Anda di halaman 1dari 20

1

HUBUNGAN ANTARA KEBOSANAN KERJA DENGAN KETERLIBATAN


KERJA PADA PEGAWAI DI DINAS SOSIAL, TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI (DINSOSNAKERTRANS) KABUPATEN
TULUNGAGUNG
Fitria Anggraini
anggrainifitria885@gmail.com
Ika Rahma Susilawati
Selly Dian Widyasari
Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya Malang
ABSTRACT
This research aims to explain the relationship between job boredom and job involvement of
employees at Department of Social, Labor and Transmigration in Tulungagung. The method
used in this research is the quantitative method. Data were analyzed by Pearson Product
Moments Correlation analysis. Sample in this research used total sampling, consisted of 54
persons (21 males and 33 females). The analysis showed that boredom (X) has correlation with
job involvement (Y), correlation coefficients (r) = -0.725 and significance level (p) = 0.000, that
showed a significant negative linear relationship between job boredom and job involvement.
This indicating that an increase in job boredom will predict a decrease in job involvement, and
otherwise a decrease in job boredom will predict an increase in job involvement. 54,56% showed
an effective contribution of job boredom on job involvement of the employees. While 47,44%
were affected by other factors. As and addition, the analysis shows there is no significant effect
of working hours, educational background and gender.
Keywords: Employees Dinsosnakertrans, Job Boredom, Job Involvement
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kebosanan kerja dengan keterlibatan
kerja pada pegawai Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) di
Kabupaten Tulungagung. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan
analisis korelasi Product Moment Pearson. Pengambilan sampel menggunakan teknik sampling
jenuh, dengan jumlah subjek sebanyak 54 orang (21 laki-laki, 33 perempuan). Hasil olah data
menunjukkan Kebosanan Kerja (X) berhubungan dengan Keterlibatan kerja (Y) pada pegawai
Dinsosnakertrans Kabupaten Tulungagung dengan nilai koefisien korelasi (r) = -0,725 dan nilai
signifikan (p) = 0,000 yang artinya terdapat hubungan linier negatif yang signifikan antara
kebosanan kerja dan keterlibatan kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa kebosanan kerja semakin
meningkat, maka keterlibatan kerja semakin menurun, dan sebaliknya kebosanan kerja semakin
menurun, maka keterlibatan kerja semakin meningkat. Persentase sumbangan kebosanan kerja
terhadap keterlibatan kerja pada pegawai Dinsosnakertrans Kabupaten Tulungagung sebesar

52,56%, sementara 47,44% dijelaskan oleh faktor lain. Hasil analisis tambahan menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan dari kebosanan kerja dan keterlibatan kerja ditinjau
berdasarkan masa kerja, latar belakang pendidikan dan jenis kelamin.
Kata Kunci: K e b os a n a n k e rja, K e t e rlibatan kerja , P e g a w a i D i n s o s n a k e rtrans
LATAR BELAKANG
Karyawan merupakan aset terpenting bagi organisasi. Tanpa usaha dan kontribusi karyawan
suatu organisasi tidak akan mampu memenuhi target yang telah direncanakannya. Karyawan
yang memilih teknologi, karyawan yang menggunakan modal, karyawan juga yang
memanfaatkan dan memeliharannya, sehingga keberhasilan perusahaan maupun instansi dalam
mengelola dan memanfaatkan karyawannya dengan baik dianggap sebagai suatu hal yang
penting. Menurut Subawa (2012), sikap dan perilaku karyawan terhadap pekerjaannya dapat
mempengaruhi keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Menurut Robbins
(2008), salah satu sikap yang mendukung kemajuan organisasi tersebut adalah keterlibatan kerja.
Keterlibatan karyawan sangat diperlukan dalam organisasi. Menurut Cascio (2006),
keterlibatan secara penuh terhadap pekerjaan akan membuat karyawan menciptakan kinerja yang
baik. Karyawan akan berpartisipasi secara aktif dalam menyelesaikan pekerjaan dan tugasnya
karena hal tersebut dianggap penting. Keterlibatan kerja merupakan hal yang penting untuk
diketahui karena tinggi rendahnya keterlibatan kerja karyawan akan berpengaruh pada kualitas
kerja karyawan. Keterlibatan kerja cukup memegang peran terkait dengan perilaku dan kinerja
karyawan di tempat kerja (Robbins, 2008).
Sesuai dengan perkembangannya, karyawan sebagai manusia tidak lepas dari gejolak emosi
yang dinamis. Karyawan dapat mengalami perubahan emosi dan tingkah laku apabila
dihadapkan pada situasi yang berbeda dengan situasi yang ia temui sebelumnya (Azwar, 2010).
Begitu juga dengan konsep keterlibatan kerja yang dimiliki oleh karyawan, tinggi rendahnya
keterlibatan kerja dapat berubah seiring dengan bagaimana karyawan memaknai pekerjaannya
sebagai sesuatu yang berharga. Keterlibatan kerja karyawan dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang salah satunya adalah kebosanan kerja (Omolayo & Ajila, 2012).
Kebosanan kerja didefinisikan sebagai suatu keadaan emosi yang menetap yang ada selama
seseorang kekurangan aktivitas atau ketika seseorang tidak tertarik pada aktivitas yang
dilakukannya (Bisen & Priya, 2010). Kebosanan kerja ditandai dengan kelelahan dan hilangnya
minat atau ketertarikan individu pada sesuatu. Kebosanan kerja juga ditandai oleh rasa malas,

lesu, serta perasaan tidak enak yang jika tidak ditangani dengan segera dapat menimbulkan
karyawan mengalami stress bahkan depresi (Rahayu, 2013).
Di negara lain seperti Amerika Serikat, kebosanan kerja menjadi masalah yang serius untuk
dibahas. Menurut studi yang dilakukan oleh Malachowski pada tahun 2005, hampir 10.000
karyawan menghabiskan 2 jam setiap hari untuk urusan pribadi mereka pada hari kerja karena
mereka merasa bosan dan hal ini menimbulkan kerugian lebih dari 750 milyar dollar setiap
tahunnya (Heijden, Schepers, & Nijssen, 2012). Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan
dalam konferensi the British Psychological Societys Division of Occupational Psychology, lebih
dari 50% dari 102 pekerja di kantor Inggris mengatakan bahwa rasa bosan yang mereka rasakan
memicu kesalahan kerja dan hampir separuhnya terdorong mencari pekerjaan baru (Rahayu,
2013). Di Indonesia, sebuah studi mengungkapkan bahwa kebosanan kerja diakibatkan oleh
pengkhususan atau spesialisasi pekerjaan misalnya seperti pekerjaan membatik dan pekerjaan
pabrik seperti melinting rokok yang monoton dan secara terus menerus dilakukan. Kebosanan
kerja secara signifikan berpengaruh pada keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya
(Hadi, 2000).
Kebosanan kerja dapat ditemukan pada karakteristik pekerjaan yang rutin, berulang dan
monoton (Kartono, 2002). Karakteristik kerja tersebut dapat ditemukan pada pekerjaan
administratif seperti halnya pada karakteristik pekerjaan di kantor pemerintahan yang
memberikan pelayanan publik pada masyarakat seperti salah satunya di Dinas Sosial, Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Tulungagung.
Menurut Kass, Vodanovich & Callender (2001), pelaksanaan segala tugas rutin memiliki
potensi untuk menciptakan ataupun meningkatkan kebosanan kerja pada diri karyawan. Sejauh
pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, pegawai di Dinsosnakertrans Tulungagung dalam
melaksanakan kerja tetap patuh pada prosedur kerja dan perintah dari kepala dinasnya.
Keterlibatan kerja pegawai di Dinas ini diperlihatkan dari bagaimana cara kerja mereka. Pegawai
di Dinas ini tetap menyelesaikan tanggung jawab tugas mereka sesuai waktu yang ditentukan.
Pada aktivitas kesehariannya, ada beberapa jeda waktu kerja tertentu dimana pegawai tidak
melaksanakan pekerjaan apapun. Jeda waktu seperti ini dimanfaatkan oleh pegawai untuk
melakukan aktivitas lain seperti mengobrol dan bermain game. Perilaku karyawan seperti ini
secara teori bisa dikatakan sebagai cara pengalihan dari pegawai untuk menangani kebosanan
kerja pada dirinya. Artinya perilaku semacam ini manaksirkan adanya kebosanan kerja pada

pegawai di dinas terkait. Di sisi lain, perilaku kerja semacam ini juga memperlihatkan kurangnya
keterlibatan kerja pada diri pegawai. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk
membuktikan apakah benar terdapat hubungan yang signifikan antara kebosanan kerja dengan
keterlibatan kerja pada pegawai di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Tulungagung.
LANDASAN TEORI
Kebosanan Kerja
Kebosanan merupakan hal yang cukup umum yang mungkin akrab bagi banyak orang di
dalam kehidupan. Meski begitu umum, namun literatur-literatur mengenai definisi kebosanan
belum begitu koheren dan diterima secara universal. Definisi yang berlaku umum dari
kebosanaan tampaknya belum ada, namun beberapa ahli telah mengusulkan pemahaman mereka
sendiri tentang kebosanan (Tilburg, 2011). Menurut Yuwanto (2012), dari sudut pandang
psikologi, kebosanan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu kebosanan yang disebabkan
karena situasi dan kebosanan yang dipandang sebagai sifat. Kebosanan karena situasi berfokus
pada sumber kebosanan berasal dari kondisi di luar individu yang menstimulasi terjadinya
kebosanan, sedangkan kebosanan yang dipandang sebagai sifat menggambarkan tentang kondisi
individu yang mudah mengalami kebosanan, dengan kata lain sifat individu yang mudah bosan.
Penelitian ini akan membahas kebosanan yang disebabkan karena situasi.
Kurangnya konsensus oleh para ahli pada definisi kebosanan mendorong Fahlman, Lynn,
Flora dan Eastwood (2011) untuk mengkonsepkan definisi kebosanan. Pada akhirnya, melalui
hasil studinya, kebosanan dikonsepkan sebagai keadaan afektif dan kognitif dimana individu
mengalami suatu yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika stimulus lingkungan berlebihan,
monoton, dengan intensitas rendah dan tidak berarti. Artinya, kebosanan dipandang sebagai
pengalaman yang tidak menyenangkan dari terpenuhinya keinginan untuk ikut terlibat dalam
kegiatan yang memuaskan. Dalam dunia kerja, kebosanan dikaitkan dengan perilaku merugikan
seperti penundaan tugas dan penghindaran kerja. Kebosanan seperti ini disebut sebagai
kebosanan kerja (Craparo, Faraci, Fasciano, Carruba dan Gori, 2013).
Menurut Fahlman, Lynn, Flora dan Eastwood (2011), teori kebosanan kerja dapat dibagi
menjadi empat, yaitu: psikodinamik, gairah, perhatian dan eksistensial. Setiap teori mengusulkan
penjelasan yang berbeda mengenai mengapa individu yang merasa bosan tidak dapat mencapai

keterlibatan yang memuaskan dengan dunia kerjanya. Berikut penjelasan mengenai teori-teori
tersebut:
1) Teori Psikodinamik
Menurut teori ini, kebosanan kerja disebabkan oleh ketidakmampuan individu secara sadar
menentukan apa yang diinginkan karena keinginannya dianggap sebagai hal yang
mengancam sehingga keinginan tersebut ditekan. Sebagai hasilnya, individu yang merasa
bosan mencari dunia di luar dirinya untuk menemukan kepuasan, tetapi ketika mereka tidak
menemukannya mereka akan mengalami rasa kehilangan dan frustasi.
2) Teori Gairah
Menurut teori ini, kebosanan kerja disebabkan oleh rangsangan (stimulus) yang tidak
optimal, dimana ada ketidakcocokan antara kebutuhan individu akan stimulus dan
ketersediaan stimulasi lingkungan yaitu, derajat tantangan, kompleksitas, intensitas, dan
variasi kegiatan kerjanya.
3) Teori Perhatian
Menurut teori ini, kebosanan kerja disebabkan oleh kegagalan perhatian individu yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk fokus atau memerhatikan apa yang ia kerjakan.
4) Teori Eksistensial
Menurut teori ini, kebosanan kerja disebabkan oleh kurangnya makna atau tujuan kerja.
Kebosanan kerja terjadi ketika seorang individu menyerah atau gagal untuk berpartisipasi
dalam kegiatan yang konsisten dengan nilai-nilainya.
Semua teori mengenai kebosanan kerja menunjukkan bahwa ciri utama dari kebosanan kerja
adalah adanya pengalaman yang buruk pada diri karyawan dalam memenuhi keinginan, yang
disebabkan karena ketidakmampuan dalam menstimulasi dan memuaskan aktivitas kerjanya
(Fahlman, Lynn, Flora & Eastwood, 2011).
Menurut Fahlman, Lynn, Flora dan Eastwood (2011), dimensi kebosanan kerja (sebagai
sebuah keadaan) yaitu:
1) Afektif
Individu yang bosan memiliki perasaan kegelisahan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan,
serta perasaan terlepas dari ketertarikannya atau kebermaknaanya suatu aktivitas, hal ini
terkait dengan tinggi rendahnya gairah yang individu rasakan pada aktivitasnya.
2) Kognitif
Individu yang bosan mengalami kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada pekerjaan
dan distorsi mengenai waktu.
3) Respon perilaku ke situasi yang tidak menstimulasi

Respon perilaku bosan dicerminkan dari bentuk pasif karyawan ketika bekerja dan kelesuan
yang ia tunjukkan saat menghadapi pekerjaannya.
Terdapat beberapa ciri orang yang mengalami kebosanan kerja, beberapa diantaranya
diuraikan sebagai berikut:
1) Orang yang bosan cenderung mudah marah, tidak sabaran, memiliki perhatian dan usaha
yang rendah pada apa yang dikerjakan (Tilburg, 2013).
2) Melakukan kesalahan, melakukan prokrastinasi (menunda pekerjaan), mengabaikan, dan
melakukan aktivitas lain yang dianggap lebih menarik. Mereka yang bosan cenderung
melakukan kesalahan dalam bekerja, mereka juga kurang menyelesaikan pekerjaannya secara
penuh (komplet). Hal ini disebabkan karena kurangnya minat, konsentrasi dan motivasi yang
rendah pada individu yang bosan (Vodanovich, 2003).
3) Meninggalkan pekerjaan lebih awal dibanding waktu yang semestinya (Craparo, Faraci,
Fasciano, Carruba dan Gori, 2013).
4) Rendahnya performa kerja dan absensi karyawan (Fahlman, 2009).
Beberapa peneliti telah mempelajari efek kebosanan kerja. Para peneliti mengatakan bahwa
kebosanan kerja memiliki dampak pada absensi, kepuasan, produktivitas, kinerja, kecelakaan
kerja, dan turn over pada karyawan (Jahandideh, 2012).
Keterlibatan Kerja
Konsep keterlibatan kerja didasari oleh teori motivasi Maslow yang menyatakan bahwa
individu akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan akan harga dirinya dengan menjadi terlibat
dalam pekerjaannya. Terkait dengan hal tersebut, konsep teori ini memandang bahwa
keterlibatan yang dimaksud adalah keterlibatan karyawan akan tugas kerjanya, keterlibatan
karyawan dalam perannya di organisasi dan dedikasi karyawan pada pekerjaan yang ditekankan
pada aspek harga dirinya (May, Steward, & Legerwood, 2004).
Para peneliti percaya bahwa keterlibatan kerja memiliki dua dimensi yang berbeda, yaitu:
prestasi kerja (atau koneksi harga diri) dan identifikasi psikologis dengan pekerjaan (Gale, 2006).
Pada tahun 1982, Kanungo mengidentifikasi makna yang tepat dari keterlibatan kerja. Melalui
hasil penelitiannya ia menyimpulkan bahwa keterlibatan kerja dimaknai sebagai keadaan kognitif
dari identifikasi psikologis individu dengan pekerjaannya (Chih-Ho, 2006).

Sebuah tinjauan kuantitatif literatur oleh Brown (Gale, 2006) menyimpulkan ada sejumlah
kecil perbedaan substantif antara temuan penelitian menggunakan pengukuran Lodahl dan
Kejner, dan temuan penelitian yang menggunakan pengukuran Kanungo. Menurutnya
pengukuran Kanungo menghasilkan kejelasan konseptual mengenai keterlibatan kerja yang lebih
besar dan lebih baik untuk digunakan di masa depan.
Menurut Kanungo (Permarupan, Al-Mamun, & Saufi, 2013), keterlibatan kerja adalah
keterlibatan ego individu dengan pekerjaan. Keterlibatan kerja merupakan penggambaran sejauh
mana keyakinan seseorang pada pekerjaannya (saat ini) dan seberapa jauh pekerjaannya berguna
untuk memuaskan kebutuhannya. Kanungo menjelaskan bahwa individu cenderung lebih terlibat
dalam kegiatan tertentu ketika hal tersebut dipandangnya memiliki potensi memuaskan bagi
kebutuhan psikologisnya (Boshoff & Cilliers, 2003). Kanungo (Judeh, 2011) mengklasifikasikan
keterlibatan kerja ke dalam tiga dimensi, yaitu:
1) Konsentrasi kerja
Konsentrasi kerja menurut Kanungo adalah seberapa besar karyawan lebih mementingkan
atau lebih berfokus pada tugas-tugas pekerjaannya dibandingkan dengan aktivitas yang lain.
(Chih-ho, 2006). Pekerjaan dianggap sebagai pusat ketertarikan dalam hidup, keterlibatan
kerja digambarkan sebagai seberapa besar seseorang memerhatikan situasi kerja sebagai hal
yang penting karena hal tersebut dianggapnya sebagai kesempatan memuaskan kebutuhannya
(Uygur & Kilic, 2009).
2) Evaluasi kerja
Evaluasi kerja menurut Kanungo dimaknai sebagai seberapa baik karyawan menilai
pekerjaan. Hal ini mencakup seberapa besar ikatan yang ia rasakan terhadap pekerjaannya,
seberapa baik ia menilai cara kerjanya sendiri, seberapa penting keberadaan dirinya dalam
organisasi dan kerelaan dirinya untuk mengambil tugas yang melebihi beban kerjanya (Chihho, 2006).
3) Identifikasi kerja
Identifikasi kerja dimaknai sebagai seberapa besar atau penting pekerjaan bagi gambaran
dirinya. Hal ini mencakup seberapa besar ia bisa menyerap nilai kebaikan yang diberikan
oleh pekerjaanya, pentingnya hasil kerja bagi keberhargaan dirinya, bagaimana penilaian
kemampuan dirinya ketika berhadapan dengan pekerjaannya selama ini, serta seberapa kuat
pekerjaan dikatakan mampu mengukur kemampuan dirinya (Chih-ho, 2006).

Tinjauan kuantitatif lain dari David Allen dan Rodger Griffeth (Gale, 2010) menyatakan
bahwa individu dengan keterlibatan kerja tinggi digambarkan sebagai:
1) Mereka yang puas dengan pekerjaan pada umumnya, dan khususnya pada isi pekerjaan itu
sendiri, promosi, atasan dan rekan kerjanya.
2) Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjannya.
3) Keinginan untuk mengambil pekerjaan dengan otonomi dan umpan balik.
4) Kecenderungan keluar dari pekerjaan yang cenderung rendah.
METODE
Partisipan dan Desain Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Tulungagung yang berjumlah sebanyak 62 orang
pegawai. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh. Penyebaran
skala dilakukan pada seluruh pegawai sebanyak 62 orang, tetapi data yang terkumpul dan dapat
diolah lebih lanjut adalah sebanyak 54. Hal ini dikarenakan beberapa kondisi yang diantaranya
adalah tidak semua pegawai berada di kantor, tidak semua pegawai bersedia mengisi skala, dan
tidak semua skala yang disebarkan kembali kepada peneliti. Desain Penelitian menggunakan
pendekatan kuantitatif yang bersifat korelasional.
Alat Ukur dan Prosedur Penelitian
Alat Ukur
Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini berupa skala kebosanan kerja dan skala
keterlibatan kerja yang merupakan jenis skala like-likert. Kedua skala dibuat dan dikembangkan
oleh peneliti yang mengacu pada dimensi pada masing-masing variabel. Dimensi pada skala
kebosanan kerja teridi dari 3 dimensi, yaitu: dimensi afektif, kognitif dan respon perilaku ke
situasi yang tidak menstimulasi, yang mengacu pada teori Fahlman, Lynn, Flora dan Eastwood
(2011). Dimensi pada skala keterlibatan kerja terdiri dari 3 dimensi yang mencakup dimensi
konsentrasi kerja, evaluasi kerja dan identifikasi kerja, yang mengacu pada teori Kanungo
(Judeh, 2011). Kedua alat ukur ini telah diujicobakan pada 30 orang pegawai dinas lain yang
tidak menjadi subjek penelitian, yaitu Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans) Kabupaten Trenggalek.

Seleksi aitem pada skala dilakukan melalui uji validitas, uji reliabilitas dan uji koefisien
korelasi aitem-total. Uji validitas menggunakan validitas konstruk yang telah melalui penilaian
pakar (expert judgment), uji reliabilitas menggunakan uji koefisiesn Cronbach Alpha dan uji
koefisien korelasi aitem-total menggunakan taraf signifikansi 0,30 (Azwar, 2007). Pedoman yang
digunakan untuk kategorisasi nilai alpha cronbach menggunakan pedoman dari Guilford (Indria
& Nindyati, 2007). Hasil uji reliabilitas pada kedua skala disajikan dalam tabel dibawah ini.
No.
1.
2.

Tabel 1. Uji Reliabilitas Skala


Skala
Nilai alpha cronbach
Tingkat Reliabilitas
Kebosanan Kerja
0,935
Sangat Tinggi
Keterlibatan Kerja
0,804
Tinggi

Seleksi aitem ini menghasilkan 24 dari 30 aitem skala kebosanan kerja, dan 22 dari 30 aitem
skala keterlibatan kerja yang layak digunakan. Setelah itu, aitem-aitem yang lolos seleksi
dikumpulkan kembali untuk selanjutnya digunakan untuk penelitian di Dinas Sosial, Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Tulungagung. Kemudian hasil penelitian
dianalisis dan diinterprestasikan lebih lanjut.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menentukan subjek dan lokasi penelitian terlebih dahulu untuk
menemukan permasalahan. Selanjutnya, peneliti melakukan studi kepustakaan dengan
mengambil beberapa literatur yang umumnya dipakai dalam studi terdahulu untuk mendapatkan
konsep yang lebih jelas mengenai permasalahan yang diteliti. Kemudian, untuk memudahkan
proses penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin pada instansi terkait. Setelah itu, peneliti
membuat alat ukur sebagai bahan penggalian data. Alat ukur yang akan digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari skala kebosanan kerja dan skala keterlibatan kerja. Sebelum digunakan
sebagai alat penggalian data pada subjek penelitian di Dinsosnakertrans Kabupaten
Tulungagung, kedua skala telah diujicobakan terlebih dahulu pada subjek di Dinsosnakertrans
Kabupaten Trenggalek. Kemudian setelah melakukan penggalian data, diperoleh hasil penelitian
yang selanjutnya dianalisis dan diinterprestasikan lebih lanjut menggunakan analisis data berupa
analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Kedua analisis ini menggunakan bantuan
program SPSS (Statistical Product and Service Solution) 20.0 for Windows. Sebelum melakukan

10

analisis korelasi, peneliti telah melakukan uji normalitas dan uji linieritas untuk mengetahui
apakah data berdistribusi normal atau tidak.
HASIL
Analisa Deskriptif
Analisa deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran nilai variabel (Trihendadi, 2009).
Data hipotetik dicari dengan cara hitung manual, sedangkan data empirik dicari dengan bantuan
SPSS (Statistical Product and Service Solution) 20.0 for windows. Data hipotetik dan empirik
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2. Data Hipotetik dan Empirik
Data Hipotetik
Data Empirik
Skor
Skor
SD
S
Mea
Variabel
N Mea
Mi Ma
Mi Ma
n
D
n
n
x
n
x
5
Kebosanan Kerja
60
24
96
12
49
25
84
11
4
5
Keterlibatan Kerja
55
22
88
11
41
22
82
7
4
Sumber: diolah oleh Peneliti
Selanjutnya untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai subjek, maka dilakukan kategorisasi
pada skala kebosanan kerja dan skala keterlibatan kerja berdasarkan data hipotetiknya. Hasil
pengkategorian skor kebosanan kerja menunjukkan bahwa sebagian besar subjek (yakni sebesar
57,4%) berada pada kategori kebosanan kerja yang rendah. Sementara untuk hasil skor
keterlibatan kerja pada sebagian besar subjek (yakni sebesar 59,3%) berada pada kategori
keterlibatan kerja yang cukup. Hasil pengkategorisasian disajikan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 3. Kategorisasi Skor Kebosanan Kerja


No.
1.
2.
3.
4.

Kategori
Sangat rendah
Rendah
Cukup
Tinggi

Norma
X 42
42 < X 54
54 < X 66
66 < X 78

Frekuensi
11
31
9
2

Persentase
20,4%
57,4%
16,7%
3,7%

11

5.

Sangat Tinggi
78 < X
Total
Sumber: diolah oleh Peneliti

1
54

1,9%
100%

Tabel 4. Kategorisasi Skor Keterlibatan Kerja


Kategori
Norma
Frekuensi Persentase
Sangat rendah
X 39
0
0%
Rendah
39 < X 50
2
3,7%
Cukup
50 < X 61
32
59,3%
Tinggi
61 < X 72
20
37%
Sangat Tinggi
72 < X
0
0%
Total
54
100%
Sumber: diolah oleh Peneliti
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Analisa Inferensial
Uji Asumsi Klasik
A. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan histogram, P-plot dan uji One-Sample
Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan histogram dan P-plot
diketahui bahwa histogram berbentuk lonceng dan simetris, dan pada gambar P-Plot titiktitik menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal hal ini berarti data
berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov didapatkan
P-value > 0,05 yang berarti bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov
Keteranga
Sig.
P-value
n
Kebosanan kerja
0,05
0,144
Signifikan
Keterlibatan kerja
0,05
0,463
Signifikan
Sumber: diolah oleh peneliti

B. Uji Linieritas
Hasil uji linieritas pada kedua variabel didapatkan nilai Deviation from linearity (nilai F
nya) > 0,05, yaitu 0,395 > 0,05, yang berarti terdapat hubungan linier yang signifikan antara
kedua variabel. Hasil disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 6. Hasil Uji Linieritas
Sig.
Deviation from linearity (F)
Kebosanan kerja*Keterlibatan kerja
0,05
0,395

12

Sumber: diolah oleh peneliti


Uji Hipotesi
Hasil uji hipotesis dengan korelasi Product Moment Pearson variabel kebosanan kerja dan
keterlibatan kerja disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 7. Hasil Uji Korelasi
Koefisien
Koefisein
Signifikansi
Korelasi Determinan
(p)
(r)
(r)
Kebosanan
kerja*Keterlibatan
0,000
kerja
Sumber: diolah oleh peneliti

-0,725

0,5256

Sumbangan Keterangan
efektif

52,56%

Signifikan
(Kuat)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa r = -0,725 dengan signifikansi (p) = 0,000, yang berarti
ada hubungan negatif signifikan yang kuat pada hubungan antara variabel kebosanan kerja
dengan variabel keterlibatan kerja, dimana kebosanan kerja semakin meningkat maka
keterlibatan kerja semakin menurun. Begitu juga sebaliknya, kebosanan kerja semakin menurun
maka keterlibatan kerja semakin meningkat.
Nilai r = 0,5257 menunjukkan sumbangan efektif kebosanan kerja terhadap keterlibatan kerja
sebesar 52,57%, sedangkan sisanya sebesar 47,44% ditentukan oleh variabel lain yang tidak
dijelaskan dalam penelitian ini.
DISKUSI
Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti, yaitu ada hubungan
antara kebosanan kerja dengan keterlibatan kerja pada pegawai di Dinas Sosial, Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Tulungagung. Berdasarkan hasil uji korelasi
diketahui bahwa nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (yakni 0,000 < 0,05) sehingga H ditolak
dan

Ha

diterima, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kebosanan kerja dengan

keterlibatan kerja pada pegawai di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans) Kabupaten Tulungagung. Koefisien korelasi sebesar -0,725. Kisaran tersebut
berada pada kisaran 0,5 0,75, artinya korelasi tergolong kuat. Koefisien korelasi bernilai
signifikan negatif memberikan makna bahwa kebosanan kerja semakin meningkat maka

13

keterlibatan kerja semakin menurun, dan sebaliknya jika kebosanan kerja menurun maka
keterlibatan kerja semakin meningkat.
Kebosanan kerja terbentuk dari tiga dimensi, yakni afektif, kognitif dan respon perilaku
akibat situasi yang tidak menstimulasi. Jika ditinjau berdasarkan tiap dimensi maka hubungan
antara kebosanan kerja dan keterlibatan kerja dapat dijelaskan seperti berikut ini:
1) Berdasarkan dimensi afektif, dijelaskan bahwa terdapat perubahan gairah yang individu
rasakan ketika bosan. Pada saat bosan, gairah individu dalam melakukan aktivitasnya
cenderung rendah (Fahlman, Lynn, Flora & Eastwood, 2011). Gairah yang rendah
menimbulkan sensasi lelah yang dapat menurunkan semangat kerja dan dorongan individu
untuk mengerahkan usaha kerjanya (Fahlman, 2009). Menurut Majorsy (2014), penurunan
semangat dan usaha kerja ini dapat mengurangi keterlibatan individu dalam bekerja.
2) Berdasarkan dimensi kognitif, dijelaskan bahwa individu memiliki masalah distorsi waktu
dan kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya (Fahlman, Lynn, Flora & Eastwood, 2011).
Individu yang mengalami distorsi persepsi mengenai waktu merasa bahwa waktu berjalan
lebih lambat dari biasanya, mereka berkeinginan meninggalkan pekerjaanya lebih awal dari
yang semestinya (Craparo, Faraci, Fasciano, Carruba dan Gori, 2013). Sementara itu,
kesulitan untuk memfokuskan perhatian juga dapat membuat indvidu kurang tertarik, kurang
serius dan kurang berkonsentrasi pada yang ia kerjakan. Menurut Uygur dan Kilic (2009),
keinginan untuk meninggalkan pekerjaan, kurangnya ketertarikan, keseriusan dan konsentrasi
dapat membuat individu jauh dari keterlibatan kerjanya.
3) Berdasarkan dimensi respon perilaku terhadap situasi yang kurang menstimulasi, individu
yang bosan cenderung pasif saat melakukan pekerjaannya. Individu yang pasif cenderung
enggan dan mengabaikan pekerjaannya (Fahlman, Lynn, Flora & Eastwood, 2011). Menurut
Aryaningtyas dan Suharti (2013), keengganan bekerja membuat individu asal-asalan dalam
mengerjakan tugas atau bisa juga membuat individu melimpahkan tanggung jawab
pekerjaannya pada orang lain. Hal semacam inilah yang dapat menyebabkan individu kurang
berkontribusi dan tidak dapat mengoptimalkan kemampuan kerjanya sehingga menurunkan
keterlibatan kerjanya.
Hubungan antara kebosanan kerja dan keterlibatan kerja dijelaskan oleh Fisher. Menurut
Fisher (1998), ketika individu merasa bosan selama bekerja, mereka tidak mampu untuk
mempertahankan perhatian pada pekerjaannya, atau tidak bersungguh-sungguh berusaha

14

memperhatikan pekerjaannya. Kebosanan menyebabkan individu kurang mengerahkan


usahanya sehingga mereka kurang memenuhi keterlibatan kerjanya.
Secara teoritis, apabila hubungan antara kedua variabel ini dikaji dari teori motivasi,
kebosanan kerja dan keterlibatan kerja merupakan dua hal yang saling berkebalikan. Saat
pekerja berinteraksi dengan pekerjaannya mereka akan memberikan penilaian pada
pekerjaannya. Apabila karyawan mempersepsikan pekerjaan mereka dapat memenuhi
kebutuhannya, maka keterlibatan kerja mereka akan meningkat. Karena keyakinan (persepsi)
semacam ini merupakan motivator yang dapat menggerakkan karyawan untuk mengerahkan
usahanya dalam bekerja (Kanungo dalam Akhtar & Singh, 2010). Sebaliknya, bila karyawan
mempersepsikan pekerjaannya (sebagai stimulus) yang tidak cocok dengan kebutuhan
intrinsiknya, maka mereka akan kehilangan makna dari nilai pekerjaanya, dan bila pekerjaan
tersebut dilakukan secara terus menerus maka hal ini dapat memunculkan atau meningkatkan
tingkat kebosanan.
Sebagai analisa tambahan untuk lebih mendalami hubungan dua variabel tersebut, peneliti
bermaksud untuk mengkaji kedua variabel tersebut berdasarkan masa kerja, latar belakang
pendidikan dan jenis kelamin. Masa kerja dan latar belakang pendidikan dalam penelitian ini
diuji menggunakan uji Kruskal Wallis, sementara jenis kelamin diuji dengan menggunakan
uji Mann Whitney.
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis dan uji Mann Whitney diketahui bahwa tidak terdapat
perbedaan signifikan pada keterlibatan kerja ditinjau dari masa kerja, latar belakang
pendidikan dan jenis kelamin. Secara rinci temuan ini dijelaskan sebagai berikut:
1) Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis diketahui bahwa tidak ada perbedaan signifikan
pada keterlibatan kerja ditinjau dari masa kerja dan latar belakang pendidikan. Penelitian
dengan hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian dari Doobree (2009); Mantler dan
Murphy (2005).
2) Berdasarkan hasil uji Mann Whitney diketahui bahwa tidak adanya perbedaan signifikan
pada keterlibatan kerja ditinjau berdasarkan jenis kelamin. Hasil penelitian yang sama
ditunjukkan oleh penelitian dari Doobree (2009); Mantler dan Murphy (2005); dan Judeh
(2011).
Sementara itu, untuk pada pengujian kebosanan kerja juga ditemukan hasil yang sama,
yakni bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan pada kebosanan kerja ditinjau dari masa
kerja, latar belakang pendidikan dan jenis kelamin. Secara rinci hasil pengujian tersebut
dijelaskan sebagai berikut:

15

1) Berdasarkan hasil uji Kruskall Wallis diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan
signifikan pada kebosanan kerja ditinjau dari masa kerja. Penelitian yang menunjukkan
hasil yang sama dengan penelitian ini adalah penelitian dari Cummings, Mastracchio,
Thornburg dan Mkrtchyan (2012).
2) Berdasarkan hasil uji Kruskall Wallis diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan
signifikan pada kebosanan kerja ditinjau dari latar belakang pendidikan. Penelitian yang
menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini adalah penelitian dari Harju,
Hakanen dan Schaufeli (2014).
3) Berdasarkan hasil uji Mann Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan
pada kebosanan kerja ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian yang menunjukkan hasil
yang sama dengan penelitian ini adalah penelitian dari Sohail, Ahmad, Tanveer dan Tariq
(2012).
Berdasarkan hasil kategorisasi skor pada pegawai Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Tulungagung diketahui bahwa tingkat
kebosanan kerja pegawai berada pada kategori rendah dan keterlibatan kerja pada
kategori cukup. Kebosanan kerja pada kategori rendah mengindikasikan bahwa terdapat
adanya peningkatan kemampuan kerja, aktualisasi diri yang tinggi, gairah, fokus
perhatian (konsentrasi) dan semangat yang baik dalam bekerja (Seine, 2006). Orang
dengan kebosanan kerja yang rendah memiliki kinerja yang baik saat bekerja (Watt &
Vodanovich, 1999).
Pada tingkat kebosanan kerja yang tinggi, Tilburg (2013) mengusulkan cara untuk
mengatasi hal semacam ini adalah dengan meningkatkan keberartian dari makna aktivitas
kerja yang dilakukan oleh para pegawainya. Menurutnya aktivitas kerja yang memiliki
tujuan yang sesuai dengan harapan pegawai dapat memotivasi kerja mereka. Sebagai
gambaran kecil dari hal ini adalah organisasi perlu memberikan promosi apabila tujuan
karyawan bekerja lebih berfokus pada promosi. Hal ini sebagai cara untuk memotivasi
kerja mereka. Selain itu, kebosanan dijelaskan disebabkan oleh pekerjaan rutin yang
monoton. Pada setting semacam ini organisasi dapat menyisipkan aktivitas kerja lain di
luar aktivitas kerja rutinnya. Hal ini membuat individu tidak terpaku pada aktivitas kerja
yang sama.

16

Menurut Walcutt, Fiorella, Carper dan Schatz (2011), di banyak penelitian, peneliti
yang mengkaji kebosanan kerja masih mengalami kesulitan menjelaskan antesenden dan
konsekuensi dari kebosanan, dikarenakan hal ini saling tumpang tindih, misalnya apakah
ketidakpuasan menyebabkan kebosanan ataukah kebosanan yang menyebabkan
ketidakpuasan. Pada hasil penelitian ini peneliti tidak menguak lebih mendalam mengenai
faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi tinggi rendahnya kebosanan kerja pada
pegawai di Dinsosnakertrans Tulungagung karena kajian seperti ini membutuhkan
asesmen lain dan akan semakin luas untuk dibahas, untuk itu peneliti hanya mengkaji
seberapa besar kebosanan kerja pada dinas terkait.
Kategorisasi skor keterlibatan kerja pada pegawai Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Tulungagung berada pada kategori cukup.
Keterlibatan yang cukup berhubungan dengan etos kerja, motivasi dan harga diri, dan
kepuasan pada pegawai (Gale, 2010). Menurut Rabinowitz dan Hall (Akhtar & Singh,
2010) ada kondisi-kondisi yang dapat memperkuat tingkat keterlibatan kerja. Kondisikondisi tersebut diantaranya adalah perasaan individu bahwa ia mempunyai sumbangan
yang penting bagi keberhasilan organisasi, adanya kesempatan dan kebebasan dalam
pengambilan keputusan, dan keberhasilan atau prestasi yang individu dapatkan dalam
organisasi.
Berdasarkan hasil observasi, pegawai pada Dinsosnakertrans Tulungagung telah
mengetahui dan memahami tentang apa dan bagaimana pekerjaan mereka. Mereka telah
mengetahui bagaimana peran dan posisi mereka dalam pekerjaan dan pembagian tugas.
Penyelesaian tugas pada pegawai mengikuti ketentuan prosedur organisasi dan dalam
praktek pengerjaan tugasnya, mereka masih diberi kelonggaran atau keleluasaan untuk
menentukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaannya. Terkait dengan hal
ini, keterlibatan kerja yang cukup pada pegawai di Dinsosnakertran Kabupaten
Tulungagung dapat disebabkan oleh adanya kejelasan job desc dan otonomi kerja. Secara
teori Rogelberg (2007) menjelaskan bahwa kejelasan job desc terkait dengan kejelasan
peran, yakni tentang sejauh mana pegawai mengetahui apa yang diinginkan oleh
organisasi tempat bekerja. Pegawai yang mengetahui kejelasan perannya tidak akan ragu
atau bimbang untuk mengambil langkah apa yang ia ambil dalam melaksanakan kerja,
sehingga ia dipastikan terlibat penuh pada pekerjaannya. Menurut Ghassani (2014),

17

otonomi dalam sebuah pekerjaan memberikan pegawai keleluasaan dalam memilih cara
yang akan digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan. Keleluasaan yang diberikan
bertujuan untuk memberikan rasa kebebasan yang tanggung jawab terhadap pekerjaan.
Adanya otonomi ini meningkatkan perasaan dipercaya dan dihargai pegawai untuk
menjalankan tugas-tugas, sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan keterlibatan
kerja pegawai.

DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, Z. & Singh, Udham. (2010). Job involvement: A Theoretical
Interpretation in
Different
Work
Setting
Department
of
Psychology,
(Online),
(http://www.indianmba.com/Faculty_Column/FC1179/fc1179.html, diakses 28 Juli (2014).
Aryaningtyas, A.T., & Suharti, L. (2013). Keterlibatan Kerja Sebagai Pemediasi Pengaruh
Kepribadian Proaktif Dan Persepsi Dukungan Organisasional Terhadap Kepuasan Kerja.
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, VOL. 15, NO. 1, 23-32.
Azwar, Saifudin. (2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

18

_____________. (2010). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi ke-2. Jogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bisen, V., & Priya. (2010). Industrial Psychology. New Delhi: New Age International (P) Ltd,
Publishers.
Boshoff, A.B., & Cilliers, F.V.N. (2003). The Prediction of Job Involvement for Pharmacists and
Accountants. Journal of Industrial Psychology, 29 (3), 61-67.
Cascio, Wayne F. (2006). Managing Human Resources: Productivity, Quality Of Work Life,
Profits (Edisi Ke-7). Universitas Indiana: McGraw-Hill/Irwin.
Chih-Ho, Chin. (2006). A Study of The Relationships Between Work Values, Job Involvement
and Organizational Commitment Among Taiwanese Nurse. Thesis. Australia: Queensland
University of Technology.
Craparo, G., Faraci, Fasciano, P., Carruba, S.F., & Gori, A. (2013). Journal Clinical
Neuropsychiatry. 10, 3-4, 164-170.
Cummings, M. L. Mastracchio, C., Thornburg, K.M., & Mkrtchyan, A. (2012). Boredom and
Distraction in Multiple Unmanned Vehicle Supervisory Control. (Jurnal Online).
(http://web.mit.edu/aeroastro/labs/halab/papers/BoredomDistraction_SEP2012.pdf, diakses
19 Maret (2015).
Doobree, Daneshwar. (2009). Job Involvement Among Bank Managers In Mauritius. Faculty of
Business,
University
of
Southern
Queensland.
Disertasi.
(Online).
(https://eprints.usq.edu.au/19734/2/Doobree_2009_whole.pdf, diakses 19 Maret (2015).
Fahlman, Shelly A. (2009). Development and Validation of the Multidimentional State Boredom
Scale.
ProQuest
Dissertations
and
Theses.
(Online).
(http://static1.squarespace.com/static/53a79084e4b01786c921de45/t/53a8549ce4b0cd8d79
8e2d5f/1403540636545/Development+and+validation+of+the+multidimensional+state+bo
redom+scale+%28diss.%29+%28Fahlman%2C+2009%29.pdf, diakses 19 Maret (2015).
Fahlman, S.A., Mercer-Lynn, K.B., Flora, D.B., dan Eastwood, J.D. (2011). Development and
Validation of the Multidimentional State Boredom Scale. (Jurnal Online),
(http://asm.sagepub.com/content/20/1/68, diakses 28 Juli (2014).
Fisher, Cynthia D. (1998). Effect of External and Internal Intteruption on Boredom at Work: two
studies. Journal of Organizational Behavior. Pg. 503-522.
Gale, J.H. (2006). Encyclopedia of career development. Thousand Oaks, CA: sage Publications,
Inc.
Ghassani, R.P. (2014). Analisis Pengaruh Faktor - Faktor Karakteristik Pekerjaan Terhadap
Kepuasan Kerja PNS. Skripsi Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis
UniversitasDiponegoro.

19

Hadi, Suryo Leksono. (2000). Kebosanan Kerja: Peningkatan Stres Dan Penurunan Kinerja
Karyawan Dalam Spesialisasi Pekerjaan. Jurnal JIBEKA Volume 8 No. 2 Agustus 2000: 14
18.
Harju, L., Hakanen, J.J., Schaufeli, Wilmar. (2014). Job Boredom and Its Correlates in 87
Finnish Organizations. JOEM Volume 56, No. 9.
Heijden, G.A.H., Schepers, Jeroen J.L., & Nijssen, E.J. (2012). Understanding Workplace
Boredom among White Colar Employees: Temporary Reaction And Individual Differences.
European Journal of Work and Organizational Psychology. 21(3), 349-375.
Indria, K., & Nindyati, A. D. (2007). Kajian Konformitas dan Kreativitas affective remaja.
Jurnal provitae, 3(1), 97.
Jahandideh, Sina. (2012). Job Scheduling Considering Both Mental Fatigue and Boredom.
Journal of Mechanical Engineering Ottawa-Carleton Institute for Mechanical and
Aerospace Engineering.
Judeh, Mahfuz. (2011). An Examination of the Effect of Employee Involvement on Teamwork
Effectiveness: An Empirical Study. International Journal of Business and Management
Vol. 6, No. 9.
Kartono, K. (2002). Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Kass, S.J., Vodanovich, S.J., & Callender, A. (2001). State-Trait Boredom: Relationship to
Absenteeism, Tenure, and Job Satisfaction. Journal of Business and Psychology, Vol. 16,
No. 2.
Mantler, Janet & Murphy, Stephen. (2005). Job Involvement in Academic Research Repport.
Ottawa: Carleton University.
May, R.C., Steward, W.H., & Legerwood, D.E. (2004). Job Involvement in Russia: The
Validation of An Individualistic Instrument in A Collectivist Culture. (Jurnal Online),
(http://www.sbaer.uca.edu/research/1998/SRIBR/98sri084.txt, diakses 29 Juli (2014).
Omolayo, B.O., & Ajila, C.K. (2012). Leadership Style and Organizational Climate as
Determinan of Job Involvement and Job Satisfaction of Workers in Tertiary Institutions.
Journal of Business and Management Research.
Permarupan, P. Yuktamarani, Al- Mamun, Abdullah, dan Saufi, Roselina Ahmad. (2013). Quality
of Work Life on Employees Job Involvement and Affective Commitment between the
Public and Private Sector in Malaysia. Journal Asian Science; Vol.9, No. 7.
Rahayu, Rizqi Perdani P. (2013). Efektivitas Musik Pengiring Kerja Dalam Mengurangi
Kebosanan dan Kelelahan Kerja. Universitas Pendidikan Indonesia.
Robbins, Stephen P. (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.

20

Rogelberg, Steven G. (2007). Encyclopedia of Industrial and Organizational Psychology. Sage


Publication, Inc.
Seine, Lilian. (2006). Relations of Boredom with Different Dimensions of Personality, Gender
and Culture, and the Power of Cognition. Social Psycghology University of Amsterdam.
Sohail, N., Ahmad, B., Tanveer, Y., & Tariq, H. (2012). Workplace Boredom among University
Faculty Members in Pakistan. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research In
Business Vol. 3 No. 10.
Subawa, I. (2012). Manajemen Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Tilburg, Wijnand A.P.V. (2011). Boredom and its Psychological Consequences: A MeaningRegulation Approach. Ireland: University of Limerick.
Trihendadi, C. (2009). Langkah Mudah Menguasai Statistik Menggunakan SPSS 15 : Deskriptif,
Para Metrik, Non Parametrik. Yogyakarta: Andi.
Uygur, Akyay & Kilic, Gonca. (2009). A Study into Organizational Commitment and Job
Involvement: An Application Towards the Personnel in the Central Organization for
Ministry of Health in Turkey. Ozean Journal of Applied Sciences 2(1).
Vodanovich, S.J. (2003). Psychometric Measures of Boredom: A Review of the Literature. The
Journal of Psychology. 137(6), 569-595.
Walcutt-Vogel, J.J., Fiorella, L., Carper, T., & Schatz, S. (2011). The Definition, Assessment, and
Mitigation of State Boredom Within Educational Settings: A Comprehensive Review.
Educational Psychology Review. Published online, Springer.
Watt, J.D., & Hargis, M.B. (2010). Boredom Proneness: Its Relationship With Subjective
Underemployment, Perceived Organizational Support, and Job Performance. Journal of
Business and Psychology, 25, 163-174.
Watt, J.D, & Vodanovich, S.J. (1999). Boredom Proneness and Psychosocial Development. The
Journal of Psychology, 133, 303-314.
Yuwanto, Listoyo. (2012). Kebosanan dan FlowAkademik. Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya. (Jurnal Online), (http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/13/StresAkademik-Dan-Flow-Pada-Mahasiswa.html, diakses 11 Januari (2015).

Anda mungkin juga menyukai