Anda di halaman 1dari 214

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi bagi organisasi baik Organisasi private maupun

organisasi publik pun saling berlomba memenangkan persaingan dengan berbagai

strategi dan promosi. Saat ini telah banyak penelitian dilakukan tentang OCB di

berbagai negara dengan kontektual individu, grup atau organisasi sebagai

anteseden (Ueda, 2016).

Perkembangan yang terjadi pada organisasi pelayanan publik seperti

halnya rumah sakit tidak hanya menyangkut perubahan dan perbaikan layanan dan

penetapan strategi. Namun juga menyangkut perubahan status, Perubahan status

tersebut tidak lain adalah sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik.

SDM memiliki peran yang sentral dalam semua aktivitas di rumah sakit dan

memiliki andil dalam rangka meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat.

Kontribusi SDM semakin bermakna jika setiap tindakan pelayanan yang

dilakukan tersebut disertai dengan niat yang tulus, ikhlas dan meyakini bahwa

tugas menolong sesama adalah suatu kewajiban dan kebajikan yang harus

dilakukan (Hobtoor, Zumrah, Disomimba, & Samad, 2016).

Kontribusi pekerja/karyawan dalam kegiatan rumah sakit dapat diketahui

dari perilaku SDM itu sendiri dan kontribusi tersebut diukur dengan kinerjanya.

Dampak dari kinerja SDM rumah sakit, terutama perawat adalah dirasakan oleh

pasien yang dilayaninya. Jika pasien merasa senang mendapatkan fasilitas

1
2

kesehatan maka kinerja pelayanan perawat tersebut baik. Topik utama yaitu extra

role (perilaku loyal) yang dilakukan oleh perawat bagi organisasi tempatnya

bekerja. Perilaku ini sering disebut dengan Organizational Citizenship Behavior

(OCB). Faktor OCB ini sangat berpengaruh bagi pegawai di rumah sakit (Wagner

& Rush, 2000). Kinerja perawat yang dibentuk oleh OCB akan meningkatkan

kepuasan pasien dan image terhadap rumah sakit (Swarnalatha, 2016).

Menurut Podsakoff (2000), OCB menpengaruhi efektifitas kerja karyawan

Pertama, OCB dapat meningkatkan produktifitas perawat. Kedua, OCB

meningkatkan kemampuan manajerial. Ketiga, OCB secara efisien untuk tujuan

organisasi Keempat, OCB membuat perekrutan pegawai menjadi efisien. Kelima,

OCB dapat meningkatkan hubungan antar pegawai. Keenam, OCB meningkatkan

loyalitas kerja pegawai dengan mempertahankan pegawai yang kompeten. Yusoff,

2016; Orchard, et al., 2006.

Menurut Organ (1994) menyatakan bahwa attitude terhadap OCB

dipengaruhi oleh personality. Personality dapat menjelaskan keterkaitan antara

job attitude dan OCB. Hasil riset tentang pengukuran personality dan OCB tidak

mendukung teori yang mengatakan bahwa dispositional affectivity sebagai

determinan OCB. Determinan OCB tidak sepenuhnya dimensi the Big Pive,

melainkan suatu konstalasi atau profile personality facets drawin from different

factors of the Big Five.

Beberapa contoh perilaku OCB yang di kemukakan oleh Organ (1994)

antara lain; sikap ramah, dan menghargai rekan kerja. Penelitian oleh Hakim

(2012) memberikan contoh perilaku OCB di perguruan tinggi adalah tingkat


3

kehadiran dan partisipasi dalam rapat, pertemuan-pertemuan atau seminar-

seminar, bersedia membantu rekan sesama dosen dan mahasiswa, memberikan

kuliah tambahan jika dibutuhkan, memberikan bimbingan (skripsi, tesis atau

disertasi) diluar jam kerja atau di luar kampus, serta secara aktif mendukung hasil

dan perkembangan organisasi. Menurut Wagner dan Rush (2000), rumah sakit

tidak hanya mengharapkan perawat yang bekerja sesuai perannya (in-role), tetapi

juga dapat menjadi pegawai yang loyal pada organisasi, OCB ditunjukkan

perawat melalui perilaku keperawatan yang bersedia serta melakukan pekerjaan

dengan ikhlas, seperti harus datang ke rumah sakit untuk menangani pasien gawat

darurat, padahal waktu itu perawat yang bersangkutan telah selesai melaksanakan

tugas-tugasnya. Perilaku yang ditunjukkan perawat tersebut adalah wujud dari

perilaku good citizen (Robbin, 2016).

Perilaku OCB yang kuat dan dimiliki seseorang tentu saja tidak muncul

dengan sendirinya. Ada faktor yang mendorong perilaku tersebut, salah satunya

adalah yakni faktor kepribadian (personality). Beberapa peneliti yang mengaitkan

faktor kepribadian, OCB dan kinerja adalah (Kumar, 2016). Penelitian terdahulu

lainnya yang telah membuktikan pengaruh atau kerpibadian dengan OCB

dilakukan (Purba et al., 2004) menyatakan Faktor kepribadian tidak berpengaruh

pada muncul tidaknya OCB dalam diri individu. Kepribadian perawat memiliki

peran penting pada seorang individu (Organ, 1994). Kepribadian mencakup tiga

jenis dari OCB yaitu kenuranian (conscientousness), kemampuan bersepakat

(agreeableness), terbuka pada pengalaman (openness) berpengaruh positif


4

terhadap OCB individu, sedangkan ekstraversi dan stabilitas emosi berpengaruh

negatif pada OCB individu (Emmerik & Euwema, 2007).

Penelitian OCB pada awalnya dilakukan dalam konteks organisasi bisnis,

khususnya organisasi manufaktur, namun akhir-akhir ini penelitian tentang OCB

telah dilakukan pada konteks di luar organisasi bisnis. Penelitian OCB telah

dilakukan terhadap mahasiswa yang sedang mengikuti pendidikan di perguruan

tinggi (Allison, 2003), para perawat yang bekerja rumah sakit (Wagner & Rush,

2000), para pelanggan organisasi (Castro, et al., 2004), guru sekolah (Feather &

Rauter, 2004) dan para pimpinan militer (Liang, 2007).

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Mihaela (2016) menunjukkan

bahwa persisten motivasi berpengaruh terhadap the Big Five maupun OCB. Hasil

penelitian menemukan adanya pengaruh kuat the conscientiousness terhadap

OCB. Penelitian terdahulu dengan konteks yang sama juga dilakukan terhadap

para dosen di sebuah perguruan tinggi di Kota Bengkulu (Pareke, 2009) yang

melakukan penelitian dengan menggunakan variabel keadilan organisasional,

kepuasan kerja, serta komitmen organisasional dan OCB. Sumbung (2010)

melakukkan penelitian terhadap dosen pada universitas Palangkaraya dan menguji

hubungan variabel kepuasan kerja, komitmen organisasional, kepribadian dan

profesionalisme dosen terhadap OCB dan kinerja dosen serta menggunakan

variabel dukungan organisasi sebagai moderasi antara kepuasan kerja dan OCB.

Penelitian ini memasukkan variabel stres kerja (stress) sebagai moderator

antara personality dan OCB. Stres adalah faktor psikologis tenaga medis atau

individu yang menyerang kejiwaannya. Stres secara langsung akan berdampak


5

pada berkurangnya kemampuan individu dalam melaksanakan pekerjaan,

sehingga dapat menurunkan kinerja (Dale, 2011). Stres dalam pekerjaan terjadi

disebabkan oleh tingkat burnout (kejenuhan kerja) dan tekanan kerja. Stres secara

umum merupakan suatu fenomena kejadin dalam diri individu dimana keinginan

tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya yang terjadi, hal ini mengakibatkan

keadaan menjadi tekanan bagi individu (Newstrom & Davis, 1997). Beberapa

faktor penyebab stress (stressor) menurut Lazarus dan Folkman (dalam Morgan,

2007) adalah kondisi fisik lingkungan dan sosial, sedangkan (Morris, 2010)

mengklasifikasikan stressor ke dalam lima kategori, yaitu: frustasi, konflik,

tekanan, perubahan serta self-imposed. Faktor-faktor penyebab stres tersebut akan

berdampak pada kejenuhan kerja (stres) seseorang (Luthan, 2010). Menurut

National Safety Council/NSC Tahun 2004 stres kerja karena beban kerja sehingga

dapat berdampak pada tingkat kebosanan, konsentrasi, kesakitan dan kualitas hasil

kerja yang buruk. Stres kerja menjadi masalah bagi organisasi karena kinerja akan

menurun dan produktivitas yang rendah (Dale, 2011).

Kinerja Perawat Rumah Sakit Kota Bengkulu diharapkan telah optimal

berdasarkan personality, OCB serta tidak memiliki stress kerja. Kontribusi SDM

semakin bermakna jika setiap tindakan pelayanan yang dilakukan tersebut disertai

niat yang tulus, ikhlas dan meyakini bahwa tugas menolong sesama adalah suatu

kewajiban dan kebajikan yang harus dilakukan

Berdasarkan pengamatan lapangan, ternyata masih terjadi fenomena belum

optimalnya pelaksanaan tugas pelayanan oleh aparatur sipil negara (ASN) di

Rumah Sakit di Kota Bengkulu. Kemungkinan disebabkan beban kerja yang


6

terlalu berat, sehingga menyebabkan kejenuhan kerja (stres) tenaga medis.

Banyaknya beban kerja tenaga medis, mulai dari tugas administrasi sampai

dengan tugas pelayanan kepada masyarakat (pasien) menyebabkan perawat

kurang dapat fokus melaksanakan tugas dan memberikan tekanan kepada tenaga

medis. Demikian juga dengan jumlah tenaga khusus administrasi di Rumah Sakit

yang minim membuat tenaga medis harus melaksanakan “peran ganda” dan

membuat tenaga medis memiliki over-laod kerja. Sehingga penulis

menyimpulkan bahwa kinerja perawat di Rumah Sakit Kota Bengkulu belum

optimal dikarenakan perawat belum memberikan, pelayanan prima yang

disebabkan berbagai faktor seperti kondisi emosi, pemanfaatan waktu yang tidak

efisien, kejenuhan, peran ganda dan beban kerja yang tinggi.

Dapat diambil kesimpulan bahwa research gap pada penelitian ini

bersumber dari penelitian terdahulu yaitu variabel kepribadian memiliki pengaruh

positif terhadap OCB, dan perilaku OCB tersebut berpengaruh positif terhadap

kinerja individu. Perilaku ini merupakan hal yang baik bagi organisasi maupun

bagi individu individu, dimana organisasi dapat meningkatkan produktivitas kerja

anggotanya yang berkontribusi positif pula pada pencapaian tujuan organisasi.

Dimana pada riset ini beban kerja merupakan ancaman bagi perawat yang akan

menyebabkan stress kerja. Sementara OCB akan meningkatkan hubungan antar

individu. Alasan yang mendasari fokus penelitian ini karena perawat berperan

dalam pelaksanaan asuhan keperawatan di rumah sakit karena memiliki interaksi

langsung dengan pasien dan keluarganya, dimana stress kerja yang dapat

menurunkan kinerja tidak dapat diminimalisir. Oleh karena itu, faktor kepribadian
7

perawat akan mendukung tugas-tugas tersebut, sehingga berdampak pada kinerja

individu secara khusus dan kinerja rumah sakit secara keseluruhan, sehingga

diharapkan riset gap ini mendukung kebahuruan penelitian dimana kepribadian

menjadi aspek dalam pengembangan diri perawat dan OCB sebagai mediasi serta

stress sebagai moderasi pengaruh OCB terhadap kinerja.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti ingin melihat

pengaruh personality, terhadap kinerja dengan mediasi OCB dan stress sebagai

moderasi pengaruh OCB terhadap kinerja.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, terungkap bahwa bahwa Personality dan

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan variabel yang mampu

meningkatkan kinerja individu. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti

kembali variabel personality dan Organizational Citizenship Behavior (OCB)

terhadap kinerja, dimana OCB sebagai mediasi dan stres sebagai moderasi pada

perawat Rumah Sakit di Kota Bengkulu dengan menggunakan Structural

Equation Model-Partial Least Square (SEM-PLS) menggunakan alat analsis

Smart-PLS.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1) Bagaimanakah gambaran kepribadian yang dipersepsikan perawat rumah sakit

di Kota Bengkulu?
8

2) Bagaimanakah gambaran OCB yang dipersepsikan perawat rumah sakit di

Kota Bengkulu?

3) Bagaimanakah gambaran stres yang dipersepsikan perawat rumah sakit di

Kota Bengkulu?

4) Bagaimanakah kinerja yang dipersepsikan perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu?

5) Apakah model konseptual yang menghubungkan antara kepribadian, stres,

OCB dan kinerja fit dengan data aktual pada objek penelitian?

6) Apakah OCB berperan sebagai pemediasi dalam kausalitas kepribadian dan

kinerja perawat rumah sakit di Kota Bengkulu?

7) Apakah stres berperan sebagai pemoderasi dalam kausalitas kepribadian dan

OCB? Secara khusus :

a) Apakah kepribadian berpengaruh terhadap kinerja perawat?

b) Apakah kepribadian berpengaruh terhadap OCB perawat?

c) Apakah OCB berpengaruh terhadap kinerja perawat?

d) Apakah stres berpengaruh terhadap OCB?

e) Apakah OCB memiliki peran sebagai pemediasi hubungan personality

dengan kinerja perawat?

f) Apakah stress berperan sebagai pemoderasi hubungan kausalitas

personality dan OCB?


9

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran yang jelas tentang

kepribadian, OCB dan kinerja perawat rumah sakit di Kota Bengkulu serta peran

stress. Penelitian ini melakukan pengujian atas model konseptual yang

menghubungkan kepribadian, stress, OCB dan kinerja individu, dimana budaya

organisasi berperan sebagai pemoderasi, sedangkan OCB berperan sebagai

pemediasi. Secara rinci, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Memperoleh gambaran kepribadian perawat rumah sakit di Kota Bengkulu.

2. Memperoleh gambaran stres perawat rumah sakit di Kota Bengkulu.

3. Memperoleh gambaran OCB perawat rumah sakit di Kota Bengkulu.

4. Memperoleh gambaran kinerja perawat rumah sakit di Kota Bengkulu.

5. Menguji model konseptual yang menghubungkan antara kepribadian, OC,

OCB dan kinerja, dimana stress menjadi pemoderasi dan OCB menjadi

pemediasi. Secara khusus tujuan penelitian adalah:

a) Menguji pengaruh personality terhadap kinerja perawat.

b) Menguji pengaruh personality terhadap OCB perawat

c) Menguji pengaruh OCB terhadap kinerja perawat

d) Menguji peran OCB sebagai pemediasi pengaruh personality terhadap

kinerja perawat.

e) Menguji stres sebagai pemoderasi pengaruh OCB terhadap kinerja.


10

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

pengembangan teori perilaku keorganisasian dan juga terhadap praktisi di bidang

manajemen rumah sakit.

1.4.1 Kontribusi Penelitian

Adapun kontribusi pada penelitian ini adalah:

1) Kontribusi bagi pengembangan konstruk dan indikator variabel lainnya

yaitu Disertasi ini diharapkan untuk mengembangkan ilmu manajemen

perilaku khususnya manajemen sumber daya manusia dan perilaku

organisasi, serta dapat memperluas ilmu kinerja perawat dari indikator

variabel lain seperti upah, bonus ataupun penghargaan atasan.

2) Kontribusi teori kepribadian dapat memberikan dampak yang signifikan

pada kemajuan pelayanan rumah sakit, teori kepribadian akan memberikan

sumbangan pada manajemen sumber daya manusia khususnya dalam

membuat perencanaan untuk mengadakan pelatihan kepribadian bagi

perawat. secara teoritis teori kepribadian bagi perawat untuk meningkatkan

pengembangan diri sebagai sumber daya yang berkualitas dan

memperbaiki perilaku dalam melaksanakan pelayanan dan tugas.

Dalam langkah konkret hal yang dilakukan yaitu memberikan pelatihan

kepribadian kepada perawat dalam bentuk pengembangan kepribadian

dibantu oleh tenaga psikologi.

3) Kontribusi teori stress, teori stress tidak selalu memberikan dampak yang

negatif. Stress ada pula yang dapat juga menimbulkan akibat positif seperti
11

meningkatnya sumber stress (stressor) akan meningkatkan motivasi

perawat. Kontribusi yang dilakukan secara konkret yaitu memberikan

teknik nafas dalam pada perawat agar tidak terjadi stress atau burn out

dalam melaksanakan tugas.

4) Kontribusi Organizational Citizenship Behaviour (OCB) memberikan

dampak perilaku prososial (bekerja secara sosial) yaitu meningkatkan

kehidupan yang berkualitas, misalnya perawat saling mendukung rekan

kerja dalam peningkatan performa dan kinerja. Sehingga dapat

disimpulkan, sebagai seorang perawat harus mengasah kemampuan OCB

yaitu bekerja dengan penuh sukarela dan dengan sadar.

Sebagai langkah peningkatan mutu organisasi dalam hal ini rumah sakit.

Kontribusi konkret yang dilakukan yaitu memberikan masukan pada

Rumah Sakit di kota Bengkulu terutama pada kepala ruangan keperawatan

untuk menerapkan OCB dalam standar operasional prosedur. Perawat

yang bekerja dengan OCB tinggi secara konkret dapat menerapkan kinerja

yang tinggi dalam pelaksanaan tugas.

1.4.2 Keterbatasan Teori

1) Keterbatasan teori kepribadian, teori kepribadian memiliki keterbatasan

karena teori ini bersifat fleksibel, artinya kepribadian individu dapat

berubah seiring dengan pengalaman, pengetahuan dan kemampuan

dirinya. Maka keterbatasan teori ini menyangkut persona (topeng) dalam

melaksanakan kegiatannya, sehingga terjadi bias atau hallo effect.


12

2) Keterbatasan teori stress menyangkut pada dua kutub stress positif dan

negatif, jika keduanya tidak dapat menjadi tolak ukur kinerja perawat

maka sulit pula kinerja akan dicapai. Namun apabila stress negatif yang

banyak pada diri perawat maka itu membuat kinerja semakin memburuk.

Maka dari itu keterbatasan teori ini terletak pada diri perawat itu untuk

mengenal alarm stress yang ada.

3) Keterbatasan teori Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

menyangkut perilaku sosial dalam bekerja, karena dalam manajemen

sumber daya manusia setiap pekerja sesuai dengan kompensasi. Maka dari

itu teori OCB memiliki keterbatasan dalam pemilahan pekerjaan yang

dinilai sukarela (sosial) dan pekerjaan yang membutuhkan kompensasi

baik kompensasi finansial maupun non finansial (penghargaan).

1.4.3 Kegunaan/Kontribusi Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan:

1) Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu manajemen

keperilakuan, khususnya ilmu manajemen sumberdaya manusia dan perilaku

keorganisasian serta dapat memperkaya literatur khususnya menyangkut

kepribadian, stres, OCB dan kinerja individu. Upaya pemecahan masalah yaitu

memberikan penyuluhan mengenai teori keperilakuan.

2) Dapat memberikan informasi yang berguna bagi civitas akademika yang ingin

mengetahui lebih mendalam mengenai pengaruh kepribadian, stres, dan OCB

terhadap kinerja individu. Upaya pemecahan masalah yaitu kinerja yang


13

ditemui dalam penelitian ini dapat ditingkatkan melalui peran OCB secara

menyeluruh.

3) Memperkaya literatur pada pengkajian mengenai kepribadian, stres, OCB dan

kinerja bagi peneliti selanjutnya. Upaya pemecahan masalah dalam penelitian

ini yaitu dengan melanjutkan variabel penelitian dengan teori yang lain.

1.4.4 Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat:

1) Sebagai bahan pertimbangan untuk menumbuhkan kepribadian yang positif,

sehingga mendorong perilaku good citizen, yang pada gilirannya dapat

meningkatkan kinerja perawat rumah sakit, sehingga rumah sakit dapat

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2) Dapat memberikan informasi yang berguna bagi manajemen rumah sakit di

Kota Bengkulu, khususnya dalam memahami kepribadian para perawatnya

dan merancang strategi meningkatkan OCB dan kinerja secara sukarela dan

tidak terpaksa.

1.5 Urgensi Riset Penelitian

Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh

kepribadian, stress, OCB terhadap kinerja perawat di Rumah Sakit Kota

Bengkulu.
14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Hasil kajian terhadap literatur-literatur yang terkait dengan variabel yang

akan diteliti. Dilanjutkan dengan menyajikan kerangka pemikiran berdasarkan

kerangka argumentasi konseptual dari hasil-hasil temuan empiris yang telah ada.

2.1 Landasan Teori

Adapun teori yang disajikan teori sebagai landasan utama dalam penelitian

ini. Teori-teori tersebut terdiri dari teori Big Five Personality (BFP),

Organizational Citizenship Behavior (OCB), Stress, dan Job Performance. Teori-

teori tersebut selanjutnya diuraikan dalam pemaparan berikut ini.

2.1.1 Kinerja (Performance)

Setiap organisasi yang dilakukan oleh kelompok ataupun organisasi pasti

memiliki keinginan untuk dipenuhi sebelumnya. Perlu dibuat perencanaan yang

matang yang dituangkan dalam proses kerja. Tiap program kerja mempunyai

sasaran pencapaian dan akhirnya pencapaian ini digunakan sebagai acuan

keberhasilan seseorang, kelompok ataupun organisasi. Keberhasilan seseorang

kelompok atau organisasi dalam mencapai sasaran dan target yang telah

ditetapkan merupakan kinerja pegawai, kelompok atau organisasi tersebut.

Banyak pendapat mengenai pengertian kinerja (performence) diantara ahli

tersebut memberikan pengertian yang berbeda-beda antara masing-masing para

ahli tersebut, namun secara umum pengertian yang dikemukakan masih

mempunyai persamaan Sulistiyani (2003) kinerja adalah kumpulan keterampilan

14
15

yang dimiliki dan niat yang kuat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kinerja

individu rumah sakit sebagai outcome dari intrinsic dan extrinsic motivations.

Extrinsic adalah motivasi yang disebut sebagai hygiene factors, sedangkan

intrinsic motivation adalah motivator yang sesunguhnya (Hee & Hayati, 2016).

Kinerja adalah fungsi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau

motivation (M) dan kesempatan atau oppotunity (O), yaitu kinerja = f (A x M x

O). Jay Lorsch dan Paul Lourence menyatakan kinerja yaitu fungsi atribut

individu, organisasi, dan lingkungan dengan rumus = f (atribut individu,

organisasi, lingkungan) (Robbins, 2016). Dapat disimpulkan bahwa kinerja

dianggap sebagai suatu sifat atau karakteristik dari individu dalam melaksanakan

tugas atau pekerjaan yang tidak bisa diamati atau diukur secara langsung. Hal itu

dapat diamati dalam keadaan atau situasi yang lain sehingga dapat mendasari

kinerja tersebut. Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh (Simamora, 1995)

yang menyebutkan kinerja sebagai suatu keadaan atau tingkah laku seseorang

yang harus dicapai dengan persyaratan tertentu. Permasalahan kinerja dapat

terjadi karena berbagai faktor seperti pemanfaatan waktu yang efisien, kondisi

emosi, dan kejenuhan (Joseph, 1992). Pemanfaatan waktu dimaksud adalah tidak

terjadinya pemborosan waktu dalam pelaksanaan pekerjaan, sehingga memenuhi

sasaran yang tepat.

Menyatakan ruang lingkup kinerja adalah sebagai berikut (Schuller, 2003):

1. Kuantitas hasil kerja yaitu jumlah output yang dihasilak dari suatu

pekerjaan.

2. Kualitas hasil kerja yaitu mutu hasil kerja yang dilakukan individu.
16

3. Kerjasama yaitu kondisi hubungan kerja antara atasan dan karyawan

yang telah dicapai, dihubungkan dengan harapan.

4. Pemanfaatan waktu kemampuan karyawaan dalam menciptakan kreasi/

inisiatif kerja dalam memanfaatkan waktu kerja.

Selanjutnya potensi karyawan tidak ada gunanya jika tidak pernah

direalisasikan, meskipun demikian organisasi mengkaji beberapa individu

berdasarkan potensi mereka (Simamora, 1995). Dukungan sumber daya manusia

teknis dalam mencapai kompetensi strategis (pencapaian kinerja) perusahaan

meliputi aktivitas human investement untuk meningkatkan keterampilan dan

pengetahuan yang terkait dalam people related business isues (Schuller, 2003).

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Schuller (2003) memberikan pendapat bahwa kinerja adalah kepada

tingkat capaian yang di dapatkan dalam pekerjaan sesuai goals. sedangkan Hersey

and Blanchard (dalam Schuller, 2009) memberi pengertian kinerja sebagai fungsi

Motivation dan Ability.

Robbins (2016) memberi pengertian kinerja = f (A x M x O). Artinya

kinerja merupakan fungsi dari ability, motivation, dan opportunity. Pendapat yang

lain tentang kinerja sebagai berikut: “Performance = Effort x Ability x Role

Perceptions” (Mulyasa, 2005). Kepuasan dan kinerja terdapat hubungan timbal

balik. Di satu sisi kepuasan kerja dikatakan sebagai penyebab kinerja, sehingga

meningkatkan produktifitas kerja. Di sisi lain, kinerja dapat pula sebagai

penyebab kepuasan kerja, di mana jika individu mampu mencapai kinerja tinggi

akan menyebabkan kepuasan (Gibson et al., 2006).


17

Sama halnya dengan pendapat Gibson di atas Davis (2008) menyatakan

bahwa hubungan antara kepuasan dengan kinerja sangatlah rumit. Hal ini karena

tidak selamanya kepuasan kerja akan menimbulkan prestasi yang tinggi, karena

kinerja individu tidak hanya dipengaruhi oleh variabel tunggal kepuasan kerja,

akan tetapi kinerja individu dipengaruhi oleh vaiabel yang sangat variatif.

Campbell (1990) mengajukan model hierarkis dari delapan faktor kinerja.

Di antara delapan faktor ini, lima faktor mengacu dengan tugas yang terdiri atas

(1) kecakapan tugas spesifik pekerjaan, (2) kecakapan tugas spesifik non-

pekerjaan, (3) kecakapan komunikasi lisan dan tulisan, (4) pengawasan pimpinan,

dan (5) manajemen/administrasi.

Masing-masing faktor tersebut di atas terdiri atas subfaktor berbeda yang

penting untuk berbagai pekerjaan. Misalnya, faktor pengawasan seperti (1)

memberikan bimbingan, memberikan arahan, dan memberikan dorongan pada

karyawan dan ada feedback, (2) kemampuan interpersonal yang baik, (3)

menggerakan karyawan untuk menyelesaikan (Borman & Brush, 1993).

Menurut (Gibson, 2006), (Ivancevich, 2006) yang mempengaruhi kinerja

meliputi:

1. Atribut individu

Kemampuan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, mencakup :

a. kependudukan. seperti: usia, gender, sebagainya.

b. kompetensi. seperti: inteligensi, dan lain-lain.

c. Karakteristik psikologi. seperti: kepribadian pegawai.


18

2. Kemauan untuk bekerja

Kinerja yang tinggi dinilai dari kemauan untuk bekerja artinya motivasi

karyawan yang tinggi dalam bekerja.

3. Dukungan organisasi

Karyawan mendapat dukungan berkerja dari organisasi/perusahaan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi kinerja seorang individu meliputi faktor individu,

yaitu semua faktor yang berasal dari diri individu individu tersebut; faktor

psikologis, yaitu kejiwaan berupa faktor kepribadian, motivasi, dan kepuasan

kerja yang dirasakan; dan faktor organisasi, yaitu semua faktor yang berasal dari

organisasi tempat seorang individu bekerja.

2.1.2.1 Personality

Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk

memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait.

Teori trait merupakan sebuah model untuk mengidentifikasi trait-trait dasar yang

diperlukan untuk menggambarkan suatu kepribadian. Trait didefinisikan sebagai

suatu dimensi yang menetap dari karakteristik kepribadian, hal tersebut yang

membedakan individu dengan individu yang lain (Fieldman, 1993). John (1999: 2,

etc.) menyatakan bahwa setelah beberapa dekade penelitian, akhirnya terbentuk

konsensus tentang adanya diminesi-dimensi the big five personality. The big five

mewakili seluruh perbedaan persepsi tentang kepribadian, yaitu: 1) extraversion,

2) agreeablenes, 3) conscientiousness, 4) emotional stability, dan 5) civic virtue

(John, 1996).
19

Rothman dan Coetzer (2003) meneliti dampak dimensi-dimensi (the big

five) kepribadian terhadap kinerja (job performance). Hasil riset mereka

menjelaskan adanya pengaruh signikan emotional stability, extraversion, opennes

to experience, and conscientiousness terhadap kreativitas individu.

The big five personality (kepribadian model lima besar) menunjukkan

adanya lima ciri kepribadian utama pada individu (Luthans & Avolio, 2007).

Menurut McCrae dan Costa (2010) kepribadian manusia terdiri dari lima faktor

dan manusia cenderung memiliki salah satu faktor kepribadian sebagai faktor

yang dominan.

Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah penelitian mendukung bahwa

lima dimensi dasar saling mendasari dan mencakup sebagian besar variasi yang

signifikan dalam kepribadian manusia. Kelima jenis perilaku tersebut adalah:

a. Keluwesan dan Kenyamanan dalam Interaksi (Extraversion).

b. Persetujuan/mudah akur/mudah sepakat (Agreeableness)

c. Sifat berhati-hati (Conscientiousness)

d. Stabilitas emosi (Emotional stability)

e. Terbuka terhadap hal-hal baru (Opennes to experience)

Individu dengan karakteristik tinggi pada masing-masing dimensi the big

five personality adalah individu yang suka hidup berkelompok, aktif, terbuka,

suka berteman, hangat, suka menolong, berhati lembut, teliti, tepat waktu, rapih,

bertanggung jawab, rileks, tidak mudah emosional, kreatif, dan ingin tahu.

Sedangkan individu dengan karakteristik rendah adalah individu yang suka


20

menyendiri, penakut, pendiam, tidak ramah, sinis, pendendam, lalai, lemah,

emosional, depresi, dan konvensional.

Patki, et al. (2016) meneliti dampak kepribadian yang disebut the big five

terhadap OCB. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh kuat dimensi

kepribadian openness dan extravertion terhadap perilaku OCB. Kim (2016) dalam

kontek yang serupa, meneliti hubungan antara user personality traits, social

network site quality, user satisfaction, and intention to continue using the site.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa individual user personality traits yang

disebut user innovation and public individuation, berkorelasi positif dengan

intention to continue to use. User satisfaction mediated the impact of system

quality and information quality on use intention. Meskipun demikian, dampak

kualitas layanan terhadap kepuasan pengguna tidak signifikan. Meskipun

penelitian ini dilakukana terhadap kepuasan pengguna (konsumen) layanan umum

komersial, hasil riset ini mendukung adanya mediasi kepuasan individu terhadap

kualitas layanan dan kualitas informasi dengan intensi. Kepuasan individu

perawat terhadap sistim menjadi pemediasi antara kualitas layanan rumah sakit

dan intensi perawat untuk melaksanakan OCB. Jika dikaitkan dengan perilaku

keperawatan, maka kepuasan perawat terhadap sistim rumah sakit bisa menjadi

pemediasi antara kepribadian perawat dan perilaku OCB. Penelitian lain tentang

dampak kepribadian yang disebut the big-five (Altruistic, Conscientious,

Sportmanship, Courteous, Civic Virtue) dan komitmen organisasi terhadap OCB.

Metode yang digunakan merupakan kombinasi penelitian kuantitatif dan kualitatif

dengan sampel 144 staf Universitas Ratchathani Rajabhat untuk data survai dan
21

11 staf pendukung untuk data in-depth interview. Variabel kepribadian agreeable,

conscientious, emotionally-stable; berpengaruh terhadap OCB. Sementara

variabel komitmen yang berpengaruh signifikan adalah continuance commitment

dan affective commitment. Variabel OCB Altruistic behavior dipengaruhi oleh

kepribadian Agreeable dan Conscientious. Kepribadian conscientious dan

agreeable berpengaruh terhadap perilaku OCB conscientious. Variabel

kepribadian Agrreeable berpengaruh signifikan terhadap perilaku OCB

sportmanship. Kepribadian emotionally-stable berpengaruh signifikan terhadap

variabel OCB courteous. Variabel kepribadian Agreeable, Conscientious, dan

emotionally-stable berpengaruh signifikan terhadap OCB civic virtue.

Ichikawa and Murakami (2016) meneliti karakteristik kekacauan

kepribadian (Personality Disorder) yang ditunjukkan oleh hubungan personal

yang tak berfungsi. Personality Disorder (PD) dalam penelitian ini teruji sebagai

pemediasi antara depresi dan maladaptive attachment styles.

Menurut Luthans (2005) teori perilaku organisasi dan teori manajemen

sumber daya manusia merupakan dua disiplin ilmu yang saling terkait. Perbedaan

keduanya terletak pada orientasi analisisnya saja. Teori perilaku organisasi lebih

menekankan pada aspek teoritis sedangkan MSDM lebih berorientasi praktis atau

terapan. Hampir semua aspek yang dipelajari dalam perilaku organisasi juga

menjadi objek pembahasan dalam bidang MSDM dengan tujuan yang lebih

aplikatif.

Pada penjelasan lebih lanjut, teori perilaku organisasional merujuk pada

persepsi, sikap dan perilaku seseorang di tempat kerja. Para peneliti telah
22

menginvestigasi dan mendokumentasikan hubungan antara sikap dan perilaku

pada berbagai bidang disiplin perilaku organisasional, sebagai contoh Wagner &

Rush (2000) menemukan perilaku good citizen merupakan sikap mental positif

yang ditunjukkan oleh perawat.

Persepsi adalah suatu proses di mana seseorang memilih, mengorganisasi

dan menginterprestasikan informasi. Proses persepsi sangat penting artinya dalam

bidang perilaku organisasional. Greenberg dan Baron (2000) menjelaskan bahwa

persepsi merupakan proses untuk mengkombinasikan, mengintegrasikan dan

menginterpretasikan informasi mengenai pihak-pihak lainnya untuk mendapatkan

pemahaman yang akurat tentang merek.

Sikap (attitude) dan perilaku (behavior) dapat didefinisikan sebagai kluster

perasaan, keyakinan dan kecenderungan perilaku yang relatif stabil. Artinya, jika

sikap terbentuk individu cenderung bertahan, oleh karena itu, merubah sikap

membutuhkan usaha yang cukup berarti (Greenberg & Baron, 2000). Jika

dikaitkan dengan perilaku organisasi berarti sikap yang dinilai adalah sikap

seseorang terhadap pekerjaannya. Sikap kerja merujuk pada perasaan-perasaan,

keyakinan-keyakinan dan kecenderungan perilaku yang sedang dirasakan

seseorang pada berbagai aspek pekerjaannya (Luthans, 2005). Sikap seseorang

terhadap organisasi tempatnya bekerja dirujuk sebagai komitmen organisasional,

yaitu sejauhmana seorang individu mengidentifikasikan diri dan terlibat dengan

organisasinya (Hasani, et al., 2013).

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia

itu sendiri, perilaku juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik
23

dapat diamati secara langsung atau tidak langsung dan hal ini berarti bahwa

perilaku terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi

yakni yang disebut rangsangan, dengan demikian suatu rangsangan tertentu akan

menghasilkan reaksi perilaku tertentu (Notoatmodjo, 2007). Perilaku manusia

sebagaian besar ialah perilaku yang dibentuk dan dapat dipelajari, berkaitan

dengan itu Walgito (2003) menerangkan beberapa cara terbentuknya sebuah

perilaku seseorang adalah kebiasaan, pengertian dan pembentukan perilaku.

Perilaku kerja merupakan bagian yang berperan sangat penting dalam

kehidupan bekerja. Perilaku kerja merupakan tindakan dan sikap yang

ditunjukkan oleh orang-orang yang bekerja. Robbins dan Judge (2016)

menjelaskan bahwa perilaku kerja adalah bagaimana orang-orang dalam

lingkungan kerja dapat mengaktualisasikan dirinya melalui sikap dalam kerja.

Perilaku kerja sangat penting untuk mencapai suatu keberhasilan pada tingkat

pribadi, organisasi maupun sosial.

Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk

memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait.

Teori trait merupakan sebuah model untuk mengidentifikasi trait-trait dasar yang

diperlukan untuk menggambarkan suatu kepribadian. Trait didefinisikan sebagai

suatu dimensi yang menetap dari karakteristik kepribadian, hal tersebut yang

membedakan individu dengan individu yang lain (Fieldman, 1993).

Dimensi the big five dalam kajian tentang kepribadian dalam dunia

pekerjaan telah membawa konsekuensinya terhadap hal-hal yang berhubungan

dengan kinerja, motivasi kerja, sikap pekerja, kepemimpinan, stres pekerjaan,


24

efektivitas tim kerja, perilaku kontraproduktif, kecelakaan kerja, dan konflik

organissi atau negosiasi. Penelitian tentang perilaku organisasi ke depan akan

lebih bermanfaat sebagaimana pendapat dari Fieldman (1993), seperti kutipan

berikut ini.

“by considering other (lowerorder or more finely grained) traits, by


focusing on both the bright and the dark sides of traits, and by a greater
appreciation of a broad, process-based definition of personality”.

Dari pemaparan di atas, disimpulkan bahwa kepribadian (personality)

merupakan aspek penting dalam mendukung perilaku kerja. Jika faktor

kepribadian baik, maka pelaksanaan tugas-tugas yang akan dijalankan oleh

seseorang akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

2.1.2.2 Organizational Citizenship Behavior

Organizartional Citizenship Behavior (OCB) sampai saat ini masih

menjadi topik penelitian yang menarik. Perilaku OCB, terutama pada organisasi

layanan umum, dipandang sangat besar kontribusinya. Sebagaimana dinyatakan

dalam Podsakoff, et al. (2000):

The rapid growth of research on organizational citizenship behaviors (OCBs)


has resulted in some conceptual confusion about the nature of the construct,
and made it difficult for all but the most avid readers to keep up with
developments in this domain. This paper critically examines the literature on
organizational citizenship behavior and other, related constructs. More
specifically, it: (a) explores the conceptual similarities and differences
between the various forms of “citizenship” behavior constructs identified in
the literature; (b) summarizes the empirical findings of both the antecedents
and consequences of OCBs; and (c) identifies several interesting directions
for future research.
25

Pernyataan tersebut menyiratkan adanya keragaman dalam konsep constructs

yang digunakan masing-masing peneliti. Ada persamaan dan juga perbedaan

dalam memahami construct tentang citizenship behavior. Disamping keragaman,

dalam pernyataan tersebut juga dijelaskan variabel anteseden dan dampak perilaku

OCB, termasuk peluang untuk pengembangan teori OCB yang akan datang.

Perilaku OCB seringkali diasumsikan sebagai salah satu pengembangan

teori kepemimpinan (leadership). Leadership merupakan teori utama yang

melingkupi berbagai konsep, model dan pendekatan yang diaplikasikan dalam

dunia kerja. Yukl (1989) melakukan evaluasi dan review terhadap teori-teori

kepemimpinan. Topik yang dipilih antara lain teori kepemimpinan dalam

manajemen. Kepemimpinan merupakan dasar pengembangan teori keprilakukan

dalam organisasi. Menurut Yukl (1989):

“Leadership has been'defined in terms of individual traits, leader


behavior, interaction pattems, role relationships, follower perceptions,
infiuence over followers, infiuence on task goals, and influence on
organizational culture” (Kepemimpinan didefinisikan sebagai sifat
bawaan seseorang, perilaku pemimpin, pola interaksi, hubungan peran,
persepsi pengikut, pengaruh terhadap pengikut, pengaruh terhadap tugas,
dan pengaruh terhadap budaya organisasi).

Setelah melakukan review terhadap lebih dari 3000 riset terhadap

kepemimimpinan, maka Stogdill (1974) menyimpulkan:

"Four decades of research on leadership have produced a bewildering


mass of findings the endless accumulation of empirical data has not
produced an integrated understanding of leadership." (Selama empat
dekade dilakukan riset terhadap kepemimpinan justru belum menghasilkan
pemahaman yang seragam terhadap kepemimpinan).
26

Augier (2004) mencatat bahwa salah seorang yang berkontribusi terhadap

teori perilaku organisasional modern adalah James G. March yang lahir Tahun

1928. March berkontribusi juga pada munculnya teori organisasi dan manajemen

modern. Menurut Luthans (2005) teori perilaku organisasi dan teori manajemen

sumber daya manusia merupakan dua disiplin ilmu yang saling terkait. Perbedaan

keduanya terletak pada orientasi analisisnya saja. Teori perilaku organisasi lebih

menekankan pada aspek teoritis sedangkan MSDM lebih berorientasi praktis atau

terapan. Hampir semua aspek yang dipelajari dalam perilaku organisasi juga

menjadi objek pembahasan dalam bidang MSDM dengan tujuan yang lebih

aplikatif.

Pada penjelasan lebih lanjut, teori perilaku organisasional merujuk pada

persepsi, sikap dan perilaku seseorang di tempat kerja. Para peneliti telah

menginvestigasi dan mendokumentasikan hubungan antara sikap dan perilaku

pada berbagai bidang disiplin perilaku organisasional, sebagai contoh Wagner dan

Rush (2000) perilaku good citizen merupakan sikap mental positif yang

ditunjukkan oleh perawat.

Persepsi adalah suatu proses di mana seseorang memilih, mengorganisasi

dan menginterprestasikan informasi. Proses persepsi sangat penting artinya dalam

bidang perilaku organisasional. Greenberg dan Baron (2000) menjelaskan bahwa

persepsi merupakan proses untuk mengkombinasikan, mengintegrasikan dan

menginterpretasikan informasi mengenai pihak-pihak lainnya untuk mendapatkan

pemahaman yang akurat tentang merek.


27

Sikap (attitude) dan perilaku (behavior) dapat didefinisikan sebagai kluster

perasaan, keyakinan dan kecenderungan perilaku yang relatif stabil. Artinya, jika

sikap terbentuk individu cenderung bertahan, oleh karena itu, merubah sikap

membutuhkan usaha yang cukup berarti (Greenberg & Baron, 2000). Jika

dikaitkan dengan perilaku organisasi berarti sikap yang dinilai adalah sikap

seseorang terhadap pekerjaannya. Sikap kerja merujuk pada perasaan-perasaan,

keyakinan-keyakinan dan kecenderungan perilaku yang sedang dirasakan

seseorang pada berbagai aspek pekerjaannya (Luthans, 2005). Sikap seseorang

terhadap organisasi tempat ia bekerja dirujuk sebagai komitmen organisasional,

yaitu sejauhmana seorang individu mengidentifikasikan diri dan terlihat dengan

organisaisnya (Podsakof, et al., 2009).

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia

itu sendiri, perilaku juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik

dapat diamati secara langsung atau tidak langsung dan hal ini berarti bahwa

perilaku terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi

yakni yang disebut rangsangan, dengan demikian suatu rangsangan tertentu akan

menghasilkan reaksi perilaku tertentu (Notoatmodjo, 2007). Perilaku manusia

sebagaianbesar ialah perilaku yang dibentuk dan dapat dipelajari. Berkaitan

dengan itu Walgito (2003) menerangkan beberapa cara terbentuknya sebuah

perilaku seseorang adalah kebiasaan, pengertian dan pembentukan perilaku.

Perilaku kerja merupakan bagian yang berperan sangat penting dalam

kehidupan bekerja. Perilaku kerja merupakan tindakan dan sikap yang

ditunjukkan oleh orang-orang yang bekerja. Robbins (2008) menjelaskan bahwa


28

perilaku kerja adalah bagaimana orang-orang dalam lingkungan kerja dapat

mengaktualisasikan dirinya melalui sikap dalam kerja. Perilaku kerja sangat

penting untuk mencapai suatu keberhasilan pada tingkat pribadi, organisasi

maupun sosial.

Perilaku prososial menciptakan nilai kehidupan yang lebih bermakna,

dimana individu suka bekerjasama dengan individu lain, saling mengerti diantara

sesama, saling toleransi, dan membentuk perilaku organisasi yang membawa

kemajuan-kemajuan dalam kehidupan masyarakat (Klein, 2016). Perilaku

prososial memberikan kontribusi positif terhadap proses terbentukan OCB dalam

organisasi rumah sakit.

Selain teori perilaku organisasional, basis teori OCB adalah Social

Exchange Theory (SET). SET merupakan sebuah model ekonomi dari perilaku

manusia, di mana hasrat individu untuk memaksimalkan imbalan dan

meminimalkan kerugian yang mendukung interaksi antara mereka dan organisasi.

Menurut Lambert (2000) SET mengidentifikasi kondisi-kondisi di mana

seseorang merasakan adanya kewajiban untuk membalas ketika ia bermanfaat

bagi orang lain, atau tindakan-tindakan entitas lain. Kewajiban ini didefinisikan

secara bebas dan menghasilkan suatu manfaat yang besar bagi hubungan antara

diri individu dengan orang lain.

Teori pertukaran sosial menurut Staley dan Magner (2003) menyatakan

bahwa dalam hubungan pertukaran sosial, sifat mendasar yang menjadi ciri khas

pertukaran tersebut adalah bahwa kewajiban (obligations) masing-masing pihak

tidak diatur secara jelas, termasuk yang dijadikan dasar mengukur kontribusi
29

masing-masing pihak. Konovsky dan Pugh (1994) dalam teori pertukaran sosial

(social exchange theory) berpendapat bahwa ketika individu telah puas terhadap

pekerjaannya, mereka akan membalasnya. Pembalasan dari individu tersebut

termasuk perasaan memiliki (sense of belonging) yang kuat terhadap organisasi

dan perilaku seperti Organizational Citizenship Behaviour (OCB).

Penjelasan mengenai pengaruh keadilan organisasi terhadap OCB, selain

melalui perspektif teori pertukaran sosial, menurut Moorman (2003), juga dapat

ditelusuri melalui perspektif teori identitas sosial (social identity) atau model

relasional kekuasaan. Menurut teori identitas sosial, kesediaan individu

berperilaku mendukung tujuan organisasi atau kelompok adalah karena faktor

identifikasi. Berdasarkan penjelasan teori pertukaran sosial dan teori identitas

sosial, dapat diproposisikan bahwa keadilan organisasi (keadilan distributif,

keadilan prosedural, dan keadilan interaksional) menurut persepsi individu, dapat

berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja, komitmen individu pada organisasi

dan OCB. Keadilan organisasi berkorelasi dengan perilaku extra-role, sehingga

berpotensi untuk dikembangkan menjadi perilaku OCB. Temuan ini terjadi pada

organisasi yang memberikan layanan kepada masyarakat, yaitu lembaga

pendidikan tinggi dan rumah sakit (Barkhordar, et al., 2016).

2.1.2.3 Stress

Terdapat berbagai definisi mengenai stres kerja. Ivancevich dan Mattenson

(2004) mendefisinikan sebagai “interaksi individu dengan lingkungan”, tetapi

kemudian memperinci definisi sebagai “respons adaptif yang dihubungkan oleh

perbedaan individu dan proses psikologis yang merupakan konsekuensi tindakan,


30

situasi atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan

psikologis dan atau fisik secara berlebihan pada seseorang”. Beehr dan Newman

(2002) mendefinisikan stres kerja sebagai “kondisi yang muncul dari interaksi

antara manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia

yang memaksa seseorang untuk menyimpang dari fungsi normal seseorang”.

Masalah Stres kerja di dalam organisasi menjadi gejala yang penting

diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisiensi di dalam pekerjaan

(Robbins, 2015). Stres kerja pada individu perlu dikelola oleh seorang pimpinan

perusahaan agar potensi-potensi yang merugikan perusahaan dapat diatasi. Akibat

adanya stres kerja yaitu seseorang atau individu menjadi nervous, merasakan

kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berifikir dan

kondisi fisik individu (Luthans, 2000). Menurut Schuller (2003), stres adalah

suatu kondisi dinamis dimana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan

dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapat

dipastikan (Robbins, 2015).

Definisi stres kerja yang serupa juga dipaparkan oleh Moorhead dan

Griffin (2013: 175) yang menyatakan bahwa stres sebagai respon adaptif

seseorang terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik

secara berlebihan kepada orang tersebut. Dari ketiga definisi tersebut, stres kerja

didefinisikan sebagai respons adaptif terhadap situasi eksternal yang

menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota

organisasi (individu).
31

Luthans (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam

menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses

psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa

yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Sarafano

(2008) mengartikan stres sebagai kondisi yang disebabkan interaksi antara

individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jara antara tuntutan-tuntutan

yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem psikologis. Selain itu,

Santrock (2003) menyatakan bahwa stres merupakan respon individu terhadap

keadaan atau kejadian yang memicu stres, yang mengancam, dan menganggu

kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap

individu dalam menghadapinya dapat berbeda-beda.

Stres kerja diartikan sebagai kesadaran atau perasaan disfungsional

individu yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak nyaman, tidak diinginkan, atau

dianggap sebagai ancaman di tempat kerja (Rustiarini, 2014). Variabel ini diukur

menggunakan empat dimensi yakni:

a) Ketidakmampuan menghadapi pekerjaan, dengan indikator: Pekerjaan terasa

sulit, pekerjaan menjadi beban, tidak dapat menentukan prioritas

b) Depresi terhadap beban kerja, dengan indikator: Tidak tenang, kurang

bersemangat dan menyendiri.

c) Kesulitan mengendalian emosi, dengan indikator: Tempramen, mudah marah,

tidak ramah.

d) Tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaan, dengan indikator: Kurang fokus,


32

pekerjaan kuran teliti, pekerjaan asal jadi.

Terdapat enam faktor penyebab stres kerja individu dalam suatu

organisasi. Faktor tersebut antara lain beban kerja yang sulit dan berlebihan,

tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan tidak wajar, waktu kerja yang

terbatas dan peralatan yang kurang, konflik antara pribadi dengan pimpinan atau

kelompok kerja, balas jasa yang terlalu rendah dan adanya masalah-masalah

keluarga (Fathoni, 2006 ).

Sumber-sumber stres menurut Davis dan Newstrom (2008) yaitu:

1. Beban kerja yang berlebihan; Banyaknya tugas dapat menjadi sumber stres

bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan fisik maupun

keahlianya.

2. Tekanan atau desakan waktu; Atasan sering kali memberikan tugas sesuai

dengan target waktu yang terbatas.

3. Kualitas supervisi yang jelek; Seorang individu dapat menjalankan tugas

sehari-harinya di bawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan

kepada supervisor. Jika supervisor pandai (cakap) dan menguasai tugas

bawahan, ia akan membimbing dan memberikan pengarahan atau isntruksi

secara baik dan benar.

4. Iklim Politis; Iklim politis yang tidak aman akan mempengaruhi semangat

kerja.

5. Wewenang untuk malaksanakan tanggung jawab; Atasan sering

memberikan tugas kepada bawahanya tanpa diikuti kewenangan yang

memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi,


33

kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.

6. Konflik dan ketidakjelasan peran; Pada situasi seperti ini orang memiliki

harapan yang berbeda akan kegiatan seseorang individu pada suatu

pekerjaan akibat adanya konflik dan ketidakjelasan peran dalam organisasi,

sehingga individu tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan tidak dapat

memenuhi semua harapan.

7. Perbedaan antara nilai perusahaan dan individu; Artinya perbedaan ini

mencabik-cabik individu dengan tekanan mental pada waktu suatu upaya

dilakukan untuk memenuhi nilai kebutuhan perusahaan dan individu.

8. Perubahan tipe; Khususnya jika penting dan tidak lazim. Misalnya perubahan

organisasi, perubahan peraturan atau kebijakan organisasi.

9. Frustasi; suatu akibat dari motivasi yang terhambat dan mencegah seseorang

mencapai tujuan yang diinginkan sehingga berpengaruh terhadap pola kerja.

Stres kerja yang dialami oleh individu dapat menimbulkan dampak positif

dan negatif bagi yang bersangkutan dan bagi organisasi (Sarafano, 2008). Aspek

positif apabila:

1. Kadarnya proporsional. Maksudnya di sini adalah tidak terlalu berat dan tidak

terlalu ringan. Seseorang dapat mengatasi stres dengan mudah dengan upaya

yang tidak terlalu sulit.

2. Adanya penyikapan yang konstruktif (membangun). Penyikapan di sini

adalah bagaimana individu meresponi tekanan-tekanan dari pekerjaan.

Tekanan adalah sesuatu yang menghimpit. Dengan melihat tekanan itu


34

sebagai tantangan, maka secara fungsi bisa dikatakan bahwa stres di situ

bersifat positif bagi perkembangan kinerja individu.

3. Adanya proses transformasi yang di tempuh. Transformasi adalah

kemampuan mengubah energi potensial yang semula negatif menjadi energi

aktual yang positif. More (2000) mengatakan bahwa transformasi adalah

sebuah proses yang dapat meningkatkan personal extropy (kapasitas untuk

berkembang). Sebagai contoh, adanya individu yang gagal sampai

menimbulkan stres. Jika kegagalan itu diterima sebagai kegagalan dan

membiarkan kegagalan itu berlalu begitu saja, biasanya ini akan

menimbulkan berbagai tekanan. Tetapi bila peristiwa buruk itu dijadikan

individu sebagai materi untuk memperbaiki diri, maka hasilnya menjadi

positif meskipun itu tidak langsung terasa dan terjadi. Banyak individu yang

sanggup melakukan transformasi atas penderitaan berat yang dialaminya

menjadi output yang menggembirakan.

Stres terjadi pada hampir semua pekerja, baik tingkat pimpinan maupun

pelaksana. Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik berpotensi untuk

menimbulkan stres bagi pekerjanya. Stres di lingkungan kerja memang tidak

dapat dihindarkan, akan tetapi dapat dikelola, diatasi dan dicegah, sehingga tidak

menganggu pekerjaan (Notoatmodjo, 2003). Stres dapat disebabkan oleh berbagai

faktor, baik di dalam maupun di luar pekerjaan yang merupakan sumber stres di

tempat kerja. Sumber stres disebut juga stressor yang merupakan suatu

rangsangan yang dipersepsikan sebagai suatu ancaman dan menimbulkan

perasaan negatif. Hampir setiap kondisi pekerjaan dapat menyebabkan stres,


35

tergantung reaksi individu bagaimana menghadapinya. Sebagai contoh, seorang

individu akan dapat dengan mudah menerima dan mempelajari prosedur kerja

baru, sedangkan individu lain tidak tahu atau bahkan akan menolaknya.

Menurut Cary Cooper (dalam Rini, 2002) sumber stres  ada lima yaitu sebagai

berikut :

1. Kondisi Pekerjaan.

a) Lingkungan .

b) Overload.

c) Deprivational stress.

d) Pekerjaan beresiko tinggi.

2. Konflik Peran.

Perusahaan yang mempunyai struktur organisasi yang kurang jelas, yaitu seperti

perusahaan yang tidak mempunyai garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi

dan misi yang sering kali tidak dikomunikasikan pada seluruh kita. Konflik peran

juga dihadapkan pada wanita terutama yang sudah menikah, serta ketidakjelasan

pekerjaan yang diberikan perusahaan pada kita.

3. Hubungan Interpersonal.

Hubungan yang tidak baik dapat dilihat dari gejala-gejalanya seperti rendahnya

minat dalam memecahkan masalah yang ada dalam organisasi, dan kepercayaan

yang rendah. Adanya dukungan dari rekan, keluarga, atau pihak manajemen

diyakini dapat menghambat timbulnya stres.

4. Pengembangan Karier.
36

Bayangan akan kesuksesan karir sering kali tidak sesuai dengan yang ada

dikenyataan. Impian dan cita-cita untuk mencapi prestasi dan karir yang baik

sering kali tidak terlaksana dikarenakan adanya ketidakjelasan sistem

pengembangan karir dan penilaian prestasi, budaya nepotisme dalam manajemen

perusahaan, dan tidak adanya kesempatan lagi untuk naik jabatan.

5.  Struktur Organisasi.

Struktur organisasi berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan secara

kaku, kurang adanya kepedulian dari pihak manajemen pada inisiatif kita, tidak

pernah melibatkan kita dalam pengambilan keputusan, dan tidak adanya dukungan

untuk kreativitas kita.

Dampak dari stres

Secara umum stres  memiliki dampak yang merugikan baik bagi individu maupun

orang lain. Tingkatan stres ada bermacam-macam, dan oleh Brealey (2002) dibagi

dalam empat tingkatan yaitu sebagai berikut :

1. Stres yang terlalu rendah : kurangnya tantangan akan menimbulkan

kebosanan, produktifitas rendah dan kurangnya prestasi pribadi. Hal ini

akhirnya akan berkontribusi pada kepercayaan diri yang rendah, dan

kurangnya tujuan hidup.

2. Stres yang optimal : jumlah stres yang tepat dalam hidup akan

memampukan seseorang untuk memanfaatkan peluang, bangkit untuk

menghadapi tantangan, dan memperluas batasan seseorang. Seseorang

akan memutuskan untuk menghadapi berbagai masalah dalam langkah-


37

langkahnya dan memperoleh kepuasan dari sebuah pekerjaan atau dari

pekerjaan yang telah diselesaikan dengan baik.

3. Terlalu banyak stres : selain kelelahan mental dan fisik, individu akan

mendorong dirinya sendiri untuk terus be, tapi dengan mengurangi

imbalannya. Dengan mendorong diri sendiri secara terus-menerus sampai

melewati batas, akan membuatnya terus menambah kecepatan dan

akhirnya menyadari bahwa tidak dapat berhenti dan rileks.

4. Kelelahan  : tanda-tanda peringatan yang menyatakan bahwa kita berada

dibawah stres yang berlebihan, apabila kita tidak mengindahkannya, maka

kita sangat berpeluang untuk jatuh sakit, baik secara mental maupun fisik.

Yang terbaik adalah kinerja yang berubah-ubah.

Dampak Terhadap Individu.

Dampak stres  bagi individu adalah munculnya masalah – masalah yang

berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi interpersonal.

1) Kesehatan.

Sistem kekebalan tubuh manusia be sama secara integral dengan sistem fisiologis

lain, dan kesemuanya berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh, baik fisik

maupun psikis yang cara nya diatur oleh otak. Seluruh sistem dilakukan, jarang

berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, marah,

dan mudah emosi. Tingginya sensitivitas emosi berpotensi menyulut pertikaian

dan menghambat sama antara individu satu dengan yang lain.tersebut sangat

mungkin dipengaruhi oleh faktor psikososial seperti stres dan


38

immunocompetence. Jadi tidak heran jika orang yang mudah stres, mudah

terserang penyakit.

2) Psikologis.

Stres yang berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekhawatiran yang

terus menerus. Menurut istilah psikologi, stres berkepanjangan ini disebut stres

kronis. Menurut Miller (Rini, 2002) akar dari stres kronis adalah dari pengalaman

traumatis di masa lalu yang terinternalisasi, tersimpan terus dalam alam bawah

sadar.

3) Interaksi interpersonal.

Orang yang sedang stres akan lebih sensitif dibandingkan orang yang tidak dalam

kondisi stres. Oleh karena itulah, sering terjadi salah persepsi dalam membaca dan

mengarahkan suatu keadaan, pendapat atau penelitian, kritik, nasehat, bahkan

perilaku orang lain. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi,

kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya orang tersebut lebih banyak

menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa

2.2 Penelitian Terdahulu

Kumar dan Bakhshi (2009) melakukan penelitian pada 187 dokter yang

bekerja pada rumah sakit di India utara, penelitian ini menemukan bahwa terdapat

hubungan empat faktor dari “big five” yang berpengaruh terhadap OCB.

Menggunakan regresi teindikasi bahwa Conscientiousness, Extraversion,

Agreebleness dan Neuroticism berpengaruh signifikan terhadap OCB sementara

Openess to experience tidak berpengaruh signifikan terhadap OCB.


39

Penelitian Elanain (2007), menguji pengaruh dari Big Five kepribadian

terhadap OCB setelah di kendalikan oleh variabel kontrol seperti work locus of

control (WLOC), self-esteem, organizational justice dan stress at work. Secara

umum temuan penelitan ini adalah Five Factor Model merupakan prediktor pada

OCB individu di Arab. Individu yang memiliki conscientiousness, terbuka pada

pengalaman atau agreeableness yang tinggi akan memiliki kinerja menolong

interpersonal yang tinggi. Conscientiousness merupakan prediktor yang paling

kuat berpengaruh terhadap interpersonal helping. Kemudian terbuka pada

pengalaman merupakan prediktor yang kuat terhadap inisiatif individu dan

ekstraversi serta stabilitas emosi tidak berpengaruh terhadap inisiatif individu.

Emmerik dan Euwena (2007) melakukan penelitian dengan menguji

hubungan antara kepribadian terhadap tiga tipe kepribadian dari OCB, serta

menguji pengaruh efektifitas pimpinan kelompok sebagai moderasi. Penelitian ini

menggunakan 286 guru sebagai responden. Penelitian ini menemukan bahwa

extraversi guru yang lebih terbuka pada pengalaman akan terlibat pada OCB dari

pada guru yang intraversi dan guru yang kurang terbuka pada pengalaman. Guru

yang memperoleh skor tiggi pada conscientiousness dicirikan pada guru yang

lebih berhati-hati dan bertanggung jawab. King et al.. (2005), menguji hubungan

kepribadian dengan perilaku menolong di tempat kerja. Menggunakan sampel

sebanyak 374 wanita yang tergabung dalam asosiasi kontruksi. Penelitian ini

menemukan bahwa conscientiousness yang kuat akan berpengaruh positif untuk

menolong antar individu, ketika kemampuan bersepakat tinggi, conscientiousness

yang kuat akan berpengaruh positif untuk menolong antar pribadi. Ketika
40

ekstraversi tinggi, conscientiousness yang kuat akan berpengaruh positif untuk

menolong antar pribadi, ketika stabilitas emosi tinggi dan hubungan antara

conscientiousness dengan perilaku menolong tidak didukung oleh keterbukaan

pada pengalaman.

Emmerik dan Euwena (2007), melakukan penelitian 286 guru pada

sekolah menengah sebagai responden untuk menguji hubungan antara kepribadian

terhadap tiga tipe dari Organization Citizenship Behavior (OCB), serta menguji

pengaruh dari efektifitas pemimpin kelompok sebagai moderasi terhadap

kepribadian dan OCB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraversi guru yang

lebih terbuka pada pengalaman akan lebih terlibat pada OCB di sekolah mereka,

dari pada introversi dan guru yang kurang terbuka pada pengalaman mereka. Guru

yang memperoleh skor yang lebih tinggi pada conscientiousness akan

menunjukkan OCB terhadap siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa

conscientiousness dicirikan pada guru yang lebih berhati-hati dan bertanggung

jawab. Guru dengan kepribadian introvert dan neurotic menjadi lebih terlibat

dalam OCB daripada extrovert dan stabilitas emosi guru, bila mereka menghargai

efektifitas pemimpin tim mereka.

Penelitian Zeithaml (1996) terhadap kehidupan orang-orang kreatif

menunjukkan bahwa individu yang kreatif mempunyai kepribadian yang lebih

kompleks dibanding orang lain. Kepribadian tersebut mengarah kepemikiran yang

berbeda dan pada akhirnya memunculkan ide-ide baru dan berguna serta

mengindikasikan adanya pengaruh terhadap kinerja kreatif individu.


41

Barrack dan Mount (1991) melakukan penelitian pada lima profesi yang

berbeda, yaitu: professional, polisi, manajer, sales dan tenaga teknis tentang

pengaruh big five personality terhadap kinerja. Penelitian ini menggunakan

dimensi big five personality (Extraversion, Emotional Stability, Agreebleness,

Conscientiousness dan Openness to Experience) dengan kinerja. Dimensi

conscientiousness mempunyai hubungan dengan kelima profesi, sementara

extraversion dan openness to experience berhubungan dengan dua profesi yaitu

manager dan sales selanjutnya aggrebleness dan emotional stability hanya

berhubungan dengan polisi dan tenaga teknis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan big five personality dengan kinerja.

Penelitian terhadap 143 ekspatriat dari Amerika yang bekerja pada

perusahaan teknologi informasi, analisis dilakukan dengan regresi menghasilkan

bahwa extraversion, agreeableness dan emotional stability mempunyai hubungan

yang negatif, sementara conscientiousness dan openness to experience

mempunyai hubungan yang positif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada

hubungan antara kepribadian dengan kinerja ekspatriat Amerika (Caligiuri, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Barrick dan Mount (2006) terhadap lima

jenis jabatan yang berbeda (professional, polisi, manajer, sales dan pekerja

terampil) menemukan bahwa terdapat pengaruh big five personality terhadap

kinerja. Dimensi pengukuran kepribadian conscientiousness memperlihatkan

hubungn yang signifikan terhadap kelima jenis pekerjaan, extraversion dan

openness to experience hanya berlaku pada dua jenis pekerjaan yaitu manajer dan

sales. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Humphreys dan William
42

(1984), Hurtz dan Donovan (2000) menemukan bahwa terdapat hubungan yang

kuat antara 5 tipe kepribadian dengan kinerja individu dan kelompok.

Nikolaou (2003) menyatakan bahwa dimensi kepribadian berpengaruh

signifikan terhadap prestasi seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan Lau dan

Shaffer (1999) menyimpulkan bahwa dimensi kepribadian menentukan

kesuksesan seseorang dalam mengelola karirnya. Secara umum, hasil penelitian

tersebut menunjukan bahwa kepribadian dengan beberapa dimensinya

menentukan keberhasilan seseorang dalam kesuksesan karir, kinerja yang baik,

pencapaian prestasi dan perilaku yang positif. Karakter kepribadian yang positif

seperti suka bekerja sama, inovatif, terbuka, teratur, gigih dalam bekerja, dan

emosi yang stabil akan menentukan kesuksesan seseorang baik dalam bekerja

maupun belajar.

Penelitian yang dilakukan McCrae dan Costa (1997) dan Williams dan

Anderson (1991), menemukan bahwa individu yang terbuka secara aktif mencari

pengalaman baru dan berbagai pengalaman lainnya, cenderung menjadi reflektif

dan bijaksana tentang ide-ide baru yang ditemui. Reflektif dan bijaksana yang

dimaksud disini adalah individu bisa menerima dan mempertimbangkan segala

ide yang muncul darimana saja. Kepribadian tersebut muncul karena individu

mempunyai banyak pengalaman yang didapat dari keterbukaannya terhadap hal-

hal yang baru yang akan berpengaruh terhadap kreativitas individu yang dapat

meningkatkan kinerja.

Penelitian George dan Bettenhausen (1990) menemukan adanya hubungan

yang erat antara OCB dengan kinerja kelompok. Adanya perilaku yang altruistik
43

yang memungkinkan sebuah kelompok bekerja secara kompak dan efektif untuk

saling menutupi kelemahan masing-masing. Podsakoff, et al.. (1997) menemukan

ada hubungan antara OCB dengan kinerja kelompok. Keterkaitan ini terutama

terjadi pada OCB dengan tingginya hasil kelompok secara kuantitas, sementara

kualitas hasil kerja tidak ditemukan hubungannya.

Yoon dan Suh (2003) menemukan bahwa OCB berpengaruh pada kualitas

layanan. Penelitian lain dilakukan oleh Bogler dan Somech (2005) pada 983 orang

guru SMP dan SMA di Israel menunjukkan bahwa, OCB yang dimiliki para guru

sangat berpengaruh pada partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan

sehingga mempunyai dampak yang signifikan terhadap keberhasilan sekolah

dalam mencapai tujuannya.

Dyne, et al.. (1994), Turnley dan Bloodgood (2002), bahkan sudah

mengembangkan kerangka hubungan antara OCB, modal sosial, dan kinerja

organisasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dimensi OCB meliputi loyalitas,

kepatuhan, partisipasi fungsional, partisipasi sosial dan partisipasi advokasi,

berinteraksi dengan modal sosial yang dimiliki organisasi yaitu dimensi struktural,

dimensi relasional, dan dimensi kognitif mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap peningkatan kinerja organisasi.

Soepono dan Srimulyani (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa

OCB merupakan perilaku positif di tempat kerja yang mendukung kinerja

individu dan keefektifan organisasi. Sebagai perilaku diluar peran yang harus

dimainkan, sesungguhnya OCB tidak dapat dipisahkan dari perilaku kerja yang

dituntut dalam pekerjaannya atau yang sesuai dengan peran yang dimainkannya.
44

Soepono dan Srimulyani (2015) menambahkan, bahwa organisasi bisa

mengaplikasikan hal tersebut dalam penilaian kinerja individu mengingat perilaku

diluar peran juga menjadi standar yang harus dipenuhi individu untuk menilai

kinerja individu. Selain itu, organisasi dapat mendorong agar individu berlaku

positif, misalnya membantu individu lain dan saling mendukung dalam tim.

Fenomena tersebut terjadi karena adanya individu yang dengan suka rela

membantu teman lain, tetapi ada juga pribadi yang harus didorong terlebih dulu

oleh organisasi. Aplikasi dalam proses penseleksian individu, organisasi

seharusnya memilih individu yang mempunyai kepribadian positif, yaitu fit antara

kepribadian dan tupoksi (job description). Lebih penting dari semua itu,

organisasi dapat membentuk lingkungan yang kondusif yang dapat mendorong

OCB dalam berbagai kegiatan. Lingkungan yang kondusif terbentuk juga dari

adanya budaya keorganisasian (Organizational Culture).

Stres dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara (Notoatmodjo,

2003). Pertama, stres secara langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh dan

kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga

menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada

(Sarafano, 2008).

Kondisi dari stres memiliki dua aspek: fisik (melibatkan materi atau

tantangan yang menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana

individu memandang situasi dalam hidup perawat) (Sarafano, 2008). Ada

beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres, di

antaranya adalah sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak,
45

gangguan pencernaan, hilang nafsu makan, gangguan kulit, dan produksi keringat

yang berlebihan di seluruh tubuh (Sarafano, 2008).

Pada umumnya, ada tiga gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang

sedang mengalami stres. Ketiga gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala

emosi, dan gejala tingkah laku (Sarafano, 2008):

1) Gejala kognisi. Gangguan daya ingat (menurunnya daya ingat, mudah lupa

dengan suatu hal), perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga

seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal, merupakan gejala-gejala

yang muncul pada aspek gejala kognisi.

2) Gejala emosi. Mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala

sesuatu, merasa sedih dan depresi merupakan gejala-gejala yang muncul pada

aspek gejala emosi.

3) Gejala tingkah laku. Tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang

mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah menyalahkan

orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena

dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada

lingkungan, dan suka melakukan penundaan pekerjaan.

Kejenuhan kerja menjadi suatu masalah bagi organisasi apabila

mengakibatkan kinerja menurun, selain kinerja yang menurun produktivitas juga

menurun (Dale, 2011). Keadaan jenuh seringkali pikiran kita menjadi terasa

penuh dan mulai kehilangan rasional, hal ini dapat menyebabkan kewalahan

dengan pekerjaan dan akhirnya menyebabkan keletihan mental dan emosional,

kemudian mulai kehilangan minat terhadap pekerjaan dan motivasi menurun, pada
46

akhirnya kualitas kerja dan kualitas hidup ikut menurun (National Safety Council,

2004).

Leiter dan Maslach (2007) menyebutkan ada tiga dimensi dari stres, yaitu:

a. Exhaustion. Exhaustion merupakan dimensi stresyang ditandai dengan

kelelahan yang berkepanjangan baik secara fisik, mental, maupun emosional.

Ketika pekerja merasakan kelelahan (exhaustion), mereka cenderung

berperilaku overextended baik secara emosional maupun fisikal. Mereka tidak

mampu menyelesaikan masalah mereka. Tetap merasa lelah meski sudah

istirahat yang cukup, kurang energi dalam melakukan aktivitas.

b. Cynicism/Depersonalization merupakan dimensi stresyang ditandai dengan

sikap sinis, cenderung menarik diri dari dalam lingkungan kerja. Ketika

pekerja merasakan cynicism (sinis), mereka cenderung dingin, menjaga jarak,

cenderung tidak ingin terlibat dengan lingkungan kerjanya. Cynism juga

merupakan cara untuk terhindar dari rasa kecewa. Perilaku negatif seperti ini

dapat memberikan dampak yang serius pada efektivitas kerja.

c. Ineffectiveness. Ineffectiveness merupakan dimensi stresyang ditandai dengan

perasaan tidak berdaya, merasa semua tugas yang diberikan berat. Ketika

pekerja merasa tidak efektif, mereka cenderung mengembangkan rasa tidak

mampu. Setiap pekerjaan terasa sulit dan tidak bisa dikerjakan, rasa percaya

diri berkurang. Pekerja menjadi tidak percaya dengan dirinya sendiri dan

orang lain tidak percaya dengannya.

Leiter dan Maslach (2007) mengungkapkan bahwa stress biasanya terjadi

karena adanya ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan pekerja. Ketika adanya


47

perbedaan yang sangat besar antara individu yang bekerja dengan pekerjaannya

akan mempengaruhi performasi kerja. Leiter dan Maslach (2007) membagi

beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya stress, yaitu:

1. Work overload

Work overload kemungkinan terjadi akibat ketidaksesuaian antara

pekerja dengan pekerjaannya. Pekerja terlalu banyak melakukan pekerjaan

dengan waktu yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan yang dikerjaan

melebihi kapasitas kemampuan manusia yang memiliki keterbatasan.

2. Lack of Work Control

Semua orang memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan dalam

membuat pilihan, keputusan, menggunakan kemampuannya untuk berfikir dan

menyelesaikan masalah, dan meraih prestasi.

3. Rewarded for work

Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja membuat pekerja merasa

tidak bernilai. Apresiasi bukan hanya dilihat dari pemberian bonus (uang),

tetapi hubungan yang terjalin baik antar pekerja, pekerja dengan atasan turut

memberikan dampak pada pekerja.

4. Breakdown in Community

Pekerja yang kurang memiliki rasa belongingness terhadap lingkungan

kerjanya (komunitas) akan menyebabkan kurangnya rasa keterikatan positif di

tempat kerja. Hubungan yang baik seperti sharing, bercanda bersama perlu

untuk dilakukan dalam menjalin ikatan yang kuat dengan rekan kerja.

Hubungan yang tidak baik membuat suasana di lingkungan kerja tidak


48

nyaman, full of anger, frustasi, cemas, merasa tidak dihargai. Hal ini membuat

dukungan sosial menjadi tidak baik, kurang rasa saling membantu antar rekan

kerja.

5. Treated Farily

Perasaan tidak diperlakukan tidak adil juga merupakan faktor

terjadinya stres. Adil berarti saling menghargai dan menerima perbedaan.

Adanya rasa saling menghargai akan menimbulkan rasa keterikatan dengan

komunitas (lingkungan kerja). Pekerja merasa tidak percaya dengan

lingkungan kerjanya ketika tidak ada keadilan. Rasa ketidakadilan biasa

dirasakan pada saat masa promosi kerja, atau ketika pekerja disalahkan ketika

mereka tidak melakukan kesalahan

6. Dealin with Conflict Values

Pekerjaan dapat membuat pekerja melakukan sesuatu yang tidak sesuai

dengan nilai mereka. Misalnya seorang sales terkadang harus berbohong agar

produk yang ditawarkan bisa terjual. Namun hal ini dapat menyebabkan

seseorang menurunkan performa, kualitas kerjanya karena tidak sesuai dengan

nilai yang dimiliki. Seseorang akan melakukan yang terbaik ketika melakukan

apa yang sesuai dengan nilai, belief, menjaga integritas dan self respect.

2.3 Kerangka Konseptual

Berdasarkan pembahasan konsep dan studi empiris yang telah dilakukan

oleh sejumlah peneliti, maka kerangka konseptual pada penelitian dijelaskan

secara gambar berikut ini:


49

OCB

Stress

PERSONALITY PERFORMANCE
(THE BIG
FIVE)
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual.

Gambar di atas menunjukkan variabel laten Personality (The Big Five)

berpengaruh terhadap kinerja (Performance) dimediasi oleh variabel laten OCB.

Variabel laten stress memoderasi pengaruh variabel laten Organizational

Citizenship Behavior (OCB) terhadap variabel laten Kinerja.

2.4 Pengembangan Hipotesis

Hipotesis penelitian merupakan suatu dugaan awal/kesimpulan sementara

dari hubungan pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen

sebelum dilakukan penelitian dan harus dibuktikan melalui penelitian (Sekaran,

2006). Ada dua jenis hipotesis yang biasanya digunakan dalam penelitian, yakni

Hipotesis nol (null hypotheses) disingkat Ho dan Hipotesis alternatif (alternative

hypotheses) disingkat Ha. Ho menunjukkan tidak ada pengaruh atau hubungan,

sedangkan Ha menunjukkan ada pengaruh atau ada hubungan.


50

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh di antara

ketiga yang diteliti, maka hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah

hipotesis alternatif, yakni:

Ha1 : Kepribadian berpengaruh terhadap kinerja perawat

Penelitian Zeithaml (1996) terhadap kehidupan orang-orang kreatif

menunjukkan bahwa individu yang kreatif mempunyai kepribadian yang lebih

kompleks dibanding orang lain. Kepribadian tersebut mengarah kepemikiran yang

berbeda dan pada akhirnya memunculkan ide-ide baru dan berguna serta

mengindikasikan adanya pengaruh terhadap kinerja kreatif individu.

Barrack dan Mount (1991) melakukan penelitian pada lima profesi yang

berbeda, yaitu: professional, polisi, manajer, sales dan tenaga teknis tentang

pengaruh big five personality terhadap kinerja. Penelitian ini menggunakan

dimensi big five personality (Extraversion, Emotional Stability, Agreebleness,

Conscientiousness dan Openness to Experience) dengan kinerja. Dimensi

conscientiousness mempunyai hubungan dengan kelima profesi, sementara

extraversion dan openness to experience berhubungan dengan dua profesi yaitu

manager dan sales selanjutnya aggrebleness dan emotional stability hanya

berhubungan dengan polisi dan tenaga teknis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan big five personality dengan kinerja.

Penelitian terhadap 143 ekspatriat dari Amerika yang bekerja pada

perusahaan teknologi informasi, analisis dilakukan dengan regresi menghasilkan

bahwa extraversion, agreeableness dan emotional stability mempunyai hubungan

yang negatif, sementara conscientiousness dan openness to experience


51

mempunyai hubungan yang positif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada

hubungan antara kepribadian dengan kinerja ekspatriat Amerika (Caligiuri, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Barrick dan Mount (2006) terhadap lima

jenis jabatan yang berbeda (professional, polisi, manajer, sales dan pekerja

terampil) menemukan bahwa terdapat pengaruh big five personality terhadap

kinerja. Dimensi pengukuran kepribadian conscientiousness memperlihatkan

hubungn yang signifikan terhadap kelima jenis pekerjaan, extraversion dan

openness to experience hanya berlaku pada dua jenis pekerjaan yaitu manajer dan

sales. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Humphreys & William

(1984), Hurtz dan Donovan (2000) menemukan bahwa terdapat hubungan yang

kuat antara 5 tipe kepribadian dengan kinerja individu dan kelompok.

Ha2 : Personality berpengaruh terhadap OCB perawat

Kumar dan Bakhshi (2009) melakukan penelitian pada 187 dokter yang

bekerja pada rumah sakit di India utara, penelitian ini menemukan bahwa terdapat

hubungan empat faktor dari “big five” yang berpengaruh terhadap OCB.

Menggunakan regresi teindikasi bahwa Conscientiousness, Extraversion,

Agreebleness dan Neuroticism berpengaruh signifikan terhadap OCB sementara

Openess to experience tidak berpengaruh signifikan terhadap OCB.

Penelitian Elanain (2007), menguji pengaruh dari Big Five kepribadian

terhadap OCB setelah di kendalikan oleh variabel kontrol seperti work locus of

control (WLOC), self-esteem, organizational justice dan stress at work. Secara

umum temuan penelitan ini adalah Five Factor Model merupakan prediktor pada

OCB individu di Arab. Individu yang memiliki conscientiousness, terbuka pada


52

pengalaman atau agreeableness yang tinggi akan memiliki kinerja menolong

interpersonal yang tinggi. Conscientiousness merupakan prediktor yang paling

kuat berpengaruh terhadap interpersonal helping. Kemudian terbuka pada

pengalaman merupakan prediktor yang kuat terhadap inisiatif individu dan

ekstraversi serta stabilitas emosi tidak berpengaruh terhadap inisiatif individu.

Emmerik dan Euwena (2007) melakukan penelitian dengan menguji

hubungan antara kepribadian terhadap tiga tipe kepribadian dari OCB, serta

menguji pengaruh efektifitas pimpinan kelompok sebagai moderasi. Penelitian ini

menggunakan 286 guru sebagai responden. Penelitian ini menemukan bahwa

extraversi guru yang lebih terbuka pada pengalaman akan terlibat pada OCB dari

pada guru yang intraversi dan guru yang kurang terbuka pada pengalaman. Guru

yang memperoleh skor tiggi pada conscientiousness dicirikan pada guru yang

lebih berhati-hati dan bertanggung jawab. Guru dengan kepribadian introvert dan

neurotic menjadi lebih terlibat dalam OCB dari pada extrovert dan stabilitas

emosi.

Ha3 : OCB berpengaruh terhadap kinerja perawat

Penelitian George dan Bettenhausen (1990) menemukan adanya hubungan

yang erat antara OCB dengan kinerja kelompok. Adanya perilaku yang altruistik

yang memungkinkan sebuah kelompok bekerja secara kompak dan efektif untuk

saling menutupi kelemahan masing-masing. Podsakoff, et al.. (1997) menemukan

ada hubungan antara OCB dengan kinerja kelompok. Keterkaitan ini terutama

terjadi pada OCB dengan tingginya hasil kelompok secara kuantitas, sementara

kualitas hasil kerja tidak ditemukan hubungannya.


53

Yoon dan Suh (2003) menemukan bahwa OCB berpengaruh pada kualitas

layanan. Penelitian lain dilakukan oleh Bogler dan Somech (2005) pada 983 orang

guru SMP dan SMA di Israel menunjukkan bahwa, OCB yang dimiliki para guru

sangat berpengaruh pada partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan

sehingga mempunyai dampak yang signifikan terhadap keberhasilan sekolah

dalam mencapai tujuannya.

Dyne, et al.. (1994), Turnley dan Bloodgood (2002), bahkan sudah

mengembangkan kerangka hubungan antara OCB, modal sosial, dan kinerja

organisasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dimensi OCB meliputi loyalitas,

kepatuhan, partisipasi fungsional, partisipasi sosial dan partisipasi advokasi,

berinteraksi dengan modal sosial yang dimiliki organisasi yaitu dimensi struktural,

dimensi relasional, dan dimensi kognitif mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap peningkatan kinerja organisasi.

Ha4 : Stress memiliki peran moderating pada hubungan kepribadian

dengan kinerja perawat

Stress dapat memperburuk kualitas kerja individu, bahkan dapat

menyebabkan berhenti dari pekerjaan, turnover, absen dan produktivitas kerja

rendah, termasuk juga ancaman stress tak hanya berakibat negatif kepada

individu, seperti depresi, perasaan gagal, kelelahan dan hilangnya motivasi, tapi

juga berakibat negatif pada organisasi, seperti tingkat absensi, turnover, dan

produktivitas kerja rendah (Xanthopoulou et al., 2007). Terkait ini, Tsigilis, et al..

(2004) meyakini kinerja memiliki korelasi negatif dengan stress. Jadi, mereduksi

stressecara langsung berpengaruh bagi optimalisasi kinerja.


54

Berdasarkan penelitian Mohammadbagher Gorji tahun 2011 tentang Status

stres kerja dengan Kinerja (Job Performance) Pada Individu Bank menunjukkan

bahwa 30,75% individu rata-rata mengalami kejenuhan kerja, menekankan bahwa

stres kerja ini dirasakan oleh individu yang sudah bekerja antara 3 – 5 tahun, dan

lebih dominan terjadi pada jenis kelamin laki – laki. Sedangkan hasil Penelitian

menunjukkan adanya kejenuhan tinggi pada individu yang berakibat pada kinerja

individu, ini berarti kinerja individu menurun karena stres kerja meningkat.
55

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Menurut Creswell (2010), desain penelitian merupakan rencana dan

prosedur penelitian yang meliputi asumsi-asumsi luas hingga metode-metode rinci

dalam pengumpulan dan analisis data. Beberapa jenis desain penelitian yang dapat

digunakan adalah penjajakan, deskriptif, dan kausal (Cooper & Shincdler, 2006).

Secara ekstrem, jenis penelitian diklasifikan menjadi penelitian kuantitatif

dan kualitatif, sehingga apabila terjadi pencampuran (mixed method), maka yang

dimaksud adalah teknik pengumpulan data. Penelitian kuantitatif menggunakan

analisis statistik inferensial, sedangkan penelitian kualitatif terbatas pada

penggunaan analisis statistik nonparametrik (Bhattacherjee, 2012: 10, 48).

Dijelaskan bahwa suatu penelitian bisa dikatakan ilmiah (science) apabila

terpenuhi dua kriteria, yaitu: 1) memberikan kontribusi terhadap ilmu

pengetahuan, dan 2) dirancang dan dilaksanakan sesuai metode ilmiah.

Secara metodologis, penelitian dapat dibedakan menjadi: penelitian

survey, expostfacto, eksperimen, naturalistic, policy research, evaluation

research, action research, sejarah, dan research and development (Sugiyono,

2013: 5). Penelitian ini mengunakan metode penelitian survey. Menurut

Zikmund (2010) metode penelitian survey adalah suatu bentuk teknik penelitian

dimana informasi dikumpulkan dari sejumlah sampel berupa orang, melalui

pertanyaan-pertanyaan. Survey kuesioner dalam penelitian ini ditujukan untuk

55
56

memperoleh informasi yang dibutuhkan tentang kepribadian, OC, OCB dan

kinerja perawat.

Penelitian ini menggunakan pola eksplanasi (explanatory), merupakan

penelitian yang bermaksud menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti

serta hubungan antara satu variabel dengan variabel lain (Sugiyono, 2004).

3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah secara operasional mendefinisikan sebuah

konsep untuk membuatnya bisa diukur, dilakukan dengan melihat pada dimensi

perilaku, aspek, atau sifat yang ditunjukkan oleh konsep (Sekaran, 2006). Hal

tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam elemen yang dapat diamati dan diukur

sehingga menghasilkan suatu indeks pengukuran konsep. Sedangkan variabel

adalah apa pun yang dapat membedakan atau membawa variasi pada nilai

(Sekaran, 2006).

Empat jenis variabel digunakan dalam penelitian, yakni variabel

dependent, variabel independent, variabel mediasi dan varabel moderasi. Variabel

dependen adalah variabel yang dipengaruhi, sedangkan variabel independent

adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependent. Variabel mediasi adalah

variabel yang menjadi penghubung antara variabel independen dan variabel

dependen, dan variabel moderasi adalah variabel yang menguatkan atau

melemahkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Keempat

variabel tersebut selanjutnya diuraikan berikut ini:


57

3.2.1. Variabel Independen

Personality didefinisikan sebagai pola perilaku individu yang terdiri dari

pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten. Instrumen ukur yang digunakan

adalah teori kepribadian lima indikator dari Costa dan McCrae (1992) sebagai

berikut: 1) Extraversion; 2) Emotional Stable; 3) Conscientiousness; 4) Openness;

5) Agreeableness. Extraversion adalah kepribadian yang suka bersosialisasi, suka

menonjolkan diri, energik, dan pandai berkata-kata. Emotional Stable adalah

kepribadian yang bisa mengendalikan diri, terencana dalam menjalankan tugas,

suka bekerja keras, dan bertanggungjawab. Openness adalah kepribadian yang

suka terhadap hal-hal baru, kreatif, dan pandai berimajinasi. Agreeableness

adalah kepribadian yang suka berempati kepada orang lain, simpatik, suka

menolong sesama individu.

Tabel 3.1
Variabel, Dimensi dan Indikator Variabel Independen
Variabel Dimensi Indikator
Kepriadian Extraversion - Saya bisa meramaikan suasana dalam
(X1) pekerjaan
(Costa & - Saya siap membantu rekan kerja jika
McCrae, diperlukan
1992) - Saya biasa bercengkrama denga rekan kerja
- Saya dianggap energik oleh rekan kerja
Emotional - Setiap pekerjaan yang direncanakan dengan
Stable teliti biasanya berhasil menghindari
kesalahan
- Dalam kondisi tekanan kerja, kartawan bisa
mengendalikan diri
- Bekerja keras untuk meraih target pekerjaan
dilakukan oleh setiap individu
- Seluruh individu selalu bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan pekerjaan
Concientiousnes - Seluruh individu melaksanakan tugas sesuai
s dengan kmpetensi yang dimiliki
- Seluruh individu melaksanakan tugas dengan
penuh kehati-hatian
58

Variabel Dimensi Indikator


- Seluruh individu melaksanakan tugas secara
teratur, rapih dan tidak kusut
- Seluruh individu melaksanakan tugas denga
penuh kesadaran dan kerelaan
Openess - Setiap individu tertarik pada hal-ha yang
lebih kreatif dalam melaksanakan pekerjaan
- Setiap individu siap menerima ide-ide baru
dalam melaksanakan pekerjaan
- Setiap individu selalu berusaha
meningkatkan nilai tambah terhadap
pekerjaan
- Setiap individu selalu bergairah menerima
ide-ide baru dalam pelaksanaan pekerjaan
Agreeableness - Setiap individu selalu memaafkan kesalahan
rekan kerja
- Setiap individu siap membantu siapapun
yang membutuhkan dalam pekerjaan
- Setiap individu selalu menunjukkan rasa
empati kepada orang lain
- Setiap individu lebih mendahuluhan
kepentingan orang lain

3.2.2 Variabel Moderasi

Variabel moderasi adalah variabel yang berperan menguatkan atau

melemahkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali,

2014). Pada penitian ini, variabel moderasia dalah stress kerja. Stres kerja

diartikan sebagai kesadaran atau perasaan disfungsional individu yang disebabkan

oleh hal-hal yang tidak nyaman, tidak diinginkan, atau dianggap sebagai ancaman

di tempat kerja (Montgomery et al.. 1996). Variabel ini diukur menggunakan

dimensi: Ketidakmampuan menghadapi pekerjaan, tidak dapat berkonsentrasi

dalam pekerjaan, kesulitan mengendalian emosi dan depresi terhadap beban kerja.
59

Tabel 3.2
Variabel, Dimensi dan Indikator Variabel Stres Kerja
Variabel Dimensi Indikator
Stres Kerja (Z) Ketidakmampuan - Pekerjaan yang saya lakukan terasa sulit
(Montgomery Menghadapi diselesaikan
et al.. 1996) Pekerjaan - Pekerjaan ini saya anggap beban yang
sangat berat
- Tekanan kerja membuat saya tidak dapat
menentkan prioritas pekerjaan
Depresu terhadap - Stres kerja membuat saya tidak tenang
Beban Kerja dalam melaksanakan pekerjaan saya
- Setres kerja yang saya alami membuat
saya kurang bersemangat
- Tekanan kerja yang terjadi membuat saya
senang menyendiri
Kesulitan - Kondisi emosi saya sangat label
Mengendalian (temperamen) saat saya mengalami
Emosi tekanan kerja
- Setiap ucapan rekan kerja saya tanggapi
dengan perasaan marah
- Tekanan pekerjaan yang saya alami
membuat saya tidak ramah dan sulit
bergaul
Tidak Konsentasi - Stres kerja menyebabkan sata tidak fokus
dalam melaksanakan pekerjaan
- Saya merasa bahwa pekerjaan yang saya
hasilkan menalami banyak kesalahan
- Tekanan pekerjaan yang saya alami
membuat pekerjaan yang saya lakukan
asal jadi

3.2.3 Variabel Mediasi

Variabel mediasi adalah variabel yang menghubungan secara tidak

langsung pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali,

2014). Pada penelitian ini, variabel mediasi yang digunakan adalah

Organizational Citizenship Behvior (OCB). OCB didefinisikan sebagai suatu

perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit

dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. Terdapat
60

lima indikator dari OCB yang dikembangkan oleh Organ (1994) dan Allison

(2003): Altruism adalah perilaku suka membantu kolega baru dan sukarela

menyediakan waktu untuk orang lain. Conscientiousness adalah perilaku efisien

dalam penggunaan waktu bekerja melampaui yang diharapkan. Sportsmanship

adalah perilaku yang tidak suka komplain dan menggerutu. Courtesy adalah

perilaku yang suka memberi tahu sebelumnya, suka mengingatkan, dan

berkomunikasi dengan cara yang tepat. Civic Virtue adalah perilaku yang suka

melayani orang banyak dan sukarela menjalankan tupoksinya.

Tabel 3.3
Variabel, Dimensi dan Indikator Variabel OCB
Variabel Dimensi Indikator
Organizational Altruism - Saya biasa membuat pernyataan konstruktif
Citizenship tentang organisasi dan kelompok kerja
Behavior - Saya biasa membantu rekan kerja dalam satu
(OCB)/M tim jika ada yang mengalami kesulitan dalam
((Organ, pelaksanaan tugas
1994) dan - Saya sudah menyampaikan ide-ide kreatif
Allison, tentang cara memuaskan pasien dan
2003)) keluarganya
- Kadang-kadang saya mengambil alih tugas
rekan sesama perawat yang sedang
berhalangan
Concientiousnes - Saya seringkali mengerjakan pekerjaan
s keperawatan jauh melebih batas yang
diharuskan organisasi
- Bagi saya melaksanakan tugas dengan sepenuh
kemampuan yang dimiliki adalah kewajiban
- Terkadang saya mengajukan diri untuk
pekerjaan ekstra dalam situasi yang mendesak
- Saya tidak merasa keberatan menyelesaikan
pekerjaan melebihi kewajiban sebagai perawat
Sportmanship - Saya bisa menerima kritikan sesama rekan
kerja demi keutuhan tim
- Saya menghindari konflik dengan rekan kerja
maupun dengan keluarga pasien
- Saya menyatakan penghargaan terhadap hasil
kerja rekan saya
- Bagi saya, jika tidak puas terhadap manajemen
61

Variabel Dimensi Indikator


rumah sakit, ccukup dipendan dan berusaha
sabar
Courtesy - Sebagai individu rumah sakit, maka saya
senantiasai menunjukkan sikap hormat kepada
pasien dan keluarganya.
- Dalam melaksanakan tugas, saya bersikap span
dan satun pada pengunjung rumah sakit
- Dalam melaksanakan tugas, saya bersikap
sopan dan santun dalam berkomunikasi
- Dalam menyampaikan pikiran saya, setiap
menjaga omongan supaya tidak menyingung
perasan orang lain
Civic Virtue - Saya ikut bertanggungjawab terhadap
peningkatan kinerja individu rumah sakit
- Sata ikut memberikan saran dan kritikan yang
bersifat membangun
- Saya ikut mendinginkan suasana dalam
kondisi beredar isu-isu negatif yang sifatnya
gossip
- Bagi saya, misi rumah sakit adalah
tanggungjawab bersama untuk
menyelesaikannya

3.2.4 Variabel Dependen

Kinerja didefinisikan sebagai hasil yang dicapai oleh perawat rumah sakit

dalam melakukan tugas-tugas sebagai seorang perawat rumah sakit. Pengukuran

kinerja perawat digunakan pengukuran kinerja dengan pendapat Schuller (1996),

yakni kuantias pekerjaan, kualitas pekerjaan, kerjasama dan pemanfaatan waktu.

Tabel 3.4
Variabel, Dimensi dan Indikator Variabel Kinerja
Variabel Dimensi Indikator
Kinerja (Y) Kuantitas - Capaian volume kerja saya sudah sesuai
(Schuller, pekerjaan dengan standar rencana kinerja rumah sakit
1996) - Saya berhasil mencapai target volume kerja
individu yang direncanakan
- Capaian volume kerja saya sudah sesuai
dengan standar waktu yang saya perkirakan
- Capaian volume kerja saya sudah sesuai
dengan standar waktu yang ditetapkan rumah
62

Variabel Dimensi Indikator


sakit
Kualitas - Capaian volume kerja yang saya selesaikan
pekerjaan telah sesuai dengan standar mutu yang
ditetapkan rumah sakit
- Capaian volume kerja saya sudah sesuai
dengan kompetensi perawat
- Saya berhasil mencapai target pekerjaan dalam
waktu yang sudah direncanakan
- Dalam memenuhi target volume kerja, saya
laksanakan dengan penuh ketelitian
Kerjasama - Dalam melaksanakan pekerjaan, saya biasa
bekerjasama dalam satu tim yang ditentukan
rumah sakit
- Pada saat anggota tim ada yang mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan, saya
memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan
pelayanan rumah sakit
- Pada kondisi sedang mengalami permasalahan,
saya selalu mengikuti diskusi pemecahan
masalah bersama
- Di antara sesama anggota tim kerja, saya sudah
sering memberikan masukan untuk
kesempurnaan pekerjaan tim
Pemanfaatan - Pada saat waktu luang, saya selalu membaca
waktu buku, majalah, artikel yang berisi pengetahuan
baru tentang kompetensi perawat rumah sakit
- Di sela-sela kesibukan kerja, saya basa
mencatat hal-hal yang belum terselesaikan
untuk diselesaikan pada waktu berikutnya
- Dalam kesibukan kerja, saya biasa
memperhatikan hal-hal yang terjadi di luar
rencana untuk meningkatkan kinerja berikutnya
- Saya juga menggunakan waktu istirahat dengan
sebaik-baiknya untuk menjaga kebugaran fisik
dan pikiran

3.3 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer bersumber langsung dari responden melalui

instrument kuesioner dan wawancara yang berkaitan dengan: a) Personality, b)


63

Stress, c) Organizational Citizenship Behavior dan c) Kinerja. Penggunaan

kuesioner ditujukan untuk memenuhi keperluan guna memperoleh data deskriptif

dan data untuk menguji hipotesis dan model.

3.4 Populasi dan Sampel

Populasi adalah sebagai suatu wilayah generalisasi yang mempunyai

karakteristik tertentu dan mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih

menjadi anggota sampel. Sedangkan sampel adalah bagian terkecil dari suatu

populasi (Husein, 2009: 107). Populasi pada penelitian ini adalah perawat rumah

sakit di Kota Bengkulu yang tersebar di 6 rumah sakit di Kota Bengkulu. Jumlah

keseluruhan perawat di 6 rumah sakit tersebut adalah sebanyak 998 orang.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat rumah sakit pada rumah

sakit di Kota Bengkulu Sampel adalah elemen populasi yang merupakan subyek

pengukuran dari unit penelitian yang memberikan kesimpulan tentang seluruh

populasi (Cooper & Schindler, 2001).. Jumlah populasi dan sampel ditetapkan

sebagaimana Tabel 3.5 berikut.

Tabel 3.5
Populasi dan Sampel Penelitian

Jumlah Jumlah
No Nama Rumah Sakit Populasi Sampel
(Orang) (Orang)
1 RSUD Dr. M. Yunus 300 90
2 RS Bhayangkara 200 60
3 RS Rafflesia 95 29
4 RS DKT 95 29
5 RS Tiara Sella 150 45
6 RS UMMI 158 47
Jumlah 998 300
64

Penentuan sampel dilakukan dengan metode Cluster Random Sampling

(Sakaran, 2006). Menurut Hair, et al. (2010) jumlah sampel yang

direkomendasikan untuk analisis Structural Equation Model berkisar antara 100

sampai 200 atau lebih tetapi sebaiknya tidak melebihi 400 sebab model akan

menjadi sangat sensitif. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan

metode cluster random sampling, sebesar 30% pada tiap-tiap cluster. Jadi, jumlah

sampel yang diambil adalah sebanyak 300 orang. Pertimbangan lainnya dalam

pengambilan sampel didasarkan pada pendapat Hair, et al. (2010), di mana jumlah

sampel dapat ditetapkan sebanyak 300 responden sesuai dengan ketentuan bahwa

tidak melebihi 400, tetapi di atas 200.

3.5 Skala Pengukuran

Pengukuran terhadap variabel-variabel penelitian tersebut menggunakan

skala Likert dengan kriteria, sebagai berikut :

1. Sangat Setuju (SS) = Skor 5

2. Setuju (S) = Skor 4

3. Cukup Setuju (CS) = Skor 3

4. Tidak Setuju (TS) = Skor 2

5. Sangat Tidak Setuju = Skor 1

5 1
Hasil ukur dihitung mengunakan N-1 = dengan hasil ukur sebagai berikut:
5

1. Sangat Rendah = 1.00 – 1.80

2. Rendah = 1.81 – 2.60

3. Cukup/Sedang = 2.61 – 3.40


65

4. Tinggi = 3.41 – 4.20

5. Sangat Tinggi = 4.21 – 5.00

3.6 Metode Analisis dan Pengujian Hipotesis

Data hasil penelitian akan dianalisis melalui alat uji statistik dengan

menggunakan software smartPLS 2 M3. Penggunaan alat analisis ini karena

hipotesis penelitian adalah hipotesis parsial, namun analisis datanya dilakukan

sekaligus. Hal ini didasarkan pada pendapat Hair, et al... (2016), Partial Least

Square (PLS) merupakan metode analisis yang powerfull oleh karena tidak

didasarkan pada banyak asumsi (pra-syarat) seperti SEM model covariance

(AMOS, Lisrel). Ghozali (2012) menambahkan bahwa metode PLS memiliki

beberapa keunggulan, yaitu:

1) Data tidak harus berdistribusi normal multivariate (indikator dengan skala

kategori, ordinal, interval sampai rasio dapat digunakan pada model yang

sama).

2) Ukuran sampel tidak harus besar.

3) PLS dapat digunakan pada berbagai hubungan variabel dengan dasar teori

yang lemah sampai kuat.

Merujuk pada pendapat Hair, et al... (2016), Partial Least Square (PLS)

merupakan metode analisis yang powerfull oleh karena tidak didasarkan pada

banyak asumsi. Selain itu, pada metode penelitian ini dapat melakukan analisis

secara memadai dan secara bersamaan, sehingga tepat dengan tujuan yang

diharapkan.
66

3.6.1 Pengujian Validitas Konstruk Variabel Penelitian (Outer Model)

Outer Model (Model Pengukuran) digunakan untuk mengetahui validitas

dan reliabilitas yang menghubungkan indikator dengan konstruk atau variabel

latennya.

3.6.1.1 Hasil Pengujian Validitas Instrumen

Uji validitas dilakukan untuk menunjukkan seberapa nyata suatu pengujian

mengukur apa yang seharusnya diukur (Cooper & Schindler, 2012; Abdillah dan

Jogiyanto, 2015). Validitas yang digunakan pada model ini adalah validitas

konstruk. Validitas konstruk menunjukkan seberapa baik hasil yang diperoleh dari

penggunaan suatu pengukuran sesuai teori-teori yang digunakan untuk

mendefinisikan suatu konstruk (Sekaran, 2006). Korelasi yang kuat antara

konstruk dan item-item pertanyaannya dan hubungan yang lemah dengan variabel

lainnya merupakan salah satu cara untuk menguji validitas konstruk (contruct

validity).

Ada dua bentuk validitas konstruk yaitu validitas konvergen dan validitas

diskriminan. Validitas konvergen (convergent validity) akan terpenuhi jika skor

yang diperoleh dengan dua instrumen berbeda yang mengukur konsep yang sama

menunjukkan korelasi tinggi, sedangkan validitas diskriminan (discriminant

validity) akan terpenuhi apabila berdasarkan teori, dua variabel diprediksi tidak

berkorelasi dan skor yang diperoleh dengan mengukurnya benar-benar secara

empiris membuktikan hal tersebut (Ghozali, 2014). Pada penelitian, pengujian

validitas konstruk meliputi pengujian convergent validity dan discriminant

validity.
67

1) Hasil Pengujian Validitas Konvergen

Validitas konvergen adalah tingkat dimana skor pada satu skala

berkorelasi dengan nilai pada skala lain yang dirancang untuk menilai konstruk

yang sama (Cooper & Schindler, 2012). Validitas konvergen dari model

pengukuran dengan refleksif indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item

score/component score yang dihitung dengan PLS. Factor loading

menggambarkan besarnya korelasi antar setiap item pengukuran (indikator)

dengan konstruknya. Ukuran refleksif individual dikatakan tinggi jika berkorelasi

lebih dari 0,50 dengan konstruk yang ingin diukur (Chin, 1998).
68

Gambar 3.1
Pengujian Validitas Konvergen Parameter Konstruk Tahap 1
69

Pada Gambar 3.1 diketahui bahwa masih terdapat indikator yang tidak

valid, karena memiliki nilai factor loading < 0,60 (Chin, 1998). Nilai pengujian

validitas konvergen parameter konstruk, dirangkum pada Tabel 3.6 berikut ini.

Tabel 3.6
Pengujian Validitas Kovergen Parameter Konstruk Tahap 1
No Parameter Konstruk Nilai Loading Factor Keterangan
1 Big Five Personality
1) BIG_1 0,650 Valid
2) BIG_2 0,547 Tidak Valid
3) BIG_3 0,596 Tidak Valid
4) BIG_4 0,688 Valid
5) BIG_5 0,561 Tidak Valid
6) BIG_6 0,692 Valid
7) BIG_7 0,443 Tidak valid
8) BIG_8 0,632 Valid
9) BIG_9 0,716 Valid
10) BIG_10 0,666 Valid
11) BIG_11 0,588 Tidak Valid
12) BIG_12 0,634 Valid
13) BIG_13 0,594 Tidak Valid
14) BIG_14 0,436 Tidak valid
15) BIG_15 0,136 Tidak valid
16) BIG_16 -0,019 Tidak valid
17) BIG_17 0,168 Tidak valid
18) BIG_18 0,282 Tidak valid
19) BIG_19 0,185 Tidak valid
20) BIG_20 0,025 Tidak valid
2 Kinerja
1) KIN_1 0,897 Valid
2) KIN_2 0,641 Valid
3) KIN_3 0,406 Tidak valid
4) KIN_4 0,661 Valid
5) KIN_5 0,873 Valid
6) KIN_6 0,627 Valid
7) KIN_7 0,753 Valid
8) KIN_8 0,761 Valid
9) KIN_9 0,579 Tidak Valid
10) KIN_10 0,780 Valid
11) KIN_11 0,878 Valid
12) KIN_12 0,431 Tidak valid
13) KIN_13 0,542 TIdak Valid
14) KIN_14 0,820 Valid
15) KIN_15 0,374 Tidak valid
70

No Parameter Konstruk Nilai Loading Factor Keterangan


16) KIN_16 0,798 Valid
3 Organizational Behavior
(OCB) -0,079 Tidak valid
1) OCB_1 0,456 Tidak valid
2) OCB_2 0,650 Valid
3) OCB_3 0,627 Valid
4) OCB_4 0,740 Valid
5) OCB_5 0,510 Tidak Valid
6) OCB_6 0,476 Tidak valid
7) OCB_7 0,737 Valid
8) OCB_8 0,643 Valid
9) OCB_9 0,685 Valid
10) OCB_10 0,608 Valid
11) OCB_11 0,688 Valid
12) OCB_12 0,592 Tidak Valid
13) OCB_13 0,769 Valid
14) OCB_14 0,400 Tidak valid
15) OCB_15 0,643 Valid
16) OCB_16 0,455 Tidak valid
17) OCB_17 0,727 Valid
18) OCB_18 0,617 Valid
19) OCB_19 0,769 Valid
20) OCB_20
4 Stress
1) ST_1 0,637 Valid
2) ST_2 0,598 Tidak Valid
3) ST_3 0,710 Valid
4) ST_4 0,474 Tidak valid
5) ST_5 0,668 Valid
6) ST_6 0,707 Valid
7) ST_7 0,689 Valid
8) ST_8 0,609 Valid
9) ST_9 0,662 Valid
10) ST_10 0,619 Valid
11) ST_11 0,431 Tidak valid
12) ST_12 0,160 Tidak valid
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Gambar 3.1 dan Tabel 3.6 menunjukkan bahwa pada pengujian validitas

kovergen pada konstruk variabel tahap pertama, diketahui bahwa ada indikator

yang tidak valid karena tidak memenuhi syarat convergent validity (memiliki
71

loading factor < 0,60). Indikator yang tidak valid tersebut dikeluarkan dari

analisis. Selanjutnya analisis dilakukan ulanh (di-run ulang).


72

Gambar 3.2
Pengujian Validitas Konvergen Parameter Konstruk Tahap 2
73

Nilai pengujian validitas konvergen parameter konstruk, dirangkum pada

Tabel 3.7 berikut ini.

Tabel 3.7
Pengujian Validitas Kovergen Parameter Konstruk Tahap 2
No Parameter Konstruk Nilai Loading Factor Keterangan
1 Big Five Personality
1) BIG_1 0,743 Valid
2) BIG_4 0,628 Valid
3) BIG_6 0,603 Valid
4) BIG_8 0,771 Valid
5) BIG_9 0,734 Valid
6) BIG_10 0,637 Valid
7) BIG_12 0,804 Valid
2 Kinerja
1) KIN_1 0,921 Valid
2) KIN_2 0,657 Valid
3) KIN_4 0,663 Valid
4) KIN_5 0,913 Valid
5) KIN_6 0,600 Valid
6) KIN_7 0,768 Valid
7) KIN_8 0,793 Valid
8) KIN_10 0,824 Valid
9) KIN_11 0,885 Valid
10) KIN_14 0,825 Valid
11) KIN_16 0,778 Valid
3 Organizational Behavior
(OCB) 0,555 Tidak Valid
1) OCB_3 0,554 Tidak Valid
2) OCB_4 0,702 Valid
3) OCB_5 0,800 Valid
4) OCB_8 0,618 Valid
5) OCB_9 0,701 Valid
6) OCB_10 0,644 Valid
7) OCB_11 0,759 Valid
8) OCB_12 0,842 Valid
9) OCB_14 0,724 Valid
10) OCB_16 0,815 Valid
11) OCB_18 0,608 Valid
12) OCB_19 0,842 Valid
13) OCB_20
4 Stress
1) ST_1 0,678 Valid
2) ST_3 0,737 Valid
3) ST_5 0,661 Valid
74

No Parameter Konstruk Nilai Loading Factor Keterangan


4) ST_6 0,765 Valid
5) ST_7 0,681 Valid
6) ST_8 0,588 Tidak Valid
7) ST_9 0,650 Valid
8) ST_10 0,583 Tidak Valid
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Dari hasil pengujian tahap 2, diketahui bahwa ada indikator yang tidak

valid karena tidak memenuhi syarat convergent validity (memiliki loading factor

< 0,60). Indikator yang tidak valid tersebut dikeluarkan dari analisis. Selanjutnya

analisis dilakukan ulanh (di-run ulang).


75

Gambar 3.3

Pengujian Validitas Konvergen Parameter Konstruk Tahap 3


76

Nilai pengujian validitas konvergen parameter konstruk, dirangkum pada

Tabel 3.8 berikut ini.

Tabel 3.8
Pengujian Validitas Kovergen Parameter Konstruk Tahap 3
No Parameter Konstruk Nilai Loading Factor Keterangan
1 Big Five Personality
1) BIG_1 0,748 Valid
2) BIG_4 0,776 Valid
3) BIG_6 0,733 Valid
4) BIG_8 0,635 Valid
5) BIG_9 0,806 Valid
6) BIG_10 0,623 Valid
7) BIG_12 0,597 Tidak Valid
2 Kinerja
1) KIN_1 0,921 Valid
2) KIN_2 0,657 Valid
3) KIN_4 0,663 Valid
4) KIN_5 0,913 Valid
5) KIN_6 0,600 Valid
6) KIN_7 0,768 Valid
7) KIN_8 0,793 Valid
8) KIN_10 0,824 Valid
9) KIN_11 0,885 Valid
10) KIN_14 0,825 Valid
11) KIN_16 0,778 Valid
3 Organizational Behavior
(OCB) 0,627 Valid
1) OCB_5 0,824 Valid
2) OCB_8 0,572 Tidak Valid
3) OCB_9 0,718 Valid
4) OCB_10 0,671 Valid
5) OCB_11 0,797 Valid
6) OCB_12 0,886 Valid
7) OCB_14 0,752 Valid
8) OCB_16 0,859 Valid
9) OCB_18 0,615 Valid
10) OCB_19 0,886 Valid
11) OCB_20
4 Stress
1) ST_1 0,727 Valid
2) ST_3 0,764 Valid
3) ST_5 0,675 Valid
4) ST_6 0,808 Valid
5) ST_7 0,654 Valid
77

No Parameter Konstruk Nilai Loading Factor Keterangan


6) ST_9 0,609 Valid
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Dari hasil pengujian tahap 3, diketahui bahwa ada indikator yang tidak

valid karena tidak memenuhi syarat convergent validity (memiliki loading factor

< 0,60). Indikator yang tidak valid tersebut dikeluarkan dari analisis. Selanjutnya

analisis dilakukan ulanh (di-run ulang) hingga mendapatkan seluruh nilai loading

factor pada tiap-tiap indikator di atas 0,60.


78

Gambar 3.4
Pengujian Validitas Konvergen Parameter Konstruk Tahap Akhir
79

Pada tahap ke-7 diperolah nilai loading factor seluruh parameter konstruk

memiliki nilai di atas 0,60. Pada tahap ke-7 ini pengujian validitas konstruk

dihentikan (tahap akhir). Artinya, seluruh parameter yang tersisa dipertahankan

untuk dilakukan analisis selanjutnya. Hasil pengujian validitas konstruk tahap

akhir sebagamana terlihat pada Gambar 4. Nilai pengujian validitas konvergen

parameter konstruk, dirangkum pada Tabel 3.9 berikut ini.

Tabel 3.9
Pengujian Validitas Kovergen Parameter Konstruk Tahap Akhir
No Parameter Konstruk Nilai Loading Factor Keterangan
1 Big Five Personality
1) BIG_1 0,809 Valid
2) BIG_4 0,835 Valid
3) BIG_6 0,748 Valid
4) BIG_8 0,642 Valid
5) BIG_9 0,817 Valid
2 Kinerja
1) KIN_1 0,929 Valid
2) KIN_2 0,658 Valid
3) KIN_4 0,661 Valid
4) KIN_5 0,906 Valid
5) KIN_7 0,775 Valid
6) KIN_8 0,803 Valid
7) KIN_10 0,825 Valid
8) KIN_11 0,882 Valid
9) KIN_14 0,834 Valid
10) KIN_16 0,785 Valid
3 Organizational Behavior
(OCB) 0,715 Valid
1) OCB_10 0,700 Valid
2) OCB_11 0,830 Valid
3) OCB_12 0,940 Valid
4) OCB_14 0,803 Valid
5) OCB_16 0,912 Valid
6) OCB_18 0,940 Valid
7) OCB_20
4 Stress
7) ST_1 0,753 Valid
8) ST_3 0,788 Valid
9) ST_5 0,679 Valid
10) ST_6 0,829 Valid
80

No Parameter Konstruk Nilai Loading Factor Keterangan


11) ST_7 0,614 Valid
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Dari hasil pengujian tahap ke-7 (terakhir) diketahui bahwa seluruh

indikator valid karena memenuhi syarat convergent validity (memiliki loading

factor > 0,60).

Dari seluruh tahapan pengujian validitas konvergen yang dilakukan,

parameter (indikator) yang tersisa dari proses validasi telah memenuhi kriteria

kelayakan, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh indikator tersebut memenuhi

kriteria validitas kovergen dan pengujian dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya.

2) Validitas Diskriminan

Validitas diskriminan berdasarkan teori terpenuhi jika, dua variabel

diprediksi tidak berkorelasi dan skor yang diperoleh dengan mengukurnya benar-

benar secara empiris membuktikan hal tersebut (Sekaran, 2006). Ada dua

prosedur yang digunakan untuk menilai validitas diskriminan (Chin, 2014).

Ada dua prosedur atau metode yang digunakan untuk menilai validitas

diskriminan. Metode pertama yaitu membandingkan korelasi indikator suatu

konstruk dengan korelasi indikator tersebut dengan konstruk lainnya dengan

melihat nilai dari crossloading antara indikator dan konstruknya. Validitas

diskriminan indikator reflektif dapat dilihat dengan membandingkan korelasi

indikator suatu konstruk dengan korelasi indikator tersebut dengan konstruk

lainnya berdasarkan crossloading (Ghozali, 2014). Jika korelasi indikator

konstruk memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan korelasi indikator


81

tersebut terhadap konstruk lain, maka dikatakan konstruk memiliki validitas

diskriminan yang tinggi (Chin, 2014). Tabel 3.10 berikut menunjukkan hasil

output cross loading setiap indikator terhadap konstruknya dan konstruk lainnya.

Tabel 3.10

Hasil Pengujian Validitas Diskriminan dari nilai Cross Loadings

  BIG KIN OCB Stress


BIG1 0.809 0.632 0.375 0.645
BIG4 0.835 0.591 0.361 0.746
BIG6 0.748 0.592 0.290 0.788
BIG8 0.642 0.620 0.305 0.678
BIG9 0.817 0.685 0.331 0.823
KIN1 0.742 0.929 0.423 0.711
KIN10 0.668 0.825 0.314 0.643
KIN11 0.724 0.882 0.306 0.743
KIN14 0.595 0.834 0.418 0.602
KIN16 0.581 0.785 0.335 0.576
KIN2 0.498 0.658 0.289 0.487
KIN4 0.534 0.658 0.336 0.572
KIN5 0.745 0.906 0.351 0.775
KIN7 0.708 0.775 0.354 0.671
KIN8 0.709 0.803 0.269 0.693
OCB10 0.353 0.348 0.715 0.354
OCB11 0.355 0.326 0.700 0.345
OCB12 0.332 0.297 0.830 0.338
OCB14 0.387 0.385 0.940 0.404
OCB16 0.326 0.346 0.803 0.354
OCB18 0.384 0.352 0.912 0.384
OCB20 0.387 0.385 0.940 0.404
ST1 0.839 0.589 0.364 0.753
ST3 0.748 0.592 0.290 0.788
ST5 0.630 0.606 0.292 0.679
ST6 0.816 0.693 0.336 0.829
ST7 0.423 0.462 0.363 0.614
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Tabel 3.10 menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi item pengukuran

pada blok konstruk variabel lebih besar daripada nilai konstruk pada blok

variabel lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa konstruk laten mampu


82

memprediksi ukuran pada blok variabel konstruk yang lebih baik daripada ukuran

pada blok lainnya. Dari hasil ini disimpulkan bahwa parameter penelitian

memiliki nilai diskriminan yang tinggi, sehingga memenuhi kriteria validitas

diskriminan.

Metode kedua adalah dengan melihat nilai average variance extracted

(AVE) untuk setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk

lainnya dalam model. Menguji Average Variance Extracted (AVE) untuk

memastikan bahwa setiap konstruk memberikan variance yang lebih besar

dengan ukurannya dari pada konstruk laten lainnya dalam model penelitian.

Validitas dikatakan memiliki nilai yang baik berdasarkan rule of thumb jika

nilai akar dari AVE untuk konstruk individual lebih besar dari nilai korelasi

antar konstruk dengan konstruk lain dalam model (Chin, 2014) dan harus lebih

besar daripada nilai yang direkomendasikan yaitu 0,5 (Fornell & Larcker,

1981). AVE loading lebih besar dari 0,5 menunjukkan bahwa nilai konstruk

paling sedikit 50 persen dari ukuran variance. Tabel 3.11 berikut menunjukkan

hasil output nilai AVE dari model.

Tabel 3.11
Pengujian Average Variance Extracted (AVE) dan Communality
Konstruk Laten Variabel
Variabel AVE Communality
Big Five Personality 0,598 0,598
Kinerja 0,657 0,657
Organizational Behavior 0,705 0,705
Stress 0,542 0,542
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Tabel 3.11, diketahui bahwa seluruh variabel penelitian memiliki nilai

AVE > 0,50 dan nilai communality lebih besar 0,50 sehingga dapat disimpulkan
83

bahwa setiap konstruk memberikan variance yang lebih besar dengan ukurannya

daripada dengan konstruk laten lainnya dalam model penelitian. Dari kedua

metode pengujian (prosedur cross loading dan prosedur AVE) membuktikan

bahwa konstruk pada model penelitian telah memiliki validitas diskriminan yang

baik.

3.6.1.2 Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas adalah suatu tingkatan yang mengukur konsistensi hasil jika

dilakukan pengukuran berulang pada suatu karakteristik (Malhotra & Birks,

2007). Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang

terhadap pernyataan adalah konsisten dari waktu ke waktu (Cooper &

Schindler, 2012). Reliabilitas konstruk dalam penelitian ini akan diukur dengan

menggunakan composite reliability. Untuk dapat dikatakan suatu konstruk

reliabel, maka nilai composite reliability harus lebih besar dari 0,7 (Abdillah &

Jogiyanto, 2015). Dalam PLS, uji reliabilitas diperkuat dengan adanya

cronbach alpha dimana konsistensi dari setiap jawaban diujikan. Untuk dapat

dikatakan suatu konstruk reliabel, maka nilai cronbach alpha harus > 0,6

(Abdillah dan Jogiyanto, 2015).

Adapun hasil perhitungannya dituangkan dalam Tabel 4 berikut ini.

Sekaran (2006) yang menyatakan bahwa suatu instrumen penelitian

mengindikasikan memiliki reliabilitas yang memadai jika koefisien alpha

Cronbach lebih besar atau sama dengan 0,70. Sementara hasil uji menunjukkan
84

koefisien cronbach alpha > 0.70 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

variabel ini adalah reliabel

Tabel 3.12
Uji Reliabilitas Variabel Penelitian
Composite Cronbach
Variabel Reliability Alpha
Personality 0,881 0,829
Kinerja 0,950 0,940
Organizational Citizenship Behavior 0,943 0,927
Stress 0,854 0,786
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan sebagaimana terangkum

pada Tabel 3.12 diperoleh hasil bahwa nilai Alpha Cronbach dan nilai Composite

Reliability seluruh konstruk penelitian lebih besar dari nilai 0,70; dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh konstruk laten variabel memenuhi

kriteria uji reliabilitas.

3.6.2 Pengujian Kelayakan Inner Model

Menurut Ghozali (2014) Pengujian inner model atau model struktural

dilakukan untuk melihat hubungan antara konstruk, nilai signifikansi dan R-

square dari model penelitian. Model struktural dievaluasi dengan menggunakan

R-squared untuk konstruk dependen dan uji t serta signifikansi dari koefisien

parameter jalur struktural.

Dalam menilai model dengan PLS dimulai dengan melihat R-squared

untuk setiap variabel laten dependen. Perubahan nilai R-square dapat digunakan

untuk menilai pengaruh variabel laten independen tertentu terhadap variabel laten

dependen apakah mempunyai pengaruh yang substantif (Ghozali, 2014). Gambar


85

berikut merupakan model analisis struktural tahap pertama yang dibangun dalam

penelitian ini:

OCB

Stress

PERSONALITY PERFORMANNCE
(THE BIG
FIVE)
Gambar 3.5
Model Struktural Kerangka Konseptual

3.6.3 Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan proses bootstrapping/ resampling

bootstrapping. Pengujian hipotesis yang diajukan dapat dilihat dari besarnya nilai

t-statistik. Signifikansi parameter yang diestimasi memberikan informasi yang

sangat berguna mengenai hubungan antar variabel-variabel penelitian. Kriteria

untuk menolak dan menerima hubungan yang diajukan dapat dilihat dari

perbandingan antar nilai t-statistik dan t-tabel. Jika nilai t-statistik > t-tabel (1,96)

maka hipotesis yang diajukan diterima (Ghozali, 2014). Berdasarkan tujuan

penelitian, maka rancangan uji hipotesis dalam penelitian ini disajikan

berdasarkan tujuan penelitian. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%,

sehingga tingkat presisi sebesar (α) = 5% = 0,5, dan menghasilkan nilai t-tabel

sebesar 1,96. Sehingga:


86

a) Jika nilai t-statistik lebih kecil dari nilai t-tabel (t-statistik < 1.96), maka Ho

diterima dan Ha ditolak.

b) Jika nilai t-statistik lebih besar atau sama dengan nilai t-tabel (t-statistik ≥

1.96), maka Ho ditolak dan Ha diterima.


87

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Perawat Rumah Sakit

Beradasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.

02.02/MENKES/148/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.

Berdasarkan ketentuan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Tahun

2016, perawat memilik peran sebagai berikut:

1) Care Giver

Dalam menjalankan peran ini, perawat diharuskan untuk:

a. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien, perawat

harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan significant dari klien.

b. Menggunakan Nursing Process untuk mengidentifikasi diagnosa

keperawatan, mulai dari masalah fisik (fisiologis) sampai masalah-nasalah

psikologis.

c. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok

atau masyarakat sesuai diagnosa masalah yang terjadi mulai dari masalah

yang bersifat sederhana sampai yang kompleks.

2) Client Advocate

Sebagai client advocate, perawat bertanggung jawab untuk membantu

klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai

pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan

87
88

untuk mengambil persetujuan (inform concent) atas tindakan keperawatan

yang diberikan kepadanya. Selain itu perawat harus mempertahankan dan

melindungi hak-hak klien. Hal ini harus dilakukan karena klien yang sakit dan

dirawat di rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan.

Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan klien,

oleh karena itu perawat harus membela hak-hak klien.

3) Conselor

Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi

klien terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya perubahan pola interaksi ini

merupakan “Dasar” dalam merencanakan metoda untuk meningkatkan

kemampuan adaptasinya. Konseling diberikan kepada idividu/keluarga dalam

mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu.

Pemecahan masalah difokuskan pada; masalah keperawatan, mengubah

perilaku hidup sehat (perubahan pola interaksi)

4) Educator

Peran ini dapat dilakukan kepada klien, keluarga, team kesehatan lain,

baik secara spontan (sat interaksi) maupun formal (disiapkan). Tugas perawat

adalah membantu klien mempertinggi pengetahuan dalam upaya

meningkatkan kesehatan, gejala penyakit sesuai kondisi dan tindakan yang

spesifik. Dasar pelaksanaan peran adalah intervensi dalam NCP

5) Coordinator

Peran perawat adalah mengarahkan, merencanakan,

mengorganisasikan pelayanan dari semua anggota team kesehatan. Karena


89

klien menerima pelayanan dari banyak profesioanl, misal; pemenuhan nutrisi.

Aspek yang harus diperhatikan adalah; jenisnya, jumlah, komposisi,

persiapan, pengelolaan, cara memberikan, monitoring, motivasi, dedukasi dan

sebagainya.

6) Collaborator

Dalam hal ini perawat bersama klien, keluarga, team kesehatan lain

berupaya mengidentifikasi pelayanan kesehatan yang diperlukan termasuk

tukar pendapat terhadap pelayanan yang dipelukan klien, pemberian

dukungan, paduan keahlian dan keterampilan dari bebagai profesional pemberi

pelayanan kesehatan

7) Culsultant

Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien

terhadap informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran

ini dapat dikatakan perawatan adalah sumber informasi ang berkaitan dengan

kondisi spesifik klien

8) Change Agent

Element ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan yang

sistematis dalam berhubungan denan klien dan cara pemberian keperawatan

kepada klien

4.1.2 Karakteristik Responden

Sampel merupakan perawat rumah sakit di Kota Bengkulu. Data penelitian

diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada responden-responden tersebut.


90

Pelaksanaan penyebaran kuesioner dilakukan pada tanggal 20 September sampai

dengan 20 Oktober 2017.

Tabel 4.1
Penyebaran Kuesioner Pada Rumah Sakit di Kota Bengkulu
Jumlah Jumlah
No Nama Rumah Sakit Kuesioner yang Kuesioner Yang
Disebar Kembali
1 RSUD Dr. M. Yunus 100 100
2 RS Bhayangkara 50 50
3 RS Rafflesia 50 50
4 RS DKT 25 25
5 RS Tiara Sella 25 25
6 RS UMMI 50 50
Jumlah 300 300
Sumber : Penelitian 2017

Pada pelaksanaan penyebaran kuesioner, jumlah kuesioner yang

disebarkan adalah sebanyak 300 orang. Dari total 300 eksemplar kuesioner

tersebut, seluruhnya dikembalikan oleh responden, sehingga respon rate terhadap

kuesioner adalah 100 persen, dan nilai tersebut masih dianggap memiliki

kelayakan untuk dianalisis.

Selanjutnya, berdasarkan data karakteristik responden penelitian yang

diambil dari bagian identitas responden, dapat diketahui karakteristik responden

yang terangkum pada Tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2
Karakteristik Demografi Responden
Jumlah Persentase
Karakteristik Demografi
(Orang) (%)
Umur
< 25 Tahun 45 15,0
25 – 30 Tahun 145 48,3
31 – 35 Tahun 57 19,0
> 35 Tahun 53 17,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 69 23,0
91

Perempuan 231 77,0


Pendidikan Terakhir
Diploma (DIII) 113 37,7
Sarjana (S1) 117 39,0
Ners 70 23,3
Lama Bekerja
< 5 Tahun 64 21,3
6 – 10 Tahun 152 50,7
11 – 15 Tahun 59 19,7
> 15 Tahun 25 8,3
Jumlah Responden 300 100
Sumber: Hasil Penelitian, 2017

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa jenis kelaminnya, responden perawat

perempuan lebih banyak dibandingkan dengan perawat laki-laki. Kondisi terjadi

karena naluri yang sederhana bahwa perempuan memiliki naluri keibuan (mother

instinct) yang hanya dimiliki oleh perempuan (Hidayat, 2004). Walaupun jumlah

responden laki-laki lebih sedikit, seluruh perawat memiliki tugas dan

tanggungjawab yang sama. Namun, secara psikologis, cara pandang laki-laki dan

perempuan dalam menghadapi situasi pekerjaan akan berbeda. Perempuan lebih

emosional dan berempati (Goleman, 2005), sehingga berpengaruh terhadap hasil

pekerjaan yang dibuat. Selain itu, perawat perempuan biasanya lebih teliti dan

lebih tekun dibandingkan dengan perawat laki-laki, namun demikian, tidak berarti

perawat laki-laki tidak tekun dan teliti. Oleh karena itu, penempatan perawat laki-

laki dan perempuan dalam satu tugas secara kolaboratif dapat meningkatkan

kualitas kerjanya.

Dari sisi pendidikannya, responden penelitian sebagian besar telah

memiliki tingkat Sarjana (S1) yakni sebesar 39%. Urutan kedua ditempati oleh

responden berpendidikan Diploma III (37,7%%) dan selebihnya adalah perawat

berpendidikan Ners (Profesi) sebesar 23,3%. Kualifikasi pendidikan tersebut


92

sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai perawat di rumah sakit. Oleh

karenanya, jurusan pendidikan rata-rata adalah diploma kesehatan/kebidanan dan

sarjana keperawatan atau sarjana kesehatan masyarakat. Menurut Notoatmodjo

(2006) tingkat pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam pengembangan

wawasan berfikir, bertindak dan mengambil keputusan secara baik. Bagi seorang

perawat, kualifikasi pendidikan berbasis kesehatan merupakah salah satu syarat

dalam melaksanakan tugasnya-tugasnya sebagai perawat dan tenaga kesehatan.

Dari semua responden berada pada usia produktif artinya perawat

memiliki kondisi fisik dan stamina yang lebih baik, sehingga perawat memiliki

daya tahan yang baik terhadap stres yang mungkin timbul dalam pelaksanaan

tugas sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit. Ketahanan terhadap kondisi stres

tersebut, membuat seseorang akan mampu mencapai kinerja yang baik (Robbins,

2015). Hal ini termasuk juga perawat rumah sakit, jika perawat memiliki

ketahanan terhadap kondisi pekerjaan, maka perawat tersebut akan dapat bekerja

dengan baik dan tidak mengalami stress kerja.

Dari sisi masa kerjanya, sebagian besar perawat rumah sakit memiliki

masa kerja antara 6-10 tahun. Kondisi ini memberikan arti bahwa perawat telah

memiliki masa kerja yang sudah lama, sehingga perawat mengerti dan memahami

tugas-tugasnya, sehingga mampu mencapai kinerja yang diharapkan.

4.1.3 Deskripsi Data

Responden penelitian adalah pengelola perawat Rumah Sakit di Kota

Bengkulu yang berjumlah 300 orang. Responden diminta untuk menjawab


93

pertanyaan atas teori personality, organizational citizenship behavior, stress dan

kinerja perawat. Untuk mengetahui persepsi responden terhadap variabel-variabel

dalam penelitian ini, maka jawaban di analisis secara deskriftif. Untuk

mempermudah peneliti menentukan indeks persepsi responden terhadap

pernyataan indikator pengukur setiap variabel dalam penelitian, maka nilai rata-

rata pengukuran ditentukan kriterianya sesuai skala penentuan rangking seperti

Tabel 4.3 berikut ini:

Tabel 4.3
Kriteria Persepsi Responden
Interval Kriteria
1,00 - 1,79 Sangat Tidak Baik
1,80 - 2,59 Tidak Baik
2,60 – 3,39 Cukup Baik
3,40 – 4,19 Baik
4,20 – 5,00 Sangat Baik
Sumber: Sugiyono (2015)

Secara rinci deskripsi responden terhadap variabel personality,

organizational citizenship behavior, stress dan kinerja perawat di rumah sakit di

Kota Bengkulu diuraikan berikut ini.

4.1.3.1 Deskripsi Variabel Personality (Kepribadian)

Personality merupakan faktor psikologis terkait dengan sikap dan perilaku

seseorang. Personality merupakan penggolongan dimensi kepribadian untuk

mengidentifikasi kepribadian seseorang. Pada penelitian ini, variabel kepribadian

menggunakan lima dimensi kepribadian seperti 1) Extraversion; 2) Neuroticism;

3) Conscientiousness; 4) Openness; 5) Agreeableness. Jawaban responden

terhadap indikator-indikator dimensi kepribadian menggunakan skala Likert nilai


94

1-5. Jawaban respondne terhadap indikator-indikator dimensi kepribadian

dipaparkan berikut ini.

1. Jawaban Responden terhadap Dimensi Extraversion

Dimensi extraversion dibentuk dengan empat indikator yang

mencerminkan tipe kepribadian yang dicirikan memiliki emosi yang positif.

Jawaban responden terhadap dimensi kepribadian extraversion ini sebagai berikut.

Tabel 4.4
Jawaban Responden terhadap Dimensi Extraversion
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Saya biasa meramaikan suasana Tidak
0 4 30 182 72 4,12
dalam pekerjaan. emosional
2 Saya siap membantu rekan kerja Tidak
2 14 30 184 58 3,98
jika diperlukan. emosional
3 Saya biasa bercengkerama dengan Tidak
0 10 30 172 76 4,09
rekan-rekan kerja. emosional
4 Saya dianggap energik oleh rekan- Tidak
0 6 22 192 68 4,12
rekan kerja. emosional
Tidak
Rata-rata 4,08
emosional
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat emosional
1,80 – 2,59 : Emosional
2,60 – 3,39 : Cukup emosional
3,40 – 4,19 : Tidak emosional
4,20 – 5,00 : Sangat tidak emosional

Rata-rata dimensi extraversion sebesar 4,08, yang mencerminkan perawat

rumah sakit di Kota Bengukulu memiliki kepribadian yang memiliki kontrol

emosi yang baik. Tipe perawat yang memiliki kepdibadian extraversion ini

dicirikan sebagai pribadi yang riang, energik, senang bergaul, tertarik dengan

banyak hal dan ramah terhadap orang lain. Dari hasil penelitian terlihat bahwa

perawat berkeprebadian ekstrovert


95

Dari empat indikator, diketahui bahwa pernyataan mengenai “Saya siap

membantu rekan kerja jika diperlukan” mendapatkan nilai rerata terendah (3,98).

Walaupun demikian, perawat masih dapat dikatakan memiliki ciri etraversion

karena dalam keseharian pelaksanaan tugasnya, perawat memiliki rasa kepedulian

dengan rekan kerjanya. Bahkan cenderung menolong sesama perawat dalam

melaksanakan tugas.

Dapat disimpulkan perawat memiliki ciri extraversion yang tinggi.

Artinya, sikap dan perilaku perawat dilandasi dengan kontrol diri yang positif,

sehingga setiap perilakunya didasarkan pada jiwa sosial yang tinggi. Hal tersebut

menyebabkan membuat perawat memiliki perilaku OCB yang tinggi, yakni

perilaku yang secara sukarela maup melaksanakan tugas-tugas atau piket atau

bekerja bukan berdasarkan jam kerja normal (extra role).

2. Jawaban Responden terhadap Dimensi Neuroticism

Neuroticis merupakan tipe kepribadian yang memiliki masalah dengan

kontrol emosi. Jawaban responden terhadap dimensi kepribadian extraversion ini

sebagai berikut.

Tabel 4.5
Jawaban Responden terhadap Dimensi Neuroticism
Jawaban Rata Ket
No Indikator
1 2 3 4 5 Rata
1 Setiap pekerjaan yang
direncanakan dengan teliti 10 Sangat
0 4 18 164 4,26
biasanya berhasil menghindari 2 positif
kesalahan.
2 Dalam kondisi tekanan kerja,
0 4 40 180 64 4,06 Positif
perawat bisa mengendalikan diri.
3 Bekerja keras untuk meraih target 6 6 28 194 54 3,99 Positif
pekerjaan dilakukan oleh setiap
96

Jawaban Rata Ket


No Indikator
1 2 3 4 5 Rata
perawat.
4 Seluruh perawat selalu
19
bertanggungjawab terhadap 0 0 2 6 3,51 Positif
6
pelaksanaan pekerjaan.
Rata-rata 3,95 Positif
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat negatif
1,80 – 2,59 : Negatif
2,60 – 3,39 : Cukup
3,40 – 4,19 : Positif
4,20 – 5,00 : Sangat positif

Tipe kepribadian neurotic merupakan tipe pribadi yang selalu merasa was-

was dan khawatir dengan kondisi dirinya. Dari hasil peneltian diketahui bahwa

rata-rata jawaban responden terhadap tipe kepribadian neuroticism sebesar 3,95

yang berarti bahwa sampel tidak memiliki rasa kekhawatiran yang tinggi dalam

menjalankan tugasnya. Perawat sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman

tentang pelayanan dan standar asuhan keperawatan, sehingga saat berinteraksi

dengan pasien tidak merasa khawatir.

Indikator yang berbunyi “Seluruh perawat selalu bertanggungjawab

terhadap pelaksanaan pekerjaan” mendapatkan nilai rerata terendah (3,51). Hasil

tersebut menyatakan walaupun sudah memiliki kemampuan dan pengalaman yang

memadai, namun masih ada perawat yang merasa was-was dalam memberikan

pelayanan kepada pasien. Kondisi ini sedikit banyak akan mempengaruhi sikap

dan perilakunya dalam bekerja.

Dapat disimpulkan bahwa perawat memiliki ciri neroticism yang positif.

Artinya, sikap dan perilaku perawat dilandasi dengan kontrol diri yang sudah
97

matang, sehingga dalam bertugas akan selalu mengedepankan profesionalisme.

Kondisi tersebut akan membuat perawat memiliki perilaku OCB yang tinggi.

3. Jawaban Responden terhadap Dimensi Conscientiousness

Tipe kepribadian conscientiousness dibentuk dengan empat indikator yang

mencerminkan tipe kepribadian yang dicirikan memiliki kontrol terhadap

lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti

peraturan dan norma, terencana dan memprioritaskan tugas. Jawaban responden

terhadap dimensi kepribadian extraversion ini sebagai berikut.

Tabel 4.6
Jawaban Responden terhadap Dimensi Conscientiousness
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Seluruh perawat melaksanakan
tugas sesuai dengan kompetensi 0 4 34 194 56 4,05 Positif
yang dimiliki.
2 Seluruh perawat melaksanakan 12 Sangat
0 2 8 152 4,40
tugas dengan penuh kehati-hatian. 6 Positif
3 Seluruh perawat melaksanakan
Sangat
tugas secara teratur, rapih, tidak 0 0 14 176 98 4,29
Positif
kusut.
4 Seluruh perawat melaksanakan
11 Sangat
tugas dengan penuh kesadaran dan 0 4 4 170 4,34
0 Positif
kerelaan.
Sangat
Rata-rata 4,27
Positif
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat negatif
1,80 – 2,59 : Negatif
2,60 – 3,39 : Cukup
3,40 – 4,19 : Positif
4,20 – 5,00 : Sangat positif
98

Rata-rata dimensi conscientiousness sebesar 4,27, yang mencerminkan

perawat rumah sakit di Kota Bengukulu memiliki kepribadian yang memiliki

kontrol emosi sosial yang sangat positif. Tipe perawat yang memiliki kepdibadian

conscientiousness ini dicirikan sebagai pribadi yang berpikir sebelum bertindak,

menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana dan

memprioritaskan tugas. Dari hasil penelitian terlihat bahwa perawat rumah sakit

di Kota Bengkulu telah memiliki tipe kepribadian dengan kontrol sosial yang

tinggi.

Indikator “Seluruh perawat melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi

yang dimiliki” mendapatkan nilai rerata terendah (4,05). Walaupun demikian,

perawat masih dapat dikatakan memiliki ciri conscientiousness yang tinggi,

karena dalam keseharian pelaksanaan tugasnya, perawat memiliki rasa kepedulian

dengan rekan kerjanya. Bahkan cenderung menolong sesama perawat dalam

melaksanakan tugas.

Jadi, dari pemaparan di atas diketahui bahwa perawat memiliki ciri

conscientiousness yang tinggi. Artinya, sikap dan perilaku perawat dilandasi

dengan kontrol diri yang positif, sehingga setiap perilakunya didasarkan pada jiwa

sosial yang tinggi. Kondisi ini tentu saja akan membuat perawat memiliki perilaku

OCB yang tinggi dan mampu menurunkan stress kerjanya.

4. Jawaban Responden terhadap Dimensi Openness


99

Dimensi openness dibentuk dengan empat indikator yang mencerminkan

tipe kepribadian yang dicirikan memiliki emosi yang positif. Jawaban responden

terhadap dimensi kepribadian openness ini sebagai berikut.

Tabel 4.7
Jawaban Responden terhadap Dimensi Openness
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Setiap perawat tertarik pada hal-
Sangat
hal yang lebih kreatif dalam 0 0 28 160 100 4,25
terbuka
melaksanakan pekerjaan.
2 Setiap perawat siap menerima
Sangat
ide-ide baru dalam 0 0 28 160 100 4,25
terbuka
melaksanakan pekerjaan.
3 Setiap perawat selalu berusaha
Sangat
meningkatkan nilai tambah 0 0 0 194 94 4,33
terbuka
terhadap pekerjaan.
4 Setiap perawat selalu bergairah
5
menerima ide-ide baru dalam 6 48 140 42 3,56 Terbuka
2
pelaksanaan pekerjaan.
Rata-rata 4,10 Terbuka
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat tertutup
1,80 – 2,59 : Tertutup
2,60 – 3,39 : Cukup
3,40 – 4,19 : Terbuka
4,20 – 5,00 : Sangat Terbuka

Rata-rata dimensi openness sebesar 4,10, yang mencerminkan perawat

rumah sakit di Kota Bengkulu memiliki kepribadian yang kemampuan untuk

menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang baru.. Tipe perawat yang memiliki

kepdibadian openness ini dicirikan sebagai pribadi yang memiliki nilai imajinasi

dan pemikiran yang luas. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness to

experience yang rendah menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran

yang sempit dan tidak suka dengan perubahan. Dari hasil penelitian terlihat bahwa
100

perawat rumah sakit di Kota Bengkulu telah memiliki tipe kepribadian yang

terbuka tersebut.

Dari empat indikator, diketahui bahwa pernyataan mengenai “Setiap

perawat selalu bergairah menerima ide-ide baru dalam pelaksanaan pekerjaan”

mendapatkan nilai rerata terendah (3,56). Walaupun demikian, perawat masih

dapat dikatakan memiliki ciri openness yang tinggi dalam kepribadiannya.

Seseorang yang kreatif memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan lebih mudah

untuk mendapatkan solusi terhadap suatu masalah.

Jadi, dari pemaparan di atas diketahui bahwa perawat memiliki ciri

openness yang tinggi. Artinya, sikap dan perilaku perawat dilandasi dengan sikap

keterbukaan dengan kondisi di luar dirinya, termasuk perubahan pada lingkungan

kerjanya. Kondisi ini tentu saja akan membuat perawat memiliki perilaku OCB

yang tinggi, yakni perilaku yang secara sukarela maup melaksanakan tugas-tugas

di luar jam kerja normal (extra role).

5. Jawaban Responden terhadap Dimensi Agreeableness

Dimensi agreeablesnes dibentuk dengan empat indikator yang

mencerminkan tipe kepribadian yang dicirikan memiliki emosi yang positif.

Jawaban responden terhadap dimensi kepribadian agreeableness ini sebagai

berikut.

Tabel 4.8
Jawaban Responden terhadap Dimensi Agreeableness
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Setiap perawat selalu memaafkan 0 4 6 194 84 4,24 Sangat
101

Jawaban Rat Ket


No Indikator
1 2 3 4 5 aRa
kesalahan rekan-rekan dalam ta
memahami
pekerjaan.
2 Setiap perawat siap membantu
Memaham
siapapun yang membutuhkan 0 4 38 190 56 4,03
i
dalam pekerjaan.
3 Setiap perawat selalu
12 Sangat
menunjukkan rasa empati kepada 0 2 8 152 4,40
6 memahami
orang lain.
4 Setiap perawat lebih
11 Sangat
mendahulukan kepentingan orang 0 6 4 168 4,33
0 memahami
lain dalam pelaksanaan tugas.
Sangat
Rata-rata 4,25 memaha
mi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat tidak memahami
1,80 – 2,59 : Tidak memahami
2,60 – 3,39 : Cukup memahami
3,40 – 4,19 : Memahami
4,20 – 5,00 : Sangat memahami

Rata-rata dimensi agreeableness sebesar 4,25, yang mencerminkan

perawat rumah sakit di Kota Bengukulu memiliki kepribadian yang yang ramah,

rendah hati, tidak menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan

untuk mengikuti orang lain. Agreeableness memiliki motivasi untuk membantu

orang lain dan terarah pada perilaku prososial. Dari hasil penelitian terlihat bahwa

perawat rumah sakit di Kota Bengkulu telah memiliki tipe kepribadian

agreeableness tersebut.

Dari empat indikator, diketahui bahwa pernyataan mengenai “Setiap

perawat siap membantu siapapun yang membutuhkan dalam pekerjaan”

mendapatkan nilai rerata terendah (4,03). Walaupun demikian, perawat masih

dapat dikatakan memiliki ciri agreeableness karena dalam hubungan interpersonal


102

orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika berhadapan dengan

konflik, self esteem mereka cenderung menurun, sehingga menghindari konflik

merupakan usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain. Sedangkan,

orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung lebih agresif

dan kurang kooperatif.

Jadi, dari pemaparan di atas diketahui bahwa perawat memiliki ciri

agreeableness yang tinggi. Artinya, sikap dan perilaku perawat dilandasi dengan

sikap keramahan yang tinggi, rendah hati dan sealu untuk menghindari konflik.

Kondisi ini tentu saja akan membuat perawat mudah bergaul dan diterima dalam

hubungan kerja di rumah sakit.

Tabel 4.9
Jawaban Responden terhadap Personality (Kepribadian)
Rata- Ket
No Dimensi
Rata
1 Extraversion 4,08 Tinggi
2 Neuroticism 3,95 Tinggi
3 Conscientiouness 4,27 Sangat Tinggi
4 Opennes 4,10 Tinggi
5 Agreeableness 4,25 Sangat Tinggi
Rata-rata 4,13 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa nilai rata-rata jawaban responden terhadap

variabel kepribadan sebesar 4,13. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kepribadian

perawat rumah sakit di Kota Bengkulu berada pada kategori sangat tinggi. Hasil

ini memberikan makna bahwa perawat rumah sakit di Kota Bengkulu telah
103

memiliki keterbukaan terhadap hal-hal baru, memiliki empati kepada rekan kerja,

suka menolong dan bersosialisasi serta dapat mengendalikan diri dalam pergaulan

dan pekerjaan.

Dari lima dimensi kepribadian, dimensi yang paling menonjol (dominan)

adalah dimensi conscientiouness, hasil yang didapatkan 4,27 (sangat tinggi).

Pribadi yang conscientiousness adalah pribadi yang memiliki kontrol yang baik

terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan,

mengikuti peraturan dan norma, terencana dan memprioritaskan tugas. Perawat

yang memiliki tingkat conscientiousness yang rendah menunjukkan sikap yang

malas, tidak terarah dan mudah teralih perhatiannya, sebaliknya perawat yang

memiliki tingkat conscientiousness yang tinggi menunjukkan sikap yang rajin,

terarah dan tidak mudah teralih perhatiannya (fokus).

Pada urutan kedua, ditempati oleh dimensi agreeableness dengan hasil

yang didapat 4,25 (sangat tinggi). Pribadi perawat yang memiliki agreeableness

yang tinggi diindikasikan dengan pribadi yang ramah, rendah hati, tidak

menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti

orang lain. Agreeableness memiliki motivasi untuk membantu orang lain dan

terarah pada perilaku prososial. Namun, dalam hubungan interpersonal orang

yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika berhadapan dengan

konflik, self esteem mereka cenderung menurun, sehingga menghindari konflik

merupakan usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain. Sedangkan,

orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung lebih agresif

dan kurang kooperatif.


104

Pada variabel personality, dimensi yang mendapatkan penilaian terendah

adalah dimensi neuroticsm dengan hasil yang didapat 3,95. Individu yang

memiliki sifat neuroticsm menunjukkan bahwa perawat memiliki masalah dengan

emosi yang negatif seperti rasa khawatir.

4.1.3.2 Deskripsi Variabel Organizational Citizenship Beharior (OCB)

Organizational Citizenship Behvior (OCB) didefinisikan sebagai suatu

perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit

dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. Terdapat

lima indikator dari OCB yang dikembangkan oleh Organ (1994) dan Allison

(2003). Jawaban responden terhadap indikator-indikator dimensi OCB dipaparkan

berikut ini.

1. Jawaban Responden terhadap Dimensi Altruism

Altruism merupakan perilaku individu dalam menolong rekan kerjanya

yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai

tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Aspek ini mengarah

pada memberi pertolongan yang bukan kewajiban yang harus ditanggungnya.

Berdasarkan hasil penelitian, dirangkum jawaban responden sebagai berikut:

Tabel 4.10
Jawaban Responden terhadap Dimensi Altruism
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Saya biasa membuat pernyataan
konstruktif tentang organisasi dan 6 46 52 160 24 3,52 Tinggi
kelompok kerja.
2 Saya biasa membantu perawat lain 0 4 8 172 104 4,31 Sangat
dalam satu tim jika ada yang Tinggi
105

Jawaban Rat Ket


No Indikator
1 2 3 4 5 aRa
mengalami kesulitan dalam ta
pelaksanaan tugas.
3 Saya sudah menyampaikan ide-ide
Sangat
kreatif tentang cara memuaskan 0 0 2 184 102 4,35
Tinggi
pasien dan keluarganya.
4 Kadang-kadang saya mengambil
Sangat
alih tugas rekan sesama perawat 0 0 26 160 102 4,26
Tinggi
yang sedang berhalangan.
Rata-rata 4,11 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Tabel 4.10 memberikan gambaran bahwa perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu telah berperilaku altruism yang tinggi dalam menjalankan tugas-

tugasnya. Sikap altruism tersebut didukung dengan perilaku yang biasa membantu

rekan kerja yang lainnya yang mengalami kesulitan tugas, mengambil alih dan

menggantikan tugas rekan kerja, menyampaikan ide kreatif dan sebagainya. Hasil

yang didapat pada altruisme sebesar 4,11 (tinggi).

Indikator terendah pada aspek altruism adalah “Saya biasa membuat

pernyataan konstruktif tentang organisasi dan kelompok kerja” sebesar 3,52.

Walaupun demikian, kondisi ini masih menujukkan kategori tinggi, di mana

perawat selalu berfikir untuk menjaga nama baik organisasi dan kelompok kerja,

sehingga akan bekerja dengan penuh tanggungjawab.


106

Jadi, dari penilaian aspek altruism dalam OCB, diketahui bahwa sikap

altruism yang ditampilkan oleh perawat telah dilakukan dengan serius. Kondisi ini

telah mendorong perawat memiliki perilaku OCB yang tinggi.

2. Jawaban Responden terhadap Dimensi Courtesy

Berdasarkan hasil penelitian, dirangkum jawaban responden atas dimensi

courtesy sebagai berikut:

Tabel 4.11
Jawaban Responden terhadap Dimensi Courtesy
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Saya biasa membuat pernyataan
konstruktif tentang organisasi dan 6 46 52 160 24 3,52 Tinggi
kelompok kerja.
2 Saya biasa membantu perawat lain
dalam satu tim jika ada yang Sangat
0 4 8 172 104 4,31
mengalami kesulitan dalam Tinggi
pelaksanaan tugas.
3 Saya sudah menyampaikan ide-ide
Sangat
kreatif tentang cara memuaskan 0 0 2 184 102 4,35
Tinggi
pasien dan keluarganya.
4 Kadang-kadang saya mengambil
Sangat
alih tugas rekan sesama perawat 0 0 26 160 102 4,26
Tinggi
yang sedang berhalangan.
Rata-rata 4,11 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Tabel 4.11 memberikan gambaran bahwa perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu telah berperilaku courtesy yang tinggi dalam menjalankan tugas-

tugasnya. Courtesy merupakan perilaku berbuat baik seperti membantu teman


107

kerja dalam mencegah munculnya permasalahan, memberi konsultasi atau

informasi kepada teman kerja. Hasil yang didapatkan sebesar 4,07 (tinggi).

Indikator courtesy yang mendapatkan nilai rendah adalah “Dalam

menyamngpaikan fikiran saya tetap menjaga omongan sebesar 4,06. Hasil ini

memberikan bukti bahwa perawat selalu mengutamakan sikap sopan santun dan

berperilaku baik kepada sesama rekan kerja. Melalui sikap ini, perawat akan dapat

membaur dengan rekan-rekan kerjanya.

Jadi, dari pemaparan tersebut disimpulkan bahwa sikap courtesy pada

penelitian ini sudah tinggi, di mana perawat memiliki keperdulian yang tinggi

terhadap keharmonisan hubungan kerja, sehingga perilaku sopan santu dan rasa

hormat selalu dijaga dan dijalankan dengan baik.

3. Jawaban Responden terhadap Dimensi Sportmanship

Sportsmanship merupakan perilaku yang menekankan pada aspek-aspek

positif yang ada di organisasi daripada aspek negatifnya. Berdasarkan hasil

penelitian, dirangkum jawaban responden atas dimensi sportsmanship sebagai

berikut:

Tabel 4.12
Jawaban Responden terhadap Dimensi Sportmanship
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Saya bisa menerima kritikan
Sangat
sesama rekan kerja demi untuk 0 2 6 170 110 4,35
Tinggi
keutuhan tim.
2 Saya menghindari konflik dengan
Sangat
rekan kerja maupun dengan 0 0 6 210 72 4,23
Tinggi
keluarga pasien.
3 Saya menyatakan penghargaan
Sangat
terhadap hasil kerja rekan yang 0 0 6 210 72 4,23
Tinggi
lain.
108

Jawaban Rat Ket


No Indikator
1 2 3 4 5 aRa
4 Bagi saya jika tidak puas terhadap ta
manajemen rumah sakit, cukup 0 4 10 234 40 4,08 Tinggi
dipendam dan berusaha sabar.
Rata-rata 4,22 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Tabel 4.12 memberikan gambaran bahwa perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu telah berperilaku sportsmanship yang tinggi dalam menjalankan tugas-

tugasnya. Indikator dimensi sportsmanship yang mendapatkan nilai rata-rata

tertinggi adalah “Saya bisa menerima kritikan sesama rekan kerja demi untuk

keutuhan timsebesar 4,35. Individu memiliki sportifitas yang tinggi terutama

terbuka dengan kritik dan saran jika hasil pekerjaan terjadi kesalahan. Kritik dan

saran tersebut bukan dianggap sebagai upaya merendahkan perawat, namun

sebagai media pembelajaran dan pembenahan atas hasil kerja yang belum baik.

Kemudian, indikator dengan nilai rendah adalah “Bagi saya jika tidak puas

terhadap manajemen rumah sakit, cukup dipendam dan berusaha sabar” sebesar

4,08. Bahwa perawat memiliki kesabaran yang tinggi, terutama menyikapi

kebijakan organisasi (rumah sakit) tempatnya bekerja. Hal ini untuk mengaja

kondusifitas pelayanan kepada pasien agar tidak terganggu.

Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa perilaku OCB dari aspek

sportmanship perawat rumah sakit di Kota Bengkulu sudah berada pada ketegori

tinggi. Walaupun dalam keadaan yang kurang menguntungkan karena kebijakan


109

organisasi, perawat tetap bersedia melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya

dengan baik. Hal ini didasarkan pada pertimbangan moral dan kemanusiaan dalam

profesinya sebagai abdi kesehatan.

4. Jawaban Responden terhadap Dimensi Civic Virtue

Civic virtue merupakan perilaku selalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan

organisasi dan selalu peduli dengan kelangsungan hidup organisasi. Berdasarkan

hasil penelitian, dirangkum jawaban responden atas dimensi sportsmanship..

Tabel 4.13 memberikan gambaran bahwa perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu telah berperilaku sportsmanship yang tinggi dalam menjalankan tugas-

tugasnya. Courtesy merupakan perilaku berbuat baik atau hormat kepada orang

lain, seperti membantu teman kerja dalam mencegah munculnya permasalahan,

memberi konsultasi atau informasi kepada teman kerja. Seseorang yang memiliki

aspek ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Hal ini

dibuktikan dengan nilai rata-rata dimensi sebesar 4,07 (tinggi).

Tabel 4.13
Jawaban Responden terhadap Dimensi Civic Virtue
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Saya ikut bertanggungjawab
Sangat
terhadap peningkatan kinerja 0 2 14 206 66 4,17
Tinggi
perawat rumah sakit.
2 Saya ikut memberikan saran dan
kritikan yang bersifat 0 0 14 240 34 4,07 Tinggi
membangun.
3 Saya ikut mendinginkan suasana
dalam kondisi beredar isu-isu 0 0 4 162 122 4,41 Tinggi
negatif yang sifatnya gossip.
4 Bagi saya misi rumah sakit adalah 0 0 14 238 36 4,08 Sangat
tanggungjawab bersama untuk Tinggi
110

Jawaban Rat Ket


No Indikator
1 2 3 4 5 aRa
menyelesaikannya. ta
Rata-rata 4,18 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Dari empat indikator dimensi civic virtue, diketahui bahwa indikator yang

berbunyi “Saya ikut mendinginkan suasana dalam kondisi beredar isu-isu negatif

yang sifatnya gossip” mendapatkan nilai rata-rata tertinggi sebesar 4,41. Hasil ini

memberikan gambaran bahwa perawat memiliki peran yang besar dalam

meredakan isu-isu yang membuat sesama perawat terlibat konflik. Hal ini

dilakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan kerja, sehingga tidak

menganggu proses pelayanan kepada pasien.

Indikator dengan nilai rata-rata terendah adalah “Saya ikut memberikan

saran dan kritikan yang bersifat membangun” sebesar 4,07. Perawat rumah sakit

merupakan individu yang proaktif dalam memperjuangkan dan mengembangkan

organisasi. Jika perawat dilibatkan dalam forum-forum rapat, perawat

menyampaikan ide-ide dan pandangan untuk meningkatkan pelayanan dan

kepuasan pasien. Hal ini dilakukan agar kinerja rumah sakit meningkat.

Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa perilaku civic virtue

perawat rumah sakit sudah berada pada kategori tinggi. Keaktifan dan keterlibatan

perawat dalam setiap aspek dan kegiatan yang diselenggarakan oleh rumah sakit.

Selain itu, perawat selalu peduli dengan keadaan dan kondisi organisais dan
111

berupaya bersama-sama untuk membangun dan mengembangan organisasi,

seperti melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara disiplin.

5. Jawaban Responden terhadap Dimensi Conscientiousness

Conscientiousness merupakan perilaku untuk melakukan hal-hal yang

seperti selalu mematuhi peraturan yang ada di organisasi. Aspek ini ditujukan

dengan berusaha melebihi tugas yang diharapkan oleh perusahaan. Berdasarkan

hasil penelitian, dirangkum jawaban responden atas dimensi conscientiousness.

Tabel 4.14 memberikan gambaran bahwa responden telah berperilaku

sportsmanship yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya. Courtesy

merupakan perilaku berbuat baik atau hormat kepada orang lain, seperti

membantu teman kerja dalam mencegah munculnya permasalahan, memberi

konsultasi atau informasi kepada teman kerja. Seseorang yang memiliki aspek ini

adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Hasil yang

didapatkan yaitu sebesar 4,07 (tinggi).

Tabel 4.14
Jawaban Responden terhadap Dimensi Conscientiousness
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Saya seringkali mengerjakan
pekerjaan keperawatan jauh Sangat
0 0 28 150 110 4,28
melebihi batas yang diharuskan Tinggi
perawat.
2 Bagi saya melaksanakan tugas
dengan sepenuh kemampuan yang 0 6 22 170 90 4,19 Tinggi
dimiliki adalah kewajiban.
3 Saya kadang-kadang mengajukan
diri untuk pekerjaan ekstra dalam 0 8 8 216 56 4,11 Tinggi
situasi yang mendesak.
4 Saya tidak merasa keberatan
Sangat
menyelesaikan pekerjaan melebihi 0 4 22 228 34 4,25
Tinggi
kewajiban sebagai perawat.
112

Jawaban Rat Ket


No Indikator
1 2 3 4 5 aRa
Rata-rata ta
4,15 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Indikator dimensi conscientousness yang mendapatkan jawaban tertinggi

adalah ” Saya seringkali mengerjakan pekerjaan keperawatan jauh melebihi batas

yang diharuskan perawat” sebesar 4,28. Perawat rumah sakit memiliki perilaku

OCB yang tinggi, dibuktikan dengan kesediaan perawat melaksanakan tugas-tugas

di luar beban kerja yang harus diselesaikannya. Hal ini semata-mata dilakukan

untuk melaksanakan etika profesi yang telah diamanatkan kepada profesi perawat.

Selanjutnya, indikator terendah adalah “Saya kadang-kadang mengajukan

diri untuk pekerjaan ekstra dalam situasi yang mendesak” dengan rata-rata sebesar

4,11. Hasil ini memberikan gambaran bahwa perawat dengan sukarela untuk

terlibat dalam pekerjaan yang membuat perawat harus lembur, untuk

menyelesaikan beban tugas yang ditanggung rekan kerja perawat. Sehingga

dengan keterlibatan tersebut beban kerja dapat diselesaikan dengan ringan.

Berikut jawaban responden atas dimensi-dimensi variabel OCB

sebagaiana tertera pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15
Jawaban Responden terhadap Variabel OCB
Ket
No Dimensi Rata-Rata
1 Altruism 4,11 Tinggi
2 Courtesy 4,07 Tinggi
3 Sportmanship 4,22 Sangat Tinggi
113

Ket
No Dimensi Rata-Rata
4 Civic Virtue 4,18 Tinggi
5 Conscientiouness 4,15 Sangat Tinggi
Rata-rata 4,17 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Jika diamati dengan seksama Tabel 4.15, diketahui bahwa rata-rata

jawaban tertinggi ada pada dimensi sportmanship sebesar 4,22. Nilai jawaban

kategori sangat tinggi, yang berarti bahwa perilaku OCB dari sisi sportmanship

sangat tinggi. Seluruh responden dengan sukarela akan membentengi organisasi

dengan komitmen yang tinggi. Hal ini agar organisasi tetap terjaga dari

pencemaran-pencemaran yang dapat menurunkan citra rumah sakit sebagai

pelayan masyarakat.

Selanjutnya, dimensi yang mendapatkan rata-rata jawaban terkecil adalah

dimensi courtesy sebesar 4,07 (tinggi). Hal ini menujukkan bahwa seluruh telah

menunjukkan sikap yang kooperatif dan selalu dapat menyelesaikan tugas secara

maksimal di atas standar kerja. Pelaksanaan tugas tersebut semata-mata

dilaksanakan untuk mengangkat derajat instutusi rumah sakit yang selalu teguh

dalam menjalankan hukum dan ketentuan sesuai dengan prinsip-prinsip

kemanusiaan dan keadilan.

Secara keseluruhan, nilai rata-rata variabel perilaku OCB sebesar 4,17.

Nilai tersebut menunjukkan bahwa perilaku OCB berada pada kategori sangat
114

tinggi. Hasil ini memberikan makna bahwa telah memiliki keterikatan yang tinggi

terhada organisasi dan pekerjaannya. Perilaku OCB tersebut diidentifikasi dengan

memiliki komitmen yang tinggi pada organisasi tempat perawat bekerja, secara

sukarela melaksanakan tugas-tugas dan sebagainya.

4.1.3.3 Deskripsi Variabel Stress

Stres kerja diartikan sebagai kesadaran atau perasaan disfungsional

individu yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak nyaman, tidak diinginkan, atau

dianggap sebagai ancaman di tempat kerja (Montgomery et al... 1996). Variabel

ini diukur menggunakan indikator yang diadopsi dari penelitian Rustiarini (2014),

yakni: Ketidakmampuan menghadapi pekerjaan, tidak dapat berkonsentrasi dalam

pekerjaan, kesulitan mengendalian emosi dan depresi terhadap beban kerja.

Jawaban responden terhadap indikator-indikator dimensi stress kerja dipaparkan

berikut ini.

1. Jawaban Responden atas Kemampuan Menghadapi Pekerjaan

Pengukuran dimensi ketidakmampuan menghadapi pekerjaan, indikator

dimensi ketidakmampuan menghadapi pekerjaan dirangkum pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16
Jawaban Responden terhadap Dimensi Ketidakmampuan Menghadapi
Pekerjaan
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Pekerjaan yang saya lakukan
0 6 22 193 67 4,11 Tinggi
terasa sulit diselesaikan
2 Pekerjaan ini saya anggap Sangat
0 4 19 163 102 4,26
beban yang sangat berat Tinggi
3 Tekanan kerja membuat saya
tidak dapat menentukan 0 4 40 180 64 4,06 Tinggi
prioritas pekerjaan
Rata-rata 4,14 Tinggi
115

Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah


Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Stres kerja perawat dari dimensi ketidakmampuan menghadapi pekerjaan

sangat sering dialami responden. Jawaban responden sebesar 4,14 yang berada

pada kategori tinggi. Ketidakmampuan menghadapi pekerjaan tersebut biasanya

dilakukan dirasakan sangat berat, sehingga perawat tidak dapat menentukan

prioritas pekerjaan yang harus dilakukan. Kondisi ini menyebabkan tekanan

kepada prrawat sehingga menyebabkan stres kerja yang tinggi. Stres kerja tersebut

membuat hasil kerja perawat semakin menurun.

Indikator yang memperoleh nilai rata-rata terendah berbunyi “Tekanan

kerja membuat saya tidak dapat menentukan prioritas pekerjaan” sebesar 4,06.

Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada perawat yang merasa tertekan dengan

pekerjaan mereka, terutama dalam saat menghadapi pasien yang memerlukan

penanganan serius. Hal ini membuat perawat terbawa perasaan, sehingga

terkadang tidak dapat berkonsentrasi.

Selanjutnya, indikator yang membuat ketidakmampuan menghadapi

pekerjaan yang paling dominan adalah “Pekerjaan ini saya anggap beban yang

sangat berat” sebesar 4,26. Kondisi stress disebabkan oleh beban kerja yang masih

dianggap berat oleh perawat. Hal ini membuat perawat tidak dapat atau tidak

mampu menghadapi pekerjaan secara baik, sehingga membuat perawat stress.


116

Stress yang tinggi terkadang tidak mampu menghadapi pekerjaan. Kondisi

ini kemungkinan karena perawat merasa kecapaian karena rutinitas yang dijalani

perawat hamper dilaksanakan setiap hari, terkadang hingga larut malam di rumah

sakit.

2. Jawaban Responden atas Depresi terhadap Beban Kerja

Jawaban responden terhadap indikator dimensi depresi terhadap beban

kerja dirangkum pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17
Jawaban Responden terhadap Dimensi Depresi Menghadapi Beban Kerja
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Stres kerja membuat
saya tidak tenang dalam
6 6 29 193 54 3,98 Tinggi
melaksanakan pekerjaan
saya
2 Stres kerja yang saya
Sangat
alami membuat 0 2 7 196 83 4,25
Tinggi
sayakurang bersemangat
3 Tekanan kerja yang
terjadi membuat saya 0 4 35 193 56 4,05 Tinggi
senang menyendiri
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Dimensi depresi terhadap beban kerja sering dialami perawat rumah sakit,

jawaban responden sebesar 4,09 yang berada pada kategori tinggi. Depresi

terhadap beban kerja tersebut biasanya terjadi karena beban kerja yang menumpuk

dan pekerjaan tidak didistribusikan dengan adil, sehingga perawat tidak tenang
117

dalam melaksanakan pekerjaan. Kondisi ini menyebabkan tekanan kepada

perawat sehingga menyebabkan stres kerja yang tinggi, sehngga membuat hasil

kerja menurun.

Indikator dimensi depresi terhadap beban kerja yang mendapatkan nilai

tertinggi adalah “Stres kerja yang saya alami membuat saya kurang bersemangat”

sebesar 4,25 artinya responden mengalami kondisi stress kerja yang tinggi,

sehngga perawat kurang bersemangat dalam melaksanakan kerja. Hal ini

kemungkinan karena jadwal dan jam kerja yang dijalankan perawat sampai larut

malam, maka membuat perawat mengalami kelelahan fisik sehingga berdampak

kurang bersemangat melaksanakan tugas di hari berikutnya.

Selanjutnya, indikator terendah adalah “Stres kerja membuat saya tidak

tenang dalam melaksanakan pekerjaan saya” sebesar 3,98. Hasil menggambarkan

kondisi perawat rumah sakit membuat perawat kurang tenang dalam bertugas.

Kondisi ini terlihat dari fisik perawat yang terkadang lesu, lelah dan terlihat

mengantuk.

Perawat rumah sakit disebabkan karena depresi menghadapi beban kerja.

Walaupun perawat sudah mengerti mengenai seluk beluk tugas-tugasnya, namun

karena banyaknya pasien yang harus dilayani membuat perawat tidak dapat

berkonsentrasi sehingga membuatnya mengalami stress.

3. Jawaban Responden atas Kesulitan Mengendalikan Emosi

Stres kerja dari dimensi kesulitan dalam mengendalikan emosi sering

dialami responden. Nilai rata-rata jawaban responden sebesar 4,34 (sangat tinggi).
118

Tekanan pekerjaan sebagai perawat terkadang membuat kondisi emosional tidak

stabil, sehingga perawat terkadang terlihat tidak ramah dan temperamen. Tekanan

pekerjaan baisanya terjadi adanya interpensi atasan dalam membuat laporan hasil

kerja. Kondisi ini berarti perawat sedang mengalami kondisi stres kerja yang

tinggi.

Tabel 4.18
Jawaban Responden terhadap Dimensi Kesulitan Mengendalian Emosi
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Kondisi emosi saya sangat labil
Sangat
(temperamen) saat saya 0 1 11 150 126 4,39
Tinggi
mengalami tekanan kerja
2 Setiap ucapan rekan kerja saya
Sangat
tanggapi dengan perasaan 0 0 15 176 97 4,28
Tinggi
marah
3 Tekanan pekerjaan yang saya
Sangat
alami membuat saya tidak 0 4 5 170 109 4,33
Tinggi
ramah dan sulit bergaul
Sangat
Rata-rata 4,34
Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Indikator dimensi ini yang mendapatkan nilai tertinggi adalah “Kondisi

emosi saya sangat labil (temperamen) saat saya mengalami tekanan kerja” sebesar

4,39. Tekanan kerja yang dimaksud adalah banyaknya tugas-tugas yang harus

dilaksanakan, sehingga perawat kurang dapat membagi waktu. Selain itu,

pembagian jadwal di tiap-tiap ruangan perawatan yang tidak merata sehingga

menyebabkan kondisi tekanan kerja lebih tinggi.


119

Selanjutnya, indikator yang mendapatkan nilai terendah adalah “Setiap

ucapan rekan kerja saya tanggapi dengan perasaan marah” sebesar 4,28. Hasil

menunjukkan perawat rumah sakit merasa tersinggung dengan ucapan rekan

kerjanya, namun perawat cenderung diam dan tidak membuat hubungan kerja

semakin tegang.

Jadi, berdasarkan pemaparan menunjukkan kondisi stress perawat dapat

diidentifikasi dengan adanya kesulitan perawat mengendalikan emosi. Hal ini

terjadi karena perawat jenuh dan lelah, sehingga muncul konflik-konflik antara

rekan kerja.

4. Jawaban Responden atas Tidak Konsentrasi

Hasil Responden tidak konsentrasi dirangkum pada Tabel 4.19.

Tabel 4.19
Jawaban Responden terhadap Dimensi Tidak Konsentrasi
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Stres kerja menyebabkan
Sangat
saya tidak fokus dalam 0 0 28 160 100 4,25
Tinggi
melaksanakan pekerjaan
2 Saya merasa bahwa
pekerjaan yang saya Sangat
0 0 0 195 93 4,32
hasilkan mengalami Tinggi
banyak kesalahan
3 Tekanan pekerjaan yang
saya alami membuat
6 51 48 142 41 3,56 Tinggi
pekerjaan yang saya
lakukan asal jadi
Rata-rata 4,04 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi
120

Dimensi tidak konsentrasi menunjukkan perawat tidak konsentrasi dalam

melaksanakan pekerjaan. Jawaban responden sebesar 4,04 yang berada pada

kategori tinggi. Hilangnya konsentrasi tersebut menyebabkan menurunnya

kualitas kerja. Hilang kosentarsi tersebut biasanya terjadi akibat dari adanya

konflik antar perawat dalam tim kerja.

Indikator dimensi tidak konsentrasi yang mendapatkan rata-rata tinggi

adalah “Saya merasa bahwa pekerjaan yang saya hasilkan mengalami banyak

kesalahan” sebesar 4,32. Perawat merasa khawatir dengan hasil kerjanya hal ini

karena perawat yang mengalami stress akan cenderung tidak dapat berkonsentrasi

secara baik atau sebaliknya

Kemudian, indikator terendah adalah “Tekanan pekerjaan yang saya alami

membuat pekerjaan yang saya lakukan asal jadi” sebesar 3,56. Kondisi stress kerja

yang dialami perawat rumah sakit membuat perawat kurang tenang dalam

bertugas. Kondisi ini terlihat dari fisik perawat yang terkadang lesu, lelah dan

terlihat mengantuk.

Diketahui bahwa kondisi stress kerja yang terlalu tinggi membuat hasil

pekerjaan dapat berkurang kualitasnya atau bahkan tidak berkualitas. Kondisi

stress ini disebabkan karena kurang mampunya memahami beban kerja, adanya

tekanan pekerjaan, kesulitan mengendalikan emosi dan kurangnya konsetrasi

dalam bekerja.

Dari pemaparan yang telah dijelaskan, dapat dirangkum hasil stress kerja

berikut ini.
121

Tabel 4.20
Jawaban Responden terhadap Variabel Stres
Ket
No Dimensi Rata-Rata
1 Ketidakmampuan Menghadapi Pekerjaan 4,14 Tinggi
2 Depresi terhadap Beban Kerja 4,09 Tinggi
3 Kesulitan Mengendalikan Emosi 4,34 Sangat Tinggi
4 Tidak Konsentrasi 4,04 Tinggi
Rata-rata 4,15 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Tabel 4.20 menunjukkan bahwa stress kerja memperoleh nilai rata-rata

jawaban responden sebesar 4,15 dan berada pada kategori “tinggi”. Hasil ini

menunjukkan bahwa memiliki tingkat depresi yang sangat tinggi dengan

pekerjaannya. Hal ini dikarenakan tugas-tugas perawat tidak berkaitan dengan

jurusan pendidikan dan profesionalisme sebagai perawat, sehingga hal ini

membuat tekanan yang berdampak pada stress kerja, sehingga merugikan baik

bagi individu maupun bagi organisasi. Oleh karenanya, pengendalian terhadap

stress dan faktor-faktor yang mempengaruhinya harus dilaksanakan secara

memadai.

Jadi perawat cenderung mengalami tekanan pekerjaan, beban kerja yang

berat, tidak konsentrasi dan kesulitan mengendalikan emosi. Kondisi ini membuat

perawat merasa dibebani tugas yang berat yang membuat beban fisik dan

psikologis.
122

4.1.3.4 Deskripsi Variabel Kinerja Perawat

Kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan oleh seseorang dalam

periode waktu tertentu. Pada penelitian ini, variabel kinerja menggunakan dimensi

kinerja seperti kuantitas pekerjaan, kualitas pekerjaan, kerjasama dan pemanfaatan

waktu. Hasil dimensi kinerja dipaparkan berikut ini.

1) Jawaban Responden terhadap Kuantitas Pekerjaan

Jawaban responden terhadap indikator dimensi kuantitas pekerjaan

variabel kinerja perawat dirangkum pada Tabel 4.21.

Tabel 4.21
Jawaban Responden terhadap Dimensi Kuantitas Pekerjaan
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Capaian volume kerja saya sudah
sesuai dengan standar rencana 0 4 24 174 86 4,19 Tinggi
kinerja rumah sakit.
2 Saya berhasil mencapai target
Sangat
volume kerja perawat yang 0 0 8 198 82 4,26
Tinggi
direncanakan.
3 Capaian volume kerja saya sudah
sesuai dengan standar waktu yang 6 6 32 180 64 4,01 Tinggi
saya perkirakan.
4 Capaian volume kerja saya sudah
Sangat
sesuai dengan standar waktu yang 0 2 16 174 96 4,26
Tinggi
ditetapkan rumah sakit.
Sangat
Rata-rata 4,18
Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Tabel 4.21 menunjukkan bahwa dimensi kuantitas hasil kerja memiliki

nilai rata-rata sebesar 4,18 (tinggi). Capaian volume kerja yang ditunjukkan oleh
123

perawat sudah memenuhi standar rumah sakit dan rencana kerja yang ditetapkan.

Selain itu perawat juga sudah memiliki capaian waktu yang memadai dalam

mengerjakan tugas-tugasnya, sehingga dalam waktu yang efektif telah

mengerjakan berbagai tugas yang menjadi tanggungjawab perawat.

Indikator terendah pada dimensi kuantitas pekerjaan adalah “Capaian

volume kerja saya sudah sesuai dengan standar waktu yang saya perkirakan”

sebesar 4,01. Perawat sudah mampu mencapai volume pekerjaan yang ditetapkan

dengan waktu yang tepat. Hal ini sebagaimana ditampilkan dalam laporan SKP

(Sasaran Kerja Individu) yang dihitung tiap bulan.

Selanjutnya, indikator yang mendapatkan nilai rata-rata tertinggi adalah

“Saya berhasil mencapai target volume kerja perawat yang direncanakan” dan

“Capaian volume kerja saya sudah sesuai dengan standar waktu yang ditetapkan

rumah sakit” masing-masing sebesar 4,26. Hasil menunjukkan perawat mampu

mencapai target kerja yang direncanakan dengan hasil yang sangat baik. Selain

itu, dalam pencapaian volume pekerjaan tersebut, perawat telah mencapainya

dengan standar waktu yang ditetapkan.

Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu telah mampu menampilkan kinerja yang tinggi. Kondisi berarti bahwa

perawat telah melaksananakan standar pelayanan asuhan keperawatan yang sesuai

dengan ketentuan yang ditetapkan rumah sakit.

2) Jawaban Responden terhadap Kualitas Pekerjaan

Hasil dimensi kualitas pekerjaan variabel kinerja perawat dirangkum pada

Tabel 4.22.
124

Tabel 4.22
Jawaban Responden terhadap Dimensi Kualitas Pekerjaan
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Raihan volume kerja yang saya
selesaikan telah sesuai dengan
0 4 28 182 74 4,13 Tinggi
standar mutu yang ditetapkan
rumah sakit.
2 Capain volume kerja saya sudah
Sangat
sesuai dengan kompetensi 0 0 12 150 126 4,40
Tinggi
perawat.
3 Saya berhasil mencapai target
pekerjaan dalam waktu yang 0 4 46 164 74 4,07 Tinggi
sudah direncanakan.
4 Dalam memenuhi target volume
kerja, saya laksanakan dengan 0 4 54 164 66 4,01 Tinggi
penuh ketelitian.
Rata-rata 4,15 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Secara umum, dimensi kualitas kerja mendapatkan nilai rata-rata sebesar

4,15, yang berarti bahwa kualitas baik. Kualitas hasil kerja perawa tersebut

didukung dengan kemampuan perawat menyelesaikan volume pekerjaan yang

menjadi tanggungjawabnya, keberhasilan mencapai target kerja yang ditetapkan

oleh rumah sakit dan memenuhi pekerjaan dengan ketelitian yang tinggi.

Indikator dimensi kualitas kerja yang mendapat hasil rendah yaitu “Dalam

memenuhi target volume kerja, saya laksanakan dengan penuh ketelitian” sebesar

4,01. Perawat telah memenuhi volume pekerjaan dengan ketelitian yang tinggi.
125

Hal ini berarti pelaksanaan tugas telah berdasarkan standar kualitas yang

ditetapkan.

Kemudian, indikator berbunyi “Capain volume kerja saya sudah sesuai

dengan kompetensi perawat” mendapatkan nilai rata-rata tertinggi sebesar 4,40.

Hasil ini memberikan makna bahwa pencapaian volume pekerjaan perawat telah

dilaksankaan dengan standar kompetensi keperawatan yakni standar asuhan

keperawatan yang tinggi. Perawat telah serius dalam melaksanakan setiap tugas-

tugas yang diberikan kepadanya.Kondisi berarti bahwa perawat telah

melaksananakan standar pelayanan asuhan keperawatan yang sesuai dengan

ketentuan yang di tetapkan rumah sakit. Hal ini tentu saja akan berdampak pada

kualitas pelayanan dan kepuasan pasien yang dirawat di rumah sakit.

3) Jawaban Responden terhadap Kerjasama

Pada dimensi kerjasama, rata-rata jawaban responden sebesar 4,05

(tinggi). Kerjasama yang solid ditunjukkan perawat dalam menyelesaikan

pekerjaan, terutama dalam pergatian shif kerja saat perawat berjaga di rumah

sakit. Dengan teratur perawat bergantian dan bergiliran saat keluarga pasien

membutuhkan bantuan perawat.

Tabel 4.23
Jawaban Responden terhadap Dimensi Kerjasama
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Dalam melaksanakan pekerjaan,
saya biasa bekerjasama dalam satu 0 0 20 218 50 4,10 Tinggi
tim yang ditentukan rumah sakit.
2 Pada saat anggota tim ada yang 0 4 40 176 68 4,07 Tinggi
mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan pekerjaan, saya
memberikan bantuan sesuai
126

Jawaban Rat Ket


No Indikator
1 2 3 4 5 aRa
dengan kebutuhan pelayanan ta
rumah sakit.
3 Pada kondisi sedang mengalami
permasalahan, saya selalu
0 6 46 164 72 4,05 Tinggi
mengikuti diskusi pemecaha
masalah bersama.
4 Diantara sesama anggota tim
kerja, saya sudah sering
0 8 32 212 36 3,96 Tinggi
memberikan masukan untuk
kesempurnaan pekerjaan tim.
Rata-rata 4,05 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Indikator dimensi kerjasama yang mendapatkan nilai rata-rata tertinggi

adalah “Dalam melaksanakan pekerjaan, saya biasa bekerjasama dalam satu tim

yang ditentukan rumah sakit” sebesar 4,10. Hasil ini menggambarkan bahwa

perawat telah mampu melaksanakan kerjasama yang baik dalam melaksanakan

tugas-tugas pelayanan keperawatan. Kerjasama ini untuk memudahkan dalam

penyelesaian tugas dan pembagian tugas secara efektif.

Selanjutnya, indikator “Diantara sesama anggota tim kerja, saya sudah

sering memberikan masukan untuk kesempurnaan pekerjaan tim” sebesar 3,95.

Hasil ini memberi gambaran bahwa perawat selalu melakukan koordinasi tim.

Selain itu, biasanya perawat yang merupakan kepala ruangan selalu memberikan

briefing kepada seluruh perawat untuk selalu konsisten dan memberikan

pelayanan yang baik, untuk memberikan support dan semangat kepada perawat.
127

Kondisi berarti bahwa perawat telah melaksananakan standar pelayanan asuhan

keperawatan yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan rumah sakit..

4) Jawaban Responden terhadap Pemanfaatan Waktu

Jawaban responden terhadap indikator dimensi pemanfaatan waktu

variabel kinerja perawat dirangkum pada Tabel 4.24. Rata-rata jawaban responden

sebesar 4,03, (tinggi). Pemanfaatan waktu adalah menetapi jadwal kerja yang

telah ditetapkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam pemberian pelayanan

kepada pasien, perawat telah melaksanakan sesuai jadwal kerja yang telah

ditetapkan.

Selanjutnya, indikator dimensi pemanfaatan waktu adalah “Dalam

kesibukan kerja, saya biasa memperhatikan hal-hal yang terjadi di luar rencana

untuk meningkatkan kinerja berikutnya” sebesar 4,06 berarti responden sudah

mampu memanfaatkan waktu dengan terencana, sehingga selalu disibukkan

dengan pekerjaan bukan hal-hal lain di luar pekerjaan. Hal ini juga menunjukkan

perawat memiliki keseriusan yang tinggi dalam pekerjaannya.

Tabel 4.24
Jawaban Responden terhadap Dimensi Pemanfaatan Waktu
Jawaban Rat Ket
No Indikator 1 2 3 4 5 aRa
ta
1 Pada saat waktu luang, saya selalu
membaca buku, majalah, artikel
yang berisi pengetahuan baru 0 2 36 210 40 4,00 Tinggi
tentang kompetensi perawat
rumah sakit.
2 Di sela-sela kesibukan kerja, saya
biasa mencatat hal-hal yang belum
0 4 54 158 72 4,03 Tinggi
terselesaikan untuk diselesaikan
pada waktu berikutnya.
3 Dalam kesibukan kerja, saya biasa 0 2 18 230 38 4,06 Tinggi
memperhatikan hal-hal yang
128

Jawaban Rat Ket


No Indikator
1 2 3 4 5 aRa
terjadi di luar rencana untuk ta
meningkatkan kinerja berikutnya.
4 Saya juga menggunakan waktu
istirahat dengan sebaik-baiknya
0 6 54 158 70 4,01 Tinggi
untuk menjaga kebugaran fisik
dan fikiran.
Rata-rata 4,03 Tinggi
Rata-rata Total 4,10 Tinggi
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah
Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Selanjutnya, indikator dimensi pemanfaatan waktu yang mendapatkan

nilai terendah adalah “Pada saat waktu luang, saya selalu membaca buku, majalah,

artikel yang berisi pengetahuan baru tentang kompetensi perawat rumah sakit”

sebesar 4,00. Perawat rumah sakit selalu memanfaatkan waktu luang dengan hal-

hal yang produktif, seperti meneliti catatan dan rekam jejak pasien yang menjadi

tanggungjawabnya, pelaksanaan tugas-tugas perawatan berjalan dengan baik dan

memadai.

Dari pemaparan yang telah dijelaskan, variabel stress kerja sebagai

berikut:

Tabel 4.25
Jawaban Responden terhadap Variabel Kinerja Perawat
Ket
No Dimensi Rata-Rata
1 Kuantitas Pekerjaan 4,18 Tinggi
2 Kualitas Pekerjaan 4,15 Tinggi
3 Kerjasama 4,05 Tinggi
4 Pemanfaatan Waktu 4,03 Tinggi
Rata-rata 4,10 Tinggi
129

Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah


Keterangan:
1,00 – 1,79 : Sangat rendah
1,80 – 2,59 : Rendah
2,60 – 3,39 : Sedang
3,40 – 4,19 : Tinggi
4,20 – 5,00 : Sangat tinggi

Tabel 4.25 menunjukkan bahwa kinerja perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu berada pada kategori tinggi artinya responden telah memenuhi kriteria

yang ditetapkan. Kriteria kinerja tersebut meliputi kualitas hasil kerja, kuantitas

hasil kerja, hubungan kerjasama dan pemanfaatan waktu. Upaya meningkatkan

kinerja juga ditunjukkan perawat dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-

baiknya, misalnya membaca buku pedoman perawat yang telah distandarisasi oleh

PPNI dan rumah sakit. Hal ini agar tugas dan fungsi perawat dapat dijalankan

dengan baik.

4.1.4 Hasil Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Penelitian ini menggunakan model persamaan struktural yang dianalisis

dengan menggunakan program SmartPLS 2.0 M2. Langkah awal yang dilakukan

dalam pengujian model structural adalah mengevaluasi model eksternal (outer

measurement model). Outer measurement model ini berfungsi sebagai uji validitas

dan uji reliabilitas atas parameter yang membentuk konstruk variabel latennya.

Hasil pengujian outer model telah diuji dan ditempatkan pada Bab 3. Pada subbab

pembahasan ini disajikan hasil pengujian kelayakan model structural dan

pengujian hipotesis.

4.1.4.1 Pengujian Kelayakan Model Struktural (Inner Model)


130

Kelayakan model structural (inner model) diukur atau dievaluasi dengan

nilai koefisien determinasi (R2). Nilai tersebut menunjukkan kemampuan konstruk

eksogen variabel menjelaskan konstruk endogen variabel dalam model structural.

Dalam hal ini, nilai determinasi berganda menunjukkan kemampuan variabel big

five personality dalam mempengaruhi organizational behavior (OCB) dan

kemampuan variabel big five personality, organizational behavior (OCB) dan

stress terhadap kinerja perawat. Dari hasil analisis data, diketahui nilai R-square

konstruk dependen (endogen) sebagaimana terangkum pada Tabel 4.26 berikut.

Tabel 4.26
Nilai R-Square Model Structural
Variabel R Square
Kinerja 0,688
Organizational Behavior (OCB) 0,183
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Hasil estimasi memperlihatkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2)

pertama sebesar 0,183, yang berarti akurasi atau ketepatan model organizational

behavior (OCB) dapat dijelaskan oleh personality sebesar 18,3%. Nilai koefisien

determinasi (R2) kedua sebesar 0,674, dapat dijelaskan oleh personality,

organizational behavior (OCB) dan stress sebesar 68,8%, sementara selebihnya

31,2% dijelaskan oleh faktor lain.

4.1.4.2 Hasil Pengujian Hipotesis (Inner Model) Efek Utama

Langkah analisis selanjutnya dalam SEM-PLS adalah melakukan

pengujian hipotesis. Untuk menguji tingkat signifikansi variabel konstruk dilihat


131

dari nilai t-statistic pada jalur structural. Guna memperoleh nilai t-statistic

dilakukan dengan teknik bootstrapping.

Uji Ho dengan nilai t-statistik (t-hitung) dan probabilitas-nya (p-value).

Untuk menilai signifikansi model prediksi dalam pengujian model struktural,

dilakukan dengan melihat nilai p-value dibandingkan dengan taraf kesalahan

(nilai alpha) 5% (0,05). Jika nilai p-value < alpha 0,05; maka hipotesis di terima

dan jika nilai p-value > alpha 0,05, maka hipotesis ditolak. Hasil bootstrapping

model penelitian sebagai berikut.


132

Gambar 4.1
Hasil Pengujian Hipotesis Model Struktural Efek Utama
133

Ringkasan nilai t-statistik persamaan jalur structural dirangkum pada Tabel

4.27 berikut

Tabel 4.27
Hasil Pengujian Hipotesis Model Struktural (Efek Utama)
Original Sample Mean Standard Error T Statistics (|
  Sample (O) (M) (STERR) O/STERR|)
BIG -> KIN 0.811 0.814 0.026 31.765
BIG -> OCB 0.432 0.432 0.050 8.698
OCB -> KIN 0.084 0.081 0.027 3.071
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Dari hasil pengujian sebagaimana terangkum pada Tabel 4.27 diketahui

bahwa model utama (inner model) yang bertujuan mengetahui pengaruh

kepribadian terhadap kinerja perawat dengan OCB sebagai mediasi diterima. Hal

ini dibuktikan dengan:

1) Nilai t-hitung BIGKIN sebesar 31,765 > t-tabel 1,960 yang memberikan

bukti bahwa variabel kepribadian (big five personality) berpengaruh positif

dan signifikan terhadap kinerja perawat. Hal ini berarti bahwa jika kepribadian

semakin baik, maka kinerja perawat semakin meningkat.

2) Nilai t-hitung BIGOCB sebesar 8,698 > t-tabel 1,960, memberikan bukti

bahwa variabel kepribadian (big five personality) berpengaruh positif dan

signifikan terhadap perilaku OCB perawat. Hal ini berarti bahwa jika

kepribadian semakin baik, maka perilaku OCB perawat semakin meningkat.

3) Nilai t-hitung OCBKIN sebesar 3,071 > t-tabel 1,960, memberikan bukti

bahwa variabel OCB berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja

perawat. Hal ini berarti bahwa jika perilaku OCB semakin meningkat, maka

kinerja perawat semakin meningkat.


134

Sejalan dengan pendapat Baron dan Kenny (1986) bahwa peran mediasi

terjadi jika kondisi-kondisi berikut ini terjadi, yakni:

1. Pada persamaan tahap pertama, variabel independen (X) memiliki pengaruh

terhadap variabel dependen (Y).

2. Pada persamaan tahap kedua, variabel independen (X) memiliki pengaruh

terhadap variabel mediasi (M).

3. Pada persamaam ketiga, variabel mediasi (M) memiliki pengaruh terhadap

variabel dependen (Y).

4.1.4.3 Hasil Pengujian Hipotesis Efek Mediasi

Pada pengujian efek mediasi didapatkan hasil t-value sebesar 2,672,

artimya Nilai t-value 2,672 > t-tabel 1,960., sehingga memberikan bukti bahwa

variabel OCB memiliki peran mediasi pada pengaruh personality terhadap kinerja

perawat rumah sakit di Kota Bengkulu.

Pengujian peran mediasi OCB pada pengaruh personality terhadap kinerja

perawat rumah sakit di Kota Bengkulu, dapat dilakukan dengan dua pendekatan,

yaitu perbedaan koefisien dan perkalian koefisien. Pendekatan perbedaan

koefisien menggunakan metode pemeriksaan dengan melakukan analisis dengan

dan tanpa melibatkan variabel mediasi. Sedangkan metode perkalian dilakukan

dengan metode Sobel (Sobel test) (Hair et al..¸2006).

Pengujian dengan pendekatan berpedaan koefisien diterapkan pada metode

Mediated Regression Analysis (MRA) dengan menggunakan sesuai tahapan

pengujian Baron dan Kenny (1986), yakni dengan metode regresi sederhana dan
135

regresi berganda. Pada pengujian SEM-PLS pengujian efek mediasi dilakukan

dengan teknik Sobel test. Pengujian Sobel test dilakukan dengan nilai z-value

yang dihitung dengan rumus:

t_value = (a x b) / (b2 x SEa2 + a2 x SEb2)

dimana:

a = koefisien regresi standardized pengaruh variabel penjelas X terhadap

variabel mediasi M

SEa = standard error untuk koefisien a.

b = koefisien regresi standardized pengaruh variabel mediasi M terhadap

variabel dependen Y.

SEb = standard error untuk koefisien b

SQRT = Square Root (Akar dari)

Gambar 4.2

Nilai Koefisien Jalur Struktural Efek Mediasi


136

Tabel 4.28
Hasil Pengujian Efek Mediasi OCB pada Pengaruh Kepribadian
terhadap Kinerja Perawat
Original Sample Mean Standard Error T Statistics (|
  Sample (O) (M) (STERR) O/STERR|)
BIG -> KIN 0.775 0.775 0.026 31.765
BIG -> OCB 0.432 0.432 0.050 8.698
OCB -> KIN 0.084 0.081 0.027 3.071

Dari Gambar 4.2 dan Tabel 4.28 selanjutnya diperoleh nilai t-value efek

mediasi dari OCB pada pengaruh kepribadian terhadap kinerja perawat rumah

sakit. Hasil perhitungan melalui rumus Sobel test, dapat dihitung nilai t-value

sebagai berikut:

t_value = (a x b) / (b2 x SEa2 + a2 x SEb2)

t_value = (0,432 x 0,084) / ((0,084)2 x (0,026)2 + (0,432)2 x (0,027)2)

t_value = (0,03629) / (0,0071 x 0,0068) + (0,1866 x 0,00073)

t_value = 0,03629 / (0,00004828 + 0,00013622)

t_value = 0,03629 / 0,0001845

t_value = 0,03629 / 0,01358

t_value = 2,672

Berdasarkan hasil pengujian efek mediasi OCB pada pengaruh

personality terhadap kinerja perawat mendapatkan nilai t-value sebesar 2,672.

Nilai t-value 2,672 > t-tabel 1,960. Hasil ini memberikan arti bahwa efek

mediasi OCB pada pengaruh personality terhadap kinerja perawat adalah

signifikan. Hasil ini berarti bahwa hipotesis yang berbunyi : OCB memediasi

pengaruh personality terhadap kinerja perawat rumah sakit di Kota Bengkulu

diterima.
137

Selanjutnya, dari dari hasil pengujian hipotesis tersebut, selanjutnya

dihitung pengaruh tidak langsung pada model mediating sebagaimana terlihat

pada Tabel 4.29 berikut ini.

Tabel 4.29
Perhitungan Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Pengaruh Kepribadian
terhadap Kinerja dengan OCB sebagai Mediasi
Pengaruh Langsung Pengaruh Tidak Total Pengaruh
  (O) Langsung (b1 x b2) (Total Effect)
BIG -> KIN 0.811 0.068 0.879
BIG -> OCB 0.432
OCB -> KIN 0.084
Sumber: Data Primer diolah, 2017

Tabel 4.29 menjelaskan bahwa pada pengaruh personality terhadap OCB

menunjukkan angka positif (0,432), yang berarti bahwa personality yang tinggi

dapat meningkatkan perilaku OCB perawat rumah sakit di Kota Bengkulu.

Selanjutnya, variabel OCB sebagai variabel mediasi (intervening) memiliki

pengaruh positif terhadap kinerja perawat rumah sakit sebesar 0,084. Hal ini

berarti bahwa perilaku OCB yang tinggi akan meningkatkan kinerja perawat.

Kondisi yang sama juga terjadi pada pengaruh langsung variabel kepribadian

terhadap kinerja perawat yang juga positif sebesar 0,811 yang berarti bahwa

personality yang tinggi akan meningkatkan kinerja perawat. Dari informasi

tersebut diketahui total pengaruh kepribadian dan perilaku OCB terhadap kinerja

perawat menghasilkan nilai positif yakni 0,879, yang berarti bahwa kepribadian

dan perilaku OCB dapat meningkatkan perawat rumah sakit di Kota Bengkulu.

Artinya, jika kepribadian yang tinggi akan meningkatkan perilaku OCB yang pada

akhirnya mampu meningkatkan kinerja perawat.


138

4.1.4.4 Hasil Pengujian Hipotesis (Inner Model) dengan Efek Moderasi

Variabel Stres

Pengujian efek moderasi dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis

efek utama, yakni model analisis sebelum variabel moderasi dimasukkan ke dalam

fungsi atau persamaan atau model. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh

model efek utama sebagaimana terlihat pada Gambar 4.2 berikut.


139

Gambar 4.2
Hasil Pengujian Efek Utama
140

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa pengukuran efek utama pengaruh

personality terhadap OCB, OCB dan stress terhadap kinerja perawat mendapatkan

nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,684. Hasil ini menunjukkan bahwa

kinerja perawat dipengaruhi oleh personality, OCB dan stress sebesar 68,4%.

Sementara sisanya 31,6% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.

Selanjutnya, sesuai dengan tahap pengujian model moderasi, guna

mengetahui efek moderasi variabel stress pada model efek utama adalah

memasukkan memasukkan efek moderasi antara stress denga personality ke

dalam model. Hasil pengujian sebagaimana terlihat pada Gambar 4.4. Gambar 4.4

menunjukkan bahwa pengukuran efek moderasi stress kerja pada pengaruh

personality terhadap OCB dan OCB terhadap kinerja perawat mendapatkan nilai

koefisien determinasi (R2) sebesar 0,680. Hasil ini menunjukkan bahwa kinerja

perawat dipengaruhi oleh personality, OCB, stress dan efek moderasi stress

sebesar 68%. Sementara sisanya 32% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak

diteliti.
141

Gambar 4.4
Hasil Pengujian Efek Moderasi Stres Kerja
142

Dari hasil pengujian tersebut diperoleh dua nilai koefisien determinasi

(R2), yakni pada model efek utama dan model efek moderasi. Koefisien

determinasi pertama sebesar 0,684 (68,4%) dan koefisien determinasi kedua

adalah 0,680 (68%).

Tabel 4.30
Nilai Koefisien Determinasi (R2)
Model Struktural R Square
Efek Utama 0,684
Efek Moderasi Stres Kerja 0,688
Sumber: Hasil penelitian 2017, diolah

Melihat Tabel 4.30 diketahui bahwa terjadi perubahan nilai koefisien

determinasi model efek utama dengan model efek moderasi variabel stres.

Perubahan yang terjadi tersebut dari 68,4% menjadi 68,8%. Hal ini berarti bahwa

variabel stres memiliki peran moderating menurunkan pengaruh OCB terhadap

kinerja perawat. Stress kerja yang semakin tinggi akan meningkatkan kinerja

perawat dari sebelum perawat mengalami stress kerja. Kondisi ini terjadi,

walaupun dalam kondisi stress, perawat masih memiliki kesediaan untuk

melaksanakan tugas dan profesinya dengan baik, hal dikarenakan perawat harus

menjalankan kode etik keperawatan yang telah diatur di dalam profesinya. Selain

itu, kondisi stress akibat kerja telah disadari oleh perawat sehingga tidak

mempengaruhi dirinya dalam melaksanakan tugas melampaui apa yang

seharusnys demi kelangsungan hidup organisasinya (rumah sakit).

Langkah berikutnya adalah melakukan bootstrapping model baru tersebut.

Langkah ini dilakukan untuk mengetahui tipe moderasi yang terjadi pada model

yang diteliti. Menurut Sharma (1986) sebagaimana dikutip oleh Solimun (2017)
143

tipe moderasi diklasifiksikan menjadi 4 jenis sebagaimana terangkum pada Tabel

4.31.

Tabel 4.31
Klasifikasi Variabel Moderasi
No Tipe Moderasi Keterangan
Jika varabel moderasi tidak signifikan dan
1 Pure Moderasi
interaksinya signifikan
Jika variabel moderasi signifikan dan interaksinya
2 Quasi Moderasi
signifikan
Jika variabel moderasi tidak signifikan dan
3 Homologizer Moderasi
interaksinya tidak signifikan
Jika variabel moderasi signifikan dan interaksinya
4 Predictor Moderasi
tidak signifikan
Sumber: Solimun (2017)

Hasil pengujian efek moderasi stress pada pengaruh personality terhadap

kinerja perawat dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut ini.

Ringkasan nilai t-statistik persamaan jalur structural dirangkum pada Tabel

4.32 berikut ini.

Tabel 4.32
Hasil Pengujian Hipotesis Model Struktural (Efek Utama)
Original Sample Mean Standard Error T Statistics (|
  Sample (O) (M) (STERR) O/STERR|)
BIG -> KIN 0.723 0.706 0.194 3.730
BIG -> OCB 0.428 0.429 0.053 8.043
OCB -> KIN 0.533 0.538 0.308 1.731
OCB*Stress-> KIN -0,851 -0,867 0.549 1.550
Stress -> KIN 0.848 0.881 0.350 2.421
Sumber: Hasil penelitian, data diolah 2017

Dari hasil pengujian sebagaimana terangkum pada Tabel 4.32 diketahui

bahwa model utama (inner model) yang bertujuan mengetahui pengaruh

personality terhadap kinerja perawat dengan OCB sebagai mediasi dan masuknya
144

variabel stress dan efek moderasinya pada model penelitian tetap diterima. Hal ini

dibuktikan dengan:

1) Nilai t-hitung BIGKIN sebesar 3,730 > t-tabel 1,960 yang memberikan

bukti bahwa variabel kepribadian (big five personality) berpengaruh positif

dan signifikan terhadap kinerja perawat. Hal ini berarti bahwa jika kepribadian

semakin baik, maka kinerja perawat semakin meningkat.

2) Nilai t-hitung BIGOCB sebesar 8,043 > t-tabel 1,960, memberikan bukti

bahwa variabel kepribadian (big five personality) berpengaruh positif dan

signifikan terhadap perilaku OCB perawat. Hal ini berarti bahwa jika

kepribadian semakin baik, maka perilaku OCB perawat semakin meningkat.

3) Nilai t-hitung OCBKIN sebesar 1,731 < t-tabel 1,960, memberikan bukti

bahwa variabel OCB tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat.

Hal ini berarti bahwa jika perilaku OCB mengalami perubahan, tidak

berdampak signifikan pada perubahan kinerja.

4) Nilai t-hitung StressKIN sebesar 2,421 > t-tabel 1,960, memberikan bukti

bahwa variabel kondisi stress berpengaruh signifikan terhadap kinerja

perawat. Hal ini berarti bahwa jika stress kerja tinggi, akan berdampak pada

kinerja perawat.

5) Koefisien jalur hitung efek moderasi stress kerja sebesar -0,851 dengan nilai t-

hitung sebesar 1,550 < t-tabel 1,960, yang berarti bahwa efek moderasi stress

kerja tidak signifikan terhadap kinerja perawat.


145

Gambar 4.5
Hasil Pengujian Hipotesis Model Struktural dengan
Variabel Stress Sebagai Moderasi
146

Dari hasil pengujian di atas, maka dapat diketahui tipe moderasi stress

pada pengaruh OCB terhadap kinerja perawat, yakni predictor moderation. Hal

ini dikarenakan variabel independen (OCB) moderasi (stress) berpengaruh

signifikan terhadap kinerja perawat, sedangkan efek moderasi (interaksi stress

dengan OCB) berpengaruh tidak signifikan. Walaupun efek moderasi tidak

signifikan, namun jika dilijat dari nilai koefisien jalur sebesar -0,851 memberikan

bukti bahwa efek moderasi stress kerja menurunkan (mengurangi) pengaruh OCB

terhadap kinerja perawat. Hal ini berarti bahwa jika stress kerja tinggi, maka

kinerja perawat semakin menurun.

4.2 Pembahasan

Pada pengujian hipotesis Path Coefficients. yang menyatakan bahwa

Organizational Citizenship Behaviour (OCB) berpengaruh terhadap Job

Performance (Kinerja), bahwa Organizational Citizenship Behaviour (OCB) dan

Stress Kerja berpengaruh terhadap Job Performance (Kinerja), bahwa Personality

(Kepribadian) berpengaruh terhadap Job Performance (Kinerja), bahwa

Personality (Kepribadian) berpengaruh terhadap Organizational Citizenship

Behaviour (OCB), bahwa Stress Kerja berpengaruh terhadap Job Performance

(Kinerja).

Secara kontekstual personality perawat pada penelitian ini tentukan oleh

usia perawat dan masa kerja. Pada penelitian ini perawat dengan usia di bawah 30

tahun yang merupakan perawat baru dengan masa kerja di bawah 5 tahun.

Kelompok usia muda dan masih belum pengalaman di dunia kerja tentu akan
147

mempengaruhi cara pikir dan sikap ataupun perilaku keseharian mereka ditempat

kerja hal ini sesuai dengan konsep teori kepribadian Carl Jung.

Secara kontekstual responden memiliki tipe personality yang baik. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi personality maka semakin tinggi juga

perilaku OCB perawat. Personality perawat yang baik dapat dilihat melalui aspek

fisik, sosial, maupun organisasional dari pekerjaan yang mereka lakukan semata-

mata perawat lakukan untuk pengembangan personal.

Secara kontekstual stress kerja tidak dapat berperan sebagai variabel

moderasi pada pengaruh OCB tergadap kinerja perawat. Hal ini dikarenakan

pengaruh efek moderasi tidak signifikan. Walaupun tidak signifikan, namun efek

stress kerja bersifat negatif pada hubungan OCB dengan kinerja, artinya, stress

kerja dapat menurunkan pengaruh OCB terhadap kinerja. Hal ini menggambarkan

bahwa stress kerja merupakan faktor psikologis yang kontradiktif dengan

produktivitas. Artinya, walaupun OCB perawat tinggi, tingkat stress yang tinggi

juga akan membuat perawat kurang maksimal melaksanakan tugasnya, hal ini

dikarenakan stress kerja tidak hanya mempengaruhi perawat secara fisik namun

juga psikis.

Insight teori pada penelitian ini adalah personality memiliki pengaruh

pada kinerja perawat. Bahwasannya temuan tersebut secara teoritis menyatakan

bahwa personality dan kinerja saling mempengaruhi. Selama ini kinerja selalu

dinilai oleh kompensasi, upah dan sebagainya, namun pada penelitian ini

menyatakan bahwa personality seseorang mempengaruhi kinerja. Sehingga

perawat yang memiliki kepribadian yang baik akan memiliki kinerja yang baik
148

untuk itu tes kepribadian diperlukan dalam memilih perawat terutama dalam

perekrutan tenaga kerja. Selain itu juga insight teori OCB yaitu kepribadian

perawat dinilai baik karena batasan usia dan masa kerja sehingga mempengaruhi

OCB. Perawat dalam penelitian ini memiliki kemampuan untuk mengembangkan

dirinya sesuai dengan tugas mereka yang ikhlas memberikan pelayanan kepada

pasien. Stress kerja pada penelitian ini memberikan insight teori bahwa OCB yang

baik pada tempat kerja tidak menjadi alasan mereka terbebas dari stress kerja,

justru stress kerja pada penelitian ini lebih mengacu pada psikis perawat.

4.2.1 Pengaruh Personality (Kepribadian) terhadap Job Performance

(Kinerja)

Dari hasil pengujian hipotesis didapatkan nilai t-hitung sebesar 3,324 > t-

tabel 1,960 yang memberikan bukti bahwa variabel personality berpengaruh

positif dan signifikan terhadap kinerja perawat. Artinya, jika personality semakin

baik, maka kinerja perawat semakin meningkat. Mengacu pada hasil penelitian

tersebut personality mampu memberikan dampak positif terhadap hasil kerja

perawat karena dengan adanya sumber daya pekerjaan yang baik dari rumah sakit

tempat perawat bekerja, akan membuat perawat melaksanakan pekerjaan dengan

baik, sehingga akan menghasilkan kinerja yang baik pula.

Pengaruh personality terhadap kinerja ini dikarenakan personality

merupakan salah satu faktor individual dari aspek psikologi. Hal tersebut sejalan

dengan pendapat Gibson (1996) yang menyatakan bahwa personality merupakan

aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Secara umum,

manusia mengartikan personality dalam berbagai versi, namun dapat


149

dikelompokkan kedalam dua pendekatan. Pertama, personality seseorang dinilai

berdasarkan kemampuannya memperoleh reaksi-reaksi positif dari berbagai orang

dalam berbagai keadaan. Kedua memandang kepribadian seseorang sebagai kesan

yang paling kentara yang ditunjukkan seseorang terhadap orang lain.

Dari hasil penelitian, variabel personality mendapat nilai cukup rendah. Ini

berarti responden (perawat) cukup memiliki sikap dan perilaku yang dinilai baik

dalam berorganisasi. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar individu

adalah perawat dengan usia di bawah 30 tahun yang merupakan perawat baru

dengan masa kerja di bawah lima tahun. Kelompok usia muda dan masih belum

pengalaman di dunia kerja tentu akan mempengaruhi cara pikir dan sikap ataupun

perilaku keseharian mereka ditempat kerja. Pernyataan ini sesuai dengan Teori

Kepribadian Carl Jung (dalam Tseng dan Lee, 2011), yang menyatakan usia di

bawah 30 tahun merupakan usia pertengahan yang ditandai dengan keinginan

mengaktualisasikan diri. Pada usia ini, responden baru menghadapi dunia kerja,

sehingga masih beradaptasi dengan lingkungan baru.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barrick, et al. (2001),

diperoleh kesimpulan bahwa indikator ketelitian (conscientiousness) dan wawasan

yang luas (extraversion) merupakan prediktor yang baik untuk menilai kinerja

individu. Karena dua indikator ini menunjukan semangat kerja, cara kerja individu

dan loyalitasnya terhadap pekerjaan dan instansi. Sehingga jika kedua indikator

ini dinilai rendah, maka kinerja instansi pun akan rendah.

Penelitian ini menyatakan ketelitian dan wawasan belum mendapatkan

nilai yang baik, yang menunjukan masih banyak individu dengan kepribadian
150

yang tidak menunjang peningkatan kinerja. Indikator ketelitian

(conscientiousness) merupakan indikator sikap yang menunjukan rasa tanggung

jawab dan kemauan berpikir maju mencapai prestasi. Indikator ketelitian pada

penelitian ini menunjukan nilai yang rendah. Kondisi ini berarti individu memiliki

kepribadian yang malas, ceroboh dan tidak dapat diandalkan. Hal ini akan

mengakibatkan rendahnya kinerja instansi. Sedangkan indikator wawasan yang

luas (extraversion), responden mendapat nilai sedang (cukup) untuk kemampuan

berempati terhadap perasaan orang lain. Individu dengan kepribadian wawasan

yang luas (extraversion) yang tinggi adalah individu yang aktif, penuh energi dan

antusias serta memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, yang akan mendorong

individu bekerja untuk instansinya.

Menurut Debora dan Seniati (2004), rendahnya indikator wawasan yang

luas (extraversion) menunjukan semakin rendah keterkaitan individu secara

emosional dengan instansi. Dan dalam penelitian ini, tampak masih belum

kuatnya keterikatan individu secara emosional terhadap instansinya. Hasil

penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Thoresen, et al..

(2004) yang berjudul The Big Five Personality Traits and Individual Job

Performance Growth Trajectories in Maintenance and Transitional Job Stages,

kepribadian memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja.

Penelitian yang dilakukan oleh Barrick et al.. (1993) membuktikan bahwa

dari ke lima faktor kepribadian hanya dua faktor yang berhubungan signifikan

dengan kinerja, yaitu Ketelitian dan Ekstraversi. Namun penelitian ini dilakukan

pada level manajer, sehingga perlu diteliti ulang hubungan antara lima faktor
151

kepribadian tersebut dengan kinerja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dunn et

al.. (1995), mengemukakan bahwa model lima besar kepribadian berisi kemajuan

dalam memahami kepribadian dalam kaitannya dengan kemungkinan kriteria

pekerjaan. Manajer yang dalam hal ini sebagai objek penelitian bersama

supervisor, melakukan seleksi terhadap pelamar dengan enam tipe tugas. Hal ini

dilakukan dalam rangka mengevaluasi potensi kinerja dan integritas pelamar dari

diskripsi kepribadian yang berbasis lima faktor kepribadian dan general mental

ability (GMA). Konklusi yang dihasilkan adalah bahwa manajer menyadari

pentingnya hubungan sifat kepribadian dan tugas hubungannya dengan kinerja di

sisi lain. Hasil penelitian Yoo (2002) di Korea terhadap seluruh pola dari faktor

Ketelitian, Ekstraversi, dan emotional stable, memiliki korelasi yang tinggi

dengan kinerja hasil, dibandingkan dengan faktor Kesepakatan dan faktor

Keterbukaan atas Pengalaman. Dalam penelitian tersebut faktor Kesepakatan hasil

korelasinya mendekati 0 (ra = -0,01), dan ini berlawanan dengan Hurtz dan

Donovan (2000) tetapi konsistensi tinggi dengan orang-orang Eropa hasil dari

Salgado (1997). Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan (Walt, Meiring,

Rothmann, & Barrick, 2002), penemuannya adalah konsisten dengan hasil

penelitian antara Lima Faktor Kepribadian dengan kinerja pada studi Barrick &

Mount (1991) dan Salgado (1997).

Hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepribadian

merupakan hal yang unik dan memiliki pola yang relatif stabil dari suatu perilaku,

pikiran, dan emosi yang diperlihatkan oleh seseorang. Lima faktor kepribadian

yang terdiri dari Ekstraversi, Kesepakatan, Ketelitian, Neurotisme, Keterbukaan


152

atas Pengalaman, didesain untuk melihat temperamen kepribadian seseorang

dalam hidupnya. Lima faktor kepribadian tersebut dapat diilustrasikan dalam

suatu skala yang mencerminkan karakteristik skor tinggi dan skor rendah.

Kepribadian secara unik sebagai instrumen yang terstandar, memprediksi

hubungan dengan kinerja. Masing-masing faktor dari lima faktor personality yaitu

Ekstraversi, Kesepakatan, Ketelitian, Neurotisme, dan Keterbukaan atas

pengalaman, telah terbukti berpengaruh terhadap kinerja untuk level pekerjaan-

pekerjaan tertentu, sehingga pengaruh personality terhadap kinerja secara garis

besar sangat berarti, baik kinerja perilaku maupun kinerja hasil.

4.2.2 Pengaruh Personality (Kepribadian) terhadap Organizational

Citizenship Behaviour (OCB)

Dari hasil penelitian menunjukkan nilai t-hitung sebesar 9,019 > t-tabel

1,960, memberikan bukti bahwa variabel personality berpengaruh positif dan

signifikan terhadap perilaku OCB perawat rumah sakit di Kota Bengkulu. Artinya,

jika kepribadian semakin baik, maka perilaku OCB perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu semakin meningkat. Mengacu pada hasil penelitian tersebut kepribadian

mampu memberikan dampak positif terhadap perilaku OCB perawat rumah sakit

di Kota Bengkulu karena dengan adanya sumber daya pekerjaan yang baik dari

organisasi khususnya RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, akan membuat perawat

tetap bertahan menjadi bagian organisasi.

Dari hasil analisis deskriptif diketahui bahwa perawat rumah sakit di Kota

Bengkulu memiliki tipe kepribadian yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa
153

semakin tinggi kepribadian maka semakin tinggi juga perilaku OCB perawat.

Kepribadian merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional dari

pekerjaan yang memungkinkan individu untuk: mengurangi tuntutan pekerjaan

dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan

tersebut, mencapai target pekerjaan dan menstimulasi pertumbuhan,

perkembangan juga perkembangan personal.

Berdasarkan analisis peneliti, perawat lebih terikat dengan pekerjaannya

sehari-hari ketika semakin banyak sumber daya kerja yang tersedia. Selain itu,

perawat akan lebih terikat dengan pekerjaan apabila mereka memiliki otonomi dan

menerima pelatihan yang lebih baik. Kesempatan berkembang bagi perawat

merupakan hal yang vital dalam mempertahankan dan mengembangkan

kemampuan individual perawat dan organisasi secara keseluruhan. Kesempatan

yang diberikan kepada perawat untuk berkembang akan menciptakan kondisi

dimana perawat percaya bahwa organisasi mereka menghargai kontribusinya dan

menaruh perhatian terhadap status ketenagakerjaan mereka. Kesempatan

berkembang meningkatkan tanggung jawab yang lebih besar dalam diri perawat

terhadap organisasi, dan kemudian memicu kesediaan perawat untuk bekerja keras

untuk meningkatkan efektivitas organisasinya, sehingga dedikasinya terhadap

pekerjaan juga akan semakin kuat. Oleh karena itu, sumber daya kerja dapat

berpengaruh positif terhadap keterikatan kerja.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh

Salminen et al.. (2014) menunjukkan bahwa analisis regresi hirarkis menunjukkan

bahwa baik kepribadian maupun optimisme memberikan dampak positif pada


154

perilaku OCB perawat rumah sakit di Kota Bengkulu dan tiga dimensi kekuatan,

dedikasi dan penyerapannya. Hasil moderasi menunjukkan bahwa optimisme

dapat mengurangi dampak negatif dari rendahnya kepribadian terhadap perilaku

OCB perawat rumah sakit di Kota Bengkulu. Bakker et al.. (2007) menunjukkan

bahwa dukungan supervisor, inovasi, informasi, penghargaan dan iklim organisasi

semuanya dapat dianggap sebagai kepribadian penting bagi guru karena masing-

masing kondisi ini mampu menyangga dampak negatif perilaku buruk siswa

terhadap perilaku OCB perawat rumah sakit di Kota Bengkulu. Dan juga

diperkuat oleh Altunel et al.. (2015) menunjukkan bahwa kepribadian (otonomi,

dukungan sosial, pembinaan, kesempatan untuk pengembangan pribadi, dan

kepentingan tugas) perlu ditingkatkan untuk mengembangkan perilaku OCB

perawat rumah sakit oleh akademisi Turki.

Kepribadian merupakan organisasi dinamik yang meliputi seluruh system

psikologis, yang menentukan karakteristik perilaku dan pikiran seseorang

individu. Kepribadian merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi perilaku

kerja, kepribadian dapat mendorong ke suatu perilaku yang diinginkan terhadap

kinerja. Faktor Kepribadian memiliki pengaruh langsung yang signifikan dan

lebih besar terhadap OCB. Hal ini disebabkan karena perawat cenderung

menjunjung tinggi nilai kebersamaan, lebih mementingkan rasa dibandingkan

rasio dan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi

(Mulder dalam adriansyah, 2003). Faktor kepribadian merupakan sesuatu yang

melekat pada diri perawat dan lebih sulit dirubah sehingga, memiliki pengaruh

yang lebih stabil dan bertahan terhadap OCB.


155

Big Five Personality terhadap Organization Citizen Behaviour (OCB)

memiliki pengaruh secara signifikan, Penelitian Elanain (2007), menguji pengaruh

dari Big Five kepribadian terhadap Organization Citizen Behaviour (OCB) setelah

di kendalikan oleh variabel kontrol seperti work locus of control (WLOC), self-

esteem, organizational justice dan stress at work. Secara umum temuan penelitan

ini adalah Five Factor Model merupakan prediktor pada OCB perawat rumah

sakit di Kota Bengkulu di Arab. Perawat yang memiliki conscientiousness,

terbuka pada pengalaman atau agreeableness yang tinggi akan memiliki kinerja

menolong interpersonal yang tinggi. Conscientiousness merupakan prediktor yang

paling kuat berpengaruh terhadap interpersonal helping. Kemudian terbuka pada

pengalaman merupakan prediktor yang kuat terhadap inisiatif individu dan

ekstraversi serta stabilitas emosi tidak berpengaruh terhadap inisiatif individu.

Hasil penelitian ini sependapat dengan teori tentang OCB oleh Sharma

(2011) yang digunakan untuk mengidentifitkasi perilaku bebas yang menjadi

pilihan individu, yang tidak secara lansung dihargai oleh sistem reward formal,

namun menguntungkan organisasi secara keseluruhan. Perilaku ini cendrung

melihat seseorang sebagai mkahluk sosial (menjadi anggota organisasi).

Dibandingkan sebagai makhluk individual yang mementingkan diri sendiri. OCB

memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatan efektifitas dan efesien

tim kerja dan organisasi, yang nantinya akan mempengaruhi produktifitas

organisasi secara keseluruhan (Kumar, 2009). Salah satu cara OCB meningkatkan

efesien suatu organisasi adalah dengan meningkatkan produktifitas rekan kerja

atau produktivitas para atasan (Podsakoff dan Mackenzie, 2000). Sebagai contoh,
156

ketika perawat yang sudah berpengalaman dengan sukarela membantu rekan kerja

yang baru masuk untuk mempelajari segala sesuatu, hal ini akan membantu

pekerja baru menjadi individu yang produktif lebih cepat, sehingga dapat

meningkatkan efesien kelompok kerja atau unit.

4.2.3 Pengaruh Stress Kerja terhadap Job Performance (Kinerja)

Pengujian hipotesis menunjukkan nilai t-hitung Stress terhadap kinerja

sebesar 2,315 > t-tabel 1,960, memberikan bukti bahwa variabel kondisi stress

berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat. Berdasarkan hasil analisis

peneliti sesuai dengan hasil penelitian bahwa stress kerja pada penelitian ini

dipicu oleh kejenuhan kerja, Kejenuhan kerja menjadi suatu masalah bagi

organisasi apabila mengakibatkan kinerja menurun, selain kinerja yang menurun

produktivitas juga menurun (Dale, 2011). Keadaan jenuh seringkali pikiran kita

menjadi terasa penuh dan mulai kehilangan rasional, hal ini dapat menyebabkan

kewalahan dengan pekerjaan dan akhirnya menyebabkan keletihan mental dan

emosional, kemudian mulai kehilangan minat terhadap pekerjaan dan motivasi

menurun, pada akhirnya kualitas kerja dan kualitas hidup ikut menurun (National

Safety Council, 2004).

Stresss kerja merupakan segala sesuatu yang dialami oleh perawat yang

dimana mereka ada ketidak  seimbangan diantara fisik dan psikis yang dapat

mempengaruhi proses dan kondisi perawat, sehingga orang yang

mengalami stresss kerja menjadi nervous. Oleh karena itu penanganan stresss

kerja harus dilakukan dengan baik dan berkesinambungan dengan, dan pimpinan

harus cepat tanggap terhadap hal tersebut, karena akan berdampak pada kinerja
157

perusahaan. Sedangkan menurut Siagian (2008:301) dalam bukunya Manajemen

Sumber Daya Manusia menyatakan bahwa pada dasarnya berbagai

sumber stress kerja digolongkan menjadi dua bagian diantaranya dalam pekerjaan

ialah beban kerja wewenang yang tidak seimbang ketidak jelasan tugas

lingkungan kerja yang tidak menyenangkan, rekan kerja yang tidak menyenagkan,

sedangkan dari luar pekerjaan kekuatiran financial kehidupan keluarga yang tidak

harmonis dan perilaku negatif anak. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi

dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya

memiliki  derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan

keterampilan seseorang tidaklah cukup untuk mengerjakan sesuatu pemahaman

yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.

Kinerja merupakan prilaku nyata yang ditampilkan setiap orang yang dihasilkan

oleh perawat sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja perawat

merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk

mencapai tujuannya.

Menurut Bernardin dan Russel dialih bahasakan oleh  Ruky

(2006:15) dalam bukunya yang berjudul Sistem Manajemen Kinerja menyatakan

“Prestasi adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi

pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu”. Sedangkan

menurut Sikula (dalam Prabu, 2007”69) dalam bukunya yang berjudul

Manajemen Sumber Daya Manusia menyatakan “Penelitian individu merupakan

evaluasi yang sistematis dari pekerjaan individu dan potensi yang dapat

dikembangkan”.
158

Dari kedua  definisi di atas bahwa kinerja perawat mempunyai peran yang

sangat besar terhadap kelangsungan jalannya hidup suatu organisasi, sehingga

potensi yang menjadi keunggulan perawat tersebut harus pula dikembangkan

kearah yang lebih berguna mencapai tujuan yang optimal. Davis dialih bahasakan

oleh  Prabu (2007) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Sumber Daya

Manusia Perusahaan, menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

adalah sebagai berikut :

1. Faktor Kemampuan

Secara psikologis, kemampuan (ability) individu terdiri dari kemampuan

potensi (IQ) dan kemampuan Reality (knowledge+skill) artinya individu yang

memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai

untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari,

maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan.

2. Faktor Motivasi

Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang individu dalam menghadapi

situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang mengerakkan dari

individu yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (Tujuan kerja).

Adapun untuk mengukur kinerja menurut Gomes (2003)  adalah sebagai

berikut :

1. Quantity of work : Jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode

waktu yang ditentukan.

2. Quality of work  : kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat

kesesuaian dan kesiapannya.


159

3. Job Knowledge : Luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan

keterampilannya.

4. Creativeness : Keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dari tindakan-

tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.

5. Cooperation : kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain (sesama

anggota organisasi).

6. Dependability : Kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan

penyelesaian kerja tepat pada waktunya.

7. Initiative : Semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam

memperbesar tanggung jawabnya.

8. Personal Qualities : Menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-

tamahan, dan integritas pribadi.

Sedangkan menurut Mitchell (1978) menyatakan bahwa kinerja meliputi

beberapa aspek, yaitu:

1. Prom Quality of  Work (Kualitas Kerja)

2. Promptness (Ketepatan Waktu)

3. Initiative (Inisiatif)

4. Capability (Kemampuan)

5. Communication (Komunikasi)

Kalau ukuran pencapaian kinerja sudah ditetapkan, maka langkah

berikutnya dalam mengukur kinerja adalah mengumpulkan informasi yang

berhubungan dengan hal tersebut dari seseorang selama periode tertentu. Dengan

membandingkan hasil ini dengan standar yang dibuat oleh periode waktu yang
160

bersangkutan, akan didapatkan tingkat kinerja dari seorang individu. Secara

ringkasnya dapatlah dikatakan bahwa pengukuran tentang kinerja individu

tergantung kepada jenis pekerjaanya dan tujuan dari organisasi yang

bersangkutan.

Berdasarkan definisi para ahli di atas mengenai stresss kerja dan kinerja,

maka dapat dilihat bahwa pengelolaan stresss yang dilakukan oleh perusahaan

akan selalu mempunyai hubungan dengan kinerja pada setiap perawat. Sehingga,

apabila perusahaan mampu mengelola stresss kerja dengan baik, maka kinerjanya

dari perawat akan meningkat sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan,

karena kinerja tersebut merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh

perusahaan.

4.2.4 Pengaruh Organizational Citizenship Behaviour (OCB) sebagai mediasi

pengaruh kepribadian terhadap Job Performance (Kinerja)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa OCB berpengaruh positif

dan signifikan terhadap kinerja perawat. Hal ini memberikan arti bahwa OCB

yang tinggi, akan meningkatkan kinerja perawat. Jurnal yang dikemukakan oleh

Waltz dan Niehoff (2004) menunjukan adanya tingkat efektiftas dalam organisasi

dengan adanya individu dengan OCB. Hal ini mendukung perkembangan kinerja

individu seperti yang diungkapkan oleh Nufus (2011) dalam penelitiannya yang

membahas mengenai OCB terhadap kinerja. Hal ini sesuai dengan jurnal

Purba,dkk (2010) yang menyatakan pengaruh trait kepribadian juga besar

terhadap OCB, dikarenakan karyawan lebih mementingkan rasa dibandingkan


161

rasio dan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.

Karyawaan yang ingin terus terikat di periusahaan cenderung senang membantu

rekan kerja dan atasannya, peduli pada kelangsungan hidup perusahaan, tingkat

kehadiran ditempat kerja tinggi, patuh pada peraturan dan tata tertib organisasi,

suka membela kepentingan organisasi dan sering memberikan sumbang saran

untuk memperbaiki kinerja organisasi.

Hipotesis OCB berpengaruh terhadap kinerja sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Soepono & Srimulyani (2015) dalam penelitiannya

menemukan bahwa OCB merupakan perilaku positif di tempat kerja yang

mendukung kinerja individu dan keefektifan organisasi. Sebagai perilaku diluar

peran yang harus dimainkan, sesungguhnya OCB tidak dapat dipisahkan dari

perilaku kerja yang dituntut dalam pekerjaannya atau yang sesuai dengan peran

yang dimainkannya. Soepono & Srimulyani (2015) menambahkan, bahwa

organisasi bisa mengaplikasikan hal tersebut dalam penilaian kinerja perawat

mengingat perilaku diluar peran juga menjadi standar yang harus dipenuhi

perawat untuk menilai kinerja perawat. Selain itu, organisasi dapat mendorong

agar perawat berlaku positif, misalnya membantu perawat lain dan saling

mendukung dalam tim. Fenomena tersebut terjadi karena adanya perawat yang

dengan suka rela membantu teman lain, tetapi ada juga pribadi yang harus

didorong terlebih dulu oleh organisasi. Aplikasi dalam proses penseleksian

perawat, organisasi seharusnya memilih perawat yang mempunyai kepribadian

positif, yaitu fit antara kepribadian dan tupoksi (job description). Lebih penting

dari semua itu, organisasi dapat membentuk lingkungan yang kondusif yang dapat
162

mendorong OCB dalam berbagai kegiatan. Lingkungan yang kondusif terbentuk

juga dari adanya budaya keorganisasian (Organizational Culture).

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan istilah bagi

individu yang memberikan nilai lebih terhadap pekerjaan yang menjadi tugasnya

maupun nilai tambah bagi perusahaan. OCB menurut Organ dalam Bolino, et al..

(2002:505) adalah perilaku individu yang bebas, tidak secara langsung atau

eksplisit diakui dalam sistem pemberian penghargaan dan dalam mempromosikan

fungsi efektif perusahaan. OCB juga disebut sebagai perilaku extra role karena

perilaku yang diberikan individu melebihi tugas utamanya.

4.2.5 Pengaruh Organizational Citizenship Behaviour (OCB) terhadap Job

Performance (Kinerja) dengan Stress Kerja sebagai Moderasi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui stress kerja tidak dapat berperan

sebagai variabel moderasi pada pengaruh OCB tergadap kinerja perawat. Hal ini

dikarenakan pengaruh efek moderasi tidak signifikan. Walaupun tidak signifikan,

namun efek stress kerja bersifat negatif pada hubungan OCB dengan kinerja,

artinya, stress kerja dapat menurunkan pengaruh OCB terhadap kinerja. Hal ini

menggambarkan bahwa stress kerja merupakan faktor psikologis yang

kontradiktif dengan produktivitas. Artinya, walaupun OCB perawat tinggi, tingkat

stress yang tinggi juga akan membuat perawat kurang maksimal melaksanakan

tugasnya, hal ini dikarenakan stress kerja tidak hanya mempengaruhi perawat

secara fisik namun juga psikis. Hal ini sesuai dengan jurnal Novianto,dkk (2018)

menyatakan bahwa individu mengalami stress rendah ditempat kerja, ia

kemungkinan besar motivasinya tidak akan bangkit (aktif) dan dengan demikian
163

tidak akan menunjukkan kinerja yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan stress

pada pekerjaan yang akan membangkitkan gairah dan motivasi dalam pekerjaan.

Sehingga dapat disimpulkan, stress yang rendah akan memperlemah kinerja

perawat, sementara stress yang tinggi justru akan memperkuat kinerja perawat.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) mengandung pengertian

semua perilaku positif dan konstruktif yang dilakukan perawat atas kemauannya

sendiri, merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat

kerja, serta tidak ada sanksi khusus bila tidak menampilkan perilaku tersebut.

Sebuah perusahaan akan memiliki kinerja yang lebih baik dari perusahaan lain

apabila perawat tidak hanya mengerjakan tugas pokoknya saja, namun juga mau

melakukan tugas ekstra seperti mau bekerja sama, tolong menolong, memberikan

saran, berpartisipasi secara aktif, memberikan pelayanan ekstra, serta

menggunakan waktu kerja dengan efektif.

Nugroho (2008) menyatakan stres sebagai bentuk dari perasaan tertekan,

ketidaknyamanan, ketidakmudahan dan hambatan yang dirasakan secara

emosional. Seperti yang dikemukakan oleh Handoko (2008) stress adalah suatu

kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi

seseorang, Hariandja (2002), stres adalah ketegangan atau tekanan emosional

yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang besar,

hambatanhambatan dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat

mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang. Stres sendiri tidak

terlalu buruk, meskipun biasanya dibahas dalam konteks negatif, stres juga

memiliki nilai positif. Stres merupakan sebuah peluang kelika hal ini menawarkan
164

potensi hasil, sebagian stres bias positif dan sebagian lagi bias negatif. Dewasa

ini, para peneliti berpendapat bahwa stres adalah tantangan, atau stres yang

menyertai tantangan di lingkungan kerja (memiliki banyak proyek, tugas, dan

tanggung jawab), beroperasi sangat berbeda dengan stres hambatan, atau stres

yang menghalangi dalam mencapai tujuan (birokrasi, politik, kantor, kebingungan

terkait tanggung jawab bekerja) Robbins (2008).

Lima variabel yang dapat membedakan kemampuan individu dalam

menghadapi stres (Wahjono, 2010), yaitu: pengalaman kerja, dukungan social,

hubungan kolegial dengan rekan sekerja atau penyelia dapat menyangga dampak

stres, letak kendali (locus of control), orang yang memiliki lokus kendali internal

yakin mereka mengendalikan tujuan akhir mereka sendiri lebih tahan terhadap

stress. Sedangkan mereka yang memiliki lokus eksternal yakin bahwa kehidupan

mereka dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar cenderung lebih mudah stres,

keefektifan diri, istilah ini merujuk kepada keyakinan individu bahwa dia

mempunyai kemampuan untuk melakukan tugas tertentu sehingga dia memiliki

kemampuan untuk menangani stres, tingkat kepribadian orang dalam menyikapi

permusuhan dan kemarahan. Hubungan stres dengan OCB akan dapat dilakukan

jika perawat mampu mengendalikan stres yang mengarahkan pandangan stres ke

positif (eustres) (Luthans 2006). Hasil penelitian Tang (2008) menemukan bahwa

stres kerja berkorelasi dengan OCB. Stres kerja yang diungkapkan oleh Smith

(1981) yang dikutip dari Wijono mengemukakan bahwa konsep stres kerja dapat

ditinjau dari beberapa sudut, yaitu: Pertama, stres kerja merupakan hasil dari

keadaan tempat kerja. Kedua, stres kerja merupakan hasil dari dua faktor
165

organisasi, yaitu keterlibatan dalam tugas dan dukungan organisasi. Ketiga, stres

terjadi karena faktor faktor kemampuan melakukan tugas. Keempat, akibat dari

waktu kerja yang berlebihan. Kelima, faktor tanggung jawab kerja. Terakhir,

tantangan yang muncul dari tugas dan terdapat beberapa pengertian tentang

organizational citizenship behavior yang dikemukakan oleh beberapa ahli, salah

satunya adalah oleh Robbins dan Judge dalam Waspodo (2012) yang

mendefinisikan organizational citizenship behavior sebagai perilaku pilihan yang

tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang perawat, namun

mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Menurut Schuller

(2003), stres adalah suatu kondisi dinamis dimana individu dihadapkan pada

kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penting

tetapi tidak dapat dipastikan (Robbins, 2015).

Definisi stres kerja yang serupa juga dipaparkan oleh Moorhead dan

Griffin (2013) yang menyatakan bahwa stres sebagai respon adaptif seseorang

terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik secara

berlebihan kepada orang tersebut. Luthans (2000) mendefinisikan stres sebagai

suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan

individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan,

situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan

fisik seseorang. Sarafano (2008) mengartikan stres sebagai kondisi yang

disebabkan interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi

jara antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem

psikologis. Selain itu, Santrock (2003) menyatakan bahwa stres merupakan respon
166

individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres, yang mengancam,

dan menganggu kemampuan seseorang untuk mengatasinya.

Stres kerja diartikan sebagai kesadaran atau perasaan disfungsional

individu yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak nyaman, tidak diinginkan, atau

dianggap sebagai ancaman di tempat kerja (Rustiarini, 2014). Variabel ini diukur

menggunakan empat dimensi yakni:

a) Ketidakmampuan menghadapi pekerjaan, dengan indikator: Pekerjaan terasa

sulit, pekerjaan menjadi beban, tidak dapat menentukan prioritas

b) Depresi terhadap beban kerja, dengan indikator: Tidak tenang, kurang

bersemangat dan menyendiri.

c) Kesulitan mengendalian emosi, dengan indikator: Tempramen, mudah marah,

tidak ramah.

d) Tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaan, dengan indikator: Kurang fokus,

pekerjaan kuran teliti, pekerjaan asal jadi.

Terdapat enam faktor penyebab stres kerja individu dalam suatu

organisasi. Faktor tersebut antara lain beban kerja yang sulit dan berlebihan,

tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan tidak wajar, waktu kerja yang

terbatas dan peralatan yang kurang, konflik antara pribadi dengan pimpinan atau

kelompok kerja, balas jasa yang terlalu rendah dan adanya masalah-masalah

keluarga (Fathoni, 2006). Sumber-sumber stres menurut Davis dan Newstrom

(2008) yaitu:

1. Beban kerja yang berlebihan; Banyaknya tugas dapat menjadi sumber stres

bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan fisik maupun


167

keahlianya

2. Tekanan atau desakan waktu; Atasan sering kali memberikan tugas sesuai

dengan target waktu yang terbatas.

3. Kualitas supervisi yang jelek; Seorang individu dapat menjalankan tugas

sehari-harinya di bawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan

kepada supervisor. Jika supervisor pandai (cakap) dan menguasai tugas

bawahan, ia akan membimbing dan memberikan pengarahan atau isntruksi

secara baik dan benar.

4. Iklim Politis; Iklim politis yang tidak aman akan mempengaruhi semangat

kerja.

5. Wewenang untuk malaksanakan tanggung jawab; Atasan sering memberikan

tugas kepada bawahanya tanpa diikuti kewenangan yang memadai. Sehingga,

jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan

sepenuhnya pada atasan.

6. Konflik dan ketidakjelasan peran; Pada situasi seperti ini orang memiliki

harapan yang berbeda akan kegiatan seseorang individu pada suatu pekerjaan

akibat adanya konflik dan ketidakjelasan peran dalam organisasi, sehingga

individu tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan tidak dapat memenuhi

semua harapan.

7. Perbedaan antara nilai perusahaan dan individu; Artinya perbedaan ini

mencabik-cabik individu dengan tekanan mental pada waktu suatu upaya

dilakukan untuk memenuhi nilai kebutuhan perusahaan dan individu.

8. Perubahan tipe; Khususnya jika penting dan tidak lazim. Misalnya perubahan
168

organisasi, perubahan peraturan atau kebijakan organisasi.

9. Frustasi; suatu akibat dari motivasi yang terhambat dan mencegah seseorang

mencapai tujuan yang diinginkan sehingga berpengaruh terhadap pola kerja.

Stres kerja yang dialami oleh individu dapat menimbulkan dampak positif

dan negatif bagi yang bersangkutan dan bagi organisasi (Sarafano, 2008). Aspek

positif apabila:

1. Kadarnya proporsional. Maksudnya di sini adalah tidak terlalu berat dan tidak

terlalu ringan. Seseorang dapat mengatasi stres dengan mudah dengan upaya

yang tidak terlalu sulit.

2. Adanya penyikapan yang konstruktif (membangun). Penyikapan di sini adalah

bagaimana individu meresponi tekanan-tekanan dari pekerjaan. Respon di sini

biasanya terkait dengan apakah individu melihat tekanan itu sebagai tekanan

atau sebagai tantangan (challenge). Tantangan adalah sesuatu yang

mendorong individu untuk menjawabnya atau melangkah maju dengannya. Ini

beda dengan tekanan. Tekanan adalah sesuatu yang menghimpit. Dengan

melihat tekanan itu sebagai tantangan, maka secara fungsi bisa dikatakan

bahwa stres di situ bersifat positif bagi perkembangan kinerja individu.

3. Adanya proses transformasi yang di tempuh. Transformasi adalah kemampuan

mengubah energi potensial yang semula negatif menjadi energi aktual yang

positif. More (2000) mengatakan bahwa transformasi adalah sebuah proses

yang dapat meningkatkan personal extropy (kapasitas untuk berkembang).

Sebagai contoh, adanya individu yang gagal sampai menimbulkan stres. Jika

kegagalan itu diterima sebagai kegagalan dan membiarkan kegagalan itu


169

berlalu begitu saja, biasanya ini akan menimbulkan berbagai tekanan. Tetapi

bila peristiwa buruk itu dijadikan individu sebagai materi untuk memperbaiki

diri, maka hasilnya menjadi positif meskipun itu tidak langsung terasa dan

terjadi. Banyak individu yang sanggup melakukan transformasi atas

penderitaan berat yang dialaminya menjadi output yang menggembirakan.

Stres terjadi pada hampir semua pekerja, baik tingkat pimpinan maupun

pelaksana. Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik berpotensi untuk

menimbulkan stres bagi pekerjanya. Stres di lingkungan kerja memang tidak

dapat dihindarkan, akan tetapi dapat dikelola, diatasi dan dicegah, sehingga tidak

menganggu pekerjaan (Notoatmodjo, 2003). 

Stres dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik di dalam maupun di luar

pekerjaan yang merupakan sumber stres di tempat kerja. Sumber stres

disebut juga stressor yang merupakan suatu rangsangan yang dipersepsikan

sebagai suatu ancaman dan menimbulkan perasaan negatif. Hampir setiap kondisi

pekerjaan dapat menyebabkan stres, tergantung reaksi individu bagaimana

menghadapinya. Sebagai contoh, seorang individu akan dapat dengan mudah

menerima dan mempelajari prosedur kerja baru, sedangkan individu lain tidak

tahu atau bahkan akan menolaknya.

Setiap perkerjaan tentu membawa pekerjanya pada situasi-situasi tertentu

yang menghadapkan mereka pada tuntutan-tuntutan atau beban kerja berlebih

hingga membuat mereka mengalami stres kerja. Stres kerja merupakan proses

persepsi yang bersifat individual. Secara umum individu mengalami stres kerja

karena adanya stressor yang berasal dari individu, kelompok, organisasi dan
170

nonpekerjaan, stres kerja ini akan berdampak pada perilaku, kognitif, dan

fisiologis pekerja (Ivancevich, et al., 2006).

Stres kerja dapat terjadi pada setiap pekerja termasuk perawat. Perawat

merupakan salah satu bagian terpenting dalam kegiatan pelayanan kesehatan di

sebuah rumah sakit. Kedudukan perawat sangatlah penting karena sebagai tenaga

kesehatan mereka dituntut untuk selalu mengawasi dan memantau kondisi

kesehatan pasien. Banyaknya jumlah pasien serta bagian-bagian yang berada di

sebuah rumah sakit menuntut kemampuan perawat agar siap ditempatkan di

bagian manapun. Selain itu, dalam kondisi apapun perawat juga harus dapat

bersikap hangat, ramah, dan sopan pada semua pasiennya sebab pekerjaan mereka

termasuk pekerjaan sosial. Mereka melakukan kontak langsung dengan orang lain,

baik sesama rekan kerja, pasien, keluarga pasien, dan kepada atasan.

Pada kenyataannya sering ditemukan fenomena perawat yang tidak sabar,

suka marah, berbicara ketus dengan pasien dan keluarga pasien, bahkan terjadinya

kelalaian dalam bekerja seperti kesalahan dalam pemberian obat, dan

keterlambatan dalam melakukan injeksi. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan

tugas dan kewajiban sebagai seorang perawat. Apa yang menyebabkan perawat

melakukan pelanggaran tugas dan kewajiban seperti itu tentu ada sebabnya. Oleh

karena itu perlu dilakukan pengkajian secara lebih mendalam untuk mengetahui

penyebab dari fenomena yang ada. Stres kerja dapat membuat perawat menjadi

mudah marah, tidak ramah, serta mudah lelah. Selain itu, kinerja perawat yang

menurun akan dapat membahayakan nyawa pasien sebab dengan menurunnya

kinerja dipastikan pula tingkat ketelitan dan kesabaran akan menurun.


171

4.3 Implikasi Hasil Penelitian

Insight teori pada penelitian ini adalah kepribadian memiliki pengaruh

pada kinerja perawat. Bahwasannya temuan tersebut secara teoritis menyatakan

bahwa kepribadian dan kinerja saling mempengaruhi. Selama ini kinerja selalu

dinilai oleh kompensasi, upah dan sebagainya, namun pada penelitian ini

menyatakan bahwa kepribadian seseorang mempengaruhi kinerja. Sehingga

perawat yang memiliki kepribadian yang baik akan memiliki kinerja yang baik.

Implikasi terhadap temuan teori tersebut bahwa tes kepribadian diperlukan dalam

memilih perawat terutama dalam perekrutan tenaga perawat yang profesional,

selain melihat kepribadian dengan tes kepribadian, maka untuk kedepannya

diperlukan pelatihan kepribadian untuk perawat. Selain itu juga insight teori OCB

pada penelitian ini adalah kepribadian perawat dinilai baik karena batasan usia

dan masa kerja sehingga mempengaruhi OCB. Perawat dalam penelitian ini

memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan tugas mereka

yang ikhlas memberikan pelayanan kepada pasien. Stress kerja pada penelitian ini

memberikan insight teori bahwa OCB yang baik pada tempat kerja tidak menjadi

alasan mereka terbebas dari stress kerja, justru stress kerja pada penelitian ini

lebih mengacu pada psikis perawat.

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, diketahui bahwa

kepribadian berpengaruh terhadap kinerja perawat rumah sakit di Kota Bengkulu.

Selain itu, OCB memiliki peran mediasi pada pengaruh kepribadian terhadap

kinerja perawat dan variabel stres kerja memiliki peran moderasi pengaruh OCB

terhadap kinerja perawat. Berkaitan dengan peranan OCB sebagai mediasi, stres
172

sebagai moderasi pada pengaruh kepribadian terhadap kinerja perawat rumah sakit

maka implikasi hasil penelitian yang diambil adalah :

1. Penempatan di rumah sakit sesuai analisis kebutuhan sesuai dengan

perencanaan penempatan tenaga perawat sesuai dengan teori manajemen

dan perilaku organisasi melibatkan teori MSDM teori kepribadian

meminimalisir stress dan memaksimlkan OCB.

2. Teori kepribadian, dapat menjadikan masukan bagi perawat untuk

mengembangkan kepribadiannya sesuai keahlian dan keterampilan,

mengikuti pelatihan pengembangan kepribadian bahkan memberikan

masukan bagi para dosen untuk menjadi trainee pengembangan

kepribadian terkait ilmu psikologi atau manajemen sumber daya manusia.

3. Teori stress diupayakan untuk berdampak pada stress positif dan ini akan

berkontribusi pada sarana prasarana instansi terkait pada pelaksanaan

outbond atau family gathering untuk pengurangan stress kerja.

4. Organizational Citizenship Behaviour (OCB) menyangkut perilaku sosial

dalam bekerja, karena dalam manajemen sumber daya manusia setiap

pekerja akan melaksanakan pekerjaan sesuai kompensasi. Maka dari itu

teori OCB pada penelitian ini akan memberikan ruang pada ilmu

pengetahuan MSDM pada khusunya untuk fokus pada teori OCB dengan

kompensasi pegawai.

5. Rumah sakit diharapkan untuk tetap menjaga dan meningkatkan sumber

daya pekerjaan untuk individu agar individu tetap terfasilitasi dan merasa

beban diringankan oleh organisasi dan agar beban kerja para individu
173

dapat berkurang. Dukungan dari atasan sangat penting untuk membantu

meringankan beban pekerjaan individu.

6. Rumah sakit terus menjaga keterikatan dengan individunya. Upaya yang

dapat dilakukan antara lain, membina dan menjaga hubungan antara atasan

dan bawahan agar tetap harmonis.

7. Rumah sakit melakukan observasi atau mengamati langsung pelaksanaan

tugas-tugas perawat di rumah sakut, sehingga stress kerja dapat dikenali

dan diidentifikasi secara mendalam dan representatif serta dapat

ditemukan solusi pemecahannya.

8. Meningkatkan kinerja perawat terutama berkaitan dengan standar dan

prosedur tugas, memotivasi perawat untuk terus masuk kerja dan

mendorong perawat untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sehingga

pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu

Argumen teoritis yang diajukan dari implikasi penelitian adalah bahwa

kepribadian, OCB dan stress dengan kinerja memiliki keterkaitan dan hubungan

dalam organisasi. Organisasi dalam hal ini yaitu rumah sakit untuk meningkatkan

kualitas dan akreditasi mutu rumah sakit di Kota Bengkulu hendaknya terus

mengoptimalkan pengembangan sumber daya manusia (kepribadian), memberikan

pelatihan OCB dalam manajerial dan meminimalisir stress kerja pada perawat.

Dengan demikian mutu perawat dalam kinerja rumah sakit merupakan cerminan

keberhasilan sistem manajemen rumah sakit.


174

4.4 Novelty

Temuan penelitian menghasilkan kebaruan (novelty) yang berupa :

1. Personality dapat menjadi salah satu unsur penting bagi perawat

dalam pengembangan diri khususnya kualitas personal sesuai dengan

keahlian dan keterampilan dengan mengikuti pelatihan

pengembangan diri.

2. Kebaruan dalam penelitian ini yaitu peneliti menguji pengaruh

personality terhadap kinerja dengan OCB sebagai mediasi dan stress

sebagai moderasi pengaruh OCB terhadap Kinerja.


175

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan

Hasil pengujian-pengujian yang telah dilakukan menunjukkan item-item

kuesioner penelitian terbukti sebagian besar valid dan reliabel. Sehingga

didapatkan temuan-temuan empiris yang mendukung eksistensi teori-teori

manajemen terutama yang berlaku di Rumah sakit atau pun instansi lainnya.

Berdasarkan hasil uji hipotesis, terdapat beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Hasil uji model konseptual personality, OCB, Stress terhadap Kinerja,

dimana stress menjadi pemoderasi dan OCB menjadi pemediasi perawat

rumah sakit di Kota Bengkulu sebagai berikut :

a. Organizational Citizenship Behavior (OCB) berpengaruh signifikan

terhadap kinerja perawat, OCB berpengaruh terhadap kinerja sesuai

dengan yang dikemukakan oleh Soepono & Srimulyani (2015) dalam

penelitiannya menemukan bahwa OCB merupakan perilaku positif di

tempat kerja yang mendukung kinerja individu dan keefektifan organisasi.

b. Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan Stress Kerja

berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat, berdasarkan hasil

penelitian diketahui stress kerja tidak dapat berperan sebagai variabel

moderasi pada pengaruh OCB tergadap kinerja perawat. Hal ini

dikarenakan pengaruh efek moderasi tidak signifikan. Walaupun tidak

175
176

signifikan, namun efek stress kerja bersifat negatif pada hubungan OCB

dengan kinerja, artinya, stress kerja dapat menurunkan pengaruh OCB

terhadap kinerja.

c. Personality berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat, bahwa

kepribadian berpengaruh signifikan terhadap kinerja perawat. Artinya, jika

kepribadian semakin baik, maka kinerja perawat semakin meningkat. Hal

tersebut sejalan dengan pendapat Gibson (1996) yang menyatakan bahwa

kepribadian merupakan aspek psikologis yang dapat mempengaruhi

kinerja seseorang.

d. Personality berpengaruh secara signifikan terhadap Organizational

Citizenship Behavior (OCB) perawat, Artinya, jika kepribadian semakin

baik, maka perilaku OCB perawat rumah sakit di Kota Bengkulu semakin

meningkat. Mengacu pada hasil penelitian tersebut personality mampu

memberikan dampak positif terhadap perilaku OCB perawat rumah sakit

di Kota Bengkulu karena dengan adanya sumber daya pekerjaan yang baik

dari organisasi khususnya RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, akan membuat

perawat tetap bertahan menjadi bagian organisasi, hasil analisis deskriptif

diketahui bahwa perawat rumah sakit di Kota Bengkulu memiliki tipe

kepribadian yang baik.

2. Stress Kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat,

Hipotesis stress mempunyai pengaruh terhadap kinerja sesuai dengan

hasil penelitian sebagai berikut Stress kerja salah satunya merupakan

kejenuhan kerja, Kejenuhan kerja menjadi suatu masalah bagi organisasi


177

apabila mengakibatkan kinerja menurun, selain kinerja yang menurun

produktivitas juga menurun (Dale, 2011).

3. OCB sebagai pemediasi dalam kausalitas kepribadian dan kinerja

perawat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa OCB berpengaruh

positif dan signifikan terhadap kinerja perawat. Hal ini mendukung

perkembangan kinerja individu seperti yang diungkapkan oleh Nufus

(2011) dalam penelitiannya yang membahas mengenai OCB terhadap

kinerja.

4. Gambaran stress sebagai pemoderasi dalam kausalitas kepribadian dan

OCB. Berdasarkan hasil penelitian diketahui stress kerja tidak dapat

berperan sebagai variabel moderasi pada pengaruh OCB tergadap kinerja

perawat. Hal ini dikarenakan pengaruh efek moderasi tidak signifikan.

Walaupun tidak signifikan, namun efek stress kerja bersifat negatif pada

hubungan OCB dengan kinerja, artinya, stress kerja dapat menurunkan

pengaruh OCB terhadap kinerja. Hal ini sesuai dengan jurnal

Novianto,dkk (2018) menyatakan bahwa individu mengalami stress

rendah ditempat kerja, ia kemungkinan besar motivasinya tidak akan

bangkit (aktif) dan dengan demikian tidak akan menunjukkan kinerja

yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan stress pada pekerjaan yang

akan membangkitkan gairah dan motivasi dalam pekerjaan.

5.2 Rekomendasi Hasil Penelitian

Rekomendasi penelitian mencakup dua hal, yaitu untuk keperluan riset

manajemen terutama manajemen sumber daya manusia (MSDM) untuk keperluan


178

penelitian mendatang (akademik) dan untuk pengembangan Sumber Daya

Manusia baik bagi Rumah Sakit atau Institusi lainnya (Praktis). Untuk keperluan

akademik, rekomendasi ditujukan kepada para periset teori-teori manajemen

khususnya manajemen sumber daya manusia. Sedangkan untuk keperluan praktis,

rekomendasi untuk Rumah sakit, maupun institusi dalam konteks pengembangan

sumber daya manusia.

5.2.1 Rekomendasi Untuk Akademisi

Rekomendasi hasil penelitian bagi akademisi dalam penelitian berikutnya

untuk mengambil variabel lain selain Big Five Personality, OCB, Stress dan

Kinerja, seperti teori pengawasan pimpinan, disiplin kerja serta kepuasan kerja

sebagai variabel moderasi. Disamping itu juga riset selanjutnya bisa menguji

untuk tenaga kesehatan atau non kesehatan, serta dari perawat swasta atau

Aparatur Sipil Negara (ASN). Selain itu juga penelitian selanjutnya hendaknya

diikuti oleh observasi dan wawancara yang terstruktur guna melengkapi informasi

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) serta menemukan teori batu untuk

menambah referensi pada khasanah ilmu pengetahuan manajemen.

5.2.2 Rekomendasi untuk Instansi

Penelitian ini hendaknya juga dapat diterapkan pada instansi lain diluar

tenaga kesehatan, misalnya pada perawat BUMN, Aparatur Sipil Negara (ASN)

atau perawat swasta. Sehingga, menjadikan informasi hasil penelitian digunakan

bagi instansi untuk meningkatkan kinerja perawatnya. selain itu juga


179

meminimalisir stress kerja yang dihadapi, seperti kita ketahui bahwa stress

berpengaruh positif terhadap kinerja. Kinerja akan optimal jika tidak ada stress

kerja didalam organisasi atau rumah sakit. Selain itu juga dukungan instansi

secara psikologis seperti karakteristik dalam big five personality mendukung

keberhasilan kinerja seperti kepribadian perawat yang baik yaitu usia dan masa

kerja perawat, dengan adanya kepribadian yang baik maka kinerja perawat tinggi

sehingga visi dan misi rumah sakit khususnya dapat tercapai.

5.3 Keterbatasan Hasil Penelitian

Adapun keterbatasan pada pemelitian ini yaitu:

1. Pada penelitian ini hanya meninjau teori dari OCB, kepribdian dan stress

kerja. Sedangkan kinerja karyawan bisa dilihat dari sudut pandang dan teori

yang lebih luas seperti kompensasi, insentif dan pengawasan pimpinan.

2. Keterbatasan penelitian selanjutnya yaitu responden belum maksimal dalam

pemberian jawaban atas kuesioner yang diberikan. .


180

DAFTAR PUSTAKA

Almasitoh., & Hani. (2011). Stres kerja ditinjau dari konflik peran ganda dan
dukungan sosial pada perawat. Jurnal Psikologi Islam, 8, 63-82.

Almer, E.D., & Kaplan, S.E., 2002. The Effects of Flexible Work Arrangements
on Stressors, Burnout, and Behavioral Job Outcomes in Public
Accounting. Behavioral Research in Accounting, Vol. 14, Hal. 1-34.

Alwisol. (2009). Psikologi kepribadian edisi revisi. Malang: UMM Press.

Anatan & Ellitan, 2009. Stres: The high cost of highachievement. Garden City,
NY: Anchor Press

Anderson, C. & Spataro, S.E. (2008). Personality and Organizational Culture as


Determinants of Influence. Journal of Applied Psychology Copyright 2008
by the American Psychological Association, Vol. 93, No. 3.

Arens, et al... (2012). Auditeeng and assurance Service, An Integrated Approach


Fourteen Edition. England: Pearson Education Limited

Arif, A. & Chohan, A. (2012). How Job Satisfaction Influencing The


Organizational Citizenship Behavior (OCB): A Study On Employees
Working In Banking Sector of Pakistan. Interdsciplinary Journal of
Contemporary Research In Business, Vol. 4, No.8.

Askarian, N. & Eslami, H. (2013). The Relationship Between Personality Traits


and Job Performance (Case Study: Empoyees of The Ministry of
Education of Kerman). Interdisciplinary Journal of Contemporary
Reserach In Business, Vol.5, No.8.

Astuti, I.G.A.M.Y. & Bagia, I.W.; Susila, G.P.A.J. (2016). Pengaruh Komunikasi
Internal dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Individu.

Ayiecha, F.O.O. & Senaji, T.A. (2014). Moderating Effect of Organizational


Culture on the Implementation of Turnaround Strategy. IOSR Journal of
Business and Management, Vol.16, Issue 4.

Azad, 2004. Stres, Depresi, dan Kecemasan, Sebab dan Akibat Serta
Penanggulangannya. Dalam Al Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa

Azwar, S. (2010). Penyusunan skala psikologi edisi dua. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Ball, J.A. (2013). Organizational citizenship behavior at Catholic Institutions of


Higher Education: Effects of Organizational Commitment, Interpersonal-
181

and System-Level Trust. The University of IOWA’s Institutuional


Repository Reserach Online, Ph.D. Dissertation.

Barkhordar, N.; Ahmadi, S.A.A.; Yavari, M.; Nadiri, M. (2016). The Relation
between Organizational Justice and Organizational Citizenship Behavior:
The Case of Department of Physical Education of Tehran. Journal
International Business Management, Vol.10, No.10.

Baumeister, R. F., J. J. Exline., & Somer. (1998). The victim role grude theory,
and two dimention of forgiveness, edited by E. L. Worthington. Dimention
of forgiveness, psychological research & technological. Philadelphia &
London: Templeton Perspective.

Beauchamp, et al., 2004. The Relationship between Emotional Intelegence and


Communication Skills with Burnout in Iranian International Table Tennis
Coaches, Scholars Research Library, ISSN 0976-1233

Beehr, T.A. & Newman, J.E., 2002. Job Stress, Employee Health and
Organizational Effectiveness: Analysis, Model and Literature Review,
Jorunal Applied Psychology, Vol. 4, Hal. 35-76

Behtooee, L. (2016). A Model for Explanation of Social Capital in Organizations,


Psychological Empowerment, Job Involvement, and Organizational
Citizenship Behavior. International Journal of Advanced and Applied
Sciences, Vol.3, No.5.

Bernstein, E. (2014). Personality Research Says in Major Traits Occurs Naturally.


The Wall Street Journal, Edition December 2016.

Bethlehem, R.A.I.; Allison, C.; Van Andel, E.M.; Coles, A.I.; Neil, K.; Baron-
Cohen, S. (2016). Does Emphaty Predict Altuarism in the Wild ?. Journal
of Neurosecience, University of Cambridge, October Edition.

Brealey, Erika. 2002. Seri 10 Menit Menghilangkan Stres (terjemahan Sara


C.Simanjuntak). Batam : Karisma Publishing Group

Buonocore, Adeline (2016). Too Much of One Good Thing… From


Organizational Citizenship Behavior to Citizenship Fatigue: Where do we
Draw the Line? Bulletin From Science to Practice: Organizational
Psychology Bulletin, Vol.2, No.1.

Chin, W.W. (2014). The Partial Least Squares Approach to Structural Equation
Modeling. Publisher: University of Houston, Texas.

Cloninger, R. (2016). Biology of Personality Dimensions. Journal of Current


Opinion on Psychiatry, Vol.13, Issue 6.
182

Cobb-Clark, D. & Schurer, S. (2011). The Stability of Big-Five Personality Traits.


The Institute for the Study of Labor (IZA) Discussion Paper No. 5943.

Cooper, D.R & Schindler, P.S., 2006, Bussines Research Methods, 9th edition.
McGraw-Hill International Edition.

Creswell, J.W. 2010. Research design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan


mixed. Yogjakarta, PT Pustaka Pelajar.

Cubel, M.; Nuevo-Chiquero, A.; Sanchez-Pages; Vidal-Fernandez, M. (2014). Do


Personality Traits Affect Productivity? Evidence from the Lab. The
Institute for the Study of Labor (IZA) Discussion Paper No. 8308.

Darsana, M. (2013). The Influence Of Personality And Organizational Culture

Davis, K., & Newstrom, 2008. The Essence of Personnel Management and
Industrial Relations. Yogyakarta, Andi.

Dayakisni, T., & Hudaniah. (2009). Psikologi sosial. Malang: UMM Press.

Dayakisni, T., & Yuniardi, S. (2008). Psikologi lintas budaya edisi revisi. Malang:
UMM Press.

Debusscher, J.: Hofmans, J.; Fruyt, F.D.; Multiple Face (t) of State
Cinscientiousness Oredicting Task Performance and Organizational
Citizenship Behavior. Journal of Research in Personality, Vol.30, Issue
30.

Demirkiran, M.; Taskaya, S.; Dinc, M. (2016). A Study on the Relationship


between Organizational Justice and Organizational Citizenship Behavior
in Hospitals. International Journal of Business Management and
Economic Research, Vol. 7, No.2.

DeYoung, C.G. (2015). Cybernetic Big Five Theory. Journal of Research in


Personality, No.56.

Echchakoui, S. (2013). Personality Traits and Performance: The Mediating Role


of Adaptive Behavior in Call Centers. American Journal of Industrial and
Business Management, Vol. 3.e-Journal Bisma Universitas Pendidikan
Ganesha Jurusan Manajemen, Vol.4.

Eom, K. & Kim, H.S. (2016). Intersubjective Norms: Cultural and Interpersonal
Perspective. Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol.46, Issue 10.

Fisher, R.T. 2001. Role Stress, The Type A Behaviour Patter, And External
Perawat Job Satisfaction And Performance. Journal of Behavioral
Research In Accounting. Volume 13, Hal. 143-171.
183

Fogarty, T.J., 2000. Antecedents and Consequences of Burnout in Accounting:


Beyond The Role Stress Model. Behavioral Research in Accounting, Vol.
12, Hal. 31-67.

Gani., & Haerul, A. (2011). Forgiveness therapy “Maafkanlah niscaya dadamu


lapang”. Kanisius: Yogyakarta.

Gibson, I,, Mondy, L. & Moorhead, 2006. Perilaku Organisasi, Jakarta: Erlangga.

Greenberg., & Jerrold, S. (2006). Comprehensive stress management ninth


edition. New York: Mc. Graw Hill.

Greenhaus, J.H & Beutell, 1985. Sources of Conflict between Work dan Family
Roles, The Academy of Management Review, Vol. 10, No 1, Hal. 76-88

Haan, J. & Jansen, D.J. (2011). Corporate Culture and Behavior: A Survey. DNB
Working Paper, No.334.

Habtoor, N.; Zumrah, A.R.; Disomimba, M.N.; Samad, N.S.A. (2016). Effect of
HRM Practices on Service Quality: Job Satisfaction as A Mediator
Variable. Proceedings of SOCIOINT 2016 3rd International Conference
on Education, Social Sciences and Humanities, Istanbul, Turkey.

Hair, J.F.; Black, W.C.; Babin, B.J.; Anderson, R.E. (2010). Multivariate Data
Analysis, Seventh Edition. Publisher: Pearson Prentice Hall.

Hasani, K.; Boroujerdi, S.S,; Sheikhesmaeili (2013). The Effect of Organizational


Citizenship Behavior on Organizational Commitment. Journal of Global
Business Perspectives, Vol.1, Issue 4.

Hassan, S. (2016). Impact of HRM Practices on Employee’s Performance.


International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and
Sciences, Vol.6, No.1.

Hudak, C.M., & Gallo, B.M. (1997). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik, jilid
I. Jakarta: EGC.

Ichikawa, R. & Murakami, T. (2016). The Relationship of Personality Disorder


Attributes, Attachment Styles, and Depression. The Japanes Journal of
Personality, Vol.25, No.2.

Ilies, R.; Fulmer, I.S.; Spitzmuller, M.; Johnson, M.D. (2009). Personality and
Citizenship Behavior: The Mediating Role of Job Satisfaction. Journal of
Applied Psychology, Vol. 94, No. 4.

Ivancevich, J.M. & Mattenson, M.T., 2004. Stress and Work: A Manageral
Perspective, New York, McGraw Hill.
184

Ivancevich., John, M. & Robert, K. (2006). Perilaku dan manajemen organisasi


jilid 1 edisi ketujuh. Jakarta: Erlangga.

Jackson, A., & Schuller, R,S., 2004. Perilaku Keorganisasian, Jakarta: Salemba
Empat

Jahangir, N.; Akbar, M.M.; Haq, M. (2004). Organizational Citizenship Behavior:


Its Nature and Antecedents. BRAC University Journal, Vol.1, No.2.

Jamal., & Thoif, Z. (2009). Maafkanlah maka kamu akan sehat. Yogyakarta: Pintu
Hati.

John, Oliver P. & Srivastava, S. (1999). The Big-Five Trait Taxonomy: History,
Measurement, and Theoretical Perspectives. Handbook of personality:
Theory and research (2nd ed.). New York: Guilford (in press).

Jokela, M.; Bleidorn, W.; Lamb, M.E.; Gosling, S.D.; Rentfrow, P.J. (2014).
Geographically Varying Associations Between Personality and Life
Satisfaction in the London Metropolitan Area. Proceedings of National
Academy of Science of United State of America, Vol.112, No.3.

Judge, T.A.; Klinger, R.; Simon, L.S.; Yang, I.W.F. (2008). The Contributions of
Personality to Organizational Behavior and Psychology: Findings,
Criticisms, and Future Research Directions. Social and Personality
Psychology Compass, Vol. 2, No.5.

Kabene, S.M.; Orchard, C.; Howard, J.M.; Soriano, M.A.; Leduc, R. (2006). The
importance of human resources management in health care: a global
context. Journal Human Resources For Health, Vol4. No.20.

Kandler, C.; Riemann, R.; Angleitner, A.; Spinath, F.M.; Borkenau, P.; Penke, L.
(2016). The Nature of Creativity: The Roles of Genetic Factors,
Personality Traits, Cognitive Abilities, and Environmental. Journal of
Personality and Social Psychology, Vol.1, Issue 1.

Karolidis, Dimitrios (2016). Organizational Citizenship Behavior In Greek Public


Sector. Peblisher: University of Macedonia Post Graduate Studies In
Business Administration.

Kesen, M . (2016). Linking Organizational Identification with Individual


Creativity: Organizational Citizenship Behavior as a Mediator. Journal of
Yasar University, Vol.11, No.41.

Khan, S.K.; Feng, C.F.; Zhen, C.W.; Leong, L.H.; Yee, T.Y.; Zhi, Y.W. (2015).
The Factors affecting Organization Citizenship Behavior: A Study in the
Fitness Industry. International Journal of Recent Advances in
Organizational Behaviour and Decision Sciences, Vol.1, Issue 2.
185

Kim, H.J. (2016). Intention to Continue Using A Social Network Site: Effects of
Personality Traits and Site Quality. Social Behavior and Personality: An
International Journal, Vol.44, No.9.

Klein, Nadav (2016). Prosocial Behavior Increases Perceptions of Meaning of


Life. The Journal of Positive Psychology, July Edition.

Koo & Sim, 2009. An Analysis of Job Stress Outcomes among Bank Internal
Perawats. Bank Accounting and Finance, Hal. 39-43.

Kreitner & Kinicki, 2005. Healthy Lifestyle as a Coping Mechanism for Role
Stress in Public Accounting. Behavioral Research In Accounting No. 22,
Hal. 21-41.

Kristanto., Andreas, A., Dewi, K.S., & Dewi, E.K. (2009). Faktor-faktor
penyebab stres kerja pada perawat ICU rumah sakit tipe C di Kota
Semarang. Jurnal Psyche. Accessed on January 15, 2012 from
eprints.undip.ac.id/10782/1/(jurnal)- andreas_agung_k.pdf.

Kumar, A. (2016). Redefined and Important of Organizational Culture. Global


Journal of Management and Business Researchs: An Administration and
Management, Vol.16, Issue 4.

Lager, K.A.; Charles, S.T.; Turuano, N.A.; Almeida, D.M. (2016). Personality
and Stressor-Related Affect. Journal of Personality and Social
Psychology, Vol.1, No.1.

Larson & Murff, 2006. The Impact of Interpersonal Environment on Burnout


and Organizational Commitment, Journal of Organization Behavior, No.
9, Hal. 297-308

Lee, J.J.; Lee, C.; Lin, C.L. (2015). The Impact of Employee Loyalty and
Organizational Citizenship Behavior On Organizational Performance: A
Case of Taiwan-Listed Famility Business. International Journal of
Information Technology and Business Management, Vol. 41, No.1.

Leephayjoroen, S. (2016). Effects of the big-five personality traits and


organizational commitments on organizational citizenship behavior of
support staff at Ubon Ratchathani Rajabhat University,
Thailand. Kasetsart Journal of Social Sciences, Vol.37, Issue 2.

Lian, L.K. & Tui, L.G. (2012). Leadership Styles and Organizational Citizenship
Behavior: The Mediating Effect of Subordinates’ Competence and
Downward Influence Tactics. Journal of Applied Business and
Economics, Vol.13, No. 2.

Lin & Tepalgul, 2012. Managing Stress. Terjemahan: Haris Setiawati.


Yogyakarta: Baca.
186

Luthan, F. (2006). Perilaku organisasi edisi 10. Yogyakarta: Andi.

Luthans, F. & Avolio, B. ; Avey, J.B.; Norman, S.M. (2007). Positive


Psychological Capital: Measurement and Relationship with Performance
and Satisfaction. Leadership Institute Faculty Publications, Working
Paper 11.

Luthans, F.2000. Perilaku Organisasi, Edisi X. Yogyakarta: Andi

Mahdiuon, R. & Sharif, A.R. (2010). Explanation of Organizational Citizenship


Behavior With Personality. Journal of Procedia and Behavioral Science,
No.5.

McCare, R.R. (2010). The Place of the FFM in Personality Psychology. Journal
Psychological Inquiry, No.21.

McCullough, M.E., Everettm, L., Worthington., Kenneth, C., & Rachal. (1997).
Interpersonal forgiving in close relationships. Journal of Personality and
Social Psychology, 73, 321-336.

McCullough, M.E., Rachal., Steven, J., Sandage., Everett, L., Worthington.,


Brown., & Hight. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II.
Theoretical elaboration and measurement. Journal of Personality and
Social Psychology, 75, 1586-1603.

Mihaela, M. (2016). Managers and Organizational Citizenship Behavior. Buletin


Scientific, No.1, Alexandru Ioan Cuza, University, IASI, Romania.

Militaru, C. & Zanfir, A. (2012). The Influence of Organizational Culture over the
Ethical Principles in International Businesses. International Journal of
Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences
Volume 2, Special Issue 1.

Misha, F.; Youshan, B.B.; Hasan, Z. (2015). The Effect of Employees Personality
On Organizational Performances: Study on Prudential Assurance Malaysia
Berhad. International Journal of Accounting, Business and Management,
Vol.1. No.1.

Mitic, S.; Vukonjanski, J.; Terek, E.; Glogorovic, B.; Zotic, K. (2016).
Organizational Culture and Organizational Commitment: Serbian Case.
Journal of Engineering Management and Competitiveness, Vol.6, No.1.

Mohant, J. & Rath, B.P. (2012). Can Organizational Culture be a Predictor of

Mohant, J.& Rath, B.P. (2012). Influence of Organizational Culture On


Organizational Citizenship Behavior: A Three Sector Study. Global
Journal of Business Research, Vol.6, No.1.
187

Moorhead & Griffin, 2013. Perilaku Organisasi, Yoyakarta: Andi Offset.

More, M., 2000. Work Environment and Organization, New Jersey: Prentice Hall,

Nashori, F., Iskandar., Kusdwiratri, S., & Siswadi. (2011). Orientasi nilai budaya
dan pemaafan pada mahasiswa. Jurnal Psikologia, 6, 15-21.

Nashori, F., Tb. Zulrika, I., Kusdwiratri, S. A., & Gimmy, P. S. (2011). Tema-
tema pemaafan mahasiswa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Yogyakarta:
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UII.

Nessler, C. & Muller, J. (2010). Cultural Antecedent For Cross-Boundary


Knowledge Sharing-Qualitative and Quantitative Insights. Working
Paper: Department of Strategic Management, Marketing and Tourism The
University of Innsbruck School of Management.

Novianto,dkk. 2018. Pengaruh Stress kerja dan Kepuasan Kerja Terhadap


Kinerja Perawat dengan Strategi Coping sebagai Variabel Moderasi.
Jurnal;Universitas Jendral Soedirman.

O’Donnell, O. & Boyle, R. (2008). Understanding and Managing Organisational


Culture. The Committee for Public Management Research Discussion
Paper, No.40.

O’riordan, J. (2015). Organizational Culture and The Public Service. Research


Paper State of the Public Service Series, No.16.

On Employee Performance Through Organizational Citizenship Behavior.


The International Journal of Management, Vol.2, Issue 4.

Organ, D.W. (1994). Personality and OCB. Journal of Management, Vol.16,


No.4.

Organizational Citizenship Behaviors?. International Journal of


Innovation, Management and Technology, Vol. 3, No. 1.

Patki, S.M. & Abhyankar, S.C. (2016). Big Five Personality Factors as Predictors
of Organizational Citizenship Behavior: A Complex Interplay. The
International Journal of Indian Psychology, Vol.3, Issu 2.

Peurseum, 2004. Stress and Burnout: The Significant Difference. Personality and
Individual Difference, No. 39, Hal. 625-635.

Pickett, K.H Spencer., 2005. The Essential Handbook Of Internal Auditeeng.


Southern Gate: John Wiley & Sons Ltd.
188

Podsakoff, N.P.; Whiting, S.W.; Podsakoff, P.M.; Blume, B.D.(2009). Individual


and Organizational Level Consequences of Organizational Citizenship
Behaviors: A Metha Analysis. Journal of Applied Psychology, Vol.94,
Issue 1.

Podsakoff, P.M.; McKenzie, S.B.; Paine, J.B.; Bachrach, D.G. (2000).


Organizational Citizenship Behaviors: A Critical Review of the Theoretical
and Empirical Literature and Suggestions for Future Research. Journal of
Management, Vol.26, No.3.

Purba,dkk. 2004. Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi Terhadap


Organizational Citizenzhip Behviour. Jurnal: Universitas Indonesia.

Rahman, F. (2010). Strategi coping perawat rumah sakit jiwa daerah Surakata.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Accesed on September 22, 2012
from etd.prints.ums.ac.id.

Reitz, A.K.; Zimmerman, J.; Hutteman, R.; Neyer, F.J. (2014). How Peers Make a
Difference: The Role of Peer Groups and Peer Relationships in Personality
Development. European Journal of Personality, May Edition.

Research: 2010-2015. Japan Society for the Promotion of Science,


Research Grant Number 25245050.

Rini, Jacinta F. 2002. Stres . Jakarta: Team e-psikologi.com. Website :


http://www.epsikologi.com/masalah/stres.htm

Rivai, V., & Sagala. (2004). Manajemen sumber daya manusia edisi 2. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

Rizzo, J.R., R.J. House dan S.I. Lirtzman.1970. Role Conflict and Ambiguity
in Complex Organizations. Administra- tive Science Quarterly, Vol. 15,
No. 2, Hal.150-163.

Robbin, S.P. & Judge, T.A. (2016). Organizational Behavior, 17th Edition.
Publisher: Pearson.

Robbins, S. P. (2004). Teori organisasi, struktur, desain, dan aplikasi. New Jersey:
Prentice Hall.

Robinson, J.P., 2015. What Are Employability Skills?. Community Workforce


Development Specialist. Alabama Cooperative Extension System.

Robkob, D., Seigel, S., & Marcon, M. 2012. Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa
Indonesia, Surabaya: Citra Media.

Romle, A.R.; Talib, N.F.M.; Shahuri, N.S.S. (2016). The Relationship Between
Organizational Citizenship Behavior and High Performance Organization
189

from the Perspective of the Students in the Higher Education Institution in


Malaysia. Journal of Scientific Research and Development, Vol.3, No.5.

Rothmann, S. & Coetzer, E.P. (2003). The Big Five Personality Dimensions and
Job Performance. Journal of Industrial Psychology, Vol.29, No.1.

Royle, M.T. (2010). An Empirical Investigation of The Mediating Role of


Organization-Based Self-Esteem. International Journal of Management
and Marketing Research, Vol.3, No.2.

Salgado, J.F. (1997). The Five Factor Model of Personality an Job Performance in

Sanhaji, A.; Soetjipto, B.E.; Suharto (2016). Pengaruh Keadilan Organisasi dan
Budaya Organisasi Terhadap Perilaku Kewargaan Organisasi Melalui
Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja. Jurnal Pendidikan: Teori,
Penelitian, dan Pengembangan, Vol. 1, No.5.

Santrock. J.W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja, Edisi Keenam


Jakarta: Erlangga

Sarafano, E.P, 2008. Health psychology: Biopsychosocial interaktions. Sevent


edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Schein, E.H. (2004). Organizational Culture and Leadership, Third Edition.


Publisher: Jossey-Bass, John Wiley & Sons, Inc.

Schuller, R.S., 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Erlangga.

Seigel, S., & Marcon, M., 2009. The Impact of Exercised Responsibility,
Experience, Autonomy, and Role Ambiguity on Job Performance in Public
Accounting. Journal of Managerial Issues, No. 3, Hal. 327-347.

Sekaran, 2006, Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Edisi 4, Buku 1, Jakarta:


Salemba Empat.

Serpa, S.(2016). An Overview of the Concept of Organizational Culture.


International Business Management, Vol.10, No.1.

Shahidi, N.; Shamsnia, S.A.; Baezat, S. (2015). Studying the Relationship


between Self-efficacy and Organizational Citizenship Behavior (Case
Study: Islamic Azad University–Zone 1). International Research Journal
of Applied and Basic Sciences, Vol.9. No.9.

Singh, Apoorva (2016). Organizational Culture: A Conceptual Framework.


International Journal of Advance Research in Computer Science and
Managment Studies, Vol.4, Issue 4.
190

Smith, C.A.; Organ, D.W.; Near, J.P. (1983). Organizational Citizenship


Behavior: Its Nature and Antecedents. Journal of Applied Psychology,
Vol.68, No.4.

Soepono, D.N. & Srimulyani, V.A. (2015). Analisis Pengaruh The Big Five
Personality Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan
Kinerja Perawat di RS Santa Clara Madiun. Jurnal Manajemen Indonesia,
Vol.15, No.1.

Solimun, 2017. Handout Structural Equation Modeling, Universitas Brawijaya


Press, Malang

Stranks, J., 2005. Stress at work, management and prevention. Burlington:


Elsevier:.

Sugiyono. (2009). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Swarnalatha, C. & Prasanna, T.S. (2016). A Study on Employee Engagement


Variables of Hospital Employees with reference to Private Multi-Specialty
Hospitals in Madurai Region. Asian Journal of Research in Social
Sciences and Humanities, Vol.6, No.4.

Tang dan Chang, 2010. Consistency of the Burnout Construct Across


Occupations, International Journal, Vol. 9, No. 3, Hal. 123-133.

the European Community. Journal of Applied Psychology, Vol.82, No.1.

Thompson., Laura, Y., Snyder., Lesa, H., Scott, T., Michael., Heather.,
Rasmussen., Laura., Billings., Laura. H., Jason, E., Neufeld., Shorey.,
Roberts, J.S., & Roberts, D.E. (2005). Dispositional forgiveness of self,
other, and situation. Journal of Social and Personality Psychology, 73,
313-359.

Tsai, M.T. and Shis, C.M., 2005. “The Influence of Organizational and Personal
Ethic On Role Conflict Among Marketing Manager: An Empirical
Investigation.” Journal of Management International, Vol. 22.

Tunjungsari, P. (2011). Pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja individu


pada kantor pusat PT. Pos Indonesia (Persero) Bandung. Jurnal Fakultas
Ekonomi Universitas Komputer Indonesia, 1, (1).

Ueda, Yutaka (2016). Recent Trends in Organizational Citizenship Behavior

Utami, I & Nahartyo, E. 2013. The Effect Of Type A Personality On Perawat


Burnout: Evidence From Indonesia. IAccounting & Taxation, Vol. 5,
No.2.
191

Vetráková, M. & Smerek, L. (2016). Diagnosing Organizational Culture In


National and Intercultural Context. Journal Administration and
Management, Vol.19, No.1.

Viator, 2001. Organizational Behavior: Structure, Process, Richard D. Irwin Inc,

Walton, E. (2005). Therapeutic forgiveness: Developing a model for empowering


victims of sexual abuse. Clinical Sosial Work Journal, 33, 193-207.

Webb, M., Chickering., Colburn., Heisler, D., & Call, S. (2005). Religiosity and
dispositional forgiveness. Review of Religious Research, 46, 355-370.

Wendell & Aono, 2004. Komunikasi Antar Manusia, Professional Books, Jakarta

Wijono, S. (2006). Pengaruh kepribadian tipe A dan peran terhadap stres kerja
manajer madya. Insan Jurnal Psikologi Universitas Airlangga, 8, 188-197.

Winarsunu, T. (2009). Statistik dalam penelitian psikologi & pendidikan. Malang:


UMM Press.

Wooten, T.G., 2003. It is Impossible to Know The Number of Poor-Quality Audits


that Simply go Undetected & Unpublicized. The CPA Journal. Januari.
Hal. 48-51,2003.

Worthington, E. L., Witvliet ., Lerner, A.J., & Scherer, M. (2005). Forgiveness in


health reseach and medical practice. Explore Journal, 1, 169-176.

Yeun, Y.R. & Han, J.W. (2016). Effect of Nurses’ Organizational Culture,
Workplace Bullying and Work Burnout on Turnover Intention.
International Journal of Bio-Science and Bio-Technology, Vol.8, No.1.

Yukl, G. (1989). Managerial Leadership: A Review of Theory and Research.


Journal of Management, Vol.15, No.2.

Zikmund W.G., Babin BJ., Carr J.C & Grifin M., 2010. Business research
Methods, (8Th ed). SouthWesterm: Cengage Learning
192

INSTRUMEN PENELITIAN

A. Personality (X1):

No. Pernyataan STS TS KS S SS

Extraversion
1 Saya biasa meramaikan suasana dalam
pekerjaan.
2 Saya siap membantu rekan kerja jika
diperlukan.
3 Saya biasa bercengkerama dengan rekan-
rekan kerja.
4 Saya dianggap energik oleh rekan-rekan
kerja.
Neuroticism
5 Setiap pekerjaan yang direncanakan
dengan teliti biasanya berhasil menghindari
kesalahan.
6 Dalam kondisi tekanan kerja, individu bisa
mengendalikan diri.
7 Bekerja keras untuk meraih target
pekerjaan dilakukan oleh setiap individu.
8 Seluruh individu selalu bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan pekerjaan.
Conscientiousness
9 Seluruh individu melaksanakan tugas
sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
10 Seluruh individu melaksanakan tugas
dengan penuh kehati-hatian.
11 Seluruh individu melaksanakan tugas
secara teratur, rapih, tidak kusut.
12 Seluruh individu melaksanakan tugas
dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
Openness
13 Setiap individu tertarik pada hal-hal yang
lebih kreatif dalam melaksanakan
pekerjaan.
14 Setiap individu siap menerima ide-ide baru
dalam melaksanakan pekerjaan.
15 Setiap individu selalu berusaha
meningkatkan nilai tambah terhadap
pekerjaan.
16 Setiap individu selalu bergairah menerima
ide-ide baru dalam pelaksanaan pekerjaan.
Agreeableness
17 Setiap individu selalu memaafkan
kesalahan rekan-rekan dalam pekerjaan.
18 Setiap individu siap membantu siapapun
yang membutuhkan dalam pekerjaan.
19 Setiap individu selalu menunjukkan rasa
empati kepada orang lain.
20 Setiap individu lebih mendahulukan
193

kepentingan orang lain dalam pelaksanaan


tugas.
B. Stress (Z):

No. Pernyataan STS TS KS S SS

Ketidakmampuan menghadapi pekerjaan


1 Pekerjaan yang saya lakukan terasa
sulit diselesaikan
2 Pekerjaan ini saya anggap beban
yang sangat berat
3 Tekanan kerja membuat saya tidak
dapat menentukan prioritas
pekerjaan
Depresi terhadap beban kerja
4 Stres kerja membuat saya tidak
tenang dalam melaksanakan
pekerjaan saya
5 Stres kerja yang saya alami
membuat sayakurang bersemangat
6 Tekanan kerja yang terjadi membuat
saya senang menyendiri
Kesulitan mengendalikan emosi
7 Kondisi emosi saya sangat labil
(temperamen) saat saya mengalami
tekanan kerja
8 Setiap ucapan rekan kerja saya
tanggapi dengan perasaan marah
9 Tekanan pekerjaan yang saya alami
membuat saya tidak ramah dan sulit
bergaul
Tidak konsentrasi
10 Stres kerja menyebabkan saya tidak
fokus dalam melaksanakan
pekerjaan
11 Saya merasa bahwa pekerjaan yang
saya hasilkan mengalami banyak
kesalahan
12 Tekanan pekerjaan yang saya alami
membuat pekerjaan yang saya
lakukan asal jadi
194

C. OCB-Behavior (X3):

No. Pernyataan STS TS KS S SS

Altuirism
1 Saya biasa membuat
pernyataan konstruktif
tentang organisasi dan
kelompok kerja.
2 Saya biasa membantu
individu lain dalam satu tim
jika ada yang mengalami
kesulitan dalam pelaksanaan
tugas.
3 Saya sudah menyampaikan
ide-ide kreatif tentang cara
memuaskan pasien dan
keluarganya.
4 Kadang-kadang saya
mengambil alih tugas rekan
sesama perawat yang sedang
berhalangan.
Conscientiousness
5 Saya seringkali
mengerjakan pekerjaan
keperawatan jauh melebihi
batas yang diharuskan
individu.
6 Bagi saya melaksanakan
tugas dengan sepenuh
kemampuan yang dimiliki
adalah kewajiban.
7 Saya kadang-kadang
mengajukan diri untuk
pekerjaan ekstra dalam
situasi yang mendesak.
8 Saya tidak merasa keberatan
menyelesaikan pekerjaan
melebihi kewajiban sebagai
perawat.
Sportsmanship
9 Saya bisa menerima kritikan
sesama rekan kerja demi
untuk keutuhan tim.
10 Saya menghindari konflik
dengan rekan kerja maupun
dengan keluarga pasien.
195

11 Saya menyatakan
penghargaan terhadap hasil
kerja rekan yang lain.
12 Bagi saya jika tidak puas
terhadap manajemen rumah
sakit, cukup dipendam dan
berusaha sabar.

Courtesy
No Pernyataan STS TS KS S SS
13 Sebagai individu rumah sakit, maka saya
senantiasa menunjukkan sikap hormat kepada
pasien dan keluarganya.
14 Dalam melaksanakan tugas saya bersikap
sopan dan santun kepada pengunjung rumah
sakit.
15 Terhadap sesama rekan kerja saya bersikap
sopan dan santun dalam berkomunikasi.
16 Dalam menyampaikan fikiran saya tetap
menjaga omongan supaya tidak menyinggung
perasaan orang lain.
Civic Virtue
17 Saya ikut bertanggungjawab terhadap
peningkatan kinerja individu rumah sakit.
18 Saya ikut memberikan saran dan kritikan yang
bersifat membangun.
19 Saya ikut mendinginkan suasana dalam
kondisi beredar isu-isu negatif yang sifatnya
gossip.
20 Bagi saya misi rumah sakit adalah
tanggungjawab bersama untuk
menyelesaikannya.
196

D. Job Performance (X4):

No. Pernyataan STS TS KS S SS

Kuantitas Pekerjaan
1 Capaian volume kerja saya sudah sesuai
dengan standar rencana kinerja rumah
sakit.
2 Saya berhasil mencapai target volume kerja
individu yang direncanakan.
3 Capaian volume kerja saya sudah sesuai
dengan standar waktu yang saya
perkirakan.
4 Capaian volume kerja saya sudah sesuai
dengan standar waktu yang ditetapkan
rumah sakit.
Kualitas Pekerjaan
5 Raihan volume kerja yang saya selesaikan
telah sesuai dengan standar mutu yang
ditetapkan rumah sakit.
6 Capain volume kerja saya sudah sesuai
dengan kompetensi perawat.
7 Saya berhasil mencapai target pekerjaan
dalam waktu yang sudah direncanakan.
8 Dalam memenuhi target volume kerja, saya
laksanakan dengan penuh ketelitian.
Kerja Sama
9 Dalam melaksanakan pekerjaan, saya biasa
bekerjasama dalam satu tim yang
ditentukan rumah sakit.
10 Pada saat anggota tim ada yang mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan,
saya memberikan bantuan sesuai dengan
kebutuhan pelayanan rumah sakit.
11 Pada kondisi sedang mengalami
permasalahan, saya selalu mengikuti
diskusi pemecaha masalah bersama.
12 Diantara sesama anggota tim kerja, saya
sudah sering memberikan masukan untuk
kesempurnaan pekerjaan tim.
Pemanfaatan Waktu
13 Pada saat waktu luang, saya selalu
membaca buku, majalah, artikel yang berisi
pengetahuan baru tentang kompetensi
perawat rumah sakit.
14 Di sela-sela kesibukan kerja, saya biasa
197

mencatat hal-hal yang belum terselesaikan


untuk diselesaikan pada waktu berikutnya.
15 Dalam kesibukan kerja, saya biasa
memperhatikan hal-hal yang terjadi di luar
rencana untuk meningkatkan kinerja
berikutnya.
16 Saya juga menggunakan waktu istirahat
dengan sebaik-baiknya untuk menjaga
kebugaran fisik dan fikiran.
Lampiran
198

Nilai Loading Factor : Tahap 1


199
200

Nilai AVE : Tahap 1


201

Nilai Loading Factor : Tahap 2


202
203
204

Tahap : 2
205

Nilai Loading Factor : Tahap 3


206

Tahap : 4
207
208
209
210
211
212

Hasil Pengujian Hipotesis


213

Anda mungkin juga menyukai