Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma inhalasi adalah istilah luas yang mencakup paparan paru terhadap berbagai
bahan kimia dalam berbagai bentuk termasuk asap rokok, gas, atau uap. Trauma inhalasi
akibat paparan asap biasanya terjadi pada pasien korban kebakaran. Trauma inhalasi akibat
kebakaran adalah salah satu trauma inhalasi yang paling sering ditemui.1
Menurut catatan FEMA (Federal Emergency Management Agency) pada tahun 2015
di Amerika Serikat terdapat 380.940 kebakaran perumahan yang mengakibatkan 2565
kematian dan 11.475 cedera. Jumlah kematian tidak menurun sejak tahun 2006 dan
cenderung meningkat 2% meskipun terjadi penurunan 9% pada luka bakar selama periode
yang sama. Penyebab utama kematian akibat luka bakar adalah kegagalan pernapasan, dan
trauma inhalasi yang terjadi pada sepertiga korban luka bakar.1
Luka bakar mempengaruhi sekitar 1% dari populasi A.S. setiap tahun
mengakibatkan 486.000 pasien mencari perawatan medis dan 40.000 rawat inap di rumah
sakit. Tatalaksana dengan perawatan luka bakar, pengendalian infeksi, dan menyediakan
perawatan kritis khusus, pembalutan luka, dan manajemen dengan baik telah menurunkan
angka kematian dan meningkatkan tingkat kesembuham pasien. Walaupun terdapat
kemajuan dalam diagnostik dan terapeutik, trauma inhalasi tetap menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pasien.2
Sistem pernapasan memiliki tiga fungsi dasar: ventilasi, oksigenasi, dan
ekspektorasi. Durasi paparan asap, suhu asap yang dihirup, dan komposisi asap merupakan
penentu keparahan cedera. Trauma inhalasi adalah gabungan dari beberapa gangguan
termasuk: cedera termal supraglotis, subglotis alveolar. kontaminan ini secara langsung
mempengaruhi masing-masing fungsi paru serta berefek langsung pada fisiologi sistemik.
Selain itu, karakteristik anatomi dapat mempengaruhi untuk terjadi cedera inhalasi.
Misalnya, bayi akan mengalami obstruksi jalan napas lebih cepat daripada orang dewasa
karena diameter saluran napas yang lebih kecil. Memahami kontribusi masing-masing
patologi ini terhadap penyakit pasien sangat penting untuk mengelola cedera inhalasi. 3
Trauma inhalasi terjadi pada saat sistem pernapasan terpapar panas langsung dari api
serta bahan kimia beracun yang terbentuk dari penguraian bahan akibat pembakaran.
Komposisi asap bervariasi pada setiap kebakaran tergantung pada bahan yang terbakar,
jumlah oksigen, serta sifat api. Kebakaran beroksigen tinggi dan bersuhu tinggi sering kali
tidak menghasilkan asap dalam jumlah besar. Kebakaran dengan oksigen rendah sering kali
merupakan kebakaran dengan suhu yang lebih rendah, dan suhu yang lebih rendah ini sering
menimbulkan bahan kimia yang lebih beracun, seperti karbon monoksida. Senyawa beracun
umum lainnya yang dibuat dalam asap adalah amonia, karbon dioksida, hidrogen sianida,
aldehida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida. Unsur-unsur yang berbeda ini
menimbulkan kombinasi gas, padatan di udara, dan uap cair yang bercampur dengan udara
sekitar. Menghirup komponen-komponen ini pada saat terpapar menyebabkan trauma
inhalasi pada saluran napas atas dan saluran napas bawah bawah.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan


Anatomi pernafasan agar udara bisa mencapai paru-paru adalah hidung,
laring,trakhea, bronkhus dan bronkhiolus. Fungsi masing-masing bagian ini
sebagai berikut:

1. Hidung : Bulu-bulu hidung berguna untuk menyaring udara yang masuk,


debu dengan diameter > 5 mikron akan tertangkap, selaput lendir hidung
berguna untuk menangkap debu dengan diameter lebih besar, kemudian
melekat pada dinding rongga hidung. Anyaman vena (Plexus venosus)
berguna untuk menyamakan kondisi udara yang akan masuk paru dengan
kondisi udara yang ada di dalam paru. Konka (tonjolan dari tulang rawan
hidung) untuk memperluas permukaan, agar proses penyaringan,
pelembaban berjalan dalam suatu bidang yang luas, sehingga proses diatas
menjadi lebih efisien.4,5

2. Faring, terdapat persimpangan antara saluran napas dan saluran pencernaan.


Bila menelan makanan, glotis dan epiglotis menutup saluran napas untuk
mencegah terjadinya aspirasi. Terdapat pita suara / plika vokalis, bisa
menutup dan membuka saluran napas, serta melebar dan menyempit.
Gunanya adalah membantu dalam proses mengejan, membuka dan menutup
saluran napas secara intermitten pada waktu batuk. Pada waktu mau batuk
plika vokalis menutup, saat batuk membuka, sehingga benda asing keluar.
Secara reflektoris menutup saluran napas pada saat menghirup udara yang
tidak dikehendaki dan untuk proses bicara. 4,5

3. Trakea. Dikelilingi tulang rawan berbentuk tapal kuda (otot polos dan
bergaris) sehingga bisa mengembang dan menyempit. Trakea bercabang
menjadi 2 bronkus utama. 4,5

4. Bronkus. Merupakan percabangan trakea, terdiri dari bronkus kanan dan


kiri. Antara percabangan ini terdapat karina yang memiliki banyak saraf dan
dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.
Bronkus kiri dan kanan tak simetris. Yang kanan lebih pendek, lebih lebar
dan arahnya hampir vertikal. Yang kiri lebih panjang dan lebih sempit
dengan sudut lebih tajam. Bronkus ini kemudian bercabang menjadi bronkus
lobaris, bronkus segmentasi, bronkus terminalis, asinus yang terdiri dari
bronkus respiratorius yang terkadang mengandung alveoli, duktus alveolaris
dan sakus alveolaris terminalis. 4,5

5. Paru. Terdiri dari paru kanan dan kiri yang kanan terdiri dari 3 lobus, kiri 2
lobus. Dibungkus oleh selaput yang disebut pleura visceralis sebelah dalam
dan pleura parietalis sebelah luar yang menempel pada rongga dada.
Diantara kedua pleura terdapat kavum interpleura yang berisi cairan. Di
dalam saluran napas selain terdapat lendir, juga bulu-bulu getar / silia yang
berguna untuk menggerakkan lendir dan kotoran ke atas.4,5

Fisiologi pernapasan menurut Guyton dkk, respirasi meliputi 2 bidang


yakni respirasi eksterna dan respirasi interna. Respirasi eksterna adalah
pengangkutan oksigen dari atmosfer sampai ke jaringan tubuh dan
pengangkutan karbon dioksida dari jaringan sampai ke atmosfer. Sementara
bagaimana oksigen digunakan oleh jaringan dan bagaimana karbon dioksida
dibebaskan oleh jaringan disebut respirasi internal. Proses respirasi merupakan
proses yang dapat dibagi menjadi 5 tahap yaitu :4

1. Ventilasi. Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih
tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik
dari otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena
diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu otot
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus,
skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar
ke tiga arah : anteroposterior, lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini
menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg (relatif
terhadap tekanan atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru-paru
mengembang pada waktu inspirasi. Tekanan saluran udara menurun sampai
sekitar -2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada
waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer
menyebabkan udara mengalir ke dalam paru-paru sampai tekanan saluran
udara pada akhir inspirasi sama lagi dengan tekanan atmosfer. Selama
pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding
dada dan paru-paru atau saat ekspirasi dinding dada turun dan lengkung
diafragma naik ke atas menyebabkan volume toraks berkurang.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai
tekanan saluran udara dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir
ekspirasi. 4,5

2. Difusi Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial
antara darah dan fase gas. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar
103 mmHg.4,5 Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa
udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruang sepi anatomik saluran
udara dan dengan uap air. Ruang sepi anatomik ini dalam keadaan normal
mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan. Hanya udara
bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif, tekanan
parsial oksigen dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru kira-kira
sebesar 40 mmHg. Karena tekanan parsial oksigen dalam kapiler lebih
rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg), maka
oksigen dapat dengan mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan CO2 antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah (6 mm Hg)
menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke dalam alveolus. Karbon dioksida
ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, dimana konsentrasinya pada
hakekatnya nol kendatipun selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil.
4,5

3. Hubungan antara ventilasi-perfusi. Pemindahan gas secara efektif antara


alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara
dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan
lain, ventilasi dan perfusi dari unit pulmonar harus sesuai. Nilai rata-rata
rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0,8. Angka ini
didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 L/menit).
Ketidak-seimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi pada kebanyakan
penyakit pernapasan. Tiga unit pernapasan abnormal secara teoritis
menggambarkan unit ruang sepi yang mempunyai ventilasi normal, tetapi
tanpa perfusi, sehingga ventilasi terbuang percuma (V/Q = tidak terhingga).
Unit pernapasan abnormal yaxng kedua merupakan unit pirau, dimana tidak
ada ventilasi tetapi perfusi normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q =
0). Unit yang terakhir merupakan unit diam, dimana tidak ada ventilasi dan
perfusi. 4,5

4. Transpor oksigen dalam darah. Oksigen dapat diangkut dari paru-paru ke


jaringan- jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma atau
secara kimia berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin (HbO2).
Ikatan kimia oksigen dengan hemoglobin ini bersifat reversibel. Dalam
keadaan normal jumlah O2 yang larut secara fisik sangat kecil karena daya
larut oksigen dalam plasma yang rendah. Hanya sekitar 1% dari jumlah
oksigen total yang diangkut. Cara transpor seperti ini tidak memadai untuk
mempertahankan hidup.4,5 Sebagian besar oksigen diangkut oleh
hemoglobin yang terdapat dalam sel-sel darah merah. Dalam keadaan
tertentu (misalnya : keracunan karbon monoksida atau hemolisis masif
dimana terjadi insufisiensi hemoglobin) maka oksigen yang cukup untuk
mempertahankan hidup dapat ditranspor dalam bentuk larutan fisik dengan
memberikan oksigen dengan tekanan yang lebih tinggi dari tekanan
atmosfer (ruang oksigen hiperbarik). Satu gram hemoglobin dapat mengikat
4,5
1,34 ml oksigen. Pada tingkat jaringan, oksigen akan berdisosiasi dari
hemoglobin dan berdifusi ke dalam plasma. Dari plasma, oksigen berdifusi ke
sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang
bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun sekitar 75%
dari hemoglobin masih berikatan dengan oksigen pada waktu hemoglobin
kembali ke paru-paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi
sesungguhnya hanya sekitar 25% oksigen dalam darah arteria yang
digunakan untuk keperluan jaringan.

5. Pusat pengatur pernapasan. Yang disebut pusat pernapasan adalah suatu


kelompok neuron yang terletak bilateral di dalam substansia retikularis
medula oblongata dan pons. Dibagi menjadi 3 daerah utama yaitu :5

 Kelompok neuron medula oblongata dorsalis, yang merupakan area


inspirasi. Letak neuronnya sangat dekat dan berhubungan rapat dengan
traktus solitarius yang merupakan ujung sensorik nervus vagus dan
glosofaringeus. Sebaliknya masing- masing saraf ini menghantarkan
isyarat-isyarat sensorik dari kemoreseptor perifer, dengan cara ini
membantu ventilasi paru.

 Kelompok neuron medula oblongata ventralis, yang merupakan area


ekspirasi. Merupakan kelompok neuron respirasi ventralis yang bila
terangsang merangsang otot-otot ekspirasi. Area ekspirasi selama
pernapasan tenang dan normal bersifat pasif. Bila dorongan ekspirasi
menjadi jauh lebih besar dari normal maka isyarat- isyarat tertumpah ke
area ekspirasi dari mekanisme osilasi dasar area inspirasi, meningkatkan
tenaga kontraktil yang kuat ke proses ventilasi paru.

 Area di dalam pons yang membantu kecepatan pernapasan yang disebut


area pneumotaksis. Pusat pneumotaksis menghantarkan isyarat
penghambat ke area inspirasi, yang mempunyai efek membatasi isyarat
inspirasi.
B. Definisi
Trauma inhalasi adalah istilah luas yang mencakup paparan paru terhadap
berbagai bahan kimia dalam berbagai bentuk termasuk asap rokok, gas, atau uap.
Trauma inhalasi akibat paparan asap biasanya terjadi pada pasien korban kebakaran.
Trauma inhalasi akibat kebakaran adalah salah satu trauma inhalasi yang paling sering
ditemui.1
Adapun definisi lainnya dari Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan oleh energi panas atau bahan kimia atau benda-benda
fisik yang menghasilkan efek memanaskan atau mendinginkan. Luka bakar
adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan
petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam.6

C. Etiologi
Trauma inhalasi terjadi pada saat sistem pernapasan yang terpapar panas
langsung dari api serta bahan kimia beracun yang terbentuk dari penguraian bahan
akibat pembakaran. Komposisi asap bervariasi pada setiap kebakaran tergantung pada
bahan yang terbakar, jumlah oksigen, serta sifat api. Kebakaran beroksigen tinggi dan
bersuhu tinggi sering kali tidak menghasilkan asap dalam jumlah besar. Kebakaran
dengan oksigen rendah sering kali merupakan kebakaran dengan suhu yang lebih
rendah, dan suhu yang lebih rendah ini sering menimbulkan bahan kimia yang lebih
beracun, seperti karbon monoksida. Senyawa beracun umum lainnya yang dibuat
dalam asap adalah amonia, karbon dioksida, hidrogen sianida, aldehida, sulfur
dioksida, dan nitrogen dioksida. Unsur-unsur yang berbeda ini menimbulkan
kombinasi gas, padatan di udara, dan uap cair yang bercampur dengan udara sekitar.
Menghirup komponen-komponen ini pada saat terpapar menyebabkan trauma inhalasi
pada saluran napas atas dan saluran napas bawah bawah.1
Trauma inhalasi disebabkan oleh masuknya asap atau gas yang sangat panas
atau beracun yang merupakan produk pembakaran yang tidak sempurna. Tingkat
sangat panas ini artinya 4000 kali lebih panas dari udara biasa dan karena hal itu dapat
menyebabkan kerusakan jaringan pada sistem pernapasan meskipun hanya terpapar

sebentar. Berbagai senyawa beracun yang ada didalamnya adalah karbon monoksida
(CO), hidrogen sianida (HCN), fosgen, amonia, sulfur dioksida, hidrogen sulfida
(H2S), formaldehida, dan akrilonitril. Beberapa dari produk pembakaran yang sangat
panas ini bila terhirup menyebabkan luka bakar termal pada mukosa saluran napas.
Partikel yang berukuran lebih besar dari 10μ tertahan di nasofaring, tetapi partikel
berukuran 1-2 μ dapat masuk ke dalam alveoli.7

D. Klasifikasi

Trauma inhalasi diklasifikasikan menjadi 3, antara lain : 10,11

1. Trauma pada saluran nafas bagian atas ( trauma supraglotis)


Trauma saluran nafas atas dapat menyebabkan ancaman hidup
melalui obstruksi jalan nafas sesaat setelah trauma. Jika proses ini ditangani
secara benar, edema saluran nafas dapat hilang tanpa sekuele beberapa hari.

2. Trauma pada saluran nafas bawah dan parenkim paru (trauma subglotis)
Trauma ini dapat menyebabkan lebih banyak perubahan signifikan
dalam fungsi paru dan mungkin akan susah ditangani. Trauma subglotis
merupakan trauma kimia yang disebabkan akibat inhalasi hasil-hasil
pembakaran yang bersifat toksik pada luka bakar. Asap memiliki kapasitas
membawa panas yang rendah, sehingga jarang didapatkan trauma termal
langsung pada jalan nafas bagian bawah dan parenkim paru, trauma ini terjadi
bila seseorang terpapar uap yang sangat panas.

3. Toksisitas sistemik akibat inhalasi gas toksik seperti karbon monoksida


(CO) dan sianida.

Inhalasi dari gas toksik merupakan penyebab utama kematian cepat


akibat api, meskipun biasanya trauma supraglotis, subglotis dan toksisitas
sistemik terjadi bersamaan. Intoksikasi CO terjadi jika afinitas CO terhadap
hemoglobin lebih besar dari afinitas oksigen terhadap hemoglobin, sehingga
ikatan CO dan hemoglobin membentuk suatu karboksihemoglobin dan
menyebabkan hipoksia.

E. Manifestasi Klinis
Selain riwayat menghirup asap dalam ruang tertutup, beberapa tanda dan
gejala patut dicurigai sebagai trauma inhalasi. Pada setiap kejadian harus dicari
tanda dan gejala yang mengarahkan kemungkinan intoksikasi zat-zat tertentu.
Karbon monoksida, misalnya, cenderung mempengaruhi sistem saraf pusat dan
jantung. Konsekuensinya, apabila terpapar zat ini dapat menyebabkan gejala sakit
kepala, gangguan penglihatan atau kekacauan mental dan dapat mengakibatkan
takikardia, angina, aritmia, bahkan kejang dan koma.7,8
Dalam kasus karbon monoksida, misalnya, di mana kadar
karboksihemoglobin dalam serum dapat memperlihatkan intoksikasi, diagnosis
dengan mudah dapat ditegakkan karena kecurigaan itu berdasarkan bukti klinis.
Untuk kasus- kasus di mana diagnosis pasti tak dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan laboratoium, baik oleh karena tidak ada standar atau pemeriksaan
tidak tersedia, seperti pada intoksikasi sianida, pengelolaan presumtif harus
dimulai berdasarkan kecurigaan klinis. 7,8
Oleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak ditangani
sesegera mungkin, maka perlu diketahui tanda-tanda yang dapat mengarahkan
kita untuk bertindak dan harus mencurigai bahwa seseorang telah mengalami trauma
inhalasi antara lain : 7,8
- Luka bakar pada wajah

- Alis mata dan bulu hidung hangus

- Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam orofaring

- Sputum yang mengandung arang atau karbon

- Wheezing, sesak dan suara serak

- Adanya riwayat terkurung dalam kepungan api

- Ledakan yang menyebabkan trauma bakar pada kepala dan badan

- Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin lebih dari 10% setelah berada


dalam lingkungan api) seperti kulit berwarna pink sampai merah, takikardi,
takipnea, sakit kepala, mual, pusing, pandangan kabur, halusinasi, ataksia,
kolaps sampai koma.

F. Patofisiologi
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas
oleh panas dan zat kimia, atau akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran
itu sendiri. Hasil dari pembakaran tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi
merupakan campuran dari udara, partikel padat yang terurai di udara (melalui
suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan
sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut bekerja sistemik. Partikel
padat yang ukurannya lebih dari 10 mikrometer tertahan di hidung dan
nasofaring. Partikel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang
trakeobronkial, sedangkan partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat mencapai
alveoli.9
Gas yang larut air bereaksi secara kimia pada saluran nafas atas,
sedangkan gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapun gas yang
sangat kurang larut air masuk melewati barier kapiler dari alveolus dan
menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemik. Kerusakan langsung dari sel-sel
epitel, menyebabkan kegagalan fungsi dari apparatus mukosilier dimana akan
merangsang terjadinya suatu reaksi inflamasi akut yang melepaskan makrofag
serta aktivitas netrofil pada daerah tersebut. Selanjutnya akan dibebaskan oksigen
radikal, protease jaringan, sitokin, dan konstriktor otot polos (tromboksan A2,
C3A, C5A). Kejadian ini menyebabkan peningkatan iskemia pada saluran nafas
yang rusak, selanjutnya terjadi edema dari dinding saluran nafas dan kegagalan
mikrosirkulasi yang akan meningkatkan resistensi dinding saluran nafas dan
pembuluh darah paru. Komplians paru akan turun akibat terjadinya edema paru
interstitial sehingga terjadi edema pada saluran nafas bagian bawah akibat sumbatan
pada saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik, mukus dan sel-sel
darah.9,10
Trauma inhalasi diklasifikasikan menjadi 3, antara lain : 10,11
4. Trauma pada saluran nafas bagian atas ( trauma supraglotis), Trauma saluran
nafas atas dapat menyebabkan ancaman hidup melalui obstruksi jalan nafas
sesaat setelah trauma. Jika proses ini ditangani secara benar, edema saluran
nafas dapat hilang tanpa sekuele beberapa hari.
5. Trauma pada saluran nafas bawah dan parenkim paru (trauma subglotis),
Trauma ini dapat menyebabkan lebih banyak perubahan signifikan dalam
fungsi paru dan mungkin akan susah ditangani. Trauma subglotis merupakan
trauma kimia yang disebabkan akibat inhalasi hasil-hasil pembakaran yang
bersifat toksik pada luka bakar. Asap memiliki kapasitas membawa panas
yang rendah, sehingga jarang didapatkan trauma termal langsung pada jalan
nafas bagian bawah dan parenkim paru, trauma ini terjadi bila seseorang
terpapar uap yang sangat panas.
6. Toksisitas sistemik akibat inhalasi gas toksik seperti karbon monoksida (CO)
dan sianida.
Inhalasi dari gas toksik merupakan penyebab utama kematian cepat
akibat api, meskipun biasanya trauma supraglotis, subglotis dan toksisitas
sistemik terjadi bersamaan. Intoksikasi CO terjadi jika afinitas CO terhadap
hemoglobin lebih besar dari afinitas oksigen terhadap hemoglobin, sehingga
ikatan CO dan hemoglobin membentuk suatu karboksihemoglobin dan
menyebabkan hipoksia.

G. Diagnostik
Trauma inhalasi didiagnosis dengan riwayat pajanan api atau asap, pemeriksaan fisik,
fiberoptic bronchoscopy (FOB), pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
radiologis (chest computed tomographic [CT] scan).
1. Riwayat terpapar
Riwayat terpapar api atau uap panas yang harus diketahui yaitu: sumber bahan
yang terbakar, durasi paparan asap, lama waktu sejak terpapar, dan cara
paparan asap (ruang terbuka atau tertutup, seperti kebakaran
rumah/kecelakaan industri).
2. Tanda dan gejala
Petunjuk awal trauma inhalasi adalah luka bakar wajah, suara serak, rambut
sera kulit hangus, dahak berkarbon, dan jelaga/bahan berkarbon di rongga
mulut. Edema wajah/oral, stridor, mengi, dispnea, dan sianosis adalah tanda-
tanda kerusakan lanjut.
3. Pemeriksaan Penunjang
Tes dasar meliputi hitung darah lengkap, kadar elektrolit, kreatinin,
analisis gas darah (AGD), elektrokardiogram (EKG), dan rontgen dada.
Radiografi dada tampak normal pada awalnya, tetapi pada kondisi lanjut
dapat ditemukan atelektasis, konsolidasi, dan/atau edema paru. CT scan dada
dapat mengungkapkan kekeruhan ground-glass pada distribusi peribronkial,
dalam beberapa jam setelah trauma inhalasi. CT scan dada sangat membantu
untuk menyingkirkan trauma inhalasi jika ada keraguan dalam diagnosis dan
dapat mengidentifikasi sejauh mana cedera pada jalan napas distal, yang
terlewatkan oleh FOB.
a. fiberoptic bronchoscopy (FOB)
FOB dapat digunakan untuk mengidentifikasi jelaga/bahan berkarbon
serta dapat menyedotnya keluar dan memiliki nilai prediksi yang tinggi
untuk mendiagnosis trauma inhalasi .Jalan napas dapat dinilai untuk risiko
obstruksi jalan napas bagian atas. Jika diindikasikan, intubasi endotrakeal
yang dipandu FOB dapat dilakukan.
FOB digunakan untuk menilai keparahan trauma inhalasi ditambah
dengan adanya bukti klinis. Ketebalan dinding bronkial yang diukur
dengan CT scan dada berbanding lurus dengan tingkat keparahan trauma
inhalasi. COHb plasma, neutrofilia saluran napas, dan pelepasan sitokin
juga menentukan dengan tingkat keparahan trauma inhalasi asap. Rasio
PaO2/FiO2 merupakan indikator yang sangat baik untuk prognosis dan
tingkat keparahan trauma inhalasi.
H. Penatalaksanaan
Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting untuk
penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat kematian.
Pengobatan untuk trauma inhalasi adalah bersifat suportif.12,13
1. Airway
Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalasi maka sebelum dikirim ke
pusat luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan
nafas sebelum terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi
24-48 jam setelah kejadian, dimana jika terjadi edema maka yang diperlukan
adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika intubasi oral tidak dapat
dilakukan.
2. Breathing
Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernapasan, susah bernapas,
stridor, batuk, retraksi suara nafas bilateral atau tanda-tanda keracunan CO maka
dibutuhkan oksigen 100% atau oksigen tekanan tinggi yang akan menurunkan
waktu paruh dari CO dalam darah.
3. Circulation
Pengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui stabilitas
hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi cairan
intravena. Pada pasien dengan trauma inhalasi biasanya dalam 24 jam pertama
digunakan cairan kristaloid 40-75% lebih banyak dibandingkan pasien yang
hanya luka bakar saja.
4. Neurologik
Pasien yang berespon/sadar membantu untuk mengetahui kemampuan
mereka untuk melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik untuk
mengukur kesuksesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali
memerlukan analgetik poten.
5. Luka bakar
Periksa seluruh tubuh untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka
bakar. Cuci NaCl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat toksik
yang bermakna.
6. Medikasi

• Kortikosteroid : digunakan untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema

• Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh

Staphylococcus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien


dengan kerusakan paru. Amyl dan Sodium Nitrit untuk mengobati
keracunan sianida tetapi harus berhati-hati jika ditemukan pula tanda-tanda
keracunan CO karena obat ini dapat menyebabkan methahemoglobinemia.
Oksigen dan Sodium tiosulfat juga dapat sebagai antidotum sianida,
antidotum yang lain adalah hidroksikobalamin dan EDTA.

• Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokonstriksi. Pada kasus-kasus

berat bronkodilator digunakan secara intavena.

I. Komplikasi
Sebagian besar kasus trauma inhalasi akan ringan sampai sedang dalam
tingkat keparahan. Keparahan umumnya berhubungan dengan lamanya waktu
paparan. Cedera yang lebih serius terjadi dengan paparan yang lebih lama dan lebih
intens. Cedera ringan sampai sedang sebagian besar sembuh sendiri dengan pasien
tidak memiliki komplikasi. Gejala pasien akan sering sembuh dalam 2 sampai 3 hari.1
Komplikasi jangka pendek cedera yang lebih parah dalam waktu 4 sampai 5
hari, dan masalah yang paling umum adalah pneumonia. Sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS) dan edema paru juga terlihat dalam jangka pendek. Pasien-
pasien ini akan sering menunjukkan perubahan dalam fungsi paru dan mungkin
memerlukan dukungan ventilasi. Tingkat komplikasi lebih tinggi pada orang dengan
riwayat penyakit paru-paru yang mendasarinya juga, seperti PPOK dan asma.1
Komplikasi jangka panjang dari trauma inhalasi jauh lebih jarang terjadi. yaitu
stenosis subglotis, bronkiektasis, dan bronkiolitis obliterans. Pasien yang telah
terpapar karbon monoksida juga diketahui memiliki komplikasi neurologis jangka
panjang. Kerusakan otak yang parah dapat terjadi karena keracunan karbon
monoksida tetapi jarang terjadi. Gejala sisa neurologis setelah paparan karbon
monoksida tampaknya lebih sering terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Gejala berkembang 1 sampai 3 minggu setelah terpapar. Terapi oksigen hiperbarik
sedang diteliti sebagai terapi yang mungkin untuk gejala sisa neurologis ini, tetapi
penelitian lebih lanjut diperlukan di bidang ini.1
BAB III
KESIMPULAN

Trauma inhalasi adalah istilah luas yang mencakup paparan paru terhadap berbagai
bahan kimia dalam berbagai bentuk termasuk asap rokok, gas, atau uap. Trauma inhalasi
akibat paparan asap biasanya terjadi pada pasien korban kebakaran. Trauma inhalasi akibat
kebakaran adalah salah satu trauma inhalasi yang paling sering ditemui.
Trauma inhalasi didiagnosis dengan riwayat pajanan api atau asap, pemeriksaan fisik,
fiberoptic bronchoscopy (FOB), pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologis
(chest computed tomographic [CT] scan). FOB digunakan untuk menilai keparahan trauma
inhalasi ditambah dengan adanya bukti klinis. Ketebalan dinding bronkial yang diukur
dengan CT scan dada berbanding lurus dengan tingkat keparahan trauma inhalasi. COHb
plasma, neutrofilia saluran napas, dan pelepasan sitokin juga menentukan dengan tingkat
keparahan trauma inhalasi asap. Rasio PaO2/FiO2 merupakan indikator yang sangat baik
untuk prognosis dan tingkat keparahan trauma inhalasi.
Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting untuk penanganan
cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat kematian. Pengobatan untuk
trauma inhalasi adalah bersifat suportif.
Pasien dengan trauma inhalasi berisiko tinggi mengalami komplikasi. Sebagian besar
kasus luka bakar yang fatal menyebabkan kegagalan pernafasan, baik dari cedera langsung
atau komplikasi seperti pneumonia. Trauma inhalasi parah seringkali akan menyebabkan
komplikasi jangka panjang seperti bronkiektasis, bronkiolitis obliterans, sehingga
membutuhkan ventilator.
DAFTAR PUSTAKA

1. Shubert J, Sharma S. Inhalation Injury. 2022 Jun 21. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan–. PMID: 30020633. [cited 27
october 2022] Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30020633/
2. Keyloun JW, Le TD, Brummel-Ziedins KE, Mclawhorn MM, Bravo MC, Orfeo T,
Johnson LS, Moffatt LT, Pusateri AE, Shupp JW; SYSCOT Study Group. Inhalation
Injury Is Associated With Endotheliopathy and Abnormal Fibrinolytic Phenotypes in
Burn Patients: A Cohort Study. J Burn Care Res. 2022 Mar 23;43(2):432-439. doi:
10.1093/jbcr/irab102. PMID: 34089618; PMCID: PMC8946676. [cited 27 october
2022] Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34089618/
3. Foncerrada G, Culnan DM, Capek KD, González-Trejo S, Cambiaso-Daniel J,
Woodson LC, Herndon DN, Finnerty CC, Lee JO. Inhalation Injury in the Burned
Patient. Ann Plast Surg. 2018 Mar;80(3 Suppl 2):S98-S105. doi:
10.1097/SAP.0000000000001377. PMID: 29461292; PMCID: PMC5825291. [cited
27 october 2022] Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29461292/
4. Arthur C, Guyton, John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12 Jakarta :
EGC; 2012

5. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 9. Jakarta : EGC;
2018

6. Nguyen, C.M., Chandler R., Ratanshi, I. & Longsetty, S. In Handbook of Burns Vol.1
(eds Jeschke, M.G., Kamolz L., Sjoberg.F & Wolf ) 529-547 (Springer 2020).

7. Gupta K, Mehrotra M, Kumar P, Gogia AR, Prasad A, Fisher JA. Smoke Inhalation
Injury: Etiopathogenesis, Diagnosis, and Management. Indian J Crit Care Med. 2018
Mar;22(3):180-188. doi: 10.4103/ijccm.IJCCM_460_17. PMID: 29657376; PMCID:
PMC5879861.[cited 27 october 2022] Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29657376/
8. Beasly R.Thorne H. Grabb & Smith's Plastic Surgery Six Edition. Associate Professor
of Plastic Surgery.NYU Medical Center. New York; 2007. 139-141
9. International Society of Burn Injury. ISBI Practice Guidelines for Burn Care. Burns
42(2016);953-1023. Available from :
https://sci-hub.se/downloads/2019-01-29//4d/isbipracticeguidelinescommittee2016.pd
f
10. European Burn Association. European Practice Guidelines for Burn Care.2017;87-
102. Available from : https://www.euroburn.org/wp-content/uploads/EBA-
Guidelines-Version-4-2017.pdf

11. Argenta, L.C., Inhalation Injury, Basic Science for Surgeon : A Review,Saunders,
North Carolina, 2012

12. Deutsch CJ, Tan A, Smailes S, Dziewulski P. The diagnosis and management of
inhalation injury: An evidence based approach. Burns. 2018 Aug; 44(5):1040-1051.
[PubMed]. Available from :
https://twin.sci-hub.se/6939/e61981b8b9733ca6f54d4bbe081900b8/deutsch2018.pdf

13. Walker, P.F., Buehner, M.F., Wood, L.A. et al. Diagnosis and management of
inhalation injury: an updated review. Crit Care 19, 351 (2015). Available from:
https://doi.org/10.1186/s13054-015-1077-4

Anda mungkin juga menyukai