PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih islam merupakan kumpulan hukum islam yang berkenaan
dengan amal perbuatan, yang digali dari sumber/dalilnya secara terperinci.
Dalil pokok yang merupakan sumber fiqih itu adalah wahyu Tuhan. Satusatunya pemilik dan penguasa hukum.
Pengertian wahyu sebagai satu-satunya sumber hukum, ialah
bahwa dialah yang berhak menetapkan adanya sumber lain yang dapat
dijadikan dasar bagi fiqih islam, di antaranya dinyatakan adalah : Quran ,
Hadist dan sumber hukum pelengakap islam lainnya.
Sedangkan saat ini kita tidak hanya menggunakan 3 hukum
tersebut. Kita menggunakan hukum yang dibuat oleh pemimpin negara
Indonesia yang berupa Undang-Undang. Akan tetapi di Indonesia muncul
Undang-Undang Islam yang terbaru sampai saat ini adalah KHI
(Kompilasi Hukum Islam).
Semoga tulisan kami ini bisa membantu pembaca dalam
mempelajari hukum islam.
BAB II
SUMBER HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI PARA ULAMA
A. Al-Quran
1. Pengertian Al-Quran
Menurut bahasa (etimologi) kata Al-Quran berasal dari kata qara-yaqrauqur anan artinya bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut istilah
(terminologi) Al-Quran adalah Kalmullah sebagai mujizat yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, dengan bahasa Arab,
ditulis dimushhaf, disampaikan secara mutawatir, dibaca bernilai ibadah.
Diawali dengan surat Al-Fatihan dan diakhiri dengan surat An-Nas.
2. Pokok-pokok isi Al-Quran
Pokok-pokok isi Al-Quran ada lima yaitu :
a. Tauhid
b. Ibadah
c. Janji dan ancaman
d. Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
e. Riwayat dan ceritera ( qishah umat terdahulu).
3. Dasar Kehujjahan Al-Quran dan Kedudukannya sebagai Sumber
Hukum
Sebagimana kita ketahui Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua
perintah-Nya dan wajib ditinggalkan segala larangan-Nya. Firman) Allah SWT
:
Artinya :
Artinya :
Artinya :
Artinya :
"...Allah
menghendaki
kemudahan
bagimu
dan
tidak
Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan
dasar ini kita dapati rukhshah (keringanan) dalam beberapa jenis
ibadah, seperti Menjama dan mengqashar sholat apabila dalam
perjalanan dengan syarat yang telah ditentukan.
B. Al- Hadits
1. Pengertian Al-Hadits
Menurut bahasa (etimologi) Al-Hadits berarti yang baru, yang dekat,
atau warta yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah
(terminologi) Al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan)
beliau.
2. Bentuk-bentuk Al-Hadits
Berdasarkan definisi istilah diatas, maka bentuk hadits dapat dibedakan
menjadi 3 macam yaitu :
a. Qauliyah ( ucapan )
b. Filiyah ( perbuatan )
c. Taqririyah ( keputusan/ketetapan )
Allah
Artinya :
Artinya:
Artinya:
Artinya:
Hadits-hadits
Banyak
diantara
mereka
yang
tidak
hanya
maka
konsekwensi
logisnya
segala
peraturan
dan
kepada
Muhammad
SAW
sebagai
Rasul
Allah
setelah
Al-Qur'an.
Sedangkan
bila
dilihat
dari
segi
c.
Bayanut Tasyri yaitu menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada
ketentuan nashnya dalam Al-Quran. Misal hadits tentang penyembelehan janin
dalam perut induknya sama dengan penyembelehan induknya dan lain-lain.
C. Ijma'
1. Pengertian Ijma'
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kata Ijma' merupakan masdar (kata
benda verbal) dari kata
3. Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada ijma' sebab setiap terjadi
ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada Rasul, lalu
beliau menetapkan hukumnya.
4. Atas hukum syara' ijma' hanya terjadi bagi masalah yang
berhubungan dengan hukum. Syara' dan berdasar kepada hukum
syara' pula ; baik berupa nash yang qoth'i yaitu Al-Qur'an dan
hadits mutawatir, sebab ijma' bukanlah dalil syar'i yang berdiri sendiri.
2.
Artinya :
maka baik (pula) di sisi Allah (HR. Ahmad di dalam Kitab Sunnah-nya)".
Artinya :
Majah
3.
Kejadian
tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik di dalam AlQur'an maupun As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini
disebut "Far'un"
Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam AlQur'an maupun sunnah disebut ashal
"maqiis'alaih"
2)
3)
mansukh
4)
5)
6)
c.
Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal.
Sifat ini pula yang harus ada pada far'un". Haramnya minum
khamr adalah ashal karena ada nash yang menyatakan itu, yaitu
firman Allah SWT :
(maka jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan.
Perasan anggur adalah "far'un"
yang sudah
antara
ashal
dengan
far'un
serta
munasabah
3.
Al-Ashlu
Al-Faru
Ilah
Hukum
Khamar
Narkoba
Memabukkan
Haram
Artinya:
Dasar qiyas sebagai sumber hukum adalah sebuah.hadits dari Ibnu Abbas
kerjakanlah
haji
untuknya.
Bagaimana
dibayar.
4.
Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut
didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya `illah yang ada
pada asal dan furu', adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi
menjadi tiga yaitu :
a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya
hukum. Hukum cabang memiliki nilai yang lebih utama dari pada
hukum yang ada pada al-ashal. Misalnya berkata kepada kedua orang
tua dengan mengatakan "ah", "eh", "busyet" atau kata-kata lain yang
semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan
firman Allah QS. Allsra' (17): 23.
3.
4.
BAB III
SUMBER HUKUM ISLAM
YANG DIPERSELISIHKAN PARA ULAMA
A. Istihsan
1. Pengertian
Menurut pengertian bahasa, istihsan berarti "menganggap baik". Sedang
menurut istilah ahli Ushul yang dimaksud dengan istihsan ialah
berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas
jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samarsamar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat
istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki
perpindahan itu. Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :
1. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya
menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh
membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub
dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca
Al-Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca Al-Qur'an.
Istihsan : Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama.
Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an,
sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh
pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
2. Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli
salam (pesanan) boleh berdasarkan istihsan tetapi haram menurut
hukum kully. Hukum kully (syara') : melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad.
Istihsan : membolehkan jual beli salam karena manusia berhajat kepada
akad tersebut dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
penguatan
itu.
Atau
berdalilkan
maslahat
untuk
B. Istishhab
1. Pengetian
Yang dimaksud dengan istishab ialah mengambil hukum yang telah ada
atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa
selanjutnya,
sebelum
ada
hukum
yang
mengubahnya.
Misalnya
tidak
ada
sehingga
ada
dalil
yang
menyebutkan
secara
meyakinkan
bahwa
ia
bersalah.
Karena
dimana sifat itu berlaku pada suatu ketentuan hukum sampai sifat itu
mengalami
perubahan
yang
konsekwensi
logisnya
juga
akan
C. Mashalihul Mursalah
1. Pengertiannya
Mashalih bentuk jama dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan.
Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti
kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan
kepada
kemaslahatan,
yaitu
manfaat
bagi
manusia
atau
menolak
memperhatikan
kemaslahatan
umat.
Tak ada
satupun
syari'.
Misalnya
mengumpulkan
dan
membuat
membukukan
penjara,
mencetak
ayat-ayat
uang,
Al-Qur'an
dan
sebagainya.
3.
prasangka.
b. Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
c. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan
dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan Nash atau ijma.
D. Al-'Urf
1. Pengertiannya
Yang dimaksud dengan Al-'Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling
dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat
istiadat, baik berupa Qauly (perkataan) maupun Amaly (perbuatan).
Menurut ahli syar'i bahwa antara adat-istiadat dengan Urf Amali itu tidak
ada bedanya. Contoh Urf Qauly ialah orang telah mengetahui bahwa
kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Contoh 'Urf
Amaly ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan
tidak mengucapkan sighat akad jual beli.
2. Macam-macam AI-'Urf dan Hukumnya
Secara garis besar, 'urf itu dibagi menjadi dua, yaitu :
a. 'Urf Shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak
bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak
menggugurkan kewajiban. Misalnya orang telah mengerti bahwa orang
yang melamar itu menyerahkan sesuatu kepada perempuan yang dilamar,
berupa emas dan pakaian. Urf jenis ini diperbolehkan dan bahwa harus
dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi
manusia.
b. 'Urf Fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara.
Contoh orang mengetahui bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu
dengan memberikan uang sogokan (risywah). 'Urf jenis ini hukumnya
haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama. Dalam suatu kaidah
dinyatakan yang artinya : "Tidak boleh taat kepada makhluk dalam
bermaksiat kepada Khaliq".
Artinya :
yaitu
disyariatkan
apa
kepada
yang
kita
disyari'atkan
(
umat
Nabi
kepada
mereka
Muhammad
),
juga
baik
yaitu
apa
yang
disyari'atkan
kepada
mereka
tidak
termasuk suddudz
dzari'ah. Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatanperbuatan yang dilarang oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri
dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat
membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
b. Ditolak. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa
saddudz dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu
yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang
mubah. Dalam sebuah hadits Nabi Saw. Dikatakan :
G. Mazhab Shahaby
1. Pengertiannya
Yang dimaksud dengan Mazhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat
mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah SAW wafat.
fatwa-fatwa para sahabat di atas bisa terjadi pada dua masa yaitu :
Pertama, ketika Rasulullah SAW masih hidup dan selanjutnya
dijadikan ketetapan ( taqrir ) Rasulullah SAW dengan sebutan Hadits
Taqrir. Kedua, setelah Rasulullah SAW wafat berarti berdasarkan ijtihad
mereka sendiri, hal ini terbagi menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang
mereka sepakati (Ijma Sahaby) dan hasil ijtihad yang tidak
mereka
sepakati.
2. Kedudukannya sebagai sumber hukum
Sesuai dengan sifat fatwa sahabat tersebut, maka kedudukan mazhab
sahabat ini dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu :
a. Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada ketetapan Rasulullah SAW
wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan hadits Rasulullah SAW..
b. Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka
sepakati (Ijma Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati,
sebab
mereka di samping dekat dengan rasul, mereka mengetahui
rahasia
rahasia tasyri' dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa
yang sering terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka
sepakati,
antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam.
c. Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan
tidak
wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan : Tidak
melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk
dijadikan hujjah, sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepada
ra'yu dan di antara sahabat sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka
tidak luput dari kesalahan.
H. Dalalatul Igtiran
1. Pengertiannya
Yang
dimaksud
menunjukkan
dengan
dalalatul
iqtiran
ialah
sesuatu
dalil-dalil
yang
yang disebutkan
Artinya : "Dan Dia (jadikan) kuda, bighal, dan keledai untuk kamu
jadikan kendaraan dan untuk perhiasan".
Berdasarkan ayat di atas Imam Malik tidak mewajibkan zakat atas kuda,
lantaran disebut beriringan dengan harta yang tidak dikenai zakat.
BAB IV
PELENGKAP SUMBER HUKUM ISLAM
A.
Artinya :
Hukum ijtihad
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari, bahwa hukum ijtihad itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
a. Wajib Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah
dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sndiri
mengalami suatu peristiwa yang ia seniri juga ingin mengetahui
hukumnya.
b. Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan
seseuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain
dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah
menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban
mujtahid yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid
melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum
terjadi.
3. Peranan dan kedudukan hasil ijtihad
a. Peranan ijtihad
Ijihad sangat diperlukan dan memiliki peranan yang sangat penting dalam
mencari sandaran hukm yang benar, mengingat banyak masalah yang
secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Quran maupun
Al-Hadits. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya yang
mempunyai
kemampuan
untuk
melakukan
ijtihad.
Sebagaimana
Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai
orang-orang yang mempunyai pandangan. ( QS. Al-Hasyr : 2 ).
Hadits Nabi MuhammadSAW :
ijtihadnya
4. Syarat-syarat mujtahid
Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad
dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Syarat umum
1). Beriman
2). Mukallaf
3). Memahami masalah
b. Syarat khusus
1). Mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah
yang dianalisis, dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbabul nuzul,
musytarak, dan sebagainya.
2). Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah
yang dianalisis, mengetahui asbabul wurud, dan dapat mengemukakan
hadit-hadits dari berbagai kitab hadits seperti Shahih Bukhori, Shahih
Muslim, Sunan Abu Daud dan lain-lain.
3). Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan
hidup manusia di dunia dan akhirat.
4). Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah, yaitu kaidah-kaidah yang
diistinbathkan dari dalil-dalil syara.
5). Mengetahui kaidah-kaidah Bahasa Arab, yaitu nahwu, sharaf,
balaghah, dan sebagainya.
6). Mengetahui ilmu ushul fiqih, yang meliputi dalil-dalil syarI dan
cara-cara mengistinbathkan hukum.
7). Mengetahui ilmu mantiq.
8). Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan barah ashliyah.
9). Mengetahui soal-soal ijma, sehingga hukum yang ditetapkan tidak
bertentangan dengan ijma.
c. Syarat pelengkap
1). Mengetahui bahwa tidak ada dalil qathI yang berkaitan dengan
masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2). Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para
ulamadan yang akan mereka sepakati.
3). Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
5. Tingkatan-tingkatan mujtahid
Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang
ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat
dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu :
a. Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah
memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad
dalam berbagai hukum syara, dengan tanpa terikat kepada madzhab apa
pun. Seperti madzahibul arba ( Imam Hanafi, Syafii, Maliki, dan
Ahmad bin Hambal ).
b. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad
secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri
kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh
madzhab itu. Sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan
pendapat imam madzhab tersebut.
c.
Artinya :
Artinya :
ittibaadalah :
Taqlid
adalah :
D. Fatwa
1. Pengertian fatwa
Yang dimaksud dengan fatwa adalah jawaban berdasarkan ijtihad terhadap
pertanyaan mengenai hukum suatu peristiwa yang belum jelas hukumnya.
Orang yang menyampaikan fatwa disebut mufti dan biasanya merupakan
tokoh agama dan ulama.
2. Syarat-syarat mufti
Mufti menjadi panutan masyarakat kaum muslimin, karenanya harus
memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
a. Menguasai hukum dalam Al-Quran dan Al-Hadits
b. Niyatnya semata-mata mencari ridlo Allah SWT.
c. Berakhlak mulia, sabar, mampu menguaisai diri, bijaksana, dan berwibawa
d. Mengetahui ilmu sosial.
3. Perbandingan hakim dan mufti
Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara hakim dan mufti sebagai
berikut :
a. Persamaan
1). Hakim dan mufti sama-sama mujtahid
2). Hakim dan mufti orang yang mengetahui dan memahami masalah
yang diselesaikan
3). Hakim dan mufti adalah orang yang mengetahui kondisi sosial
masyarakat yang dihadapi.
b. Perbedaan
1). Persoalan yang dihadapi hakim telah dibatasi oleh berbagai ketentuaan
yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan persoalan yang
dihadapi mufti bebas
2). Keputusan hakim harus dilaksanakan oleh penggugat dan tergugat,
sedangkan fatwa mufti boleh dilaksanakan boleh tidak diserahkan
kepada orang yang meminta fatwa tersebut
3). Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa, sedangkan fatwa tidak
dapat membatalkan keputusan hakim.
BAB V
KONSTRIBUSI UMAT ISLAM
BAB VI
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dr. H. Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahn dan
Fleksibilitasnya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Arrisalah, Bandung, 1985
Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika,
1995