alat utama untuk mengukur
efisiensi eksternal.
7
Sekolah merupakan institusi profesional dibidang kependidikan,
sebagai organisasi profesional pada lembaga sekolah tidak ada
jabatan struktural yang mengacu pada sistem eselonering. Kepala
sekolah sebagai pimpinan bukan jabatan struktural, tetapi salah satu
anggota profesional kependidikan diberi tugas memimpin dan
melaksanakan sistem administrasi sekolah fokus kegiatannya
pembelajaran. Sistem administrasi pendidikan di sekolah
kegiatannya menurut Sagala (2005:62) dilaksanakan oleh para
profesional kependidikan dibawah koordinasi kepala sekolah seperti
guru, konselor, ahli kurikulum, dan personal sekolah lainnya. Prestasi
belajar ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi proses belajar
mengajar serta peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan
fungsional. Satuan pendidikan yang baik juga membekali peserta
didiknya kemampuan mengembangkan dirinya dalam kehidupan,
yaitu pengembangan akal dan kalbu yang dihasilkan dari proses
pembelajaran di satuan pendidikan.
Tabel 1.
Kerangka Satuan Pendidikan sebagai Sistem
Komponen Sub-Komponen
8
Komponen Sub-Komponen
2. Kesempatan kerja
3. Pengembangan diri
9
lain, misalnya proses belajar mengajar yaitu dari belum terpelajar
menjadi terpelajar, dan kepemimpinan dari belum terpimpin menjadi
terpimpin. Proses, utamanya, adalah proses belajar mengajar, yaitu
proses berubahnya peserta didik yang belum terdidik berubah
menjadi peserta didik yang terdidik. Mutu proses belajar mengajar
sangat tergantung mutu interaksi pendidik dan peserta didik. Mutu
interaksi pendidik sangat tergantung perilakunya dan perilaku peserta
didiknya di kelas/ruang kuliah (utamanya). Perilaku pendidik di kelas
misalnya, kejelasan mengajar, penggunaan variasi metode mengajar,
variasi penggunaan media pendidikan, keantusiasan mengajar,
penggunaan jenis pertanyaan, manajemen kelas, penggunaan waktu,
kedisiplinan, keempatian terhadap peserta didik, hubungan
interpersonal, ekspektasi, keinovasian pengajaran, dan penggunaan
prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran yang aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan. Demikian juga, mutu interaksi peserta
didik sangat tergantung mutu perilaku peserta didik di kelas. Perilaku
peserta didik di kelas misalnya, keseriusan belajar, semangat belajar,
perhatian terhadap pelajaran, keingintahuan, usaha, pertanyaan, dan
kesiapan belajar (mental dan fisik); (4) output pendidikan adalah hasil
belajar (prestasi belajar) yang merefleksikan seberapa efektif proses
belajar mengajar diselenggarakan. Output adalah hasil sesaat dari
proses, misalnya (a) prestasi belajar dalam UAN, UAS, olahraga,
kesenian, keterampilan; (b) kompetisi dalam bentuk
perlombaan/olimpiade nasional dan internasional, misalnya fisika,
matematika, kimia, biologi, astronomi, karya tulis ilmiah remaja, olah
raga, kesenian, dan teknologi tepat guna; dan (c) pengembangan
daya pikir, daya kalbu, dan daya pisik serta aplikasinya dalam
kehidupan; dan (5) outcome adalah dampak jangka pendek dan
menengah dari output belajar, baik dampak bagi individu tamatan
maupun bagi masyarakat. Jika hasil belajar bagus, dampaknya juga
akan bagus. Dalam kenyataan tidak selalu demikian karena outcome
dipengaruhi banyak faktor diluar hasil belajar. Outcome memiliki dua
dimensi yaitu (a) kesempatan melanjutkan pendidikan dan
kesempatan kerja, dan (b) pengembangan diri tamatan. Satuan
pendidikan yang baik mampu memberikan banyak akses/kesempatan
10
kepada tamatannya untuk meneruskan pendidikan berikutnya dan
untuk memilih pekerjaan.
11
Namun penghargaan yang diperoleh para guru tersebut terasa
semu, karena secara ekonomi guru bukanlah yang terbaik di desa
tersebut. Secara umum masyarakat cenderung akan jauh
menghormati elite desa yang lebih kaya secara materi dan berkuasa
dalam pemerintahan di desa. Para guru di Indonesia yang merupakan
komponen inti pembelajaran di sekolah dalam dua dekade terakhir
semakin dihanyuti kultur pragmatisme, pemikiran dan pandangannya
sebagai pencerahan ternyata tidaklah begitu penting. Dilain pihak
budaya yang berkembang dikalangan para sebagian guru adalah
kultur kemalasan untuk terus belajar mengembangkan ilmu dan
wawasan sosial, kultur aji mumpung dengan terlibat praktik ”korupsi”
kecil-kecilan di sekolah (memberi les privat dengan kompensasi
”uang” dan nilai, aktif sebagai makelar buku-buku pelajaran, hingga
bisnis seragam siswa), serta kultur ”birokratis” yang begitu patuh
kepada atasan dan birokrat pendidikan agar cepat naik pangkat.
Banyak perilaku subjektif lain yang tidak mencerminkan
karakter ”ideal” sebagai sosok pendidik dan pengajar yang
seharusnya berintegritas tinggi. Kualitas guru-guru khususnya yang
berstatus PNS dan guru sekolah swasta yang ”hidup segan mati tak
mau” - juga saat ini menurut Ari Kristianawati (2006) berada dalam
titik ”rendah”, tidak hanya gagap dalam beradaptasi dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan fenomena sosial kemasyarakatan,
mereka juga terjebak dalam kebiasaan menjadi ”robot” kurikulum
pendidikan. Prakarsa dan inisiatif untuk belajar menggali metode,
bahan ajar dan pola relasi belajar-mengajar yang baru sangat
minimalis.
Tugas guru dalam penyiapan bahan ajar, penggunaan metode
dan media pembelajaran, dan implementasi dari strategi belajar
mengajar senantiasa tergantung pada yang memberikan komando
atau instruksi. Meskipun guru memiliki cara lain dalam penyiapan
bahan dan rencana pembelajaran sampai pada implementasi, bila
cara itu tidak sesuai kehendak si pemberi komando, maka tidak dapat
diterapkan, bahkan sebaliknya guru dapat dituduh sebagai
pembangkang. Stigmatisasi semacam itu jelas kurang
menguntungkan bagi kehidupan guru sehari-hari. Tidak adanya
12
otonomi itulah menurut Darmaningtyas (2006) kemudian mematikan
profesi guru dari sebagai pendidik menjadi komando atau pemberi
instruksi, dan maksimal adalah penatar, karena guru tidak memiliki
otonomi sama sekali.
Sebab, selain kurikulum sudah baku, juga gerak guru selalu
dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP) setiap
kali mau mengajar yang sifatnya kewajiban administratif, artinya jika
ditanya guru dapat menunjukkan, tidak begitu penting apakah SP itu
menjadi guide line dalam mengajar atau tidak. Padahal, seorang guru
harus memiliki guide line dalam melaksanakan tugas mengajarnya.
Bagi guru dengan pengalaman mengajar di atas lima tahun
sebetulnya telah menemukan pola mengajarnya sendiri tetapi
terpasung oleh birokrasi. Sistem birokrasi selalu menciptakan
mekanisme kontrol agar guru tidak memiliki waktu luang untuk
memperluas wawasan dan mempertajam daya kritisnya.
Hal ini bukanlah bagian dari pembinaan tetapi cenderung
intimidasi. Kalau kita dapat mendalami pengertian ini, cukup berat
menjadi seorang guru dengan tanggung jawab profesi yang besar.
Tidak mengherankan ketika Depdiknas merekonsepsikan dan
mengimplementasikan kerangka kurikulum pembaruan, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK), banyak guru yang sangat sulit
memahami. Banyak yang menggerutu dan beranggapan KBK hanya
sebagai wujud kurikulum yang ”ngayawara” (tidak realistik).
Rendahnya mutu atau kapabilitas guru di Indonesia, selama ini
disebabkan oleh beberapa faktor (1) faktor struktural. Para guru
selama tiga dekade Orde Baru dijadikan ”bemper” politik bagi
kekuatan partai pemerintah. Guru dijadikan agen politik
pembangunanisme dan juga agen pemenangan program politik
pemerintah. Melalui organisasi Korpri dan PGRI, mereka dijadikan
proyek korporatisme negara. Akibatnya para guru tidak memiliki jiwa
pembaruan dan inisiatif dalam menggali khazanah ilmu pengetahuan
serta keberanian mengembangkan inovasi pembelajaran yang
terlepas dari politik pendidikan; (2) kuatnya politik pendidikan, yang
mengontrol arah dan sistem pendidikan selama tiga dekade membuat
para guru seperti ”robot” yang dipenjara melalui tugas-tugas
13
kedinasan yang stagnan; (3) rendahnya tingkat kesejahteraan guru
Indonesia membuat mereka tidak bisa optimal dalam menjalankan
fungsi dan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar karena selalu
mengurusi persoalan ekonomi keluarga; dan (4) kuatnya kultur
feodalistik dalam dunia pendidikan, sehingga tidak terjadi proses
”social clustering” dan regenerasi ekslusif komunitas guru muda.
Pola regenerasi bukan atas dasar kemampuan akademik dan
kemampuan mengajar guru, namun level kepangkatan. Pemerintah
selama ini tidak memiliki kerangka acuan yang jelas bagi guru untuk
meningkatkan kualitas sosial dan intelektual para guru. Berbagai
upaya internal di birokrasi pendidikan yang konon untuk
meningkatkan kapabilitas profesi guru seperti penataran dan
pelatihan yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan maupun Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), atau penguatan melalui
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), justru lebih banyak pada
kegiatan pembinaan dan pendisiplinan guru dalam optik pemahaman
kekuasaan. Para guru dibina dan didisiplinkan pengetahuan, dan
sikapnya selaras dengan kehendak penguasa dengan alasan sesuai
peraturan yang berlaku, agar tidak mengajarkan sesuatu yang
berbeda dengan doktrin negara.
UU Sisdiknas menyatakan 20 Persen APBN mem-”profesi”-kan
guru sebenarnya memiliki konsekuensi sosial, antara lain (1) guru
harus mematuhi kode etik dan melaksanakan mandat publik secara
bijaksana dan bertanggung gugat. Tentang pengaturan kode etik guru
saat ini tengah menjadi wacana di masyarakat khususnya dikalangan
PGRI sebagai organisasi profesi guru dan tengah diperdebatkan oleh
berbagai kalangan pegiat dunia pendidikan; (2) para guru dituntut
memiliki keahlian profesi yang terukur dan teruji sesuai fungsi dan
perannya. Keahlian profesi guru dalam hal penguasaan materi
pelajaran, penguasaan kemampuan metode mengajar dan
pengembangan bahan ajar, berinteraksi dengan anak didik-guru-
masyarakat sesuai kapasitas yang dimiliki; dan (3) para guru dituntut
memiliki kompetensi profesi dalam hal skill atau kemampuan sebagai
pengajar dan pendidik yang cakap membimbing siswa dalam
14
menyerap dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam dinamika
kehidupan nyata.
Namun karena tidak sesuai dengan kehendak si pemberi
petunjuk atau komando, maka cara-cara para guru tersebut tidak
dapat diwujudkan dalam tindakan nyata, inilah masalah besar yang
dihadapi oleh para guru. Kecenderungan materialisme global masih
dapat mereka siasati dengan nalar yang sehat dan sikap yang kritis
dengan tetap berpegang pada pola hidup sederhana. Namun mereka
menghadapi kehendak si pemberi komando (atasan). Para guru yang
memiliki idealisme sebagai pendidik sama sekali tidak mampu
menggunakan akal sehat dan daya kritisnya. Penggunaan akal sehat
dan daya kritis itu justru menimbulkan bumerang bagi dirinya sendiri
karena dapat dituduh tidak loyal dan tidak disiplin, akhirnya ia bekerja
sama dengan yang lainnya hanya sekedar melepas kewajiban waktu
bekerja. Realitas sosial politik semacam itu sangat dirasakan oleh
para guru, sehingga bagi mereka yang tidak mau mengambil risiko
sosial, ekonomi, politik, dan ideologi yang lebih buruk, memilih
menjalankan peran sebagai komando, instruktur, atau penatar secara
baik daripada menjalankan peran sesungguhnya, sebagai pendidik
yang kreatif, inovatif, dan bermutu.
Beberapa contoh diajukan Darmaningtyas (2006)
mencerminkan bagaimana ketidakberdayaan guru menghadapi
tatanan ideologi-politik yang sangat represif dan tanpa disadari
sebetulnya telah menisbikan profesi guru yang mestinya mendidik
masyarakat agar berakal sehat, bersikap kritis, dan berjiwa
demokratis. Guru dengan akal sehatnya tidak mampu menolak
desakan dari elite politik agar sekolah terlibat dalam "Gerakan Aku
Cinta Rupiah" dengan cara menukarkan dollar AS menjadi rupiah.
Berdasarkan akal sehatnya guru tidak berani berkata "tidak!", tetapi
selalu berkata "iya". Inilah bukti ketidakberdayaan guru menghadapi
desakan birokrasi dan elite politik yang secara evolutif telah
mematikan profesi guru dan menjadikan guru bagian dari aparatur
negara. Idealnya sebagai warga yang baik, guru jelas turut
bertanggung jawab atas kelangsungan bangsa dan negara. Peran
guru seharusnya menjadi penerang ketika semua akal sehat berada
15
dalam kegelapan. Gurulah yang wajib mengingatkan kepada
pemimpin bangsa bahwa cara-cara manipulatif itu tidak mendidik.
Tapi yang terjadi justru akal sehat guru pun menjadi hilang tertimbun
oleh kekuatan ideologi politik dari luar yang menekannya. Guru perlu
memperluas wawasan, mempertajam daya kritis, dan menyehatkan
penalaran melalui berbagai perjumpaan dengan banyak pihak
(perorangan maupun forum-forum diskusi). Jadi guru tugasnya tidak
hanya datang ke sekolah, masuk kelas dan mengajar, melaksanakan
ujian seperlunya jika diperlukan, lalu pulang, demikian seterusnya
dilaksanakan secara rutin dari waktu ke waktu.
Betapa beratnya pekerjaan yang harus dilakukan untuk
meningkatkan guru dari sekadar okupasional menjadi sebuah profesi.
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-
tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai
penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah
kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984,
kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994 dan seterusnya
kurikulum 2004. Kemerosotan pendidikan sebenarnya bukan
diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan
profesionalisme guru memahami kurikulum dan keengganan belajar
siswa. Para guru harus pula memiliki semangat untuk berubah dan
mengubah kondisi dunia pendidikan nasional yang memprihatinkan
dalam segala hal. Jika tidak, maka idiom ”guru sebagai profesi” hanya
akan terus di awang-awang. Dari sisi kebijakan dalam soal
pendidikan, tidaklah kondusif untuk mengantarkan guru untuk
profesional. Saat disebut "pemerintah daerah" berkaitan dengan
"kesejahteraan", mereka pun kembali gaduh.
Hal ini mengundang tanda tanya besar, ada apa dengan
"pemda" dan para guru? Apakah guru tidak percaya terhadap pemda
yang akan dijadikan pilar untuk menyejahterakan mereka? Apakah
kenaikan pangkat dan golongan akan semakin sulit atau semakin
mudah setelah dilimpahkan pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
dan pertanyaan lainnya. Berbagai hal di atas menimbulkan
pertanyaan, apakah bisa guru-guru kita profesional. Tapi apa pun
yang terjadi, memang guru harus diperjuangkan untuk profesional.
16
Guru juga terdorong menjalankan tugasnya dengan baik, dan kode
etik juga akan melindungi profesi guru.
Performans guru menurut Said Hamid Hasan (2006) selama ini
menunjukkan (1) guru sebagai pengarah dan sebagai sumber
pengetahuan; (2) belajar di arahkan oleh kurikulum; (3) belajar
dijadualkan secara ketat dengan waktu yang terbatas; (4) belajar
didasarkan pada fakta drill dan praktek, dan menggunakan aturan
dan prosedur-prosedur dan bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan
survei; (5) pengulangan dan latihan; (6) aturan dan prosedur tidak
kompetitif; (7) berfokus pada kelas; (8) hasilnya ditentukan
sebelumnya dan tes diukur dengan norma; (9) komputer sebagai
subyek belajar; (10) presentasi dengan media statis dan komunikasi
sebatas ruang kelas. Berdasarkan performansi guru tersebut dapat
ditegaskan (1) pada abad pengetahuan menginginkan paradigma
belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan,
inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan; (2) sulitnya
mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih
dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh
paradigma lama; (3) meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas,
perbedaan praktik pembelajaran abad pengetahuan dan abad industri
dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan
memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang "murni"
dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad
Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan
metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan
dan metode di Abad Industri. Dalam melakukan reformasi
pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya
digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru; (4)
praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori
belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar
berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas
kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang
didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan
perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri;
(5) pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran
17
tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer
dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad
Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern.
Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan
katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad
Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode
tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat
melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi
canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya. Profesionalisme
guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya
dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar
Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia
demikianlah seterusnya. Memang jumlah tenaga pendidik secara
kuantitatif khususnya diperkotaan sudah cukup banyak, tetapi secara
umum mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan.
Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan
materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu
menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar
berkualitas (Dahrin, 2000). Akhirnya yang paling penting, paradigma
baru pembelajaran ini memberikan peluang dan tantangan yang
besar bagi perkembangan profesional guru, baik pada preservice dan
inservice. Di banyak hal, paradigma ini menggambarkan redefinisi
profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam
proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat,
mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara
maksimal itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran,
tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet
prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan.
Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas,
nampaklah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam
menghadapi berbagai tantangan ini. Oleh karena itu menurut Anwar
dan Sagala (2004:110) tugas guru sangat banyak baik yang terkait
dengan kedinasan dan profesinya di sekolah, seperti mengajar dan
membimbing para muridnya, mempersiapkan administrasi yang
diperlukan, belum termasuk upaya peningkatan dan pengembangan
18
ilmu yang menjadi bidang studinya agar tidak ketinggalan jaman,
ataupun di luar kedinasan terkait dengan tugas kemanusiaan dan
kemasyarakatan secara umum di luar sekolah.
19
belajar yang baik pada peserta didiknya. Permasalahanya adalah
bagaimana guru dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapi
dengan baik, jika profesionalismenya masih dipertanyakan.
Guru Profesional
20
Pendapatan dan penghasilan guru tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, karena guru manusia yang butuh kesehatan dan
nutrisi seimbang melalui pola makan yang sehat agar bisa produktif.
Sesuai anjuran para ahli, pola makan yang baik dapat meningkatkan
kesehatan, guru juga punya tanggung jawab terhadap keluarga
(anak, suami/istri); (2) faktor internal psikologis. Dukungan
manajemen yang tidak memadai dan ketersediaan fasilitas yang tidak
terjamin. Guru punya tanggung jawab layanan belajar yang baik
terhadap anak didik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Layanan
belajar yang baik akan menghasilkan lulusan yang berkualitas, dan
pada akhirnya menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia yang
berkualitas; dan (3) faktor eksternal psikologi. Dukungan masyarakat
terhadap sekolah khususnya dilingkungan sekolah seadanya,
masyarakat menganggap sekolah adalah urusan pemerintah. Guru
diminta bekerja keras untuk memberi pelatihan dan pendidikan pada
peserta didiknya, tetapi dukungan terhadap guru baik secara internal
dan eksternal tidak memadai. Keadaan ini menempatkan guru akan
merasa tidak dihargai. Guru merupakan salah satu subjek bersama
anak didik untuk melakukan transfer ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) dan juga transfer nilai (transfer of value). Bagaimana
mungkin guru bisa menjalankan profesinya dengan baik jika para
guru tidak mendapatkan penghargaan yang memadai dari
pekerjaannya dan dalam kondisi tidak sejahtera. Keadaan ini
menjadikan guru konflik, disatu sisi guru harus bekerja secara
profesional, tetapi dukungan untuk tugas profesional tersebut tidak
memadai.
Ahli pendidikan Kurt Lewin (1890-1947) membedakan tiga
macam konflik yang dialami para guru adalah (1) konflik approach,
yakni jika dua kebutuhan atau lebih muncul secara bersamaan dan
keduanya mempunyai nilai positif bagi individu. Jika muncul
kebutuhan atau dorongan untuk bertindak tapi tidak dapat terpenuhi
atau terhambat, akan menyebabkan frustrasi atau depresi; (2)
gangguan frustrasi atau depresi secara fisik memang tidak tampak,
namun siksaan bagi para pengidapnya sangat berat. Setiap detik
penderita akan disesaki oleh kekhawatiran, ketakutan dan kengerian;
21
dan (3) hal yang tak kalah berat dialami penderita depresi, tidak
hanya pikiran tapi juga fisik. Sakit kepala, sakit perut dan tubuh
makin kurus, kegembiraan hidup musnah dan hidup terasa hambar.
Agar guru terhindar dari konflik yang berkepanjangan, maka guru
bekerja atas panggilan hati nurani melaksanakan tugas pengabdian
pada masyarakat didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani.
Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat
mencerdaskan anak didik ditengah berbagai tantangan yang
dihadapinya.
Guru yang profesional memiliki latar belakang pendidikan
keguruan yang memadai, keahlian guru dalam melaksanakan tugas-
tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan
keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga
masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan
keguruan. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam
melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar
yaitu (1) faktor internal yang meliputi minat dan bakat yang
ditampakkan pada kemauan keras untuk melaksanakan tugas dengan
baik; dan (2) faktor eksternal yaitu berkaitan dengan dukungan yang
positif dari masyarakat lingkungan sekitar, ketersediaan sarana
prasarana, serta memperoleh berbagai latihan yang dibutuhkan guru.
Prinsipnya pencanangan pekerjaan guru sebagai profesi adalah
upaya pemerintah yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru
sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional
dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja
kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh
kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas
kemaslahatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat
untuk menjadi warga negara yang baik. Peran guru seperti ini
menuntut pribadi harus memiliki kemampuan managerial dan teknis
serta prosedur kerja sebagai ahli serta keiklasan bekerja yang
dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain. Kemudian
guru harus memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab dalam artian
22
dapat mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri
dalam melaksanakan tugasnya.
Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan
membuat pihlihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan
sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan yang
dipilihlnya. Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat dan peran
sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan
serta memiliki peran penting mencerdaskan kehidupan masyarakat
tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi
kepada masyarakat khususnya membelajarkan anak didik. Guru
dapat juga dikategorikan sebagai ilmuan dan cendekiawan, Blau,
Peter M (1973) menjelaskan bahwa ilmuan tidak mempunyai klien,
oleh karena itu mereka tidak bisa disebut profesional, karena para
profesional mempunyai klien berkenaan dengan keprofesian para
profesional tersebut.
23
Tugas Utama Guru dan Dosen
24
pendidikan yang lebih pro-perubahan yaitu yang mampu
menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar dan
eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru,
dan yang tidak tertambat pada tradisi dan kebiasaan proses
pendidikan yang lebih mementingkan memorisasi dan recall.
Mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik memang harus mendorong (1)
keingintahuan, yaitu ”a sense of curiosity and wonder”; (2)
keterbukaan pada kemungkinan-kemungkinan baru; (3) prioritas pada
fasilitasi kemerdekaan dan kreativitas dalam mencari jawaban atau
pengetahuan baru (meskipun jawaban itu salah atau pengetahuan
baru dimaksud belum dapat digunakan); dan (4) pendekatan yang
diwarnai oleh eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-
kemungkinan baru.
Sementara itu, menurut Pasal 1, Ayat 2, UU 14/2005: ”Dosen
adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
menstransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat”. Maknanya, dosen dapat berperan
sekaligus sebagai pendidik profesional, ilmuwan, dan pengabdi pada
masyarakat. Sebagai pendidik profesional, layaknya juga seperti guru,
namun kecenderungannya lebih pada andragogi dari pada pedagogi
mengingat yang di didik adalah mahasiswa yang daya pikir dan daya
kalbunya lebih matang dari pada peserta didik pada pendidikan dasar
dan menengah.
Sebagai ilmuwan, baik yang telah memperoleh pendidikan
formal pada perguruan tinggi dalam bidang ilmu keras (scientist)
maupun bidang ilmu lunak (scholar), tugas utamanya adalah
melakukan penelitian dan pengembangan untuk menemukan hal-hal
baru/asli yang bermanfaat untuk (1) mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni, baik berupa cara, metode,
maupun bahan; (2) memecahkan permasalahan yang dihadapi
negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif); dan (3) memecahkan
permasalahan yang dihadapi masyarakat (sekolah, dinas pendidikan,
komite sekolah, orangtua peserta didik, dan sebagainya). Ilmuwan
25
yang menerapkan ilmunya dalam lingkaran politik disebut teknokrat,
ilmuwan yang mempunyai perhatian pada kesejahteraan manusia
bertindak dan berusaha untuk mempengaruhi masyarakat dan
pemerintahan, memperhatikan kepentingan umum dengan
menyebarkan pikiran-pikirannya dalam masyarakat, disebut
cendekiawan. Sebagai pengabdi pada masyarakat, tugas utamanya
memberikan layanan kepada masyarakat dengan menerapkan ilmu-
ilmu maupun teknologi-teknologi yang dikembangkannya demi
kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, hubungan perguruan tinggi dengan
masyarakat merupakan keniscayaan dan karenanya keberadaannya
tidak boleh steril dengan lingkungannya. Perguruan tinggi
berkewajiban memperbaiki praksis-praksis yang kurang baik di
masyarakat melalui kerjasama yang saling menghidupi, layaknya
seperti berbulan madu antara perguruan tinggi dengan masyarakat.
Journal Education Leadership (1994), menegaskan ada lima ukuran
seorang guru dinyatakan profesional (1) memiliki komitmen pada
siswa dan proses belajarnya; (2) secara mendalam menguasai bahan
ajar dan cara mengajarkan; (3) bertanggung jawab memantau
kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi; (4)
mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas dan (5) menjadi
bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya. Sedangkan
"Malcon Allerd" mengatakan, selain kelima aspek itu, sifat dan
kepribadian guru amat penting artinya bagi proses pembelajaran
adalah adaptabilitas, entusiasme, kepercayaan diri, ketelitian, empati,
dan kerjasama yang baik.
26
guru/dosen untuk mencapai tujuan, yang dilakukan melalui analisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Kesiapan kerja
guru menggambarkan (1) kemampuan kerja yaitu kompetensi
sebagai pendidik profesional yang mampu mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik. Kemampuan memberdayakan, memfasilitasi, dan
mendorong tumbuh dan kembangnya peserta didik dalam
keingintahuan, kemerdekaan, kreativitas, dan eksperimentasi untuk
menemukan kemungkinan-kemungkinan baru yang bermanfaat bagi
masa depannya; dan (2) kesanggupan kerja terkait dengan
kepentingan yaitu sesuatu yang dianggap penting (kesejahteraan,
harga diri, dan sebagainya oleh guru, dan dalam bentuk uang, karir,
harga diri, akses, dan sebagainya.
Kesiapan kerja dosen menggambarkan (1) kemampuan kerja
terkait dengan kompetensi, yaitu kompetensi sebagai pendidik
profesional, peneliti yang ilmiah, dan pengabdi pada masyarakat yang
tangguh; dan (2) kesanggupan kerja. Kesiapan kerja dosen sebagai
pendidik profesional analog dengan kesiapan kerja guru sebagai
pendidik profesional, hanya lebih andragogik sifatnya. Tingkat
kesiapan kerja sebagai peneliti diukur dengan kemampuannya (1)
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, baik
berupa cara, metode, maupun bahan; (2) memecahkan permasalahan
yang dihadapi oleh negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif); dan (3)
memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat,
khususnya masyarakat pendidikan (sekolah, dinas pendidikan, komite
sekolah, orangtua peserta didik, dsb.).
Tingkat kesiapan kerja dosen sebagai pengabdi masyarakat
diukur dengan tingkat kepedulian dosen terhadap permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat dan menawarkan serta membantu
memecahkannya. Dosen dituntut untuk mampu menemukan
permasalahan yang sebenarnya dan solusi yang tepat. Ini hanya
dapat dilakukan apabila dosen menguasai secara holistik dan
atomistik tentang hal-hal yang faktual dan bukan sekadar opini, riil
dan bukan artifisial, nyata dan tidak selalu maya, aktual dan tidak
sekadar tekstual, konkret dan tidak serba abstrak. Intinya, dosen
27
harus memahami secara utuh dan benar tentang kondisi mutakhir
masyarakat di bidangnya; memiliki visi, misi dan tujuan untuk
memperbaikinya; dan menawarkan strategi-strategi untuk
mencapainya.
28
teknologi modern dan penguasaan iptek, kerja sama dengan teman
sejawat antar-sekolah, serta kerja sama dengan komunitas
lingkungannya.
29
pendidikan lainnya kurang memadai, jika dikelola oleh pendidik yang
berkompeten secara kreatif, maka tujuan pendidikan dapat tercapai.
Untuk memperoleh guru yang kompeten perlu diperhatikan adalah
proses rekruitmen guru. Proses rekruitmen guru tak sekadar mengisi
kekurangan, tapi juga bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan.
Pengembangan profesionalisme guru seharusnya sudah dimulai sejak
masa perekrutan. Selain itu perlu didukung fasilitas pembelajaran
yang memadai. Bagi pribadi guru dan untuk memenuhi nafkah
keluarganya, maka perbaikan kesejahteraan guru merupakan agenda
penting yang tidak bisa ditinggalkan. Kalau gaji minim, ia akan
mengalami ketidakpastian akan mengganggu hidup diri dan
keluarganya. UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU NO. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, secara juridis formal
mendudukkan guru dan dosen sebagai unsur pendidik yang
merupakan tenaga profesional. Karena itu guru dan dosen harus
mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai, agar menjadi
guru dan dosen yang berkewenangan (qualified) dan cakap
(competent).
30
Pengembangan Profesionalisme Guru
31
partisipatoris, (8) dari hierarkhi-hierarkhi ke penjaringan, (9) dari
utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.
32
berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.
Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai
lingkungan pendidikan; (5) asas belajar sepanjang hayat harus
menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk
mengimbangi tantangan perkembangan jaman; (6) penggunaan
berbagai inovasi IPTEK terutama media elektronik, informatika, dan
komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) penyediaan
perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam
menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; dan (8) publikasi dan
penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait,
merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad
pengetahuan.
33
aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru
untuk mengembangkan kreativitasnya; (9) perlunya reorganisasi dan
rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah,
sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan
mutu guru; (10) perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan
guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses
pembelajaran; (11) perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis
dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan;
(12) memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK); (13)
menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan
yang lebih luas untuk meningkatkan karier; dan (14) perlunya
ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung
jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan
kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran”. Untuk lebih
mendorong tumbuhnya profesionlisme guru selain apa yang telah
diutarakan oleh balitbang diknas, tentunya ”penghargaan yang
profesional” terhadap profesi guru masih sangat penting. Seperti
yang diundangkan bahwa guru berhak mendapat tunjangan profesi
dan tunjangan kemaslahatan. Realisasi pasal ini tentunya akan
sangat penting dalam mendorong tumbuhnya semangat
profesionlisme pada diri guru. Menurut para ahli, pengembangan
bahwa profesionalisme guru menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan sesuai mata pelajaran sebagai bidang keahliannya atau
kemampuan manajemen dan strategi penerapannya.
34
dan NRC (1996) mengemukakan ada empat standar pengembangan
profesi guru (1) standar pengembangan profesi A adalah
pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan
pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif
dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui
sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-
penjelasan dan mengujinya berdasarkan fenomena alam; (2) standar
pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru
sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran,
pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke
pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains
namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang
efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-
konsep penting, konsep apa yang mampu dipahami siswa pada
tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman,
contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar; (3)
standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi
untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan
kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik
tahu bahwa, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang
masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru
berkesempatan terus untuk belajar; (4) standar pengembangan
profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus
koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk
menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan
profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
35
bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya
kepada siswa; (3) guru bertanggung jawab memantau hasil belajar
siswa melalui berbagai cara evaluasi; (4) guru mampu berfikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya; dan (5) guru seyogyanya merupakan bagian dari
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya (Supriadi 1998).
36
lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan, menurut Soewondo (1972)
guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator,
informator, komunikator, transformator, change agent, inovator,
konselor, evaluator, dan administrator (Arifin, 2000).
37
Mengingat, tingkatan guru juga beberapa jenjang, yakni
tingkat pra-sekolah, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah umum atau kejuruan, dan selanjutnya, maka persoalan ini
menjadi kompleks, untuk membangun komunikasi yang efektif di
antara mereka diperlukan suatu wadah organisasi dimana para guru
dapat berhimpun. Suatu pekerjaan menurut Kartadinata dikatakan
sebagai jabatan profesi salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu
memiliki organiasi profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki
organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional
seharusnya memiliki organisasi ini. Fungsi organisasi profesi selain
untuk menlindungi kepentingan anggotanya juga sebagai dinamisator
dan motivator anggota untuk mencapai karir yang lebih baik (Meter,
1999). Konsekuensinya organisasi profesi turut mengontrol kinerja
anggota, bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan
pada masyarakat. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
merupakan organisasi profesi yang mewadahi guru di Indonesia. PGRI
lahir 100 hari setelah Kemerdekaan RI, tepatnya 25 November 1945
di Kota Solo, Jawa Tengah, merupakan bagian dari perjuangan Bangsa
Indonesia. PGRI mempunyai misi antara lain misi nasional yaitu
mempertahankan, mengisi dan mewujudkan cita-cita proklamasi
kemerdekaan berupa terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
38
dan efektif. Pada AD/ART PGRI ditegaskan bahwa sebagai salah satu
organisasi guru di Indonesia PGRI memiliki fungsi (a) menyatukan
seluruh kekuatan dalam satu wadah, (b) mengusahakan adanya satu
kesatuan langkah dan tindakan, (3) melindungi kepentingan
anggotanya, (d) menyiapkan program-program peningkatan
kemampuan para anggotanya, (e) menyiapkan fasilitas penerbitan
dan bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional, dan
(f) mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan
pelanggaran baik administratif maupun psychologis. Organisiasi
profesi mempunyai fungsi sebagai wadah kebersamaan dan rasa
kesejawatan anggota dalam mewujudkan keberadaanya di
lingkungan masyarakat, memperjuangkan segala aspirasi dan
kepentingan profesi, menetapkan standar prilaku profesional,
melindungi seluruh anggota, meningkatkan kualitas kesejahteraan,
mengembangkan kualitas pribadi dan profesi.
40
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab
rendahnya profesionalisme guru (1) masih banyak guru yang tidak
menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya
kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3)
pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah
hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini
terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga
keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan
pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon
guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang
berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme
anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa
disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat
meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa
mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme
para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang
menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya
untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru. Ideologi
organisasi guru yang bernaung dalam PGRI tidak boleh tampak
dengan jelas terhadap realitas masyarakat guru itu sendiri. Sebab jika
eksistensi PGRI tampak dengan jelas maka merupakan kerugian bagi
para birokrat, ideologi keguruan itu sendiri harus miliknya birokrasi.
Memang idiologi keguruan sudah turut mati ditangan birokrasi
bersama dengan matinya profesi guru.
Organisasi guru (PGRI) ditumbuhkan memang bukan untuk
pengembangan ideologi keguruan, melainkan sebagai bagian dari
aparatur negara (yang mengontrol gerak guru). Keanggotaan PGRI
lebih didominasi oleh guru SD dan para pejabat dinas pendidikan
implisit menjelaskan hipotesa itu. Guru SD mempunyai posisi tawar
yang sangat lemah sehingga tidak dapat mengelak dari keharusan
masuk ke PGRI, meskipun mereka sering mengeluh, ternyata
organisasi itu lebih bersifat membebani (materi maupun nonmateriil)
daripada melindungi dan menyejahterakan guru. Apabila pemikiran
secara kontemplasi ini dapat kita sadari bersama, maka kemajuan
dan kesejahrteraan guru sebagai pemeran utama pendidikan nasional
41
dapat terwujud seiring perkembangan zaman yang makin kompleks.
Adalah sangat penting agar setiap guru memiliki nilai sikap yang
dapat mempribadi sehingga dapat dibedakan ia dengan guru lain
atau orang lain. Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan
melakukan perbuatan yang positif melalui pelaksanaan tugasnya
sebagai guru maupun melalui wadah organisasi profesi agar dapat
mengangkat citra baik dan kewibawaannya, terutama di depan
masyarakat luas dan secara khusus didepan murid-muridnya.
42