TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Temporo Mandibular Joint
2.1.1 Definisi Temporomandibular Joint (TMJ)
Sendi rahang atau Temporomandibular Joint (TMJ) belum banyak dikenal
orang awam, padahal bila sendi ini terganggu dapat memberi dampak yang cukup
besar terhadap kualitas hidup (Pedersen, 1996).
TMJ adalah sendi yang kompleks, yang dapat melakukan gerakan
meluncur dan rotasi pada saat mandibula berfungsi. Mekanismenya unik karena
sendi kiri dan kanan harus bergerak secara sinkron pada saat berfungsi. Tidak
seperti sendi pada bagian tubuh lain seperti bahu, tangan atau kaki yang dapat
berfungsi sendiri-sendiri. Gerakan yang terjadi secara simultan ini dapat terjadi
bila otot-otot yang mengendalikannya dalam keadaan sehat dan berfungsi dengan
baik (Pedersen, 1996).
Istilah Temporomandibular Disorders (TMD) diusulkan oleh Bell pada
tahun 1982, yang dapat diterima oleh banyak pakar. Gangguan sendi rahang atau
TMD adalah sekumpulan gejala klinik yang melibatkan otot pengunyahan, sendi
rahang, atau keduanya (Pedersen, 1996).
2.1.2 Anatomi Temporo Mandibulae Joint (TMJ).
Sendi temporomandibular (sendi rahang) merupakan salah satu organ yang
berperan penting dalam sistem stomatognatik (Pedersen, 1996).
otot
penguyahan,
yang
terletak
disekitar
rahang
dan
sendi
M. Masseter
2.
3.
M. Mylohyoid
4.
M. Temporalis
5.
M. Geniohyoid
6.
Nervus Mandibularis.
2.
Nervus Aurikutemporal.
3.
Nervus maseterikus.
4.
2. Gerak menutup
3. Protrusi
4. Retusi
5. Gerak lateral
Mandibula tidak dapat tetap stabil selama gerak membuka, namun akan
bergerak ke bawah dan ke depan di sepanjang garis yang ditarik (pada keadaan
istirahat) dari prosessus kondiloideus ke orifisum canalis mandibularis (Thomson,
2007).
Gerak menutup
Penggerak utama adalah muskulus masseter, muskulus temporalis, dan
muskulus pterygoideus medialis. Rahang dapat menutup pada berbagai posisi,
dari menutup pada posisi protrusi penuh sampai menutup pada keadaan prosesus
kondiloideus berada pada posisi paling posterior dalam fosa glenoidalis. Gerak
menutup pada posisi protrusi memerlukan kontraksi muskulus pterygoideus
lateralis, yang dibantu oleh muskulus pterygoideus medialis. Caput mandibula
akan tetap pada posisi ke depan pada eminensia artikularis. Pada gerak menutup
retrusi, serabut posterior muskulus temporalis akan bekerja bersama dengan
muskulus masseter untuk mengembalikan prosesus kondiloideus ke dalam fosa
glenoidalis, sehingga gigi geligi dapat saling berkontak pada oklusi normal
(Pedersen, 1996).
Pada gerak menutup cavum oris, kekuatan yang dikeluarkan otot
pengunyahan akan diteruskan terutama melalui gigi geligi ke rangka wajah bagian
atas. Muskulus pterygoideus lateralis dan serabut posterior muskulus temporalis
cenderung menghilangkan tekanan dari caput mandibula pada saat otot-otot ini
berkontraksi, yaitu dengan sedikit mendepresi caput selama gigi geligi
menggeretak. Keadaan ini berhubungan dengan fakta bahwa sumbu rotasi
mandibula akan melintas di sekitar ramus, di daerah manapun di dekat orifisum
canalis mandibular. Walaupun demikian masih diperdebatkan tentang apakah
articulatio temporomandibula merupakan sendi yang tahan terhadap stres atau
tidak. Hasil-hasil penelitian mutakhir dengan menggunakan model fotoelastik dan
dan
serabut
anterior
muskulus
temporalis
akan
berupaya
tonus kontraksinya akan tetap dipertahankan oleh otot-otot pengunyahan lain yang
terdapat pada sisi tersebut. Pada sisi berlawanan prosesus kondiloideus dan diskus
artikularis akan terdorong ke depan ke eminensia artikularis melalui kontraksi
muskulus pterygoideus lateralis dan medialis, dalam hubungannya dengan
relaksasi serabut posterior muskulus temporalis. Jadi, gerak mandibula dari sisi
satu ke sisi lain terbentuk melalui kontraksi dan relaksasi otot-otot pengunyahan
berlangsung bergantian, yang juga berperan dalam gerak protrusi dan retrusi Pada
gerak lateral, caput mandibula pada sisi ipsilateral, ke arah sisi gerakan, akan tetap
ditahan dalam fosa mandibularis. Pada saat bersamaan, caput mandibula dari sisi
kontralateral akan bergerak translasional ke depan. Mandibula akan berotasi pada
bidang horizontal di sekitar sumbu vertikal yang tidak melintas melalui caput
yang cekat, tetapi melintas sedikit di belakangnya. Akibatnya, caput ipsilateral
akan bergerak sedikit ke lateral, dalam gerakan yang dikenal sebagai gerak
Bennett (Pedersen, 1996).
Selain menimbulkan pergerakan aktif, otot-otot pengunyahan juga
mempunyai aksi postural yang penting dalam mempertahankan posisi mandibula
terhadap gaya gravitasi. Bila mandibula berada pada posisi istirahat, gigi geligi
tidak beroklusi dan akan terlihat adanya celah atau freeway space diantara arkus
dentalis superior dan inferior (Pedersen, 1996).
2.2 Gigi Sebagai Komponen Stomatognati
Sistem stomatognati merupakan kesatuan organ yang memiliki fungsi
berkaitan satu sama lain. Organ-organ tersebut meliputi mandibula, maxila, sendi
temporomandibular, struktur gigi dan struktur lainnya seperti otot mastikasi, otot
wajah, serta otot kepala dan leher. Meskipun sebagian besar organ tersebut tidak
secara langsung terkait dalam kegiatan disekitar mulut dan didalam mulut, akan
tetapi secara timbal balik mendukung dan memperkuat partisipasi kegiatan sistem
pengunyahan, yang dikendalikan oleh sistem persyarafan (Machfoedz, 2008).
Fungsi utama sistem stomatognatik adalah oklusi . Arti oklusi yang
dimaksud adalah berkontaknya permukaan dataran kunyah gigi-gigi rahang atas
dan rang bawah . Oklusi akan berjalan normal apabila dikung oleh gigi-geligi
yang berfungsi normal. Oklusi menjadi tidak normal apabila apa bila gigi-gigi
10
tersebut dalam keadaan tidak sehat atau disebabkan posisi dan relasi antar gigi dan
rahangyang tidak normal. Gigi juga merupakan salah satu komponen pendukung
dalam sistem stomatignati (Himawan, 2007).
Menurut Himawan (2007), fungsi gigi dalam sistem stomatognati
adalah :
a. fungsi dari gigi bervariasi, tergantung pada bentuknya dan lokasinya pada
rahang. Dapat digunakan untuk memotong, mengiris dan menghaluskan bahanbahan makanan pada saat pengunyahan.
b. untuk mempertahankan jaringan penyanggah, supaya tetap dalam kondisi yang
baik.
c. membantu dalam perkembangan dan perlindungan dari janringan-jaringan
yang menyanggahnya/jaringan-jaringan penanamnya.
2.3 Hubungan Gigi Geligi dalam Lengkung Rahang
2.3.1 Lebar Mesiodistal Gigi
Lebar mesiodistal gigi merupakan data yang akurat untuk memberikan
informasi dalam melakukan diagnosis dan perawatan ortodonti. Ukuran lebar
mesiodistal adalah alat diagnostik yang akurat untuk memprediksi hasil perawatan
dan alat pembanding untuk mengetahui penyimpangan anomali. Hubungan yang
tepat dari lebar mesiodistal gigi rahang atas dengan mesiodistal rahang bawah
akan mendukung oklusi yang optimal (Himawan, 2007).
Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen dapat dilihat pada Tabel 1
dibawah ini.
Rahang Atas
Gigi Geligi
Lebar
Mesiodistal
I1
8,7
I2
6,9
C
7,9
P1
7,4
Rahang Bawah
P2
7,0
M1 I1 I2
10, 5,4 6,1
C
6,9
P1
7,4
P2
7,4
9
8
4
2
1
6
9
0
2
4
0
Gigi (mm)
Tabel 1.Ukuran Lebar Mesiodistal Gigi Permanen Menurut Santoro dkk. (2000)
M1
11,1
1
11
dari
titik
kontak
mesial
dan
distal
gigi
pada
permukaan
12
Gambar 2. Titik referensi pengukuran lebar antarmolar pada daerah bukal dan
lingual.
13
Gambar 4.
Pengukuran perimeter lengkung gigi pada empat segmen (Phan dkk., 2007).
14
Faktor
lingkungan
juga
besar
pegaruhnya
dalam
pertumbuhan
15
2.4 Oklusi
2.4.1 Pengertian Oklusi
Oklusi adalah setiap kontak antara gigi-geligi dari lengkung yang
berlawanan dan biasanya mengacu pada permukaan oklusal (Harty, 1995).
Oklusi gigi-gigi dibicarakan dalam dua judul berikut :
1. Oklusi statis yang mengacu pada posisi dimana gigi-gigi atas dan bawah
saling berkontak.
2. Oklusi fungsional mengacu pada gerak fungsional dari mandibula dank
arena itu, gigi-geligi bawah berkontak dengan gigi-geligi atas (Foster,
1997).
2.4.2 Posisi Mandibula
2.4.2.1 Posisi-non-oklusal dari mandibula
1. Posisi istirahat
Posisi istirahat mandibula, kadang disebut posisi postural edogen
adalah posisi ketika semua otot yang mengontrol posisi mandibula berada dalam
keadaan relaks. Keadaan ini dianggap dikendalikan oleh mekanisme refleks
yang dipicu oleh reseptor regangan pada otot mastikasi, khususnya otot
temporal. Posisi istirahat pada kebanyakan kasus adalah sedemikian rupa hingga
ada celah beberapa milimeter antara gigi-gigi atas dan bawah. Celah ini disebut
free-way space atau jarak antar-oklusal (Foster, 1997).
Walaupun posisi istirahat mandibula dianggap konstan untuk tiap
individu, ada variasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Variasivariasi
sehari-hari dari posisi istirahat terlihat bersama variasi postur kepala. Jadi jika
kepala didongakkan ke belakang, jarak antaroklusal akan meningkat, jika
dicondongkan ke depan jarak antaroklusal berkurang. Variasi jangka panjang
berhubungan dengan tanggalnya gigi dan proses penuaan selain perubahan tonus
otot (Foster, 1997).
16
17
18
criteria
mengenai
oklusi
fungsional
yang
ideal
sudah
diperkenalkan oleh Roth (1976). Berikut ini adalh salinan dari konsep Roth, yang
ditunjukan terutama untuk mendapatkan efisiensi pengunyahan maksimal yang
konsisten dengan beban traumatuk minimal yang mengenai gigi-gigi dan jaringan
pendukung serta otot dan apparatus pengunyahan skeletal.
1. Pada posisi interkuspal maksimal (oklusi sentrik), kondil mandibula harus
berada pada posisi paling superior dan paling retrusi dalam fosa kondilar. Ini
berdampak bahwa posisi interkuspal adalah sama dengan posisi kontak
retrusi.
2. Pada saat menutup ke oklusi sentrik, stress yang mengenai gigi-gigi
posterior harus diarahkan sepanjang sumbu panjang gigi.
3. Gigi-gigi posterior harus berkontak setara dan merata, tanpa kontak pada
gigi-gigi anterior, pada oklusi sentrik.
4. Harus ada overjet dan overbite minimal, tetapi cukup besar untuk membuat
gigi-gigi posterior saling tidak berkontak pada gerak lateral dari mandibula,
ke luar dari oklusi sentrik.
5. Harus ada halangan minimal dari gigi-gigi terhadap gerak mandibula seperti
dibatasi oleh sendi temporomandibula (Foster, 1997).
19
20
Klas 3
Pada hubungan Klas 3, lengkung gigi bawah terletak lebih anterior
terhadap lengkung gigi atas dibandingkan pada hubungan Klas 1. Oleh karena itu,
hubungan ini kadang-kadang disebut juga sebagai hubungan prenormal. Ada
21
dua tipe utama dari hubungan Klas 3. Yang pertama, biasanya disebut Klas 3
sejati, dimana rahang bawah berpindah dari posisi istirahat ke oklusi Klas 3 pada
saat penutupan normal. Pada tipe yang kedua, gigi-gigi insisivus terletak
sedemikian rupa sehingga gerak menutup mandibula menyebabkan insisivus
bawah berkontak dengan insisivus atas sebelum mencapai oklusi sentrik. Oleh
karena itu, mandibula akan bergerak ke depan pada penutupan translokasi, menuju
ke posisi interkuspal. Tipe hubungan semacam ini biasanya disebut Klas 3
postural atau Klas 3 dengan pergeseran.
22
Klas 1
44%
Klas 2 divisi 1
27%
Klas 2 divisi 2
18%
7%
Klas 3 (sejati)
3%
Klas 3 (portural)
0,3%
Dari penelitian ini terlihat bahwa walaupun hubungan oklusal oklusal Klas
1 adalah ideal hubungan ini tidak selalu normal, seperti terlihat pada kurang dari
separuh populasi (Foster, 1997).
2.4.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Oklusal
1.Kontak Prematur dan Blocking
Ketidakseimbangan oklusi terjadi bila gigi yang berkontak terlebih dahulu pada
regio tertentu jumlahnya kurang dari 50% dari jumlah gigi di regio tersebut atau
satu atau dua gigi berkontak terlebih dahulu. Bila hambatan terjadi pada waktu
oklusi sentris disebut kontak prematur, sedangakan jika terjadi pada gerak
artikulasi disebut blocking
2. Gigi Hilang yang Tidak Diganti
Hilangnya gigi-gigi fungsional akan menghasilkan perubahan hubungan dan
keseimbangan tekanan diantara gigi-gigi. Ketika gigi bagian proksimal tidak
didukung oleh gigi tetangganya karena telah diekstrasi, tekanan oklusal menekan
jaringan periodonsium dan mengakibatkan gigi semakin miring.
3. Perbandingan Mahkota-Akar yang Tidak Seimbang
Gigi dengan mahkota yang besar dan permukaan oklusal yang lebar tetapi akarnya
pendek dan runcing menyebabkan trauma oklusi, karena tekanan oklusal yang
jatuh pada permukaan gigi akan melebihi kapasitas adaptasi jaringan
periodonsiumnya.
23
24
25
2.
3.
4.
sebagai berikut:
-
gastrointestinal
tract
dan
meningkatkan
kemudahan
untuk
26
mengosongkan makanan dari lambung ke usus kecil, kemudian berturutturut ke dalam semua segmen usus. (Ogus, 1990).
2.5.2 Pergerakan
Selama pengunyahan rahang akan bergerak berirama, membuka dan
menutup. Tingkat dan pola pergerakan rahang dan aktivitas otot rahang telah
diteliti pada hewan dan juga manusia. Pola pergerakan rahang pada beberapa
hewan berbeda tergantung jenisnya. Pengulangan pergerakan pengunyahan
berisikan jumlah kunyahan dan penelanan. Selama mastikasi karakteristik
pengunyahan seseorang sangat bergantung pada tingkatan penghancuran
makanan. Urutan kunyah dapat dibagi menjadi tiga periode. Pada tahap awal,
makanan ditransportasikan ke bagian posterior gigi dimana ini merupakan
penghancuran dalam periode reduksi. Selanjutnya bolus akan dibentuk selama
final periode yaitu sebelum penelanan. Pergerakan rahang pada ketiga periode ini
dapat berbeda tergantung pada bentuk makanan dan spesiesnya. Selama periode
reduksi terdapat fase opening, fast-opening dan slow-opening. Pada periode
sebelum penelanan terdapat tiga fase selama rahang membuka dan dua fase
selama rahang menutup. (Ogus, 1990).
Selama penelanan lidah memainkan peran yang penting di dalam
mengontrol pergerakan makanan dan pembentukan menjadi bolus. Untuk
makanan yang dihancurkan, diposisikan oleh lidah pada konjugasi dengan otot
buccinators pada pipi diantara oklusal permukaan gigi. Makanan yang padat dan
cair ditransportasikan di dalam rongga mulut oleh lidah. Selama fase slowopening pada pengunyahan, lidah bergerak ke depan dan memperluas permukaan
makanan. Tulang hyoid dan badan lidah kembali tertarik selama fase fast-opening
dan fase-closing, membuat gelombang yang dapat memindahkan makanan ke
bagian posterior pada rongga mulut. Ketika makanan sudah mencapai bagian
posterior rongga mulut, akan berpindah ke belakang di bawah soft palate oleh aksi
menekan dari lidah. Lidah amat penting dalam pengumpulan dan penyortiran
makanan yang bias ditelan, sementara mengembalikan lagi makanan yang masih
dalam potongan besar ke bagian oklusal untuk pereduksian lebih lanjut. Sedikit
27
28
pasien yang lain dapat disebabkan kelainan skeletal yang meliputi maksila atau
mandibula (Burstone CJ, 1998).
Meskipun penyebabnya sangat beragam, kelainan-kelainan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu defek perkembangan, trauma, patologi
(Burke PH, 1992).
2.6.1 ASIMETRI WAJAH
Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang
homolog pada wajah dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan.
Karena wajah yang asimetri sering disertai ketidaksimetrisan dental, maka
keadaan ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merawat suatu
maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa asimetri wajah merupakan
fenomena alami dan bukanlah merupakan hal yang abnormal. Asimetri
keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan bagian
yang homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan
karena
luka
atau
penyakit
dapat
menimbulkan
asimetri
yang
parah,
Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan wajah yang secara estetik
tampak menyenangkan ternyata mempunyai struktur wajah yang asimetri pada
pemeriksaan dengan posteroanterior sefalogram (Peck S, Peck L, Kataja, M,
1991).
Asimetri dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena didukung jaringan
lunak bagian bawah lebih banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi asimetri
karena jaringan lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri pada maksila biasanya
merupakan akibat dari pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat
diklasifikasikan sebagai dental, skeletal, otot dan fungsional (Legan HL, 1998).
2.6.2 ASIMETRI DENTAL
29
Asimetri dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan
lengkung gigi yang tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas
dan bawah pada segmen yang sama, ketidakseimbangan antara lengkung gigi
rahang atas dan bawah secara keseluruhan atau sebagian (Fischer B, 1954).
Deviasi garis tengah merupakan hal yang umum dan sering ditemui oleh
ortodontis. Hal ini terdapat pada seluruh tipe kasus tapi yang paling sering adalah
pada maloklusi klas II. Penyebab deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang
posterior karena pergeseran mandibula, pergerakan gigi anterior atas atau bawah,
pergeseran ke lateral mandibula (tidak terdapat gigitan silang), asimetri lengkung
gigi, atau kombinasi keempat faktor diatas (Lewis PD, 1976).
2.7 Hubungan Kehilangan Gigi Posterior dengan Dimensi Vertical dan TMJ
2.7.1 Disharmoni Dentomaksilofacial
Disharmoni dentomaksiler adalah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi dan
rahang dalam hal ini lengkung gigi. Menurut Anggraini (1975) etiologi
disharmoni dentomaksiler adalah faktor herediter. Tanda-tanda klinis suatu
disharmoni dentomaksiler di regio anterior yang mudah diamati antara lain:
A.
Tidak ada diastema fisiologis pada fase geligi sulung yang secara umum
dapatdikatakan bahwa bila pada fase geligi sulung tidak ada diastema
fisiologis dapatdiduga bahwa kemungkinan besar akan terjadi gigi
berdesakan bila gigi-gigi permanen telah erupsi.
B.
Pada saat insisiv sentral akan erupsi, gigi ini meresorpsi akar insisiv
sentral sulungdan insisiv lateral sulung secara bersamaan sehingga insisiv
lateral sulung tanggal prematur
C.
30
D.
Pada saat insisiv lateral permanen akan erupsi dapt terjadi dua
kemungkinan. Yang pertama insisv lateral permanen meresorpsi akar
kaninus sulung sehingga kaninussulung tanggal prematur dan insisiv
lateral permanen tumbuh dalam letak yang normal karena tempatnya
cukup. Selanjutnya kaninus permanen akan tumbuh diluar lengkung geligi
karena tidak mendapat tempat yang cukup. Kemungkinan kedua adalah
insisv leteral permanen tidak meresopsi akar kaninus sulung tetapi tumbuh
di palatal sesuai dengan letak benihnya
Faktor Lokal
1.
Persistensi Gigi
Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decidous teeth berarti
gigisulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Bila
diduga terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada di rongga
mulut, perludiketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis
kepada orang tua pasien
2.
Trauma
Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila
terjaditrauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi
gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah
terbentuk makanterjadi dilaserasi. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat
pembentukan gigi permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi
trauma di sekitar mulutuntuk lebih memperkuat dugaan. Trauma pada salah satu
sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebakan asimertri muka.
3.
Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap
letak gigi. Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat
mengubahletak gigi. Misalnya pada lidah, karena letak lidah pada posisi istirahat
tidak benar atau karena makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan lidah
dengan bibir dan pipi sehingga insisiv bergerak ke arah labial. Bibir yang telah
31
Kebiasaan Buruk
Faktor Iatrogenik
Perawatan
ortodontik
mempunyai
kemungkinan
terjadinya
kelainan
32
perforasi dan keausan sampai terjadi fraktur pada diskus yang dapat menyebabkan
terjadinya perubahan pada permukaan artikular (Pedersen, 1996).
Kelainan trauma akibat perubahan pada STM dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan, kondilus ataupun keduanya. Konsekuensi yang mungkin
33
terjadi adlah dislokasi, hemartrosisi dan fraktur kondilus. Pasien yang mengalami
dislokasi tidak dapat menutup mulut dan terjadi open bite anterior, serta dapat
tekanan pada satu atau dua saluran pendengaran (Pedersen, 1996).
Kelainan struktural akibat trauma STM juga dapat menyebabkan edema
atau hemorage di dalam sendi. Jika trauma belum menyebabkan fraktur
mandibula, pada umumnya pasien mengalami pembengkakan pada daerah STM ,
sakit bila digerakaan dan pergerakan sendi berkurang. Kondisi ini kadang kadang
dikenal sebagai radang sendi traumatis (Pedersen, 1996).
Kelainan struktural yang dipengaruhi penyakit infeksi akan melibatkan
sistem muskuluskeletal yang banyak terdapat pada STM, penyakit-penyakit
tersebut antara lain yaitu osteoarthritis dan reumatoid arthritis adalah suatu
penyakit peradangan sistemik yang melibatkan sekililing STM (Pedersen, 1996).
2.8.2 Gangguan Fungsional
Gangguan fungsional adalah masalah-masalah STM yang timbul akibat
fungsi yang menyimpang kerena adanya kelainan pada posisi dan fungsi gigigeligi, atau otot-otot kunyah (Pedersen, 1996).
Suatu keadaan fisiologis atau yang biasa disebut orthofunction yakni batas
toleransi tiap individu saat melakukan pergeseran mandibula saat melakukan
pergeseran mmandibula tanpa menimbulakan keluhan otot ditandai dengan
adanya keserasian antara morfologi oklusi dan fungsi neuromuskular. Istilah
keadaan ini dikenal dengan zona toleransi fisiologik. Apabila ada rangsangan yang
menyimpang dari biasanya akibat oklusi gigi yang menimbulkan kontak prematur,
respon yang timbul berfariasi akibat biologis yang umumnya merupakan respon
adaptif atau periode adaptasi. Disini terjadi perubahan-perubahan adaptif pada
jaringan yang terlibat sebagai upaya menerima rangsangan yang menyimpang
tersebut contoh dari perubahan adaptif adalah ausnya permukaan oklusal gigi,
timbulnya perubahan membran periodontal, resorbsi alveolar setempat. Periode
oklusi ini akan jalan terus menerus sampai batas toleransi fisiologis otoy-otot atau
jaringan sekitar telah terlampaui. Berapa lama adatasi ini akan berlangsung
berbeda antara individu yang satu dengan yang lain, dan dipengaruhi oleh keadaan
34
Dislokasi
menyebabkan
kelemahan
abnormal
kapsul
pendukung
dan
condylaris lateral mengendur atau terputus, atau jika zona bilaminar mengalami
kerusakan atau degenerasi akibat trauma atau penyakit sendi ataupun keduanya,
maka stabilitas sendi akan terganggu. Akibatnya akan terjadi pergeseran discus
kearah anteromedial akibat tidak adanya penahanan terhadap pergerakan
musculus pterygoideus laterralis superior. Berkurangnya pergeseran kearah
anterior yang spontan dari discus ini akan menimbulkan kliking yang khas,
yang akan terjadi bila jarak antara insisal meningkat. Sumber klikingsendi ini
berhubungan dengan pergeseran prosescus condylaris melewati pita posterior
meniscus yang tebal. Dengan memendeknya pergeseran anterior dari meniscus,
terjadi
kliking
berikutnya.
Pada
tahap
inilah
discus
akan
bersifat
35
3.
terus bertahan. Bila pita posterior dari discus yang mengalami deformasi tertahan
di anterior processus condylaris, akan terbentuk barier mekanis untuk pergeseran
processus condylaris yang normal. Jarak antar insisial jarang melebihi 25 mm,
tidak terjadi translasi, dan fenomena clicking hilang. Closed lock dapat terjadi
sebentar-sebentar dengan disela oleh clicking dan locking, atau bisa juga
bersifat permanen. Pada kondisi parsisten, jarak antar insisal secara bertahap akan
meningkat akibat peregangan dari perlekatan posterior discus, dan bukannya oleh
karena pengurangan pergeseran yang terjadi. Keadaan ini dapat berkembang ke
arah perforasi discus yang disertai dengan osteoarthritis pada processus condylaris
dan eminentia articularis (Pedersen, 1996).
4.
Closed lock akut Keadaan closed lock yang akut biasanya diakibatkan oleh
atritis tertentu, dan infeksi disebut sebagai artritis. Trauma, baik akut atau pun
kronis, menyebabkan suatu keadaan progresif yang ditandai dengan pembekaan,
rasa sakit yang timbul hilang dan keterbatasan luas pergerakan sendi yang terlibat
(Pedersen, 1996).
6.
Spasme otot. Miospasme atau kekejangan otot, yaitu kontraksi tak sadar
dari satu atau kelompok otot yang terjadi secara tiba-tiba, biasanya nyeri dan
sering kali dapat menimbulkan gangguan fungsi. Devisiasi mandibula saat
membuka mulut dan berbagai macam gangguan/keterbatasan pergerakan
merupakan tanda obyektif dari miospasme. Bila musculus maseter dan temporalis
mengalami kekejangan satu sisi, maka pergerakan membuka dari mandibula akan
tertahan, dan akan terjadi deviasi mandibula ke arah sisi yang kejang. Pada saat
membuka mulut mengunyah dan menutupkan gerakan akan timbul rasa nyeri
ekstraartikular. Bila musculus pterygoideus lateralis inferior mengalami spasme
36
akan terjadi maloklusi akut, yang ditunjukkan dengan tidak beroklusinya gigi-gigi
posterior pada sisi yang sama dengan musculus tersebut, dan terjadi kontak
prematur gigi-gigi anterior pada sisi yang berlawanan. Nyeri akibat spasme
pterygoideus lateralis kadang terasa pada sendi itu sendiri. Bila terjadi kekejangan
pada musculus masseter, temporalis, dan musculus pterygoideus lateralis inferior
terjadi secara berurutan, baik unilateral ataupun bilateral, maka dapat timbul
maloklusi akut (Pedersen, 1996).
7. Stres. Walaupun stress dikatakan memiliki peranan etiologis yang penting
dalam dialami penderita atau reaksi penderita dalam menghadapinya. Beberapa
penderita akan mengalami kualitas tidurnya menjadi rendah dengan mulai
timbulnya bruxism dengan keadaan sters (Pedersen, 1996).
2.10 Clicking
2.10.1 Definisi Clicking
Clicking adalah bunyi singkat yang terjadi pada saat membuka atau
menutup mulut, bahkan keduanya.Clicking dapat terjadi pada awal, pertengahan,
dan akhir membuka dan menutup mulut. Bunyi click yang terjadi pada akhir
membuka mulut menandakan adanya suatu pergeseran yang berat. TMJ clicking
sulit didengar karena bunyinya halus, maka dapat didengar dengan menggunakan
stetoskop dan dirasakan dengan palpasi pada daerah sendi temporamandibula
selama pergerakan rahang. Umumnya bunyi tersebut hanya dapat didengar oleh
penderita, namun pada beberapa kasus bunyi tersebut menjadi cukup keras dan
dapat didengar oleh orang lain. Bunyi tersebut dideskripsikan penderita sebagai
suara yang berbunyi klik. Di antara fossa dan kondil terdapat diskus yang
berfungsi sebagai penyerap tekanan dan mencegah tulang saling bergesekan
ketika rahang bergerak. Bila diskus ini mengalami dislokasi, dapat menyebabkan
timbulnya bunyi saat rahang bergerak. Penyebab dislokasi bisa trauma, kontak
oklusi gigi posterior yang tidak baik atau tidak ada, dan bias saja karena gangguan
tumbuh kembang rahang dan tulang fasial. Kondisi seperti ini dapat juga
menyebabkan sakit kepala, nyeri wajah dan telinga. Jika dibiarkan tidak dirawat,
dapat menyebabkan rahang terkunci. Pada beberapa orang, terdapat perbedaan
37
pada
system
sendi
38
Kehilangan Gigi
39
dibandingkan dengan subjek yang masih bergigi. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa orang yang kehilangan gigi geliginya mengeluhkan kesukaran dalam
mengunyah makanan yang keras
2. Sistemik
Dampak sistemik yang timbul akibat kehilangan gigi berupa penyakit
sistemik seperti defisiensi nutrisi, osteoporosis dan penyakit kardiovaskular
(artherosclerosis). Penyebabnya adalah status gigi yang buruk dan perubahan pola
konsumsi. Kurangnya konsumsi kalsium dan vitamin D yang berasal dari buah
buahan dan sayur sayuran akibat kehilangan gigi dapat meningkatkan resiko
terjadinya osteoporosis. Selain itu, penyakit kardiovaskular dapat disebabkan
bersatunya agen infeksius dalam bentuk atheroma dan faktor predisposisi genetik
terhadap penyakit periodontal dan penyakit kardiovaskular. Penyebaran bakteri
dari penyakit periodontal akan masuk ke sirkulasi pembuluh darah sehingga dapat
menyebabkan resiko sistemik.
3. Emosional
Dampak emosional adalah perasaan atau reaksi yang ditunjukkan pasien
sehubungan dengan status kehilangan seluruh gigi yang dialaminya. Kehilangan
gigi dapat merubah bentuk wajah, tinggi muka dan vertikal dimensi serta rahang
yang prognasi sehingga menimbulkan reaksi seperti merasa sedih dan depresi,
kehilangan kepercayaan diri, merasa tua, perubahan tingkah laku, merasa tidak
siap untuk menerima kehilangan gigi dan tidak ingin orang lain melihat
penampilannya saat tidak memakai gigitiruan serta mengubah tingkah laku dalam
bersosialisasi. Fiske dkk (1998) menyatakan bahwa hilangnya gigi dan pemakaian
gigitiruan berdampak pada psikososial seseorang. Penelitian oleh Davis dkk
(2000) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh emosional yang signifikan sebagai
konsekuensi kehilangan gigi, 45% dari pasien kehilangan seluruh gigi di London
sulit untuk menerima kehilangan gigi (Haryanto dkk., 1995).
B. Secara Khusus
1. Migrasi dan Rotasi
Hilangnya
kesinambungan
pada
gigi
dapat
menyebabkan
pergeseran,miring atau berputarnya gigi. Karena gigi tidak lagi menempati posisi
yang normal, pada saat pengunyahan maka akan mengakibatkan kerusakan
struktur periodaonatl. Gigi yang miring lebih sulit dibersihkan, sehingga aktifitas
karies meningkat.
40
2. Erupsi berlebihan
Bila gigi sudah tidak mempunyai gigi antagonisnya lagi, maka akan terjadi
erupsi berlebihan. Erupsi berlebih dapat terjadi tanpa atau disertai pertumbuhan
tulang alveolar, maka struktur periodontal akan mengalami kemunduran, sehingga
gigi mulai ekstruksi
3. Penurunan Efisiensi Kunyah
Mereka yang sudah kehilangan gigi cukup banyak, apalagi gigi belakang
akan merasakan betapa efisiensi kunyahnya menurun
4. Gangguan pada sendi temporomandibular
Kebiasaan mengunyah yang buruk, penutupan berlebih atau over clessure,
hubungan rahang yang eksentrik akibat kehilangan gigi, dapat menyebabkan
gangguan pada TMJ
5. Beban berlebih pada jaringan pendukung
Bila penderita yang sudah kehilangan sebagian gigi aslinya, maka gigi
yang masih ada akan menerima tekanan mastikasi lebih besar sehingga terjadi
pembebanan berlebih (over loading). Hal ini akan mengakibatkan kerusakan
membrane periodontal dan lama kelamaan gigi yang tidak akan menjadi goyang
dan akhirnya terpaksa dicabut
6. Kelaianan Bicara
Kehilangan gigi depan atas dan bawah sering kali menyebabkan kelainan
bicara. Karena giginya (khususnya gigi depan) termasuk bagian organ fonetik
(penghasil suara)
7. Memburuknya penampilan
Gigi yang hilang mengurangi daya tarik wajh seseorang
8. Terganggunya kebersihan mulut
Migrasi dan rotasi gigi menyebabkan gigi kehilangan kontak dengan gigi
tetangganya, demikian pula gigi yang kehilangan lawan giginya. Adanya ruang
interproksimal ini, mengakibatkan celah antar gigi mudah disisipi sisa makanan.
Dengan sendirinya kebersihan mulut terganggu dan mudah terjadi plak. Pada
tahap berikut terjadinya karies dapat meningkat.
9. Efek terhdap jaringan lunak mulut
Bila ada gigi yang hilang, ruang yang di tinggalkanya akan ditempati
jaringan lunak pipi dan lidah. Jika berlangsung lama, hal ini akan menyebabkan
kesukaran adaptasi terhadap geligi tiruan yang kemudian dibuat, karena
terdesaknya kembali jaringan lunak tadi tempat yang di tempati protesi. Dalam hal
ini, pemakaian gigi tiruan akan dirasakan sebagai suatu benda asing yang cukup
mengganggu (Haryanto dkk., 1995).
41
2.
3.
42
5.
6.
7.
8.
sulit
B. Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis
1. Inspeksi
Untuk melihat adanya kelainan sendi temporomandibular perlu diperhatikan gigi,
sendi rahang dan otot pada wajah serta kepala dan wajah. Apakah pasien
menggerakan mulutnya dengan nyaman selama berbicara atau pasien seperti
43
Palpasi :
a.
b.
Temporalis muscle, yang terbagi atas 3 segmen yaitu anterior, media, dan
posterior.
c.
d.
Masseter muscle
e.
Digastric muscle
f.
Sternocleidomastoid muscle
g.
Cervical spine
h.
i.
j.
k.
Coronoid process
l.
2.
44
3.
4.
5.
3.
bahwa pasien dengan masalah TMJ juga memperlihatkan gejala pada cervikal.
Pada kecelakaan kendaraan bermotor kenyataannya menunjukkan kelainan pada
cervikal maupun TMJ. Evaluasi pada cervikal dilakukan dengan cara :
a.
Menyuruh pasien berdiri pada posisi yang relaks, kemudian dokter menilai
apakah terdapat asimetris kedua bahu atau deviasi leher
b.
c.
d.
e.
4.
bunyi singkat yang terjadi pada saat membuka atau menutup mulut, bahkan
keduanya. Krepitus adalah bersifat difus, yang biasanya berupa suara yang
dirasakan menyeluruh pada saat membuka atau menutup mulut bahkan keduanya.
Krepitus menandakan perubahan dari kontur tulang seperti pada osteoartrosis.
45
Clicking dapat terjadi pada awal, pertengahan, dan akhir membuka dan
menutup mulut. Bunyi click yang terjadi pada akhir membuka mulut
menandakan adanya suatu pergeseran yang berat. TMJ clicking sulit didengar
karena bunyinya halus, maka dapat didengar dengan menggunakan stetoskop.
5.
Range of motion:
Pemeriksaan pergerakan Range of Motion dilakukan dengan pembukaan
mulut secara maksimal, pergerakan dari TMJ normalnya lembut tanpa bunyi atau
nyeri. Mandibular range of motion diukur dengan :
a.
b.
Lateral movement
c.
Protrusio movement
Pemeriksaan penunjang
1.
b.
c.
d.
e.
2.
46
b.
c.
Gambar yang kurang tajam. Kelainan yang dapat dilihat antara lain fraktur,
dislokasi, osteoatritis, neoplasma, kelainan pertumbuhan pada TMJ.
3.
47