Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman Pada Kawasan Rawan Longsor Di Kota Padang
Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman Pada Kawasan Rawan Longsor Di Kota Padang
penduduk. Korban jiwa yang meninggal dunia 411 orang, korban luka-luka 149
orang, rumah hancur 256 unit, rumah rusak 1.854 unit, rumah terancam longsor
2.498 unit, lahan petani rusak 751 ha, dan jalan terputus 920 m.
Propinsi Sumatra Barat sebagai salah satu propinsi yang rawan longsor memiliki
luas + 42.297 km2. Pada tahun 1971 jumlah penduduk 2.792.221 jiwa, diantaranya
86% tinggal di desa. Kepadatan penduduk rata-rata 66 jiwa/km2 dan kenaikan
jumlah penduduk rata-rata sekitar 2% setiap tahunnya. Pada Tahun 2006, jumlah
penduduk Sumatera Barat + 4.746.776 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata
112 jiwa/km2. Konsentrasi permukiman sebagian besar terdapat di Kota Padang,
Kota Bukitinggi, Kabupaten Padang Pariaman, Agam, Limapuluh Kota, Solok, dan
Kabupaten Tanah Datar (Pemprov Sumbar, 2007).
Kota Padang merupakan ibu kota propinsi Sumatera Barat dengan tipe relief datarberbukit. Dinamika permukiman akibat perubahan penggunaan lahan terus terjadi,
umumnya berkembang ke daerah pinggiran bagian timur, utara, dan selatan kota
dengan karakteristik fisik yang rentan terhadap bencana longsor. Kota Padang
awalnya merupakan suatu permukiman kecil, secara spasial mempunyai lokasi
yang strategis bagi kegiatan perdagangan. Seiring dengan perjalanan waktu, Kota
Padang mengalami perkembangan sebagai akibat pertambahan penduduk,
perubahan sosio-ekonomi dan budayanya, serta interaksinya dengan kota-kota lain
dan daerah sekitarnya (Sandy, 1978).
BKSPBB Kota Padang (2007) menjelaskan bahwa dalam rentang tahun 1980-2007
sudah terjadi + 30 kali longsor melanda Kota Padang yang banyak menimbulkan
kerugian harta, benda, dan jiwa penduduk. Lokasi kejadian longsor terdapat di
kawasan Gunung Padang, yaitu di Bukit Lantiak, Bukit Gado-Gado, Bukit Mata Air,
dan Bukit Air Manis. Selain itu, longsor juga terjadi di Bukit Gaung, Lubuk Minturun,
Sitinjau Laut, Indarung, dan Bungus Teluk Kabung. Bencana tanah longsor yang
terjadi di Bukit Lantiak pada tahun 1999 mengakibatkan 67 orang meninggal dunia
dan puluhan rumah hancur. Tahun 2000 dan 2001 longsor kembali terjadi di Bukit
Lantiak yang menewaskan puluhan jiwa. Bencana tersebut tergolong pada bencana
tanah longsor yang cukup parah, sehingga dianggap sebagai bencana daerah
Sumatera Barat dan Nasional. Sejalan dengan otonomi daerah, dimana Kota Padang
diberi wewenang dalam mengatasi permasalahan penataan ruang, terutama
penataan ruang untuk permukiman, pemerintah daerah berkewajiban
mengeluarkan suatu kebijakan penggunaan lahan untuk permukiman, terutama
pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor, agar tercipta rasa aman
bagi masyarakat. Bertolak dari hal tersebut, tujuan dalam penelitian ini adalah
untuk merumuskan zona-zona kawasan tingkat bahaya longsor dan merumuskan
arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor di Kota
Padang.
METODE PENELITIAN
Metode untuk merumuskan zonasi tingkat bahaya longsor dilakukan melalui
pendekatan keruangan dengan simulasi model MAFF-Japan (Ministry of Agriculture
Forestry and Fishery-Japan) (Zain, 2002), yaitu dengan model:
TBL = P + 3 (LU) + 2 (S) + 2 (ST) + G + LF
Dimana:
P
: Curah Hujan;
LU
: Penggunaan Lahan;
S
: Lereng;
ST
: Jenis Tanah;
G
LF
TBL
: Tipe Geologi;
: Bentuklahan
: Tingkat Bahaya Longsor
Analisis data dilakukan dengan GIS yang terdiri dari 4 tahap, yaitu (1) tahap
tumpangsusun data spasial, (2) tahap editing data atribut, (3) tahap analisis
tabuler, dan (d) presentasi grafis (spasial) hasil analisis. Metode yang digunakan
dalam tahap analisis tabuler adalah metode scoring. Setiap parameter penentu
tingkat bahaya longsor diberi skor tertentu, dan kemudian pada setiap unit analisis
skor tersebut dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya dikalsifikasikan
untuk menentukan tingkat bahaya longsor. Klasifikasi tingkat bahaya longsor
berdasarkan jumlah skor parameter longsor.
Perumusan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor
dilakukan secara deskriptif berdasarkan pada hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan. Prioritas kebijakan dilakukan dengan teknik analisis AHP (Analysis
Hierarchi Process). Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis AHP adalah sebagai
berikut: (1) penyusunan hierarki, untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur
dalam wujud kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk hierarki, (2)
penyusunan kriteria, digunakan untuk membuat keputusan yang dilengkapi dengan
bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria tersebut untuk dipilih sebagai
keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah, (3) penilaian kriteria dan
alternatif, untuk melihat pengaruh strategis terhadap pencapaian sasaran yang
dinilai melalui perbandingan berpasangan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif
berdasarkan skala perbandingan (Marimin, 2005), dan (4) penentuan prioritas,
menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk
setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan
menggunakan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik
untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Selanjutnya
dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan menggunakan
penghitungan Inconsistency Ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model bahaya longsor yang telah di analisis memberikan gambaran visual yang
nyata terhadap distribusi tingkat bahaya longsor di lokasi penelitian. Dari model
bahaya longsor, diperoleh 4 zona tingkatan bahaya longsor, yaitu: (1) zona tingkat
bahaya longsor rendah (18.613 ha), meliputi Kecamatan Padang Timur, Padang
Utara, Padang Barat, Nanggalo, Koto Tangah bagian barat, Kuranji bagian barat,
Lubuk Begalung bagian utara, Bungus Teluk Kabung bagian barat, (2) zona tingkat
bahaya longsor sedang (15.256 ha), meliputi Kecamatan Koto Tangah bagian
tengah, Kuranji bagian tengah, Pauh bagian barat, Lubuk Kilangan bagian barat
dan timur, Padang Selatan bagian timur, Bungus Teluk Kabung bagian tengah, (3)
zona tingkat bahaya longsor tinggi (27.614 ha), meliputi Kecamatan Koto Tangah
bagian utara, Kuranji bagian timur, Pauh bagian utara, Lubuk Kilangan bagian timur,
Padang Selatan bagian barat, Bungus Teluk Kabung bagian timur, dan (4) zona
tingkat bahaya longsor sangat tinggi (7.633 ha), meliputi Kecamatan Koto Tangah
bagian timur, Kuranji bagian utara, Pauh bagian timur, Padang Selatan bagian
tengah, Lubuk Begalung bagian Barat.
Zona Luas
(ha) Arahan Pengembangan Permukiman
A
18.613
Permukiman
Arahan Penataan
A1
9.062
Telah digunakan
A2
9.551
Rekomendasi Pengembangan
1. Pengawasan Kawasan
2. Pengendalian Pemanfaatan
Kawasan
11.004
Permukiman Terbatas
B1 2.080,58 Telah digunakan
1. Pengawasan Kawasan
2. Pengendalian Pemanfaatan
B
Kawasan
B2 8.923,42 Rekomendasi Pengembangan Bersyarat
dan Kestabilan Lereng
4. Rekayasa Teknis untuk Memperkecil Kemiringan Lereng
5. Menerapkan Teknik
Vegetatif
6. Terasering
7. Sistem Drainase yang Tepat
C
39.499
Hutan Lindung
C1
813,42
C2 2.895
C3 1.757
C4 34.033,58
dari Pemerintah
3. Analisis Geologi
kawasan 27.614 ha dengan kondisi tanah tidak stabil sehingga peluang terjadinya
longsor 1-2 kali dalam setahun, dan (4) tingkat bahaya longsor sangat tinggi, luas
kawasan 7.633 ha dengan kondisi tanah sangat sering mengalami longsor karena
longsor lama dan longsor baru masih aktif bergerak akibat curah hujan tinggi dan
erosi yang kuat, sehingga berpeluang longsor > 2 kali dalam 5 tahun. Berdasarkan
hal tersebut, kebijakan yang diprioritaskan adalah mencegah pengembangan
permukiman pada kawasan-kawasan yang tidak diperuntukkan untuk permukiman
terutama pada zona tingkat bahaya longsor tinggi dan zona tingkat bahaya longsor
sangat tinggi. Sehingga, pengembangan permukiman baru sebaiknya dilakukan
pada kawasan-kawasan zona A2 dan zona B2 yang relatif aman dari bahaya longsor.
Permukiman yang berada pada zona C disarankan untuk direlokasi pada kawasankawasan zona A2 dan Zona B2 yang relatif aman dari bahaya longsor.
DAFTAR PUSTAKA
[BKSPBB] Badan Kesejahteraan Sosial Penanggulangan Bencana dan Banjir Kota
Padang. 2007. Laporan Bencana Kota Padang. BKSPBB. Kota Padang
Canuti, P., N.Casagli, and R. Fanti. 2003. Landslide Hazard for Archaeological
Heritage: The Case of Tharros in Italy. Landslides News. 14/15: 40-43
Hermon, D. 2009. Dinamika Permukiman dan Arahan Kebijakan Pengembangan
Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor di Kota Padang Sumatera Barat.
Disertasi S3. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta
Martono, D.N., Surlan, dan B.T. Sukmana. 2005. Aplikasi Data Penginderaan Jauh
untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang di Indonesia.
http://io.ppi.jepang.org/article
[Pemprov Sumbar] Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. 2007. Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) Propinsi Sumatera Barat Tahun 2007. Pemprov. Sumbar
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Gerakan Tanah di Kecamatan
Limo Koto Padang Pariaman. Sumatera Barat. VSI
Sandy, I.M. 1978. Kota di Indonesia. Publikasi No.123. Direktorat Tata Guna Tanah.
Ditjen Agraria. Depdagri. Jakarta
Sitorus, S.R.P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap sebagai Kontrol
terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Makalah. Lokakarya Penataan
Ruang sebagai Wahana untuk Meminimalkan Potensi Kejadian Bencana Longsor.
Jakarta. 7 Maret 2006
Suryani, R.L. dan A. Marisa. 2005. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Masalah
Permukiman di Perkotaan. Program Studi Arsitektur. Fakultas Teknik USU. Medan
Syahrin, A. 2003. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press
Utoyo, B.S., E. Anwar, I.M. Sandy, R.S. Saefulhakim, dan H. Santoso. 2001. Analisis
Keterkaitan antara Pertumbuhan Wilayah dengan Pola Perubahan Struktur
Penggunaan Lahan. Forum Pascsarjana. 24: 159-162
Virdin J.W. 2001. Understanding the Synergies between Climate Change and
Desertification. UNDP
Zain, A.F.M. 2002. Distribution, Structure dan Function of Urban Green Space in
Southeast Asian Mega-Cities with Special Reference to Jakarta Metropolitan Region
(JABOTABEK). Doctoral Degree Program. Department of Agricultural and
Environmental Biology Graduate School of Agricultural and Life Sciences. The
University of Tokyo. Japan