Anda di halaman 1dari 2

PESANTREN DALAM MASYARAKAT INDONESIA

Shofiatul Widad (1931900001)


prodi kebidanan

 Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional Sudah tidak diragukan lagi bahwa
pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara
historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan
mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara
mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. Pembangunan
manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata,
tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang
telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya
harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan
pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan
pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal
pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan
pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses
pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa,
dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai
moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Dengan
demikian, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau
kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh
kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi
oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan pondok pesantren yang
merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai
sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren;
dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta
sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan.
Pesantren tak hanya berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (religion-
based curriculum) tetapi juga kurikulum yang berbasis pada persoalan masyarakat
(community-based curriculum) (Suyata dalam Zuhri, 2016). Hal tersebut memang menjadi
salah satu kekhasan pesantren. Pendidikan yang diberikan di pesantren tak menjauhkan santri
dari realitas keseharian. Jika merujuk pada konteks pembelajaran modern, apa yang
dilakukan pesantren adalah bagian dari pembelajaran kontekstual (contextual teaching and
learning).
Studi yang dilakukan oleh Anin Nurhati (2010) misalnya mengungkap peran pesantren
dalam memberikan materi kewirausahaan kepada para santrinya agar mereka memiliki
kecakapan hidup seperti kemampuan beternak, budi daya perikanan, pengolahan obat-obatan,
perdagangan, perbengkelan, otomotif dan permebelan (Zuhri, 2010). Beragam kurikulum
tersebut tentu menjadi kekuatan bagi pesantren untuk menjawab tantangan zaman. Ada
kesadaran bahwa pemahaman teks-teks keagamaan semata tanpa penguasaan keilmuan yang
lain akan menyebabkan santri semakin tertinggal. Pesantren tak pernah terjebak pada
perubahan kurikulum yang terjadi karena berubahnya menteri.
Pesantren senantiasa konsisten, karena tujuan awalnya adalah mendidik santri menjadi
individu-individu yang bermanfaat bagi sesama. Maka pesantren tak terjebak pada pola-pola
pendidikan formal yang berbasis nilai-nilai kuantitatif. Tak ada sertifikasi untuk para kiai,
karena gelar kiai, ulama, ajengan, ataupun ustadz/ustadzah merupakan rekognisi yang
diberikan oleh masyarakat. Penyematan karena kebermanfaatan mereka untuk umat. Bukan
karena kepemilikan ijazah tertentu. Keragaman tipikal lulusan pesantren membuktikan bahwa
pesantren sesungguhnya sudah memberikan kontribusi pada penciptaan sumber daya manusia
yang berkualitas. Kemampuan pesantren mengkreasi intelektual-intelektual Muslim yang
memiliki kapasitas mumpuni sehingga menjadi cahaya bagi umat harus tetap dijaga. Para
intelektual itulah yang akan senantiasa memberikan pencerahan dan pencerdaskan bagi umat.
Intelektual yang memberikan kedamaian dan menebarkan ajaran serta ujaran penuh kasih.
Pesantren memang memiliki fokus agar santri-santrinya menjadi uswatun hasanah,
teladan kebaikan, yang mampu memberikan kebermanfaatan bagi umat. Para santri
mendapatkan tempaan setiap waktu ketika mengenyam pendidikan pesantren. Satu hari
penuh para santri berada dalam situasi belajar. Maka sesungguhnya, tak perlu lagi ada
kebijakan full day school. Pemerintah hanya perlu mengoptimalkan pesantren-pesantren yang
ada di berbagai penjuru tanah air. Proses pendidikan di pesantren memang menyiapkan para
santri agar mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Dalam konteks
ini, kiai dan para ustadz/ustadzah di pesantren memegang peran penting dalam konstruksi
karakter para santri. Mereka menjadi role model bagi para santri yang diasuhnya.
Keberhasilan pesantren membentuk karakter santri sangat bergantung pada keteladanan para
alim di pesantren. 
Keteladanan tersebut tak hanya diberikan melalui ceramah-ceramah semata, namun
juga melalu tindakan nyata. Kelebihan pesantren mendidik santri terletak pada pembiasaan
dan praktik keseharian. Sehingga, kepatuhan santri terhadap aturan tak sekedar karena takut
dihukum. Rasa malu jika tak patuh dan disiplin terbentuk karena adanya keteladanan dari
para kiai ataupun ustadz/ustadzah.
Oleh sebab itu, menjadi harapan bersama agar santri lulusan pesantren memiliki
kesadaran penuh untuk memberikan kinerja nyata bagi kemaslahatan Indonesia dan
berkontribusi untuk penciptaan Islam yang rahmatan lil alamin. Memberikan kedamaian bagi
bangsa dan negara.

Anda mungkin juga menyukai