Penggolongan Obat Analgesik
Penggolongan Obat Analgesik
meredakan nyeri sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dariorgan viseral.
Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapatmenimbulkan toleransi dan
ketergantungan. Toleransi adalah penurunan efek, sehingga untuk mendapatkan efek
seperti semula perlu peningkatandosis. Karena dapat menimbulkan ketergantungan.
Obat
golongan
ini
penggunaannya
diredakan
diawasi
dengan
obat
secara
analgetik
ketat
dan
antipiretik) (Priyanto,2008).
Klasifikasi Obat Golongan Opioid Berdasarkan Rumus Bangunnya
Agonis
Morfin
sedang
Kodein
antagonis
Nalbufin
Hidromorfin
Oksikodon
Buprenorfin
Oksimorfon
Metadon
Hidrokodon
Propoksifen
Struktur dasar
Agonis kuat
Fenantren
Fenilheptilami
Antagonis
Nalorfin
Nalokson
Naltrekson
n
Fenilpiperidin
Morfinan
Benzomorfan
Meperidin
Difenoksilat
Fentanil
Levorfanol
Butorfanol
Pentazosin
1. Morfin
Indikasi : meredakan atau menghilangkan nyeri hebat ( infark miokard, neoplasma,
kolok renal atau kolok empedu, oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau
koroner), mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang
menyertai gagal jantung kiri, menghentikan diareberfasarkan efek langsung terhadap
otot polos usus.
Efek samping :
kontak, pruritus, bersin, intoksitasi akut terjadi akibat percobaan bunuh diri. Pasien
akan tidur, sopor atau koma jika intoksitasi cukup berat, frekuensi napas lambat (24kali/meit)
Sediaan : Pulvus opii mengandung 10% morfin dan <0,5% kodein. Yang
mengandung alkoloid murni di gunakan untuk pemberian oral / parenteral ialah
garam HCL, garam sulfat ataufosfat alkoloid morfin dangan kadar 10 mg/mL
Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCL atau fosfat.
Satu tablet mnegandung 10,15 atau 30 mg kodein
2. Metadon
Indikasi : jenis nyeri yang dapat di pengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri
dapat dipengaruhi morfin.
Efek samping : perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu,
berkeringat, pruritus, mual dan muntah.
3. Fentanil
Indiksi : menangani nyeri kronis pada pasien yang memerlukan analgesik opioid
Efek samping : hipoventilasi, mual, muntah, sembelit / susah buang air besar,
somnolen, bingung / kekacauan, halusinasi, euforia ( keadaan emosi yang gembira
berlebihan ) , gatal gatal , dan retansi urin.
Kontra indfikasi : bukan untuk nyeri setelah op, lansia, gangguan fungsi hati dan
dinjal, penyakit paru, bradiaritmia, tumor otak, hamil dan menyusui.
(farmakologi dan terapi dasar ed.5. FK UI.2007)
B. Analgesik non opioid/ non narkotik
Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti peradangan
nonsteroid (NSAID). Seperti golongan salisilat seperti aspirin, golongan para amino
fenol seperti paracetamol, dan golongan lainnya seperti ibuprofen, asam mefenamat,
naproksen/naproxen.
Biasanya obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri biasanya terdiri dari
tiga komponen, yaitu :
1. analgetik (menghilangkan rasa nyeri),
2. antipiretik (menurunkan demam), dan
3. anti-inflamasi (mengurangi proses peradangan).
Obat-obat ini bekerja melalui 2 cara:
1. Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang bertanggungjawab
terhadap timbulnya rasa nyeri.
2. Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang seringkali terjadi di
sekitar luka dan memperburuk rasa nyeri
Obat analgetik non-opiod digunakan untuk :
Meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau
menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan ketagihan
Diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang : nyeri kepala, gigi, otot atau sendi,
perut, nyeri haid, nyeri akibat benturan
Efek samping yang sering timbul pada analgetik non-opiod dikelompokkan sebagai
berikut :
Gangguan lambung-usus (asetosal, ibuprofen, metamizol)
Kerusakan darah (parasetamol, asetosal,mefenaminat, metamizol)
Kerusakan hati dan ginjal (parasetamol dan ibuprofen)
Alergi kulit
Pengaruh pada Kehamilan dan Laktasi
Analgetik yang mempunyai pengaruh pada kehamilan dan laktasi antara lain adalah :
Parasetamol : dianggap aman walaupun mencapai air susu
Asetosal dan salisilat, dan metamizol : pada kehamilan dapat menyebabkan
perkembangan janin terganggu.
Berdasarkan derivatnya, analgetik non-opiod dibedakan atas 8 kelompok yaitu :
Derivat Paraaminofenol : Parasetamol
Derivat Asam Salisilat : asetosal, salisilamid dan benorilat
Derivat Asam Propionat : ibuprofen, ketoprofen
Derivat Asam Fenamat : asam mefenamat
Derivat Asam Fenilasetat : diklofenak
Derivat Asam Asetat Indol : indometasin
Derivat Pirazolon : fenilbutazon
Derivat Oksikam : piroksikam
Parasetamol
Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah.
Parasetamol mempunyai efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan
Diklofenak
Diberikan untuk antiinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi simtomatik jangka
panjang untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.
Absorbsi melalui saluran cerna cepat dan lengkap
Waktu paruh 1-3 jam
Efek samping : mual, gastritis, eritema kulit
Dosis : 100-150 mg, 2-3 kali sehari
Indometasin
Mempunyai efek antipiretik, antiinflamasi dan analgetik sebanding dengan aspirin,
tetapi lebih toksik.
Metabolisme terjadi di hati
Efek samping : diare, perdarahan lambung, sakit kepala, alergi
Dosis lazim : 2-4 kali 25 mg sehari
Piroksikam
Hanya diindikasikan untuk inflamasi sendi.
Waktu paruh : > 45 jam
Absorbsi cepat dilambung
Efek samping : gangguan saluran cerna, pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema
kulit.
Dosis : 10-20 mg sehari
Fenilbutazon
Hanya digunakan untuk antiinflamasi, mempunyai efek meningkatkan ekskresi asam
urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada artritis gout.
polos. Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel malro
vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit.
Mekanisme kerja obat AINS
Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon steroid
alami pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal. Efek anti-inflamasi
kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imuno-kompeten seperti sel T, makrofag, sel
dendritik, eosinofil,neutrofil, dan sel mast, yaitu dengan menghambat respons inflamasi
dan menyebabkan apoptosis berbagai sel tersebut.
Kerja kortikosteroid menekan reaksi inflamasi pada tingkat molekuler terjadi melalui
mekanisme genomik dan non-genomik. Glukokortikoid (GK) berdifusi pasif dan berikatan
dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol. Ikatan GK-RG mengakibatkan translokasi
kompleks tersebut ke inti sel untuk berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu glucocorticoid response elements (GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA mengakibatkan aktivasi
atau supresi proses transkripsi.Mekanisme non-genomik GK terjadi melalui aktivasi
endot-helial nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan lebih banyak pelepasan
nitric oxide (NO), suatu mediator anti-inflamasi.
Imunosupresi secara genomik terjadi melalui aktivasi annexin-1 (lipocortin-1) dan
mitogen-activated protein-kinase (MAPK) phosphatase 1. Selain itu, GK juga
meningkatkan transkripsi gen antiinflamasi secretory leuko-protease inhibitor (SLPI)
interleukin-10 (IL-10) dan inhibi-tor nuclear factor-B (IB-). Annexin-1 menghambat
pelepasan
asam
arakhidonat
sehingga
produksi
mediator
inflamasi
menurun
phosphatase 1 menyebabkan MAPK 1 tidak aktif sehingga aktivasi sel T,sel dendritik, dan
makrofag terhambat.
Mekanisme genomik lain berupa inhibisi faktor transkripsi yang berperan dalam
produksi mediator inflamasi,yaitu nuclear factor-B (NF-B) dan activator protein-1(AP1).NF-B dan AP-1 mengatur ekspresi gen sitokin,inflammatory enzymes, protein dan
reseptor yang berperanan dalam inflamasi (IFN-, TNF-, dan IL-1). Penghambatan keduanya akan menurunkan produksi mediator inflamasi.
melalui
pengaruh selektif pada SSP yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dan perilaku. Yang memberi depresi pada SSP yaitu golongan benzodiazepin,
barbiturat dan metaqualone, sedangkan yang memberi stimulasi pada SSP yaitu
golongan Amphetamine. Ada juga yang menyebabkan halusinasi, yaitu LSD
(Lycergic Acid Diethylamine). Psikotropika dibagi menjadi 4 golongan yaitu:
1. Psikotropika golongan I: hanya untuk tujuan ilmu pengetahuan jadi tidak
diresepkan. Contoh: Ecstacy, Psilocybin dan Psilosin
2. Psikotropika golongan II: boleh diresepkan namun dapat menyebabkan
ketergantungan yang besar jika diberikan dalam jangka waktu lama. Contoh:
Amphetamine dan Metaqualone
3. Psikotropika golongan III: boleh diresepkan namun dapat menyebabkan
ketergantungan pada penggunaan jangka lama. Contoh: Amobarbital dan
Cyclobarbital
4. Psikotropika golongan IV: sering diberikan resep oleh dokter umum maupun
dokter spesialis. Contoh: Diazepam dan Bromazepam.