Anda di halaman 1dari 16

Judul : Perolehan data sistem informasi geografis dan geodatabase

Tahun : 2018

Ahmad Nurwahid
20572011005

PENDAHULUAN
Era global dicirikan dengan kemajuan teknologi bidang informasi dan komunikasi yang
mewarnai segala segi kehidupan dan peradapan manusia. Kemajuan Information Communication
Technology (ICT) telah menyebabkan batas negara menjadi kabur (borderless countries), karena
informasi dengan cepat dan mudah diakses, sehingga kepiawaian mengelola informasi akan
menjadikan suatu bangsa menjadi leading dalam berbagai segi kehidupan. Siapapun yang menguasai
informasi dan yang cepat merespon perkembangan jaman akan memperoleh manfaat yang besar,
dibanding yang lambat merespon. Elon Musk (2015) menyatakan bahwa peradaban dunia kini dan di
masa depan ditandai dengan 3 hal, yaitu: penggunaan internet, perjalanan antariksa dan pemanfaatan
energi yang ramah lingkungan (matahari). Dalam aplikasi ilmu geografi untuk mendukung
pembangunan nasional, ICT telah menjadikan terapan konsep dalam geogafi menjadi nyata.
Tampilan 2, 3 dan 4 dimensi obyek geografi menjadikan ilmu Geografi makin nampak manfaat
pentingnya dalam berbagai program pembangunan nasional, baik dalam pengembangan wilayah
maupun dalam pengelolaan wilayah akibat bencana.
Informasi geografi memiliki tiga pengertian berikut: (1) informasi tentang lokasi di muka
bumi, (2) pengetahuan tentang terdapatnya sesuatu obyek; dan (3) pengetahuan tentang apa yang
berada pada suatu lokasi tertentu. Hal ini dapat berkaitan dengan posisi dan atribut obyek yang detil:
misalnya terdapatnya ikan dan sumberdaya alam di lautan, lokasi bangunan di suatu kota, pohon-
pohon di hutan; atau juga mengenai informasi yang tidak detil: iklim suatu daerah, kepadatan
penduduk di suatu negara, kerincian obyek geografi yang bervariasi. Informasi geografi dapat berupa
informasi statik, dan dalam jumlah yang besar, serta dalam bentuk informasi digital. Cakupan atribut
meliputi aspek lingkungan (abiotik, biotik, kultural) dan sumberdaya alam (lahan, air, hutan,
mineral/batuan, dan laut) serta sumberdaya buatan. Ilmu tentang informasi geografi disebut sains
informasi geografi, yang didukung dengan 3 buah teknologi yaitu Penginderaan Jauh (Remote
sensing), Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System) dan GPS (Global Positioning
System) (Goodchild, 2004). Berbagai terapan dari teknologi tersebut akan memperkaya kajian-kajian
keilmuan Geografi, dalam pengembangan wilayah yang berkelanjutan.
PEMBAHASAN
1. Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi
Citra yang dihasilkan oleh teknologi Penginderaan Jauh antara lain berupa Foto Udara
Pankromatik dan inframerah, Small Format Photography, Hyperspectral Airborne Sensing,
citra Drone, GeoEye-1, OrbView, IKONOS, Quick Bird, Pleiades, ALOS, Himawari, ALOS,
Landsat, SPOT, Almaz, ERS, JERS, NOAA, Radarsat, SRTM, IRS, Baskhara, MODIS,
SeaWift, TRMM, dan Tubsat. Citra penginderaan jauh memiliki resolusi spasial dari satuan
centimeter hingga kilometer, yang berperan penting dalam pembuatan peta dasar dan peta
tematik dari skala besar dan kecil. Skala peta yang tertuang dalam UU 4 2011 dapat dibuat
dengan menggunakan citra penginderaan jauh, dari skala 1:1000 hingga 1:1.000.000. UU 6
tahun 2014 menetapkan skala 1:5000 untuk pemetaan desa.
De Mers (1997) menyatakan bahwa SIG adalah seperangkat alat yang memungkinkan
kita untuk mengolah data spasial menjadi informasi yang berkaitan dan digunakan untuk
membuat kebijakan entang muka bumi. Aronoff (1989) memberikan pengertian SIG sebagai
suatu sistem berbasis komputer yang memiliki 4 kemampuan untuk menangani data spasial:
pemasukan, pengelolaan data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan
analisis, serta keluaran (output). Parent (1988, dalam Antenucci et al., 1991) menekankan
aspek kemampuan GIS untuk menghasilkan informasi baru, dengan membatasinya sebagai
suatu sistem yang memuat data dengan rujukan spasial, yang dapat dianalisis dan dikonversi
menjadi informasi untuk keperluan tertentu. Parent (1988) menegaskan bahwa kemampuan
penting suatu SIG adalah analisis data untuk menghasilkan informasi baru.
Kekuatan dari SIG adalah terbentuknya new spatial information dari hasil analisis
basisdata, melalui berbagai proses yang dapat dilakukan pada SIG, melalui (1) Pemrosesan
data atribut (Query dan Kalkulasi), (2) Pemrosesan data grafis (mengubah skala, mengubah
Sistem Proyeksi, Rotasi dan Translasi, Pengkondisian (Spasial Querying), Tumpangsusun
(Overlay), Re-klasifikasi, Jarak dan Buffer, model Elevasi/Medan Digital, pemodelan Spasial
dan Kalkulasi Data Grafis); dan (3) Terpadu antara data grafis dan atribut (Pengkaitan atribut
ke grafis dengan simbol area, warna, angka, diagram). Kajian dan análisis geografi, dengan
mmenggunakan data geospasial makin menguat dengan digunakannya análisis kualitatif,
kuantitatif, statistik dan Sistem Informasi Geografi. Peran penting geografi dikuatkan oleh
SIG, yang dengan jelas dinyatakan oleh Dangermond, (2011) the role of geography is a
platform for understanding the world. GIS is making geography come alive. It condenses our
data, information, and science into a language that we can easily understand: maps.
Teknologi geospasial meliputi 4 buah teknologi, yaitu GIS-analisis spasial; GNSS dan
Positioning, yang didalamnya ada GPS; Earth Observation-remote sensing, teknologi
Pengideraan Jauh, dan Scanning, survey terestial menggunakan scanner. Masing-masing
dirinci dengan alat dan teknologi yang berkembang saat ini, seperti disajikan pada gambar 1

Gambar 1. Teknologi Geospasial: GIS, GNSS/GPS, Earth Observation, Scanning.


Penginderaan Jauh dan SIG merupakan bagian dari Teknologi Geospasial

2. Manfaat Teknologi Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Lokal


Sumberdaya alam (SDA) berdasarkan bentuk yang dimanfaatkan oleh manusia
meliputi SDA abiotik yang diambil dari alam melalui penambangan dan pengolahan (batu
kapur, tanah liat, sebagai bahan bangunan), SDA biotik (flora, fauna), SDA energi, (minyak
bumi, gas alam, batu bara, dan kayu bakar), SDA ruang, berupa situs, lokasi yang digunakan
manusia untuk menjalani hidupnya (permukiman, industry, pariwisata). SDA waktu, yaitu
waktu yang berpengaruh pada pemanfaatan SDA lainnya (musim kemarau air sulit, akibat
gagal panen). SDA lahan, kedalaman <10m, yang terbentuk oleh pelapukan batuan dan
dekomposisi humus, yang membentuk tanah. Tanah memiliki berbagai sifat : (1) kesuburan
untuk pertanian, (2) ruang untuk beraktifitas, sesuai kemajuan peradaban manusia, (3) volume
(m3; ton, truck) yang bermanfaat utk bahan bangunan. Dalam sudut pandang kesuburan untuk
pertanian, dikenal berbagai jenis tanah, misalnya tanah latosol, regosol, podzol, mediteran,
alluvial. Ruang pada peradaban berciri agriculture ditentukan dengan luas, kesuburan, dan
bonitanya. Ruang pada masyarakat industry dan jasa, dikontrol oleh faktor aksesibilitas,
kemudahan mencapai fasilitas, termasuk fasilitas politik dan kekuasaan. Ruang pada
masyarakat berciri bioteknologi, dikontrol oleh factor rekayasa genetika, sedang pada era
informasi, aspek globalisasi didukung ICT yang menjadi factor penentunya. Topografi yang
kasar merupakan sumberdaya panoramik, view yang menarik dan lokasi yang sesuai untuk
pendakian, panjat tebing dan wahana peluncuran pesawat terestrial untuk survei
dan pemetaan serta olahraga.
SDA air dibedakan menjadi dua: air di daratan (air permukaan dan air tanah) dan air
di lautan. Air permukaan berupa air yang mengalir (sungai, selokan), dan air yang
menggenang (danau, waduk, rawa). Air masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi dan perkolasi,
menempati pori-pori batuan sebagai air tanah (ground water). Kedalaman air tanah bervariasi
tergantung kondisi akuifernya. Air tanah dirinci menjadi Air tanah dangkal dan Air tanah
dalam (air artesis). SDA air laut berdasarkan kedalamannya, meliputi: a. Wilayah pasang
(zona lithoral), b. Wilayah laut dangkal (zone neritis), c. Wilayah laut dalam (zone bathyal),
d. Wilayah laut sangat dalam (zone abysal). Menurut terjadinya dibedakan menjadi laut
regresi, laut transgresi, laut ingresi. SDA laut memiliki sifat-sifat yang berpotensi menjadi
SDA penting untuk kehidupan, yaitu a. suhu (identifikasi konsentrasi ikan), b. kadar garam
(salinitas), untuk produksi garam, dan c. gelombang, arus, pasang surut, yang merupakan
sumber energi.
Merujuk tulisan dalam serambinews.com 28 November 2014 14:30, Aceh memiliki
sumber daya alam (SDA) yang sangat banyak, namun karena ketidaksiapan sumber daya
manusia (SDM) dalam mengelolanya dengan baik, dikawatirkan SDA yang ada justru
menjadi petaka. Kondisi ini dapat mendorong Aceh menjadi lemah, tidak mandiri dan
tergantung pada daerah lain. SDM yang lemah terutama akibat belum optimalnya semangat
masyarakat dalam mengkaji sains-teknologi, serta perlunya dukungan yang memadai dari
pemerintah (Mustanir Yahya, 2014). UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengamanahkan
pelaksanaan syariat Islam secara kaffah, dimana SDM yang merupakan kunci keberhasilan
pembangunan suatu daerah. Aceh berpenduduk 4.597.308 jiwa dengan luas wilayah
57.365,57 km2 (2,88% luas Indonesia) membentang dalam 6.770,81 Km2 memiliki 119
Pulau, 35 gunung, 73 sungai penting dan mempunyai kekayaan alam yang berlimpah yang
tersebar di 6.450 gampong. Potensi ini merupakan modal yang sangat penting guna
mendukung pelaksanaan pembangunan di Aceh menuju masyarakat sejahtera. Kondisi faktual
menunjukan bahwa Aceh belum mampu memanfaatkan potensi kekayaan sumber daya alam
yang dimilikinya.
Aceh juga dikenal sebagai penghasil rempah, memiliki produksi pertanian, kawasan
kehutanan, penghasil mineral dan bahan bakar yang besar. Dengan iklim tropis, Aceh
berpotensi dalam pengembangan bidang tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan,
dan pariwisata. Sejak 1900 usaha pertambangan umum telah dilakukan, dimana operasi
minyak dan gas di bagian utara dan timur meliputi daratan seluas 8.225,19 km² dan dilepas
pantai Selat Malaka 38.122,68 km². Usaha tersebut menerapkan kontrak bagi hasil
(production sharing). Batubara berada pada Cekungan Meulaboh di Kecamatan Kaway XVI
Kabupaten Aceh Barat, dimana terdapat 15 lapisan hingga kedalaman 100 meter, tebal lapisan
antara 0,5-9,5 m. Jumlah cadangan terindikasi hingga kedalaman 80 meter mencapai 500 juta
ton, sedangkan cadangan potensial sekitar 1,7 miliar ton. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) bersama lembaga riset geologi dan kelautan Jerman (BGR) telah
melakukan survei potensi minyak bumi dan gas di timur laut Pulau Simeulue yang diprediksi
bisa menjadi penganti cadangan minyak Arun Aceh Utara. Cadangan ini mencapai 320 milyar
barrel. Jumlah ini sangat spektakuler untuk ukuran cadangan pada cekungan di Indonesia,
dibandingkan Saudi Arabia, sebagai pemilik cadangan terbesar di dunia, mempunyai
cadangan terbukti sebesar 264,21 milyar barrel.
Aceh juga memiliki beraneka ragam potensi sumber energi untuk pembangkit tenaga
listrik: potensi air, panas bumi, batubara. Potensi sumber tenaga air diduga mencapai 2.626
MW yang tersebar di 15 lokasi di wilayah Aceh. Salah satu dari potensi tersebut adalah PLTA
Peusangan dengan daya sebesar 89 MW, di daerah Jambo Aye yang diperkirakan mencapai
471 MW, Lawe Alas sebesar 268 MW, dan Tampur sebesar 126 MW. Potensi batubara yang
dapat dikembangkan sebesar 1.300 juta ton. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
menyebutkan bahwa Aceh memiliki 17 titik panas bumi yang dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan tenaga listrik. Hasil inventarisasi Dinas Pertambangan Aceh menunjukan
bahwa Aceh mempunyai 21 jenis bahan galian industri yang cukup potensial dan sangat
prospektif untuk dikembangkan dengan lokasi menyebar pada hampir semua kabupaten/kota
di Aceh.

Gambar 2. Singkapan Batubara Pada Kedalaman 2-3 Meter Dri Permukaan Tanah.

KESIMPULAN
Pengelolaan informasi geografi untuk perkembangan ilmu geografi perlu didukung dengan
system penyedia data yang berkelanjutan, dalam hal ini adalah teknologi informasi geografi (TIG)
yang didalamnya ada teknologi Penginderaan Jauh, SIG dan GPS, maupun teknologi pendukung
informasi geografi yang lain. Untuk kepentingan kajian geografi, diperlukan basisdata sumberdaya
baik sumberdaya laut, darat dan udara. Geodatabase meliputi data dan informasi abiotik, biotik dan
kultural yang layer-layer spasial, hasil survei dan pemetaan. Penggunaan TIG untuk pengelolaan data
dan informasi spasial sangat nyata dan penting untuk mendukung pembangunan. Sumberdata berasal
dari foto udara, hingga citra satelit, yang dilengkapi dengan survey dan uji medan. Citra penginderaan
jauh, dicirikan dengan sifat spasial, spektral dan temporal memiliki peran yang khas terhadap
perolehan data geografi.
Peran TIG untuk pengembangan ilmu geografi ditunjukan dengan berbagai kegiatan
pengukuran, pemetaan, pantauan, pemodelan dan pengelolaan sumberdaya lahan, air, udara, angkasa,
menggunakan data geospasial. Kegiatan tersebut antara lain pembangunan basisdata wilayah, kajian
sumberdaya lahan, air, mineral dan batuan, kebencanaan, kehutanan, hingga AR sangat penting untuk
mendukung pendidikan geografi. AR membuka cakrawala baru dalam aplikasi Penginderaan Jauh,
dan SIG dalam dimensi ICT yang lebih mutakhir. Dengan Penginderaan Jauh, dan SIG semua
kegiatan kajian geografi, misalnya pengelolaan sumberdaya wilayah lokal dan kajian kebencanaan
menjadi lebih dipermudah. Produk peta, sistem informasi, basisdata, dan produk lainnya yang
interaktif dapat disajikan. Analisis spasial dapat dilakukan pada produk-produk tersebut (pola,
distribusi, kecenderungan, prognostik, pemodelan, dll).
Judul : Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Banjir Berbasis Sistem Informasi Geografis (Sig)

Tahun : 2018

LATAR BELAKANG
Di antara bencana alam yang sering menimbulkan kerusakan di seluruh dunia, bencana banjir
memiliki intensitas kejadian paling tinggi, yang menimbulkan dampak negatif bagi manusia, dan
menyebabkan kerugian ekonomi paling besar. Pemahaman umum saat ini adalah bencana banjir tidak
akan berkurang dalam waktu dekat, justru akan semakin meningkat intensitas dan frekuensinya akibat
pemanasan global (Khan, 2011).
Perkembangan baru di masa depan memiliki potensi besar untuk meningkatkan resiko
kejadian banjir. Hal tersebut sangat berkaitan dengan adanya pemanasan global, seperti peningkatan
ketinggian muka air laut, intensitas curah hujan semakin tinggi dan volume pelepasan air di sungai-
sungai. Beberapa hal tersebut terjadinya kemungkinan meningkatnya intensitas dan frekuensi
terhadap banjir. Kemudian pertumbuhan penduduk dunia, kenaikan intensitas urbanisasi di daerah
rawan banjir dan strategi untuk mengatasi banjir yang tidak memadai akan meningkatkan dampak
bencana banjir (Jonkman, 2005).
Kota Pangkalpinang merupakan Ibu Kota dari Provinsi Kepulauaan Bangka Belitung secara
spasial Kota Pangkalpinang memiliki wilayah berupa daratan, bukit dan lautan dengan luas wilayah
yang mencapai 145,03 km2. Kondisi topografi wilayah Kota Pangkapinang pada umumnya
bergelombang dan berbukit dengan ketinggian 20-50 m dari permukaan laut dan kemiringan 0-25%,
secara morfologi daerahnya berbentuk cekung dimana bagian pusat Kota berada didaerah rendah.
Menurut RTRW Pasal 6 Kota Pangkapinang di fungsikan sebagai Kota perdagangan, jasa dan
pariwisata skala regional, serta Kota industri skala Internasional dengan konsep water front city yang
berwawasan lingkungan. Maka dari itu dalam pengembangan Kota Pangkalpinang memerlukan
sebuah konsep yang dapat mengantisipasi berbagai masalah, baik dari sudut perkotaan maupun di
bidang lainnya yang berpotensi, agar nantinya dapat menjadi kota yang aman, nyaman dan ramah
lingkungan (RTRW Kota Pangkalpinang, 2011-2030).
Kota Pangkalpinang memiliki jumlah penduduk pada tahun 2016 sebesar 200.326 orang
dengan komposisi 102.795 laki-laki dan 97.531 perempuan serta jumlah kepadatan penduduk sebesar
1.692 jiwa/km2 (BPS, 2017). Berdasarkan kondisi eksisting, pemanfaatan lahan di Kota
Pangkalpinang terdiri berbagai macam aktivitas seperti permukiman, perdagangan dan jasa, pusat
pemerintahan, perkantoran dan berbagai macam aktivitas lainnya. Namun, pada umumnya
pemanfaatan lahan di Kota Pangkalpinang sebagian besar merupakan lahan permukiman dengan
tingkat kepadatan yang tinggi. Banyaknya bangunan di sekitar bantaran aliran sungai serta kurangnya
ruang terbuka hijau yang berdasarkan undang-undang suatu wilayah harus mempunyai ruang terbuka
hijau (RTH) sebesar 30 persen, sementara di Kota Pangkalpinang saat ini RTH hanya sebesar 14
persen, dimana hal ini juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di Kota
Pangkalpinang.
Adapun menurut RTRW Kota Pangkalpinang dalam rencana sistem pengendalian banjir
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c yang terdiri atas: Kolam Retensi Kacang Pedang di
Kecamatan Rangkui, Kolong Teluk Bayur di Kecamatan Bukit Intan, Kolong Bintang di Kecamatan
Rangkui, kolong kepuh di Kecamatan Bukit Intan, Kolong Akit di Kecamatan Girimaya dan
Kecamatan Bukit Intan, Kolong Gudang Padi di Kecamatan Girimaya, Kolam Retensi TK III di
Kecamatan Bukit Intan, Kolam Retensi Linggarjadi hulu di Kecamatan Tamansari dan kolam Retensi
Air Mawar di Kecamatan Bukit Intan. (Ahmadi, 2016) mengatakan kegiatan penambangan timah di
aliran sungai menjadi pemicu bencana banjir, kegiatan penambangan timah yang dilakukan di hulu
dan di aliran sungai pada akhirnya memicu pendangkalan sehingga meluap dan terjadi banjir yang
merendam beberapa kawasan di Kota Pangkalpinang. Sementara itu menurut RTRW Kota
Pangkalpinang pasal 49 kawasan yang sering terjadinya rawan bencana banjir yaitu: kawasan gedung
nasional, kawasan kampung bintang, kawasan kampung trem seberang, kawasan jalan batin tikal dan
kawasan pasir putih. Adanya bencana banjir di Kota Pangkalpinang tentunya harus ada upaya yang
harus di lakukan untuk memperkirakan wilayah berpotensi rawan terhadap banjir, perlu di ketahui
sebab akibat terjadinya banjir dan dapat dilihat dari daerah sasaran banjir tergantung pada
karakteristik terjadinya, salah satu metode untuk menganalisis kawasan rawan bencana banjir adalah
dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan metode tersebut dapat
dilakukan identifikasi dan pemetaan kawasan rawan bencana banjir di Kota Pangkalpinang.

KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil Analisis peta kerawanan banjir di Kota Pangkalpinang berikut ini adalah hal-
hal yang dapat di ambil kesimpulan:
1. Kejadian Banjir di Kota Pangkalpinang Terjadinya banjir di Kota Pangkalpinang telah terjadi
sebelumnya yaitu di tahun 1986 dan terjadi kembali banjir di Kota Pangkalpinang pada awal
tahun 2016 tepatnya di bulan februari, maret dan september, Adanya banjir di Kota
Pangkalpinang mengindikasikan bahwa telah terjadi ketidak seimbangan lingkungan hal
tersebut perlu penanganan yang lebih lanjut, agar kejadian banjir dapat di minimalisir dengan
baik. Karakteristik Banjir di Kota Pangkalpinang Berdasarkan hasil pengamatan secara
langsung bahwa hal yang mempengaruhi banjir di Kota Pangkalpinang yaitu: adanya
pertumbuhan kawasan yang begitu cepat, terjadinya alih fungsi lahan, kapasitas saluran
gorong-gorong yang kurang memadai, jaringan drainase yang belum memadai, adanya laju
sedimentasi yang tinggi di daerah hulu, kondisi daerah yang relatif datar, dan kurangnya
partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan.
2. Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara di Kecamatan Kota Pangkalpinang, bahwa
beberapa daerah seperti Kecamatan Taman Sari, Rangkui, Girimaya memiliki potensi banjir,
Terjadinya aliran limpasan air rata-rata mengenai sebagian permukiman dan perdagangan
jasa. Memiliki ketinggian banjir paling tinggi 1-2 Meter dengan durasi surut air paling lama
4 hari.
3. Tingkat kerawanan banjir di Kota Pangkalpinang terdiri dari 3 kelas yaitu: kerawanan rendah,
kerawanan sedang, dan kerawanan tinggi, dimana berdasarkan hasil analisis tersebut
menunjukan bahwa beberapa Kecamatan sangat tinggi terhadap kerawanan banjir.
Judul : PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN
DAN EVALUASI ASET DAERAH BERBASIS WEB (Studi Kasus : Kota Tegal, Jawa
Tengah)
Tahun : 2019

PENDAHULUAN
Aset merupakan sumber daya ekonomi yang dikuasai atau dimiliki oleh pemerintah.
Pengelolaan aset memainkan peranan strategis dalam pemerintah utamanya pemerintah
daerah. Berlakunya sistem otonomi daerah yang diatur dalam UndangUndang Nomor 23
Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, menyebabkan pemerintah daerah mempunyai
kewenangan penuh dan bertanggung jawab untuk mengelola daerahnya sendiri termasuk
pengelolaan aset yang mana menjadi salah satu kunci keberhasilan pengelolaan ekonomi
daerah. Pemanfaatan dan pengelolaan aset daerah yang tidak optimal akan berdampak negatif
terhadap nilai kemanfaatan potensial yang dapat diperoleh dari aset itu sendiri (Siregar, 2004).
Sebaliknya apabila pengelolaan aset dilakukan secara optimal akan mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) sebagai sumber pembiayaan daerah.
Kota Tegal merupakan salah satu kota yang sedang menggali potensi PAD melalui
pengelolaan aset daerah. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi Pendapatan Asli Daerah
Pemerintah Kota Tegal saat ini lebih banyak ditopang pada sektor pajak dan retribusi daerah
daripada pemanfaatan sewa aset atau barang milik daerah. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah Kota Tegal adalah melakukan pendataan terhadap aset daerah utamanya tanah dan
bangunan milik Pemerintah Kota Tegal (Badan Keuangan Daerah Kota Tegal, 2017).
Pendataan merupakan salah satu bagian dari proses inventarisasi aset daerah.
Pendataan dalam bentuk keruangan (spatial) menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG)
menjadi salah satu upaya tata kelola aset yang baik khususnya inventarisasi. Pendekatan
keruangan memungkinkan pemerintah daerah melakukan spatial analysis, baik bagi tiap-tiap
objek aset maupun wilayah daerah secara keseluruhan untuk mendapatkan informasi yang
cukup bagi penetapan strategi dan pengambilan keputusan pemanfaatan aset (at the current
time) maupun pengembangannya di masa yang akan datang (Siregar, 2004). Sejalan dengan
hal tersebut, SIG juga dapat digunakan untuk memberikan evaluasi terhadap aset daerah yang
nantinya dapat ditampilkan dalam bentuk visual peta.
Dewasa ini sistem informasi geografis telah digabungkan dengan teknologi internet,
sehingga masyarakat dapat mengakses data dengan mudah. Penelitian ini membuat sistem
informasi geografis untuk pemetaan dan evaluasi aset berbasis web yang dapat memudahkan
pengguna untuk memperoleh informasi secara cepat, akurat, dan saling terintegrasi.

PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah yang terletak tepatnya
pada 6° 50' sampai dengan 6° 53' LS dan 109° 08' sampai dengan 109° 10' BT. Kota Tegal
memiliki luas wilayah 39,68 Km2 atau kurang lebih 3.968 hektar dengan batas wilayah
sebagai berikut. 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. 2. Sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Tegal. 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tegal. 4. Sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Brebes.

Gambar 1. Lokasi Penelitian (sumber : Gogle Maps, 2018)

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Peta sebaran aset bersertifikat milik Pemerintah Kota Tegal ditampilkan menggunakan simbol
area dengan jumlah aset bersertifikat sebanyak 608 aset sedangkan peta sebaran aset belum
bersertifikat milik Pemerintah Kota Tegal ditampilkan menggunakan simbol titik dengan
jumlah aset belum bersertifikat sebanyak 149 aset.
2. Berdasarkan hasil evaluasi, aset belum bersertifikat lebih banyak disebabkan karena
lambannya penyelesaian dokumen kepemilikan dengan jumlah aset sebanyak 63 aset
sedangkan Kelurahan Panggung mengalami masalah paling tinggi untuk aset belum
bersertifikat.
3. Website sistem informasi aset daerah milik Pemerintah Kota Tegal yang menampilkan
sebaran dan evaluasi aset daerah disertai query spasial berdasarkan atribut dan dapat diakses
melalui secara online melalui alamat https://kotategal.wixsite.com/asetdaerah. Website dibuat
menggunakan Mango Map untuk mempublikasikan peta dengan format (*.shp) dari ArcMap
ke internet yang nantinya menghasilkan embed code untuk menanamkan peta dihalaman web
sedangkan wix untuk membuat halaman (interface) web.
4. Peta hasil penanaman kode dari Mango Map yang ditampilkan pada halaman web
menampilkan informasi tentang peta sebaran aset Kota Tegal baik aset bersertifikat maupun
aset belum bersertifikat dilengkapi legenda peta, query tool, feature info, dan toolbar untuk
mendukung tampilan peta.
Judul : PEMETAAN ZONA RESAPAN AIR UNTUK PENGELOLAAN GENANGAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI BANJIR KANAL TIMUR MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
Tahun : 2022

PENDAHULUAN
Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan dibutuhkan oleh makhluk hidup.
Bertambahnya kebutuhan konsumsi air saat ini memerlukan pemanfaatan sumber daya air yang direncanakan
dan dikelola dengan tepat melalui sistem pengelolaan Daerah Aliran Sungai atau yang sering disebut DAS.
DAS sendiri adalah suatu wilayah yang dikelilingi, dibatasi oleh topografi berupa punggung bukit atau
pegunungan dengan fungsi untuk mengumpulkan, menerima air hujan, sedimen, serta unsur hara dan
mengalirkannya melalui anak-anak sungai lalu keluar pada suatu titik (outlet) (Supirin, 2002). Pada daerah
aliran sungai dikenal dua wilayah, yaitu hulu (pemberi air) dan hilir (penerima air). Fungsi dari daerah aliran
sungai adalah sebagai areal penangkapan air (cathcment area), penyimpanan air (water storage) dan penyalur
air (distribution water).
Menurut data yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air Dan Penataan Ruang
Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang memiliki delapan DAS yaitu DAS Plumbon. DAS Brigin, DAS
Karanganyar, DAS Cilandak, DAS Garang, DAS Siangker, DAS Banjir Kanal Timur dan DAS Sringin.
Keberadaan daerah aliran sungai (DAS) yang merupakan ekosistem alam tidak hanya dapat membantu
manusia mendapatkan air namun jika keberadaannya tidak dirawat maka dapat menyebabkan bencana. Daerah
resapan air dapat meminimalisir aliran air pada musim hujan di permukaan tanah. Pada daerah yang mengalami
perubahan tata guna lahan menjadi pemukiman atau industri menjadi hal tersebut menjadi sulit dilakukan
karena daerah resapan air tidak dapat bekerja dengan maksimal. Resapan air tanah serta pemompaan air tanah
yang tidak terkendali akan menyebabkan rusaknya potensi persediaan air tanah. Hal ini dapat menyebabkan
tanah kehilangan daya resap sehingga air hujan tidak dapat masuk dan mengalir bebas di permukaan tanah
kemudian menjadi banjir dan juga genangan.
Kondisi DAS Banjir Kanal Timur yang panjangnya ±17,8 km dari bagian selatan hingga utara Kota
Semarang dengan luas 54,70 km² (Pusdataru, 2019) didapatkan jika pada musim kemarau air menjadi kering
namun ketika musim penghujan air meluap. DAS Banjir Kanal Timur juga memiliki daerah-daerah yang rawan
banjir serta genangan tinggi dimana hampir setiap hujan turun akan terlihat beberapa titik genangan yang
tingginya bisa mencapai satu meter. Genangan disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya curah hujan yang
tinggi, atau sistem drainase yang kurang memadai. Saat terjadi hujan, genangan banyak mengganggu aktivitas
jalan karena air di permukaan jalan terhambat masuk kedalam saluran drainase. Hal ini dapat dipengaruhi dari
kondisi geografis daerah dimana banyak daerah yang dekat dengan pantai, juga kondisi saluran air hingga
daerah resapan air pada daerah sekitar DAS Banjir Kanal Timur. Hasil dari air luapan berupa banjir tersebut
akan menggenang lebih lama dari biasanya, dari hal tersebut dapat terlihat daerah yang tidak memiliki resapan
air yang memadahi, sehingga bisa diidentifikasikan jika daerah resapan air pada daerah tersebut tidak berfungsi
secara optimal. Dari keaadan ini perlu adanya langkah optimal dalam pengelolaan daerah aliran sungai yang
tepat. Alat analisis yang dapat digunakan dalam permasalahan ini adalah sistem informasi geografis.
Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat berguna dalam membantu memetakan daerah untuk mengetahui
tingkat penyerapan air dalam suatu wilayah. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan
scoring dan overlay sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009
tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai
(RTkRLH-DAS) dengan memanfaatkan data kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan, jenis tanah,
muka air tanah dan daerah genangan air.

METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi dalam penelitian tugas akhir ini, Yaitu :
1. Tahap persiapan terdiri dari beberapa kegiatan seperti, studi literatur, penentuan lokasi penelitian,
perencanaan kegiatan penelitian, pengumpulan data lapangan serta menyediakan peralatan dan bahan
yang dibutuhkan untuk memudahkan penelitian serta melakukan observasi lapangan agar lebih
memahami wilayah penelitian dan pengumpulan data. Data dalam penelitian ini didapatkan dari
instansi pemerintah.
2. Tahapan pengolahan yang terdiri dari penentuan parameter, cleaning data, konversi data, pengolahan
setiap parameter sesuai dengan ketentuan yang digunakan, pemrosessan georeferncing citra SPOT-7,
digitasi citra, melakukan pembobotan, scoring, kemudian semua parameter dioverlay dan mencari skor
total yang diolah menggunakan software ArcGIS 10.8.
3. Tahapan analisis dilakukan setelah telah memperoleh hasil dari pengolahan data serta data telah
terverifikasi. Kemudian analisis dilakukan berdasarkan dari tingkat kekritisan daerah resapan air di
lokasi penelitian dengen mempertimbangkan data genangan yang telah diperoleh.
4. Tahapan pembuatan laporan merupakan tahapan terakhir dalam penelitian yang bertujuan untuk
menyajikan hasil penelitian yang lebih baik.
Judul : ANALISIS PEMILIHAN LOKASI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) BERBASIS
GEOGRAPHY INFORMATION SYSTEM (GIS) DI KOTA TOMOHON
Tahun : 2018

PENDAHULUAN
Seiring perkembangan suatu daerah atau kota yang semakin meningkat baik dari segi penduduk,
prasarana sarana, pelayanan publik, serta aspek lainnya, akan disertai juga dengan timbulnya
dampak salah satunya permasalahan sampah. Permasalahan sampah terletak pada meningkatnya
produksi sampah yang dihasilkan dari rumah tangga, industri, maupun komersial, serta
pengelolaan sampah yang kurang baik, maupun sarana prasarana persampahan yang kurang
memadai.
Tempat PembuanganAkhir (TPA) merupakan tahapan akhir pemrosesan sampah dimana sampah
hasil pengumpulan atau pengangkutan maupun sisa hasil dari pemrosesan daur ulang di suatu
daerah atau kota ditampung untuk dikelola. Oleh sebab itu Tempat pembuangan akhir (TPA) harus
ditanggani dengan baik sehingga sampah yang terkumpul dapat terkelola dengan baik dan tidak
mencemari lingkungan sekitar. Tempat Pembuangan Akhir harus dipersiapkan dengan baik salah
satunya dalam Pemilihan lokasi TPA yang sesuai kriteria yang ditetapkan dengan memperhatikan,
karakteristik wilayah dalam hai ini penggunaan lahan, fisik lahan, serta operasional dan lainnya
agar meminimalisir dampak terhadap lingkungan sekitar.

LOKASI
Pengertian lokasi menurut Kamus Tata Ruang adalah tempat untuk kegiatan tertentu dan penentuan
lokasi kegiatan merupakan bagian dari proses penyusunan rencana tata ruang. (Direktorat Jendral
Tata Ruang & Kementrian Agraria dan Tata Ruang, 2009)Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
penentuan dalam pemilihan suatu lokasi kegiatan menurut Budhiharsono (2001:23) dalam (Basyarat,
2006) adalah: (1) input lokal; (2) permintaan lokal; (3) input yang dapat ditransfer dan (4)
permintaan dari luar.
1. Input lokal adalah semua barang/jasa yang ada pada suatu lokasi dan sangat sukar atau
tidak mungkin untuk dipindahkan ke tempat lain. Salah satu sifat umum dari input lokal
adalah ketersediaan sumber daya dan prasarana suatu lokasi yang tidak dipengaruhi oleh transfer input
dari lokasi lain. Dalam hal ini input lokal tersebut dapat berupa keadaan lahan, iklim, kualitas
udara, kualitas air, keadaan lingkungan, pelayanan umum yang terdapat pada suatu lokasi.
2. Permintaan lokal atau output yang tidak dapat ditransfer (nontransferable output) adalah permintaan
akan output secara lokal yang tidak dapat ditransfer pada suatu lokasi, misalnya permintaan
terhadap pelayanan lokal seperti sarana peribadatan dan sarana hiburan atau permintaan tenaga
kerja oleh pabrik lokal.
3. Input yang dapat ditransfer adalah ketersediaan input yang dapat ditransfer dari sumber-
sumber dari luar lokasi yang bersangkutan, pada sampai batas tertentu dapat merupakan suatu
pencerminan biaya transfer atau biaya transportasi dari sumber-sumber input ke lokasi
tersebut.4.Permintaan dari luar atau output yang dapat di transfer adalah permintaan bersih yang
diperoleh dari penjualan yang dapat ditransfer ke pasar di luar lokasi dan merupakan pencerminan
dari biaya transfer atau biaya transportasi dari lokasi tersebut ke pasar-pasar.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan tujuan dari penelitian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan
beberapa hal yaitu:
1.Pemilihan lokasi TPA berdasarkanstandar yang berlaku dan denganbantuan Sistem
Informasi Geografisyaitu SNI 03-3241-1994 tentang TataCara Pemilihan Lokasi TPA
Sampahyang menjelaskan kriteria pemilihanlokasi TPA menjadi tiga tahap, yaitu :(a) untuk
memperoleh zona layakyaitu dengan cara buffering danoverlaydengan pendekatankuantitatif
binary tiap parameter yangada dengan bantuan GIS, (b) Tahappenyisih untuk melakukan
skoringatau penilaian lanjutan terhadapalternatif lokasi yang diperoleh padapenilaian tahap
pertama, (c) Tahappenetapan memilih rekomendasirekomendasi lokasi TPA terbaik darihasil
tahap sebelumnya.
2. Penyesuaian parameter dengan kondisi wilayah yang ada juga diperlukan untuk menjadi
faktor penentu dalam pemilihan lokasi TPA karena tiap wilayah memiliki kondisi yang berbeda
yang juga patut dipertimbangkan untuk menjadi tamabahan parameter disamping parameter yang
telah ditentukan dalam standar yang berlaku. Faktor-faktor penentu dalam pemilihan lokasi
TPA berdasarkan karakeristik wilayah kota Tomohon yaitu; (1) parameter rawan bencana
gunung api karena Tomohon memiliki gunung api sehingga perlu untuk menjadi masukan
parameter agar lokasi TPA berada tidak pada daerah rawan bencana, (2) parameter
penggunan lahan karena akan melihat kawasan terbangun maupun kawasan pertanian dan lainnya
yang tidak layak untuk TPA, (3) parameter kawasan strategis karena kawasan strategis merupakan
kawasan yang pengembangan dan penataannya di prioritaskan karena mempunyai pengaruh
penting dalam perkembangan kota sehingga zona kawasan strategis tidak layak untuk menjadi
TPA, (4) Parameter buffer permukiman agar alternatif lokasi TPA tidak berada disekitar
permukiman yang nantinya dapat mencemari aktivitas di sekitar permukiman.
3. Berdasarkan hasil penelitian ini makaalternatiflokasiTPA di KotaTomohon yaitu yang
terdapat diKelurahan tara-tara 1 KecamatanTomohon Barat. Pertimbangan utamalokasi ini
adalah karena lokasi TPAterpilih ini berdekatan dengan TPAeksisting Tomohon saat ini,
sehinggapemerintah dapat melakukanpengembangan

Anda mungkin juga menyukai