Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN EVALUASI

PENGELOLAAN SEKRETARIAT BERSAMA (SEKBER)


DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
TAHUN ANGGARAN 2014
(KOMPONEN: DITJEN BINA PEMBANGUNAN DAERAH)

I. PENDAHULUAN
Sejak diperkenalkan tahun 2003, sebelum pemberlakuan efektif UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah, DAK telah mengalami perkembangan, baik dari nilai alokasi dan
jumlah bidang kegiatan. Perkembangan dari nilai alokasi, transfer alokasi DAK ke
daerah dari tahun 2003 hingga tahun 2014 mengalami peningkatan yang cukup
besar yakni 13 kali lipat. Sementara itu, perkembangan jumlah bidang kegiatan DAK
juga mengalami penambahan dari 5 bidang, yakni bidang Pendidikan, Kesehatan,
Infrastruktur Jalan dan Irigasi, serta bidang Prasarana Pemerintahan pada tahun
2003, menjadi 19 Bidang DAK di TA 2014. Perkembangan jumlah bidang kegiatan
DAK tersebut sangat erat kaitannya dengan dinamika pencapaian prioritas nasional
yang diseleraskan dengan pengembangan potensi di daerah
Secara umum, Kementerian Dalam Negeri mempunyai peran yang cukup
penting dalam memantapkan pengelolaan DAK di daerah, utamanya di bidang
perencanaan dan penganggarannya dalam APBD, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan, yang dapat diuraikan dalam beberapa poin sebagai berikut :
1. Pada aspek perencanaan, Menteri Dalam Negeri bersama-sama dengan
Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas melaksanakan
koordinasi secara terpadu terhadap setiap usulan Bidang DAK dari
Kementerian/Lembaga (K/L) teknis (Pasal 52 (2), PP No. 55 Tahun 2005);
2. Pada aspek penganggaran, Menteri Dalam Negeri (Ditjen Keuda) telah
mengkoordinasikan penyusunan petunjuk teknis (juknis) yang disusun
oleh K/L, yang akan dijadikan pedoman oleh daerah dalam perencanaan,
penganggaran, dan pelaksanaan DAK (Pasal 59 (2), PP No. 55 Tahun
2005). Terkait dengan penganggaran DAK dalam APBD, Menteri Dalam

Negeri (Ditjen Keuda) telah menerbitkan Pedoman Pengelolaan Keuangan


DAK dalam APBD (Permendagri No. 20 Tahun 2009);
3. Pada aspek pemantauan, evaluasi dan pelaporan, Kemendagri (Ditjen
Bina Bangda) menerima laporan Triwulan dari Daerah serta laporan Akhir
dari K/L pembina DAK (Pasal 63 (1) dan (4), PP No. 55 Tahun 2005). Lebih
lanjut,

Ditjen

Bina

Bangda

bertanggungjawab

dalam

melakukan

pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi pemanfaatan DAK dari


aspek pelaksanaan, administrasi keuangan, dan kepatuhan daerah dalam
pelaporan DAK (SEB 3 Menteri).
Guna

mendukung

pelaksanaan

pemantauan

pelaksanaan

dan

evaluasi

sebagaimana dimaksud dalam poin 3, maka Ditjen Bina Bangda membentuk


Sekretariat Bersama (Sekber) DAK sebagai wadah konsultansi dan koordinasi antara
Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian
Keuangan, serta Kementerian dan Lembaga (K/L) pembina DAK. Selain itu, setiap
tahunnya, Ditjen Bina Bangda menyelenggarakan pelaksanaan pemantauan teknis
dan evaluasi pemanfaatan DAK secara terpadu bersama-sama Menteri PPN/Kepala
Bappenas, Kemenkeu, dan K/L teknis ke seluruh provinsi untuk memperoleh
gambaran secara menyeluruh dan utuh terhadap kinerja pengelolaan 19 Bidang
DAK, beserta sub-bidangnya.
II. GAMBARAN UMUM KEGIATAN SEKBER DAK
Dukungan pengelolaan Sekber Pengendalian dan Pelaporan DAK terbagi atas 2
aspek, yakni aspek Sumber Daya Manusia (SDM) dan aspek Pendanaan. Pada sisi
SDM, saat ini Sekber DAK didukung oleh sekitar 8 personil, yang bertugas
menginput laporan DAK dari daerah serta sebagai penghubung Ditjen Bina Bangda
dengan K/L pembina DAK di Tingkat Pusat (lihat Tabel 1).
Tabel 1 : Tugas Personil SEKBER DAK
No
1

Nama
Siti Pradesti

Koordinator Bidang
Air Minum dan Sanitasi

Koordinator Region
Jawa Tengah, DIY, dan

Dimas Ayu Pratiwi

Kehutanan dan Lingkungan

Bali
NTT, NTB, Sulsel, dan

Dian Darmayanti

Hidup
Keselamatan Transportasi

Sulbar
Riau, Babel, Jambi,

Darat dan Energi

Kaltara, dan Kalsel

Soetan

Perdesaan
Kesehatan, Infrastruktur

Deriansyah
Marlina Theresia

Jalan, dan Praspem


Transportasi Perdesaan

dan Jabar
Banten, Bengkulu, Sulut,

Destiana

dan Perdagangan
Kelautan dan Perikanan,

dan Maluku
Lampung, Gorontalo,

Hafidzyanis

serta Pertanian
KB dan Irigasi, serta

Kaltim dan Kalbar


Sumut, Kepri, Papuan,

Perumahan dan

Papua Barat, dan Maluku

Permukiman
Pendidikan, Kawasan

Utara
Sulteng, Kalteng, Jatim,

Daerah Tertinggal, dan

dan Sultra

Kawasan Perbatasan
19 Bidang DAK

33 Provinsi

Tarwanto

Total

Aceh, Sumbar, Sumsel,

Secara umum, struktur kelembagaan Sekber Pengendalian dan Pelaporan DAK,


Ditjen Bina Bangda dijelaskan dalam Diagram 1 dibawah, dimana Sekretaris Ditjen
Bina Bangda bertindak sebagai Penanggungjawab, sedangkan Kabagren Ditjen Bina
Bangda berfungsi sebagai pelaksana harian. Dalam membantu pelaksana harian,
ditunjuklah koordinator yang mengawasi pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Sekber
DAK T.A. 2014. Pada prinsipnya, hasil input dari para personil Sekber DAK kemudian
dianalisa oleh Tenaga Ahli (TA) sesuai dengan kebutuhan dan bidang masingmasing, yang mencakup :
a. Kebijakan Publik;
b. Ekonomi Pembangunan;
c. Perencanaan Wilayah;
d. Hukum dan Tata Negara.
Pada aspek kebijakan publik, data pelaporan DAK yang telah dirangkum dapat
digunakan untuk memetakan permasalahan DAK dari segi kelembagaan dalam
pemantauan dan evaluasi. Sementara itu, pada aspek ekonomi pembangunan,
kompilasi data pelaporan DAK dapat digunakan sebagai acuan dalam menilai
permasalahan DAK dari aspek pelaksanaan dan penganggaran. Sedangkan pada
aspek perencanaan wilayah, pelaporan DAK dapat digunakan untuk memetakan
permasalahan DAK dari segi perencanaan. Hasil analisa dari 3 TA tersebut kemudian

digunakan sebagai masukan dalam penyusunan norma, standar, prosedur, dan


kriteria (NSPK) yang disusun oleh TA Hukum dan Tata Negara.

Diagram 1 : Kelembagaan SEKBER DAK Ditjen Bina Bangda

Disisi lain, guna mendukung tupoksi Sekber Pengendalian dan Pelaporan DAK,
Ditjen Bina Bangda mengalokasikan anggaran yang memadai guna mendukung
beberapa sub-kegiatan mencakup :
a. Penyelenggaraan Rapat Koordinasi;
b. Kajian penyusunan desain e-reporting DAK;

c. Pelaksanaan Monev DAK secara terpadu.


III. KEMAJUAN PELAKSANAAN
Terkait dengan pelaporan DAK, secara keseluruhan pelaporan DAK baru
mencapai 50 %, dengan realisasi keuangan dan fisik, masing masing mencapai
10,06 % dan 9,23 %. Beberapa daerah yang belum melaporkan pemanfaatan DAK
hingga Triwulan III secara lengkap adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan
Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat (lihat Tabel II).

Tabel II : Progress Pelaporan DAK


NO

DATA
DAERAH

%
DAERAH YG MELAPORKAN

%
DANA
PENDAMPING

%
REALISASI
KEUANGAN

%
REALISASI
FISIK

IV

%
ALOKASI
YANG
DILAPORKA
N

II

III

33,33

33,33

33,33

57,05

5,90

4,72

2,45

8,82

11,76

6,05

0,67

0,29

0,04

60,00

85,00

102,53

11,25

5,68

8,23

88,89

22,22

11,11

104,51

8,48

2,26

2,37

7,69

7,69

7,69

3,65

0,90

57,10

Kepulauan
Riau
Jambi

87,50

87,50

87,50

112,43

14,77

10,97

17,04

91,67

91,67

25,00

94,46

12,72

15,01

13,81

87,50

87,50

25,00

65,02

9,50

24,38

14,62

Bangka
Belitung
Bengkulu

90,91

71,47

7,64

7,58

3,68

10

Lampung

100,0
0
43,75

93,75

6,25

114,87

11,83

6,53

4,44

11

Jawa Barat

78,57

85,71

3,57

150,91

10,75

1,94

4,00

12

Jawa Tengah

104,27

11,90

10,18

26,44

Banten

111,40

10,07

8,62

4,05

14

DIY

99,93

13,47

28,23

29,93

Jawa Timur

100,0
0
5,13

15

100,0
0
5,13

100,0
0
100,0
0
100,0
0
12,82

61,11

13

100,0
0
11,11

10,25

1,00

13,86

1,78

16

Bali

100,0
0

100,0
0

100,0
0

103,56

13,00

21,49

29,30

Aceh

Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
Sumatera
Selatan
Riau

3
4
5
6
7
8

17
18
19
21
23
22
23
24
25
26
27
28

Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Kalimantan
Utara
Sulawesi
Utara
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Barat
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo

33,33

100,0
0
100,0
0
78,57

26,67

80,23

10,08

10,15

12,75

86,67

100,09

16,92

30,15

27,87

78,57

110,36

14,11

25,55

22,69

0,00

0,00

0,00

0,00

0,00

0,00

50,00

50,00

38,36

5,03

3,30

0,24

71,43

92,86

35,71

66,41

27,41

13,28

7,08

64,00

96,00

8,00

102,20

10,34

7,44

6,91

85,71

85,71

106,93

10,32

2,93

4,18

80,00

80,00

80,00

117,09

12,52

28,85

31,27

100,0
0
100,0
0

100,0
0
90,91

56,84

5,32

11,92

6,02

18,18

115,30

11,16

16,19

15,47

95,65

95,65

34,78

101,27

9,32

5,84

0,00

33,33

27,65

1,75

0,94

0,03

36,36

63,64

18,18

9,09

54,33

5,10

13,39

7,83

86,67
100,0
0
-

30

Nusa
Tenggara
Barat
Nusa
Tenggara
Timur
Maluku

31

Maluku Utara

32

Papua

0,00

0,00

0,00

33

Papua Barat

0,00

0,00

0,00

29

TOTAL

54,0
7

60,0
0

22,9
6

0,1
9

69,71

8,58

10,0
6

Sumber : Sekber DAK, 1 Desember 2014


Pada prinsipnya kepatuhan pelaporan, tidak hanya diukur melalui melalui
kelengkapan pelaporan, tetapi juga diukur melalui ketertiban pelaporan (tertib
melaporkan DAK secara tepat waktu). Tabel III menjelaskan bahwa kinerja pelaporan
DAK di setiap daerah, dimana Provinsi DIY tampil sebagai terbaik, diikuti oleh
Provinsi Bali, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Sedangkan, Provinsi Banten,
Kalimantan Timur, Kalimanta Utara, Papua, dan Papua Barat perlu memperbaiki
kinerja dan memantabkan koordinasi antar SKPD.
Tabel III : Kinerja Pelaporan DAK

9,23

Data Daerah

Index
Provinsi

Index
Kabupaten

Total Index

Rank

D.I Yogyakarta
56,00
Bali
45,00
Jawa Tengah
55,00
Kalimantan Selatan
36,00
Bangka Belitung
30,00
Kalimantan Tengah
42,00
Kepulauan Riau
40,00
Sulawesi Tenggara
39,00
Aceh
34,00
Sulawesi Utara
36,00
Nusa Tenggara Barat
36,00
Kalimantan Barat
28,00
Maluku Utara
32,00
Sulawesi Selatan
25,00
Nusa Tenggara Timur
30,00
Jawa Barat
23,00
Lampung
15,00
Sumatera Barat
20,00
Jambi
10,00
Sulawesi Barat
20,00
Bengkulu
19,00
Gorontalo
10,00
Sumatera Selatan
Maluku
5,00
Riau
Sulawesi Tengah
Jawa Timur
Sumatera Utara
Banten
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
Papua
Papua Barat
Sumber : Sekber DAK, 1 Desember 2014

12,60
22,44
2,83
12,77
14,43
1,07
2,29
1,79
2,57
7,79
3,60
9,50
3,56
7,73
1,68
10,55
7,88
2,45
4,00
3,85
3,34
2,64
-

34,30
33,72
28,91
24,38
22,21
21,54
21,14
20,39
18,28
18,00
18,00
17,89
17,80
17,25
15,00
13,28
11,37
10,84
10,27
10,00
9,50
5,00
3,94
3,73
2,00
1,92
1,67
1,32
-

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
10
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
29
29
29
29

IV. PERMASALAHAN
A. DUKUNGAN KEGIATAN PENGELOLAAN SEKBER DAK T.A. 2014
Kegiatan dukungan pengelolaan Sekber DAK T.A. 2014 secara umum sudah
terlaksana dengan baik. Namun, secara substantif maupun teknis, terdapat
beberapa catatan dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain :

1. Minimnya kehadiran K/L pembina DAK dalam rapat koordinasi Sekber DAK
di Tingkat Pusat. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti jadwal
pelaksanaan rapat yang berbenturan dengan agenda K/L dan atau K/L
pembina DAK masih belum menganggap penting (urgensi) dari rapat yang
diadakan;
2. Kajian yang disusun oleh Pihak Ketiga belum dapat menguraikan berbagai
aspek pengelolaan DAK secara menyeluruh, terutama terkait dengan
pemantauan dan evaluasi, dimana penyatuan format pelaporan DAK,
mekanisme e-reporting, serta peningkatan peran Gubernur sebagai comanager dalam pengelolaan DAK menjadi sangat penting di era yang
menuntut transparansi dan akuntabilitas pada dana transfer;
3. Pelaksanaan monev terpadu masih berjalan parsial atau sendiri-sendiri
karena setiap K/L pembina DAK di tingkat pusat merasa mempunyai
kondisi, potensi, serta permasalahan yang berbeda-beda atas bidang DAK
yang dikelolanya. Disamping itu, Jadwal monev yang tidak match dengan
dukungan pendanaan pada masing-masing K/L juga menjadi persoalan
tersendiri;
4. Penyusunan produk hukum terkait pemantauan teknis pelaksanaan dan
evaluasi pemanfaatan DAK terkendala dengan arah kebijakan pengelolaan
DAK dalam revisi UU No. 33 Tahun 2004, yang saat ini masih dibahas
dengan DPR.
B. PENGELOLAAN DAK T.A. 2014
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Sekretariat Bersama
Pengendalian dan Pelaporan DAK, Ditjen Bina Pembangunan Daerah, terdapat
beberapa

permasalahan

terkait

perencanaan.

Secara

keseluruhan,

terdapat

beberapa hal yang dapat dicatat mengenai penetapan formula DAK.


Pertama, tiga kriteria umum, khusus, dan teknis di tataran implementasi
tidak diintepretasi sebagai instrumen penyaringan, akan tetapi kriteria kriteria
yang saling menutupi satu sama lain. Suatu daerah yang tidak layak dalam
perspektif kriteria umum artinya tidak layak secara fiskal masih dapat
diloloskan dalam perspektif kriteria khusus. Demikian juga ketika suatu daerah tidak
layak menurut kriteria khusus artinya daerah itu tidak memiliki karakteristik
wilayah tertentu tetap dapat diloloskan dari sudut pandang kriteria teknis.

Dengan kata lain, satu kriteria tidak diperlakukan sebagai penunjang atas kriteria
yang lain. Sehingga, suatu daerah cukup memenuhi salah satu kriteria, tidak perlu
keseluruhan, untuk dapat memperoleh DAK.
Kedua, formula-formula ini sangatlah kompleks untuk diterapkan mengingat
panjangnya proses penghitungan dan rentannya kebutuhan data untuk keseluruhan
kriteria, tak terkecuali kriteria teknis yang semata-mata bergantung dari distribusi
data

daerah.

Sementara

itu,

di

dalam

praktek,

karena

ini

menyangkut

penganggaran yang juga merupakan hak DPR, hasil akhir formula-formula ini murni
berbobot politis.
Jika semata-mata proses teknokratis yang terjadi, hasil akhir formula-formula
ini secara teoritis bisa diprediksi. Pada kenyataannya, dalam perspektif daerah, DAK
sukar diprediksi. Dalam sejumlah kasus, alokasi dan lokasi DAK tahun sebelumnya
bahkan tidak dapat diandalkan sebagai alat prediksi bagi alokasi dan lokasi DAK
tahun berikutnya. Kondisi ini menyebabkan beberapa hal dimana alokasi DAK yang
acapkali tidak sesuai dengan kebutuhan daerah serta daerah kehilangan rujukan
bagi perencanaan APBD setiap tahun.
Terkait dengan poin perencanaan, sejauh ini perencanaan dan pengambilan
keputusan pengalokasian DAK kepada daerah-daerah dilakukan secara top-down.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai institusi perencanaan
di kabupaten/kota tidak terlibat dalam perencanaan program/kegiatan-kegiatan
yang akan didanai dengan DAK. Demikian pula, Pemerintah Propinsi khususnya
Gubernur sebagai wakil Pemerintah, tidak jelas peranannya dalam pengelolaan
DAK. Dengan kata lain, perencanaan DAK kurang terintegrasi ke dalam siklus dan
mekanisme perencanaan pembangunan nasional dan daerah.
Dari aspek penganggaran, permasalahan masih terkait dengan ketentuan
besaran dana pendamping DAK. Ketentuan dana pendamping 10% di satu sisi
mendorong komitmen daerah, namun di sisi lain menjadi disinsentif bagi daerah
dengan kapasitas fiskal rendah untuk menyediakan dana pendamping. Disamping
itu, besaran alokasi DAK relatif kecil dan ruang lingkup kegiatan DAK seringkali tidak
sesuai kondisi, potensi, dan kebutuhan daerah sehingga daerah penerima DAK tidak
dapat melaksanakan pembangunan fisik secara terencana dan terpadu. Juga, pagu
alokasi definitif DAK per daerah ditetapkan dan diinformasikan kepada daerah pada

saat pembahasan akhir RAPBD sehingga sulit bagi daerah untuk menjaga
konsistensi antara KUA dan PPAS dengan RAPBD. Hal ini diperparah dengan Juknis
DAK bidang yang terlambat diterima daerah sehingga proses penyusunan RKA-SKPD
berpedoman pada juknis yang lama, yang seringkali tidak relevan dengan juknis
yang baru.
Pada aspek pelaksanaan, permasalahan terkait dengan pergantian Juknis pada
periode pelaksanaan dan Juknis yang memuat unit cost yang tidak sesuai dengan
unit cost di daerah. Hal ini diperparah dengan daerah yang terlambat melakukan
penyerapan DAK baik Tahap I s/d III sehingga pencairan dana tahap I s/d III
terlambat.

Terdapat

beberapa

faktor

yang

mempengaruhi

keterlambatan

penyaluran DAK dari Pusat ke Daerah, antara lain : 1). Gagal lelang akibat faktor
teknis (kesalahan aparat daerah dalam merancang spesifikasi lelang sehingga
perusahaan peserta tidak mampu memenuhi keinginan Pemerintah Daerah, serta
ketiadaan SDM yang memiliki kompetensi dalam hal pelelangan) dan faktor non
teknis (keinginan kontraktor untuk menerima seluruh pembayaran di akhir proyek,
sehingga pengajuan SP2D diakumulasi pada akhir tahun); 2). Jumlah perusahaan
yang mengikuti lelang sangatlah terbatas/langka sehingga perusahaan yang terpilih
dalam proses lelang akan mengutamakan proyek-proyek dengan nilai besar terlebih
dahulu; 3). Faktor cuaca, keamanan, hingga ketiadaan pekerja juga turut
berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga kontraktor
memilih untuk menunda pengajuan Surat Perintah Membayar (SPM).
Dari sisi monitoring dan evaluasi, petunjuk pelaporan DAK yang diterbitkan
secara sektoral tidak saja kaku dan terlalu fokus pada proses, tetapi juga sangat
membebani daerah. Dengan ketiadaan instrument monitoring yang fleksibel dan
efektif, institusi institusi pusat dan daerah tidak dapat berkoordinasi dan
melaksanakan monitoring secara aktif. Pelaporan pelaksanaan DAK dari daerah pun
juga sering terlambat dikarenakan belum adanya ketegasan terkait penunjukan
koordinator pemantauan dan evaluasi DAK di daerah. Di sisi lain, sasaran DAK yang
akan diukur pencapaiannya seringkali tidak jelas. Oleh sebab itu, sistem monitoring
DAK yang sentralistis menjadi tidak efektif. Beberapa studi menyatakan bahwa
keterbatasan kapasitas SDM dan keuangan baik di pusat maupun daerah, termasuk
faktor kunci yang membuat aspek pengendalian tidak efektif. Lebih jauh lagi,
terungkap bahwa meskipun daerah daerah telah mengirim laporan DAK secara

berkala, mereka tidak pernah menerima tanggapan (feedbacks) dari pusat secara
cepat, sehingga mempengaruhi proses pelaksanaan dan penyerapan DAK.
V. PENUTUP
A. DUKUNGAN PENGELOLAAN KEGIATAN SEKBER DAK T.A. 2014
Dalam kebijakan pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK), Kementerian Dalam
Negeri (Ditjen Bina Bangda dan Ditjen Keuda) mempunyai peran yang cukup
penting dalam memantapkan pengelolaan DAK di daerah, utamanya di bidang
perencanaan dan penganggarannya dalam APBD, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan.
Peran yang strategis ini dapat diperluas dalam beberapa aspek pengelolaan
DAK ke depan, antara lain :
1. Pada aspek perencanaan DAK, peran Kemendagri dapat ditingkatkan ke
arah

pemantapan

perencanaan

DAK

peran
di

Gubernur

daerah.

Pada

sebagai
tahap

ini,

co-manager

dalam

Kemendagri

dapat

memberdayakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) di


tingkat Provinsi sebagai buffer sehingga kegiatan yang didanai oleh DAK
benar benar menggambarkan kondisi, potensi, dan permasalahan di
daerah.

Dengan

kata

lain,

BAPPEDA

juga

diharapkan

mampu

mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan anggaran program


program, sesuai dengan kebutuhan di daerah sehingga mampu membuat
prioritas program;
2. Pada aspek penganggaran DAK, peran Kemendagri dapat ditingkatkan ke
arah reviewer Juknis DAK. Saat ini, Kemendagri hanya mengontrol aspek
ketepatan waktu Juknis sesuai dengan kaidah yang ditetapkan. Akan
tetapi, permasalahan DAK di daerah tidak hanya keterlambatan Juknis,
tetapi juga Juknis yang tidak bisa dilaksanakan oleh SKPD di daerah;
3. Pada aspek pemantauan dan evaluasi, peran Kemendagri sangatlah
penting dalam menyatukan format pelaporan di 19 Bidang DAK. Saat ini,
baru sekitar 10 Bidang DAK yang formatnya sesuai dengan SEB. K/L
pembina DAK yang lain menganggap bahwa format pelaporan SEB tidak
sesuai dengan kebutuhan teknis evaluasi dari bidang DAK yang dibina-nya.
B. PENGELOLAAN DAK T.A. 2014

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana
pendapatan APBN yang dialokasikan pada daerah tertentu untuk membiayai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan Prioritas
Nasional. Pengelolaan DAK untuk tingkat Pusat dan daerah diatur dalam PP No 55
tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Pada aspek perencanaan, permasalahan yang terjadi di antaranya adalah
ketidaksesuaian antara alokasi DAK dengan kebutuhan daerah, karena perencanaan
dan pengambilan keputusan pengalokasian DAK dilaksanakan secara top down.
Perencanaan DAK kurang terintegrasi ke dalam siklus dan mekanisme perencanaan
pembangunan nasional dan daerah. Selain itu formulasi alokasi DAK terlalu
kompleks dan sulit diprediksi dalam proses penyusunan perencanaan.
Pada aspek penganggaran dan pelaksanaan, permasalahan yang saling terkait
dapat digambarkan sebagai berikut. Ketersediaan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk

teknis

memperhatikan

tahunan

sering

kebutuhan

daerah

kekhususan/kebutuhan

daerah.

terlambat,
karena

kurangnya

Petunjuk-petunjuk

mengatur penggunaan input-input dan kaku.

berubah-ubah

dan

kurang

pemetaan/pemahaman

tersebut

juga

terlalu

rinci

Ditambah dengan relatif kecilnya

pagu nasional DAK dibanding dengan kebutuhan dan dampak yang diharapkan
serta

kewajiban

daerah

dalam

menyediakan

dana

pendamping.

Akibat

permasalahan tersebut, sebagian daerah kesulitan menyerap atau memanfaatkan


DAK sesuai sasaran-sasaran yang ditetapkan.
Pada aspek monitoring, evaluasi, dan pelaporan, masalah yang muncul adalah
masih belum efektifnya pemantauan dan evaluasi DAK di daerah yang faktor
penyebabnya di antaranya adalah belum adanya ketegasan terkait penunjukan
koordinator pemantauan dan evaluasi DAK di daerah dan petunjuk monitoring dan
pelaporan DAK yang diterbitkan secara sektoral yang kaku dan terlalu fokus pada
proses. Hal ini membebani daerah yang berimplikasi pada rendahnya pelaporan
DAK baik kepada Sekber DAK maupun K/L.
Guna memantabkan pengelolaan DAK ke depan, maka penetapan alokasi
definitif DAK T.A. 2015 dan seterusnya oleh Kementerian Keuangan dapat
diakomodir dalam Perda APBD (Induk) yang disesuaikan dengan waktu penyusunan

APBD,

sehingga

tidak

menyebabkan

adanya

jeda

waktu

petetapan

program/kegiatan yang didanai oleh DAK, terutama dengan keharusan melakukan


perubahan APBD yang membutuhkan waktu yang cukup lama, yang akan berakibat
pada mundurnya pelaksanaan program/kegiatan yang didanai dengan DAK.
Disamping itu, petunjuk teknis (juknis) harus dibuat lebih fleksibel dan tidak
mencantumkan unit cost. Akan tetapi, jika dalam Juknis mencantumkan unit cost,
agar disesuaikan dengan berpedoman pada standar biaya dan/atau standar satuan
harga yang ditetapkan dalam Keputusan Kepala Daerah, dengan mengacu pada
harga satuan konstruksi bangunan (basic price) yang ditetapkan oleh instansi
terkait yang disesuaikan dengan harga yang berlaku setempat. Demikian pula
dengan percepatan proses penyusunan dan penetapan Juknis setiap tahun dapat
diakomodir dalam penyusunan APBD induk atau Juknis tidak mengalami perubahan
setiap tahun (Juknis berlaku multiyears).
Juga, persyaratan administratif yang ditentukan dalam PP 55/2005 tentang
kewajiban menyediakan dana pendamping fisik sebesar 10% dari besaran DAK yang
diterima perlu dikaji kembali karena memberatkan daerah. Disamping, perlunya
peningkatan pola koordinasi pengelolaan DAK di tingkat Pusat, termasuk di
dalamnya merevitalisasi peran kelembagaan Sekretariat Bersama DAK, agar
pengelolaan DAK dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan.
Terkait dengan monitoring dan evaluasi, diperlukan usaha usaha untuk
meningkatkan kepatuhan daerah dalam menyampaikan pelaporan DAK per bidang
ke Sekber maupun K/L dengan menyederhanakan format (1 format pelaporan untuk
semua bidang) dan menetapkan e-reporting sebagai media dalam penyampaian
laporan.

Terakhir,

untuk

kepentingan

kemajuan

pengelolaan

DAK

di

masa

mendatang, agar tahap perencanaan dan penganggaran DAK tidak lagi bersifat
sentralistik/top down, namun secara optimal

melibatkan seluruh pemangku

kepentingan, terutama pemerintah daerah yang mengetahui kondisi, potensi, serta


permasalahan di daerah. Pada tataran ini, Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) di tingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota diharapkan
bertindak sebagai buffer sehingga kegiatan yang didanai oleh DAK benar-benar
menggambarkan kondisi, potensi, dan permasalahan di daerah. Dengan kata lain,
BAPPEDA

juga

diharapkan

mampu

mengkoordinasikan

perencanaan

dan

penyusunan anggaran program-program, sesuai dengan kebutuhan di daerah


sehingga mampu membuat prioritas program.

LAMPIRAN
-

REKAP PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAK PER DAERAH


A. Aspek Perencanaan DAK
Bidang
DAK
Umum

Permasalahan
Kebijakan pengelolaan DAK cenderung
bersifat
top-down
karena
kurang
memperhatikan
aspirasi
daerah.
Akibatnya, DAK tidak masuk siklus
perencanaan pembangunan di daerah
dan
penganggaran
di
APBD.
Implikasinya,
seringkali
terdapat
ketidaksesuaian antara alokasi DAK
yang diperoleh dengan kondisi, potensi,
dan permasalahan daerah. Terkait
dengan hal tersebut, format I pada
kolom 13 a dan 13 b dalam pelaporan
DAK menjadi tidak relevan lagi karena
kegiatan dalam RKPD tidak sesuai
dengan sasaran dan lokasi dalam
kegiatan DAK.
SEB sebagai acuan dalam perencanaan
DAK tidak menunjukkan dengan pasti
kedudukan dan peran Bappeda.
SKPD menyampaikan data teknis secara
langsung kepada K/L teknis tanpa
berkoordinasi
dengan
Bappeda.
Bappeda hanya bertindak sebagai

Provinsi
NTT, NTB, Kalsel

Sulteng, Sumbar,
NTB
Sumbar, NTB

Pendidikan

Kesehatan

Kehutanan

Pertanian
Kelautan
Perikanan

LH

koordinator/pengumpul data.
SKPD kerap melakukan konsultasi
secara langsung kepada K/L teknis dan
tidak melibatkan Bappeda.
Juknis tidak sesuai dengan kebutuhan di
daerah.
Tidak
semua
jenis
obat
yang
dibutuhkan masuk dalam menu ECatalog
Dari
sisi
perencanaan,
terdapat
mismatch dalam pengalokasian DAK
sehingga
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan daerah.
Pada
kegiatan
penanaman
bibit
tergantung pada musim penghujan.
Menu
kegiatan
setiap
tahunnya
digunakan untuk penyediaan kapal,
padahal kebutuhan daerah
adalah
sarana perikanan.
Proses
pengadaan
mobil
sangat
memakan
waktu
karena
harus
menunggu persetujuan dari K/L dan
BPRLH.

Sulteng, Sumbar,
NTB
Sumbar, kasus
Solok dan Sultra
kasus Kab Konawe
Selatan
Jabar

Jateng

Jateng
Sumbar kasus
Kab. Bukit Tinggi

Riau kasus Kab.


Pelalawan

B. Aspek Penganggaran DAK


Bidang
DAK
Umum

Permasalahan
Pemerintah Daerah belum sepenuhnya
memahami Permendagri Nomor 27
tahun 2013 yang mengatur tentang
penganggaran DAK.
Masih terdapat juknis yang memuat
kebijakan pengelolaan keuangan DAK
yang tidak selaras dengan kebijakan
pengelolaan keuangan daerah, yang
menyebabkan penyerapan anggaran
rendah.
Penentuan pagu alokasi masing-masing
bidang DAK sering tidak sesuai dengan
kebutuhan riil di daerah karena dibuat
secara parsial oleh masing-masing

Prov
Kalsel, DIY

NTT

Jateng

Pendidikan

SKPD dengan kementerian terkait serta


tidak adanya revisi antarbidang DAK.
Pagu alokasi definitif DAK per daerah
ditetapkan dan diinformasikan kepada
daerah pada saat pembahasan akhir
RAPBD sehingga sulit bagi daerah untuk
menjaga konsistensi antara KUA dan
PPAS dengan RAPBD.
Besaran alokasi DAK relatif kecil dan
ruang lingkup kegiatan DAK seringkali
tidak sesuai kondisi, potensi, dan
kebutuhan daerah sehingga daerah
penerima
DAK
tidak
dapat
melaksanakan
pembangunan
fisik
secara terencana dan terpadu.
Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK)
yang langsung diberikan ke Bendahara
Kas
daerah
Kabupaten/Kota
menyulitkan Bappeda Provinsi untuk
melakukan
pengawasan
secara
langsung mengenai penggunaan Dana
Alokasi Khusus (DAK).
Juknis
terlambat
diterima
daerah
sehingga proses penyusunan RKA-SKPD
berpedoman pada juknis yang lama,
yang seringkali tidak relevan dengan
juknis yang baru.
Ketentuan dana pendamping 10% di
satu sisi mendorong komitmen daerah,
namun di sisi lain menjadi disinsentif
bagi daerah dengan kapasitas fiskal
rendah
untuk
menyediakan
dana
pendamping.
Beberapa daerah memasukkan dana
penunjang/pendukung/sebutan
lain,
yang
umumnya
digunakan
untuk
kegiatan administrasi, perencanaan,
dan pengawasan, menyatu di dalam
DAK.
Juknis tidak mengatur secara rinci
pengelolaan keuangan DAK dalam
APBD.
Pencantuman unit cost pembangunan
sarana dalam Juknis
tidak sesuai

Jabar,
Papua,
Kalbar, Sultra

Jabar,
Papua,
Kalbar,
Sultra,
Aceh, Lampung,
NTT,
Sulut,
Sumbar, Jateng

Papua

Jabar,
Papua,
Kalbar, Sultra

Jabar,
Papua,
Kalbar,
Sultra,
Aceh, Lampung,
NTT,
Sulut,
Sumbar, Jateng
NTB

Jabar

Jabar

Kesehatan

Kehutanan

Pertanian

Kelautan
Perikanan

dengan kebutuhan di daerah.


Juknis tidak mengatur secara rinci
pengelolaan keuangan DAK dalam
APBD.
Walaupun Juknis sudah ditetapkan 5
hari
setelah
PMK
Alokasi
DAK
ditetapkan, namun beberapa daerah
penerima DAK masih belum menerima
Juknis tersebut.
Prosentase anggaran vegetatif dan sipil
teknis menyulitkan pelaksanaan di
daerah.
Daerah keberatan dengan besaran dana
penunjang sebagai pelengkap dana
pendamping yang dipersyaratkan.
Karena beberapa menu kegiatan dalam
DAK bidang kehutanan melibatkan
penyerahan kepada pihak ketiga, maka
SKPD pelaksana di daerah mengikuti
kaidah Permendagri No. 32 Tahun 2011,
sesuai
dengan
arahan
BAKD.
Implikasinya, pelaksanaan DAK bidang
Kehutanan menunggu perubahan APBD.
Juknis tidak mengatur secara rinci
pengelolaan keuangan DAK dalam
APBD, seperti
persyaratan minimal
dana penunjang untuk kegiatan non
fisik.
Alokasi DAK bidang Pertanian lebih kecil
dibandingkan yang lainnya, padahal
bidang tersebut merupakan sektor yang
vital bagi sebagian besar daerah.
Alokasi DAK bidang Pertanian lebih kecil
dibandingkan yang lainnya, padahal
bidang tersebut merupakan sektor yang
vital bagi sebagian besar daerah.

Jabar

Jateng

Jateng

Jateng

Jateng

Jateng

Sulteng

Sulteng

C. Aspek Pelaksanaan DAK


Bidang
DAK
Umum

Permasalahan
Pemahaman terhadap petunjuk teknis
belum sama.

Sosialisasi juknis belum melibatkan

Provinsi
Bali
Jateng

semua stakeholder.
Ketentuan
dalam
petunjuk
teknis
banyak yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi daerah dalam
pelaksanaan DAK.
Ruang lingkup kegiatan yang berganti di
tengah
tahun
membuat
SKPD
penanggung
jawab
kesulitan
merealisasikan kegiatan fisik.
Keterlambatan penerimaan informasi
besaran DAK untuk jenis kegiatan yang
direncanakan
menyebabkan
daerah
kesulitan untuk menyesuaikannya pada
pembahasan pencantuman DAK dalam
APBD.
Beberapa
kab/kota
belum
berani
melaksanakan kegiatan di tahun 2014
akibat juknis yang terlambat diterima,
yang menyebabkan pelaksanaan DAK
menunggu perubahan APBD.
Adanya perbedaan spesifikasi dan
satuan harga antara DPA SKPD dengan
juknis
kementerian
terkait,
yang
menyebabkan
perlunya
adanya
perubahan anggaran di APBD perubahan.
Gagal lelang

Rendahnya realisasi keuangan dan fisik


pada beberapa bidang DAK tidak terlepas
dari terlambatnya Juknis di beberapa
bidang.

Keterlambatan pencairan dana.


Syarat tahapan pencairan Tahap II dan
III masing-masing 90% memberatkan
bagi daerah karena penyedia jasa banyak
yang mengajukan pencairan pada akhir

Bali,
Kalteng,
Papua, Kepri

Bengkulu

NTB,
Maluku,
Papua
Barat,
Sumsel,
Kalbar,
Bengkulu

Kalbar,
Sultra,
Sumbar, Kep.Riau,
Aceh

Bengkulu

Bali,
Banten,
Gorontalo, Jatim,
Kaltim,
Sulsel,
Maluku,
Papua
Barat,
Sumsel,
Kalbar,
Sumbar,
Sultra, Kep. Riau
NTT, Kalsel, DIY,
Bali,
Banten,
Gorontalo, Jatim,
Kaltim,
Sulsel,
Maluku,
Papua,
Papua
Barat,
Sumsel, Sulsel
Gorontalo, Jatim,
Kaltim, Sulsel
Jateng, Bengkulu

Pendidikan

kegiatan.
Hangusnya dana pada beberapa bidang
DAK
terjadi
karena
keterlambatan
pencairan dana pada setiap tahapan
penyaluran DAK.
Untuk luncuran tahun 2010, 2011, dan
2012 ada potensi tidak terserap 100%.
KPA belum mempunyai sertifikat.
APBN-P 2014.
Kondisi cuaca yang kurang mendukung
yang dapat menyebabkan terlambatnya
pekerjaan konstruksi.
Salah satu alasan seringnya rotasi SKPD
pengelola
DAK
di
daerah
adalah
ketidakpahaman sumber daya manusia
terkait program dan pelaksanaan DAK
sehingga banyak SKPD mengundurkan
diri sebagai pejabat pengelola dan
pelaksana DAK.
Keterlambatan Juknis dan revisi yang
berulang menghambat pelaksanaan DAK
dan penyerapan anggaran.

Jabar

Jateng
Kalbar
Kalbar
Bengkulu

Sumsel

Kalimantan
Selatan,
Jateng,
Kalbar,
Aceh,
Riau,
Bangka
Belitung, Sulteng,
Jabar
Jateng

Banten,
Gorontalo,
Jawa
Timur,
Kaltim,
Sulsel,
Maluku,
Sumsel, Bali
DIY, NTB, Sulut

Pemahaman yang multitafsir terhadapu


Juknis

DAK Pendidikan SD agak terhambat


pelaksanaannya karena adanya revisi
Juknis pada bulan Juni akibat adanya
perubahan kurikulum untuk tahun 2014.
DPA-SKPD yang sudah disusun tidak
sesuai dengan arah pemanfaatan DAK
dalam Juknis dikarenakan Juknis yang
terlambat disosialisasikan kepada daerah.
Pada dasarnya, sesuai dengan PMK No.
06/PMK.
07/2012,
daerah
dapat
menyusun kegiatan dalam RKA-SKPD dan
DPA-SKPD
tahun
berjalan
dengan
menggunakan juknis tahun sebelumnya.
Akan tetapi ruang lingkup kegiatan yang
berubah menyebabkan daerah harus
menyusun RKA-SKPD dan DPA-SKPD baru
melalui Perkada tentang Perubahan

Kesehatan

Penjabaran
APBD,
dengan
memberitahukan kepada pimpinan DPRD.
Ruang lingkup Juknis terlalu rigid
(seperti rehab hanya diperuntukkan bagi
bangunan sekolah yang rusak berat, RKB
hanya diperuntukkan bagi SMA, tidak ada
kegiatan peningkatan kapasitas guru).
Kegiatan DAK tumpang tindih dengan
kegiatan bantuan sosial yang diluncurkan
Kemendikbud. Sekolah akhirnya lebih
memilih bantuan sosial ketimbang DAK.
IKK yang tercantum dalam Juknis tidak
sesuai dengan IKK daerah setempat
sehingga beberapa Kab/Kota memilih
tidak melaksanakan atau melaksanakan
sesuai
dengan
yang
ditetapkan.
Akibatnya,
pembangunan
gedung
berjalan kurang maksimal.
Pelaksanaan kegiatan yang bersifat
swakelola untuk DAK SD berjalan lambat
karena secara administratif menyulitkan
pihak sekolah.
Adanya gagal lelang.
Sisa tender belum dapat dioptimalkan
pada tahun berkenaan.
Adanya disharmoni regulasi terkait
dengan pross pelaksanaan pengadaan
barang/jasa sesuai dengan Peraturan
Mendikbud yang bertentangan dengan
Perpres No. 54 Tahun 1990, Perpres No.
70 Tahun 2012 dan Peraturan Mendagri
No. 39 Tahun 2011 terkait dengan
pelaksanaan
hibah
sehingga
menimbulkan
kekhawatiran
dari
pelaksana di daerah.
Juknis terlambat.
Spesifikasi obat maupun harga obat
dalam e-catalogue tidak sesuai dengan
kebutuhan daerah.
DPA-SKPD yang telah disusun tidak
sesuai dengan arah pemanfaatan DAK
dalam Juknis dikarenakan juknis yang
terlambat disosialisasikan kepada daerah.

DIY, NTB, Sumbar,


Riau,
Sulteng,
Jateng

DIY, Kalsel

Riau,
Sultra,
Sumbar,
Bali,
Kepri, Kalbar

Maluku,
Papua,
Barat, Gorontalo,
Jawa
Timur,
Kaltim,
bangkia
Belitung
Jateng
Jateng
Jateng

Jabar
Sultra, Riau, NTT,
Kalbar
Sulut

Perdaganga
n

Kehutanan

Pertanian

Tidak adanya informasi yang jelas


mengenai acuan standar harga dalam
proses lelang apakah mengacu pada ecatalogue atau pada survey harga pasar.
Pelaksanaan
terlambat
khususnya
dalam pengadaan obat karena harus
menunggu katalog obat yang dikeluarkan
oleh Kementrian Kesehatan.
Penerapan e-catalogue oleh Kemenkes
terkendala dengan tidak tersedianya obat
di daerah dan tidak adanya pihak ketiga
yang mampu menyediakan obat dari ecatalogue.
Mengalami
gagal
lelang
akibat
ketiadaan perusahaan yang memenuhi
kualifikasi tender
Surat Edaran dari Itjen Kementerian
Perdagangan
kepada
Bupati/Walikota
penerima DAK (dengan tembusan kepada
BPK) menetapkan bahwa SKPD pelaksana
kegiatan pembangunan pasar adalah
Dinas Perdagangan. Anggaran yang
sudah terlanjur disusun oleh Dinas Pasar
melalui
DPA-SKPD
cair,
sehingga
beberapa Kabupaten seperti Sleman dan
Bantul
memilih
untuk
menunda
pelaksanaan pembangunan hingga tahun
2014, sementara Kabupaten/Kota yang
lain memilih menunggu arahan dari
Pusat.
Juknis terlambat disosialisasikan kepada
daerah.
Menu
tumpang
tinding
antara
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
dengan
Pemerintah
Kota
Padang,
akibatnya Pemerintah Kota Padang saja
yang melaksanakan DAK bidang ini.
Juknis terlambat disosialisasikan kepada
daerah dan mengalami masalah dalam
kepemilikan lahan aset daerah (mana
yang termasuk lahan provinsi dan mana
yang termasuk lahan kab/kota).
Juknis terlambat disosialisasikan kepada
daerah.

DIY, Kalsel

Banten,
Sulsel,
Maluku, Sumsel,
Papua Barat, DIY
DIY, Kalsel

Sumbar

DIY

NTT, Jambi
Sumbar

DIY

NTT


KPDT

Infrastruktu
r sanitasi

Infrastruktu
r air minum
Keselamata
n
transportasi
darat

Kegiatan jaringan air tanah dalam tidak


ada penawar/gagal lelang.
Juknis terlambat disosialisasikan kepada
daerah.
Pelaksanaan kegiatan yang bersifat
swakelola berjalan sangat lambat.
Penyediaan
lahan
untuk
lokasi
pembangunan SLBM terhambat akibat
penolakan dari masyarakat.
Pengeboran sumur sudah dilakukan
sesuai teknis di lapangan akan tetapi air
tidak keluar.
Gagal lelang yang disebabkan kebijakan
kenaikan BBM.

Jawa Tengah
NTT
Maluku,
Papua
Barat
Jawa Tengah

Jawa Tengah

Jawa Tengah

D. Aspek Monitoring dan Evaluasi DAK


Bidang
DAK
Umum

Permasalahan
Sebagian besar daerah kabupaten/kota
belum
membentuk
tim
koordinasi
pemantauan teknis pelaksanaan dan
evaluasi pemanfaatan DAK dikarenakan
keterbatasan dana.

Koordinasi pelaksanaan DAK antara


Kabupaten/Kota dan Provinsi masih
rendah, sehingga menyulitkan dari sisi
pemantauan dan evaluasi.

Koordinasi yang kurang baik antara


provinsi dan kabupaten serta Bappeda
dan SKPD sehingga terjadi tumpangtindih dalam hal pemantauan berdampak
pada kurang baiknya pelaporan dari
daerah-daerah terkait.

Baik Bappeda maupun Dinas Teknis


Provinsi masih mengalami kesulitan
dalam pengumpulan data dan informasi
pelaporan
DAK
dari
daerah
Kabupaten/Kota.
Oleh
karena
itu,
diperlukan
adanya
forum
yang
mengumpulkan
SKPD
Provinsi,
Kabupaten, dan Kota untuk mengisi form

Prov
NTT

DIY, Kalsel

Kalbar, Bengkulu,
Riau, Sultra

Sumsel

pelaporan realisasi DAK


Lokasi/jarak
yang
terlalu
jauh,
keterbatasan
komunikasi,
gangguan
jaringan listrik, dan realisasi yang masih
0% menghambat pelaporan kegiatan DAK
oleh masing-masing SKPD.
Terbatasnya dana untuk perjalanan
dinas Satker Dekon DAK ke tingkat pusat
dalam rangka koordinasi.
Alokasi dana monev ke Kab/Kota yang
masih minim.
Terbatasnya
sumberdaya
manusia
(SDM) yang menangani pelaporan DAK.

Belum adanya keseragaman persepsi


pencantuman dana pendamping dalam
laporan.

Terdapat perbedaan format laporan


antara SEB 3 Menteri dengan format
laporan dari K/L sehingga menyulitkan
daerah dalam penyusunan laporan.

Papua, Kalbar

NTT

Riau, Sultra
Kalteng

Jawa Tengah

DIY, Maluku, NTB,


Sulut,
Aceh,
Papua,
Riau,
Sultra, Bali, Jambi,
Sumbar, Jateng
Lampung

Pelaporan yang disampaikan kepada


berbagai pihak tidak satu pintu sehingga
membebani daerah.
Masih rendahnya tingkat pelaporan
DAK.
Terdapat perbedaan data yang direkap
oleh Pemerintah Provinsi terhadap data
yang diolah oleh Sekretariat Bersama
DAK Ditjen Bina Bangda.
Pihak Ketiga menumpuk laporan di
akhir tahun
Mutasi Pejabat pengelola DAK di daerah
Masih
lemahnya
feedback
dari
kementerian
terhadap
solusi
yang
diharapkan oleh daerah.

NTT, Riau
NTB, NTT, Papua,
Lampung

Riau, Sultra
Riau, Sultra
Bali

Anda mungkin juga menyukai