Anda di halaman 1dari 39

1

AUDIOMETRI IMPENDANS

I. PENDAHULUAN

Audiologi adalah ilmu pendengaran yang meliputi evaluasi pendengaran dan

rehabilitasi individu dengan masalah komunikasi sehubungan dengan gangguan

pendengaran. Audiologi terbagi atas: audiologi dasar dan audiologi khusus. Di

mana audiologi dasar adalah ilmu pengetahuan mengenai nada murni, bising,

gangguan pendengaran, serta cara pemeriksaannya. Pemeriksaan biasanya

dilakukan dengan tes penala, tes berbisik, dan audio nada murni. Sedangkan

audiologi khusus diperlukan untuk membedakan tuli sensorineural koklea dengan

retrokoklea, tes untuk tuli anorganik, audiologi anak, audiologi industri1.

Pemeriksaan pendengaran dapat meningkatkan presisi dalam mendiagnosis

fokus patologis penyakit-penyakit spesifik. Pasien-pasien dengan penyakit berbeda

pada daerah yang sama (misal ketulian dan sindrom Meniere, keduanya

melibatkan koklearis) melaporkan pengalaman pendengaran yang berbeda dan

akan memberikan temuan audiometri yang berbeda pula. Itulah perlunya kita

menentukan jenis ketulian melalui tes pendengaran, agar kita dapat mendeteksi

lokalisasi kerusakan bagian telinga yang menjadi penyebabnya1,2

Audiometri adalah pengukuran pendengaran dengan audiometer. Timpanometri

merupakan suatu pemeriksaan fungsi telinga tengah. Pemeriksaan ini akan menyajikan

grafik pemeriksaan yang berkaitan dengan hubungan antara tekanan udara di telinga luar

dan impedansi membran telinga. Secara tidak langsung, pemeriksaan ini dapat menilai
2

mobilisasi dari membran timpani serta tulang-tulang osikular pada tekanan udara yang

berbeda-beda. Pemeriksaan ini dilakukan dengan merekam secara terus-menerus

impedansi telinga tengah sebagaimana tekanan udara secara sistematis mengalami

peningkatan dan penurunan2.

Audiometri Impedans adalah suatu pemeriksaan kelainan pada telinga tengah,

kelenturan dari gendang telinga, refleks akustik serta pemeriksaan fungsi dari tuba

eustachius yang bersifat objektif, dan dapat dikerjakan pada subjek yang tidak

kooperatif mulai dari bayi sampai penderita usia lanjut2.

II. ANATOMI TELINGA

Telinga mempunyai reseptor khusus untuk mengenali getaran bunyi dan untuk

keseimbangan. Ada tiga bagian utama dari telinga manusia, yaitu bagian telinga

luar, telinga tengah, dan telinga dalam3.

Gambar 1. Anatomi telinga6.

a. Telinga Luar
3

Telinga luar dibentuk oleh aurikula dan meatus akustikus eksternus.

Aurikula dibentuk oleh kartilago yang bersatu dengan pars kartilagineus

meatus akustikus eksternus. Fungsi aurikula mengarahkan getaran masuk ke

dalam meatus akustikus eksternus. Sedangkan meatus akustikus eksternus

merupakan suatu saluran, terbuka di bagian luar dan di bagian inferior

dibatasi oleh membran timpani, ukuran panjang 2,5 cm, terdiri dari pars

kartilagineus ( bagian lateral) dan pars osseus di bagian medial ( bagian

medial). Batas antara pars kartilagineus dan pars osseus menyempit,

dinamakan isthmus. Pars kartilagineus berbentuk konkaf ke anterior. Di

dalam lapisan submukosa terdapat glandula seruminosa yang memproduksi

serumen4

b. Telinga Tengah

Telinga tengah terdiri dari membran timpani, tuba Eustachius, ossikula

auditiva, antrum dan cellulae mastoidea. Memiliki empat dinding, atap, dan

dasar. Oleh karena itu bisa disederhanakan dalam diagram sebagai kotak

terbuka, dengan4:

- batas luar : membran timpani

- batas depan : tuba eustachius

- batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

- batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

- batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)


4

- batas dalam berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi

sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong

(oval window), tingkap bundar (round window) dan

promontorium5,6.

Membran timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan

menandai batas lateral telinga, Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis

normalnya berwarna kelabu mutiara dan translusen7.

Tuba auditorius atau tuba Eustachius mempunyai ukuran panjang kira-

kira 36 mm, letak melengkung membentuk sudut 45 derajat dengan bidang

sagital dan sudut 30-40 derajat dengan bidang horizontal. Tuba ini terdiri dari

pars ossea dan pars kartilaginis. Pars osseus merupakan bagian dengan

panjang 13 mm, berada di bagian lateral (pars lateralis) dan terletak di dalam

pars petrosa tulang temporalis. Pars kartilagineus merupakan bagian

dengan panjang 24 mm, terletak di bagian medial (pars medialis), bermuara ke

dalam nasofaring, membentuk torus tubarius di sebelah dorsal orificium

pharingium tuba auditiva. Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1 mm,

panjangnya sekitar 35 mm, menghubungkan telinga ke nasofaring.

Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat terbuka akibat kontraksi otot

palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap atau menelan.

Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan menyeimbangkan tekanan

dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer8,9.


5

Gambar 2.Membran timpani 9

Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi

ossikula (tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke

nasofaring berhubungan dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid

tulang temporal. Bagian ini merupakan rongga yang berisi udara untuk

menjaga tekanan udara agar seimbang5,8.


6

Gambar 3. Cavum Tympani11.

Selain itu terdapat pula tiga tulang pendengaran yang tersusun seperti

rantai yang menghubungkan gendang telinga dengan jendela oval. Ketiga

tulang tersebut adalah tulang martil (maleus) menempel pada gendang telinga

dan tulang landasan (inkus). Kedua tulang ini terikat erat oleh ligamentum

sehingga mereka bergerak sebagai satu tulang. Tulang yang ketiga adalah

tulang sanggurdi (stapes) yang berhubungan dengan jendela oval. Antara


7

tulang landasan dan tulang sanggurdi terdapat sendi yang memungkinkan

gerakan bebas. Ossikula dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan

ligamen, yang membantu hantaran suara10.

Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran.

Otot tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonya

berjalan mula-mula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah

tonjol tulang kecil untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke

lateral untuk berinsersi ke dalam gagang maleus. Tangkai maleus terus

menerus tertarik ke dalam oleh ligamentum dan oleh M. tensor timpani, yang

mempertahankan membran timpani berada dalam tegangan. Hal ini

memungkinkan getaran suara pada bagian membran timpani manapun

dihantarkan ke maleus yang tidak akan terjadi bila membran lemas. Tendo

otot stapedius berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding

posterior dan berjalan anterior untuk berinsersi ke dalam leher stapes, dan

menstabilkan hubungan antara stapedius dengan jendela oval12,13.

Ketika bunyi yang bising ditransmisikan melalui sistem ossikular dan

dari sana ke dalam sistem saraf pusat, suatu refleks terjadi setelah periode

laten selama hanya 40 sampai 80 millidetik untuk menyebabkan kontraksi dari

otot stapedius dan, berkurangnya luas otot tensor timpani. Otot tensor

timpani menarik tangkai malleus ke dalam sementara otot stapedius menarik

stapes ke luar. Kedua gaya ini saling berlawanan satu sama lain dan dengan

demikian menyebabkan seluruh sistem ossikuler mengembangkan rigiditas


8

yang meningkat, demikian besar mengurangi konduksi ossikuler dari bunyi

frekuensi rendah, utamanya frekuensi di bawah 1000 cycle per detik12. Respon

ini disebut refleks akustik, yang membantu melindungi telinga dalam yang

rapuh dari kerusakan karena suara. Kedua otot ini mengurangi proses mekanik

telinga tengah. Pengertiannya adalah sebagai berikut, jika telinga kita

menerima suara sangat keras (intensitas > 80 dB) maka kemungkinan gerakan

mekanik osicular chain akan sangat progresif yang dapat merusak struktur

oval window telinga dalam. Sehingga saat intensitas suara mencapai nilai di

atas, otot stapedius secara refleks akan berkontraksi untuk membatasi gerakan

stapes. Meskipun fungsi utama refleks akustik ini adalah proteksi, ia juga

meningkatkan mekanisme kontrol yang mempertahankan input suara ke

telinga dalam (koklea) lebih konstan, dan memperluas rentang dinamik sistem

telinga tengah, sebagai contoh: otot stapedius tercatat juga berkontraksi saat

seseorang mengunyah dan bersuara (vokalisasi), sehingga dapat mereduksi

bising yang timbul akibat gerakan-gerakan yang berasal dari dalam tubuh

sendiri.Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-getaran

berfrekuensi tinggi14,15.

Ada dua jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah,

yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki

menjejak pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela

bulat memberikan jalan ke getaran suara. Jendela bulat ditutupi oleh

membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes ditahan oleh yang agak tipis,
9

atau struktur berbentuk cincin. Anulus jendela bulat maupun jendela oval

mudah mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan dari dalam dapat

mengalami kebocoran ke telinga tengah, kondisi ini dinamakan fistula

perilimfe8.

Gambar 4.Ossikula Auditiva11

c. Telinga Dalam

Telinga dalam mengandung labyrinthus dan terdiri dari tiga buah

kanalis semisirkularis di posterior, vestibulum di tengah dan koklea di

anterior. Pada telinga tengah terdapat meatus akustikus internus dan porus

akustikus internus. Labyrinthus memiliki bagian vestibuler (pars superior)

yang berhubungan dengan keseimbangan dan bagian koklear (pars inferior)

yang merupakan organ pendengaran. Pada irisan melintang koklea tampak

skala vestibuli di bagian atas, skala timpani di bagian bawah, dan skala media

di antaranya. Pada skala media terdapat bagian berbentuk lidah yang disebut
10

membran tektoria. Bagian atas adalah skala vestibuli yang berisi perilimfe

dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membran Reissner yang tipis.

Bagian bawah adalah skala timpani yang juga mengandung perilimfe dan

dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis osseus dan membran

basillaris7.

d. Nerfus Fasialis

Nervus fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi

untuk motorik sensorik somatik, dan aferen eferen visceral7.

Nervus fasialis mengandung 4 macam serabut, yaitu:

1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.levator

palpebrae (N.III)), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan

stapedius di telinga tengah.

2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivarius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,

rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar serta sublingual dan

lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.

4. Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa

raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh n.trigeminus.

Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang tindih) ini
11

terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian luar gendang

telinga.

Tabel 1 Nervus fasialis8

Nama Komponen Asal Fungsi

Saraf fasialis Brankial eferen Nukleus fasialis Otot-otot ekspresi

wajah: M.platisma,

m.stilohioideus,

m.digastrikus

Saraf intermediat Viseral eferen Nukleus Nasal, lakrimal,

salivatorius kelenjar liur

superior (sublingual dan

submandibular)

Viseral aferen Ganglion genikuli Pengecapan 2/3

special anterior lidah

Somatik aferen Ganglion genikuli Telinga luar, bagian

kanalis auditorius,

permukaan luar

membran timpani

(sensibilitas)
12

Nervus intermediate, nervus fasialis, dan nervus vestibulokoklearis berjalan

bersama ke lateral ke meatus akustikus internus. Di dalam meatus akustikus internus,

nervus fasialis dan intermediate berpisah dengan nervus vestibulokoklearis7.

Nervus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis kemudian ke

ganglion geniculatum. Pada ujung kanalis tersebut, nervus fasialis keluar kranium

melalui foramen stilomastoideus7.

III. FISIOLOGI PENDENGARAN

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.

Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah

melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui

daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani

dan tingkap lonjong. Fisiologi fungsional jendela oval dan bulat memegang peran

yang penting. Jendela oval dibatasi oleh anulare fieksibel dari stapes dan membran

yang sangat lentur, memungkinkan gerakan penting, dan berlawanan selama stimulasi

bunyi, getaran stapes menerima impuls dari membran timpani bulat yang membuka

pada sisi berlawanan duktus koklearis dilindungi dari gelombang bunyi oleh

membran timpani yang utuh, jadi memungkinkan gerakan cairan telinga dalam oleh

stimulasi gelombang suara. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang

mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran

basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
13

menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sebagai transduser

mekanis, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik

dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga

melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial

aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks

pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis4,16.

Berbeda dengan sistem hantaran telinga luar yang berupa pipa penyalur bunyi

ke membran tympani, sistem hantaran telinga tengah di samping merambatkan, juga

memperkuat daya dorong getaran bunyi5. Perkuatan daya dorong getaran bunyi oleh

sistem hantaran atau sistem konduksi dihasilkan oleh 2 mekanisme, yaitu:

1. Rasio antara membran timpani dibanding luas fenestra ovalis sebesar 17:1,

yang memberikan perkuatan sebesar 17 kali dari bunyi aslinya di udara.

2. Efek pengungkit dari maleus dan inkus yang menyumbangkan momentum

perkuatan daya sebesar 1,3 kali3.

Pada membran timpani utuh yang normal, suara merangsang jendela oval

dulu, dan terjadi jeda sebelum efek terminal stimulasi mencapai jendela bulat. Namun

waktu jeda akan berubah bila ada perforasi pada membran timpani yang cukup besar

yang memungkinkan gelombang bunyi merangsang kedua jendela oval dan bulat

bersamaan. Ini mengakibatkan hilangnya jeda dan menghambat gerakan maksimal

motilitas cairan telinga dalam dan rangsangan terhadap sel-sel rambut pada organ

Corti. Akibatnya terjadi penurunan kemampuan pendengaran15.


14

Pendengaran dapat terjadi dalam dua cara. Bunyi yang dihantarkan melalui

telinga luar dan tengah yang terisi udara berjalan melalui konduksi udara. Suara yang

dihantarkan melalui tulang secara langsung ke telinga dalam dengan cara konduksi

tulang. Normalnya, konduksi udara merupakan jalur yang lebih efisien; namun

adanya defek pada membrana timpani atau terputusnya rantai osikulus akan

memutuskan konduksi udara normal dan mengakibatkan hilangnya rasio tekanan-

suara dan kehilangan pendengaran konduktif4.

IV. TIMPANOMETRI

Pada tahun 1946, Otto Metz secara sistematis mengevaluasi akustik imitans dari

telinga normal dan abnormal. Metz menerangkan dengan jelas perubahan-perubahan

akustik imitans yang dihubungkan dengan gangguan-gangguan di telinga tengah.

Pengembangan alat elektroakustik sederhana oleh Terkildsen dan Scott-Nielson pada

tahun 1960 telah memberikan banyak kemajuan, sehingga alat pengukur ini dapat

digunakan dengan mudah di klinik. Selanjutnya pada awal 1970, pengukuran imitans

mulai dimasukkan ke dalam rangkaian tes audiometri rutin17.

Istilah akustik imitans digunakan untuk merujuk kepada baik masuknya akustik

(Kemudahan dengan yang mana energi mengalir melalui suatu sistem) atau

impedansi akustik (perlawanan total terhadap aliran energi udara). Pengukuran

akustik imitans digunakan secara klinis baik sebagai alat screening dan diagnostik

untuk identifikasi dan klasifikasi gangguan perifer (khususnya telinga tengah) dan

sentral dan dapat digunakan sebagai alat untuk memperkirakan sensitivitas

pendengaran secara obyektif. Pengukuran akustik imitans yang paling sering


15

digunakan secara klinis termasuk timpanometri dan pengukuran reflex stapedial.

Timpanometri mengukur akustik imitans di dalam kanal telinga sebagai fungsi dari

variasi dalam tekanan udara17.

Karakteristik imitansi (impedansi dan/atau masuk) dari sistem telinga tengah

dapat disimpulkan secara obyektif dengan teknik elektropsikologi cepat dan

noninvasif dan kemudian terkait dengan pola yang sudah dikenal baik untuk berbagai

temuan jenis lesi telinga tengah. Tympanometry adalah rekaman terus-menerus

impedansi telinga tengah sebagaimana tekanan udara di kanal telinga

secara sistematis meningkat atau menurun. Awalnya di pengujian, volume saluran

telinga diperkirakan. Jika melebihi 2 cm3, kemungkinan perforasi dari membran

timpani harus dipertimbangkan. Sebuah sistem telinga tengah

dengan impedansi rendah (masuk tinggi) lebih mudah menerima

energi akustik, sedangkan telinga tengah dengan impedansi tinggi (masuk rendah)

cenderung untuk menolak energi akustik. Dalam timpanogram itu, pemenuhan statis

(kekakuan yang resiprokal) dari komponen telinga tengah diplot sebagai fungsi dari

tekanan dalam saluran telinga3.

Pada pemeriksaan audiometri impedans diperiksa kelenturan membrane timpani

dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna dan didapatkan istilah4:

a. Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani.

Misalnya ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular

chain), kekakuan membrane timpani dan membran timpani yang sangat lentur.
16

b. Fungsi tuba Eustachius (Eustachian tube function), untuk mengetahui tuba

Eustachius terbuka atau tertutup.

c. Refleks stapedius. Pada telinga normal, refleks stapedius muncul pada

rangsangan 70-80 dB di atas ambang dengar.

Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks stapedius menurun, sedangkan

pada lesi di retrokoklea, ambang itu naik4.

Audiometri hambatan telah dianggap semakin penting artinya dalam

rangkaian pemeriksaan audiologi. Timpanometri merupakan alat pengukur tak

langsung dari kelenturan (gerakan) membrana timpani dan sistem osikular dalam

berbagai kondisi tekanan positif, normal, atau negatif. Energi akustik tinggi

dihantarkan pada telinga melalui suatu tabung tersumbat; sebagian diabsorpsi dan

sisanya dipantulkan kembali ke kanalis dan dikumpulkan oleh saluran kedua dari

tabung tersebut. Bila telinga terisi cairan, atau bila gendang telinga menebal, atau

sistem osikular menjadi kaku, maka energi yang dipantulkan akan lebih besar

dari telinga normal. Dengan demikian jumlah energi yang dipantulkan makin

setara dengan energi insiden. Hubungan ini digunakan sebagai sarana pengukur

kelenturan15.
17

Gambar 6. Timpanometer15

Timpanometer adalah alat yang digunakan dalam pemeriksaan

timpanometri. Pada dasarnya alat pengukur impedans terdiri dari 4 bagian yang

semuanya dihubungkan ke liang telinga tengah oleh sebuah alat kedap suara,

sebagai berikut:

A. Oscilator : Alat yang menghasilkan/memproduksi bunyi/nada bolak-balik

(biasanya 220 Hz), suara yang dihasilkan tersebut masuk ke earphone dan

diteruskan ke liang telinga.

B. Sebuah mikrofon dan meter pencatat sound pressure level dalam liang telinga.

C. Sebuah pompa udara dan manometer yang dikalibrasi dalam milimeter air (-

600 mmH2O s.d +1.200 mmH2O). Suatu mekanisme untuk mengubah dan

mengukur tekanan udara dalam liang telinga

D. Compliancemeter : untuk menilai bunyi yang diteruskan melalui mikrofon17


18

Gambar 7.Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan

Timpanometri17

Energi akustik tinggi dihantarkan pada telinga melalui suatu tabung

bersumbat, sebagian diabsorbsi dan sisanya dipantulkan kembali ke kanalis dan

dikumpulkan oleh saluran dari kedua tabung tersebut17.

Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah.

Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di

telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif15.

A. CARA PEMERIKSAAN

Probe, setelah dipasangi tip yang sesuai, dimasukkan ke dalam liang

telinga sedemikian rupa sehingga tertutup dengan ketat. Mula-mula ke dalam

liang telinga yang tertutup cepat diberikan tekanan 200 mmH2O melalui

manometer. Membrana timpani dan untaian tulang-tulang pendengaran akan


19

mengalami tekanan dan terjadi kekakuan sedemikian rupa sehingga tak ada

energi bunyi yang dapat diserap melalui jalur ini ke dalam koklea. Dengan kata

lain, jumlah energi bunyi yang dipantulkan kembali ke dalam liang telinga luar

akan bertambah15.

Tekanan kemudian diturunkan sampai titik di mana energi bunyi diserap

dalam jumlah tertinggi; keadaan ini menyatakan membran timpani dan untaian

tulang pendengaran dalam compliance yang maksimal. Pada saat compliance

maksimal ini dicapai, tekanan udara dalam rongga telinga tengah sama dengan

tekanan udara dalam liang telinga luar. Jadi tekanan dalam rongga telinga tengah

diukur secara tak langsung15.

Tekanan dalam liang telinga luar kemudian diturunkan lagi sampai -400

mmH2O. Dengan demikian akan terjadi lagi kekakuan dari membrana timpani

dan untaian tulang-tulang pendengaran, sehingga tak ada bunyi yang diserap, dan

energi bunyi yang dipantulkan akan meningkat lagi2.

Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans yang banyak

digunakan dalam menilai fungsi telinga tengah secara klinis, di samping imitans

statik dan ambang refleks akustik17.

B. CARA KERJA IMPEDANS METER

Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang dimasukkan

ke dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan frekuensi 220 Hz. Alat

lainnya mendeteksi respon dari membran timpani terhadap nada tersebut17.


20

Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga menghadirkan

berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam liang

telinga. Jumlah energi yang dipancarkan berhubungan langsung dengan

compliance. Compliance menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah.

Sebagai contoh, lebih banyak energi yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih

sedikit energi yang diterima oleh membran timpani. Hal ini menggambarkan

suatu compliance yang rendah. Compliance yang rendah menunjukkan kekakuan

atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang didapat membentuk sebuah

gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran timpani. Pada telinga normal,

kurva yang timbul menyerupai gambaran lonceng17.

Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila tekanan

udara sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga yang normal,

penghantaran maksimum terjadi pada atau mendekati tekanan atmosfir. Itulah

sebabnya ketika tekanan udara di dalam liang telinga sama dengan tekanan udara

di dalam kavum timpani, imitans dari sistem getaran telinga tengah normal akan

berada pada puncak optimal dan aliran energi yang melalui sistem ini akan

maksimal. Tekanan telinga tengah dinilai dengan bermacam-macam tekanan

pada liang telinga yang ditutup probe sampai sound pressure level (SPL) berada

pada titik minimum. Hal ini menggambarkan penghantaran bunyi yang

maksimum melalui telinga tengah. Tetapi bila tekanan udara dalam salah satu

liang telinga lebih dari (tekanan positif) atau kurang dari (tekanan negatif)

tekanan dalam kavum timpani, imitans sistem akan berubah dan aliran energi
21

berkurang. Dalam sistem yang normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di

bawah atau di atas dari tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum,

aliran energi akan menurun dengan cepat sampai nilai minimum17.

Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum, SPL

nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan sebuah

penurunan dalam penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah17.

C. INTERPRETASI

Timpanogram adalah suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan

relative sistem timpanoosikular sementara tekanan udara liang telinga diubah-

ubah. Kelenturan maksimal diperoleh pada tekanan udara normal, dan berkurang

jika tekanan udara ditingkatkan atau diturunkan. Individu dengan pendengaran

normal atau dengan gangguan sensoneural akan memperlihatkan sistem timpani-

osikular yang normal17.

Liden (1969) dan Jerger (1970) mengembangkan suatu klasifikasi

timpanogram. Tipe-tipe klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut1:

1. Tipe A

terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.

mempunyai bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik

0 daPa dan penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah

negatif atau positif. Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat


22

tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan udara telinga tengah

yang normal.

Gambar 8.Timpanogram Normal17

2. Tipe As.

Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang

berparut.

Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak

berada atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang

secara signifikan berkurang. Huruf s di belakang A berarti

stiffness atau shallowness.

Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar,

tapi kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan

sistem osikular seringkali dihubungkan dengan tipe As.


23

Gambar 9.Timpanogram Tipe As17

3. Tipe Ad.

Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau

diskontinuitas (kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang

pendengaran.

Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan

puncak lebih tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf

d di belakang A berarti deep atau discontinuity.

Kelenturan maksimum yang sangat tinggi terjadi pada tekanan

udara sekitar, dengan peningkatan kelenturan yang amat cepat saat

tekanan diturunkan mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe

Ad dikaitkan dengan diskontinuitas sitem osikular atau suatu

membrana timpani mono metrik.


24

Gambar 10.Timpanogram Tipe Ad17

4. Tipe B

Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung

mendatar, atau sedikit membulat yang paling sering dikaitkan

dengan cairan di telinga tengah (kavum timpani), misalnya pada

otitis media efusi. ECV dalam batas normal, terdapat sedikit atau

tidak ada mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak

tetapi ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada

membran timpani17.
25

Gambar 11.Timpanogram Tipe B17

5. Tipe C

Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan

malfungsi dari tuba Eustachius.

Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan

negatif di luar -150 mm H2O indikatif ventilasi telinga tengah

miskin karena tabung estachius disfungsi. Pola timpanometrik,

dalam kombinasi dengan pola audiogram, ijin diferensiasi antara

dan klasifikasi gangguan telinga tengah.


26

Gambar 12.Timpanogram Tipe C17

Suatu timpanogram berbentuk huruf W dihubungkan dengan parut atrofik pada

membrana timpani atau dapat pula suatu adhesi telinga tengah, namun biasanya

membutuhkan nada dengan frekuensi yang lebih tinggi sebelum dapat

didemonstrasikan.17

V. FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

Tuba Eusthasius menghubungkan telinga tengah dan tenggorokan yang

mempunyai tujuan menyeimbangkan tekanan udara ditelinga tengah dan luar serta

merupakan ventilasi pada telinga tengah. Tes ETF / Fungsi Tuba Eusthasius dapat

digunakan untuk mengetahui jika fungsi tuba eusthasius normal3.

Terdapat 3 fungsi tuba Eustachius dalam memelihara fungsi telinga tengah

yaitu fungsi ventilasi, fungsi drainase dan fungsi proteksi3.


27

1. Fungsi ventilasi

Tuba Eustachius berfungsi mempertahankan tekanan udara sebesar 1 atmosfer

di dalam kavum timpani sama dengan tekanan udara luar agar system timpani-osikula

dapat berfungsi dengan sempurna. Secara fisiologis tuba Eustachius bekerja pada

tekanan 0-500 mm H2O. Pada keadaan normal lumen tuba Eustachius hampir selalu

tertutup dan baru terbuka ketika menelan atau menguap, sehingga kavum timpani

merupakan ruang tertutup berisi udara. Tekanan udara di kavum timpani berangsur-

angsur turun karena absorbs oksigen oleh mukosa kavum timpani, yang

mengakibatkan tekanan di kavum timpani lebih rendah dari pada tekanan udara di

dalam nasofaring. penurunan tekanan udara dapat terjadi pada 30 sampai 65 H2O

dalam satu jam bila tuba Eustachius tertutup terus. Pembukaan tuba Eustachius dapat

terjadi secara aktif dan pasif. Pembukaan lumen tuba Eustachius secara aktif terjadi

akibat kontraksi muskulus tensor veli palatine pada saat menelan, menguap atau

mengunyah sehingga udara dari nasofaring dapat masuk ke kavum timpani. Adanya

fungsi ventilasi maka perubahan tekanan udara di dalam kavum timpani dapat

diseimbangkan kembali dengan terbukanya tuba Eustachius secara periodik. Pada

orang dewasa gerakan menelan terjadi sekali dalam satu menit dan dalam keadaan

tidur terjadi sekali dalam 5 menit, sedangkan pada bayi frekuensinya lebih sering.

tuba Eustachius baru terbuka setelah 5 sampai 15 kali menelan dan lamanya tuba

Eustachius terbuka antara 0,21 sampai 0,6 detik3.

Pembukaan tuba Eustachius secara pasif terjadi bila tekanan udara di dalam

telinga tengah lebih tinggi. Dalam keadaan normal tuba Eustachius tidak dapat
28

menyesuaikan tekanan negative dalam telinga tengah tanpa pembukaan secara aktif

oleh aktifitas otot. aliran udara di dalam lumen tuba Eustachius lebih mudah dari

telinga tengah ke nasofaring dari pada sebaliknya3.

Cara mengalirkan udara dari nasofaring ke telinga tengah pada pembukaan

tuba Eustachius secara aktif ada dua cara: 1) terjadi pemisahan dinding tuba

Eustachius secara lengkap, sehingga lumen terbuka sepanjang tuba Eustachius, 2)

udara bergerak sepanjang lumen tuba Eustachius menuju telinga tengah sebagai

gelembung-gelembung udara, mirip bolus makanan dalam esophagus3.

2. Fungsi drainase

Mukosa kavum timpani dan tuba Eustachius memiliki sel-sel yang

menghasilkan secret. Dengan fungsi drainase tuba Eustachius mengalirkan secret

akibat aktivitas sel epitel kolumnar bersilia pada mukosa tuba Eustachius dari kavum

timpani kearah nasofaring3.

3. Fungsi proteksi

Pada keadaan normal tuba Eustachius hampir selalu dalam keadaan tertutup,

sehingga akan menghalangi sekret dan kuman dari nasofaring masuk ke dalam kavum

timpani.

Gangguan fungsi tuba eustachius dapat menyebabkan perubahan patologis di

telinga tengah seperti gangguan pendengaran dan komplikasi lain seperti otitis media.

disfungsi tuba eustachius yang berlangsung lama akhirnya dapat berkembang menjadi

kolesteatoma dan dapat menyebabkan komplikasi yang berpotensi serius3.


29

VI. REFLEKS AKUSTIK

Salah satu fungsi telinga tengah adalah pengubah impedansi suara, Struktur

telinga tengah yang dapat menyebabkan perubahan impedansi terhadap suara, salah

satunya melalui kontraksi m. tensor timpani dan muskulus stapedius15.

Muskulus tensor timpani dan stapedius menimbulkan kontraksi pada osikula

saat telinga terpapar suara dengan intensitas tinggi. Muskulus stapedius akan menarik

stapes menjauhi tingkap oval dari kokhlea,sementara muskulus tensor timpani

menarik maleus pada membran timpani. Hal ini disebut refleks akustik telinga

tengah17.

Refleks akustik menurunkan transmisi energi getaran yang diteruskan ke

kokhlea, dimana energi getaran diubah menjadi impuls listrik untuk diproses di otak.

Refleks akustik normal terjadi pada paparan suara dengan intensitas relatif tinggi.

Aktivasi refleks karena rangsangan suara dengan intensitas rendah menunjukkan

disfungsi dari telinga, sementara ketiadaan refleks menandakan sensorineural hearing

loss15.

B. Fisiologi Refleks Akustik

Muskulus stapedius berkontraksi oleh aktivasi suara dengan intensitas tinggi

dan berfungsi membatasi amplitudo stapes. Kontraksi m. stapedius tidak

menyebabkan pergerakan membran timpani yang dapat diamati tetapi dapat

meningkatkan impedansi akustik telinga tengah sehingga dapat dicatat dengan

mengukur perubahan impedansi telinga. Kontraksi ini disebut sebagai refleks

stapedius yang merupakan refleks akustik telinga tengah17.


30

Hasil kontraksi kedua muskulus ini menggerakan struktur telinga tengah

(maleus dan stapes) kearah yang berbeda atau bersifat antagonis tetapi merupakan

sistem kerja yang sinergis karena kekuatan kontraksi digunakan pada osikula tegak

lurus terhadap axis rotasi primer dari rantai osikula. Efek utama kontraksi ini

menjadikan sistem transmisi telinga tengah lebih sulit dan tidak seefektif transmisi

pada suara normal. Kontraksi dari kedua muskulus ini diaktivasi oleh suara keras,

sebelum dan selama vokalisasi (berbicara ataupun berteriak), mengunyah dan

menguap sama seperti kontraksi yang dikarenakan respon terhadap aktivasi bersifat

akustik yang dihasilkan suara dengan intensitas tertentu. Refleks yang baik penting

untuk perlindungan terhadap kerusakan pendengaran karena paparan suara.

Pengukuran refleks akustik bermanfaat untuk diagnosa neurotologi karena melibatkan

telinga, sistem saraf auditori asenden menuju nukleus superior olivary complex

(SOC) dan arcus efferent reflex yang melibatkan motonukleus nervus kranialis serta

sebagian besar bagian sentral nervus kranialis. Pengurangan intensitas oleh karena

kontraksi muskulus ini kurang lebih sekitar 5-14 dB (sampai 20 dB) pada kebisingan

dengan intensitas tinggi dan 2-5 dB untuk suara dengan intensitas rendah. Fungsi lain

dari kontraksi ini melemahkan suara frekuensi rendah (bersifat masking). Refleks

bertindak mensupresi suara pelan sehingga transmisi suara yang mengalami

perubahan intensitas cepat tidak berpengaruh. Fungsi ini bersama-sama dengan fungsi

N. VIII. Respon terjadi pada kedua telinga saat satu telinga terpapar oleh suara

dengan intensitas tertentu, dimana respon oleh telinga yang mendapat stimulasi lebih

kuat dibandingkan respon telinga kontralateral. Refleks akustik sebagai respon


31

adaptasi terhadap stimulasi terus-menerus selama 15 menit. Penurunan refleks secara

bertahap terjadi pada paparan kebisingan dengan waktu lama. Desensitisation

Desensitisasi (seperti pada percakapan) dapat dijaga karena kontraksi muskulus

telinga tengah mengurangi inteferensi ketika sedang makan, berbicara, berteriak15,17.

3. Jalur Refleks Akustik Telinga Tengah

Refleks akustik mulai dari input pada N. VIII dan berakhir output pada N. VII.

Arkus refleks stapedius melibatkan kokhlea, nervus auditori, ventral cochlear nucleus

(VCN), trapezoid body, superior olivary complex (SOC/MSO) dan motonukleus

nervus kranialis V15.

Bagian refleks akustik yang bersifat sensori berasal dari stimulasi kokhlea

melalui nervus auditori (N. VIII) menuju sisi ipsilateral ventral cochlear nucleus.

Arkus refleks akustik diteruskan oleh neuron dari ventral cochlear nucleus melewati

trapezoid body menuju dua jalur ipsilateral dan dua jalur kontralateral.

Jalur ipsilateral berasal dari VCN menuju nukleus fasialis, dimana motorneuron dari

nervus fasialis (N. VII) meneruskan ke muskulus stapedius pada sisi yang sama dari

stimulus oleh neuron menuju nukleus nervus fasialis ipsilateral dimana motorneuron

N. VII mengaktivasi muskulus stapedius ipsilateral. Jalur kontralateral berasal dari N.

VIII kemudian menuju VCN menyeberang melewati trapezoid body menuju SOC

kontralateral,dilanjutkan pada nukleus N. VII dan pada muskulus stapedius17.


32

3. Pemeriksaan Fungsi Refleks Akustik Telinga Tengah

Penilaian refleks akustik melibatkan paparan stimulus suara bising atau nada

murni untuk menimbulkan refleks muskulus stapedius. Perubahan immitance pada

telinga dimonitor menggunakan alat timpanometri. Pengukuran refleks akustik

telinga tengah dinilai melalui pemeriksaan impedance audiometri15.

a. Respon tes refleks akustik

Respon refleks akustik sebagai peningkatan impendance atau penurunan dari

admittance selama pemeriksaan digambarkan berupa respon monophasic. Respon

normal dapat berupa biphasic dengan penurunan singkat pada awal onset respon

diikuti peningkatan impedance. Gambaran lain yaitu penurunan impedance pada awal

dan akhir onset respon. Gambaran ini merupakan respon biphasic abnormal yang

dijumpai pada otosklerosis terutama pada tahap awal, sindroma Cogans, fiksasi

stapes kongenital, osteogenesis imperfecta. Respon double biphasic tidak normal

dihubungkan dengan perubahan elastisitas dari stapes dan ligamen anular yang

berpengaruh terhadap fiksasi parsial dari basis stapes pada tingkap oval. Pada kondisi

tertentu respon biphasic pada awal dan akhir respon dianggap normal apabila

didapatkan respon ini pada probe tone dengan frekuensi 600 s/d 700 Hz. Pada

otosklerosis pola abnormal terjadi di semua frekuensi15.

Pola hasil pengukuran refleks akustik yaitu:

1. Normal

Acoustic reflex threshold (ART) ipsilateral normal menggambarkan tidak ada

gangguan komponen konduksi pada telinga yang mendapat stimulus. ART


33

kontralateral normal menggambarkan tidak ada gangguan komponen konduksi pada

telinga yang mendapat stimulus dan yang di ukur. Refleks positif baik ipsilateral

maupun kontralateral terjadi pada sensorineural hearing loss derajat ringan sampai

sedang dan menunjukkkan kedua jalur refleks sebagian besar utuh. Jalur kontralateral

yang terukur tidak menyediakan informasi yang mengarah pada sensorineural hearing

loss pada telinga yang tidak mendapat stimulus (telinga kontralateral)15.

2. Refleks akustik negatif

Refleks akustik negatif dapat dijumpai pada penderita dengan timpanogram tipe

B, beberapa penderita dengan timpanogram tipe A dan sensorineural hearing loss

berat15.

3. Acoustic reflex threshold

Acoustic reflex threshold (ART) merupakan level terendah stimulus suara yang

dapat memunculkan respon refleks akustik berupa perubahan dari acoustic

immittance yang dapat diukur. Paparan stimulus diatas ART juga menghasilkan

respon refleks akustik. Secara klinis refleks akustik di periksa pada frekuensi 500,

1000 dan 2000 Hz, kadang menggunakan Broad Band Noise (BBN). Pemeriksaan

pada frekuensi 4000 Hz tidak direkomendasikan karena pada usia muda dengan

pendengaran normal, akan terjadi elevasi ART dan kemungkinan mengarah pada

adaptasi cepat (rapid adaptation). Untuk kepentingan skrening pemeriksaan biasanya

menggunakan frekuensi 1000 Hz. Instrumen yang dipergunakan sebaiknya cukup

sensitif untuk mendeteksi respon refleks yang dimunculkan oleh BBN kurang lebih

60 dB SPL (sound pressure level)15,17.


34

ART normal rata- rata berkisar antara 60- 100 dB SPL (rata-rata 70-90 dB)

untuk stimulasi dengan nada murni dan kurang lebih 20 dB untuk stimulasi dengan

BBN. Tidak didapatkan perbedaan signifikan antara ART pada laki-laki dan wanita.

Magnitudo refleks kontralateral pada usia muda (20-an) lebih besar dibanding usia

lanjut (70-an)17.

4. Acoustic reflex decay

Acoustik reflex decay (Adaptation) merupakan pengurangan magnitudo dari

respon refleks akustik selama paparan dari stimulus terus menerus sampai 50 %

selama paparan 10 detik (gambar 6). Acoustic reflex decay lebih sering diukur pada

jalur kontra lateral karena pada jalur ipsilateral lebih sedikit terjadi. Acoustic reflex

decay dihubungkan dengan kelainan retrokokhlea misalnya pada vestibuler

schwanoma17.

5. Acoustic reflex latency

Acoustic Reflex Latency merujuk pada lama waktu yang dibutuhkan untuk

terjadinya refleks akustik setelah paparan stimulus. Penundaan pemunculan respon

diukur dari onset stimulus sampai awal munculnya respon. Pengertian awal respon

adalah saat dimana immittance berdeviasi dari prestimulus baseline atau pada saat

perubahan immittance mencapai 10 % dari nilai maksimum.. Acoustic reflex latency

normal pada kelainan kokhlea dan usia 50 th-an serta memanjang (lebih dari 200 ms)

pada kelainan retrokokhlea dan usia 60 th-an. Acoustic reflex latency normal adalah

12 ms apabila kontraksi muskulus stapedius diukur langsung dengan elektromiografi


35

dan pengukuran tidak langsung kurang lebih 107 ms (40-180 ms).17

b. Arti klinis Perubahan Refleks Akustik Telinga Tengah

1. Kelainan Konduksi

Kelainan konduksi menyebabkan peningkatan dari ART atau respon

refleks akustik negatif. Refleks akustik negatif muncul sebagai respon yang

tidak dapat dihasilkan pada level stimulus tertinggi, khususnya pada 125 dB HL

untuk pemeriksaan kontralateral. Prinsip stimuli telinga pada kelainan konduksi

adalah pengurangan level stimuli yang mencapai kokhlea oleh sejumlah air-

bone gap. Sebagai hasilnya, ART menjadi naik oleh besaran air-bone gap

tersebut dan negatif bila peningkatannya melebihi level stimulus maksimum.

Gangguan pada refleks akustik tergantung pada jenis kelainan konduksi dan

struktur konduktif telinga yang terlibat4.

2. Kelainan Sensorineural

Pada kelainan sensorineural, ART mengalami perubahan yang bervariasi

dan tergantung pada letak lesi4.

3. Kelainan Retrokokhlea

ART pada kelainan retrokokhlea berhubungan dengan peningkatan refleks

akustik telinga tengah, biasanya refleks menghilang pada stumulus maksimum.

Didapatkan pula acoustic reflex decay dan acoustic reflex latency4.

4. Kelainan Susunan Saraf Pusat

Kelainan refleks akustik dihubungkan dengan kelainan intra-axial

brainstem, karena kelainan pada tempat ini seringkali merusak salah satu atau
36

kedua jalur refleks akustik yang menyilang. Kelainan ART, magnitudo

(acoustic reflex decay) dan waktu aktivasi dilaporkan pada penyakit

demyelinisasi seperti multiple sclerosis dan kelainan neuromuskular (misalnya :

Miastenia Gravis), vestibular schwanoma, acoustic neuroma. Kelainan diatas

jalur refleks (cortical lession) tidak menimbulkan perubahan pada refleks

akustik telinga tengah4 .

Kelainan nervus facialis : Jalur N. VII dimulai dari brainstem melalui

internal auditory canal dan keluar melewati bagian telinga dalam sebelum

berakhir pada daerah wajah. Lokasi cedera tersering adalah pada foramen

stilomastoid, dimana sebelum pada tempat inilah N. VII masuk memberi

cabang inervasi untuk muskulus stapedius. Perjalanan anatomi ini dapat

menjelaskan apabila kelainan N. VII berupa Bells palsy (idiophatic peripheral

facialis nerve palsies) maka refleks akustik bisa normal. Kelumpuhan nervus

fasialis yang berhubungan dengan akustik neurinoma pada daerah sebelum

telinga dalam maka terdapat kelainan refleks akustik telinga tengah4

VII. MANFAAT AUDIMETRI IMPEDANS DALAM KLINIK

Audiometri Impedans adalah suatu pemeriksaan untuk menilai kelainan pada

telinga tengah. Prosedur pada pemeriksaan ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari

penderita dan biasanya digunakan pada anak-anak7.

Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus

menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa
37

diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara

yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga5.

Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa7:

- penyumbatan tuba eustakius (saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan

hidung bagian belakang)

- cairan di dalam telinga tengah

- kelainan pada rantai ketiga tulang pendengaran yang menghantarkan suara melalui

telinga tengah.

Timpanometri juga bisa menunjukkan adanya perubahan pada kontraksi otot

stapedius, yang melekat pada tulang stapes (salah satu tulang pendengaran di telinga

tengah). Dalam keadaan normal, otot ini memberikan respon terhadap suara-suara

yang keras/gaduh (refleks akustik) sehingga mengurangi penghantaran suara dan

melindungi telinga tengah. Jika terjadi penurunan fungsi pendengaran neural, maka

refleks akustik akan berubah atau menjadi lambat8.


38

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p. 30,46

2. Sedjawidada R. Uraian Singkat Audiologi. Bagian Ilmu Penyakit Telinga,

Hidung, dan Tenggorokan. Fakultas Kedokteran Unhas. Makassar. Hal 1-

4,13-16.

3. Grimes T, et al. Audiologi: Ballenger J.J. In: Penyakit Telinga, Hidung,

Tenggorokan, Kepala, Leher. Binarupa Aksara. Grogol, Jakarta. Indonesia.

1997. p. 273-280.

4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta; Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p 15-18,27

5. Bauman R, Dutton S. Human Anatomy and Physiology. Whittier Publications

Inc. Lido Beach New York. 1996. p. 187-190.

6. Nursecerdas. Anatomi Fisiologi Telinga [cited 2016 januari]. Available from

URL: http://nursecerdas.wordpress.com/2009/02/05/217/

7. Netter. Atlas of Netter [online] 2010 [cited on 2016 januari]. Available from

URL: http://www.netterimages.com/image/265.htm

8. Faiz, O. & Moffat, D. At a Glance Anatomi. Erlangga Medical Series. Jakarta.

2004. p. 153
39

9. Netter. Atlas of Netter [online] 2010 [cited on 2016 january]. Available from

URL: http://www.netterimages.com/image/439.htm .

10. Guyton & Hall. Textbook of Medical Physiology Eleventh

Edition.Mississippi; Elsevier Saunders; 2006. p. 652

11. Jusuf AA. Diktat Kuliah Sistem Pendengaran. Bagian Histologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2003. p. 3.

12. Berne RM, Levy BM, Stanton BA. Physiology Fifth Edition. Mosby.

Virginia. 2004. p.133.

13. Hidayat, B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan


Stadium Tumor pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THT-
KL RSUP H. Adam Malik Medan [online] 2009 [cited 2016 januari].
Available from URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6424/1/09E01722.pdf
14. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, et al. Cummings Otolaryngology

Head & Neck Surgery Fourth Edition.

15. Snow JB. Diagnostic Audiology, Hearing Aids, and Habilitation Options. In:

Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. BC

Decker. Hamilton. London. 2002. p. 3-4

16. Grason-Stadler.GSI TympStar Version 2 Middle-Ear Analyzer [online] 2010

[cited 2016 januari]. Available from URL:

http://www.msrwest.com/gsi/tstar.pdf

17. Khoriyatul. Timpanometri [online] 2010 [cited on 2016 january].Available

from URL: http://khoriyatulj.multiply.com/journal

Anda mungkin juga menyukai