Anda di halaman 1dari 84

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF

KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)

AZWIN APRIANDI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

RINGKASAN

AZWIN APRIANDI. C34070081. Aktivitas Antioksidan dan Komponen


Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo). Dibimbing oleh
NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH.
Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis
Gastropoda air laut. Sebagai Gastropoda air laut, sampai saat ini keong ipongipong hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Masyarakat meyakini bahwa
keong ipong-ipong ini bermanfaat untuk meningkatkan stamina tubuh dan
vitalitas. Akan tetapi fakta ilmiah yang mendukung manfaat dari keong tersebut
belum ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian atau penelitian mengenai
komponen bioaktif yang terkandung pada keong ipong-ipong, yang mungkin
memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini dilakukan sebagai salah
satu langkah untuk mengetahui pamanfaatan keong ipong-ipong dimasa
mendatang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan
zat gizi (air, lemak, protein, abu dan abu tidak larut asam), aktivitas antioksidan
dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong. Pengujian
yang digunakan meliputi analisis proksimat, uji kuantitatif aktivitas antioksidan
dengan metode DPPH, dan uji fitokimia.
Keong ipong-ipong pada penelitian ini berasal dari Desa Gebang, Kota
Cirebon, Jawa Barat. Rendemen cangkang, isi dan jeroan keong ipong-ipong
berturut-turut sebesar 69,69%, 22,08% dan 8,22%, sangat potensial dan ekonomis
untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Keong ipong-ipong mengandung air sebesar
73,07%, protein sebesar 18,28%, lemak sebesar 0,57%, abu sebesar 2,77%,
abu tidak larut asam sebesar 0,15% dan karbohidrat sebesar 5,2%.
Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas
antioksidan yang terlihat dari nilai IC50 yang diperoleh. Nilai IC50 dari ekstrak
kloroform daging dan jeroan sebesar 9210 ppm dan 2825 ppm, ekstrak etil asetat
nya sebesar 6825 ppm dan 4600 ppm dan ekstrak metanolnya sebesar 1513,8 ppm
dan 994,47 ppm. Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini
mengandung 6 dari 9 komponen bioaktif yang diuji dengan metode fitokimia,
antara lain alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino
bebas. Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas
fisiologis yang positif bagi kesehatan tubuh manusia. Salah satunya adalah
kandungan steroid pada keong ipong-ipong. Hal ini membuktikan manfaat dari
keong tersebut secara empiris yang dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh
serta vitalitas.

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF


KEONG IPONG-IPONG (Fasciolaria salmo)

AZWIN APRIANDI
C34070081

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan


di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul

: AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN


BIOAKTIF
KEONG
IPONG-IPONG
(Fasciolaria salmo)

Nama

: Azwin Apriandi

NRP

: C34070081

Departemen

: Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,
Dosen Pembimbing I

Dosen Pemimbing II

Dr. Ir. Nurjanah, MS


NIP.1959 1013 1986 01 2 002

Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.


NIP. 1983 0405 2005 01 2 001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc


NIP.19610410 198601 1 002

Tanggal Lulus : 17 FEBRUARI 2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul Aktivitas
Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo)
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2010

Azwin Apriandi
C34070081

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan
penyusunan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar
Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi
hasil penelitian ini berjudul Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada
Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada:
1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. selaku
dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan
yang telah diberikan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
3. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi
Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah banyak membantu
penulis selama proses penyusunan skripsi.
4. Pak Haris Fadillah selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun,
yang telah memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis.
5. Keluarga terutama Bapak, ibu dan Adik yang telah memberikan semangat,
materil dan doanya, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
6. Novi Winarti yang telah memberi semangat dan motivasi kepada penulis
selama menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman THP 44, 43, 42 yang telah banyak memberikan masukan
dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak banyak kekurangan dalam


penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, September 2010

Azwin Apriandi
C34070081

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Kepulauan Riau pada tanggal
2 April 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara
pasangan Darwin dan Azizah, S.Pd.I.
Penulis memulai jenjang pendidikan formal di
MI Baitul Mubin Alai Kecamatan Kundur (tahun 19952001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya
di MTsN Tanjungbatu Kundur (tahun 2001-2004),
pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Kundur dan lulus pada
tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis memperoleh Beasiswa Utusan Daerah
(BUD) untuk melanjutkan pendidikan kuliah ke Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi
kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan sebagai
anggota divisi peduli pangan. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata
kuliah Biokimia Hasil Perairan 2009-2010 dan 2010-2011, asisten praktikum mata
kuliah Biotoksikologi Hasil perairan 2010-2011, asisten mata kuliah Teknologi
Pengolahan Hasil Perairan 2010-2011 dan koordinator asisten mata kuliah
Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan 2010-2011
Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan
penelitian yang berjudul Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif
Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria
salmo) di bawah bimbingan
Dr. Ir. Nurjanah, MS. dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ..

vii

DAFTAR TABEL .....

ix

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN.....

1.1 LatarBelakang .....

1.2 Tujuan ..

2 TINJAUAN PUSTAKA ...

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong


(Fasciolaria salmo).

2.2 Antioksidan .............


2.2.1 Fungsi antioksidan..
2.2.2 Jenis-jenis antioksidan .......
2.2.1.1 Antioksidan sintetik...
2.2.1.2 Antioksidan alami......

4
5
6
6
7

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan .........

2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif......

2.5 Metabolit Sekunder.......

11

2.6 Analisis Fitokimia.....


2.6.1 Alkaloid .....
2.6.2 Steroid/triterpenoid ...
2.6.3 Flavonoid ..
2.6.4 Saponin .
2.6.5 Fenolhidrokuinon .....
2.6.6 Karbohidrat ...
2.6.7 Gulapereduksi ..
2.6.8 Peptida ..
2.6.9 Asam amino ...

11
12
13
14
14
15
16
16
17
17

3 METODOLOGI........

19

3.1 Waktu dan Tempat .......

19

3.2 Bahan dan Alat ............

19

3.3 Metode Penelitian ....


3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku.............
3.3.2 Analisis proksimat .........

20
20
21

Analisis kadar air (AOAC 2005) .


Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Analisis kadar protein (AOAC 1980) ..
Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Analisis kadar abu tidak larut asam menurut
SNI 01-3836-2000 (BSN 2000)
3.3.3 Analisis antioksidan dengan metode DPPH...........
1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988dalam
Darusman et al.1995)..
2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam
Hanani et al. 2005) .
3.3.4 Uji fitokimia (Harborne 1984) ..
1)
2)
3)
4)
5)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN....

21
21
22
22
23
23
23
26
27
30

4.1 Karakteristik Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo)


4.1.1 Rendemen .
4.1.2 Komposisi kimia .
1) Kadar air ..
2) Kadar lemak
3) Kadar protein ..
4) Kadar abu
5) Kadar abu tidak larut asam .
6) Kadar karbohidrat ...

30
31
32
33
34
35
35
36
37

4.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif pada Keong Ipong-Ipong ....


4.2.1 Ekstrak kasar .
4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar .
1) Alkaloid ...
2) Steroid .
3) Karbohidrat .
4) Gula pereduksi .
5) Peptida ..
6) Asam amino .

37
38
40
41
43
44
46
46
47

4.3 Aktivitas Antioksidan ..

48

5 KESIMPULAN DAN SARAN

56

5.1 Kesimpulan ..

56

5.2 Saran .

56

DAFTAR PUSTAKA

57

LAMPIRAN...

62

DAFTAR TABEL

Nomor

Teks

Halaman

1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang


dan operkulum keong ipong-ipong.

30

2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong..

40

3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT...

50

4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging


keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)...

50

5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan


keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)...

51

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Teks

Halaman

1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)..

2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida 6


3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine ..

4. Struktur alkaloid ...

12

5. Struktur steroid .....

13

6. Struktur umum saponin.....

15

7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong


(Fasciolaria salmo).. 26
8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang
Cirebon.. 30
9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan)
keong ipong-ipong...

31

10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2).....

33

11. Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong .....

38

12. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya... 51


13. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging
keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya... 52
14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan
keong ipong-ipong dengan persen inhibisinya... 52

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong. ........

63

2. Perhitungan rendemen keong ipong-ipong .

63

3. Perhitungan analisis proksimat .......

63

4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong..

65

5. Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya ......

66

6. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi perdaman DPPH

68

7. Perhitungan persen inhibisi dan IC50...

68

8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong


ipong-ipong......

70

9. Gambar-gambar selama proses ekstraksi.......

71

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Semakin majunya zaman menyebabkan semakin tingginya tuntutan
terhadap aktivitas dunia kerja. Kondisi ini akan memaksa masyarakat untuk
berpindah kepada hal-hal yang bersifat instant termasuk pola makannya. Makanan
instant dapat mengandung xenobiotik (pengawet, zat warna, penyedap rasa,
pestisida, logam berat atau zat kimia lain) yang beresiko akumulasi jangka
panjang. Xenobiotik dapat menjadi radikal bebas di dalam tubuh manusia.
Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa reaktif, yang secara
umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan
di kulit terluarnya (winarsi 2007). Adanya radikal bebas di dalam tubuh manusia
dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu serangan jantung, kanker, stroke,
gagal ginjal, penuaan dini, dan penyakit kronik lainnya (Prasad et al. 2009;
Saha et al. 2008). radikal bebas dapat ditangkal atau diredam dengan pemberian
antioksidan atau dengan mengkonsumsi antioksidan (Salimi 2005; Halliwell 2007;
Kubola & Siriamornpun 2008;

Mohsen & Ammar 2009). Antioksidan adalah

senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada
radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam (Sunardi 2007).
Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai dapat menurunkan resiko terkena
penyakit degeneratif yaitu kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, dan lain-lain.
Antioksidan terdapat secara alami dalam hampir semua bahan pangan, baik yang
berasal dari daratan maupun perairan. Bahan pangan yang berasal dari perairan
contohnya

kelas

Gastropoda,

banyak

mengandung

komponen-komponen

antioksidan. Adapun jenis-jenis Gastropoda yang telah diteliti dan mengandung


antioksidan antara lain, Lobiger serradifalci dan Oxynoe olivacea (Cavas 2004)
Viviparus ater (Campanella et al. 2005), lintah laut (Discodoris sp.)

(Andriani

2009; Nurjanah 2009), keong mata merah (Cerithedia obtusa) (Prabowo 2009),
keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) (Susanto 2010), Keong papaya
(Melo sp.) (Tias 2010), Lymnaea stagnalis (Vorontsova et al. 2010), adalagi jenis
Pleuroploca trapezium (Anand et al. 2010). dan lain sebagainya. Selain

mengandung antioksidan, Gastropoda juga mengandung berbagai macam


komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Komponenkomponen biaoktif tersebut seperti jenis alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,
fenol hidrokuinon, dan lain sebagainya (Harborne 1987).
Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) merupakan salah satu jenis
Gastropoda air laut yang pemanfaatannya belum begitu banyak. Secara empiris
keong ipong-ipong dipercayai dapat meningkatkan stamina tubuh serta vitalitas.
Akan tetapi data-data ilmiah yang mendukung khasiat dari keong tersebut belum
ada. Sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai komponen bioaktif yang
terkandung di dalam tubuh keong ipong-ipong. Komponen-komponen bioaktif
tersebut diharapkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Pengkajian ini
bermanfaat untuk mengetahui pemanfaatan dari keong ipong-ipong dimasa yang
akan datang.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan
zat gizi (air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam, dan karbohidrat), aktivitas
antioksidan dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong
(Fasciolaria salmo) dari Cirebon, Jawa Barat.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)


Keong ipong-ipong merupakan salah satu spesies dari kelas Gastropoda,
dan merupakan kelompok Moluska. Moluska merupakan filum yang paling
berhasil menduduki berbagai habitat. Terdapat lebih dari 60.000 spesies hidup dan
15.000 spesies fosil. Hidup sejak periode Cambrian, dan diduga sampai sekarang
sedang puncak perkembangan evolusinya (Suwignyo et al. 2005). Berikut dapat
kita lihat kalisifikasi toksonomis dari keong ipong-ipong menurut Dance (1977).
Filum

: Moluska

Kelas

: Gastropoda

Ordo

: Neogastropoda

Famili

: Fasciolariidae

Genus

: Fasciolaria

Spesies

: Fasciolaria salmo.

Bentuk morfologi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)


Moluska memiliki keragaman yang sangat besar, hal ini dapat dilihat dari struktur
dan habitatnya. Komoditas ini menempati semua lingkungan laut, mulai dari tepi
laut berbatu yang merupakan daerah deburan ombak sampai ke hydrothermal vent
di laut dalam (Castro dan Huber 2007). Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)
merupakan salah satu spesies dari kelas gastropoda yang memiliki bentuk
cangkang seperti kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde (gelung,

worl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua yang disebut apex, terdapat
bulu-bulu kecil sekeliling cangkang dan memiliki warna kuning kehijauan.
Cangkang dari keong terdiri dari 4 lapisan. Lapisan paling luar adalah
periostrakum, yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat
tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Lapisan ini terdapat endapan pigmen
beraneka warna, yang menjadikan banyak cangkang siput terutama spesies laut
termasuk keong ipong-ipong ini yang memiliki warna sangat indah, kuning, hijau
cemerlang dengan bercak-bercak merah atau garis-garis cerah. Periostrakum
berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya yang terdiri dari kalsium
karbonat terhadap erosi. Lapisan kalsium karbonat terdiri dari 3 lapisan atau lebih,
yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling
dalam adalah lapisan nacre atau hypostracum (Suwignyo et al. 2005).
Keong ipong-ipong merupakan kelas Gastropoda yang hidup di laut.
Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan dan
bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji 1987). Di laut
dalam

gastropoda

dapat

hidup

sampai

pada

kedalaman

5000

meter

(Plaziat 1984). Barnes (1987) menyebutkan beberapa jenis dari gastropoda hidup
menempel pada subtrat yang keras, akan tetapi ada juga yang hidup di subtrat
seperti pasir dan lumpur. Gastropoda juga dapat hidup di zona litoral, daerah
pasang surut dengan menempel pada terumbu karang, laut dalam maupun dangkal
bahkan ada yang hidup di air tawar (Berry 1972). Dilingkungan laut gastropoda
dapat ditemukan di daerah benthik, antara bebatuan dan pada subtrat lunak
(lumpur).
2.2 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen
dan nitrogen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan mempunyai peran
berupa penghambatan proses aterosklerosis, yaitu merupakan komplikasi dari
penyakit diabetes mellitus yang sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung
koroner (Musthafa et al. 2000). Rohman dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa
antioksidan adalah sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas
dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit karsinogenis, kardiovaskuler dan

penuaan. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem


pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal
berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari
luar) (Wiji dan Sugrani 2009).
2.2.1 Fungsi antioksidan
Fungsi utama antioksidan yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk
memperkecil tejadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil
terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian
dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam
makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan
Sunardi 2007). Antioksidan juga dapat menetralkan radikal bebas, seperti enzim
SOD (Superosida Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan dapat
diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E
dan berkaroten serta senyawa fenolik (Prakasih 2001; Frei 1994; Trevor 1995
diacu dalam Andayani et al. 2008). Musthafa dan Lawrence (2000) menambahkan
bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam
dampak negatif dari radikal bebas.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi.
Fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan
disingkat (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai
antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat
ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding
radikal bebas. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder, yaitu memperlambat laju
autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai
autooksidasi

dengan

pengubahan

radikal

bebas

kebentuk

lebih

stabil

(Gordon 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah dapat
menghambat atau

mencegah reaksi autooksidasi. Penambahan tersebut dapat

menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2).
Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut

relatif

stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul

tertentu

membentuk

radikal

bebas

baru

(Gordon

1990).

Menurut

Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk


produk non radikal dapat dilihat pada Gambar 2.
Inisiasi ;

R*

+ AH --------------------------RH + A*

Propagasi : ROO* + AH ------------------------- ROOH + A*


Gambar 2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas
(Sumber: Gordon 1990).

Antioksidan juga dapat berperan dalam menekan prolifersi (perbanyakan)


sel kanker, karena antioksidan berfungsi menutup jalur pembentukan sel ganas
(blocking agent) (Trilaksani 2003). Selain itu antioksidan juga berperan sebagai
agen antiaging yang melindungi kulit dari proses pengrusakan oleh paparan sinar
matahari dan radikal bebas, yang dapat menimbulkan keriput dan penuaan pada
kulit (Suryowinoto 2005).
2.2.2 Jenis-jenis antioksidan
Antioksidan

sangat

beragam

jenisnya.

Berdasarkan

sumbernya

antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan


yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan
hasil ekstraksi bahan alami).
2.2.2.1 Antioksidan sintetik
Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaan
untuk makanan yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT),
propil galat (PG), Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan
tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk
tujuan komersial (Buck 1991). Antioksidan BHA memiliki kemampuan
antioksidan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari ketahanannya terhadap tahaptahap pengelolaan maupun stabilitasnya pada produk akhir seperti lemak hewan
yang digunakan dalam pemanggangan, akan tetapi BHA relatif tidak efektif jika
ditambahkan pada minyak tanaman. Antioksidan BHA bersifat larut lemak dan
tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih,
bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas
(Buck 1991; Coppen 1983).

Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan
memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA.
Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena
relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat
mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik
cairnya 148C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga
kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat
berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta
memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck 1991).
Antioksidan TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak
dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan
antioksidan yang baik pada proses penggorengan tetapi rendah pada proses
pembakaran. Jika antioksidan TBHQ digabungkan dengan antioksidan BHA,
maka akan memiliki kemampuan antioksidan yang

baik pada proses

pemanggangan dan akan memberikan manfaat yang lebih luas . antioksidan


TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan
cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan
Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck 1991).
Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir
disetiap minyak tanaman. Akan tetapi saat ini tokoferol telah dapat diproduksi
secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, larut
dalam lipid karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari
tokoferol belum diketahui, tetapi -tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E.
Di

dalam

jaringan

hidup,

aktivitas

antioksidan

tokoferol

cenderung

->->->-tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik


->->->-tokoferol (Belitz dan Grosch 1987). Urutan tersebut kadang bervariasi
tergantung pada substrat dan kondisi-kondisi lain seperti suhu.
2.2.2.2 Antioksidan Alami
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa
antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan

sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990),
kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal
dari tumbuhan.
Menurut Pratt dan Hudson (1990) senyawa antioksidan alami umumnya
adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan
flavonoid,turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik
polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan flavonoid yang memiliki
aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan
kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam
klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah
multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas,
pengkelat logam, dan peredam terbentuknya singlet oksigen.
2.3 Uji Aktivitas Antioksidan
Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui
melalui uji aktivitas antioksidan. Terdapat berbagai metode pengukuran aktivitas
antioksidan.

Pada

prisipnya

metode-metode

tersebut

digunakan

untuk

mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa


antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam
(Setyaningsih 2003).
Salah satu metode yang umum digunakan yaitu dengan menggunakan
radikal bebas stabil diphenilpycrylhydrazil (DPPH). Metode ini, larutan DPPH
yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan,
sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat nonradikal yang tidak barbahaya sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3. berikut.
Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine akan ditandai dengan berubahnya
warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat (Molyneux 2004).

Gambar 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine

Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor
Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau
sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin
besar

aktivitas

antioksidan

maka

nilai

IC50

akan

semakin

kecil.

Molyneux (2004) menyatakan bahwa .Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik


jika nilai IC50-nya semakin kecil.
2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif
Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak
digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan
baku. Ekstraksi dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan komponen yang
diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga
komponen yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973),
menambahkan ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa
zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung
komponen-komponen aktif.
Selama proses ekstraksi terdapat gaya yang bekerja akibat adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar
sel. Bahan pelarut yang mengalir

ke dalam ruang sel akan menyebabkan

protoplasma membengkak dan bahan yang terkandung di dalam sel akan terlarut
sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994).
Menurut Ansel (1989) dan Winarno et al. 1973, ekstraksi dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase
dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan
dengan menggunakan pelarut organik. Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi
dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa
yang diekstrak dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut
yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi
antara zat telarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut pada pelarut polar
juga, begitu juga sebaliknya.
Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH,

dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut
adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan, dan harga (Harborne 1987). Harborne (1987) mengelompokkan metode
ekstraksi menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi
sederhana terdiri atas:
a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam
pelarut dengan atau tanpa pengadukan;
b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;
c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk
melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;
d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
Ekstraksi khusus terdiri atas:
a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk
melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;
b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana
sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan;
c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang
menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz

2.5 Metabolit Sekunder


Metabolit sekunder adalah suatu zat yang dibiosintesis terutama dari
banyak metabolit-metabolit primer seperti asam amino, asetol koenzim-A, asam
mevalonat, dan zat antara (Intermediate) dari alur shikimat (Shikimic acid)
(Herbert 1995). Metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari
setiap organisme. Beberapa dari senyawa tersebut telah diisolasi sebagian
diantaranya memberikan efek fisiologis dan farmakologis yang lebih dikenal
sebagai senyawa kimia aktif (Copriady et al. 2005).
Makhluk hidup dapat menghasilkan bahan organik sekunder (metabolit
sekunder) atau bahan alami melalui reaksi sekunder dari bahan organik primer
(karbohidrat, lemak, protein). Bahan organik sekunder (metabolit sekunder) ini
umumnya merupakan hasil akhir dari suatu proses metabolisme. Bahan ini

berperan juga pada proses fisiologi. Bahan organik sekunder itu dapat dibagi
menjadi tiga kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid dan terpenoid, tetapi pigmen
dan porfirin juga termasuk di dalamnya (Purwanti 2009).
Zat metabolit sekunder memiliki banyak jenis, adapun jenis dari metabolit
sekunder yang dapat kita ketahui antara lain kumarin (Copriandy et al. 2005),
azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin (Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat
metabolit sekunder sangat banyak.Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai
antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek
karsinogenik (Copriandy et al. 2005), selain itu metabolit sekunder juga dapat
dimanfaatkan sebagai antiagen pengendali hama yang ramah lingkungan
(Samsudin 2008).
2.6 Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam
senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu
mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya,
penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Senyawa
fitokimia bukanlah zat gizi , namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat
tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008). Alasan
melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif
penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar
bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987).
2.6.1 Alkaloid
Alkaloid pada umumnya mencangkup senyawa bersifat basa yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai
bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Sirait (2007) menyatakan alkaloid
adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid biasanya tanpa warna,
seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit
yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid merupakan
turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan
suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloid dipisahkan dari kandungan

tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai Kristal


hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987).
Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga antara lain, alkaloid
sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah
racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa
terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin
heterosiklik, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat ditanaman
sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif
sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin
heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat
basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya
senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). Berikut struktur kimia dari
alkaloid pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur alkaloid


(Sumber: Pulatova dan Khazanovich 1962)

2.6.2 Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna,
berbentuk Kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif (Harborne 1987).
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen
sebenarnya, steroid, saponin, dan glokisida jantung (cardiac glycoside). Beberapa
triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007).
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat
diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, sehingga
golongan senyawa ini cenderung tidak larut air (Wilson dan Gisvold 1982).

Adapun contohnya seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D.


Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu
lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002)
menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata
memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek
hemolitik yang tidak diinginkan. Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas
hemolitik karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada
membran eritrosit. Struktur dari steroid dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur steroid


(Sumber: Shaddack 2005)

2.6.3 Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua
inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki
karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B
biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa ini
dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah
ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol,
oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak
(Harborne 1987).
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu
menunjukkan pita swrapan kuat pada daerah spectrum UV dan spectrum tampak.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan
aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-

mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar
sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon,
glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon (Harborne 1987)
Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja
antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Adapun
fungsi flavonoid dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung,
hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi berkerja
sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait 2007).
2.6.4 Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam
lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula
pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam
air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat
(Winarno 1997). Selain itu saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering
menyebabkan heomolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai
senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik
dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Banyak
saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum
ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu
mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti
terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin
karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum
disajikan pada Gambat 6.

Gambar 6. Struktur umum saponin


(Sumber: Yamasaki 1999)

2.6.5 Fenol Hidrokuinon


Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan
mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua
gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu
juga terdapat fenol monosiklik sedarhana, fenilpropanoi, dan kuinon fenolik
(Harborne 1987).
Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti
kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan
identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama
biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo
dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol
tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan
hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).
Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit
dalam air, tetapi umunya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan
terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi
yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa
tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara.
Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang
dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut diudara (Harborne 1987).
Antioksidan yang termasuk dalam golonhan ini biasanya mempunyai
intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak bewarna dan banyak
digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian
besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan
sintesis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak.
Beberapa contoh yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossypol,
pyrogallol, catechol resorsinol dan eugenoli (Ketaren 1986).
2.6.6 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman

dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO 2)
yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan
karbohidrat

sederhana

glukosa

dan

oksigen

yang

dilepas

di

udara

(Almatsier 2006).
Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida,
serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari
lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10
monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri
lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Karbohidrat mempunyai
peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan,
timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan berguna untuk metabolisme lemak dan
protein dalam tubuh (Budiyanto 2002).
2.6.7 Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak
mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,
sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus
glukosanya (Winarno 2008).
Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan
Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi
Ag+ menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk
mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes
(Pine et al. 1988) .
Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida
disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul
karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat
maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung
kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion
Cu2+ menjadi Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. adanya natrium
karbohidrat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah.
Endapan yang terbentuk dapat bewarna hijau, kuning atau merah bata. Warna

endapan

ini

tergantung

pada

konsentrasi

karbohidrat

yang

diperiksa

(Poedjiadi 1994).
2.6.8 Peptida
Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptide (-CONH-) dengan
melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan
ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan
banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus
karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam
amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air
(Winarno 2008).
2.6.9 Asam amino
Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan
dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah
gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hydrogen dan gugus R yang
terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon , serta gugus R
merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi dan mempunyai
konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam
amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 2008).
Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk
ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus
amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi.
Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang
rendah misalnya pada pH 1.0 gugus karboksilatnya tidak terdisosiasi, sedang
gugus aminonya menjadi ion. Pada pH tinggi misalnya pada pH 11.0 karboksilnya
terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 1997).
Ninhidrin adalah pereaksi yang digunakan secara luas untuk mengukur
asam amino secara kuantitatif. Pereaksi itu bereaksi dengan hampir semua asam
amino, menghasilkan senyawa bewarna lembayung (prolina memberikan warna
kuning) (Pine et al. 1988).

3 METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai April 2010.
Sampel diambil di Desa Gebang, kota Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Proses
preparasi sampel dan penghitungan rendemen dilakukan di Laboratorium
Karakteristik Bahan Baku, analisis aktivitas antioksidan, pengukuran kadar abu
dan abu tidak larut asam dan fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi
Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar air, protein dan lemak
dilaksanakan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat
Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Proses evaporasi ekstrak
dilakukan di Laboratorium Penelitian 1, Departemen Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Identifikasi keong dilakukan di
laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah keong ipongipong (Fasciolaria salmo). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis
proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat,
asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl
red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0.1 N, pelarut lemak (n-heksana p.a),
larutan HCl 10%, larutan AgNO3 0.10 N, dan akuades. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak keong ipong-ipong,
kristal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), metanol, antioksidan sintetik BHT
(Butylated Hydroxytoluena) sebagai pembanding dan es. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer,
pereaksi Dragendroff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat
(uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan
HCl

2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon),

peraksi Molisch, asam sulfat pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict),
pereaksi Biuret (uji Biuret), dan larutan Ninhidrin 0.1% (uji Ninhidrin). Alat-alat

yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen,
timbangan digital, aluminium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur
pengabuan, kertas saring Whatman bebas abu dan bebas lemak, kapas bebas
lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu
Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas ukur, grinder,
homogenizer, sentrifuse, vacuum evaporator, corong terpisah, botol vial, gelas
piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes,
tabung reaksi, vortex, sendok plastik dan gelas piala.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan
sampel, tahapan perhitungan rendeman, tahap analisis kimia keong ipong-ipong
berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut
asam), tahap pembuatan ekstrak kasar keong ipong-ipong, uji kuantitatif aktivitas
antioksidan dan uji fitokimia
3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku
Pengambilan sampel keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) dilakukan di
pantai kota Cirebon, provinsi Jawa Barat . Pengambilan sampel dilakukan dengan
mengambil keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) pada subtrat lumpur yang
ditempati keong tersebut. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) tersebut
kemudian dimasukan dalam wadah berisi air laut perairan tempat hidupnya. Hal
ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keong ipong-ipong selama
proses transportasi ke laboratorium karakteristik bahan baku di Institut Pertanian
Bogor. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penentuan ukuran dan berat rata-rata
dari 30 ekor keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) secara acak. Kemudian
sampel dihitung rendemennya (cangkang dan daging) dengan rumus:
Rendemen (%) = (Bobot contoh (g)/Bobot total (g)) x 100%
Daging-daging

keong

ipong-ipong

yang

telah

dipisahkan

dari

cangkangnya, dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daging


dalam bentuk segar yang akan diuji kadar air, abu, lemak, protein, dan abu larut
asam. Bagian kedua merupakan daging keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

dan jeroan yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji
aktivitas antioksidannya dan fitokimia.
3.3.2. Analisis proksimat (AOAC 2005)
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar
air, abu, lemak, protein dan abu larut asam.
1) Analisis kadar air (AOAC 2005)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.
Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali
hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau
hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut
dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya
ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air :
% Kadar air = B - C x 100%
B-A
Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)
2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu
o

105 C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang


hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak
berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu
600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
% Kadar abu = C - A x 100%
B-A

Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram)


B = Berat cawan dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
3) Analisis kadar protein (AOAC 1980)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium
dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih
1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu
Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan
proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam
labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan
2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda.
Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka
proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko
dianalisis seperti contoh.
Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% N = (ml HCl ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100%
Mg contoh x faktor koreksi alat *
*) Faktor koreksi alat = 2,5
% Kadar protein = % N x faktor konversi *
*) Faktor Konversi = 6,25
4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada
kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus
dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan
disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam
ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (benzena).
Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu

lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.

Pada saat destilasi

pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak


kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven
pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya
konstan (W3).
Perhitungan kadar lemak daging keong ipong-ipong:
% Kadar lemak = (W3- W2) x 100%
W3
Keterangan : W1
= Berat sampel (gram)
W2
= Berat labu lemak kosong (gram)
W3
= Berat labu lemak dengan lemak (gram)
5) Analisis Abu kadar abu tidak larut asam menurut SNI-01-3836-2000
(BSN 2000)
Larutkan abu bekas pengukuran kadar abu total dengan penembahan
25 ml HCl 10%. Didihkan selama 5 menit, saring larutan dengan kertas saring
bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Kemudian keringkan
kertas saring dalam pengering listrik (oven), setelah dikeringkan kertas saring
dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya
kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600C. Setelah dilakukan
pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang
beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus:
Kadar abu tidak larut asam = Berat abu (g) x 100%
Berat sampel awal (g)
3.3.3. Analisis antioksidan dengan Metode DPPH
1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988)
Pada tahap ini ada beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi
bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daging keong ipong-ipong dan jeroan
yang telah diambil dari perairan pantai kota Cirebon,segera dikeringkan dengan
panas matahari selama 3 hari. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk
mengurangi kadar air dalam bahan. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa
air bebas dalam bahan berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses
pembusukan, hidrolisis komponen bioaktif dan oksidasi dalam sampel selama
dilakukan maserasi dapat dihindari. Apabila kadar air bebas dihilangkan, maka aw

akan turun hingga 0,80 (batas maksimal) sehingga pertumbuhan mikroba dapat
dikurangi dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau
oksidasi lemak dapat dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat
dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia
(Winarno 2008).
Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat
dilakukan proses evavorasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel basah,
air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan (pelarut) dalam jumlah yang
cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat
sukar dan lama dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan suhu
rendah (sesuai dengan titik didih pelarut). Apabila pemanansan dilakukan dengan
menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 C pada tekanan udara 1 atm, maka
komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan dikhawatirkan dapat rusak
oleh panas. Sampel yang kering diduga akan menyumbangkan air dalam jumlah
yang kecil pada larutan ekstrak.
Isi cangkang keong ipong-ipong (daging dan jeroan) yang telah kering
tersebut kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga didapat tekstur yang
halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk/tepung) diharapkan dapat
memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut,
sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal.
Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang
digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988). Metode ini
digunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu kloroform
p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a (polar). Ketiga pelarut
ini dipilih karena memiliki titik didih yang lebih rendah dari titik didih air,
sehingga dapat mudah diuapkan saat proses vacuum evavorasi (500 mmHg,
50 C). pada tekanan udara 1 atm (760 mmHg), kloroform memiliki titik didih
sebesar 61 C , metanol sebesar 65 C dan etil asetat 77 C. palarut etanol tidak
dipilih untuk menggantikan pelarut metanol (polar) karena titik didihnya jauh
lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 C (Lehninger 1988).
Prabowo (2009) menyatakan, kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat
adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses

ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian
ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang
terdapat dalam keong ipong-ipong berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi
bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel
yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif
tersebut terlarut pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal ini
diduga dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol.
Metanol merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non
polar dan semi polar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat
dihindari dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan
ekstraksi menggunakan pelarut non polar (kloroform p.a) terlebih dahulu,
dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat p.a.) dan terakhir menggunakan
pelarut polar (metanol p.a.).
Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut
kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan
menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian
disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga didapat filtrat dan residu.
Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a. 100 ml
selama 48 jam dengan diberikan goyangan dengan orbital shaker 8 rpm,
sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievavorasi hingga pelarut
memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada
suhu 50 C.
Hasil proses

maserasi ke-2 selanjutnya

disaring

dengan kertas

Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan metanol p.a. sebanyak
100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan
orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi
sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum
evavorator pada suhu 50 C.
Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring
Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievavorasi sehingga semua
pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evavorator pada suhu
50 C, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan

ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses
ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 8.
25 gr Sampel

Maserasi dengan kloroform


selama 48 jam
Penyaringan

Filtrat

Evaporasi

Ekstrak kloroform

Residu

Maserasi dengan etil


asetat selama 48 jam
Penyaringan

Filtrat

Residu

Evaporasi

Ekstrak etil asetat

Maserasi dengan
metanol selama 48 jam
Penyaringan

Filtrat

Evaporasi
Ekstrak metanol

Residu

Gambar 7. Diagram Alir Proses Ekstraksi Daging keong ipong-ipong


(Fasciolaria salmo)
(Sumber: Quinn 1988)

2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958)


Ekstrak kasar keong ipong-ipong dari hasil ekstraksi bertingkat
menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a. (semi
polar), dan pelarut metanol p.a. (polar), dilarutkan dalam metanol p.a. dengan
konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan
sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam

pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang
akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol
dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan
dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.
Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah
dibuat, masing-masing diambil 4.5 ml dan direaksikan dengan 500 l larutan
DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran
tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800
pada panjang gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur
untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan
mereaksikan 4,5 ml pelarut metanol dengan 500 l larutan DPPH 1 mM dalam
tabung reaksi. Larutan blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu,
aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding
BHT dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai
berikut:
% inhibisi = (A blanko A sampel) x 100%
A blanko

Nilai konsentrasi sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT)


dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan
regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan
y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50%) dari
masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang
akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan
sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk
mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.
3.3.4. Uji fitokimia (Harborne 1984)
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponenkomponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar keong ipong-ipong yang
memiliki aktivitas antioksidan tertinggi. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji

steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict,


Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).
a. Alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N
kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff,
pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan
pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan
pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan
0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml
dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan
cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram
kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml
dalam labu takar.

Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat

dengan cara 0,8 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan
40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium
iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan
dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi
ini berwarna jingga.
b. Steroid/ triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi
yang kering. Lalu, ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes
asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali
kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.
c. Flavonoid
Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil
alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama)
dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,
kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.

d. Saponin (uji busa)


Saponin dapat dideteksi denan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin.
e. Fenol Hidrokuinon (pereaksi FeCl3)
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan
yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl3 5%.

Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya

senyawa fenol dalam bahan.


f. Uji Molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan
cairan.
g. Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya
warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula
pereduksi.
h. Uji Biuret
Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret.
Campuran dikocok dengan seksama.

Terbentuknya larutan berwarna ungu

menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.


i. Uji Ninhidrin
Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin
0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya
larutan berwarna biru menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam amino.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)


Bentuk morfologi keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa
Gebang, Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Keong ipong-ipong yang diambil di perairan Desa Gebang Cirebon


Sampel keong ipong-ipong yang didapat, dilakukan preparasi untuk
mengeluarkan isi cangkang (daging dan jeroan), serta memisahkan dari
operkulum yang masih menempel. Bentuk cangkang, isi cangkang (daging dan
jeroan) kemudian diamati karakteristik fisiknya. Hasil pengamatan karakteristik
fisik cangkang, operkulum dan isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada
Tabel 1. Bentuk cangkang dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan
operkulum keong ipong-ipong
Karakteristik Fisik

Cangkang

Warna

Coklat
kekuningan,
berbulu halus

Tekstur

Keras

Isi Cangkang
Daging: krem
Jeroan :
hijau, hitam,
putih (Saluran
dan kelenjar
pencernaan).
Putih krem
(gonad)
Daging: kenyal
Jeroan: lunak
dan mudah
hancur bila
ditekan.

Operkulum

Coklat cerah

Tipis, lembut dan


mudah dipatahkan.

Keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna


cangkang coklat kekuningan dan terdapat bulu-bulu halus. Komponen penyusun
cangkang keong ipong-ipong adalah kalsium karbonat. Isi cangkang keong ipongipong dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian daging dan jeroan. Bagian dari
daging bewarna krem dan teksturnya kenyal, sedangkan bagian jeroannya yaitu
ada yang bewarna hijau, hitam, putih yang merupakan bagian saluran dan kelenjar
pencernaan, sedangkan yang bewarna putih krem merupakan bagian gonad.
Bagian jeroan ini bersifat lunak dan mudah hancur bila ditekan. Operkulum
keong-ipong bewarna coklat cerah, tipis, lembut dan mudah dipatahkan.
Proses karakteristik ini dilakukan guna mengetahui sifat dari bahan baku
yang digunakan. Sifat bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi
juga sifat kimia. Hal ini dikarenakan sifat fisik maupun kimia dari bahan baku
yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik fisik
keong ipong-ipong yang digunakan dalam penelitian ini telah diamati dan
dijelaskan di atas, sehingga perlu dilakukan pengukuran rendemen dan analisis
kandungan gizi keong ipong-ipong dengan uji proksimat.
4.1.1 Rendemen
Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang
dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendeman digunakan untuk
mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai
rendemennya,

maka

semakin

tinggi

pula

nilai

ekonomisnya

sehingga

pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif.


Perhitungan rendemen cangkang, isi cangkang (daging dan jeroan) dapat
dilihat di lampiran 2. Nilai rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan
jeroan) keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong
ipong-ipong

Rendemen cangkang lebih dari setengah berat keong ipong-ipong utuh,


yaitu sebesar 69,69%. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang keong ipong-ipong
berpotensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber kalsium.
Suwignyo et al. (2005) menyatakan cangkang gastropoda tersusun atas kalsium
karbonat. Lapisan kalsium karbonat yang terdapat pada cangkang terdiri dari
3 lapisan antara lain perismatik, lamella dan nacre.
Rendemen isi cangkang (daging dan jeroan) sebesar 30% yang terdiri dari
22,08% dari daging dan 8,22% dari jeroan. Selain cangkang, isi cangkang keong
ipong-ipong juga berpotensi untuk dimanfaatkan dengan jumlahnya yang berkisar
30% tersebut. Pemanfaatannya bisa berupa dijadikan lauk pauk sebagai sumber
protein hewani dan asam amino. Protein dan asam-asam amino berfungsi sebagai
zat pembangun pada tubuh manusia serta membantu dalam proses metabolisme
tubuh manusia (Winarno 2008).
Hasil perhitungan pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa cangkang, isi
cangkang (daging dan jeroan) memiliki rendemen masing-masing sebesar
69,69%, 22,08% dan 8,22%. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan,
maka jumlahnya tidak mencapai 100%. Hal ini diduga sisa berat yang hilang
selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan
tidak terikat di dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan
dan ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi air yang hilang ini
sekitar 0,01%. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup
rapat lubang aperture.
4.1.2 Komposisi kimia
Kandungan gizi pada isi cangkang keong ipong-ipong dapat diketahui
dengan melakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk
memperoleh data tentang komposisi kimia dalam suatu bahan. Komposisi kimia
tersebut diantaranya kandungan air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam dan
karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam keong ipong-ipong diperoleh melalui
perhitungan by difference. Selain analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu
dan karbohidrat), pengujian abu tidak larut asam juga dilakukan. Pengujian abu
tidak larut asam pada keong ipong-ipong dilandasi karena keong ipong-ipong
merupakan golongan Gastropoda yang hidup di perairan laut berlumpur dan

menempel pada substrat. Keong ipong-ipong di duga mengandung abu tidak larut
asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam
saluran pencernaannya, ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas
makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat
pada Gambar 10 dan cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 10. Hasil uji proksimat keong ipong-ipong (n=2)

1) Kadar air
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan.
Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena
air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan.
Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan
pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang
dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan
pangan yang dapat mempercepat pembusukan (Winarno 2008). Hasil pengukuran
kadar air menunjukkan bahwa keong ipong-ipong memiliki kadar air yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 73,07%.

Prinsip anlisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
megukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan
dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III
(Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang
hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler,
serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba
dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya air tipe III ini
pada keong ipong-ipong, dapat menyebabkan keong ipong-ipong mudah sekali
mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar.
Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan
juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya
enzim protease seperti katepsin.
2) Kadar lemak
Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang
terkandung pada isi cangkang keong ipong-ipong. Lemak merupakan komponen
yang larut dalam pelarut organik seperti heksan, eter dan kloroform. Menurut
Poedjiadi (1994), lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang,
sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat
dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan
karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan
9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang
dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat
digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K)
(Winarno 2008; Belitz et al. 2009).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung
lemak dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,57%. kadar lemak
yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air keong ipong-ipong sangat
tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara
drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air
umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998).
Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar
air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi.

Kandungan lemak keong ipong-ipong ini lebih rendah daripada kandungan


lemak pada daging keong air laut lainnya dari Genus Cerithidea, yaitu sebesar
2,55% (Prabowo 2009). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa
faktor, yaitu umur, hbitat, ukuran dan tingkat kematangan gonad.
3) Protein
Pengukuran protein pada bahan pangan digunakan untuk mengetahui
kemampuan bahan pangan sebagai sumber protein atau tidak. Protein merupakan
makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida.
Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat
pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang
mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun
karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam seperti besi dan
tembaga (Winarno 2008).
Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar
jaringan tubuh (Winarno 2008). Hal ini terbukti dari hasi anlisis proksimat keong
ipong-ipong yang disajikan pada Gambar 10. Nilai kadar protein keong ipongipong merupakan nilai terbesar kedua setelah air. Komponen lemak, abu, abu
tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan
dengan protein.
Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong ipong-pong
memiliki protein dalam jumlah yang tinggi, yaitu sebesar 18,28%. jumlah ini jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan keong air laut lainnya seperti dari Genus
Cerithidea yang mengandung protein sebesar 9,85% (Prabowo 2009). Variasi ini
dapat disebabkan oleh bebrapa faktor, yaitu hbitat, umur, makanan yang dicerna,
laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.
4) Kadar abu
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral
yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan
organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga
dikenal sebagi zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahanbahan organik akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah
disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008).

Hasil pengujian kadar abu total menunjukakan bahwa keong ipong-ipong


mengandung kadar abu sebesar 2,77%, ini jauh lebih rendah dari kadar abu yang
terkandung dalam Genus Cerithidea yaitu sebesar 5,73% (Prabowo 2009). Tinggi
rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hbitat dan lingkungan
hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan
mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya.
Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda
dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan
memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.
5) Kadar abu tidak larut asam
Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam,
yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak
larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau
logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam
juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan
dalam proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003).
Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong
ipong-ipong mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,15%. Nilai kadar
abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang
disyaratkan oleh Food Chemical Codex (1991) untuk produk kappa-karaginan
food grade. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material
abu tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat keong ipong-ipong hidup,
seperti pasir, lumpur, silika dan batu. Mineral tidak larut asam ini ikut masuk ke
dalam saluran pencernaan keong ipong-ipong ketika keong ipong-ipong sedang
melakukan aktivitas makan, kemudian mengendap di dalamnya karena tidak dapat
dieksresikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Adriyanti (2009) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut
(Discodoris ap.) yang juga termasuk dalam kelas Gastropoda dan hidup
menempel pada substrat dasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
lintah laut yang telah dibuang jeroannya memiliki kadar abu tidak larut asam yang
lebih rendah dari pada lintah laut yang tidak dibuang jeroannya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tempat tertimbunnya material tidak larut asam dalam tubuh

Gastropoda adalah pada bagian jeroannya. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa


komponen abu tidak larut asam ini dapat merusak kinerja organ ginjal jika
dikonsumsi dalam jumlah yang besar.
6) Kadar karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di
permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan
tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak
digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari
karbohidrat sebesar 4 kkal (Belitz et al. 2009). Karbohidrat juga mempunyai
peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa,
warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2008).
Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference
menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung karbohidrat sebesar 5,2%.
Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode
penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar
juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). Kadar karbohidrat yang
terhitung ini diduga berupa glikogen dan serat kasar. Hal ini dikarenakan
karbohidrat

yang

terdapat

pada

hewan

umumnya

berbentuk

glikogen

(Winarno 2008).
4.2 Ekstrak Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong
Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak
digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan
baku. Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari
suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga komponen yang
diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973), menambahkan
ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi
komponen-komponen

yang

terpisah.

Proses

ekstraksi

bertujuan

untuk

mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung


komponen-komponen aktif. Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi proses
pengeringan sampel, penghancuran sampel sampai menjadi bubuk, maserasi
dengan pelarut, penyaringan dan evavorasi menggunakan vacuum rotary
evaporator. Sampel yang digunakan merupakan daging dan jeroan keong ipong-

ipong. Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan ekstraksi bertingkat


menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar) dan
metanol p.a. (polar).
4.2.1 Ekstrak kasar
Proses evaporasi filtrat dari masing-masing hasil maserasi pelarut akan
menghasilkan ekstrak kasar keong ipong-ipong yang kental dan berbeda tingkat
kepolarannya. Ketiga ekstrak tersebut memiliki warna coklat tua berbentuk pasta
kental dan memiliki bau yang khas. Hasil ekstraksi menggunakan tiga jenis
pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda, akan menghasilkan
rendemen ekstrak yang berbeda-beda pula. Rendemen ekstrak merupakan
perbandingan jumlah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah sampel awal yang
diekstrak. Rendemen ekstrak dinyatakan dalam persen, sama halnya dengan nilai
rendemen bahan. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat
pada diagram batang pada Gambar 11. Proses perhitungan rendemen ekstrak dari
masing-masing pelarut dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 11. Rendemen ekstrak kasar keong ipong-ipong


Diagram batang di atas menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak kasar
dari ketiga pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya dari daging dan jeroan keong

ipong-ipong. Berdasarkan diagram di atas untuk daging dan jeroan, ekstrak


kloroform memiliki rendemen terkecil, yaitu secara berurutan 0,24% dan 1,98%.
sedangkan ekstrak metanol merupakan ekstrak yang memiliki rendemen yang
terbesar antara daging dan jeroan, yaitu secara berurutan 10,77% dan 13,66%.
akan tetapi secara umum antara daging dan jeroan, dari ketiga pelarut tersebut,
ekstrak kasar dari jeroan memiliki nilai rendemen yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan ekstrak kasr dari daging keong ipong-ipong. Data tersebut
menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam
jeroan maupun daging keong ipong-ipong merupakan komponen bioaktif yang
memiliki sifat polar karena dapat larut dalam pelarut polar, yaitu metanol.
Komponen bioaktif keong ipong-ipong yang bersifat non polar dan semi polar
terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit.
Hasil ekstrak yang diperoleh akan sangat bergantung pada beberapa faktor
antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,
ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,
serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harborne 1984).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Salamah et al. (2008) menunjukkan
bahwa maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda akan menghasilkan rendemen
ekstrak yang berbeda pula. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian ini,
dimana kadar komponen komponen bioaktif yang bersifat polar, semi polar dan
non polar terdapat dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan pelarut
yang berbeda akan melarutkan senyawa-senyawa yang berbeda-beda bergantung
tingkat kepolarannya dan tingkat ketersediannya dalam bahan yang diekstrak.
Menurut Susanto (2010), kandungan komponen bioaktif yang bersifat
polar pada filum molusca umumnya terdapat dalam jumlah yang lebih banyak
dibandingkan komponen-komponen bioaktif lain yang bersifat non polar dan semi
polar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian ini, dimana kadar ekstrak metanol
(polar) keong ipong-ipong terdapat dalam jumlah yang paling banyak. Pernyataan
diatas juga didukung oleh hasil penelitian Salamah et al. (2008) pada kijing
taiwan (Anandonta woodiana Lea.) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut
(Discodoris sp.), Prabowo (2009) pada keong mata merah (Cerithedia obtusa) dan
Susanto (2010) pada keong mas (Pomachea cunaliculata Lamarck), yang mana

ekstrak polar dari masing-masing komoditas tersebut terdapat dalam jumlah yang
lebih banyak jika dibandingkan dengan ekstrak semi polar dan non polar.
4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar
Ekstrak kasar keong ipong-ipong yang diperoleh dari ekstraksi serbuk
keong

ipong-ipong

menggunakan

pelarut

kloroform

p.a.

(non

polar),

etil asetat p.a. (semi polar), dan metanol p.a. (polar) diuji komponen bioaktifnya
menggunakan metode fitokimia. Pengujian ini akan menghasilkan komponen
bioaktif apa saja yang terlarut pada tiap-tiap pelarut tersebut.
Uji fitokimia dipilih karena dapat mendeteksi komponen bioaktif yang tidak
terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer
yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida
(Kannan et al. 2009). Uji fitokimia yang dilakukan meliputi pengujian pada
kompenen karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino sebagai metabolit
primer, sedangkan untuk metabolit sekunder dilakukan uji alkaloid, steroid,
flavonoid, saponin, fenol hirdokuinon (Harborne 1984). Uji fitokimia yang
dilakukan pada penelitian ini, meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,
fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Adapun
hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat
dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong ipong-ipong

Uji
Alkaloid:
a. Dragendorf
b. Meyer
c. Wegner
Steroid
Flavonoid
Saponin
Fenol
Hidroquinon
Molisch
Benedict
Biuret
Ninhidrin

Kloroform
Daging Jeroan

EKSTRAK
Etil Asetat
Daging Jeroan

Metanol
Daging Jeroan

++
-

+
++
-

+
+
+
-

+
+
-

+
+
+
-

+
+
+
-

+
-

+
-

+
-

+
-

+
+
++
++

+
++
++

Keterangan:
+ : Lemah
++: Kuat

Hasil pengujian fitokimia pada Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak kasar


daging dan jeroan dengan menggunakan pelarut metanol keong ipong-ipong
mengandung komponen bioaktif yang lebih banyak dibandingkan dua ekstrak
dengan pelarut lainnya. Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak daging dan
jeroan dengan pelarut metanol antara lain alkaloid, steroid, karbohidrat, protein,
gula pereduksi dan asam amino. Komponen bioaktif yang yang terdeteksi pada
ektrak daging dan jeroan dengan menggunakan pelarut etil asetat antara lain,
alkaloid, steroid dan karbohidrat. Komponen biaoktif yang terdeteksi pada ektrak
jeroan dengan pelarut kloroform antara lain alkaloid, steroid dan karbohidrat,
sedangkan untuk ektrak dagingnya hanya terdeteksi steroid dan karbohidrat.
Berdasarkan Gambar 11 untuk ekstrak jeroan dengan pelarut etil asetat memiliki
rendemen yang lebih besar jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut
kloroform, sehingga dapat ditarik kesimpulan awal bahwa ekstrak jeroan dengan
pelarut etil asetat mengandung komponen lain selain ketiga komponen bioaktif
yang dikandungnya dan/atau ekstrak etil asetat mengandung komponen alkaloid,
steroid dan karbohidrat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan ekstrak
jeroan dengan pelarut kloroform. Hal ini disebabkan ekstrak yang diperoleh dari
hasil proses ekstraksi pada penelitian ini masih berupa ekstrak kasar, sehingga
perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan kromatografi , hal ini
bertujuan untuk mengetahui komponen lain apa saja yang terkandung dalam
ekstrak tersebut beserta jumlahnya. Berdasarkan hasil dari uji fitokimia ini
menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung 6 dari 9 komponen yang
diuji dengan metode fitokimia Harborne (1984).
1) Alkaloid
Komponen alkaloid merupakan substansi dasar yang memiliki satu atau
lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan bergabung dalam satu sistem siklis,
yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Komponen alkaloid ini ditemukan pada
ekstrak jeroan dan ditiap-tiap pelarut, sedangkan untuk ekstrak daging, alkaloid
hanya ditemukan pada pelarut etil asetat dan metanol, akan tetapi tidak ditemukan

pada pelarut kloroform. Bioaktif jenis dari alkaloid ini umunya larut pada pelarut
organik non polar, akan tetapi ada beberapa kelompok seperti pseudoalkaloid dan
protoalkaloid, kelompok ini larut pada pelarut polar seperti air (Lenny 2006).
Pelarut organik yang digunakan pada penelitian ini adalah pelarut kloroform p.a.,
tetapi pada ekstrak daging keong ipong-ipong tidak menunjukkan reaksi positif
adanya alkaloid. Ekstrak daging yang menunjukkan hasil yang positif justru
dengan pelarut etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a. (polar). Hal ini
menunjukkan bahwa bagian daging keong ipong tidak mengandung alkaloid
(sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung protoalkaloid dan
pseudoalkaloid saja. Akan tetapi pada ekstrak jeroannnya mengandung alkaloid
(sesungguhnya) yang bersifat racun. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif
sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin
heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid merupakan komponen alkaloid yang tidak
diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya bersifat basa (Lenny 2006).
Bioaktif alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol dan etil asetat pada
ekstrak daging dan ekstrak kloroform, etil asetat dan metanol di jeroan pada
keong ipong-ipong ini dapat digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder dari
keong ipong-ipong sendiri.

Kutchan (1995) menyatakan bahwa, alkaloid

digolongkan sebagai metabolit sekunder karena kelompok molekul ini merupakan


substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya,
tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa komponen alkaloid pada keong ipongipong ini juga berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh keong ipong-ipong
sendiri
Alkaloid berasal dari sejumlah kecil asam amino antara lain ornitin dan
lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang menurunkan
alkaloid jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid jenis indol.
Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi
Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu
amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam
iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa
suatu enol atau fenol (Lenny 2006).

Reaksi Mannich ini terjadi juga dalam

jaringan tubuh keong ipong-ipong yang turut menghasilkan alkaloid.

Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang
memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara
luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Komponen alkaloid pada ekstrak
keong ipong-ipong ini diduga juga memiliki sifat antioksidan, sama seperti jenis
alkaloid yang ditemukan oleh Porto et al. (2009) pada daun Psychotria
brachyceras yaitu brachycerine, yang memiliki aktivitas antioksidan dan juga
berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C). Alkaloid
jenis isokuinolin diduga berhubungan erat dengan senyawa alkaloid tipe quinin,
dan diduga pula memiliki aktivitas sebagai obat malaria seperti quinine
(Putra 2007). Hal ini menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut
tentang jenis alkaloid yang terkandung dalam ekstrak metanol dengan
menggunakan reagen alkaloid, kromatografi, atau metode spektra (UV, IR, MS
dan NMR) (Harborne 1984). Ketika jenis alkaloidnya telah diketahui dengan
jelas, maka fungsi fisiologisnya pun dapat ditentukan dengan tepat.
2) Steroid
Adapun pengujian yang telah dilakukan dan digunakan secara luas untuk
mendeteksi triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang
memberikan warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid.

Triterpenoid

merupakan komponen dengan kerangka karbon yang terdiri dari 6 unit isoprene
dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon asiklik). Triterpenoid
memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar terdiri atas alkohol,
aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki
titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi
(Harborne 1984).
Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin
cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan
hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks,
hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini
steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984).
Adapun komponen steroid yang terdeteksi pada ekstrak daging dan jeroan
keong ipong-ipong

ini diduga merupakan hormon adrenal dan hormon seks

(progesterone, 17--estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan cortisol)

seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang juga merupakan
Gastropoda (Bose et al. 1997). Steroid ini juga diduga memiliki efek peningkat
stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Setzer (2008), triterpenoid alami juga memiliki aktivitas antitumor
karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II,
dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA
dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat
mengikat DNA.
Berdasarkan

hasil

uji

fitokimia

menunjukkan

bahwa

komponen

triterpenoid/steroid ini terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong yang memiliki tingkat polaritas yang berbeda. Prekursor dari
pembentukan triterpenoid/steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar
(Harborne 1984), sehingga diduga triterpenoid/steroid dapat larut pada pelarut
organik (non polar).

Hal ini menekankan bahwa sangatlah wajar apabila

triterpenoid/steroid terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut
kloroform (non polar) ataupun ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut etil
asetat (semipolar) keong ipong-ipong. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa triterpenoid/steroid juga terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan
dengan pelarut metanol (polar).

Hal ini dapat terjadi mengingat metanol

merupakan pelarut polar, yang juga dapat mengekstrak komponen lainnya yang
bersifat non polar ataupun semipolar. Schimidt dan Steinhart (2001) menyatakan
bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan
hasil yang berbeda nyata.
3) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk
melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama
dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati),
transportasi

energi

(sukrosa),

serta

pembangun

dinding

sel

(selulosa)

(Harborne 1984). Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul


yang

berbeda-beda.

Karbohidrat

umumnya

aman

untuk

dikonsumsi

(tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat umumnya C x(H2O)y (Fennema 1996).

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ketiga ekstra kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong

positif

mengandung

unsur karbohidrat. Hasil

pengujian ini mendukung hasil analisis proksimat karbohidrat keong ipong-ipong,


yaitu sebesar 5.2%. Komponen serat kasar ini tidak ada yang terlarut pada ketiga
pelarut yang digunakan dan tertinggal sebagai residu selama proses filtrasi,
sehingga karbohidrat yang terdeteksi dari hasil uji fitokimia pada ketiga ekstrak
kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong bukanlah komponen serat kasar,
tetapi komponen glikogen yang terekstrak pada ketiga pelarut dengan tingkat
kepolaran yang berbeda.

Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya

berbentuk glikogen, dan dapat dipecah menjadi D-glukosa (Winarno 2008).


Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai
banyak kegunaan. Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan,
perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing
(Harborne 1984). Karbohidrat di dalam tubuh manusia berguna untuk mencegah
ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan
berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008).
Hasil positif pengujian kandungan karbohidrat dengan menggunakan
pereaksi Molisch ini diikuti dengan reaksi positif pengujian kandungan gula
pereduksi pada ektrak metanol dari daging, akan tetapi tidak diikuti reaksi positif
pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform dan etil asetat, serta ekstrak jeroan
pada ketiga pelarut tersebut untuk ekstrak kasar keong ipong-ipong dengan
menggunakan pereaksi Benedict. Ekstrak daging keong ipong-ipong dengan
metanol terdapat gula jenis aldosa, sedangkan untuk ekstrak daging dengan
pelarut kloroform dan etil asetat dan ekstrak jeroan dari ketiga pelarut tersebut
diduga gula pereduksi yang terdapat dalam ketiga ekstrak keong ipong-ipong
tersebut didominasi oleh gula pereduksi jenis ketosa, bukan jenis aldosa. Pada
pereaksi Benedict yang tidak alkali, komponen aldosa dapat terdeteksi tetapi
komponen ketosa tidak. Ketosa hanya akan terdeteksi pada suasana alkali saja,
seperti pada pereaksi Fehling. Hal ini dikarenakan, ketosa akan terisomerisasi
menjadi aldosa pada suasana alkali dan dapat mereduksi tembaga (II) menjadi
tembaga (I) yang akan mengendap sebagai Cu2O yang berwarna merah bata
(Fennema 1996).

4) Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak
mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,
sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus
glukosanya (Winarno 2008).
Hasil pengujian fitokimia untuk gula pereduksi, terdeteki pada ekstrak
kasar daging dengan pelarut metanol, sedangkan untuk kedua pelarut lainnya pada
ekstrak daging tidak terdeteksi, begitu juga pada ekstrak jeroan untuk ketiga
pelarut yang digunakan. Terdeteksinya gula pereduksi pada ekstrak metanol
daging keong ipong-ipong ini menandakan bahwa, pada ekstrak daging tersebut
terdapat gula jenis aldosa. Terdeteksinya gula pereduksi ini disebabkan karena
gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict
dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi Ag+
menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk
mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes
(Pine et al. 1988) .
5) Peptida
Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam
amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik
unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus -amino dari
molekul lain, dengan

reaksi kondensasi yang kuat. Transisi dari polipeptida

menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian protein


umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat molekul sekitar
10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino (Lehninger 1988;
Belitz et al. 2009).
Berdasarkan hasil pengujian fitokimia, komponen peptida ini terdeteksi
pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan ekstrak metanol. Sedangkan pada
kedua pelarut lainnya tidak telihat reaksinya begitu pula pada kedua pelarut
lainnya pada ekstrak jeroan. Pada ekstrak daging, peptide yang terdeteksi diduga
jenis protein yang berasal

yang merupakan komponen metabolit primer,

sedangakan untuk peptida yang terdeteksi pada ekstrak jeroan diduga jenis
hormon tertentu. Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata.
Salah satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam
pusat sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh
yang dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan
reseptor spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan
morfin, heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian
Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang
memiliki berat molekul <5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida
tersebut memiliki nilai IC50 sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker
kolon (HCT-116) dan sel kanker payudara (HTB-26).
6) Asam amino
Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino
dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.
Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom -carbon yang berikatan secara
kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus
rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi dan mempunyai konfigurasi L,
kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L
yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008).
Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin
terdeteksi asam amino pada ekstrak kasar daging dan

jeroan

pada pelarut

metanol, akan tetapi tidak terdeteksi pada kedua pelarut lainnya untuk kedua
ekstrak tersebut. Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino
yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non
protein (bukan penyusun protein). Kamil et al. (1998) menyatakan bahwa, asam
amino-asam amino yang terlarut pada pelarut metanol ini merupakan asam amino
yang memiliki sifat polar (hidrofilik), baik yang bermuatan ataupun yang tidak
bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin (asam amino polar bermuatan), treonin
(asam amino polar tak bermuata). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak
kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) tidak mengandung
asam amino.

Hal ini diduga karena asam amino-asam amino non polar ini

terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada sampel keong ipong-ipong yang

digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi oleh pereaksi Ninhidrin
0,10% pada ekstrak kloroform ataupun ekstrak etil asetat.
Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini didahului dengan
hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada ekstrak
daging dan jeroan dari metanol. Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua
atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini
dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan
gugus -amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat
(Lehninger 1988; Belitz et al. 2009). Tidak terdeteksinya komponen-komponen
yang berikatan peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah
terhidrolisis sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang
terdeteksi pada uji Ninhidrin ekstrak metanol.

Pembentukan ikatan peptida

memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan


energi, sehingga reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah
hidrolisis daripada sintesis (Winarno 2008).
4.3 Aktivitas Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen
reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Keberadaan senyawa antioksidan ini dalam
suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan.

Uji

aktivitas antioksidan pada tiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipongipong

yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, dilakukan dengan

menggunakan metode uji DPPH.


Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak
digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan
sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan pada
kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas.
Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH)
(Vattem dan Shetty 2006). Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang
stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol
(Molyneux 2004). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu
elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak

reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah
warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan
etanol ataupun metanol (Molyneux 2004).
Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas
DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya
memerlukan sedikit sampel, akan tetapi jumlah pelarut pengencer yang diperlukan
dalam pengujian ini cukup banyak.

Pelarut yang digunakan adalah metanol.

metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH
(Molyneux 2004; Suratmo 2009) dan juga memiliki sifat yang dapat melarutkan
komponen non polar di dalamnya, hal ini mengingat ketiga ekstrak yang diuji
memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda.
Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah
antioksidan sintetik BHT (butylated hydroxytoluene).

Larutan BHT pada

penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm melalui proses


pengenceran larutan stok BHT 250 ppm. Konsentrasi larutan ekstrak kasar daging
dan jeroan keong ipong-ipong yang diuji dengan metode DPPH ini adalah sebesar
200, 400, 600 dan 800 ppm.

Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses

pengenceran dari masing-masing larutan stok ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong 1000 ppm. Perhitungan pembuatan larutan stok dan proses
pengencerannya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila
senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH,
yang

ditandai

dengan

perubahan

warna

ungu

menjadi

kuning

pucat

(Molyneux 20004). Perubahan warna ini hanya tampak pada larutan BHT yang
diberi larutan DPPH 1 mM dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC,
sedangkan pada larutan ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang
telah diberi perlakuan sama tidak terlalu menunjukkan perubahan warna yang
signifikan. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong yang diuji terlalu kecil dan jauh dari nilai konsentrasi ekstrak
yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50% (IC50). Perubahan warna yang
mengindikasikan adanya reaksi peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa

antioksidan pada

larutan BHT dan larutan ekstrak daging dan jeroan keong

ipong-ipong, dapat dilihat pada Lampiran 6.


Intensitas perubahan warna yang terjadi pada larutan BHT dan larutan
ekstrak kasar keong ipong-ipong ini dapat diukur absorbansinya dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Setelah itu,
perhitungan persen inhibisi dan IC50 dari antioksidan BHT dan masing-masing
ekstrak kasar keong ipong-ipong dapat dilakukan. Persen inhibisi adalah
kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang
berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Nilai IC50 sendiri merupakan salah
satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari
pengujian DPPH. Nilai IC50 ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat
yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai
IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004).
Perhitungan persen inhibisi dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji
aktivitas antioksidan BHT dapat dilihat pada Tabel 3 dan hasil uji antioksidan
masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong dapat dilihat
pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 3. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT
Sampel
BHT

% Inhibisi

IC50 (ppm)

2 ppm

4 ppm

6 ppm

8 ppm

12,55

23,67

79,37

89,45

4,91

Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipongipong (Fasciolaria salmo)
Sampel Daging

% Inhibisi

IC50 (ppm)

200 ppm

400 ppm

600 ppm

800 ppm

Ekstrak Kloroform

22,90

24,14

24,61

25,19

9210

Ekstrak Etil Asetat

23,85

24,23

24,42

26,52

6825

Ekstrak Metanol

33,93

34,60

38,02

41,82

1513,8

Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipongipong (Fasciolaria salmo)
Sampel Jeroan

% Inhibisi

IC50 (ppm)

200 ppm

400 ppm

600 ppm

800 ppm

Ekstrak Kloroform

13,49

15,30

21,19

21,38

2825

Ekstrak Etil Asetat

15,39

15,87

17,96

20,24

4600

Ekstrak Metanol

19,96

28,13

33,84

43,63

994,47

Empat konsentrasi larutan BHT (2, 4, 6 dan 8 ppm) yang digunakan dalam
penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. (2005), dimana
dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC50 BHT sebesar
3,81 ppm. Penelitian ini, nilai IC50 BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm. Nilai
IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. (2005)
dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan
antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (< 50 ppm) menurut klasifikasi
Blois (1958) dalam Molyneux (2004). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini
menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT yang digunakan dengan persen
inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Garfik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya


Berdasarkan hasil pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa ekstrak kasar
daging dan jeroan keong ipong-ipong juga memiliki aktivitas antioksidan seperti
BHT, walaupun aktivitasnya tergolong lemah. Ketiga ekstrak kasar daging dan

jeroan keong ipong-ipong ini memiliki kekuatan penghambatan yang berbedabeda

antara yang satu dengan lainnya. Pengujian aktivitas antioksidan dari

masing-masaing ekstrak kasar menghasilkan hubungan antara konsentrasi ekstrak


kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong yang digunakan dengan persen
inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.

Gambar 14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong
dengan persen inhibisinya.

Gambar 15. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong
dengan persen inhibisinya.

Grafik pada Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa persen inhibisi


tertinggi selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi ektrak kasar
daging dan jeroan yang terbanyak, yaitu larutan dengan konsentrasi 800 ppm
(pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong).
Sedangkan, persen inhibisi terendah selalu dihasilkan oleh larutan yang
mengandung konsentrasi atau ekstrak kasar daging dan jeroan paling sedikit, yaitu
larutan dengan konsentrasi 200 ppm (pada masing-masing ekstrak kasar daging
dan jeroan). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar
daging dan jeroan keong ipong-ipong yang ditambahkan, maka semakin tinggi
pula persen inhibisi yang akan dihasilkan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005), yang menyatakan bahwa
persentase penghambatan (persen inhibisi) terhadap aktivitas radikal bebas akan
ikut meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak.
Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi
(Molyneux 2004). Tabel 4 dan 5 di atas menunjukkan bahwa ekstrak metanol
daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang lebih
besar dari dua ekstrak yang lainnya, ditandai dengan nilai IC 50-nya yang terkecil,
yaitu 1513,8 dan 994,47 ppm. Sedangkan, ekstrak kloroform dari daging keong
ipong-ipong merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang paling
lemah. Hal ini terbukti dari nilai IC50-nya yang terbesar, yaitu 9210 ppm. Akan
tetapi pada ekstrak kasar jeroan, ekstrak jeroan dengan etil asetat memiliki
aktivitas antioksidan yang paling lemah yaitu sebesar 4600 ppm.
Walaupun rendemen ekstrak kloroform lebih sedikit dari rendemen ektrak
kasar jeroan dengan kloroform, tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini
diduga karena pada ekstrak kasar jeroan dengan kloroform terdapat komponen
bioaktif tertentu seperti alkaloid. Alkaloid telah diketahui memiliki aktivitas
antioksidan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Porto et al. (2009), yang
menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada daun Psychotria brachyceras yaitu
brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan dan berperan sebagai pelindung dari
radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).
Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai
IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml,

sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai
IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004).
Menurut klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong
tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC 50-nya
lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas
antioksidan dari BHT.
Data-data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki
aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada
ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Hal ini terlihat dari
nilai IC50 BHT yang jauh berbeda dengan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak
kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Nilai IC50 antioksidan BHT jauh
lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipongipong. Hal ini dapat terjadi dikarena ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong
yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar
(crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan
merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam
pelarut selama proses ekstraksi.
Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi
tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni
dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.
Contohnya adalah komponen alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak kasar jeroan
pada ketiga pelarut dan ekstrak daging pada etil asetat dan metanol. Komponen
alkaloid murni dari ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong diduga memiliki
aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal ini
menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong tersebut.

Setelah ekstrak yang telah dimurnikan

tersebut diperoleh,maka pengujian aktivitas antioksidannya pun perlu dilakukan.


Ekstrak kasar daging dengan kloroform dari keong ipong-ipong yang
bersifat non polar tidak sepenuhnya benar jika dinyatakan memiliki aktivitas
antioksidan yang paling lemah, walaupun berdasarkan hasil uji DPPH
menunjukkan bahwa nilai IC50-nya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila
pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak memiliki sifat kepolaran yang

berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan DPPH
pada penenlitian ini adalah metanol yang memiliki sifat polar, sehingga dapat
diduga bahwa komponen bioaktif yang bersifat non polar pada ekstrak kloroform
tidak larut sepenuhnya pada pelarut ini. Jumlah komponen bioaktif yang terlarut
pada masing-masing pelarut akan berbeda dan pada akhirnya akan berpengaruh
pada nilai IC50 yang dihasilkan. Nilai IC50 akan semakin besar jika ekstrak yang
terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini menyebabkan perlu
dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode pengujian
lainnya yang universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semi
polar ataupun non polar. Metode DPPH merupakan salah satu metode pengujian
aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat
polar, karena kristal DPPH sendiri hanya dapat larut dan memberikan absorbansi
maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol seperti yang dikemukakan oleh
Vattem dan Shetty (2006) ; Amrun dan Umiyah (2005); serta Molyneux (2004).

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) yang berasal dari Desa Gebang,
Kota Cirebon, Jawa memiliki rendemen daging (22,08%), jeroan (8,22%) dan
cangkang (69,69%), yang sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan
lebih lanjut. Keong ipong-ipong ini mengandung air yang cukup tinggi (73,07%),
lemak yang rendah (0,57%), protein dalam jumlah yang tinggi (18,28%), abu
(2,77%), abu tidak larut asam (0,15%) dan karbohidrat (5,2%).
Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas
antioksidan yang sangat lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan
BHT. Walaupun begitu, ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini
mengandung 6 komponen bioaktif yang terdeteksi melalui uji fitokimia, yaitu
komponen alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino.
Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis
yang positif bagi tubuh manusia. Selain itu adanya kandungan steroid pada keong
ipong-ipong membuktikan khasiat dari keong tersebut secara empiris yang dapat
meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjutan berupa pemurnian ekstrak dan pengujian aktivitas antioksidan
ekstrak murni tersebut, serta penentuan struktur bangun komponen bioaktif pada
ekstrak murni dengan spektrum UV, IR dan NMR. Identifikasi senyawa-senyawa
bioaktif lainnya dalam ekstrak daging dan jeroan dari keong ipong-ipong
menggunakan GC-MS (gaschromatography mass spectroscopy). Penentuan
komposisi asam lemak, vitamin dan mineral juga perlu dilakukan. Selain itu,
perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dari steroid yang terkandung di dalam
tubuh keong ipong-ipong, dikaitkan dengan pengaruh pengolahan.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: Gramedia.
Amrun MH, Umiyah. 2005. Pengujian antiradikal bebas difenilpikril hidrazil
(DPPH) ekstrak buah kenitu (Chrysophyllum cainito L.) dari daerah
sekitar Jember. Jurnal Ilmu Dasar 6(2):110-114.
Anand P, Chellaram C, Kumaran S, Shanthini CF. 2010. Biochemical
composition and antioxidant activity of Pleuroploca trapezium meat.
J. Chem. Pharm. 2(4):526-535
Andriyanti R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut
(Discodoris sp.) asal perairan Kepulauan Belitung [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Ansel. 1989. Pengatur Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Method of
Anaalysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT
Gramedia.
Barnes, R. D. 1987. Invertebrate Zoology. Fith edition. Sounders College
Publishing.
Belitz , H.D. dan W. Grosch.1978. Food Chemistry. Berlin: Springer Verlag.
Berry, A. J. 1972. Fauna Zonatio in Mangrove Swamps. Malaysia: Departement
of Zoology, University of Malaya
Blois, MS.1958. Antioxidant determinations by the use of a stable free radical.
Journals Nature 181: 1199-1200.
Bose R, Majumdar C, Bhattacharya S. 1997. Steroids in Achatina fulica
(Bowdich): steroid profile in haemolymph and in vitro release of
steroids from endogenous precursors by ovotestis and albumen gland.
Comp Biochem Physiol 116C(3):179-182.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Teh Kering Dalam Kemasan.
Jakarta:SNI-01-3836-2000

Budiyanto AK. 2002. Dasar-dasar


Muhammadiyah Malang.

Ilmu

Gizi.

Malang:

Universitas

Buck DF. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive Users
Handbook. UK: Blackie Academic & Profesional, Glasgow.
Campanella L, Gatta T, Ravera O. 2005. Relationship between anti-oxidant
capacity and manganese accumulation in the soft tissues of two
freshwater molluscs: Unio pictorum mancus (Lamellibranchia,
Unionidae) and Viviparus ater (Gastropoda, Prosobranchia). J. Limnol
64(2): 153-158
Cavas L, Yurdakoc K, Yokes B. 2004. Antioxidant status of Lobiger serradifalci
and Oxynoe olivacea (Opisthobranchia, Mollusca). Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology 314:227-235
Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton,
editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers.
Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin
dari kulit buah jeruk nipis (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2:1315.
Dance P S. 1977. The Encyclopedia of Sheel. London: Blanford Press.
Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker,
Inc.
Food Chemical Codex. 1992. Carrageenan. Washington: National Academy
Press
Gordon, M.H 1990. The Mechanism of Antioxidants Action In Vitro. Di dalam:
B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. London: Elsivier Applied
Science.
Halliwell B. 2007. Dietary polyphenols: good, bad, or indifferent for your health.
J. Cardiovascular Research 73:341347.
Hamilton, R.J. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di dalam: J.C. Allen
dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied
science Publishers.
Hanani E, Munim A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam
spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu
Kefarmasian 2(3):127-133.
Harborne JB. 1984. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and
Hall.

Herbert R B. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder.Diterjemahkan: Srigandono


dari, The Biosintesis of Secondary Metabolites. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Huber M E, Castro P,. 2007. Marine Biology Sixth ed. New York: The MC.Graw
Hill Companies, inc.
Hughes, R.H. 1986. A Fungtional Biology of Marine Gastropods. First Published.
USA: John Hopkins University Press.
Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer
effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open
Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20.
Kasih AL. 2007. Ekstraksi komponen antioksidan dan antibakteri dari biji lotus
(Nelumbium nelumbo) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI
Press.
Kubola J, Siriamornpun S. 2008. Phenolic contents and antioxidant activities of
bitter gourd (Momordica charantia L.) leaf, stem and fruit fraction
extracts in vitro. J.Food Chemistry 110:881890.
Kutchan TM. 1995. Alkaloid biosynthesis: the basis for metabolic engineering of
medical plants. The Plant Cell 7:1059-1070.
Lawrence S G, Musthafa Z, Seweang A. 2000. Radikal Bebas sebagai Prediktor
Aterosklerosis pada Tikus Wistar Diabetes Melitus. Jurnal Cermin
Dunia Kedokteran 127: 32-33
Lehninger AL. 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.
Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida. Medan:
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara.
Mohsen SM, Ammar ASM. 2009. Total phenolic contents and antioxidant activity
of corn tassel extracts. J.Food Chemistry 112:595598.
Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical dyhenylpicrylhydrazil
(DPPH) for estimating antioxidant activity. Journals science and
technology: 26:211-219
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Nuraini AD. 2007. Ekstraksi komponen antibakteri dan antioksidan dari biji
teratai (Nymphaea pubescens Wild) [skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Nurjanah. 2009. Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan pantai
Pulau Buton sebagai antioksidan dan antikolesterol [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pierleimena E H. 2002. Potensi Pemanfaatan Beberapa Jenis Keong Laut
(Molusca: Gastropoda). Jurnal Hayati: 9:97-99.
Plaziat, C. J. 1984. Mollusc Distribution in Mangal. Washinton: Dr. W. Junk
Published.
Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.
Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South
American Psychotria and related species. The Open Bioactive
Compounds Journal 2:29-36.
Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan dari keong matah merah (Cerithidea
obtusa) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T.
Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food
and Their Effects on Health H. Washington DC: American Society.
Pratt, D.E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited
Comercially. Di dalam : B.J.F.Hudson, editor. Food Antioxidants.
London: Elsevier Applied Science.
Purwati

E. 2009. Profil komponen bioaktif tanaman kava-kava


(Pipermethysticum, Forst, f) dengan pelarut etanol dan methanol
[skripsi]. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang.

Putra SE. 2007. Alkaloid: senyawa organik terbanyak di alam. http://www.chemis-try.org/artikel_kimia/biokimia/alkaloid_senyawa_organik_terbanyak


di_alam/. [20 Februari 2010].
Quinn R J. 1988. Chemistry of Aqueous Marine Extracts: Isolation Techniques in
Bioorganic Marine Chemistry, Vol. 2.Verlag Berlin Heidelberg:Springer
Robinson T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Edisi keenam.
Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The
organic constituents of higher plants.

Rohman A, Riyanto S. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning


(Murraya paniculata (L) Jack) secara in-vitro. Majalah Farmasi
Indonesia 16(3):136-140.
Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen
bioaktif dari kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea.) sebagai senyawa
antioksidan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):119-132.
Salimi KY. 2005. Aktivitas antioksidan dan antihiperkolestrolemia ekstrak beta
glukan dari Saccharomyces cerevisiae pada tikus putih. [tesis]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Samsudin. 2008. Azadirachtin Metabolit Sekunder dari Tanaman Mimba sebagai
Bahan Insektisida Botani. Lembaga Pertanian Sehat.
Sarastani D et al. 2002. Aktivitas antiksidan ekstrak dan fraksi ekstrak biji atung
(Parinarium glaberrimum). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
XII(2):149-156
Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah mada
University Press.
Schmidt G, Steinhart H. 2001. Impact of extraction solvents on
contents
determined in beef. Journal of Food chemistry. 76: 83-88.

steroid

Setyaningsih A. 2003. Studi pendahuluan bahan aktif dari bintang laut


(Astropecten sp.) sebagai antioksidan [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a
molecular docking study. The Open Bioactive Compounds Journal
1:13-17.
Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB.
Sunardi, Kucahyo I. Uji aktivitas antioksidan ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi, L.) terhadap 1,1 diphenyl-2- pycrylhidrazil (DPPH). Makalah
Seminar Nasional Teknologi 2007. Yogyakarta, 24 November 2007.
Suryowinoto S. 2005. Mengenal beberapa senyawa pada tanaman yang berperan
sebagai antiaging. InfoPOM 6(3):7-11.
Suwignyo S. et al.. 2005. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta: Penebar Swadaya.
Vattem DA, Shetty K. 2006. Biochemical Markers for Antioksidan Functionality.
Di dalam: Shetty K, Paliyath G, Pometto AL, Levin RE, editor.
Functional Foods and Biotechnology. Boca Raton: CRC Press.

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada


Universitas press.
Vorontsova YA, Yurlova NI, Vodyanitskaya SN, Glupov VV. 2010. Activity of
detoxifying and antioxidant enzymes in the pond snail Lymnaea
stagnalis (Gastropoda: Pulmonata) during invasion by Trematode
Cercariae. Journal of Evolutionary Biochemistry and Physiology 46(1):
28-34
Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: flavonoid
(quercetin). Makasar: Program S2 Kimia, FMIPA, Universitas
Hasanuddin.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1973. Ekstraksi dan Khromatografi,
Elektroforesis. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.
Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisus
Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998. Prosedur
Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-Hasil Perikanan. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong

Tampak bawah

Tampak atas

Lampiran 2. Perhitungan rendemen keong ipong-ipong


Berat total

: 1046 gram

Berat cangkang

: 729 gram

Berat daging

: 231 gram

Berat jeroan

: 86 gram

Lampiran 3. Perhitungan analisis proksimat


a. Kadar air

b. Kadar lemak

c. Kadar protein

d. Kadar abu

e. Abu tidak larut asam


Ulangan 1 = 0.1 %
Ulangan 2 = 0.2 %

f. Kadar karbohidrat (by difference)


% Kadar karbohidrat = 100% - (73.075 + 0.575 + 18.28 + 2.77 + 0.15) %
= 5.2 %

Lampiran 4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong


Jenis
Pelarut
Kloroform
Etil Asetat
Metanol

Berat Sampel Kering (g)


Daging
Jeroan
25
25
25
25
25
25

a. Ekstrak kloroform
-

Daging

Jeroan

b. Ekstrak etil asetat


-

Daging

Jeroan

c. Ekstrak methanol
-

Daging

Jeroan

Berat ekstrak (g)


Daging
Jeroan
0.0615
0.496
0.3346
1.603
2.6928
3.417

Rendemen (%)
Daging
Jeroan
0.246
1.984
1.3384
6.412
10.7712 13.668

Lampiran 5. Perhitungan pembuatan larutan stock dan pengencerannya


a. DPPH 0,001 M sebanyak 50 ml (Mr = 394 g/mol)
Konsentrasi

0,001 M

berat DPPH

DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.


b. Standar BHT 250 ppm sebanyak 50 ml
Stok BHT 250 ppm

=
= 12,5 mg = 0,0125 g

BHT sebanyak 0,0125 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.

BHT 2 ppm

=
=
=

0,08 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

BHT 4 ppm

=
=
=

0,16 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

BHT 6 ppm

=
=
=

0,24 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

BHT 8 ppm

=
=
=

0,32 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

c. Larutan ekstrak 1000 ppm sebanyak 50 ml


Stok ekstrak 1000 ppm

=
= 50 mg = 0,05 g

Ekstrak sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.

Ekstrak 200 ppm

=
=
=

2 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Ekstrak 400 ppm

=
=
=

4 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Ekstrak 600 ppm

=
=
=

6 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Ekstrak 800 ppm

=
=
=

8 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.

Lampiran 6. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi peredaman


DPPH

BHT + DPPH 1 mM

Ekstrak Kloroform + DPPH 1 mM

Ekstrak Etil Asetat + DPPH 1 mM

Ekstrak Metanol + DPPH 1 mM

Lampiran 7. Perhitungan persen inhibisi dan IC50


a. Persen inhibisi dan IC50 pada BHT
Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
Blanko
0
1,052
2
0,920
4
0,803
BHT
6
0,217
8
0,111

Sampel

1) Persen inhibisi
BHT 2 ppm =
BHT 4 ppm

BHT 6 ppm

BHT 8 ppm

%
Inhibisi

Persamaan regresi
linear

IC50 (ppm)

12,55
23,67
79,37
89,45

y = 14,32x 20,35

4,91

2) IC50
y
= 14,32x 20,34
50
= 14,32x 20,34
70,34 = 14,32x
x
= 4,91 ppm
IC50 untuk BHT adalah 4,91 ppm.
b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform
-

Daging

Sampel
Daging
Blanko

Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.811
400
0.798
Kloroform
600
0.793
800
0.787
Sampel Konsentrasi
Absorbansi
Daging
(ppm)
Blanko
0
1,052
200
0.801
400
0.797
Etil
Asetat
600
0.795
800
0.773

Sampel
Daging
Blanko
metanol

Sampel
Jeroan
Blanko

%
Inhibisi
22.90
24.14
24.61
25.19

%
Inhibisi

Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.695
400
0.688
600
0.652
800
0.612

23.85
24.23
24.42
26.52

Persamaan
regresi linear

IC50
(ppm)

y = 0.003x +
22.37

9210

Persamaan regresi
linear

IC50 (ppm)

y = 0.004x + 22.70

6825

%
Inhibisi
33.93
34.60
38.02
41.82

Persamaan
regresi linear

IC50
(ppm)

y = 0.013x +
30.32

1513.8

Jeroan

Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.910
400
0.891
Kloroform
600
0.829
800
0.827

%
Inhibisi
13.49
15.30
21.19
21.38

Persamaan regresi
linear

IC50
(ppm)

y = 0.014x +
10.45

2825

Sampel
Jeroan
Blanko
Etil asetat

Sampel
Jeroan
Blanko
Metanol

Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.890
400
0.885
600
0.863
800
0.839

%
Inhibisi

Konsentrasi
Absorbansi
(ppm)
0
1,052
200
0.842
400
0.756
600
0.696
800
0.593

%
Inhibisi

15.39
15.87
17.96
20.24

19.96
28.13
33.84
43.63

Persamaan
regresi linear

IC50
(ppm)

y = 0.008x +
13.20

4600

Persamaan
regresi linear

IC50
(ppm)

y = 0.038x +
12.21

994.47

Lampiran 8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong
ipong-ipong
a. Ekstrak kloroform

Ekstrak Daging

Ekstrak Jeroan

b. Ekstrak etil asetat

Ekstrak Daging

Ekstrak Jeroan

c. Ekstrak methanol

Ekstrak Daging

Ekstrak Jeroan

Lampiran 9. Gambar-gambar selama proses ekstraksi

Proses pengadukan dengan orbital shaker

Rotary vacuum evaporator

Proses filtrasi hasil maserasi

Proses evaporasi filtrat

Anda mungkin juga menyukai