Anda di halaman 1dari 27

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Salah satu tujuan Negara Indonesia yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Tujuan ini menandakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Indonesia sebagai negara kesejahteraan bertanggung jawab untuk pemenuhan kesejahteraan warga negaranya, karena ciri utama dari negara kesejahteraan adalah munculnya kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warga negaranya1. Munculnya kewajiban negara tersebut melahirkan hak bagi warga negara untuk memperoleh kesejahteraan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Negara Indonesia untuk menyejahterakan warga negaranya adalah melalui jaminan sosial. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh warga negara agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak 2. Hak atas jaminan sosial tersebut diatur dalam Pasal 28 H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan pemenuhan hak atas jaminan sosial ini menjadi tanggung jawab Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsep ini kemudian diadopsi dan diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut UU SJSN). Berdasarkan undangundang ini, pelaksanaan jaminan sosial diwujudkan melalui beberapa program, dan yang menjadi penyelenggara jaminan sosial tersebut adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)3. Tenaga Kerja4 juga merupakan warga negara Indonesia yang berhak mendapat jaminan sosial. Jaminan Sosial yang disediakan untuk tenaga kerja adalah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yang diatur dalam Undang-Undang
1

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1998,

hlm. 11. Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pasal 5 butir 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Yang kini telah direvisi oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, kini dilebur menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). 4 Tenaga kerja didefinisikan sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
3 2

Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut UU Jamsostek). Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yang dikenal sebagai pahlawan devisa negara, pada hakekatnya juga termasuk ke dalam ruang lingkup tenaga kerja pada umumnya, namun yang membedakannya dengan tenaga kerja pada umumnya adalah wilayah tempatnya bekerja, yaitu di luar negeri. Hal ini dapat kita lihat dari definisi TKI itu sendiri yaitu setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah5. Oleh karena itu, standar jaminan sosial yang seharusnya TKI dapatkan sebagai hak mereka adalah jaminan sosial yang tersedia bagi para tenaga kerja, yaitu Jamsostek. Hak atas jaminan sosial ini melekat bagi setiap warga negara Indonesia di manapun ia berada dan bekerja. Perbedaan wilayah dan yurisdiksi dalam bekerja tidak dapat menghilangkan hak atas jaminan sosial dan tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Saat ini TKI mendapatkan suatu bentuk perlindungan berupa sebuah program asuransi6. Program asuransi ini dinamakan dengan Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya disebut Asuransi TKI). Penyelenggara dari asuransi ini adalah perusahaan asuransi swasta yang tergabung dalam suatu konsorsium asuransi swasta7. Dalam tataran pelaksanaan, program Asuransi TKI yang berjalan sekarang ini tidak mampu memberikan perlindungan kepada TKI. Menurut Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), persoalan utama dari lemahnya perlindungan dari program ini adalah

penyelenggaraannya oleh konsorsium asuransi swasta. Menurut beliau sejauh ini perusahaan yang menangani Asuransi TKI dinilai hanya berorientasi pada uang premi sehingga sering mengabaikan hak TKI untuk mendapatkan klaimnya. Beliau menambahkah bahwa BNP2TKI banyak menerima pengaduan TKI dan keluarganya setelah kesulitan memproses uang klaim melalui perusahaan yang menangani Asuransi TKI, yang ternyata tidak mendapat perhatian serius baik saat proses pengajuan atau
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. 6 Hasil wawancara yang dilakukan oleh Delegasi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran untuk Lomba Legislative Drafting Nasional Piala Soediman Kartohadiprodjo III dengan Ketua BNP2TKI, Jumhur Hidayat, pada tanggal 13 Januari 2012. 7 Pasal 1 poin 14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.07/MEN/V/2010 Tentang Asuransi TKI.
5

berupa tindak lanjut pembayaran klaimnya. Dari total 240 miliar rupiah yang diterima oleh konsorsium asuransi TKI atas pembayaran premi, hanya sekitar 40 miliar rupiah yang telah diklaim oleh TKI8. Kenyataan ini sangatlah ironis, mengingat bahwa TKI merupakan tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri dengan resiko kerja lebih besar dibanding tenaga kerja yang bekerja di dalam negeri9. Data jumlah kedatangan TKI di Gedung Pendataan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (GPK TKI) Selapajang Tangerang pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 44.573 dari 309.463 orang TKI mendapat masalah di negara tempatnya bekerja10. Mendasarkan pada uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai jaminan sosial bagi TKI di luar negeri ke dalam bentuk penulisan paper yang berjudul TINJAUAN YURIDIS JAMINAN SOSIAL BAGI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI LUAR NEGERI. B. Identifikasi Masalah Bagaimana keterkaitan antara hak TKI atas jaminan sosial dengan konsepsi negara kesejahteraan yang dianut Indonesia? Bagaimana pengaturan jaminan sosial bagi TKI di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Ketenagakerjaan? Bagaimana praktik penyelenggaraan jaminan sosial TKI di luar negeri dikaitkan dengan program Jamsostek dan Asuransi TKI?

Hasil wawancara yang dilakukan oleh Delegasi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran untuk Lomba Legislative Drafting Nasional Piala Soediman Kartohadiprodjo III dengan Ketua BNP2TKI, Jumhur Hidayat, pada tanggal 13 Januari 2012. 9 Ibid. 10 Data diperoleh dari Pusat Penelitian Pengambangan dan Informasi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesi (Puslitfo BNP2TKI). Data diakses pada 13 Januari 2012 di kantor pusat BNP2TKI Jakarta.

BAB II TINJAUAN YURIDIS JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI LUAR NEGERI A. Pemenuhan Hak atas Jaminan Sosial bagi TKI sebagai Bentuk Perwujudan Kewajiban Negara Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan (Welfare State) Hak atas jaminan sosial pada dasarnya berbicara tentang perlindungan dan penjaminan ketersediaan kebutuhan hidup demi pemenuhan standar kehidupan yang layak. Karena itulah hak atas jaminan sosial adalah salah satu bentuk hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial, budaya11. Hak ini muncul dari sebuah tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang. Negara dituntut berperan aktif agar hak tersebut terpenuhi dan tersedia. Keterlibatan negara disini harus menunjukkan tanda positif (+), tidak boleh menunjukan tanda negatif (-), maka hak ini sering disebut hak positif. Jadi untuk memenuhi hak ini, negara wajib menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan hak tersebut. Salah satu tujuan negara Indonesia yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pada dasarnya tujuan para founding fathers adalah menjadikan negara ini sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Dalam sidang BPUPK (Badan Penyelenggara Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan), para founding fathers memilih bentuk negara kesejahteraan sebagai jawaban terhadap kondisi bangsa di masa itu yang dililit kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Jika dikaitkan dengan paham negara pengurus yang dianut Indonesia12, tujuan negara Indonesia lebih ditekankan pada pencapaian kesejahteraan umum dimana negara justru harus

Karel Vasak, seorang ahli hukum Perancis, membantu kita memahami mengenai perkembangan substansi hak-hak asasi manusia dengan membagi hak asasi manusia ke dalam tiga generasi. Generasi pertama menunjuk hak sipil dan politik. Termasuk didalamnya hak hidup, keutuhan jasmani, hak kaebebasan, hak bergerak, hak suaka, dsb. Generasi kedua menunjuk kepada hak ekonomi, sosial, budaya. Termasuk didalamnya hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak ataskesehatan, dsb. Generasi ketiga adalah hak-hak prosedural. Rhona K.M. Smith (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008, hlm. 15-16 12 Moh. Hatta dalam Ananda B. Kusuma, Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Sekertariat Negara Republik Indonesia, 2004, hlm 126.

11

turut campur dalam kehidupan sosial kemasyarakatan13. Hal ini sesuai dengan konsepsi negara kesejahteraan. Secara umum konsepsi negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam menentukan kebijakan publik yang kemudian negara memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Kranenburg, menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang. Jadi, ciri utama dari negara kesejahteraan adalah munculnya kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warga negaranya14. Akibat dari munculnya kewajiban pemerintah tersebut, secara langsung juga melahirkan hak bagi warga negara untuk memperoleh kesejahteraan. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi adalah: a. Model Universal Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. b. Model Korporasi atau Work Merit Welfare States Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha, dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering

Irving Sewrdlow menyatakan bahwa turut campur negara dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dapat dengan cara: operasi langsung (misalnya menciptakan lapangan kerja), pengendalian langsung (misalnya izin pengiriman TKI), pengendalian tidak langsung (misalnya dengan peraturan perundang-undangan), pemengaruhan langsung (misalnya lewat penyuluhan), pemengaruhan tidak langsung (misalnya dengan pemberian informasi atau penjelasan suatu kebijakan), Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,16-17 14 E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 11.

13

disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman. c. Model Residual Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum; (b) perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan (c) pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien. d. Model Minimal Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi15. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya negara dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya, terutama melalui perlindungan sosial16. Perlindungan sosial disini salah satunya dengan jaminan sosial. Kenneth Thomson dalam

Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung, 2005, hlm. 28. 16 Perlindungan sosial (social protection) mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets), Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik (Social Policy as Public Policy), Edisi II, Alfabeta, Bandung, 2008, hlm. 8.

15

Introduction to The Principle Of Social Security, merumuskan jaminan sosial sebagai berikut17: Jaminan sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa-peristiwa tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari terjadinya peristiwaperistiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan/atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dan terjadinya peristiwa tersebut serta jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak. Pengertian jaminan sosial secara sempit dapat dijumpai pada buku Iman Soepomo yang merumuskan bahwa jaminan sosial adalah pembayaran yang diterima pihak buruh dalam hal buruh di luar kesalahannya tidak melakukan kesalahannya tidak melakukan pekerjaannya, jadi menjamin kepastian pendapatan (income social security) dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan di luar kehendaknya18. Kata pembayaran dalam definisi Iman Soepomo di atas mengandung makna bahwa pengertian yang dikemukakan oleh beliau sangatlah sempit, jauh dari apa yang sesungguhnya berkembang dalam praktik pemberian jaminan sosial di Indonesia saat ini. Dalam perkembangannya sekarang, jaminan sosial bagi pekerja/buruh bukan hanya berupa pembayaran, tetapi juga berupa pelayanan, bantuan, dan sebagainya19. Tujuan jaminan sosial adalah menjaga dan meningkatkan taraf kehidupan warga negara dalam menjalani kehidupannya. Ruang lingkup jaminan sosial adalah sangat luas, antara lain meliputi adanya jaminan pangan, pendidikan, kesehatan, papan, makan siang di tempat kerja, dana untuk rekreasi guna mengobati stres dan masih banyak lagi macamnya yang menjamin kesinambungan ekonomi atau penghasilan seseorang meskipun terjadi suatu resiko pada dirinya. Program jaminan sosial adalah jaminan yang menjadi bagian dari program jaminan ekonomi suatu bangsa. Karakteristik dari program jaminan sosial, yaitu: a. Program jaminan sosial biasanya ditentukan oleh pihak pemerintah sebagai penyelenggara negara.
17 18

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 113. Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 136. 19 Zaeni, Asyhadie, Op. Cit, hlm. 114-115.

b.

Program jaminan sosial memberikan kepada perorangan dengan pembayaran tunai sebagai ganti rugi akibat suatu resiko.

c.

Pendekatan pelaksanaan program jaminan sosial, yaitu berupa pelayanan umum, bantuan sosial, dan asuransi sosial. Jaminan sosial juga merupakan salah satu upaya yang dilakukan Indonesia

sebagai negara kesejahteraan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam Sila Kelima Pancasila dan Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung konsekuensi bahwa setiap orang harus diperlakukan secara adil tanpa ada perkecualian, baik di mata hukum maupun pemerintah, dalam hal pemenuhan hak-haknya. Keadilan sosial berkehendak mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat Indonesia20. Hak atas jaminan sosial tersebut diatur dalam Pasal 28 H ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat". Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang harus diperlakukan secara adil tanpa ada perkecualian dalam hal pemenuhan hak atas jaminan sosialnya, dan pemenuhan hak atas jaminan sosial ini menjadi kewajiban negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen yang menyatakan bahwa, Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Tujuan akhir dari pemenuhan hak atas jaminan sosial adalah terselenggarakannya kesejahteraan umum dan terwujudnya keadilan sosial berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Indonesia sebenarnya adalah negara kesejahteraan yang menganut model korporasi, yang mengharuskan negara memberikan jaminan sosial secara merata bagi seluruh penduduknya, baik kayak maupun miskin, dengan mengikutsertakan masyarakat dan sektor swasta. Tetapi pada perkembangannya, model negara kesejahteraan yang dianut Indonesia menjadi bergeser menjadi model minimal, karena pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial masih rendah dan tidak semua penduduk mendapatkan jaminan sosial. Misalnya saja TKI. TKI pada dasarnya adalah warga
Syaidus Syahar, Pancasila sebagai Paham Kemasyarakatan dan Kenegaraan Indonesia, Alumni, Bandung, 1975, hlm 227.
20

negara Indonesia juga yang berhak mendapatkan jaminan sosial untuk menjamin kesinambungan ekonomi atau penghasilan TKI tersebut meskipun terjadi suatu resiko pada dirinya. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan, maka Negara Indonesia berkewajiban menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar dari TKI tersebut. Dengan demikian, jaminan sosial merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia, termasuk TKI, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. B. Analisis terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hukum

Ketenagakerjaan Terkait Jaminan Sosial Bagi TKI Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) mendefinisikan tenaga kerja sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Berdasarkan definisi di atas, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terkualifikasi sebagai tenaga kerja, karena TKI bekerja, menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bahkan memberikan remitansi yang besar yang berguna bagi pembangunan nasional. Yang membedakannya dengan tenaga kerja pada umumnya adalah wilayah tempatnya bekerja, yaitu di luar negeri. Pasal 99 UU Ketenagakerjaan selanjutnya mengatur bahwa setiap pekerja/ buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut UU Jamsostek). Pasal 6 ayat (1) UU Jamsostek menerangkan ruang lingkup program Jamsostek meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Jamsostek, untuk pengelolaan program Jamsostek dapat dilakukan dengan mekanisme asuransi. Asuransi yang dimaksud adalah asuransi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut UU SJSN), yang merupakan suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib 9

yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Asuransi sosial tidak bersifat mencari keuntungan (non-profit oriented). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, salah satu syarat dari program asuransi sosial adalah penyelenggaranya harus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penyelenggara program Jamsostek menurut Pasal 25 UU Jamsostek adalah BUMN. Setelah lahir Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut UU BPJS), kini penyelenggara Jamsostek dilebur menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang terdiri dari Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Berdasarkan Pasal 31 UU Ketenagakerjaan, setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. Oleh karena itu, dilaksanakan penempatan tenaga kerja dengan memperhatikan pemerataan

kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah. Penempatan tenaga kerja ini terdiri dari penempatan tenaga kerja di dalam negeri dan di luar negeri. Pengaturan penempatan tenaga kerja di luar negeri kemudian didelegasikan ke peraturan perundang-undangan lain yang sederajat, yaitu Undang-Undang Nomor 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN). Sesuai namanya, undang-undang ini tidak hanya mengatur penempatan, tetapi juga perlindungan bagi TKI yang berada di luar negeri. Pasal 1 butir 1 UU PPTKILN mendefinisikan TKI sebagai setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Oleh karena itu, TKI juga seharusnya mendapatkan jaminan sosial dengan mekanisme asuransi sosial sebagai bentuk perlindungan dari negara terhadap tenaga kerjanya. Pasal 68 UU PPTKILN menyatakan bahwa pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang diberangkatkan ke luar negeri dalam program 10

asuransi. Jenis program asuransi yang wajib diikuti oleh TKI tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, yang dalam hal ini adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.07/MEN/V/2010 Tentang Asuransi TKI (selanjutnya disebut Permen Asuransi TKI). Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Permen Asuransi TKI ini, TKI mendapatkan program Asuransi TKI, yaitu program asuransi yang diberikan kepada calon TKI/TKI yang meliputi pra penempatan, masa penempatan, dan purna penempatan di luar negeri dalam hal terjadi risiko-risiko yang diatur dalam Peraturan Menteri ini. Risiko-risiko dimaksud tercantum dalam Pasal 23 Permen Asuransi TKI, meliputi:
Pra Penempatan a. risiko meninggal dunia; risiko sakit dan cacat; risiko kecelakaan; risiko gagal berangkat bukan karena kesalahan calon TKI;dan risiko tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan/ pelecehan seksual. a. b. c. d. e. Masa Penempatan risiko gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI; risiko meninggal dunia; risiko sakit dan cacat; risiko kecelakaan di dalam dan di luar jam kerja; risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara perseorangan maupun massal sebelum berakhirnya perjanjian kerja; risiko upah tidak dibayar; risiko pemulangan TKI bermasalah; risiko menghadapi masalah hukum; risiko tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan/pelecehan seksual; risiko hilangnya akal budi;dan risiko yang terjadi dalam hal TKI dipindahkan ke tempat kerja/tempat lain yang tidak sesuai dengan perjanjian penempatan. a. b. c. d. Purna Penempatam risiko kematian; risiko sakit; risiko kecelakaan;dan risiko kerugian atas tindakan pihak lain selama perjalanan pulang ke daerah asal, seperti risiko tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan/peleceh an seksual dan risiko kerugian harta benda

b. c. d.

e.

f. g. h. i. j. k.

Pasal 1 angka 4 Permen Asuransi TKI menyatakan bahwa penyelenggara program Asuransi TKI adalah perusahaan asuransi swasta yang telah mendapat izin Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam menyelenggarakan Asuransi TKI tersebut, perusahaan-perusahaan asuransi ini kemudian dapat bergabung membentuk suatu konsorsium asuransi swasta. Asuransi TKI ini pada hakikatnya bukan merupakan jaminan sosial. Jaminan sosial didasarkan pada prinsip asuransi sosial yang dimaksudkan dalam skema Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan oleh negara (dalam hal ini BPJS). Sedangkan Asuransi TKI didasarkan pada prinsip asuransi komersil yang bersifat mencari keuntungan (profit oriented) yang diselenggarakan oleh konsorsium asuransi swasta. Konsorsium asuransi swasta ini mencari keuntungan sebesar11

besarnya, terbukti dari tingkat klaim Asuransi TKI tidak sampai 5 persen dari jumlah peserta. Dengan demikian, perlindungan yang didapat TKI saat ini, yaitu Asuransi TKI, bukanlah jaminan sosial yang sepatutnya tenaga kerja dapatkan. Asuransi TKI ini pun belum dapat memberikan perlindungan secara menyeluruh kepada TKI. Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa terdapat ketidaksinkronan antara perlindungan yang seharusnya didapat TKI sebagai tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan, UU Jamsostek, dan UU SJSN, yaitu jaminan sosial yang berprinsip asuransi sosial dan diselenggarakan oleh negara (dalam hal ini BPJS), dengan perlindungan bagi TKI yang saat ini didapat berdasarkan Permen Asuransi TKI sebagai peraturan pelaksana dari UU PPTKILN, yaitu Asuransi TKI yang berprinsip asuransi komersil dan diselenggarakan oleh konsorsium asuransi swasta. C. Permasalahan dalam Praktik Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Terkait Program Jamsostek dan Asuransi TKI Terdapat suatu gejala bahwa banyaknya jumlah tenaga kerja Indonesia di luar negeri diakibatkan negara belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga mereka berusaha memenuhi kebutuhan hidup dasarnya yang layak dengan mencari pekerjaan di negara-negara tetangga. Hal ini dibuktikan dengan data sebagai berikut: TABEL 1.121 Pengganggur Terbuka Nasional menurut Golongan Umur dan Pendidikan Februari Tahun 2011
Pendidikan Golongan Umur SD SMTP SMTA Umum 2,264,803 27.90 SMTA Kejuruan 1,081,674 13.32 Diploma I/II/III/ Akademi 434,457 5.35 612,717 7.55 8,117,631 100 Universitas

Jumlah

Jumlah Prosentase

1,920,971 23.66

1,803,009 22.21

21

BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Februari 2011 diolah Pusdatinaker.

12

TABEL 1.222 Prosentase Penempatan TKI Terhadap Angka Penggangguran Tahun 2011
Angka No. Provinsi Pengangguran (JML) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. Naggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau D.K.I Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimatan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat 171,050 460,616 162,490 185,909 58,797 228,084 30,453 201,483 19,716 58,883 542,709 1,982,448 1,042,496 107,115 845,647 697,083 65,604 116,412 59,655 112,525 41,595 103,501 174,807 98,232 55,812 243,021 46,232 21,120 15,506 53,490 26,836 30,422 Prosentase Penempatan TKI (JML) penempatan TKI Terhadap Angka Pengangguran (%) 1,258 12,398 849 492 575 1,725 422 17,790 223 628 18,204 145,012 122,814 3,709 110,497 27,963 15,056 72,846 7,106 1,435 107 1,062 655 1,176 986 13,911 979 51 516 461 45 58 0.7 2.7 0.5 0.3 1.0 0.8 1.4 8.8 1.1 1.1 3.4 7.3 11.8 3.5 13.1 4.0 22.9 62.6 11.9 1.3 0.3 1.0 0.4 1.2 1.8 5.7 2.1 0.2 3.3 0.9 0.2 0.2

22

Ibid.

13

33.

Papua Jumlah

57,882 8,117,631

72 581,081

0.1 7,2

Melihat data-data tersebut di atas, hal ini menjadi suatu pekerjaan besar bagi pemerintah untuk dapat memberikan jaminan sosial bagi tenaga kerja Indonesia. Keadaan semacam ini menimbulkan suatu konsekuensi bahwa Pemerintah harus mampu memberikan perlindungan serta pemenuhan akan jaminan hak-hak dasar daripada TKI itu sendiri. TKI sebagai salah satu unsur dari tenaga kerja yang memiliki peranan yang penting dalam pembangunan nasional tentunya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi kehidupannya meskipun ia berada di luar wilayah Indonesia. Peranan penting yang diberikan TKI dalam pembangunan nasional berupa sumbangan devisa negara melalui remitansi sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini: TABEL 223 REMITANSI TKI (Periode 2006-2011)
NO 1. 2. 3. 4. 6. 7. TAHUN 2006 2007 2008 2009 2010 2011 REMITANSI ( X US$ 1 Miliar) 5.56 6.00 6.52 6.62 6.74 6.73

Berikut

ini

akan dijabarkan mengenai

permasalahan dalam

praktik

penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja indonesia di luar negeri terkait program Jamsostek dan Asuransi TKI. Pertama, praktik penyelenggaraan Jamsostek belum mampu menjangkau TKI saat ini. Secara keseluruhan, sistem perlindungan sosial Indonesia dicirikan oleh kombinasi jaminan sosial, yang bertindak sebagai inti sistem dari masyarakat, juga program-program sosial pro-masyarakat miskin yang ditargetkan untuk rumah tangga yang menambah skema jaminan sosial. Skema jaminan sosial mencakup pegawai pemerintah, militer dan personil polisi, serta bagian dari tenaga kerja formal di sektor

23

Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi (Puslitfo BNP2TKI).

14

swasta. Sebagian besar mereka yang dijamin dengan jaminan sosial termasuk dalam golongan tenaga kerja Indonesia yang relatif cukup mampu. Secara umum, sistem perlindungan sosial di Indonesia sebagian besar meninggalkan para tenaga kerja yang berada digolongan menengah dari distribusi pendapatan. Lebih jauh, tenaga kerja sektor informal yang miskin, yang tidak berada dalam kemiskinan ekstrim serta para TKI yang berada di luar negeri atau bisa kita sebut dengan tenaga kerja migran, sering mendapati diri mereka tidak terlindungi oleh skema jaminan sosial ataupun menjadi target dari program sosial yang memberikan manfaat bagi golongan penghasilan terendah. Dalam konteks internasional, terdapat instrumen hukum berupa konvensi internasional yang beberapa diantaranya telah diratifikasi oleh Indonesia. Dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa ada atau tidaknya konvensi tersebut, hak itu harus tetap dijamin. Pemerintah memiliki tiga kewajiban terhadap hak asasi manusia, yaitu untuk menghormati (to respect), untuk melindungi (to protect), dan untuk memenuhi (to fulfil)24. Dalam pembahasan tentang ICESCR, Matthew Craven25 menjabarkan semacam indikator terhadap terpenuhinya hak-hak atas pekerjaan. Indikator yang dimaksud antara lain adalah 1) upah minimum; 2) upah yang layak dan setara; 3) kehidupan yang layak; 4) kondisi keselamatan dan kesehatan kerja; 5) kesetaraan kesempatan terhadap promosi karir; dan 6) hak beristirahat, berlibur, dan pembatasan jam kerja yang berasalan (rasional). Hak-hak tersebut mungkin saja dapat sepenuhnya tercapai bagi pekerja formal. Namun, menjadi sulit untuk seluruhnya dipenuhi jika diterapkan pada pekerja non formal, seperti pekerja pembantu rumah tangga. Oleh karena itu, masih ada tantangan dalam memperluas cakupan perlindungan sosial. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) melindungi sebagian kecil tenaga kerja sektor swasta terhadap resiko-resiko usia lanjut, cedera akibat kerja, kesehatan, dan kematian. Namun, lagi-lagi di dalam sistem perlindungan tenaga kerja ini para TKI tidak terlindungi. Padahal Jamsostek diharapkan dapat melindungi para tenaga kerja dalam perusahaan yang memiliki 10 tenaga kerja atau lebih yang penghasilannya lebih dari Rp 1 juta (90 dolar Amerika Serikat). Usia pensiun untuk dana jaminan sosial ini adalah 55 tahun. Jaminan kesehatan melindungi suami/istri dan hingga tiga orang anak dibawah usia 22 tahun dari pekerja yang diasuransikan. Pengusaha yang
24 25

Idem, hlm. 162. Idem, hlm165.

15

memberi jaminan kesehatan yang lebih unggul tidak harus berkontribusi terhadap premi asuransi kesehatan Jamsostek. Untuk tenaga kerja sektor publik, ada tiga skema yang menjamin pegawai negeri, polisi, dan anggota militer (tabel 3.1). Sedangkan untuk pekerja lainnya, sebagian besar masih tidak terlindungi oleh skema jaminan sosial. Bahkan, sekitar 83 persen tenaga kerja tidak dilindungi oleh jaminan sosial (usia tua, cedera dan kematian akibat kerja).26 Perlindungan kesehatan lebih tinggi, sebesar 46 persen berkat penyediaan perawatan kesehatan bagi masyarakat miskin yang didanai pajak (Jaminan Kesehatan Masyarakat/Jamkesmas)27. TABEL 3.128
Skema Jaminan Jaminan Sosial Target Tenaga kerja sektor formal Perlindungan resiko Tabungan hari tua, cedera akibat kerja, kesehatan, dan tunjangan kematian Pensiun (usia lanjut, cacat, janda/duda dari penerima pensiun, dan kecelakaan tenaga kerja) Tunjangan kesehatan Pensiun dan tunjangan kematian

Taspen

Pegawai Negeri Pegawai negeri dan Pensiunan polisi dan militer Militer dan Polisi

Askes Asabri

Catatan:

Beberapa laporan menggolongkan Jamkesmas (Sebelumnya dikenal sebagai Askeskin)

sebagai jaminan sosial. Laporan ini mengelompokkan skema jaminan tersebut sebagai program sosial yang menargetkan rumah tangga karena merupakan perawatan kesehatan yang didanai pajak bagi masyarakat kurang mampu.

TABEL 3.229 Angka Kontribusi Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)


Besarnya kontribusi (berdasarkan persentase gaji/upah tetap) Dibayar oleh perusahaan Dibayar oleh tenaga kerja Cedera Akibat Kerja Tunjangan Kematian Tabungan Hari tua Perawatan Kesehatan 0,24-1,74%* 0,3% 3,7% 3,0% 2%

* Besarnya persentase bergantung pekerjaan **Maksimal Rp. 60.000/bulan untuk tenaga kerja yang menikah dan Rp. 30.000 untuk tenaga kerja yang belum menikah

ILO, Social Security in Indonesia: Advancing the Development Agenda, Jakarta, 2008. DJSN, National Social Security Council, Jakarta, 2010. 28 ILO, Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2010: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Menjadi Penciptaan Lapangan Pekerjaan, Jakarta, 2011. 29 PwC, Indonesian Pocket Tax Book, Jakarta, 2010.
27

26

16

Adapun kemudian terkait perlindungan sosial tersebut harus kita lihat, fitur penting dari anggaran perlindungan sosial adalah fleksibilitasnya. Dengan kata lain, pemerintah menyesuaikan anggaran sesuai dengan kebutuhan. Gambar 4.1 dengan jelas menunjukkan peningkatan pengeluaran untuk perlindungan sosial di tahun 2006 dan 2008 seiring dengan usaha pemerintah untuk mengurangi dampak kenaikan harga bahan bakar di tahun 2005 dan resesi global yang berawal ditahun 2008. Secara umum, pengeluaran untuk perlindungan sosial telah mengalami tren ekspansif, dengan terus melakukan peningkatan yang terus-menerus dalam pengeluaran untuk perlindungan sosial ini, namun sampai dengan saat ini Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga dalam hal komitmen negara pada perlindungan sosial (Gambar 4.2). Karenanya, masih ada ruang untuk mengeksplorasi lebih jauh ekspansi fiskal bagi perlindungan sosial khususnya dalam hal jaminan sosial bagi TKI. GAMBAR 4.130 Pengeluaran untuk Perlindungan Sosial (berdasarkan PDB, 2004-2008)
8 6 4 2 0 2004 2005 2006 2007 2008 pengeluaran yang ditargetkan bagi rumah tangga pengeluaran yang ditargetkan bagi masyarakat

GAMBAR 4.231
Pengeluaran Negara untuk Jaminan Sosial (Berdasarkan PDB, Data tahun terakhir)
Korea Malaysia Vietnam Thailand India Filipina Kamboja Indonesia Laos 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Bank Dunia dan Sekretariat ASEAN, Country report of the ASEAN Assessment on The Social Impact of The Global Financial Crisis: Indonesia, Jakarta 2011. 31 ILO, World Social Security Report 2010/2011, Jakarta 2011.

30

17

Kedua, pelaksanaan program perlindungan TKI yang diberikan negara berupa Asuransi TKI, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, belum dapat dilaksanakan secara maksimal dan menyeluruh. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam praktiknya, Asuransi TKI yang diperoleh oleh TKI ternyata tidak sesuai dengan jaminan sosial yang seharusnya diperoleh TKI sebagai warga negara Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh warga negara Indonesia. Maka, asuransi yang seharusnya didapatkan oleh TKI adalah asuransi sosial sebagai bentuk jaminan sosial bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Artinya adalah pemerintah harus turut serta terhadap berbagai macam aspek pengelolaan asuransi. Perbedaan prinsip yang digunakan mengakibatkan perbedaan pelaksanaan asuransi. Hal ini ditandai dengan pengelolaan asuransi TKI yang dilakukan oleh pihak swasta yaitu konsorsium asuransi TKI bukan oleh negara secara langsung yang pembiyaannya itu dibebankan kepada penyalur tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) senilai Rp 400.000,00 yang terdiri dari Rp 50.000,00 untuk asuransi pra penempatan, Rp 300.000,00 untuk asuransi penempatan (2 tahun kontrak kerja), dan Rp 50.000,00 untuk asuransi purna penempatan sebesar Rp 50.000,- (TKI sampai di Indonesia)32. Dalam praktiknya pelaksanaan dari Asuransi TKI banyak terjadi

penyimpangan-penyimpangan seperti pada proses penunjukkan dan pelaksanaan perlindungan oleh satu-satu konsorsium proteksi TKI yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang pada dasarnya bukan penyelnggara dari jaminan sosial, pemungutan uang premi kepada TKI, tidak diperolehnya polis asuransi atas pembayaran premi yang dilakukan oleh PPTKIS bagi para TKI yang bersangkutan yang mengakibatkan para TKI susah untuk melakukan klaim asuransi33. Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh TKI di luar negeri seperti pemutusan hubungan kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, kematian, sakit dan sebagainya menunjukkan bahwa pelaksanaan program asuransi TKI belum dapat
Taufik Rachman dan Prima Resti, Asuransi TKI Dibayar oleh Penyalur TKI dimuat dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/06/15/lmua42c-asuransi-tki-dibayar-oleh-penyalur-tki, tanggal 15 Ju ni 2011 diunduh pada tanggal 28 Desember 2011, pukul 11.45 WIB. 33 Pusat Sumber Daya Buruh Migran, Kontroversi Asuransi TKI Harus Dituntankan dikutip dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/132498, tanggal 18 Januari 2011 yang dimuat pada http://www.buruhmigran.or.id/2011/01/kontroversi-asuransi-tki-harus-dituntaskan/, diunduh pada tanggal 28 Desember 2011, pukul 12.04 WIB.
32

18

dilaksanakan secara maksimal. Berikut ini adalah data-data kasus yang dialami oleh TKI: TABEL 5.1 Data Kasus yang Sering Menimpa TKI di Luar Negeri
No 1 2 3 4 5 Jenis Kasus PHK secara sepihak Sakit bawaan Sakit akibat bekerja Gaji tidak dibayar Penganiayaan Jumlah Kasus 19.429 9.378 5.510 3.550 2.952

Jumlah kasus tersebut dilihat dari jumlah TKI Indonesia di berbagai negara tujuan sepanjang tahun 2010 yaitu: TABEL 5.2 Data Jumlah TKI di Luar Negeri Tahun 2010
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Negara Malaysia Arab Saudi Taiwan Hongkong Singapura Kuwait UEA Brunei Darussalam Yordania Qatar Bahrain Jepang Syria Libya Korea Selatan Jumlah TKI 1.200.000 orang 927.500 orang 130.000 orang 120.000 orang 80.150 orang 61.000 orang 51.350 orang 40.450 orang 38.000 orang 24.586 orang 6.500 orang -

TABEL 5.3 Data TKI Versi Menakertrnas


Tujuan Malaysia Jumlah 1.200.000

19

Arab Saudi Taiwan Hongkong Singapura Kuwait Uni Emirat Arab Brunei Darussalam Yordania Bahrain

927.000 130.000 120.000 80.150 61.000 51.350 40.450 38.000 6.500

Selain itu juga sepanjang tahun 2011 kasus berkenaan dengan TKI semakin bertambah yaitu akhir tahun 2011 terdapat 417 TKI Indonesia yang terancam hukuman mati baik di Malaysia, Arab Saudi, Singapura, dan China dan 32 orang diantaranya telah di vonis hukuman mati hal itu dijelaskan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah pada tanggal 18 Desember 2011, berdasarkan hasil Monitoring Migrant Care kasus-kasus yang terjadi berkenaan dengan TKI adalah sebagai berikut34: TABEL 5.4 Data Kasus yang Menimpa TKI di Luar Negeri Sepanjang Tahun 2011
No 1. 2 3 4 5 6. 7. 8. Jenis Kasus Hukuman Mati Over syaters di arab Saudi Kekerasan fisik Kekerasan seksual Meninggal Dunia Gaji tidak dibayar Terancam deportasi dari Malaysia TKI bermasalah di penampungan perwakilan luar negeri Jumlah Kasus 417 27.348 3.070 1.234 1.203 14.074 150.000 21.823

Anggi Kusumadewi, Ronito Kartika Suryani, Migrant Care: 417 TKI Terancam Hukuman Mati, dimuat dalam http://nasional.vivanews.com/news/read/273028-migrant-care--417-tki-terancam-hukuman-mati, 28 Desember 2011, diakses pada tanggal 28 Desember 2011, Pukul 14.21.37.

34

20

TABEL 5.535 Pelayanan TKI Bermasalah di GPK-TKI Selapajang Tangerang Sepanjang Tahun 2011
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Jenis Masalah PHK Sepihak Sakit akibat kerja Gaji tidak dibayar Penganiayaan Pelecehan seksual Dokumen tidak lengkap Sakit Bawaan Majikan bermasalah Pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja Kecelakaan kerja Majikan meninggal TKI hamil Komunikasi tidak lancer Tidak mampu bekerja Membawa anak Lain-lain TOTAL Jumlah 11.804 7.263 1.723 2.137 2.186 1.454 2.328 9.695 744 732 633 531 415 290 402 2.095 44.573

Tabel berikut merupakan deskripsi singkat hasil penelitian suatu lembaga swadaya masyarakat, Fahmina, yang mensinyalir unsur-unsur perdagangan manusia dalam arus TKI. TABEL 636 Praktik-Praktik Perdagangan dan Eksploitasi dalam Sistem Ekspor TKI
Tahap Unsur-Unsur Perdagangan Manusia yang Diketahui Perekrutan Informasi tidak benar terhadap pekerjaan Pemalsuan dokumen resmi (KTP, paspor, izin keluarga) Calo PJTKI Kepala Desa Pelaku

Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi (Puslitfo BNP2TKI) Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Cirebon terkait dengan perlindungan TKI dan Keluarganya, Sorum Warga Buruh Migran (FWBMI)-Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) 2007 dalam Inna Junaenah, Dimensi-Dimensi Kewajiban Negara Terhadap Hak-Hak Pekerja Migran dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam rangka Purna Bakti Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H, Pusat Studi Kebijakan Negara FH UNPAD, Bandung, 2009, hlm158-159.
36

35

21

Pungutan Liar/Penjeratan utang Pra Keberangkatan Di Negara Tujuan Pembatasan kebebasan bergerak Pelecehan dan kekerasan seksual Penjeratan utang Kondisi atau jenis pekerjaan tidak sesuai kontrak dan/atau perjanjian lisan dengan buruh, antara lain ditempatkan di rumah bordil Buruh ditugaskan dimajikan baru di negara penerima tanpa persetujuannya, dan dalam beberapa kasus dengan pemaksaan dan kekerasan fisik, antara lain untuk prostitusi Kekerasan fisik, psikis, dan seksual Penyekapan Ilegal Penahanan identifikasi dan dokumen imigrasi Penjeratan utang Upah dipotong atau tidak di bayar Pada waktu kembali Pengelabuan, pemerasan, dan pelecehan seksual pada waktu tiba di bandara atau tempat transit sarana transportasi

Pegawai Imigrasi PJTKI Manajemen Pusat Pemerintah Setempat Majikan Agen Penempatan Pegawai kedutaan Pegwai imigrasi Polisi

Pegawai Pemerintah Polisi Otoritas Bandara Calo Mafia/preman

Ketiga, rendahnya kapasitas TKI yang bekerja di luar negeri. Indonesia bagaimanapun, tertinggal jauh di belakang saingan regional dalam hal pencapaian pendidikan angkatan kerja. TKI yang bekerja di luar negeri baik pekerja formal maupun informal pada tahun 2011 berjumlah 6 juta TKI (Sumber BNP2TK, namun yang terdaftar hanya 50%). TKI tersebut tersebar ke 42 negara yang berasal dari 392 kabupaten/kota dari 500 kabupaten/kota dengan remitansi sebesar Rp. 100 Trilyun per tahun dan 60% pekerja di sektor informal. Dengan hanya 27,1 persen tenaga kerja memiliki pendidikan sekunder ke atas, tingkat ketrampilan pekerja Indonesia tertinggal dibandingkan para pesaingnya di wilayah ini.

22

TABEL 5 Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan (2007, %)


Singapura Filipina Malaysia Korea Indonesia 0 10 20 30 40 50 60

Hal inilah yang juga menjadi salah satu penyebab tingginya masalah TKI di luar negeri. Pendidikan yang rendah dan keterampilan yang rendah ditambah dengan kemampuan berbahasa yang tidak memadai mengakibatkan banyaknya tindakan kekerasan yang dialami oleh TKI. Sehingga, posisi tawar dari TKI sangatlah rendah di mata pemberi kerja. Mereka adalah subjek yang sarat akan tidak terlindunginya oleh hukum. Masa pra penempatan TKI yang seharusnya diisi dengan berbagai macam pembekalan cenderung tidak didapatkan oleh para TKI. Tantangan khusus dalam pengembangan keterampilan adalah jarak waktu antara pendidikan dan/atau pelatihan keterampilan dengan titik ketika keterampilan tersebut tersedia untuk aktivitas ekonomi. Setiap pekerjaan membutuhkan sejumlah keterampilan tertentu dan membutuhkan pelatihan bertahun-tahun untuk

menguasainya. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan bahwa pelatihan pada masa pra penempatan TKI tidaklah cukup untuk meningkatan sumber daya manusia (TKI). Lebih dari itu, pemerintah harus melaksanakan program pendidikan yang baik agar masyarakat Indonesia dapat bersaing dengan masyarakat dari berbagai negara di dunia dan tentunya TKI dapat memiliki posisi tawar yang tinggi di masyarakat internasional. Keempat, faktor pembiayaan jaminan sosial, akses jaringan komunikasi TKI dengan pihak Indonesia, dan juga perbedaan batas wilayah negara serta tidak adanya suatu lembaga yang disediakan untuk mengatur masalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi TKI di Luar Negeri yang langsung bekerja sama dengan organ yang ada di negara tujuan penerima TKI menyebabkan Negara menjadi sulit memberikan akses pemenuhan jaminan sosial yang bersifat nasional bagi mereka. Hal tersebut menunjukkan tidak harmonisnya komitmen dari berbagai pihak untuk menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia yaitu tidak dilandasi dengan konsistensi 23

untuk melaksanakan komitmen tersebut baik dari sisi Peran pemerintah, inisiatif DPR/MPR, komitmen dan konsistensi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional serta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan moral force dari masyarakat37.

37

Pusat Sumber Daya Buruh Migran, Kontroversi Asuransi TKI harus dituntankan Ibid.

24

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Negara Indonesia adalah negara kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan konsep negara pengurus yang digagas Moh. Hatta yang dalam pencapaian kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial masyarakatnya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, negara harus turut campur dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Indonesia sebenarnya adalah negara kesejahteraan yang menganut model korporasi, yang mengharuskan negara memberikan jaminan sosial secara merata bagi seluruh penduduknya, baik kayak maupun miskin, dengan mengikutsertakan masyarakat dan sektor swasta. Tetapi pada perkembangannya, model negara kesejahteraan yang dianut Indonesia menjadi bergeser menjadi model minimal, karena pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial masih rendah dan tidak semua penduduk mendapatkan jaminan sosial. Misalnya saja TKI. TKI pada dasarnya adalah warga negara Indonesia juga yang berdasarkan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 berhak mendapatkan jaminan sosial untuk menjamin kesinambungan ekonomi atau penghasilan TKI tersebut meskipun terjadi suatu resiko pada dirinya. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan, maka Negara Indonesia berkewajiban menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar dari TKI tersebut, sebagimana tercantum pada Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Pemenuhan hak TKI atas jaminan sosial merupakan bentuk perwujudan Negara Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan. Adanya Asuransi TKI sebagai bentuk perlindungan bagi TKI bukanlah jawaban yang tepat. Asuransi TKI bukan merupakan program jaminan sosial yang dijalankan oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Jamsostek dan UU SJSN, karena tidak menggunakan prinsip asuransi sosial, tetapi asuransi komersil, dan bukan dijalankan oleh BPJS, melainkan konsorsium asuransi TKI, sehingga yang menjadi tujuan utamanya adalah mencari keuntungan. Padahal TKI terkualifikasi sebagai tenaga kerja dan juga merupakan warga negara Indonesia yang berhak atas jaminan sosial untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial berdasarkan Undang25

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Pancasila. Pelaksanaan program perlindungan TKI yang selama ini dijalankan pun belum mampu memberikan jaminan sosial bagi TKI secara komperhensif. Terbatasnya lapangan pekerjaan di dalam negeri, menyebabkan banyak WNI memilih menjadi TKI di luar negeri. Mengingat remitansi yang diberikan TKI merupakan sumbangan yang besar bagi devisa negara, selayaknya TKI mendapatkan jaminan sosial juga sebagaimana tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Indonesia. Akan tetapi, muncul beberapa permasalahan dalam praktik penyelenggaraan jaminan sosial TKI di luar negeri terkait program Jamsostek dan Asuransi TKI sebagai berikut: Pertama, praktik

penyelenggaraan Jamsostek saat ini, hanya mampu menjangkau pegawai pemerintah, militer dan personil polisi, serta melindungi sebagian kecil tenaga kerja sektor swasta terhadap risiko-risiko usia lanjut, cedera akibat kerja, kesehatan, dan kematian. Jamsostek belum mampu menjangkau TKI. Kedua, pelaksanaan program perlindungan TKI yang diberikan negara berupa Asuransi TKI, belum dapat dilaksanakan secara maksimal dan menyeluruh, terbukti dari banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh TKI di luar negeri seperti pemutusan hubungan kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, kematian, sakit dan sebagainya. Hal ini dikarenakan Asuransi TKI tidak sesuai dengan prinsip asuransi sosial yang seharusnya melandasi jaminan sosial bagi TKI. Ketiga, rendahnya kapasitas TKI yang bekerja di luar negeri dalam hal pencapaian pendidikan angkatan kerja. Keempat, faktor pembiayaan jaminan sosial, akses jaringan komunikasi TKI dengan pihak Indonesia, dan juga perbedaan batas wilayah negara serta tidak adanya suatu lembaga yang disediakan untuk mengatur masalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi TKI di luar negeri yang langsung bekerja sama dengan organ yang ada di negara tujuan penerima TKI, menyebabkan negara menjadi sulit memberikan akses pemenuhan jaminan sosial yang bersifat nasional bagi mereka.

B.

Saran Untuk mengatasi agar tidak terjadi kesenjangan dan demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur, sudah sepatutnya dibentuk suatu peraturan berbentuk undang-undang yang berfungsi sebagai dasar hukum adanya 26

suatu jaminan sosial bagi TKI di luar negeri. Hal ini menjadi suatu urgensi karena begitu banyak masalah TKI di luar negeri dan di dalam masalah tersebut tergambar bahwa pemerintah belum memberikan suatu perlindungan dan jaminan sosial bagi TKI di luar negeri secara maksimal dan konsisten. Undang-undang ini nantinya harus terintegrasi ke dalam skema SJSN, sehingga TKI sebagai tenaga kerja akan mendapatkan jaminan sosial sebagaimana tenaga kerja pada umumnya.

27

Anda mungkin juga menyukai