Anda di halaman 1dari 323

Prosiding

Kluster Agro

S
ek
r
et
ar
i
a
tPenul
i
s:
Bi
dangPeni
ng
k
a
t
anMut
uPenel
ianL
PPM UGM
Kant
orpus
a
tUGM L
ant
ai
I
I
IS
a
y
apS
el
a
t
anBul
ak
s
umurY
og
y
ak
ar
t
a55281
T
el
p.:(
0274)552432,548159F
a
x
.:515391
emai
l
:l
ppm@ug
m.
ac
.
i
d,k
abi
d1l
ppm@ug
m.
ac
.
i
d,h p:
/
/
l
ppm.
ug
m.
ac
.
i
d

PROSIDING
SEMINAR HASIL PENELITIAN UGM
KLUSTER AGRO

Diselenggarakan Oleh:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PROSIDING
SEMINAR HASIL PENELITIAN UGM
Editor

: Prof. Dr. Danang Parikesit, M.Sc.


Prof. Dr. Harno Dwi Pranowo, M.Si.
Dr. Ria Armunanto, M.Si.
Dr. Amir Husni, M.P.

Penata Sampul

: Yulianto, S.E.
Ika Nuria Yuanti, S.T.P.
Hesti Nur Hidayati, S.Pt.
Tri Mardiastuti, A.Md.

Penata Letak

: My. Endah Purwanti Putri, A.Md.


Washom Muhzi
Sudono Dwi Haryadi

Hak cipta dilindungi undang-undang


Edisi I, Maret 2010

ISBN : 9786028718127

Penerbit

: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM

Email

: lppm@ugm.ac.id, kabid1-lppm@ugm.ac.id

Telp.

: (+62 274) 520669, 552432, 548159 - Fax. (+62 274) 515391

KATA PENGANTAR

Dalam rangka mewujudkan visinya sebagai Universitas Riset bertaraf internasional,


Universitas Gadjah Mada telah menfasilitasi perkembangan dunia riset dengan
membentuk sebuah forum komunikasi bagi para peneliti dari berbagai bidang ilmu yaitu
Kluster Riset. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas
Gadjah Mada sebagai pengelola riset telah mengambil langkah strategis dalam
meningkatkan kegiatan riset unggulan melalui kelompok Kluster Riset, yang terdiri dari
Kluster Agro, Kluster Kesehatan dan Kedokteran, Kluster Sains-Teknik, dan Kluster
Sosial Humaniora

Melalui peneliti multi disipliner diharapkan para peneliti Universitas Gadjah Mada, dapat
memantapkan eksistensinya dalam globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama dan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk fasilitas yang diberikan oleh Universitas
Gadjah Mada kepada para peneliti adalah penyelenggaraan Seminar Hasil Penelitian
UGM pada tanggal 11 13 Januari 2010.

Yogyakarta,

Editor

Maret 2010

DAFTAR ISI

REKAYASA TANAH DASAR KOLAM INSEPTISOL MELALUI


1.
PENAMBAHAN ULTISOL DAN VERTISOL SEBAGAI MEDIA TUMBUH
ALGA BENTIK DAN PENGEMBANGAN LARVA NILA MERAH
(Oreochromis sp.) - Saberina Hasibuan , Bambang Djadmo Kertonegoro , Kamiso
Handoyo Nitimulyo , dan Eko Hanudin --------------------------------------------------- 1
2.
POTENSI TANAH BERBAHAN INDUK HARSBURGIT UNTUK
PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN LANGGIKIMA,
KONAWE UTARA, SULAWESI TENGGARA - M. Tufaila Hemon ---------------- 17
3.
DISTRIBUSI DAN KEANEKARAGAMAN
HERPETOFAUNA DI
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU, JAWA TENGAH Subeno, Bayu Wisnu Broto, Agus Sudibya Jati ------------------------------------------- 37
4. KAJIAN SIFAT-SIFAT TANAH PENENTU STABILITAS AGREGAT
TANAH PADA VERTISOL TADAH HUJAN LOMBOK - Igm. Kusnarta, B. D.
Kertonegoro, B.H. Sunarminto, dan D. Indradewa --------------------------------------- 47
5. ASSESSMENT CARBON DIOXIDE (CO2) EMISSION OF TROPICAL
PEAT UNDER SEVERAL TYPES OF LAND USE - Nyahu Rumbang , Bostang
Radjagukguk, Djoko Prajitno --------------------------------------------------------------- 59
6.
PEMETAAN KARAKTERISTIK DAN GENESIS TANAH YANG
BERKEMBANG PADA BEBERAPA FORMASI GEOLOGI DI KAWASAN
TAMAN NASIONAL LORE LINDU - Rachmat Zainuddin --------------------------- 69
7. MODEL KINETIKA PERUBAHAN SIFAT MEKANIS UBI KAYU (Manihot
esculenta Crantz) SELAMA PEMASAKAN BERTEKANAN (Puffing) DAN
PENGOVENAN - Sri Rahayoe, Budi Rahardjo, Abdul Wahid ------------------------- 87
8. PENGARUH ZEOLIT DAN HUKALSI TERHADAP DAYA RETENSI AIR
DAN PELEPASAN HARA PUPUK NPK - Abdul Syukur, Bambang Hendro
Sunarminto, Sulakhudin ---------------------------------------------------------------------- 107
9. KAJIAN SERAPAN UNSUR HARA, PERTUMBUHAN DAN HASIL
TANAMAN CABE PADA PEMBERIAN MULSA , PEMBENAH TANAH DAN
UNSUR MIKRO DI LAHAN PASIR PANTAI PADA MUSIM HUJAN - Anung
Slamet Dwi Purwantono ---------------------------------------------------------------------- 115
10. THE EFFECT OF USING OMEGA-3, OMEGA-6 FATTY ACID AND
CHOLESTEROL SINTETIC ON TESTOSTERONE HORMONE LEVEL AND
REPRODUCTION PERFORMANCES OF THE MALE QUAILS (Coturnix
coturnix japonica) - Abyadul Fitriyah, Wihandoyo, Supadmo, Ismaya --------------- 123
11. PENGGORENGAN DENGAN PASIR SEBAGAI MEDIA PENGHANTAR
PANAS - Siswantoro , Budi Rahardjo , Nursigit Bintoro , Pudji Hastuti ------------- 137
12. PENGEMBANGAN MODEL PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA
PENGGORENGAN VAKUM BUAH NANGKA - Jamaluddin, Budi Rahardjo,
Pudji Hastuti, Rochmadi ---------------------------------------------------------------------- 155

SeminarHasilPenelitianUGM2009

13. Genetic Merit Improvement of Bali Cattle as Beef and National Indigenous
Cattle using Feed and Reproductive Biotechnology Applications: The first Year
Activity - Prabowo Purwono Putro, Ismaya, Bambang Soehartanto, Asmarani
Kusumawati, Pudji Astuti 171
14. PENGEMBANGAN MELON VARIETAS BARU GAMA MELON
BASKET - Budi Setiadi Daryono, Ganies Riza Aristya -------------------------------- 179
15. LAJU DEKOMPOSISI DAUN EMPAT JENIS TUMBUHAN PIONIR YANG
TUMBUH PADA LAHAN BEKAS TAMBANG BATUBARA PT. BERAU
COAL KALIMANTAN TIMUR - Handojo Hadi Nurjanto, Haryono Supriyo,,Dwi
T Adriyanti, Arom Figyantika, Arianto Wibowo ----------------------------------------- 191
16. PENGARUH TEKNOLOGI SILVIKULTUR INTENSIF TERHADAP TATA
AIR DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA SISTEM TEBANG PILIH
TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) - Hatma Suryatmojo, Widiyatno -------- 201
17. HUBUNGAN KLONAL Staphylococcus aureus ASAL SAPI PERAH DAN
MANUSIA SEBAGAI DASAR PENGENDALIAN MASTITIS DAN INFEKSI
NOSOKOMIAL - drh. Syarifudin Tato, SU,Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia
Salasia Prof. drh. Kurniasih, M.Sc., Ph.D., Dr. drh. S. Indaryulianto ------------------ 221
18. IDENTIfikasi GEN Single Nucleotide Polymorphism (SNP) yang berpengaruh
terhadap SIFAT PERTUMBUHAN DAN pelemakan AYAM kampung - Sri
Sudaryati, Jafendi H.P. Sidadolog, Wihandoyo, dan Wayan T. Artama --------------- 229
19. REKAYASA LAHAN PASIR PANTAI GUNA MENUNJANG
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS CABAI MERAH - Dody Kastono, Prapto
Yudono, Nasih Widya Yuwono ------------------------------------------------------------- 243
20. KONSERVASI ANGGREK ALAM VANDA TRICOLOR LINDL ASLI
INDONESIA
MELALUI
PERBANYAKAN
SOMAKLONAL
:
I.
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN MOLEKULER V. TRICOLOR LINDL Aziz-Purwantoro,Endang Semiarti, Rindang Dwiyani, Esti Sri Lestari, Tantri
Swandari ---------------------------------------------------------------------------------------- 251
21. UPAYA PEMANFAATAN DEDAK SEBAGAI HERBISIDA NABATI
UNTUK PENGENDALIAN GULMA PADI SAWAH - Tohari, Dody Kastono,
Djafar Shiddieq ------------------------------------------------------------------------------- 261
22. BREEDING OF HIGH-YIELDING TOMATO FOR HIGH AND LOW
ALTITUDE AREAS - Erlina Ambarwati, Rudi Hari Murti, Sri Trisnowati ------------ 269
23. PEMILAHAN DAN PEMILIHAN VARIETAS KEDELAI BERDASARKAN
SUMBER DAN LUBUK UNTUK PENINGKATAN POTENSI HASIL BIJI Didik Indradewa, Dody Kastono, Budiastuti Kurniasih ---------------------------------- 281
24. PEMANFAATAN POTENSI MINYAK NILAM (Pogostemon cablin Benth)
SEBAGAI SUMBER ANTIBAKTERIAL ALAMI - Yuliani Aisyah ----------------- 293
25. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT PROTEOLITIK
DARI SUSU KEDELAI YANG TERFERMENTASI SPONTAN - Yusmarini, R.
Indrati, T. Utami, Y. Marsono --------------------------------------------------------------- 309

SeminarHasilPenelitianUGM2009

ii

REKAYASA TANAH DASAR KOLAM INSEPTISOL MELALUI


PENAMBAHAN ULTISOL DAN VERTISOL SEBAGAI MEDIA
TUMBUH ALGA BENTIK DAN PENGEMBANGAN LARVA NILA
MERAH (Oreochromis sp.)
Saberina Hasibuan 1*, Bambang Djadmo Kertonegoro 2,
Kamiso Handoyo Nitimulyo 3, dan Eko Hanudin 2
1
Jurusan Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNRI
2
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, UGM
3
Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, UGM
ABSTRACT
Incorporating Ultisols (U) and Vertisols (G = Grumusol) into Inceptisols (I)
pond bottom soil with the proportion of I:U or I:G each as much as 100:0, 70:30,
50:50, and 30:70, have showed increase in clay fraction than control. To increase their
chemical fertility, basalt organic and inorganic fertilizer was applied to both step
studies. Two kinds of fish population rates i.e without and with 50 fish/ m2 were
evaluated in this study. The best proportion of I:U or I:G were continued with the
addition organic fertilizer of different intervals i.e. 1, 3, and 5 times during 42 days red
nile larvae. The study found that physical and chemical fertility of bottom pond increase
and the best dose proportion of treatments (30%I:70%U) and (50%I:50%G), three
times application have resulted increase in chlorophyll (chlor.a g/l) 36.78% and
35.12%, abundance of plankton (ind./ml) 39.40% and 38.89%, benthic algae (ind./cm2)
38.61% and 38.71%, fish total weight (g) 26.27% and 45.95%, and fish average length
(cm) 4.0% and 23.91%. Application of Vertisols which are rich mineral elements to the
Inceptisols pond bottom had given better effect on pond bottom soil as well as pond
water quality compared to control and to the addition of Ultisols.
Keywords : Ultisols, Vertisols, Inceptisols, pond bottom soil fertility, red nile, soil
physical and chemical properties
PENDAHULUAN
Prospek ekonomis budidaya pembesaran benih ikan nila ukuran konsumsi (>400
g/ekor) sangat cerah. Potensi usaha perikanan budidaya di Provinsi D.I.Yogyakarta
diperkirakan sebesar 3.133,50 ha (perairan umum), 650,0 ha (tambak), 4.630,20 ha
(kolam), 10.265,60 ha (sawah/minapadi), namun yang terealisasi masing-masing
berturut-turut baru 0,17%, 8,92%, 19,76% dan 12,0%. Ukuran dan jumlah benih ikan
nila merah yang dihasilkan oleh Balai Benih Ikan Cangkringan, Sleman, D.I.
Yogyakarta pada tahun 2007 terdiri atas : 15 cm (41.000 ekor), 58 cm (431.905 ekor),
dan 8 2 cm (507 ekor)(Watyandari, 2007). Produksi benih ini dirasa masih kurang,
sehingga untuk mengatasinya perlu dicarikan alternatif pembudidayaannya terutama
melalui pengubahan dasar kolam yang dapat mendukung ketersediaan pakan alami bagi
larva-larva ikan yang diusahakan tersebut. Di daerah Cangkringan, yang terletak di
lereng bagian selatan Gunung Merapi, Inseptisol mendominasi tanah di wilayah ini dan
teksturnya dikuasai oleh fraksi pasir, sehingga kurang sesuai untuk pembangunan
kolam-kolam ikan budidaya, kecuali jika dapat dilakukan perekayasaan yang tepat.
Untuk tujuan perekayasaan tersebut sudah barang tentu diperlukan suatu kajian,

SeminarHasilPenelitianUGM2009

terutama yang menyangkut masalah karakteristik tanah di situ terutama ditinjau dari
aspek sifat fisika, kimia, maupun mineraloginya. Sampai sejauh ini, kajian semacam ini
belum pernah dilakukan, dan kalau adapun masih sangat sedikit atau terbatas.
Tanah dasar kolam, yang selanjutnya disingkat TDK, merupakan faktor yang
sangat penting (utama) dalam budidaya ikan, karena mutu bahan dasar TDK sangat
berpengaruh terhadap kualitas air kolam di atasnya dan yang pada gilirannya akan
berpengaruh kuat terhadap kehidupan (produksi) ikan yang dibudidayakan di dalam
kolam tersebut. Sonnenholzner dan Boyd (2000) mengatakan bahwa kolam yang
berpotensi untuk menghasilkan ikan yang baik dipengaruhi oleh pH dan konsentrasi
bahan organik, nitrogen dan fosfor di dalam tanah. Ditambahkan pula oleh Boyd (1995)
dan Boyd and Munsiri (1997), bahwa konsentrasi zat hara dan produktivitas plankton
pada air kolam berhubungan erat dengan pH dan konsentrasi zat-zat hara yang terdapat
di dalam tanah.
Bowman (1992) cit. Egna et al. (1997) mengklasifikasikan tanah dasar kolam
berdasarkan kandungan bahan organik dan sumber-sumber yang menyebabkan
kemasaman (acidity) dan kebasaan (alkalinity) tanah, yang dapat dipilahkan menjadi
dua tipe yaitu : (1) Reaksi tanah terhadap pH (masam, netral, dan basa), dan (2)
Komposisi tanah yang secara aktual berhubungan dengan sumber kemasaman tanah
atau kebasaan tanah, (kation dapat ditukar vs mineral bebas), kandungan bahan organik
(bahan organik vs mineral tanah), distribusi ukuran partikel tanah dan mineralogi fraksi
lempung. Selain pH tanah, sifat kimia tanah yang terpenting dalam budidaya ikan
adalah kapasitas pertukaran kation (KPK) atau Cation Exchange Capacity (CEC),
hubungan pH dengan kejenuhan basa dan unsur hara yang terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan proporsi dosis campuran tanah
kolam Inseptisol dengan bahan Ultisol dan Vertisol, sifat fisika serta kimia campuran
Inseptisol-Ultisol (I-U) dan Inseptisol-Vertisol (I-G) yang berpengaruh nyata terhadap
peningkatan kesuburan tanah dasar kolam, serta frekuensi pemberian pupuk kotoran
burung puyuh yang tepat untuk meningkatkan produktivitas kolam di dalam
menghasilkan bibit nila merah (Oreochromis sp.).
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan sebagai tanah dasar kolam adalah Inseptisol dengan
bahan campuran Ultisol (U) dan Vertisol/(Grumusol) (G). Lokasi kolam penelitian di
daerah Cangkringan, Yogyakarta dengan jenis tanah Inseptisol. Tanah ini memiliki pH
5,2, kadar lempung 11,5% dan didominasi oleh mineral smektit dan kaolinit. Bahan
Ultisol diambil dari Purwokerto dengan ciri memiliki pH 4,7, kadar lempung 60% dan
didominasi oleh mineral Halloysit. Bahan Vertisol/Grumusol diambil dari Sentolo
dengan ciri memiliki pH 6,7, kadar lempung 69% dan didominasi oleh mineral
montmorillonit. Bahan tanah tersebut dan pupuk kandang kotoran burung puyuh
(diambil dari daerah Godean), kemudian dikeringanginkan, ditumbuk, dan diayak lolos
mata saring berukuran 2 mm. Air irigasi yang digunakan dalam penelitian mempunyai
pH 7,2. Air dikumpulkan dalam satu tandon (bak) dibuat dari beton, berukuran 4,4 x 7,9
x 0,8 m3. Campuran ini tebar ke dasar kolam berukuran 1 x 2 x 1 m3, dengan tebal 15
cm.
Penelitian ini terdiri atas dua tahap yakni : (1) Tahap pertama, bertujuan untuk
menemukan proporsi dosis campuran terbaik (I-U) dan (I-G) dengan 6 perlakuan dan 1
kontrol (I:G=70%:30%; 50%:50%; 30%:70%; I:G=70%:30%; 50%:50%; 30%:70%)
dan 100%I sebagai kontrol yang masing-masing diulangi 3 kali. Pada semua unit kolam

SeminarHasilPenelitianUGM2009

yang berjumlah 42 ini diberi plastik (mulsa) untuk menghindari pengaruh tanah
Inseptisol pada tanggul dan dasar terhadap proporsi dosis campuran. Pada masingmasing unit kolam dilakukan pelumpuran, dilanjutkan pemberian pupuk basal (pupuk
kandang kotoran burung puyuh 2 ton/ha/bulan, 150 kg/ha Urea dan 75 kg/ha SP-36),
Pasaribu (2004) dan penumbuhan alga dasar (inkubasi tanah 7-10 hari). Sebanyak 21
unit kolam ditebar larva ikan nila merah (Oreochromis sp.) dengan kepadatan 50
ekor/m2 (Y) dan yang 21 unit sisanya tanpa ditebar larva ikan nila merah (X). (2) Tahap
kedua, bertujuan untuk menemukan frekuensi yang tepat untuk meningkatkan
produktivitas kolam di dalam menghasilkan bibit nila merah (Oreochromis sp.).
Proporsi dosis campuran I-U dan I-G terbaik penelitian Tahap pertama selanjutnya
diberi perlakuan frekuensi pemupukan 1 ton/ha/bulan pupuk kandang kotoran burung
puyuh yang diberikan dengan interval 1, 3, dan 5 kali dalam kurun waktu 42 hari
pemeliharaan larva.
Pengambilan Contoh, Analisis Tanah dan Air
Pengambilan contoh TDK untuk tujuan analisis dilakukan pada jeluk 5-10 cm,
di tiga titik pada masing-masing unit kolam dengan menggunakan pipa paralon
berdiameter 5 cm, kemudian dicampurkan secara merata (diaduk) dan selanjutnya
dikeringanginkan. Tanah keringangin lalu dihaluskan, diayak hingga lolos mata saring 2
mm, dan disimpan di dalam kantong plastik berlabel. Contoh air kolam diambil
menggunakan wadah botol sampel dan disimpan dalam botol plastik, dan botol kaca
berwarna gelap untuk keperluan analisis.
Pengukuran kualitas air secara in situ menggunakan Water Quality Checker
(WQC-20) untuk parameter suhu, oksigen terlarut, pH, dan DHL menggunakan Hanna
Instruments HI 8819). Pengukuran CO2 , total alkalinitas dan kesadahan (hardness)
dengan cara titrasi (Boyd dan Tucker, 1992).
Pengukuran kualitas TDK mencakup : pH H2O (1:5) (Boyd dan Tucker, 1992),
tekstur (metode pipet), permeabilitas (Permeameter model ICW), Porositas Total, BV
(metoda silinder/ring), kadar air (gravimetrik), BJ (piknometer), sebaran ukuran pori
(Black et al. 1965), N-Total (metode Kjieldahl), C-organik (metode Walkley dan
Black), nisbah C/N (perbandingan C-organik dan N-total), P tersedia (Bray & Olsen)
dan KPK (diekstraksi dengan 1 N NH4OAc pada pH=7) (Black et al., 1965).
Pengukuran parameter biologi terdiri dari organisme penyusun plankton dan
bentik alga diidentifikasi berpedoman pada buku (Davis, 1955; Mizuno, 1970; dan
Shirota,
1966) sampai genus dengan menggunakan mikroskop, perhitungan
kemelimpahan plankton dilakukan dengan metode SRCC (Sedgwick Rafter Counting
Chamber) dengan modifikasi rumus LDMC (Lackey Drop Microtransect Counting
Method), kemelimpahan bentik alga dihitung berdasarkan perhitungan plankton, dengan
modifikasi Lackey Drop Microtransecting Methods (APHA, 1989). Biomassa
chlorophyl-a dihitung dengan persamaan Hilmer (1990) diturunkan Nusch (1980)
cit.Snow dan Adams (2006), panjang dan perat ikan nila merah menurut (Effendi,
1979), Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate = SGR) yang dinyatakan oleh
Brown, 1946 cit Richter, 2001 dan Laju Pertumbuhan Metabolisme (Winberg, 1956 cit
Richter, 2001).
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Faktorial dengan unit kolam yang
tersusun secara petak terbagi. Data dari hasil pengamatan kemudian ditabulasi dan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

dianalisis berdasarkan sidik ragam dan diuji lanjut berdasarkan Uji Jarak Berganda
Duncan DMRT (Duncan`s New Multiple Range Test) pada aras nyata 5%, yang
mengacu pada petunjuk Gomez dan Gomez (1995). Data dianalisis dengan perangkat
computer menggunakan program SAS 9.0 dianalisis dengan Proc. Glm in SAS/STAT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Fsika Tanah Dasar Kolam
Tanah dasar kolam Inseptisol yang diberi perlakuan campuran bahan Ultisol dan
Vertisol telah meningkatan kadar lempung Inseptisol (100%I) (kontrol) yang semula
pada tekstur geluh (loam) menuju lempung (clay) (30%I:70%U), dan (50%I:50%G).
pore size 3000 - 300 (m)

pore size 30 - 8.65 (m)

pore size 8.65 - 0.20 (m)

pore size 300 - 30 (m)

Total pori tidakberguna(%)

68

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

66
64
62
60
58
56
54
52
33.6

34.6

36.7

PYK1

PYU2

PYU3

37.7
PYU4

33.6

39.9

40.9

42.6

PYK1

PYG2

PYG3

PYG4

Distribusi pori berguna(%)

pore size < 0.20 (m)

Total pori berguna (%) pada perlakuan proporsi dosis


campuran I-U dan I-G

(a)
Porositas Total (% v)

BJ (g/cm3)

BV (g/cm3)
3.0

60

2.5

50

2.0

40
1.5
30
1.0

20

0.5

10
0

Debu (%)

70

BJ dan BV (g/cm)

porositastotal (%v)

Fraksi pasir, debu(%) dan

Pasir (%)

0.0

11.58

26.77

36.33

PYK1

PYU2

PYU3

46.30
PYU4

11.58

28.97

40.58

51.98

PYK1

PYG2

PYG3

PYG4

Fraksi lempung (%) pada perlakuan proporsi dosis


campuran I-U dan I-G

(b)
Gambar 1 : Perubahan sifat fisika tanah kolam Inseptisol setelah diberi perlakuan
campuran bahan Ultisol dan Vertisol Penelitian Tahap I. (a). Total pori berguna, tidak
berguna dan distribusi pori berguna. (b). Fraksi lempung, pasir, debu, porositas total,
BJ dan BV pada TDK campuran Inseptisol-Ultisol (I-U) dan Inseptisol-Vertisol (I-G)
dengan persentase proporsi dosis campuran 100:0 (1) (Kontrol), 70:30 (2), 50:50 (3),
30:70 (4), pada sistem budidaya tebar ikan (Y)
Perubahan kelas tekstur tanah dasar kolam ini secara berturut-turut juga
menyebabkan perubahan pada sifat fisik tanah lainnya yaitu total pori berguna (>0,20
m 3000 m) pada tanah kolam Inseptisol 33,6% meningkat setelah diberi perlakuan
bahan Ultisol menjadi 37,7% (30%I:70%U) dan 42,6%, (30%I:70%G), total pori tidak
berguna (<0,20 m) menurun dari 66,4% (kontrol) menjadi 62,3% (30%I:70%U) dan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

57,4% (30%I:70%G) (Gambar 1a). Peningkatan porositas total tanah dari 55,37%
(kontrol) menjadi 66,30% (30%I:70%U) dan 62,82% (30%I:70%G), penurunan BJ dari
2,58 g/m3 (kontrol) menjadi 2,17g/m3 (30%I:70%U) dan 2,20 g/m3 (30%I:70%G), dan
BV dari 1,15 g/m3 (kontrol) menjadi 0,73 g/m3 (30%I:70%U) dan 0.82 g/m3
(30%I:70%G) (Gambar 1b). Fraksi pasir dan debu pada tanah kolam Inseptisol telah
tergantikan oleh fraksi lempung dalam persentase dosis campuran (70:30), (50:50),
(30:70) dan peningkatan porositas total serta penurunan BJ dan BV tanah dasar kolam
lebih dominan berasal dari lempung yang terkandung pada Ultisol dan Vertisol.
Pada Gambar 2.a terlihat bahwa tanah kolam Inseptisol (PXK1 dan PYK1)
memiliki permeabilitas (14,6-15,7 cm/jam)(cepat) yang tinggi dibandingan tanah dasar
kolam yang mendapat perlakuan bahan Ultisol dan Vertisol. Hal ini disebabkan karena
fraksi pasir yang mendominasi sehingga bersifat porus. Pada kolam dengan proporsi
dosis campuran yang tinggi (30%:70%) pada I-U menunjukkan penurunan (5,0-5,5
cm/jam)(sedang) dan pada I-G (3,3-3,8 cm/jam)(sedang). Peningkatan fraksi lempung
pada campuran ini mampu menurunkan sifat asli tanah Inseptisol yang porus.
Peningkatan lempung dan bahan organik juga berbanding terbalik terhadap
permeabilitas tanah Inseptisol. Sedangkan pada Gambar 2.b menunjukkan bahwa
perlakuan frekuensi pemupukan juga berperan dalam menurunkan permeabilitas TDK.
Penurunan permeabilitas dalam keadaan jenuh tampak pada perlakuan frekuensi
pemupukan 3 kali dalam 42 hari periode pemeliharaan larva, yaitu perlakuan XPU4(F3)
dan YPU4(F3) (4,8-5,4 cm/jam)(sedang) dan XPG3(F3) dan YPG3 (F3) (3,4-4,2
cm/jam)(sedang).
Awal

Akhir
8

16

14

P e rm e a b ilita s (c m /ja m )

P e rm e a b ilita s (c m /ja m )

Awal
18

12
10
8
6
4
2

Akhir

6
5
4
3
2
1

PYK1
PYG2
PYG3
PYG4

0
PYK1
PYU2
PYU3
PYU4

PXK1
PXG2
PXG3
PXG4

PXK1
PXU2
PXU3
PXU4

XPU4 XPU4 XPU4


(F1) (F3) (F5)

XPG3 XPG3 XPG3


(F1) (F3) (F5)

YPU4 YPU4 YPU4


(F1) (F3) (F5)

YPG3 YPG3 YPG3


(F1) (F3) (F5)

Perlakuan Frekuensi pemupukan

Perlakuan proporsi dosis campuran I-U dan I-G

a
b
Gambar 2: Perubahan permeabilitas tanah kolam Inseptisol setelah diberi perlakuan
campuran bahan Ultisol dan Vertisol. (a) Pengaruh proporsi dosis campuran terhadap
permeabilitas pada penelitian Tahap I, (b) pengaruh frekuensi pemberian pupuk
terhadap permeabilitas pada penelitian Tahap II, pada TDK campuran Inseptisol-Ultisol
(I-U) dan Inseptisol-Vertisol (I-G) dengan persentase proporsi dosis campuran 100:0 (1)
(Kontrol), 70:30 (2), 50:50 (3), 30:70 (4), sistem budidaya tanpa tebar ikan (X) dan
ditebar ikan (Y), pada frekuensi pemupukan (F1), (F3), (F5).
Hal ini diduga disebabkan oleh menurunnya presentase pori tidak berguna akibat
tertutup oleh partikel-partikel tersuspensi (organik dan anorganik) pada saat terjadi
proses sedimentasi pada kolom air. Selain bahan organik, menurut Yilmaz et al. (2005)

SeminarHasilPenelitianUGM2009

peningkatan lempung pada tanah menyebabkan menurunnya BV dan permeabilitas pada


kondisi jenuh. Kondisi ini disebabkan oleh nisbah Ca2+/Mg2+ dan nisbah mineral
smektit/kaolinit berada pada taraf sedang.
S e b a ra n p o ri tid a k b e rg u n a d a n p o ri b e rg u n a
(% )

100

Pasir (%)
BJ (g/cc)

Penyimpan
lengas (8.65 0.20m)

90
80
70

50

Drainase cepat
(300 - 30m)

40
30
20

D. sangat
cepat (3000 300m)

10
0

YPU4 YPU4 YPU4 YPG3 YPG3 YPG3


(F1) (F3) (F5) (F1) (F3) (F5)

Perlakuan frekuensi pemupukan

Lempung (%)
Porositas Total (% v)

64
60
56
52
48
44
40
36
32
28
24
20
16
12
8
4
0

D. lambat (30 8.65m)

60

Debu (%)
BV (g/cc)

Total pori tidak


berguna
(<2m)

YPU4 (F1)

YPU4 (F3)

YPU4 (F5)

YPG3 (F1)

YPG3 (F3)

YPG3 (F5)

Perlakuan frekuensi pemupukan

(a)

(b)

Gambar 3: Perubahan sifat fisika tanah kolam Inseptisol setelah diberi perlakuan
campuran bahan Ultisol dan Vertisol Penelitian Tahap II. (a). Total pori berguna, tidak
berguna dan distribusi pori berguna. (b). Fraksi lempung, pasir, debu, porositas total,
BJ dan BV pada TDK. campuran Inseptisol-Ultisol (I-U) dan Inseptisol-Vertisol (I-G).
Pada penelitian Tahap II sudah merupakan kondisi TDK terbaik bagi budidaya
ikan dengan proporsi dosis campuran 30%I:70%U (YPU4) dan 50%I:50%U (YPG3)
dengan rerata sebaran pori berguna 37,0% dan 39,6%, pori tidak berguna 63,0% dan
60,4% (Gambar 3a) dan nilai BV 2,29 g/m3 dan 2,3 g/m3, BJ 1,0 g/m3 dan 0,9 g/m3, dan
porositas total 56,55% dan 59,15% (Gambar 3b). Informasi tentang sebaran ukuran pori
sangat berguna dalam dekomposisi bahan organik pada saat kolam dikeringkan.
Kualitas Kimia Tanah Dasar Kolam
Perubahan yang terjadi pasa sifat fisika tanah dasar kolam Inseptisol yang diberi
perlakuan bahan Ultisol dan Vertisol juga diikuti oleh perubahan sifat kimianya.
Kesuburan kimiawi TDK dipengaruhi oleh pH tanah. Pada Tabel 1 terlihat nilai pH
tanah kolam Inseptisol berkisar 5,75-5,79 yang mengalami peningkatan setelah
digenangi dari pH asli tanah 5,2, sedangkan yang diberi perlakuan Ultisol (I-U) dan
Vertisol (I-G) setelah digenangi menunjukkan perubahan pH menuju ke arah netral.
Menurut Ponnamperuma cit. Patrick dan Reddy, 1978) bahwa kemampuan pH dalam
aksi membuffer pada sistem redoks tanah ditentukan oleh besi dan mangan (tanah yang
bersifat masam) dan asam karbonat (pada tanah yang bersifat basa). Pada reaksi
oksidasi dan reduksi yang terjadi melibatkan konsumsi atau produksi dari ion H+ dan
OH-.
Nilai pH tanah Inseptisol yang diberi perlakuan Ultisol meningkat berkisar 5,775,87 dari pH asli tanah Ultisol (4,7), hal ini disebabkan karena Fe3+ yang tereduksi
menjadi Fe2+ dan menghasilkan ion OH- yang selanjutnya meningkatkan pH tanah.
Sedangkan penurunan pH tanah campuran I-G (6,06-6,66) dari pH asli tanah Vertisol
(6,7) ini lebih dipicu oleh proses dekomposisi bahan organik yang menghasilkan CO2
sehingga tekanan parsial CO2 yang tinggi menghasilkan asam karbonat dan melepaskan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

ion H+ yang selanjutnya menurunkan pH tanah. Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa pH
tanah pada perlakuan frekuensi pemupukan 1, 3 dan 5 kali berkisar 5,21-5,72. Penurunan
pH tanah dasar kolam ini disebabkan oleh peningkatan bahan organik pada tanah dan
Nisbah C/N yang rendah mendorong proses dekomposisi bahan organik dengan cepat
sehingga pembentukan asam-asam organik dan pelepasan ion H+ sebagai penyebab
turunnya pH tanah.
Tabel 1. Rerata parameter kualitas TDK pada penelitian Tahap I pada saat panen benih
Perlakuan

B.
N. Total
Rasio
P Tersedia
KPK
pH
Organik (%)
(%)
C/N
(ppm)
(cmol(+)Kg-1) (1:5 H2O)
Sistem budidaya tanpa ikan
PXK1
1,64 g
0,18 f
5,21 a
18,2 g
26,04 j
5,75 d
PXU2
1,82 f
0,20 f
5,32 a
18,7 f
27,38 i
5,77 d
PXU3
1,97 d
0,25 e
4,57 b
19,7 d
28,99 h
5,85 d
PXU4
2,15 b
0,30 cd 4,11 bc
20,1 c
31,77 e
5,87 d
PXG2
1,80 f
0,25 e
4,19 bc
19,2 e
29,15 gh
6,09 cd
PXG3
1,98 d
0,30 cd 3,81 cd
20,7 c
31,14 f
6,36 abc
PXG4
2,17 b
0,33 c
3,85 cd
22,1 a
34,97 b
6,66 a
Sistem budidaya dengan ikan (50 ekor/m2 larva nila merah)
PYK1
1,79 f
0,25 e
4,15 bc
18,4
g
27,38 i
5,79 d
PYU2
1,90 e
0,28 de 4,00 c
19,8
d
29,33 g
5,82 d
PYU3
2,04 c
0,30 cd 3,92 c
20,8
c
32,13 d
5,84 d
PYU4
2,20 b
0,41 a
3,14 e
21,7
b
33,15 c
5,85 d
PYG2
1,90 e
0,30 cd 3,72 cd
19,6
e
31,35 f
6,06 cd
PYG3
2,07 c
0,36 b
3,31 de
20,9
c
34,93 b
6,21 bc
PYG4
2,25 a
0,39 ab 3,36 de
22,4
a
36,45 a
6,45 ab
Keterangan: angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada taraf 5% Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT)

Pada Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa bahan organik, N-total, P-tersedia dan KPK
mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu konsentrasi meningkat dengan
bertambahnya kandungan lempung TDK, yakni campuran I-G lebih besar daripada I-U.
Bahan organik pada tanah kolam Inseptisol berkisar 1,64-1,79 % sedangkan pada tanah
yang mendapat perlakuan bahan Ultisol meningkat dengan kisaran 1,82-2,20 % dan
perlakuan bahan Vertisol meningkat dengan kisaran 1,80-2,25 %. Pada perlakuan
frekuensi pemupukan terlihat bahwa pemberian 3 kali dalam 42 hari kadar bahan
organik TDK berbeda nyata dengan 1 dan 5 kali. Perlakuan kolam dengan sistem ditebar
ikan bahan organiknya lebih tinggi daripada kolam tanpa ditebar ikan. Kandungan bahan
organik pada kolam selama pemeliharaan larva nila merah dipengaruhi oleh kadar
lempung, jenis mineral lempung dan sumber bahan organik dalam kolam yang berasal
dari kemelimpahan alga dasar dan plankton yang mati serta frekuensi pemberian pupuk.
Kandungan nitrogen pada TDK terbesar terdapat dalam bentuk nitrogen organik
dan lainnya dalam bentuk nitrogen anorganik, kedua bentuk ini terukur dalam bentuk N
total. Konsentrasi N total pada molan Inseptisol (PXK1 dan PYK1) berkisar 0,18-0,25
% dan pada campuran I-U berkisar 0,20-0,41 % dan campuran I-G berkisar 0,25-0,39 %
(Tabel 1). Pada kolam budidaya yang menggandalkan pakan alami maka bentik alga
dan plankton merupakan sumber utama nitrogen dengan kisaran 5-10 % dari berat
keringnya, (Boyd, 1990).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Kandungan N total pada kolam proporsi dosis campuran 30%I:70%G ditebar


ikan (PYG4) tidak berbeda nyata terhadap kolam proporsi dosis campuran 50%I:50%G
ditebar ikan (PYG3) dan kolam proporsi dosis campuran 30%I:70%U ditebar ikan
(PYU4), tetapi PYU4 berbeda nyata terhadap PYG3 pada taraf 0,05 DMRT. Hal yang
sama juga terjadi pada kolam tanpa ditebar ikan, sehingga TDK dengan perlakuan
PYU4 dan PYG3 merupakan kolam paling baik dan ini dibuktikan dengan produksi
biomasa ikan paling tinggi, sehingga kedua perlakuan ini terpilih untuk dilanjutkan ke
penelitian Tahap II. Kandungan N total pada kolam yang diberi perlakuan frekuensi
pemupukan 1, 3 dan 5 kali tidak berbeda nyata baik pada kolam yang ditebar ikan
maupun tanpa ikan (Tabel 2).
Nisbah C/N kolam tanah Inseptisol yang yang diberi perlakuan dengan bahan
Ultisol dan Vertisol berada pada kisaran 3,14-5,32 dan nilai ini lebih rendah dari rasio
C/N pada tanah kolam Inseptisol (4,15-5,21). Pada kolam yang ditebar ikan, nisbah C/N
pada tanah I-G tidak berbeda nyata antar perlakuan tetapi tidak terhadap tanah Inseptisol
(kontrol). Tanah Inseptisol yang dicampur dengan Ultisol pada proporsi 30%:70%
berbeda nyata terhadap kontrol tetapi tidak berbeda nyata pada tanah Inseptisol yang
dicampur dengan Vertisol pada kolam yang ditebar ikan dan tanpa ikan. Nisbah C/N
pada kolam yang diberi perlakuan frekuensi pemupukan 1, 3 dan 5 kali tidak berbeda
nyata baik pada kolam yang ditebar ikan maupun tanpa ikan (Tabel 2).
Nisbah C/N biasanya berkisar 10-20, namun Boyd et al. (1997) pada penelitian
CRSP, nisbah C/N berkisar 7-15 dan Munsiri et al. (1995) pada TDK di pusat penelitian
Universitas Auburn Alabama berkisar 5-7. Nisbah C/N selama penelitian masih dalam
batas optimum untuk terjadinya dekomposisi bahan organik secara cepat yakni < 15.
Tabel 2. Rerata parameter kualiatas TDK pada penelitian Tahap II
pada saat panen benih
Perlakuan

B.
N. Total
Rasio
P Tersedia
KPK
pH
Organik (%)
(%)
C/N
(ppm)
(cmol(+)Kg-1) (1:5 H2O)
Sistem budidaya tanpa ikan
XPU4(F1) 1,70 ef
0,24 bc 4,13 f
26,3 i
32,70 d
5,25 e
XPU4(F3) 1,90 cd
0,25 abc 4,41 ef
31,5 h
33,69 c
5,28 de
XPU4(F5) 1,63 f
0,19 f
5,05 cd
24,2 j
30,54 f
5,21 e
XPG3(F1) 2,36 b
0,23 cde 6,06 ab
48,7 c
33,40 c
5,38 d
XPG3(F3) 2,75 a
0,25 abc 6,41 a
53,7 b
36,11 a
5,49 c
XPG3(F5) 1,93 cd
0,20 ef
5,60 b
45,5 e
31,33 e
5,31 ed
Sistem budidaya dengan ikan (50 ekor/m2 larva nila merah)
YPU4(F1) 1,81 de
0,25 abc 4,26 ef
41,7 g
33,47 c
5,30 de
YPU4(F3) 1,96 c
0,26 ab
4,38 ef
43,5 f
35,15 b
5,37 d
YPU4(F5) 1,72 ef
0,21 def 4,77 de
26,4 i
31,89 e
5,26 de
YPG3(F1) 2,35 b
0,25 abc 5,55 bc
49,4 c
34,59 b
5,64 ab
YPG3(F3) 2,86 a
0,27 a
6,09 ab
55,5 a
36,68 a
5,72 a
YPG3(F5) 2,00 c
0,23 bcd 5,05 cd
46,4 d
33,83 c
5,57 bc
Keterangan: angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada taraf 5% Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT)

Pada Tabel 1 terlihat P tersedia pada kolam dengan tanah Inseptisol (PXK1 dan
PYK1) berkisar 18,2-18,4 ppm dan yang diperlakukan dengan bahan Ultisol dan
Vertisol terjadi peningkatan kadar P tersedia. P tersedia pada campuran I-U berkisar
18,7-21,7 ppm dan I-G berkisar 19,2-22,4 ppm. Peningkatan kadar P tersedia pada
kolam yang tanpa ditebar ikan tidak berbeda nyata dengan kolam yang ditebar ikan. P

SeminarHasilPenelitianUGM2009

tersedia pada kolam yang diberi perlakuan frekuensi pemupukan 1 kali berbeda nyata
dengan 3 dan 5 kali baik pada kolam yang ditebar ikan maupun tanpa ikan (Tabel 2).
Menurut Boyd (1994), kadar P tersedia pada tanah dasar kolam berada pada kisaran
sedang (10-20 ppm) kecuali pada campuran Inseptisol dengan bahan tanah Vertisol
proporsi dosis 30%:70% berkisar 22,1-22,4 ppm yang termasuk dalan kategori tinggi
(20-40 ppm).
Kesuburan kimiawi dilihat dari KPK tanah dasar kolam Inseptisol (PXK1 dan
PYK1) berkisar 26,04-27,38 cmol(+)Kg-1 dan yang diperlakukan dengan bahan Ultisol
berkisar 27,38-33,15 cmol(+)Kg-1 sedangkan yang diperlakukan dengan bahan Vertisol
berkisar 29,15-36,45 cmol(+)Kg-1. KPK tanah pada kolam yang ditebar ikan lebih tinggi
daripada yang tidak ditebar ikan namun keduanya tidak berbeda nyata. KPK pada kolam
yang diberi perlakuan frekuensi pemupukan 1 kali berbeda nyata dengan 3 dan 5 kali
baik pada kolam yang ditebar ikan maupun tanpa ikan (Tabel 2).
Menurut Boyd (1995) tanah yang mengandung 30% lempung smektit dan 5%
bahan organik mempunyai KPK berkisar antara 35-40 cmol(+)kg-1. Tanah yang
mengandung 10% lempung kaolinit, 20% besi dan lempung alumunium oksida, dan 1%
bahan organik mempunyai KPK antara 3-4 cmol(+)kg-1.
Kualitas Air Kolam
Rekayasa tanah kolam Inseptisol dengan bahan tanah Ultisol dan Vertisol telah
dapat meningkatkan keharaan pada tanah dasar kolam. Ketersediaan hara yang cukup
pada tanah berpengaruh pada kesuburan secara fisikokimiawi tanah dasar yang
selanjutnya memberikan efek positif pada kelarutan unsur (berupa ion-ion) dan senyawa
yang dibutuhkan untuk perkembangan plankton serta alga dasar sebagai pakan larva nila
merah. Beberapa parameter kualitas air tersebut diantaranya suhu, oksigen terlarut, pH,
DHL, CO2, Alkalinitas dan Kesadahan Tabel 3 dan 4).
Pada kolam dengan tanah dasar Inseptisol dan yang diberi perlakuan Ultisol dan
Vertisol pada kolam yang ditebar ikan dan tanpa ikan berkisar 20,7-33,0 oC (Tabel 3)
dan pada perlakuan frekuensi pemupukan suhu air berkisar 20,7-32,7 oC. Suhu
mempunyai pengaruh besar terhadap proses-proses kimia dan biologi. Kisaran suhu ini
masih mendukung bagi pertumbuhan larva nila merah dan suhu optimum bagi
pertumbuhan plankton berkisar 20-30 oC (Effendi 2003).
Kisaran oksigen terlarut pada kolam dengan tanah Inseptisol berkisar 3,3-7,3
mg/l sedangkan pada kolam yang diperlakuan Ultisol berkisar 3,4-8,9 mg/l dan kolam
yang diperlakuan Vertisol berkisar 3,3-9,1 mg/l. Oksigen terlarut ini sedikit menurun
pada kolam dengan perlakuan frekuensi pemupukan berkisar 2,1-8,0 mg/l (Tabel 4).
Penurunan oksigen terlarut ini disebabkan oleh peningkatan bahan organik di TDK.
Menurut Boyd (1990) konsentrasi O2 dengan kisaran 1,0-5,0 mg/l, ikan masih dapat
hidup, namun bila konsentrasi lebih besar dari 5 mg/l pertumbuhan ikan akan jauh lebih
baik lagi.
Hubungan antara CO2, alkalinitas, kesadahan, dan pH pada penelitian Tahap I
dan II menggambarkan kondisi TDK yang mendukung bagi pertumbuhan ikan. pH air
kolam berkisar 6,3-8,7 dan 6,2-8,4, cenderung rendah pada pagi hari dan meningkat
pada sore hari. Konsentrasi CO2 lebih tinggi pada pH sekitar 4 menunjukkan adanya
karbon anorganik dalam bentuk CO2 dan sampai pH 8,3 karbon anorganik hadir dalam
bentuk HCO3-. Ion bikarbonat inilah yang berperan sebagai penyangga (buffer) dan
penyedia karbon untuk keperluan fotosintesis fitoplankton dan bentik alga. Tingginya
konsentrasi CO2 masih layak untuk kepentingan budidaya perikanan, karena diimbangi

SeminarHasilPenelitianUGM2009

oleh konsentrasi O2 yang cukup. Boyd (1990) dan Wurts and Durborow (1992)
menyatakan bahwa konsentrasi CO2 yang mendukung pertumbuhan populasi ikan
dengan baik yakni < 5 mg/l dan pada kolam alami dapat mencapai 5-10 mg/l.
Tabel 3. Rerata kisaran parameter kualitas air kolam pada penelitian Tahap I
PerSuhu
pH
DHL
CO2
O2
lakuan
(oC)
(mg/l)
(S/cm)
(mg/l)
Sistem budidaya tanpa ikan
PXK1 20,7-32,3 3,3-7,2 6,3-7,4 228-247
5,9-7,9
PXU2 22,0-33,0 3,4-8,4 6,9-8,7 232-252
5,3-7,3
PXU3 21,3-32,7 3,5-8,6 6,9-8,7 237-258
4,7-6,0
PXU4 21,7-32,3 3,9-8,7 6,9-8,7 242-264
4,1-5,7
PXG2 21,3-32,7 3,3-8,7 6,9-8,6 236-253
4,6-8,5
PXG3 22,0-32,7 3,4-8,8 6,9-8,7 242-258
4,4-6,8
PXG4 20,7-32,0 3,5-9,0 6,9-8,7 244-258
4,3-6,3
Sistem budidaya dengan ikan (50 ekor/m2 larva nila merah)
PYK1 20,7-31,7 3,4-7,3 6,2-7,5 230-247
6,8-9,9
PYU2 21,3-31,3 3,4-8,5 6,9-8,6 232-249
6,2-7,3
PYU3 21,7-31,7 3,6-8,7 7,0-8,7 234-252
6,0-7,2
PYU4 21,7-30,7 3,7-8,9 7,0-8,7 237-254
5,4-6,8
PYG2 21,7-31,7 3,6-8,9 6,9-8,7 238-257
6,5-8,4
PYG3 21,3-31,0 3,5-9,0 6,9-8,7 241-258
5,9-8,2
PYG4 21,3-31,3 3,6-9,1 6,9-8,7 243-258
5,6-8,1

Alkalinitas
total (mg/l)

Kesadahan
total (mg/l)

81,7-105,7
89,8-113,5
94,2-114,0
97,8-117,5
85,7-121,8
93,8-132,7
92,2-121,3

142,7-141,7
135,7-151,2
130,9-150,0
121,4-144,6
130,9-146,4
138,1-153,6
142,9-164,3

89,2-127,8
99,3-128,0
104,3-132,2
108, 7-136,2
86,2-122,3
103,7-130,2
96,0-125,3

133,3-140,5
128,6-167,9
123,8-152,4
119,1-148,8
130,9-149,4
133,3-157,1
140,5-167,9

Tabel 4. Rerata kisaran parameter kualitas air kolam pada penelitian Tahap II
Perlakuan

Suhu
pH
DHL
CO2
O2
(oC)
(mg/l)
(S/cm)
(mg/l)
Sistem budidaya tanpa ikan
XPU4(F1) 23,0-33,3 2,2-7,5 6,3-8,2 226,7-241,3 6,2-7,9
XPU4(F3) 23,0-33,3 2,4-7,6 6,4-8,4 240,7-253,0 6,3-7,3
XPU4(F5) 23,0-33,3 2,1-7,4 6,4-8,3 234,0-245,7 6,9-7,8
XPG3(F1) 23,0-33,3 2,3-7,6 6,2-8,4 253,7-266,7 5,3-7,6
XPG3(F3) 23,0-33,0 2,4-7,9 6,5-8,4 249,0-262,0 5,4-7,3
XPG3(F5) 23,0-33,0 2,1-7,7 6,2-8,4 237,0-245,3 6,6-7,5
Sistem budidaya dengan ikan (50 ekor/m2 larva nila merah)
YPU4(F1) 23,0-33,0 2,2-7,5 6,3-8,3 238,0-250,0 6,9-7,5
YPU4(F3) 23,0-32,7 2,3-7,8 6,7-8,4 241,0-257,3 6,6-7,8
YPU4(F5) 23,0-33,0 2,1-7,7 6,4-8,4 241,0-249,3 6,8-7,3
YPG3(F1) 23,0-33,3 2,2-7,7 6,6-8,4 259,3-272,3 7,3-7,6
YPG3(F3) 23,0-33,0 2,3-8,0 6,7-8,5 255,0-268,3 6,3-7,3
YPG3(F5) 23,0-33,3 2,1-7,8 6,6-8,4 248,0-256,7 6,6-7,4

Alkalinitas
total (mg/l)

Kesadahan
total (mg/l)

71,5-93,0
77,2-106,8
69,2-90,8
78,5-108,8
80,3-115,2
73,7-107,0

135,7-192,9
138,1-198,8
132,1-194,1
148,8-188,1
150,0-195,2
146,4-186,9

75,5-102,5
79,5-119,5
71,0-96,5
82,7-107,7
87,0-120,8
74,8-97,0

121,4-178,6
128,6-183,3
116,7-177,4
161,9-197,6
173,8-202,4
155,9-194,1

Kisaran total alkalinitas pada masing-masing plot penelitian Tahap I dan II


terendah ditemukan pada Kontrol PXK1 (81,7-105,7 mg/l CaCO3) dan PYK1 (89,2127,8 mg/l CaCO3) dan tertinggi pada proporsi dosis campuran 30%I:70%U yang
ditebar ikan (PYU4) berkisar 108,7-136,2 mg/l CaCO3 dan pada proporsi dosis
campuran 50%I:50%G yang ditebar ikan (PYG3) berkisar 103,7-130,2 mg/l CaCO3 dan
YPG3(F3) berkisar 87,0-120,80 mg/l CaCO3 dan XPG3(F3) berkisar 80,30-115,2 mg/l
CaCO3. Tanah Inseptisol yang diperlakukan dengan bahan Vertisol kaya dengan kation

SeminarHasilPenelitianUGM2009

10

Ca dan Mg sehingga lebih tinggi dalam membuffer pH baik air maupun tanah. Hal ini
juga terlihat pada perlakuan frekuensi pemupukan 3 kali jauh lebih baik dari pada 1 dan
5 kali baik pada kolam tanpa ikan maupun yang ditebar ikan.
Konsentrasi kesadahan untuk campuran TDK I-U menunjukkan bahwa semakin
tinggi campuran Ultisol, maka konsentrasi kesadahan menurun, sedangkan pada I-G
semakin tinggi campuran Vertisol, kesadahannya meningkat. Kisaran konsentrasi pada
masing-masing plot penelitian Tahap I dan II terendah pada kontrol (PYK1) berkisar
119,1-148,8 mg/l CaCO3, dan pada kolam dengan tanah Inseptisol yang mendapat
perlakuan bahan Ultisol pada proporsi dosis campuran 30%I:70%U tanpa ditebar ikan
(PXU4) berkisar 121,4-144,6 mg/l CaCO3 dan
ditebar ikan dengtan frekuensi
pemupukan 5 kali (YPU4 (F5)) berkisar 116,7-177,4 mg/l CaCO3, sedangkan tertinggi
pada kolam dengan tanah Inseptisol yang mendapat perlakuan bahan Vertisol pada
proporsi dosis campuran 30%I:70%G tanpa ditebar ikan (PXG4) berkisar 142,9-164,3
mg/l CaCO3, dan ditebar ikan (PYG4) berkisar 140,5-167,9 mg/l CaCO3 serta dengan
perlakuan frekuensi pemupukan 3 kali dan ditebar ikan (YPG3(F3)) berkisar 173,8202,4 mg/l CaCO3. Keadaan ini terjadi karena kandungan Ca lebih besar terdapat pada
Vertisol dibandingkan Inseptisol dan Ultisol, sedangkan pada penelitian Tahap II,
peningkatan Ca pada campuran I-U merupakan pengaruh dari frekuensi pemupukan
dengan bahan organik kotoran burung puyuh. Boyd (1990) menyatakan bahwa jika total
konsentrasi alkalinitas pada kisaran menengah (75-200 mg/l) dan kesadahan juga pada
kisaran menengah 100-250 mg/l CaCO3, maka kondisi ini baik untuk pertumbuhan ikan.
Kondisi ini juga didukung oleh daya hantar listrik (DHL) yang berkisar 20-1500 S/cm,
yang secara numerik menggambarkan kemampuan air dalam menghantarkan listrik
melalui asam-asam, basa-basa, dan garam-garam bebas yang terlarut di dalamnya
(Effendi 2003).
Produktivitas Kolam
Peningkatan produktivitas kolam dilihat dari nilai klorofil-a, kelimpahan
plankton, bentik alga, dan biomassa benih ikan nila merah tertinggi pada
porsentase campuran
I-U(30:70) dan I-G(50:50) dibandingkan dengan Kontrol baik
pada sistem budidaya ditebar ikan (PYK1) dan tanpa ditebar ikan (PXK1) menunjukkan
perbedaan yang nyata pada taraf 5% DMRT.
Konsentrasi klorofil-a, kelimpahan plankton dan bentik alga, bobot total, dan
rerata panjang ikan nila merah pada perlakuan terbaik (PXU4-PYU4), (PXG3-PYG3)
berbeda nyata dengan Kontrol (PXK1-PYK1) dan pada akhir penelitian, masing-masing
berkisar antara 11,12-13,07 chl.a g/l, 12,01-16,09 chl.a g/l, 3,72-4,61 chl.a g/l;
4265-5848 ind./ml, 5450-6285 ind/ml, 1730-3835 ind/ml; 6798-9108 ind./cm2, 760114190 ind./cm2, 2640-4554 ind./cm2; 20,71 g, 18,50 g, 9,32 g; 5,0 cm, 4,6 cm dan 3,8
cm (Tabel 5 dan 7). Penggunaan pupuk basal yang dicampurkan pada TDK dengan
prosentase campuran I-U(30:70) dan
I-G(50:50) serta Kontrol (100:0) memiliki
kandungan lempung berturut-turut berkisar 46,08-46,30%, 40,13-40,58%, dan 11,3811,58% adalah belum maksimal, sehingga dilanjutkan dengan perlakuan frekuensi
pemupukan 1 kali, 3 kali dan 5 kali dalam masa pemeliharaan larva 42 hari.
Pada kolam tanah Inseptisol yang diberi perlakuan dengan bahan Ultisol lebih
tinggi kadar lempung yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang sama dengan tanah
Inseptisol yang diberi perlakuan Vertisol. Kondisi ini disebabkan kedua bahan tanah
lempung ini memiliki kesuburan yang berbeda dan jenis mineral yang berbeda.

11

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 5. Kesuburan kolam dilihat dari kandungan klorofil-a, kelimpahan plankton, dan
bentik alga yang dipanen pada hari ke 40 pada Penelitian Tahap I
Perlakuan
Rerata konsentrasi
Rerata kelimpahan Rerata kelimpahan
klorofil-a (mg/m3)
plankton ( ind./ml) bentik alga ( ind./cm2)
Sistem budidaya tanpa ikan
PXK1
3,72
i
1730
n
2640 k
PXU2
5,13
h
2915
m
4059 i
PXU3
7,60
f
3770
k
5247 h
PXU4
11,12 d
4265
i
6798 f
PXG2
6,33
g
3425
l
6072 g
PXG3
12,01 cd
5450
d
7601 e
PXG4
10,02 e
4855
f
7975 d
Sistem budidaya dengan ikan (50 ekor/m2 larva nila merah)
PYK1
4,61
hi
3835
j
4554 i
PYU2
8,18
f
4485
h
6765 f
PYU3
12,19 bc
5030
e
7634 e
PYU4
13,07 b
5848
c
9108 c
PYG2
9,25
e
4620
g
6853 f
PYG3
16,09 a
6285
a
14190 a
PYG4
15,37 a
6025
b
12221 b
Keterangan: angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada taraf 5% Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT)

Tabel 6. Kesuburan kolam dilihat dari kandungan klorofil-a, kelimpahan plankton, dan
bentik alga yang dipanen pada hari ke 40 pada Penelitian Tahap II
Perlakuan
Rerata konsentrasi
Rerata kelimpahan Rerata kelimpahan
klorofil-a (mg/m3)
plankton ( ind./ml
bentik alga ( ind./cm2)
Sistem budidaya tanpa ikan
XPU4 (F1)
12,10
j
5145
j
8239
j
XPU4 (F3)
15,02
f
5955
h
9460
h
XPU4 (F5)
13,05
i
4620
k
7392
k
XPG3 (F1)
14,12 g
6555
f
9176
i
XPG3 (F3)
17,11 d
7560
c
10516
f
XPG3 (F5)
15,59 e
5950
h
8250
j
Sistem budidaya dengan ikan (50 ekor/m2 larva nila merah)
YPU4 (F1)
13,58 h
7095
d
11088 e
YPU4 (F3)
18,10 c
8140
b
12562 d
YPU4 (F5)
16,00 e
6330
g
9856
g
YPG3 (F1)
18,26 c
7575
c
17225 b
YPG3 (F3)
20,56 a
8740
a
19734 a
YPG3 (F5)
19,15 b
6845
e
15213 c
Keterangan: angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada taraf 5% Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT)

Hasil yang didapat pada perlakuan terbaik I-U dengan proporsi dosis campuran
(30%:70%) dan campuran I-G (50%:50%) pada penelitian Tahap I dengan perlakuan
frekuensi pemupukan 3 kali mengalami peningkatan masing-masing untuk klorofil-a

SeminarHasilPenelitianUGM2009

12

berkisar 15,0218,10 chl.a g/l dengan peningkatan 36,78% dan 17,11-20,56 chl.a g/l
(35,12%); untuk kelimpahan plankton 5955-8140 ind./ml dengan peningkatan 39,40%,
dan 7560-8740 ind/ml (38.89%); untuk bentik alga 9469-12562 ind./cm2 dengan
peningkatan 38,61% dan 10516-19734 ind./cm2g (38,71%) (Tabel 6 dan 8). Mutu
plankton yang diukur dari kandungan klorofil-a nya menunjukkan bahwa kesuburan
kolam berbanding lurus dengan peningkatan lempung dan berpengaruh positif terhadap
pertambahan bobot benih ikan nila merah. Peningkatan pertumbuhan ikan dari
penelitian Tahap I ke Tahap II masing-masing untuk (bobot total) tertinggi ikan nila
merah (YPU4(F3)) 26,15g dengan kenaikan 26,27% dan (YPG3(F3)) 27,00g kenaikan
45,95%, rerata panjang ikan nila merah (YPU4(F3)) 5,2 cm dengan kenaikan 4.0%
berbeda nyata dengan perlakuan (YPG3(F3)) 5,7 cm dengan kenaikan 23,91% pada
taraf 5% DMRT. Sementra laju pertumbuhan spesifik dan metabolik pada perlakuan
YPU4(F3) tidak berbeda nyata dengan YPG3(F3) pada taraf 5% DMRT masingmasing dengan nilai pertumbuhan spesifik (13,6 dan 14,3% BW/hari) dan metabolik
(14,38 dan 15,15 g Kg -0,8 per hari) (Tabel 8).
Tabel 7. Rerata bobot, total bobot, rerata panjang, laju pertumbuhan spesifik dan
metabolik ikan nila merah pada Penelitian Tahap I
Rerata bobot
ikan nila merah (g)
PERLAKUAN
Umur
7 hari

Bobot
total (g)
akhir
akhir
penelitian penelitian

Rerata
panjang ikan
nila merah
(cm)
akhir
penelitian

Pengukuran pada hari ke 42


laju pertumbuhan
Spesifik
Metabolik
(%BW/hari)
(g Kg -0,8 per
hari)

PYK1
0,009 a 1,10 e
9,32 d
3,8
d
11,36 c
11,82 e
PYU2
0,010 a 1,28 de
13,35 c
4,2
c
11,65 bc
12,22 de
PYU3
0,008 a 1,68 bc
14,30 bc
4,3
c
12,64 a
13,00 bc
PYU4
0,010 a 2,25 a
20,71 a
5,0
a
12,80 a
13,80 a
PYG2
0,009 a 1,46 cd
17,95 ab
4,2
c
12,23 ab
12,63 cd
PYG3
0,009 a 1,96 ab
18,50 a
4,6
b
12,83 a
13,44 ab
PYG4
0,010 a 1,76 bc
17,29 ab
4,5
bc
12,32 ab
13,11 bc
Keterangan: angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada taraf 5% Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT)

Tabel 8. Rerata bobot, total bobot, rerata panjang, laju pertumbuhan spesifik dan
metabolik ikan nila merah pada Penelitian Tahap II
Rerata bobot
ikan nila merah (g)
PERLAKUAN
Umur
7 hari

Bobot
total (g)
akhir
akhir
penelitian penelitian

Rerata
panjang ikan
nila merah
(cm)
akhir
penelitian

Pengukuran pada hari ke 42


laju pertumbuhan
Spesifik
Metabolik
(%BW/hari)
(g Kg -0,8 per
hari)

YPU4(F1) 0,009 a 2,17 c


20,57 b
4,8
c
13,19
b 13,74
c
YPU4(F3) 0,013 a 2,69 b
26,15 a
5,2
b
13,60
b 14,38
b
YPU4(F5) 0,007 a 2,25 c
25,05 ab
4,8
c
13,54
b 13,87
c
YPG3(F1) 0,008 a 2,41 bc
20,74 b
5,1
b
13,69
b 14,07
bc
YPG3(F3) 0,008 a 3,43 a
27,00 a
5,7
a
14,43
a 15,15
a
YPG3(F5) 0,011 a 2,58 b
26,59 a
5,1
b
13,48
b 14,25
b
Keterangan: angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada taraf 5% Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT)

13

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Pertumbuhan plankton dan bentik alga sebagai sumber utama pakan alami larva
nila merah dapat diduga dari peningkatan konsentrasi klorofil-a. Pada kedua tahap
penelitian, konsentrasi klorofil-a sudah menghasilkan nilai yang baik untuk menentukan
kesuburan kolam. Sen dan Sonmez (2006) meneliti variasi musiman alga pada kolam
ikan dan menemukan bahwa konsentrasi rerata klorofil-a sebesar 5g/l menunjukkan
adanya pertumbuhan alga yang rendah.
KESIMPULAN
Penelitian menghasilkan kesimpulan :
1. Rekayasa tanah dasar kolam Inseptisol yang bersifat porus dilakukan dengan
pencampuran menggunakan bahan Ultisol dan Vertisol pada proporsi dosis
30%I:70%U dan 50%I:50%G telah mencapai kelas tekstur lempung (clay).
2. Perubahan sifat fisika tanah kolam Inseptisol yang diberi perlakuan Ultisol dan
Vertisol meningkatkan pori berguna dan porositas total, menurunkan pori tidak
berguna, berat jenis, berat volume dan permeabilitas. Perlakuan frekuensi
pemupukan 3 kali dalam 42 hari pemeliharaan larva nila merah telah
menurunkan permeabilitas secara nyata.
3. Peningkatan kesuburan kimiawi tanah dasar kolam campuran I-U dan I-G secara
nyata terlihat pada parameter bahan organik, N total, P tersedia, KPK dan pH
terutama pada TDK dengan kadar lempung > 30%. Penurunan rasio C/N hingga
dibawah 6 pada semua perlakuan tidak berbeda nyata baik pada kolam yang
ditebar ikan maupun tidak dan perlakuan frekuensi pemupukan.
4. Peningkatan kualitas tanah secara fisikokimia juga mempengaruhi kualitas air
untuk pertumbuhan pakan alami dan pembesaran larva nila merah. Beberapa
parameter kualitas air tersebut diantaranya suhu, oksigen terlarut, pH, DHL,
CO2, Alkalinitas dan Kesadahan pada berbagai proporsi dosis campuran
menunjukkan peningkatan yang berada pada kondisi optimum bagi pertumbuhan
larva.
5. Kesuburan biologi dilihat dari klorofil-a, kemelimpahan plankton dan bentik
alga, bobot total, rerata panjang dan berat ikan nila merah sera laju pertumbuhan
spesifik dan metabolik menunjukkan TDK dengan tekstur lempung (clay)
memberikan peningkatan yang nyata. Pemberian pupuk 3 kali dalam 42 hari
telah mampu memberikan kesinambungan tersedianya pakan alami untuk
pemeliharaan larva nila merah (Oreochromis sp.) menuju produksi benih ukuran
5 cm.
6. Penambahan bahan Vertisol yang kaya mineral lempung smektit dan kationkation basa telah memberikan pengaruh positif bagi peningkatan kesuburan
tanah dasar kolam maupun lingkungan keairan di atasnya, jika dibandingkan
dengan bahan Ultisol dan kontrol.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
Pimpinan dan Karyawan Kantor Balai Benih Ikan Cangkringan yang telah berkenan
memberikan kemudahan selama penulis melakukan penelitiannya di sana. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
membantu pelaksanaan penelitian baik di tingkat laboratorium maupun di lapangan.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

14

Khususnya kepada PT. Chevron Pasific Indonesia yang telah memberikan bantuan
berupa dana penelitian dari tahun 2006-2008, dan juga pemberian dana penelitian yang
berupa Hibah Program Doktor dari LPPM-UGM tahun 2009, penulis menyampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya serta luapan rasa terimakasih yang tak terhingga.
Penulis berharap tulisan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
APHA. 1989. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater,
Sixteenth Edition. American Public Health Association, American Water Works
Association, and Water Pollution Control Federation, Washington, D.C., 1268 p.
Black, C.A, D.D. Evans, J.L. White, L.E. Ensminger and F.E, Clark. 1965. Method of
Soil Analysis Part 1 and 2. American Society of Agronomy, Inc., Publisher
Madison, Wisconsin, USA.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agriculture
Experiment Station, Auburn University. Alabama. 482 p.
Boyd, C.E and C.S. Tucker. 1992. Water Quality and Pond Soil Analyses for
Aquaculture. Alabama Agriculture Experiment Station, Auburn University.
Alabama. 181 p.
Boyd, C.E. 1995. Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall,
New York, New York, 348 p.
Boyd, C.E. and P. Munsiri. 1997. Water Quality in Laboratory Soil-Water Microcosms
with Soils from Different Areas of Thailand. Journal of The World Aquaculture
Society. 28:165-170.
Boyd, C.E., J.Queiroz, and C.W. Wood. 1997. Pond Soil Characteristics and Dynamics
of Soil Organic Matter and Nutrients. In D. Burke, J. Baker, B. Goetze, D. Clat,
and H. Egna (Editors), Fifteenth Annual Technical Report, 1996-1997. Pond
Dynamics/Aquaculture CRSP, Office of International Research and
Development, Oregon State University, Corvallis, Oregon, pp. 11-25.
Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State University
Press. 369. p.
Effendi, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama. Yayasan Dewi Sri.
Bogor.
Egna. S. H, and C.E.Boyd. 1997. Dynamics of Pond Aquaculture. pp. 151. CRC Press
LLC.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. 258 p.
Gomez, K.A. and A.A. Gomez, 1995. Statistical Procedure for Agriculture Research
with Emphasis on Rice. The International Rice Research Institute. Philippines
293 p.
Mizuno, T. 1970. Illustrations of The Freshwater Plankton of Japan. Hoikusha
Publishing Co. 351. p.
Patrick, W.H and Reddy, C.H. 1978. Chemical Changes in Rice Soil In Soils and Rice. The
Internasional Rice Research Institute, Philippines. pp. 361-379.

Richter, H. 2001. Seasonal Variation in Growth, Quantitative and Qualitative Food


Consumption of Milkfish, Chanos chanos (Forsskal 1775), and Nile tilapia,
Oreochromis niloticus (L. 1758), in Laguna de Bay, Philippines. Dissertation.

15

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Aus dem Institut fr Tierproduktion in den Tropen und Subtropen der


Universitt Hohenheim Fachgebiet Tierernhrung und Aquakultur.
Sen, B. dan F.Sonmez. 2006. A Study on the Algae in Fish Pond and Their Seasonal
Variations. International Journal of Science & Technology. Vol.1, No.1, 25-33.
Shirota, A. 1966. Plankton of South Vietnam: Freshwater and Marine Plankton. Over
Tech. Coop. Agen. Japan. 484.p.
Snow, G.C and J.B. Adams. 2006. Response of Micro-algae in the Kromme Estuary to
Managed Freshwater Inputs. Available on website http://www.wrc.org.zaISSN
0378-4738 = Water SA Vol. 32 No. 1 January 2006ISSN 1816-7950 = Water SA
(on-line).
Sonnenholzner, S and C.E.Boyd. 2000. Chemical and Physical Properties of Shrimp
Pond Bottom Soil in Ecuador. Journal of The World Aquaculture Society. Vol.
31, No. 3, 358-375.
Soil Survey Staff. 1990. Key to Soil Taxonomy, 4th edition. Soil Management Support
Service, Technical Monograph Number 19. Virginia Polytechnical Institute and
State University, Blacksburg, Virginia, USA.
Watyandari, 2007. Strategi Pemasaran Benih Ikan BBI Cangkringan. Thesis, Prog.
Studi Magister Manajemen UGM.
Wurts, W. A and R.M.Durborow. 1992. Interaction of pH , Carbon Dioxide Alkalinity
and Hardness in Fish Ponds. SRAC Publication No. 464.
Yilmaz, K, I. Celik, S. Kapur, and J. Ryan. 2005. Clay Mineral, Ca/Mg Ratio and FeAl-Oxides in Relation to Structural Stability, Hydraulic Conductivity and Soil
Erosion in Southeastern Turkey. Turk J. Agric For. 29-37.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

16

POTENSI TANAH BERBAHAN INDUK HARSBURGIT


UNTUK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT
DI KECAMATAN LANGGIKIMA, KONAWE UTARA, SULAWESI
TENGGARA
1)

M. Tufaila Hemon1)
Mahasiswa Program S3 Ilmu Tanah Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tanah berbahan induk
harsburgit untuk pengembangan kelapa sawit (Elaeis gueneensis) di Kecamatan
Langgikima. Penelitian dilakukan dengan metode survei yang meliputi pembuatan peta,
identifikasi batuan, pemboran tanah, pembuatan profil, pengamatan profil,
pengambilan sampel tanah dan batuan. Data yang diperlukan meliputi sifat fisik, kimia,
dan mineralogi dan batuan serta morfologi tanah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor keragaman topografi (toposequent), sangat berperan mengendalikan
pembentukan tubuh tanah pada bahan induk harsburgit. Pada bagian puncak bukit
terbentuk tubuh tanah dalam tahap perkembangan awal; bagian lereng atas dan lereng
tengah terbentuk tanah yang bersolum dangkal sebagai ciri tanah yang baru
berkembang; dan pada bagian lereng bawah dan kaki lereng terbentuk tubuh tanah
yang berkembang sangat lanjut. Karakteristik tanah yang mengemuka adalah warna
tanah coklat sangat gelap kemerahan-coklat kemerahan, kandungan besi bebas dan
mineral lempung goethite dan magnetit yang tinggi sehingga secara umum mempunyai
kesuburan tanah yang sangat rendah. Jenis tanah yang terbentuk adalah entisol,
inceptisol, alfisol dan ultisol. Kesesuaian lahan saat ini untuk tanaman kelapa sawit :
tidak sesuai seluas 22.050,15 ha (79,18%) dan sesuai marginal hanya 5.796,46 ha
(20,82%). Pengelolaan tanah yang disesuaikan dengan faktor penghambat akan
meningkatkan kelas kesesuaian lahan menjadi cukup sesuai seluas 2.485,54 ha
(8,93%), sesuai marginal seluas 22.257,10 ha (79,93%), dan tidak sesuai 3.103,97 ha
(11,15%).
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian di Kabupaten Konawe Utara diarahkan diantaranya
melalui pengembangan tanaman unggulan, yaitu tanaman kelapa sawit (Elaeis
gueneensis). Kabupaten Konawe Utara merupakan sentra pengembangan kelapa sawit
daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang
direncanakan sekitar 85.000 ha.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit baru berlangsung beberapa tahun terakhir,
dimulai pada tahun 2005 (BPS, 2007; PPLH, 2005). Pengembangan tanaman unggulan
akan mendapat kendala karena sebahagian besar tanah di Kabupaten Konawe Utara
adalah tanah marginal yang berkembang pada bahan induk ultramafik yang didominasi
oleh jenis batuan harsburgit, serpentinit, dunit, dan websteri olivin (Moetamar dkk.
2005; Kadarusman dkk.2004; Koswara dan Sukarna, 1994; Rusmana dkk., 1993;
Simandjuntak dkk., 1994a; Simandjuntak dkk., 1994b).
Kendala tanah marginal di Kabupaten Konawe Utara pada umumnya hanya
dianggap terletak pada masalah keharaan, sehingga upaya perbaikannya lebih
difokuskan pada pengaturan dosis pupuk. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan

17

SeminarHasilPenelitianUGM2009

pemerintah setempat sebagaimana yang disampaikan oleh Kartono (1999) dan Yosman
(1999) bahwa tanah termasuk di Kabupaten Konawe Utara sebagian besar miskin unsur
hara dan perlu dilakukan penentuan dosis pupuk yang sesuai dengan kondisi masingmasing tanah. Upaya perbaikan tanah yang hanya difokuskan pada aspek keharaan
tanpa memperhatikan permasalahan mendasar lainnya, untuk jangka panjang akan
menimbulkan ketimpangan terhadap sifat tanah yang lain sehingga masalah tanah
menjadi lebih kompleks dan semakin sulit dikelola. Kebijakan pemerintah yang bersifat
umum seperti ini sangat dimungkinkan, karena sampai saat ini belum ada kajian yang
mengungkap secara mendalam kondisi tanah di Kabupaten Konawe Utara terlebih lagi
di Kecamatan Langgikima sebagai sentra pengembangan kelapa sawit. Rujukan sumber
informasi kondisi tanah selama ini hanya pada Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000
tahun 1985 yang hanya mencakup kurang dari setengah luas Kabupaten Konawe Utara
dan Peta Sistem Lahan Sulawesi skala 1 : 250.000 tahun 1988 (Bakosultanal, 1988).
Penentuan bentuk perbaikan tanah yang tepat di Kabupaten Konawe Utara perlu
diketahui terlebih dahulu penyebab rendahnya produktivitas tanah tersebut. Upaya yang
dapat dilakukan adalah melalui kajian secara mendalam dan menyeluruh proses
pembentukan tanah. Hal ini diperlukan karena karakteristik tanah yang ada merupakan
hasil dari proses pembentukan tanah. Berdasarkan kajian proses pembentukan tanah
dapat dilakukan karakterisasi seluruh sifat tanah, selanjutnya mengidentifikasi
permasalahan dan penyebabnya guna merumuskan bentuk pengelolaan tanah yang tepat
untuk meningkatkan produktivitas tanah di Kabupaten Konawe Utara.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di lapangan dengan metode survei. Survei tanah
dilakukan pada lokasi yang memiliki batuan induk harsburgit kompleks batuan
ultramafik. Tahapan survei tanah yang dilaksanakan meliputi tahap persiapan dan
survei utama. Tahap persiapan : pengumpulan data sekunder; pembuatan peta geologi;
peta lereng (0 8%, 9 15%, 16 25%, 26 45%, dan > 45%); peta fisiografi; peta
penggunaan lahan, dan peta iklim serta peta kerja (overlay dari peta-peta tematik).
Survei utama : identifikasi batuan induk, pemboran tanah, pembuatan profil mengikuti
sekuen toporafi, dan pengamatan profil. Pengamatan profil meliputi fisiografi, formasi
geologi, batuan induk atau bahan induk, bentuk wilayah, Lereng, ketinggian tempat,
drainase permukaan, erosi, bahan-bahan endapan permukaan, penggunaan lahan,
bahaya banjir, cuaca, iklim, mikro relief, struktur muka tanah atau kemas muka tanah,
bahan-bahan serakan dipermukaan tanah, singkapan batuan, kedalaman tanah,
kedalaman efektif, lapisan padas, lapisan yang kontras, gleisasi, keadaan batu pada
profil, drainase di dalam tanah, permeabilitas, kedalaman air tanah, suhu tanah,
diferensial horison, ketebalan dan letak horison, batas horison, epipedon, endopedon,
warna tanah, tekstur, struktur, konsistensi, tingkat sementasi, tori tanah, kematangan
tanah (nilai n), kemantapan agregat, daya topang tanah, pH, nodular, plintit, kutan
(selaput tanah), dan perakaran (FAO, 1977; Soil Survey Staff, 1998; 2003).
Analisis sampel tanah di laboratorium : tekstur (pipet), BV dan BJ (gravitasi),
porositas total (gravimetri), kadar air pada pF 2,54 & 4,20 (pompa isap tekan),
permeabilitas tanah (constant head permeameter), pH H2O & KCl (elektroda gelas, pH
meter), salinitas (konduktivitimeter), C-Organik (Walkley-Balck), N-total (Kjeldahl), Ptersedia (Bray atau Olsen & spektrofotometer), K-terseda (flame fotometer), K-dd, Cadd, Mg-dd, & Na-dd (Ekstrak NH4OAc pH 7,0 & AAS), Al-dd dan H-dd (Ekstraksi 1 N
KCl & AAS); Al, Fe & Si asosiasi organik (Ekastraksi Sodium Piropospat &AAS); Al,

SeminarHasilPenelitianUGM2009

18

Fe & Si amorf (Ekstraksi Amonium Oksalat & AAS); Al, Fe & Si bebas (Ekstraksi
Dithionit-Citrat- Bikarbonat &AAS), Kejenuhan Al (Rasion Al-dd/ KPK-NH4OAc),
KPK-NH4OAc (pH 7), KB-NH4OAc (pH 7), jenis mineral lempung (XRD); Oksida
Ca, Mg, K, Na, Fe, Al, & Si total batuan (XRF), dan jenis mineral batuan (mikroskop
polarisasi dan binokuler).
Genesis tanah dijelaskan berdasarkan keragaman topografi (toposequen).
Klasifikasi tanah dengan sistem Soil Taksonomi (2003). Karakteristik tanah pada setiap
SPT (satuan peta tanah) dievaluasi kesesuaian lahannya untuk tanaman kelapa sawit
sampai pada tingkap sub-kelas (Dent dan Young, 1981;Sys, 1003).
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Batuan Harsburgit
Hasil analisis petrografis sayatan tipis memperlihatkan bahwa batuan harsburgit
bertekstur porfiritik, yang dicirikan oleh hadirnya fenokris berukuran kasar (25%) dari
olivin, ortopiroksin dan klinopiroksin yang tertanam dalam massadasar berukuran halus;
mengadung mineral olivin 87%, piroksin 12% yang terdiri atas 7% ortopiroksin dan 5%
klinopiroksin, kromit dan mineral opak < 1%. Batuan harsburgit mempunyai BJ 3,05
g.cm-3, pH abrasi yang tinggi yaitu 8,48; kaya dengan MgO yaitu sejumlah 44,83%
kemudian oksida lainnya adalah SiO2 37,15%; Fe2O3 8,07%; Na2O 1,67%; CaO 1,50%;
Al2O3 1,16% dan K2O 0,01%.
Karakteristik Tanah Berbahan Induk Harsburgit
Tanah yang terbentuk di atas batuan induk harsburgi dengan keragaman
(sequen) kelerengan dan ketinggian tempat, berjumlah 8 (delapan) titik pengamatan
yang menyebar mulai dari puncak bukit sampai kaki lereng. PH1 berada pada puncak
bukit dengan kelerengan 0-8%; terdiri atas horison A, B, BC, dan CB; berwarna coklas
gelap kemerahan (2,5YR 3/6 & 3/4) sampai coklat sangat gelap kemerahan (2,5YR
2,5/4); bertekstur geluh debuan sampai lempung; dan berstruktur gumpal membulat.
PH2 berada pada lereng atas dengan kelerengan >45% terdiri atas horison A, AC, dan
CB; berwarna coklat gelap kemerahan (5YR 3/4); berstekstur lempung; berstruktur
gumpal membulat dan granuler. PH3 berada pada lereng tengah dengan kelerengan 2645% terdiri atas horison A, CA, dan CB; berwarna coklat kemerahan (5YR 4/6 & 4/4)
dan coklat gelap kemerahan (5YR 3/4); bertekstur geluh debuan sampai geluh
lempungan; dan berstruktur granuler. PH4 berada pada lereng tengah dengan kelerengan
26-45% terdiri atas horison A, AB, dan CB; bertekstur lempung; dan berstruktur
gumpal membulat dan granuler. PH5 berada pada lereng bawah dengan kelerengan 1625% terdiri atas horison A, AE, B, BC, dan CB; berwarna coklat gelap kemerahan
(2,5YR 3/4) sampai merah gelap (10R 3/4); bertekstur lempung; dan berstruktur
granuler dan gumpal membulat; PH6 berada pada lereng bawah dengan kelerengan 1625% terdiri atas horison A1, A2, AE, EA, Bc1, Bc2, B, dan BE; berwarna coklat sangat
gelap kemerahan (2,5YR 2,5/2&2,5/4) sampai coklat gelap kemerahan (2,5YR 3/4);
bertekstrur geluh sampai lempung; PH7 berada pada lereng bawah dengan kelerengan
9-15% terdiri atas horison A, AB, E1, B, dan E2; berwarna coklat sangat gelap
kemerahan (2,5YR 2,5/4) sampai coklat gelap kemerahan (10R 3/3); berstekstur geluh
debuan sampai lempung; berstruktur granuler dan gumpal membuat. PH8 berada pada
kaki lereng dengan kelerengan 0-8% terdiri atas horison A, E1, B, Bs1, E2, dan Bs2;
berwarna coklat gelap kemerahan (2,5 & 5YR 3/4); bertekstur geluh debuan sampai
lempung; dan berstruktur gumpal membulat dan bersudut.

19

SeminarHasilPenelitianUGM2009

0.93
0.92

fC/cC

0.91
0.90
0.89
0.88
0.87
0.86
0.85
Pu n cak
Bu kit

Le re n g
A tas

Le re n g
Ten g ah

Le re n g
Ba w a h

K a ki
Le re n g

S e k ue n topog r afi

0 .9 3
0.93

0 .9 2

0.92

0 .9 1

0.90

fC/cC

fC/cC

0.91
0.89
0.88

0 .9 0
0 .8 9
0 .8 8
0 .8 7

0.87

0 .8 6

0.86

0 .8 5

0.85
Pu n cak
B u kit

Le re n g
A tas

Le re n g
Ten gah

Le re n g
Baw ah

Pu n cak
B u k it

K a ki
Le re n g

L e re n g
A ta s

L e re n g
Tengah

L e re n g
Bawah

K a ki
L e re n g

S e k u e n to po g r a fi

S e k u e n topog r afi

Gambar 2. Grafik hubungan antara sekuen topografi dengan rasio fC/cC


Gambar 1 menunjukkan bahwa rasio lempung halus (fC) dengan lempung kasar
(cC) menurun mulai dari puncak sampai lereng tengah kemudian meningkat sampai
kaki lereng. Rasio fC/cC dapat menunjukkan tingkat pelapukan yang terjadi.
6.50

2.50
C-organik

2.00

6.00

N total

5.50

pH

1.50
1.00
5.00

(1)

0.50

4.50

(2)

0.00
Pu n cak
Bu kit

Leren g
A tas

Leren g
T en g ah

Leren g
Bawah

Kaki
Leren g

Puncak
Bukit

S ek uen topog rafi

Lereng
Atas

Lereng
Tengah

Lereng
Bawah

Kaki
Lereng

S ek uen topografi

Gambar 3. Grafik hubungan antara sekuen topografi dengan pH (1), C-organik dan N
total (2)
Gambar 3 menunjukkan bahwa pH tanah meningkat mulai dari puncak bukit
sampai lereng tengah kemudian menurun sampai kaki lereng, C-organik dan N total
menurun mulai dari puncak bukit sampai kaki lereng.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

20

N
o,
P
ro
fi
l

P
H
1

P
H
2

Tabel 1. Sifat kimia tanah yang berkembang di atas batuan induk harsburgit pada
delapan profil pengamatan
O B M
KCl
pH
Bahan
HCl ls ra or Nilai Tukar Kation (NH4Acetat 1N, pH7)
1N
(1:5)
organik
25% e y ga
n 1 n
H
A
P
Ju
P
K K
K
P2
ori
l H
N m
K2 C M
2
2
P B 3 +
C N
K
O
so
a la
O a g
C O 2 O
H K
K * +
O
n
5
h
/ 5
C
5
2
N
O l
cmol
mg/1
ppm
cmol(+)/kg
% (+)/k
%
00 g
g
0
0 1 0
1
0
,
, 3, ,
5,
8, 7
,
2 1
0
7 0 0
6
1 14 1 7
5
( 3
7 1 2
6 7 3
(
6 ,0 4 (
,
A
S ( - 15
0 0
( ( (
A
0,8 ( 2 (
( 2 ( T
4
R S
, ,
S S S
M
6 S ( S
S )
R
) )
0 0
R T R
)
(S R S R
)
)
0 3
) ) )
R) ) ) )
0
0
1
0
1
0
, 0, ,
2,
,
5,
6
3
,
7 5 1
7
6
3
1 4
(
(
1,
3 1 3
0 3 2
(
9
1
- 59
S
B ( ,
S 0 0
66
5,7 1 9 (
( ( (
R
(
(
M 4
R
R , ,
( ( S
6
S R S
)
R
R
)
)
) 1 2
(S S T R
R ) R
)
)
6 5
)
T) ) ) )
)
0 0
0
0,
6, 1
, ,
0
,
5,
1
2 3
6 3
0 1
,
5
7
9
5
( (
3 1 0, 1 (
1 1 2
1
B (
(
,
S S - 17
( ( 84 ( S 0 0
(
1,9 5 3 (
C A
S
6
R R
R R , ,
S S
( ( S
S
6
M
R
) )
) ) 0 0
R R
R S R
R
)
)
0 3
) )
)
(R) ) ) )
0
0
0
0
0,
4,
,
,
,
5,
2
,
2
2
8
0
0
6
6
9
4
1
8
5
(
1, 2
3
9 1 2
9
(
C (
(
5
(
- 16
,
S
0 0
15 (
(
( 2 (
(
R
B A
R
(
S
1
R
, ,
R
S
S
)
M
1,0 S ( S
)
R
R
)
0 0
)
R
R
)
4 R S R
)
)
0 3
)
)
(R) ) ) )
1 1 0 0 20 2 8 0 0
6, 5 0,4 0 1 1 2 2
A 1 ,
1
, 4 ( ( ( - 17 , 9, , , ,7 4, 6 , ,
0 5 0 1 8 1 ( 0 0
( 5 (S 0 ( S S S

21

SeminarHasilPenelitianUGM2009

A
M
)

A
C

5,
9
5
(
,
A
0
M
)

C
B

5,
8
5
(
,
A
3
M
)

P
H
3

P
H
4

C
A

R)

3
(
S
R
)
0
,
2
7
3,9 (
3 S
(T) )

0
,
1
6
1,9 (
7 R
(R) )
0
,
6,
0
8 6
3
( ,
0,4 (
N 0
1 S
)
(S R
R) )

6,
4
5
(
,
A
6
M
)

C
B

6,
8 5
( ,
N 8
)

5,
5
8
,
(
4
A

0
,
1
7
2,5 (
4 R
(S) )
0
,
0
7
0,7 (
8 S
(S R
R) )
0,4 0
2
,
(S 0
R) 3

S R R
) ) )

9
1 3 (
5 ( S
( S R
S R )
) )
4
(
1 2
S
2 (
R
( S
)
S R
) )
1
(
1 3
S
4 (
R
( S
)
S R
) )
3
(
1 6
S
5 (
R
( S
)
S R
) )

1
1
(
S
)
1
4
(
S

3
(
8
S
(
R
S
)
R
)
3 4
( (
S S
R R

SeminarHasilPenelitianUGM2009

R
)

9
(
R
)

3
(
S
R
)

5
(
R
)

4
(
S
R
)

4
(
S
R
)
2
4
(
S

22

87

36

30

29

35

1
(
S
R
)
4
,
5
6
(
R
)
0
,
5
5
(
S
R
)
0
,
5
8
(
S
R
)
0
,
5
1
(
S
R
)
0
,
5
0
(
S
R
)
0
,
8
1

5
(
S
T
)
2,
6
1
(
T
)
1,
4
6
(
S
)
0,
1
9
(
S
R
)
0,
3
4
(
S
R
)
0,
1
9
(
S
R
)
2
1,
1
4

3
(
S
R
)
0
,
1
7
(
R
)
0
,
0
7
(
S
R
)
0
,
0
0
(
S
R
)
0
,
0
6
(
S
R
)
0
,
0
6
(
S
R
)
0
,
0
7

9
(
R
)

7
(
S
)

1
0
3,
,
8
1
7,
8
8
52
(
(
R
R
)
)

S
T
)

5
4
(
S
)

0
9,
2
,
5
3
1
2, 8
(
2
20 (
R
(
R
)
R
)
)
0,
0
6
,
5
1
0,
(
1
88
S
(
R
R
)
)

>
1
0
0
(
S
T
)

0
6, 1
,
0 9
2
1, 3 (
2
13 ( S
(
R R
R
) )
)
2,
0
2 3
,
4 8
1
0,
( (
1
86
S R
(
R )
R
)
)
0
,
1
5

2
22
9,
,1
6
7
7

7
5
(
T

0
,
0
0

0
,
0
3

0
,
0
0

0
,
0
5

0
,
0
0

0
,
0
3

0
,
0
0

0
,
1
5

0
,
0
0
0
,
0
0

0
,
0
2
0
,
0
6

M
)

A
B

P
H
5

5,
5 5
( ,
M 4
)

T
)

0
6
,
(
2 1 5
S
1 3 (
R
( ( S
)
S S R
) ) )

2
4
(
S
T
)

(
S
R
)

2,7
7
(S)

C
B

5,
6
5
(
,
A
2
M
)

0
2
,
(
1 1 2
S
3 1 (
R
1,4 ( ( S
)
3 R S R
(R) ) ) )

6,
3
5
(
,
A
6
M
)

0
2
,
(
1 1 2
S
1 3 (
R
1,3 ( ( S
)
9 R S R
(R) ) ) )

A
E

6,
5 5
( ,
N 7
)

6,
7 5
( ,
N 6
)

B
C

6,
5
9
,
(
8
N

1,6
4
(R)

0,7
7
SR
)
0,6
0
(S
R)

0
,
1
3
(
R
)
0
,
0
5
(
S
R
)
0
,
0
4

5
(
1 2
S
3 (
R
( S
)
S R
) )

1
5
(
S
)
1
5
(
S

5
(
2
S
(
R
S
)
R
)
2 3
( (
S S
R R

1
5
(
S
)

9
(
R
)

8
(
R
)

7
(
R
)
1
5
(
S

23

57

16

20

49

50

30

(
S
R
)
1
,
2
3
(
S
R
)
1
,
4
7
(
S
R
)
0
,
8
9
(
S
R
)
0
,
6
0
(
S
R
)
0
,
3
4
(
S
R
)
0
,
4
7

(
S
T
)
6,
2
3
(
S
T
)
8,
3
5
(
S
T
)
2,
8
8
(
T
)
1,
8
4
(
S
)
4,
5
7
(
T
)
6,
8
4
(

(
S
R
)
0
,
1
1
(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
0
4
(
S
R
)
0
,
1
0
(
S
R
)
0
,
1
0
(
S
R
)
0
,
0
6

(
R
)

(
T
)

1
0
7,
,
0
2
7,
3
6
83
(
(
S
R
)
)

4
6
(
S
)

2
0
0,
,
2 10 9
1 ,0 9
( 6 (
S
R
)
)

4
8
(
S
)

1
0
1, 3
,
4 5
1
3,
9 (
6
97
( R
(
R )
R
)
)
0
8,
,
2
9
0
9
7 2, 1
(
( 61 (
R
R
S
)
)
R
)
0
8,
,
5
6
0
9
6 5, 0
(
( 07 (
S
R
S
)
)
R
)
0
9, 7
, 7, 6 8
1 49 5 (
2
( T

0
,
1
7

0
,
2
9

0
,
0
0

0
,
0
3

0
,
0
0

0
,
0
3

0
,
0
0

0
,
0
8

0
,
0
0
0
,
0
0

0
,
0
3
0
,
0
0

SeminarHasilPenelitianUGM2009

C
B

6,
0
5
(
,
A
9
M
)

( ) ) )
S
R
)
0
,
3
0
(
4 1 2
S
0,5 ( 3 (
R
2 S ( S
)
(S R S R
R) ) ) )

1
8
(
T
)

R
( S ( (
)
S T S R
R ) R )
)
)
0
0
0
6,
8,
,
,
,
0
2
0
6
1
0
6, 4
6
9
7
(
29
92 (
(
(
(
S
R
S
S
R
T
)
R
R
)
)
)
)

8
4
(
S
T
)

0
,
0
0

0
,
0
3

Tabel 1. Lanjutan
M
O
Br
or Nilai Tukar Kation (NH4ls
KCl
ay
ga
e
Acetat 1N, pH7)
1N
1
N
n
n
o, H
A
P
P
P ori
Ju K K
K
P2
l H
N
K2 C M
2
2
ro so
ml P B 3 +
C N
K
O
a
O a g
C O 2 O
K
fi n H2
ah K * +
O
5
/ 5
C
5
l
O
N
l
cmol
mg/1
ppm
cmol(+)/kg
% (+)/k
%
00 g
g
0
1
1
2
0
1
1
,
,
0, 0
3,
,
,
4,
3 1 0
1
1
1 , 2
9
3
5
8 4
( , ,
3,
3
7
A
5 3 8 1 7
1
0
1
68
( ,
S 6 3
11
(
(
3,
1
( 6 ( 8 (
(
(
(
M 0
R 1 9
S
S
0
S ( S ( S
S
R
S
)
)
R
R
(S
T S T R R
)
)
)
)
)
) ) ) ) ) - R)
0 0 0 0
P
7,
0
, , , ,
9
4,
H
0 0
7
3 2 0 0
3, ,
(
5 4
6
, ,
5 1 6 5 0, 5
1 2 1 4 3
A
S
30
( ,
1 0
( ( ( ( 67 (
1 5 2 ( (
4,
2
R
M 0
0 8
R
S S S S
( ( ( S S
9
)
)
)
R R R R
T S S R R
(R
) ) ) )
) ) ) ) ) )
3, 8 0 0
1, 0 1 4 2
0 0 0 0
3,
5,
4
7 , 3 ( (
, , , , 0, 6 ( , ,
2
A 5
,
17
2 1 ( S S
0 1 0 0 28 1 S 0 0
(S
E (A
9
( R 1 3
( 3 S R R - R)
6 1 3 8
M
pH
(1:5)

Bahan
organik

HCl
25%

SeminarHasilPenelitianUGM2009

24

E
A

5,
8
(A
M
)

5,
8
Bc
(A
1
M
)

5,
8
Bc
(A
2
M
)

B
E

P
H
7

5,
8
(A
M
)

5,
8
(A
M
)
4,
4
(S
M

S
)

5
,
2

5
,
2

4
,
7

4
,
7

4
,
8

4
,
0

1,
2
7
(
S
)
0,
5
3
(
S
R
)
0,
3
8
S
R
)
0,
3
6
S
R
)
0,
3
5
(
S
R
)
3,
6
0
(

(
R
)
0
,
0
9
(
S
R
)
0
,
0
4
(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
2
5

1 4 2
4 ( (
( S S
S R R
) ) )

1 4 3
3 ( (
( S S
S R R
) ) )

1 2 1
3 ( (
( S S
S R R
) ) )

1 2 1
2 ( (
( S S
S R R
) ) )

1 4 1
2 ( (
( S S
S R R
) ) )
1 5 5
4 ( (
( S S
S R R

2,
5
(S
R)

2,
6
(S
R)

2,
3
(S
R)

3,
0
(S
R)

15

29

3
2,
4
(S
R)
6,
3
49
(R
)

25

(
S
R
)
0
,
1
3
(
S
R
)
0
,
1
2
(
S
R
)
0
,
2
3
(
S
R
)
0
,
1
2
(
S
R
)
0
,
1
8
(
S
R
)
0
,
1
8

(
S
R
)
0
,
1
2
(
S
R
)
0
,
1
7
(
S
R
)
0
,
0
7
(
S
R
)
0
,
0
7
(
S
R
)
0
,
1
5
(
S
R
)
0
,
1
7

(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
0
6
(
S
R
)
0
,
0
0
(
S
R
)
0
,
0
0
(
S
R
)
0
,
0
0
(
S
R
)
0
,
0
9

(
S
R
)
0
,
0
8
(
S
R
)
0
,
0
8
(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
0
5
(
S
R
)

S
R
)

2,
1
1
0,
(
36
S
R
)

1
7
(
S
R
)

0
,
0
0

0
,
0
3

2,
5
4
0,
(
43
S
R
)

1
7
(
S
R
)

0
,
0
0

0
,
0
0

0,
9
2
0,
(
33
S
R
)

3
6
(
R
)

0
,
0
0

0
,
0
2

1,
1
6
0,
(
24
S
R
)

2
1
(
R
)

0
,
0
0

0
,
0
0

1,
0
0
,
2
1
0,
(
3
46
S
(
R
R
)
)

4
5
(
S
)

0
,
0
0

0
,
0
5

0
,
0
5

5
(
S
R

0
,
2
5

0
,
1
8

0,
49

9,
0
5
(

SeminarHasilPenelitianUGM2009

A
B

5,
3
(
M
)

5,
6
E1 (A
M
)

5,
8
(A
M
)

5,
9
E2 (A
M
)

A
P
H
8
E1

4,
3
(S
M
)
5,
1
(
M

T
)

4
,
7

4
,
8

4
,
9

4
,
9

4
,
2

4
,
9

(
S
)

0
1, ,
5 1
3 3
( (
R R
) )
0
0, ,
6 0
9 6
( (
S S
R R
) )
0
0, ,
5 0
9 5
( (
S S
R R
) )
0
0, ,
2 0
9 2
( (
S S
R R
) )

1 5 4
2 ( (
( S S
S R R
) ) )

1 7 2
2 ( (
( S S
S R R
) ) )

1 7 2
2 ( (
( S S
S R R
) ) )

1 5 2
5 ( (
( S S
S R R
) ) )

0
2, ,
3 1 1 8 5
5 9 2 ( (
( ( ( S S
S R S R R
) ) ) ) )
0, 0 1 6 2
8 , 2 ( (
5 0 ( S S
( 7 S R R

SeminarHasilPenelitianUGM2009

3,
1
(S
R)

1,
8
(S
R)

1,
6
(S
R)

1,
6
(S
R)

39

17

16

15

47
7,
4
(R
)
2,
3
15
(S
R)

26

(
S
R
)
0
,
2
2
(
S
R
)
0
,
1
1
(
S
R
)
0
,
2
2
(
S
R
)
0
,
7
4
(
S
R
)
0
,
2
4
(
S
R
)
0
,
3
5

(
S
R
)
0
,
0
7
(
S
R
)
0
,
0
9
(
S
R
)
0
,
0
4
(
S
R
)
0
,
1
3
(
S
R
)
0
,
1
7
(
S
R
)
0
,
1
8

(
S
R
)
0
,
0
8
(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
0
3
(
S
R
)
0
,
0
9
(
S
R
)
0
,
0
3

R
(
)
S
R
)
0
4,
,
4
0
1
5 0,
(
( 42
S
S
R
R
)
)
0
2,
,
0
0
0
2 0,
(
( 25
S
S
R
R
)
)

1
0
(
S
R
)

0
,
0
1

0
,
0
5

1
3
(
S
R
)

0
,
0
0

0
,
0
2

2,
0
5
,
4
1
0,
(
2
41
S
(
R
R
)
)

1
6
(
S
R
)

0
,
0
0

0
,
0
5

1,
0
7
,
8
1
1,
(
5
05
S
(
R
R
)
)

5
9
(
S
)

0
,
0
0

0
,
0
2

7
(
S
R
)

0
,
6
9

0
,
2
1

1
6
(
S

0
,
0
1

0
,
0
5

0
8,
,
1
0
5 0, 0
( 55 (
R
S
)
R
)
0
3,
, 0, 5
0 56 6
0
(

S R
( ( ( (
( ) ) )
R )
S S S S
S
)
R R R R
R
) ) ) )
)
0
0 0 0 0
2,
1
0, ,
, , , ,
9
5,
5 0 0
6 0
2 1 0 0
7
2 4
( , ,
2 5 1 7 2
3 5 3 3 0,
(
B
( ,
17
S 0 0
( ( 2 ( (
( ( ( ( 44
0,
S
M 9
R 1 2
S S ( S S
S S S S
9
R
)
)
R R S R R
R R R R
(S
)
) ) ) ) ) - R)
) ) ) )
0
0 0 0 0
2,
, , , ,
0, ,
6 2
5,
0 0
4 1 0 0
4 0
5 3
3 5
, ,
1 3 3 5 0,
9 4 1 8 2
Bs
( (
16
( ,
0 0
( ( ( ( 62
( ( 2 ( (
0,
1
S R
M 0
1 3
S S S S
S S ( S S
7
R )
)
R R R R
R R S R R
(S
)
) ) ) )
) ) ) ) ) - R)
0
0 0 0 0
3,
0, ,
, , , ,
7 9
5,
0 0
5 0
1 1 0 0
0 (
4 5
, ,
0 4 1 6 2
2 2 3 8 0,
( S
18
E2 ( ,
0 0
( ( 3 ( (
( ( ( ( 35
0,
S R
M 0
1 3
S S ( S S
S S S S
5
R )
)
R R S R R
R R R R
(S
)
) ) ) ) ) - R)
) ) ) )
0
0 0 0 0
3,
1
, , , ,
0, ,
0
5,
0 0 0
1 0 0 0
4 0
6
4 4
( , ,
8 8 3 3 0,
6 3 1 9 2
Bs
(
16
( ,
S 0 0
( ( ( ( 32
( ( 5 ( (
1,
2
S
M 6
R 1 5
S S S S
S S ( S S
9
R
)
)
R R R R
R R S R R
(S
)
) ) ) )
) ) ) ) ) - R)
Ket. : AM = agak masam, M = masam, N = netral, SR = sangat rendah, R = rendah, S =
sedang, T = tinggi, ST = sangat tinggi
)

S
R
)

27

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 2. Kandungan Fe, Al, dan Si dalam bentuk bebas (dithionit), amorf (oksalat),
kompleks organik (phirofosfat)
yang berkembang di atas batuan induk harsburgit pada delapan profil
pengamatan
No.
Pro
fil

Dithionit
Hori
son

Fe

Al
%

18,
62

1,
69

19,
92

1,
50

BC

19,
71

1,
68

CB

20,
48

1,
87

15,
69

1,
06

AC

15,
66

0,
86

CB

18,
03

1,
33

17,
31

0,
98

CA

21,
21

0,
96

CB

19,
12

1,
34

14,
65

1,
02

AB

16,
09

1,
04

CB

18,
37

1,
54

PH
1

PH
2

PH
3

PH
4

Oksalat

Si

F
e

0,
6
3
0,
7
7
0,
6
0
0,
7
9
1,
1
4
1,
1
7
0,
7
4
0,
7
2
1,
0
8
0,
7
4
0,
7
5
0,
9
4
0,
4
6

1,
1
2
0,
9
0
0,
8
8
1,
1
0
0,
9
4
0,
8
3
1,
1
3
0,
3
4
0,
3
2
0,
6
1
1,
2
6
1,
4
4
1,
3
0

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Pyrofosfat
Al
%

Si

Fe

Fe
d/
Fet

Al
%

Si

Al
%

Si

0,
27

2, 2,1 0,7 0,0 21, 2,6


40 1
3
4 85 9

3,
07

0,8
5

0,
27

2, 2,1 0,7 0,0 22, 2,5


92 4
8
5 96 5

3,
74

0,8
7

0,
22

0, 1,1 0,2 0,0 21, 2,1


71 2
0
5 70 1

1,
36

0,9
1

0,
34

1, 0,7 0,1 0,0 22, 2,3


50 1
2
7 29 3

2,
36

0,9
2

0,
22

3, 2,2 0,6 0,5 18, 1,9


72 3
4
4 86 2

5,
41

0,8
3

0,
18

3, 1,6 0,4 1,5 18, 1,4


33 6
3
6 14 6

6,
06

0,8
6

0,
22

1, 0,4 0,1 0,1 19, 1,6


28 7
2
3 63 8

2,
15

0,9
2

0,
18

0, 0,1 1,0 0,0 17, 2,1


22 3
0
1 78 6

0,
95

0,9
7

0,
16

0, 0,0 0,7 0,0 21, 1,9


22 7
8
0 60 0

1,
30

0,9
8

0,
12

0, 1,8 3,4 0,0 21, 4,9


25 6
9
4 58 5

1,
03

0,8
9

0,
29

3, 3,8 1,1 2,0 19, 2,4


71 1
6
2 72 8

6,
49

0,7
4

0,
35

4, 4,1 1,1 3,7 21, 2,4


34 8
0
1 71 9

8,
99

0,7
4

0,
23

1, 1,0 0,3 0,4 20, 2,1


48 7
3
2 74 0

2,
36

0,8
9

28

Fe

Total

PH
5

19,
85

1,
43

AE

19,
68

1,
27

19,
88

1,
17

BC

19,
36

1,
18

CB

13,
57

0,
86

A1

18,
35

1,
82

A2

19,
49

2,
08

AE

18,
39

2,
59

EA

26,
95

3,
14

Bc1

15,
15

1,
85

Bc2

13,
09

1,
66

17,
86

2,
12

BE

17,
01

2,
06

19,
64

2,
95

AB

20,
47

2,
81

E1

19,
39

2,
47

PH
6

PH
7

0,
8
5
0,
8
6
0,
9
6
1,
0
6
0,
7
6
0,
7
4
0,
6
3
0,
5
5
0,
8
5
0,
5
0
0,
4
3
0,
6
3
0,
6
9
0,
2
7
0,
2
5
0,
2
6

1,
3
1
0,
9
3
1,
0
4
0,
9
6
0,
8
2
1,
0
0
0,
3
7
0,
2
5
0,
3
6
0,
3
4
0,
1
9
0,
2
0
0,
1
9
0,
5
4
0,
4
4
0,
4
8

0,
25

1, 0,4 0,1 0,2 21, 1,8


85 6
2
0 63 0

2,
90

0,9
2

0,
23

2, 1,0 0,3 0,3 21, 1,8


40 5
4
9 66 4

3,
65

0,9
1

0,
17

1, 1,1 0,2 0,2 22, 1,5


87 2
1
5 04 4

3,
08

0,9
0

0,
22

3, 1,6 0,3 0,6 21, 1,7


56 6
9
6 98 9

5,
29

0,8
8

0,
21

2, 1,3 0,3 0,3 15, 1,4


72 5
3
6 73 0

3,
84

0,8
6

0,
29

0, 1,1 0,2 0,0 20, 2,3


37 2
2
1 48 3

1,
12

0,9
0

0,
11

0, 3,4 0,5 0,0 23, 2,7


11 7
1
2 33 0

0,
76

0,8
4

0,
15

0, 2,3 0,3 0,0 20, 3,0


15 0
4
1 94 8

0,
70

0,8
8

0,
23

0, 1,4 0,2 0,0 28, 3,6


48 6
3
1 77 0

1,
35

0,9
4

0,
21

0, 0,8 0,1 0,0 16, 2,2


35 0
4
1 29 0

0,
86

0,9
3

0,
21

0, 1,6 0,2 0,0 14, 2,1


30 1
8
1 89 5

0,
74

0,8
8

0,
23

0, 1,0 0,1 0,0 19, 2,5


39 0
7
1 06 2

1,
03

0,9
4

0,
21

0, 1,0 0,1 0,0 18, 2,4


33 6
8
1 26 5

1,
02

0,9
3

0,
23

0, 3,8 1,0 0,0 24, 4,2


12 8
8
6 06 6

0,
46

0,8
2

0,
23

0, 2,0 0,5 0,0 22, 3,6


22 5
5
3 95 0

0,
49

0,8
9

0,
24

0, 1,5 0,4 0,0 21, 3,1


40 2
1
3 39 2

0,
69

0,9
1

29

SeminarHasilPenelitianUGM2009

18,
83

3,
38

E2

17,
27

3,
13

15,
25

2,
75

E1

15,
30

2,
49

15,
32

2,
49

Bs1

18,
16

2,
59

E2

17,
46

2,
31

Bs2

17,
63

2,
17

PH
8

0,
2
7
0,
1
0
0,
4
5
0,
4
3
0,
4
3
0,
5
2
0,
8
9
0,
6
1

0,
7
8
0,
3
3
0,
2
4
0,
1
7
0,
2
2
0,
1
6
0,
1
2
0,
1
3

0,
28

0, 1,9 0,4 0,0 21, 4,1


46 5
8
3 56 4

0,
76

0,8
7

0,
24

0, 1,7 0,4 0,0 19, 3,8


48 1
4
4 31 2

0,
63

0,8
9

0,
23

0, 2,2 0,7 0,1 17, 3,7


40 4
3
5 73 1

1,
00

0,8
6

0,
21

0, 1,0 0,3 0,0 16, 3,0


63 9
2
9 56 3

1,
15

0,9
2

0,
20

0, 0,9 0,2 0,0 16, 2,9


54 5
8
8 48 7

1,
06

0,9
3

0,
19

0, 0,9 0,2 0,0 19, 3,0


64 4
2
7 26 1

1,
23

0,9
4

0,
17

0, 0,7 0,1 0,0 18, 2,6


59 5
4
5 33 2

1,
54

0,9
5

0,
15

0, 0,8 0,1 0,0 18, 2,4


50 2
5
4 58 8

1,
15

0,9
5

9.00

44.0
38.5

P-total

7.50

P-ters edia

K-total

33.0

K-ters edia

27.5
ppm

mg/100g

6.00
4.50

(2)

22.0
16.5

3.00

11.0
1.50

5.5
0.00
Puncak
Bukit

Lereng
Atas

Lereng
Tengah

(1)

Lereng
Baw ah

Kaki
Lereng

0.0
Puncak
Bukit

Lereng
Atas

Lereng
Tengah

Lereng
Baw ah

Kaki
Lereng

Gambar 4. Grafik hubungan antara sekuen topografi dengan P-total, K-total (1), Ptersedia, dan K-tersedia (2)
Gambar 4 menunjukkan bahwa P-total menurun mulai dari puncak bukit sampai
lereng atas kemudian cenderung meningkat sampai kaki lereng, sebaliknya K-total
meningkat mulai dari puncak bukit sampai lereng atas kemudian menurun sampai kaki
lereng, P-tersedia menurun mulai dari puncak bukit sampai lereng atas kemudian
meningkat sampai lereng tengah dan kembali menurun sampai kaki lereng, dan Ktersedia meningkat mulai dari puncak bukit sampai lereng atas kemudian menurun
sampai kaki lereng.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

30

(1)
50

14

Ca -d d

12

M g -d d

10

K-d d
N a -d d

KPK

40
KB (%)

-1

16

cmol(+).kg

(2)

60

30
20
10

0
Pu n c a k
Bu kit

Le re n g
A ta s

Le re n g
Ten g ah

Le re n g
Ba wa h

Ka ki
Le re n g

Puncak
Bukit

S e k ue n topog r afi

Lereng
Atas

Lereng
Tengah

Lereng
Bawah

Kaki
Lereng

Sekuen topografi

Gambar 5. Grafik hubungan antara sekuen opografi dengan Ca-dd, Mg-dd, K-dd, Nadd, dan KPK (1); dan KB (2)
Gambar 5 menunjukkan bahwa kation basa Ca-dd, Mg-dd, K-dd, Na-dd, KB dan
KPK meningkat mulai dari puncak bukit sampai lereng atas kemudian cenderung
menurun sampai kaki lereng.
Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa sebahagian besar tanah yang berkembang di
atas batuan induk harsburgit memiliki sifat kimia yang berstatus rendah sampai sangat
rendah terutama yang berada pada lereng bawah dan dan kaki lereng, sedangkan
kandungan oksida Fe bebas (Fe-dithionin) berada pada jumlah yang sangat banyak dan
rasio Fed/Fet yang sangat tinggi yang menunjukkan tingginya intensitas pelapukan. Hal
ini didukung pula oleh hasil analisis XRD (difraksi sinar-X) mineral lempung yang
menunjukkan bahwa tanah yang berkembang mulai dari puncak bukit sampai kaki
lereng didominasi oleh mineral-mineral hasil pelapukan lanjut yaitu goethite, gibsit,
magnetit, dan kaolinit.
Klasifikasi Tanah dan Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa Sawit
Berdasarkan karakteristik tanah yang terbentuk maka tanah yang berkembang
pada PH1 dapat diklasifikasikan sebagai famili tanah Rhodic Khanhaplustults, Clayey,
Ferruginous, Nonacid; PH2 adalah Lithic Ustorthents, Clayey, Paraseskuik, Nonacid;
PH3 adalah Typic Ustorthents, Loamly, Paraseskuik, Nonacid; PH4 adalah Oxic
Haplustepts, Clayey, Parasesquic, Nonacid; PH5 adalah Rhodic Kanhaplustalfs, Clayey,
Ferruginous, Nonacid; PH6 adalah Rhodic dan Acrustoxic Kanhaplustults, Loamly,
Ferruginous, Nonacid; PH7 adalah Rhodic dan Acrustoxic Kanhaplustults Clayey,
Ferruginous, Nonacid; dan PH8 adalah famili tanah Acrustoxic Kanhaplustults, Clayey,
Ferruginous, Acid.
Hasil evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa kesesuaian lahan aktual
untuk tanaman kelapa sawit adalah sebahagian besar (79,18%) tidak sesuai (N)
sedangkan 20,82% hanya sesuai marginal (S3). Sebagai penyebabnya adalah ketersedia
hara yang rendah, media perakaran yang tidak memungkinkan berkembangnya akar
tanaman dengan baik, dan kelerengan yang curam. Jika dilakukan pengelolaan yang
baik sesuai dengan permasalahannya seperti pemupukan, terassering, dan penanaman
penutup tanah maka akan terjadi perubahan kelas kesesuaian lahan menjadi sesuai
marginal (S3) 79,93%; cukup sesuai (S2) 8,93% dan tidak sesuai saat ini (N1) 11,15%
dari luas wilayah 27.846,61 ha.

31

SeminarHasilPenelitianUGM2009

PEMBAHASAN
Tubuh tanah yang berkembang di atas bahan induk harsburgit pada mulai dari
puncak bukit sampai kaki lereng menunjukkan karakteristik yang berbeda (Tabel 1 dan
2). Hal ini menunjukkan bahwa keragaman ketinggian tempat dan kelerengan
menentukan karakteristik tubuh tanah yang berkembang. Perbedaan tersebut terutama
disebabkan karena faktor kelerengan, dengan tingginya curah hujan di wilayah tersebut
(> 2000 mm/tahun), pada kelerengan yang tajam sebahagian besar air hujan yang turun
akan mengalir sebagai aliran permukaan dan memungkinkan terjadinya erosi yang
mengangkut tanah permukaan yang terbentuk, akibatnya perkembangan tanah akan
selalu terhalang dan senantiasa kembali ketahap awal. Pada kelerengan yang rendah, air
hujan yang turun sebahagian besar air masuk kedalam tubuh tanah dan menjadi agen
terjadinya pelapukan yang intensif serta menjadikan tubuh tanah terdifrensiasi kedalam
berbagai horison. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Jenny (1941), Buol et al
(1989); Faning dan Faning (1989); Wambeke (1992) bahwa air merupakan agen
perkembangan tanah, selanjutnya bahwa keragaman toposekuen sangat berpengaruh
terhadap perkembangan tanah.
Jumlah dan kuintitas air yang masuk dalam tubuh tanah yang dipengaruhi oleh
keragaman topografi akan menentukan arah proses pembentukan tanah yang
berlangsung. Pada tubuh tanah bagian puncak bukit telah terjadinya proses eluviasi,
iluviasi, tranformasi, sintesis,
dan desilikasi (feralisasi). Eluviasi dan iluviasi
menghadirkan tubuh tanah berhorison-horison, transformasi dan sintesis menghadirkan
mineral-mineral sekunder sedangkan feralisasi menghadirkan besi bebas yang tinggi
pada tubuh tanah tersebut. Tubuh tanah yang berkembang pada lereng atas dan tengah
berlangsung serangkaian proses pembentukan tubuh tanah yaitu erosi permukaan yang
mengakibatkan terpangkasnya tubuh tanah, desilikasi (feralisasi), tranformasi, dan
sintesis. Pada lereng bawah dan kaki lereng terbentuk tubuh tanah dengan serangkaian
proses yang mengakibatkan perkembangan lebih lanjut yaitu eluviasi, iluviasi,
pelindian, desilikasi, transformasi, dan sistensi. Perbedaan proses pembentukan tanah
pada sekuen topografi tersebut mengakibatkan terbentuknya berbagai jenis tanah. Pada
bagian puncak bukit terbentuk jenis tanah ultisol, lereng atas terbentuk jenis tanah
entisol, lereng tengah terbentuk jenis tanah inceptisol, lereng bawah terbentuk jenis
tanah alfisol dan ultisol, dan pada kaki lereng terbentuk jenis tanah ultisol. Proctor
(2003), Tyler (1975), Wilcke et al., (2003) menyebutkan bahwa pada daerah yang
bercurah hujan tinggi, di atas batuan ultramafik dapat berkembang jenis tanah entisol,
inceptisol, alfisol dan ultisol. Selanjutnya Pedro dan Sieffermann (1979); De Conick
(1978) tingginya intensitas pelapukan dapat ditunjukkan dengan dominasi mineral
lempung yang tahan pelapukan pada tubuh tanah seperti kaolinit dan hidroksida besi.
Bonofacio et al (1997) menyebutkan bahwa pada toposekuen lereng bawah terbentuk
tanah yang lebih berkembang daripada tanah pada lereng atas. Seluruh proses
pembentukan tanah yang berlangsung pada sekuen topografi yang berbahan induk
harsburgit tersebut menghasilkan tanah yang mempunyai kesuburan rendah dan
mempunyai potensi rendah untuk pengembangan kelapa sawit. Untuk meningkatkan
harkatnya, diperlukan tindakan pengelolaan tanah yang tepat sesuai dengan karakteristik
tanah yang berkembang.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor keragaman topografi (toposequent),
sangat berperan mengendalikan pembentukan tubuh tanah pada bahan induk harsburgit.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

32

Pada bagian puncak bukit dengan kelerengan 0-8% mengarahkan terbentuknya tubuh
tanah dalam tahap perkembangan awal; bagian lereng atas dan lereng tengah dengan
kelerengan >25% mengarahkan terbentuknya tanah-tanah yang bersolum dangkal
sebagai ciri tanah yang baru berkembang; dan pada bagian lereng bawah dan kaki
lereng dengan kelerengan 0-25% mengarahkan terbentuknya tubuh tanah yang
berkembang sangat lanjut. Karakteristik tanah yang mengemuka adalah warna tanah
coklat sangat gelap kemerahan sampai coklat kemerahan, kandungan besi bebas dan
mineral lempung goethite dan magnetit yang tinggi sehingga secara umum mempunyai
kesuburan tanah yang sangat rendah. Tanah yang terbentuk pada bahan induk harsburgit
adalah jenis tanah entisol, inceptisol, alfisol dan ultisol. Kesesuaian lahan saat ini untuk
tanaman kelapa sawit di Kecamatan Langgikima sebahagian besar tidak sesuai seluas
22.050, 15 ha (79,18%) karena rendahnya ketersediaan hara, media perakaran yang
tidak menunjang, dan kelerengan yang tinggi sedangkan yang sesuai marginal hanya
5.796, 46 ha (20,82%). Pengelolaan tanah yang disesuaikan dengan faktor penghambat
akan meningkatkan kelas kesesuaian lahan menjadi cukup sesuai seluas 2.485,54 ha
(8,93%), sesuai marginal seluas 22.257,10 ha (79,93%), dan tidak sesuai 3.103,97 ha
(11,15%).
UCAPAN TERIMA KASIH
Pelaksanaan penelitian ini dapat berlangsung atas dukungan dana yang
bersumber dari DIPA UGM melalui program Hibah Doktor tahun 2009 yang dikelola
oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UGM. Batuan ini
memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam menyelesaikan penulisan disertasi
kami. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih banyak kepada Universitas
Gadjah Mada sebagai tempat kami melanjutkan studi S3, demikian pula kepada
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UGM atas batuan dan arahan
selama pelaksanaan dan penulisan laporan penelitian. Ucapan terima kasih kepada yang
terhormat Bapak Prof.Dr.Ir. Bambang Hendro Sunarminto, SU., Dr.Ir. Djafar
Shiddieq, M.Sc., dan Dr.Ir. Abdul Syukur, SU., sebagai pembimbing kami dalam
penulisan disertasi. Ucapan terima kasih pula kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam pelaksanaan peneitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
BAKOSURTANAL, 1988. Peta Land System dan Land Suitability Skala 1 : 250.000,
Lembar Sulawesi 2212, Seri RePProT. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional.
Bonofacio, E., E. Zanini, V. Boero, and M. Franchini-Angela, 1997. Pedogenesis in a
Soil Catena on Serpentinite in North-Western Italy. Geoderma 75 : 33-51.
BPS, 2007. Kabupaten Konawe Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Konawe Utara. 247 h.
Buol, S.W., F.D. Hole and R.J. Cracken, 1989. Soil Genesis and Classification. The
Iowa State University Press. Ames. 360 p.
De Conick, Fr., 1978. Physico-Chemical Aspects of Pedogenesis. Internasional
Training Centre for Post-Graduate Soil Scientisis. Rijksuniversiteit Gent. 154 p.
Dent, D. and A. Young, 1981. Soil Survey and Land Evaluation School and
Environmental Science. University of East Anglea. Norwich. London.
Faning, D.S. and M.C.B. Faning, 1989. Soil Morphology, Genesis, and Classification.
John Wiley & Sons, Inc. USA. 395 p.

33

SeminarHasilPenelitianUGM2009

FAO, 1977. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and
Conservation Service, Land and water Development Division. Food and
Africulture Organizations.Rome.66 p.
Jenny, H., 1941. Factors of Soil Formation. McGraw-Hill Book Company, Inc. New
York and London. 281 p.
Kadarusman, A., S. Miyashita, S. Maruyama, C.D. Parkinson and A. Ishikawa, 2004.
Petrology, Geochemistry and Paleogeographyc Reconstruction of The East
Sulawesi Ophiolite, Indonesia. Tectonophysics 392: 55-83.
Kartono, G., 1999. Kiat Revitalisasi Program Pengembangan Usahatani Berbasis Padi
Memasuki Era Milenium Ketiga Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar
Regional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari. 474 h.
Koswara, A. dan D. Sukarna, 1994. Geologi Lembar Tukangbesi, Sulawesi. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral Departemen Pertambangan dan Energi RI.Bandung. 14 h.
Moetamar, H. Simangunsong dan S.H.J. Sihombing, 2005. Inventarisasi dan Evaluasi
Mineral Logam di Daerah Kabupaten Konawe (Kendari) dan Kabupaten Kolaka
Provinsi Sulawesi Tenggara. Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan. Subdit
Mineral Logam, Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Mineral. Bandung. 14 h.
Pedro, G. and G. Sieffermann, 1979. Weathering of Rocks and Formation of Soil.
Riview of Research on Modern Problems in Geochemitry. Internasional
Association for Geochemistry and Cosmochemistry. Unesco. Paris. 39-55 p.
PPLH, 2005. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pembangunan Perkebunan
Kelapa Sawit di Kecamatan Lasolo, Asera dan Wiwirano Kabupaten Konawe.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unhalu. Kendari. 275 h.
Proctor, J., 2003. Vegetation and Soil and Plant Chemistry on Ultramafic Rocks in The
Tropical Far East. Prespectives in Plant Ecology, Evaluation and Systematics 6 :
105-124.
Rusmana, E., Sukido, D. Sukarna, E. Haryanto dan T.O. Simandjuntak, 1993. Geologi
Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen
Pertambangan dan Energi RI. Bandung. 16 h.
Simandjuntak, S.O., E. Rusmana dan J.B. Supandjono, 1994a. Geologi Lembar Bungku
(2213), Sulawesi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat
jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen Pertambangan dan
Energi RI. Bandung. 13 h.
Simandjuntak, S.O., Surono dan Sukido, 1994b. Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral Departemen Pertambangan dan Energi RI.Bandung. 18 h.
Soil Survey Staff, 1998. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia, 1999.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Soil Survey Staff, 2003. Keys to Soil Taxonomy. United States Departement of
Agriculture, Natural Resources Conservation Serivice.332 p.
Sys, C., E.V. Ranst, and F. Beernaert, 1993. Land Evaluation Part I: Principles In
Land Evaluation and Crop Production Calculations. Agricultural Publications
No. 7. International Training Centre for Post-Graduate Soil Scientists
University Ghent. Belgium. 274 p.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

34

Tyler, E.J., 1975. Genesis of the Soil with a Detailed Soil Survey in the Upper Amazon
Basin. Soil. Sci.Dept. North Carolina State University Releigh. 171 p.
Wambeke, A.V., 1992. Soil of The Tropics :Properties and Appraisal. McGrawHill,Inc. New York.343 p.
Wilcke, W., H. Valladarez, R. Stoyan, S. Yasin, C. Valarezo and W. Zech, 2003. Soil
Properties on a Chronosequence of Landslides in Montane Rain Fores,
Ecuador. Catena 53 : 79-95.
Yosman, M., 1999. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Mendukung
Pengembangan Wilayah Berbasis Ekonomi Kerakyatan Di Sulawesi Tenggara.
Prosiding Seminar Regional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari. 474
h.

35

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

36

DISTRIBUSI DAN KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI


KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU, JAWA
TENGAH
Subeno1, Bayu Wisnu Broto2, Agus Sudibya Jati2
Staf pengajar Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,
Fakultas Kehutanan UGM
2)
Mahasiswa Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,
Fakultas Kehutanan UGM

1)

ABSTRACT
As a new national park, Merbabu Mount National Park not have any data about
the potential biophysical and socio-economic. In the case of potential biophysical
excavation, especially to see the potential for fauna in TNGM needs to be done. Until
recently conducted excavations has done only potential of bird. While for herpetofauna
and mammal potential has not been. Specific purpose of this study was to determine the
distribution and diversity of herpetofauna in the area Merbabu Mountain National
Park. While long-term goal is to provide a data base of the herpetofauna, especially in
the area TNGM so that could be one consideration in the management area. This is
expected to affect the sustainability of herpetofauna. Methods to be used in this study
were Visual Encounter Survey (VES) with the design of the transect. Placement 1 km
transect used along the river in the area. Types of data collected is the data type that
includes a type, number of individuals/species, SVL (snout-vent length), weight, gender
and activity and position as found in the environment and habitat data. Then use the
diversity index of Shannon-Wiener to know diversity herpetofauna. As for distribution
made by processing the coordinates of the point of encounter with herpetofauna using
ArcView 3.3. Research results show the location of the study found as many as 9 species
of herpetofauna consists of 2 species of reptiles and 7 species of amphibians. Family
Ranidae dominated for amphibian species by 4 species, and for families Megophrydae,
Microhylidae, and Rhacophoridae each consisting of one type. Both species of reptiles
found from families Agamidae and Gekkonidae. Herpetofauna diversity index in
Merbabu Mountain National Park has a value of 1 which includes the low category.
Greatest diversity index is the location Gendil River with the value 2 and the smallest is
at locations Daru River with a value 0. Distribution of herpetofauna species varied.
There are four species of Rana hosii, Rana chalconata, Lymnonectes marmoratus
Cyrtodactylus kuhlii scattered in three locations of observation. Species that spread in
two locations observation namely Huia mansonii and Megophrys montana While
Broncocela cristatela, Rhacophorus javanus, and Microhyla achatina found only in one
location observation
Keywords: Merbabu Mountain National Park, herpetofauna, species composition,
diversity index, distribution

37

SeminarHasilPenelitianUGM2009

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago country) yang termasuk
diantara tiga negara terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman jenis fauna di indonesia meliputi 25% jenis ikan di dunia, 17% jenis
burung di dunia, 16% jenis reptil dan amphibi di dunia, 12% jenis mammalia di dunia
dan 10% jenis tanaman berbunga (Anonimus, 1994). Jumlah amphibi dan reptil meliputi
sekitar 13.000 jenis dan 10.000 jenis diantaranya hanya terdapat di daerah Indonesia
(Iskandar, 2000). Kondisi ini sesuai dengan bentuk wilayah indonesia yang merupakan
negara kepulauan dimana bentuk ini identik dengan jumlah jenis yang tinggi, namun
ukuran populasi biasanya kecil.
Herpetofauna merupakan suatu istilah untuk menyebut kelompok satwa yang
terdiri dari reptil dan amfibi yang merupakan salah satu jenis potensi keanekaragaman
hayati hewani yang kurang dikenal dan jarang diketahui. Keberadaan jenis herpetofauna
di Indonesia boleh jadi menjadi yang terbesar di dunia, tetapi yang patut
dipertimbangkan adalah upaya untuk mengeksplorasi dan meneliti herpetofauna di
Indonesia masih terbatas. Penelitian-penelitian yang terfokus pada herpetofauna masih
sangat minim sehingga berdampak pada masih sedikitnya data tentang keanekaragaman
jenis herpetofauna di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari masih sedikitnya literaturliteratur tentang jenis-jenis herpetofauna di wilayah Indonesia.
Keberadaan penelitian herpetofauna yang ada saat ini masih terbatas dilakukan
di kawasan konservasi yang ada di wilayah jawa bagian barat. Keberadaan data
herpetofauna di kawasan konservasi wilayah jawa bagian tengah dapat dibilang masih
minim. Hal ini bisa terlihat masih terbatasnya hasil publikasi penelitian herpetofauna di
wilayah jawa bagian tengah.
Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan salah satu kawasan konservasi
yang masih baru yang ada di jawa Tengah. Sebagai TN baru sudah barang tentu sangat
membutuhkan informasi keberadaan potensi baik biotik maupun abiotik yang ada di
dalamnya. Keberadaan potensi ini sangat penting sebagai dasar dalam menentukan
kebijakan pengelolaan kawasan. Salah satu potensi biotik yang dimiliki adalah
herpetofauna. Selama ini potensi herpetofauna kurang mendapat perhatian dari pihak
pengelola, padahal keberadaan data herpetofauna bisa dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan pengelolaan karena herpetofauna sebetulnya bisa dijadikan sebagai salah
satu indikator kualitas lingkungan dan keseimbangan dalam ekosistem.
Tujuan
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah :
1. mengetahui komposisi jenis herpetofauna di kawasan Taman Nasional Gunung
Merbabu
2. mengetahui keanekaragaman herpetofauna di kawasan Taman Nasional Gunung
Merbabu
3. mengetahui distribusi atau sebaran herpetofauna di kawasan Taman Nasional
Gunung Merbabu
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
tentang diversitas dan sebaran herpetofauna yang ada di Taman Nasional Gunung
merbabu. Disamping itu juga sebagai bahan masukan untuk pengelolaan fauna
khusunya herpetofauna terhadap pihak Balai Taman Nasional dalam menjalankan
fungsinya sebagai pemangku kawasan konservasi.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

38

METODE PENELITIAN
Lokasi Pengamatan
Berdasarkan peta kawasan dan masukan dari pihak TN Gunung Merbabu ada 5
lokasi yang akan digunakan sebagai tempat pengambilan data. Kelima lokasi tersebut
adalah Sungai Pantaran yang masuk dalam lereng yang berada di kabupaten Boyolali,
Sungai Daru dan Gendil yang masuk dalam lereng yang berada di kabupaten Magelang
dan Sungai Sat dan Duren yang masuk dalam lereng yang berada di kabupaten
Semarang.
Prosedur Pengambilan data
Untuk mengetahui komposisi jenis digunakan metode Visual Encounter Survey
(VES) dengan rancangan transek (Heyer et al.,1994). Penempatan transek sepanjang
800 m yang digunakan di sepanjang sungai yang ada di dalam kawasan. Pengamatan
dilakukan dari hilir menuju hulu sungai. Lebar transek disesuaikan dengan lebar
kawasan sempadan sungai (+ 30 m). Selain itu dilakukan kombinasi survey pada
riparian buffer (vegetasi sisi sungai) dan jalur/jalan setapak sepanjang sisi transek
sungai. Waktu pengamatan dilakukan dua kali yaitu pagi hari mulai jam 06.00-11.00
dam malam hari mulai jam 18.00-23.00.
Jenis data yang dikumpulkan adalah data jenis yang meliputi nama jenis, jumlah
individu/jenis, SVL (snout-vent length) yaitu panjang tubuh mulai dari moncong hingga
kloaka, berat tubuh, jenis kelamin dan aktivitas saat dijumpai dan posisi dalam
lingkungan. Identifikasi jenis yang diperoleh berdasarkan Iskandar (1998) dan Liem
(1971).
Sedangkan data habitat yang dikumpulkan antara lain data keadaan cuaca, suhu
dan kelembaban udara, suhu air, dan tinggi air pada saat pengambilan data satwa yang
diambil pada awal dan akhir setiap pengambilan data satwa dilakukan, serta kondisi
fisik perairan (sungai) yang diukur bersamaan dengan pengumpulan data vegetasi dan
habitat lainnya. Data pola gangguan terhadap habitat herpetofauna didapatkan melalui
pengamatan aktivitas manusia disekitar habitat (sungai) baik langsung maupun tidak
langsung yang menyebabkan perubahan habitat.
Analisis Data
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis herpetofauna digunakan indeks
keragaman Shanon-Wiener (Magurran, 1988). Distribusi atau sebaran dilakukan
pengamatan langsung dan tidak langsung. Setiap pertemuan dengan herpetofauna atau
indikatornya dicatat koordinat posisinya dengan menggunakan GPS. Titik-titik
koordinat ini selanjutnya diolah dengan menggunakan ArcView 3.3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi jenis herpetofauna di seluruh kawasan TNGM
Dari seluruh lokasi penelitian berhasil ditemukan sebanyak 9 jenis herpetofauna
yang terdiri dari 2 jenis reptil dan 7 jenis amfibi dengan jumlah individu sebanyak 6
ekor untuk reptil dan 170 ekor untuk amfibi. Famili Ranidae mendominasi jenis amfibi
yaitu sebanyak 4 jenis dan untuk famili Megophrydae, Microhylidae, dan
Rhacophoridae masing-masing terdiri dari satu jenis. Kedua jenis reptil yang ditemukan
berasal dari 2 famili yang berbeda yaitu Agamidae dan Gekkonidae.

39

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Jenis dan jumlah herpetofauna yang ditemukan berbeda-beda dari kelima lokasi
penelitian. Di Sungai Pantaran ditemukan 2 jenis herpetofauna yaitu Megophrys
montana dan Cyrtodactylus marmoratus. Selain itu juga ditemukan satu ekor ular dari
famili Viperidae yaitu Trimeresurus puniceus di luar jalur transek. Di Sungai Daru tidak
berhasil ditemukan satupun herpetofauna selama penelitian. Keberadaan air yang minim
di tempat ini yang hanya terdapat beberapa genangan air di sepanjang transek
kemungkinan menjadi penyebabnya.
Di Sungai Duren ditemukan 2 jenis reptil , yaitu Broncocela cristatela dan
Cyrtodactylus marmoratus, dan 4 jenis amfibi yaitu Huia masonii, Limnonectes kuhlii,
Rana chalconata, dan Rana hosii. Sungai Duren ini merupakan lokasi penelitian yang
jumlah individu herpetofaunanya paling banyak (62% dari total individu herpetofauna
yang ditemukan).
Di Sungai Sat/Klimahan ditemukan satu jenis reptil yaitu Cyrtodactylus
marmoratus dan 3 jenis amfibi yaitu Limnonectes kuhlii, Rana chalconata , dan Rana
hosii. Di Sungai Gendil ditemukan 7 jenis amfibi yaitu Megophrys montana, Microhyla
achatina, Huia masonii, Limnonectes kuhlii, Rana chalconata, Rana hosii, dan
Rhacophorus javanus. Secara lengkap jenis-jenis yang ditemukan dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel.1. Komposisi Jenis Herpetofauna di Taman Nasional Gunung Merbabu
Jenis
No
Jumlah
Famili
Nama ilmiah
Nama lokal
Reptilia
1 Agamidae
Bunglon
2
Broncocela cristatela
2 Gekkonidae
4
Cyrtodactylus marmoratus Cicak batu
Amfibia
1 Megophrydae
Katak bertanduk
19
Megophrys montana
2 Microhylidae
Percil jawa
1
Microhyla achatina
3 Ranidae
Kongkang jeram
3
Huia masonii
4 Ranidae
Bangkong tuli
86
Lymnonectes kuhlii
5 Ranidae
Rana chalconata
Kongkang kolam
9
6 Ranidae
Kongkang racun
51
Rana hosii
7 Rhacophoridae
Katak pohon jawa
1
Rhacophorus javanus

170
Keragaman herpetofauna di TN Gunung Merbabu
Berdasarkan hasil perhitungan keragaman herpetofauna yang ada di Taman
Nasional Gunung Merbabu dengan menggunakan Indeks Shanon-Wiener (H)
diperoleh nilai sebesar 1. Ini berarti bahwa keragaman herpetofauna di Taman Nasional
Gunung Merbabu termasuk kategori rendah. Nilai indeks Shanon-Wiener terbesar dari
seluruh lokasi pengamatan terdapat pada lokasi Sungai Gendil dengan nilai 2 dan yang
terkecil terdapat di lokasi Sungai Daru dengan nilai 0 karena di lokasi ini tidak
ditemukan sama sekali herpetofauna. Hasil perhitungan indeks Shanon-Wiemer
keseluruhan lokasi dapat dilihat pada gambar 1.
Besarnya indeks keanekaragaman lebih dipengaruhi oleh komposisi jenis dan
jumlah jenis yang ditemukan dalam suatu wilayah. Semakin besar komposisi akan
semakin besar pula indeks keanekaragamannya.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

40

Indeks Shanon-Wiener

Indeks Shanon-Wiener Herpetofauna di Taman Nasional


Gunung Merbabu

2.5

2
1.5

0.92

1
0.5

0.53
0.206

0
Sungai
Pantaran

Sungai Daru Sungai Duren Sungai Gendil

Sungai
Klimahan

Lokasi Pengamatan

Gambar 1. Indeks Shanon-Wiener Herpetofauna di Taman Nasional Gunung


Merbabu
Sebaran Herpetofauna
Sebaran atau distribusi herpetofauna yang ada di Taman Nasional Gunung
Merbabu dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. .Peta Distribusi Herpetofauna di Lokasi Penelitian Taman Nasional


Guung Merbabu
Dari gambar terlihat bahwa tidak ada spesies yang tersebar di seluruh lokasi
pengamatan. Ada empat spesies yaitu Rana hosii, Rana chalconata,Lymnonectes kuhlii
dan Cyrtodactylus marmoratus tersebar di tiga lokasi pengamatan. Ketiga spesies
pertama tersebut ditemukan di lokasi pengamatan yang sama yaitu Sungai Duren, Sugai

41

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Gendil dan Sungai Sat. Sementara Cyrtodactylus marmoratus ditemukan di Sungai


Duren, Sungai Sat dan Sungai Pantaran.
Spesies yang tersebar di dua lokasi pengamatan yaitu Huia mansonii dan
Megophrys Montana. Huia mansonii ditemukan di lokasi pengamatan Sungai Duren
dan Sungai Gendil. Sedangkan Megophrys Montana ditemukan dilokasi pengamatan
Sungai Pantaran dan Sungai Gendil. Sementara spesies Broncocela cristatela,
Rhacophorus javanus, dan Microhyla achatina hanya ditemukan di satu lokasi
pengamatan. Broncocela cristatela ditemukan di lokasi pengamatan Sungai Duren,
Rhacophorus javanus, dan Microhyla achatina ditemukan di lokasi pengamatan Sungai
Gendil. Keberadaan jenis-jenis herpetofauna di lokasi pengamatan dapat dilihat pada
tabel 2.
Tabel 2. Jenis Herpetofauna yang ditemukan pada lokasi pengamatan di Taman
Nasional Gunung Merbabu
Lokasi
Jenis
Jumlah
jenis per
B.c C.m H.m L.k M.a M.m R.c R.h
R.j
lokasi
Sungai

2
Pantaran
Sungai Daru
0
Sungai

6
Duren
Sungai

7
Gendil
Sungai

4
Sat/Klimahan
Kondisi Habitat
Sungai Pantaran
Sungai Pantaran terdapat di Desa Candisari Kabupaten Boyolali. Sungai
Pantaran memiliki air yang jernih dengan dasar berbatu dan banyak dijumpai jeram.
Tepian Sungai Pantaran ini sebagian besar berupa tebing dengan dipenuhi tumbuhan
bawah dan semak yang lebat. Vegetasi tingkat tinggi sangat jarang dijumpai di Sungai
Candisari. Pada awal transek sampai pertengahan transek tepian sungai dipenuhi dengan
tumbuhan bawah dan semak, di akhir transek terdapat tegakan pakis yang cukup
banyak. Sungai Pantaran telah dimanfaatkan airnya, bukan hanya oleh penduduk sekitar
akan tetapi juga digunakan oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Pemanfaatan
air yang dilakukan oleh PDAM dilakukan dengan membendung aliran sungai kemudian
air disalurkan melalui pipa-pipa sehingga aliran sungai hanya sampai dibendungan.
Selama pengamatan Sungai Pantaran memiliki suhu udara malam hari berkisar
antara 17 0C sampai 19 0C, dengan kelembapan berkisar antara 70 % sampai 78 %. Di
siang hari suhu udara selama pengamatan berkisar antara 15 0C sampai 17 0C dengan
kelembapan berkisar antara 85 % sampai 100%. Kondisi suhu dan Ph air selama
pengamatan malam hari berkisar 15 0C sampai 16 0C dan Ph air berkisar antara 5
sampai 6. Selama pengamatan di siang hari suhu dan Ph air berkisar antara 14 0C sampai
16 0C dengan Ph air berkisar antara 5 sampai 6.
Sungai Daru/Cuntel

SeminarHasilPenelitianUGM2009

42

Sungai ini terdapat di Desa Kopeng Kabupaten Semarang. Selama pengamatan


di Sungai Daru tidak ditemukan sungai yang mengalir dan hanya ditemukan sisa-sisa
aliran sungai berupa kubangan air. Dari informasi penduduk sekitar diketahui bahwa
Sungai Daru hanya mengalir pada waktu musim penghujan. Sungai Daru memiliki
banyak jeram dengan dasar berbatu dan bagian tepi memiliki vegetasi dataran tinggi
seperti Rasamala, dan Puspa. Pada waktu pengamatan dijumpai beberapa tebing sungai
yang longsor. Sungai ini hanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar, hal ini dapat dilihat
dari adanya pipa-pipa air.
Suhu dan kelembapan udara selama pengamatan malam hari berkisar antara 12
0
C sampai 14 0C dengan kelembapan udara berkisar antara 85 % sampai 100 %. Selama
pengamatan pagi hari suhu udara berkisar antara 11 0C sampai 140C, dengan
kelembapan berkisar antara 78 % sampai >100%. Suhu air selama pengamatan malam
hari berkisar antara 12 0C sampai 14 0C dengan Ph sebesar 5. Selama pengamatan pagi
hari Suhu air berkisar antara 11 0C sampai 14 0C dengan Ph sebesar 5.
Sungai Duren
Sungai Duren terdapat di Desa Kopeng Kabupaten Semarang. Sungai ini
terdapat di objek wisata Kopeng tepatnya di objek wisata Umbul Songo. Sungai Duren
memiliki air yang jernih dan mengalir sepanjang tahun. Selama pengamatan dijumpai
banyak sekali sampah, sampah ini berasal dari pengunjung yang berkunjung di objek
wisata Umbul Songo. Sungai Duren merupakan sungai berbatu yang relative datar
dengan bagian sepadan sungai di dominasi oleh vegetasi Pinus, Damar dan Pakis.
Daerah ini secara pengelolaan masih dikelola oleh Perhutani. Air di Sungai Duren telah
banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun
pengusahaan vila yang terdapat di sekitar objek wisata.
Selama pengamatan malam hari suhu udara di lokasi penelitian berkisar antara
16 0C sampai 20.5 0C, dengan kelembapan udara berkisar antara 70% sampai >100 %.
Pada waktu pengamatan Pagi hari suhu udara berkisar antara 17 0C sampai 23 0C
dengan kelembapan udara berkisar antara 70 % sampai >100 %. Suhu air selama
pengamatan malam hari berkisar antara 17 0C sampai 180C dengan Ph air sebesar 6,
selama pengamatan di pagi hari suhu air berkisar antara 17.50C sampai 20 0C dengan Ph
sebesar 6.
Sungai Sat/Klimahan
Sungai ini terdapat di Desa Pogalan kabupaten Magelang. Sungai ini memiliki
dasar berbatu dengan air yang jernih. Selama pengamatan air yang mengalir di sungai
ini hanya ditemukan di bagian awal sampai pertengahan transek. Di 400 meter terakhir
dari transek hanya ditemukan kubangan-kubangan air. Sungai ini dimanfaatkan oleh
beberapa desa sekitar sungai untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Selama
pengamatan ditemukan beberapa bekas penambangan batu dan di sepadan sungai
ditemukan beberapa tumpukan batu yang siap untuk diangkut. Di sepadan sungai
terdapat beberapa rumput seperti rumput gajah yang dimanfaatkan penduduk sekitar
sebagai pakan ternak. Dari informasi petugas Taman Nasional di daerah sungai ini
masih sering terjadi pelanggaran seperti perencekan, pemotongan ranting-ranting pohon,
dan pencarian rumput untuk pakan ternak. Vegetasi Sungai Klimahan didominasi oleh
Pohon Pinus bekas tegakan Perhutani. Di 400 meter terakhir di sepadan sungai terdapat
rumpunan bambu.

43

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Selama pengamatan malam hari suhu udara berkisar antara 13 0C sampai 17.5 0C
dengan kelembapan udara berkisar antara 95 % sampai > 100%. Suhu di pagi selama
pengamatan berkisar antara 18 0C sampai 22.5 0C dan kelembapan udara selama
pengamatan berkisar antara 40 % sampa 100 %. Kondisi air di malam hari selama
pengamatan mempunyai suhu berkisar antara 15.5 0C sampai 17 0C dengan Ph sebesar
5. Pada pengamatan pagi hari suhu air berkisar antara 15.5 0C sampai 17.5 0C dengan
Ph berkisar antara 5 sampai 6.
Sungai Gendil
Sungai ini terdapat di Desa Pogalan Kabupaten Magelang. Sungai ini relatif
datar, berbatu dan memiliki air yang jernih. sungai ini telah dimanfaatkan airnya oleh
penduduk dengan membuat bak penampungan air di dekat sumber mata air. Aliran air
hanya di dapatkan di 800 meter pertama di 200 meter terakhir aliran air sudah tidak
ditemukan. Vegetasi yang tumbuh disekitar sungai adalah Pinus bekas tegakan milik
Perhutani. Selama pengamatan dan informasi dari petugas Taman Nasional di daerah ini
masih sering terjadi pelanggaran berupa perencekan dan pencarian pakan ternak. Dari
informasi petugas pula diketahui bahwa masyarakat disekitar sungai memiliki mata
pencaharian yaitu bertani dan beternak.
Selama pengamatan malam hari suhu udara berkisar antara 15.5 0C sampai
0
18.5 C dengan kelembapan udara sebesar 100 %. Suhu di pagi selama pengamatan
berkisar antara 17.5 0C sampai 23 0C dan kelembapan udara selama pengamatan
berkisar antara 58 % sampai 75 %. Kondisi air di malam hari selama pengamatan
mempunyai suhu berkisar antara 17 0C sampai 18.5 0C dengan Ph sebesar 6. Pada
pengamatan pagi hari suhu air berkisar antara 14 0C sampai 17.5 0C dengan Ph sebesar
6.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Dari seluruh lokasi penelitian berhasil ditemukan sebanyak 9 jenis herpetofauna
yang terdiri dari 2 jenis reptil dan 7 jenis amfibi. Famili Ranidae mendominasi jenis
amfibi yaitu sebanyak 4 jenis dan untuk famili Megophrydae, Microhylidae, dan
Rhacophoridae masing-masing terdiri dari satu jenis. Kedua jenis reptil yang
ditemukan berasal dari 2 famili yang berbeda yaitu Agamidae dan Gekkonidae.
2. Indeks keragaman herpetofauna di Taman Nasional Gunung Merbabu memiliki
nilai sebesar 1 yang termasuk kategori rendah. Indeks keragaman terbesar terdapat
pada lokasi Sungai Gendil dengan nilai 2 dan yang terkecil terdapat di lokasi
Sungai Daru dengan nilai 0
3. Persebaran spesies herpetofauna bervariasi. Ada empat spesies yaitu Rana hosii,
Rana chalconata,Lymnonectes kuhlii dan Cyrtodactylus marmoratus tersebar di
tiga lokasi pengamatan. Spesies yang tersebar di dua lokasi pengamatan yaitu Huia
mansonii dan Megophrys Montana Sementara spesies Broncocela cristatela,
Rhacophorus javanus, dan Microhyla achatina hanya ditemukan di satu lokasi
pengamatan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

44

Saran
1. Perlu dilakukan penelitian di musim penghujan sehingga bisa membantu untuk
lebih menggambarkan tingkat keragamannya.
2. Perlu adanya penelitian tentang habitat untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi keberadaan spesies di lokasi tertentu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat UGM yang telah mendanai untuk pelaksanaan
penelitian ini dan pimpinan beserta staf Taman Nasional Gunung Merbabu yang telah
membantu dalam penggunaan lokasi dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan
penelitian tahun pertama ini
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 1994. Indonesian Country Study on Biological Diversity. Departemen
Kehutanan. Jakarta
AmphibiaWeb: Information on amphibian biology and conservation. [web application].
2008. Berkeley, California: AmphibiaWeb. Available: http://amphibiaweb.org/.
(Accessed: Jul 21, 2008)
Das, I. 2004. Lizards of Borneo. Natural History Publication. Kota Kinabalu
Handoyo, Y.B. 2007. Keanekaragaman dan Distribusi Ular di Kawasan Hutan Wisata
Kaliurang. Skripsi. tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Duta Wacana.
Yogyakarta.
Goin, J.C., O.B. Goin & G.R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. W.H. Freeman
and Company. San Fransisco
Heyer, W.R., M.A. Donnely, R.W. McDiarmid, L.C. Hayek & M.S. Foster. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity : standard methods for
amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington
Iskandar, D.T. 2000. Amfibi Jawa dan Bali Seri Panduan Lapangan. Puslitbang LIPI.
Bogor
IUCN, Conservation International, and NatureServe. 2006. Global Amphibian
Assessment. <www.globalamphibians.org>. Accessed :Jul 21, 2008
Kurniati, H. . Biodiversity and Natural History of Amphibians and Reptiles in Kerinci
Seblat Natioonal Park, Sumatra, Indonesia (2005, 2006, 2007). Research Center
for Biology-LIPI, Cibinong.
Kusrini, M.D., Adininggar, U., Ul-Hasanah, Wempy E. 2008. Pengenalan
Herpetofauna. Makalah disampaikan pada Pekan Ilmiah Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Liem, D.S.S. 1971. The Frogs and Toads of Tjibodas National Park Mt. Gede, Java,
Indonesia. The Philippine Journal of Science 100 (2): 131-161.
Magurran E.M. 1988. Ecological Diversity and Its Measurements. Croom Helm.
London
Yuliana, S. 2000. Keanekaragaman Jenis amfibi (ordo Anura) di Kampus IPB Darmaga,
Bogor. Skripsi : Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

45

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

46

KAJIAN SIFAT-SIFAT TANAH PENENTU STABILITAS


AGREGAT TANAH PADA VERTISOL TADAH HUJAN LOMBOK
Igm. Kusnarta1, B. D. Kertonegoro2, B.H. Sunarminto2, dan
D. Indradewa3
1
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian UNRAM
2
Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM
3
Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian UGM
ABSTRAK
Di Lombok, Vertisol menempati luasan kedua setelah Inceptisol. Vertisol Lombok memiliki
kendala fisik tanah dan keterbatasan air (implikasi tipe iklim D3 dan D4). Sejak tahun 1980-an
Pemerintah memperkenalkan teknologi gogorancah (gora) untuk mengatasi ke-dua kendala tersebut.
Akan tetapi, saat ini petani setempat berangsur-angsur mulai meninggalkan sistem gora, antara lain
karena dibutuhkan biaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan tanah dan pengendalian gulma.
Alternatif teknologi pengelolaan Vertisol tadah hujan Lombok Selatan yaitu sistem bedeng permanen
(SBP) atau Permanen Raised Beds telah berhasil ditemukan melalui penelitian jangka panjang sejak
musim tanam tahun 2001/2002 hingga 2003/2004. SBP tersebut dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan air tanaman padi hingga 44 50 %. Disamping itu, pada SBP dapat diusahakan tanaman
bernilai ekonomis tinggi di luar musim. Meskipun SBP telah secara nyata memiliki keunggulan
dibandingkan gora, namun masih memiliki kelemahan yang sangat urgen untuk diatasi, yaitu terkait
dengan kesetabilan bedeng. Bedeng yang stabil dipengaruhi oleh stabilitas agregat tanah. Untuk itu,
diperlukan penelitian yang mengarah pada kajian sifat-sifat tanah penentu stabilitas agregat tanah pada
Vertisol tadah hujan Lombok. Penelitian dilaksanakan melalui metode survei untuk mengambil contoh
tanah, sebelum dilakukan analisis laboratorium terhadap stabilitas agregat tanah, COLE (Coefficient of
Linier Extensibility), kadar lempung, persen sodium tertukar (ESP), kadar kapur (CaCO3), dan Corganik. Regregasi berganda digunakan untuk menganalisis hubungan antara beberapa variabel fisika
dan kimia tanah tersebut yang dihubungkan dengan stabilitas agregat tanah, untuk mengetahui variabel
yang paling dominan pengaruhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stabilitas agregat Vertisol
tadah hujan Lombok paling dipengaruhi oleh nilai COLE (P=0,018), kadar lempung (P=0,015), dan Corganik tanah (P=0,04), namun tidak dipengaruhi oleh kadar kapur CaCO3 (P=0,477) maupun ESP
(P=0,937) dengan persamaan: Stabilitas agregat = 43,4 424 COLE + 0,935 Lempung + 0,077 ESP
1,28 CaCO3 + 15,1 C-organik (R2=0,91). Selanjutnya nilai COLE dipengaruhi oleh kadar CaCO3 (P=
0.001), C-organik (P= 0,001), dan kadar lempung (P= 0,036).
ABSTRACT
In Lombok, Vertisols is the second widest soil type after Inceptisols, with some constraints, such
as soil physical conditions and water scarcity as an implication of D3 and D4 climate types. To overcome
these constrains gogorancah (gora) has been introduced since 1980s. Now days gora system tends to
be leaved by farmers in the regions due to its high cost, mainly for cultivating the land as well as for
weeding. An other alternative of Vertisols management called Permanent Raised Beds (PRB) has been
found through multi years experiment (2001/2002 2003/2004) with its superiorities compare to gora.
PRB system provides better water use efficiency of rice up to 44 50%. Besides, through PRB system it
can be produced high valuable crops out of season together with rice. However, PRB still has its
weakness i.e. unstable bed which urgently needs to be improved. Therefore, an experiment with the
objective to evaluate some factors affecting aggregate stability of Vertisols need to be conducted under
survey method. Two kg soil samples from each spots were collected from top 20 cm of rainfed Vertisols
of Lombok using grid method, and prepared for laboratory analysis for some characteristics: soil
aggregate stability, COLE, clay content, ESP, CaCO3, and soil organic carbon. Multiple regression was
used to find out the degree of correlation between soil aggregate stability and those soil characteristics.
The result of experiment shows that soil aggregate stability of rainfed Vertisol Lombok is highly affected
by COLE (P=0,018), Clay content (P=0,015), and organic-C (P=0,04), but it is not affected by lime
(CaCO3)(P=0,477) and ESP (P=0,937) with the multiple regression equation is Aggregate Stability =
43,4 424 COLE + 0,935 clay + 0,077 ESP 1,28 CaCO3 + 15,1 organik-C (R2=0,91). In additions,
COLE is highly affected by CaCO3 (P= 0.001), C-organik (P= 0,001), and clay content (P= 0,036).

47

SeminarHasilPenelitianUGM2009

PENDAHULUAN
Faktor pembatas pengelolaan lahan Vertisol tadah hujan di Lombok adalah
keterbatasan air dan kendala fisik tanahnya. Keterbatasan air merupakan implikasi dari
iklim D3 dan D4 (Oldeman, et al., 1980), yang memiliki curah hujan tahunan relatif
rendah dengan durasi yang pendek (3-4 bu1an). Daerah bertipe iklim D3 tersebar di
Lombok Tengah bagian Selatan dengan rata-rata curah hujan tahunan 1.665 mm,
sedangkan daerah bertipe iklim D4 tersebar di Lombok Timur bagian Selatan dengan
rata-rata curah hujan tahunan 984 mm. Bulan basah berlangsung 3 4 bulan dimulai
bulan November/Desember sampai dengan Maret/April. Musim kering berlangsung
1ama (6-7 bulan) terjadi antara bu1an Mei sampai dengan Oktober.
Jenis tanah Vertisol mendominasi lahan pertanian tadah hujan di kawasan
Lombok bagian Selatan. Kendala fisik tanah yang sulit diolah dalam kondisi kering
(keras) dan dalam kondisi basah (lekat) menjadikan permasalahan semakin kompleks.
Kedua faktor pembatas tersebut (keterbatasan air dan kendala sifat fisika tanah) sering
menjadi faktor yang sulit dikendalikan, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan
penanganan sinergis da1am introduksi teknologi baru.
Teknologi budidaya tanaman padi (musim hujan) yang lazim diterapkan oleh
petani di daerah tersebut adalah sistem gogorancah (kombinasi sistem gogo atau kering
dan rancah atau tergenang). Pada awalnya, sistem ini secara teknis dirasakan sangat
tepat untuk menyesuaikan pola hujan di daerah Lombok bagian Selatan. Namun
sekarang, sistem gogorancah (gora) tersebut berangsur-angsur mulai ditinggalkan petani
karena besarnya biaya pengolahan tanah dan pengendalian gulma. Hasil penelitian oleh
Borrell et al. (1998), Borrell dan VanCooten (2000) menunjukkan bahwa padi yang
tumbuh dalam suasana tanah jenuh (saturation) tidak berbeda nyata dengan tanaman
padi yang digenangi. Hasil temuan ini telah menginspirasi suatu penelitian tentang
sistem bedeng permanen (SBP) untuk pertanaman padi di daerah beriklim D3 dan D4 di
Lombok Selatan. Dalam SBP atau permanent raised beds padi ditumbuhkan pada
bedengan setinggi 20 cm dan lebar 120 cm, diantara dua bedengan dipisahkan oleh
saluran (parit) dengan lebar 30 cm dan dalam 20 cm. Pengairan diberikan tanpa
penggenangan, melainkan di saluran, setinggi 10 cm, yang mengitari bedeng. Hal ini
dimaksdkan untuk mengurangi potensi penguapan air secara langsung dari permukaan
genangan, dan zone perakaran tetap dipertahankan dalam keadaan jenuh. Hasil-hasil
penelitian tentang bedeng permanen di Lombok Selatan menunjukkan bahwa efisiensi
penggunaan air pada SBP dapat ditingkatkan hingga 44 - 50% (Mahrup et al., 2005)
dibandingkan dengan sistem konvensional (gora). Pada kedua sistem tersebut, baik gora
maupun SBP, pemanfaatan air hanya terjadi hingga kedalaman 60 cm dari permukaan
tanah (Kusnarta et al., 2006). Selanjutnya, hasil padi pada sistem bedeng permanen
tidak berbeda nyata dengan sistem gora, khususnya pada daerah dengan curah hujan
lebih tinggi (D3). Dengan demikian sistem bedeng permanen ini berpeluang menjadi
alternatif disamping gora untuk daerah pertanian tadah hujan di wilayah Lombok
Selatan. Melihat hasil yang lebih unggul tersebut, maka sosialisasi SBP di wilayah
setempat telah dilakukan.
Walaupun telah diketahui SBP memiliki banyak keunggulan dibandingkan
sistem konvensional, akan tetapi kajian masih perlu dilakukan terhadap upaya
mencegah keruntuhan atau ketidak-stabilan bedeng yang sering kali mengalami
penurunan tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh stabilitas agregat tanah yang rendah
serta tingkat dispersi lempung yang cukup tinggi. Untuk itu, maka perlu dilakukan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

48

evaluasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stabilitas agregat Vertisol


tadah hujan Lombok, dalam upaya mewujudkan bedeng permanen yang dapat bertahan
dalam jangka waktu yang relatif lama, sehingga petani dapat meminimalkan
sumberdaya dalam mewujudkan bedeng permanen. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji karakteristik Vertisol Lombok dalam upaya mengidentifikasi sifat-sifat tanah
penentu stabilitas agregat tanah di daerah Vertisol tadah hujan Lombok.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya. Penelitian saat ini diarahkan pada telaahan beberapa sifat fisika dan kimia
tanah hubungannya dengan stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok
menggunakan metode survei. Penentuan titik sampel menggunakan sistem grid. Contoh
tanah (utuh dan terusik) diambil pada jeluk 20 cm sebelum dipersiapkan untuk analisis
laboratorium. Hubungan beberapa sifat tanah tersebut dengan stabilitas agregat tanah
dilakukan menggunakan analisis Regresi Berganda (Best Subset Regression, BSR)
Program Minitab Ver. 13 for Windows.
Analisis Laboratorium
Analisis tanah meliputi sifat-sifat fisika dan kimia tanah yang berpengaruh
terhadap stabilitas agregat. Sifat fisika tanah meliputi: stabilitas agregat tanah ditetapkan
menggunakan metode pengayakan (Angers and Mehuys, 1993); tekstur tanah ditetapkan
dengan metode sedimentasi dan pemipetan (Sheldrick and Wang, 1993). Daya kembang
kerut tanah (coefficient of linier extensibility/COLE) ditetapkan menggunakan metode
perbandingan panjang pada saat tanah jenuh air dengan pada saat tanah mengalami
pengeringan, hingga mencapai kondisi yang konstan. Sifat kimia tanah meliputi: kadar
C-organik tanah ditetapkan menurut metode Wakley dan Black; kadar kapur (CaCO3)
ditetapkan dengan metode titrasi; dan kadar Na ditetapkan dengan persen Na tertukar
(ESP) dengan pengekstrak Amonium asetat 1 M, pH 7.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Letak Geografis
Pulau Lombok terletak pada posisi geografis 115o46 116o58 Bujur Timur dan
8o 12 - 8o55 Lintang Selatan, dengan batas-batas: sebelah Utara Laut Jawa, sebelah
Selatan Samudera Hindia, sebelah Barat Selat Lombok, serta sebelah Timur berbatasan
dengan Selat Alas. Kegiatan survei ini terpusat pada wilayah Pulau Lombok bagian
Selatan, yaitu tepatnya pada Vertisol tadah hujan Lombok. Wilayah survei ini tersebar
pada daerah dengan topografi yang landai dengan kemiringan lereng < 3 % hingga
kmiringan 3 8 % saja, dan menempati posisi di bagian Selatan-tengah hingga bagian
Selatan-timur dari pulau Lombok. Posisi geografis wilayah tersebut adalah 116o07
116o30 Bujur Timur dan 8o37 8 o52 Lintang Selatan. Berdasarkan sebaran wilayah,
daerah survei mencakup 10 Kecamatan, 41 desa, dengan luas keseluruhan wilayah
sekitar 9.950,56 ha.
Kondisi Wilayah Survei
Daerah survei memiliki topografi yang relatif datar. Kemiringan lahan (slope)
berkisar antara < 3% hingga 3 8%. Kondisi yang demikian ini sangat sesuai dengan
proses pembentukan Vertisol yang menghendaki kondisi yang relatif datar. Pada saat
survei awal dilakukan lahan sedang ditanami tanaman kedua, setelah padi, yang

49

SeminarHasilPenelitianUGM2009

sebagian besar (hampir di semua wilayah) adalah merupakan tanaman tembakau. Oleh
karena telah memasuki musim kemarau, maka lahan tersebut telah mengalami retakan
atau rekahan dengan lebar dan dalam rekahan bervariasi. Lebar rekahan berkisar antara
1 5 cm, dan dalam rekahan berkisar antara 3 15 cm. Adanya rekahan tersebut
tentunya terkait dengan mineral tanahnya yang didominasi oleh montmorillonite tipe
2:1, dari golongan mineral smetite, yang memiliki daya kembang-kerut yang sangat
tegas. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa indeks kembang kerut yang
dinyatakan dengan nilai COLE (Coefficient of Linier Extensibility) yang berkisar antara
0,09 hingga 0,15. Dengan demikian, nilai COLE tersebut tergolong dalam kategori
kembang-kerut yang tegas.
Kadar lempung Vertisol tadah hujan Lombok Selatan berkisar antara 40 64 %.
Kandungan lempung yang tinggi tersebut adalah merupakan salah satu ciri Vertisol,
yaitu minimal berkadar lempung 30%. Kadar lempung yang demikian tinggi tersebut
menyebakan tanah tersebut memiliki kemampuan pegang air yang tinggi dan
permeabilitas yang rendah hingga sangat rendah. Dengan demikian pencucian (eluviasi)
secara vertikal berjalan lambat bahkan sangat lambat. Selanjutnya, Vertisol tadah hujan
Lombok dari hasil analisis diketahui mengandung C-organik yang rendah, berkisar
antara 0,58% hingga 1,46 %. Biasanya, kandungan C-organik atau kandungan bahan
organik ini berkaitan erat dengan stabilitas stuktur tanah. Kandungan C-organik yang
rendah adalah merupakan ciri tanah tersebut, sehingga secara umum memiliki stabilitas
agregat tanah yang retif rendah.
Kondisi Iklim
NTB, yang terletak pada koordinat antara 11504 - 119020 BT dan 8o79o8 LS,
dipengaruhi oleh iklim musim (monsoonal climate), yakni gerakan angin yang berubah
arah setiap enam bulan sekali. Pergantian arah angin yang menandai pergantian musim
ini tidak lepas dari fenomena global yang menggerakkan angin pasat timur (easterly
trade winds) dari Samudera Pasifik menuju ke kepulauan Indonesia. Dalam hal ini, angin
dingin dari belahan bumi utara dan selatan akan berhembus ke arah daerah yang lebih
hangat (khatulistiwa), karena gaya corriolis angin ini mengalami konvergensi dan bergerak
ke arah barat sambil membawa uap air (Martyn, 1992).
Selama musim panas di belahan bumi bagian Selatan (Desember s/d. Februari),
zona konvergensi antar tropika (inter tropical convergence zone/ITCZ) berada di antara
170 dan 80 LS (Coll and Whitaker, 1990). Pemanasan dari daratan Australia menyebabkan
berkembangnya pusat tekanan rendah di benua tersebut yang dapat menarik udara dari
daerah tropika ke arah Australia. Angin pasat timur yang kaya uap air dari Samudera
Pasifik berbelok ke arah Benua Australia menjadi angin barat laut (north westerly winds)
dan menyebabkan musim hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia. Sebaliknya pada
saat benua Australia mengalami musim dingin, lajur ITCZ bergerak ke arah utara kira-kira
20 s/d 270 LU; benua Australia menjadi pusat tekanan tinggi sehingga angin pasat timur
yang datang dari Pasifik selatan berbelok ke kanan (ke arah barat laut) menuju pusat
tekanan rendah di benua Asia (Coll and Withaker, 1990). Jarak tempuh dari Australia ke
Indonesia yang relatif pendek tidak memungkinkan pertumbuhan awan. Pada saat ini Nusa
Tenggara Barat mengalami musim kemarau.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

50

3000
Iklim D3

Curah Hujan (mm)

2500

Iklim D4

2000
1500

1000
500
0
1960

1965

1970

1975
1980
1985
T ahun Pengamat an

1990

1995

2000

Gambar 1. Pola Curah Hujan di Daerah Iklim D3 dan D4 Lombok


Selatan Selama Lima Dekade (1960 2000).
Deretan pegunungan di bagian Utara pulau Lombok, memicu proses konveksi orografis, sehingga curah
hujan di sekitar pegunungan tersebut relatif tinggi (>2500mm), sedangkan di daerah Selatan Lombok
menerima curah hujan jauh lebih sedikit. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, wilayah survei tergolong
memiliki iklim tipe D (Gambar 1). Makin ke timur wilayah tersebut, curah hujannya semakin berkurang.
Gambar 1 memperlihatkan curah hujan rata-rata di beberapa tempat di pulau Lombok. Karakteristik hujan
di daerah semi arid Nusa Tenggara Barat dalam kurun waktu lima dekade dari hasil pencatatan beberapa
stasiun klimatologi di Lombok Selatan, yaitu Praya, Penujak, Mujur, dan Sengkol, masing masing
mewakili kawasan dengan tipe iklim D3 - D4.

Pola curah hujan di daerah bertipe iklim D3 dan D4 mengikuti pola berseri
(time series pattern) dengan ciri-ciri umum sebagai berikut: ada kecenderungan curah
hujan yang menurun dalam dua atau tiga tahun sebelumnya akan diikuti oleh
meningkatnya curah hujan dalam kurun waktu 2 atau tiga tahun berikutnya. Titik balik
kecenderungan dari monoton naik ke monoton turun atau sebaliknya berpeluang terjadi
setelah melewati tahun ke 2 atau tahun ke 3. Besarnya penurunan atau peningkatan
curah hujan dalam satu periode kecenderungan berkisar antara 25-35%. Amplitudo
(simpangan maksimum) terhadap curah hujan rata-rata adalah 50-75%, artinya akan
ada harapan memperoleh peningkatan atau pengurangan curah hujan sebesar - kali
pada setiap kali titik balik (titik puncak atau titik lembah) tercapai. Pemahaman
terhadap pola curah hujan seperti ini membantu petani dalam pengambilan keputusan
dalam menentukan pola tanam dan jenis tanaman yang akan diusahakan atas dasar
pertimbangan jumlah persediaan air hujan yang diperkirakan sebelumnya.
Penyimpangan terhadap hasil prakiraan seperti ini lazim terjadi, namun dampak
kegagalan panen yang akan dialami petani relatif rendah (Mashum et al., 2006).
Berdasarkan pengamatan curah hujan bulanan pada kedua tipe iklim daerah
Lombok Selatan (Gambar 2a dan 2b) terlihat bahwa, bulan-bulan surplus air bagi daerah
Lombok bagian Selatan umumnya terjadi pada bulan-bulan Desember, Januari, Februari
dan Maret dan selebihnya umumnya merupakan bulan-bulan defisit (evaporasi bulanan
melebihi curah hujan). Meskipun bulan surplus relatif pendek, kelebihan air pada
bulan-bulan tersebut sesungguhnya melebihi kebutuhan tanaman pada fase pertumbuhan
padi saat kejadian hujan. Oleh karena itu, kecermatan memanen kelebihan air hujan
pada bulan-bulan surplus dengan memanfaatkan embung (penyimpan air tradisional)
ataupun bentuk penyimpan air lainnya sangat diperlukan. Manfaat penyimpan air (water
storage) sangat dirasakan karena merupakan cadangan air yang sangat berguna dalam
pemenuhan kebutuhan air pada saat kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan air
pada musim tanaman kedua, baik tanaman palawija maupun sayuran. Petani diharapkan

51

SeminarHasilPenelitianUGM2009

dapat mengikuti kejadian hujan secara jeli, sehingga mereka dapat membuat keputusan
tentang tanaman apa yang harus ditanam sebagai tanaman kedua setelah padi, tentunya
dengan tetap memperhitungkan peluang pasar.
500.0
450.0
400.0
Air (mm)

350.0
300.0
Curah hujan

250.0
200.0

Evaporasi

150.0
100.0
50.0

ar
'03
M

Fe

n
Ja

De
c

No
v

Oc

Se

ug

Ju

Ju

ay

pr

ar

Fe

Ja

De
c

No

v '0
1

0.0

Bulan

Gambar 2.a. Dinamika curah hujan di daerah beriklim D3


periode Nopember 2001 sampai dengan Maret 2003
500.0
450.0
400.0

W ater (mm)

350.0
300.0
Curah hujan

250.0

Evaporasi

200.0
150.0
100.0
50.0
0.0
Nov'01 Dec

Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Jul

Aug

Sep

Oct

Nov

Dec

Jan

Feb Mar'03

Bulan

Gambar 2.b. Dinamika Curah Hujan di Daerah beriklim D4


periode Nopember 2001 sampai dengan Maret 2003
Stabilitas Agregat Vertisol Tadah Hujan Lombok
Data indeks stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok menunjukkan hasil
yang berkisar antara tidak mantap (22,78 38,91) hingga sangat mantap (83,33 - 97,09).
Agregat sangat mantap tersebut tersebar di wilayah Desa Kabul dan sekitarnya dan Desa
Rembitan dan sekitarnya, sedangkan agregat tidak mantap tersebar hampir di sebagian
besar daerah survei. Agregat mantap sangat diharapkan dalam kaitannya dengan
kegiatan pertanian. Ini disebabkan karena agregat mantap tidak mudah hancur jika
bersinggungan dengan air. Dengan demikian, dapat menyediakan air dan unsur hara
yang terlarut di dalamnya, serta menyediakan udara untuk kegiatan respirasi tanaman.
Sebaliknya, agregat yang tidak mantap akan mudah hancur, sehingga keberadaan ruang
pori pada agregat tanah tersebut tidak dapat dipertahankan, sehingga sangat mudah
berubah menjadi masif. Bila ini terjadi, maka ketersediaan air, unsur hara, dan udara
bagi tanaman menjadi terbatas.
Penggunaan lahan yang berbeda sering memberikan pengaruh berbeda terhadap
stabilitas agregat tanah. Hal ini terkait dengan ukuran agregat dan keberadaan bahan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

52

organik tanah. Ukuran agregat tanah sering dikaitkan dengan penggunaan lahan.
Shrestha et al. (2007) mengelompokkan ukuran agregat menjadi 3 kelompok: agregat
makro berukuran > 2 mm, agregat sedang berukuran 0,5 2 mm, dan agregat mikro
berukuran < 5mm. Mereka melaporkan, bahwa lahan hutan cenderung didominasi oleh
agregat makro (> 2 mm) hingga mencapai 41 70%. Akan tetapi, lahan yang ditanami
secara intensif cenderung akan memiliki agregat mikro (< 0,5 mm) dalam jumlah yang
cukup banyak, yaitu 56 63%. Kenyataan ini nampaknya terkait dengan peranan bahan
organik sebagai bahan pemacu proses agregasi. Bahan organik dapat bertindak sebagai
bahan pengikat atau perekat antar partikel tanah membentuk agregat mikro dan
selanjutnya beberapa agregat mikro bergabung membentuk agregat yang berukuran
yang lebih besar. Pada lahan yang ditanami secara intensif bahan organik akan
mengalami mineralisasi secara lebih cepat jika dibandingkan dengan bahan organik
pada lahan hutan alami. Makin cepat mineralisasi bahan organik tersebut, maka akan
mempercepat eksistensinya di dalam tanah, sehingga perannya di dalam proses agregasi
menjadi semakin singkat. Semakin mudah bahan organik tersebut untuk mengalami
mineralisasi, maka semakin singkat perannya dalam agregasi dan pembentukan struktur
tanah. Berdasarkan kenyataan ini, maka managemen lahan yang mengarah pada
konservasi tanah, terutama terkait dengan pengelolaan bahan organik harus dilakukan
untuk menjamin kelangsungan kegiatan pertanian (agricultural sustainability).
Hubungan Stabilitas Agregat Vertisol Lombok dengan Sifat-Sifat Tanah
Hasil analisis regresi berganda dengan Best Subset Regression (BSR)
menunjukkan bahwa indeks stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok paling
dipengaruhi oleh sifat kembang-kerut (Coefficient of Linier Extendsibility, COLE)
dengan nilai koefisien korelasi tertinggi, R2 = 0,80 (Tabel 2) dibandingkan dengan
variabel penentu yang lainnya. Kemudian ditentukan oleh variabel C-organik, kadar
lempung, kadar kapur (CaCO3), dan paling rendah adalah persen sodium tertukar (ESP),
dengan koefisien korelasi (R2) berturut-turut adalah: 0,79; 0,72; 0,70; dan 0,41. Dengan
demikian, sifat kembang kerut (COLE) Vertisol tadah hujan Lombok sangat besar
pengaruhnya dalam mengendalikan stabilitas agregat tanah tersebut.
Jika dilihat pengaruh semua variabel secara bersama-sama (serentak) dalam
mempengaruhi indeks stabilitas agregat, maka diperoleh nilai koefisien korelasi
berganda yang lebih tinggi, yaitu R2 = 0,91 dengan persamaan regresi, sebagai berikut:
Stab. Agregat = 43,4 424 COLE + 0,935 Lempung + 0,077ESP 1,28
CaCO3 + 15,1 C-Org.
(R2 =0,91) ..................................................................(1)
Pada hubungan ini diperoleh bahwa faktor-faktor yang secara nyata berpengaruh
terhadap stabilitas agregat tanah tersebut adalah COLE (P=0,018), kadar lempung
(P=0,015) dan C-organik (P=0,040), namun kurang dipengaruhi oleh kadar kapur
(CaCO3) (P=0,477) dan persen sodium tertukar (ESP) (P=0,937). Dengan demikian,
berarti secara bersama-sama ke-lima faktor-faktor tersebut, terutama tiga yang
disebutkan pertama, tersebut memiliki pengaruh yang lebih kuat (dibandingkan
pengaruh masing-masing sebagai faktor tunggal) dalam menentukan stabilitas agregat,
yaitu dengan R2 sebesar 91%. Selebihnya yaitu sekitar 9% ditentukan oleh faktor-faktor
lain yang belum terdeteksi. Di sisi lain, pengaruh faktor tunggal penentu stabilitas
agregat paling kuat adalah COLE dengan persamaan hubungan adalah:
(R2 =0,80) .......................... .............(2)

Stab. Agregat = 110 + 614 COLE

53

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 2. Hasil analisis BSR hubungan stabilitas agregat Vertisol dengan


beberapa sifat-sifat fisika dan kimia tanah
Variabel

R2

Adj - R2

Variabel fisika dan kimia tanah


S
COLE

0,80

0,79

9,41

0,79

0,78

9,73

0,72

0,71

11,06

0,70

0,69

11,51

0,41

0,39

16,09

0,91

0,88

6,99

Lempung
(%)

C-org (%)

CaCO3
(%)

ESP
(%)

x
x
x
x
x
x

Hubungan COLE dengan Lempung dan Beberapa Sifat Kimia Tanah


Sifat kembang-kerut (COLE) Vertisol tadah hujan Lombok (berdasarkan pengaruh faktor
tunggal) dipengaruhi oleh kadar kapur (CaCO3), kadar C-organik, lempung, dan ESP dengan nilai
koefisien korelasi (R2) berturut-turut adalah 0,83, 0,69, 0,50, dan 0,43 (Tabel 3). Hubungan nilai COLE
ini tampak semakin kuat ditentukan oleh kombinasi keempat faktor penentu yang diamati (C-organik,
Kadar CaCO3, kadar Lempung, dan ESP) dengan R2 = 0,91. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal:
(1) Bahan organik dapat berinteraksi dengan lempung sehingga ikatan diantaranya meningkat atau
semakin kuat dan pada akhirnya dapat menurunkan nilai COLE dari lempung yang bersangkutan. (2)
Kapur melalui kation polivalennya, juga dapat bertindak sebagai jembatan kation dalam agregasi agregatagregat berukuran mikro (< 250 m), yang dapat berkembang sedemikian sehingga membentuk agregat
makro (>250 m). Dengan kejadian ini, maka nilai COLE dapat ditekan menjadi lebih kecil. (3)
Kandungan lempung dari golongan mineral smectite, termasuk spesies montmorillonite tidak diragukan
lagi dapat bertindak sebagai pemicu proses kembang-kerut, mengingat ruang antar dasar mineral yang
dapat berubah seiiring dengan perubahan kandungan lengas dan kation-kation terlarut. Clement et al.
(1996) melaporkan bahwa montmorillonite, beidelite dan nontronite adalah merupakan spesies smectite
utama yang terdapat dalam Vertisol. Selanjutnya, Norrish (1954) dalam Anderson (1973) menunjukkan
bahwa mineral montmorillonite dalam kondisi kering oven, memiliki jarak dasar (basal spacing) 9,5 ,
sementara montmorillonite dalam kondisi basah memiliki jarak yang stabil sekitar 18,9 . Berarti potensi
kembang-kerut mineral tersebut adalah 9,4 . Selanjutnya, Essington (2005) menyatakan potensi
kembang-kerut dari setiap unit sel mineral smectite adalah 0,6 nm. Kenyataan ini semua menunjukkan
bahwa Vertisol tersusun atas mineral dari grup smectite dan spesies montmorillonite memiliki sifat COLE
yang cenderung tegas. Menelaah keempat faktor yang diamati dan berpengaruh terhadap sifat kembangkerut untuk Vertisol tadah hujan Lombok, berturut-turut adalah kadar kapur (P=0,001), kadar C-organik
(P=0,001, dan kadar lempung (P=0,036), sedangkan ESP tidak berpengaruh (P=0,622) terhadap sifat
kembang kerut Vertisol tadah hujan Lombok.

Tabel 3. Hasil analisis BSR hubungan COLE Vertisol tadah hujan Lombok
dengan beberapa sifat-sifat fisika dan kimia tanah
Variabel fisika dan kimia tanah
Variabel R2 Adj - R2 S
Kadar Lempung (%) C- org (%) CaCO3 ESP
1
1
1
1
4

0,83
0,69
0,50
0,43
0,91

0,82
0,67
0,47
0,41
0,89

0,013
0,017
0,021
0,023
0,010

(%)
x

(%)

x
x
x

x
x

Vertisol dari golongan Ustert dan Torrert dari Sudan, Arizona dan New Mexico,
dilaporkan memiliki hubungan yang kuat antara COLE dengan kadar lempung halus

SeminarHasilPenelitianUGM2009

54

(fine clay) dan ESP dengan koefisien korelasi berganda (R2) = 0,938 (Anderson et al.,
1973). Jika kita membandingkan hasil analisis regresi berganda pengaruh 4 variabel (Corganik, Kadar CaCO3, kadar Lempung, dan ESP) dengan pengaruh regresi berganda 2
variabel (Persen lempung dan ESP) terhadap nilai COLE (Tabel 4), maka koefisien
korelasi Persen Lempung dan ESP terhadap COLE, menunjukkan keeratan hubungan
yang lebih rendah dengan R2 = 0,58 daripada pengaruh berganda 4 variabel dengan R2 =
0,91 (Tabel 3). Hal ini terjadi kemungkinan karena hubungan antara COLE dengan ESP
bersifat berbanding terbalik.
Vertisol Lombok ternyata tidak banyak dipengaruhi oleh sifat persen sodium
(Na) tertukar (ESP). Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan Na dan nilai ESP-nya
yang rendah. Nilai ESP yang secara keseluruhan rendah di areal Vertisol tadah hujan
Lombok berakibat pada variabel atau sifat ESP tersebut menjadi kurang berpengaruh
terhadap sufat kembang kerut yang dinyatakan dengan nilai COLE dibandingkan
dengan variabel-variabel lainnya.
Tabel 4. Hasil analisis BSR hubungan COLE Vertisol tadah hujan Lombok
dengan kombinasi Persen Lempung dan ESP
Variabel
R2
Adj - R2
S
Kadar Lempung (%)
ESP
(%)
1
0,50
0,47
0.02169
x
1
0,43
0,41
0.02300
x
2
0,58
0,54
0.02023
x
x
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1.

Hasil regresi berganda menunjukkan hubungan yang kuat antara stabilitas agregat dengan faktorfaktor penentu stabilitas agregat yang diamati, dengan persamaan: Stabilitas agregat = 43,4
424 COLE + 0,935 Lempung + 0,077 ESP 1,28 CaCO3 + 15,1 C-organik (R2=0,91).
2. Stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok paling dipengaruhi oleh sifat kembang kerut
tanah yang dilambangkan oleh nilai COLE (P=0,18), kadar lempung (P=0,015), dan C-organik
(P=0,040), akan tetapi tidak dipegaruhi oleh faktorkada kapur (CaCO3) (P=0,477) dan persen
sodium tertukar (ESP) (P=0,973).
3. Sifat kembang kerut (COLE) Vertisol tadah hujan Lombok paling ditentukan oleh kadar kapur
(CaCO3) (P=0,001), kandungan C-organik (P=0,001, dan kadar lempung (P=0,036), akan tetapi
tidak dipengaruhi oleh ESP (P=0,622). Persamaan regresi berganda-nya adalah: COLE = 0,189
0,01 CaCO3 0,06 C-organik + 0,001 Lempung + 0,001 ESP (R2 = 0,91).

Saran
Mengingat stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok sangat besar
dipengaruhi oleh nilai COLE, kadar C-organik, kadar lempung dan kadar CaCO3, maka
managemen Vertisol perlu mempertimbangkan keempat bahan tersebut, antara lain
dengan penurunan nilai COLE dan peningkatan kandungan C-organik dan kandungan
kation polivalen Ca. Selanjutnya penurunan nilai COLE dapat ditempuh melalui
modofikasi kandungan lempung, misalnya dengan penambahan bahan pasir dan
peningkatan kandungan kation polivalen Ca melalui pemabahan gypsum.

55

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Ucapan terima kasih


Kegiatan penelitian ini terselenggara atas bantuan dana dari DIPAUGM. Untuk
itu penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada
LPPM-UGM atas segala bantuan yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.U., Fadul, K. E., OConnor, G.A., Factors Affecting Coeeficient of Linear
Extensibility in Vertisols, Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 37, pp.296-299 (1973).
Angers, D.A., and Mehuys, G.R., Aggregate Stability to Water. Soil Sampling and
Methods of Analysis, M.R. Carter, Ed., Canadean Siciety of Soil Science. Lewis
Publisher (1993).
Beckett, P.H.T., The Cost-Effectiveness of Soil Survey. Out look on Agriculture, 6,
pp.191-198 (1971).
Borrell, A.K., Kelly, R.M., VanCooten, D.E., Improving Management of Rice in Semiarid Eastern Indonesia: Response to Irrigation, Plant Type and Nitrogen.
Australian Journal of Experimental Agriculture, 38, pp.261-271 (1998).
Borrell, A.K., Van Cooten, D.E., Improving Water Use Efficiency in Rice Based
Cropping System Using Permanent Raised Beds. Proceeding of ACIAR, 101,
96-106 (2000).
Coll, K. and R. Whitaker, The Australian Weather Book: Understanding our climate
and how it affects us. NSW Bureau of Meterology (1990).
Essington, M.E., Soil and Water Chemistry An Integrative Approach, CRC Press,
Washington, D.C. (2005).
Kusnarta, I.G.M., Sukartono, Mahrup, Mashum, M., Gill, J.S., Tisdall, J.M., and
VanCooten, D., Rice Root Distribution under Variuos Systems of Soil
Management on Rainfed Vetisols in Southern Lombok, Eastern Indonesia.
Proceeding of 4th International Crop Science Congress, Brisbane, Australia,
Sept., 26th to Oct.1st (2004).
Kusnarta, I.G.M., Mahrup, Mashum, M., Sukartono, Tisdall, J. Gill, J.S., and
McKenzie, B., Do Soil Strength and Soil Water Profile Change under Different
Soil Management on Semi-arid Rainfed Vertisols of Southern Lombok, Eastern
Indonesia ?. Proceeding of National Australia Soil Conference Adelaide, Dec.,
(2006).
Mahrup, Borrell, A.K., Mashum, M., Kusnarta, IGM., Sukartono, Tisdall, J.M. Gill,
J.S., Soil Management Systems Improve Water Use Efficiency of Rainfed Rice in
the Semi-Arid Tropics of Southern Lombok, Eastern Indonesia, Plant Production
Science 8 (3), pp.342-344 (2005).
Martyn. D., Climate of the world, Development in Atmospheric Science, Elsevier
Amsterdam, London, N.Y. 435 p. (1992).
Mashum, M., Sukartono, Mahrup, Kusnarta, IGM., Yasin, I., Idris, H. Integrated
Approach in Handling Rainfed Vertisols of Southern Lombok. National Seminar
Department of Agriculture Directorat General of Food and Cereals. Mataram,
17 19 May, 2006.
Mashum M, Mahrup, Sukartono, Kusnarta, IGM., Van Cooten D, Gill JS, McKenzie
BM, Borrell AK, Tisdall JM, Management of the short and unreliable water
supply for crops on tropical semi-arid vertisols of West Nusa Tenggara, Eastern
Indonesia. International conference at the Cambodian Agricultural Research and
Development Institute, (November 2003).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

56

Oldeman, R.L., Irsal, L. and Muladi, The agro-climatic maps of Kalimantan, Maluku,
Irian Jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara, Contrib. No.60. Centr. Res.
Inst.Agrc., Bogor (1980).
Sheldrick, B.H. and Wang, C., Particle Size Distribution. Soil Sampling and Methods of
Analysis, M.R. Carter, Ed., Canadean Siciety of Soil Science. Lewis Publisher
(1993).
Shrerestha, B.M., Situla, B.K., Lal, R. dan Bajracharya R.M., Soil Aggregate and
Particle Associated Organic Carbon under Different Land Uses in Nepal. Soil
Sci. Soc. Am. J., pp.1194-1203 (2007).
Sukartono, Gill, J.S., Mashum, M., Kusnarta, IGM., Mahrup, McKenzie, B.M., and
Tisdall, J.M., Raised beds improve secondary crop production in the rainfed
rice-based cropping systems of Southern Lombok, Eastern Indonesia,
Proceedings of 4th International Crop Science Congress, Brisbane, Australia, 26
September to 1 October (2004).
Young, A. Tropical Soil and Soil Survey. Cambridge University Press. (1976).

57

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

58

ASSESSMENT CARBON DIOXIDE (CO2) EMISSION OF TROPICAL PEAT


UNDER SEVERAL TYPES OF LAND USE
Nyahu Rumbang 1), Bostang Radjagukguk 2) dan Djoko Prajitno 2)
1)
Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya
e-mail: nyahurumbang@yahoo.com
2)
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
e-mail: bradja@ugm.ac.id

ABSTRACT
The study was conducted in the peatland in Central Kalimantan and West
Kalimantan taken as representing tropical peatland with several different types of land
use as treatmeant. The study sites in Central Kalimantan numbered four types land use:
Chinesse cabbage (1-5 years cultivated), Chinesse cabbage (6-10 years cultivated),
Corn (1-5 years cultivated), and Corn (6-10 years cultivated). Whereas the study sites
in West Kalimantan numbered four types land use: Corn, Aloe vera, Oil palm and
Rubber. Carbon dioxide emission were measured with a portable infrared gas analyser
(PP System, EGM-4). The research result shows the average of CO2 emission released
of peatland in West Kalimantan ranged from 0.35 to 1.19 g CO2.m-2.h-1, higher than the
emissions released of peatland in Central Kalimantan, whereas ranged 0.35 to 0.67 g
CO2.m-2.h-1. CO2 emission released by land of annual plant higher than the seasonal
crops. The amount of CO2 released is influenced by water level from the peat surface,
pH of peatland and duration of peatland clearing period. In order to reduce the
amount of CO2 emission released by the peat soil the ground water level of the peatland
utilized for cropping need managed accordingly.
PENDAHULUAN
Lahan gambut tropika di dunia mencapai luas 37,8 juta ha, dan seluas 25,3 juta
ha (67,1 %) diantaranya berada di kawasan Asia Tenggara. Luas gambut Indonesia
mencapai 20,69 juta ha (81,7%), tersebar di di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya,
Sulawesi, Halmahera dan Seram. Sebagian besar gambut di Kalimantan tersebar di
Radjagukguk, 1997). Kalimantan Barat (4,5 juta ha) dan Kalimantan Tengah (2,25 juta
ha) (Rieley et al., 1996; Page et al., 2008,
Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai gudang karbon. Total
karbon pada lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 44,5 Gt (Rieley et al.,
2008). Konversi hutan rawa gambut merupakan sumber emisi CO2 (Hooijer et al., 2006
dalam Verwer et al., 2008). Pengertian gas rumah kaca dalam kaitannya dengan
pemanasan global meliputi karbon dioksida (CO2), dinitrogen oksida (N2O), metan
(NH4) dan hidrokarbon seperti (CFC). Temperatur permukaan bumi meningkat
disebabkan karena konsentrasi
gas rumah kaca dalam atmosfir khususnya
karbondioksida, metan, dan nitro oksida mengalami peningkatan (Jauhiainen et al.,
2004). Menurut laporan IPPC (2001) bahwa selama abad 20, terjadi peningkatan ratarata suhu permukaan bumi sebesar 0,60,2 oC.
Kontribusi emisi karbon dioksida terhadap efek rumah kaca sebesar 48%, yang
diikuti oleh sumber emisi lain seperti freon (26%), ozon (10%), metan (8%) dinitrogen
oksida (6%), dan gas lain (2%) (Pirkko, 1990). IPCC (2001) juga melaporkan bahwa

59

SeminarHasilPenelitianUGM2009

kontribusi karbon dioksida terhadap pemanasan global sebesar 60%, metan (20 %) dan
nitro oksida (6 %). Sejak tahun 1980, konsentrasi CO2 di atmosfir meningkat sekitar
0,4 % setiap tahun, sekarang konsentrasi CO2 di atmosfir diperkirakan sebesar 367
ppm.
Hasil penelitian Jauhiainen et al. (2008) di Kalimantan Tengah menunjukkan
bahwa emisi CO2 pada hutan gambut tebang pilih yang tidak didrainase pada berbagai
kondisi hidrologi berkisar 95386 - 106183 g C/m2/tahun. Pada hutan gambut
sekunder di Kalimantan Selatan, emisi CO2 pada kisaran 1200430 g C/m2/tahun
(Inubushi et al,. 2003). Terjadi perbedaan yang sangat besar dibandingkan dengan hasil
penelitian Melling (2005) di Sarawak (Malaysia), dimana ekosistem hutan gambut
mengeluarkan emisi sebesar 2130 g C/m2/ tahun, lebih besar dibandingkan dengan
emisi dari lahan perkebunan kelapa sawit (1540g C/m2/tahun) dan emisi dari lahan sagu
(1110 g C/m2/tahun).
Tujuan penelitian ini untuk (i) mengukur besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh
lahan gambut dengan beberapa tipe penggunaan lahan, (ii) membandingkan besarnya
emisi CO2 dari lahan tanaman tahunan dengan emisi CO2 dari lahan tanaman semusim,
(iii) mengetahui faktor yang menyebabkan meningkatnya pelepasan emisi CO2 oleh
lahan gambut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di lahan gambut di Kalimantan Tengah
dan
Kalimantan Barat. Pada penelitian di Kalimantan Tengah, perlakuan dirancang
berdasarkan kombinasi faktor lamanya (durasi) lahan dibuka dan jenis tanaman.
Lamanya (durasi) lahan dibuka dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu (i)
kelompok lahan yang dibuka 1-5 tahun dan (ii) kelompok lahan yang dibuka 6-10
tahun. Pada masing-masing kelompok lahan tersebut ditentukan dua jenis tanaman yaitu
(i) sawi dan (ii) jagung. Kombinasi dari durasi lahan dibuka dan jenis tanaman maka
diperoleh 4 tipe penggunaan lahan yang dijadikan perlakuan.
Dalam penelitian di Kalimantan Barat, empat tipe penggunaan lahan dijadikan
perlakuan yaitu lahan jagung, lahan lidah buaya, lahan kelapa sawit, lahan karet.
Ringkasan dari lokasi penelitian, perlakuan dan periode pengukuran yang dilakukan
baik di Kalimantan Tengah maupun di Kalimantan Barat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ringkasan lokasi penelitian, perlakuan dan periode pengukuran emisi CO2.
Tipe Penggunaan
2007
2008
2009
Lokasi
Lahan
Perlakuan:
Kalteng:
*
+
+
1.Sawi (1-5 thn)
Kalampangan
*
+
+
2.Sawi (6-10 thn)
Kalampangan
*
+
+
3.Jagung (1-5 thn)
Kalampangan
*
+
+
4.Jagung (6-10 thn
Kalampangan
Perlakuan:
Kalbar:
*
+
1.Jagung
Rasau Jaya
*
+
2.Lidah buaya
Siantan Hulu
*
+
3.Kelapa sawit
S.Ambawang
*
+
4.Karet
S.Ambawang
+ Dilakukan pengukuran emisi CO2, tinggi permukaan air tanah dan analisis pH
tanah.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

60

* Dilakukan pengukuran emisi CO2, tinggi permukaan air tanah, analisis pH tanah,
kandungan N, P dan K-total.
- Tidak dilakukan pengukuran CO2, tinggi permukaan air tanah dan analisis pH tanah.
Pengukuran emisi CO2 dengan menggunakan analisis gas infrared (PP system,
model EGM-4). Sebuah chamber silinder terbuat dari aluminium (diameter 30 cm,
tinggi 10 cm) dihubungkan dengan CO2 analyser dengan selang kecil yang terbuat dari
karet sintetik sehingga bersifat elastis. Agar terjadi sirkulasi udara dalam chamber maka
dalam chamber dipasang kipas angin kecil (diameter 3 cm). Emisi CO2 yang dilepas
oleh gambut masuk kedalam chamber, kemudian direkam oleh analyser. Bersamaan
dengan pengukuran emisi CO2 dilakukan pengukuran tinggi permukaan air dan
pengambilan sampel tanah untuk dianalisis.
Data emisi CO2 yang terekam dalam gas EGM-4 kemudian ditransfer ke
komputer., kemudian data diolah dan keakuratan data dilihat dari nilai R2 untuk setiap
emisi CO2 yang terekam pada setiap titik pengukuran. Cara mengukur keakuratan data
dengan membuat regresi untuk setiap emisi yang terekam antara waktu (detik 1 hingga
detik ke 81) dengan konsentrasi CO2 yang terekam per 4 detik dari detik ke pertama
hingga detik ke 81. Data semakin akurat jika nilai R2 semakin mendekati 1. Dalam
penelitian ini, batas toleransi digunakan peneliti dengan nilai R2 terendah sebesar 0,98.
HASIL
Hasil analisis ragam terhadap emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe lahan gambut
di Kalimantan Tengah pada periode pengukuran 2007, 2008 dan 2009 disajikan pada
Tabel 2, sedangkan hasil analisis ragam terhadap emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe
lahan gambut di Kalimantan Barat pada periode pengukuran 2008 dan 2009 disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 2. Rata-rata emisi CO2 (g CO2/m2/jam) dan tinggi permukaan air (m) pada 4 tipe
penggunaan lahan gambut di Kalimantan Tengah periode pengukuran tahun 2007,
2008 dan 2009.
Emisi CO2 (g CO2/m2/jam)
Tipe
Tinggi Permukaan Air (m)
Penggunaan
2007
2008
2009
2007
2008
2009
Lahan
0.27
0.51
0.21
0.72 a
0.74 ab
0.29 a
Sawi, 1-5 thn
0.31
0.55
0.34
0.52 ab
0.82 a
0.42 a
Sawi, 6-10 thn
0.18
0.30
0.18
0.29 b
0.53 b
0.24 a
Jagung, 1-5 thn
0.41
0.51
0.31
0.77 a
0.81 a
0.43 a
Jagung, 6-10 thn
*Rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji LSD 0.05
*Tinggi permukaan air tidak dianalisis secara statistik.
Pengukuran terhadap pH gambut (H2O) dari masing-masing tipe penggunaan
lahan pada kedalaman 0-15 cm, 15-45 cm dan 45-10 cm dari lokasi Kalimantan Tengah
disajikan pada Tabel 4, sedangkan hasil analisis pH gambut dari lokasi Kalimantan
Barat disajikan pada Tabel 5.

61

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 3. Rata-rata emisi CO2 (g CO2/m2/jam) dan tinggi permukaan air (m) pada 4 tipe
penggunaan lahan gambut di Kalimantan Barat periode pengukuran tahun 2008 dan
2009.
Tipe Penggunaan
Emisi CO2 (g CO2/m2/jam)
Tinggi Permukaan Air (m)
Lahan
2008
2009
2008
2009
Jagung
0.31 c
0.39 b
0.24
0.19
Lidah buaya
0.66 b
0.72 b
0.54
0.54
Kelapa sawit
0.82 b
1.15 a
0.52
0.76
Karet
1.20 a
1.18 b
0.87
0.69
*Rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji LSD 0.05
*Tinggi permukaan air tidak dianalisis secara statistik.
Tabel 4. Rata-rata pH gambut (H2O) dari 4 tipe penggunaan lahan gambut Kalimantan
Tengah pada kedalaman 0-15 cm, 15-45 cm dan
45-100 cm dari periode pengukuran 2007, 2008 dan 2009.
Periode 2007
Periode 2008
Periode 2009
Tipe
Penggunaan
0-15 15-45 450-15
15450-15
1545Lahan
100
45
100
45
100
Sawi, 1-5 thn 3.33 3.26ab 3.13 3.40ab 3.33a 3.06bc 3.40b 3.33a 3.23a
Sawi, 6-10 thn 3.43 3.36a 3.13 3.50a 3.36a 3.20a 3.40b 3.13b 3.10ab
Jagung, 1-5
3.33 3.20b 3.10 3.30b 3.23b 3.00c 3.13c 3.00c 3.00b
thn
3.43 3.26ab 3.13 3.43ab 3.33a 3.13ab 3.56a 3.30a 3.20a
Jagung, 6-10
thn
*Rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji LSD 0.05
Tabel 5. Rata-rata pH gambut (H2O) dari 4 tipe penggunaan lahan gambut Kalimantan
Barat pada kedalaman 0-15 cm, 15-45 cm dan
45-100 cm dari periode pengukuran 2008 dan 2009.
Periode 2008
Periode 2009
Tipe
Penggunaan
0-15
15-45
45-100
0-15
15-45
45-100
Lahan
3.30b
3.33b
3.33b
2.87c
3.20c
3.23c
Jagung
3.77a
3.77a
3.97a
3.20b
3.46b
3.47b
Lidah buaya
3.33b
3.33b
3.30b
3.17b
3.57b
3.60b
Kelapa sawit
3.43b
3.40b
3.40b
3.57a
3.87a
3.83c
Karet
*Rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji LSD 0.05
Hasil analisis kandungan N, P dan K-total dari contoh gambut Kalteng yang
diambil dari kedalaman 0-15, 15-45 dan 45-100 cm disajikan pada Tabel 6, sedangkan
hasil analisis kandungan N, P dan K-total dari contoh gambut Kalbar dari kedalaman 015, 15-45 dan 45-100 cm disajikan pada Tabel 7.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

62

Tabel 6. Rata-rata kandungan N, P dan K-total dari gambut Kalteng pada kedalaman 015, 15-45 dan 45-100 cm
Rata-rata N-total (%)
Rata-rata P-total
Rata-rata K-total
(mg/100g)
(mg/100g)
Perlakuan
0-15
15450-15
15-45
450-15 15-45 4545
100
100
100
Sawi, 1-5 0.65 c 0.54 0.51 149.13 62.43 39.21 100.39 50.95 28.43
b
b
b
b
c
b
a
c
0.95 a
thn
0.78 0.49 190.08 124.82 47.43 130.42 81.02 36.42
Sawi, 6-10 0.74
a
a
a
a
a
a
a
a
bc
thn
0.61 0.48 144.16 69.78 36.89 88.88 53.64 30.05
Jagung, 1-5 0.76
ab
b
b
b
b
b
a
c
b
thn
0.69 0.46 187.45 123.95 46.93 127.55 81.76 35.75
Jagung, 6ab
a
a
a
a
a
a
b
10 thn
*Rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji LSD 0.05
Tabel 7. Rata-rata kandungan N, P dan K-total dari gambut Kalbar pada kedalaman 015, 15-45 dan 45-100 cm
Rata-rata N-total (%)
Rata-rata P-total
Rata-rata K-total
(mg/100g)
(mg/100g)
Perlakuan
0-15
15450-15
15-45
450-15 15-45 4545
100
100
100
Jagung
0.73
0.57 0.46 95.14 48.86 40.89 90.20 49.31 29.77
c
c
bc
b
ab
c
c
Lidah
bc
b
buaya
1.07 a 0.80 0.51 181.33 127.08 63.20 137.54 82.56 43.91
a
a
a
a
a
a
a
Kelapa
0.86
a
sawit
b
0.75 0.51 122.40 85.87 52.12 128.09 68.25 38.52
a
b
b
b
ab
0.65 c
a
a
b
Karet
0.55 0.40 54.13 32.88 33.03 37.19 30.13 23.70
d
d
d
d
c
c
b
b
*Rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji LSD 0.05
Hubungan antara besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe penggunaan
lahan gambut di Kalimantan Tengah dengan tinggi permukaan air disajikan pada
Gambar 1, sedangkan hubungan antara besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe
lahan gambut di Kalimantan Barat disajikan pada Gambar 2.

63

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Gambar 1. Hubungan antara tinggi permukaan air dengan emisi CO2 pada 4 tipe
penggunaan lahan gambut Kalteng

Gambar 2. Hubungan antara tinggi permukaa air dengan emisi CO2 pada 4 tipe
penggunaan lahan gambut Kalbar
Pola emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe panggunaan lahan gambut di
Kalimantan Tengah dari tahun 2005 hingga 2007 disajikan pada Gambar 3, sedangkan
pola emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Barat
disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Pola emisi CO2 pada lahan


gambut di Kalbar tahun 2008 dan 2009

Gambar 3. Pola emisi CO2 pada lahan


gambut di Kalteng tahun 2007-2009

PEMBAHASAN
Pada periode pengukuran 2008 dan 2009 di Kalimantan Tengah, terlihat bahwa
lahan gambut yang dibuka 6-10 tahun melepas emisi CO2 lebih besar dibandingkan
dengan lahan yang dibuka 1-5 tahun, sementara jenis tanaman tidak berpengaruh
terhadap besarnya emisi CO2 yang dilepas. Di Kalimantan Barat, dari hasil pengukuran
pada periode 2008 menunjukkan bahwa lahan karet melepas emisi CO2 yang lebih

SeminarHasilPenelitianUGM2009

64

besar dan berbeda nyata dibandingkan lahan kelapa sawit, lahan lidah buaya dan lahan
jagung, namun pada periode 2009 terjadi perubahan pelepasan emisi diantara tipe
penggunaan lahan, dimana emisi CO2 yang dilepas oleh lahan karet hanya berbeda
nyata terhadap emisi CO2 yang dilepas oleh lahan lidah buaya dan lahan jagung.
Jika dihubungkan dengan tinggi permukaan air tanah dari masing-masing tipe
lahan menunjukkan emisi CO2 dipengaruhi oleh tingkat permukaan air tanah, dimana
semakin rendah air dari permukaan tanah maka emisi CO2 yang dilepas akan semakin
meningkat (Gambar 1 dan 2). Hal demikian terjadi baik di Kalimantan Tengah maupun
Kalimantan Barat. Menurut Vasander et al. 2007 bahwa salah satu faktor yang
mengontrol emisi CO2 adalah tinggi permukaan air. Hasil penelitian Jauhiainen et al.
(2001) bahwa laju emisi CO2 pada hutan yang tidak tergenang berkisar 0,486-0,610 g
CO2/m2/jam, sementara pada kondisi hutan yang tergenang laju emisi CO2 berkisar
0,236-605 g CO2/m2/jam.
Lahan gambut yang dimanfaatkan untuk tanaman tahunan (tanaman keras)
melepas emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut yang dimanfaatkan
untuk tanaman semusim (Gambar 4). Hal berkaitan dengan tinggi permukaan air dimana
tanaman keras memerlukan tinggi permukaan air yang lebih rendah dari permukaan
tanah. Hasil pengukuran tinggi permukaan air tanah di Kalimantan Barat menunjukkan
bahwa tinggi permukaan air pada tanaman karet dan kelapa sawit (kelompok tanaman
keras) lebih jauh dari permukaan tanah dibandingkan tanaman jagung (tanaman
semusim)) dan tanaman lidah buaya (tanaman setahun). Rata-rata tinggi permukaan air
untuk tanaman kelapa sawit 0,64 m, karet 0,78 m, lidah buaya 0,54 m dan jagung 0,22
m. Rata-rata tinggi permukaan air tersebut berada pada kisaran tinggi permukaan air
optimum seperti yang dilaporkan oleh Ritzema dan Jaya (2007) bahwa tanaman
mempunyai kisaran optimum tinggi permukaan air yang berbeda, dimana tinggi
permukan air untuk kelapa sawit berkisar 0,60-0,75 m, karet 0,75-1,0 m, dan tanaman
hortikultura 0,3-0,6 m. Pembukaan lahan gambut merupakan salah satu faktor
penyebab amblesan gambut dan diduga kehilangan gambut akibat amblesan mencapai
2.000 g CO2-C/ m2/ (Wsten et al. 2002).
Hasil analisis contoh gambut dari Kalimantan Tengah pada periode 2008 dan
2009 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dalam pH gambut dari 4 tipe
penggunaan lahan pada semua lapisan. Namun pada periode 2007 perbedaan yang
nyata hanya terjadi pada lapisan 15-45 cm. Hasil analisis contoh gambut dari
Kalimantan Barat menunjukkan bahwa pH gambut berbeda antara tipe penggunaan
lahan pada semua lapisan baik pada periode 2008 maupun periode 2009. Emisi CO2
yang dilepas oleh lahan gambut juga dipengaruhi oleh pH gambut, semakin tinggi pH
tanah maka semakin besar emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut. Menurut
Vasander et al, 2007 bahwa selain tinggi permukaan air dan temperatur maka emisi
CO2 juga dikontrol oleh pH gambut.
Secara umum, semakin dalam lapisan gambut maka kandungan N, P dan K-total
semakin rendah. Pada gambut Kalteng, lahan gambut yang dibuka lebih lama (6-10
tahun) dan ditanami sawi terlihat bahwa kandungan N, P dan K total lebih tinggi
dibandingkan dengan tipe lahan yang lain. Sedangkan pada gambut Kalimantan Barat,
terlihat bahwa kandungan N, P dan K-total daria lahan lidah buaya lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan kelapa sawit, jagung dan karet.

65

SeminarHasilPenelitianUGM2009

KESIMPULAN
1. Emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut Kalimantan Barat berkisar antara
0,35-1,19 CO2/m2/jam, lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO2 dari lahan
gambut Kalimantan Tengah yang hanya berkisar antara 0,35-0,67 g
CO2/m2/jam.
2. Emisi CO2 yang dilepas dari lahan tanaman tahunan lebih tinggi dibandingkan
dengan emisi CO2 yang dilepas oleh lahan tanaman semusim.
3. Besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut dipengaruhi tinggi
permukaan air tanah, pH gambut dan lamanya (durasi) lahan gambut dibuka..
4. Untuk mengurangi besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut maka
pengelolaan air mutlak dilakukan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada LPPM UGM atas kesempatan yang diberikan untuk memperoleh Hibah
Doktor, dan juga kepada Dr. Jyrki Jauhiainen dari University of Helsinki, Finland atas
peminjaman EGM-4 dan konsultasi data emisi CO2.
DAFTAR PUSTAKA
IPPC- Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2001: The
Scientific basis. Contribution of Working Group 1 to the Third Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Houghton, J.T.,
Ding, Y., Griggs, D.J., Noguer, M., van der linden, P.J., Xiaosu, D. Cambridge
University Press Cambridge (2001).
Inubushi, K., Y. Furakawa., A. Hadi., E. Purnomo., and H. Tsuruta, Seasonal change
of CO2, CH4 and N2O fluxes in relation to land-use change in tropical peatlands
located in coastal area of South Kalimantan, Int. J. Chemosphere. 52, pp. 603608 (2003).
Jauhiainen, J., J. Heikkinen, P.J. Martikainen and H. Vasander, CO2 and CH4 fluxes in
pristine peat swamp forest and peatland converted to agriculture in Central
Kalimantan. International Peat Journal 11, pp 43-49. International Peat Society
(2001).
Jauhiainen, J., H. Vasander., A. Jaya., T. Inoue., J. Heikkinen., and P. Martikainen,
Carbon balance in managed tropical peat in Central Kalimantan, Indonesia.
Dalam: Pivnen, J. (ed.). Wise Use of Peatlands. Proceeding of the 12th
International Peat Congress. Tampere, Finland. Publisher International Peat
Society, Vapaudenkatu, Jyvskyl, Finland, pp. 653-658 (2004).
Jauhiainen, J., S. Limin., H. Silvennoinen., and H. Vasander, Carbon dioxide and
methane fluxes in drained tropical peat before and after hydrological
restoration. Int. J. of Ecology, 89(12), pp. 3503-3514 (2008).
Melling, L, Greenhouse gas fluxes from tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Ph.D
Thesis. Soil Science Laboratory. Division of Environmental Resources.
Graduate School of Agriculture. Hokkaido University. Japan. 200 p. (2005).
Page, S.E., C.J. Banks., J.O. Rieley., and R. Wst, Extent, significance and vulnerability
of the tropical peatland carbon pool: past, present and future prospects. In: C.
Farrel., and J. Feehan (eds.). After Wise Use-The Future of Peatlands.
Proceeding of the 13th International Peat Congress. Tullamore, Ireland. 1, pp.
233-236 (2008).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

66

Pirkko, S., and T. Nyronen, The carbon dioxide emissions and peat production.
International Conference on Peat Production and Use. Jivskyl. Finland.
1:150-157 (1990).
Radjagukguk, B, Peat soil of Indonesia: location, classification and problems for
sustainability. In: J.O. Rieley & S.E. Page, Biodiversity and Sustainability of
Tropical Peatlands.
Proceeding of the International Symposium and
Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and
Peatlands. Palangkaraya, Indonesia, 4-8 September 1995. Samara Publishing
Limited, Cardigan, UK, pp. 45-54 (1997).
Rieley, J.O., S.E. Page., and B. Setiadi, Distribution of peatlands in Indonesia. In: E.
Lappalainen (ed.). Global Peat Resources. Publisher International Peat Society,
Jysk, Finland. pp. 169-178 (1996).
Rieley, J.O., R.A.J.Wst., J. Jauhiainen., S.E. Page., H. Wsten., A.Hoijer.,F. Siegert.,
S. Limin., H. Vasander., and M. Stahlhut, Tropical peatlands: carbon store,
carbon gas emissions and contribution to climate change processes. In: M.
Strack (ed.), Peatlands and Climate Change. Publisher International Peat
Society, Vapaudenkatu, Jyvskil, Finland. pp. 149-181 (2008).
Ritzema, H and Adi Jaya, Water management for sustainable wise use of tropical
peatlands. In:J.O. Rieley, Limin, S.H. and Jaya, A. Restoration and Wise use of
Tropical Peatland: Problem of Biodiversity, Fire, Poverty and Water
Management. Proceeding of International Symposium and Workshop on
Tropical peatland. Palangkaraya, 20-24 September 2005. EU RESTORPEAT
Partnership, University of Palangka Raya, Indonesia and Wageningen University
and Research Institute, The Netherlands. pp. 41-51 (2007).
Vasander, H., S. Limin and J. Jauhiainen, Carbon storage in tropical peatland and
losses resulting from fire and land use change. In:J.O. Rieley, Limin, S.H. and
Jaya, A. Restoration and Wise use of Tropical Peatland: Problem of
Biodiversity, Fire, Poverty and Water Management. Proceeding of International
Symposium and Workshop on Tropical Peatland. Palangkaraya, 20-24
September 2005. EU RESTORPEAT Partnership, University of Palangka Raya,
Indonesia and Wageningen University and Research Institute, The Netherlands.
pp. 52-59 (2007).
Verwer, C., P. van der Meer., G-J. Nabuurs, Review of carbon flux estimates and other
greenhouse gas emissions from oil palm cultivation on tropical peatlandsIdentifying the gaps in knowledge. Alterra-rapport 1731. Alterra, Wageningen.
44 (2008).
Wsten, J.H.M., A.B. Ismail and A.L.M. van Wijk, Peat subsidence and its practical
implication: a case study in Malaysia, Geoderma, 78, 25-36 (1997).

67

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

68

PEMETAAN KARAKTERISTIK DAN GENESIS TANAH YANG


BERKEMBANG PADA BEBERAPA FORMASI GEOLOGI
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU
1

Rachmat Zainuddin
Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu

ABSTRAK
Penelitianpembentukantanahyang terjadi di atasbeberapaformasibatuaninduk di Taman
Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, merupakan penelitian bertujuan mengetahui
karakteristik spesifik tanah yang berkembang di atas batuan induk tersebut serta
memprediksi laju erosi yang terjadi. Penelitian ini di mulai bulan Juli sampai bulan
November 2009 dan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu penelitian lapangan, analisis
laboratorium, dan analisis data secara deskriptif. Pada bahan induk dilakukan
penyidikan sebanyak enam profil pewakil, kemudian dilanjutkan dengan analisis sifat
fisik, kimia dan mineralogi. Pemerian profil di lapangan menunjukkan urutan horison
yang sama pada enam profil pewakil, yaitu Ah, Bw, BC, dan C. Profil tanah P1, P2,
dan P3 yang mewakili formasi batuan induk granit dan P4, P5, dan P6 yang terdapat
pada formasi batuan induk basalt mengawali perkembangan pada tahap awal yang
dicirikan oleh dominannya mineral lempung montmorilonit tipe 2:1. Klasifikasi tanah
profil P1, P2, dan P3 menurut FAO/UNESCO (1997) digolongkan kedalam Humic
Cambisols, menurut PPT (1983) digolongkan kedalam Kambisol Distrik, sedang sistem
taksonomi tanah (2006) digolongkan kedalam Humic Dystrudept. Tanah profil P4, dan
P5 diklasifikasikan kedalam Eutric Cambisols (FAO/UNESCO), Kambisol Eutrik
(PPT), dan Typic Eutrudept (Taksonomi Tanah). Profil P6 menurut klasifikasi
FAO/UNESCO adalah Humic Kambisol, menurut PPT adalah Kambisol Eutrik, sedang
menurut taksonomi tanah adalah Humic Eutrudept. Upaya konservasi dalam rangka
pengendalian dan pelestarian tetap dilakukan walaupun tingkat bahaya erosi yang
terjadi masih masuk dalam kategori ringan, pelestarian dimaksudkan untuk
memperbaiki lahan yang tandus dan mengurangi laju erosi, dengan mengubah faktor C
tanaman dan merubah pengelolaan tata guna lahan kondisi eksisting dan P aspek
konservasi tanah.
PENDAHULUAN
Pemahaman tentang tanah berkembang sejalan dengan meningkatnya masalah
yang timbul akibat peningkatan pemanfaatan sumberdaya tanah. Tahap awal
terbentuknya tubuh tanah adalah adanya proses pelapukan dan peruraian batuan atau
bahan induk tanah, kemudian pada tahap kedua terjadi pedogenesa atau perkembangan
tanah atau horisonisasi tanah.
Proses pembentukan tanah mencakup proses penambahan, pelenyapan,
translokasi dan transformasi bahan dari suatu tubuh tanah akibat adanya degradasi,
agradasi dan pemindahan di dalam tubuh tanah. Tubuh tanah dibentuk oleh lima faktor
genesis yaitu bahan induk, relief, iklim, jasad hidup dan waktu. Kelima faktor
pembentuk tanah tersebut tidak selalu bersamaan pengaruhnya terhadap proses
pembentukan tanah, walaupun beberapa faktor diantaranya amat berpengaruh dalam
menentukan perkembangan tanah. Di bawah kondisi tertentu semua faktor tersebut
berhubungan erat satu dengan yang lain.

69

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Di dalam kawasan hutan tropis. faktor yang paling dominan dalam


mempengaruhi proses pembentukan dan perkembangan tanah adalah batuan induk.
setelah itu disusul oleh jasad hidup. vegetasi. topografi. iklim dan waktu.
Hutan tropis Taman Nasional Lore Lindu yang juga ditetapkan sebagai salah
satu cagar biosfer dan selama ini dianggap sebagai paru-paru dunia. selain menjadi
tempat pengambilan kayu untuk industri yang sangat potensil serta tempat bercocok
tanam/berkebun bagi masyarakat disekitar hutan. ternyata mengandung sumber air dan
bahan tambang yang sangat besar sehingga cenderung terjadi alih-fungsi dari kawasan
hutan menjadi areal pertanian/perkebunan dan pertambangan. Adanya kewenangan
eksploitasi dalam Undang-Undang Otonomi Daerah menjadikan kawasan hutan saat ini
menjadi salah satu alternatif daerah guna meningkatkan pendapatan dalam jumlah yang
besar.
Salah satu upaya untuk mengurangi laju kerusakan yang terjadi adalah dengan
melakukan penelitian agar tersedia data sifat tanah yang akurat yang setiap waktu dapat
diperbaharui sebagai acuan dalam pengeloloaan Taman Nasional Lore Lindu nantinya
Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian mengenai karakteristik
dan genesis tanah yang berkembang di atas beberapa formasi geologi yang terdapat di
kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah serta mengkaji potensi
erosi yang terjadi dengan bantuan perangkat lunak ArcView SIG.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. yaitu penelitian lapangan. analisis di
laboratorium. dan analisis data secara deskriptif. Deskripsi tanah dilakukan
selengkapnya di lapangan pada saat pengambilan cuplikan tanah.
Penelitian dilakukan pada lokasi yang dianggap masih mewakili terjadinya
proses genesis di suatu kawasan hutan. Pembedaan antara satu profil dengan yang
lainnya. menggunakan perhitungan indeks kemiripan (Buol et al.. 1980).
Penelitian lapangan terdiri dari dua tahap. yaitu survei pendahuluan dan survei
utama. Survei pendahuluan dilakukan dengan menentukan lokasi profil pewakil tanah
dengan jalan mencocokkan dengan peta kerja yang telah disiapkan. Penentuan lokasi
profil selain berdasarkan formasi geologi, mempertimbangkan beberapa hal antara lain :
lokasi tanah yang berkembang in situ dan jauh dari bahan koluvial dan aluvial; kondisi
vegetasi yang sama; dan pengelolaan lahan relatif seragam sehingga pewakil merupakan
hasil genesis murni dari bahan induk dibawahnya.
Survei utama dilakukan dengan jalan mendeskripsi profil tanah. kemudian
mengambil cuplikan tiap lapisan tanah dan batuan induk.
Pemerian ciri morfologi pada setiap pedon tanah menggunakan acuan Guidelines
for Soil Profile Description (FAO. 1977).
Analisis Laboratorium
Cuplikan tanah dan batuan induk yang telah diambil kemudian dianalisis di
laboratorium. Jenis dan metode analisis yang digunakan adalah sebagai berikut :
Analisis fisik
a) Tekstur tanah dengan metode pemipetan (Sudjadi et al.. 1971)
b) Berat volume dan berat jenis tanah (Soil Conservation Service. 1972)
c) Permeabilitas tanah (Soil Conservation Service. (1972)
d) Nilai Cole. dengan metode pasta (Schafer and Singer. 1976)

SeminarHasilPenelitianUGM

70

e)

Porositas total tanah dihitung dari perbandingan Berat Volume dan Berat Jenis
tanah (Landon. 1984)

Analisis kimia
a) Kemasaman tanah (pH) dengan pelarut H2O (1 : 2.5) dan KCl (1 : 2.5) (Soil
Concervation Service. 1972)
b) Karbon organik dengan ekstraksi K2Cr2O7 (Walkey and Black in ISRIC.1993)
c) Nitrogen total dengan metode Kjeldahl (ISRIC. 1993)
d) C/N dengan menggunakan perbandingan karbon organik dan total nitrogen (ISRIC.
1993)
e) KPK dan KB dengan ekstraksi 1.0 N NH4OAc (pH 7.0). diukur dengan
Spektroskopi Serapan Atom (Atomic Absorption Spectroskopi = AAS) (Sudjadi et
al.. 1971)
f) Kalsium. Magnesium. Kalium dan Natrium tertukar dengan ekstraksi NH4OAc 1.0
N pH 7.0. Kalsium dan magnesium diukur dengan AAS. sedangkan kalium dan
natrium diukur dengan Flamefotometer (ISRIC. 1993)
g) Besi dan aluminium bebas/kristalin dengan ekstraksi ditionit-sitrat bikarbonat
(DCB) metode Mehra dan Jackson 1961 cit (Blakemore. 1987); Al dan Fe organik
dengan ekstraksi pirofosfat pH 12. dan untuk amorf dengan ekstraksi asam oksalat
pH 3.0 menggunakan metode Tamm (Blakemore.1987)
Analisis mineral
a) Analisis mineral penyusun bahan induk dengan metode Microscopic Petrography
(Winchell. 1951)
b) Mineralogi fraksi lempung dengan analisis difraksi sinar X (Balsem and Buurman.
1990).
Tahap Analisis Data
Data hasil analisis tanah yang diperoleh dari lapangan dan Laboratorium
digunakan untuk membandingkan sifat-sifat tanah antar horison dan antar profil.
kemudian dilakukan perhitungan indeks kemiripan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Buol et al.. (1980). Perhitungan yang dilakukan adalah; pertama dengan memberi
nilai nisbi terhadap hasil analisis setiap horison. dimana yang terkecil diberi nilai 0 dan
yang terbesar diberi nilai 100. nilai yang terdapat antara nilai terkecil dan terbesar
dihitung berdasarkan interpolasi. Adapun rumus yang digunakan adalah :
nn =

x tk
X 100
tb tk

nn
x
tk

= nilai nisbi
= nilai yang akan dibandingkan
= nilai terkecil diantara masing-masing parameter kedua horison yang
dibandingkan.
tb
= nilai terbesar diantara masing-masing parameter kedua horison yang
dibandingkan
Setelah semua nilai diubah menjadi nilai nisbi. maka indeks kemiripan dari dua
horison yang dibandingkan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
I=

2W
X 100
A+ B

= Indek kemiripan antar horison atau profil

71

SeminarHasilPenelitianUGM2009

= Jumlah nilai nisbi terkecil diantara masing-masing parameter kedua horison


yang dibandingkan.
A dan B = berturut-turut adalah jumlah nisbi sifat horison lain yang dibandingkan.
Apabila I 80 berarti kedua parameter pengamatan mirip atau sejenis.
I 50 80 Kemiripan kedua parameter diragukan.
I < 50 berarti kedua parameter pengamatan berlainan jenis.
Dalam melakukan digitasi dan pengolahan data berhubungan dengan kajian erosi
yang terjadi, beberapa proses dilakukan meliputi pengolahan data hujan dari stasiun
yang ada disekitar lokasi Taman Nasional Lore Lindu. Selanjutnya pembuatan petapeta dengan cara mendigitasi dan overlay Peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 dan Peta
Taman Nasional Lore Lindu dengan bantuan Software Arc View.
HASIL DAN PEMBAHASA
Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif fraksi penyusun tanah, yaitu
partikel pasir, debu dan lempung. Hasil penelitian menunjukkan tekstur yang relatif
belum berkembang lanjut, dengan prosentase fraksi lempung rendah dan dengan
dominannya fraksi pasir, baik pada tanah yang berkembang dari batuan induk granit
maupun basaltik.
Tanah-tanah yang berkembang dari batuan induk granit (P1, P2, P3) mempunyai
tekstur yang hampir seragam, yaitu pasir geluhan sampai pada geluh pasiran dan hanya
pada profil P1 lapisan 2 yang bertekstur geluh lempung pasiran. Secara keseluruhan
menunjukkan belum adanya proses illuviasi lempung dari horison Ah ke horison Bw,
sehingga kecenderungan adanya selaput lempung pada horison Bw belum kelihatan.
Belum mengindikasikan adanya proses argilasi.
Pada Gambar 1 terlihat bahwa pada profil P1, kandungan fraksi lempung 15,97
% pada horison Ah naik menjadi 20,85 % kemudian turun lagi menjadi 13,92 % sampai
12,10 % pada lapisan C. Hal ini juga terlihat pada profil P5, yaitu 18,40 % pada horison
Ah kemudian naik menjadi 29,17 % pada horison Bw, tetapi turun lagi menjadi 18,11 %
dan 15,77 % di lapisan C. Kenaikan ini kemungkinan hasil proses pembentukan secara
insitu (Young, 1976). Menurut Notohadiprawiro dan Suparnowo (1978), pengalihan
lempung lokal di dalam profil terjadi karena tanah mempunyai pengatusan dakhil yang
agak terhambat. Selanjutnya Waker dan Hutka (1979) menyatakan bahwa pengayaan
lempung pada profil tanah disebabkan oleh pengaruh suasana pembasahan lengas dan
pengeringan yang berhubungan dengan lingkup lengas tanah (moisture regime).
Profil P4, P5, P6 yang berkembang dari batuan induk basalt mempunyai tekstur
antara geluh pasiran, geluh, geluh lempung pasiran dan hanya pada profil P5 lapisan 2
yang bertekstur geluh lempungan. Belum terlihat adanya selaput lempung, proses
argilasi belum kelihatan. Indikasi belum terjadinya proses argilasi sehingga belum
terbentuk horison argilik terlihat dari semakin rendahnya prosentase lempung dengan
semakin bertambahnya jeluk tanah. Hal ini didukung oleh hasil analisis sebaran fraksi
tanah yang terlampir pada Tabel 1. Menurut Young (1976), hal tersebut dapat
menunjukkan kurang intensifnya proses perkembangan tanah disebabkan pengaruh
kelerengan yang curam sehingga air yang meresap ke dalam tanah relatif sedikit

SeminarHasilPenelitianUGM

72

Gambar 1. Hubungan jeluk tanah dan lempung


Menurut Buckman dan Brady (1969), perbedaan agihan besar butir lebih sering
dihubungkan dengan perbedaan pelapukan, dimana pelapukan yang makin intensif akan
menghasilkan fraksi halus lebih banyak. Persentase fraksi lempung yang terdapat pada
tanah yang berkembang dari batuan induk basalt sedikit lebih tinggi dari pada tanah
yang berkembang dari batuan induk granit. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh sifat
dari batuan basalt yang bersifat lebih basis cenderung untuk lebih mudah melapuk bila
dibandingkan dengan batuan granit yang bersifat lebih masam.
Fraksi debu menunjukkan adanya kecenderungan untuk menurun dengan
semakin bertambahnya jeluk pada tanah-tanah yang berkembang dari batuan induk
granit (P1, P2, P3). Fraksi debu merupakan hasil dari penghancuran fraksi pasir,
sehingga kondisi ini mengindikasikan tanah masih dalam taraf perkembangan awal.
Pada tanah yang berkembang dari batuan induk basaltik (P4, P5, P6) fraksi debu belum
menunjukkan adanya distribusi yang teratur dengan semakin bertambahnya jeluk tanah.
Fraksi pasir pada Gambar 2. menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat dengan bertambahnya jeluk tanah pada tanah yang berkembang dari batuan
induk granit (P1, P2, P3). Hal ini disebabkan kandungan pasir batuan granit yang terdiri
dari pasir kuarsa yang mempunyai ukuran butir tidak berubah, sehingga makin dekat ke
batuan induk, kandungan fraksi pasir juga semakin meningkat. Pada tanah yang
berkembang dari batuan induk basalt (P4, P5, P6) menunjukkan adanya distribusi yang
tidak teratur. Hal ini akibat kandungan pasir yang diperoleh dari batuan induk yang
berasal dari batuan basalt dari jenis felsfar yang dapat berubah akibat terjadinya
pelapukan.

73

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Gambar 2. Hubungan jeluk tanah dan partikel pasir


Pendugaan indeks pelapukan tanah dapat menggunakan perbandingan fraksi
debu dan lempung, dimana semakin kecil nisbah debu/lempung maka proses pelapukan
dianggap semakin intensif. Hasil analisis dan perhitungan nisbah debu/lempung yang
disajikan pada Tabel 4.11. menunjukkan rerata tiap profil adalah P1 = 1,395, P2 =
1,573, P3 = 1,803, P4 = 1,595, P5 = 1,668, dan P6 = 1,970. Berdasarkan rerata nilai
nisbah tersebut, maka urutan intensitas pelapukan adalah P6> P3> P5> P4> P2> P1>
(Subagio dan Buurman, 1980).
Struktur tanah sebagai susunan ikatan partikel-partikel tanah satu sama lain
membentuk agregat tanah, merupakan sifat tanah yang sangat ditentukan oleh partikel
penyusun tanah. Pengamatan di lapangan menunjukkan type, kelas dan derajat struktur,
yang lebih bersifat kualitatif.
Struktur tanah horison Bw pada sekuens granit dan basalt mempunyai bentuk
gumpal menyudut, kelas struktur sedang dan hanya pada profil P5 yang halus, derajat
struktur lemah sampai sedang. Adanya struktur ini sudah mengindikasikan adanya
proses perkembangan tanah, walaupun belum sampai pada taraf lanjut. Adanya struktur
ini mengakibatkan persyaratan adanya horison Bw struktur sudah dapat terpenuhi.
Konsistensi tanah adalah derajat kohesi dan adhesi diantara partikel-partikel
tanah dan ketahanan (resistensi) massa tanah terhadap perubahan bentuk oleh tekanan
dan berbagai kekuatan yang mempengaruhinya. Istilah konsistensi tanah menunjuk pada
tarik-menarik antar jarah tanah dalam suatu massa tanah atau menunjuk pada
ketahanannya terhadap pemisahan atau perubahan bentuk (Kertonegoro dkk, 1998).
Menurut Hardjowigeno (1993), Penyifatan konsistensi tanah harus disesuaikan dengan
kandungan air dari tanah yaitu apakah tanah dalam keadaan basah, lembab, atau kering.
Hal ini sejalan dengan pendapat Notohadiprawiro (2000), bahwa konsistensi
dipengaruhi oleh kadar air tanah, bahan-bahan penyemen agregat tanah, bentuk dan

SeminarHasilPenelitianUGM

74

ukuran agregat, serta tingkat agregasi. Konsistensi berkaitan erat dengan struktur faktorfaktor yang menentukan struktur tanah, seperti tekstur, macam lempung, dan kadar
bahan organik juga ikut menentukan konsistensi tanah. Tanah bertekstur yang sama
dapat berbeda konsistensinya akibat terjadinya perbedaan macam lempung.
Hasil pengamatan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam keadaan lembab
profil P1, P2, dan P3 rata-rata mempunyai konsistensi gembur, sedang dalam keadaan
basah mempunyai konsistensi agak lekat sampai tak lekat. Profil P4, P5, dan P6 sebagai
pewakil batuan induk basalt mempunyai konsistensi agak gembur sampai sangat
gembur dalam keadaan lembab, sedang dalam keadaan basah mempunyai konsistensi
agak lekat sampai lekat kecuali horison C profil P5 tidak lekat. Hal ini dimungkinkan
karena tekstur tanah didominasi oleh fraksi pasir yang mengakibatkan ketahanan
terhadap perubahan bentuk lebih lemah.
Reaksi Tanah
Hasil analisis reaksi tanah (pH) pada profil P1 pH-H2O dengan kisaran antara
4,35 sampai 5,56 berharkat sangat masam sampai masam; pH-KCl kisaran antara 4,15
sampai 5,03. Profil P2 pH-H2O dengan kisaran antara 4,96 sampai 5,86 berharkat
masam sampai agak masam; pH-KCl kisaran antara 4,35 sampai 4,99. Profil P3, pHH2O dengan kisaran antara 4,85 sampai 5,16 berharkat masam; pH-KCl kisaran antara
4,20 sampai 4,82. Profil P4 mempunyai pH H2O antara 5,79 sampai 6,79 berharkat
agak masam sampai netral; pH-KCl kisaran 4,42 sampai 5,69. Profil P5 mempunyai
pH-H2O dengan kisaran 6,28 sampai 6,86 berharkat agak masam sampai netral; pHKCl kisaran 4,87 sampai 5,20. Profil P6 memiliki pH H2O dengan kisaran 6,00 sampai
6, 96 berharkat netral; pH-KCl kisaran 5,05 sampai 5,90.
Hubungan jeluk dengan tingkat kemasaman tanah (pH H2O dan pH KCl) dapat
dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Dari enam profil pewakil yang disesuaikan
dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah dan setelah dilakukan selang pengharkatan,
ternyata profil P1, P2, dan P3 berharkat sangat masam sampai masam. Profil P4, P5,
dan P6 berharkat masam sampai netral. Hal ini menunjukkan bahwa sifat dan ciri yang
dimiliki oleh kedua jenis batuan induk tersebut berbeda. batuan granit memperlihatkan
tanah yang berkembang dengan reaksi tanah yang masam, sedangkan batuan basalt
menunjukkan tanah yang berkembang dengan reaksi tanah yang netral.
Selisih antara pH-KCl dan pH-H2O pada semua lapisan dalam profil bernilai
negatif dengan kisaran -0,18 sampai -1,99. Selisih pH yang bernilai negatif
menunjukkan bahwa tanah pada daerah penelitian didominasi oleh muatan negatif.
Kondisi ini sangat wajar terjadi mengingat tanah mineral yang terdapat dalam tanah
banyak berupa mineral lempung montmorillonit dan juga mempunyai kadar bahan
organik yang tinggi. Pada mineral lempung montmorillonit biasanya terjadi substitusi
isomorfik yang menyebabkan tanah kelebihan muatan negatif. Bahan organik dalam
tanah banyak mengandung gugus muatan yang bersifat negatif. Kedua hal ini
berpengaruh sangat besar terhadap muatan tanah dan menentukan muatan tanah yang
bersifat negatif.
Tanah-tanah yang berkembang dari batuan induk granit bereaksi lebih masam
dari pada tanah-tanah yang berkembang dari batuan induk basalt. Hal ini tentunya
disebabkan oleh sifat dari kedua batuan induk tersebut. Batuan granit lebih banyak
mengandung unsur-unsur basa dari pada batuan granit. Tanah yang berkembang pada
batuan basalt kaya akan Ca, Mg, Na, K sehingga memungkinkan mempunyai nilai pH
yang lebih tinggi dari pada batuan granit.

75

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Gambar 4. Hubungan jeluk dan pH (H2O)

Gambar 5. Hubungan jeluk dan pH (KCl)

SeminarHasilPenelitianUGM

76

Bahan organik
Bahan organik tanah sangat ditentukan oleh faktor lingkungan tanah. Sumber
bahan organik dan faktor-faktor yang mempengaruhi laju perombakan bahan organik,
suhu, curah hujan, aerasi tanah, akan sangat menentukan jumlah bahan organik dalam
tanah.
Hasil analisis kimia tanah disajikan pada Tabel2, sedang hubungan jeluk dengan
bahan organik dapat di lihat pada Gambar 5
Daerah penelitian mempunyai vegetasi hutan sehingga bahan organik
mempunyai sumber yang melimpah. Hal ini menyebabkan jumlah bahan organik yang
terdapat dalam tanah cukup besar. Bahan organik tinggi pada horison A ( 2 3% COrganik) dan semakin menurun dengan bertambahnya jeluk tanah. Bahan organik
berpengaruh besar terhadap warna tanah, memberikan warna tanah dari coklat sampai
kehitaman.
C/N tanah mempunyai nilai yang rendah, berkisar antara 3,33 sampai 11,78 dan
hanya pada profil P1 horison Ah bernilai 14,38 dan profil P3 horison Bw dan C bernilai
15,85 dan 13,62. Ini menunjukkan bahwa tingkat humifikasi bahan organik tinggi.
Tingkat humifikasi yang tinggi dan kadar bahan organik yang semakin menurun dengan
bertambahnya jeluk mengindikasikan bahwa dalam tanah didominasi senyawa humat.
Senyawa humat bersifat stabil dan sukar larut dalam air, sehingga cenderung berada
dalam tanah lapis atas. Kadar bahan organik ini akan sangat berpengaruh terhadap
distribusi Fe dan Al organik, pH tanah serta muatan dalam tanah.

Gambar 5. Hubungan jeluk dan bahan organik


Fe dan Al ekstraksi (Fe-d, Al-d), (Fe-p, Al-p), dan (Fe-o, Al-o)
Birkeland (1994), mengemukakan bahwa pada umumnya ekstraksi ditionit,
oksalat dan pirofosfat ditujukan untuk membantu mengenal bentuk-bentuk Fe dalam
tanah. Perlakuan Sitrat ditionit adalah di tujukan untuk memisahkan dari total besi

77

SeminarHasilPenelitianUGM2009

bebas bahwa yang tidak termasuk mineral-meniral silikat merupakan oksida-oksida


kristalin (goethit dan hematit), oksida-oksida hidrous amorf dan ikatan besi- organik.
Perlakuan oksalat memisahkan oksida-oksida hidrous amorf yang mungkin banyak
adalah ferrihydrit dan beberapa ikatan besi-organik. Ekstraksi pirofosfat memisahkan
ikatan besi-organik. Ekstraksi Fe dan Al umumnya digunakan dalam suatu lingkungan
tanah untuk mengklasifikasikan Spodosol dan podsol dalam Taxonomi tanah, karena
dapat memperlihatkan hubungan Fe dan Al yang diukur.
Hasil analisis Fe dan Al yang disajikan dalam Tabel 2, menunjukan bahwa kadar
Fe-d (kristalin) tertinggi (5,78%) pada profil P5 horison Ah dan terendah (1,79 %) pada
pofil P2 horison C ; kadar Fe-o (amorf) tertinggi (2,25%) pada profil P1 horison BC dan
terendah (0,55%) pada profil P2 horison C. Fe-pirofosfit tertinggi (2,33%) pada profil
P5 horison Ah dan terendah (0,03%) pada profil P1 horison C. Al ekstraksi ditionit,
pirofosfat dan oksalat yang dinyatakan dalam ppm, menunjukkan Al-ditionit tertinggi
(59,19 ppm) pada profil P1 horison Ah, terendah (19,31 ppm) pada profil P2 horison
BC. Al pirofosfat tertinggi (27.99 ppm) pada profil P5 horison Ah, terendah (4,55 ppm)
pada profil P1 horison C ; dan Al-oksalat tertinggi (24,33 ppm) pada profil P6 horison
Bw dan terendah (9,59 ppm) pada profil P3 horison C.
Dari hasil analisis Fe dan Al di atas, ternyata untuk menduga proses podsolisasi
dari rasio Fe2O3 dan Al2O3, tidak memenuhi syarat karena kadar Al untuk semua lapisan
dalam profil sangat kecil untuk dipersenkan. sehinggal hal tersebut tidak dapat dihitung.
Kurangnya kandungan Al pada semua lapisan akibat tanah yang terbentuk baru dalam
taraf perkembangan awal, sehingga mineral-mineral yang sukar larut masih sulit
ditemui. Berdasarkan deret Polynov dan deret Hansen cit Notohadiprawiro (1999)
Al2O3 adalah unsur yang paling sukar larut dibanding unsur lain.
Sedang untuk menduga adanya sifat andik dari Fe dan Al dengan ekstraksi
oksalat, hal ini juga tidak memenuhi persyaratan. Soil survey Staff (2006) menjelaskan
sifat andik antara lain dicirikan oleh jumlah Aluminium tersekstrak oksalat dan besi
terekstrak oksalat > 2 persen. Dengan demikian tanah pada daerah penelitian di
dominasi oleh minereal-meneral ukuran lempung yang kristalin.
Fe dan Al Organik merupakan Fe dan Al dalam tanah yang terdapat dalam
bentuk ikatan dengan senyawa organik. Fe dan Al organik menunjukkan angka yang
semakin menurun dengan bertambahnya solum tanah di hampir semua profil tanah,
kecuali senyawa Al-Organik profil P2 dan P3 horison C yang berbeda. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin bertambah jeluk, kadar bahan organik semakin menurun.
Bahan organik terbesar pada permukaan jeluk mengingat sumber bahan organik yang
berasal dari vegetasi hutan. Di samping itu perbandingan C dan N menunjukkan angka
yang rendah, mengindikasikan bahwa bahan organik didominasi oleh fraksi humat.
Mengingat senyawa humat merupakan senyawa yang stabil dan sukar larut air, maka
menjadi sangat wajar kalau bahan organim mengumpul pada permukaan tanah dan
kadarnya semakin menurun dengan bertambahnya jeluk. Hal ini menyebabkan Fe dan
Al organik semakin menurun dengan bertambahnya jeluk.
Kehadiran Fe dan Al amorf tidak dapat dilepaskan dari kadar bahan organik dan
pH tanah. Bahan organik menyebabkan Fe dan Al berada dalam tanah dalam bentuk
ikatan kompleks dan tidak berkembang menjadi mineral-mineral Fe dan Al, sebagai
konsekuensinya maka kadar Fe dan Al amorf menjadi tinggi.
Kation-kation Fe dan Al dalam tanah terdapat dalam bentuk amorf, yang
mempunyai sifat gerakan yang mobil. Hal ini menyebabkan distribusi fe dan Al amorf
dalam tanah menjadi tidak merata dalam satu profil tanah

SeminarHasilPenelitianUGM

78

Komposisi Mineral Batuan


Hasil pengamatan irisan tipis batuan granit dan basalt disajikan pada Lampiran
4. Batuan granit yang terdapat pada daerah penelitian mengandung mineral orthoklas,
kuarsa, plagioklas, biotit, serta sedikit sekali mineral opak. Dari ke tiga macam batuan
granit yang berasal dari tiap profil tanah ternyata mempunyai komposisi mineral dalam
jumlah yang bervariasi. Mineral dominan adalah orthoklas.
Batuan basalt pada daerah penelitian mempunyai komposisi mineral plagioklas,
piroxin, hornblende, opak serta gelas dan pada profil P6 dijumpai mineral olivin.
Persentase mineral dalam batuan bervariasi dengan plagioklas sebagai mineral dominan.
Mineral-mineral yang terdapat dalam batuan sangat menentukan jenis mineral
lempung yang terbentuk, serta jenis serta jumlah kation basa yang terdapat dalam tanah.
Mineral orthoklas terbesar yang merajai profil dari batuan induk granit diperoleh
P2 (56 %), sedang nilai terendah diperoleh P1 (40 %). Presentase terbesar mineral
kuarsa terdapat pada profil P3 (24 %), dan terendah diperoleh P2 (10 %). Mineral
plagioklas yang merajai batuan induk basalt, terbanyak pada profil P4 (78 %) dan yang
terendah adalah P6 (43 %). Selain plagioklas, mineral piroksin dan gelas ditemukan
juga pada batuan basalt dengan jumlah yang cukup besar.
Plagioklas kaya akan Na dan Ca, orthoklas kaya K, biotit kaya K, Fe, Mg,
piroxin kaya Mg, Fe,Ca, hornblende kaya Ca, Na, Mg, Fe. Hasil pelapukan mineral
primer ini akan melepaskan kation sesuai dengan yang dikandung dalam ikatannya.
Jenis mineral ini juga akan sangat menentukan terhadap reaksi tanah yang akan
terbentuk.
Dari hal ini dapat diprediksi bahwa batuan basalt akan menghasilkan kation yang
lebih banyak dan beragam dibandingkan batuan granit, sehingga kemungkinan tanah
yang dihasilkan juga akan lebih subur.
Sifat Mineral Fraksi Lempung
Menurut Jackson (1968), pembentukan mineral lempung merupakan hasil
jabaran mineral induk melalui serangkaian perubahan yang diakibatkan oleh pengaruh
lingkungan. Hal ini berarti bahwa mineral lempung sekunder merupakan jabaran
lempung primer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah Inceptisol yang terbentuk di Taman
Nasional Lore Lindu berasal dari bahan induk batuan granit dan basalt. Inceptisol
adalah jenis tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil yang
masih lemah dibanding tanah yang telah matang, dan masih banyak menyerupai sifat
induknya. Hal ini didukung dengan hasil interpretasi irisan tipis batuan induk yang
dirajai oleh mineral yang baru, dan hasil analisis sinar X yang menunjukkan
dominannya mineral lempung montmorilonit (tipe 2:1)
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan Inceptisol adalah :
a) Bahan induk yang sangat resisten
b) Posisi dalam landscape yang ekstrim yaitu daerah curam atau lembah
c) Permukaan geomorfologi yang muda, sehingga pembentukan tanah belum lanjut.
Agar tidak terjadi erosi, maka kawasan yang berjenis tanah inceptisol dan
terletak di daerah yang berlereng curam/terjal, sebaiknya tetap dalam keadaan tertutup
vegetasi primer. Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu harus dilakukan dengan
memperhatikan kelestarian sumberdaya tanahnya. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan
yang dilakukan jangan sampai menyebabkan kerusakan berlebihan pada sumberdaya

79

SeminarHasilPenelitianUGM2009

tanah, sehingga tetap mampu menunjang ekosistem yang ada. Eksploitasi dapat
dilakukan dalam kawasan, tetapi sebaiknya dilakukan pada hutan yang bertopografi
landai dan menjauhi daerah aliran sungai (DAS).
Tindakan yang perlu ditempuh dalam melakukan pencegahan konservasi tanah
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan guna mendukung pertumbuhan
tanaman dan menurunkan atau menghilangkan dampak negatif pengelolaan lahan
seperti erosi, sedimentasi dan banjir. Usaha yang paling ekonomis dan efektif
dikerjakan untuk menurunkan laju erosi adalah; 1). di daerah yang berkemiringan terjal
terutama pada punggung-punggung gunung, pinggir sungai atau di tempat-tempat
tertentu yang melakukan usaha-usaha pertanian tanpa dibarengi prinsip-prinsip
konservasi tanah dan air, 2). usaha mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah
merupakan cara yang dianggap paling efektif dan ekonomis untuk mencegah erosi dan
meluasnya erosi permukaan, usaha lain yang lebih penting dilakukan adalah
bagaimana melaksanakan pengelolaan vegetasi dengan baik, khususnya vegetasi hutan,
agar fungsi hutan sebagai pengikat partikel-partikel tanah dapat mengurangi laju aliran
permukaan sehingga daya pengikisannya semakin kecil, melindungi tanah dari
tumbukan atau penghancuran agregat tanah oleh butir hujan dapat terus dipertahankan
dan disisi lain dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada petani dari sisi
ekonomi. Penanaman kembali dan merehabilitas kembali lahan-lahan kritis dan tandus
yang tak termanfaatkan seperti lahan tegalan dan lahan rumput alang-alang, merupakan
pekerjaan yang tidak mudah untuk dilaksanakan Oleh karena itu diperlukan
perencanaan pengolahan vegetasi yang baik dan benar, terutama dalam pemilihan jenis
tanaman dan pola penanaman, sehingga tidak menberikan hasil yang sebaliknya, yaitu
tidak dapat menurunkan erosi, memperkecil evapotranspirasi dan memperbesar
kemampuan tanah menyerap air hujan. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan adanya
arahan pengunaan lahan dalam rangka pengendalian fungsi lahan agar tidak terjadi
kerusakan yang lebih parah lagi. Arahan penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan
pada tiga faktor, yaitu kelerengan, jenis tanah menurut kepekaan terhadap erosi dan
intensitas curah hujan harian wilayah bersangkutan, setiap komponen faktor ditampilkan
dalam tiap unit lahan untuk mendapatkan angka skor yang secara makro dipergunakan
untuk menetapkan arahan penggunaan lahan sebagai kawasan lindung, kawasan
penyangga, kawasan budidaya dan kawasan pemukiman. sedangkan secara mikro
menperhatikan faktor bio fisik dan sosial ekonomi setempat. Perencanaan dalam
penataan ruang, terutama arahan penggunaan lahan perlu dipaduserasikan dengan semua
stake holders terhadap aspirasi masyarakat petani dalam rangka pengendalian fungsi
lahan sehingga tidak menyebabkan terjadinya kerusakan yang lebih parah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang
Hendro Sunarminto, SU., Prof. Dr. Ir. Azwar Maas, MSc., dan Dr. Ir. Syamsul Arifin
Syiradz, MSc selaku promotor dan co-promotor yang banyak memberikan saran dan
kritik selama penelitian dan penulisan ini berlangsung. Semoga menjadi amal disisi
Allah SWT.

SeminarHasilPenelitianUGM

80

DAFTAR PUSTA
Abdullah. T.S... Survei Tanah dan Evaluasi Lahan. PT Penebar Swadaya. Jakarta. 1993
Anonim. Potensi Taman Nasional Lore Lindu. Proyek Pengembangan Taman Nasional
Lore Lindu. Palu. 1996.
Asdak. C.. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 2002.
Balsem and Buurman... Chemical. Physical and Mineralogical Characteristics for the
Soil Data Base. Center for Soil and Agricultural Research. Bogor. 28p. 1990
Blakemore. L.C.. P.L. Searle. and B. K. Daly. Methods for Chemical Analysis of Soil.
NZ Soil Bureou. Department of Scientific and Industrial Research. Lower Hutt.
New zealand. 1987.
BPDAS Palu Poso, Laporan Monitoring Tata Air (SPAS) Sub Das Miu Kecamatan
Kulawi Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, Palu. , 2003
Buol. S.W.. F. D.. Hole. R. J.. Mc Cracken. Soil Genesis and Classification. Second
Edition. The Iowa State University Press. Ames. 1980.
Darmawijaya. M. I.. Klasifikasi Tanah. Dasar dan Teori Bagi Peneliti Tanah dan
Pelaksana Pertanian di Indonesia. Ghadjah Mada University Press. Yogyakarta.
1997.
Esri.. GIS for School and Libraries. version 5. Environmental System Research
Institute. 2000
Ewusie. J.Y.. Element of Tropical Ecology. Heinemann Educational Books Ltd..
London. 1980
FAO. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and
Concervation service Land and Water Development devision. Second Edition.
Roma. 1997.
FitzPatrick. E. A.. Soil. Their formation classification and distribution. Longman.
London. 1980.
Foth. H.D. Fundamental of Soil Science. John Wiley & Sons Inc.. New York. 1984.
Gerrard. A. J.. Soil and Landforms An Integration of Geomorphology and Pedology.
Department of Geography. University of Birmingham. George allen & Unwin.
London. 1981.
Hardjowigeno. S... Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. CV Akademika Pressindo.
Jakarta. 2003
Hasset. J. J.. and W.L. Banwart.. Soil and Their Environmental. The University of
Illinois. Prentice Hall Englewood Cliff. New Jersey. 1992
ISRIC. Procedures for Soil Analysis. Fourth Edition International Soil Reference and
Information Centre. 1993.
Jackson. M. L.. Weathering of Primary and Secondary Minerals in Soils. Trans. 9 th
International. Conggres Soil Science. 1968.
Jenny. H.. Factor of Soil Formation A System of Quantitative Pedology. Mc Graw-Hill
Book Company. Inc New York and London. 1941.
Johnson. D. L.. and D.. Watson-Stegner. Evolution Model of Pedogenesis. Soil Sci. Vol.
143. No. 5:349-363. 1987.
Landon. J.RBooker Tropical Soil Manual. A Handbook of Soil Survey and Agricultural
Land Evaluation in the Tropics and Subtropics Booker Agriculture International
Limited. London. .. 1984.

81

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 1. Data Hasil Analisis Sifat Fisik Tanah


K.L
Kap.Lap
(%)

TEKSTUR
Pasir Debu Lempung
(%)
(%)
(%)

Kelas
tekstur

Db/Lp

PBTS
(K)
cm/jam

Nilai
Cole

(BV)
(BJ)
g/cc
g/cc

Ruang
pori
total(%)

NO.

Profil

Jeluk
(cm)

1
2

P1

0 - 35
35 - 90

35.77
30.21

58.23 25.80
56.49 22.66

15.97
20.85

geluh pasiran
glh. lmp. Psr

1.62
1.09

12.27
9.51

0.03
0.04

0.92
1.30

2.05
2.75

55.12
52.73

P2

0 - 20
20 - 60

31.55
27.7

59.88 24.55
66.72 19.83

15.57
13.45

geluh pasiran
geluh pasiran

1.58
1.47

10.22
7.88

0.04
0.05

1.28
1.09

1.83
1.95

30.05
44.10

P3

0 - 23
23 - 78

28.99
27.75

54.30 32.25
65.44 21.26

13.45
13.30

geluh pasiran
geluh pasiran

2.40
1.60

12.07
8.57

0.05
0.05

1.08
1.36

1.42
2.24

23.94
39.29

7
8

P4

0 - 35
35 - 92

41.89
30.65

53.67 25.75
48.67 33.07

20.58
18.26

Glh.lmp.psr
geluh

1.25
1.81

7.35
3.69

0.07
0.05

1.35
1.41

1.82
1.95

25.82
27.69

9
10

P5

0 - 36
36 - 80

42.22
39.1

47.00 34.60
45.70 25.13

18.40
29.17

geluh
geluh lemp

1.88
0.86

5.99
3.23

0.09
0.07

1.19
1.36

1.88
2.05

36.70
33.66

P6

0 - 32
32 - 75

45.72
40.02

50.30 31.20
42.40 39.40

18.50
18.20

geluh pasiran
geluh

1.69
2.16

2.64
5.96

0.08
0.08

1.49
1.32

1.89
1.95

21.16
32.31

3
4
5
6

11
12

SeminarHasilPenelitianUGM

82

Tabel 2. Data Analisis Sifat Kimia Tanah


pH (1:2,5)
Jeluk
C Org BO
Prf
(cm)
(%)
(%)
H2O KCL
P1

P2

P3

P4

P5

P6

N
Tot
(%)

Nisbah
C/N

BASA DAPAT DITUKAR


(me/100 g tanah)
Ca

Mg

Na

Ca/Mg

KPK
Tnh
me%

KPK
Lmp
me%

KB
%

0 - 35

5.56

4.95

3.45

5.95

0.24

14.38

7.65

1.06

1.30

0.11

7.22

19.22

120.35

52.65

35 - 90

5.49

5.03

2.57

4.43

0.38

6.76

7.79

2.12

1.19

0.26

3.67

14.95

71.70

75.99

0 - 20

5.86

4.99

3.22

5.55

0.48

6.71

6.03

0.75

0.53

0.85

8.04

19.43

124.79

42.00

20 - 60

5.76

4.67

2.50

4.31

0.39

6.41

5.96

0.33

0.58

0.60

18.06

12.32

91.60

60.63

0 - 23

5.16

4.20

2.56

4.41

0.38

6.74

3.33

0.55

0.62

0.52

6.05

15.55

115.61

32.28

23 - 78

5.03

4.82

2.12

3.65

0.18

11.78

2.10

0.83

0.69

0.21

2.53

11.19

84.14

34.23

0 - 35

6.55

5.08

2.63

4.53

0.38

6.92

12.92

3.16

0.51

0.47

4.09

15.31

74.39

111.43

35 - 92

5.79

4.42

1.58

2.72

0.26

6.08

11.64

2.78

0.36

0.17

4.19

12.01

65.77

124.48

0 - 36

6.72

5.14

3.72

6.41

0.44

8.45

12.45

2.30

0.67

0.25

5.41

19.24

104.57

81.44

36 - 80

6.86

4.87

2.71

4.67

0.35

7.74

12.46

2.55

0.91

0.23

4.89

17.82

61.09

90.63

0 - 32

6.79

5.90

2.72

4.69

0.45

6.04

12.41

3.27

0.66

0.80

3.80

26.11

141.14

65.65

32 - 75

6.70

5.05

2.45

4.22

0.23

10.65

11.65

2.30

0.57

0.19

5.07

19.41

106.65

75.79

83

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 3. Indeks Pelapukan Dan Tingkat Perkembangan Profil Tanah Lokasi Penelitian
Profil
P1

Jeluk
(cm)

Debu
(%)

Lemp
(%)

Ca

Mg

Ah

0 - 35

25.80

15.97

7.65

1.06

1.62

7.22

Bw

35 - 90

22.66
24.23

20.85
18.41

7.79
7.72

2.12
1.59

1.09
1.35

3.67
5.45

Ah

0 - 20

24.55

15.57

6.03

0.75

1.58

8.04

Bw

20 - 60

19.83
22.19

13.45
14.51

5.96
6.00

0.33
0.54

1.47
1.53

18.06
13.05

Ah

0 - 23

32.25

13.45

3.33

0.55

2.40

6.05

Bw

23 - 78

21.26
26.76

13.30
13.38

2.10
2.72

0.83
0.69

1.60
2.00

2.53
4.29

Ah

0 - 35

25.75

20.58

12.92

3.16

1.25

4.09

Bw

35 - 92

33.07
29.41

18.26
19.42

11.64
12.28

2.78
2.97

1.81
1.53

4.19
4.14

Ah

0 - 36

34.60

18.40

12.45

2.30

1.88

5.41

Bw

36 - 80

Ah
Bw

0 - 32
32 - 75

25.13
29.87
31.20
39.40
35.30

29.17
23.79
18.50
18.20
18.35

12.46
12.46
12.41
11.65
12.03

2.55
2.43
3.27
2.30
2.79

0.86
1.37
1.69
2.16
1.93

4.89
5.15
3.80
5.07
4.43

Rerata
P2
Rerata
P3
Rerata
P4
Rerata
P5
Rerata
P6

Indeks pelapukan dan Perkembangan


Debu/lemp
Ca/Mg
Jakson (1968)

Lapisan

Rerata

SeminarHasilPenelitianUGM

84

Morfologi

tahap sedang
berkembang

Ah, Bw,

tahap sedang
berkembang

Ah, Bw,

tahap sedang
berkembang

Ah, Bw,

tahap sedang
berkembang

Ah, Bw,

tahap sedang
berkembang

Ah, Bw,

tahap sedang
berkembang

Ah, Bw,

Tabel 4. Data Analisis Fe dan Al ekstrak dithionit, oksalat dan pirofosfat


Al2O3 (ppm)
Fe-d/
Fe2O3 (%)
Fe
Tot
Fe-p
Al-d
Al-o
Al-p
Prf Jeluk (cm) Fe-d Fe-o
0 - 35
4,91 1,57
2,05 0,58 59,19 15,77 16,77
35 - 90
3,72 1,21
1,79 0,55 40,66 18,41 11,23
P1
90 - 140
3,65 2,15
0,83 0,55 43,23 18,33
4,75
140-186 2,35 1,99
0,03 0,54 25,87
9,98
4,55
0 - 20
3,03 1,17
2,01 0,49 33,55 14,21 14,91
20 - 60
2,45 1,78
1,72 0,41 26,85 14,55
8,12
P2
60 - 90
2,53 1,73
0,55 0,53 19,31 10,34
5,35
90-135
1,79 0,55
0,09 0,74 29,37 15,89
7,38
0 - 20
3,66 1,89
1,84 0,50 27,99
9,77
10,99
20 - 70
4,07 2,25
1,08 0,55 35,80 12,25
6,20
P3
70 - 110
3,89 1,93
0,99 0,57 21,89 10,75
4,57
110-160 3,37 1,22
0,32 0,69 21,05
9,59
6,15
0 - 35
3,42 1,23
1,97 0,52 41,55 15,93 20,23
35 - 90
2,35 1,25
0,77 0,54 35,02 17,55 17,65
P4
90 - 153
2,97 1,67
0,25 0,61 36,34 17,96 12,72
153-190
2,11 1,21
0,61 0,54 38,80 13,25
9,77
0 - 30
5,78 2,10
2,33 0,57 56,88 22,35 27,99
30 - 80
4,99 2,02
1,99 0,55 53,22 20,76 21,33
P5
80 -120
3,95 2,11
1,16 0,55 47,91 23,97 13,43
120-211
3,33 1,89
0,72 0,56 42,19 23,22 10,25
0 - 30
3,99 1,33
1,95 0,55 55,78 20,31 21,55
30 - 75
4,63 2,12
1,70 0,55 50,33 24,33 18,65
P6
75 - 96
3,75 2,08
1,48 0,51 42,56 21,87 18,63
96 - 125
2,55 1,89
0,09 0,56 37,09 22,65
9,95

Tabel 5 . Hasil Interpretasi Irisan Tipis Batuan Induk Granit


dan Basalt
Jenis
No
mineral
Nomor Profil
P1
P2
P3
P4
P5
P6
1
Plagioklas
20
20
12
78
50
43
2
Orthoklas
40
56
60
3
Biotit
18
14
4
4
Kuarsa
21
10
24
5
Opak
1
4
1
1
6
Piroxin
8
18
24
7
Hornblende
1
3
4
8
Gelas
9
28
27
9
Olivin
1
Total persentase
100 100
100 100
100
100

85

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 6. Hasil pengamatan difraksi sinar X mineral lempung profil P1.2 dan P5.2
NO
Jenis mineral
Jenis Profil
G 1.2
B 2.2
Amesit
+
1
Halloisit
+
2
Kaolinit
+++
++
3
Dickit
+
+
4
Nakrit
+
5
Muskovit
+
6
Monmorilonit
+++++
+++++
7

SeminarHasilPenelitianUGM

86

MODEL KINETIKA PERUBAHAN SIFAT MEKANIS UBI KAYU


(Manihot esculenta Crantz) SELAMA PEMASAKAN BERTEKANAN
(Puffing) DAN PENGOVENAN
Sri Rahayoe1, Budi Rahardjo1, Abdul Wahid2
1
Staf Pengajar Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Gadjah Mada
2

Alumni Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian


Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT
Puffing adalah pemberian tekanan yang berupa gas dan suhu tertentu selama
waktu tertentu pada bahan kemudian tekanan dilepaskan dengan tiba-tiba. Hal ini
menyebabkan terjadinya eksplosi gas dan menyebabkan struktur bahan menjadi porus.
Pemasakan dengan manipulasi tekanan (puffing) dapat digunakan untuk memperbaiki
kualitas tekstur makanan camilan kering ubi kayu berbentuk stick. Oleh karena itu
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan sifat mekanis camilan kering ubi
kayu selama proses pemasakan bertekanan. Pemasakan bertekanan dilakukan dengan
variasi tekanan 4,5,6 atm dan variasi suhu 150oC, 165 oC, 180 oC. Sampel ubi kayu
dibuat bentuk stick dengan ukuran 1,5 x 0,7 x 0,6 cm. Apabila pada akhir puffing, kadar
air sampel masih tinggi maka dilanjutkan pengeringan menggunakan oven. Selama
pemasakan dan pengovenan, diamati perubahan sifat mekanis ubi kayu mulai dari
bahan segar hingga menjadi produk camilan kering. Perubahan yang diamati meliputi
deformasi (D), tegangan pecah (rupt) , regangan (rupt), dan elastisitas (Eapp),serta
perubahan pemekaran yang diindikasikan dengan perubahan densitas. Pengujian sifat
mekanis menggunakan peralatan uji tekan dan perubahan volume didasarkan
perubahan dimensi sampel setelah puffing maupun pengovenan yang diukur
menggunakan kaliper. Laju perubahan sifat mekanis dianalisis menggunakan model
kinetika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan dan suhu pemasakan bertekanan
berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanis, densitas dan volume ubi kayu. Tekanan
pemasakan yang lebih besar mengakibatkan bahan memiliki tegangan pecah dan
elastisitas kenampakan yang lebih kecil sehingga menghasilkan produk camilan kering
ubi kayu yang memiliki tekstur yang renyah. Dengan menggunakan model kinetika
dihasilkan persamaan laju perubahan kekerasan dan volume ubi kayu sebagai fungsi
tekanan dan suhu pemasakan.
Kata kunci : ubi kayu, puffing, sifat mekanis

87

SeminarHasilPenelitianUGM2009

PENDAHULUAN
Produk olahan singkong yang cukup digemari masyarakat adalah berupa
makanan ringan (keripik singkong dan balok singkong). Keripik singkong adalah
sejenis makanan ringan berupa irisan tipis dari ubi kayu. Proses pembuatannya dimulai
dari pengupasan, pembersihan, pengirisan tipis dan penggorengan. Namun makanan
ringan hasil olahan singkong (keripik singkong dan balok singkong) masih mempunyai
kendala fisik berupa tingkat kekerasan dari bahan tersebut setelah menjadi bahan yang
siap dikonsumsi. Berkaitan dengan tingkat kekerasan ini terdapat istilah kerenyahan.
Kerenyahan merupakan aspek penting pada kualitas makanan dan
kadang-kadang lebih penting dari aspek lain. Matz (1962) dalam De Man (1976)
menerangkan bahwa mudah tidaknya bahan makanan itu hancur ditentukan oleh mudah
tidaknya partikel-partikel saling terpisah bila dikunyah, sedang kemudahan untuk
terpecah jika dikenai gaya tergantung dari ukuran partikel, keseragaman bentuk partikel
dan distribusi partikel dalam bahan. Kerenyahan bersama-sama penerimaan indra
peraba ditentukan oleh tekstur bahan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tekstur bahan adalah porositas bahan.
Menurut Tabeible, et.al, (1992) dalam penelitiannya menyatakan bahwa porositas
bahan dapat diperbesar dengan puffing. Inti dari pemasakan bertekanan (puffing)
terhadap bahan yang dimasak adalah perubahan suhu dan tekanan yang terjadi tiba-tiba.
Dengan adanya perubahan tekanan yang terjadi secara tiba-tiba maka akan terjadi
pemekaran pada produk yang dimasak yang berarti juga bahan menjadi porus.
Pemekaran diakibatkan dengan adanya pengembangan sel-sel produk karena adanya
desakan gas ke dalam produk. Setelah gas keluar dari produk, sel-sel produk tidak
kembali ke tempatnya semula sehingga terjadi pemekaran produk.
Puffing merupakan sebuah rekayasa yang dilakukan terhadap bahan dengan
tujuan untuk menghasilkan produk yang lebih porous sehingga mampu meningkatkan
kemampuan bahan tersebut untuk melepas kadar airnya ke lingkungan. Perlakuan
puffing dengan udara akan mengakibatkan porositas bahan menjadi lebih besar. Hal ini
dikarenakan pada proses puffing dengan udara dapat menyebabkan pemutusan struktur
seluler luar (pericarp) sehingga bahan menjadi lebih porus. Dengan membesarnya
porositas bahan akan mempermudah uap air dari dalam bahan untuk berdifusi keluar
(Tabeidie, 1992). Menurut Perry (1999), proses difusi dalam bahan padatan berpori
(porous solids) merupakan sebuah faktor yang paling penting dalam analisis transfer
massa antara lain pada proses pengeringan. Menurut Waanen dan Okos (1996), laju
pengeringan bahan pertanian akan dipengaruhi oleh porositas bahan. Semakin besar
pori-pori bahan, semakin besar pula konstanta laju pengeringannya.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

88

Ada beberapa macam gas yang telah digunakan dalam puffing antara lain adalah
gas karbondioksida (CO2), udara dan uap panas (steam). Wartono (1999) dalam
penelitiannya menggunakan gas karbondioksida (CO2) dan udara sebagai gas yang
digunakan untuk perlakuan puffing. Udara terdiri dari beberapa komponen gas, yang
dominan adalah gas nitrogen (N2) diikuti gas oksigen (O2) dan gas argon (Ar). Besarnya
tekanan ekspansi gas yang digunakan dalam puffing akan mempengaruhi tingkat
pengembangan struktur seluler bahan. Semakin tinggi tingkat penekanan puffing yang
dikenakan pada suatu bahan maka struktur seluler bahan akan semakin mengembang
yang berarti juga bahan menjadi lebih porus. Kenaikan tekanan udara sebanding dengan
kenaikan suhu pada volume yang tetap. Sesuai dengan teori gas ideal (p.V=n.R.T),
semakin besar tekanan udara puffing pada volume yang tetap maka suhu dalam tabung
dan bahan akan semakin tinggi. Suhu yang tinggi akan mempercepat waktu pematangan
bahan.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pada penelitian ini akan dikaji pengaruh
pemasakan bertekanan (puffing) terhadap perubahan sifat mekanis bahan berupa ubi
kayu segar hingga menjadi produk camilan kering. Tujuan penelitian secara umum
adalah pemodelan kinetika perubahan sifat mekanis ubi kayu selama pemasakan
bertekanan (puffing) dan pengeringan sebagai fungsi suhu dan tekanan. Sifat mekanis
yang dikaji meliputi tegangan, regangan, dan elastisitas serta sifat fisik berupa densitas
produk.
METODE
Landasan Teori
Mohsenin (1984) menyebutkan bahwa material biologis bisa dievaluasi pada
titik luluh (bioyield point) dan titik pecah (rupture point). Tegangan atau intensitas gaya
adalah nilai yang menyatakan perbandingan antara besarnya beban F dengan luas
penampang bahan A dan dinyatakan dalam persamaan berikut:
=

F
A

(1)

Persamaan di atas hanya berlaku bila tegangan () terdistribusi secara merata


pada seluruh permukaan bahan dan tercapai bila gaya bekerja pada titik berat luas
penampang.
Pembebanan secara aksial merupakan metode penekanan sederhana terhadap
bahan yang dilakukan pada 1 bidang saja. Metode ini paling banyak digunakan dalam
pengujian tekan dengan menggunakan universal testing machine (Bourne, 2002).
Menurut Gere (1957), jika benda dibebani secara aksial maka benda akan
mengalami perubahan panjang, baik karena tarikan atau tekanan. Perubahan panjang

89

SeminarHasilPenelitianUGM2009

karena tarikan atau tekanan disebut dengan deformasi dinotasikan dengan (delta).
Regangan () merupakan nilai perbandingan antara perubahan panjang () dengan
panjang awal benda (L) dan dinyatakan dalam persamaan berikut:
L L2
=
(2)
= 1
L
L1
Elastisitas merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan.

E=

(3)

Pembebanan secara aksial merupakan metode penekanan sederhana terhadap


bahan, yang dilakukan pada satu bidang saja. Metode ini paling banyak digunakan
dalam pengujian tekan terhadap material biologis. Pengujian tersebut biasanya
menggunakan batang silinder keras, sebuah bola baja ataupun piringan plat datar keras
sebagai alat pembebanan.
Proses perubahan sifat mekanis dapat dihubungkan dengan laju reaksi. Besar
konstanta laju perubahan sifat mekanis (kp) ditentukan oleh persamaan (Hathaway,
1997):
d rupt
dt

= kprupt

(4)

Proses perubahan sifat mekanis dapat dihubungkan dengan laju reaksi. Tegangan
maksimum yang digunakan adalah tegangan maksimum pada saat bahan mulai pecah
(pada titik rupture-nya) yang selanjutnya disebut dengan tegangan rupture/tegangan
pecah (Mohsenin, 1984).
Bahan pertanian yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu yang
diolah menjadi camilan kering (snack). Orde reaksi yang digunakan adalah orde
pertama (n = 1) sebab hanya ada satu partikel, yaitu bahan yang berfungsi sebagai
reaktan. Apabila tegangan maksimum awal rupt ( t = 0) dan tegangan maksimum akhir

rupt ( t = t), maka persamaan (4) dapat diintegralkan menghasilkan persamaan (5).
rupt , t = rupt ,0 .e

k pt

(5)

Nilai kp pada persamaan (5) merupakan konstanta laju perubahan sifat mekanis
dapat ditentukan dengan membuat plot hubungan antara ln

rupt ,t
dan waktu (t).
rupt ,0

Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap konstanta laju perubahan sifat mekanis (kp),
digunakan persamaan Arrhenius (persamaan 6).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

90

k T = A.e

Ea
RT

(6)

Nilai A dan Ea (energi aktivasi) pada persamaan (6) dapat ditentukan dengan
membuat plot ln k(T) dan 1/T.

Bahan dan Peralatan


Bahan utama yang dipergunakan adalah ubi kayu segar yang belum dikupas
kulitnya dan tidak dikeringkan sebelumnya sehingga memiliki kandungan air yang
relatif tinggi. Ubi kayu dari jenis ketan dengan ciri-ciri kulit bagian dalam berwarna
putih, umur 6 8 bulan dan berat rata-rata ubi 0,32 kg/biji yang dibeli dari Pasar
Demangan, Yogyakarta.
Peralatan yang dipergunakan antara lain alat pemasak bertekanan untuk
melakukan pemasakan sekaligus puffing, kompressor sebagai pemberi tekanan pada saat
pemasakan, oven listrik, Universal Testing Machine, dan peralatan pendukung berupa
stopwatch, thermocouple, cawan sampel, pinset, eksikator, plastik sampel, dan kertas
label.

Gambar 1. Peralatan masak dengan puffing tekanan udara.

Tahapan penelitian
1. Penelitian pendahuluan
Sebelum penelitian terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan untuk
menentukan variasi suhu dan tekanan ruang pemasak yang memungkinkan untuk
diterapkan pada ubi kayu. Variasi suhu berkisar antara 150oC - 180 oC dan variasi
tekanan berkisar antara 5 6 atm. Dengan mengetahui variasi suhu dan tekanan maka
dapat ditentukan lama pemasakan hingga menghasilkan produk yang masuk dalam
kisaran renyah, sesuai dengan uji sensoris yang dilakukan pada awal penelitian. Dari

91

SeminarHasilPenelitianUGM2009

lama pemasakan akan dapat ditentukan interval waktu pengambilan sampel untuk
diukur sifat mekanisnya.
Hasil penelitian pendahuluan seperti yang disajikan pada Tabel 1, meliputi
penentuan variasi suhu dan tekanan ruang pemasakan serta interval waktu pengambilan
data.

Tabel 1. Interval pengambilan sampel (ubi kayu) selama pemasakan


Tekanan
(Atm)
4

Lama Pemasakan (menit) Pada Suhu


o

165 oC

150 C

180 oC

0,10,20,30,40,50,55 0,5,10,15,20,25,27 0,3,6,9,12,15,17

4,75

0,7,14,21,28,35,40

0,4,8,12,16,20,22

0,2,4,6,9,10,13

5,5

0,5,10,15,20,25,27

0,3,6,9,12,15,17

0,1,2,3,5,7,9

Apabila setelah pemasakan dalam puffing, kadar ubi kayu masih tinggi maka
dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven. Dari penelitian pendahuluan,
pengovenan yang dapat menghasilkan produk renyah pada suhu 60 oC selama 12 jam.

2.

Pengambilan Data
Ubi kayu segar setelah dikupas dan dicuci, dipotong hingga berbentuk stick
dengan ukuran 1,5 x 0,7 x 0,6 cm. Pemasakan ubi kayu dalam ruang puffing dilakukan
pada variasi suhu dan tekanan ruang pemasakan 150oC, 165oC, 180oC dan 4 Atm, 4,75
Atm, 5,5 Atm. Sampel ubi kayu sebanyak 20 batang (35 g) dimasak dalam ruang
puffing dengan waktu yang disesuaikan dengan suhu dan tekanan yang diberikan.
Selama pemasakan, sampel diambil untuk diamati perubahan sifat mekanis dan volume
bahan. Interval pengambilan sampel sesuai Tabel 1. Bila sampel masih berkadar air
tinggi setelah keluar dari puffing, maka dilanjutkan pengeringan dalam oven selama 12
jam pada suhu 60 oC. Pengukuran sifat mekanis dan volume produk diamati tiap 2 jam.
Diagram alir penelitian secara rinci diasajikan pada Gambar 2.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

92

Ubi kayu segar

Diambil 5 sampel

Pemasakan dengan variasi suhu


(150 oC, 165 oC, dan 180 oC) dan variasi
tekanan (4 Atm, 4,75 Atm, dan 5,5

untuk uji tekan,


perubahan densitas,
dan pemekaran pada

Produk matang optimal

Pengeringan menggunakan oven pada


suhu T=60 0C
S l

Diambil 5 sampel
untuk uji tekan dan
pemekaran tiap 2 jam

12 j

pengovenan

Produk ubi kayu puffing-panggang

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Pemasakan Bertekanan (Puffing) Ubi Kayu

3.

Analisis Data
Konstanta laju perubahan sifat mekanis dan densitas ditentukan berdasarkan
persamaan (1) hingga (6) dan dicari dengan menggunakan regresi linier. Regresi
dilakukan dengan program komputer yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh Variasi Tekanan dan Suhu Selama Pemasakan Bertekanan
1. Perubahan Tegangan Pecah (rupt)
Tegangan () menunjukkan tingkat kekerasan dari suatu bahan yang
diperhitungkan secara obyektif dengan cara memberikan tekanan terhadap bahan
dengan beban tertentu, hingga bahan mengalami deformasi (Mohsenin, 1970). Pada
pengujian tekan, ubi kayu dibentuk balok (persegi). Pengujian benda yang berbentuk
persegi atau kotak yang memiliki permukaan rata atau datar sehingga tekanan dan
tegangan yang dihasilkan terdistribusi secara merata pada seluruh permukaan.

93

SeminarHasilPenelitianUGM2009

2.0
4,0 Atm
4,75 Atm
5,5 Atm

1.8
rupt (N/mm2)

1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0

10

15

20

25

30

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 3. Kurva perubahan nilai rupture ubi kayu selama pemasakan bertekanan pada
suhu 165 oC
Pada Gambar 3 terlihat bahwa tegangan pecah ubi kayu akan semakin menurun
dengan semakin lamanya waktu pemasakan. Hal ini disebabkan semakin lama waktu
pemasakan, maka kadar air bahan akan semakin berkurang. Pengurangan kadar air ini
akan mengakibatkan berkurangnya elastisitas/kelenturan ubi kayu dan meningkatkan
kekerasan. Kedua faktor ini mengindikasikan semakin mudahnya ubi kayu
hancur/remuk dengan semakin lamanya waktu pemasakan. Sedangkan jika ditinjau dari
variasi tekanan yang digunakan, pemberian tekanan udara yang lebih besar cenderung
mengakibatkan penurunan tegangan pecah (rupt) yang lebih besar. Sedangkan untuk
pemasakan dengan tekanan udara yang lebih kecil mengakibatkan penurunan tegangan
pecah yang lebih kecil.
2.0
150 C
165 C
180 C

rupt (N/mm 2)

1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0

10

20

30

40

50

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 4. Kurva perubahan nilai rupture ubi kayu selama pemasakan bertekanan pada
tekanan 4,75 Atm
Pada Gambar 4 terlihat kecenderungan yang sama dengan Gambar 3 bahwa
tegangan pecah ubi kayu akan semakin menurun dengan semakin lamanya waktu
pemasakan. Ubi kayu yang dimasak dengan suhu yang lebih rendah memiliki tegangan
pecah (rupt) yang lebih besar. Sebaliknya bahan yang dimasak dengan suhu tinggi

SeminarHasilPenelitianUGM2009

94

memiliki tegangan pecah (rupt) yang lebih kecil. Hal tersebut membuktikan bahwa suhu
ruang pemasak pada pemasakan bertekanan berpengaruh terhadap nilai kekerasan bahan.
Suhu yang digunakan pada pemasakan bertekanan berpengaruh terhadap laju penurunan
kadar air dalam bahan, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap laju perubahan
kekerasan produk. Ketika suhu lebih tinggi, air dalam bahan akan lebih mudah menguap
sehingga menyebabkan ubi kayu menjadi lebih empuk karena mengeras dibagian
luarnya (case hardening) sedangkan air terjebak di dalam ubi kayu.
Bahan dengan suhu pemasakan yang lebih rendah mengalami laju penguapan kecil
sehingga ubi kayu memiliki kadar air besar yang menyebabkan ubi kayu lebih memiliki
tegangan pecah (rupt) yang lebih besar.

2. Perubahan Regangan Pecah (rupt)


Regangan pecah (rupt) adalah angka yang menunjukkan perbandingan
perubahan bentuk dan ukuran (deformasi) bahan karena gaya terhadap bentuk dan
ukuran bahan semula. Regangan pecah (rupt) dapat didefinisikan sebagai rasio antara
perubahan panjang bahan (l) terhadap panjang awalnya (lo) (Rosenthal, 1999).
Sedangkan menurut Gere (1957), apabila benda dikenai atau dibebani secara aksial yang
melebihi kapasitas maksimumnya maka benda akan mengalami perubahan panjang baik
karena tarikan atau tekanan, perubahan atau pertambahan panjang inilah yang disebut
dengan deformasi.
Terjadinya perubahan ukuran ubi kayu diakibatkan oleh pembebanan yang
dilakukan oleh alat uji tekan. Nilai deformasi berbanding linear dengan nilai
regangannya. Semakin besar deformasi maka semakin besar pula rupt akibat
pembebanan yang terus-menerus dan begitu pula sebaliknya.
1.2
4,0 Atm
4,75 Atm
5,5 Atm

rupt (mm/mm)

1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0

12

15

18

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 5 Kurva perubahan regangan ubi kayu selama pemasakan bertekanan pada suhu
180 oC
Dari Gambar 5 nampak pengaruh variasi tekanan pemasakan pada regangan

95

SeminarHasilPenelitianUGM2009

memilki pola yang tidak teratur. Karena pola yang berbeda-beda (ada yang turun dan
yang naik), sehingga akan sulit dilakukan prediksi perubahan regangan yang terjadi
selama pemasakan.
1.2
150 C
rupt (mm/mm)

1.0

165 C
180 C

0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0

10

20

30

40

50

60

Lama pemasakan (menit)

Gambar 6 Kurva perubahan regangan ubi kayu selama pemasakan bertekanan pada
takanan 4 Atm
Dari Gambar 6 menunjukkan kecenderungan regangan pada bahan yang diberi
suhu pemasakan besar akan memiliki nilai yang lebih kecil. Sebaliknya, bahan yang
diberi suhu pemasakan lebih kecil akan memiliki nilai yang lebih besar.
Hal tersebut disebabkan pada suhu yang lebih tinggi bahan akan lebih mudah
mengalami case hardening (mengeras bagian luar namun bagian dalamnya empuk)
sehingga bahan akan lebih mudah pecah saat diberi pembebanan.

3. Perubahan Elastisitas Kenampakan (Eapp)


Elastisitas kenampakan (Eapp) merupakan slope hubungan antara tegangan dan
regangan sampai pada titik rupture, sehingga besar kecilnya elastisitas kanampakan
(Eapp) sangat tergantung pada nilai tegangan dan regangan bahan. Elastisitas dapat
didefinisikan secara harfiah sebagai tingkat kemuluran bahan. Untuk mengetahui
pengaruh variasi tekanan pemasakan terhadap perubahan nilai elastisitas kenampakan
(Eapp), dapat dilihat pada contoh gambar dibawah ini:

SeminarHasilPenelitianUGM2009

96

3.0
4,0 Atm
4,75 Atm
5,5 Atm

Eapp (N/mm 2)

2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
0

10

20

30

40

50

60

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 7. Kurva perubahan elastisitas kenampakan (Eapp) ubi kayu selama pemasakan
bertekanan pada suhu 150 oC
Dari Gambar 7 dapat dijelaskan bahwa tekanan pemasakan berpengaruh
langsung terhadap besarnya elastisitas kenampakan (Eapp). Ubi kayu yang diberi tekanan
pemasakan tinggi akan memiliki elastisitas kenampakan (Eapp) yang lebih kecil. Hal
tersebut disebabkan pada pengaplikasian tekanan tinggi, air dalam ubi kayu akan
diuapkan lebih cepat sehingga mengeraskan ubi kayu secara lebih cepat pula.
Sedangkan ubi kayu yang dimasak dengan tekanan yang lebih kecil, porositasnya akan
lebih kecil pula sehingga elastisitasnya lebih besar.
2.5
150 C
165 C
180 C

Eapp (N/mm 2)

2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
0

10

15

20

25

30

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 8 Kurva perubahan elastisitas kenampakan (Eapp) Ubi kayu selama pemasakan
bertekanan pada tekanan 5,5 Atm
Sedangkan Gambar 8 menunjukkan pengaruh suhu terhadap elastisitas
kenampakan (Eapp) ubi kayu. Ubi kayu yang dimasak dengan suhu pemasakan yang
lebih tinggi (180oC) mempunyai nilai elastisitas kenampakan (Eapp) yang lebih kecil
dibandingkan ubi kayu yang dimasak pada suhu 150oC dan 165oC. Hal ini dipengaruhi
oleh penguapan air yang terkandung dalam ubi kayu. Pada aplikasi suhu tinggi maka

97

SeminarHasilPenelitianUGM2009

laju penguapan air menjadi semakin besar dan ubi kayu semakin cepat mengeras.
Peningkatan kekerasan ubi kayu dengan sendirinya akan menurunkan tingkat
kemulurannya. Pada aplikasi suhu pemasakan yang lebih besar, terjadinya pengerasan
dinding luar (case hardening) akan terjadi lebih cepat.

4.

Densitas Ubi Kayu


Densitas adalah perbandingan antara massa (gram) dengan volume bahan (cm3).

Densitas adalah suatu instrumen yang dapat mengukur kerapatan suatu bahan baik
secara satuan (true density) ataupun jamak (bulk density). Perubahan berat satuan ubi
kayu diamati dalam interval waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Di bawah ini
adalah contoh grafik perubahan densitas pada saat pemasakan :

Densitas (gr/cm3)

1.4
150 C
165 C
180 C

1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0

10

20

30

40

50

60

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 9. Kurva densitas ubi kayu (gram/cm3) selama pemasakan bertekanan pada
tekanan 4 Atm
Gambar 9 memperlihatkan semakin lama waktu pemasakan, maka densitas ubi
kayu yang dimasak semakin menurun. Hal ini disebabkan adanya penguapan air dari
dalam ubi kayu ke lingkungan sehingga massa bahan akan semakin berkurang dengan
semakin lama waktu pemasakan. Pada suhu 180 oC penurunan densitas ubi kayu lebih
besar dibandingkan pada suhu 150 oC dan 165 oC. Hal ini disebabkan pada suhu
pemasakan terbesar mengalami laju penguapan lengas yang paling tinggi.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

98

Densitas (gr/cm 3)

1.4
1.3

4,0 Atm

1.2

4,75 Atm
5,5 Atm

1.1
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0

10

20

30

40

50

60

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 10. Kurva berat satuan ubi kayu (gram/cm3) selama pemasakan bertekanan
pada suhu 150 oC
Dari Gambar 10 terlihat bahwa makin tinggi tekanan yang diberikan pada bahan
menyebabkan penurunan densitas yang lebih besar. Hal ini disebabkan dengan
pemberian tekanan yang tinggi akan menyebabkan pori-pori bahan membesar sehingga
air mudah menguap dan laju pengurangan massa bahan menjadi besar.

Konstanta Laju Perubahan Bahan Selama Pemasakan Bertekanan


1. Konstanta Laju Perubahan Tegangan Pecah (rupt)
Konstanta laju perubahan tegangan pecah (KPs) adalah suatu nilai yang
menunjukkan perubahan tegangan pecah (rupt) yang dialami oleh ubi kayu selama
pemasakan bertekanan. Nilai ini didapat dengan regresi eksponensial dari plot tegangan
rupture rata-rata Ln(rupt,t/rupt,0) vs waktu pemasakan. Konstanta laju perubahan
tegangan pecah akan menjelaskan pengaruh faktor variasi tekanan, suhu pemasakan,
lama pemasakan terhadap perubahan tegangan pecah ubi kayu selama pemasakan
bertekanan. Hasil perhitungan nilai KPs ditampilkan pada Tabel 2 untuk laju menurun
(tahap 1) dan laju yang mendekati konstan (tahap 2).
Tabel 2. Konstanta laju perubahan tegangan pecah (rupt) ubi kayu pada tiap variasi suhu
dan tekanan
Tekanan
(Atm)

Konstanta Laju Perubahan

Konstanta Laju Perubahan

Tegangan Pecah (rupt) tahap 1


o

Tegangan Pecah (rupt) tahap 2

150 ( C)

165 ( C)

180 ( C)

150 (oC)

165 (oC)

180 (oC)

4,0

0.0183

0.1406

0.2009

0.0198

0.0717

0.1274

4,75

0.0700

0.1525

0.3246

0.0388

0.0866

0.1833

5,5

0.0735

0.2029

0.1798

0.0567

0.1183

0.2607

99

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Dari Tabel 2 terlihat bahwa semakin tinggi suhu pemasakan maka nilai konstanta
laju perubahan tegangan maksimum bahan rata-rata (KPs) juga mengalami peningkatan.
Semakin besar nilai KPs mengakibatkan perubahan kekerasan atau perubahan tegangan
pecah (rupt) ubi kayu semakin besar dan cepat. Pada tahap 2, nilai Kps rendah karena
mendekati keseimbangan sehingga cenderung konstan.
Energi aktivasi (Ea) merupakan fungsi suhu (T) dan konstanta laju perubahan
reaksi (k). Konstanta yang digunakan adalah konstanta laju perubahan tegangan
maksimum rata-rata bahan (KPs). Plot antara ln KPs dengan kebalikan suhu absolut
(1/T) dengan regresi linear akan memberikan kurva garis lurus bagi persamaan
Arrhenius, dimana angka yang ditunjukkan pada persamaan tersebut slopenya
merupakan nilai Ea/R sehingga harga Ea dapat ditentukan. Sedangkan ln A diperoleh
dari ln KPs pada saat 1/T=0, sehingga nilai A (faktor frekuensi) dapat ditentukan. Hasil
perhitungan nilai Ea dan k ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Energi Aktivasi (Ea) dan Faktor Frekuensi (A) variasi suhu dan tekanan
Tekanan
(Atm)

Nilai Ea dan A pada tahap 1


Ea (J/mol)
5

A (1/s)

Nilai Ea dan A pada tahap 2


Ea (J/mol)

12

A (1/s)

2,68 x 10

9,93 x 10

6,62 x 108

4,0

1,28 x 10

4,75

8,14 x 104

1,33 x 107

8,25 x 104

9,84 x 106

5,5

4,82 x 104

1,30

8,10 x 104

922 x 106

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa bahan dengan perlakuan tekanan pemasakan
yang lebih besar memiliki energi aktivasi (Ea) yang semakin mengecil. Sedangkan nilai
konstanta faktor frekuensi (A) yang menggambarkan jumlah frekuensi tumbukan antar
molekul-molekul selama pemasakan cenderung mengikuti pola perubahan nilai Ea,
dimana nilai faktor frekuensi (A) akan mengalami kenaikan seiring dengan naiknya
nilai Ea dan begitu sebaliknya.
Nilai Ea dan a pada Tabel 3 dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta
laju perubahan tegangan namun hanya terbatas pada pengaruh suhu. Kenyataannya nilai
KPs dipengaruhi juga oleh tekanan, sehingga secara matematis dengan regresi berganda
didapatkan KPs sebagai fungsi suhu dan tekanan, seperti terlihat pada persamaan (70
dan (8).
(7)
(8)
Berdasarkan persamaan (7) dan (8) dapat dihitung KPs prediksi sesuai suhu dan tekanan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

100

yang diinginkan dan KPs prediksi juga dapat dibandingkan dengan KPs observasi
seperti ditampilkan pada Tabel 4. Dengan memasukkan nilai KPs1 (tahap 1) dan KPs2
(tahap 2) pada persamaan (5), maka dapat diketahui perubahan tegangan pecah pada
sembarang waktu sesuai dengan suhu dan tekanan ruang pemasak yang diinginkan.
Tabel 4. Nilai konstanta laju perubahan tegangan pecah tahap satu sebagai fungsi suhu
dan tekanan selama pemasakan (KPs1(p,T))
Tahap 1
o

P (Atm)

T ( C)

Tahap 2

KPs1 obs
(1/menit)

KPs1 pred
(1/menit)

KPs2 obs
(1/menit)

KPs2 pred
(1/menit)

0,0183

0,0330

0,0198

0,0234

0,0700

0,0447

0,0388

0,0350

5,5

0,0735

0,0581

0,0567

0,0498

4,0

0,1406

0,0750

0,0717

0,0540

0,1525

0,1015

0,0866

0,0810

5,5

0,2029

0,1320

0,1183

0,1151

4,0

0,2009

0,1658

0,1274

0,1214

0,3246

0,2244

0,1833

0,1821

0,1798

0,2917

0,2607

0,2587

4,0
150

4,75

4,75

165

180

4,75
5,5

Perubahan tegangan pecah hasil prediksi, salah satu hasil ditunjukkan pada Gambar 11.

rupt (N/mm 2)

2.0
1.8

rupt obs

1.6

rupt pred

1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0

12

15

18

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 11. Contoh kurva perubahan nilai rupt obs dan rupt pred selama pemasakan
bertekanan pada p = 4 Atm, T = 180oC
Dari Gambar 11 nampak kecenderungan yang tidak berbeda antara hasil
observasi dan prediksi dan setelah diplotkan terlihat nili R2 yang mendekati 1 sehingga
diindikasikan hasil prediksi mendekati observasi.

101

SeminarHasilPenelitianUGM2009

2.0
rupt Prediksi (N/mm2)

1.8

R2 = 0.8847

1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0

0.5

1.5

rupt Observasi (N/mm 2)

Gambar 12. Grafik korelasi rupt obs dan rupt pred ubi kayu selama pemasakan bertekanan
pada p = 4 Atm
Dengan analisis yang sama, didapatkan persamaan konstanta laju perubahan
elastisitas kenampakan (Eapp)dan perubahan densitas yang ditunjukkan dengan
perubahan volume dan dikaji untuk menentukan pemekaran.
(9)
(10)
Hasil prediksi Eapp menggunakan persamaan (9) dan (10) disajikan pada Gambar 13.
2.5
Eapp Prediksi (N/mm 2)

4,0 Atm
2.0

4,75 Atm
5,5 Atm

1.5
1.0
0.5
0.0
0

12

15

18

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 13. Kurva perubahan elastsisitas kenampakan prediksi (Eapp pred) ubi kayu
selama pemasakan bertekanan pada suhu 180 oC
Adapun konstanta perubahan volume dimodelkan pada persamaan (11), menghasilkan
prediksi seperti ditunjukkan pada Gambar 14.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

102

1.2

Pv Prediksi

1.0
0.8
0.6
0.4

4,0 Atm
4,75 Atm

0.2

5,5 Atm

0.0
0

10

15

20

25

30

Lama Pemasakan (menit)

Gambar 14. Kurva perubahan volume prediksi (Pv pred) ubi kayu selama pemasakan
bertekanan pada suhu 165 oC

a. Perubahan sifat mekanis bahan selama pengeringan


Dengan analisis yang sama, maka konstanta laju perubahan tegangan pecah ubi
kayu selama pengeringan dimodelkan dengan persamaan (12) dan (13) dan perubahan
volume dinyatakan dengan persamaan (14)
(12)
(13)
(14)

b. Hasil Uji Sensoris


Uji sensoris merupakan suatu penilaian sampel secara subjektif oleh seseorang
melalui indera yang dimilikinya. Uji sensoris ini dilakukan untuk mengetahui kesukaan
seseorang terhadap produk ubi kayu puffing yang dimasak dengan variasi tekanan dan
suhu pemasakan ubi kayu. Pengujian dilakukan dengan prosedur pemberian kuisioner
kepada panelis untuk menentukan tingkat kesukaan terhadap produk ubi kayu puffing
dengan perbedaan variasi tekanan dan suhu pemasakan. Parameter-parameter yang
digunakan untuk menentukan tingkat kesukaan terhadap ubi kayu puffing pada Tabel 5.
Tabel 5. Tabel standar nilai parameter kerenyahan, kematangan, kesukaan warna dan
kesukaan keseluruhan
Skala

Tingkat

Tingkat

Tingkat Kesukaan

Tingkat Kesukaan

Nilai

Kerenyahan

Kematangan

warna

keseluruhan

Sangat renyah

Sangat matang

Sangat suka

Sangat suka

Renyah

matang

Suka

Suka

Agak renyah

Agak matang

Agak suka

Agak suka

Agak keras

Agak mentah

Tidak suka

Tidak suka

103

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Keras

Mentah

Keras sekali

Sangat tidak suka

Sangat tidak suka

Dari Tabel 5 standar nilai parameter kerenyahan, kematangan, kesukaan warna dan
kesukaan keseluruhan di atas, panelis kemudian mencoba produk ubi kayu puffing
dengan variasi tekanan dan suhu pemasakan ubi kayu. Hasil uji dituliskan dalam kolom
yang telah disediakan. Hasil uji sensoris produk ubi kayu puffing ditunjukkan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Hasil uji skor kerenyahan, kematangan, kesukaan warna dan kesukaan
keseluruhan
P
(Atm)

T (oC)

4,0

4,75

5,5

Variabel
Kerenyahan

Kematangan

Warna

Keseluruhan

150

4,3

2,7

3,7

2,6

165

2,9

2,7

3,6

3,0

180

3,3

3,0

3,9

2,7

150

4,3

3,1

3,3

2,6

165

3,6

3,0

3,6

3,0

180

3,0

2,0

3,4

3,4

150

3,7

2,4

3,3

3,1

165

3,3

2,6

3,6

3,3

180

3,3

2,4

2,7

2,4

Dari tabel di atas terlihat bahwa produk ubi kayu puffing yang paling disukai
oleh panelis adalah produk ubi kayu yang dimasak dengan suhu 180oC, tekanan 5,5 Atm.
Hal itu dapat dilihat dari skor hasil uji parameter tingkat kesukaan keseluruhan yang
paling mendekati standar bernilai 2,4 (suka). Nilai skor di atas merupakan hasil rata-rata
dari skor yang diberikan oleh panelis selanjutnya nilai rata-rata tersebut dicocokkan
dengan tabel standar nilai parameter yang telah ditetapkan dan nilai yang paling
mendekati adalah nilai yang diambil sebagai parameter.

KESIMPULAN
1. Pemasakan bertekanan dapat memperbaiki tekstur ubi kayu. Semakin besar
pengaplikasian suhu dan tekanan pemasakan maka sifat mekanis ubi kayu
berupa tegangan pecah (rupt) dan elastisitas kenampakan (Eapp) akan semakin
kecil yang berarti produk ubi kayu semakin porus dan menjadi lebih renyah
(crunchy).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

104

2. Proses perubahan tegangan pecah (rupt), elastisitas kenampakan (Eapp) dan


perubahan volume selama pemasakan bertekanan untuk semua variasi tekanan
dan suhu pemasakan mengikuti persamaan kinetika orde satu.
3. Hasil uji sensoris produk ubi kayu yang dimasak dengan suhu 180oC dan
tekanan 5,5 Atm paling disukai oleh panelis.

DAFTAR PUSTAKA
Amerine, M.A., R.S. Pangborn dan E.B. Roessler. 1965. Principle of Sensory
Evaluation of Food. Academic Press. New York. London.
Bourne, M.C. 2002. Food Texture and Viscosity : Concept and Measurement. Second
Edition. Westport Connecticut.
Gere, J.A dan Timoshenko, S.P. 1957 . Mekanika Bahan (terjemahan) . Penerbit
Airlangga . Jakarta.
Hathaway, B.B Murphy dan C. Murphy . 1997 . A Working Method Approach for
Intruductory Physical Chemistry Calculations . The Royal Society of Chemistry
. Letehworth.
Matz, S.A. 1962. Food Texture. The AVI Publishing Company, Inc.
Westport, Connecticut.
Mohsenin, N.N. 1984 . Physical Properties of Plant and Animal Materials . Gordon and
Breach Science Publisher . New York.
Warkoyo, 1997. Peningkatan Difusivitas Lengas dengan Puffing pada Ubi Kayu
Berbentuk Lempeng tak Berhingga. PPS-UGM. Yogyakarta.
Xiong, X., G. Narsimhan, dan M.R. Okos, 1991, Effect of Composition and Pore
Structure on Binding Energy ang Effective Diffusivity
as a Function of Porosity, J. of Food Enggineering 26:497-510.

105

of

Bread

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

106

PENGARUH ZEOLIT DAN HUKALSI TERHADAP DAYA RETENSI


AIR DAN PELEPASAN HARA PUPUK NPK
Abdul Syukur, Bambang Hendro Sunarminto, dan Sulakhudin
Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
ABSTRAK
Peningkatan produksi tanaman tidak cukup dengan memberikan pupuk bersifat
lepas terkendali karena ancaman kekeringan . Untuk itu masih diperlukan suatu pupuk
yang dapat menjamin ketersediaan air yang cukup bagi pertumbuhannya. Pelapisan
pupuk NPK berlapis ganda dengan zeolit dan humat-kalsium (Hukalsi) diharapkan
dapat mencukupi kebutuhan hara dan air bagi tanaman. Untuk mendapatkan sifat-sifat
pupuk NPK yang lepas terkendali sekaligus berfungsi sebagai penyedia air, dilakukan
percobaan formulasi hukalsi sebagai lapisan dalam dan zeolit sebagai lapisan luar
pupuk NPK. Lapisan luar berupa zeolit selain bertindak sebagai penyerap dan
penyimpan air juga berperan dalam melindungi pupuk NPK secara keseluruhan agar
tahan lama dalam penyimpanan. Serangkain pengujian terhadap pupuk NPK berlapis
ganda Zeo-Hukalsi, yaitu uji mengabsorbsi air, uji lepas terkendali hara dan uji
kemampuan retensi. Hasil penelitian menunjukkan pelapisan pupuk NPK dengan zeohukalsi dapat meningkatkan daya absorbsi air dengan perlakuan pelapisan dengan
hukalsi 30% dan zeolit 100% (Z4H3) yang paling tinggi. Selain itu, pupuk zeo-hukalsi
cenderung melepaskan hara N, P, dan K lebih terkendali daripada pupuk NPK
phonska.
Kata kunci : pupuk NPK berlapis ganda, bawang merah, efisiensi pemupukan.

PENDAHULUAN
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk lepas terkendali
secara efektif dapat mengurangi kehilangan pupuk sekaligus menekan pencemaran
lingkungan karena hara yang terkandung dalam pupuk dilepaskan sesuai dengan
pertumbuhan tanaman (Jesus et al., 2001; Ge et al., 2002). Pada dekade terakhir sering
terjadi kekurangan air di lahan-lahan pertanian akibat musim kering yang berkepanjang
dan curah hujan yang tidak menentu. Maka
perlu usaha untuk meningkatkan
kandungan air dalam tanah di sekitar perakaran tanaman. Salah satunya dengan
menggunakan polimer superabsorban yang dapat menyimpan air dan melepaskannya
untuk kebutuhan tanaman (Mohana and Padmanabha, 2001). Berdasarkan uraian di atas,
untuk meningkatkan efisiensi pemupukan dan produksi bawang merah dapat dilakukan
dengan menggunakan pupuk NPK berlapis ganda. Lapisan pertama terbuat dari
komplek humat-kalsium (Hukalsi) yang mampu melepaskan hara secara terkendali.
Lapisan kedua dari zeolit yang dapat menyimpan dan menyediakan air yang cukup
untuk kebutuhan tanaman bawang merah serta menjaga kelembaban tanah.
Penelitian ini bertujuan : (a) mendapatkan komposisi bahan pelapis luar (zeolite)
dan bahan pelapis dalam (humat-kalsium) pupuk NPK yang bersifat lepas terkendali dan
mampu menyimpan air paling optimum, (b) mendapatkan teknik pelapisan pupuk NPK
berlapis ganda dengan zeolit dan humat kalsium yang paling tepat sehingga pupuk tersebut
mudah diaplikasikan dan tahan dalam penyimpanan, (c) mendapatkan formulasi pupuk
NPK berlapis ganda yang bersifat lepas terkendali (slow release) sehingga mampu

107

SeminarHasilPenelitianUGM2009

meningkatkan efisiensi pemupukan NPK, dan (d) mendapatkan takaran pupuk NPK
berlapis ganda yang memberikan pertumbuhan dan produksi bawang merah yang paling
tinggi.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan antara lain: Benih bawang merah vareitas Tiron
berukuran 4 8 gram yang telah disimpan 4 bulan, tanah pasir pantai dari Bugel,
Kulonprogo, D. I. Yogyakarta pada jeluk 0 - 30 cm (lapis olah), pupuk kandang, pupuk
anorganik (ZA, SP-36, dan KCI), aquades, tisue, kertas amplop, dan lain-lain.
Sedangkan alat yang digunakan meliputi: cangkul, ember, gembor (alat penyemprot),
gunting, pisau, mistar, timbangan dacin dan digital, botol timbang, ayakan diameter 2
mm, 1 mm, 0.5 mm, alat-alat tulis dan lain-lain. Langkah pertama yang dilakukan
yaitu persiapan bahan pelapis pupuk yang dapat dibagi menjadi dua prosedur, meliputi
: prosedur pembuatan hukalsi dan prosedur preparasi zeolit.
Prosedur pembuatan hukalsi.
Pupuk kandang dihaluskan dan disaring dengan saringan 5 mm untuk
kemudian dikeringkan pada suhu udara terbuka. Pupuk kandang sapi kering udara 5 g
ditambah 20 ml KOH 0,5 N (Rocha, et. al., 1998). Kemudian diaduk selama 15 menit,
didiamkan selama 10 menit langkah ini diulangi 3 kali, lalu didiamkan semalam.
Setelah itu disaring dengan kertas saring sehingga didapatkan cairan yang berwarna
coklat kehitaman (bahan humat). Bahan humat sebanyak 100 ml direaksikan dengan
100 ml larutan CaCl2 0,5 M digojog sampai bereaksi sempurna. Endapan (Hukalsi)
yang terbentuk dipisahkan dari cairan dengan menyaringnya dengan kertas saring
whatman 42. Endapan yang tertinggal di kertas saring selanjutnya dioven pada suhu
50 oC, sehingga endapan tersebut kering. Endapan yang sudah kering dihaluskan dan
sudah siap untuk digunakan sebagai bahan pelapis pupuk.
Prosedur preparasi zeolit.
Untuk memperoleh zeolit alam Gunung Kidul dengan komposisi kimia
didominasi oleh kation Na + dilakukan proses pemanasan, prosedurnya adalah : (a)
serpihan zeolit diayak dengan siever berukuran kurang lebih 20-30 mesh, untuk
memperoleh butiran zeolit berukuran seragam, (b) zeolit yang telah diayak, ditimbang
masing-masing 800 gr, (c) larutan garam NaCl 3 M disiapkan sebanyak 1600 ml, sesuai
dengan perbandingan solid : liquid (zeolit : larutan garam ) yaitu 1: 2 [gr : ml], (d)
bahan-bahan yang telah disiapkan, dipanaskan pada temperatur yang diusahakan
konstan 100o C selama 4 jam, disertai dengan pengadukan, (e) setelah 4 jam, zeolit yang
telah dipanaskan, dituang ke corong-corong yang telah dilapisi kertas saring.
Penyaringan dilakukan secara gravimetric, (f) kemudian dibilas dengan aquades.
Pembilasan dilakukan sampai air bilasan yang terakhir menetes dari mulut corong
terbukti bebas ion Cl-, menggunakan indikator AgNO3, dan (g) sampel siap digunakan
sebagai bahan pelapis pupuk.
Langkah kedua yang dilakukan yaitu formulasi pupuk NPK berlapis ganda
yang dapat dibagi menjadi dua prosedur, meliputi : pelapisan pertama pupuk NPK
dengan Hukalsi dan pelapisan kedua pupuk NPK dengan zeolit.
Pelapisan pertama pupuk NPK dengan hukalsi.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

108

Hukalsi dan kanji dicampur merata dengan perbandingan tertentu sehingga


didapatkan konsentrasi Hukalsi sebesar 10, 20 dan 30 %. Selanjutnya pupuk NPK
dimasukkan kedalam campuran hukalsi kanji dan diaduk-aduk hingga pupuk NPK
tersebut terlapisi secara merata. Pupuk NPK yang sudah terlapisi hukalsi dimasukkan
dalam tabung dan kemudian ditiupkan udara panas dalam alat pengering sampai lapisan
hukalsi melekat kuat pada pupuk NPK tersebut. Percobaan ini didapatkan 3 macam
yaitu pupuk NPK berlapis hukalsi 10 % (H1), 20 % (H2) dan 30 % (H3).
Pelapisan kedua pupuk NPK dengan zeolit.
Pupuk NPK berlapis hukalsi 10, 20 dan 30 % masing-masing dimasukkan
kedalam campuran zeolit dan kanji yang telah diatur konsentrasi zeolitnya yaitu :25 %
(Z1), 50 % (Z2), 75 % (Z3) dan 100 % (Z4). Kemudian diaduk-aduk hingga merata, lalu
ditiupkan udara panas dalam alat pengering sampai lapisan Zeolit melekat kuat pada
pupuk NPK yang telah dilapisi Hukalsi tersebut. Dengan demikian akan didapatkan 12
macam pupuk NPK berlapis ganda zeo-Hukalsi, yaitu : H1Z1, H1Z2, H1Z3, H1Z4, H2Z1,
H2Z2, H2Z3, H2Z4, H3Z1, H1Z2, H1Z3, dan H1Z4.
Langkah ketiga yang dilakukan yaitu pengujian pupuk NPK zeo-hukalsi yang
dapat dibagi menjadi tiga prosedur, meliputi : pengujian daya absorbsi air, pengujian
sifat lepas terkendali hara dari pupuk NPK berlapis ganda zeo-hukalsi, dan pengujian
kemampuan retensi air pupuk NPK berlapis ganda di dalam tanah.
Pengujian daya absorbsi air.
Pupuk NPK berlapis ganda Zeo-Hukalsi sebanyak 5 gram direndam dalam air,
kemudian diletakkan dibawah air kran yang mengalir selama 2 jam. Setelah itu
ditimbang, selisih berat Pupuk NPK berlapis ganda Zeo-Hukalsi kering (M0) dengan
Pupuk NPK berlapis ganda Zeo-Hukalsi yang telah direndam (M) digunakan untuk
menentukan kemampuan absorbsi Pupuk NPK berlapis ganda Zeo-Hukalsi terhadap air
(WA), persamaannya : WA = (M M0)/M0
Pengujian sifat lepas terkendali hara dari pupuk NPK berlapis ganda zeo-hukalsi.
Pupuk NPK berlapis ganda Zeo-Hukalsi sebanyak 1 gram dicampur dengan
tanah kering angin sebanyak 180 gram. Tanah yang digunakan telah disaring dengan
saring 2 mm). Kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik yang tertutup dan
diinkubasikan pada periode 1, 3, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 hari pada suhu ruangan.
Kelembaban tanah dipertahankan pada 30 % dari daya memegang air dengan
menambahkan air destilasi secara periodik. Untuk kontrol dilakukan tanpa pupuk dan
menggunakan pupuk NPK biasa. Pada akhir masing-masing masa inkubasi, pupuk NPK
biasa maupun Pupuk NPK berlapis ganda Zeo-Hukalsi diambil, lalu dicuci dengan air
destilasi dan dioven pada suhu 70 oC sampai didapatkan berat yang konstan.
Selanjutnya dianalisis kandungan N, P, dan K dari pupuk tersebut.
Pengujian kemampuan retensi air pupuk NPK berlapis ganda di dalam tanah.
Pupuk NPK berlapis ganda Zeo-Hukalsi sebanyak 2 gram dicampur hingga
merata dengan 200 gram tanah pasir kering angin. Tanah pasir yang digunakan telah
disaring dengan saring 2 mm). Kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik, lalu
ditambahkan 200 ml air dan ditimbang (W1). Kontrol dilakukan tanpa penambahan
Pupuk NPK berlapis ganda Zeo-Hukalsi. Selanjutkan diinkubasikan pada suhu ruangan

109

SeminarHasilPenelitianUGM2009

dan ditimbang setiap 5 hari sekali (Wi) selama 30 hari. Nisbah air yang teruapkan (W
%) dihitung menggunakan persamaan berikut : W % = 100 x (W1 Wi)/200.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi pupuk NPK berlapis ganda
Pupuk NPK berlapis ganda dibuat dari pupuk NPK phoska yang mempunyai
kandungan N, P, dan K masing-masing sebesar 15%. Pupuk NPK ini digunakan
sebagai inti pupuk yang akan dilapisi 2 kali menggunakan humat-kalsium (hukalsi) dan
zeolit. Bahan humat diperoleh dari ekstraksi pupuk kandang sapi yang kemudian
dicampur dengan kalsium diklorida sehingga didapatkan pasta berwarna coklat muda.
Selanjutnya pasta tersebut dikeringkan pada suhu 70 oC dalam oven, setelah kering
dihaluskan sehingga didapatkan serbuk hukalsi. Kemudian serbuk tersebut dicampur
dengan kanji dengan perbandingan tertentu sehingga didapatkan hukalsi dengan
konsentrasi 10, 20 dan 30%.
Ketiga macam konsentrasi hukalsi tersebut dilapiskan pada pupuk NPK
phonska sehingga didapatkan 3 macam pupuk NPK yang dilapisi hukalsi pada
konsentrasi 10, 20 dan 30%. Pelapisan hukalsi pada pupuk NPK menunjukkan bahwa
warna pupuk semakin cerah dibandingkan pupuk NPK Phonska. Namun warna antara
konsentrasi 10, 20 maupun 30% hampir sama.
Ketiga pupuk NPK hukalsi kemudian dilapisi dengan zeolit yang telah diaktivasi
dengan 4 taraf konsentrasi yaitu: 25, 50, 75 dan 100%, sehingga didapatkan 12 macam
pupuk zeo-hukalsi. Pelapisan kedua ini menyebabkan perubahan warna asli pupuk NPK
phonska. Pupuk yang berwarna merah bata menjadi kelabu. Pupuk zeo-hukalsi yang
telah dibuat kemudian diuji di laboratorium untuk mengetahui daya absorbsi air, retensi
air dan pelepasan hara N, P dan K pada beberapa periode pengamatan.
Pengujian daya absorbsi air
Hasil pengujian daya absorbsi air pupuk zeo-hukalsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Pupuk zeo-hukalsi dengan konsentrasi zeolit 100% dan hukalsi 30% (Z4H3)
mempunyai kemampuan mengabsorbsi air paling banyak, yaitu sebesar 47,06 %.
Kemampuan mengabsorbsi airnya berbeda nyata dengan pupuk zeo-hukalsi 75%, 50%,
25% dan kontrol (Tabel 1). Kemampuan absorbs air yang tinggi pupuk zeo-hukalsi
disebabkan oleh banyaknya air yang dijerap oleh zeolit, semakin tebal zeolit yang
dilapiskan maka semakin besar kemampuan mengabsorbsi air. Hal ini ditunjukkan pada
tabel 1 yang memperlihatkan semakin tinggi konsentrasi zeolit semakin besar
kemampuan mengabsorbi air. Dibandingkan kontrol (pupuk NPK tanpa pelapisan) berat
air yang diabsorbsi hampir dua kali berat pupuk NPK phonska.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

110

Tabel 1. Daya absorbsi air beberapa macam pupuk zeo-hukalsi


No. Perlakuan
Daya Absorpsi Air
1
Z1H1
Zeolit 25 % Hukalsi 10%
36,11 fg
2
Z1H2
Zeolit 25 % Hukalsi 20%
34,18 g
3
Z1H3
Zeolit 25 % Hukalsi 30%
33,92 g
4
Z2H1
Zeolit 50 % Hukalsi 10%
36,93 ef
5
Z2H2
Zeolit 50 % Hukalsi 20%
37,79 def
6
Z2H3
Zeolit 50 % Hukalsi 30%
39,27 bcde
7
Z3H1
Zeolit 75 % Hukalsi 10%
38,20 cdef
8
Z3H2
Zeolit 75 % Hukalsi 20%
40,38 bc
9
Z3H3
Zeolit 75 % Hukalsi 30%
40,11 bcd
10
Z4H1
Zeolit 100 % Hukalsi 10%
41,38 b
11
Z4H2
Zeolit 100 % Hukalsi 20%
45,89 a
12
Z4H3
Zeolit 100 % Hukalsi 30%
47,06 a
13
NPK
14,79 h
Keterangan : Z = Zeolit, H = Hukalsi, Z1H1 = pupuk NPK dilapisi zeolit 25% dan
hukalsi 10%
Dalam satu kolom dan macam perlakuan, angka diikuti oleh huruf tidak sama
menunjukkan ada beda nyata berdasarkan uji DMRT 5%
Pengujian sifat lepas terkendali hara dari Pupuk NPK berlapis ganda ZeoHukalsi.
Gambar 4a, b dan c memperlihatkan pola pelepasan hara N, P, dan K dari
pupuk zeo-hukalsi pada beberapa periode pengamatan. Pola pelepasan hara
menunjukkan bahwa pelepasan hara N, P dan K berbeda.
A

111

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Prosentasen hara yang terlepas dari pupuk (%)

Periode pengamatan
Gambar 2. Pelepasan hara N (a), P (b) dan K (c) dari beberapa pupuk zeo-hukalsi.
Pelepasan hara N terlihat sejak hari pertama, hal ini diduga karena unsur N yang
mudah terlepas karena sifatnya yang lincah, terutama mudah berubah dalam bentuk gas,
baik sebagai ammonia maupun nitrogen oksida. Pelepasan N berlangsung cepat sampai
hari ke-3, kemudian konstan sampai akhir pengamatan (30 hari). Pada gambar 2 a
terlihat bahwa pupuk zeo-hukalsi Z4H3 menunjukkan pelepasan yang relatif lebih
terkendali daripada pupuk zeo-hukalsi lainnya. Hal ini ditunjukkan dari grafiknya yang
paling rendah dari jenis pupuk lainnya. Sampai hari ke-30 pupuk zeo-hukalsi Z4H3
melepas hara N sebesar 62,30% jauh rendah dari pupuk NPK phonska yang mencapai
lebih dari 90%.
Pelepasan hara P menunjukkan pola yang berbeda dengan pelepasan hara N dan
K. Gambar memperlihatkan pelepasan P dari beberapa macam pupuk zeo-hukalsi
paling besar pada hari ke-5 sampai ke-10 kemudian menurun sampai hari ke-30. Pupuk
zeo-hukalsi Z4H3 pada akhir pengamatan menunjukkan pelepasan yang paling kecil
dibanding jenis pupuk lainnya. Walaupun perbedaanya tidak sebesar pada pelepasan
hara N. Pupuk zeo-hukalsi Z4H3 pada hari ke-30 melepaskan kandungan P sebesar

SeminarHasilPenelitianUGM2009

112

85,75%, sedangkan kontrol (pupuk NPK phonska) sebesar 96,28%. Berarti ada pupuk
zeo-hukalsi Z4H3 mampu mengendalikan 10% P dibandingkan pupuk NPK phonska.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pola pelepasan hara K yang relatif stabil mulai
hari pertama, kemudian meningkat seiring periode pengamatan dan mencapai
puncaknya pada akhir masa pengamatan (hari ke-30). Hal ini diduga karena hara K yang
terlepas dari pupuk diikat untuk sementara waktu oleh tapak-tapak jerapan yang ada
pada zeolit, kemudian terlepas pelan-pelan seiring masa pengamatan. Pupuk zeo-hukalsi
Z4H3 melepas hara K lebih terkendali dibanding jenis pupuk zeo-hukalsi lainnya. Pada
akhir masa pengamatan terlihat bahwa pupuk zeo-hukalsi Z4H3 relatif lebih rendah
melepaskan kandungan hara K, yaitu sekitar 51,58%. Dari data ini dapat diketahui
bahwa sampai akhir masa pengamatan sekitar 49,42% hara K yang tersimpan dalam
pupuk zeo-hukalsi.
Pengujian kemampuan retensi air Pupuk NPK berlapis ganda di dalam tanah
Kemampuan pupuk zeo-hukalsi dalam menyimpan air (retensi) dapat
diinterprestasi dari gambar 3. Kemampuan menyimpan air mempunyai hubungan yang
terbalik dengan air yang hilang, dalam hal ini kehilangan air karena penguapan karena
pot yang dijadikan tempat percobaan bawahnya tidak dilubangi. Gambar 3
memperlihatkan semua jenis pupuk zeo-hukalsi dapat menyimpan air lebih banyak dari
kontrol (pupuk NPK phonska). Hal ini dapat diketahui dari jumlah air yang menguap
lebih kecil dibanding dengan pupuk NPK phonska.
Gambar 3 juga menunjukkan adanya hubungan antara konsentrasi zeolit
dengan kemampuan mengurangi kehilangan air karena penguapan. Semakin rendah
konsentrasi zeolit semakin banyak air yang menguap. Pupuk zeo-hukalsi Z4H3 yang
mempunyai konsentrasi zeolit dan hukalsi yang paling tinggi menunjukkan kehilangan
air yang paling sedikit. Ini berarti semakin banyak air yang dapat disimpan dalam pupuk
zeo-hukalsi Z4H3.

Gambar 3. Retensi air oleh beberapa macam pupuk zeo-hukalsi


Berdasarkan ketiga uji laboratorium yang meliputi daya absorbsi air, pelepasan

113

SeminarHasilPenelitianUGM2009

hara dan retensi air maka pupuk zeo-hukalsi Z4H3 yang digunakan dalam pengujian di
rumah kaca dengan indikator tanaman bawang merah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian sampai dapat diambil kesimpulan yaitu pelapisan
pupuk NPK dengan zeo-hukalsi dapat meningkatkan daya absorbsi air dengan perlakuan
pelapisan dengan hukalsi 30% dan zeolit 100% (Z4H3) yang paling tinggi. Selain itu,
pupuk zeo-hukalsi cenderung melepaskan hara N, P, dan K lebih terkendali daripada
pupuk NPK phonska.

DAFTAR PUSTAKA
Asandhi, A.A. dan T. Koestoni. 1990. Efisiensi pemupukan pada pertanaman tumpang
gilir bawang merah dan cabai merah. Buletin Penelitian Hortikultura 9(1): 1-6.
Ge, J. J.; Wu, R.; Shi, X. H.; Yu, H.; Wang, M.; Li, W. J., 2002, Biodegradable
Polyurethane Materials from Bark and Starch. II. Coating Materials for
Controlled-Release Fertilizer, J. Appl. Polym. Sci., 86, 2948.
Hilman, Y. dan Suwandi. 1990. Pengaruh pemupukan N dan P terhadap perubahan
sifat-sifat kimia tanah dan serapan hara tanaman bawang merah. Hal. 71-77
dalam Bull. Penel. Hort. Vol. XiX. No 4. Puslitbanghort.
Jesus, N.; Maria, I. R.; Jose, M. A., 2001, Controlled Release of Manganese into Water
from Coated Experimental Fertilizer. Laboratory Characterization. J. Agric.
Food Chem., 49, 1298.
Mohana, R. K. and Padmanabha, R. M., 2001, Synthesis of Novel Superabsorbing
Copolymers for Agricultural and Horticultural Applications. Polym. Int., 50,
946.
Rocha, J. C., A. H. Rosa and M. Furlan. 1998. An Alternative Metodology for the
Extraction of Humic Substances from Organic Soils. J. Braz. Chem. Soc., Vol.
9, No. 1, 52-56 p.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

114

KAJIAN SERAPAN UNSUR HARA, PERTUMBUHAN DAN HASIL


TANAMAN CABE PADA PEMBERIAN MULSA ,
PEMBENAH TANAH DAN UNSUR MIKRO DI LAHAN PASIR
PANTAI PADA MUSIM HUJAN
Anung Slamet Dwi Purwantono
Jurusan Budidaya Pertanian
Fakultas Pertanian USOED Purwokerto
ABSTRACT
Dalam upaya untuk menjaga kestabilan produksi cabai merah yang merata
sepanjang tahun, dengan harga yang menguntungkan bagi petani produsen, perlu
dikembangkan penanaman cabai merah di lahan pasir pantai pada musim hujan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan paket teknologi budidaya cabe merah di
lahan pasir pantai pada musim hujan. Khususnya pada penelitian tahap ini, ingin dikaji
pengaruh pemberian mulsa, pembenah tanah dan unsure hara mikro terhadap serapan
unsure hara, pertumbuhan dan hasil tanaman cabe merah di lahan pasir pantai pada
musim hujan. Hasil penelitian menujukkan bahwa, Dua varietas cabe yang diuji
mempunyai pertumbuhan awal yang sama, tetapi mempunyai ketahanan cekaman,
serapan unsur hara dan potensi hasil yang berbeda. Varietas Lado mempunyai
ketahanan cekaman yang lebih rendah, tetapi mempunyai serapan unsur hara dan
potensi hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Laris. Perlakuan pembenah tanah dan
mulsa plastik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, menurunkan cekaman
lingkungan, meningkatkan serapan unsur hara pada buah, serta berpengaruh
meningkatkan hasil cabe.
PENDAHULUAN
Produksi cabe merah di Indonesia tidak merata sepanjang tahun melainkan
berfluktuasi, melangka pada musim hujan dan melimpah pada musim kemarau.
Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan DIY terlihat bahwa produksi cabe merah
tahun 2004 rendah pada bulan Januari hingga bulan Mei yang merupakan bulan-bulan
musim hujan, kemudian tinggi mulai bulan Juni hingga Desember. Pada saat produksi
menurun harga cabe relatif tinggi, sehingga dapat memberikan dampak terhadap kondisi
perekonomian masyarakat. Menurut Amin (1996), pada tahun 1996 kenaikkan harga
cabe yang relatif tinggi mampu menyumbang nilai inflasi nasional sebesar 16%. Oleh
karena itu perlu usaha budidaya cabe merah di musim hujan untuk menjaga kestabilan
produksi cabe merah yang merata sepanjang tahun, dengan harga yang menguntungkan
bagi petani produsen tetapi terjangkau bagi masyarakat konsumen.
Salah satu usaha untuk menjaga kestabilan produksi cabe yang merata sepanjang
tahun adalah penanaman cabe merah di musim hujan pada lahan pasir pantai. Lahan
pasir pantai merupakan salah satu lahan marginal yang berpotensi untuk pengembangan
cabe merah (Saparso dkk, 2002). Namun demikian, penanaman cabe merah pada
musim hujan (off season) di lahan marginal pasir pantai keberhasilannya masih rendah.
Menurut Balba (1975) lahan pasir umumnya miskin unsur hara, sedangkan penambahan
unsur hara mudah mengalami pelindian secara intensif karena kandungan liat dan bahan
organik lahan pasir rendah. Menurut Plucknett dan Sprague (1989) pelindian hara
tergantung pada curah hujan yang turun.

115

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Potensi produksi pertanian dari tanah yang sangat permeabel dan berteksur
pasiran adalah rendah, hal ini disebabkan kehilangan air dan unsur hara yang sangat
tinggi dari zone perakaran efektif selama musim hujan atau di bawah irigasi yang berat
(Mathan dan Natesan, 1993). Kondisi tanah pasir pantai yang didominasi fraksi pasir
dengan kandungan bahan organik sangat rendah menyebabkan ketersediaan unsur hara
bagi tanaman rendah, sedangkan penambahan unsur hara melalui pemupukan mudah
hilang karena proses pelindian. Hambatan pertumbuhan tanaman cabe pada lahan pasir
di musim hujan yang berupa menguning dan rontoknya daun, merupakan hambatan
fisiologis yang dapat berkaitan dengan masalah ketersediaan unsur hara bagi tanaman.
Beberapa hasil penelitian menujukkan bahwa ketersediaan unsur hara pada tanah
pasir dapat ditingkatkan dengan pemberian bahan pembenah tanah. Serapan hara N
meningkat pada tanah pasir yang diberi pupuk kandang (Puttanna dan Rao, 1997 ;
Albidinnor, 2002), kombinasi lempung-pupuk kandang (Permana, 2003 ; Vidyastuti,
2003), serta pemberian mulsa dapat mengurangi pelindian nitrat (Romic dkk., 2003).
Namun demikian , informasi tentang peranan mulsa penutup tanah dan bahan pembenah
tanah terhadap serapan unsur hara tanaman cabe merah di lahan pasir pantai pada
musim hujan belum terungkap secara jelas.
Kemampuan menyediakan unsur hara akan tergantung ketersediaan unsur hara
di dalam tanah dan kapasitas tanaman untuk menyerap unsur hara yang tersimpan di
dalam tanah tersebut (Williams dan Joseph, 1976). Pada tanah pasir pantai pembatas
produksi tanaman yang utama adalah laju infiltrasi yang tinggi, daya simpan air yang
rendah, kehilangan unsur hara yang tinggi akibat pelindian dan status kesuburan tanah
yang sangat rendah, sehingga usaha perbaikan kondisi tanah tersebut akan membantu
meningkatkan produksi (Laxminarayana dan Subbaiah, 1995).
Pemberian mulsa penutup tanah dapat mengurangi pelindian nitrat pada
budidaya paprika (Capsicum annuum L.). Pelindian nitrat paling kecil yaitu sebesar 10
kg ha-1 terjadi pada perlakuan mulsa plastik hitam, kemudian mulsa biopack sebesar 18
kg ha-1 dibandingkan tanpa perlakuan yang mencapai 26 kg ha-1(Romic et al., 2003).
Mulsa secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara di
dalam tanah bagi tanaman. Pada tanah masam atau tanah pasiran yang ketersediaan
unsur hara mineralnya rendah, penggunaan mulsa secara tidak langsung dapat
meningkatkan hasil tanaman. Hasil percobaan menujukkan bahwa mulsa residu
tanaman dapat berpengaruh meningkatkan ketersediaan unsur hara P, mendorong
peningkatan bahan kering total tanaman serealia hingga 73% (Buerkert et al., 2000).
Pemberian bahan organik (limbah tebu) pada tanah pasir pantai mampu
memperbaiki kelengasan tanah, meningkatkan ketersediaan hara, meningkatkan jumlah
kation tertukar, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan akar dan hasil tanaman
jagung (Triwayuningsih, 1997). Serapan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, Na dan S) pada
tanaman bawang merah meningkat dengan meningkatnya pemberian pupuk kandang
sampai dengan dosis 40 ton ha-1 (Rokhminarsi, 1997). Serapan hara N oleh tanaman
cabai merah maksimum apabila tanaman diberi pupuk kombinasi antara pupuk kandang
dan Urea, yaitu sebanyak 75 kg N ha-1 dari pupuk kandang dan 75 kg N ha-1 dari Urea.
Bilamana pupuk kandang ditambahkan ke dalam tanah, senyawa nitrogen komplek akan
terurai secara lambat dan membuat pasokan N tetap sepanjang periode pertumbuhan
tanaman (Chavan et al., 1997). Pemberian pupuk kandang 60 ton ha-1 pada tanah pasir
pantai dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman sawi, dapat meningkatkan kadar N
jaringan akar dan serapan N bagian atas tanaman (Albidinnor, 2002).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

116

Pemberian campuran 30% tanah Latosol ke dalam tanah Regosol mampu


menurunkan kenaikkan kapiler hampir 50% dibandingkan kenaikkan kapiler tanah
Regosol saja, sedangkan penambahan tanah Latosol lebih dari 30% sudah tidak efektif
karena hasilnya tidak jauh dari kenaikkan kapiler tanah Latosol asli (Kertonegoro,
2000). Hasil penelitian Al-Omran et al. (2004), penambahan endapan lempung
sebanyak 5% ke dalam tanah pasir mampu menurunkan kecepatan ilfiltrasi air,
penurunan kecepatan infiltrasi ini akan semakin besar apabila kandungan lempung
dalam endapan semakin besar.
Kombinasi pemberian pupuk kandang sapi, tanah lempung dan anyaman serat
sintesis mampu memperbaiki sifat-sifat fisik tanah pasir kaitannya dengan ketersediaan
lengas tanah dan pori pengatusan, serta mampu meningkatkan kandungan hara N total
sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan rumput grinting (Vidyastuti, 2003). Hasil
penelitian Permana (2003) menunjukkan bahwa pemberian kombinasi tanah lempung,
pupuk kandang sapi dan lembaran plastik mampu memperbaiki serapan hara N, P dan K
oleh tanaman bawang merah yang ditanam pada lahan pasir pantai. Penambahan
lempung Vertisol pada tanah pasir dapat meningkatkan penyimpanan dan penyediaan
unsur hara dan lengas tanah, kombinasi pemberian 75 kg K2O ha-1 dengan lempung
15% dapat memberikan hasil polong tertinggi pada kacang tanah (Laxminarayana dan
Subbaiah, 1995).
Untuk mengatasi kehilangan unsur hara akibat pelindian oleh air hujan pada
penanaman cabe di lahan pasir pantai pada musim hujan, dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengkaji pengaruh mulsa, pembenah tanah dan unsur hara mikro pada
serapan hara, pertumbuhan dan hasil tanaman cabe di lahan pasir pantai pada musim
hujan
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan percobaan lapang yang dilaksanakan dengan metode
eksperimental dengan mengacu pada hasil percobaan laboratorium yang dilakukan
sebelumnya. Penelitian dilaksanakan di lahan pasir pantai milik petani desa Bugel
Kulonprogo Yogyakarta, di Laboratorium Produksi Tanaman dan Laboratorium Ilmu
Tanaman UGM, serta di Laboratorium Ilmu Tanah UNSOED.
Dua varietas cabe hasil percobaan pot yang terpilih, yaitu varietas Laris (V1) dan
varietas Lado (V2) diberi enam set perlakuan teknplogi budidaya, yaitu : T1 (teknologi
petani), T2 (teknologi petani + mulsa plastik), T3 (teknologi pembenah tanah hasil
percobaan laboratorium), T4 (T1 + pupuk mikro), T5 (T2 + pupuk mikro), T6 (T3 + pupuk
mikro).Percobaan dilaksanakan dengan rancangan perlakuan faktorial 2 X 6, faktor
pertama adalah varietas (V) dan faktor kedua adalah teknologi budidaya (T). Semua
kombinasi perlakuan dialokasikan dengan rancangan percobaan Rancangan Acak
Kelompok Lengkap, tiga ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap : pertumbuhan
tanaman, gejala fisiologis : kerontokan daun, bunga atau buah, dan kandungan prolin,
hasil tanaman, serta serapan unsur hara oleh tanaman. Data yang diperoleh dianalisis
dengan sidik ragam (ANOVA), dilanjutkan dengan Uji Jarak Ganda Duncan untuk
mengetahui set perlakuan yang baik pada masing-masing varietas.
HASIL PENELITIAN
Pertumbuhan Tanaman Cabe
Pertumbuhan tanaman dua varietas cabe yang diuji, yaitu Laris (non hibrida) dan
Lado (hibrida) sampai dengan umur enam minggu setelah tanam tidak berbeda, dilihat

117

SeminarHasilPenelitianUGM2009

dari pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering tanaman, laju asimilasi
bersih (LAB) dan laju pertumbuhan tanaman (LPT). Perlakuan teknologi budidaya
(pemberian mulsa plastik dan pembenah tanah) nyata berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman cabe kecuali pada bobot akar kering, tetapi tidak ada pengaruh
interaksi antara varietas yang diuji dengan perlakuan teknologi budidaya. Perlakuan
mulsa plastik dan pembenah tanah berpengaruh sama dalam meningkatkan bobot
tanaman kering, LAB dan LPT, baik yang tidak ditambah pupuk mikro (T2 dan T3)
maupun yang ditambah pupuk mikro (T5 dan T6). Pada variable tinggi tanaman, hanya
pada pemberian pembanah tanah tanpa pupuk mikro yang nyata berpengaruh
dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Tabel 1. Pertumbuhan Tanaman Cabe Merah Umur enam Minggu Setelah Tanam
Perlakuan
Tolok Ukur
Bbt
LAB
Tinggi
Jml Daun
Bbt
Bbt
LPT
tan
gcm-1mgg- gm-1mgg-1
tan (cm)
akar
tajuk
1
kerg
kerg
kerg (g)
(g)
(g)
V1
40.28 A 164.04 A 0.88 A 2.59 A 3.48 A 0.0040 A
4.88 A
V2
41.02 A 167.22 A 0.94 A 2.50 A 3.44 A 0.0039 A
4.92 A
2.77 a
38.48 a
147.62 a
0.83 a
1.07 a
1.90 a
0.0027 a
T1
5.91 cd
42.55 a 188.71 bc 0.91 a
2.82 b
3.73 b 0.0048 bc
T2
4.79 bc
45.29 b
211.17 c
0.97 a
3.67 c
4.64 b 0.0035 ab
T3
3.76 ab
37.81 a
121.17 a
0.87 a
1.61 a
2.48 a 0.0035 ab
T4
0.0051 c
6.66 d
T5
37.28 a
134.38 a
0.91 a
2.78 b
3.70 b
5.52 cd
T6
42.49 ab 189.96 bc 0.98 a 3.34 bc 4.32 b 0.0042 bc
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Keterangan : (-) tidak terjadi interaksi, nilai diikuti huruf yang sama pada kolom tidak
berbeda dengan uji Duncan jenjang 5%
Gejala fisiologis tanaman cabe
Selama pertumbuhan dan perkembangannya, dua varietas cabe yang diuji
menunjukkan gejala fisiologis yang berbeda. Varietas Lado nyata lebih banyak daun
dan buahnya yang rontok dibandingkan dengan varietas Laris, akan tetapi varietas Lado
mempunyai bunga yang rontok lebih sedikit, varietas Laris mempunyai kadar prolin
daun nyata lebih rendah dibandingkan varietas Lado. Oleh karena itu varietas Lado
mempunyai ketahanan cekaman lingkungan yang lebih rendah dibandingkan varietas
Laris. Perlakuan pemberian mulsa plastik dan pembenah tanah nyata berpengaruh
terhadap gejala fisiologis tanaman cabe, tetapi tidak ada pengaruh interaksi antara
varietas yang diuji dengan perlakuan teknologi budidaya pada gejala fisiologis ini.
Perlakuan mulsa dan pembenah tanah tanpa penambahan pupuk mikro dan perlakuan
pembenah tanah ditambah pupuk mikro, nyata berpengaruh menurunkan bobot kering
daun yang rontok. Perlakuan pembenah tanah dan mulsa plastik, baik yang tidak
ditambah unsur hara mikro maupun yang ditambah unsur hara mikro berpengaruh sama
menurunkan bunga yang rontok, tetapi tidak nyata berpengaruh menurunkan buah yang
rontok apabila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Kadar prolin daun nyata
menurun dengan perlakuan mulsa, perlakuan mulsa ditambah unsur hara mikro dan
perlakuan pembenah tanah ditambah unsur hara mikro apabila dibandingkan dengan
perlakuan kontrol.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

118

Tabel 2. Gejala fisiologis tanaman cabe


Tolok Ukur
Daun rontok Bunga rontok Buah rontok Kadar prolin
V1
27.82 A
726.83 B
28.50 A
5.57 A
V2
31.01 B
487.17 A
35.22 B
7.42 B
7.63 b
34.17 ab
724.33 b
34.58 c
T1
5.98 a
25.33 a
518.83 a
29.49 a
T2
6.28 ab
25.67 a
542.50 a
24.32 a
T3
7.61 b
39.17 b
763.50 b
31.65 bc
T4
5.46 a
42.67 b
529.00 a
29.38 abc
T5
5.99 a
24.17 a
563.83 a
27.07 ab
T6
(-)
(-)
(-)
(-)
Keterangan : (-) tidak terjadi interaksi, nilai diikuti huruf yang sama pada kolom tidak
berbeda dengan uji Duncan jenjang 5%
Perlakuan

Serapan unsur hara pada buah cabe


Besarnya serapan unsur hara (N, P, K, Ca, Mg) yang ada pada buah, nyata
berbeda pada dua varietas cabe yang diuji, varietas Lado mempunyai serapan unsur
hara yang lebih besar dibandingkan dengan varietas Laris. Perlakuan pemberian mulsa
plastik dan pembenah tanah nyata berpengaruh terhadap serapan unsur hara buah, tetapi
tidak ada pengaruh interaksi antara varietas yang diuji dengan perlakuan teknologi
budidaya. Perlakuan pembenah tanah dan mulsa baik yang ditambah unsur mikro
maupun tidak ditambah unsur mikro, berpengaruh sama meningkatkan serapan unsur
hara N dan unsur hara K pada buah cabe. Pada serapan unsur hara P dan unsur hara
Mg, hanya perlakuan pembenah tanah baik yang ditambah unsur mikro maupun tidak
ditambah unsur mikro yang berpengaruh meningkatkan serapan unsur hara pada buah
cabe. Perlakuan pembenah tanah dan mulsa plastik tidak berpengaruh terhadap
penyerapan unsur hara Ca pada buah cabe.
Tabel 3. Serapan unsur hara pada buah cabe
Tolok Ukur
N (mg)
P (mg)
K (mg)
Ca (mg) Mg (mg)
V1
1022.65 a 163.75 a 1218.61 a 73.34 a
89.92 a
V2
1322.82 b 201.35 b 1800.82 b 98.40 b 129.95 b
1161.37 a 212.03 a 1622.39 a 100.63 a 123.49 ab
T1
1515.33 c 221.49 ab 1948.08 b 107.23 a 134.42 b
T2
1584.83 c 246.54 bc 1979.74 bc 111.21 a 154.62 c
T3
1293.83 ab 194.21 a 1579.85 a 92.49 a 114.64 a
T4
1481.04 bc 221.01 a 1928.24 b 103.64 a 132.45 ab
T5
1669.18 c 268.18 c 2225.15 c 109.99 a 140.43 bc
T6
(-)
(-)
(-)
(-)
Keterangan : (-) tidak terjadi interaksi, nilai diikuti huruf yang sama pada kolom tidak
berbeda dengan uji Duncan jenjang 5%
Perlakuan

Hasil buah tanaman cabe


Varietas Laris mempunyai potensi hasil buah yang nyata berbeda dibandingkan
varietas Lado. Varietas Laris menghasilkan bobot buah per buah lebih kecil dan
mempunyai jumlah buah per tanaman lebih besar dibandingkan varietas Lado, akan

119

SeminarHasilPenelitianUGM2009

tetapi varietas lado menghasilkan bobot buah per tanaman dan bobot buah per petak
lebih besar. Perlakuan pembenah tanah dan mulsa plastik tidak berpengaruh terhadap
bobot buah pertanaman, tetapi nyata berpengaruh meningkat bobot buah per tanaman
dan bobot buah per petak. Perlakuan pembenah tanah dan mulsa plastik berpengaruh
sama meningkatkan hasil cabe, baik yang tidak ditambah unsur hara mikro maupun
yang ditambah unsur hara mikro. Tidak ada pengaruh interaksi antara varietas yang
diuji dengan teknologi budidaya yang diterapkan.
Tabel 4. Hasil tanaman cabe
Tolok Ukur
Bobot per buah
Jml buah per
Bobot buah/tan
Bobot buah/ptk
(g)
tan
(g)
(g)
V1
1.85 a
76.83 b
140.16 a
4018.69 a
V2
2.85 b
65.22 a
197.61 b
4709.99 b
3568.96 a
151.04 ab
60.83 a
2.28 a
T1
4441.47 bc
178.53 cd
78.00 b
2.42 a
T2
4944.68 c
194.44 d
82.00 b
2.31 a
T3
3740.43 ab
136.97 a
58.67 a
2.28 a
T4
4668.41 c
165.94 bc
70.17 ab
2.38 a
T5
4822.08 c
186.39 cd
76.50 b
2.46 a
T6
(-)
(-)
(-)
Keterangan : (-) tidak terjadi interaksi, nilai diikuti huruf yang sama pada kolom tidak
berbeda dengan uji Duncan jenjang 5%

Perlakuan

KESIMPULAN
1. Dua varietas cabe yang diuji mempunyai pertumbuhan awal yang sama, tetapi
mempunyai ketahanan cekaman, serapan unsur hara dan potensi hasil yang berbeda.
Varietas Lado mempunyai ketahanan cekaman yang lebih rendah, tetapi mempunyai
serapan unsur hara dan potensi hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Laris.
2. Perlakuan pembenah tanah dan mulsa plastik dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman, menurunkan cekaman lingkungan, meningkatkan serapan unsur hara pada
buah, serta berpengaruh meningkatkan hasil cabe.
PUSTAKA
Amin, M, 1996. Stabilitas Harga dan Distribusi Cabe. Makalah Seminar Nasional
Tabulapot dan Tabulakar, LPM-IPB
Albidinnor, 2002.
Pengaruh Kombinasi Pupuk Kandang dan NPK terhadap
Pertumbuhan Tanaman Sawi dan Serapan N pada Tanah Pasir Pantai. Skripsi.
Fak. Pertanian UGM, Yogyakarta. 69 p
Al-Omran, A.M., A.M. Falatah, A.S. Sheta, and A.R. Al-Harbi, 2004. Clay Deposits
for Water Management of Sandy Soils. Arid Land Research and Management
18 : 171 - 183
Balba, A. M, 1975. Organic and Inorganic Fertilization of Sandy Soil. Dalam Sandy
Soil Report of FAO/UNDP Seminar on Reclamation and Management of Sandy
Soil in the Near East and North Africa. FAO-UNO, p : 23 46
Chavan, P.J., S. Ismail, G.B. Rudraksha, G.U. Malewar, and M.I. Baig, 1997. Effect of
Various Nitrogen Levels through FYM and Urea on Yield, Uptake of Nutrients

SeminarHasilPenelitianUGM2009

120

and Ascorbic Acid Content in Chilli (Capsicum annuum L). J.Ind..Soc.Soil Sci.
45(4) : 833-836
Laxminarayana, K. and G. V. Subbaiah, 1995. Effect of Mixing of Sandy Soil with
Clay Vertisol and Potassium on Yield and Nutient Uptake by Groundnut. J. Ind.
Soc. Soil Sci. 43 (4) : 694 - 696
Mathan, K. K. and R. Natesan, 1993. Effect of Compaction on Yield and Nutrient
Uptake in Sandy Soils. J. Ind. Soc. Soil Sci. 41 (4) : 765 - 767
Permana, I.S., 2003. Pengaruh Pemberian Lempung, Pupuk Kandang, dan Lembaran
Plastik terhadap Sifat Kimia Tanah serta Serapan NPK Bawang Merah di Lahan
Pasir Pantai. Skripsi. Fak. Pertanian UGM, Yogyakarta. 82 p
Plucknett, D.L. and H.B. Sprague, 1989. Detecting Mineral Nutrient Deficiencies in
Tropical and Temperate Crops. Westview Press, Boulder, San Francisco,
London. 553 p
Romic, D., M. Romic, J. Borosic, and M. Poljak, 2003. Mulching Decreases Nitrate
Leaching in Bell Pepper (Capsicum annuum L) Cultivation. Agric.Water
Manag. 60 : 87-97
Saparso, A. Sarjito dan Y. A. Nurwanto. 2002. Budidaya Beberapa Varietas Cabe
Berwawasan Lingkungan Melalui Perbaikan Dosis Bahan Pembenah Tanah dan
Interval Pemupukan Nitrogen tanah Pasir Pantai. Makalah Seminar Hasil
Penelitian, Lembaga Penelitian UNSOED, 17 p
Triwahyuningsih, N., 1997. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Blotong terhadap
Pertumbuhan Akar dan Hasil Jagung pada Tanah Pasir Pantai. Agr. UMY V (3) :
1-5
Vidyastuti, Y., 2003. Pengaruh Kombinasi Bahan Organik, Tanah Lempung dan
Anyaman Serat Sintesis pada Tanah Pasir untuk Budidaya Rumput Grinting.
Skripsi. Fak. Pertanian UGM, Yogyakarta. 77 p
Williams, C.N. and K.T. Joseph, 1976. Climate, Soil and Crop Production in the
Humid Tropics. Oxford Univ. Press, London. 177 p

121

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

122

THE EFFECT OF USING OMEGA-3, OMEGA-6 FATTY ACID


AND CHOLESTEROL SINTETIC ON TESTOSTERONE
HORMONE LEVEL
AND REPRODUCTION PERFORMANCES OF THE MALE
QUAILS
(Coturnix coturnix japonica)
Abyadul Fitriyah1, Wihandoyo2, Supadmo2 and Ismaya2
1
Faculty of Animal Science, Nahdlatul Wathan University, Mataram, Indonesia
2
Faculty of Animal Science, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia
ABSTRACT
The Purpose of this research was conducted to increase the reproductive quality
of the male quail, base on the amount of the plasm testosterone hormone, the testis size,
the voice-quality, the color brightness of the chest fur, and spermatogenesis, by
administer of omega-3, omega-6, and cholesterol syntethic per oral. This research was
done in Faculty of Animal Science, Faculty of Agriculture , and Center of Gadjah Mada
University, Laboratory of Integrated Research and Testing (LPPT) GMU, and
Veterinary Center Yogyakarta. This research used 35 male quails, four-weeks old, body
weight 60 98 g, divided randomly be seven groups, that are R0 (control-group), R1
(0,163 mg omega-3/100 g body weight), R2 (0,362 mg omega-3 /100 g body weight), R3
(0,163 mg omega-6/100 g body weight), R4 (0,326 mg omega-6 /100 g body weight), R5
(20 mg cholesterol /100 g body weight), and R6 (40 mg cholesterol /100 g body weight).
The treatment was given per oral for five periods, each periods be done for 14 days
during 4 months. The variable measurment do as long as seven days, after the treatment
admistered finished. The variables in this research are: the level of the plasm
testosterone hormone, the testis size, the voice-quality, the color brightness of the chest
fur, and spermatogenesis. The Research used 10 male quails (two best treatment levels
on this Research), which was mated with 10 female quails. The voice quality data
analyzed with the one-way ANOVA, then continued with the orthogonal contrast test.
The other data analyzed descriptivelly by value or the observation result between the
control and the treatment groups. Result of this research shows that the increase of the
testosteron hormone level accur at the quail group which treatmented with the high
level of the omega-3 and omega-6 (0,326 ng/ml/100 mg BW; R2 and R4), also at the
quail group which treatmented with 20 mg cholesterol/100 g BW; R5). The testosterone
hormone level at R5 is higher than The testosterone hormone level at R6. The highest
testis size observed shows at the R2, (weight = 2,64 g, long = 2,00 cm, the testis circle
= 4,70 cm, volume = 2,00 ml). The histologis structure of testis shows an increase of
the cells density and diameter of the seminiferus tubule, from the highest until the
lowest, shows at the R2, R1, R3, R5, R6, R4, and R0 group. The brightness chest fur
score, from the highest until the lowest, shows at the R2 (4,11), R6 (4,10, )R4 (3,96), R5
(3,75), R0 (3,00), and the R3 group (2,57). The highest voice quality, with the indicator
durasi kotek (DK), frekuensi suara dominan (FSD), frekuensi suara maksimum (FSM),
and jumlah puncak frekuensi suara (JPFS), shows at the R2, R4 and the R6 groups. The
other groups shows the lower voice quality, with the relativelly same score. The
conclution, using the high level of the omega-3 and omega-6 (0,326 mg/100 g BW),
and the low level of cholesterol (20 mg/100 g BW) increase the reproductive

123

SeminarHasilPenelitianUGM2009

performance of the male quails. Results of the research indicated that the actual fatty
acid omega-3, omega-6 and cholesterol according to the level in the feed, could be used
by quail to improve fertility and hatchability. Altogether it could be concluded that the
fatty acid omega-3 and omega-6 high-dose (0.326 mg omega-3/100 g of body weight)
and cholesterol low-dose (20 mg/100 g of body weight) per oral could enhance male
quail reproductive performan, the average fertility of 92.48% and 69.30% hatchability.
Key words : Omega-3 and Omega-6, Cholesterol, Reproductive-quality
PENDAHULUAN
Pakan merupakan faktor penting dalam memicu aktivitas gonad pada ternak,
tidak terkecuali pada bangsa burung. Perkembangan alat reproduksi pada ternak, sangat
tergantung pada ketersediaan dan konsumsi pakan, yang akan mempengaruhi semua
aktivitas produksi dan reproduksi. Kekurangan pakan (nutrien) dapat berakibat fatal
bagi ternak/unggas, antara lain menimbulkan gangguan alat reproduksi, keterlambatan
pendewasaan kelamin, dan menurunnya jumlah spermatozoa yang dihasilkan (Lake,
1983).
Akhir-akhir ini banyak pabrik pakan yang memproduksi pakan ternak dengan
berbagai kebutuhan dan kandungan zat gizi dengan fungsi serta khasiat tertentu. Tetapi
sampai saat ini, belum ada pabrik pakan ternak yang memproduksi pakan unggas
dengan menerapkan prinsip dasar fisiologi reproduksi unggas tersebut, misalnya dengan
mempertimbangkan perbedaan kebutuhan pakan pada unggas yang berbeda jenis
kelaminnya. Pertimbangan ini merupakan hal penting, karena kebutuhan pakan unggas
jantan berbeda dari kebutuhan pakan unggas betina, terutama dalam budidaya unggas
jantan tujuan pembibitan.
Puyuh termasuk unggas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Telur, daging, dan
bulu puyuh memiliki nilai jual tinggi (Anonim, 2004 ; Nugroho dan Mayun, 1982).
Populasi burung puyuh saat ini sebesar 58,3 juta ekor. Tingginya populasi burung
puyuh disebabkan oleh kemudahan pengembangbiakannya, yang tidak memerlukan
lahan luas (Anonim, 2006b). Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan populasi burung puyuh tersebut, antara lain melalui
breeding, dengan meningkatkan produktivitas pejantan. Produktivitas pejantan diukur
dari performan dan kinerja reproduksinya, antara lain dengan mendeteksi kadar hormon
testosteron, ukuran testis, kualitas suara, kecemerlangan bulu dada, dan
spermatogenesis. Semua hal itu sangat mempengaruhi birahi puyuh betina.
Pada puyuh jantan, hormon yang berperan dalam perkembangan seksual adalah
hormon testosteron, yang berfungsi dalam proses spermatogenesis, memperpanjang
daya hidup spermatozoa di dalam epididymis, mempengaruhi perkembangan alat
reproduksi luar, memelihara perkembangan alat kelamin sekunder pada hewan jantan
(Hardjosubroto dan Astuti, 1993; Nalbandov, 1990). Untuk meningkatkan kualitas
spermatozoa pada ternak dibutuhkan asam lemak esensial dan kolesterol yang berfungsi
sebagai prekursor testosteron (Muryanti, 2005; Tranggono, 2001; Linder, 1985; Harper
et al., 1977). Contoh untuk sumber asam lemak esensial adalah bahan pakan yang
mengandung omega-3 dan omega-6 (Estiasih, 1996; Clarke, 1977).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan formula ransum dengan
kandungan prekursor testosteron, yang mampu meningkatkan performan reproduksi
burung puyuh jantan, terutama ditunjukkan dengan tingginya kadar hormon testosteron,
ukuran testis, kualitas suara, kecemerlangan bulu dada, dan spermatogenesis.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

124

MATERI DAN METODE PENELITIAN


Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Ternak Unggas untuk
pemeliharaan puyuh, koleksi bulu dada; Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas
Peternakan UGM untuk pengamatan dan pengukuran testis dan perekaman suara;
Laboratorium Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian UGM tempat analisa pakan;
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu UGM Yogyakarta untuk analisa
hormon testosteron dan kualitas serum darah; Balai Penelitian Penyakit Hewan Prov.
DIY untuk pembuatan preparat histologi testis. Penelitian ini merupakan lanjutan dari
penelitian tahap satu dan difokuskan pada pengaruh pemberian prekursor testosteron
secara sintetis/pure terhadap kualitas reproduksi puyuh jantan dan aplikasinya pada
puyuh betina. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai November 2009.
Materi dan Tahap kegiatan yang akan dilakukan, sebagai berikut :
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah burung puyuh jantan
(Coturnix coturnix japonica) umur empat (4) minggu sebanyak 35 ekor dan puyuh
betina umur 8 - 10 minggu sebanyak 10 ekor. Puyuh jantan sebanyak 35 ekor dibagi
secara acak menjadi tujuh kelompok perlakuan pakan prekursor hormon testosteron.
Pada akhir penelitian ini, akan menggunakan dua (2) hasil penelitian terbaik
(level pemberian perlakuan dengan kandungan hormon testosteron dan tampilan
reproduksi paling tinggi), untuk mengawinkan puyuh jantan sebanyak 10 ekor dengan
10 ekor puyuh betina, kemudian ditempatkan pada 10 unit kandang baterai. Pada
masing-masing unit kandang ditempatkan secara acak satu ( 1 ) ekor puyuh betina untuk
dikawinkan dengan satu (1) ekor puyuh jantan. Perkawinan dilakukan pada pagi hari
pukul 09.00 sampai siang hari pukul 14.00 WIB. Perkawinan berlangsung selama 14
hari secara berturut-turut. Telur yang diperoleh dimasukkan ke dalam mesin tetas. Telur
yang di masukkan ke dalam mesin tetas di usahakan berumur antara 1 sampai 5 hari,
agar diperoleh daya tetas dan fertilitas telur yang tinggi.
Bahan pakan yang digunakan untuk penelitian terdiri dari jagung kuning, tepung
ikan, bekatul, bungkil kedelai, meat bone meal, premix dengan kadar protein kasar
sekitar 20,5% dan energi termetabolis 2600 kcal/kg. Sedangkan tiga macam sumber
prekursor hormon testosteron yang digunakan adalah asam lemak omega-3 sintetis,
omega-6 sintetis dan kolesterol sintetis. Puyuh betina diberikan pakan komersil khusus
untuk puyuh petelur.
Susunan bahan pakan dan komposisi kimia bahan pakan dasar sebelum
menggunakan pakan basal sumber prekursor hormon testosteron, dapat dilihat pada
Tabel 2. Susunan pakan perlakuan disusun berdasarkan hasil perhitungan dari Tabel
komposisi bahan pakan menurut NRC (1994).
Dua minggu sebelum perlakuan diaplikasikan, dilakukan prelium terlebih dahulu
dengan tujuan untuk menghilangkan pengaruh pakan sebelumnya. Pemberian pakan
dilakukan pada pagi pukul 07 : 00 dan sore pukul 16 : 00 WIB dengan kebutuhan
masing-masing puyuh sebanyak 20 g/100 g BB/hari. Air minum diberikan secara ad
libitum.

125

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 1. Komposisi kimia bahan pakan penelitian (NRC, 1994)


Bahan Pakan
Komposisi
PK
LK
SK
Ca
P
EM
(%)
(%) (%) (%) (%) (%)
(Kcal/kg)
1622,02
5,64 2,05 1,18 0,11 0,07
56
Jagung kuning
304,50
1,65 1,54 1,52 0,11 0,2
13
Bekatul
494,63
9,57 0,26 1,52 0,17 0,19
18
Bungkil kedelai
180,86
3,65 0,61 0,16 0,61 0,31
5,5
Meat bone
0,54
6
meal
0,30
CaC03
0,35
DL-metionin
0,22
L-Lysin
0,55
NaCl
0,08
Premix
Choline
Jumlah
100,00
20,51 4,46 4, 38 1,54 0,77
2602,01
Keterangan : EM = Energi Metabolisme
Peralatan penelitian yang diperlukan terdiri dari ; (a). Kandang yang digunakan
tujuh (7) unit kandang baterai terbuat dari kawat dan bambu, berukuran 55 x 55 x 40
cm, setiap unit berisi lima (5) ekor puyuh jantan. Kandang dilengkapi dengan tempat
pakan dan air minum dari plastik. (b). Termometer dinding, untuk mengukur suhu
kandang dan higrometer untuk mengukur kelembaban kandang. (c). Timbangan pakan,
baki plastik, dan alat kebersihan. (d). Spet berjarum bengkok yang ujungnya diganti
kanul. (e). MP3 player, untuk merekam suara puyuh. (f). Lampu penerang. (g).
Peralatan untuk analisis proksimat adalah destilator, oven, biuret, dan perangkat soxhlet.
(h). Hormon testosteron dianalisis dengan metode RIA (Radio Immuno Assay )
menggunakan KIT testosteron.
Jalannya Penelitian
Burung puyuh sebanyak 35 ekor, ditempatkan secara acak pada tujuh (7) unit
kandang baterai. Perlakuan terdiri tujuh (7) macam yaitu asam lemak omega-3
(eicosapentaenoic acid/EPA), asam lemak omega-6 ( 5,8,11,14 eicosatetraenoic acid /
arachidonic) dan kolesterol sintetis (Cholesterol NF), diberikan per oral dengan spet
injeksi yang ujungnya diganti dengan kanul, setiap perlakuan di ulang 5 kali, selama
empat belas (14) hari setiap bulan selama 4 bulan dan diberikan satu kali setiap hari
dengan waktu pemberian yang sama untuk masing-masing kelompok perlakuan. Dosis
masing-masing kelompok perlakuan adalah : R0 = tanpa perlakuan; R1 = 0, 163 mg
eicosapentaenoic acid/100 g BB Puyuh; R2 = 0,326 mg eicosapentaenoic acid/100 g
BB Puyuh; R3 = 0,163 mg 5,8,11,14 eicosatetraenoic acid/100 g BB Puyuh; R4 = 0,326
mg 5,8,11,14 eicosatetraenoic acid/100 g BB Puyuh; R5 = 20 mg cholesterol NF/100
g BB Puyuh; R6 = 40 mg cholesterol NF /100 g BB Puyuh.
Variabel yang Diamati
1. Penampilan puyuh jantan, yaitu : (1a). Warna bulu leher sampai bulu dada dengan
metode skoring; (1b). Frekuensi suara atau kotek-kotek dengan cara, merekam
suara burung puyuh menggunakan MP3 player, kemudian hasil rekaman tersebut di
transfer ke komputer dan dianalisa menggunakan software Adobe Audition 1.5 dan
Raven 1.2.1.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

126

2.

3.
4.

5.

6.

Pengamatan dan pengukuran (panjang, lingkar dan berat) testis pada puyuh jantan ;
(2a). Berat testis, diperoleh dengan menimbang bobot testis kiri dan bobot testis
kanan; (2b). Volume testis diperoleh dengan memasukkan testis ke dalam gelas
ukur berisi NaCl fisiologis, peningkatan volume NaCl fisiologis menunjukkan
volume testis; (2c). Panjang dan lingkar testis diperoleh dengan mengukur panjang
testis dan lingkar testis menggunakan pita meter.
Pembuatan preparat histologi testis burung puyuh, menggunakan sediaan histologis
metode HE (Hematoxilin-Eosin)
Kadar hormon testosteron dianalisis dengan teknik RIA. Konsentrasi hormon di
ukur dengan Radio Immuno Assay teknik fase padat dengan menggunakan KIT
(Diagnostic Product Corporation /DPC, Los Angeles CA), dengan cara
pengambilan darah pada vena sayap menggunakan spuit sebanyak 3 ml dan
ditempatkan pada tabung ependrof dibiarkan semalam, kemudian disentrifuge 5000
rpm selama 10 menit, cairan bening merupakan serum darah, kemudian dianalisis
dengan metode RIA (Radio Immuno Assay ) menggunakan KIT testosteron.
Kualitas Serum Darah. Kualitas serum darah burung puyuh jantan meliputi :
Pengambilan serum darah untuk analisis kadar hormon, kolesterol, HDL, LDL, dan
trigliserida, pengambilan serum darah dilakuan setelah pemberian asam lemak
omega-3, omega-6 dan kolesterol sintetis. Kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL
(mg/dl) serum darah ditentukan dengan menggunakan KIT dari Diasys (Diagnostic
System) dengan metode CHOD- PAP yaitu : mengisi tiga tabung kuvet dengan
tabung pertama diisi serum 10 l ditambah 1 ml reagen, tabung kedua diisi 10 l
standart kolesterol, dan tabung ketiga merupakan tabung berisi reagen warna 1 ml,
standart 1 ml dan serum 1 ml, diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25 C,
diukur absorbansi sampel dan absorbansi standar terhadap blangko reagen dalam
waktu 60 menit. Pengukuran menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 500 nm, dengan perhitungan :
Kolesterol (mg/dl) =
Absorban sampel
X 200
Absorban standart
HDL
(mg/dl) =
Absorban sampel X 150
Absorban standart
LDL
(mg/dl) = Cholesterol total - Trigliserida / 5
Fertilitas dan Daya Tetas Telur Puyuh. Perhitungan fertilitas dan daya tetas sebagai
berikut;
a. Fertilitas (%)
= Jumlah telur yang fertil
x 100 %
Jumlah telur yang ditetaskan
b. Daya tetas (%)

Jumlah telur yang menetas


Jumlah telur yang fertil

x 100 %

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar hormon testosteron dan kualitas darah
Hasil uji kadar hormon testosteron dan kualitas darah (kadar kolesterol, HDL
dan LDL) burung puyuh jantan setelah diberi perlakuan omega-3, omega-6 dan
kolesterol murni, menunjukkan hasil yang beragam (Tabel 2).

127

SeminarHasilPenelitianUGM2009

No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tabel 2. Kadar hormon testosteron burung puyuh jantan


Kadar Kadar
Kadar
Kadar
LDL
HDL
Dosis (mg/100 g bb/hari)
Testosteron kolestero
l (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl)
(ng/ml)
R0 = Kontrol
1,68
202,50
67,10
4,24
R1 = 0, 163 mg omega-3
0,42
237,00
78,40
8,10
R2 = 0, 326 mg omega-3
4,92
174,10
46,30
18,04
R3 = 0, 163 mg omega-6
1,39
182,60
53,70
9,54
R4 = 0, 326 mg omega-6
2,44
195,00
58,90
20,36
R5 = 20 mg kolesterol
3,08
220,10
71,00
6,12
R6 = 40 mg kolesterol
2,02
164,20
50,00
6,48

Dari data pada Tabel 2 dapat ditunjukkan adanya perbedaan kadar hormon
testosteron antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, pada kelompok R0
hingga R6 secara berturut-turut ialah sebesar 1,68 ng/ml; 0,42 ng/ml; 4,92 ng/ml; 1,39
ng/ml; 2,44 ng/ml; 3,08 ng/ml; 2,02 ng/ml. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa
pada kelompok puyuh yang diperlakukan dengan omega-3 dan omega-6 dosis tinggi,
ditemukan adanya kadar hormon testosteron yang lebih tinggi, tetapi sebaliknya, pada
kelompok puyuh yang diperlakukan dengan kolesterol dosis tinggi, ternyata kadar
hormon testosteron-nya lebih rendah. Hal ini terjadi, karena dosis asam lemak omega
(omega-3 dan omega-6) yang seharusnya diberikan kepada burung puyuh lebih tinggi
dari dosis yang diberikan kepada mamalia maupun manusia. Sedangkan dosis kolesterol
yang diperuntukkan bagi puyuh dan mamalia adalah sama, sesuai rekomendasi WHO,
yaitu 20 mg/kg BB.
Tingginya kadar hormon testosteron pada kelompok yang diperlakukan dengan
omega-3 dosis tinggi ternyata dibarengi dengan rendahnya kadar kolesterol total
(174,10 mg/dl), HDL (46,30 mg/dl) dan LDL (18,04 mg/dl) pada serum darah burung
puyuh jantan. Hal ini terjadi karena sebagian kolesterol telah disintesis menjadi hormon
testosteron. Hormon testosteron disintesis dari kolesterol dalam sel Leydig dan kelenjar
adrenal (Austin dan Short,1979). Biosintesis testosteron memerlukan kolesterol sebagai
prekursornya yang secara otomatis akan mempengaruhi juga kandungan HDL dan LDL
di dalam serum darah sehingga pada saat di analisa kadar kolesterol, LDL dan HDL
hanya sedikit yang bisa terdeteksi.
Meningkatnya kadar hormon testosteron
pada kelompok puyuh yang
diperlakukan dengan omega-3 dan omega-6 dosis tinggi disebabkan oleh meningkatnya
aktivitas sel-sel Leydig yang mensintesis hormon testosteron, sedangkan meningkatnya
efektivitas sel-sel Leydig ini di duga oleh adanya kandungan HDL (lipoprotein
berkepadatan tinggi) kadar tinggi, yang banyak terdapat di dalam asam lemak tidak
jenuh, antara lain asam lemak omega yang banyak mengandung EPA (omega-3) dan
arakhidonat (omega-6).
High Density Lipoprotein merupakan salah satu komponen plasma darah yang
akan memberikan kolesterol pada kelenjar adrenal. Bila kolesterol yang diambil dari
darah meningkat, maka sintesis kolesterol dari kelenjar adrenal di hambat (sebaliknya).
Bila kolesterol tidak segera digunakan untuk sintesis testosteron dan steroid lainnya,
maka kolesterol disimpan dalam kelenjar adrenal sebagai ester kolesterol dan akan
digunakan untuk sintesis testosteron melalui kerja cAMP.
Menurut Hardjosubroto dan Astuti (1993), fungsi utama ICSH adalah
menstimuler sel-sel interstisial dari Leydig di testes untuk menghasilkan hormon

SeminarHasilPenelitianUGM2009

128

testosteron. Selanjutnya Ganong (1996) menjelaskan bahwa sel Leydig dirangsang oleh
ICSH melalui peningkatan cAMP. Siklik Adenosin Mono Pospat meningkatkan
pembentukan kolesterol dari ester kolesterol dan melalui pengaktifan protein kinase di
ubah menjadi pregnenolon yang selanjutnya oleh enzim 3- dehidrogenase dan 17hidroksilase diubah menjadi androstenedion yang dikonversi menjadi testosteron.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa asam lemak omega (omega-3 dan
omega-6) dengan dosis tinggi (0,326 mg/hari/100g BB) dapat meningkatkan kadar
testosteron dalam plasma darah burung puyuh jantan. Sebaliknya, pemberian perlakuan
dengan omega dosis 0,163 mg seperti yang direkomendasikan WHO, menyebabkan
adanya kadar testosteron yang lebih rendah dari kadar testosteron pada puyuh
kelompok kontrol. Pemberian perlakuan kolesterol dengan dosis 20 mg/hari/100 g BB,
menyebabkan adanya kadar kolesterol yang lebih tinggi dalam plasma darah burung
puyuh jantan di banding pemberian kolesterol dengan dosis 40 mg/hari/100 g BB.
Dibandingkan dengan kadar testosteron pada puyuh kelompok kontrol, kelompok yang
diberi perlakuan kolesterol sesuai dosis WHO (20 mg) maupun dosis tinggi (40 mg),
memiliki kadar testosteron yang lebih tinggi.
Kualitas suara dan bulu
Data kualitas suara burung puyuh jantan, disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap kualitas suara burung puyuh jantan.
Perlakuan
Parameter 1
R0
R1
R2
R3
R4
R5
R6
JSK ns
13
14
13
13
18
12
12
DKA (detik)
0,73 a
0,77 a 2,72 b
1,64 b
1,15 a 0,94 a 3,40 b
DKK (detik)
5,95 a
5,51 a 9,12 b
6,73 a 10,07 b 5,36 a
8,51 b
5,06
4,53
5,30
5,25
8,73
4,22
5,64
DKT (detik) ns
FSD (kHz)
2,01 a
3,25c
4,04 d
4,02 d
4,79 d 3,09 b 3,71 c
FSM (kHz)
4,96 b
5,80d
5,91d
5,10c
4,84b
4,98b
4,48a
JPFS
6a
8b
10 c
8b
16 d
9b
9b
ns
DFS (kHz)
4,46
5,09
4,48
5,46
4,21
4,34
4,05
DT (detik)
2,21a
1,57b
1,38b
1,73b
1,42b
1,93c
2,09c
WS pagi (pukul)
07.20
06.11 05.43
07.31
07.19 05.39 06.27
WS malam (pukul)
19.24
18.29 19.21
19.28
20.29 19.44 20.15
Rerata lama WS
7.00
6.00
7.16
7.05
7.12
6.25
7.05
(jam)
1)
JSK=Jumlah suku kata kotek; DKA=Durasi Kotek Awal; DKK=Durasi Kotek Akhir;
DKT=Durasi Kotek Tengah; FSD=Frekuensi suara dominan; FSM=Frekuensi suara
maksimum; JPFS=Jumlah puncak frekuensi suara; DT=Delta time; DFS=Delta
frekuensi suara; WS=Waktu bersuara. Superskrip yang berbeda dalam baris yang
sama menunjukkan perbedaan nyata (*=P<0,05; **=P<0,01; dan ns = non
signifikan)
Dari data pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa kualitas suara tertinggi, dengan
indikator durasi kotek, frekuensi dominan, frekuensi maksimum, dan jumlah puncak
frekuensi, tampak pada kelompok R2, R4 dan R6. Kelompok R2 dan R4 adalah
kelompok yang diperlakukan dengan omega-3 dan omega-6 dosis tinggi, sedangkan R6
diperlakukan dengan kolesterol dosis tinggi.

129

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Catchpole dan Slater (1995) menyatakan bahwa emisi suara (nyanyian) burung
dikontrol oleh kadar hormon testosteron yang tinggi. Dalam penelitian ini, pemberian
omega merpengaruhi pita suara puyuh pada kelompok tersebut. Omega dan kolesterol,
yang merupakan prekursor hormon testosteron (salah satu dari hormon steroid).
Hormon testosteron merpengaruhi perkembangan ciri seks sekunder pada hewan jantan
antara lain suara. Dalam hal ini, testosteron menstimulasi pembesaran larynx dan 'vocal
cord' (pita suara) sehingga meningkat menjadi panjang dan tebal, dan menyebabkan
suara menjadi lebih dalam. Jadi, peningkatan kualitas suara puyuh pada kelompok R2,
R4 dan R6 adalah akibat meningkatnya testosteron, setelah pemberian perlakuan dengan
omega dan kolesterol.
Hasil pengamatan terhadap kecemerlangan warna bulu dada pada burung puyuh
jantan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh perlakuan terhadap kecemerlangan warna bulu dada (berdasarkan
nilai/skor warna bulu).
Umur
Perlakuan
(Minggu) R0
R1
R2
R3
R4
R5
R6
6
3,50
2,25
4,50
2,00
3,75
3,00
3,50
7
3,25
4,00
3,50
3,50
5,00
4,50
4,50
8
3,00
3,25
3,50
2,75
4,75
3,75
4,75
9
2,75
4,00
4,00
2,00
3,50
4,50
4,00
10
3,00
3,75
5,00
2,50
4,00
3,50
4,00
11
3,25
3,25
3,75
2,50
3,25
3,50
4,00
12
2,25
3,50
4,50
2,75
3,50
3,50
4,00
Rerata ns 3,00a 3,43 ab
4,11c
2,57 a
3,96c
3,75 ac
4,10c
Skor kecemerlangan warna bulu dari yang tertinggi hingga terendah ditunjukkan
oleh kelompok R2 (4,11), R6 (4,10), R4 (3,96), R5 ( 3,75), R0 (3,00), dan R3 (2,57).
Hartono (2004) menjelaskan bahwa pada umur 3 minggu bulu dada puyuh jantan mulai
berubah menjadi berwarna coklat kemerahan. Perubahan ini berlangsung terus sampai
pada keadaan tertentu, yaitu keadaan yang bisa menjadi petunjuk bahwa puyuh jantan
tersebut telah dewasa kelamin. Bulu dada puyuh jantan dimulai dari pangkal paruh
sampai dadanya. Sebagaimana disebutkan di atas, warna bulu (dan suara) merupakan
bagian dari ciri seks sekunder puyuh jantan, yang perkembangannya dipengaruhi oleh
hormon testosteron.
Dengan demikian, maka jelas bahwa pemberian prekursor steroid berupa
omega-3 dan omega-6 dosis tinggi (0,326 mg omega-3/100 g BB) serta kolesterol dosis
rendah (20 mg/100 g BB) dapat meningkatkan kualitas reproduksi puyuh jantan, dengan
meningkatkan kadar hormon testosteron, ukuran testis, kualitas suara, kecemerlangan
bulu dada, dan pada proses spermatogenesisnya.
Testis: ukuran dan struktur histologi testis puyuh jantan
Perbedaan testes burung puyuh jantan yang mendapat perlakuan menggunakan
asam lemak dan kolesterol tertera pada tabel 5, sedangkan kondisi histologis secara
mikroskopis disajikan pada gambar 1.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

130

Tabel 5. Ukuran testis burung puyuh jantan


Kelp

R0
R1
R2
R3
R4
R5
R6

Berat testis(g)
Ka
1,42
1,72
2,34
1,40
1,49
1,70
1,45

Panjang testis (cm Lingkar testis (cm Volume testis (ml)

Ki Rerat Ka
1,42 1,42 1,60
0,96 1,34 1,60
2,93 2,64 1,90
1,47 1,44 1,80
1,74 1,62 1,80
1,62 1,66 1,80
1,55 1,50 1,60

K Rerata Ka
1,9 1,75 3,80
1,6 1,60 3,80
2,1 2,00 5,00
2,1 1,95 3,70
2,2 2,00 3,90
2,1 1,95 4,00
1,8 1,70 4,50

Ki
4,10
3,60
4,40
3,60
3,60
3,75
3,20

Rerata Ka
3,95 1,00
3,70 1,00
4,70 2,00
3,65 1,00
3,75 1,50
3,87 2,00
3,85 1,30

Ki Rerat
1,00 1,00
0,90 0,95
2,00 2,00
0,90 0,95
1,50 1,50
1,00 1,50
1,50 1,40

Dari data pada tabel 5 tampak bahwa burung puyuh yang diberi perlakuan
0,326 mg omega-3/100 g BB (R2), menunjukkan ukuran testis lebih tinggi
dibandingkan perlakuan lain, dengan rerata berat (2,64 g), panjang (2,00), lingkar (4,70
cm) dan volume testes (2,00 ml). Kemudian setelah itu, ukuran testes terbesar berturutturut ditunjukkan oleh perlakuan R5 (20 mg kolesterol) ; R4 (0,326 mg omega-6 ) ; R6
(40 mg kolesterol) ; R3 (0,163 mg omega-6) ; R0 (Kontrol) dan R1 (0,163 mg omega3). Ukuran testes yang lebih tinggi ditunjukkan oleh kelompok puyuh yang diberi
perlakuan asam lemak dan kolesterol. Hal ini sesuai dengan pendapat Surai et al.
(2000), bahwa penambahan minyak arasco yang banyak mengandung asam lemak
omega-6 yaitu arachidonic (20:4n-6) pada ayam ternyata dapat meningkatkan
kandungan asam-asam lemak pada testes terutama DHA (22:6n-3) dan EPA (20:5n-3),
meningkatkan berat testes dan menyebabkan peningkatan massa testes bersama-sama
dengan peningkatan jumlah sperma. Peningkatan bobot testes tersebut dikarenakan
adanya peningkatan proses spermatogenesis. Menurut Cecil dan Baks (1990),
peningkatan hormon testosteron sejajar dengan peningkatan berat testes, yang mulai
mengalami peningkatan pada umur 20 minggu dan mencapai berat maksimal antara 3034 minggu (pada ayam). Sedangkan konsentrasi hormon testosteron dalam darah
terukur sebesar 0,2 ng/ml pada umur 16 minggu dan terus meningkat tajam hingga 1,3
ng/ml pada umur 34 minggu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini, yang
memperlihatkan bobot testis tertinggi ditunjukkan oleh kelompok puyuh yang
diperlakukan dengan asam lemak dan kolesterol, yang ternyata dibarengi oleh
peningkatan kadar hormon testosteron, seperti yang tersaji pada Tabel 2 dan Tabel 5.
Hasil penelitian terhadap profil histologi testis disajikan pada gambar 1.
Dari hasil pengamatan terhadap struktur histologi testes dan dilihat adanya
perbedaan struktur histologis antara kelompok puyuh yang diberi perlakuan berbeda
(R0, R1, R2, R3, R4, R5 dan R6). Pada Gambar 1 terlihat bahwa tubulus seminiferus
dari testis burung puyuh yang paling rapat dengan diameter yang paling lebar serta
keadaan sel spermatogenik normal, ditunjukkan oleh perlakuan R2 (perlakuan 0,326 mg
omega-3; perlakuan omega-3 dosis tinggi). Disamping itu, puyuh kelompok R1 (0,163
mg omega-3), R3 (0,163 mg omega-6), R5 (20 mg kolesterol) dan R6 (40 mg
kolesterol) juga menunjukkan tubulus seminiferus testis yang kompak dan serasi dengan
kondisi sel spermatogenik yang normal. Testis puyuh yang diberi perlakuan asam
lemak omega dan kolesterol mempunyai tubulus seminiferus yang lebih rapat dengan
spermatogenesis yang lengkap dibandingkan dengan testis puyuh tanpa perlakuan, hal
ini di duga karena pemberian asam lemak omega dan kolesterol dapat meningkatkan

131

SeminarHasilPenelitianUGM2009

dan menambah lebar diameter dari tubulus seminiferus dengan keadaan sel
spermatogenik yang normal. Tubulus seminiferus pada burung puyuh yang tidak diberi
perlakuan hanya berisi sejumlah sel-sel spermatogenik (seperti terlihat pada Gambar 1,
jarak antara masing-masing tubulus seminiferus cukup renggang). Sedikitnya sel-sel
spermatogenik pada testis puyuh kelompok ini di duga karena kurangnya kadar ICSH
untuk proses spermatogenesis yang normal sehingga deferensiasi sel germinal
terganggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury dan VanDemark (1985), bahwa
ICSH menstimulir pertumbuhan sel-sel interstitial terutama sel Leydig.

R-0

R-1

R-2

R-5

R-4

R-3

R-6

Gambar 1. Potongan melintang Tubulus seminiferus profil histologi testis burung


puyuh umur 12 minggu pada pembesaran 400 x
Hal ini sesuai dengan pendapat Rettersol et al. (1998), yang mengemukakan
bahwa asam lemak tidak jenuh ganda terutama (20:4n-6), (22:6n-3) dan (20:5n-3) akan
merangsang perkembangan spermatogenesis yang akan menyebabkan peningkatan
massa testis dan terjadi pula perkembangan spermatozoa dalam jumlah besar di dalam
jaringan. Sedangkan kolesterol merupakan prekursor pembentukan hormon testosteron
yang berfungsi dalam proses spermatogenesis, memperpanjang daya hidup spermatozoa
di dalam epididymis dan perkembangan alat reproduksi serta tanda-tanda kelamin
sekunder pada hewan jantan (Hardjosubroto dan Astuti, 1993 ; Nalbandov, 1990 ).
Secara histologis, testis tersusun atas tubulus seminiferus yang dibatasi oleh jaringan
tunica proparia, yang tersusun atas dua lapisan yaitu lapisan luar yang terdiri atas
fibroblas dan myodas yang berperan dalam transport spermatozoa keluar dari testes dan
lapisan dalam (lamina proparia) yang mengontrol ekstra tubuler dan intra tubuler testes
(Tri-Yuwanta, 1993). Tubulus seminiferus ini menyusun 90% dari massa testes,
struktur histologi tubulus seminiferus akan berubah dengan cepat sesuai dengan
perkembangan umur (Nalbandov, 1990).
Fertilitas Telur Puyuh (%)
Hasil pengamatan terhadap fertilitas telur burung puyuh pada penelitian ini,
diperoleh rerata hasil yang tercantum pada Tabel 6.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

132

Tabel 6. Rerata fertilitas telur puyuh (%) selama penelitian


Perlakuan
Siklus
R0
R1
R2
R3
R4
R5
R6
1
83,04 93,75 100,00
83,34 100,00 87,50 62,50
2
71,11 100,00 96,43
87,50 95,00 91,88 87,87
3
54,47 85,00 95,00
93,75 81,67 87,50 81,67
4
80,00 87,50 95,00
84,29 91,67 88,09 82,14
Rerata
72,15a 91,56d 96,61e
87,22c 92,09d 88,74c 78,55b
a,b,c
Superskrip yang berbeda, menunjukkan perbedaan yang nyata (P0,05)
Rerata fertilitas telur puyuh kelompok perlakuan R1 - R6 (Tabel 6) lebih tinggi
dibanding kontrol (R0), sedang fertilitas telur puyuh tertinggi ditunjukkan oleh
perlakuan R2 (96,61%), kemudian R4 (92,09 %) dan R1 (91,56 %).
Hasil analisis variansi menunjukkan perbedaan yang nyata (P0,05) antar
perlakuan. Tingginya persentase telur yang fertil dari masing-masing perlakuan
pemberian asam lemak omega dan kolesterol disebabkan oleh tingginya kandungan
asam lemak dan HDL kolesterol di dalam plasma darah puyuh jantan yang mendapatkan
perlakuan asam lemak omega dan kolesterol sintetis (R1 sampai R6). Asam lemak
merupakan salah satu prekursor pembentukan kolesterol dan kolesterol sangat
diperlukan sebagai bahan baku pembentukan hormon steroid termasuk testosteron.
Hormon testosteron ini adalah salah satu pemicu gairah seksual, sehingga puyuh jantan
yang mendapat perlakuan asam lemak omega dan kolesterol mempunyai kualitas
spermatozoa yang tinggi, diantaranya memiliki motilitas spermatozoa lebih dari 75% ;
meningkatnya persentase sperma normal serta meningkatkan konsentrasi sperma,
sehingga kemampuan spermatozoa untuk membuahi sel telur menjadi lebih baik ;
frekuensi membuahi betina lebih sering. Hal ini terbukti dengan tingginya fertilitas telur
pada R1 sampai R6 dibandingkan pada R0 (Tabel 6).
Penentuan fertilitas telur puyuh pada penelitian ini, dapat dilakukan setelah
terjadinya penetasan telur karena telur yang fertil akan diketahui dari jumlah telur yang
tidak ditetaskan.
Daya Tetas Telur Puyuh (%)
Hasil pengamatan terhadap daya tetas telur burung puyuh pada penelitian ini,
diperoleh rerata hasil yang tercantum pada Tabel 7.
Tabel 7. Rerata daya tetas telur puyuh (%) selama penelitian
Perlakuan
Siklus
R0
R1
R2
R3
R4
R5
R6
1
69,17 60,83 74,17 73,33 62,50 62,50 50,00
2
48,75 70,83 72,08 50,63 75,00 61,61 64,17
3
62,50 52,50 68,75 57,08 54,17 77,50 73,75
4
57,50 85,00 74,17 73,34 78,33 70,84 83,34
Rerata 59,48a 67,29c 72,29d 63,59b 67,50c 68,11c 67,82c
a,b,c
Superskrip yang berbeda, menunjukkan perbedaan yang nyata (P0,05)

133

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Pengaruh penggunaan asam lemak omega-3, omega-6 dan kolesterol sintetis


terhadap daya tetas telur menunjukkan perbedaan yang nyata (P0,05) antar perlakuan
(Tabel 7). Daya tetas telur tertinggi di tunjukkan oleh perlakuan R2 (72,29%),
sedangkan perlakuan R4, R5 dan R6 menunjukkan angka yang relatif sama yaitu
masing-masing 67,50% ; 68,11% dan 67,82%. Daya tetas telur puyuh terendah
ditunjukkan oleh perlakuan R0 (59,48%).
Nugroho dan Mayun (1982) melaporkan telur puyuh mampu mencapai daya
tetas telur 80,2% pada umur peneluran 9 12 bulan, namun rata-rata daya tetas telur
dalam penelitian ini hanya 72,29%. Hal ini disebabkan diantaranya oleh lamanya
penyimpanan telur sebelum ditetaskan akibat menunggu jumlah telur yang terkumpul.
Telur yang segera ditetaskan sebelum lebih dari lima (5) hari peneluran memiliki daya
tetas telur yang lebih tinggi (80%). Dalam penelitian ini, penetasan telur dilakukan
antara lima (5) sampai tujuh (7) hari karena sedikitnya telur, sehingga daya tetas telur
belum dapat mencapai 80,2% seperti di rekomendasikan oleh Nugroho dan Mayun
(1982). Walaupun demikian pemberian omega-3, omega-6 dan kolesterol dengan dosis
yang sesuai mampu meningkatkan daya tetas telur pada burung puyuh dibandingkan
dengan kontrol (Tabel 7).
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini ialah : (1). Penggunaan
omega-3 atau omega-6 sintetis dosis 0,326 mg/100 g bb, menunjukkan ukuran testis,
kadar hormon testosteron, kualitas suara serta kecemerlangan warna bulu dada yang
terbaik; (2). Penggunaan kolesterol sintetis dosis 20 mg/100 g bb menunjukkan profil
reproduksi lebih baik dibandingkan dosis 40 mg; (3). Perlakuan omega-3 sintetis dosis
0,326 mg/100 g bb menghasilkan fertilitas telur sebesar 96,61%, sedangkan omega-6
sintetis dosis 0,326 mg/100 g bb sebesar 92,09%; (4). Perlakuan omega-3 dan omega-6
sintetis dosis 0,326 mg/100 g bb atau kolesterol sintetis dosis 20 mg/100 g bb
menghasilkan daya tetas telur sampai 72,29%.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Puyuh : Si Mungil Penuh Potensi. Equator Indonesian book gallery.
The Ultimate Indonesian Online Book Resource-Microsoft Internet explorer.
2000 -2005 Ekuator. layanan@ekuator.web.id.
Anonim,
2005.
Omega-3
fatty
acid.
Diambil
dari
http://www.cfsan.fda.gov/~rdb/opag105.html.
Anonim,
2006a.
Testosteron.
Diambil
dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Image:Testosteron.PNG.
Anonim, 2006b. Omega-6 Fatty acid. Diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Omega6_fatty_acid.
Anonim,
2006c
Omega-6
Fatty
acid.
Diambil
dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Cholesterol
Austin, C.R. and R.V. Short. 1979. Mechanism of Hormone Action. Reproduction in
Mammals. Cambridge University Press, Melbourne, Sidney.
Catchpole and Slater. 1995. Birdsongs : Biological Themes and Variations. Cambridge
University Press. Sidney.
Cecil, H.C. & M. R. Bakst. 1990. Correlation of organ weights, hematocririt, and testosterone with sexual maturity of the male turkey. Poult. Sci. 72 : 1252-1257.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

134

Clarke, S. D., D. R. Romsos and G. A. Leveille. 1977 . Differential Effects of Dietary


Methyl Ester of Long-Chain Saturated and Polyunsaturated Fatty Acid on Rat
Liver and Adipose Tissue Lipogenesis. Am. J. Nutrition.107: 1170-1181.
Estiasih, T. 1996 . Mikroenkapsulasi Konsentrat Asam Lemak Omega-3 dari Limbah
Cair Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella longiceps). Tesis. Program
Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. and J. M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Harper, H.A., V.W. Rodwel and P.A. Mayes. 1977. Biokimia. Edisi 17. tercemahan oleh
M. Muliawan. Universitas Inonesia, Jakarta.
Lake, P.E., 1983. The Male in Reproduction in Physiology and Biochemistry of The
Domestic Fowl. Vol 3, Academic Press, London-New York, pp : 1413-1417.
Linder, M. C. 1985. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara
Klinis. UI Press, Jakarta.
Muryanti, Y. 2005. Kadar Testosteron Serum Darah dan Kualitas Spermatozoa Mencit
(Mus musculus L.) setelah diberi Ekstrak Biji Saga (Abrus precatorius L.), Tesis.
Fakultas Pascasarjana, Yogyakarta.
Nalbandov. A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Alih Bahasa :
Sunaryo Keman. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
NRC. 1994. Nutrien Requirement of Poultry. The 9th Ed. National Academic Press,
Washington D. C., USA.
Nugroho dan I.G.K. Mayun. 1982. Beternak Burung Puyuh (Quail). Cetakan Kesatu.
Eka Offset, Semarang.
Rettersol, K.T., B. Hugen, B. Woldseth and B.O. Christopherson. 1998. A comparative
study of the metabolism of n-9, n-6 and n-3 fatty acids in testicular cells from
immature rat. Biochim. Biophys. Acta. 1392 : 59-72.
Salisbury, G. W. dan N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi
Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Surai, P.F., R.C. Noble, N.H.C. Sparks and B.K. Speake. 2000. Effect of Long-term
Supplementation With Arachidonic or Docosahexaenoic Acids on Sperm
Production in The Broiler Chicken. Journal of Reproduction and Fertility. 120 :
257-264.
Tranggono. 2001. Lipid dalam Perspektif Ilmu dan Teknologi Pangan. Pidato
Pengukuhan Guru Besar. Fak. Teknologi Pertanian UGM.
Tri Yuwanta. 1993. Perencanaan dan Tata Laksana Pembibitan Unggas Sub Bagian
Inseminasi Buatan Pada Unggas. Hand Out Kuliah. Program Studi Ilmu Ternak .
Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

135

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

136

PENGGORENGAN DENGAN PASIR SEBAGAI MEDIA


PENGHANTAR PANAS
Siswantoro 1, Budi Rahardjo 2, Nursigit Bintoro 3, Pudji Hastuti 4
1

Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman,


Purwokerto, Indonesia.
2
Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta,
Indonesia.
3
Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta,
Indonesia.
4
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta,
Indonesia.
ABSTRAK
Penggorengan merupakan suatu cara tertua dari proses pemasakan dan
pengeringan pangan. Proses penggorengan berlangsung melalui kontak dengan media
penghantar panas, dan dilakukan pada temperature tinggi. Minyak sayur biasanya
digunakan sebagai media penghantar panas dalam penggorengan. Jika proses
penggorengan menggunakan pasir sebagai media penghantar panas, maka proses
penggorengannya disebut dengan goreng pasir panas (hot sand frying). Meskipun
penggorengan merupakan suatu proses pemasakan pangan yang sudah lama dilakukan,
tetapi proses tersebut masih banyak yang belum diungkap secara ilmiah. Tujuan umum
dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan proses penggorengan dengan
menggunakan pasir sebagai media penghantar panas. Tujuan khusus dari penelitian
ini adalah untuk mengembangkan model matematik perubahan parameter produk
(kadar air, volume, tegangan, regangan) terhadap suhu dan lama penggorengan.
Penelitian dilakukan dengan eksperimen laboratorium, menggunakan bahan penelitian
pasir kali, pasir besi, dan kerupuk (sebagai sample produk yang digoreng dengan
pasir). Kisaran diameter yang digunakan untuk pasir kali adalah 0,25 mm sampai
dengan 2,00 mm, dan untuk pasir besi adalah 0,10 mm sampai dengan 0,40 mm.
Peralatan yang digunakan terdiri dari peralatan untuk mengukur sifat fisik dan termis
bahan, mesin penggoreng dengan pasir, tachometer, termokopel, data logger, interface,
dan komputer. Rata-rata persentase kesalahan nilai pengukuran dan standar deviasi
dari hasil pengukuran dan pendugaan dengan menggunakan model matematik yang
telah dikembangkan lebih kecil dari 10 %. Hasil ini mengindikasikan bahwa model
matematik yang telah dikembangkan mempunyai tingkat ketepatan untuk pendugaan
yang cukup baik.
PENDAHULUAN
Penggorengan merupakan proses pemasakan yang unik, menarik, dan banyak
dilakukan oleh kebanyakan orang. Penggorengan sudah banyak diterapkan sejak lama
sampai kini dan banyak ragam makanan yang dimasak secara proses tersebut.
Penggorengan merupakan salah satu aktivitas penting dan banyak dijumpai dalam
industri pengolahan pangan, baik industri berskala kecil maupun industri pangan
berskala menengah. Proses penggorengan berlangsung melalui kontak dengan media
penghantar panas, dan dilakukan pada temperature tinggi. Meskipun penggorengan

137

SeminarHasilPenelitianUGM2009

merupakan suatu proses pemasakan pangan yang sudah lama dilakukan, tetapi proses
tersebut masih banyak yang belum diungkap secara ilmiah (Levine, 1990).
Lazimnya kerupuk digoreng dengan minyak, minyak berfungsi sebagai media
penghantar panas, meratakan suhu dan berperan sebagai pemberi rasa gurih. Namun
selama penggorengan kerupuk mengalami penyerapan minyak cukup tinggi, mencapai
18 persen (Soekarto, 1997). Pada penggorengan bahan berpati mengalami penyerapan
minyak sebesar 15 persen (Supriyanto, 2007). Hal ini menjadikan produk akan menjadi
tengik apabila disimpan.
Penggunaan minyak goreng pada akhir-akhir ini sering menimbulkan
permasalahan yaitu : (1) Ketersediaannya kurang seimbang dengan kebutuhan sehingga
menyebabkan harga melambung cukup tinggi; (2) Adanya kesadaran masyarakat untuk
mengurangi konsumsi makanan yang mengandung lemak yang disinyalir akan
berdampak kurang baik bagi kesehatan; (3) Adanya kewaspadaan terhadap produk hasil
gorengan yang menggunakan minyak yang digunakan untuk penggorengan secara
berulang; (4) Peng-konsumsi-an minyak terutama lemak jenuh dianggap merupakan
penyebab naiknya resiko sakit jantung koroner, kanker, diabetes, dan tekanan darah
tinggi. Permasalah tersebut memberikan pemikiran untuk dilakukan penelitian tentang
penggorengan menggunakan pasir sebagai media penghantar panas.
Penggorengan merupakan proses pengolahan pangan dengan melibatkan
perpindahan panas, khususnya pindah panas secara konduksi dan konveksi (Siswantoro,
2008). Holman (1986) menerangkan bahwa perpindahan panas pada benda terjadi
karena ada perbedaan suhu. Jika pada benda terdapat gradient suhu, maka terjadi
perpindahan panas dari bagian bersuhu tinggi ke bagian bersuhu rendah. Pada benda
padat proses pindah panas berlangsung secara konduksi, sedangkan pada benda cair atau
gas proses transfer panasnya berlangsung secara konveksi.
Ditinjau dari segi proses transfer panasnya, penggorengan tanpa minyak dapat
dibedakan menjadi dua. Pertama proses transfer panasnya terjadi melalui kontak
langsung secara konduksi antara dinding pemanas dengan produk yang digoreng, cara
seperti ini lazimnya disebut penyangraian. Kedua proses transfer panasnya terjadi
melalui media penghantar panas butiran bahan padat yang biasanya digunakan pasir,
cara seperti ini dikenal dengan istilah goreng pasir panas (hot sand frying).
Ada beberapa keuntungan apabila penggorengan dilakukan menggunakan pasir.
Keuntungan tersebut antara lain : (1) Produk tidak mengandung minyak goreng
sehingga tidak mudah tengik; (2) Pasir dalam bentuk curah (bulk) merupakan benda
padat yang mudah mengalir (menyerupai benda cair), serta mempunyai nilai kontak
panas permukaan (h) yang cukup besar, yaitu 64,6 J/dt.m2.C untuk pasir kali dan
sebesar 128,7 J/dt.m2.C untuk pasir besi; (3) Pasir sebagai media penghantar panas
mudah di dapat dan murah; (4) Mengurangi ketergantungan penggorengan
menggunakan minyak goreng; (5) Apabila produk yang digoreng adalah kerupuk, jika
mengalami penurunan kerenyahan (melempem), mudah dilakukan rekondisi
kerenyahannya dengan cara dijemur pada sinar matahari atau dipanaskan pada suhu
yang tidak terlalu tinggi (35 0C 45 0C).
Penggorengan makanan berpati (kerupuk) dengan pasir sebagai media
penghantar panas telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Namun sejauh ini
belum banyak informasi dan penelitian tentang penggorengan dengan pasir sebagai
media penghantar panas, terutama yang terkait dengan perubahan parameter produk
(kadar air, volume, tegangan-regangan, dan kerenyahan) terhadap suhu dan lama
penggorengan. Berdasarkan permasalahan dan keuntungan yang telah diuraikan, maka

SeminarHasilPenelitianUGM2009

138

dilakukan penelitian dengan tujuan umum untuk mengembangkan metode


penggorengan dengan menggunakan pasir sebagai media penghantar panas. Tujuan
khusus untuk
mendapatkan model matematik hubungan antara suhu, lama
penggorengan dengan sifat fisik (tegangan-regangan-kerenyahan), kadar air, dan
perubahan volume kerupuk goreng pasir.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen laboraorium.
Tempat
penelitian di lingkungan Laboratorium Teknologi Pertanian Universitas Jenderal
Soedirman - Purwokerto, serta di lingkungan Laboratorium Teknologi Pertanian
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerupuk mentah, pasir kali,
dan pasir besi. Pasir kali diperoleh dari kali Serayu dan kali Pelus yang terletak di
Kabupaten Banyumas, sedangkan pasir besi diperoleh dari pantai Srandil di Kabupaten
Cilacap. Ukuran diameter pasir kali yang digunakan dipisahkam menjadi 3 kelompok
ukuran (0,25 mm 0,50 mm, 0,50 mm 1,00 mm, dan 1,00 mm 2,00 mm),
sedangkan ukuran diameter pasir besi dipisahkan menjadi 2 kelompok ukuran (0,10 mm
0,25 mm, 0,25 mm 0,40 mm).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : alat ukur suhu (data
logger, termokopel, interface, dan komputer), alat penggoreng kerupuk dengan pasir
(rangkaian alat penggoreng dengan pasir dapat dilihat pada Gambar 1), universal testing
machine, oven, kalorimeter, termal konductivity meter, tachometer, neraca analitik,
gelas ukur, desikator, higrometer, stop watch, volt meter, ampere meter, ayakan pasir,
dan jangka sorong.

Gambar 1. Rangkaian Alat Penggoreng Dengan Pasir.


(1): Silinder/ tabung penggoreng, (2): Pasir, (3): Elemen pemanas, (4): Isolator panas
(5): Termokopel, (6): Pulley, (7): Belt, (8): As, (9): Slip ring

139

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Eksperimen Laboratorium
Eksperimen laboratorium yang dilakukan pada penelitian ini meliputi,
pengukuran, perhitungan, pengembangan model matematik, dan validasi model, serta
uji inderawi tingkat kerenyahan produk (kerupuk goreng pasir). Proses penggorengan
dengan pasir dilakukan dengan variasi diameter pasir, variasi rpm silinder, dan variasi
volume pasir, serta suhu selama proses penggorengan di record dengan data logger
setiap interval 5 detik.
a.

Bagan alir pelaksanaan penelitian


Alat goreng model drum
Rpm : 5, 12, 24, 36
Pasir kali diameter :
0,25 mm 0,50 mm
0,50 mm 1,00 mm
1,00 mm 2,00 mm
Pasir besi diameter :
0,10 mm 0,25 mm
0,25 mm 0,40 mm

Kerupuk mentah (ka 9% - 10 % bk)


Ukuran : 2cm x 2 cm
Tebal : 2 mm
Kerupuk digoreng
Variasi diameter pasir, rpm, T, dan
T = ( 180, 200, 220 C )
= ( 40, 50, 60, 70 detik )
Perubahan Kadar air M
(M M e )
Ea
= exp( K m . ) K m = B. exp

(M i M e )
R.T

Perubahan Volume V
(V Vmak )
Ea
= exp( K V . ) K V = B. exp

(Vi Vmak )
R.T
Perubahan tegangan
( min )
Ea
= exp( K . ) K = B. exp

( i min )
R.T
Perubahan Regangan
( min )
Ea
= exp( K . ) K = B. exp

( i min )
R.T
SeminarHasilPenelitianUGM2009

140

b. Pengukuran dan perhitungan


Pasir yang digunakan dalam penelitian ini berupa pasir besi dan pasir kali.
Kisaran diameter pasir yang digunakan dihitung dengan fineness modulus untuk
mendapatkan ukuran diameter rata-rata (Hendorson dan perry, 1980), dengan bentuk
persamaan berikut :

d = 0,0041( 2) FM .... ( 1 )
d = diameter pasir ( in )
FM = fineness modulus
Selama penggorengan produk goreng pasir (kerupuk) akan mengalami
perubahan parameter produk (kadar air, volume, tegangan, dan regangan). Perubahan
tersebut dapat menjadi lebih besar atau menjadi lebih kecil nilainya. Pengembangan
model matematik perubahan parameter produk selama penggorengan diuraikan sebagai
berikut :
Volume selama penggorengan (mengalami kenaikan)
dV
dV
= K V (Vmak V )
= K V (V Vmak )
d
d
V

V Vmak
dV
=
V (V Vmak ) 0 KV .d ln Vi Vmak = KV .
i
V Vmak

= exp( K V . ) ...................... ( 2 )
Vi Vmak
Seperti pada pindah panas, pindah massa produk pada penelitian ini juga
dimodelkan sebagai thin layer atau single kernel . Pada model ini kadar air bahan
adalah homogen diseluruh partikel. Kondisi ini dipenuhi pada nilai D/L2 > 1,5 (Hines
dan Maddox, 1985). Laju kehilangan air bahan proposional dengan perbedaan kadar air
bahan rata-rata dan kadar air keseimbangannya.
Laju perubahan massa produk sebagai akibat terjadinya perpindahan air saat
penggorengan dengan menggunakan pasir sebagai media penghantar panas, dapat ditulis
dengan model matematik sebagai berikut :
Kadar air selama penggorengan (mengalami penurunan)
dM
dM
= K m (M e M )
= K m .d
d
(M e M )
M

dM
M M e
Mo M M e = 0 ( K m .d ) ln M i M e = K m .
(M M e )
= exp( K m . ) ................................. ( 3 )
(M i M e )
Parameter produk (tegangan, dan regangan) selama penggorengan (mengalami
penurunan)
Untuk tegangan :
d
d
= K ( min )
= K .d
d
( min )

d
( min ) = 0 K .d
i

min
ln
i min

141

= K .

SeminarHasilPenelitianUGM2009

min

i min

= exp( K . ) ............................ ( 4 )

Untuk regangan :
min

= exp( K . ) ............................. ( 5 )
i min
Konstanta laju perubahan parameter produk (K) yang diperoleh dari hasil
perhitungan diatas tergantung pada suhu penggorengan. Konstanta laju perubahan
tersebut dikemukakan dengan persamaan Arrhenius sebagai berikut :
Ea
Ea
K = B. exp
+ ln( B) ............. ( 6 )
ln( K ) =
R.T
R.T

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perpindahan Massa
Rohsenow dan Choi (1961) menerangkan bahwa pindah massa terjadi
disebabkan adanya suatu perbedaan konsentrasi, yaitu pergerakan dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Seperti halnya pada pindah panas yang terjadi
karena adanya perbedaan suhu. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang
diterangkan oleh (Crank, 1986; Geankoplis, 1980) bahwa besarnya fluks massa atau laju
difusi suatu bahan yang melewati luas penampang adalah proposional dengan perbedaan
konsentrasi pada daerah yang ditinjau. Untuk memecahkan masalah perhitungan
kuantitatif pindah massa maka dilakukan analogi dengan pindah panas.
Massa yang dipindahkan dalam proses penggorengan ini adalah massa air yang
ada didalam produk yang digoreng. Seperti pada perpindahan panas, perpindahan
massa air pada penelitian ini juga dimodelkan sebagai Thin layer. Pada model ini
kadar air bahan homogen diseluruh partikel, dan laju kehilangan air bahan proposional
dengan perbedaan kadar air bahan dan kadar air keseimbangan dengan lingkungannya.
Hasil pengukuran kadar air bahan selama penggorengan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Kadar Air kerupuk selama penggorengan dengan pasir


Waktu T proses (180 C) T proses (200 C) T proses (220 C)
(detik)
% BK (obs)
% BK (obs)
% BK (obs)
0
9,04
9,04
9,04
10
8,72
8,41
7,54
20
7,91
7,42
6,35
30
7,25
6,44
5,12
40
6,53
5,43
4,13
50
5,85
4,61
3,41
60
5,25
3,83
2,75
70
4,65
3,32
2,21
90
4,06
2,64
1,65
120
3,02
1,71
1,02
150
2,63
1,35
0,74

SeminarHasilPenelitianUGM2009

142

Dari hasil pengukuran penurunan kadar air kerupuk selama penggorengan


mengikuti fungsi exponential. Kadar air seimbang (Me) terjadi apabila laju perubahan
kadar airnya = 0. Kondisi ini dapat dicapai apabila waktu proses cukup lama, dan
apabila waktu proses cukup lama, maka kadar air kerupuk akan mendekati 0. Sehingga
dapat dipastikan bahwa kadar air seimbang (Me) pada proses penggorengan dengan
suhu pasir 180C adalah = 0.
Nilai konstanta perubahan kadar air (Km) dapat dihitung dengan cara
memplotkan kadar air hasil pengukuran dari Tabel 1, dengan menggunakan persamaan
laju perubahan kadar air berikut :
M Me
= K m
LN
Mi Me
Sehingga diperoleh nilai konstanta perubahan kadar air (Km) sebagai fungsi suhu
seperti dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Konstanta perubahan kadar air (Km) hasil pengukuran
T ( C ) T ( Kelvin) 1/T Kelvin
Km
Ln ( Km )
180
453
0,002207 0,0087 -4,74443
200
473
0,002114 0,0133 -4,31999
220
493
0,002028 0,0181 -4,01184
Kemudian diselesaikan dengan persamaan Arrhenius sebagai berikut :
ln ( Km ) = -(Ea/RT) + ln ( B )
Km = B exp(-Ea/RT)
R = 8,314 kJ/mole.K
Diperoleh nilai Km = 74,672 exp(-4096,9/T)
Jadi model matematik untuk menduga kadar air selama proses penggorengan
adalah:
M M e
= ( 74 ,672 )( e 4096 , 9 / T ps )
LN
Mi Me
atau dapat ditulis dalam bentuk lain sebagai berikut :

M = M e + (M i M e ) exp{(74,672)(e

4096, 9 / Tps

) }

Hasil prediksi kadar air kerupuk selama proses penggorengan dapat dilihat pada
Tabel 3 dan Gambar 2. Tingkat kesalahan rata-rata kadar air prediksi sebesar 4,95 %,
dengan standar deviasi 6,85 %.
Waktu
(detik)
0
10
20
30
40
50

Tabel 3. Kadar air kerupuk observasi dan prediksi selama penggorengan


T proses (180C)
T proses (200C)
T proses (220C)
% BK
% BK
% BK
% BK
% BK
% BK
(obs)
(pred)
(obs)
(pred)
(obs)
(pred)
9,04
9,04
9,04
9,04
9,04
9,04
8,72
8,28
8,41
7,94
7,54
7,52
7,91
7,58
7,42
6,98
6,35
6,26
7,25
6,94
6,44
6,13
5,12
5,21
6,53
6,35
5,43
5,39
4,13
4,34
5,85
5,82
4,61
4,74
3,41
3,61

143

SeminarHasilPenelitianUGM2009

60
70
90
120
150

5,25
4,65
4,06
3,02
2,63

5,33
4,88
4,09
3,14
2,41

3,83
3,32
2,64
1,71
1,35

4,16
3,66
2,82
1,92
1,30

2,75
2,21
1,65
1,02
0,74

3,00
2,50
1,73
1,00
0,57

10,0

kadar air kerupuk (% bk)

T 180C (obs)
T 180C (pred)

7,5

T 200C (obs)
T 200C (pred)
T 220C (obs)

5,0

T 220C (pred)

2,5

0,0
0

40

80

120

160

200

240

280

320

Waktu proses (detik)

Gambar 2. Kadar air kerupuk prediksi dan observasi selama penggorengan


Volume
Penggorengan menyebabkan bahan makanan bersumber pati mengalami
pemekaran volume. Pemekaran bahan makanan bersumber pati (kerupuk) selama
penggorengan dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah (Haryadi, 1990). Lebih lanjut
Soekarto (1997) menjelaskan bahwa bahan makanan bersumber pati selama
penggorengan mencapai pemekaran maksimal pada kadar air bahan mentah tertentu.
Sebagai contoh kerupuk sagu dapat mekar dengan baik apabila bahan mentahnya
mempunyai kadar air pada kisaran 3,9 - 11,3 persen basis basah, dan kerupuk tapioka
pada kisaran kadar air 7,6 11,0 persen basis basah.
Pemekaran volume kerupuk sangat penting dalam penggorengan karena makin
besar volume pemekaran kerupuk makin renyah. Umumnya makin banyak kandungan
amilopektin, kerupuk makin mengembang. Hal ini karena bangunan amilopektin
kurang kompak dan kurang kuat menahan pengembangan volume massa selama
penggorengan. Namun demikian pengembangan volume kerupuk yang makin besar
mempunyai kelemahan karena akan menjebabkan kerupuk bersifat mudah menyerap air
(higroskopis) atau makin mudah melempem (Haryadi, 1993; Soekarto, 1997 ).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume kerupuk yang digoreng pasir
selama proses penggorengan mengalami kenaikan. Laju perubahan volume pada tahap
awal proses (30 detik pertama) cukup besar dan kemudian menurun. Laju perubahan
rasio volume dari 180 detik penggorengan ke 240 detik penggorengan cukup kecil atau
dapat dikatakan volume kerupuk relative tidak berubah (konstan). Dari hasil
pengukuran tersebut maka waktu penggorengan 240 detik digunakan sebagai acuan
volume maksimal. Hasil pengukuran (observasi) terhadap perubahan rasio volume
kerupuk goreng pasir dapat dilihat pada Tabel 4.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

144

Tabel 4. Rasio perubahan volume kerupuk goreng pasir pada variasi suhu proses
Waktu (detik) Suhu proses ( 180 C ) Suhu proses ( 200 C ) Suhu proses ( 220 C )
0
1
1
1
30
2,25
3,58
4,89
40
2,86
4,35
5,61
50
3,29
4,67
6,15
60
3,68
5,22
6,54
70
3,85
5,72
6,72
90
4,10
6,02
6,83
120
4,25
6,15
7,05
180
4,50
6,51
7,15
240
4,59
6,56
7,16
Nilai konstanta perubahan volume (Kv) dapat dihitung dengan cara memplotkan
rasio perubahan volume kerupuk hasil pengukuran dari Tabel 4, dengan menggunakan
persamaan laju perubahan volume berikut :
V Vmak
= K V .
ln
Vi Vmak
Sehingga diperoleh nilai konstanta perubahan volume (Kv) sebagai fungsi suhu
seperti dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Konstanta perubahan volume kerupuk (Kv) pada variasi suhu proses
T ( C ) T (Kelvin) 1/T Kelvin
Kv
ln (Kv)
220
493
0,00203 0,0345 -3,367
200
473
0,00211 0,0234 -3,755
180
453
0,00221 0,0208 -3,873
Kemudian diselesaikan dengan persamaan Arrhenius sebagai berikut :
ln( K v ) = ( Ea / RT ) + ln( B )
Kv = B exp(-Ea/RT)
R = 8,314 kJ/mole.K
2802 , 2 / T ps

Diperoleh nilai K V = ( 9 , 64558 ) e


Jadi model matematik untuk memprediksi rasio perubahan volume kerupuk
selama proses penggorengan adalah :

V Vmak
= (9,64558)(e 2802, 2 / Tps )
ln
Vi Vmak
atau dapat ditulis dalam bentuk lain sebagai berikut :

V = Vmak + (Vi Vmak ) exp{(9,64558)(e

2802, 2 / Tps

) }

Hasil prediksi rasio perubahan volume kerupuk selama proses penggorengan


mempunyai tingkat kesalahan rata-rata prediksi sebesar 2,76 %, dengan standar deviasi

145

SeminarHasilPenelitianUGM2009

4,35 %. Hasil selengkapnya dari prediksi rasio volume kerupuk goreng pasir pada 3
variasi suhu proses dapat dilihat pada Tabel 6, dan Gambar 3.
Tabel 6. Nilai observasi dan prediksi rasio volume kerupuk goreng pasir
waktu T proses (180 C)
T proses (200C)
T proses (220C)
(detik) V (obs) V (pred) V (obs) V (pred) V (obs) V (pred)
0
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
30
2,25
2,61
3,58
4,00
4,89
4,86
40
2,86
2,97
4,35
4,59
5,61
5,50
50
3,29
3,26
4,67
5,04
6,15
5,96
60
3,68
3,50
5,22
5,39
6,54
6,30
70
3,85
3,70
5,72
5,66
6,72
6,54
90
4,10
3,99
6,02
6,03
6,83
6,84
120
4,25
4,26
6,15
6,32
7,05
7,04
180
4,50
4,49
6,51
6,51
7,15
7,14
240
4,59
4,56
6,58
6,56
7,16
7,16

rasio volume kerupuk

T 180C (obs)
T 180C (pred)
T 200C (obs)

T 200C (pred)
T 220C (obs)
T 220C (pred)

0
0

40

80

120
160
200
waktu proses (detik)

240

280

320

Gambar 3. Nilai observasi dan prediksi rasio volume kerupuk goreng pasir
Tegangan dan Regangan
Tegangan dan regangan merupakan sifat fisik dari bahan, dan sering dikaji
sebagai parameter produk untuk menentukan tingkat kerenyahan bahan pangan.
Tegangan tekan (stress) merupakan ukuran dari kemampuan bahan untuk menahan gaya
tekan persatuan luas, untuk bahan pangan umumnya digunakan satuan N/mm2.
Regangan (strain) merupakan perbandingan dari deformasi suatu bahan dengan tebal
bahan sebelum menerima gaya tekan, sehingga regangan tidak mempunyai satuan
(dimensionless). Hasil pengukuran tegangan dan regangan kerupuk goreng pasir pada
beberapa variasi suhu dan lama penggorengan dapat dilihat pada Tabel 7.
Dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa selama penggorengan kerupuk
mengalami penurunan tegangan dan regangan. Tegangan dan regangan mencapai nilai
minimal pada waktu proses 300 detik, nilai tersebut diambil sebagai acuan karena
tegangan dan regangan sudah relative tidak mengalami penurunan (konstan) dari waktu
proses 240 detik ke 300 detik

SeminarHasilPenelitianUGM2009

146

Tabel 7. Perubahan tegangan dan regangan terhadap suhu dan lama penggorengan
Waktu
Tegangan ( )
Regangan ( )
(detik)
(N/ mm2)
T180C T 200C T 220C T180C T 200C T 220C
0
1,655
1,655
1,655
0,406
0,406
0,406
40
0,477
0,325
0,192
0,254
0,198
0,172
50
0,345
0,220
0,125
0,225
0,173
0,150
60
0,237
0,150
0,085
0,200
0,150
0,127
70
0,165
0,105
0,060
0,173
0,133
0,112
240
0,010
0,005
0,003
0,072
0,049
0,034
300
0,010
0,005
0,003
0,063
0,045
0,035
.
Nilai konstanta perubahan tegangan (K) dan regangan (K) dapat dihitung dengan cara
memplotkan hasil pengukuran perubahan tegangan dan regangan dari Tabel 7, dengan
menggunakan persamaan laju perubahan tegangan dan regangan berikut :

P Pmin
ln
Pi Pmin

= K , .

Sehingga diperoleh nilai konstanta perubahan tegangan (K) dan regangan (K) sebagai
fungsi suhu seperti dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Konstanta perubahan tegangan (K) dan regangan (K) kerupuk goreng pasir
Tegangan
Regangan
T ( C ) T (Kelvin) 1/T Kelvin
K
ln ( K )
K
ln ( K )
180
453
0,002207506 0,0328 -3,4173 0,0155 -4,1669
200
473
0,002114165 0,0405 -3,2064 0,0206 -3,8824
220
493
0,002028398 0,0502 -2,9917 0,0232 -3,7636
Kemudian diselesaikan dengan persamaan Arrhenius sebagai berikut :
Untuk nilai tegangan :
ln ( K ) = - (Ea/RT) + ln ( B )
K = B exp(-Ea/RT)
Diperoleh nilai K = ( 6,176798 ) e

2374 , 4 / T ps

Jadi model matematik untuk menduga perubahan tegangan kerupuk selama


penggorengan adalah:
min
ln
i min

= (6,177e 2374, 4 / T )( )

atau dapat ditulis dalam bentuk lain sebagai berikut :


= min + ( i min ) exp{(6,177e 2374, 4 / T )( )}

147

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Untuk nilai regangan :


ln ( K ) = - (Ea/RT) + ln ( B )
K = B exp(-Ea/RT)

2263 , 5 / T

ps
Diperoleh nilai K = ( 2,3476 ) e
Jadi model matematik untuk menduga perubahan regangan kerupuk selama
penggorengan adalah :

min
= (2,348)(e 2263,5 / T ps )( )
ln
i min
atau dapat ditulis dalam bentuk lain sebagai berikut :
2263, 5 / T ps
= min + ( i min ) exp{( 2,348)(e
)( )}

Hasil prediksi perubahan parameter produk (tegangan dan regangan) selama proses
penggorengan dengan menggunakan model matematik dianggap cukup baik karena
tingkat kesalahan rata-rata prediksi untuk tegangan sebesar 6,77 %, dengan standar
deviasi 4,28 %. Sedangkan tingkat kesalahan rata-rata prediksi untuk regangan
sebesar 3,35 %, dengan standar deviasi 2,75 %. Hasil selengkapnya dari prediksi
tegangan kerupuk goreng pasir dapat dilihat pada Tabel 9, dan Gambar 4, sedangkan
untuk regangan dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 5.
Waktu
(detik)
0
40
50
60
70
240
300

Tabel 9. Nilai observasi dan prediksi tegangan kerupuk goreng pasir


Tegangan (prediksi)
Tegangan (observasi)
2
(N/mm2)
(N/mm )
T180C
T 200C
T 220C
T180C
T 200C
T 220C
1,655
1,655
1,655
1,655
1,655
1,655
0,477
0,325
0,192
0,455
0,328
0,226
0,345
0,220
0,125
0,331
0,220
0,138
0,237
0,150
0,085
0,241
0,148
0,085
0,165
0,105
0,060
0,177
0,100
0,052
0,0101
0,0052
0,0027
0,0102
0,0052
0,0026
0,0096
0,0051
0,0026
0,0097
0,0051
0,0026
1,75

Tegangan (N/mm^2)

1,50

T180C (pred)
T200C (pred)

1,25

T220C (pred)

1,00

T180C (obs)
0,75

T200C (obs)

0,50

T220C (obs)

0,25
0,00
0

40

80

120

160

200

240

280

w aktu proses (detik)

Gambar 4. Nilai observsi dan prediksi tegangan kerupuk goreng pasir

SeminarHasilPenelitianUGM2009

148

320

Tabel 10. Nilai observasi dan prediksi regangan kerupuk goreng pasir
waktu
regangan (observasi)
regangan (prediksi)
(detik)
T180C
T 200C
T 220C
T180C
T 200C
T 220C
0
0,406
0,406
0,406
0,406
0,406
0,406
40
0,254
0,198
0,172
0,245
0,210
0,178
50
0,225
0,173
0,150
0,218
0,180
0,148
60
0,200
0,150
0,127
0,195
0,156
0,124
70
0,173
0,133
0,112
0,176
0,137
0,105
240
0,070
0,047
0,036
0,071
0,048
0,036
300
0,063
0,045
0,035
0,066
0,046
0,035
0,5

T 180C (pred)

0,4

Regangan

T 200C (pred)
T 220C (pred)

0,3

T 180C (obs)
T 200C (obs)

0,2

T 220C (obs)
0,1

0,0
0

40

80

120

160

200

240

280

320

waktu prose s (de tik)

Gambar 5. Nilai observsi dan prediksi regangan kerupuk goreng pasir


Kerenyahan
Kerenyahan merupakan salah satu sifat penting yang digunakan oleh konsumen
untuk menilai kualitas produk goreng. Kerenyahan makanan dapat dinilai pada
kemudahan terputusnya partikel-partikel penyusunnya apabila dilakukan pengunyahan.
Kemudahan pengunyahan makanan goreng tergantung pada ukuran kekukuhan granulagranula pati yang sudah mekar (Haryadi, 1990; Amerine et. al., 1985).
Uji terhadap tingkat kerenyahan (tekstur) produk (kerupuk goreng pasir)
dilakukan dengan uji skoring yang dilakukan secara inderawi (organoleptik). Panelis
yang digunakan adalah panelis semi terlatih dengan jumlah 20 orang. Panelis diminta
memberikan penilaian terhadap sample yang disajikan.
Pengujian dilakukan
berdasarkan skala numeric (skoring).
Uji inderawi ini dimaksudkan sebagai data tambahan yang dapat digunakan
untuk mendukung data sifat fisik (tegangan dan regangan) yang diukur secara
kuantitatif dengan alat ukur Universal Testing machine. Pada penelitian ini produk
(kerupuk) yang diuji secara inderawi adalah kerupuk yang digoreng menggunakan pasir
kali dengan diameter 0,75 mm. Diameter pasir 0,75 mm dipilih dengan pertimbangan
bahwa pasir pada ukuran tersebut nilai kontak panas permukaan (h) masih cukup besar,
serta pada ukuran tersebut pasir sudah tidak menempel pada kerupuk hasil
penggorengan. Hasil uji inderawi terhadap tingkat kerenyahan dan hasil pengukuran
sifat fisik (tegangan dan regangan) dengan alat ukur dapat dilihat pada Tabel 11 untuk

149

SeminarHasilPenelitianUGM2009

suhu proses 180 C, Tabel 12 untuk suhu proses 200 C, dan Tabel 13 untuk suhu proses
220 C.
Tabel 11. Nilai tegangan, regangan, dan skor nilai uji inderawi kerupuk goreng pasir
pada suhu proses 180 C.
Regangan
Nilai uji inderawi
Perlakuan
Kode sampel
Tegangan
2
(N/ mm )
Rpm
Waktu (detik)
5
40
854
0,499
0,271
1,00
5
50
855
0,360
0,242
1,30
5
60
856
0,251
0,224
2,30
5
70
857
0,184
0,198
2,75
12
40
814
0,487
0,263
1,00
12
50
815
0,354
0,234
1,40
12
60
816
0,245
0,211
2,40
12
70
817
0,176
0,185
2,85
24
40
824
0,477
0,254
1,20
24
50
825
0,345
0,225
1,50
24
60
826
0,237
0,200
2,50
24
70
827
0,165
0,173
2,95
36
40
834
0,472
0,250
1,20
36
50
835
0,341
0,223
1,50
36
60
836
0,235
0,196
2,50
36
70
837
0,162
0,169
2,95
Keterangan :
Skor /nilai uji inderawi : ( 1 ) = tidak renyah; ( 2 ) = agak renyah; ( 3 ) = renyah; ( 4 ) =
sangat renyah
Tabel 12. Nilai tegangan, regangan, dan skor nilai uji inderawi kerupuk goreng pasir
pada suhu proses 200 C.
Regangan
Nilai uji inderawi
Perlakuan
Kode sampel
Tegangan
2
(N/ mm )
Rpm
Waktu (detik)
5
40
054
0,341
0,215
1,50
5
50
055
0,234
0,187
2,50
5
60
056
0,165
0,167
2,95
5
70
057
0,120
0,149
3,40
12
40
014
0,330
0,206
1,60
12
50
015
0,226
0,179
2,60
12
60
016
0,157
0,158
3,15
12
70
017
0,112
0,140
3,50
24
40
024
0,325
0,198
1,70
24
50
025
0,220
0,173
2,70
24
60
026
0,150
0,150
3,25
24
70
027
0,105
0,133
3,65
36
40
034
0,321
0,195
1,75
36
50
035
0,218
0,170
2,75
36
60
036
0,147
0,149
3,25
36
70
037
0,102
0,130
3,65

SeminarHasilPenelitianUGM2009

150

Keterangan :
Skor /nilai uji inderawi : ( 1 ) = tidak renyah; ( 2 ) = agak renyah; ( 3 ) = renyah; ( 4 ) =
sangat renyah

Tabel 13. Nilai tegangan, regangan, dan skor nilai uji inderawi kerupuk goreng pasir
pada suhu proses 220 C.
Regangan
Nilai uji inderawi
Perlakuan
Kode sampel
Tegangan
(N/ mm2)
Rpm
Waktu (detik)
5
40
254
0,215
0,194
2,75
5
50
255
0,143
0,170
3,15
5
60
256
0,105
0,145
3,55
5
70
257
0.078
0,131
3,75
12
40
214
0,201
0,180
2,85
12
50
215
0,132
0,159
3,25
12
60
216
0,094
0,136
3,65
12
70
217
0,067
0,121
3,80
24
40
224
0,192
0,172
2,90
24
50
225
0,125
0,150
3,35
24
60
226
0,085
0,127
3,75
24
70
227
0,060
0,112
3,85
36
40
234
0,190
0,169
2,90
36
50
235
0,122
0,147
3,35
36
60
236
0,081
0,124
3,75
36
70
237
0,058
0,110
3,85
Keterangan :
Skor /nilai uji inderawi : ( 1 ) = tidak renyah; ( 2 ) = agak renyah; ( 3 ) = renyah; ( 4 ) =
sangat renyah
Hasil uji inderawi diperoleh bahwa kerupuk goreng pasir yang mempunyai skor
3,00 sampai dengan 4,00 adalah kerupuk yang menurut penilaian panelis berada pada
tekstur renyah sampai renyah sekali. Sehingga disarankan bahwa pada suhu proses
(suhu pasir) 220 C dengan rpm 5,12, 24, atau 36 kerupuk dapat dilakukan penggorengan
selama 50, 60, dan 70 detik. Pada suhu proses 200 C dengan rpm 5 kerupuk digoreng
selama minimal 70 detik, dan apabila menggunakan rpm 12, 24 atau 36 sebaiknya
digoreng selama 60 atau 70 detik. Pada suhu proses 180 C dengan rpm dan waktu
proses yang diujikan dalam penelitian nilai skor uji inderawinya kurang dari renyah,
dengan skor tertinggi sebesar 2,95 yaitu pada rpm 24 dan 36 dengan lama penggorengan
70 detik.
Hasil uji inderawi terhadap kerupuk goreng pasir, dan hasil pengukuran sifat
fisik (tegangan-regangan) dapat dilihat pada Gambar 6 Dari gambar tersebut dapat
dilihat bahwa kerupuk goreng pasir mempunyai tekstur renyah sampai sanagat renyah
(skor uji inderawi 3 4), apabila tegangannya 0,150 N/mm2 dan regangannya
0,175; Kerupuk mempunyai tekstur agak renyah sampai renyah (skor uji inderawi 2
3), apabila tegangannya berada pada kisaran 0,15 N/mm2 0,30 N/mm2, dan
regangannya berada pada kisaran 0,175 0,225; Kerupuk mempunyai tekstur tidak
renyah sampai agak renyah (skor uji inderawi 1 2), apabila tegangannya > 0,30
N/mm2 dan regangannya > 0,20.

151

SeminarHasilPenelitianUGM2009

0,60

tegangan (N/mm^2)

renyah - sangat renyah


agak renyah - renyah

0,45

tidak renyah - agak renyah

0,30

0,15

0,00
0,10

0,20
regangan

0,30

Gambar 6. Tingkat kerenyahan kerupuk goreng pasir berdasarkan nilai tegangan dan
rengangan
KESIMPULAN
1. Tingkat kesalahan rata-rata prediksi kadar air kerupuk selama proses penggorengan
4,95 persen dengan standar deviasi 6,85 persen.
2. Model matematik konstanta pindah massa air kerupuk pada penggorengan :

= ( 74 , 672 ) e

4096 , 9 / T

ps

Model matematik untuk menduga kadar air kerupuk selama penggorengan :

M = M e + ( M i M e ) exp{( 74 ,672 )( e
3.
4.
5.

4096 , 9 / T ps

) }

Tingkat kesalahan rata-rata prediksi rasio perubahan volume kerupuk selama


penggorengan 2,76 persen dengan standar deviasi 4,35 persen.
Kerupuk yang digoreng pada suhu pasir 180 C mempunyai volume pengembangan
maksimal 4,59 kali, sedangkan pada suhu proses 220 C mempunyai rasio volume
pengembangan maksimal sebesar 7,16 kali dengan waktu proses 240 detik.
Model matematik konstanta perubahan rasio volume kerupuk pada penggorengan :

K v = ( 9 , 646 ) e

2802 , 2 / T ps

Model matematik untuk menduga rasio volume kerupuk selama penggorengan:

V = Vmak + (Vi Vmak ) exp{(9,646)(e


6.
7.

2802, 2 / Tps

) }

Tingkat kesalahan rata-rata prediksi tegangan kerupuk selama proses penggorengan


6,77 persen dengan standar deviasi 4,28 persen.
Model matematik konstanta perubahan tegangan kerupuk pada penggorengan

K = ( 6,176798 ) e

2374 , 4 / T ps

Model matematik untuk menduga tegangan kerupuk selama penggorengan :

= min + ( i min ) exp{(6,177e 2374, 4 / T )( )}

8.

Tingkat kesalahan rata-rata prediksi regangan kerupuk selama proses penggorengan


3,35 persen dengan standar deviasi 2,75 persen.
Model matematik konstanta perubahan regangan kerupuk pada penggorengan :

SeminarHasilPenelitianUGM2009

152

K = ( 2,3476 ) e

2263 , 5 / T ps

Model matematik untuk menduga regangan kerupuk selama penggorengan :

= min + ( i min ) exp{( 2,348)(e

2263, 5 / T ps

)( )}

Pada nilai tegangan 0,15 N/m2 dan regangan 0,175 kerupuk goreng pasir
mempunyai tekstur renyah sampai renyah sekali dengan skor uji inderawi antara 3,0
sampai 4,0.
10. Pada suhu proses 180 C dengan rpm dan waktu proses yang diujikan dalam
penelitian ini, kerupuk goreng pasir mempunyai tekkstur kurang dari renyah.
11. Pada suhu proses 200 C dengan rpm 5, selama 70 detik penggorengan, serta dengan
rpm 12, 24, dan 36, selama 60 dan 70 detik penggorengan, kerupuk goreng pasir
mempunyai tekstur renyah sampai renyah sekali.
12. Pada suhu proses 220 C dengan rpm 5,12, 24, dan 36, selama 50, 60, dan 70 detik
penggorengan, kerupuk goreng pasir mempunyai tekstur renyah sampai renyah
sekali.
9.

DAFTAR PUSTAKA
Amerine, M A, Pangborn, R M, and Roessler, E B, Priciple of Sensory Evaluation of
Food, Academic Press, New York (1985).
Crank, J, The mathematics of Diffusion. Clarendon Press, Oxford (1986).
Geankoplis, C J, Transport Processes and Unit Operations. Allyn and Bacon, Inc.
Boston (1980).
Haryadi, Pengaruh Kadar Amilosa Beberapa Jenis Pati Terhadap Pengembangan,
Higroskopisitas dan Sifat InderawiInderawi Kerupuk. Lembaga Penelitian
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1990).
Haryadi, Dasar-dasar dan Pemanfaatan Ilmu dan Teknologi Pati. Agritect 13(3),
pp.37-42, Fakultas Teknologi pertanian UGM (1993).
Henderson, S M, dan Perry, R L, Agricultural Process Engineering. AVI Publishing
Company, Inc. Westport, Connecticut (1980).
Hines, A L, dan Maddox, R N, Mass Transfer Fundamentals and Applications.
Prentice-Hall, Inc., New Jersey (1985).
Holman, J P, Heat Transfer. Mc. Graw Hill Ltd., USA (1986).
Levine, L, Understanding Frying Operations. Cereal Foods World, 35, pp.272 -273
(1990)
Rohsenow, W M, dan Choi, H, Heat Mass and Momentum Transfer. Prentice-Hall
Inc., Englewood Cliffs, New Jersey (1961).
Siswantoro, Model Matematik Transfer Panas pada Penggorengan Menggunakan
Pasir. Makalah Seminar Nasional PERTETA, UGM-Yogyakarta (2008).
Soekarto, S T,
Perbandingan Pengaruh Kadar Air Kerupuk Mentah Pada
Penggorengan dengan Minyak dan dengan Oven Gelombang Mikro. Proseding
Seminar Teknologi Pangan. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan RI (1997).
Supriyanto, Proses Penggorengan Bahan Makanan Berpati : Kajian Nisbah Amilosa
Amilopektin. Disertasi S3, Program Studi teknik Pertanian, UGM (2007).

153

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

154

PENGEMBANGAN MODEL PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA


PENGGORENGAN VAKUM BUAH NANGKA
Jamaluddin1), Budi Rahardjo2), Pudji Hastuti2), Rochmadi3)
1)
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Makassar
2)
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
3)
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model matematik perpindahan
panas dan massa secara simultan penggorengan vakum buah nangka. Sampel
penelitian adalah buah nangka digoreng dengan variasi suhu, waktu dan tekanan
vakum. Parameter yang diamati adalah penurunan kadar air, penyerapan minyak,
perubahan pati, sukrosa, glukosa dan -karoten di dalam padatan nangka. Model
matematika dikembangkan dengan memasukkan kondisi dan karakteristik bahan baku.
Metode penyusunan elemen perpindahan panas dan massa dimodelkan dengan model
fisik lump capasitance dan dibuat secara simultan dengan sistem persamaan
diferensial ordiner order satu secara numerik menggunakan metode Runge-Kutta yang
diselesaikan dengan Program MATLAB untuk memperoleh kesesuaian antara data
percobaan dengan data hasil simulasi. Model matematik yang telah dikembangkan
diverifikasi dan diuji kepekaannya dengan data percobaan, kemudian hasilnya
digunakan untuk menemukan pengaruh kondisi dan karakteristik bahan baku dengan
fenomena perpindahan panas dan massa. Hasil simulasi perubahan suhu, penurunan
kadar air dan penyerapan minyak selama proses penggorengan secara vakum pada
suhu minyak 100 oC didapat nilai R2 masing-masing adalah 0,965, 0,988 dan 0,943
menunjukkan nilai R2 lebih besar dari 0,75, sehinnga model yang diuji dapat
dinyatakan valid. Hal ini menjelaskan bahwa model matematik yang dikembangkan
cukup baik untuk menjelaskan fenomena perpindahan panas dan massa secara simultan
selama proses penggorengan vakum buah nangka.
Kata kunci : Model matematika, perpindahan panas, perpindahan massa dan
penggorengan vakum
PENDAHULUAN
Salah satu bagian tanaman nangka yang sudah populer dikembangkan saat ini
adalah buah nangka, yang diolah dengan proses penggorengan secara vakum menjadi
keripik nangka. Selama penggorengan vakum buah nangka, terjadi perpindahan panas
dan massa secara simultan. Pepindahan panas terjadi dari minyak panas ke permukaan
bahan dan merambat ke dalam bahan, sehingga kandungan air bahan keluar dalam
bentuk uap air ke permukaan, kemudian pada waktu yang bersamaan bahan menyerap
minyak (perpindahan massa). Kondisi ini menyebabkan banyak perubahan dalam
padatan nangka yang digoreng, baik secara fisik maupun kimiawi. Perubahan secara
fisik antara lain pemasakan bisa menjadi lebih cepat, garing, perubahan volume,
memiliki tekstur yang renyah dan pengembangan rasa, sedangkan perubahan secara
kimiawi antara lain penguapan air, penyerapan minyak, gelatinisasi pati, denaturasi
protein, pencoklatan non enzimatik dan perubahan warna pada bahan yang digoreng
dari warna alaminya (Farkas, Sing dan Rumsey, 1996a; Yamsaengsung dan Moreira,
2002a).

155

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk menggambarkan kondisi dan


perubahan yang terjadi selama proses penggorengan pada bahan pangan. Atteba dan
Mittal (1994) telah mengembangkan model untuk memprediksi penyebaran panas,
penurunan kandungan air dan penyerapan minyak pada penggorengan bakso daging
dengan menggunakan persamaan difusi untuk penyebaran panas dan penguapan air,
selama masa absorbsi dan persamaan aliran kapiler untuk penyerapan minyak selama
masa desorbsi. Akan tetapi permasalahan yang belum berhasil dijelaskan dalam
penelitiannya adalah pengaruh kondisi bahan baku terhadap peristiwa perpindahan
massa dan panas secara simultan selama proses penggorengan berlangsung. Supriyanto
(2007) telah memodelkan secara baik untuk menggambarkan fenomena pemanasan,
penurunan kadar air dan peningkatan kadar minyak pada bahan makanan sumber pati,
dan menjelaskan bahwa proses transfer massa air berlangsung dari dalam ke permukaan
bahan karena adanya perbedaan konsentrasi massa air antara bagian dalam dan
permukaan. Proses transfer massa minyak masuk ke dalam bahan dengan cara difusi
karena adanya perbedaan konsentrasi minyak antara bagian permukaan dan bagian
dalam bahan. Perubahan volume produk dipengaruhi oleh nisbah amilosa dan
amilopektin. Akan tetapi penelitian tersebut hanya memperhitungkan adanya energi
panas untuk proses gelatinisasi, perubahan fase, dan pemasakan bahan, sedangkan
energi panas untuk proses denaturasi, pencoklatan, dan perubahan warna alami produk
belum dimasukkan ke dalam model.
Model-model yang telah dikembangkan tersebut sampai sekarang telah
menggambarkan perubahan yang terjadi selama proses penggorengan, namun belum
menjelaskan hubungan antara karakteristik bahan baku dan proses dengan produk yang
dihasilkan. Oleh sebab itu penelitian lebih komprehensif masih perlu untuk lebih
dikembangkan agar diperoleh pemahaman yang lebih baik pada proses penggorengan
bahan pangan. Salah satunya adalah dengan cara mempertimbangkan karakteristik
bahan baku dengan teknik proses agar diperoleh produk yang sesuai dengan standar
mutu yang diinginkan. Saat ini belum banyak penelitian yang memperlihatkan
hubungan antara karakteristik bahan baku dengan perpindahan panas dan massa secara
simultan.
Diharapkan dengan pemahaman dan pengkajian lebih mendalam untuk
menemukan model matematik yang sesuai, maka fenomena perpindahan panas dan
massa secara simultan, selama proses penggorengan vakum dengan bahan baku buah
nangka, akan dapat dijelaskan dengan baik. Dengan model ini, rekayasa kualitas pada
produk goreng dimungkinkan untuk dilakukan, untuk dapat memenuhi selera konsumen
dalam usaha menyelaraskan dengan isu kesehatan, dan menghasilkan produk gorengan
yang lebih berkualitas untuk pengembangan teknologi dalam proses penggorengan
vakum. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model
matematik perpindahan panas dan massa secara simultan proses penggorengan buah
nangka pada keadaan vakum dengan mempertimbangkan karakteristik dan kondisi
bahan baku ke dalam model.
Perpindahan panas selalu diikuti dengan penguapan air dan penyerapan minyak.
Perpindahan panas, adalah proses perpindahan panas dari minyak panas ke dalam bahan
yang digoreng. Perpindahan massa, adalah proses perpindahan massa uap air dari
permukaan bahan ke udara yang diikuti oleh penyerapan minyak dalam bahan. Proses
perpindahan panas terjadi karena suhu bahan lebih rendah daripada suhu minyak,
sehingga panas merambat ke dalam bahan yang digoreng melalui minyak panas
kemudian menaikkan suhu bahan dan menyebabkan tekanan uap air di dalam bahan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

156

lebih tinggi daripada tekanan uap air di udara, maka terjadi perpindahan uap air dari
bahan ke udara, dan secara bersamaan bahan akan menyerap minyak. Kedua peristiwa
ini terjadi secara simultan, sehingga dalam peristiwa penggorengan bahan pangan
fenomena perpindahan panas dan massa sebaiknya dikaji secara bersama-sama (Grafik
1). Perpindahan panas yang terjadi selama proses penggorengan deep fat frying adalah
perpindahan panas secara konveksi, yaitu dari minyak panas ke permukaan bahan yang
digoreng (Fellow, 1988). Sementara perpindahan panas dari permukaan bahan ke dalam
bahan berlangsung secara konduksi (Meyer, 1982). Beberapa model kondisi
penggorengan untuk mempelajari perpindahan panas dan massa selama penggorengan
produk telah dibuat oleh Chen dan Moreira (1996); Kawas dan Moreira (2000);
Yamsaengsung dan Moreira (2002b). Hasil-hasil penelitiannya menunjukkan profil
suhu percobaan dan prediksi mempelihatkan adanya suatu periode pemanasan sensibel
singkat sampai suhu produk mencapai titik didih air, kemudian periode pemanasan
sensibel, sampel memasuki periode suhu tetap pada saat semua panas yang digunakan
untuk menguapkan air dari produk sudah mencapai kondisi konstan.
Penguapan Air

Penyerapan Minyak
Konveksi

Difusi

Konduksi

Konveksi
Penguapan Air
Penyerapan Minyak

Grafik 1. Mekanisme perpindahan panas dan massa proses penggorengan vakum buah
nangka.
Farkas et. al., (1996b) menemukan model perpindahan panas dan massa yang
lebih terperinci pada penggorengan keripik kentang. Ni dan Datta (1999)
mengembangkan model media berpori multifasa untuk menstimulasi penggorengan
keripik kentang berdasarkan pendekatan Whitaker (1977), model tersebut melibatkan
aliran yang disebabkan tekanan, namun model tersebut tidak mencakup fasa minyak dan
belum memperhitungkan perubahan porositas produk dan pengaruhnya terhadap
perpindahan panas dan massa sistem. Supriyanto, (2007) telah meneliti proses
penggorengan bahan makanan sumber pati, dan menjelaskan bahwa energi panas yang
diterima oleh bahan makanan yang digoreng digunakan untuk menaikkan suhu bahan,
proses gelatinisasi, penguapan air dan pemasakan bahan. Perpindahan massa yang
terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu penguapan air dan penyerapan
minyak. Bahan makanan mengalami penurunan kadar air selama proses penggorengan
dalam dua cara, pertama perpindahan massa air terjadi dari dalam ke permukaan bahan
kemudian menguap kelingkungan, dan kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi
di dalam bahan yang digoreng. Supriyanto, (2007) juga telah menjelaskan bahwa massa
minyak masuk ke dalam bahan dengan cara difusi karena adanya perbedaan konsentrasi
minyak pada bagian permukaan dengan bagian dalam bahan.

157

SeminarHasilPenelitianUGM2009

METODE PENELITIAN
Landasan Teori dan Pengembangan Model
Pada proses penggorengan vakum buah nangka, panas yang diterima oleh
padatan diduga akan digunakan antara lain; untuk menaikkan suhu bahan, proses reaksi
panas penguapan (perubahan pase cair menjadi uap), proses reaksi gelatinisasi pati,
proses reaksi pencoklatan non enzimatik (karamelisasi dan Maillard), perubahan warna
alami dan pemasakan di dalam bahan. Model matematika perpindahan panas dan massa
disusun berdasarkan pada jumlah komponen yang ada di dalam padatan nangka yang
diduga akan mengalami reaksi dan perubahan selama proses penggorengan.
Perpindahan massa dan panas akan dimodelkan dengan model fisik lump
capacitance. Pada Grafik 2 dijelaskan laju massa dan panas yang mengalir melewati
bahan padatan nangka setebal L dan seluas A. Asumsi-asumsi utama yang akan
digunakan dalam menyusun model perpindahan panas dan massa adalah sebagai
berikut:
1. Suhu dan konsentrasi bahan (air, minyak, pati, sukrosa, gula reduksi, dan karoten) dalam padatan dianggap merata di seluruh padatan, termasuk di
permukaan padatan.
2. Penyerapan minyak terjadi selama proses penggorengan, sedangkan selama
pendinginan diabaikan.
minyak masuk

panas reaksi
L

panas penguapan

panas

Grafik 2. Neraca massa dan panas di elemen volum padatan Nangka


Perpindahan Massa
Neraca massa setiap komponen yang ada di dalam elemen volum padatan
(nangka) berdasarkan Grafik 2, kemudian disusun sebagai berikut.
Neraca Massa Air di Padatan
dC a
2
(1)
= k g (C a .C pt ) k pf C a* C a
dt
L
Kondisi awal (initial condition/IC) :
t = 0 Ca (L,0) f(IC) untuk semua posisi L
(2)
Neraca Massa Minyak di Padatan
dC m 2
= k m C m* C m
(3)
dt
L
Kondisi awal (initial condition/IC) :
(L,0)

f(IC)
untuk
semua
posisi
L
t = 0Cm
(4)
Neraca Massa Pati di Padatan
dC pt
(5)
= k g (C a .C p t )
dt
Neraca Massa Sukrosa di Padatan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

158

dC sk
= k km (C sk )
dt
Neraca Massa Gula Reduksi di Padatan
dC gr
= k ml (C gr .C am )
dt
Neraca Massa -karoten di Padatan
dC k
= k k (C k )
dt

(6)

(7)

(8)

Perpindahan Panas
Berdasarkan pada Grafik 2 maka disusun neraca panas pada elemen volum
padatan (nangka) setebal L, luas A, yang dijabarkan sebagai berikut.
dT
1
2
2
=
2h(Tm T ) + rm C p (Tm T ) rpf . rg HRg rkm HRkm dt C P
L
L
(9)

rml Hrml rk HRk )

Kondisi awal (initial condition/IC) :


t=0
T = T awal untuk semua posisi L
(10)
Persamaan (1, 3, 5, 6, 7, 8 dan 9) adalah persamaan diferensial ordiner order satu
yang diselesaikan secara simultan dengan cara numerik, menggunakan Program
MATLAB.
Bahan dan Alat
Bahan dasar dalam penelitian ini adalah buah nangka jenis nangka salak. Alat
utama yang digunakan untuk penggorengan sampel adalah penggorengan vakum
(vacuum frying) dilengkapi data logger dengan sistem komputer, alat penggorengan
vakum dibuat khusus untuk skala laboratorium dan dirancang sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Alat pendukung antara lain; pisau stainless steel, alas untuk mengiris bahan
dari kayu, toples plastik yang diberi lapisan kertas aluminium voil, peniris dan
timbangan. Sedangkan untuk analisa kimia dan fisik digunakan termometer, stopwatch,
gelas ukur, pipet, mikrometer, timbangan analitik, oven, eksikator, alat ukur analisa
kadar air, minyak, pati, sukrosa, gula reduksi, -karoten, kalorimeter Hunter dan
Material Testing Machine Do-FBO.STS (Zwich/Zo.5).
Rancangan Percobaan
Kombinasi kisaran suhu, waktu dan tekanan vakum pada penelitian ini adalah;
suhu (70 oC, 80 oC, 90 oC dan 100 oC); waktu (15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60
menit); tekanan vakum (79,8 kPa; 86,45 kPa dan 93,1 kPa). Selama proses
penggorengan diamati perubahan suhu minyak dipermukaan dan dititik tengah sampel
dengan termokopel tipe K yang dilengkapi pembacaan dan data logger dengan akurasi
1oC. Selanjutnya diukur pula perubahan kadar air, minyak, pati, sukrosa, gula reduksi,
-karoten, dan perubahan warna di dalam padatan sebelum dan setelah digoreng.
Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan untuk setiap satu kali proses dan
semua proses penelitian dilakukan sebanyak tiga kali.

159

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Analisis Bahan
Kadar Air
Kadar air bahan ditentukan sebelum dan sesudah penggorengan menggunakan
metode oven vakum (AOAC, 1970) dengan ukuran sampel 10 g dibuat sebanyak 3
sampel.
Kadar Minyak
Kadar minyak bahan ditentukan sebelum dan sesudah penggorengan
menggunakan metode soxhlet (Goldfisch, AOAC) dengan cara bahan dihaluskan
sebelumnya dengan alat destilasi soxhlet kemudian diekstrak selama 3 sampai 4 jam dan
dioven sampai mencapai berat konstan.
Kadar Pati, Sukrosa dan Gula Reduksi
Kadar sukrosa dan gula reduksi ditentukan sebelum dan sesudah penggorengan
dengan metode (Spektrofotometri, Metode Nelson-Somogyi, AOAC, 1995).
Kadar -Karoten
Kadar -Karoten ditentukan sebelum dan sesudah penggorengan dengan metode
Carr Price (Winstein dan Dallas, 1972). Semua percobaan dilakukan 3 (tiga) kali proses
dan setiap proses dilakukan 3 (tiga) kali ulangan.
Analisis Data
Analisis Numerik
Analisis numerik digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan diferensial
ordiner order satu secara simultan antara lain; perpindahan massa meliputi perubahan
kadar air, kadar minyak, kadar pati, kadar sukrosa, kadar glukosa dan kadar -karoten
serta perpindahan panas dengan program Matlab untuk memperoleh kesesuaian antara
data percobaan dengan prediksi.
Analisis Statistik
Analisis data dilakukan dengan analisis statistik menggunakan regresi atau
dengan menggunakan program komputer yang tersedia (excel). Analisis statistik yang
akan digunakan adalah analisis korelasi produk moment, tujuannya untuk mencari
hubungan antara data hasil observasi dengan hasil prediksi. Data-data yang akan
dikorelasikan antara lain adalah; suhu di dalam padatan, penurunan kadar air, dan
penyerapan minyak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbagai variasi suhu minyak dan tekanan vakum pada penggorengan vakum
buah ditunjukkan pada Grafik 3a, 3b, 3c dan 3d. Dari gambar tersebut nampak
perubahan suhu buah nangka yang digoreng meningkat sangat cepat setelah menit ke 5,
diduga pada kondisi ini energi panas dari minyak goreng digunakan untuk proses
gelatinisasi dan proses penguapan air (perubahan fase dari cair menjadi uap) di dalam
padatan nangka yang digoreng. Selama proses perubahan fase dari cari menjadi uap
dibutuhkan energi yang cukup besar, sedangkan persediaan energi dari sumber panas
konstan, oleh sebab itu suhu buah nangka pada kondisi tersebut tidak mengalami
kenaikan pada waktu tertentu. Selain itu karena adanya tekanan vakum selama proses
penggorengan, maka titik didih air dan minyak turun, sehingga energi yang tersedia
digunakan untuk penguapan air di dalam padatan nangka. Setelah proses perubahan fase
selesai suhu di dalam padatan nangka kembali perlahan-lahan naik mendekati atau sama
dengan suhu minyak goreng sampai proses selesai. Setelah proses penggorengan
melewati kondisi ini selanjutnya suhu padatan nangka meningkat lagi mendekati atau

SeminarHasilPenelitianUGM2009

160

sama dengan suhu minyak goreng, dan setelah itu nampaknya suhu minyak goreng
cederung menjadi konstan. Pada kondisi ini suhu minyak goreng diduga lebih banyak
digunakan untuk proses pemasakan dan penguapan lebih lanjut sampai akhir proses
penggorengan atau padatan nangka menjadi masak. Hasil penelitian ini sama dengan
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Supriyanto, (2007). Hasil penelitiannya
menjelaskan bahwa energi panas dalam proses penggorengan makanan berpati
digunakan antara lain untuk; menaikkan suhu bahan, proses gelatinisasi, penguapan air,
dan pemasakan.

(a)

(b)

(c)
(d)
Grafik 3. Riwayat suhu selama proses penggorengan buah nangka pada keadaan vakum
(a) suhu 70 oC (b) suhu 80 oC (c) suhu 90 oC dan (d) suhu 100 oC
Pada proses penggorengan dengan suhu tinggi, energi panas yang masuk ke
dalam buah nangka yang digoreng lebih besar jika dibandingkan dengan suhu yang
lebih rendah, atau sebaliknya. Sehingga buah nangka yang digoreng pada suhu tinggi
lebih cepat menjadi matang jika dibandingkan dengan suhu yang lebih rendah. Hasil
yang diperoleh dalam penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Winarno (1980) yang menjelaskan bahwa dalam proses pemanasan ada hubungan
antara suhu dan lama penggorengan, jika suhu yang digunakan rendah maka waktu
pemanasan akan lebih lama, sebaliknya apabila suhu yang digunakan tinggi waktu
pemanasannya akan menjadi lebih singkat. Selanjutnya dari grafik 3a, 3b, 3c dan 3d
tersebut nampak bahwa penggorengan padatan nangka yang dilakukan pada suhu
minyak lebih tinggi dengan tekanan vakum lebih rendah memerlukan waktu yang lebih
singkat sampai suhu sampel sama dengan suhu minyak, sehingga lama penggorengan
lebih singkat sampai bahan menjadi matang jika dibandingkan dengan suhu rendah dan
tekanan vakum tinggi.

161

SeminarHasilPenelitianUGM2009

(a)

(b)

(c)
(d)
Grafik 4. Perubahan kadar air proses penggorengan buah nangka pada keadaan vakum
(a) suhu 70 oC (b) suhu 80 oC (c) suhu 90 oC dan (d) suhu 100 oC
Penurunan kadar air di dalam nangka yang digoreng dicirikan oleh adanya
penguapan air dengan terjadinya gelembung gas dari permukaan nangka ke media
minyak panas. Penurunan kadar air selama proses penggorengan diduga disebabkan
karena hilangnya sebagian air dalam padatan nangka yang terjadi dalam dua cara;
pertama transfer massa air dari dalam ke permukaan padatan nangka yang kemudian
menguap kelingkungan (dalam minyak panas), dan kedua perubahan massa air menjadi
uap yang terjadi di dalam padatan nangka. Pada Grafik 4a, 4b, 4c dan 4c disajikan
penurunan kadar air di dalam padatan nangka yang digoreng pada suhu minyak dan
tekanan vakum yang berbeda-beda. Dari grafik tersebut nampak bahwa pada
penggorengan dengan suhu minyak lebih tinggi dan tekanan vakum lebih rendah,
penurunan kadar air padatan nangka di awal penggorengan berlangsung secara cepat
setelah menit ke 15, sedangkan buah nangka yang digoreng pada suhu minyak yang
lebih rendah dan tekanan vakum lebih tinggi penurunan kadar di dalam padatan nangka
berlangsung lebih lama sekitar 20 menit sampai 30 menit, kemudian laju penurunan
kadar air semakin menurun setelah menit ke 30 dan kemudian kadar air di dalam
padatan nangka menjadi konstan sampai akhir penggorengan. Hasil yang telah
ditemukan dalam penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dikemukakan
oleh Garayo dan Moreira (2002). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kentang
yang digoreng pada suhu lebih tinggi (144 oC) dan tekanan vakum 3,113 kPa

SeminarHasilPenelitianUGM2009

162

memerlukan waktu lebih singkat (360 detik) untuk mencapai kadar air yang sama pada
suhu 132 oC dan 118 oC (tekanan sama 3,113 kPa).
Diawal proses penggorengan diduga energi panas dari minyak goreng digunakan
untuk memanaskan bagian permukaan padatan nangka yang digoreng, sehingga proses
penguapan berlangsung di permukaan padatan nangka, dan setelah proses tersebut
berlangsung baru kemudian energi panas dari minyak goreng digunakan untuk
memanaskan bagian dalam padatan nangka, pada kondisi ini proses perpindahan massa
air mulai berlangsung dari bagian dalam ke permukaan padatan nangka, proses ini
terjadi disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi massa air antara bagian dalam
dan permukaan padatan nangka, perpindahan massa terjadi karena konsentrasi massa air
di permukaan apdatan nangka lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrasi massa
air di bagian dalam padatan nangka, sehingga menyebabkan air yang berada dibagian
permukaan padatan nangka akan lebih cepat menjadi uap dan karena adanya kontak
langsung dengan minyak goreng.
Selama proses penggorengan secara vakum, kadar minyak di dalam padatan
nangka mengalami peningkatan. Proses penyerapan minyak diduga terjadi pada saat air
secara serempak mulai keluar dari dalam melalui pori-pori, kemudian pada saat yang
bersamaan massa minyak masuk ke dalam padatan nangka yang digoreng. Pada Grafik
5a, 5b, 5c dan 5d dijelaskan pengaruh suhu minyak dan tekanan vakum terhadap proses
penyerapan minyak di dalam padatan nangka yang digoreng pada berbagai variasi suhu
minyak dan tekanan vakum. Dari grafik tersebut nampak minyak mulai masuk ke dalam
padatan nangka yang digoreng secara perlahan-lahan diawal proses penggorengan
menjadi lebih cepat setelah menit ke 15 dan semakin meningkat setelah menit ke 30
proses penggorengan berlangsung pada saat suhu di dalam padatan nangka semakin
bertambah seiring dengan penurunan tekanan vakum. Makin tinggi suhu minyak (100
o
C) dan tekanan vakum lebih rendah 93,1 kPa, makin besar padatan nangka menyerap
minyak. Hasil penelitian ini hampir sama dengan temuan yang telah dilakukan oleh
(Math et. al., 2003), yang menyatakan bahwa penyerapan minyak semakin besar ketika
penggorengan produk dilakukan dengan suhu minyak yang lebih tinggi. Namun hasil
penelitian ini nampaknya bertentangan dengan penelitian yang telah dilakukan (Saguy,
Ufheil dan Livings, 1998), meskipun datanya belum meyakinkan tapi kelihatannya
waktu yang lebih lama dan suhu minyak goreng lebih rendah kadar minyak lebih tinggi
pada produk kentang goreng.

(a)

(b)

163

SeminarHasilPenelitianUGM2009

(c)
(d)
Grafik 5. Perubahan kadar minyak proses penggorengan buah nangka pada keadaan
vakum (a) suhu 70 oC; (b) suhu 80 oC; (c) suhu 90 oC dan (d) suhu 100 oC
Selama proses penggorengan vakum buah nangka, terjadi perpindahan panas dan
massa secara simultan. Penggabungan laju perubahan suhu, penguapan air dan
penyerapan minyak akan dapat memperlihatkan keterkaitan ketiga proses tersebut. Pada
Grafik 6a, 6b, 6c dan 6d disajikan hasil penelitian riwayat suhu, penurunan kadar air
dan peningkatan kadar minyak buah nangka selama proses penggorengan pada berbagai
variasi suhu. Selama penggorengan tekanan vakum dijaga tetap 93,1 kPa. Dari gambar
tersebut nampak keterkaitan ketiga proses, yaitu perpindahan panas, penguapan air dan
penyerapan minyak selama proses penggorengan buah nangka secara vakum. Kenaikan
suhu dimulai dari suhu awal bahan 28,6 oC dan berubah sampai mencapai suhu tertentu
70 oC yang merupakan suhu titik didih air pada tekanan vakum 93,1 kPa.
Kenaikan suhu di dalam padatan nangka diawal penggorengan menggambarkan
adanya perpindahan panas dari minyak panas ke dalam padatan nangka yang digoreng.
Pada awal penggorengan suhu awal bahan 28,6 oC meningkat dengan cepat sampai
menjadi 75 oC, diduga disebabkan karena sebagian besar energi panas yang diterima
digunakan untuk menaikkan suhu padatan nangka yang digoreng. Kemudian suhu
padatan nangka konstan pada kisaran 95 oC sampai dengan 100 oC dan selanjutnya
secara perlahan naik kembali mendekati atau menyamai suhu minyak goreng 100 oC.
Pada kondisi ini suhu minyak tetap konstan sampai proses penggorengan buah nangka
selesai.

.
(a)

SeminarHasilPenelitianUGM2009

(b)

164

(c)
(d)
Grafik 6. Riwayat suhu, perubahan kadar air dan kandungan minyak secara simultan
proses penggorengan buah nangka pada tekanan vakum 93,1 kPa dengan
Variasi Suhu (a) 70 oC; (b) 80 oC; (c) 90 oC dan (d) 100 oC
Selama proses penggorengan vakum, sampel padatan nangka menerima energi
panas dari elemen pemanas melalui media minyak goreng. Pada saat suhu minyak
mencapai 70 oC sampai 75 oC diduga energi tersebut digunakkan untuk proses
perubahan fase dari cair menjadi uap di dalam sampel padatan. selanjutnya ketika suhu
minyak mencapai 60 oC sampai 70 oC, diduga bahan membutuhkan energi untuk proses
gelatinisasi namun energi tersebut masih cukup dipenuhi oleh sumber energi panas yang
tersedia dari elemen pemanas, sehingga tidak berpengaruh terhadap proses kenaikan
suhu padatan nangka. Setelah suhu minyak goreng berada pada kisaran 95 oC 100 oC
diperkirakan ada energi panas yang diserap untuk proses pemasakan produk, akan tetapi
energi yang tersedia pada saat itu cukup sehingga tidak mempengaruhi proses kenaikan
suhu padatan nangka yang digoreng, bahkan suhu padatan nangka yang digoreng sudah
cenderung konstan dan saat itu diduga proses pemasakan padatan nangka sedang
berlangsung dan proses penguapan lanjut.
Selama penggorengan vakum, kandungan air sampel keripik nangka mengalami
penurunan. Penurunan kadar air di dalam padatan nangka diduga disebabkan karena
berkurangnya sebagian air yang ada di dalam padatan. Penurunan kadar air di dalam
padatan nangka selama penggorengan terjadi dalam dua cara. Pertama, perpindahan
massa air dari dalam ke permukaan padatan nangka yang digoreng kemudian uap air
menguap ke kelingkungan, disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi massa air
antara bagian dalam dan permukaan padatan nangka, dan adanya kontak langsung
antara padatan nangka dengan minyak goreng dan penggorengan dilakukan di bawah
tekanan atmosfir, sehingga titik didih air di bawah 100 oC, oleh karena itu air yang
berada di permukaan padatan nangka akan cepat menjadi uap. Kedua perubahan massa
air menjadi uap yang terjadi di dalam padatan nangka. Perubahan fase yang dialami oleh
sebagian massa air yang berada di dalam padatan nangka diduga disebabkan oleh
perubahan suhu sampel di bawah 100 oC. Massa air terdifusi dari dalam ke permukaan
bahan secara kontinyu sampai akhir penggorengan.
Temuan dalam penelitian ini sama dengan hasil penelitian (Varela, Bender, dan
Morton, 1998) yang menjelaskan bahwa karena suhu minyak goreng yang tinggi, maka
air di dalam bahan makanan akan menjadi panas dan akhirnya menguap ke luar
kepermukaan dan masuk ke dalam minyak goreng dalam bentuk uap air, selain itu
karena tekanan udara lingkungan diturunkan sampai tekanan uap parsial bahan lebih

165

SeminarHasilPenelitianUGM2009

tinggi, sehingga terjadi perpindahan massa uap air bersamaan dengan turunnya tekanan
lingkungan maka titik didih air juga menurun (Rahardjo, 2008).
Selama penggorengan vakum, kandungan minyak di dalam padatan nangka
mengalami peningkatan. Massa minyak masuk ke dalam padatan dengan cara difusi
karena adanya perbedaan konsentrasi minyak pada bagian permukaan dengan bagian
dalam padatan. Air dan minyak memiliki perbedaan sifat polaritas, sehingga air dan
minyak tidak dapat berbaur dalam pori-pori sampel. Namun menurut Pinthus et. al.,
(1995) minyak dapat masuk ke dalam pori-pori padatan yang ditinggalkan oleh air. Dari
keterangan ini sehingga dapat dipahami bahwa keberadaan air di dalam padatan nangka
nampaknya mempengaruhi penyerapan minyak. Kandungan minyak dalam makanan
goreng biasanya dihubungkan dengan kadar air awal (Gamble, Rice dan Selman, 1987;
Moreira et. al., 1995).
Penggabungan laju perubahan suhu, penguapan air dan penyerapan minyak
dalam padatan nangka yang digoreng secara vakum akan dapat memperlihatkan
keterkaitan ketiga proses tersebut. Ketiga proses tersebut dicoba dikembangkan dengan
pendekatan model matematika. Perhitungan simulasi perpindahan panas dan massa
secara simultan penggorengan nangka pada keadaan vakum didasarkan pada perubahan
nilai konstanta h, Cp, , kg, kpf, km, dan Hrg. Perubahan konstanta-konstanta tersebut
dicari dari data yang dilakukan dengan menggunakan cara optimasi (Hooke dan Jeeves,
1961). Berdasarkan dari hasil pencarian nilai konstanta-konstanta tersebut diperoleh
nilai SSE (sum of squares of errors) untuk suhu 0,0833, kadar air SSE adalah 0,0062,
kadar minyak SSE adalah 0,0026 dan kadar pati SSE adalah 0,0002. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai konstanta yang telah ditemukan cukup baik digunakan
dalam perhitungan menggunakan model.

(a)

(b)

(c)

(d)

SeminarHasilPenelitianUGM2009

166

Grafik 7. Riwayat suhu, perubahan kadar air dan kandungan minyak secara simultan
antara hasil observasi dan simulasi penggorengan buah nangka pada tekanan vakum
93,1 kPa dengan Variasi Suhu (a) 70 oC; (b) 80 oC; (c) 90 oC dan (d) 100 oC
Tabel 1. Tabel nilai konstanta perpindahan panas, laju penguapan air dan penyerapan
minyak proses penggorengan vakum buah nangka
Konstanta
Notasi Satuan Nilai Konstanta
2,775
Densitas
Kg/m3

o
3919,275
Panas jenis
J/kg
C
Cp
1091,554
Konveksi panas
W/m2 oC
h
0,0167
m/s
Konstanta kecepatan reaksi gelatinisasi
kg
0,0001
m/s
Koefisien perpindahan massa perubahan fase
kpf
Koefisien perpindahan massa minyak
0,0007
m/s
Energi untuk proses reaksi gelatinisasi
km
3,34.10-2
J/kg
Energi untuk proses perubahan fase
Hrg
J/kg
6,13.104

Hasil simulasi perubahan suhu, kandungan air dan kandungan minyak buah
nangka selama proses penggorengan secara vakum disajikan pada Grafik 7. Dari grafik
tersebut nampak ada kecenderungan hasil perhitungan menggunakan model yang telah
dikembangkan antara lain; perubahan suhu, kandungan air dan kandungan minyak
mengikuti atau hampir sama dengan data perubahan suhu, kandungan air dan
kandungan minyak berdasarkan pada hasil pengamatan. Keandalan model yang
ditemukan kemudian diuji dengan menggunakan grafik secara skater plot dengan cara
membandingkan antara data hasil observasi dan simulasi. Dari hasil pengujian diperoleh
nilai R2 untuk riwayat suhu 0,965, penurunan kadar 0,988, dan penyerapan minyak
0,943. Menurut Edwards (1976) apabila nilai R2 lebih besar dari 0,75 maka model yang
diuji dapat dinyatakan valid. Dari uraian ini sehingga dapat dipahami bahwa model
matematika perpindahan massa dan panas secara simultan yang dikembangkan dalam
penelitian ini dapat digunakan untuk menduga perpindahan panas, penurunan kadar air
dan penyerapan minyak secara simultan selama proses penggorengan buah nangka pada
keadaan vakum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa suhu dan
tekanan vakum mempengaruhi laju perpindahan panas, penguapan air dan penyerapan
minyak di dalam padatan nangka yang digoreng. Bilamana proses penggorengan
dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dan tekanan vakum lebih rendah ada
kecenderungan proses perpindahan panas dari minyak ke bahan berlansung cepat,
begitu pula pada proses penguapan air yang berlangsung cepat diikuti oleh penyerapan
minyak lebih cepat ketika air di dalam bahan hampir konstan sampai menjadi konstan.
Model matematika perpindahan panas dan massa secara simultan yang telah
dikembangkan dapat digunakan dengan baik untuk memperkirakan kenaikan suhu,
penurunan kandungan air dan penyerapan minyak pada buah nangka yang digoreng
secara vakum.

167

SeminarHasilPenelitianUGM2009

DAFTAR PUSTAKA
AOAC, Official methods analysis of the associations of official analutical chemists.
Association of Afficial Analitycal Chemists, Washington, DC (1970)..
Atteba, P., and G.S. Mittal, Modeling the deep-fat frying of beef meatballs.
International Journal of Food Science and Technology 29, pp. 429440 (1994).
Chen, Y., and Moreira, Simulation of a deep-fat frying process for tortilla chips. M.S.
Thesis, Texas A&M University, College Station, TX (1996).
Edwards, A. L., an Introduction to Linier Regression on Correlation for India. National
Seed Corporation. New Delhi (1976).
Farkas, B.E., Singh, R.P., and Rumsey, T.R., Modeling heat and mass transfer in
immersion frying, part I: Model development. Journal of Food Engineering 29,
pp. 211226 (1996a).
Farkas, B.E., Singh, R.P., and Rumsey, T.R., Modeling heat and mass transfer in
immersion frying, part II: Model solution and verification. Journal of Food
Engineering 29, pp. 227248 (1996b).
Fellow, P, Food processing technology principles and pactice. Ellis Horword Chicester
(1988).
Gamble, P. Rice and J.D. Selman, Relationship between oil uptake and moisture loss
during frying of potato slice from UK tubers. International Journal of Food
Science and Technology 22, pp. 223241 (1987).
Garayo, J, and Moriera R, Vacuum fraying of potato chips. Journal of Food Engineerin.
55, pp. 181191 (2002).
Hooke, R., & Jeeves, T. A., Direct search solution of numerical and statistical problems.
Journal of Association for Computing Machinery, 8, 212229 (1961).
Kawas, M. L., and R. G. Moreire, Characterization of product quality attributes of
tortilla chips during the frying process. M.S. thesis, Texas A&M University,
College Station, TX (2000).
Math, R. G., V. Velu, A. Nagender and D. G. Rao., Effect of frying conditions on
moisture, fat and density of papad. Journal of Food Engineering. 64:429-434
(2003).
Meyer, L.H., Food chemistry. Westport Connecticut : The AVI Publishing Company
Inc (1982).
Moreira, R.G., J.E. Palau, V. Sweat and X. Sun, Thermal and physical properties of
tortilla chips as a function of frying time. Journal of Food Processing and
Preservation 19, pp. 175189 (1995).
Ni, H., and Datta, A.K., Moisture, oil and energy transport during deep frying of food
materials. Transactions of the Institution of Chemical Engineers 77, pp. 194203
(1999).
Pinthus, E. J., P. Weinberg, and I. S. Saguy., Deep-fat fried potato products oil uptake
as affected by crust physical properties. Journal of Food Sci. 60(4), 770 772
(1995a).
Pinthus, E. J., P. Weinberg, and I. S. Saguy, Oil uptake deep-fat frying as affected by
porosity. Journal of Food Sci. 60(4), 767 769 (1995b).
Rahardjo, Budi, Petunjuk Literatur Mahasiswa : Vacuum Dryer. Jurusan Teknik
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta (2008).
Saguy, I. S., Ufheil, G., & Livings, S. Oil uptake in deep-fat frying: a review.
Oleagineux Corps gras Lipides, 5, 3035. SAS Institute, Inc. 1990. SAS
procedures guide (3rd edition). Version 6. SAS Institute, Inc., Cary, NC (1998).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

168

Supriyanto, Proses penggorengan bahan makanan sumber pati: kajian nisbah amilosa
amilopektin. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. UGM Yogyakarta (2007).
Whitaker, S., Simultaneous heat, mass and momentum transfer in porous media: A
theory of drying. Advances in Heat Transfer 13, pp. 119203 (1977).
Winarno., F. G., Fardiaz, S., Pengantar Teknologi Pangan. Edisi II. Gramedia. Jakarta
(1992).
Yamsaengsung and Moriera,. Modeling the transport phenomena and structural changes
during deep fat frying. Part I: Model development. Journal of Food Engineering
53, pp. 110 (2002a).
Yamsaengsung and Moriera, Modeling the transport phenomena and structural changes
during deep fat frying. Part II: Model solution and validation. Journal of Food
Engineering 53, pp.1125 (2002b).
DAFTAR LAMBANG DAN SIMBOL
Luas permukaan
A
Ca
konsentrasi air di dalam padatan
konsentrasi air di luar padatan
Ca*
Cam
konsentrasi asam amino di dalam padatan
Cgr
konsentrasi gula reduksi di dalam padatan
konsentrasi minyak di dalam padatan
Cm
Cm*
konsentrasi minyak di luar padatan
Cpt
Konsentrasi pati di dalam padatan
Csk
Konsentrasi sukrosa di dalam padatan
Ck
Konsentrasi -karoten di dalam padatan
Cp
Panas spesifik
h
Koefisien transfer panas
KrG
Konstante kecepatan reaksi gelatinisasi
Krpf
Koefisien perpindahan massa perubahan fase
kg
Konstante kecepatan reaksi gelatinisasi
kpf
Koefisien perpindahan massa perubahan fase
km
Koefisien perpindahan massa minyak
kml
Konstante kecepatan reaksi maillard
kkm
Konstante kecepatan reaksi karamelisasi
Konstante kecepatan reaksi -karoten
kk
Energi untuk proses reaksi gelatinisasi
HG
Energi untuk proses perubahan fase
Hpf
Energi untuk proses reaksi gelatinisasi
HRg
Energi untuk proses reaksi karamelisasi
HRkm
Energi untuk proses reaksi maillard
HRml
HRk
Energi untuk proses reaksi -karoten
L
Ketebalan
Kecepatan reaksi gelatinisasi
rg
rpf
Kecepatan reaksi perubahan fase (penguapan)
rm
Kecepatan reaksi minyak
rml
Kecepatan reaksi maillard
rkm
Kecepatan reaksi karamelisasi
rm
Kecepatan reaksi -karoten
T
Temperatur di dalam bahan

169

m2
kg/m3 total
kg/m3 total
kg/m3 total
kg/m3 total
kg/m3 total
kg/m3 total
kg/m3 total
kg/m3 total
kg/m3 total
J/kg K
W/m2 K
m/s
m/s
m/s
m/s
m/s
1/ms
1/s
1/ms
J/kg
J/kg
J/kg
J/kg
J/kg
J/kg
m
kg/s
kg/s
kg/s
kg/s
kg/s
kg/s
o
C

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tm
x,z

Subscripts
a
a*
am
gr
sk
-k
p
g
m
m*
ml
km
pf
Rg
Rkm
Rml
Rk

Temperatur minyak di permukaan bahan


Jarak (posisi kearah sumbu)
Energi untuk proses perubahan fase
Densitas
Air di dalam padatan
Air di luar padatan
Asam amino
Gula reduksi
Sukrosa
-karoten
Pati
Gelatinisasi
Minyak di dalam padatan
Minyak di luar padatan
Maillard
Karamelisasi
Perubahan fase
Reaksi gelatinisasi
Reaksi karamelisasi
Reaksi Maillard
Reaksi -karoten
Antar fasa
Permukaan
Kondisi pada saat t
Awal

SeminarHasilPenelitianUGM2009

170

C
m
J/kg
Kg/m3

Genetic Merit Improvement of Bali Cattle as Beef and National


Indigenous Cattle using Feed and Reproductive Biotechnology
Applications: The first Year Activity
Prabowo Purwono Putro, Ismaya, Bambang Soehartanto, Asmarani Kusumawati
dan Pudji Astuti
KP4 UGM, Yogyakarta 2009
ABSTRACT
Bali cattle (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) is Indonesian
indigenous cattle. Bali cattle has very adaptive as well as posseses quantitative and
qualitative features. The current problems among Bali cattle are the high incidence of
inbreeding and the specific diseases. The first year research activity in Sapi Bali (year
2009) covers procurement 12 heads of heifers, rearing and raising, weighing and
measuring, health treating, examining and observing of reproduction. The research is
designed for multi years purposes, continued for the second year (2010) and the third
year (2011) for resulting outputs and outcomes of the activity. The fisrt year of present
research showed that puberty of Bali cattle hiefers attained when their body weight
reaching 140 kgs or 60% of minimum mature body weights. The first estrus signs are
swelling of external reproductive organs, reddening of vulvar mucous membrane, and
slight clear mucus from the vulva. Behavioural estrus symptoms are remain still
standing while being mounted by other mates and some vocalizations come from the
estrus animals.
Key words: Bali cattle, beef cattle, indigenous animal, puberty, estrus, food
biotechnology, reproductive biotechnology
PENDAHULUAN
Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos banteng, Bibos banteng)
merupakan ternak potong asli Indonesia dan dianggap merupakan plasma nutfah
nasional, oleh karena itu keberadaannya perlu dilestarikan dan dikembangkan (Fraser,
2003: Kinghorn, 2003). Populasi sapi Bali secara nasional mencapai 40% dari populasi
sapi potong atau sekitar 4,5 juta ekor, terutama tersebar di luar pulau Jawa, seprti Bali,
NTB, NTT, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Mastika, 2003: Oka, 2003).
Permasalahan yang mengemuka pada sapi Bali adalah rendahnya mutu genetis sapi
Bali, tingginya kejadian silang dalam (inbreeding), serta adanya penyakit khusus sapi
Bali (Putro, 2007; 2008).
Permasalahan rendahnya mutu genetis sapi Bali dapat
dipecahkan dengan penerapan inseminasi buatan terjadwal menggunakan sinkronisasi
estrus (Thalib et al., 2003: Toelihere, 2003).
Banyak penelitian mencatat bahwa terdapat kaitan erat antara kesulitan deteksi
estrus dan rendahnya efisiensi reproduksi pada kelompok sapi yang menggunakan
inseminasi buatan (IB) (Penny et al., 1997, 2000; Dochi et al., 1998; Xu et al., 2000;
Lech et al., 2001; Fricke et al., 2003; DeJarnette, 2003, 2004). Kesulitan deteksi estrus
pada sapi potong di negara tropis umumnya sebagai akibat gejala estrus yang lemah
atau kurang jelas, berupa birahi tenang (sub-estrus atau silent estrus), akibatnya
pelaksanaan inseminasi tidak dilakukan tepat waktu dan berakibat kegagalan konsepsi
(Tribulo et al., 1997; Mialot et al., 1998; Peters et al., 1999; Santos et al., 2004),
termasuk juga pada sapi Bali di Indonesia (Putro, 2005)..

171

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Sinkronisasi estrus merupakan teknik manipulasi siklus estrus untuk


menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada sekolompok hewan secara bersamaan.
Teknik ini terbukti efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan,
efisiensi deteksi estrus, sehingga dapat diaplikasikan untuk memperbaiki reproduktivitas
sapi (Williams et al., 2002: Patterson et al., 2005). Penggunaan sinkronisasi estrus kini
banyak digabungkan dengan waktu inseminasi pada waktu terjadwal (timed artificial
insemination), sehingga tidak perlu lagi dilakukan deteksi estrus setelah perlakuan.
Kombinasi sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan pada sapi termasuk peningkatan
mutu genetis, efisiensi pelaksanaan inseminasi buatan, adanya kelahiran pedet yang
relatif sama umurnya dan meniadakan deteksi estrus. Sinkronisasi estrus telah banyak
dikembangkan untuk mengatasi permasalah kesulitan deteksi estrus, sehingga
dimungkinkan pelaksanaan IB tepat waktu, pada waktu tertentu (Pancarci et al., 2002;
Williams et al., 2002; Fricke et al., 2003; Rivera et al., 2004; Goodling et al., 2005;
Hopkins and Shrick, 2005; Patterson et al., 2005; Wiggans and Goodling, 2005).
Metode sinkronisasi estrus pada sapi potong dengan pemberian sediaan berbasis
PGF2 kini lebih banyak digunakan.
Prostaglandin F2 mempunyai kerjaan
melisiskan korpus luteum yang berakibat turunnya kadar progesteron plasma dengan
tiba-tiba.
Lisisnya korpus luteum diikuti dengan penurunan progesteron yang
dihasilkan, akibatnya terjadi pembebasan serentak GnRH dari hipotalamus, diikuti
dengan pembebasan FSH dan LH dari pituitari anterior, sehingga terjadilah estrus dan
ovulasi (Miller, 2006; Chebel et al., 2007; Salverson, 2007).
Berbagai metode
sinkronisasi estrus dengan menggunakan prostaglandin F2 dikembangkan dengan
pesat akhir-akhir ini, diantaranya metode Ov-Synch (PGF2 dikombinasi dengan
GnRH), dan modifikasinya seperti Pre-Synch, Co-Synch, Heat-Synch, telah banyak
dilaporkan. Hasil fertilitas sinkronisasi estrus berupa angka konsepsi memang cukup
tinggi, tidak berbeda dengan hasil konsepsi dari estrus alami (Pursley et al., 1997; Geary
et al., 1998; Cartmill et al., 2001; Thatcher et al., 2001, 2002; Fricke, 2003; Bartolome
et al., 2002, 2004; DeJarnette, 2003, 2004; Colazo et al., 2004; Garcia et al., 2004;
Rabiee et al., 2005; Rasby, 2005; Salverson, 2006; Hansen, 2007; Lamb, 2008; Putro,
2008).
Keberhasilan sinkronisasi estrus pada kelompok sapi sangat tergantung dari
penurunan serentak kadar progesteron dalam darah, serta perkembangan dan ovulasi
dari folikel ovaria.
Prostaglandin F2 hanya efektif bila ada korpus luteum yang
berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus; sedangkan penurunan
progestagen eksogen hanya efektif bila terjadi regresi korpus luteum secara alami atau
induksi.
Sinkronisasi estrus menggunakan PGF2 sudah memberikan hasil cukup
baik, namun masih banyak terjadi variasi dalam dinamika perkembangan folikel ovaria,
serta menghasilkan sinkronisasi yang buruk dalam menimbulkan estrus dan ovulasi.
Sebagai misal, induksi luteolisis pada saat ada suatu folikel dominan matang akan
menimbulkan estrus dalam waktu 2 sampai 3 hari, tetapi butuh waktu lebih lama bila
satu folikel masih harus diseleksi dari satu gelombang pertumbuhan folikel baru
(Mapletoft et al., 2003; Rasby, 2005; Chebel et al., 2007; Putro, 2008).
Berdasarkan studi pustaka tersebut di atas dan berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan (Putro, 2005, 2008), pengusul bermaksud mengadakan kegiatan
aplikasi teknik sinkronisasi estrus dengan metode modifikasi Ov-Synch dan inseminasi
buatan terjadwal (Putro, 2008) pada sapi Bali.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

172

Tujuan khusus yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah meningkatkan mutu
ternak sapi Bali dengan melakukan penerapan bioteknologi reproduksi dan pakan yang
intensif dan berkesinambungan.
MATERI DAN METODA
Penelitian tahun I adalah pembibitan sapi Bali dara, kemudian untuk tahun
berikutnya diikuti dengan penerapan bioteknologi reproduksi, yaitu sinkronisasi estrus
dan inseminasi buatan terjadwal pada sapi Bali. Hewan, sapi Bali betina dara usia
produktif usia 12-15 bulan, sebanyak 12 ekor. Pakan hijauan diberikan ad libitum,
ditambah pakan konsentrat sampai mencapai berat optimum sekitar 180 kg, untuk
kemudian diberi perlakuan bioteknologi pakan dan reproduksi. Penimbangan berat
badan, pengukuran parameter produksi dan perlakuan kesehatan hewan dilakukan setiap
bulan. Estrus diamati secara cermat dua kali sehari pada semua hewan penelitian.
Pada tahun II (2010), baru diberi perlakuan bioteknologi pakan, sinkronisasi
estrus dan inseminasi buatan terjadwal. Disamping itu, pedet dari hasil tahun I mulai
diadakan uji performans dan rekording. Sedangkan pada tahun III (2011), perlakuan
pakan, sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan pada induk yang sudah siap, maupun
pada dara-dara muda hasil dari Tahun I. Begitu seterusnya guliran kegiatan secara
multi years, sehingga akan didapatkan bibit unggulan sapi Bali dan model pusat
pembibitan pedesaan (village breeding center) sapi Bali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang dilaporkan dalam makalah ini baru terbatas pada tahun I (2009).
Sapi Bali sejumlah 12 ekor dara muda, usia 12 15 bulan, belum ganti gigi susu sama
sekali, mempunyai tinggi gumba sekitar 102 cm. Pengukuran berat badan serta
performans sapi dilakukan saat umur masing-masing sapi mendekati 15 bulan.
Perlakuan yang diberikan meliputi penimbangan berat badan, pengukuran lebar kepala,
panjang kepala, lingkar dada, tinggi gumba, tinggu pinggul, lingkar pinggul dan panjang
badan. Perlakuan lainnya termasuk pemberian obat cacing Ivermectin, pemberian
nomor dan penyuntikan multivitamin. Hasil pengukuran parameter-parameter tersebut
menunjukkan bahwa sapi Bali mulai menunjukkan birahi pertama bila berat badan
sudah melebihi 150 kg dengan tinggi gumba di atas 105 cm. Kenyataan ini sesuai
dengan pernyataan Mastika (2003) yang menjelaskan bahwa pubertas akan dicapai pada
berat badan sekitar 60% dari berat badan minimum sapi dewasanya.
Berat sapi Bali yang digunakan pada penelitian ini, dengan umur 12-15 bulan,
sesuai dengan standar baku seperti laporan oleh Graser (2003) yang menyatakan kisaran
120-160 kg dengan pertambahan bobot harian (average daily gain = ADG) antara 0,40,5 kg. Pemberian pakan hijauan berupa rumput gajahan basah sekitar 10% berat
badan dan pakan penguat berupa konsentrat sekitar 1% berat badan per ekor
memungkinkan sapi Bali penelitian untuk berkembang dan mencapai berat badan
optimum.
Ukuran-ukuran ini sangat penting bagi calon bibit sapi Bali, terutama yang
berkaitan dengan proses reproduksi, yaitu lingkar pinggul, mengingat kasus kesulitan
partus pada sapi Bali merupakan hal yang banyak dijumpai pada aplikasi inseminasi
buatan seperti yang dilaporkan Putro (2008a). Pengamatan birahi dilakukan tiap hari 2
kali pagi dan sore. Gejala birahi ditunjukkan dengan adanya vokalisasi, serta
perubahan-perubahan pada vulva, bengkak dan mukosanya kemerahan, sedangkan
gejala pastinya dengan ditunjukkannya standing heat, tetap berdiri dan diam sewaktu

173

SeminarHasilPenelitianUGM2009

dinaiki teman betina lain sekandang seperti Laporan Oka (2003).


gejala birahi dapat dilihat pada Tabel 2.

No
1
2
3

Hasil pengamatan

Tabel 1. Parameter ukuran pubertas sapi Bali


Parameter
Ukuran Pubertas Ukuran Minimum Dewasa (Kinghorn, 2003)
Berat badan
150 kg
200 kg
Tinggi gumba
105 cm
112 cm
Lingkar pinggul 35 cm
45 cm
Tabel 2. Gejala birahi pertama sapi Bali
No
Gejala
Ada/Tidak
Keterangan
1 Vokalisasi, berteriak-teriak
Tidak jelas
2
Perubahan alat kelamin
+
Kebengkakan
3
Kemerahan mukosa
+
Sedang jelas
4
Lendir vulva
+
Tidak banyak
5
Perilaku menunggangi
Tidak jelas
6
Posisi standing
+
Standing heat
7
Perdarahan metestrus
Tidak teramati

Penelitian Peningkatan Mutu Genetis Sapi Bali sebagat Ternak Potong dan
Plasma Nutfah Nasional dengan Penerapan Bioteknologi Pakan dan Reproduksi ini
dirancang multi tahun, sampai dengan 3 tahun untuk menjadi kegiatan pembibitan Sapi
Bali. Tahun I (tahun 2009) dengan kegiatan utama pengadaan sapi dara, pembesaran
sapi dara sampai usia pubertas dan siap dilakukan aplikasi bioteknologi. Tahun II
(tahun 2010) dengan kegiatan aplikasi bioteknologi reproduksi dan bioteknologi pakan.
Tahun III (tahun 2011) merupakan lanjutan kegiatan aplikasi bioteknologi dan sudah
diperoleh outputs dan outcomes.
Sapi Bali dara yang digunakan dalam penelitian ini, karena keterbatasan biaya,
merupakan sapi muda berumur 12-15 bulan dengan jumlah awal 12 ekor. Berat badan
sapi-sapi tersebut belum mencapai berat minimum pubertas, yaitu sekitar 150 kg
(Kinghorn, 2003). Pubertas merupakan fase telah mulainya siklus reproduksi yang
ditandai dengan timbulnya birahi. Sampai pertengahan November 2009 baru 5 ekor
yang menunjukkan gejala birahi dan diharapkan akhir Desember 2009 semua sapi sudah
mencapai berat pubertas.
Perlakuan bioteknologi reproduksi yang direncanakan pada sapi Bali, berupa
aplikasi sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan, serta perlakuan bioteknologi pakan
memang belum dilakukan pada tahun I ini (tahun 2009). Perlakuan bioteknologi
tersebut memang dirancang untuk diaplikasikan setelah berat pubertas tercapai, yaitu
awal tahun 2010 seterusnya. Untuk tahun pertama ini difokuskan pada pembesaran
calon bibit sapi Bali betina serta biologi reproduksi pada umumnya.
Adanya penelitian sapi Bali ini merupakan ujud pemberdayaan KP4 UGM
dalam kontribusi UGM untuk pembangunan peternakan sapi potong di Indonesia.
Populasi sapi potong di luar Jawa, diperkirakan 6 juta ekor, 85% merupakan sapi Bali
atau silangannya. Menteri Pertanian RI Suswono dalam Seminar Pengembangan Sapi
Potong Nasional di Fakultas Peternakan UGM pada tanggal 7 November 2009 telah
menyatakan bahwa Percepatan Pencapaian Swasembada Sapi Potong (PPSDS) yang
seharusnya berakhir tahun 2010, telah diperpanjang menjadi tahun 2014. Jelas hasil

SeminarHasilPenelitianUGM2009

174

penelitian sapi Bali ini akan sangat bermakna sekali bagi pengembangan sapi Bali
sebagai sapi potong maupun sebagai plasma nutfah asli Indonesia.
KESIMPULAN
Kegiatan penelitian sapi Bali pada tahun I (tahun 2009) meliputi pengadaan
ternak sebanyak 12 ekor, pembesaran bibit, pemeliharaan, penimbangan, pengukuran
vital statistik, perlakuan kesehatan hewan, pemeriksaan dan pengamatan reproduksi.
Perlakuan bioteknologi reproduksi dan bioteknologi pakan baru akan dilakukan pada
awal tahun II (tahun 2010), mengingat belum semua sapi Bali mencapai berat badan
pubertas. Penelitian ini dirancang multi tahun, dilanjutkan dengan kegiatan tahun II
(tahun 2010) dan tahun III (tahun 2011) untuk pencapaian outputs dan outcomes
kegiatan. Penelitian tahun I menunjukkan bahwa pubertas sapi Bali betina dicapai bila
berat badan sudah mencapai 150 kg atau 60% dari berat badan minimum dewasanya.
Gejala birahi akan ditandai dengan kebengkakan alat kelamin luar, kemerahan
mukosanya dan tampak sedikit lendir birahi jernih. Tingkah laku birahi yang tampak
adalah berdiri tenang saat ditunggangi teman sekandang, sedangkan gejala vokalisasi
dengan berteriak-teriak tidak selalu muncul.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai oleh Hibah Penelitian Klaster Agro Dana DIPA UGM
tahun 2009. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua KP 4 UGM atas
penyediaan sarana kandang dan sarana kelengkapan penelitian sehingga bisa
berlangsung dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Bartolome, J. A., Silvestre, F. T., Artechte, A. C. M., Kamimura, S.,
Archbald, L.
F. and Thatcher, W. W. 2002. The use of Ovsynch and
Heatsynch for resynchronization of cows open at pregnancy diagnosis by ultrasonography. J.
Dairy Sci. 81: 390-342.
Bartolome, J. A., Sozzi, A., McHale, J., Swift, K., Kelbert, D., Archbald, L. F. and
Thatcher, W. W. 2004. Resynchronization of ovulation and timed nsemination
in lactating dairy cows using the Ovsynch and Heatsynch protocol initiated 7
days before pregnancy diagnosis on day 30 by ultrasonography. Reprod. Fertil.
Develop. 16 (2): 126- 127.
Cartmill, J. A., El-Zarkouny, S. Z., Hensley, B. A., Lamb, G. C. and Stevenson, J. S.
2001. Stage of cycle, incidence and timing of ovulation and pregnancy rate in
dairy cattle after three timed breeding protocols. J. Dairy Sci. 84: 1051-1059.
Chebel, R. C., Santos, J. E. P., Rutigliano, H. M. and Cerri, R. L. A. 2007. Efficacy of
an injection of dinoprost tromethamine when given subcutaneously on luteal
regression in lactating Holstein cows. Theriogenology 67: 590-597.
Colazo, M. G., Small, J. A., Ward, D. R., Erickson, N. E., Kastelic, J. P. and Mapletoft,
R. J. 2004. The Effect of presynchronization on pregnancy rate to fixed-time AI
in beef heifers subjected to a Cosynch protocol. Reprod. Fertil. Develop. 16 (2):
128-130.
DeJarnette, M. 2003. Whats new in estrus synchronization. Select Sires, Inc.
Publication, North Plain City, Ohio, USA.
DeJarnette, M. 2004. Estrus synchronization: a reproductive management tool. Select
Sires, Inc. Publication, North Plain City, Ohio, USA.

175

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Dochi, O., Yamamoto, Y., Saga, H., Yoshida N., Kano, N., Maeda, J., Miyata, K.,
Yamauchi, A., Tominaga, K., Oda, Y., Nakashima, T. and Inohae, S. 1998.
Direct transfer of bovine embryos frozen-thawed in the presence of propylene
glycol or ethylene glycol under on-farm conditions in an integrated embryo
transfer program. Theriogenology 49: 1051-1058.
Fricke, P. M. 2003. Ovsynch, Pre-synch, the Kitchen-Synch: Whats up with
synchronization protocols? Publication of Extension Service, University of
Wisconsin, Madison, USA.
Garcia, F. E. O., Cordero, M. J. L., Hizarza, E. A., Peralta, O. J. G., Ortega, C. M. E.,
Cardenas, M., Gutierrez, C. G. and Sanchez, T. E. M. T. 2004. Induction of a
new follicular wave in Holstein heifers synchronized with norgestomet. Anim.
Reprod. Sci. 80: 47-57.
Geary, T. W., Wittier, J. C., Downing, E. R., LeFever, D. G., Silcox, R. W., Holland,
M. D., Nett, T. M. and Niswender, G. D. 1998. Pregnancy rates of postpartum
beef cows that were synchronized using Synchro-Mate B or the Ovsynch
protocol. J. Anim. Sci. 76: 1523-1527.
Goodling, R. C., Shook, G. E., Weigel, K. A. and Zwald, N. R. 2005. The effect of
synchronization on genetic parameters of reproductive traits in dairy cattle. J.
Dairy Sci. 88: 2217-2225.
Graser, H, 2003, Implementing pedigree system in Bali cattle. Australian Centre
for
International Agricultural Research, Canberra. Hansen, P. J. 2007. Timed
artificial insemination, University of Florida Publication, USA.
Hopkins, F. M. and Shrick, F. N. 2005. Estrous synchronization. Animal Science.
The University of Tennessee Extension, USA.
Kinghorn, B. 2003, Option for genetic improvement in Bali cattle. Australian Centre
for International Agricultural Research, Canberra.
Lamb, C. 2004. Reproductive Ultrasound for Management of Beef Cattle, Bovine
Reproductive Management, North Central Research and Outreach Center,
University of Minnesota, Grand Rapids, USA.
Lamb, C. 2008. Synchronizing estrous in beef cattle. Reproductive Management
Course. Colorado State University Press, Colorado, USA.
Lech, M. E., Allrich, R. D., Horstman, L. A. and Callahan, C. J. 2001. Reproduction
in Dairy Cattle: Normal Postpartum Physiology. Cooperative Extension Work
in Agriculture, Purdue University, Indiana, USA.
Mapletoft, R. J., Martinez, M. F., Colazo, M. G., and Kastelic, J. P. 2003. The use of
controlled internal drug devices for regulation of bovine reproduction. J. Anim.
Sci. 81: E28-E36.
Mastika, I. M., 2003, Feeding strategies to improve the production performance
and
meat quality of Bali cattle. Australian Centre for International Agricultural
Research, Canberra.
Mialot, J. P., Ponsart, C., Gipolou, C., Bihoreau, J. L., Roux, M. E. and Deletang, F.
1998. The fertility of autumn calving suckler beef cows is increased by the
addition of prostaglandin to progesterone and equine chorionic gonadotrophin
estrus synchronization treatment. Theriogenology 49: 1353-1364.
Miller, D. J. 2006. Systematic breeding programs for the dairy herd. Illinois State
University Publication, Urbana, Illinois, USA.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

176

Oka, L. 2003, Performance of Bali cattle heifers and calces prior to weaning to a
feedlot system. Australian Centre for International Agricultural
Research,
Canberra.
Pancarci, S. M., Jordan, E. R.,Risco, C. A., Shouten, M. J. and Thatcher, W. W. 2002.
Use of estradiol cypionate in a presynchronized timed artifical insemination
program for lactating dairy cattle. J. Dairy Sci. 85: 122-131.
Patterson, D. J., Smith, M. F., and Scafer, D. J. 2005. New opportunities to synchronize
estrus and facilitate fixed-time AI, Division of Animal Sciences, University of
Missouri-Columbia.
Penny, C. D., Lowman, B. G., Scott, N. A. and Scott, P. R.. 1997. Repeated estrus
synchrony and fixed time artificial insemination in beef cows. Vet. Rec. 140:
496-498.
Pursley, J. R., Kosorok, M. R. and Wiltbank, M. C. 1997. Reproductive management of
lactating dairy cows using synchronization of ovulation. J. Dairy Sci. 80: 301306.
Putro, P. P. 2005.
Gambaran reproduksi pada sapi perah rakyat.
Seminar
Pengembangan Sapi Perah, Direktorat Perbibitan, Cisarua.
Putro, P. P. 2007. Laporan Kinerja Reproduksi Sapi Potong Akseptor Inseminasi
Buatan di Pulau Jawa. Direktorat Perbibtan, Diretorat Jendral Peternaan RI.
Putro, P. P., 2008a. Kaji Terapan Peningkatan Populasi dan Mutu Genetika
Ternak
Sapi melalui Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan di Kabupaten Barito
Kuala. Laporan Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Kuala.
Putro, P. P. dengan kawan-kawan (2008). Roadmap Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Peternakan Komoditas Susu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009
2013. Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Putro, P. P. 2008b.
Dinamika Folikel Ovulasi dan Korpus Luteum Setelah
Sinkronisasi Estrus pada Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein. Disertasi S3,
Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Rabiee, A. R., Lean, I. J. and Stevenson, M. A. 2005. Efficacy of Ovsynch program on
reproductive performance in dairy cattle: a meta-analysis. J. Dairy Sci. 88:
2754-2770.
Rasby, R. 2005. Synchronizing estrus in beef cattle. Beef Cattle Prod. 2: 1-6.
Rivera, H., Lopez, H. and Fricke, P. M. 2004. Fertility of Holstein dairy heifers after
synchronization of ovulation and timed AI or AI after removed tail chalk. J.
Dairy Sci. 87: 2051-2061.
Salverson, R. 2006. Manipulation of the oestrus cycle in cow, South Dakota State
University-Cooperative Extension Service-USDA,
Salverson, R. and Perry, G. 2007. Understanding estrus synchronization of cattle. South
Dakota State University-Cooperative Extension Service-USDA, Pp 1-6.
Santos, J. E. P., Juchem, S. O., Cerri, R. L. A., Galvao, K. N., Chebel, R. C., Thatcher,
W. W., Dei, C. S., and Bilby, C. R. 2004. Effect of bST and reproductive
performance of Holstein dairy cows. J. Dairy Sci. 87: 868-881.
Talib, C., Siregar, A. R., Budiarti, T. and Diwyanto, K. 2003, Implementation of a
breeding program for Bali cattle.
Australian Centre for International
Agricultural Research, Canberra.

177

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Thatcher, W. W., Moreira, W. and Risco, C. A. 2001. Strategies to optimize


reproductive efficiency by regulation of ovarian function. Dom. Anim. Endocrin.
23: 243-254.
Thatcher, W. W., Patterson, D. J., Moreira, F. and Pancarci, M., 2002, Current concepts
for estrus synchronization and timed insemination, 34th Ann. Proc. Am. Soc.
Bov. Pract. 34: 96-105.
Tribulo, R., Nigro, M., Burry, E., Caccia, M. , Tribulo, H. and Bo, G. A. 1997.
Pregnancy rates in recipients receiving CIDR-B devices immediately following
embryo transfer. Theriogenology 47 : 372 (Abstract).
Toelihere, M. R., 2003. Increasing the success rate and adoption of artificial
insemination for genetic improvement in Bali cattle. Australian Centre for
International Agricultural Research, Canberra.
Wiggans, G. R., and Goodling, R. C., 2005, Accounting for pregnancy diagnosis in
predicting days open, J. Dairy Sci. 88: 1873-1877.
Williams, S. W., Stanko, R. L., Amstalden, M. and Williams, G. L. 2002,. Comparison
of three approaches for synchronization of ovulation for timed artificial
insemination in Bos indicus-influenced cattle managed on the Texas gulf coast.
J. Anim. Sci. 80: 464 - 470.
Xu, Z. Z., Burton, L. J., McDougall, S. and Jolly, P. D. 2000. Treatment of noncyclic
lactating dairy cows with progesterone and estradiol or with progesterone,
GnRH, prostaglandin F2 , and estradiol. J. Dairy Sci. 83: 1112-1119.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

178

PENGEMBANGAN MELON VARIETAS BARU


GAMA MELON BASKET
1

Budi Setiadi Daryono1 dan Ganies Riza Aristya1


Laboratorium Genetika, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, Indonesia

ABSTRAK
Melon (Cucumis melo L.) kultivar TC4 yang mengandung gen ketahanan
terhadap Kyuri green mottle mosaic virus isolat Indonesia (KGMMV-YM) dan gen
ketahanan terhadap jamur tepung telah dihasilkan dari persilangan balik (test cross)
antara melon hibrida (F1) dengan melon kultivar Andes pada tahun 2007. Melon TC4
menunjukkan karakter fenotip buah yang baik dan sedang dikembangkan untuk menjadi
melon komersial. Selanjutnya, pada tahun 2008, melon TC4 tersebut disilangkan
dengan salah satu kultivar melon (F2B5) dan menghasilkan melon Melon GamaBasket (GMB). Melon GMB memiliki karakter fenotip buah yang unik berbentuk bulat
menyerupai bola basket dengan jaring-jaring yang tebal dan daging berwarna orange
serta rasanya manis, sehingga melon tersebut dapat dikembangkan sebagai komoditi
melon unggulan. Tetapi untuk pengembangannya sebagai benih melon unggul,
diperlukan upaya pemurnian dan uji multi lokasi serta uji variabilitas genetik. Uji multi
lokasi benih GMB dilakukan bersama-sama dengan 4 kultivar melon komersial yaitu
Action 434, Ladika, Mai dan Glamour di 3 provinsi yaitu Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur pada tahun 2009. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa karakter morfologi buah dan tanaman melon GMB lebih unggul dibandingkan 4
melon komersial yang telah dibudidayakan di Indonesia. Melon GMB mempunyai
keunggulan antara lain ketahanan terhadap penyakit tanaman yaitu virus dan jamur
tepung, serta memiliki kandungan Beta Karoten dan Vitamin C yang lebih tinggi
dibandingkan ke-4 melon komersial lainya.
PENDAHULUAN
Tanaman melon termasuk salah satu jenis buah-buahan yang belum lama
dibudidayakan di Indonesia, tetapi karena rasanya manis dan aromanya harum, buah
tersebut semakin digemari oleh masyarakat. Permintaan terhadap buah melon terus
meningkat dari tahun ke tahun, akan tetapi upaya pengembangan budidaya melon masih
terbatas dilakukan di Indonesia. Selain kendala penyakit (virus) dan hama yang
menyerang tanaman melon, salah satu kendala utama lainya adalah ketersediaan dan
harga bibit melon yang mahal karena umumnya bibit melon tersebut di import dari luar
negeri. Disamping itu, ketergantungan terhadap bibit melon impor tersebut juga
disebabkan karena bibit tersebut merupakan hasil perkawinan dari beberapa jenis
melon, sehingga apabila biji buah melon yang telah ditanam tersebut disemai kembali,
seringkali menghasilkan melon yang beraneka ragam bentuk maupun rasanya, serta
ditemukan juga melon yang tidak menghasilkan buah (Daryono, 2007).
Untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap bibit melon import,
diperlukan penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan bibit melon unggul yang
seragam dan tahan terhadap virus serta jamur. Pada tahun 2008, melon Melon Gama1 tersebut disilangkan dengan salah satu kultivar melon (F2B5) dan menghasilkan
melon Melon Gama-Basket. Melon Melon Gama-Basket memiliki karakter fenotip
buah yang unik berbentuk bulat menyerupai bola basket dengan jaring-jaring yang tebal
dan daging buahnya berwarna orange serta rasanya manis,
sehingga dapat

179

SeminarHasilPenelitianUGM2009

dikembangkan sebagai komoditi melon unggulan. Tetapi untuk pengembangan sebagai


benih melon unggul, diperlukan upaya pemurnian dan uji multi lokasi serta uji
variabilitas DNA.
Pada tahun pertama, penelitian ini bertujuan untuk menguji kualitas melon
Melon Gama-Basket hasil pemuliaan yang mengandung gen ketahanan terhadap
KGMMV dan jamur tepung serta memiliki karakter fenotip buah yang unggul melalui
uji multi lokasi. Sedangkan uji variabilitas DNA dengan analisis RAPD untuk mencari
dan menetukan karakter genetik yang khas bagi Melon Melon Gama-Basket akan
dilakukan pada tahun kedua.
METODE PENELITIAN
1. Penyemaian Benih Melon
Benih melon Gama Melon-Basket dan 3 kultivar melon unggul yaitu Action 434,
Ladika, Glamour dan Mai direndam ke dalam air yang berisi larutan pestisida
(Furadan) selama 1,5 2,0 jam.
2. Pembuatan Bedengan dan Pemasangan Mulsa
Area tanam yang sudah disiapkan dicangkul dan dibersihkan dari gulma-gulma.
Kemudian dibuat bedengan dengan ukuran lebar 120 cm, panjang 10-20 m dan
antar bedengan dibuatkan saluran air dengan ukuran lebar 50 cm dan kedalaman 50
cm.
3. Penanaman Benih Melon
Penanaman bibit dilakukan dengan hati-hati yaitu dengan merobek gelas plastik,
dan diusahakan tanah pada media bibit tidak pecah.
4. Perawatan dan Pemeliharaan serta Pengamatan Ketahanan Penyakit
Perwatan dan peneliharaan tanaman melon dilakukan setiap hari dengan tiap
minggu diberi pupuk sesuai dengan kebutuhan. Pemberian insektisida dan fungisida
dilakukan apabila terdapat tanda-tanda serangan hama dan penyakit baik didaun
maupun dibatang tanaman. Pemangkasan cabang lateral dilakukan terus pada
cabang-cabang berikutnya hingga cabang laleral pada ruas ke-20 atau 25.
Pengamatan ketahanan tanaman melon terhadap virus dan jamur tepung serta hama
dan penyakit lainnya yang terjadi di lapangan di data (skoring) dan dideskripsi.
5. Pemanenan Melon
Melon dipanen pada saat berumur 55-60 hari setelah penanaman di lapangan. Pada
waktu pemanenan dilakukan pengamatan buah melon meliputi bentuk buah, warna
daging buah, rasa buah dan berat buah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemurnian Benih Melon
Tahap pertama untuk mendapatkan kultivar melon unggul Gama MelonBasket adalah dengan pemurnian benih yang dilakukan di dalam green house dengan
teknologi hidroponik (Gambar 1) dan mengadakan persilangan buatan. Teknologi
hidroponik dalam penanaman melon ini menggunakan sistem Nutrient Film Technique
(NFT), menggunakan pot dan ditanam diatas medium nutrin yang mengalir. Pemurnian
benih melon dilakukan untuk mendapatkan benih melon Gama Melon Basket yang
seragam, stabil dan mempunyai fenotip yang unik menyerupai bola basket. Pemurnian
dilakukan di dalam green house dengan metode hidroponik (Gambar 1). Waktu yang
diperlukan untuk melakukan pemurnian benih ini dua bulan (Maret s.d. April) dengan
setiap minggu dilakukan pengamatan dan perawatan.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

180

Gambar 1. Pertumbuhan tanaman melon di green house dengan metode hidroponik


Untuk mendapatkan buah yang seragam dan stabil maka dilakukan persilangan
buatan (Gambar 2). Persilangan buatan dilakukan antara induk melon TC4 dengan salah
satu kultivar melon (F2B5) yang menghasilkan melon unggul Gama Melon Basket
(GMB). Melon GMB memiliki karakter fenotip buah yang unik berbentuk bulat
terdapat lajur-lajur tebal menyerupai bola basket dengan jaring-jaring (net) yang tebal
dan daging buah yang berwarna orange serta rasanya yang manis (Gambar 3).

Gambar 2. Persilangan buatan antara induk melon Melodi Gama-1 dengan salah satu
kultivar melon (F2B5) (1 = Proses penyerbukan buatan dan 2 = buah hasil penyerbukan
buatan)
Selama musim berbunga, penyerbukan buatan penting dalam membantu
tanaman melon untuk melakukan pembuahan. Melon memiliki bunga berkelamin jantan
dan betina, atau hermaprodit (berkelamin ganda). Penyerbukan dilakukan dengan
menempelkan benang sari dari bunga jantan pada kepala putik bunga betina yang masih
dalam satu tanaman (Gambar 2). Polen melon yang menempel di kepala putik akan
membentuk buluh serbuk dan membuahi ovum pada bakal buah. Setelah terjadi
pembuahan bakal biji akan berkembang menjadi buah. Buah melon TCB5 akan
membesar hingga siap dipanen. Pemanenan tanaman melon TCB5 dimulai pada minggu
ke-10 dari awal penanaman. Buah melon yang siap panenen memiliki ciri-ciri: jaring-

181

SeminarHasilPenelitianUGM2009

jaring rapat sempurna, warna hijau keabuan-hijau kekuningan, aroma khas melon
semerbak, dan terbentuknya zona absisi pada tangkai buah (Gambar 3).

Gambar 3. Buah melon GMB hasil pemurnian dengan ukuran yang optimal
Pertumbuhan optimum buah melon diperoleh setelah dua bulan penanaman.
Buah melon hasil pemurnian (GMB) kemudian dilakukan uji multi lokasi pada 3 tempat
yang berbeda yaitu di Purwokerto-Jawa Tengah, KP4 UGM Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Magetan-Jawa Timur.
Uji Multi Lokasi
Tahap kedua setelah diperoleh hasil pemurnian benih, maka untuk mengetahui
kestabilan karakter morfologi dan agronomi yang meliputi kestabilan dan keseragaman
bentuk dan berat buah tiap tanaman, produksi buah per hektar, serta ketahanan tanaman
terhadap penyakit (virus dan jamur tepung) maka dilakukan uji muti lokasi pada 3
tempat yang berbeda yaitu di Purwokerto-Jawa Tengah, KP4 UGM Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Magetan-Jawa Timur. Uji multi lokasi dimulai dengan mengecambahan
biji yang dilakukan dengan pemeraman (Gambar 4). Sebelum dikecambahkan,
dilakukan skarifikaisi, yaitu usaha pematahan dormansi biji. Pada bagian mikrofil biji
sedikit dibuka dengan ditekan menggunakan pemotong kuku. Tujuannya adalah
mempermudah absorbsi air dan oksigen agar biji lebih cepat berkecambah. Sementara
itu, pada lokasi lahan pertanian dilakukan pengolahan tanah dengan membentuk
bedengan-bedengan dengan lajur yang tengah yang berlawanan dengan tujuan
meminimalisir adanya penyerbukan antar kultivar oleh angin dan untuk
mengoptimalkan lahan (Gambar 5).
Tahap pertama uji multi lokasi adalah perkecambahan dan penyemaian benih
melon yang dilakukan di green house (Gambar 4). Benih melon dimasukkan dalam
polibag selanjutnya ditransfer ke lahan pertanian. Selanjutnya dilakukan pengolahan
lahan dan pembuatan bedengan di lahan pertanian (Gambar 5).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

182

Gambar 4. Perkecambahan dan penyemaian benih melon

Gambar 5. Pengolahan lahan dan pembuatan bedengan


Transfer kecambah melon dilakukan setelah kecambah berumur tujuh hari.
Proses pemindahan ini dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari kecambah
yang patah batangnya (Gambar 6).

Gambar 6. Proses pemindahan kecambah melon dari polibag ke lahan pertanian

183

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Benih yang telah dipindahkan untuk selanjutnya diamati pertumbuhan dan


perkembangannya. Perawatan dan pemeliharaan tanaman melon dilakukan setiap
minggu dengan dijaga kadar air, pupuk dan hama serta penyakit yang menyerang
tanaman (Gambar 7).
A

Gambar 7. Pengamatan tiap minggu tanaman melon di lapangan (A = Melon umur 1


minggu, B = Melon umur 2 minggu, C = Melon umur 3 minggu, D = Melon umur 4
minggu, E = Melon umur 5 minggu, F = Melon umur 6 minggu, G = Melon umur 7
minggu, H = Melon umur 8 minggu, I = Buah melon siap panen dan J = Buah melon
yang telah dipanen)
Gambar 7 menunjukkan pertumbuhan tanaman melon yang optimal pada tiap
minggunya. Buah melon Gama Melon Basket berbentuk bulat dengan garis-garis
tebal (seperti buah blewah) dan berjaring tebal. Buah ini mempunyai warna daging buah
yang orange dan bau yang harum (Gambar 8).

Gambar 8. Warna buah melon Gama Melon Basket


Pengambilan Data Setelah Panen
Pengambilan data setelah pemanenan dilakukan di Laboratorium Genetika,
Fakultas Biologi UGM dan Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Teknologi Pangan dan
Hasil Pertanian UGM. Pengambilan data yang dilakukan meliputi data kuantitatif dan
data kandungan nutrisi pada masing-masing buah melon. Data kuantitatif buah melon
Gama Melon-Basket yang diukur antara lain; berat, keliling, diameter horizontal,

SeminarHasilPenelitianUGM2009

184

diameter vertikal, ketebalan kulit, tebal daging dan bobot 100 biji. Hasil pengukuran
kuantitatif buah melon disajikan pada Tabel 1.
Selain diukur kuantitatif morfologi buah melon, juga dianalisis kandungan
nutrisinya, antara lain : Vitamin C, total karoten dan persentase brix (kadar
gula/kemanisan) (Tabel 2) pada dua lokasi yaitu KP-4 dan Magetan. Pada Tabel 1
menunjukkan bahwa rata-rata hasil karakter kuantitatif fenotip pada Gama MelonBasket unggul dibandingkan dengan melon komersial yang lain, sedangkan pada Tabel
2 menunjukkan bahwa untuk nutrisi yang dikandung dalam buah melon Gama MelonBasket rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan melon komersial lain yang diuji.
Tabel 1. Data kuantitatif melon Gama Molon Basket dengan melon pembanding
Karakte Rata-rata Total Tiap Lokasi/Kultivar
KP-4, UGM
Magetan
Purwokerto
N r
o Kuantit
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
atif
1. 2. 2. 1. 1. 1. 1. 0. 1. 1. 1. 1. 1. 1. 4. 0. 1. 1.
Berat
9 0 2 8 9 7 2 9 5 3 2 3 6 5 5 9 3 4
1
(Kg)
5 9 7 8 7 2 4 9 5 5 2 6 2 8 7 8 6 5
5 5 5 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 3 4 4
Kelilin 0. 3. 1. 6. 5. 6. 3. 1. 6. 4. 9. 2. 8. 7. 3. 8. 0. 5.
2
5 0 8 8 7 8 9 9 5 2 6 6 2 6 4 9 5 5
g (cm)
0 7 9 8 7 1 4 6 1 6 9 7 3 3 0 3 9 8
D1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Horizo 5. 6. 6. 5. 4. 4. 3. 3. 4. 2. 2. 3. 5. 5. 5. 2. 2. 4.
3
ntal
5 5 4 0 4 7 7 2 4 8 3 2 1 0 2 2 6 3
(cm)
1 9 1 8 5 1 1 3 6 3 9 2 4 8 4 3 0 4
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
D6. 5. 6. 6. 9. 6. 2. 0. 4. 4. 5. 4. 5. 3. 5. 2. 5. 3.
4 Vertika
1 0 3 5 1 3 9 8 5 2 6 0 3 8 6 4 9 4
l (cm)
5 4 7 2 1 1 8 3 8 6 1 6 1 9 5 9 8 6
Ketebal 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
5 an kulit 6 5 6 4 5 5 4 4 4 5 5 5 5 4 9 5 6 5
6 7 7 8 7 8 6 4 3 3 2 0 4 8 0 5 2 6
(cm)
3. 3. 3. 3. 3. 3. 2. 2. 3. 3. 2. 3. 2. 3. 3. 2. 2. 3.
Tebal
6 daging 6 5 8 7 0 3 8 8 2 0 4 1 8 1 3 6 5 2
6 8 5 0 8 2 6 6 2 9 9 4 9 1 6 7 4 3
(cm)
3. 3. 3. 3. 3. 4. 2. 2. 2. 2. 3. 2. 3. 3. 2. 2. 3. 3.
Bobot
7 100 biji 0 7 4 9 9 0 1 5 7 9 3 7 1 5 7 9 7 0
8 9 3 0 0 5 9 7 3 8 4 1 6 3 4 4 6 4
(gr)
Keterangan : 1=Gama Melon-Basket, 2=Melodi Gama, 3= Action 434, 4=Ladika,
5=Glamour, 6= Mai
Tabel 2. Kandungan nutrisi Gama Melon-Basket dengan melon pembanding
Lokasi/Kultivar/Berat
N Parameter
KP4
Magetan
o
G Me Ac La Gla Ma G Me Ac La Gla Ma
M lod tio dik mo
i
M lod tio dik mo
i

185

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Vitamin C
(mg/100gr)
Total
Karoten
(g/100gr)

% Brix

12.
39
71
5.7
9
9.4
7

i
Ga
ma
7.5
0
70
6.6
1
7.1
7

n
43
4
8.8
6
9.6
8
8.6
0

ur

6.9
5
37
3.6
6
8.8
7

6.6
4

12. 15.
14 30
45 45
7.1 1.6
9
8
9.0 8.3
0
0

613
.52
9.5
0

i
Ga
ma
16.
50
29
2.1
6
7.7
3

a
n
43
4
17. 11.
74 27
32
19. 9.2
12 7
6.9 6.4
7
7

ur
13.
53
375
.86
6.7
3

10.
16
26
1.0
8
6.5
7

Melon Gama Melodi Basket rata-rata memiliki berat buah yang tinggi
dibanding dengan melon pesaing yang lain di tiga lokasi yang diujikan (Tabel 1).
Dengan pertambahan berat pada buah, diikuti keliling, diameter horisontal dan diameter
vertikal. Dengan demikian keliling, diameter horisontal dan diameter vertikal pada
melon Gama Melon-Basket lebih tinggi dibandingkan dengan varietas yang lain.
Tebal kulit dan daging antara test cross dengan varietas lainnya tidak berbeda nyata,
untuk tebal kulit berkisar antara 0,5 1 cm, dan untuk tebal daging antara 2 3 cm. Jika
dilihat besarnya buah yang berbeda nyata antara satu dengan yang lain dan memiliki
tebal daging yang tidak berbeda nyata maka yang membedakan disini adalah lebar
rongga tempat terdapatnya biji.
Jumlah biji yang banyak dapat digunakan untuk budidaya melon selanjutnya.
Jumlah biji yang dimiliki melon Gama Melon-Basket rata-rata seimbang dengan
melon yang lain (Tabel 1). Dengan jumlah biji yang banyak ini dimungkinkan
kelangsungan hidup dari generasi melon Gama Melon-Basket akan lebih lama lama,
berbeda dengan jumlah biji yang sedikit dan dari jumlah yang sedikit tersebut tidak
semuanya dapat berkecambah.
Kualitas biji juga dilihat dari bobot 100 biji, penghitungan bobot 100 biji ini
untuk melihat kualitas biji dari banyak sedikitnya endosperm. Endosperm ini digunakan
sebagai cadangan makan bagi embrio untuk tumbuh menjadi kecambah. Apabila dalam
100 biji mempunyai berat yang kecil, maka biji-biji tersebut mempunyai endosperm
yang sedikit sehingga cadangan makanan bagi pertumbuhan endosperm tidak
mencukupi sampai terbentuk kecambah. Perkecambahan ini dicirikan dengan keluarnya
radikula dari kulit biji, dengan demikian nutrisi untuk pertumbuhan kecambah dapat
diambil dari dalam tanah.
Penelitian ini dilakukan juga uji biokimia berupa vitamin C, total karoten dan %
brix. Yang melatarbelakangi pengujian biokimia ini adalah dengan adanya beberapa
serangan hama dan penyakit baik dari virus maupun dari jamur tepung akan
menurunkan kualitas buah. Melon Gama Melon-Basket memiliki vitamin C yang
tinggi pada panen di KP-4 dan tinggi pula pada panen di Magetan dengan melon Melodi
Gama dibandingkan dengan melon pesaing yang lain.
Karoten ini merupakan prekursor vitamin A dengan warna yang ditunjukkan
antara kuning sampai merah. Total karoten tertinggi pada melon Gama Melon-Basket
dengan warna dagingnya berwarna orange dibandingkan dengan melon pesaing yang
lain meskipun warna daging buahnya juga berwarna orange. Dengan demikian untuk
mengetahui kualitas buah dilihat dari total karotennya dapat dilihat dari warna daging
buahnya (Tabel 2).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

186

Dilakukan juga pengujian % brix yang menunjukkan jumlah zat padat semu
yang larut (dalam gr) dan pada umumnya menyebut tingkat kemanisan atau kadar gula
setiap 100 gr larutan. Nilai % brix ini untuk menunjukkan tingkat kemanisan buah.
Hasil pengujian % brix hasil tertinggi pada melon Gama Melon-Basket. Dengan
demikian untuk menentukan tingkat kemanisan buah melon dapat dilihat dari warna
daging buahnya, warna daging buah merah lebih manis dibandingkan warna daging
buah putih.
Dari hasil pengujian biokimia ini secara keseluruhan, maka jumlah vitamin C,
total karoten dan % brix yang terkandung didalam buah melon Gama Melon-Basket
masih lebih rendah dibandingkan dengan jumlah vitamin C, total karoten dan % brix
yang terkandung didalam buah melon pesaing yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemurnian buah melon dari tetua TC4 dengan salah satu kultivar melon (F2B5)
menghasilkan buah melon Gama Melon-Basket yang seragam karakter fenotip
buah dan benih
2. Melon Gama Melon-Basket unggul dalam karakter kuantitaif morfologi buah dan
mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi dibandingkan dengan melon pesaing
3. Melon Gama Melon-Basket mampu menjadi melon unggulan yang tahan terhadap
serangan virus dan jamur tepung
Saran yang dapat diberikan penulis adalah
1. Perlu dilakukan penelitian molekuler yang lebih mendalam untuk mengetahui
karakter genetik yang khas dan keseragaman genetik yang dimiliki Gama MelonBasket
2. Perlu dilakukan sertifikasi benih dan hak paten benih melon Gama Melon-Basket
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneilitian ini didanai melalui Hibah Riset Unggulan Klaster UGM Tahun 2009.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan staf Kebun Pendidikan,
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM atas bantuan dan fasilitas yang
diberikan selama penelitian. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak H. Ibnu
Arifin, petani melon di Magetan-Jawa Timur; Bapak Parmono, petani melon di
Purwokerto-Jawa Tengah dan Bapak Supardio, petani melon di Prambanan-Sleman DIY
atas bantuan dan kerjasama dalam budidaya melon.
DAFTAR PUSTAKA
Anagnostou, K. M. Jahn and R. Perl-Treves. 2000. Inheritance and linkage analysis of
resistance to zucchini yellow mosaic virus, watermelon mosaic virus, papaya
ringspot virus and powdery mildew in melon. Euphytica116: 265-270.
Bordas, M., V. Moreno and L. Roig. 1991. Organogenic and Embryogenic Potential of
several Commercial Lines of Cucumis Melo. Cucurbit Genetics Cooperative 14:
71-74
Brotman, Y., Silberstein, L., Kovalski, I., Perin, C., Dogimont, C., Pitrat, M., Klingler,
J., Thompson, G.A., and Perl-Treves, R. 2002. Resistance gene homologues in
melon are linked to genetic loci conferring disease and pest resistance. Theor.
Appl. Genet. 104: 1055-1063.

187

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Danin-Poleg, Y., Paris, H.S., Cohen, S., Rabinowitch, H.D., and Karchi, Z. 1997.
Oligogenic inheritance of resistance to zucchini yellow mosaic virus in melons.
Euphytica 93:331-337.
Danin-Poleg, D., Tzuri, G., Reis, N., Karchi, Z., and Katzir, N. 2000. Search for
molecular markers associated with resistance to viruses in melon. Proceedings
Cucurbitaceae 2000. M. Katzir and H. S. Paris, eds. Acta Horticulturae.
510:339-403.
Daryono, B.S., Wakui, K., and Natsuaki, K.T. 2005. Isolation and characterization of
molecular markers linked to CMV-B2 resistance gene in melon. Jpn. J.
Phytopathol. 71(3): 278. (Abstract).
Daryono, B.S., Somowiyarjo, S., and Natsuaki, K.T. 2005. Screening for resistance to
Kyuri green mottle mosaic virus in various melon. Plant Breeding 124 (4):487490.
Daryono, B.S., Somowiyarjo, S., and Natsuaki, K.T. 2003. New source of CMV
resistance in melon. SABRAO Journal of Breeding and Genetics 35 (1):9-26.
Daryono, B.S. and Natsuaki, K.T. 2002. Application of random amplified polymorphic
DNA markers for detection of resistant cultivars of melon (Cucumis melo L.)
against cucurbit viruses. Acta Horticulturae 588: 321-329.
Daryonoi, B.S. 2007. Analisis Fenotip dan Kestabilan Ploidi Tanaman Melon
Tetraploid (Cucumis melo L.) Hasil Perlakuan Kolkisin. Jurnal Agrotropika. 12
(1): 56-61.
Ezura, H., H. Amagai, K. Yophioka, K. Ooswa. 1992. Highly Frequent Appearance of
Tetrapolidy in Regenerated Plants, A Universal Phenomenon in Tissue Cultures
of Melon. Plant Science 85: 209-213.
Ficcadenti, N. and G.L. Rotino. 1995.Genotype and Medium Affect Shoot Regeneration
of Melon. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 40: 293-295.
Fassuliotis, G. and B.V. Nelson. 1992. Regeneration of Tetraploid Muskmelon from
Cotyledons and Their Morphological Differences from Two Diploid Muskmelon
Genotypes. J. Amer. Soc.Hort. Sci. 117(5): 863-866.
Garcia-Mas, J., van Leeuwen, H., Monfort, A., de Vicente, M.C., Puigdomenech, P.,
and Arus, P. 2001. Cloning and mapping of resistance gene homologues in
melon. Plant Science. 161:165-172.
Gillbert, R.Z., Kyle, M.M., Munger, H.M., and Gray, M.S. 1994. Inheritance of
resistance to watermelon mosaic virus in Cucumis melo L. HortScience 29: 107110.
Gray, S.M., Moyer, J.W. and Kennedy, G.G. 1988. Resistance in Cucumis melo to
watermelon mosaic virus 2 correlated with reduced virus movement within
leaves. Phytopatology 78: 1043-1047.
Hirai, S. and Amemiya, Y. 1990. Studies on the resistance of melon cultivars to
cucumber mosaic virus (II) RNA profiles of virus multiplied in a resistant and a
susceptible cultivars. Ann. Phytopath. Soc. Japan 56: 39-46.
Marco, C.F., Aguilar, J.M., Abad, J., Gomez-Guillamon, M.L., and Aranda, M.A. 2003.
Melon resistance to Cucurbit yellow stunting disorder virus is characterized by
reduced virus accumulation. Phytopathology 93:844-852.
Robinson, R.W. and D.S. Decker-Walters. 1999. Cucurbits. CAB International, New
York.
Setiadi dan Parimin. 2001. Bertanam melon. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. hal : 10-25,
61-80.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

188

Somowiyarjo, S., Sako, N., and Tomaru, K. 1993. The use of dot immunobinding assay
for detecting cucurbit viruses in Yogyakarta. In: Production of virus- free
tropical crops. Editor : Tomaru, K. and Natsuaki, K.T. NODAI Center for
International Programs. Tokyo University of Agriculture. Tokyo. pp. 3-11.
Trehane, P., Brickell, C.D., Baum, B.R., Hetterscheid, W.L.A., Leslie, A.C., McNeill,
J., Spongberg, S.A. and Vrugtman, F. 1995. International code of nomenclature
forcultivated plants-1995. Quaterjack Publishing, Wimborne, United Kingdom.
p. 175.

189

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

190

LAJU DEKOMPOSISI DAUN EMPAT JENIS TUMBUHAN PIONIR


YANG TUMBUH PADA LAHAN BEKAS TAMBANG BATUBARA
PT. BERAU COAL KALIMANTAN TIMUR
Handojo Hadi Nurjanto1 Haryono Supriyo1 Dwi T Adriyanti1 Arom Figyantika1
Arianto Wibowo2
1
Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur,
Yogyakarta. Telp. 0274 512102. E-mail: hhnurjanto@ugm.ac.id
2
Alumni Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
ABSTRACT
Soil restoration of open cast coal mining is needed to obtain soil condition
similar to prior mining operation. An efficient and economical method is soil
amendment using organic matter produced by indigenous pioneer vegetation. Litter
with rapid decomposition process will rapidly increase soil organic matter, and
therefore restore the soil fertility. This research aimed to assess decomposition rate of
leaf litter produced by pioneer vegetations which grow naturally on ex-coal mining
area of PT Berau Coal East Kalimantan and shading effects on the decomposition rate.
This research used litter bag method and research design CRD (completely randomized
design). Litter of Trema cannabina, Macaranga conifera, Macaranga triloba, and
Melastoma affine equal to 15 gram dry oven were filled to litter bag (20 x 20 cm) and
placed in shaded and open area. Every 2 weeks, samples were taken, oven dried and
weighed. Environmental condition (temperature, moisture and light intensity) and
initial C/N ratio of the litter were measured. Result of the research showed that
decomposition rate of litter of T. cannabina litter was the fastest, followed by M. affine,
M. conifera and M. triloba. T. cannabina possessed a rapid decomposition process with
decomposition index (k) >0.01, whilst M. conifera, M. triloba, and M. affine were
medium with k-value 0.005<k<0.01. Decomposition rate of the litters in open area was
faster than under shading.
Keywords: decomposition rate, leaf litter, pioneer vegetation, ex-open cast-coal mining
PENDAHULUAN
Hasil tambang merupakan satu kekayaan alam yang sangat potensial untuk
dieksploitasi. Akan tetapi karena keberadaan bahan tambang tersebut secara alamiah
berinteraksi dengan lingkungannnya yang berupa tanah, air dan sumber daya hayati
yang terkandung di dalamnya, maka eksploitasi bahan tambang akan selalu berakibat
pada terjadinya kerusakan lingkungan (Hidayati dkk., 1999). Penambangan, pemrosesan
dan penggunaan sumber daya alam mineral yang terdapat di bawah permukaan tanah
dapat menyebabkan kerusakan lahan dan lingkungan karena aktivitas penambangan
melibatkan pemindahan material dari kerak bumi dan membuang batuan tak terpakai
dan limbah tambang di sekitar daerah penambangan (Miller, 1991).
Secara garis besar, kegiatan penambangan dibagi menjadi dua metode yaitu
penambangan sistem terbuka (open pit) dan penambangan sistem dalam. Penambangan
batubara di PT Berau Coal merupakan penambangan sistem terbuka. Kegiatan
penambangan ini menyebabkan terbentuknya lubang-lubang yang pada akhir kegiatan
ditimbun dan dilakukan reklamasi. Areal yang direklamasi tersebut tidak sesuai untuk
pertumbuhan tanaman karena tanah yang digunakan pada penimbunan kembali adalah

191

SeminarHasilPenelitianUGM2009

tanah penutup (overburden dan interburden) dan tanah permukaan (topsoil) yang dalam
kondisi agregat hancur dan tercampur sehingga tidak memiliki lapisan (horison) tanah,
mempunyai struktur tanah yang rusak, drainase tanah buruk dan tanah padat serta sulit
ditembus akar. Secara kimia, tanah tersebut miskin hara dan mempunyai pH yang
sangat rendah (Widawati & Suliasih, 1999). Keasaman tanah yang tinggi (pH yang
sangat rendah) terjadi karena oksidasi komponen mineral tanah yang mengandung
sulfide, khususnya pyrit dan pyrrhotit, yang semula tertutup dalam tanah menjadi asam
sulfat setelah tanah tersebut terbuka dan bersinggungan dengan udara (oksigen)
(Willow. & Cohen. 2003). Secara biologis, lahan bekas tambang juga memiliki populasi
flora dan fauna yang rendah, begitu pula populasi mikroorganismenya (Widawati &
Suliasih, 1999).
Keberhasilan rehabilitasi lahan dapat ditingkatkan melalui pemupukan
menggunakan bahan organik (Suciatmih dkk, 1999; Jafaar, 2001). Penambahan bahan
organik dimaksudkan untuk meningkatkan sifat fisika tanah (agregasi tanah, porositas
tanah, aerasi dan kecepatan infiltrasi air), kimia tanah (pH dan ketersediaan unsur hara)
dan biologi tanah (Fisher Binkley, 2000).
Penambahan bahan organik untuk rehabilitasi kurang tepat diterapkan pada
lahan bekas tambang yang luas karena memerlukan jumlah yang sangat besar. Masukan
bahan organik sebagai penyedia unsur hara diharapkan dihasilkan oleh vegetasi dari
lahan yang sama dan bukan diambilkan dari tempat lain (Kusuma dan Handayanto,
2002).
Salah satu metode perbaikan kondisi tanah timbunan setelah penambangan dapat
dilakukan dengan menanam tanaman penutup tanah jenis legum dan rumput (Hairiah et
al, 2006). Vegetasi tersebut akan memberikan masukan bahan organik ke dalam tanah
dalam bentuk jatuhan seresah maupun eksudasi akar (Sourkova et al, 2005). Menurut
Lugo (1997) penanaman pohon-pohon akan memberi keuntungan bagi kegiatan
rehabilitasi lahan, karena akan memungkinkan terjadinya suksesi Jump-start
(permulaan yang sangat cepat), memberikan naungan, memodifikasi ekstrim dari
kerusakan lahan.
Pada lahan bekas tambang batu bara di PT Berau Coal Kalimantan Timur
terdapat beberapa jenis vegetasi pionir yang dominan, antara lain Anggrung (Trema
cannabina), Mahang (Macaranga triloba), Medang sendok (Macaranga conifera),
Senggani / Karamunting (Melastoma affine), dan lain-lain (Nurjanto dkk., 2007) yang
dapat menjadi sumber masukan bahan organik ke dalam tanah.
Produksi seresah dan dekomposisinya merupakan jalur utama pengembalian
unsur hara ke tanah sehingga menjadi proses yang fundamental pada siklus unsur hara
(Barlow et al, 2007). Kecepatan dekomposisi seresah dipengaruhi oleh faktor internal
dari bahan yang didekomposisi (komposisi kimia bahan, terutama kandungan bahan
organik larut air dan nitrogen) dan faktor eksternal (lingkungan) seperti suhu,
kelembaban, dan pH (Dickinson & Pugh, 1974) dan keberadaan agen pendekomposisi.
Kecepatan dekomposisi seresah daun tumbuhan pionir yang tumbuh di lahan bekas
tambang PT. Berau Coal Kalimantan Timur dan pengaruh lingkungan yang sangat
terbuka belum diketahui sehingga sangat penting untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui: (a) Kecepatan dekomposisi daun Anggrung, Medang sendok,
Mahang, dan Senggani. (b) Pengaruh kondisi lingkungan (terbuka dan ternaung)
terhadap kecepatan dekomposisi daun vegetasi pionir tersebut.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

192

METODE PENELITIAN
Penelitian laju dekomposisi daun dilakukan di Fakultas ehutanan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta menggunakan metode litter bag. Rancangan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah completly randomized design (CRD). Sampel daun
Anggrung, Mahang, Medang sendok dan Senggani diambil dari lahan bekas tambang
batubara P.T. Berau Coal, Kalimantan Timur. Sampel daun dari masing-masing jenis
yang setara dengan 15 gram berat kering angin dimasukkan ke dalam litter bag
berukuran 20 x 20 cm. Litter bag tersebut diletakkan di tempat terbuka (persemaian)
dan ternaung (arboretum). Setiap 2 minggu sekali dilakukan pengambilan sampel litter
bag dengan 3 kali ulangan untuk masing masing jenis daun dan kondisi naungan.
Selanjutnya sampel daun dioven dan ditimbang untuk memperoleh berat kering konstan.
Sebagai data pendukung juga diamati parameter lingkungan yang memengaruhi proses
dekomposisi yaitu suhu tanah, kelembaban dan intensitas cahaya. Pengukuran dilakukan
sebanyak 5 kali ulangan. Selain itu rasio C/N dari masing masing jenis daun juga
dianalisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Naungan terhadap Kecepatan Dekomposisi Seresah
Kecepatan dekomposisi seresah diukur dengan menghitung penurunan berat
kering seresah pada setiap waktu pengambilan sampel dan dapat dinyatakan
menggunakan indeks dekomposisi (k), yaitu angka yang menunjukkan konstanta
dekomposisi dari suatu seresah. Kecepatan dekomposisi suatu seresah dipengaruhi oleh
faktor internal dari bahan yang didekomposisi, faktor lingkungan dan keberadaan agen
pendekomposisi. Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
jenis vegetasi dan kondisi dekomposisi sangat berpengaruh terhadap kecepatan
dekomposisi seresah.
Pada kondisi terbuka (tanpa naungan), seresah seluruh jenis vegetasi mempunyai
kecepatan dekomposisi yang secara nyata lebih tinggi dari pada kondisi ternaung. Hal
ini terlihat dari besarnya penurunan berat kering seresah pada akhir proses dekomposisi
(14 minggu) yang pada kondisi terbuka berkisar antara 61 hingga 100 % sedang pada
kondisi ternaung bervariasi antara 31 hingga 49 % (Gambar 1). Begitu juga dengan nilai
indeks dekomposisi yang pada kondisi terbuka bervariasi antara 0,0031 hingga 0,0136
(rerata = 0,0081) sedang pada kondisi ternaung bervariasi antara 0,0026 hingga 0,005
(rerata = 0,0037)(Tabel 1)

193

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Berat kering (g)

16

16

Ternaung

14

14

12

12

10

10

Terbuka

8
Mt

Mc
Tc

Ma

0
-2

0
4

10

12

14

-2

10

12

Waktu (minggu)

Waktu (minggu)

Gambar 1. Penurunan berat kering seresah beberapa vegetasi pionir pada kondisi
ternaung (kiri) dan terbuka (kanan). Tc : vegetasi Anggrung (T. Cannabina), Mt :
Mahang (M. triloba), Mc : Medang sendok (M. conifera), Ma : Senggani (M. affine).
Bars = Standar Eror Rerata
Tabel 1. Rata-rata indeks dekomposisi pada kondisi ternaung dan tanpa naungan pada
minggu ke- 8.
Indeks dekomposisi
(k)
No
Jenis seresah
Ternaung Terbuka
Anggrung (Trema
1
cannabina)
0,0032
0,0136
Mahang
2 (Macaranga triloba) 0,0026
0,0059
Medang sendok (M.
3
conifera)
0,0050
0,0031
Senggani
4
(Melastoma affine)
0,0043
0,0098
Rata-rata
0,0037
0,0081
Pengamatan terhadap kondisi lingkungan menunjukkan bahwa pada kondisi
terbuka intensitas cahaya sangat besar, mencapai rata-rata 20.474 lux, rerata suhu udara
36,8oC dan kelembaban udara rata-rata 23,6% (Tabel 2). Hal ini sangat berbeda dengan
kondisi ternaung di dalam arboretum yang memperoleh intensitas cahaya sekitar 20 kali
lebih rendah dari kondisi tanpa naungan (Tabel 2). Pada kondisi yang terbuka ini, agen
dekomposer, khususnya fauna tanah, lebih aktif dalam melakukan proses dekomposisi.
Fauna tanah mempunyai peran penting dalam proses dekomposisi khususnya
dalam proses fragmentasi (dekomposisi secara fisik) seresah (Hofer et al, 2001),
disamping juga berperan dalam inkorporasi bahan organik dalam tanah yang
menyebabkan semakin aktifnya proses dekomposisi oleh mikroorganisme dekomposer
(Frouz et al., 2006). Pada kondisi terbuka dimana intensitas cahaya dan suhu tanah
tinggi, fauna tanah yang berperan pada tahap awal dekomposisi akan berlindung di
bawah seresah dan mencari makan darinya.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

194

14

Tabel 2. Kondisi lingkungan proses dekomposisi seresah vegetasi pionir


Kondisi
lingkungan
Ternaung
Terbuka
Kisaran Rerata Kisaran
Rerata
18070
Intensitas
1045
20.474,4
1086,0
23220
Cahaya (lux)
1126
36,44
29,33
36,8
29,4
Suhu (0C)
37,07
29,52
22,67
Kelembaban
45,11
23,6
46,3
24,22
(%)
47,78
Suhu yang tinggi mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Suhu yang semakin
tinggi sebenarnya akan semakin mempercepat perombakan bahan organik, sehingga
mineralisasi unsur hara akan berlangsung dengan cepat. Suhu yang optimal bagi
pertumbuhan bakteri sebagai agen dekomposer berkisar antara 25-35oC dan beberapa
bahkan dapat tumbuh optimal pada suhu antara 35-45 oC (Fisher & Binkley, 2000).
Akan tetapi mikroorganisme dekomposer, yaitu bakteri dan jamur, aktif melakukan
proses dekomposisi secara optimal pada kelembaban tinggi. Hal ini berbeda dengan
fauna tanah yang masih mampu beraktivitas pada kelembaban antara 1-10 bar, hampir
mendekati batas dehidrasi. Sebagian besar fauna tanah tidak begitu terpengaruh oleh
kelembaban tanah karena mereka tidak melakukan dekomposisi secara kimia (Swift et
al., 1979).
Pada kondisi ternaung di dalam arboretum, fauna tanah yang sangat dominan
adalah cacing tanah. Hal ini terlihat dari butiran-butiran tanah yang berbentuk bulat
yang merupakan kotoran dari cacing yang menempel pada litter bag. Cacing tanah
merupakan fauna tanah yang memindahkan seresah dari permukaan tanah ke dalam
profil tanah melalui aktivitas makannya. Sementara itu pada kondisi terbuka fauna tanh
didominasi oleh rayap dan semut. Aktifitas rayap ditandai dengan gundukan tanah yang
berada pada litter bag dan sobeknya litterbag dikerenakan gigitan rayap yang berupaya
untuk masuk dan memakan seresah. Rayap dan semut biasanya berbentuk koloni besar
di dalam tanah dengan daya pelapukan bahan organik yang sangat besar (Harsoyo,
2002).
Faktor lain yang memengaruhi kecepatan dekomposisi seresah dalam penelitian
ini adalah adanya alternative makanan. Vegetasi yang menyusun arboretum akan
menyediakan banyak seresah sebagai sumber makanan organisme sehingga kecepatan
dekomposisi seresh yang diletakkan di dalam arboretum berjalan lebih lambat
dibandingkan di tempat terbuka dimana tidak ada seresah lain sebagai makanan fauna
tanah.
Pengaruh Jenis Vegetasi terhadap Kecepatan Dekomposisi Seresah
Seresah vegetasi Anggrung, baik pada kondisi ternaung maupun terbuka,
mempunyai kecepatan dekomposisi yang tertinggi, diikuti oleh seresah vegetasi
Senggani dan dua vegetasi lain (Gambar 1; Tabel 3). Anggrung mempunyai indeks
dekomposisi (k) 0,011 sehingga tergolong jenis yang cepat terdekomposisi sedang jenis
lain (Senggani, , M. conifera dan M. triloba) mempunyai kecepatan dekomposisi 0,005<
k <0,01 sehingga tergolong menengah (Barlocher (2005). Perbedaan kecepatan
dekomposisi masing-masing jenis seresah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

195

SeminarHasilPenelitianUGM2009

oleh aktifitas fauna (makroorganisme) tanah, morfologi daun, dan kandungan kimia
bahan.
Tabel 3. Indeks dekomposisi keempat jenis seresah pada minggu ke-8
No Jenis seresah
K
Anggrung (Trema
1
cannabina)
0,011318
Mahang
2
(Macaranga triloba) 0,007178
Medang sendok (M.
3
0,007618
conifera)
Senggani
4
(Melastoma affine)
0,008898
Faktor internal yang berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi seresah
adalah kandungan kimianya. Menurut Hairiah et al., (2000), kecepatan pelapukan bahan
organik tergantung perbandingan (nisbah) karbon dan nitrogen dari bahan tersebut.
Bahan yang memiliki nisbah C/N yang kecil akan mengalami proses pelapukan yang
lebih cepat bila dibanding bahan organik yang memiliki nisbah C/N yang lebih besar.
Hal ini karena mikroorganisme decomposer akan memecah senyawa C sebagai sumber
energi dan menggunakan N untuk sintesis protein.
Analisis kimia terhadap keempat jenis seresah menunjukkan bahwa Anggrung
dan Senggani memiliki nisbah C/N, berturut-turut 32,99 dan 38,55, yang lebih besar
dari Mahang dan Medang sendok, berturut-turut 23,21 dan 29,47 (Tabel 4). Hal ini
mendukung penyataan bahwa pada penelitian ini, khususnya pada kondisi tanpa
naungan, fauna tanah lebih berperan dalam proses dekomposisi seresah.
Tabel 4. Nisbah C/N seresah keempat jenis vegetasi pionir
N Jenis
C total
N total C/N
o
(%)
(%)
rasio
Anggrung (Trema
51,80
1,57
32,99
1
cannabina)
Mahang
56,00
1,90
29,47
2
(Macaranga triloba)
Medang sendok (M. 54,55
2,35
23,21
3
conifera)
Senggani
57,06
1,48
38,55
4
(Melastoma affine)
Anggrung dan Senggani kemungkinan memiliki adibilitas (keenakan dimakan)
oleh fauna tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis yang lain sehingga
dekomposisi tahap awal yaitu fragmentasi berjalan dengan cepat. Selama observasi,
Anggrung dan Senggani sangat disukai oleh rayap yang merupakan makroorganisme
yang memiliki daya penghancur yang sangat besar.
Medang sendok diduga mengandung zat yang tidak disukai oleh fauna tanah
yang menyebabkan adibilitas menjadi kurang. Selama observasi, tidak ada jenis fauna
tanah yang memakan ataupun bersarang yang menyebabkan dekomposisi berjalan
lambat. Berbeda dengan Medang sendok, Mahang disukai oleh semut yang terlihat dari

SeminarHasilPenelitianUGM2009

196

banyaknya jenis semut yang berada di dalam seresah. Menurut Feldhaar (2000) semut
Crematogaster msp sering dijumpai berasosiasi dengan Mahang karena dapat
menyediakan nutrisi dan tempat untuk bersarang bagi semut. Akan tetapi peran semut
dalam proses fragmentasi seresah tampaknya kurang besar.
Dilihat dari morfologinya, daun Anggrung memiliki ukuran yang kecil dengan
tekstur yang lunak. Hal tersebut menjadikan seresah Anggrung lebih disukai oleh
organisme dekomposer. Senggani juga memiliki daun yang kecil, akan tetapi teksturnya
lebih keras dibandingkan Anggrung. Mahang dan Medang sendok memiliki daun yang
lebar sehingga laju dekomposisinya berjalan lebih lambat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Anggrung yang merupakan vegetasi
pionir yang tumbuh baik pada lahan bekas tambang batubara mempunyai potensi untuk
meningkatkan kesuburan tanah tersebut karena mempunyai kecepatan dekomposisi
yang tinggi khususnya pada kondisi tanpa naungan, intensitas cahaya dan suhu tinggi,
dan kelembaban tanah yang rendah.
KESIMPULAN
1. Kecepatan dekomposisi seresah pada kondisi terbuka (tanpa naungan) lebih cepat
dibandingkan pada kondisi ternaung.
2. Kecepatan dekomposisi masing-masing vegetasi berbeda-beda. Anggrung
merupakan seresah yang tergolong cepat terdekomposisi dengan indeks dekomposisi
k > 0,01.
3. Anggrung mempunyai potensi untuk meningkatkan kesuburan tanah di lahan bekas
tambang batubara karena mempunyai kecepatan dekomposisi yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Barlocher, F. Leaf Mass Loss Estimated by Litter Bag Technique. In: M.A.S. Graca, F.
Barlocher & MO Gessner (eds). Method to Study Litter Decomposition: A
Practical Guide. Springer , Netherland. pp: 37-42 (2005).
Barlow, J., T.A. Gardner, L.V. Ferreira & C.A. Peres. Litter fall and decomposition in
primary, secondary and plantation forests in the Brazilian Amazon. Forest
Ecology and Management. 247. pp: 9197 (2007).
Dickinson, C.H. dan Pugh, G.J.F. Biology of Plant Decomposition Volume I and II,
Acadenic Press, London (1974).
Feldhaar, H. Maintaining an Ant-Plant Symbiosis: Secondary Polygynyin the
Macaranga triloba - Crematogaster sp. Association. Naturwissenschaften 87 :
408411 (2000).
Fisher, R.F. & D. Binkley. Ecology and Management of Forest Soils. 3rd ed. John Wiley
& Sons, Inc. New York. 489 p (2000).
Frouz, J., D. Elhottova, V. Kuraz, M. Sourkova. Effects of soil macrofauna on other
soil biota and soil formation in reclaimed and unreclaimed post mining sites:
Results of a field microcosm experiment. Applied Soil Ecology 33 : 308320
(2006).
Hairiah, K., S.U. Rahayu, L. Betha & M. Noordwijk. Neraca Hara dan Karbon Dalam
Sistem Agroforestry. ICRAF. Bogor (2006).
Hairiah, K., Widianto, Noordwijk, Cadisch, G. Pengelolaan Tanah Masam Secara
Biologi. ICRAF. Bogor (2000).

197

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Harsoyo, E. Keragaman dan Dinamika Makrofauna Tanah pada Berbagai pola


Penggunaan Lahan di Pekalongan Jawa Tengah. Tesis S2. Program Pasca
Sarjana. UGM. Yogyakarata (2002).
Hidayati, N., Naiola, B. P., Sambas, E. N., Syarif, F., Suriana, M., Rahajoe, J. S.,
Suciatmih., Juhaeti, T., dan Suharjono, Y. Perubahan Bioekofisik Lahan Bekas
Penambangan Emas di Jampang dan Metode Pendekatannya. Dalam
Abdulhadi, R., Hidayati, N., Siregar, M., dan Sunarto, B.(eds). Reklamasi Lahan
Bekas Penambangan Emas, Jampang. Puslitbang Biologi-LIPI. Pp: 3-19 (1999).
Hfer, H., W. Hanagarth, M. Garcia, C. Martius, E. Franklin, J. Rmbke, L. Beck.
Structure and function of soil fauna communities in Amazonian anthropogenic
and natural ecosystems. Eur. J. Soil Biol. 37 : 229235 (2001).
Jaafar, H.Z.E.. Utilization of marginal soils in Malaysia: Bris and Tin- Tailings.
Workshop Proceedings Vegetation Recovery in Degraded Lang Areas. Promaco
Conventions. Western Australia. pp: 139-152 (2001).
Kusuma, D. R. Z. dan E. Handayanto. Sinkronisasi Mineralisasi N dan P Biomasa
Tumbuhan Dari Lahan Kering Dengan Kebutuhan N dan P Tanaman Jagung.
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang (2002).
Lugo, A.E. The Apparent Paradox of Reestablishing Species Richness on Degraded
lands with Tree Monocultures. Forest Ecology and Management. (99). pp: 9-19
(1997).
Miller, G.T.Jr. Environmental Science: Sustaining the earth. Wardsworth Pub.Co.
Belmonth. p: 465 (1991).
Nurjanto, HH., H. Supriyo, Adriyanti, D.T., Adriana, & B. Satriyana. Peranan vegetasi
pionir dan mikroorganisme tanah pada pemapanan kembali (re-establisment)
hutan dipterocarpa di lahan bekas tambang batubara PT. Berau coal:
Inventarisasi potensi vegetasi pionir. Laporan hibah penelitian kemitraan
program hibah kompetisi (PHK) A-3. Jurusan Budidaya Hutan. Fakultas
Kehutanan UGM (2007).
Sourkova, M., J. Frouz, U. Fettweis, O. Bens, R.F. Huttl & H. Santruckova. Soil
development and properties of microbial biomass succession in reclamied post
mining sites near Sokolov (Czech Republic) and near Cottbus (Germany).
Geoderma. 129. pp: 73-80B (2005).
Suciatmih, Suliasih, & Hidayati, N. Inokulasi mikrosimbion dan pemupukan organic
terhadap pertumbuhan Kaliandra dan Albizia di lahan bekas penambangan
emas. Dalam Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Emas Jampang. R.
Abdulhadi, N. Hidayati, M. Siregar & B. Sunarko. LIPI. Bogor. pp: 43-50
(1999).
Swift, M.J., O.W. Heal & J.M. Anderson. Decomposition in terrestrial ecosystem.
Blackwell, Oxford. UK (1979).
Widawati, S., dan Suliasih., Status Populasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) pada Kondisi
Lahan Pasca Reklamasi. Dalam Abdulhadi, R., Hidayati, N., Siregar, M., dan
Sunarto, B.(eds). Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Emas, Jampang.
Puslitbang Biologi-LIPI. Pp: 97-108 (1999).
Willow, M.A. & R.R.H. Cohen. Bioremediation and Biodegradation: pH, Dissolved
Oxygen, and Adsorption Effects on Metal Removal in Anaerobic Bioreactors. J.
Environ. Qual. 32:12121221 (2003).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

198

LAMPIRAN
Tabel 5. Anova dengan menggunakan spss 15 evaluation for window
Type III Sum of
Mean
Sig
Source
Squares
df
Square
F
.
Corrected Model
,00
2207,544(a)
47
46,969 14,751
0
Intercept
12253,19 3848,3 ,00
12253,199
1
9
02
0
Jenis
,00
93,368
3
31,123
9,775
0
Waktu
,00
980,102
5
196,020 61,563
0
Perlakuan
187,42 ,00
596,784
1
596,784
9
0
jenis * waktu
,01
99,211
15
6,614
2,077
7
jenis * perlakuan
,00
98,119
3
32,706 10,272
0
waktu *
,00
227,436
5
45,487 14,286
perlakuan
0
jenis * waktu *
,00
112,523
15
7,502
2,356
perlakuan
6
Error
305,669
96
3,184
Total
14
14766,412
4
Corrected Total
14
2513,213
3
a R Squared = ,878 (Adjusted R Squared = ,819)
Tabel 6 . Hasil uji lanjut (DMRT) untuk mengetahui perbedaaan berat kering seresah
keempat jenis tumbuhan pionir.
Rata-rata berat kering
Jenis
N
seresah (gram)*
T.
Duncan(
7.958
cannabin 36
a,b)
3a
a
9.113
M. affine
36
6b
9.790
M.
36
9.7908bc
conifera
8b
M.
36
10.0353c
triloba
*Huruf yang berbeda pada kolom menujukan perbedaan nyata pada level signifikansi
0,05

199

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

200

PENGARUH TEKNOLOGI SILVIKULTUR INTENSIF TERHADAP


TATA AIR DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA SISTEM
TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)
1,2

Hatma Suryatmojo1, Widiyatno2


Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

ABSTRAK
Perubahan sistem pengelolaan hutan akan mempengaruhi keseimbangan
lingkungan kawasan, salah satunya adalah dari aspek keseimbangan hidrologis atau
tata air. Perubahan perilaku hidrologis dan perubahan fisiografi (tata guna) lahan
akan menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem diantaranya pola tata air dan
keanekaragaman hayati. Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) atau
dikenal dengan sistem Silvikultur Intensif (Silin) akan diterapkan pada seluruh unit
manajemen pengelolaan hutan alam di Indonesia. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui perubahan tata air dan keanekaragaman hayati yang ditimbulkan oleh
penerapan sistem TPTII di Kalimantan. Target khusus di tahun pertama adalah
mengetahui karakteristik hidroklimat dan lengas tanah, mengetahui distribusi dan
kelimpahan vegetasi pada sistem TPTII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerapan sistem TPTII memiliki dampak terhadap penurunan kapasitas infiltrasi yang
sama dengan sistem TPTI sebelumnya. Nilai infiltrasi pada sistem TPTII akan pulih
kembali (sama dengan hutan alam primer) setelah 14 tahun. Kadar lengas tanah yang
mengalami dinamika perubahan akibat adanya masukan hujan adalah pada kedalaman
30 cm dan 90 cm, sementara lengas kedalaman 150 cm dipengaruhi oleh musim hujan.
Perubahan penutupan lahan akibat kegiatan TPTII membawa pengaruh pada jumlah
semai dan pancang yang memiliki jumlah N/ha yang besar pada tahun-tahun awal
setelah penebangan dan menurun seiring dengan pertambahan penutupan kanopi.
Sebaliknya, jumlah N/ha tiang dan pohon setelah penebangan sedikit dan mengalami
kenaikan seiring dengan pertambahan umur akibat makin banyaknya pancang yang
masuk ke kelas tiang dan tiang yang masuk ke dalam kelas pohon.
Kata kunci : tata air, lengas tanah, infiltrasi, struktur vegetasi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai 88,5 juta hektar sumberdaya hutan yang meliputi 46%
dari luas daratan (FAO, 2005). Sumberdaya hutan ini tersebar di seluruh Indonesia,
terutama di luar pulau Jawa. Namun demikian saat ini sumberdaya hutan di Indonesia
terus mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas dari waktu ke waktu. Hasil
Global Forest Resources Assesment yang dilakukan oleh FAO tahun 2005,
menunjukkan bahwa antara tahun 1990-2005, hutan Indonesia berkurang sebanyak 28,1
juta ha. Departemen Kehutanan memberikan angka resmi 2,1 juta ha/th untuk laju
kerusakan hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia bahkan memberikan angka 2-2,4
juta ha/thn. Kondisi ini sangat mengkuatirkan sehingga oleh Greenpeace, hutan
Indonesia tahun 2007 diusulkan masuk ke Guinness Book of World Record, sebagai
negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia. Ancaman kerusakan hutan akibat
perambahan dan penebangan liar jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar
biasa besarnya karena adanya efek domino dari hilangnya hutan, terutama pada

201

SeminarHasilPenelitianUGM2009

kawasan-kawasan yang mempunyai nilai fungsi ekologis dan biodiversitas besar. Akibat
dari kejadian ini tidak saja hilangnya suatu kawasan hutan yang tadinya dapat
mendukung kehidupan manusia dalam berbagai aspek misal kebutuhan akan air,
oksigen, kenyamanan (iklim mikro), keindahan (wisata), penghasilan (hasil hutan non
kayu dan kayu), penyerapan carbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan akan tetapi
juga hilanglah biodiversity titipan generasi mendatang.
Hubungan antara manusia dengan air, tanah dan hutan menjadi satu kesatuan
dalam suatu lingkaran ekosistem yang saling tergantung dan mempengaruhi satu dengan
yang lainnya. Salah satu fungsi hutan adalah mengendalikan daur air suatu kawasan.
Ketika hujan jatuh pada suatu kawasan hutan, maka berbagai proses hidrologi akan
terjadi, dimulai dari intersepsi, evapotranspirasi, troughfall, steamflow, infiltrasi hingga
terjadinya aliran langsung (direct runoff). Berbagai proses hidrologi tersebut menjadi
bagian dari peran penting hutan dalam pengendalian daur air kawasan.
Sistem pengelolaan hutan alam tropis di Indonesia mengalami perkembangan
dari waktu-ke waktu. Sistem silvikultur yang pernah dikembangkan dan atau masih
dilaksanakan di Indonesia dalam pengelolaan hutan alam saat ini adalah (1) Tebang
Pilih Indonesia 1972(TPI); (2) Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)1989/1993; (3)
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) 1997 yang sudah di cabut dan (4) Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (TPTII) 2005 (Departemen Kehutanan, 1972; Departemen
Kehutanan, 1989/93; Departemen Kehutanan, 1997 dan Departemen Kehutanan, 2005).
Sistem TPTII ini awalnya diterapkan oleh 6 HPH model yang berlokasi di Kalimantan
Tengah (3 HPH), Kalimantan Timur (2 HPH) dan Kalimantan Timur (1 HPH) (Naiem
dan Faridah, 2006; Soekotjo, 2005). TPTII menggunakan ruang sebesar 25%,
sedangkan ruang sisanya (75%) tetap dipertahankan untuk kepentingan keanekaragaman
hayati.
Sistem TPTII atau dikenal dengan sistem Silvikultur Intensif (Silin) seiring
dengan berjalannya waktu sistem ini akan diterapkan pada seluruh unit manajemen
pengelolaan hutan alam di Indonesia. Sistim baru ini perlu dilakukan kajian dari aspek
pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan dalam hal ini aspek pengaruh terhadap tata
air, pertumbuhan dan keanekaragaman hayatinya. Hal ini penting dilakukan agar dapat
diketahui apakah model ini membawa dampak positif terhadap produktifitas volume
standing stock dan juga memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan tata air
kawasan. Dengan demikian diharapkan pada masa datang tidak akan terjadi lagi salah
kelola pengelolaan hutan alam tropis di Indonesia.
Permasalahan
Perubahan sistem pengelolaan hutan akan mempengaruhi keseimbangan
lingkungan kawasan, salah satunya adalah dari aspek keseimbangan hidrologis atau tata
air. Perubahan perilaku hidrologis dan perubahan fisiografi (tata guna) lahan akan
menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem diantaranya pola tata air. Perubahan
pola tata air menimbulkan ketidakseimbangan neraca air kawasan sehingga
menimbulkan potensi bencana banjir maupun kekeringan.
Kondisi tersebut di atas juga akan berdampak secara langsung pada
pertumbuhan tanaman apabila ketersediaan air sebagai salah satu faktor utama untuk
pertumbuhan tanaman tidak tercukupi. Hal ini dapat terjadi karena sistem silvikultur
TPTII 2005 melakukan pembukaan areal sekitar 15% yang diperuntukan untuk
penanaman pengayaan (enricment planting) dengan sistem jalur (line planting).
Pembukaan areal akan meningkatkan akan meningkatkan intensitas cahaya matahari

SeminarHasilPenelitianUGM2009

202

yang sampai ke lantai hutan. Hal ini akan meningkatkan penguapan (evaporasi) dari
lantai hutan dan menurunkan kadar lengas tanah. Penurunan kadar lengas tanah akan
mempengaruhi proses fotosintesis tanaman dan berdampak pada perubahan
pertumbuhan. Sementara itu jenis-jenis tanaman yang dikembangkan merupakan jenisjenis tanaman Dipterocarps yang membutuhkan lingkungan yang spesifik. Lingkungan
yang dimaksud diantarnya adalah toleran terhadap (1) tingkat naungan (membutuhkan
naungan) dan (2) kelengasan tanah, sehingga perubahan sistem silvikultur tersebut
dikhwatirkan akan menghambat pertumbuhan tanaman dalam jalur.
Dari aspek keanekaragaman hayati sistem TPTII dimungkinkan berdampak pada
(1) peningkatan kerusakan dan penurunan produktifitas hutan, karena sistem ini
menurunkan limit diameter (DBH) yang dieksploitasi, yaitu dari 50 cm-up menjadi 40
cm-up dan (2) penurunan keanekaragaman hayati akibat penurunan limit DBH dan
proses pembukaan jalur tanam (3) penurunan kualitas habitat fauna akibat terputusnya
luasan habitat oleh pembukaan jalur tanaman.
Perumusan Masalah
Dari permasalahan diatas, dapat diajukan perumusan masalah berupa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh sistem TPTII terhadap tata air kawasan?
2. Bagaimana pengaruh sistem TPTII terhadap kelestarian keanekaragaman hayati?
Tujuan
Tujuan penelitian :
1. Mengetahui karakteristik hidroklimat dan lengas tanah,
2. Mengetahui distribusi dan kelimpahan flora.
Keutamaan penelitian
Penelitian ini penting dilakukan karena sistem TPTII adalah kebijakan
pemerintah dalam pengelolaan hutan alam tropis di Indonesia. Sistem TPTII selama ini
masih terfokus pada peningkatan produktifitas volume standing stock saja. Pada sisi
lain, hutan menjadi tumpuan utama sebagai sistem penyangga kehidupan dan penyedia
jasa lingkungan dalam berbagai aspek misal pemenuhan kebutuhan akan air, oksigen,
produk-produk hasil hutan non kayu, penyerapan carbon (carbon sink), pangan, obatobatan dan habitat alami berbagai jenis flora dan fauna.
Pada sisi lain peran hutan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama dalam
mengatur tata air dan menyediakan sumber air bagi kawasan menjadi hal yang sangat
penting apalagi bila dikaitkan dengan perubahan iklim dunia. Pengelolaan hutan yang
tidak memperhatikan keseimbangan tata air telah banyak terbukti menyebabkan
timbulnya bencana banjir di musim hujan dan bencana kekeringan di musim kemarau.
Kondisi tersebut jelas akan mempengaruhi keseimbangan komponen ekosistem dan
kelestarian keanekaragaman hayati.
Dengan demikian perlu adanya kajian pada berbagai aspek dalam pengelolaan
hutan dengan sistem TPTII sehingga nantinya akan diketahui pengaruh sistem TPTII
terhadap tata air dan potensi keanekaragaman hayati didalamnya. Informasi ini akan
menjadi bagian penting dalam pengembangan dan penyempurnaan pengelolaan hutan
alam tropis di Indonesia.
STUDI PUSTAKA

203

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Perkembangan Sistem Pengelolaan Hutan di Indonesia


Sistim silvikultur adalah suatu program jangka panjang dalam mengelola
tegakan hutan secara lestari untuk serangkaian tujuan (Nyland, 1996). Sistem
silvikultur terdiri atas 3 komponen dasar perlakuan, yaitu (1) permudaan, (2)
pemeliharaan dan (3) pemanenan. Sistem silvikultur Tebang Pilih dapat dibedakan
dalam 3 kelompok, yaitu (1) Single Tree Selection Method (Metode Tebang Pilih
Individu), (2) Group Selection Method (Metode Tebang Pilih Kelompok) dan (3) Strip
Selection Method (Metode Tebang Pilih Jalur) (Smith, et al., 1997 dan Nyland, 1996).
Tebang Pilih Indonesia 1972
Tebang pilih merupakan salah satu sistem silvikultur yang diterapkan pada hutan
tidak seumur. Sistem ini diterapkan dengan menghilangkan individu dewasa yang
terdapat pada suatu tegakan atau mengurangi jumlah kelas diameter tua untuk menjaga
jumlah tanaman sisa yang terbaik dan untuk mempermuda kembali (Smith, et al., 1997
dan Nyland, 1996). Tujuan dari penerapan sistem ini adalah (1) menciptakan kelas umur
baru, (2) memelihara jumlah pohon potensial (distribusi diameter) diantara kelas
diameter muda, (3) memperbaiki volume pada kelas umur tua dan kelebihan jumlah
pohon pada setiap siklus tebangan dan (4) memberikan kelestarian hasil pada interval
waktu yang teratur (Nyland, 1996).
Sistem silvikultur pertama yang dikembangkan oleh Indonesia dalam mengelola
hutan hujan tropis Indonesia adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sistem TPI
ditetapkan melalui Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/KPTS/DD/I/19721.
Prinsip dari sistem TPI memperhatikan kelestarian hutan, sehingga pada penurunan
produktifitas pada rotasi berikutnya dapat dihindari.
TPI adalah suatu sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan dan
permudan hutan. Komponen pokok dari TPI terdiri dari empat komponen utama yaitu :
(1) pertimbangan, (2) dasar-dasar, (3) pelaksanaan dan (4) sanksi-sanksi. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya HPH belum menerapkan empat kompenen utama tersebut diatas.
Beberapa komponen yang digunakan adalah penentuan batas minimum diameter dan
pohon inti. Batas diameter minimum ditujukan pada jenis-janis kayu yang berharga
(valuable tree spesies) yang mempunyai diameter setingi dada ( 130 cm dari
permukaan tanah) atau 20 cm diatas banir dengan ukuran kurang dari 50 cm tidak boleh
di tebang. Pohon inti adalah pohon-pohon yang akan membentuk tegakan utama pada
rotasi berikutnya. Untuk menjamin adanya produksi kayu perdagangan pada rotasi
berikutnya maka perlu ditunjuk dan ditandai 25 pohon/ha sebagai pohon inti dari jenisjenis kayu perdagangan dengan ketentuan diameter lebih dari 35 cm tersebar secara
merata.
Kegiatan penanaman pengayaan pada sistem ini dilakukan dengan menggunakan
permudaan buatan. Penanaman pengayaan dilakukan pada jalan sarad dan areal yang
tingkat permudaannya kurang (Naiem dan Faridah, 2006). Akan tetapi kegiatan ini
tidak dapat berjalan dengan baik dikarenakan lemahnya kontrol dan tidak adanya
organisasi silvikultur yang mendukung kegiatan penanaman pengayaan.
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) 1989/93
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) merupakan sistem silvikultur pengelolaan
hutan alam produksi di Indonesia yang didasarkan pada SK No. 485/Kpts-II/1989
1

Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang
Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan alam dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

204

tanggal 18 September 1989. Sistem ini merupakan penyempurnaan dari TPI, karena
selama 17 tahun berlaku sistem TPI mengalami beberapa kesulitan dilapangan dan tidak
berfungsinya Bagian Pembinaan Hutan di masing-masing HPH terutama dalam hal
sumber daya manusia (SDM) dan dana yang diperlukan untuk pembinaan hutan
(Soekotjo, 2005).
Pelaksanaan TPTI diatur melalui
SK Dirjen Pengusahaan Hutan No.
564/Kpts/IV-BPHH/89 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia dan
disempurnakan lagi dengan SK Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151/KPTS/IVBPHH/1993. Dalam SK Menhut No. 485/Kpts-II/1989 terdapat 3 sistem yang dicakup,
yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan Alam
(THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Kondisi struktur dan
komposisi jenis sangat berperan dalam pemilihan sistem silvikultur yang akan
diterapkan. Penetapan sistem silvikultur tersebut didasarkan pada hasil risalah hutan.
Tujuan dari TPTI adalah terbentuknya struktur dan komposisi tegakan hutan
alam tak seumur yang optimal dan lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan
tempat tumbuh aslinya. Hal ini ditandai dengan tegakan yang mengandung jumlah
pohon, tiang, dan permuadaan jenis-jenis niagawi dengan mutu dan produktifitas tinggi,
didampingi oleh jenis pohon lainnya sehingga memenuhi tingkat keanekaragaman
hayati yang diinginkan (Departemen Kehutanan, 1993). Untuk mencapai kegiatan
tersebut maka tindakan-tindakan silvikultur yang diperlukan adalah (a) pengaturan
komposisi jenis pohon di dalam hutan yang diharapkan dapat memberikan keuntungan
baik dari segi ekonomi maupun ekologi, (b) pengaturan struktur/kerapatan tegakan yang
optimal di dalam hutan yang diharapkan dapat memberikan peningkatan potensi
produksi kayu bulat dari keadaan sebelumnya, (c) terjaminnya fungsi hutan dalam
rangka pengawetan tanah dan air dan (d) terjaminnya fungsi perlindungan hutan.
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) 1997
Tebang Tanam Jalur (TPTJ) merupakan suatu sistem silvikultur dalam
pengelolaan hutan tanaman industri yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 1997,
dengan nama sistem Tebang Tanam Jalur2. Sistem ini muncul sebagai akibat dari
pelaksanaan Sistem TPTI yang belum menunjukan adanya kegiatan pembinaan hutan
yang intensif terhadap areal bekas tebangan, walaupun pada kenyataannya telah
dilaksanakan upaya pembinaan hutan di areal tersebut. Kegiatan pembinaan hutan yang
dimaksud adalah melaksanakan kegiatan pengayaan/penanaman dan pemeliharaan di
areal bekas tebangan. Dari hasil evaluasi atas pelaksanaan pembinaan hutan dalam
sistem TPTI yang telah dilaksanakan selama ini, dapat dikemukakan bahwa :
a. Hasil kegiatan belum terlihat secara nyata di lapangan dan hal ini dapat
menimbulkan anggapan bahwa pada areal bekas tebangan tersebut tidak ada
kegiatan.
b. Secara teknis menemui kesulitan dalam melakukan pemeriksaan, pembinaan dan
pengawasan. (Departemen Kehutanan, 1997).
Istilah TTJ mengalami perubahan menjadi Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ),
perubahan ini dituangkan dalam SK Menteri Kehutanan No. 625/KPTS-II/1998 tentang
perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/KPTS-II/1997 tentang Sistem
Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Pelaksanaan sistem TPTJ diatur
2

Sistem Tebang Tanam Jalur (TTJ) dituangkan oleh Keputusan Menteri Kehutanan No.435/KPTS-II/ 1997 tentang
Sistem Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri.

205

SeminarHasilPenelitianUGM2009

melalui SK Dirjen Pengusahaan Hutan No. 220/KPTS/IV-BPH/1997 tentang Pedoman


Pelaksanaan Hutan Tanaman Industri dengn Sistem Tebang dan Tanam Jalur.
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) 2005
TPTII merupakan sistem silvikultur yang mulai berkembang sejak tahun 2002.
Sistem ini awalnya diterapkan oleh 6 HPH model yang berlokasi di Kalimantan Tengah
(3 HPH), Kalimantan Timur (2 HPH) dan Kalimantan Timur (1 HPH) (Naiem dan
Faridah, 2006; Soekotjo, 2005). TPTII menggunakan ruang sebesar 25%, sedangkan
ruang sisanya (75%) tetap dipertahankan untuk kepentingan keanekaragaman hayati.
TPTII dikembangan dengan model pertanaman 20 m x 2,5 m, sehingga jumlah
yang tertanam dalam satu hektarnya berjumlah 200 semai. Pada akhir daur (30 tahun)
perkiraan volume standing stock adalah 400 m3/ha, dengan asumsi jumlah tanaman
akhir daur adalah 160 pohon/ha dengan rata-rata diameter 50 cm (atau 2,5 m3/pohon)
(Naiem dan Faridah, 2006). Skema dari sistem TPTII 2005 dapat dilihat pada Gambar
1.

20 m

3m
2,5 m
1,5 m

1,5 m
2,5 m

3m

Keterangan:
1. Lebar jalur tanam adalah 3 m
2. Jarak antar titik tanam dalam jalur tanam
adalah 2,5 m
3. Jarak antar jalur adalah 20 m
4. = sebagai antara (jalur hijau)

Gambar 1. Pola Penanaman pada sistem TPTII


METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di HPH PT Sari Bumi Kusuma (SBK) blok Sei Delang
yang secara geografis terletak pada posisi terletak 01 24 - 01 59 Lintang Selatan (LS)
dan 114 42 - 111 18 Bujur Timur (BT). Blok Sei Seruyan PT. SBK terletak pada
posisi 00 36 - 01 10 LS dan 111 39 - 1112 25 BT. Secara administratif

SeminarHasilPenelitianUGM2009

206

Pemerintahan Blok Sei Delang masuk ke dalam Kecamatan Lamandau dan Kecamatan
Delang, Kabupaten Dati II Kotawaringin Barat, Propinsi Kalimantan Tengah.
Sedangkan blok Sei Seruyan berada di Kecamatan Seruyan Hulu dan Kecamatan
Katingan Hulu, Kabupaten Dati II Kotawaringin Timur, Kalimantan tengah. Batas areal
kerja dari PT. SBK adalah :
Sebelah Utara
: Hutan Lindung
Sebelah Selatan
: HPH PT. Erna Djuliawati dan PT. Meranti Mustika
Sebelah Timur
: Tanaman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya dan HPH PT
Kayu
Waja
Sebelah Barat
: HPH PT. Erna Djuliawati dan PT. Meranti Mustika
PT. SBK memperoleh konsensi pengelolaan hutan di Propinsi Kalimantan
Tengah sejak tahun 1978. Hak konsensi awal berupa Pengusahaan Hutan dengan
Tebang Pilih Indonesia (TPI). Penetapan sistem silvikultur TPI kepada PT. SBK
tersebut di tetapkan melalui SK Menteri Pertanian No. 599/KPTS/Um/II/1978 tanggal
16 Oktober 1979 dengan luas kawasan hutan seluas 270.000 Ha selama 20 tahun.
Kemudian pada tahun 1989 sistem pengelolaannya diganti menjadi Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI). Pada 1998 sistem pengelolaannya berubah menjadi sistem silvikultur
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). PT. SBK diberi kewenangan untuk mengelola areal
hutan seluas 208.300 ha selama 70 tahun dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI)
dengan sistem silvikultur TPTJ. Penelitian tahun pertama dilaksanakan mulai bulan
Januari Nopember 2009.

Gambar 2. Lokasi Penelitian di PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah


Alat Penelitian
Peralatan penelitian yang diperlukan dalam penelitian dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Peralatan untuk pengukuran karakteristik hidroklimat, infiltrasi dan lengas tanah
: GPS; Automatic Rainfall Recorder (ARR); ring infiltrometer; soil moisture
sensor; temperature sensor dan data logger untuk menyimpan perekaman data.
2. Peralatan untuk pengukuran pertumbuhan dan keanekaragaman hayati : meteran;
pita ukur; tambang; galah; kompas dan peralatan identifikasi vegetasi lainnya.

207

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Bagan Alir Penelitian


Penelitian yang akan dilakukan selama 2 tahun dapat disajikan dalam bagan alir
penelitian seperti Gambar 3 dibawah ini dengan pembagian ruang lingkup penelitian
pada setiap tahunnya.

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian


Cara Pengukuran
Karakteristik Iklim
Pengukuran karakteristik Iklim dilakukan dengan 2 metode :
a. Metode pengumpulan data iklim
Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data iklim dari stasiun-stasiun
meteorologi milik BMG disekitar lokasi penelitian. Data iklim yang dikumpulkan
berupa hujan, suhu dan kelembaban. Data sekunder yang akan dikumpulkan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

208

b.

diusahakan selama 50 tahun terakhir. Data yang terkumpul kemudian dilakukan


analisis tren perubahan rerata iklim tahunan. Hasil dari analisis ini diperoleh tren
perubahan iklim di sekitar lokasi penelitian.
Metode Pengukuran langsung
Metode ini dilakukan dengan memasang stasiun meteorologi otomatis yang terdiri
dari beberapa sensor yaitu : hujan, suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan
kecepatan angin. Semua sensor dihubungkan dengan logger penyimpan data digital
yang kemudian dilakukan down load data setiap 2 bulan. Data yang diperoleh
merupakan data iklim mikro di lokasi penelitian.

Infiltrasi
Pengamatan infiltrasi dilakukan menggunakan alat ring infiltrometer.
Pengukuran dilakukan pada 10 lokasi sistem TPTII pada tingkatan umur 1 tahun hingga
10 tahun dan pada hutan alam primer (virgin forest). Pada setiap lokasi pengamatan
ditentukan 3 titik pengamatan yang ditetapkan yaitu pada jalur tanaman, jalur tebas dan
pada jalur antara baris tanaman jalur yang dipilih secara acak (random) yang mampu
mewakili keragaman karakteristik setiap lokasi pengamatan. Setiap titik pengamatan
dilakukan pengukuran infiltrasi dengan ulangan sebanyak 3 (tiga) kali seperti yang
disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Titik Pengukuran infiltrasi


Model infiltrasi yang akan dipergunakan adalah metode Horton, yang
mempunyai formula sebagai berikut :
f = fc + (f0 fc).e-kt

Keterangan :
f
f0
fc
k
t

= laju infiltrasi (cm/menit)


= laju infiltrasi awal (cm/menit)
= laju infiltrasi konstant (cm/menit)
= konstanta
= waktu (menit)

Lengas Tanah
Pengamatan lengas tanah dilakukan dengan alat Soil Moisture Smart Sensor seri
M005. Pada setiap lokasi pengamatan dipasang satu set alat pengukur lengas tanah yang

209

SeminarHasilPenelitianUGM2009

terdiri dari 2 unit sensor lengas tanah yang dipasang pada kedalama 40 cm dan 120 cm.
Data dari dua sensor tersebut direkam pada alat Micro Station Data Logger seri H21002. Perekaman data diset untuk setiap 3 jam. Hasil perekaman data dapat di download
langsung menggunakan laptop yang terinstall perangkat lunak HOBOWARE
didalamnya.
Hasil dari pengukuran kadar lengas pada 3 lokasi kemudian dibuat grafik untuk
menunjukkan perbedaan yang mungkin terjadi pada tiap kedalaman tanah dan berbagai
faktor yang mempengaruhinya.
Petak Ukur Monitoring
Pengamatan dilakukan dengan membuat petak ukur (PU) pada berbagai
tingkatan umur (umur 1 - 10 tahun dan hutan alam primer). Setiap kelas umur dibuat 25
PU total luas 1 Ha per kelas umur. Petak ukur dibuat untuk tingkat pohon dengan
ukuran 20x20 m; tingkat tiang dengan ukuran 10x10 m; untuk tingkat sapihan 5x5 m
dan semai 2x2 m.
Pengukuran status keanekaragaman hayati
Petak ukur terstruktur berdasarkan kelas pertumbuhan tanaman (nested plot)
yang dipisahkan menjadi kelas semai (2 x 2 m), sapling (5 x 5 m), sapihan (10 x 10 m)
dan pohon (20 x 20 m). Petak ukur dibangun secara permanen (petak ukur permanen,
PUP), sehingga dapat dipergunakan untuk pengamatan dinamika tanaman dalam jangka
yang lebih lama. Seluruh species yang ditemukan pada petak ukur diukur tinggi,
diameter (dbh atau d0), diameter tajuk dan dihitung jumlahnya (untuk tingkatan pohon,
sapihan dan tiang), sedangkan untuk semai yang dihitung hanya jumlahnya. Selanjutnya
setiap jenis diambil sampel herbariumnya untuk pengenalan species di laboratorium
(Contoh spesimen herbarium akan diambil dan dikirim ke Herbarium Bogorensis,
Bogor, untuk diidentifikasi). Lay out pengambilan sampel dapat di lihat pada Gambar 5.

20

3m
2,5
1,5

Gambar 5. Bentuk petak ukur permanen (PUP) untuk pengamatan keanekaragaman


hayati
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Hujan
Data hujan di lokasi penelitian bersumber dari data sekunder yaitu hasil
pencatatan data hujan di 3 stasiun hujan yaitu Camp TPTJ 93, Camp Binhut 54 dan
Camp Persemaian 35. Data yang dipergunakan adalah data hujan tahun 2001 hingga

SeminarHasilPenelitianUGM2009

210

2008. Data hujan dari ketiga stasiun kemudian dilakukan analisis hubungan antar
stasiun dan diperoleh bahwa data hujan pada ketiga stasiun adalah non significant atau
tidak berbeda nyata. Dengan demikian data dari 3 stasiun dapat digunakan sebagai data
karakteristik hujan di lokasi penelitian dengan cara merata-rata hujan dari 3 stasiun
tersebut. Hasil analisis data hujan menggunakan metode Aljabar disajikan pada Tabel
1.

Bulan

Tabel 1. Rerata Hujan Bulanan di PT SBK tahun 2001 2008


Curah Hujan (mm)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
336,78 426,14 214,54 371,16 287,43 306,60 395,24
278,74 252,49 405,69
88,34
288,61 453,04 394,72
194,63 390,64 527,65 258,70 285,52 145,28 388,36
330,56 469,33 234,75 413,22 277,80 320,80 433,20
191,34 200,47 255,28 403,88 256,07 414,40 303,24
185,23 480,12 295,19
86,42
309,52 645,72 454,32
199,66 120,24 141,42 326,26 222,24
25,52
442,20
86,99
59,71
224,93
0,00
187,72
8,80
378,96

2008
232,46
170,97
493,83
345,74
225,68
298,11
432,04
591,75

January
February
March
April
May
June
July
August
Septembe
r
523,72
48,26
274,01 190,92 152,64 311,48 279,34 515,83
October
359,94 225,42 344,02 130,60 586,36
87,16
476,50 535,29
Novembe
r
319,58 308,28 204,40 419,68 560,72 390,80 277,60 351,84
Decembe
r
129,20 442,93 140,68 335,12 279,68 280,44 538,20 416,31
Total 3136,37 3424,04 3262,56 3024,30 3694,32 3390,04 4761,88 4609,85

Rerata
321,30
291,58
335,58
353,18
281,30
344,33
238,70
192,36
287,03
343,16
354,11
320,32

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa setiap bulan selama satu tahun di lokasi
penelitian selalu terdapat hujan dengan tebal minimal 192 mm (terkecil) pada bulan
agustus dan hujan terbesar terjadi pada bulan November. Dengan data tersebut diatas,
maka apabila berdasarkan zona iklim yang dikembangkan oleh Bakosurtanal termasuk
dalam zona iklim perhumid (selalu basah) yang ditunjukkan dengan curah hujan
bulanan selalu > 200 mm atau dicirikan oleh 12 bulan basah per tahun.
Apabila menggunakan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson yang didasarkan pada
nisbah antara jumlah bulan kering dengan jumlah bulan basah dalam setahun, maka
nilai nisbah yang diberi simbol Q adalah 0. Hal ini berarti berdasarkan klasifikasi iklim
Schmidt-Ferguson lokasi penelitian termasuk dalam Zona A dengan nilai Q < 0,14 dan
termasuk dalam kondisi iklim sangat basah (very wet). Kondisi tersebut diperjelas
dengan grafik tebal hujan berdasarkan data dari Tabel 7 yang disajikan pada Gambar 6.
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 6 tampak bahwa lokasi penelitian di PT SBK
termasuk dalam kawasan hutan hujan tropis yang memiliki ciri khas terdapat hujan terus
menerus setiap bulan sepanjang tahun. Kondisi ini membawa konsekwensi khusus yaitu
dengan adanya hujan setiap bulan dengan tebal hujan lebih dari 200 mm / bulan maka
potensi hujan yang menyebabkan terjadinya erosi atau disebut erosivitas juga tinggi.
Pengelolaan hutan di kawasan ini memerlukan perhatian khusus dalam hal
dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan pemanenan seperti penebangan dan
penyaradan yang berpotensi menimbulkan erosi yang besar. Erosi yang besar akan
menimbulkan sedimentasi di bagian bawah kawasan (hilir) dan akan menyebabkan

211

SeminarHasilPenelitianUGM2009

terjadinya pencucian hara akibat tererosi. Dengan jenis tanah Ultisol yang relatif miskin
hara, maka unsur hara hanya terdapat pada topsoil (bagian atas) yang merupakan hasil
proses dekomposisi seresah dari vegetasi hutan. Apabila topsoil ini tererosi hebat, maka
tanah akan kekurangan hara dan secara efek domino akan berakibat pada penurunan
kandungan hara dalam tanah dan kualitas lahan menurun sehingga akan memperlambat
laju pertumbuhan tanaman secara alami.

Gambar 6. Rerata Hujan Bulanan Selama tahun 2001 2008


Lengas Tanah
Pengukuran Lengas Tanah dilakukan pada blok tahun 1999 dengan tanaman jalur
berumur 10 tahun dan pada hutan alam primer (Virgin forest) sebagai kontrol. Sensor
lengas dipasang pada kedalaman tanah 30 cm, 90 cm dan 150 cm. Hasil pengukuran
lengas tanah pada 1 Juli 2009 12 November 2009 disajikan pada Gambar 7 dan
Gambar 8 berikut.
Lengas Tanah Blok 1999 ( Tanaman Jalur Umur 10 Thn)
0,3

0,25

0,2

m3/m3

0,15
30
90
0,1

150

0,05

Gambar 7. Lengas Tanah pada Tanaman Jalur Umur 10 tahun

SeminarHasilPenelitianUGM2009

212

11/7/09

11/10/09

11/3/09

10/31/09

10/27/09

10/24/09

10/20/09

10/17/09

10/13/09

10/6/09

10/10/09

10/3/09

9/29/09

9/26/09

9/22/09

9/19/09

9/15/09

9/8/09

-0,05

9/12/09

9/5/09

9/1/09

8/29/09

8/25/09

8/22/09

8/18/09

8/15/09

8/8/09

8/11/09

8/4/09

8/1/09

7/28/09

7/25/09

7/21/09

7/18/09

7/14/09

7/7/09

7/11/09

7/4/09

Gambar 7 menunjukkan bahwa lengas tanah pada kedalaman 30 cm memberikan


respon yang kuat terhadap proses yang terjadi di permukaan tanah. Setiap ada kejadian
hujan, maka lengas tanah pada kedalaman 30 cm akan merespon dengan terjadinya
kenaikan nilai lengas tanah. Pada kedalaman 90 cm, fluktuasi lengas tanah masih
mengikuti respon lengas yang terjadi di kedalaman 30 cm. Respon yang diberikan pada
kedalaman 90 cm tidak mencapai nilai lengas yang ekstrem seperti pada kedalaman 30
cm. Hal ini diduga karena pada kedalaman 0 90 cm dipengaruhi oleh sistem perakaran
yang berkembang pada kedalamn tanah tersebut. Air yang masuk ke tanah melalui
proses infiltrasi akan diserap oleh sistem perakaran sehingga pada kedalaman 90 cm,
kadar lengasnya menjadi berkurang.
Kadar lengas pada kedalaman 150 cm tidak memberikan respon langsung
terhadap hujan yang jatuh di permukaan. Pada Gambar 9 ditunjukkan bahwa kadar
lengas pada kedalaman 150 cm selama bulan Juli hingga september terus mengalami
penurunan, padahal pada bulan-bulan tersebut masih terdapat hujan. Pada pertengahan
bulan september terjadi kenaikan kadar lengas tanah pada kedalaman 150 cm yang
cukup tinggi. Hal ini diduga akibat terjadinya akumulasi air yang terinfiltrasi pada
bulan-bulan sebelumnya mulai mencapai kedalaman 150 cm sehingga menyebabkan
kadar lengas tanah naik. Dengan demikian pada kawasan tersebut terjadi waktu tunda
air yang terinfiltrasi dapat mencapai kedalaman 150 cm antara 3 4 bulan.
Lengas Tanah di Virgin Forest
0,4
0,35
0,3
0,25

m3/m3

0,2
0,15

30
90

0,1
0,05
0

11/9/09

11/6/09

10/9/09

10/12/09

10/6/09

10/3/09

9/29/09

9/26/09

9/23/09

9/20/09

9/16/09

9/13/09

9/7/09

9/10/09

9/3/09

8/31/09

8/28/09

8/25/09

8/21/09

8/18/09

8/15/09

8/8/09

8/12/09

8/5/09

8/2/09

7/30/09

7/26/09

7/23/09

7/20/09

7/17/09

7/13/09

7/7/09

7/10/09

Time,

-0,1

7/4/09

-0,05

Gambar 8 Lengas Tanah pada Hutan Alam Primer (Virgin Forest)


Gambar 8 menunjukkan bahwa respon yang diberikan oleh hujan terhadap
lengas tanah pada kedalaman 30 cm memberikan respon yang fluktuatif seiring dengan
besarnya curah hujan yang jatuh pada kawasan hutan alam primer. Sementara pada
kedalama 90 cm juga mengikuti fluktuasi yang terjadi pada kedalaman 30 cm dengan
nilai lengas yang tidak ekstrem. Hal ini juga dipengaruhi oleh pemanfaatan lengas tanah
oleh vegetasi melalui sistem perakaran yang berkembang pada kedalaman kurang dari 1
meter.
Infiltrasi
Pengukuran Infiltrasi dilakukan pada 10 blok tanaman umur 1 tahun hingga 10
tahun dan pada hutan alam primer sebagai kontrolnya. Hasil pengukuran infiltrasi
ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 9.

213

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 2. Hasil Pengukuran Infiltrasi


Infiltrasi (cm/jam)
Umur Tanaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hutan Alam Primer (HAP)

Jalur tanam Jalur Tebas Jalur antara Rerata


2,53
4,66
3,20
4,00
6,00
6,00
6,67
10,01
13,00
14,00
22,00

4,67
5,33
6,60
7,60
6,00
6,66
8,07
11,73
13,00
14,33
22,00

5,07
3,60
4,93
4,00
7,20
5,99
6,67
10,00
10,67
14,00
22,00

4,09
4,53
4,91
5,20
6,40
6,22
7,13
10,58
12,22
14,11
22,00

Gambar 8. Grafik Infiltrasi pada Umur Tanaman 1 10 tahun dan Hutan Alam Primer
Dari Tabel 2 dan Gambar 8 dapat diketahui bahwa kegiatan pemanenan kayu
dengan cara tebang pilih menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi sebesar 82%. Hal
ini lebih disebabkan oleh terjadinya pemadatan tanah akibat kegiatan pembalakan dan
penyaradan yang menggunakan alat berat sehingga menurunkan porositas tanah dan
menyebabkan air sulit terinfiltrasi.
Hasil analisis proyeksi infiltrasi di TPTII menunjukkan bahwa nilai kapasitas
infiltrasi akan kembali mencapai kondisi seperti pada hutan alam primer pada tahun ke
14 setelah penebangan. Kebutuhan waktu selama 14 tahun untuk kapasitas infiltrasi
kembali normal perlu mendapat perhatian khusus terutama pada dampak yang akan
ditimbulkan pada peningkatan debit aliran dan erosi seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 9. Kegiatan konservasi tanah mutlak dilakukan pada blok tebangan seperti
pembuatan rorak, terasering pada jalan sarad dan juga penanaman pada jalan sarad.
Untuk menunjukkan perbedaan dampak penerapan sisten TPTI dengan TPTII
terhadap kapasitas infiltrasi, maka dilakukan analisis grafik terhadap 3 titik sampel
pengukuran infiltrasi yang disajikan pada Gambar 9, 10 dan 11.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

214

Gambar 9. Infiltrasi di Antara Jalur Tanam (LOA) pada umur 1 10 tahun dan Hutan
Alam Primer

Gambar 10. Infiltrasi di Jalur Tanam pada umur 1 10 tahun dan Hutan Alam Primer

Gambar 11. Infiltrasi di Jalur Tebas pada umur 1 10 tahun dan Hutan Alam Primer
Gambar 9 menunjukkan infiltrasi yang diukur pada area bekas tebang pilih
dengan penerapan sistem TPTI, sedangkan Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan
infiltrasi yang diukur pada area bekas tebangan dengan penerapan sistem TPTII. Dari
hasil perbandingan tren grafik infiltrasi menunjukkan bahwa dampak penerapan TPTI
dan TPTII terhadap infiltrasi memiliki trend yang sama. Hal ini dikuatkan dengan hasil
analsis statistik yang juga menyatakan bahwa ketiga data infiltrasi (jalur tanam, jalur

215

SeminarHasilPenelitianUGM2009

tebas dan jalur antara) memiliki data infiltrasi yang non signifikan / tidak berbeda nyata.
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa dampak penerapan sistem TPTI dan TPTII
pada hutan alam memberikan pengaruh infiltrasi yang sama. Dengan demikian
penerapan sistem TPTII mampu memberikan dampak terhadap peningkatan potensi
tegakan.
Struktur Vegetasi
Struktur vegetasi dapat menunjukkan profil dari persebaran vegetasi dari tingkat
semai hingga pohon. Struktur vegetasi yang diamati pada berbagai blok tebangan mulai
blok tebangan 1999 sampai blok tebangan 2008 (umur tegakan pada penanaman jalur 1
10 tahun) dan pada blok hutan alam (virgin forest). Struktur vegetasi yang diteliti
diharapkan dapat menunjukkan proses perkembangan berbagai strata tajuk mulai dari
permudaan (semai) hingga pohon.
Hasil pengukuran pada Plot Ukur Permanen (PUP) seluas 1 Ha untuk setiap
tahun tanaman jalur disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Tanaman pada Berbagai Tingkatan Strata Tajuk Vegetasi
Plot Ukur Permanen (PUP)
No
Umur
Pohon Tiang Pancang Semai
Penanaman
N/Ha
N/Ha
N/Ha
N/Ha
1
1 tahun
120
220
960
17.500
2
2 tahun
146
266
2.880
11.000
3
3 tahun
166
208
5.232
27.700
4
4 tahun
163
224
4.624
19.600
5
5 tahun
175
274
5.915
32.760
6
6 tahun
147
240
2.832
18.600
7
7 tahun
173
276
2.264
15.500
8
8 tahun
147
332
2.680
10.600
9
9 tahun
144
356
2.496
9.400
10
10 tahun
171
360
1.712
8.000
11
Virgin Forest
270
460
1.960
5.500
Untuk mengetahui variasi pertumbuhan setiap strata tajuk vegetasi, maka data pada
Tabel 3 disajikan juga dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 12 dan Gambar 13.

Gambar 12. Jumlah Tiang dan Pohon pada Berbagai Umur Tanaman Jalur

SeminarHasilPenelitianUGM2009

216

Gambar 13. Jumlah Semai dan Pancang pada Berbagai Umur Tanaman Jalur
Pada Gambar 12 nampak bahwa jumlah tiang dan pohon pada masa awal setelah
tebang pilih jumlahnya relatif kecil. Seiring dengan perkembangan diameter batang
yang tumbuh lebih cepat akibat adanya pembukaan ruang oleh kegiatan penebangan dan
penanaman jalur, maka pertambahan jumlah pohon yang masuk dalam kategori tiang
dan pohon makin tahun makin bertambah banyak.
Penerapan TPTII pada satu sisi mampu memberikan ruang untuk tumbuhnya
vegetasi menjadi lebih cepat akibat penyinaran sinar matahari menjadi lebih banyak
yang sampai pada lantai hutan / forest floor sehingga memacu vegetasi dibawah pohon
untuk bisa tumbuh lebih cepat akibat berkurangnya persaingan mendapatkan cahaya
matahari.
Kondisi tersebut diatas juga diperkuat dengan grafik pada Gambar 13.
Pertumbuhan semai dan pancang mengalami peningkatan yang sangat besar pada tahuntahun awal setelah penebangan dilakukan. Seiring dengan bertambahnya umur, jumlah
semai dan pancang berangsur-angsur mengalami penurunan akibat kompetisi yang
semakin tinggi antar jenis dan penutupan oleh tiang dan pohon yang semakin rapat
menaungi vegetasi di bawahnya.
Seiring dengan makin rapatnya penutupan vegetasi maka kemampuan tajuk
untuk melakukan intersepsi juga semakin besar, sehingga jumlah hujan yang jatuh
sampai lantai hutan makin berkurang, hal ini berdampak jumlah runoff yang semakin
kecil yang masuk ke badan sungai. Perbaikan struktur vegetasi juga berpengaruh pada
perbaikan kapasitas infiltrasi. Infiltrasi setelah penebangan mengalami penurunan tajam
akibat terjadi pemampatan tanah oleh kegiatan penebangan. Semakin lama setelah
penebangan, perakaran vegetasi kembali normal dan mampu memperbaiki porositas
tanah sehingga kemampuan untuk infiltrasinya juga semakin besar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Penerapan TPTII memberikan pengaruh terhadap penurunan kapasitas infiltrasi
yang sama dengan penerapan TPTI yaitu sebesar 82% dari infiltrasi di hutan alam
primer.

217

SeminarHasilPenelitianUGM2009

2.

3.

4.

5.

Penerapan sistem TPTII dengan penerapan penanaman secara jalur memberikan


manfaat pada peningkatan potensi tegakan oleh kegiatan penanaman dengan rerata
penambahan jumlah tanaman sebanyak 200 batang / hektar.
Kegiatan tebang pilih dengan sistem TPTII memberikan dampak pada peningkatan
hidrograf tinggi muka air jika dibandingkan dengan hidrograf pada hutan alam
akibat tebang pilih dan pembukaan jalur tanaman sehingga terjadi pemadatan tanah
dan penurunan kapasitas infiltrasi.
Munculnya ruang terbuka akibat kegiatan TPTII mengurangi jumlah hujan yang
dapat tertahan di hutan dalam bentuk intersepsi, sehingga volume yang sampai ke
permukaan tanah semakin besar dan menambah potensi runoff.
Setelah penebangan terjadi peningkatan jumlah semai dan pancang yang sangat
tinggi akibat penyinaran sinar matahari yang dapat menembus hingga lantai hutan.
Seiring dengan pertambahan umur tegakan, jumlah semai dan pancang menurun
akibat pertumbuhan tiang dan pohon yang makin besar sehingga kembali
mengurangi sinar matahari masuk ke bawah tajuk pohon dan menyebabkan
kompetisi memperoleh sinar matahari bagi semai dan pancang semakin ketat.

Saran
1. Pengamatan karakteristik hidrograf aliran dan erosi pada ketiga SPAS
membutuhkan waktu yang lama untuk benar-benar mengetahui respon hujan
terhadap aliran sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
2. Penerapan TPTII pada kawasan hutan hujan tropis yang memiliki ciri khan curah
hujan yang tinggi perlu mendapat perhatian lebih terutama terhadap dampak yang
ditimbulkan akibat proses pembukaan naungan untuk penanaman jalur, sehingga
penelitian yang berkaitan dengan aspek ekologi, hidrologi, dan erosi perlu
mendapat perhatian dan penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Departemen Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/DD/II/1972
tentang: Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman,
Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman
Pengawasannya. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1989. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/KPTSII/1989 tentang: Sistem Silvikutur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di
Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1993. Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan no.
151/Kpts/IV-BPHH/1993, Tentang : Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1997. Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan hutan No.
220/KPTS/IV-BPH/1997 tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan Tanaman
Industri dengn Sistem Tebang dan Tanam Jalur. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1998. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No. 625/KPTS-II/1998 tentang : Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam
Jalur (TPTJ) Dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam. Departemen
Kehutanan. Jakarta.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

218

Departemen Kehutanan. 2005. Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi


Kehutanan No:SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif/TPTII (Silvikultur Intensif). Departemen Kehutanan. Jakarta.
Fakultas Kehutanan UGM, 1999. Pengaruh Hutan Pinus Terhadap Tata Air dan Tanah
di KPH Surakarta. Laporan Penelitian. Yogyakarta.
Fakultas Kehutanan UGM, 2001. Pengaruh Penanaman Campur Pinus dengan Puspa
Terhadap Pertumbuhan, Tata Air, Erosi dan Neraca Hara di KPH Surakarta.
Laporan Penelitian. Yogyakarta.
Khasa, P.D. and B.P. Dancik. 1997. Sustaining Tropical Forest Biodiversity. In
Sustainable Forest : Global Challenges and Local Solutions. Bouman O. T. dan
D. G. Btand. Eds. The Haworth Press Inc. New York-London.
Ludwig, J.A., dan J.F. Reynolds.1988. Statistical Ecologi: Aprimer on Methods And
Computing. John Wiley and Sons, Inc. Canada.
Manan, S., Omo R, Nanan MA, Basuki W dan Purwo Widodo, 1988. Pengaruh Kelas
Perusahaan Pinus (Pinus merkusii) terhadap Produksi Air : Studi Kasus di KPH
Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Makalah Seminar
Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk kelangsungan Pembangunan, 23
September 1998, Jakarta.
Mok,S.T.,1994.Curren Research On Artificial Regeneration of Dipterocarpaceae.
Forestry Reserach Support program For Asia and The Pacific (FORSPA).
Malaysia. FORSPA Publication 8.
Naiem, M. dan E. Faridah. 2006. Model of Intensive Enricment Planting (TPTII).
Dalam A. Rimbawanto (Eds). Silviculture Systems of Indonesias Dipterocarps
Forest Management A Lesson Learned. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada dan ITTO. Tecnical Report: ITTO Project PD 41/00 Rev. 3 (F,M). Pp. 2536.
Newson, M. 1997. Land, Water and Development. Suistainable Management of River
Basin Systems. 2nd Edition, Routledge New York.
Nyland, R.D. 1996. Silviculture: Concepts and Aplications. The McGraw-Hill
Companies,Inc. New York.
Pamoengkas, P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi Dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur
Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus Di Areal HPH PT Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Tengah). Desertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Intitut Pertanian Bogor
(IPB). Bogor.
Puspitasari. S. 2003. Conservation Concessions In Indonesia: An Investigation Of Their
Potential. Thesis. School of Environmental Sciences. University of East Anglia
University Plain. Norwich.
Seyhan, E., 1995. Dasar-dasar Hidrologi (terjemahan Fundamentals of Hydrology oleh
Sentot Subagya) Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Smith, D.M., Larson, B.C., Kelty, M.J. dan PM.S. Asthon. 1997. The Practice of
Silviculture: Applied Forest Ecology. John Wiley&Sons. Inc.
Soekotjo. 2005. Evolusi Tebang Pilih Indonesia : Konsep, Aplikasi dan Hasil. Dalam
E. B. Hardiyanto (Eds). Peningkatan Produktifitas Hutan: Peran Konservasi
Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung
Rehabilitasi Hutan. Seminar Nasional. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada dan International Timber Trade Organization. Yogyakarta. pp. 3-13.

219

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Sri Astuti Soedjoko, Suyono, Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan Pinus.
Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta.
Suryatmojo, H., 2005. Analisis Hidrograf Aliran, Kapasitas Infiltrasi dan Kadar Lengas
Tanah pada Hutan Pinus dengan Kelas Umur yang Berbeda. Laporan Penelitian.
Yogyakarta.
Utomo, WH, Titiek I dan Widianto, 1998. Pengaruh Tanaman Terhadap Hasil Air.
Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan. 23 September 1998, Jakarta.
Whitmore, T.C., 1993. An Introduction To Tropical Rain Forest. Second Edition.
Oxford University Press. New York.
Whitmore, T.H., and C.P. Burnham. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East.
Second Edition. Clarendon Press. Oxford.
Zar, J.H. 1999. Biostatistical Analysis. (Fourth Edition). Prentice Hall. Upper Saddle
River, Inc. New Jerssey

SeminarHasilPenelitianUGM2009

220

HUBUNGAN KLONAL Staphylococcus aureus ASAL SAPI PERAH


DAN MANUSIA SEBAGAI DASAR PENGENDALIAN MASTITIS
DAN INFEKSI NOSOKOMIAL
drh. Syarifudin Tato, SU1,Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia2 Prof. drh.
Kurniasih, M.Sc., Ph.D.3, Dr. drh. S. Indaryulianto4
1
Bagian Farmakologi
2
Bagian Patologi Klinik
3
Bagian Patologi
4
Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian bertujuan untuk memberi gambaran tentang
karakter dan resistensi/sensitivitas
S. aureus serta distribusi faktor virulen dan
resisten terhadap berbagai antibiotik. Dari gambaran distribusi faktor virulen dan
resisten dapat ditentukan hubungan klonal antar isolat S. aureus , sehingga dapat
diketahui penyebarannya yang akan mempermudah dalam menentukan strategi
pengontrolan infeksi S. aureus. Dalam penelitian ini isolat-isolat S. aureus asal sapi
perah (11 isolat) dan pasien di RS Sarjito (10 isolat) digunakan sebagai sampel,
dilakukan identifikasi berdasar pertumbuhan dalam media PAD, pewarnaan Gram,
fermentasi MSA, uji katalase, koagulase dan clumping factor dan resistensi/sensitivitas
terhadap methicillin, penicillin G, ampicillin, oxacillin, tetracyclin, gentamycin dan
erythromycin. Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap gen 23S rRNA dan mecA
untuk skrining resistensi terhadap methicillin (MRSA). Hubungan klonal antar isolat S.
aureus ditentukan dengan menggunakan teknik amplified fragment length
polymorphisme (AFLP) dengan menggunakan ensim restriksi spesifik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua isolat (21 isolat) memberikan hasil positif terhadap uji
MSA, koagulase, clumping factor, katalase dan pewarnaan Gram. Pada uji sensitivitas,
36,5% isolat asal susu dan 20% isolat asal manusia resisten terhadap methicillin;
90,9% isolat asal susu dan 100% isolat asal manusia resisten terhadap penicillin G;
72,7% isolat asal susu dan 80% isolat asal manusia resisten terhadap ampicillin;
63,6% isolat asal susu dan 50% isolat asal manusia resisten terhadap oxacillin; 27,3%
issolat asal susu dan 40% isolat asal manusia resisten terhadap tetracyclin; 9,1% isolat
asala susu dan 30% isolat asal manusia resisten terhadap gentamycin serta 9,1% isolat
asal susu dan 40% isolat asal manusia resisten terhadap erythromycin. Hasil
identifikasi secara genotipik dengan menggunakan target spesifik untuk S. aureus gen
23S rRNA menunjukkan positif pada semua isolat, sedangkan pada amplifikasi gen
mecA, 45% isolat asal susu dan 90% isolat asal manusia memberikan hasil positif.
Pada analisis AFLP ada sekitar 30% isolat asal susu dan 60% isolat asal manusia yang
mempunyai kesamaan genetik. Semua isolat asal susu dan asal manusia teridendifikasi
dan terkarakterisasi sebagai Staphylococcus aureus baik secara fenotipik maupun
genotipik. Telah terjadi resistensi S. aureus terhadap kelompok penicillin sebesar 20
100 % dan terhadap tetracyclin, gentamycin dan erythromycin sebesar 9 40 %.
Terhadap gen S. aureus yang bertanggung jawab terhadap resistensi meticillin
diketahui 90 % isolat asal manusia dan 45 % asal susu sapi. Ada kemiripan genetik
sekitar 30 % isolat asal susu dan 60 % asal manusia.

221

SeminarHasilPenelitianUGM2009

PENDAHULUAN
Staphylococcus aureus merupakan agen penyebab utama mastitis baik subklinis
maupun kronis pada sapi perah. Infeksi S. aureus pada manusia terutama methicillin
resistant S. aureus (MRSA) merupakan penyakit yang sulit untuk diatasi karena kuman
ini diketahui telah resisten terhadap berbagai antibiotika. Reservoir utama S. aureus
terdapat dalam kuartir yang terinfeksi, penyebaran diantara sapi terjadi selama proses
pemerahan (Akineden et al., 2001). Infeksi intra mamae ini dapat menyebabkan
kerugian ekonomi yang cukup besar terutama karena turunnya produksi susu antara 1025% dari total produksi susu sapi
(Han et al., 2000). Disamping itu S. aureus
merupakan patogen utama pada manusia yang menyebabkan berbagai penyakit dengan
manifestasi klinis antara lain adalah impetigo, scalded skin syndrom, pneumonia,
osteomielitis, pioartrosis, endokarditis, metastasis, keracunan makanan, toxic schock
syndrome (TSS), meningitis dan sepsis (Marrack dan Kappler, 1990; Dinges et al.,
2000; Omoe et al., 2002). Toxic schock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang diproduksi
oleh S. aureus merupakan toxin yang terutama berhubungan dengan kasus menstruasi
pada wanita. Beberapa strain S. aureus juga dapat memproduksi satu atau dua exfoliatif
ETA atau ETB yang berhubungan dengan penyakit impetigo yang dikenal dengan
scalded skin syndrome (Lee et al., 1987; Marrack dan Kappler, 1990; Akineden et al.,
2001). Infeksi staphylococcal sering disebut infeksi nosokomial di rumah sakit antara
lain akibat luka-luka post operasi, pencemaran pada saat hemodialisis, bakterimia dan
pneumonia (Nawas et al., 1997).
Permasalahan utama dalam mengatasi infeksi S. aureus adalah masalah
resistensi antibiotik. Beberapa strain S. aureus saat ini dilaporkan telah resisten terhadap
hampir semua antibiotik komersial, sehingga tidak ada harapan untuk antibiotikantibiotik yang baru (Todar, 2002). Dibeberapa rumah sakit dilaporkan terjadi
peningkatan frekuensi methicillin resistant S. aureus (MRSA) dan biasanya strain
MRSA ini resisten terhadap multipel antibiotik (Nawas et al., 1997; Todar, 2005).
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan isolat S. aureus yang diisolasi dari berbagai
peternakan sapi perah di wilayah DIY dan sekitarnya (11 isolat) dan S. aureus asal
manusia (10 isolat) diisolasi dari pasien di RS Sarjito yang dikumpulkan dari spesimen
di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Identifikasi awal meliputi seleksi pada medium mannitol salt agar (MSA),
pewarnaan Gram dan uji biokimiawi. Selanjutnya dilakukan uji koagulase dengan
menggunakan tabung Bactident-coagulase dan uji clumping factor dengan
menggunakan serum kelinci. Pada uji koagulase, bakteri ditanam dalam tabung
bactident-coagulase, diinkubasikan selama 6 sampai 18 jam pada suhu 37C, kuman S.
aureus akan menunjukkan reaksi positif pada uji koagulase dengan menunjukkan
adanya gumpalan pada tabung. S. aureus kan menunjukkan reaksi positif yaitu
terjadinya aglutinasi dengan serum kelinci pada obyek glas (Brckler et al., 1994).
Produksi hemolysin ditentukan adanya interferensi antara S. aureus yang mengandung
beta toxin (Referen strain) dengan isolat yang diuji pada plat agar (agar base, Oxoid,
Jerman) darah domba, setelah diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37C (Skalka et
al., 1979). Produksi pigmen bakteri dapat dilihat dengan cara mengulaskan bakteri
diatas membran nitroselulose yang diletakkan diatas plat agar darah domba, warna
pigmen akan terlihat setelah inkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37C (Brckler et al.,
1994).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

222

Uji Resistensi Terhadap Antibiotik


Uji kepekaan antibiotika terhadap bakteri menggunakan uji difusi agar MllerHinton (Oxoid), dengan menempelkan lempengan diskus antibiotik (Oxoid). Antibiotik
yang diuji yaitu: Methicillin, Amikasin, Amoksisilin, Ampisilin, Eritromisin,
Gentamisin, Kanamisin, Kloramfenikol, Meropemen, Mesilinam, PenisilinG, Sefepim,
Seftazidim, Sefotaksim, Seftriakson, Sefuroksim, Siprofloksasin, Trimetropim dan
Tetrasiklin. Zona inhibisi yang terbentuk dievaluasi dengan tabel zona hambatan Kirbybauer (Woods dan Washinton, 1995).
Identifikasi gen 23 SrRNA dan mecA S. aureus
Berdasar identifikasi spesies spesifik S. aureus diamplifikasi terhadap gen 23S
rRNA, skrining resistensi methicillin (MRSA) dengan amplifikasi gen mecA. Untuk
identifikasi tersebut dilakukan ekstraksi DNA dari isolat S. aureus dengan
menggunakan Qiamp tissue kit (Qiagen, Hilden, Jerman) sesuai prosedur yang telah
ditentukan oleh pabrik. Selanjutnya dilakukan amplifikasi gen 23S rRNA dengan
menggunakan primer spesies spesifik dan amplifikasi gen penyandi methicillin
resistance (mecA), dengan teknik polymerase chain reaction (PCR) dengan
menggunakan primer spesifik dengan program PCR yang telah ditentukan berdasar
referensi (Salasia et al., 2003).
Preparasi DNA
DNA dari isolat S. aureus dipreparasi dengan menggunakan Qiamp tissue kit
(Qiagen, Hilden, Jerman) sesuai prosedur yang telah ditentukan oleh pabrik. Setelah
bakteri ditanam pada plat agar darah selama 24 jam pada suhu 37C, 5-10 koloni bakteri
disuspensikan dalam buffer TE (10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA pH 8, yang
mengandung 5 l lysostaphin (1.8 U/l; Sigma). Setelah inkubasi selama 30 menit pada
suhu 37C, ditambahkan 25 l of proteinase K (14,8 mg/ml; Sigma) dan 200 l of
buffer AL (yang berisi reagen AL1 and AL2). Suspensi bakteri diinkubasi selama 3
menit pada suhu 70C dan selama 10 menit pada suhu 95C, kemudian setelah
disentrifuse beberapa detik sebanyak of 420 l etanol ditambahkan kedalam masingmasing sampel dan ditempatkan kedalam kolom QIAamp. Setelah sentrifugasi selama 1
menit kolom QIAamp ditempatkan diatas tabung koleksi dan sampel dicuci dua kali
dengan 500 l of buffer AW (Qiagen). Kolom QIAamp kemudian disentrifus selama 3
menit, kolom kemudian ditempatkan diatas 2 ml tabung eppendorf dan DNA yang ada
pada kolom dicuci dua kali dengan cara elusi dengan 200 l buffer AE. Hasil elusi
sampel DNA dapat disimpan pada suhu -20C (Salasia et al., 2004).
Analisis Amplified Fragment Length Polymorphisme (AFLP) S. aureus
Ekstrak DNA (5 l) didigesti (16 jam) pada 37C dengan10 U HindIII
(Invitrogen) dan 5 mM spermidine trihydrochloride (Sigma-Aldrich, USA) ditambahkan
sampai volume akhir 20 l. Kemudian sebanyak 5 l digested-DNA digunakan dalam
reaksi ligasi yang berisi masing-masing 0.2 g adapter oligonucleotide (ADH-1 ACG
GTA TGC GAC AG and ADH-2 AGC TCT GTC GCA TAC CGT GAG), 1 U T4
DNA ligase (Invitrogen) sampai dengan volume akhir 20 l dan diinkubasi pada
temperature kamar (sekitar 20C) selama 4 jam. Sampel ligated-DNA dipanaskan pada
80C selama 10 menit unruk inaktivasi T4 ligase, kemudian dilarutkan dalam 1/5 sterile
water. Reaksi amplifikasi PCR digunakan total volume of 50 l, containing 2.5 l of

223

SeminarHasilPenelitianUGM2009

template DNA, 200 M of dNTPs, 1 l of primer HI-X (GGT ATG CGA CAG AGC
TTX (X = A, T, G atau C) (100 pmol/l), dan 1 l (5 U) of Taq DNA polymerase
(Invitrogen) dalam 1 PCR buffer sesuai petunjuk pabrik. Masing-masing HI-X primer
(derivative) digunakan dalam 4 reaksi PCR secara terpisah. Amplifikasi PCR digunakan
thermal cycler, setelah denaturasi awal 4 menit pada temperatur 94C, target gene
fragments diamplifikasi dalam 33 cycles. Masing-masing cycle dengan program
denaturasi selama 1 menit pada 94C, annealing 1 menit pada 60C dan extension
selama 2.5 menit pada 72C. Masing-masing adapter oligonucleotide digabungkan
dengan penambahan base pair pada sisi restriction untuk menghilangkannya setelah
reaksi ligasi. Produk PCR kemudian dipisahkan dengan gel electrophoresis 1.5% w/v
agarose (Seakem), gel di-running dalam 0.5 TBE buffer. The 1 kb Plus DNA ladder
(Invitrogen) digunakan sebagai marker. Hasil bands divisualisasi dengan dengan
ethidium bromide dengan bantuan UV transillumination. Pola AFLP dianalisis dengan
menggunakan Bionumerics software (Boeremia et al., 2005).
Analisis klaster patogenisitas Staphylococcus aureus
Distribusi faktor virulen S. aureus isolat sapi perah isolat asal manusia
dikelompokkan berdasar karakter fenotipik (koagulase, clumping faktor, hemolisin,
pigmen dan hemaglutin), karakter genotipik (gen coa, clf, hla/hlb, eta/etb, cap), dan
gambaran finger print AFLP. Hubungan klonal antar isolat S. aureus dari sumber
produk sapi perah dan manusia dapat ditentukan berdasar sifat fenotipik, genotipik dan
filogenetik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi dan karakterisasi S. aureus isolat asal susu sapi perah dan kulit
manusia semuanya teridentifikasi sebagai Staphylococcus aureus berdasar
sifatpertumbuhan koloni pada plat agar darah, uji MSA, pewarnaan Gram, Uji katalase,
koagulase dan clumping factor (Bruckler et al.,1994).
Tabel 1.Persentase sensitivitas S. aureus isolat asal susu sapi dan kulit manusia terhadap
beberapa antibiotik (%).
Antibiotik
Isolat asal susu
Isolat asal manusia
Resisten (R)
Sensitif (S)
Resisten (R)
Sensitif (S)
Methicillin
36,4
63,6
20
80
Penicillin G
90,9
9,1
100
0
Ampicillin
72,7
27,3
80
20
Oxacillin
63,6
36,4
50
50
Tetracyclin
27,3
72,7
40
60
Gentamycin
9,1
90,9
30
70
Erythromycin
9,1
90,9
40
60
Keterangan : Hasil sensitivitas yang intermedit, karena cenderung menjadi resisten
maka dimasukkan ke resisten.
Hasil uji resistensi menunjukkan bahwa telah terjadi resistensi S. aureus
terhadap beberapa antibiotik, baik isolat asal susu sapi maupun asal manusia (Tabel 1).
Identifikasi molekuler S. aureus dengan amplifikasi gen penyandi 23S rRNA
memperlihatkan amplikon dengan ukuran sekitar 1250 bp, menunjukkan bahwa semua
isolat positif S. aureus. Selain itu juga menunjukkan bahwa 5 isolat dari 11 isolat asal

SeminarHasilPenelitianUGM2009

224

susu sapi dan 9 isolat dari 10 isolat asal manusia positif mengandung gen yang
bertanggung jawab terhadap resistensi methicillin (gen mecA) (Tabel 2).
Tabel 2 . Amplifikasi gen 23S rRNA dan mecA Staphylococcus aureus dari berbagai
sumber isolat
Gen mecA
No
Kode Isolat
Asal Isolat
Gen 23S
(300 bp)
rRNA
(1250 bp)
1.
SU 2
Susu, Yogya
+
+
2.
SU 10
Susu, Yogya
+
+
3.
SU 16
Susu, Yogya
+
+
4.
SU 24
Susu, Yogya
+
+
5.
SU 25
Susu, Yogya
+
+
6.
SU 28
Susu, Yogya
+
7.
SU 34
Susu, Solo
+
8.
SU 39
Susu, Solo
+
9.
BY 5
Susu, Boyolali
+
10.
BY 7
Susu, Boyolali
+
11.
Y7
Susu, Yogya
+
12.
169
Kulit manusia, Yogya
+
+
13.
179
Kulit manusia, Yogya
+
+
14.
198
Kulit manusia, Yogya
+
+
15.
199
Kulit manusia, Yogya
+
+
16
255
Kulit manusia, Yogya
+
+
17.
262
Kulit manusia, Yogya
+
+
18.
274
Kulit manusia, Yogya
+
19.
870
Kulit manusia, Yogya
+
+
20.
979
Kulit manusia, Yogya
+
+
21.
1091
Kulit manusia, Yogya
+
+
Analisis Amplified Fragment Length Polymorphisme (AFLP) S. aureus
Analisis AFLP dilakukan pada semua isolat sapi perah maupun manusia untuk
melihat hubungan genetik antar isolat. Pola AFLP dianalisis dengan menggunakan
single enzim dan divisualisasikan dengan Sybersafe dan gel elektroforesis 1.5%
(Boerema et al., 2005). Analisis AFLP S. aureus isolate manusia dan sapi perah dapat
dilihat pada Gambar 1.

225

SeminarHasilPenelitianUGM2009

1 2 M 3 4 5
6 7 8 9 M 10 11 12
Gambar 1. Analisis amplified fragment length polymorphisme (AFLP) S. aureus isolate
susu sapi perah (1: S2, 2: S5, 3:S10, 4: S16, 5: S24) dan manusia (6: 274, 7: 262, 8: 255,
9: 199, 10: 198, 11: 179, 12: 169). M=marker DNA ladder.
Analisis AFLP menunjukkan bahwa ada beberapa isolat S. aureus asal susu sapi
perah mempunyai kesamaan genetik sekitar 30 % dan pada isolat asal manusia sekitar
60 %.
KESIMPULAN
Semua isolat yang diuji positif S. aureus, telah terjadi resistensi S. aureus
terhadap kelompok penicillin sebesar 20 100 % dan terhadap tetracycline, gentamycin
dan erythromycin sebesar 9 40 %, gen mecA telah terdapat pada S. aureus isolat asal
susu sapi dan manusia, ada kemiripan genetik pada isolat asal susu sapi nmaupun usolat
asal manusia.
REFERENSI
Akineden, ., Annemller, C., Hassan, A. A., Lmmler, Ch., Wolter, W., Zschck, M.,
2001. Toxin genes and other characteristics of Staphylococcus aureus isolates
from milk of cows with mastitis. Clin. Diagn. Lab. Immunol. 8, 959-964.
Boerema, J.A., R. Clemens and G. Brightwell (2005). Evaluation of molecular methods
to determine enterotoxigenic status and molecular genotype of bovine, ovine,
human and food isolates of Staphylococcus aureus.
Brckler, J., Schwarz, S. and Untermann, F., 1994. Staphylokokken-Infektionen und
Enterotoxine, Band. II/1, In Blobel, H. und Schlieer (Herausber), Handbuch der
bakteriellen Infektionen bei Tieren, 2 Auflage. Gustav Fischer Verlag Jena,
Stuttgart.
Dinges, M. M., Orwin, P. M., Schlievert, P. M., 2000. Enterotoxin of Staphylococcus
aureus. Clin. Microbiol. Rev. 13, 16-34.
Han, H.-R, S.-I. Park, S.-W. Kang,W.-S. Jong and C.-J. Youn, 2000. Capsular
polisaccharide typing of domestic mastitis-causing Staphylococcus aureus
starins and its potential exploration of bovine mastitis vaccine developmen. I.
Capsular polysaccharide typing, isolation and purification of the strain. J. Vet.
Sci. 1, 53-63.
Lee, J. C., S. L. Xu, A. Albus, and P. J. Livolsi, 1994. Genetic analysis of type 5
capsular polysaccharide expression by Staphylococcus aureus. J. Bacteriol. 27,
4883-4889.
Marrack, P. and J. Kappler, 1990. The staphylococcal enterotoxin and their relatives.
Science, 248, 705-711.
Nawas, T., A. Hawwari, E. Hendrix, J. Hebden, R. Edelman, M. Martin, W. Campbell,
R. Naso, R. Schwalbe, and A. I. Fattom, 1998. Phenotypic and genotypic

SeminarHasilPenelitianUGM2009

226

characterization of nosocomial Staphylococcus aureus isolates from trauma


patients. J. Clin. Microbiol. 36 (2), 414-420.
Omoe, K., Ishikawa, M., Shimoda, Y., Hu, D. L., Ueda, Shinagawa, K., 2002.
Detection of seg, seh, and sei genes in isolates and determination of the
enterotoxin productivities of S. aureus isolates harbouring seg, seh, and sei
genes. J. Clin. Microbiol. 40, 857-862.
Salasia, S.I.O., Khusnan, C. Lmmler and H. Nirwati (2003). Pheno-and genotyping of
Staphylococcus aureus isolated from human skin infections in Yogyakarta. I. J.
Biotech. June, 612-620.
Salasia, S.I.O., Z. Khusnan, C. Lmmler and M. Zschck (2004): Comparative studies
on pheno- and genotypic properties of Staphylococcus aureus, isolated from
bovine subclinical mastitis in Central Java in Indonesia and Hesse in Germany.
J.Vet. Sci. 5 (2), 103-109.
Skalka, B., Smola, J. and Pillich, J., 1979. A simple method of detecting staphylococcal
hemolysin. Zbl. Bakteriol. Hyg. I. Abt. Orig. A. 245, 283-286
Todar, K., 2002. Staphylococcus. Bacteriology at UW-Bacteriology 330 Home Page. 17.
Todar, K. 2005. Todars online textbook of bacteriology. Staphylococcus. University of
Wisconsin-Madison
Department
of
Bacteriology.
www.textbookofbacteriology.net/staph.html. Tanggal download: 1 November
2007.
Woods, G. I., and Washington, J. A. 1995. Manual of clinical Microbiology, 6th ed,
ASM
Pess,
Washingtong,
D.
C.
Pp.
327-341.

227

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

228

IDENTIFIKASI GEN SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM


(SNP) YANG BERPENGARUH TERHADAP SIFAT
PERTUMBUHAN DAN PELEMAKAN
AYAM KAMPUNG
Sri Sudaryati1, Jafendi H.P. Sidadolog2, Wihandoyo3, dan Wayan T. Artama4
1
Laboratorium Ternak Unggas, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
2

Laboratorium Ternak Unggas, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada


Laboratorium Ternak Unggas, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
3
Laboratoarium Biokimia, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
3

ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot badan mingguan ayam
kampung sejak DOC sampai umur 12 minggu, kmposisi karkas ketika berumur 9 dan 12
minggu serta penggunaan lima SNP untuk mengidentifikasikan polimorphisma gen
insulin like growth factor binding protein 2 (IGFBP2) pada ayam Kampung berwarna
hitam dan putih. Lima puluh ekor DOC ayam Kampung berwarna hitam dan 50 ekor
berwarna putih dikandangkan masing-masing 10 ekor setiap kandang. Pakan dengan
kandungan protein sebesar 22%, energi metabolis 3200 Kcal/kg, Ca 0,5%, dan P 0,5%
diberikan sejak DOC sampai umur 3 minggu, selanjutnya sampai umur 12 minggu
ayam diberi pakan dengan protein 16%, eneri metabolis 3200 Kcal, Ca 0,5% dan P
0,5%. Pada saat umur 9 dan 12 minggu ayam dipotong dan pada umur, 6, 9, dan 12
minggu setiap kandang diambil 2 ekor untuk diambil sampel darahnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa warna bulu tidak mempengaruhi bobot badan ayam sejak DOC
sampai umur 12 minggu. Komposisi karkas tidak dipengaruhi oleh warna bulu.
Komposisi karkas umur 9 minggu sangat berbeda dengangan komposisi karkas umur 12
minggu (P<0,01). Dari lima SNP yang digunakan yaitu SNP G639A, G729T, C1032T,
T663A, dan G738A, hanya SNP C1032T yang menunjukkan adanya polimorphisma.
Berdasarkan haplotipnya, maka haplotip CC, CT, TT terdapat berbedaan bobot badan
pada saat DOC, umur satu, dua dan tiga minggu (P0,01). Untuk umur selanjutnya tidak
terdapat perbedaan yang nyata.
Kata kunci: Ayam Kampung, SNP, Karkas, bobot badan
PENDAHULUAN
Pemahaman bahwa sifat kuantitatif dipengaruhi oleh faktor genotip dan
lingkungan, menyebabkan peningkatan luar biasa dalam hal produktifitas dari spesies

229

SeminarHasilPenelitianUGM2009

ternak utama selama beberapa dekade lalu. Kesuksesan ini sebagian besar karena
catatan data penotipik yang baik (jumlah telur, konsumsi pakan, pertambahan berat
badan dan sebagainya) dan dilakukannya skema perkawinan yang spesifik (Jensen and
Andersson, 2005), namun demikian untuk sifat-sifat yang memiliki heritabilitas rendah
seperti kualitas produk ternak untuk pangan manusia, sifat reproduksi, dan ketahanan
terhadap penyakit masih memerlukan perbaikan. Ayam kampung berperan sebagai
sumber berbagai macam gen dan menimbulkan penampilan genetik yang unik.
Lingkungan hidup yang seadanya membentuk ayam Kampung mampu beradaptasi dan
bertahan hidup di lingkungan terbatas tanpa bantuan program menejemen yang
semestinya. Keberadaannya terancam oleh berbagai faktor seperti, faktor kebutuhan
sosial ekonomi, crossbreeding yang tidak terkontrol menyebabkan hilangnya keragaman
genetik yang dimilikinya (Soller et al, 2006). Akibat crossbreeding terhadap ayam
Kampung di Taiwan menunjukkan bahwa walaupun selama ini performan ayam
Kampung Taiwan meningkat dengan ditunjukkan ukuran tubuh yang besar, namun
reproduksinya terganggu. Genetik dan menejemenlah yang bertanggung jawab atas
rendahnya kemampuan reproduksi (Lee, 2006). Ayam kampung memiliki sifat
pertumbuhan lambat, pelemakan sedikit, tidak efisien dalam menggunakan pakan, tetapi
memiliki rasa yang enak dan lebih tahan terhadap serangan penyakit (Lee, 2006). Rasa
khas yang dimilikinya menyebabkan semakin terkurasnya ayam kampung. Banyak
konsumen terutama konsumen lokal beralih kearah ayam berbulu berwarna-warni
dengan kecepatan pertumbuhan yang lambat, karena rasa yang lebih enak ini (Yang
and Jiang, 2005 ; Lee, 2006 ; Zhao, et. al., 2007). Single Nucleotide polymorphisms
(SNP), merupakan perubahan struktur akibat penghilangan, penyisipan, dan
penggantian satu basa yang berperan penting dalam transkripsi dan translasi gen-gen
dan merupakan fungsi efek dari protein. Haplotip adalah susunhan pisik alele SNP
disepanjang kromosom (Olive, 2003). Lei et. al. (2005) mendapatkan hubungan antara
genotip dan penotip dengan menggunakan turunan lima SNP gen insulin-like factor
binding protein 2, dimana haplotip dari lima SNP berhubungan dengan berat saat
menetas, umur 21, 28, 42, 49, 56, dan 90 hari, demikian pula dengan komposisi karkas
pada saat umur 90 hari. Diharapkan dengan penggunaan lima SNP yaitu G639A, G729T,
C1032t, t663a, dan G738A, dari gen insulin-like factor binding protein 2, diharapkan
didapatkannya hubungan antara kelima SNP dengan bobot badan ayam DOC sampai
umur 12 minggu dan komposisi karkas umur 9 dan 12 minggu.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan 100 DOC ayam kampung berwarna hitam, putih
masing-masing 50 ekor, Ayam dipelihara selama 12 minggu.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

230

Pemeliharaan ayam
Berdasarkan warna bulu ayam, setiap 10 ekor dimasukkan kedalam kandang
ukuran 1x1 m2 yang sudah dilengkapi dengan tempat pakan dan minum dan pemberian
panas selama 28 hari semenjak DOC, Setiap satu minggu sekali,semenjak ayam
berumur 2 minggu berat badan ditimbang dan jumlah pakan yang dikonsumsi diukur
sampai ayam berumur 12 minggu, Pada umur 9 minggu dan 12 minggu, di setiap
kandang diambil dua ekor ayam untuk diambil darahnya untuk dianalisis DNA, dan
diambil 2 ekor lagi untuk dipotong untuk mengetahui komposisi karkas ayam,
Semua ayam diberi pakan sama yaitu pakan starter sejak DOC sampai umur
empat minggu dan pakan grower sampai umur 12 minggu, Pakan diberikan secara tak
terbatas, Setiap dua minggu ayam ditimbang dan diukur jumlah pakan yang dikonsumsi,
Pengambilan sampel darah dilakukan pada umur 9 dan 12 minggu masing-masing 2
ekor perkandang, Ayam yang terpilih untuk dianalisis genomiknya, dipilih untuk
menjadi tetua untuk generasi awal, Dengan diketahui genomik ayam-ayam terpilih,
maka calon indukan sebagai generasi awal sudah diketahui genomiknya,
Pengambilan sampel
Pada umur 9 dan 12 minggu, dari setiap kandang diambil dua ekor ayam untuk
diambil darahnya yang akan digunakan untuk analisis DNA, Darah ayam diambil pada
vena brachialis pada sayap ayam, Darah diambil sekitar 0,5 sampai 1 ml dan
dimasukkan kedalam tabung microsntrifuge yang sudah dilapisi dengan EDTA-Na2,
Pada umur 9 dan 12 minggu dilakukan pula pemotongan ayam untuk mengetahui
bagian-bagian karkas ayam, meliputi berat karkas, bobot pectoralis mayor, bobot
pectoralis minor, serta bobot hati, spleen, jantung, dan gizzard,
Ekstraksi DNA
Dengan menggunakan Purelink genomic DNA kit genomik DNA diisolasi dari
darah vena ayam hasil pemotongan umur 9 dan 12 minggu, Darah ayam yang diambil
dari vena brachialis dikoleksi pada tabung yang sudah dilapisi dengan EDTA-Na2,
sebanyak 20 L dimasukkan kedalam tabung microsentrifuge steril yang sudah diberi
180 L Phosphate Buffered Saline (PBS), Tambahkan 20 L Proteinase k kedalam
tabung microsentrifuge, dicampur diatas vortex sampur tercampur sempurna, lalu
diinkubasi di suhu kamar selama 2 menit, Lankah selanjutnya, kedalam tabung
microsentrifuge tambahkan 200 L Purelink genomic lysis binding buffer lalu dicampur
dengan menggunakan vortex agar didapat larutan yang homogen, Tabung sentrifuge
yang isinya sudah homogen dimasukkan waterbath dengan suhu 55 C selama semalam
agar proteinnya terdigesti, Setelah dari waterbath, tambahkan 200 L ethanol 96-100%

231

SeminarHasilPenelitianUGM2009

kedalam lysate, homogenkan dengan vortex selama 5 menit agar didapatkan larutan
yang homogen, Setelah homogen segera dipindah ke spin column eppendorf sentrifuge,
cairan dibuang dan tambahkan 500 L buffer 1, sentrifuge selama 1 menit pada
10,000 rpm, cairan dibuang lagi dan ditambahkan 500 L buffer 2, sentrifuge kembali
pada 10,000 rpm selama 3 menit, Pindahkan ke tabung eppendorf, tambahkan elution
buffer 75 L, diamkan selama 5 menit, Sentrifuge maksimal 14,000 rpm selama 1 menit,
diamkan 5 menit dan disentrifuge lagi pada 14,000 selama 1 menit, Genomic DNA yang
sudah didapatkan disimpan kedalam freezer untuk dilakukan analisis lebih lanjut.
Amplifikasi dan membentuk genotip
Menggunakan metoda Lei et al, (2005) Tiga PCR primer dirancang untuk
membuat sekuen, dengan primer 1 adalah forward 5 - ACCGGTCTGAGAGCATCCTG
3, reverse 5 - GGGAAAAAGGGTGTGCAAAAG 3, Primer 2 adalah forward
5-GGGCATTTATATCTGAGGAACAC

3,
reverse
5
GGCAAAGAGCAACCCAACAC 3; Primer 3 adalah
forward 5 TTTGGTTGAGTCCTAGGCTTG 3, forward 5 - TTTGGTTGAGTCCTAGGCTTG
3 dan primer 4 adalah forward 5 - TTTGGTTGAGTCCTAGGCTTG 3, reverse 5
- GGCGTACTACACTGCAGAGG 3;
PCR ditampilkan dalam volume final sebesar 23 L mengandung 1 L genomic
DNA (2,5 ng/L), 2 L perprimer (1picomol), 20 L Mega Mix Blue Profil PCR
digunakan: denaturasi awal pada 94C selama 5 menit; denaturasi 94Cselama 45 detik
suhu annealing sekitar 51-53,5C, Suhu annealing belum diketemukan untuk primer 1,
51C untuk primer 2, 53,5 C untuk primer 3, dan 53 C untuk primer 4, selama 40
detik, Polimerasi 72C selama 45 detik dan final polimerasi 72C selama 5 menit,
SNP G639A belum dapat diketahui karena temperatur annealingnya belum
diketemukan, SNP G729T belum dapat disifatkan walau sudah dilakukan digesti
dengan 10 L produk PCR 15/18 aquadest, 10Xtanggo sebanyak 2 L dan dengan 1,5
L atau 15 unit ensim Pvu I pada suhu 37C selama semalam, pada Lie 2005, dikatakan
tersifat pada 141 bp, namun dalam analisis menjadi lebih dari 500 bp, Oleh karena itu
dilakukan sequensing untuk mengathui ada tidaknya repeat sequense pada SNP ini, SNP
C1032T dideteksi oleh digesti 10 L 527- bp produk PCR dengan 10-20 U ensim
Eco72 I pada suhu 37C selama semalam, Pola restriction digambarkan dengan
electrophoresis produk digesti dalam 10 % agarose gel, Ketiga pola restrisi primer di
visualisasikan dengan pewarnaan ethidium bromide, SNP T663A dan G738A belum
dilaksanakan karena terkendala alat,

SeminarHasilPenelitianUGM2009

232

Pakan ayam
Pakan ayam umur DOC sampai umur 3 minggu diberikan pakan dengan
kandungan Protein kasar sekitar 22%, energi metabolis sekitar 3200 Kcal/gk, Ca 0,5%
dan P 0,5%. Umur selanjutnya sampai umur 12 minggu ayam diberi pakan dengan
kandungan pakan berkisar sekitar 16%, energi metabolis 3000 Kcal, Ca 0,5% dan P
0,5%. Pakan diberikan secara bebas.
Analisis statistika
Data penelitian dianalisis menggunakan analisis statistik pola faktorial dengan
umur dan warna bulu sebagai faktor utama untuk data kinerja produksi dan kualitas
karkas, sedangkan untuk analisis kinerja produksi berdasar uji genetik menggukan
warna bulu dan genotip yang diketahui sebagai faktor utama. Chi-squre digunakan
untuk mengetahui frekwensi gen ayam hitam dan putih serta untuk keseluruhan ayam
yang dianalisis genotipnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi pakan, bobot badan, dan konversi pakan
Konsumsi pakan, bobot badan dan konversi pakan ayam hitam dan putih selama
12 minggu dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 1. Konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan ayam hitam
dan putih.
Konsumsi pakan, g/ekor
Pertambahan bobot badan, g/ekor
Konversi pakan

Hitam

putih

2817,94
802,91
3,52

2695,64
775,82
3,47

Konsumsi pakan, bobot badan dan konversi pakan ayam kampung hitam dan
putih tidak berbeda nyata. Konversi pakan yang tinggi selama 12 minggu pemeliharaan,
dapat dikonversikan dengan harga jual karkas yang jauh lebih mahal dibandingkan
ayam broiler. Secara rata-rata bobot badan ayam umur 12 minggu masih kurang dari 1
kg, dengan kecenderungan konsumsi pakan, bobot badan dan konversi pakan ayaam
berwarna hitam lebih tinggi dibandingkan dengan ayam berwarna putih, walaupun tidak
berbeda secara nyata.

233

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Bobot badan
Rata-rata bobot badan ayam selama 12 minggu pemeliharaanadapat dilihat
pada Tabel berikut ini.
Tabel 2: Bobot badan ayam hitam putih selama 12 minggu (g)
umur Hitam

Putih

Rata-rata

DOC 28,19

28,13

28,16

41,74

40,67

41,21

73,74

77,05

71,90

126,69 116,95

121,82

199,82 184,38

192,10

340,59a 391,18b 365,89

358,82 343,34

351,08

398,66 379,78

389,22

508,23 507,91

508,23

530,97 516,70

523,83

10

485,48 485,41

485,45

11

678,85 641,13

659,99

12

802,91 775,82

789,36

Pada bobot badan mingguan juga tidak ada perbedaan bobot badan sejak DOC
sampai mingu-mingu berikutnya dan pada akhir 12 minggupun tidak ada perbedaan
bobot badan ayam berbulu putih dan berbulu hitam, meskipun ada kecenderungan ayam
berbulu hitam lebih besar dari pada ayam berbulu putih, dari mulai DOC sampai umur
12 minggu kecuali pada umur 2 minggu.
Karkas
Karkas ayam kampung berbeda dengan karkas ayam potong. Yang dimaksud
dengan karkas disini adalah ayam yang telah disembelih, dibului dan dikeluarkan isi
rongga dada dan rongga perutnya. Karkas meliputi kepala leher, sayap, dada, punggung,
paha atas, paha bawah dan ceker serta giblet (hati, ampela, jantung, lien).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

234

Tabel 3: Karkas dan bagian-bagian karkas ayam hitam dan putih (g)
Variabel

9 minggu
Hitam putih

12 minggu
hitam

9 minggu

putih

12
Hitam Putih
minggu

Bobot hidup 491,10 504,00 872,00 824,00 497,55Q 848,00 P 681,55 664,00
Kepala

46,20 47,50 79,10 74,20 46,85 Q

76,65P

Sayap

21,60 20,80 37,00 38,10 21,22 Q

37,55 P 29,30 29,47

2,20

Jantung

4,00

2,52 Q

4,15 P

10,40 11,70 17,40 16,00

11,03 Q

16,70 P 13,90 13,83

19,20 20,30 27,30 26,90 19,77 Q

27,10 P 23,25 23,62

Pectoralis my 18,50 17,20 32,30 34,00 17,83 Q

33,15 P 25,40 25,58

Pectoralis mn 5,80

13,75 P

Hati
Ampela

2,80

6,00

4,30

62,65 60,85

13,80 13,70

5,90 Q

3,25

9,80

3,42

9,85

paha&ceker

33,40 37,00 64,20 65,50 35,20 Q

64,85 P 48,80 51,25

2 Paha atas

88,90 90,20 19,20 17,39 89,53 Q 182,95 P 140,45 132,03

Total karkas 363,40 413,40 741,10 629,10 388,42Q 685,10 P 552,25 521,27
Pada penelitian ini diukur pula otot pectoralis mayor dan otot pectoralis minor
yaitu otot yang ada dibagian dada sebagai penghasil otot yang terbesar dari keseluruhan
otot unggas. Paha dan cakar diukur menjadi satu bagian seperti yang biasa dijual
secara komersial . Paha atas merupakan 2 paha atas ditambah tulang belakang yang
menghubungkannya. Semua bagian tubuh yang dihukur adalah yang bagian kiri dari
tubuh ayam.
Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya umur yang membedakan hasil
bagian-bagian karkas berbeda, meskipun bagian-bagian karkas hitam cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan yang putih. Karkas dan bagian-bagian karkas hasil
pemotongan umur 9 minggu, masih belum layak untuk dipotong dengan hasil karkas
yang hanya 388,42 gram.
Ekstraksi DNA
Analisis genomik pada ayam putih dan hitam untuk keseluruhan sampel dapat di
analisis. Darah yang diambil dari vena brachialis ayam sampel segera di analisis untuk
mendapatkan DNA nya. Sampel diambil dari ayam yang sudah dipuasakan selama 2
hari sebelum ayam diambil darahnya. Hasil genomik dari sampel darah diketahui benar
tidaknya dengan dilakukan uji elektrophoresis dan diwarnai dengan ethidium bromide.

235

SeminarHasilPenelitianUGM2009

1H1P 2H2P 3H3P 4H


5P 6H

4P 5H

Gambar 1. Salah satu gambaran elektrophoresis dari genomik darah


Dari gambar 1, semua gambaran genomik darah ayam sampel terlihat jelas. Demikian
juga untuk keseluruhan darah ayam sampel baik pada umur 6 minggu, 9 minggu
maupun 12 minggu.
Amplifikasi genotipa
Hasil genomik sampel darah kemudian diamplifikasi terhadap 4 primer. Hasil
menunjukkan bahwa pada primer 1, sudah dicoba untuk amplikasi, tetapi dari suhu
anealing 54C turun sedikit demi sedikit sampai suhu 47 C, tidak diketemukan, ada
kemungkinan primer tidak cocok dengan genomik ayam kampung.
Pada primer kedua diperoleh amplifikasi pada 379 bp dan suhu annealing 51 C.
Program untsuk primer satu sampai empat adalah sama yaitu, predenaturasi pada suhu
94 C selama 5 menit, denaturasi pada suhu 94 C selama 45 detik, suhu annealing pada
suhu 51 C, polimerasi pada suhu 72 C selama 45 detik, final polimerasi pada 72 C
selama 5 menit.
Primer 3 didapatkan suhu annealing 53,5 C dan 527 bp, sedangkan pada primer
keempat didapatkan suhu annealing 53 C dan 500 bp. Pada primer keempat seharusnya
141 bp. Oleh karena fragmen amplifikasi jauh melebihi apa yang diperoleh Lei et. al.
(2005), maka perlu untuk dilakukan sequensing pada produk PCR yang menggunakan
primer 4, untuk mengetahui ada tidaknya tandem repeat.
Hasil amplifikasi untuk primer dua dan tiga dapat dilihat pada gambar 2 dan 3
berikut.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

236

Gambar 2. Amplifikasi menggunakan primer 2

Gambar 3. Amplifikasi menggunakan primer tiga


Genotip SNP ayam
SNP pada G639A pada primer satu, produk PCR-nya belum dapat didapatkan

237

SeminarHasilPenelitianUGM2009

produk PCR nya sehingga belum dapat diamplifikasi. Pada SNP G729T pada primer
2, produks PCR dapat diamplifikasi pada fragmen 379 bp pada suhu 51 C, namun
tidak terdigesti oleh ensim Pvu1. Apabila dapat digesti maka akan terdapat 3 restriksi
yaitu GG (77/302 bp), TG (77/302//379 bp) dan TT (379 bp). Tidak adanya restriksi
dengan penggunaan ensim Pvu1, dapat diterangkan dengan ketidak samaan antara hasil
PCR dengan produk primer dua tidak cocok dengan ensim Pvu1 (dapat dilihat pada
lampiran 1).
Pada SNP C1032T, didapatkan amplifikasi pada fragmen 527 oleh ensim Eco
72i. Adanya digesti oleh Ecoi menghasilkan 3 restriksi yaitu CC (50/477 bp), CT
(50,477,527 bp), dan TT (527bp).
Pada SNP T663A dan G738A, belum diperoleh fragmen amplifikasi, sehingga
belum bisa dianisis lebih lanjut. C. Hasil digesti menggunakan ensim Eco 72 i pada
produk PCR menggunakan primer tiga ada pada Gambar 4 berikut:

Gambar 4; Hasil digesti dengan menggunakan Eco 72 i


Hubungan warna bulu, bobot badan ayam, dan gen yang diperoleh dari hasil
penggunaan primer tiga menggunakan ensim Eco 72 i dapat dilihat pada Tabel berikut 4.
Bobot DOC, satu dan dua terendah didapatkan pada genotip CC, kemudian TT, dan
terberat pada CT (P<0,05). Pada umur tiga minggu, bobot badan CC masih yang paling
rendah (P<0,05), namun bobot badan TT dan CT sudah tidak berbeda. Pada boot badan
mulai umur empat minggu sampai 12 minggu, tidak ada perbedaan bobot badan pada
ayamya memiliki genotip CC, CT, TT. Dengan demikian ayam dengan genotip CC pada
awal pertumbuhan lambat, tetapi pada akhirnya dapat mengejar ketinggalan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

238

pertumbuhan dibandingkan dengan ayam dengan genotip CT maupun TT.


Tabel 4; Bobot badan ayam DOC sampai umur 12 minggu, ayam hitam dan putih
berdasarkan genotip yang dimilikinya
Umur
minggu

Hitam

Putih

Total

CC

CT

TT

CC

CT

TT

CC

CT

TT

DOC

24,30

30,67

27,67

26,00

30,35

25,20

24,57a

30,48c

26,50b

38,30

43,83

43,00

36,00

45,06

38,80

38,02a

44,55c

41,00b

56,00

77,67

73,43

36,00

70,47

64,40

53,14a

73,45c

69,67b

92,50

128,33 116,57

60,00

114,00 118,40 87,85a 119,93b 117,33b

159,33 201,25 192,14 172,00 180,12 160,40 161,14 188,86

178,92

264,33 307,17 243,71 230,00 308,53 295,20 259,43 307,97

265,17

373,67 352,83 336,86 314,00 351,94 336,40 373,67 352,30

336,67

371,67 353,33 378,00 332,00 356,78 345,40 371,67 355,40

364,42

467,00 487,83 482,00 384,00 481,56 418,00 467,00 484,07

455,33

552,00 515,83 568,57 422,00 494,00 493,60 552,00 502,73

537,33

10

477,67 585,25 511,43 422,00 492,11 473,60 477,67 529,37

495,67

11

620,83 641,67 650,00 600,00 656,94 596,00 620,83 650,83

627,50

12

764,33 760,83 762,86 740,00 832,78 740,00 764,33 804,00

753,33

Superskip yang berbeda pada baris sama menunjukkan perbedaan (P<0,01)


Frekuensi gen pada ayam hitam putih dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil frekuensi
genotip ayam hitam, menggunakan analisis Chi-square, menunujukkan ayam hitam,
ayam putih dan keseluruhan ayam menunjukkan bahwa hanya pada ayam hitam yang
distribusi frequensinya normal. Pada penelitian ini bobot badan ayam berdasar genotip
ayam berbeda pada keseluruhan ayam pada DOC sampai umur 3 minggu, pada hal
frekuensi genotip pada keseluruhan ayam tidak dapat dipakai, sehingga berdasarkan
frekuensinya maka bobot badan ayam berdasarkan genotipnya tidak berbeda pula untuk
genotip CC, CT maupun TT.

239

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 5: Frekuensi haplotip ayam hitam putih


Hitam, %

DOC

Putih, %

Total, %

CC

CT

TT

CC

CT

TT

CC

CT

TT

24

48

28

74

22

15

60

25

Frekwensi genotip hitam dapat diterima sedangkan frekwensi gen putih dan total tidak
dapat diterima
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Bobot mingguan ayam hitam dan ayam putih tidak berbeda
2. Komposisi bagian-bagian karkas ayam hitam dan putih tidak berbeda pada
pemotongan umur 9 dan 12 minggu, tetapi komposisi bagian-bagian karkas
dibedakan oleh umur
3. Dari lima SNP yang digunakan, baru SNP C1032T yang dapat dipakai untuk
identifikasi haplotip ayam Kampung.
4. Penggunaan haplotip dihubungkan dengan bobot badan ayam hitam dan putih,
terbukti nyata pada saat ayam berumur sehari, satu, dua, dan tiga minggu, untuk
umur selanjutnya sampai umur 12 minggu tidak berbeda
Saran terhadap hasil penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penggunaan SNP yang lain yang mungkin cocok dengan ayam
Kampung Indonesia, sehingga hasil yang diperoleh akan lebih baik dan lebih
tepat dibandingkan hanya satu SNP saja yang berhasil
2. Sampel yang hanya 48 buah, untuk memprediksi hubungannya genotip-penotip
pada ayam Kampung dirasakan masih sangat kurang. Dari banyak penelitian
genetic setidak-tidaknya dibutuhkan data sekitar 10 kali dari data ini, agar
hasilnya lebih bisa dipercaya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Dana Masyarakat melalui Proyek Hibah Pascasarjana yang
telah membeayai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Jensen and Andersson,. 2005. Genomics meets ethology: a new route to understanding
domestication, behaviour and sustainability in animal breeding. Ambio
34:320-324.
Soller, M., S. Weigend, M.N. Romanov, J.C.M. Dekkers, dan S.J. Lamont. 2006.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

240

Strategies to Assess Structural Variation in the Chicken Genome and its


Associations with Biodiversity and Biological Performance
lee, Y.P. 2006. Taiwan country chicken: a slow growth breed for eating quality.
Symposium COA/INRA Scientific Cooperation in Agriculture, Taiwan (Taiwan,
R.O.C.), November 7-10.
Yang, N. and R.S. Jiang. 2005. Recent advances in breeding quality chickens. World
Poult.Sci. J. 61:373-381.
Zhou, H., N. Deeb, C.M. Evock-Clover, C.M. Ashwell, and S. J. Lamont. 2006.
Genome-Wide Linkage Analysis to Identify Chromosomal Regions Affecting
Phenotypic Traits in the Chicken. I. Growth and Average Daily Gain. Poult. Sci.
85:17001711
Lei, M.M., Nie, Q. H., Peng, X., Zhang, D. X. and X. Q. Zhang. 2005. Single
Nucleotide Polymorphisms of the Chicken Insulin-Like Factor Binding Protein
2 Gene Associated with Chicken Growth and Carcass Traits . Poultry Science
84:11911198
Olive,M. 2003. A haplotype map of the human genome. Physiol. Genomics. 13; 3-9

241

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

242

REKAYASA LAHAN PASIR PANTAI GUNA MENUNJANG


PENINGKATAN PRODUKTIVITAS CABAI MERAH
Dody Kastono1), Prapto Yudono2), dan Nasih Widya Yuwono3)
Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian UGM Yogyakarta
2)
Laboratorium Teknologi Benih Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM
Yogyakarta
3)
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM
Yogyakarta

1)

ABSTRAK
Penelitian pada tahun pertama ini bertujuan untuk mendapatkan jenis dan takaran
lempung yang optimal dalam menunjang peningkatan produktivitas cabai merah di lahan
pasir pantai. Percobaan lapangan dilaksanakan di lahan pasir pantai Bugel, Panjatan,
Kulon Progo dimulai bulan Juni-November 2009. Penelitian dilakukan dengan percobaan
lapangan yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial 2 x 3 +
2 kontrol dengan 3 blok sebagai ulangan. Faktor pertama adalah jenis lempung (L), terdiri
dari 2 aras yaitu: latosol (L1) dan grumusol (L2). Faktor kedua adalah takaran lempung (T),
terdiri dari 3 aras yaitu: 10, 20, dan 30 ton/ha (T1, T2, dan T3). Tanaman yang diperlakukan
semuanya dipupuk dengan ZA 450 kg/ha. Sebagai kontrol 1 adalah tanaman tanpa lempung
dan dipupuk dengan ZA 450 kg/ha, sedangkan kontrol 2 adalah tanaman tanpa lempung dan
dipupuk dengan ZA 900 kg/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (a) Penggunaan
lempung mampu meningkatkan produktivitas cabai merah mencapai 26,41 ton/ha dan nyata
lebih tinggi dibandingkan kontrol 1 dan 2 (33,38 dan 35,85 %), (b) Jenis lempung grumusol
pada takaran 10 ton/ha mampu menghasilkan buah cabai merah terbaik sebesar 30,44
ton/ha, sedangkan untuk lempung latosol pada takaran 20 ton/ha mampu menghasilkan buah
cabai merah terbaik sebesar 28,66 ton/ha, dan (c) Baik untuk lempung grumusol maupun
latosol dapat digunakan sebagai pembenah tanah dalam menunjang produktivitas cabai
merah di lahan pasir pantai.
Kata Kunci: rekayasa, lahan pasir pantai, produktivitas, dan cabai merah.
PENDAHULUAN
Wilayah pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu model
spesifik pengembangan tanaman budidaya hortikultura lahan pasir pantai (Kertonegoro,
2003) dengan tanaman cabai merah, bawang merah, dan semangka sebagai komoditas
unggulan. Selain itu penanaman di lahan pasir pantai membuka peluang baru untuk produksi
benih, terutama komoditas cabai merah dan bawang merah, di mana benih tersebut nantinya
dapat ditanam di lahan sawah (lahan basah) maupun lahan kering lainnya. Benih dari lahan
pasir pantai mampu memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan benih yang
berasal dari lahan sawah. Bahkan upaya penyemaian padi sawah sudah mulai dilakukan di
lahan pasir pantai untuk menghemat waktu penanaman padi sawah. Kondisi ini dikarenakan
benih maupun bibit yang dihasilkan telah teruji dan mempunyai daya adaptasi yang lebih baik
terhadap cekaman lingkungan yang ada (Kastono, 2007).
Lahan pasir pantai merupakan lahan marjinal yang dicirikan oleh tekstur pasiran,
kandungan hara yang rendah, daya menyimpan air rendah dan suhu tanah yang tinggi
(Kertonegoro, 2003). Kecepatan angin yang tinggi menyebabkan tingginya evapotranspirasi

243

SeminarHasilPenelitianUGM2009

tanaman. Suhu tanah harian lahan pasir pantai cukup tinggi, dengan suhu siang hari mencapai
30-40 0C.
Beberapa teknologi telah diupayakan untuk meningkatkan produksi seperti
penanaman tanaman pematah angin, cemara laut, gamal (Sukrisno, 2000), pemberian bahan
organik dan lempung (Yudono et al., 2002), namun kesenjangan produksi antarmusim sangat
tinggi. Interval penyiraman 1 dan 2 kali sehari memberikan produktivitas yang tidak berbeda
(Kastono et al., 2004). Namun demikian belum diketahui hubungan antara waktu penyiraman
dan jumlah air siraman terhadap lingkungan (suhu dan lengas tanah) dan pertumbuhan
tanaman.
Pada skala penelitian dan penerapan di lapangan, pemberian mulsa jerami sebanyak 5
ton/ha memberikan hasil krop kubis terbaik dibandingkan pertanaman tanpa mulsa bahkan
lebih baik daripada mulsa hitam perak sekalipun (Saparso, 2001). Selanjutnya, Kastono
(2005) menyatakan bahwa Urea Tablet 206,08 kg N/ha yang dilapisi lempung Grumusol
mampu meningkatkan produksi cabai mencapai 44,18 ton/ha dan meningkatkan efisiensi
serapan N mencapai 53,79 %. Dosis optimal Urea Tablet yang dilapisi lempung Grumusol
dicapai pada 216,45 dan 216 kg N/ha yang mampu menghasilkan cabai 46,11 ton/ha dan
efisiensi serapan N tanaman 54,99 %. Urea Tablet tanpa dilapisi lempung Grumusol
menunjukkan pertumbuhan dan hasil cabai lebih baik daripada pemupukan Urea Pril tanpa
dilapisi Grumusol pada dosis yang sama, yaitu 206,08 kg N/ha.
Kastono (2007) melaporkan hasil kajian rekayasa lahan secara terpadu melalui
penggunaan lempung, pupuk kandang, mulsa jerami, dan plastik dasar bedengan sebagai
lapisan kedap disertai pemasangan pematah angin baik yang bersifat permanen maupun tidak,
mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman hortikultura dan meningkatkan produktivitas
tanaman hortikultura 2,0-3,5 kali lipat dibandingkan model pertanian konvensional yang
dilakukan oleh petani. Peningkatan hasil dikarenakan adanya perbaikan lingkungan
mikroklimat pertanaman yang menunjang pertumbuhan dan hasil tanaman hortikultura.
Peningkatan hasil akibat dari perlakuan rekayasa lahan dan mikroklimat dibandingkan usaha
konvensional yang dilakukan petani mampu mencapai nilai ROI berkisar 1,55-4,39 kali yang
berarti cukup baik (> 1), tentu saja hal ini dapat menjadi perangsang bagi petani dalam
mengadopsi teknologi anjuran dari Tim Peneliti UGM sekaligus dan sebagian petani sudah
mampu mentransfer teknologi tersebut kepada petani lain di luar wilayah kerjanya.
Bahan pembenah tanah berupa pupuk kandang sapi sampai 60 ton/ha dapat
meningkatkan pertumbuhan berbagai varietas tanaman cabai dan meningkatkan efisiensi
pemupukan N secara linier. Interval pemupukan nitrogen (urea) 5 dan 10 hari sekali dengan
cara dilarutkan dalam air memberikan pertumbuhan dan hasil yang tidak berbada nyata
(Saparso dan Shiddieq, 2006). Menurut Astuti (2003) cit. Saparso dan Shiddieq (2006)
pemberian pupuk kandang sebesar 20 ton/ha dan vertisol 30 ton/ha memperbaiki nilai
pengatusan lambat, pori penyimpanan lengas, lengas kapasitas lapangan, lengas maksimum,
lengas titik layu permanen, kapilaritas tanah pasir pantai Samas.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian tahap pertama dengan tujuan memanfaatkan
dan memberdayakan lahan marjinal untuk diubah menjadi lahan pertanian produktif
secara berkelanjutan, dengan menerapkan teknologi tepat guna yang spesifik lokasi.
Teknologi rekayasa lahan bertujuan untuk memperbaiki lingkungan pertumbuhan
optimal guna meningkatkan produktivitas dan kualitas cabai merah secara
berkelanjutan. Penelitian tahap pertama lebih diarahkan untuk mendapatkan jenis dan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

244

takaran lempung yang optimal dalam menunjang peningkatan produktivitas dan kualitas
hasil cabai merah.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan percobaan lapangan yang disusun dalam Rancangan
Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial 2 x 3 dengan 3 blok sebagai ulangan. Faktor
pertama adalah jenis lempung (L), terdiri dari 2 aras yaitu: latosol (L1) dan grumusol (L2).
Faktor kedua adalah takaran lempung (T), terdiri dari 3 aras yaitu: 10, 20, dan 30 ton/ha (T1,
T2, dan T3). Tanaman yang diperlakukan semuanya dipupuk dengan ZA 450 kg/ha. Sebagai
kontrol 1 adalah tanaman tanpa lempung dan dipupuk dengan ZA 450 kg/ha, sedangkan
kontrol 2 adalah tanaman tanpa lempung dan dipupuk dengan ZA 1.000 kg/ha.
Ukuran petak pertanaman adalah 1 m x 5 m, dengan antarpetak perlakuan berjarak 50
cm, dan antarblok berjarak 100 cm. Cabai merah yang digunakan adalah varietas Lado
dengan jarak tanam 30 cm x 50 cm, dengan 1 bibit per lubang tanam. Pemupukan untuk
tanaman yang diberi perlakuan dengan lempung dan tanaman kontrol 1 menggunakan ZA
450 kg/ha diberikan 10 kali, yaitu diberikan pada umur 1-10 minggu setelah pindah tanam,
sedangkan untuk tanaman kontrol 2 menggunakan ZA 900 kg/ha diberikan 10 kali, yaitu
diberikan pada umur 1-10 minggu setelah pindah tanam. Pupuk Phonska dan KCl diberikan
untuk semua tanaman termasuk tanaman kontrol 1 dan 2. Phonska 100 kg/ha seluruhnya
diberikan pada saat pindah tanam, dan KCl 150 kg/ha diberikan 2 kali pada saat pindah tanam
dan umur 2 bulan sesudah pindah tanam. Pupuk kandang sebanyak 10 ton/ha (1 kg/m2)
diberikan sebelum pindah tanam bibit cabai merah. Pengendalian hama dan penyakit
dilakukan dengan cara pencegahan sebagaimana diperlukan. Data yang diperoleh akan
dianalisis dengan sidik ragam jenjang 5 %, bila ada beda nyata dilanjutkan dengan Uji DMRT
5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 1 dan 2. Tabel 1 menunjukkan bahwa
diameter batang, diameter buah, dan panjang buah cabai merah tidak menunjukkan adanya
interaksi nyata antara jenis dan takaran lempung. Jenis lempung baik latosol maupun
grumusol tidak mempengaruhi perkembangan diameter batang, diameter buah, dan panjang
buah cabai merah, hal ini lebih dikarenakan adanya pengaruh genetis tanamannya. Demikian
juga takaran lempung yang diberikan sampai 30 ton/ha tetap tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap perkembangan diameter batang, diameter buah, dan panjang buah cabai
merah di lahan pasir pantai (Tabel 1).
Diameter batang, diameter buah, dan panjang buah pada tanaman yang dipupuk ZA
450 kg/ha, baik pada tanaman yang diberi lempung maupun tanpa lempung (kontrol 1) tidak
berbeda nyata. Demikian juga antara tanaman yang diberi lempung dan dipupuk ZA 450
kg/ha dengan tanaman tanpa lempung dipupuk ZA 900 kg/ha (kontrol 2) menghasilkan
diameter batang, diameter buah, dan panjang buah yang tidak berbeda nyata. Bahkan tanaman
kontrol 1 yang diberi pupuk ZA hanya bagian dibandingkan tanaman kontrol 2 juga tidak
menunjukkan perbedaan nyata, hal ini menunjukkan bahwa pemakaian pupuk yang
berlebihan juga tidak dapat meningkatkan pertambahan diameter batang, diameter buah, dan
panjang buah.

245

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 1. Pengaruh mandiri jenis dan takaran lempung terhadap diameter batang,
diameter buah, dan panjang buah.
Diameter
Diameter Buah Panjang Buah
Perlakuan
Batang (mm)
(mm)
(cm)
Jenis Lempung:
8,00 a
14,20 a
11,39 a
* Latosol (L1)
7,95 a
13,96 a
11,81 a
* Grumusol (L2)
Takaran Lempung:
8,09 p
13,76 p
* 10 ton/ha (T1)
11,46 p
7,98 p
14,09 p
11,86 p
* 20 ton/ha (T2)
7,85 p
14,39 p
11,49 p
* 30 ton/ha (T3)
Rerata Faktorial
11,60
14,08
7,97
Rerata Kontrol 1
10,70 ap
13,65 ap
7,90 ap
Rerata Kontrol 2
11,37 ap
14,19 ap
8,00 ap
Interaksi antar jenis dan
(-)
(-)
(-)
takaran lempung
Uji Kontras Ortogonal
ns
ns
ns
* Kontrol vs Faktorial
ns
ns
ns
* Kontrol 1 vs Kontrol
2
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan Uji DMRT ( = 5 %), (-) = tidak ada interaksi, dan ns = tidak
berbeda nyata. Tanaman yang diperlakukan semuanya dipupuk dengan ZA 450 kg/ha,
sedangkan kontrol 1 adalah tanaman tanpa lempung dan dipupuk dengan ZA 450 kg/ha,
sedangkan kontrol 2 adalah tanaman tanpa lempung dan dipupuk dengan ZA 900 kg/ha.
Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pemupukan ZA dosis tinggi (900
kg/ha) untuk cabai merah di lahan pasir pantai, sebenarnya justru menunjukkan adanya
pemborosan pupuk dan tidak berpengaruh positif terhadap perkembangan diameter
batang, diameter buah, maupun panjang buah. Pemborosan pupuk sebenarnya sudah
dapat diantisipasi dengan pemberian/aplikasi pupuk dengan dosis rendah tetapi
frekuensinya ditingkatkan sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman cabai merah.
Kondisi demikian akan menyebabkan ketersediaan hara menjadi lebih terjamin sesuai
dengan kebutuhan tanaman. Apalagi tipe cabai merah harus dipanen secara bertahap,
yang konsekuensinya menunjukkan harus ada kesimbangan yang baik antara sumber
(source) dan lubuk/limbung (sink) selama pertumbuhan tanaman cabai merah di
lapangan (4-6 bulan setelah pindah tanam).
Keberadaan daun sebagai organ sumber harus dipertahankan dan ada regenerasi
yang baik seiring dengan perkembangan tajuk tanaman (pembentukan cabang
produktif). Kondisi daun yang demikian diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
lubuk/limbung sebagai organ pengguna cadangan makanan (asimilat) yang diwujudkan
dalam bentuk buah yang akan muncul secara bertahap, dalam penelitian ini diamati
sampai panen buah cabai merah ke-16. Sampai sekitar umur 4,5-5,0 bulan setelah
pindah tanam, tanaman cabai merah masih dalam kondisi cukup baik. Biasanya pada
kondisi harga yang baik (di atas Rp10.000,00/kg), petani akan mempertahankan
tanaman dan bahkan memberikan pupuk susulan untuk memacu pertumbuhan cabang
produktif dan munculnya bunga dan buah yang baru selama diprediksi harga bagus
masih dapat dijangkau.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

246

Tabel 2. Pengaruh interaksi antara jenis dan takaran lempung terhadap jumlah buah
cabai merah per tanaman (JBT), hasil cabai merah per tanaman (HCPT), hasil cabai
merah per petak ukuran 5 m2 (HCPP), dan konversi hasil cabai merah per hektar
(KHCPH).
HCPP
KHCPH
Perlakuan
JBT
HCPT (g)
2
(kg/5 m )
(ton/ha)
Lempung Latosol
(L1) pada takaran:
26,80 ab
13,40 ab
335,00 ab
* 10 ton/ha (T1)
67,00 ab
28,66 a
14,33 a
358,19 a
* 20 ton/ha (T2)
71,64 a
23,53 b
11,77 b
294,15 b
* 30 ton/ha (T3)
58,83 b
Lempung
Grumusol (L2)
30,44 a
15,22 a
380,52 a
76,10 a
pada takaran:
26,51 ab
13,26 ab
331,43 ab
66,29 ab
* 10 ton/ha (T1)
22,53 b
11,21 b
280,31 b
56,06 b
* 20 ton/ha (T2)
* 30 ton/ha (T3)
Rerata Faktorial
65,99
329,93
13,20
26,41
Rerata Kontrol 1
49,50 c
247,50 c
9,90 c
19,80 c
Rerata Kontrol 2
48,59 c
242,96 c
9,72 c
19,44 c
Interaksi antar jenis
dan takaran
(+)
(+)
(+)
(+)
lempung
* Kontrol vs Faktorial
*
*
*
*
* Kontrol 1 vs
ns
ns
ns
ns
Kontrol 2
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan Uji DMRT ( = 5 %), (+) = interaksi nyata, * = berbeda nyata pada
= 5 %, dan ns = tidak berbeda nyata. Tanaman yang diperlakukan semuanya dipupuk
dengan ZA 450 kg/ha, sedangkan kontrol 1 adalah tanaman tanpa lempung dan dipupuk
dengan ZA 450 kg/ha, sedangkan kontrol 2 adalah tanaman tanpa lempung dan dipupuk
dengan ZA 900 kg/ha.
Pada tahapan awal pembentukan buah sampai dengan pemetikan buah cabai
merah periode ke-2, masih banyak terjadi serangan lalat buah yang menyebabkan
sekitar 25 % buah yang terbentuk gagal dipanen. Hal ini dikarenakan agak lambatnya
upaya pencegahan, namun demikian setelah disemprot dengan insektisida sumo dan
dilengkapi dengan perangkap lalat buah berwarna kuning disertai lem maupun dengan
methyl eugenol, akhirnya serangan lalat buah dapat dikendalikan dengan baik. Di
samping itu, dengan adanya pemupukan susulan setiap minggu sekali, mampu
menunjang perkembangan pembungaan dan pembuahan secara lebih terjamin.
Tabel 2 menunjukkan bahwa ada pengaruh interaksi yang nyata antara jenis dan
takaran lempung terhadap jumlah buah per tanaman, hasil cabai per tanaman, hasil total
cabai merah per petak, dan konversi hasil cabai merah per hektar. Pengaruh jenis dan
takaran lempung pada perlakuan lempung grumusol dengan takaran 10 ton/ha maupun
lempung latosol dengan takaran 20 ton/ha menunjukkan pengaruh yang sama, yaitu
mampu meningkatkan jumlah buah per tanaman, hasil cabai per tanaman, hasil total

247

SeminarHasilPenelitianUGM2009

cabai merah per petak, dan konversi hasil cabai merah per hektar, terutama bila
dibandingkan dengan semakin tingginya takaran lempung (sampai takaran 30 ton/ha)
pada setiap jenis lempungnya. Kondisi demikian menunjukkan bahwa jenis lempung
grumusol dan latosol mempunyai kecenderungan yang berbeda. Lempung grumusol
pada takaran 10 ton/ha mampu meningkatkan hasil cabai merah, namun seiring
meningkatnya takaran lempungnya (> 10 ton/ha) cenderung menurunkan hasil cabai
merah. Sebaliknya, pada lempung latosol pada takaran yang semakin meningkat sampai
20 ton/ha masih mampu meningkatkan hasil cabai merah, namun seiring dengan
meningkatnya takaran (> 20 ton/ha) justru menurunkan hasil cabai merah.
Perbandingan antara tanaman yang diberi lempung mampu meningkatkan
jumlah buah per tanaman, hasil cabai per tanaman, hasil total cabai merah per petak,
dan konversi hasil cabai merah per hektar daripada tanaman kontrol 1 dan 2,
peningkatan yang terjadi berkisar 33,31-35,85 %. Sementara antara tanaman kontrol 1
dan kontrol 2 menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Kondisi demikian menunjukkan
bahwa peran lempung sebagai bahan pembenah tanah telah mampu menyediakan hara
dan lengas yang diperlukan tanaman cabai merah selama pertumbuhannya dengan lebih
baik dibandingkan tanpa lempung. Hal ini terbukti bahwa tanaman yang diberi lempung
dan ZA 450 kg/ha mampu meningkatkan hasil nyata lebih tinggi daripada tanaman
tanpa lempung dengan pemupukan yang berlebihan (ZA 900 kg/ha) yang justru
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan tanaman tanpa lempung dengan
ZA 450 kg/ha.
Pemberian lempung yang dicampurkan pada lapisan permukaan tanah sampai
kedalaman 10 cm, baik untuk jenis latosol dan grumusol terbukti mampu memperbaiki
sifat fisik tanah di bagian permukaan. Kondisi demikian ditunjang dengan adanya
pemberian pupuk kandang, sehingga pada lapisan 10 cm tersebut mampu menyekap air
dan hara yang lebih terjamin selama pertumbuhan tanaman cabai merah. Oleh karena
itu, tanaman yang diperlakukan dengan lempung mempunyai zona rizhosfer yang lebih
optimal dalam menunjang pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah.
Sementara untuk tanaman tanpa lempung berarti kondisi fisik tanahnya kurang
menunjang pertumbuhan tanaman, hal ini terutama ditunjukkan adanya struktur tanah
yang lepas-lepas dan porositasnya rendah yang menyebabkan mudah meloloskan air
serta rendahnya daya jerap terhadap hara yang diberikan lewat pupuk dan bahan
organik. Oleh karena itu, para petani di lahan pasir pantai sering kali memberikan pupuk
anorganik secara berlebihan untuk mengantisipasi kekurangan hara yang dibutuhkan
oleh tanaman, terutama apabila harga cabai cenderung baik (di atas Rp10.000,00/kg).
Namun demikian, pemberian pupuk tersebut cenderung boros dan tidak hemat,
sementara hasilnya tidak nyata seiring dengan peningkatan dosis pupuk yang diberikan.
Di samping itu, dengan adanya masukan bahan organik diyakini dapat
meningkatkan populasi dan aktivitas mikrobia yang menguntungkan dalam menunjang
pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah. Oleh karena itu, dengan adanya masukan
lempung dan pupuk kandang dapat memperbaiki sifat tanah, baik fisik, kimia, maupun
biologinya sehingga memberikan daya dukung yang lebih baik secara sinergis dan
berkelanjutan terhadap peningkatan produktivitas cabai merah di lahan pasir pantai.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

248

KESIMPULAN
1. Penggunaan lempung mampu meningkatkan produktivitas cabai merah mencapai 26,41
ton/ha dan nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrol 1 dan 2 (33,38 dan 35,85 %).
2. Jenis lempung grumusol pada takaran 10 ton/ha mampu menghasilkan buah cabai merah
terbaik sebesar 30,44 ton/ha, sedangkan untuk lempung latosol pada takaran 20 ton/ha
mampu menghasilkan buah cabai merah terbaik sebesar 28,66 ton/ha.
3. Baik untuk lempung grumusol maupun latosol dapat digunakan sebagai pembenah tanah
dalam menunjang produktivitas cabai merah di lahan pasir pantai.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui jenis dan takaran pupuk kandang
(pupuk organik) yang optimal pada masing-masing jenis lempung latosol dan grumusol
dalam menunjang pertumbuhan dan hasil cabai merah di lahan pasir pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Kastono, D., R.E. Kasiyatu dan Soenoeadji. 2004. Pengaruh Frekuensi Penyiraman dan
Penggunaan Alas Plastik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Cabai Merah di Lahan
Pasir Pantai. Prosiding Konggres dan Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura
Indonesia (PERHORTI), kerjasama PERHORTI dengan Direktorat Jenderal Bina
Produksi Hortikultura dan Institut Pertanian Bogor, Jakarta 22 September 2004.
Kastono, D. 2005. Budidaya Tanaman Hortikultura yang Adaptif dan Prospektif dalam
Menunjang Agribisnis di Lahan Pasir Pantai. Disampaikan dalam Pelatihan Petugas
dan Petani Andalan dalam rangka: Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia di
Lahan Pasir Pantai. Kerjasama Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka
DEPTAN dengan Dinas Pertanian Provinsi DIY. Hotel Brongto Yogyakarta, 13 Juli
2005.
Kastono, D. 2007. Aplikasi Model Rekayasa Lahan Terpadu guna Meningkatkan
Peningkatan Produksi Hortikultura secara Berkelanjutan di Lahan Pasir Pantai. Jurnal
Ilmiah STTP Yogyakarta (dalam proses cetak).
Kertonegoro, B.J. 2003. Pengembangan Budidaya Tanaman Sayuran dan Hortikultura pada
Lahan Pasir Pantai: Sebuah Model Spesifik dari Daerah Istimewa Yogyakarta. AgrUMY. XI(2): 67-75.
Saparso. 2001. Pengembangan Tanaman Kubis Lahan Pasir Pantai: Pertumbuhan Tanaman
pada Berbagai Kombinasi Mulsa dan Cara Pemberian Nitrogen. Agrin (Agriculture
Research and Information). 7(2):60-73.
Saparso dan Dj. Shiddieq. 2006. Budidaya Cabai Hot Beauty Berwawasan Lingkungan
Melalui Perbaikan Takaran Bahan Pembenah Tanah dan Interval Pemupukan
Nitrogen Tanah Pasiran. Makalah Seminar Nasional Pengendalian Pencemaran
Lingkungan Pertanian Melalui Pendekatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Secara Terpadu. Universitas Sebelas Maret, Surakarta 28 Maret 2006.
Sukrisno, Mashudi, A.B. Supangat, Sunaryo dan D. Subaktini. 2000. Pengembangan Potensi
Lahan Pantai Berpasir dengan Budidaya Tanaman Semusim di Pantai Selatan
Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulaupulau Kecil dalam Konteks Negara Kepulauan. Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta
2 September 2000.
Yudono, P., D. Kastono, S. Purwanti, Sukirno, B.Dj. Kertonegoro, S. Hardyastuti, R.
Witjaksono, dan Soenoeadji. 2002. Aplikasi Unit Percontohan Agribisnis Terpadu di

249

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Lahan Pantai Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kerjasama Fakultas Pertanian


UGM dan Dinas Pertanian Propinsi DIY. Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan).

SeminarHasilPenelitianUGM2009

250

KONSERVASI ANGGREK ALAM VANDA TRICOLOR LINDL ASLI


INDONESIA MELALUI PERBANYAKAN SOMAKLONAL :
I. KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN MOLEKULER V.
TRICOLOR LINDL
Aziz-Purwantoro1,2,Endang Semiarti2,3, Rindang Dwiyani2, Esti Sri Lestari3,
Tantri Swandari3
1
2
Fakultas Pertanian UGM, Pusat Studi Bioteknologi UGM, 3Fakultas Biologi UGM
ABSTRAK
Vanda tricolor Lindl adalah anggrek alam asli Indonesia, ditemukan di hutanhutan di Jawa, Bali dan Sumatera. Populasi Vanda tricolor di habitat asalnya sangat
sedikit, sehingga terancam punah. Hal ini disebabkan oleh pengambilan secara
berlebihan dari habitatnya, perusakan hutan dan bencana alam. Usaha konservasi
diperlukan untuk penyelamatan kekayaan hayati ini. Salah satu cara adalah melakukan
perbanyakan masal melalui kultur in-vitro (konservasi ex-situ) dan kemudian
direintroduksi ke habitat asalnya (konservasi in-situ). Akan tetapi, induk tanaman
sumber eksplan yang ada saat ini sudah sangat sulit dikenali asal usulnya karena
adanya perdagangan antar pulau. Di satu sisi, dalam usaha konservasi, maka tanaman
yang direintroduksi ke habitat asalnya haruslah sesuai dengan daerah asalnya untuk
mempermudah proses adaptasi serta mempertahankan sifat keaslian tanaman di daerah
tersebut. Dengan alasan tersebut maka dilakukan karakterisasi morfologi serta
molekuler dari Vanda tricolor yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, sebelum
dilakukan perbanyakan masal melalui kultur in-vitro. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui karakterisasi secara morfologi dan molekuler dari Vanda tricolor sesuai
dengan daerah asalnya serta mendapatkan metode terbaik dalam perbanyakan klon
V.tricolor melalui kultur in-vitro. Karakterisasi morfologi dilakukan dengan melakukan
pengamatan dan pencatatan sifat-sifat morfologi tanaman yang menyangkut morfologi
dari daun (bentuk, ukuran, warna), bunga (bentuk, ukuran, aroma, warna), dan buah
(bentuk, ukuran dan warna biji). Karakterisasi molekuler dilakukan dengan jalan
mengamplifikasi single copy dari non-coding region chloroplast DNA trnL-F dari
sampel tanaman yang dikumpulkan dari Jawa tengah, Jawa Barat, Jawa timur dan
Bali. Sampel tanaman diambil dari habitat asalnya (hutan), koleksi kebun raya dan
dari kios-kios tanaman yang menjual Vanda tricolor secara komersial. Berdasarkan
karakter morfolgi dapat diketahui bahwa daun V. tricolor dari Merapi panjang
daunnya antara 31,83,5 cm, lebar 4,20,568 cm dan tebal 0,1120,1987 cm.
Sedangkan V. tricolor dari Bali panjang daunnya 28,53,6 cm, lebar 4,20,6 cm, dan
tebal 0,050,02 cm. Ukuran panjang bunga V. tricolor Merapi 6,10,3 cm dengan lebar
6,30,2 cm dan V. tricolor Bali berukuran panjang 7,10,4 cm dan lebar 7,30,2 cm.
Kedua bunga menunjukkan perbedaan sudut kelengkungan sepal dan petal terhadap
aksis bunga. Pengujian karakter molekuler dengan mengamplifikasi DNA pada lokus
gen trnL-F dan restriksi dengan enzim restriksi EcoRI menunjukkan fragmen yang
sama.
LATAR BELAKANG
Konservasi melalui perbanyakan somaklonal diperlukan sebagai langkah awal
untuk menyelamatkan anggrek Vanda tricolor Lindley dari kepunahan. Namun sebelum

251

SeminarHasilPenelitianUGM2009

dilakukan perbanyakan somaklonal, tanaman sumber eksplan harus diketahui jelas


secara genetis maupun morfologi, agar klon yang dihasilkan benar-benar seragam.
Adanya perdagangan antar pulau menyebabkan ketidakjelasan secara genetis dari
Vanda tricolor Lindley yang ada di suatu daerah.
Vanda tricolor Lindl. var suavis merupakan salah satu anggrek alam asli
Indonesia yang tersebar di Sulawesi, Jawa dan Bali (Gardiner, 2007). Anggrek ini telah
menjadi produk unggulan Pemerintah Yogyakarta. Akan tetapi beberapa tahun terakhir
ini populasi V. tricolor di habitat asli mengalami penurunan bahkan hampir punah, hal
ini disebabkan oleh pengambilan secara berlebihan (overcollection), kebakaran hutan
tahun 2002 dan adanya bencana alam yang sering terjadi seperti gunung meletus dan
lahar panas di Gunung Merapi. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan
konservasi baik secara ex-situ ataupun in-situ.
Dalam usaha konservasi in-situ dibutuhkan daya adaptasi yang tinggi agar
tanaman tersebut dapat bertahan hidup setelah direintroduksi ke habitat aslinya. Selama
ini, reintroduksi anggrek V. tricolor di lereng Merapi telah dilakukan oleh Pemerintah
Yogyakarta yaitu oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Namun, usaha
reintroduksi tersebut tampaknya belum membuahkan hasil sebab tanaman ini tidak
dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya yang baru. Hal ini kemungkinan
dikarenakan anggrek yang ada di Gunung Merapi bukanlah anggrek Vanda tricolor asli
Merapi melainkan anggrek Vanda yang berasal dari daerah lain. Sehingga anggrek ini
tidak memiliki ketahanan terhadap kondisi lingkungan Gunung Merapi yang sangat
ekstrim.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan karakterisasi tanaman V. tricolor
baik secara morfologi maupun molekuler. Tahap ini, merupakan penelitian dasar
sebelum dilakukan perbanyakan masal melalui kultur in-vitro (ex-situ). Sehingga
tanaman klon dari kultur in-vitro yang akan direintroduksi ke daerah Gunung Merapi
merupakan tanaman anggrek V. tricolor yang memiliki sifat yang sesuai dengan
tanaman anggrek Vanda asli daerah tersebut. Dengan demikian, V. tricolor tersebut
mampu bertahan hidup di daerah Gunung Merapi. Dan pada akhirnya usaha konservasi
populasi anggrek V. tricolor di Lereng Gunung Merapi akan membuahkan hasil.
Dalam Penelitian ini, karakterisasi morfologi dilakukan dengan melakukan
pengamatan dan pencatatan sifat-sifat morfologi tanaman V. tricolor var suavis form
Merapi dan Bali, yang menyangkut morfologi daun (tebal, lebar, dan panjang); bunga
(bentuk, ukuran, warna); tinggi tanaman dan diameter buah. Karakter molekular akan
dilakukan dengan jalan mengamplifikasi single copy dari non-coding region chloroplast
DNA trnL-F dari sample tanaman yang dikumpulkan dari Jawa Tengah (Merapi), Jawa
Barat, Jawa Timur dan Bali
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakter morfologi dan
molekular antara V. tricolor var suavis forma Merapi, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali,
sehingga dapat mendasari program konservasi tanaman anggrek Vanda yaitu dengan
perbanyakan in-vitro tanaman yang memiliki sifat yang sama dengan tanaman daerah
asal.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Fakultas
Biologi UGM Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai
November 2009.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

252

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa tanaman dewasa V. tricolor
var suavis forma Merapi, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali yang sedang berbunga; serta
buah anggrek V.tricolor yang telah masak. Bahan tanaman adalah Vanda tricolor yang
dikumpulkan dari berbagai tempat di Jawa dan Bali yang merupakan areal tumbuh
Vanda tricolor. Tanaman-tanaman tersebut ditumbuhkan di rumah kaca sebagai bahan
penelitian.
Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi total genom V. tricolor var
suavis yaitu: larutan CTAB 3%, kloroform (CHCL3), iso propanol CH3CH(OH)CH3,
etanol 70% (C2H5OH) dan 10T 0,1E pH 7,6.
Amplifikasi kloroplas DNA
menggunakan bahan berupa aquades steril (dH2O), Ex-Taq buffer merk Takara,
dNTPs, template, Taq polymerase dan primer trnL-C dan primer trnL-F. Dalam proses
retriksi digunakan 10XH buffer, DNA hasil PCR, enzim restriksi EcoR1 2l dan
aquabides steril. Visualisasi hasil isolasi, PCR, dan retriksi menggunakan agarose
(Sigma tipe 2, Jepang), TBE (Promega,USA), etidium bromide 0,5X, loading buffer dan
kit elektroforesis.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: mikropipet ukuran 10, 20,
100, 200, 1000l (Gilson, Peracis; Eppendorf, Jerman), pipet tip sesuai ukuran
mikropipet, mikrosentrifuge, tabung mikro (mikrotube) ukuran 0,2 ml dan 1,5 ml. Pada
tahap amplifikasi digunakan mesin PCR dan kotak es (ice box). Untuk tahap restriksi
digunakan waterbath dan/ atau oven. Sedangkan pada tahap visualisasi digunakan kit
elektroforesis, timbangan analitik, UV tansluminator, kamera dan power supply. Juga
beberapa alat penunjang yang diperlukan seperti kulkas, laminar air flow dan entkas.
Karakterisasi Sifat Morfologi Tanaman dilakukan terhadap bagian-bagian
tanaman, yaitu daun, bunga dan buah. Sifat morfologi daun diamati dari tanaman
dewasa, yang meliputi bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, ukuran daun (panjang,
lebar, dan tebal) dan warna daun. Sifat morfologi bunga yang diamati meliputi ukuran
perhiasan bunga,diameter bunga, warna perhiasan bunga, warna labelum, bentuk
helaian perhiasan bunga, aroma bunga serta lamanya bunga mekar. Sifat morfologi buah
yang diamati meliputi: ukuran buah, warna buah serta warna biji dalam buah.
Karakterisasi Molekuler mencakup kegiatan Isolasi total DNA dan amplifikasi
chloroplast DNA. Isolasi total DNA diawali dengan pengumpulandaun dari spesimen
Vanda tricolor dan disimpan dalam plastik container yang berisi silica gel (Chase and
Hills, 1991). Total DNA diekstrasi dari material daun kering dalam silica gel tersebut
dengan metode CTAB seperti yang tercantum dalam Semiarti et al. (2001) dan Milligan
(2002).
Single copy dari chloroplast DNA region trnL-F diamplifikasi dengan spesifik
primer. Primer yang dipergunakan untuk amplifikasi adalah primer spesisfik untuk
region spesifik seperti yang diungkapkan oleh Taberlet (1991) yakni primer c (CGA
AAT CGG TAG ACG CTA CG) dan primer f (ATT TGA ACT GGT GAC ACG AG).
PCR akan diprogram sebagai berikut: 1 menit pada 94C (denaturasi awal), kemudian
35 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 94C selama 1 menit, annealing pada
suhu 50C selama 1 menit dan proses ekstensi pada suhu 72C selama 1 menit 10 detik,
dan pada akhirnya dibiarkan pada suhu 72C selama 5 menit untuk final extension.
Amplifikasi menggunakan 50 l volume reaksi, yang berisi : 1 l masing-masing
primer, 5 l NH4, 3 l MgCl2 (2.5 l untuk trnL-F), 1 l dNTPs, 0.2 l Taq polymerase,
1 l DNA (kurang lebih 20-70ng). Produk hasil amplifikasi kemudian dipurifikasi
dengan QIAquick PCR purification kit (Qiagen), kemudian dielektroforesis dalam 1 %
agarose gel serta divisualisasi dibawah sinar UV seperti yang tercantum dalam Semiarti

253

SeminarHasilPenelitianUGM2009

et al. (2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Morfologi
Berdasarkan penelitian morfologi dan molekular terhadap anggrek V. tricolor
forma Bali dan Merapi, maka dapat diperoleh hasil berupa penampakan tanaman
(habitus), morfologi daun, morfologi bunga dan morfologi buah V. tricolor forma Bali,
Jawa Barat, Jawa Timur dan Merapi. Berdasarkan karakterisasi morfologi yang
dilakukan terhadap tanaman dewasa anggrek V. tricolor dapat diketahui bahwa anggrek
tersebut merupakan anggrek epifit, monopodial, dengan ciri pertumbuhan tegak dengan
satu batang pokok. Daun berbentuk pita dengan ujung daun rompang. Pada sepal dan
petalnya terdapat ciri khusus yaitu adanya totol yang secara umum berwarna cokelat
keunguan. Perbandingan karakter morfologi V. tricolor dari keempat forma dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan karakter morfologi V. tricolor forma Bali, Jawa Barat, Jawa
Timur dan Merapi.
Ukuran beberapa forma
Karakter morfologi
Merapi
Bali
Jawa Barat Jawa Timur
Panjang daun (cm)
31.75 3.59 28.80 3.52 26.83 3.43 33.32 4.55
3.86 0.37
2.87 0.35
3.08 0.37
Lebar daun (cm)
4.20 0.52
0.07 0.05
0.08 0.03
0.06 0.00
Tebal daun (cm)
0.07 0.01
7.01 0.19
5.71 0.41
6.56 0.00
Diameter vertikal bunga (cm)
6.17 0.10
7.00 0.31
5.03 1.38
6.18 0.00
Diameter horisontal bunga (cm)
6.24 0.06
8.83 0.29
10.00.0
Panjang buah (cm)
14.18 2.01 11.97 1.17
2.90 0.26
1.50 0.00
3.0 0.00
Diameter buah (cm)
2.81 0.17
Perbadingan karakter morfologi V. tricolor forma Bali, Jawa Barat, Jawa Timur dan
Merapi dapat dilihat pada gambar 1

Gambar 1. Tanaman dewasa V. Tricolor A. Vanda tricolor Lindl var suavis forma
Merapi, B. Vanda tricolor Lindl var suavis forma Bali , C. Vanda tricolor Lindl var
suavis forma Jawa Barat, D. Vanda tricolor Lindl var suavis forma Jawa Timur
Perbandingan morfologi bunga (Gambar 2) dan morfologi labelum (Gambar 3)
V. Tricolor keempat forma menunjukkan beberapa perbedaan. Pola dan warna mahkota
bunga sangat berbeda antara forma yang satu dengan forma lainnya. Forma Merapi dan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

254

Jawa Timur mempunyai pola warna yang lebih keunguan, sedangkan forma Jawa Barat
dan Bali mempunyai warna kecoklatan.

Gambar 2. morfologi bunga V. tricolor A. Vanda tricolor Lindl var suavis forma
Merapi, B. Vanda tricolor Lindl var suavis forma Bali , C. Vanda tricolor Lindl var
suavis forma Jawa Barat, D. Vanda tricolor Lindl var suavis forma Jawa Timur.

Gambar 3. morfologi labelum V. tricolor A. Vanda tricolor Lindl var suavis forma
Merapi, B. Vanda tricolor Lindl var suavis forma Bali , C. Vanda tricolor Lindl var
suavis forma Jawa Barat, D. Vanda tricolor Lindl var suavis forma Jawa Timur.
Berdasarkan gambar 2 dan 3 diatas dapat diketahui terdapat variasi bentuk dan
ornamen dari bunga V. tricolor. Berdasarkan tingkat kedataran dapat diketahui bahwa
merapi lebih datar dan bagian bagian bunganya tersusun membulat. Warna sepal, petal
dan labelum bervariasi dimana Bali dan Jawa Timur berwarna lebih pink disamping
yang lain. Berdasarkan aromanya V. Tricolor Jawa Barat memiliki bau yang lebih tajam
dibanding dengan yang lain. Ukuran bunga tidak menunjukkan perbeda ukuran yang
signifikan. Perbandingan morfologi buah V. tricolor forma Bali, Jawa Barat, Jawa
Timur dan Merapi dapat dilihat pada gambar 4.

255

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Gambar 4. morfologi labelum V. tricolor A. Vanda tricolor Lindl var suavis forma
Merapi, B. Vanda tricolor Lindl var suavis forma Bali , C. Vanda tricolor Lindl var
suavis forma Jawa Barat, D. Vanda tricolor Lindl var suavis forma Jawa Timur.
Karakterisasi Molekuler
Berdasarkan analisis karakter molekuler dapat diketahui bahwa keempat forma
tanaman hasil PCR dengan menggunakan primer trnL-F memiliki panjang pita yang
sama yaitu 1.100 bp. Dengan menggunakan enzim restriksi EcoRI dapat terlihat bahwa
tidak terdapat polimorfisme diantara V. Tricolor forma Merapi dan Bali. Setiap fragmen
terpotong menjadi dua fragmen yaitu 700 bp dan 400 bp. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Semiarti (2008) yang menunjukkan tidak adanya polimorfisme. Dengan
demikian perlu dilakukan pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi lain.
M

900 bp
400 bp

Gambar 5. Amplifikasi fragmen cpDNA trnL-F dari V. Tricolor. M. Marker lamda StyI,
1 dan 2
PCR produk trnL-F 1) Merapi, 2) Bali. 3 dan 4 restriksi enzime ecoRI, 3)
Merapi 4) Bali
Sedangkan dengan menggunakan primer POH1, amplifikasi produk PCR V.
tricolor Jawa Barat dan Merapi menunjukkan panjang pita 500 bp, V.tricolor Bali
menunjukkan 700 bp, 800 bp, 1.5 kb dan 1.9 kb. Pada V. tricolor Merapi teramplifikasi
2 pita yaitu 1.5 kb dan 1.9 kb fragmen DNA, sedangkan Jawa Timur tidak menunjukkan
adanya pita. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa Merapi memiliki karakter
lebih dekat dengan Jawa Barat yaitu 500 bp. V. tricolor forma Bali berbeda dengan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

256

forma Jawa Barat tetapi memepunyai kesamaan dengan Forma Merapi yaitu dengan
teramplifikasinya dua pita yaitu 1.5 kb dan 1.9 kb. (Gambar 6)

Gambar 6. Amplifikasi fragmen DNA produk PCR dengan primer POH1 V. tricolor. 1.
marker, 2.Forma Merapi, 3. Forma Bali, 4 Forma Jawa Barat, 5. Jawa Timur.
Data ini mengindikasikan bahwa berbagai macam forma V. tricolor dengan
menggunakan cpDNA pada region trnL-F menunjukkan region yang conserve.
Berdasarkan penelitian Gardiner (2005), V. tricolor yang didapat dari lereng Merapi
ternyata berasal dari beberapa daerah di Indonesia dan beberapa negara lain.
Karakter Morfologi bunga V. tricolor forma Jawa Barat berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan keempat forma yang lain. Akan tetapi secara molekuler keempat
forma menunjukkan karakter yang berbeda dengan Primer POH1. Jawa Barat memiliki
kesamaan yang lebih dekat dengan Merapi tetapi jauh dengan Bali. Dengan demikian
menggunakan data morfologi saja tidak cukup untuk melakukan karakterisasi sehingga
perlu dilakukan karakterisasi secara molekuler. Hal ini disebabkan karena karakter
morfologi merupakan hasil pertumbuhan, dimana pertumbuhan akan dikontrol oleh
faktor internal dan eksternal (faktor ekologi seperti temperatur, cahaya, dan faktor lain
diluar sel). Karakter molekuler pada region yang unik dari genom tanaman akan
membantu utuk memahami karakter morfologi pada tanaman.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa Vanda tricolor
mempunyai morfologi daun, bunga dan buah yang sama dimana V. tricolor forma Jawa
Barat mempunyai ukuran yang paling kecil. Karakter molekuler dengan primer POH1
menunjukkan struktur fragmen DNA yang berbeda tetapi pada beberapa region
menunjukkan fragmen sama. Dengan menggunakan Primer trnL-F tidak menunjukkan
adanya polimorfisme antara V tricolor forma Merapi, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
DAFTAR PUSTAKA
Ammirato,P.V. 1983. Embryogenesis. In Hand Book of Plant Cell Culture. Volume 1.
Macmillan Publishing Co., New York and Collier Macmillan Publisher, London.
Pp 82-123.
Arditti, J. and Ernst, R. 1993. Micropropagation of orchids. John Wiley & Sons, Inc.
New York. 682p.
Banks, D.P. 1999. Tropical Orchids of Indonesia. Periplus Edition (HK) Ltd,
Singapore. 64p.

257

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Bhojwani,S.S. and Razdan, M.K. 1983. Plant Tissue Culture. Theory and Practice.
Elsevier, Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo. 502p.
Chase, M.W. and Hills, H.H. 1991. Silica Gel: An Ideal Material for Field Preservation
of Leaf Samples for DNA Studies. Taxon, Vol. 40 (2) : 215-22
Clegg, M.T., B.S.Gaut, G.H. Learn Jr., and B.R. Morton. 1994. Rates and Patterns of
Chloroplast DNA evolution. Proc.Natl. Acad.Sci. USA. 91 (15): 6795-6801.
Debergh, P.C. and P.E. Read. 1991.
Micropropagation In Micrppropagation,
Technology and Application. P.C. Debbergh and R.H.Zimmerman (eds). Kluwer
Academic Publishers, Dordrecht. Pp 1-13.
Demesure, B., B. Comps., and R.J. Petit. 1996. Chloroplast DNA phylogeography of
the common beech (Fagus sylvatica L.) in Europe. Evolution. 50: 2515-2520
Dodd, B. 1993. Plant Tissue Culture for Horticulture. Queensland University. 80p.
Dressler, R.L. 1990. The orchids, natural history and classification. First Harvard
University Press, paperback edition. 332p
Dutech, C., L. Maggia, and H.I. Joly. 2000. Chloroplast diversity in Vouacapoua
americana (Caesapiniaceae), a neotropical forest tree. Mol.Ecol. 9 :1427-1432.
El Mousadik, A. and R.J. Petit. 1996. Chloroplast DNA phylogeography of the argan
tree of Morocco. Mol.Ecol. 5: 547-555
Fineschi, S., D. Taurchini, F. Villani, and G.G.Vendramin. 2000. Chloroplast DNA
poplymorphism reveal little geographical structure in Castanea sativa Mill.
(Fagaceae) throughout southern European countries. Mol.Ecol. 9: 1495- 1503
Gardiner, L.M. 2005. Vanda tricolor Lindl, conservation in Java, Indonesia : Genetic
and geographic structure and history. A paper in 3rd International Orchid
Conservation Congress 2005.
Gielly, L. and P. Taberlet. 1994. The use of chloroplast DNA to resolve plant
phylogenies: non-coding vs. rcbL sequences. Mol.Biol.Evol. 11 : 769-777.
Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan. IPB, Bogor. 304hal.
Hu, C.Y. and Wang, P.J. 1983. Meristem, Shoot Tip and Bud Cultures. In Hand Book
of Plant Cell Culture. Volume 1. Macmillan Publishing Co., New York and
Collier Macmillan Publisher, London. Pp177-227.
Islam, MO., Ichihasi, S., Matsui, S. 1998. Control of growth and development of
protocorm like body derived from callus by carbon sources in Phalaenopsis.
Plant Biotechnol 15:183-187
Katuuk, J.R.P. 1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti, Jakarta. 115hal.
King, R.A. and C.Ferris. 1998. Chloroplast phylogeography of Alnus glutinosa L.
Gaertn. Mol.Ecol. 7 : 1151-1161
Lugrayasa, I N. , D.Mudiana, D.Meiningsasi, dan I.K. Pendra. 2004. Koleksi Anggrek
Alam Kebun Raya Eka Karya Bali. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya Eka Karya Bali-LIPI. 90hal.
Mc.Cauley, D.E. 1995. The use of chloroplast DNA polymorphism in studies of gene
flow in plants. Trends Ecol.Evol. 10: 198-202.
Mc.Clean, P. 1997. Structure of Organelle Genomes. (http://www. Google/ Maternal
inheritance and maternal effects, 02/02/2008)
Michaels, H.J., K.M. Scott, R.G. Olmstead, T.Szaro, R.K. Jansen, and J.D. Palmer1993.
Interfamilial relationship of the Asteraceae: insight from rcbL sequence
variation. Ann.Mo.Bot.Garden 80:742-751

SeminarHasilPenelitianUGM2009

258

Milligan, B.G. 2002. Total DNA Isolation. In: Molecular genetic analysis of
populations, A practical approach. Hoelzel, A.R.(ed). Oxford University Press,
Oxford. 445p.
Morel, G.. 1960. Producing virus-free Cymbidiums. Amer.J.Bot 29: 495-497
Newton, A.C., T.R. Alnutt, A.C.M. Gillies, and A.J. Lowe. 1999. Molecular
phylogeography, intraspecific variation and the conservation of tree species.
Trends Ecol.Evol. 14:140-145
Semiarti, E., Ueno, Y., Tsukaya, H., Iwakawa, H., Machida, C. and Machida, Y. 2001.
The ASYMMETRIC LEAVES2 gene of Arabidopsis thaliana regulates formation
of a symmetric lamina, establishment of venation and repression of meristemrelated homeobox genes in leaves. Development 128: 1771-1783
Semiarti, E., A.A. Budy, and F. Ahmad. 2002. Molecular characterization of several
orchid species with DNA profilling. The Proceeding of The National Orchid
Seminar no 2/2002, pp: 82-88, Collaboration with PAI Yogyakarta, Indonesia
Orchid Show 2002, Faculty of Biology UGM, and Department of Agriculture
the province of DIY, Yogyakarta.
Soltis, D.E., P.S. Soltis, M.T. Clegg, and M.Durbin. 1990. rcbL sequence divergence
and phylogenetic relationships in Saxifragaceae sensu lato. Proc.Natl.Acad.Sci.
USA 87:4640-4644
Sukendar. 2007. Morfologi perkembangan bunga Vanda tricolor Lidl. Lembaga
Biologi Nasional-LIPI (http://digilib.biologi.lipi.go.id, 24/12/2007)
Taberlet, P. , G..Ludovic, G.. Pautou, and J.Bouvet. 1991. Universal primers for
amplification of three non-coding region of chloroplast DNA. Plant Mol.Biol.
17: 1105-1109
Wikipedia. 2007. Vanda. (http://en.wikipedia.org, 28/12/2007)

259

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

260

UPAYA PEMANFAATAN DEDAK SEBAGAI HERBISIDA NABATI


UNTUK PENGENDALIAN GULMA PADI SAWAH
Tohari1, Dody Kastono1 and Djafar Shiddieq2
1
Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
2
Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
ABSTRAK
Suatu percobaan lapangan telah dilaksanakan di lahan milik petani di desa
Sumber Agung Kecamatan Jenis Kabupaten Bantul Yogyakarta untuk menguji efikasi
aplikasi bekatul/dedak sebagai herbisida nabati untuk tanaman padi sawah. Percobaan
lapangan berupa percobaan faktorial lengkap 3 x 3 ditambah 2 kontrol disusun dalam
rancangan acak kelompok lengkap dengan 3 blok sebagai ulangan. Faktor pertama
adalah waktu pemberian dedak, terdiri atas 3 aras yaitu seminggu sebelum pindah
tanam (W1), saat pindah tanam (W2), dan seminggu setelah pindah tanam (W3). Faktor
kedua adalah dosis dedak, juga terdiri atas 3 aras yaitu 300 kg/ha (D3), 600 kg/ha (D6),
dan 900 kg/ha (D9). Perlakuan kontrol pertama adalah perlakuan tanpa pemberian
dedak dengan pengendalian gulma (K1) dan perlakuan kontrol kedua adalah tanpa
pemberian dedak tanpa pengendalian gulma (K2). Hasil percobaan menunjukkan
bahwa dedak cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan gulma. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya penurunan bobot kering gulma pada perlakuan dedak pada saat
tanaman padi berumur 21 dan 42 hari setelah tanam. Terhambatnya pertumbuhan
gulma tersebut berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah.
Dalam percobaan ini, walaupun CN rasio dedak cukup tinggi (30), dosis dedak
tertinggi yang dicobakan (900 kg/ha) tidak menyebabkan hambatan terhadap
pertumbuhan tanaman padi. Namun demikian, waktu pemberiannya yang diperlambat
terbukti menyebabkan hambatan terhadap pertumbuhan padi. Perlakuan waktu
pemberian yang terbaik adalah seminggu sebelum pindah tanam. Kombinasi perlakuan
terbaik dalam penelitian ini adalah pemberian dedak seminggu sebelum pindah tanam
dengan dosis 900 kg/ha (W1D9).
PENDAHULUAN
Meski Indonesia telah berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984,
namun demikian tidaklah mudah untuk mempertahankannya. Ada sejumlah faktor yang
menyebabkan swasembada sulit dipertahankan, antara lain dikarenakan: (a) laju

261

SeminarHasilPenelitianUGM2009

pertumbuhan penduduk yang masih cukup tinggi (sekitar 2 % per tahun), disertai
konsumsi beras per kapita (berkisar 140 kg/tahun) yang terus meningkat yang
menyebabkan kebutuhan pangan (beras) secara nasional meningkat pesat dari tahun ke
tahun ; (b) konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian di pulau Jawa terus
berlangsung dengan laju 40.000-50.000 ha per tahun, sementara sekitar 60 % produksi
beras nasional berasal dari pulau Jawa; dan (c) upaya ekstensifikasi lahan pertanian
tampaknya semakin terbatas, sementara ekstensifikasi lahan hanya dimungkinkan ke
tanah-tanah marjinal bermasalah di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa.
Gulma dan tanaman padi menggunakan sumber daya yang sama untuk
pertumbuhannya. Karena ketersediaan sumber daya tersebut terbatas, maka terjadilah
kompetisi. Efek kompetisi gulma terhadap tanaman padi tergantung pada spesies gulma
yang dimaksud. Gulma semusim yang berkembang biak dengan biji, memerlukan waktu
hingga 6 minggu sebelum pengaruh kompetisinya nyata. Sedangkan gulma yang
berkembang biak secara vegetatif, seperti semanggi (Marsilea crenata) yang mampu
secara cepat menyebar dengan geragih, dapat berdampak buruk terhadap padi dalam
waktu sekitar 2 minggu (Pons et al., 1987).
Gulma utama yang berkaitan dengan tanaman padi adalah gulma rumputan
Dactyloctenium aegyptium, Echinochloa crusgalli, E. colona, Leptochloa chinensis, dan
gulma daun lebar Commelina benghalensis, Eclipta prostrata, Euphorbia hirta,
Portulaca oleracea, Trianthema portulacastrum, dan Lindernia sp. (Singh et al., 2008).
Kemampuan gulma untuk berkompetisi tergantung pada jenis dan kerapatan gulma yang
hidup. Echinochloa crusgalli dengan kerapatan 20 gulma per m2 pada saat padi berumur
40 hari kompetisinya paling besar. Di lain pihak, Monochoria vaginalis menyebabkan
penurunan hasil apabila populasinya mencapai 100 gulma per m2 (Mercado, 1979).
Bekatul padi sangat berpotensi digunakan sebagai herbisida alami. Bekatul
secara nyata mengendalikan jumlah dan bobot kering gulma, dan potensinya sebagai
pengendali gulma meningkat dengan peningkatan takaran pemberiannya. Efikasi
bekatul dalam mengendalikan gulma lebih baik untuk gulma berdaun lebar bila
dibandingkan dengan gulma rumputan. Pada kondisi lapangan, jumlah dan bobot kering
gulma menurun secara nyata dengan pemberian bekatul, bila dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (Khan et al., 2007a).
Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa penggunaan campuran 30 %
limbah teh hijau dengan 70 % bekatul mampu mengendalikan gulma pada pertanaman
bayam. Penggunaan bekatul sebagai pengendali gulma ini dapat mengurangi
penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang berbahaya (Khan et al., 2007b).
Sebagai produk dari organisme hidup, bekatul merupakan bahan organik. Bahan
organik yang ada dalam tanah dianggap sebagai atribut dari kualitas tanah. Bahan

SeminarHasilPenelitianUGM2009

262

organik tanah terlibat dalam banyak proses fisika, kimia, dan biologi tanah. Kapasitas
tanah untuk menyimpan bahan organik terkait dengan asosiasi bahan organik dengan
partikel-pertikel lempung dan lempung ditambah debu, mikro dan makro agregat tanah,
dan faksi bahan organik makro berukuran pasir. Mineralogi tanah dan distribusi ukuran
partikel mengatur kapasitas tanah untuk mempertahankan bahan organik dan
mengontrol agregasi (Carter, 2002).
Dengan demikian, pemberian bekatul dalam pertanaman padi selaras dengan
konsep pertanian organik. Pertanian organik mengakibatkan perbaikan lingkungan,
termasuk peningkatan retensi tanah terhadap air, mengurangi erosi tanah akibat
peningkatan kadar bahan organik tanah, memperbaiki sequestrasi karbon dan
agro-biodiversitas. Selain itu, pertanian organik memperbaiki dan mengawetkan topsoil
yang secara luas diketahui merupakan aset yang paling berharga bagi petani. Hasilnya
adalah tanah menjadi semakin sehat, lebih mampu mencukupi kebutuhan hidup tanaman,
kadar hara yang lebih tinggi, dan lebih stabil sehingga memungkinkan petani untuk
menanam tanaman dalam waktu yang lebih lama, dengan hasil yang lebih banyak.
Pemberian bekatul dapat menekan pertumbuhan gulma sehingga diperoleh pertumbuhan
dan hasil padi yang lebih baik.
Tujuan penelitian ini adalah menentukan takaran dedak/bekatul yang optimum
sebagai herbisida nabati untuk tanaman padi sawah dan menentukan waktu yang paling
tepat dalam aplikasinya.
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi, pupuk
pabrik, dedak/bekatul, kantong kertas, dan pestisida. Alat-alat yang digunakan adalah
alat-alat bercocok tanam, penggaris, SPAD Minolta 502, Leaf Area Meter, dan Oven.
Percobaan lapangan dengan rancangan faktorial 3 x 3 + 2 kontrol disusun dalam
Rancangan acak kelompok lengkap dengan 3 blok sebagai ulangan. Faktor pertama
takaran dedak/bekatul terdiri atas 3 aras: 300 kg.ha-1 (D1), 600 kg.ha-1 (D2) dan 900
kg.ha-1 (D3). Faktor kedua waktu pemberian bekatul terdiri atas 3 aras: seminggu
sebelum tanam (W1), sesaat setelah tanam (W2) dan seminggu setelah tanam (W3).
Sebagai kontrol adalah perlakuan tanpa pemberian bekatul dengan pengendalian gulma
(K1) dan perlakuan tanpa bekatul tanpa pengendalian gulma (K2). Petak perlakuan
dibuat dengan ukuran 2,5 m x 6 m, sekaligus dibuat pematang untuk mengatur
ketinggian genangan. Dibuat tiga blok, satu blok terdiri atas 10 petak. Antar blok dan
antar petak percobaan dibatasi oleh parit sebagai saluran air. Parameter pengamatan
mencakup biomassa gulma pada saat tanaman padi berumur 21 dan 42 hari, kehijauan
daun tanaman umur 65 hari, jumlah gabah per malai, dan hasil dari petak ubinan.

263

SeminarHasilPenelitianUGM2009

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pengaruh Aplikasi Dedak Terhadap Pertumbuhan Gulma
Pengamatan gulma dilakukan dua kali, yaitu pada saat tanaman umur 21 hari dan
yang kedua pada saat tanaman berumur 65 hari. Hasil pengamatan bobot kering gulma
pada tiap pengamatan disajikan pada tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Bobot kering gulma (gram per kuadrat sampel) tanaman padi umur 21 hari
D3

D6

D9

Rerata W

K1

6.61

abc

K2
W1
W2
W3

8.617
-

6.407
6.517
6.843

abc
abc
ab

5.75
2.697
5.583

abc
c
abc

2.643
3.323
5.047

c
bc
abc

4.933
4.179
5.824

Rerata D

6.589

4.677

xy

3.671

(-)

p
p
p

Keterangan : dalam baris atau kolom, rerata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
(DMRT = 5%). (-): Tidak ada interaksi.
Tabel 2. Bobot kering gulma (gram per kuadrat sampel) tanaman padi umur 42 hari
Rerata
D3

D6

D9

4.55

bc

K2
W1
W2
W3

10.803
-

7.88
7.433
10.57

Rerata D

K1

8.628

ab
ab
a
x

6.397
3.45
9.75
6.532

abc
bc
a
xy

1.8
6.28
7.857
5.312

c
abc
ab
y

5.359
5.721
9.392

q
q
p

(-)

Keterangan : dalam baris atau kolom, rerata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
(DMRT = 5%). (-): Tidak ada interaksi.
Berdasarkan kedua tabel tersebut di atas, diketahui bahwa terdapat pengaruh
pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma. Baik itu pada umur tanaman 21 hari
maupun 42 hari, bobot kering gulma pada perlakuan kontrol tanpa pengendalian gulma
selalu lebih berat. Dalam hal ini, perlakuan dedak mengakibatkan bobot kering gulma
lebih ringan dibandingkan dengan kontrol tanpa pemberian dedak.
Pengaruh waktu pemberian dedak terhadap bobot kering gulma mulai terlihat
pada pengamatan pertama, kemudian nyata pada pengamatan kedua. Pemberian dedak

SeminarHasilPenelitianUGM2009

264

seminggu sebelum pindah tanam (W1) dan saat pindah tanam (W2) lebih baik
dibandingkan dengan pemberiannya seminggu setelah pindah tanam (W3). Di lain pihak,
penghambatan pertumbuhan gulma berdasarkan parameter bobot kering gulma (tabel 5
dan 6) yang paling nyata adalah dedak dengan dosis 900 kg/ha (D9).
Pertumbuhan Tanaman Padi
Pertumbuhan tanaman padi dalam percobaan ini tidak terpengaruh oleh
pemberian dedak. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ada beda nyata pada hampir semua
parameter-paremater pertumbuhan seperti tinggi tanaman, luas daun dan bobot kering
tanaman. Beda nyata akibat perlakuan justru terlihat pada parameter kehijauan daun
pada saat tanaman berumur 65 hari, seperti ditunjukkan pada tabel 3.
Parameter kehijauan daun ini merupakan uji cepat terhadap kadar klorofil daun
tanaman. Semakin besar nilainya, maka kadar klorofil daun tanaman yang bersangkutan
semakin tinggi. Tanaman yang kahat nitrogen akan berwarna kekuningan karena kadar
klorofil daunnya lebih rendah dibandingkan tanaman yang cukup nitrogen yang warna
daunnya lebih hijau. Oleh karenanya, parameter ini juga menunjukkan tingkat
kecukupan tanaman terhadap unsur nitrogen.
Tabel 3. Kehijauan daun dengan SPAD tanaman umur 65 hari
bc
bc

D3

D6

D9

Rerata W

K1
K2

31.4
29.8

W1
W2
W3

32.5
30.7
31.2

b
bc
bc

30.9
30.3
29.5

bc
bc
c

36.0
31.2
31.8

a
bc
bc

33.2
30.7
30.8

Rerata D

31.5

30.3

33.0

(-)

p
q
q

Keterangan : dalam baris atau kolom, rerata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
(DMRT = 5%). (-): Tidak ada interaksi.
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa perlakuan yang menyebabkan kadar
klorofil daun tanaman tertinggi adalah pemberian dedak seminggu sebelum pindah
tanam dengan dosis 900 kg/ha (W1D3). Pemberian dedak pada saat pindah tanam (W2)
dan seminggu setelah pindah tanam (W3) nyata menurunkan kadar klorofil daun
tanaman umur 65 hari. Peningkatan dosis dedak nyata meningkatkan kadar klorofil
daun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemberian dedak sampai dengan dosis 900
kg/ha tidak merugikan pertumbuhan tanaman padi. Namun demikian, waktu
pemberiannya harus diperhatikan mengigat CN rasio dedak yang cukup tinggi (tabel 2).

265

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Pengaruh negatif pemberian dedak saat tanam (W2) dan seminggu setelah tanam (W3)
dengan parameter kehijauan daun ini menunjukkan bahwa terjadi immobilisasi nitrogen
tersedia akibat penambahan bahan organik dengan CN rasio yang cukup tinggi.
Akibatnya, tanaman mengalami defisiensi nitrogen.
Komponen Hasil dan Hasil Tanaman Padi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengaruh perlakuan tidak begitu terlihat
pada parameter-paramter pertumbuhan, namun demikian hal yang berbeda dijumpai
pada parameter-parameter komponen hasil dan hasil tanaman. Parameter yang dimaksud
terutama adalah jumlah gabah tiap malai, seperti disajikan pada tabel 4.
Seperti halnya parameter kehijauan daun, perlakuan yang menyebabkan jumlah
gabah tiap malai yang paling banyak adalah perlakuan pemberian dedak seminggu
sebelum pindah tanam dan dosis 900 kg/ha (W1D9). Perlakuan ini menyebabkan
jumlah gabah tiap malai nyata lebih banyak dibandingkan perlakuan kontrol tanpa
dedak. Namun demikian, perlakuan waktu dan dosis pemberian dedak tidak nyata.
Tabel 4. Jumlah gabah tiap malai
c
bc

D3

D6

D9

Rerata W

80.28
79.65

ab
ab

78.94
82.18

ab
a

85.8
76.88

a
abc

81.677
79.573

p
p
p

K1
K2
W1
W2

68.68
72.78
-

W3

79.74

ab

77.58

ab

78.21

abc

78.516

Rerata D

79.89

79.57

80.3

(-)

Keterangan : dalam baris atau kolom, rerata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
(DMRT = 5%). (-): Tidak ada interaksi.
Pengaruh perlakuan dalam percobaan ini sangat jelas terlihat dengan parameter
hasil tanaman padi. Parameter ini juga merupakan satu-satunya parameter yang
menunjukkan adanya interaksi antara waktu dan dosis pemberian dedak. Karena
terdapat interaksi yang nyata, maka harus dilihat pengaruh dosis pemberian dedak pada
tiap-tiap aras waktu pemberiannya, seperti terlihat pada gambar berikut.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

266

Gambar 1. Grafik interaksi antara dosis dedak dengan waktu pemberiannya terhadap
hasil padi
Gambar 1 menunjukkan bahwa pengaruh dosis dedak terhadap hasil padi hanya
terjadi pada pemberian dedak seminggu sebelum pindah tanam dan saat pindah tanam.
Adapun pengaruh dosis dedak tidak ada jika diberikan seminggu setelah pindah tanam.
Juga berdasarkan gambar tersebut, perlakuan terbaiknya adalah pemberian dedak
seminggu sebelum pindah tanam dengan dosis 900 kg/ha (W1D9).
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari percobaan ini adalah :
1. Pemberian dedak pada pertanaman padi dapat menghambat pertumbuhan gulma,
yang ditunjukkan dengan adanya penurunan bobot kering gulma pada saat tanaman
berumur 21 dan 42 hari pada perlakuan pemberian dedak dibandingkan dengan
perlakuan kontrol tanpa dedak. Dalam hal ini, dedak berfungsi sebagai herbisida
nabati.
2. Perlakuan yang menyebabkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi terbaik adalah
pemberian dedak seminggu sebelum pindah tanam dengan dosis 900 kg/ha (W1D9).
DAFTAR PUSTAKA
Carter, M. 2002. Soil quality for sustainable land management: organic matter and
aggregation interaction s that maintain soil functions. Agron. J. 94: 38 47.
Khan, M. A. I. , K. Ueno., S. Horimoto., F. Komai., K. Tanaka., Y. Ono. 2007a.
Evaluation of the use of rice bran compost for eco-friendly weed control in

267

SeminarHasilPenelitianUGM2009

organic farming systems. American Journal of Environment. 3 (4): 234- 239.


Khan, M. A. I. , K. Ueno., S. Horimoto., F. Komai., K. Tanaka., Y. Ono. 2007b.
Evaluation of the upland weed control potentiality of green tea waste
-Rice bran compost and its effect on spinach growth. American Journal of
Agricultural and Biological Science. 2(3): 142 148.
Mercado, B. L. 1979. Introduction to Weed Science. SEARCA for Graduate Study and
Research in Agricultural College. Laguna. Phillipines.
Pons, T.L., J. H. H. Eussen., and I. H. Utomo. Ecology of Weeds of Rice. In Weeds of
Rice in Indonesia. M. Soerjani, Kostermans, A. J. G. H., Tjitrosoepomo, G (eds).
Balai Pustaka. Jakarta.
Singh, S., J. K. Ladha., R. K. Gupta., L. Bhushan, and A. N. Rao. 2008. Weed
Management in aerobic rice system under variying establishment methods. Crop
Protection. 27: 660-671.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

268

BREEDING OF HIGH-YIELDING TOMATO FOR HIGH AND LOW


ALTITUDE AREAS
Erlina Ambarwati, Rudi Hari Murti, Sri Trisnowati
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Selection on M6 (Gamma Co-60 radiation mutant) and F7 (GM1 X GH and
GM3 X GP) lines of tomato held in the first planting season. Seeds of selected plants of
both M6 and F7 were sown in the second planting season as M7 and F8 lines,
respectively. M6 and M7 lines were planted at the low altitude area in Kebun
Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM Kalitirto, Berbah,
Sleman,; whereas F7 and F8 lines at high altitude area in Dinas Pertanian BP2APH,
Balai Pengembangan dan Promosi Agribisnis Perbenihan Hortikultura, Ngipiksari,
Hargobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta. The main goal of those works is to highyielding pure lines of tomatoes. Selection based on fruit size, number of fruit, weight of
fruit, and other related traits. Analysis of variance showed that the yield performace of
M7 lines mutans higher than on M6 lines mutans, but among M7 and M6 had the same
variability. Plant heigh, fruitset, diameter of fruit, weight of fruit and shape of fruit had
high heritability.Similarly, F8 population family showed better yield than F7 population
family, and the varibility among lines on F8 was lower than the variability among lines
on F7.
Keywords: tomato plants, selection, pure line, high altitude, low altitude.
PENDAHULUAN
Dalam rangka peningkatan produktivitas tomat terkendala oleh jumlah pilihan
varietas tomat yang terbatas, terutama varietas galur murni. Jumlah varietas galur murni
baru yang dihasilkan di Indonesia sangat sedikit. Hal ini disebabkan proses perakitannya
lama dan kendala dilapangan cukup banyak terutama gangguan hama dan penyakit . Di
samping itu varietas galur murni yang sudah dilepas sulit dikendalikan pengawasan
kuantitas produksi benihnya dan setiap petani dapat menghasilkan benih sendiri dari
tanaman yang ditanam. Hal ini menyebabkan produsen benih beralih ke produksi benih
hibrida sehingga petani harus selalu membeli jika akan menanam tanaman tomat. Biji
keturunan hibrida tidak dapat digunakan lagi karena potensi hasilnya tidak sebaik
tanaman hibrida/tetuanya dan sifat buahnya beragam baik bentuk, warna maupun
ukurannya. Keadaan demikian tidak disukai konsumen.
Dalam rangka mendukung peningkatan produksi tomat dan membantu petani
dalam budidaya tanaman tomat maka perlu dihasilkan varietas tomat galur murni baru.
Varietas galur murni ini dapat digunakan petani tanpa harus selalu membeli benih baru
karena genotipenya homosigot.
Tanaman tomat dapat dibudidayakan di dataran rendah dan dataran tinggi namun
kebanyakan masing-masing varietas menunjukkan potensi hasil sesungguhnya pada
salah satu lokasi (rendah atau tinggi) saja. Hal ini disebabkan perbedaan kondisi
lingkungan yang sangat mencolok terutama suhu. Pada dataran rendah, gangguan
utamanya adalah layu bakteri sehingga pada penelitian ini digunakan bahan/tetua yang
telah tahan terhadap layu bakteri yaitu Mutiara dan Berlian. Varietas yang cocok
ditanam di dataran rendah, antara lain Intan, Ratna, AV-15, dan Mutiara (Rukmana,

269

SeminarHasilPenelitianUGM2009

1994). Varietas tersebut adalah varietas unggul yang telah lama dilepas dan sekarang
tidak digunakan petani. Upaya yang telah dilakukan untuk menghasilkan varietas baru
yaitu melalui pemuliaan mutasi dengan sinar Gamma (Co60). Penelitian telah dilakukan
dalam tiga generasi oleh Lestari (2002), Sulastri (2004) dan Wirasti (2005) yang telah
menghasilkan galur-galur terpilih dan siap dilanjutkan untuk diseleksi kembali. Varietas
yang ingin dihasilkan dari penelitian ini berupa verietas galur murni yang tahan bakteri
dan produksi lebih tinggi dari tetuanya.
Perlu diingat bahwa sentra produksi tomat berada di dataran tinggi. Varietasvarietas unggul tomat yang telah berhasil diciptakan oleh balai-balai penelitian yang
umumnya cocok dibudidayakan di dataran tinggi, antara lain Money Maker, Super
Market, Geralathon Smooth Skin, Extase, Monresist, dan Gondol. Varietas Gondol
Putih dan Gondol Hijau juga merupakan varietas unggul nasional yang sekarang jarang
digunakan. Kedua verietas mempunyai keunggulan bentuk buah yang cukup baik
(lonjong) namun buahnya kecil. Jika kedua verietas disilangkan dengan GM1 dan GM3
yang mempunyai ukuran buah besar (Murti dan Trisnowati, 2001) maka diharapkan
akan diperoleh varietas baru yang mempunyai ukuran buah besar, bentuk buah lonjong
dan berproduksi tinggi.
Penelitian ini merupakan upaya program pemuliaan tanaman tomat untuk
menghasilkan varietas baru (galur murni homosigot). Kegiatan diarahkan untuk
menghasilkan varietas galur murni baru berproduksi tinggi, yaitu varietas galur murni
untuk dataran rendah dilakukan dengan irradiasi biji tomat Ratna dan Intan yang diikuti
seleksi pada setiap generasi dan varietas galur murni untuk dataran tinggi dengan
melakukan persilangan antara tetua Gondol Hijau dan Gondol Putih (bentuk buah
lonjong) dengan GM1 dan GM3 (ukuran buah besar). Kedua tetua mempunyai
keunggulan sehingga diharapkan akan diperoleh varietas galur murni baru dengan
bentuk buah lonjong dengan produksi tinggi dan ukuran buah lebih besar. Untuk
membentuk varietas galur murni, seleksi harus terus dilakukan pada setiap generasi
sampai diperoleh genotype baik, produksi tinggi, yang stabil yaitu sampai generasi ke-9
atau ke-10.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan pada penelitian di dataran rendah pada tahap penanaman
pertama adalah galur-galur M6 tomat hasil seleksi pada generasi M5 sebanyak 23 galur
terpilih (nomer terpilih) dan ditambah pembanding varietas unggul tomat Intan. Benih
varietas tomat ini sebelumnya telah diradiasi sinar gamma Co-60 di Pusat Aplikasi
Isotop dan Radiasi Batan Pasar Jumat Jakarta, sedangkan bahan untuk penelitian di
dataran tinggi adalah benih tomat F7 hasil persilangan GM1 X GH, sebanyak 16 nomor
terseleksi dan benih tomat F7 hasil persilangan GM3 X GP sebanyak 3 nomor terseleksi.
Hasil penanaman pada tahap pertama, digunakan sebagai bahan tanam di
penanaman tahap ke dua. Adapun galur-galur M7 tomat hasil seleksi pada generasi M6
sebanyak 23 galur atau nomor, sedangkan bahan untuk penelitian di dataran tinggi pada
penanaman tahap ke dua ini adalah benih tomat F8 hasil persilangan GM1 X GH
sebanyak 13 nomor terseleksi dan benih tomat F8 hasil persilangan GM3 X GP
sebanyak 3 nomor terseleksi.
Rancangan percobaan yang diganakan baik pada penanaman tahap pertama
maupun tahap kedua baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi adalah Rancangan
Acak Kelompok Lengkap dengan tiga blok sebagai ulangan. Penanaman dan
pemeliharaan tanaman tomat dilakukan seperti halnya petani pada umumnya

SeminarHasilPenelitianUGM2009

270

membudidayakan tanaman tomat. Variabel yang diamati meliputi, tinggi tanaman, umur
berbunga, umur panen, jumlah bunga per tandan, jumlah buah per tandan, fruitset,
jumlah tandan buah per tanaman, diameter dan panjang buah, tebal daging buah, jumlah
rongga buah, kekerasan buah, bobot buah per butir, bobot buah per tanaman, khusus
untuk populasi F8 ditambah dengan pengamatan bobot buah per petak.
Semua data dianalisis varian dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
dengan =5% untuk membandingkan tetua dengan galur-galur yang diuji atau antar
galur yang diuji. Adapun model matematika yang digunakan dalam analisis varian
adalah sebagai berikut:
Yijk = + i + j + ij + ijk
Yijk = hasil pengamatan pada sampel ke-k pada blok ke-j dari nomer (galur)
ke-i
= rerata umum
i = pengaruh nomor (galur) ke-i
j = pengaruh blok ke-j
ij = pengaruh blok ke-j pada nomer (galur) ke-i
ijk = pengaruh sampel ke-k pada blok ke-j dari nomor (galur) ke-i
i = 1, 2, 3, ., t
dengan t = banyaknya nomor (galur)
j = 1, 2, 3, .. ni
ni = banyaknya ulangan (blok)
k = 1, 2, 3, ., mij
mij = banyaknya individu dalam nomor
ke-i pada ulangan (blok) ke-k
Untuk mengetahui adanya kesamaan atau tidak adanya kesamaan varian antar
generasi (M6 dengan M7 dan F7 dengan F8) pada masing-masing sifat yang diamati
dilakukan uji homogenitas varian menurut uji F sebagai berikut (Gomez dan Gomez,
1984):
2 maksimum
Fhitung = 2
min imum
Nilai F hitung tersebut dibandingkan dengan nilai F tabel (pada tingkat
kepercayaan 95%), apabila nilai F hitung > nilai F tabel maka antar generasi tanaman
tomat memiliki keragaman yang berbeda, dan sebaliknya.
Setelah melakukan analisis varian, dilakukan analisis kovarian genetik antara
sifat X dengan sifat Y dengan tabel Ancova untuk menganalisis nilai koefisien korelasi
antar variabel pengamatan menurut metode Singh dan Chaudhary (1979). Nilai kovarian
yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menghitung koefisien korelasi genetik
antar variabel pengamatan. Untuk mengetahui nyata tidaknya nilai koefien korelasi
yang diperoleh maka dilanjutkan dengan uji t menurut Singh dan Chaudhary (1979).
Setelah mendapatkan nilai koefisien korelasi dari anova dan ancova digunakan
untuk melakukan analisis lintas untuk mengetahui komponen hasil yang berpengaruh
langsung dan tidak langsung terhadap hasil menurut metode Singh dan Chaudhary
(1979).
Heritabilitas dapat diestimasi dari kuadrat tengah analisis varian ataupun dari
regresi tetua-keturunan untuk melihat heritabilitas dalam arti sempit menurut metode
Smith dan Kinman (1965) cit. Hallauer dan Miranda (1981). Kriteria nilai heritabilitas
adalah H < 20% adalah rendah, 20% < H < 50% adalah sedang, dan H > 50% adalah
tinggi.

271

SeminarHasilPenelitianUGM2009

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penanaman Tomat Dataran Rendah (Generasi M6 dan M7)
Hasil penanaman tomat di generasi M6 menunjukkan bahwa pada variabel tinggi
tanaman, umur panen, jumlah buah per tanaman, bobot total buah per tanaman, panjang
buah, diameter buah, jumlah lokus buah dan kekerasan buah terdapat perbedaan
pengaruh yang nyata antar galur yang diuji. Keragaman antar galur masih nampak di
semua sifat yang diamati pada populasi tanaman M6.
Bagian buah tomat yang mudah dikenali oleh konsumen adalah sifat fisik buah
dan penampilan buah. Faktor yang mempengaruhi penampilan buah antara lain warna,
ukuran, bentuk dan kekerasan fisik. Gambar 1 memperlihatkan bentuk-bentuk buah
tomat dan warna buah tomat masak, dan Gambar 2 menunjukkan warna buah muda.
Bentuk buah tomat dapat ditentukan dari perbandingan panjang dan diameter buah.
Bentuk apel memiliki perbandingan panjang dengan diameter buah kurang dari satu (p:d
< 1), bentuk bulat memiliki perbandingan panjang dengan diameter buah antara 1
sampai 1,2 (1<p:d<1,2) dan bentuk gepeng dengan perbandingan panjang dengan
diameternya 1,2 sampai 1,7 (1,2<p:d<1,7).

(1)
(2)
Gambar 1. Bentuk-bentuk buah tomat dan warna buah masak
Gambar 2. Warna buah tomat muda
Pada generasi M6 ini diperoleh 17 nomor atau galur terpilih yang ditinjau dari
berbagai karakter antara lain tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen pertama, fruit
set, jumlah buah per tanaman (sampai panen ke-6), bobot buah per butir, bobot total
buah per tanaman (sampai panen ke-6), ukuran buah (panjang dan diameter buah), tebal
daging buah, jumlah rongga buah dan kekerasan buah. Nomor-nomor terpilih tersebut
memiliki keunggulan dibandingkan tanaman kontrol dan individu-individu lainnya.
Nomor-nomor terpilih tersebut adalah P2 1/13/25/21/13, P2 1/13/25/28/16, P2
1/14/31/33/23, P2 1/14/31/33/25, P2 1/3/25/26/23, P2 14/31/33/28, P2 2/13/31/33/23,
P2 2/13/31/33/26, P2 2/13/31/33/3, P2 2/19/9/16/11, P3 2/19,19,33,29, P3 2/19/9/16/21,
P3 2/19/9/16/29, P3 3/15/23/22/13, P4 3/15/15/1/23, P4 3/9/12/26/15 dan P4
3/9/12/30/13.
Antar galur yang diuji pada generasi M7 menunjukkan perbedaan pengaruh yang
nyata pada semua sifat yang diamati, kecuali pada sifat panjang buah. Namun demikian,
individu-individu dalam suatu galur menunjukkan pengaruh yang sama terhadap
kenampakan semua sifat yang diamati, kecuali sifat bobot buah per tanaman. Ini

SeminarHasilPenelitianUGM2009

272

menunjukkan setiap individu tanaman tomat dalam suatu galur menampilkan ekspresi
sifat yang seragam, kecuali pada sifat bobot buah per tanaman yang menunjukkan
keragaman antar individu tanaman dalam suatu galur. Masih terdapat keragaman sifat
yang diamati di generasi M7.
Pada pemuliaan tanaman yang mengalami segregasi, nilai heritabilitas
ditentukan dalam bentuk heritabilitas dalam arti sempit sehingga dapat diketahui fenotip
yang muncul karena pengaruh gen yang bersifat aditif atau bukan. Nilai heritabilitas
dalam arti sempit pada penelitian ini dan sebelumnya ditentukan melalui metode regresi
tetua keturunan, yaitu pada variabel tinggi tanaman, umur berbunga, fruitset, bobot buah
per butir, bobot buah per tanaman, diameter buah, panjang buah, bentuk buah dan tebal
daging buah. Akan tetapi, ada beberapa variabel yang tidak diamati pada keturunan M6
sehingga nilai duga heritabilitasnya diduga dengan heritabilitas dalam arti luas, yaitu
pada variabel jumlah bunga per tandan, jumlah buah per tandan dan jumlah tandan buah
per tanaman (Tabel 1).
Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tergolong tinggi terdapat pada variabel
tinggi tanaman, fruitset, bobot buah per tanaman, dimater buah dan bentuk buah (Tabel
1). Hal ini berarti galur-galur yang diuji dalam menampilkan ekspresi sifat tinggi
tanaman, fruitset, bobot buah per tanaman, diameter buah dan bentuk buah dikendalikan
lebih banyak oleh gen aditif daripada faktor lingkungan. Dengan demikian,
memungkinkan dilakukan seleksi pada generasi awal dan seleksi akan berlangsung
efektif karena pengaruh lingkungan cukup kecil dan gen aditif yang mengendalikan sifat
tersebut akan diturunkan dari tetua ke keturunannya dalam menampilkan sifat tersebut
sehingga perbaikan terhadap sifat-sifat tersebut sangat besar. Jadi nilai heritabilitas juga
menunjukkan keefektifan seleksi genotip yang didasarkan pada penampilan fenotip.
Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tergolong sedang (20<H<50%)
terdapat pada variabel umur berbunga (26,210%), bobot buah per butir (25,477%) dan
panjang buah (28,239%) (Tabel 1). Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tergolong
sedang menunjukkan bahwa pengaruh faktor genetik aditif dan lingkungan pada
variabel umur berbunga, bobot buah per butir dan panjang buah seimbang.
Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tergolong rendah (H<20%) terdapat
pada sifat tebal daging buah (12,243%) (Tabel 1). Hal ini berarti bahwa penampilan
fenotipe tebal daging buah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada
pengaruh gen aditif. Nilai duga heritabilitas dalam arti luas, diduga dari analisis varian,
yang tergolong rendah (H<20%) terdapat pada sifat jumlah bunga per tandan (5,483%),
jumlah buah per tandan (5,473%) dan jumlah tandan buah per tanaman (12,636%)
(Tabel 1). Fenomena ini berarti bahwa keragaman fenotipe yang muncul pada variabelvariabel tersebut lebih dipengaruhi oleh lingkungan daripada pengaruh faktor genetik.
Menurut Murti dkk., (2000) pada karakter yang nilai duga heritabilitasnya rendah,
seleksi akan berjalan kurang efektif karena penampilan fenotip tanaman lebih
dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Hasil analisis korelasi, analisis lintas dan nilai heritabilitas, menunjukkan bahwa
variabel komponen hasil yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi adalah tinggi
tanaman, fruitset, diameter buah, bobot buah per butir dan panjang buah, selain bobot
totlal buah per tanaman.
Galur-galur harapan yang akan dievaluasi di generasi selanjutnya (M8) adalah
P2 1/13/25/28/16/13, P2 1/14/31/33/25/8, P2 1/14/31/35/23/7, P2 1/3/25/26/24/11, P2
2/13/31/31/33/23/13, P2 2/13/31/33/3/2, P3 2/19/9/16/13/11, P3 2/19/9/19/12/12, P3

273

SeminarHasilPenelitianUGM2009

2/19/9/19/12/13, P3 3/19/19/3/11/4, P4
3/9/12/30/12/10 dan P4 3/9/12/34/12/14.

3/15/1/23/6,

P4

3/9/12/26/15/7,

P4

Tabel 1. Nilai heritabilitas komponen hasil dan hasil galur-galur tomat M7


Variabel
H (%)
Kriteria
Keterangan
Tinggi tanaman
68,761
Tinggi
Regresi tetua-keturunan
Umur berbunga
26,210
Sedang
Regresi tetua-keturunan
Diduga melalui analisis
Jumlah bunga per tandan
5,483
Rendah
varian
Diduga melalui analisis
Jumlah buah per tandan
5,473
Rendah
varian
59,520
Tinggi
Regresi tetua-keturunan
Fruitset
Diduga melalui analisis
Jumlah tandan buah per tanaman
12,636
Rendah
varian
Bobot buah per butir
25,477
Sedang
Regresi tetua-keturunan
Bobot buah per tanaman
70,34
Tinggi
Regresi tetua-keturunan
Diameter buah
64,232
Tinggi
Regresi tetua-keturunan
Panjang buah
28,239
Sedang
Regresi tetua-keturunan
Bentuk buah
95,013
Tinggi
Regresi tetua-keturunan
Tebal daging buah
12,243
Rendah
Regresi tetua-keturunan
Penanaman Tomat Dataran Tinggi (Generasi F7 dan F8)
Pada penanaman tomat generasi F7 terdapat perbedaan pengaruh yang nyata
pada sifat umur berbunga, fruit set, jumlah buah per tanaman, jumlah rongga buah
(jumlah lokus) dan bentuk buah. Perbedaan pengaruh yang nyata untuk sumber ragam
antar galur menunjukkan bahwa antar galur F7 yang diuji terdapat perbedaan
keragaman yang cukup besar sehingga secara fenotipe lebih mudah membedakan antar
galur. Perbedaan yang jelas antar galur memudahkan pemulia dalam melakukan seleksi
terhadap galur-galur tanaman yang sedang dievaluasi.
Variabel yang diamati banyak yang cenderung memiliki nilai varian antar galur
yang lebih besar daripada varian dalam galur, kecuali pada variabel umur panen dan
kekerasan buah nilai varian dalam galur lebih besar daripada nilai varian antar galur
(Tabel 2). Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada variabel umur panen dan
kekerasan buah terdapat keragaman antar individu di dalam galur yang sama sehingga
memungkinkan untuk dilakukan pemilihan individu-individu yang memiliki umur
panen dan kekerasan buah yang dikehendaki.
Nilai positip pada varian antar galur menunjukkan besarnya nilai kuadrat tengah
varian antar galur dibandingkan nilai kuadrat tengah dalam galur terhadap nilai kuadrat
tengah sesatannya (error). Tabel 2 memperlihatkan ada beberapa variabel pengamatan
yang bernilai nol yaitu pada nilai varian antar galur pada variabel umur panen dan
kekerasan buah; dan nilai varian dalam galur pada variabel jumlah rongga buah.
Menurut Ambarwati et al. (1997) nilai varian genetik negatif, dianggap sama
dengan nol, dikarenakan penghitungan nilai varian-varian tersebut merupakan hasil
pendugaan atau estimasi dari kuadrat tengah harapan dengan metode maximum
likelihood. Apabila nilai kuadrat tengah sesatan lebih besar daripada kuadrat tengah
antar galur maupun dalam galur maka menyebabkan nilai varian antar galur atau nilai
varian dalam galur yang diperoleh akan negatif. Selain itu juga kemungkinan
disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel dan pada populasi F7 asumsi alel-alel adalah

SeminarHasilPenelitianUGM2009

274

sama (p=q-0,5) tidak terpenuhi, karena bahan yang dievaluasi merupakan hasil seleksi
sehingga nilai duga komponen varian genetik yang diperoleh menjadi bias dan beberapa
memberikan nilai negatif. Kurangnya sampel dalam penelitian ini disebabkan oleh
adanya lingkungan tumbuh yang kurang mendukung bagi tanaman tomat, yaitu adanya
hujan, serta terjadinya infeksi penyakit layu Fusarium sehingga menyebabkan banyak
tanaman tomat yang mati, sampai mencapai 50% baik dilihat dari jumlah tanaman yang
hidup dalam satu galur maupun dari galur yang dievaluasi yang mampu bertahan hidup.
Tabel 2. Nilai varian antar galur dan dalam galur generasi F7
Variabel
Varian antar galur
Varian dalam galur
Umur berbunga
0,00680
0,005603
1,61962
0,732937
Fruitset
Umur panen
0
0,048159
Bobot buah per butir
12,8847
0,938305
Jumlah buah per tanaman
0,03218
0,016723
Bobot buah per tanaman
295,048
115,2073
Panjang buah
0,00272
0,000493
Diameter buah
0,00857
0,000407
Bentuk buah
0,00025
0,000042
Kekerasan buah
0
0,608009
Jumlah rongga buah
0,02118
0
Dari hasil evaluasi di generasi F7 mendasarkan pada sifat hasil dan sifat buah
yang diamati maka dapat dipilih galur-galur yang akan dievaluasi di generasi berikutnya
(F8), yaitu A 65/6/1/4/2/4, A 65/6/2/2/2/2, A 65/6/8/1/1/3, A 65/6/8/1/1/5, A
131/5/5/4/1/3, A 134/4/12/4/1/2, A 134/4/14/3/1/5, A 146/3/10/2/1/4, A 146/3/10/2/2/5,
A 146/3/10/4/2/1, A 175/1/11/1/1/1, A 175/1/2/5/1/3, A 175/1/7/3/2/5, B 52/3/12/1/1/2,
B 78/1/9/3/1/3 dan B 78/1/9/5/1/4.
Pada populasi F8 terdapat perbedaan pengaruh yang nyata pada semua sifat yang
diamati, kecuali bobot buah per butir, bobot buah total per tanaman (tandan 1-4) dan
panjang buah. Perbedaan pengaruh yang nyata untuk sumber ragam antar galur
menunjukkan bahwa antar galur F8 yang diuji terdapat perbedaan keragaman yang
cukup besar sehingga secara fenotipe lebih mudah membedakan antar galur. Perbedaan
yang jelas antar galur memudahkan pemulia dalam melakukan seleksi terhadap galurgalur tanaman yang sedang dievaluasi.
Variabel yang diamati pada populasi F8 banyak yang cenderung mempunyai
nilai varian antar galur yang lebih besar dibandingkan varian dalam galur (Tabel 3).
Pada variabel jumlah buah per tandan, bobot buah per butir, bobot total buah per
tanaman dan panjang buah nilai varian antar galur lebih kecil dibandingkan nilai varian
dalam galur. Hal ini berarti bahwa, individu-individu tanaman dalam galur memiliki
keberagaman yang lebih besar dibandingkan keberagaman antar galur, sehingga masih
dimungkinkan untuk memilih individu-individu tanaman yang dikehendaki, seperti
tanaman yang memiliki jumlah buah, bobot buah dan panjang buah yang besar.
Secara teoritis, varian antar galur populasi F8 lebih kecil daripada varian antar
galur populasi F7 karena dengan semakin lanjutnya generasi maka akan semakin tinggi
tingkat homosigositas variannya. Namun demikian, dari hasil penelitian ini didapatkan
hasil uji homogenitas varian menunjukkan bahwa pada variabel umur berbunga, bobot
buah per butir, diameter buah dan jumlah rongga buah terjadi peningkatan keragaman

275

SeminarHasilPenelitianUGM2009

yang signifikan di generasi F8 (Tabel 4). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
keadaan lingkungan yang mempengaruhi penampilan fenotipe tanaman, karena untuk
variabel umur berbunga, diameter buah dan jumlah rongga buah memiliki nilai
heritabilitas tergolong rendah (umur berbunga dan diameter buah) dan sedang (jumlah
rongga buah) (Tabel 5). Nilai heritabilitas tersebut berarti bahwa fenotipe yang tampak
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor genetisnya.
Tabel 3. Nilai varian antar galur dan dalam galur generasi F8
Variabel
Varian antar galur
Varian dalam galur
Tinggi tanaman
6,76260
1,662022
Umur berbunga
0,097922
0,022889
Jumlah bunga per tandan
0,023787
0,005103
Jumlah buah per tandan
0,021065
0,001996
0,605747
0,27908
Fruit set
Bobot buah per butir
238,0584
969,0492
Jumlah buah per tanaman
0,082251
0,033838
(tandan 1-4)
Bobot total buah per
976,6766
5186,554
tanaman (tandan 1-4)
Bobot total buah per petak
609,5100
Panjang buah
0,002742
0,005436
Diameter buah
0,021235
0,000505
Bentuk buah
0,000441
0,000178
Jumlah rongga buah
0,093339
0,001311
Tebal daging buah
0,0000507
0,0000133
Kekerasan buah
0,725822
0,113967
Keterangan: - : tidak diamati secara individu.
Tabel 4. Varian antar galur pada populasi F7 dan F8
Varian antar
Varian antar
F hitung
Variabel
galur populasi
galur populasi F8
F7
Umur berbunga
0,00680
0,097922
14,40029*
1,61962
0,605747
2,673757*
Fruitset
Bobot buah per butir
12,8847
238,0584
18,47605*
Jumlah buah per tanaman
0,03218
0,082251
2,555966*
Bobot buah per tanaman
295,048
976,6766
3,31023*
Panjang buah
0,00272
0,002742
1,008088 ns
Diameter buah
0,00857
0,021235
2,47783*
Bentuk buah
0
0,000441
~
Kekerasan buah
0
0,093339
~
Jumlah rongga buah
0,02118
0,093339
4,406941*
Keterangan: * : terdapat perbedaan pengaruh yang nyata pada uji F dengan =5%.

F tabel
2,1460
2,0725
2,1460
2,0725
2,0725
2,1460
2,1460
2,1460
2,1460
2,1460

Untuk variabel bentuk buah dan kekerasan buah belum bisa dideteksi tingkat
homogenitas varian antara generasi F7 dengan F8, karena nilai varian antar galur kedua

SeminarHasilPenelitianUGM2009

276

variabel tersebut di generasi F7 dianggap bernilai nol (nilai duga yang sesungguhnya
negatif).
Nilai heritabilitas dalam arti sempit pada penelitian ini (generasi F8) dan
sebelumnya (generasi F7) diperoleh melalui metode regresi tetua keturunan, yaitu pada
variabel umur berbunga, fruit set, bobot buah per butir, jumlah buah per tanaman, bobot
total buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bentuk buah, jumlah rongga buah
dan kekerasan buah. Akan tetapi, ada beberapa variabel yang tidak diamati pada
keturunan F7 sehingga nilai heritabilitas diduga dengan nilai heritabilitas dalam arti
luas, yaitu pada variabel tinggi tanaman, jumlah bunga per tandan, jumlah buah per
tandan, bobot total buah per petak dan tebal daging buah (Tabel 5).
Tabel 5. Heritabilitas komponen hasil dan hasil galur-galur tomat generasi F8
Variabel
H (%)
Kriteria Keterangan
Tinggi tanaman
77,27
Tinggi
Diduga melalui analisis varian
Umur berbunga
11,64
Rendah Regresi tetua-keturunan
Jumlah bunga per tandan
84,28
Tinggi
Diduga melalui analisis varian
Jumlah buah per tandan
90,78
Tinggi
Diduga melalui analisis varian
26,73
Sedang Regresi tetua-keturunan
Fruit set
Bobot buah per butir
60,45
Tinggi
Regresi tetua-keturunan
Jumlah buah per tanaman (tandan
39,81
Sedang Regresi tetua-keturunan
1-4)
Bobot total buah per tanaman
11,39
Rendah Regresi tetua-keturunan
(tandan 1-4)
Bobot total buah per petak
8,154
Rendah Diduga melalui analisis varian
Panjang buah
5,608
Rendah Regresi tetua-keturunan
Diameter buah
9,296
Rendah Regresi tetua-keturunan
Bentuk buah
18,29
Rendah Regresi tetua-keturunan
Jumlah rongga buah
30,15
Sedang Regresi tetua-keturunan
Tebal daging buah
74,71
Tinggi
Diduga melalui analisis varian
Kekerasan buah
2,905
Rendah Regresi tetua-keturunan
Nilai heritabilitas yang tergolong tinggi terdapat pada variabel tinggi tanaman,
jumlah bunga per tandan, jumlah buah per tandan, bobot buah per butir dan tebal daging
buah, masing-masing bernilai 77,27%, 84,28%, 90,78%, 60,45% dan 74,71% (Tabel 5).
Hal ini memungkinkan dilakukan seleksi pada generasi awal dan berlangsung secara
efektif karena pengaruh lingkungan cukup kecil sehingga perbaikan terhadap variabel
tersebut sangat besar. Jadi heritabilitas juga menunjukkan keefektifan seleksi genotip
yang didasarkan pada penampilan fenotip, apalagi pada variabel jumlah bunga per
tandan, jumlah buah per tandan dan bobot buah per butir proporsi varian aditifnya yang
lebih besar sehingga diharapkan di keturunan nantinya fenotip yang nampak merupakan
cerminan dari genotipnya.
Nilai duga heritabilitas sedang (20%<H<50%) terdapat pada variabel fruit set
(26,73%), jumlah buah per tanaman (39,81%) dan jumlah rongga buah (30,15%). Nilai
heritabilitas yang tergolong sedang menunjukkan bahwa pengaruh faktor genetik aditif
dan pengaruh faktor lingkungan seimbang.
Nilai duga heritabilitas rendah (H<20%) terdapat pada variabel umur berbunga
(11,64%), bobot total buah per tanaman (11,39%), bobot total buah per petak (8,154%),
panjang buah (5,608%), diameter buah (9,296%), bentuk buah (18,29%) dan kekerasan

277

SeminarHasilPenelitianUGM2009

buah (2,905%) (Tabel 5). Hal ini menunjukkan keragaman fenotip yang muncul pada
variabel-variabel tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut Murti et
al., (2000), pada karakter yang nilai duga heritabilitasnya rendah, seleksi akan berjalan
kurang efektif karena penampilan fenotip tanaman lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan.
Hasil nilai heritabilitas, koefisien korelasi dan koefisien lintas (pengaruh
langsung) menunjukkan bahwa variabel komponen hasil yang dapat digunakan sebagai
kriteria seleksi adalah jumlah bunga per tandan, jumlah buah per tandan, fruitset, jumlah
buah per tanaman, bobot buah per butir dan tebal daging buah.
Galur-galur yang dapat dijadikan galur harapan adalah A 131/5/5/4/1/3/3, A
134/4/12/4/1/2/1, A 134/4/12/4/1/2/6, A 146/3/10/2/2/5/8, A 146/3/10/4/2/1/7, A
175/1/2/5/1/3/5, A 175/1/7/3/2/5/3, B 52/3/12/1/1/2/2 dan B 78/1/9/5/1/4/5, yang pada
penanaman berikutnya akan dilakukan uji daya hasil pendahuluan sekaligus untuk
memilih lagi nomer-nomer yang layak untuk diuji daya hasil lanjutan (uji stabilitas
sifat) sebelum dilakukan uji multilokasi. Pada saat dilakukan uji daya hasil pendahuluan
sekaligus bertujuan untuk memperbanyak benih dari nomer-nomer terpilih. Galur-galur
A 134/4/14/3/1/5/2, A 146/3/10/2/1/4/8, A 65/6/1/4/2/4/2, A 65/6/8/1/1/3/6 dan B
78/1/9/3/1/3/1 masih perlu perbaikan sifat fruitset dan bobot buahnya. Perbaikan
kemungkinan dapat dilakukan dengan metode persilangan backcross dengan GM
sebagai tetua donor.
KESIMPULAN
1. Rerata hasil (hasil buah tomat per tanaman) galur-galur M7 dibandingkan dengan
rerata hasil (hasil buah tomat per tanaman) galur-galur M6 lebih tinggi dengan
keragaman hasil yang sama. Rerata hasil galur-galur F8 lebih tinggi daripada rerata
galur-galur di F7 dengan varian antar galur di generasi F8 nyata lebih kecil
daripada varian antar galur di generasi F7
2. Seleksi pada generasi M7 tomat dataran rendah menghasilkan galur-galur harapan
yang akan dievaluasi pada generasi berikutnya (M8) untuk dilakukan uji daya hasil
pendahuluan, yaitu P2 1/13/25/28/16/13, P2 1/14/31/33/25/8, P2 1/14/31/35/23/7,
P2 1/3/25/26/24/11, P2 2/13/31/31/33/23/13, P2 2/13/31/33/3/2, P3
2/19/9/16/13/11, P3 2/19/9/19/12/12, P3 2/19/9/19/12/13, P3 3/19/19/3/11/4, P4
3/15/1/23/6, P4 3/9/12/26/15/7, P4 3/9/12/30/12/10 dan P4 3/9/12/34/12/14.
3. Seleksi pada generasi F8 tomat dataran tinggi menghasilkan galur-galur: A
131/5/5/4/1/3/3, A 134/4/12/4/1/2/1, A 134/4/12/4/1/2/6, A 146/3/10/2/2/5/8, A
146/3/10/4/2/1/7, A 175/1/2/5/1/3/5, A 175/1/7/3/2/5/3, B 52/3/12/1/1/2/2 dan B
78/1/9/5/1/4/5, yang pada penanaman berikutnya akan dilakukan uji daya hasil
pendahuluan sekaligus untuk memilih lagi nomer-nomer yang layak untuk diuji
daya hasil lanjutan (uji stabilitas sifat) sebelum dilakukan uji multilokasi. Pada saat
dilakukan uji daya hasil pendahuluan sekaligus bertujuan untuk memperbanyak
benih dari nomer-nomer terpilih.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana Program HIBAH BERSAING XVI
Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2009. Untuk itu, peneliti mengucapkan terimakasih
kepada DIKTI dan LPPM UGM.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

278

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, E., Soemartono, dan Nasrullah. 1997. Pendugaan Komponen Varians dan
Kovarians Genetik Beberapa Komponen Hasil Padi pada Generasi F4 dan F5.
BPPS-UGM. 10(2B) : 187-197.
Gomez, K.A. and A. A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research.
An International Rice Research Institute Book. John Wiley and Sons. Second
Edt. xvi+680p.
Hallauwer, A.R. and J. B. Miranda. 1988. Quantitative Genetics in Maize Breeding.
Iowa State University Press/Ames, USA. Second Edt. Xii+468p.
Lestari, N. 2002. Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma Co-60 Terhadap Sifat Kuantitatif
dan Kualitatif Tanaman Tomat. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada.
Skripsi.
Murti., R. H., Nasrullah dan W. Mangoendidjojo. 2000. Pendugaan kemajuan seleksi
gabungan keturunan saudara tiri dan S1 pada populasi jagung Bisma. Zuriat
11(1): 46-52.
Murti, R. H., Trisnowati, S. 2001. Keragaman dan Kandungan Nutrisi Buah Tiga Jenis
Tomat Introduksi. Agrivet. 5 (2) : 105-115.
Rukmana, R. 1994. Tomat dan Cherry. Kanisius. Yogyakarta. 84p.
Singh, R. K. dan B. D. Chaudhary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic
Analysis. Kalyani Publishers. New Delhi.
Sulastri, D. E. 2004. Keragaman Sifat Tanaman Tomat Generasi M2 Hasil Irradiasi
Sinar Gamma Co-60. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
Wirasti, C. A. 2005. Keragaman Sifat Tanaman Tomat Generasi M3 Hasil Irradiasi
Sinar Gamma Co-60. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Skripsi.

279

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

280

PEMILAHAN DAN PEMILIHAN VARIETAS KEDELAI


BERDASARKAN SUMBER DAN LUBUK UNTUK PENINGKATAN
POTENSI HASIL BIJI
1

Didik Indradewa1, Dody Kastono1, Budiastuti Kurniasih1


Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

INTISARI
Penelitian dilakukan untuk mempelajari sifat fisiologis, pertumbuhan dan hasil
beberapa varietas kedelai yang saat ini ada di Indonesia, mengadakan pemilahan dan
pemilihan varietas yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian ini merupakan
penelitian percobaan lapangan yang telah dilaksanakan pada bulan Mei dan rencana
berakhir pada bulan November 2009 bertempat di sawah petani di desa Sidoarum,
Kecamatan Godean, kabupaten Sleman D.I.Yogyakarta, terletak pada ketinggian 113 m
di atas permukaan laut, bertanah regosol. Penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok Lengkap (RAKL) faktor tunggal diulang tiga kali. Faktor yang diteliti adalah
17 varietas kedelai. Pengamatan dilakukan pada sifat fisiologis, pertumbuhan dan hasil
tanaman. Data yang diperoleh dianalisis statistik mengunakan sidik ragam, bila ada
beda nyata dilanjutkan dengan uji jarak ganda Duncan pada taraf 5 %. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa varietas dengan indeks luas daun besar, jumlah polong
banyak namun ukuran biji kecil (BBK) adalah Varietas Gepak Kuning. Varietas dengan
indeks luas daun besar, jumlah polong sedikit namun ukuran biji besar (BKB) adalah
varietas Anjasmoro. Varietas dengan indeks luas daun kecil, jumlah polong banyak
namun ukuran biji kecil (KBK) adalah varietas Seulawah. Varietas dengan indeks luas
daun kecil, jumlah polong sedikit namun ukuran biji besar (KKB) adalah varietas
Malabar atau Baluran.
Kata kunci : kedelai, varietas, pertumbuhan, hasil
PENDAHULUAN
Di Indonesia kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama, meskipun
Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai. Ini terjadi karena
kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai pernah menjadi polemik,
karena kurangnya pasokan di pasar, sehingga harganya naik 2 kali lipat dan perusahaan
tahu tempe di berbagai daerah kesulitan bahan baku. Untuk mencukupi kebutuhan
industri bahan olahan dalam negeri diperlukan sekitar 2,2 juta ton per tahun, sedangkan
produksi kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 30-40 % dari kebutuhan
nasional. Ketergantungan terhadap impor jelas sangat rawan, karena harga di pasar
internasional fluktuatif. Pada akhir 2007 harga kedelai US$ 300/ton meningkat menjadi
US$600/ton pada awal 2008.
Keadaan ini menyadarkan semua pihak bahwa produksi kedelai harus
ditingkatkan secara konsisten, terutama harus ada dukungan penyediaan lahan areal
tanam yang memadai, penerpaan hasil-hasil penelitian kedelai yang relevan perlu
semakin difasilitasi oleh pemerintah, dan adanya jaminan pemasaran yang baik, serta
program kemitraan dengan industri (skala kecil dan besar) semakin ditingkatkan (Astuti
et al., 2007).
Pada berbagai tanaman termasuk kedelai, dasar fisiologis produksi bahan kering
tergantung pada kekuatan sumber dan lubuk. Sumber (source) adalah bagian tanaman

281

SeminarHasilPenelitianUGM2009

yang melakukan fotosintesis dan lubuk (sink) adalah bagian tanaan yang memanfaatkan
hasil fotosintesis tersebut. Sebuah daun yang sedang tumbuh adalah lubuk, tetapi jika
pertumbuhannya sudah maksimal maka akan menadi sumber. Hal ini berarti satu organ
dapat berperan sebagai sumber dan lubuk (Vankateswarlu dan Visperas, 1987).
Fotosintat sebagian besar diproduksi oleh daun dan dimanfaatkan oleh organ yang
sedang tumbuh. Dengan demikian laju produksi bahan kering pada tanaman budidaya di
bawah kendali sumber dan lubuk yang dikenal dengan nama teori sumber dan lubuk
(Tanaka, 1990).
Upaya meningkatkan hasil tanaman dapat ditempuh melalui peningkatan
produksi biomassa tanaman di samping peningkatan kapasitas lubuk yang merupakan
sifat genetik dan tingkat alokasi biomassa kebagian tanaman yang dipanen, yang
merupakan sifat fisiologis tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995).
Hasil biji kedelai pada dasarnya dibatasi oleh sumber. Peningkatan fotosintesis
selama fase reproduktif akan meningkatkan hasil. Peningkatan fotosintesis dapat terjadi
akibat peningkatan laju fotosintesis atau peningkatan lama fotosintesis atau keduanya.
Ukuran lubuk reproduktif dalam hal ini jumlah biji ditentukan oleh aktivitas sumber
selama fase berbunga dan fase penentuan jumlah polong. Hasil dapat dipengaruhi oleh
kekuatan lubuk bila aktivitas sumber meningkat pesat setelah pembungaan dan
penentuan jumlah oleh sumber. Memahami pertumbuhan dan perkembangan lubuk
reproduktif membantu memahami bagaimana hasil diproduksi, dan membantu
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana memanipulasi
tanaman untuk meningkatkan hasil.
Terdapat banyak varietas kedelai dengan sifat fisiologis, pertumbuhan dan hasil
yang berbeda-beda. Belum ada informasi yang akurat menyangkut hal-hal tersebut yang
dapat dipakai untuk mengelompokkan tanaman kedelai berdasarkan kekuatan sumber
dan lubuknya. Kekuatan sumber atau penghasil asimilat dapat diukur berdasarkan laju
fotosintesis yang dipengaruhi luas daun. Kekuatan lubuk atau pengguna asimilat dapat
diukur dari jumlah polong dan berat 100 biji. Pada kelompok-kelompok yang berbeda
tersebut perlu dilihat apakah masih dapat ditingkatkan kekuatannya melalui manipulasi
mekanik. Informasi penting tersebut masih belum ada dan sangat diperlukan para
pemulia kedelai agar pemuliaan kedelai dapat dilakukan dengan dasar yang pasti
sehingga berjalan lebih efisien. Modifikasi sumber dapat dilakukan dengan pengurangan
daun, sedangkan modifikasi lubuk dapat dilakukan dengan pengurangan lubuk
reproduktif misalnya buah atau polong. Hasil penelitian Rusyanti (1990) menunjukkan
bahwa pengurangan luas daun tomat varietas Intan sebesar 58 % mengakibatkan
penurunan hasil buah sebesar 48 %. Pengurangan jumlah buah tomat sebesar 71 %
mengakibatkan penurunan hasil buah sebesar 63 %. Pengurangan jumlah buah tersebut
ternyata mengakibatkan peningkatan ukuran buah sebesar 30 %. Peningkatan ukuran
buah saat jumlah buah hanya sedikit menunjukkan hasil tanaman tomat varietas Intan
dibatasi oleh kekuatan sumber bukan kekuatan lubuk. Hasil maksimal varietas tersebut
diperhitungkan dapat diperoleh dengan luas daun sebesar 123 % daun yang dimiliki
oleh varietas tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian lapangan telah dilaksanakan pada bulan Mei dan selesai bulan
November 2009, bertempat di sawah petani di desa Sidoarum kecamatan Godean
kabupaten Sleman D.I. Yogyakarta. Lokasi penelitian terletak pada ketinggian 113 m
dpl dan bertanah regosol.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

282

Bahan yang digunakan adalah 17 varietas kedelai yaitu : Wilis, Sinabung,


Seulawah, Gepak kuning, Malabar, Tanggamus, Baluran, Sibayak, Lokal Garut,
Anjasmoro, Gepak hijau, Petek, Lokal Surya, Ijen, Argomulyo dan Grobogan. Pupuk
urea, SP-36, KCl, Furadan 3G. Alat yang digunakan adalah alat pengukuran variabel
fisiologis seperti oven, timbangan, leaf area meter, hand counter, lux meter, chlorophyll
meter, SPAD 502, dan Photosynthetic analyzer.
Penelitian dilakukan dengan percobaan lapangan menggunakan rancangan acak
kelompok lengkap (RAKL) faktor tunggal diulang tiga kali. Ukuran masing-masing
petak seluas 3 x 4 m. Pengamatan dilakukan terhadap tanaman sampel, tanaman korban
dan tanaman dalam petak produksi. Tanaman sampel terdiri dari 5 tanaman dengan
pengamatan meliputi tinggi tanaman dan diameter batang dilakukan 2 minggu sekali.
Tanaman korban yang diamati meliputi (1) luas daun (2) kehijauan daun diukur dengan
klorofil meter SPAD 502, (3) laju fotosintesis (4) bobot kering tajuk, bobot kering
polong dan bobot kering biji. Data yang diperoleh dianalisis statistik menggunakan
sidik ragam, bila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji berjarak ganda Duncan dengan
taraf 5 %.
Dari data yang diperoleh dilakukan pemilahan varietas menjadi 8 golongan yaitu
: Varietas bersumber besar dan lubuk besar (BBB), Varietas berbesar dan lubuk sedang,
(BBK), Varietas bersumber besar dan lubuk sedang (BKB), Varietas bersumber besar
dan lubuk kecil (BKK), Varietas bersumber kecil dan lubuk besar (KBB), Varietas
bersumber kecil dan lubuk sedang (KBK), Varietas bersumber kecil dan lubuk sedang
(KKB), varietas berukuran sumber kecil dan lubuk kecil (KKK).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Indeks luas daun (ILD) meningkat dengan bertambahnya umur tanaman dari 4
ke 8 minggu dan menurun kembali setelah itu (Tabel 1). Pada saat tanaman berumur 4
minggu ILD relatif masih sangat kecil kurang dari 0,5, kemudian di duga mencapai
puncak saat tanaman berumur sekitar 8 minggu dengan nilai antara 1,5 sampai 2,6 dan
menurun kembali mencapai nilai cukup rendah di bawah 1,0. Antara umur 4 sampai 8
minggu tidak ada perbedaan nilai indeks luas daun antar varietas yang di teliti
meskipun pada umur 8 minggu nilai ILD sangat bervariasi antara 1,68 pada varietas
Argomulyo sampai 2,65 pada varietas Tanggamus.
Pada umur 12 minggu saat nilai ILD menjadi rendah kembali, terdapat beda
nyata antar varietas namun pada kisaran yang cukup sempit yaitu antara 0,2 pada
varietas Sibayak sampai 0,79 pada varietas Baluran. Varietas Baluran pada umur 8
minggu sebenarnya mempunyai ILD yang tidak terlalu tinggi yaitu kurang dari 2,0,
namun pada umur 12 minggu masih mempunyai daun hijau cukup banyak. pada saat
hampir semua varietas sudah kehilangan banyak daun.

283

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 1. Indeks Luas Daun Tanaman umur 4, 8, dan 12 mst, 17 varietas kedelai
Varietas
Indeks Luas Daun
4 mst
8 mst
12 mst
Wilis
0.28800 a
2.2733 a
0.3250 b
Sinabung
0.21767 a
1.8410 a
0.3723 b
Seulawah
0.25933 a
1.6907 a
0.2475 b
Gepak kuning
0.33800 a
2.4490 a
0.5396 ab
Malabar
0.35200 a
1.8317 a
0.3377 b
Tanggamus
0.27533 a
2.6520 a
0.3342 b
Baluran
0.30567 a
1.9167 a
0.7886 a
Sibayak
0.30100 a
2.3463 a
0.2012 b
Lokal Garut
0.24333 a
2.5157 a
0.3971 b
Galunggung
0.29667 a
2.2133 a
0.3594 b
Anjasmoro
0.32267 a
2.6397 a
0.2623 b
Gepak Hijau
0.34000 a
2.2910 a
0.3103 b
Petek
0.22233 a
2.1410 a
0.3569 b
Lokal Surya
0.29333 a
1.7330 a
0.2980 b
Ijen
0.24600 a
2.0270 a
0.2113 b
Argomulyo
0.23600 a
1.6793 a
0.2717 b
Grobogan
0.33033 a
2.0000 a
0.3456 b
Keterangan : dalam kolom dan baris angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %
Tabel 2. Sekapan cahaya (%) tanaman umur 6 dan 11 mst, 17 Varietas kedelai
Varietas
Sekapan Cahaya
6 mst
11 mst
Wilis
93.382 ab
82.0023 abc
Sinabung
92.155 b
83.454 ab
Seulawah
92.893 ab
82.544 abc
Gepak kuning
93.345 ab
84.902 a
Malabar
94.116 ab
81.053bc
Tanggamus
93.766 ab
82.752 abc
Baluran
94.315 ab
82.651 abc
Sibayak
93.554 ab
80.308 bc
Lokal Garut
94.594 ab
80.308 bc
Galunggung
95.024 a
80.677 bc
Anjasmoro
94.358 ab
83.545 ab
Gepak Hijau
92.210 b
83.484 ab
Petek
94.239 ab
82.196 abc
Lokal Surya
93.292 ab
83.324 ab
Ijen
92.974 ab
78.977 c
Argomulyo
94.046 ab
82.639 abc
Grobogan
93.135 ab
93.135 a
Keterangan : dalam kolom angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan uji DMRT 5 %
Pada 6 mst, hampir semua varietas belum mampu menyerap 95% cahaya
matahari yang sampai sebagai syarat mencapai ILD kritik, kecuali varietas Galunggung

SeminarHasilPenelitianUGM2009

284

(Tabel 2). Varietas Sinabung pada umur tersebut menyerap cahaya matahari nyata lebih
sedikit dibanding varietas Sinabung yang menyerap cahaya matahari paling banyak di
antara varietas yang di uji. Puncak serapan cahaya diduga terjadi pada minggu ke
delapan bersamaan dengan nilai ILD yang mencapai malsimal. Pada umur 11 minggu
serapan cahaya mulai menurun di bawah nilai 80% untuk semua varietas, kecuali
varietas Grobogan. Pada umur tersebut Varietas Grobogan menyerap cahaya paling
banyak dan nyata lebih banyak dibanding varietas Malabar, Sibayak, Lokal Garut,
Galunggung dan Varietas Ijen yang menyerap cahaya paling sedikit.
Tabel 3. Laju fotosintesis (mol CO2 m-2 s-1), tanaman umur 6 mst pada 17 Varietas
kedelai.
Varietas
Laju fotosintesis
Varietas
Laju fotosintesis
Wilis
45.543 a
Galunggung
47.593 a
Sinabung
44.717 a
Anjasmoro
47.883 a
Seulawah
45.017 a
Gepak Hijau
46.850 a
Gepak kuning
47.243 a
Petek
40.390 a
Malabar
44.220 a
Lokal Surya
43.810 a
Tanggamus
50.843 a
Ijen
43.967 a
Baluran
42.123 a
Argomulyo
47.247 a
Sibayak
44.850 a
Grobogan
43.800 a
Lokal Garut
41.373 a
Keterangan : dalam kolom dan baris angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

Laju Fotosintesis (umol


CO2/m2/det

Tidak ada perbedaan kemampuan fotosintesis per satuan luas daun di antara
semua varietas kedelai yang diuji, meskipun dari segi nilai yang diperoleh terdapat
perbedaan yang cukup besar mencapai sekitar 25% misalnya antara varietas Petek
dengan varietas Tanggamus (Tabel 3). Tidak ada hubungan cukup erat antara kehijauan
daun yang menggambarkan kadar klorofil dengan laju fotosintesis (Gambar 1).
53
51
49
47
45
43
41
39

y = 0.1069x + 40.579
R2 = 0.0077

37
35
35

40

45

50

Kehijauan Daun

Gambar 1. Hubungan antara Laju Fotosintesis dengan Kehijauan Daun Berbagai


Varietas Kedelai

285

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 4. Bobot Kering Tanaman (g) umur 4, 8, dan 12 mst, 17 Varietas kedelai
Varietas
Bobot Kering Tanaman
4 mst
8 mst
12 mst
Wilis
0.8995 abcd
9.511 ab
15.958 a
Sinabung
0.6494 d
8.083 ab
17.727 a
Seulawah
0.6256 d
8.356 ab
22.254 a
Gepak kuning
0.7033 d
10.492 ab
25.497 a
Malabar
1.0344 abc
8.494 ab
19.716 a
Tanggamus
0.9383 abcd
10.201 ab
20.180 a
Baluran
0.7672 bcd
7.823 b
18.722 a
Sibayak
0.7528 cd
9.824 ab
16.128 a
Lokal Garut
0.7217 d
12.042 ab
21.846 a
Galunggung
0.7239 d
11.291 ab
15.389 a
Anjasmoro
1.1361 a
13.792 a
16.493 a
Gepak Hijau
0.7983 bcd
10.773 ab
16.831 a
Petek
0.6211 d
9.278 ab
17.716 a
Lokal Surya
0.7372 cd
8.688 ab
21.412 a
Ijen
0.6916 d
10.368 ab
18.772 a
Argomulyo
0.6228 d
9.805 ab
23.327 a
Grobogan
1.0589 ab
7.052 b
17.730 a
Keterangan : dalam kolom angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan uji DMRT 5 %
Berat kering meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Saat tanaman
masih cukup muda sampai saat tanaman mencapai pertumbuhan vegetatif maksimum
terdapat perbedaan berat kering tanaman di antara varietas yang diuji (Tabel 4). Sampai
umur vegetatif maksimum, varietas Anjasmoro tercatat selalu mempunyai berat kering
tertinggi. Meskipun demikian saat tanaman mencapai umur mendekati masak panen,
berat kering Varietas Anjasmoro bukan lagi yang tertinggi. Saat menjelang panen, tidak
ada perbedaan berat kering tanaman di antara varietas yang diuji. Saat panen, berat
kering tanaman tertinggi yang dicapai Gepak Kuning yang mempunyai berat kering
60% lebih tinggi dibanding berat kering teringan yang dialami oleh varietas
Galunggung maupun Wilis.
Tabel 5. Hasil biji kering (ton/ha), 17 Varietas kedelai
Varietas
Hasil Biji
Varietas
Hasil Biji
Wilis
2.0600 a
Galunggung
1.0133 d
Sinabung
1.8367 abc
Anjasmoro
1.8300 abc
Seulawah
1.6567 abcd
Gepak Hijau
1.2267 cd
Gepak kuning
2.0633 a
Petek
1.3867 abcd
Malabar
1.4333 abcd
Lokal Surya
1.4467 abcd
Tanggamus
1.9533 ab
Ijen
1.4533 abcd
Baluran
1.4700 abcd
Argomulyo
1.6700 abcd
Sibayak
1.0933 d
Grobogan
1.3300 bcd
Lokal Garut
1.2300 cd
Keterangan : dalam kolom dan baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %

SeminarHasilPenelitianUGM2009

286

Terdapat beda nyata hasil biji antar varietas yang diuji (Tabel 5). Hasil biji
tertinggi pada penelitian ini tetap dipegang oleh varietas Wilis suatu varietas yang telah
cukup lama dilepas oleh pemerintah, namun masih banyak dibudidayakan oleh petani.
Hasil tersebut dapat disamai oleh varietas Gepak Kuning suatu varietas Lokal. Varietasvarietas unggul baru yang dilepas setelah Wilis ternyata mempunyai hasil yang lebih
rendah, meskipun kadang tidak berbeda nyata.
Menurut diskripsi yang dikeluarkan dalam Lembar Informasi Pertanian
(Anonim, 2008) varietas unggul yang dilepas setelah Wilis tersebut mempunyai potensi
hasil di atas 2,0 ton/ha, namun penelitian ini mendapatkan hal yang berbeda. Varietas
yang mempunyai hasil tidak berbeda nyata dengan hasil varietas Wilis adalah Sinabung,
Seulawah, Malabar, Tanggamus, Anjasmoro, Petek, Lokal Surya, Ijen dan Argomulyo.
Varietas yang mempunyai hasil biji nyata lebih rendah dibanding Wilis adalah Sibayak,
Lokal Garut, Ijen dan Grobogan.
Tabel 6. Jumlah Polong per Tanaman, 17 Varietas kedelai
Jumlah Polong
Varietas
Jumlah Polong
Per Tanaman
Per Tanaman
Wilis
36.667 bcd
Galunggung
24.833 fghi
Sinabung
31.333 defg
Anjasmoro
25.300 efghi
Seulawah
43.567 ab
Gepak Hijau
40.967 bc
Gepak kuning
48.983 a
Petek
32.367 def
Malabar
23.633 ghi
Lokal Surya
30.167 defgh
Tanggamus
32.067 defg
Ijen
30.450 defgh
Baluran
22.033 hi
Argomulyo
24.933 efghi
Sibayak
33.450 cde
Grobogan
17.367 i
Lokal Garut
29.133 defgh
Keterangan : dalam kolom dan baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %
Varietas

Jumlah polong per tanaman pada berbagai varietas kedelai seperti dalam Tabel
6. Tabel tersebut menunjukkan terdapat perbedaan jumlah polong per tanaman yang
dihasilkan oleh varietas yang diuji. Varietas kedelai dengan jumlah polong terbanyak
adalah Gepak Kuning yang tidak berbeda dengan Seulawah, sedangkan yang paling
sedikit adalah varietas Grobogan yang tidak berbeda dengan varietas Malabar, Baluran,
Galunggung, Anjasmoro dan Argomulyo. Hubungan jumlah polong dengan hasil biji
tidak cukup erat seperti terlihat dalam Gambar 2.

287

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Hasil Biji (ton/ha)

2.5
2
1.5
1
y = 0.0004x 2 - 0.0145x + 1.5353
R2 = 0.1508

0.5
0
0

10

20

30

40

50

60

Jumlah Polong per Tanaman

Gambar 2. Hubungan antara Hasil Biji dengan Jumlah Polong per Tanaman Berbagai
Varietas Kedelai
Tabel 7. Bobot per 100 biji (k.a 12%) pada 17 Varietas kedelai
Varietas
Bobot 100 biji
Varietas
Bobot 100 biji
Wilis
9.827 fgh
Galunggung
17.623 bc
Sinabung
10.687 efgh
Anjasmoro
14.093 cde
Seulawah
7.517 h
Gepak Hijau
11.920 defg
Gepak kuning
9.050 gh
Petek
9.383 gh
Malabar
19.317 ab
Lokal Surya
13.357 def
Tanggamus
9.727 fgh
Ijen
10.253 fgh
Baluran
15.387 cd
Argomulyo
14.153 cde
Sibayak
10.303 fgh
Grobogan
21.230 a
Lokal Garut
14.170 cde
Keterangan : dalam kolom dan baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %
Ukuran biji kedelai yang diuji berbeda antar varietas (Tabel 7). Secara statistik
varietas yang mempunyai ukuran biji paling besar adalah varietas Grobogan, meskipun
tidak berbeda nyata dengan ukuran biji varietas Malabar. Varietas dengan ukuran biji
paling kecil adalah varietas Seulawah meskipun tidak berbeda dengan delapan varietas
yang lain ternasuk di dalamnya varietas Wilis dengan hasil biji tertinggi. Berdasarkan
pembagian ukuran baku untuk biji kedelai, biji berukuran kecil adalah biji dengan berat
sebesar 6 sampai 10 g tiap 100 butir, biji sedang bila mempunyai berat 11 sampai 12 g
dan termasuk biji besar bila mempunyai berat lebih dari 13 g tiap 100 butir biji. Dengan
kriteria tersebut, sebagian besar varietas yang diuji mempunyai ukuran biji besar.
Varietas yang termasuk berbiji besar adalah varietas Malabar, Baluran, Lokal Garut,
Galunggung, Anjasmoro, Lokal Surya, Argomulyo dan Grobogan. Diskripsi varietas
menyebutkan bahwa varietas Anjasmoro mempunyia berat 100 butir biji 14--15.3 g.
Tanaman kedelai dengan ukuran biji sedang adalah varietas Sinabung, Sibayak dan Ijen,
sedangkan varietas dengan ukuran biji kecil adalah Wilis, Seulawah, Gepak Kuning,
Tanggamus dan Petek Seulawah, Gepak Kuning, Tanggamus dan Petek. Diskripsi
varietas dari Lembar Informasi Pertanian (Anonim, 2008) menyebutkan bahwa varietas

SeminarHasilPenelitianUGM2009

288

Sinabung mempunyai berat 100 butir biji 10,68 g, Ijen 11,23 g termasuk varietas berbiji
sedang, sedangkan varietas Seulawah 9,5 g, Tanggamus 11,5 g dan Petek 9,5 g.
Penyimpangan hanya terjadi pada varietas Tanggamus yang menurut diskripsi
seharusnya termasuk berbiji sedang, namun penelitian ini mendapatkan bahwa varietas
tersebut termasuk berbiji kecil seperti halnya varietas Seulawah dan Petek.
Varietas terpilih untuk percobaan lanjutan
Tabel 8 menunjukkan bahwa dari seluruh varietas yang diuji selalu dijumpai bila
suatu varietas mempunyai jumlah polong banyak maka ukuran biji pada umumnya
kecil, sebaliknya bila suatu varietas mempunyai jumlah polong sedikit maka ukuran
bijinya cenderung besar. Fenomena ini terjadi baik pada varietas yang mempunyai
ukuran sumber dinyatakan dengan nilai indeks luas daun besar maupun kecil. Tidak
dapat dijumpai suatu varietas mempunyai jumlah polong banyak dengan ukuran biji
besar dan sebaliknya jumlah polong sedikit dengan ukuran biji kecil. Ini terjadi karena
terdapat korelasi negatif antara jumlah polong dengan ukuran biji (Gambar 3). Semakin
banyak jumlah polong yang dibentuk oleh suatu varietas kedelai semakin kecil ukuran
bijinya dan sebaliknya, sampai dicapai jumlah polong yang relatif banyak.

Berat 100 Butir Biji (g)

25
20
15
10
y = 0.0189x 2 - 1.6425x + 44.403
R2 = 0.8111

5
0
0

10

20

30

40

50

60

Jumlah Polong per Tanaman

Gambar 3. Hubungan Jumlah Polong per Tanaman dengan Berat 100 Butir Biji
Berbagai Varietas Kedelai
Atas dasar hasil pada Tabel 10 maka untuk penelitian lanjutan hanya diperoleh
dua kelompok besar varietas kedelai yaitu varietas dengan sumber besar dan lubuk
sedang serta varietas dengan sumber kecil dan lubuk sedang. Lebih rinci dua kelompok
tesebut dibagi menjadi empat sub kelompok yaitu (1) varietas dengan indeks luas daun
besar, jumlah polong banyak namun ukuran biji kecil (BBK) terjadi pada varietas
Gepak Kuning, (2) varietas dengan indeks luas daun besar, jumlah polong sedikit
namun ukuran biji besar (BKB) terjadi pada varietas Anjasmoro, (3) varietas dengan
indeks luas daun kecil, jumlah polong banyak namun ukuran biji kecil (KBK) terjadi
pada varietas Seulawah, dan (4) varietas dengan indeks luas daun kecil, jumlah polong
sedikit namun ukuran biji besar (KKB) terjadi pada varietas Malabar atau Baluran.

289

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 8 . Indeks Luas Daun 8 mst, Jumlah Polong per Tanaman dan Berat 100 butir Biji
17 Varietas kedelai
ILD 8 mst Kategor
Jumlah
Katego
Berat 100 Biji
Kategor
Varietas
i
Polong
ri
(g)
i
Wilis
2.2733 a
36.667 bcd
9.827 fgh
S
B
K
Sinabung
1.8410 a
31.333 defg
10.687 efgh
K
S
K
Seulawah
1.6907 a
43.567 ab
7.517 h
K
B
K
Gpk kuning
2.4490 a
48.983 a
9.050 gh
B
B
K
Malabar
1.8317 a
23.633 ghi
19.317 ab
K
K
B
Tanggamus
2.6520 a
32.067 defg
9.727 fgh
B
S
K
Baluran
1.9167 a
22.033 hi
15.387 cd
K
K
B
Sibayak
2.3463 a
B
33.450 cde
B
10.303 fgh
K
Lokal Garut 2.5157 a
29.133 defgh
14.170 cde
B
S
B
Galunggung 2.2133 a
24.833 fghi
17.623 bc
S
K
B
Anjasmoro
2.6397 a
25.300 efghi
14.093 cde
B
K
B
Gepak Hijau 2.2910 a
40.967 bc
11.920 defg
S
B
S
Petek
2.1410 a
S
32.367 def
S
9.383 gh
K
Lokal Surya 1.7330 a
30.167 defgh
13.357 def
K
S
S
Ijen
2.0270 a
30.450 defgh
10.253 fgh
S
S
K
Argomulyo
1.6793 a
24.933 efghi
14.153 cde
K
K
S
Grobogan
2.0000 a
17.367 i
21.230 a
S
K
B
Keterangan : B = Besar, S = Sedang, K=Kecil
KESIMPULAN
1.
2.
3.
4.

Varietas dengan indeks luas daun besar, jumlah polong banyak namun ukuran
kecil (BBK) adalah Varietas Gepak Kuning.
Varietas dengan indeks luas daun besar, jumlah polong sedikit namun ukuran
besar (BKB) adalah varietas Anjasmoro.
Varietas dengan indeks luas daun kecil, jumlah polong banyak namun ukuran
kecil (KBK) adalah varietas Seulawah.
Varietas dengan indeks luas daun kecil, jumlah polong sedikit namun ukuran
besar (KKB) adalah varietas Malabar atau Baluran.

biji
biji
biji
biji

DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2003. Meningkatkan Produksi Kacnag Tanah di Lahan Sawah dan
Lahan Kering. Penebar Sawadaya. Jakarta
Anonim. 2005. Percepatan Penyebaran Teknologi Kedelai. Departemen Pertanian
Direktorat Jendral Tanaman Pangan Direktorat Budidaya Kacang-Kacangan dan
Umbi-Umbian. Jakarta.
Anonim. 2006. Buku Saku Road Map Kedelai. . Departemen Pertanian Direktorat
Jendral Tanaman Pangan Direktorat Budidaya Kacang-Kacangan dan UmbiUmbian. Jakarta.
Astuti, M., D. Kastono., S. Purwanti, dan T.Harjaka. 2007. Program Pemberdayaan
Petani dalam Pengembangan Kedelai Hitam (Program P3KH). Disamp[aikan
pada Udiensi dan Sosialisasi di Berbagai Pemerintah Kabupaten di Provinsi D I
Yogyakarta dan Jawa Timur

SeminarHasilPenelitianUGM2009

290

Egli, D.B dan S.J. Craft-Brandner. 1996. Soybean. In : Photoassimilate Distribution in


Plants and Crops Source-Sink Relationship. E.Zamski and A.A. Scaffer (eds)
Marcel Dekker, inc. New York
Lembar informasi Pertanian.2008. Tujuh Langkah Usaha Peningkatan Produktifitas
Kedelai. Kerjasama Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian Badan
Pengembangan SDM Pertanian dengan tabloid Sinar Tani. Jakarta.
Purwono dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Rubatzky, V.E dan M. Yamaguchi. 1997. World Vegetables: Principles, Production
and Nutritive Values (Sayuran Dunia 2, alih bahasa C. Herison).ITB Bandung.
Bandung.
Rusyanti, A.Z.N.1990. Kajian Hubungan Sumber dan Limbung. Skripsi Fakultas
Pertanian UGM. Yogyakarta. (tidak diterbitkan).
Sitompul, S.M. dan B.Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. GMU Press.
Yogyakarta.
Tanaka, A. 1990. Source and Sink Relationship in Crop Production. ASPAC
tech.Bul.52:1-8
Vankateswarlu,B and R.M Visperas. 1987. Source and Sink in Crop Plants. IRRI Los
Banos.

291

SeminarHasilPenelitianUGM2009

SeminarHasilPenelitianUGM2009

292

PEMANFAATAN POTENSI MINYAK NILAM (Pogostemon cablin


Benth) SEBAGAI SUMBER ANTIBAKTERIAL ALAMI
Yuliani Aisyah1,2
1
Mahasiswa S3 Ilmu Pangan Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta
2
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Unsyiah, Banda Aceh,

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui potensi minyak
nilam sebagai antibakterial alami. Komposisi kimia minyak nilam diidentifikasi dengan
menggunakan kromatografi gas spektra massa, fraksinasi minyak nilam dilakukan
dengan menggunakan metoda distilasi fraksinasi vakum, pengujian sifat antibakteri
dilakukan menggunakan metoda difusi agar, dan penentuan konsentrasi minimum
penghambatan (MIC) menggunakan metoda micro dilution tube. Hasil analisis
menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa dari minyak nilam teridentifikasi 15
komponen penyusunnya dengan komponen utamanya adalah patchouli alkohol, guaiena, -guaiena, seychellena dan -patchoulena. Fraksi 6 dengan kadar patchouli
alkohol lebih tinggi mempunyai kemampuan penghambatan antibakteri lebih tinggi
dibandingkan fraksi lain. Aktivitas penghambatan terhadap bakteri gram-positif lebih
besar dibandingkan dengan aktivitas penghambatan terhadap bakteri gram-negatif.
Nilai MIC minyak nilam untuk Bacillus subtilis 31,5, Bacillus cereus 33,5, Salmonella
typhimurium 54,5, Escherichia coli 57,0.
Kata Kunci : minyak nilam, patchouli alkohol, distilasi fraksinasi, antibakteri,
PENDAHULUAN
Bakteri adalah suatu golongan mikroorganisme yang paling kosmopolit.
Meskipun ada sebagian yang sangat bermanfaat, namun sebagian lain memiliki sifat
perusak bahkan berbahaya bagi manusia. Dalam sistem pangan misalnya, bakteri
menjadi masalah utama pada lini pengawetan maupun penyimpanan. Dalam hal lain,
bakteri juga sering menyebabkan timbulnya kerusakan, infeksi dan peradangan, bahkan
menyebabkan intoksikasi pada manusia. Oleh sebab itu, keberadaan bakteri pada suatu
sistem perlu dikontrol, dihambat, atau dihilangkan.
Salah satu cara pengendalian populasi bakteri pada suatu sistem adalah dengan
cara menghambat pertumbuhan dan aktivitasnya. Salah satu metoda yang paling umum
digunakan adalah penggunaan bahan antibakteri. Penggunaan antibakteri sintetik seperti

293

SeminarHasilPenelitianUGM2009

formalin, borak, nitrit, dan nitrat sudah mulai dilarang penggunaannya di beberapa
negara karena alasan kesehatan. Penggunaan bahan sintetik pada makanan berdampak
memacu timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit kanker dan jantung koroner.
Indonesia, sebagai negara tropis, memiliki keanekaragaman hayati yang
berpotensi sebagai sumber senyawa antibakteri yang sesuai untuk pangan dan industri,
diantaranya adalah tanaman minyak atsiri. Nilam (Pogostemon cablin Benth)
merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat menghasilkan minyak atsiri dikenal
dengan nama Patchouli oil.
Eksplorasi bahan antibakteri alami menjadi topik utama akhir-akhir ini.
Penelitian tentang kemungkinan memperoleh bahan antibakteri alami banyak dilakukan
pada senyawa-senyawa yang merupakan komponen penyusun suatu minyak atsiri. Salah
satunya adalah minyak nilam. Beberapa alasan utama yang mendasari pemanfaatan
minyak atsiri sebagai antibakteri adalah aman, relatif mudah diekstraksi dari tumbuhan,
cukup bervariasi jenisnya, memiliki efektivitas tinggi sebagai antibakteri, serta murah
harganya.
Penelitian-penelitian tentang minyak nilam menunjukkan bahwa minyak nilam
mempunyai beberapa aktivitas farmakologi seperti sifat anti-emetik, aktivitas
tripanosidal, anti bakterial, anti fungal dan aktivitas antagonis Ca2+ (Kiuchi dkk., 2004;
Zhao dkk., 2005). Penelitian-penelitian tentang aktivitas antibakteri minyak nilam
belum banyak ditemui, terutama belum diketahuinya batas konsentrasi terkecil minyak
nilam yang mempunyai aktivitas penghambatannya terhadap bakteri dan senyawa apa
yang berperan terhadap aktivitas antibakteri tersebut.
Minyak atsiri dikenal sebagai sumber senyawa antibakteri, salah satunya adalah
minyak nilam. Aktivitas antibakteri dari minyak atsiri ditentukan oleh komponen kimia
penyusunnya, komponen utama dan yang terbesar dalam suatu minyak atsiri sangat
menentukan sifat antibakterinya, tetapi beberapa penelitian melaporkan bahwa
komponen minor dari suatu minyak atsiri juga dapat menentukan sifat antibakterinya,
komponen terpenoid dan fenolik sangat menentukan sifat antibakteri dari minyak atsiri.
Menurut Zhao et al (2005), minyak nilam dapai gunakan sebagai obat-obatan
tradisional untuk common cold, nausea dan diare. Minyak nilam juga mempunyai
aktivitas farmakologi yaitu sebagai anti-emetik, anti bakterial, antimutagenik, anti
fungal dan aktivitas antagonis Ca2+ (Yang et al, 1999; Ichikawa et al, 1989; Miyazawa
et al, 2000; Yang et al, 2000 didalam Zhao et al, 2005), namun masih belum diketahui
komponen aktif apa didalam minyak nilam yang mempunyai aktivitas seperti tersebut
diatas. Menurut Kiuchi et al, 2004, minyak nilam mempunyai aktivitas tripanosidal
karena didalam minyak nilam mempunyai kandungan seskuiterpen yang tinggi terutama
senyawa patchouli alkohol.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

294

Sampai saat ini belum ada publikasi penelitian yang mengarah ke bidang
industri pangan, terutama pengujian aktivitas minyak nilam pada bakteri-bakteri yang
berkaitan dengan industri pangan, sanitasi dan kerusakan bahan pangan, juga belum
diketahui komponen apa yang aktif didalam minyak nilam yang mempunyai aktivitas
anti bakterial.
Bakteri-bakteri yang digunakan meliputi bakteri gram positif (Bacillus cereus,
yang menyebabkan kerusakan pada roti, dan Bacillus subtilis, yang menyebabkan
kerusakan yang umum terjadi di bahan makanan) dan bakteri gram negatif (Salmonella,
yang menyebabkan kerusakan pada makanan sumber protein dan lemak tinggi, dan
Escherichia coli, digunakan umum sebagai indeks dalam sanitasi), oleh karena itu
digunakan sebagai subyek dalam pengujian ini.
METODOLOGI
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak nilam yang berasal
dari hasil penyulingan petani nilam (Pogostemon cablin Benth) di Kecamatan Kota
Fajar Kabupaten Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun kondisi tempat
tanaman nilam yang digunakan untuk disuling yaitu ketinggian 500 m (di atas
permukaan laut), dengan relief berbukit dan jenis tanah ultisol. Minyak nilam yang
diperoleh langsung dari petani disimpan di dalam botol berwarna, ditutup dan
diletakkan di dalam ruang dingin dengan suhu 4C di Laboratorium Mikrobiologi
Pangan PAU UGM. Analisis komposisi kimia minyak nilam dilakukan di Laboratorium
Kimia Organik Fakultas MIPA UGM, sedangkan uj aktivitas antibakteri dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi Pangan, PAU UGM.
Peralatan yang digunakan untuk penelitian adalah satu set laperalatan distilasi
fraksinasi, GC-MS (Hewlett Packard 5890 series II-MSD 5970 series), dan
kromatografi gas (Shimadzu kolom CP-Sil-5-CB).
Cara penelitian
1. Analisis komposisi kimia penyusun minyak nilam
Analisis komposisi kimia penyusun minyak nilam dilakukan dengan
menggunakan GC-MS. Adapun kondisi operasi kromatografi gas adalah sebagai berikut
: kolom CP-Sil-5-CB, detektor ionisasi nyala, gas pendorong nitrogen, suhu injektor
220C, suhu detektor 250C, suhu kolom program 60-180C, kecepatan kenaikan
3C/menit, laju alir N2 kenaikan 3C/menit, laju alir H2 30 ml/menit, laju alir UT 40
ml/menit, sensitivitas 4 x 10 m, dan volume contoh 0,2 l. Sedangkan kondisi operasi
KG-SM yang digunakan sebagai berikut : temperatur kolom oven : 80C, temperatur
injektor : 300C, model injektor : split, model aliran kontrol : tekanan, tekanan : 35,6

295

SeminarHasilPenelitianUGM2009

kPa, aliran total : 71,1 mL/min, aliran kolom : 0,68 mL/min, kecepatan linier : 30,3
cm/dtk, rasio split : 99,7.
Identifikasi komponen-komponen minyak nilam dilakukan dengan melihat database dan
membandingkan massa spektra masing-masing komponen yang teridentifikasi dengan
literatur.
2. Fraksinasi minyak nilam
Fraksinasi minyak nilam dilakukan dengan metoda distilasi fraksinasi vakum.
Tekanan yang digunakan 4-6 mmHg. Sebanyak 300 g minyak nilam yang diperoleh dari
destilasi air dan uap dimasukkan ke dalam labu didih leher tiga 500 ml yang dilengkapi
dengan kolom vigreux panjang 50 cm, claisen, termometer, pendingin air dan 3 labu
penampung.
3. Uji aktivitas antibakteri minyak nilam dan fraksi-fraksinya
Uji aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan metoda difusi agar (Denyer
dkk., 1991). Mikroorganisme yang digunakan merupakan isolat yang diperoleh dari
FNCC Laboratorium Mikrobiologi Pangan PAU UGM Yogyakarta. Isolat yang
dimaksud adalah bakteri Gran-Negatif; Eschericia coli FNCC 0091 (IFO 3301),
Salmonella typhimurium FNCC 0135 (JCM 6978), dan bakteri Gram-Positif; Bacillus
subtilis FNCC 0059 (IFO 3335) dan Bacillus cereus FNCC 0047 (IFO 3328).
Masing-masing sampel (20 g) dilarutkan dalam 1 mL Dimethylformamida
(DMF). Sebanyak 20 l (ekuivalen dengan 1 mg) diteteskan pada sumuran berdiameter
8 mm media Mueller Hinton Agar (MHA) yang telah diinokulasi dengan bakteri uji.
Konsentrasi bakteri yang diinokulasikan adalah 106 colony-forming units (CFU)/mL
dengan umur 24 jam. Pengamatan terhadap aktivitas penghambatan pertumbuhan
bakteri dilakukan dengan mengukur inhibitory zones (diameter daerah hambat, DDH),
yakni daerah transparan/bening yang terbentuk disekitar sumuran. Kontrol negatif
dikerjakan dengan menggunakan larutan DMF tanpa penambahan sampel, sedang
kontrol positif dilakukan menggunakan metoda seperti diatas, sebagai pengganti sampel
dilakukan penambahan antibiotika ciprofloxacin sebanyak 20g/mL. Setiap perlakuan
dilakukan tiga ulangan.
Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dilakukan berdasarkan
prinsip pengukuran menggunakan metoda micro dilution tube yang dilakukan oleh
Katsura et al. (2001). Bakteri diinokulasikan pada medium yang sesuai dan diinkubasi
pada suhu 37C selama 48 jam untuk mencapai fasa seimbang (Stationary phase) (2,0 x
108 1,0 x 109 cfu/mL). Fraksi senyawa diujikan hingga diketahui konsentrasi
penghambatan minimumnya. Sebanyak 100 L suspensi mikrobia yang telah

SeminarHasilPenelitianUGM2009

296

diencerkan menjadi 105 cfu/mL diinokulasi pada setiap tabung yang berisi 10 mL media
yang mengandung fraksi senyawa hasil identifikasi 0-100 g/mL. Angka MIC
didefinisikan sebagai konsentrasi minimum sampel pada absorbansi < 0,05 pada = 610
nm setelah inkubasi selama 48 jam pada suhu 37C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Komposisi kimia penyusun minyak nilam
Hasil analisis minyak nilam menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa
terdapat 15 komponen kimia penyusun minyak nilam yang dapat teridentifikasi.
Identifikasi komponen-komponen minyak nilam dilakukan dengan melihat database dan
membandingkan massa spektra masing-masing komponen yang teridentifikasi dengan
literatur. Kromatogram hasil analisis komposisi kimia penyusun minyak nilam Aceh
ditunjukkan pada Gambar 1. Komposisi kimia minyak nilam hasil analisis dapat dilihat
pada Tabel 1.

Gambar 1. Kromatogram analisis komposisi kimia minyak nilam


Komponen-komponen kimia penyusun minyak nilam yang mempunyai
persentase terbesar berdasarkan persentase area adalah patchouli alcohol (32,60%), guaiene (23,07%), -guaiene (15,91%), seychellene (6,95%), dan -patchoulene
(5,47%). Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen kimia penyusun minyak nilam
terdiri dari senyawa seskuiterpen beroksigen (oxygenated sesquiterpenes) dan
seskuiterpen hidrokarbon (hydrocarbon sesquiterpenes) dan patchouli alkohol
merupakan komponen memiliki persentase terbesar di dalam minyak nilam.

297

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Tabel 1. Komponen-komponen kimia penyusun minyak nilam


No

Komponen

RT (menit)

Area (%)

-patchoulene

14,7

2,34

-elemene

14,7

1,17

2-(1.4.4-trimethyl-cyclohex-2enyl)-ethanol

15,2

0,55

Trans-caryophyllene

15,3

3,49

-guaiene

15,5

15,91

Seychellene

15,7

6,95

-humulene

16,8

0,69

-patchoulene

15,9

5,47

-gurjunene

15,9

1,47

10

Trans-caryophyllene

16,0

1,45

11

-guaiene

16,1

0,49

12

Alloaromadendrene

16,2

0,62

13

-guaiene

16,3

3,73

14

guaiene

16,5

23,07

15

Patchouli alcohol

18,7

32,60

Corine dan Sellier, (2004) mengidentifikasi 28 komponen kimia penyusun


minyak nilam dari Indonesia, dengan komponen utamanya adalah patchouli alcohol
(32,2%), -guaiene (16,7%), -guaiene (15,6%), -patchoulene (5,5%) dan seychellene
(5,3%). Sedangkan Dung, dkk., (1989) mengemukakan bahwa komponen utama
penyusun minyak nilam dari Vietnam adalah patchouli alKohol (37,8%), -bulnesene
(-guaiene) (14,7%), -guaiene (13,4%), -patchoulene (8,0%) dan seychellene (7,5%).
Perbedaan komponen kimia penyusun minyak nilam secara kualitatif maupun
kuantitatif dapat disebabkan karena perbedaan faktor-faktor lingkungan daerah asal
yang berbeda yang sangat mempengaruhi komposisi kimia dari minyak atsiri tersebut.
Menurut Nickavar dkk., (2004), perbedaan komposisi dan jumlah komponen penyusun
minyak dapat disebabkan karena variabilitas dari subspesies tanaman dan eksistensi
chemotypes yang berbeda.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

298

2. Fraksinasi minyak nilam


Hasil distilasi fraksinasi minyak nilam diperoleh enam fraksi yang ditunjukkan
pada Gambar 2 dan Tabel 2.

Gambar 2. Fraksi-fraksi minyak nilam


Tabel 2. Hasil distilasi fraksinasi minyak nilam
Suhu
Labu
(C)

Titik
Didih
Distilat
(C)

Tekanan

Hasil
(gram)

Yield
(%)

Kadar PA
(%)

95-100

87 92

6 mmHg

38,81,1

12,9

9,88

2
3
4
5

100-105
105-110
110-115
115-120

92 97
97 102
102 107
107 112

6 mmHg
6 mmHg
6 mmHg
6 mmHg

51,71,4
21,60,7
14,71,2
80,21,1

17,2
7,2
4,9
26,7

23,93
36,79
47,60
76,731,73

6
Resid
u

120-125

112 117
-

6 mmHg
-

83,01,1
8,20,4

27,7

81,781,55

Jumlah

298,30,8

Fraksi

Distilasi fraksinasi dilakukan dengan suhu labu antara 95C sampai dengan
125C pada tekanan 6 mmHg. Makin tinggi suhu labu menghasilkan fraksi dengan
kadar patchouli alkohol yang makin tinggi, yaitu 81,78% pada fraksi 6 dengan titik
didih distilat 112-117C (Tabel 2).

299

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Kromatogram fraksi minyak nilam mulai dari fraksi 1 sampai fraksi 6 ditunjukkan pada
Gambar 3.
Fraksi 1

Fraksi 2

Fraksi 3

Fraksi 4

Fraksi 5

Fraksi 6

Gambar 3. Kromatogram fraksi 1-6 hasil distilasi fraksinasi


Hasil penelitian Yanyan et al. (2004), dengan distilasi fraksinasi pada tekanan 75

SeminarHasilPenelitianUGM2009

300

mmHg diperoleh 2 fraksi. Pada fraksi 1 diperoleh kadar patchouli alkohol sebesar
35,55% dengan suhu titik didih distilat 46-80C, sedangan pada fraksi 2 diperoleh kadar
patchouli alkohol sebesar 49,9% dengan suhu titik didih distilat 80-120C.
Menurut Suryatmi (2008), analisis GC-MS hasil distilasi fraksinasi dengan
variasi suhu rotavapor 120C, 125C, 130C, 135C menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan kadar patchouli alkohol seiring dengan peningkatan suhu rotavapor yaitu
berurut-urut dari 15,22%, 26,99%, 42,18% dan 54,83%, dan sebaliknya terjadi
penurunan kadar norpatchoulenol, bulnesen, alpha-patchoulen, dan alpha-guajen.
Senyawa-senyawa yang tergolong fraksi ringan yang lebih mudah menguap adalah
bulnesen, alpha-patchoule, dan alpha-guajen, sedangkan senyawa yang tergolong fraksi
tengah yaitu norpatchoulenol, dan senyawa yang tergolong fraksi berat yang lebih sulit
menguap yaitu patchouli alkohol.
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa makin tinggi nomor fraksi (fraksi 6) maka
makin sedikit macam komponen penyusunnya, hal ini disebabkan karena komponen
yang bertitik didih rendah telah menguap terlebih dahulu pada fraksi-fraksi sebelumnya.
Meningkatnya kadar PA disebabkan karena menurunnya kadar komponen non PA yang
lain. Hasil analisis komposisi masing-masing fraksi dengan menggunakan GC-MS
menunjukkan bahwa kadar patchouli alkohol meningkat dari fraksi 1 sampai fraksi 6,
sebaliknya terjadi penurunan kadar -guaiena, -guaiena, seychellena dan patchoulena. Komponen seychellena dan -patchoulena sudah tidak dijumpai lagi
mulai fraksi 5 dan 6.
Redistilasi fraksinasi dari fraksi 6 diperoleh 3 fraksi yang ditunjukkan pada
Tabel 3. Ketiga fraksi yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis kadar patchouli
alkohol masing-masing fraksi dengan menggunakan GC-MS.
Tabel 3. Hasil redistilasi fraksinasi dari fraksi 6 minyak nilam
Fraksi
6.1

Suhu

Labu Titik

Tekanan Hasil
o

(C)

Didih( C)

125-130

110-113

6.2

130-135

113-116

6.3

135-140

116-118

Residu

4
mmHg
4
mmHg
4
mmHg
Jumlah

301

Yield

Kadar

(gram)

(%)

(%)

10,50,6

12,65

85,21,1

12,00,3

14,46

87,80,7

58,21,0

70,12

89,90,2

PA

2,10,6
82,90,4

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Fraksi 6.3 merupakan fraksi yang mengandung kadar patchouli alkohol paling
tinggi, yaitu 89,91%. Hal ini karena patchouli alkohol mempunyai titik didih yang lebih
tinggi dibandingkan komponen penyusun minyak nilam yang lain sehingga kadar PA
lebih tinggi pada fraksi terakhir (fraksi 3). Menurut Guenther (1948), patchouli alkohol
mempunyai titik didih yang lebih tinggi dibandingkan dengan komponen penyusun
minyak nilam yang lain (140oC pada tekanan 8 mmHg). Pada penelitian ini titik didih
untuk fraksi 3 yaitu 116-118oC dengan tekanan yang lebih rendah yaitu 4 mmHg.
Hasil kristalisasi pertama dari fraksi 6.3 (redistilasi fraksinasi fraksi 6 dari
distilasi fraksinasi pertama) diperoleh yield kristal patchouli alkohol sebesar 26,86%
dari berat awal fraksi 6.3 (58,2 gram) dengan warna kristal putih agak kekuningan,
sedangkan hasil rekristalisasi kedua diperoleh yield kristal patchouli alkohol 26,23%
dari berat awal kristalisasi I (15,63 gram) dengan warna kristal putih. Hasil pengujian
titik lebur kristal patchouli alkohol yaitu 55C-56C pada kristalisasi pertama dan
55,5C-56C pada rekristalisasi kedua. Hal ini sejalan dengan penelitian Bulan (2000)
yaitu 55C -57C pada rekristalisasi pertama, dan 55,5C-56C pada rekristalisasi
kedua. Menurut Dummond (1960), titik lebur patchouli alkohol adalah 56C.
Kromatogram dan komposisi kristal patchouli alkohol hasil analisis dengan
menggunakan GC-MS ditunjukkan pada Gambar 4 dan Tabel 4. Kemurnian patchouli
alkohol yang dicapai adalah 95,68%. Kristal patchouli alkohol yang dihasil ditunjukkan
pada Gambar 5.

Gambar 4. Kromatogram kristal patchouli alkohol

SeminarHasilPenelitianUGM2009

302

Tabel 4. Komposisi kristal patchouli alkohol


No

Komponen

Waktu retensi

Area (%)

4-(2.6.6-Trimethyl-cyclohex-1-en-1yl)butan-2-ol

16,23

0,93

1H-Cycloprop azulen-4-ol,decahydro1,1,4.7-tetramethyl

16,64

3,40

Patchouli alkohol

16,88

95,68

Gambar 5. Kristal patchouli alkohol


3. Aktivitas antibakteri minyak nilam dan kristal patchouli alkohol
Hasil pengujian sifat antibakteri minyak nilam dan fraksi-fraksinya dapat dilihat
pada Tabel 5. Sifat antibakteri ditunjukkan dengan terdapatnya zona jernih yang
terbentuk di sekitar sumuran tempat inokulasi bakteri uji. Uji antibakteri yang dilakukan
terhadap Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis dan Bacillus
cereus dari fraksi-fraksi minyak nilam, menunjukkan bahwa fraksi 1 sampai 6 dari hasil
fraksinasi minyak nilam mempunyai kemampuan menghambat semua bakteri yang
diuji.
Makin tinggi kadar patchouli alkohol menghasilkan aktivitas antibakteri yang
makin kuat, yang dilihat dari zona jernih penghambatan dari masing-masing bakteri
yang diuji. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis sampel dan bakteri berpengaruh

303

SeminarHasilPenelitianUGM2009

sangat nyata terhadap diameter zona jernih penghambatan. Terdapat interaksi pengaruh
jenis sampel dan bakteri terhadap diameter zona jernih penghambatan. Untuk pengaruh
jenis sampel, fraksi 6 menghasilkan rata-rata diameter zona jernih yang terbesar dan
tidak signifikan jika dibandingkan dengan ciprofloxacin terhadap bakteri E.Coli,
S.typhimurium, dan B.cereus, sedangkan terhadap bakteri B.subtilis fraksi 6 mempunyai
rata-rata diameter zona jernih signifikan jika dibandingkan dengan ciprofloxacin.
Patchouli alkohol yang merupakan komponen yang mempunyai konsentrasi terbesar di
dalam minyak nilam diduga yang berperan terhadap aktivitas antibakteri minyak nilam
dan fraksi-fraksi minyak nilam.
Tabel 5. Aktivitas antibakteri minyak nilam dan fraksi-fraksinya
Sampel

Kadar
PA

Diameter daerah hambat (mm)

(%)

bakteri Gram-negatif
bakteri Gram-positif
E. coli
S.typhimurium B. cereus
B.subtilis

Minyak

0,82

11,30,3hi 12,30,7ij

24,30,3o

nilam
Fraksi 1
Fraksi 2
Fraksi 3

0,25
0,60
0,92

3,30,7a
5,30,7c
7,30,7e

4,30,7b
6,30,7d
8.30,3f

8,30,3f
9,30,4g
10,30,3gh 11,30,3hi
12,30,3ij 13,30,3j

Fraksi 4
Fraksi 5
Fraksi 6
Ciprofloxacin

1,19
1,98
2,01
-

9,70,3g
11,30,7hi
15,30,3k
15,30,7k

10,30,7gh
12,30.3ij
16,70,3l
16,30,3kl

16,30,3kl
20,70,3n
24,70,3o
24,30,3o

25,30,3o

17,70,3m
21,30,3n
26,30,3p
25,30,7o

Hasil pengujian aktivitas antibakteri fraksi-fraksi minyak nilam, fraksi 6


mempunyai kemampuan penghambatan lebih besar terhadap semua bakteri uji
dibandingkan dengan fraksi 1-5. Hal ini diduga karena mempunyai kadar patchouli
alkohol yang lebih tinggi. Tetapi, aktivitas antibakteri minyak nilam lebih tinggi
dibandingkan dengan fraksi 3 dan 4 yang mempunyai kadar PA lebih tinggi. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena ada komponen lain didalam minyak nilam yang juga
berperan sebagai antibakteri, dimana komponen ini pada fraksi 3 dan 4 sudah tidak ada
lagi atau mempunyai konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan pada fraksi minyak
nilam, yang disebabkan sudah menguap karena proses fraksinasi. Dari hasil analisis
komposisi fraksi 3 dan 4 dengan menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa komponen
yang tidak dijumpai lagi adalah -patchoulena. Selain itu adanya sinergisisme antar
komponen lain di dalam minyak nilam diduga ikut berperan terhadap aktivitas
antibakteri minyak nilam.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

304

Aktivitas penghambatan minyak nilam dan fraksi-fraksinya terhadap bakteri


gram-positif (B. subtilis dan B.cereus) lebih besar dibandingkan dengan aktivitas
penghambatan terhadap bakteri gram-negatif (E.coli dan S.typhimurium). Hal ini dapat
disebabkan karena bakteri gram-negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap
senyawa antibakteri dibandingkan dengan bakteri gram-positif. Bakteri Gram-negatif
mempunyai struktur dinding sel lebih kompleks, berlapis tiga yaitu lapisan luar yang
berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa lipopolisakarida dan lapisan dalam
berupa peptidoglikan (Branen et al. 1993). Sedangkan bakteri Gram-positif mempunyai
struktur dinding sel bakteri yang lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa
antibakteri untuk masuk kedalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja (Pelczar
dan Chan, 1986)
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas fraksi-fraksi minyak nilam menunjukkan
kecenderungan bahwa makin tinggi kadar patchouli alkohol menyebabkan daya
penghambatan makin tinggi. Patchouli alkohol diduga merupakan salah satu komponen
aktif yang mempengaruhi aktivitas antibakteri minyak nilam, karena mempunyai
konsentrasi yang terbesar di dalam minyak nilam dan merupakan senyawa seskuiterpen
alkohol. Menurut El-Shazly dan Hussein, (2004) bahwa senyawa seskuiterpen terutama
seskuiterpen alkohol sangat menentukan aktivitas antibakteri minyak atsiri Teucrium
leucocladum Boiss. Komponen utama minyak atsiri Teucrium leucocladum Boiss adalah
patchouli alkohol dengan persentase 31,2%. Ditambahkan pula oleh Ryan dan Byrne
(1988) bahwa tingginya kandungan seskuiterpen dan monoterpen di dalam minyak atsiri
mempengaruhi permeabiliti dan aktivitas membran protein dari mikrobia dan larvasidal.
Komponen yang memiliki gugus OH lebih efektif melawan larvasidal dibandingkan
komponen yang tidak memiliki gugus hidroksi.
Untuk melihat korelasi kadar patchouli alkohol dengan kemampuan
penghambatan antibakterinya berikut ini hasil pengujian aktivitas antibakteri minyak
nilam dengan kadar patchouli alkohol yang berbeda (Tabel 6). Patchouli alkohol yang
ditambahkan ke dalam minyak nilam dalam bentuk kristal dengan kemurnian 96,17%.
Makin tinggi kadar patchouli alkohol didalam sampel menyebabkan makin
meningkatnya luas daerah penghambatan pada semua bakteri yang diuji. Hal ini
memperkuat dugaan bahwa patchouli alkohol merupakan komponen aktif minyak nilam
yang mempengaruhi kemampuan aktivitas antibakteri minyak nilam.
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) minyak nilam dan patchouli alkohol
untuk masing-masing bakteri yang diuji dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai MIC patchouli
alkohol lebih rendah dibandingkan MIC minyak nilam untuk semua bakteri yang diuji.
Hal ini berarti penggunaan patchouli alkohol lebih sedikit dibandingkan dengan minyak
nilam sehingga diharapkan tidak mengubah sifat sensoris produk, sehingga peningkatan

305

SeminarHasilPenelitianUGM2009

kadar patchouli alkohol diperlukan dalam hal ini.


Tabel 6. Korelasi kadar patchouli alkohol dan aktivitas antibakteri
Minyak nilam
dengan kadar

Kadar
PA

PA berbeda

Diameter daerah hambat (mm)

(%)

Bakteri gram negatif


E. coli S.typhimurium

Bakteri gram positif


B. cereus
B.subtilis

Sampel A
Sampel B

0,81
1,41

11,71,1a
13,30,6b

12,70,6ab
15,01,0c

24,30,6f
29,01,0g

25,30,6f
31,31,5h

Sampel C
Sampel D

2,01
3,21

17,71,1d
22,30,6e

18,30,6d
25,30,6f

36,70,6l
41.321,1k

38,30,6j
42.01,0k

Tabel 7. MIC minyak nilam dan kristal PA untuk bakteri yang diuji
Bakteri

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) (g/ml)


Minyak nilam

Patchouli alkohol

Bacillus subtilis
Bacillus cereus

31,5
33,5

12,5
13,0

Salmonella typhimurium
Escherichia coli

54,5
57,0

32,5
33,0

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa minyak nilam dan fraksifraksinya mempunyai aktifitas penghambatan terhadap semua bakteri yang diuji. Hal ini
menunjukkan bahwa minyak nilam dan fraksi-fraksinya mempunyai potensi sebagai
antibakteri. Patchouli alkohol diduga merupakan salah satu komponen aktif yang
menentukan sifat antibakteri di dalam minyak nilam.
KESIMPULAN
Minyak nilam Aceh memiliki 15 komponen yang dapat terdeteksi. Komponenkomponen penyusun minyak nilam terdiri dari golongan seskuiterpen hidrokarbon
(hydrocarbon sesquiterpenes) dan seskuiterpen beroksigen (oxygenated sesquiterpene).
Lima komponen terbesar penyusun minyak nilam Aceh yang persentasenya diatas 5%
adalah
patchouli alkohol (32,60%), -guaiena (23,07%), -guaiena (15,91%),
seychellena (6,95%), dan -patchoulena (5,47%). Minyak nilam dan fraksi-fraksinya
mempunyai kemampuan sebagai antibakterial. Aktivitas penghambatan terhadap
bakteri Gram-positif lebih besar dibandingkan dengan bakteri Gram-negatif. MIC
minyak nilam untuk bakteri Bacillus subtilis 31,5 g/mL, Bacillus cereus 33,5 g/mL,
Salmonella typhimurium 54,4 g/mL dan Escherichia coli 57,0 g/mL.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

306

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada LPPM-UGM yang telah
memberikan bantuan dana penelitian melalui program hibah doktor untuk membantu
membiayai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Branen, A.L., Davidson, P.M., and Katz, B., 1993, Antimicrobial Properties of Phenolic
Antioxidants and Lipids. J. Food Tech., 34, 42-53
Bulan, R., 2000. Isolasi, Identifikasi dan Sintesis Turunan Patchouli Alkohol dari
Minyak Nilam. Tesis FMIPA UGM. Yogyakarta.
Denyer, S.P., W.B. Hugo., 1991, Mechanisms of Action Chemical Biocides. Blackwell
Scientific Publications. Oxford
Dung, N.X., Leclercq, P.A., Thain, T.H., and Moi, L.D., 1989, Chemical Composition of
Patchouli Oil from Vietnam. J. Essent. Oil Res. March/April;1
Corine, M.B., and Sellier, N.M., 2004, Analysis of The Essential Oil of Indonesian
Patchouli (Pogostemon cablin Benth.) Using GC/MS (EI/CI). J. Essent. Oil Res.,
Jan/Feb;16
El-Shazly, A.M., and Hussein, K. T., 2004. Chemichal Analysisi and Biological
Activities of The Essential Oil of Teuricrium leucocladum Boiss. (Lamiaceae).
J. Biochemical Systematics and Ecology (32) : 665-674.
Guenther, E., 1949, Essential Oils, Volume II, Van Nostrand Reinhold Company, New
York
Hosni, K., Msaada, K., Taarit, M.B., Ouchikh, O., Kallrl, M., and Marzouk, B., 2008.
Essential Oil Composition of Hypericum perfoliatum L. and Hypericum
tomentosum L. growing Wild in Tunisia. J. Industrial Crops and Products, 27 ,
308-314
Kiuchi, F., K. Matsuo., M. Ito., T.K. Qui., and G. Honda., 2004, New Sesquiterpen
Hydroperoxides with Trypanocidal Activity from Pogostemon cablin. J. Che,
Pharn. Bull, 52 (12), 1495-1496
Mann, C.M., and J.L. Markham., 1998. A New Method for Determining The Minimum
Inhibitory Concentration of Essential Oils. Journal of Applied Microbiology 84,
538 544.
Nickavar, B., Mojab, F., and Dolat-Abadi, R., 2004. Analysis of Essential Oil of Two
Thymus Species from Iran. J. Food Chemistry, 90, 609-611
Olasupo, N.A., D.J. Fitzgerald., M.J. Gasson, and A. Narbad., 2003. Activity of Natural
Antimicrobial Compounds Against Escherichia coli and Salmonella enterica
serovar Thyphimurium. Letters in Applied Microbiology 37 (6) : 448-456.

307

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Pelczar, M.J., and E.C.S, Chan., 1986, Dasar-dasar Mikrobiology I. Penterjemah : R.S.
Hadioetomo, T. Imas, S.S, Tjitrosomo. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Ryan, M.F., and O. Byrne., 1988, Plant Insect Coevolution and Inhibition of
Acetylcholinestrase. J. Chem. Ecol, 14, 1965-1975.
Suryatmi, R.D., 2008. Fraksinasi minyak nilam. Prosiding Konferensi Nasional Minyak
Atsiri. Surabaya, 2-4 Desember 2008.
Yanyan, F.N., Zainuddin, A., dan Sumiarsa, D., 2004. Peningkatan Kadar Patchouli
Alkohol dalam Minyak Nilam (Patchouli Oil) dan Usaha Derivatisasi
Komponen Minornya. Perkembangan Teknologi TRO, VOL. XVI, No. 2.
Zhao, Z., J. Lu., K. Leung., C.H. Chan., and ZH. Jiang., 2005. Determination of
Patchoulic Alcohol in Herba Pogostemonis by GC-MS-MS. J. Chem. Pharn.
Bull, 53 (7), 856-860

SeminarHasilPenelitianUGM2009

308

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT


PROTEOLITIK DARI SUSU KEDELAI YANG TERFERMENTASI
SPONTAN**
Yusmarini1,2*, R. Indrati,1 T. Utami1 dan Y. Marsono1
1
Fakultas Teknologi Pertanian -Universitas Gadjah Mada
2
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian - Universitas Riau

ABSTRACT
Lactic acid bacteria is a group of bacteria with proteolytic activities enambling
to grow on protein rich substrate such as soymilk. This research was aim to isolate and
identify lactic acid bacteria with have proteolytic activity from spontaneous fermented
soy milk. Sixteen isolates out of 26 colonies isolated from fermented soymilk are
presumed as lactic acid bacteria. Among these 16 isolates, only 3 of them showed
proteolytic activity. These three isolates were further identify morphologically and only
two isolates identified as Lactic Acid Bacteria, namely R.1.3.2 and R.11.1.2. The ability
of these isolates to produce acid and protease were observed. The results showed that
isolate R 1.2.3 higher ability in producing protease.
Keywords : fermented soymilk, isolation and identification, lactic acid bacteria,
proteolytic activity,
PENDAHULUAN
Produk fermentasi dari susu kedelai merupakan salah satu produk olahan susu
kedelai yang dibuat dengan menambahkan bakteri asam laktat (BAL). Produk ini
dikenal mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan diantaranya dapat menurunkan
kolesterol (hipokolesterolemik). Efek hipokolesterolemik dari susu fermentasi dapat
berasal dari BAL yang digunakan (Lestari, dkk., 2004) maupun dari senyawa bioaktif
seperti peptida yang merupakan hasil hidrolisis protein oleh enzim protease yang
dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Nisa, dkk., 2006).
Tidak semua BAL dapat hidup dengan baik pada susu kedelai. Hal ini
disebabkan karena tidak semua BAL menghasilkan enzim -galaktosidase yang
dibutuhkan untuk menghidrolisis rafinosa dan stakiosa yang banyak terdapat pada susu
kedelai. Hanya BAL yang mampu memanfaatkan karbohidrat yang ada pada susu
kedelai terutama rafinosa dan stakiosa yang dapat hidup dan berkembang biak dengan
baik. Streptococcus thermophilus dan Lactobacilus bulgaricus tidak dapat tumbuh dan
berkembang biak dengan baik pada susu kedelai kecuali jika susu kedelai tersebut
ditambah gula seperti sukrosa, laktosa dan glukosa. Tanasupawat (1993) menyatakan
bahwa beberapa BAL yang diisolasi dari beberapa tanaman dapat memanfaatkan
rafinosa seperti Lactobacilus pentosus strain FP21-1 (bamboo shoot), FP41-1 (tea
leaves), dan F18-1 (vegetable). Bordignon et al. (2004) menambahkan bahwa
Bifidobacterium bifidum JCM 1255, B. breve JCM 1192, B. infantis JCM 1222 serta L.
casei subsp. rhamnosus IFO 3425 juga dapat memanfaatkan rafinosa dan stakiosa yang
terdapat pada kedelai. Kenyataan ini menunjukkan bahwa rafinosa dan stakiosa yang
terdapat pada kedelai sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh bakteri-bakteri tertentu. Di
dalam susu susu kedelai yang terfermentasi secara spontan akan tumbuh dan
berkembang biak bermacam-macam mikrobia dan kemungkinan diantaranya adalah

309

SeminarHasilPenelitianUGM2009

bakteri asam laktat yang dapat menghasilkan enzim -galaktosidase yang dibutuhkan
untuk menghidrolisis rafinosa dan stakiosa yang terdapat pada susu kedelai.
Bakteri asam laktat mempunyai sistem proteolitik yang kompleks yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan BAL itu sendiri dan juga memberi kontribusi yang
nyata pada pembentukan flavor produk fermentasi. Menurut Piraino et al. (2007)
aktivitas proteolitik
S. thermophilus lebih rendah dibandingkan L. casei, L.
helveticus, L. rhamnosus dan
Lc. lactis, namun S. thermophilus memproduksi
asam lebih cepat. Garabal et al. (2007) menyatakan bahwa Lactococcus lactis
mempunyai aktivitas proteolitik lebih besar dibandingkan Lactobacilli dan Leuconostoc.
Diharapkan dengan mengisolasi BAL dari susu kedelai yang terfermentasi secara
spontan akan diperoleh isolat BAL yang mampu memfermentasi susu kedelai dan
menghasilkan enzim protease yang akan menghidrolisis protein menjadi peptida yang
mampu menurunkan kolesterol plasma. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi BAL proteolitik dari susu kedelai yang terfermentasi
spontan.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai varietas
Anjasmoro yang diperoleh dari Balai Benih Tanaman Palawija Wonosari dan bahanbahan kimia diantaranya MRS broth (Merck), NaCl (Merck), CaCO3 (Merck), agar
teknis, dan susu skim (Lactona) serta bahan-bahan lainnya yang diperlukan untuk
isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat serta uji aktivitas proteolitik.
Pembuatan Susu Kedelai
Susu kedelai dibuat dengan menggunakan metode Pusbangtepa IPB (Nisa, et al.
2006) dengan sedikit modifikasi. Biji kedelai kering disortir dan direndam dalam air
selama 8 jam, kemudian dicuci dan ditiriskan lalu direbus hingga matang dan dicuci.
Kedelai matang dihancurkan dengan blender sambil ditambahkan air panas dengan
perbandingan 1:6, lalu disaring dengan menggunakan kain bersih yang telah dicuci
dengan air panas. Susu kedelai yang dihasilkan kemudian dimasak pada suhu 800C
selama 5 menit dan dimasukkan ke dalam 4 botol kaca. Dua botol susu kedelai
ditambah gula pasir sebanyak 0,5% sedangkan dua botol tidak ditambah gula.
Kemudian botol ditutup dengan alumuniun foil dan plastik lalu diinkubasi pada suhu
370C selama 1-2 hari sehingga terfermentasi secara spontan. Setelah itu diamati nilai
pH dan aroma dari susu kedelai yang telah terfermentasi secara spontan dan selanjutnya
dilakukan isolasi serta pemurnian terhadap isolat yang tumbuh.
Isolasi dan Pemurnian Isolat
Isolasi bakteri asam laktat menggunakan metode pour plate, dimana 1 ml susu
kedelai yang telah difermentasi secara spontan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan
0,85% garam fisiologis steril dan digojog. Kemudian dilakukan serial pengenceran
sampai dengan 10-8. Dari masing-masing seri pengenceran diambil 1 ml dan diinokulasi
pada media MRS agar yang telah ditambah 0,2% CaCO3. Inkubasi dilakukan pada suhu
370C selama 1-2 hari. Isolat yang membentuk zona jernih pada media MRS agar dan
memiliki kenampakan berbeda diisolasi dan dilakukan pemurnian dengan metode
goresan (spread plate) pada media yang sama. Perlakuan ini diulang 3 kali sehingga
akan diperoleh isolat murni.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

310

Uji aktivitas proteolitik (kualitatif)


Isolat yang diduga BAL diuji aktivitas proteolitiknya secara kualitatif dengan
menggunakan metode Dakwa et al. (2005) dengan sedikit modifikasi. Aliquot dari
suspensi jernih ditusukkan pada media skim milk agar yang mengandung 3% skim milk
dan 3% agar. Inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama 1-3 hari. Isolat yang
mempunyai aktivitas proteolitik akan membentuk zona jernih pada media skim milk
agar. Diameter zona jernih diukur untuk masing-masing isolat.
Identifikasi Bakteri Asam Laktat
Identifikasi isolat BAL dilakukan berdasarkan pada karakteristik morfologi
(bentuk sel), uji katalase, pewarnaan Gram, motilitas dan tipe fermentasi (Rahayu dan
Margino, 1997). Isolat murni yang menunjukkan kriteria katalase negatif (-), Gram
positif (+) dan non motil diidentifikasi sebagai BAL.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai pH dan aroma susu kedelai yang terfermentasi spontan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses fermentasi secara spontan pada susu
kedelai akan mengakibatkan terjadinya penurunan nilai pH. Susu kedelai sebelum
difermentasi mempunyai pH 6,7 dan setelah difermentasi secara spontan selama 1-2 hari
terjadi penurunan nilai pH yakni berkisar antara 4,94 5,38 seperti terlihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Nilai pH dan aroma susu kedelai yang terfermentasi secara spontan
NO
PENGAMATAN
NILAI pH
AROMA
0
1. Fermentasi selama 1 hari pada suhu 37 C
a. Susu kedelai tanpa penambahan gula
5,38
Berbau asam (+)
b. Susu kedelai ditambah gula 0,5%
4,94
Berbau lebih asam (++)
2.
a.
b.

Fermentasi selama 2 hari pada suhu 370C


Susu kedelai tanpa penambahan gula

5,10

Susu kedelai ditambah gula 0,5%

5,07

Berbau asam dan sedikit


busuk (+)
Berbau busuk (++)

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa susu kedelai yang ditambah gula
sebanyak 0,5% dan difermentasi selama 1 hari mempunyai pH lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan gula. Meskipun demikian pada
perlakuan tanpa penambahan gula juga terjadi penurunan nilai pH namun penurunan
tersebut tidak setinggi perlakuan yang ditambah gula. Hal ini menunjukkan bahwa
mikrobia yang terdapat pada susu kedelai tersebut mampu memanfaatkan sumber gula
yang ada pada susu kedelai terutama sukrosa, rafinosa dan stakiosa dan menghasilkan
asam. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Tanasupawat (1993) yang
menyatakan bahwa beberapa BAL yang diisolasi dari beberapa tanaman dapat
memanfaatkan rafinosa dan stakiosa seperti L. pentosus yang diisolasi dari tumbuhtumbuhan dapat memanfaatkan rafinosa yang terkandung pada kedelai. Bordignon et al.
(2004) juga melaporkan bahwa Bifidobacterium bifidum JCM 1255, B. breve JCM
1192, B.infantis JCM 1222 serta L.casei subsp.rhamnosus IFO 3425 dapat
memanfaatkan rafinosa dan stakiosa yang terdapat pada kedelai.

311

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Penambahan sumber gula berupa sukrosa mampu memacu pertumbuhan


mikrobia. Mikrobia terutama bakteri asam laktat akan memetabolisir karbohidrat
menjadi energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bakteri dan dari hasil
metabolisir tersebut juga akan dihasilkan asam-asam organik yang menyebabkan
terjadinya penurunan pH susu kedelai. Namun setelah difermentasi selama dua hari,
susu kedelai yang ditambah gula menunjukkan peningkatan nilai pH yakni dari 4,94
pada hari pertama menjadi 5,07 pada hari kedua. Hal ini disebabkan karena adanya
degradasi protein lebih lanjut menjadi amonia yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan nilai pH dan timbulnya aroma busuk pada susu kedelai fermentasi.
Inkubasi dilakukan pada suhu 370C dimana bakteri asam laktat umumnya
tumbuh pada kisaran suhu tersebut. Menurut Steamer (1979) bakteri asam laktat
mempunyai suhu pertumbuhan yang optimun pada kisaran 30-400C. Namun hasil
penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa inkubasi yang dilakukan pada suhu kamar
(300C) akan menghasilkan susu kedelai yang berbau busuk karena bakteri pembusuk
lebih dominan tumbuh pada suhu tersebut. Oleh karena itu inkubasi susu kedelai
dilakukan pada suhu 370C.
Isolasi dan Pemurnian Isolat
Setelah dilakukan isolasi mikrobia dari susu kedelai yang terfermentasi spontan
dan dilakukan pemurnian diperoleh sebanyak 26 isolat. Dari 26 isolat yang diperoleh
hanya 16 isolat yang menghasilkan zona jernih pada media MRS Agar yang ditambah
CaCO3 (Tabel 2) yang mengindikasikan adanya produksi asam dari isolat tersebut.
Keenambelas isolat ini diduga sebagai bakteri asam laktat. Dua contoh isolat yang
dominan menghasilkan asam disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kemampuan isolat memproduksi asam pada media MRS agar


Isolat yang diduga sebagai bakteri asam laktat kemudian diuji kemampuannya
menghasilkan enzim protease pada media skim milk agar. Hasil pengujian terlihat pada
Gambar 2 dan Tabel 3.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

312

Tabel 2. Hasil isolasi dan pemurnian pada media MRS Agar


ZONA JERNIH
ZONA JERNIH
NO
KODE ISOLAT
NO KODE ISOLAT
(MRS)
(MRS)
1. R.1.2.2
+
17. R.1.2.1
2. R.1.3.2
+
18. R.4.2.1
3. R.2.1.1
+
19. R.7.1.2
4. R.2.1.2
+
20. R.9.4.1
5. R.3.1.2
+
21. R.9.3.1
6. R.4.1.2
+
22. R.9.3.2
7. R.5.1.2
+
23. R.10.3.1
8. R.8.1.2
+
24. R.10.4.1
9. R.9.4.2
+
25. R.10.6.1
10. R.9.4.3
+
26. R.10.6.2
11. R.10.1.1
+
12. R.10.1.2
+
13. R.10.3.2
+
14. R.10.4.2
+
15. R.10.5.2
+
16. R.11.1.2
+
Keterangan : + menghasilkan asam
- tidak menghasilkan asam
Dari 16 isolat yang diduga sebagai bakteri asam laktat, hanya 3 isolat yang
mampu menghasilkan enzim protease yakni R1.3.2 ; R.10.5.2 dan R.11.1.2. Namun
setelah dilakukan identifikasi secara mikroskopis, uji katalase dan biokimia hanya
isolat R.1.3.2 dan R.11.1.2 yang teridentifikasi sebagai bakteri asam laktat.

Isolat R.11.1.2

Isolat R.1.3.2

Gambar 2. Kemampuan proteolitik dari isolat R.1.3.2 dan R.11.1.2


pada media skim milk agar
Zona jernih yang dihasilkan oleh isolat R.1.3.2 dan R.11.1.2 pada media skim
milk (Gambar 2) menunjukkan kemampuan kedua isolat tersebut dalam memproduksi
enzim protease. Semakin besar zona jernih yang dihasilkan berarti semakin besar pula
kemampuan isolat tersebut untuk menghasilkan enzim protease.

313

SeminarHasilPenelitianUGM2009

NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Tabel 3. Hasil pengujian zona jernih pada media Skim Milk Agar
DIAMETER ZONA JERNIH (SKIM)
KODE ISOLAT
HARI PERTAMA
HARI KETIGA
R.1.2.2
R.1.3.2
0,825 cm
1,725 cm
R.2.1.1
R.2.1.2
R.3.1.2
R.4.1.2
R.5.1.2
R.8.1.2
R.9.4.2
R.9.4.3
R.10.1.1
R.10.1.2
R.10.3.2
R.10.4.2
R.10.5.2
0,825 cm
1,725 cm
R.11.1.2
0,750 cm
1,650 cm

Dari hasil pengukuran diameter zona jernih (Tabel 3) diketahui bahwa ada
perbedaan kemampuan isolat dalam menghasilkan enzim protease. Isolat R.1.3.2 dan
R.10.5.2 mempunyai diameter zona jernih sedikit lebih besar dibandingkan dengan
isolat R.11.1.2 baik pada hari pertama maupun hari ketiga inkubasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa isolat R.1.3.2 dan R.10.5.2 secara kualitatif mempunyai
kemampuan proteolitik lebih besar dibandingkan isolat R.1.1.2. Nakazawa dan Hosono,
(1992) menyatakan bahwa aktivitas proteolitik dari BAL berbeda untuk masing-masing
strain sekalipun berada dalam satu spesies. Hasil penelitian Gobbetti et al.(1996)
menunjukkan bahwa aktivitas spesifik dari enzim protease yang dihasilkan oleh L.
plantarum DC400 lebih besar dibanding L.acidophilus BF4 maupun L.fermentum CC5.
Identifikasi bakteri asam laktat
Isolat yang menghasilkan asam yang ditandai dengan adanya zona jernih pada
media MRS agar dan mempunyai aktivitas proteolitik, kemudian diidentifikasi lebih
lanjut. Hasil identifikasi yang meliputi pewarnaan Gram, uji katalase dan produksi gas
disajikan pada Tabel 4 sedangkan bentuk morfologis dari isolat disajikan pada Gambar
3.
Tabel 4. Identifikasi bakeri asam laktat
DIAMETER ZONA
ZONA
JERNIH (MRS)
GRA
PRODUKSI
KODE
JERNIH
NO
M KATALASE
GAS
ISOLAT 24 jam
48 jam
(SKIM)
(cm)
(cm)
1. R.1.3.2
1,000
2,100
+
+
2. R.10.5.2
0,700
1,300
+
+
+
3. R.11.1.2
1,075
1,975
+
+
Keterangan : + membentuk zona jernih pada media, isolat berwarna violet, memiliki
katalase
- tidak memiliki katalase, tidak menghasilkan gas

SeminarHasilPenelitianUGM2009

314

Pengamatan adanya zona jernih baik pada media MRS agar maupun pada media
skim milk agar dilakukan setelah masing-masing isolat diinokulasi pada media dan
diinkubasi pada suhu 370C selama 24 dan 48 jam.
Berdasarkan data pada Tabel 4 diketahui bahwa dari 3 isolat yang menghasilkan
asam dan mempunyai aktivitas proteolitik ternyata hanya 2 isolat yang teridentifikasi
sebagai bakteri asam laktat yakni isolat R.1.3.2 dan R.11.1.2. Wood, (1992)
menyatakan bahwa kriteria bakteri asam laktat antara lain gram positif, katalase negatif,
berbentuk batang atau bulat dan dapat bersifat homofermentatif ataupun
heterofermentatif
Ada perbedaan kemampuan isolat untuk menghasilkan asam yang terlihat dari
adanya zona jernih pada media MRS agar. Diameter zona jernih pada media MRS agar
yang dihasilkan oleh isolat R.11.1.2 pada 24 jam pertama inkubasi sedikit lebih besar
dibandingkan dengan isolat R.1.3.2. Diduga bahwa kemampuan isolat R.11.1.2 untuk
menghasilkan asam pada media MRS sedikit lebih tinggi atau isolat tersebut lebih cepat
menghasilkan asam dibanding R.1.3.2 pada 24 jam pertama inkubasi. Namun pada 48
jam inkubasi kemampuan R.11.1.2 untuk menghasilkan asam lebih rendah
dibandingkan dengan R.1.3.2. (Tabel 4) secara kualitatif. Menurut Angeles dan Marth
(1971) produksi asam tergantung pada kemampuan mikroorganisme dalam
menggunakan karbohidrat yang terdapat dalam medium. Selanjutnya Piraino et al.
(2007), menyatakan bahwa kemampuan bakteri asam laktat untuk menghasilkan asam
berbeda-beda dan dinyatakan bahwa Streptococcus thermophilus memproduksi asam
lebih cepat dibandingkan Lactobacillus casei, L. helveticus, L. rhamnosus dan
Lactococcus. lactis.
Hasil pewarnaan Gram terhadap ketiga isolat yakni R.1.3.2 , R.10.5.2 dan
R.11.1.2 menunjukkan Gram positif (sel bakteri terlihat berwarna violet). Sedangkan
dari hasil pengujian katalase diketahui bahwa isolat R.10.5.2 menunjukkan hasil yang
positif. Berdasarkan kriteria ini dapat disimpulkan bahwa isolat R.10.5.2 tidak termasuk
kelompok bakteri asam laktat.

R.1.3.2

R.11.1.2.

L. acidophilus

Gambar 3. Bentuk morfologis dari isolat R.1.3.2 ; R.11.1.2 dan L. acidophilus


Gambar 3 menunjukkan bahwa isolat R.1.3.2 dan R.11.1.2 mempunyai bentuk
morfologis yang mirip yakni berupa batang pendek sedangkan L. acidophilus yang

315

SeminarHasilPenelitianUGM2009

digunakan sebagai kontrol berbentuk batang panjang. Berdasarkan identifikasi kedua


isolat tersebut yakni R.1.3.2 dan R.11.1.2 diduga termasuk genus Lactobacillus yang
bersifat homofermentatif yang ditandai dengan tidak adanya gas pada tabung durham
pada pengujian produksi gas (Tabel 4). Kelompok homofermentatif (homolaktat
fermentatif) memproduksi 2 molekul asam laktat dari 1 molekul glukosa atau
memproduksi asam laktat hampir 90%, sedangkan kelompok heterofermentatif hanya
memproduksi 1 molekul asam laktat, etanol dan CO2 dari 1 molekul glukosa (Fung,
1986 ; Schlegel 1994).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proses fermentasi susu
kedelai secara spontan melibatkan beberapa bakteri asam laktat. Berdasarkan hasil
isolasi dan pemurnian dari susu kedelai yang terfermetasi secara spontan yang
dilanjutkan dengan pengujian aktivitas proteolitik, diperoleh 2 isolat bakteri asam laktat
proteolitik yakni R.1.3.2 dan R.11.1.2. Kedua isolat tersebut berbentuk batang pendek
dan diduga termasuk genus Lactobacillus yang bersifat homofermentatif.
Pada 24 jam pertama inkubasi isolat R.11.1.2 menghasilkan asam lebih banyak
dibandingkan R.1.3.2. Namun pada 48 jam inkubasi kemampuan R.11.1.2 untuk
menghasilkan asam lebih rendah dibandingkan dengan R.1.3.2. Kemampuan isolat
R.1.3.2 untuk memproduksi enzim proteinase yang didasarkan atas diameter zona
jernih pada media skim milk agar sedikit lebih besar dibandingkan dengan R.11.1.2.
Perlu identifikasi molekuler dengan PCR untuk konfirmasi genus, spesies dan
mengetahui strain dengan sequencer.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada LPPM Universitas Gadjah Mada
yang telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Angeles, A.G. and Marth, E.H. 1971. Growth and activity lactic acid bacteria in soy
milk, growth and acids production. J. Milk Food Technol. 34:30.
Bordignon, J.R., Nakahara, K., Yoshihashi, T., and Nikkuni, S. 2004. Hydrolysis of
isoflavone and consumption of oligosacharides during lactic acid fermentation
of soybean milk. JARQ 38 (4) 259- 265.
Dakwa, S., Saiki, E., Dawson, Diako, C., Annan, N.T. and Amoa-Awua, W.K. 2005.
Effect of boiling and roasting on the fermentation of soybeans into dawadawa
(soy-dawadawa). International Journal of Food Microbiology 104 : 69-82
Fung, D.Y.C. 1986. Types of microorganisms, ch.2. In : The Microbiology of Poultry
Meat Product. F.E. Cunningham and N.A. Cox, Academic Press Inc. New York.
Garabal, J.I., Alonso, P.R. and Centeno, J.A. 2007. Characterization of lactic acid
bacteria isolated from raw cows milk cheeses currently produced in Galicia
(NW Spain). Swiss Soc. of Food Sci. And Technol.
Gobbetti, M., Smacchi, E., Fox, P., Stepaniak, L. and Corsetti, A. The Sourdough
Microflora, Cellular Location and Characterization of Proteollytic Enzymes in
Lactic Acid Bacteria. Academic Press Limited. 561 569.

SeminarHasilPenelitianUGM2009

316

Lestari L.A., Harmayani, E. dan Marsono, Y. 2004. Efek hipokolesterolemik yogurt


yang disuplementasi probiotik indegenous pada tikus Sprague Dawley.
Agrosains. 17 (1) : 51-64
Nakazawa Y. and Hosono, A. 1992. Function of Fermented Milk. Challenges for the
health sciences. 180-184S
Nisa, F.Z., Marsono, Y. dan Harmayani, E.2006. Efek hipokolesterolemik susu kedelai
femetasi steril pada model hewan coba. Agrosains, 19(1); 41-53
Piraino, P., Zotta, T., Ricciardi, A., McSweeney, P.L.H.and Parente, E. 2008. Acids
production, proteolysis, autolytic and inhibitory properties of lactic acid bacteria
isolated from pasta filata cheese : A multivariate screening study. Int. Dairy
Journal. 18 : 81-92
Rahayu, E.S. dan Margino, S. 1997. Bakteri Asam Laktat : Isolasi dan Identifikasi.
Materi Workshop, diselenggarakan oleh PAU Pangan Gizi. Universitas Gadjah
Mada 13-14 Juni 1997. Yogyakarta
Schlegel, H.G. 1994. Mikrobiologi Umum Ed. Ke 6. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Steamer, J.R. 1979. Lactic acid bacteria In : Food Microbiology, de Fuguiredo M.P. and
Splittoesser, D.F. Public Health and Spoilage aspect. AVI Pub. Westport.
Wood, B.J.B. 1992. The lactic acid Bacteria in Health and Deseases. Blackie Academic
and Professional, London.

317

SeminarHasilPenelitianUGM2009

Anda mungkin juga menyukai