Anda di halaman 1dari 68

SISTEM PERLINDUNGAN

DAN JAMINAN SOSIAL


(Suatu Kajian Awal)
Disusun oleh:
Yohandarwati
Lenny N. Rosalin
I D G Sugihamretha
Sanjoyo
Utin Kiswanti
Guntur Pawoko
Susiati Puspasari
Fithriyah

Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial,


dan Pemberdayaan Perempuan
BAPPENAS

SAMBUTAN
Perlindungan dan Jaminan Sosial menjadi isu yang perlu
dipikirkan setelah berakhirnya kegiatan Jaring Pengaman Sosial
(JPS/Social Safety Net) pada tahun 2002. JPS dirancang sebagai
suatu program penyelematan atau rescue program untuk mengatasi
dampak krisis sosial dan ekonomi yang dialami Indonesia pada
tahun 1997. Target JPS adalah kelompok masyarakat miskin yang
semakin meningkat jumlahnya karena dampak krisis. Paska JPS
sampai sekarang, pemerintah telah mengalihkan beberapa kegiatan
yang dibiayai dana JPS ke kegiatan sektoral yang dibiayai oleh
APBN. Hal ini dapat dikenali terutama dari beberapa kegiatan di
sektor kesehatan, pendidikan, keluarga berencana,
dan
kesejahteraan sosial.
Sementara itu, kesadaran pemerintah akan perlunya suatu
jaminan sosial terlihat dari pembentukkan suatu Tim Sistem Jaminal
Sosial Nasional (Tim SJSN) melalui Surat Keputusan Presiden RI
tahun 2001, yang tujuan utamanya adalah memfasilitasi terbitnya
Undang undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Adapun kajian awal sistem perlindungan dan jaminan sosial
(SPJS) mengacu kepada amanat UUD 1945 maupun UUD 1945
Amandemen ke IV. Suatu SPJS juga merupakan bentuk bantuan bagi
masyarakat miskin dan rentan ketika berbagai goncangan terjadi,
seperti krisis sosial dan ekonomi tahun 1997 itu. Kerentanan juga
dapat ditimbulkan oleh perubahan paradigma internasional seperti
globalisasi yang sangat berkaitan erat dengan daya saing di pasar
bebas internasional. Belum lagi dikaitkan dengan perubahan
paradigma di lingkup dalam negeri, seperti reformasi dan
desentralisasi. Semua hal tersebut, menyebabkan pergeseran
tatanan sosial dan lokal. Kerentanan masyarakat, yang sering
berbentuk kemiskinan pada tahap intervensi awal dapat segera
diatasi antara lain dengan akses untuk memperoleh jaminan dan
perlindungan sosial.
Dengan demikian hak-hak rakyat untuk
memperoleh pelayanan sosial dasar akan sama dan terjaga di
seluruh wilayah NKRI.
Harapan saya, kajian awal yang dilaksanakan oleh Direktorat
Kependudukan, Kesejahteraan Sosial dan Kependudukan secara
swakelola ini dapat menjadi salah satu bahan di samping hasil
studi dan laporan lain yang dikerjakan berbagai pihak, seperti yang
telah diselesaikan oleh Tim SJSN, Depkes dan Depsos, serta ILO
penyusunan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan suatu Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional yang mantap dan
berkelanjutan, bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, April 2003


i

Deputi Bidang SDM dan


Kebudayaan, Bappenas

Dra. Leila Retna Komala, MA

ii

KATA PENGANTAR
Kajian awal sistem perlindungan dan jaminan sosial (SPJS)
dilaksanakan oleh Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial
dan Pemberdayaan Perempuan, sebagai bentuk kegiatan Unit Kerja
Eselon II, Bappenas, tahun anggaran 2002. Semua kegiatan mulai
dari persiapan, penyelenggaraanseminar dan diskusi, interview di
pusat dan daerah, sampai dengan penyusunan laporan dikerjakan
dalam tahun anggaran 2002. Penyajian laporan sementara dan
penyempurnaan laporan akhir dikerjakan dalam awal tahun 2003.
Kajian ini dilandasi oleh pentingnya pelayanan dan
perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan
UUD 1945 Amandemen II pasal 28 H, ayat 3 menyatakan, bahwa
setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.
Di samping itu, perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus
2002,
Pasal
34
ayat
2
menyatakan,
bahwa
Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan. Disadari bahwa kajian SPJS
merupakan langkah awal menuju terwujudnya suatu SPJS nasional
yang terstruktur. Oleh karena itu, kajian ini lebih merupakan suatu
pemetaan dari perlindungan dan jaminan sosial yang ada di
Indonesia sampai saat ini, daripada suatu kajian tentang model SPJS
nasional untuk Indonesia. Dengan demikian hasil kajian awal ini
perlu dikembangkan lebih jauh dan diperkaya dengan berbagai
telaah dan studi lain yang berkaitan dengan jaminan dan
perlindungan sosial, untuk sampai kepada
suatu bentuk SPJS
Nasional yang baik dan tepat untuk Indonesia.
Pentingnya suatu SPJS nasional sudah mulai disadari banyak
kalangan. Namun, di pihak lain, pertanyaan yang sifatnya
meragukan kepentingan SPJS khususnya di negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia juga diutarakan oleh pihak-pihak
yang pesimistik. Beberapa pernyataan mengatakan bahwa SPJS
hanya tepat untuk negara maju yang telah mapan dan mampu
membiayai keperluan masyarakatnya sendiri. Adapula yang
menyatakan bahwa kenyataan yang terjadi di beberapa negara
maju justru menyiratkan bahwa suatu SPJS nasional justru menjadi
beban pemerintah. Misalnya, sistem semacam SPJS yang juga
dikenal sebagai social security system dari tahun ketahun
memerlukan biaya yang meningkat karena semakin bertambahnya
jumlah penduduk yang perlu memperoleh perlindungan sosial
karena berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, yang dialami
para orang-tua tunggal terutama para wanita kepala rumah tangga,
anak terlantar dan anak jalanan, dan semakin meningkatnya jumlah
penduduk yang menganggur karena semakin sempitnya lapangan
kerja yang ada.
iii

Disadari pula bahwa tersusunnya suatu SPJS nasional


memerlukan studi yang mendalam dan perbaikan sistem yang terus
menerus. Oleh karena itu, suatu SPJS yang diharapkan sangat
mungkin baru akan tercapai pada kurun 20-40 tahun kedepan.
Negara-negara yang sudah maju, seperti Australia, Jepang, dan
Amerika Serikat dapat mencapai sistem perlindungan dan jaminan sosial bagi
rakyatnya dalam kurun waktu 30 50 tahun.
Apapun bentuk SPJS Indonesia nantinya, kajian ini diharapkan
dapat menjadi salah satu tonggak awal bagi dasar pijakan pemikiran
dan upaya kearah terwujudnya suatu SPJS yang khusus untuk
Indonesia. Dalam jangka pendek, SPJS dapat dibatasi hanya untuk
rakyat miskin saja, namun secara bertahap pada akhirnya dapat
mencakup seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan amant UUD
1945 dan sebagai pemenuhan hak-hak manusia untuk hidup layak.
Amin.

Jakarta, April 2003


Direktorat Kependudukan,
Kesejahteraan Sosial dan
Pemberdayaan Perempuan,
Bappenas.

iv

ABSTRAKSI
Kajian awal Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS)
merupakan kajian baru. Permasalahan yang dihadapi sehingga
kajian ini diperlukan adalah: Berbagai skema perlindungan dan
jaminan sosial telah berjalan saat ini namun penduduk yang dapat
menikmati manfaatnya sangat terbatas. Bahkan rakyat miskin
masih belum dapat menikmati jaminan sosial. Sesuai mandat UUD
1945, pemerintah perlu untuk menata ulang berbagai bentuk
perlindungan dan jaminan sosial yang sudah ada, dan membuatnya
menjadi suatu Sistem Perlindungan Sosial yang lebih utuh dan
memberikan efisiensi dan efektivitas yang lebih optimal. Untuk lebih
memahami skema-skema yang ada baik landasan hukum, cakupan
manfaat, penerima manfaat, maupun sistem pendanaannya, perlu
dilakukan pemetaan dan pemotretan sistem perlindungan sosial
saat ini.
Temuan dan rekomendasi kajian untuk mengatasi masalah di
atas adalah: (a) bantuan social hanya mencakup sebagian
penduduk miskin dan rentan, (b) asuransi social elum mencakup
seluruh penduduk Indonesia (WNI); masih terbatas bagi pekerja
sektor formal (swasta, PNS, dan TNI/Polri), (c) penduduk miskin yang
dicakup adalah around the poverty line atau being transitory poor,
(d) belum ada desain standar minimum untuk berbagai bentuk
asuransi dan bantuan social, (e) pengelolaan SPJS dilakukan oleh
banyak lembaga (scattered), dan tidak integrated, (f) masingmasing lembaga penyelenggara mempunyai landasan hukum
sendiri, dan belum ada suatu undang-undang yang dapat
memayungi secara menyeluruh pada suatu jaminan sosial secara
nasional dan terintegrasi (g) nilai-nilai budaya lokal ada yang telah
berfungsi sebagai sistem perlindungan sosial, dan (f) dari segi
cakupan jaminan sosial masih ada beberapa area yang belum
ditanganani oleh skema yang ada.
Rencana pemanfaatan temuan dan rekomendasi dari kajian
ini: Hasil dari kajian ini akan menjadi langkah menuju
pengembangan rumusan rekomendasi bagi kebijakan publik Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial yang lebih utuh, efisien, dan
efektif.

DAFTAR ISI

SAMBUTAN...............................................................................................................
KATA PENGANTAR...............................................................................................
ABSTRAKSI.............................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................
I. PENDAHULUAN..............................................................................................
II. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN..........................................................
1. Tujuan...........................................................................................................
III. METODOLOGI.................................................................................................
IV. GAMBARAN UMUM SISTEM PERLINDUNGAN DAN
JAMINAN SOSIAL YANG ADA DI INDONESIA...............................
1. Pengertian................................................................................................
2. Aspek hukum..........................................................................................
3. Target beneficiaries..............................................................................
4. Cakupan Manfaat..................................................................................
5. Pendanaan (Premi)................................................................................
5.1.Asuransi sosial...................................................................................
5.2 Bantuan sosial....................................................................................
6. Kelembagaan..........................................................................................
7. Sistem Jaminan Sosial Nasional.......................................................
8. Kaitan SPJS dengan NIK (Nomor Induk
Kependudukan)..............................................................................................
V. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KESEHATAN.....................................
1. Latar belakang........................................................................................
2. Landasan hukum...................................................................................
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial.......................................
VI. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KETENAGAKERJAAN..................
VII. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN................................
1. Latar belakang..........................................................................................
2. Landasan hukum......................................................................................
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial..........................................
4. Identifikasi dan analisis stakeholders...............................................
5. Target beneficiaries.............................................................................
VIII. JAMINAN SOSIAL HARI TUA DAN PENSIUN.............................
1. Latar belakang........................................................................................
2. Landasan hukum...................................................................................
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial.......................................
4. Identifikasi dan analisis stakeholders............................................
5. Target beneficiaries..............................................................................
IX. JAMINAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT MISKIN DAN
RENTAN...........................................................................................................
1. Latar belakang........................................................................................
2. Landasan hukum...................................................................................
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial.......................................

vi

4. Identifikasi dan analisis stakeholders............................................


5. Target beneficiaries..............................................................................
X. KAITAN ANTARA SISTEM ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN DAN SPJS NASIONAL.........................................
1. Pengantar.................................................................................................
2. Permasalahan.........................................................................................
3. Langkah-langkah kebijakan...............................................................
4. Konsep nomor induk kependudukan (NIK)..................................
5. Hubungan antara konsep NIK dengan SPJS
Nasional............................................................................................................
XI. ANALISA SITUASI DAN SPSJ NASIONAL MASA DEPAN
..............................................................................................................................
1. Analisa situasi.........................................................................................
2. Prinsip kemitraan dan pendanaan berbasis
masyarakat......................................................................................................
3. Pemikiran SPJS masa depan..............................................................
4. SPJS yang terintegrasi.........................................................................
5. Peraturan perundangan-undangan................................................
XII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI..................................................
1. Kesimpulan..............................................................................................
2. Rekomendasi...........................................................................................
LAMPIRAN..............................................................................................................
DAFTAR KEPUSTAKAAN.................................................................................

vii

I.

PENDAHULUAN
Pentingnya SPJS dan perubahan pradigma nasional daninternasional

Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar ketiga di


dunia setelah USA dan China. Pada tahun 2000 jumlah penduduk
Indonesia telah mencapai
lebih dari 203 juta orang (BPS, Sensus
Penduduk Tahun 2000). Sekitar satu dasa warsa lalu, jumlah penduduk
Indonesia adalah 179,248 juta orang. Dengan demikian laju pertumbuhan
penduduk selama 10 tahun terakhir, 1990-2000 adalah 1,35persen. Laju
pertumbuhan memang semakin menurun mengingat angka pada periode
1980-1990 adalah 1,97 persen, namun secara absolut jumlah penduduk
tetap semakin meningkat dari tahun ketahun.
Kualitas hidup penduduk Indonesia yang saat ini masih tertinggal
dibandingkan kualitas hidup penduduk negara-negara ASEAN. Hal ini
antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya nilai Human Development
Index (HDI) Indonesia yang mengukur tingkat pencapaian keseluruhan
kualitas pembangunan manusia yang diukur dari tiga indikator yaitu umur
harapan hidup pada saat lahir, angka melek huruf penduduk dewasa dan
tingkat partisipasi murid sekolah, dan GDP riil per kapita. Berdasarkan
HDR 2002, Indonesia berada pada ranking ke 110 dari 173 negara.
Ranking ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara
ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Phillipines, dan Vietnam,
yang masing-masing berada pada ranking ke 25, 59, 70, 77, dan 109.
Indikator lain yang digunakan untuk menilai pencapaian kualitas
pembangunan manusia adalah Human Poverty Index (HPI) yang diukur
dari lima indikator yaitu kemungkinan tidak bisa bertahan hidup hingga
usia 40 tahun, angka buta huruf penduduk dewasa, persentase penduduk
tanpa akses terhadap air bersih, persentase penduduk tanpa akses ke
fasilitas kesehatan, dan persentase kurang gizi pada balita. Berdasarkan
HDR 2002, peringkat HPI Indonesia berada pada urutan ke 33 diantara 90
negara berkembang, dan juga masih sangat rendah dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN.
Gambaran kualitas hidup manusia Indonesia di atas, juga tidak
lepas dari akibat krisis multi dimensi yang berkepanjangan yang dialami
bangsa ini sejak tahun 1997. Krisis tersebut menyebabkan munculnya
berbagai masalah yang dimensinya meliputi sosial, ekonomi, fisik, politik,
atau bahkan kelembagaan. Akibat krisis, jumlah penduduk miskin (the
poorest dan the poor) terus meningkat, dan pada tahun 2000 jumlah
penduduk miskin mencapai 37,7 juta orang (Sensus Penduduk 2000).
Peningkatan tersebut jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun
1996, adalah sekitar 65,7%.
Peningkatan jumlah kasus secara tajam terutama terjadi di daerah
perkotaan. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai masalah seperti
meningkatnya jumlah anak jalanan, meluasnya kawasan kumuh,
meningkatnya
pertumbuhan
sektor
informal,
bertambahnya
kecenderungan kejahatan kota, kerawanan sosial, dan kriminalitas, serta
berbagai fakta dan fenomena sosial lainnya. Masalah yang juga dikenali
1

meningkat adalah kerentanan penduduk, terutama penduduk miskin


(yang sebelum krisis terjadi memang sudah miskin), terhadap
pemenuhan kebutuhan hidup mereka, yang paling dasar dan minimal,
yaitu terutama pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Krisis juga mengakibatkan sebagian masyarakat: kehilangan
pekerjaannya, menurun daya beli dan pendapatannya, serta menuruna
tingkat kesejahteraannya. Padahal, dengan sebab yang umum,
masyarakat dengan sendirinya akan berkurang pendapatannya karena
misalnya, menderita suatu penyakit atau memasuki usia lanjut. Kondisi
sulit yang disebabkan oleh penyebab umum seperti itu, semakin menjadi
berat karena adanya dampak dari krisis. Sementara itu, penawar dari
keadaan sulit ini hanya muncul dalam jangka waktu relatif singkat, seperti
intervensi masyarakat dalam aksi sosial untuk berbagai kelompok
masyarakat saja, atau intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan beras
murah untuk rakyat miskin (raskin), ataupun kegiatan-kegiatan jaring
pengaman sosial dan sejenis. Jalan keluar untuk mengatasi kesulitan
hidup dikalangan masyarakat diatasi dengan program dan proyek yang
sifatnya dalam rangka penyelamatan saja (rescue program) seperti
pelaksanaan kegiatan dana bantuan pendidikan untuk anak sekolah dan
pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Dampak dari krisis yang
menyakitkan dan berkepanjangan tersebut telah membuat rakyat
sengsara tanpa ada suatu sistem yang solid dan berkelanjutan yang
dapat melindungi rakyat dari kesulitan sosial dan ekonomi. Singkatnya,
karena tidak adanya sistem jaminan sosial dan proteksi untuk rakyat,
akibat dan dampak dari gejolak ekonomi dan sosial yang dirasakan
rakyat tidak dapat langsung diatasi, dan proses penyembuhannya
memakan waktu lama.
Suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial sungguh perlu
dimiliki agar ketahanan masyarakat dapat terjaga dalam menghadapi
shock. Lebih daripada itu, perlindungan dan jaminan sosial juga
diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat
mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang,
yang disebabkan karena memasuki usia lanjut atau pensiun, sakit, cacat,
kehilangan pekerjaan, terkena bencana alam, dan sebagainya. Jelas
bahwa, perlindungan dan jaminan sosial sangat terkait dengan isu-isu
yang kompleks, baik yang bersifat analitis maupun yang teknis. Untuk itu,
untuk
membangun
suatu
ketahanan
masyarakat,
diperlukan
pertumbuhan
yang
bersifat
terus-menerus
(sustainable)
dan
pembangunan yang memihak kepada rakyat miskin (pro-poor).
Pengalaman banyak negara menunjukkan, bahwa pertumbuhan saja
belum cukup untuk mengembangkan/meningkatkan kualias hidup
masyarakat.
Pemecahan jangka panjang dari masalah ini sangat tergantung
pada keputusan-keputusan yang dikaitkan dengan pembangunan
nasional secara keseluruhan yaitu, antara lain, dengan memasukkan
penyebab struktural dari kerentanan masyarakat di atas. Disadari bahwa
suatu kebijakan yang lebih diarahkan pada upaya memasukkan intervensi
secara proaktif dalam rangka mengurangi kerentanan tersebut dan

mendorong/mengajak sektor swasta dan masyarakat secara bersamasama untuk mengatasi kemiskinan. Dengan demikian, perlindungan dan
jaminan sosial seyogyanya tidak hanya merupakan program pemerintah,
tetapi juga merupakan program masyarakat yang diharapkan mampu
memberikan perlindungan dan jaminan sosial agar setiap warga negara
dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya menuju terwujudnya
kesejahteraan
sosial
bagi
seluruh
rakyat
Indonesia.
Dalam
pelaksanaannya, upaya ini tidak akan berhasil jika hanya melibatkan
pemerintah saja. Isu partnership dengan meningkatkan peran kerjasama
dengan sektor swasta dan masyarakat menjadi semakin penting.
Dalam konteks pembangunan suatu sistem perlindungan dan
jaminan sosial nasional, hal penting yang harus diperhatikan adalah
peran dari masing-masing pemerintah nasional di pusat dan pemerintah
daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dalam perlindungan dan jaminan
sosial juga perlu dipertegas. Dengan mengacu kepada UU No. 22 Tahun
2001, keserasian peran pusat dan daerah menjadi sangat penting, karena
kemampuan dan peran pemerintah daerah dalam sistem ini dapat saja
berbeda satu dan lainnya, tergantung dari arah kebijakan dan terutama
kemampuan pembiayaan masing-masing daerah. Implikasi kebijakan
desentralisasi yang telah diberlakukan sejak awal tahun 2001 terhadap
pola pengembangan sistem perlindungan dan jaminan sosial sebenarnya
akan menjadi unsur positif bagi daerah, karena kemiskinan di setiap
tingkatan wilayah dapat diatasi secara holistik. Dalam pelaksanaannya,
perlindungan dan jaminan sosial tidak akan berhasil jika hanya
mengandalkan peran pemerintah saja. Oleh karena itu, isu kerjasama
atau partnership melalui peningkatan peran kerjasama pemerintah
dengan sektor swasta dan masyarakat menjadi sangat penting.

II.

LATAR BELAKANG DAN TUJUAN

Referensi dasar hukum dan tahap kegiatan dan gambaran SPJS yang
diharapkan

1.

Latar belakang

Kesadaran sekaligus pesan bahwa Indonesia memerlukan suatu sistem


perlindungan dan jaminan sosial, telah dinyatakan dalam berbagai
dokumen negara. Sebagai landasan hukum, Undang Undang Dasar
1945, baik pada Pembukaan maupun pada beberapa Pasalnya, telah
memberikan landasan hukum normatif yang kuat, meskipun tidak
secara eksplisit menyebutkan perlindungan dan jaminan sosial.
Misalnya, dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan, bahwa
pembentukan Pemerintah Negara Indonesia ditujukan:
... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Selanjutnya, perlindungan dan jaminan sosial yang merupakan hak setiap
warga negara juga diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2:
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

dan

Diamanatkan kemudian, bahwa diperlukan adanya suatu sistem


perlindungan dan jaminan sosial pada skala nasional sebagaimana
diamanatkan pada Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 yang
menyatakan bahwa,
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat ......
Beberapa pasal di dalam UUD 1945 juga lebih mempertegas pentingnya
hidup layak bagi warganegara, misalnya:
Pasal 27 ayat 2
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

dan

Pasal 31 ayat 1
Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan
Pasal 34

ayat 1

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.


Selain UUD 1945, dalam Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001 tentang
Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada
Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 yang terkait dengan perlindungan
dan jaminan sosial juga telah menugaskan kepada Presiden RI untuk
membentuk suatu sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi
perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat
Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, berbagai kekuatan landasan hukum
normatif tersebut secara tegas telah mengamanatkan upaya
perlindungan dan jaminan sosial, terutama yang dikaitkan dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya manusia.
Namun demikian, yang menjadi masalah adalah, bahwa hingga saat ini
belum tersedia suatu landasan hukum (misalnya dalam bentuk UU) yang
dapat digunakan sebagai landasan operasional untuk pelaksanaan sistem
perlindungan dan jaminan sosial secara menyeluruh di tingkat nasional.
Beberapa waktu
yang lalu, suatu Tim Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Tim SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI
No. 20 tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Tim
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tim tersebut saat ini sedang menyusun
suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Draft Konsep Naskah Akademik tentang SJSN juga sedang
disusun. Kajian yang akan dilakukan Bappenas ini lebih merupakan kajian
intern Bappenas sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
menyusun rekomendasi kebijakan kepada Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Apa yang dilakukan oleh Tim
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN) akan merupakan masukan bagi
kajian yang dilakukan oleh Bappenas.
Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan
Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka
memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden mengambil inisiatif menyusun
Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap. MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan
keempat UUD 1945 tanggal 10 Agustus 2002, dengan pengubahan
dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2), tercantum bahwa Negara

mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan


memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dalam rangka
mempersiapkan konsepsi dan penyusunan sistem jaminan sosial nasional,
dibentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, melalui Keputusan Presiden
RI No. 20 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Tim
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului dengan Keputusan
Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu Presiden
Megawati Soekarno Putri menjadi Wakil Presiden).
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah,
LSM dan pakar dibidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung
jawab Tim SJSN dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan,
Mekanisme/Budget, dan Pembentukan Program Jaminan Sosial. Sistem
Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep
asuransi sosial, dan berdasarkan pada azas gotong royong melalui
pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial.
Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara
bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi
Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara
rutin. Saat ini, Tim SJSN sedang memfinalisasi naskah akademis untuk
persiapan RUU Sistem Jaminan Sosial. Menurut rencana naskah akademis
diharapkan rampung pada akhir Desember 2002, sedangkan usulan RUU
diperkirakan dapat dimasukkan ke DPR sekitar Juni 2003. Undang undang
Jaminan Sosial nantinya akan menjadi payung bagi suatu Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Social Security) yang cocok untuk Indonesia masa datang
yang didalamnya mencakup social insurance dan social assistance.
Disamping dasar berpijak di dalam negeri diatas, di tingkat
internasional, secara universal, perlindungan dan jaminan sosial juga
telah dijamin oleh Deklarasi PBB Tahun 1947 tentang Hak Azasi Manusia.
Pemerintah Indonesia seperti banyak negara lain juga telah ikut
menandatangani Deklarasi itu. Secara tegas, Deklarasi itu menyatakan
bahwa;
... setiap orang, sebagai anggota masyarakat,
mempunyai hak atas jaminan sosial ... dalam hal
menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja,
menjanda, hari tua ...
Dasar pertimbangan lain adalah Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 yang
juga menganjurkan agar semua negara di dunia memberikan
perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam rangka
memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan Sosial.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan, bahwa perlindungan
dan jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah bersama
masyarakat di tingkat nasional, selain dapat memberikan perlindungan
6

dan jaminan sosial bagi seluruh masyarakat, juga sekaligus membantu


untuk menggerakkan roda pembangunan. Berdasarkan kenyataan yang
terjadi beberapa tahun terakhir ini juga membuktikan, bahwa
perlindungan dan jaminan sosial semakin diperlukan jika kondisi
perekonomian global maupun nasional sedang mengalami berbagai krisis
(multi dimentional crisis), sehingga mengancam kesejahteraan rakyat.
Untuk itu, salah satu upaya penyelamat dari berbagai resiko tersebut
adalah perlunya dikembangkan suatu sistem perlindungan dan jaminan
sosial yang menyeluruh dan terpadu, sehingga dapat memberikan
manfaat yang optimal bagi seluruh warga negaranya.
Mengenai pengertian dari perlindungan dan jaminan sosial dapat
dijelaskan melalui beberapa literatur yang ada. Bahkan, dalam rencana
pembangunan nasional, secara tegas menyebutkan bahwa perlindungan
dan jaminan sosial merupakan salah satu langkah kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Definisi perlindungan dan jaminan sosial yang terdapat pada rencana
pembangunan nasional tersebut diartikan sebagai:
..suatu langkah kebijakan yang dilakukan untuk
memberikan perlindungan dan rasa aman bagi
masyarakat miskin, terutama kelompok masyarakat
yang paling miskin (the poorest) dan kelompok
masyarakat miskin (the poor)
Menurut ADB, definisi perlindungan dan jaminan sosial adalah sebagai
berikut:
the set of policies and programs designed to promote
efficient and effective labor markets, protect individuals
from the risks inherent in earning a living either from
small-scale agriculture or the labor market, and provides
a floor of support to individuals when market-based
approaches for supporting themselves fail.
Risks yang dimaksudkan di sini adalah yang terutama banyak
menimpa/dialami the poor, dan dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu:
a. Lifecycle misalnya cacat, kematian, dan lanjut usia
b. Economic misalnya kegagalan panen, penyakit hama,
pengangguran, peningkatan harga kebutuhan dasar, dan
krisis ekonomi

c. Environmental misalnya kekeringan, banjir, dan gempa bumi


d. Social/governance

misalnya
kriminalitas,
domestik, dan ketidakstabilan politik

kekerasan

Selanjutnya, definisi tentang Social Insurance Programs menurut


Folland, Goodman, dan Stano (1997: Social Insurance Programs) dapat
dibedakan ke dalam lima kategori yaitu:
a.

Poverty programs that are directed toward persons


experiencing poverty involve either the provision of cash, or more
often the subsidized provisions of goods in kind, such as rent
vouchers or food stamps.

b.

Old Age - programs that are directed toward the elderly


include income maintenance, such as Social Security, as well as
services and considerations (such as old-age housing, Meals-onWheels) that may address the generally decreased mobility of the
elderly.

c.

Disability programs that generally provide cash benefits.

d.

Health programs that cover illness or well-care financing


and/or provide facilities for various segments of population. The
individuals health care is financed either entirely or in part by the
government.

e.

Unemployment programs that generally provide shortterm cash benefits.

Dari uraian di atas, semakin menegaskan kepada kita bahwa


perlindungan dan jaminan sosial sangat terkait erat dengan masalah
kemiskinan, yang selanjutnya berdampak pula pada penurunan kualitas
hidup manusia secara keseluruhan. Untuk itu, guna mendukung upaya
pemerintah dalam memberikan/menciptakan perlindungan dan jaminan
sosial yang lebih utuh kepada setiap warga negaranya, maka pemerintah
perlu menataulang berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial
yang sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan
dan Jaminan Sosial (SPJS) yang lebih utuh dan memberikan efisiensi dan
efektivitas yang lebih optimal.

1. Tujuan
Guna mendukung upaya pemerintah dalam memberikan/
menciptakan perlindungan sosial yang lebih utuh kepada setiap
warganegaranya, maka pemerintah perlu menata ulang berbagai bentuk
perlindungan sosial yang sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu
Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang lebih efisien dan efektif
serta yang lebih optimal tanpa mengubah sistem yang sudah ada
sekarang ini.
Sebagaimana tertuang dalam Kerangka Acuan, Bappenas
berinisiatif untuk melakukan kajian awal tentang Sistem Perlindungan dan

Jaminan Sosial (SPJS) pada tahun 2002


dan direncanakan akan
dilanjutkan pada tahun anggaran 2003 dan 2004.
Tujuan umum dari kajian awal adalah terwujudnya suatu sistem
perlindungan dan jaminan sosial (SPJS) yang efektif dan efisien bagi
seluruh rakyat Indonesia. Tujuan khusus dari kajian ini adalah
memetakan dan menyusun bahan-bahan kajian kebijakan publik dalam
upaya mendukung terwujudnya SPJS. Sasaran yang akan dihasilkan
melalui kajian awal adalah terumuskannya bahan rekomendasi kebijakan
publik SPJS, baik ditinjau dari kerangka kebijakan nasional, dan yang
lebih penting lagi sesuai dengan desentralisasi.
Kajian diawali dengan diskusi antar pihak-pihak terkait dengan isu
SPJS. Diskusi diselegarakan berdasarkan paparan pemikiran para
pembicara dari Depkes, Depnakertrans, Depsos, Depdiknas, dan
Depdagri. Hasil sementara dari kajian awal menunjukkan adanya bentukbentuk jaminan dan perlindungan sosial yang bervariasi dan masingmasing mempunyai landasan hukum sendiri. Jaminan sosial yang ada
adalah Asuransi Kesehatan (Askes), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Tabungan
Auransi Pegawai Negeri (Taspen), Asuransi ABRI (Asabri). Namun
demikian, terlihat diselenggarakan secara parsial dari segi perundangundangan. Belum ada suatu undang-undang yang memayungi
pelaksanaan dan skema jaminan sosial secara menyeluruh dalam suatu
sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional.
Adapun bentuk-bentuk jaminan sosial yang ada dikalangan
masyarakat dan merupakan inisiatif mereka antara lain adalah Dana
Sehat (micro insurance) yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan
koordinasi dokter Puskesmas dan merupakan kegiatan APBN. Beberapa
skema partisipasi masyarakat lain juga dikenali seperti Zakat (di
beberapa daerah) dan sistem pendanaan masyarakat Banjar (di Bali).
Untuk mempertajam kajian ini, beberapa pembicara dari BUMN PT.
TASPEN, PT. ASKES, dan PT. JAMSOSTEK -- di undang sebagai penyaji
paparan dengan diskusi yang melibatkan pihak pemerintah terkait.
Disamping itu, kajian ini juga mencoba untuk menggali konsep
perpajakan yang mungkin dikembangkan guna mendukung rencana
penyusunan dan penataan SPJS melalui interview dengan para pejabat
pemerintah dan pakar terkait.

III. METODOLOGI
Cara pengumpulan data dan informasi serta penyusunan laporan

Penyusunan kebijakan SPJS digali berdasarkan bahan-bahan yang


telah dikumpulkan. Setiap kebijakan pada aspek-aspek tersebut yang
telah diterbitkan dikaji pada tataran implementasi serta benefit pada
masyarakat tertentu. Pada tataran kebijakan akan dievaluasi apakah
kebijakan tersebut masih relevan pada kerangka waktu yang sekarang
dan yang akan datang. Sehingga diharapkan dapat dirumuskan suatu
rekomendasi kebijakan jaminan sosial untuk menjamin kelangsungan
hidup bagi individu, keluarga dan masyarakat apabila terjadi suatu
eksternal shock pada kehidupan mereka.
Dalam mencapai tujuan dan sasaran penyusunan Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka
langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan
kajian kebijakan dan pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia. Ruang
lingkup kajian SPJS dan operasional meliputi aspek-aspek life cycle,
economic, environmental, dan social/governance, dan mencakup pula halhal yang berkaitan dengan poverty, old age, disability, health, dan
employment. Metoda pengumpulan bahan dilakukan melalui studi
kepustakaan, diskusi, dialog, dan in-depth interview baik dengan instansi
pemerintah di pusat dan daerah, BUMN, pihak swasta dan akademisi.
Serangkaian kegiatan diskusi diselenggarakan bersama dengan
para pejabat pemerintah di pusat (Kementerian/Departemen/LPMD) dan
BUMN yang selama ini telah menyelenggarakan perlindungan dan
jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi sosial maupun bantuan sosial,
yaitu:
1.

Pemerintah Depsos, Depdiknas, BKKBN, Depnakertrans,


Depkes, Depkeu, BPHN/Depkeham, dan Depdagri. Diskusi
khusus juga dilakukan dengan Tim Sistem Jaminan Sosial
Nasional, yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 20 Tahun
2002, tanggal 10 April 2005 tentang Pembentukan Tim Sistem
Jaminan Sosial Nasional.

2.

BUMN PT Taspen, PT Askes, PT Jasa Raharja, PT Asabri, dan


PT. Jamsostek. Di samping itu, dalam diskusi juga melibatkan
wakil akademisi.

Di samping seminar dan diskusi dilakukan pula dialog dengan


Pemerintah Daerah di 3 kabupaten/kota di 3 propinsi yaitu, Kabupaten
Banyumas, Jateng; Kota Makasar, Sulsel; dan Kabupaten Gianyar, Bali.
Tujuan dialog adalah untuk menggali berbagai potensi dan kearifan lokal
yang ada di masing-masing daerah. Dialog atau lebih dikenal dengan
istilah Temu Tukar Pendapat (TTP) yang diselenggarakan dengan
partisipasi para wakil pemerintah daerah mulai dari Bupati, Kepala
10

Bappenda dan dinas terkait, wakil dari DPRD, serta melibatkan para wakil
masyarakat dan perguruan tinggi setempat. Dalam kesempatan itu,
selain membicarkan kegiatan yang telah dilakukan sampai dengan tahun
2002, juga dibahas, pemikiran kedepan termasuk renczana kegiatan yang
menjadi perhatian mereka.
Kegiatan lain yang diselenggarakan adalah in-depth interview
untuk menggali pemikiran dan pandangan pemerintah dan swasta di
sektor terkait. Para pejabat Departemen terkait yang di interview adalah
dari Depnakertrans, Depdiknas, Depkes, Depsos, Depdagri, Depkeham,
dan Depkeu. In-depth interview juga dilakukan dengan beberapa BUMN
selaku penyelenggara perlindungan dan jaminan sosial, yaitu PT Taspen,
PT Jasa Raharja, PT Askes, dan PT Asabri (Catatan, interview dengan PT
Asabri ditangguhkan karena berbagai kendala). Tujuan in-depth interview
adalah untuk memperoleh penjelasan dan klarifikasi yang lebih rinci
tentang perlindungan dan jaminan sosial yang diselenggarakan. Di
samping itu, juga digali pemikiran dan pandangan mereka akan SPJS
nasional untuk Indonesia.
Kegiatan lainnya adalah menyusun kebijakan SPJS, yang digali
berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Setiap kebijakan pada
aspek-aspek tersebut yang telah diterbitkan dikaji pada tataran
implementasi serta benefit pada masyarakat tertentu. Pada tataran
kebijakan akan dievaluasi apakah kebijakan tersebut masih/cukup relevan
pada kerangka waktu yang sekarang dan yang akan datang. Pada
akhirnya, diharapkan dapat dirumuskan suatu rekomendasi kebijakan
perlindungan dan jaminan sosial yang ditujukan untuk menjamin
kelangsungan hidup bagi individu, keluarga, dan masyarakat apabila
terjadi suatu eksternal shock pada kehidupan mereka.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kajian awal ini lebih
merupakan suatu pemetaan dari skema perlindungan dan jaminan sosial
yang ada sampai tahun 2002. Dengan demikian pada tahap selanjutnya,
kemungkinan pada tahun anggaran 2003, akan dirumuskan suatu
kerangka SPJS yang mungkin sesuai dengan keperluan Indonesia.
Kebijakan pada salah satu aspek dapat berpengaruh pada aspek lainnya.
Contohnya, instrumen perlindungan dan jaminan sosial berupa pensiun
dan labor market, tidak mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada
keluarga yang bekerja pada sektor informal. Untuk itu, keputusan alokasi
resources antar aspek mempunyai konsekuensi yang penting berkaitan
dengan keadilan. Dengan adanya kerterbatasan public resurces yang
tersedia, maka pendekatan yang terintegrasi memberikan arah dalam
pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pada aspek-aspek tertentu,
sehingga akan terjadi tradeoff yang berkeadilan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
Sebagai kelanjutan kajian awal ini, pada tahun 20032004
diharapkan dapat disusun suatu draft awal policy paper. Sebagaimana
diketahui, bahwa social protection tidak hanya dilaksanakan oleh
Pemerintah. Individu dan rumah tangga, market institution (asuransi) juga
mengadopsi social protection. Dengan demikian, jika dimungkinkan, akan
dilakukan diseminasi policy paper tersebut, serta dialog dengan
11

pemerintah daerah. Hal ini terutama berkaitan kebijakan desentralisasi


yang telah ditetapkan sejak awal tahun 2001. Bila memungkinkan
kegiatan pada tahun 2004, lebih jauh akan difokuskan pada SPJS untuk
rakyat miskin.

12

IV. GAMBARAN UMUM SISTEM


PERLINDUNGAN DAN JAMINAN SOSIAL
YANG ADA DI INDONESIA
Skema perlindungan dan jaminan sosial, dasar hukum, cakupan dan
kelembagaan serta kemungkinan untuk dikaitkan dengan NIK

Gambaran umum sistem perlindungan dan jaminan sosial yang ada


di Indonesia diawali oleh adanya beberapa permasalahan pokok, yaitu,
pertama, belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk
setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
sebagaimana yang diamanatkan dalam perubahan UUD 1945 tahun
2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu Negara mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Perlindungan dan jaminan sosial
yang ada saat ini belum mampu mencakup seluruh warga negara
Indonesia. Misalnya, belum adanya perlindungan dan jaminan sosial bagi
pekerja sektor informal. Masalah kedua adalah belum adanya satu
peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan sistem
perlindungan dan jaminan sosial. Masing-masing jenis perlindungan dan
jaminan sosial yang ada saat ini dilandasi oleh UU dan atau PP yang
berbeda-beda. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan penanganan skema
perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan
bahkan tumpang tindih. Contohnya asuransi kesehatan - di-cover oleh
PT. Jamsostek, PT Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM). Dan yang terakhir adalah, bahwa skema perlindungan
dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, sehingga benefit (kuantitas
dan kualitas) yang diperoleh juga masih terbatas.
Secara garis besar, berikut ini diuraikan gambaran umum tentang
perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia. Hal-hal tersebut
adalah mencakup:

1. Pengertian
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia saat ini dikenali banyak pengertian/definisi tentang
perlindungan dan jaminan sosial. Misalnya dalam UU No. 6 Tahun 1974
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, dinyatakan
bahwa;
Jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas
sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan
pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi WN yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat
guna memelihara taraf kesejahteraan sosial

13

Sementara itu, dalam UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,


disebutkan bahwa;
Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang
diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu UU,
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar
bagi kesejahteraan masyarakat
Berdasarkan diskusi yang berkembang, telaah referensi, dan
dengan didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Tim Sistem
Jaminan Sosial Nasional, ternyata pengertian jaminan sosial dapat
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi sosial (social
insurance) dan bantuan sosial (social assistance).
Dalam asuransi sosial, seperti halnya konsep asuransi pada
umumnya, namun dalam hal ini bersifat sosial, maka besarnya premi
merupakan sharing antara pemberi kerja (yaitu pemerintah atau
pengusaha) dan pekerja (PNS atau pegawai) yang mempunyai
hubungan kerja. Sedangkan bantuan sosial, berupa bantuan dalam
bentuk, misalnya, block grant atau emergency fund dengan tujuan
sosial.
Dengan mengacu pada pengertian tersebut di atas, maka yang
dapat digolongkan sebagai asuransi sosial yang ada di Indonesia adalah:
asuransi kesehatan (Askes), asuransi bagi anggota TNI/Polri dulu ABRI
(Asabri), jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), asuransi kecelakaan
(Jasa Raharja), asuransi sosial (masih tahap uji coba oleh Depsos), dan
tabungan asuransi pensiun (Taspen). Sementara itu, yang dapat
digolongkan sebagai bantuan sosial adalah: jaminan kesejahteraan sosial,
baik yang bersifat permanen, bagi lanjut usia terlantar dan cacat ganda
terlantar (masyarakat rentan), maupun yang bersifat sementara
(emergency) bagi korban bencana alam dan bencana sosial; bantuan
dana pendidikan berupa beasiswa melalui skema Jaring Pengaman Sosial
(JPS) bagi murid dari keluarga miskin; bantuan dana kesehatan berupa
Kartu Sehat bagi penduduk miskin; bantuan modal usaha, misalnya
dalam bentuk tabungan (misalnya Tabungan Keluarga Sejahtera
Takesra), maupun dalam bentuk kredit mikro (misalnya Kredit Usaha
Keluarga Sejahtera Kukesra) bagi keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I
(pengelompokan keluarga oleh BKKBN).

2. Aspek hukum
Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini
masih bersifat parsial dan belum terpadu. Meskipun Pembukaan UUD
1945, dan beberapa pasal yang terdapat didalamnya, misalnya Pasal 27
(2), Pasal 31 (1), Pasal 34 (1), dan Pasal 34 (2) hasil amandemen UUD
1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 merupakan landasan hukum bagi
14

pelaksanaan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS), namun


landasan hukum bagi pelaksanaan operasional untuk seluruh skema
perlindungan dan jaminan sosial adalah masih berbeda-beda. Misalnya,
jaminan sosial di bidang tenaga kerja dilandasi dengan UU No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mencakup Jaminan Hari
Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, dan Pemeliharaan Kesehatan bagi
pegawai swasta, melalui PT. Jamsostek. Sementara itu, jaminan kesehatan
bagi PNS melalui PT Askes dilandasi dengan UU No. 2 Tahun 1992 dan PP
No. 69 Tahun 1991. Selanjutnya, jaminan hari tua dan pensiun bagi PNS
melalui PT Taspen dilandasi dengan UU No. 43 Tahun 1999; dan bagi
TNI/Polri melalui PT Asabri dilandasi dengan UU No. 6 Tahun 1966.
Dengan
adanya
produk-produk
hukum
yang
bervariasi,
mengakibatkan banyaknya lembaga yang melaksanakan perlindungan
dan jaminan sosial. Hal ini berlawanan dengan hukum bilangan besar
(law of the large number), yaitu dengan cakupan besar (peserta) maka
sebaran resiko (risk distribution) akan lebih merata dan beban yang
dipikul masing-masing peserta (premi) makin kecil.

3. Target beneficiaries
Jaminan sosial hendaknya diperuntukkan bagi seluruh warga
negara Indonesia sesuai dengan hak warga negara dan HAM. Meskipun
demikian, terdapat pemikiran bahwa dengan keterbatasan keuangan
negara, maka: (1) asuransi sosial diperuntukkan bagi seluruh warga
negara Indonesia, sedangkan (2) bantuan sosial hanya bagi kelompok
yang membutuhkan (misalnya penduduk miskin, rentan, dan korban
bencana).

4. Cakupan Manfaat
Cakupan manfaat yang diperoleh melalui asuransi sosial meliputi:
jaminan kesehatan, jaminan hari tua (JHT), pensiun, jaminan kecelakaan
kerja (JKK), jaminan pemutusan hubungan kerja (JPHK), dan santunan
kematian. Cakupan manfaat ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang
bekerja di sektor formal (swasta yang memiliki hubungan kerja), PNS,
dan TNI serta Polri. Sedangkan, mereka yang bekerja di sektor informal
belum dapat menikmati manfaat asuransi sosial ini. Padahal kita
mengetahui, bahwa masih banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di
sektor informal.
Sementara itu, cakupan manfaat yang diperoleh melalui bantuan
sosial meliputi: bantuan biaya kesehatan (misalnya melalui kartu sehat
bagi masyarakat miskin), bantuan biaya pendidikan (misalnya melalui
pemberian beasiswa bagi murid dari keluarga miskin), bantuan modal
usaha (misalnya melalui dana bergulir Takesra/Kukesra bagi peserta KB
dari keluarga Pra KS dan KS I), dan bantuan akibat bencana (misalnya
melalui dana sosial bagi korban bencana alam).

15

5. Pendanaan (Premi)
.

Asuransi sosial.

Pembiayaan premi dengan prinsip sharing baik oleh pekerja


maupun oleh pemberi kerja (pemerintah atau pengusaha). Beberapa
negara (misalnya Thailand) dapat memanfaatkan resources dari pajak
secara langsung. Bagi perusahaan yang ditunjuk melaksanakan jaminan
sosial, deviden perusahaan seyogyanya dikembalikan kepada para
pembayar premi, misalnya melalui peningkatan pelayanan (sosial,
peningkatan kualitas pelayanan, dll). Selama ini, BUMN pengelola
asuransi (seperti PT Askes, PT. Jamsostek, dan PT Jasa Raharja)
mengeluhkan adanya keharusan menyerahkan deviden kepada
pemerintah. Khusus untuk PT Taspen, mengeluhkan tidak adanya sharing
dari Pemerintah selaku pemberi kerja (premi hanya dibayar oleh PNS),
sehingga nilai jaminan hari tua dan pensiun yang diperoleh PNS relatif
kecil, karena pembayar premi hanya oleh PNS.
Pengumpulan dana dari premi peserta diharapkan akan menjadi
salah satu sumber tabungan nasional (bagian dari APBN) yang dapat
dimanfaatkan sebagai dana pembangunan. Contoh yang terjadi di
Malaysia adalah penggunaan dana Tabungan Nasional Malaysia (yang
diperoleh dari dana premi asuransi sosial) sebagai salah satu alternatif
sumber dana pembangunan ketika Malaysia mengalami krisis ekonomi
beberapa waktu lalu.
Khusus
untuk
pekerja
sektor
informal,
perlu
pengembangan skema perlindungan dan jaminan sosialnya.
5.2

dipikirkan

Bantuan sosial.

Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh


penduduk (miskin; rentan lansia terlantar, cacat, anak terlantar, anak
jalanan, komunitas adat terpencil; dan korban bencana). Di samping itu,
banyak instansi pemerintah yang belum melaksanakan skema ini,
sehingga pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang
bersumber dari dana masyarakat juga belum dikelola secara optimal.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan
pengembangan pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal,
misalnya melalui insentif pajak. Contohnya: pemberdayaan zakat, infaq,
dan sodaqoh (Islam), perpuluhan (Kristen) dan dharma (Hindu), sehingga
pembayar zakat, perpuluhan, dan dharma tidak perlu dikenakan pajak
penghasilan. Di samping itu, bentuk-bentuk kearifan lokal yang sudah ada
dan berkembang di masyarakat, perlu terus diperkuat. Misalnya: Banjar
di Kabupaten Gianyar, Bali yang terkait erat dengan desa adat melalui
iuran dana kesehatan untuk membantu masyarakat desa adat yang sakit;
Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin) di Kabupaten Banyumas, Jateng
melalui sistem tabungan untuk dana kesehatan terutama untuk biaya
persalinan pada saat ibu melahirkan; Bapak Angkat di Kabupaten
Gianyar, Bali dalam bentuk mutual benefit antara pengusaha (dalam
bentuk kemudahan perijinan dan fasilitas internet) dengan murid dari
16

keluarga miskin (dalam bentuk pelatihan keterampilan/ kerajinan);


dokter kontrak di Kabupaten Gianyar, Bali dalam bentuk iuran wajib
kesehatan yang dibayarkan oleh kelompok masyarakat muslim kepada
dokter swasta dengan menggunakan sistem kontrak.

6. Kelembagaan
SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial
nasional yang terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal. Seyogyanya
pengelolaan SPJS dilakukan oleh satu lembaga (centralized) yang
independen, yang antara lain mempunyai otoritas untuk mengkoordinir,
memantau pelaksanaan program, mengelola dana dan investasi, serta
melakukan pemasyarakatan program. Prinsip yang digunakan hendaknya
adalah economic scale dan cost-effectivenes. Dengan otonomi daerah,
kelembagaan yang menangani SPJS diharapkan juga akan melibatkan
partisipasi Pemda (termasuk kelembagaan, aspek hukum, dan keuangan).
Kelembagaan SPJS, selain independen, juga harus merupakan lembaga
yang non-profit oriented.

7. Sistem Jaminan Sosial Nasional


Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan
Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka
memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden mengambil inisiatif menyusun
Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan
keempat UUD 1945 tanggal 10 Agustus 2002, dengan pengubahan
dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2), tercantum bahwa Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka mempersiapkan
konsepsi dan penyusunan sistem jaminan sosial nasional, dibentuk Tim
Sistem Jaminan Sosial Nasional, melalui Keputusan Presiden RI No. 20
Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Tim Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului dengan Keputusan
Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu Presiden
Megawati Soekarno Putri menjadi Wakil Presiden).
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah,
LSM dan pakar di bidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung
jawab Tim SJSN dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan,
Mekanisme/budget, dan Pembentukan Program Jaminan Sosial.
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada
konsep asuransi sosial, dan berdasarkan pada asas gotong royong melalui
pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial.
17

Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara


bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi
Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara
rutin.
Diharapkan di masa yang akan datang, Indonesia mempunyai suatu
sistem Jaminan sosial (social security), yang di dalamnya mencakup
social insurance dan social assistance, yang dilindungi Undang-Undang.
Saat ini, Tim SJSN sedang memfinalisasi naskah akademis untuk
persiapan RUU Sistem Jaminan Sosial. Diharapkan RUU SJSN dapat
dirampungkan sebelum bulan Desember 2002.

8. Kaitan SPJS dengan NIK (Nomor Induk


Kependudukan)
Sistem dan software administrasi kependudukan yang saat ini
sedang dikembangkan oleh Ditjen. Administrasi Kependudukan
Depdagri (dengan daerah uji coba di Kota Menado Sulut) diharapkan
akan menjadi modal utama sistem komputerisasi SPJS di masa datang.
Dalam sistem ini, setiap penduduk yang baru lahir akan memperoleh satu
nomor penduduk yang tunggal atau unique. Dengan demikian, nomor ini
nantinya akan merupakan semacam social security number bagi setiap
penduduk. Dengan memiliki satu nomor penduduk yang tunggal atau
unique, maka akan mempermudah dalam pengelolaan SPJS, khususnya
dalam penentuan target beneficiaries dan perkiraan pendanaan (yang
akan dicover oleh pemerintah).
Untuk masing-masing bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang
ada di Indonesia akan diuraikan pada masing-masing Bab berikut ini.

V. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KESEHATAN


Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN
sektor kesehatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial

1. Latar belakang
Kesehatan yang baik dan prima memungkinkan seseorang hidup
lebih produktif baik secara sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu,
kesehatan menjadi salah satu hak dan kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi, agar setiap individu dapat berkarya dan menikmati kehidupan
yang bermartabat.
Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal.
Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan,
menyebabkan tidak semua anggota masyarakat mampu untuk

18

memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu, kemampuan


pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah. Tanpa
sistem yang menjamin pembiayaan kesehatan, maka akan semakin
banyak masyarakat yang tidak mampu yang tidak memperoleh
pelayanan kesehatan sebagaimana yang mereka butuhkan.
Dengan kecenderungan meningkatnya biaya hidup, termasuk biaya
pemeliharaan kesehatan, diperkirakan beban masyarakat terutama
penduduk berpenghasilan rendah akan bertambah berat. Biaya kesehatan
yang meningkat akan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang dibutuhkannya, terutama bila pembiayaannya harus
ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistem fee for services.
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan
menyebabkan masyarakat sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang
layak. Namun, apabila hendak ikut asuransi, tidak banyak masyarakat
yang mampu membayar biaya premi. Sebagai contoh, pada tahun 1995,
biaya rawat inap pasien di rumah sakit selama lima hari menghabiskan
1,4 kali rata-rata pendapatan sebulan penduduk DKI Jakarta. Tahun 1998
biaya ini melonjak menjadi 2,7 kali. Apabila biaya tersebut tidak
ditanggung oleh kantor atau asuransi, berarti biaya rumah tangga orang
yang bersangkutan akan tersedot untuk membayar perawatan di rumah
sakit. Pertanyaannya adalah bagaimana dan apa yang terjadi dengan
penduduk miskin apabila mereka sakit, sementara biaya kesehatan makin
meningkat dari waktu ke waktu.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, keberadaan
sistem asuransi kesehatan yang mencakup seluruh penduduk mendesak
untuk diwujudkan. Jika tidak, akan banyak penduduk terutama penduduk
miskin akan mengalami kesulitan untuk dapat mengakses pelayanan
kesehatan, apalagi pada saat perdagangan bebas di sektor jasa mulai
diberlakukan.

2. Landasan hukum
Undang Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan
konstitusi WHO menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental
setiap individu. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab untuk
mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya dapat terpenuhi. MPR
RI melalui perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2002, telah
melakukan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 ayat 2 yang
menyatakan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Keputusan MPR RI
tersebut menjadi landasan yang kuat bagi dikembangkannya suatu
sistem jaminan kesehatan bagi keluarga miskin (JPK Gakin) yang terkait
dengan penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan yang selama ini telah
dilaksanakan yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas), yang
menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

19

Selanjutnya, juga terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


527/Menkes/Per/ VII/1993 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM) yang mencantumkan adanya suatu paket
pemeliharaan kesehatan yang berisi kumpulan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh suatu badan penyelenggara dalam rangka
melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, yang
meliputi rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, dan penunjang.

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial


Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan
kesehatan dengan memprioritaskan bagi keluarga miskin (Gakin), yaitu
melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPKGakin). Cakupan JPK-Gakin meliputi pelayanan kesehatan dasar, yang
kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru). Kemudian,
pada akhir tahun 2001 Pemerintah menyalurkan dana subsidi bahan
bakar minyak untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin.
Program ini diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis yaitu dengan
cara memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin
melalui subsidi biaya operasional puskesmas, bidan di desa (BDD), gizi,
posyandu, pemberantasan penyakit menular (P2M), dan rujukan rumah
sakit.
Dengan perkembangan waktu, dan dalam rangka memelihara
derajat kesehatan masyarakat dalam keterbatasan pembiayaan
kesehatan sebagaimana diulas di atas, maka dirancang beberapa konsep
dan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang kesehatan
(Sumber: Bahan Sidang Kabinet 6 Januari 2003 oleh Menteri Kesehatan),
yaitu :
a.

Pembiayaan berbasis solidaritas sosial, dalam bentuk


Jamkesnas. Jamkesnas adalah bentuk jaminan kesehatan prabayar
yang bersifat wajib untuk seluruh masyarakat guna memenuhi
kebutuhan kesehatan utama setiap warga negara. Pembiayaan
Jamkesnas berasal dari iuran yang diperhitungkan sebagai
persentase tertentu dari penghasilan setiap keluarga. Dalam hal ini,
pekerja di sektor formal dan keluarganya akan lebih cepat dicakup
karena kemudahan menghimpun iuran.

b.

Pembiayaan berbasis sukarela, dalam bentuk: asuransi


kesehatan (askes) komersial berdasarkan UU No. 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian; dan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela berdasarkan UU No.
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Konstitusi WHO. Saat ini
sedang diproses penerbitan PP untuk JPKM sukarela tersebut.

c.

Pembiayaan kesehatan bagi sektor informal, dalam bentuk:


jaminan kesehatan mikro dari oleh dan untuk masyarakat,
misalnya dalam bentuk Dana Sehat; dan dana sosial masyarakat
yang dihimpun untuk pelayanan sosial dasar, termasuk kesehatan,
misalnya dihimpun dari dana sosial keagamaan dari semua agama
(kolekte, dana paramitha, infaq, dll).
20

d.

Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan prinsip


asuransi, dalam bentuk pembiayaan premi oleh pemerintah
untuk JPK-Gakin. (Misalnya dengan memadukan dana Jaring
Pengaman Sosial- Bidang Kesehatan (JPS-BK) dengan dana subsidi
bahan bakar minyak agar pemanfaatannya maksimal di berbagai
tingkat pelayanan mulai dari pelayanan dasar hingga ke rujukan
RS.)

Selain keempat bentuk di atas, terdapat suatu jaminan sosial di


bidang kesehatan yaitu Asuransi Kesehatan yang diselenggarakan oleh PT
Askes. Askes memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan oleh Askes antara
lain: konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan
pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, serta pemeriksaan
dan pengobatan gigi. Di luar bentuk pelayanan ini, Askes tidak
menanggungnya.

4.

Identifikasi dan analisis stakeholders

Peserta asuransi kesehatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu


peserta wajib, terdiri dari: pegawai negeri sipil (PNS) termasuk calon PNS,
pejabat negara, dan penerima pensiun (PNS, TNI/POLRI, PNS di
lingkungan TNI/POLRI, dan pejabat negara), Veteran dan Perintis
Kemerdekaan, beserta keluarganya. Sedangkan jenis peserta lainnya
adalah peserta sukarela, terdiri dari: pegawai swasta, BUMN/BUMD,
perusahaan daerah, badan usaha lainnya, serta Dokter Pegawai Tidak
Tetap (PTT) dan Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT).

5.

Target beneficiaries

Di satu sisi, masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, di


sisi lain, upaya kesehatan yang diwujudkan pemerintah belum
sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat diperkirakan bisa mengurangi
beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu. Pada kenyataannya belum semua masyarakat memahami
keberadaan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Hasil dari Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002, tentang kesehatan,
berbunyi sebagai berikut:
1)

Mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan secara bertahap


sampai mencapai jumlah minimum sebesar 15% sesuai dengan
kondisi keuangan negara dari APBN/APBD, sebagaimana ditetapkan
WHO

2)

Melanjutkan program darurat pelayanan kesehatan dasar bagi


keluarga miskin, rawan gizi, khususnya untuk bayi, balita, ibu hamil
dan ibu nifas

21

3)

Mewujudkan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat

4)

Membangun pusat-pusat pemulihan trauma pasca konflik, terutama


di daerah pengungsian.

22

VI. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG


KETENAGAKERJAAN

Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor
kesehatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial

1.

Latar belakang

Kuatnya semangat reformasi yang terjadi pada saat ini dilandasi


terutama oleh timbulnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia,
tuntutan akan demokratisasi dan transparansi. Deklarasi Hak Asasi
Manusia (Declaration of Human Right) Tahun 1948 yang dikeluarkan
oleh PBB, dalam salah satu pasalnya menyatakan, bahwa setiap warga
negara mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit,
cacat, menjanda, maupun usia lanjut.
Indonesia sebagai salah satu anggota PBB menghormati dasardasar hak asasi manusia. GBHN 1999-2004 mengamanatkan jaminan
sosial tenaga kerja antara lain melalui peningkatan sistem jaminan sosial
tenaga kerja dalam menyediakan perlindungan, keamanan, dan
keselamatan kerja, yang pengelolaannya melibatkan tiga unsur yakni
pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Demikian pula dalam UUD 1945
(amandemen kedua Pasal 28H) menyatakan, bahwa;
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagaimana manusia yang bermartabat
Oleh karena itu, Jaminan Sosial Di Bidang Ketenagakerjaan merupakan
penjabaran dari UUD 1945.

2.

Landasan hukum

Dalam penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial di bidang


ketenagakerjaan, antara lain dilandasi oleh beberapa peraturan
perundang-undangan baik yang bersifat global, maupun nasional.
Dalam skala global, pada Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia
(Declaration of Human Right) Tahun 1948 yang dikeluarkan oleh PBB,
dinyatakan, bahwa Setiap warga negara mendapatkan hak atas jaminan
sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat, menjanda, maupun usia lanjut.
Di samping itu, Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, juga mencantumkan
standar minimum jaminan sosial, yang meliputi: tunjangan hari tua, sakit,
cacat, kematian, penganguran, dan pelayanan medis.

23

Sementara itu, di tingkat nasional, selain dalam UUD 1945


(Amandement ke-4) Pasal 34 Ayat 2 menyatakan, bahwa Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan. Selanjutnya, UU No. 14 Tahun 1969
tentang Ketenagakerjaan menyatakan, bahwa setiap tenaga kerja berhak
atas ... Sedangkan dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, disebutkan bahwa terdapat 4 (empat) program jaminan
sosial bagi tenaga kerja, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan
pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Namun
UU tersebut belum mencakup jaminan pemutusan hubungan kerja (PHK),
maupun unemploment benefit seperti yang diamanatkan dalam Konvensi
ILO No 102 Tahun 1952.

3.

Konsep dan sistem perlindungan sosial

Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia


secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek,
Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek
didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada
PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun
1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan
program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan
jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan
atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan
anggota TNI/Polri. Sedangkan penyelenggaraan jaminan sosial di ASEAN
cukup beragam, ada yang berbasis program (Singapura, Malaisia,
Thailand), dan ada pula yang berbasis kepesertaan (Filipina).
Pada bagian ini akan dijabarkan tentang perlindungan dan jaminan
sosial pada sektor swasta. Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek)
sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsispnya
merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai
hubungan kerja) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi
program-program yang terkait dengan resiko, seperti jaminan kecelakaan
kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan
hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya
pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya
rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu
berkerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat
kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan
kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang.
Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat
total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua
(JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan
pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk
keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan

24

kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat


darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi
sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan
penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban
pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan
mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya
didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal
ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap
penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah
terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila
mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara Jamsostek
memperoleh keuntungan, maka pemerintah akan memperoleh deviden
dan pajak badan karena bentuk badan hukum adalah BUMN Persero.
Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh
jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan
tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24% - 1,27% dari upah per
bulan, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 4 kelompok
usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku
pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan
tanggungan pengusaha yaitu sebesar 0,30% dari upah per bulan.
Sementara itu, iuran JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu
sebesar 6% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang sudah
berkeluarga, dan 3% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum
berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu
juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu
sebesar 3,70% dari upah per bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2%
dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja.

4.

Identifikasi dan analisis stakeholders

Pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja melibatkan beberapa


stakeholders. PT. Jamsostek bertugas untuk menyelengarakan jaminan
sosial tenaga kerja, baik dari segi pelayanan program maupun
administrasinya, menuju cakupan dan kualitas pelayanan program.
Departemen teknis dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja melakukan
pengawasan pelaksanaan program Jamsostek. Demikian pula dengan
Departemen Keuangan dan Kementerian BUMN bertindak sebagai
pengawas di bidang keuangan serta penempatan portfolio keuangan.
Penyelenggaraan program Jamsostek melibatkan tripartit yang
anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Fungsi
dari tripartit tersebut adalah sebagai pengawas terhadap pelaksanaan
program Jamsostek. Keberhasilan pelaksanaan program Jamsostek juga
bergantung dari partisipasi dan pengawasan tripartit, karena mereka
duduk dalam Dewan Komisaris PT. Jamsostek. Kepedulian pengusaha akan
pentingnya program Jamsostek bagi karyawannya merupakan faktor yang
penting dalam keberhasilan Jamsostek.

25

Misi PT. Jamsostek adalah memberikan pelayanan dasar bagi


pekerja. Sampai dengan bulan Juni 2002 kepesertaan Jamsostek meliputi
104 ribu perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak sekitar 22
juta orang. Jumlah tersebut baru mencapai sekitar 60% dari seluruh
tenaga kerja pada sektor formal. Walaupun program Jamsostek diwajibkan
bagi seluruh perusahaan oleh UU, namun masih banyak para pekerja
yang belum diikutsertakan dalam program Jamsostek. Hal ini
menandakan bahwa penegakan hukum dalam program Jamsostek belum
berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan penegakan hukum berada
pada Depertemen teknis (Depnaker), sedangkan kewenangan PT.
Jamsostek hanya sebatas pada usulan perbaikan benefit atas dasar
perhitungan aktuaris.
Selain itu, juga masih banyak masalah di luar cakupan program
Jamsostek (seperti pemulangan TKI illegal, dan sektor informal) yang
menjadi beban PT. Jamsostek.
Berkaitan dengan kelembagaan Jamsostek, sebaiknya bahwa badan
penyelenggara Jamsostek berfungsi selaku monopoli. Monopoli di dalam
penyelenggaraan program asuransi sosial dapat dibenarkan dalam UU
sepanjang program yang ditangani masih dalam lingkup standar
minimum (Pawoko, 1999). Pelaku monopolis disini adalah pemerintah,
atau serendah-rendahnya BUMN. Namun demikian, issues yang
berkembang di tingkat intenasional mengarah pada de-monopoly yang
mengikuti arus globalisasi competitiveness, sehingga akan dapat
memberikan benefit yang maksimum kepada peserta asuransi.
Sehubungan dengan otonomi daerah, pelaksanaan program
Jamsostek akan berpengaruh pada pemberlakuan kewenangan Pusat dan
Daerah. Dalam hal ini, program-program pelayanan yang bersifat lokal
juga perlu didesentralisasikan.

5.

Target beneficieries

Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara


perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT. Jamsostek. Setiap
perusahaan swasta dengan tenaga kerja lebih dari 10 pekerja diwajibkan
untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian,
belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah
menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal
masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai
sekitar 70,5 juta, atau 75% dari jumlah pekerja mereka belum
terlindungi dalam Jamsostek.
Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai
1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu
klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim
yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun.
Namun demikian, posisi PT. Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530
milyar pada Juni 2002.

26

27

VII. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG


PENDIDIKAN
1. Latar belakang
Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa pendekatan
pembangunan yang lebih menekankan pada aspek fiskal dan
pertumbuhan ekonomi ternyata telah mengalami kegagalan. Oleh karena
itu, pembangunan nasional dewasa ini lebih berorientasi pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM adalah modal
utama kesejahteraan suatu bangsa, karena tanpa SDM yang berkualitas
maka pembangunan suatu negara tidak akan mencapai tingkat yang
optimal.
Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia sejak
tahun 1997, maka terjadi penurunan kesejahteraan hidup masyarakat
secara riil, yang ditandai antara lain dengan semakin melemahnya daya
beli masyarakat (purchasing power parity). Akibat adanya krisis,
kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan secara drastis.
Hal ini berakibat pula pada menurunnya seluruh komponen pengeluaran
keluarga tersebut. Salah satu komponen pengeluaran keluarga adalah
pengeluaran pendidikan. Jika suatu keluarga sudah miskin sebelum krisis,
maka setelah krisis keluarga tersebut akan jauh lebih miskin lagi.
Keadaan ini memaksa keluarga tersebut mengambil keputusan untuk
mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk bekerja/mencari
pendapatan tambahan, tanpa terkecuali anak-anak yang masih berada
pada usia sekolah. Jika hal ini terjadi, maka anak-anak yang seharusnya
berada di sekolah, mereka menjadi drop-out, karena alasan ekonomi
membantu menambah pendapatan keluarga.
Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk
segera mengatasinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui
JPS, antara lain dengan memberikan bantuan biaya pendidikan dalam
bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Karena target
Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga SLTP),
maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid SD dan
SLTP, ditambah dengan murid SLTA dari keluarga miskin saja. Sementara
itu, mahasiswa dari keluarga miskin apabila keluarganya tidak mampu
membiayainya lagi maka mereka akan secara terpaksa menjadi dropout.

2. Landasan hukum
Landasan hukum pembangunan sistem perlindungan dan jaminan
sosial di bidang pendidikan adalah UUD 1945 Perubahan IV tanggal 10
Agustus 2002, baik pada Pembukaan, maupun dalam beberapa pasalnya.
Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa salah satu tujuan

28

nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan


kehidupan bangsa:;
1. Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan
2. Pasal 31 (2) disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam
undang-undang
3. Pasal 31 (3) dinyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan
dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
4. Pasal 34 (1) dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh negara
5. Pasal 34 (2) dinyatakan bahwa negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat, dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Landasan hukum berikutnya adalah:
1. UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4. UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138
mengenai Batas Usia Minimum Anak Bekerja
5. UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182
mengenai Pelanggaran dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak.

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial


Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang
ada saat ini masih merupakan kegiatan Jaring Perlindungan Sosial (JPS)
bidang pendidikan. Kegiatan utama diprioritaskan antara lain pada upayaupaya mengurangi angka putus sekolah yang cenderung meningkat
khususnya tingkat SD dan SLTP, yang merupakan paket wajib belajar
sembilan tahun, dan untuk mencegah menurunnya kualitas pendidikan
dasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan
beasiswa untuk murid SD, SLTP, dan SLTA dalam rangka mencegah
terjadinya putus sekolah. Di samping itu, juga diberikan dana bantuan
operasional (DBO) bagi SD,SLTP dan SLTA untuk mendukung biaya
operasional dan pemeliharaan sekolah agar penyelenggaraan pendidikan
di sekolah dapat terlaksana dengan lancar.

29

Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan


dan jaminan sosial di bidang pendidikan, melalui skema JPS telah
ditetapkan beberapa hal yaitu:
1)

sasaran dan sumber dana

2)

persyaratan siswa penerima


beasiswa bagi siswa SD dan MI, siswa SLTP/MTs dan siswa SLTA/MA

3)

persyaratan
penerima dana bantuan operasional (DBO)

sekolah

Di samping itu, untuk efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan JPS,


telah dibentuk:
1)

Tim Koordinasi, baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun


Kabupaten/Kotamadya, termasuk Kecamatan dan Desa di dalamnya

2)

mekanisme penyaluran dana dan mekanisme pelaporan dan


pertanggungjawaban penyaluran dana

3)

sistem monitoring dan evaluasi

4. Identifikasi dan analisis stakeholders


Institusi yang terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan pengendalian sistem perlindungan dan jaminan sosial
di bidang pendidikan (skema-JPS) selama ini adalah Depdiknas, Komite
Sekolah, Depag, Bappenas, Depdagri, Pemerintah Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan PT
(Persero) Pos Indonesia.

5. Target beneficiaries
Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS
adalah keluarga-keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan.
Mereka adalah keluarga-keluarga yang termasuk kategori Keluarga PraSejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin lainnya (karena
alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk siswa SD, SLTP, dan
SLTA.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan adalah:
1)

anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR per


bulan

2)

Anak-anak dan satuan pendidikan


bencana alam, daerah kerusuhan

3)

anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yatim


piatu, anak-anak terlantar

4)

anak-anak cacat

5)

anak-anak yang berprestasi.

daerah

terpencil,

daerah

30

31

VIII. JAMINAN SOSIAL HARI TUA DAN


PENSIUN
1. Latar belakang
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang pada
hakekatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang dasar 1945, maka upaya untuk mewujudkan kehidupan
yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan kewajiban
konstitusional yang harus dilakukan secara berencana, bertahap, dan
berkesinambungan.
Sejalan dengan itu, upaya memelihara kesinambungan penghasilan
pada hari tua perlu mendapat perhatian dan penanganan agar lebih
berdayaguna dan berhasilguna. Dalam hubungan ini di masyarakat telah
berkembang suatu bentuk tabungan masyarakat yang semakin banyak
dikenal oleh para karyawan, yaitu dana pensiun. Bentuk tabungan ini
mempunyai ciri sebagai tabungan jangka panjang, yang dinikmati
hasilnya
setelah
karyawan
yang
bersangkutan
pensiun.
Penyelenggaraannya dilakukan dalam suatu program, yaitu program
pensiun yang mengupayakan manfaat pensiun bagi pesertanya melalui
suatu sistem pemupukan dana yang lazim disebut pendanaan.
Sistem pendanaan suatu program pensiun memungkinkan
terbentuknya akumulasi dana, yang dibutuhkan untuk memelihara
kesinambungan penghasilan peserta program pada hari tua. Keyakinan
akan adanya kesinambungan penghasilan menimbulkan ketenteraman
kerja, sehingga akan meningkatkan motivasi kerja karyawan yang
merupakan iklim yang kondusif bagi peningkatan produktivitas. Dalam
dimensi yang lebih luas, akumulasi dana yang terhimpun dari
penyelenggaraan program pensiun merupakan salah satu sumber dana
yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan
nasional.
Mengingat manfaatnya yang besar, baik bagi peserta maupun bagi
masyarakat luas dan bagi pembangunan nasional, maka upaya
penyelenggaraan program pensiun selama ini telah didukung oleh
Pemerintah.

2. Landasan hukum
Dewasa ini program pensiun dengan pemupukan dana
diselenggarakan oleh pemberi kerja berdasarkan Staatsblad Tahun 1926
Nomor 377 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1601 s
bagian kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Ketentuan tersebut
32

memungkinkan pembentukan dana bersama antara pemberi kerja dan


karyawan, namun tidak memadai sebagai dasar hukum bagi
penyelenggaraan program pensiun. Hal ini disebabkan tidak adanya
ketentuan yang mengatur hal-hal mendasar dalam rangka pemenuhan
hak dan kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan program pensiun,
serta dalam pengelolaan, kepengurusan, pengawasan, dan sebagainya.
Untuk itu, pada tahun 1992 telah ditetapkan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, sebagai landasan hukum
bagi penyelenggaraan program pensiun di Indonesia. Undang-undang ini
diharapkan membawa pertumbuhan dana pensiun di Indonesia secara
lebih pesat, tertib dan sehat, sehingga membawa manfaat nyata bagi
peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Khusus bagi pegawai
negeri sipil (PNS), penyelenggaraan program jaminan kesejahteraannya
diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1956 tentang
Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang
Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian. Dalam penyelenggaraan program asuransi sosial
bagi PNS telah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, diantaranya diatur
mengenai besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari
Tua (THT) dan Pensiun.
Sementara itu, program kesejahteraan bagi anggota TNI/Polri diatur
dalam beberapa Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun
1959 tentang Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI;
Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat
Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan Prajurut TNI dan Anggota Polri;
Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang
Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran
RI.
Selanjutnya, untuk program kesejahteraan pekerja swasta dan
BUMN telah diatur dalam suatu Undang-undang yaitu UU No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yang dibahas
secara terpisah pada bagian lain.

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial


Hingga saat ini terdapat 3 (tiga) lembaga penyelenggara jaminan
hari tua (JHT) dan pensiun di Indonesia, yaitu:
a.

PT. TASPEN, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial


bagi para PNS baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;

b.

PT. JAMSOSTEK, yang menyelenggarakan program Jaminan


Sosial Tenaga Kerja di luar pensiun bagi pekerja swasta;

33

c.

PT. ASABRI, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial


bagi para anggota TNI/POLRI baik untuk pensiun maupun tabungan
hari tua;

Di samping ketiga lembaga tersebut di atas, terdapat juga lembaga


pensiun yang didirikan oleh perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN ditetapkan
sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari
Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Di samping itu, pada saat ini
PT. TASPEN juga membayarkan beberapa program lainnya, seperti
asuransi kematian, uang duka wafat, bantuan untuk Veteran, dan uang
tabungan perumahan (Taperum) yang diperoleh dari BAPERTARUM.
Pendanaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang
No. 11 Tahun 1969 adalah dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut
sebagai pendanaan pay as you go (seorang PNS begitu pensiun
langsung dibayar). Sistem ini telah dilakukan sampai dengan akhir tahun
1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah
menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola current cost
financing yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan funded
system dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program
pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun
yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75% dan dari akumulasi
iuran peserta sebesar 25% dari seluruh beban pembayaran pensiun PNS.
Sementara itu, sumber dana program tabungan hari tua (THT) PNS
diperoleh dari iuran peserta sebesar 3,25% dari penghasilan peserta
setiap bulan. Sedangkan sumber dana untuk program dana pensiun PNS
diperoleh dari iuran peserta sebesar 4,75% dari penghasilan peserta
setiap bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah
gaji pokok
ditambah tunjangan istri ditambah tunjangan anak. Di samping itu, PNS
juga dikenakan iuran sebesar 2,00% dari penghasilan peserta setiap
bulan untuk membayar iuran program kesehatan.
Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001
sampai dengan sekarang didasarkan pada Keputusan Direksi PT Taspen
dengan menggunakan formula:
(0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI 2 x (P2001 P2000))
MI 1: Masa iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti.
MI 2: Masa Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti.
Sedangkan formula manfaat program pensiun adalah:

34

2,5% x masa kerja x penghasilan dasar pensiun


Pelaksanaan pembayaran program tabungan hari tua dan pensiun
dilakukan melalui 4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen, bank, dan
kantor pos.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992, dalam
program jamsostek untuk jangka panjang, terdapat jenis perlindungan
tenaga kerja dalam bentuk jaminan hari tua (JHT). Besarnya iuran jaminan
hari tua adalah sebesar 5,7% dari upah sebulan sebesar 3,7%
ditanggung oleh pengusaha (selaku pemberi kerja) dan sebesar 2%
ditanggung oleh pekerja.
Jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus atau berkala kepada
tenaga kerja, karena telah mencapai usia 55 tahun, atau mengalami
cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal tenaga kerja
meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda atau duda
atau anak yatim piatu.

4. Identifikasi dan analisis stakeholders


Berbagai institusi terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pengendalian program jaminan sosial hari tua dan
pensiun yang berkaitan dengan PT. (Persero) Taspen, adalah: Departemen
Keuangan,
Kementerian
BUMN
selaku
pemegang
saham,
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, baik di pusat
maupun di daerah, BKN, Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota,
BPK, dan BPKP. Sementara itu, institusi yang terlibat berkaitan dengan PT.
Jamsostek adalah: Departemen Keuangan, dan Kementerian BUMN selaku
pemegang saham.

5. Target beneficiaries

Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang


dilaksanakan oleh PT. Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil (PNS),
kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan. Pada tahun 2001
jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766 orang, dengan rincian sebanyak
3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang PNS pusat. Yang
berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundanga yang
berlaku adalah peserta, atau janda/duda dari peserta, atau janda/duda
dari penerima pensiun, atau yatim piatu dari peserta, atau yatim piatu
dari penerima pensiun, atau orang tua dari peserta yang tewas yang
tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak menerima
pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah
peserta, atau istri/suami, anak, atau ahli waris peserta yang sah dalam
hal peserta meninggal dunia.
Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang
dilaksanakan oleh PT. Jamsostek adalah seluruh karyawan yang
mempunyai hubungan kerja, atau keluarganya, atau ahli warisnya.
35

36

IX. JAMINAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT


MISKIN DAN RENTAN
1. Latar belakang

Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah banyak


upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan
rakyat Indonesia. Namun, hingga saat ini kemiskinan masih menjadi
masalah utama yang harus ditangani bersama. Sampai dengan tahun
2000, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin telah mencapai
sekitar 37,5 juta jiwa (Susenas 2000), dan sekitar 13,4 juta di antaranya
tergolong penduduk yang sangat miskin (crust of the poor).
Untuk
menjamin
kesejahteraan
rakyat,
Pemerintah
telah
menyelenggarakan beberapa skema bentuk-bentuk perlindungan dan
jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, asuransi ABRI, pensiun,
jaminan sosial tenaga kerja, dan lain-lain. Namun, penduduk miskin dan
terutama yang bekerja di sektor informal pada umumnya belum
tersentuh oleh skema-skema tersebut, sehingga mereka berada dalam
posisi yang sangat rentan terhadap ketidakstabilan perekonomian yang
terjadi baik di lingkungannya maupun di Indonesia secara umum. Oleh
sebab itu, Pemerintah memandang perlu untuk menyelenggarakan suatu
bentuk perlindungan sosial yang dapat memberikan perlindungan dan
jaminan sosial bagi penduduk miskin tersebut.

2. Landasan hukum

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang melandasi


penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat
rentan, yaitu:
1.

Undang-undang Dasar 1945

2.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembar Negara Tahun 1974 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039). Khususnya: (1) Pasal 1:
Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang
sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut
serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial; (2) Pasal 2 ayat (4):
Jaminan Sosial sebagai perwujudan daripada sekuritas sosial adalah
seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial
warga negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial; (3) Pasal 4
ayat (1): Usaha-usaha pemerintah di bidang kesejahteraan sosial
meliputi: (a) bantuan Sosial kepada warga negara baik secara
perseorangan maupun dalam kelompok yang mengalami
kehilangan peranan sosial atau menjadi korban akibat terjadinya
bencana-bencana, baik sosial maupun alamiah atau peristiwa37

peristiwa lain; (b) pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui


penyelenggaraan suatu sistem jaminan sosial; (c) bimbingan,
pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di dalamnya
penyaluran ke dalam masyarakat kepada warga negara, baik
perorangan
maupun
dalam
kelompok,
yang
terganggu
kemampuannya untuk mempertahankan hidup, yang terlantar, atau
yang tersesat; dan (d) pengembangan dan penyuluhan sosial untuk
meningkatkan
peradaban,
perikemanusiaan,
dan
kegotong
royongan; (4) Pasal 5 ayat (1): Pemerintah mengadakan usahausaha ke arah terwujudnya dan terbinanya suatu jaminan sosial
yang menyeluruh. (Penjelasan: Ayat ini membebankan kewajiban
kepada Pemerintah untuk melaksanakan dan membina suatu
sistem jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial
dan sebagai wahana utama pemeliharaan kesejahteraan sosial
termaksud, pelaksanaannya mengutamakan penggunaan asuransi
sosial dan/atau bantuan sosial.)
3.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan


Lanjut Usia. Pasal 5 ayat (2) huruf g: Bagi Lanjut Usia yang tidak
potensial agar dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar diberikan
perlindungan sosial berupa pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.

4.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

5.

Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

6.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan


Penyandang Cacat

7.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

8.

Undang-undang nomor 22 Tahun 2000 tentang Program


Pembangunan Nasional

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial


Melihat keadaan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih
belum dapat menikmati kesejahteraan sosial yang memadai, dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersebut di atas,
Pemerintah perlu menyelenggarakan jaminan kesejahteraan sosial
(Jamkesos) bagi masyarakat yang masih tergolong rentan.
Jamkesos pada dasarnya merupakan suatu bentuk jaminan sosial
yang diselenggarakan oleh Pemerintah guna memastikan bahwa rakyat
miskin dan tidak mampu dapat mempertahankan taraf kesejahteraan
sosialnya dan masih dapat terpenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya.
Bentuk dari Jamkesos terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan Sosial
(BKS) yang bisa bersifat permanen dan yang bersifat sementara
(emergency); dan (2) Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individu,
keluarga, kelompok, atau komunitas yang tidak mampu. BKS permanen
diberikan secara terus menerus pada penyandang masalah kesejahteraan
38

sosial (PMKS) yang permanen, seperti lanjut usia terlantar, dan


penyandang cacat ganda. Adapun BKS sementara (emergency) diberikan
dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen, seperti korban
bencana alam dan sosial.
Sementara itu, Askesos yang merupakan sistem asuransi sosial,
ditujukan untuk melindungi penduduk miskin dari resiko (risk) yang
mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan sosialnya, sebagai
akibat dari pencari nafkah menderita sakit, mengalami kecelakaan, atau
meninggal dunia. Askesos saat ini masih dalam tahap uji coba dengan
keanggotaan bersifat sukarela dan terbatas untuk kelompok tertentu.
Rencana ke depan, Askesos akan diterapkan secara nasional, dan dalam
bentuk asuransi wajib, berlaku bagi semua orang, dan semua kepala
keluarga.

4. Identifikasi dan analisis stakeholders


Departemen Sosial (Depsos) yang diberikan mandat untuk
membantu
Presiden
dalam menyelenggarakan
sebagian tugas
pemerintahan di bidang sosial telah berinisiatif untuk menyelenggarakan
jaminan kesejahteraan sosial dengan target beneficiary masyarakat
rentan. Dalam pelaksanaan Jamkesos, Depsos bekerjasama dengan Dinas
Sosial Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Namun dengan
dilaksanakannya desentralisasi, pelaksanaan kegiatan dan monitoring
Jamkesos serta Askesos menjadi lebih sulit dilaksanakan, sebab tidak
adanya hubungan struktural antara pusat dan daerah.

5. Target beneficiaries
Saat ini BKS permanen yang dilaksanakan adalah Jaminan
Kesejahteraan Sosial Gotong Royong (JKS-GR) yang diberikan dalam
bentuk uang melalui kelompok-kelompok sosial dan ekonomi di dalam
masyarakat. Kelompok-kelompok ini masih difokuskan pada kelompok
penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi, kelompok
usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok
tersebut sebagian disisihkan untuk membantu kesejahteraan PMKS
permanen tadi. Dalam BKS permanen, kelompok penduduk yang menjadi
sasaran utama dari kegiatan JKS Gotong Royong (JKS-GR) adalah lansia
terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu miskin, dan penyandang cacat
fisik dan mental (cacat ganda).
Sementara itu, untuk BKS sementara, sasaran utamanya adalah
korban bencana alam dan bencana sosial untuk menstimulasi
keberdayaan mereka menuju kemandirian. Sedangkan sasaran utama
Askesos adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin dan bekerja
di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang
sayur, dan lain-lain.

39

X. KAITAN ANTARA SISTEM ADMINISTRASI


KEPENDUDUKAN DAN SPJS NASIONAL
1. Pengantar
Sesuai dengan rekomendasi MPR RI melalui Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/2002, pemerintah berkewajiban menciptakan suatu sistim
pengenal tunggal dan terpadu (Kartu Tanda Penduduk), atau nomor induk
tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia dari lahir hingga
meninggal dunia. Dengan nomor yang sama dapat juga digunakan untuk
pasport, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, dan kartu
pengenal lainnya. Untuk kepentingan yang dimaksud, Pemerintah
berkewajiban untuk mendata setiap penduduk berdasarkan ciri, status
kependudukan, serta mencatat dan merekam setiap peristiwa vital yang
terjadi pada setiap individu penduduk, yang kemudian disimpan dalam
suatu sistem database kependudukan secara nasional. Database
kependudukan yang dibangun secara nasional dikembangkan dengan
konsep sentralisasi untuk menjaga agar tidak terjadi pendataan
berulangkali atas identitas seseorang penduduk.
Dengan demikian, identitas penduduk tersebut harus tunggal dan
diwujudkan dalam bentuk Nomor Identitas Tunggal atau disebut Nomor
Induk Kependudukan (NIK). Nomor induk tunggal tersebut merupakan
kode akses bagi masyarakat untuk mendapatkan berbagai layanan
publik, seperti: perpajakan, kepemilikan tanah (sertifikat), keimigrasian
(pasport), kepolisian (SIM, STNK, BPKP), dan layanan-layanan publik
lainnya, termasuk pelayanan perlindungan dan jaminan sosial (asuransi
sosial dan bantuan sosial).

40

Keterkaitan antara nomor identitas tunggal, yang termasuk biodata


penduduk, terhadap suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial akan
cukup bermanfaat diantaranya: (1) elemen-elemen data pada biodata
dapat secara langsung mendeteksi jati diri seseorang berkaitan dengan
potensi untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial, (2)
dokumen pelayanan kependudukan, seperti KTP dapat dikaitkan langsung
untuk disertakan dalam program perlindungan dan jaminan sosial, seperti
penerbitan dokumen polis asuransi, (3) tersedianya informasi struktur
penduduk (Contoh: Angka Harapan Hidup) yang dapat digunakan untuk
membantu menetapkan suatu premi dari program perlindungan dan
jaminan sosial tertentu (kesehatan, kematian, kecelakaan kerja, dan
pensiun).

2. Permasalahan
Berkenaan dengan upaya pemberian atau penerapan nomor
identitas tunggal oleh Pemerintah terdapat beberapa permasalahan yang
perlu untuk ditindaklanjuti pemecahannya secara terpadu antar instansi,
baik di tingkat pusat maupun daerah, yaitu :
1.

Perundang-undangan: Belum adanya landasan hukum yang


memadai untuk mendukung sistem informasi kependudukan
terpadu secara nasional. Untuk itu, perlu dibuat suatu peraturan
perundang-undangan tentang administrasi kependudukan dan
tentang perlindungan data pribadi penduduk.

2.

Kelembagaan: Belum tersedianya kelembagaan di tingkat pusat


yang berwenang menetapkan kebijakan, pedoman, standarisasi
pengelolaan database kependudukan nasional serta dokumen
kependudukan yang bernilai hukum. Akibatnya, banyak instansiinstansi secara terpisah mengelola data informasi kependudukan
yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing,
sehingga mengakibatkan beragamnya data yang tersedia.

3.

Sistem informasi pengelolaan data: Dengan belum tersedianya


landasan hukum yang memadai untuk mendukung sistem informasi
kependudukan secara nasional tersebut, mengakibatkan belum
seragamnya elemen biodata dokumen kependudukan (formulir)
secara nasional, sehingga pada akhirnya menyulitkan dalam
pembangunan aplikasi pelayanan dokumen secara elektronik
(application software). Di samping itu, dengan belum seragamnya
sistem perangkat lunak dan keras yang dikembangkan di masingmasing daerah mengakibatkan sulitnya mewujudkan suatu bank
data kependudukan nasional yang terintegrasi.

4.

Kesadaran masyarakat tentang nomor induk kependudukan (NIK)


masih kurang, terutama berkaitan dengan proses pendaftaran atau
pencatatan kejadian vital yang merupakan elemen utama pengisian
biodata NIK.

41

Sehubungan dengan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 untuk


menciptakan suatu sistem pengenal tunggal (NIK) untuk seluruh
penduduk Indonesia dan setelah mengetahui berbagai permasalahan
sebagaimana diuraikan di atas, maka diperlukan langkah-langkah
strategis untuk mengantisipasinya agar amanat konstitusi bahwa setiap
penduduk berhak mendapatkan pengakuan dan jaminan perlindungan
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dapat
diwujudkan.

3. Langkah-langkah kebijakan
Beberapa langkah kebijakan dapat dilakukan untuk menciptakan suatu
sistem pengenal tunggal (NIK), antara lain melalui:
1.

Mempersiapkan
langkah-langkah
penyusunan
peraturan
perundang-undangan di bidang informasi kependudukan. Pada
tanggal 2 Oktober 2002 telah dikeluarkan Nota Kesepahaman
antara Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan
Pusat Statistik tentang pendaftaran pemilih dan pendataan
penduduk berkelanjutan. Langkah ini merupakan momentum awal
yang penting dalam mempercepat pembentukan database
kependudukan nasional, yang pada akhirnya dapat memberikan
nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk Indonesia.

2.

Membangun jejaring kelembagaan antar instansi terkait (Depdagri,


Depkeham, Depag, dan Polri) untuk koneksitas antar sistem
informasi, sehingga berlangsung pertukaran data dan informasi
dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan publik.

3.

Mengelompokkan daerah ke dalam tipologi


kelembagaan dan sumber daya informatikanya.

4.

Membangun sistem informasi kependudukan dengan metode


paralel, yaitu mempertimbangkan sistem yang sudah terbangun di
daerah, secara bertahap dan berkesinambungan untuk mengurangi
resistensi sistem yang ada serta menekan biaya (Catatan: Saat ini
sedang diujicobakan di Kota Manado).

5.

Melakukan standarisasi format input (elemen biodata) dan output


(KTP, KK, akta) secara nasional yang sederhana,,namun memenuhi
aspek hukum dan kependudukan (statistik vital).

6.

Mengembangkan kerjasama dengan pusat-pusat penyiaran,


penerbitan, dan pelayanan informasi dalam rangka meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi mewujudkan tertib
administrasi kependudukan.

untuk

menata

4. Konsep nomor induk kependudukan (NIK)


Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2A Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem

42

Informasi Kependudukan (SIMDUK) adalah dengan komposisi: 6 (enam)


digit pertama merupakan kode wilayah yang terbagi menjadi 2 (dua)
digit propinsi, 2 (dua) digit kabupaten, dan 2 (dua) digit kecamatan; 6
(enam) digit kedua merupakan tanggal lahir pemegang NIK yang terbagi
2 (dua) digit tanggal kelahiran-khusus perempuan tanggal kelahiran
ditambah 40, 2 (dua) digit bulan kelahiran, dan 2 (dua) digit tahun
kelahiran; serta 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor urut
pengeluaran NIK yang diterbitkan oleh sistem komputer. NIK tersebut
diberikan pada saat penduduk mengajukan permohonan atau pelaporan
biodata.
Proses tahapan penomoran NIK dapat diuraikan sebagai berikut:
7.

Tingkat kelurahan, terdiri dari: permohonan/pelaporan oleh


penduduk, pengisian elemen biodata, verifikasi formulir dan syaratsyarat, penerbitan surat keterangan, dan penyerahan dokumen
kepada penduduk.

8.

Tingkat Kecamatan, terdiri dari: verifikasi berka s dan syaratsyarat pendaftaran penduduk, perekaman elemen biodata,
pencetakan dokumen dan pengesahan (KK, KTP), dan pencetakan
laporan/statistik (bahan analisis).

9.

Tingkat Kabupaten/Kota, terdiri dari: verifikasi berkas dan


syarat-syarat, perekaman data, pencetakan dokumen dan
pengesahan, dan pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).

10.

Tingkat Propinsi, terdiri dari: koordinasi dan penyerasian, dan


pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).

11.

Tingkat Pusat, terdiri dari pembuatan kebijakan, pedoman, dan


standar-standar; koordinasi dan penyerasian; penomoran NIK dan
KK; dan pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).

SISTEM NIK DAN PELAYANAN PUBLIK

43

Pelayanan sosial:
kesehatan,
pendidikan,
Pelayanan Jaminan
Sosial

Jasa Layanan:
Telp, Air,
Listrik

Perijinan:
Usaha,
Perdagangan

Pelayanan
Perbankan

Database
(N I K)

Keimigrasian:
Passport, KITAS

Pelayanan
Kepemilikan:
Sertifikat tanah, IMB

Pajak: PBB, SPT


Kepolisian: SIM,
STNK, BPKP

Sumber: Ditjen Adminduk, Depdagdri


Semua tahapan wilayah mempergunakan jasa ekstranet (internetkomunikasi-modem).
Konsep
pengembangan
sistem
informasi
kependudukan tersebut mempergunakan sistim 3-tier technology. Sistem
ini mempergunakan 3 (tiga) layer, yang terdiri dari: layer 1 adalah client
(tempat pengisian data penduduk); layer 2 adalah middleware (proses
identifikasi aparat/pengguna yang mempunyai akses); dan layer 3
merupakan database server (pencatatan data).
Dengan terselenggaranya pendataan penduduk secara nasional
dengan menggunakan jasa ekstranet, maka relasional penggunaan data
kependudukan dengan pelayanan publik lainnya akan dapat terlaksana.

5. Hubungan antara konsep NIK dengan SPJS Nasional


Sistem Penomoran Penduduk Tunggal atau Nomor Induk/identifikasi
Kependudukan (NIK) terletak pada konsep identifikasi.

Sistem Nomor Penduduk Tunggal


Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002, pemerintah berkewajiban
menciptakan suatu sistim pengenal tunggal dan terpadu (Kartu Tanda
Penduduk), atau nomor induk tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk
Indonesia dari lahir hingga meninggal dunia.
Formulasi SPJS nantinya tidak hanya dalam bentuk pelayanan dan
benefit saja, tetapi cara identifikasi penduduk yang berhak menerima
pelayanan SPJS. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme pengenalan
sasaran penduduk melalui suatu sistem administrasi penduduk, yaitu
Sistem Nomor Penduduk Tunggal. Dengan demikian, identitas penduduk
tersebut harus tunggal dan diwujudkan dalam bentuk Nomor Identitas
Tunggal atau disebut Nomor Induk Kependudukan (NIK/Population Unique

44

Number). Nomor induk tunggal tersebut merupakan kode akses bagi


masyarakat untuk mendapatkan berbagai layanan publik, seperti:
perpajakan, kepemilikan tanah (sertifikat), keimigrasian (pasport),
kepolisian (SIM, STNK, BPKP), dan layanan-layanan publik lainnya,
termasuk pelayanan perlindungan dan jaminan sosial (asuransi sosial dan
bantuan sosial). Di negara maju sistem penomeran ini lebih dikenal
sebagai Social Security Number.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2A Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem
Informasi Kependudukan (SIMDUK) dinyatakan dengan komposisi: 6
(enam) digit pertama merupakan kode wilayah yang terbagi menjadi 2
(dua) digit propinsi, 2 (dua) digit kabupaten, dan 2 (dua) digit kecamatan;
6 (enam) digit kedua merupakan tanggal lahir pemegang NIK yang
terbagi 2 (dua) digit tanggal kelahiran-khusus perempuan tanggal
kelahiran ditambah 40, 2 (dua) digit bulan kelahiran, dan 2 (dua) digit
tahun kelahiran; serta 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor urut
pengeluaran NIK yang diterbitkan oleh sistem komputer. NIK tersebut
diberikan pada saat penduduk mengajukan permohonan atau pelaporan
biodata. Proses tahapan penomoran NIK berjenjang dimulai dari tingkat
kelurahan, kecamatan, Kabupaten/kota dan propinsi.
Dengan terselenggaranya pendataan penduduk secara nasional
--yang data dasarnya diawali oleh kegiatan P4B pada bulan April 2003
pada tahapan berikutnya dengan menggunakan jasa ekstranet (internetkomunikasi-modem), maka relasional penggunaan data kependudukan
dengan pelayanan publik lainnya, seperti SPJS di masa yang akan datang,
akan dapat terlaksana secara terstruktur dan terkoordinasi
Pada tahap selanjutnya, permasalahan penting yang dihadapi
dalam upaya pelaksanaan NIK dan khususnya ketika dikaitkan dengan
SPJS, adalah belum adanya landasan hukum yang memadai untuk
mendukung sistem informasi kependudukan terpadu secara nasional.
Untuk itu, perlu dibuat suatu peraturan perundang-undangan tentang
administrasi kependudukan dan tentang perlindungan data pribadi
penduduk yang tercakup dalam database NIK.

45

XI. ANALISA SITUASI DAN SPSJ NASIONAL


MASA DEPAN
1. Analisa situasi
Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini
masih bersifat parsial dan belum terpadu. Sebagai contoh, jaminan sosial
di bidang tenaga kerja dilandasi dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang mencakup Jaminan Hari
Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, dan Pemeliharaan Kesehatan bagi
pegawai swasta; sedangkan penyelenggaraannya dilaksankan oleh PT.
Jamsostek. Jaminan kesehatan bagi PNS dilandasi oleh UU No. 2 Tahun
1992 dan PP 69 Tahun 1991 sedangkan pengelolaannya diselenggarakan
oleh PT Askes; Jaminan Hari Tua dan Pensiun bagi PNS diselenggarakn
dengan landasan UU No. 43 Tahun 1999 dan dikelola oleh PT Taspen.
Contoh terakhir adalah Jaminan TNI/Polri yang diselenggarakan
berdasarkan UU No. 6 Tahun 1966 dan pengelolaannya oleh PT Asabri.
Produk hukum yang bervariasi mengakibatkan banyaknya
institusi/lembaga yang melaksanakan perlindungan dan jaminan sosial.
Menurut Tim SJSN dan beberapa pemerhati asuransi sosial, hal ini
berlawanan dengan hukum bilangan besar (law of the large number),
yaitu dengan cakupan besar (peserta) maka sebaran resiko (risk
distribution) akan lebih merata dan beban yang dipikul masing-masing
peserta (premi) akan semakin kecil.
Kelembagaan pengelolaan SPJS yang ada saat ini dilakukan oleh
banyak instansi. Misalnya, untuk asuransi sosial dikelola oleh BUMN,
dibawah Departemen Keuangan tidak independent, yang juga bertujuan
profit-oriented. Sementara itu, bantuan sosial dikelola oleh banyak
Departemen/LPMD, yang tidak jarang menimbulkan tumpang tindih,
karena lemahnya koordinasi.
Pengalaman beberapa negara yang cukup berhasil dalam
pengelolaan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakatnya,
menunjukkan bahwa pengelolaan SPJS dilakukan oleh satu lembaga
(centralized) yang independent. Lembaga tersebut antara lain
mempunyai otoritas untuk mengkoordinir, memantau pelaksanaan
program,
mengelola
dana
dan
investasi,
serta
melakukan
pemasyarakatan program. Prinsip yang digunakan adalah economic scale
dan cost-effectivenes.

2. Prinsip kemitraan dan pendanaan berbasis


masyarakat
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan
pengembangan pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal.
46

Contohnya: pemberdayaan zakat, infaq, dan sodaqoh (Islam), perpuluhan


(Kristen) dan dharma (Hindu). Di samping itu, bentuk-bentuk kearifan
lokal yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, perlu terus
diperkuat. Misalnya: Banjar di Kabupaten Gianyar, Bali yang terkait erat
dengan desa adat melalui iuran dana kesehatan untuk membantu
pemangku adat yang kehidupannya masih sulit; tabungan ibu bersalin
(Tabulin) di Kabupaten Banyumas, Jateng melalui sistem tabungan untuk
dana kesehatan terutama untuk biaya persalinan pada saat ibu
melahirkan; bapak angkat di Kabupaten Gianyar, Bali dalam bentuk
mutual benefit antara pengusaha (dalam bentuk kemudahan perijinan
dan fasilitas internet) dengan murid dari keluarga miskin (dalam bentuk
pelatihan keterampilan/ kerajinan); dokter kontrak di Kabupaten
Gianyar, Bali dalam bentuk iuran wajib kesehatan yang dibayarkan oleh
kelompok masyarakat muslim kepada dokter swasta dengan
menggunakan sistem kontrak.
Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh
penduduk (miskin, dan atau rentan lansia terlantar, cacat, anak
terlantar, anak jalanan, komunitas adat terpencil). Di samping itu, banyak
instansi pemerintah yang melaksanakan skema ini, sehingga
pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang bersumber dari
dana masyarakat juga belum dikelola secara optimal.

3. Pemikiran SPJS masa depan


SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial
nasional yang terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal. Dengan
otonomi daerah yang telah dimulai sejak awal tahun 2001, kelembagaan
yang menangani SPJS diharapkan juga akan melibatkan partisipasi Pemda
(termasuk kelembagaan, aspek hukum, dan keuangan). Kelembagaan
SPJS, selain independent, juga harus merupakan lembaga yang non-profit
oriented.
Berdasarkan diskusi lintas sektor dan para pakar terkait, baik di
pusat dan daerah, serta memperhatikan referensi hasil penelitian dan
laporan yang telah dikerjakan pihak-pihak lain, serta didukung oleh
konsep yang dikembangkan oleh Tim SJSN maka rekomendasi untuk SPJS
Indonesia di masa depan dapat dikelompokkan menjadi dua, SPJS yang
terintegrasi dan
yang tidak terintegrasi. SPJS terintegrasi akan
memadukan semua sistem asuransi sosial yang sudah ada ke dalam
bentuk sistem jaminan sosial nasional yang terpadu atau terintegrasi.
Sedangkan SPJS yang tidak terintegrasi diwujudkan dalam bentuk
perlindungan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui pemberian
atau akses untuk memperoleh pelayanan sosial dasar seperti pelayanan
kesehatan dan pendidikan; dan pemberian jaminan sosial atau lebih
dikenal dengan istilah Social Security System bagi kelompok masyarakat
yang memenuhi syarat tertentu, misalnya para penyandang cacat yang
tidak dapat bekerja dan penduduk lanjut usia.

47

4. SPJS yang terintegrasi


Pengertian jaminan sosial berdasarkan cakupan manfaat, pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi
sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance).
Pengertian asuransi sosial, persis seperti konsep asuransi pada
umumnya. Dengan demikian, besarnya premi merupakan sharing antara
pemberi kerja (yaitu pemerintah untuk PNS dan pengusaha untuk
pegawai non-PNS/swasta) dan pekerja (PNS atau pegawai nonPNS/swasta), yang mempunyai hubungan kerja. Perlu dicatat bahwa
asuransi sosial ini bersifat sosial, karena ditujukan untuk seluruh rakyat
Indonesia. Asuransi sosial dapat mencakup tunjangan kesehatan,
kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, tunjangan hari tua,
pensiun, dan tunjangan kematian.
Sedangkan bantuan sosial, berupa bantuan dalam bentuk,
misalnya, block grant atau emergency fund dengan tujuan sosial.
Bantuan Sosial ditujukan untuk masyarakat umum,
seluruh penduduk Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD
1945. Bantuan sosial ditujukan untuk mereka yang memerlukannya,
dalam berbagai bentuk seperti bantuan bencana alam untuk masyarakat
yang terkena bencana banjir dan angin topan di pesisir pantai.
Asuransi sosial mencakup tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja,
pemutusan hubungan kerja, tunjangan hari tua, pensiun, dan tunjangan
kematian. Sedangkan bantuan sosial adalah jaminan bagi masyarakat
miskin untuk memperoleh kebutuhan hidup minimum.
Secara kelembagaan, penyelenggaraan Sistim Perlindungan dan
Jaminan Sosial diilaksankan oleh suatu lembaga yang bersifat nasional
agar dapat memenuhi prinsip the law of large number. Namun secara
operasional dilaksanakan oleh kantor perwakilan di daerah-daerah sesuai
dengan kesiapan daerah.

5. Peraturan perundangan-undangan
Perlu disusun suatu undang-undang Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial yang mengatur seluruh penyelenggaraan perlindungan
dan jaminan sosial yang akan memberikan perlindungan sosial yang lebih
menyeluruh dan terpadu kepada rakyat Indonesia baik melalui
pendekatan asuransi sosial maupun bantuan sosial.

48

XII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


1. Kesimpulan
1.

UUD 1945 merupakan landasan hukum yang kuat bagi


terbentuknya Perlindungan dan Jaminan Sosial. Beberapa
pasal dalam UUD 1945 lebih mempertegas hal tersebut,
misalnya Pasal 27 Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
Pasal 31 Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran; dan Pasal 34 Fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara. Di samping itu, Pasal 34
Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 secara eksplisit
menyatakan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat.

2.

Dasar penting lain selain UUD 1945 adalah Ketetapan MPR RI


No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI
oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI
Tahun 2001. Dalam dokumen itu, Presiden RI ditugaskan
secara tegas untuk membentuk suatu sistem jaminan sosial
nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang
lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat Indonesia.

3.

Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah mulai


bekerja sejak tahun lalu, telah merampungkan Naskah
Akademik tentang SJSN yang akan menjadi acuan pengajuan
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Bappenas, telah melakukan dua kajian secara intern:
Review sistem asuransi sosial di Indonesia yang dilaksanakan
di lingkungan Deputi Ekonomi.

4.

Kajian awal SPJS dilingkungan Deputi SDM dan Kebudayaan


dengan melibatkan departemen dan BUMN pengelola asuransi
terkait.

5.

Dalam tahun 2003 kegiatan kajian awal di atas akan


dilanjutkan dengan penyusunan formulasi dasar kebijakan
upaya pembentukkan SPJS. Diharapkan tiga kajian di atas
dapat menjadi landasan bagi Bappenas untuk menyusun
rekomendasi
kebijakan
kepada
Menteri
Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

6.

Bappenas telah memperoleh Technical Asistance (TA) dari


ADB untuk Sustainable Social Protection yang akan mulai
dilaksanakan mulai September 2003 sampai dengan Juni
2004, TA ini berupa pemberian bantuan berbagai tenaga ahli
yang meliputi social protection policy specialist, social
assistance/social
insurance
specialist,
institutional
development specialist, legal specialist, financial analyst,
49

labor specialist, community development specialist, poverty


specialist, dan gender specialist. Diharapkan dengan bantuan
ini, akan terbentuk suatu kerangka kebijakan sustainable
social protection khusus untuk Indonesia (bukan mengadopsi
sistem negara lain yang belum tentu sesuai dengan
Indonesia).
7.

Bantuan dari ILO kepada Pemerintah Indonesia dengan


sumber dana yang berasal dari pemerintah Belanda. Kegiatan
ini didasarkan pada beberapa studi ILO tentang restrukturisasi
social security system di Indonesia. Aspek yang direview
berkaitan dengan Jamsostek antara lain pada aspek reform of
pension, improvement benefit for work injuries, dan provision
unemployment
benefit.
Kegiatan
ini
juga
mengkaji
kemungkinan pengembangan cakupan Jamsostek pada
pekerja sektor informal, misalnya para TKI (di Luar Negeri)

8.

Sejak beberapa tahun terakhir, Departemen Kesehatan telah


menyelenggarakan kegiatan Jaminan Pelayanan Kesehatan
Mandiri (JPKM) bagi para pekerja di sektor informal.
Pengelolaannya diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara
JPKM di daerah yang dibentuk oleh masyarakat bersama
dengan dinas kesehatan setempat. Dana yang terkumpul
bersumber dari masyarakat sendiri, dan digunakan untuk
membiayai
pelayanan
kesehatan
masing-masing
peserta/keluarga
JPKM.
Namun
kegiatan
ini
kurang
berkembang karena rendahnya minat masyarakat. Saat ini
penyelenggaraan di sebagian besar daerah masih dalam
tahap sosialisasi.

9.

Sejak beberapa waktu yang lalu, Departemen Sosial telah


menyelenggarakan uji coba Asuransi Kesejahteraan Sosial
(Askesos) bagi penduduk miskin yang bekerja di sektor
informal terutama para pedagang kaki lima, pedagang sayur,
dan tukang becak di beberapa daerah. Cakupan asuransi
adalah perawatan kesakitan, kecelakaan, atau meninggal
dunia. Pendanaan kegiatan diselenggarakan melalui kegiatan
dan dana APBN.

2. Rekomendasi
1.

Berdasarkan kajian dalam Bab terdahulu, dapat disimpulkan


bahwa Indonesia perlu segera memformulasikan suatu Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional. Paling tidak untuk
tahap sekarang ini, sistem yang mungkin dipikirkan dapat
diramu dalam dua pilihan.

Pertama, suatu Sistem Jaminan Sosial Nasional yang


terpadu, seperti yang dibayangkan dalam tujuan Tim
SJSN, guna melindungi seluruh penduduk Indonesia yang
bekerja dan meliputi aspek hukum, kelembagaan,

50

manfaat, kepersertaan, dan disain klasifikasi sasaran.


Pilihan ini memerlukan perombakan UU termasuk
sistemnya.

Kedua, suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan


Sosial Nasional (SPJSN) yang terintegrasi dengan
memperhatikan asuransi (yang dibiayai oleh pemerintah
dan
peserta
asuransi/orang
yang
punya
mata
pencarian/bekerja)
dan
bantuan
sosial.
Asuransi
diselenggarakan
dengan
pendekatan
klasifikasi
kepesertaan (PNS, ABRI, dan Swasta) asuransi sistem
yang sudah ada hanya perlu ditataulang dengan
mereview UU yang sudah ada. Di samping itu,
diformulasikan UU yang berkaitan dengan bantuan sosial
yang pendanaannya berasal dari pemerintah (fully
funded). Dengan demikian suatu sistem SPJSN yang
terintegrasi memadukan dan menata asuransi dan
bantuan sosial tanpa perlu merubah sistem yang sudah
ada secara total. Konsekuensi dari pilihan ini adalah
penataan sistem sebagai berikut:
o

Sebagian dari kegiatan APBN yang sudah berjalan


sekarang ini, terutama yang ditujukan untuk
masyarakat miskin akan menjadi suatu sistem yang
berkelanjutan
yang
penyelenggaraan
dan
pembiayaannya tidak lagi sektoral melainkan secara
terpadu oleh suatu Badan tertentu.

2.

Dalam kaitan dengan pilihan manapun yang nantinya akan


dilakukan pemerintah, Sistem Nomor Penduduk Tunggal perlu
digabungkan dengan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial
Nasional. Identitas nomor penduduk tunggal tersebut
diharapkan akan menjadi semacam social security number.
Dengan demikian SPJSN akan mampu menentukan target
beneficiary secara tepat sasaran. Konsekuensi usaha
mewujudkan dan merancang sistem SPJS dan NIK adalah
biaya yang besar dan waktu yang cukup panjang.

3.

Dalam kaitan itu, catatan penting yang perlu menjadi


perhatian semua pihak terkait baik instansi pemerintah
maupun
swasta
serta
lembaga-lembaga
sosial
dan
masyarakat, adalah:

Sistem asuransi sosial yang sudah ada dan berjalan baik


dan sehat tidak
dihapuskan untuk memberi pilihan
(option) bagi para pekerja untuk memilih asuransi sosial
yang sesuai dengan pilihannya

51

4.

Pemberian kebebasan untuk ikut jaminan sosial tertentu


yang disukai masing-masing individu akan mememenuhi
hak manusia (human rights)

Sistem kearifan lokal yang sudah ada dan berjalan


dengan baik dikalangan masyarakat tetap dikembangkan
karena merupakan kekayaan budaya Indonesia dan
merupakan bentuk ketahanan masyarakat (community
resilience)

Memperhatikan butir-butir di atas, dalam waktu beberapa


tahun yang akan datang diperlukan suatu desain Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial yang terpadu untuk
harmonisasi seluruh penyelenggaraan sistem perlindungan
dan jaminan sosial meliputi aspek perundangan-undangan,
cakupan manfaat, kelembagaan, serta target beneficiary/
kepersertaan, termasuk disain klasifikasi penentuan sasaran.

52

LAMPIRAN

53

JADUAL KEGIATAN DAN NARA SUMBER


1.
RAPAT PENDAHULUAN
Rapat pendahuluan diselenggarakan di Bappenas.
1) 13 September 2002

Internal
Bappenas
(RR
Dir.
KKSPP,
Bappenas).
Dihadiri
oleh
wakil-wakil
Direktorat KKSPP, KGM, AP, Ketenagakerjaan
dan Analisis Ekonomi, Pengembangan
Otonomi Daerah, dan Direktur Kerjasama
Pembangunan Sektoral dan Daerah dan staf

2) 19 September 2002

Internal, dengan direktorat terkait di Bappenas


(RR Dir. KKSPP)
yaitu KKSPP, KGM, AP,
Ketenagakerjaan
dan
Analisis
Ekonomi,
Pengembangan
Otonomi
Daerah,
dan
Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah

3) 25 September 2002

Rapat ini diselenggarakan oleh Deputi SDM


dan
Kebudayaan, Bappenas (RR Deputi SDM &
K), dan dihadiri oleh para Direktur Utama
BUMN
penyelenggara
jaminan
sosial;
Direktur Utama Askes, Asabri, Jasa Raharja,
Jamsostek, Taspen, dan staf; serta Direktur
dan staf Dit. KKSPP, Bappenas.

2.

Seminar dan Diskusi


Kegiatan ini diselenggarakan dengan dihadiri oleh undangan para
pejabat departemen terkait , BUMN, dan Universitas
1) 30 September 2002

Pembicara dari Departemen/LPND terkait


Tempat : RR SS 1-2 Bappenas

2)

7 November 2002
sosial

Pembicara dari BUMN penyelenggara jaminan


Tempat: RR SS 1-2 Bappenas

NARA SUMBER:
1) Direktur Peraturan Perpajakan - Ditjen Pajak, DEPKEU
2) Direktur Asuransi - Ditjen Lembaga Keuangan, DEPKEU
3) Direktur Dana Pensiun - Ditjen Lembaga Keuangan, DEPKEU
4) Direktur Perundang-undangan - Ditjen Peraturan Perundangundangan, DEPKEHAM
5) Direktur JPKM - Ditjen Binkesmas, DEPKES
6) Direktur Jaminan
DEPNAKERTRANS

Sosial

Ditjen

Hubungan

Industrial,

7) Direktur Jaminan Sosial - Ditjen Banjamsos, DEPSOS

54

8) Sesditjen Dikdasmen, DEPDIKNAS


9) Direktur Informasi Kependudukan
Kependudukan, DEPDAGRI
10)

Ditjen

Administrasi

Direktur Utama PT Taspen

11) Direktur Utama PT Askes


12)

Direktur Utama PT Jamsostek

13)

Drs. Ari Hindrayono Mahar, MA - LPEM UI

3.
WAWANCARA
Kegiatan ini diselenggarakan di kantor/ruangan di
instansi/lembaga/perusahaan terkait:
1) Akhir September 2002
BKKBN

Deputi Seswapres Bidang Kesra/Kepala

2) 19 November 2002

Tim SJSN

3) 14 Januari 2003

Depdagri

4) 15 Januari 2003

BPHN

5) 16 Januari 2003

Taspen dan Depkeh & HAM

6) 17 Januari 2003

Depsos

7) 20 Januari 2003

Depkeu (Asuransi)

8) 21 Januari 2003

Depnakertrans dan Jamsostek

9) 22 Januari 2003

Depkes

10)

24 Januari 2003

Depkeu (Pajak)

11)

27 Januari 2003

Depdiknas

12)

18 Februari 2003

Jasa Raharja

DAFTAR NAMA RESPONDEN/PEJABAT YANG DIINTERVIEW:


NO
.

NAMA

JABATAN

INSTANSI

1.

Drs. Salusra Satria,


MAF

Kasubdit Kelembagaan AsuransiDit. Asuransi

Depkeu

2.

drs. Darmanto

Kasubdit Jaminan Sosial Dalam


Hubungan Kerja, Dit. Jamsos,
Pengupahan, & Kesejahteraan

Depnakertrans

3.

Parulian Lumban
Toruan, SH

Kasubdit Jaminan Sosial Luar


Hubungan Kerja, Dit. Jamsos,
Pengupahan, & Kesejahteraan

Depnakertrans

4.

Moh. Faisal Siddiq,


MBA

Humas-Sekretariat PJPS Bidang


Pendidikan

Depdiknas

5.

Bambang Purwanto,
Ph.D, CPPA

Direktur Umum & Personalia

PT Jamsostek

6.

Bayu Kanishka, Ak.,

Kasi Pemotongan dan

Depkeu

55

MPA

Pemungutan PPH, Dit. PPh

7.

Drs. H. Mujito, Ak.

Kabagren, Sesditjen Dikdasmen

Depdiknas

8.

H. Supriyo Joko N.,


SSos.

Kepala Divisi Pelayanan

PT Jasa
Raharja

9.

Ir. M. Wahyu Hidayat,


MP

Kasi Pengembangan Perangkat


Lunak, Dirjen Minduk

Depdagri

10.

Asnawi, SE

Kasubdit Identifikasi & Analisis


Jamsos

Depsos

11.

drg. Usman Sumantri,


MSc.

Kasubdit Penyelenggaraan JPKM

Depkes

12.

Tim SJSN

Ketua dan Anggota Tim SJSN

Tim SJSN

13.

Ahmad Ubbe, SH, MH

Kapus Perencanaan Hukum

BPHN

14.

drs. Djoko Daljono

Direktur SDM

PT Taspen

15.

Drs. Isa

Kasubdit Pengembangan dan


Pelayanan Informasi

Depkeu-Dana
Pensiun

Ketua Tim SJSN

Deputi
Seswapres
Bidang
Kesra/Kepala
BKKBN

16.

Prof. DR. Yaumil Agoes


Achir

4. TEMU TUKAR PENDAPAT (TTP)


Temu Tukar Pendapat (TTP) diselenggarakan dalam bentuk
presentasi dan diskusi dengan Bupati, Bappeda Kabupaten/kota, Kanwil,
Dinas, Perguruan Tinggi, LSM, anggota DPRD Kabupaten/Kota. TTP
diselenggarakan di lima kabupaten/kota.
JADUAL
1) 11 Februari 2003

Kabupaten Gianyar

2) 20 Februari 2003

Kabupaten Banyumas

3) 28 Februari 2003

Kota Makassar

4) 14 Maret 2003 Kabupaten Asahan


5) 28 Maret 2003 Kota Manado
PESERTA
1) Bupati
2) Kepala Bappeda
3) Kepala Dinas terkait
4) DPRD kabupaten/kota
5) Ormas: Bazis, ISKPI, KOSGORO, KORPRI, Muhammadiyah, dll.

56

6) Akademisi: Univ.Hasanuddin (Unhas), Univ. Jendral Soedirman


(Unsoed), Univ. Wijaya Kusuma (Unwiku), Univ. Udayana
(Unud), STM Doi Roha
7) Penyelenggara jamsos: PT Jamsostek, PT Askes, PT Jiwasraya
8) LSM: Yayasan Biyung Emban, LP2M, Forum Perlindungan
Anak, dll.
PEMBICARA/PENYAJI:
1. Kabupaten Gianyar
1) Kasubdin Binkesmas, Dinas Kesehatan
2) Kasubdin SLTA, Dinas Pendidikan
3) Kasi Badan Kesejahteraan Sosial, Dinas Kesos
4) Kapuslit PPLH Universitas Udayana
5) Kabid Sosbud, Bappeda
2. Kabupaten Banyumas
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
3) Kepala Dinas Pendidikan
4) Drs. Bambang Kuncoro, MSi., Dosen Fisip-Universitas Jendral
Soedirman
5) Ketua KOSGORO
6) Kepala Cabang Jamsostek
3. Kota Makassar
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
3) Kepala Dinas Tenaga Kerja
4) Kepala Dinas Sosial
5) Kasubid Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Bappeda
4. Kabupaten Asahan
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Kesehatan
3) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
4) Kepala Bidang Sosial
5) Dasril, SKM, Dinas Kesehatan
6) Rachmad Njt., Ikatan Sosial Kemalangan Pajak Ikan (ISKPI)
5. Kota Manado
1) J. Meruntu, Bappeko
2) J. Suwu, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

57

3) Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kota


4) Dinas Pendidikan Nasional Kota
5) M. Tangel K., Dinas Kesehatan
6) Royke Elias, LSM

58

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Achmad Subianto (Dirut PT Taspen), Jaminan Sosial Pegawai Negeri
Sipil, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
2. Ahmad Ubbe, SH, MH, Aspek Hukum Perlindungan dan Jaminan
Sosial dalam Pembangunan Hukum untuk Kesejahteraan Rakyat,
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
3. Ari Hindrayono Mahar, Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia dan
Permasalahannya, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
4. Baedhowi, Drs., MSi., Konsep Perlindungan dan Jaminan Sosial
Bidang Pendidikan, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
5. BPS, Sensus Penduduk 2000, 2001.
6. BPS, BAPPENAS and UNDP, Indonesia Human Development
Report 2001: Towards a New Consensus, 2002.
7. Depkes dan Kesos-Ford Foundation, Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) Pengertian dan
Pelaksanaannya, Jakarta 2000.
8. Depsos, Jaminan Sosial bagi Kelompok Khusus/Sektor Informal,
Pekerja Mandiri, dan PMKS, Makalah disajikan dalam Seminar
Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September
2002.
9. Direktorat Asuransi, Ditjen Lembaga Keuangan-Depkeu, Kebijakan
Asuransi dalam Rangka Mendukung Pengembangan Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah disajikan dalam Seminar
Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November
2002.
10.Direksi PT Taspen (Persero), Materi Presentasi Direksi PT Taspen
(Persero), Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan
dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
11.Direktorat Informasi Kependudukan, Ditjen Adminduk-Depdagri,
Keterkaitan antara Jaminan Sosial dan Sistem Administrasi
Kependudukan, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
12.Direktorat Jamsos, Pengupahan dan Kesejahteraan, Ditjen BinawasDepnakertrans, Jamsostek, Konsep dan Evaluasi Pelaksanaannya,
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
13.Direktorat JPKM-Depkes, Kebijaksanaan Depkes dalam Pelayanan
Kesehatan dengan JPK Gakin, Makalah disajikan dalam Seminar
Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September
2002.

59

14.Direktorat JPKM-Depkes, Naskah Akademik Rancangan Undangundang tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, Draft
September 2000.
15.Direktur Dana Pensiun, Depkeu, Kebijakan Dana Pensiun dalam
Rangka Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
16.Direktur PT Jamsostek, Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial bagi
Tenaga Kerja dan Evaluasi Pelaksanaannya, Makalah disajikan
dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas, 7 November 2002.
17.Direktur PT (Persero) Askes, Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial Bidang Kesehatan PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia,
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
18.Direktur PT Taspen (Persero), Sistem Jaminan Sosial PNS dalam Era
Korpri Paradigma Baru, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
19.Folland, Goodman, Stano, Social Insurance Programs, 1997.
20.Ign Mayun Winangun, Implementasi Kebijakan Perpajakan dalam
Rangka Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
21.Sherman, Folland, Allen C. Goodman, dan Miron Stano, The
Economics of Health and Health Care (Second edition,
Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey, 1993, pp. 495496
22.Sulastomo, Dr., MPH, AAK, Asuransi Kesehatan Sosial Sebuah
Pilihan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
23._____________ , Asuransi Kesehatan Diperlukan, Kompas, Rabu, 15
Mei 2002.
24.Tim SJSN, Konsep Naskah Akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional
(KNA-SJSN), Jakarta, Februari 2003.
25.UNDP, Human Development Report 2002, 2003.
26.Yaumil Ch. Agoes Achir, Jaminan Sosial Nasional Indonesia,

Internet....Wbsite apa,

Agustus 2002.

60

Anda mungkin juga menyukai