Bisnis
Dosen : Yuliasara Isnaeni
Kelas : C
Mahasiswa : Roby Pangestan.
NIM : 28130130
apa
yang
seharusnya
dilakukan.
peristiwa
(sein),
sedangkan
kesimpulannya
(dihukum)
pencuri
harus
dihukum
berdasarkan
undang-undang
yang
melarangnya. Di sini tidak berlaku hukum sebab akibat. Kaedah hukum itu
bersifat memerintah, mengharuskan, atau preskriptif.
Das sein memerlukan Das sollen, karena kaedah hukumlah peristiwa konkrit
itu menjadi peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang relevan
bagi hukum, peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum
atau peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan timbulnya atau
lenyapnya hak dan kewajiban. Suatu peristiwa konkrit tidak mungkin dengan
sendirinya menjadi peristiwa hukum. Suatu peristiwa hukum tidak mungkin
terjadi tanpa adanya kaedah hukum. Peristiwa hukum tidak dapat dikonstatir
tanpa menggunakan kaedah hukum.
De facto
De facto dalam Bahasa Latin adalah ungkapan yang berarti "pada
kenyataannya (fakta)" atau "pada praktiknya". Istilah ini biasa digunakan
sebagai kebalikan dari de jure (yang berarti "menurut hukum") ketika orang
mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan hukum, pemerintahan, atau
hal-hal
teknis
(seperti
misalnya
standar),
yang
ditemukan
dalam
Istilah de facto dapat pula digunakan apabila tidak ada hukum atau standar
yang relevan, tetapi sebuah praktik yang lazim sudah mapan dan diterima,
meskipun mungkin tidak sepenuhnya bersifat universal.
Berdasarkan sifatnya, de facto terbagi dua yaitu:
1. sementara
De facto bersifat sementara adalah pengakuan dari negara lain tanpa
melihat perkembangan negara tersebut. Apabila negara tersebut hancur,
maka negara lain akan menarik pengakuannya.
1. tetap
De facto bersifat tetap adalah pengakuan dari negara lain terhadap suatu
negara yang hanya bisa menumbulkan hubungan di bidang perdagangan
dan ekonomi.
Pengakuan de facto
-
Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada negara lain yang
negara
perdagangan
lain
dan
dapat
menimbulkan
ekonomi
untuk
hubungan
tingkat
bilateral
diplomatik
di
belum
bidang
dapat
dalam
masyarakat
yang
dinyatakan
merdeka
atau
telah
memiliki
de
facto
menggantikan
hukum-hukum
yang
sudah
Pengakuan de jure
-
dan
Konsul,
sehingga
masing-masing
negara
akan
secara
nyata.
Oleh
karena
itu,
kedaulatan
de
jure
hanya
negara
serta
unsur
pemerintah
yang
berfungsi
menjalankan
kekuasaan negara.
Dalam praktek ketatanegaraan antara pengakuan de facto dan de jure harus
bersamaan.
Secara Defacto Indonesia diakui mempunyai batas-batas wilayah yang
terbentang
dari
sabang
sampai
merauke.
Negara
butuh
di
akui
Jure berarti
negara
itu
diakui
secara
hukum
ayat
Indische
staatsregeling
yang
menetapkan
bahwa
gubernur jenderal.
raja.
merdeka.
3.
Ius constitutum pada saat Indonesia merdeka adalah pasal 1 ayat 1 IS, yang
diatur oleh raja Belanda, sedangkan perubahan kehidupan masyarakat yang
terjadi waktu itu dengan adanya proklamasi kemerdekaan telah menegaskan
bahwa
Indonesia
tidak
lagi
dijajah
dan
sudah
memegang
sendiri
kedaulatannya.
Pelaksanaan pemerintahan umum Hindia Belanda, yang telah berubah
menjadi Indonesia, oleh gubernur jenderal, yang melakukan pemerintahan
atas nama raja Belanda tidaklah sesuai dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia, yang telah melepaskan diri dari kekuasaan bangsa asing.
4.
Pelaku proses politik hukum adalah alat pemerintahan dalam arti luas, yakni
alat pemerintahan dalam bidang legislatif, alat pemerintahan dalam bidang
yudikatif.
Ius Constituendum
Pengertian
a.
berlaku, yang meliputi dua pengertian, yakni apa dan bagaimana hukum
yang harus ditetapkan serta apa dan bagaimana penetapan hukum itu.
Bentuk bentuk Ius Constituendum
Kebanyakan ketentuan hukum itu dirumuskan dalam bentuk kalimat berita,
kalimat bersyarat (hipotesis), kalimat mengharuskan, dan kalimat larangan.
1.
b.
c.
isi dan tujuan penetapan hukum atau ketentuan hukum itu sesuai
dengan isi dan tujuan yang ditetapkan peraturan yang menjadi dasar
penetapan hukum tersebut.
Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang
menyatakan
bahwa
hukum
yang
bersifat
khusus
(lex
specialis)
peristiwa-peristiwa
konkrit.
oleh
karena
dalam
aturan
yang
bersifat
khusus
terdapat
apa yang di terapkan atas suatu peristiwa yang diatur oleh lebih dari satu
aturan, yang manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat
umum dan yang manakah aturan-aturan yang lain tersebut yang bersifat
khusus.
Menyimak ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menegaskan
keberlakuan atau validitas aturan pidana yang khusus ketika mendapati
suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan
aturan pidana yang khusus. Namun, apa yang dimaksud dengan aturan
pidana tersebut, tidak ada dijelaskan dalam undang-undang. Dengan
demikian perlu adanya penafsiran, sehingga jika melihat pandangan
Friedmann
yang
menyatakan
suatu
sistem
hukum
terdiri
substansi
ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu
ditentukan lain. Sehingga, ketentuan Pasal 63 ayat (2) tidak hanya berlaku
ketika mencermati peristiwa konkrit dihadapkan pada aturan-aturan tentang
tindak pidana, pertanggungjawaban pidana pemidanaan yang terdapat
dalam KUHP, tetapi juga terhadap hal yang sama yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan di luar KUHP dihadapkan dengan KUHP itu
sendiri, atau lebih jauh lagi terhadap dihadapkannya dua atau lebih undangundang di luar KUHP. Sepanjang suatu peraturan perundang-undangan
memuat aturan pidana yang khusus, maka mengenai hal yang sama yang
secara umum diatur dalam KUHP (atau undang-undang di luar KUHP yang
memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak absah dalam arti tidak lagi valid.
bersifat khusus, tidak ada suatu kriterium yang dapat dipergunakan sebagai
pedoman. Namun demikian, ada doktrin cara memandang suatu ketentuan
pidana, yaitu: a. cara memandang secara logis ataupun juga yang disebut
logische beschouwing, dan b. cara memandang secara yuridis atau secara
sistematis ataupun yang juga disebut jurisdische atau systematische
beschouwing.
Berdasarkan pandangan secara logis (logische beschouwing), suatu
ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang
bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsurunsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana
yang bersifat umum. Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische
specialiteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.
Selanjutnya, berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara
sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur
dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat
diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk
memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan
pidana yang bersifat khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische
specialiteit atau systematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara
yuridis atau secara sistematis. Perkataan systematische specialiteit, untuk
pertama kalinya dipergunakan Ch.J. ENSCHEDE dalam tulisannya yang
berjudul Lex specialis derogat legi generali di dalam Tijdschrift van het
Strafrecht pada halaman 177 di tahun 1963.
Kekhususan ketentuan-ketentuan pidana yang bersifat khusus itu dapat
juga terletak pada sifatnya yang memberatkan atau meringankan hukuman.
Menurut P.A.F. Lamintang, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan
pidana yang bersifat khusus, suatu ketentuan pidan itu tidak selalu harus
memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum.
Ketentuan pidana yang sama sekali tidak memuat satu unsur pun dari suatu
ketentuan pidana yang bersifat umum, bahkan juga tidak menyebutkan
kualifikasi kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan di dalam ketentuan
pidana tersebut, melainkan hanya menyebutkan pasal-pasal dari kejahatankejahatan yang telah dimaksudkan, akan tetapi ketentuan pidana tersebut
harus juga dipandang sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Ketentuan pidana sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (2) KUHP, perlu
diperhatikan oleh hakim maupun Jaksa Penunut Umum. Sebab, jika suatu
tindak pidana yang telah didakwakan terhadap seorang sebagaimana diatur
di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, dan kemudian
ternyata bahwa tindak pidana tersebut yang bersifat khusus, maka unsurunsur dari ketentuan pidana yang bersifat khusus inilah yang harus ia
cantumkan di dalam surat dakwaannya. oleh karena, jika jaksa penuntut
umum hanya mencantumkan unsur-unsur dari tindak pidana sebagaimana
diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum di dalam surat
dakwaannya, dan di dalam sidang peradilan kemudian yang terbukti (dapat
dibuktikannya secara sah) yaitu perbuatan terdakwa yang telah memenuhi
semua unsur dari suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu
ketentuan pidana yang bersifat khusus, maka hakim harus membebaskan
terdakwa dari segala yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum di
dalam surat dakwaannya tersebut .
Kejadian sebagaimana diterangkan di atas, pernah diputuskan oleh
HOGE RAAD dalam arrest-nya tanggal 6 Desember 1960, N.J. 1961 no. 54,
HOGE RAAD yang telah membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum,
oleh karena penuntut umum di dalam surat tuduhannya hanya menuduhkan
pelanggaran terhadap Pasal 494 ayat (2) KUHP, yang pada hakekatnya
hanya merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur di dalam suatu
ketentuan pidana yang bersifat umum, namun kemudian di persidangan
peradilan kemudian ternyata perbuatan tertuduh itu telah memenuhi semua
unsur dari tindak pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 13 ayat (3)
juncto Pasal 84 Wegverkeerreglement yang berlaku di Negeri Belanda, yang
pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus
yang mengatur tindak pidana yang sama secara lebih khusus. HOGE RAAD
di
dalam
dituduhkan
pertimbangannya
oleh
penuntut
menyebutkan:
umum
itu
walaupun
memang
apa
terbukti,
yang
akan
telah
tetapi
membebaskan
Neloe, CS karena
tidak
terbukti
melakukan
telah
berkontribusi
mendeligitimasi
undang-undang
perbankan,
3.
Dalam aturan hukum memuat asas lex specialis derogate legi generali.
Dengan demikian apabila ada seseorang yang secara sengaja melakukan
suatu perbuatan mencuri kayu di hutan negara, atau memiliki, membawa
dan mengangkut kayu tanpa dilengkapi SKSHH ( Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan ), menurut pembentuk undang-undang kepada mereka tersebut
sebagai perbuatan illegal loging dan melanggar UU No.41 Tahun 1999
tentang kehutanan, dan bukan sebagai perbuatan yang koruptif, walaupun
perbuatan mereka tersebut memenuhi unsur Pasal 2 UU Tipikor. Begitu pula
bagi masyarakat yang dengan sengaja tidak membayar pajak seperti tidak
membayar PBB atau tidak membayar Pajak kendaraan bermotor, maka harus
dijerat dengan UU perpajakan dan bukan UU Tipikor, karena secara yuridis
pembentuk UU telah menghendaki atau bermaksud untuk memberlakukan
ketentuan perpajakan bagi mereka yang tidak membayar pajak walaupun
perbuatan mereka memenuhi unsur - unsur yang termuat dalam Pasal 2 UU
Tipikor
4.
5.
Perkara korupsi yang telah diatur dengan UU No. 35 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengalahkan ketentuan dalam
KUHP yang mengatur mengenai pencurian.
6.
tidak
memperkenankan
tindakan
aborsi,
apapun
bentuk
dan
alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi suatu kasus aborsi atas indikasi
medis (seperti diatas), berdasarkan asas Lex Specialis derogate Legi
Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan dan bukan KUHP.
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang
sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.
Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara
otomatis
dengan
Biasanya
dalam
asas
ini
peraturan
peraturan
yang
lama
tidak
perundangan-undangan
berlaku
ditegaskan
lagi.
secara
tentang
Pengawasan
Pendidikan
dan
Pengajaran
Asing
Priori:
Seorang
TNI
bernama
Wisnu
di
Jakarta,
menemukan
kejatuhan
hukum
Bank
dalam
Tripanca
pengelolaan
memunculkan
keuangan
suatu
daerah.
sisi
Pemkab
Peraturan
Perundang-Undangan
yang
melandasi
pengelolaan
Daerah
Kabupaten/Kota;
Kedua
peraturan
perundang-
dalam
koridor
sistem
hukum
dalam
pengertian
dilaksanakan
sejauh
mana
Permendagri
No.
13
Tahun
2006
Tentang
kategori
dipertanyakan
bank
lagi
pemerintah
apakah
Bank
sesuai
teori
Tripanca
hirarki
termasuk
hukum.
Perlu
kategori
bank
Bank
pemerintah,
berarti
Pemkap
Lampung
Timur
telah
melanggar Pasal 193 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah (bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori).