Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 2 BLOK PEDIATRI


MANIFESTASI KLINIS KEGAWATDARURATAN NEONATUS
SERTA PENATALAKSANAANNYA

Oleh :
Kelompok 19
Dian Fikri Rachmawan

(G0010058)

Dyah M. Dewanti

(G0010064)

Fitroh Annisah

(G0010084)

Hanne Dianta Pramono

(G0010090)

Nabila

(G0010132)

Pritami

(G0010152)

Ramadhan Abdillah

(G0010158)

Setya Bayu Kurniawan

(G0010174)

Yohana Trissya A.

(G0010198)

Tutor : S.B Widjokongko, dr., PHK, M.Pd Ked


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan janin dimulai dengan penyempurnaan organogenesis sekitar
minggu ke 12 kehamilan. Berbagai pengaruh seperti genetik dan lingkungan
dapat mempengaruhi embrio dan janin selama masa perkembangan. Bahkan
proses persalinan juga dapat mempengaruhi keadaan bayi saat lahir. Bayi
yang dilahirkan dengan sectio caesaria mempunyai masalah yang mungkin
diakibatkan oleh lingkungan obstetrik yang tidak menyenangkan. Keadaan
lain juga yang mempengaruhi keadaan bayi adalah anestesi yang digunakan
saat melahirkan seperti pada kasus di bawah ini.
Wah... gawat!
Rini, seorang dokter muda diminta membantu di ruang operasi. Disana
ada seorang Ibu 27 tahun dengan umur kehamilan 40 minggu yang sedang
menjalani sectio caesaria. Sectio caesaria itu dilakukan atas indikasi detak
jantung janin melemah. Setelah lahir, bayi tersebut tidak menangis, apneu,
dan berwarna kebiruan. Dokter segera membawa bayi ke meja resusitasi dan
bayi dikeringkan, distimulasi, diberi ventilasi tekanan positif, pijat jantung,
dan injeksi epinefrin. Setelah resusitasi didapatkan APGAR skor 6 pada menit
ke-10, kemudian bayi segera dipindahkan ke ruang NICU untuk perawatan
lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
1. Kenapa bayi pada skenario lahir tidak menangis, apneu, dan kebiruan?
2. Bagaimana penatalaksanaan bayi apneu?
3. Bagaimana proses fisiologis dan patofisiologi menangis pada bayi baru
4.
5.

lahir?
Apa saja indikasi dan kontraindikasi dilakukan sectio caesaria?
Bagimana pengaruh usia kehamilan dengan kesehatan bayi saat

6.
7.
8.

dilahirkan?
Apa hubungan cara persalinan dengan keadaan bayi yang dilahirkan?
Apa saja indikasi dilakukan resusitasi serta prosedur resusitasi?
Bagaimana indikasi, macam dan prosedur dari stimulasi dan resusitasi
bayi baru lahir?
2

9. Apa interpretasi dari skor APGAR 6 pada menit ke 10?


10. Jelaskan definisi NICU dan bagaimana perawatan di NICU?
11. Apa saja indikasi dan kontraindikasi pemberian injeksi epinefrin?

A. Sectio Caessaria
1. Definisi
Sectio merupakan persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding perut dan dinding dan dinding rahim dengan
sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram
(Prawiroharjo, 2005).
2. Indikasi
Operasi sectio caesaria (SC) dilakukan jika kelahiran pervaginal
mungkin akan menyebabkan risiko pada ibu ataupun pada janin, dengan
pertimbangan hal-hal yang perlu tindakan SC proses persalinan normal
lama/ kegagalan proses persalinan normal (Dystosia) sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.

Fetal distress.
His lemah/ melemah.
Janin dalam posisi sungsang atau melintang.
Bayi besar (BBL> 4,2 kg).
Plasenta previa.
Kelainan letak.
Disproporsi Cevalo
Pelvik (ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul).
Ruptur uteri mengancam.
Hydrocephalus
Primi muda atau tua
Partus dengan komplikasi.
Panggul sempit.
Problema plasenta

B. Persalinan Preterm
1. Definisi
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur
kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
sedangkan Himpunan Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi
pada usia kehamilan 22-37 minggu (Prawiroharjo, 2010).
2. Masalah Persalinan Preterm
Kesulitan utama dalam persalinan preterm adalah perawatan bayi
preterm, yang semakin muda usia kehamilannya semakin besar
4

morbiditas dan mortalitas (Prawiroharjo, 2010). Selain itu, melahirkan


bayi prematur sering disertai dengan kelainan, baik kelainan jangka
pendek maupun panjang. Kelaiann jangka pendek yang sering terjadi
adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

RSD (Respiratory Distress Syndrome)


Perdarahan intra/periventrikular
NEC (Necrotizing Entero Cilitis)
Displasi bronko pulmonar
Sepsis
Paten duktus arteriosus
Adapun kelainan jangka panjang sering berupa kelainan neurologik

seperti:
a. Cerebral Palsy

b.
c.
d.
e.

Retinopati
Retardasi Mental
Disfungsi neurobehavioral
Prestasi sekolah yang kurang baik

(Prawiroharjo, 2010)
3. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik
yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya
kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu:
a. Aktivitas aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu
maupun janin, akibat stress pada ibu atau janin
b. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asenden
dari traktus genitourinaria atau infeksi sistemik
c. Pendarahan desidua
d. Peregangan usus patologik
e. Kelainan pada uterus atau serviks
(Prawiroharjo, 2010)
Kondisi selama kehamilan yang beresiko terjadinya persalinan
preterm adalah:
a. Janin dan plasenta
1) Pendarahan trimester awal
2) Pendarahan antepartum
3) Ketuban pecah dini
4) Pertumbuhan janin terhambat
5

5) Cacat bawaan janin


6) Kehamilan ganda
7) Polihidramnion
b. Ibu
1) Penyakit berat pada ibu
2) Diabetes melitus
3) Infeksi saluran kemih
4) Stress
5) Preeklampsi, dst.
4. Pengelolaan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm:
a. Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis
b. Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid
c. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi
C. Kehamilan Posterm
1. Definisi
Kehamilan posterm adalah kehamilan lewat bulan, yang berlangsung
sampai 42 minggu atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir
(Prawiroharjo, 2010).
2. Etiologi
Berikut adalah beberapa teori yang diajukan untuk menyatakan
bahwa terjadinya kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap
timbulnya persalinan (Prawiroharjo, 2010).
a. Pengaruh progesteron
Penurunan progesteron meningkatkan sensitivitas uterus terhadap
oksitosin.
b. Teori Oksitosin
Oksitosin dipercaya secara fisiologis memegang peranan penting
dalalm menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin pada ibu
hamil yang kurang pada usia kehamilan diduga sebagai penyebab
kehamilan postterm.
c. Teori Kortisol
Peningkatan kortisol akan mempengaruhi plasenta sehingga
produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen,
selanjutnya berpengaruh pada meningkatnya prostaglandin.
d. Saraf Uterus
Tekanana pada ganglion servikalis pada pleksus Frenkenhauser
akan membangkitkan kontraksi uterus. Tidak adanya tekanan pada
pleksus ini diduga sebagai penyebab kehamilan postterm.
6

e. Heriditer
Ibu yang mengalami kehamilan postterm diduga memepunyai
kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan
berikutnya.
3. Permasalahan/komplikasi kehamilan postterm

Kehamilan postterm memiliki resiko lebih tinggi, terutama kematian


perinatal berkaitan dengan aspirasi mekonium dan asfiksia (Prawiroharjo,
2010). Pengaruh kehamilan postterm antara lain:

a. Perubahan pada plasenta


1) Penimbunan kalsium yang akan menyebabkan gawat janin dan
kematian janin intrauterin yang meningkat 2-4x lipat
2) Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya
berkurang menyebabkan penurunan mekanisme transpor plasenta
3) Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta
4) Perubahan biokimia yang akan mengakibatkan hangguan
pertumbuhan janin intra uterin
(Prawiroharjo, 2010)
b. Perubahan pada janin
1) Berat Janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada
plasenta, maka terjadi penurunan berat janin
2) Sindroma postmaturitas dengan tanda

seperti

gangguan

pertumbuhan, dehidrasi, kulit keringm keriput seperti kertas, kuku


tangan dan kaki panjang, ktulang tengkorak lebih keras, hilangnya
lanuga dan verniks kaseosa, maserasi kulit di lipat paha dan
genital luar, warna coklat kehijauan pada kulit dan tali pusat,
muka tampak menderita, rambut kepala banyak atau tebal.
3) Gawat janin atau kematian perinatal
(Prawiroharjo, 2010)
D. Penjelasan gejala-gejala pada bayi
1. Fisiologi adaptasi bayi dari intrauterin ke ekstrauterin pada sistem
respirasi (Bayi menangis)
7

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen


atau jalan untuk mengeluarkan karbon dioksida. Pembuluh arteriol yang
ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan
oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan
tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin,
sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah
yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta (Perinasia, 2006).
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai
sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke
dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh
udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah
di sekitar alveoli (Perinasia, 2006).
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan
tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah
sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli,
pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan
terhadap aliran darah bekurang (Perinasia, 2006).
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah
sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah
dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat
sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang
diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah
yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri,
kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen
meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus
mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus
sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk
dialirkan ke seluruh jaringan tubuh (Perinasia, 2006).

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan


menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Pengembangan
paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kemusian disusul
dengan pernafasan teratur dan tangisan bayi. Proses perangsangan
pernafasan ini dimulai dari tekanan mekanik dada pada proses persalinan,
disusul dengan keadaan penurunan tekanan arteriil O2 dan peninggian
tekanan arteriil CO2 yang kan memberikan rangsangan sinus karotikus,
juga rangsangan dingin pada muka bayi yang akan merangsang
pernafasan dan menjadikan bayi menangis. Tangisan pertama dan tarikan
napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen
dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh
darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah,
warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan
(Perinasia, 2006; Wahyudi, 2003).
2. Denyut Jantung Janin
Pola Frekuensi denyut jantung janin menunjukkan berbagai sifat,
beberapa di antaranya memberikan kesan keadaan gawat janin. Frekuensi
dasar denyut jantung janin adalah frekuensi rata-rata antara kontraksi
uterus, yang sedikit demi sedikit berkurang sekitar 155 denyut/menit
pada awal kehamilan sampai 135 denyut/menit pada saat matur, angka
normal saat matur antara 120-160 denyut/menit. Takikardia (>160
denyut/menit) berkaitan dengan hipoksia janin yang masih dini, demam
pada ibu, hipertiroidisme ibu, terapi beta-simpatomimetik atau atropin
ibu, anemia janin, dan aritmia janin. Bradikardia (<120 denyut/menit)
terjadi pada hipoksia janin, pemindahan (melalui plasenta) agen anestesi
lokal dan agen blokade beta-adrenergik dan kadang-kadang blokade
jantung dengan atau tanpa penyakit jantung kongenital.
Secara normal, frekuensi dasar denyut jantung janin bervariasi
dengan perubahan jangka lama 3-6 siklus/menit, yang sama seperti
variasi denyut ke denyut jangka pendek. Variabilitas dapat berkurang
atau hilang dengan adanya hipoksemia janin atau adanya pemindahan
9

obat melalui plasenta seperti atropin, diazepam, prometazin, magnesium


sulfat, dan sebagian besar agen sedatif dan narkotik (Kliegman, 1999).
3. Apnea dan Sianosis
Berdasarkan American Academy of Pediatric, apnea adalah "suatu
episode henti napas selama 20 detik atau lebih, yang berkaitan dengan
kondisi bradikardi, sianosis (desaturasi Oksigen), pucat, dan atau
hipotonia yang jelas.
a. Bradikardi pada bayi preterm adalah jika HR menurun sedikitnya 30
bpm dari HR normal.
b. Nilai saturasi lebih dari 85% merupakan kondisi yang patologis, dan
kondisi ini paling tidak selama 5 detik. Atau episode henti nafas
kurang dari 20 detik dan disertai dengan bradikardi (minimal <
100x/menit), sianosis, pucat, dan hipotonia jelas.
E. ETIOLOGI
1. Apnea of prematurity
a. Berkaitan dengan imaturitas dari mekanisme yang mengontrol
pernafasan.
1) Imaturitas neuron-neuron dalam mengatur pernapasan
2) Imaturitas dari fungsi batang otak
3) Imaturitas chemoreseptor
a) Menurunnya respon central chemoreseptor terhadap level CO2

b) Tumpulnya respon peripheral chemoreseptor


4) Keterlambatan aktivasi dari otot-otot pernafasan atas misalnya
genioglossus.
5) Refleks yang abnormal atau hiperaktif pada bayi preterm.
b. Kondisi ini biasanya muncul setelah 1-2 hari kehidupan dan dalam 7
hari pertama.
c. Apnea yang muncul dalam 24 jam pertama atau > 7 hari usia bukanlah
2.

AOP.
Penyebab sekunder
a. Temperatur : hipotermia dan hipertermia
10

b. Neorologis
1) Trauma lahir
2) Obat-obatan
3) Infeksi intracranial
4) Perdarahan intracranial
5) Asphyxia neonatal
6) Obat anastesi
c. Pulmonal
1) Respiratory distress syndromes (RDS)
2) Pneumonia
3) Chronic lung disease
4) Perdarahan pulmonal
5) Obstructive airway lesion
6) Pneumothorax
d. Cardiac
1) Penyakit jantung congenital sianosis
2) Hipo/hipertensi
3) CHF
4) PDA
e. Gastrointestinal
1) GERD
2) Esophangitis
f. Hematologi
1) Polisitemia
2) Anemia
g. Infeksi
1) Sepsis
2) Necrotizing enterocolitis/distensi
h. Metabolic
1) Hipoglikemia
2) Hipocalsemia
3) Hiponatremia
4) Hipernatremia
i. Inborn error of metabolism

3. PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA APNEA


a. Penurunan tekanan O2 arteri
b. Penurunan denyut jantung
c. Penurunan aliran darah perifer
d. Perubahan EEG yang menunjukkan depresi CNS jika apnea berat
e. Peningkatan tekanan vena
11

f. Penurunan tonus otot (Aggarwal et al., 2002)


Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol
pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran
darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk
mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah
akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun
demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi
kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,
penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh
organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen
dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak
yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan
bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tandatanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada
otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan
oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan
oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena
kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan
aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses
persalinan, takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan
paru-paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah
(Perinasia, 2006).
Sianosis sentral biasanya menunjukkan insufisiensi pernafasan yang
dapat diakibatkan keadaan paru atau akibat dari depresi sistem saraf
pusat karena obat-obatan, perdarahan intrakranial, dan anoksia. Jika
sianosis disebabkan oleh keadaan paru, pernapasan cenderung cepat dan
mungkin disertai retraksi rongga dada. Jika sianosis disebabkan oleh
depresi SSP akibat obat, pernapasan tidak teratur dan lemah, serta sering
lambat. Sianosis yang menetap selama beberapa hari tanpa kesukaran

12

bernafas mengesankan suatu penyakit jantung sianotik kongenital atau


methemoglobinemia (Kliegman, 1999).
F. Kegawatdaruratan janin dan neonatus
Penderita gawat darurat anak ialah penderita anak yg oleh karena suatu
penyebab (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yg bila tdk segera
ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal.
Dalam menghadapi penderita gawat darurat anak, maka faktor waktu
memegang peranan yang sangat penting. Tindakan pada menit-menit pertama
dalam menangani gawat darurat tersebut, dapat berarti besar dan sangat
menentukan hidup atau mati penderita, karena itu harus dilakukan dengan
cara yg tepat, cepat dan cermat. Prioritas dari diagnosis/penilaian dan
penanganan gawat darurat pada anak sama seperti pada dewasa. Namun harus
diingat bahwa karakteristik anatomis yg unik pada anak membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan

khusus

dalam

penatalaksanaan

secara

keseluruhan seperti Ukuran dan bentuk, rangka, luas permukaan tubuh, status
psikologis, efek jangka panjang, alat-alat yg digunakan.

Beberapa kasus

kegawatdaruratan janin dan neonatus adalah:


1. GAWAT JANIN
Gawat janin adalah keadaan / reaksi ketika janin tidak memperoleh
oksigen yang cukup. Gawat Janin dapat diketahui dari tanda-tanda sbb :
a. Frekwensi bunyi jantung janin kurang dari 120 x / menit atau lebih
dari 160 x / menit.
b. Berkurangnya gerakan janin (janin normal bergerak lebih dari 10 kali
per hari).
c. Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna kehijauan ( jika bayi
lahir dengan letak kepala ).
Cara mencegah terjadinya Gawat Janin :
a. Gunakan partograf untuk memantau persalinan.
b. Anjurkan ibu sering berganti posisi selama persalinan. Ibu hamil yang
berbaring terlentang dapat mengurangi aliran darah ke rahimnya.
Mengidentifikasi gawat janin

13

a. Periksa frekwensi bunyi jantung janin setiap 30 menit pada Kala I dan
b.

setiap 15 menit sesudah pembukaan lengkap.


Periksa ada / tidaknya air ketuban bercampur mekonium ( warna

kehijauan ).
Penanganan Gawat Janin :
a. Tingkatkan oksigen pada janin dengan cara : Mintalah si ibu merubah
posisi tidurnya; Berikan cairan kepada ibu secara oral atau IV; Berikan
Oksigen.
b. Periksa kembali denyut jantung janin. Bila frekwensi bunyi jantung
janin masih tidak normal, maka dirujuk; Bila merujuk tidak mungkin,
siap-siap untuk menolong BBL dengan asfiksia.
Anjurkan ibu hamil in-partu berbaring kesisi kiri untuk meningkatkan
aliran oksigen ke janinnya. Hal ini biasanya meningkatkan aliran darah
maupun oksigen melalui plasenta lalu ke janin. Bila posisi miring ke kiri
tidak membantu. Coba posisi yang lain ( miring ke kanan, posisi sujud ).
Meningkatkan oksigen ke janin dapat mencegah atau mengobati Gawat
Janin.
2. SEPSIS NEONATORUM
a. Pengertian Sepsis Neonatorum
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus
dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan
penyakit sepsis dapat berlangsung cepat sehingga sering kali tidak
terpantau tanpa pengobatan yang memadai sehingga neonatus dapat
meninggal dalam waktu 24 sampai 48 hari. Sepsis neonatal adalah
merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi
selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan
protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir. Sepsis
neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada

bayi dalam 28 hari

pertama setelah kelahiran.


1) Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat
di bagi menjadi tiga kategori yaitu:
a) Faktor maternal terdiri dari:
(1) Ruptur selaput ketuban yang lama
(2) Persalinan prematur
(3) Amnionitis klinis
14

(4) Demam maternal


(5) Manipulasi berlebihan selama proses persalinan
(6) Persalinan yang lama
b) Pengaruh lingkungan yang dapat menjadi predisposisi bayi
yang terkena sepsis, tetapi tidak terbatas pada buruknya praktek
cuci tangan dan teknik perawatan, kateter umbilikus arteri dan
vena, selang sentral, berbagai pemasangan kateter selang
trakeaeknologi invasive, dan pemberian susu formula.
c) Faktor penjamu meliputi jenis kelamin laki-laki, bayi prematur,
berat badan lahir rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan
dari penjamu.
2) Patofisiologi
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai
neonatus melalui beberapa cara yaitu:
a) Pada masa antenatal atau sebelum lahir
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati
plasenta dan umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui
sirkulasi darah janin. Penyebab infeksi adalah virus yang dapat
menembus

plasenta

antara

lain:virus

rubella,

herpes,

sitomegalo, koksaki, influenza, parotitis. Bakteri yang melalui


jalur ini antara lain: malaria, sipilis, dan toksoplasma.
b) Pada masa intranatal atau saat persalinan
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada
vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion.
Akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman
melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu pada
saat persalinan, kemudian menyebabkan infeksi pada janin
dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre, saat bayi
melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman
(misalnya: herpes genetalia, candida albicans, gonorrhea).
c) Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi
sesudah kelahiran, terjadi akibat infeksi nasokomial dari
lingkungan di luar rahim (misalnya melalui alat-alat penghisap
lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol
15

minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut


menangani bayi, dapat menyebabkan terjadinya infeksi
nasokomial. Infeksi juga dapat melalui luka umbilikus.
d) Faktor predisposisi
Terdapat berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis,
baik dari ibu maupun bayi sehingga dapat dilakukan tindakan
antisipasi

terhadap kemungkinan terjadinya sepsis. Faktor

predisposisi itu adalah: Penyakit yang di derita ibu selama


kehamilan, perawatan antenatal yang tidak memadai; Ibu
menderita eklamsia, diabetes mellitus; Pertolongan persalinan
yang tidak higiene, partus lama,

partus dengan tindakan;

Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan. Adanya trauma


lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus; Tidak
menerapkan rawat gabung. Sarana perawatan yang tidak baik,
bangsal yang penuh sesak. Ketuban pecah dini, amnion kental
dan berbau; Pemberian minum melalui botol, dan pemberian
minum buatan.
e) Manifestasi klinis
Tanda dan gejala sepsis neonatorum umumnya tidak jelas
dan tidak spesifik.Tanda dan gejala sepsis neonatorum yaitu:
Tanda dan gejala umum meliputi hipertermia atau hipotermi
bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak ada tampak sakit,
berat badan menurun tiba-tiba; Tanda dan gejala pada saluran
pernafasan meliputi dispnea, takipnea, apnea, tampak tarikan
otot

pernafasan,merintih,

mengorok,

dan

pernafasan

cupinghidung; Tanda dan gejala pada system kardiovaskuler


meliputi hipotensi, kulit lembab, pucat dan sianosis; Tanda dan
gejala pada saluran pencernaan mencakup distensi abdomen,
malas atau tidak mau minum, diare; Tanda dan gejala pada
sistem saraf pusat meliputi refleks moro abnormal, iritabilitas,
kejang, hiporefleksia, fontanel anterior menonjol, pernafasan

16

tidak teratur; Tanda dan gejala hematology mencakup tampak


pucat, ikterus, patikie, purpura, perdarahan, splenomegali.
f) Pencegahan
1) Pada masa antenatal
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan
ibu secara berkala, imunisasi, pengobatan terhadap
penyakit infeksi yang di derita ibu, asupan gizi yang
memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat
menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera
ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.
2) Pada saat persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara
aseptik, yang artinya dalam melakukan pertolongan
persalinan harus dilakukan tindakan aseptik.
intervensi pada ibu dan

Tindakan

bayi seminimal mungkin

dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi


keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan,
melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan dan
menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.
3) Sesudah persalinan
Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat
gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya,
mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap bersih,
setiap bayi menggunakan peralatan tersendiri, perawatan
luka umbilikus secara steril.

Tindakan invasif harus

dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik.


Menghindari perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci
tangan dengan menggunakan larutan desinfektan sebelum
dan sesudah memegang setiap bayi. Pemantauan bayi
secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang
benar dan baik. Semua personel yang menangani atau
bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit
menular di isolasi, pemberian antibiotik secara rasional,
17

sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan


tes resistensi.
g) Pengobatan
Prinsip
pengobatan
mempertahankan

sepsis

metabolisme

neonatorum

tubuh

dan

adalah

memperbaiki

keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk


kebutuhan nutrisi. Menurut Yu Victor Y.H dan Hans E.
Monintja pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria
efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah, dan
mudah diperoleh, tidak toksik, dapat menembus sawar darah
otak atau dinding kapiler dalam otak yang memisahkan darah
dari jaringan otak dan dapat diberi secara parenteral. Pilihan
obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau
ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalasporin atau
obat lain sesuai hasil tes resistensi.
Dosis antibiotik untuk sepsis neonatorum : Ampisislin 200
mg/kgBB/hari, dibagi 3 atau 4 kali pemberian; Gentamisin 5
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 pemberian; Kloramfenikol 25
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3

atau 4 kali pemberian;

Sefalasporin 100 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali


pemberian;Eritromisin500 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3
dosis.
3. KEJANG PADA NEONATUS
Kejadian kejang pada neonates meliputi 0,5% dari semua neonatus
baik cukup bulan maupun kurang bulan baik cukup bulan maupun kurang
bulan. Kejadiannya lebih tinggi pada bayi kurang bulan (3,9%) yaitu pada
bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Penyebab Kejang Yang Paling
Sering ditemukan :
a. HIE / asfiksia
b. Infeksi (TORCH, meningitis, septicemia)
c. Hipoglikemia, hipokalsemia, hypomagnesemia
d. Perdarahan SSP (intraventrikular, subdural, trauma, dll.)
Empat jenis kejang yang sering ditemui :
a. Kejang Tonik

18

Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal. Kejang tonik


umum terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan(< 2500
gram). (< 2500 gram). Terjadi fleksi atau ekstensi tonik pada
ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh dan berkaitan dengan
ekstensi tonus pada ekstremitas

bagian bawah. Pada 85% kasus

kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis apapun


seperti meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit
memerah. Kejang Tonik Focal terlihat dari postur asimetris dari salah
satu ekstremitas atau batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata
kepala

atau

mata.

Sebagian

besar

kejang

tonik

terjadi

bersamaandengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan


perdarahan intraventrikular.
b. Kejang Klonik
Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan &
berirama (1-3 /menit), penyebabnya mungkin focal/multi-focal. Setiap
gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase
yang lambat diikuti oleh fase yang lambat. Perubahan posisi atau
memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat gerakan
tersebut. Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan. Paisen tidak
terjadi hilang kesadaran dan sangat berkaitan dengan trauma
fokal,infarks atau gangguan metabolic.
c. Kejang Mioklonik
Dapat berupa Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum.
Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada
ekstremitas. Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan.
Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg
tidak sinkron pd beberapa bagian tubuh. Kejang mioklonik umum
terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala dan batang tubuh
dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan patologi SSP yang difus.
d. Kejang subtle
Kejang jenis ini terjadi sehubungan dengan adanya jenis kejang
lain dan mungkin bermanifestasi dengan:
19

1. Gerakan stereotip ekstremitas seperti gerakan mengayuh sepeda


atau berenang
2. Deviasi / gerakan kejut pada mata dan mengedip berulang
3. Ngiler, gerakan menghisap atau mengunyah
4. Apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola pernapasan
5. Fluktuasi yang berirama pada tanda vital
e. Tatalaksana Kejang
1) Tujuan tatalaksana :
a) Mencapai homeostasis sistemik (jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi)
b) Mengoreksi penyebab utamanya, jika mungkin
2) Prinsip penatalaksanaanya meliputi :
a) Larutan dextrose 10% (2cc/kg IV) secara empiris kepada
neonatus yang sedang mengalami kejang
b) Kalsium glukonat (200mg/kg IV), jika dicurigai adanya
hipokalsemia hipokalsemia
c) 0,2 ml/kg atau 2 ml Eq/kg Magnesium sulfat 50%
d) Pada ketergantungan pyridoxine, berikan 50 mg pyridoxine IV,
kejang akan berhenti dalam beberapa menit
e) Antibiotika diberikan jika dicurigai adanya sepsis
f) Obat anti kejang
4. ASFIKSIA NEONATORUM
a. Batasan
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang
ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia),
hiperkarbia (PaCO2 meningkat) dan asidosis.
b. Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan
plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan
perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang
berperan pada kejadian asfiksia.
c. Gejala Klinik
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung
kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun,
tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.
20

d. Diagnosis
Anamnesis : gangguan/kesulitan waktu lahir, lahir tidak
bernafas/menangis.
e. Pemeriksaan Fisik :
Nilai Apgar
Klinis

Detak Jantung

Tidak Ada

< 100 X/Menit

>100x/Menit

Pernafasan

Tidak Ada

Tak Teratur

Tangis Kuat

Refleks Saat Jalan Nafas

Tidak Ada

Menyeringai

Batuk/Bersin

Lunglai

Fleksi Ekstrimitas Fleksi Kuat

Dibersihkan
Tonus Otot

Warna Kulit

Biru Pucat

(Lemah)

Gerak Aktif

Tubuh Merah

Merah Seluruh

Ekstrimitas Biru

Tubuh

Nilai 0-3 : Asfiksia Berat


Nilai 4-6 : Asfiksia Sedang
Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan
tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk
menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan
prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai
30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (Bukan 1 menit seperti
penilaian skor apgar)
f. Pemeriksaan Penunjang :
1) Foto polos dada
2) USG kepala
3) Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
g. Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu:
21

1) Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebral


2) Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus,
perdarahan paru, edema paru
3) Gastrointestinal : enterokolitis nekrotikans
4) Ginjal : tubular nekrosis akut, siadh
5) Hematologi : DIC
h. Penatalaksanaan (Resusitasi)
a) Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan)
b) Terapi medikamentosa :
(1) Epinefrin :
Indikasi :
(a) Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik

dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada.


(b) Asistolik.
Dosis :
(a) 0,1-0,3 Ml/Kg Bb dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 Mg-0,03

Mg/Kg Bb)
(b) Cara : IV atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit

bila perlu.
(2) Volume Ekspander :
Indikasi :
(a) Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami

hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi.


(b) Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau

syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi


kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon
yang adekuat.
Jenis Cairan :
(a) Larutan kristaloid yang isotonis (Nacl 0,9%, Ringer Laktat)
(b) Transfusi darah golongan O Negatif jika diduga kehilangan
darah banyak.
Dosis :
Dosis awal 10 Ml/Kg Bb IV pelan selama 5-10 menit.
Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
(3) Bikarbonat :
Indikasi :
22

(a) Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan


resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
(b) Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik
dan hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa
gas darah dan kimiawi.
Dosis :
(a) 1-2 Meq/Kg Bb atau 2 Ml/Kg Bb (4,2%) atau 1 Ml/Kg Bb
(8,4%)
(b) Cara : Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5%
sama banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan
minimal 2 menit.
Efek Samping :
Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari
bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.
(4) Nalokson :
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik yang tidak
menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson
ventilasi harus adekuat dan stabil.
Indikasi :
(a) Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya

menggunakan narkotik 4 jam sebelum persalinan.


(b) Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru

dicurigai sebagai pemakai obat narkotika sebab akan


menyebabkan tanda With Drawltiba-tiba pada sebagian
bayi.
Dosis : 0,1 Mg/Kg Bb (0,4 Mg/Ml atau 1 Mg/Ml)
Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan
IM atau SC
c) Suportif
1) Jaga kehangatan.
2) Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
3) Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan
elektrolit)
23

5. HIPOGLIKEMIA
a. Batasan
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukose
darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).
b. Patofisiologi
1) Hipoglikemi sering terjadi pada BBLR, karena cadangan glukosa
rendah.
2) Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin
sehingga respon insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir di
mana jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti
sedangkan respon insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism)
sehingga terjadi hipoglikemi.
3) Hipoglikemi adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena
dapat menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksi
otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
kerusakan pada susunan saraf pusat bahkan sampai kematian.
4) Kejadian hipoglikemi lebih sering didapat pada bayi dari ibu
dengan diabetes melitus.
5) Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan
hidup selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir.
6) Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada
karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya
pada asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan.
c. Diagnosis
Anamnesis
1) Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan
2)
3)
4)
5)
6)
7)

pernapasan
Riwayat bayi prematur
Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia
a) Bayi dari ibu diabetes (IDM)
b) Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)
c) Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)
d) Bayi prematur dan lewat bulan
e) Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
24

f)
g)
h)
i)

Bayi puasa
Bayi dengan polisitemia
Bayi dengan eritroblastosis
Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-

simpatomimetik dan beta blocker


d. Gejala klinis/pemeriksaan fisik
Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi,
kejang, distress nafas
1) Jitteriness
2) Sianosis
3) Kejang atau tremor
4) Letargi dan menyusui yang buruk
5) Apnea
6) Tangisan yang lemah atau bernada tinggi
7) Hipotermia
8) RDS
e. Diagnosis banding
Insufisiensi adrenal, kelainan jantung, gagal ginjal, penyakit
SSP, sepsis, asfiksia, abnormalitas metabolik (hipokalsemia,
hiponatremia,

hipernatremia,

hipomagnesemia,

defisiensi

piridoksin).
f. Penatalaksanaan
1) Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM)
perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
a) Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam
b) Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan
glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
c) Kadar glukosa 45 mg/dl atau gejala positif tangani
hipoglikemia
d) Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari
penanganan hipoglikemia selesai
2) Penanganan hipoglikemia dengan gejala :
a) Bolus glukosa 10% 2 ml/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1
ml/menit
25

b) Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kebutuhan infus


glukosa 6-8 mg/kg/menit).
Contoh : BB 3 kg, kebutuhan glukosa 3 kg x 6 mg/kg/mnt =
18 mg/mnt = 25920 mg/hari. Bila dipakai D 10% artinya 10
g/100cc, bila perlu 25920 mg/hari atau 25,9 g/hari berarti
perlu 25,9 g/ 10 g x 100 cc= 259 cc D 10% /hari.
Atau cara lain dengan GIR
Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah
12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena sentral.
Untuk mencari kecepatan Infus glukosa pada neonatus
dinyatakan dengan GIR.
Kecepatan Infus (GIR) = glucosa Infusion Rate
GIR = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi Dextrose (%)
6 x berat (Kg)
1) Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap
3 jam
2) Bila kadar glukosa masih < 25 mg/dl, dengan atau tanpa
gejala, ulangi seperti diatas
3) Bila kadar 25-45 mg/dl, tanpa gejala klinis :
a. Infus D10 diteruskan
b. Periksa kadar glukosa tiap 3 jam
c. ASI diberikan bila bayi dapat minum
4) Bila kadar glukosa 45 mg/dl dalam 2 kali pemeriksaan
c) Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal (lihat ad d)
d) ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus
diturunkan pelan-pelan
e) Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba
3) Kadar glukosa darah < 45 mg/dl tanpa GEJALA :
a) ASI teruskan
b) Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas
c) Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila :
(1) Kadar < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala tangani
hipoglikemi (lihat ad b)
(2) Kadar 25-45 mg/dl naikkan frekwensi minum
26

(3) Kadar 45 mg/dl manajemen sebagai kadar glukosa


normal
d) Kadar glukosa normal IV teruskan
(1) IV teruskan
(2) Periksa kadar glukosa tiap 12 jam
Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas
Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12
jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam batas normal, pengukuran
dihentikan.
e) Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari)
(1) konsultasi endokrin
(2) terapi : kortikosteroid hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari
iv atau prednison 2 mg/kg/hari per oral, mencari kausa
hipoglikemia lebih dalam.
(3) bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain :
somatostatin, glukagon, diazoxide, human growth hormon,
pembedahan. (jarang dilakukan)
G. Pengertian Dan Penanganan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir
1. Definisi
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin
sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan.
Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil,
kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi
selama atau sesudah persalinan (Asuhan Persalinan Normal, 2007).
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas scr spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktorfaktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi
lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan
bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan
27

pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan


membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. (Wiknjosastro,
1999)
2. Etiologi / Penyebab Asfiksia
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan
gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke
bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan
dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab
terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali
pusat clan bayi berikut ini:
a. Faktor ibu
1)

Preeklampsia dan eklampsia

2)

Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

3)

Partus lama atau partus macet

4)

Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC,


HIV)

5)

Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat


1)

Lilitan tali pusat

2)

Tali pusat pendek

3)

Simpul tali pusat

4)

Prolapsus tali pusat

c. Faktor Bayi
1)

Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2)

Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia


bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)

3)

Kelainan bawaan (kongenital)

4)

Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)


Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang

berpotensi untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya


28

faktor risiko tersebut maka hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan
keluarganya tentang kemungkinan perlunya tindakan resusitasi. Akan
tetapi,

adakalanya

faktor

risiko

menjadi

sulit

dikenali

atau

(sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi.


Oleh karena itu, penolong harus selalu siap melakukan resusitasi bayi
pada setiap pertolongan persalinan.
3. Perubahan Patofiologis dan Gambaran Klinis
Pernafasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa
kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan O2 selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia
yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan
bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi
dimulai suatu periode apnu disertai dengan penurunan frekuensi. Pada
penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi
bradikardi dan penurunan TD.
Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan
keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya
terjadi asidosis respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi
proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh,
sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang
disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :
a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi
fungsi jantung.
b. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan
otot jantung.
c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan
tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi
darah ke paru dan ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami
gangguan. (Rustam, 1998).
29

Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia


a.

Tidak bernafas atau bernafas megap-megap

b.

Warna kulit kebiruan

c.

Kejang

d.

Penurunan kesadaran

Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan
dari anoksia / hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat
dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin.
Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu :
a. Denyut jantung janin
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak
banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah
100 kali per menit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal
itu merupakan tanda bahaya
b. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan
tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan
oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium dalam air
ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
c. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat
serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil
contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah
7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin
disertai asfiksia.(Wiknjosastro, 1999)
Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

30

Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah
menilai bayi, menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya
melaksanakan tindakan resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan
efektif

berlangsung

pengambilan

melalui

rangkaian

tindakan

keputusan dan tindakan lanjutan.

yaitu

menilai

Penilaian

untuk

melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting,


yaitu :
1)

Penafasan

2)

Denyut jantung

3)

Warna kulit
Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai

resusitasi atau membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila


penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau
pernafasan tidak kuat, harus segera ditentukan dasar pengambilan
kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan positif (VTP).
1. Persiapan Alat Resusitasi
Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat
resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu :
a. 2 helai kain / handuk.
b. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos,
selendang, handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah
disesuaikan untuk mengatur posisi kepala bayi.
c. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet.
d. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal.
e. Kotak alat resusitasi.
f. Jam atau pencatat waktu. (Wiknjosastro, 2007).
2. Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang
dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu :
a. Memastikan saluran terbuka

31

2) Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3


cm.
3) Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
4) Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan
saluran pernafasan terbuka.
b. Memulai pernafasan
5) Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
6) Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan
balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
c. Mempertahankan sirkulasi
7) Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
8) Kompresi dada.
9) Pengobatan
H. Detail Cara Resusitasi
Langkah-Langkah Resusitasi
1. Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi
dan selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
2. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas
yang datar.
3. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
4. Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut
sudah bersih kemudian lanjutkan ke hidung.
5. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan
mengusap-usap punggung bayi.
6. Nilai pernafasanJika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung
selama 6 detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai
warna kulit jika merah / sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru
beri oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan ventilasi tekanan
positif.
a. Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan
positif.

32

b. Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 %


melalui ambubag atau masker, masker harus menutupi hidung dan
mulut tetapi tidak menutupi mata, jika tidak ada ambubag beri
bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40 60 x / menit.
c. Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik,
hasil kalikan 10.
-

100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.

60 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan


pemberian PPV.

60 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung,


lakukan PPV, disertai kompresi jantung.

< 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.

Kompresi jantung

Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara


kompresi jantung :
a. Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain
mengelilingi tubuh bayi.
b. Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan
belakang tubuh bayi.
7. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
8. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV
sampai denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
9. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat
epineprin 1 : 10.000 dosis 0,2 0,3 mL / kg BB secara IV.
10. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan
obat.
11. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai
dosis diatas tiap 3 5 menit.
12. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak
rewspon terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat
dengan dosis 2 MEQ/kg BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro,
2007)
Persiapan resusitasi
33

Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan


efektif, kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi

dapat terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan
depresi atau asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat
antepartum dan intrapartum.
2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil.
Persiapan minumum antara lain :
a.Alat pemanas siap pakai Oksigen
b.Alat pengisap
c.Alat sungkup dan balon resusitasi
d.Alat intubasi
e.Obat-obatan
Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :
1.

Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam


resusitasi neonatal harus rnerupakan tim yang hadir pada setiap
persalinan.

2.

Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus


mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya

3.

dengan efektif dan efesien


Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus

4.

bekerjasama sebagai suatu tim yang terkoordinasi.


Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan
tiap tahapan berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan

reaksi dari pasien.


5.
Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi
harus tersedia clan siap pakai.

34

35

I. NICU (Neonate Intensive Care Unit)


Definisi NICU
Merupakan unit perawatan intensif untuk bayi baru lahir (neonatus) yang
memerlukan perawatan khusus misalnya berat badan rendah, fungsi
pernafasan kurang sempurna, prematur, mengalami kesulitan dalam
persalinan, menunjukkan tanda tanda mengkuatirkan dalam beberapa hari
pertama kehidupan.
Definisi Ruangan NICU (Neonatal Intensive Care Unit) adalah ruang
perawatan intensif untuk bayi yang memerlukan pengobatan dan perawatan
khusus, guna mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan organ-organ
vital.
Level Perawatan Bayi Baru Lahir
1. Level I adalah untuk bayi risiko rendah, dengan kata lain bayi normal
yang sering digunakan istilah rawat gabung (perawatan bersama ibu).
Perawatan Level 1 mencakup bayi lahir sehat yang segera dilakukan
rawat gabungdengan ibunya, sehingga dapat menunjang penggunaan
ASI eksklusif.
2. Level II adalah untuk bayi risiko tinggi tetapi pengawasan belum perlu
intensif. Pada level ini bayi diawasi oleh perawat 24 jam, akan tetapi
perbandingan perawat dan bayi tidak perlu Perawatan Level II meliputi
perawatan bayi bermasalah yang memerlukan perawatan khusus yang
terbagi menjadi dalam ruangan infeksi dan non infeksi. Adapun bayi
yang

dapat

dirawat

di

level

ini

antara

lain

bayi

dengan

hiperbilirubinemia yang memerlukan terapi sinar maupun transfusi


tukar; bayi berat badan lahi rrendah (BB 1500-kurang dari 2500 gram)
atau sangat rendah (BB kurang dari 1500 gram), bayi kurang bulan
(umur kehamilan di bawah 34-36 minggu) yang memerlukan perawatan
dalam inkubator; bayi yang tidak dapat atau tidak boleh diberikan
minum peroral, sehingga harus diberikaninfus intravena, bayi yang
membutuhkan terapi oksigen, tetapi belum memerlukan alat bantu nafas
mekanis, misalnya bayi dengan distres atau gangguan nafas, riwayat
lahir tidak langsung menangis; bayi dengan gejala hipo glikemia (kadar
36

gula darah rendah) atau ibu dengan riwayat diabetesmelitus; bayi


dengan riwayat tindakan persalinan yang menyebabkan traumabayi
lahir, misalnya dengan forcep atau vacum ekstraksi; bayi sakittersangka
infeksi sedang-berat yang memerlukan pemberian antibiotikasecara
intravena dan nutrisi intravena.
3. Level III adalah untuk bayi risiko tinggi dengan pengawasan yang
benar-benar ekstra ketat. Satu orang perawat yang bertugas hanya boleh
menangani satu pasien selama 24 jam penuh.Perawatan level III
(NICU)meliputi perawatan bayi sakit kritis atau belum stabil yang
memerlukansupport alat bantu nafas mekanik ( Bubble Nasal CPAP
atau Ventilatormekanik), tindakan operatif maupun pemberian obatobatan atau tindakan intervensi khusus. Adapun bayi yang harus
dirawat di NICU antara lain bayi dengan sindroma gawat nafas derajat
3 dan 4 yang memerlukan support alat bantu nafas mekanik ( Bubble
Nasal CPAP atau Ventilator mekanik),Aspirasi air ketuban ( Meconeum
Aspiration Syndrome ); Bayi berat badan lahir amat atau sangat rendah
(kurang dari 1200 gram), atau bayi dengan umur kehamilan kurang dari
34 minggu yang belum mendapatkan obat kematangan paru; Bayi
dengan kelainan kongenital yang membutuhkan tindakan operatif,
misalnya

bayi

diafragmatika,

dengan
omfalokel,

obstruksi
penyakit

saluran

pencernaan

jantung

bawaan,

hernia
perforasi

usus,atresia ani, dll; serta perawatan bayi pasca operasi besar yang
membutuhkansupport ventilator mekanik; Bayi yang membutuhkan
intervensi invasif,misalnya pemberian surfaktan, transfusi tukar,
pemasangan akses umbilikal,pemasangan akses vena dalam dan akses
arteri, ventilator mekanik.
Fasilitas Ruang Perawatan Bayi Baru Lahir
1. Level I: ruang perawatan biasa; pasien dirawat di ruang atau kamar
biasadan tidak memerlukan alat atau fasilitas khusus.
2. Level II: ruang perawatan memerlukan monitor dan inkubator.

37

3. Level III: selain monitor dan inkubator, ruangan juga mesti difasilitasi
ventilator. Monitor berfungsi untuk mengontrol detak jantung dan
otak.Sedangkan ventilator untuk membantu sistem pernapasan.
Lama Perawatan BBLR
Lamanya waktu perawatan pasien bayi dengan BBLR tentutergantung
kasus. Namun biasanya mereka diperbolehkan pulang jika sudah mendekati
tanggal kelahiran idealnya. Contoh bayi yang dilahirkan 6 minggu lebih dini
dari seharusnya, biasanya mesti menjalani perawatan di rumah sakitkurang
lebih

minggu,

atau

lebih

cepat

dua

minggu

dari

kelahiran

idealnya.Pertimbangan lainnya, bayi akan dipulangkan jika kondisi tubuhnya


sudahstabil, organ-organ vitalnya sudah berfungsi baik, dan berbagai risiko
yang mengancam sudah bisa dihindari. Salah satu indikatornya adalah
kemampuan bayi untuk mengisap atau buang air besar dan kecil sudah baik.
Perawatan Berorientasi Keluarga
Dewasa ini banyak NICU yang menganjurkan agar para orang tua
melibatkan diri dalam melayani kebutuhan harian pada bayi. Staf NICU
mengajari para orang tua apa yang dapat mereka lakukan, di mana
menyimpan keperluan bayi, serta bagaimana cara memegang, menyentuh dan
merawat bayi. Pelibatan orang tua dalam perawatan bayi berkisar pada
penggantian popok sampai pada pemberian susu. Jika perlu, lebih dari satu
kali biasanya perawat mengajar orang tua cara mengganti popok bayi yang
berada di antara berbagai peralatan yang memonitornya, mencuci mukanya
yang kecil dan merawat bayi ketika berada dalam inkubator. Di hari-hari
pertama, mungkin orang tua baru diperbolehkan untuk hanya menyentuh
bayi, tetapi jika bayi sudah cukup kuat, orang tua dapat merawat bayinya
sendiri.
Peralatan yang Ada di NICU
Secara singkat beberapa peralatan yang ada di NICU yang biasa
digunakan pada bayi-bayi yang dirawat di NICU, hal ini tergantung dari berat
ringannya kondisi bayi.
1. Feeding tube
38

Sering bayi di NICU tidak bisa mendapatkan makanan yang mereka


butuhkan melalui mulut langsung, sehingga perawat akan memasang
selang kecil melalui mulut sampai ke lambung. Sebagai jalan untuk
memasukan ASi atau susu formula.
2. Infant warmers
Ini adalah tempat tidur dengan penghangat yang ada diatasnya,
sehingga bayi dapat terhindar dari hipotermi. Orang tua dapat
menyentuh bayi di warmers, yang tentunya berbicara dulu kepada
perawat.
3. Inkubator
Ini adalah tempat tidur kecil yang tertutup oleh plastik keras yang
transparan, suhu di inkubator diatur sesuai dengan kondisi bayi.
Terdapat lubang disetiap samping inkubator sebagai jalan untuk perawat
dan dokter memeriksa pasien. Orang tua dapat menyentuh bayinya
lewat lubang tersebut.
4. Jalur infus
Sebuah kateter kecil yang fleksibel yang dimasukan kedalam pembuluh
darah vena. Hampir semua bayi yang dirawat di NICU diinfus untuk
kebutuhan cairan dan obat-obatan, biasanya di lengan atau kaki atau
bahkan dapat dibuat umbilical chateter (sebuah kateter yang dimasukan
keumbilical) pada situasi tertentu dibutuhkan IV line yang lebih besar
untuk memasukan cairan dan obat-obatan, ini dilakukan oleh dokter
bedah pediatrik.
5. Monitor
Bayi di NICU tersambungkan ke monitor sehingga staff NICU akan
selalumengetahui tanda-tanda vital mereka. Dalam satu monitor dapat
terekambeberapa tanda-tanda vital, antara lain denyut nadi, pernafasan,
tekanandarah, suhu dan SpO2 (kandungan oksigen dalam darah ).
6. Blue light therapy
Terapi cahaya yang digunakan untuk bayi-bayi yang kadar bilirubinnya
lebih tinggi dari normal, biasanya digunakan di atas bayi dengan bayi
telanjang dan matanya ditutup dengan pelindung mata khusus, lamanya
terapi cahaya tergantung dari penurunan kadar bilirubin, biasanya
diperiksa ulang setelah 24 jam pemakaian cahaya.
7. Bubble CPAP
39

Alat bantu napas dengan menggunakan canul kecil ke dalam lubang


hidung bayi, hal ini biasanya digunakan untuk bayi yang sering lupa
napas (apnoe).
8. Ventilator
Mesin napas yang digunakan untuk bayi yang mempunyai gangguan
nafas berat, hal ini dengan menggunakan selang kecil melalui hidung
atau mulut sampai ke paru.

40

BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario ke-2 blok Pediatri, disebutkan seorang ibu dengan umur
kehamilan 40 minggu menjalani section caesaria yang dilakukan atas indikasi
detak jantung janin melemah. Detak jantung janin (DJJ) normal berkisar antara
120-160 kali per menit. Pola frekuensi denyut jantung janin sebagian besar
mengindikasikan adanya gawat janin. Gawat janin umum digunakan untuk
menjelaskan kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan penyelamatan segera akan
berakibat buruk yaitu menyebabkan kerusakan atau kematian janin atau janin
secepatnya dilahirkan (Hariadi, 2004).
Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang, janin akan mengalami
retardasi organ bahkan asidosis dan kematian. Meningkatnya tekanan CO 2
menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik. Asidosis respiratorik berlanjut
sehingga aliran darah ditujukan kepada organ penting seperti otak dan jantung
dengan mengorbankan hepar dan ginjal. Bradikardia yang terjadi merupakan
mekanisme dari jantung dalam bereaksi dari baroreseptor akibat tekanan
(misalnya hipertensi pada kompresi tali pusat) atau reaksi kemoreseptor akibat
asidemia (Hariadi, 2004).
Sectio caesaria merupakan salah satu upaya untuk penyelamatan gawat
janin pada skenario. Ada beberapa indikasi untuk melakukan section caesaria,
yaitu indikasi medis, indikasi ibu dan indikasi janin. Indikasi medis memiliki 3
faktor penentu atau biasa disebut 3P (power, passanger, passage). Indikasi medis
yang digunakan untuk melakukan tindakan section caesaria pada kasus skenario
berupa faktor passenger, hal ini disebabkan oleh adanya fetal distress syndrome
(denyut jantung kacau dan melemah). Sedangkan dilihat dari indikasi janin,
ancaman gawat janin juga menentukkan perlunya dilakukan tindakan section
caesaria ini.
Setelah lahir, bayi tidak menangis, apneu, dan berwarna kebiruan. Hasil
penilaian dengan skor APGAR antara 0-3 atau bayi berada dalam kondisi asfiksia
berat.
41

Hal yang perlu dilakukan pada penanganan bayi baru lahir dengan asfiksia
adalah resusitasi. Hal-hal yang dilakukan pada resusitasi antara lain:
menghangatkan bayi, kepala bayi dalam posisi ekstensi dan isap lender bayi.
Kemudian menilai pernafasan bayi dan frekuensi denyut jantung janin. Jika bayi
masih belum dapat bernafas secara spontan dan DJJ masih kurang dari 100
kali/menit dilakukan VTP (Ventilasi tekanan positif). Setelah dilakukan VTP
frekuensi denyut jantung janin kurang dari 100 kali/menit lakukan kompresi dada
dan untuk pemberian epinefrin jika denyut jantung janin masih rendah.
Pada skenario setelah resusitasi bayi mencapai skor APGAR 6 dimana
merupakan kondisi asfiksia ringan sehingga ditempatkan di ruang NICU untuk
mendapat penanganan khusus. Jenis perawatan NICU, antara lain;
1. Level 1: Untuk bayi sakit ringan
2. Level 2: Untuk bayi sakit sedang
3. Level3: Untuk bayi sakit berat yang memerlukan penanganan dan pemantauan
intensif. Biasanya bayi premature dengan usia kehamilan kurang dari 34
minggu.

42

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Sectio caesaria dilakukan jika kelahiran pervaginam mungkin akan
menyebabkan risiko pada ibu ataupun pada janin dan dilakukan sesuai
dengan indikasi yang sesuai.
2. Neonatus tidak menangis, apneu, dan berwarna kebiruan merupakan
indikasi bahwa kemungkinan neonatus mengalami asfiksia dan hipoksia.
Penatalaksanaan lebih lanjut perlu dilakukan resusitasi.
3. Setelah resusitasi, APGAR skor neonatus pada menit ke-10 adalah 6,
menunjukkan neonatus masih asfiksia sehingga perlu perawatan lebih
lanjut di ruang NICU.
4. Ruang perawatan NICU (Neonatal Intensive Care Unit) dilengkapi
dengan peralatan feeding tube, infant warmers, inkubator, jalur infus,
monitor, blue light therapy, bubble cpap, dan ventilator.
B. Saran
1. Mahasiswa perlu menyebutkan sumber data yang digunakan pada saat
2.

diskusi.
Mahasiswa seharusnya jangan hanya membaca tetapi menerangkan pada

3.

saat menyampaikan pendapat dalam diskusi.


Mahasiswa seharusnya menghubungkan data yang diperoleh dengan hasil
pemeriksaan pada skenario yang dihadapi dengan detail sesuai

4.

patogenesisnya.
Sebaiknya, tutor diberikan waktu yang lebih banyak untuk memberikan

5.

feedback yang lebih membangun setelah diskusi selesai.


Ketika tidak ada tutor, mahasiswa seharusnya melanjutkan diskusi sesuai
dengan diskusi tutorial yang sebenarnya.

43

DAFTAR PUSTAKA
Aurora S, Snyder EY (2004). Perinatal asphyxia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR,
eds. Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston: Lippincott Williams &
Wilkins, pp. 536-54.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management,
procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York :
Lange Books/Mc Graw-Hill, 2004; 12-20.
Hall DR, Smith M, Smith J (1996). Maternal faktors contributing to asphyxia
neonatorum. J Trop Pediatr, 42: 192-95.
Hariadi R (2004). Gawat janin. Ilmu Kedokteran Fetomaternal Edisi 1. Surabaya:
Himpunan Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Kattwinkel J, Short J, Niermeyer S, Denson SE, Zaichkin J, Simon W. Neonatal
resuscitation textbook; edisi ke-4. AAP & AHA, 2000; 1-1 2-25.
Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan
obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 69-79.
Kliegman, RM. 1999. Janin dan Bayi Neonatus. Dalam ilmu kesehatan Anak nelson vol.1
Edisi 15. Jakarta : EGC
Perinasia, 2006. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku
panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5. Jakarta. 430- 470.
Prawiroharjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka.
Rajiv Aggarwal, Ashwini Singhal, Ashok K Deorari, Vinod K Paul.2002. Apnea in the
Newborn. Division of Neonatology, Department of Pediatrics All India Institute
of Medical Sciences
Rennie MJ, Roberton NRC. A manual of neonatal intensive care; edisi ke-4. London :
Arnold, 2002; 62-88.
Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds.
Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins,
2004; 53-71.

44

Wahyudi S. 2003. Asfiksia Berat pada Neonatus Aterm. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang (Thesis)

Wiknjosastro H. 2006. Ilmu Kebidanan. Edisi keempat. Jakarta: Yayasan Bina


Pustaka.

45

Anda mungkin juga menyukai