Anda di halaman 1dari 19

2.

1 Konsep Ashram
2.1.1

Karakteristik Dasar Pendidikan Ashram

Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988:259) menjelaskan tujuan pendidikan
adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang
dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat
menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang Sang
Diri (tm), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal
yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati. Shri Sathya
Narayana menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun karakter yang baik.
Karakter adalah kepribadian seseorang yang menyangkut aspek moralitas, intelegensia,
dan perilaku seseorang.

Lebih jauh Rabindranath Tagore menyatakan bahwa sistem pendidikan ashram


(pasraman) adalah sistem pendidikan yang sejati yang sangat relevan sepanjang zaman.
Tagore sangat menekankan pentingnya pendidikan moralitas, di samping kecerdasan
intelektual. Dalam sistem ashram, hubungan guru dan sisya sangat akrab. Guru harus

benar-benar dapat mendidik dan mengarahkan karakter sisyanya menuju karakter kedevat-an.

Ashram merupakan salah satu pendidikan yang berbasis masyarakat, dimana


masyarakat yang lebih banyak berperan dalam keberlangsungan Ashram, baik dalam
hal pemenuhan sarana dan prasarana maupun biaya oprasionalnya. Tilaar (2000 :
105) menyatakan bahwa pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada
didalamnya adalah pendidikan yang tidak memiliki akuntabilitas. Pendidikan berbasis
masyarakat dan manajemen pendidikan berbasis sekolah adalah wujud nyata dari
demokratisasi dan desentralisai pendidikan. Konsep pendidikan berbasis masyarakat atau
juga disebut (community based aducation) secara jelas diperkenalkan juga di Indonesia
melalui Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional BAB XV bagian dua pasal 55.
Dalam Undang-undang tersbut, pendidikan berbasis masyarakat didefinisikan sebagai
bentuk penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya,
aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk
masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan berbasis masyarakat memiliki tujuan utama
untuk melayani kekhasan

kebutuhan masyarakat secara menyeluruh

dengan

mengunakan sumber daya yang tersedia secara mandiri.


Pendidikan berbasis masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap komponen dari
masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk memecahkan problem
sosial masyarakat dengan memobilisasi aksi bersama. Masyarakat dalam konteks
pendidikan berbasis adalah agen, tujuan sekaligus fasilitator dalam proses pendidikan.
Formulasi pendididikan berbasis masyarakat bertumpu pada tiga pilar utama yaitu dari

masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Pendidikan dari masyarakat artinya
pendidikan merupakan jawaban dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat merupakan pelaku atau subjek
pendidikan yang aktif, bukan hanya sekedar sebagai objek pendidikan sehingga
masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan peduli terhadap pendidikan.
(Noer, 2001:13)
Implementasi pendidikan berbasis masyarakat diharapkan setiap warga masyarakat dapat
belajar bersama dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Para guru, dewan
pendidikan, pengelola dan pelajar adalah semua warga masyarakat dari semua generasi.
Para guru tidaklah harus dari guru sekolah, akan tetapi mereka yang memiliki
pengalaman atau keahlian dapat dijadikan sebagai guru. Guru bertindak sebagai
pemimpin yang mengambil peran dalam mencarikan jalan para warga untuk mencapai
pengetahuannya secara terbuka dan memberikan kebebasan untuk mengkaji dengan cara
pandang yang berbeda.
Pendidikan yang berbasis pada masyarakat dapat dimungkinkan hubungan antara guru
dengan sisya berada dalam posisi sejajar sebagai subjek pendidikan. Jika selama ini sisya
dalam proses pembelajaran umumnya berada dalam dominasi guru, maka dalam konteks
pendidikan berbasis masyarakat sisya adalah pelaku utama dalam mengembangkan,
mencari pengetahuan yang ia butuhkan. Guru adalah fasilitator sejati sebagai teman
diskusi yang memberikan arah sisya dalam menggapai pengetahuan dan cita-citanya
secara mandiri.
Ciri khas ashram adalah adanya asrama atau pondok untuk para sisyanya. Model
pembelajaran ashram seperti ini sangat baik untuk pembentukan kepribadian sisya. Setiap

hari sisya dibimbing untuk melakukan praktik persembahyangan dan kegiatan keagamaan
lainnya di samping pemahaman keagamaan yang cukup kuat. Dengan demikian
pembelajaran agama tidak hanya dilakukan di kelas tetapi juga di luar kelas selama 24
jam. Warga Ashram wajib menerapkan pola makan vegetarian dengan waktu makan
2.1.2

bersama, dimana proses memasak diatur lewat jadwal secara bergantian.


Ashram dan Tuntutan Perubahan Zaman
Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai zaman modernisme dan
nasionalisme, peranan ashram mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Yang
menarik di sini adalah bahwa pendidikan ashram di Indonesia pada saat itu sama sekali
belum terstandarisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan
ashram Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap ashram mempunyai
kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan
paham yang mereka ikuti.

Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan
masyarakat, dengan kemandiriannya, ashram secara terus-menerus melakukan upaya
pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban,
kemandirian

yang

didukung

keyakinan

yang

kuat,

ternyata

ashram

mampu

mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.

Mengutip Br. Indra Udayana (2004), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam
pengembangan ashram, yakni :

Pertama, memajukan ashram. Banyak ashram yang dikelola secara sederhana.


Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani
oleh pengasuhnya. Dalam hal ini, ashram perlu berbenah diri.

Kedua, bagaimana

memberikan pencerahan kepada umat Hindu agar kreatif-produktif, dengan tidak


melupakan orisinalitas ajaran Hindu. Salah satu contoh para sisya masih setia dengan
tradisi keashramannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai
ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.

Ketiga, membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya dapat diwarnai oleh jiwa
dan tradisi Hindu. Di sini, ashram diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi
tradisi yang bersemangat Hindu di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi
yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi. Namun
demikian, ashram akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Hindu yang mempunyai
visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip ashram adalah tetap memegang tradisi
yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalanpersoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip
yang dipegang ashram selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya
guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia.

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan,
pengembangan ashram harus terus didorong. Karena pengembangan ashram tidak

terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia
secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang
tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia
ashram.
Terdapat

beberapa

hal

yang

tengah

dihadapi

ashram

dalam

melakukan

pengembangannya, yaitu:

Pertama, image ashram sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak
modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang keIndia-indiaan, telah
mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia ashram. Hal tersebut
merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia ashram
dewasa ini.

Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja
dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula
yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya sisya.
Selama ini, kehidupan pondok ashram yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya
tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang
bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang
layak dan memadai.

Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan
tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan
ashram dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius.
Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen
kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat,
mesti menjadi pertimbangan ashram.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan
salah satu kebutuhan untuk pengembangan ashram. Penguasaan akses dan networking
dunia ashram masih terlihat lemah, terutama sekali ashram-ashram yang berada di daerah
pelosok dan kecil. Ketimpangan antar ashram besar dan ashram kecil begitu terlihat
dengan jelas.

Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam


pengelolaan ashram. Pada saat ini masih terlihat bahwa ashram dikelola secara tradisional
apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal
tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) sisya dan alumni
pondok ashram yang masih kurang terstruktur.

Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi


kendala dalam melakukan aktivitas ashram, baik yang berkaitan dengan kebutuhan
pengembangan ashram maupun dalam proses aktivitas keseharian ashram. Tidak sedikit

proses pembangunan ashram berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu
sumbangan atau donasi dari pihak luar.

Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills sisya dan masyarakat. Ashram masih
berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan sisya dan
masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan
kapasitas sisya dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata,
tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Oka, 2001)

2.1.3

Format Ashram Masa Depan


Berangkat dari kenyataan, jelas ashram di masa yang akan datang dituntut berbenah,
menata diri dalam mengahadapi persaingan pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh
Pesantren dalam Islam dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud
hanya sebatas manajemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju, karena hal itu hanya
akan menghancurkan nilai-nilai positif ashram seperti yang terjadi sekarang ini.
Maka, idealnya ashram ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan
mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kehinduannya.

Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni
munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan
penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama

lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti
pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan
pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak
didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.

Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara
intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama
atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di
hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para
guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka
menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama,
dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah
berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua.

Secara tradisional jejaknya dapat di selami dalam dinamika kehidupan ashram,


pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak
melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran
boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu
konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara
pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak
berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam
suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga

besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen,
majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda
karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.

Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa
lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan intelektual dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang
semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti
kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat
tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang
baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka.

Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anakanak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya. Ketiga, cara pandang
religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru
masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah
semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas
membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani
dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak
mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau
memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan
alternatif.

Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan
pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari
lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan
asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya
dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana
mengejar cita-cita.

Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga
menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani
dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi semangat
religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan
jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang
tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal
soleh.

Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model


pengembangan ashram yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam
mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, ashram
menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal. Sisya

yag telah menamatkan pendidikannya di ashram akan memperoleh ijazah yang diakui dan
setara dengan pendidikan formal.

2.1.4

Ashram dalam Kebijakan Sisdiknas


Sudah tidak diragukan lagi bahwa ashram memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan
pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, ashram memiliki pengalaman yang luar biasa
dalam

membina

dan

mengembangkan

masyarakat.

Bahkan,

ashram

mampu

meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki


masyarakat di sekelilingnya.

Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat
semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia ashram.
Ashram yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan
masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan
manusia yang dilakukan ashram tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia
yang tengah diupayakan pemerintah.

Proses pengembangan dunia ashram yang selain menjadi tanggung jawab internal
ashram, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan
pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta ashram dalam proses
pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah,
bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi)

moral. Ashram sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilainilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa.
Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.

Ashram pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau
kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, ashram bisa memegang teguh
kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Hindu. Karena itu, ashram tidak mudah
disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Hindu. Pendidikan ashram
yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu:
1) Pengasuh/Guru sebagai pendidik sekaligus pemilik ashram dan para sisya; 2)
Kurikulum ashram; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti Pura, Altar, dan
Sabha Mandapan. Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Ashram" yaitu: 1)
Kesradhaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa; 2) Pengembangan keilmuan yang
bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional, posisi dan keberadaan ashram sebenarnya memiliki tempat yang istimewa.
Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat Hindu. Karena
kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia
perkembangan ashram di Indonesia. Keistimewaan ashram dalam sistem pendidikan
nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang
Sisdiknas sebagai berikut: Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban


bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu
saja sudah berlaku dan diimplementasikan di ashram. Ashram sudah sejak lama menjadi
lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan
bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
akhlak mulia.

Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4
dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu
kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3)

Pendidikan

diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik


yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip
penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di

ashram. Karena itu, ashram sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam


penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional.
Tidak hanya itu, keberadaan ashram sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas
peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas.
Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Ketentuan ini berarti menjamin eksistensi dan keberadaan ashram sebagai lembaga
pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan
nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan
bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus. Ashram adalah salah satu jenis pendidikan yang concern
di bidang keagamaan.

Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30
Undang-Undang

Sisdiknas

yang

menegaskan:

(1)

Pendidikan

keagamaan

diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama,


sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3)
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal,

dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, ashram, dan
bentuk lain yang sejenis.

Labih jauh lagi, saat ini ashram tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan
keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga ashram yang
berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para sisyanya dibimbing dan
dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat
para sisyanya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam
Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta
didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan
dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat,
dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan,
kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi,
bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan
formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Keberadaan ashram sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga
mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan
dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta
sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Bahkan, ashram yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya


dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55
menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan
sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan
berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi
pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional
pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber
dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4)
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi

dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.

Demikianlah, ternyata posisi ashram dalam sistem pendidikan nasional memilki tempat
dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan ashram terus
berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas serta mutu
pendidikan di ashram. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1)
meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya mutu dan
relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance),
akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, dunia ashram harus bisa merespon dan
berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Ashram
tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau terbelakang. Karena posisi ashram dalam
sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan
formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

2.2 Tinjauan Konsep Eksistensi


Secara etimologis, kata eksistensi berasal dari bahasa Latin existere, dari ex artinya keluar,
dan sitere artinya membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa
yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Dalam kamus Bahasa
Indonesia, eksistensi berarti hal berada atau keberadaan. Arti ini memiliki tiga unsur utama.
Eksistensi dalam arti khusus bukanlah hanya keberadaan kita yang sekarang ini, melainkan
sebuah usaha yang menjadikan kita eksis. Eksistensi bukanlah didapatkan dengan pasif,

namun eksistensi diraih dengan usaha positif. Suatu agama diangap eksis kalau dia
mempunyai aktifitas, dan keberadaannya tidak dipermasalahkan oleh masyarakat maupun
pemerintah (tidak mengalami hambatan). (Abdul Halim Wicaksono, Imtaq.com, catatanku,
23 Februari 2013).

Anda mungkin juga menyukai