Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Temporo Mandibular Joint
2.1.1 Definisi Temporomandibular Joint (TMJ)
Sendi rahang atau Temporomandibular Joint (TMJ) belum banyak dikenal
orang awam, padahal bila sendi ini terganggu dapat memberi dampak yang cukup
besar terhadap kualitas hidup (Pedersen, 1996).
TMJ adalah sendi yang kompleks, yang dapat melakukan gerakan
meluncur dan rotasi pada saat mandibula berfungsi. Mekanismenya unik karena
sendi kiri dan kanan harus bergerak secara sinkron pada saat berfungsi. Tidak
seperti sendi pada bagian tubuh lain seperti bahu, tangan atau kaki yang dapat
berfungsi sendiri-sendiri. Gerakan yang terjadi secara simultan ini dapat terjadi
bila otot-otot yang mengendalikannya dalam keadaan sehat dan berfungsi dengan
baik (Pedersen, 1996).
Istilah Temporomandibular Disorders (TMD) diusulkan oleh Bell pada
tahun 1982, yang dapat diterima oleh banyak pakar. Gangguan sendi rahang atau
TMD adalah sekumpulan gejala klinik yang melibatkan otot pengunyahan, sendi
rahang, atau keduanya (Pedersen, 1996).
2.1.2 Anatomi Temporo Mandibulae Joint (TMJ).
Sendi temporomandibular (sendi rahang) merupakan salah satu organ yang
berperan penting dalam sistem stomatognatik (Pedersen, 1996).

Temporomandibula merupakan sendi yang bertanggung jawab terhadap


pergerakan membuka dan menutup rahang mengunyah dan berbicara yang
letaknya dibawah depan telinga.Sendi temporomandibula merupakan satu-satunya
sendi di kepala, sehingga bila terjadi sesuatu pada salah satu sendi ini, maka
seseorang mengalami masalah yang serius. Masalah tersebut brupa nyeri saat
membuka, menutup mulut, makan, mengunyah, berbicara, bahkan dapat
menyebabkan mulut terkunci . Lokasi sendi temporomandibular (TMJ) berada
tepat dibawah telinga yang menghubungkan rahang bawah (mandibula) dengan
maksila (pada tulang temporal). Sendi temporomandibular ini unik karena
bilateral dan merupakan sendi yang paling banyak digunakan serta paling
kompleks (Pedersen, 1996).
Kondil tidak berkontak langsung dengan permukaan tulang temporal,
tetapi dipisahkan oleh diskus yang halus, disebut meniskus atau diskus artikulare.
Diskus ini tidak hanya perperan sebagai pembatas tulang keras tetapi juga sebagai
bantalan yang menyerap getaran dan tekanan yang ditransmisikan melalui sendi.
Permukaan artikular tulang temporal terdiri dari fossa articulare dan eminensia
artikulare. Seperti yang lain, sendi temporomandibular juga dikontrol oleh otot,
terutama

otot

penguyahan,

yang

terletak

disekitar

rahang

dan

sendi

temporomandibular. Otot-otot ini termasuk otot pterygoid interna, pterygoid


externa, mylomyoid, geniohyoid dan otot digastrikus. Otot-otot lain dapat juga

memberikan pengaruh terhadap fungsi sendi temporomandibular, seperti otot


leher, bahu, dan otot punggung (Pedersen, 1996).
Ligamen dan tendon berfungsi sebagai pelekat tulang dengan otot dan
dengan tulang lain. Kerusakan pada ligamen dan tendon dapat mengubah kerja
sendi temporomandibular, yaitu mempengaruhi gerak membuka dan menutup
mulut (Pedersen, 1996).
Mandibula memiliki dua cabang.
1. Cabang posterior (tersembunyi pada gambar di atas belakang beberapa
ligamen yang memegang tulang rahang kuat di tempat) sesuai snuggly
menjadi berongga pada tulang Temporal, tepat di depan telinga.
2. Cabang anterior adalah untuk lampiran dari otot temporalis (Haryo,
2008).
2.1.3 Otot-otot yang berperan di Temporo Mandibulae Joint
1.

M. Masseter

2.

M. Pterygoideus Externa et Interna

3.

M. Mylohyoid

4.

M. Temporalis

5.

M. Geniohyoid

6.

M. Digastricus Venter anterior et posterior (Pedersen, 1996).

2.1.4 Nervus yang mempersarafi Temporo Mandibulae Joint


1.

Nervus Mandibularis.

2.

Nervus Aurikutemporal.

3.

Nervus maseterikus.

4.

Nervus Fascialis (Pedersen, 1996).

Persyarafan sensorik pada sendi temporomandibula yang terpenting


dilakukanj oleh nervus aurikutemporal yang merupakan cabang pertama posterior
dari nervus mandibularis. Saraf lain yang berperan adalah nervus maseterikus dan
nervus temporal. Nervus maseterikus bercabang lagi di depan kapsul dan
meniskus. Nervus aurikutemporal dan nervus maseterikus merupakan serabut
serabut properioseptif dari implus sakit nervus temporal anterior dan posterior
melelwati bagian lateral muskulus pterigoideus, yang selanjutnya masuk ke
permukaan dari muskulus temporalis, saluran spinal dari nervus trigeminus.
Permukaan fibrous artikular, fibrokartilago, daertrah sentral meniskus dan
membran sinovial tidak ada persyarafannya (Pedersen, 1996).
2.1.5 Fisiologi Pergerakan Sendi Temporo Maandibula
Berdasarkan hasil penelitian elektromiografi, gerak mandibula dalam
hubungannya dengan rahang atas dapat diklasifikasikan sebagai berikut yaitu :
Gerak membuka
Seperti sudah diperkirakan, gerak membuka maksimal umumnya lebih
kecil daripada kekuatan gigitan maksimal (menutup). Muskulus pterygoideus
lateralis berfungsi menarik prosessus kondiloideus ke depan menuju eminensia
artikularis. Pada saat bersamaan, serabut posterior muskulus temporalis harus
relaks dan keadaan ini akan diikuti dengan relaksasi muskulus masseter, serabut
anterior muskulus temporalis dan muskulus pterygoideus medialis yang
berlangsung cepat dan lancar. Keadaan ini akan memungkinkan mandibula
berotasi di sekitar sumbu horizontal, sehingga prosessus kondilus akan bergerak
ke depan sedangkan angulus mandibula bergerak ke belakang. Dagu akan
terdepresi, keadaan ini berlangsung dengan dibantu gerak membuka yang kuat
dari muskulus digastricus, muskulus geniohyoideus dan muskulus mylohyoideus
yang berkontraksi terhadap os hyoideum yang relatif stabil, ditahan pada
tempatnya oleh muskulus infrahyoidei. Sumbu tempat berotasinya (Pedersen,
1996).
1. Gerak membuka

2. Gerak menutup
3. Protrusi
4. Retusi
5. Gerak lateral
Mandibula tidak dapat tetap stabil selama gerak membuka, namun akan
bergerak ke bawah dan ke depan di sepanjang garis yang ditarik (pada keadaan
istirahat) dari prosessus kondiloideus ke orifisum canalis mandibularis (Thomson,
2007).
Gerak menutup
Penggerak utama adalah muskulus masseter, muskulus temporalis, dan
muskulus pterygoideus medialis. Rahang dapat menutup pada berbagai posisi,
dari menutup pada posisi protrusi penuh sampai menutup pada keadaan prosesus
kondiloideus berada pada posisi paling posterior dalam fosa glenoidalis. Gerak
menutup pada posisi protrusi memerlukan kontraksi muskulus pterygoideus
lateralis, yang dibantu oleh muskulus pterygoideus medialis. Caput mandibula
akan tetap pada posisi ke depan pada eminensia artikularis. Pada gerak menutup
retrusi, serabut posterior muskulus temporalis akan bekerja bersama dengan
muskulus masseter untuk mengembalikan prosesus kondiloideus ke dalam fosa
glenoidalis, sehingga gigi geligi dapat saling berkontak pada oklusi normal
(Pedersen, 1996).
Pada gerak menutup cavum oris, kekuatan yang dikeluarkan otot
pengunyahan akan diteruskan terutama melalui gigi geligi ke rangka wajah bagian
atas. Muskulus pterygoideus lateralis dan serabut posterior muskulus temporalis
cenderung menghilangkan tekanan dari caput mandibula pada saat otot-otot ini
berkontraksi, yaitu dengan sedikit mendepresi caput selama gigi geligi
menggeretak. Keadaan ini berhubungan dengan fakta bahwa sumbu rotasi
mandibula akan melintas di sekitar ramus, di daerah manapun di dekat orifisum
canalis mandibular. Walaupun demikian masih diperdebatkan tentang apakah
articulatio temporomandibula merupakan sendi yang tahan terhadap stres atau
tidak. Hasil-hasil penelitian mutakhir dengan menggunakan model fotoelastik dan

dengan cahaya polarisasi pada berbagai kondisi beban menunjukkan bahwa


artikulasio ini langsung berperan dalam mekanisme stress (Pedersen, 1996).
Protrusi
Pada kasus protrusi bilateral, kedua prosesus kondiloideus bergerak ke
depan dan ke bawah pada eminensia artikularis dan gigi geligi akan tetap pada
kontak meluncur yang tertutup. Penggerak utama pada keadaan ini adalah
muskulus pterygoideus lateralis dibantu oleh muskulus pterygoideus medialis.
Serabut posterior muskulus temporalis merupakan antagonis dari kontraksi
muskulus pterygoideus lateralis. Muskulus masseter, muskulus pterygoideus
medialis

dan

serabut

anterior

muskulus

temporalis

akan

berupaya

mempertahankan tonus kontraksi untuk mencegah gerak rotasi dari mandibula


yang akan memisahkan gigi geligi. Kontraksi muskulus pterygoideus lateralis juga
akan menarik discus artikularis ke bawah dan ke depan menuju eminensia
artikularis. Daerah perlekatan fibroelastik posterior dari diskus ke fissura
tympanosquamosa dan ligamen capsularis akan berfungsi membatasi kisaran
gerak protrusi ini (Pedersen, 1996).
Retrusi
Selama pergerakan, kaput mandibula bersama dengan discus artikularisnya
akan meluncur ke arah fosa mandibularis melalui kontraksi serabut posterior
muskulus temporalis. Muskulus pterygoideus lateralis adalah otot antagonis dan
akan relaks pada keadaan tersebut. Otot-otot pengunyahan lainnya akan berfungsi
mempertahankan tonus kontraksi dan menjaga agar gigi geligi tetap pada kontak
meluncur. Elastisitas bagian posterior discus articularis dan capsula articulatio
temporomandibularis akan dapat menahan agar diskus tetap berada pada
hubungan yang tepat terhadap caput mandibula ketika prosesus kondiloideus
bergerak ke belakang (Pedersen, 1996).
Gerak lateral
Pada saat rahang digerakkan dari sisi yang satu ke sisi lainya untuk
mendapat gerak pengunyahan antara permukaan oklusal premolar dan molar,
prosesus kondiloideus pada sisi tujuan arah mandibula yang bergerak akan ditahan
tetap pada posisi istirahat oleh serabut posterior muskulus temporalis sedangkan

tonus kontraksinya akan tetap dipertahankan oleh otot-otot pengunyahan lain yang
terdapat pada sisi tersebut. Pada sisi berlawanan prosesus kondiloideus dan diskus
artikularis akan terdorong ke depan ke eminensia artikularis melalui kontraksi
muskulus pterygoideus lateralis dan medialis, dalam hubungannya dengan
relaksasi serabut posterior muskulus temporalis. Jadi, gerak mandibula dari sisi
satu ke sisi lain terbentuk melalui kontraksi dan relaksasi otot-otot pengunyahan
berlangsung bergantian, yang juga berperan dalam gerak protrusi dan retrusi Pada
gerak lateral, caput mandibula pada sisi ipsilateral, ke arah sisi gerakan, akan tetap
ditahan dalam fosa mandibularis. Pada saat bersamaan, caput mandibula dari sisi
kontralateral akan bergerak translasional ke depan. Mandibula akan berotasi pada
bidang horizontal di sekitar sumbu vertikal yang tidak melintas melalui caput
yang cekat, tetapi melintas sedikit di belakangnya. Akibatnya, caput ipsilateral
akan bergerak sedikit ke lateral, dalam gerakan yang dikenal sebagai gerak
Bennett (Pedersen, 1996).
Selain menimbulkan pergerakan aktif, otot-otot pengunyahan juga
mempunyai aksi postural yang penting dalam mempertahankan posisi mandibula
terhadap gaya gravitasi. Bila mandibula berada pada posisi istirahat, gigi geligi
tidak beroklusi dan akan terlihat adanya celah atau freeway space diantara arkus
dentalis superior dan inferior (Pedersen, 1996).
2.2 Gigi Sebagai Komponen Stomatognati
Sistem stomatognati merupakan kesatuan organ yang memiliki fungsi
berkaitan satu sama lain. Organ-organ tersebut meliputi mandibula, maxila, sendi
temporomandibular, struktur gigi dan struktur lainnya seperti otot mastikasi, otot
wajah, serta otot kepala dan leher. Meskipun sebagian besar organ tersebut tidak
secara langsung terkait dalam kegiatan disekitar mulut dan didalam mulut, akan
tetapi secara timbal balik mendukung dan memperkuat partisipasi kegiatan sistem
pengunyahan, yang dikendalikan oleh sistem persyarafan (Machfoedz, 2008).
Fungsi utama sistem stomatognatik adalah oklusi . Arti oklusi yang
dimaksud adalah berkontaknya permukaan dataran kunyah gigi-gigi rahang atas
dan rang bawah . Oklusi akan berjalan normal apabila dikung oleh gigi-geligi
yang berfungsi normal. Oklusi menjadi tidak normal apabila apa bila gigi-gigi

10

tersebut dalam keadaan tidak sehat atau disebabkan posisi dan relasi antar gigi dan
rahangyang tidak normal. Gigi juga merupakan salah satu komponen pendukung
dalam sistem stomatignati (Himawan, 2007).
Menurut Himawan (2007), fungsi gigi dalam sistem stomatognati
adalah :
a. fungsi dari gigi bervariasi, tergantung pada bentuknya dan lokasinya pada
rahang. Dapat digunakan untuk memotong, mengiris dan menghaluskan bahanbahan makanan pada saat pengunyahan.
b. untuk mempertahankan jaringan penyanggah, supaya tetap dalam kondisi yang
baik.
c. membantu dalam perkembangan dan perlindungan dari janringan-jaringan
yang menyanggahnya/jaringan-jaringan penanamnya.
2.3 Hubungan Gigi Geligi dalam Lengkung Rahang
2.3.1 Lebar Mesiodistal Gigi
Lebar mesiodistal gigi merupakan data yang akurat untuk memberikan
informasi dalam melakukan diagnosis dan perawatan ortodonti. Ukuran lebar
mesiodistal adalah alat diagnostik yang akurat untuk memprediksi hasil perawatan
dan alat pembanding untuk mengetahui penyimpangan anomali. Hubungan yang
tepat dari lebar mesiodistal gigi rahang atas dengan mesiodistal rahang bawah
akan mendukung oklusi yang optimal (Himawan, 2007).
Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen dapat dilihat pada Tabel 1
dibawah ini.
Rahang Atas

Gigi Geligi
Lebar
Mesiodistal

I1
8,7

I2
6,9

C
7,9

P1
7,4

Rahang Bawah
P2
7,0

M1 I1 I2
10, 5,4 6,1

C
6,9

P1
7,4

P2
7,4

9
8
4
2
1
6
9
0
2
4
0
Gigi (mm)
Tabel 1.Ukuran Lebar Mesiodistal Gigi Permanen Menurut Santoro dkk. (2000)

M1
11,1
1

11

Ukuran lebar mesiodistal gigi geligi ditentukan dengan mengukur jarak


maksimal

dari

titik

kontak

mesial

dan

distal

gigi

pada

permukaan

interproksimalnya ataupun diukur pada titik kontak gigi yang bersinggungan


dengan titik kontak gigi tetangganya dengan menggunakan kaliper dengan ujung
yang tajam dan mempunyai ketelitian dua angka di belakang koma (Himawan,
2007).

Pengukuran mesiodistal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah


ini.

Gambar 1. Pengukuran lebar mesiodistal gigi.


a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ukuran Mesiodistal Gigi
Ada bukti kuat yang mendukung pendapat bahwa lebar mesiodistal gigi
sangat ditentukan oleh genetik. Menurut Kronmiller (1998) ukuran lebar
mesiodistal gigi dipengaruhi oleh faktor genetik yang diestimasikan sebesar 90%
untuk gambaran morfologis mahkota (Himawan 2007).
Ukuran gigi tidak dipengaruhi oleh nutrisi. Gigi geligi yang sudah
tumbuh, ukurannya tidak akan berubah. Nutrisi hanya mempengaruhi waktu
erupsinya, makanan yang bergizi dapat mempercepat pertumbuhan gigi geligi
(Himawan, 2007).
Rerata ukuran mesiodistal gigi insisivus anterior atas dan bawah laki-laki
lebih besar daripada perempuan. Faktor yang mempengaruhinya adalah kekuatan
fungsional, kebiasaan makan dan adanya trauma.
2.3.2 Dimensi Lengkung Gigi
Lengkung gigi merupakan suatu garis lengkung imajiner yang
menghubungkan sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah. dimensi
lengkung terdiri dari tiga ukuran transversal dan tiga ukuran sagital.

12

2.3.3 Lebar Lengkung Gigi


Lebar lengkung gigi terdiri dari lebar antarkaninus, lebar antarmolar
permanen pertama dan lebar antarmolar permanen kedua. Membagi lebar
lengkung gigi ke dalam dua bagian yaitu lebar anterior dan posterior. Lebar
lengkung anterior adalah jarak yang diukur dari titik kontak premolar pertama dan
kedua kiri dan kanan. Sementara, lebar lengkung posterior adalah jarak yang
diukur dari tonjol distobukal molar pertama kiri dan kanan. Lebar lengkung gigi
terdiri dari lebar antarmolar permanen pertama dan lebar antarmolar permanen
kedua.
Pengukuran lebar antarkaninus dilakukan pada daerah bukal dan palatal.
Pada daerah bukal, lebar antarkaninus diukur 5 mm apikal ke pertengahan
mesiodistal margin gingiva dari gigi kaninus di satu sisi ke titik yang sama pada
sisi yang berlainan. Pada daerah lingual, lebar antarkaninus diukur dari titik
tengah servikal gigi kaninus di satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang
berlainan. Kedua prosedur tersebut sama untuk mengukur lebar antarmolar
(Mostofsky, 2006).
Titik pengukuran lebar lengkung gigi dapat dilihat pada Gambar 2
dibawah ini.

Gambar 2. Titik referensi pengukuran lebar antarmolar pada daerah bukal dan
lingual.

13

2.3.4 Panjang Lengkung Gigi


panjang lengkung gigi diukur dari titik pertemuan gigi insisivus kiri dan
kanan ke titik permukaan mesiolingual gigi molar pertama permanen. Titik
pengukuran panjang lengkung gigi dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3. Titik referensi dalam pengukuran panjang lengkung gigi.


2.3.5 Perimeter Lengkung Gigi
Menurut Poosti dan Jalali (2007), perimeter lengkung gigi diukur dengan
menjumlahkan empat segmen gigi. Segmen pertama diukur dari distal gigi molar
pertama ke mesial gigi premolar pertama. Segmen kedua diukur dari mesial gigi
premolar pertama ke mesial gigi insisivus sentralis. Segmen ketiga diukur dari
mesial gigi insisivus sentralis ke mesial gigi premolar pertama pada sisi yang
berlainan. Segmen keempat diukur dari mesial gigi premolar pertama ke distal
gigi molar pertama permanen pada sisi yang berlainan. Pengukuran perimeter
lengkung gigi yang terdiri dari 4 segmen dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4.

Pengukuran perimeter lengkung gigi pada empat segmen (Phan dkk., 2007).

14

2.3.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lengkung Gigi


Faktor genetik mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bentuk
kraniodentofasial. Genetik dapat mempengaruhi sifat-sifat pertumbuhan, variasi
ukuran dan bentuk rahang, tulang alveolar dan tengkorak. Demikian pula dengan
ras, kelompok ras yang berbeda akan menunjukkan pola kraniofasial yang berbeda
pula.

Faktor

lingkungan

juga

besar

pegaruhnya

dalam

pertumbuhan

kraniodentofasial. Adanya malnutrisi dapat memperlambat pertumbuhan dan


mempengaruhi ukuran lengkung rahang (Mokhtar, 2002).
Pada penelitian Febrina dkk. (1997) menunjukkan bahwa lebar lengkung
gigi rahang laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Hal ini dapat
disebabkan oleh ukuran mesiodistal gigi pada pria lebih besar daripada wanita dan
juga disebabkan oleh ukuran panjang lengkung rahang pria lebih besar
dibandingkan dengan wanita.
2.3.7 Hubungan Lebar Mesiodistal dan Lengkung Gigi
Untuk membuat suatu diagnosis dan rencana perawatan yang tepat pada
kasus gigi berjejal diperlukan ketepatan dalam menentukan keparahan berjejal dan
perhitungan tempat yang dibutuhkan untuk menghilangkan berjejal. Berjejal
biasanya dihitung dari perbedaan jumlah mesiodistal gigi geligi dengan tempat
yang tersedia dalam lengkung. Pada lengkung rahang yang ideal tidak ada
tumpang tindih antar gigi geligi. Jumlah lebar mesiodistal gigi merupakan
perimeter lengkung rahang. Sedangkan pada rahang dengan gigi berjejal akan
tampak gigi yang tumpang tindih dengan perimeter lengkung yang lebih pendek
dari jumlah lebar mesiodistal giginya (Triwardhani, 2001).
Hubungan antara lebar mesiodistal gigi dengan dimensi rahang tempat
letaknya gigi tersebut merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan
oklusi gigi geligi. Oklusi gigi geligi idealnya harus ada ruangan yang cukup agar
gigi geligi bererupsi ke dalam mulut tanpa perlu berjejal. Jika gigi geligi terlalu
besar untuk ukuran rahangnya maka akan terjadi masalah dalam perkembangan
oklusalnya (Foster, 1982).

15

2.4 Oklusi
2.4.1 Pengertian Oklusi
Oklusi adalah setiap kontak antara gigi-geligi dari lengkung yang
berlawanan dan biasanya mengacu pada permukaan oklusal (Harty, 1995).
Oklusi gigi-gigi dibicarakan dalam dua judul berikut :
1. Oklusi statis yang mengacu pada posisi dimana gigi-gigi atas dan bawah
saling berkontak.
2. Oklusi fungsional mengacu pada gerak fungsional dari mandibula dank
arena itu, gigi-geligi bawah berkontak dengan gigi-geligi atas (Foster,
1997).
2.4.2 Posisi Mandibula
2.4.2.1 Posisi-non-oklusal dari mandibula
1. Posisi istirahat
Posisi istirahat mandibula, kadang disebut posisi postural edogen
adalah posisi ketika semua otot yang mengontrol posisi mandibula berada dalam
keadaan relaks. Keadaan ini dianggap dikendalikan oleh mekanisme refleks
yang dipicu oleh reseptor regangan pada otot mastikasi, khususnya otot
temporal. Posisi istirahat pada kebanyakan kasus adalah sedemikian rupa hingga
ada celah beberapa milimeter antara gigi-gigi atas dan bawah. Celah ini disebut
free-way space atau jarak antar-oklusal (Foster, 1997).
Walaupun posisi istirahat mandibula dianggap konstan untuk tiap
individu, ada variasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Variasivariasi
sehari-hari dari posisi istirahat terlihat bersama variasi postur kepala. Jadi jika
kepala didongakkan ke belakang, jarak antaroklusal akan meningkat, jika
dicondongkan ke depan jarak antaroklusal berkurang. Variasi jangka panjang
berhubungan dengan tanggalnya gigi dan proses penuaan selain perubahan tonus
otot (Foster, 1997).

16

2. Posisi postural adaptif


Walaupun pada kebanyakan individu, mandibula mempunyai posisi istirahat
yang normal, pada beberapa individu terjadi posisi yang berbeda pada waktu
istirahat. Posisi semacam ini disebut sebagai posisi postural adaptif, karena
respons tidak sadar terhadap kebutuhan. Dua penyebab utama posisi postural
adaptif adalah:
a) Untuk mempertahankan seal oral anterior. Pernapasan normal yang tenang
adalah melalui hidung. Ini mengharuskan jalan udara oral tertutup, yang
biasanya diperoleh dengan seal oral posterior, yaitu palatum lunak menyentuh
lidah dsn seal oral anterior yaitu bibir berkontak atau lidah menyentuh gigi
anterior. Pada beberapa individu, mandibula berkembang ke hubungan di luar
normal dengan maksila, hingga untuk mendapat seal oral anterior diperlukan
posisi mandibula postural ke depan (Foster, 1997).
b) Untuk mendapat pernapasan mulut. Jika pernapasan hidung tidak cukup,
perlu diganti atau ditambah dengan pernapasan mulut. Ini biasanya
disebabkan oleh penyempitan saluran hidung akibat infeksi kronis, walaupun
tentu saja pernapasan mulut merupakan keadaan normal selama latihan fisik
dan bicara. Untuk pernapasan mulut diperlukan posisi postural yang berubah
dari mandibula, dengan mandibula diturunkan dan jarak antar oklusal yang
meningkat berlebihan (Foster, 1997).
2.4.2.2 Posisi oklusal mandibula
Posisi mandibula dengan gigi-gigi berada dalam kontak oklusal, tentu saja,
tidak terlalu bervariasi. Ada dua posisi utama yang bisa dibicarakan di sini (Foster,
1997).
1. Posisi kontak retrusi (relasi sentrik)
Posisi terminal dari jalur pergerakan mandibula otomatis dari istirahat ke
posisi oklusi yang tidak terdeviasi akibat kontak gigi atau aksi otot yang
abnormal. Kondil mandibula normalnya berada pada posisi paling posterior di
dalam fosa kondilar, walaupun tidak terdorong dengan kuat (Foster, 1997).

17

2. Posisi interkuspal (oklusi sentrik)


Posisi interkuspal maksimal dari gigi-gigi atas dan bawah. Definisi ini tidak
bisa diterapkan untuk semua individu, karena pada beberapa kasus, seperti pada
tahap akhir gigi-geligi susu, atrisi sudah mengurangi tonjol gigi-gigi sehingga
permukaan oklusal relative datar (Foster, 1997).
Pada sebagian besar orang, kedua posisi oklusal dari mandibula ini hampir
identik. Rincian yang halus dari posisi gigi dipengaruhi oleh tahap akhir dari
pergerakan mandibula menuju ke posisi oklusi, sehingga gigi-gigi berada pada
posisi dimana posisi kontak retrusi dan posisi interkuspal hampir sama. Pada
beberapa orang, malposisi gigi yang disebabkan karena factor-faktor lain
menyebabkan posisi interkuspal sangat berbeda dari posisi kontak awal.
Mekanisme umum untuk keadaan ini akan dibicarakan pada bagian berikutnya
(Foster, 1997).
2.4.3 Oklusi Ideal
Konsep bahwa ada yang ideal untuk setiap komponen oklusi gigi-geligi,
dari suatu pengetahuan di mana variasi, atau maloklusi bisa diukur, barangkali
dimulai dari hasil penelitian Angel (1899). Angel yang mengadakan penelitian
mengenai oklusi statis pada posisi interkuspal, mendifinisikan hubungan ideal dari
gigi geligi molar pertama atas dan bawah tetap pada bidang sagital. Dari definisi
ini, dapatlah didefinisikan variasi dari oklusi pada bidang yang sama, dan
klasifikasi oklusi dari angel, atau versi modifikasinya, sudah dipergunakan secara
luas sejak klasifikasi tersebut diperkenalkan (Foster, 1997).
Andrew (1972) menyebutkan enam kunci oklusi normal, yang berasal dari
hasil penelitian yang dilakukannya terhadap 120 subyek yang oklusi idelnya
mempunyai enam cirri. Keenam cirri tersebut adalah :
1. Hubungan yang tetap dari gigi-gigi molar pertama tetap pada bidang
sagital.
2. Angulasi mahkota gigi-gigi insisivus yang tepat pada bidang transversal.

18

3. Inklinasi mahkota gigi-gigi insisivus yang tepat pada bidang sagital.


4. Tidak adanya rotasi gigi-gigi individual.
5. Kontak yang akurat dari gigi-gigi individual dalam masing-masing
lengkung gigi, tanpa celah maupun berjejal-jejal.
6. Bidang oklusi yang datar atau sedikit melengkung (Foster, 1997).
Andrew memperkirakan bahwa jika satu atau beberapa ciri ini tidak tepat,
hubungan oklusal dari gigi geligi tidaklah ideal. Sekali lagi, Kunci Andrew
berhubungan terutama dengan oklusi static, tetapi cirri-ciri yang didefinisikan
tidak mencangkup klasifikasi dari Angel (Foster, 1997).
Beberapa

criteria

mengenai

oklusi

fungsional

yang

ideal

sudah

diperkenalkan oleh Roth (1976). Berikut ini adalh salinan dari konsep Roth, yang
ditunjukan terutama untuk mendapatkan efisiensi pengunyahan maksimal yang
konsisten dengan beban traumatuk minimal yang mengenai gigi-gigi dan jaringan
pendukung serta otot dan apparatus pengunyahan skeletal.
1. Pada posisi interkuspal maksimal (oklusi sentrik), kondil mandibula harus
berada pada posisi paling superior dan paling retrusi dalam fosa kondilar. Ini
berdampak bahwa posisi interkuspal adalah sama dengan posisi kontak
retrusi.
2. Pada saat menutup ke oklusi sentrik, stress yang mengenai gigi-gigi
posterior harus diarahkan sepanjang sumbu panjang gigi.
3. Gigi-gigi posterior harus berkontak setara dan merata, tanpa kontak pada
gigi-gigi anterior, pada oklusi sentrik.
4. Harus ada overjet dan overbite minimal, tetapi cukup besar untuk membuat
gigi-gigi posterior saling tidak berkontak pada gerak lateral dari mandibula,
ke luar dari oklusi sentrik.
5. Harus ada halangan minimal dari gigi-gigi terhadap gerak mandibula seperti
dibatasi oleh sendi temporomandibula (Foster, 1997).

19

2.4.4 Klasifikasi dari oklusi gigi-geligi


Klasifikasi ini berdasarkan pada klasifikasi Edward Angle (1899) walaupun
berbeda dalam beberapa aspek yang penting. Ini adalah klasifikasi dari hubungan
antero-posterior lengkung gigi-gigi atas dan bawah, dan tidak melibatkan
hubungan lateral serta vertikal, gigi berjejal dan malposisi local dari gigi-gigi
(Foster, 1997).
Klas 1
Hubungan ideal yang bisa ditolerir. Ini adalah hubungan antero-posterior
yang sedemikian rupa, dengan gigi-gigi berada pada posisi yang tepat di lengkung
rahang, ujung gigi kaninus atas berada pada bidang vertical yang sama seperti
ujung distal gigi kaninus bawah. Gigi-gigi premolar atas berinterdigitasi dengan
cara yang sama dengan gigi-gigi premolar bawah, dan tonjol antero-bukal dari
molar pertama atas tetap beroklusi dengan alur (groove) bukal dari molar pertama
bawah tetap (Gambar 2.8). Jika gigi insisivus berada pada inklinasi yang tepat,
overjet insisal adalah sebesar 3 mm (Foster, 1997).

Gambar 2.1. Oklusi Klas I Angle


Klas 2
Pada hubungan klas 2, lengkung gigi bawah terletak lebih posterior
daripada lengkung gigi atas dibandingkan pada hubungan klas 1. Karena itulah,

20

keadaan ini kadang disebut sebagai hubungan postnormal . Ada 2 tipe


hubungan Klas 2 yang umum dijumpai, dan k arena itu, Klas 2 ini umumnya
dikelompokkan menjadi dua devisi (Foster, 1997).
Klas 2 divisi 1
Lengkung gigi mempunyai hubungan Klas 2, dengan gigi-gigi insisuv
sentral atas proklinasi, dan overjet insisal lebih besar (Gambar 2.1). Gigi insisivus
lateral atas juga proklinasi (Foster, 1997).
Klas 2 divisi 2
Lengkung gigi mempunyai hubungan klas 2, dengan gigi-gigi insisivus
sentral atas yang proklinasi dan overbite insisal yang besar (Gambar 2.2). Gigigigi insisivus lateral atas bisa proklinasi atau retroklinasi (Foster, 1997). Tidaklah
selalu dapat mengelompokkan hubungan oklusal Klas 2 ke dalam salah satu dari
divisi ini, pada kasus semacam ini, oklusi bisa disebut sebegai Klas 2 tidak
pasti

Gambar 2.2. Oklusi Klas II Angle

Klas 3
Pada hubungan Klas 3, lengkung gigi bawah terletak lebih anterior
terhadap lengkung gigi atas dibandingkan pada hubungan Klas 1. Oleh karena itu,
hubungan ini kadang-kadang disebut juga sebagai hubungan prenormal. Ada

21

dua tipe utama dari hubungan Klas 3. Yang pertama, biasanya disebut Klas 3
sejati, dimana rahang bawah berpindah dari posisi istirahat ke oklusi Klas 3 pada
saat penutupan normal. Pada tipe yang kedua, gigi-gigi insisivus terletak
sedemikian rupa sehingga gerak menutup mandibula menyebabkan insisivus
bawah berkontak dengan insisivus atas sebelum mencapai oklusi sentrik. Oleh
karena itu, mandibula akan bergerak ke depan pada penutupan translokasi, menuju
ke posisi interkuspal. Tipe hubungan semacam ini biasanya disebut Klas 3
postural atau Klas 3 dengan pergeseran.

Gambar 2.3. Oklusi Klas III Angle


Pada masing-masing tipe hubungan oklusal, malposisi gigi setempat bisa
mempengaruhi hubungan dasar

dari kedua lengkung gigi. Jadi, rincian

interkuspal dari gigi-gigi tidak sama dengan klasifikasi keseluruhan dari


hubungan lengkung gigi. Jika banyak gigi yang malposisi, akan sulit bahkan tidak
mungkin untuk menentukan klasifikasi oklusi. Di samping itu, asimetris bisa
menyebabkan hubungan pada satu sisi rahang berbeda dari sisi yang lain. Pada
situasi semacam ini, oklusi perlu dideskripsikan dengan kata-kata, bukan hanya
dengan klasifikasi verbal saja (Foster, 1997).
Kelihatannya proporsi pembagian oklusi menjadi berbagai kategori seperti
disebutkan di atas adalah berbeda pada berbagai populasi. Pada salah satu
penelitian mengenai oklusi gigi yang dilakukan terhadap populasi murid sekolah
di shrpshire, yang berusia dari 11-12 tahun, Foster dan Day (1974) menemukan
proporsi berikut ini.

22

Klas 1

44%

Klas 2 divisi 1

27%

Klas 2 divisi 2

18%

Klas 2 (tak pasti)

7%

Klas 3 (sejati)

3%

Klas 3 (portural)

0,3%

Dari penelitian ini terlihat bahwa walaupun hubungan oklusal oklusal Klas
1 adalah ideal hubungan ini tidak selalu normal, seperti terlihat pada kurang dari
separuh populasi (Foster, 1997).
2.4.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Oklusal
1.Kontak Prematur dan Blocking
Ketidakseimbangan oklusi terjadi bila gigi yang berkontak terlebih dahulu pada
regio tertentu jumlahnya kurang dari 50% dari jumlah gigi di regio tersebut atau
satu atau dua gigi berkontak terlebih dahulu. Bila hambatan terjadi pada waktu
oklusi sentris disebut kontak prematur, sedangakan jika terjadi pada gerak
artikulasi disebut blocking
2. Gigi Hilang yang Tidak Diganti
Hilangnya gigi-gigi fungsional akan menghasilkan perubahan hubungan dan
keseimbangan tekanan diantara gigi-gigi. Ketika gigi bagian proksimal tidak
didukung oleh gigi tetangganya karena telah diekstrasi, tekanan oklusal menekan
jaringan periodonsium dan mengakibatkan gigi semakin miring.
3. Perbandingan Mahkota-Akar yang Tidak Seimbang
Gigi dengan mahkota yang besar dan permukaan oklusal yang lebar tetapi akarnya
pendek dan runcing menyebabkan trauma oklusi, karena tekanan oklusal yang
jatuh pada permukaan gigi akan melebihi kapasitas adaptasi jaringan
periodonsiumnya.

23

4. Restorasi yang Terlalu Tinggi


Jika restorasi terlalu tinggi, gigi akan bertemu dengan lawannnya terlebih dahulu
pada penutupan sentrik. Salah satu contoh adalah pada pemakaian restorasi
mahkota jaket porselen yang terlau tinggi sehingga pada posisi protrusif hanya
makhota dengan gigi lawan yang berkontak.
5. Kebiasaan Buruk
Kebiasaan menggigit kuku, pulpen, jepit rambut dan lain-lain akan
menyebabkan kerusakan jaringan periodonsium. Kebiasaan lainnya seperti
bruksism dapat menyebabkan terkikisnya gigi sehingga mengakibatkan kontak
gigi geligi menjadi terganggu.

6. Ukuran dan Bentuk Gigi


Gigi adalah tempat utama dalam etiologi dari kesalahan bentuk dentofacial dalam
berbagai macam cara. Variasi dalam ukuran, bentuk, jumlah dan posisis gigi
semua dapat menyebabkan maloklusi. Hal yang sering dilupakan adalah
kemungkinan bahwa malposisisi dapat menyebabkan malfungsi.
7. Herediter
Herediter telah lama dikenal sebagai penyebab maloklusi. Kesalahan asal genetic
dapat menyebabkan penampilan gigi sebelum lahir mereka tidak dapat dilihat
sampai 6 tahun setelah kelahiran. Faktor genetic gigi adalah kesamaan bentuk
gigi dalam keluaraga sangat sering terjadi, dimana gigi anak akan mengikuti
bentuk gigi orang tuanya.
8. Trauma
Baik trauma prenatal atau setelah kelahiran dapat menyebabkan kerusakan atau
kesalahan bentuk dentofacial.
2.5 Oklusi Gigi Saat Mastikasi

24

Pergerakan yg terkontrol dari mandibula dipergunakan dalam mengigit,


mengunyah, dan menelan makanan dan cairan, serta dalam berbicara. Aktivitas
yang terintegrasi dari otot rahang dalam merespon aktivitas dari neuron eferen
pada saraf motorik di pergerakan mandibular yang mengontrol hubungan antara
gigi rahang atas dan bawah. Pergerakan rahang adalah suatu pergerakan yang
terintegrasi dari lidah dan otot lain yang mengontrol area perioral, faring, dan
laring. (Pedersen, 1996).
Pergerakan otot rahang, terhubung pada midline. Pengontrolan otot rahang
bukan secara resiprokal seperti pergerakan limb, tapi terorganisir secara bilateral.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembukaan dan penutupan rahang selama
penguyahan yang secara relatif merupakan pergerakan sederhana dengan
pengaturan pada limb sebagai penggerak. Bagaimanapun, pergerakan dalam
mastikasi adalah suatu yang kompleks dan tidak hanya berupa mekanisme
pergerakan menggerinda simple yang mana merupakan pengurangan ukuran
makanan. Selama mastikasi, makanan dikurangi ukurannya dan dicampur dengan
saliva sebagai tahap awal dari proses digesti. (Pedersen, 1996).
2.5.1 Pergerakan Mastikasi
Pemahaman mengenai pola pergerakan rahang telah menjadi topic yang
menarik dalam hal klinis di kedokteran gigi, terutama dalam bidang orthodonti
dan prostodonti. Salah satu tujuan memugar bentuk oklusal adalah untuk
memastikan kontak gigi terintegrasi dengan pola pergerakan rahang. Oleh karena
itu, beberapa penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan bagian mandibula
selama pengunyahan dan untuk mengidentifikasikan posisi mandibula setelahnya.
Dokter gigi mencari posisi stabil mandibula untuk menfasilitasi penelitian tentang
rahang pada alat yang bernama simulator atau artikulator. (Ogus, 1990).
Seluruh otot rahang bekerja bersamaan menutup mulut dengan kekuatan di
gigi incidor sebesar 55 pounds dan gigi molar sebesar 200 pounds. Gigi dirancang
untuk mengunyah, gigi anterior (incisors) berperan untuk memotong dan gigi
posterior ( molar) berperan untuk menggiling makanan. (Ogus, 1990).

25

Sebagian besar otot mastikasi diinervasi oleh cabang nerevus cranial ke


lima dan proses pengunyahan dikontrol saraf di batang otak. Stimulasi dari area
spesifik retikular di batang otak pusat rasa akan menyebabkan pergerakan
pengunyahan secara ritmik, juga stimulasi area di hipotalamus, amyglada dan di
korteks cerebral dekat dengan area dengan area sensori untuk pengecapan dan
penciuman dapat menyebabkan pengunyahan. (Ogus, 1990).
Kebanyakan proses mengunyah dikarenakan oleh refleks mengunyah, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1.

kehadiran bolus dari makanan di mulut pertama kali menginsiasi refleks


penghambat dari otot mastikasi yang membuat rahang bawah turun.

2.

penurunan rahang ini selanjutnya menginisiasi reflaks melonggarkan otot


rahang memimpin untuk mengembalikan kontraksi.

3.

secara otomatis mengangkat rahang untuk menutup gigi, tetapi juga


menekan bolus lagi, melawan lining mulut, yang menghambat otot rahang
sekali lagi, membuat rahang turun dan mengganjal (rebound) di lain
waktu. Hal ini berulang terus menerus.

4.

pengunyahan merupakan hal yang penting untuk mencerna semua


makanan, khususnya untuk kebanyakan buah dan sayuran berserat karena
mereka memiliki membrane selulosa yang tidak tercerna di sekeliling
porsi nutrisi mereka yang harus dihancurkan sebelum makanan dapat
dicerna. (Ogus, 1990).
Pengunyahan juga membantu proses pencernaan makanan dengan alasan

sebagai berikut:
-

enzim pencernaan bekerja hanya di permukaan partikel makanan, sehingga


tingkat pencernaan bergantung pada area permukaan keseluruhan yang
dibongkar oleh sekresi pencernaan.

Penghalusan makanan dalam konsistensi yang baik mencegah penolakan


dari

gastrointestinal

tract

dan

meningkatkan

kemudahan

untuk

26

mengosongkan makanan dari lambung ke usus kecil, kemudian berturutturut ke dalam semua segmen usus. (Ogus, 1990).
2.5.2 Pergerakan
Selama pengunyahan rahang akan bergerak berirama, membuka dan
menutup. Tingkat dan pola pergerakan rahang dan aktivitas otot rahang telah
diteliti pada hewan dan juga manusia. Pola pergerakan rahang pada beberapa
hewan berbeda tergantung jenisnya. Pengulangan pergerakan pengunyahan
berisikan jumlah kunyahan dan penelanan. Selama mastikasi karakteristik
pengunyahan seseorang sangat bergantung pada tingkatan penghancuran
makanan. Urutan kunyah dapat dibagi menjadi tiga periode. Pada tahap awal,
makanan ditransportasikan ke bagian posterior gigi dimana ini merupakan
penghancuran dalam periode reduksi. Selanjutnya bolus akan dibentuk selama
final periode yaitu sebelum penelanan. Pergerakan rahang pada ketiga periode ini
dapat berbeda tergantung pada bentuk makanan dan spesiesnya. Selama periode
reduksi terdapat fase opening, fast-opening dan slow-opening. Pada periode
sebelum penelanan terdapat tiga fase selama rahang membuka dan dua fase
selama rahang menutup. (Ogus, 1990).
Selama penelanan lidah memainkan peran yang penting di dalam
mengontrol pergerakan makanan dan pembentukan menjadi bolus. Untuk
makanan yang dihancurkan, diposisikan oleh lidah pada konjugasi dengan otot
buccinators pada pipi diantara oklusal permukaan gigi. Makanan yang padat dan
cair ditransportasikan di dalam rongga mulut oleh lidah. Selama fase slowopening pada pengunyahan, lidah bergerak ke depan dan memperluas permukaan
makanan. Tulang hyoid dan badan lidah kembali tertarik selama fase fast-opening
dan fase-closing, membuat gelombang yang dapat memindahkan makanan ke
bagian posterior pada rongga mulut. Ketika makanan sudah mencapai bagian
posterior rongga mulut, akan berpindah ke belakang di bawah soft palate oleh aksi
menekan dari lidah. Lidah amat penting dalam pengumpulan dan penyortiran
makanan yang bias ditelan, sementara mengembalikan lagi makanan yang masih
dalam potongan besar ke bagian oklusal untuk pereduksian lebih lanjut. Sedikit

27

yang mengetahui mengenai mekanisme mendasar mengenai pengontrolan lidah


selama terjadinya aktivitas ini. (Ogus, 1990).
2.5.3 Aktivitas Otot
Kontraksi otot yang mengontrol rahang selama proses mastikasi terdiri
dari aktivitas pola asynchronous dengan variabilitas yang luas pada waktu
permulaan, waktu puncak, tingkat dimana mencapai puncak, dan tingkat
penurunan aktivitas. Pola aktivitas ditentukan oleh factor-faktor seperti spesies,
tipe makanan, tingkat penghancuran makanan, dan faktor individu. Otot
penutupan biasanya tidak aktif selama rahang terbuka, ketika otot pembuka
rahang sangat aktif. Aktivitas pada penutupan rahang dimulai pada awal rahang
menutup. Aktivitas dari otot penutup rahang meningkat secara lambat seiring
dengan bertemunya makanan di antara gigi. Otot penutupan pada sebelah sisi
dimana makanan akan dihancurkan, lebih aktif daripada otot penutupan rahang
kontralateral. (Thomson, 2007).
2.6 Asimetri
Kesimetrisan adalah adanya kesesuaian ukuran, bentuk dan susunan pada bidang,
titik atau garis pada sisi yang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketidaksimetrisan / asimetri dentofasial adalah kompleks yaitu tidak terbatas pada
gigi dan prosesus alveolaris saja, tetapi juga seluruh komponen wajah dan seluruh
struktur di sekitar gigi. Asimetri dentofasial kompleks dapat terjadi unilateral atau
bilateral, jurusan anteroposterior, superoinferior dan mediolateral. Asimetri wajah
dapat terjadi pada individu dengan oklusi yang baik, sedangkan asimetri dental
dapat terjadi individu dengan wajah yang simetri, dan keduanya dapat pula terjadi
pada individu yang sama (Fischer B, 1954).
ETIOLOGI
Penyebab dari asimetri tersebut sangat beragam dan berbeda pada tiap individu.
Pada beberapa pasien disebabkan karena erupsi gigi yang tidak normal, gigi
sulung yang tanggal terlalu dini, atau akibat pencabutan gigi permanen. Pada

28

pasien yang lain dapat disebabkan kelainan skeletal yang meliputi maksila atau
mandibula (Burstone CJ, 1998).
Meskipun penyebabnya sangat beragam, kelainan-kelainan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu defek perkembangan, trauma, patologi
(Burke PH, 1992).
2.6.1 ASIMETRI WAJAH
Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang
homolog pada wajah dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan.
Karena wajah yang asimetri sering disertai ketidaksimetrisan dental, maka
keadaan ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merawat suatu
maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa asimetri wajah merupakan
fenomena alami dan bukanlah merupakan hal yang abnormal. Asimetri
keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan bagian
yang homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan
karena

luka

atau

penyakit

dapat

menimbulkan

asimetri

yang

parah,

ketidaksimetrisan struktur wajah tidak mutlak dapat dirawat dengan perawatan


ortodontik (Fischer B, 1954).

Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan wajah yang secara estetik
tampak menyenangkan ternyata mempunyai struktur wajah yang asimetri pada
pemeriksaan dengan posteroanterior sefalogram (Peck S, Peck L, Kataja, M,
1991).
Asimetri dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena didukung jaringan
lunak bagian bawah lebih banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi asimetri
karena jaringan lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri pada maksila biasanya
merupakan akibat dari pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat
diklasifikasikan sebagai dental, skeletal, otot dan fungsional (Legan HL, 1998).
2.6.2 ASIMETRI DENTAL

29

Asimetri dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan
lengkung gigi yang tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas
dan bawah pada segmen yang sama, ketidakseimbangan antara lengkung gigi
rahang atas dan bawah secara keseluruhan atau sebagian (Fischer B, 1954).
Deviasi garis tengah merupakan hal yang umum dan sering ditemui oleh
ortodontis. Hal ini terdapat pada seluruh tipe kasus tapi yang paling sering adalah
pada maloklusi klas II. Penyebab deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang
posterior karena pergeseran mandibula, pergerakan gigi anterior atas atau bawah,
pergeseran ke lateral mandibula (tidak terdapat gigitan silang), asimetri lengkung
gigi, atau kombinasi keempat faktor diatas (Lewis PD, 1976).

2.7 Hubungan Kehilangan Gigi Posterior dengan Dimensi Vertical dan TMJ
2.7.1 Disharmoni Dentomaksilofacial
Disharmoni dentomaksiler adalah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi dan
rahang dalam hal ini lengkung gigi. Menurut Anggraini (1975) etiologi
disharmoni dentomaksiler adalah faktor herediter. Tanda-tanda klinis suatu
disharmoni dentomaksiler di regio anterior yang mudah diamati antara lain:
A.

Tidak ada diastema fisiologis pada fase geligi sulung yang secara umum
dapatdikatakan bahwa bila pada fase geligi sulung tidak ada diastema
fisiologis dapatdiduga bahwa kemungkinan besar akan terjadi gigi
berdesakan bila gigi-gigi permanen telah erupsi.

B.

Pada saat insisiv sentral akan erupsi, gigi ini meresorpsi akar insisiv
sentral sulungdan insisiv lateral sulung secara bersamaan sehingga insisiv
lateral sulung tanggal prematur

C.

Insisiv sentral permanen tumbuh dalam posisi normal oleh karena


mendapat tempatyang cukup. Bila letak insisiv sentral permanen tidak
normal berarti penyebabnya bukan disharmoni dentomaksiler murni tapi
penyebab lain.

30

D.

Pada saat insisiv lateral permanen akan erupsi dapt terjadi dua
kemungkinan. Yang pertama insisv lateral permanen meresorpsi akar
kaninus sulung sehingga kaninussulung tanggal prematur dan insisiv
lateral permanen tumbuh dalam letak yang normal karena tempatnya
cukup. Selanjutnya kaninus permanen akan tumbuh diluar lengkung geligi
karena tidak mendapat tempat yang cukup. Kemungkinan kedua adalah
insisv leteral permanen tidak meresopsi akar kaninus sulung tetapi tumbuh
di palatal sesuai dengan letak benihnya

Faktor Lokal
1.

Persistensi Gigi

Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decidous teeth berarti
gigisulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Bila
diduga terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada di rongga
mulut, perludiketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis
kepada orang tua pasien
2.

Trauma

Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila
terjaditrauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi
gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah
terbentuk makanterjadi dilaserasi. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat
pembentukan gigi permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi
trauma di sekitar mulutuntuk lebih memperkuat dugaan. Trauma pada salah satu
sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebakan asimertri muka.
3.

Pengaruh Jaringan Lunak

Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap
letak gigi. Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat
mengubahletak gigi. Misalnya pada lidah, karena letak lidah pada posisi istirahat
tidak benar atau karena makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan lidah
dengan bibir dan pipi sehingga insisiv bergerak ke arah labial. Bibir yang telah

31

dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-langit kadang-kadang mengandung


jaringan parut yang banyak selain tekannya yang besar oleh karena bibir pada
keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang lebih besar
dengan akibat insisiv tertekankearah palatal
4.

Kebiasaan Buruk

Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup


tinggidengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi . kebiasaan
menghisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak pada gigi
permanen bilakebiasaan tersebut telah berhenti sebelum gigi permanen tumbuh.
Bila kebiasaan initerus berlanjut sampai gigi permanen erupsi akan terdapat
maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisiv yang proklinasi dan terdapat
diastema, gigitan terbuka, lengkungatas yang sempit serta retroklinasi insisv
bawah. Kebiasaan menghisap bibir bawahdapat menyebabkan proklinasi insisiv
atas disertai jarak gigit yang bertambah danretroklinasi insisiv bawah
5.

Faktor Iatrogenik

Perawatan

ortodontik

mempunyai

kemungkinan

terjadinya

kelainan

iatrogenik.Misalnya, pada saan menggerakkan kaninus ke distal dengan peranti


lepasan tetapikarena kesalahan desain atau dapat juga saat menempatkan pegas
tidak benar sehingga terjadi gerakan gigi kedistal dan palatal. Pemakaian kekuatan
besar untuk menggerakkan gigi dapat menyebabkan resorpsi akar gigi yang akan
digerakkan,resorpsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa
gigi. Kelainan jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan
ortodontik, misalnya gerakan gigi kearah labial/bukal yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.
2.8 Gangguan Pada TMJ
Menurut Gordon kelainan STM dapat dikelompokkan dalam 2 bagian
yaitu : gangguan fungsi akibat adanya kelainan struktural dan dangguan fungsi
akibat adanya penyimpangan dalam aktifitas salah satu komponen fungsi sistem

32

mastikasi (disfungsi). Kelainan STM akibat kelainan struktural jarang dijumpai


dan terbanyak dijumpai adalah disfungsi (Pedersen, 1996).
STM yang diberikan beban berlebihan akan menyebabkan kerusakan pada
strukturnya atau mengganggu hubungan fungsional yang normal antara kondilus,
diskus dan eminensia yang akan menimbulkan rasa sakit, kelainan fungsi tubuh,
atau kedua-keduanya. Idealnya, semua pergerakan STM harus dipenuhi tanpa rasa
sakit dan bunyi pada sendi (Pedersen, 1996).
2.8.1 Kelainan struktural
Kelainan struktural adalah kelainan yang disebabkan oleh perubahan struktur
persendiana akibat gangguan pertumbuhan, trauma eksternal, penyakit infeksi
atau neoplasma dan umumnya jarang dijumpai (Pedersen, 1996).
Gangguan pertumbuhan konginetal berkaitan dengan hal-hal yang terjadi
sebelum kelahiran yang menyebabkan kelainan perkembangan yang muncul
setelah kelahiran. Umumnya

gangguan tersebut terjadi pada kondilus yang

menyebabkan kelainan selain pada bentuk wajah yang menimbulkan masalah


estetika juga masalah fungsional (Pedersen, 1996).
Cacat juga dapat terjadi pada permukaan artikular, yang maana cacat ini
dapat menyebabkan masalah pada saat sendi berputar yang dapat pula melibatkan
permukaan diskus. Cacat dapat disebabkan karena trauma pada rahang bawah,
peradangan, dan kelainan struktural. Perubahan di dalam artikular juga dapat
terjadi kerena variasi dari tekanan emosional. Oleh karena itu, ketika tekanan
emosional meningkat, maka tekanan pada artikular berlebihan, menyebabkan
terjadinya perubahan pergerakan (Pedersen, 1996).
Tekanan yang berlebihan pada sendi dapat mengakibatkan penipisan pada
diskus. Tekanan

berlebihan yang terus menrus pada akhirnya menyebabkan

perforasi dan keausan sampai terjadi fraktur pada diskus yang dapat menyebabkan
terjadinya perubahan pada permukaan artikular (Pedersen, 1996).
Kelainan trauma akibat perubahan pada STM dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan, kondilus ataupun keduanya. Konsekuensi yang mungkin

33

terjadi adlah dislokasi, hemartrosisi dan fraktur kondilus. Pasien yang mengalami
dislokasi tidak dapat menutup mulut dan terjadi open bite anterior, serta dapat
tekanan pada satu atau dua saluran pendengaran (Pedersen, 1996).
Kelainan struktural akibat trauma STM juga dapat menyebabkan edema
atau hemorage di dalam sendi. Jika trauma belum menyebabkan fraktur
mandibula, pada umumnya pasien mengalami pembengkakan pada daerah STM ,
sakit bila digerakaan dan pergerakan sendi berkurang. Kondisi ini kadang kadang
dikenal sebagai radang sendi traumatis (Pedersen, 1996).
Kelainan struktural yang dipengaruhi penyakit infeksi akan melibatkan
sistem muskuluskeletal yang banyak terdapat pada STM, penyakit-penyakit
tersebut antara lain yaitu osteoarthritis dan reumatoid arthritis adalah suatu
penyakit peradangan sistemik yang melibatkan sekililing STM (Pedersen, 1996).
2.8.2 Gangguan Fungsional
Gangguan fungsional adalah masalah-masalah STM yang timbul akibat
fungsi yang menyimpang kerena adanya kelainan pada posisi dan fungsi gigigeligi, atau otot-otot kunyah (Pedersen, 1996).
Suatu keadaan fisiologis atau yang biasa disebut orthofunction yakni batas
toleransi tiap individu saat melakukan pergeseran mandibula saat melakukan
pergeseran mmandibula tanpa menimbulakan keluhan otot ditandai dengan
adanya keserasian antara morfologi oklusi dan fungsi neuromuskular. Istilah
keadaan ini dikenal dengan zona toleransi fisiologik. Apabila ada rangsangan yang
menyimpang dari biasanya akibat oklusi gigi yang menimbulkan kontak prematur,
respon yang timbul berfariasi akibat biologis yang umumnya merupakan respon
adaptif atau periode adaptasi. Disini terjadi perubahan-perubahan adaptif pada
jaringan yang terlibat sebagai upaya menerima rangsangan yang menyimpang
tersebut contoh dari perubahan adaptif adalah ausnya permukaan oklusal gigi,
timbulnya perubahan membran periodontal, resorbsi alveolar setempat. Periode
oklusi ini akan jalan terus menerus sampai batas toleransi fisiologis otoy-otot atau
jaringan sekitar telah terlampaui. Berapa lama adatasi ini akan berlangsung
berbeda antara individu yang satu dengan yang lain, dan dipengaruhi oleh keadaan

34

patologi. Setelah batas psikologis ini terlampaui respon jaringan mengalami


perubahann yang bersifat lebih patologis. Keluhan dirasakan pada otot-otot
pergerakan mandibula, atau dapat pula pada sendi temporo mandibula (Pedersen,
1996).
2.9 Keabnormalan pada proses TMJ
1.

Dislokasi

misalnya luksasi terjadi bila kapsul dan ligamen

temporomandibula mengalami gangguan sehingga memungkinkan processus


condylaris untuk bergerak lebih kedepan dari eminentia articularis dan ke superior
pada saat membuka mulut. Kontriksi otot dan spasme yang terjadi selanjutnya
akan mengunci processus condylaris dalam posisi ini, sehingga mengakibatkan
gerakan menutup. Dislokasi dapat terjadi satu sisi atau dua sisi, dan kadang terjadi
secara sepontan bila mulut dubuka lebar, misalnya pada saat makan atau
mengunyah. Dislokasi dapat juga ditimbulkan oleh trauma saat penahanan
mandibula waktu dilakukan anestesi umum atau akibat pukulan. Dislokasi dapat
bersifat kronis dan kambuh, dimana pasien akan mengalami serangkaian serangan
yang

menyebabkan

kelemahan

abnormal

kapsul

pendukung

dan

ligamen(subluksasi kronis) (Pedersen, 1996).


2.

Kelainan internal ini jika perlekatan meniscus pada kutub processus

condylaris lateral mengendur atau terputus, atau jika zona bilaminar mengalami
kerusakan atau degenerasi akibat trauma atau penyakit sendi ataupun keduanya,
maka stabilitas sendi akan terganggu. Akibatnya akan terjadi pergeseran discus
kearah anteromedial akibat tidak adanya penahanan terhadap pergerakan
musculus pterygoideus laterralis superior. Berkurangnya pergeseran kearah
anterior yang spontan dari discus ini akan menimbulkan kliking yang khas,
yang akan terjadi bila jarak antara insisal meningkat. Sumber klikingsendi ini
berhubungan dengan pergeseran prosescus condylaris melewati pita posterior
meniscus yang tebal. Dengan memendeknya pergeseran anterior dari meniscus,
terjadi

kliking

berikutnya.

Pada

tahap

inilah

discus

akan

bersifat

fibrokartilagenus, yang mendorong terbentuknya konfirgurasi cembung-cembung


(Pedersen, 1996).

35

3.

Closed lock merupakan akibat dari pergeseran discus ke anterior yang

terus bertahan. Bila pita posterior dari discus yang mengalami deformasi tertahan
di anterior processus condylaris, akan terbentuk barier mekanis untuk pergeseran
processus condylaris yang normal. Jarak antar insisial jarang melebihi 25 mm,
tidak terjadi translasi, dan fenomena clicking hilang. Closed lock dapat terjadi
sebentar-sebentar dengan disela oleh clicking dan locking, atau bisa juga
bersifat permanen. Pada kondisi parsisten, jarak antar insisal secara bertahap akan
meningkat akibat peregangan dari perlekatan posterior discus, dan bukannya oleh
karena pengurangan pergeseran yang terjadi. Keadaan ini dapat berkembang ke
arah perforasi discus yang disertai dengan osteoarthritis pada processus condylaris
dan eminentia articularis (Pedersen, 1996).
4.

Closed lock akut Keadaan closed lock yang akut biasanya diakibatkan oleh

trauma yang menyebabkan processus condylaris terdorong ke posterior dan akibat


terjadi cedera pada perlekatan posterior. Rasa sakit atau tidak enak yang
ditimbulkan dapat sangat parah, dan keadaan ini kadang disebut sebagai discitis.
Discitis ini lebih menggambarkan keradangan pada perlekatan discus daripada
keadaan discus yang avaskular/aneural (Pedersen, 1996).
5.

Artritis. Keradanga sendi temporomandibula yang disebabkan oleh trauma,

atritis tertentu, dan infeksi disebut sebagai artritis. Trauma, baik akut atau pun
kronis, menyebabkan suatu keadaan progresif yang ditandai dengan pembekaan,
rasa sakit yang timbul hilang dan keterbatasan luas pergerakan sendi yang terlibat
(Pedersen, 1996).
6.

Spasme otot. Miospasme atau kekejangan otot, yaitu kontraksi tak sadar

dari satu atau kelompok otot yang terjadi secara tiba-tiba, biasanya nyeri dan
sering kali dapat menimbulkan gangguan fungsi. Devisiasi mandibula saat
membuka mulut dan berbagai macam gangguan/keterbatasan pergerakan
merupakan tanda obyektif dari miospasme. Bila musculus maseter dan temporalis
mengalami kekejangan satu sisi, maka pergerakan membuka dari mandibula akan
tertahan, dan akan terjadi deviasi mandibula ke arah sisi yang kejang. Pada saat
membuka mulut mengunyah dan menutupkan gerakan akan timbul rasa nyeri
ekstraartikular. Bila musculus pterygoideus lateralis inferior mengalami spasme

36

akan terjadi maloklusi akut, yang ditunjukkan dengan tidak beroklusinya gigi-gigi
posterior pada sisi yang sama dengan musculus tersebut, dan terjadi kontak
prematur gigi-gigi anterior pada sisi yang berlawanan. Nyeri akibat spasme
pterygoideus lateralis kadang terasa pada sendi itu sendiri. Bila terjadi kekejangan
pada musculus masseter, temporalis, dan musculus pterygoideus lateralis inferior
terjadi secara berurutan, baik unilateral ataupun bilateral, maka dapat timbul
maloklusi akut (Pedersen, 1996).
7. Stres. Walaupun stress dikatakan memiliki peranan etiologis yang penting
dalam dialami penderita atau reaksi penderita dalam menghadapinya. Beberapa
penderita akan mengalami kualitas tidurnya menjadi rendah dengan mulai
timbulnya bruxism dengan keadaan sters (Pedersen, 1996).

2.10 Clicking
2.10.1 Definisi Clicking
Clicking adalah bunyi singkat yang terjadi pada saat membuka atau
menutup mulut, bahkan keduanya.Clicking dapat terjadi pada awal, pertengahan,
dan akhir membuka dan menutup mulut. Bunyi click yang terjadi pada akhir
membuka mulut menandakan adanya suatu pergeseran yang berat. TMJ clicking
sulit didengar karena bunyinya halus, maka dapat didengar dengan menggunakan
stetoskop dan dirasakan dengan palpasi pada daerah sendi temporamandibula
selama pergerakan rahang. Umumnya bunyi tersebut hanya dapat didengar oleh
penderita, namun pada beberapa kasus bunyi tersebut menjadi cukup keras dan
dapat didengar oleh orang lain. Bunyi tersebut dideskripsikan penderita sebagai
suara yang berbunyi klik. Di antara fossa dan kondil terdapat diskus yang
berfungsi sebagai penyerap tekanan dan mencegah tulang saling bergesekan
ketika rahang bergerak. Bila diskus ini mengalami dislokasi, dapat menyebabkan
timbulnya bunyi saat rahang bergerak. Penyebab dislokasi bisa trauma, kontak
oklusi gigi posterior yang tidak baik atau tidak ada, dan bias saja karena gangguan
tumbuh kembang rahang dan tulang fasial. Kondisi seperti ini dapat juga
menyebabkan sakit kepala, nyeri wajah dan telinga. Jika dibiarkan tidak dirawat,
dapat menyebabkan rahang terkunci. Pada beberapa orang, terdapat perbedaan

37

posisi salah satu atau kedua sendi temporomandibula ketika beroklusi.


(marpaun,dkk , 2003).
2.10.2 Faktor Penyebab Clicking pada Sendi Temporomandibula
1. Adanya benturan atau trauma pada sendi temporomandibula tersebut.
Misalnya karena kecelakaan atau terbentur benda keras karena tidak
disengaja,(rahang pernah patah atau tulang muka pernah patah).
2. Orang yang mengunyah satu sisi.
Biasanya disebabkan dari berbagai hal misalnya ada gigi yang hilang dan
tidak diganti satu sisi sehingga gigi tersebut tidak enak dipakai untuk mengunyah.
Tekanan pada satu sisi sendi temporomandibula yang terus menerus dipakai
mengunyah jadi terlalu berat dan akan mengakibatkan adanya keausan tulang
yang cepat.
3. Adanya arthritis atau penyakit radang sendi
Radang sendi ini menyebabkan gangguan

pada

system

sendi

temporomandibula, sehingga pergerakannya menjadi terbatas.


4. Kelelahan otot sekitar sendi
Penyebab karena terlalu sering digunakan biasanya pada orang yang
Mengeretakan gigi (teeth grinding)
Mengepalkan gigi (bruxism)
Terjadi pada waktu tidur,karena pengaruh psikologis seperti stress ataupun
mimpi buruk. Dan akan meningkatkan keausan pada lapisan tulang rawan dari
sendi rahang (Marpaung dkk., 2003).
2.10.3 Mekanisme Clicking
Mekanisme kliking terjadi jika pada gerakan diskus tidak sinkron dengan
gerakan kondil. Perpindahan diskus timbul dari beberapa keadaan salah satunya
adalah trauma terhadap sendi sehingga ligament - ligament yang bekerja
berlawanan dengan otot pterigoideus lateralmengalami ketegangan atau robek.
Pada posisis ini, kontraksi otot menggerakan diskus maju ketika kondil bergerak
maju sewaktu membuka mulut tetapi ligament tidak dapat mempertahankan
diskus, di posisinya yang tepat saat rahang ditutup, sehingga terjadi kliking saat
membuka dan menutup mulut.
Terdapat gejala klinis yang dapat dikenali pada kliking, yaitu antara lain sebagau
berikut:
- Nyeri pada sekitar telinga
- Lock jaw: Kesulitan membuka rahang, tetapi Posisi Diskus artikularisnya
berbeda dengan kliking

38

- Close lock: Proc condilaris mengarah ke posterior padahal diskus ke anterior,


jadi menghambat gerak kondil.
- Sakit pada rahang
- Kesulitan mengunyah
- Sakit kepala
- Sulit menggerakan rahang
- Nyeri pada otot pengunyahan
- Rasa pada rahang terkunci pada saat menguap
- Gigitan yang tidak pas (Marpaung dkk., 2003).
2.11

Kehilangan Gigi

2.11.1 Etiologi Kehilangan Gigi


Hingga kini, karies dan penyakit periodontal masih menjadi
penyebab terbanyak tanggalnya gigi. Hal ini masih dialami oleh sekitar 90
persen masyarakat Indonesia. Kedua penyakit itu disebabkan oleh
kebersihan mulut yang buruk sehingga mengakibatkan akumulasi plak
yang mengandung berbagai macam bakteri. Selain itu, kehilangan gigi
juga dapat disebabkan oleh adanya abses, tumor ataupun fraktur, namun
hal ini tidak umum terjadi.
2.11.2 Dampak Kehilangan Gigi
A. Secara Umum
Kehilangan gigi sebagian maupun seluruhnya dapat menimbulkan
dampak, seperti dampak fungsional, sistemik dan emosional.
1. Fungsional
Kesehatan mulut yang rendah berdampak pada kehilangan gigi yang dapat
menyebabkan masalah pada pengunyahan dan pola makan sehingga mengganggu
status nutrisi. Individu yang kehilangan gigi sebagian atau seluruhnya hanya dapat
memakan makanan yang lembut sehingga nutrisi bagi tubuh menjadi terbatas.
Populasi yang mengalami kehilangan gigi terutama kehilangan seluruh gigi akan
mengubah pola konsumsinya, sehingga makanan yang keras dan kesat seperti
buah-buahan, sayur sayuran dan daging yang merupakan sumber vitamin,
mineral dan protein menjadi sesuatu hal yang sulit bahkan tidak mungkin untuk
dikunyah. Hasil penelitian Osterberg dkk (1996) menemukan bahwa kemampuan
mengunyah pada pasien yang kehilangan seluruh gigi hanya 1/6 dari pasien yang
memiliki gigi asli. Kekuatan gigit pada pemakai GTP hanya sekitar 20% jika

39

dibandingkan dengan subjek yang masih bergigi. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa orang yang kehilangan gigi geliginya mengeluhkan kesukaran dalam
mengunyah makanan yang keras
2. Sistemik
Dampak sistemik yang timbul akibat kehilangan gigi berupa penyakit
sistemik seperti defisiensi nutrisi, osteoporosis dan penyakit kardiovaskular
(artherosclerosis). Penyebabnya adalah status gigi yang buruk dan perubahan pola
konsumsi. Kurangnya konsumsi kalsium dan vitamin D yang berasal dari buah
buahan dan sayur sayuran akibat kehilangan gigi dapat meningkatkan resiko
terjadinya osteoporosis. Selain itu, penyakit kardiovaskular dapat disebabkan
bersatunya agen infeksius dalam bentuk atheroma dan faktor predisposisi genetik
terhadap penyakit periodontal dan penyakit kardiovaskular. Penyebaran bakteri
dari penyakit periodontal akan masuk ke sirkulasi pembuluh darah sehingga dapat
menyebabkan resiko sistemik.
3. Emosional
Dampak emosional adalah perasaan atau reaksi yang ditunjukkan pasien
sehubungan dengan status kehilangan seluruh gigi yang dialaminya. Kehilangan
gigi dapat merubah bentuk wajah, tinggi muka dan vertikal dimensi serta rahang
yang prognasi sehingga menimbulkan reaksi seperti merasa sedih dan depresi,
kehilangan kepercayaan diri, merasa tua, perubahan tingkah laku, merasa tidak
siap untuk menerima kehilangan gigi dan tidak ingin orang lain melihat
penampilannya saat tidak memakai gigitiruan serta mengubah tingkah laku dalam
bersosialisasi. Fiske dkk (1998) menyatakan bahwa hilangnya gigi dan pemakaian
gigitiruan berdampak pada psikososial seseorang. Penelitian oleh Davis dkk
(2000) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh emosional yang signifikan sebagai
konsekuensi kehilangan gigi, 45% dari pasien kehilangan seluruh gigi di London
sulit untuk menerima kehilangan gigi (Haryanto dkk., 1995).
B. Secara Khusus
1. Migrasi dan Rotasi
Hilangnya
kesinambungan

pada

gigi

dapat

menyebabkan

pergeseran,miring atau berputarnya gigi. Karena gigi tidak lagi menempati posisi
yang normal, pada saat pengunyahan maka akan mengakibatkan kerusakan
struktur periodaonatl. Gigi yang miring lebih sulit dibersihkan, sehingga aktifitas
karies meningkat.

40

2. Erupsi berlebihan
Bila gigi sudah tidak mempunyai gigi antagonisnya lagi, maka akan terjadi
erupsi berlebihan. Erupsi berlebih dapat terjadi tanpa atau disertai pertumbuhan
tulang alveolar, maka struktur periodontal akan mengalami kemunduran, sehingga
gigi mulai ekstruksi
3. Penurunan Efisiensi Kunyah
Mereka yang sudah kehilangan gigi cukup banyak, apalagi gigi belakang
akan merasakan betapa efisiensi kunyahnya menurun
4. Gangguan pada sendi temporomandibular
Kebiasaan mengunyah yang buruk, penutupan berlebih atau over clessure,
hubungan rahang yang eksentrik akibat kehilangan gigi, dapat menyebabkan
gangguan pada TMJ
5. Beban berlebih pada jaringan pendukung
Bila penderita yang sudah kehilangan sebagian gigi aslinya, maka gigi
yang masih ada akan menerima tekanan mastikasi lebih besar sehingga terjadi
pembebanan berlebih (over loading). Hal ini akan mengakibatkan kerusakan
membrane periodontal dan lama kelamaan gigi yang tidak akan menjadi goyang
dan akhirnya terpaksa dicabut
6. Kelaianan Bicara
Kehilangan gigi depan atas dan bawah sering kali menyebabkan kelainan
bicara. Karena giginya (khususnya gigi depan) termasuk bagian organ fonetik
(penghasil suara)
7. Memburuknya penampilan
Gigi yang hilang mengurangi daya tarik wajh seseorang
8. Terganggunya kebersihan mulut
Migrasi dan rotasi gigi menyebabkan gigi kehilangan kontak dengan gigi
tetangganya, demikian pula gigi yang kehilangan lawan giginya. Adanya ruang
interproksimal ini, mengakibatkan celah antar gigi mudah disisipi sisa makanan.
Dengan sendirinya kebersihan mulut terganggu dan mudah terjadi plak. Pada
tahap berikut terjadinya karies dapat meningkat.
9. Efek terhdap jaringan lunak mulut
Bila ada gigi yang hilang, ruang yang di tinggalkanya akan ditempati
jaringan lunak pipi dan lidah. Jika berlangsung lama, hal ini akan menyebabkan
kesukaran adaptasi terhadap geligi tiruan yang kemudian dibuat, karena
terdesaknya kembali jaringan lunak tadi tempat yang di tempati protesi. Dalam hal
ini, pemakaian gigi tiruan akan dirasakan sebagai suatu benda asing yang cukup
mengganggu (Haryanto dkk., 1995).

41

2.12 Gejala dan Pemeriksaan


A. Gejala
Kelainan-kelainan sakit sendi rahang umumnya terjadi karena aktivitas yang tidak
berimbang dari otot-otot rahang dan/atau spasme otot rahang dan pemakaian
berlebihan. Gejala-gejala bertendensi menjadi kronis dan perawatan ditujukan
pada eliminasi faktor-faktor yang mempercepatnya. Banyak gejala-gejala
mungkin terlihat tidak berhubungan dengan TMJ sendiri. Berikut adalah gejalagejala yang umum:
1.

Sakit Telinga: Kira-kira 50% pasien dengan gangguan sendi rahang


merasakan sakit telinga namun tidak ada tanda-tanda infeksi. Sakit
telinganya umumnya digambarkan sepertinya berada di muka atau bawah
telinga. Seringkali, pasien-pasien dirawat berulangkali untuk penyakit
yang dikirakan infeksi telinga, yang seringkali dapat dibedakan dari TMJ
oleh suatu yang berhubungan dengan kehilangan pendengaran (hearing
loss) atau drainase telinga (yang dapat diharapkan jika memang ada infeksi
telinga). Karena sakit telinga terjadi begitu umum, spesialis-spesialis
kuping sering diminta bantuannya untuk membuat diagnosis dari
gangguan sendi rahang.

2.

Kepenuhan Telinga: Kira-kira 30% pasien dengan gangguan sendi rahang


menggambarkan telinga-telinga yang teredam (muffled), tersumbat
(clogged) atau penuh (full). Mereka dapat merasakan kepenuhan telinga
dan sakit sewaktu pesawat terbang berangkat (takeoffs) dan mendarat
(landings). Gejala-gejala ini umumnya disebabkan oleh kelainan fungsi
dari tabung Eustachian (Eustachian tube), struktur yang bertanggung
jawab untuk pengaturan tekanan ditelinga tengah. Diperkirakan pasien
dengan gangguan sendi rahang mempunyai aktivitas hiper (spasme) dari
otot-otot yang bertanggung jawab untuk pengaturan pembukaan dan
penutupan tabung eustachian.

3.

Dengung Dalam Telinga (Tinnitus): Untuk penyebab-penyebab yang tidak


diketahui, 33% pasien dengan gangguan sendi rahang mengalami suara

42

bising (noise) atau dengung (tinnitus). Dari pasien-pasien itu, separuhnya


akan hilang tinnitusnya setelah perawatan TMJnya yang sukses.
4.

Bunyi-Bunyi: Bunyi-bunyi kertakan (grinding), klik ( clicking) dan


meletus (popping), secara medis diistilahkan crepitus, adalah umum pada
pasien-pasien dengan gangguan sendi rahang. Bunyi-bunyi ini dapat atau
tidak disertai dengan sakit yang meningkat.

5.

Sakit Kepala: Hampir 80% pasien dengan gangguan sendi rahang


mengeluh tentang sakit kepala, dan 40% melaporkan sakit muka. Sakitnya
seringkal menjadi lebih ketika membuka dan menutup rahang. Paparan
kepada udara dingin atau udara AC dapat meningkatkan kontraksi otot dan
sakit muka.

6.

Pusing: Dari pasien-pasien dengan gangguan sendi rahang, 40%


melaporkan pusing yang samar atau ketidakseimbangan (umumnya bukan
suatu spinning type vertigo). Penyebab dari tipe pusing ini belum
diketahui.

7.

Penelanan : Kesulitan menelan atau perasaan tidak nyaman ketika menelan

8.

Rahang Terkunci : Rahang terasa terkunci atau kaku, sehingga

sulit

membuka atau menutup mulut


9.

Gigi: Gigi-gigi tidak mengalami perlekatan yang sama karena ada


sebagian gigi yang mengalami kontak prematur dan bisa d sebabkan
karena maloklusi atau merasa gigitan tidak pas

B. Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis
1. Inspeksi
Untuk melihat adanya kelainan sendi temporomandibular perlu diperhatikan gigi,
sendi rahang dan otot pada wajah serta kepala dan wajah. Apakah pasien
menggerakan mulutnya dengan nyaman selama berbicara atau pasien seperti

43

menjaga gerakan dari rahang bawahnya. Terkadang pasien memperlihatkan


kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik selama interview seperti bruxism.
2.

Palpasi :

a.

Masticatory muscle examination: Pemeriksaan dengan cara palpasi sisi


kanan dan kiri pada dilakukan pada sendi dan otot pada wajah dan daerah
kepala.

b.

Temporalis muscle, yang terbagi atas 3 segmen yaitu anterior, media, dan
posterior.

c.

Zygomatic arch (arkus zigomatikus).

d.

Masseter muscle

e.

Digastric muscle

f.

Sternocleidomastoid muscle

g.

Cervical spine

h.

Trapezeus muscle, merupakan Muscular trigger point serta menjalarkan


nyeri ke dasar tengkorang dan bagian temporal

i.

Lateral pterygoid muscle

j.

Medial pterygoid muscle

k.

Coronoid process

l.

Muscular Resistance Testing: Tes ini penting dalam membantu mencari


lokasi nyeri dan tes terbagi atas 5, yaitu :
1.

Resistive opening (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada


ruang inferior m.pterigoideus lateral)

2.

Resistive closing (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada m.


temporalis, m. masseter, dan m. pterigoideus medial)

44

3.

Resistive lateral movement (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri


pada m. pterigoideus lateral dan medial yang kontralateral)

4.

Resistive protrusion (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada m.


pterigoideus lateral)

5.

Resistive retrusion (sensitive untuk mendeteksi rasa nyeri pada


bagian posterior m. temporalis)

3.

Pemeriksaan tulang belakang dan cervical : Dornan dkk memperkirakan

bahwa pasien dengan masalah TMJ juga memperlihatkan gejala pada cervikal.
Pada kecelakaan kendaraan bermotor kenyataannya menunjukkan kelainan pada
cervikal maupun TMJ. Evaluasi pada cervikal dilakukan dengan cara :
a.

Menyuruh pasien berdiri pada posisi yang relaks, kemudian dokter menilai
apakah terdapat asimetris kedua bahu atau deviasi leher

b.

Menyuruh pasien untuk menghadap kesamping untuk melihat postur leher


yang terlalu ke depan

c.

Menyuruh pasien untuk memutar (rotasi) kepalanya ke setiap sisi, dimana


pasien seharusnya mampu untuk memutar kepala sekitar 80 derajat ke
setiap sisi.

d.

Menyuruh pasien mengangkat kepala ke atas (ekstensi) dan ke bawah


(fleksi), normalnya pergerakan ini sekitar 60 derajat

e.

Menyuruh pasien menekuk kepala kesamping kiri dan kanan, normalnya


pergerakan ini 45 derajat

4.

Auskultasi : Joint sounds


Bunyi sendi TMJ terdiri dari clicking dan krepitus. Clicking adalah

bunyi singkat yang terjadi pada saat membuka atau menutup mulut, bahkan
keduanya. Krepitus adalah bersifat difus, yang biasanya berupa suara yang
dirasakan menyeluruh pada saat membuka atau menutup mulut bahkan keduanya.
Krepitus menandakan perubahan dari kontur tulang seperti pada osteoartrosis.

45

Clicking dapat terjadi pada awal, pertengahan, dan akhir membuka dan
menutup mulut. Bunyi click yang terjadi pada akhir membuka mulut
menandakan adanya suatu pergeseran yang berat. TMJ clicking sulit didengar
karena bunyinya halus, maka dapat didengar dengan menggunakan stetoskop.
5.

Range of motion:
Pemeriksaan pergerakan Range of Motion dilakukan dengan pembukaan

mulut secara maksimal, pergerakan dari TMJ normalnya lembut tanpa bunyi atau
nyeri. Mandibular range of motion diukur dengan :
a.

Maximal interticisal opening (active and passive range of motion)

b.

Lateral movement

c.

Protrusio movement

Pemeriksaan penunjang
1.

Transcranial radiografi : Menggunakan sinar X, untuk dapat menilai

kelainan, yang harus diperhatikan antara lain:


a.

Condyle pada TMJ dan bagian pinggir kortex harus diperhatikan

b.

Garis kortex dari fossa glenoid dan sendi harus dilihat.

c.

Struktur condyle mulus, rata, dan bulat, pinggiran kortex rata.

d.

Persendian tidak terlihat karena bersifat radiolusen.

e.

Perubahan patologis yang dapat terlihat pada condyle diantaranya


flattening, lipping.

2.

Panoramik Radiografi : Menggunakan sinar X, dapat digunakan untuk

melihat hampir seluruh regio maxilomandibular dan TMJ. Kelemahan dari


pemeriksaan ini antara lain :
a.

Terdapatnya bayangan atau struktur lain pada foto X ray.

46

b.

Fenomena distorsi, dimana terjadi penyimpangan bentuk yang sebenarnya


yang terjadi akibat goyang saat pengambilan gambar.

c.

Gambar yang kurang tajam. Kelainan yang dapat dilihat antara lain fraktur,
dislokasi, osteoatritis, neoplasma, kelainan pertumbuhan pada TMJ.

3.

CT Scan : Menggunakan sinar X, merupakan pemeriksaan yang akurat

untuk melihat kelainan tulang pada TMJ.


2.8.3 Penatalaksanaan Gangguan TMJ
Terapi TMJ yang paling konservatif meliputi terapi fisik, obat-obatan dan
mekanis. Metode ini sering digunakan secara bersamaan.
Terapi Fisik.
Pendekatan paling dasar untuk gangguan fungsi/penyakit TMJ adalah
secara fisik. Kompres panas pada otot yang kaku seringkali dapat menghilangkan
nyeri otot dan kaku. Pasien diintruksi untuk membatasi jarak antar insisal pada
saat membuka mulut, untuk menghindari kliking. Pemijatan otot yang nyeri
dapat membantu meregangkan gejala nyeri kronis (Pedersen, 1996).
Manipulasi.
Manipulasi dapat dilakukan dalam terapi TMJ untuk mengurangi dislokasi
mandibular dan pergeseran discus ke anterior.
Karena keradangan merupakan bagian dari gangguan fungsi sendi baik
intra maupun ekstra-artikular, maka diindikasikan penggunaan bahan anti radang
non-steroid. Aspirin, ibuprofen, dan Naproxen merupakan obat-obatan yang
efektif .
Mekanisme. Penatalaksanaan penyakit fungsi sendi temporomandibula
secara mekanis meliputi penggunaan splint, penyesuaian oklusal, retorasi prostetik
(Pedersen, 1996).
Penatalaksanaan pembedahan, beberapa keadaan tertentu hanya dapat
ditangani secara pembedahan. Penatalaksanaan pembedahan dilakukan bila secara

47

konservatif gagal. Kasus yang ditangani secara pembedahan seperti, ankilosis


tulang, eksisi neoplasia, hiperplasia procesus condylaris, rekonstruksi processus
condylaris, dan penanganan beberapa fraktur subcondylaris secara pembedahan
(Pedersen, 1996).

Anda mungkin juga menyukai