Anda di halaman 1dari 51

1

UJIAN AKHIR SEMESTER


MATA KULIAH RISET TOPIC IN HRM
Analisis Workplace Spirituality dan Work-life Balance terhadap OCB dengan
Komitmen Organisasi sebagai Variabel Intervening

Disusun oleh:
C2C020002 Muhamad Salim

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER MANAJEMEN
2021
2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan
merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat. Penyelenggaran
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan organisasi
yang kompleks. Terdapat beberapa jenis tenaga kesehatan dengan perangkat
keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran yang berkembang pesat yang harus diikuti oleh
tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat
semakin kompleksnya permasalahan dalam Rumah Sakit. Oleh sebab itu,
sumber daya manusia harus dikelola dengan baik sehingga mampu untuk
mencapai visi dan misi organisasi.
RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun merupakan organisasi
yang memberikan pelayanan jasa kesehatan. Sebuah rumah sakit dengan
pelayanan prima selama 24 jam dan berfokus pada kebutuhan pasien. Untuk
dapat menjadikan rumah sakit dengan pelayanan yang memuaskan sesuai
dengan visinya yaitu “menuju rumah sakit yang islami dengan pelayanan
prima,profesional, terjangkau dengan tanpa mengesampingkan unsur sosial”,
maka diperlukan sebuah kerjasama yang baik oleh semua elemen yang
terlibat dalam aktifitas organisasi termasuk tenaga medis khususnya perawat
dan bidan. Sampai saat ini, jumlah perawat dan bidan di RSU PKU
Muhammadiyah Kutowinangun berjumlah 38 orang. Berdasarkan
wawancara, peneliti menemukan fenomena yang menarik, dimana para
karyawan merasa pentingya memberikan perhatian dan pertolongan pada
karyawan lain serta bersedia mengerjakan pekerjaan di luar jobdesk-nya. Hal
ini dilakukan dengan rasa tanggung jawab demi kemajuan organisasi.
Dalam manajemen sumber daya manusia, dikenal istilah
Organizational Citizenship Behaviour. Istilah ini merupakan perilaku yang
bukan merupakan merupakan bagian dari tugas yang telah dipersyaratkan
3

secara formal bagi seorang karyawan, tetapi secara keseluruhan mendorong


fungsi efektif organisasi. Dalam upaya peningkatan sumber daya manusia,
untuk melaksanakan tugasnya karyawan sering kali dihadapkan pada kondisi
yang tidak menyenangan. Mereka harus senantiasa berhadapan dengan
berbagai tugas yang sifatnya mendesak dan dituntut untuk segera
diselesaikan. Mereka dituntut tidak hanya bekerja seperti yang ada pada
perspektif bekerja atau hanya sesuai dengan tugas-tugas resminya saja (Intra-
role), tetapi mereka diharapkan bekerja melebihi apa yang seharusnya mereka
lakukan dalam tugasnya (Extra-role). Perilaku Extra-role tersebut sering
disebut juga Organizational Citizenship Behaviour (Robbins dan Coulter,
2013: 172-173).

Menurut Organ (1988), Organizational Citizenship Behavior (OCB)


merupakan perilaku pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan
sistem reward formal organisasi. Wujud perilaku OCB tersebut antara lain
membantu rekan dalam timnya, secara sukarela melakukan pekerjaan ekstra,
menghindari konflik yang tidak perlu diperdebatkan, memberi motivasi rekan
yang lain apabila mengalami kesulitan dan sesekali mentolerir pekerjaan yang
dapat menjadi beban, gangguan dan menyusahkan. OCB secara tidak
langsung dapat meningkatkan kinerja indvidu bahkan kinerja perusahaan
dimana indvidu tersebut bekerja dan dianggap sebagai salah satu faktor yang
paling penting yang mempengaruhi efektivitas organisasi (Organ, Podsakoff
& Mac Kenzie: 2006).

Pada organisasi ini, para tenaga medis memberikan perhatian yang


lebih secara sukarela untuk tenaga medis lainnya ataupun kepada pasien.
Dalam keadaan darurat, perawat bersedia mengambil alih peran sebagai sopir
ambulance, menyuapi pasien jika tidak ada keluarganya yang menjaga,serta
bersedia menunda waktu pulang dan membantu rekan kerja apabila
dibutuhkan. Perawat dan Bidan yang ada berusaha untuk saling memahami
situasi, kondisi, dan karakteristik rekan kerja satu dengan yang lain,
meningkatkan komunikasi agar tidak terjadi kesalah pahaman, dan
4

membangun rasa kekeluargaan dengan sesama rekan kerja agar dapat


membina hubungan yang baik. Mereka menyadari bahwa hubungan yang
baik dengan rekan kerja dapat mempererat kerja sama antar perawat dalam
melayani seluruh pasien. Perilaku prososial atau tindakan ekstra yang
melebihi deskripsi peran yang ditentukan organisasi disebut sebagai OCB.

Perilaku OCB tidak serta merta muncul tanpa ada faktor yang
mempengaruhi. Organisasi dan individu memliki peran yang besar dalam
kemunculan perilaku tersebut. Organisasi dikatakan berhasil dalam
menumbuhkan perilaku OCB apabila mengarahkan karyawan untuk tidak
hanya mengerjakan tugas pokonya saja, tetapi mau melaksanakan pekerjaan
di luar tugas pokoknya, seperti bekerja sama dengan sesama perawat atau
bidan dalam menyelesaikan suatu permasalahan, bersifat aktif dan reaktif
terhadap pekerjaan, memberikan saran yang mendukung, memberikan
pelayanan ekstra kepada pasien, serta mengunakan waktu kerjanya secara
efektif. Dengan banyaknya hal positif yang ada di organisasi ini, maka tenaga
medis yang ada merasa nyaman untuk tetap bekerja di organisasi ini.

Timbulnya perilaku OCB berdampak positif bagi


perusahaan/organisasi yang antara lain disebabkan oleh komitmen organisasi
(Luthans, 2006). Lebih lanjut, Luthans (2006) mendefinisikan komitmen
organisasi sebagai keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi
tertentu; keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi;
dan keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.

Menurut Nagar (2012) Komitmen organisasional adalah tingkat


dimana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasi, serta berkeinginan
untuk tetap tinggal dengan organisasi tersebut. Komitmen organisasional
menunjukkan tingkat keyakinan dan loyalitas individu terhadap organisasinya
atau intensitas seseorang untuk mengidentifikasi dirinya, serta tingkat
keterlibatannya dalam organisasi (Indriyani dan Wisnu, 2011). Avolio et al.
(2004), menyatakan bahwa komitmen organisasional adalah sikap yang
5

mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat dengan


organisasinya. Komitmen karyawan terhadap organisasi ditunjukan dengan
keterlibatannya secara aktif dalam mencapai tujuan organisasi (Shinta, 2013).
Keberhasilan organisasi dapat dicapai apabila karyawan dapat berperilaku
positif terhadap diri mereka sendiri dan organisasi, melalui kejelasan tujuan,
menentukan peran karyawan, pemberdayaan karyawan, otonomi di tempat
kerja, kepuasan kerja dan iklim kerja yang positif akan dapat mendorong
prestasi, kreativitas dan kemampuan karyawan sehiangga karyawan dapat
bersikap positif terhadap organisasi (Arabiyat, 2011).
Kemunculan perilaku OCB didukung oleh komitmen organisasi
perawat dan bidan. Komitmen perawat dan bidan yang bekerja di RSU PKU
Muhammadiyah Kutowinangun dibuktikan dengan pelayanan yang baik
terhadap pasien, ramah dalam memberikan pelayanan, mayoritas perawat dan
bidan sudah bekerja diatas 3 tahun. Komitmen organisasi sangat dibutuhkan
di RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun agar perawat dan bidan yang
bekerja mampu memberikan kontribusi lebih sehingga pelayanan dapat lebih
maksimal dan RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun menjadi lebih maju.
OCB dapat dipengaruhi oleh worklife balance (keseimbangan
kehidupan kerja) dan workplace spirituality (spiritualitas di tempat kerja).
Keseimbangan kehidupan kerja dan spiritualitas di tempat kerja menjadi suatu
aspek penting yang dapat meningkatkan komitmen dan OCB dalam
organisasi (Makiah, Asmoni, dan Nurmayanti, 2018). Worklife balance
adalah kemampuan individu untuk mengelola dan menentukan kehidupan
sehari-hari mereka untuk mendapatkan rasio waktu untuk bekerja, waktu
untuk keluarga, waktu untuk teman, dan waktu yang tepat untuk diri sendiri
(Wongthongdee, 2009).
Worklife balance perawat dan bidan terlihat dari kinerja perawat dan
bidan yang tidak terganggu dengan kondisi di luar kerja dan mampu bekerja
dengan profesional. Perawat dan bidan di RSU PKU Muhammadiyah
Kutowinangun juga tidak mempermasalahkan sistem shift yang diterapkan
oleh pihak manajemen dan bisa menyesuaikan antara sistem shift yang
6

diterapkan dengan tugas dan kewajiban di rumah dan masyarakat. Hal inilah
yang menunjukkan adanya Keseimbangan kehidupan kerja dari perawat dan
bidan di RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun.
Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi OCB adalah spiritualitas di
tempat kerja. Podsakoff et al. (2000) memberikan pengertian tentang
spiritualitas di tempat kerja, yaitu fenomena yang bersifat universal dimana
organisasi mengakui bahwa orang yang bekerja dalam suatu organisasi
perusahaan memiliki kehidupan batiniah tumbuh karena kebermaknaan
pekerjaan bagi kehidupannya. Sebagai manusia maka orang memiliki pikiran
dan roh, dan selalu berusaha menemukan makna dan tujuan hidup dalam
pekerjaan mereka. Spiritualitas di tempat kerja adalah sebuah konsep yang
membahas tentang kaitan aspek-aspek spiritualitas dengan lingkungan kerja.
Spiritualitas dalam pekerjaan bukan tentang membawa agama ke dalam ranah
pekerjaan, melainkan kemampuan karyawan sebagai makhluk spiritual untuk
menghadirkan keseluruhan dirinya untuk bekerja. Robbins (2008)
menjelaskan bahwa Spiritualitas di tempat kerja menyadari bahwa manusia
memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang
bermakna yang berlangsung dalam konteks komunitas. Organisasi yang
mendukung kultur spiritual mengakui bahwa manusia memiliki memiliki
pikiran dan jiwa, berusaha mencari makna dan tujuan dalam pekerjaan
mereka, dan hasrat untuk berhubungan dengan orang lain, serta menjadi
bagian dari sebuah komunitas.
Spiritualitas di tempat kerja bukan membawa agama dalam pekerjaan,
namun kemampuan menghadirkan keseluruhan diri karyawan untuk bekerja.
Spiritualitas di tempat kerja dapat membawa karyawan lebih efektif dalam
bekerja, karena karyawan yang melihat pekerjaan mereka sebagai alat untuk
meningkatkan spiritualitas akan menunjukkan usaha yang lebih besar
dibanding karyawan yang melihat pekerjaannya hanya sebagai alat untuk
memperoleh uang. Berdasarkan hasil wawancara dengan kabag kepegawaian
di RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun, perawat dan bidan memiliki
spiritualitas di tempat kerja yang bagus, seperti saling tolong-menolong antar
7

sesama bidan dan perawat, semangat dalam bekerja, dan dedikasi untuk
pasien atas perannya sebagai sesama manusia. faktor yang paling dominan
dalam pembentukan spiritualitas di tempat kerja adalah dari organisasi
Persyarikatan Muhammadiyah yang memang menekankan kepada semua
anggota organisasi untuk mempunyai spiritualitas yang baik.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan mengangkat judul “Pengaruh Keseimbangan Kehidupan
Kerja dan Spiritualitas di Tempat Kerja terhadap Organizational
Citizenship Behaviour (OCB) dengan Komitmen Organisasi sebagai
Variabel Intervening”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh worklife balance terhadap OCB pada perawat dan
bidan di RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun?
2. Bagaimana pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap OCB pada
perawat dan bidan di RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun?
3. Bagaimana pengaruh worklife balance terhadap Komitmen Organisasi
pada perawat dan bidan di RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun?
4. Bagaimana pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap Komitmen
Organisasi pada perawat dan bidan di RSU PKU Muhammadiyah
Kutowinangun?
5. Bagaimana pengaruh Komitmen Organisasi terhadap OCB pada perawat
dan bidan di RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun?

1.3 Ruang Lingkup Penelitian


Pembatasan ruang lingkup penelitian diterapkan agar dalam
penelitian terfokus pada pokok permasalahan dan pembatasan yang ada.
Tujuan penelitian diharapkan tidak menyimpang dari sasaran yang hendak
dijadikan penelitian nantinya. Maka penulis memandang perlu untuk
menetapkan batasan masalah sebagai berikut :
8

1. Responden pada penelitian ini adalah tenaga medis dan dibatasi pada
perawat dan bidan dengan jumlah responden sebanyak 38.
2. Batasan terhadap variabel
Guna menghindari meluasnya bahasan, maka variabel akan
dibatasi sebagai berikut :
a. Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
OCB merupakan merupakan istilah yang digunakan untuk
mengidentifikasi perilaku karyawan sehingga dia disebut sebagai
“anggota yang baik” atau “good citizen” (Sloat, 1999). OCB
merupakan perilaku di luar deskripsi kerja yang telah ditentukan
perusahaan, namun memiliki dampak yang baik bagi perusahaan
(Robbins, 2006: 31). Sehingga dapat dikatakan bahwa OCB
merupakan kemampuan dan perilaku karyawan dalam melaksanakan
tugas-tugasnya di tempat kerja yang kontribusinya melebihi harapan
perusahaan.

Organ (1988) memberikan dimensi pada organizational


citizenship behavior yaitu sebagai berikut:
a. Altruism, adalah perilaku karyawan dalam menolong rekan kerja
lain yang mengalami kesulitan baik dalam hal tugas organisasi
maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah pada
pemberian pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang
ditanggungnya.
b. Conscientiousness, yaitu perilaku karyawan yang berusaha
bekerja melebihi pekerjaan yang diharapkan organisasi. Dimensi
perilaku sukarela bukan merupakan kewajiban atau tugas
karyawan, tetapi jika dilakukan akan meningkatkan kinerja
karyawan.
c. Sportmanship, yaitu perilaku karyawan yang mau memberikan
toleransi ketika ada suatu keadaan yang kurang baik di dalam
organisasi. Dimensi ini mencerminkan iklim yang positif diantara
9

karyawan, antar karyawan akan lebih kompak untuk bekerja sama


dan lebih sopan sehingga tercipta lingkungan kerja yang lebih
menyenangkan.
d. Courtessy, karyawan yang menjaga hubungan baik dengan rekan
kerja lainnya untuk menghindari masalah-masalah pribadi.
Dimensi ini mencerminkan karyawan yang menghargai dan
memerhatikan orang lain.
e. Civic Virtue, adalah perilaku karyawan yang mengisyaratkan
tanggung jawab terhadap kehidupan organisasi, seperti inisiatif
merekomendasikan memperbaiki prosedurprosedur yang ada di
dalam organisasi, menjaga dan melindungi sumber-sumber yang
dimiliki organisasi dan berbagai hal lainnya. Dimensi ini
mencerminkan pada tanggung jawab seseorang didalam
organisasi untuk meningkatkan kualitas dibidang pekerjaan yang
ditekuninya.
b. Komitmen Organisasi
Menurut Robbins (2006), komitmen organisasi sebagai
keadaan dimana seorag karyawan memihak pada satu organisasi dan
tujuan-tujuannya, serta berniat untuk memelihara keanggotaannya
dalam organisasi tersebut. Sedangkan Meyer & Allen (1997)
merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi
sebagai konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan
anggota organisasi dengan organisasinya, dan memiliki implikasi
terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya
dalam berorganisasi.
Menurut Mowday, Porter, dan Steers (1982), Indikator
komitmen organisasi di ukur berdasarkan definisi :
a. Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi.
b. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi.
c. Penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, (Mowday, et al,
1982).
10

c. Worklife Balance
Menurut Schermerhorn (2005), worklife balance adalah
kemampuan seseorang untuk menyeimbangkan antara tuntutan
pekerjaan dengan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Individu yang
dapat menyeimbangkan perannya dengan baik, meskipun individu
tersebut mempunyai tuntutan tugas dan tanggung jawab dalam dua
peran baik dalam organisasi maupun di luar organisasi. Dalam
menunjang kebutuhan karyawan, baik dalam organisasi maupun
dalam kebutuhan psikologis, karyawan tersebut harus memiliki
kemampuan untuk mengatur waktu yang dibutuhkan dalam kedua
peran yang berbeda tersebut, jika kebutuhan dan tuntutan dari
seorang karyawan tersebut sudah terpenuhi, dapat dikatakan bahwa
karyawan tersebut memiliki keseimbangan kehidupan kerja (worklife
balance).

Menurut Fisher dkk (2009), mengatakan jika keseimbangan


kehidupan kerja memiliki 4 dimensi pembentuk, yaitu:

a. WIPL (Work Interference With Personal Life). Dimensi ini


mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat menganggu
kehidupan pribadi individu. Misalnya bekerja dapat membuat
seseorang sulit mengatur waktu untuk kehidupan pribadinya.
b. PLIW (Personal Life Interference with Work). Dimensi ini
mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi individu
menganggu kehidupan pekerjaannya. Misalnya, apabila individu
memiliki masalah didalam kehidupan pribadinya, hal ini dapat
menganggu kinerja individu pada saat bekerja.
c. PLEW (Personal Life Enchancement of Work). Dimensi ini
mengacu sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat
meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. misalnya,
apabila individu merasa senang dikarenakan kehidupan
11

pribadinya menyenangkan maka hal ini dapat membuat suasana


hati individu pada saat bekerja menjadi menyenangkan.
d. WEPL (Work Enchancement Of Personal Life). Dimensi ini
mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan
kualitas kehidupan pribadi individu. Misalnya, keterampilan yang
diperoleh individu pada saat bekerja, memungkinkan individu
untuk memanfaatkan ketrampilan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
d. Spiritualitas di Tempat Kerja
Podsakoff et al., (2000) memberikan pengertian bahwa
spiritualitas di tempat kerja merupakan fenomena yang bersifat
universal, dimana organisasi mengakui bahwa orang yang bekerja
dalam suatu organisasi perusahaan memiliki kehidupan batiniah
tumbuh karena kebermaknaan pekerjaan bagi kehidupannya. Sebagai
manusia maka orang memiliki pikiran dan roh, dan selalu berusaha
menemukan makna dan tujuan hidup dalam pekerjaan mereka.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
spiritualitas karyawan memereka cenderung untuk memiliki perilaku
di luar pekerjaan dalam menjalankan pekerjaan mereka sehari-hari
sehingga mendukung efektivitas organisasi.
Ada banyak dimensi yang menjadi tolok ukur spiritualitas
di tempat kerja yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Dalam
penelitian ini digunakan pengukuran spiritualitas di tempat kerja
dengan dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Gupta, Kumar &
Singh (2013), yaitu :
a. Makna pekerjaan, melakukan suatu pekerjaan yang bermakna
bisa menambah kreativitas, dan mendorong kebahagiaan yang
akan secara pasti meningkatkan kepuasan karyawan
b. Interaksi dengan komunitas, suatu perasaaan tentang
keharmonisan yang berasal dari bekerja untuk suatu tujuan yang
sama dengan sekolompok orang. Pada jaman sekarang ini,
12

karyawan menghabiskan mayoritas dari waktunya di tempat kerja


dan hanya sedikit waktu untuk lingkungan sekitar ataupun teman.
Oleh karena itu, karyawan ingin memenuhi kebutuhan ini di
tempat kerja melalui dimensi tersebut.
c. Nilai organisasi, perilaku yang sesuai dan diterima oleh organisasi
harus diikuti oleh seluruh anggota dalam organisasi Sehubungan
dengan berubahnya lingkungan kerja secara cepat, nilai-nilai
organisasi menjadi hal yang sangat penting. Miliman et al (2003)
dikutip oleh Gupta, Kumar & Singh (2013) menyatakan bahwa
nilai-nilai adalah faktor spiritual yang sangat penting untuk
memenuhi kepuasan karyawan.

1.5 Manfaat Penelitian


Merujuk pada tujuan penelitian diatas, penelitian ini sekurang-
kurangnya dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoritis


a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pengembangan pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan
teori yang telah diperoleh di bangku kuliah, khususnya di bidang
sumber daya manusia mengenai pengaruh worklife balance dan
spiritualitas di tempat kerja terhadap OCB yang dimediasi oleh
komitmen organisasi ke dalam praktik yang sebenarnya.
b. Selanjutnya diharapkan dapat menjadi masukan untuk peneliti
mengenai pengaruh worklife balance kerja dan spiritualitas di tempat
kerja terhadap OCB yang dimediasi oleh komitmen organisasi.

1.5.2 Manfaat Praktis


a. Memberikan informasi bagi RSU PKU Muhammadiyah
Kutowinangun tentang perilaku tenaga medis dari pekerjaan yang
dilakukan.
13

b. Bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan bahan acuan bagi RSU


PKU Muhammadiyah Kutowinangun tentang bagaimana faktor-
faktor tertentu mempengaruhi OCB terhadap tenaga medis
c. Bermanfaat untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh
dalam mendorong OCB pada tenaga medis di RSU PKU
Muhammadiyah Kutowinangun.
14

BAB II
TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Telaah Pustaka

2.1.1 Organizational Citizenship Behaviour (OCB)


1. Definisi OCB

Organizational Citizenship Behaviour (OCB) merupakan


istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi perilaku karyawan
sehingga dia disebut sebagai “anggota yang baik” atau “good
citizen” (Sloat, 1999). OCB merupakan perilaku di luar deskripsi
kerja yang telah ditentukan perusahaan, namun memiliki dampak
yang baik bagi perusahaan (Robbins, 2006: 31). Sehingga dapat
dikatakan bahwa OCB merupakan kemampuan dan perilaku
karyawan dalam melaksanakan tugas-tugasnya di tempat kerja yang
kontribusinya melebihi harapan perusahaan.

OCB dapat membantu individu dalam tim, mengajukan diri


untuk pekerjaan ekstra, menghindari konflik yang tidak perlu,
menghormati semangat dan peraturan, serta dengan besar hati
menerima kerugian dan gangguan yang terkait dengan pekerjaannya
(Robbins, 2008: 40). Semakin tinggi tingkat perilaku OCB yang
ditunjukkan oleh karyawan maka semakin rendah komplain dari
konsumen dan semakin tinggi hasil kerja kelompok secara kuantitas
(Podsakoff et al. 1997).
15

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi OCB


Organ, Podsakof, dan Mackenzie (2006) mengkategorikan
faktor-faktor yang mempengaruhi OCB yang terdiri dari sebagai
berikut:
a. Perbedaan individu, termasuk sifat yang stabil yang dimiliki
individu meliputi kepribadian (misalnya kesadaran dan
keramahan), kemampuan, pengalaman, pelatihan, pengetahuan,
motivasi, kebutuhan, dan nilai individu.
b. Sikap kerja, adalah emosi dan kognisi yang berdasarkan persepsi
individu terhadap lingkungan kerja, meliputi komitmen
organisasi, persepsi kepemimpinan, dukungan organisasi, person
organization fit, kepuasan kerja, psychological contract, persepsi
keadilan, dan keadilan organisasi.
c. Faktor-faktor kontekstual, adalah pengaruh eksternal yang berasal
dari pekerjaan, tim kerja, organisasi, atau lingkungan. Variabel
kontekstual meliputi karakteristik tugas, sikap pada pekerjaan,
gaya kepemimpinan, karakteristik kelompok, budaya organisasi,
profesionalisme, dan harapan peran sosial.
3. Indikator OCB
Organ (1988) memberikan dimensi pada organizational
citizenship behavior yaitu sebagai berikut:
f. Altruism, adalah perilaku karyawan dalam menolong rekan kerja
lain yang mengalami kesulitan baik dalam hal tugas organisasi
maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah pada
pemberian pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang
ditanggungnya.
g. Conscientiousness, yaitu perilaku karyawan yang berusaha
bekerja melebihi pekerjaan yang diharapkan organisasi. Dimensi
perilaku sukarela bukan merupakan kewajiban atau tugas
karyawan, tetapi jika dilakukan akan meningkatkan kinerja
karyawan.
16

h. Sportmanship, yaitu perilaku karyawan yang mau memberikan


toleransi ketika ada suatu keadaan yang kurang baik di dalam
organisasi. Dimensi ini mencerminkan iklim yang positif diantara
karyawan, antar karyawan akan lebih kompak untuk bekerja sama
dan lebih sopan sehingga tercipta lingkungan kerja yang lebih
menyenangkan.
i. Courtessy, karyawan yang menjaga hubungan baik dengan rekan
kerja lainnya untuk menghindari masalah-masalah pribadi.
Dimensi ini mencerminkan karyawan yang menghargai dan
memerhatikan orang lain.
j. Civic Virtue, adalah perilaku karyawan yang mengisyaratkan
tanggung jawab terhadap kehidupan organisasi, seperti inisiatif
merekomendasikan memperbaiki prosedurprosedur yang ada di
dalam organisasi, menjaga dan melindungi sumber-sumber yang
dimiliki organisasi dan berbagai hal lainnya. Dimensi ini
mencerminkan pada tanggung jawab seseorang didalam
organisasi untuk meningkatkan kualitas dibidang pekerjaan yang
ditekuninya.
Organ (1990) juga menambahkan dimensi OCB dengan
sebagai berikut:
a. Peacekeeping, yaitu tindakan-tindakan yang menghindar dan
menyelesaikan terjadinya konflik interpersonal (sebagai stabilator
dalam organisasi).
b. Cheerleading, diartikan sebagai bantuan kepada rekan kerjanya
untuk mencapai prestasi lebih tinggi.

2.1.2 Worklife Balance


1. Definisi Worklife Balance

Keseimbangan kehidupan kerja (worklife balance) memiliki


konten yang baik dalam pekerjaan dan juga di luar pekerjaan dengan
minimalnya konflik (Clark dalam Fapohunda, 2014), keseimbangan
17

kehidupan kerja ini tentang bagaimana seseorang mencari


keseimbangan juga kenyamanan dalam pekerjaan dan di luar
pekerjaannya. Parkes and Langford (2008) mendefinisikan
keseimbangan kehidupan kerja sebagai individu yang mampu
berkomitmen dalam pekerjaan dan keluarga, serta bertanggung
jawab baik dalam kegiatan non-pekerjaan. Dalam menyelaraskan
kedua hal tersebut dibutuhkan adanya keseimbangan, banyak
karyawan yang kesulitan dalam mengatur baik dalam bekerja
maupun dalam kesehatannya sendiri. Hal ini penting kaitannya
dalam area sumber daya manusia di mana keseimbangan ini berperan
penting dalam kelancaran dan keberhasilan karyawan (Saleem &
Abbasi, 2015).
Schermerhorn (2005), menggungkapkan worklife balance
adalah kemampuan seseorang untuk menyeimbangkan antara
tuntutan pekerjaan dengan kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Individu yang dapat menyeimbangkan perannya dengan baik,
meskipun individu tersebut mempunyai tuntutan tugas dan tanggung
jawab dalam dua peran untuk baik dalam organisasi maupun di luar
organisasi. Dalam menunjang kebutuhan karyawan, baik dalam
organisasi maupun dalam kebutuhan psikologis, karyawan tersebut
harus memiliki kemampuan untuk mengatur waktu yang dibutuhkan
dalam kedua peran yang berbeda tersebut, jika kebutuhan dan
tuntutan dari seorang karyawan tersebut sudah terpenuhi, dapat
dikatakan bahwa karyawan tersebut memiliki keseimbangan
kehidupan kerja (worklife balance).
Menurut Greenhaus et al. (2002), keseimbangan (balance)
dipandang tidak adanya konflik. Sangatlah penting dalam sebuah
organisasi maupun dalam kehidupan pribadi seorang karyawan jika
kedua peran dalam organisasi maupun di luar organisasi saling
mendukung di mana tidak adanya konflik yang terjadi dalam
kehidupan kerja maupun dalam peran karyawan tersebut. Karena
18

adanya keseimbangan antara keterlibatan peran yang terjadi dalam


kehidupan karyawan itu sendiri di mana karyawan dapat menikmati
dalam kehidupan di lingkungan kerja maupun di luar pekerjaan
seperti, dapat rekreasi, berkumpul bersama teman maupun dengan
keluarga. Hal tersebut akan berdampak baik bagi karyawan dimana
dalam keseimbangan tersebut akan mempengaruhi kehidupan dari
karyawan dalam suatu orangisasi maupun perannya di luar
organisasi.
Worklife balance melibatkan kemampuan seseorang dalam
mengatur banyaknya tuntuntan dalam hidup secara bersamaan, di
mana seseorang dalam tingkat keterlibatannya sesuai dengan peran
ganda yang dimiliki seorang karyawan (Hudson, 2005). Adanya
keselarasan dalam menjalankan tuntutan dalam kehidupannya,
karyawan harus mampu mengatur antara banyaknya peran sehingga
dalam kehidupan karyawan terjadi keharmonian atau minimnya
konflik yang terjadi, misalnya seorang karyawan yang setiap harinya
bekerja dan pada ahkir pekan kayawan dapat menyediakan waktunya
untuk kepentingan keluarga dan secara bersamaan terdapat
kepentingan umum dengan lingkungan masyarakat, dengan demikian
seorang karyawan dapat mengatur waktunya agar keterlibatan antara
perannya berjalan dengan baik.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
keseimbangan (balance) antara peran dalam kerja dan di luar kerja di
mana minimnya konflik yang terjadi antara peran di dalam organisasi
dengan peran dalam kehidupan karyawan. Keseimbangan juga
dikaitkan dengan karyawan yang mampu mempertahankan dan
merasakan keharmonisan dalam kehidupan di lingkungan kerja
maupun peran di lingkungan tempat tinggal. Seorang karyawan juga
akan mencapai keberhasilan dalam kehidupan pribadi maupun dalam
kehidupan kerja yang memuaskan apabila keterlibatan antara waktu
dan perannya berjalan dengan baik.
19

2. Faktor yang Mempengaruhi Worklife Balance


Menurut Schabracq dkk. (2003), ada beberapa faktor yang
mungkin saja mempengaruhi keseimbangan kehidupan kerja (work-
life balance) seseorang, yaitu:
a. Karakteristik Kepribadian, berpengaruh terhadap kehidupan kerja
dan di luar kerja. Menurut Summer & Knight (dalam Novelia,
2013) terdapat hubunganantara tipe attachment yang didapatkan
individu ketika masih kecil dengan work-life balance. Summer &
Knight menyatakan bahwa individu yang memiliki secure
attachment cenderung mengalami positive spillover dibandingkan
individu yang memiliki insecure attachment.
b. Karakteristik Keluarga, Menjadi salah satu aspek penting yang
dapat menentukan ada tidaknya konflik antara pekerjaan dan
kehidupan pribadi. Misalnya konflik peran dan ambigiunitas
peran dalam keluarga dapat mempengaruhi work-life balance.
c. Karakteristik Pekerjaan, meliputi pola kerja, beban kerja dan
jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja dapat memicu
adanya konflik baik konflik dalam pekerjaaan maupun konflik
dalam kehidupan pribadi.
d. Sikap, erupakan evalusi terhadap berbagai aspek dalam dunia
sosial. Dimana dalam dalam sikap terdapat komponen seperti
pengetahuan, perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk
bertindak (Baron & Bryne, 2005). Sikap dari masing-masing
individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keseimbangan kehidupan kerja.

Sedangkan Ahmad (1996), mengatakan bahwa faktor yang


mempengaruhi keseimbangan kehidupan kerja, yaitu:

a. Waktu. Cakupan banyaknya waktu yang di habiskan di tempat


kerja atau lama waktu berada ditempat kerja.
20

b. Jadwal atau serangkaian rencana kegiatan yang dimiliki karyawan


di luar maupun di dalam lingkup pekerjaan, untuk diselesaikan.
c. Kelelahan, Kondisi yang mana berkurangnya kapasitas yang
dimiliki seseorang untuk bekerja dan mengurangi efesiensi
prestasi kerja dengan disertai perasaan letih.
3. Aspek dalam Worklife Balance
Menurut Hudson (2005), worklife balance meliputi
beberapa aspek, yaitu:
b. Time balance (Keseimbangan waktu), menyangkut jumlah waktu
yang diberikan untuk bekerja dan peran di luar pekerjaan. Waktu
yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas dalam organisasi dan
perannya dalam kehidupan individu tersebut, misalnya seorang
karyawan di samping bekerja juga membutuhkan waktu untuk
rekreasi, berkumpul bersama teman juga menyediakan waktu
untuk keluarga.
c. Involvement balance (keseimbangan keterlibatan), menyangkut
keterlibatan tingkat psikologis atau komitmen untuk bekerja dan
di luar pekerjaan. Keseimbangan yang melibatkan individu dalam
diri individu seperti tingkat stres dan keterlibatan individu dalam
berkerja dan dalam kehidupan pribadinya.
d. Statisfaction balance (keseimbangan kepuasan), tingkat kepuasan
dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Kepuasan yang
dirasakan, individu memiliki kenyamanan dalam keterlibatan di
dalam pekerjaannya maupun dalam kehidupan diri individu
tersebut.
4. Dimensi Worklife Balance

Menurut Fisher dkk. (2009), keseimbangan kehidupan kerja


memiliki 4 dimensi pembentuk, yaitu:

a. WIPL (Work Interference With Personal Life). Dimensi ini


mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat menganggu
21

kehidupan pribadi individu. Misalnya bekerja dapat membuat


seseorang sulit mengatur waktu untuk kehidupan pribadinya.
b. PLIW (Personal Life Interference with Work). Dimensi ini
mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi individu
menganggu kehidupan pekerjaannya. Misalnya, apabila individu
memiliki masalah didalam kehidupan pribadinya, hal ini dapat
menganggu kinerja individu pada saat bekerja.
c. PLEW (Personal Life Enchancement of Work). Dimensi ini
mengacu sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat
meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. misalnya,
apabila individu merasa senang dikarenakan kehidupan
pribadinya menyenangkan maka hal ini dapat membuat suasana
hati individu pada saat bekerja menjadi menyenangkan.
d. WEPL (Work Enchancement Of Personal Life). Dimensi ini
mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan
kualitas kehidupan pribadi individu. Misalnya, keterampilan yang
diperoleh individu pada saat bekerja, memungkinkan individu
untuk memanfaatkan ketrampilan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.

2.1.3 Spiritualitas di Tempat Kerja


1. Definisi Spiritualitas di Tempat Kerja

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa definisi mengenai


spiritualitas di tempat kerja masih terus berkembang karena ini
menjadi topik baru yang masih banyak dilakukan penelitian.
Spiritualitas bukan merupakan suatu hal yang baru dalam pengalaman
manusia. Semua tradisi agama besar pada level tertentu mendorong
kehidupan kontemplatif, yakni bahwa pencarian makna dan tujuan
merupakan hal utama dalam hidup dalam harmoni dengan orang lain
dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting (Widyarini, 2008).
Selanjutnya, Podsakoff et al. (2000), memberikan pengertian bahwa
22

spiritualitas di tepat kerja merupakan fenomena yang bersifat


universal, dimana organisasi mengakui bahwa orang yang bekerja
dalam suatu organisasi perusahaan memiliki kehidupan batiniah
tumbuh karena kebermaknaan pekerjaan bagi kehidupannya. Sebagai
manusia maka orang memiliki pikiran dan roh, dan selalu berusaha
menemukan makna dan tujuan hidup dalam pekerjaan mereka.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
spiritualitas karyawan memereka cenderung untuk memiliki perilaku
di luar pekerjaan dalam menjalankan pekerjaan mereka sehari-hari
sehingga mendukung efektivitas organisasi.
Spiritualitas di tempat kerja, sama sekali tidak terkait dengan
praktek-praktek religius yang terorganisasi, bukan tentang Tuhan
ataupun teologi. Spiritualitas di tempat kerja menyadari bahwa
manusia memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan
oleh pekerjaan yang bermakna yang berlangsung dalam konteks
komunitas. Organisasi yang mendukung kultur spiritual mengakui
bahwa manusia memiliki pikiran dan jiwa, berusaha mencari makna
dan tujuan dalam pekerjaan mereka, dan hasrat untuk berhubungan
dengan orang lain serta menjadi bagian dari komunitas (Robbins,
2005).
Dalam literatur lain, Giacalone dan Jurkiewicz (2005),
dikutip oleh Nurtjahjanti (2010) menyebutkan bahwa spiritualitas di
tempat kerja didefinisikan sebagai kerangka kerja dari nilai-nilai
budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden para
karyawan melalui proses bekerja, memfasilitasi perasaan terhubung
mereka dengan orang lain sekaligus memberikan mereka perasaan
lengkap dan bahagia. Sedangkan Robbins (2005) menyatakan bahwa
peningkatan perhatian pada spiritualitas dikarenakan sebagai
penyeimbang bagi tekanan dan stres pada kehidupan yang kacau. Hal
tersebut karena gaya hidup dewasa ini diwarnai oleh keluarga tunggal,
23

mobilitas antarnegara yang semakin tinggi, pekerjaan-pekerjaan yang


bersifat sementara ,dan lain-lain.
Dari berbagai definisi tersebut dalam disimpulkan bahwa
spiritualitas adalah bentuk dari pencarian makna dan tujuan hidup dari
seseorang yang bersifat universal dan personal. Penerapan spiritualitas
bisa dilakukan dimana saja, salah satunya adalah spiritualitas di
tempat kerja. Spiritualitas di tempat kerja menggambarkan hubungan
antara diri sendiri, rekan kerja, pekerjaannya, dan bagaimana
seseorang tersebut bisa merasa menjadi bagian dari komunitas.
Spiritualitas di tempat kerja bukan mengenai membawa agama ke
dalam pekerjaan, namun mengenai kemampuan menghadirkan
keseluruhan diri karyawan untuk bekerja. Spiritualitas dapat membuat
karyawan lebih efektif dalam bekerja, karena karyawan yang melihat
pekerjaan mereka sebagai alat untuk meningkatkan spiritualitas akan
menunjukkan usaha yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan
yang melihat pekerjaannya hanya sebagai alat untuk memperoleh uang
(Nurtjahjanti, 2010).
2. Penerapan Spiritualitas di Tempat Kerja
Pawar (2009) merumuskan model komprehensif fasilitisasi di
tempat kerja. Model tersebut meliputi empat pendekatan, yaitu:
pendekatan berfokus pada individu, kelompok, organisasi dan
kepemimpinan. Berikut ini diuraikan lebih rinci keempat pendekatan
tersebut.
a. Pendekatan berfokus pada individu
Pendekatan fasilitasi spiritualitas di tempat kerja pada
tingkat individu dapat dilakukan dengan tiga model, yaitu model
“outside-in”, “inside-out”, dan kombinasi keduanya. Model
“outside-in” artinya memberikan pengaruh informasi dari luar
untuk membangkitkan kesadaran spiritual di dalam, sedangkan
model “inside-out” merupakan usaha untuk membangkitkan
24

kesadaran paling dalam individu sehingga dapat mempengaruhi


sekitarnya (Chakraborty, 1993; dalam Pawar, 2009).
Tumbuhnya kesadaran spiritual dapat direfleksikan ke
dalam lingkungan pekerjaan. Refleksi ini menimbulkan
kenikmatan bekerja (enjoying work), memberikan energi
(energizing work) dan memberikan arti dan manfaat pribadi
(work give personal meaning and purpose) (Milliman dkk.,
2003).
b. Pendekatan berfokus pada kelompok
Kelompok dapat berkembang menjadi sebuah komunitas
yang memberikan pengalaman spiritual dan mengembangkannya
di tempat kerja. Membangun organisasi menjadi komunitas
merupakan suatu proses empat tahap, yaitu kesadaran diri
(cosciousness of the self), kesadaran terhadap orang lain
(cosciousness of others), kesadaran kelompok (group
cosciousness) dan mengorganisasi keharmonisan (organizing “in
harmony) (Mirvis, 1997; dalam Pawar, 2009).
c. Pendekatan berfokus pada organisasi
Milliman dkk. (2009) menyebutkan pendekatan berfokus
pada organisasi meliputi: adopsi nilai-nilai spiritual dalam
organisasi, transmisi nilai-nilai spiritual dalam rencana bisnisnya
dan rencana pribadi, rancangan manajer sumber daya manusia
dalam penerapan dukungan dan dorongan, dan keluaran yang
dihasilkan merupakan hasil pengalaman karyawan dalam
menerapkan spiritualitas. Spiritualitas organisasi tercermin dalam
aktivitas organisasi sehari-hari. Nilai-nilai spiritual organisasi
meliputi kebijakan (benevolence), memikirkan generasi
berikutnya (generativity), humanis (humanism), integritas
(integrity), keadilan (justice), saling menguntungkan (mutuality),
penerimaan (receptivity), rasa hormat (respect), rasa tanggung
25

jawab (reponsibility), dan kepercayaan (Trust) (Jurkiewicz &


Giacalone, 2004).
d. Pendekatan berfokus pada kepemimpinan
Pendekatan berfokus pada kepemimpinan menekankan
pada mekanisme pembentukan aspek visi dan budaya yang
memfasilitasi penerapan spiritualitas di tempat kerja. Pendekatan
ini mengarah pada pengembangan gaya kepemimpinan untuk
memfasilitasi spiritualitas di tempat kerja. Fry & Matherly (2003)
menyebutnya sebagai spiritual leadership, yaitu nilai, sikap, dan
tingkah laku yang dibutuhkan secara instrinsik untuk memotivasi
diri sendiri dan orang lain. Hasil yang diperoleh adalah timbulnya
sensasi spiritual yang bertahan lama, melalui adanya panggilan
hati, dan menjadi bagian sesuatu.
3. Dimensi Spiritualitas di Tempat Kerja
Ada banyak dimensi yang menjadi tolok ukur spiritualitas
di tempat kerja yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Dalam
penelitian ini digunakan pengukuran spiritualitas di tempat kerja
dengan dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Gupta, Kumar &
Singh (2013), yaitu :
d. Makna pekerjaan, melakukan suatu pekerjaan yang bermakna
bisa menambah kreativitas, dan mendorong kebahagiaan yang
akan secara pasti meningkatkan kepuasan karyawan
e. Interaksi dengan komunitas, suatu perasaaan tentang
keharmonisan yang berasal dari bekerja untuk suatu tujuan yang
sama dengan sekolompok orang. Pada jaman sekarang ini,
karyawan menghabiskan mayoritas dari waktunya di tempat kerja
dan hanya sedikit waktu untuk lingkungan sekitar ataupun teman.
Oleh karena itu, karyawan ingin memenuhi kebutuhan ini di
tempat kerja melalui dimensi tersebut.
f. Nilai organisasi, perilaku yang sesuai dan diterima oleh organisasi
harus diikuti oleh seluruh anggota dalam organisasi Sehubungan
26

dengan berubahnya lingkungan kerja secara cepat, nilai-nilai


organisasi menjadi hal yang sangat penting. Miliman et al. (2003)
dikutip oleh Gupta, Kumar & Singh (2013) menyatakan bahwa
nilai-nilai adalah faktor spiritual yang sangat penting untuk
memenuhi kepuasan karyawan.

2.1.3 Komitmen Organisasi


1. Definisi Komitmen Organisasi

Menurut Spector dalam Sudarmanto (2009:123), secara


umum komitmen organisasi melibatkan keterikatan individu
terhadap pekerjaan yang yang ditangani di dalam organsiasinya.
Komitmen organiasi merupakan sebuah variabel yang
mencerminkan derajat hubungan yang dianggap dimiliki oleh
individu terhadap pekerjaan tertentu dalam organisasi. Selanjutya
Greenberg dan Baron dalam Sudarmanto (2009: 125)
mengemukakan bahwa komitmen organisasi merefleksikan tingkat
identifikasi dan keterlibatan individu dalam pekerjaannya di dalam
suatu organisasi kerja serta ketidaksediaannya untuk meninggalkan
pekerjaan tersebut.
Allen dan Meyer (1997) menjelaskan bahwa komitmen
organisasi merupakan keyakinan yang menjadi pengikat pegawai
dengan organisasi tempatnya bekerja, yang ditunjukkan dengan
adanya loyalitas, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi
terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Komitmen organisasi
didefinisikan sebagai keinginan pada sebagian pekerja untuk tetap
menjadi anggota organisasi (Colquitt et al., 2011:69). Komitmen
organisasi adalah tingkatan dimana pekerja mengidentifikasi dengan
organisasi dan ingin melanjutkan secara aktif berpartisipasi di
dalamnya (Newstrom, 2011:223).
Komitmen organisasi adalah suatu orientasi individu terhadap
organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan.
27

Jadi komitmen organisasi merupakan orientasi hubungan aktif antara


individu dan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut
mengakibatkan individu (karyawan) atas kehendak sendiri bersedia
memberikan sesuatu dan sesuatu yang diberikan itu menggambarkan
dukungannya bagi tercapainya tujuan organisasi (Robbins, 2006).
2. Ciri-Ciri Komitmen Organisasi
Allen, Meyer, dan Smith (1993) mencirikan komitmen
organisasional sebagai berikut:
a. Adanya kepercayaan yang kuat terhadap organisasi, dan individu
menerima tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi.
b. Individu bersedia berusaha keras demi kepentingan organisasi.
Individu memiliki keinginan yang kuat untuk memelihara
hubungan dengan organisasi.
3. Dimensi Komitmen Organisasi
Allen & Meyer (1991) membagi komitmen menjadi tiga
dimensi di antaranya sebagai berikut:
a. Komitmen afektif (Affective Commitment)
Komitmen afektif yang mengacu pada emosi yang melekat
pada individu karyawan untuk mengidentifikasi dan melibatkan
dirinya dengan organisasi. Karyawan dengan komitmen afektif
yang kuat cenderung akan setia pada organisasi karena hal itu
mencerminkan keinginan karyawan yang sebenarnya dalam
hatinya.
b. Komitmen normatif (Normative Commitment)
Komitmen normatif mengacu pada refleksi perasaan akan
kewajiban untuk menjadi karyawan perusahaan. Karyawan
dengan komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka
memang seharusnya tetap bekerja pada organisasi tempat mereka
sedang bekerja.
c. Komitmen berkelanjutan (Continuance Commitment)
28

Komitmen berkelanjutan mengacu pada kesadaran


karyawan yang berkaitan dengan akibat yang akan di dapat ketika
meninggalkan organisasi.
4. Indikator Komitmen Organisasi
Mowday, Porter, dan Steers (1982:186) mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai: the relative strength of an individual's
identification with and involvement in a particular organization.
Definisi menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiiki arti
lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan
aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang
berarti pada organisasinya. Indikator di ukur berdasarkan definisi :
d. Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi.
e. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi.
f. Penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, (Mowday et al.,
1982).

2.2 Model Empiris Penelitian


Dalam Penelitian ini menggunakan variabel OCB sebagai variabel terikat
yang dipengaruhi oleh keseimbangan kehidupan kerja dan spiritualitas di
tempat kerja sebagai variabel bebas dan komitmen organisasional sebagai
variabel intervening. Berikut gambar model empiris dalam penelitian ini.
Gambar II-1
Kerangka Penelitian

Worklife Balance

H3
H2 OCB
Komitmen
H5
Organisasi

Spiritualitas di
Tempat Kerja
29

H2

H4

2.3 Pengembangan Hipotesis


Berdasarkan kerangka penelitian, maka hipotesisnya adalah sebagai
berikut:

H1 : diduga worlife balance berpengaruh terhadap komitmen


organisasi pada perawat dan bidan RSU PKU Muhammadiyah
Kutowinangun.

H2 : diduga spiritualitas di tempat kerja berpengaruh terhadap


komitmen organisasi pada perawat dan bidan RSU PKU
Muhammadiyah Kutowinangun.

H3 : diduga komitmen organisasi berpengaruh terhadap OCB pada


perawat dan bidan RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun.

H4 : diduga worlife balance berpengaruh terhadap OCB pada perawat


dan bidan RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun.

H5 : diduga spiritualitas di tempat kerja berpengaruh terhadap OCB


pada perawat dan bidan RSU PKU Muhammadiyah
Kutowinangun.
30

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Obyek dan Subyek Penelitian

3.1.1 Obyek Penelitian


Menurut Sugiono (2012), obyek penelitian adalah suatu atribut
dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapakan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan. Objek penelitian ini adalah variabel worklife balance,
spiritualitas di tempat kerja, Komitmen Organisasi, dan OCB.

3.1.2 Subyek Penelitian


Menurut Arikunto (2007), subyek penelitian merupakan
sesuatu yang sangat penting kedudukannya di dalam penelitian, subyek
penelitian harus ditata sebelum peneliti siap untuk mengumpulkan data.
Subyek penelitian dapat berupa benda, hal atau orang. Dengan
demikian subyek penelitian pada umumnya manusia atau apa saja yang
menjadi urusan manusia. Subyek penelitian ini adalah perawat dan
bidan RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun sebanyak 38 orang.
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

3.2.1 Variabel Penelitian


Menurut Sugiyono (2004), Variabel penelitian adalah suatu
atribut atau sifat orang, obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi
tertentu yang ditetapkan oleh penelitian untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulan. Variabel penelitian digunakan untuk memudahkan suatu
penelitian berangkat dan bermuara pada suatu tujuan yang jelas.
Perlakuan terhadap variabel penelitian akan bergantung pada model
yang dikembangkan untuk memecahkan masalah penelitian yang di
31

ajukan (Ferdinand, 2007). Berdasarkan model yang dikembangkan,


variabel yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena variabel lain (variabel bebas). Variabel
dependen dari penelitian ini adalah OCB (Y2).
2. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab atau
berubahnya suatu variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah Worklife Balance (X1), dan Spiritualitas di Tempat Kerja
(X2).
3. Variabel Intervening (mediasi)
Variabel mediasi yaitu variabel yang secara teoritis mempengaruhi
hunungan antar variabel independen dengan dependen, tetapi tidak
dapat di amati dan diukur. Variabel ini merupakan variabel penyela
atau antara yang terletak diantara variabel independen dan dependen,
sehingga variabel independen tidak langsung mempengaruhi
perubahan atau timbulnya variabel dependen (Sugiyono, 2010).
Dalam penelitian ini variabel interveningnya adalah Komitmen
Organisasi (Y1).

3.2.2 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional adalah melekatkan arti pada suatu variabel
dengan cara menetapkan kegiatan atau tindakan yan perlu untuk
mengukur variabel itu. Pengertian operaasional variabel ini kemudian di
uraikan menjadi indikator empiris yang meliputi sebagai berikut:
1. Variabel OCB
Menurut Organ (1988) OCB merupakan bentuk perilaku yang
merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan
sistem reward formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan
efektivitas organisasi. Ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk ke
32

dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika


tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman. Metode untuk
mengukur OCB telah dilakukan oleh berbagai peneliti, walaupun
masih adakekurangkonsistenan dalam indikator-indikatornya, namun
istilah Organization Citizenship Behaviour (OCB) pertama kali
dikemukakan oleh Organ (1988) yang berpendapat bahwa OCB
mempunyai lima indikator, yang dijadikan indikator juga dalam
penelitian ini yaitu:
a. Altruism, adalah perilaku karyawan dalam menolong rekan
kerja lain yang mengalami kesulitan baik dalam hal tugas
organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini
mengarah pada pemberian pertolongan yang bukan merupakan
kewajiban yang ditanggungnya.
b. Conscientiousness, yaitu perilaku karyawan yang berusaha
bekerja melebihi pekerjaan yang diharapkan organisasi.
Dimensi perilaku sukarela bukan merupakan kewajiban atau
tugas karyawan, tetapi jika dilakukan akan meningkatkan
kinerja karyawan.
c. Sportmanship, yaitu perilaku karyawan yang mau memberikan
toleransi ketika ada suatu keadaan yang kurang baik di dalam
organisasi. Dimensi ini mencerminkan iklim yang positif
diantara karyawan, antar karyawan akan lebih kompak untuk
bekerja sama dan lebih sopan sehingga tercipta lingkungan
kerja yang lebih menyenangkan.
d. Courtessy, karyawan yang menjaga hubungan baik dengan
rekan kerja lainnya untuk menghindari masalah-masalah pribadi.
Dimensi ini mencerminkan karyawan yang menghargai dan
memerhatikan orang lain.
e. Civic Virtue, adalah perilaku karyawan yang mengisyaratkan
tanggung jawab terhadap kehidupan organisasi, seperti inisiatif
merekomendasikan memperbaiki prosedurprosedur yang ada
33

di dalam organisasi, menjaga dan melindungi sumber-sumber


yang dimiliki organisasi dan berbagai hal lainnya. Dimensi
ini mencerminkan pada tanggung jawab seseorang didalam
organisasi untuk meningkatkan kualitas dibidang pekerjaan
yang ditekuninya.
2. Variabel Worklife Balance
Parkes and Langford (2008) mendefinisikan worklife balance
sebagai individu yang mampu berkomitmen dalam pekerjaan dan
keluarga, serta bertanggung jawab baik dalam kegiatan non-
pekerjaan. Dalam menyelaraskan kedua hal tersebut dibutuhkan
adanya keseimbangan, banyak karyawan yang kesulitan dalam
mengatur baik dalam bekerja maupun dalam kesehatannya sendiri.
Hal ini penting kaitannya dalam area sumber daya manusia di mana
keseimbangan ini berperan penting dalam kelancaran dan
keberhasilan karyawan (Saleem & Abbasi, 2015).

Menurut Fisher dkk (2009), mengatakan jika keseimbangan


kehidupan kerja memiliki 4 dimensi pembentuk, yaitu:

e. WIPL (Work Interference With Personal Life). Dimensi ini


mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat menganggu
kehidupan pribadi individu. Misalnya bekerja dapat membuat
seseorang sulit mengatur waktu untuk kehidupan pribadinya.
f. PLIW (Personal Life Interference With Work). Dimensi ini
mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi individu
menganggu kehidupan pekerjaannya. Misalnya, apabila individu
memiliki masalah didalam kehidupan pribadinya, hal ini dapat
menganggu kinerja individu pada saat bekerja.
g. PLEW (Personal Life Enchancement Of Work). Dimensi ini
mengacu sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat
meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. misalnya,
apabila individu merasa senang dikarenakan kehidupan
34

pribadinya menyenangkan maka hal ini dapat membuat suasana


hati individu pada saat bekerja menjadi menyenangkan.
h. WEPL (Work Enchancement Of Personal Life). Dimensi ini
mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan
kualitas kehidupan pribadi individu. Misalnya, keterampilan yang
diperoleh individu pada saat bekerja, memungkinkan individu
untuk memanfaatkan ketrampilan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Variabel Spiritualitas di Tempat Kerja
Podsakoff et al. (2000), memberikan pengertian bahwa
spiritualitas di tempat kerja merupakan fenomena yang bersifat
universal, dimana organisasi mengakui bahwa orang yang bekerja
dalam suatu organisasi perusahaan memiliki kehidupan batiniah
tumbuh karena kebermaknaan pekerjaan bagi kehidupannya. Sebagai
manusia maka orang memiliki pikiran dan roh, dan selalu berusaha
menemukan makna dan tujuan hidup dalam pekerjaan mereka.
Ada banyak dimensi yang menjadi tolok ukur spiritualitas
di tempat kerja yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Dalam
penelitian ini digunakan pengukuran spiritualitas di tempat kerja
dengan dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Gupta, Kumar &
Singh (2013), yaitu :
g. Makna pekerjaan, melakukan suatu pekerjaan yang bermakna
bisa menambah kreativitas, dan mendorong kebahagiaan yang
akan secara pasti meningkatkan kepuasan karyawan
h. Interaksi dengan komunitas, suatu perasaaan tentang
keharmonisan yang berasal dari bekerja untuk suatu tujuan yang
sama dengan sekolompok orang. Pada jaman sekarang ini,
karyawan menghabiskan mayoritas dari waktunya di tempat kerja
dan hanya sedikit waktu untuk lingkungan sekitar ataupun teman.
Oleh karena itu, karyawan ingin memenuhi kebutuhan ini di
tempat kerja melalui dimensi tersebut.
35

i. Nilai organisasi, perilaku yang sesuai dan diterima oleh organisasi


harus diikuti oleh seluruh anggota dalam organisasi Sehubungan
dengan berubahnya lingkungan kerja secara cepat, nilai-nilai
organisasi menjadi hal yang sangat penting. Miliman et al. (2003)
dikutip oleh Gupta, Kumar & Singh (2013) menyatakan bahwa
nilai-nilai adalah faktor spiritual yang sangat penting untuk
memenuhi kepuasan karyawan.
4. Variabel Komitmen Organisasi
Mowday, Porter, dan Steers (1982:186) mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai: the relative strength of an individual's
identification with and involvement in aparticular organization.
Definisi menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiiki arti
lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan
aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang
berarti pada organisasinya. Indikator di ukur berdasarkan definisi :
a. Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi.
b. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi,
c. Penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, (Mowday, steers
dan Porter, 1982).

3.3 Alat Analisis


Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
kuisioner yang ditujukan untuk memperoleh jawaban dari responden. Setelah
data dari penyebaran kuisioner terkumpul, kemudian dilakukan proses
skoring yaitu pemberian nilai atau harga yang berupa angka pada jawaban
untuk memperoleh data kuantitatif yang dilakukan dalam pengujian hipotesis
dengan menggunakan Skala Likert. Jawaban setiap item instrumen
menggunakan Skala Likert mempunyai gradisi dari sangat positif sampai
sangat negatif, yang dapat berubah kata-kata antara lain sebagai berikut
(Sugiyono, 2008):
1. Sangat setuju diberi skor = 5
36

2. Setuju diberi skor = 4


3. Ragu-ragu diberi skor = 3
4. Tidak setuju diberi skor = 2
5. Sangat tidak setuju diberi skor = 1
Untuk keperluan analisi dalam penelitian ini, maka jawaban
tersebut dimodifikasi sebagai berikut :
1) Sangat setuju diberi skor = 4
2) Setuju diberi skor = 3
3) Tidak setuju diberi skor = 2
4) Sangat tidak setuju diberi skor = 1
Pengaturan modifikasi Skala Likert ini dimaksudkan untuk
menghilangkan kelemahan yang dikandung oleh skala lima tingkat. Menurut
Sutrisno (2004) dikatakan modifikasi Skala Likert meniadakan kategori
jawaban yang tengah berdasarkan tiga alasan yaitu sebagai berikut:
1. Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat
memutuskan atau memberi jawaban (menurut konsep asalnya), bisa juga
diartikan netral, setuju, tidak setuju, atau bahkan ragu-ragu.
2. Tersedianya jawaban di tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ke
tengah (central tendency effect).
3. Maksud kategorisasi jawaban SS S TS STS adalah terutama untuk melihat
kecenderungan jawaban responden ke arah setuju atau tidak setuju. Nilai
dari setiap jawaban responden merupakan modifikasi dari Skala Likert
juga itu bila menjawab, sangat setuju = 4, setuju = 3, tidak setuju = 2, dan
sangat tidak setuju = 1.

3.4 Data dan Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Jenis Data


1. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat dari sumber
pertama dari individu seperti hasil wawancara atau hasil pengisian
kuisioner yang biasa dilakukan oleh peneliti (Siagian dan Sugiarto,
37

2006). Data ini diperoleh langsung dari subyek yang diteliti yaitu
perawat dan bidan RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun
dengan cara memberikan kuisioner atau daftar pertanyaan kepada
responden mengenai bukti langsung tentang keseimbangan
kehidupan kerja, spiritualitas di tempat kerja, komitmen organisasi
dan OCB.
2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data primer yang diperoleh oleh


pihak lain atau data primer yang telah diolah lebih lanjut dan
disajikan oleh pengumpulan data primer atau pihak lain. Data
sekunder pada umumnya digunakan oleh peneliti untuk memberikan
gambaran tambahan, gambaran pelengkap, ataupun untuk diproses
lebih lanjut (Siagian dan Sugiarto, 2006). Data sekunder dalam
penelitian ini adalah data studi pustaka sebuah buku, referensi,
dokumen data, dan catatan yang diperoleh dari RSU PKU
Muhammadiyah Kutowinangun.

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data yang dimagsud untuk memperoleh bahan-
bahan yang relevan dan akurat melalui :
1. Kuesioner
Data diperoleh dengan cara melakukan penelitian langsung
terhadap subyek penelitian melalui pembagian kuesioner yang berisi
pertanyaan-pertanyaan tentang pengaruh keseimbangan kehidupan
kerja dan spiritualitas di tempat kerja terhadap OCB dengan
komitmen organisasi sebagai mediasi pada tenaga medis RSU PKU
Muhammadiyah Kutowinangun sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner untuk
memperoleh data-data primer yang dibutuhkan. Peneliti merancang
dan mengedarkan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan kepada
38

responden untuk memberikan tanggapan terhadap pertanyaan-


pertanyaan yang ada dalam kuesioner.

2. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan cara pengumpulan data dengan
sumber data dari buku pustaka, internet, dan jurnal yang
berhubungan dengan penelitian.
3. Wawancara
Menurut Zainal Mustafa (2009:96), wawancara merupakan
metode untuk mendapatkan data primer dengan cara komunikasi dua
arah. Wawancara dalam penelitian ini tentang tanya jawab secara
langsung dengan Kabag Kepegawaian RSU PKU Muhammadiyah
Kutowinangun.

3.5 Populasi dan Sampel

3.5.1 Populasi
Populasi merupakan seluruh data yang menjadi pusat perhatian
seorang peneliti dalam ruang lingkup dan waktu yang telah ditentukan.
Populasi berkaitan dengan data-data. Jika setiap manusia memberikan
suatu data, maka ukuran atau banyaknya populasi akan sama dengan
banyaknya manusia (Margono, 2004). Populasi dalam penelitian ini
adalah perawat dan bidan di RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun
yang berjumlah 38 orang.

3.5.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2009:115), teknik sampling adalah teknik
pengambilan sampel untuk menentukan sampel yang akan digunakan
dalam penelitian. Terdapat beberapa teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian. Teknik sampling pada dasarnya dikelompokan
menjadi probability sampling dan non-probability sampling. Pada
penelitian ini menggunakan metode non-probability sampling
39

(sampling jenuh). Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila


semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering
dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil dengan memenuhi syarat
minimal 30 sampel, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel.
Jadi, pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah perawat dan
bidan pada RSU PKU Muhammadiyah Kutowinangun.

3.6 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:

3.6.1 Analisis Deskriptif


Sukmadinata (2006) menyatakan bahwa analisis deskriptif
merupakan suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena buatan manusia. Fenomena itu
dapat berupa bentuk aktivitas, perubahan, karakteristik, hubungan,
kesamaan dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan yang
lainnya. Penenlitian ini relatif sederhana yang tidak membutuhkan
landasan teori yang rumit atau pengajuan hipotesis tertentu dan dalam
penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk mendeskriptifkan data
responden.

3.6.2 Analisis Statistik


Analisis statistika digunakan untuk menganalisis data dari
hasil jawaban kuisioner dengan menggunakan metode-metode statistik.
Dalam perhitungan pengolahan data, peneliti menggunakan alat bantu
berupa program aplikasi komputer yaitu SPSS (Statistical Product and
Service) for windows versi 23.0.
1. Uji Instrumen Penelitian
Uji keabsahan data dalam penelitian sering hanya ditekankan
pada uji validitas dan reliabilitas. Dalam penelitian kuantitatif,
kriteria utama terhadap data hasil penelitian adalah valid, reliabel,
40

dan obyektif. Validitas merupakan derajat ketetapan antara data yang


sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian dengan data yang dapat
dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah
data yang tidak berbeda antara data yang dilaporkan oleh peneliti
dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian. Bila
peneliti membuat laporan tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada
obyek, maka data tersebut dapat dinyatakan tidak valid.
Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang
valid, reliabel dan obyektif, maka penelitian dilakukan dengan
menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dilakukan pada
sampel yang mendekati jumlah populasi dan pengumpulan serta
analisis data dilakukan dengan cara yang benar. Dalam penelitian
kuantitatif untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel yang di
uji validitas dan reliabilitas adalah instrumen penelitiannya,
sedangkan dalam penelitian kualitatif yang di uji adalah datanya.
a. Uji Validitas
Pengujian validitas dilakukan untuk melihat sejauh mana
suatu alat pengukur itu mengukur apa yang yang ingin di ukur.
Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa
yang diinginkan dan menangkap data dari variabel yang ingin
diteliti secara tepat.
Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan
kevalidan atau keaslian (keabsahan) suatu instrumen. Tinggi
rendahnya validitas instrumen menunjukan sejauh mana data
yang dimaksud (simamora, 2004).
Untuk mengukur validitas digunakan rumus Person
Correlation. Uji validitas menggunakan alat bantuan SPSS v.
24.0 for windows dengan rumus sebagai berikut:
n ∑ xy −∑ x ∑ y
rxy=
(n ∑ x 2−(∑ X )2)(n ∑ Y 2 – (∑ Y )2)
Keterangan :
41

r = koefisien korelasi
x = nilai dari jawaban kuisioner
y = nilai dari total jawaban kuisioner
n = jumlah sampel (responden)
∑x2 = jumlah kuadrat nilai x
∑y2 = jumlah kuadrat nilai y
Dasar pengambilan keputusan :
Sedangkan menurut Imam Ghozali (2009:49) dengan rumus df =
n-2 dimana :
df = degree of freedom
n = jumlah sampel
Dengan level of significante 95% maka dasar analisisnya
sebagai berikut (Ghazali, 2009:49) :
1. Apabila r hitung > r tabel (α = 0,5) berarti item tersebut valid
2. Apabila r hitung <r tabel (α = 0,5) berarti item tersebut tidak valid
b. Uji Reliabilitas
Menurut Ghazali (2009:45), reliabilitas merupakan alat
untuk mengukur suatu kuisioner yang merupakan indikator dari
variabel atau konstruk. Suatu kuisioner dikatakan reliabel apabila
jawaban dari seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau
stabil dari waktu ke waktu. Jawaban responden terhadap
pernyataan dikatakan reliabel jika masing-masing pernyataan
dijawab secara konsisten atau jawaban tidak boleh acak karena
masing-masing pernyataan akan mengukur hal yang sama. Jika
jawaban dalam indikator ini acak atau tidak konsisten, maka dapat
dikatakan tidak reliabel (Ghazali, 2009:46). Pengukuran
reliabilitas dapat dilakukan dengan On Shot atau pengukuran
sekali saja. Disini pengukuran hanya dilakukan sekali dan
selanjutnya hasilnya akan dibandigkan dengan pernyataan lain
untuk mengukur korelasi antar jawaban pernyataan. Analisis
terhadap hasil uji reliabelitas pada peneliti ini menggunakan
42

bantuan komputer dengan program SPSS 23.0 for windows, yang


mengacu pada rumus Alpha Cronbach dengan kriteria
pengujiannya adalah sebagai berikut:

k ∑ St 2
rt = ( ¿(1− )
k−1 St 2
Dimana :
rt = reliabilitas instrumen
k = banyaknya butir pernyataan
∑St2 = mean kuadrat kesalahan
St 2 = total varian
Kriteria pengujian uji reliabilitas (Ghazali,, 2009) sebagai
berikut :
a. Jika alpa cronbach > 0,60 atau 60%, maka butir atau variabel
tersebut reliabel.
b. Jika alpa cronbach < 0,60 atau 60%, maka butir atau variabel
tersebut tidak reliabel.
2. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dimaksudkan untuk mengetahui apakah
model regresi dapat dipakai. Uji tersebut meliputi uji
multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas.
Pengujian di ukur dengan menggunakan bantuan program SPSS 23.0
for windows.
a. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara
variabel bebas. Jika variabel bebas saling berkorelasi, maka
variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah
variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel bebas
sama dengan nol (0). Menurut Ghozali (2009), untuk mendeteksi
43

ada atau tidaknya multikolinieritas dalam model regresi dapat di


deteksi dengan melihat:
1) Besaran VIF (Variance Inflaction Factor) dan Tolerance
a) Pedoman suatu model regresi yang tidak multikolinieritas
adalah mempunyai nilai VIF dibawah 10 dan tolerance
dibawah 0,1.
b) Pedoman suatu model regresi yang terjadi multikolinieritas
adalah mempunyai nilai VIF diatas 10 dan tolerance
dibawah 0,1.
2) Besaran korelasi antar variabel independen. Pedomannya
adalah koefisien antar variabel independen haruslah lemah
(dibawah 0,5).
b. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual
satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut
heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah
homokedastisitas atau tidak tidak terjadi heteroskedastisitas
(Ghozali, 2009:125). Deteksi ada tidaknya masalah
heteroskedastisitas adalah dengan media grafik, apabila grafik
membentuk pola khusus maka model terdapat heterokedastisitas
(Ghozali, 2009:126). Dasar analisis:
1) Jika terdapat pola tertentu, seperti titik-titik pada grafik yang
membentuk suatu pola tertentu, maka regresi tersebut telah
terjadi heteroskedastisitas. Sehingga model regresi tersebut
tidak dapat digunakan.
2) Jika tidak terdapat pola yang jelas, serta titik-titik pada grafik
menyebar diatas dan dibawah angka 0 (nol) pada sumbu Y,
maka tidak terjadi heteroskedastisitas, sehingga model regresi
tersebut dapat digunakan.
44
45

c. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah data yang
akan digunakan dalam model regresi berdistribusi normal atau
tidak (Ghozali, 2009:147). Untuk mnguji suatu data berdistribusi
normal atau tidak, dapat diketahui dengan menggunakan grafik
normal plot (Ghozali, 2009:147). Pada grafik normal plot, dengan
asumsi:
1) Dengan data menyebar diatas garis diagonal dan mengikuti
arah garis diagonal, maka model regresi tersebut memenuhi
asumsi normalitas.
2) Jika data menyebar jauh dari garis diagonal atau tidak
mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tersebut
tidak memenuhi asumsi normalitas.
3. Uji Hipotesis
Uji hipotesis untuk menguji koefisien regresi secara
keseluruhan maupun sendiri-sendiri pengaruh worklife balance,
spiritualitas di tempat kerja, OCB dan komitmen organisasi
menggunakan uji t sebagai berikut :
a. Uji Parsial (uji t)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
secara parsial atau sendiri-sendiri antara variabel bebas (worklife
balance, spiritualitas di tempat kerja) terhadap variabel terikat
(OCB) dengan komitmen organisasi sebagai variabel intervening
dengan tingkat signifikan α = 0,05 rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut :
b
t=
sb
Keterangan :
t = Nilai t hitung
b = koefisien regresi
sb = Standar deviasi
46

menentukan t tabel dengan rumus df = n-k keterangan:


df = degree of fredoom
n = sampel
k = jumlah variabel
Hipotesis statistiknya adalah sebagai berikut:
a. Jika t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolah, artinya
secara statistik variabel bebas (X) tidak mempunyai
pengaruh signifikan terhadap variabel tergantung (Y).
b. Jika t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya
secara statistik variabel bebas (X) mempunyai pengaruh
signifikan terhadap variabel tergantung (Y).
b. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) ini menunjukan seberapa besar
presentase variasi variabel independen yang digunakan dalam
model mampu menjelaskan variasi variabel independen (R2)
sama dengan 0, maka tidak ada sedikitpun presentasi pengaruh
yang diberikan variabel independen terhadap variabel dependen,
atau variasi tertentu yang digunakan dalam model tidak
menjelaskan sedikitpun variasi varibel dependen. Sebaliknya (R2)
sama dengan 1, maka presentasi pengaruh yang diberikan variabel
independen terhadap variabel dependen adalah sempurna atau
100% (Santoso, 2010).
4. Analisis Korelasi

Menurut Jonathan Sarwono (2006), analisis korelasi


digunakan untuk mengetahui besaran korelasi antar variabel. Untuk
menafsir angka digunakan kriteria sebagai berikut:

1. 0-0,25 : Kolerasi sangat lemah


2. >0,025-0,5 : Kolerasi cukup kuat
3. >0,5-0,75 : Kolerasi Kuat
4. >0,75-1 : Kolerasi sangat kuat
47

5. Analisa Jalur
Metode analisis jalur (Path Analysis) bertujuan untuk
menguji pengaruh variabel intervening. Hasil perhitungan langsung,
hubungan tidak langsung dan total hubungan langsung dan hubungan
tidak langsung antara variabel Worklife Balance, Workplace
Spirituality dan Komitmen Organisasi terhadap OCB. Analisis jalur
menghubungkan lebih dari dua variabel untuk mengetahui OCB (Y2)
terhadap worklife balance (X1), spiritualitas di tempat kerja (X2),
dan komitmen organisasi (Y1) dapat digunakan rumus :

Y1 = PY1X1 + PY1X2 +€1 (sebagai persamaan struktural 1)

Y2 = PY2X1 + PY2X2 + PY2Y1+€2 (sebagai persamaan struktural 2)

Keterangan :
Y1 = Komitmen Organisasi
Y2 = OCB
X1 = Worklife Balance
X2 = Spiritualitas di Tempat Kerja
€1 ,€2 = Error
Untuk menghitung pengaruh antar variabel secara langsung
dan tidak langsung adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh Langsung (Direct Effect /DE)
Untuk menghitung pengaruh langsung digunakan formula
sebagai berikut:
a. Pengaruh variabel worklife balance terhadap Komitmen
Organisasi
X1 Y1
b. Pengaruh variabel spiritualitas di tempat kerja terhadap
Komitmen Organisasi
X2 Y1
c. Pengaruh variabel worklife balance terhadap OCB
48

X1 Y2
d. Pengaruh variabel spiritualitas di tempat kerja terhadap OCB
X2 Y2
e. Pengaruh variabel Komitmen Organisasi terhadap OCB
Y1 Y2
2. Pengaruh Tidak Langsung (Indirect Effect / IE)
Untuk menghitung pengaruh tidak langsung, digunakan
formula sebagai berikut:
a. Pengaruh worklife balance terhadap OCB melalui
Komitmen Organisasi
X1 Y1 Y2
b. Pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap OCB melalui
Komitmen Organisasi
X2 Y1 Y2
3. Pengaruh total (Total Effect)
Untuk pengaruh total, digunakan formula sebagai berikut:
a. Pengaruh worklife balance terhadap OCB melalui
Komitmen Organisasi
X1 Y1 Y2
b. Pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap OCB melalui
Komitmen Organisasi
X2 Y1 Y2
c. Pengaruh variabel worklife balance terhadap OCB
X1 Y2
d. Pengaruh variabel spiritualitas di tempat kerja terhadap
OCB
X2 Y2
e. Pengaruh variabel Komitmen Organisasi terhadap OCB

Y1 Y2
49

DAFTAR PUSTAKA

Arabiyat, Bashir, balqaa, Al Al-Saleem, and Basma Issa Tlelan. 2011. “The extent
of application of the principles of the organizational justice and its
relationship to the organizational commitment of the faculty members at
the university of Jordan”. International Journal of Human Resource
Studies,1(2): 52-59.
Avolio, B. J., Zhu W., Koh, W., and Bhatia, P. 2004. “Transformational
Leadership and Organizational Commitment: Mediating Role of
Psychological Empowerment and Moderating Role of Structural
Distance”. Journal of organizational behavior, 25 (8): 951-968.
Baihaqi, M., Sunuharyo dan Widyo. 2018. “Pengaruh On The Job Embeddedness
Terhadap Organiation Citizenship Behavior (OCB) dan Kinerja
Karyawan”. Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), Vol. 60, No. 3.
Bitner, Mary Jo, Zeithaml, Valarie A. 1996. Services Marketing. Edisi 1. Boston.
MCGraw-Hill.
Federation of International Gynaecologist and Obstetri Tian (FIGO).1991.
Fry, L. W. & Matherly, L. L. 2003. “Spiritual Leadership and Organizational
Performance: An Exploratory study”. Artikel tidak diterbitkan. Tarleton
State University.

Hudson. 2005. The Case for Work-Life Balance. 20:20 Series. E-book The Case
for Work/Life Balance: Closing the Gap Between Policy and Practice.

Hutcheson, Peggy G. 2012. Work-Life Balance Book 1. E-books. U.S.A copyright:


IEEE-USA.

Indriyani, Etty dan Haryono, Wisnu, P.C. 2011. “Pengaruh Budaya Organisasi
dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan dengan Komitmen
Organisasional sebagai Variable Intervening pada Workshop SMK
Katolik Santo Mikael”. Jurnal STIE AUB. 1(1):21-45.

Jurkiewicz, C. L & Giacalone, R. A. 2004. “ A Values Framework the Impact of


Workplace Spirituality on Organizational Performance” Journal of
Business Ethics. 49 (2): 129-142.

Kazemipour, F., Amin, S. M., & Pourseidi, MD. B. (2012). “Relationship


Between Workplace and Organizational Citizenship Behavior Among
Nurses Through Mediation of Affective Organizational Commitment”,
Journal of Nursing Schoolarship, Vol. XLIV (3): 1-9.
50

Kurniawan, Albert. 2015. “Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap


Organizational Citizenship Behavior (OCB) PT X Bandung”. Jurnal
Manajemen, Vol.15, No.1.

Luthans, F. 2006. Prilaku Organisasi, Edisi Sepuluh, Yogyakarta: Penerbit Andi.

Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). “Commitment in the workplace: theory,


reserch and application”. Thousand Oaks, CA: Sage Publication.

Milliman, John., Chaplewski, Andrew J. And Ferguson, Jeffery. 2003.


“Workplace Spirituality and Employee Work Attitudes”. Journal of
Organizational Change Management-Vol 16, No 4, pp 426-427.

Mondy, R.W. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi 10. Jakarta:
Erlangga

Mowday, R.T., Porter, L.W., & Steers, R.M. (1982). “Employee-organization


linkages: The psychology of commitment, absenteeism, and turnover”.
New York: Academic Press.

Nagar, K. 2012. “Organizational Commitment and Job Satisfaction among


Teachers during Times of Burnout”. Vikalpa: The Journal for Decision
Markets, 37(2): 1-18.

Notoatmodjo, Soekidjo (2003). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:


PT Rineka Cipta.

Organ, D. W. 1988. “Organizational Citizenship behavior: The good soldier


syndrome”. Lexington, MA: Lexington Books.

. 1990. “The Motivational Basis of Organizational Citizenship Behavior”.


Research in Organizational Citizenship Behaviour, 12, 23-72.
. 2006. “Oganizational Citizenship Behaviour : Its Nature, Attecedents,
and consequences”. SAGE Publications.

Pawar, B. S. 2009. “Some of the Recent Organizational Behaviour Cocept as


Precursors to Workplace Spirituality”. Journal Business Ethics. 88, 245-
261.

Podsakoff, P. M., Ahearne, M., & MacKenzie, S. B. (1997). “Organizational


Citizenship Behaviour and The Quantity and Quality of Work Group
Performance”. Journal of Applied Psychology, 17 (4), 287-297.
51

Robbins, Stpehen P. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi kesepuluh. Jakarta: PT


Indeks Kelompok Gramedia.

Robbins, Stephen dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi Edisi ke-12.
Jakarta: Salemba Empat.

Schermerhorn, John D., James G Hunt, Richard N Osborn (2005).


Organiizational Beaviour, John Willey and Son Inc.

Sloat, K. C. M, 1999. “Organizational Citizenship: Does Your Firm Inspire To Be


“Good Citizenship”? Professional Safety, Vol 44 (4).

Sudarmanto. 2009. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM (Teori, Dimensi


Pengukuran, dan implementasi dalam Organisasi). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Peraturan Pemerintah. UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

Shinta, D. K. 2013. “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap


Kepuasan Kerja Karyawan dan Komitmen Organisasional pada PT.
KPM”. Jurnal manajemen, Strategi Bisnis, dan Kewirausahaan, 7(2):116-
125.

Weckstein, Stacey Hoffer. 2008. How To Practice The Art Of Life Balance. E-
book. Copyright: Stacey Weckstein Hoffer.

Widyarini, Nilam.2015. “Kajian Spiritualitas di Tempat Kerja pada Konteks


Organisasi Bisnis”. Jurnal Psikologi, Volume 42, No. 1, April 2015: 1 –
14

Wongthongdee, S. (2009). “Work-Life balance/Work-life Effectiveness. 9th


Document of Damrong Rajanupab Institute of Research and
Development, Office of the Permanent Secretary for Interior Ministry of
Interior, Fiscal year 2009”. Bangkok: Damrong Rajanupab Institute of
Research and Development.

World Health Organization (WHO).1992.

Yanti, P.E.T. dan Supartha, I.W.G. 2017. “Pengaruh Komitmen Organisasional


dan Kepuasan Kerja Terhadap Organizaional Citizenship Behavior
(OCB)”. E-Jurnal Manajemen Unud, Vol. 6, No. 2, 2017: 721-747.

Anda mungkin juga menyukai