Tryr
Tryr
PENDAHULUAN
Dalam pemeriksaan audiometri subyektif, masking merupakan metode yang
paling sulit dipelajari dan difahami oleh residen saat stase di audiologi. Masking di
bidang audiologi klinis merupakan metode pemeriksaan yang harus betul-betul difahami
baik dari segi dasar teori, metode pemeriksaan dan penatalaksanaannya dalam melakukan
semua jenis tes pendengaran terutama secara subyektif.
Problem utama dalam tes audiometri timbul karena suara dengan intensitas
tertentu yang diberikan melalui headphone atau insertphone dapat menembus impedans
tulang kepala, sehingga menyebabkan vibrasi seluruh tulang kepala dimana kedua koklea
terbenam didalamnya. Hal tersebut mengakibatkan stimulus yang diberikan di satu
telinga dapat diterima juga oleh koklea di telinga sisi yang lain. Pada gangguan fungsi
pendengaran unilateral atau bilateral yang asimetris, maka stimulus pada intensitas
tertentu yang diberikan di telinga yang pendengarannya lebih jelek, akan terdengar di
telinga yang fungsi pendengarannya lebih baik. Apabila subyek memberikan respons
terhadap stimulus yang diberikan (sebetulnya stimulus suara terdengar di telinga sisi
lain/yang tidak dites) akan menghasilkan respons yang bukan sebenarnya (positif
palsu/shadow hearing).
Mekanisme menyeberangnya stimulus suara ke telinga sisi lain yang dikenal
dengan cross over hearing tersebut, harus diatasi dengan cara memberikan suara masking
disisi telinga yang tidak dites, agar supaya stimulus suara yang diberikan ditelinga yang
2
sedang dites (ambang pendengarannya lebih jelek), tidak dapat terdengar ditelinga yang
tidak dites (ambang pendengarannya lebih baik).
Seorang dokter spesialis/residen THT yang peka akan menduga kemungkinan
terjadinya cross over hearing lebih sering daripada yang sebenarnya terjadi sehingga
akan melakukan masking dalam melakukan tes pendengaran subyektif. Hasil audiometri
dan keraguan akan jenis gangguan pendengaran yang sebenarnya
akan sangat
dengan cara
menutup telinga yang tidak dites.Hal tersebut tidak bisa diterapkan pada saat melakukan
tes pendengaran dengan cara menutup telinga yang tidak dites. Pada kondisi tertentu,
penutupan liang telinga akan menyebabkan efek oklusi yang justru dapat meningkatkan
4
kepekaan pendengaran di telinga yang ditutup, yang dapat mengganggu validitas
penilaian hasil tes (Sander, 1978; Martin 1986). Untuk menghindari hal tersebut, telinga
yang tidak dites ambangnya dinaikkan dengan cara diberikan suara masking, sehingga
stimulus suara yang diberikan ditelinga yang sedang dites tidak dapat terdengar di telinga
yang dites (terutama dalam kondisi kemungkinan terjadi cross over hearing : stimulus
suara terdengar ditelinga yang tidak dites).
Contoh hasil audiogram yang menunjukkan kemungkinan terjadi cross over
hearing/sebelum
dilakukan
masking
(gambar1).
Kemudian
(gambar2).
dilakukan
masking
6
besar energi bunyi (stimulus suara) yang hilang (attenuate) pada waktu menyeberangi
kepala (melalui hantaran tulang) dan diterima oleh koklea telinga sisi yang lain.
Cross over hearing perlu dipertimbangkan apabila ambang telinga yang sedang
dites melampui interaural attenuation yang tergantung pada: 1. Jenis tes (hantaran
udara/air conduction atau hantaran tulang/bone conduction) 2. Jenis tranduser yang
dipakai, 3. frekuensi yang sedang dites.
Sebagai contoh konsep IA pada frekuensi 1000Hz dengan menggunakan
transduser supraaural phone (gambar 5). Ambang hantaran tulang/bone conduction (BC)
di telinga kiri 10dB; ambang hantaran udara/air conduction (AC) telinga kanan 60dBHL.
Pada saat stimulus
memberikan respons mendengar stimulus suara. Intensitas suara sebesar 60dB yang
diberikan ditelinga kanan tersebut kemungkinan telah menyeberang ke telinga sisi kiri
melalui vibrasi tulang kepala, sehingga stimulus suara terdengar ditelinga kiri dimana
ambang BC : 10 dBHL. Jumlah IA hantaran udara(AC) di frekuensi 1000Hz pada kasus
tersebut adalah sebesar 50dB waktu menyebrangi kepala ke telinga kiri (lebih besar dari
IA minimum pada frekuensi 1000Hz:40dB), sehingga suara yang diterima ditelinga kiri
hanya tinggal sebesar 10dB.
7
AC TE (Air Conduction Tested Ear) Kanan, IA (Interaural Attenuation), BC NTE
(Bone Conduction Non Tested Ear) kiri. Rumus : AC TE (kanan) IA = BC NTE
(kiri) 60 50 = 10 terdengar
Gambar 6. Konsep IA
Rumus : AC TE(earphone kiri) IA = BC NTE (choclea kanan)
a. 60-50=10 (sesuai ambang dengar) terdengar
b. 80-50=30 (20dB diatas ambang dengar) terdengar
c. 55-50= 5 (dibawah ambang dengar) tidak terdengar
Nilai IA hantaran udara bervariasi tergantung pada frekuensi dan jenis transduser
yang dipakai (tabel 1).
Tabel 1. Nilai IA 3 jenis transduser pada frekuensi 250-8000 (Stach, 1998)
Frekuensi (Hz)
Supra-aural(TDH49) Insertphone(ER-3A)
Vibrator(BC)
dB
dB
dB
250
40
75
500
40
75
0
1000
40
60
0
2000
45
55
0
4000
50
65
0
8000
50
65
Untuk kemudahan dalam praktek sehari hari dibidang audiologi klinis, Goldstein
dan Newman tahun 2002, mengemukakan nilai IA minimum hantaran udara pada
masking (tabel 3).
Tabel 3. Pedoman nilai IA minimum sebagai panduan indikasi masking pada
pemeriksaan hantaran udara
Frekuensi
125
250
500
1000
2000
4000
8000
Beda dB
Antara kedua telinga
35
40
40
40
45
50
50
9
IA frekuensi tinggi lebih besar daripada IA frekuansi rendah . Besar IA minimum
diarea frekuensi 2000Hz dan diatas 200Hz berkisar antara 40-50dB, sedangkan pada
frekuensi 125Hz hanya 35dB (Katz & Lezynski, 2002).
Nilai minimum IA harus diketahui mengingat keputusan perlu tidaknya dilakukan
masking tergantung pada nilai minimum IA frekunsi yang dites. Stach (1998)
mengemukakan nilai IA yang dapat dipakai sebagai panduan kapan mulai terjadi cross
over hearing berdasarkan pada jenis tranduser yang dipakai dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Besar IA minimum rata-rata 3 jenis transduser sebagai petunjuk kapan
mulai terjadi cros over hearing.
Jenis Transduser
Besar IA
--------------------------------------------------------------------------------------------------Supra-aural earphones
40 dB
Insertphones
50 dB
Bone-conductor vibrator
0 dB
--------------------------------------------------------------------------------------------------Dengan menggunakan supra-aural earphone, cross over hearing akan terjadi apabila
ambang dengar salah satu telinga mencapai ambang BC telinga sisi yang lain sebesar
40db atau lebih.
Apabila menggunakan insert earphone, cross over hearing baru terjadi apabila
nilai IA mencapai minimum 50dB. Cross over hearing pada penggunaan vibrator BC
dapat terjadi setiap saat, oleh karena stimulus tidak mengalami pengurangan/attenuation
pada waktu menyebrang ke telinga sisi yang lain. Jumlah IA pada BC sangat minimal
(dianggap = 0dB), sehingga pemeriksaan BC cenderung lebih memerlukan masking
daripada AC (Stach, 1998; Sataloff et al, 1980).
10
D. Jenis Tes
D.1. Masking pada tes hantaran udara.
Masking harus dilakukan apabila ambang AC di telinga yang sedang dites
melampui nilai IA minimum diatas ambang BC di telinga yang tidak dites. Hal ini sangat
penting untuk difahami dalam mekanisme masking, sekalipun tes yang dilakukan melalui
hantaran udara akan tetapi cross over hearing selalu terjadi melalui hantaran tulang
(Sanders, 1978). Dengan demikian yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan
masking adalah berapa ambang BC (bukan AC) di telinga sisi yang lain/telinga yang
tidak di tes.
D.2. Masking pada tes hantaran tulang.
Pemeriksaan BC lebih mutlak memerlukan masking dibandingkan dengan
pemeriksaan AC (Stach, 1998). Hal ini disebabkan oleh jumlah IA tes hantaran tulang
sangat minimal (nol), sehingga kemungkinan terjadinya cross over hearing pada hantaran
tulang lebih besar.(Hinchcliffe, 1990; Sataloff, 1980; Stach, 1998).
Pada waktu memeriksa BC disalah satu telinga (misalnya ditelinga kiri), stimulus
vibrator yang diletakkan dimastoid kiri tidak hanya merangsang koklea kiri akan tetapi
juga akan merangsang koklea di sisi kanan. Hal tersebut harus selalu diperhatikan dalam
melakukan tes hantaran tulang, bahwa stimulus yang diberikan disalah satu telinga akan
merangsang koklea dikedua sisi telinga. Dengan demikian kemungkinan terjadi cross
over hearing tes hantaran tulang pada gangguan pendengaran unilateral lebih besar
(gambar 8).
11
E. Jenis Transduser.
Mekanisme IA berhubungan erat dengan jumlah vibrasi yang dihantarkan oleh
transduser ke permukaan kepala.
Heeadphone berhubungan dengan area tulang kepala yang lebih luas sehingga
jumlah IA berkurang yang mengakibatkan resiko terjadinya cross over hearing menjadi
lebih besar. Semakin luas area headphone yang berhubungan dengan kepala , semakin
besar transmisi yang dihantarkan melalui vibrasi tulang kepala (Hosford et al., 1986).
Headphone/earphone yang dipakai umumnya jenis TDH 39 dan TDH 49 dengan
supraaural cushion atau circum-aural cushion. Insertphone. Headphone dengan bantalan
berbentuk donat (circumaural cushion) lebih banyak dipakai dalam klinik karena dapat
memberikan ruang lebuh luas apabila telinga ditutup. Jenis headphone tersebut dapat
meningkatkan efek interaural attenuation/IA (Martin 1986; Snyder, 1973) yang dapat
mempengaruhi pemeriksaan hantaran tulang apabila salah satu telinga ditutup dengan
headphone.
Jenis tranduser yang lain adalah insertphone yang mempunyai interaural
attenuation/IA sebesar 20dB lebih besar daripada IA tipe headphone (Clemis et al.,
12
1986). Insertphone menghantarkan vibrasi suara yang berasal dari pengeras suara yang
letaknya terpisah dari bagian yang dimasukkan kedalam liang telinga, melalui pipa yang
relatif panjang. Hanya sebagian kecil dari insertphone yang berhubungan dengan liang
telinga, sehingga jumlah vicbrasi yang dihantarkan melalui tulang kepala juga minimal
(Hosford et al., 1986).
Transduser vibrator bone conduction merangsang kulit dan tulang kepala secara
langsung, sehingga IA sangat minimal dan resiko terjadinya cross over hearing lebih
besar Clemis et al., 1986; Studebaker, 1973)
Stach tahun 1998 mengemukakan nilai IA yang dapat dipakai sebagai panduan
kapan mulai terjadi cross over hearing berdasarkan pada jenis transduser yang dipakai.
Besar interaural attennuation/ IA minimum rata-rata tiga jenis transduser sebagai
petunjuk kapan mulai terjadi cross over hearing : 1). Supra-aural earphones, besar IA
40dB. 2). Insertphones, besar IA 50dB. 3). Bone-conduction vibrator, besar IA 0dB
(Stach, 1998) (Tabel 4)
Gambar 9. Jenis transduser
.
Insert phone B. Circumaural phone C. supra-auralphone
13
F. Jenis suara masking.
Melakukan masking pada nada murni yang efisien perlu dipertimbangkan
beberapa variabel antara lain 1). Spektrum suara masking. 2). Frekuensi yang sedang di
masking 3). Jenis transduser yang dipakai (Katz & Lezynki, 2002; Stach, 1998; Wood,
1993).
Suara masking yang terbaik untuk nada murni adalah suara dengan spektrum
frekuensi yang sama dengan frekuensi yang sedang dites. Pilihan jenis suara masking
perlu pemahaman mengenai konsep Critical bandwidth
Critical bandwidth (spektrum kritis) yaitu frekuensi yang dapat mempengaruhi
kepekaan mendengar di frekuensi yang sedang dites. Spektrum kritis merupakan bagian
dari spektrum bising yang terjadi terus menerus di sekitar suatu nada murni. Dengan
menggunakan sistem filter, suara masking dapat diatur sesuai dengan frekuensi yang
dibutuhkan dengan cara menghilangkan frekuensi dibawah dan diatas batas filter.
Energi pada spektrum kritis akan menentukan berapa besar bunyi yang harus
dimasking. Sound Pressure Level (SPL) di luar spektrum kritis tidak akan mengubah
ambang dengar, malah hanya menambah kekerasan bising.
Jenis suara masking yang tersedia pada alat audiometer umumnya adalah white
noise/broadband noise dan narrowband noise.
1.
energi yang ada pada semua frekuensi yang dapat didengar (berspektrum luas). Masking
jenis white noise/WN distribusi energinya random (rata-rata hampir sama pada semua
frekuensi), analog dengan distribusi cahaya yang warnanya putih. Karena spektrumnya
14
yang luas dan datar, WN mempunyai keterbatasan untuk masking nada murni , karena
masking yang paling efisien adalah sekitar frekuensi yang dimasking.
Dengan memakai white noise yang spektrumnya cukup luas, maka suara-suara
diatas dan dibawah frekuensi yang sedang di tes tidak bermanfaat untuk bisa memasking, tetapi justru dapat menyebabkan gangguan akibat kekerasan suara, sehingga
pasien sering menolak tes selanjutnya karena suara masking yang tidak nyaman didengar
(Martin, 1986; Stundebaker, 1973).
2.
efisien untuk masing audiometri nada murni. Jenis suara masking yang paling efisien
adalah yang dapat menghasilkan pergeseran ambang dengar yang paling besar dengan
intensitas suara masking yang paling kecil.
Hasil penelitian membuktikan bahwa masking yang paling efektif adalah disekitar
frekuensi suara yang dimasking. Sehingga pemakaian broadband noise akan terlalu
banyak frekuensi yang tidak efektif. Narrow band noise bisa didapat dengan
menggunakan sistem filter pada white noise. Band filter sedikit lebih luas dibandingkan
dengan critical band. Secara keseluruhan intensitas narow band noise lebih rendah
daripada white noise. Suara masking jenis narrow band noise
dapat menghasilkan
pergeseran ambang tanpa menimbulkan gangguan akibat intensitas masking yang terlalu
keras (Stundebaker, 1973).
Bising spektrum bicara merupakan bising putih yang sudah disaring (frekuensi
nada tinggi direduksi) sehingga lebih efisien untuk masking selama uji bicara.
15
G. Masking efektif.
Nilai ambang dengar setelah pemberian suara masking di telinga yang sama
dikenal dengan istilah Level Masking Efektif (Effective Masking Level/ EML). Masking
efektif merupakan unit yang dipakai untuk menilai potensi suara masking.
Level Masking Efektif (Effective Masking Level/ EML) adalah besarnya intensitas
bising yang harus diberikan agar tidak terjadi cross hearing. Masking minimum
merupakan nilai minimal yang perlu ditambahkan pada telinga yang tidak diperiksa/dites
sehingga masking bermakna. Masking maksimum adalah nilai maksimal yang digunakan
untuk masking tanpa menyebabkan over masking. Over masking terjadi bila intensitas
bising terlalu keras sehingga terjadi penyeberangan kembali dari telinga yang tidak
diperiksa melalui hantaran tulang.
Konsep masking efektif tidak berhubungan dengan berapa jumlah nilai pergeseran
ambang dengar sebagai akibat pemberian suara masking, akan tetapi merupakan
tingkatan ambang dengar setelah pemberian masking. Penetapan EML sangat penting
karena apabila ada cross hearing ditelinga yang tidak dites, dapat dicegah dengan
menaikkan ambang dengar di telinga yang tidak dites.
Tanpa tergantung pada berapa nilai ambang awal dan berapa besar pergeseran
ambang, setelah pemberian masking efektif sebesar 60dB ditelinga yang sama akan
menggeser ambang dengar menjadi 60dB HL (Hodgson, 1980).
16
Gambar 10. Ilustrasi Pergeseran ambang dengan pemberian masking efektif
sebesar 60dBdisisi telinga yang sama (telinga kanan).
A.
B.
C.
Pada grafik A, telinga normal dengan ambang AC=BC semula 0db HL akan
bergeser menjadi 60dB HL. Gtafik B tuli SNHL: ambang semula AC=BC 40dB HL,
keduanya akan bergeser sebesar 20dB menjadi 60dB HL. Grafik C , karena ada
komponen konduktif sebesar 40dB, maka masking efektif AC dan BC sebesar 60dB akan
bergeser ambang AC dan BC masing masing sebesar 20dB. Kondisi A-B gap yang ada
sebelum dimasking tetap ada setelah pemberian masking efektif. Jadi dapat disimpulkan
bahwa Masking yang diberikan melalui hantaran udara di telinga yang sama, ambang
hantaran udara ketiganya (gambar : grafik A, B dan C) akan bergeser ke ambang yang
sama yaitu ambang masking efektif sebesar 60dB HL.
17
1. Tes hantaran udara.
Intensitas masking awal yang efektif merupakan intensitas masking awal pada saat
mulai terjadi pergeseran ambang dengar ditelinga yang sedang dites. Berdasarkan
penelitian sataloff (1980), intensitas masking awal dapat dilakukan pada intensitas
ambang hantaran udara telinga yang tidak dites + 25dB. Nilai 25dB merupakan hasil
penjumlahan 15dB SL (15dB diatas ambang dengar), yang merupakan nilai intensitas
dimana ambang telinga yang dites mulai bergeser dari ambang semula dan 10dB
merupakan nilai konversi dari hearing threshold level (HTL) ke sound pressure level
(SPL)
2. Tes hantaran tulang.
Masking tes hantaran tulang dimulai pada ambang hantaran udara telinga yang
tidak di tes + 25dB. Apabila telinga yang di masking ambangnya normal atau tuli
sensorineural (SNHL), perlu ditambahkan 15dB pada waktu melakukan masking di
frekuensi 250Hz dan 500Hz dan 10dB pada waktu masking frekuensi 1000Hz, yang
merupakan faktor koreksi efek oklusi pada telinga yang tertutup headphone. Efek oklusi
diatas 1000Hz sangat minimal sehingga tidak perlu dikoreksi. Pada tuli konduktif (CHL)
tidak perlu ditambahkan nilai efek oklusi (Clemis et al, 1986; Studebaker, 1973).
I. Permasalahan.
Apabila ada dugaan telah terjadi cross over hearing, partisipasi telinga yang tidak
dites perlu ditiadakan untuk mengetahui kemungkinan respons tersebut bukan respons
yang sebenarnya ditelinga yang dites, akan tetapi merupakan respons telinga sisi yang
tidak dites..
18
Dalam menghadapi masalah masking, ada beberapa pertanyaan yang mendasar
(Sanders, 1978) : 1. Kapan diperlukan masking? 2. Jenis suara masking apa yang
diperlukan? 3. Berapakah jumlah masking efektif yang diperlukan?
Problem atau fenomena yang sering terjadi selama melakukan masking antara
lain, central masking, efek sumbatan/oklusi dan overmasking.
J. Pembahasan.
Untuk menjawab pertanyaan: kapan dilakukan masking pada pemeriksaan
audiometer nada murni, bukan suatu hal yang mudah. Akan tetapi setelah mengetahui
dasar teori tentang Masking yang tersebut diatas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan
panduan, kapan dilakukan masking.
Pada pemeriksaan audiometer nada murni diperlukan masking: 1). Apabila ada
kecurigaan bahwa pasien kemungkinan mendengar pada telinga yang tidak di periksa. 2).
Apabila ada keraguan tentang kemungkinan terjadi cross hearing. Contoh (gambar 11):
Kondisi yang memerlukan masking pada saat pemeriksaan hantaran udara/AC kiri.
19
Contoh (gambar 12) kondisi yang memerlukan masking pada saat pemeriksaan
hantaran tulang/BC telinga kanan.
20
Masalah overmasking timbul apabila sisi telinga yang akan diberikan suara
masking ada gangguan konduktif, sehingga diperlukan intensitas suara masking yang
lebih besar, mengingat jumlah intensitas masking harus ditambah dengan nilai A-Bgap
telinga yang diberi suara masking.
terjadi apabila didapatkan kenaikan ambang dengar telinga yang sedang dites pada saat
21
tes masking baru dimulai (pada intensitas yang relatif masih rendah atau masih dibawah
intensitas masking yang efektif) (studebaker, 1973).
Masking sentral menjadi masalah bila bising yang diberikan pada telinga yang
tidak diperiksa menyebabkan pendengaran menjadi makin buruk pada telinga yang
diperiksa. Kontaminasi sistem saraf pusat diduga berhubungan dengan hambatan
pendengaran setinggi olivokoklea.
Mekanisme central masking diduga karena efek hambatan oleh saraf eferen
.auditorius. Besar central masking berkisar 5-15 dB, pada umumnya sekitar 5dB (Martin,
1986; Snyder, 1973) sehingga tidak perlu dikoreksi.
iii. Efek sumbatan (Oclussion effect)
Efek sumbatan adalah tekanan bunyi tambahan
Pada saat pemeriksaan tes hantaran tulang, vibrator diletakkan pada tulang
mastoid dengan kondisi kedua liang telinga terbuka. Waktu pemeriksaan masking telinga
yang tidak dites tertutup oleh headphone yang dipakai untuk menghantarkan suara
masking. Hal tersebut dapat menyebabkan kenaikan ambang dengar ditelinga yang
22
tertutup headphone karena efek oklusi (untuk frekuensi 250-1000Hz), yang perlu
dipertimbangkan sebelum mulai pemeriksaan dengan masking (Sander, 1978).
Pada saat telinga dipasang earphone (saat memberikan masking untuk hantaran
tulang), maka dapat terjadi perubahan pada respons hantaran tulang. Sensitivitas fisiologi
tidak berubah, namun bunyi ekstra masuk kedalam koklea, sehingga terjadi respons
ambang dengar hantaran tulang yang lebih rendah. Bunyi tersebut terhalang keluar dari
liang telinga karena tertutup earphone sehingga bunyi akan melewati membran timpani
dan masuk ke koklea.
Bila telinga yang tidak diperiksa normal atau mengalami tuli sensorineural, maka
efek oklusi merupakan faktor yang berpengaruh. Bila telinga yang tidak diperiksa
terdapat A-B gap, maka tidak diperlukan tambahan efek oklusi.
Efek oklusi sering didapati dalam klinik audiologi pada saat melakukan tes
hantaran tulang dengan masking. Dianjurkan untuk mengulang menilai ambang hantaran
tulang setelah headphone atau insertphone untuk masking terpasang, sebelum
pemeriksaan dengan masking dimulai (Martin, 1986; Wood, 1993). Besar efek oklusi
tergantung pada frekuensi yang sedang dites.
Dilema Masking
Dilema masking terjadi apabila beda antara ambang AC di satu telinga dan
ambang BC di telinga sisi yang lain mencapai nilai IA. (beda antara ambang AC disatu
telinga dan ambang BC ditelinga sisi yang lain mencapai nilai IA).
23
24
Mengatasi dilema masking tergantung derajat gangguan pendengaran, kondisi
liang telinga dan membrana timpani dan dapat diatasi dengan bantuan : 1. Garpu tala, Tes
bing berdasarkan pada efek oklusi dengan tes weber secara audiometrik, 2.menggunakan
inserphone masker, 3.tes elektroakustik imitans.impedans, dan 4.metoda SAL
(Sensorineural Acuity Level).
klinik
audiologi
dikenal
dua
metode
making:
metode
psikoakustik/plateau/Hood dan metode formula, akan tetapi Katz dan Lezynsky tahun
2002, menganjurkan metode step masking yang lebih cepat daripada metode plateau,
kecuali ada indikasi untuk memakai metode plateau.
Kenaikan intensitas masking metode psikoakustik/plateau/Hood hanya 5-10dB
setiap kali, metode step masking memakai kenaikan intensitas yang lebih besar (20dB)
sehingga waktu tes lebih cepat.
i. Simbol masking pada grafik audiogram
25
26
Gambar 17 : Skema yang menggambarkan metode plateau
27
Apabila intensitas suara masking setelah mencapai plateau dinaikkan lagi, dapat
mengakibatkan kenaikan ambang dengar ditelinga yang sedang dites, yang dikenal
dengan overmasking.
iii.Metode formula.
Metode ini tidak digunakan dalam praktek sehari-hari, akan tetapi bagi seorang
residen yang sedang stase audiometri (pemula di bidang audiologi klinis) sangat
bermanfaat sebagai panduan untuk menilai berapa jumlah masking minimum dan
masking maksimum untuk menghindari kondisi undermasking dan overmasking.
Masking minimum (Mmin) merupakan jumlah intensitas yang diperlukan untuk
menggeser ambang BC telinga yang dites, sehingga telinga yang tidak dites tidak ikut
berpartisipasi mendengar stimulus dengan mempertimbangkan nilai IA. Masking
maksimum (Mmaks) merupakan intensitas terbesar yang boleh dipakai, tanpa menggeser
ambang telinga yang sedang dites dengan mempertimbangkan nilai IA. Karena jalur
cross over akibat overmasking melalui hantaran tulang, maka nilai masking maksimum
selama tes AC dan BC sama
Metode formula banyak dikemukakan dalam kepustakaan Amerika. Ada 2
formula masking yakni formula masking untuk tes hantaran udara dan formula masking
untuk hantaran tulang.
1. Formula masking untuk tes hantaran udara.
Masking minimum (Mmin) sama dengan ambang AC ditelinga yang dites (At)
dikurangi nilai IA ditambah jumlah A-B gap telinga yang tidak dites atau telinga yang
memberikan suara masking (Am=ambang AC telinga yang tidak dites dikurangi Bm=
ambang BC telinga yang tidak dites). Mmin = At 40 + (Am - Bm).
28
Masking maksimum (Mmaks) sama dengan ambang BC telinga yang dites
ditambah dengan IA. Mmaks = Bt + 40. catatan: Mmaks < UCL (uncomfortable loudness
level)
Nilai IA minimum untuk semua frekuensi yang dipakai dalam metode formula :
40dB
2. Formula masking untuk hantaran tulang.
Masking minimum (Mmin): hantaran tulang telinga yang dites(Bt) ditambah
dengan ambang AC telinga yang tidak dites(Am) dikurangi ambang BC telinga yang
tidak dites (Bm). Masking minimum: Bt + (Am - Bm)
Masking maksimum: jumlah ambang BC telinga yang dites ditambah nilai IA.
Mmaks = Bt + 40. (dengan catatan Mmax < UCL (uncomfortable loudness level)
iv. Metode step masking.
Katz dan Lezynnsky (2002) menganjurkan metode step masking yang lebih cepat
dari metode plateau, kecuali ada indikasi untuk memakai metode plateau. Kenaikan
intensitas masking metode plateau anya 5-10 dB setiap kali, step masking memakai
kenaikan intensitas yang lebih besar 20dB sehingga waktu tes lebih cepat (tabel 6 dan
tabel 7).
Tabel 6. Kriteria kapan diperlukan masking tambahan/subsequent masking/submask
(Kats dan Lezynsky, 2002). Kriteria setelah pemberian masking awal. (apabila
ambang ditelinga yang tidak dites bergeser setelah pemberian masking awal
(EML 30 dB SL) jumlah pergeseran ambang ditelinga yang dites
menunjukkan indikasi perlu/tidaknya masking tambahan/submask)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------Pergeseran ambang dengan EML 30dB SL
Perlu/Tidaknya submask
0 10 dB
tidak perlu
15 dB
kemungkinan tidak perlu
20 dB
kemungkinan perlu
25 dB
perlu
29
30
audiometer output maksimum hantaran tulang pada frekunsi 250Hz berkisar antara 30-50
dB.
Dengan demikian perlu diperhatikan dalam melakukan interpretasi hasil
audiogram sensorineural berat (gambar 18) pada frekuensi 1000Hz keatas dan gambaran
A-B gap di area frekuensi rendah (250-500Hz). Hal tersebut bukan berarti ada masalah
konduktif diarea frekuensi rendah akan tetapi subyek memberikan respons BC pada
frekuensi rendah karena sensasi vibrotaktil. Kepastian tidak adanya A-B gap dapat
dibuktikan dengan tes elektroakustik impedans bahwa sebenarnya memang tidak ada A-B
gap di area frekuensi tersebut.
31
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Stach BA.1998. Masking. Dalam: Clinical Audiology. 2nd ed. Singular Publ Group
Studebaker GA. 1973. Auditory Masking. Dalam: Jeger (Ed) Modern Development in
Audiology. 2nd ed. Acad Press.Newyork.
Wood S. 1993. Pure tone audiometry. Dalam: McGormick,B(Ed). Paediatric Audiology
0-5 years. 2nd ed. Whurr Publ.London