ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL, GRAFIK, DAN
GAMBAR
PENGANTAR
IKHTISAR EKSEKUTIF
BAB 1 : PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi
Mandat dan Peran Strategis
Sistematika Laporan
14
15
16
21
24
29
30
35
37
40
135
140
140
141
143
145
149
151
BAB 6 : PENUTUP
LAMPIRAN FORMULIR PENGUKURAN
KINERJA
LAMPIRAN PENGHARGAAN
154
156
156
159
DAFTAR
TABEL
2
1.1
1.2
2.1
3.1
3.25
Optimal
3.26
3.27
3.28
Berkualitas
3.3
3.2
3.29
3.30
3.4
3.31
3.5
3.32
3.6
3.7
3.8
3.9
3.10
3.11
3.12
3.13
3.14
3.15
3.33
3.34
Eselon I
3.35
3.36
3.37
3.38
3.39
s.d. 2013
3.40
3.41
3.42
Transparan
3.43
3.44
3.17
3.46
3.47
3.18
3.48
3.19
3.49
3.20
Proyeksi Belanja KL
2007 2013
yang Optimal
3.50
3.21
3.51
3.22
3.23
3.52
3.53
2013
3.54
3.24
2013
3.55
3.56
3.57
3.81
3.82
3.83
3.84
Pajak
3.58
3.85
3.59
3.86
4.1
4.2
3.60
3.62
3.63
3.64
3.65
3.66
3.67
3.68
3.69
3.70
3.71
3.72
3.73
3.74
3.75
3.76
3.77
3.78
3.79
3.80
DAFTAR
GAMBAR DAN
GRAFIK
4
P.1
RE.1
1.1
1.2
3.22
3.24
2.1
3.1
Ditindaklanjuti
Capaian
3.2
3.3
3.4
3.26
5.1
3.7
3.8
3.10
3.11
3.12
3.13
3.14
3.15
3.16
3.17
3.18
3.19
3.20
3.21
Keuangan
52
Cukai
3.9
Kemenkeu
3.25
5.3
PENGANTAR
Yang kami hormati Bapak Presiden, Bapak Wakil Presiden, serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,
Republik Indonesia. Bersama ini kami sajikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan tahun
2013, sebagai perwujudan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan mandat yang diberikan, serta laporan kinerja pencapaian visi
dan misi Kementerian Keuangan dalam periode Tahun Anggaran 2013. LAKIP ini merupakan tahun keempat dari pelaksanaan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden memberi kuasa kepada Menteri Keuangan
untuk mengelola fiskal dan kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam mandat dan tugas tersebut antara lain terkait dengan kebijakan
ekonomi makro, APBN, sebagai Bendahara Umum Negara, pengelolaan kekayaan negara, serta keuangan dan ekonomi internasional.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025, Kementerian Keuangan secara langsung mendukung 3 (tiga) Prioritas Nasional, yaitu (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2)
Ketahanan Pangan; dan (3) Iklim Investasi dan Iklim Usaha. Selain itu Kementerian Keuangan mendukung Prioritas Bidang Ekonomi seperti
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan stabilitas yang kokoh, serta pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Selama tahun 2013 Indonesia menghadapi ketidakpastian pemulihan ekonomi global, ditambah lagi dengan adanya tapering stimulus
moneter yang dilakukan oleh Amerika, yang berakibat pada ketidakpastian pasar keuangan internasional dan ketidakpastian harga
komoditas, sehingga membuat tekanan pada nilai tukar rupiah dan kondisi ekonomi Indonesia. Situasi tersebut sangat mempengaruhi
keuangan pemerintah, khususnya terhadap penerimaan negara, dan tentunya secara langsung berdampak pada capaian kinerja
Kementerian Keuangan. Walaupun demikian, dari seluruh indikator kinerja utama, Kementerian Keuangan secara mayoritas telah
memenuhi target (69,4%), termasuk didalamnya defisit APBN terhadap PDB dan tingkat kepatuhan pengguna layanan yang tinggi.
Sebagai bagian dari program Reformasi Birokrasi, Kementerian Keuangan telah memenuhi target nilai reformasi birokrasi sesuai
dengan nilai 94,78 dari target nilai 92. Penilaian ini menggunakan metode penilaian sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
(PMPRB). Selain itu dalam pengelolaan kinerja telah menerapkan metode Balanced Scorecard (BSC), di mana performance diukur atas
dasar penilaian Indikator Kinerja Utama (IKU) yang merupakan indikator keberhasilan pencapaian sasaran-sasaran strategis (SS/KK) yang
tertuang dalam Peta Strategis Kementerian Keuangan tahun 2013, yang juga merupakan kontrak kinerja Kementerian Keuangan Tahun
2013.
Dari hasil pengukuran kinerja, Nilai Kinerja Organisasi (NKO) Kementerian Keuangan telah mencapai 101,80%. Nilai tersebut berasal dari
capaian kinerja pada masing-masing perspektif yaitu stakeholders perspective dengan capaian kinerja 18,49% (bobot 20%), customers
perspective dengan capaian kinerja 20,52% (bobot 20%), internal process perspective dengan capaian kinerja 31,65% (bobot 30%), dan
learning and growth perspective dengan capaian kinerja 31,14% (bobot 30%).
Gambar P.1
Stakeholders perspective
Customers perspective
Bobot: 20%
Capaian kinerja: 18,49%
Bobot: 20%
Capaian kinerja: 20,52%
Bobot: 30%
Capaian kinerja: 31,65%
Bobot: 30%
Capaian kinerja: 31,14%
Pada tahun 2013, pencapaian strategis Kementerian Keuangan di bidang pendapatan negara mencapai 95,28%. Capaian ini diperoleh
dari penerimaan pajak sebesar Rp921,269 triliun, penerimaan bea dan cukai sebesar Rp155,71 triliun, dan penerimaan PNBP nasional
sebesar Rp349,94 triliun. Pada awal tahun 2013, Kementerian Keuangan menetapkan target rasio pajak terhadap PDB sebesar 16%.
Dengan menggunakan data angka perkiraan PDB tahun 2013 sebesar Rp9.112,40 triliun, rasio pajak terhadap PDB mencapai 15,32%.
Dengan data yang sama, perhitungan rasio utang terhadap PDB mencapai 26,02% dan rasio defisit APBN terhadap PDB telah mencapai
2,30%.
Pencapaian target tersebut merupakan cermin dari para stakeholders yang selama ini berkontribusi terhadap penerimaan negara yang
dihimpun melalui unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan. Cerminan pelayanan yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan
terhadap stakeholder ditunjukkan oleh persepsi mereka terhadap Kementerian Keuangan saat dilakukan survei kepuasan pengguna
layanan yang hasilnya berupa indeks kepuasan sebesar 3,98 dari skala likert 5. Hasil survei yang positif ini diharapkan akan meningkatkan
citra Kementerian Keuangan di mata stakeholders sebagai pengguna layanan.
Akhir kata, semoga laporan akuntabilitas kinerja ini dapat memenuhi harapan sebagai pertanggungjawaban kami kepada masyarakat dan
sebagai pendorong peningkatan kinerja organisasi Kementerian Keuangan.
MENTERI KEUANGAN
IKHTISAR
EKSEKUTIF
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan Tahun 2013, merupakan perwujudan akuntabilitas
pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian sebagai perwujudan good governance dan kebijakan yang transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu LAKIP Kementerian merupakan wujud dari kinerja dalam pencapaian visi dan misi, sebagaimana yang
dijabarkan dalam tujuan/sasaran strategis, yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2013.
Visi Kementerian Keuangan adalah Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Terpercaya, Akuntabel dan Terbaik di
Tingkat Regional untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Dalam mencapai visi tersebut, Kementerian
Keuangan sebagai lembaga/institusi yang mempunyai tugas menghimpun dan mengalokasikan keuangan negara serta mengelola
kekayaan negara melaksanakan secara transparan dan akuntabel, yang berlandaskan asas profesionalitas, proporsionalitas, dan
keterbukaan.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Keuangan mempunyai empat misi yaitu (1) Misi Fiskal, yaitu mengembangkan kebijakan
fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati (prudent), dan bertanggungjawab; (2) Misi Kekayaan Negara, yaitu mewujudkan pengelolaan
kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparan, efisien, dan bertanggungjawab; (3) Misi
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, yaitu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak
dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global; dan (4) Misi Penguatan Kelembagaan, yang meliputi (i)
membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat; (ii) membangun dan
mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegritas tinggi, dan bertanggungjawab; (iii) membangun dan mengembangkan
teknologi informasi keuangan yang modern dan terintegrasi serta sarana dan prasarana strategis lainnya.
Dalam mencapai visi dan misi, Kementerian Keuangan menetapkan 6 tujuan strategis yang akan dicapai dalam tahun 2010-2014
yaitu: (i) meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keadilan
masyarakat; (ii) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan belanja negara untuk mendukung penyelenggaraan tugas K/L dan
pelaksanaan desentralisasi fiskal; (iii) mewujudkan kapasitas pembiayaan yang mampu memberikan daya dukung bagi kesinambungan
fiskal; (iv) pengelolaan perbendaharaan negara yang profesional dan akuntabel serta mengedepankan kepuasan stakeholders atas kinerja
perbendaharaan negara; (v) mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal serta menjadikan nilai kekayaan negara sebagai
acuan dalam berbagai keperluan; dan (vi) membangun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional, yang
mampu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak perekonomian nasional yang tangguh
dan berdaya saing global.
Untuk menunjang pencapaian tujuan strategis tersebut disusunlah Peta Strategi Kementerian Keuangan berdasarkan metodologi balanced
scorecard yang terdiri dari empat perspektif yaitu stakeholder, customer, internal process dan learning and growth. Peta strategi tersebut
terdiri dari 14 (empat belas) sasaran strategis, 1 (satu) sasaran strategis diantaranya merupakan bagian dari stakeholder perspective, 2
(dua) sasaran strategis pada customer perspective, 7 (tujuh) sasaran strategis pada internal process dan 4 (empat) sasaran strategis
learning and growth perspective. Peta Strategi Kementerian Keuangan 2013 memuat 14 sasaran strategis. Sasaran-sasaran strategis
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang
inklusif dan berkualitas; (2) Kepuasan pengguna layanan yang tinggi; (3) Kepatuhan pengguna layanan yang tinggi; (4) Perencanaan
dan rumusan kebijakan yang berkualitas; (5) Pendapatan yang optimal; (6) Belanja yang optimal; (7) Pengelolaan kekayaan negara yang
optimal; (8) Pembiayaan yang cukup, efisien, dan risiko yang terukur; (9) Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan
transparan; (10) Pengendalian Mutu dan penegakan hukum yang efektif; (11) SDM yang berkompetensi tinggi; (12) Organisasi yang
adaptif; (13) Perwujudan TIK yang terintegrasi; (14) Pelaksanaan anggaran yang optimal.
Dalam rangka mencapai sasaran-sasaran strategis tersebut tentunya tidak terlepas dari tantangan dan pengaruh perekonomian global
dan nasional. Kementerian Keuangan telah berupaya untuk mengelola kondisi ekonomi makro yang dihadapi dan menyusun langkahlangkah kebijakan fiskal yang prudent untuk menghadapi hal tersebut. Dengan demikian, perekonomian nasional mampu tumbuh 5,7%,
nilai tukar rupiah rata-rata sebesar Rp10.452/US$, dan tingkat inflasi pada kisaran 8,38%. Dengan kondisi tersebut, nilai capaian sasaran
strategis Kementerian Keuangan pada umumnya sudah sesuai dengan yang direncanakan.
Penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan pencapaian sasaran strategis, diukur dengan Indikator Kinerja Utama (IKU). Kualitas IKU
didasarkan pada kriteria SMART-C (Specific, Measureable, Agreeable, Realistic, Time-bounded dan Continously Improved). Pada tahun
2013 telah dihasilkan 36 IKU pada level Kementerian yang merupakan komitmen kinerja Menteri Keuangan dan Wakil Menteri Keuangan.
Secara umum pencapaian IKU pada tahun 2013 sudah sesuai dengan target yang ditetapkan, kecuali beberapa IKU yang berada di
bawah target. Dari 36 IKU level Kementerian terdapat 25 IKU berstatus hijau (mencapai target), 10 IKU berstatus kuning (kurang dari
target), dan 1 IKU berstatus merah (tidak mencapai target). IKU yang tidak memenuhi target meliputi: (1) Rasio pajak terhadap PDB; (2)
Rasio utang terhadap PDB; (3) Indeks opini BPK atas LKPP; (4) Jumlah Pendapatan Negara; (5) Persentase penyerapan Belanja Negara
dalam DIPA K/L; (6) Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah; (7) Rata-rata indeks opini BPK atas LK BA 15,
LK BUN, dan LK BA 999; (8) Persentase akurasi data SIMPEG; (9) Persentase penyelesaian blueprint Transformasi Kelembagaan; (10)
Persentase penyerapan DIPA (non belanja pegawai); dan (11) Persentase penyelesaian kegiatan belanja modal dalam rencana pencairan
DIPA.
Gambar RE.1
Presiden
DPR
BPK
K/L
Masyarakat
Capaian: 92,46%
KK -3
KK-2
Customer
Perspective
Stakeholder
Perspective
Kepuasan
pengguna
Kepuasan pengguna
layanan
yangtinggi
tinggi
layanan yang
Kepatuhan
pengguna
Kepatuhan pengguna
layanan
yangtinggi
tinggi
layanan yang
Capaian:100,50
100,50%
Capaian:
%
Capaian:104,70
104,70%
Capaian:
%
PENGELOLAAN
Internal Process
Perspective
Perencanaan dan
Perumusan
KK-5
KK-6
Pendapatan
Pendapatan yang
yang optimal
optimal
Capaian:
95,28%
Capaian: 95,28
%
Capaian: 108,15%
Capaian: 108,15 %
KK -4
KK-7
KK -10
Perencanaan
Peerencanaandan
dan Rumusan
Rumusan
kebijakan
berkualitas
kebijakan yang
yang berkualitas
Pengelolaan
Kekayaan
Pengelolaan
Kekayaan
Negara
yangyang
optimal
Negara
optimal
Pengendalian
Mutu
danPePengendalian
Mutu
dan
Penegakan
hukumyang
yangefektif
efektif
negakan hukum
Capaian:
117,10%
Capaian: 117,10
%
Capaian:
%
Capaian:106,32
106,32%
Capaian: 104,15
%
Capaian:
104,15%
KK-9
SDM
Hubungan
Keuangan
Pusat
Hubungan Keuangan
Pusat
dan
dan
Daerah
profesional
Daerah
yangyang
profesional
dan
dantransparan
transparan
Capaian: 105,12%
Capaian:
102,32%
Capaian: 102,32
%
Organisasi
TIK
Anggaran
KK-14
KK-11
KK-12
KK-13
SDM
yang
SDM
yangberkompetensi
berkompetensi
tinggi
tinggi
Organisai
adaptif
Organisai yang
yang adaptif
Pelaksanaan
anggaran
Pelaksanaan anggaran
yang optimal
optimal
yang
Capaian:
103,33%
Capaian: 103,33
%
Capaian: 110,00 %
Capaian: 110,00%
Capaian:94,28
94,28%
Capaian:
%
Capaian:
107,59%
Capaian:
107,59
10
Dalam rangka menjaga dan meningkatkan efektifitas pengelolaan kinerja, selain melaksanakan pengukuran kinerja, juga telah dilaksanakan
review terhadap kontrak kinerja terhadap beberapa unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan. Review meliputi dokumen dan
informasi pendukung penyusunan kontrak kinerja seperti Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi dan misi organisasi, uraian
jabatan, tugas dan fungsi, kontrak kinerja tahun sebelumnya, Manual IKU, serta Matriks Cascading dan Alignment.
Implementasi manajemen kinerja balanced scorecard di Kementerian Keuangan telah berjalan baik walaupun masih butuh banyak
penyempurnaan. Segala upaya perbaikan terus dilakukan untuk meningkatkan kinerja organisasi lebih melejit lagi. Capaian IKU yang
masih dibawah target terus dilakukan evaluasi dan action plan yang relevan. Perbaikan peraturan atau pedoman pelaksanaan pengelolaan
kinerja juga dilakukan sehingga dapat mengakomodasi perkembangan yang terjadi atau yang belum diatur secara jelas. Untuk itu,
Kementerian Keuangan akan senantiasa berupaya dan bekerja lebih keras lagi, sehingga diharapkan di masa yang akan datang menjadi
organisasi sehat yang berkinerja tinggi (healthy and high performance organization).
11
12
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi
Mandat dan Peran Strategis
Sistematika Laporan
13
14
LATAR
BELAKANG
Kementerian Keuangan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan,
Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2013 mempunyai
tugas yang sangat strategis, yaitu mengelola keuangan dan kekayaan negara.
Dalam melaksanakan tugas pengelolaan keuangan negara tersebut, Kementerian Keuangan dituntut untuk melaksanakannya dengan
prudent, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien sesuai dengan prinsip-prinsip good governance sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Salah satu azas penyelenggaraan good governance yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah
asas akuntabilitas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akuntabilitas tersebut salah satunya diwujudkan dalam bentuk penyusunan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
LAKIP disusun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas dan fungsi selama
tahun 2013 dalam rangka melaksanakan misi dan mencapai visi Kementerian Keuangan dan sekaligus sebagai alat kendali dan pemacu
peningkatan kinerja setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan, serta sebagai salah satu alat untuk mendapatkan
masukan bagi stakeholders demi perbaikan kinerja Kementerian Keuangan. Selain untuk memenuhi prinsip akuntabilitas, penyusunan
LAKIP tersebut juga merupakan amanat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
15
holding company type di mana Direktorat-direktorat Jenderalnya melaksanakan tugas dengan ruang lingkup dan sifat yang berbeda,
dan mempunyai instansi vertikal untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi di wilayah. Bagan struktur organisasi Kementerian
Keuangan dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 1.1
SEKRETARIAT
JENDERAL
INSPEKTORAT
JENDERAL
55 STAF
STAFFAHLI
AHLI
DITJEN
ANGGARAN
DITJEN
BEA DAN CUKAI
DITJEN
PAJAK
Tingkat Pusat
Tingkat Daerah
KANWIL DJP
KPP
DITJEN
KEKAYAAN NEGARA
DITJEN
PERIMBANGAN
KEUANGAN
DITJEN
PERBENDAHARAAN
KANWIL/
KPU DJBC
KPPBC
DITJEN
PENGELOLAAN UTANG
KANWIL DJPb
KANWIL DJKN
KPPN
KPKNL
BADAN PENDIDIKAN
DAN PELATIHAN KEUANGAN
BADAN
KEBIJAKAN FISKAL
BALAI DIKLAT
Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Keuangan didukung oleh 59.285 orang pegawai dari berbagai bidang keahlian seperti
ekonomi, keuangan, bisnis, hukum, teknis, administrasi, dan lainnya. Pegawai Kementerian Keuangan tersebut ditempatkan pada 11
unit Eselon I yang tersebar ke dalam Kantor Pusat dan Kantor Vertikal di daerah. Dalam konteks perimbangan pegawai, terdapat 23,81%
pegawai di Kantor Pusat dan 76,19% pegawai di Intansi Vertikal di daerah. Distribusi pegawai yang berimbang ini amat perlu dalam
membentuk workforce yang efektif dan efisien. Selain itu Kementerian Keuangan juga mempertimbangkan komposisi dari segi jabatan,
golongan, pendidikan dan usia/generasi serta kompetensi. Komposisi yang berimbang merupakan dukungan dalam pencapaian sasaran
kinerja Kementerian Keuangan pada tahun 2013 ini sebagaimana tertuang dalam Peta Strategi Kementerian Keuangan tahun 2013 dalam
perspektif learning and growth.
16
Financial Officer (CFO), sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu
bidang tertentu pemerintahan.
Gambar 1.2
Presiden
Menteri Keuangan
Menteri Teknis
Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya
mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Dalam rangka melaksanakan kekuasaan sebagai pengelola fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
2. Menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
3. Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
4. Melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
5. Melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang;
6. Melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara (BUN);
7. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban APBN;
8. Melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Dalam rangka melaksanakan kekuasaan sebagai pengelola kekayaan negara, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Merumuskan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
2. Melaksanakan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
3. Menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang.
Peran strategis Kementerian Keuangan juga tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 20092014 yang telah menetapkan Arah Kebijakan dan Strategi Nasional yang terbagi dalam 11 (sebelas) Prioritas Nasional, yaitu: (1) Reformasi
17
Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim
Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan
Pasca-konflik; dan (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Arah kebijakan dan Strategi Nasional tersebut merupakan tahapan
kedua dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025 sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025.
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Kementerian Keuangan secara langsung mendukung 3 (tiga) Prioritas Nasional pada substansi inti
tertentu. Adapun Prioritas Nasional dimaksud yaitu: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Ketahanan Pangan; dan (3) Iklim Investasi
dan Iklim Usaha. Dalam rangka mendukung masing-masing Prioritas Nasional tersebut, Kementerian Keuangan melaksanakan Kegiatan
Prioritas. Prioritas Nasional, Substansi Inti, dan Kegiatan Prioritas yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dapat dilihat pada tabel
1.1.
Tabel 1.1
Kegiatan Prioritas Nasional Kementerian Keuangan
No
Prioritas Nasional
Substansi Inti
Kegiatan Prioritas
1.
Otonomi Daerah
Regulasi
PerumusanKebijakan,
BimbinganTeknis, Monitoring dan
Evaluasi di bidang Pendapatan
Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD).
Investasi,
Pembiayaan, dan
Subsidi
2.
Ketahanan Pangan
Logistik Nasional
Sistem Informasi
Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK)
Selain mendukung tiga prioritas nasional, Kementerian Keuangan juga mendukung Prioritas Bidang Ekonomi. Dalam RPJMN 2010-2014,
elemen-elemen utama pembangunan di bidang ekonomi yang harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh
adalah prioritas pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan stabilitas yang kokoh, serta pembangunan ekonomi yang inklusif
dan berkeadilan. Kementerian Keuangan mendukung 3 (tiga) prioritas di bidang ekonomi yaitu: (1) Prioritas Optimalisasi Pengeluaran
Pemerintah; (2) Prioritas Pengelolaan APBN yang Berkelanjutan; dan (3) Prioritas Stabilitas Sektor Keuangan. Masing-masing Prioritas
Bidang memiliki Fokus Prioritas dan Kegiatan Prioritas. Adapun Prioritas Bidang, Fokus Prioritas, dan Kegiatan Prioritas yang dilaksanakan
oleh Kementerian Keuangan dapat dilihat pada tabel I.2
18
Tabel 1.2
Kegiatan Prioritas Bidang Kementerian Keuangan
No
Prioritas Bidang
Fokus Prioritas
Kegiatan Prioritas
1.
Optimalisasi Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat
a. Pengelolaan Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat
(ABPP).
b. Pengembangan Sistem
Penganggaran.
c. Penyusunan dan
penyampaian
laporan keuangan Belanja
Subsidi dan Belanja Lain-lain
(BSBL).
Pengelolaan Perimbangan
Keuangan
a. Perumusan kebijakan,
bimbingan teknis, monitoring
dan evaluasi di bidang
pembiayaan dan kapasitas
daerah.
b. Perumusan kebijakan,
bimbingan teknis, dan
pengelolaan transfer ke
Daerah.
c. Perumusan kebijakan
bimbingan teknis, monitoring,
dan evaluasi di bidang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD).
d. Perumusan kebijakan,
pemantauan dan evaluasi di
bidang pendanaan daerah
dan ekonomi daerah,
penyusunan laporan
keuangan transfer ke daerah,
serta pengembangan sistem
informasi keuangan daerah.
Pengelolaan
Perbendaharaan Negara
a. Pembinaan Pelaksanaan
Anggaran dan Pengesahan
Dokumen Pelaksanaan
Anggaran.
b. Peningkatan Pengelolaan Kas
Negara.
c. Manajemen Investasi dan
Penerusan Pinjaman.
d. Penyelenggaraan
pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran.
a. Perumusan kebijakan,
standardisasi, bimbingan
teknis, evaluasi dan
pengelolaan Barang Milik
Negara.
b. Perumusan kebijakan,
standardisasi, bimbingan
teknis, evaluasi dan
pengelolaan Barang Milik
Negara dan Kekayaan Negara
yang Dipisahkan.
c. Perumusan kebijakan,
standarisasi, bimbingan
teknis, evaluasi dan
pengelolaan Kekayaan
Negara Lain-Lain.
19
No
Prioritas Bidang
Fokus Prioritas
Kegiatan Prioritas
2.
20
No
Prioritas Bidang
Fokus Prioritas
Kegiatan Prioritas
m. Pelaksanaan Pengawasan dan Penindakan
atas Pelanggaran Peraturan
Perundangan, Intelijen dan
Penyidikan Tindak Pidana
Kepabeanan dan Cukai.
n. Peningkatan Pengawasan
dan Pelayanan Kepabeanan
dan Cukai di daerah.
3.
Peningkatan Ketahanan
dan Daya Saing Sektor
Keuangan
a. Perumusan Peraturan,
Penetapan Sanksi dan
Pemberian Bantuan Hukum.
b. Riset Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Non
Bank serta Pengembangan
Teknologi Informasi.
c. Pemeriksaan dan penyidikan
di bidang Pasar Modal.
d. Pengaturan, Pembinaan dan
Pengawasan Bidang
Pengelolaan Investasi.
e. Pengaturan, Pembinaan dan
Pengawasan Bidang Transaksi dan Lembaga Efek.
f. Penelaahan dan Pemantauan
Perusahaan Emiten dan
Perusahaan Publik Sektor
Jasa.
g. Penelaahan dan Pemantauan
Perusahaan Emiten dan
Perusahaan Publik Sektor Riil.
h. Pengaturan dan Pengawasan
di bidang Lembaga Pembiayaan dan Penjaminan.
i. Pengaturan, Pembinaan,
dan Pengawasan bidang
Perasuransian.
j. Pengaturan, Pembinaan,
dan Pengawasan Bidang
Dana Pensiun.
21
SISTEMATIKA
LAPORAN
Sistematika penyajian LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2013 adalah sebagai berikut:
1. Ikhtisar Eksekutif
Bagian ini menguraikan secara singkat tentang tujuan dan sasaran yang akan dicapai beserta hasil capaian, kendala-kendala yang
dihadapi dalam mencapai tujuan dan sasaran, langkah-langkah yang diambil, serta langkah antisipatifnya.
2. Bab I
Bagian ini menguraikan tentang tugas, fungsi dan struktur organisasi, mandat dan peran strategis Kementerian Keuangan, serta
sistematika laporan.
3. Bab II
Bagian ini menguraikan tentang rencana strategis dan penetapan kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2013.
4. Bab III
Bagian ini menguraikan tentang pengukuran, sasaran dan akuntabilitas pencapaian sasaran strategis Kementerian Keuangan Tahun
2013.
5. Bab IV
Bagian ini menguraikan tentang kinerja-kinerja lain yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan pada Tahun 2013 yang tidak masuk
dalam Kontrak Kinerja, namun terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan.
6. Bab V
Bagian ini menguraikan tentang langkah-langkah yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dalam rangka meningkatkan
akuntabilitas kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2013.
7. Bab VI
Bagian ini menguraikan tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, permasalahan dan kendala,
serta strategi pemecahannya untuk tahun mendatang.
22
BAB 2
RENCANA STRATEGIS DAN
PENETAPAN KINERJA
Rencana Strategis
Rencana Kerja, Rencana Kerja Dan Anggaran K/L,
dan Kontrak Kinerja
Penetapan Kinerja
Pengukuran Kinerja
Perkembangan Implementasi Balance Scorecard
Tahun 2013
23
24
RENCANA
STRATEGIS
Kementerian Keuangan bertugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keuangan
dan kekayaan negara. Dalam kurun waktu 2010-2014 dengan berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai selama 5 (lima) tahun dan
memperhitungkan potensi, peluang, serta kendala yang ada maupun tantangan yang mungkin terjadi, Kementerian Keuangan dituntut
berpandangan jauh ke depan, serta berupaya meningkatkan kualitas agar lebih profesional dan mampu mencapai tingkat kesetaraan di
pasar global. Berkaitan dengan itu, setiap aparatur Kementerian Keuangan didorong untuk lebih meningkatkan integritas dan kredibilitasnya
sehingga dipercaya dan dibanggakan masyarakat serta bekerja secara profesional dan efisien untuk mendukung tercapainya masyarakat
adil dan makmur.
Dalam rangka menghadapi perubahan kondisi global dan nasional yang cepat dan dinamis, Menteri Keuangan telah menetapkan Visi
Kementerian Keuangan yaitu:
Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Terpercaya, Akuntabel, dan Terbaik di Tingkat Regional untuk
Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan
Pengertian Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara dalam visi tersebut bermakna bahwa Kementerian Keuangan sebagai lembaga/
institusi yang mempunyai tugas menghimpun dan mengalokasikan keuangan negara dan mengelola kekayaan negara. Terpercaya berarti
semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat karena pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dilakukan secara transparan, yaitu
semua penerimaan negara, belanja negara dan pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui mekanisme APBN. Akuntabel artinya
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang mengacu pada praktik terbaik internasional yang berlandaskan asas profesionalitas,
proporsionalitas, dan keterbukaan. Terbaik di Tingkat Regional berarti semakin meningkatnya kualitas perumusan kebijakan maupun
implementasinya sehingga menjadi acuan governance di Asia Tenggara.
Dalam rangka pencapaian visi, Kementerian Keuangan menetapkan 4 (empat) misi, yaitu:
1. Misi Fiskal, adalah mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati (prudent), dan bertanggung jawab.
2. Misi Kekayaan Negara, adalah mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian
hukum, transparan, efisien, dan bertanggungjawab.
3. Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, adalah mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai
penggerak dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global.
4. Misi Penguatan Kelembagaan, adalah
a. Membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat;
b. Membangun dan mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegritas tinggi, dan bertanggungjawab;
c. Membangun dan mengembangkan teknologi informasi keuangan yang modern dan terintegrasi serta sarana dan prasaranastrategis
lainnya.
Dalam rangka implementasi atau penjabaran dari misi, ditetapkan tujuan yang merupakan sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan
pada kurun waktu tertentu, yaitu satu sampai dengan lima tahun kedepan dalam tahun 2010-2014, serta menggambarkan arah strategik
organisasi, perbaikan-perbaikan yang ingin diciptakan sesuai dengan tugas dan fungsi, serta meletakkan kerangka prioritas untuk
memfokuskan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan.
Tujuan Kementerian Keuangan untuk periode 2010-2014 dikelompokkan ke dalam 6 (enam) tema pokok sebagai berikut:
1. Tujuan dalam tema pendapatan negara adalah meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan
perkembangan ekonomi dan keadilan masyarakat;
2. Tujuan dalam tema belanja negara adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan belanja negara untuk mendukung
penyelenggaraan tugas K/L dan pelaksanaan desentralisasi fiskal;
25
3. Tujuan dalam tema pembiayaan APBN adalah mewujudkan kapasitas pembiayaan yang mampu memberikan daya dukung bagi
kesinambungan fiskal;
4. Tujuan dalam tema perbendaharaan negara adalah pengelolaan perbendaharaan negara yang profesional dan akuntabel serta
mengedepankan kepuasan stakeholders atas kinerja perbendaharaan negara;
5. Tujuan dalam tema kekayaan negara adalah mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal serta menjadikan nilai
kekayaan negara sebagai acuan dalam berbagai keperluan;
6. Tujuan dalam tema pasar modal dan lembaga keuangan non bank adalah membangun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan
yang amanah dan profesional, yang mampu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak
perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global.
Untuk menjabarkan tujuan agar terukur dan dapat dicapai secara nyata, Kementerian Keuangan menyusun sasaran strategis. Sasaran
strategis Kementerian Keuangan untuk tahun 2010-2014 adalah sebagai berikut:
1. Sasaran Strategis untuk tema Pendapatan Negara adalah sebagai berikut:
a. Tingkat pendapatan yang optimal
Tingkat pendapatan yang optimal adalah tingkat pencapaian penerimaan dalam negeri sesuai dengan target sebagaimana
tercantum dalam APBN atau APBN-P.
b. Tingkat kepercayaan stakeholders yang tinggi dan citra yang meningkat yang didukung oleh tingkat pelayanan yang andal.
Tingkat kepercayaan stakeholders yang tinggi diukur berdasarkan hasil survei kepuasan stakeholders oleh lembaga independen.
Hasil survei yang positif akan meningkatkan citra Kementerian Keuangan di mata stakeholders.
c. Tingkat kepatuhan wajib pajak, kepabeanan, dan cukai yang tinggi.
Tingkat kepatuhan wajib pajak, kepabeanan, dan cukai terhadap peraturan perundang-undangan yang pada akhirnya
menunjukkan potensi pendapatan pajak, kepabeanan dan cukai.
2. Sasaran Strategis dalam Tema Belanja Negara adalah sebagai berikut:
a. Alokasi belanja negara yang tepat sasaran, tepat waktu, efektif, efisien dan akuntabel.
1) Alokasi belanja negara yang tepat sasaran adalah alokasi anggaran yang dapat mencapai kinerja program dan kegiatan
kementerian negara/lembaga yang telah ditetapkan dalam APBN.
2) Alokasi belanja negara yang tepat waktu adalah pengesahan DIPA yang dapat diselesaikan sesuai jadwal yang ditetapkan.
3) Alokasi belanja negara yang efisien adalah penuangan anggaran pada DIPA yang dapat digunakan untuk mendukung
pencapaian sasaran yang ditetapkan.
4) Alokasi belanja negara yang akuntabel adalah alokasi belanja negara yang proporsional sesuai dengan prioritas rencana kerja
pemerintah dan dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaannya.
b. Tata kelola yang tertib transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan belanja negara.
1) Tata kelola yang tertib adalah pengelolaan belanja negara sesuai dengan sistem dan prosedur yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
2) Tata kelola yang transparan dan akuntabel adalah pengelolaan belanja negara yang dilakukan secara terbuka sehingga proses
pengelolaannya dapat diketahui oleh stakeholders dan dapat dipertanggungjawabkan.
c. Peningkatan efektifitas dan efisiensi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Perimbangan Keuangan adalah pelaksanaan kebijakan hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat menjamin
keseimbangan keuangan terkait dengan besarnya beban, tanggung jawab, dan kewenangan yang dimiliki oleh pusat maupun
daerah sesuai dengan norma dan standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
d. Terciptanya tata kelola yang tertib sesuai peraturan perundang-undangan, transparan, kredibel, akuntabel, dan profesional dalam
pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
1) Tata kelola yang tertib adalah pengelolaan transfer ke daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Transparan adalah pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah dapat diakses oleh seluruh stakeholders.
26
27
2) Database yang terpusat dan memungkinkan perekaman data hanya sekali (single entry);
3) Memungkinkan what if analysis;
4) Penerapan proses bisnis yang mengacu pada best practice, dan
5) Menghubungkan secara on-line baik melalui satelit, dial-up dan sistem jaringan lainnya Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan,
30 Kanwil Ditjen Perbendaharaan, 178 KPPN dan Kementerian Negara/Lembaga.
5. Sasaran Strategis dalam Tema Kekayaan Negara adalah sebagai berikut:
a. Terlaksananya perencanaan kebutuhan barang milik negara yang optimal.
Mengkoordinasikan pemberian data dan informasi keberadaan asset idle kementerian dan lembaga dalam rangka perencanaan
pengadaan belanja modal dari kementerian dan lembaga, serta penghematan penggunaan anggaran dengan mengoptimalkan
BMN idle yang ada di kementerian dan lembaga.
b. Terlaksananya penatausahaan kekayaan negara yang handal dan akuntabel.
Penatausahaan kekayaan negara yang handal dan akuntabel adalah tercatatnya seluruh kekayaan negara/BMN dalam daftar
barang baik di kementerian dan lembaga sebagai pengguna dan di Kementerian Keuangan sebagai pengelola.
c. Terwujudnya pemanfaatan BMN berdasarkan prinsip the highest and best use.
Pemanfaatan BMN adalah upaya penggunaan secara maksimal seluruh BMN untuk mendukung penyelenggaraan tugas pokok
dan fungsi penyelenggaraan negara.
d. Tercapainya peningkatan kualitas pelayanan pengelolaan kekayaan negara.
Pelayanan pengelolaan kekayaan negara meliputi pelayanan permohonan penetapan status pemanfaatan, penggunaan,
penghapusan dan pemindahtanganan barang milik negara.
e. Terwujudnya database nilai kekayaan negara yang kredibel.
Mendapatkan, mengumpulkan dan mengolah data kekayaan negara sehingga menjadi informasi eksekutif yang utuh, tepat
waktu, akurat, dan dapat digunakan untuk proses pengambilan keputusan bagi pimpinan Kementerian Keuangan.
6. Sasaran Strategis dalam Tema Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank adalah:
a. Terwujudnya regulator bidang pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional.
b. Terwujudnya pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai sumber pendanaan yang mudah diakses, efisien dan kompetitif.
c. Terwujudnya pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai sarana investasi yang menarik dan kondusif dan sarana
pengelolaan risiko yang andal.
d. Terwujudnya industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang stabil, resilience dan liquid.
e. Tersedianya kerangka regulasi yang menjamin adanya kepastian hukum, keadilan dan keterbukaan (fairness and transparency).
f. Tersedianya infrastruktur pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang kredibel, dapat diandalkan dan berstandar internasional.
7. Sasaran Strategis Pembelajaran dan Pertumbuhan dalam menunjang pencapaian tujuan strategis 6 (enam) tema pokok adalah:
a. Terwujudnya SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi;
Sistem rekrutmen yang kredibel dan pengembangan SDM yang tertata dan berkelanjutan diharapkan menghasilkan SDM yang
berintegritas dan berkompetensi tinggi dalam mengelola Keuangan Negara.
b. Terwujudnya organisasi yang handal dan modern;
Pengembangan organisasi dilakukan berdasarkan fungsi masing-masing unit organisasi dan SOP yang dimiliki.
1)
Fungsi unit organisasi merupakan fungsi yang telah disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
2)
Standard Operating Procedures (SOP)/Prosedur Operasi Standar adalah standar yang dijadikan panduan bagaimana suatu
kegiatan dilaksanakan, sehingga akan memberikan kepastian mengenai apa yang harus dilaksanakan, waktu penyelesaian,
dan biaya (bila ada biaya). SOP yang disusun harus memenuhi prinsip efisiensi.
Good Governance adalah terciptanya tata kelola pemerintahan dalam menerapkan prinsip Good Governance (Transparansi,
Akuntabilitas, Responsiveness, Responsibilitas, Efektifitas, dan Efisien).
d. Terwujudnya dan termanfaatkannya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang terintegrasi;
Sistem informasi/aplikasi yang ada di seluruh lingkungan Kementerian Keuangan diupayakan terintegrasi didukung dengan
kualitas layanan infrastruktur yang prima.
e. Tercapainya akuntabilitas laporan keuangan;
28
Sasaran strategis ini terkait dengan product/service yang dihasilkan oleh Itjen yang difokuskan pada hasil pengawasan yang
dapat memberikan nilai tambah bagi kinerja Kementerian Keuangan melalui asistensi, monitoring dan review penyusunan
Laporan Keuangan pada unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan dan Laporan Keuangan Bagian Anggaran
Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP).
Sasaran Strategis Kementerian Keuangan di atas akan dicapai melalui 11 (sebelas) Program yang dilaksanakan oleh masing-masing unit
eselon I sesuai tugas dan fungsinya. Adapun kesebelas program tersebut adalah:
1. Program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Keuangan;
2. Program pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Keuangan.
3. Program pengelolaan anggaran Negara;
4. Program peningkatan dan pengamanan penerimaan pajak;
5. Program pengawasan, pelayanan, dan penerimaan di bidang kepabeanan dan cukai;
6. Program peningkatan pengelolaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
7. Program pengelolaan dan pembiayaan utang;
8. Program pengelolaan perbendaharaan Negara;
9. Program pengelolaan kekayaan negara, penyelesaian pengurusan piutang negara, dan pelayanan lelang;
10. Program pendidikan dan pelatihan aparatur Kementerian Keuangan dan
11. Program perumusan kebijakan fiskal.
Selain menyusun dokumen Renstra sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kementerian Keuangan juga berinisiatif
menyusun Roadmap Kementerian Keuangan. Roadmap Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014 merupakan penjabaran lebih lanjut
dari Renstra Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014, sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/
KMK.01/2010 tanggal 29 Januari 2010.
Roadmap tersebut digunakan untuk lebih menjelaskan secara detail mengenai pelaksanaan program dan kegiatan yang dilengkapi
dengan informasi mengenai milestone tahunan mulai dari awal tahun sampai dengan akhir tahun periode Renstra. Hal ini mengingat
indikator kinerja yang ada dalam Renstra hanya mencantumkan target pada tahun 2010 dan 2014, sedangkan target tahun 2011, 2012,
dan 2013 tidak dicantumkan. Dengan adanya Roadmap tersebut, harapan pimpinan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan atau
mempercepat pencapaian target dalam Renstra dapat dituangkan dalam dokumen yang bersifat tahunan sehingga pencapaian kinerja
masing-masing unit dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik.
29
RENCANA KERJA,
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN K/L, DAN
KONTRAK KINERJA
Dengan memperhatikan rancangan awal RKP dan berpedoman pada Renstra, Kementerian Keuangan menyusun Rencana Kerja (Renja)
yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan yang meliputi kegiatan pokok serta kegiatan pendukung untuk mencapai sasaran hasil
program induknya, dan dirinci menurut indikator keluaran, sasaran keluaran pada tahun rencana, prakiraan sasaran tahun berikutnya,
lokasi, pagu indikatif sebagai indikasi pagu anggaran, serta cara pelaksanaannya.
Dari Renja yang telah disusun dan setelah ditetapkannya Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Pagu Anggaran K/L, Kementerian
Keuangan menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). RKA-K/L yang memuat informasi kinerja yang meliputi program, kegiatan dan
sasaran kinerja, serta rincian anggaran.
Keterkaitan antara Renja dan RKA adalah RKA memuat informasi yang tertuang dalam Renja, termasuk informasi alokasi pendanaan
yang telah dimutakhirkan sesuai dengan kemampuan fiskal pemerintah (resources envelope). Informasi pendanaan dalam RKA memuat
informasi Rincian Anggaran, antara lain: output, komponen input, jenis belanja, dan kelompok belanja.
Kementerian Keuangan sebagai pioneer reformasi birokrasi di Indonesia telah menerapkan Balance Scorecard (BSC) sebagai metode
mengukur pencapaian target kinerja. BSC Kementerian Keuangan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/
KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan terdiri dari dari sasaran-sasaran strategis di mana setiap
sasaran strategis menjadi basis dalam penentuan Indikator Kinerja Utama (IKU). IKU dalam setiap sasaran strategis dilengkapi dengan
target, unit penanggung jawab, dan inisiatif strategis yang akan di-monitoring dan dievaluasi secara berkala. Penerapan BSC di lingkungan
Kementerian Keuangan berfungsi sebagai Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang memuat indikator kinerja dan target capaian kinerja pada
suatu tahun anggaran. IKU dan target capaiannya disusun dengan memperhatikan dokumen-dokumen perencanaan serta penganggaran
yang telah ditetapkan untuk menjamin keterkaitan antara dokumen perencanaan dan penganggaran serta RKT di lingkungan Kementerian
Keuangan. IKU dan target IKU yang dicantumkan dalam Kontrak Kinerja dapat menggunakan ukuran-ukuran yang lebih spesifik atau
target yang lebih tinggi untuk mendukung pencapaian target indikator yang ditetapkan dalam Renja.
30
PENETAPAN
KINERJA
Penetapan kinerja merupakan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan
sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010, dokumen
Penetapan kinerja merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja/kesepakatan kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan
untuk mewujudkan target kinerja tertentu berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh instansi.
Untuk menjamin tercapainya sasaran dan target secara optimal dan tepat waktu, visi dan misi Kementerian Keuangan harus menjadi acuan
sekaligus landasan penyusunan strategi. Dari visi dan misi tersebut kemudian dirumuskan sasaran strategis Kementerian Keuangan (KK).
Sasaran Strategis (SS/KK) Kementerian Keuangan tahun 2013 telah ditetapkan dan dikelompokkan sebagaimana tertuang dalam Peta
Strategi Kementerian Keuangan. Peta Strategi Kementerian Keuangan 2013 memuat 14 Sasaran Strategis. Sasaran-sasaran strategis
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang
inklusif dan berkualitas; (2) Kepuasan pengguna layanan yang tinggi; (3) Kepatuhan pengguna layanan yang tinggi; (4) Perencanaan
dan rumusan kebijakan yang berkualitas; (5) Pendapatan yang optimal; (6) Belanja yang optimal; (7) Pengelolaan kekayaan negara yang
optimal; (8) Pembiayaan yang cukup, efisien, dan risiko yang terukur; (9) Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan
transparan; (10) Pengendalian Mutu dan penegakan hukum yang efektif; (11) SDM yang berkompetensi tinggi; (12) Organisasi yang
adaptif; (13) Perwujudan TIK yang terintegrasi; (14) Pelaksanaan anggaran yang optimal.
Gambar 2.1
KK-1
Kondisi fiskal yang sehat, efektif dan
berkelanjutan untuk memperkuat
pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkualitas
Presiden
DPR
BPK
K/L
Masyarakat
Customer
Perspective
Stakeholder
Perspective
Menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara yang terpercaya, akuntabel dan terbaik di tingkat regional untuk
mewujudkan Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.
KK-2
KK-3
kepuasan pengguna
layanan yang tinggi
kepatuhan pengguna
layanan yang tinggi
Internal Process
Perspective
Pengelolaan
Perencanaan dan
Perumusan
KK-5
KK-6
Pendapatan yang
optimal
Belanja yang
optimal
Pengendalian Mutu
dan penegakan hukum
KK-4
KK-7
KK-10
Perencanaan dan
rumusan kebijakan
yang berkualitas
Pengelolaan Kekayaan
Negara yang optimal
Pengendalian Mutu
dan penegakan hukum
yang efektif
KK-8
KK-9
Pembiayaan yang
cukup, efisien dan
risiko yang terukur
Hubungan Keuangan
Pusat dan Daerah yang
profesional dan transparan
SDM
Organisasi
TIK
Anggaran
KK-11
KK-12
KK-13
KK-14
Pelaksanaan anggaran
yang optimal
Peta strategi Kementerian Keuangan menerapkan 4 perspektif, yaitu: stakeholders perspective, customers perspective, internal process
perspective dan learning and growth perspective. Stakeholders perspective berisi hal-hal yang harus dihasilkan oleh organisasi agar
dinilai berhasil oleh stakeholders. Customers perspective berisi ekspektasi dari customer dan apa yang menjadi ukuran keberhasilan atas
pelayanan yang dilaksanakan. Internal Process perspective berisi proses bisnis seperti apa yang harus dikelola untuk memberikan layanan
dan nilai-nilai kepada stakeholder dan customer. Sedangkan learning and growth perspective berisi sumber daya internal yang dimiliki
untuk melakukan perbaikan dan perubahan sehinggga dapat menghasilkan pelayanan yang dihasilkan. Dari Peta Strategi Kementerian
31
Keuangan Tahun 2013 tersebut diketahui bahwa jumlah sasaran strategis yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan mencapai
14 (empat belas) sasaran strategis (SS/KK) dan IKU yang diidentifikasi sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) IKU. Selanjutnya keterkaitan antara
sasaran strategis dan IKU dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2.1
Sasaran Strategis 1
Kondisi fiskal yang sehat, efektif dan berkelanjutan untuk
memperkuat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas
Indikator Kinerja
Satuan
Target
1.1
16
1.2
23
1.3
2,38
1.4
Indeks
4 (WTP)
1.5
Indeks
0,76
Sasaran Strategis 2
Kepuasan pengguna layanan yang tinggi
Indikator Kinerja
2.1
Satuan
Target
Indeks
Sasaran Strategis 3
Kepatuhan pengguna layanan yang tinggi
Satuan
Target
88,17
65
95
80
97
97
95
Indikator Kinerja
3.1
32
Sasaran Strategis 4
Perencanaan dan rumusan kebijakan yang berkualitas
Indikator Kinerja
4.1
4.2
Satuan
Target
Hari Kerja
10
Sasaran Strategis 5
Pendapatan yang optimal
Indikator Kinerja
Satuan
Target
5.1
Triliun
1.497,53
5.1.1
Triliun
995.214
5.1.2
Triliun
153,15
5.1.3
Triliun
349,17
Satuan
Target
Sasaran Strategis 6
Belanja yang optimal
Indikator Kinerja
6.1
90
6.2
6.3
100
Sasaran Strategis 7
Pengelolaan Kekayaan Negara yang optimal
Indikator Kinerja
7.1
7.2
Satuan
Target
Triliun
105
80
(1.600 Bidang)
Sasaran Strategis 8
Pembiayaan yang cukup, efisien dan risiko yang terukur
Indikator Kinerja
Satuan
Target
8.1
110
8.2
100
100
8.3
33
Sasaran Strategis 9
Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan
transparan
Indikator Kinerja
9.1
9.2
Satuan
Target
100
93
Sasaran Strategis 10
Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi
Satuan
Target
49,50
75
35
50
55
75
10
10.2
80
10.3
85
10.4
Indeks
Indikator Kinerja
10.1
Sasaran Strategis 11
SDM yang berkompetensi tinggi
Indikator Kinerja
Satuan
Target
11.1
87
11.2
90
11.3
50
34
11.4
100
11.5
100
Sasaran Strategis 12
Organisasi yang adaptif
Indikator Kinerja
Satuan
Target
12.1
92
12.2
90
12.3
100
12.4
55
(Risk Defined)
Sasaran Strategis 13
Perwujudan TIK yang terintegrasi
Satuan
Indikator Kinerja
Target
13.1
80
13.2
Sasaran Strategis 14
Pelaksanaan anggaran yang optimal
Indikator Kinerja
Satuan
Target
14.1
95
14.2
98
Dalam rangka menjamin tercapainya sasaran strategis agar lebih optimal, maka Kementerian Keuangan melakukan penyesuaian pada
beberapa IKU. Penyesuaian yang dilakukan diantaranya penyesuaian target IKU dan integrasi IKU. IKU yang mengalami penyesuaian
target yaitu:
1) IKU Jumlah pendapatan Negara (KK-5.1) dengan target sebesar Rp1.497,53 triliun. Target tersebut disesuaikan dengan target
pendapatan Negara yang ditetapkan dalam APBNP 2013. Adapun penyesuaian target pada masing-masing sub-IKU adalah sebagai
berikut:
a) Jumlah penerimaan pajak (KK-5.1.1) sebesar Rp995.214 triliun.
b) Jumlah penerimaan bea dan cukai (KK-5.1.2) sebesar Rp153,15 triliun.
c) Jumlah PNBP Nasional (KK-5.1.3) sebesar Rp349,17 triliun.
2) Sub IKU persentase pelaksanaan audit terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai (KK-10.1.6) dengan target
sebesar 10%. Penyesuaian ini ditetapkan melalui addendum Kontrak Kinerja Nomor 4A/KK/2013.
Sedangkan untuk IKU yang mengalami integrasi yaitu IKU persentase penyelesaian blueprint manajemen SDM (KK-11.4). IKU tersebut telah
dihapuskan melalui addendum Kontrak Kinerja Nomor 1A/KK/2013 dan diintegrasikan capaiannya dalam IKU persentase penyelesaian
35
PENGUKURAN
KINERJA
Dalam rangka mengukur capaian indikator kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2013, Kementerian Keuangan berpedoman kepada
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Pengukuran
capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagaimana telah diubah terakhir dengan KMK Nomor 336/KMK.01/2012, ditetapkan berdasarkan
ketentuan sebagai berikut:
1) Angka maksimum indeks capaian setiap IKU ditetapkan sebesar 120%;
2) Indeks capaian IKU dikonversikan menjadi maximize semua agar sebanding dengan yang lainnya;
3) Status capaian IKU yang ditunjukkan dengan warna merah/kuning/hijau, ditentukan oleh Indeks Capaian IKU;
Adapun status capaian IKU ditentukan oleh nilai indeks sebagaimana berikut:
Hijau
Kuning
Merah
Indeks Capaian =
Realisasi
x100%
Target
IKU yang memiliki polarisasi maximize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian indikator kinerja
lebih tinggi dari nilai target yang ditetapkan.
2) Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi minimize
In = In _ 1 +
In + 1 _ In _ 1
( Cn _ Cn _ 1 )
Cn + 1 _ Cn _ 1
36
Grafik :
Capaian
Indeks
Capaian
100
120
90
100
67.5
75
45
50
22.5
25
In
In-1
In+1
Ca
Ca
Cn
Cn-1
Cn+1
= Indeks capaian
= Indeks capaian dibawahnya
= Indeks capaian diatasnya
= Capaian awal
= Realisasi/Target X 100%
= Capaian, dengan ketentuan:
a. Apabila Realisasi > Target, maka:
Cn = 100 (Ca 100),
di mana Ca maksimum adalah 200%
b. Apabila Realisasi < Target, maka Cn = Ca
= Capaian dibawahnya
= Capaian diatasnya
IKU yang memiliki polarisasi stabilize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian indikator kinerja
diharapkan berada dalam suatu rentang target tertentu. Apabila hasil perhitungan nilai capaian IKU melampaui target, akan menghasilkan
nilai maksimal 120%. Karena IKU stabilize mengharapkan capaian dalam rentang tertentu di sekitar target, maka capaian yang dianggap
paling baik adalah capaian yang tepat sesuai dengan target.
37
PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI
BALANCE SCORECARD TAHUN 2013
Kementerian Keuangan telah menerapkan Balance Scorecard (BSC) sebagai implementasi pengelolaan kinerja Kementerian Keuangan
tahun 2013 melalui beberapa program dan kegiatan telah dilaksanakan, diantaranya yaitu monitoring dan evaluasi capaian kinerja setiap
triwulan dalam Rapat Pimpinan Kinerja (Rapimja) antara Menteri Keuangan dan Pimpinan Unit Eselon I. Monitoring dan evaluasi ini
dilaksanakan dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana pencapaian kinerja level Kemenkeu-Wide-One.
Kemudian, dalam rangka menjaga kualitas pengelolaan kinerja di lingkungan Kemenkeu, maka review kontrak kinerja kembali dilaksanakan
di tahun 2013. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang kedua kalinya setelah tahun 2012. Pelaksanaan kegiatan review dilakukan sejak
bulan Mei 2013 sampai dengan Juli 2013. Review Kontrak Kinerja Kementerian Keuangan merupakan kegiatan evaluasi/penelaahan
terhadap Kontrak Kinerja pada suatu satuan kerja sebagai bentuk asistensi pengelolaan kinerja. Review ini dilaksanakan dengan tujuan
untuk mendapatkan umpan balik pelaksanaan kontrak kinerja dalam rangka perbaikan pengelolaan kinerja di masa mendatang.
Review terhadap Kontrak Kinerja diupayakan menyeluruh, tidak terbatas pada Kontrak Kinerja tetapi juga terhadap dokumen atau
informasi pendukungnya, seperti Rencana Strategis (Renstra) yang memuat pernyataan visi dan misi organisasi, uraian jabatan, tugas dan
fungsi, Manual IKU, Matriks Cascading serta data pendukung laporan capaian kinerja.
Review dilakukan secara sampling dengan ruang lingkup Kontrak Kinerja Pegawai tahun 2013 dari suatu satuan kerja (satker) yang diambil
sampel. Satker yang di-review meliputi unit yang berkedudukan di kantor pusat seluruh unit eselon I dan kantor vertikal Ditjen Pajak (DJP),
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), Ditjen Perbendaharaan (DJPb), dan Ditjen Kekayaan Negara (DJKN). Jumlah unit kerja yang dipilih sebagai
sampel dari seluruh unit Eselon I adalah sebanyak 42 unit kerja, meliputi dua unit eselon II di Kantor Pusat pada masing-masing Eselon
I dan beberapa unit vertikal (Kanwil dan Kantor Pelayanan) DJP, DJBC, DJPb, dan DJKN baik di Jakarta maupun di daerah, di mana
masing-masing kota dipilih satu kantor wilayah (Unit Eselon II) atau satu kantor pelayanan (Unit Eselon III).
Selain review kontrak kinerja, juga dilakukan penyempurnaan ketentuan pengelolaan kinerja Kemenkeu sebagaimana saat ini diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Penyempurnaan dimaksud dilakukan berdasarkan masukan dari para pengelola kinerja Kemenkeu dan juga dalam rangka menyelaraskan
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil.
38
BAB 3
AKUNTABILITAS
KINERJA DAN
AKUNTABILITAS
KEUANGAN
Akuntabilitas Kinerja
Akuntabilitas Keuangan
39
40
AKUNTABILITAS
KINERJA
Pengukuran capaian kinerja Kementerian Keuangan tahun 2013 dilakukan dengan cara membandingkan antara target (rencana) dan
realisasi Indikator Kinerja Utama (IKU) pada masing-masing perspektif. Dari hasil pengukuran kinerja tersebut, diperoleh data bahwa
capaian Nilai Kinerja Organisasi (NKO) Kementerian Keuangan adalah sebesar 101,80%. Nilai tersebut berasal dari capaian kinerja pada
masing-masing perspektif sebagai berikut:
Stakeholders Perspective
Customers Perspective
Bobot: 20%
Capaian Kinerja: 18,49%
Bobot: 20%
Capaian Kinerja: 20,52%
Bobot: 30%
Capaian Kinerja: 31,65%
Selama tahun 2013, dari 36 IKU Kementerian Keuangan, terdapat 25 IKU berstatus hijau, 10 IKU berstatus kuning, dan 1 IKU berstatus
merah. IKU yang berstatus merah tersebut adalah IKU indeks opini BPK atas LKPP pada perspektif stakeholders. Perbandingan jumlah
IKU berdasarkan indeks capaian tertuang dalam grafik III.1 berikut.
27,8%
2,8%
Penjelasan capaian IKU untuk setiap sasaran strategis adalah sebagai berikut.
1. Sasaran Strategis 1: Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang
inklusif dan berkualitas (KK-1).
Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan adalah kondisi di mana penerimaan negara dapat dikumpulkan seoptimal mungkin untuk
memenuhi pengeluaran negara sehingga defisit anggaran dapat dikendalikan melalui pembiayaan yang sehat dan berkesinambungan.
Adapun pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas adalah pertumbuhan yang memberikan kesempatan pada seluruh anggota
masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses pertumbuhan ekonomi dengan status yang setara, terlepas dari latar
belakang mereka.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 5 (lima) Indikator Kinerja Utama (IKU), yang masingmasing pencapaiannya ditabulasikan dalam tabel 3.1
41
Tabel 3.1
Target
Realisasi
Kinerja
1.
16%
15,32%
95,75%
2.
23%
26,02%
86,87%
3.
2,38%*
2,30%
103,36%
4.
4 (WTP)
3 (WDP)
75%
5.
0,76
0,75
101,32%
*) Target berdasarkan APBN-P 2013, target asli berdasarkan Kontrak Kinerja adalah 1,6%
Tabel 3.2
2010
2011
2012
Malaysia
13,74
15,25
16,11
Filipina
12,15
12,38
12,88
Thailand
15,97
17,55
India
10,09
10,39
Turki
20,39
20,06
Berdasarkan tabel di atas, Indonesia memiliki rasio pajak yang lebih besar dari Filipina dan India. Rasio pajak kedua negara tersebut
masing-masing sebesar 12% dan 10%. Namun bila dibandingkan dengan negara tetangga yang memiliki pendapatan per kapita yang
lebih tinggi, seperti Malaysia, Thailand dan Turki, rasio pajak Indonesia masih di bawah ketiga negara tersebut. Rasio pajak negaranegara tersebut sudah di atas 16%, bahkan Turki sudah mencapai 20% pada tahun 2010.
42
43
Grafik 3.2
Eurozone
countries
84.9
100%
150.3
EU27
126.1
117.5
111.5
102.5
Sweden
91
Finland 51.7
37.3
86
Denmark
EU27 84.9
83.3
46.7
82.8
Netherlands 68.2
Estonia 7.3
78.3
U.K
76.3
Latvia 43
86
Belgium
76
Lithuania
40.4
102.5
75.1
Ireland
78.2
Poland
111.5
57
Germany
57
Czech Rep. 43.6
51.7
82.8
Slovakia 50.1
Luxemburg
20.9
50.1
48.1
Hungary 78.3
France 91
46.7
Portugal 117.5
Romania 35.6
43.6
Bulgaria 16.5
43
Slovenia 48.1
40.4
37.3
Spain 76
Italy
Austria
35.6
126.1
75.1
20.9
Cyprus 83.3
16.5
Greece 150.3
Malta 76.3
7.3
Sumber : thomshonreuters
44
Pelebaran defisit pada 2013 terutama dipengaruhi oleh kombinasi hal-hal sebagai berikut:
1) Kurang optimalnya penerimaan perpajakan, terutama PPh Non Migas yang dipengaruhi oleh:
a) Kebijakan fiskal untuk memperbaiki daya beli golongan berpendapatan rendah, seperti kenaikan PTKP dan beberapa intensif fiskal
untuk mendorong pertumbuhan industri strategis;
b) Dampak ketidakpastian global berdampak pada perekonomian domestik, yang selanjutnya secara langsung mempengaruhi
penerimaan perpajakan.
2) Kurang optimalnya PNBP SDA Non Migas, PNBP bagian laba BUMN, serta PNBP Lainnya terutama disebabkan karena depresiasi
nilai tukar rupiah yang cukup tajam, rendahnya lifting minyak, dan kurang optimalnya kinerja BUMN akibat perlambatan
pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun 2013.
3) Peningkatan beban belanja negara terutama peningkatan realisasi subsidi BBM yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika.
Tabel 3.3
Countries
2010
2013
Indonesia
-0,60
-1,10
NA
2,30
Malaysia
-5,20
-4,80
-4,50
-4,50
Philippines
-3,50
-1,80
-1,90
-2,30
Thailand
-0,60
-1,20
NA
-4,60
Vietnam
NA
NA
NA
-5,20
India
-3,60
-3,70
NA
-5,40
China
NA
NA
NA
25,60
Turkey
-2,90
-1,30
NA
-2,00
Mexico
NA
NA
NA
-2,60
Bila dilihat dari tabel 3.3 tersebut, nampak bahwa rasio defisit APBN terhadap PDB Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir
jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya terhitung kecil, hanya di kisaran 2%. Bila dibandingkan dengan tahun 2010
hingga 2011, Indonesia mengalami peningkatan rasio defisit APBN terhadap PDB. Peningkatan rasio defisit APBN terhadap PDB di
tahun 2013 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya juga dialami oleh hampir seluruh negara berkembang di Tabel di atas kecuali
Malaysia. Rasio defisit APBN terhadap PDB di Malaysia masih bertahan di 4,5%.
d. Indeks opini BPK atas LKPP (KK-1.4)
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) bertujuan menyediakan informasi mengenai sumber, alokasi dan penggunaan daya
keuangan negara serta posisi keuangan pemerintah. Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas LKPP merupakan tolak ukur tingkat
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Indeks pengukuran menggunakan skala 1 sampai dengan 4 sebagaimana tabel 3.4 berikut.
Tabel 3.4
Skala
Intepretasi
3,0
3,25
3,5
3,75
3,9
45
IKU ini bertujuan untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pertanggungjawaban keuangan negara. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas LKPP Tahun 2012. Pengecualian (qualification) pada LKPP Tahun
2012 meliputi empat hal sebagai berikut:
1) Untung atau rugi selisih kurs dari seluruh transaksi yang menggunakan mata uang asing belum dilakukan sesuai Buletin Teknis
Standar Akuntansi Pemerintahan terkait yang berpengaruh pada realisasi penerimaan dan/atau belanja;
2) Kelemahan penganggaran dan penggunaan Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Bantuan Sosial, yaitu:
a) Kelemahan pengendalian dan pelaksanaan revisi DIPA sehingga realisasi belanja melampaui DIPA sebesar Rp11,37 triliun untuk
selain Belanja Pegawai.
b) Belanja Barang dan Belanja Modal yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan berindikasi merugikan negara sebesar
Rp546,01 miliar, termasuk yang belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp240,16 miliar.
c) Pembayaran Belanja Barang dan Belanja Modal di akhir tahun sebesar Rp1,31 triliun tidak sesuai realisasi fisik.
d) Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp1,91 triliun masih mengendap di rekening pihak ketiga dan/atau rekening penampungan
kementerian negara/lembaga dan tidak disetor ke kas negara.
e) Penggunaan Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp269,98 miliar tidak sesuai dengan sasaran.
3) Aset eks-BPPN sebesar Rp8,79 triliun belum ditelusuri keberadaannya dan aset properti eks kelolaan PT PPA sebesar Rp1,12 triliun
belum diselesaikan penilaiannya.
4) Saldo anggaran lebih (SAL) pada akhir tahun 2012 yang dilaporkan berbeda dengan keberadaan fisik SAL tersebut sebesar Rp8,15
miliar, penambahan fisik SAL sebesar Rp33,49 miliar tidak dapat dijelaskan, serta koreksi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)
sebesar Rp30,89 miliar tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
Mengingat LKPP merupakan konsolidasian dari Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan
Bendahara Umum Negara (LK BUN), LHP LKPP juga merupakan gabungan dari LHP LKKL dan LK BUN.
Opini WDP atas LKPP 2012 tersebut sama dengan opini BPK untuk LKPP Tahun 2011. Perkembangan opini atas LKKL dan LK BUN
dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 3.5 sebagai berikut.
Tabel 3.5
Opini
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
35
45
53
67
69
30
26
29
18
22
18
83
79
84
87
94
Langkah yang telah dilaksanakan dalam rangka pencapaian target adalah melakukan pengaturan jadwal penyusunan dan penyampaian
LKPP Unaudited untuk dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait agar dapat disampaikan sesuai target yang direncanakan. Selain
itu beberapa langkah yang telah dan akan dilakukan adalah:
1) Melakukan pendampingan penyusunan LKKL;
2) Melakukan penelaahan atas LKKL;
3) Melakukan monitoring tindak lanjut atas temuan BPK tahun sebelumnya;
4) Melakukan penyuluhan SAI untuk K/L;
5) Melakukan bimbingan akuntansi dan pelaporan SAI kepada K/L melalui Tim Bimbingan Pusat;
6) Melakukan Rakernas Akuntansi.
46
( yi _ y )2 ( fi :n )
y
Dimana :
Wi = Nilai/indeks ketimpangan wilayah/provinsi/kabupaten/kota
Yi = Pendapatan perkapita masing-masing provinsi/kabupaten/kota
Y = Total pendapatan perkapita kawasan Indonesia
fi = Jumlah penduduk masing-masing provinsi/kabupaten/kota
n = Jumlah penduduk Indonesia
Besarnya indeks kesenjangan fiskal (Vw) adalah 0 < Vw < 1
Vw = 0, berarti pembangunan wilayah sangat merata
Vw = 1, berarti pembangunan wilayah sangat tidak merata (kesenjangan sempurna)
Vw~0, berarti pembangunan wilayah semakin mendekati merata
Vw~1, berarti pembangunan wilayah semakin mendekati tidak merata.
Indeks Williamson adalah suatu indeks yang menunjukkan tingkat ketimpangan antarwilayah dengan memperhatikan distribusi
pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Di mana Indeks Williamson merupakan suatu indeks yang jika menunjukkan tingkat
ketimpangan semakin mendekati 0 (nol), ini menunjukkan tingkat ketimpangan yang kecil/tingkat pemerataan yang semakin baik.
IKU ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan dana transfer daerah dalam rangka pemerataan pelaksanaan pembangunan
daerah. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang makin rendah dari
target adalah capaian yang diharapkan.
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Williamson dengan menggunakan data yang tersedia, maka untuk Pemerataan Fiskal tahun
2013 untuk Provinsi sebesar 0,83, sedangkan Pemerataan Fiskal Kabupaten/Kota sebesar 0,68. Sehingga realisasi Indeks Williamson
terkait Pemerataan Fiskal sebesar 0,75 yang didapat dari rata-rata tertimbang dari Indeks Williamson Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pencapaian tahun 2013 ini lebih baik dari target yang ditentukan yaitu 0,76.
2. Sasaran Strategis 2: Kepuasan Pengguna Layanan yang Tinggi (KK-2)
Tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi diukur berdasarkan hasil survei kepuasan pelanggan oleh lembaga independen. Hasil
survei yang positif akan meningkatkan citra Kementerian Keuangan. Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan
mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU) yang capaiannya dapat dilihat pada tabel 3.6.
Tabel 3.6
Target
Realisasi
4,02
100,50%
47
IKU ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan pengguna layanan terhadap layanan Kemenkeu. Pencapaian IKU ini menuju kepada
capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Indeks Kepuasan Pengguna Layanan merupakan nilai kepuasan pelanggan atas layanan unggulan Kemenkeu terhadap pihak eksternal.
Data capaian untuk unit Eselon I diperoleh dari survei independen yang dilakukan oleh Pihak Ketiga. Pada Tahun 2013 ini, pihak ketiga
yang ditunjuk adalah Tim Peneliti dari IPB. Lingkup survei adalah pelanggan atas seluruh pelayanan Kementerian Keuangan kepada pihak
eksternal. IKU ini diukur atas layanan unggulan yang diberikan oleh Setjen, DJA, DJP, DJBC, DJPB, DJKN, DJPK, Itjen, DJPU dan BPPK.
Survei dilaksanakan di 6 (enam) kota di Indonesia yaitu Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Balikpapan dan Makassar mulai bulan Oktober
sampai dengan November 2013.
Survei Indeks Kepuasan pengguna layanan diukur menggunakan 11 indikator utama, yaitu Keterbukaan, Informasi Persyaratan,
Kesesuaian Prosedur, Sikap Petugas, Keterampilan Petugas, Lingkungan, Akses terhadap Layanan, Waktu Penyelesaian, Kesesuaian
Pembayaran, Pengenaan Sanksi, dan Tingkat Kepuasan. Metode pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dan in depth interview.
Survei dilakukan terhadap 2.847 responden.
Berdasarkan sumber informasi yang selama ini diakses menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa sumber
informasi yang diakses adalah televisi yaitu ada sebanyak 70,8% responden, kemudian diikuti dengan surat kabar (68,7%) dan web
lembaga (65,7%). Web lembaga merupakan sumber informasi yang banyak diakses responden DJA, DJPb, DJPK, Setjen, Itjen, DJPU
dan BPPK. Sementara itu, untuk responden DJP dan DJBC sebagian besar responden mengakses sumber infomasi dari televisi dan
surat kabar. Berdasarkan jenis pekerjaan responden yang berprofesi PNS/TNI/Polri sebagian besar mengakses sumber informasi dari
web lembaga. Sementara responden yang berprofesi pengusaha/wiraswasta sebagian besar mengakses informasi dari televisi, dan untuk
yang berprofesi karyawan swasta lebih banyak mengakses informasi dari surat kabar dan televisi.
Hasil analisis kinerja layanan, secara umum menunjukkan tingkat kepuasan stakeholders terhadap layanan Kementerian Keuangan cukup
tinggi. Hal ini dicerminkan dengan skor yang masih di atas 3,5 yaitu 4,02 dari skala likert 1-5. Kisaran skor kinerja layanan untuk setiap unit
eselon satu berada di antara 3,85 untuk DJBC dan 4.22 untuk Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) sebagaimana tabel 3,7
skor kinerja layanan berdasarkan wilayah menunjukkan pergeseran dari tahun sebelumnya, di mana Makasar menempati skor tertinggi
yaitu 4,20, disusul kemudian dengan Surabaya yang mencapai skor 4,06.
Tabel 3.7
Nilai Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Per Unit Eselon I
No
Unit Eselon I
Nilai Indeks
Sekretaris Jenderal
4.02
3.88
3.90
3.85
4.09
4.13
4.22
4.04
Itjen
3.92
10
BPPK
3.98
Dari segi unsur layanan, unsur layanan yang dinilai responden mempunyai kinerja paling tinggi adalah kesesuaian biaya dengan aturan/
ketentuan yang ditetapkan dengan skor rata-rata 4,16. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Kementerian Keuangan terkait biaya sudah
cukup baik. Dengan kata lain, biaya yang terjadi dalam pengurusan layanan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Sementara unsur
pelayanan yang nilainya masih rendah adalah unsur waktu penyelesaian layanan yang dinilai responden masih kurang sesuai dengan
janji layanan sehingga hanya mendapat skor 3,88. Skor kinerja layanan Kemenkeu berdasarkan unsur layanan dapat dilihat pada grafik
3.3 berikut.
48
Grafik 3.3
3,97
Lingkungan pendukung
3,96
3,94
4,1
3,94
Sikap petugas/pegawai
3,98
4,16
3,95
3,92
Keterbukaan/Kemudahan akses
terhadap informasi
3,97
3,88
3.7
3.8
3.9
4.1
4.2
Dari hasil analisis Biplot diperoleh kinerja DJPK, DJKN, DJPb, DJPU, dan Setjen relatif lebih baik, yang dicirikan dengan unsur layanan
yaitu kesesuaian prosedur, waktu penyelesaian, lingkungan pendukung, sikap petugas keterbukaan dan informasi persyaratan, serta
kemampuan/keterampilan petugas. Sementara berdasarkan wilayah penelitian, menunjukkan Makasar, Surabaya, dan Batam relatif
dinilai lebih baik oleh stakeholders.
Dari hasil analisis IPA (Importance Performance Analysis) menunjukkan bahwa unsur layanan yang sangat penting untuk diperbaiki (area
of improvement) adalah waktu penyelesaian, dan kemampuan/keterampilan petugas. Kedua unsur layanan ini menjadi unsur layanan
yang perlu mendapat prioritas ditingkatkan untuk memenuhi harapan stakeholders. Sementara dari hasil analisis IPA dinamis (2013-2012)
terlihat bahwa waktu penyelesaian (X8), meskipun sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu, namun posisinya masih dinilai kurang
dari harapan (masih berada di kuadran 1). Sedangkan unsur layanan (X9), sikap petugas (X4), keterbukaan (X1), dan informasi persyaratan
(X2) kinerjanya dinilai semakin baik, dan sudah sesuai harapan responden.
Hasil analisis procrustes menunjukkan bahwa untuk konfigurasi 2012-2013, unit eselon satu yang mengalami perubahan signifikan adalah
DJPU, sementara berdasarkan unsur layanan yang menunjukkan perubahan signifikan adalah lingkungan pendukung, sikap petugas dan
akses kantor layanan. Sementara untuk konfigurasi 2013-2011, unit eselon 1 yang mengalami perubahan signifikan adalah DJA, Setjen,
BPPK, DJPK, dan DJKN.
Hasil analisis Structural Equation Modeling (SEM) menunjukkan bahwa pembentuk kinerja input direfleksikan dengan baik oleh peubah
manifest INP1 (keterbukaan/kemudahan akses informasi) dan INP2 (informasi persyaratan dan prosedur). Kinerja proses direfleksikan
dengan baik oleh peubah manifest PRO2 (kesesuaian prosedur dengan ketentuan yang ditetapkan). Sementara kinerja output direfleksikan
dengan baik oleh peubah manifest OUT1 (waktu penyelesaian).
Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa kepuasan stakeholders Kementerian Keuangan RI secara umum dipengaruhi oleh kepuasan
kinerja input, kepuasan kinerja proses dan kepuasan kinerja output. Namun kinerja input lebih dominan mempengaruhi kepuasan
stakeholders secara keseluruhan. Oleh karena itu meningkatkan kualitas kinerja input terutama informasi persyaratan (INP2) keterbukaan/
49
kemudahan akses terhadap informasi (INP2) dan kinerja proses yaitu, sikap petugas (PRO2), kesesuaian prosedur dengan ketentuan
yang ditetapkan (PRO1), dan kemampuan dan keterampilan petugas (PRO3) perlu menjadi perhatian.
Dibandingkan tahun lalu, kepuasan stakeholders Kemenkeu naik 0,11 poin dari nilai 3,91 pada tahun 2012. Perkembangan indeks
kepuasan pengguna layanan Kemenkeu selama 4 tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.4 berikut.
Grafik 3.4
Perkembangan Skor Kepuasan Stakeholders Terhadap Layanan Kemenkeu 2010-2013
4.05
4.02
3.95
3.9
3.91
3.87
3.86
3.85
3.8
3.75
3.8
2010
2011
2012
2013
Tabel 3.8
Target
Realisasi
Kinerja
88,17%
92,32%
104,70%
65%
60,86%
93,63%
95%
96,92%
102,02%
80%
100%
120%
97%
99,36%
102,43%
97%
96,75%
99,74%
95%
100%
105,26%
50
Uraian mengenai keenam sub IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.
a. Persentase tingkat kepatuhan formal WP (KK-3.1.1)
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) adalah SPT PPh Tahunan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun
pajak yang disampaikan oleh WP (WP Badan dan WP OP) pada tahun berjalan.
WP Terdaftar Wajib SPT adalah WP yang terdaftar dalam administrasi per tanggal 31 Desember tahun sebelumnya meliputi WP Orang
Pribadi (WP OP) dan WP Badan dengan status domisili/pusat (kode status NPWP 000) yang mempunyai kewajiban menyampaikan
SPT Tahunan PPh. Dalam hal ini tidak termasuk bendahara pemerintah, joint operation, cabang/lokasi, WP Pajak Penghasilan Tertentu
sesuai dengan pasal 2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu
Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan, dan sejenis lainnya yang dikecualikan atau
tidak mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Presiden RI
bersama
sejumlah pejabat
tinggi negara
menyampaikan
SPT Pajak dengan
disaksikan Menteri
Keuangan RI
(19/3)
SPT Tahunan PPh yang diterima adalah SPT Tahunan PPh Lengkap yaitu SPT yang semua elemen SPT Induk dan lampirannya
telah diisi dengan lengkap, SPT Induk telah ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya, dan telah dilengkapi dengan lampiran
khusus, serta keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan serta dalam hal e-SPT, e-SPT dapat diproses dalam sistem Informasi
Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Persentase tingkat kepatuhan formal WP dihitung dengan membandingkan antara jumlah SPT PPh tahunan yang diterima dengan
jumlah WP terdaftar wajib SPT.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan SPT PPh Tahunan. Pencapaian
indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
51
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Keuangan menyusun strategi dan kebijakan yang dilaksanakan di seluruh kantor pelayanan pajak,
guna mendukung pencapaian target yang telah ditetapkan. Strategi peningkatan kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan antara lain:
1) Pemanfaatan database kependudukan (NIK/e-KTP) untuk WP OP;
2) Pemanfaatan data SISMINBAKUM untuk WP Badan;
3) Registrasi Ulang/Pencabutan WP Bendahara dalam rangka implementasi RPMK Pengawasan Bendahara. Setiap bendahara akan
ada kewajiban penyampaian realisasi transaksi harian;
4) Pembenahan data Wajib Pajak Non Efektif;
5) Tindak lanjut data SPN, dari sampel terdapat 40% WP yang tidak menyampaikan SPT Tahunan.
Selama 4 tahun terakhir (2010-2013) terjadi peningkatan jumlah penyampaian SPT Tahunan PPh walaupun secara persentase rasio
kepatuhan terjadi penurunan di tahun 2011 dan 2012 dibandingkan dengan tahun 2010.
Tabel 3.9
Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun 2009 s.d. 2013
Periode
Jumlah WP terdaftar
Target SPT
Jumlah SPT
Rasio
Tahun 2010
Tahun 2011
14.101.933
8.108.612
8.145.866
57,76%
17.694.317
11.058.948
9.332.626
52,74%
Tahun 2012
17.659.278
11.037.049
9.447.398
53,50%
Tahun 2013
17.731.736
11.525.628
10.790.650
60,86%
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013, jumlah WP terdaftar wajib SPT Tahunan PPh per 31 Desember
2012 sebanyak 17.731.736. Persentase target penerimaan SPT Tahunan adalah 65%, sehingga target penyampaian SPT Tahunan
PPh pada tahun 2013 sebanyak 11.525.628.
Penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 adalah 10.790.650 SPT atau sebesar 60,86% dari target
65%. Dengan demikian pencapaiannya adalah sebesar 93,63%. Tidak tercapainya target yang telah ditetapkan pada kontrak kinerja
disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1) Hasil penelitian Master File Wajib Pajak (MFWP) Orang Pribadi, banyak terdapat WP dengan identitas ganda;
2) Terdapat WP yang telah mempunyai NPWP namun belum masuk dalam MFWP sehingga menyulitkan dalam pengadministrasiannya;
3) Data alamat yang ada di database SIDJP/SIPMOD kurang valid;
4) Terdapat WP yang telah mempunyai NPWP namun belum masuk dalam MFWP sehingga menyulitkan dalam pengadministrasiannya;
5) Strategi Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak kurang efektif dan efisien, seperti Pemetaan Wajib Pajak berdasarkan risiko
kepatuhannya dan studi mengenai Perilaku Wajib Pajak belum ada; dan
6) Wajib Pajak tidak/belum melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar secara voluntary dikarenakan Wajib Pajak kurang
memahami ketentuan/kewajiban di bidang perpajakan dan proses pemenuhan kewajiban perpajakan yang belum cukup sederhana
bagi Wajib Pajak.
Guna menanggulangi permasalahan-permasalahan yang terjadi selama tahun 2013, Kementerian Keuangan telah mengambil langkahlangkah penanganan pencapaian indikator kinerja ini. Langkah-langkah tersebut antara lain:
1) Pemanfaatan data PT Taspen dan BPJS,
2) Implementasi SPT prepopulated WP OP Karyawan dan Pensiunan,
3) Integrasi NIK dan NPWP untuk memudahkan pemantauan terhadap setiap aktivitas ekonomi WP dalam rangka mengetahui
kepatuhan WP,
4) Penyusunan Model Manajemen Kepatuhan Wajib Pajak berbasis risiko,
5) Penyusunan strategi/kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak melalui pemanfaatan data pihak ketiga, dan
6) Penyusunan strategi/kebijakan mengenai Registrasi Wajib Pajak untuk memperluas Basis Pemajakan
52
Kementerian Keuangan juga memiliki inisiatif strategis yang mendukung pencapaian indikator kepatuhan. Inisiatif tersebut yakni
penyempurnaan drop box yang memperbaiki sistem penerimaan SPT Tahunan PPh melalui aplikasi drop box dan perancangan formulir
yang user friendly. Penyederhanaan formulir SPT tersebut diselesaikan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-26/PJ/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya.
Sesuai dengan hasil capaian tahun 2013, telah disusun strategi pelaksanaan guna mendukung pencapaian target tahun 2014.
Beberapa strategi yang berhasil dilaksanakan pada tahun 2013 akan kembali diaplikasikan pada tahun 2014. Action plan yang akan
dilaksanakan untuk tahun 2014 antara lain:
1) Teningkatkan penyampaian SPT Tahunan melalui e-filing dengan mempermudah prosedur dan memperbaiki aplikasi e-filing;
2) Pemanfaatan data PT Taspen dan BPJS;
3) Implementasi SPT Tahunan prepopulated WP orang pribadi karyawan dan pensiunan;
4) Integrasi NIK dan NPWP untuk memudahkan pemantauan terhadap setiap aktivitas ekonomi Wajib Pajak dalam rangka mengetahui
kepatuhan wajib pajak;
5) Penyusunan strategi/kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui pemanfaatan data pihak ketiga;
6) Penyuluhan kepada WP tentang kewajiban penyampaian SPT melalui e-filing secara masif; dan
7) Bekerja sama dengan instansi terkait untuk mewajibkan tax clearence sebagai syarat perolehan beberapa pelayanan umum (misal
pembuatan paspor, pemberian kredit, dll).
Strategi tersebut diharapkan dapat diterapkan dengan baik dan dapat membantu pencapaian target lebih baik dari tahun 2013.
b. Persentase pengguna jasa kepabeanan yang tidak diblokir (KK-3.1.2)
Pemblokiran adalah tindakan pejabat bea dan cukai untuk menolak memberikan pelayanan kepabeanan terhadap Pengguna Jasa
sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, yang dilakukan mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal terakhir bulan yang dilaporkan.
Pengguna Jasa adalah importir di bidang kepabeanan yang telah memperoleh nomor registrasi importir (NIK). Perizinan adalah
perizinan yang ditetapkan pejabat bea dan cukai kepada pengusaha sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku.
Jumlah perizinan yang digunakan sebagai data capaian kinerja adalah jumlah data sebagaimana tercantum dalam database registrasi
kepabeanan. Pengukuran realisasi IKU ini dengan cara membandingkan antara jumlah pengguna jasa kepabeanan yang tidak diblokir
dengan jumlah pengguna jasa kepabeanan yang mendapatkan izin.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepatuhan pengusaha kepabeanan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kepabeanan. Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di
mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Realisasi IKU ini tahun 2013 adalah sebesar 96,92% dari target yang ditetapkan sebesar 95% sehingga nilai capaiannya adalah
102,02%.
c. Persentase Penerapan KPJM oleh penanggung jawab program (KK-3.1.3)
Kerangka Pembangunan Jangka Menengah (KPJM) adalah pendekatan penyusunan anggaran berdasarkan kebijakan, dengan
pengambilan keputusan yang menimbulkan implikasi anggaran dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran. Dalam rangka
penyusunan RKA-K/L dengan pendekatan KPJM, K/L perlu menyelaraskan kegiatan/program dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) dan rencana Strategi (Renstra) K/L, yang pada tahap sebelumnya juga menjadi acuan
dalam menyusun RKP dan Renja K/L.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mengukur kepatuhan satker dalam mengisi alokasi anggaran pada kolom isian KPJM aplikasi RKA
KL. Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi
dari target adalah capaian yang diharapkan.
53
Capaian indikator kinerja ini diperoleh melalui pengisian kolom perkiraan kebutuhan anggaran sampai dengan tahun 2016 di dalam
aplikasi RKAKL oleh satker. Dari sekitar total 24.000 satker pada tahun 2012, sebanyak 22.265 satker telah mengisi KPJM sehingga
diperoleh capaian kinerja IKU sebesar 92,77%. Adapun pada tahun 2013 ini sebanyak 319 penanggung jawab program seluruhnya
telah mengisi alokasi anggaran pada kolom KPJM di aplikasi RKAKL sehingga indikator kinerja ini terealisasi 100%.
Selanjutnya, untuk meningkatkan kepatuhan K/L atas penerapan KPJM ini akan dilakukan beberapa rencana aksi, yaitu :
1) Melakukan monitoring dan evaluasi penerapan KPJM oleh penanggung jawab program;
2) Melakukan langkah-langkah perbaikan
d. Persentase rekonsiliasi realisasi APBN yang andal dan tepat waktu (KK-3.1.4)
Persentase UAPPA-W (Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah) yang melakukan rekonsiliasi adalah UAPPA-W yang
mengirimkan data laporan keuangannya (SAI) untuk dibandingkan dengan data laporan keuangan pemerintah pusat (SAU). Tepat
waktu dan andal adalah UAPPA-W melakukan rekonsiliasi dengan kanwil sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam ketentuan
dan sampai dengan tidak ada perbedaan antara data SAU dan data SAI.
Pengisian target disesuaikan dengan siklus dan karakteristik laporan keuangan yang bersifat historical report artinya, untuk data
realisasi triwulan I tahun berjalan, merupakan data realisasi yang bersumber dari triwulan IV tahun sebelumnya.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyusunan laporan keuangan Kementerian/Lembaga. Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
Capaian sampai dengan triwulan IV tahun 2013 adalah sebesar 99,36% dengan waktu penyelesaian rekonsiliasi tepat waktu yaitu 9
hari kerja setelah triwulan bersangkutan berakhir.
e. Persentase penyampaian APBD tepat waktu (KK-3.1.5)
Penyampaian APBD tepat waktu adalah penyampaian APBD sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan, yaitu sampai dengan akhir kuartal I (31 Maret). Pemerintah Daerah (Pemda) wajib mengirim APBD yang telah ditetapkan
sebagai wujud kinerja Pemda dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepatuhan Pemda dalam menyampaikan APBD dan menjaga kesinambungan
pembangunan daerah. Pencapaian indikator ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang
makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah dinyatakan
bahwa batas waktu penyampaian APBD adalah 31 Januari. Apabila Pemerintah Daerah tidak menyampaikannya hingga 1 (satu) bulan
setelah batas waktu yang ditetapkan maka diberikan peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan, dan apabila hingga 2 (dua) bulan
setelah diterbitkannya peringatan tertulis masih belum menyampaikan APBD-nya maka Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa
penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU).
Dengan diterbitkannya PP Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2005 tentang
Sistem Informasi Keuangan Daerah mengakibatkan beberapa perubahan yaitu:
1) Apabila Pemerintah Daerah belum menyampaikan APDB-nya hingga batas waktu yang telah ditetapkan maka diberikan peringatan
tertulis oleh Menteri Keuangan;
2) Peringatan tertulis tersebut diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari setelah batas waktu;
3) Dalam hal Pemerintah Daerah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya peringatan tertulis masih belum
menyampaikan APBD-nya, Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan DAU.
54
Berdasarkan hasil pantauan Kementerian Keuangan, dalam kurun waktu tahun 2007-2010 menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah
semakin baik dalam menyampaikan Perda APBD-nya kepada Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari tahun 2007 sebanyak 5 daerah
dikenakan sanksi penundaan Dana Perimbangan, dalam hal ini Dana Alokasi Umum (DAU). Tahun 2008 menurun menjadi hanya 3
daerah yang dikenakan sanksi, tahun 2009 juga sebanyak 3 daerah, dan tahun 2010 menurun menjadi hanya 2 daerah saja. Dengan
berlakunya PP Nomor 65 Tahun 2010 maka pada tahun 2011 pengenaan sanksi dilakukan lebih cepat daripada tahun sebelumnya,
di mana sebanyak 19 daerah dikenakan sanksi penundaan DAU. Sedangkan pada tahun 2012 ada 16 daerah yang dikenakan sanksi
penundaan DAU.
Untuk tahun 2013 terdapat 17 daerah yang terlambat menyampaikan APBD dan dikenakan sanksi berupa penundaan penyaluran
DAU sebesar 25%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 3.10 berikut.
Tabel 3.10
Jumlah Daerah yang Dikenakan Sanksi
Tahun
Jumlah yang
Dikenakan
Sanksi
2007
Bulan Mei
2008
Bulan Mei
2009
Bulan Mei
2010
Bulan Mei
2011
Bulan April
19
2012
Bulan April
16
2013
Bulan April
17
Target yang ditetapkan untuk IKU yaitu Penyampaian APBD Tepat Waktu sebesar 97% pada triwulan 1. Adapun yang dimaksud
tepat waktu adalah daerah yang tidak dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU.
Ketepatan waktu penyampaian APBD dipengaruhi oleh situasi serta kondisi politik di daerah antara Pemerintah Daerah dan DPRD
sebagai counterpartner dalam menetapkan APBD.
Berdasarkan monitoring atas penyampaian APBD TA 2013, sampai dengan tanggal 20 Maret 2013 (batas waktu penyampaian APBD
TA 2013) masih terdapat 17 (tujuh belas) daerah (daftar terlampir) yang terlambat menyampaikan APBD TA 2013 sehingga dikenakan
sanksi berupa penundaan penyaluran DAU sebesar 25% dari DAU setiap bulan dan efektif berlaku mulai bulan April tahun 2013.
Dari 524 Pemerintah Daerah berarti hanya 507 Pemerintah Daerah yang menyampaikan APBD tepat waktu. Dari target IKU Direktur
atas Penyampaian APBD Tepat Waktu sebesar 97%, berarti hanya tercapat 96,75%, apabila dibulatkan menjadi 97%.
Pada tanggal 18 Juni 2013 posisi APBD yang telah diterima mencapai 100% sehingga kepada ke 17 daerah tersebut di atas telah
dikeluarkan KMK Pencabutan Sanksi (terlampir) dan DAU yang ditunda telah disalurkan kepada ke 17 daerah tersebut di atas.
55
Tabel 3.11
Daftar Daerah yang Dikenakan Sanksi dari Tahun 2009 s.d. 2013
No. 2009
2010
2011
2012
2013
Kab. Nias
Kab. Puncak
Prov. NAD
Kab. Blora
Kab. Bulukumba
Kab. Bireuen
Kab. Dairi
Kab. Merauke
Kota Sabang
Kab. Kepahiang
Kota Langsa
Kab. Langkat
Kab. Blora
Kab. Kudus
Kab. Lumajang
Kab. Langkat
Kab. Lebong
Kota Singkawang
Kab. Banggai
Kepulauan
Kab. Batubara
Kab. Pesawaran
Kab. Jeneponto
10
Kab. Blora
Kab. Alor
11
Kota Bekasi
Kab. Pati
12
Kab. Blora
Kab. Alor
Kab. Tolikara
13
Kab. Jember
Kab. Sarmi
14
Kab. Jeneponto
Kab. Mappi
Kab. Mappi
Kab. Soppeng
Kab. Puncak
Kab. Mamberamo
Tengah
16
Kab. Puncak
17
Kab. Mappi
18
Kab. Mamberamo
Tengah
19
Kab. Nduga
15
Kab. Lingga
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.5 berikut. Dari grafik tersebut terlihat
bahwa meskipun untuk tahun 2013 IKU ini tidak mencapai target, namun target yang ditentukan telah lebih tinggi dari pada target 2
tahun sebelumnya.
Grafik 3.5
Perkembangan Capaian Persentase Penyampaian APBD Tepat Waktu
98%
96%
97.00%
96.75%
97%
96.37%
94%
92%
90%
Target
Realisasi
90%
90%
88%
86%
2011
2012
2013
56
Tabel 3.12
Perkembangan Capaian Persentase Kepatuhan Pelaporan BMN oleh K/L
2011
2012
2013
Target
Realisasi
Target
Realisasi
Target
Realisasi
85%
94,8%
111,53
95%
99,22%
104,44
95%
100%
105,26
Realisasi capaian IKU ini meningkat dari tahun 2011 sebesar 94,8% menjadi 99,22% pada tahun 2012 dan 100% pada tahun 2013.
Realisasi sebesar 100% diperoleh dari kepatuhan penyampain Laporan Barang Pengguna (LBP) semester I tahun 2013. Dari 89 K/L
yang wajib menyampaikan LBP paling lambat tanggal 25 Juli 2013, seluruh K/L telah menyampaikan LBP dengan tepat waktu.
57
Pencapaian target tersebut didukung oleh pelaksanaan pembinaan dan bimbingan teknis mengenai penatausahaan BMN yang
dilakukan kepada seluruh K/L. Kegiatan tersebut dapat meningkatkan kesadaran K/L untuk menyampaikan laporan BMN tepat waktu.
Rencana aksi berikutnya adalah melanjutkan pelaksanaan pembinaan, rapat koordinasi, dan bimbingan teknis penatausahaan dan
pengelolaan BMN kepada Kementerian/Lembaga dalam rangka penyampaian LBP tahunan tahun 2013.
4. Sasaran Strategis 4: Perencanaan dan rumusan kebijakan yang berkualitas (KK-4)
Perencanaan adalah pemilihan atau penetapan tujuan dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem,
anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Rumusan adalah pernyataan atau simpulan tentang asas, ketetapan, dan
sebagainya yang disebutkan dengan kalimat yang ringkas dan tepat.
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak. Kebijakan yang berkualitas mencakup kebijakan pemerintah mengenai pajak, utang negara (public
debt), pengadaan dan perbelanjaan dana pemerintah dan lain yang sejenis yang berdampak pada perekonomian secara keseluruhan.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU), sebagaimana
ditabulasikan dalam tabel 3.13 berikut.
Tabel 3.13
2.
Target
Realisasi
Kinerja
6%
3,64%
120%
10 hari kerja
112,90%
Tabel 3.14
Capaian IKU Deviasi Proyeksi Indikator Kebijakan Fiskal Tahun 2013
T/R
Q1
Q2
Q3
Q4
6%
6%
6%
6%
6%
Realisasi
5,33%
3,95%
2,54%
2,74%
3,64%
Indeks capaian
111%
152%
157%
154%
139%
Target
V/C
Ket.
P/M
Min/Aver
58
Kementerian Keuangan mempertimbangkan berbagai faktor baik eksternal maupun internal, antara lain (i) seberapa dalam dan
lama krisis perekonomian global akan berlangsung; (ii) efektivitas kerja sama global dalam mengatasi krisis dunia; dan (iii) efektivitas
langkah-langkah kebijakan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi dan memulihkan perekonomian nasional, perkembangan
harga minyak dunia dan faktor lainnya. Polarisasi sub IKU ini adalah minimize, artinya nilai realisasi angka deviasi proyeksi indikator
ekonomi makro diharapkan lebih kecil dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan.
Capaian sub IKU deviasi proyeksi indikator ekonomi makro kuartalan dan tahunan 2013 adalah sebagaimana tabel 3.15 berikut.
Tabel 3.15
T/R
Q1
Q2
Q3
Q4
Target
6%
6%
6%
6%
6%
Realisasi
5,33%
3,95%
2,54%
2,74%
3,64%
Indeks capaian
111%
152%
157%
154%
139%
V/C
Ket.
P/M
Min/Aver
Realisasi deviasi proyeksi indikator ekonomi makro pada tahun 2013 (4,2%) lebih kecil dari target yang ditetapkan (6%), artinya
proyeksi indikator ekonomi lebih baik karena nilai realisasinya berada di bawah deviasi yang telah ditargetkan. Selain itu, capaian
kuartalan juga selalu lebih baik dari target kuartalan yang telah ditetapkan. Perhitungan asumsi di atas dilakukan dengan
menggunakan ModeI Auto Regressive Integrated Moving Average (ARIMA).
Apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2012, terlihat bahwa capaian tahun 2013 lebih rendah daripada tahun 2012. Hal
ini disebabkan oleh kondisi perekonomian yang lebih fluktuatif pada tahun 2013 sehingga target pun direvisi dari 5% pada tahun
2012 menjadi lebih besar yaitu 6% pada tahun 2013. Tabel perbandingannya adalah sebagaimana tabel 3.16 berikut:
Tabel 3.16
Perbandingan Kinerja Deviasi Proyeksi Indikator Ekonomi Makro Tahun 2012 dan Tahun 2013
Indikator Kinerja
Tahun 2012
Tahun 2013
Target
Realisasi
Target
Realisasi
5%
2,52%
6%
4,2%
Deviasi proyeksi
indikator ekonomi
makro
Deviasi Proyeksi Indikator Ekonomi Makro dijabarkan lebih lanjut lagi ke dalam 4 (empat) komponen yang lebih kecil yaitu deviasi
proyeksi pertumbuhan ekonomi, deviasi proyeksi inflasi, deviasi proyeksi nilai tukar, dan deviasi proyeksi suku bunga SPN. Nilai
keempat komponen tersebut adalah sebagaimana tabel 3.17 berikut.
Tabel 3.17
Deviasi Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, Nilai Tukar, dan Suku Bunga
Indikator Kinerja Utama
Target
Realisasi
Deviasi
5,8%
5,6%
3,44%
0,23%
0,25%
10,14%
11633
11689
0,48%
4,70%
4,50%
4,20%
59
Tabel 3.18
Capaian sub IKU Deviasi Proyeksi APBN Tahun 2013
T/R
Q1
Q2
Q3
Q4
Target
6%
6%
6%
6%
6%
5%
3,42%
2,96%
0,92%
3,08%
116,7%
175%
150%
185%
149%
Realisasi
Indeks capaian
V/C
Ket
P/M
Min/Aver
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa capaian deviasi proyeksi APBN selama tahun 2013 selalu berada di bawah target, baik
kuartalan maupun tahunan, artinya nilai proyeksi dianggap telah tepat.
60
Deviasi Proyeksi APBN dijabarkan lebih lanjut lagi ke dalam 2 (dua) komponen yang lebih kecil yaitu deviasi proyeksi penerimaan
pajak dan deviasi proyeksi belanja K/L. Nilai kedua komponen tersebut adalah sebagaimana tabel 3.19 berikut.
Tabel 3.19
Deviasi Proyeksi Penerimaan Pajak dan Deviasi Proyeksi Belanja KL
IKU
Target
Realisasi
Deviasi
286.171,80
287.828,40
0,58%
249.120,00
252.231,81
1,25%
61
Tabel 3.20
Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pendapatan yang Optimal
Target
Realisasi
Kinerja
Rp1.497,53 T
Rp1.426,92 T
95,28%
Rp995.214 T
Rp921.269 T
92,57%
Rp153.150 T2)
Rp155,71 T
101,67%
Rp349,16 T3)
Rp349,94 T
100,22%
1)
Ket:
1) Target berdasarkan APBN-P 2013, target semula Rp1.042.285 T
2) Target berdasarkan APBN-P 2013, target semula Rp150,708 T
3) Target berdasarkan APBN-P 2013, target semula Rp332,195 T
Uraian mengenai ketiga sub IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.
a. Jumlah penerimaan pajak (KK-5.1.1)
Secara umum, komponen perpajakan yang termasuk di dalam penerimaan perpajakan antara lain PPh, PPN, PPnBM, PBB, dan Bea
Meterai. Target jumlah penerimaan pajak sesuai dengan yang telah ditetapkan pada APBN/P 2013. Angka penerimaan pajak diperoleh
dari angka resmi yang diterbitkan Kementerian Keuangan yang tercermin dalam aplikasi penerimaan pajak yang ditetapkan.
Tujuan ditetapkannya indikator ini adalah untuk mengamankan pendapatan negara dari sektor pajak melalui optimalisasi pendapatan
negara serta memantau tingkat pencapaian penerimaan pajak agar sesuai dengan tingkat pencapaian berdasarkan target pada tiap
tahapannya. Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin
tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Beberapa langkah strategis yang ditempuh guna mengamankan penerimaan pajak di tahun 2013, antara lain sebagai berikut.
1) Upaya penggalian potensi berbasis sektoral.
a) Pelaksanaan program nasional yang dilakukan oleh seluruh unit di DJP, antara lain: sektor properti, pertambangan, perkebunan,
telekomunikasi, sektor retail, WP OP dan Bendahara
b) Pelaksanaan program sektor unggulan regional yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing daerah.
2) Penggalian potensi atas transaksi pengalian saham (akuisisi & merger).
3) Menyelesaikan pemeriksaan serentak atas WP sektor properti.
4) Optimalisasi pemanfaatan data-data Approweb & Portal DJP.
5) Sosialiasi terhadap Bendahara Umum Daerah untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan terkait penyerapan APBD.
6) Penguatan administrasi pengawasan penyetoran PPN dan PPh Final Sektor Properti dengan melibatkan bank dan notaris, juga
sektor lainnya atas pemotongan dan pemungutan PPh dan PPN.
Rincian penerimaan pajak tahun 2013 adalah sebagaimana tabel 3.21 berikut.
62
Tabel 3.21
No
Jenis Pajak
(1)
(2)
(3)
(4)
381.203,98
464.481,88
79.559,16
101.915,00
Penc.
2012
(%)
Penc.
2013
(%)
(9)
(10)=7/4
2012
2013
Pert. (%)
(6)
(7)
(8)=(7-6)/6
21,85
381.203,98
417.656,59
9,56
85,52
89,92
28,10
79.559,16
90.130,28
13,29
89,20
88,44
(5)
5.495,81
6.600,93
20,11
5.495,81
6.834,03
24,35
69,41
103,53
31.609,47
42.704,15
35,10
31.609,47
36.331,69
14,94
82,78
85,08
4. PPh Ps 23
20.290,36
24.530,78
20,90
20.290,36
22.206,45
9,44
71,23
90,52
3.763,25
6.443,34
71,22
3.763,25
4.384,02
16,50
67,01
68,04
152.624.89
180.116,52
18,01
152.624,89
155.066,47
1,60
79,85
86,09
7. PPh Ps 26
27.458,53
32.779,51
19,38
27.458,53
31.100,12
13,26
92,16
94,88
8. PPh Final
60.369,81
69.349,09
14,87
60.369,81
71.565,73
18,55
109,04
103,20
32,70
42,56
30,16
32,70
37,80
15,61
76,16
88,83
337.413,37
423.708,25
25,58
337.413,37
384.628,92
13,99
100,40
90,78
1. PPN Dalam
Negeri
191.769,44
245.433,51
27,98
191.769,44
226.679,71
18,20
97,97
92,36
2. PPN Impor
6. PPh Ps 25/29
Badan
126.606,64
156.844,67
23,88
126.606,64
138.986,73
9,78
103,50
88,61
3. PPnBM Dalam
Negeri
10.428,41
13.440,75
28,89
10.428,41
11.547,97
10,74
91,35
85,92
4. PPNBM Impor
8.422,80
7.455,93
-11,48
8.422,80
7.281,23
-13,55
136,90
97,66
186,08
533,40
186,65
186,08
133,27
-28,38
43,66
24,99
5. PPN/PPnBM
Lainnya
C
3. PPh Ps 22 Impor
5. PPh Ps 25/29 OP
PBB
28.966,41
27.343,80
-5,60
28.966,41
25.302,49
-12,65
97,57
92,53
1. PBB Pedesaan
1.132,39
808,56
-28,60
1.132,39
750,00
-33,77
155,43
92,76
2. PBB Perkotaan
6.103,63
1.518,68
-75,12
6.103,63
1.366,09
-77,62
118,57
89,95
3. PBB Perkebunan
1.106,33
1.645,95
48,78
1.106,33
1.320,61
19,37
87,66
80,23
4. PBB Kehutanan
254,52
377,85
48,45
254,52
292,58
14,95
87,40
77,43
5. PBB
Pertambangan
Non Migas
565,03
734,86
30,06
565,03
632,54
11,95
107,24
86,08
6. PBB
Pertambangan
Migas
19.804,50
22.257,90
12,39
19.804,50
20.940,66
5,74
91,13
94,08
4.210,40
5.401,98
28,30
4.210,40
4.933,63
17,18
74,76
91,33
83.460,95
74.277,98
-11,00
83.460,95
88.747,47
6,33
122,89
119,48
835.255,12
995.213,90
19,15
835.255,12
921.269,09
10,30
94,38
92,57
Pajak Lainnya
PPh Migas
Total A + B + C + D + E
Pada tahun 2013 penerimaan pajak berdasarkan APBN-P 2013 ditargetkan sebesar Rp995,214 triliun. Jumlah tersebut meningkat
19,15% atau sejumlah Rp159,958 triliun dari realisasi tahun 2012 sebesar Rp835,255 triliun. Besar persentase kenaikan target tahun
2013 masih lebih besar jika dibandingkan dengan persentase kenaikan target dari tahun sebelumnya yang sebesar 15,89%.
63
Pada tahun 2013, total realisasi penerimaan pajak sebesar Rp921,269 triliun atau mencapai 92,57% dari target APBN-P 2013,
meningkat 10,90% dari realisasi tahun 2012. Sementara capaiannya mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Secara rinci, penerimaan tersebut terdiri dari:
1) PPh Non Migas
Penerimaan dari PPh Non Migas menyumbang peranan terbesar dengan kontribusi sebesar 45,33% dari total penerimaan pajak.
Kinerja penerimaan PPh Non Migas tahun 2013 sebesar Rp417.656,59 miliar atau mencapai 89,92% dari target APBN-P dengan
pertumbuhan realisasi penerimaannya sebesar 9,56%.
2) PPN dan PPnBM
Penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2013 terdiri dari jenis PPN Dalam Negeri, PPN Impor, PPnBM Dalam Negeri, PPnBM Impor,
serta PPN dan PPnBM Lainnya. Realisasi penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2013 sebesar Rp384.628,92 miliar atau mencapai
90,78%, lebih rendah dari target APBN-P 2013. Pertumbuhan jenis pajak ini dari tahun 2012 mencapai 13,99%.
3) PBB
Untuk penerimaan PBB, realisasi penerimaan PBB sebesar Rp25.302,49 miliar dengan capaian sebesar 92,53% dari target
APBN-P 2013. Jika dibandingkan penerimaan tahun 2012, penerimaan tahun 2013 mengalami pertumbuhan -12,65%. Hal tersebut
dikarenakan bertambahnya wilayah pendaerahan PBB-P2.
4) Pajak Lainnya
Penerimaan dari Pajak Lainnya terdiri dari Penjualan Benda Materai, Bea Materai, Bunga Penagihan dan PPn Batubara. Realisasi
dari penerimaan Pajak Lainnya sebesar Rp4.933,63 miliar atau mencapai 91,33% dari target APBN-P 2013. Meningkat tajam dari
capaian tahun 2012 yang sebesar 74,76%. Penerimaan pajak lainnya mengalami pertumbuhan sebesar 17,18% dari tahun 2012.
5) PPh Migas
Kinerja penerimaan PPh Migas tahun 2013, realisasinya sebesar Rp88.747,47 miliar. Kinerja penerimaan PPh Migas capaiannya di
atas target APBN-P 2013 dengan angka capaian sebesar 119,48% dengan pertumbuhan sebesar 6,33%.
Tabel 3.22
Triwulan
APBN
APBN-P
Realisasi 2013
Selisih
Capaian
Triwulan I
193,538
184,798
186,283
(1,485)
100,81%
Triwulan II
249,971
238,682
225,105
13,577
94,31%
Triwulan III
291,153
256,865
226,782
30,083
88,29%
Triwulan IV
307,622
314,870
283,098
35,650
89,91%
Th. 2013
1.042,285
995,214
921,269
73,945
92,57%
Secara umum, kinerja penerimaan pajak di tahun 2013 realisasinya lebih rendah dari target APBN-P 2013. Beberapa kendala yang
mempengaruhi capaian penerimaan pajak antara lain:
1) Perlambatan ekonomi global;
a) Pemulihan ekonomi negara maju yang berjalan lambat,
b) Pelemahan harga komoditas, dan
c) Penurunan permintaan negara tujuan utama ekspor Indonesia.
2) Perekonomian nasional yang masih belum stabil;
a) Perlambatan ekonomi nasional,
b) Tingkat inflasi yang tinggi,
c) Defisit neraca perdagangan,
d) Penurunan volume ekspor,
64
65
(1) Pokok ketetapan PBB Migas 2013 di bawah target yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P;
(2) Verifikasi SPPT PBB Migas oleh Ditjen Anggaran menghasilkan beberapa SPPT tidak dapat dibayarkan di tahun 2013
(Rp1,4T);
(3) Pembayaran PBB Migas yang harusnya disetorkan sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi masih sangat minim,
karena adanya penolakan dari Wajib Pajak.
4) Pajak Lainnya
Pertumbuhan realisasi penerimaan Pajak Lainnya di tahun 2013 salah satunya disebabkan oleh peningkatan penjualan Benda
Materai maupun bea materai selama tahun 2013 baik yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia maupun penggunaan bea materai
di sektor perbankan.
5) PPh Migas
Beberapa hal yang berpengaruh secara positif terhadap kinerja penerimaan PPh Migas diantaranya adalah:
a) Kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan minyak mentah dunia,
serta pengaruh dari kebijakan ekonomi Amerika Serikat untuk melanjutkan stimulus ekonomi;
b) Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika.
Pertumbuhan penerimaan pajak di berbagai sektor tersaji dalam tabel 3.23 berikut.
Tabel 3.23
%
2011-2012
%
2012-2013
2012
2013
Industri Pengolahan
345,038.01
373,696.42
15.26
8.31
111,936.25
124,527.42
19.46
11.14
81,053.04
96,720.94
13.58
19.33
63,052.88
54,224.17
(13.34)
(14.01)
Konstruksi
36,685.05
45,653.91
32.44
24.26
25,892.83
29,953.81
3.46
15.68
22,711.50
26,687.85
29.64
17.20
21,809.74
25,782.49
20.10
17.87
Real Estat
15,561.82
20,722.10
34.96
33.14
14,530.87
17,991.40
13.59
23.67
16,008.88
15,158.38
5.25
(5.31)
Sektor Lainnya
52,973.29
63,652.93
4.82
20.86
66
Berdasarkan capaian atas kinerja yang telah dilaksanakan selama tahun 2013, Kementerian Keuangan mengevaluasi kegiatan-kegiatan
dan program-program yang telah dijalankan. Beberapa program yang belum optimal dilaksanakan di tahun 2013 akan disempurnakan
untuk dilaksanakan pada tahun 2014. Peringkat sektor usaha di tahun 2012 dan 2013 sebagaimana tergambar pada tabel, menjadi
fokus untuk dimaksimalkan di tahun 2014. Sektor tersebut di antaranya adalah real estat, industri pengolahan, pedagang besar dan
eceran, jasa keuangan dan akuntansi, serta jasa konstruksi.
Dengan perbaikan strategi yang disempurnakan dari tahun sebelumnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja penerimaan pajak dan
dapat mencapai target penerimaan sebesar Rp1.110.190 miliar. Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2014 antara lain:
1) Penggalian Potensi Pajak berbasis sektoral Nasional dan Regional
Penggalian Potensi berbasis sektoral Nasional dan Regional secara lebih fokus dan terkoordinasi, melalui Pengawasan,
Pemeriksaan, Ekstensifikasi dan Penyuluhan. Empat sektor utama yang akan menjadi fokus utama di antaranya sektor real estat,
konstruksi, perhotelan, dan perbankan.
2) Optimalisasi pengawasan Bendahara
Perbaikan penggalian potensi WP Bendahara adalah dengan mengambangkan Sistem Informasi Keuangan Daerah (DTH/RTH),
merekonsiliasi secara nasional realisasi belanja Pemerintah dengan realisasi setoran pajak, dan registrasi ulang bendahara.
3) Penggalian potensi Wajib Pajak Orang Pribadi
Optimalisasi Penerimaan Wajib Pajak Orang Pribadi melalui ekstensifikasi, penyuluhan, pengawasan dan pemeriksaan secara lebih
fokus dan terkoordinasi.
4) Optimalisasi pengawasan dengan merelokasi WP Tambang (IUP), Perkebunan Sawit, Industri Rokok.
Pengawasan dilakukan dengan merelokasi WP ke KPP lokasi dan penerapan Nota Perhitungan dalam penghitungan Wajib Pajak
pertambangan.
5) Meningkatkan kepatuhan formal WP
Secara intensif melakukan registrasi terpadu WP OP dan Badan serta pelaksanaan SPT Prepopulated untuk mendukung e-filling.
6) Peningkatan kapasitas SDM
SDM merupakan salah satu faktor krusial dalam hal penggalian potensi perpajakan. Peningkatan kapasitas SDM akan dilaksanakan
dengan uji coba penataan tugas dan fungsi AR melalui pemisahan fungsi pengawasan dan pelayanan, serta pemanfaatan tenaga
Fungsional Penilai untuk penggalian potensi.
7) Pemanfaatan hasil SPN
Dengan dijalankannya kembali SPN di akhir tahun 2013, diharapkan hasilnya dapat dioptimalkan di tahun 2014 melalui maksimalisasi
responden yang belum diterbitkan NPWP terkait WP UKM dan kelanjutan pengawasan himbauan atas potensi PPN Kegiatan
Membangun Sendiri (KMS), PPh dan OPPT.
8) Penerapan regulasi yang mendukung penerimaan
Fokus regulasi yang akan digulirkan antara lain penyesuaian tarif PPh Final atas industri pelayaran, penunjukkan seluruh BUMN
sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas belanja barang, dan perluasan jenis jasa yang dikenai PPh Pasal 23.
b. Jumlah penerimaan bea dan cukai (KK-5.1.2).
Target penerimaan bea dan cukai adalah target penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai sebagaimana tercantum dalam APBN
atau APBN-P. Pencapaian penerimaan bea dan cukai adalah realisasi penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai sesuai dengan
Modul Penerimaan Negara.
IKU ini bertujuan untuk:
1) Mengamankan pendapatan negara dari sektor bea dan cukai melalui optimalisasi pendapatan negara
2) Memantau tingkat pencapaian penerimaan bea dan cukai agar sesuai dengan tingkat pencapaian pada tiap tahapannya mengukur
tingkat kepatuhan pengusaha kepabeanan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
67
Aktivitas
pengangkutan
barang dan
peti kemas di
Pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta
Total realisasi penerimaan bea masuk, bea keluar dan cukai tahun 2013 adalah sebesar Rp155.711,2 miliar dengan persentase capaian
101,67% dari target APBN-P sebesar Rp153,150,80 miliar atau terdapat kelebihan atau surplus penerimaan sebesar Rp2.560,20
miliar (1,67%). Penerimaan bea dan cukai tahun 2013 terdiri dari:
1) Bea masuk
Penerimaan bea masuk sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebesar Rp31.524,60 miliar dengan persentase capaian
102,31% dari target APBN-P sebesar Rp30.811,67 miliar. Sehingga terdapat kelebihan pencapain target atau surplus sebesar
Rp712,93 miliar (2,31%).
2) Bea keluar
Penerimaan bea keluar sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebesar Rp15.882,76 miliar dengan persentase capaian 90,19%
dari target APBN-P sebesar Rp17.609,41 miliar. Sehingga terdapat kekurangan pencapaian target atau defisit sebesar Rp1.726,65
miliar (9,81%).
3) Cukai
Penerimaan cukai sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebesar Rp108.303,83 miliar dengan persentase capaian 103,41%
dari target APBN-P sebesar Rp104.729,68 miliar. Sehingga terdapat kelebihan pencapaian target atau surplus sebesar Rp3.574,15
miliar (3,41%).
Rincian realisasi penerimaan bea dan cukai tersaji dalam tabel 3.24 berikut.
Tabel 3.24
Bea Keluar
Cukai
Total
Target APBN-P
30.811,67 Miliar
17.609,41 Miliar
104.729,68 Miliar
153.150,80 Miliar
Realisasi
31.524,60 Miliar
15.882,76 Miliar
108.303,83 Miliar
155.711, 20 Miliar
102,31%
90,19%
103,41%
101,67%
68
69
a) Peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang impor dan peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang.
b) Optimalisasi fungsi unit pengawasan melalui peningkatan patroli darat dan laut dan peningkatan pengawasan di daerah
perbatasan terutama jalur rawan penyelundupan dan post audit.
2) Optimalisasi di Bidang Cukai
a) Kenaikan tarif cukai Hasil Tembakau.
b) Optimalisasi Pengawasan peredaran BKC ilegal.
c) Pembinaan kepatuhan pengguna jasa terhadap ketentuan di bidang cukai.
d) Penerapan manajemen risiko pelayanan dan pengawasan di bidang cukai.
3) Peningkatan Sektor Pelayanan
a) Penyempurnaan implementasi Indonesia National Single Windows (INSW), dalam rangka menyongsong ASEAN Single Windows
(ASW).
b) Pelayanan Kepabeanan 24 (dua puluh empat) jam sehari 7 (tujuh) hari seminggu di pelabuhan-pelabuhan utama, seperti pada
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok.
c) Pengembangan otomatisasi pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai.
d) Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia melalui berbagai diklat teknis dan kompetensi.
e) Penanganan pengaduan masyarakat secata otomasi dengan menggunakan aplikasi Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat
(SIPUMA).
f) Diagnosa dan desain program Transformasi Kelembagaan yang bekerja sama dengan konsultan McKinsey & Company yang
dituangkan dalam bentuk inisiatif jangka pendek dan menengah, dan jangka panjang.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.6 berikut:
Grafik 3.6
180.00
160.00
140.00
120.00
155.71
144.46
131.10
153.15
131.21
115.02
100.00
Target
Realisasi
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
2011
2012
2013
70
Pencapaian penerimaan PNBP adalah realisasi penerimaan PNBP sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Mengingat porsi PNBP yang signifikan menyumbang penerimaan, maka
diperlukan ukuran kinerja guna mengukur capaian perolehannya. Melalui penyusunan jumlah PNBP nasional ini diharapkan dapat
menjamin upaya pencapaian jumlah PNBP dengan cara sebagai berikut:
1) Mengamankan pendapatan negara dari PNBP melalui optimalisasi pendapatan negara
2) Memantau tingkat pencapaian penerimaan PNBP agar sesuai dengan tingkat pencapaian pada tiap tahapannya
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
Total realisasi PNBP pada tahun 2012 berdasarkan Buku Merah adalah sebesar Rp345 triliun (indeks pencapaian sebesar 101,13%
dari target PNBP dalam APBN-P sebesar Rp341.142 triliun). Pada tahun 2013 ditargetkan penerimaan PNBP sebesar Rp332.195 T.
Selanjutnya, berdasarkan realisasi APBN 2013 per 30 September 2013, diketahui total realisasi PNBP adalah sebesar Rp349,95 T
(100,22% dari target PNBP dalam APBN-P 2013 sebesar Rp349,16 T). Realisasi tersebut antara lain berasal dari:
1) Penerimaan Sumber Daya Alam sebesar Rp226,70 T;
2) Bagian Pemerintah atas Laba BUMN sebesar Rp33,82 T (berdasarkan catatan Dit. PNBP diketahui realisasi sebesar Rp34,02 T);
3) PNBP Lainnya sebesar Rp69,82 T;
4) Pendapatan BLU sebesar Rp19,60 T (belum termasuk pengesahan setelah tanggal 31 Desember 2013).
Beberapa upaya yang dilakukan untuk mencapai target PNBP tersebut dilakukan dengan cara :
1) Mengintensifkan koordinasi dengan instansi terkait dalam hal perhitungan migas dan panas bumi;
2) Mengintensifkan proses penyelesaian piutang migas dan dividen BUMN;
3) Meningkatkan koordinasi internal Kementerian Keuangan terkait monitoring realisasi PNBP;
4) Monitoring realisasi PNBP K/L.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.7 berikut:
Grafik 3.7
351.63
350.00
300.00
349.94
341.14
321.21
349.16
286.57
250.00
Target
200.00
Realisasi
150.00
100.00
50.00
0.00
2011
2012
2013
71
Tabel 3.25
Target
Realisasi
Kinerja
90%
89,01%
98,90%
2%
0,17%
120%
100%
105,56%
105,56%
2.
3.
Tabel 3.26
Uraian
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Belanja Pegawai
109.191,71
108.297,19
99,18
149.346,17
140.339,28
93,97
Belanja Barang
145.665,25
124.488,36
85,46
196.277,30
166.536,63
84,85
Belanja Modal
144.137,74
116.505,13
80,83
199.387,68
171.201,84
85,86
Bantuan Sosial
73.215,86
67.211,76
91,80
95.998,42
92.491,22
96,35
472.210,56
416.502,45
88,20
641.009,57
570.568,98
89,01
Total
72
Grafik 3.8
90%
90%
90%
90%
89.01%
89%
Target
89%
Realisasi
88.21%
88%
87.76%
88%
87%
87%
2011
2012
2013
Tabel 3.27
No. Unit
Direktorat Anggaran I
Rp 0,95 T
Direktorat Anggaran II
Rp 0,09 T
Rp 0
Kementerian Keuangan senantiasa berkomunikasi secara aktif kepada K/L yang untuk mengingatkan dan memfasilitasi pembukaan
blokir anggaran dalam koridor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, secara khusus juga dilakukan rapat koordinasi
percepatan pembukaan blokir anggaran yang dihadiri oleh seluruh K/L dan bimbingan teknis K/L pada beberapa wilayah regional. Pada
tanggal 25 Juni 2013 bertempat Ballroom Dhanapala dilaksanakan rapat koordinasi yang dihadiri oleh 66 K/L yang masih memiliki
beban blokir pada DIPA-nya. Upaya tersebut cukup efektif untuk mengurangi dana blokir yang ada dalam DIPA satuan kerja K/L.
73
Adapun hingga akhir tahun masih terdapat sisa anggaran yang masih diblokir disebabkan adanya K/L yang hingga batas akhir penyampaian
usulan pembukaan blokir K/L dimaksud belum menyampaikan TOR/RAB atas kegiatan tertentu.
c. Persentase ketepatan waktu penyelesaian revisi Anggaran non APBN-P (KK-6.3)
Revisi Anggaran adalah perubahan Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat yang telah ditetapkan berdasarkan APBN Tahun
Anggaran 2013 dan disahkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2013. Penyelesaian revisi anggaran Non
APBN-P merupakan salah satu layanan unggulan Kementerian Keuangan dengan target waktu penyelesaian 5 hari kerja (sepanjang
dokumen data dukung diterima lengkap). Konsolidasi data untuk IKU ini adalah rata-rata (average) dari triwulan I hingga triwulan IV.
IKU ini bertujuan untuk Peningkatan pelayanan revisi anggaran sesuai dengan janji layanan yang telah dirumuskan dalam SOP Quick
Win dan PMK Revisi. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin
tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan. Pada tahun 2013 ditargetkan IKU ini mencapai 100% usulan revisi bisa dikerjakan
rata-rata 5 hari kerja. Dalam realisasinya ternyata mencapai nilai 105,56% yang berarti rata-rata revisi bisa dikerjakan kurang dari 5 hari
kerja. Rincian masing-masing triwulan adalah sebagaimana tabel 3.28 berikut.
Tabel 3.28
Realisasi IKU persentase Ketepatan Waktu Penyelesaian Revisi
Anggaran Non APBN-P
Q-1
Q-2
Q-3
Q-4
Rata-Rata
Target
Uraian
100,00%
100,00%
100,00%
100,00%
100,00%
Realisasi
104,29%
106,34%
106,33%
105,26%
105,56%
Adapun jumlah revisi anggaran non APBN-P yang dapat diselesaikan untuk tiap triwulan dapat dilihat pada grafik 3.9 berikut.
Grafik 3.9
400
355
349
350
312
300
250
200
175
150
100
50
0
111
74
58
57
Q1
30
23
Q2
Q3
23
Q4
Secara keseluruhan, jumlah revisi anggaran non APBN-P pada tahun 2013 adalah sejumlah 1.569 permohonan, dengan rata-rata
waktu penyelesaian tersaji dalam pada grafik 3.10 berikut.
74
Grafik 3.10
78
Lebih Cepat (<5 Hari Kerja)
418
1073
Kementerian Keuangan dalam rangka memenuhi IKU ini secara intensif melakukan bimbingan teknis ke K/L dan mempercepat proses
usulan revisi yang diajukan K/L sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7. Sasaran Strategis 7: Pengelolaan Kekayaan Negara yang Optimal (KK-7)
Kegiatan pengelolaan kekayaan negara meliputi perencanaan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan
dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pengawasan/pengendalian. Kekayaan negara meliputi
persediaan, aset tetap, aset tak berwujud dan aset lainnya sebagaimana disebutkan dalam PP nomor 24/2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Pengelolaan kekayaan negara terdiri dari pengelolaan barang milik negara, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, dan pengelolaan
kekayaan negara lain-lain. Pengelolaan kekayaan negara dikatakan optimal apabila dapat mewujudkan APBN yang efektif dan efisien.
Upaya untuk mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal dilakukan melalui tertib hukum, tertib fisik, dan tertib administrasi.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU), yang
capaiannya dapat dilihat pada tabel 3.29.
Tabel 3.29
2.
Target
Realisasi
Kinerja
Rp105 T
Rp115,72 T
110,21 %
80%
81,95%
(1600/2000 bidang)
(1639/2000 bidang)
102,44%
75
Tabel 3.30
No
Unit
Jumlah
Keterangan
Dit. PKN-SI
Rp76,80 T
Dit. Penilaian
Rp20,07 T
Dit. KND
Rp12,08 T
Dit. PN-KNL
Rp0,75 T
Penetapan status dan sewa aset eks. Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS)
Kanwil
Rp6,02 T
Target dapat tercapai karena terdapat penggalian potensi (official assesment) potensi utilisasi dan hasil koordinasi dengan K/L yang
menghasilkan penetapan utilisasi kekayaan negara dengan nilai yang signifikan antara lain:
1) Utilisasi pada Kementerian Pekerjaan Umum melalui KMK-355/MK.06/2013 sebesar Rp31,10 triliun;
2) Utilisasi pada Sekretariat Negara melalui KMK-76/MK.06/2013 sebesar Rp12,27 triliun;
3) Utilisasi pada Kementerian Perhubungan melalui KMK-352/MK.06/2013 sebesar Rp6,52 triliun;
4) Utilisasi pada Kementerian Riset dan Teknologi melalui KMK-119/MK.06/2013 sebesar Rp1,97 triliun;
5) Utilisasi pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui KMK-335/MK.06/2013 sebesar Rp1,57 triliun dan melalui KMK-331
MK.06/2013 sebesar Rp2,86 triliun;
6) Utilisasi pada Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif melalui KMK-16/MK.06/2013 sebesar Rp1,61 triliun dan melalui S-49
MK.06/2013 sebesar Rp1,57 triliun;
7) Utilisasi pada Kepolisian melalui KMK-182/MK.06/2013 sebesar Rp1,79 triliun dan melalui KMK-236/MK.06/2013 sebesar
Rp1,14 triliun;
8) Utilisasi pada Kementerian Keuangan sebesar Rp0,94 triliun yang ditetapkan melalui 35 penetapan utilisasi;
9) Penyampaian BMN sebagai daftar nominasi penerbitan SBSN sebesar Rp20,7 triliun melalui S-280/KN.6/2013 dan
S-421/KN.6/2013
10) Penetapan sewa aset Eks.Pertamina sebesar Rp1,65 triliun melalui S-150/MK.6/2013, S-481/KN/2013, S-379/MK.6/2013, dan
S-481/KN/2013
11) Penetapan PMN BPYBDS pada PT ASDP sebesar Rp0,58 triliun sesuai PP No. 16 th 2013 dan Penetapan PMN BPYBDS pada
sebesar PT Angkasa Pura II sebesar Rp0,30 melalui PP No. 50 tahun 2013.
Strategi untuk mencapai target rasio utilisasi aset terhadap total aset tetap tahun 2014 sebesar 26% akan dilakukan melalui:
1) Official assesment pengelola barang untuk mengidentifikasi aset yang berpotensi untuk ditetapkan utilisasinya;
2) Koordinasi dengan Sekretariat Negara dalam rangka penyelesaian Penetapan Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan
76
Statusnya (BPYBDS) aset PLN melalui penetapan Peraturan Pemerintah tanpa menunggu persetujuan DPR, karena persetujuan DPR atas
penetapan Penyertaan Modal Negara (PMN) seluruh BPYBDS sudah diberikan dalam UU APBN sejak UU APBN-P 2010.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.11 berikut:
Grafik 3.11
120
115.72
115
110
Target
Realisasi
105
100
103.31
102.45
105
102.56
102.39
95
2011
2012
2013
Tabel 3.31
BPN
K/L
Kemenkeu
1. Melaksanakan pensertifikatan
BMN;
2. Rekapitulasi data BMN berupa
disertifikatkan;
kepada BPN;
disertifikatkan;
5. Mengajukan permohonan sertifikasi;
6. Menyusun dan mengajukan anggaran
sertifikasi;
7. Mengajukan permohonan penetapan status
penggunaan BMN, paling lambat 1 (satu) bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya sertifikat.
77
78
pembangunan infrastruktur pasar sekunder (primary dealership, pengembangan benchmark yield curve, dan mekanisme pembentukan
harga yang efisien). Sedangkan pengadaan pinjaman harus didukung dengan usulan proyek/program yang dibiayai melalui pinjaman
secara selektif, penerapan readiness criteria yang ketat serta monitoring dan evaluasi pinjaman proyek yang efektif. Pembiayaan APBN
melalui utang harus didukung dengan pengelolaan berbagai risiko (risiko mata uang, risiko suku bunga, dan risiko refinancing) dengan
upaya mitigasi risiko yang efektif, antara lain melalui debt securities buyback, loan prepayment, debt-switch/reprofiling, debt swap,
restrukturisasi pinjaman, dan lindung nilai (hedging).
Untuk itu, demi mendukung tercapainya sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 3 (tiga) Indikator Kinerja
Utama (IKU), yaitu sebagaimana tabel 3.32 berikut.
Tabel 3.32
cost
Persentase pemenuhan target risiko
portofolio utang
100,04%
101,89%
100%
96,72%
103,28%
100%
104,91%
110,18%
79
1) Pinjaman Program
Pembiayaan atas defisit APBN diusahakan dalam jumlah yang cukup, tersedia pada saat diperlukan dan dengan biaya yang efisien
serta tingkat risiko yang terkendali. Sumber pembiayaan defisit APBN antara lain melalui pengadaan Pinjaman Program.
Pinjaman Program adalah pinjaman yang pencairannya bersifat tunai yang bersumber dari Development Partners yang dibedakan
dalam bentuk Pinjaman Tunai dengan Policy Matrix dan/atau Pinjaman Tunai tanpa Policy Matrix. Development Partners adalah
lembaga multilateral (misal: World Bank, Asian Development Bank, Islamic Development Bank atau European Union), lembaga
bilateral (misal: JICA, AFD) dan Pemerintah Negara Asing (misal: Jepang, Australia) yang mempunyai kerja sama pembangunan
dengan Pemerintah Indonesia.
Sesuai dengan target APBN 2013, pemenuhan pembiayaan defisit APBN dari Pinjaman Program ditargetkan sebesar Rp18,20
triliun (USD 1.561 juta) dan terealisasi sebesar Rp18,40 triliun (USD1.561juta), dengan rincian sebagai berikut:
a) Development Policy Loan VIII dari JICA Jepang sebesar Rp1,50 triliun;
b) Pinjaman Local Government Development Progam (LGDP) dengan sistem refinancing modality sebesar Rp673,63 miliar;
c) Pinjaman PNPM Perkotaan dan Perdedaan dengan sistem refinancing modality dari World Bank sebesar Rp394,21 miliar;
d) Pinjaman Instansi DPL dari World Bank sebesar Rp4,90 triliun ;
e) Pinjaman 2nd Connectivity DPL dari World Bank sebesar Rp3,67 triliun;
f) Pinjaman Inclusive Growth Through Improved Connectivity Program, Subprogram 2 dari ADB sebesar Rp4,90 triliun; dan
g) Pinjaman Connectivity DPL dari JICA sebesar Rp2,39 triliun.
Tabel 3.33
Development Partners
(dalam USD)
World Bank
500,0
1Instansi - DPL
300,0
PNPM - Refinancing
60,0
100,0
40,0
ADB
200,0
200,0
TOTAL
700,0
Namun, mengingat besarnya kebutuhan pembiayaan defisit APBN 2013 dan rendahnya penerimaan pajak sebagai salah satu
sumber pendanaan pada APBN 2013, maka target pembiayaan melalui Pinjaman Program pada APBN-P 2013 setelah mendapat
persetujuan dari DPR-RI, direvisi dengan rincian sebagaimana tabel III.34 berikut:
80
Tabel 3.34
World Bank
600,0
Instansi - DPL
300,0
PNPM - Refinancing
60,0
40,0
200,0
ADB
300,0
300,0
JICA
261,3
161,3
100,0
TOTAL
1.161,3
Dalam kurun waktu semester II tahun 2013, penerbitan Surat Berharga Negara dalam bentuk valuta asing (SBN Valas) diperkirakan
tidak dapat memenuhi target pembiayaan mengingat kondisi pasar keuangan internasional yang tidak mendukung. Sebagai
implikasinya, sebagian target penerbitan SBN Valas dialihkan kepada penambahan Pinjaman Program. Hal ini sesuai dengan
Pasal 21 Ayat (5) Undang Undang Nomor 19 tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengamanatkan
bahwa dalam hal terdapat instrumen pembiayaan utang yang lebih menguntungkan, dan/ atau ketidaktersediaan salah satu
instrumen pembiayaan utang tunai, Pemerintah dapat melakukan perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang tunai tanpa
menyebabkan perubahan pada total pembiayaan utang tunai (selanjutnya disebut fleksibilitas pembiayaan).
Total jumlah dan nilai pemenuhan Pinjaman Program untuk tahun 2013 termasuk untuk pemenuhan fleksibilitas pembiayaan adalah
sebagaimana tabel 3.35 berikut:
Tabel 3.35
Development Partners
APBN-P
2013
Realisasi
World Bank
600,0
800,0
800,2
Instansi - DPL
300,0
400,0
400,0
PNPM - Refinancing
60,0
34,0
34,1
40,0
66,0
66,1
200,0
300,0
300,0
ADB
300,0
400,0
400,0
300,0
400,0
400,0
JICA
261,3
361,3
361,3
161,3
161,3
161,3
100,0
200,0
200,0
100,0
100,0
1.161,3
1.661,3
1.561,3
Refinancing
AFD Perancis
81
Khusus untuk Pinjaman Program Connectivity DPL yang bersumber dari AFD Perancis, penarikan akan dilaksanakan pada awal
Januari 2014 mempertimbangkan tidak dapat dipenuhinya penerbitan SBN Valas pada tahun 2014 akibat adanya isu tapering off
di Amerika Serikat sehingga memerlukan penambahan Pinjaman Program yang akan digunakan sebagai buffer pembiayaan APBN.
2) Surat Berharga Negara (SBN)
Realisasi penerbitan SBN pada tahun 2013 sebesar Rp322,73 triliun dari target sebesar Rp336,50 triliun. Terdapat kekurangan
pembiayaan dari SBN sebesar Rp13,78 triliun dikarenakan adanya penerbitan SUN Valuta Asing di pasar domestik di bawah target
yang direncanakan disebabkan karena kondisi pasar yang masih cenderung volatile dan likuiditas USD di pasar domestik yang
masih terbatas.
Target penerbitan gross SUN tidak terpenuhi dikarenakan target buy back yang transaksinya bersifat opsional dan bertujuan untuk
stabilisasi pasar dan pengelolaan portofolio, hanya terealisasi Rp1,551 triliun dari target sebesar Rp3 triliun. Di samping itu, target
penerbitan gross SUN yang tidak terpenuhi juga dikarenakan adanya pengalihan (shifting) target penerbitan SUN ke penarikan
pinjaman, karena berdasarkan hasil rapat pembahasan dalam rangka penetapan hasil lelang SBSN dan rencana lelang SUN pada
tanggal 26 November 2013, porsi pembiayaan melalui utang yang bersumber dari penerbitan SBSN sudah dinyatakan mencukupi.
Dalam hal ini, apabila penerbitan SBN, baik SUN maupun SBSN, dipaksakan untuk ditambah agar sesuai dengan target awal, maka
justru menimbulkan potensi pembiayaan utang yang melebihi target (over financing) dan dapat berdampak pada peningkatan biaya
utang (cost of fund). Hal ini dikarenakan, pada akhir tahun 2013, terdapat proyeksi penarikan Pinjaman Program, di mana dalam
mata uang Rupiah setara dengan Rp18,23 triliun. Nilai nominal Pinjaman Program ini dalam original currencies tidak mengalami
perubahan, namun menjadi lebih tinggi dalam mata uang Rupiah, akibat adanya pelemahan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap
USD.
a) Surat Utang Negara (SUN)
Realisasi penerbitan SUN Tahun 2013 adalah sebesar Rp269,55 triliun atau sebesar 95,28% dari target yang ditetapkan. Target
penerbitan gross SUN tidak dipenuhi mengingat target buy back yang tidak terpenuhi dan terdapat pengalihan target penerbitan
SUN ke penarikan pinjaman program. Target buy back tidak terpenuhi seluruhnya mengingat buy back merupakan transaksi
opsional yang bertujuan untuk menstabilkan pasar dan mengelola portofolio. Sepanjang tahun 2013 telah dilakukan buy back
sebesar Rp1.551 triliun dari target sebesar Rp3 triliun.
Dari sisi pemenuhan pembiayaan melalui SUN Tahun 2013 dapat tercapai sesuai target penerbitan sampai akhir tahun 2013. Secara
komposisi, penerbitan SUN melalui lelang dalam mata uang rupiah sebesar Rp207,85 triliun, sedangkan dalam mata uang asing
sebesar Rp41,49 triliun. Pada tahun 2013, SUN ritel diterbitkan satu kali yaitu seri ORI010 sebesar Rp20,205 triliun.
Tabel 3.36
Total Penawaran
Total Penawaran
Memenuhi Benchmark
Total Penawaran
Diterima
FR
300.110.800
194.985.000
165.450.000
ORI
20.367.945
20.205.255
SPN
134.930.400
75.364.000
42.400.000
ON Valas
144.059.244
46.475.500
41.494.700
Grand Total
599.468.389
316.824.500
269.549.955
Jenis
82
Settlement System) dengan peserta PDs, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan. Penawaran berupa seri, yield/
price, dan volume, hanya dapat dimasukkan pada waktu lelang. Selanjutnya, Pemerintah menetapkan penawaran yang
dimenangkan, mulai dari yield/price yang terbaik untuk Pemerintah. Tabel berikut menunjukkan hasil penerbitan SUN melalui
lelang tahun 2013.
Tabel 3.37
Frekuensi
Lelang
Nominal
(triliun rupiah)
23
165.450
23
42.400
Jenis Instrumen
Tabel 3.38
Keterangan
Penerbitan II
RI0423
RI0443
RI1023
(New Issuance)
(New Issuance)
(New Issuance)
USD1.500.000.000
USD1.500.000.000
USD1.000.000.000
Tingkat kupon
3,375%
4,625%
5,375%
3,500%
4,750%
5,450%
Jatuh tempo
15 April 2023
15 April 2043
17 Oktober 2023
Tanggal Setelmen
15 April 2013
15 April 2013
17 Juli 2013
Listing
Trustee, Registrar,
Transfer Agent,
Paying Agent
83
Indonesia melalui agen penjual. Pada tahun 2013, Pemerintah kembali menerbitkan ORI dengan seri ORI010. Pada penerbitan
ORI010 ini diberlakukan Minimum Holding Period (MHP). Berdasarkan ketentuan ini, pemilik ORI tidak dapat memindahbukukan
kepemilikan ORI-nya selama 1
periode kupon pertama. Tujuan penerapan MHP ini adalah:
(a) Mengurangi laju perpindahan kepemilikan ORI dari investor individu ke investor institusi/lainnya;
(b) Memperluas basis investor ritel; dan
(c) Memperluas kesempatan investor ritel untuk memperoleh penjatahan ORI di pasar perdana.
ORI010 diterbitkan dengan tenor 3 tahun dan tingkat kupon tetap yang dibayarkan secara bulanan sebesar 8,5 per tahun.
Berdasarkan hasil penjatahan ORI010 ditetapkan penjualan ORI010 sebesar Rp20,205 triliun.
Peluncuran ORI
010 dilakukan
Kemenkeu
bersamaan
dengan
penanaman
100 ribu batang
mangrove di
Pantai Utara dan
Selatan Jawa
(20/9)
Tabel 3.39
Jumlah
(Rp miliar)
Porsi (%)
Lelang
9.316
18%
SPN-S
Lelang
11.653
22%
SR
Bookbuilding
14.968
28%
Bookbuilding Intl
17.238
32%
53.175
100%
Instrumen
Metode Penerbitan
PBS
SNI*
Total
*Penerbitan SBSN dalam valuta asing di pasar perdana internasional sebesar USD1.5 miliar dengan kurs setelah closing date Rp11.492,00
84
Total realisasi penerbitan SBSN tahun 2013 tersebut lebih rendah dari target yang telah ditetapkan karena berdasarkan hasil rapat
penetapan hasil lelang SBSN dan rencana lelang SUN yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Utang pada tanggal 26
November 2013, porsi pembiayaan melalui utang yang bersumber dari penerbitan SBSN dinyatakan telah mencukupi. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya proyeksi penarikan Pinjaman Program pada akhir tahun dengan perkiraan nilai kurs Rp12.000/USD, yaitu
sebesar Rp18,233 triliun. Sedangkan total kekurangan penerbitan SBN tahun 2013 hanya sebesar Rp4,5 triliun, sehingga apabila
penerbitan SBN, baik SBSN maupun SUN ditambah, maka terdapat kemungkinan terjadinya potensi pembiayaan utang yang
melebihi target.
Faktor-faktor yang turut berkontribusi dalam pencapaian target penerbitan SBSN tahun 2013 tersebut, antara lain:
(1) Realisasi penerbitan Sukuk Ritel seri SR-005 yang mencapai Rp14,97 triliun melebihi dari target yang ditetapkan sebesar Rp13
triliun;
(2) Tingginya rata-rata incoming bid yang berada di atas target indikatif yang ditetapkan dalam setiap kali pelaksanaan lelang SBSN;
(3) Meningkatnya permintaan terhadap instrumen SPN-S secara signifikan;
(4) Adanya penawaran seri-seri PBS dengan tenor baru yang menarik minat investor;
(5) Respon yang baik dari investor internasional terhadap penerbitan Global Sukuk melalui Islamic GMTN Program, yang ditandai
dengan total pemesanan yang disampaikan 300 investor melalui bookrunners mencapai USD5,7 miliar atau mengalami
oversubscribed sebesar 3,8 kali dari target yang ditetapkan sebesar USD1,5 miliar.
Perkembangan penerbitan SBSN selama tiga tahun terakhir adalah sebagaimana terlihat pada tabel 3.40 berikut ini.
Tabel 3.40
2011
Instrumen
Metode
Penerbitan
Frek.
8
2012
Rp (miliar)
Frek.
4.610,00
14
19
Rp (miliar)
2013
%
Frek.
20
Rp (miliar)
-
IFR
Lelang
400,00
0,7
PBS
Lelang
16.714,00
29,3
9.316,00
18
SPN-S
Lelang
1.320,00
1.380,00
11.653,00
22
SR
Bookbuilding
7.341,41
22
13.613,00
24
14.968,00
38
SNI
Bookbuilding
(intl)
9.035,00
27
9.638,00
17
17.238,00
32
SDHI
Private
Placement
11.000,00
33
15.342,00
27
33.306,41
100
57.088,81
100
53.175,00
Total
100
Terkait dengan perkembangan penerbitan SBSN tersebut dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
(1) Penerbitan SBSN dalam mata uang rupiah.
Penerbitan SBSN dalam mata uang rupiah sebesar Rp35,937 triliun atau 68% dari total penerbitan SBSN, yang terdiri dari:
(a) Penerbitan SBSN melalui metode lelang di pasar perdana dalam negeri.
Selama tahun 2013, lelang SBSN dilaksanakan secara berkesinambungan serta tepat waktu sesuai dengan calendar of issuance
yang dipublikasikan. Frekuensi lelang SBSN pada tahun 2013 bertambah menjadi 20 kali dari 19 kali pada tahun 2012 dengan
menawarkan seri-seri SPN-S dan PBS dalam berbagai variasi tenor dan dengan beberapa tenor baru. Pada tahun 2013 lelang
SBSN tidak menawarkan IFR seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Pelaksanaan lelang relatif tidak mengalami kendala karena underlying asset untuk penerbitan SBSN cukup tersedia. Demikian
juga dengan kesiapan infrastruktur lelang, peraturan, kesesuaian syariah serta sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Realisasi penerbitan SBSN secara lelang sebesar Rp20,969 triliun atau 40% dari total penerbitan SBSN. Realisasi tersebut
85
merupakan yang terbesar, baik dari jumlah nominal maupun porsinya, apabila dibandingkan dengan pelaksanaan lelang SBSN
pada periode-periode sebelumnya.
(b) Penerbitan SBSN/Sukuk Negara Ritel melalui metode bookbuilding di pasar perdana dalam negeri.
Penerbitan Sukuk Negara Ritel pada tahun 2013 merupakan penerbitan yang kelima kali dilaksanakan pada tanggal 27 Februari
2013. Penerbitan Sukuk Ritel seri SR-005 bertenor 3 tahun menggunakan akad ijarah asset to be leased dengan underlying
asset berupa proyek dan BMN, serta adanya batasan jumlah maksimal pembelian Rp5 miliar per investor.
Realisasi penerbitan Sukuk Negara Ritel seri SR-005 tersebut adalah sebesar Rp14,968 triliun atau 28% dari total penerbitan
SBSN, yang merupakan nilai penerbitan Sukuk Negara Ritel terbesar sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2009, baik
dari segi jumlah nominal maupun porsinya. Selain itu juga terdapat peningkatan, baik dari jumlah institusi yang berminat menjadi
Agen Penjual maupun jumlah investor, di mana total Agen Penjual sebanyak 25, yang terdiri dari 16 bank 9 perusahaan efek.
Sedangkan jumlah investor mencapai 17.783. Jumlah Agen Penjual dan investor tersebut merupakan yang terbanyak dalam
penerbitan Sukuk Ritel selama ini.
Berdasarkan data historis, jumlah nominal, porsi dan jumlah pemesanan dalam penerbitan Sukuk Negara Ritel menunjukkan tren
yang semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis intrumen ini makin diminati.
(c) Penerbitan SBSN dalam valuta asing di pasar internasional
Penerbitan Sukuk Global sebesar USD1 miliar pada tahun 2012 menggunakan format Islamic GMTN Program dan Reg S/144
A. Penerbitan dilaksanakan setelah Joint Lead Managers (JLM) mengumpulkan pemesanan dari para investor serta Pemerintah
melakukan price whispering, price tightening dan kemudian dilakukan pricing pada tanggal 10 September 2013.
Penerbitan Islamic GMTN Program tahun 2013 memperoleh rating BBB- (Fitch), BB+ (Standard & Poors) dan Baa3 (Moodys),
serta mendapat respon yang baik dari investor internasional ditandai dengan total pemesanan yang disampaikan investor
melalui bookrunners mencapai USD5,7 miliar dari 300 investor atau mengalami oversubscribed sebesar 3,8 kali dari target yang
ditetapkan sebesar USD1,5 miliar.
Berdasarkan distribusi investor menurut demografinya, jumlah investor terbesar berasal dari Asia (kecuali Indonesia) yang
mencapai 25% dari total investor, selanjutnya Amerika Serikat yang mencapai 24% dari total investor. Jumlah investor yang
berasal dari Middle East and Islamic mencapai 20% dari total investor dan disusul investor Eropa sebesar 16%. Sedangkan
investor yang berasal dari Indonesia cukup besar, yaitu mencapai 15%, hal ini menunjukkan antusiasme investor yang berasal
dari Indonesia cukup tinggi. Selanjutnya, dilihat dari sebaran/jumlah investor menurut tipe investor, investor terbanyak berasal
dari Reksadana (Mutual Funds) yang mencapai 51% dari total investor, disusul Banks yang mencapai 34% dari total investor,
dan Central Banks and Sovereign Wealth Funds sebesar 7%. Tipe investor terkecil berasal dari perusahaan asuransi dan Private
Banks masing-masing sebesar 4% dari total investor.
Realisasi penerbitan SBSN dalam valuta asing dengan seri SNI19 sebesar USD1,5 miliar atau 32% dari total penerbitan SBSN.
Jumlah tersebut ekivalen Rp17,238 triliun (kurs saat closing Rp11.492). Sedangkan pelaksanaan setelmen dilakukan pada
tanggal 17 September 2013. Realisasi tersebut merupakan yang terbesar, baik dari jumlah nominal maupun porsinya, apabila
dibandingkan dengan penerbitan SBSN dalam valuta asing pada periode-periode sebelumnya.
86
Perkembangan kinerja lelang SBSN selama 3 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 3.41 berikut ini.
Tabel 3.41
No.
Deskripsi
2011
2012
2013
1.
Frekuensi lelang
8 kali
19 kali
20 kali
2.
Rp33,70 T
Rp56,08 T
Rp71,21 T
3.
Rp14,45 T
Rp26,35 T
Rp28,49 T
4.
Rp5,93 T
Rp18,49 T
Rp20,96 T
5.
Rp4,21 T
Rp2,95 T
Rp3, 56 T
6.
Rp1,80 T
Rp1,38 T
Rp1,42 T
7.
Rp0,74 T
Rp0,97 T
Rp1,04 T
Penerbitan SBSN seri PBS dan SPN-S dengan metode lelang di pasar perdana dalam negeri dilakukan secara reguler selama tahun
2013 mengalami peningkatan dari tahun 2012, yaitu menjadi sebanyak 20 kali lelang dengan realisasi jumlah penerbitan sebesar
Rp20,969 triliun atau 40% dari total penerbitan SBSN. Demikian juga dari jumlah penawaran (bid) pembelian yang disampaikan
oleh investor lebih besar, yaitu mencapai Rp71,21 triliun atau rata-rata mencapai Rp3,56 triliun. Hal ini mencerminkan permintaan
pasar atas SBSN yang semakin baik dalam setiap penerbitan SBSN, namun Pemerintah tetap selalu memperhatikan cost and risk
of borrowing, sehingga tidak selalu memenangkan seluruh bid yang masuk.
Tantangan yang dihadapi dalam rangka pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup dengan menggunakan instrumen
SBSN, antara lain:
i) Rendahnya jumlah penawaran yang masuk dan tingginya imbal hasil yang diminta pada lelang perdana SBSN, disebabkan antara
lain:
t1FMBLVQBTBSNFNBOEBOHCBIXBUJOHLBUZJFME4#/DFOEFSVOHSFOEBITFIJOHHBNFOHBLJCBULBOSFOEBIOZBWPMVNFQFSEBHBOHBO
pelaku pasar.
t4QSFBEZJFME$PSQPSBUF#POETEFOHBOZJFME4#/ZBOHDVLVQCFTBSNFOBSJLNJOBUJOWFTUPSVOUVLNFNCFMJ$PSQPSBUF#POET
termasuk investor asing.
t,POEJTJQBTBSTBIBNZBOHCVMMJTIQBEBBXBMUBIVOTFIJOHHBNFNCFSJLBOJNCBMIBTJMZBOHMFCJILPNQFUJUJGEJCBOEJOHQBTBS
obligasi.
ii) Kondisi pasar global mengalami gejolak disebabkan ketidakpastian ketika the Fed mengumumkan rencana akan memperkecil
skala quantitative easing III (tappering) stimulus keuangan Amerika Serikat, sehingga asing banyak melakukan aksi jual terhadap
SBN yang dimiliki dan menahan diri untuk tidak melakukan pembelian di pasar perdana.
iii)Kondisi pasar domestik yang secara umum kurang kondusif, yang ditandai realisasi tingkat inflasi yang melampaui dari target
inflasiyang telah ditetapkan, melemahnya mata uang rupiah, serta kebijakan BI menaikkan rate FASBI dan BI rate mendorong
kenaikan imbal hasil yang diminta investor.
iv)Kapasitas daya serap dan partisipasi investor dan/atau institusi syariah, baik di pasar perdana maupun sekunder, yang masih
belum besar;
v) Pasar sekunder SBSN yang belum likuid.
Upaya yang dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:
i) Mengingat pasar SBSN domestik baru mulai terbentuk dan masih dalam tahap pengembangan, maka secara konsisten akan
terus melakukan berbagai aktivitas meliputi, penyempurnaan mekanisme penerbitan SBSN, penguatan infrastruktur dalam rangka
peningkatan kinerja pasar sekunder SBSN, dan transparansi harga SBSN, antara lain:
t,BKJBOQSPHSBN1SJNBSZ%FBMFST 1%T
EBO#FODINBSL4FSJFT4#4/
t1FOZJBQBOUSBOTBLTJCVZCBDLEBOTXJUDIJOH4#4/
t.FOJOHLBULBOTJ[FQFOFSCJUBO4#4/ZBOHUSBEBCMF
87
ii) Menerapkan strategi baru dalam pelaksanaan lelang SBSN, diantaranya dengan menawarkan seri baru yang tidak ditawarkan
pada lelang SUN, yaitu 7 tahun dan 30 tahun. Tenor 7 tahun selain ditujukan untuk meningkatkan stok SBSN jangka menengah
yang diharapkan dapat mendorong perdagangan SBSN di pasar sekunder, juga untuk dipersiapkan sebagai benchmarck series
SBSN tenor 5 tahun;
iii) Menjamin ketersediaan underlying asset sesuai dengan jumlah kebutuhan penerbitan, dengan terus melakukan kajian diversifikasi
Aset SBSN dan mengembangkan instrumen SBSN baru menggunakan underlying selain Barang Milik Negara;
iv) Meningkatkan efektifitas edukasi/sosialisasi/diseminasi SBSN kepada masyarakat, investor, dan pelaku pasar;
v) Melakukan riset/survey untuk mengetahui preferensi investor SBSN (termasuk terhadap jenis instrumen baru), serta mengukur
potensi demand SBSN.
Dengan demikian maka target pencapaian kinerja pengadaan utang sesuai kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan SBSN, pada
tahun 2013 dapat tercapai dengan baik.
b. Persentase pencapaian target effective cost (KK-8.2)
Effective cost merefleksikan biaya riil yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah dalam menerbitkan/mengadakan utang. IKU ini bertujuan
agar Pemerintah dalam menerbitkan/mengadakan utang dapat dengan biaya utang yang wajar sesuai target yang ditetapkan.
persentase pencapaian target effective cost adalah pengukuran tingkat biaya utang dalam berbagai mata uang dan jenis instrumen
utang yang diterbitkan dalam satu tahun terhadap target. Pencapaian target effective cost berarti kombinasi tingkat biaya utang yang
diterbitkan dalam satu tahun sama dengan atau di bawah target effective cost yang ditetapkan.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang makin rendah dari target
adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, pencapaian target effective cost ditargetkan sebesar 100%, dengan realisasi sebesar 96,72%. Adapun rincian
pencapaian effective cost berdasarkan mata uang sampai dengan kuartal lV tahun 2013 adalah sebagai berikut:
1) Realisasi effective cost IDR sebesar 6,939% dari target sebesar 6,93%.
2) Realisasi effective cost USD sebesar 4,904% dari target sebesar 4,93%.
3) Realisasi effective cost EUR sebesar 4,367% dari target sebesar 5,12%.
Keberhasilan penurunan biaya utang (target effective cost) antara lain disebabkan oleh:
1) Perumusan rencana portofolio utang yang efektif untuk membiayai kebutuhan pembiayaan tahunan;
2) Penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman yang dilakukan secara selektif.
3) Fleksibilitas pembiayaan atas instrumen utang untuk mencapai biaya optimal.
Tantangan yang dihadapi dalam rangka mencapai target indikator persentase pencapaian target effective cost adalah:
1) Kondisi pasar keuangan yang fluktuatif berpotensi dapat meningkatkan yield SBN, sehingga dapat mengakibatkan biaya utang yang
ditanggung pemerintah meningkat;
2) Tingginya biaya utang melalui pinjaman komersial yang disebabkan adanya tambahan biaya-biaya terkait penarikan utang.
Upaya yang dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:
1) Memperhatikan kondisi pasar keuangan untuk menentukan waktu penerbitan SBN yang optimal sehingga dapat menurunkan yield
penerbitan SBN;
2) Meningkatkan usaha negosiasi terms and conditions pinjaman untuk menekan/mengurangi biaya-biaya terkait penarikan pinjaman
komersial.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.12 berikut. Berdasarkan grafik
tersebut, tampak walau sempat menurun pada tahun 2012, capaian persentase pencapaian target effective cost meningkat kembali
di tahun 2013, lebih tinggi daripada capaian tahun 2011.
88
Grafik 3.12
Perkembangan Capaian Persentase Pencapaian Target Effective Cost
120
100
100
83.5
80
100
100
96.72
80.58
60
Target
Realisasi
40
20
0
2011
2012
2013
89
2) Realisasi utang Variable Rate (VR) sebesar 16,01% dari target sebesar 15,08%; dan
3) Realisasi Short Term Debt (STD) sebesar 6,67% dari target sebesar 6,88%.
Tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator persentase pemenuhan target risiko portofolio utang antara lain:
1) Besarnya jumlah utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek yang disebabkan adanya tambahan penerbitan SPN 3 bulan yang
digunakan sebagai acuan tingkat bunga obligasi variable rate yang berpotensi meningkatkan risiko refinancing.
2) Melemahnya kurs rupiah terhadap USD pada akhir tahun antara lain disebabkan krisis keuangan di Eropa dan neraca perdagangan
defisit.
Upaya yang dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:
1) Melakukan debt switching dengan menukar utang yang jatuh tempo dalam 5 tahun dengan utang yang memiliki jangka waktu
pelunasan lebih panjang.
2) Menjaga penerbitan SBN valas dalam jumlah yang terkendali.
9. Sasaran Strategis 9: Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan transparan (KK-9)
Hubungan Keuangan pusat dan daerah mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara umum, yang ingin dituju adalah meminimumkan vertical fiscal imbalance dan
horizontal fiscal imbalance sehingga daerah mempunyai sumber daya fiskal yang cukup signifikan untuk menunjang tugas otonominya
tanpa membuat pusat kekurangan sumber daya fiskal untuk menjalankan fungsinya sebagai pemerintah negara kesatuan.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU), sebagaimana
ditabulasikan dalam tabel 3.42 berikut.
Tabel 3.42
Persentase ketepatan
Target
Realisasi
Kinerja
100%
99,26%
99,26%
93%
98%
105,38%
jumlah penyaluran
jumlah transfer ke
daerah
2.
90
Realisasi IKU persentase ketepatan jumlah penyaluran jumlah transfer ke daerah pada tahun 2013 adalah 99,26% terhadap pagu
alokasi dalam Peraturan Presiden untuk alokasi DAU dan Peraturan Menteri Keuangan untuk DBH, DAK, Dana Otsus, dan Dana
Penyesuaian, sehingga capaiannya adalah 99,26% dari target 100%. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.43 berikut ini:
Tabel 3.43
No
1
1
Alokasi
Perpres/PMK
Jenis Anggaran
2
% thd Alokasi
5
90.284.573.789.187
88.462.161.839.452
97,98%
a. DBH Pajak
46.581.255.987.004
46.005.602.325.973
98,76%
b. DBH SDA
43.703.317.802.183
42.456.559.513.479
97,15%
311.139.289.165.000
311.139.289.165.000
100,00%
31.697.143.000.000
30.752.380.876.800
97,02%
13.445.571.566.000
13.445.571.566.000
100,00%
231.392.653.000
115.696.326.500
50%
Dana Penyesuaian
70.364.139.179.000
69.437.076.792.654
98,68%
517.162.109.352.187
513.352.176.566.406
99,26%
Jumlah
Pelaksanaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah selama TA 2013 dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/
PMK.07/2012 tanggal 9 Januari 2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Secara singkat
mekanisme penyaluran dana diuraikan dalam tabel 3.44 berikut:
Tabel 3.44
Tahap I : 25%; Tahap II : 50%; Tahap III : selisih alokasi definitif dengan
yang telah disalurkan
(9%)
B. DBH PPh
II
Triwulan I & II: 20% ; Tw III: selisih realisasi penerimaan s/d Tw III
dengan yang telah tersalur; Tw IV selisih realisasi penerimaan s/d Tw
IV dengan yang telah tersalur
91
B. Pertambangan Umum
Triwulan I & II: 20% & 15% ; selisih realisasi penerimaan s/d Tw III
dengan yang telah tersalur; Tw IV selisih realisasi penerimaan s/d Tw
IV dengan yang telah tersalur
E. BOS Terpencil
Perkembangan alokasi Dana Transfer ke Daerah selama lima tahun terakhir telah mencapai sasaran sesuai Renstra tahun 2010-2014
dan mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Norma dan standardisasi kebijakan telah diselaraskan dengan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, Undang-Undang APBN Tahun 2012 dan Undang-undang
APBN-P Tahun 2012, serta Kesepakatan Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah sebagai bagian tak terpisahkan dari UU APBN.
Perhitungan dan pengalokasian diberlakukan secara keseluruhan daerah berdasarkan perhitungan tertentu. DBH dengan persentase
tertentu, DAU dengan formula, DAK dengan kriteria, Dana Otsus dan Penyesuaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
terkait. Di sisi lain, perkembangan jumlah daerah penerima dana transfer ke daerah dari tahun 2006 sebanyak 467 menjadi 524 pada
tahun 2013, atau meningkat 57 daerah selama 7 tahun, sebagaimana terlihat pada tabel 3.45 berikut.
Tabel 3.45
Perkembangan Jumlah Daerah dan Besaran Transfer Tahun 2006 s/d 2013
No Daerah
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Provinsi
33
33
33
33
33
33
33
33
Kabupaten/Kota
434
434
451
477
491
491
491
491
Jumlah
467
467
484
510
524
524
524
524
Realisasi Transfer
(Triliun rupiah)
226,2
253,3
292,6
303,1
344,6
411,2
479,62
513,35
% Kenaikan
50,30
11,98
15,51
3,59
13.69
16,63
16,64
7,03
92
jenis sedangkan satu jenis DBH, yaitu Panas Bumi dilaksanakan mulai tahun 2009. Untuk pertama kalinya DBH Panas Bumi pada tahun
2009 dibagikan kepada daerah di wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu DBH dari PNBP tahun 2006 s/d 2009. Adapun perkembangan
alokasi DBH SDA dan Pajak selama kurun waktu 2007-2013 sebagaimana tabel 3.46 berikut:
Tabel 3.46
No
Komponen
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
A. Pajak
1
PBB
21,79
22,37
22,8
27,12
27,59
26,03
BPHTB
4,29
7,35
7,65
7,69
PPh
7,94
9,98
10,09
10,93
13,16
19,37
19,09
Cukai HT
0,2
0,96
1,2
1,35
1,73
2,15
34,02
39,9
41,5
46,94
42,10
47,13
46,00
22,02%
17,28%
4,01%
13.11%
-10,31%
11,95%
-2,40%
2,85
4,24
6,98
7,79
15,14
12,86
11,6
24,76
Pertambangan Umum
Kehutanan
Perikanan
Panas Bumi
Sub jumlah (B)
% kenaikan
1,52
1,71
1,51
1,75
1,75
1,53
0,88
24,46
23,44
17,6
35,196
37,306
47,39
29,32
0,20
0,16
0,12
0,12
0,12
0.179
0,149
0,26
0,305
0,351
0,626
0,451
29,03
29,55
26,82
45,165
54,673
62,60
42,45
-6,39%
1,79%
-9,24%
68,4%
21,05%
14,5%
-32,19%
Total (A+B)
63,05
69,45
68,32
92.1
96,77
109,98
88,46
% Kenaikan
7,06%
10,15%
-1,63%
34,81%
4,98%
13,65%
-19,57%
Catatan:
t%#)4%"5"NFOHBDVQBEB"1#/1FSVCBIBO
t%#)4%"5"NFOHBDVQBEB"1#/1FSVCBIBO
t%#)4%"5"NFOHBDVQBEB"1#/1FSVCBIBO
t%#)1BKBL5"
EBOCFMVNUFSNBTVL#JBZB1FNVOHVUBO1##CBHJBO%BFSBI
Pada tahun 2008 dikenal DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) berdasarkan UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No
11 Tahun 1999 tentang Cukai. Pada Tahun 2008 dan 2009 DBH-CHT diberikan kepada lima daerah di wilayah provinsi penghasil CHT,
yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berbeda dengan DBH SDA yang pada umumnya
bersifat block grant, DBH Cukai bersifat specific grant.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, DBH SDA Migas dibagikan kepada daerah
dengan porsi 15,5% dari PNBP Minyak Bumi dan 30,5% dari PNBP Gas Bumi. Porsi tambahan 0,5% tersebut sebagai specific grant
yang harus dimanfaatkan untuk menambah anggaran pendidikan dasar di daerah dengan pembagian untuk provinsi/daerah penghasil/
daerah lainnya masing-masing sebesar 0,1%, 0,2% dan 0,2%. Perkembangan alokasi DBH Pajak dan DBH SDA dapat dilihat pada
Tabel 3.46.
Mengingat ketentuan mengenai perhitungan DBH dan penetapan alokasinya kepada daerah telah diatur secara jelas dalam UU Nomor
33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, kebijakan pengalokasian dari tahun ke tahun lebih mengarah pada penyempurnaan
proses perhitungan, penetapan alokasi dan ketepatan waktu penyaluran. Hal tersebut dilaksanakan melalui peningkatan koordinasi
dengan institusi pengelola PNBP seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, dan unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan (DJA, DJP, dan DJPB)
dalam rangka penyediaan data perhitungan dana bagi hasil yang lebih akurat. Koordinasi tersebut dilakukan dengan:
a) Konsultasi regional untuk semua komponen DBH-SDA yang dihadiri pengelola DBH-SDA kementerian/lembaga dan daerah
penghasil dengan tujuan mendorong daerah untuk turut berperan dalam optimalisasi penyetoran PNBP dan menghimpun data
93
setoran, dan mendorong daerah dapat berperan aktif dalam acara rekonsiliasi PPNBP/DBH, agar setoran PNBP per daerah dapat
dibagikan secara optimal.
b) Rekonsiliasi data PNBP dan perhitungan DBH yang dilakukan bersama institusi pengelola PNBP/DBH SDA dengan daerah
penghasil dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyaluran DBH SDA.
c) Rapat kerja antara unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mengelola penerimaan pajak dan cukai hasil tembakau
dengan daerah penghasil.
Perubahan yang penting dalam pengelolaan DBH pada tahun 2008 adalah pola penyaluran SDH SDA yang semula murni berdasarkan
realisasi penyetoran PNBP berdasarkan hasil rekonsiliasi triwulanan menjadi penyaluran dengan pola penggabungan antara penetapan
persentase dengan realisasi penyetoran PNBP melalui rekonsiliasi.
a) Penyaluran DBH Pajak 2013
Realisasi DBH Pajak yang terdiri atas DBH PPh, DBH PBB, dan DBH CHT mencapai Rp46.005.602.325.973,00 atau 98,76% dari
pagu alokasi Rp46.581.225.987.004,00. Rincian atas realisasi DBH Pajak tersebut adalah sebagaimana tabel 3.47 berikut:
Tabel 3.47
Pagu
Realisasi
DBH PPh
19.091.529.508.064
19.091.529.508.064
100,00 %
DBH PBB
25.305.789.884.583
24.762.581.557.738
97,85%
DBH CHT
TOTAL
2.183.936.594.357
2.151.491.260.171
98,51%
46.581.255.987.004
46.005.602.325.973
98,76%
Tabel 3.48
Pagu
Realisasi
DBH Migas
29.344.878.584.008
29.329.989.115.655
99,95 %
12.469.089.379.137
11.636.718.665.675
93,32 %
1.258.156.181.722
889.055.732.766
70,66 %
DBH Perikanan
149.774.724.480
149.774.724.480
100,00 %
481.418.932.836
451.021.274.903
93,69 %
43.703.317.802.183
42.456.559.513.479
97,15 %
DBH Kehutanan
TOTAL
94
Tabel 3.49
Alokasi Tahun
Peraturan Presiden
(Miliar Rp)
Jumlah
Daerah
2007
164.787,40
842,91
33 Provinsi
434 Kab/Kota
179.507,14
242,84
33 Provinsi
451 Kab/Kota
186.414,1
33 Provinsi
477 Kab/Kota
2008
2009
2010
2011
2012
2013
192.490,34
187,35
33 Provinsi
477 Kab/Kota
225.532,83
0,89
33 Provinsi
491 Kab/Kota
273.814,4
33 Provinsi
491 Kab/Kota
311.139.29
33 Provinsi
491 Kab/Kota
Telah terjadi perubahan yang mendasar selama periode tahun 2007 hingga tahun 2013 ditandai dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 menggantikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, di mana Indonesia memasuki fase kedua dari penerapan
Desentralisasi Fiskal. Terdapat perubahan yang mendasar dengan berlakunya UU tersebut, antara lain penyederhanaan formulasi
perhitungan DAU, penerapan kebijakan non-holdharmless, dan peningkatan persentase penentuan pagu DAU Nasional sekurangkurangnya 25% menuju 26% terhadap Penerimaan Dalam Negeri Netto. Menghilangkan unsur lumpsum dan proporsi belanja pegawai
sebagai komponen pembentuk perhitungan Alokasi Minimum untuk menyederhanakan formulasi perhitungan DAU. Perubahan
persentase, meskipun baru berlaku efektif mulai tahun 2006, telah ditentukan pagu DAU Nasional sebesar 25,5% terhadap PDN
Netto selama kurun waktu transisi. Penerapan kebijakan non-holdharmless merupakan salah satu pencapaian dalam prinsip keadilan
dalam proses pengalokasian DAU yang memungkinkan suatu daerah memperoleh alokasi lebih kecil dari tahun sebelumnya. Fokus
penerapan kebijakan tersebut dapat mengurangi beban APBN yang harus ditanggung dengan penambahan Dana Penyeimbang DAU.
Selain itu, penerapan formula AD+CF sangat berbeda dengan AM+AKF di mana AD (Alokasi Dasar) ketika disandingkan dengan CF
(Celah Fiskal) memiliki beberapa kemungkinan yang akan menghasilkan perhitungan DAU, yaitu :
a) Daerah yang memiliki nilai CF lebih besar dari nol (CF > 0) akan menerima DAU sebesar AD (Alokasi Dasar) ditambah dengan CF.
b) Daerah yang memiliki nilai CF = 0 akan menerima alokasi DAU sebesar AD.
c) Daerah yang memiliki nilai CF negatif (CF < 0) dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari AD (CF < 0; |CF| < AD), akan menerima DAU
sebesar AD setelah dikurangi dengan nilai CF.
d) Daerah yang memiliki nilai CF negatif dan nilai negatif tersebut sama dengan atau lebih besar dari AD (CF < 0 ; |CF| >= AD), maka
DAU yang diterima daerah tersebut adalah negatif atau disesuaikan menjadi 0 (nol).
Sedangkan formula sebelumnya AM+AKF, tidak ada proses persandingan antara AM dan AKF untuk menghasilkan alokasi DAU. Hal
ini mengandung makna bahwa alokasi gaji suatu daerah yang direpresentasikan dalam AD, dengan penerapan formula sesuai UU
No. 33 tahun 2004, diperhitungkan terhadap Celah Fiskalnya. Implikasi kebijakan ini yang perlu dicermati suatu daerah bahwa DAU
dialokasikan dengan menitikberatkan pada upaya mengurangi kesenjangan horizontal (horizontal fiscal imbalances) antardaerah.
95
Tahun anggaran 2013 total alokasi DAU adalah sebesar Rp311.139.289.165.000,00. Dari alokasi tersebut telah diterbitkan SPM
dengan nilai sebesar Rp311.139.289.165.000,00 atau 100%, dengan rincian sebagaimana tabel 3.50 berikut:
Tabel 3.50
PAGU
REALISASI
31.113.928.916.500
31.113.928.916.500
100,00%
280.025.360.248.500
280.025.360.248.500
100,00%
TOTAL
311.139.289.165.000
311.139.289.165.000
100.00%
Tabel 3.51
No
1
Bidang
2009
Prov
2010
K/K
Pendidikan
Prov
2011
K/K
Prov
2012
K/K
Prov
2013
K/K
Prov
K/K
t
t
Kesehatan
t
t
t
Jalan
Irigasi
Air Bersih
Pras. Pem
Pertanian
Lingkungan Hidup
10
Kel. Berencana
11
Kehutanan
12
PDT
13
Perdagangan
14
Sanitasi
t
t
t
15
Listrik Pedesaan
t
16
Perumahan&Pemukiman
t
17
Transportasi Pedesaan
t
18
Sarpras Perbatasan
t
19
Keselamatan Transportasi
t
24,82
21,13
25,23
26,11
31,69
% Kenaikan
17,08
-14,85
19,40%
3,49%
21,37%
Keterangan:
tBidang yang tahun sebelumnya sudah ada
tBidang baru pada tahun yang bersangkutan
96
Pada tahun 2008 hingga 2011 penambahan bidang DAK dikaitkan dengan pelaksanaan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2008 bahwa kegiatan kementerian/lembaga yang sebenarnya merupakan kewenangan daerah dialihkan secara bertahap ke DAK.
Penambahan bidang DAK pada tahun 2008 ditandai dengan pengalihan sebagian anggaran Badan Koordinasi Keluarga Berencana
(BKKBN) dan Kementerian Kehutanan, sementara pada tahun 2009 dilakukan pengalihan sebagian anggaran dari Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan pada tahun 2010 pengalihan sebagian anggaran K/L
dilakukan terhadap sebagian anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Sejak tahun 2006 pola perhitungan DAK per daerah dengan menggunakan Kriteria Umum, Kriteria Khusus, dan Kriteria Teknis yang
dari tahun ke tahun diupayakan untuk disempurnakan dalam rangka memperbaiki aspek keadilan pengalokasian sesuai dengan kondisi
daerah. Kriteria Umum mencerminkan kondisi keuangan daerah, kriteria khusus menggambarkan kondisi kekhususan wilayah yang
diasumsikan menjadi beban daerah dalam pengelolaan wilayah, dan kriteria teknis menunjukkan kondisi sarana prasarana dasar di
daerah.
Selama tahun 2006 hingga 2008 perhitungan DAK per daerah lebih banyak ditentukan oleh kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria
teknis lebih banyak digunakan untuk mengukur alokasi bagi daerah-daerah yang dinyatakan layak mendapatkan DAK berdasarkan
kriteria umum dan kriteria khusus. Perkembangan pola perhitungan terjadi pada DAK tahun 2011 dan 2012, dengan menggunakan
ketiga kriteria tersebut secara bersamaan, baik dalam menentukan kelayakan daerah penerima DAK, maupun besaran alokasinya.
Pola ini memungkinkan daerah yang tidak layak menurut kriteria umum dan kriteria khusus untuk mendapatkan DAK sepanjang indeks
teknisnya cukup tinggi sehingga daerah tersebut menjadi layak memperoleh DAK pada bidang tertentu.
Selanjutnya pencapaian yang cukup penting dari pengelolaan DAK adalah:
a) Menggunakan kebijakan penyaluran DAK Tahap I untuk mendorong percepatan penyelesaian Perda tentang APBD. Strategi tersebut
dituangkan dalam ketentuan bahwa bagi daerah yang belum menyampaikan Perda APBD kepada Kementerian Keuangan/DJPK,
DAK Tahap I sebesar 30% belum dapat disalurkan.
b) Menggunakan kebijakan laporan penyerapan DAK untuk mendorong percepatan penyerapan dan pelaksanaan kegiatan fisik DAK.
Bagi daerah yang cepat menyerap DAK Tahap I dengan menyampaikan laporan penyerapan hingga 90%, Tahap II sebesar 45%
akan disalurkan, demikian seterusnya hingga tahap akhir pernyaluran, yaitu sebesar 25% pada Tahap III.
c) Menggunakan kebijakan laporan pelaksanaan DAK dalam satu tahun (tahunan) untuk mendorong kelengkapan sistem informasi
keuangan daerah (SIKD) di Kementerian Keuangan/DJPK dari mulai alokasi, penyaluran, sampai realisasi penyerapan DAK per
bidang.
Alokasi DAK seluruh Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar Rp31.697.143.000.000,00. Alokasi DAK 2013 mengalami kenaikan
dari tahun 2012 yang sebesar Rp26.115.948.000.000,00 atau naik sebesar 21,37%.
DAK tahun anggaran 2013 dialokasikan untuk mendanai 19 bidang. Penyaluran DAK dilakukan dalam 3 tahap, yaitu masing-masing
sebesar 30%, 45% dan 25%. Dari alokasi pagu tersebut telah diterbitkan SPM dengan nilai sebesar Rp30.752.380.876.800,00 atau
97,02%.
97
Tabel 3.52
Tahap
Pagu
Realisasi (Rp)
Jml Daerah
DAK I (30%)
8.909.142.900.000
8.909.142.900.000
100,00%
518
DAK II (45%)
13.363.714.350.000
13.157.446.234.000
98,46%
513
475
7.424.285.750.000
6.741.218.897.800
90,80%
29.697.143.000.000
28.807.808.031.800
97,01%
600.000.000.000
600.000.000.000
100,00%
183
900.000.000.000
895.717.993.000
99,52%
182
500.000.000.000
448.854.852.000
89,77%
165
2.000.000.000.000
1.944.572.845.000
97,23%
31.697.143.000.000
30.752.380.876.800
97,02%
Dalam rangka percepatan penyerapan alokasi DAK oleh daerah-daerah penerima DAK, dilakukan upaya inisiatif strategis antara lain
dengan menerbitkan PMK 165/PMK.07/2013 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2013.
4) Penyaluran Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Penyesuaian Tahun 2013
Pada tahun 2013, total pagu Dana Otsus dan Penyesuaian sebesar Rp84.041.103.398.000,00 telah dapat diterbitkan SPM dengan
nilai sebesar Rp82.998.344.685.154,00 atau 98,76%, dengan rincian sebagaimana tabel 3.53 berikut:
Tabel 3.53
Pagu
Realisasi
Jenis Dana
4.355.950.048.000
4.355.950.048.000
100,00%
1.866.835.735.000
1.866.835.735.000
100,00%
6.222.785.783.000
6.222.785.783.000
100,00%
571.428.572.000
571.428.572.000
100,00%
428.571.428.000
428.571.428.000
100,00%
231.392.653.000
115.696.326.500
50,00%
43.057.800.000.000
43.049.824.362.000
99,98%
23.446.900.000.000
22.545.585.063.654
96,16%
2.412.000.000.000
2.394.228.188.000
99,26%
1.387.800.000.000
1.387.800.000.000
100,00%
59.639.179.000
59.639.179.000
100,00%
84.041.103.398.000
82.998.344.685.154
98,76%
Realisasi penyaluran dana Otsus untuk Provinsi Papua, Papua Barat dan Aceh sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 mencapai
Rp13.445,57 miliar, atau 100% dari pagu alokasi APBN 2013.
b) Dana Tunjangan Profesi Guru
Realisasi penyaluran TPG s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp43.049,82 miliar, atau 99,98% dari pagu APBN Rp43.057,80
miliar. Realisasi penyaluran TPG yang tidak mencapai 100% tersebut disebabkan oleh adanya 4 daerah dari total 489 daerah,
yakni Kab. Nias Selatan, Kab. Tolikara, Kab. Mamberamo Raya, dan Kab. Puncak yang tidak menyampaikan Laporan Realisasi
Penyerapan dana semester II 2012, sehingga TPG untuk triwulan II s.d. IV TA 2013 tidak dapat disalurkan. Sesuai dengan ketentuan
PMK No.41/PMK.07/2013 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada
Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2013, penyaluran TPG dilakukan secara triwulanan, yakni sebesar 25% per triwulan.
98
Adapun penyaluran triwulan II s.d. IV dilakukan setelah daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dana semester II tahun
sebelumnya.
c) Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD
Realisasi penyaluran dana Tambahan Penghasilan Guru s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp2.394,23 miliar, atau 99,26%
dari pagu APBN sebesar Rp2.412,00 miliar. Realisasi penyaluran yang tidak mencapai 100% tersebut disebabkan oleh adanya
19 daerah dari total 515 daerah yang tidak menyampaikan laporan realisasi penyerapan dana Tamsil Guru semester II TA 2013,
sehingga dana Tamsil Guru untuk triwulan II s.d. IV TA 2013 tidak dapat disalurkan. Adapun 19 daerah tersebut adalah sebagaimana
tabel 3.54 berikut:
Tabel 3.54
No
Daerah
No
Daerah
Prov. Sumut
11
Kab. Tolikara
Prov. Bengkulu
12
Prov. Lampung
13
14
Kab. Yalimo
15
Kota Palangkaraya
16
Kab. Puncak
17
18
19
10
Kab. Yahukimo
Sesuai dengan ketentuan PMK No. 42/PMK.07/2013 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Tambahan Penghasilan Guru
Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2013, penyaluran dana Tamsil Guru
dilakukan secara triwulanan, yakni sebesar 25% per triwulan. Adapun penyaluran triwulan II s.d. IV dilakukan setelah daerah
menyampaikan laporan realisasi penyerapan dana semester II tahun sebelumnya.
d) Dana Insentif Daerah (DID)
Realisasi penyaluran DID s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp1.387,80 miliar, atau 100% dari pagu alokasi APBN 2013.
DID tersebut disalurkan kepada 74 daerah penerima guna membantu pelaksanaan fungsi pendidikan.
e) Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Realisasi penyaluran dana BOS s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp22.545,59 miliar, atau 96,16% dari pagu APBN
sebesar Rp23.446,90 miliar. Dana BOS disalurkan guna meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan.
f) Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (PPDD)
Realisasi penyaluran dana P2D2 s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp59,6 miliar, 100% dari pagu APBN. Dana P2D2
disalurkan kepada daerah sebagai reward atas pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan yang didanai dari
DAK, khususnya DAK bidang infrastruktur.
b. Persentase Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan (KK-9.2)
IKU ini ditetapkan untuk menciptakan sistem pajak daerah dan retribusi daerah yang menjamin bahwa pungutan-pungutan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan perpajakan nasional untuk mendukung efisien alokasi sumber daya
nasional dan meningkatkan fungsi akuntabilitas fiskal daerah. Persentase jumlah perda PDRD yang berkualitas adalah jumlah
perda hasil evaluasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
99
Penetapan perubahan UU Nomor 34 tahun 2000 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
menuntut Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan evaluasi Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Perda
PDRD yang dibuat berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 dan jumlah
Perda PDRD berdasarkan UU Nomor 34 tahun 2000 yang telah diterima oleh Pemerintah Pusat namun belum dievaluasi masih cukup
besar sehingga diperlukan percepatan evaluasi.
Tabel 3.55
Tahun 2009
Tahun 2010
Target
Realisasi
Target
Realisasi
1.600
1.984
545
545
Tahun 2011
Target Realisasi
1.400
1.400
Tahun 2012
Target
1.400
Tahun 2013
Realisasi Target
1952
1.223
Realisasi
1.194
Pada tahun 2009, Kementerian Keuangan telah melakukan percepatan evaluasi melalui task force yang telah berhasil menyelesaikan
evaluasi Perda sebanyak 1984 Perda melebihi target yang telah ditetapkan sebanyak 1600 Perda. Dan pada tahun 2010, Perda yang
belum dievaluasi hanya sebanyak 545 Perda karena dengan diberlakukannya UU 28 Tahun 2009 telah memberikan dampak yang
cukup signifikan terkait dengan kebijakan PDRD yang mengharuskan Pemerintah Daerah untuk melakukan penggantian Peraturan
Daerah tentang PDRD yang masih menggunakan dasar hukum UU Nomor 34 Tahun 2000 dengan Peraturan Daerah yang sesuai
dengan UU Nomor 28 Tahun 2009. Pada tahun 2011 jumlah Perda PDRD yang sudah dievaluasi sebanyak 1.531 Perda. Dari evaluasi
yang dilakukan, Perda yang sesuai peraturan perundangan sebanyak 1.501 sedangkan Perda PDRD yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan sampai dengan akhir tahun 2011 sebanyak 30 Perda. Tahun 2012 jumlah perda PDRD yang sudah
dievaluasi sampai dengan 31 Desember 2012 yaitu sebanyak 1.952 perda. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.854 Perda telah sesuai
dengan hasil evaluasi raperdanya.
Pada tahun 2013 Jumlah perda PDRD yang sudah dievaluasi sampai dengan 31 Desember 2013 yaitu sebanyak 1.223 perda. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 1.194 Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi raperdanya (sesuai dengan peraturan-perundangan). Jadi
telah melebihi target yaitu 98% dari target yang ditentukan yaitu 93%. Hal ini sesuai dengan maksud UU No. 28 Tahun 2009 di mana
sebelum Perda ditetapkan telah dilaksanakan pengawasan preventif dan korektif.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.13 berikut:
Grafik 3.13
Perkembangan Capaian persentase Perda PDRD yang Sesuai Dengan
Peraturan Perundang-Undangan
120
100
80
94.98%
95.92%
90%
98%
93%
70%
60
Target
Realisasi
40
20
2011
2012
2013
100
10. Sasaran Strategis 10: Pengendalian mutu dan penegakan hukum yang efektif (KK-10)
Pengendalian mutu dan penegakan hukum yang efektif adalah mengawasi, mengamati, mengecek dengan cermat, memantau
pekerjaan maupun laporan agar pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku. Dalam pencapaian
sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 4 (empat) Indikator Kinerja Utama (IKU) dan 6 (enam) sub IKU
ditabulasikan dalam tabel 3.56 berikut.
Tabel 3.56
Realisasi
Kinerja
Indikator Kinerja
49,50 %
54,26%
109,61%
75%
85,48%
113,97%
35%
35,48%
101,37%
50%
30%
60%
55%
81,76%
120%
75%
82,49%
109,99%
10%*
10,34%
104,30%
80%
87,39%
109,24%
85%
76,67%
100,40%
4 (WTP)
3,94
98,50%
101
Penjelasan atas capaian keenam sub IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.
1) Tingkat efektivitas pemeriksaan pajak (KK-10.1.1).
Pemeriksaan perpajakan adalah pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil pemeriksaan pajak adalah surat ketetapan pajak (SKP), yaitu surat
ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
Persentase capaian IKU efektivitas pemeriksaan pajak adalah perbandingan antara jumlah SKP yang diterbitkan (yang merupakan
jumlah lembar SKP hasil pemeriksaan yang diterbitkan oleh fungsional) dengan jumlah SKP yang diajukan keberatan (yang
merupakan jumlah lembar SKP hasil pemeriksaan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak). SKP yang dihitung merupakan SKP
hasil pemeriksaan sampai dengan triwulan III tahun berjalan. Untuk SKP hasil pemeriksaan yang diterbitkan pada periode triwulan IV
tahun berjalan, akan dihitung pada periode triwulan tahun berikutnya. IKU ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan
pajak agar dapat menunjang penerimaan negara. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize),
di mana capaian yang makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan.
Tabel 3.57
7.390
59.568
52.178
6.412
8.325
Jumlah SKP yang diajukan keberatan selama periode pelaporan tahun 2013 adalah sebanyak 7.390 SKP. Sementara jumlah SKP
yang diterbitkan selama periode pelaporan tahun 2013 adalah sebanyak 59.568 SKP. Jumlah SKP yang keberatannya ditolak atau
dikabulkan sebagian sampai dengan bulan September 2013 adalah 6.412 SKP. Saldo Permohonan Keberatan Tahun Sebelumnya
adalah 8.325.
Usaha Kementerian Keuangan di tahun 2013 antara lain dengan meningkatkan kualitas pemeriksaan yang makin baik sehingga
memperkecil jumlah SKP yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak. Satu hal yang dangat menopang peningkatan kualitas
pemeriksaan tersebut adalah dengan dilakukannya kegiatan penelaahan sejawat (peer review) atas pemeriksaan pajak. Selain itu
juga dilakukan penyempurnaan aplikasi ALPP sehingga terdapat menu masukan untuk SKP yang diajukan keberatan dan tetap
meneruskan strategi-strategi yang telah berhasil dilakukan pada tahun 2012.
Realisasi tingkat efektivitas pemeriksaan sebesar 85,48%, di atas dari target yang sebesar 75%. Capaian IKU efektivitas penerimaan
mencapai 113,97%.
Untuk mengamankan capaian tahun 2013 di tahun 2014, Kementerian Keuangan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas pemeriksa melalui sosialisasi peraturan terkait pemeriksaan, dan
b) Melanjutkan pelaksanaan kegiatan Penelaahan Sejawat (peer review).
102
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.14 berikut:
Grafik 3.14
90%
85.48%
80%
75%
70%
60%
55%
50%
Target
Realisasi
40%
30%
20%
10%
0%
3.66%
2012
2013
Tabel 3.58
IKU
Persentase
Pencairan
Piutang Pajak
Formula
Jumlah Pencairan
Piutang Pajak
Jumlah Piutang
Pajak Awal Tahun
Target
Target (%)
Realisasi
Rp16.517 miliar
35
Rp16.686 miliar
Realisasi (%)
35,48
Rp47.514 miliar
Rp47.514 miliar
Jumlah piutang pajak yang telah jatuh tempo pada tahun 2013 adalah sebesar Rp77.514 miliar. Jumlah tersebut masih harus dikurangi
piutang kualitas macet sebesar Rp30,323 triliun, sehingga outsanding piutang 2013 adalah Rp47.191 miliar. Piutang outstanding
adalah saldo awal 2013 audited ditambah penambahan piutang selama tahun 2013 yang sudah jatuh tempo dan dikurangi piutang
PBB Migas, PBB P2 yang dialihkan ke Pemda dan piutang kategori macet.
Target pencairan piutang pajak outstanding tahun 2013 adalah sebesar Rp16.517 miliar, sementara realisasi pencairan piutang pajak
outstanding tahun 2013 adalah Rp16,686 triliun. Dengan demikian capaian pencairan piutang pajak tahun 2013 mencapai 101,37%.
Capaian tersebut sedikit di bawah capaian tahun sebelumnya yang mencapai 107,68%.
103
Untuk mempertahankan dan meningkatkan kembali capaian pencairan piutang pajak, Kementerian Keuangan mengambil langkahlangkah sebagai action plan yang akan dilaksanakan pada 2014, yaitu:
a) Pemberdayaan tim Asset Tracing dalam mencari keberadaan aset Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
b) Pembentukan tim uji coba Outbound Call Program Penagihan untuk mendukung pencairan piutang.
c) Penyempurnaan peraturan tentang pemblokiran.
d) Penyusunan Aplikasi Laporan Pemeriksaan dan Penagihan Tahap II di tahun 2014 untuk optimalisasi tindakan penagihan dalam
rangka penyusunan kertas kerja analisis risiko penagihan.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.15 berikut.
Grafik 3.15
60%
50%
50%
40%
32.30%
30%
24.70%
30%
Target
Realisasi
30%
20%
20%
10%
0%
2011
2012
2013
3) Persentase hasil penyidikan DJP yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) (KK-10.1.3)
Indikator penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan ini membandingkan antara jumlah sprindik atau berkas perkara yang
dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan dengan jumlah penyidikan. Status P21 adalah Jumlah Sprindik atau Berkas perkara kasus pidana di
bidang perpajakan yang sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (dinyatakan memenuhi syarat untuk proses selanjutnya). Termasuk
dalam status P21 apabila WP menggunakan pasal 44B UU KUP. Sementara jumlah penyidikan adalah jumlah akumulasi tunggakan
penyidikan awal tahun ditambah dengan Sprindik yang diterbitkan tahun berjalan.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan kepercayaan stakeholder dalam rangka pengamanan
pendapatan negara melalui tindakan hukum terhadap kasus pidana di bidang perpajakan. Pencapaian indikator kinerja ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Sampai dengan Triwulan IV tahun 2013 telah diserahkan 15 berkas perkara P-21 atau sebesar 60% dari target. Penyebab tidak
tercapainya target ini karena dinamika koordinasi dalam proses pembahasan kelengkapan kasus dari P-19 menjadi P-21 dapat
berbeda antara satu kasus dengan kasus yang lainnya. Alasan lain yang menjadi kendala penghambat adalah adanya perbedaan
pandangan antara Fungsional Pemeriksa Pajak (PPNS) dengan jaksa peneliti di Kejaksaan sehingga cukup sulit untuk dapat mencapai
status P-21. Selain itu, atas beberapa kasus penyidikan AAG yang diharapkan dapat P-21 segera setelah putusan kasasi MA, menjadi
tertunda karena terdapat kendala eksternal dari jaksa-jaksa peneliti yang baru
104
Sebagai langkah evaluasi atas kinerja tahun 2013, Kementerian Keuangan mengambil rencana aksi yang akan dilaksanakan pada
tahun 2014 sebagai berikut:
a) Pembentukan Tim Asistensi DJP-Polri-Kejagung,
b) Pemberdayaan kegiatan penyidikan di unit vertikal, dan
c) Bimbingan dan asistensi ke unit vertikal dalam rangka membantu penyelesaian kasus-kasus penyidikan yang telah mencapai tahap
P-19.
4) Persentase hasil penyidikan DJBC yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) (KK-10.1.4)
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mendorong kinerja penyidikan kasus tindak pidana kepabeanan dan cukai sampai dinyatakan
lengkap oleh Kejaksaan yang berasal dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang terbit sejak tahun 2011 sampai
dengan 2013. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari
target adalah capaian yang diharapkan.
Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai adalah segala perbuatan yang berhubungan dengan Kepabeanan dan Cukai yang atas
perbuatan tersebut diancam dengan pidana. SPDP adalah Surat Perintah Dimulainya Penyidikan sebagai penugasan penyidik untuk
memulai kegiatan penyidikan. Penyidikan merupakan tahap di mana penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti
atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut.
Pegawai DJBC
menunjukkan satu
kontainer rotan
hasil pencegahan
di Pelabuhan
Tanjung Priok
pada konferensi
pers (14/2).
Status P-21 adalah status dinyatakan lengkapnya berkas perkara pidana yang dilakukan penyidik Bea Cukai oleh Kejaksaan dan siap
untuk dilimpahkan ke pengadilan untuk menjalani proses persidangan. Jumlah berkas perkara yang berstatus P-21 adalah berkas
perkara kasus pidana di bidang kepabeanan dan cukai yang sudah diserahkan ke Kejaksaan dan memperoleh status P-21 pada
periode tahun berjalan yang berasal dari SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) yang terbit sejak tahun 2011 sampai tahun
2013.
SPDP yang dihentikan penyidikannya berarti bahwa proses penyidikan telah dinyatakan berhenti. Pasal 109 ayat (2) KUHAP memberi
wewenang kepada penyidik untuk dapat menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Setiap penghentian penyidikan yang
dilakukan oleh pihak penyidik maka secara resmi harus menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pasal 109 ayat (2) KUHAP menyatakan: Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut
ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
105
Alasan-alasan penyidik dapat menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut :
a) Karena tidak terdapat cukup bukti, meliputi juga SPDP yang daluwarsa karena tidak tidak terdapat cukup bukti;
b) Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
c) Penyidikan dihentikan demi hukum.
Jumlah Penyelesaian Penyidikan adalah jumlah penyidikan yang telah berstatus P-21 dan/atau SP3 yang terbit tahun 2013 yang berasal
dari SPDP outstanding sejak tahun 2011 sampai dengan 2013. Jumlah penyidikan adalah jumlah akumulasi tunggakan penyidikan
(SPDP outstanding) yang terbit sejak tahun 2011 ditambah dengan jumlah penyidikan (SPDP) yang diterbitkan pada tahun 2013.
Pengukuran persentase hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) dilakukan dengan membandingkan antara
jumlah penyelesaian penyidikan dengan jumlah penyidikan yang dilakukan.
Pada tahun 2013 capaian IKU ini adalah 81,76% dari target yang ditetapkan sebesar 55%. Pada tahun 2013 kegiatan penyidikan
mencapai 159 kasus (terdiri dari SPDP outstanding tahun 2012 sebanyak 27 kasus dan SPDP tahun 2013 sebanyak 132 kasus).
Dari 159 kasus tersebut sebanyak 130 kasus telah diserahkan ke kejaksaan dengan status P-21 (penyidikan tindak pidana di bidang
kepabeanan dan cukai yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan).
Capaian realisasi IKU persentase Hasil Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap oleh Kejaksaan (P-21) tahun 2013 sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 3.59 berikut:
Tabel 3.59
No
Kantor
Direktorat P2
88%
Aceh
60,00%
Sumut
17
16
94,12%
Khusus Kepri
6
7
8
Jakarta
Jabar
10
11
12
13
14
100%
25
18
72%
Sumbagsel
100%
Banten
25,00%
67,67%
12
10
83,33%
13
10
76,92%
Jatim I
15
13
86,67%
Jatim II
27
26
96,30%
100%
Kalbagbar
0,00%
15
Kalbagtim
100%
16
Sulawesi
83,33%
17
MPP
100%
18
KPU Batam
100%
19
20,00%
159
130
81,76%
Total
Target 2013
55%
106
Capaian IKU persentase Hasil Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap oleh Kejaksaan (P-21) selama tiga tahun terakhir selalu melampau
target dengan jumlah kasus yang berfluktuatif, dan target tahun 2013 ini dinaikkan menjadi 55% yang pada tahun 2012 dan 2011
target ditetapkan 50%. Berikut perbandingan capaian IKU persentase Hasil Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap oleh Kejaksaan
(P-21) dari tahun 2011 s.d. 2013 sebagaimana tabel 3.60.
Tabel 3.60
Tahun
SPDP
P-21/SP3
Realisasi
Target
2011
2012
121
96
79,34%
50%
150
118
78,67%
2013
50%
159
130
81,76%
55%
Walaupun pada tahun 2013 capaian indikator kinerja ini dapat melampaui target yang ditetapkan. Akan tetapi dalam pelaksanaan
penyidikan terdapat beberapa kendala yang dihadapi yang mana kendala-kendala tersebut akan sangat berpotensi menghambat
kinerja proses penyidikan pada tahun-tahun mendatang yaitu :
a) Kurangnya tenaga PPNS Bea Cukai yang terampil, yang antara lain disebabkan karena adanya perubahan persyaratan administrasi
untuk mengikuit pendidikan PPNS yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, yang mempersyaratkan calon peserta
diklat PPNS dengan pangkat minimal III/a dan telah memiliki ijazah S1.
b) Jumlah penyidik yang relatif sedikit, khususnya untuk kualifikasi Pelaksana. Banyak penyidik yang telah menduduki jabatan
struktural serta telah tersebar ke seluruh Indonesia serta penyebaran tenaga PPNS yang tidak merata dan proporsional dengan
beban penyidikan pada masing-masing kantor Bea Cukai.
c) Belum adanya kesepahaman dengan instansi penegak hukum lain di beberapa daerah berkaitan dengan pelaksanaan penegakan
hukum Kepabeanan dan Cukai.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk pencapaian target persentase hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) dengan cara melakukan koordinasi antara penyidik pada masing-masing unit kerja dengan Jaksa Penuntut.
5) Persentase penyelesaian piutang bea dan cukai (KK-10.1.5)
Tujuan IKU ini adalah untuk mengukur tingkat ketertagihan piutang di DJBC. Piutang adalah piutang yang timbul atas pendapatan
sebagaimana diatur dalam undang-undang Pabean dan Cukai, yang belum diselesaikan sampai akhir periode Laporan Keuangan.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
Jumlah piutang adalah akumulasi jumlah saldo awal piutang per 1 Januari 2013 (piutang outstanding) dan jumlah piutang terbit pada
tahun 2013. Piutang outstanding adalah jumlah piutang yang telah jatuh tempo dan belum diselesaikan sampai akhir periode Laporan
Keuangan. Sedangkan piutang terbit adalah jumlah piutang yang timbul pada tahun berjalan.
Jumlah piutang yang diselesaikan adalah akumulasi jumlah piutang yang telah diselesaikan pada tahun 2013 baik penyelesaian untuk
piutang yang berasal dari jumlah saldo awal piutang tahun 2013 maupun piutang terbit tahun 2013. Bentuk penyelesaian piutang
selama tahun berjalan (mutasi piutang sebagaimana dimaksud pada P-47/BC/2011 jo. PER-58/BC/2011) terdiri dari beberapa
mekanisme sesuai dengan Pasal 9 PER-58/BC/2011 yang dapat berupa :
a) Pembayaran/pelunasan
b) Penundaan pelunasan piutang
c) Pengangsuran pembayaran tagihan utang cukai
d) Pengalihan piutang pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
e) Penggunaan kompensasi cukai
f) Penggunaan kompensasi PPN
g) Keputusan Dirjen atas keberatan
107
108
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.16 berikut:
Grafik 3.16
82.50%
79.34%
82.49%
80%
75%
70%
60%
50%
50%
Target
Realisasi
50%
40%
30%
20%
10%
0%
2011
2012
2013
6) Persentase pelaksanaan audit terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai (KK-10.1.6)
Efektivitas pelaksanaan audit kepabeanan dan cukai selain diukur dari penyelesaian jumlah LHA juga diukur dari persentase audit
terhadap perusahaan penerima fasilitas Kepabeanan dan Cukai. Indikator kinerja persentase audit terhadap perusahaan penerima
fasilitas Kepabeanan dan Cukai bertujuan untuk mengukur tingkat pengawasan terhadap pengusaha penerima fasilitas kepabeanan
dan cukai melalui kegiatan audit.
Audit kepabeanan dan cukai adalah pemeriksaan terhadap buku, catatan, surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor,
dan sediaan barang dalam rangka menguji kepatuhan perusahaan terhadap peraturan kepabeanan dan cukai. Fasilitas kepabeanan
dan cukai adalah pemberian insentif terhadap pengusaha berupa fasiltas yang terkait dengan pelayanan dan fasilitas terkait dengan
fiskal kepabeanan dan cukai.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap pengusaha penerima fasilitas kepabeanan dan cukai.
Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari
target adalah capaian yang diharapkan.
Pengukuran persentase audit terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai dengan cara membandingkan antara
jumlah audit terhadap pengusaha penerima fasilitas yang dilaksanakan dengan jumlah pengusaha penerima fasilitas.
Pada tahun 2013 pelaksanaan audit terhadap pengusaha fasilitas kepabeanan telah dilakukan terhadap 334 perusahaan dari total
pengusaha penerima fasilitas kepabeanan dan cukai sejumlah 3.230. Realisasi capaian IKU ini adalah 10,34% dari target yang
ditetapkan sebesar 10% (sesuai addendum Kontrak Kinerja Nomor : 4A/KK/2013).
109
Tabel 3.61
Realisasi
(%)
Target
(%)
10,34%
10,00%
Tabel 3.62
Tahun
Perusahaan
Perusahaan
Penerima Fasilitas Penerima Fasilitas
Kepabeanan dan
Kepabeanan
Cukai
dan Cukai yang
diaudit
Realisasi
(%)
Target
(%)
2012
3.655
295
8,07%
5%
2013
3.230
334
10,34%
10%
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 2 (dua) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.17 berikut:
Grafik 3.17
12%
10.34%
10%
8.07%
10%
8%
Target
Realisasi
6%
5%
4%
2%
0%
2012
2013
110
Tabel 3.63
UIC
TW I
TW II
TW III
TW IV
% Capaian
DJP
77,07
82,76
86,13
87,73
109,67%
DJBC
100
100
93,33
93,33
116,67%
BKF
100
78,67
80
84,00
105,00%
DJA
80,00
86,33
86,67
88,39
110,49%
SETJEN
82,67
100
82,67
82,67
103,33%
ITJEN
94,22
91,56
89,50
90,44
113,06%
KEMENKEU
81,05
86,60
86,35
87,39
109,24%
Capaian atas indeks ketepatan waktu penyelesaian tindak lanjut Inpres Nomor 1 tahun 2013 telah memenuhi bahkan melebihi target
nilai indeks yaitu sebesar 80. Hal ini menunjukkan bahwa aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang telah ditetapkan dan
diamanatkan untuk dilaksanakan Kemenkeu telah terealisasi secara efektif di tahun 2013.
Beberapa realisasi atas target rencana aksi dalam Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2013 yang telah ditindaklanjuti Kemenkeu pada
tahun 2013 antara lain:
1) Seluruh rekomendasi hasil survei indeks kepuasan di lingkungan DJP telah ditindaklanjuti 100%;
2) Sebagai upaya peningkatan penerimaan negara, DJBC dan DJP telah melaksanakan joint audit pada beberapa perusahaan;
3) Terintegrasinya database anotasi/risalah putusan pengadilan pajak dengan database putusan peradilan di website Mahkamah
Agung;
4) Sebagai upaya penguatan fungsi supervisi dan pengendalian atas PNBP, telah diterapkan Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI)
serta dilakukan penyempurnaan proses bisnisnya;
5) Terintegrasinya Whistle Blowing System dan penanganan pengaduan masyarakat di Kemenkeu;
6) Terselesaikannya 60% kasus pengaduan yang tercatat, secara transparan dan konsisten di lingkungan DJP; serta
7) Terlaksananya strategi komunikasi Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi melalui sosialisasi dan kampanye budaya anti korupsi di
lingkungan internal/seluruh Satker Kementerian Keuangan.
111
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 2 (dua) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.18 berikut:
Grafik 3.18
87.39%
12%
10%
8%
83.62%
Target
Realisasi
6%
80%
4%
80%
2%
0%
2012
2013
Grafik 3.19
100%
0.9
90%
80%
0.87
0.6
70%
60%
0.4
50%
0.49
Target
40%
30%
20%
Realisasi
10%
0%
0.26
0.15
0.08
Q1
Q2
Q3
Q4
112
Upaya yang dilakukan dalam rangka pencapaian target adalah dengang mengadakan rapat koordinasi dengan Kementerian/Lembaga
untuk me-review penyerapan anggaran tahun 2013, mengembangkan Aplikasi Monitoring dan Evaluasi Penyerapan Anggaran serta
melakukan pengembangan Website Monev dan helpdesk terkait pelaksanaan anggaran
Penyerapan anggaran K/L sampai dengan Triwulan IV tahun 2013 (data s.d tanggal 15 Januari 2014) adalah sebesar Rp570.568,98
miliar atau sebesar 89,01% dari pagu DIPA K/L sebesar Rp641.009,57 miliar. Capaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
capaian tahun 2013 yang hanya sebesar 88,20%.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan penyerapan anggaran pada tahun 2013 dibawah target yang ditetapkan, beberapa hal
yang menyebabkan hal tersebut adalah:
1) Terdapat blokir anggaran yang tidak dicairkan sebesar Rp4.644,72 miliar;
2) Realisasi yang belum bersifat final dikarenakan masih adanya dispensasi untuk pembayaran Tahun Anggaran 2013 serta pengajuan
SPM TUP dan SPM GUP Nihil yang masih dapat dilakukan s.d tanggal 8 Januari 2014.
Tabel 3.64 menggambarkan perbandingan penyerapan anggaran antara triwulan IV tahun 2012 dengan triwulan IV tahun 2013.
Tabel 3.64
Triwulan IV 2012
(dalam miliar rupiah)
Uraian
Triwulan IV 2013
(dalam miliar rupiah)
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Belanja Pegawai
109.191,71
108.297,19
99,18
149.346,17
140.339,28
93,97
Belanja Barang
145.665,25
124.488,36
85,46
196.277,30
166.536,63
84,85
Belanja Modal
144.137,74
116.505,13
80,83
199.387,68
171.201,84
85,86
Bantuan Sosial
73.215,86
67.211,76
91,80
95.998,42
92.491,22
96,35
Total
472.210,56
416.502,45
88,20
641.009,57
570.568,98
89,01
Pada tahun 2013 terdapat beberapa Kementerian Negara/Lembaga dengan blokir dana terbesar dan berpengaruh terhadap
penyerapan anggaran. Tabel 3.65 menjelaskan rincian Kementerian Negara/Lembaga dengan blokir dana terbesar.
Tabel 3.65
No
Kementerian Negara/Lembaga
Dana Blokir
111.360.000.000
304.375.432.000
Kementerian Pertahanan
642.615.589.000
Kementerian Perhubungan
319.147.256.000
355.720.123.000
1.839.443.723.000
Total
3.826.727.793.020
254.065.670.020
Proporsi Pagu DIPA per jenis Belanja Tahun Anggaran 2013 dan persentase Penyerapan DIPA Tahun Anggaran 2013 dapat
digambarkan seperti grafik 3.20.
113
Grafik 3.20
Barang
31%
31%
Bansos
Pegawai
15%
Modal
23%
d. Rata-rata indeks opini BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 (KK-10.4)
Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel diwujudkan dengan penyusunan Laporan Keuangan (LK) yang lengkap oleh Pemerintah
Pusat. Bentuk dari peningkatan kualitas LK dapat diidentifikasi dari ketepatan penyusunan pertanggungjawaban anggaran dan opini
yang baik dari pemeriksa atas unsur-unsur pembentuk laporan keuangan.
Untuk memperoleh nilai indeks opini BPK RI, opini yang diberikan oleh BPK RI terhadap tiap-tiap laporan keuangan sebagaimana
tercantum dalam Tabel 3.4 dikonversikan ke dalam indeks berskala 1 s.d. 4 di mana masing-masing skala memilki makna: 1 untuk
opini Tidak Wajar; 2 untuk opini Tidak Memberikan Pendapat; 3 untuk opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP); dan 4 untuk opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (WTP DPP) atau Wajar Tanpa
Pengecualian Modifikasi Kata-kata, dan dihitung dengan bobot tertentu. Indeks ini digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pengawasan (monitoring, review, dan pendampingan audit BPK RI) yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)
dalam membantu meningkatkan kualitas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.09/2011 tanggal 2 Mei 2011 tentang Kebijakan Pengawasan Intern
Kementerian Keuangan, Arah kebijkan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) adalah untuk mewujudkan
sistem pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kemenkeu. Pelaksanaan kebijakan pengawasan tersebut dilaksanakan APIP salah
satunya melalui pelaksanaan review dalam rangka menjamin kualitas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999.
Untuk menjamin kualitas laporan keuangan tersebut, sejak tahun 2008 APIP melaksanakan berbagai kegiatan monitoring, review, dan
pendampingan audit BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 terhadap unit-unit terkait di lingkungan Kemenkeu. Melanjutkan
upaya sebagaimana telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, selama tahun 2013 telah direalisasikan berbagai kegiatan
monitoring, review, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 tahun 2012. Hasil
opini BPK RI atas LK tahun 2012 disajikan secara rinci dalam Tabel 3.66
114
Tabel 3.66
Rincian Opini BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 tahun 2012
Kode
BA 15
Nama LK
Realisasi
Opini LK Tahun
2011
WTP
WTP
WTP
WTP
WDP
WDP
Kementerian Keuangan
Bendahara Umum
Negara
BA 999.01
Pengelolaan Utang
WTP
WTP DPP
WTP
BA 999.02
Pengelolaan Hibah
WTP
WTP DPP
WDP
BA 999.03
Investasi Pemerintah
WTP
WTP DPP
WTP
BA 999.04
Penerusan Pinjaman
WTP
WTP
WTP
BA 999.05
Transfer ke Daerah
WTP
WTP
WTP
BA 999.07
Belanja Subsidi
WTP
WTP DPP
WTP
BA 999.08
Belanja Lain-lain
WTP
WTP
WTP
BA 999.99
Transaksi Khusus
WTP
N/A
Keterangan:
Sesuai dengan pembobotan yang dilakukan (50% untuk BA 15 dan 50% untuk LK BUN, BA 999.01 s.d. BA 999.05, BA 999.07
s.d. BA 999.08 dan BA 999.99), maka didapatkan indeks dengan skor 3,94. Adapun BA 999.99 (Transaksi Khusus) pada tahun
2012 belum dilakukan penilaian oleh BPK RI.
Realisasi IKU rata-rata indeks opini BPK RI atas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999 tidak tercapai sesuai dengan target (nilai indeks
3,94 dari target nilai indeks 4). Hal ini disebabkan karena opini BPK RI atas LK BUN Tahun 2012 hanya memperoleh opini BPK RI
berupa WDP dari target opini berupa WTP. Diketahui bahwa opini WDP atas LK BUN Tahun 2012 tersebut disebabkan masih terdapat
permasalahan terkait dengan untung/rugi selisih kurs yang belum dilakukan sesuai Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan,
kelemahan penganggaran dan penggunaan belanja barang, modal dan belanja bantuan sosial, penelusuran dan penilaian aset
eks-BPPN dan PT PPA yang masih belum selesai dilaksanakan, serta permasalahan terkait dengan adanya perbedaan nilai Saldo
Anggaran Lebih (SAL) yang dilaporankan dengan keberadaan fisiknya. Sebagai wujud concern Kemenkeu atas permasalahan ini,
pada tahun 2013 dan tahun-tahun berikutnya peningkatan kualitas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999 menjadi salah satu tema
pengawasan unggulan yang harus dilaksanakan oleh Itjen.
Meskipun nilai indeks opini BPK RI atas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999 tahun 2012 belum mencapai nilai 4,00 sebagaimana
yang ditargetkan pada tahun 2013, namun secara umum kualitas LK tersebut telah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal
tersebut dapat dilihat dari trend nilai indeks opini BPK RI yang terus mengalami peningkatan yaitu 3,13 di tahun 2010, 3,19 di tahun
2011, 3,88 di tahun 2012, dan di tahun 2013 nilai indeks opini BPK RI atas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999 adalah sebesar
3,94. Trend meningkat atas nilai indeks opini BPK RI tersebut merupakan salah satu bukti nyata bahwa Kemenkeu terus berupaya
untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Kerjasama yang baik antara unit penyusun dan pengelola LK dengan
APIP selaku unit monitoring dan review juga telah ikut andil dalam mendorong peningkatan kualitas laporan keuangan dan telah
menumbuhkan semangat dan keyakinan bahwa target nilai 4,00 atas indeks opini BPK RI dapat tercapai di tahun-tahun mendatang.
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas laporan keuangan sebagai salah satu wujud dari pengelolaan Keuangan
Negara yang akuntabel, action plan yang akan dilaksanakan pada tahun 2014 antara lain:
1) Mengintensifkan kegiatan monitoring, review, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK RI atas LK BA 015, LK BUN,
dan LK BA 999;
2) Asistensi penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan;
3) Monitoring tindak lanjut hasil audit BPK RI; serta
4) Terkait dengan permasalahan penyelesaian dan penelusuran aset eks-BPPN dan PT PPA akan dilakukan koordinasi dengan unit
terkait (BPK RI, DJKN, PPATK, dan unit lainnya) untuk mencari kemungkinan alternatif solusi atas aset eks-BPPN dan PT PPA yang
tidak ditemukan dokumen pendukungnya.
115
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.21.
Grafik 3.21
4.5
3.94
3.88
3.19
3.5
3.25
Target
Realisasi
2.5
2
1.5
1
0.5
0
2011
2012
2013
Tabel 3.67
2.
3.
4.
5.
Target
Realisasi
Kinerja
87%
88,52%
101,75%
90%
98,31%
109,23%
50%
66,21%
120%
100%
N/A
N/A
100%
99,56%
99,56%
116
mengikuti assesment. JPM merupakan skor kesesuaian antara level kompetensi pejabat dengan Standar Kompetensi Jabatan
(SKJ). JPM diperoleh dengan menghitung persentase perbandingan level kompetensi pejabat dengan SKJ target dan nilai JPM yang
disyaratkan adalah minimum 72%. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian
yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Di tahun 2013 pejabat eselon II dan III yang telah di-assess sejumlah 1.604. Dari keseluruhan pejabat tersebut, 1.420 orang telah
memenuhi standar kompetensi yaitu skor Job Person Match (JPM) 72. Sedangkan 184 orang lainnya belum memenuhi standar JPM
yang ditetapkan. Dari hasil ini diperoleh realisasi persentase pejabat Kementerian Keuangan yang telah memenuhi standar kompetensi
sebesar 88,52% lebih tinggi dari target yang ditentukan yaitu sebesar 87%.
Tabel 3.68
No
1.
Jumlah
1.604
assesment center
2.
1.420
3.
184
Capaian JPM
88,53%
Teknis pelaksanaan kegiatan untuk pencapaian IKU dimaksud adalah dengan melakukan pemantauan pergerakan mutasi dan
promosi pejabat struktural Kementerian Keuangan, untuk selanjutnya dilakukan pemetaan (mapping) atas pejabat-pejabat yang masih
perlu di-reassess. Hal ini dilaksanakan dengan payung hukum yang diatur dalam Peraturan Sekretaris Jenderal nomor 55 Tahun
2008 tentang Pelaksanaan Assessment Center Departemen Keuangan. Adapun di setiap kuartal dilakukan monitoring atas pejabatpejabat eselon II dan III Kementerian Keuangan yang belum di-assess setelah menduduki jabatan struktural definitifnya maupun bagi
pejabat yang skor JPM masih di bawah 72. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Assessment Center (AC) bagi pejabat eselon
II dan III Kementerian Keuangan adalah lebih ke teknis pemanggilan/penjadwalan AC para pejabat dimaksud. Solusi atas kesulitan
menyesuaikan jadwal AC dengan jadwal kegiatan peserta AC adalah dengan melakukan koordinasi dan konfirmasi lebih awal untuk
memperoleh kepastian jadwal.
117
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.22 berikut:
Grafik 3.22
90.00%
88.52%
88.00%
85.90%
86.00%
87.00%
84.00%
82.00%
81.66%
Target
82.50%
Realisasi
80.00%
78.00%
80.00%
76.00%
74.00%
2011
2012
2013
118
Pada tahun 2013, capaian Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan adalah 98,31% dari target 90%. Data tersebut diperoleh dari
hasil evaluasi pasca diklat terhadap program-program yang dirancang dan dilaksanakan oleh BPPK. Kegiatan yang diajukan untuk
dievaluasipascadiklatkan adalah sebagaimana tabel 3.69 berikut.
Tabel 3.69
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Unit
Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pusdiklat Pajak
Nama Diklat
1.
DBK Pelaksana
2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
DTSS Ekstensifikasi
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
1.
DTU Kesamaptaan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
1.
119
6.
2.
3.
4.
DTSS Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Miliki Negara (Bagi Pengguna Barang)
5.
6.
7.
8.
9.
1.
2.
3.
Diklat Ekonometrika
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Program diklat yang dievaluasipascadiklatkan adalah program diklat pada Semester I tahun 2013. Berkenaan dengan jumlah program
diklat yang harus diukur terlalu banyak sehingga tidak dapat dilakukan pengukuran sepenuhnya, akan dilakukan sampling atas programprogram diklat tersebut. Pengukuran kontribusi terhadap kompetensi difokuskan pada munculnya perilaku yang sesuai dengan tujuan
kurikulum diklat yang dievaluasi, dengan melakukan survei kepada alumni diklat atau atasan/rekan kerja alumni diklat.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.23 berikut:
Grafik 3.23
Perkembangan Capaian Persentase Diklat Yang Berkontribusi Terhadap Peningkatan Kompetensi
120
100
80
100%
96.88%
98.31%
90%
85%
80%
Target
Realisasi
60
40
20
0
2011
2012
2013
120
session, in-house training. Untuk bimbingan teknis, sharing session dan in-house training harus yang melibatkan narasumber
eksternal satker penyelenggara. Dikecualikan dari lingkup pelatihan adalah tugas belajar yang meliputi Program Diploma III
Kurikulum Khusus dan Diploma IV STAN, serta Program Sarjana dan Pascasarjana.
Target pegawai yang memenuhi standar jamlat adalah sebesar 50% dari jumlah pegawai pada tiap unit Eselon I. Standar jamlat per
tahun per pegawai adalah sebagai berikut:
Pelaksana: 30 Jamlat
Fungsional: 40 Jamlat
Eselon II : 15 Jamlat
Eselon IV:
Eselon I
30 Jamlat
: 15 Jamlat
IKU ini bertujuan untuk mengukur upaya Kementerian Keuangan dalam mengembangkan SDM-nya melalui alokasi waktu kerja
yang digunakan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. IKU ini bermanfaat untuk mencermati kebutuhan pengembangan SDM
dan menempatkannya dalam program kerja pengembangan SDM melalui diklat secara proporsional. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, seluruh unit eselon I telah mencapai IKU ini. Adapun rincian capaian IKU ini adalah sebagaimana tabel 3.70 berikut.
Tabel 3.70
Unit
Jumlah Pegawai
Memenuhi
Capaian
1.871
1.327
70,92%
Setjen
DJA
774
774
100,00%
DJP
30.112
21.330
70,84%
DJBC
10.701
5.819
54,38%
DJPB
7748
4346
56,09%
DJKN
3.449
2.346
68,02%
DJPK
426
231
54,23%
DJPU
301
228
75,75%
Itjen
547
508
92,87%
BKF
466
256
54,94%
BPPK
1.165
943
80,94%
Kemenkeu
57.560
38.108
66,21%
121
manajemen SDM. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi
dari target adalah capaian yang diharapkan.
Dalam perkembangannya IKU ini telah dihapuskan melalui addendum Kontrak Kinerja Nomor: 1A/KK/2013 dan diintegrasikan
capaiannya dalam IKU persentase Penyelesaian Blueprint Transformasi Kelembagaan (KK-12.4).
e. Persentase akurasi data SIMPEG (KK-11.5)
SIMPEG merupakan aplikasi kepegawaian yang berfungsi untuk menyimpan data pribadi atau data kepegawaian di lingkungan
Kementerian Keuangan. Yang dimaksud dengan akurasi data adalah kelengkapan dan kebenaran komponen data pegawai yang
terdapat pada aplikasi meliputi Nama Lengkap, Nomor Induk Pegawai, Pangkat (golongan/Ruang), Tempat Tanggal Lahir, dan Jabatan
(dirinci sampai unit terendah), pendidikan terakhir. Jika salah satu komponen data seorang pegawai tidak lengkap atau tidak benar,
maka data tersebut dinyatakan tidak akurat.
IKU ini bertujuan untuk mengukur akurasi terhadap data SIMPEG untuk mendukung pengelolaan pegawai. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Persentase Akurasi data SIMPEG sebagian besar unit sudah tercapai, kecuali DJBC dan DJKN. Rincian capaian akurasi data SIMPEG
ditabulasikan dalam tabel 3.71 berikut.
Tabel 3.71
Unit
Jumlah Sampel
Capaian
Setjen
1891
1891
100.00%
DJA
394
394
100.00%
DJP
1515
1515
100.00%
DJBC
910
883
97.03%
100.00%
DJPB
600
600
DJKN
609
603
99.01%
DJPK
445
445
100.00%
DJPU
299
299
100.00%
Itjen
390
390
100.00%
BKF
423
423
100.00%
BPPK
100
100
100.00%
Total
7576
7543
99.56%
122
Tabel 3.72
2.
3.
4.
Target
Realisasi
Kinerja
92
94,78
103,02%
90%
94,34%
104,82%
100%
98%
98%
55 (risk defined)
106,55%
Tabel 3.73
No
Kriteria
Nilai
KOMPONEN PENGUNGKIT
Kriteria Kepemimpinan
97,32
96,95
94,85
94,91
Kriteria Proses
95,97
92,50
94,60
II
KOMPONEN HASIL
123
95,13
Layanan
2
99,00
91,50
94,20
94,96
94,78
Capaian atas nilai reformasi birokrasi sebagaimana tersaji dalam tabel di atas di mana tiap kriteria komponen penilaian memiliki nilai di
atas 90, menunjukan bahwa saat ini Kemenkeu sedang berada dalam tahap Plan, Do, Check, and Act (continuous improvement cycle)
dan terus akan berupaya melakukan perbaikan guna mencapai hasil yang berkesinambungan dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Pelaksanaan penilaian dilaksanakan mulai pertengahan tahun 2012 hingga 30 Maret 2013 dengan rangkaian kegiatan sebagai
berikut:
1) Melakukan serangkaian asistensi dan sosialisasi kepada seluruh asesor di lingkungan Kementerian Keuangan untuk
meningkatkan pemahaman dan penyamaan persepsi mengenai ketentuan PMPRB;
2) Mengkoordinasikan penentuan jumlah responden dan proses pengisian kuesioner oleh 397 responden untuk memberikan
penilaian pada Komponen Pengungkit dan Hasil secara online ke website Menpan;
3) Melakukan pembahasan, mendatangkan narasumber dari Kementerian PAN dan RB serta menghadiri undangan rapat dari
Kementerian PAN dan RB terkait narasi dan dokumen bukti yang harus disiapkan Kementerian Keuangan;
4) Melakukan verifikasi Kertas Kerja PMPRB seluruh unit eselon I pada:
a) Komponen Pengungkit meliputi Kriteria Kepemimpinan, Perencanaan Strategik, SDM Aparatur, Kemitraan dan Sumber Daya
serta Proses.
b) Komponen Hasil meliputi Komponen Hasil untuk Kriteria Hasil pada Masyarakat/Pengguna Layanan, Hasil pada SDM
Aparatur, Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional, serta Hasil Kinerja Utama.
b. Persentase policy recommendation hasil pengawasan yang ditindaklanjuti (KK-12.2)
Perubahan proses bisnis yang mengedepankan pendekatan audit berbasis risiko merupakan salah satu upaya yang dilakukan Itjen
untuk memberikan nilai tambah bagi kinerja Kemenkeu. Sebagai strategic business partner bagi seluruh unit eselon I di lingkungan
Kemenkeu, APIP harus mampu berperan sebagai unit yang menjalankan fungsi assurance dan konsultatif. Kondisi tersebut menuntut
Itjen agar mampu menghasilkan output berupa usulan strategis yang dituangkan dalam policy recommendation dari setiap penugasan
pengawasannya baik berupa usulan draf revisi PMK, usulan draf revisi KMK, Rancangan PMK, Rancangan KMK, usulan draf SOP,
usulan Surat Edaran, usulan Kebijakan, serta usulan perbaikan lainnya.
Policy recommendation tersebut diharapkan mampu menjadi solusi alternatif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi
unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Adapun untuk melihat tingkat efektifitas hasil pengawasan APIP dapat diukur dari
seberapa besar tingkat implementasi atas policy recommendation yang diusulkan mampu ditindaklanjuti oleh unit eselon I terkait.
IKU ini bertujuan untuk mengoptimalkan perbaikan sebagai tindak lanjut atas policy recommendation. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2012, APIP telah menghasilkan 53 (lima puluh tiga) policy recommendation dari berbagai kegiatan Tema Pengawasan
Unggulan terhadap unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Dari jumlah policy recommendation tersebut, diketahui bahwa
50 (lima puluh) policy recommendation telah ditindaklanjuti oleh unit eselon I pada tahun 2013. Dengan kata lain, persentase policy
124
recommendation hasil pengawasan yang ditindaklanjuti unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan adalah sebesar 94,34% dari
target sebesar 90%. Rekapitulasi persentase policy recommendation hasil pengawasan yang ditindaklanjuti Kemenkeu pada tahun
2013 dapat dilihat pada tabel 3.74.
Tabel 3.74
Y-13
Polrec
Ditindaklanjuti
Tahun 2013
100%
100%
100%
No.
Unit
Q1
Q2
Q3
Q4
Setjen
DJA
DJP
DJBC
100%
DJPB
12
12
11
91,67%
DJKN
83,33%
DJPK
100%
DJPU
100%
Itjen
100%
10
BKF
11
BPPK
Total
0%
15
20
28
53
53
50
94,34%
Capaian ini menunjukkan bahwa secara umum hasil pengawasan APIP selama tahun 2012 telah secara efektif dilaksanakan oleh unit
eselon I di lingkungan Kemenkeu. Lebih jauh lagi, peningkatan persentase atas IKU ini92,86% di tahun 2012 menjadi 94,34% di
tahun 2013, merupakan salah satu bukti nyata bahwa seluruh unit eselon I di lingkungan Kemenkeu terus berupaya dalam melakukan
perbaikan dan penyempurnaan sistem maupun prosedur/operasinya.
Adapun 3 (tiga) policy recommendation yang masih belum selesai ditindaklanjuti akan terus dilakukan monitoring penyelesaiannya oleh
APIP. Target policy recommendation yang belum selesai ditindaklanjuti adalah terkait dengan:
1) Penyusunan pedoman oleh DJKN mengenai pelaksanaan tindak lanjut hasil penertiban BMN yang berasal dari KKKS Hulu Minyak
dan Gas Bumi;
2) Usulan perubahan PMK Nomor:99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara (MPN) oleh DJPB; dan
3) Penyusunan pedoman oleh BPPK mengenai analisis kebutuhan dan identifikasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan di Kemenkeu.
Sampai dengan 31 Desember 2013, draft RPMK/RKMK tentang hal tersebut di atas masih dalam proses finalisasi di Biro Hukum
untuk kemudian diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Jumlah policy recommendation yang telah dihasilkan dan
disampaikan APIP ke unit-unit eselon I di lingkungan Kemenkeu dari pelaksanaan Tema Pengawasan Unggulan selama tahun 2013
adalah sebanyak 48 (empat puluh delapan) policy recommendation, yang akan dimonitor tindak lanjutnya di tahun 2014 mendatang.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 2 (dua) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.24 berikut:
125
Grafik 3.24
94.34%
92.86%
92%
90%
90%
88%
Target
Realisasi
86%
84%
85%
82%
80%
2012
2013
126
Tabel 3.75
Risk Naive
Level 2:
Risk Aware
Level 3:
Risk Defined
Level 4:
Risk Managed
Level 5:
Risk Enabled
Penilaian dilakukan atas penerapan manajemen risiko untuk periode 1 Januari s.d. 30 Juni 2013. Unit penerapan manajemen risiko
yang dinilai adalah unit organisasi eselon II (Unit Pemilik Risiko) seluruh unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Untuk
kepentingan penilaian, masing-masing unit eselon I telah mengajukan 3 (tiga) UPR sebagai sample penilaian.
Hasil penilaian TKPMR oleh Inspektorat Jenderal selaku Compliance Office for Risk Management menunjukkan bahwa TKPMR
Kementerian Keuangan untuk periode penilaian semester I tahun 2013 berada pada Level 3 (Risk Defined) dari 5 level kematangan
dengan nilai rata-rata tertimbang 58,66 dari target 55. Nilai tersebut diperoleh dari rata-rata nilai TKPMR pada 11 (sebelas) unit
eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan rincian sebagaimana tabel 3.76 berikut:
Tabel 3.76
Keterangan
Kepemimpinan
Proses
Manajemen
Risiko
Aktivitas
Penanganan
Risiko
Hasil
Penerapan
Manajemen
Risio
Nilai TKPMR
SETJEN
7,89
29,33
9,70
11,00
57,92
ITJEN
10,13
35,74
9,32
10,00
65,19
DJP
10,25
31,80
9,94
10,25
62,24
DJBC
8,46
28,41
11,91
12,00
60,78
DJPB
10,72
29,48
11,69
10,00
61,89
DJKN
9,25
30,26
7,66
10,00
57,17
DJA
8,22
29,47
6,09
12,89
56,67
DJPU
9,84
29,59
9,27
13,00
61,70
DJPK
9,01
25,43
8,87
12,00
55,31
BPPK
9,31
29,66
9,84
9,00
57,81
BKF
5,28
29,03
6,21
8,09
48,61
KEMENKEU
8,94
29,84
9,14
10,75
58,66
127
Untuk meningkatkan level TKPMR di lingkungan Kemenkeu di masa yang akan datang, seluruh UPR di lingkungan Kemenkeu akan
terus berupaya untuk meningkatkan intensifikasi pengelolaan manajemen risiko melalui peningkatan komitmen pimpinan, integrasi
manajemen risiko dalam setiap proses pengambilan keputusan pimpinan, peningkatan kualitas register risiko, serta melalui proses
pembelajaran yang berkelanjutan tentang konsep dan penerapan manajemen risiko.
13. Sasaran Strategis 13: Perwujudan TIK yang terintegrasi (KK-13)
Integrasi TIK adalah penyatuan berbagai sistem TIK ke dalam satu sistem DC (Data Center)- DRC (Data Recovery Center). TIK yang
andal adalah TIK yang mampu mengelola data dan informasi yang memenuhi kriteria lengkap, akurat, mutakhir, dan terpercaya.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU)
sebagaimana tabel 3.77 berikut:
Tabel 3.77
Target
Realisasi
Kinerja
1.
80%
80%
100%
2.
5%
0,04%
120%
Tabel 3.78
Tahun
Target
2011
40%
2012
60%
2013
80%
2014
90%
2015
100%
Pada tahun 2012 pencapaian persentase Integrasi TIK adalah sebesar 55,78% dari target 60%. Sementara, pada tahun 2013
ditargetkan penambahan target integrasi TIK sebesar 24,22% sehingga total capaian menjadi 80%. Berikut ini capaian kegiatan 2012
yang dilaksanakan di tahun 2013 tercapai 4,22%:
1) Pelaksanaan Manajemen Konstruksi DRC Kemenkeu di Balikpapan tercapai 0,33%;
2) Pelaksanaan Pembangunan DRC Kementerian Keuangan di Balikpapan tercapai 0,89%;
3) Penyiapan SDM TIK Kementerian Keuangan (Jasa konsultansi Gap Analysis SDM TIK) tercapai 2%;
4) Penyusunan Strategi Konsolidasi Infrastruktur TIK DRC Kementerian Keuangan (tercapai 1%)
128
Kinerja yang berhasil dicapai pada tahun 2013 adalah sebesar 20%, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Persentase integrasi akses komunikasi Data Kementerian Keuangan (Akses Internet, Intranet dan Data Eksternal) tercapai 5%;
a) Internet
(1) Telah selesai dilakukan implementasi Mirroring link DC/DRC;
(2) Telah selesai dilakukan implementasi Internet DC/DRC.
b) Intranet
(1) Telah selesai dilakukan implementasi link intranet kantor pusat DJBC, DJP dan BPPK;
(2) Telah selesai dilakukan implementasi Intranet kantor vertikal BPPK, GKN, KPKNL, KPPBC dan Rumah Dinas;
(3) Telah selesai dilakukan implementasi Intranet kantor vertikal BPPK, GKN, KPKNL dan KPPBC.
c) Data Eksternal
Telah selesai dilakukan implementasi link eksternal Bloomberg, UN Comtrade, Reuters, CEIC, IBFD.
2) Pelaksanaan konsolidasi infrastruktur TIK DRC Kemenkeu tercapai 5%
a) Telah ditentukan pemenang pengadaan konsolidasi infrastruktur yaitu PT Telkom Sigma.
b) Pelaksanaan konsolidasi:
(1) Pemindahan DRC Setjen (non SPAN) ke Balikpapan;
(2) Pemindahan perangkat MPN DJP ke DC Kementerian Keuangan dan redundancy pada DRC Kementerian Keuangan;
(3) Implementasi redundancy Sistem DJBC pada DC Kementerian Keuangan.
3) Implementasi DRP pada DRC Kementerian Keuangan (mencakup dokumen DRP, dokumen strategy redundancy DC/DRC)
tercapai 5%;
a) Telah dilaksanakan penyusunan dokumen DRP untuk 6 unit yaitu DJA, DJKN, ITJEN, DJPU, DJPK dan SETJEN;
b) Telah disepakati oleh Pusintek dan Mc. Kinsey format Business Impact Analysis (BIA) dari bidang PTIK. Telah selesai dilakukan
analisis pada unit DJPU, DJPK, ITJEN, SETJEN, DJA, dan DJKN. Saat ini sedang dilakukan analisis pada BPPK dan DJPBN.
Untuk BKF, sudah ada form BIA yang sudah diisi tetapi belum ditandatangani oleh pengisi kuesioner;
c) Dokumen Strategy Redudancy telah selesai disusun dan ditandatangani oleh Kepala Bidang PSI;
d) Telah dilaksanakan DRC drill tahap 2 pada tanggal 29-30 November 2013.
4) Integrasi Domain Kementerian Keuangan pada DC/DRC tercapai 5%.
a) Telah dilakukan pendaftaran PTR record untuk webmail.kemenkeu.go.id dan autodiscover.kemenkeu.go.id;
b) Untuk setiap permintaan hosting baru, telah dilakukan penambahan untuk domain kemenkeu.go.id.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.25 berikut:
Grafik 3.25
90%
80%
80%
80%
70%
60%
50%
53.78%
40%
60%
Target
Realisasi
40%
30%
40%
20%
10%
0%
2011
2012
2013
129
Downtime Layanan TIK adalah terhentinya layanan TIK yang memiliki kritikalitas sangat tinggi, yang disebabkan oleh gangguan pada
infrastruktur TIK (server fisik, server virtual, jaringan intranet, dan jaringan internet) yang dikelola oleh Sekretariat Jenderal c.q. Pusintek.
Layanan TIK adalah layanan TIK pada masing-masing unit Eselon I yang mendukung proses bisnis Kementerian Keuangan dan
memiliki kritikalitas sangat tinggi. Downtime Layanan TIK yang memiliki kritikalitas sangat tinggi ditentukan berdasarkan hasil BIA atau
berdasarkan penilaian Service Desk atas laporan yang diterima. Penghitungan downtime Layanan TIK tidak termasuk downtime yang
direncanakan (planned downtime) dan disetujui unit Eselon I terkait untuk tujuan pemeliharaan.
IKU ini bertujuan untuk mengukur ketersediaan sistem pelayanan dalam rangka meningkatkan pelayanan TIK dengan tingkat downtime
yang seminimal mungkin. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang
makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, IKU ini terealisasi 0,04% dari target 5%, sehingga diperoleh nilai capaian 120%. persentase downtime Layanan TIK
sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebagaimana tabel 3.79 berikut.
Tabel 3.79
Triwulan
Uptime
Downtime
Triwulan I
99,99%
0,01%
Triwulan II
99,92%
0,08%
Triwulan III
99,98%
0,02%
Triwulan IV
99,98%
0,02%
Tahunan
99,96%
0,04%
130
Tabel 3.80
Realisasi
Kinerja
1.
Indikator Kinerja
95%
87,%
91,74 %
2.
98%
94,89%
96,83%
DIPA
Tabel 3.81
No
Belanja
Pagu DIPA
Realisasi
% Realisasi Q4
2013
Barang
Rp7.816,15 M
Rp6.943,73 M
88,84%
Modal
Rp2.042,31 M
Rp1.648,22 M
80,70%
Rp394,09 M
Rp9.959,73 M
Rp8.591,95 M
87,15%
Rp1.266,51 M
Jumlah
Sisa Pagu
2013
Rp872,42 M
Data tersebut merupakan capaian per 31 Desember sehingga bukan merupakan capaian final karena proses rekonsiliasi masih
berlangsung sampai akhir Januari.
Selanjutnya berdasarkan data SAU per 27 Januari 2014, realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan TA 2013 untuk belanja
barang dan belanja modal adalah sebesar Rp8.584,21 miliar atau 87,07% dari jumlah pagu dalam DIPA sebesar Rp9.858,46
miliar. Realisasi tersebut masih belum mencapai target dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Keuangan sebesar 95%.
Secara total (termasuk belanja pegawai), realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan adalah sebesar Rp16.688,61 miliar atau
mencapai 90,45% dari total pagu sebesar Rp18.408,68 miliar.
Perbandingan realisasi penyerapan DIPA per jenis belanja untuk tahun anggaran 2010 sampai dengan 2013 tersaji dalam tabel 3.82
berikut:
Tabel 3.82
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
7.626,57
7.194,52
94,34
8.161,58
7.510,46
92,02
5.161,99
3.931,94
76,17
6.315,76
5.279,31
83,59
2.603,30
1.850,19
71,07
2.869,53
2.084,80
72,56
15.391,86
12.976,65
84,31
17.346,87
14.874,57
85,75
131
(Lanjutan)
Jenis
Belanja
Belanja
Pegawai
Belanja
Barang
Belanja
Modal
Total
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
8.375,08
7.993,25
95,44
8.550,21
8.066,10
94,34
7.127,78
6.105,90
85,66
7.816,15
6.936,22
88,74
1.899,23
1.635,85
86,13
2.042,31
1.647,99
80,69
17.402,10
15.736,15
90,42
18.408,68
16.650,31
90,45
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, meskipun sampai dengan saat ini target IKU tersebut belum tercapai, namun telah terjadi
peningkatan atas realisasi penyerapan belanja secara total setiap tahunnya.
Beberapa kendala yang menyebabkan tidak tercapainya target realisasi persentase penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non
belanja pegawai), antara lain:
1) Keterbatasan SDM yang memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa dan pola mutasi pegawai bersertifikat, sehingga
menghambat proses pengadaan barang dan jasa.
2) Adanya gagal lelang dalam proses pengadaan barang dan jasa yang antara lain disebabkan rendahnya jumlah penyedia barang
dan jasa yang memenuhi kualifikasi dan rendahnya minat dari penyedia untuk mengikuti pelelangan.
3) Terhambatnya pelaksanaan pembangunan dan renovasi gedung karena kendala persetujuan teknis dari pihak eksternal.
4) Kurangnya kesiapan dokumen perencanaan dan penganggaran yang antara lain terkait dokumen sertifikasi dan IMB yang belum
siap, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang terlalu tinggi.
5) Adanya perubahan mekanisme revisi anggaran anggaran namun tidak langsung diikuti penerbitan aturan dan revisi aplikasi
RKA-KL DIPA, serta terhambatnya proses revisi anggaran karena adanya proses APBN-P.
Selain kendala-kendala tersebut, realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan juga dipengaruhi penggunaan proses e-procurement
dalam proses pengadaan barang dan jasa, yang mampu menghasilkan efisiensi belanja. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Keuangan, dengan proses pengadaan barang dan jasa melalui proses
e-procurement sebesar Rp3.197,96 miliar, dapt dilakukan penghematan sebesar 12,18% atau Rp389,55 miliar.
132
Penghematan tersebut cukup signifikan mempengaruhi realisasi penyerapan anggaran belanja barang dan belanja modal karena
penghematan yang dilakukan mencapai 2,16% dari total belanja barang dan belanja modal di Kementerian Keuangan pada tahun 2013
yang mencapai Rp18.048,68 miliar. Adapun rincian penghematan dimaksud sebagaimana tampak pada tabel 3.83 sebagai berikut.
Tabel 3.83
Paket
Pagu
Pengadaan
Nilai Hasil
Lelang
Penghematan
No.
Unit Eselon I
1.
BKF
16
26.331,03
18.843,57
7.487,45
28,44%
2.
BPPK
168
138.066,39
114.988,09
23.078,30
16,72%
3.
DJA
13
10.780,94
8.700,83
2.080,11
19,29%
4.
DJBC
156
1.669.390,94
1.552.213,44
117.177,50
7,02%
5.
DJKN
168
138.066,39
114.988,09
23.078,30
16,72%
6.
DJP
220
515.026,15
405.145,84
109.880,31
21,33%
7.
DJPB
144
176.577,79
154.343,38
22.234,41
12,59%
8.
DJPK
16
15.500,37
12.939,47
2.560,90
16,52%
9.
DJPU
13
7.605,85
6.686,70
919,15
12,08%
10.
Itjen
11.
Setjen
184
TOTAL
1104
Rp.
8.738,00
6.769,16
1.968,84
22,53%
491.873,88
412.785,64
79.088,24
16,08%
3.197.957,71
2.808.404,20
389.553,51
12,18%
Dengan memperhitungkan realisasi penyerapan belanja barang dan modal sebesar 87,07% dan nilai penghematan yang mencapai
2,16%, maka dapat disimpulkan bahwa realisasi DIPA Kementerian Keuangan untuk belanja barang dan belanja modal tahun anggaran
2013 mencapai 89,23%.
Adapun, hal-hal yang telah diupayakan dalam rangka mencapai target realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (Non
Belanja Pegawai), antara lain:
1) Pelaksanaan Rapat Koordinasi Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Tahun 2013 dengan melibatkan 66 satuan kerja vertikal lingkup
Kementerian Keuangan dengan kriteria memiliki belanja modal TA 2013 di atas Rp1 miliar pada Bulan Agustus 2013.
2) Percepatan penunjukan Pejabat Pengelola Anggaran pada bulan Desember 2012 dan percepatan penyelenggaraan pelatihan dan
sertifikasi pengadaan barang dan jasa bagi PPK dan diklat bagi Bendahara di awal tahun anggaran.
3) Percepatan pemaketan pengadaan barang dan jasa serta pengumuman RUP pengadaan barang dan jasa pada pertengahan
bulan Januari 2013.
4) Penelaahan kembali DIPA untuk percepatan pelaksanaan revisi anggaran yang diperlukan.
5) Penggunaan aplikasi Monitoring Keuangan dan Aset (MONIKA) sebagai alat pemantauan realisasi dan kendala penyerapan
anggaran secara berkala, serta penyelenggaraan help desk untuk membantu proses pengadaan barang dan jasa.
6) Melakukan koordinasi dengan kantor pusat agar selesai mengisi kekosongan pejabat/pegawai definitif yang bertugas
melaksanakan pengelolaan keuangan satker.
7) Menyelenggarakan diklat perencanaan dan penganggaran bekerja sama dengan BPPK agar satker dapat menyusun dokumen
pendukung penganggaran dengan baik, khusunya TOR dan RAB.
8) Melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam proses perizinan antara lain dengan Biro Perlengkapan untuk proses
penghapusan BMN, dengan Dinas PU untuk proses penilaian teknis PU, dengan Pemda setempat untuk IMB.
9) Memperbaiki rencana kegiatan dan rencana pencairan anggaran (disbursement plan) agar lebih sistematis dan realistis dengan
merujuk pada RUP yang telah disempurnakan.
133
Pada Renstra Kementerian Keuangan tahun 2010-2014, target realisasi penyerapan anggaran Kementerian Keuangan untuk tahun
2014 adalah 90% (untuk belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal), meningkat 5% dari kondisi pada tahun 2010 yang
masih ditargetkan sebesar 5%. Adapun realisasi belanja pada tahun 2010 s.d. 2013 adalah sebagaimana grafik 3.26 berikut.
Grafik 3.26
85.70%
84.17%
90.43%
90.45%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
2010
2011
2012
2013
Berdasarkan data di atas, secara umum realisasi penyerapan anggaran Kementerian Keuangan sejak 2010 s.d. tahun 2013 selalu
mengalami peningkatan. Selain itu, dapat disampaikan pula bahwa target realisasi penyerapan anggaran dalam Renstra Kementerian
Keuangan tahun 2010-2014 telah dapat dicapai pada tahun 2012 dan dapat dipertahankan serta ditingkatkan pada tahun 2013.
b. Persentase penyelesaian kegiatan belanja modal dalam rencana pencairan DIPA (KK-14.2)
IKU persentase penyelesaian kegiatan belanja modal dalam rencana pencairan DIPA mengukur realisasi output atas belanja modal
dan juga mempertimbangkan realisasi belanja modal tersebut. IKU ini disusun untuk mendorong pelaksanaan belanja modal yang
selama ini masih belum mencapai target yang ditetapkan, baik realisasi fisik maupun realisasi belanja modal tersebut.
Capaian atas IKU ini pada tahun 2013 untuk Kementerian Keuangan adalah sebesar 96,83% dengan rincian capaian kinerja per
eselon I adalah tampak pada tabel III.84 berikut:
Tabel 3.84
Unit
Target
Realisasi
1.
2.
Setjen
98,00%
76,22%
77,78%
DJA
98,00%
99,99%
102,03%
3.
DJP
98,00%
82,66%
84,58%
4.
DJBC
98,00%
99,92%
101,96%
5.
DJPB
98,00%
99,48%
101,51%
6.
DJKN
98,00%
96,64%
98,61%
7.
DJPK
98,00%
99,94%
101,98%
8.
DJPU
98,00%
90,86%
92,71%
9.
Itjen
98,00%
100,00%
102,04%
10.
BKF
98,00%
99,60%
101,63%
11.
Capaian
BPPK
98,00%
98,47%
100,48%
Rata-rata
98,00%
94,89%
96,83%
134
Pencapaian realisasi penyelesaian kegiatan belanja modal yang baru mencapai 94,89% dari target sebesar 98% dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain:
1) Adanya gagal lelang dalam proses pengadaan barang dan jasa terkait belanja modal, terutama pembangunan gedung. Adapun,
waktu yang tersedia tidak mencukupi untuk pelaksanaan lelang ulang;
2) Belum lengkapnya dokumen pendukung sehingga anggaran belanja modal yang masih diblokir tidak dapat direalisasikan pada tahun
2013;
3) Pengunduran diri pemenang lelang, yang antara lain disebabkan perubahan nilai kurs US Dollar; dan
4) Gagal bayar karena keterlambatan pada pengadaan perangkat IT.
Pada tahun 2013 telah dilakukan upaya-upaya untuk mendorong pencapaian IKU tersebut yang antara lain melalui:
1) Percepatan pemaketan pengadaan barang dan jasa serta pengumuman RUP pengadaan barang dan jasa pada pertengahan bulan
Januari 2013, serta pelaksanaan monitoring RUP;
2) Melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam proses perijinan antara lain dengan Biro Perlengkapan untuk proses penghapusan
BMN, dengan Dinas PU untuk proses penilaian teknis PU, dengan Pemda setempat untuk IMB; dan
3) Pelaksanaan Rapat Koordinasi Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Tahun 2013 dengan melibatkan 66 satuan kerja vertikal lingkup
Kementerian Keuangan dengan kriteria memiliki belanja modal TA 2013 di atas Rp1 miliar pada Bulan Agustus 2013.
135
AKUNTABILITAS
KEUANGAN
B. Akuntabilitas Keuangan
1. Perbandingan Pagu DIPA dan Realisasi DIPA Kementerian Keuangan 2013 per Jenis Belanja
Berdasarkan data Sistem Akuntansi Umum (SAU) per 27 Januari 2014, realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan TA 2013
untuk seluruh belanja (belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal) adalah sebesar Rp16.688,61 miliar atau mencapai
90,45% dari total pagu sebesar Rp18.408,68 miliar.
Perbandingan realisasi penyerapan DIPA per jenis belanja untuk tahun anggaran 2010 sampai dengan 2013 tersaji dalam tabel 3.85
berikut:
Tabel 3.85
Belanja
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Belanja
7.626,57
7.194,52
94,34
8.161,58
7.510,46
92,02
5.161,99
3.931,94
76,17
6.315,76
5.279,31
83,59
2.603,30
1.850,19
71,07
2.869,53
2.084,80
72,56
15.391,86
12.976,65
84,31
17.346,87
14.874,57
85,75
Pegawai
Belanja
Barang
Belanja
Modal
Total
Jenis
Belanja
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Belanja
8.375,08
7.993,25
95,44
8.550,21
8.066,10
94,34
7.127,78
6.105,90
85,66
7.816,15
6.936,22
88,74
1.899,23
1.635,85
86,13
2.042,31
1.647,99
80,69
17.402,10
15.736,15
90,42
18.408,68
16.650,31
90,45
Pegawai
Belanja
Barang
Belanja
Modal
Total
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, realisasi Belanja Pegawai pada TA 2013 94,34% (Rp8.066,10 miliar dari pagu sebesar
Rp8.500,21 miliar), untuk realisasi Belanja Barang sebesar 88,74% (Rp6.936,22 miliar dari pagu sebesar Rp7.816,15 miliar), dan
untuk realisasi Belanja Modal sebesar 80,69% (Rp1.647,99 miliar dari pagu sebesar Rp2.042,31 miliar).
Kendala-kendala yang mempengaruhi capaian realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan antara lain:
1) Keterbatasan SDM yang memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa dan pola mutasi pegawai bersertifikat, sehingga
menghambat proses pengadaan barang dan jasa.
2) Adanya gagal lelang dalam proses pengadaan barang dan jasa yang antara lain disebabkan rendahnya jumlah penyedia barang
dan jasa yang memenuhi kualifikasi dan rendahnya minat dari penyedia untuk mengikuti pelelangan.
3) Terhambatnya pelaksanaan pembangunan dan renovasi gedung karena kendala persetujuan teknis dari pihak eksternal.
4) Kurangnya kesiapan dokumen perencanaan dan penganggaran yang antara lain terkait dokumen sertifikasi dan IMB yang belum
siap, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang terlalu tinggi.
136
Adapun, hal-hal yang telah diupayakan dalam rangka meningkatkan realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan, antara lain:
1) Menyelenggarakan diklat perencanaan dan penganggaran bekerja sama dengan BPPK agar satker dapat menyusun dokumen
pendukung penganggaran dengan baik, khusunya TOR dan RAB.
2) Percepatan pemaketan pengadaan barang dan jasa serta pengumuman RUP pengadaan barang dan jasa pada pertengahan
bulan Januari 2013.
3) Melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam proses perijinan antara lain dengan Biro Perlengkapan untuk proses
penghapusan BMN, dengan Dinas PU untuk proses penilaian teknis PU, dengan Pemda setempat untuk IMB.
4) Pelaksanaan Rapat Koordinasi Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Tahun 2013 dengan melibatkan 66 satuan kerja vertikal lingkup
Kementerian Keuangan dengan kriteria memiliki belanja modal TA 2013 di atas Rp1 miliar pada Bulan Agustus 2013.
5) Percepatan penunjukan Pejabat Pengelola Anggaran pada bulan Desember 2012 dan percepatan penyelenggaraan pelatihan
dan sertifikasi pengadaan barang dan jasa bagi PPK dan diklat bagi Bendahara di awal tahun anggaran.
6) Penelaahan kembali DIPA untuk percepatan pelaksanaan revisi anggaran yang diperlukan.
7) Penggunaan aplikasi Monitoring Keuangan dan Aset (MONIKA) sebagai alat pemantauan realisasi dan kendala penyerapan
anggaran secara berkala, serta penyelenggaraan help desk untuk membantu proses pengadaan barang dan jasa.
2. Perbandingan Pagu DIPA dan Realisasi DIPA Kementerian Keuangan TA 2013 per Program
Pada TA 2013 Kementerian Keuangan melaksanakan 11 program, yang masing-masing dilaksanakan oleh unit Eselon I sesuai
dengan tugas dan fungsinya. Adapun total pagu DIPA dari 11 program tersebut adalah sebesar Rp18.408,68 miliar. Realisasi dari 11
program tersebut adalah sebagaimana tabel 3.86 berikut:
Tabel 3.86
No.
1
Program
Jumlah
Pagu
Realisasi
7,072.56
6,157.42
%
87.06%
106.47
100.13
94.04%
134.10
126.08
94.02%
5,203.78
4,710.53
90.52%
2,557.30
2,451.85
95.88%
121.74
111.27
91.40%
78.88
74.39
94.31%
1,759.38
1,637.35
93.06%
674.74
617.13
91.46%
542.12
525.68
96.97%
Pemerintah Daerah
7
10
11
157.59
138.49
87.88%
18,408.68
16,650.32
90.45%
137
138
BAB 4
KINERJA LAIN-LAIN
Bidang Perpajakan
Bidang Kepabeanan Dan Cukai
Bidang Pengelolaan Anggaran
Bidang Kekayaan Negara
Bidang Pengelolaan Utang
Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal
Bidang Pengawasan
139
140
Selain 14 (empat belas) Sasaran Strategis (SS) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dengan capaian sebagaimana diuraikan
pada bab III, Kementerian Keuangan juga menghasilkan kinerja-kinerja lain yang tidak masuk dalam Kontrak Kinerja, namun terkait
dengan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan. Kinerja lain tersebut adalah sebagai berikut:
BIDANG
PERPAJAKAN
Pajak Final Bagi Pelaku UKM
Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan baru pada pertengahan tahun 2013. Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4,8 miliar akan mendapat fasilitas tarif rendah dan kemudahan penghitungan pajak. Jika sebelumnya pengusaha dengan omset tidak
lebih Rp4,8 miliar harus membayar sesuai ketentuan umum pasal 17 UU PPh, maka mulai 1 Juli 2013 mereka akan membayar pajak
sebesar 1% dari omzet setahun bersifat final. Dasar dari lahirnya PP 46 tahun 2013 ialah pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7)
UU PPh.
Objek Pajak yang dikenakan ialah penghasilan dari usaha yang diperoleh wajib pajak OP dan badan dengan peredaran bruto yang tidak
lebih dari Rp4,8 miliar setahun. Sementara itu, yang bukan objek pajak yaitu penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
dan penghasilan yang sudah dikenai PPh final.
BIDANG
KEPABEANAN DAN CUKAI
1. Patkor Kastima Ke-19 Tahun 2013
Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bersama Jabatan Kastam Diraja Malaysia (JKDM) mengadakan
Patroli Koordinasi Customs Indonesia Malaysia (Patkor Kastima) ke-19 tahun 2013 yang dimulai sejak tahun 1994. Patkor Kastima
ini merupakan kegiatan patroli laut bersama yang bertujuan untuk meneningkatkan penegakan hukum kepabeanan kedua negara,
disamping itu untuk menjalin saling pengertian dan kerja sama antara DJBC dan JKDM dalam pelaksanaan patroli laut baik secara
terkoordinasi mapun patroli laut rutin. Patkor Kastima juga sebagai upaya preventif maupun represif untuk menghambat, menangkal,
dan memberantas berkembangnya perdagangan illegal dan penyelundupan narkotika dan psikotropika yang merugikan kedua negara.
Tahun 2013 ini kegiatan Patkor Kastima dilakukan dalam dua kali penyelenggaraan, pada tanggal 215 September 2013 yang upacara
pembukaannya berlangsung di Batam Indonesia dipimpin oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Agung Kuswandono) dan Ketua
Pengarah Kastam Diraja Malaysia (Dato Sri Khazali bin Hj Ahmad). Kemudian penyelengaraan yang kedua pada tanggal 22 Oktober 4
November 2013 yang ditutup dengan upacara penutupan di Malaysia.
Untuk lebih memperluas jangkauan wilayah pengawasan laut, kedua negara sepakat untuk melakukan penjajakan kepada Singapore
Customs atau instansi yang berwenang melakukan penegakan hukum bidang kepabeanan laut di Singapura, untuk bekerjasama di
masa yang akan datang melakukan patroli laut terkoordinasi antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
2. Program Authorized Economic Operator (AEO)
Dipicu dari berkembangnya praktek terorisme yang mengancam keamanan global, World Customs Organization (WCO) mengeluarkan
standar keamanan yang dikenal dengan istilah WCO SAFE Framework of Standards / SAFE FoS.
WCO SAFE FoS merupakan standarisasi keamanan dan fasilitas terhadap mata rantai pasokan perdagangan internasional untuk
meningkatkan kepastian dan kemudahan pemantauan arus barang yang dapat diprediksi guna tersedianya sistem yang terintegrasi atas
manajemen transportasi/jasa transportasi dalam mata rantai pasokan, serta mengukuhkan hubungan antar institusi kepabeanan internasional
khususnya untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi pengiriman barang yang mempunyai risiko tinggi, serta memperkuat hubungan
antara institusi kepabeanan dengan pelaku bisnis.
141
Program AEO merupakan satu dari banyak program untuk mewujudkan WCO SAFE FoS tersebut. AEO adalah pengakuan yang
diberikan oleh administrasi pabean (di Indonesia adalah DJBC) kepada pihak-pihak yang terkait dalam pergerakan barang internasional
bahwa pihak-pihak tersebut telah memenuhi standar WCO SAFE FoS atau standar keamanan rantai pasokan. Adapun pihak yang
dapat diakui antara lain Importir, eksportir, PPJK, pengangkut, dan pihak lainnya.
AEO dibentuk dengan sasaran untuk mengamankan rantai pasokan, meningkatkan partisipasi berbagai pihak yang terlibat dalam
rantai perdagangan internasional, praktek bisnis yang efisien, simplifikasi prosedur kepabeanan, dan pemenuhan dan pengakuan
standar internasional.
Meskipun sepintas telihat serupa dengan program Jalur Prioritas, AEO dipandang berbeda karena AEO bukanlah program fasilitas
akan tetapi program sertifikasi yang berlandaskan partnership, mutual trust, security, dan bersifat internasional. AEO yang terpenting
adalah customs to customs, karena treatment yang dilakukan di sini dipercaya oleh Customs di luar negeri, begitu pula sebaliknya,
atau semacam mutual trust. Pada tanggal 11 Desember 2013, DJBC me-launching AEO dan akan mulai mengembangkannya di tahun
2014.
3. Customs To Customs Talks DJBC dan ACBPS
Customs To Customs Talks menjadi sebuah program Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menjaga
hubungan yang baik dengan Customs negara lain. Customs To Customs Talks juga merupakan salah satu bentuk hubungan bilateral
yang dijalin antara Indonesia dengan Australia yaitu pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Australian Customs and
Border Protection Service (ACBPS). Program ini telah diadakan sejak lama dan tahun 2013 ini menjadi tahun ketiga belas yang
diadakan di Sydney Customs Headquarters, Australia.
Customs To Customs Talks pada dasarnya dilaksanakan dengan maksud untuk mempererat kerjasama antara DJBC dengan ACBPS
karena melalui pertemuan ini kedua administrasi dalam bidang pabean dapat saling bertukar informasi dan praktik kepabeanan demi
peningkatan pengawasan dan pelayanan kepabeanan di masing-masing Negara. Selain itu, pertemuan Customs To Customs Talks
juga dapat dilakukan kesepakatan kesepakatan antara kedua negara.
BIDANG
PENGELOLAAN ANGGARAN
1. Peningkatan Peran Aparat Pengawas Intern (API) Kementerian Negara/Lembaga dalam Perencanaan dan
Penganggaran
Ada hal baru dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran untuk tahun 2014, yaitu dilibatkannya Aparat Pengawas Intern (API) Kementerian
Negara/Lembaga (K/L) dalam kegiatan tersebut. Dasar hukum keterlibatan API K/L ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
94/PMK.02/2013 tanggal 28 Juni 2013 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L Tahun 2014. Kebijakan tersebut mendorong
peran API K/L dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran ini terutama dilaksanakan pada tahap penyusunan RKA-K/L.
Dalam PMK tersebut juga untuk pertama kalinya diperkenalkan pemisahan pengaturan yang tegas dalam kegiatan perencanaan dan
penganggaran yaitu pengaturan tentang Tata Cara Penyusunan RKA-K/L dan pengaturan tentang Tata Cara Penelaahan RKA-K/L.
Pemisahan tersebut sangat penting. Hal ini menunjukkan ketegasan posisi masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan perencanaan
dan penganggaran. Dalam tahap penyusunan RKA-K/L menggambarkan peran yang begitu besar kepada K/L beserta unit-unit yang ada
pada K/L termasuk satuan kerja dibawahnya. Peran tersebut berupa mempersiapkan kegiatan dan menuangkannya dalam RKA-K/L dengan
mempedomani ketentuan-ketentuan yang ada.
Pada tahap penyusunan RKA-K/L ini juga termasuk didalamnya keterlibatan API K/L untuk memberikan Quality Assurance. Artinya,
RKA-K/L yang disusun telah mempedomani peraturan-peraturan yang ada berupa aturan tentang Standar Biaya, Bagan Akun Standar,
Rencana Kerja Pemerintah, komposisi sumber dana, dan sebagainya. Sementara pada tahap penelaahan RKA-K/L menggambarkan
142
peran Kementerian Keuangan bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk mendalami RKA-K/L yang telah
disusun oleh K/L dan telah melalui proses penelitian oleh API K/L.
Hal tersebut merupakan langkah maju dalam sistim perencanaan dan penganggaran kita. Pemisahan tugas dan tanggung jawab tersebut
sebenarnya sudah ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemisahan tugas dan tanggungjawab tersebut meliputi Menteri/
Pimpinan Lembaga selaku Chief Operational Officer (COO) yang bertanggung jawab di dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, serta
pertanggungjawaban atas anggaran yang menjadi tanggung jawabnya. Menteri Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO) bertanggung
jawab dalam menjamin ketersediaan anggaran sesuai kemampuan keuangan negara untuk mendukung pelaksanaan program dan kegiatan
yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing K/L serta mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran.
Menteri Perencanaan selaku Chief Planning Officer (CPO) bertanggung jawab dalam menyusun dan menetapkan prioritas serta fokus
prioritas pembangunan nasional beserta target kinerja yang direncanakan yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah. Dalam rangka
menyelenggarakan fungsi sebagai Chief Operational Officer (COO), maka Menteri/Pimpinan Lembaga mempunyai kewajiban untuk memimpin
proses penyusunan RKA-K/L dalam lingkup Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. RKA-K/L yang disusun harus mempedomani
peraturan, ketentuan dan rambu-rambu yang sudah ditetapkan. Tugas untuk memberikan jaminan bahwa RKA-K/L yang disusun sudah
mengikuti pedoman dan peraturan yang ada serta telah dilengkapi dengan data pendukung terkait dilakukan oleh API K/L.
Dengan demikian, API K/L mempunyai tugas untuk melakukan verifikasi atas RKA-K/L yang disusun melalui kegiatan reviu atau penelitian.
Dahulu peran untuk melakukan verifikasi tersebut dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran dalam forum penelaahan. Dengan adanya
pergeseran peran tersebut kepada API K/L, maka Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
dalam kegiatan penelaahan dapat lebih fokus melakukan hal-hal yang lebih strategis. Kegiatan strategis tersebut antara lain meneliti relevansi
output dengan kegiatan, meneliti relevansi komponen dengan output, dll. Peran Kementerian Keuangan tidak hanya menguji dan meneliti
dokumen pendukung seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK) maupun Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Tingginya angka anggaran yang diblokir di awal tahun turut menjadi salah satu indikator yang menunjukkan bahwa proses perencanaan
dan penganggaran masih belum optimal. Sesungguhnya K/L masih belum benar-benar siap melaksanakan kegiatan di awal tahun karena
masih adanya anggaran yang diblokir. Di samping itu, blokir terkadang juga merupakan modus bagi K/L dengan tidak melengkapi KAK/
RAB. Kekurangsiapan melaksanakan kegiatan tersebut bisa jadi kesengajaan atau karena memang kegiatan tersebut direncanakan tidak
dilaksanakan di awal tahun sehingga memang sengaja diblokir. Blokir baru dicairkan dengan melengkapi data pendukungnya ketika kegiatan
baru akan dilaksanakan. Belum lagi jika dilihat pada kedalaman RKA-KL, maka proses evaluasi kinerja mengalami kesulitan karena banyak
kegiatan dan output, atau output dengan komponen inputnya yang tidak relevan.
Fenomena-fenomena itulah yang menjadi salah satu pemikiran untuk melibatkan API K/L pada tahap perencanaan. Hal tersebut ditujukan
untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dituangkan dalam RKA-K/L merupakan kegiatan yang benar-benar siap dilaksanakan.
Termasuk kelengkapan dokumen pendukung yang dipersyaratkan. Dengan demikian, tujuan dilibatkannya API-K/L dalam perencanaan dan
penganggaran antara lain :
a. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran serta meningkatkan kualitas belanja. API K/L menjamin
bahwa RKA-KL sudah disusun dengan tepat dan mematuhi petunjuk/peraturan/pedoman yang ada.
b. Sebagai upaya untuk melakukan percepatan pencapaian sasaran kinerja K/L. Artinya, K/L sudah mempersiapkan kegiatan dengan
baik sejak awal dan diharapkan dapat dieksekusi lebih awal pula.
c. Perbaikan standar pelayanan kepada stakeholder. Kebijakan tersebut akan mengubah fokus penelaahan pada relevansi
komponen input, output dan kegiatannya. Dengan demikian, hal-hal yang sifatnya administratif dan kepatuhan pada aturan
dapat diselesaikan oleh K/L itu sendiri.
d. Menghindari terjadinya kesalahan diawal perencanaan. API K/L selaku auditor dapat melaksanakan tugas preventifnya
untuk memastikan bahwa RKA-K/L yang disusun sudah benar.
143
BIDANG
KEKAYAAN NEGARA
1. Penerapan Penyusutan Aset Tetap
Dalam menerapkan penyusutan aset tetap, pada tahun 2013, Kementerian Keuangan telah menetapkan 3 (tiga) peraturan sebagai dasar hukum
penerapan penyusutan aset, yaitu PMK Nomor 1/PMK.06/2013 tentang Penyusutan BMN berupa Aset Tetap, KMK Nomor 59/KMK.6/2013
tentang Tabel Masa Manfaat dalam rangka Penyusutan BMN Aset Tetap, dan KMK Nomor 94/KMK.6/2013 tentang Modul Penyusutan BMN
Aset Tetap.
Selain itu, Menteri Keuangan telah menyampaikan penerapan penyusutan aset tetap kepada Presiden RI melalui surat nomor S-993/MK.06/2013
tanggal 18 Desember 2013. Dalam surat tersebut telah dilaporkan progress, dampak, potensi risiko dan mitigasi dari penerapan penyusutan
aset tetap.
144
Penyusutan aset tetap telah diterapkan pada seluruh K/L mulai Semester I 2013. Sebelum melakukan penyusutan per semester, K/L harus
melakukan penyusutan pertama kali per 1 Januari 2013 (akumulasi penyusutan sejak aset diperoleh s.d. 31 Desember 2012).
Penerapan penyusutan aset tetap akan memberikan dampak berupa berkurangnya nilai aset tetap yang disajikan di neraca Pemerintah.
Berdasarkan LBMN Semester I tahun 2013, total akumulasi penyusutan sebesar Rp297,03 triliun terdiri dari :
a. Penyusutan pertama kali per 1 Jan 2013 sebesar Rp275,62 triliun, dan
b. Penyusutan semester I 2013 sebesar Rp21,42 triliun.
Namun demikian, penurunan aset per semester sebesar Rp21,42 triliun tersebut, tidak berpengaruh secara signifikan mengingat pada periode
tahun 2013 terdapat penambahan nilai aset tetap dari belanja modal K/L sebesar Rp171,80 triliun, terdiri dari:
a. Belanja modal semester I 2013 sebesar Rp34,03 triliun, dan
b. Belanja modal semester II 2013 sebesar Rp137,77 triliun
Selain itu, penerapan penyusutan aset tetap akan menimbulkan potensi risiko. Potensi risiko yang muncul yaitu apabila terdapat kesalahan
dalam penggunaan aplikasi penyusutan, sehingga dapat mengakibatkan kesalahan penyajian di neraca.
Untuk menimalisasi potensi risiko tersebut, mitigasi yang telah dilaksanakan antara lain
a. Telah dilakukan sosialisasi penyusutan dan aplikasinya.
b. Pendampingan K/L dalam menyusun Laporan BMN dan neraca.
c. Pelaksanaan rekonsiliasi BMN dengan K/L.
4. Percepatan penyelesaian Penyertaan Modal Negara Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya
Untuk menyelesaikan Penyertaan Modal Negara (PMN) Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS), Kementerian
Keuangan telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2013 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia
145
ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Angkasa Pura II, selain itu juga telah disampaikan 3 (tiga) kajian dan Rancangan
Peraturan Pemerintah PMN BPYBDS ke Presiden yaitu:
a. Rancangan Peraturan Pemerintah PMN BPYBDS pada PT ASDP,
b. Rancangan Peraturan Pemerintah PMN BPYBDS pada Perum PPD, dan
c. Rancangan Peraturan Pemerintah PMN BPYBDS pada Perum Damri.
BIDANG
PENGELOLAAN UTANG
1. Perkembangan pengelolaan kewajiban kontinjensi
Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur diperlukan campur tangan pemerintah mengingat besarnya kebutuhan
dana investasi yang dibutuhkan. Bentuk campur tangan pemerintah tersebut diantaranya dengan menyediakan fasilitas pemberian jaminan
kepada pelaksanaan proyek infrastruktur.
Dukungan penjaminan pemerintah diterjemahkan dalam mekanisme pembiayaan dengan penjaminan pemerintah dan kerjasama pemerintah
dengan swasta, dengan tujuan untuk memberikan kepastian investasi sehingga dapat menarik minat investor/kreditur untuk berpartisipasi
dalam pembangunan infrastruktur. Namun di sisi lain, program ini memberikan konsekuensi timbulnya kewajiban kontinjensi dan risiko fiskal,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk itu, diperlukan pengelolaan kewajiban kontinjensi yang prudent dimulai dari proses
evaluasi, mitigasi risiko transaksi, penerbitan jaminan Pemerintah, sampai monitoring potensi gagal bayar.
Program yang mendapatkan penjaminan Pemerintah sampai dengan akhir tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Program Penjaminan proyek 10.000 MW tahap I
Pemerintah memberikan jaminan terhadap pembayaran seluruh kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur yang menyediakan pendanaan
Kredit Perbankan untuk proyek 10.000 MW tahap I. Jumlah penjaminan program ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1
USD
11
$3.958.718.574,41
$3.223.622.734,00
IDR
23
Rp36.105.992.211.891,00
Rp22.157.879.454.242,00
Rp75.693.177.955.991,00
Rp54.394.106.794.242,00
Total IDR
Nilai Penjaminan
Outstanding
Tabel 4.2
Lender
Nilai
Outstanding
BJB
14.700.000.000
12.831.094.772
BRI
24.312.000.000
22.078.794.082
BNI
11.175.000.000
4.499.752.000
BNI
44.974.000.000
4.236.000.000
PDAM Bandarmasih
Bank Kalsel
110.000.000.000
77.000.000.000
205.161.000.000
120.645.640.854
146
Tabel 4.3
Penerima Jaminan
Nilai
PLTP Rajabasa
663.328.250
PLTP Muaralaboh
602.669.500
PLTA Wampu
174.168.238
PLTP Sarulla
1.399.486.000
Eksposure Penjaminan
USD
3.503.701.488
664.049.500
Batas Maksimal Pinjaman Luar Negeri (BMPLN) perlu menetapkan batasan komitmen pinjaman luar negeri baru (new
commitment). Dengan memperhatikan besarnya stock undisbursed loans saat ini dan dikaitkan dengan kinerja pemanfaatan
pinjaman, penurunan outstanding pinjaman luar negeri baik secara relatif maupun absolut dapat ditempuh melalui penurunan
komitmen baru secara konsisten.
2)
Pembiayaan melalui pinjaman luar negeri untuk periode 2014-2017 diutamakan untuk kegiatan dalam rangka pembangunan
Minimum Essential Force (MEF), kegiatan infrastruktur (fisik), dan kegiatan di bidang energi.
3)
Komitmen baru pinjaman tunai/program perlu dilakukan secara lebih selektif, terutama dalam rangka mendukung fleksibilitas
sumber pembiayaan utang dalam hal terjadi pasar SBN yang tidak kondusif.
4)
147
Mengambil langkah-langkah proaktif dalam menangani slow disbursement. Hasil review merekomendasikan bahwa pemanfaatan
ruang yang tersedia melalui percepatan penarikan pinjaman lebih bermakna bila dibandingkan dengan penambahan komitmen baru.
5)
Pendekatan penyusunan BMPLN mengacu pada Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah, yaitu melalui penurunan
stok/outstanding pinjaman luar negeri dalam jangka menengah.
148
utang. Pertimbangan tersebut menjadi relevan ketika kondisi pasar keuangan internasional tidak kondusif sehingga menyebabkan
ketidaktersediaan instrumen pinjaman luar negeri atau pinjaman tersebut tersedia namun dengan cost of borrowing yang tinggi. Dalam
penerapannya, diperlukan upaya agar fleksibilitas pembiayaan melalui utang dapat dilaksanakan, antara lain:
1)
Perlu kepastian kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran berkenaan;
2)
Persyaratan efektif kontrak tidak dikaitkan dengan pembiayaan, namun dipersyaratkan agar kegiatan telah disetujui oleh DPR melalui
UU APBN;
3)
Dengan adanya jaminan atas pembiayaan kegiatan, pemblokiran (tanda bintang) anggaran tidak diperlukan; dan
4)
Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan memastikan agar kegiatan dapat dilaksanakan pada awal tahun anggaran berkenaan.
Selama tahun 2013, DJPU telah melakukan beberapa upaya agar kebijakan fleksibilitas pembiayaan utang dapat dilaksanakan. Salah
satu upaya yang telah dilakukan yaitu dengan mengusulkan klausul mengenai fleksibilitas pembiayaan utang dalam APBN-P tahun 2013
dan APBN tahun 2014. Klausul dimaksud diperlukan mengingat dalam APBN yang berlaku, anggaran untuk masing-masing instrumen
pembiayaan melalui utang bersifat mengikat. Anggaran SBN dan Pinjaman merupakan anggaran nilai bersih maksimal yang dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah. Selanjutnya pelaksanaan fleksibilitas pembiayaan utang perlu didukung oleh mekanisme operasional
yang dituangkan dalam peratuan pelaksanaan. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan mengupayakan penyusunan peraturan dan/atau
mekanisme yang memuat operasionalisasi fleksibilitas pembiayaan utang.
3. Optimalisasi Sistem Aplikasi Debt Management and Financial Analysis System (DMFAS) untuk pemanfaatan
pengelolaan pinjaman
The Debt Management and Financial Analysis System (DMFAS) Program adalah perangkat lunak dari UNCTAD yang dirancang untuk
membantu negara-negara dalam mengelola utang luar negeri dan dalam negeri mereka. DMFAS dapat digunakan untuk memonitor kewajiban
utang pemerintah, hibah, dan juga pinjaman utang yang dijamin pemerintah. Kementerian Keuangan sendiri telah menggunakan DMFAS sejak
tahun 1988 sebagai sistem utama untuk merekam data utang, mengelola pembayaran utang, dan untuk melaporkan posisi utang luar negeri.
Saat ini DMFAS sudah mencapai versi 6.0, di mana selama tahun 2013 DMFAS 6.0 telah mengalami 2 kali proses update dari UNCTAD.
Ditahun ini juga aplikasi Pusat Manajemen Obligasi Negara (PMON) yang digunakan untuk mengelola data terkait Surat Berharga Negara (SBN)
mulai dintegrasikan ke dalam sistem DMFAS 6.0.
4. Kajian mengenai Saving Bond
Untuk menyediakan alternatif instrumen investasi bagi masyarakat dan memperluas basis investor dalam negeri, serta memberikan kesempatan
kepada Warga Negara Indonesia untuk ikut serta memberikan kontribusi secara langsung dalam pembiayaan pembangunan, perlu dilakukan
upaya untuk meningkatkan jangkauan investor ritel domestik di Surat Berharga Negara (SBN). Hasil analisis kinerja Obligasi Negara Ritel (ORI)
di pasar perdana dan sekunder, terlihat ORI semakin diminati oleh masyarakat berpendapatan menengah ke atas dan masyarakat yang sering
bersentuhan dengan produk-produk investasi (sophisticated investor).
Dengan demikian, untuk menjaring investor dari kalangan masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah dan masih berorientasi
menyimpan dananya dalam bentuk tabungan (saving oriented), perlu dikembangkan sebuah produk yang menjangkau kelas masyarakat
tersebut. Sebelum melahirkan produk tersebut, telah dilakukan kajian untuk melihat peluang Pemerintah untuk menerbitkan instrumen baru
yang mencerminkan produk tersebut, yakni dengan melakukan kajian saving bond.
Saving Bonds merupakan pengembangan produk obligasi negara ritel yang diharapkan untuk dapat menjangkau investor ritel yang lebih luas.
Pada umumnya saving bonds hanya dijual kepada individu atau perseorangan dan tidak dapat diperdagangkan (non tradable).
5. Kajian mengenai Peningkatan Partisipasi Investor Institusional Domestik
Untuk meminimalkan efek negatif dari sudden reversal, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas daya serap pasar domestik. Salah
satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut, telah dilakukan kajian mengenai peningkatan partisipasi investor institusional domestik tergabung
dalam industri dana pensiun, asuransi, reksadana, dan Badan Layanan Umum (BLU). Secara singkat hasil kajian tersebut mengulas hal-hal
sebagai berikut, antara lain: penyusunan roadmap pendalaman pasar SBN, penyusunan rencana inisiatif strategis pendalaman pasar bersama
dengan konsultan dari McKinsey, pembentukan IRU DJPU, pembentukan tim pendalaman pasar surat utang bersama dengan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia, terlibat langsung dalam forum rapat koordinasi, kerjasama dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal
dan sektor jasa keuangan yang dipimpin oleh Anggota Dewan Komisioner Ex-Officio Kementerian Keuangan, diskusi dengan konsultan asal
Inggris Nicholas de Boursac berkenaan dengan pendalaman pasar SBN, dan identifikasi dan penjajakan investor potensial baru.
149
BIDANG
PERUMUSAN KEBIJAKAN FISKAL
1. Pengelolaan Regional Economist (RE)
Sejak tahun 2012 Kementerian Keuangan telah menjalin hubungan dengan para pakar di berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia
dalam bentuk kerja sama Kementerian Keuangan c.q. Badan Kebijakan Fiskal dengan Jaringan Ahli Ekonomi Daerah (Regional Economist/
RE), yang berjumlah 14 orang ekonom. Kerja sama ini bertujuan untuk saling sharing informasi dan masukan, serta memperkuat analisis dan
rekomendasi kebijakan yang dihasilkan, salah satunya dalam hal melakukan kajian terhadap kondisi ekonomi untuk penetapan asumsi dalam
rangka penyusunan kebijakan ekonomi makro.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan Kementerian Keuangan, maka pada tahun 2013 dilakukan pengembangan Regional Economist
dengan menambah jumlah ekonom menjadi 22 orang yang mencakup 33 provinsi di Indonesia. Tujuan utama Regional Economist tahun 2013,
yaitu sebagai berikut:
a. Memberikan masukan terkait kebijakan publik yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, yang bersifat strategis, berdampak luas
terhadap masyarakat, dan mempunyai kepentingan terhadap daerah.
b. Memberikan informasi kepada daerah mengenai kebijakan ekonomi dan fiskal yang dikeluarkan Kementerian Keuangan.
c. Mengidentifikasi masalah-masalah di bidang ekonomi sesuai dengan kondisi daerah asal perguruan tinggi.
d. Melakukan pertukaran informasi dan pengembangan sumber daya manusia di perguruan tinggi dan Kementerian Keuangan.
e. Menjadi Konsultan Ekonomi bagi kantor vertikal Kementerian Keuangan (Kanwil-Kanwil) di daerah, dengan cara
1) Melakukan analisis ekonomi daerah;
2) Memberikan masukan kepada Kanwil-Kanwil Kementerian Keuangan di daerah;
3) Melakukan capacity building dan training bagi pegawai Kemenkeu di daerah.
Untuk memenuhi tujuan dibentuknya Jaringan Ahli Ekonomi Daerah/Regional Economist, maka pada tahun 2013 Regional Economist telah
melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Melakukan analisis ekonomi dan keuangan secara berkala (bulanan dan kuartalan);
b. Sosialisasi kebijakan ekonomi dan fiskal, baik wawancara, berita maupun tulisan di media cetak/elektronik secara berkala;
c. Menyusun Policy Paper/ Policy Recommendation, dengan lima topik utama yaitu Kebijakan Infrastruktur, Kebijakan Hilirisasi
Pertambangan, Kebijakan Transfer Daerah, Kebijakan untuk Pengurangan Defisit Perdagangan Internasional, dan Kebijakan untuk
Pengurangan Subsidi Energi (BBM dan Listrik);
d. Menjadi narasumber dalam training/capacity building/diklat di kantor-kantor wilayah Kementerian Keuangan;
e. Bersama Kantor Wilayah setempat memberikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah;
f. Menjadi Pembicara dalam seminar yang dilakukan di daerah, sekaligus penghubung antara Kementerian Keuangan dengan
Perguruan Tinggi setempat;
g. Menghadiri dan berkontribusi aktif dalam kegiatan seminar/workshop yang dilakukan terkait Regional Economist baik Jakarta
maupun di daerah.
h. Bersama dengan Kementerian Keuangan, telah dilaksanakan sosialisasi di 22 kota di Indonesia.
Di samping itu, Regional Economist juga telah menghasilkan output yang berarti bagi Kementerian Keuangan. Output yang dihasilkan selama
tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Masukan kepada pimpinan terkait kebijakan publik yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, yang bersifat strategis, berdampak luas
terhadap masyarakat, dan mempunyai kepentingan terhadap daerah;
b. Adanya informasi kepada daerah mengenai kebijakan ekonomi dan fiskal yang dikeluarkan Kementerian Keuangan;
c. Penyampaian identifikasi masalah-masalah di bidang ekonomi sesuai dengan kondisi daerah masing masing oleh Anggota Regional
Economist dalam berbagai kesempatan;
d. Pertukaran informasi dan pengembangan sumber daya manusia antar kalangan kampus dan Kementerian Keuangan baik secara
langsung maupun tidak langsung;
e. Penguatan kanwil-kanwil di daerah dengan memanfaatkan anggota Regional Economist yang ada. Hal ini belum bisa dilakukan
maksimal ke seluruh propinsi, karena keterbatasan jumlah dan asal anggota Regional Economist yang ada.
150
151
d. Kebijakan Ekonomi Makro, diantaranya Kajian Possible Impact of The Abe-Kuro Monetary Expansion On The Indonesian Economy (Kajian
Dampak Perluasan Sistem Keuangan Abe-Kuro Terhadap Perekonomian Indonesia). Kajian Leading Indicators Indonesia, Kajian Revitalisasi
Investasi Pengembangan Energi Panas Bumi diIndonesia, dan Kajian Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas ASEAN.
e. Kebijakan Kerjasama Regional dan Bilateral, diantaranya Kajian mengenai Penambahan Perwakilan Kementerian Keuangan di Luar Negeri,
Kajian mengenai Pengembangan Regional-Internasional Infrastruktur Fund.
Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, diantaranya Kajian Penghitungan Emisi dari Konversi Minyak Tanah ke Tabung
LPG, Kajian Dana Bergulir Efisiensi Energi (DBEE), Budget Marking, Insentif bagi Energi Surya dan Kajian Penggantian LED bagi Lampu
Penerangan Jalan Umum.
BIDANG
PENGAWASAN
Konferensi Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI)
Reformasi yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya dalam bidang keuangan negara dan birokrasi telah menghasilkan berbagai perbaikan bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi keuangan negara telah memperlihatkan peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara
baik pada aspek perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan keuangan, serta audit/pengawasan. Demikian
pula reformasi birokrasi telah menampakkan hasil berupa proses bisnis dan perilaku aparatur yang semakin membaik. Namun demikian, masih
terdapat kondisi-kondisi yang masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan, diantaranya:
1. Pola penyerapan anggaran yang belum proporsional, baik di lingkungan instansi pemerintah pusat maupun daerah,
2. Penggunaan anggaran yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat luas belum cukup efektif,
3. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2012 masih memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian, serta
4. Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan Pemerintah Daerah masih banyak yang baru memperoleh opini WDP
atau bahkan Tidak Menyatakan Pendapat.
Perbaikan dan Peningkatan atas kondisi-kondisi tersebut secara menyeluruh sedang dijalankan oleh Pemerintah melalui program reformasi
birokrasi. Upaya ini perlu dijalankan dengan lebih sistematis dan terstruktur, terutama untuk menyelesaikan berbagai kekurangan tersebut oleh
segenap unsur pemerintah, terutama pihak manajemen.
Dalam proses pembenahan tersebut, APIP pada tiap kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah semestinya dapat ditingkatkan
kualitas pengawasannya sesuai dengan tugas dan fungsinya. APIP harus dapat memberikan keyakinan bahwa tata kelola penganggaran,
pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran dapat bebas dari praktik penyimpangan. Selain itu, APIP juga perlu mengembangkan
peran utama lainnya yang sangat penting yaitu membantu manajemen instansi pemerintah untuk merancang berbagai perbaikan sistem agar
pengendalian intern dan manajemen risiko dapat berjalan efektif untuk mendapatkan kondisi governance yang lebih baik.
Dalam rangka menguatkan peran APIP bagi peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara dan kinerja instansi pemerintah tersebut,
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan konferensi bagi segenap APIP di lingkungan kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah. Konferensi ini diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 2013 di Gedung Dhanapala dengan tema Peningkatan Kualitas
Pengawasan oleh APIP dalam Tata Kelola Penganggaran, Pelaksanaan Anggaran, dan Pertanggungjawaban Anggaran.
Konferensi selama satu hari ini diikuti oleh kurang lebih 350 peserta yang terdiri dari beberapa Menteri/Pimpinan Lembaga, seluruh Inspektur
Jenderal/Inspektur Utama, Seluruh Inspektur Provinsi, beberapa pimpinan APIP Daerah, para pejabat di lingkungan Kemenkeu, para Sekretaris
Inspektorat Jenderal Kementerian Negara/Lembaga, serta perwakilan auditor dari beberapa Inspektorat Jenderal Kementerian Negara/
Lembaga. Konferensi diisi dengan keynote speech Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, dilanjutkan dengan penyajian konsep standar profesi
(Standar Audit APIP, Kode Etik APIP, dan Telaah Sejawat APIP), dan diskusi panel oleh Plt. Direktur Jenderal Anggaran, Inspektur Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum, dan Ketua Komite Pengembangan Profesi AAIPI.
152
BAB 5
PENINGKATAN
AKUNTABILITAS KINERJA
KEMENTERIAN KEUANGAN
Penguatan Sistem Balance Scorecard
Peningkatan Kualitas Dokumen Perencanaan
Integrasi Pengelolaan Kinerja Berbasis BSC dengan SAKIP
Peningkatan Kualitas Evaluator AKIP Kemenkeu
153
154
Berdasarkan amanat Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Nomor 25 Tahun 2012,
setiap tahun AKIP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dievaluasi oleh Kementerian PAN dan RB. Pada tahun 2013, AKIP Kemenkeu
dievaluasi selama 12 (dua belas) hari kerja mulai tanggal 10 Juni 2013 dengan on desk evaluation dilaksanakan pada tanggal 10 Juni
2013. Hasil evaluasi tersebut telah disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui surat nomor B/3761/M.PAN-RB/11/2013 tanggal
22 November 2013 hal Hasil Evaluasi atas Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam LHE tersebut, Kementerian PAN dan RB
memberikan beberapa rekomendasi untuk peningkatan kualitas AKIP Kemenkeu. Rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan integrasi manajemen kinerja yang dibangun dengan pendekatan Balance Scorecard dengan Sistem AKIP.
2. Menyempurnakan kualitas dokumen-dokumen perencanaan, indikator kinerja, dan laporan keungan di unit kerja secara menyeluruh.
3. Meningkatkan evaluasi akuntabilitas kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan.
4. Meningkatkan kapasitas SDM dalam bidang akuntabilitas dan manajemen kinerja di seluruh jajaran Kementerian Keuangan untuk
mempercepat terwujudnya pemerintahan yang berkinerja dan akuntabel.
Sebagai langkah nyata Kemenkeu untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut, Kemenkeu telah melaksanakan hal-hal sebagai berikut.
PENGUATAN SISTEM
BALANCE SCORECARD
Pada tahun 2013 Kemenkeu melaksanakan program transformasi kelembagaan. Program transformasi kelembagaan merupakan kelanjutan dari
program reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan pada beberapa tahun sebelumnya. Kedua program tersebut merupakan upaya berkelanjutan
dalam rangka peningkatan kualitas kinerja Kemenkeu. Salah satu hasil program transformasi kelembagaan adalah penyempurnaan visi dan misi
Kemenkeu beserta sebelas unit eselon I di lingkungan Kemenkeu.
Dalam rangka mencapai visi dan misi, Kemenkeu telah menerapkan pengelolaan kinerja berbasis Balance Scorecard (BSC) sejak tahun 2008.
Sistem Pengelolaan Kinerja berbasis BSC ini merupakan alat eksekusi strategi, yang menerjemahkan visi dan misi menjadi sasaran-sasaran
strategis yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sasaran-sasaran strategis tersebut kemudian disusun hubungan sebab-akibatnya,
sehingga menggambarkan suatu Peta Strategi yang menunjukkan perjalanan organisasi dalam mewujudkan visi dan misi organisasi. Sasaran
Strategis (SS) tersebut kemudian diukur keberhasilan pencapaiannya melalui Indikator Kinerja Utama (IKU).
Kemenkeu terus-menerus melakukan upaya peningkatan kualitas kinerja organisasi dan pegawai, antara lain dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menyempurnakan peraturan terkait pengelolaan kinerja
Sampai dengan tahun 2013, sistem pengelolaan kinerja Kemenkeu dijalankan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 454/
KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Keputusan Menteri tersebut mengatur tentang pengelolaan
kinerja bagi organisasi maupun pegawai. Memperhatikan perkembangan implementasinya, penyempurnaan atas KMK dimaksud harus
dilakukan dalam rangka :
a. Menjaga kualitas IKU
Beberapa ketentuan ditetapkan untuk mendorong peningkatan kualitas rumusan IKU dan targetnya, seperti:
1) Menyelaraskan rumusan Sasaran Strategis (SS) dan IKU dalam Kontrak Kinerja dengan dokumen perencanaan dan pelaporan akuntabilitas;
2) Memberikan bobot yang jauh lebih tinggi bagi IKU yang secara langsung mendukung pencapaian sasaran strategis dan IKU pada level
organisasi yang lebih tinggi;
3) Tidak memperbolehkan IKU yang mengukur aktivitas dalam kendali rendah dan tinggi bagi unit yang memiliki Peta Strategi;
4) Mengharuskan penetapan target IKU yang menantang (challenging) dan diupayakan terus meningkat.
b. Streamlining IKU untuk memperketat jumlah IKU sehingga kontrak kinerja hanya memuat IKU-IKU yang berkualitas baik dengan kriteria IKU
yang lebih challenging, mengukur outcome/output dan mengukur pencapaian SS secara;
Pengetatan jumlah IKU tersebut dimaksudkan untuk menjaring IKU berkualitas melalui pembatasan jumlah IKU agar berada pada rentang
jumlah yang relatif mudah dikelola/monitor. Tujuannya adalah agar organisasi lebih fokus dan memberi prioritas pada IKU yang lebih akurat
dalam mengukur pencapaian sasaran strategis organisasi.
c. Mengakomodasi masukan-masukan (feedback) implementasi pengelolaan kinerja sesuai hasil review kinerja serta monitoring dan evaluasi.
d. Menyelaraskan ketentuan pengelolaan kinerja Kemenkeu dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Pelaksanaan
155
Pekerjaan PNS dan Peraturan Kepala BKN No. 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Penilaian Kinerja PNS yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2014.
2. Melakukan monitoring perkembangan capaian Nilai Kinerja Organisasi
Monitoring capaian kinerja organisasi dilakukan secara periodik sesuai dengan ketentuan KMK nomor 454/KMK.01/2011. Adapun periode
rapat monitoring adalah triwulanan untuk level Kemenkeu-Wide, dan secara bulanan untuk level Kemenkeu-One, Two, Three, Four, dan Five.
Monitoring dilakukan untuk mengendalikan progres pencapaian target IKU berada pada jalur yang diharapkan (on the track) serta dapat
menjadi early warning system dan mitigasi atas potensi kegagalan pencapaian target IKU. Monitoring juga dilakukan untuk melihat apakah
IKU ataupun target yang telah ditetapkan benar-benar efektif untuk mengukur pencapaian Sasaran Strategis serta mendapatkan feedback
secara komprehensif dari jajaran pimpinan. Tindak lanjut monitoring pun dilakukan antara lain melalui:
a. Penetapan action plan jika terdapat target IKU yang belum tercapai atau untuk menjaga konsistensi pencapaian target;
b. Addendum kontrak kinerja jika terdapat perubahan kebijakan dalam rangka menjaga peningkatan kinerja.
Disamping melalui rapat monitoring, perkembangan pencapaian kinerja juga dipantau melalui aplikasi e-performance yang secara berkala
dilakukan pemutakhiran data.
3. Melakukan review Kontrak Kinerja
Dalam rangka menjaga kualitas IKU Kemenkeu, secara periodik dilakukan review atas Kontrak Kinerja (KK) yang ditetapkan pada seluruh level
organisasi dan pegawai. Tujuan dan ruang lingkup review kontrak kinerja antara lain adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan review KK ditujukan untuk mendapatkan umpan balik dari pelaksanaan kontrak kinerja demi perbaikan pengelolaan kinerja di
masa mendatang.
b. Kegiatan ini diupayakan meliputi seluruh aspek pengelolaan kinerja, tidak terbatas pada KK saja tetapi juga terhadap dokumen atau
informasi pendukungnya, seperti Rencana Strategis (Renstra) yang memuat pernyataan visi dan misi organisasi, uraian jabatan,
tugas dan fungsi, Manual IKU, Matriks Cascading, serta data pendukung laporan capaian kinerja triwulan I tahun 2013.
4. Melakukan refinement Kontrak Kinerja dan IKU
Refinement merupakan proses evaluasi dan penelaahan atas peta strategi dan IKU tahun sebelumnya hingga merumuskan kembali peta
strategi dan IKU baru untuk tahun berikutnya yang lebih berkualitas. Refinement tersebut dimaksudkan untuk menyelaraskan strategi dengan
perubahan kondisi internal maupun eksternal yang terjadi dan berpotensi mempengaruhi pencapaian visi dan misi Kemenkeu. Pelaksanaan
refinement dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan menteri, wakil menteri, pejabat eselon I, pejabat eselon II terkait, serta seluruh
pengelola kinerja organisasi. Pada proses refinement IKU tahun 2014, Kemenkeu berkesempatan mengundang ahli/konsultan transformasi
kelembagaan untuk memberi masukan atas Peta Strategi dan IKU Kemenkeu-Wide dan One serta sistem pengelolaan kinerja Kemenkeu.
5. Meningkatkan kapasitas pengelola kinerja dan awareness seluruh pegawai Kemenkeu
Program peningkatan kapasitas pengelola kinerja meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka memberikan penyegaran, serta
peningkatan pemahaman dan ketrampilan para pengelola kinerja organisasi. Penyegaran perlu diberikan untuk mengurangi kejenuhan
pengelola kinerja yang sudah bertugas cukup lama dengan rutinitas yang sama. Mutasi/rotasi pegawai pengelola kinerja organisasi juga
menjadi latar belakang diselengarakannya program capacity building. Pembekalan hardskills dan softskills juga diberikan, agar peserta juga
mampu menjadi trainers di unit kerja masing-masing.
Peningkatan awareness bagi pegawai Kemenkeu perlu dilakukan agar seluruh elemen organisasi memahami pentingnya implementasi BSC
sebagai alat manajemen strategis dan eksekusi strategi. Harapannya, pegawai memiliki pemahaman yang baik tentang visi dan misi organisasi,
strategi organisasi dalam mewujudkan visi dan misi, serta eksekusi strategi melalui alat manajemen yang disebut Balance Scorecard.
Capacity building pengelolaan kinerja dan peningkatan awareness dilaksanakan dalam bentuk sertifikasi BSC, training of trainers, sosialisasi,
workshop, maupun Focus Group Discussion (FGD).
Kemenkeu pun telah melakukan survei Strategy Focused Organization (SFO) untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi pengelolaan
kinerja organisasi di Kemenkeu. Pelaksanaan survei ini didasarkan oleh konsep SFO yang diperkenalkan oleh Robert Kaplan dan David Norton.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level implementasi prinsip-prinsip SFO pada Kementerian Keuangan dan masing-masing unit Eselon
I, prinsip SFO yang harus dipertahankan serta ditingkatkan atau diperbaiki serta hal-hal yang mempengaruhi pencapaiannya.
156
Hasil survei menggambarkan bahwa Indeks implementasi SFO Kemenkeu pada tahun 2013 adalah sebesar 4,49 dalam skala 1 s.d 6 atau
dapat didefinisikan sebagai we are good at this. Prinsip SFO tertinggi adalah prinsip SFO 3 Menyelaraskan organisasi dengan strategi
sebesar 5.22. Kemudian diikuti dengan prinsip SFO 2 Menerjemahkan strategi menjadi kerangka operasional sebesar 4.95. Prinsip SFO 4
Memotivasi untuk menjadikan strategi sebagai pekerjaan seluruh pegawai memiliki skor 4,43. Sedangkan, prinsip terendah adalah prinsip
SFO 1 Memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan dengan skor 3,92.
PENINGKATAN KUALITAS
DOKUMEN PERENCANAAN
Dalam rangka peningkatan kualitas dokumen-dokumen perencanaan di lingkungan Kementerian Keuangan pada tahun 2013 telah dilakukan tindaklanjut sebagaimana direkomendasikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yaitu menyempurnakan kualitas
dokumen-dokumen perencanaan, indikator kinerja, dan laporan keuangan di unit kerja secara menyeluruh. Langkah tindak lanjut tersebut antara
lain melalui penyusunan Pedoman Penyusunan Dokumen Perencanaan di Lingkungan Kementerian Keuangan. Pedoman Penyusunan Dokumen
Perencanaan di Lingkungan Kementerian Keuangan disusun dengan tujuan untuk menyelaraskan dan menyinkronkan dokumen perencanaan dan
dokumen pelaporan kinerja, serta meningkatkan kualitas dokumen perencanaan dan dokumen pelaporan kinerja. Penyelarasan dilakukan antara
dokumen Rencana Kerja (Renja) yang merupakan dokumen perencananaan sekaligus dasar penyusunan dokumen penganggaran (RKA-KL atau
DIPA) dengan Balance Scorecard dan Rencana Kinerja Tahunan yang merupakan dokumen kinerja tahunan.
157
Grafik 5.1
Perencanaan
Monitoring
Penetapan Hasil
Kinerja dan Evaluasi
Rencana Strategis
(Visi, Misi, Nilai, Strategi)
Maret
y-1
Penilaian dan pelaporan
capaian IKU secara
berkala
April
y-1
Bimbingan dan Konsultasi
Kontrak KinerjaTahun Y
Penetapan
Hasil
Penilaian
Kinerja dan
Prestasi
Kerja
Pegawai
Evaluasi kinerja
organisasi
dan
penghargaan
bagi pegawai
Penataan
organisasi
dan pegawai
Nov-Des
y-1
Penilaian dan pelaporan
nilai perilaku secara
berkala
31
Januari y
31 Jan. Y+1
Secara umum, pengelolaan kinerja dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja baik pegawai maupun organisasi. Keberhasilan suatu organisasi
dalam meningkatkan kinerja diantaranya dapat diukur melalui pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan dalam kontrak kinerja. Kontrak
kinerja tersebut merupakan bagian dari eksekusi sistem perencanaan strategis sebagaimana digambarkan dalam grafik 5.2 berikut ini.
Grafik 5.2
Analisis Eksternal
Analisis internal
Nilai-nilai Kemenkeu
Visi
Peluang dan
Ancaman
Misi
Perumusan Strategi
(TOWS Matrik)
Renstra
Rencana Kerja (Renja)
Peta Strategi dan IKU
Kontrak Kinerja
Kekuatan dan
Kelemahan
158
Bagian dari perencanaan adalah terkait dengan penyusunan anggaran sebagai dukungan dalam pencapaian setiap rencana strategis. Dengan
penganggaran berbasis kinerja, penyusunan rencana dan anggaran tidak lagi berorientasi pada ketersediaan dana (input), tetapi lebih berorientasi
pada kinerja (output dan outcome) yang akan dicapai.
Dalam setiap kegiatan perencanaan, dengan mengacu pada berbagai peraturan perundang-undanggan, Kementerian Keuangan harus menyusun
berbagai dokumen perencanaan kinerja yang meliputi:
1. Rencana Strategis (Renstra);
2. Rencana Kerja (Renja);
3. Penetapan Kinerja (PK) dan Rencana Kinerja Tahunan (RKT); dan
4. Kontrak Kinerja (KK).
Dari beberapa jenis dokumen tersebut yang dengan nama yang berbeda-beda, tetapi pada prinsipnya memiliki persamaan, namun hanya
ditampilkan dalam format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan kementerian/lembaga (K/L) pembina. Persamaan mendasar dalam
semua dokumen perencanaan Kementerian Keuangan adalah adanya ukuran keberhasilan yang di sebut Indikator Kinerja dan setiap indikator
kinerja ditetapkan target kinerja. Pencapaian indikator Kinerja yang ditetapkan harus menggambarkan pencapaian visi dan misi organisasi yang
merupakan terjemahan dari Renstra.
Rencana Strategis merupakan janji nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sehingga
target kinerjanya seharusnya merupakan target minimum yang harus dicapai dalam setiap dokumen perencanaan. Namun demikian, pada
kenyataannya dalam dokumen perencanaan di Kementerian keuangan terdapat perbedaan dalam penentuan Indikator Kinerja dan besaran
targetnya.
Faktor penyebab perbedaan indikator kinerja beserta target pada dokumen perencanaan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Adanya perbedaan periode penyusunan;
2. Perbedaan unit kerja yang bertanggung jawab dalam penyusunan dokumen perencanaan;
3. Pergeseran skala prioritas unit kerja;
4. Perbedaan intepretasi para perencana atas istilah yang sama dalam dokumen perencanaan;
5. Adanya perubahan perubahan organisasi (reorganisasi).
Dengan adanya perbedaan pada Indikator Kinerja pada beberapa dokumen perencanaan tersebut, maka diperlukan pengintegrasian indikator
kinerja dalam sistem perencanaan, penganggaran dan kinerja K/L.
Pengelolaan Kinerja berbasis BSC yang diterapkan oleh Kementerian Keuangan adalah suatu alat manajemen strategis yang menerjemahkan Visi,
Misi, Tujuan, dan Strategi, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategi (Renstra), ke dalam suatu Peta Strategi yang kemudian pada akhirnya
ditetapkan IKU sebagai alat ukur pengukuran keberhasilan pencapaian Renstra. Pada awal tahun 2013 Kementerian Keuangan menginisiasi untuk
mensinkronkan dan menyelaraskan semua dokumen yang ada dengan satu indikator kinerja yang sama dengan menggunakan pendekatan BSC.
Hal tersebut dilakukan agar pada pelaporan capaian kinerja, hasil kerja yang dilaporkan adalah capaian kinerja yang sama yang menggambarkan
apa yang dicapai oleh Kementerian Keuangan.
Adapun dokumen pelaporan yang harus disusun oleh Kementerian Keuangan adalah Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
LAKIP adalah laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggungjawaban kinerja suatu instansi dalam mencapai tujuan/sasaran strategis instansi
yang berisi gambaran perwujudan AKIP yang disusun dan disampaikan secara sistematik dan melembaga. Penyusunan LAKIP harus mengikuti
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). SAKIP adalah instrumen yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban
untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi.
Korelasi antara Kontrak Kinerja, PK-RKT, dan LAKIP tergambar dalam grafik 5.3 sebagai berikut:
159
Grafik 5.3
Kontrak Kinerja
PK-RKT
LAKIP
Peta Strategi
Peta Strategi
1
Sasaran Strategis
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja
Utama
Indikator Kinerja
Utama
Pagu Anggaran
Inisiatif Strategis
160
BAB 6
PENUTUP
161
162
LAKIP Kementerian Keuangan ini merupakan laporan pertanggungjawaban atas pencapaian pelaksanaan visi dan misi Kementerian
Keuangan menuju good governance dengan mengacu pada Rencana Strategis tahun 2010-2014.Penyusunan LAKIP Kementerian
Keuangan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP),
InstruksiPresidenNomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, LAKIP ini merupakan LAKIP tahun keempat pelaksanaan RPJMN tahun
2010-2014.
Sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara, Kementerian Keuangan telah mampu menjalankan tugasnya dengan baik.Dalam
situasi dan kondisi perekonomian yang sangat fluktuatif, tugas pengelolaan keuangan Negara dirasakan semakin berat dan penuh
tantangan. Namun demikian, aparatur Kementerian Keuangan telah berhasil mengatasi tantangan tersebut, sehingga tugas yang diemban
dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Hal ini tampak pada pencapaian IKU pada tahun 2013 sudah sesuai dengan target yang
ditetapkan, walaupun masih terdapat beberapa IKU belum mencapai target yang ditentukan.
Akhirnya dengan disusunnya LAKIP ini, diharapkan dapat memberikan informasi secara transparan kepada seluruh pihak yang terkait
mengenai tugas fungsi Kementerian Keuangan, sehingga dapat memberikan umpan balik guna peningkatan kinerja pada periode
berikutnya.Secara internal LAKIP tersebut harus dijadikan motivator untuk lebih meningkatkan kinerja organisasi dengan jalan selalu
menyesuaikan indikator-indikator kinerja yang telah ada dengan perkembangan tuntutan stakeholders, sehinggaa Kementerian Keuangan
dapat semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat dengan pelayanan yang profesional.
163
164
LAMPIRAN
FORMULIR PENGUKURAN KINERJA
Kementerian/Unit Eselon I
: Kementerian Keuangan
TahunAnggaran
: 2013
No.
1.
Sasaran Strategis
KK-1
Indikator Kinerja
16%
15,32%
95,75%
KK-1.2
Rasio utang
terhadap PDB
23%
26,02%
86,87%
KK-1.3
2,38%
2,30%
103,36%
KK-1.4
4 (WTP)
3 (WDP)
75%
KK-1.5
Indeks pemerataan
keuangan antardaerah
0,76
0,75
101,32%
4,02
100,50%
88,17%
92,32%
104,70%
Persentase tingkat
kepatuhan formal
WP
65%
60,86%
93,63%
Persentase pengguna
jasa kepabeanan
yang tidak diblokir
95%
96,92%
102,02%
Persentase
Penerapan KPJM
oleh penanggung
jawab program
80%
100%
125,00%
Persentase
rekonsiliasi realisasi
APBN yang andal
dan tepat waktu
97%
99,36%
102,43%
Persentase
penyampaian APBD
tepat waktu
97%
96,75%
99,74%
Persentase
kepatuhan pelaporan
BMN oleh K/L
95%
100%
105,26%
KK-4.1
Deviasi proyeksi
kebijakan fiskal
6%
3,64%
120,00%
KK-4.2
Waktu rata-rata
penyelesaian
PMK/KMK konten
kebijakan
10 hari kerja
8,71 hari
kerja
112,90%
KK-2
KK- 2.1
Indeks kepuasan
pengguna layanan
3.
KK-3
KK- 3.1
Rata-rata persentase
kepatuhan
pengguna layanan
KK-3.1.1
KK-3.1.2
KK-3.1.3
KK-3.1.4
KK-3.1.5
KK-3.1.6
KK-4
Perencanaan
dan
rumusan
kebijakan yang berkualitas
Realisasi Persentase
Rasio pajak
terhadap PDB
2.
4.
Target
KK-1.1
165
No.
5.
Sasaran Strategis
KK-5
Indikator Kinerja
7.
8.
KK-6
KK-7
KK-8
Jumlah Pendapatan
negara (Triliun)
1.497,53
1.426,92
95,28%
KK-5.1.1
Jumlah penerimaan
pajak (Triliun)
995,214
921,269
92,57%
KK-5.1.2
Jumlah Penerimaan
Bea dan Cukai
(Triliun)
153,15
155,71
101,67%
Jumlah PNBP
Nasional (Triliun)
349,17
349,94
100,22%
Persentase
penyerapan Belanja
Negara dalam DIPA
K/L
90%
89,01%
98,90%
KK-6.2
Persentase dana
blokir
2%
0,17%
120,00%
KK-6.3
Persentase ketepatan
waktu penyelesaian
revisi anggaran non
APBN-P
100%
105,56%
105,56%
KK-7.1
105 T
115,72 T
110,21%
KK-7.2
Persentase bidang
tanah BMN yang
direkomendasikan
untuk disertifikatkan
80% (1.600
bidang)
81,95%
(1.639
bidang)
102,44%
110%
100,04%
101,89%
KK-6.1
KK-8.1
Persentase
pengadaan utang
sesuai kebutuhan
pembiayaan
KK-8.2
Persentase
pencapaian target
effective cost
100%
96,72%
103,28%
Persentase
pemenuhan target
risiko portofolio utang
100%
104,91%
110,18%
Persentase
ketepatan jumlah
penyaluran dana
transfer ke daerah
100%
99,26%
99,26%
Persentase Perda
PDRD yang sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan
93%
98%
105,38%
49,50%
54,26%
109,61%
KK-8.3
9.
KK-9
KK-9.1
KK-9.2
10.
KK-10
Pengendalian
Mutu
dan
penegakan hukum yang efektif
Realisasi Persentase
KK-5.1
KK-5.1.3
6.
Target
KK- 10.1
Rata-rata persentase
penegakan hukum
KK-10.1.1
Tingkat efektivitas
pemeriksaan pajak
75%
85,48%
113,97%
KK-10.1.2
Persentase pencairan
piutang pajak
35%
35,48%
101,37%
KK-10.1.3
Persentase
Hasil penyidikan
Pajak yang telah
dinyatakan lengkap
oleh kejaksaan (P21)
50%
30%
60,00%
166
No.
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja
KK-10.1.4
KK-10.1.5
KK-10.1.6
KK-10.2
KK-10.3
KK-10.4
11.
KK-11
KK-11.1
KK-11.2
KK-11.3
KK-11.4
Target
Realisasi Persentase
Persentase
Hasil peyidikan
DJBC yang telah
dinyatakan lengkap
oleh kejaksaan (P21)
55%
81,65%
120,00%
Persentase
penyelesaian piutang
Bea dan Cukai
75%
82,49%
109,99%
Persentase
pelaksanaan audit
terhadap perusahaan
penerima fasilitas
kepabeanan dan
cukai
10%
10,43%
104,30%
Indeks ketepatan
waktu penyelesaian
tindak lanjut Instruksi
Presiden
80%
87,39%
109,24%
Persentase ketepatan
pola penarikan dana
DIPA K/L
85%
76,67%
100,40%
Rata-rata indeks
opini BPK atas LK
BA 15, LK BUN, dan
LK BA 999
4 (WTP)
3,94
98,50%
Persentase pejabat
yang telah memenuhi
standar kompetensi
jabatannya
87%
88,52%
101,75%
Persentase diklat
yang berkontribusi
terhadap peningkatan
kompetensi
90%
98,31%
109,23%
Persentase pegawai
yang memenuhi
standar jamlat
50%
66,21%
120,00%
Persentase Akurasi
data SIMPEG
100%
99,56%
99,56%
167
No.
12.
Sasaran Strategis
KK-12
Indikator Kinerja
KK-12.1
Nilai reformasi
birokrasi
KK-12.2
94,78
103,02%
Persentase policy
recommendation
hasil pengawasan
yang ditindaklanjuti
90%
94,34%
104,82%
Persentase
penyelesaian
blueprint Transformasi
Kelembagaan
100%
98%
98,00%
Tingkat kematangan
implementasi
manajemen risiko
55 (risk
defined)
58,66
106,65%
KK-13.1
Persentase integrasi
TIK Kemenkeu
80%
80%
100,00%
KK-13.2
Persentase downtime
layanan TIK
5%
0,04%
120,00%
KK-14.1
Persentase
Penyerapan DIPA
(non belanja pegawai)
95%
87,15%
91,74%
KK-14.2
Persentase
penyelesaian kegiatan
belanja modal dalam
rencana pencairan
DIPA
98%
94,89%
96,83%
KK-12.4
14.
KK- 13
KK-14
Pelaksanaan
optimal
anggaran
yang
Realisasi Persentase
92
KK-12.3
13.
Target
: Rp18.408,68 miliar
: Rp16.650,31 miliar (Data SAU per 27 Januari 2014)
168
LAMPIRAN
PENGHARGAAN
PENGHARGAAN-PENGHARGAAN YANG
DITERIMA KEMENTERIAN KEUANGAN
SEPANJANG TAHUN 2013
169
170