Anda di halaman 1dari 11

E-

ANALISIS SPASIAL KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA KENDARI

Djafar Mey1), Nuraida 1), Jufri Karim1), Fitriani1), M. Tufaila2), La Ode Safuan3)
e-mail: djafar_mey@yahoo.com
1)
Jurusan Geografi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian UHO
2)
Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UHO
3)
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian UHO

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: (1) Menganalisis kesesuaian lahan pemukiman Kota Kendari, (2) Memetakan
kesesuaian lahan pemukiman Kota Kendari. Penelitian ini menggunakan metode skoring. Parameter
yang digunakan yaitu kemiringan lereng, tingkat bahaya banjir, tingkat erosi, tingkat bahaya longsor,
kekuatan batuan dan tekstur tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemukiman Kota Kendari
terdapat: Kelas sangat sesuai (S1) seluas 2.976,55 ha (11,03%), berada di Kecamatan Baruga seluas
1.414,47 ha (47,52%). Kelas cukup sesuai (S2) seluas 19.988,14 ha (74,09%), terluas di Kecamatan
Puuwatu seluas 3.551,43 ha (17,77%) dan tersempit di Kecamatan Kadia seluas 504,09 ha (2,52%).
Kelas sesuai marginal (S3) seluas 3.472,81 ha (12,87%) terluas di Kecamatan Poasia seluas 1.598,22
ha (46,02%) dan tersempit di Kecamatan Mandonga seluas 38,68 ha (1,11%). Kelas tidak sesuai (N)
seluas 540,73 ha (2,0%) terluas di Kecamatan Abeli seluas 322,07 ha (59,56%) dan tersempit di
Kecamatan Mandonga seluas 0,42 ha (0,08%). Secara umum disimpulkan bahwa wilayah Kota
Kendari masih mempunyai kondisi lahan permukiman yang baik, yaitu: lahan permukiman kategori
kelas cukup sesuai-sangat sesuai seluas 22.964,69 ha (85,12%), dan kelas tidak sesuai-sesuai marginal
seluas 4013,54 ha (14,87%), dengan faktor penghambat utama kemringan lereng, tingkat bahaya erosi,
tingkat bahaya longsor dan tekstur tanah.

Kata Kunci: Analisis Spasial, Skoring, Kesesuaian Lahan, Pemukiman

PENDAHULUAN
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi bahkan keadaan vegetasi alami (natural
vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO,
1976). Sedangkan penggunaan lahan adalah ekspresi dari aktivitas manusia dalam mengelola
ekosistem yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Vink, 1981). Permukiman
merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan, yaitu bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas
lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai
penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (Undang-Undang RI.
No.1., 2011). Penggunaan lahan yang baik adalah pemanfaatan lahan sesuai dengan kesesuaiannya.
Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokkan sebidang lahan untuk suatu penggunaan
tertentu (Sitorus, 1985); yang telah ditetapkan baik saat sekarang maupun setelah lahan mengalami
beberapa perubahan (FAO, 1976).
Kota Kendari mempunyai sarana dan prasarana wilayah yang cukup memadai sebagai pusat
aktifitas ekonomi, sosial dan budaya, sehingga mempunyai peranan sebagai titik pusat pertumbuhan
ekonomi. Sebagai pusat aktifitas sosial dan ekonomi, menyebabkan terjadinya urbanisasi. Berdasarkan
sensus penduduk 2013, Kota Kendari mempunyai jumlah penduduk sebesar 314,126 jiwa dan pada
tahun 2015 menjadi sebesar 334,889 jiwa dengan persentase pertambahan penduduk sebesar 20%
(BPS, 2015). Kondisi ini menyebabkan tekanan terhadap permintaan lahan untuk pemukiman,
sehingga ditemukan pemukiman yang dibangun pada lahan yang seharusnya tidak sesuai untuk
pemukiman. Hal ini berpotensi terjadinya beberapa bencana alam seperti: longsorlahan, banjir, erosi
dan sedimentasi, yang dampaknya mengarah ke Teluk Kendari.
Erosi potensial dari Tahura Nipa-Nipa yang bermuara ke Teluk Kendari pada setiap satuan
lahan berkisar antara 35,88 ton/ha/tahun-4736,66 ton/ha/tahun (Mey, 2010). Iswandi (2004)
menyatakan bahwa pengukuran sedimen tahun 2000 menunjukkan erosi dan sedimentasi dari Sungai
Wanggu berkontribusi pada pendangkalan Teluk Kendari yaitu akibat erosi lahan sebesar 19,5 %,
aktivitas pembangunan sebesar 75,2%, dan sampah 5,3%. Akibatnya 1) kualitas dan volume air di
perairan Teluk Kendari menurun, 2) berkurangnya populasi dan keanekaragaman hayati biota perairan
Teluk Kendari, dan 3) terjadi kerusakan vegetasi mangrove. Sedimentasi di Teluk Kendari tahun 2005

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |399
sebesar 49.553.366,70 m3, dan pada tahun 2010 sedimentasi sebesar 53.304.766,70 m3 (BLH Kendari,
2010). Proses erosi yang terjadi diduga sebagai pemicu terjadinya bencana longsor lahan dan banjir di
Kota Kendari. Pada tahun 2012-2015 bencana lonsor telah merobohkan 182 rumah, 1 orang korban
meninggal, dan pada tahun 2013 telah terjadi banjir yang merendam 6422 rumah dan menyebabkan
kerugian material (BPBD, 2015). Kejadian banjir juga terjadi pada tanggal 12, 15, dan 31 Mei 2017,
Kota Kendari dikelilingi banjir, dan longsor dengan korban harta benda dan nyawa 1 orang.
Pemilihan lokasi pemukiman yang tepat untuk pemukiman mempunyai arti penting dalam
aspek keruangan, karena akan menentukan keawetan bangunan, nilai ekonomis dan dampak
permukiman terhadap lingkungan di sekitarnya (Sutikno, 1982 dalam Denia, 2009). Perencanan
pembangunan lahan dan tata ruang bagi suatu lokasi pemukiman perlu didasari dari berbagai bidang
dengan pertimbangan faktor yang mempengaruhi penentuan lokasi permukiman seperti kemiringan
lereng, kekuatan batuan, lama penggenangan akibat banjir, tingkat erosi, tekstur tanah dan tingkat
bahaya longsor. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kesesuaian lahan pemukiman Kota Kendari dan memetakan kesesuaian lahan pemukiman Kota
Kendari.

METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologis (ecological approach), tema analisisnya
Physico natural features-Environment Analysis dengan penekanan utama pada keterkaitan antara
kenampakan fisikal alami dengan elemen-elemen lingkungannya (physico natural features–
environment interactions). Pelaksanaannya menggunakan metode survei, untuk pengamatan dan
pengukuran data sifat fisik lahan dan tanah dilakukan secara intensif dengan menggunakan pendekatan
satuan lahan (land unit), yang disusun atas Peta Administrasi, Peta Lereng (kemiringan lereng), Peta
Tanah (tekstur tanah), Peta Geologi (kekuatan batuan), Peta Penggunaan Lahan, Peta Tingkat Kelas
Erosi, Peta Tingkat Bahaya Banjir, Peta Tingkat Bahaya Longsor. Data dalam penelitian ini
menggunakan berbagai data sekunder yang berasal dari instansi-instansi terkait (survei instansional)
dan data primer yang diukur secara langsung di lapangan dan analisis laboratorium, data iklim dicatat
pada stasiun klimatologi Wolter Monginsidi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG),
dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh satuan lahan yang ada di Kota Kendari,
sedangkan sampel adalah satuan lahan terpilih sebagai obyek pengamatan dan pengukuran, dilakukan
secara purposive sampling dengan memperhatikan homogenitas dari populasi, yaitu: geologi, lereng,
tanah, dan penggunaan lahan.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Peta-peta tematik berupa: Peta
Topografi/RBI, Peta Administrasi, Peta Lereng (kemiringan lereng), Peta Tanah (tekstur tanah), Peta
Geologi (kekuatan batuan), Peta Penggunaan Lahan, Peta Tingkat Kelas Erosi, Peta Tingkat Bahaya
Banjir, Peta Tingkat Bahaya Longsor, dan Peta Kerja Lapang (Peta Satuan Lahan); (2) Data sekunder
berupa hasil-hasil penelitian terdahulu di Kota Kendari (data curah hujan dan data jumlah penduduk
Kota Kendari); (3) Bahan perlengkapan survei berupa: Larutan peroksida (H2O2 10%) untuk
identifikasi kandungan bahan organik, larutan asam klorida (HCL 2%) untuk identifikasi kandungan
kapur, kartu deskripsi lahan dan tanah, kantung plastik dan label sampel tanah, serta (5) Bahan-bahan
untuk analisis sampel tanah di Laboratorium.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Software ArcGIS 10.2, untuk mengolah
analisis spasial berupa overlay peta-peta tematik, pembuatan peta tematik, peta kerja lapang (satuan
lahan) dan peta kesesuaian lahan pemukiman; (2) Alat-alat untuk pengamatan di lapangan, yaitu:
a) Kompas, untuk petunjuk arah mata angin, b) Altimeter, untuk mengukur ketinggian tempat dari
muka laut, c) Abney level, untuk mengukur kemiringan lereng, d) GPS (Global Positioning system)
untuk menentukan posisi koordinat titik pengamatan, e) Palu geologi untuk mengetahui tingkat
kekuatan batuan, f) Bor untuk identifikasi sifat fisik tanah dan mengukur kedalaman efektif tanah,
parang dan pisau lapang, g) Alat tulis lainnya; (3) Perlengkapan laboratorium, untuk analisis tekstur
tanah; dan (4) Seperangkat komputer untuk penyusunan naskah laporan dan pembuatan peta digital.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |400
Tahapan Penelitian
1) Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah: a) mengadakan studi kepustakaan, pengumpulan
data dan informasi berupa peta-peta tematik dari instansi terkait, dan data iklim. b) Membuat peta
kerja lapangan dalam bentuk Peta Satuan Lahan skala 1:50.000, dengan cara overlay peta-peta
tematik. Teknik pengkodean satuan lahan dibuat dengan menggunakan angka arab berdasarkan
persamaan sifat satuan tanah, lereng, geologi dan penggunaan lahan, lalu menentukan satuan-satuan
lahan yang menjadi sampel area dan data yang dibutuhkan dalam survei lapangan, dan pengamatan
secara intensif dilakukan pada sampel area tersebut. c) Pengadaan atau penyiapan bahan dan alat
observasi lapang, d) Pengadaan logistik untuk keperluan kegiatan survei lapangan dan persiapan
administrasi untuk analisis tanah di laboratorium.
Peta curah hujan dibuat berdasarkan data curah hujan dari Stasiun Curah Hujan Wolter
Monginsidi, Stasiun Curah Hujan BMKG, dan Stasiun Curah Hujan BPTP, yang digunakan sabagai
masukan untuk pemodelan konsep periode pertumbuhan yang dihitung berdasarkan curah hujan
dengan interpolasi spasial. Interpolasi spasial merupakan metode untuk memprediksikan dan
merepresentasikan sebaran curah hujan di suatu wilayah dengan banyaknya varian. Pengolahan data
curah hujan dari SIG bisa ditampilkan sebagai peta rata-rata curah hujan, zone curah hujan dalam
bentuk polygon melengkapi permukaan curah hujan yang dibuat dari metode polygon thiessen dan
statistik curah hujan untuk setiap zone diestimasikan menggunakan fungsi-fungsi dalam ArcGIS.
Kemudian setelah semua data tersebut diperoleh kemudian diolah. Langkah pertama adalah
melakukan proses georeferensing terhadap semua peta. Georeferensing merupakan proses pemberian
titik ikat pada sisi-sisi peta yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kesalahan akurasi jarak maupun
titik pada peta dengan lokasi di lapangan. Setelah dilakukan georeferensing dan pemberian koordinat
peta, kemudian dilanjutkan dengan proses digitasi yaitu proses pembentukan data vektor. Peta yang
sudah terdigitasi masing-masing dilakukan proses overlay. Overlay merupakan kemampuan untuk
menempatkan grafis satu peta di atas peta yang lain atau gabungan dari beberapa peta sehingga akan
menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau polygon yang terbentuk dari irisan
beberapa polygon dari peta-peta tematik tersebut.

2) Tahap Pengumpulan Data


Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu: (1) melakukan pengamatan terhadap
karakteristik lahan, meliputi: (a) pemantapan batas satuan lahan daerah penelitian berdasarkan hasil
observasi lapangan, (b) Pengamatan vegetasi dan penggunaan lahan dilaksanakan di lapangan yang
meliputi pengamatan jenis penggunaan lahan dan jenis vegetasi, (c) pengumpulan data iklim (curah
hujan), dicatat pada Stasiun Meteorologi Lanud Wolter Monginsidi, Stasiun Curah Hujan BMKG, dan
Stasiun Curah Hujan BPTP, (d) pengamatan tingkat erosi, dengan cara mengamati adanya perakaran
tanaman yang muncul di permukaan, batuan tersingkap, hilangnya tanah lapisan atas (tanpa erosi jika
tidak ada akar tanaman yang muncul; ringan jika <25% lapisan tanah atas hilang; sedang jika 25%-
75% lapisan tanah atas hilang; berat jika >75% lapisan tanah atas hilang, <25% lapisan tanah bawah
hilang; sangat berat jika >25% lapisan tanah bawah hilang), (e) pengamatan tingkat bahaya banjir,
dengan cara mengamati adanya genangan air atau tidak di atas permukaan tanah, (f) pengamatan
tingkat bahaya longsor, dengan cara mengamati adanya Gerakan massa tanah atau tidak, (g)
pengamatan tingkat kekuatan batuan, dengan cara memukul batuan dengan palu geologi lalu melihat
mudah tidaknya batuan hancur oleh pukulan palu geologi, (h) mengambil contoh tanah komposit
untuk analisis tekstur tanah di Laboratorium dengan metode pipet.

3) Tahap Analisis Data


Teknik analisis data spasial yang digunakan yaitu overlay dengan cara memasukan beberapa
peta tematik yakni, peta kemiringan lereng, peta jenis tanah, peta curah hujan, peta penggunaan
lahan dan peta geologi. Kelima peta tersebut sudah di clip dengan menggunakan ArcGis 10.2 yang
mengikuti batas delineasi lokasi studi. Analisis spasial ini terdiri dari 3 tahap yaitu: Overlay data
spasial, Editing data atribut, dan Analisis tabular.
Overlay Data Spasial, dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi
Geografis (SIG) ArcGIS 10.2. Software tambahan (extension) Geoprocessing yang terintegrasi
dalam Software ArcGIS 10.2 sangat berperan dalam proses ini. Di dalam extension ini terdapat
beberapa fasilitas overlay dan fasilitas lainnya seperti; union, merge, clip, intersect, dll. Dalam
proses ini digunakan teknik overlay intersect. Cara dalam overlay intersect adalah pilih pada

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |401
arctoolbox-analysis tool-overlay-intersect, kemudian akan muncul border intersect setelah itu
masukan peta kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, peta penggunaan lahan dan peta geologi
pada input features. Simpan file pada output features class. Editing data atribut, pada intinya
adalah menambah kolom (add field) baru pada atribut theme hasil overlay, menjumlahkan seluruh
skor parameter dan mengisikannya pada kolom baru yang telah dibuat. Analisis Tabular, Hasil
editing data atribut khususnya hasil penjumlahan harkat, selanjutnya dianalisis untuk
mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan pada setiap unit analisis (polygon hasil overlay beberapa
variabel).
Analisis kesesuaian lahan untuk pemukiman dilakukan dengan menggunakan metode metode
skoring, overlay dan metode deskriptif. Parameter yang digunakan yaitu kemiringan lereng, tingkat
bahaya banjir, tingkat erosi, tingkat bahaya longsor, kekuatan batuan dan tekstur tanah. Output yang
dihasilkan dari analisis ini yaitu berupa peta kesesuaian lahan untuk permukiman. Klasifikasi
kesesuaian lahan untuk pemukiman akan mengikuti klasifikasi yang telah dibuat oleh Sutikno (1991)
dalam Dania (2009) yaitu sebagai berikut:

1) Kemiringan Lereng
Perumahan yang dibangun sebaiknya berlokasi pada lahan dengan lereng datar. Lereng yang
datar akan memudahkan untuk penempatan pondasi bangunan dan menekan biaya pembangunan.
Klasifikasi kemiringan lereng untuk lokasi pemukiman sebagaimana disajikan pada Tabel 1, dan peta
sebarannya sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Tabel 1. Klasifikasi Kemiringan Lereng

Besar Sudut Kriteria Harkat


Lereng (%)
0-2 Datar 5
2-8 Landai 4
8 - 21 Miring 3
21 - < 45 Terjal 2
> 45 Sangat terjal 1
Sumber: (Sutikno,1991 dalam Dania, 2009)

Gambar 1. Peta Kelas Lereng

2) Banjir atau Penggenangan

Banjir atau penggenangan merupakan salah satu proses geomorfologi yang memberikan dampak
bagi manusia berupa bencana banjir sehingga berakibat penghambat untuk pengembangan lokasi
pemukiman. Klasifikasi banjir atau pengenangan sebagaimana disajikan pada Tabel 2, dan peta
sebarannya sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
Tabel 2. Klasifikasi Banjir atau Penggenangan
Kondisi Banjir Harkat
Tidak pernah banjir 5
Tergenang < 2 bulan/tahun 4
Tergenang 2 – 6 bulan/tahun 3
Tergenang 6 – 8 bulan/tahun 2
Tergenang > 8 bulan/tahun 1
Sumber: (Sutikno, 1991 dalam Dania, 2009)

Gambar 2. Peta Kelas Banjir

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |402
3) Tingkat Erosi

Tingkat erosi merupakan salah satu bagian dari proses permukaan bumi yang sifatnya
meratakan permukaan bumi. Klasifikasi tingkat erosi permukaan sebagaimana disajikan pada Tabel
3, dan peta sebarannya sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
Tabel 3. Klasifikasi Tingkat Erosi
Tingkat Erosi Harkat
Tidak ada kenampakan erosi 5
Kenampakan erosi ringan 4
Kenampakan erosi sedang 3
Kenampakan erosi berat 2
Kenampakan erosi sangat berat 1
Sumber: (Sutikno, 1991 dalam Dania, 2009)

Gambar 3. Peta Klasifikasi Tingkat Erosi

4) Tingkat Bahaya Longsor

Lahan longsor merupakan salah satu proses dari geomorfologi yang dapat mengancam
keselamatan jiwa dan harta manusia. Pemukiman dibagun pada daerah atau lahan yang merupakan
daerah longsor aktif dapat mengancam keselamatan jiwa dan harta manusia. Klasifikasi longsor
sebagaimana disajikan pada Tabel 4, dan peta sebarannya sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Bahaya Longsor

Tingkat Bahaya Longsor Harkat


Tanpa ada bahaya longsor 5
Ada gerakan massa batuan/tanah 4
dengan ukuran kecil
Gerakan massa batuan/tanah resiko 3
sedang
Gerakan massa batuan/tanah resiko 2
tinggi
Gerakan massa batuan/tanah resiko 1
sangat tinggi
Gambar 4. Peta Klasifikasi Tingkat Bahaya Longsor
Sumber: (Sutikno,1991 dalam Dania, 2009)

5) Kekuatan Batuan

Kekuatan batuan berhubungan erat dalam meletakan pondasi bangunan. Batuan yang kuat
akan memperkokoh pondasi bangunan sehingga bangunan menjadi awet dan sebaliknya batuan yang
mudah pecah akan menyebabkan pondasi bangunan cepat rusak akibat pergeseran dari pondasi
bangunan yang pada akhirnya membuat bangunan tidak awet. Klasifikasi kekuatan batuan
sebagaimana disajikan pada Tabel 5, dan peta sebarannya sebagaimana disajikan pada Gambar 5.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |403
Tabel 5. Klasifikasi Kekuatan Batuan
Kriteria Kekuatan Batuan Harkat
Tidak mudah pecah oleh pukulan 5
palu geologi sangat kuat
Sukar pecah oleh pukulan palu 4
geologi
Pecah oleh pukulan palu geologi 3
Mudah pecah oleh pukulan palu 2
geologi ringan
Mudah dipecah dengan tangan 1
Sumber: (Sutikno,1991 dalam Dania, 2009)
Gambar 5. Peta Klasifikasi Kekuatan Batuan

6) Tekstur Tanah

Tekstur tanah berperan dalam terjadinya kembang kerut tanah. Tanah yang mudah mengalami
kembang kerut sangat berpengaruh pada keawetan bangunan. Bangunan akan cepat rusak jika pondasi
bangunan tersebut diletakkan pada tanah yang mudah mengalami kembang kerut. Klasifikasi tekstur
tanah sebagaimana disajikan Tabel 6, dan peta sebarannya sebagaimana disajikan pada Gambar 6.
Tabel 6. Klasifikasi Tekstur Tanah
Tekstur Tanah Harkat
Geluh 5
Geluh berpasir 4
Geluh belempung 3
Lempung berpasir 2
Lempung, pasir 1
Sumber: (Sutikno, 1991 dalam Dania, 2009)

Gambar 6. Peta Klasifikasi Tekstur Tanah

Setelah semua parameter diberi harkat selanjutnya adalah mencari banyaknya kelas yang
terbentuk dan interval kelas kesesuaian lahan untuk pemukiman. Perhitungan untuk mendapatkan
jumlah kelas kesesuaian lahan untuk pemukiman adalah mengalikan penjumlahan peta tematik
dengan menggunakan rumus Sturges (Sudjana, 1988 dalam Asri, 2012). Sebagai berikut:

K= 1+3,322 Log N

Keterangan: K = Banyak Kelas Terbentuk; N = Satuan Peta Yang Dioverlaykan


K =1+3,322 Log 5; K =1+3,322 X 0,698’
K = 3,01 dibulatkan menjadi 3

Dari perhitungan tersebut didapat kelas kesesuaian lahan untuk pemukiman sebanyak 3
kelas. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan untuk pemukiman dalam penelitian ini ditentukan
berdasarkan pada kelas kesesuaian lahan yang dibuat berdasarkan persamaan, sebagai berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑘𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 – 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑘𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ


𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |404
30 − 6
𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 = =6
4
Berdasarkan parameter tersebut kemudian dapat ditetapkan kelas kesesuaian lahan untuk
pemukiman. Parameter kelas kesesuaian lahan untuk pemukiman didasarkan pada jumlah harkat dari
masing-masing parameter dengan asumsi bahwa semakin tinggi harkat yang diberikan pada masing-
masing parameter berarti akan semakin sesuai untuk pemukiman dan sebaliknya jika semakin rendah
harkat yang diberikan pada masing-masing parameter akan semakin tidak sesuai untuk pemukiman di
daerah dimaksud. Akumulasi harkat diperoleh dengan menjumlahkan harkat masing-masing parameter
dari peta yang dioverlay.

Setelah semua data dikumpulkan selanjutnya dioverlay dengan menggunakan fasilitas overlay
yang disediakan oleh software ArcGis 10.2. Peta yang dioverlay adalah Peta Administrasi, Peta
Kemiringan Lereng, Peta Curah Hujan, Peta Tingkat Erosi, Peta Tingkat Bahaya Erosi, Peta Tingkat
bahaya Longsor, Peta Tekstur Tanah, Peta Kekuatan Batuan. Overlay dilakukan setiap dua peta.
Penetapan klasifikasi kesesuaian lahan untuk pemukiman didasarkan pada penjumlahan harkat yang
diperoleh dari jumlah masing-masing parameter dengan memperhatikan pengaruhnya pada kondisi
tingkat kesesuaian lahan. Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Pemukiman sebagaimana disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Kesesusian lahan
Kelas Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Pemukiman Jumlah harkat

S1 Sangat sesuai merupakan lahan yang tidak mempunyai 25 – 30


pembatas yang besar untuk pengelolaanya.

S2 Cukup sesuai merupakan lahan yang mempunyai 19 – 24


pembatas agak besar untuk pengelolaanya

S3 Cukup sesuai merupakan lahan yang mempunyai 13- 18


pembatas agak besar untuk pengelolaanya

N Tidak sesuai, merupakan lahan yang mempunyai 6 – 12


pembatas yang lebih besar

Sumber: (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil skoring dan overlay peta-peta tematik untuk penilaian kesesuaian lahan pemukiman di
Kota Kendari, sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Sementara peta sebarannya disajikan pada Gambar
7.
Tabel 8. Kelas Kesesuaian Lahan Untuk Pemukiman di Kota Kendari
Luas
No. Kelas Kecamatan
(Ha) (%)
Kec. Abeli 13,40 0,45
Kec. Baruga 1.414,47 47,52
Kec. Kadia 144,18 4,84
Kec. Kambu 43,20 1,45
1 Sangat Sesuai (S1) Kec. Kendari Barat 29,12 0,98
Kec. Mandonga 265,47 8,92
Kec. Poasia 0,05 0,00
Kec. Puuwatu 779,59 26,19
Kec. Wua-Wua 287,07 9,64
Jumlah 2.976.55 11,03
Kec. Abeli 2.926,06 14,64
Kec. Baruga 3.455,01 17,29
2 Cukup Sesuai (S2)
Kec. Kadia 504,09 2,52
Kec. Kambu 2.125,51 10,63

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |405
Kec. Kendari 993,75 4,97
Kec. Kendari Barat 1.201,95 6,01
Kec. Mandonga 1.862,06 9,32
Kec. Poasia 2.596,53 12,99
Kec. Puuwatu 3.551,43 17,77
Kec. Wua-Wua 771,75 3,86
Jumlah 19.988,14 74,09
Kec. Abeli 685,88 19,75
Kec. Baruga 53,95 1,55
Kec. Kambu 29,60 0,85
3 Sesuai Marginal (S3) Kec. Kendari 327,08 9,42
Kec. Kendari Barat 739,41 21,29
Kec. Mandonga 38,68 1,11
Kec. Poasia 1.598,22 46,02
Jumlah 3.472,81 12,87
Kec. Abeli 322,07 59,56
Kec. Kendari 116,61 21,56
Kec. Kendari Barat 68,56 12,68
4 Tidak Sesuai (N)
Kec. Mandonga 0,42 0,08
Kec. Poasia 27,40 5,07
Kec. Puuwatu 5,68 1,05
Jumlah 540,73 2,00
Total 26.979,14 100,00
Sumber: Analisa Skoring dan Overlay Peta-Peta Tematik

Tabel 8 menunjukkan bahwa luas wilayah di Kota Kendari yaitu 26.979,14 ha, secara umum
masih mempunyai kondisi lahan pemukiman yang baik yaitu sekitar 22.964,69 ha (85,12%) termasuk
kategori cukup sesuai-sangat sesuai. Sedangkan lahan pemukiman yang tergolong kategori tidak
sesuai-sesuai marginal seluas 4013,54 ha (14,87%). Pemukiman yang termasuk dalam kategori kelas
sangat sesuai (S1) seluas 2.976.55 ha (11,03%), tersebar di sembilan wilayah kecamatan yaitu:
Kecamatan Abeli, Baruga, kadia, Kambu, Kendari Barat, Mandonga, Poasia, Puuwatu, Kecamatan
Wua Wua (Gambar 7).
Pemukiman yang termasuk dalam kategori cukup sesuai (S2) seluas 19.988,14 ha (74,09%),
tersebar diseluruh wilayah kecamatan di Kota Kendari. Wilayah pemukiman kategori kelas kesesuaian
S2 ini mempunyai faktor pembatas utama dominan adalah potensi banjir, namun masih dapat atasi
dengan konstruksi bangunan/fondasi bangunan dibuat agak tinggi atau dengan penimbunan lahan.
Pemukiman yang termasuk dalam kategori sesuai marginal (S3) seluas 3.472,81 ha (12,87%),
tersebar di tujuh wilayah kecamatan yaitu: Kecamatan Abeli, Baruga, Kambu, Kendari, Kendari Barat,
Mandonga, dan Poasia (Gambar 7). Wilayah pemukiman kategori kelas kesesuaian S3 ini mempunyai
faktor pembatas utama dominan adalah potensi banjir, namun masih dapat atasi dengan konstruksi
bangunan/fondasi bangunan dibuat agak tinggi atau dengan penimbunan lahan. Mononimbar (2014)
menyatakan bahwa penanganan untuk kawasan rawan banjir yaitu dengan pembuatan saluran drainase,
pengaturan kepadatan bangunan dengan sistem land sharing dan pembangunan rusunami agar tersedia
lahan cukup untuk ruang-ruang terbuka publik dan RTH. Pada rusunami tersebut, hunian diperuntukan
di lantai dua ke atas agar lantai bawah menjadi ruang-ruang komunal dan tempat usaha. Hal ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi dan meminimalisir korban jiwa ketika terjadi banjir besar. Selain
itu perlu juga dibangun sistem penanda (signage) atau rambu-rambu tanda bahaya dan evakuasi yang
jelas, mudah dilihat, dengan kualitas estetis yang baik (Mononimbar, 2014).

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |406
Gambar 7. Peta Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman di Kota Kendari

Pemukiman yang termasuk dalam kategori tidak sesuai (N) seluas 540,73 ha (2,00%), tersebar
di enam wilayah kecamatan yaitu: Kecamatan Abeli, Kendari, Kendari Barat, Mandonga, Puuwatu dan
Poasia (Gambar 7). Wilayah pemukiman kategori kelas kesesuaian N ini mempunyai faktor pembatas
utama dominan adalah pada daerah yang berbukit dengan kemiringan lereng yang terjal, tingkat erosi
tinggi, tingkat bahaya longsor sangat rawan dan tekstur tanah liat berpasir, yang merupakan jenis
tekstur tanah yang mudah mengalami kembang kerut sehingga tidak sesuai untuk dijadikan
pemukiman karena mempengaruhi kekokohan pondasi bangunan. Kondisi lahan yang berlereng terjal
rawan terjadi degradasi lingkungan (Sumadikum 2007 dalam Umar, dkk., 2017), akibat erosi.
Erosi merupakan proses degradasi lahan yang aktif di permukaan bumi. Proses erosi
melibatkan tahap penghancuran, perusakan, transportasi/redistribusi material tanah (Arsyad, 1989)
dari satu tempat oleh kekuatan air dan/atau angin baik secara alamiah maupun oleh campur tangan
manusia (Kartasapoetra dkk., 2000), lalu dideposisikan di tempat lain (Suripin, 2002; Lal, 2003).
Kekuatan merusak aliran air di atas permukaan tanah makin besar dengan makin curam dan
panjangnya lereng, lebih besarnya aliran permukaan daripada infiltrasi, dan rusaknya vegetasi penutup
tanah akibat pembukaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air (Mey, et al.,
2015).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis spasial, dapat disimpulkan bahwa pemukiman di wilayah Kota
Kendari secara umum masih mempunyai kondisi lahan pemukiman yang baik. Hal ini ditunjukkan
dengan wilayah seluas 26.979,14 ha, lahan pemukiman yang termasuk kategori kelas cukup sesuai-
sangat sesuai seluas 22.964,69 ha (85,12%), tersebar merata ke seluruh wilayah Kota Kendari. Lahan
pemukiman yang termasuk kategori kelas tidak sesuai-sesuai marginal seluas 4013,54 ha (14,87%),
dengan faktor penghambat utama kemringan lereng, tingkat bahaya erosi, tingkat bahaya longsor dan
tekstur tanah.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kota Kendari yang telah memberikan dukungan
perizinan demi kelancaran pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |407
DAFTAR REFERENSI
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Cetakan kedua. Penerbit IPB. Bogor.
Asri, N.L., 2012. Evaluasi Kesesuaian lahan Pemukiman. Universitas Pendidikan Indonesia. Cianjur.
BLH, 2010. Pengukuran Pemantauan Sedimentasi Teluk Kendari. Badan Lingkungan Hidup. Kendari.
BPBD, 2015. Inventarisasi Kejadian Bencana di Kota Kendari. Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Kendari.
BPS. 2015. Kota Kendari Dalam Angka 2015. Kota Kendari.
Dania, F., 2009. Evaluasi Kesesuaian Lahan Lokasi Pemukiman. Fakultas Geografi. Universitas
Mohammadiyah. Surakarta.
FAO, 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO. Soil Buletin No. 32/I/ILRI Publication. No. 22. Rome.
Italy. 30 h.
Iswandi R.M., 2004. Pengkajian Faktor-Faktor Penyebab Pendangkalan Teluk Kendari dan Dampaknya
Terhadap Aktivitas Masyarakat Pengguna Teluk. Majalah Ilmiah Agriplus. Volume 14 Nomor 03
September 2004. Hal 167-176. Faperta Unhalu. Kendari.
Kartasapoetra G., A.G, Kartasapoetra dan M.M, Sutejo, 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Edisi
Kedua. Cetakan keempat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Lal, R, 2003. Soil Erosion and Global Carbon Budget. Journal Environment International 29. p. 437-450.
Mey, D., 2010. Konservasi Tanah Berbasis Erosi di Kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Nipa-Nipa Kota
Kendari. Jurnal AGRIPLUS, Vol. 20 No. 02. Hal. 170-181.
Mey, D., J. Sartohadi, D. Mardiatno, and M.A. Marfai, 2015. Prediction of Soil Organic Carbon Loss Due to
Erosion In The Girindulu Watersed of Central Java. Journal of Degraded and Mining Lands Management.
Volume 2, Number 3 (April 2015). p. 327-334
Mononimbar W.J., 2014). Penanganan Permukiman Rawan Banjir di Bantaran Sungai. Studi Kasus:
Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar dan Karame, Kota Manado. Jurnal Ilmiah Media
Engineering Vol.4 No.1, hal. (26-31).
Sitorus, S.R.P., 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit: Tarsito. Bandung.
Suripin, 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Umar I, Widiatmaka, B. Pramudya, dan B. Barus, 2017). Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kawasan
Permukiman dengan Metode Multi Criteria Evaluation di Kota Padang. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan Vol. 7. No. 2 (Agustus 2017): 148-154.
Undang-undang RI. No. 1. Tahun 2011. Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman
Vink, A.P.A., 1981. Landscape Ecology and Land Use. Translate By The Author. English Translation Edited by
D.A. Davidson. University of Strathclyde. Longman. London and New York.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM |408

Anda mungkin juga menyukai