Anda di halaman 1dari 10

ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN RAWAN

LONGSOR DI KOTA PADANG


Dedi Hermon1), Santun R.P. Sitorus2), Manuwoto3), Alinda F. Medrial Zain4)
ABSTRACT
The main objectives of this research are to evaluate and formulate landslide hazard
level zone and to formulate the direction of policy of land use and direction of
settlement development in landslide hazard area. Evaluation and formulation of
landslide hazard level in Padang city, conducted using Geographic Information
System (GIS) technique and MAFF-Japan model for landslide. Formulation of policy
direction of land use and direction settlement development in landslide hazard was
conducted descriptively from the result of the research data beforehand and priority
of policy direction was analysed using Analytical Hierarchy Process (AHP). The
research result, show that there were four landslide hazard zone levels in Padang
city, namely low (18,613 ha), medium (15,256 ha), high (27,614 ha), and extremely
high (7,633 ha), respectively. Policy direction to preventing the development of
settlement area at high and highest landslide hazard zone must be prohibited.
Keywords: landslides, policy of landslide hazard zones
PENDAHULUAN
Longsor merupakan suatu fenomena alam yang selalu berhubungan dengan
datangnya musim hujan, terjadi secara tiba-tiba dalam waktu yang relatif singkat
pada suatu tempat tertentu dengan tingkat kerusakan yang sangat berat, bahkan
kehilangan nyawa penduduk yang bermukim di sekitarnya (Sitorus, 2006). Menurut
Utoyo et al. (2001) dan Canuti et al. (2003), bencana longsor selain diakibatkan oleh
karakteristik wilayah, juga disebabkan oleh aktivitas manusia dalam hal pemenuhan
kebutuhannya tanpa memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya alam. Dewasa
ini, bencana longsor sering terjadi dan menghancurkan permukiman serta sarana
dan prasarana lainnya. Hal ini menimbulkan kerugian harta dan jiwa penduduk yang
bermukim pada daerah tersebut, sehingga perlu penataan kembali permukiman
penduduk ke kawasan yang bebas longsor (Virdin, 2001; Syahrin, 2003; Suryani dan
Marisa, 2005; dan Martono et al., 2005). 1) Dosen Jurusan Geografi FIS UNP dan
Mahasiswa Program Doktor PSL IPB Bogor
2) Dosen Departemen Ilmu Tanah dan PSL IPB Bogor
3) Dosen Arsitektur Landscape dan PSL IPB Bogor
4) BAPENAS Jakarta dan Dosen PSL IPB Bogor
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), secara umum menjelaskan
bahwa Indonesia tergolong pada daerah rawan longsor dengan 918 titik lokasi
rawan longsor yang setiap tahunnya mengakibatkan kerugian akibat bencana tanah
longsor sekitar Rp. 800 milyar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta jiwa.
Propinsi yang tergolong rawan longsor adalah: Jawa Tengah (327 lokasi), Jawa Barat
(276 lokasi), Sumatera Barat (100 lokasi), Sumatera Utara (53 lokasi), Yogyakarta
(30 lokasi), Kalimantan Barat (23 lokasi), dan sisanya tersebar di NTT, Riau,
Kalimantan Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Selama tahun 20032005, longsor yang terjadi mencapai 103 kali dan menghancurkan permukiman

penduduk. Korban jiwa yang meninggal dunia 411 orang, korban luka-luka 149
orang, rumah hancur 256 unit, rumah rusak 1.854 unit, rumah terancam longsor
2.498 unit, lahan petani rusak 751 ha, dan jalan terputus 920 m.
Propinsi Sumatra Barat sebagai salah satu propinsi yang rawan longsor memiliki
luas + 42.297 km2. Pada tahun 1971 jumlah penduduk 2.792.221 jiwa, diantaranya
86% tinggal di desa. Kepadatan penduduk rata-rata 66 jiwa/km2 dan kenaikan
jumlah penduduk rata-rata sekitar 2% setiap tahunnya. Pada Tahun 2006, jumlah
penduduk Sumatera Barat + 4.746.776 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata
112 jiwa/km2. Konsentrasi permukiman sebagian besar terdapat di Kota Padang,
Kota Bukitinggi, Kabupaten Padang Pariaman, Agam, Limapuluh Kota, Solok, dan
Kabupaten Tanah Datar (Pemprov Sumbar, 2007).
Kota Padang merupakan ibu kota propinsi Sumatera Barat dengan tipe relief datarberbukit. Dinamika permukiman akibat perubahan penggunaan lahan terus terjadi,
umumnya berkembang ke daerah pinggiran bagian timur, utara, dan selatan kota
dengan karakteristik fisik yang rentan terhadap bencana longsor. Kota Padang
awalnya merupakan suatu permukiman kecil, secara spasial mempunyai lokasi
yang strategis bagi kegiatan perdagangan. Seiring dengan perjalanan waktu, Kota
Padang mengalami perkembangan sebagai akibat pertambahan penduduk,
perubahan sosio-ekonomi dan budayanya, serta interaksinya dengan kota-kota lain
dan daerah sekitarnya (Sandy, 1978).
BKSPBB Kota Padang (2007) menjelaskan bahwa dalam rentang tahun 1980-2007
sudah terjadi + 30 kali longsor melanda Kota Padang yang banyak menimbulkan
kerugian harta, benda, dan jiwa penduduk. Lokasi kejadian longsor terdapat di
kawasan Gunung Padang, yaitu di Bukit Lantiak, Bukit Gado-Gado, Bukit Mata Air,
dan Bukit Air Manis. Selain itu, longsor juga terjadi di Bukit Gaung, Lubuk Minturun,
Sitinjau Laut, Indarung, dan Bungus Teluk Kabung. Bencana tanah longsor yang
terjadi di Bukit Lantiak pada tahun 1999 mengakibatkan 67 orang meninggal dunia
dan puluhan rumah hancur. Tahun 2000 dan 2001 longsor kembali terjadi di Bukit
Lantiak yang menewaskan puluhan jiwa. Bencana tersebut tergolong pada bencana
tanah longsor yang cukup parah, sehingga dianggap sebagai bencana daerah
Sumatera Barat dan Nasional. Sejalan dengan otonomi daerah, dimana Kota Padang
diberi wewenang dalam mengatasi permasalahan penataan ruang, terutama
penataan ruang untuk permukiman, pemerintah daerah berkewajiban
mengeluarkan suatu kebijakan penggunaan lahan untuk permukiman, terutama
pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor, agar tercipta rasa aman
bagi masyarakat. Bertolak dari hal tersebut, tujuan dalam penelitian ini adalah
untuk merumuskan zona-zona kawasan tingkat bahaya longsor dan merumuskan
arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor di Kota
Padang.
METODE PENELITIAN
Metode untuk merumuskan zonasi tingkat bahaya longsor dilakukan melalui
pendekatan keruangan dengan simulasi model MAFF-Japan (Ministry of Agriculture
Forestry and Fishery-Japan) (Zain, 2002), yaitu dengan model:
TBL = P + 3 (LU) + 2 (S) + 2 (ST) + G + LF
Dimana:
P
: Curah Hujan;
LU
: Penggunaan Lahan;
S
: Lereng;
ST
: Jenis Tanah;

G
LF
TBL

: Tipe Geologi;
: Bentuklahan
: Tingkat Bahaya Longsor

Analisis data dilakukan dengan GIS yang terdiri dari 4 tahap, yaitu (1) tahap
tumpangsusun data spasial, (2) tahap editing data atribut, (3) tahap analisis
tabuler, dan (d) presentasi grafis (spasial) hasil analisis. Metode yang digunakan
dalam tahap analisis tabuler adalah metode scoring. Setiap parameter penentu
tingkat bahaya longsor diberi skor tertentu, dan kemudian pada setiap unit analisis
skor tersebut dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya dikalsifikasikan
untuk menentukan tingkat bahaya longsor. Klasifikasi tingkat bahaya longsor
berdasarkan jumlah skor parameter longsor.
Perumusan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor
dilakukan secara deskriptif berdasarkan pada hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan. Prioritas kebijakan dilakukan dengan teknik analisis AHP (Analysis
Hierarchi Process). Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis AHP adalah sebagai
berikut: (1) penyusunan hierarki, untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur
dalam wujud kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk hierarki, (2)
penyusunan kriteria, digunakan untuk membuat keputusan yang dilengkapi dengan
bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria tersebut untuk dipilih sebagai
keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah, (3) penilaian kriteria dan
alternatif, untuk melihat pengaruh strategis terhadap pencapaian sasaran yang
dinilai melalui perbandingan berpasangan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif
berdasarkan skala perbandingan (Marimin, 2005), dan (4) penentuan prioritas,
menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk
setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan
menggunakan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik
untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Selanjutnya
dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan menggunakan
penghitungan Inconsistency Ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model bahaya longsor yang telah di analisis memberikan gambaran visual yang
nyata terhadap distribusi tingkat bahaya longsor di lokasi penelitian. Dari model
bahaya longsor, diperoleh 4 zona tingkatan bahaya longsor, yaitu: (1) zona tingkat
bahaya longsor rendah (18.613 ha), meliputi Kecamatan Padang Timur, Padang
Utara, Padang Barat, Nanggalo, Koto Tangah bagian barat, Kuranji bagian barat,
Lubuk Begalung bagian utara, Bungus Teluk Kabung bagian barat, (2) zona tingkat
bahaya longsor sedang (15.256 ha), meliputi Kecamatan Koto Tangah bagian
tengah, Kuranji bagian tengah, Pauh bagian barat, Lubuk Kilangan bagian barat
dan timur, Padang Selatan bagian timur, Bungus Teluk Kabung bagian tengah, (3)
zona tingkat bahaya longsor tinggi (27.614 ha), meliputi Kecamatan Koto Tangah
bagian utara, Kuranji bagian timur, Pauh bagian utara, Lubuk Kilangan bagian timur,
Padang Selatan bagian barat, Bungus Teluk Kabung bagian timur, dan (4) zona
tingkat bahaya longsor sangat tinggi (7.633 ha), meliputi Kecamatan Koto Tangah
bagian timur, Kuranji bagian utara, Pauh bagian timur, Padang Selatan bagian
tengah, Lubuk Begalung bagian Barat.

Gambar 1. Tingkat Bahaya Longsor Kota Padang (2009)


Permukiman terus berkembang pada kawasan-kawasan rawan longsor, terutama
pada kawasan dengan tingkat bahaya longsor rendah (18.613 ha), tingkat bahaya
longsor sedang (15.256 ha), tingkat bahaya longsor tinggi (27.614 ha), dan tingkat
bahaya longsor sangat tinggi (7.633 ha). Pada tahun 1985, luas lahan yang
digunakan untuk permukiman pada kawasan tingkat bahaya longsor rendah adalah
4.720 ha, tahun 1994 meningkat menjadi 6.945 ha, dan tahun 2006 meningkat
menjadi 9.062 ha. Lahan yang digunakan untuk pemukiman pada kawasan tingkat
bahaya longsor sedang pada tahun 1985 adalah 874 ha, tahun 1994 meningkat
menjadi 2.085 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 2.894 ha. Pada tahun 1985,
luas lahan yang digunakan untuk pemukiman pada kawasan tingkat bahaya longsor
tinggi adalah 714 ha, tahun 1994 meningkat menjadi 2.125 ha, dan tahun 2006
meningkat menjadi 2.895 ha. Lahan yang digunakan untuk pemukiman pada
kawasan tingkat bahaya longsor sangat tinggi pada tahun 1985 adalah 248 ha,
tahun 1994 meningkat menjadi 930 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 1.757
ha (Hermon, 2009). Terjadinya peningkatan luas lahan pemukiman pada kawasankawasan dengan tingkat bahaya longsor tinggi dan sangat tinggi disebabkan oleh
lemahnya kontrol pemerintah dalam pengendalian kebijakan tata ruang wilayah
kota (RTRW Kota).
Hasil analisis tingkat bahaya longsor dengan tingkat kesesuaian lahan untuk
permukiman di lokasi penelitian, diperoleh 3 zona kawasan untuk pengembangan
permukiman, yaitu:
1. Zona A, yaitu kawasan pengembangan permukiman yang sesuai untuk
permukiman dengan tingkat bahaya longsor rendah
2. Zona B, yaitu kawasan pengembangan permukiman yang sesuai untuk
permukiman dengan tingkat bahaya longsor sedang

3. Zona C, yaitu kawasan yang tidak dibolehkan mengembangkan permukiman.


Hal ini disebabkan oleh kesesuaian lahan untuk permukiman memiliki tingkat
kesesuaian lahan tidak sesuai untuk permukiman dengan variasi tingkat bahaya
longsor sedang-sangat tinggi.
Distribusi kawasan untuk pengembangan permukiman pada kawasan rawan
longsor di Kota Padang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Distribusi Kawasan untuk Pengembangan Permukiman pada Kawasan
Rawan Longsor di Kota PadangZona
Tingkat Kesesuaian LahanTingkat Bahaya
Longsor
Distribusi Kawasan
A
Sesuai
Rendah
Kecamatan Koto Tangah bagian barat, Padang
Utara, Nanggalo bagian barat, Padang Barat, Padang Timur, Lubuk Begalung bagian
utara, dan Bungus Teluk Kabung bagian barat
B
Sesuai
Sedang
Kecamatan Koto Tangah bagian tengah, Nanggalo
bagian timur, Kuranji bagian barat, Pauh bagian barat, Lubuk Kilangan bagian utara,
Lubuk Begalung bagian timur, Padang Selatan bagian barat dan timur, Bungus Teluk
Kabung bagian utara dan selatan
C
Tidak Sesuai SedangSangat Tinggi
Kecamatan Koto Tangah bagian tengah, selatan, dan timur.
Kecamatan Kuranji bagian utara, selatan, dan timur. Kecamatan Pauh bagian
tengah, utara, selatan, dan timur. Kecamatan Lubuk Kilangan bagian timur dan
utara. Kecamatan Padang Selatan bagian barat dan tengah. Kecamatan Lubuk
Begalung bagian selatan dan barat. Kecamatan Bungus Teluk Kabung bagian timur
dan utara.
Sumber: Hasil Analisis Data Penelitian (2009)
Zona A, merupakan kawasan yang dapat dioptimalkan untuk pengembangan
permukiman, karena relatif aman dari bencana longsor. Zona B, merupakan
kawasan yang bisa digunakan untuk pengembangan permukiman, tetapi harus
diringi dengan tindakan-tindakan pencegahan longsor. Hal ini disebabkan karena
tingkat bahaya longsor pada zona B tergolong sedang, dimana longsor dapat terjadi
1 kali dalam setahun terutama pada lahan yang mempunyai kemiringan >15%.
Tingkat kesesuaian lahan pada zona A dan zona B adalah sesuai untuk permukiman.

Gambar 2. Zona Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor di Kota


Padang (2009)
Luas lahan yang sudah digunakan untuk permukiman pada zona A (A1) adalah
9.062 ha dan luas keseluruhan zona A 18.613 ha, sehingga zona A (A2) yang
masih bisa dikembangkan untuk permukiman adalah 9.551 ha. Luas lahan yang
digunakan untuk permukiman pada zona B (B1) adalah 2.080,58 ha dan luas
keseluruhan zona B 11.004 ha, sehingga zona B (B2) yang masih bisa
dikembangkan untuk permukiman dengan beberapa tindakan pencegahan longsor
adalah 8.923,42 ha. Sedangkan zona C yang telah digunakan sebagai lahan
permukiman seluas 5.465, 42 ha. Karakteristik zona C yang tidak sesuai untuk
permukiman dan berpotensi cukup besar terjadinya longsor, maka permukiman
pada zona C (5.462,42 ha) perlu direlokasi secara bertahap ke zona A atau zona B.
Arahan penataan dan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Arahan Penataan dan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan
Longsor di Kota Padang

Zona Luas
(ha) Arahan Pengembangan Permukiman
A
18.613
Permukiman

Arahan Penataan

A1

9.062

Telah digunakan

A2

9.551

Rekomendasi Pengembangan

1. Pengawasan Kawasan

2. Pengendalian Pemanfaatan

Kawasan
11.004
Permukiman Terbatas
B1 2.080,58 Telah digunakan
1. Pengawasan Kawasan
2. Pengendalian Pemanfaatan
B

Kawasan
B2 8.923,42 Rekomendasi Pengembangan Bersyarat
dan Kestabilan Lereng
4. Rekayasa Teknis untuk Memperkecil Kemiringan Lereng
5. Menerapkan Teknik
Vegetatif
6. Terasering
7. Sistem Drainase yang Tepat
C
39.499
Hutan Lindung
C1
813,42
C2 2.895
C3 1.757
C4 34.033,58
dari Pemerintah

3. Analisis Geologi

Telah digunakan untuk permukiman


Relokasi
Telah digunakan untuk permukiman
Relokasi
Telah digunakan untuk permukiman
Relokasi
Hutan Lindung
Pengawasan dan Pengendalian yang Ketat

Sumber: Hasil Analisis Data Penelitian (2009)


Ket: A1, zona A yang telah digunakan untuk permukiman
A2, zona A yang belum digunakan untuk permukiman
B1, zona B yang telah digunakan untuk permukiman
B2, zona B yang belum digunakan untuk permukiman
C1, zona C (tidak sesuai, bahaya longsor sedang) telah digunakan untuk
permukiman
C2, zona C (tidak sesuai, bahaya longsor tinggi) telah digunakan untuk
permukiman
C3, zona C (tidak sesuai, bahaya longsor sangat tinggi) telah digunakan untuk
permukiman
C4, zona C (tidak sesuai, bahaya longsor sedang-sangat tinggi) belum
digunakan untuk
permukiman
Zona A diperlukan pengawasan kawasan dan pengendalian pemanfaatan kawasan
yang digunakan untuk permukiman. Arahan penataan pada zona B juga lebih
difokuskan dalam hal pengawasan kawasan dan pengendalian pemanfaatan
kawasan yang digunakan untuk permukiman. Selain itu perlu dilakukan analisis
geologi dan kestabilan lereng, rekayasa teknis untuk memperkecil kemiringan
lereng, menerapkan teknik vegetatif, terasering, dan sistem drainase yang tepat.
Arahan penataan pada zona C adalah untuk hutan lindung dan lahan-lahan yang
telah digunakan untuk permukiman harus direlokasi karena tidak sesuai dengan
pola peruntukan ruang untuk permukiman di Kota Padang.
Perumusan kebijakan dilakukan secara komprehensif yang didasarkan pada
distribusi tingkat bahaya longsor dan arahan spasial pengembangan permukiman
pada kawasan rawan longsor. Alternatif kebijakan pengembangan permukiman pada
kawasan rawan longsor di Kota Padang adalah sebagai berikut:
1. Menyusun zona-zona tingkat bahaya longsor untuk mengembangkan sistem
peringatan dini bencana longsor
2. Menyusun zona-zona peruntukkan lahan untuk permukiman yang berbasis
tingkat bahaya longsor.

3. Mencegah pengembangan permukiman pada kawasan-kawasan yang tidak


diperuntukkan untuk permukiman terutama pada zona tingkat bahaya longsor
tinggi dan zona tingkat bahaya longsor sangat tinggi.
4. Sosialisasi zona-zona kawasan tingkat bahaya longsor pada masyarakat agar
tidak mengembangkan permukiman pada zona kawasan tingkat bahaya longsor
tinggi dan tingkat bahaya longsor sangat tinggi.
5. Menyusun rencana pencegahan longsor pada berdasarkan pada zona-zona
kawasan setiap tingkat bahaya longsor.
6. Melakukan kontrol yang tegas dan bermuatan hukum terhadap pengembangan
permukiman pada kawasan-kawasan dengan tingkat bahaya longsor tinggi dan
sangat tinggi.
7.
Membentuk dan mengembangkan manajemen bencana longsor di Kota
Padang.
8.
Melakukan relokasi secara bertahap dan berkesinambungan pada masyarakat
yang bermukim di kawasan dengan tingkat bahaya longsor tinggi dan sangat tinggi
ke kawasan-kawasan yang diperuntukkan untuk permukiman.
Pemilihan prioritas kebijakan berdasarkan pada besarnya bobot (nilai eigen) pada
setiap alternatif alternatif kebijakan. Mencegah pengembangan permukiman pada
kawasan-kawasan yang tidak diperuntukkan untuk permukiman terutama pada
zona tingkat bahaya longsor tinggi dan zona tingkat bahaya longsor sangat tinggi
memiliki nilai bobot terbesar (0,750). Kemudian secara berturut-turut diikuti oleh
menyusun zona-zona tingkat bahaya longsor untuk mengembangkan sistem
peringatan dini bencana longsor (0,600), mengembangkan manajemen bencana
longsor (0,525), menyusun zona-zona peruntukkan lahan untuk permukiman yang
berbasis tingkat bahaya longsor (0,500), dan melakukan relokasi secara bertahap
dan berkesinambungan pada masyarakat yang bermukim di kawasan dengan
tingkat bahaya longsor tinggi dan sangat tinggi ke kawasan-kawasan yang
diperuntukkan untuk permukiman (0,488).
Kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor di Kota Padang
diprioritaskan pada 5 kebijakan, yaitu:
1.
Mencegah pengembangan permukiman pada kawasan-kawasan yang tidak
diperuntukkan untuk permukiman terutama pada zona tingkat bahaya longsor
tinggi dan zona tingkat bahaya longsor sangat tinggi.
2.
Menyusun zona-zona tingkat bahaya longsor untuk mengembangkan sistem
peringatan dini bencana longsor.
3.
Membentuk dan mengembangkan manajemen bencana longsor di Kota
Padang.
4.
Menyusun zona-zona peruntukkan lahan untuk permukiman yang berbasis
tingkat bahaya longsor.
5.
Melakukan relokasi secara bertahap dan berkesinambungan pada masyarakat
yang bermukim di kawasan dengan tingkat bahaya longsor tinggi dan sangat tinggi
ke kawasan-kawasan yang diperuntukkan untuk permukiman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penzonasian kawasan rawan longsor di Kota Padang menghasilkan 4 zonasi tingkat
bahaya longsor, yaitu: (1) tingkat bahaya longsor rendah, luas kawasan 18.613 ha
dengan kondisi tanah sangat stabil sehingga kawasan ini aman dari bencana
longsor, (2) tingkat bahaya longsor sedang, luas kawasan 15.256 ha dengan kondisi
tanah kurang stabil sehingga longsor berpeluang terjadi 1 kali dalam setahun pada
kawasan dengan kemiringan lereng >15%, (3) tingkat bahaya longsor tinggi, luas

kawasan 27.614 ha dengan kondisi tanah tidak stabil sehingga peluang terjadinya
longsor 1-2 kali dalam setahun, dan (4) tingkat bahaya longsor sangat tinggi, luas
kawasan 7.633 ha dengan kondisi tanah sangat sering mengalami longsor karena
longsor lama dan longsor baru masih aktif bergerak akibat curah hujan tinggi dan
erosi yang kuat, sehingga berpeluang longsor > 2 kali dalam 5 tahun. Berdasarkan
hal tersebut, kebijakan yang diprioritaskan adalah mencegah pengembangan
permukiman pada kawasan-kawasan yang tidak diperuntukkan untuk permukiman
terutama pada zona tingkat bahaya longsor tinggi dan zona tingkat bahaya longsor
sangat tinggi. Sehingga, pengembangan permukiman baru sebaiknya dilakukan
pada kawasan-kawasan zona A2 dan zona B2 yang relatif aman dari bahaya longsor.
Permukiman yang berada pada zona C disarankan untuk direlokasi pada kawasankawasan zona A2 dan Zona B2 yang relatif aman dari bahaya longsor.
DAFTAR PUSTAKA
[BKSPBB] Badan Kesejahteraan Sosial Penanggulangan Bencana dan Banjir Kota
Padang. 2007. Laporan Bencana Kota Padang. BKSPBB. Kota Padang
Canuti, P., N.Casagli, and R. Fanti. 2003. Landslide Hazard for Archaeological
Heritage: The Case of Tharros in Italy. Landslides News. 14/15: 40-43
Hermon, D. 2009. Dinamika Permukiman dan Arahan Kebijakan Pengembangan
Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor di Kota Padang Sumatera Barat.
Disertasi S3. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta
Martono, D.N., Surlan, dan B.T. Sukmana. 2005. Aplikasi Data Penginderaan Jauh
untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang di Indonesia.
http://io.ppi.jepang.org/article
[Pemprov Sumbar] Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. 2007. Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) Propinsi Sumatera Barat Tahun 2007. Pemprov. Sumbar
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Gerakan Tanah di Kecamatan
Limo Koto Padang Pariaman. Sumatera Barat. VSI
Sandy, I.M. 1978. Kota di Indonesia. Publikasi No.123. Direktorat Tata Guna Tanah.
Ditjen Agraria. Depdagri. Jakarta
Sitorus, S.R.P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap sebagai Kontrol
terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Makalah. Lokakarya Penataan
Ruang sebagai Wahana untuk Meminimalkan Potensi Kejadian Bencana Longsor.
Jakarta. 7 Maret 2006
Suryani, R.L. dan A. Marisa. 2005. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Masalah
Permukiman di Perkotaan. Program Studi Arsitektur. Fakultas Teknik USU. Medan
Syahrin, A. 2003. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press
Utoyo, B.S., E. Anwar, I.M. Sandy, R.S. Saefulhakim, dan H. Santoso. 2001. Analisis
Keterkaitan antara Pertumbuhan Wilayah dengan Pola Perubahan Struktur
Penggunaan Lahan. Forum Pascsarjana. 24: 159-162
Virdin J.W. 2001. Understanding the Synergies between Climate Change and
Desertification. UNDP
Zain, A.F.M. 2002. Distribution, Structure dan Function of Urban Green Space in
Southeast Asian Mega-Cities with Special Reference to Jakarta Metropolitan Region
(JABOTABEK). Doctoral Degree Program. Department of Agricultural and
Environmental Biology Graduate School of Agricultural and Life Sciences. The
University of Tokyo. Japan

Anda mungkin juga menyukai