Anda di halaman 1dari 10

Step 7 : Hasil Belajar Mandiri

1. Penggolongan Obat Analgesik


Obat analgesik dibagi menjadi 2, yaitu:
A. Analgesik opioid / analgesik narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium
atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri.
Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan, maka usaha untuk
mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan
mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.
Ada 3 golongan obat ini yaitu :
1. Obat yang berasal dari opium-morfin,
2. Senyawa semisintetik morfin, dan
3. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan
Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein,
tebain, dan papaverin

atau dari senyawa sintetik. Analgesik ini digunakan untuk

meredakan nyeri sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dariorgan viseral.
Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapatmenimbulkan toleransi dan
ketergantungan. Toleransi adalah penurunan efek, sehingga untuk mendapatkan efek
seperti semula perlu peningkatandosis. Karena dapat menimbulkan ketergantungan.
Obat

golongan

ini

penggunaannya

dan hanya nyeri yang tidak dapat

diredakan

diawasi
dengan

obat

secara
analgetik

ketat
dan

antipiretik) (Priyanto,2008).
Klasifikasi Obat Golongan Opioid Berdasarkan Rumus Bangunnya
Agonis

lemah- Campuran agonis-

Morfin

sedang
Kodein

antagonis
Nalbufin

Hidromorfin

Oksikodon

Buprenorfin

Oksimorfon
Metadon

Hidrokodon
Propoksifen

Struktur dasar

Agonis kuat

Fenantren

Fenilheptilami

Antagonis
Nalorfin
Nalokson
Naltrekson

n
Fenilpiperidin
Morfinan
Benzomorfan

Meperidin

Difenoksilat

Fentanil
Levorfanol

Butorfanol
Pentazosin

1. Morfin
Indikasi : meredakan atau menghilangkan nyeri hebat ( infark miokard, neoplasma,
kolok renal atau kolok empedu, oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau
koroner), mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang
menyertai gagal jantung kiri, menghentikan diareberfasarkan efek langsung terhadap
otot polos usus.
Efek samping :

mual, muntah, depresi napas,

urtikaria, eksantem, dermatitis

kontak, pruritus, bersin, intoksitasi akut terjadi akibat percobaan bunuh diri. Pasien
akan tidur, sopor atau koma jika intoksitasi cukup berat, frekuensi napas lambat (24kali/meit)
Sediaan : Pulvus opii mengandung 10% morfin dan <0,5% kodein. Yang
mengandung alkoloid murni di gunakan untuk pemberian oral / parenteral ialah
garam HCL, garam sulfat ataufosfat alkoloid morfin dangan kadar 10 mg/mL
Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCL atau fosfat.
Satu tablet mnegandung 10,15 atau 30 mg kodein
2. Metadon
Indikasi : jenis nyeri yang dapat di pengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri
dapat dipengaruhi morfin.
Efek samping : perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu,
berkeringat, pruritus, mual dan muntah.
3. Fentanil
Indiksi : menangani nyeri kronis pada pasien yang memerlukan analgesik opioid

Efek samping : hipoventilasi, mual, muntah, sembelit / susah buang air besar,
somnolen, bingung / kekacauan, halusinasi, euforia ( keadaan emosi yang gembira
berlebihan ) , gatal gatal , dan retansi urin.
Kontra indfikasi : bukan untuk nyeri setelah op, lansia, gangguan fungsi hati dan
dinjal, penyakit paru, bradiaritmia, tumor otak, hamil dan menyusui.
(farmakologi dan terapi dasar ed.5. FK UI.2007)
B. Analgesik non opioid/ non narkotik
Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti peradangan
nonsteroid (NSAID). Seperti golongan salisilat seperti aspirin, golongan para amino
fenol seperti paracetamol, dan golongan lainnya seperti ibuprofen, asam mefenamat,
naproksen/naproxen.
Biasanya obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri biasanya terdiri dari
tiga komponen, yaitu :
1. analgetik (menghilangkan rasa nyeri),
2. antipiretik (menurunkan demam), dan
3. anti-inflamasi (mengurangi proses peradangan).
Obat-obat ini bekerja melalui 2 cara:
1. Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang bertanggungjawab
terhadap timbulnya rasa nyeri.
2. Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang seringkali terjadi di
sekitar luka dan memperburuk rasa nyeri
Obat analgetik non-opiod digunakan untuk :
Meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau
menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan ketagihan
Diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang : nyeri kepala, gigi, otot atau sendi,
perut, nyeri haid, nyeri akibat benturan

Efek samping yang sering timbul pada analgetik non-opiod dikelompokkan sebagai
berikut :
Gangguan lambung-usus (asetosal, ibuprofen, metamizol)
Kerusakan darah (parasetamol, asetosal,mefenaminat, metamizol)
Kerusakan hati dan ginjal (parasetamol dan ibuprofen)
Alergi kulit
Pengaruh pada Kehamilan dan Laktasi
Analgetik yang mempunyai pengaruh pada kehamilan dan laktasi antara lain adalah :
Parasetamol : dianggap aman walaupun mencapai air susu
Asetosal dan salisilat, dan metamizol : pada kehamilan dapat menyebabkan
perkembangan janin terganggu.
Berdasarkan derivatnya, analgetik non-opiod dibedakan atas 8 kelompok yaitu :
Derivat Paraaminofenol : Parasetamol
Derivat Asam Salisilat : asetosal, salisilamid dan benorilat
Derivat Asam Propionat : ibuprofen, ketoprofen
Derivat Asam Fenamat : asam mefenamat
Derivat Asam Fenilasetat : diklofenak
Derivat Asam Asetat Indol : indometasin
Derivat Pirazolon : fenilbutazon
Derivat Oksikam : piroksikam
Parasetamol
Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah.
Parasetamol mempunyai efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan

antiinflamasinya sangat lemah


Asetosal (Aspirin)
Mempunyai efek analgetik, anitipiretik, dan antiinflamasi.
Efek samping utama : perpanjangan masa perdarahan, hepatotoksik (dosis besar) dan
iritasi lambung.
Diindikasikan pada demam, nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri otot dan
sendi (artritis rematoid).
Aspirin juga digunakan untuk pencegahan terjadinya trombus (bekuan darah) pada
pembuluh darah koroner jantung dan pembuluh darah otak
Asam Mefenamat
Mempunyai efek analgetik dan antiinflamasi, tetapi tidak memberikan efek
antipiretik.
Efek samping : dispepsia
Dosis : 2-3 kali 250-500 mg sehari
Kontraindikasi : anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil
Ibuprofen
Mempunyai efek analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, namun efek
antiinflamasinya memerlukan dosis lebih besar
Efek sampingnya ringan, seperti sakit kepala dan iritasi lambung ringan.
Absorbsi cepat melalui lambung
Waktu paruh 2 jam
Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap (90%)
Dosis 4 kali 400 mg sehari

Diklofenak
Diberikan untuk antiinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi simtomatik jangka
panjang untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.
Absorbsi melalui saluran cerna cepat dan lengkap
Waktu paruh 1-3 jam
Efek samping : mual, gastritis, eritema kulit
Dosis : 100-150 mg, 2-3 kali sehari
Indometasin
Mempunyai efek antipiretik, antiinflamasi dan analgetik sebanding dengan aspirin,
tetapi lebih toksik.
Metabolisme terjadi di hati
Efek samping : diare, perdarahan lambung, sakit kepala, alergi
Dosis lazim : 2-4 kali 25 mg sehari
Piroksikam
Hanya diindikasikan untuk inflamasi sendi.
Waktu paruh : > 45 jam
Absorbsi cepat dilambung
Efek samping : gangguan saluran cerna, pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema
kulit.
Dosis : 10-20 mg sehari
Fenilbutazon
Hanya digunakan untuk antiinflamasi, mempunyai efek meningkatkan ekskresi asam
urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada artritis gout.

Diabsorbsi cepat dan sempurna pada pemberian oral.


Waktu paruh 50-65 jam
2. Mekanisme Kerja Obat OAINS DAN AINS

Mekanisme kerja OAINS


Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan sistem
biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga
konversi asam arakidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu. Enzim siklooksigenase
terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut
dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan
berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran
cerna, dan trombosit. Di mukosa lambung aktivitas COX-1 menghasilakan prostasiklin
yang bersifat protektif. Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar,
termasuk sitokin, endotoksindan growth factors. Teromboksan A2 yang di sintesis
trombosit oleh COX-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi otot

polos. Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel malro
vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit.
Mekanisme kerja obat AINS
Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon steroid
alami pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal. Efek anti-inflamasi
kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imuno-kompeten seperti sel T, makrofag, sel
dendritik, eosinofil,neutrofil, dan sel mast, yaitu dengan menghambat respons inflamasi
dan menyebabkan apoptosis berbagai sel tersebut.
Kerja kortikosteroid menekan reaksi inflamasi pada tingkat molekuler terjadi melalui
mekanisme genomik dan non-genomik. Glukokortikoid (GK) berdifusi pasif dan berikatan
dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol. Ikatan GK-RG mengakibatkan translokasi
kompleks tersebut ke inti sel untuk berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu glucocorticoid response elements (GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA mengakibatkan aktivasi
atau supresi proses transkripsi.Mekanisme non-genomik GK terjadi melalui aktivasi
endot-helial nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan lebih banyak pelepasan
nitric oxide (NO), suatu mediator anti-inflamasi.
Imunosupresi secara genomik terjadi melalui aktivasi annexin-1 (lipocortin-1) dan
mitogen-activated protein-kinase (MAPK) phosphatase 1. Selain itu, GK juga
meningkatkan transkripsi gen antiinflamasi secretory leuko-protease inhibitor (SLPI)
interleukin-10 (IL-10) dan inhibi-tor nuclear factor-B (IB-). Annexin-1 menghambat
pelepasan

asam

arakhidonat

sehingga

produksi

mediator

(prostaglandin, tromboksan, prostasiklin, dan leukotrien).

inflamasi

menurun

Kerja enzim MAPK

phosphatase 1 menyebabkan MAPK 1 tidak aktif sehingga aktivasi sel T,sel dendritik, dan
makrofag terhambat.
Mekanisme genomik lain berupa inhibisi faktor transkripsi yang berperan dalam
produksi mediator inflamasi,yaitu nuclear factor-B (NF-B) dan activator protein-1(AP1).NF-B dan AP-1 mengatur ekspresi gen sitokin,inflammatory enzymes, protein dan
reseptor yang berperanan dalam inflamasi (IFN-, TNF-, dan IL-1). Penghambatan keduanya akan menurunkan produksi mediator inflamasi.

3. Obat yang Dijual Bebas Menurut Undang-Undang


a. Obat Bebas
Adalah obat yang dijual secara bebas tanpa resep dokter dan dapat dibeli di apotek,
toko obat, maupun toko biasa. Obat bebas pada kemasannya diberi tanda khusus
berupa lingkaran dengan warna hijau dan garis tepi hitam.
b. Obat Bebas Terbatas (Daftar P)
Adalah obat yang dapat diperoleh atau dibeli tanpa resep dokter di apotek dan toko
obat terdaftar. Obat bebas terbatas diberi tanda khusus berupa lingkaran biru tua
dengan garis tepi hitam pada kemasannya. Namun karena dalam komposisi obat bebas
terbatas terdapat zat/bahan yang relatif toksik, pada kemasan perlu dicantumkan tanda
peringatan (P1-P6). Peringatan ini berupa :
P1: Awas! Obat Keras! Baca aturan pakai. Contoh: Antimo
P2: Awas! Obat Keras! Hanya untuk kumur. Contoh: Gargarisma Kan
P3: Awas! Obat Keras! Hanya bagain luar badan. Contoh: Tinctura Jodii
P4: Awas! Obat Keras! Hanya untuk dibakar. Contoh: Sigaret Asthma
P5: Awas! Obat Keras! Tidak boleh ditelan. Cotnoh: Sulfanilamide Steril 5 gram
P6: Awas! Obat Keras! Obat wasir, tidak ditelan. Contoh: Anusol Suppositoria
c. Obat Keras (Daftar G)
Sesuai Ordonasi Obat Keras St. No. 419 tanggal 22 Desember 1949, dinyatakan obat
keras adalah obat beracun yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan,
mendisinfeksikan dan lain lain dalam tubuh manusia; obat berada baik dalam
substansi maupun tidak. Obat ini hanya boleh diberikan dengan resep dokter kecuali
bila digunakan untuk keperluan teknik. Resep yang mengandung obat ini tidak oleh
diulang. Obat-obat yang termasuk dalam Daftar G antara lain:
1. Semua obat suntik, kecuali golongan narkotika dan psikotropika
2. Semua antibiotika seperti kloramfenikol, metronidazol, tetrasiklin, dll
3. Semua preparat sulfa, kecuali sulfaguanidin dalam jumlah tertentu
4. Semua preparat hormon seperti androgen, kortikosteroid, estrogen, dll
5. Semua preparat pyrazolone seperti pyramidone, phenylbutazon, dll
6. Papaverine, Narcotine/Noscapine, Narceine serta garam-garamnya
7. Adrenalin serta garam-garamnya
8. Anetesi lokal seperti Novocaine/Procaine, Lidocaine, dll
d. Obat Golongan Narkotika = Obat Bius = Daftar O
Narkotika adalah golongan obat yyang mempengaruhi Sistem Saraf Pusat (SSP), baik
memberi depresi (Opium, Morfin, Heroine) maupun stimulasi (Coccaine). UU RI No.
22 Tahun 1997 mengenai narotika, membagi obat narkotika dalam 3 golongan, yaitu:
1. Narkotika golongan I: hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, bukan
terapi karena bisa menyebabkan ketergantungan. Contoh: Coccaine dan
Marihuana
2. Narkotika goloongan II: untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan terapi namun
juga berpotensi menyebabkan ketergantungan. Contoh: Morfin dan Fentanil

3. Narkotika golongan III: untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan banyak


digunakan sebagai terapi. Contoh: Ethylmorfin dan Codeine
e. Obat Golongan Psikotropika
Menurut UU Psikotropika tanggal 11 Maret 1997, psikotropika adalah zat atau obat,
baik alamiah maupun sintetis bukan-narkotika, yang bersifat psikoaktif

melalui

pengaruh selektif pada SSP yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dan perilaku. Yang memberi depresi pada SSP yaitu golongan benzodiazepin,
barbiturat dan metaqualone, sedangkan yang memberi stimulasi pada SSP yaitu
golongan Amphetamine. Ada juga yang menyebabkan halusinasi, yaitu LSD
(Lycergic Acid Diethylamine). Psikotropika dibagi menjadi 4 golongan yaitu:
1. Psikotropika golongan I: hanya untuk tujuan ilmu pengetahuan jadi tidak
diresepkan. Contoh: Ecstacy, Psilocybin dan Psilosin
2. Psikotropika golongan II: boleh diresepkan namun dapat menyebabkan
ketergantungan yang besar jika diberikan dalam jangka waktu lama. Contoh:
Amphetamine dan Metaqualone
3. Psikotropika golongan III: boleh diresepkan namun dapat menyebabkan
ketergantungan pada penggunaan jangka lama. Contoh: Amobarbital dan
Cyclobarbital
4. Psikotropika golongan IV: sering diberikan resep oleh dokter umum maupun
dokter spesialis. Contoh: Diazepam dan Bromazepam.

Anda mungkin juga menyukai