Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Parkinson disease merupakan suatu penyakit syaraf yang disebabkan oleh
degenerasi sel saraf pada ganglia basalis dan sel-sel tertentu di substansia nigra
batang otak yang menghasilkan dopamin. Dopamin berfungsi dalam mengatur
gerakan normal.
Penyakit ini sering terjadi pada usia di atas 60 tahun, dan dapat terjadi pada pria
dan wanita.

Penyakit ini dapat mengurangi kualitas hidup penderitanya, karena

penyakit ini akan memberikan gejala klinis seperti kaku, lambat, sulit berjalan, dan
lain sebagainya. Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti sampai sekarang.
Di Indonesia sendiri tidak terdapat data mengenai prevalensi penyakit tersebut.
Data prevalensi parkinson di Indonesia belum ada, namun populasi di Amerika,
hampir 60 ribu dari 1 juta orang didiagnosa parkinson setiap tahunnya. Parkinson
merupakan penyebab kematian ke 14 di Amerika, walaupun penyakit ini tidak fatal.
Kurang dari 15% penderita di bawah 50 tahun, rata-rata penderita parkinson berusia
lebih dari 69 tahun.
Saat ini penyakit parkinson lebih jarang ditemui, namun penyakit ini harus dapat
dikenali karena memiliki gambaran yang khas, dan penatalaksanaan secara adekuat
diperlukan untuk mempertahankan kualitas hidup penderitanya. Oleh karena itu
referat ini dibuat untuk menggambarkan secara singkat mengenai penyakit tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Ganglia Basalis


Ganglia basalis merupakan bagian dari sistem motorik. Nuklei utama ganglia
basalis adalah nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus yang semuanya
terletak pada substansia alba subkortikalis telensefali. Nuklei tersebut
berhubungan satu dengan lainnya, dan dengan korteks motorik, dalam sirkuit
regulasi yang kompleks. Nuklei tersebut memberikan efek eksitatorik dan
inhibitorik pada korteks motorik. Struktur ini memberikan peran penting pada
inisiasi dan modulasi pergerakan serta pada kontrol tonus otot. Lesi pada ganglia
basalis dan pada nuklei yang lain yang memiliki fungsi berkaitan, seperti
substansia nigra dan nukleus subtalamikus, dapat menimbulkan impuls yan
berkaitan dengan pergerakan yang kurang atau berlebih, dan/atau perubahan
patologis tonus otot. Salah satu gangguan pada ganglia basalis yang tersering
adalah parkinson yang memberikan tanda berupa rigiditas, akinesia dam tremor
pada penderitanya (Baehr M, Frotscher M, 2007).
Pengontrol gerakan tertinggi adalah korteks serebri, yang sinyalnya di
transmisikan oleh jaras piramidalis ke nuklei nervi kranialis motorik dan ke selsel kornu anterior medula spinalis (sistem piramidalis). Struktur tambahan lain
yang juga berperan dalam mengontrol gerakan adalah ganglia basalis dan di
anggap sebagai struktur mayor untuk kontrol pergerakan karena struktur ini
menyediakan hubungan langsung dan paling banyak antara korteks dan neuron
motorik batang otak dan medula spinalis (Baehr M, Frotscher M, 2007).

Gambar 1. Anatomi Ganglia Basalis (Baehr M, Frotscher M, 2007)


1. Peran ganglia basalis pada sistem motorik berdasarkan aspek filoginetik
Korpus striatum merupakan pusat kontrol yang penting untuk sistem
mototrik. Pusat motorik tertua sistem saraf pusat adalah medula spinalis dan
aparatus primitif formasio retikularis di tektum mesensefali. Pada perjalanan
filogeni, paleostriatum (globus palidus) merupakan struktur selanjutnya yang
berkembang, dan kemudian disusul neostriatum (nukleus kaudatus dan
putamen) yang membesar paralel dengan korteks serebri. Nepstriatum
terutama berkembang dengan baik pada mamalia tingkat tinggi termasuk
manusia. Seiring dengan bertambah besarnya struktur-struktur yang secara
filogenetik lebih baru, struktur yang tua menjadi berada di bawah pengaruh
struktur baru dengan tingkat yang semakin bertambah. Pusat neural yang lebih
tua adalah yang terutama berperan untuk mempertahankan tonus otot normal
dan untuk kurang lebihnya kontrol gerakan otomatis.
Ketika korteks serebri berkembang, pusat mototrik yang secara filogenetik
lebih tua (paleostriatun dan neostriatum) semakin dipengaruhi oleh kontrol
motorik yang baru, yaitu sistem piramidalis. Pada manusia gerakan motorik
seluruhnya bergantung pada sistem pirmidalis yang intak. Perkembangan
filogenetik manusia telah mencapai titik bahwa pusat neural yang lebih tua
tidak dapat lagi mengompensasi hilangnya fungsi struktur terbaru. Namun,

bahkan pada manusia, ekstremitas yang mengalami parsis spastik masih dapat
terlihat melakukan gerakan involunter, yang disebut gerakan terasosiasi, yang
ditimbulkan oleh pusat motorik yang lebih tua (Baehr M, Frotscher M, 2007).
2. Komponen Ganglia Basalis dan Hubungan-hubungannya
a) Nuklei
Ganglia basalis meliputi semua nukleus yang berkaitan secara
fungsional di dalam substansia alba telensefali yang terletak dalam dan
secara embriologis berasal dari eminensia ganglionika (pars anterior
vesikulae telensefali). Nuklei utama ganglia basalis adalah nukleus
kaudatus, putamen dan sebagian globus palidus, nuklei lain yang
dianggap sebagai bagian ganglia basalis berdasarkan latar belakang
embriologis adalah klaustrum dan amigdala. Amigdala berhubungan
dengan sistem limbik yang mengontrol emosi seseorang. Fungsi
kalustrum sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun seperti
amigdalah bagian ini tidak memiliki hubungan langsung dengan
ganglia basalis lainnya.
Nukleus kaudatus membentuk bagian dinding ventrikel lateral,
berbentuk

melengkung

akibat

rotasi

telensefalon

pada

masa

perkembangan embrio. Kaput nukleus kaudatus membentuk dinding


lateral ventrikel lateral, bagian kaudalnya membentuk atap kornu
inferior ventrikel lateral di lobus temporalis membentang

hingga

amigdala yang terletak di ujung anterior kornu inferior. Bagian rostral


(kaput) nukleus kaudatus berhubungan dengan putamen.
Putamen terletak di lateral globus palidus menyelubunginya seperti
tempurung dan membentang melebihi globus palidus baik di bagian
rostrl maupun kaudal. Putamen dan globus palidus dipisahkan oleh
lapisan tipis substansia alba yang disebut lamina medularis medialis.
Nukleus kaudatus dan putamen dihubungkan oleh jembatan kecil
substansia grisea dalam jumlah banyak. Akibatnya kedua nuklei ini
secara bersama-sama memiliki nama lain yaitu korpus striatum.
Globus palidus merupakan nuklei utama ketiga ganglia basalis dari
segmen internal dan eksternal (pars interna dan pars eksterna). Karena
4

globus palidus secara filogenetik lebig tua daripada nuklei lainnya,


struktur ini juga disebut paleostriatum. Sebagian sari struktur ini
secara embriologis merupakan bagian dari diensefalon. Putamen dan
globus palidus secara bersama-sama membentuk nukleus lentiformis
atau nukleus lentikularis.
Nukleus asosiasi secara fungsinal berkaitan erat dengan ganglia
basalis antara lain dua nuklei mesensefalisubstansia nigra (secara
timbal balik berhubungan dengan striatum) dan nukleus ruber serta
nukleus diensefali, nukleus subtalamikus (secara timbal balik
berhubungan dengan globus palidus).
3. Hubungan-hubungan Ganglia Basalis
a. Jaras aferen
Jaras aferen ke korpus striatum. Korpus striatum menerima input
aferen dari area korteks serebri yang luas, terutama area mototrik lobus
frontalis, yaitu area broadman 4 dan 6. Aferen kortikal ini berasal dari
proyeksi neuron korteks serebri (sel-sel piramidalis lapisan kelima
korteks), bersifat glutamatergik, berjalan ipsilateral dan terorganisasi
secara topis. Kemungkinan tidak ada serabut yang berjalan bolak-balik
dari korpus striatum kembali ke korteks. Input aferen lanjutan titiktitik ke korpus striatum kembali ke korteks. Input aferen selanjutnya
dari titik ke titik ke korpus striatum berasal dari nukleus
sentromedianus talami, dan kemungkinan eksitatorik. Jaras aferen ini
menghantarkan impuls dari serebelum dan formasio retikularis
mesensefali ke striatum. Substansia nigra mengirimkan serabut aferen
dopaminergik ke striatum, hilangnya serabut ini menyebabkan
penyakit parkinson. Striatum juga menerima input seretonergik dari
nuklei raphes.
Jaras aferen lainnya, globus palidus juga menerima sebagian besar
input afrennya dari korpus striatum dan tidak menerima serabut aferen
langsung dari korteks serebri. Namun, serabut aferen yang berasal dari
korteks berjalan ke substansia nigra, nukleus ruber, dan nukleus

subtalamikus.
b. Jaras Eferen
Jaras eferen korpus striatum, proyeksi utama korpus striatum
berjalan ke segmen intena dan eksterna globus palidus. Serabut eferern
lain berjalan ke pars kompakta dan pars retikulata substansia nigra.
Sel-sel tempat asal serabut aferen striatal merupakan neuron yang
bersifat GABAergik, jenis terbanyak di striatum.
Jaras eferen globus palidus. Sekumpulan besar serabut eferen
berjalan ke talamus yang kemudian berproyeksi ke korteks serebri,
melengkapi lengkung umpan balik.
Parkinson di tandai oleh degenerasi neuron dopaminergik di
substansia nigra yang berproyeksi ke striatum (Baehr M, Frotscher M,
2007).
4. Peran Ganglia Basalis pada sirkuit Regulatoris
Ganglia basalis dan hubungan aferen dan eferennya merupakan bagian
integral kompleks sirkuit regulatoris yang mengeksitasi dan menginhibisi
neuron korteks motorik. Transmisi neural di dalam sirkuit ini disebut menurut
istilah

anatomi

yang

dilewati

sepanjang

perjalanan

impuls,

serta

neurotransmitter dan reseptor tertentu yang terlibat pada setiap sinaps. Salah
satu sirkuit penting yang menghantarkan impuls di sepanjang dua jaras yang
berbeda dari korteks, melalui korpus striatum , ke globus palidus dan
kemudian ke talamus dan kembali ke korteks.
Jaras kortiko-striato-palido-talamo-kortikalis, korteks motorik dan
sensorik mengirimkan proyeksi yang terorganisasi ke striatum yang
menggunakan neurotransmiter eksitatorik, glutamat. Setelah striatum, ganglia
basalis dibagi menjadi dua, dikenal sebagai jaras langsung dan jaras tidak
langsung.
Jaras langsung bersifat GABAergik dan berjalan dari striatum ke globus
palidus medialis. Dari palidum jaras tersebut berlanjut ke neuron
glutamatergik talamus selanjutnya kembali ke korteks serebri.
Jaras tidak langsung menggunakan neurotransmitter GABA dan enkefalin,
berjalan dari striatum ke globus palidus lateralis. Dari tempat ini berlanjut ke
6

nukleus subtalamikus yang kemudian mengirimkan proyeksi glutamatergik ke


globus palidus medialis. Perjalanan jaras tidak langsung selanjutnya seperti
jaras langsung yaitu dari talamus kembali ke korteks serebri.
Didapatkan kesimpulan dari kombinasi neurotransmitter inhibitorik dan
eksitatorik yang digunakan oleh kedua jaras secara keseluruhan, efek
stimulasi jaras langsung korteks serebri adalah eksitatorik, sedangkan
stimulasi jaras tidak langsung adalah inhibitorik.

Gambar 2 . Diagram skematik dari jalur neurotransmiter pada sirkuit cortical-basal


ganglia-thalamik (garis biru bertindak sebagai eksitatori dan garis hitam
sebagai inhibisi).

5. Fungsi dan Disfungsi Ganglia Basalis


Ganglia basalis berperan sebagai proses motorik, termasuk ekspresi, emosi
serta integrasi impuls motorik dan sensorik dan pada proses kognitif. Ganglia
basalis melakukan fungsi motoriknya secara tidak langsung melalui
pengaruhnya pada area pramotor, motro, dan suplementer korteks serebri.
Fungsi utama ganglia basalis menyangkut inisiasi dan fasilitasi gerakan
volunter, dan supresi simultan pengaruh involunter atau tidak diinginkan yang
dapat mengganggu gerakan halus dan efektif.
Ganglia basalis juga menggunakan umpan balik propioseptif dari perifer
untuk membandingkan pola atau program gerakan yang ditimbulkan oleh
korteks motorik dengan gerakan yang diinisiasi, sehingga gerakan mengalami
penghalusan oleh mekanisme servo-kontrol berkelanjutan (Baehr M,
Frotscher M, 2007).
Defisit khas ganglia basalis menimbulkan berbagai jenis gangguan
tergantung pada lokasi dan luasnya.
Gangguan klinis yang melibatkan ganglia basalis terlihat dalam defisiensi
pergerakan (hipokinesia) atau gerakan berlebihan (hiperkinesia, korea,

atetosis, balismus).
Abnormalitas tonus otot umumnya menyertai abnormalitas kedua tipe di
atas tetapi dapat juga menjadi manifestasi tunggal atau dominan pada

disfungsi ganglia basalis (distonia).


B. Parkinson
1. Definisi
Penyakit parkinson pertama kali dikenalkan oleh Dr. James Parkinson
pada tahun 1817. Parkinson merupakan penyakit yang disebabkan oleh
gangguan pada sistem saraf yaitu terjadinya degenerasi sel-sel saraf pada
ganglia basalis dan hilangnya sel-sel tertentu pada substansia nigra batang
otak. Sel-sel ini menghasilkan dopamin yang bertanggung jawab

untuk

mengkoordinasikan gerakan normal. Akibat berkurangnya dopamin, maka


daerah yang menerima rangsang dopamin yaitu striatum tidak cukup
dirangsang, mengakibatkan timbulnya gerakan abnormal seperti tremor,
kelambatan, kekakuan, gangguan keseimbangan, dan lain-lain (American

Parkinson Disease Assocoation, 2010).


Parkinsonisme adalah gangguan yang melibatkan sistem ekstrapiramidal
yang disebabkan oleh hilangnya neuron berisi dopamin di substansia nigra
dan nukleus berpigmen lainnya. Hal ini menyebabkan menurunnya kadar
dopamin dalam saraf terminal traktus nigrostriatal. Pengurangan dopamin di
area tersebut mengacaukan keseimbangan normal dopamin (penghambat) dan
asetil kolin (pembangkit) yang memberikan gambaran klinis pada penyakit ini
(Hartwig MS, 2012).
2. Etiologi
Penyebab pasti parkinson belum diketahui secara pasti. Menurut American
Parkinson Disease Assocoation, parkinson disebabkan oleh berbagai macam
faktor penyebab, yaitu
1. Genetik vs lingkungan
Beberapa ahli percaya bahwa penyebab penyakit ini adalah paparan
bahan kimia yang belum teridentifikasi pada makanan, udara, atau air
dengan genetik kerentanan terhadap bahan kimia yang diturunkan, namun
hal ini masih menjadi perdebatan, lebih utama penyebab paparan bahan
kimia atau genetik kerentanan bahan kimia yang diturunkan yang dapat
menyebabkan penyakit ini.
2. Hipotesis lingkungan
Hipotesis ini muncul pada tahun 1980-an, ketika para pengguna
narkoba suntikan di Kalifornia memberikan gambaran klinis menyerupai
PD (parkinson disease). Para pengguna narkoba tersebut membuat bahan
suntikan dengan racikan sendiri yang menyerupai heroin, dan
menghasilkan zat sampingan metil-fenil-tetrahidropiridine (MPTP).
MPTP dapat merusak substansia nigra, sama halnya dengan yang terjadi
pada PD. Berdasarkan penelitian MPTP juga dapat dihasilkan dari
penggunaan pestisida kuat seperti gramoxone atau paraquat yang masih
digunakan secara luas pada beberapa negara. Pada beberapa penelitian,
penderita PD merupakan petani, oleh karena itu hipotesis ini dijadikan
faktor penyebab PD.
3. Hipotesis genetik

Beberapa ahli mengatakan bahwa faktor lingkungan tidak dapat


menyebabkan PD tanpa didasari oleh faktor genetik. Berdasarkan
penelitian, seseorang akan berpotensi menderita PD 10 kali jika memiliki
orang tua atau saudara kandung yang juga menderita PD. Gen yang
bertanggung jawab menyebabkan penyakit ini belum diketahui, namun
hal ini mendukung hipotesis lingkungan, yaitu gen ini menyebabkan
seseorang rentan terhadap paparan kimia yang dapat menyebabkan PD.
3. Epidemiologi
Parkinson dapat terjadi pada pria dan wania dengan perbandingan yang
sama, walaupun pada beberapa negara parkinson lebih sering terjadi pada
pria. Gejala yang timbul dapat terjadi pada usia berapapun, meskipun jarang
pada usia kurang dari 40 tahun. Gejala biasanya muncul pada usia 60-70
(American Parkinson Disease Assocoation, 2010).
Data prevalensi parkindson di Indonesia belum ada, namun populasi di
Amerika, hampir 60 ribu dari 1 juta orang didiagnosa parkinson setiap
tahunnya. Parkinson merupakan penyebab kematian ke 14 di Amerika,
walaupun penyakit ini tidak fatal. Kurang dari 15% penderita di bawah 50
tahun, rata-rata penderita parkinson berusia lebih dari 69 tahun.
4. Manifestasi Klinis
Tanda penting parkinson yaitu adanya rigiditas, tremor (saat istirahat),
akinesia atau bradikinesia, dan hilangnya refleks tubuh. Disfungsi ini
berlangsung kronik dan progresif (Hartwig MS, 2012).
Rigiditas berbeda dengan spastisitas pada lesi UMN. Rigiditas hanya
terjadi pasa satu kelompok otot dan terutama unilateral atau dapat menyebar
dan bilateral. Parkinson menurunkan kekuatan dan kecepatan otot, dan
merupakan penyebab utama deformitas. Jika rigiditas melibatkan trunkus,
maka posisi tubuh dan gaya berjalan pasien menjadi abnormal. Pasien
membungkuk ketika berdiri sehingga dagu maju jauh ke depan daripada ibu
jarinya. Berjalan sambil menyeret kaki, terburu-buru, langkah yang semakin
cepat

seperti

bila

tersandung

kedepan

dan

mencoba

untuk

cepat

mengembalikan kaki mereka pada osisi semula (festinating gait).


10

Tremor pada penderita parkinson terutama terjadi saat istirahat, ketika otot
menegang untuk melakukan tindakan bertujuan biasanya tremor berhenti.
Tremor yang melibatkan tangan disebut pill rolling dan mengakibatkan
gerakan ritmis ibu jari, beberapa jari lainnya. Tremor diakibatkan oleh
kontraksi bergantian reguler pada otot yang berlawanan. Degenerasi ganglia
basalis

menyebabkan

hilangnya

dopamin

sebagai

penghambat

dan

meningkatkan timbal balik berbagai sirkuit yang yang dapat berakibat dalam
osilasi. Tremor biasanya diperburuk oleh emosi, stres, dan lelah.
Pasien dapat mengalami akinesia, yaitu penurunan gerakan spontan dan
kesulitan dalam memulai gerakan yang baru dan spontan. Bradikinesia
ditandai dengan gerakan yang melambat secara abnormal, misalnya lambat
dalam mengenakan pakaian, berbicara, mengikat tali sepatu dan lain-lain.
Gejala ini snagat jelas terlihat ketika paseien berjalan, berbicara atau menulis.
Gejala lain yang juga dapat terlihat adalah mikrografia, yaitu tulisan tangan
yang semakin lama semakin kecil dan tidak dapat diartikan. Bradikinesia juga
menyebabkan kurangnya ekspresi atau mimik muka dan kedipan kelopak
mata sehingga muka menjadi seperti topeng, disamping kulit muka menjaadi
berminyal. Pengucapan kata-kata menjadi monoton dengan volume suara
yang kecil bahkan sampai berbisik disebabkan pita suara, otot-otot faring,
lidah, dan bibir ikut mengalami kekakuan. Nafas yang pendek pada penderita
disebabkan otot-otot pernapasan pada dinding dada tidak bisa mengembang
seperti normalnya (Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,2007).

11

Gambar 3. Manifestasi klinis penderita parkinson


Gejala non motorik yang terjadi berupa disfungsi otonom, seperti
a. Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama
inkontinensia dan hipotensi ortostatik
b. Kulit berminyak dan infeksi kulit seboroik
c. Pengeluaran urin yang banyak
d. Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat
seksual, perilaku, orgasme.
Gejalan lainnya yaitu
a.
b.
c.
d.

Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi,


Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat,
Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia),
Gangguan sensasi
kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan
warna
penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh
hypotension orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk
melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan
posisi badan
12

berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau (microsmia atau


anosmia).
e. Gangguan okulomotorius, pandangan menjadi kabur ketika melihat suatu
titik disebabkan ketidakmampuan mempertahankan otot okuler.
f. Krisis okulogirik adalah spasme otot mata untuk berkonjugasi dengan
mata yang terfiksasi (biasanya pada pandangan ke atas), selama beberapa
menithingga beberapa jam.
E. Diagnosis
Diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan klinis dengan ditemukannya
gejala motorik utama antara lain tremor pada waktu istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural. Selain itu, Diagnosis penyakit
Parkinson ditegakkan berdasarkan kriteria:
a Secara klinis
a. Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik : tremor,
rigiditas, bradikinesia atau
b. Dari 4 tanda motorik:
b

tremor, rigiditas,

bradikinesia

dan

ketidakstabilan postural.
Kriteria Koller
a. Didapati 2 dari 3 tanda cardinal gangguan motorik : tremor saat
istirahat atau gangguan refleks postural, rigiditas, bradikinesia yang
berlangsung 1 tahun atau lebih.
b. Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan
sedang (minimal 1.000 mg/hari selama 1 bulan) dan lama perbaikan

1 tahun atau lebih.


Kriteria Gelb & Gilman
Gejala kelompok A (khas untuk penyakit Parkinson) terdiri dari :
a.
b.
c.
d.

Resting tremor
Bradikinesia
Rigiditas
Permulaan asimetris

Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa alternatif,


terdiri dari:

13

a. Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama


b. Fenomena tak dapat bergerak sama sekali (freezing) pada 3 tahun
pertama
c. Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan) dalam 3 tahun
pertama
d. Demensia sebelum gejala motorik pada tahun pertama.

Diagnosis possible : terdapat paling sedikit 2 dari gejala kelompok A


dimana salah satu diantaranya adalah tremor atau bradikinesia dan tak
terdapat gejala kelompok B, lama gejala kurang dari 3 tahun disertai
respon jelas terhadap levodopa atau dopamine agonis.

Diagnosis probable : terdapat paling sedikit 3 dari 4 gejala kelompok


A, dan tidak terdapat gejala dari kelompok B, lama penyakit paling
sedikit 3 tahun dan respon jelas terhadap levodopa atau dopamine
agonis.

Diagnosis pasti : memenuhi semua kriteria probable dan pemeriksaan


histopatologis yang positif.

F. Diagnosis Banding
1 Atrofi sistem multiple (multiple system atrophy, MSA)
Gambaran ekstrapiramidal bersama dengan satu atau lebih gejala berikut :
- Kegagalan otonom (sindrom Shy Drager)
- Disfungsi serebelar
- Gambaran pyramidal
Jika parkinsonisme lebih dominan, maka sindrom ini disebut MSA-P,
sebaliknya bila gambaran serebelar lebih dominan maka disebut MSA-C.
2

Palsi supranuklear progresif (PSP, sindrom Steel Richardson Olszweski)


Kegagalan pandangan volunter (pertama melirik ke arah bawah,
kemudian ke arah atas, kemudian horizontal) berhubungan dengan

disfungsi ekstrapiramidal dengan instabilitas postural awal dan demensia.


Sindrom kombinasi gambaran parkinsonian dan disfungsi korteks serebri
Degenerasi kortikobasal (sangat jarang)
4. Demensia yang disertai badan Lewy.
3

14

Beberapa gejala klinik seperti tremor, gaya berjalan yang abnormal


(seperti, freezing), instabilitas postural, gejala-gejala piramidal lain yang
responsif dengan pemberian levodopa dapat digunakan sebagai pembeda
penyakit parkinson dengan gangguan parkinsonian lainnya. Meskipun
adanya perbedaan kepadatan reseptor dopamin postsinaptik pada pasien
dengan penyakit parkinson atau gangguan atypical parkinsonian lainnya telah
dikemukakan sebagai penjelasan terhadap lemahnya respon terhadap
pengobatan dengan levodopa, hal ini bukan merupakan satu-satunya
penjelasan. Baru-baru ini positron emission tomografi menunjukkan adanya
preservasi relatif reseptor dopamin pada PSP, yang diduga memiliki peranan
terhadap penurunan respon terapi dengan levodopa. Lebih jauh lagi pasien
dengan MSA pada awalnya memiliki respon yang sempurna, namun
kemudian

terjadi

orofacial

diskinesia

dan

hilangnya

kemanjuran

antiparkinsonian terkait dengan pemberian levodopa. Meskipun adanya


perbaikan dengan levodopa diduga kuat sebagai penyakit parkinson, namun
tidak berarti hal ini dapat sepenuhnya membedakan penyakit parkinson dari
penyakit parkinsonian lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77%
pasien yang memiliki respon sempurna terhadap terapi dengan levodopa,
secara patologik merupakan pasien dengan penyakit parkinson. Injeksi
subkutan apomorfin telah digunakan untuk membedakan penyakit parkinson
dengan gangguan parkinsonian lainnya; namun bagaimanapun test ini
tidaklah lebih unggul dibandingkan uji levodopa dan memiliki kontribusi
yang kecil dalam evaluasi diagnostik.
Tehnik neuroimaging juga dapat berguna dalam mendiagnosis penyakit
parkinson, seperti : MRI, [18F]-fluorodopa positron emission tomografi, [11C]eaclopride imaging of dopamine D2 receptors dan single photon emission
computed tomografi dari striatal dopamine re-uptake. Satu penelitian
mengungkapkan bahwa sonografi parenkim otak mungkin memiliki
spesifikasi yang tinggi dalam membedakan penyakit parkinson dengan
atypical parkinsonism. Walau bagaimanapun, hyperechogenicity yang

15

abnormal dapat ditemukan tidak hanya pada penyakit parkinson, melainkan


juga pada tremor essential.
G. Patofisiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars
compacta (SNc) sebesar 40-50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik
eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab multifaktor.
Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu region
kecil di otak (brain stem) yang terletak sedikit di atas medulla spinalis.
Bagian ini menjadi pusat control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Selselnya menghasilkan neurotransmitter yang disebut dopamine, yang
berfungsi untuk mengatur seluruh gerakan otot dan keseimbangan tubuh
yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamine diperlukan untuk
komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak terutama dalam
mengatur pergerakan, keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran
komunikasi (bicara). Pada penyakit Parkinson sel-sel neuron di SNc
mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamine menurun dan akibatnya
semua fungsi neuron di system saraf pusat (SSP) menurun dan menghasilkan
kelambatan

gerak

(bradikinesia),

kelambatan

bicara

dan

berpikir

(bradifrenia), tremor dan kekauan (rigiditas).


Dua jalur yang terjadi pada sirkuit basal ganglia, yaitu jalur direct dan
indirect (Dawson, TM. 2011):
a. Jalur direct, aliran yang keluar dari striatum secara langsung
menghambat GPi dan SNr, neuron striatal memiliki D1 reseptor yang
memiliki hubungan secara langsung ke GPi/SNr
b. Jalur Indirect, memiliki hubungan inhibisi diantara striatum dan bagian
eksternal dari globus pallidus (GPe) dan diantara GPe dan nukleus
subthalamik (STN). Neuron striatal dengan D2 reseptor merupakan jalur
indirect yang memilki proyeksi ke GPe STN menggunakan rangsangan

16

dari GPi dan SNr.


GPi dan SNr mengirimkan output inhibisi ke nukleus ventral lateral (VL)
dari thalamus. Dopamin dilepaskan dari neuron nigostriatal (substansia nigra
pars compacta (SNpc)) untuk mengaktivasi jalur direct dan menginhibisi jalur
indirect.

Pada

penyakit

parkinson,

berkurangnya

dopamin

striatal

menyebabkan meningkatnya output inhibisi dari GPi/SNr melalui jalur direct


dan indirect.
Akibat inhibisi pada thalamus menyebabkan tersupresi gerakan volunter,
pasien sukar untuk mulai bergerak (hipokinesia). Tonus otot meningkat (rigor)
dan timbul resting tremor (4-8 kali/detik) terutama pada tangan dan jari.
Hipokinesia

menyebabkan

pasien

mempertahankan

posisinya

seperti

membungkuk dengan tangan dan kaki yang menekuk. Hal tersebut juga
menyebabkan ekspresi wajah yang kaku (rigid), monoton dan percakapan
yang tidak jelas. Beberapa gejala lain muncul berupa peningkatan salivasi,
depresi dan demensia yang disebabkan oleh lesi tambahan (kematian neuron
pada median raphe, locus coeruleus dan nervus vagus).

Gambar 4 . Diagram skematik dari jalur neurotransmiter pada sirkuit cortical-basal

17

ganglia-thalamik (garis biru bertindak sebagai eksitatori dan garis hitam


sebagai inhibisi) pada parkinson.

Gambar 5. Patofisiologi penyakit parkinson.


Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi
neuron SNc adalah stress oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan
terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamine quinon yang dapat
bereaksi dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini menumpuk,
tidak dapat di gradasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway, sehingga
menyebabkan kematian sel-sel SNc (Noviani, 2010). Mekanisme patogenik
lain yang perlu dipertimbangkan antara lain :

Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal
dengan nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric-radical.

Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin


trifosfat (ATP) dan akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres
oksidatif, akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.

18

Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang


memicu apoptosis sel-sel SNc.

Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena


penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta
substansia nigra sebesar 40 50% yang disertai adanya inklusi
sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies). Lesi primer pada penyakit
Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang mengandung neuromelanin di
dalam batang otak, khususnya di substansia nigra pars kompakta, yang
menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang. Dalam kondisi normal
(fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan
merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang
berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke
globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat
2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan
reseptor D2 . Maka bila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak
ada kelainan gerakan.

Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan


substansia nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum
sehingga tidak ada rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala
Penyakit Parkinson belum muncul sampai lebih dari 50% sel saraf
dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%. Reseptor D1 yang
eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk dengan neurotransmitter
GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik tidak
terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen
eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi
inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi
inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke
nucleus subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus
meningkat akibat inhibisi.

19

Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus


segmen interna / substansia nigra pars retikularis melalui saraf
glutaminergik yang eksitatorik akibatnya terjadi peningkatan kegiatan
neuron globus palidus / substansia nigra. Keadaan ini diperhebat oleh
lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung ,sehingga output ganglia
basalis menjadi berlebihan kearah talamus.

Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah


GABAnergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya
rangsangan dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan
menurun dan output korteks motorik ke neuron motorik medulla spinalis
melemah terjadi hipokinesia.

Kajian Biomolekuler penyakit Parkinson

Studi postmortem secara konsisten menyoroti adanya kerusakan oksidatif


dalam patogenesis PD, dan khususnya kerusakan oksidatif pada lipid,
protein, dan DNA dapat diamati pada substansia nigra pars compakta
(SNc) otak pasien PD sporadik. Stress oksidatif akan membahayakan
integritas neuron sehingga mempercepat degenerasi neuron. Sumber
peningkatan stress oksidatif ini masih belum jelas namun mungkin saja
melibatkan disfungsi mitokondria, peningkatan metabolisme dopamin
yang menghasilkan hidrogen peroksida dan reactive oxygen species
(ROS) lain dalam jumlah besar, peningkatan besi reaktif, dan gangguan
jalur pertahanan antioksidan (Jenner 2003).

Penurunan selektif sebesar 30-40 % pada aktivitas complex-I rantai


respirasi mitokondria ditemukan dalam SNc penderita penyakit Parkinson.
Mitokondria terekspos oleh lingkungan yang sangat oksidatif, dan proses
fosforilasi oksidatif berhubungan dengan produksi ROS. Banyak bukti
mengarah pada peran utama disfungsi mitokondria sebagai dasar
patogenesis PD, dan khususnya, defek mitokondria complex-I (complex-I)
20

dari rantai respirasi. Defek complex-I mungkin yang paling tepat


menyebabkan degenerasi neuron pada PD melalui penurunan sintesis ATP.

Beberapa studi epidemiologi memperlihatkan bahwa pestisida dan toksin


lain dari lingkungan yang menghambat complex-I terlibat dalam
patogenesis PD sporadik (Sherer, dkk, 2002a). MPTP menghambat
complex-I dan menimbulkan gejala Parkinson pada manusia dan model
binatang (Dauer & Przedborski, 2003).

Bukti terbaru menunjukkan cacat pada ubiquitin proteasome system (UPS)


dan protein yang salah peran juga mendasari patogenesis molekuler
penyakit Parkinson. Gagasan ini didukung oleh fakta bahwa -synuclein,
parkin, dan DJ-1 yang merupakan kelainan genetik, saling mempengaruhi
fungsi UPS maupun mitokondria, yang mungkin menghasilkan permulaan
jalur yang terlibat dalam degenerasi neuron pada penyakit Parkinson.

Agregasi -synuclein secara jelas menurun dari inhibisi complex-I dan


agregasi semacam itu bisa juga menghambat atau membanjiri fungsi
proteasomal. Jika inhibisi complex-I merupakan inti patogenesis PD,
maka dalam rangkaian kejadian yang dipicu oleh agregasi -synuclein,
peningkatan stress oksidatif, dan defisit sintesis ATP, semuanya itu bisa
mengganggu

fungsi

normal

UPS.

Inhibisi

terhadap

UPS

akan

menghasilkan akumulasi protein di samping ditargetkan untuk degradasi,


beberapa diantaranya bersifat sitotoksik, yang dalam kombinasinya
dengan bahaya oksidatif akan pasti mengakibatkan kematian neuron
dopaminergik. Parkin, UCH-L1, dan DJ1 terlibat dalam pemeliharaan
fungsi UPS, sementara PINK1, bersama dengan parkin dan DJ1, akan
meregulasi fungsi normal mitokondria; penyakit terkait mutasi dalam gen
ini akan mengarah pada sekelompok kejadian yang mengawali kematian
neuron DA. Namun, jalur kejadian ini selain mengakibatkan inhibisi
proteasome tetapi dapat juga bolak-balik mengganggu fungsi mitokondria.

21

Pengamatan ini mengarah pada hubungan silang berderajat besar antara


mitokondria dan UPS, dan disfungsi pada masing-masing atau semua
sistem akan mengarah pada poin akhir yang umum dari degenerasi neuron
DA.
H. Tata Laksana
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang berkembang
progresif dan penyebabnya tidak diketahui, oleh karena itu strategi
penatalaksanaannya adalah 1) terapi simtomatik, untuk mempertahankan
independensi pasien, 2) neuroproteksi dan 3) neurorestorasi, keduanya untuk
menghambat progresivitas penyakit Parkinson. Strategi ini ditujukan untuk
mempertahankan kualitas hidup penderitanya.
1. Terapi farmakologik
Terapi farmakologi yang diberikan berupa obat Dopaminergik Sentral,
Agonis Dopamin, Antikolinergik. Obat Dopamino antikolinergik, dan
Penghambat Monoamin Oksidase.
a. Obat Dopaminergik Sentral
Levodopa
Substitusi defisiensi DA-striatum tidak dapat dilakukan dengan
pemberian DA, sebab DA tidak melintasi sawar darah-otak. Kemudian
ternyata bahwa penggunaan dopa-rasemik banyak menimbulkan efek
samping yang mengganggu. Levodopa, sebagai isomer aktif lebih
efektif dan kurang toksik.
Levodopa cepat diabsorpsi secara aktif terutama dari usus halus.
Kecepatan absorpsi sangat tergantung dari kecepatan pengosongan
lambung. Absorpsi juga dihambat oleh makanan tinggi protein akibat
kompetisi asam amino dengan levodopa dalam absorpsi maupun
transport ke otak. Levodopa yang dapat mencapai sirkulasi kira-kira
22-30%

dosis

oral;

sedangkan

60%

atau

lebih

mengalami

22

biotransformasi di saluran cerna dan hati. Hati mengandung sangat


banyak mengandung enzim dopa-dekarboksilase (dekarboksilase asam
amino-I-aromatik, DC). Selain di hati, enzim ini tersebar di berbagai
jaringan, juga dalam dinding kapiler di otak. Jelaslah bahwa levodopa
yang mencapai jaringan otak jumlahnya sedikit sekali. Diperkirakan
hanya 1% dari dosis yang diberikan mencapai SSP. Pemberian
penghambat dekarboksilase mengurangi pembentukan dopamin di
perifer.
Levodopa terutama dibiotransformasi menjadi DA yang dalam
tahap selanjutnya cepat diubah lagi menjadi DOPAC (3,4-dihidroksi
fenil asetat) oleh enzim MAO dan AD (aldehid dehidrogenase), dan
HVA (asam homovanilat). Pemberian levodopa akan menyebabkan
peningkatan

kadar

HVA dalam

cairan

serebrospinal

(CSS).

Biotransformasi menjadi metabolit lain hanya sedikit jumlahnya.


Metabolit levodopa cepat sekali diekskresi melalui urin.
Mekanisme Kerja
Pengubahan

levodopa

menjadi

DA membutuhkan

adanya

dekarboksilase asam L-amino aromatik. Pada sebagian pasien


Parkinson, aktivitas enzim ini menurun, tetapi mencukupi untuk
mengubah levodopa menjadi dopamin.
Kerja dopamin telah diteliti pada taraf molekular dan reseptor,
dengan teknik ikatan ligan. Kesimpulan yang didapat ialah bahwa
sekurang-kurangnya terdapat 2 jenis reseptor dopamin yaitu D1 dan
D2. Reseptor D1 lebih terlokalisasi di badan sel dan terminal prasinaps
neuron striatum dan di terminal prasinaps akson nigrostriatal yang
dopaminergik. Walaupun dopamin meningkatkan aktivitas adenilat
siklase homogenat ganglia basal, kebanyakan peneliti berpendapat
bahwa kerja levodopa (dan bromokriptin) diperantarakan oleh reseptor
D2.

23

Selain itu kapasitas neuroleptik menimbulkan sindrom Parkinson


juga dianggap terutama berdasarkan blokade reseptor D2. Karena
reseptor D1 dan D2 tersebar di prasinap dan pascasinap striatum, sulit
membayangkan fungsi dopaminergik pada taraf reseptor. Walaupun
terdapat pertentangan kenyataan bahwa reseptor D1 yang bersifat
menghambat dan reseptor D2 yang bersifat merangsang pada
eksperimen elektrofisiologis, tetapi secara keseluruhan efek dopamin
agaknya menghambat letupan neuron di striatum.
Kira-kira
sebanyak

75%

50%.

pasien

Hasil

Parkinsonisme

pengobatan

pada

berkurang

gejalanya

orang-orang

tertentu

menakjubkan terutama pada awal terapi. Boleh dikatakan semua gejala


dan tanda membaik, kecuali demensia dan instabilitas postural.
Perbaikan terjadi pada gejala bradikinesia dan rigiditas, tremor sedikit
diperbaiki atau malah memburuk karena berkurangnya rigiditas.
Efek samping levodopa terutama disebabkan terbentuknya
dopamin di berbagai organ perifer. Hal tersebut terjadi karena
diperlukan dosis levodopa yang besar untuk mendapat efek terapi yaitu
peningkatan DA di nigrostriatum. Karena tujuan pemberian levodopa
adalah peningkatan DA-striatum maka efek terhadap organ lain
menjadi efek samping obat ini. Efek samping levodopa di perifer dapat
dikurangi dengan pemberian penghambat dekarboksilase yang akan
dibahas kemudian.
Efek samping yang dirasakan berdampak pada sistem cerna,
diskinesia

dan

gerakan

spontan

abnormal,

psikis,

sistem

kardiovaskular, efek metabolit dan endokrin serta efek terhadap sistem


lain seperti pada ginjal. Ada beberapa bentuk gejala yang umumnya
timbul setelah penggunaan jangka panjang (1-5 tahun) yaitu
perpendekan masa kerja, efek pasang-surut dan pembekuan gerakan.
Sebaiknya levodopa diberikan peroral dengan makanan untuk
mengurangi iritasi. Terapi dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan secara

24

berangsur-angsur, tetapi sebaiknya tidak melebihi 8 g sehari. Bagan


yang tertera dalam Tabel 1merupakan salah satu pedoman penentuan
untuk pasien yang berobat jalan.
Tabel 1. Pedoman Dosis Levodopa Untuk Penderita Berobat Jalan
Masa pengobatan

Dosis

Frekuensi pemberian

Minggu ke 1
Minggu ke 2
Minggu ke 3
Minggu ke 4
Minggu ke 5
Minggu ke 6
Minggu ke 7
Minggu ke 8

125 mg
125 mg
250 mg
500 mg
500 mg
500 mg
1g
1g

2 x sehari
4 x sehari
4 x sehari
3 x sehari
4 x sehari
5 x sehari
3 x sehari
3 x sehari + 500 mg di

malam hari
Selanjutnya bila diperlukan dosis harian dapat ditambah 500 mg setiap
minggu.
Dalam hal ini dosis permulaan ialah 3-4 kali 250 mg sehari, bila
pasien bersifat toleran, tiap pemberian dapat dijadikan 500 mg ; dan
dosis selanjutnya ditingkatkan dengan 125-250 mg setiap 2-3 hari.
Tiap pemberian tidak melebihi 1,5-2 g dan diberikan setelah makan.
Dosis dinaikkan sampai mendapat efek terapi yang dikehendaki atau
sampai terjadi efek samping yang membatasi peningkatan dosis lebih
lanjut. Dosis optimal kira-kira 3-4 g yang tercapai pada minggu ke 6,
tetapi variasi dosis efektif ialah 2-10 g sehari.
b. Agonis Dopamin
Beberapa zat kimia memiliki sifat dopaminergik, dengan
mekanisme kerja merangsang reseptor dopaminergik sentral. Obat
yang termasuk golongan ini ialah : apomorfin, piribedil, bromokriptin
dan pergolin.
Bromokriptin
25

Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat ini lebih


besar afinitasnya terhadap reseptor D 2 dan merupakan antagonis
reseptor D1. Organ yang dipengaruhi ialah yang memiliki reseptor
dopamin yaitu SSP, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan
saluran cerna.
Bromokriptin menyebabkan kadar HVA dalam CSS menurun, yang
memberikan kesan bahwa obat ini menghambat pembebasan DA dari
ujung saraf otak. Terapi kombinasi levodopa dan bromokriptin pada
penyakit Parkinson dapat mengurangi dosis levodopa sambil tetap
mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan efek terapinya.
Indikasi utama bromokriptin ialah sebagai tambahan levodopa
pada pasien yang tidak memberikan respons memuaskan terhadap
levodopa, dan untuk mengatasi fluktuasi respons levodopa dengan atau
tanpa karbidipa. Bromokriptin diindikasikan sebagai pengganti
levodopa bila levodopa dikontraindikasikan.
Efek samping bromokriptin yaitu mual, muntah dan hipotensi
ortostatik merupakan efek samping awal berupa kolaps kardiovaskuler
dapat terjadi. Perhatian khusus diberikan harus pada mereka yang
minum antihipertensi. Pemberian obat bersama antasid atau makanan,
dan memberikan dosis secara bertahap mengurangi mual yang berat.
Gangguan psikis berupa halusinasi penglihatan dan pendengaran lebih
sering ditemukan dibandingkan dengan pada pemberian levodopa.
Turunan bromokriptin lainnya yaitu Pergilid mesilat dan Lisurid.

c. Antikolinergik
Antikolinergik

merupakan

obat

alternatif

levodopa

dalam

pengobatan Parkinsonisme. Prototip kelompok ini ialah triheksifenidil.


Termasuk dalam kelompok ini ialah : biperiden, prosiklidin, benztropin,

26

dan antihistamin dengan efek antikolinergik difenhidramin dan


etopropazin.
Dasar kerja obat ini adalah mengurangi aktivitas kolinergik yang
berlebihan di ganglia basal. Efek antikolinergik perifernya relatif lemah
dibandingkan dengan atropin. Atropin dan alkaloid beladon lainnya
merupakan obat pertama yang dimanfaatkan pada penyakit Parkinson,
tetapi telah ditinggalkan karena efek perifernya terlalu menggangu.
1. Triheksifenidil
Obat-obat ini terutama berefek sentral. Dibandingkan dengan
potensi

atropin,

triheksifenidil

memperlihatkan

potensi

antispasmodik setengahnya, efek mitriadik sepertiganya, efek


terhadap kelenjar ludah dan vagus sepersepuluhnya. Seperti atropin,
triheksifenidil dosis besar menyebabkan perangsangan otak. Ketiga
senyawa kolinergik triheksifenidil yaitu biperin, sikrimin dan
prosiklidin, pada umumnya serupa triheksifenidil dalam efek
antiparkinson maupun efek sampingnya. Bila terjadi toleransi
terhadap triheksifenidil, obat-obat tersebut dapat digunakan sebagai
pengganti.
2. Benztropin
Tersedia sebagai benztropin meslat, yaitu suatu metasulfonat dari
eter tripinbenzohidril. Eter ini terdiri atas gugus basa tropin dan
gugus antihistamin (difenhidramin). Masing-masing bagian tetap
mempertahankan sifat-sifatnya, termasuk efek anti Parkinson. Efek
sedasi gugus difenhidramin bermanfaat pada mereka yang justru
mengalami perangsangan akibat penggunaan obat lain; khususnya
pada pasien yang berusia lanjut. Sebaliknya sebagian basa
tropinnya menimbulkan perangsangan.
Efek Samping

27

Anti Parkinson kelompok antikolinergik menimbulkan efek samping


sentral dan perifer. Efek Samping Sentral dapat berupa gangguan
neurologik yaitu : ataksia, disartria, hipertermia; gangguan mental :
pikiran kacau, amnesia, delusi halusinasi, somnolen, dan koma. Efek
samping perifer serupa atropin. Triheksifenidil juga dapat menyebabkan
kebutaan akibat komplikasi glaukoma sudut tertutup; terutama terjadi bila
dosis harian 15-30mg sehari. Pada pasien glaukoma sudut terbuka yang
mendapat miotik, antikolinergik cukup aman untuk digunakan. Efek
samping ini sangat membatasi penggunaan antikolinergik sentral. Pada
kelompok pasien ini lebih aman diberi antihistamin.
Efek Terapi
Obat antikolinergik khususnya bermanfaat terhadap Parkinsonisme
akibat obat. Misalnya oleh neuroleptik, termasuk juga antemetik turunan
fenotiazin, yang menimbulkan gangguan ekstrapiramidal akibat blockade
reseptor DA di otak.
Triheksifenidil juga memperbaiki gejala dasar ludah (sialorrhoea) dan
suasana perasaan (mood). Selain pada penyakit Parkinson, triheksifenidil
dapat juga digunakan pada sindrom atetokoriatik, tortikolis spastik dan
spasme fasialis; demikian juga turunannya. Obat-obat ini digunakan
sebagai pengganti triheksifenidil bila terjadi toleransi. Berbeda dengan
yang lain, prosiklidin masih boleh digunakan pada pasien glaukoma dan
hipertropi prostat dengan pengawasan ketat. Triheksifenidil terutama
berpengaruh baik terhadap tremor, tetapi bradikinasia/akinesia dan
rigiditas juga membaik. Secara keseluruhan triheksifenidil tidak seefektif
levodopa pada penyakit Parkinson bukan karena obat. Efektivitas
benztropin bertahan lebih lama dari antikolinergik lain.
d. Senyawa Antihistamin

28

Beberapa antihistamin dapat dimanfaatkan efek antikolinergiknya


untuk terapi penyakit Parkinson, yaitu difenhidramin, fenindamin,
orfenadrin, dan klorfenoksamin. Keempat senyawa ini memiliki sifat
farmakologik yang mirip satu dengan yang lainnya.
Difenhidramin diberikan bersama levodopa, untuk mengatasi efek
ansietas dan insomnia akibat levodopa. Walaupun menimbulkan perasaan
kantuk, obat kelompok ini dapat memperbaiki suasana perasaan, karena
efek psikotropiknya menghasilkan euforia. Efek antikolinergik perifer
lemah, sehingga beser ludah hanya sedikit dipengaruhi.
e. Obat Dopamino-Antikolinergik
1. Amantadin
Amantadin diduga meningkatkan aktivitas dopaminergik serta
menghambat aktivitas kolinergik di korpus striatum. Amantadin
membebaskan DA dari ujung saraf dan menghambat ambilan
presinaptik DA, sehingga memperpanjang waktu paruh DA di sinaps.
Berbeda dengan levodopa, amantadin tidak meningkatkan kadar HVA
dalam CSS. Mekanisme kerjanya belum diketahui dengan pasti.
Efektivitasnya sebagai antiparkinson lebih rendah daripada
levodopa tetapi respons lebih cepat (2-5 hari) dan efek samping lebih
rendah. Efektivitas amantadin tidak dipengaruhi umur, jenis kelamin,
lamanya

penyakit,

jenis

penyakit

dan

pengobatan

tertentu.

Efektivitasnya paling nyata pada pasien yang kurang baik responsnya


terhadap levodopa. Pemberian amantadin dan levodopa bersama-sama
bersifat sinergis.
2. Antidepresi trisiklik
Impiramin atau amitriptilin yang digunakan tersendiri efek anti
Parkinsonnya

kecil

sekali,

tetapi

bila

dikombinasi

dengan

antikolinergik dapat sangat bermanfaat. Dengan kombinasi ini, selain

29

meningkartkan perbaikan rigiditas dan akinesia, gejala depresi juga


diperbaiki.
f. Penghambat Monoamine Oksidase- B (Mao-B)
Selegilin
Selegilin merupakan penghambat MAO-B yang relative spesifik. Saat
ini dikenal dua bentuk penghambat MAO, tipe A

yang terutama

berhubungan dengan deaminasi oksidatif norepinefrin dan serotonin, tipe


B yang memperlihatkan aktivitas terutama pada dopamin.
Selegilin menghambat deaminasi dopamin sehingga kadar dopamin di
ujung saraf dopaminergik lebih tinggi. Selain itu ada hipotesis yang
mengemukakan bahwa selegilin mungkin mencegah pembentukan
neurotoksin endogen yang membutuhkan aktivasi oleh MAO-B. Secara
eksperimental pada hewan, selegilin mencegah Parkinsonisme akibat
MPTP.
Pemberian selegilin tunggal pada awal penyakit agaknya menghambat
progresivitas penyakit Parkinson sehingga menunda keperluan pengobatan
dengan levodopa.
Tabel 2 . Obat-obatan untuk mengobati penyakit Parkinson
Obat
levodopa

Aturan Pemakaian
Merupakan pengobatan utama

Keterangan
Setelah beberapa

(dikombinasikan

untuk Parkinson

tahun digunakan,

dengan

Diberikan bersama karbidopa

efektivitasnya bisa

karbidopa)

untuk meningkatkan efektivitasnya

berkurang

& mengurangi efek sampingnya


Mulai dengan dosis rendah, yg
selanjutnya ditingkatkan sampai
Bromokriptin

efek terbesar diperoleh


Pada awal pengobatan seringkali

Jarang diberikan

30

atau pergolid

ditambahkan pada pemberian

sendiri

levodopa untuk meningkatkan


kerja levodopa atau diberikan
kemudian ketika efek samping
levodopa menimbulkan masalah
baru
Seringkali diberikan sebagai

Bisa meningkatkan

tambahan pada pemakaian

aktivitas levodopa di

Obat

levodopa
Pada stadium awal penyakit bisa

otak
Bisa menimbulkan

antikolinergik

diberikan tanpa levodopa, pada

beberapa efek samping

(benztropin &

stadium lanjut diberikan bersamaan

triheksifenidil),

dengan levodopa, mulai diberikan

obat anti depresi

dalam dosis rendah

Selegilin

tertentu,
antihistamin
(difenhidramin)
Amantadin

Digunakan pada stadium awal

Bisa menjadi tidak

untuk penyakit yg ringan

efektif setelah

Pada stadium lanjut diberikan

beberapa bulan

untuk meningkatkan efek levodopa

digunakan sendiri

2. Terapi Non Farmakologi


a. Fisioterapi
Bertujuan untuk

mengurangi

rigiditas,

bradikinesia

dan

memperbaiki keseimbangan koordinasi gerak


o Olahraga ringan secara rutin, terutama latihan otot sendi yang
terdapat pada leher, lengan, badan, dan tungkai
o Dukungan keluarga dan lingkungan sekitarnya
b. Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakitnya,
misalnya pentingnya meminum obat teratur dan menghindari jatuh.

31

Menimbulkan rasa simpati dan empati dari anggota keluarganya


sehingga dukungan fisik dan psikik mereka menjadi maksimal.
c. Terapi rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit
serta mengatasi masalah-masalah sebagai berikut : Abnormalitas
gerakan, Kecenderungan postur tubuh yang salah, Gejala otonom,
Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living ADL), dan
Perubahan psikologik. Latihan yang diperlukan penderita parkinson
meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi.
d. Terapi Psikis
Pasien harus mengerti bahwa penyakit parkinson merupakan
penyakit kronik progresif dengan tingkat progresivitas yang berbedabeda pada setiap orang. Telah banyak pendekatan yang dilakukan untuk
memperingan gejala. Adanya group pendukung yang berisikan pasien
penderita parkinson tahap lanjut, akan lebih membantu penderita yang
baru saja didiagnosis sebagai penderita penyakit parkinson. Pasien
harus diberikan nasehat mengenai latihan, termasuk stretching,
strengthening, fitness kardiovaskular, dan latihan keseimbangan
walaupun hanya dalam waktu singkat. Studi jangka pendek menyatakan
bahwa hal ini dapat meningkatkan kemampuan penderita dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, kecepatan berjalan, dan keseimbangan.

BAB III
KESIMPULAN
Parkinson merupakan penyakit yang disebabkan oleh degenerasi sel syaraf pada
ganglia basalis di substansia nigra yang menghasilkan dopamin . Ganglia basalis

32

merupakan control penting motorik. Komponen ganglia basalis yaitu nucleus


kaudatus, putamen, dan globus palidus.
Penyakit ini terjadi pada usia tua dan dapat terjadi pada pria dan wanita.
Manifestasi klinis pada penderita Parkinson seperti tremos istirahat, rigiditas atau
kaku, kelainan posisi tubuh atau cara berjalan, bradikinesia, dan lain-lain yang
memberikan gambaran khas.
Penyakit ini dapat diterapi baik secara farmakologis dengan obat-obatan atau
dengan non farmakologis. Terapi farmakologis yang dapat diberikan seperti obat
dopaminergic sentral (levodopa), agonis dopamin, antikolinergik, penghambat
monoamine oksidase-B. Terapi non farmakologis yang dapat diberikan yaitu
fisioterapi, terapi rehabilitasi, terapi psikis, dan edukasi.

DAFTAR PUSTAKA
American Parkinson Disease Assocoation. 2010. Parkinsons Disease Handbook A
Guide for Patients and Their Family.

33

Baehr M, Frotscher M. 2007. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi


Tanda dan Gejala Edisi 4. Jakarta EGC
Dauer & Przedborski, 2003. Parkinsons Disease Mechanisms and Models. Neuron
Vol 39, 889-909.
Dawson TM. 2011. Mollecular and Cellular Signals Controlling Neurodegeneration ,
Neuronal Survival and Cell Death.
Dawson, TM. 2011. Alpha-synuclein and Parkinson Disease dalam: Parkinson
Disease: Etiology and Pathogenesis. InForma Healthcare. Baltimore. USA.
Hartwig

MS.

Gangguan

Neurologis

dengan

Simtomatologi

Generalisata.

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku


Kedokteran EGC. 2006. Hal 1139-1144.
Jenner P. 2003. Oxidative Stress in Parkinsons Disease. Annals of Neurology. P2638.
Noviani E. 2010. Hubungan antara Merokok dan Penyakit Parkinson di RSUD Prof
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health. 4(2),81-86.
Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2012. Hal 1006-1041.
Putz R & Pabst R. 2003. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 21. Jakarta : EGC
Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC; 2006.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. FKUI. 2007. Hal 1373-1377.

34

Anda mungkin juga menyukai