AZWIN APRIANDI
RINGKASAN
AZWIN APRIANDI
C34070081
Skripsi
Judul
Nama
: Azwin Apriandi
NRP
: C34070081
Departemen
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pemimbing II
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul Aktivitas
Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo)
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Azwin Apriandi
C34070081
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan
penyusunan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar
Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi
hasil penelitian ini berjudul Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada
Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada:
1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. selaku
dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan
yang telah diberikan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
3. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi
Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah banyak membantu
penulis selama proses penyusunan skripsi.
4. Pak Haris Fadillah selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun,
yang telah memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis.
5. Keluarga terutama Bapak, ibu dan Adik yang telah memberikan semangat,
materil dan doanya, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
6. Novi Winarti yang telah memberi semangat dan motivasi kepada penulis
selama menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman THP 44, 43, 42 yang telah banyak memberikan masukan
dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Azwin Apriandi
C34070081
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ..
vii
ix
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN.....
1.2 Tujuan ..
4
5
6
6
7
11
11
12
13
14
14
15
16
16
17
17
3 METODOLOGI........
19
19
19
20
20
21
21
21
22
22
23
23
23
26
27
30
30
31
32
33
34
35
35
36
37
37
38
40
41
43
44
46
46
47
48
56
5.1 Kesimpulan ..
56
5.2 Saran .
56
DAFTAR PUSTAKA
57
LAMPIRAN...
62
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
30
40
50
50
51
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
12
13
15
31
33
38
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
63
63
63
65
66
68
68
70
71
1 PENDAHULUAN
senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada
radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam (Sunardi 2007).
Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai dapat menurunkan resiko terkena
penyakit degeneratif yaitu kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, dan lain-lain.
Antioksidan terdapat secara alami dalam hampir semua bahan pangan, baik yang
berasal dari daratan maupun perairan. Bahan pangan yang berasal dari perairan
contohnya
kelas
Gastropoda,
banyak
mengandung
komponen-komponen
(Andriani
2009; Nurjanah 2009), keong mata merah (Cerithedia obtusa) (Prabowo 2009),
keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) (Susanto 2010), Keong papaya
(Melo sp.) (Tias 2010), Lymnaea stagnalis (Vorontsova et al. 2010), adalagi jenis
Pleuroploca trapezium (Anand et al. 2010). dan lain sebagainya. Selain
2 TINJAUAN PUSTAKA
: Moluska
Kelas
: Gastropoda
Ordo
: Neogastropoda
Famili
: Fasciolariidae
Genus
: Fasciolaria
Spesies
: Fasciolaria salmo.
worl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua yang disebut apex, terdapat
bulu-bulu kecil sekeliling cangkang dan memiliki warna kuning kehijauan.
Cangkang dari keong terdiri dari 4 lapisan. Lapisan paling luar adalah
periostrakum, yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat
tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Lapisan ini terdapat endapan pigmen
beraneka warna, yang menjadikan banyak cangkang siput terutama spesies laut
termasuk keong ipong-ipong ini yang memiliki warna sangat indah, kuning, hijau
cemerlang dengan bercak-bercak merah atau garis-garis cerah. Periostrakum
berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya yang terdiri dari kalsium
karbonat terhadap erosi. Lapisan kalsium karbonat terdiri dari 3 lapisan atau lebih,
yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling
dalam adalah lapisan nacre atau hypostracum (Suwignyo et al. 2005).
Keong ipong-ipong merupakan kelas Gastropoda yang hidup di laut.
Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan dan
bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji 1987). Di laut
dalam
gastropoda
dapat
hidup
sampai
pada
kedalaman
5000
meter
(Plaziat 1984). Barnes (1987) menyebutkan beberapa jenis dari gastropoda hidup
menempel pada subtrat yang keras, akan tetapi ada juga yang hidup di subtrat
seperti pasir dan lumpur. Gastropoda juga dapat hidup di zona litoral, daerah
pasang surut dengan menempel pada terumbu karang, laut dalam maupun dangkal
bahkan ada yang hidup di air tawar (Berry 1972). Dilingkungan laut gastropoda
dapat ditemukan di daerah benthik, antara bebatuan dan pada subtrat lunak
(lumpur).
2.2 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen
dan nitrogen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan mempunyai peran
berupa penghambatan proses aterosklerosis, yaitu merupakan komplikasi dari
penyakit diabetes mellitus yang sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung
koroner (Musthafa et al. 2000). Rohman dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa
antioksidan adalah sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas
dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit karsinogenis, kardiovaskuler dan
dengan
pengubahan
radikal
bebas
kebentuk
lebih
stabil
(Gordon 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah dapat
menghambat atau
menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2).
Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut
relatif
stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul
tertentu
membentuk
radikal
bebas
baru
(Gordon
1990).
Menurut
R*
+ AH --------------------------RH + A*
sangat
beragam
jenisnya.
Berdasarkan
sumbernya
Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan
memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA.
Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena
relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat
mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik
cairnya 148C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga
kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat
berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta
memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck 1991).
Antioksidan TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak
dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan
antioksidan yang baik pada proses penggorengan tetapi rendah pada proses
pembakaran. Jika antioksidan TBHQ digabungkan dengan antioksidan BHA,
maka akan memiliki kemampuan antioksidan yang
dalam
jaringan
hidup,
aktivitas
antioksidan
tokoferol
cenderung
sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990),
kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal
dari tumbuhan.
Menurut Pratt dan Hudson (1990) senyawa antioksidan alami umumnya
adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan
flavonoid,turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik
polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan flavonoid yang memiliki
aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan
kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam
klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah
multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas,
pengkelat logam, dan peredam terbentuknya singlet oksigen.
2.3 Uji Aktivitas Antioksidan
Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui
melalui uji aktivitas antioksidan. Terdapat berbagai metode pengukuran aktivitas
antioksidan.
Pada
prisipnya
metode-metode
tersebut
digunakan
untuk
Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor
Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau
sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin
besar
aktivitas
antioksidan
maka
nilai
IC50
akan
semakin
kecil.
protoplasma membengkak dan bahan yang terkandung di dalam sel akan terlarut
sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994).
Menurut Ansel (1989) dan Winarno et al. 1973, ekstraksi dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase
dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan
dengan menggunakan pelarut organik. Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi
dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa
yang diekstrak dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut
yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi
antara zat telarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut pada pelarut polar
juga, begitu juga sebaliknya.
Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH,
dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut
adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan, dan harga (Harborne 1987). Harborne (1987) mengelompokkan metode
ekstraksi menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi
sederhana terdiri atas:
a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam
pelarut dengan atau tanpa pengadukan;
b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;
c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk
melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;
d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
Ekstraksi khusus terdiri atas:
a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk
melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;
b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana
sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan;
c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang
menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz
berperan juga pada proses fisiologi. Bahan organik sekunder itu dapat dibagi
menjadi tiga kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid dan terpenoid, tetapi pigmen
dan porfirin juga termasuk di dalamnya (Purwanti 2009).
Zat metabolit sekunder memiliki banyak jenis, adapun jenis dari metabolit
sekunder yang dapat kita ketahui antara lain kumarin (Copriandy et al. 2005),
azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin (Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat
metabolit sekunder sangat banyak.Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai
antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek
karsinogenik (Copriandy et al. 2005), selain itu metabolit sekunder juga dapat
dimanfaatkan sebagai antiagen pengendali hama yang ramah lingkungan
(Samsudin 2008).
2.6 Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam
senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu
mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya,
penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Senyawa
fitokimia bukanlah zat gizi , namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat
tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008). Alasan
melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif
penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar
bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987).
2.6.1 Alkaloid
Alkaloid pada umumnya mencangkup senyawa bersifat basa yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai
bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Sirait (2007) menyatakan alkaloid
adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid biasanya tanpa warna,
seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit
yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid merupakan
turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan
suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloid dipisahkan dari kandungan
2.6.2 Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna,
berbentuk Kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif (Harborne 1987).
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen
sebenarnya, steroid, saponin, dan glokisida jantung (cardiac glycoside). Beberapa
triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007).
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat
diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, sehingga
golongan senyawa ini cenderung tidak larut air (Wilson dan Gisvold 1982).
2.6.3 Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua
inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki
karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B
biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa ini
dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah
ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol,
oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak
(Harborne 1987).
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu
menunjukkan pita swrapan kuat pada daerah spectrum UV dan spectrum tampak.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan
aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-
mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar
sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon,
glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon (Harborne 1987)
Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja
antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Adapun
fungsi flavonoid dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung,
hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi berkerja
sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait 2007).
2.6.4 Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam
lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula
pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam
air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat
(Winarno 1997). Selain itu saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering
menyebabkan heomolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai
senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik
dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Banyak
saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum
ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu
mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti
terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin
karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum
disajikan pada Gambat 6.
dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO 2)
yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan
karbohidrat
sederhana
glukosa
dan
oksigen
yang
dilepas
di
udara
(Almatsier 2006).
Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida,
serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari
lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10
monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri
lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Karbohidrat mempunyai
peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan,
timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan berguna untuk metabolisme lemak dan
protein dalam tubuh (Budiyanto 2002).
2.6.7 Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak
mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,
sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus
glukosanya (Winarno 2008).
Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan
Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi
Ag+ menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk
mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes
(Pine et al. 1988) .
Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida
disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul
karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat
maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung
kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion
Cu2+ menjadi Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. adanya natrium
karbohidrat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah.
Endapan yang terbentuk dapat bewarna hijau, kuning atau merah bata. Warna
endapan
ini
tergantung
pada
konsentrasi
karbohidrat
yang
diperiksa
(Poedjiadi 1994).
2.6.8 Peptida
Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptide (-CONH-) dengan
melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan
ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan
banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus
karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam
amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air
(Winarno 2008).
2.6.9 Asam amino
Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan
dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah
gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hydrogen dan gugus R yang
terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon , serta gugus R
merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi dan mempunyai
konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam
amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 2008).
Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk
ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus
amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi.
Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang
rendah misalnya pada pH 1.0 gugus karboksilatnya tidak terdisosiasi, sedang
gugus aminonya menjadi ion. Pada pH tinggi misalnya pada pH 11.0 karboksilnya
terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 1997).
Ninhidrin adalah pereaksi yang digunakan secara luas untuk mengukur
asam amino secara kuantitatif. Pereaksi itu bereaksi dengan hampir semua asam
amino, menghasilkan senyawa bewarna lembayung (prolina memberikan warna
kuning) (Pine et al. 1988).
3 METODOLOGI
peraksi Molisch, asam sulfat pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict),
pereaksi Biuret (uji Biuret), dan larutan Ninhidrin 0.1% (uji Ninhidrin). Alat-alat
yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen,
timbangan digital, aluminium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur
pengabuan, kertas saring Whatman bebas abu dan bebas lemak, kapas bebas
lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu
Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, grinder,
homogenizer, sentrifuse, vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas
piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes,
tabung reaksi, vortex, sendok plastik dan gelas piala.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan
sampel, tahapan perhitungan rendeman, tahap analisis kimia keong ipong-ipong
berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut
asam), tahap pembuatan ekstrak kasar keong ipong-ipong, uji kuantitatif aktivitas
antioksidan dan uji fitokimia
3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku
Pengambilan sampel keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dilakukan di
pantai kota Cirebon, provinsi Jawa Barat . Pengambilan sampel dilakukan dengan
mengambil keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) pada subtrat lumpur yang
ditempati keong tersebut. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) tersebut
kemudian dimasukan dalam wadah berisi air laut perairan tempat hidupnya. Hal
ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keong ipong-ipong selama
proses transportasi ke laboratorium karakteristik bahan baku di Institut Pertanian
Bogor. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penentuan ukuran dan berat rata-rata
dari 30 ekor keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) secara acak. Kemudian
sampel dihitung rendemennya (cangkang dan daging) dengan rumus:
Rendemen (%) = (Bobot contoh (g)/Bobot total (g)) x 100%
Daging-daging
keong
ipong-ipong
yang
telah
dipisahkan
dari
dan jeroan yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji
aktivitas antioksidannya dan fitokimia.
3.3.2. Analisis proksimat (AOAC 2005)
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar
air, abu, lemak, protein dan abu larut asam.
1) Analisis kadar air (AOAC 2005)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.
Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali
hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau
hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut
dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya
ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air :
% Kadar air = B - C x 100%
B-A
Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)
2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu
o
akan turun hingga 0,80 (batas maksimal) sehingga pertumbuhan mikroba dapat
dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau
oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat
dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia
(Winarno 2008).
Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat
dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah,
air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan (pelarut) dalam jumlah yang
cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat
sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu
rendah (sesuai dengan titik didih pelarut). Apabila pemanansan dilakukan dengan
menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 C pada tekanan udara 1 atm, maka
komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak
oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah
yang kecil pada larutan ekstrak.
Isi cangkang keong ipong-ipong (daging dan jeroan) yang telah kering
tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang
halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk/tepung) diharapkan dapat
memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut,
sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal.
Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang
digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988). Metode ini
digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform
p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a (polar). Ketiga pelarut
ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air,
sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi (500 mmHg,
50 C). pada tekanan udara 1 atm (760 mmHg), kloroform memiliki titik didih
sebesar 61 C , metanol sebesar 65 C dan etil asetat 77 C. palarut etanol tidak
dipilih untuk menggantikan pelarut metanol (polar) karena titik didihnya jauh
lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 C (Lehninger 1988).
Prabowo (2009) menyatakan, kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat
adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses
ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian
ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang
terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi
bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel
yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif
tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini
diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol.
Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non
polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat
dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan
ekstraksi menggunakan pelarut non polar (kloroform p.a) terlebih dahulu,
dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat p.a.) dan terakhir menggunakan
pelarut polar (metanol p.a.).
Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut
kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan
menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian
disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu.
Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml
selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm,
sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut
memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada
suhu 50 C.
Hasil proses
disaring
dengan kertas
Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak
100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan
orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi
sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum
evavorator pada suhu 50 C.
Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring
Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievavorasi sehingga semua
pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu
50 C, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan
ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses
ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8.
25 gr Sampel
Filtrat
Evaporasi
Ekstrak kloroform
Residu
Filtrat
Residu
Evaporasi
Maserasi dengan
metanol selama 48 jam
Penyaringan
Filtrat
Evaporasi
Ekstrak metanol
Residu
pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang
akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol
dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan
dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.
Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah
dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 l larutan
DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran
tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800
pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur
untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan
mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 l larutan DPPH 1 mM dalam
tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu,
aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding
BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai
berikut:
% inhibisi = (A blanko A sampel) x 100%
A blanko
dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan
40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium
iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan
dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi
ini berwarna jingga.
b. Steroid/ triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi
yang kering. Lalu, ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes
asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali
kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.
c. Flavonoid
Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil
alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama)
dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,
kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
Cangkang
Warna
Coklat
kekuningan,
berbulu halus
Tekstur
Keras
Isi Cangkang
Daging: krem
Jeroan :
hijau, hitam,
putih (Saluran
dan kelenjar
pencernaan).
Putih krem
(gonad)
Daging: kenyal
Jeroan: lunak
dan mudah
hancur bila
ditekan.
Operkulum
Coklat cerah
maka
semakin
tinggi
pula
nilai
ekonomisnya
sehingga
Gambar 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong
ipong-ipong
menempel pada substrat. Keong ipong-ipong di duga mengandung abu tidak larut
asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam
saluran pencernaannya, ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas
makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat
pada Gambar 10 dan cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.
1) Kadar air
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan.
Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena
air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan.
Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan
pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang
dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan
pangan yang dapat mempercepat pembusukan (Winarno 2008). Hasil pengukuran
kadar air menunjukkan bahwa keong ipong-ipong memiliki kadar air yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 73,07%.
Prinsip anlisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
megukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan
dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III
(Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang
hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler,
serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba
dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya air tipe III ini
pada keong ipong-ipong, dapat menyebabkan keong ipong-ipong mudah sekali
mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar.
Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan
juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya
enzim protease seperti katepsin.
2) Kadar lemak
Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang
terkandung pada isi cangkang keong ipong-ipong. Lemak merupakan komponen
yang larut dalam pelarut organik seperti heksan, eter dan kloroform. Menurut
Poedjiadi (1994), lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang,
sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat
dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan
karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan
9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang
dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat
digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K)
(Winarno 2008; Belitz et al. 2009).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung
lemak dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,57%. kadar lemak
yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air keong ipong-ipong sangat
tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara
drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air
umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998).
Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar
air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi.
yang
terdapat
pada
hewan
umumnya
berbentuk
glikogen
(Winarno 2008).
4.2 Ekstrak Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong
Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak
digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan
baku. Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari
suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang
diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973), menambahkan
ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi
komponen-komponen
yang
terpisah.
Proses
ekstraksi
bertujuan
untuk
ekstrak polar dari masing-masing komoditas tersebut terdapat dalam jumlah yang
lebih banyak jika dibandingkan dengan ekstrak semi polar dan non polar.
4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar
Ekstrak kasar keong ipong-ipong yang diperoleh dari ekstraksi serbuk
keong
ipong-ipong
menggunakan
pelarut
kloroform
p.a.
(non
polar),
etil asetat p.a. (semi polar), dan metanol p.a. (polar) diuji komponen bioaktifnya
menggunakan metode fitokimia. Pengujian ini akan menghasilkan komponen
bioaktif apa saja yang terlarut pada tiap-tiap pelarut tersebut.
Uji fitokimia dipilih karena dapat mendeteksi komponen bioaktif yang tidak
terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer
yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida
(Kannan et al. 2009). Uji fitokimia yang dilakukan meliputi pengujian pada
kompenen karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino sebagai metabolit
primer, sedangkan untuk metabolit sekunder dilakukan uji alkaloid, steroid,
flavonoid, saponin, fenol hirdokuinon (Harborne 1984). Uji fitokimia yang
dilakukan pada penelitian ini, meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,
fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Adapun
hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat
dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong
Uji
Alkaloid:
a. Dragendorf
b. Meyer
c. Wegner
Steroid
Flavonoid
Saponin
Fenol
Hidroquinon
Molisch
Benedict
Biuret
Ninhidrin
Kloroform
Daging Jeroan
EKSTRAK
Etil Asetat
Daging Jeroan
Metanol
Daging Jeroan
++
-
+
++
-
+
+
+
-
+
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
+
++
++
+
++
++
Keterangan:
+ : Lemah
++: Kuat
pada pelarut kloroform. Bioaktif jenis dari alkaloid ini umunya larut pada pelarut
organik non polar, akan tetapi ada beberapa kelompok seperti pseudoalkaloid dan
protoalkaloid, kelompok ini larut pada pelarut polar seperti air (Lenny 2006).
Pelarut organik yang digunakan pada penelitian ini adalah pelarut kloroform p.a.,
tetapi pada ekstrak daging keong ipong-ipong tidak menunjukkan reaksi positif
adanya alkaloid. Ekstrak daging yang menunjukkan hasil yang positif justru
dengan pelarut etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a. (polar). Hal ini
menunjukkan bahwa bagian daging keong ipong tidak mengandung alkaloid
(sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung protoalkaloid dan
pseudoalkaloid saja. Akan tetapi pada ekstrak jeroannnya mengandung alkaloid
(sesungguhnya) yang bersifat racun. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif
sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin
heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid merupakan komponen alkaloid yang tidak
diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya bersifat basa (Lenny 2006).
Bioaktif alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol dan etil asetat pada
ekstrak daging dan ekstrak kloroform, etil asetat dan metanol di jeroan pada
keong ipong-ipong ini dapat digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder dari
keong ipong-ipong sendiri.
Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang
memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara
luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Komponen alkaloid pada ekstrak
keong ipong-ipong ini diduga juga memiliki sifat antioksidan, sama seperti jenis
alkaloid yang ditemukan oleh Porto et al. (2009) pada daun Psychotria
brachyceras yaitu brachycerine, yang memiliki aktivitas antioksidan dan juga
berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C). Alkaloid
jenis isokuinolin diduga berhubungan erat dengan senyawa alkaloid tipe quinin,
dan diduga pula memiliki aktivitas sebagai obat malaria seperti quinine
(Putra 2007). Hal ini menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut
tentang jenis alkaloid yang terkandung dalam ekstrak metanol dengan
menggunakan reagen alkaloid, kromatografi, atau metode spektra (UV, IR, MS
dan NMR) (Harborne 1984). Ketika jenis alkaloidnya telah diketahui dengan
jelas, maka fungsi fisiologisnya pun dapat ditentukan dengan tepat.
2) Steroid
Adapun pengujian yang telah dilakukan dan digunakan secara luas untuk
mendeteksi triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang
memberikan warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid.
Triterpenoid
merupakan komponen dengan kerangka karbon yang terdiri dari 6 unit isoprene
dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon asiklik). Triterpenoid
memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar terdiri atas alkohol,
aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki
titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi
(Harborne 1984).
Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin
cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan
hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks,
hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini
steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984).
Adapun komponen steroid yang terdeteksi pada ekstrak daging dan jeroan
keong ipong-ipong
seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang juga merupakan
Gastropoda (Bose et al. 1997). Steroid ini juga diduga memiliki efek peningkat
stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Setzer (2008), triterpenoid alami juga memiliki aktivitas antitumor
karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II,
dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA
dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat
mengikat DNA.
Berdasarkan
hasil
uji
fitokimia
menunjukkan
bahwa
komponen
triterpenoid/steroid ini terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong yang memiliki tingkat polaritas yang berbeda. Prekursor dari
pembentukan triterpenoid/steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar
(Harborne 1984), sehingga diduga triterpenoid/steroid dapat larut pada pelarut
organik (non polar).
triterpenoid/steroid terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut
kloroform (non polar) ataupun ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut etil
asetat (semipolar) keong ipong-ipong. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa triterpenoid/steroid juga terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan
dengan pelarut metanol (polar).
merupakan pelarut polar, yang juga dapat mengekstrak komponen lainnya yang
bersifat non polar ataupun semipolar. Schimidt dan Steinhart (2001) menyatakan
bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan
hasil yang berbeda nyata.
3) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk
melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama
dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati),
transportasi
energi
(sukrosa),
serta
pembangun
dinding
sel
(selulosa)
berbeda-beda.
Karbohidrat
umumnya
aman
untuk
dikonsumsi
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ketiga ekstra kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong
positif
mengandung
4) Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak
mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,
sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus
glukosanya (Winarno 2008).
Hasil pengujian fitokimia untuk gula pereduksi, terdeteki pada ekstrak
kasar daging dengan pelarut metanol, sedangkan untuk kedua pelarut lainnya pada
ekstrak daging tidak terdeteksi, begitu juga pada ekstrak jeroan untuk ketiga
pelarut yang digunakan. Terdeteksinya gula pereduksi pada ekstrak metanol
daging keong ipong-ipong ini menandakan bahwa, pada ekstrak daging tersebut
terdapat gula jenis aldosa. Terdeteksinya gula pereduksi ini disebabkan karena
gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict
dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi Ag+
menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk
mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes
(Pine et al. 1988) .
5) Peptida
Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam
amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik
unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus -amino dari
molekul lain, dengan
sedangakan untuk peptida yang terdeteksi pada ekstrak jeroan diduga jenis
hormon tertentu. Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata.
Salah satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam
pusat sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh
yang dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan
reseptor spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan
morfin, heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian
Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang
memiliki berat molekul <5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida
tersebut memiliki nilai IC50 sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker
kolon (HCT-116) dan sel kanker payudara (HTB-26).
6) Asam amino
Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino
dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.
Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom -carbon yang berikatan secara
kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus
rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi dan mempunyai konfigurasi L,
kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L
yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008).
Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin
terdeteksi asam amino pada ekstrak kasar daging dan
jeroan
pada pelarut
metanol, akan tetapi tidak terdeteksi pada kedua pelarut lainnya untuk kedua
ekstrak tersebut. Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino
yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non
protein (bukan penyusun protein). Kamil et al. (1998) menyatakan bahwa, asam
amino-asam amino yang terlarut pada pelarut metanol ini merupakan asam amino
yang memiliki sifat polar (hidrofilik), baik yang bermuatan ataupun yang tidak
bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin (asam amino polar bermuatan), treonin
(asam amino polar tak bermuata). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak
kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) tidak mengandung
asam amino.
Hal ini diduga karena asam amino-asam amino non polar ini
terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada sampel keong ipong-ipong yang
digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi oleh pereaksi Ninhidrin
0,10% pada ekstrak kloroform ataupun ekstrak etil asetat.
Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini didahului dengan
hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada ekstrak
daging dan jeroan dari metanol. Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua
atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini
dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan
gugus -amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat
(Lehninger 1988; Belitz et al. 2009). Tidak terdeteksinya komponen-komponen
yang berikatan peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah
terhidrolisis sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang
terdeteksi pada uji Ninhidrin ekstrak metanol.
Uji
aktivitas antioksidan pada tiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipongipong
reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah
warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan
etanol ataupun metanol (Molyneux 2004).
Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas
DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya
memerlukan sedikit sampel, akan tetapi jumlah pelarut pengencer yang diperlukan
dalam pengujian ini cukup banyak.
metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH
(Molyneux 2004; Suratmo 2009) dan juga memiliki sifat yang dapat melarutkan
komponen non polar di dalamnya, hal ini mengingat ketiga ekstrak yang diuji
memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda.
Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah
antioksidan sintetik BHT (butylated hydroxytoluene).
pengenceran dari masing-masing larutan stok ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong 1000 ppm. Perhitungan pembuatan larutan stok dan proses
pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila
senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH,
yang
ditandai
dengan
perubahan
warna
ungu
menjadi
kuning
pucat
(Molyneux 20004). Perubahan warna ini hanya tampak pada larutan BHT yang
diberi larutan DPPH 1 mM dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC,
sedangkan pada larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang
telah diberi perlakuan sama tidak terlalu menunjukkan perubahan warna yang
signifikan. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong yang diuji terlalu kecil dan jauh dari nilai konsentrasi ekstrak
yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50% (IC50). Perubahan warna yang
mengindikasikan adanya reaksi peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa
antioksidan pada
% Inhibisi
IC50 (ppm)
2 ppm
4 ppm
6 ppm
8 ppm
12,55
23,67
79,37
89,45
4,91
Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipongipong (Fasciolaria salmo)
Sampel Daging
% Inhibisi
IC50 (ppm)
200 ppm
400 ppm
600 ppm
800 ppm
Ekstrak Kloroform
22,90
24,14
24,61
25,19
9210
23,85
24,23
24,42
26,52
6825
Ekstrak Metanol
33,93
34,60
38,02
41,82
1513,8
Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipongipong (Fasciolaria salmo)
Sampel Jeroan
% Inhibisi
IC50 (ppm)
200 ppm
400 ppm
600 ppm
800 ppm
Ekstrak Kloroform
13,49
15,30
21,19
21,38
2825
15,39
15,87
17,96
20,24
4600
Ekstrak Metanol
19,96
28,13
33,84
43,63
994,47
Empat konsentrasi larutan BHT (2, 4, 6 dan 8 ppm) yang digunakan dalam
penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. (2005), dimana
dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC50 BHT sebesar
3,81 ppm. Penelitian ini, nilai IC50 BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm. Nilai
IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. (2005)
dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan
antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (< 50 ppm) menurut klasifikasi
Blois (1958) dalam Molyneux (2004). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini
menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT yang digunakan dengan persen
inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong
dengan persen inhibisinya.
Gambar 15. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong
dengan persen inhibisinya.
sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai
IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004).
Menurut klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong
tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC 50-nya
lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas
antioksidan dari BHT.
Data-data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki
aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada
ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Hal ini terlihat dari
nilai IC50 BHT yang jauh berbeda dengan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak
kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Nilai IC50 antioksidan BHT jauh
lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipongipong. Hal ini dapat terjadi dikarena ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong
yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar
(crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan
merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam
pelarut selama proses ekstraksi.
Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi
tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni
dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.
Contohnya adalah komponen alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak kasar jeroan
pada ketiga pelarut dan ekstrak daging pada etil asetat dan metanol. Komponen
alkaloid murni dari ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong diduga memiliki
aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal ini
menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong tersebut.
berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan DPPH
pada penenlitian ini adalah metanol yang memiliki sifat polar, sehingga dapat
diduga bahwa komponen bioaktif yang bersifat non polar pada ekstrak kloroform
tidak larut sepenuhnya pada pelarut ini. Jumlah komponen bioaktif yang terlarut
pada masing-masing pelarut akan berbeda dan pada akhirnya akan berpengaruh
pada nilai IC50 yang dihasilkan. Nilai IC50 akan semakin besar jika ekstrak yang
terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini menyebabkan perlu
dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode pengujian
lainnya yang universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semi
polar ataupun non polar. Metode DPPH merupakan salah satu metode pengujian
aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat
polar, karena kristal DPPH sendiri hanya dapat larut dan memberikan absorbansi
maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol seperti yang dikemukakan oleh
Vattem dan Shetty (2006) ; Amrun dan Umiyah (2005); serta Molyneux (2004).
5.1 Kesimpulan
Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) yang berasal dari Desa Gebang,
Kota Cirebon, Jawa memiliki rendemen daging (22,08%), jeroan (8,22%) dan
cangkang (69,69%), yang sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan
lebih lanjut. Keong ipong-ipong ini mengandung air yang cukup tinggi (73,07%),
lemak yang rendah (0,57%), protein dalam jumlah yang tinggi (18,28%), abu
(2,77%), abu tidak larut asam (0,15%) dan karbohidrat (5,2%).
Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas
antioksidan yang sangat lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan
BHT. Walaupun begitu, ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini
mengandung 6 komponen bioaktif yang terdeteksi melalui uji fitokimia, yaitu
komponen alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino.
Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis
yang positif bagi tubuh manusia. Selain itu adanya kandungan steroid pada keong
ipong-ipong membuktikan khasiat dari keong tersebut secara empiris yang dapat
meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjutan berupa pemurnian ekstrak dan pengujian aktivitas antioksidan
ekstrak murni tersebut, serta penentuan struktur bangun komponen bioaktif pada
ekstrak murni dengan spektrum UV, IR dan NMR. Identifikasi senyawa-senyawa
bioaktif lainnya dalam ekstrak daging dan jeroan dari keong ipong-ipong
menggunakan GC-MS (gaschromatography mass spectroscopy). Penentuan
komposisi asam lemak, vitamin dan mineral juga perlu dilakukan. Selain itu,
perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dari steroid yang terkandung di dalam
tubuh keong ipong-ipong, dikaitkan dengan pengaruh pengolahan.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: Gramedia.
Amrun MH, Umiyah. 2005. Pengujian antiradikal bebas difenilpikril hidrazil
(DPPH) ekstrak buah kenitu (Chrysophyllum cainito L.) dari daerah
sekitar Jember. Jurnal Ilmu Dasar 6(2):110-114.
Anand P, Chellaram C, Kumaran S, Shanthini CF. 2010. Biochemical
composition and antioxidant activity of Pleuroploca trapezium meat.
J. Chem. Pharm. 2(4):526-535
Andriyanti R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut
(Discodoris sp.) asal perairan Kepulauan Belitung [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Ansel. 1989. Pengatur Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Method of
Anaalysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT
Gramedia.
Barnes, R. D. 1987. Invertebrate Zoology. Fith edition. Sounders College
Publishing.
Belitz , H.D. dan W. Grosch.1978. Food Chemistry. Berlin: Springer Verlag.
Berry, A. J. 1972. Fauna Zonatio in Mangrove Swamps. Malaysia: Departement
of Zoology, University of Malaya
Blois, MS.1958. Antioxidant determinations by the use of a stable free radical.
Journals Nature 181: 1199-1200.
Bose R, Majumdar C, Bhattacharya S. 1997. Steroids in Achatina fulica
(Bowdich): steroid profile in haemolymph and in vitro release of
steroids from endogenous precursors by ovotestis and albumen gland.
Comp Biochem Physiol 116C(3):179-182.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Teh Kering Dalam Kemasan.
Jakarta:SNI-01-3836-2000
Ilmu
Gizi.
Malang:
Universitas
Buck DF. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive Users
Handbook. UK: Blackie Academic & Profesional, Glasgow.
Campanella L, Gatta T, Ravera O. 2005. Relationship between anti-oxidant
capacity and manganese accumulation in the soft tissues of two
freshwater molluscs: Unio pictorum mancus (Lamellibranchia,
Unionidae) and Viviparus ater (Gastropoda, Prosobranchia). J. Limnol
64(2): 153-158
Cavas L, Yurdakoc K, Yokes B. 2004. Antioxidant status of Lobiger serradifalci
and Oxynoe olivacea (Opisthobranchia, Mollusca). Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology 314:227-235
Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton,
editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers.
Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin
dari kulit buah jeruk nipis (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2:1315.
Dance P S. 1977. The Encyclopedia of Sheel. London: Blanford Press.
Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker,
Inc.
Food Chemical Codex. 1992. Carrageenan. Washington: National Academy
Press
Gordon, M.H 1990. The Mechanism of Antioxidants Action In Vitro. Di dalam:
B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. London: Elsivier Applied
Science.
Halliwell B. 2007. Dietary polyphenols: good, bad, or indifferent for your health.
J. Cardiovascular Research 73:341347.
Hamilton, R.J. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di dalam: J.C. Allen
dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied
science Publishers.
Hanani E, Munim A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam
spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu
Kefarmasian 2(3):127-133.
Harborne JB. 1984. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and
Hall.
Nuraini AD. 2007. Ekstraksi komponen antibakteri dan antioksidan dari biji
teratai (Nymphaea pubescens Wild) [skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Nurjanah. 2009. Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan pantai
Pulau Buton sebagai antioksidan dan antikolesterol [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pierleimena E H. 2002. Potensi Pemanfaatan Beberapa Jenis Keong Laut
(Molusca: Gastropoda). Jurnal Hayati: 9:97-99.
Plaziat, C. J. 1984. Mollusc Distribution in Mangal. Washinton: Dr. W. Junk
Published.
Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.
Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South
American Psychotria and related species. The Open Bioactive
Compounds Journal 2:29-36.
Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan dari keong matah merah (Cerithidea
obtusa) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T.
Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food
and Their Effects on Health H. Washington DC: American Society.
Pratt, D.E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited
Comercially. Di dalam : B.J.F.Hudson, editor. Food Antioxidants.
London: Elsevier Applied Science.
Purwati
steroid
LAMPIRAN
Tampak bawah
Tampak atas
: 1046 gram
Berat cangkang
: 729 gram
Berat daging
: 231 gram
Berat jeroan
: 86 gram
b. Kadar lemak
c. Kadar protein
d. Kadar abu
a. Ekstrak kloroform
-
Daging
Jeroan
Daging
Jeroan
c. Ekstrak methanol
-
Daging
Jeroan
Rendemen (%)
Daging
Jeroan
0.246
1.984
1.3384
6.412
10.7712 13.668
0,001 M
berat DPPH
=
= 12,5 mg = 0,0125 g
BHT 2 ppm
=
=
=
BHT 4 ppm
=
=
=
BHT 6 ppm
=
=
=
BHT 8 ppm
=
=
=
=
= 50 mg = 0,05 g
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
BHT + DPPH 1 mM
Sampel
1) Persen inhibisi
BHT 2 ppm =
BHT 4 ppm
BHT 6 ppm
BHT 8 ppm
%
Inhibisi
Persamaan regresi
linear
IC50 (ppm)
12,55
23,67
79,37
89,45
y = 14,32x 20,35
4,91
2) IC50
y
= 14,32x 20,34
50
= 14,32x 20,34
70,34 = 14,32x
x
= 4,91 ppm
IC50 untuk BHT adalah 4,91 ppm.
b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform
-
Daging
Sampel
Daging
Blanko
Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.811
400
0.798
Kloroform
600
0.793
800
0.787
Sampel Konsentrasi
Absorbansi
Daging
(ppm)
Blanko
0
1,052
200
0.801
400
0.797
Etil
Asetat
600
0.795
800
0.773
Sampel
Daging
Blanko
metanol
Sampel
Jeroan
Blanko
%
Inhibisi
22.90
24.14
24.61
25.19
%
Inhibisi
Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.695
400
0.688
600
0.652
800
0.612
23.85
24.23
24.42
26.52
Persamaan
regresi linear
IC50
(ppm)
y = 0.003x +
22.37
9210
Persamaan regresi
linear
IC50 (ppm)
y = 0.004x + 22.70
6825
%
Inhibisi
33.93
34.60
38.02
41.82
Persamaan
regresi linear
IC50
(ppm)
y = 0.013x +
30.32
1513.8
Jeroan
Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.910
400
0.891
Kloroform
600
0.829
800
0.827
%
Inhibisi
13.49
15.30
21.19
21.38
Persamaan regresi
linear
IC50
(ppm)
y = 0.014x +
10.45
2825
Sampel
Jeroan
Blanko
Etil asetat
Sampel
Jeroan
Blanko
Metanol
Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.890
400
0.885
600
0.863
800
0.839
%
Inhibisi
Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.842
400
0.756
600
0.696
800
0.593
%
Inhibisi
15.39
15.87
17.96
20.24
19.96
28.13
33.84
43.63
Persamaan
regresi linear
IC50
(ppm)
y = 0.008x +
13.20
4600
Persamaan
regresi linear
IC50
(ppm)
y = 0.038x +
12.21
994.47
Lampiran 8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong
ipong-ipong
a. Ekstrak kloroform
Ekstrak Daging
Ekstrak Jeroan
Ekstrak Daging
Ekstrak Jeroan
c. Ekstrak methanol
Ekstrak Daging
Ekstrak Jeroan