Serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat
Negara berkembang seperti Indonesia dalam kubangan korupsi yang merajalela dan terperangkap
dalam hutang luar negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia saat
itu. Hal ini dilakukan dalam melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia,
dan berhasil. Demokratisasi dan Metamorfosis Korupsi Pergeseran sistem, melalui tumbangnya
kekuasaan icon orde baru, Soeharto. Membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi
di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebut perubahan tersebut. Namun sayang
reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang
Buble Gum yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata
ampuh untuk membodohi rakyat. Namun, apa mau dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai
oleh lantunan lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut para pelanjut
cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi
atau desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan keuangan daerah, korupsi
mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan. Pergeseran sistem yang penulis
jelaskan, diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan
demokratisasi dan pasar bebas bukan satu-satunya alat penangkal korupsi, pergeseran pemerintah
otoriter ke pemerintahan demokratis tidak serta merta mampu menggusur tradisi suap-menyuap.
Korupsi ada di semua sistem sosial feodalisme, kapitalisme, komunisme dan sosialisme.
Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi sosial untuk menyelesaikan konflik
kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko suap-menyuap. Harus ada tekanan hukum
yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi di Indonesia telah membawa disharmonisasi politikekonomi-sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat miskin terus naik karena korupsi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan dipelbagai
bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi
pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual
menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada
transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan
oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan
dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan
orientasi yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di Indonesia, pelayanan publik tidak pernah
termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi.
Korupsi dan Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi Pada paragraf awal penulis jelaskan bahwa
korupsi selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak
menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang sehat. Sektor swasta sulit
memprediksi peluang bisnis dalam perekonomian, dan untuk memperoleh keuntungan maka
mereka mau tidak mau terlibat dalam konspirasi besar korupsi tersebut. High cost economy harus
dihadapi oleh para pebisnis, sehingga para investor enggan masuk menanamkan modalnya
disektor riil di Indonesia, kalaupun investor tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di
sektor financial di pasar uang.
Salah satu elemen penting untuk merangsang pembangunan sektor swasta adalah meningkatkan
arus investasi asing (foreign direct investment). Dalam konteks ini korupsi sering menjadi beban
pajak tambahan atas sektor swasta. Investor asing sering memberikan respon negatif terhadap
hali ini(high cost economy). Indonesia dapat mencapai tingkat investasi asing yang optimal, jika
Indonesia terlebih dahulu meminimalisir high cost economy yang disebabkan oleh korupsi.
Praktek korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat efektif untuk
meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus administrasi pemerintah dan
saluran politik yang tertutup. Ketegangan politik antara politisi dan birokrat biasanya efektif
diredakan melalui praktek korupsi yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing. Pararel
dengan pendapat Mubaryanto, yang mengatakan Ada yang pernah menyamakan penyakit
ekonomi inflasi dan korupsi. Inflasi, yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966, berhasil diatasi
para teknokrat kita. Sayangnya sekarang tidak ada tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi
masalah korupsi, meskipun korupsi sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya
masalah inflasi lebih bersifat teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah
mengatasinya. Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik, sehingga ilmu
ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu ekonomi malah cenderung
tidak berani melawan korupsi karena dianggap tidak terlalu mengganggu pembangunan. Juga
inflasi dianggap dapat lebih menggairahkan pembangunan, dapat memperluas pasar bagi
barang-barang mewah, yang diproduksi. Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada
korupsi! Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor
ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan nilai yang dikeluarkan,
ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi. GDP turun drastis, nilai mata uang
terus tergerus. Akibat efek multiplier dari korupsi tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari
pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus
dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan
moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di
daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah
wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah berjamaah dalam berkorupsi maka tindakan ini
jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, Jika sejak krisis multidimensi yang berawal dari krismon
1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak lagi
pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini
berarti harus ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak
dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah aturan main berpolitik yang adil,
atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan
ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu
menggunakan data-data empirik dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja,
lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik kesimpulankesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para
pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah
ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar
untuk makan. Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk
memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek
maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering
terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy
di Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering
dijadikan alasan untuk menggadaikan sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan
Negara adi daya yang didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi
harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.
C. Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi
digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan kasus
integritas nasional yang kokoh. Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena
kondusifnya iklim investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang
njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali oleh tingginya
tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil.
Para investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan tinggi. Sehingga
dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan dampak langsung pada pengurangan
jumlah pengangguran dan masyarakat miskin, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah)
masing-masing daerah, peningkatan GDP dan pemerintah akan mampu membangun sisten
jaminan sosial warganya melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang
memberikan dampak langsung pada peningkatan kecerdasan masyarakat sipil.
BAB III
KESIMPULAN
Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam
bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk
mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya
pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi
wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak
pernah tepat sasaran ibarat yang sakit kepala, kok yang diobati tangan . Pemberantasan
korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh
sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan
politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah
memang.
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Bacaan Akhiar Salmi, Paper 2006, Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, MPKP, FE,UI.
Harian Kompas, 13 juni 2006,
Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di
Indonesia, MPKP, FE.UI.
Mubaryanto, Artikel, Keberpihakan dan Keadilan, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004
Jeremy Pope, Confronting Corruption: The Element of National Integrity System,
Transparency International, 2000.
Robert A Simanjutak, Implementasi Desentralisasi Fiskal:Problema, Prospek, dan Kebijakan,
LPEM UI, 2003
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
B. PENGERTIAN KORUPSI
Kata korupsi sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang sekarang ini berasal dari bahasa Inggris
corruption. Sebetulnya kata corruption tersebut berasal dari kata dalam bahasa Latin corruptus
yang berarti merusak habis-habisan. Kata corruptus itu sendiri berasal dari kata dasar
corrumpere, yang tersusun dari kata com (yang berarti menyeluruh) dan rumpere yang berarti
merusak secara total kepercayaan khalayak kepada si pelaku yang tak jujur itu. 2
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam (fiqh) klasik, perilaku korupsi belum memperoleh porsi
pembahasan yang memadai, ketika para fuqaha berbicara tentang kejahatan memakan harta benda
manusia secara tidak benar (akl amwal al-nas bi al-bathil) seperti yang diharamkan dalam al-Quran,
tetapi apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi (corrup), maka dapat berarti merusak (dalam
bentuk kecurangan) atau menyuap.3 Di antara berbagai bentuk kejahatan ini yang nampaknya paling
mirip substansinya dengan korupsi ialah ghulul yang diartikan sebagai pengkhianatan terhadap
amanah dalam pengelolaan harta rampasan perang dan risywah atau yang biasa dikenal dengan
istilah suap. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.
Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan
negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang
juga amat dikutuk Allah SWT.
C. HADIS MENGENAI KORUPSI
:4 Irdamisraini Hukum Islam. Vol. VIII No2 Desember 2008 122
Artinya : Nabi menugaskan seorang laki-laki dari Bani Asad yang disebut Ibn al-Lutbiyah untuk
mengambil zakat, kemudian setelah kembali ia berkata (kepada Nabi): Ini untuk Tuan dan ini
diberikan kepadaku, kemudian Nabi naik ke mimbar, begitu juga yang dikatakan Sufyan (perawi),
kemudian Nabi memuji Allah dan menyanjung-Nya lalu bersabda: Apa-apaan petugas ini, aku utus
kembali seraya berkata, ini untukmu dan ini untukku? maka cobalah ia duduk (saja) di rumah
orang tuanya (tidak menjadi petugas) dan mengandaikan ia diberi hadish atau tidak? Demi Zat yang
diriku berada di tangan-Nya, maka ia tidak mendapat apa-apa kecuali datang di hari kiamat dengan
memikul di atas leher, kalaupun berupa unta, sapi atau kambing yang semuanya meringikik.
Kemudian Nabi mengangkat tangannya sampai kulihat putihnya ketiak beliau (kata rawi) dan
bersabda: bukankah telah aku sampaikan? diulanginya tiga kali. (H.R. Bukhari)
5 Artinya: Dari Abu hamid al-Saidy sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Hadiah-hadiah pada
pejabat adalah ghulul (pengkhianatan). (H.R. Ahmad)
:: 6 Artinya: Dari Abdullah ibn Amru berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah
melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. (H.R. Ibnu Hibban)
7 Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang
menerima suap dalam hukum. (H.R. Turmuzi)
: 8 Irdamisraini Hukum Islam. Vol. VIII No2 Desember 2008 123
Artinya: Dari Tsubana berkata, Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap dan yang menerima
suap serta al-Raisya yaitu orang yang menjadi perantara keduanya. (H.R. Ahmad)
D. GHULUL
Ghulul menurut bahasa adalah khianat, sedangkan menurut Ibn al-Atsir, ghulul adalah berkhianat
mengenai harta rampasan perang atau mencuri harta tersebut, dan masih menurutnya setiap orang
yang berkhianat secara sembunyi-sembunyi mengenai urusan sesuatu, maka ia telah berbuat ghulul.9
Adapun maksud dari ghulul menurut korupsi adalah berupa tindakan penggelapan yang dilakukan
seseorang untuk memperkaya diri sendiri. Ada pula yang menganggap Harta Ghulul adalah harta
yang diperoleh oleh pejabat (pemerintah atau swasta) melalui kecurangan atau tidak syari, baik yang
diambil harta negara maupun masyarakat.10
E. RISYWAH (SUAP)
Menurut terminologi Fiqh, Risywah (suap) adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang
kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk
(kepentingan)nya atau agar ia mengikuti kemauannya.11 Sedangkan menurut Ibnu Nadim Risywah
adalah segala sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang lainnya untuk memutuskan
suatu perkara atau membawa (putusan tersebut) sesuai dengan keinginannya (yang memberi).
Risywah (suap) merupakan perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan Rasulnya sebagaimana dijelaskan
dalam hadis. Risywah atau suap memang tidak bisa terjadi dari satu pihak. Ia selalu melibatkan kedua
belah pihak, bahkan sangat boleh jadi bisa tiga pihak. Yakni si penyuap (raasyii), yang disuap atau
yang menerima suap (murtasyii) dan yang menjadi perantara (raaisy) . Oleh sebab itu, risywah ini
memang merupakan kejahatan yang terorganisir. Sekaligus ia merupakan kejahatan yang susah
dibongkar, karena antara pelaku dan korban sama-sama terlibat. Beda dengan kejahatan umumnya,
pencurian, penipuan atau penganiayaan; pelaku dan korban tidak mungkin bersekongkol.
Tapi sebenarnya korban kejahatan suap bukan si penyuap, yang disuap atau pun si perantara.
Ketiganya, pada hakikatnya sama-sama merupakan pelaku. Sementara korban yang sesungguhnya
adalah Irdamisraini Hukum Islam. Vol. VIII No2 Desember 2008 124
pihak keempat, yakni: pertama, orang yang kehilangan haknya karena adanya praktek penyuapan,
dan korban kedua adalah masyarakat luas. Yang pertama korban langsung, yang kedua korban tidak
langsung. Oleh sebab itulah, maka menurut sabda Rasulullah SAW dalam kejahatan suap ini yang
dikutuk adalah yang menyuap dan yang disuap atau yang menerima suap.12
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jika seseorang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan telah
dibayar maka apapun selain itu bukan menjadi haknya dan haram mengambilnya. Begitu juga, jika
dia memanfaatkan harta perusahaan atau negara untuk kepentingan pribadinya, dalam hal ini ia telah
mengambil sesuatu yang bukan haknya secara bathil dan haram hukumnya. Misal, seorang karyawan
menerima souvenir sebuah pulpen, parcel diakhir tahun, amplop yang berisi uang atau uang komisi
yang biasanya langsung ditransfer, mengambil harta perusahaan/ negara, melakukan mark-up suatu
transaksi, dan lain-lain.13
F. SANKSI HUKUM
Dalam pidana korupsi, sanksi yang diterapkan bervariasi sesuai dengan tingkat kejahatannya. Mulai
dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai
hukuman mati. Mengapa bervariasi? Karena tidak adanya nash qathi yang berkaitan dengan tindak
kejahatan yang satu ini. Artinya sanksi syariat yang mengatur hal ini bukanlah merupakan paket jadi
dari Allah swt. yang siap pakai. Sanksi dalam perkara ini termasuk sanksi tazir, di mana seorang
hakim (imam/ pemimpin) diberi otoritas penuh untuk memilih tentunya sesuai dengan ketentuan
syariat bentuk sanksi tertentu yang efektif dan sesuai dengan kondisi ruang dan waktu, di mana
kejahatan tersebut dilakukan.14 Tetapi terdapat beberapa hadis yang mengancam seseorang untuk
berlaku curang, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya:
Rasulullah berjalan melewati sebuah kumpulan, sebuah kedai yang menjual barang makanan,
kemudian Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan itu, ternyata tangan
Rasulullah menjadi basah, kemudian beliau bertanya: apa ini wahai pemilik makanan, orang
tersebut menjawab: kehujanan ya Rasulullah, kemudian Rasulullah bersabda:. tidakkah
sebaiknya engkau letakkan di atas tumpukan makanan ini, sehingga orang bisa Irdamisraini Hukum
Islam. Vol. VIII No2 Desember 2008 125
rnelihatnya, barangsiapa melakukan tipu daya dan manipulasi maka mereka bukan termasuk
golonganku. (H.R. Muslim) Selain itu terdapat hadis lain yang artinya: Diriwayatkan dari Umar bin
Khaththab, bahwasanya ketika selesai terjadi peperangan khibar, sekelompok sahabat Rasulullah
mereka bersaksi ada seseorang yang gugur dalam peperangan menjadi syahid, ada sesorang yang
gugur dalam peperangan menjadi syahid, kemudian Rasulullah berkata: Tidak demikian, sungguh
saya melihat dia berada di neraka sebab mencuri selimut dan mantel, kemudian Rasulullah
bersabda. Wahai Putra Khaththab, berangkatlah sampaikan kepada manusia, sesungguhnya tidak
akan masuk surga, kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah, kemudian Umar berkata.
saya lalu keluar dan saya sampaikan, ketahuilah bahwasanya tidak akan masuk surga kecuali
orang-orang mukmin. (H.R. Muslim)
Ghulul dalam hadits tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, adalah khianat dalam
harta, yang berarti tidak amanat didalam mengemban tanggung jawab, dan ini identik dengan
korupsi. Dan Rasulullah saw. menjelaskan bahwa orang yang melakukan ghulul walaupun hanya
sekedar mantel dianggap keluar dari koridor iman, tidak berhak masuk sorga justru akan disiksa
dineraka.15
Apabila para fuqaha dalam hukum pidana Islam konvensional (fiqh al-jinayat al-fiqh al-jinai)
memasukkan ghulul dalam kategori tindak pidana (jarimah) tazir yang besar-kecilnya hukuman
(uqubah) diserahkan kepada pemerintah dan hakim, hal itu dapat dipahami, mengingat kejahatan
ghulul masih dalam skala kecil yang belum menjadi ancaman berarti. Hanya saja perlu digaris
bawahi bahwa hukuman tazir kendatipun pada asalnya bertujuan untuk memberi pelajaran (lil altadib) bentuknya tidak harus selalu berwujud hukuman ringan. Seperti yang ditulis oleh Abd alQadir Awdah dalam Al-Tasyri al-Jinai al-Islami, banyak fuqaha yang membolehkan pidana tazir
dalam bentuk hukuman mati jika kepentingan umun menghendakinya (idza iqtadlat al-mashlahah alammah taqrir uqubah al-qatl). Dengan memerhatikan kepentingan umum yang terancam dengan
sangat serius oleh kejahatan korupsi saat ini, maka dijatuhkannya hukuman tazir yang paling keras
(hukuman mati) atas para koruptor kelas kakap dapat dibenarkan oleh Islam.16 Irdamisraini Hukum
Islam. Vol. VIII No2 Desember 2008 126
G. KESIMPULAN
Tujuan utama syariat Islam (maqashid al-syariah) ialah menjaga dan melindungi kemanusiaan.
Perlindungan ini dirumuskan oleh para ulama dalam 5 tujuan (al-maqashid al-khamsah), yakni
perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan
terhadap akal (hifzh al-aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan
terhadap harta (hifzh al-mal). Tindakan korupsi jelas merupakan perlawanan terhadap tujuan kelima;
hifzh al-mal. Apabila dalam kepustakaan hukum Islam, contoh populer perbuatan melawan tujuan
hifdh al-mal ini adalah kejahatan mencuri (al-sariqah) milik perorangan, maka korupsi sebagai
kejahatan mencuri harta milik bangsa dan negara lebih layak lagi untuk dicatat sebagai pelanggaran
yang sangat serius terhadap prinsip hifzh al-mal. Korupsi bukanlah pencurian biasa dengan
dampaknya yang bersifat personal-individual, melainkan ia merupakan bentuk pencurian besar
dengan dampaknya yang bersifat massal-komunal. Bahkan ketika korupsi sudah merajalela dalam
suatu negara sehingga negara itu nyaris bangkrut dan tak berdaya dalam menyejahterakan kehidupan
rakyatnya, tidak mampu menyelamatkan mereka dari ancaman gizi buruk dan busung lapar yang
mendera, maka korupsi lebih jauh dapat dianggap sebagai ancaman bagi tujuan syariat dalam
melindungi jiwa manusia (hifzh al-nafs). Dari uraian mengenai korupsi dalam bentuk ghulul dan
suap, maka dapat disimpulkan bahwa Islam telah melarang tindakan korupsi baik berbentuk ghulul
maupun suap. Walaupun tidak terdapat sanksi dalam bentuk nash qathi mengenai hukuman bagi
koruptor, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku korupsi. Adapun pelaku yang melalukan
korupsi dapat dihukum tazir sesuai dengan tingkat kejahatannya. Irdamisraini, Dosen Fakultas Syariah
dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Alumnus Program Pasca Sarjana (S2) Universitas Islam Negeri
Suska Irdamisraini Hukum Islam. Vol. VIII No2 Desember 2008 127
Endnotes:
1. Lihat tulisan Dr. Anis Saidi, Kendala Perkembangan Demokrasi Dan Implikasinya Terhadap Penyalahgunaan
Kekuasaan (Korupsi), dalam dalam A.S.Burhan, dkk, ed, Korupsi Di Negeri Kaum Beragama; Ikhtiah Membangun
Fiqh Anti Korupsi (Jakarta: P3M dan Kemitraan Partnership, 2004), h. 43.
2. Jhon M Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2003, h. 149
3. Anis saidi, loc. cit
4. Bukhari, Shahih Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, 1991, h. 215
5. Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, j. 5, h.. 279.
6. Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban Ibn Ahmad al-Tamimy, Shahih Ibn Hibban (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1414 H/ 1993 M), j. 11, s. 468.
7. Abu Isa Muhammad Ibn Isa al-Turmudzy, Sunan al-Turmudzy (Beirut: Daar Ihya al-Turats, t.t), j.3. s. 622
8. Ibn Hanbal, loc. cit
9. Ghulul, Pengertian ,Kriteria dan Hukumnya, artikel diakses pada tanggal 16 Desember 2007 pada
http://hayatulislam.wordpress.com/2007/01/19/hukum-ghulul/
10. Rofiqul Ala, Suap Dalam Perspektif Islam, h. 199.
11. M. Masyhuri Naim, Korupsi Dalam Perspektif Islam, Sebuah Upaya Mencari Solusi Bagi Pemberantasan
Korupsi, artikel diakses pada tanggal 16 Desember 2007 pada
http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=236
12. H. A. Malik Madany, Korupsi SebagaiKejahatan Terhadap Kemanusian Dalam Perspektif Islam, artikel diakses
pada tanggal 16 Desember 2007 pada http://www.nuantikorupsi.or.id/page.php?display=dinamis&kategori=3&id=192
13. Anis saidi, loc. Cit
14. Ibid
15. Al-Nawawi, Al-Minhaj, dar al-Fikr, Beirut, 1990, h. 125
16. Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'iy al-Islamy, Dar al-Kitab al-Araby, Beirut, 1989, h. 1
Irdamisraini Hukum Islam. Vol. VIII No2 Desember 2008 128
*Dosen fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN SUSKA Riau 1 Lihat tulisan Dr. Anis Saidi, Kendala
Perkembangan Demokrasi Dan Implikasinya Terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan (Korupsi), dalam
dalam A.S.Burhan, dkk, ed, Korupsi Di Negeri Kaum Beragama; Ikhtiah Membangun Fiqh Anti Korupsi
(Jakarta: P3M dan Kemitraan Partnership, 2004), h. 43. 2 Jhon M Echol dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2003, h. 149 3 Anis saidi, loc. cit 4 Bukhari, Shahih Bukhari, Dar alFikr, Beirut, 1991, h. 215 5 Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, j. 5, h.. 279. 6 Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban
Ibn Ahmad al-Tamimy, Shahih Ibn Hibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1414 H/ 1993 M), j. 11, s. 468.
7 Abu Isa Muhammad Ibn Isa al-Turmudzy, Sunan al-Turmudzy (Beirut: Daar Ihya al-Turats, t.t), j.3. s.
622 8 Ibn Hanbal, loc. cit 9 Ghulul, Pengertian ,Kriteria dan Hukumnya, artikel diakses pada tanggal 16
Desember 2007 pada http://hayatulislam.wordpress.com/2007/01/19/hukum-ghulul/ 10 Rofiqul Ala,
Suap Dalam Perspektif Islam, h. 199. 11 M. Masyhuri Naim, Korupsi Dalam Perspektif Islam, Sebuah
Upaya Mencari Solusi Bagi Pemberantasan Korupsi, artikel diakses pada tanggal 16 Desember 2007
pada http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=236
12 H. A. Malik Madany, Korupsi SebagaiKejahatan Terhadap Kemanusian Dalam Perspektif Islam,
artikel diakses pada tanggal 16 Irdamisraini Hukum Islam. Vol. VIII No2 Desember 2008 129
Desember 2007 pada http://www.nu-antikorupsi.or.id/page.php?display=dinamis&kategori=3&id=192 13
Anis saidi, loc. Cit 14 Ibid 15 Al-Nawawi, Al-Minhaj, dar al-Fikr, Beirut, 1990, h. 125 16 Abd al-Qadir
Audah, al-Tasyri' al-Jina'iy al-Islamy, Dar al-Kitab al-Araby, Beirut, 1989, h. 1