Anda di halaman 1dari 20

TRAUMAINHALASIPADALUKABAKAR

PENDAHULUAN
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan oleh energi panas atau bahan kimia atau benda-benda fisik
yang menghasilkan efek memanaskan atau mendinginkan. Luka bakar
adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan
kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih
dalam.1
Luka bakar merupakan luka yang unik diantara bentuk-bentuk
luka lainnya karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati
(eskar) yang tetap berada pada tempatnya untuk jangka waktu yang
lama. (Smeltzer, 2001 : 1911). Luka adalah rusaknya struktur dan
fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari
internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu. (Lazarus, 1994
dalam Potter & Perry, 2006;1853). Trauma inhalasi merupakan faktor
yang secara nyata memiliki kolerasi dengan angka kematian. Pada
kebakaran dalam ruangan tertutup atau bilamana luka bakar mengenai
daerah muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan
napas akibat gas, asap atau uap panas yang terhisap. Cedera inhalasi
disebabkan oleh jenis bahan kimia terbakar (tracheobronchitis) dari
saluran pernapasan. Bila cedera ini terjadi pada pasien dengan luka
bakar kulit yang parah kematian sangat tinggi antara 48% sampai 86%.
Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan

jalan napas.1,2
Keracunan asap yang disebabkan oleh termodegradasi material
alamiah dan materi yang diproduksi. Termodegradasi menyebabkan
terbentuknya gas toksik seperti hidrogen sianida, nitrogen oksida,
hidrogen klorida, akreolin dan partikel partikel tersuspensi. Efek akut
dari bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan bronkokonstriksi pada
saluran napas. Obstruksi jalan napas akan menjadi lebih hebat akibat
adanya tracheal bronchitis dan edema.1,2,3
INSIDEN
Kurang lebih 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika
Serikat setiap tahunnya. Dari kelompok ini, 200.000 pasien
memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di
rumah sakit. Sekitar 12.000 meninggal setiap tahunnya. Anak kecil dan
orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi untuk mengalami
luka bakar. Kaum remaja laki-laki dan pria dalam usia kerja juga lebih
sering menderita luka bakar (Smeltzer, 2001 : 1911). Di rumah sakit
anak di Inggris, selama satu tahun terdapat sekitar 50.000 pasien luka
bakar dimana 6400 diantaranya masuk ke perawatan khusus luka
bakar2. Antara tahun 1997-2002 terdapat 17.237 anak di bawah usia 5
tahun mendapat perawatan di gawat darurat di 100 rumah sakit di
Amerika. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada tahun
1998 di laporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka
kematian 37,38% sedangkan di Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya

pada tahun 2000 dirawat 106 kasus luka bakar, kematian 26, 41 %.
Studi North-West England menemukan angka rata-rata yang datang ke
rumah sakit dengan trauma inhalasi akibat luka bakar adalah 0,29 per
1000 populasi tiap tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan
yaitu 2:1. Referensi lain menyebutkan bahwa kurang lebih sepertiga
(20-35%) pasien luka bakar yang dating ke Pusat Luka Bakar adalah
dengan trauma inhalasi4,6
ETIOLOGI
Kebanyakan trauma inhalasi terjadi akibat kerusakan langsung
pada permukaan epitel yang dapat menyebabkan konjungtivitis,
rhinitis, faringitis, laryngitis, trakeitis, bronchitis dan alveolitis.
Absorbsi sistemik dari toksin juga terjadi. Susah untuk membedakan
apakah insufisiensi pernafasan disebabkan oleh trauma langsung pada
paru atau akibat pengaruh metabolik, hemodinamik dan komplikasi
lanjut dari suatu infeksi permukaan luka bakar.2
Trauma inhalasi disebabkan oleh berbagai inhalan. Inhalan dibedakan
atas 4 macam yaitu:2,7
1.

Gas iritan : bekerja dengan melapisi mukosa saluran nafas dan


menyebabkan reaksi inflamasi. Amonia, klorin, kloramin lebih larut air
sehingga dapat menyebabkan luka bakar pada saluran nafas atas dan
menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan mulut. Gas iritan lain yaitu
sulfur dioksida, nitrogen dioksida, yang kurang larut air sehingga
menyebabkan trauma paru dan distress pernafasan.

2.

Gas asfiksian : karbon dioksida, gas dari bahan bakar (metana, etena,
propane, asetilana), gas-gas ini mengikat udara dan oksigen sehingga
menyebabkan asfiksia.

3.

Gas yang bersifat toksik sistemik : CO yang merupakan komponen


terbesar dari asap, hidrogen sianida merupakan komponen asap yang
berasal dari api, hidrogen sulfide. Gas-gas ini berhubungan dengan
pengangkutan oksigen untuk produksi energi bagi sel. Sedangkan
toksin sistemik seperti hidrokarbon halogen dan aromatik menyebabkan
kerusakan lanjut dari hepar, ginjal, otak, paru-paru, dan organ lain.

4.

Gas yang menyebabkan alergi, dimana jika asap terhirup, partikel dan
aerosol menyebabkan bronkospasme dan edema yang menyerupai
asma.
ANATOMIDANFISIOLOGI
Menurut Price SA, Wilson LM, 1946, anatomi pernafasan agar
udara bisa mencapai paru-paru adalah hidung, laring, trakhea, bronkhus
dan bronkhiolus. Fungsi masing-masing bagian ini sebagai berikut:

1.

Hidung : Bulu-bulu hidung berguna untuk menyaring udara yang


masuk, debu dengan diameter > 5 mikron akan tertangkap, selaput
lendir hidung berguna untuk menangkap debu dengan diameter lebih
besar, kemudian melekat pada dinding rongga hidung. Anyaman vena
(Plexus venosus) berguna untuk menyamakan kondisi udara yang akan
masuk paru dengan kondisi udara yang ada di dalam paru. Konka

(tonjolan dari tulang rawan hidung) untuk memperluas permukaan, agar


proses penyaringan, pelembaban berjalan dalam suatu bidang yang
luas, sehingga proses diatas menjadi lebih efisien.
2.

Pharing, terdapat persimpangan antara saluran napas dan saluran


pencernaan. Bila menelan makanan, glotis dan epiglotis menutup
saluran napas untuk mencegah terjadinya aspirasi. Pada pemasangan
endotrakeal tube glotis tidak dapat menutup sempurna, sehingga mudah
terjadi aspirasi laring. Terdapat pita suara / plika vokalis, bisa menutup
dan membuka saluran napas, serta melebar dan menyempit. Gunanya
adalah membantu dalam proses mengejan, membuka dan menutup
saluran napas secara intermitten pada waktu batuk. Pada waktu mau
batuk plika vokalis menutup, saat batuk membuka, sehingga benda
asing keluar. Secara reflektoris menutup saluran napas pada saat
menghirup udara yang tidak dikehendaki dan untuk proses bicara.

3.

Trakea. Dikelilingi tulang rawan berbentuk tapal kuda (otot polos dan
bergaris) sehingga bisa mengembang dan menyempit. Trakea
bercabang menjadi 2 bronkus utama.

4.

Bronkus. Merupakan percabangan trakea, terdiri dari bronkus kanan


dan kiri. Antara percabangan ini terdapat karina yang memiliki banyak
saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika
dirangsang. Bronkus kiri dan kanan tak simetris. Yang kanan lebih
pendek, lebih lebar dan arahnya hampir vertikal. Yang kiri lebih
panjang dan lebih sempit dengan sudut lebih tajam. Bronkus ini

kemudian bercabang menjadi bronkus lobaris, bronkus segmentasi,


bronkus terminalis, asinus yang terdiri dari bronkus respiratorius yang
terkadang mengandung alveoli, duktus alveolaris dan sakus alveolaris
terminalis.
5.

Paru. Terdiri dari paru kanan dan kiri yang kanan terdiri dari 3 lobus,
kiri 2 lobus. Dibungkus oleh selaput yang disebut pleura visceralis
sebelah dalam dan pleura parietalis sebelah luar yang menempel pada
rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat kavum interpleura yang
berisi cairan. Di dalam saluran napas selain terdapat lendir, juga bulubulu getar / silia yang berguna untuk menggerakkan lendir dan kotoran
ke atas.8,9,10
Fisiologi pernapasan menurut Guyton dkk, respirasi meliputi 2
bidang yakni respirasi eksterna dan respirasi interna. Respirasi eksterna
adalah pengangkutan oksigen dari atmosfer sampai ke jaringan tubuh
dan pengangkutan karbon dioksida dari jaringan sampai ke atmosfer.
Sementara bagaimana oksigen digunakan oleh jaringan dan bagaimana
karbon dioksida dibebaskan oleh jaringan disebut respirasi internal.
Proses respirasi merupakan proses yang dapat dibagi menjadi 5 tahap
yaitu :1. Ventilasi. Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena
ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat
kerja mekanik dari otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot yaitu otot sternokleidomastoideus mengangkat
sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus

mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah : anteroposterior,


lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan
tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru-paru mengembang pada
waktu inspirasi. Tekanan saluran udara menurun sampai sekitar -2
mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada waktu
mulai inspirasi. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer
menyebabkan udara mengalir ke dalam paru-paru sampai tekanan
saluran udara pada akhir inspirasi sama lagi dengan tekanan atmosfer.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru atau saat ekspirasi dinding dada
turun dan lengkung diafragma naik ke atas
menyebabkan
volume

toraks
berkurang.
Pengurangan

volume

toraks

ini

meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.


Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer menjadi terbalik,
sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai tekanan saluran

udara dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.
2.

Difusi Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gasgas melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang
dari 0,5 m). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih
tekanan parsial antara darah dan fase gas. Pada waktu oksigen
diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan
mengalami penurunan sampai sekitar 103 mmHg. 8,9,10,11 Penurunan
tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi
tercampur dengan udara dalam ruang sepi anatomik saluran udara dan
dengan uap air. Ruang sepi anatomik ini dalam keadaan normal
mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan. Hanya
udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif,
tekanan parsial oksigen dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler
paru kira-kira sebesar 40 mmHg. Karena tekanan parsial oksigen dalam
kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103
mmHg), maka oksigen dapat dengan mudah berdifusi ke dalam aliran
darah. Perbedaan tekanan CO2 antara darah dan alveolus yang jauh
lebih rendah (6 mm Hg) menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke
dalam alveolus. Karbon dioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer,
dimana konsentrasinya pada hakekatnya nol kendatipun selisih CO2
antara darah dan alveolus amat kecil.

3.

Hubungan antara ventilasi-perfusi. Pemindahan gas secara efektif


antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata
dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler.

Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi dari unit pulmonar harus
sesuai. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q)
adalah 0,8. Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi
alveolar normal (4 L/menit). Ketidak-seimbangan antara proses
ventilasi-perfusi terjadi pada kebanyakan penyakit pernapasan. 8 Tiga
unit pernapasan abnormal secara teoritis menggambarkan unit ruang
sepi yang mempunyai ventilasi normal, tetapi tanpa perfusi, sehingga
ventilasi terbuang percuma (V/Q = tidak terhingga). Unit pernapasan
abnormal yang kedua merupakan unit pirau, dimana tidak ada ventilasi
tetapi perfusi normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q = 0). Unit
yang terakhir merupakan unit diam, dimana tidak ada ventilasi dan
perfusi.
4.

Transpor oksigen dalam darah Oksigen dapat diangkut dari paru-paru


ke jaringan- jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma
atau

secara

kimia

berikatan

dengan

hemoglobin

sebagai

oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia oksigen dengan hemoglobin ini


bersifat reversibel. Dalam keadaan normal jumlah O2 yang larut secara
fisik sangat kecil karena daya larut oksigen dalam plasma yang rendah.
Hanya sekitar 1% dari jumlah oksigen total yang diangkut. Cara
transpor seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup. 8
Sebagian besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat dalam
sel-sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya : keracunan
karbon monoksida atau hemolisis masif dimana terjadi insufisiensi
hemoglobin) maka oksigen yang cukup untuk mempertahankan hidup

dapat ditranspor dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan


oksigen dengan tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang
oksigen hiperbarik). Satu gram hemoglobin dapat mengikat 1,34 ml
oksigen.

Pada tingkat jaringan, oksigen akan berdisosiasi dari

hemoglobin dan berdifusi ke dalam plasma. Dari plasma, oksigen


berdifusi ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan
yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun
sekitar 75% dari hemoglobin masih berikatan dengan oksigen pada
waktu hemoglobin kembali ke paru-paru dalam bentuk darah vena
campuran. Jadi sesungguhnya hanya sekitar 25% oksigen dalam darah
arteria yang digunakan untuk keperluan jaringan.
5. Pengendalian Pernapasan. Yang disebut pusat pernapasan adalah
suatu kelompok neuron yang terletak bilateral di dalam substansia
retikularis medula oblongata dan pons. Dibagi menjadi 3 daerah utama
yaitu :
1.

Kelompok neuron medula oblongata dorsalis, yang merupakan area


inspirasi. Letak neuronnya sangat dekat dan berhubungan rapat dengan
traktus solitarius yang merupakan ujung sensorik nervus vagus dan
glosofaringeus. Sebaliknya masing- masing saraf ini menghantarkan
isyarat-isyarat sensorik dari kemoreseptor perifer, dengan cara ini
membantu ventilasi paru.

2.

Kelompok neuron medula oblongata ventralis, yang merupakan area


ekspirasi. Merupakan kelompok neuron respirasi ventralis yang bila

terangsang merangsang otot-otot ekspirasi. Area ekspirasi selama


pernapasan tenang dan normal bersifat pasif. Bila dorongan ekspirasi
menjadi jauh lebih besar dari normal maka isyarat- isyarat tertumpah ke
area

ekspirasi

dari

mekanisme

osilasi

dasar

area

inspirasi,

meningkatkan tenaga kontraktil yang kuat ke proses ventilasi paru.


3.

Area di dalam pons yang membantu kecepatan pernapasan yang disebut


area pneumotaksis. Pusat pneumotaksis menghantarkan isyarat
penghambat ke area inspirasi, yang mempunyai efek membatasi isyarat
inspirasi.

Efek

sekundernya

terjadi

bila

pembatasan

inspirasi

memperpendek masa pernapasan, maka siklus pernapasan berikut akan


terjadi lebih dini. Jadi isyarat pneumotaksis yang kuat dapat
meningkatkan kecepatan pernapasan 30-40 x per menit. Sementara
yang lemah hanya beberapa kali per menit. 8,11
PATOFISIOLOGI
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel
jalan nafas oleh panas dan zat kimia, atau akibat intoksikasi sistemik
dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil dari pembakaran tidak hanya
terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara, partikel
padat yang terurai di udara (melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik).
Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik
dimana gabungan tersebut bekerja sistemik. Partikel padat yang
ukurannya lebih dari 10 mikrometer tertahan di hidung dan nasofaring.
Partikel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang

trakeobronkial, sedangkan partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat


mencapai alveoli.1,2
Gas yang larut air bereaksi secara kimia pada saluran nafas atas,
sedangkan gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapun
gas yang sangat kurang larut air masuk melewati barier kapiler dari
alveolus dan menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemik.
Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan kegagalan fungsi
dari apparatus mukosilier dimana akan merangsang terjadinya suatu
reaksi inflamasi akut yang melepaskan makrofag serta aktivitas netrofil
pada daerah tersebut. Selanjutnya akan dibebaskan oksigen radikal,
protease jaringan, sitokin, dan konstriktor otot polos (tromboksan A2,
C3A, C5A). Kejadian ini menyebabkan peningkatan iskemia pada
saluran nafas yang rusak, selanjutnya terjadi edema dari dinding
saluran nafas dan kegagalan mikrosirkulasi yang aka n meningkatkan
resistensi dinding saluran nafas dan pembuluh darah paru. Komplians
paru akan turun akibat terjadinya edema paru interstitial sehingga
terjadi edema pada saluran nafas bagian bawah akibat sumbatan pada
saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik, mukus dan selsel darah.1,2
Trauma inhalasi diklasifikasikan menjadi 3, antara lain : 1,2,3,4
1.

Trauma pada saluran nafas bagian atas ( trauma supraglotis) Trauma


saluran nafas atas dapat menyebabkan ancaman hidup melalui obstruksi
jalan nafas sesaat setelah trauma. Jika proses ini ditangani secara benar,

edema saluran nafas dapat hilang tanpa sekuele beberapa hari.


2.

Trauma pada saluran nafas bawah dan parenkim paru (trauma


subglotis)
Trauma ini dapat menyebabkan lebih banyak perubahan
signifikan dalam fungsi paru dan mungkin akan susah ditangani.
Trauma subglotis merupakan trauma kimia yang disebabkan akibat
inhalasi hasil-hasil pembakaran yang bersifat toksik pada luka bakar.
Asap memiliki kapasitas membawa panas yang rendah, sehingga jarang
didapatkan trauma termal langsung pada jalan nafas bagian bawah dan
parenkim paru, trauma ini terjadi bila seseorang terpapar uap yang
sangat panas.
3. Toksisitas sistemik akibat inhalasi gas toksik seperti karbon
monoksida (CO) dan sianida.
Inhalasi dari gas toksik merupakan penyebab utama kematian
cepat akibat api, meskipun biasanya trauma supraglotis, subglotis dan
toksisitas sistemik terjadi bersamaan. Intoksikasi CO terjadi jika
afinitas CO terhadap hemoglobin lebih besar dari afinitas oksigen
terhadap hemoglobin, sehingga ikatan CO dan hemoglobin membentuk
suatu karboksihemoglobin dan menyebabkan hipoksia.
GAMBARANKLINIS

1,2,3,4,12,13,14

Oleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak

ditangani sesegera mungkin, maka perlu diketahui tanda-tanda yang


dapat mengarahkan kita untuk bertindak dan harus mencurigai bahwa
seseorang telah mengalami trauma inhalasi antara lain :
- Luka bakar pada wajah
- Alis mata dan bulu hidung hangus
- Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam
orofaring
- Sputum yang mengandung arang atau karbon
- Wheezing, sesak dan suara serak
- Adanya riwayat terkurung dalam kepungan api
- Ledakan yang menyebabkan trauma bakar pada kepala dan badan
- Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin lebih dari 10%
setelah berada dalam lingkungan api) seperti kulit berwarna pink
sampai merah, takikardi, takipnea, sakit kepala, mual, pusing,
pandangan kabur, halusinasi, ataksia, kolaps sampai koma.
PEMERIKSAANPENUNJANG1,2,3
1. Laboratorium
Pulse oximetry

Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat

palsu akibat ikatan CO terhadap hemoglobin sehingga kadar

karboksihemoglobin seringkali diartikan sebagai oksihemaglon


Analisa Gas DarahUntuk mengukur kadar karboksihemoglobin,
keseimbangan asam basa dan kadar sianida. Sianida dihasilkan
dari kebakaran rumah tangga dan biasanya terjadi peningkatan

kadar laktat plasma


ElektrolitUntuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil

dari resusitasi cairan dalam jumlah besar


Darah lengkapHemokonsentrasi akibat

kehilangan

cairan

biasanya terjadi sesaat setelah trauma. Hematokrit yang menurun


secara progresif akibat pemulihan volume intravaskular. Anemia
berat biasanya terjadi akibat hipoksia atau ketidakseimbangan
hemodinamik. Peningkatan sel darah putih untuk melihat adanya
infeksi.
2.

Foto ThoraksBiasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat


muncul sesudahnya termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS

3.

Laringoskopi dan bronkoskopi fiberoptikKeduanya dapat digunakan


sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Pada bronkoskopi biasanya
didapatkan gambaran jelaga, eritema, sputum dengan arang, petekie,
daerah pink sampai abu-abu karena nekrosis, ulserasi, sekresi,
mukopurulen. Bronkoskopi serial berguna untuk menghilangkan debris
dan sel-sel nekrotik pada kasus-kasus paru atau jika suction dan
ventilasi tekanan positif tidak cukup memadai.
PENATALAKSANAAN

Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting


untuk penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat
kematian. Pengobatan untuk trauma inhalasi adalah bersifat suportif.
1.

AirwayJika dicurigai seseorang dengan trauma inhalasi maka


sebelum dikirim ke pusat luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi
cepat untuk melindungi jalan nafas sebelum
terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi 2448 jam setelah kejadian, dimana jika terjadi edema maka yang
diperlukan adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika intubasi
oral tidak dapat dilakukan.2,4,15,16,17

2.

BreathingJika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernapasan, susah


bernapas, stridor, batuk, retraksi suara nafas bilateral atau tanda-tanda
keracunan CO maka dibutuhkan oksigen 100% atau oksigen tekanan
tinggi yang akan menurunkan waktu paruh dari CO dalam darah.1,2,3

3.

CirculationPengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui


stabilitas hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik diperlukan
resusitasi cairan intravena. Pada pasien dengan trauma inhalasi
biasanya dalam 24 jam pertama digunakan cairan kristaloid 40-75%
lebih banyak dibandingkan pasien yang hanya luka bakar saja.1,3

4.

NeurologikPasien yang berespon/sadar membantu untuk mengetahui


kemampuan mereka untuk melindungi jalan nafas dan merupakan
indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan resusitasi. Pasien

dengan kelainan neurologik seringkali memerlukan analgetik poten. 2


5.

Luka bakarPeriksa seluruh tubuh untuk mengetahui adanya trauma lain


dan luka bakar. Cuci NaCl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari
sisa zat toksik yang bermakna.2

6.

Medikasi1,2

Kortikosteroid : digunakan untuk menekan inflamasi dan


menurunkan edemay Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder
yang biasanya disebabkan oleh

Staphylococcus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasienpasien


dengan kerusakan paruy Amyl dan Sodium Nitrit untuk mengobati
keracunan sianida tetapi harus
berhati-hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO karena obat
ini dapat menyebabkan methahemoglobinemia. Oksigen dan Sodium
tiosulfat juga dapat sebagai antidotum sianida, antidotum yang lain
adalah hidroksikobalamin dan EDTA.
Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokonstriksi.
Pada kasus-kasus berat bronkodilator digunakan secara intavena.
10

KOMPLIKASI1,2

1.

Trauma paru berat, edema, dan ketidakmampuan untuk oksigenasi atau


ventilasi yang adekuat dapat menyebabkan kematian

2.

Keracunan CO dan inhalasi dari hasil pembakaran yang lain secara


bersamaan dapat menyebabkan hipoksemia, trauma organ dan
morbiditas.
PROGNOSIS
Pada trauma inhalasi ringan biasanya self limited dalam 48-72
jam. Berat ringannya trauma langsung pada parenkim paru tergantung
pada luas dan lamanya paparan serta jenis inhalan yang diproduksi
secara bersamaan.2

DAFTAR PUSTAKA
1.

Rajpura A., Inhalation Injury, available at www.burncenter.com, Januari


2011

2.

Emily B Nazarian., Inhalation Injury, available at www.emedicine.com,

Januari 2011
3.

Herold,

Cerny,

Inhalation

Injury,

available

at

www.ynovaburnandreconstructive surgery.com, Januari 2011


4.

Michael

Peck.,

Smoke

Inhalation

Injury,

available

at

www.ameriburn.org , 2005
5.

Robert

Benner,

Inhalation

Injury,

available

at

www.burnresource.com, 2001-2002
6.

Argenta, L.C., Inhalation Injury, Basic Science for Surgeon : A Review,


Saunders, North Carolina, 2004

7.

Craig Feied, Inhalation Injury, available at www.NCEMI.com, 2006

8.

Guyton, AC., Pernafasan, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9,


EGC, 2000

9.

Luhulima, J. W., Thorax, Anatomi Program Pendidikan Dokter, Jilid 4,


Bagian Anatomi FKUH, Makassar, 2001

10.

Snell, RS., Cavitas Thoracis, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa


Kedokteran, Bagian 1, Edisi 3, EGC, 1997

11.

Putz, R., Alat Pernafasan, Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 1, Edisi
21, EGC, 2006

12.

Holleran, RS., Burn Trauma, Air and Surface Patient Transport

Principles and Practice, Third edition, Mosby, Ohio, 2003


13.

Lynge, DC., Traumatic Injury, Surgical Problems and Procedurs in


Primary Care, McGraw Hill, Washington, 2001

14.

Way, LW., Burn and Other Thermal Injuries, Current Surgical


Diagnosis and Treatment, 11th Edition, McGraw Hill, Boston, 2003

15.

Robert H. Demling., Pulmonary Problems in The Burn Patient,


available at www.burnsurgery.org, 2000

16.

Awori N., Luka Bakar, Bedah Primer Trauma, EGC, Jakarta, 2000

17.

Beasly R.Thorne H. Grabb & Smiths Plastic Surgery Six Edition.


Associate Professor of Plastic Surgery.NYU Medical Center. New
York. 2007. 139-141

12

Anda mungkin juga menyukai