Anda di halaman 1dari 27

HIPERTENSI

Hipertensi pada Lansia


Oleh :
Nurlaely Fitriana
I14070035
PENDAHULUAN
Latar Belakang
BPS (2004) menyatakan salah satu outcome atau dampak
dari pembangunan nasional yang telah dilaksanakan di
Indonesia selama ini terutama di bidang kesehatan dan
kesejahteraan adalah meningkatnya angka rata-rata usia
harapan hidup penduduk. Peningkatan angka rata-rata
tersebut mencerminkan makin bertambah panjangnya masa
hidup penduduk secara keseluruhan yang membawa
konsekuensi makin bertambahnya jumlah lansia.
Berbagai pihak menyadari bahwa jumlah lansia (lanjut usia)
di Indonesia yang semakin bertambah akan membawa
pengaruh besar dalam pengelolaan masalah kesehatannya.
Golongan lansia ini akan memberikan masalah kesehatan
khusus yang membutuhkan pelayanan kesehatan tersendiri
mulai dari gangguan mobilitas alat gerak sampai pada
gangguan jantung.
WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa di
dunia penyakit kardiovaskuler merupakan sebab kematian
terbesar pada populasi usia 65 tahun ke atas dengan jumlah
kematian lebih banyak di negara berkembang. Diperkirakan
penyakit kardiovaskuler merupakan 50% sebab kematian di
negara industri maju dan kematian di negara berkembang
(Koswara 2003).
Penyakit kardiovaskuler yang paling banyak dijumpai pada
lansia adalah penyakit jantung koroner, hipertensi, serta
penyakit jantung pulmonik. Hipertensi sering ditemukan
pada lansia dan biasanya tekanan sistolenya yang
meningkat. Menurut batasan hipertensi yang dipakai
sekarang ini, diperkiran 23% wanita dan 14% pria berusia

lebih dari 65 tahun menderita hipertensi. Sementara


menurut para ahli, angka kematian akibat penyakit jantung
pada lansia dengan hipertensi adalah tiga kali lebih sering
dibandingkan lansia tanpa hipertensi pada usia yang sama
(Purwati et al. 2002).
Prevalensi hipertensi di seluruh dunia, diperkirakan sekitar
15-20%. Hipertensi lebih banyak menyerang pada usia
setengah baya pada golongan umur 55-64 tahun. Hipertensi
di Asia diperkirakan sudah mencapai 8-18% pada tahun
1997, hipertensi dijumpai pada 4.400 per 10.000 penduduk
(Depkes RI 2003).
Prevalensi hipertensi di Indonesia mengalami kenaikan dari
tahun 19881993. Prevalensi hipertensi pada laki-laki dari
134 (13,6%) naik menjadi 165 (16,5%), hipertensi pada
perempuan dari 174 (16,0%) naik menjadi 176 (17,6%)
(Arjatmo T dan Hendra U 2001).
Pola konsumsi dan perilaku hidup dapat memicu dan
meningkatkan risiko hipertensi pada manula. Konsumsi
makanan manis, asin, berlemak, jeroan, makanan yang
diawetkan, minuman beralkohol dan minuman berkafein
secara berlebihan serta kurang konsumsi serat dari sayur
atau buah mempercepat terjadinya hipertensi. Gaya hidup
yang diduga berhubungan dengan kejadian hipertensi antara
lain aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan stres. Seseorang
yang kurang aktif melakukan aktivitas fisik pada umumnya
cenderung
mengalami
kegemukan
sehingga
akan
menaikkan tekanan darah. Selain itu faktor lain yang
menunjang terjadi hipertensi adalah stres dan merokok.
Hipertensi pada lansia pernah diabaikan karena dianggap
bukan masalah, tetapi sekarang telah diakui bahwa
hipertensi pada lansia memegang peranan besar sebagai
faktor risiko baik untuk jantung maupun otak yang berakibat
pada munculnya stroke dan penyakit jantung koroner. Oleh
karena itu untuk menurunkan angka morbiditas dan angka
mortalitas karena penyakit kardiovaskuler adalah dengan
memperbaiki keadaan hipertensi. Uraian di atas merupakan
latar belakang yang membuat penulis tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai hipertensi pada lansia.

Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mempelajari
pengertian, kriteria dan klasifikasi, etiologi, faktor risiko,
patofisiologi, gejala, komplikasi, diagnosa, penatalaksanaan,
pencegahan, dan diet hipertensi khususnya pada lansia.
Kegunaan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
wawasan kepada pembaca mengenai hipertensi pada lansia.
Bagi kelompok lansia, makalah ini dapat digunakan sebagai
masukan untuk memperhatikan kebiasaan makan serta gaya
hidup mereka yang merupakan faktor risiko terjadinya
hipertensi. Sedangkan bagi pemerintah, makalah ini sebagai
bahan masukan dalam penanggulangan dan pencegahan
kejadiaan hipertensi pada lansia sebagai wujud kepedulian
dalam menekan angka morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit kardiovaskuler.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Penuaan
Bila seseorang mulai menua, maka segala sel-sel tubuhnya
dapat dipastikan sedang mengalami proses degenerasi
secara fisiologik. Proses ini umumnya ditandai dengan
semakin menurunnya kemampuan sel-sel tubuh untuk
memperbaiki diri dari kerusakan dan efisiensi kerja yang
berkurang dari kelenjar-kelenjar tubuh (Astawan&Wahyuni
1987).
Kemunduran tersebut disebabkan oleh perubahan yang
secara alami terjadi pada manula, antara lain : (1) besar otot
berkurang, karena jumlah dan besar serabut otot berkurang,
(2) metabolisme basal menurun, (3) kemampuan bernafas
menurun karena elastisitas paru-paru berkurang, (4)
kepadatan tulang menurun karena berkurangnya mineral,
sehingga lebih mudah cidera, (5) sistem kekebalan tubuh
menurun hingga peka terhadap penyakit dan alergi, (6)
sistem pencernaan terganggu yang disebabkan antara lain
oleh tanggalnya gigi, kemampuan mencerna dan menyerap
zat gizi kurang efisien dan gerakan peristaltik usus menurun,
dan (7) indra pengecap dan pembau sudah kurang sensitif

(kurang peka) yang menyebabkan selera makan menurun


(Koswara 2003).
Lansia
Menurut UU No.13 Th.1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Tilarso dkk 2000
dalam Nadhira 2006). Hal ini sejalan dengan pernyataan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menilai bahwa usia
60 tahun adalah awal usia peralihan menuju ke arah segmen
penduduk tua. Sedangkan untuk di Indonesia, menurut
Widya Karya Pangan dan Gizi (1988) yang digolongkan
manula adalah mereka yang berumur di atas 60 tahun.
Dalam cakupan yang lebih luas, WHO menggunakan patokan
pembagian umur lansia sebagai berikut : usia pertengahan
(middle age) ialah kelompok usia 45 59 tahun; lansia
(elderly) usia 60 74 tahun; tua (old) usia 75 90 tahun; dan
sangat tua (every old) di atas 90 tahun (Koswara 2003).
Pengertian Hipertensi
Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah
suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan
suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah
terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.
Hipertensi
sering
kali
disebut
sebagai
pembunuh
gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang
mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih
dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny S dkk
2004).
Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat baik
di negara maju maupun negara berkembang. Hipertensi
merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan
yang abnormal tingggi di dalam arteri menyebabkan
meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisme, gagal
jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Armilawati
2007). Seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika
memiliki tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan
darah diastolik 90 mmHg atau keduanya.

Hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan darah


menjadi naik dan bertahan pada tekanan tersebut meskipun
sudah relaks (Iman S 2002). Menurut Allison Hull (1996),
hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan
hampir tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh
kekuatan jantung ketika memompa darah.
Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan
bahwa hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan
darah menjadi naik karena gangguan pada pembuluh darah
yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa
oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang
membutuhkannya.
Kriteria dan Klasifikasi
Menurut WHO (World Health Organization) batas normal
tekanan darah adalah 120140 mmHg sistolik dan 8090
mmHg diastolik. Dan seseorang dinyatakan mengidap
hipertensi bila tekanan darahnya > 140 mmHg tekanan
sistolik dan 90 mmHg tekanan diastoliknya.
Tabel 1 Klasifikasi hipertensi menurut WHO/ISH
Klasifikasi

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Normal

< 140

< 90

Hipertensi Ringan

140-180

90-105

Hipertensi perbatasan

140-160

90-95

Hipertensi sedang dan


berat

>180

>105

Hipertensi sistolik
terisolasi

>140

<90

Hipertensi sistolik
perbatasan

140-160

<90

Sumber: Arif Mansjoer dkk 2000


Peninggian tekanan sistolik tanpa diikuti oleh peninggian
tekanan diastolik disebut hipertensi sistolik terisolasi
(isolated sytolic hypertension). Hipertensi sistolik terisolasi
umumnya dijumpai pada usia lanjut, jika keadaan ini
dijumpai pada masa dewasa muda lebih banyak

dihubungkan
sirkulasi
hiperkinetik
dan
diramalkan
dikemudian hari tekanan diastoliknya juga ikut meningkat.
Batasan ini untuk individu dewasa diatas umur 18 tahun,
tidak dalam keadaan sakit mendadak. Dikatakan hipertensi
jika pada dua kali atau lebih kunjungan yang berbeda
didapatkan tekanan darah rata-rata dari dua atau lebih
pengukuran setiap kunjungan, diastoliknya 90 mmHg atau
lebih, atau sistoliknya 140 mmHg atau lebih (Robin & Kumar
1995).
Tabel 2 Klasifikasi pengukuran tekanan darah orang dewasa
dengan usia diatas 18 tahun menurut The Sixth Report Of
The Joint National Committee On Prevention Detection,
Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure
Klasifikasi Tekanan Darah

Tekanan Sistolik dan Diastolik (mmHg)

Normal

<120 dan <80

Prehipertensi

120-139 atau 80-89

Hipertensi Stadium I

140-159 atau 90-99

Hipertensi Stadium II

>160 atau >100

Hipertensi Stadium III

>180 atau >110

Sumber: Arif Mansjoer dkk 2000


Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu
hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik (Smith & Tom
1986). Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung
berdenyut terlalu kuat sehingga dapat meningkatkan angka
sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan
pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Ini
adalah tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan
tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai
tekanan atas yang nilainya lebih besar. Kedua yaitu
hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar
tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan
meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik
berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada
dalam keadaan relaksasi diantara dua denyutan. Sedangkan
menurut Arjatmo T dan Hendra U (2001) faktor yang

mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur,


obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya riwayat
hipertensi dalam keluarga.
Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua
yaitu sekunder dan primer. Hipertensi primer adalah
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya namun ada
beberapa faktor yang diduga menyebabkan terjadinya
hipertensi tersebut antara lain: faktor keturunan, ciri
perseorangan, dan kebiasaan hidup (Puspita WR 2009).
Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab
spesifiknya dapat diketahui (Lanny S dkk 2004). Penderita
hipertensi sekunder ada 5%-10% kasus. Pada hipertensi
penyebab dan patofisiologinya sudah diketahui sehingga
dapat dikendalikan dengan obat-obatan atau pembedahan
(Arjatmo T & Hendra U 2001).
Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua
yaitu
hipertensiBenigna dan
hipertensi Maligna.
Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang tidak
menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat
penderita dicek up. Hipertensi Maligna adalah keadaan
hipertensi yang membahayakan biasanya disertai dengan
keadaan kegawatan yang merupakan akibat komplikasi
organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal (Mahalul 2005
dalam Suheni Y 2007).
Etiologi
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah
terjadinya perubahan-perubahan pada: Elastisitas dinding
aorta
menurun,
Katup
jantung
menebal
dan
menjadi
kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap
tahun sesudah berumur 20 tahun, kemampuan jantung
memompa darah menurun menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh
darah, hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh
darah
perifer
untuk
oksigenasi,
serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
(Anonim 2009).

Selain itu, faktor genetik dianggap penting sebagai sebab


timbulnya hipertensi. Anggapan ini didukung oleh banyak
penelitian pada hewan percobaan dan tentunya pada
manusia itu sendiri. Faktor genetik tampaknya bersifat
mulifaktorial akibat defek pada beberapa gen yang berperan
pada pengaturan tekanan darah. Faktor lingkungan
merupakan faktor yang paling berperan dalam perjalanan
munculnya penyakit hipertensi. Semakin banyak seseorang
terpapar faktor-faktor tersebut maka semakin besar
kemungkinan seseorang menderita hipertensi, juga seiring
bertambahnya umur seseorang (Fauci AS et al 1998).
Faktor Risiko Tidak Terkontrol
Hipertensi dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang
secara alami telah ada pada seseorang. Faktor risiko tidak
terkontrol (mayor) tersebut antara lain adalah kondisi
fisiologis tubuh, umur, dan jenis kelamin. Karakteristik umur
dan jenis kelamin tersebut pada akhirnya juga berpengaruh
terhadap kondisi fisiologis tubuh (Asep Pajario 2002).
Kondisi fisiologi tubuh
Munculnya hipertensi, tidak hanya disebabkan oleh tingginya
tekanan darah, akan tetapi juga karena adanya faktor risiko
lain, seperti keturunan/genetik, komplikasi penyakit, dan
kelainan pada organ target, yaitu jantung, otak, ginjal, dan
pembuluh darah. Hipertensi sering muncul dengan faktor
risiko lain yang timbul sebagai sindrom metabolik, yaitu
hipertensi dengan gangguan toleransi glukosa atau diabetes
mellitus (DM), dislipidemia (tingginya kolesterol darah) dan
obesitas (Krummel 2004 dalam Asyiyah 2009). Kondisi
fisiologis lainnya dapat menyebabkan hipertensi diantaranya
adalah aterosklerosis (penebalan pada dinding ateri yang
menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh darah),
bertambahnya jumlah darah yang dipompa ke jantung,
penyakit ginjal, kelenjar adrenal, dan system saraf simpatis
(Ganong 1998). Kelebihan berat badan, tekanan psikologis,
stress, dan ketegangan pada ibu hamil bisa menyebabkan
hipertensi (Khomsan 2004)
Umur

Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang


mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan darah sistolik
terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik
terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian
berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.
Penyakit hipertensi paling banyak dialami oleh kelompok
umur 31-55 tahun pada umumya berkembang pada saat
umur seseorang mencapai paruh baya yakni cenderung
meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun
bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas (Krummel 2004
dalam Asyiyah 2009).
Kejadian hipertensi meningkat pada usia 55-64 dan IMT
kuantil
ke-5
(Tesfayeet
al. 2007).
Williams
(1991)
menyatakan bahwa umur, ras, jenis kelamin, merokok,
kolesterol darah, intoleransi glukosa, dan berat badan dapat
mempengaruhi kejadian hipertensi.
Jenis kelamin
Penyakit hipertensi cenderung lebih rendah pada jenis
kelamin perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Namun
demikian, perempuan yang mengalami masa premenopause
cenderung memiliki tekanan darah lebih tinggi daripada lakilaki. Hal tersebut disebabkan oleh hormon estrogen yang
dapat melindungi wanita dari penyakit kardiovaskuler.
Hormon esterogen ini kadarnya akan semakin menurun
setelah menopause (Armilawati 2007). Prevelensi hipertensi
pada wanita (25%) lebih besar daripada pria (Tesfaye et
al. 2007).
Selain sebagai hormon pada wanita, esterogen juga
berfungsi sebagai antioksidan. Kolesterol LDL lebih mudah
menembus plak di dalam dinding nadi pembuluh darah
apabila dalam kondisi teroksidasi. Peranan estrogen sebagai
antioksidan adalah mencegah peranan oksidasi LDL,
sehingga kemampuan LDL untuk menembus plak akan
berkurang. Peranan estrogen yang lain adalah sebagai
pelebar pembuluh darah jantung, sehingga aliran darah
menjadi lancar dan jantung memperoleh suplai oksigen yang
cukup (Khomsan 2004).

Faktor Risiko Terkontrol


Kejadian hipertensi juga ditentukan oleh faktor risiko yang
terkontrol (minor). Modifikasi kebiasaan makan dan
perilaku/gaya hidup melalui pengetahuan gizi dapat
dilakukan untuk meminimalisir faktor yang dapat memicu
dan meningkatkan faktor yang dapat mencegah hipertensi.
Faktor risiko yang bisa diubah antara lain adalah gaya
hidup dan kebiasaan makan.
Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan disposisi atau watak yang
melatarbelakangi perilaku, reaksi atau respon seseorang
terhadap diri dan lingkungan yang mempengaruhinya
(Mulyono 1984 dalam Andiyani 2007). Gaya hidup
merupakan hasil penyaringan dari sejumlah interaksi sosial,
budaya, keadaan dan hasil pengaruh beragam variable
bebas yang terjadi di dalam keluarga atau rumah tangga
(Suhardjo 1989).
Gaya hidup yang diduga berhubungan dengan kejadian
hipertensi antara lain meliputi aktivitas fisik, kebiasaan
merokok, dan stres.
Aktivitas fisik
Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan
darah akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas fisik
dan lebih rendah ketika beristirahat (Armilawati 2007).
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh
dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik,
otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk
bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk meningkatkan zat-zat gizi dan
oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa
dari tubuh (Supariasa 2001).
Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang memiliki
kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada
mereka yang masih aktif. Penelitian dari Farmingharm Study
menyatakan bahwa aktivitas fisik sedang dan berat dapat
dapat mencegah terjadinya stoke. Selain itu, dua metaanalisis yang telah dilakukan juga menyebutkan hal yang

sama. Hasil analisis pertama menyebutkan bahwa berjalan


kaki dapat menurunkan tekanan darah pada orang dewasa
sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis kedua pada 54 randomized
controlled trial (RCT), aktivitas aerobik menurunkan tekanan
darah rata-rata 4 mmHg TDS dan 2 mmHg TDD pada pasien
dengan tanpa hipertensi. Peningkatan intesitas aktivitas
fisik, 30-45 menit per hari, penting dilakukan sebagai
strategi pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olahraga
atau aktivitas fisik yang mampu membakar 800-1000 kalori
akan meningkatkanhigh density lipoprotein (HDL) sebesar
4mmHg (Khomsan 2004).
Kebiasaan merokok
Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah
merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen,
sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah
pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya. Laporan
dari
Amerika
Serikat
menunjukkan
bahwa
upaya
menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10
tahun dapat menurunkan insiden penyakit jantung koroner
(PJK) sekitar 24.4% (Karyadi 2002)
Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu
sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan
merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut
jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen jantung,
meransang pelepasan adrenalin, serta menyebabkan
gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu saraf,
otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.
Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita
sekitar 20-49 tahun dilaporkan bahwa kadar kolesterol HDL
lebih rendah 4.5-6.5% pada perokok, dan pada studi lain
dilaporkan bahwa pria yang merokok ebih dari 20 batang
sehari akan mengalami penurunan HDL hingga 11%
dibandingkan bukan perokok (Karyadi 2002). Selain itu,
merokok juga dapat meningkatkan pengaktifan platelet (selsel penggumpal darah).
Stres

Stres dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang


mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat
meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh
darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin
2006). Pada saat stres, sekresi katekolamin akan semakin
meningkat sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang
dihasilkan juga semakin meningkat (Klabunde 2007 dalam
Asiyiyah 2009). Peningkatan sekresi hormon tersebut
berdampak pada peningkatan tekanan darah. Selain itu,
faktor psikososial dari waktu terdesak/tidak sabar, prestasi
kerja, kompetisi, permusuhan, depresi dan rasa gelisah
berhubungan dengan kejadian hipertensi (Asiyiyah 2009).
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan yang diduga berhubungan dengan
kejadian hipertensi adalah pola konsumsi buah dan sayur,
makanan manis, makanan asin, makanan berlemak, jeroan,
makanan awetan, minuman beralkohol, dan minuman
berkafein.
Konsumsi buah dan sayur
Penelitian yang dilakukan oleh Dauchet et al. (2007)
menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi sayur dan buah
serta penurunan konsumsi lemak pangan, disertai dengan
penurunan konsumsi lemak total dan lemak jenuh, dapat
menurunkan tekanan darah. Penemuan ini memperkuat hasil
penelitian sebelumnya, The Nurses Health Study and the
health Professionals Follow up Study groups, yang
menemukan bahwa penurunan risiko jantung koroner dan
stroke berhubungan dengan tingginya pola konsumsi buah,
sayur, kacang-kacangan, ikan, dan padi-padian tumbuk.
Konsumsi buah dan sayur >400 gram per hari dapat
menurunkan
risiko
hipertensi
dengan
semakin
bertambahnya umur. Hal ini tidak saja disebabkan oleh
aktivitas antioksidan dalam buah dan sayur, tetapi juga
karena adanya komponen lain seperti serat, mineral kalsium,
dan magnesium. Orang yang mengonsumsi buah dan sayur
biasanya memiliki kebiasaan yang lebih sehat, seperti:
melakukan aktivitas fisik lebih banyak, tidak merokok, dan

tidak mengonsumsi alkohol, yang secara keseluruhan dapat


menurunkan risiko hipertensi (TDS:-1.6 mmHg, P<0.02;
TDD:-1 mmHg, P<0.005) (Dauchet et al.2007). Pasien
hipertensi dianjurkan mengonsumsi buah dan sayur yang
mengandung serat pangan minimal 30 mg/hari (Hartono
2006).
Konsumsi tinggi sayur dan buah serta rendah karbohidrat
dan lemak dapat digunakan sebagai pola makan untuk
penurunan berat badan. Penelitian yang dilakukan oleh
Ledikwe et
al. (2007)
pada
810
orang
penderita
prehipertensi dan hipertensi ringan, menemukan hubungan
nyata antara konsumsi pangan yang memiliki densitas
energi rendah dengan penurunan berat badan (p<0.001).
Serat pangan dapat membantu meningkatkan pengeluaran
kolesterol
melaluifeces dengan
jalan
meningkatkan
waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Selain itu,
konsumsi serat sayur dan buah akan mempercepat rasa
kenyang. Keadaan ini menguntungkan karena dapat
mengurangi pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya
akan menurunkan risiko hipertensi (Krisnatuti&Yenrina
2005).
Konsumsi makanan manis dan tinggi energi
Menurut penelitian Jhonson et al. (2007), dosis fruktosa yang
tinggi (10% air menghasilkan asupan energi dibandingkan
dengan jumlah fruktosa yang biasa dikonsumsi 60%) dapat
meningkatkan tekanan darah dan perubahan mikrovaskuler.
Seseorang yang mengonsumsi makanan/minuman manis
tidak akan merasa puas dan akan makan terus menerus.
Konsumsi yang berlebihan akan meningkatkan asupan
energi yang selanjutnya disimpan dalam tubuh sebagai
cadangan lemak. Penumpukan lemak tubuh pada perut akan
menyebabkan obesitas sentral, sedangkan penumpukan
pada pembuluh darah akan menyumbat peredarah darah
akan membentuk plak (arterosklerosis) yang dapat
berdampak pada hipertensi dan jantung koroner (Jhonson et
al. 2007).
Konsumsi makanan asin dan awetan

Makanan asin dan makanan yang diawetkan adalah


makanan dengan kadar natrium tinggi. Natrium adalah
mineral yang sangat berpengaruh pada mekanisme
timbulnya hipertensi. Krisnatuti dan Yenrina (2005)
menyatakan bahwa makanan asin dan awetan biasanya
memiliki rasa gurih (umami) sehingga dapat meningkatkan
nafsu makan. Pengaruh asupan natrium terhadap hipertensi
terjadi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh)
dan tekanan darah.
Williams (1991) menjelaskan bahwa mekanisme yang
mendasari sensitivitas garam pada beberapa pasien
mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
ketidakmampuan ginjal untuk mensekresikan natrium,
pengaturan sirkulasi ginjal yang tidak normal dan sekresi
aldosteron. Konsumsi natrium akan mengatur reaksi adrenal
dan renal vascular terhadap angiostensin II. Reaksi adrenal
akan meningkat dan reaksi renal vascular akan menurun
dengan adanya pembatasan konsumsi natrium (Williams
1991).
Konsumsi makanan berlemak dan jeroan
Konsumsi jenis pangan yang digoreng (deep frying)
berpengaruh meningkatnya asupan energi dari lipid.
Makanan yang digoreng memiliki rasa gurih, renyah, enak,
dan kaya lemak. Hal ini menyebabkan seseorang ingin
makan terus menerus, sehingga memiliki densitas energi
yang tinggi dan tingkat kepuasan yang rendah. Rendahnya
tingkat kepuasaan dapat berpengaruh tehadap kemampuan
respon insulin dan leptin, hormon yang menstimulasi respon
lapar-kenyang (Guallar&Castillon et al 2007).
Konsumsi pangan tinggi lemak juga dapat menyebabkan
penyumbatan pembuluh darah yang dikenal dengan
arterosklerosis. Lemak yang berasal dari minyak goreng
tersusun dari asam lemak jenuh rantai panjang (longsaturated fatty acid). Keberadaannya yang berlebih di dalam
tubuh akan menyebabkan penumpukan dan pembentukan
plak di pembuluh darah. Pembuluh darah menjadi semakin
sempit dan elastisitasnya berkurang. Kandungan lemak atau
minyak yang dapat menggangu kesehatan jika jumlahnya

berlebih lainnya adalah : kolesterol, trigliserida, low density


lipoprotein (LDL) (Almatsier 2003).
Jeroan (usus, hati, babat, lidah, jantung, dan otak, paru)
banyak mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid
SFA). Jeroan mengandung kolesterol 4-15 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan daging. Secara umum, asam lemak
jenuh cenderung meningkatkan kolesterol darah, 25-60%
lemak yang berasal dari hewani dan produknya merupakan
asam lemak jenuh. Setiap peningkatan 1% energi dari asam
lemak jenuh, diperkirakan akan meningkatkan 2.7 mg /dL
kolesterol darah, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada semua
orang. Lemak jenuh terutama berasal dari minyak kelapa,
santan, dan semua minyak lain seperti minyak jagung,
minyak kedelai yang mendapat pemanasan tinggi atau
dipanaskan berulang-ulang. Kelebihan lemak jenuh akan
menyebabkan peningkatan kadar LDL kolesterol (Almatsier
2003).
Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol diakui sebagai faktor penting yang
berhubungan dengan tekanan darah. Kebiasaan konsumsi
alkohol harus dihilangkan untuk menghindari peningkatan
tekanan darah (Hartono 2006). Jika dibandingkan dengan
orang yang bukan peminum alkohol, maka terdapat
perbedaan yang signifikan dalam hal tingginya tekanan
darah. Konsumsi alkohol 3 kali lipat per hari dapat menjadi
pencetus meningkatnya tekanan darah dan berhubungan
dengan peningkatan 3 mmHg. Konsumsi alkohol seharusnya
kurang dari 2 kali per hari (24 oz bir, 10 oz wine, atau 2 oz
whiskey
murni)
pada
laki-laki
untuk
pencegahan
peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang
yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak
lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel 2004 dalam
Asyiyah 2009). Namun akan lebih baik jika konsumsi alkohol
tidak dilakukan.
Konsumsi kafein
Penelitian mengenai pengaruh kafein terhadap kejadian
hipertensi belum menunjukkan hasil yang konsisten.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif


antara konsumsi kafein dengan kejadian hipertensi. Dua
studi kohort yang dilakukan selama 15 tahun pada 155.594
wanita
berusia
30-35
tahun
dari Nurses
Health
Studies (NHSs), keduanya tidak menunjukkan hubungan
linear antara konsumsi kafein dengan risiko kejadian
hipertensi. Namun ditemukan adanya hubungan dengan pola
invers U antara konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi
(Whinkelmayer et al. 2005).
Kafein mempunyai sifat antagonis endogenous adenosin,
sehingga
dapat
menyebabkan
vasokontriksi
dan
peningkatan resistensi pembuluh darah tepi. Namun, dosis
yang digunakan dapat mempengaruhi efek peningkatan
tekanan darah. Seseorang yang biasa minum kopi dengan
dosis kecil mempunyai adaptasi yang rendah terhadap efek
kafein daripada orang yang biasa mengonsumsinya dengan
dosis besar (Uiterwaal et al. 2007).
Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla
diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah
melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh
darah,
dimana
dengan
dilepaskannya
norepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi (Brunner & Suddarth
2002).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis
merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang

emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan


tambahan
aktivitas
vasokonstriksi.
Medulla
adrenal
mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi.
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya,
yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran
ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat,
yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium
dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan
volume intra vaskuler (Brunner & Suddarth 2002).
Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan
hipertensi.
Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan struktural dan
fungsional pada sistem pembuluh perifer bertanggungjawab
pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot
polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan
penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Brunner & Suddarth 2002).
Gejala Hipertensi
Menurut Lanny Sustrani (2004) gejalagejala hipertensi
antara lain sakit kepala, Jantung berdebar-debar, sulit
bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban
kerja, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah,
hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di malam
hari telingga berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar.
Cara yang tepat untuk meyakinkan seseorang memiliki
tekanan darah tinggi adalah dengan mengukur tekanan
darahnya. Hipertensi yang sudah mencapai taraf lanjut, yang
berarti
telah
berlangsung
beberapa
tahun
dapat

menyebabkan sakit kepala, pusing, napas pendek,


pandangan mata kabur, dan gangguan tidur (Puspita WR
2009).
Komplikasi Hipertensi
Menurut Tabrani (1995) dalam Puspita WR (2009) komplikasi
hipertensi antara lain:
a. Penyakit jantung
Darah tinggi dapat menimbulkan penyakit jantung karena
jantung harus memompa darah lebih kuat untuk mengatasi
tekanan yang harus dihadapi pada pemompaan jantung. Ada
dua kelainan yang dapat terjadi pada jantung yaitu: 1)
kelainan pembuluh darah jantung, yaitu timbulnya
penyempitan pembuluh darah jantung yang disebut dengan
penyakit jantung koroner, 2) payah jantung, yaitu penyakit
jantung yang diakibatkan karena beban yang terlalu berat
suatu waktu akan mengalami kepayahan sehingga darah
harus dipompakan oleh jantung terkumpul di paru-paru dan
menimbulkan sesak nafas yang hebat. Penyakit ini disebut
dengan kelemahan jantung sisi kiri.
b. Tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak (stroke)
Tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya
pembuluh darah otak dapat menyebabkan terjadinya
setengah lumpuh. Stroke dapat timbul akibat pendarahan
tekanan tinggi di otak, atau akibat embulus yang terlepas
dari pembuluh non- otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteriarteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan
menebal, sehingga aliran darah ke daerahdaerah yang
diperdarahi berkurang.
c. Gagal ginjal
Kegagalan yang ditimbulkan
tergangguanya pekerjaan

terhadap

ginjal

adalah

pembuluh darah yang terdiri dari berjuta-juta pembuluh


darah halus. Bila terjadi kegagalan ginjal tidak dapat
mengeluarkan zat-zat yang harus dikeluarkan oleh tubuh
misalnya ureum.

d. Kelainan mata
Darah tinggi juga dapat menimbulkan kelainan pada mata
berupa
penyempitan
pembuluh
darah
mata
atau
berkumpulnya cairan di sekitar saraf mata. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan.
e. Diabetes mellitus
Diabetes melitus atau yang sering dikenal dengan penyakit
kencing manis merupakan gangguan pengolahan gula
(glukosa) oleh tubuh karena kekurangan insulin.
Diagnosa Hipertensi
Gofir (2002) dalam Puspita WR (2009) menyatakan bahwa
tekanan darah diukur setelah seseorang duduk atau
berbaring selama lima menit. Misalnya diperoleh angka
140/90 mmHg atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi,
tetapi diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan
satu kali pengukuran. Jika pada pengukuran pertama
memberikan hasil yang tinggi maka tekanan darah diukur
kembali dan kemudian diukur sebanyak dua kali pada dua
hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi.
Tekanan
darah
diukur
dengan
menggunakan
alat sphygmomanometer (termometer) dan stetoskop.
Hasil pengukuran bukan hanya menentukan adanya tekanan
darah tinggi tetapi digunakan juga untuk menggolongkan
beratnya hipertensi. Setelah diagnosis ditegakkan dilakukan
pemeriksaan terhadap organ utama terutama pembuluh
darah, jantung, otak dan ginjal. Pemeriksaan untuk
menentukan penyebab dari hipertensi terutama dilakukan
pada penderita usia muda. Pemeriksaan ini bisanya
berupa rongent dan radioisotope ginjal, rongentdada, serta
pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu
(Gofir 2002 dalam Puspita WR 2009).
Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan
tekanan darah secara cepat dan seaman mungkin untuk
menyelamatkan jiwa penderita. Menurut Susialit (1995)

dalam Puspita WR (2009), penatalaksanaan hipertensi


secara garis besar dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Penatalaksanaan non-farmakologis atau perubahan gaya
hidup
Penatalaksanaan non-farmakologis berupa perubahan gaya
hidup yang menghindari faktor risiko terhadap timbulnya
suatu penyakit seperti merokok, minum alkohol, konsumsi
garam berlebihan, hiperlipidema, obesitas, olahraga yang
tidak teratur dan stres.
b. Penatalaksanaan farmakologis atau dengan obat
Pada sebagian besar pasien pengobatan dimulai dengan
dosis kecil obat antihipertensi kemudian jika tidak ada
kemajuan secara perlahan dosisnya dinaikkan namun
disesuaikan juga dengan umur, kebutuhan, dan hasil
pengobatan. Obat antihipertensi yang dipilih harus
mempunyai efek penurunan tekanan darah selama 24 jam
dengan dosis sekali sehari. Sebagai pengelompokan faktor
risiko penyakit hipertensi berikut dengan pengobatannya
dalam tabel 3 berikut ini dipaparkan mengenai stratifikasi
risiko dan pengobatan hipertensi.
Tabel 3 Stratifikasi risiko dan pengobatan hipertensi
berdasarkan The Joint National Committee on Detection,
Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure (1997)
Derajat Hipertensi Kelompok Risiko A
(mmHg)
(tidak ada faktor
risiko, tidak ada
kerusakan organ
target)

Kelompok Risiko B Kelompok Risiko C


(minimal 1 faktor
risiko, tidak termasuk (kerusakan
diabetes, tidak ada organ
kerusakan organ
target
dan
target)

atau

diabetes,
dengan
atau
faktor

tanpa

risiko lain)

Normaltinggi

Perubahan gaya

Perubahan gaya

(130-

hidup

Hidup

Derajat 1

Perubahan gaya

Perubahan gaya

(140-

hidup (sampaihidup (sampai


12
6

Terapi obat

139/85-89)

159/90-99)
Derajat 2

bulan)

bulan)

Terapi obat

Terapi obat

Terapi obat

Terapi obat

dan 3 (
160/100)
Sumber: Gofir dkk (2002) dalam Puspita WR (2009)
Pencegahan Hipertensi
Hipertensi dapat dicegah dengan mengubah pola hidup
terutama pada lansia menjadi pola hidup sehat untuk
memperbaiki derajat kesehatan. Perubahan pola hidup sehat
ini merupakan pengobatan non farmakologis yang bertujuan
menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang dapat
memperberat penyakitnya (Marlian L & S Tantan 2007).
Perubahan ini mencakup hal-hal berikut, yaitu: mengurangi
asupan garam, mengurangi berat badan pada penderita
yang obesitas, melakukan aktivitas fisik dan olahraga,
mengurangi
konsumsi
makanan
berlemak,
mengurangi/menghentikan
kebiasaan
merokok,
menghindari/mengurangi minuman beralkohol dan kafein,
menghindari stres, menghindari pemakaian obat-obatan
yang dapat meningkatkan tekanan darah, mengontrol kadar
gula darah dan kolesterol bagi penderita hipertensi yang
disertai
dengan
penyakit
kencing
manis
dan
hiperkolestrolemia (Marlian L & S Tantan 2007).
Diet Hipertensi
Diet yang diberikan bagi pasien hipertensi adalah diet
rendah garam yang terbagi menjadi tiga yaitu: pertama,
rendah garam I (200-400 mg Na) untuk hipertensi berat

dengan edema, dan asites. Kedua, rendah garam II (600-800


mg Na) untuk hipertensi tidak terlalu berat dengan edema
dan asites. Ketiga, rendah garam III (1000-1200 mg Na)
untuk hipertensi ringan dengan edema. Makanan yang
dianjurkan adalah sumber karbohidrat, sumber protein
nabati, sayuran, buah-buahan, lemak, dan bumbu yang
diolah tanpa garam dapur, sumber protein hewani seperti
daging, ikan maksimal 100 g sehari, dan telur maksimal 1
butir sehari, serta dilarang mengkonsumsi minuman ringan
(Almatsier 2005).
PENUTUP
Kesimpulan
Hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah
menjadi naik karena gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang
membutuhkannya. Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya
ada dua yaitu hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik.
Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua
yaitu sekunder dan primer. Klasifikasi hipertensi menurut
gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi Benigna dan
hipertensi Maligna. Penyebab hipertensi pada orang dengan
lanjut usia adalah terjadinya perubahan-perubahan pada:
Elastisitas
dinding
aorta
menurun,
Katup
jantung
menebal
dan
menjadi
kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap
tahun sesudah berumur 20 tahun, kemampuan jantung
memompa darah menurun, Kehilangan elastisitas pembuluh
darah, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah
perifer.
Faktor risiko hipertensi ada dua yaitu pertama, faktor risiko
tidak terkontrol (mayor) tersebut antara lain adalah kondisi
fisiologis tubuh, genetik, umur, dan jenis kelamin. Kedua,
faktor risiko yang terkontrol (minor) yaitu gaya hidup dan
kebiasaan makan. Gaya hidup meliputi aktivitas fisik,
kebiasaan makan, kebiasaan merokok, dan stress.
Sedangkan kebiasaan makan antara lain adalah kebiasaan
konsumsi buah dan sayur, makanan manis, asin, berlemak,

jeroan, makanan yang diawetkan, minuman beralkohol, dan


minuman berkafein.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla
diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Pada saat bersamaan dimana sistem
saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.
Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan
vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan
steroid
lainnya,
yang
dapat
memperkuat
respons
vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,
suatu
vasokonstriktor
kuat,
yang
pada
gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.
Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra
vaskuler.
Gejalagejala hipertensi antara lain sakit kepala, Jantung
berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau
mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan kabur,
wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil
terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus) dan
dunia terasa berputar. Komplikasi hipertensi antara lain
penyakit jantung, tersumbat atau pecahnya pembuluh darah
otak (stroke), gagal ginjal, kelainan mata, dan diabetes
mellitus. Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan hanya
berdasarkan satu kali pengukuran. Pemeriksaan yang
dilakukan
bisanya
berupa rongent dan radioisotope ginjal, rongent dada, serta
pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu.
Penatalaksanaan hipertensi secara garis besar dibagi
menjadi dua jenis yaitu: penatalaksanaan non-farmakologis

atau perubahan gaya hidup dan


Penatalaksanaan
farmakologis atau dengan obat. Hipertensi dapat dicegah
dengan mengubah pola hidup terutama pada lansia menjadi
pola hidup sehat untuk memperbaiki derajat kesehatan. Diet
yang diberikan bagi pasien hipertensi adalah diet rendah
garam yang terbagi menjadi tiga yaitu rendah garam I,
rendah garam II, dan rendah garam III. Makanan yang
dianjurkan adalah makanan tanpa garam dapur.
Saran
Untuk mengurangi risiko hipertensi pada lansia, hendaknya
mengurangi asupan garam, makanan berlemak, jeroan,
makanan yang diawetkan, minuman beralkohol dan
berkafein, konsumsi rokok, meningkatkan aktifitas olahraga,
konsumsi sayur dan buah, serta memiliki pola hidup sehat
dengan
sesekali
menyempatkan
diri
untuk
melakukan refreshing. Upaya sosialisasi kepada masyarakat,
terkait dengan faktor-faktor risiko hipertensi hendaknya
dilakukan secara terus-menerus baik oleh pemerintah
maupun instansi terkait untuk menurunkan kejadian
hipertensi yang merupakan salah satu penyakit yang
memiliki risiko kematian tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2009. Empat belas masalah kesehatan utama
pada lansia.www.nurse87.wordpress.com [ 15 Sep 2010].
Aisyiyah NF. 2009. Faktor risiko hipertensi pada empat
kabupaten/kota dengan prevelensi hipertensi tertinggi di
Jawa dan Sumatera [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Almatsier S. 2005. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Andiyani SF. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya
hidup dan coping mechanism guru SD negeri dan swasta
(kejadian di Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon, Jawa

Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian


Bogor.
Arif Mansjoer dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I.
Jakarta: Media Aesculapius.
Arjatmo T, Hendra U. 2001. Ilmu
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Penyakit

Dalam.

Armilawati dkk. 2007. Hipertensi dan Faktor Risikonya dalam


Kajian Epidemiologi. Makassar: Bagian Epidemioogi FKM
UNHAS.
Asep
Pajario.
2002.
Modifikasi
angelnet.info/index [14 Sep 2010].

gaya

hidup. www.

Astawan M, Wahyuni M. 1987. Gizi dan Kesehatan Manula


(Manusia Lansia).Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.
[BPS]. 2004. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2004. Jakarta:
Biro Pusat Statistik.
Brunner, Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 2.
Jakarta: EGC.
Dauchet et al. 2007. Dietary patterns and blood pressure
change over 5-y follow up in the SU. VI. MAX cohort. Am J
Clin Nutr 85:1650-6.
[Depkes RI]. 2003. Pedoman Tata Laksana Gizi Lansia Untuk
Tenaga Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Fauci AS, Brauwald E, Isselbacher KJ et al. 1998. Harrisons
Principles of Internal Medicine. Mc Graw Hill, New York, 13804.
Ganong
WF.
1998. Buku
Ajar
Fisiologi
Kedokteran
Ed.17. Widjajakusumah
MD
dkk,
penerjemah:
Widjajakusumah MD, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan
dari: Review of Medical Physiological : 567-569.
Guallar-Castillon et al.2007. Intake of fried foods is
associated with obesity in the cohort of Spanish adults from
the European Prospective Investigetion into cancer and
Nutrition. Am J Clin Nutr 86: 198-205.
Hartono A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Ed-2. Jakarta: EGC.

Hull Alison. 1996. Penyakit Jantung, Hipertensi, dan Nutrisi.


Jakarta: Bumi Aksara.
Iman Soeharto. 2001. Kolesterol Dan Lemak Jahat, Kolesterol
Dan Lemak Baik, Dan Proses Terjadinya Serangan Jantung
Dan Stroke. Jakarta: Gramedia Pustaka utama.
Jhonson et al. 2007. Potential role of sugar (fructose)in the
epidemic of hypertension, obesity and the metabolic
syndrome, diabetes, kidney disease, and cardiovascular
disease. Am J Clin Nutr 86:899-906.
Kelley GA, Kelley KS, Tran ZV. 2001. Walking and resting
blood pressure in adults: a meta analysis. Preventive Med
33:120-7.
Karyadi et al. 2002. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi,
Asam Urat, Jantung Koroner. Jakarta: Intisari Mediatama.
Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi Untuk Kualitas
Hidup. Jakarta: PT. Grasindo.
Koswara S. 2003. Menu sehat bagi manula. (terhubung
berkala)http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/MENU
%20SEHAT%20BAGI%20MANULA.pdf[15 Sep 2010].
Krisnatuti D, Yenrina R. 2005. Perencanaan Menu Bagi
Penderita Jantung Koroner. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Lanny Sustrani dkk. 2004. Hipertensi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Ledikwe et al. 2007. Reductions in dietary energy are
associated with weight loss in overweight and obesitas
participants in yhe PREMIER trial. Am J Clin Nutr 85:1212-21.
Marliani L, S Tantan. 2007. 100 Questions
Hipertensi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

&

Answer

Nadhira. 2006. Keadaan sosial ekonomi, pengetahuan gizi,


gaya hidup, konsumsi pangan, dan status gizi lansia laki-laki
di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Purwati, Selimar, Rahayu S. 2002. Perencanaan Menu untuk
Penderita Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Puspita WR. 2009. Gaya hidup pada mahasiswa penderita


hipertensi [skripsi]. Surakarta: Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Robbin, Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II. Jakarta: EGC.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi-Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi-Institut
Pertanian Bogor.
Suheni Y. 2007. Hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian hipertensi pada laki-laki usia 40 tahun ke atas di
badan Rumah Sakit Daerah Cepu [skripsi]. Semarang:
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Supariasa et al.. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Smith, Tom. 1986. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Arcan
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa
Keperawatan Ed-3.Monica Ester, editor. Jakarta: EGC.
Tandra H. 2003. Merokok dan kesehatan. (terhubung
berkala)http://www.antirokok.or.id/berita/beritaokok
kesehatan.htm [14 Sep 2010].
Tesfaye F et al. 2007. Association between body mass index
and blood pressure across three population in Africa and
Asia. J of Human Hypertension21: 28-37.
Uiterwaal.
2007.
Coffee
intake
and
hypertension. Am J Clin Nutr85(3):718-723.

insidence

of

Whinkelmeyer WC et al. hypertensive vascular disease. Di


dalam: Wilson Jean D.et al.,editor. Harissons Principles of
Internal Medicine-12th ed. Spanish: McGraw-Hill: 1001-1005.
Williams GH. 1991. Hypertensive vascular disease.di dalam:
Wilson Jean D. et al., editor. Harrsions Principles of Internal
Medicine-12th ed. Spanish: McGraw-Hill, inc:1001-1015

Anda mungkin juga menyukai