Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Luka adalah suatu keadaan putusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan oleh
berbagai hal. Seseorang yang menderita luka akan merasakan adanya
ketidaksempurnaan yang pada akhirnya cenderung untuk mengalami gangguan
fisik dan emosional sehingga berdampak pada kualitas hidupnya.
Di Indonesia, perhatian terhadap perawatan luka masih sangat kurang. Padahal
luka adalah permasalahan sederhana yang bisa menjadi kompleks, karena bisa
berujung pada parut dan keloid. Di Amerika, untuk perawatan luka saja, dinas
kesehatan nasional Amerika menganggarkan dana tidak kurang dari 2,5 miliyar
dollar. Sebuah jumlah yang cukup besar. Hal itu dilakukan karena setiap tindakan
operasi, luka pasti menjadi side product dari tindakan tersebut. Parut dan keloid
yang dihasilkan tidak hanya menimbulkan rasa ketidakpercayaan diri saja, namun
juga rawan memicu frustasi. Ini yang belum diperhatikan pemerintah negeri ini.
Kendala dalam perawatan luka di Indonesia adalah adanya anggapan bahwa
material perawatan luka modern, mahal, dan tidak cocok untuk masyarakat
Indonesia. Luka akut yang dirawat dengan metode konvensional umumnya lebih
lama sembuh. Semakin lama luka, maka bekas parut yang dihasilkan akan
semakin parah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Luka (wound) merupakan adanya diskontinuitas dan/atau kerusakan
jaringan tubuh yang menyebabkan gangguan fungsi. Luka pada kulit, otot,
tulang, pembuluh darah, maupun organ seperti jantung, usus dan sebagainya,
semuanya melalui suatu proses reparatif yang serupa (similar) dan dapat di
prediksi (predictable).
Luka dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Luka akut
Luka akut adalah luka dalam hitungan jam (s/d 8 jam). Luka yang
dibiarkan lebih dari 8 jam dinamakan neglected wound (luka yang
terabaikan). Luka akut umumnya merupakan luka traumatik, contohnya
luka tertusuk, terpotong, abrasi, laserasi, luka bakar, dan luka traumatik
lainnya.
2. Luka kronik
Luka kronis adalah luka yang berlangsung lebih dari 2 minggu tanpa
melewati fase-fase penyembuhan secara sempurna; atau merupakan luka
yang berulang. Contohnya adalah luka akibat tekanan.

2.2 Fisiologi Luka


Ada beberapa fase penyembuhan luka yakni :
a. Fase inflamasi : berupa hemostatsis dan inflamasi
b. Fase proliferatif : terdiri dari epitelialiasi, angiogenesis, pembentukan
jaringan granulasi dan deposisi kolagen
c. Fase maturasi : kontraksi, pembentukan jaringan parut (scar tissue),
remodeling

Tabel 1. Fase penyembuhan luka serta faktor pertumbuhan yang terlibat


Fase penyembuhan luka

Growth factors dan sitokin

Hemostasis

PDGF, IGF-1, EGF, FGF, TGF-beta

Inflamasi

Sda + aktivasi komplemen

Proliferasi sel

Protease (elastase, kolagenase)

Granulasi dan matrix repair

MMPs, TIMPs

Epitelialisasi

EGF, TGF-beta

Remodelling/ pembentukan scar

FGF, protease

Gambar 1. Gambaran Fase Penyembuhan Luka


Umumnya luka yang akut akan melalui tahapan fase diatas dengan baik, jika
dilakukan perawatan luka yang benar. Namun jika perawatan luka dilakukan
dengan sembarangan dan menyalahi prinsip-prinsip perawatan luka, maka luka
dapat menjadi kronis karena adanya fase penyembuhan yang tidak terlewati
dengan dengan sempurna. Penyebab lainnya adalah penyakit yang mendasari
(misalnya diabetes melitus, CVI, dll) sehingga elemen pencetus luka tersebut
selalu ada. Pada luka-luka seperti ini tentunya memerlukan pemahaman
perawatan luka yang benar karena jelas luka tersebut lebih sulit untuk sembuh.

Fase-fase dalam penyembuhan luka (khususnya pada kulit dan jaringan di


bawahnya) umumnya memiliki pola dan waktu yang serupa seperti terlihat
pada tabel dibawah ini :

Tabel 2. Waktu penyembuhan luka


Fase penyembuhan luka

Waktu

Sel yang
berperan

Hemostasis

Segera (menit)

Platelet

Inflamasi

Hari 1-3

Neutrofil
Makrofag

Proliferasi sel

Hari 3-21

Makrofag

Granulasi dan matrix repair

Hari 7-21

Limfosit
Angiosit
Neurosit
Fibroblast

Epitelialisasi

Hari 3-21

Keratinosit

Remodelling/ pembentukan scar

Hari 21-beberapa tahun

Fibrosit

Teknik

harus

perawatan

luka

juga

mengikuti

fase-fase

dalam

penyembuhan luka, khususnya dari segi waktu: waktu penggantian wound


dressing, waktu pengangkatan benang, dsb.
Jenis dari penyembuhan luka terdiri dari :
1. Primary wound healing (penyembuhan luka primer): terjadi saat
pinggirian luka (wound edges) yang bersih dan masih vital (tidak iskemik/
nekrosis) ditemukan dengan aprokmasi yang baik (biasanya penjahitan)
sehingga fase pembentukan jaringan granulasi lebih cepat dan epitelialisasi
langsung terjadi dalam beberapa hari (1-3 hari).
2. Secondary wound healing (penyembuhan luka sekunder): terjadi pada luka
yang cukup dalam /lebar dan jarak antara ujung-ujung luka terlalu jauh,
sehingga tidak dapat dilakukan penjahitan secara langsung. Seluruh fase
penyembuhan luka secara spontan akan dilewati sesuai dengan
dalam/luasnya luka dan tergantung dari penyakit yang mendasarinya.
3. Tertiary wound healing (penyembuhan luka tersier): terjadi pada luka yang
kurang vital/jaringan nekrotik cukup banyak/luka cukup dalam/luka kotor
dan memerlukan tindakan debridemen/nekrotomi terlebih dahulu untuk

jangka waktu tertentu (hingga luka cukup vital dan bersih), untuk
kemudian melewati fase-fase penyembuhan luka.

2.3 Penilaian Luka


Tabel 3. Kerangka kerja penilaian luka
Parameter

Penilaian

Measure

Panjang, lebar, kedalaman, area

Exudate

Kuantitas dan kualitas eksudat

Appearance

Wound bed, jenis jaringan dan jumlah

Suffering

Kuantitas dan kualitas nyeri

Undermining

Ada atau tidaknya

Re-evaluate

Monitor ulang seluruh kondisi luka secara


regular

Edge

Kondisi pinggir luka dan kulit sekitar luka

1. Measure
Pengukuran luka dapat berubang pada sepanjang proses penyembuhan
luka. Pada proses awal penyembuhan dimana jaringan nekrotik telah
dibuang, luka tampak semakin meluas, hal ini karena daerah luka yang
sebenarnya telah tertutupi oleh jaringan nekrotik tersebut. Monitoring dari
ukuran luka penting dalam menentukan pilihan dressing luka yang tepat.
Luka yang luas dan dalam memerlukan dressing yang berbeda dengan luka
yang dangkal, maupun luka yang memiliki sinus.
2. Exudate
Normalnya eksudat dapat muncul pada proses penyembuhan pada fase
inflamasi dan lebih sedikit pada fase epitelisasi. Adanya eksudat yang
berlebihan menunjukkan adanya pemanjangan fase inflamasi ataupun
adanya infeksi pada luka. Keast menyatakan bahwa eksudat dapat dinilai
dari kualitas dan kuantitas eksudat serta bau pada luka.
Tabel 4. Indikator penilaian eksudat Sistem TELER
Poin

Kebocoran Eksudat

Tidak terdapat eksudat pada saat pergantian wound dressing

Terdapat eksudat dalam waktu 2 jam sebelum pergantian wound


dressing berikutnya

Terdapat eksudat dalam waktu 8 jam sebelum pergantian wound


dressing berikutnya

Terdapat eksudat dalam waktu 24 jam setelah pergantian wound


dressing

Terdapat eksudat dalam waktu 8 jam setelah pergantian wound


dressing

Terdapat eksudat dalam waktu 2 jam setelah pergantian wound


dressing

Tabel 5. Indikator penilaian bau luka Sistem TELER


Poin

Bau

Tanpa bau

Bau tercium saat wound dressing dibuka

Bau tercium di dekat luka

Bau tercium dari jarak sehasta dari pasien

Bau tercium memenuhi seluruh ruangan

Bau tercium saat memasuki rumah / klinik

3. Appearance
Penilaian penampilan luka dapat mengevaluasi tahapan penyembuhan
luka maupun adanya komplikasi pada luka. Umumnya dari penampilan
dapat diketahui apakah suatu luka tersebut nekrotik, terinfeksi, bernanah,
granulasi atau epitelisasi.
4. Suffering
Rasa nyeri yang meningkat seiring dengan proses perjalanan luka
menunjukkan adanya infeksi pada luka. Krasner membagi nyeri pada luka
menjadi tiga tipe: nyeri luka akut non-siklik, contohnya nyeri pada saat
debriment; nyeri luka akut siklik, contohnya nyeri pada saat penggantian
wound dressing; nyeri luka kronik, yaitu bersifat konstan dan persisten.

Intensitas nyeri dapat diukur dengan visual and logue scale.


5. Undermining
Pada saat tindakan perawatan luka, perlu dilakukan pemeriksaan
terhadap cavitas luka, apakah terdapat saluran dan sinus pada dinding dan
dasar luka. Pada luka dapat dibersihkan dengan kasa steril untuk dapat
mengevaluasinya.
6. Re-evaluate
Evaluasi ulang dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa ada atau
tidaknya tanda-tanda komplikasi dan untuk memonitor perkembangan luka
terhadap terapi yang diberikan. Frekuens evaluasi ulang berbeda-beda
tergantung pada jenis dan progresifitas luka, pada luka kronik evaluasi
ulang dapat dilakuakn setiap 1-2 minggu, sedangkan pada luka akut dapat
dilakukan lebih sering.
7. Edge
Hal ini mencakup pinggiran luka dan kulit sehat di sekitarnya. Pinggir
luka dengan sel epitel yang meninggi menunjukkan luka yang mengalami
proses penyembuhan. Keadaan kulit di sekitar luka perlu diperhatikan,
seperti adanya eritema dan kalor yang menunjukkan proses infeksi.
Adanya eritema tanpa tanda radang lainnya dapat menunjukkan adanya
reaksi alergi terhadap bahan wound dressing. Indurasi menunjukkan
adanya kerusakan progresif pada luka tekanan. Maserasi dapat timbul pada
luka dengan produksi eksudat yang banyak.

2.4 Prinsip Perawatan Luka


Prinsip perawatan luka secara umum adalah :
1. Debridement
Seluruh materi asing/nonviable/jaringan nekrotik merupakan debris dan
dapat menghambat penyembuhan luka sehingga diperlukan tindakan untuk
membersihkan luka dari semua materi asing ini. Nekrotomi (pembuangan
jaringan nekrotik) juga termasuk dalam debridemen luka. Debridemen
dapat dilakukan berkali-kali (bertahap) samapai seluruh dasar luka (wound

10

bed) bersih dan vital.


2. Moist wound bed
Dasar luka (wound bed) harus selalu lembab. Lembab bukan berarti
basah. Kassa yang direndam dalam larutan seperti Nacl itu basah bukan
lembab, karena kassa yang basah dapat menjadi kering sehingga tidak
pernah menjadi lembab. Lembab yang dimaksud adalah adanya eksudat
yang berasal dari sel di dasar luka yang mengandung sel-sel darah putih,
growth factors, dan enzim-enzim yang berguna dalam

proses

penyembuhan luka. Suasana lembab ini harus dipertahankan dengan


diikuti pencegahan infeksi dan pembentuka pus.
3. Prevent further injury
Jaringan disekitar luka biasanya mengalami inflamasi sehingga ikatan
antar selnya kurang kuat. Saat merawat luka dianjurkan untuk tidak
membuat luka/kerusakan baru dijaringan sekitarnya. Imobilisasi lama juga
dapat menyebabkan kerusakan jaringan lainnya misalnya terbentuk ulkus
dekubitus, infeksi sekunder, bahkan pneumonia, dll.
4. Nutritional therapy
Nutrisi adalah suatu terapi bukan hanya sebagai suplemen/tambahan.
Terapi nutrisi sangat penting dalam proses penyembuhan luka sebab
komponen jaringan yang rusak harus diganti. Pada setiap luka memerlukan
elemen pengganti yang didapatkan dari asupan nutrisi.
5. Treat underlying diseases
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses penyembuhan luka
adalah penyakit yang mendasari luka tersebut misalnya DM, CVI, SLE,
dll. Jika penyakit yang mendasarinya tidak diatasi, kemungkian besar luka
akan sulit sembuh
6. Work with law of nature
Pepatah mengatakan

time heals

all

wounds. Sesungguhnya

penyembuhan luka dilakukan oleh tubuh penderita sendiri. Yang dapat kita
lakukan adalah memberikan suasana dan kondisi ideal agar luka dapat
sembuh tanpa adanya hambatan/gangguan.jika seluruh faktor yang

11

menghambat penyembuhan luka dapat diatasi (mulai dari faktor sistemik


sampai keadaan status lokalis itu sendiri) maka tidak ada alasan luka tidak
dapat sembuh.

2.5 Jenis-Jenis Perawatan Luka


1. Perawatan luka akut
Secara umum 8 jam pada luka akut ditentukan sebagai golden period
untuk luka. Jaringan tubuh yang dibiarkan iskemik (tidak mendapat
oksigen dari darah) selama lebih dari 8 jam akan menjadi nekrosis dan
kerusakannya tidak dapat dikembalikan ke keadaan normal (sering disebut
irreversibel injury). Maka dari itu sebaiknya perawatan luka dimulai
secepatnya sejak luka/injury terjadi dan tidak menunggu hingga nekrosis.
Luka akut yang bersih (acute clean wound) misalnya luka sayatan
pisau

yang

bersih

dapat

segera

ditutup/dijahit

sehingga

terjadi

penyembuhan luka secara primer (primary wound healing). Luka akut


yang kotor memerlukan penanganan debridemen terlebih dahulu sebelum
penjahitan luka sesuai dengan prinsip penanganan luka secara umum.
Debridemen pada luka akut dilakukan sesegera mungkin setelah luka
terjadi. Penggunaan antiseptik pada luka masih kontroversial karena
beberapa pendapat mengatakan bahwa luka tidak harus steril dan flora
normal pada luka masih diperlukan untuk melawan kuman patogen.
Penggunaan antiseptik seperti betadine, alkohol atau peroksida dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan sehingga tidak dianjurkan untuk
digunakan pada luka terbuka. Larutan ideal digunakan untuk debridemen
adalah cairan fisiologis (NaCl 0.9%) sebanyak mungkin sampai luka
menjadi bersih.
Setelah dilakukan debridemen luka dengan benar, luka kemudian dinilai
apakah dapat langsung dilakukan penutupan/penjahitan. Jika luka akut
tersebut kotor namun masih dapat ditutup dengan penjahitan sebaiknya
dipasang drain sebagai pencegahan jika terbentuk pus dikemudian hari.
Jika luka akut tersebut cukup besar/dalam dan penjahitan sulit dilakukan

12

maka sebaiknya dipilih jenis perawatan/penyembuhan luka sekunder


(perawatan luka terbuka).
Luka pasca operasi umumnya merupakan luka akut steril sehingga
dapat dipertahankan sampai 3 hari untuk kemudian dilakukan penggantian
dressing. Waktu 3 hari dipakai sebagai patokan sesuai waktu yang
diperlukan bagi luka untuk melewati fase proliferasi dan epitelialisasi pada
luka akut tipe primary healing/repair. Saat epitelialisasi ujung-ujung luka
terjadi, luka tersebut bukan lagi dinamakan luka terbuka, oleh karena itu
dapat dilakukan wound dressing dan pencucian. Pencucian dilakukan
dengan menggunakan air atau Nacl fisiologis untuk mencuci krusta dan
kemungkinan adanya kuman yang menempel saat dressing dibuka. Oleh
karena itu pasien boleh mandi setelah dressing atau balutan dibuka dan
luka harus dicuci saat mandi. Setelah itu luka dikeringkan dan dapat
langsung ditutup dengan dressing yang baru. Penggunaan antiseptik
(betadine, alkohol, dll) masih tetap kontroversial,
2. Perawatan luka kronik
Mungkin saja suatu saat luka kronis dapat melalui seluruh fase
penyembuhan namun tanpa mempertahankan fungsi dan struktur anatomis
yang benar. Luka dapat menjadi kronis jika terdapat hambatan/ gangguan
saat melewati fase-fase penyembuhan, misalnya ada penyakit yang
mendasari (biasanya penyakit kronis pula seperti diabetes, dll), nutrisi
yang kurang, atau akibat perawatan luka yang tidak benar.
Gangren diabetikum merupakan salah satu contoh luka kronis yang
paling sering dijumpai dan sering berakhir dengan tindakan amputasi.
Perawatan luka secara baik dan benar yang dibarengi dengan kontrol
glukosa yang teratur sesungguhnya dapat mencegah tindakan amputasi
yang berlebihan.
Secara prinsip perawatan luka kronis tidak banyak berbeda dengan luka
akut. Debridemen dan nekrotomi harus dilakukan secara rutin untuk
menghilangkan faktor penghambat penyembuhan luka. Debridemen dapat
dilakukan secara bertahap untuk mngurangi kemungkinan further injury

13

pada jaringan sehat disekitar luka. Prinsip moist wound bed pun harus
dilakukan dengan pemilihan wound dressing yang tepat. Nutrisi dan
pengobatan penyakit yang mendasari juga harus selalu dievaluasi supaya
pasien memperoleh asupan gizi

yang baik untuk mempercepat

penyembuhan luka
Luka maligna (malignant wound), suatu luka yang timbul akibat adanya
sel-sel neoplasma maligna di sekitar luka tersebut, juga dapat
dikategorikan sebagai luka kronis. Meskipun demikian, penanganan luka
yang mengikuti prinspi-prinsip diatas dapat menghasilkan penyembuhan
luka yang baik.
3. Wound dressing
Wound dressing (balutan) pada luka hingga saat ini masih merupaka
subyek yang terus diteliti dan dikembangkan untuk mencari bentuk yang
paling ideal pada semua luka. Dressing yang idela harusnya mempunyai
kriteria sebagai berikut :
a. Memertahankan kelembapan dasar luka
b. Dapat mengontrol perumbuhan kolonisasi bakteri
c. Bersifat absorben
d. Mudah digunakan
e. Berfungsi sebagai barrier dari bakteri
f. Penggantian dressing yang efektif
g. Menyebakan pembentukan jaringan granulasi yang sehat
h. Memulai epitelialisasi
i. Aman
j. Mengurangi dan menghilangkan nyeri pada tempat luka
k. Saat pelepasan tidak menyebabkan nyeri
l. Murah

Berbagai macam tipe dari balutan (wound dressing), mulai dari yang
kontroversial hingga yang advanced. Dressing kontroversial yang masih
digunakan sampai sekarang adalah kassa (cotton gauze). Advance dressing

14

sangat beragam jenisnya diantaranya hydogel, hydroccolids, alginate, VAC


(vacuum assted closure), bioceramics. Apapun dressingnya prinsip
penaganan luka selalu sama.
Lima tahapan perawatan luka secara umum atau biasa disebut 5D,
yaitu:
a. Describe: luka akut atau kronis, tetanus prone atau non tetanus prone,
luas atau kecil, permukaan atau dalam, terbuka atau tertutup, dengan
atau tanpa underlying diseases.
b. Debridement: buang semua debris, pus jaringan nekrotik, corpus
alienum, dan semua hal yang dapat menghambat penyembuhan luka.
Hindari injury pada jaringan sehat disekitar luka. Irigasi cukup dengan
cairan fisiologis Nacl 0,9% atau aqua (H2O). Hindari pemakaian
antiseptik/cairan lain yang dapat merusak jaringan yang sehat (H2O2),
povidon iodin, alkohol, dsb). Debridemen harusnya dilakukan bertahap
untuk mencegah kerusakan jaringan sehat yang berlebihan.
c. Dressing (moist wound bed): luka ditutup dengan balutan yang
memenuhi prinsip perawatan luka yaitu moist. Jika memungkinkan pilih
dressing yang dapat menciptakan suasana tekanan negatif pada dasar
luka (negative pressure), artinya debris/pus/eksudat di dasar luka
diangkat/dikeluarkan secara kontinu. Pilih tipe wound dressisng yang
paling ideal yang memenuhi prinsip penanganan luka
d. Disease: selama penyakit yang mendasari tidak diobati dengan benar
maka luka tidak akan dapat sembuh dengan sempurna
e. Diet: nutrisi yang cukup sangat penting dalam proses penyembuhan
luka

2.6 Perawatan Luka dengan Madu


Madu merupakan bahan yang tidak membuat iritasi, tidak beracun, mudah
tersedia, dan relatif murah. Madu telah dilaporkan memiliki sifat antimikroba
yang baik. Selain itu madu juga efektif dalam penyembuhan luka, hampir
semua jenis luka responsif terhadap perawatan dengan madu.penggunaan

15

madu dalam dressing luka dapat mempercepat proses penyembuhan luka


karena efeknya yang menstimulasi proses penyembuhan luka, mencegah
infeksi,

menstimulasi

pertumbuhan

jaringan

granulasi,

mengurangi

peradangan dan dressing jaringan yang tidak melekat.

(a)

(b)

Gambar . (a) Aplikasi madu secara konvensional sebagai wound dressing


(b) Produk perawatan luka dan wound dressing berbahan dasar
madu
Mekanisme pasti yang mendasari proses penyembuhan luka dengan
menggunakan madu masih belum diketahui, namun beberapa penelitian
mengatakan bahwa madu bekerja melalui penurunan kadar ROS, selain itu
madu juga memiliki efek antibakteri dan pH yang rendah dengan kandungan
asam bebas yang tinggi. Hal ini penting dalam membantu proses
penyembuhan luka. Disamping itu jenis luka dan derajat keparahan luka juga
mempengaruhi dalam keberhasilan perawatan luka dengan madu. Madu yang
digunakan harus dalam jumlah yang cukup sehingga bila terkena eksudat luka
maka madunya tidak langsung hilang. Pemberiannya harus menutupi dan
mencakup seluruh bagian luka hingga kebagian tepinya. Hasil yang lebih baik
didapatkan bila madu diberikan pada dressing dibandingkan dengan dioleskan
langsung pada lukanya. Semua rongga harus terisi oleh madu dan dressing
membentuk suatu oklusi untuk mencegah madu keluar dari luka.
Pengaruh madu dalam menyembuhkan luka merupakan hasil dari
gabungan efek debrimen secara kimiawi pada jaringan nekrotik dan
devitalisasi jaringan dari ulkus oleh katalase, penyerapan edema melalui sifat

16

higroskopis dari madu, merangsang pertumbuhan jaringan granulasi, dan


epitelisasi dari tepi luka, sifat bakterisid dan fungsid madu, gizi untuk
jaringan, dan produksi H2O2 yang dihasilkan.
Madu mengandung 40% glukosa, 40% fruktosa, 20% air, dengan asam
organik, vitamin, enzim, dan mineral, tetapi memiliki berat jenis 1,4 dan pH
3,6. Pengobatan dengan madu sederhana dan di tidak mahal serta tidak perlu
di buat steril terlebih dahulu karena sudah memiliki sifat bakterisid dan
fungisid, memiliki viskositas yang tinggi sehingga membentuk penghalang
fisik, menciptakan lingkungan luka yang lembab sehingga mempercepat
proses penyembuhan luka.

Gambar . Penyembuhan luka dengan aplikasi madu

2.7 Maggot Debridement Therapy (MDT)


Penggunaan larva untuk proses penyembuhan luka telah tercatat dengan
baik selama berabad-abad. Efek dari penggunaan larva pada luka pertama kali
diperkenalkan oleh Ambrosius Pare tahun 1557. Pembentukan jaringan
granulasi ditingkatkan oleh penggunaan dari belatung. Aplikasi klinis pertama
penggunaan belatung dilakukan oleh JF Zakharia dan J jones pada perang
saudara di Amerika. Kemudian William Bear menyempurnakan metode ini
dengan menggunakan belatung yang telah disterilkan untuk mencegah
terjadinya infeksi pada luka. Terapi dengan metode ini semakin banyak
digunakan terutama untuk luka kronis dan luka yang terinfeksi di Amerika
Utara dan Eropa selama tahun 1930. Dengan meluasnya penggunaan
antibiotik, MDT in kemudian ditinggalkan. Dan kembali digunakan sekitar
akhir tahun 1990-an dimana telah banyak ditemukan resistensi bakteri

17

terhadap antibiotik.
Larva dari lalat hijau Lucilia Sericata adalah larva yang paling umum
digunakan untuk MDT. Larva yang berukuran 1-2 mm akan menetas dari
telurnya dalam waktu 12-24 jam. Mereka akan memakan jaringan yang
nekrotik dalam kondisi lingkungan luka yang lembab. Dalam 4-5 hari mereka
akan menjadi dewasa dengan ukuran 10 mm, kemudian menjadi kepompong
dan lalat dewasa.

Gambar . Daur Hidup Lalat


Larva yang digunakan dalam MDT harus steril untuk mencegah terjadinya
kontaminasi. Larva yang digunakan adalah larva yang baru baru menetas dari
telurnya. Dan larva harus digunakan dalam waktu 8 jam dan disimpan dalam
kulkas dengan suhu 8-10C, sehingga dapat memperlambat metabolisme
tubuh mereka. Untuk memaksimalkan debridemen, hal yang penting untuk
diperhatikan adalah pasokan oksigen pada luka dan kelembaban luka. Namun
luka yang terlalu lembab juga akan mematikan larva.
Tiga enzim proteolitik telah diidentifikasi dalam eksresi/sekresi (ES)
belatung. Enzim ini efektif mendegradasi komponen matriks ektraseluler,
termasuk laminin dan fibronektin. Dalam ES juga telah diindentifikasi adanya
zat antibakteri. ES menghambat perkembangan bakteri gram negatif dan gram
positif termasuk stafilokokus aureus yang resisten meticilin (MRSA), E.coli,
dan pseudomonas aeruginosa. ES juga menghasilkan amonia sehingga
menciptakan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan
bakteri. Selain itu, penelitian lain mengungkapkan bahwa larva L sericata

18

juga mencerna dan membunuh bakteri yang terdapat dalam luka.


Maggot juga menyebabkan peningkatan proliferasi dari fibroblas sehingga
akan mempercepat proses penyembuhan luka. Selain itu ES juga mengandung
sitokin, kandungan gamma-interferon dan interleukin-10 (IL-10) juga
meningkatkan jaringan granulasi pada luka. Maggot debridement therapy
terutama digunakan untuk membersihkan dan desinfektan pada luka kronis
yang kotor, banyak jaringan nekrotik, dan terinfeksi. Berbagai penelitian
menunjukkan

kemajuan

MDT

dalam

mengobati

luka

yang

gagal

disembuhkan. Larva ini efektif membersihka jaringan nekrotik dan eksudat


tanpa merusak jaringan sehat disekitarnya. Hal ini akan merangsang
timbulnya jaringan granulasi dan mengurangi bau. MDT bermanfaat pada
berbagai jenis luka kronis.

Tabel . Jenis luka yang dapat di terapi dengan MDT


Jenis Luka
Ulkus diabetik

Ulkus iskemik / arterial

Ulkus venous

Ulkus tekanan

Ulkus neuropati (non-diabetik)

Thromboangiitis obliterans

Luka / ulkus post-trauma

Necrotising fasciitis

Abses malleolus

Sinus pilonidal

Grossly infected toe

Osteomyelitis

Luka infeksi pasca replantasi lengan Luka pasca prostese lutut


bawah
Luka infeksi pasca operasi payudara

Luka tembak terinfeksi

Luka pada keganasan

Luka bakar

Luka kronis pasca operasi

Luka terinfeksi S. aureus yang resisten


terhadap methisilin

19

Kombinasi ulkus venous-arterial

Mastoiditis sub-akut

Tidak semua jenis luka dapat menggunakan MDT, MDT tidak boleh
digunakan pada luka yang kering karena maggot tidak bisa hidup di
lingkungan tersebut. Selain itu penggunaan MDT juga harus di hindari pada
luka terbuka organ berongga dan luka di dekat pembuluh darah besar.

(a)

(b)
Gambar . (a) Aplikasi MDT pada luka Buerger Disease
(b) Aplikasi MDT pada Diabetic Ulcer

20

DAFTAR PUSTAKA
De Jong, Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC. 2011
Chan DCW, et al. Maggot Debridement Therapy in Chronic Wound Care.
Hongkong Med J. 2007; 13(5): 382-5
Dealey C. The Care of Wounds: A Guide For Nurses. UK: Blackwell Publishing
Ltd. 2005
Molan PC. Using Honey in Wound Care. International Journal of Clinical
Aromatherapy. 2006; 3(2): 21-4
Pangayoman, RA. Perawatan Luka. RS Sentosa Internatinal. Bandung. 2011
Puri A, et al. Topical Application of Honey in The Treatment of Wound Healing: A
Metaanalysis. Department of Pharmacology. 2008; 10(4): 166-9
Sontani D. Perawatan Luka Modern. Universitas Airlangga. Surabaya. 2010
Suriadi. Manajemen Luka. Pontianak: Penerbit STIKEP MUHAMMADIYAH
Pontianak. 2007

Anda mungkin juga menyukai