I. PENDAHULUAN
Sejak diperkenalkan tahun 2003, sebelum pemberlakuan efektif UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah, DAK telah mengalami perkembangan, baik dari nilai alokasi dan
jumlah bidang kegiatan. Perkembangan dari nilai alokasi, transfer alokasi DAK ke
daerah dari tahun 2003 hingga tahun 2014 mengalami peningkatan yang cukup
besar yakni 13 kali lipat. Sementara itu, perkembangan jumlah bidang kegiatan DAK
juga mengalami penambahan dari 5 bidang, yakni bidang Pendidikan, Kesehatan,
Infrastruktur Jalan dan Irigasi, serta bidang Prasarana Pemerintahan pada tahun
2003, menjadi 19 Bidang DAK di TA 2014. Perkembangan jumlah bidang kegiatan
DAK tersebut sangat erat kaitannya dengan dinamika pencapaian prioritas nasional
yang diseleraskan dengan pengembangan potensi di daerah
Secara umum, Kementerian Dalam Negeri mempunyai peran yang cukup
penting dalam memantapkan pengelolaan DAK di daerah, utamanya di bidang
perencanaan dan penganggarannya dalam APBD, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan, yang dapat diuraikan dalam beberapa poin sebagai berikut :
1. Pada aspek perencanaan, Menteri Dalam Negeri bersama-sama dengan
Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas melaksanakan
koordinasi secara terpadu terhadap setiap usulan Bidang DAK dari
Kementerian/Lembaga (K/L) teknis (Pasal 52 (2), PP No. 55 Tahun 2005);
2. Pada aspek penganggaran, Menteri Dalam Negeri (Ditjen Keuda) telah
mengkoordinasikan penyusunan petunjuk teknis (juknis) yang disusun
oleh K/L, yang akan dijadikan pedoman oleh daerah dalam perencanaan,
penganggaran, dan pelaksanaan DAK (Pasal 59 (2), PP No. 55 Tahun
2005). Terkait dengan penganggaran DAK dalam APBD, Menteri Dalam
Ditjen
Bina
Bangda
bertanggungjawab
dalam
melakukan
mendukung
pelaksanaan
pemantauan
pelaksanaan
dan
evaluasi
Nama
Siti Pradesti
Koordinator Bidang
Air Minum dan Sanitasi
Koordinator Region
Jawa Tengah, DIY, dan
Bali
NTT, NTB, Sulsel, dan
Dian Darmayanti
Hidup
Keselamatan Transportasi
Sulbar
Riau, Babel, Jambi,
Soetan
Perdesaan
Kesehatan, Infrastruktur
Deriansyah
Marlina Theresia
dan Jabar
Banten, Bengkulu, Sulut,
Destiana
dan Perdagangan
Kelautan dan Perikanan,
dan Maluku
Lampung, Gorontalo,
Hafidzyanis
serta Pertanian
KB dan Irigasi, serta
Perumahan dan
Permukiman
Pendidikan, Kawasan
Utara
Sulteng, Kalteng, Jatim,
dan Sultra
Kawasan Perbatasan
19 Bidang DAK
33 Provinsi
Tarwanto
Total
Disisi lain, guna mendukung tupoksi Sekber Pengendalian dan Pelaporan DAK,
Ditjen Bina Bangda mengalokasikan anggaran yang memadai guna mendukung
beberapa sub-kegiatan mencakup :
a. Penyelenggaraan Rapat Koordinasi;
b. Kajian penyusunan desain e-reporting DAK;
DATA
DAERAH
%
DAERAH YG MELAPORKAN
%
DANA
PENDAMPING
%
REALISASI
KEUANGAN
%
REALISASI
FISIK
IV
%
ALOKASI
YANG
DILAPORKA
N
II
III
33,33
33,33
33,33
57,05
5,90
4,72
2,45
8,82
11,76
6,05
0,67
0,29
0,04
60,00
85,00
102,53
11,25
5,68
8,23
88,89
22,22
11,11
104,51
8,48
2,26
2,37
7,69
7,69
7,69
3,65
0,90
57,10
Kepulauan
Riau
Jambi
87,50
87,50
87,50
112,43
14,77
10,97
17,04
91,67
91,67
25,00
94,46
12,72
15,01
13,81
87,50
87,50
25,00
65,02
9,50
24,38
14,62
Bangka
Belitung
Bengkulu
90,91
71,47
7,64
7,58
3,68
10
Lampung
100,0
0
43,75
93,75
6,25
114,87
11,83
6,53
4,44
11
Jawa Barat
78,57
85,71
3,57
150,91
10,75
1,94
4,00
12
Jawa Tengah
104,27
11,90
10,18
26,44
Banten
111,40
10,07
8,62
4,05
14
DIY
99,93
13,47
28,23
29,93
Jawa Timur
100,0
0
5,13
15
100,0
0
5,13
100,0
0
100,0
0
100,0
0
12,82
61,11
13
100,0
0
11,11
10,25
1,00
13,86
1,78
16
Bali
100,0
0
100,0
0
100,0
0
103,56
13,00
21,49
29,30
Aceh
Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
Sumatera
Selatan
Riau
3
4
5
6
7
8
17
18
19
21
23
22
23
24
25
26
27
28
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Kalimantan
Utara
Sulawesi
Utara
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Barat
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
33,33
100,0
0
100,0
0
78,57
26,67
80,23
10,08
10,15
12,75
86,67
100,09
16,92
30,15
27,87
78,57
110,36
14,11
25,55
22,69
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
50,00
50,00
38,36
5,03
3,30
0,24
71,43
92,86
35,71
66,41
27,41
13,28
7,08
64,00
96,00
8,00
102,20
10,34
7,44
6,91
85,71
85,71
106,93
10,32
2,93
4,18
80,00
80,00
80,00
117,09
12,52
28,85
31,27
100,0
0
100,0
0
100,0
0
90,91
56,84
5,32
11,92
6,02
18,18
115,30
11,16
16,19
15,47
95,65
95,65
34,78
101,27
9,32
5,84
0,00
33,33
27,65
1,75
0,94
0,03
36,36
63,64
18,18
9,09
54,33
5,10
13,39
7,83
86,67
100,0
0
-
30
Nusa
Tenggara
Barat
Nusa
Tenggara
Timur
Maluku
31
Maluku Utara
32
Papua
0,00
0,00
0,00
33
Papua Barat
0,00
0,00
0,00
29
TOTAL
54,0
7
60,0
0
22,9
6
0,1
9
69,71
8,58
10,0
6
9,23
Data Daerah
Index
Provinsi
Index
Kabupaten
Total Index
Rank
D.I Yogyakarta
56,00
Bali
45,00
Jawa Tengah
55,00
Kalimantan Selatan
36,00
Bangka Belitung
30,00
Kalimantan Tengah
42,00
Kepulauan Riau
40,00
Sulawesi Tenggara
39,00
Aceh
34,00
Sulawesi Utara
36,00
Nusa Tenggara Barat
36,00
Kalimantan Barat
28,00
Maluku Utara
32,00
Sulawesi Selatan
25,00
Nusa Tenggara Timur
30,00
Jawa Barat
23,00
Lampung
15,00
Sumatera Barat
20,00
Jambi
10,00
Sulawesi Barat
20,00
Bengkulu
19,00
Gorontalo
10,00
Sumatera Selatan
Maluku
5,00
Riau
Sulawesi Tengah
Jawa Timur
Sumatera Utara
Banten
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
Papua
Papua Barat
Sumber : Sekber DAK, 1 Desember 2014
12,60
22,44
2,83
12,77
14,43
1,07
2,29
1,79
2,57
7,79
3,60
9,50
3,56
7,73
1,68
10,55
7,88
2,45
4,00
3,85
3,34
2,64
-
34,30
33,72
28,91
24,38
22,21
21,54
21,14
20,39
18,28
18,00
18,00
17,89
17,80
17,25
15,00
13,28
11,37
10,84
10,27
10,00
9,50
5,00
3,94
3,73
2,00
1,92
1,67
1,32
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
10
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
29
29
29
29
IV. PERMASALAHAN
A. DUKUNGAN KEGIATAN PENGELOLAAN SEKBER DAK T.A. 2014
Kegiatan dukungan pengelolaan Sekber DAK T.A. 2014 secara umum sudah
terlaksana dengan baik. Namun, secara substantif maupun teknis, terdapat
beberapa catatan dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain :
1. Minimnya kehadiran K/L pembina DAK dalam rapat koordinasi Sekber DAK
di Tingkat Pusat. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti jadwal
pelaksanaan rapat yang berbenturan dengan agenda K/L dan atau K/L
pembina DAK masih belum menganggap penting (urgensi) dari rapat yang
diadakan;
2. Kajian yang disusun oleh Pihak Ketiga belum dapat menguraikan berbagai
aspek pengelolaan DAK secara menyeluruh, terutama terkait dengan
pemantauan dan evaluasi, dimana penyatuan format pelaporan DAK,
mekanisme e-reporting, serta peningkatan peran Gubernur sebagai comanager dalam pengelolaan DAK menjadi sangat penting di era yang
menuntut transparansi dan akuntabilitas pada dana transfer;
3. Pelaksanaan monev terpadu masih berjalan parsial atau sendiri-sendiri
karena setiap K/L pembina DAK di tingkat pusat merasa mempunyai
kondisi, potensi, serta permasalahan yang berbeda-beda atas bidang DAK
yang dikelolanya. Disamping itu, Jadwal monev yang tidak match dengan
dukungan pendanaan pada masing-masing K/L juga menjadi persoalan
tersendiri;
4. Penyusunan produk hukum terkait pemantauan teknis pelaksanaan dan
evaluasi pemanfaatan DAK terkendala dengan arah kebijakan pengelolaan
DAK dalam revisi UU No. 33 Tahun 2004, yang saat ini masih dibahas
dengan DPR.
B. PENGELOLAAN DAK T.A. 2014
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Sekretariat Bersama
Pengendalian dan Pelaporan DAK, Ditjen Bina Pembangunan Daerah, terdapat
beberapa
permasalahan
terkait
perencanaan.
Secara
keseluruhan,
terdapat
Dengan kata lain, satu kriteria tidak diperlakukan sebagai penunjang atas kriteria
yang lain. Sehingga, suatu daerah cukup memenuhi salah satu kriteria, tidak perlu
keseluruhan, untuk dapat memperoleh DAK.
Kedua, formula-formula ini sangatlah kompleks untuk diterapkan mengingat
panjangnya proses penghitungan dan rentannya kebutuhan data untuk keseluruhan
kriteria, tak terkecuali kriteria teknis yang semata-mata bergantung dari distribusi
data
daerah.
Sementara
itu,
di
dalam
praktek,
karena
ini
menyangkut
penganggaran yang juga merupakan hak DPR, hasil akhir formula-formula ini murni
berbobot politis.
Jika semata-mata proses teknokratis yang terjadi, hasil akhir formula-formula
ini secara teoritis bisa diprediksi. Pada kenyataannya, dalam perspektif daerah, DAK
sukar diprediksi. Dalam sejumlah kasus, alokasi dan lokasi DAK tahun sebelumnya
bahkan tidak dapat diandalkan sebagai alat prediksi bagi alokasi dan lokasi DAK
tahun berikutnya. Kondisi ini menyebabkan beberapa hal dimana alokasi DAK yang
acapkali tidak sesuai dengan kebutuhan daerah serta daerah kehilangan rujukan
bagi perencanaan APBD setiap tahun.
Terkait dengan poin perencanaan, sejauh ini perencanaan dan pengambilan
keputusan pengalokasian DAK kepada daerah-daerah dilakukan secara top-down.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai institusi perencanaan
di kabupaten/kota tidak terlibat dalam perencanaan program/kegiatan-kegiatan
yang akan didanai dengan DAK. Demikian pula, Pemerintah Propinsi khususnya
Gubernur sebagai wakil Pemerintah, tidak jelas peranannya dalam pengelolaan
DAK. Dengan kata lain, perencanaan DAK kurang terintegrasi ke dalam siklus dan
mekanisme perencanaan pembangunan nasional dan daerah.
Dari aspek penganggaran, permasalahan masih terkait dengan ketentuan
besaran dana pendamping DAK. Ketentuan dana pendamping 10% di satu sisi
mendorong komitmen daerah, namun di sisi lain menjadi disinsentif bagi daerah
dengan kapasitas fiskal rendah untuk menyediakan dana pendamping. Disamping
itu, besaran alokasi DAK relatif kecil dan ruang lingkup kegiatan DAK seringkali tidak
sesuai kondisi, potensi, dan kebutuhan daerah sehingga daerah penerima DAK tidak
dapat melaksanakan pembangunan fisik secara terencana dan terpadu. Juga, pagu
alokasi definitif DAK per daerah ditetapkan dan diinformasikan kepada daerah pada
saat pembahasan akhir RAPBD sehingga sulit bagi daerah untuk menjaga
konsistensi antara KUA dan PPAS dengan RAPBD. Hal ini diperparah dengan Juknis
DAK bidang yang terlambat diterima daerah sehingga proses penyusunan RKA-SKPD
berpedoman pada juknis yang lama, yang seringkali tidak relevan dengan juknis
yang baru.
Pada aspek pelaksanaan, permasalahan terkait dengan pergantian Juknis pada
periode pelaksanaan dan Juknis yang memuat unit cost yang tidak sesuai dengan
unit cost di daerah. Hal ini diperparah dengan daerah yang terlambat melakukan
penyerapan DAK baik Tahap I s/d III sehingga pencairan dana tahap I s/d III
terlambat.
Terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
keterlambatan
penyaluran DAK dari Pusat ke Daerah, antara lain : 1). Gagal lelang akibat faktor
teknis (kesalahan aparat daerah dalam merancang spesifikasi lelang sehingga
perusahaan peserta tidak mampu memenuhi keinginan Pemerintah Daerah, serta
ketiadaan SDM yang memiliki kompetensi dalam hal pelelangan) dan faktor non
teknis (keinginan kontraktor untuk menerima seluruh pembayaran di akhir proyek,
sehingga pengajuan SP2D diakumulasi pada akhir tahun); 2). Jumlah perusahaan
yang mengikuti lelang sangatlah terbatas/langka sehingga perusahaan yang terpilih
dalam proses lelang akan mengutamakan proyek-proyek dengan nilai besar terlebih
dahulu; 3). Faktor cuaca, keamanan, hingga ketiadaan pekerja juga turut
berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga kontraktor
memilih untuk menunda pengajuan Surat Perintah Membayar (SPM).
Dari sisi monitoring dan evaluasi, petunjuk pelaporan DAK yang diterbitkan
secara sektoral tidak saja kaku dan terlalu fokus pada proses, tetapi juga sangat
membebani daerah. Dengan ketiadaan instrument monitoring yang fleksibel dan
efektif, institusi institusi pusat dan daerah tidak dapat berkoordinasi dan
melaksanakan monitoring secara aktif. Pelaporan pelaksanaan DAK dari daerah pun
juga sering terlambat dikarenakan belum adanya ketegasan terkait penunjukan
koordinator pemantauan dan evaluasi DAK di daerah. Di sisi lain, sasaran DAK yang
akan diukur pencapaiannya seringkali tidak jelas. Oleh sebab itu, sistem monitoring
DAK yang sentralistis menjadi tidak efektif. Beberapa studi menyatakan bahwa
keterbatasan kapasitas SDM dan keuangan baik di pusat maupun daerah, termasuk
faktor kunci yang membuat aspek pengendalian tidak efektif. Lebih jauh lagi,
terungkap bahwa meskipun daerah daerah telah mengirim laporan DAK secara
berkala, mereka tidak pernah menerima tanggapan (feedbacks) dari pusat secara
cepat, sehingga mempengaruhi proses pelaksanaan dan penyerapan DAK.
V. PENUTUP
A. DUKUNGAN PENGELOLAAN KEGIATAN SEKBER DAK T.A. 2014
Dalam kebijakan pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK), Kementerian Dalam
Negeri (Ditjen Bina Bangda dan Ditjen Keuda) mempunyai peran yang cukup
penting dalam memantapkan pengelolaan DAK di daerah, utamanya di bidang
perencanaan dan penganggarannya dalam APBD, serta pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan.
Peran yang strategis ini dapat diperluas dalam beberapa aspek pengelolaan
DAK ke depan, antara lain :
1. Pada aspek perencanaan DAK, peran Kemendagri dapat ditingkatkan ke
arah
pemantapan
perencanaan
DAK
peran
di
Gubernur
daerah.
Pada
sebagai
tahap
ini,
co-manager
dalam
Kemendagri
dapat
Dengan
kata
lain,
BAPPEDA
juga
diharapkan
mampu
teknis
memperhatikan
tahunan
sering
kebutuhan
daerah
kekhususan/kebutuhan
daerah.
terlambat,
karena
kurangnya
Petunjuk-petunjuk
berubah-ubah
dan
kurang
pemetaan/pemahaman
tersebut
juga
terlalu
rinci
pagu nasional DAK dibanding dengan kebutuhan dan dampak yang diharapkan
serta
kewajiban
daerah
dalam
menyediakan
dana
pendamping.
Akibat
APBD,
sehingga
tidak
menyebabkan
adanya
jeda
waktu
petetapan
Terakhir,
untuk
kepentingan
kemajuan
pengelolaan
DAK
di
masa
mendatang, agar tahap perencanaan dan penganggaran DAK tidak lagi bersifat
sentralistik/top down, namun secara optimal
juga
diharapkan
mampu
mengkoordinasikan
perencanaan
dan
LAMPIRAN
-
Permasalahan
Kebijakan pengelolaan DAK cenderung
bersifat
top-down
karena
kurang
memperhatikan
aspirasi
daerah.
Akibatnya, DAK tidak masuk siklus
perencanaan pembangunan di daerah
dan
penganggaran
di
APBD.
Implikasinya,
seringkali
terdapat
ketidaksesuaian antara alokasi DAK
yang diperoleh dengan kondisi, potensi,
dan permasalahan daerah. Terkait
dengan hal tersebut, format I pada
kolom 13 a dan 13 b dalam pelaporan
DAK menjadi tidak relevan lagi karena
kegiatan dalam RKPD tidak sesuai
dengan sasaran dan lokasi dalam
kegiatan DAK.
SEB sebagai acuan dalam perencanaan
DAK tidak menunjukkan dengan pasti
kedudukan dan peran Bappeda.
SKPD menyampaikan data teknis secara
langsung kepada K/L teknis tanpa
berkoordinasi
dengan
Bappeda.
Bappeda hanya bertindak sebagai
Provinsi
NTT, NTB, Kalsel
Sulteng, Sumbar,
NTB
Sumbar, NTB
Pendidikan
Kesehatan
Kehutanan
Pertanian
Kelautan
Perikanan
LH
koordinator/pengumpul data.
SKPD kerap melakukan konsultasi
secara langsung kepada K/L teknis dan
tidak melibatkan Bappeda.
Juknis tidak sesuai dengan kebutuhan di
daerah.
Tidak
semua
jenis
obat
yang
dibutuhkan masuk dalam menu ECatalog
Dari
sisi
perencanaan,
terdapat
mismatch dalam pengalokasian DAK
sehingga
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan daerah.
Pada
kegiatan
penanaman
bibit
tergantung pada musim penghujan.
Menu
kegiatan
setiap
tahunnya
digunakan untuk penyediaan kapal,
padahal kebutuhan daerah
adalah
sarana perikanan.
Proses
pengadaan
mobil
sangat
memakan
waktu
karena
harus
menunggu persetujuan dari K/L dan
BPRLH.
Sulteng, Sumbar,
NTB
Sumbar, kasus
Solok dan Sultra
kasus Kab Konawe
Selatan
Jabar
Jateng
Jateng
Sumbar kasus
Kab. Bukit Tinggi
Permasalahan
Pemerintah Daerah belum sepenuhnya
memahami Permendagri Nomor 27
tahun 2013 yang mengatur tentang
penganggaran DAK.
Masih terdapat juknis yang memuat
kebijakan pengelolaan keuangan DAK
yang tidak selaras dengan kebijakan
pengelolaan keuangan daerah, yang
menyebabkan penyerapan anggaran
rendah.
Penentuan pagu alokasi masing-masing
bidang DAK sering tidak sesuai dengan
kebutuhan riil di daerah karena dibuat
secara parsial oleh masing-masing
Prov
Kalsel, DIY
NTT
Jateng
Pendidikan
Jabar,
Papua,
Kalbar, Sultra
Jabar,
Papua,
Kalbar,
Sultra,
Aceh, Lampung,
NTT,
Sulut,
Sumbar, Jateng
Papua
Jabar,
Papua,
Kalbar, Sultra
Jabar,
Papua,
Kalbar,
Sultra,
Aceh, Lampung,
NTT,
Sulut,
Sumbar, Jateng
NTB
Jabar
Jabar
Kesehatan
Kehutanan
Pertanian
Kelautan
Perikanan
Jabar
Jateng
Jateng
Jateng
Jateng
Jateng
Sulteng
Sulteng
Permasalahan
Pemahaman terhadap petunjuk teknis
belum sama.
Provinsi
Bali
Jateng
semua stakeholder.
Ketentuan
dalam
petunjuk
teknis
banyak yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi daerah dalam
pelaksanaan DAK.
Ruang lingkup kegiatan yang berganti di
tengah
tahun
membuat
SKPD
penanggung
jawab
kesulitan
merealisasikan kegiatan fisik.
Keterlambatan penerimaan informasi
besaran DAK untuk jenis kegiatan yang
direncanakan
menyebabkan
daerah
kesulitan untuk menyesuaikannya pada
pembahasan pencantuman DAK dalam
APBD.
Beberapa
kab/kota
belum
berani
melaksanakan kegiatan di tahun 2014
akibat juknis yang terlambat diterima,
yang menyebabkan pelaksanaan DAK
menunggu perubahan APBD.
Adanya perbedaan spesifikasi dan
satuan harga antara DPA SKPD dengan
juknis
kementerian
terkait,
yang
menyebabkan
perlunya
adanya
perubahan anggaran di APBD perubahan.
Gagal lelang
Bali,
Kalteng,
Papua, Kepri
Bengkulu
NTB,
Maluku,
Papua
Barat,
Sumsel,
Kalbar,
Bengkulu
Kalbar,
Sultra,
Sumbar, Kep.Riau,
Aceh
Bengkulu
Bali,
Banten,
Gorontalo, Jatim,
Kaltim,
Sulsel,
Maluku,
Papua
Barat,
Sumsel,
Kalbar,
Sumbar,
Sultra, Kep. Riau
NTT, Kalsel, DIY,
Bali,
Banten,
Gorontalo, Jatim,
Kaltim,
Sulsel,
Maluku,
Papua,
Papua
Barat,
Sumsel, Sulsel
Gorontalo, Jatim,
Kaltim, Sulsel
Jateng, Bengkulu
Pendidikan
kegiatan.
Hangusnya dana pada beberapa bidang
DAK
terjadi
karena
keterlambatan
pencairan dana pada setiap tahapan
penyaluran DAK.
Untuk luncuran tahun 2010, 2011, dan
2012 ada potensi tidak terserap 100%.
KPA belum mempunyai sertifikat.
APBN-P 2014.
Kondisi cuaca yang kurang mendukung
yang dapat menyebabkan terlambatnya
pekerjaan konstruksi.
Salah satu alasan seringnya rotasi SKPD
pengelola
DAK
di
daerah
adalah
ketidakpahaman sumber daya manusia
terkait program dan pelaksanaan DAK
sehingga banyak SKPD mengundurkan
diri sebagai pejabat pengelola dan
pelaksana DAK.
Keterlambatan Juknis dan revisi yang
berulang menghambat pelaksanaan DAK
dan penyerapan anggaran.
Jabar
Jateng
Kalbar
Kalbar
Bengkulu
Sumsel
Kalimantan
Selatan,
Jateng,
Kalbar,
Aceh,
Riau,
Bangka
Belitung, Sulteng,
Jabar
Jateng
Banten,
Gorontalo,
Jawa
Timur,
Kaltim,
Sulsel,
Maluku,
Sumsel, Bali
DIY, NTB, Sulut
Kesehatan
Penjabaran
APBD,
dengan
memberitahukan kepada pimpinan DPRD.
Ruang lingkup Juknis terlalu rigid
(seperti rehab hanya diperuntukkan bagi
bangunan sekolah yang rusak berat, RKB
hanya diperuntukkan bagi SMA, tidak ada
kegiatan peningkatan kapasitas guru).
Kegiatan DAK tumpang tindih dengan
kegiatan bantuan sosial yang diluncurkan
Kemendikbud. Sekolah akhirnya lebih
memilih bantuan sosial ketimbang DAK.
IKK yang tercantum dalam Juknis tidak
sesuai dengan IKK daerah setempat
sehingga beberapa Kab/Kota memilih
tidak melaksanakan atau melaksanakan
sesuai
dengan
yang
ditetapkan.
Akibatnya,
pembangunan
gedung
berjalan kurang maksimal.
Pelaksanaan kegiatan yang bersifat
swakelola untuk DAK SD berjalan lambat
karena secara administratif menyulitkan
pihak sekolah.
Adanya gagal lelang.
Sisa tender belum dapat dioptimalkan
pada tahun berkenaan.
Adanya disharmoni regulasi terkait
dengan pross pelaksanaan pengadaan
barang/jasa sesuai dengan Peraturan
Mendikbud yang bertentangan dengan
Perpres No. 54 Tahun 1990, Perpres No.
70 Tahun 2012 dan Peraturan Mendagri
No. 39 Tahun 2011 terkait dengan
pelaksanaan
hibah
sehingga
menimbulkan
kekhawatiran
dari
pelaksana di daerah.
Juknis terlambat.
Spesifikasi obat maupun harga obat
dalam e-catalogue tidak sesuai dengan
kebutuhan daerah.
DPA-SKPD yang telah disusun tidak
sesuai dengan arah pemanfaatan DAK
dalam Juknis dikarenakan juknis yang
terlambat disosialisasikan kepada daerah.
DIY, Kalsel
Riau,
Sultra,
Sumbar,
Bali,
Kepri, Kalbar
Maluku,
Papua,
Barat, Gorontalo,
Jawa
Timur,
Kaltim,
bangkia
Belitung
Jateng
Jateng
Jateng
Jabar
Sultra, Riau, NTT,
Kalbar
Sulut
Perdaganga
n
Kehutanan
Pertanian
DIY, Kalsel
Banten,
Sulsel,
Maluku, Sumsel,
Papua Barat, DIY
DIY, Kalsel
Sumbar
DIY
NTT, Jambi
Sumbar
DIY
NTT
KPDT
Infrastruktu
r sanitasi
Infrastruktu
r air minum
Keselamata
n
transportasi
darat
Jawa Tengah
NTT
Maluku,
Papua
Barat
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Permasalahan
Sebagian besar daerah kabupaten/kota
belum
membentuk
tim
koordinasi
pemantauan teknis pelaksanaan dan
evaluasi pemanfaatan DAK dikarenakan
keterbatasan dana.
Prov
NTT
DIY, Kalsel
Kalbar, Bengkulu,
Riau, Sultra
Sumsel
Papua, Kalbar
NTT
Riau, Sultra
Kalteng
Jawa Tengah
NTT, Riau
NTB, NTT, Papua,
Lampung
Riau, Sultra
Riau, Sultra
Bali