Anda di halaman 1dari 11

FILSAFAT ISLAM DAN OBJEK FILSAFAT

A. Definisi Filsafat dan Filsafat Islam


1. Filsafat menurut bahasa
Kata-kata filsafat diucapkan falsafah dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa Yunani
Philosophia yang berarti cinta kepada pengetahuan, dan terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang
berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta
kepada pengetahuan disebut Philosophos atau Failasuf dalam ucapan Arabnya. Mencintai
pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya,
atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada pengetahuan.[1]
Dalam buku Filsafat Umum karangan Dr. Ahmad Tafsir, dikatakan bahwa Philosophia
merupakan kata majemuk yang terdiri dari atas Philo dan Sopiha ; Philo berarti cinta dalam arti
yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu; Sophia artinya
bijaksana yang artinya pandai, pengertian yang dalam. Berdasarkan kutipan di atas dapat
diketahui bahwa dari segi bahasa, filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapat
kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.[2] Dari berbagai sumber yang
penulis baca semua filosof sepakat bahwa filsafat atau philosophia terdiri dari dua kata seperti
yang telah penulis uraikan di atas. Dengan demikian pengertian filsafat menurut bahasa ialah
cinta pengetahuan atau kebijaksanaan.
Perkataan filsafat memang berasal dari perkataan Yunani, yang digunakan oleh orang
Arab dalam masa ke-emasan Islam, yang biasa dinamakan juga zaman-terjemah, yaitu antara
tahun 878 950 M. Seperti yang dikatakan oleh al-Farabi seorang filsuf muslim terbesar

sebelum Ibn Sina, bahwa perkataan filsafat itu berasal dari bahasa Yunani, ia masuk dan
digunakan sebagai bahasa Arab. Perkataan asal ialah Philosophia, yang terdiri dari dua perkataan
yaitu Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti hikma atau kebenaran.[3] Plato menyebut
Socrates

sebagai

seorang

Philosophos

(filosof)

dalam

pengertian

seorang

pencinta

kebijaksanaan. Oleh karena itu kata falsafah merupakan hasil Arabisasi, suatu masdar yang
berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam bahasa Belanda didapati
perkataan Wijsbegeerte. Wijs berarti cakap, pandai atau bijaksana. Begeerte adalah nama
benda, atau pekerjaan. Begeren, mengandung arti menghendaki sekali atau ingin sekali. Jadi
wijs begeerte berarti kemauan yang keras untuk mendapatkan kecakapan seseorang yang
bijaksana, yang biasanya dinamakan wijs (orang yang bijaksana).[4] Menurut sejarah filsafat,
istilah philosophi pertama kali digunakan dalam sekolah Socrates, kemudian Plato
menanamkan suatu ilmu pengetahuan tentang kegiatan jiwa manusia.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka Sophist (kaum sophis)
yang berarti para cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas
(kebenaran, hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan- kesimpulan
mereka. Secara bertahap kata sophis (sophis, sophistes) kehilangan arti aslinya dan kemudian
menjadi berarti seseorang yang menggunakan hujah-hujah yang keliru. Dengan demikian, kita
mempunyai kata sophistry ( cara berfikir yang menyesatkan), yang mempunyai asal kata sama
dalam bahasa Arab dengan kata Fatsathah dengan arti yang sama.[5] Socrates karena
kerendahan hati dan kemungkinan juga keinginan untuk menghindarkan pengidentifikasian
dengan kaum sophis , melarang orang menyebut dirinya seorang sophis , seorang cendekiawan.
Ia menyebut dirinya seorang filosof (philosophos), pencinta kebijaksanaan, pencinta kebenaran,
menggantikan sophistes yang berarti sarjana dan gelar yang terakhir ini merosot derajatnya

menjadi seorang yang menggunakan penalaran yang salah. Filsafat (philosophia) kemudian
menjadi sama artinya dengan kebijaksanaan (kearifan).[6] Oleh sebab itu, philosophia ( filosof)
sebagai satu istilah teknis tidak dipakaikan pada seorang segera setelahnya. Istilah philosophia
juga tidak mempunyai arti yang definitif pada zaman itu; diceritakan bahwa Aristoteles sendiri
tidak menggunakannya. Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philosophos
(filosof) semakin meluas. Secara etimologi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, para ilmuwan
dan filosof sepakat memberi arti yang sama tentang filsafat tersebut.
Selanjutnya kata filsafat yang banyak terpakai dalam bahasa Indonesia, menurut Prof. Dr.
Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa Barat
philosophy . Di sini dipertanyakan tentang apakah fil diambil dari bahasa Barat dan safah dari
kata Arab, sehingga gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat ?[7]
2. Filsafat Menurut Istilah
Pengertian filsafat menurut istilah yang diberikan oleh beberapa ahli yang terkadang jauh lebih
luas dibandingkan dengan arti menurut bahasa.
Plato (427 347 Seb. Masehi), filsuf Yunani yang termashur murid Socrates, menyatakan
bahwa: Filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada. [8] Sementara Al
Farabi ( wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina berkata: Filsafat itu ialah ilmu
pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang
sebenarnya.[9]

Sedangkan Thomas Hobbes (1588 1679 M), seorang filosof Inggris mengemukakan:
Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan perhubungan hasil dan sebab atau sebab dari
hasilnya, dan oleh karena itu senantiasa adalah suatu perubahan.[10]
Dari definisi di atas dapat dilihat adanya perbedaan dalam mendefinisikan filsafat antara
tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Perbedaan definisi ini menurut Abu Bakar Atjeh disebabkan oleh berbedaan konotasi
filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan
itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa
pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat.[11] Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa
perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbedaan
konotasi filsafat pada mereka masing-masing.
3. Definisi Filsafat Islam
Pembahasan mengenai hal tersebut ada masalah yang dihadapi yaitu apakah filsafat itu
bercorak Islam atau bercorak Arab.
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak
dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn
Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat
serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka kaum filosof Islam, ada pula
yang menamakan para filosof beragama Islam, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan
para hikmah Islam (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukumaul-Islam),
mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab

itu Syaikh Musthafa Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah
Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama
lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: Maka kami berpendapat perlu menamakan
filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam
dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara
Islam.[12]
Seusai upacara pembukaan Universitas Mesir, seorang ahli masalah ketimuran
(Orientalis) Prof. Nellinuo memberikan ceramah tentang sejarah Ilmu Falak (Astronomi) di
kalangan orang Arab. Dalam kesempatan itu ia menampilkan tentang penamaan tersebut dan
mengupas beberapa tesis yang dibicarakan para ahli filsafat Islam dari kedua belah pihak (yaitu
yang memberi nama Filsafat Islam dan yang memberi nama Filsafat Arab). Antara lain ia
mengatakan sebagai berikut: Setiap pembicaraan mengenai masa jahiliyah, atau masa awal
kelahiran Islam, makna sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata Arab tidak diragukan lagi
menunjuk pada suatu bangsa yang bermukim di daerah Semenanjung yang dikenal dengan nama
Jazirah Arabiah. Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih ke abad-abad berikutnya mulai abad
pertama Hijriyah kata Arab berubah menjadi suatu istilah yang maknanya ialah segala bangsa
dan rakyat yang bermukim di seluruh wilayah kerajaan Islam, yang pada umumnya
menggunakan Bahasa Arab dalam menulis buku-buku ilmiah. Dengan demikian istilah Arab
mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir, Barbar (Barbar = penduduk Afrika Utara)
Andalusia dan lain-lain. Yaitu orang dari berbagai kebangsaan yang menulis buku-buku ilmiah
dalam bahasa Arab, Jika tidak menyebut mereka dengan Arab, sukar sekali untuk berbicara
tentang Ilmu Falak, karena sangat sedikit putera Qathan dan Adnan)[13] yang memiliki
kecerdasan berpikir.[14] Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa Nellinou menitikberatkan

pendapatnya pada bahasa. Karena itu ia mengatakan ilmu tersebut (filsafat) oleh orang-orang
Arab diartikan ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab.
Courban, seorang orientalis Perancis ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan istilah
Filsafat Islam. Ia mengatakan :
Jika kita berpegang pada penamaan Filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit
bahkan keliru. Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya atau
pemikiran Afdhul Kasyani dan para ahli pikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad
ke-11 hingga abad ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa
Persia. Jika sebutan Arab dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan
kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita ke pangkalan ilmu
atau sastra. Lagipula saya sendiri menolak mengkaitkan pengertian keagamaan dengan
tanah air atau kebangsaan tertentu. Karena itu istilah yang paling tepat dan benar ialah
Filsafat Dalam Islam atau Filsafat Islam atau Filsafat di Negeri-Negeri Islam , kalau
penamaan yang terakhir disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik
untuk dijadikan istilah, saya tetap menolak memberikan predikat muslimah (musulman)
pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi filosof
yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup segala hal-akhwal.[15]
Demikian juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan
filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Saya
lebih suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan sematamata melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral,
material, pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang dilukis di
dalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.[16]
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana pun
hidup dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat) adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan
karyanya ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa
filsafat tersebut adalah hasil umat Arab semata-mata tidak benar, sebab kenyataan menunjukan

bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat dan kesemuanya telah ikut serta dalam
memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan
Filsafat Islam ialah bahwa tersebut adalah hasil pemikiran kaum Muslimin semata-mata juga
berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan
Jacobitas dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Sabiah, dan kegiatan mereka
dalam berilmu dan berfilsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang
ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut Filsafat
Islam, pengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran
filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran
tersebut adalah Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun
tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran
dalam satu kesatuan. Dan dalam pemakaian istilah Filsafat Islam lebih banyak dipahami
dalam buku-buku filsafat, seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina, dalam buku al-Milal wanNihal dari as-Syihrisaani, dalam buku Akhbar al-Hukuma dari al-Qafi dan Muqqadimah Ibni
Khaldun.[17]
Dengan demikian disimpulkan bahwa filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang
banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam , karena kegiatan pemikirannya
bercorak Islam. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut
Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau
orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok
keislaman.

Hakekat Filsafat Islam ialah aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa aqal
dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran
juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam
adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja, aqal tetap bekerja
dengan otonomi penuh.[18]
Aqal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika aqal dan alQuran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang bersifat
subordinatif dan reduktif, maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-bawahi, baik
aqal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran mengatasi aqal
maka aqal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut otonomi penuh.
Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas kefilsafatan Islam
menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran. Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah aqal dan
al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis. Aqal dengan otonomi penuh bekerja dengan
semangat Quranik. Aqal sebagai subjek, dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, komitmen
itu adalah wawasan moralitas yang bersumber pada al-Quran. Aqal sebagai subjek berfungsi
untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran memberikan wawasan moralitas atas
pemecahan masalah yang diambil oleh aqal. Hubungan dialektika aqal dan al-Quran bersifat
fungsional.[19]
Jadi jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani dalam bukunya Filsafat Islam bahwa
Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah
manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.[20]
B. Objek Filsafat

Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh filsafat
ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali.
Objek filsafat itu bukan main luasnya, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala
pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia.[21] Oleh karena itu
manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya,
cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal
pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
Objek filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia ini
banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris;
filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang
abstrak.[22] Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalamdalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).
[23]
Dari uraian tertera di atas jelaslah, bahwa:
1. Objek materia filsafat ialah Sarwa-yang-ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi
atas tiga persoalan pokok:
a. Hakekat Tuhan;
b. Hakekat Alam dan
c. Hakekat Manusia.

2. Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalamdalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada).[24]
Dalam buku Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu karangan Dr. H. Hamzah
Yaqub dikatakan bahwa objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya. Di sinilah
diketahui bahwa sesuatu yang ada atau yang berwujud inilah yang menjadi penyelidikan dan
menjadi pembagian filsafat menurut objeknya ialah:
1. Ada Umum yakni menyelidiki apa yang ditinjau secara umum. Dalam realitanya
terdapat bermacam-macam yang kesemuanya mungkin adanya. Dalam bahasa Eropa,
ADA UMUM ini disebut Ontologia yang berasal dari perkataan Yunani Onontos
yang berarti ada, dalam Bahasa Arab sering menggunakan Untulujia dan Ilmu
Kainat.
2. Ada Mutlak, sesuatu yang ada secara mutlak yakni zat yang wajib adanya, tidak
tergantung kepada apa dan siapapun juga. Adanya tidak berpermulaan dan tidak
berpenghabisan ia harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti. Ia merupakan
asal adanya segala sesuatu. Ini disebut orang Tuhan dalam Bahasa Yunani disebut
Theodicea dan dalam Bahasa Arab disebut Ilah atau Allah.
3. Comologia, yaitu filsafat yang mencari hakekat alam dipelajari apakah sebenarnya alam
dan bagaimanakah hubungannya dengan Ada Mutlak. Cosmologia ini ialah filsafat
alam yang menerangkan bahwa adanya alam adalah tidak mutlak, alam dan isinya
adanya itu karena dimungkinkan Allah. Ada tidak mutlak, mungkin ada dan
mungkin lenyep sewaktu-waktu pada suatu masa.
4. Antropologia (Filsafat Manusia), karena manusia termasuk ada yang tidak mutlak
maka juga menjadi objek pembahasan. Apakah manusia itu sebenarnya, apakah
kemampuan-kemampuannya dan apakah pendorong tindakannya? Semua ini diselidiki
dan dibahas dalam Antropologia.
5. Etika: filsafat yang menyelidiki tingkah laku manusia. Betapakah tingkah laku manusia
yang dipandang baik dan buruk serta tingkah laku manusia mana yang
membedakannya dengan lain-lain makhluk.
6. Logika: filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq. Akal budi adalah akal yang
terpenting dalam penyelidikan manusia untuk mengetahui kebenaran. Tanpa kepastian

tentang logika, maka semua penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya
tanpa akal budi takkan ada penyelidikan. Oleh karena itu dipersoalkan adakah manusia
mempunyai akal budi dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran? Dengan segera
timbul pula soal, apakah kebenaran itu dan sampai dimanakah kebenaran dapat
ditangkap oleh akal budi manusia. Maka penyelidikan tentang akal budi itu disebut
Filsafat Akal Budi atau Logika.
Penyelidikan tentang bahan dan aturan berpikir disebut logica minor, adapun yang
menyelidiki isi berpikir disebut logica mayor. Filsafat akal budi ini disebut
Epistimologi dan adapula yang menyebut Critica, sebab akal yang menyelidiki akal.
[25]
Adapun objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas, baik
yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai
komitmen Quranik.[26]
Dalam hubungan ini objek kajian Filsafat Islam dalam tema besar adalah Tuhan, alam,
manusia dan kebudayaan. Tema besar itu hendaknya dapat dijabarkan lebih spesifik sesuai
dengan perkembangan zaman, sehingga dapat ditarik benang merah dari perkembangan sejarah
pemikiran kefilsafatan yang hingga sekarang. Setiap zaman mempunyai semangatnya sendirisendiri.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa objek filsafat itu sama dengan objek ilmu
pengetahuan bila ditinjau secara materia dan berbeda bila secara forma. Sedangkan objek kajian
Filsafat Islam itu sendiri mencakup Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai