Anda di halaman 1dari 34

SISTEM THINKING AND LEARNING ORGANIZATION PADA

BIDANG KESEHATAN

Tulisan ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah:


System Thinking & Learning Organizing

Oleh:
Nurul Inayah Iskandar
KM.21.10.047

PROGRAM STUDI
MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MEGA BUANA PALOPO
2022

1
PRASARAN

Segala puji bagi Allah subhanawata’ala atas segala Rahmat dan


Karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas matakuliah ini dengan baik. Adapun judul tulisan ini
adalah “Sistem Thinking and Learning Organization pada Bidang
Kesehatan”.
Penulis menyadari tugas ini masih memiliki banyak kekurangan
maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Palopo, 4 Maret 2022


Penulis

Nurul Inayah Iskandar


NIM. KM.21.10.047

iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………i

KATA PENGANTAR…………………………………………...……………….iv

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...vi

BAB I PENDAHULUAN.………………………………………………………..1

A. Latar Belakang ……………………………………………………… 1

B. Rumusan Masalah………………………………………………….. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….….5

A. Pengertian Organisasi ……………………………………………………5

B. Pengertian Pembelajara………………..……………………………….12

C. Pengertian Organisasi Pembelajar…………….……………………....15

D. Karakteristik Learning Organization……………...…………………….18

E. Konsep Learning Organization….………..…………………………….18

BAB III PEMBAHASAN ……..……………..……………………..………….24

BAB IV PENUTUP…………….……………………………………………..

DAFTAR RUJUKAN…………………………..

………………………………………....37

v
SISTEM THINKING AND LEARNING ORGANIZATION PADA
BIDANG KESEHATAN

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Suatu organisasi harus bisa menemukan bentuk baru yang ideal,

agar organisasi tersebut bisa survive dan bisa berkompetisi dengan yang

lain. Menurut Purwanto (2007), strategi untuk dapat menyediakan

pelayanan publik yang lebih murah, lebih cepat dan lebih baik dapat

tercapai bila difasilitasi oleh organisasi dengan struktur yang tidak terlalu

hierarkis dan para pegawai yang memiliki daya tanggap dan inovasi tinggi.

Untuk itu banyak pihak yang menyarankan agar dilakukan perubahan

organisasi. Tujuan perubahan tersebut adalah untuk memperoleh

organisasi yang adaptif yang mampu menghasilkan pengetahuan. Salah

satu strategi perubahan yang disarankan adalah mengubah organisasi

menjadi learning organization (LO).

Organisasi pembelajar (learning Organization) adalah proses

berkelanjutan di dalam suatu organisasi yang menyediakan kelancaran

pembelajaran dan pengembangan individu untuk semua pegawai, dengan

tetap menjaga transformasi secara terus menerus, pemberdayaan sumber

daya manusia (Santoso, 2003). Senge (1996) mengemukakan di dalam

organisasi pembelajar (learning organization) yang efektif membutuhkan

skills yang harus dimiliki oleh setiap personal untuk membangun

iv
organisasi pembelajar. Skills tersebut yakni: personal mastery

(berkompeten), mental models (pola mental), shared vision (visi yang

sama), team learning (tim pembelajar), dan systems thinking (berpikir

sistem), sehingga organisasi pembelajar dapat diwujudkan secara optimal.

Organisasi pembelajar yang optimal dapat memberikan dampak positif

terhadap prestasi.

Salah satu oranisasi yang dituntut menerpakan konsep learning

organization yaitu rumah sakit. Setiap organisasi termasuk rumah

sakit dituntut melakukan transformasi untuk dapat melaksanakan

pembelajaran yang berkesinambungan (continues learning) dan

menciptakan inovasi dengan mengelola sumber daya yang ada

sehingga dapat memiliki keunggulan bersaing. Hal tersebut dilakukan

karena rumah sakit sekarang ini tidak hanya menyediakan pelayanan

penyembuhan namun juga pelayanan pencegahan penyakit dan juga

kegiatan-kegiatan ilmiah kepada masyarakat. Seperti yang dikemukakan

oleh Marquardt (2002) bahwa banyak organisasi yang saat ini

menyadari hal yang sangat penting adalah menjadi Learning Organisation

(organisasi pembelajar), mereka harus belajar untuk lebih baik dan

lebih cepat atau mereka akan mati (bangkrut).

Mutu pelayanan rumah sakit sangat dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya yang paling dominan adalah sumber daya

manusia Yang merupakan aset utama rumah sakit yang memberikan

kontribusi dalam pencapaian tujuan perusahaan. Hal ini dilakukan

v
secara sinergis oleh tenaga medis (dokter), paramedis (perawat

dan bidan), serta non medis (manajemen, penunjang medis

dan administratif). Tenaga medis dan paramedis secara langsung

berinteraksi dengan pasien dalam melaksanakan tanggung jawabnya,

begitu juga dengan beberapa bagian administratif (seperti front

liner).

Apabila pelayanan kesehatan ingin memberikan perbaikan

yang diharapkan, maka harus belajar dan berkembang, serta

mendukung sumber daya manusia yang ada pada organisasi

tersebut. Rumah sakit merupakan salah satu organisasi yang

menyediakan jasa pelayanan kesehatan sering dinilai memiliki

kompleksitas yang tinggi. Rumah sakit mengelola perubahan terus

menerus dari berbagai jenis, yaitu; perubahan dalam hubungan

antara praktisi medis dan paramedic kepada pasien mereka atau klien,

perubahan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran

ataupun keperawatan serta penunjang medis, perubahan Sifat tenaga

kerja seperti peran - peran baru serta pergeseran tanggung jawab

dalam tim klinis.

Selain menerapkan learning organization, cara yang dapat

dilakukan oleh pihak rumah sakit dalam mengatasi permasalahan

kesehatan yaitu mellaui pendekatan thinking system atau berpikir system.

Berpikir sistem merupakan pendekatan untuk penyelesaian masalah yang

memandang "masalah" sebagai bagian dari sistem yang luas dan dinamis.

vi
Berpikir sistem melibatkan lebih dari sekedar reaksi untuk menyajikan

hasil atau peristiwa. Ini menuntut pemahaman yang lebih dalam tentang

keterkaitan, hubungan, interaksi, dan perilaku diantara elemen-elemen

yang menjadi ciri seluruh sistem. Umumnya digunakan disektor lain di

mana intervensi dan sistem kompleks, berpikir sistem disektor kesehatan.

Pendekatan berpikir sistem akan membantu mengantisipasi dan

mengurangi efek seperti ketika mengembangkan intervensi, serta

memanfaatkan sinergi yang tidak terduga dengan memodifikasi intervensi.

Ini kemudian memberikan dasar untuk memahami bagaimana

mengukurnya dalam evaluasi yang dirancang lebih baik dan lebih

komprehensif. Pendekatan berpikir sistem dapat menghubungkan desain

intervensi dan evaluasi secara lebih eksplisit, baik satu sama lain maupun

dengan kerangka sistem kesehatan, meskipun harus ditambahkan bahwa

tidak semua intervensi membutuhkan evaluasi atau evaluasi dengan lensa

berpikir sistem

B. Tujuan Penulisan

Makalah ini dilakukan untuk menganalisis penerapan model

sistem berpikir (Thinking System) dan Organisasi Pembelajar (Learning

Organizational) pada Rumah Sakit. Hal ini sesuai dengan upaya

pengembangan manajemen rumah sakit yang fokus pada peningkatan

mutu (Quality Improvement).

1. Untuk mengetahui makna berpikir system bagi kesehatan

vii
2. Untuk mengetahui Penerapan Perspektif Sistem Untuk Merancang

Dan Mengevaluasi Intervensi Sistem Kesehatan

3. Untuk mengetahui Berpikir Sistem Untuk Sistem Kesehatan:

Tantangan Dan Peluang Secara Nyata

4. Untuk mengetahui pilar pembelajaran organisasi

5. Untuk mengetahui pembelajaran visi misi

6. Untuk mengetahui pembelajaran sumber daya

7. Untuk mengetahui pembelajaran pada orientasi pekerjaan

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis penerapan model

sistem berpikir (Thinking System) dan Organisasi Pembelajar

(Learning Organizational) pada Rumah Sakit. Hal ini sesuai

dengan upaya pengembangan manajemen rumah sakit yang

fokus pada peningkatan mutu (Quality Improvement).

viii
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. Pengertian Organisasi

Menurut Dimock dan Koening (Sutarto, 2006) organisasi

adalah menghimpun secara teratur bagian- bagian yang saling

bergantungan untuk mewujudkan suatu keseluruhan yang bersatu padu

dengan mana wewenang, koordinasi, dan kontrol dapat dilaksanakan

untuk mencapai maksud tertentu. Pengertian lain dikemukakan oleh

Allen (Sutarto, 2006) organisasi formal merupakan sesuatu sistem dari

pekerjaan- pekerjaan yang dirumuskan dengan baik, masing- masing

pekerjaan itu mengandung sejumlah wewenang, tugas dan

tanggung jawab tertentu, keseluruhannya disusun secara sadar untuk

memungkinkan orang-orang dari badan usaha itu bekerja sama secara

paling efektif dalam mencapai tujuan mereka.

1. Pengertian Pembelajaran

Learning merupakan satu proses fundamental yang relevan

bagi banyak aspek dari perilaku organisasi. Learning merupakan satu

perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil

dari pengalaman. Pembelajaran menurut Argyris (Utami, 2009)

adalah suatu lingkaran aktivitas dimana seseorang menemukan

suatu masalah (discovery), mencoba menemukan solusi atasnya

(invention), menghasilkan atau melaksanakan solusi itu

(production), dan mengevaluasi hasil yang diperoleh yang

iv
mengantarnya pada masalah-masalah baru (evaluation). Aktivitas-

aktivitas ini disebut sebagai lingkaran pembelajaran.

2. Pengertian Organizasi Pembelajar

Pedler et al., dalam Dale mendefinisikan organisasi pembelajaran

sebagai sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari

seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasikan

diri, sedangkan Lundberg dalam Dale menyatakan bahwa

pembelajaran adalah suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada

pemerolehan dan pengembangan Keterampilan dan pengetahuan serta

aplikasinya. Menurut Pedler et al. suatu organisasi pembelajaran adalah

organisasi yang:

a. Mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu

terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka

b. Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok,

dan stakeholder lain yang signifikan

c. Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai

pusat kebijakan bisnis

d. Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus

Watkins dan Marsick (Anggraeni, 2006) mendefinisikan Learning

Organization sebagai organisasi yang bercirikan pembelajaran

berkelanjutan untuk pengembangan yang berkesinambungan dan

dengan kapasitasnya untuk berubah. Hal lain diungkapkan oleh Sangkala

(2007) yang mendefinisikan organisasi pembelajar sebagai perusahaan

v
yang terus-menerus mengubah dirinya agar lebih baik dalam

mengelola pengetahuan, memanfaatkan teknologi, memberdayakan

karyawan, dan memperluas pembelajaran agar lebih baik beradaptasi

dan berhasil didalam lingkungan yang senantiasa berubah.

3. Karakteristik Learning Organization

Marquardt (2002), mengungkapkan bahwa pada kondisi

saat ini,

pembelajaran di organisasi mendatangkan bentuk pembelajaran yang

baru dengan cara berikut ini:

a. Berbasis kinerja dan terkait dengan tujuan bisnis

b. Menekankan pentingnya proses belajar atau belajar bagaimana

cara belajar

c. Kemampuan untuk mendefinisikan pembelajaran merupakan hal

yang sama pentingnya dengan menemukan jawaban dari

pertanyaan yang spesifik

d. Peluang besar organisasi untuk mengembangkan pengetahuan,

keterampilan dan sikap.

e. Pembelajaran adalah bagian dari pekerjaan seluruh anggota

organisasi

Megginson dan Pedler (Ginting, 2004) memberikan sebuah

panduan mengenai konsep organisasi pembelajaran, yaitu “Suatu ide

atau metaphor yang dapat bertindak sebagai bintang penunjuk. Ia

bisa membantu orang berpikir dan bertindak bersama menurut apa

vi
maksud gagasan semacam ini bagi mereka sekarang dan di masa

yang akan datang. Seperti halnya semua visi, ia bisa membantu

menciptakan kondisi dimana sebagian ciri-ciri organisasi pembelajar

dapat dihasilkan”. Kondisi-kondisi tersebut adalah:

a. Strategi pembelajaran

b. Pembuatan kebijakan partisipatif

c. Pemberian informasi (yaitu teknologi informasi digunakan

untuk

d. Menginformasikan dan memberdayakan orang untuk

mengajukan

e. Akunting formatif (yaitu sistem pengendalian disusun untuk

membantu

f. Struktur yang memberikan kemampuan

g. Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan

h. Pembelajaran antar perusahaan

i. Suasana belajar

j. Pengembangan diri bagi semua orang Meskipun suatu

organisasi melakukan semua hal di atas, tidak otomatis

suatu organisasi menjadi learning organization. Perlu

dipastikan bahwa tindakan-tindakan tidak dilakukan hanya

berdasarkan kebutuhan. Tindakan-tindakan tersebut harus

ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari-hari yang

rutin dan normal.

vii
4. Konsep Learning Organization

Watkins dan Marsick (1998) memiliki 7 (tujuh) dimensi yang

berkaitan dengan pembentukan organisasi pembelajar, yaitu:

a. Menciptakan kesempatan belajar yang terus menerus

(continous learning), yaitu menggambarkan usaha organisasi

dalam menciptakan kesempatan learning berkesinambungan

untuk seluruh anggotanya.

b. Mendukung Inquiry dan dialog, yaitu usaha organisasi dalam

membangun budaya “mempertanyakan, umpan balik dan

melakukan percobaan

c. Mendorong kelompok learning dan kolaborasi (team

learning), yaitu menggambarkan semangat kerjasama dan

kemampuan kerjasama yang mendukung pemanfaatan tim

secara efektif

d. Memberikan kewenangan kepada karyawan melalui

visi bersama (empowerment), yang diartikan dengan proses

organisasi untuk membangun dan mensosialisasikan visi

bersama dan mendapatkan umpan balik dari anggotanya

tentang kesenjangan antara keadaan saat ini dengan visi

yang baru

e. Menyusun sistem untuk mengakomodasi dan

menyebarkan learning (embedded sistem), yaitu menandakan

viii
usaha organisasi untuk menerapkan suatu sistem guna

menampung dan menyebarkan learning

f. Menghubungkan organisasi dengan lingkngannya (system

connection) yang memperlihatkan pemikiran global dan

tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menghubungkan

organisasi dengan lingkungan eksternal dan internalnya

g. Menyediakan kepemimpinan strategik untuk learning

(strategic leadership), memperlihatkan sejauh mana

pemimpin berpikir secara strategis tentang bagaimana

memanfaatkan learning untuk menciptakan perubahan

dan membawa organisasi ke tujuan / pasar baru.

ix
BAB III

PEMBAHASAN

1. Berpikir Sistem dalam Bidang Kesehatan

a. Makna Berpikir Sistem Bagi Kesehatan

Berpikir sistem berawal pada awal abad ke-20 dalam bidang yang

beragam seperti teknik, ekonomi, dan ekologi. Dengan semakin

meningkatnya kompleksitas, ini dan disiplin non kesehatan lainnya

mengembangkan berpikir sistem untuk memahami dan menghargai

hubungan dalam setiap sistem yang diberikan, dan dalam merancang dan

mengevaluasi intervensi tingkat sistem.

Dalam beberapa tahun terakhir, sektor kesehatan telah mulai

mengadopsi berpikir sistem untuk mengatasi masalah sektoral yang

kompleks seperti pengendalian tembakau, obesitas dan tuberkulosis Baru-

baru ini, saran untuk menerapkan berpikir sistem pada sistem kesehatan

telah muncul, dibantu dalam beberapa hal oleh artikulasi WHO 2007

tentang blok-blok pembangun sistem kesehatan. Meskipun kerangka kerja

itu mungkin ditantang karena dimiringkan ke arah input sisi penawaran, ia

memberikan perangkat yang berharga untuk membuat konsep sistem

kesehatan dan menghargai kegunaan berpikir sistem.

Menurut WHO (2019) Sebagian besar sistem, termasuk sistem

kesehatan, adalah:

a. Pengorganisasian diri

b. Berubah secara konstan

iv
c. Berkaitan erat

d. Diatur umpan balik

e. Non-linear

f. Melawan intuitif

g. Kebal terhadap perubahan

Berpikir sistem menempatkan nilai tinggi pada konteks

pemahaman dan mencari koneksi antara bagian, pelaku dan proses

sistem. Mereka melakukan upaya yang disengaja untuk mengantisipasi,

bukannya bereaksi terhadap, konsekuensi hilir dari perubahan dalam

sistem, dan untuk mengidentifikasi poin-poin leverage dari hulu. Semua ini

tidak asing bagi mereka yang bekerja dalam sistem kesehatan, tetapi apa

yang berbeda dalam berpikir sistem yang disengaja, cara berkelanjutan

dan komprehensif dimana pendekatan diterapkan.

Tabel 3.1 Keterampilan dari berpikir sistem


Pendekatan yang umum
Pendekatan berpikir system
digunakan
Berpikir statis Berpikir dinamis
Membingkai masalah dalam pola
Berfokus pada acara-acara tertentu
perilaku seiring waktu
Sistem untuk memikirkan Sistem untuk memikirkan
dampak penyebab
Menempatkan tanggung jawab atas
Melihat perilaku sebagai hasil dari
perilaku pelaku internal yang
suatu sistem yang digerakkan oleh
mengelola kebijakan dan saluran
kekuatan eksternal
sistem
Berpikir pohon per pohon Berpikir hutan
Percaya bahwa benar-benar Percaya bahwa untuk mengetahui
mengetahui sesuatu berarti sesuatu membutuhkan
berfokus pada detail pemahaman konteks hubungan

v
Berpikir faktor Berpikir operasional
Daftar faktor-faktor yang Berkonsentrasi pada kausalitas dan
mempengaruhi atau berkorelasi memahami bagaimana suatu
dengan beberapa hasil perilaku dihasilkan
Berpikir garis lurus Berpikir melingkar
Melihat hubungan sebab akibat
Melihat hubungan sebab akibat sebagai proses yang sedang
sebagai perjalanan satu arah, berlangsung, bukan peristiwa satu
mengabaikan (baik sengaja atau kali, dengan pemberian efek
tidak) interdependensi dan interaksi kembali untuk mempengaruhi
antara dan di antara penyebabnya penyebab dan penyebabnya saling
mempengaruhi
Sumber : Dimodifikasi dari Richmond, 2000

b. Berpikir Sistem: Penerapan Perspektif Sistem Untuk Merancang

Dan Mengevaluasi Intervensi Sistem Kesehatan

Sepuluh langkah untuk berpikir sistem: penerapan perspektif sistem

dalam intervensi desain dan evaluasi:’

Bagian I: desain intervensi Langkah 1. Bertemu pemangku

kepentingan: Keterlibatan multidisiplin dan multi-pemangku kepentingan

adalah elemen penting disepanjang "Sepuluh Langkah Berpikir Sistem" -

mengidentifikasi dan mengumpulkan pemangku kepentingan utama yang

peduli atau terpengaruh oleh implementasi intervensi sangat penting.

Untuk melegitimasi proses pertemuan, ini harus dimulai dengan atau

disahkan pada tingkat pejabat tinggi di Kementerian Kesehatan. Ada

sejumlah pendekatan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan

(termasuk pemetaan konteks dan analisis pemangku kepentingan),

namun akal sehat harus menang dan keliru disisi inklusivitas. Minimal,

diperlukan setidaknya satu perwakilan yang berpengetahuan luas dari

vi
masing-masing sub-sistem (atau blok bangunan), plus setidaknya satu

perwakilan dari komunitas penelitian dan satu dari mitra pendanaan. Tidak

semua intervensi memerlukan semua pemangku kepentingan yang

dijelaskan di sini, namun intervensi yang kompleks akan membutuhkan

peningkatan tingkat konsultasi.

Langkah 2. Bertukar pikiran secara kolektif: Langkah ini sangat penting

dalam mengidentifikasi semua kemungkinan efek sistem yang luas dari

intervensi yang diusulkan. Setelah campuran yang tepat dari para

pemangku kepentingan telah berkumpul untuk membahas intervensi yang

diusulkan, mereka mengantisipasi dan berhipotesis semua konsekuensi

yang mungkin dari intervensi dalam setiap blok bangunan, sambil juga

memikirkan banyak interaksi antara sub-sistem. Pelaksana garis depan

(mungkin yang mewakili penyediaan pelayanan dan blok bangunan

tenaga kerja kesehatan) akan mengidentifikasi dampak potensial dari jalur

implementasi. Aspek terakhir dari langkah ini adalah menominasikan

pemimpin dan tim desain yang lebih kecil untuk mengambil kepemilikan

intervensi, khususnya dalam mengkonseptualisasikan efeknya,

mendesain ulang itu, dan mengidentifikasi individu untuk mengembangkan

evaluasinya.

Langkah 3. Mengkonseptualisasikan efek: Dalam mengantisipasi

kemungkinan dampak positif dan negatif pada subsistem kesehatan

lainnya, jelas bahwa setiap intervensi besar dapat memiliki hal-hal penting

yang tidak diketahui. Pada langkah ini, tim desain yang lebih kecil

vii
mengambil output tabular dan mengembangkan pemetaan jalur

konseptual bagaimana intervensi akan mempengaruhi kesehatan dan

sistem kesehatan melalui sub-sistemnya, dengan perhatian khusus pada

loop umpan balik. Jalur konseptual interaksi dinamis ini menunjukkan

bagaimana intervensi akan memicu reaksi dalam sistem, dan bagaimana

sistem mungkin merespons.

Langkah 4. Beradaptasi dan mendesain ulang: Dalam langkah desain

akhir ini, konsep awal untuk intervensi kemungkinan akan perlu diadaptasi

atau dirancang ulang mengingat tiga langkah pertama untuk

mengoptimalkan sinergi dan efek positif lainnya sambil menghindari atau

meminimalkan potensi besar efek negatif. Berdasarkan jalur sebab akibat

yang diharapkan atau dihipotesiskan dari interaksi dinamis dari Langkah 3

dan tabel efek potensial yang didiskusikan dalam Langkah 2, para

pemangku kepentingan dapat memikirkan kembali desain intervensi

mereka untuk bergabung dalam elemen desain tambahan untuk

mengurangi efek negatif penting, memaksimalkan potensi yang

sebelumnya tidak dihargai. sinergi atau hindari rintangan yang mungkin

terjadi.

Bagian II: desain evaluasi Langkah 5. Menentukan indikator: Setelah

intervensi dirancang atau dirancang ulang menggunakan perspektif

sistem, tim desain, sekarang dibantu oleh peneliti dan / atau evaluator,

perlu mengembangkan pertanyaan penelitian utama untuk

menginformasikan evaluasi. Mereka harus memutuskan proses, masalah,

viii
dan konteks apa yang penting untuk dilacak dari waktu ke waktu dalam

evaluasi, mengingat dampak positif dan negatif utama yang dihipotesiskan

dan dibahas selama langkah 1-4. Setelah pertanyaan penelitian disetujui,

masalah berikutnya adalah memutuskan indikator yang diperlukan, dan

sumber data potensial untuk indikator ini.

Langkah 6. Memilih metode: Setelah indikator dan sumber data

potensial telah disepakati, keputusan berikutnya adalah memilih metode

terbaik untuk menghasilkan data yang diperlukan. Untuk menghadapi

kompleksitas intervensi tingkat sistem skala besar, evaluasi harus

mencakup empat komponen: evaluasi proses (untuk kecukupan); evaluasi

konteks (untuk transferabilitas); evaluasi efek (untuk mengukur efek

intervensi di semua sub-sistem); dan evaluasi ekonomi (untuk

menentukan nilai uang). Ini membutuhkan evaluasi dasar, formatif

(selama implementasi awal) dan sumatif (selama implementasi lanjutan),

dengan perhatian khusus selama fase evaluasi formatif untuk

menghasilkan pelajaran untuk menyempurnakan intervensi - untuk

meningkatkan kinerja dan untuk memahami bagaimana intervensi benar-

benar bekerja diberikan karakteristik system)

Langkah 7. Memilih desain: Ada beberapa desain evaluasi yang

sangat cocok untuk intervensi tingkat sistem. Ini cenderung lebih berasal

dari tradisi penelitian epidemiologis dan sistem kesehatan daripada dari

tradisi pemantauan dan evaluasi. Pada langkah ini, kita membahas desain

ix
yang paling umum, desain probabilitas, desain masuk akal, dan desain

kecukupan.

Langkah 8. Mengembangkan rencana dan jadwal: Setelah keputusan

tentang pertanyaan penelitian, indikator, sumber data, pendekatan

metodologis dan jenis desain telah dibuat, maka mungkin untuk

mengidentifikasi disiplin yang diperlukan dan memperluas mitra yang

diperlukan untuk menyelesaikan rencana evaluasi.

Langkah 9. Menetapkan anggaran: Langkah ini kadang-kadang bisa

menjadi bagian dari langkah 8, tetapi dalam proses hibah kompetitif

mungkin tidak mungkin untuk mengetahui implikasi biaya dari evaluasi

sampai langkah 8 selesai. Idealnya anggaran evaluasi harus dikembalikan

ke kelompok desain untuk dimasukkan dengan anggaran intervensi. Ini

akan memastikan dana sudah ada sebelum intervensi dilaksanakan.

Langkah 10. Sumber pendanaan: Langkah terakhir dimuat dan didanai

sebelum intervensi dimulai untuk memberikan dasar acuan kontrafaktual

untuk semua tindakan. Salah satu konsekuensi dari desain intervensi

yang ditingkatkan dan desain evaluasi yang ditingkatkan adalah

kemungkinan biaya yang lebih tinggi untuk keduanya (tetapi probabilitas

yang lebih tinggi untuk keberhasilan implementasi dan evaluasi yang

akurat).

c. Berpikir Sistem Untuk Sistem Kesehatan: Tantangan Dan Peluang

Secara Nyata

x
Memilih tantangan dalam penerapan perspektif system adalah sebagai

berikut:

a) Menyelaraskan kebijakan, prioritas dan perspektif di antara donor

dan pembuat kebijakan nasional

Ada banyak ketegangan dalam sistem kesehatan negara

berkembang antara tujuan donor yang seringkali bersifat jangka pendek -

yang membutuhkan hasil investasi yang cepat dan terukur - dan perhatian

jangka panjang dari pengelola sistem kesehatan. Ketegangan itu baru

saja meningkat dalam beberapa tahun terakhir, di mana lonjakan bantuan

internasional untuk penyakit-penyakit tertentu telah datang dengan target

cakupan yang ambisius dan upaya peningkatan skala yang intens lebih

berorientasi pada tujuan jangka pendek daripada jangka panjang.

Meskipun pendanaan tambahan disambut baik dalam konteks

berpendapatan rendah, seringkali dapat mengurangi kekuatan negosiasi

dari sistem kesehatan nasional dalam memodifikasi intervensi yang

diusulkan atau meminta evaluasi independen simultan dari intervensi ini

ketika mereka diluncurkan. Di banyak negara, menyelaraskan kebijakan,

prioritas, dan perspektif donor dengan para pembuat kebijakan nasional

merupakan masalah yang mendesak dan mendesak - meskipun dengan

sedikit solusi nyata. Sebagai contoh, ada semakin banyak bukti bahwa

walaupun dana untuk AIDS, TB dan Malaria benar-benar menyelamatkan

nyawa, mereka biasanya datang tanpa penguatan sistem kesehatan yang

memadai untuk mempertahankan hasil ini. Selain itu semakin

xi
diperdebatkan bahwa sifat selektif dari mekanisme pendanaan ini

(misalnya menargetkan hanya penyakit tertentu dan strategi dukungan

selanjutnya) dapat merusak kemajuan ke tujuan jangka panjang sistem

kesehatan yang efektif, berkualitas tinggi dan inklusif.

b) Mengelola dan mengkoordinasi kemitraan dan harapan diantara

para pemangku kepentingan sistem

Sementara membangun dan mendukung kemitraan merupakan inti

penerapan perspektif sistem untuk memperkuat sistem kesehatan,

mengelola dan mengkoordinasikan kemitraan tersebut - dan harapan

mereka - ketika merancang intervensi dan menilai temuan-temuan

evaluasi dapat menimbulkan tantangan yang menakutkan. Mitra yang

berbeda akan memiliki mandat, prioritas dan perspektif yang berbeda,

yang semuanya mungkin sah. Tantangan khusus yang dihadapi para

penatalayan sistem kesehatan terletak pada pengelolaan partisipasi dan

kontribusi pemangku kepentingan secara efektif terhadap desain dan

evaluasi intervensi ini, memastikan harapan mereka terpenuhi dan

prosesnya “dimiliki” tanpa kompromi objektivitas atau kebutuhan sistem itu

sendiri. Misalnya, para donor sering terperangkap di antara kebutuhan

mereka untuk menunjukkan kemajuan dan keberhasilan yang cepat dalam

pelaksanaan intervensi yang didanai dan komitmen mereka untuk

memperkuat sistem kesehatan negara-negara penerima.

Beberapa laporan barubaru ini menunjukkan tanda-tanda positif dari

peningkatan kolaborasi donor dibidang sistem informasi kesehatan,

xii
khususnya dalam menyelaraskan alat data untuk digunakan di tingkat

fasilitas - misalnya dalam memantau pasien yang menggunakan ART.

Namun, beberapa negara telah mengalami kesulitan dalam mengelola

persaingan di antara donor dan pemerintah dalam menghubungkan hasil

aktual (mis. Jumlah orang yang memakai ART) dengan pendanaan

mereka sendiri. "Ini menciptakan masalah besar," kata anggota staf

Kementerian Kesehatan Uganda, dengan "terlalu banyak berhitung ”.

Mengembangkan dan memelihara budaya terbuka dan kemitraan yang

efektif diantara varietas pemangku kepentingan nasional dan internasional

adalah praktik yang masuk akal bagi pengelola sistem kesehatan. Mereka

dapat memberikan kepemimpinan ini dengan menekankan perspektif

sistem untuk intervensi di sistem kesehatan; dengan mendorong diskusi

terbuka dan transparansi dalam mengekspresikan tujuan dan mandat

yang bersaing; dan dengan memberikan insentif yang tepat untuk berbagi

data dan rekonsiliasi.

c) Menerapkan dan memupuk kepemilikan intervensi ditingkat nasional

dan sub-nasional

Salah satu tantangan utama yang dihadapi sistem yang kompleks

adalah resistensi kebijakan, dimana solusi yang tampaknya jelas dapat

gagal atau memperburuk situasi yang dirancang untuk diatasi. Penelitian

di Republik Amerika Serikat Tanzania mengeksplorasi fenomena ini dalam

memahami mengapa tingkat implementasi dana asuransi kesehatan

masyarakat melihat kurang dari 10% pendaftaran setelah 10 tahun

xiii
implementasi. Para penulis menunjukkan bahwa tindakan manajer

kabupaten memengaruhi bagaimana kebijakan diterjemahkan ke dalam

implementasi, yang secara langsung berkontribusi pada rendahnya tingkat

implementasi. Wawancara dengan para manajer distrik mengungkapkan

keengganan mereka yang mendasar untuk menerapkan dan keengganan

mereka yang mendasar untuk menerapkan dan mengimplementasikan,

dan menyalahkan pemerintah pusat karena tidak menangani pemerintah

keuangannya karena tidak menangani keberlanjutan keuangannya.

Meskipun manajer distrik berkelanjutan. Meskipun manajer distrik

sangat menyadari kebijakan tersebut, mereka sering mengabaikan

kebijakan tersebut, mereka sering mengabaikannya dan tidak melihatnya

sebagai bagian dari kegiatan distrik yang dimandatkan. Sebaliknya,

mereka melihatnya sebagai kegiatan tambahan dan terpisah yang

beroperasi dengan dana sendiri - "seperti LSM," seperti yang dikatakan

seorang manajer. Akibatnya, dana kabupaten tidak dimobilisasi untuk

menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk dana kesehatan

masyarakat, yang menyebabkan sedikit kesadaran masyarakat akan

program tersebut, dan tidak ada kriteria atau pedoman untuk pembebasan

biaya.

d) Membangun kapasitas di level negara untuk menerapkan analitik

sistem perspektif

Upaya penguatan sistem kesehatan di negara-negara berkembang

sering menghadapi satu atau lebih kendala kapasitas pusat: keterampilan

xiv
teknis multi-disiplin terbatas yang diperparah oleh kemitraan dan

kolaborasi penelitian yang lemah; kualitas dan ketersediaan data yang

buruk ; kurangnya metode penelitian yang inovatif; dan keterampilan yang

terbatas dalam membangun dan mengelola kemitraan. Masalah-masalah

ini diperdalam oleh fakta bahwa sumber daya untuk pengembangan

kapasitas masih terutama didorong oleh sumbersumber internasional,

memberikan sedikit atau tidak ada pengaruh bagi negara-negara

berkembang dalam pemilihan prioritas untuk penelitian atau

pengembangan keterampilan atau pada penggunaan sumber daya secara

proporsional untuk pengembangan kapasitas . "Ngomong-ngomong ...

para donorlah yang memutuskan untuk apa uang itu dihabiskan ... jadi

mengapa menetapkan prioritas?" adalah sentimen umum di antara para

peneliti negara berkembang. Namun, kemampuan tim negara untuk

melakukan penelitian dan menganalisis data mereka sendiri sangat

penting untuk memahami apa yang berhasil, untuk siapa, dan dalam

keadaan apa - dan untuk memantau dan mengatasi masalah di sepanjang

jalan.

2. Pembelajaran Organisasi dalam Bidang Kesehatan

a. Pilar Pembelajaran Organisasi

Menurut Peter Senge ada Lima disiplin (lima pilar) yang membuat

suatu organisasi menjadi organisasi pembelajar.

a) Personal Mastery (Penguasaan Pribadi) – belajar untuk

memperluas kapasitas personal dalam mencapai hasil kerja yang

xv
paling diinginkan, dan menciptakan lingkungan organisasi yang

menumbuhkan seluruh anggotanya untuk mengembangkan

dirimereka menuju pencapaian sasaran dan makna bekerja sesuai

dengan harapan yang mereka pilih.

b) Mental Models (Model Mental) – proses bercermin, sinambung

memperjelas, dan meningkatkan gambaran diri kita tentang dunia

luar, dan melihat bagaimana mereka membentuk keputusan dan

tindakan kita.

c) Shared Vision (Visi bersama) – membangun rasa komitmen dalam

suatu kelompok, dengan mengembangkan gambaran bersama

tentang masa depan yang akan diciptakan, prinsip dan praktek

yang menuntun cara kita mencapai tujuan masa depan tersebut.

d) Team Learning (Belajar beregu) – mentransformasikan

pembicaraan dan keahlian berfikir (thinking skills), sehingga suatu

kelompok dapat secara sah mengembangkan otak dan

kemampuan yang lebih besar dibanding ketika masing-masing

anggota kelompok bekerja sendiri.

e) System Thinking (Berpikir sistem) – cara pandang, cara berbahasa

untuk menggambarkan dan memahami kekuatan dan hubungan

yang menentukan perilaku dari suatu system. Faktor disiplin kelima

ini membantu kita untuk melihat bagaimana mengubah sistem

secara lebih efektif dan untuk mengambil tindakan yang lebih pas

xvi
sesuai dengan proses interaksi antara komponen suatu sistem

dengan lingkungan alamnya.

b. Pembelajaran Visi dan Misi


Mengembangkan serta mengevaluasi visi dan misi suatu oragnisasi,
yang perlu diketahui oleh pegawai. Ada sembilan komponen yang mutlak
yang efektif. Komponen-komponen tersebut antara lain (Adela Istanto
2012) :
a)  Konsumen atau Pelanggan, “Siapa yang dilayani?”
b) Produk atau Jasa, “Apa yang dihasilakan?”
c) Pasar, “Secara geografis, dimana oragnisasi akan
berkompetisi?”
d) Teknologi, “Apakah perusahaan menerapkan teknologi
terbaru?”
e) Perhatian akan keberlangsungan, pertumbuhan, dan
profitabilitas, “Apakah oraganisasi berkomitmen untuk
pertumbuhan dan kondisi keuangan yang baik?”
f) Filosofi, “Apa dasar kepercayaan, nilai, aspirasi, dan prioritas
etika organisasi?”
g)   Konsep diri, “Apa kemampuan khusus atau keunggulan
kompetitif organisasi?”
h) Perhatian akan citra publik, “Apakah organisasi responsif
terhadap pemikiran sosial, masyarakat dan lingkungan?”
i) Perhatian pada karyawan, “Apakah karyawan aset yang
berharga untuk Organisasi?”
c. Pembelajaran Sumber Daya

Pembelajaran sumber daya manusia yang diasumsikan memiliki


efek pada kinerja pegawai aspek pembelajaran pada sumber daya

xvii
manusia sangat penting pada sebuah organisasi dimana dapat
mempengaruhi kinerja pegawai 4 aspek menurut penulis untuk
menjadi bahan pembelajaran;
a) Perekrutan

Proses perekrutan terkait dengan tindakan dari mencari


pegawai yang memenuhi syarat untuk mengisi kekosongan atau
memegang posisi yang tersedia. Memilih orang yang tepat dan
mampu untuk suatu posisi tertentu bukan hal yang mudah karena
secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kinerja
organisasi
b) Pelatihan dan pengembangan

merupakan faktor penting yang mempengaruhi penilaian


kinerja. Patrick (2000) mendefenisikan sebagai pengembangan
sistematis pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang
dibutuhkan oleh seseorang untuk melakukan tugas tertentu atau
pekerjaan secara efektif
c) Mutasi

Mutasi dalam manajemen sumber daya manusia disebut


pergeseran tugas. Siagian (2001:171) menjelaskan mutasi dapat
dilihat dalam dua perspektif. Pertama, dianggap sebagai bentuk
penempatan untuk seseorang pada tugas dengan tanggung jawab
baru, perubahan posisi hirarkis dan pendapatan relatif dari posisi
yang lama, sedangkan bentuk kedua mengacu pada pergeseran
dari tempat kerja ke tempat yang sama dengan tanggung jawab
yang relatif sama dan tanpa perubahan pendapatan
d) Kompensasi (Manfaat)

xviii
Kompensasi mengacu pada bentuk pemberian finansial atau
manfaat lainnya secara nyata bahwa pegawai menerima bagian
dari adanya hubungan kerja atau kontrak (Bernadin, 2007). Hal ini
akan menciptakan motivasi dan memberikan peluang bagi pegawai
untuk bekerja sesuai karier secara tepat dan sesuai dengan indeks
kinerja utama yang telah dilaksanakan

d. Pembelajaran Pada Orientasi Pekerjaan

Pembelajaran pada orientasi pekerjaan disini bagaimana


pegawai mengukur pekerjaan berdasarkan wewenang dan jabatan
dalam pekerjaan.

Menurut Sutrisno (2009), (dikutip dari eprints.ums.ac.id)  pengukuran


kinerja diarahkan pada enam aspek yaitu:
a) Hasil kerja: tingkat kuantitas maupun kualitas yang telah dihasilkan
dan sejauh mana pengawasan dilakukan.
b) Pengetahuan pekerjaan: tingkat pengetahuan yang terkait dengan
tugas pekerjaan yang ajan berpengaruh langsung terhadap
kuantitas dan kualitas dari hasil kerja,
c)  Inisiatif: tingkat inisiatif selama menjalankan tugas pekerjaan
khususnya dalam hal penanganan masalah masalah yang timbul.
d) Kecakapan mental: tingkat kemampuan dan kecepatan dalam
menerima insturksi kerja dan menyesuaikan dengan cara kerja serta
situasi kerja yang ada.
e) Sikap: tingkat semangat kerja serta sikap positif dalam
melaksanakan tugas pekerjaan.
f) Disiplin waktu dan absensi: tingkat ketepatan waktu dan tingkat
kehadiran

xix
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Makna berpikir system bagi kesehatan dimana Berpikir sistem

menempatkan nilai tinggi pada konteks pemahaman dan mencari

koneksi antara bagian, pelaku dan proses sistem.

2. Penerapan Perspektif Sistem Untuk Merancang Dan Mengevaluasi

Intervensi Sistem Kesehatan dilakukan dengan 10 langkah yaitu: 1.

Keterlibatan multi disiplin dan multi pemangku kepentingan, 2. Bertukar

pikiran secara kolektif, 3. Mengkonseptualisasikan efek, 4. Beradaptasi

dan mendesain ulang, 5. Menetukan indicator, 6. Memilih metode, 7.

Memilih desain evaluasi, 8. Mengembangkan rencana dan jadwal, 9.

Menetapkan anggran , dan 10. Menentukan sumber pendanaan.

3. Tantangan Dan Peluang Secara Nyata Berpikir Sistem Untuk Sistem

Kesehatan: menyelaraskan kebijakan, mengelola dan

mengkoordinasikan kemitraan, menerapkan dan memupuk

kepemilikan intervensi ditingkat nasional dan sub nasional, resistensi

kebijakan,

4. Pilar pembelajaran organisasi yaitu: Personal Mastery, Mental Models,

Share Vision, team learning dan system thinking.

iv
5. Komponen pembelajaran visi misi: memahami konsumen/pelanggan,

produk/jasa, teknologi, pasar, perhatian akan keberlangsungan,

pertumbuhan dan profitabilitas, filosofi, konsep diri, perhatian akan

citra public serta perhatian pada karyawan.

6. Bahan pembelajaran sumber daya: perekrutan, pelatihan dan

pengembangan, mutase dan kompensasi.

7. Pembelajaran pada orientasi pekerjaan untuk mengetahui kinerja

dilakukan pada aspek: hasil kerja, pengetahuan pekerjaan, inisiatif,

kecakapan, sikap dan disiplin.

v
Daftar Pustaka
Anggraeini, E. 2006. Tinjauan Penerapan Learning Organization di Bank
X. Tesis pada Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Depok
Banati P, Moatti JP. The positive contributions of global health initiatives.
Bulletin of the World Health Organization, 2008, 86(11):820.
Bryce J et al. Countdown to 2015: tracking intervention coverage for child
survival. Lancet, 2006, 368(9541):1067-1076.
Dale, RL. 1995. Organization Tehory & Design (5th Ed). St. Paul:
West Publishing Company.
Ginting, E. D. J. 2004. Peranan Organisasi Pembelajaran dalam
Meningkatkan Kompetisi Kerja. USU digital library, Medan
Hellena, L. 2007. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir
Dua Sebagai Learning Organization. Tesis pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Depok.
Kesumaningdyah, A. 2010. Penerapan Organisasi Pembelajar pada
Lembaga Penyiaran Radio Republik Indonesia (LPP RRI)
Bogor. Skripsi pada Departemen Manajemen, Fakultas
ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kruk ME, Freedman LP. Assessing health system performance in
developing countries: A review of the literature. Health Policy,
2007, 85(3): 263-276.

Marquardt, M. 1996. Building the Learning Organization, a System


Approach to Quantum Improvement and Global Success. Mc.
Graw Hill Book Inc, New York.
------------------2002. Building the Learning Organization, Mastering the
5
Elements for Corporate Learning. Davies-Black Publishing,
Inc, United States of America.
Travis P et al. Overcoming health-systems constraints to achieve the
Millennium Development Goals. Lancet, 2004, 364(9437):900-906.
Tugwell P et al . Applying clinical epidemiological methods to health
equity: the equity effectiveness loop. BMJ, 2006, 332(7537):358-
361.
United Nations . The Millennium Development Goals Report 2009. New
York, United Nations, 2009.
Victora CG et al. Co-coverage of preventive interventions and implications
for child-survival strategies: evidence from national surveys.
Lancet, 2005, 366(9495):1460-1466.

iv
World Health Organization. Everybody's Business: Strengthening Health
Systems to Improve Health Outcomes: WHO's Framework for
Action. Geneva, WHO, 2007.
World Health Organization Maximizing Positive Synergies Collaborative
Group. An assessment of interactions between global health
initiatives and country health systems. Lancet, 2009,
373(9681):2137- 2169.

Anda mungkin juga menyukai