Anda di halaman 1dari 174

DAFTAR

ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL, GRAFIK, DAN
GAMBAR
PENGANTAR
IKHTISAR EKSEKUTIF
BAB 1 : PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi
Mandat dan Peran Strategis
Sistematika Laporan

14
15
16
21

BAB 2 : RENCANA STRATEGIS DAN PENETAPAN/PERJANJIAN KINERJA


Rencana Strategis
Rencana Kerja, Rencana Kerja dan Anggaran K-L dan Kontrak Kinerja
Penetapan Kinerja
Pengukuran Kinerja
Perkembangan Implementasi Balance Scorecard Tahun 2013

24
29
30
35
37

BAB 3 : AKUNTABILITAS KINERJA DAN AKUNTABILITAS KEUANGAN


Akuntabilitas Kinerja
Akuntabilitas Keuangan

40
135

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

BAB 4 : KINERJA LAIN-LAIN


Bidang Perpajakan
Bidang Kepabeanan Dan Cukai
Bidang Pengelolaan Anggaran
Bidang Kekayaan Negara
Bidang Pengelolaan Utang
Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal
Bidang Pengawasan

140
140
141
143
145
149
151

BAB 5 : PENINGKATAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN KEUANGAN


Penguatan Sistem Balanced Scorecard
Peningkatan Kualitas Dokumen Perencanaan
Integrasi Pengelolaan Kinerja Berbasis BSC dengan SAKIP
Peningkatan Kualitas Evaluator AKIP Kemenkeu

BAB 6 : PENUTUP
LAMPIRAN FORMULIR PENGUKURAN
KINERJA
LAMPIRAN PENGHARGAAN

154
156
156
159

DAFTAR
TABEL
2

1.1

Kegiatan Prioritas Nasional Kementerian Keuangan

1.2

Kegiatan Prioritas Bidang Kementerian Keuangan

2.1

Sasaran Strategis dan IKU

3.1

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

3.25

Optimal
3.26
3.27

Memperkuat Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan

3.28

Rasio Pajak Terhadap PDB Beberapa Negara Lain


Perbandingan Rasio Defisit APBN Terhadap PDB

Rincian Dana Blokir Per Unit Eselon II


Realisasi IKU persentase Ketepatan Waktu
Penyelesaian Revisi Anggaran Non APBN-P

Berkualitas
3.3

Perbandingan Penyerapan Anggaran Triwulan IV


Tahun 2012 dan Tahun 2013

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Kondisi Fiskal


yang Sehat, Efektif, dan Berkelanjutan untuk

3.2

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Belanja yang

3.29

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pengelolaan


Kekayaan Negara yang Optimal

Beberapa Negara Lain

3.30

Rincian Realisasi Utilisasi Kekayaan Negara

3.4

Indeks Pengukuran Audit BPK

3.31

Tugas/Kewajiban Pelaksanaan Sertifikasi BMN

3.5

Indeks opini BPK atas LKPP Tahun 2008 s.d. 2012

3.32

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pembiayaan

3.6

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Kepuasan

3.7
3.8
3.9
3.10
3.11
3.12
3.13
3.14
3.15

Pengguna Layanan yang Tinggi

3.33

Rincian Pinjaman Program sesuai APBN 2013

Nilai Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Per Unit

3.34

Rincian Pinjaman Program sesuai APBN-P 2013

Eselon I

3.35

Pengguna Layanan Yang Tinggi

3.36

Hasil Penerbitan SUN Tahun 2013

Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh

3.37

Hasil Penerbitan SUN Melalui Lelang Tahun 2013

Tahun 2009 s.d. 2013

3.38

Penerbitan Surat Utang Negara Berdenominasi valuta


asing

Jumlah Daerah yang Dikenakan Sanksi


Daftar Daerah yang Dikenakan Sanksi dari Tahun 2009

3.39

Realisasi Penerbitan SBSN Tahun 2013

s.d. 2013

3.40

Perkembangan Penerbitan SBSN Tahun 2011-2013

Perkembangan Capaian persentase Kepatuhan

3.41

Kinerja Lelang SBSN Tahun 2011-2013

Pelaporan BMN oleh K/L

3.42

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Hubungan

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Perencanaan

Keuangan Pusat dan Daerah yang Profesional dan

dan Rumusan Kebijakan yang Berkualitas

Transparan

Capaian IKU Deviasi Proyeksi Indikator Kebijakan

3.43

Realisasi Transfer ke Daerah s.d. 31 Desember 2013

Fiskal Tahun 2013

3.44

Mekanisme Pola Penyaluran Anggaran Transfer ke


Daerah

Capaian sub IKU Deviasi Proyeksi Indikator Ekonomi


3.45

Perkembangan Jumlah Daerah dan Besaran Transfer


Tahun 2006 s/d 2013

Perbandingan Kinerja Deviasi Proyeksi Indikator


Ekonomi Makro Tahun 2012 dan Tahun 2013

3.17

Rincian Pinjaman Program Tahun 2013 beserta


Realisasi

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Kepatuhan

Makro Tahun 2013


3.16

yang Cukup, Efisien, dan Risiko yang Terukur

3.46

Perkembangan Alokasi DBH per Komponen Tahun


2007 s/d 2012

Deviasi Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, Nilai Tukar, dan


Suku Bunga

3.47

Penyaluran DBH Pajak Tahun 2013

3.18

Capaian sub IKU Deviasi Proyeksi APBN Tahun 2013

3.48

Penyaluran DBH SDA Tahun 2013

3.19

Deviasi Proyeksi Penerimaan Pajak dan Deviasi

3.49

Perpres Alokasi DAU dan Permenkeu Dana

3.20

Proyeksi Belanja KL

Penyeimbang yang Diterbitkan Tahun Anggaran

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pendapatan

2007 2013

yang Optimal

3.50

Penyaluran DAU Tahun 2013

3.21

Penerimaan Pajak Tahun 2013

3.51

Perkembangan Jumlah bidang-bidang DAK 2007 s/d

3.22

Rencana dan Realisasi 2013 per Triwulan

3.23

Pertumbuhan Penerimaan Pajak Sektor Dominan

3.52

Penyaluran DAK Tahun 2013

Realisasi Jumlah Penerimaan Bea dan Cukai Tahun

3.53

Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian Tahun 2013

2013

3.54

Daftar Provinsi Yang Tidak Menyampaikan Laporan

3.24

2013

Realisasi Penyerapan Dana Tamsil Guru

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

3.55
3.56
3.57

Jumlah Perda yang Dievaluasi Tahun 20092013

3.81

Rincian Penyerapan DIPA Kuartal IV TA 2013

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pengendalian

3.82

Penyerapan DIPA Per Jenis Belanja

Mutu dan Penegakan Hukum yang Efektif

3.83

Rincian Penghematan Hasil Lelang Tahun 2013

Rincian Capaian IKU Tingkat Efektivitas Pemeriksaan

3.84

Pajak

Persentase Realisasi Belanja Modal Dalam DIPA Unit


Eselon I

3.58

Realisasi persentase Pencairan Piutang Pajak

3.85

Penyerapan DIPA Per Jenis Belanja

3.59

persentase Hasil Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap

3.86

Realisasi Anggaran 2013 Per Program

oleh Kejaksaan (P-21) Tahun 2013

4.1

Eksposur Penjaminan Pemerintah pada Proyek FTP I

Perbandingan Capaian IKU persentase Hasil

4.2

Eksposur Penjaminan Pemerintah terhadap Proyek

3.60

Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap oleh Kejaksaan


(P-21) Tahun 2011 s.d 2013
3.61

Audit Terhadap Perusahaan Penerima Fasilitas


Kepabeanan dan Cukai Tahun 2013

3.62

Perbandingan Audit Terhadap Perusahaan Penerima


Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Tahun 2012 s.d 2013

3.63

Indeks Ketepatan Waktu Penyelesaian Tindak Lanjut


Instruksi Presiden Tahun 2013

3.64

Perbandingan Penyerapan Anggaran Triwulan IV


Tahun 2012 dan Tahun 2013

3.65

Daftar Dana Blokir Kementerian/Lembaga Tahun 2013

3.66

Rincian Opini BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK


BA 999 tahun 2012

3.67

Capaian IKU pada Sasaran Strategis SDM yang


Berkompetensi Tinggi

3.68

Capaian JPM Kementerian Keuangan

3.69

Daftar Diklat Yang Dievaluasi Tahun 2013

3.70

Rincian Capaian IKU persentase Pegawai Yang


Memenuhi Standar Jamlat

3.71
3.72

Rincian Capaian Akurasi Data SIMPEG Tahun 2013


Capaian IKU pada Sasaran Strategis Organisasi yang
Adaptif

3.73

Rincian Nilai Reformasi Birokrasi Kemenkeu Tahun


2013

3.74

Rincian Policy Recommendation Hasil Pengawasan


yang Ditindaklanjuti Kementerian Keuangan pada
Tahun 2013

3.75
3.76

Indeks Kematangan Penerapan Manajemen Risiko


Rekapitulasi Hasil Penilaian TKPMR Kemenkeu Tahun
2013

3.77

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Perwujudan TIK


yang Terintegrasi

3.78

Target Integrasi TIK Kementerian Keuangan Tahun


2011-2013

3.79

Persentase Downtime Layanan TIK

3.80

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pelaksanaan


Anggaran yang Optimal

Percepatan Penyediaan Air Minum


4.3

Eksposur Penjaminan Pemerintah pada Proyek FTP II

DAFTAR
GAMBAR DAN
GRAFIK
4

P.1

Capaian Kinerja Kementerian Keuangan

RE.1

Strategi Kementerian Keuangan beserta capaiannya

1.1

Bagan Struktur Organisasi Kementerian Keuangan

1.2

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

3.22

Telah Memenuhi Standar Kompetensi Jabatan


3.23

Perkembangan Capaian persentase Diklat Yang


Berkontribusi Terhadap Peningkatan Kompetensi

Peran Strategis Kementerian Keuangan Dalam


Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Negara

Perkembangan Capaian persentase Pejabat Yang

3.24

Perkembangan Capaian persentase Policy

2.1

Peta Strategi Kementerian Keuangan Tahun 2013

Recommendation Hasil Pengawasan Yang

3.1

Perbandingan Jumlah IKU Berdasarkan Indeks

Ditindaklanjuti

Capaian
3.2
3.3
3.4

3.26

Realisasi Belanja Tahun 2010 sampai dengan 2013

5.1

Kerangka Umum Pengelolaan Kinerja Kementerian

Perkembangan Skor Kepuasan Stakeholders

Perkembangan Capaian Jumlah Penerimaan Bea dan

3.7

Perkembangan Capaian Jumlah Penerimaan PNBP

3.8

Perkembangan Capaian IKU persentase Penyerapan


Belanja Negara dalam DIPA K/L
Jumlah Penyelesaian Revisi Anggaran Non APBN-P
Per Triwulan

3.10

Jumlah Revisi Anggaran Non APBN-P Selama Tahun


2013

3.11

Perkembangan Capaian Nilai Kekayaan Negara Yang


Diutilisasi

3.12

Perkembangan Capaian persentase Pencapaian


Target Effective Cost

3.13

Perkembangan Capaian persentase Perda PDRD


yang Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan

3.14

Perkembangan Capaian Tingkat Efektivitas


Pemeriksaan Pajak

3.15

Perkembangan Capaian persentase Pencairan


Piutang Pajak

3.16

Perkembangan Capaian persentase Penyelesaian


Piutang Bea dan Cukai

3.17

Perkembangan Capaian persentase Pelaksanaan


Audit Terhadap Perusahaan Penerima Fasilitas
Kepabeanan dan Cukai

3.18

Perkembangan Capaian Indeks Ketepatan Waktu


Penyelesaian Tindak Lanjut Instruksi Presiden

3.19

Pola Penyerapan DIPA K/L Sepanjang Tahun 2013

3.20

Proporsi Pagu DIPA per Jenis Belanja TA 2013

3.21

Keuangan
52

Perkembangan Capaian Rata-rata Indeks Opini BPK


RI atas LK BA 15, LK BUN dan LK BA 999

Kedudukan Kontrak Kinerja dalam Sistem Perencaan


Strategis

Perkembangan Capaian persentase Penyampaian

Cukai

3.9

Kemenkeu

Skor Kinerja Layanan Kementerian Keuangan

APBD Tepat Waktu


3.6

Perkembangan Capaian persentase Integrasi TIK

Berdasarkan Unsur Layanan


Terhadap Layanan Kemenkeu 2010-2013
3.5

3.25

Rasio Utang Terhadap PDB Beberapa Negara Lain

5.3

Korelasi Kontrak Kinerja, PK-RKT dan LAKIP

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Halaman Ini sengaja dikosongkan

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

PENGANTAR

Yang kami hormati Bapak Presiden, Bapak Wakil Presiden, serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,
Republik Indonesia. Bersama ini kami sajikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan tahun
2013, sebagai perwujudan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan mandat yang diberikan, serta laporan kinerja pencapaian visi
dan misi Kementerian Keuangan dalam periode Tahun Anggaran 2013. LAKIP ini merupakan tahun keempat dari pelaksanaan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden memberi kuasa kepada Menteri Keuangan
untuk mengelola fiskal dan kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam mandat dan tugas tersebut antara lain terkait dengan kebijakan
ekonomi makro, APBN, sebagai Bendahara Umum Negara, pengelolaan kekayaan negara, serta keuangan dan ekonomi internasional.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025, Kementerian Keuangan secara langsung mendukung 3 (tiga) Prioritas Nasional, yaitu (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2)
Ketahanan Pangan; dan (3) Iklim Investasi dan Iklim Usaha. Selain itu Kementerian Keuangan mendukung Prioritas Bidang Ekonomi seperti
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan stabilitas yang kokoh, serta pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Selama tahun 2013 Indonesia menghadapi ketidakpastian pemulihan ekonomi global, ditambah lagi dengan adanya tapering stimulus
moneter yang dilakukan oleh Amerika, yang berakibat pada ketidakpastian pasar keuangan internasional dan ketidakpastian harga
komoditas, sehingga membuat tekanan pada nilai tukar rupiah dan kondisi ekonomi Indonesia. Situasi tersebut sangat mempengaruhi
keuangan pemerintah, khususnya terhadap penerimaan negara, dan tentunya secara langsung berdampak pada capaian kinerja
Kementerian Keuangan. Walaupun demikian, dari seluruh indikator kinerja utama, Kementerian Keuangan secara mayoritas telah
memenuhi target (69,4%), termasuk didalamnya defisit APBN terhadap PDB dan tingkat kepatuhan pengguna layanan yang tinggi.
Sebagai bagian dari program Reformasi Birokrasi, Kementerian Keuangan telah memenuhi target nilai reformasi birokrasi sesuai
dengan nilai 94,78 dari target nilai 92. Penilaian ini menggunakan metode penilaian sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
(PMPRB). Selain itu dalam pengelolaan kinerja telah menerapkan metode Balanced Scorecard (BSC), di mana performance diukur atas
dasar penilaian Indikator Kinerja Utama (IKU) yang merupakan indikator keberhasilan pencapaian sasaran-sasaran strategis (SS/KK) yang
tertuang dalam Peta Strategis Kementerian Keuangan tahun 2013, yang juga merupakan kontrak kinerja Kementerian Keuangan Tahun
2013.
Dari hasil pengukuran kinerja, Nilai Kinerja Organisasi (NKO) Kementerian Keuangan telah mencapai 101,80%. Nilai tersebut berasal dari
capaian kinerja pada masing-masing perspektif yaitu stakeholders perspective dengan capaian kinerja 18,49% (bobot 20%), customers

perspective dengan capaian kinerja 20,52% (bobot 20%), internal process perspective dengan capaian kinerja 31,65% (bobot 30%), dan
learning and growth perspective dengan capaian kinerja 31,14% (bobot 30%).

Gambar P.1

Capaian Kinerja Kementerian Keuangan


Kinerja Kementerian Keuangan
Nilai Kinerja Organisasi: 101,80%

Stakeholders perspective

Customers perspective

Internal Process perspective

Learning and growth perspective

Bobot: 20%
Capaian kinerja: 18,49%

Bobot: 20%
Capaian kinerja: 20,52%

Bobot: 30%
Capaian kinerja: 31,65%

Bobot: 30%
Capaian kinerja: 31,14%

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pada tahun 2013, pencapaian strategis Kementerian Keuangan di bidang pendapatan negara mencapai 95,28%. Capaian ini diperoleh
dari penerimaan pajak sebesar Rp921,269 triliun, penerimaan bea dan cukai sebesar Rp155,71 triliun, dan penerimaan PNBP nasional
sebesar Rp349,94 triliun. Pada awal tahun 2013, Kementerian Keuangan menetapkan target rasio pajak terhadap PDB sebesar 16%.
Dengan menggunakan data angka perkiraan PDB tahun 2013 sebesar Rp9.112,40 triliun, rasio pajak terhadap PDB mencapai 15,32%.
Dengan data yang sama, perhitungan rasio utang terhadap PDB mencapai 26,02% dan rasio defisit APBN terhadap PDB telah mencapai
2,30%.
Pencapaian target tersebut merupakan cermin dari para stakeholders yang selama ini berkontribusi terhadap penerimaan negara yang
dihimpun melalui unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan. Cerminan pelayanan yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan
terhadap stakeholder ditunjukkan oleh persepsi mereka terhadap Kementerian Keuangan saat dilakukan survei kepuasan pengguna
layanan yang hasilnya berupa indeks kepuasan sebesar 3,98 dari skala likert 5. Hasil survei yang positif ini diharapkan akan meningkatkan
citra Kementerian Keuangan di mata stakeholders sebagai pengguna layanan.
Akhir kata, semoga laporan akuntabilitas kinerja ini dapat memenuhi harapan sebagai pertanggungjawaban kami kepada masyarakat dan
sebagai pendorong peningkatan kinerja organisasi Kementerian Keuangan.

MENTERI KEUANGAN

MUHAMAD CHATIB BASRI

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

IKHTISAR
EKSEKUTIF
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan Tahun 2013, merupakan perwujudan akuntabilitas
pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian sebagai perwujudan good governance dan kebijakan yang transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu LAKIP Kementerian merupakan wujud dari kinerja dalam pencapaian visi dan misi, sebagaimana yang
dijabarkan dalam tujuan/sasaran strategis, yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2013.
Visi Kementerian Keuangan adalah Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Terpercaya, Akuntabel dan Terbaik di
Tingkat Regional untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Dalam mencapai visi tersebut, Kementerian
Keuangan sebagai lembaga/institusi yang mempunyai tugas menghimpun dan mengalokasikan keuangan negara serta mengelola
kekayaan negara melaksanakan secara transparan dan akuntabel, yang berlandaskan asas profesionalitas, proporsionalitas, dan
keterbukaan.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Keuangan mempunyai empat misi yaitu (1) Misi Fiskal, yaitu mengembangkan kebijakan
fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati (prudent), dan bertanggungjawab; (2) Misi Kekayaan Negara, yaitu mewujudkan pengelolaan
kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparan, efisien, dan bertanggungjawab; (3) Misi
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, yaitu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak
dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global; dan (4) Misi Penguatan Kelembagaan, yang meliputi (i)
membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat; (ii) membangun dan
mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegritas tinggi, dan bertanggungjawab; (iii) membangun dan mengembangkan
teknologi informasi keuangan yang modern dan terintegrasi serta sarana dan prasarana strategis lainnya.
Dalam mencapai visi dan misi, Kementerian Keuangan menetapkan 6 tujuan strategis yang akan dicapai dalam tahun 2010-2014
yaitu: (i) meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keadilan
masyarakat; (ii) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan belanja negara untuk mendukung penyelenggaraan tugas K/L dan
pelaksanaan desentralisasi fiskal; (iii) mewujudkan kapasitas pembiayaan yang mampu memberikan daya dukung bagi kesinambungan
fiskal; (iv) pengelolaan perbendaharaan negara yang profesional dan akuntabel serta mengedepankan kepuasan stakeholders atas kinerja
perbendaharaan negara; (v) mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal serta menjadikan nilai kekayaan negara sebagai
acuan dalam berbagai keperluan; dan (vi) membangun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional, yang
mampu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak perekonomian nasional yang tangguh
dan berdaya saing global.
Untuk menunjang pencapaian tujuan strategis tersebut disusunlah Peta Strategi Kementerian Keuangan berdasarkan metodologi balanced

scorecard yang terdiri dari empat perspektif yaitu stakeholder, customer, internal process dan learning and growth. Peta strategi tersebut
terdiri dari 14 (empat belas) sasaran strategis, 1 (satu) sasaran strategis diantaranya merupakan bagian dari stakeholder perspective, 2
(dua) sasaran strategis pada customer perspective, 7 (tujuh) sasaran strategis pada internal process dan 4 (empat) sasaran strategis

learning and growth perspective. Peta Strategi Kementerian Keuangan 2013 memuat 14 sasaran strategis. Sasaran-sasaran strategis
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang
inklusif dan berkualitas; (2) Kepuasan pengguna layanan yang tinggi; (3) Kepatuhan pengguna layanan yang tinggi; (4) Perencanaan
dan rumusan kebijakan yang berkualitas; (5) Pendapatan yang optimal; (6) Belanja yang optimal; (7) Pengelolaan kekayaan negara yang
optimal; (8) Pembiayaan yang cukup, efisien, dan risiko yang terukur; (9) Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan
transparan; (10) Pengendalian Mutu dan penegakan hukum yang efektif; (11) SDM yang berkompetensi tinggi; (12) Organisasi yang
adaptif; (13) Perwujudan TIK yang terintegrasi; (14) Pelaksanaan anggaran yang optimal.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Dalam rangka mencapai sasaran-sasaran strategis tersebut tentunya tidak terlepas dari tantangan dan pengaruh perekonomian global
dan nasional. Kementerian Keuangan telah berupaya untuk mengelola kondisi ekonomi makro yang dihadapi dan menyusun langkahlangkah kebijakan fiskal yang prudent untuk menghadapi hal tersebut. Dengan demikian, perekonomian nasional mampu tumbuh 5,7%,
nilai tukar rupiah rata-rata sebesar Rp10.452/US$, dan tingkat inflasi pada kisaran 8,38%. Dengan kondisi tersebut, nilai capaian sasaran
strategis Kementerian Keuangan pada umumnya sudah sesuai dengan yang direncanakan.
Penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan pencapaian sasaran strategis, diukur dengan Indikator Kinerja Utama (IKU). Kualitas IKU
didasarkan pada kriteria SMART-C (Specific, Measureable, Agreeable, Realistic, Time-bounded dan Continously Improved). Pada tahun
2013 telah dihasilkan 36 IKU pada level Kementerian yang merupakan komitmen kinerja Menteri Keuangan dan Wakil Menteri Keuangan.
Secara umum pencapaian IKU pada tahun 2013 sudah sesuai dengan target yang ditetapkan, kecuali beberapa IKU yang berada di
bawah target. Dari 36 IKU level Kementerian terdapat 25 IKU berstatus hijau (mencapai target), 10 IKU berstatus kuning (kurang dari
target), dan 1 IKU berstatus merah (tidak mencapai target). IKU yang tidak memenuhi target meliputi: (1) Rasio pajak terhadap PDB; (2)
Rasio utang terhadap PDB; (3) Indeks opini BPK atas LKPP; (4) Jumlah Pendapatan Negara; (5) Persentase penyerapan Belanja Negara
dalam DIPA K/L; (6) Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah; (7) Rata-rata indeks opini BPK atas LK BA 15,
LK BUN, dan LK BA 999; (8) Persentase akurasi data SIMPEG; (9) Persentase penyelesaian blueprint Transformasi Kelembagaan; (10)
Persentase penyerapan DIPA (non belanja pegawai); dan (11) Persentase penyelesaian kegiatan belanja modal dalam rencana pencairan
DIPA.

Gambar RE.1

Kondisi fiskal yang sehat, efektif dan


berkelanjutan untuk
memperkuat pertumbuhan ekonomi
yang inklusif dan berkualitas

Presiden
DPR
BPK
K/L
Masyarakat

Capaian: 92,46%

KK -3

KK-2

Customer
Perspective

Stakeholder
Perspective

Peta Strategi Kementerian Keuangan beserta capaiannya

Kepuasan
pengguna
Kepuasan pengguna
layanan
yangtinggi
tinggi
layanan yang

Kepatuhan
pengguna
Kepatuhan pengguna
layanan
yangtinggi
tinggi
layanan yang

Capaian:100,50
100,50%
Capaian:
%

Capaian:104,70
104,70%
Capaian:
%

PENGELOLAAN

Internal Process
Perspective

Perencanaan dan
Perumusan

KK-5

KK-6

Pendapatan
Pendapatan yang
yang optimal
optimal

Belanja yang optimal


Belanja yang optimal

Capaian:
95,28%
Capaian: 95,28
%

Capaian: 108,15%
Capaian: 108,15 %

Pengendalian Mutu dan


Penegakan Hukum

KK -4

KK-7

KK -10

Perencanaan
Peerencanaandan
dan Rumusan
Rumusan
kebijakan
berkualitas
kebijakan yang
yang berkualitas

Pengelolaan
Kekayaan
Pengelolaan
Kekayaan
Negara
yangyang
optimal
Negara
optimal

Pengendalian
Mutu
danPePengendalian
Mutu
dan
Penegakan
hukumyang
yangefektif
efektif
negakan hukum

Capaian:
117,10%
Capaian: 117,10
%

Capaian:
%
Capaian:106,32
106,32%

Capaian: 104,15
%
Capaian:
104,15%

Learning and Growth


Perspective

KK-9

SDM

Pembiayaan yang cukup,


efisien dan risiko yang
terukur

Hubungan
Keuangan
Pusat
Hubungan Keuangan
Pusat
dan
dan
Daerah
profesional
Daerah
yangyang
profesional
dan
dantransparan
transparan

Capaian: 105,12%

Capaian:
102,32%
Capaian: 102,32
%

Organisasi

TIK

Anggaran

KK-14

KK-11

KK-12

KK-13

SDM
yang
SDM
yangberkompetensi
berkompetensi
tinggi
tinggi

Organisai
adaptif
Organisai yang
yang adaptif

Perwujudan TIK yang terPerwujudan TIK yang terintegrasi


integrasi

Pelaksanaan
anggaran
Pelaksanaan anggaran
yang optimal
optimal
yang

Capaian:
103,33%
Capaian: 103,33
%

Capaian: 110,00 %
Capaian: 110,00%

Capaian:94,28
94,28%
Capaian:
%

Capaian:
107,59%
Capaian:
107,59

10

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Dalam rangka menjaga dan meningkatkan efektifitas pengelolaan kinerja, selain melaksanakan pengukuran kinerja, juga telah dilaksanakan

review terhadap kontrak kinerja terhadap beberapa unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan. Review meliputi dokumen dan
informasi pendukung penyusunan kontrak kinerja seperti Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi dan misi organisasi, uraian
jabatan, tugas dan fungsi, kontrak kinerja tahun sebelumnya, Manual IKU, serta Matriks Cascading dan Alignment.
Implementasi manajemen kinerja balanced scorecard di Kementerian Keuangan telah berjalan baik walaupun masih butuh banyak
penyempurnaan. Segala upaya perbaikan terus dilakukan untuk meningkatkan kinerja organisasi lebih melejit lagi. Capaian IKU yang
masih dibawah target terus dilakukan evaluasi dan action plan yang relevan. Perbaikan peraturan atau pedoman pelaksanaan pengelolaan
kinerja juga dilakukan sehingga dapat mengakomodasi perkembangan yang terjadi atau yang belum diatur secara jelas. Untuk itu,
Kementerian Keuangan akan senantiasa berupaya dan bekerja lebih keras lagi, sehingga diharapkan di masa yang akan datang menjadi
organisasi sehat yang berkinerja tinggi (healthy and high performance organization).

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Halaman Ini sengaja dikosongkan

11

12

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi
Mandat dan Peran Strategis
Sistematika Laporan

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

13

14

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

LATAR
BELAKANG
Kementerian Keuangan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan,
Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2013 mempunyai
tugas yang sangat strategis, yaitu mengelola keuangan dan kekayaan negara.
Dalam melaksanakan tugas pengelolaan keuangan negara tersebut, Kementerian Keuangan dituntut untuk melaksanakannya dengan

prudent, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien sesuai dengan prinsip-prinsip good governance sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Salah satu azas penyelenggaraan good governance yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah
asas akuntabilitas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akuntabilitas tersebut salah satunya diwujudkan dalam bentuk penyusunan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
LAKIP disusun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas dan fungsi selama
tahun 2013 dalam rangka melaksanakan misi dan mencapai visi Kementerian Keuangan dan sekaligus sebagai alat kendali dan pemacu
peningkatan kinerja setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan, serta sebagai salah satu alat untuk mendapatkan
masukan bagi stakeholders demi perbaikan kinerja Kementerian Keuangan. Selain untuk memenuhi prinsip akuntabilitas, penyusunan
LAKIP tersebut juga merupakan amanat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

Kementerian Keuangan dituntut untuk


melaksanakan pengelolaan keuangan dengan
prudent, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien

15

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

TUGAS, FUNGSI DAN STRUKTUR


ORGANISASI
Dalam melaksanakan peran strategis seperti diuraikan di atas, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Kementerian Keuangan mempunyai tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara. Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian
Keuangan mempunyai fungsi: (a) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara; (b)
pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan; (c) pengawasan atas pelaksanaan
tugas di lingkungan Kementerian Keuangan; (d) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Keuangan di daerah; (e) pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan (f) pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke
daerah.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan dibantu oleh 11 Unit Eselon I, 5 Staf Ahli, dan 5 Pusat.
Selain itu, untuk mendukung tugas dan fungsi Kementerian Keuangan telah dibentuk Pusat Investasi Pemerintah, Sekretariat Pengadilan
Pajak, Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Berbeda dengan Kementerian lainnya yang
bersifat integrated type, di mana Direktorat-direktorat Jenderalnya melaksanakan tugas yang sejenis, Kementerian Keuangan bersifat

holding company type di mana Direktorat-direktorat Jenderalnya melaksanakan tugas dengan ruang lingkup dan sifat yang berbeda,
dan mempunyai instansi vertikal untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi di wilayah. Bagan struktur organisasi Kementerian
Keuangan dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 1.1

Bagan Struktur Organisasi


Kementerian Keuangan
MENTERI KEUANGAN
WAKIL MENTERI

SEKRETARIAT
JENDERAL

INSPEKTORAT
JENDERAL

55 STAF
STAFFAHLI
AHLI

DITJEN
ANGGARAN

DITJEN
BEA DAN CUKAI

DITJEN
PAJAK

Tingkat Pusat
Tingkat Daerah

KANWIL DJP

KPP

DITJEN
KEKAYAAN NEGARA

DITJEN
PERIMBANGAN
KEUANGAN

DITJEN
PERBENDAHARAAN

KANWIL/
KPU DJBC

KPPBC

DITJEN
PENGELOLAAN UTANG

KANWIL DJPb

KANWIL DJKN

KPPN

KPKNL

BADAN PENDIDIKAN
DAN PELATIHAN KEUANGAN

BADAN
KEBIJAKAN FISKAL

BALAI DIKLAT

Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Keuangan didukung oleh 59.285 orang pegawai dari berbagai bidang keahlian seperti
ekonomi, keuangan, bisnis, hukum, teknis, administrasi, dan lainnya. Pegawai Kementerian Keuangan tersebut ditempatkan pada 11
unit Eselon I yang tersebar ke dalam Kantor Pusat dan Kantor Vertikal di daerah. Dalam konteks perimbangan pegawai, terdapat 23,81%
pegawai di Kantor Pusat dan 76,19% pegawai di Intansi Vertikal di daerah. Distribusi pegawai yang berimbang ini amat perlu dalam
membentuk workforce yang efektif dan efisien. Selain itu Kementerian Keuangan juga mempertimbangkan komposisi dari segi jabatan,
golongan, pendidikan dan usia/generasi serta kompetensi. Komposisi yang berimbang merupakan dukungan dalam pencapaian sasaran
kinerja Kementerian Keuangan pada tahun 2013 ini sebagaimana tertuang dalam Peta Strategi Kementerian Keuangan tahun 2013 dalam
perspektif learning and growth.

16

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

MANDAT DAN PERAN


STRATEGIS
Kementerian Keuangan mempunyai peran yang strategis yaitu pengelola keuangan dan kekayaan negara. Sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara memberi kuasa kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/
Lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief

Financial Officer (CFO), sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu
bidang tertentu pemerintahan.

Gambar 1.2

Peran Strategis Kementerian Keuangan


dalam Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Negara

Presiden

Chief Financial Officer


(CFO)
Bendahara Umum Negara

Chief Operational Officer


(COO)
Pengguna Anggaran/Barang

Menteri Keuangan

Menteri Teknis

Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya
mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Dalam rangka melaksanakan kekuasaan sebagai pengelola fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
2. Menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
3. Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
4. Melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
5. Melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang;
6. Melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara (BUN);
7. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban APBN;
8. Melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Dalam rangka melaksanakan kekuasaan sebagai pengelola kekayaan negara, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut:
1. Merumuskan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
2. Melaksanakan kebijakan di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang;
3. Menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang.
Peran strategis Kementerian Keuangan juga tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 20092014 yang telah menetapkan Arah Kebijakan dan Strategi Nasional yang terbagi dalam 11 (sebelas) Prioritas Nasional, yaitu: (1) Reformasi

17

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim
Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan
Pasca-konflik; dan (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Arah kebijakan dan Strategi Nasional tersebut merupakan tahapan
kedua dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025 sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025.
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Kementerian Keuangan secara langsung mendukung 3 (tiga) Prioritas Nasional pada substansi inti
tertentu. Adapun Prioritas Nasional dimaksud yaitu: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Ketahanan Pangan; dan (3) Iklim Investasi
dan Iklim Usaha. Dalam rangka mendukung masing-masing Prioritas Nasional tersebut, Kementerian Keuangan melaksanakan Kegiatan
Prioritas. Prioritas Nasional, Substansi Inti, dan Kegiatan Prioritas yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dapat dilihat pada tabel
1.1.

Tabel 1.1
Kegiatan Prioritas Nasional Kementerian Keuangan

No

Prioritas Nasional

Substansi Inti

Kegiatan Prioritas

1.

Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola

Otonomi Daerah

Perumusan Kebijakan, Bimbingan


Teknis, dan Pengelolaan Transfer ke
Daerah.

Regulasi

PerumusanKebijakan,
BimbinganTeknis, Monitoring dan
Evaluasi di bidang Pendapatan
Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD).

Investasi,
Pembiayaan, dan
Subsidi

Penyusunan dan Penyampaian


Laporan Keuangan Belanja Subsidi
dan Belanja Lain-lain (BSBL).

2.

Ketahanan Pangan

Pengelolaan Anggaran Belanja


Pemerintah Pusat (ABPP).
3.

Prioritas Nasional Iklim Investasi dan


Iklim Usaha

Logistik Nasional

Perumusan Kebijakan dan


Bimbingan Teknis Fasilitas Bidang
Kepabeanan.

Sistem Informasi

Perumusan Kebijakan dan


Pengembangan Teknologi Informasi
Kepabeanan dan Cukai.

Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK)

Perumusan kebijakan di bidang


PPN, PBB, BPHTB, KUP, PPSP,
dan Bea Materai.
Perumusan kebijakan di bidang
PPh dan perjanjian kerjasama
perpajakan internasional.

Selain mendukung tiga prioritas nasional, Kementerian Keuangan juga mendukung Prioritas Bidang Ekonomi. Dalam RPJMN 2010-2014,
elemen-elemen utama pembangunan di bidang ekonomi yang harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh
adalah prioritas pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan stabilitas yang kokoh, serta pembangunan ekonomi yang inklusif
dan berkeadilan. Kementerian Keuangan mendukung 3 (tiga) prioritas di bidang ekonomi yaitu: (1) Prioritas Optimalisasi Pengeluaran
Pemerintah; (2) Prioritas Pengelolaan APBN yang Berkelanjutan; dan (3) Prioritas Stabilitas Sektor Keuangan. Masing-masing Prioritas
Bidang memiliki Fokus Prioritas dan Kegiatan Prioritas. Adapun Prioritas Bidang, Fokus Prioritas, dan Kegiatan Prioritas yang dilaksanakan
oleh Kementerian Keuangan dapat dilihat pada tabel I.2

18

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 1.2
Kegiatan Prioritas Bidang Kementerian Keuangan

No

Prioritas Bidang

Fokus Prioritas

Kegiatan Prioritas

1.

Optimalisasi Pengeluaran Pemerintah

Optimalisasi Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat

a. Pengelolaan Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat
(ABPP).
b. Pengembangan Sistem
Penganggaran.
c. Penyusunan dan
penyampaian
laporan keuangan Belanja
Subsidi dan Belanja Lain-lain
(BSBL).

Pengelolaan Perimbangan
Keuangan

a. Perumusan kebijakan,
bimbingan teknis, monitoring
dan evaluasi di bidang
pembiayaan dan kapasitas
daerah.
b. Perumusan kebijakan,
bimbingan teknis, dan
pengelolaan transfer ke
Daerah.
c. Perumusan kebijakan
bimbingan teknis, monitoring,
dan evaluasi di bidang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD).
d. Perumusan kebijakan,
pemantauan dan evaluasi di
bidang pendanaan daerah
dan ekonomi daerah,
penyusunan laporan
keuangan transfer ke daerah,
serta pengembangan sistem
informasi keuangan daerah.

Pengelolaan
Perbendaharaan Negara

a. Pembinaan Pelaksanaan
Anggaran dan Pengesahan
Dokumen Pelaksanaan
Anggaran.
b. Peningkatan Pengelolaan Kas
Negara.
c. Manajemen Investasi dan
Penerusan Pinjaman.
d. Penyelenggaraan
pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran.

Pengelolaan Barang Milik


Negara dan Kekayaan
Negara

a. Perumusan kebijakan,
standardisasi, bimbingan
teknis, evaluasi dan
pengelolaan Barang Milik
Negara.
b. Perumusan kebijakan,
standardisasi, bimbingan
teknis, evaluasi dan
pengelolaan Barang Milik
Negara dan Kekayaan Negara
yang Dipisahkan.
c. Perumusan kebijakan,
standarisasi, bimbingan
teknis, evaluasi dan
pengelolaan Kekayaan
Negara Lain-Lain.

19

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

No

Prioritas Bidang

Fokus Prioritas

Kegiatan Prioritas

2.

Pengelolaan APBN Yang Berkelanjutan

Perumusan Kebijakan Fiskal,


Pengelolaan Pembiayaan
Anggaran dan Pengendalian
Risiko

a. Perumusan Kebijakan APBN.


b. Pengelolaan Risiko Fiskal dan
Sektor Keuangan.
c. Perumusan Kebijakan
Ekonomi.
d. Perumusan Kebijakan Pajak,
Kepabeanan, Cukai dan
PNBP.
e. Penyusunan Rancangan
APBN.
f. Pengelolaan Pinjaman.
g. Pengelolaan Surat Utang
Negara.
h. Pengelolaan Pembiayaan
Syariah.
i. Pengelolaan Strategi dan
Portofolio Utang.
j. Pelaksanaan Evaluasi,
Akuntansi, dan Setelmen
Utang.

Peningkatan dan Optimalisasi


Penerimaan Negara

a. Pengelolaan PNBP dan


subsidi.
b. Peningkatan efektivitas
pemeriksaan, optimalisasi
pelaksanaan penagihan.
c. Perumusan kebijakan di
bidang PPN, PBB, BPHTB,
KUP, PPSP, dan Bea Materai.
d. Perumusan kebijakan di
bidang PPh, dan perjanjian
kerja sama perpajakan
internasional.
e. Peningkatan kualitas
pelayanan serta efektivitas
penyuluhan dan kehumasan.
f. Perencanaan, pengembangan, dan evaluasi di bidang
teknologi, komunikasi dan
informasi perpajakan.
g. Pelaksanaan reformasi proses
bisnis.
h. Pengelolaan data dan
dokumen Perpajakan.
i. Perumusan Kebijakan dan
Peningkatan Pengelolaan
Penerimaan Bea dan Cukai.
j. Perumusan Kebijakan dan
Pengembangan Teknologi
Informasi Kepabeanan dan
Cukai.
k. Perumusan Kebijakan dan
Bimbingan Teknis Bidang
Kepabeanan.
l. Perumusan Kebijakan dan
Bimbingan Teknis Fasilitas
Bidang Kepabeanan.

20

No

Prioritas Bidang

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Fokus Prioritas

Kegiatan Prioritas
m. Pelaksanaan Pengawasan dan Penindakan
atas Pelanggaran Peraturan
Perundangan, Intelijen dan
Penyidikan Tindak Pidana
Kepabeanan dan Cukai.
n. Peningkatan Pengawasan
dan Pelayanan Kepabeanan
dan Cukai di daerah.

3.

Stabilitas Sektor Keuangan

Peningkatan Ketahanan
dan Daya Saing Sektor
Keuangan

a. Perumusan Peraturan,
Penetapan Sanksi dan
Pemberian Bantuan Hukum.
b. Riset Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Non
Bank serta Pengembangan
Teknologi Informasi.
c. Pemeriksaan dan penyidikan
di bidang Pasar Modal.
d. Pengaturan, Pembinaan dan
Pengawasan Bidang
Pengelolaan Investasi.
e. Pengaturan, Pembinaan dan
Pengawasan Bidang Transaksi dan Lembaga Efek.
f. Penelaahan dan Pemantauan
Perusahaan Emiten dan
Perusahaan Publik Sektor
Jasa.
g. Penelaahan dan Pemantauan
Perusahaan Emiten dan
Perusahaan Publik Sektor Riil.
h. Pengaturan dan Pengawasan
di bidang Lembaga Pembiayaan dan Penjaminan.
i. Pengaturan, Pembinaan,
dan Pengawasan bidang
Perasuransian.
j. Pengaturan, Pembinaan,
dan Pengawasan Bidang
Dana Pensiun.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

21

SISTEMATIKA
LAPORAN
Sistematika penyajian LAKIP Kementerian Keuangan Tahun 2013 adalah sebagai berikut:
1. Ikhtisar Eksekutif
Bagian ini menguraikan secara singkat tentang tujuan dan sasaran yang akan dicapai beserta hasil capaian, kendala-kendala yang
dihadapi dalam mencapai tujuan dan sasaran, langkah-langkah yang diambil, serta langkah antisipatifnya.
2. Bab I
Bagian ini menguraikan tentang tugas, fungsi dan struktur organisasi, mandat dan peran strategis Kementerian Keuangan, serta
sistematika laporan.
3. Bab II
Bagian ini menguraikan tentang rencana strategis dan penetapan kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2013.
4. Bab III
Bagian ini menguraikan tentang pengukuran, sasaran dan akuntabilitas pencapaian sasaran strategis Kementerian Keuangan Tahun
2013.
5. Bab IV
Bagian ini menguraikan tentang kinerja-kinerja lain yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan pada Tahun 2013 yang tidak masuk
dalam Kontrak Kinerja, namun terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan.
6. Bab V
Bagian ini menguraikan tentang langkah-langkah yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dalam rangka meningkatkan
akuntabilitas kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2013.
7. Bab VI
Bagian ini menguraikan tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, permasalahan dan kendala,
serta strategi pemecahannya untuk tahun mendatang.

22

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

BAB 2
RENCANA STRATEGIS DAN
PENETAPAN KINERJA
Rencana Strategis
Rencana Kerja, Rencana Kerja Dan Anggaran K/L,
dan Kontrak Kinerja
Penetapan Kinerja
Pengukuran Kinerja
Perkembangan Implementasi Balance Scorecard
Tahun 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

23

24

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

RENCANA
STRATEGIS
Kementerian Keuangan bertugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keuangan
dan kekayaan negara. Dalam kurun waktu 2010-2014 dengan berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai selama 5 (lima) tahun dan
memperhitungkan potensi, peluang, serta kendala yang ada maupun tantangan yang mungkin terjadi, Kementerian Keuangan dituntut
berpandangan jauh ke depan, serta berupaya meningkatkan kualitas agar lebih profesional dan mampu mencapai tingkat kesetaraan di
pasar global. Berkaitan dengan itu, setiap aparatur Kementerian Keuangan didorong untuk lebih meningkatkan integritas dan kredibilitasnya
sehingga dipercaya dan dibanggakan masyarakat serta bekerja secara profesional dan efisien untuk mendukung tercapainya masyarakat
adil dan makmur.
Dalam rangka menghadapi perubahan kondisi global dan nasional yang cepat dan dinamis, Menteri Keuangan telah menetapkan Visi
Kementerian Keuangan yaitu:
Menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Terpercaya, Akuntabel, dan Terbaik di Tingkat Regional untuk
Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan
Pengertian Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara dalam visi tersebut bermakna bahwa Kementerian Keuangan sebagai lembaga/
institusi yang mempunyai tugas menghimpun dan mengalokasikan keuangan negara dan mengelola kekayaan negara. Terpercaya berarti
semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat karena pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dilakukan secara transparan, yaitu
semua penerimaan negara, belanja negara dan pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui mekanisme APBN. Akuntabel artinya
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang mengacu pada praktik terbaik internasional yang berlandaskan asas profesionalitas,
proporsionalitas, dan keterbukaan. Terbaik di Tingkat Regional berarti semakin meningkatnya kualitas perumusan kebijakan maupun
implementasinya sehingga menjadi acuan governance di Asia Tenggara.
Dalam rangka pencapaian visi, Kementerian Keuangan menetapkan 4 (empat) misi, yaitu:
1. Misi Fiskal, adalah mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati (prudent), dan bertanggung jawab.
2. Misi Kekayaan Negara, adalah mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian
hukum, transparan, efisien, dan bertanggungjawab.
3. Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, adalah mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai
penggerak dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global.
4. Misi Penguatan Kelembagaan, adalah
a. Membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat;
b. Membangun dan mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegritas tinggi, dan bertanggungjawab;
c. Membangun dan mengembangkan teknologi informasi keuangan yang modern dan terintegrasi serta sarana dan prasaranastrategis
lainnya.
Dalam rangka implementasi atau penjabaran dari misi, ditetapkan tujuan yang merupakan sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan
pada kurun waktu tertentu, yaitu satu sampai dengan lima tahun kedepan dalam tahun 2010-2014, serta menggambarkan arah strategik
organisasi, perbaikan-perbaikan yang ingin diciptakan sesuai dengan tugas dan fungsi, serta meletakkan kerangka prioritas untuk
memfokuskan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan.
Tujuan Kementerian Keuangan untuk periode 2010-2014 dikelompokkan ke dalam 6 (enam) tema pokok sebagai berikut:
1. Tujuan dalam tema pendapatan negara adalah meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan
perkembangan ekonomi dan keadilan masyarakat;
2. Tujuan dalam tema belanja negara adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan belanja negara untuk mendukung
penyelenggaraan tugas K/L dan pelaksanaan desentralisasi fiskal;

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

25

3. Tujuan dalam tema pembiayaan APBN adalah mewujudkan kapasitas pembiayaan yang mampu memberikan daya dukung bagi
kesinambungan fiskal;
4. Tujuan dalam tema perbendaharaan negara adalah pengelolaan perbendaharaan negara yang profesional dan akuntabel serta
mengedepankan kepuasan stakeholders atas kinerja perbendaharaan negara;
5. Tujuan dalam tema kekayaan negara adalah mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal serta menjadikan nilai
kekayaan negara sebagai acuan dalam berbagai keperluan;
6. Tujuan dalam tema pasar modal dan lembaga keuangan non bank adalah membangun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan
yang amanah dan profesional, yang mampu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak
perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global.
Untuk menjabarkan tujuan agar terukur dan dapat dicapai secara nyata, Kementerian Keuangan menyusun sasaran strategis. Sasaran
strategis Kementerian Keuangan untuk tahun 2010-2014 adalah sebagai berikut:
1. Sasaran Strategis untuk tema Pendapatan Negara adalah sebagai berikut:
a. Tingkat pendapatan yang optimal
Tingkat pendapatan yang optimal adalah tingkat pencapaian penerimaan dalam negeri sesuai dengan target sebagaimana
tercantum dalam APBN atau APBN-P.
b. Tingkat kepercayaan stakeholders yang tinggi dan citra yang meningkat yang didukung oleh tingkat pelayanan yang andal.
Tingkat kepercayaan stakeholders yang tinggi diukur berdasarkan hasil survei kepuasan stakeholders oleh lembaga independen.
Hasil survei yang positif akan meningkatkan citra Kementerian Keuangan di mata stakeholders.
c. Tingkat kepatuhan wajib pajak, kepabeanan, dan cukai yang tinggi.
Tingkat kepatuhan wajib pajak, kepabeanan, dan cukai terhadap peraturan perundang-undangan yang pada akhirnya
menunjukkan potensi pendapatan pajak, kepabeanan dan cukai.
2. Sasaran Strategis dalam Tema Belanja Negara adalah sebagai berikut:
a. Alokasi belanja negara yang tepat sasaran, tepat waktu, efektif, efisien dan akuntabel.
1) Alokasi belanja negara yang tepat sasaran adalah alokasi anggaran yang dapat mencapai kinerja program dan kegiatan
kementerian negara/lembaga yang telah ditetapkan dalam APBN.
2) Alokasi belanja negara yang tepat waktu adalah pengesahan DIPA yang dapat diselesaikan sesuai jadwal yang ditetapkan.
3) Alokasi belanja negara yang efisien adalah penuangan anggaran pada DIPA yang dapat digunakan untuk mendukung
pencapaian sasaran yang ditetapkan.
4) Alokasi belanja negara yang akuntabel adalah alokasi belanja negara yang proporsional sesuai dengan prioritas rencana kerja
pemerintah dan dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaannya.
b. Tata kelola yang tertib transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan belanja negara.
1) Tata kelola yang tertib adalah pengelolaan belanja negara sesuai dengan sistem dan prosedur yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
2) Tata kelola yang transparan dan akuntabel adalah pengelolaan belanja negara yang dilakukan secara terbuka sehingga proses
pengelolaannya dapat diketahui oleh stakeholders dan dapat dipertanggungjawabkan.
c. Peningkatan efektifitas dan efisiensi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Perimbangan Keuangan adalah pelaksanaan kebijakan hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat menjamin
keseimbangan keuangan terkait dengan besarnya beban, tanggung jawab, dan kewenangan yang dimiliki oleh pusat maupun
daerah sesuai dengan norma dan standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
d. Terciptanya tata kelola yang tertib sesuai peraturan perundang-undangan, transparan, kredibel, akuntabel, dan profesional dalam
pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
1) Tata kelola yang tertib adalah pengelolaan transfer ke daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Transparan adalah pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah dapat diakses oleh seluruh stakeholders.

26

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

3) Akuntabel adalah pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah dapat dipertanggungjawabkan.


3. Sasaran Strategis dalam Tema Pembiayaan APBN adalah sebagai berikut:
a. Terpenuhinya pembiayaan APBN melalui utang secara tepat waktu, cukup, dan efisien.
Memenuhi target pembiayaan APBN melalui utang yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri, dalam bentuk Surat
Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman, dengan mempertimbangkan biaya dan risiko untuk mendukung kesinambungan fiskal.
b. Terciptanya kepercayaan para pemangku kepentingan (investor, kreditor, dan pelaku pasar lainnya) terhadap pengelolaan utang
yang transparan, akuntabel, dan kredibel.
Tersedianya informasi terkait pengelolaan utang kepada publik secara transparan dan akurat, dan terjaganya kredibilitas
pengelolaan utang dengan melakukan pembayaran kewajiban secara tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran.
c. Terciptanya struktur portofolio utang yang optimal.
Mengoptimalkan struktur jatuh tempo SBN dengan memperhatikan jenis, tingkat bunga, dan tenor, serta kondisi pasar keuangan.
d. Terciptanya pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid.
Mengembangkan pasar SBN dengan menyediakan alternatif instrumen SBN yang variatif serta meningkatkan sebaran investor.
4. Sasaran Strategis dalam Tema Perbendaharaan Negara adalah sebagai berikut:
a. Efisiensi dan akurasi pelaksanaan belanja negara.
Penyaluran belanja negara untuk mendukung pencapaian sasaran yang ditetapkan secara akurat dan tepat waktu berarti
pelaksanaan penyaluran belanja dilakukan sesuai dengan norma waktu yang ditetapkan.
b. Optimalisasi pengelolaan kas.
Optimalisasi pengelolaan kas negara meliputi perencanaan kas, pengendalian kas dan pemanfaatan idle cash, yang
dilaksanakan untuk menjamin ketersediaan kas dalam jumlah yang cukup.
Optimalisasi pengelolaan kas negara dilaksanakan dalam rangka mewujudkan efisiensi pengelolaan kas dengan mengedepankan
prinsip meminimumkan biaya dan memaksimalkan manfaat bila terjadi kekurangan kas (cash mismatch) atau pemanfaatan
kelebihan kas (idle cash).
c. Optimalisasi tingkat pengembalian dana di bidang investasi dan pembiayaan lainnya.
Salah satu bagian dari pengembalian dana di bidang investasi dan pembiayaan lainnya adalah pengembalian penerusan
pinjaman. Dana penerusan pinjaman tersebut harus dioptimalkan pengembalian dan penyetorannya kembali ke APBN sesuai
dengan target yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan pengembalian dana tersebut mempunyai kontribusi dalam APBN
sebagai penerimaan dalam negeri dan penerimaan defisit APBN.
d. Peningkatan pelayanan masyarakat melalui penyempurnaan pengelolaan BLU.
Melalui penyempurnaan regulasi terkait dengan pengelolaan BLU, peningkatan penilaian kinerja satker BLU serta pembinaan
yang berkelanjutan, diharapkan satker yang menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU akan dapat melaksanakan fungsinya
secara lebih efektif dan efisien. Hal tersebut dapat dilihat dari kinerja keuangan pada satker BLU, sehingga selanjutnya akan
dapat mendorong peningkatan kualitas pelayanannya kepada masyarakat.
e. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Salah satu kebijakan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah melalui penerapan
akuntansi pemerintah modern sebagai dasar penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Sampai dengan saat ini
LKPP yang telah disusun masih berdasarkan basis Kas Menuju Akrual. Selanjutnya secara bertahap LKPP akan disusun
berdasarkan akrual basis, sehingga diharapkan akan terwujud peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara serta peningkatan opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari Disclaimer menjadi Wajar Tanpa Pengecualian
melalui LKPP yang lebih berkualitas.
f. Terciptanya sistem perbendaharaan negara yang modern, handal dan terpadu.
Untuk menciptakan sistem perbendaharaan negara yang modern, handal dan terpadu, mulai tahun anggaran 2009
telah dilaksanakan proyek penyempurnaan sistem perbendaharaan dan anggaran negara yang dikenal dengan Proyek Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN).
Proyek SPAN adalah sebagai langkah awal untuk mewujudkan sistem perbendaharaan yang modern, didukung oleh sistem
informasi keuangan yang terpadu (Integrated Financial Management and Information System) dengan karakteristik antara lain:
1) Terintegrasi/terotomasi yang sangat mendukung proses pelaksanaan anggaran, optimalisasi manajemen kas, serta pencatatan,
pelaporan dan pertanggungjawaban;

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

27

2) Database yang terpusat dan memungkinkan perekaman data hanya sekali (single entry);
3) Memungkinkan what if analysis;
4) Penerapan proses bisnis yang mengacu pada best practice, dan
5) Menghubungkan secara on-line baik melalui satelit, dial-up dan sistem jaringan lainnya Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan,
30 Kanwil Ditjen Perbendaharaan, 178 KPPN dan Kementerian Negara/Lembaga.
5. Sasaran Strategis dalam Tema Kekayaan Negara adalah sebagai berikut:
a. Terlaksananya perencanaan kebutuhan barang milik negara yang optimal.
Mengkoordinasikan pemberian data dan informasi keberadaan asset idle kementerian dan lembaga dalam rangka perencanaan
pengadaan belanja modal dari kementerian dan lembaga, serta penghematan penggunaan anggaran dengan mengoptimalkan
BMN idle yang ada di kementerian dan lembaga.
b. Terlaksananya penatausahaan kekayaan negara yang handal dan akuntabel.
Penatausahaan kekayaan negara yang handal dan akuntabel adalah tercatatnya seluruh kekayaan negara/BMN dalam daftar
barang baik di kementerian dan lembaga sebagai pengguna dan di Kementerian Keuangan sebagai pengelola.
c. Terwujudnya pemanfaatan BMN berdasarkan prinsip the highest and best use.
Pemanfaatan BMN adalah upaya penggunaan secara maksimal seluruh BMN untuk mendukung penyelenggaraan tugas pokok
dan fungsi penyelenggaraan negara.
d. Tercapainya peningkatan kualitas pelayanan pengelolaan kekayaan negara.
Pelayanan pengelolaan kekayaan negara meliputi pelayanan permohonan penetapan status pemanfaatan, penggunaan,
penghapusan dan pemindahtanganan barang milik negara.
e. Terwujudnya database nilai kekayaan negara yang kredibel.
Mendapatkan, mengumpulkan dan mengolah data kekayaan negara sehingga menjadi informasi eksekutif yang utuh, tepat
waktu, akurat, dan dapat digunakan untuk proses pengambilan keputusan bagi pimpinan Kementerian Keuangan.
6. Sasaran Strategis dalam Tema Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank adalah:
a. Terwujudnya regulator bidang pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional.
b. Terwujudnya pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai sumber pendanaan yang mudah diakses, efisien dan kompetitif.
c. Terwujudnya pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai sarana investasi yang menarik dan kondusif dan sarana
pengelolaan risiko yang andal.
d. Terwujudnya industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang stabil, resilience dan liquid.
e. Tersedianya kerangka regulasi yang menjamin adanya kepastian hukum, keadilan dan keterbukaan (fairness and transparency).
f. Tersedianya infrastruktur pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang kredibel, dapat diandalkan dan berstandar internasional.
7. Sasaran Strategis Pembelajaran dan Pertumbuhan dalam menunjang pencapaian tujuan strategis 6 (enam) tema pokok adalah:
a. Terwujudnya SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi;
Sistem rekrutmen yang kredibel dan pengembangan SDM yang tertata dan berkelanjutan diharapkan menghasilkan SDM yang
berintegritas dan berkompetensi tinggi dalam mengelola Keuangan Negara.
b. Terwujudnya organisasi yang handal dan modern;
Pengembangan organisasi dilakukan berdasarkan fungsi masing-masing unit organisasi dan SOP yang dimiliki.
1)

Fungsi unit organisasi merupakan fungsi yang telah disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

2)

Standard Operating Procedures (SOP)/Prosedur Operasi Standar adalah standar yang dijadikan panduan bagaimana suatu
kegiatan dilaksanakan, sehingga akan memberikan kepastian mengenai apa yang harus dilaksanakan, waktu penyelesaian,
dan biaya (bila ada biaya). SOP yang disusun harus memenuhi prinsip efisiensi.

c. Terwujudnya good governance;

Good Governance adalah terciptanya tata kelola pemerintahan dalam menerapkan prinsip Good Governance (Transparansi,
Akuntabilitas, Responsiveness, Responsibilitas, Efektifitas, dan Efisien).
d. Terwujudnya dan termanfaatkannya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang terintegrasi;
Sistem informasi/aplikasi yang ada di seluruh lingkungan Kementerian Keuangan diupayakan terintegrasi didukung dengan
kualitas layanan infrastruktur yang prima.
e. Tercapainya akuntabilitas laporan keuangan;

28

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Sasaran strategis ini terkait dengan product/service yang dihasilkan oleh Itjen yang difokuskan pada hasil pengawasan yang
dapat memberikan nilai tambah bagi kinerja Kementerian Keuangan melalui asistensi, monitoring dan review penyusunan
Laporan Keuangan pada unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan dan Laporan Keuangan Bagian Anggaran
Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP).
Sasaran Strategis Kementerian Keuangan di atas akan dicapai melalui 11 (sebelas) Program yang dilaksanakan oleh masing-masing unit
eselon I sesuai tugas dan fungsinya. Adapun kesebelas program tersebut adalah:
1. Program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Keuangan;
2. Program pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Keuangan.
3. Program pengelolaan anggaran Negara;
4. Program peningkatan dan pengamanan penerimaan pajak;
5. Program pengawasan, pelayanan, dan penerimaan di bidang kepabeanan dan cukai;
6. Program peningkatan pengelolaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
7. Program pengelolaan dan pembiayaan utang;
8. Program pengelolaan perbendaharaan Negara;
9. Program pengelolaan kekayaan negara, penyelesaian pengurusan piutang negara, dan pelayanan lelang;
10. Program pendidikan dan pelatihan aparatur Kementerian Keuangan dan
11. Program perumusan kebijakan fiskal.
Selain menyusun dokumen Renstra sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kementerian Keuangan juga berinisiatif
menyusun Roadmap Kementerian Keuangan. Roadmap Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014 merupakan penjabaran lebih lanjut
dari Renstra Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014, sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/
KMK.01/2010 tanggal 29 Januari 2010.
Roadmap tersebut digunakan untuk lebih menjelaskan secara detail mengenai pelaksanaan program dan kegiatan yang dilengkapi
dengan informasi mengenai milestone tahunan mulai dari awal tahun sampai dengan akhir tahun periode Renstra. Hal ini mengingat
indikator kinerja yang ada dalam Renstra hanya mencantumkan target pada tahun 2010 dan 2014, sedangkan target tahun 2011, 2012,
dan 2013 tidak dicantumkan. Dengan adanya Roadmap tersebut, harapan pimpinan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan atau
mempercepat pencapaian target dalam Renstra dapat dituangkan dalam dokumen yang bersifat tahunan sehingga pencapaian kinerja
masing-masing unit dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

29

RENCANA KERJA,
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN K/L, DAN
KONTRAK KINERJA
Dengan memperhatikan rancangan awal RKP dan berpedoman pada Renstra, Kementerian Keuangan menyusun Rencana Kerja (Renja)
yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan yang meliputi kegiatan pokok serta kegiatan pendukung untuk mencapai sasaran hasil
program induknya, dan dirinci menurut indikator keluaran, sasaran keluaran pada tahun rencana, prakiraan sasaran tahun berikutnya,
lokasi, pagu indikatif sebagai indikasi pagu anggaran, serta cara pelaksanaannya.
Dari Renja yang telah disusun dan setelah ditetapkannya Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Pagu Anggaran K/L, Kementerian
Keuangan menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). RKA-K/L yang memuat informasi kinerja yang meliputi program, kegiatan dan
sasaran kinerja, serta rincian anggaran.
Keterkaitan antara Renja dan RKA adalah RKA memuat informasi yang tertuang dalam Renja, termasuk informasi alokasi pendanaan
yang telah dimutakhirkan sesuai dengan kemampuan fiskal pemerintah (resources envelope). Informasi pendanaan dalam RKA memuat
informasi Rincian Anggaran, antara lain: output, komponen input, jenis belanja, dan kelompok belanja.
Kementerian Keuangan sebagai pioneer reformasi birokrasi di Indonesia telah menerapkan Balance Scorecard (BSC) sebagai metode
mengukur pencapaian target kinerja. BSC Kementerian Keuangan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/
KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan terdiri dari dari sasaran-sasaran strategis di mana setiap
sasaran strategis menjadi basis dalam penentuan Indikator Kinerja Utama (IKU). IKU dalam setiap sasaran strategis dilengkapi dengan
target, unit penanggung jawab, dan inisiatif strategis yang akan di-monitoring dan dievaluasi secara berkala. Penerapan BSC di lingkungan
Kementerian Keuangan berfungsi sebagai Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang memuat indikator kinerja dan target capaian kinerja pada
suatu tahun anggaran. IKU dan target capaiannya disusun dengan memperhatikan dokumen-dokumen perencanaan serta penganggaran
yang telah ditetapkan untuk menjamin keterkaitan antara dokumen perencanaan dan penganggaran serta RKT di lingkungan Kementerian
Keuangan. IKU dan target IKU yang dicantumkan dalam Kontrak Kinerja dapat menggunakan ukuran-ukuran yang lebih spesifik atau
target yang lebih tinggi untuk mendukung pencapaian target indikator yang ditetapkan dalam Renja.

30

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

PENETAPAN
KINERJA
Penetapan kinerja merupakan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan
sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010, dokumen
Penetapan kinerja merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja/kesepakatan kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan
untuk mewujudkan target kinerja tertentu berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh instansi.
Untuk menjamin tercapainya sasaran dan target secara optimal dan tepat waktu, visi dan misi Kementerian Keuangan harus menjadi acuan
sekaligus landasan penyusunan strategi. Dari visi dan misi tersebut kemudian dirumuskan sasaran strategis Kementerian Keuangan (KK).
Sasaran Strategis (SS/KK) Kementerian Keuangan tahun 2013 telah ditetapkan dan dikelompokkan sebagaimana tertuang dalam Peta
Strategi Kementerian Keuangan. Peta Strategi Kementerian Keuangan 2013 memuat 14 Sasaran Strategis. Sasaran-sasaran strategis
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang
inklusif dan berkualitas; (2) Kepuasan pengguna layanan yang tinggi; (3) Kepatuhan pengguna layanan yang tinggi; (4) Perencanaan
dan rumusan kebijakan yang berkualitas; (5) Pendapatan yang optimal; (6) Belanja yang optimal; (7) Pengelolaan kekayaan negara yang
optimal; (8) Pembiayaan yang cukup, efisien, dan risiko yang terukur; (9) Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan
transparan; (10) Pengendalian Mutu dan penegakan hukum yang efektif; (11) SDM yang berkompetensi tinggi; (12) Organisasi yang
adaptif; (13) Perwujudan TIK yang terintegrasi; (14) Pelaksanaan anggaran yang optimal.

Gambar 2.1

Peta Strategi Kementerian Keuangan Tahun 2013


VISI

KK-1
Kondisi fiskal yang sehat, efektif dan
berkelanjutan untuk memperkuat
pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkualitas

Presiden
DPR
BPK
K/L
Masyarakat

Customer
Perspective

Stakeholder
Perspective

Menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara yang terpercaya, akuntabel dan terbaik di tingkat regional untuk
mewujudkan Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.

KK-2

KK-3

kepuasan pengguna
layanan yang tinggi

kepatuhan pengguna
layanan yang tinggi

Learning and Growth


Perspective

Internal Process
Perspective

Pengelolaan

Perencanaan dan
Perumusan

KK-5

KK-6

Pendapatan yang
optimal

Belanja yang
optimal

Pengendalian Mutu
dan penegakan hukum

KK-4

KK-7

KK-10

Perencanaan dan
rumusan kebijakan
yang berkualitas

Pengelolaan Kekayaan
Negara yang optimal

Pengendalian Mutu
dan penegakan hukum
yang efektif

KK-8

KK-9

Pembiayaan yang
cukup, efisien dan
risiko yang terukur

Hubungan Keuangan
Pusat dan Daerah yang
profesional dan transparan

SDM

Organisasi

TIK

Anggaran

KK-11

KK-12

KK-13

KK-14

SDM yang berkompetensi


tinggi

Organisasi yang adaptif

Perwujudan TIK yang


terintegrasi

Pelaksanaan anggaran
yang optimal

Peta strategi Kementerian Keuangan menerapkan 4 perspektif, yaitu: stakeholders perspective, customers perspective, internal process

perspective dan learning and growth perspective. Stakeholders perspective berisi hal-hal yang harus dihasilkan oleh organisasi agar
dinilai berhasil oleh stakeholders. Customers perspective berisi ekspektasi dari customer dan apa yang menjadi ukuran keberhasilan atas
pelayanan yang dilaksanakan. Internal Process perspective berisi proses bisnis seperti apa yang harus dikelola untuk memberikan layanan
dan nilai-nilai kepada stakeholder dan customer. Sedangkan learning and growth perspective berisi sumber daya internal yang dimiliki
untuk melakukan perbaikan dan perubahan sehinggga dapat menghasilkan pelayanan yang dihasilkan. Dari Peta Strategi Kementerian

31

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Keuangan Tahun 2013 tersebut diketahui bahwa jumlah sasaran strategis yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan mencapai
14 (empat belas) sasaran strategis (SS/KK) dan IKU yang diidentifikasi sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) IKU. Selanjutnya keterkaitan antara
sasaran strategis dan IKU dapat disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2.1

Sasaran Strategis dan IKU

Sasaran Strategis 1
Kondisi fiskal yang sehat, efektif dan berkelanjutan untuk
memperkuat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas
Indikator Kinerja

Satuan

Target

1.1

Rasio pajak terhadap PDB

16

1.2

Rasio utang terhadap PDB

23

1.3

Rasio Defisit APBN terhadap PDB

2,38

1.4

Indeks opini BPK atas LKPP

Indeks

4 (WTP)

1.5

Indeks pemerataan keuangan


antar-daerah

Indeks

0,76

Sasaran Strategis 2
Kepuasan pengguna layanan yang tinggi
Indikator Kinerja
2.1

Indeks kepuasan pengguna


layanan

Satuan

Target

Indeks

Sasaran Strategis 3
Kepatuhan pengguna layanan yang tinggi
Satuan

Target

88,17

3.1.1 Persentase tingkat kepatuhan


formal WP

65

3.1.2 Persentase pengguna jasa


kepabeanan yang tidak diblokir

95

3.1.3 Persentase Penerapan KPJM oleh


penanggung jawab program

80

3.1.4 Persentase rekonsiliasi realisasi


APBN yang andal dan tepat waktu

97

3.1.5 Persentase penyampaian APBD


tepat waktu

97

3.1.6 Persentase kepatuhan pelaporan


BMN oleh K/L

95

Indikator Kinerja
3.1

Rata-rata persentase kepatuhan


pengguna layanan

32

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Sasaran Strategis 4
Perencanaan dan rumusan kebijakan yang berkualitas
Indikator Kinerja
4.1

Deviasi proyeksi kebijakan fiskal

4.2

Waktu rata-rata penyelesaian PMK


KMK konten kebijakan

Satuan

Target

Hari Kerja

10

Sasaran Strategis 5
Pendapatan yang optimal
Indikator Kinerja

Satuan

Target

5.1

Jumlah pendapatan negara

Triliun

1.497,53

5.1.1

Jumlah penerimaan pajak

Triliun

995.214

5.1.2

Jumlah penerimaan bea dan cukai

Triliun

153,15

5.1.3

Jumlah PNBP Nasional

Triliun

349,17

Satuan

Target

Sasaran Strategis 6
Belanja yang optimal
Indikator Kinerja
6.1

Persentase penyerapan Belanja


Negara dalam DIPA K/L

90

6.2

Persentase dana blokir

6.3

Persentase ketepatan waktu


penyelesaian revisi anggaran non
APBN-P

100

Sasaran Strategis 7
Pengelolaan Kekayaan Negara yang optimal
Indikator Kinerja
7.1

Nilai kekayaan negara yang


diutilisasi

7.2

Persentase bidang tanah


BMN yang direkomendasikan
untuk disertifikatkan

Satuan

Target

Triliun

105

80
(1.600 Bidang)

Sasaran Strategis 8
Pembiayaan yang cukup, efisien dan risiko yang terukur
Indikator Kinerja

Satuan

Target

8.1

Persentase pengadaan utang sesuai


kebutuhan pembiayaan

110

8.2

Persentase pencapaian target


effective cost
Persentase pemenuhan target risiko
portofolio utang

100

100

8.3

33

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Sasaran Strategis 9
Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan
transparan
Indikator Kinerja
9.1

Persentase ketepatan jumlah


penyaluran dana transfer ke daerah

9.2

Persentase Perda PDRD yang


sesuai dengan peraturan
perundang-undangan

Satuan

Target

100

93

Sasaran Strategis 10
Peningkatan edukasi masyarakat dan pelaku ekonomi
Satuan

Target

49,50

10.1.1 Tingkat efektivitas pemeriksaan pajak

75

10.1.2 Persentase pencairan piutang pajak

35

10.1.3 Persentase Hasil penyidikan yang telah


dinyatakan lengkap oleh kejaksaan (P21)

50

10.1.4 Persentase Hasil peyidikan yang telah


dinyatakan lengkap oleh kejaksaan (P21)

55

10.1.5 Persentase penyelesaian piutang Bea dan


Cukai

75

10.1.6 Persentase pelaksanaan audit terhadap perusahaan


penerima fasilitas kepabeanan dan cukai

10

10.2

Indeks ketepatan waktu penyelesaian tindak


lanjut Instruksi Presiden

80

10.3

Persentase ketepatan pola penarikan dana


DIPA K/L

85

10.4

Rata-rata indeks opini BPK atas LK BA 15, LK


BUN, dan LK BA 999

Indeks

Indikator Kinerja
10.1

Rata-rata persentase penegakan hukum

Sasaran Strategis 11
SDM yang berkompetensi tinggi
Indikator Kinerja

Satuan

Target

11.1

Persentase pejabat yang telah


memenuhi standar kompetensi
jabatannya

87

11.2

Persentase diklat yang berkontribusi


terhadap peningkatan kompetensi

90

11.3

Persentase pegawai yang


memenuhi standar jamlat

50

34

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

11.4

Persentase penyelesaian blueprint


manajemen SDM

100

11.5

Persentase Akurasi data SIMPEG

100

Sasaran Strategis 12
Organisasi yang adaptif
Indikator Kinerja

Satuan

Target

12.1

Nilai reformasi birokrasi

92

12.2

Persentase policy recommendation


hasil pengawasan yang
ditindaklanjuti

90

12.3

Persentase penyelesaian blueprint


Transformasi Kelembagaan

100

12.4

Tingkat kematangan implementasi


manajemen risiko

55
(Risk Defined)

Sasaran Strategis 13
Perwujudan TIK yang terintegrasi
Satuan

Indikator Kinerja

Target

13.1

Persentase integrasi TIK Kemenkeu

80

13.2

Persentase downtime layanan TIK

Sasaran Strategis 14
Pelaksanaan anggaran yang optimal
Indikator Kinerja

Satuan

Target

14.1

Persentase penyerapan DIPA (non


belanja pegawai)

95

14.2

Persentase penyelesaian kegiatan


belanja modal dalam rencana
pencairan DIPA

98

Dalam rangka menjamin tercapainya sasaran strategis agar lebih optimal, maka Kementerian Keuangan melakukan penyesuaian pada
beberapa IKU. Penyesuaian yang dilakukan diantaranya penyesuaian target IKU dan integrasi IKU. IKU yang mengalami penyesuaian
target yaitu:
1) IKU Jumlah pendapatan Negara (KK-5.1) dengan target sebesar Rp1.497,53 triliun. Target tersebut disesuaikan dengan target
pendapatan Negara yang ditetapkan dalam APBNP 2013. Adapun penyesuaian target pada masing-masing sub-IKU adalah sebagai
berikut:
a) Jumlah penerimaan pajak (KK-5.1.1) sebesar Rp995.214 triliun.
b) Jumlah penerimaan bea dan cukai (KK-5.1.2) sebesar Rp153,15 triliun.
c) Jumlah PNBP Nasional (KK-5.1.3) sebesar Rp349,17 triliun.
2) Sub IKU persentase pelaksanaan audit terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai (KK-10.1.6) dengan target
sebesar 10%. Penyesuaian ini ditetapkan melalui addendum Kontrak Kinerja Nomor 4A/KK/2013.
Sedangkan untuk IKU yang mengalami integrasi yaitu IKU persentase penyelesaian blueprint manajemen SDM (KK-11.4). IKU tersebut telah
dihapuskan melalui addendum Kontrak Kinerja Nomor 1A/KK/2013 dan diintegrasikan capaiannya dalam IKU persentase penyelesaian

blueprint Transformasi Kelembagaan (KK-12.3).

35

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

PENGUKURAN
KINERJA
Dalam rangka mengukur capaian indikator kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2013, Kementerian Keuangan berpedoman kepada
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Pengukuran
capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagaimana telah diubah terakhir dengan KMK Nomor 336/KMK.01/2012, ditetapkan berdasarkan
ketentuan sebagai berikut:
1) Angka maksimum indeks capaian setiap IKU ditetapkan sebesar 120%;
2) Indeks capaian IKU dikonversikan menjadi maximize semua agar sebanding dengan yang lainnya;
3) Status capaian IKU yang ditunjukkan dengan warna merah/kuning/hijau, ditentukan oleh Indeks Capaian IKU;
Adapun status capaian IKU ditentukan oleh nilai indeks sebagaimana berikut:

Hijau

Kuning

Merah

Indeks Capaian 100%

80% Indeks Capaian < 100%

Indeks Capaian < 80%

4) IKU yang ditetapkan diupayakan realisasi pencapaiannya memungkinkan melebihi target;


5) Untuk IKU yang capaiannya tidak memungkinkan melebihi target, maka capaiannya ditetapkan sebagai berikut:
a) Apabila realisasi pecapaiannya sama dengan target, maka indeks capaian IKU tersebut dikonversi menjadi 120%;
b) Apabila realisasi pencapaiannya tidak memenuhi target, maka indeks capaian IKU tersebut tidak dilakukan konversi.
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung persentase pencapaian target indikator kinerja terdiri dari tiga (3) jenis, yaitu:
1) Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi Maximize

Indeks Capaian =

Realisasi
x100%
Target

IKU yang memiliki polarisasi maximize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian indikator kinerja
lebih tinggi dari nilai target yang ditetapkan.
2) Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi minimize

Indeks Capaian = [1 + (1 Realisasi/Target)] X 100%


IKU yang memiliki polarisasi minimize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian indikator kinerja
lebih kecil dari nilai target yang ditetapkan.
3) Perhitungan untuk Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki polarisasi Stabilize

In = In _ 1 +

In + 1 _ In _ 1
( Cn _ Cn _ 1 )
Cn + 1 _ Cn _ 1

36

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik :

Capaian

Indeks
Capaian

100

120

90

100

67.5

75

45

50

22.5

25

In
In-1
In+1
Ca
Ca
Cn

Cn-1
Cn+1

= Indeks capaian
= Indeks capaian dibawahnya
= Indeks capaian diatasnya
= Capaian awal
= Realisasi/Target X 100%
= Capaian, dengan ketentuan:
a. Apabila Realisasi > Target, maka:
Cn = 100 (Ca 100),
di mana Ca maksimum adalah 200%
b. Apabila Realisasi < Target, maka Cn = Ca
= Capaian dibawahnya
= Capaian diatasnya

IKU yang memiliki polarisasi stabilize, merupakan indikator kinerja yang menunjukkan ekspektasi arah pencapaian indikator kinerja
diharapkan berada dalam suatu rentang target tertentu. Apabila hasil perhitungan nilai capaian IKU melampaui target, akan menghasilkan
nilai maksimal 120%. Karena IKU stabilize mengharapkan capaian dalam rentang tertentu di sekitar target, maka capaian yang dianggap
paling baik adalah capaian yang tepat sesuai dengan target.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

37

PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI
BALANCE SCORECARD TAHUN 2013
Kementerian Keuangan telah menerapkan Balance Scorecard (BSC) sebagai implementasi pengelolaan kinerja Kementerian Keuangan
tahun 2013 melalui beberapa program dan kegiatan telah dilaksanakan, diantaranya yaitu monitoring dan evaluasi capaian kinerja setiap
triwulan dalam Rapat Pimpinan Kinerja (Rapimja) antara Menteri Keuangan dan Pimpinan Unit Eselon I. Monitoring dan evaluasi ini
dilaksanakan dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana pencapaian kinerja level Kemenkeu-Wide-One.
Kemudian, dalam rangka menjaga kualitas pengelolaan kinerja di lingkungan Kemenkeu, maka review kontrak kinerja kembali dilaksanakan
di tahun 2013. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang kedua kalinya setelah tahun 2012. Pelaksanaan kegiatan review dilakukan sejak
bulan Mei 2013 sampai dengan Juli 2013. Review Kontrak Kinerja Kementerian Keuangan merupakan kegiatan evaluasi/penelaahan
terhadap Kontrak Kinerja pada suatu satuan kerja sebagai bentuk asistensi pengelolaan kinerja. Review ini dilaksanakan dengan tujuan
untuk mendapatkan umpan balik pelaksanaan kontrak kinerja dalam rangka perbaikan pengelolaan kinerja di masa mendatang.
Review terhadap Kontrak Kinerja diupayakan menyeluruh, tidak terbatas pada Kontrak Kinerja tetapi juga terhadap dokumen atau
informasi pendukungnya, seperti Rencana Strategis (Renstra) yang memuat pernyataan visi dan misi organisasi, uraian jabatan, tugas dan
fungsi, Manual IKU, Matriks Cascading serta data pendukung laporan capaian kinerja.
Review dilakukan secara sampling dengan ruang lingkup Kontrak Kinerja Pegawai tahun 2013 dari suatu satuan kerja (satker) yang diambil
sampel. Satker yang di-review meliputi unit yang berkedudukan di kantor pusat seluruh unit eselon I dan kantor vertikal Ditjen Pajak (DJP),
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), Ditjen Perbendaharaan (DJPb), dan Ditjen Kekayaan Negara (DJKN). Jumlah unit kerja yang dipilih sebagai
sampel dari seluruh unit Eselon I adalah sebanyak 42 unit kerja, meliputi dua unit eselon II di Kantor Pusat pada masing-masing Eselon
I dan beberapa unit vertikal (Kanwil dan Kantor Pelayanan) DJP, DJBC, DJPb, dan DJKN baik di Jakarta maupun di daerah, di mana
masing-masing kota dipilih satu kantor wilayah (Unit Eselon II) atau satu kantor pelayanan (Unit Eselon III).
Selain review kontrak kinerja, juga dilakukan penyempurnaan ketentuan pengelolaan kinerja Kemenkeu sebagaimana saat ini diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Penyempurnaan dimaksud dilakukan berdasarkan masukan dari para pengelola kinerja Kemenkeu dan juga dalam rangka menyelaraskan
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil.

38

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

BAB 3
AKUNTABILITAS
KINERJA DAN
AKUNTABILITAS
KEUANGAN
Akuntabilitas Kinerja
Akuntabilitas Keuangan

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

39

40

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

AKUNTABILITAS
KINERJA
Pengukuran capaian kinerja Kementerian Keuangan tahun 2013 dilakukan dengan cara membandingkan antara target (rencana) dan
realisasi Indikator Kinerja Utama (IKU) pada masing-masing perspektif. Dari hasil pengukuran kinerja tersebut, diperoleh data bahwa
capaian Nilai Kinerja Organisasi (NKO) Kementerian Keuangan adalah sebesar 101,80%. Nilai tersebut berasal dari capaian kinerja pada
masing-masing perspektif sebagai berikut:

Kinerja Kementerian Keuangan


Nilai Kinerja Organisasi: 101,80%

Stakeholders Perspective

Customers Perspective

Internal Process Perspective

Bobot: 20%
Capaian Kinerja: 18,49%

Bobot: 20%
Capaian Kinerja: 20,52%

Bobot: 30%
Capaian Kinerja: 31,65%

Learning and Growth


Perspective
Bobot: 30%
Capaian Kinerja: 31,14%

Selama tahun 2013, dari 36 IKU Kementerian Keuangan, terdapat 25 IKU berstatus hijau, 10 IKU berstatus kuning, dan 1 IKU berstatus
merah. IKU yang berstatus merah tersebut adalah IKU indeks opini BPK atas LKPP pada perspektif stakeholders. Perbandingan jumlah
IKU berdasarkan indeks capaian tertuang dalam grafik III.1 berikut.

Perbandingan Jumlah IKU Berdasarkan Indeks Capaian

25 IKU berstatus hijau (69,4%)


69,4%

27,8%

10 IKU berstatus kuning (27,8%)


1 IKU berstatus merah (2,8%)

2,8%

Penjelasan capaian IKU untuk setiap sasaran strategis adalah sebagai berikut.
1. Sasaran Strategis 1: Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang
inklusif dan berkualitas (KK-1).
Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan adalah kondisi di mana penerimaan negara dapat dikumpulkan seoptimal mungkin untuk
memenuhi pengeluaran negara sehingga defisit anggaran dapat dikendalikan melalui pembiayaan yang sehat dan berkesinambungan.
Adapun pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas adalah pertumbuhan yang memberikan kesempatan pada seluruh anggota
masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses pertumbuhan ekonomi dengan status yang setara, terlepas dari latar
belakang mereka.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 5 (lima) Indikator Kinerja Utama (IKU), yang masingmasing pencapaiannya ditabulasikan dalam tabel 3.1

41

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.1

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Kondisi Fiskal yang Sehat,


Efektif, dan Berkelanjutan untuk Memperkuat Pertumbuhan Ekonomi
yang Inklusif dan Berkualitas

KK 1. Kondisi fiskal yang sehat, efektif, dan berkelanjutan untuk memperkuat


pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas
Indikator Kinerja

Target

Realisasi

Kinerja

1.

Rasio pajak terhadap PDB

16%

15,32%

95,75%

2.

Rasio utang terhadap PDB

23%

26,02%

86,87%

3.

Rasio defisit APBN terhadap PDB

2,38%*

2,30%

103,36%

4.

Indeks opini BPK atas LKPP

4 (WTP)

3 (WDP)

75%

5.

Indeks pemerataan keuangan antar daerah

0,76

0,75

101,32%

*) Target berdasarkan APBN-P 2013, target asli berdasarkan Kontrak Kinerja adalah 1,6%

Uraian mengenai kelima IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.


a. Rasio pajak terhadap PDB (KK-1.1)
Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Tax Ratio menunjukkan berapa besar rupiah kenaikan penerimaan pajak (baik
pajak pusat maupun pajak daerah) akibat meningkatnya PDB sebesar satu rupiah. Definisi yang dipakai oleh setiap negara anggota
OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) mengenai Tax Ratio adalah perbandingan antara penerimaan
perpajakan dengan PDB.
IKU ini bertujuan untuk mengukur besaran kontribusi penerimaan perpajakan dalam mendorong pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi Indonesia. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin
tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, penerimaan perpajakan mencapai Rp1.072,12 triliun, penerimaan SDA migas mencapai Rp203,63 triliun, dan
penerimaan pajak daerah diperkirakan mencapai Rp119,83 triliun. Nilai PDB 2013 masih menggunakan angka perkiraan realisasi
yang bersumber dari BKF, Kementerian Keuangan, yaitu sebesar Rp9.112,40 triliun. Berdasarkan data tersebut, pencapaian tax ratio
dalam arti arti sempit (penerimaan perpajakan pusat/PDB) adalah sebesar 11,77%. Sedangkan pencapaian tax ratio dalam arti luas
(penerimaan perpajakan pusat+penerimaan SDA migas+ pajak daerah/PDB) adalah sebesar 15,32%. Dengan demikian, target rasio
pajak terhadap PDB sebesar 16% belum dapat tercapai. Namun, capaian ini masih mungkin berubah apabila telah ada data PDB
kuartal 2013 yang di-release oleh Badan Pusat Statistik.
Lebih lanjut, perbandingan rasio pajak terhadap PDB antara Indonesia dengan negara-negara tetangga dan berpendapatan menengah
lainnya dapat diikuti pada tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2

Rasio Pajak Terhadap PDB Beberapa Negara Lain

2010

2011

2012

Malaysia

13,74

15,25

16,11

Filipina

12,15

12,38

12,88

Thailand

15,97

17,55

India

10,09

10,39

Turki

20,39

20,06

Sumber: Bank Dunia

Berdasarkan tabel di atas, Indonesia memiliki rasio pajak yang lebih besar dari Filipina dan India. Rasio pajak kedua negara tersebut
masing-masing sebesar 12% dan 10%. Namun bila dibandingkan dengan negara tetangga yang memiliki pendapatan per kapita yang
lebih tinggi, seperti Malaysia, Thailand dan Turki, rasio pajak Indonesia masih di bawah ketiga negara tersebut. Rasio pajak negaranegara tersebut sudah di atas 16%, bahkan Turki sudah mencapai 20% pada tahun 2010.

42

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

b. Rasio utang terhadap PDB (KK-1.2)


Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan kemampuan suatu negara dalam memenuhi pembayaran utangnya
dengan barang dan jasa yang dihasilkan. Semakin rendah rasio utang terhadap PDB pada suatu negara menunjukkan bahwa negara
tersebut memiliki risiko yang lebih rendah dalam pengelolaan utangnya dan meminimalisasi risiko gagal bayar.
Rasio utang terhadap PDB dihitung dengan membandingkan antara jumlah utang yang dimiliki suatu negara dengan jumlah Produk
Domestik Bruto. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif
Defisit Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, Dan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman
Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dibatasi tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari PDB tahun bersangkutan.
IKU ini bertujuan untuk mengukur kemampuan ekonomi Indonesia dalam membayar utang baik pinjaman dalam negeri maupun
pinjaman luar negeri. Oleh karena itu, pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana
capaian yang makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, jumlah utang Pemerintah Pusat mencapai Rp2.371,4 triliun atau meningkat Rp393,72 triliun (19,9%) dibandingkan
akhir tahun 2012. Utang terdiri atas pinjaman sebesar Rp710,34 triliun dan SBN sebesar Rp1.661,05 triliun. Nilai PDB 2013
menggunakan angka perkiraan setahun berdasarkan forecasting, yaitu sebesar Rp9.112,40 triliun. Berdasarkan data tersebut,
pencapaian rasio utang Indonesia terhadap PDB adalah sebesar 26,02%. Dengan polarisasi IKU yang bersifat minimize, target rasio
utang terhadap PDB sebesar 23% belum dapat tercapai. Namun, capaian ini masih mungkin berubah apabila telah ada data PDB
kuartal 2013 yang di-release oleh Badan Pusat Statistik.
Meningkatnya outstanding utang dimaksud disebabkan:
1) Kenaikan target pembiayaan utang neto dalam APBN-P 2013 sebesar 33,4%, dari Rp161,5 triliun menjadi Rp215,4 triliun.
Kenaikan jumlah utang tersebut merupakan konsekuensi dari kebijakan defisit yang terutama disebabkan oleh realisasi
pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah daripada target dalam APBN-P 2013. Dalam APBN-P 2013 PDB ditetapkan
sebesar 6,3%, akan tetapi dalam realisasi pertumbuhan ekonomi di tahun 2013 diperkirakan hanya 5,7%. Rendahnya
pertumbuhan ekonomi ini selain disebabkan faktor-faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti rendahnya
pertumbuhan ekonomi negara-negara trading partner seperti China dan juga masih belum pulihnya perekonomian di negara maju
seperti di Amerika dan kawasan Eropa.
2) Depresiasi rupiah terhadap sejumlah valuta asing terutama dalam currency USD sebesar 22,00%, yang mengakibatkan
meningkatnya outstanding utang valas relatif terhadap total utang. Tingkat pinjaman mengalami peningkatan dari Rp616,6 triliun
pada akhir tahun 2012 menjadi Rp710,34 triliun pada akhir 2013, sementara utang dalam bentuk SBN meningkat dari
Rp1.361,1 triliun menjadi Rp1.661,05 triliun.
Walaupun mengalami peningkatan rasio utang terhadap PDB masih berada pada level yang manageable, dan relatif lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain, sebagaimana tampak pada grafik 3.2 berikut.

43

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik 3.2

Rasio Utang Terhadap PDB Beberapa Negara Lain

GOVERNMENT DEBT TO GDP RATIO - IN PERCENT


Greece
Italy
Portugal
Ireland
Belgium
France
U.K
Cyprus
Germany
Hungary
Malta
Spain
Austria
Netherlands
Poland
Finland
Slovakia
Slovenia
Denmark
Czech Rep.
Latvia
Lithuania
Sweden
Romania
Luxemburg
Bulgaria
Estonia

Eurozone
countries

Goverment debt to GDP ratio


50

84.9

100%

150.3
EU27
126.1
117.5
111.5
102.5
Sweden
91
Finland 51.7
37.3
86
Denmark
EU27 84.9
83.3
46.7
82.8
Netherlands 68.2
Estonia 7.3
78.3
U.K
76.3
Latvia 43
86
Belgium
76
Lithuania
40.4
102.5
75.1
Ireland
78.2
Poland
111.5
57
Germany
57
Czech Rep. 43.6
51.7
82.8
Slovakia 50.1
Luxemburg
20.9
50.1
48.1
Hungary 78.3
France 91
46.7
Portugal 117.5
Romania 35.6
43.6
Bulgaria 16.5
43
Slovenia 48.1
40.4
37.3
Spain 76
Italy
Austria
35.6
126.1
75.1
20.9
Cyprus 83.3
16.5
Greece 150.3
Malta 76.3
7.3

Sumber : thomshonreuters

c. Rasio defisit APBN terhadap PDB (KK-1.3)


Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah selisih antara total pendapatan negara dan hibah dengan total belanja
negara. Adapun defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan perbandingan antara nilai defisit APBN terhadap
total PDB.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Negara, Dan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat
Dan Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% (tiga %) dari PDB tahun
bersangkutan.
IKU ini bertujuan untuk mengendalikan besaran defisit yang sehat dalam rangka penerapan kebijakan defisit anggaran. Pencapaian
IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang makin rendah dari target adalah
capaian yang diharapkan. Pada tahun 2013, realisasi defisit APBN mencapai Rp209,5 triliun. Defisit tersebut merupakan selisih antara
Pendapatan Negara dan Hibah sebesar Rp1.429,5 triliun yang lebih kecil dari belanja negara sebesar Rp1.639,0 triliun. Nilai PDB
2013 menggunakan angka perkiraan setahun berdasarkan forecasting, yaitu sebesar Rp9.112,40 triliun. Berdasarkan data tersebut,
pencapaian rasio defisit APBN terhadap PDB adalah sebesar 2,30%. Apabila dibandingkan dengan target defisit APBN-P 2013 yang
sebesar 2,38% atau sebesar Rp224,2 triliun dan polarisasi minimize, maka IKU defisit APBN terhadap PDB dapat dikatakan melebihi
target. Namun, capaian ini masih mungkin berubah apabila telah ada data PDB kuartal 2013 yang di-release oleh Badan Pusat Statistik.

44

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pelebaran defisit pada 2013 terutama dipengaruhi oleh kombinasi hal-hal sebagai berikut:
1) Kurang optimalnya penerimaan perpajakan, terutama PPh Non Migas yang dipengaruhi oleh:
a) Kebijakan fiskal untuk memperbaiki daya beli golongan berpendapatan rendah, seperti kenaikan PTKP dan beberapa intensif fiskal
untuk mendorong pertumbuhan industri strategis;
b) Dampak ketidakpastian global berdampak pada perekonomian domestik, yang selanjutnya secara langsung mempengaruhi
penerimaan perpajakan.
2) Kurang optimalnya PNBP SDA Non Migas, PNBP bagian laba BUMN, serta PNBP Lainnya terutama disebabkan karena depresiasi
nilai tukar rupiah yang cukup tajam, rendahnya lifting minyak, dan kurang optimalnya kinerja BUMN akibat perlambatan
pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun 2013.
3) Peningkatan beban belanja negara terutama peningkatan realisasi subsidi BBM yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika.

Tabel 3.3

Perbandingan Rasio Defisit APBN Terhadap PDB Beberapa Negara Lain

Countries

Cash Deficit to GDP Ratio


2011
2012

2010

2013

Indonesia

-0,60

-1,10

NA

2,30

Malaysia

-5,20

-4,80

-4,50

-4,50

Philippines

-3,50

-1,80

-1,90

-2,30

Thailand

-0,60

-1,20

NA

-4,60

Vietnam

NA

NA

NA

-5,20

India

-3,60

-3,70

NA

-5,40

China

NA

NA

NA

25,60

Turkey

-2,90

-1,30

NA

-2,00

Mexico

NA

NA

NA

-2,60

Sumber: data worldbank dan mecometer.com

Bila dilihat dari tabel 3.3 tersebut, nampak bahwa rasio defisit APBN terhadap PDB Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir
jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya terhitung kecil, hanya di kisaran 2%. Bila dibandingkan dengan tahun 2010
hingga 2011, Indonesia mengalami peningkatan rasio defisit APBN terhadap PDB. Peningkatan rasio defisit APBN terhadap PDB di
tahun 2013 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya juga dialami oleh hampir seluruh negara berkembang di Tabel di atas kecuali
Malaysia. Rasio defisit APBN terhadap PDB di Malaysia masih bertahan di 4,5%.
d. Indeks opini BPK atas LKPP (KK-1.4)
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) bertujuan menyediakan informasi mengenai sumber, alokasi dan penggunaan daya
keuangan negara serta posisi keuangan pemerintah. Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas LKPP merupakan tolak ukur tingkat
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Indeks pengukuran menggunakan skala 1 sampai dengan 4 sebagaimana tabel 3.4 berikut.

Tabel 3.4

Indeks Pengukuran Audit BPK

Skala

Intepretasi

Tidak Wajar (Adverse)

Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer)

3,0

WDP dengan 4 permasalahan (temuan) atau lebih

3,25

WDP dengan 3 permasalahan (temuan)

3,5

WDP dengan 2 permasalahan (temuan)

3,75

WDP dengan 1 permasalahan (temuan)

3,9

WTP DPP (Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan)

WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)

45

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

IKU ini bertujuan untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pertanggungjawaban keuangan negara. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas LKPP Tahun 2012. Pengecualian (qualification) pada LKPP Tahun
2012 meliputi empat hal sebagai berikut:
1) Untung atau rugi selisih kurs dari seluruh transaksi yang menggunakan mata uang asing belum dilakukan sesuai Buletin Teknis
Standar Akuntansi Pemerintahan terkait yang berpengaruh pada realisasi penerimaan dan/atau belanja;
2) Kelemahan penganggaran dan penggunaan Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Bantuan Sosial, yaitu:
a) Kelemahan pengendalian dan pelaksanaan revisi DIPA sehingga realisasi belanja melampaui DIPA sebesar Rp11,37 triliun untuk
selain Belanja Pegawai.
b) Belanja Barang dan Belanja Modal yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan berindikasi merugikan negara sebesar
Rp546,01 miliar, termasuk yang belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp240,16 miliar.
c) Pembayaran Belanja Barang dan Belanja Modal di akhir tahun sebesar Rp1,31 triliun tidak sesuai realisasi fisik.
d) Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp1,91 triliun masih mengendap di rekening pihak ketiga dan/atau rekening penampungan
kementerian negara/lembaga dan tidak disetor ke kas negara.
e) Penggunaan Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp269,98 miliar tidak sesuai dengan sasaran.
3) Aset eks-BPPN sebesar Rp8,79 triliun belum ditelusuri keberadaannya dan aset properti eks kelolaan PT PPA sebesar Rp1,12 triliun
belum diselesaikan penilaiannya.
4) Saldo anggaran lebih (SAL) pada akhir tahun 2012 yang dilaporkan berbeda dengan keberadaan fisik SAL tersebut sebesar Rp8,15
miliar, penambahan fisik SAL sebesar Rp33,49 miliar tidak dapat dijelaskan, serta koreksi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)
sebesar Rp30,89 miliar tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
Mengingat LKPP merupakan konsolidasian dari Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan
Bendahara Umum Negara (LK BUN), LHP LKPP juga merupakan gabungan dari LHP LKKL dan LK BUN.
Opini WDP atas LKPP 2012 tersebut sama dengan opini BPK untuk LKPP Tahun 2011. Perkembangan opini atas LKKL dan LK BUN
dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 3.5 sebagai berikut.

Tabel 3.5

Indeks opini BPK atas LKPP Tahun 2008 s.d. 2012

Opini

Tahun
2008

2009

2010

2011

2012

Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)

35

45

53

67

69

Wajar Dengan Pengecualian (WDP)

30

26

29

18

22

Tidak Memberikan Pendapat (TMP)

18

83

79

84

87

94

Tidak Wajar (TW)


Jumlah LKKL dan LKBUN

Langkah yang telah dilaksanakan dalam rangka pencapaian target adalah melakukan pengaturan jadwal penyusunan dan penyampaian
LKPP Unaudited untuk dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait agar dapat disampaikan sesuai target yang direncanakan. Selain
itu beberapa langkah yang telah dan akan dilakukan adalah:
1) Melakukan pendampingan penyusunan LKKL;
2) Melakukan penelaahan atas LKKL;
3) Melakukan monitoring tindak lanjut atas temuan BPK tahun sebelumnya;
4) Melakukan penyuluhan SAI untuk K/L;
5) Melakukan bimbingan akuntansi dan pelaporan SAI kepada K/L melalui Tim Bimbingan Pusat;
6) Melakukan Rakernas Akuntansi.

46

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

e. Indeks pemerataan keuangan antar daerah (KK-1.5)


Pemerataan keuangan antar daerah adalah ketimpangan distribusi pendapatan antar lapisan masyarakat dan daerah yang disebabkan
oleh tidak meratanya pelaksanaan pembangunan antara lapisan masyarakat dan daerah.
Kesenjangan fiskal antar daerah diukur dengan menggunakan metode Williamson Index, sebagai berikut:
WI =

( yi _ y )2 ( fi :n )
y

Dimana :
Wi = Nilai/indeks ketimpangan wilayah/provinsi/kabupaten/kota
Yi = Pendapatan perkapita masing-masing provinsi/kabupaten/kota
Y = Total pendapatan perkapita kawasan Indonesia
fi = Jumlah penduduk masing-masing provinsi/kabupaten/kota
n = Jumlah penduduk Indonesia
Besarnya indeks kesenjangan fiskal (Vw) adalah 0 < Vw < 1
Vw = 0, berarti pembangunan wilayah sangat merata
Vw = 1, berarti pembangunan wilayah sangat tidak merata (kesenjangan sempurna)
Vw~0, berarti pembangunan wilayah semakin mendekati merata
Vw~1, berarti pembangunan wilayah semakin mendekati tidak merata.
Indeks Williamson adalah suatu indeks yang menunjukkan tingkat ketimpangan antarwilayah dengan memperhatikan distribusi
pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Di mana Indeks Williamson merupakan suatu indeks yang jika menunjukkan tingkat
ketimpangan semakin mendekati 0 (nol), ini menunjukkan tingkat ketimpangan yang kecil/tingkat pemerataan yang semakin baik.
IKU ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan dana transfer daerah dalam rangka pemerataan pelaksanaan pembangunan
daerah. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang makin rendah dari
target adalah capaian yang diharapkan.
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Williamson dengan menggunakan data yang tersedia, maka untuk Pemerataan Fiskal tahun
2013 untuk Provinsi sebesar 0,83, sedangkan Pemerataan Fiskal Kabupaten/Kota sebesar 0,68. Sehingga realisasi Indeks Williamson
terkait Pemerataan Fiskal sebesar 0,75 yang didapat dari rata-rata tertimbang dari Indeks Williamson Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pencapaian tahun 2013 ini lebih baik dari target yang ditentukan yaitu 0,76.
2. Sasaran Strategis 2: Kepuasan Pengguna Layanan yang Tinggi (KK-2)
Tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi diukur berdasarkan hasil survei kepuasan pelanggan oleh lembaga independen. Hasil
survei yang positif akan meningkatkan citra Kementerian Keuangan. Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan
mengidentifikasikan 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU) yang capaiannya dapat dilihat pada tabel 3.6.

Tabel 3.6

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Kepuasan Pengguna Layanan


yang Tinggi

KK 2. Kepuasan Pengguna Layanan yang Tinggi


Indikator Kinerja

Target

Realisasi

Indeks kepuasan pengguna layanan

4,02

100,50%

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

47

IKU ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan pengguna layanan terhadap layanan Kemenkeu. Pencapaian IKU ini menuju kepada
capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Indeks Kepuasan Pengguna Layanan merupakan nilai kepuasan pelanggan atas layanan unggulan Kemenkeu terhadap pihak eksternal.
Data capaian untuk unit Eselon I diperoleh dari survei independen yang dilakukan oleh Pihak Ketiga. Pada Tahun 2013 ini, pihak ketiga
yang ditunjuk adalah Tim Peneliti dari IPB. Lingkup survei adalah pelanggan atas seluruh pelayanan Kementerian Keuangan kepada pihak
eksternal. IKU ini diukur atas layanan unggulan yang diberikan oleh Setjen, DJA, DJP, DJBC, DJPB, DJKN, DJPK, Itjen, DJPU dan BPPK.
Survei dilaksanakan di 6 (enam) kota di Indonesia yaitu Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Balikpapan dan Makassar mulai bulan Oktober
sampai dengan November 2013.
Survei Indeks Kepuasan pengguna layanan diukur menggunakan 11 indikator utama, yaitu Keterbukaan, Informasi Persyaratan,
Kesesuaian Prosedur, Sikap Petugas, Keterampilan Petugas, Lingkungan, Akses terhadap Layanan, Waktu Penyelesaian, Kesesuaian
Pembayaran, Pengenaan Sanksi, dan Tingkat Kepuasan. Metode pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dan in depth interview.
Survei dilakukan terhadap 2.847 responden.
Berdasarkan sumber informasi yang selama ini diakses menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa sumber
informasi yang diakses adalah televisi yaitu ada sebanyak 70,8% responden, kemudian diikuti dengan surat kabar (68,7%) dan web
lembaga (65,7%). Web lembaga merupakan sumber informasi yang banyak diakses responden DJA, DJPb, DJPK, Setjen, Itjen, DJPU
dan BPPK. Sementara itu, untuk responden DJP dan DJBC sebagian besar responden mengakses sumber infomasi dari televisi dan
surat kabar. Berdasarkan jenis pekerjaan responden yang berprofesi PNS/TNI/Polri sebagian besar mengakses sumber informasi dari
web lembaga. Sementara responden yang berprofesi pengusaha/wiraswasta sebagian besar mengakses informasi dari televisi, dan untuk
yang berprofesi karyawan swasta lebih banyak mengakses informasi dari surat kabar dan televisi.
Hasil analisis kinerja layanan, secara umum menunjukkan tingkat kepuasan stakeholders terhadap layanan Kementerian Keuangan cukup
tinggi. Hal ini dicerminkan dengan skor yang masih di atas 3,5 yaitu 4,02 dari skala likert 1-5. Kisaran skor kinerja layanan untuk setiap unit
eselon satu berada di antara 3,85 untuk DJBC dan 4.22 untuk Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) sebagaimana tabel 3,7
skor kinerja layanan berdasarkan wilayah menunjukkan pergeseran dari tahun sebelumnya, di mana Makasar menempati skor tertinggi
yaitu 4,20, disusul kemudian dengan Surabaya yang mencapai skor 4,06.

Tabel 3.7
Nilai Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Per Unit Eselon I

No

Unit Eselon I

Nilai Indeks

Sekretaris Jenderal

4.02

Direktorat Jenderal Anggaran

3.88

Direktorat Jenderal Pajak

3.90

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

3.85

Direktorat Jenderal Perbendaharaan

4.09

Direktorat Jenderal Kekayaan negara

4.13

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

4.22

Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang

4.04

Itjen

3.92

10

BPPK

3.98

Dari segi unsur layanan, unsur layanan yang dinilai responden mempunyai kinerja paling tinggi adalah kesesuaian biaya dengan aturan/
ketentuan yang ditetapkan dengan skor rata-rata 4,16. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Kementerian Keuangan terkait biaya sudah
cukup baik. Dengan kata lain, biaya yang terjadi dalam pengurusan layanan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Sementara unsur
pelayanan yang nilainya masih rendah adalah unsur waktu penyelesaian layanan yang dinilai responden masih kurang sesuai dengan
janji layanan sehingga hanya mendapat skor 3,88. Skor kinerja layanan Kemenkeu berdasarkan unsur layanan dapat dilihat pada grafik
3.3 berikut.

48

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik 3.3

Skor Kinerja Layanan Kementerian Keuangan Berdasarkan Unsur


Layanan
Pengenaan sanksi/denda atas
pelanggaran terhadap ketentuan
layanan (syarat/prosedur)

3,97

Lingkungan pendukung

3,96
3,94

Akses terhadap kantor layanan


Keamanan lingkungan dan layanan

4,1

Kesesuaian prosedur dengan


ketentuan yang ditetapkan

3,94

Sikap petugas/pegawai

3,98

Pembayaran biaya sesuai aturan/


ketentuan yang ditetapkan

4,16

Informasi layanan (persyaratan,


prosedur, dll)

3,95

Kemampuan & Keterampilan


Petugas/pegawai

3,92

Keterbukaan/Kemudahan akses
terhadap informasi

3,97

Waktu penyelesaian layanan

3,88
3.7

3.8

3.9

4.1

4.2

Dari hasil analisis Biplot diperoleh kinerja DJPK, DJKN, DJPb, DJPU, dan Setjen relatif lebih baik, yang dicirikan dengan unsur layanan
yaitu kesesuaian prosedur, waktu penyelesaian, lingkungan pendukung, sikap petugas keterbukaan dan informasi persyaratan, serta
kemampuan/keterampilan petugas. Sementara berdasarkan wilayah penelitian, menunjukkan Makasar, Surabaya, dan Batam relatif
dinilai lebih baik oleh stakeholders.
Dari hasil analisis IPA (Importance Performance Analysis) menunjukkan bahwa unsur layanan yang sangat penting untuk diperbaiki (area

of improvement) adalah waktu penyelesaian, dan kemampuan/keterampilan petugas. Kedua unsur layanan ini menjadi unsur layanan
yang perlu mendapat prioritas ditingkatkan untuk memenuhi harapan stakeholders. Sementara dari hasil analisis IPA dinamis (2013-2012)
terlihat bahwa waktu penyelesaian (X8), meskipun sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu, namun posisinya masih dinilai kurang
dari harapan (masih berada di kuadran 1). Sedangkan unsur layanan (X9), sikap petugas (X4), keterbukaan (X1), dan informasi persyaratan
(X2) kinerjanya dinilai semakin baik, dan sudah sesuai harapan responden.
Hasil analisis procrustes menunjukkan bahwa untuk konfigurasi 2012-2013, unit eselon satu yang mengalami perubahan signifikan adalah
DJPU, sementara berdasarkan unsur layanan yang menunjukkan perubahan signifikan adalah lingkungan pendukung, sikap petugas dan
akses kantor layanan. Sementara untuk konfigurasi 2013-2011, unit eselon 1 yang mengalami perubahan signifikan adalah DJA, Setjen,
BPPK, DJPK, dan DJKN.
Hasil analisis Structural Equation Modeling (SEM) menunjukkan bahwa pembentuk kinerja input direfleksikan dengan baik oleh peubah
manifest INP1 (keterbukaan/kemudahan akses informasi) dan INP2 (informasi persyaratan dan prosedur). Kinerja proses direfleksikan
dengan baik oleh peubah manifest PRO2 (kesesuaian prosedur dengan ketentuan yang ditetapkan). Sementara kinerja output direfleksikan
dengan baik oleh peubah manifest OUT1 (waktu penyelesaian).
Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa kepuasan stakeholders Kementerian Keuangan RI secara umum dipengaruhi oleh kepuasan
kinerja input, kepuasan kinerja proses dan kepuasan kinerja output. Namun kinerja input lebih dominan mempengaruhi kepuasan

stakeholders secara keseluruhan. Oleh karena itu meningkatkan kualitas kinerja input terutama informasi persyaratan (INP2) keterbukaan/

49

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

kemudahan akses terhadap informasi (INP2) dan kinerja proses yaitu, sikap petugas (PRO2), kesesuaian prosedur dengan ketentuan
yang ditetapkan (PRO1), dan kemampuan dan keterampilan petugas (PRO3) perlu menjadi perhatian.
Dibandingkan tahun lalu, kepuasan stakeholders Kemenkeu naik 0,11 poin dari nilai 3,91 pada tahun 2012. Perkembangan indeks
kepuasan pengguna layanan Kemenkeu selama 4 tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.4 berikut.

Grafik 3.4
Perkembangan Skor Kepuasan Stakeholders Terhadap Layanan Kemenkeu 2010-2013
4.05

4.02

3.95

3.9

3.91

3.87
3.86

3.85
3.8

3.75
3.8
2010

2011

2012

2013

3. Sasaran Strategis 3 : Kepatuhan pengguna layanan yang tinggi (KK-3)


Sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara, Kementerian Keuangan memiliki ekspektasi terhadap pengguna layanan agar patuh
terhadap berbagai peraturan dan kebijakan yang ditetapkan baik dalam bidang penerimaan, belanja, transfer daerah, pembiayaan. Untuk
mencapai sasaran tersebut, Kementerian Keuangan mengidentifikasi 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU) yaitu rata-rata persentase
kepatuhan pengguna layanan. IKU tersebut kemudian dijabarkan ke dalam 6 (enam) sub IKU sebagaimana ditabulasikan dalam tabel
3.8 berikut.

Tabel 3.8

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Kepatuhan Pengguna Layanan


Yang Tinggi

KK 3. Kepatuhan pengguna layanan yang tinggi


Indikator Kinerja

Target

Realisasi

Kinerja

88,17%

92,32%

104,70%

a. Persentase tingkat kepatuhan formal WP

65%

60,86%

93,63%

b. Persentase pengguna jasa kepabeanan yang tidak diblokir

95%

96,92%

102,02%

c. Persentase Penerapan KPJM oleh penanggung jawab program

80%

100%

120%

d. Persentase rekonsiliasi realisasi APBN yang andal dan tepat waktu

97%

99,36%

102,43%

e. Persentase penyampaian APBD tepat waktu

97%

96,75%

99,74%

f. Persentase kepatuhan pelaporan BMN oleh K/L

95%

100%

105,26%

Rata-rata persentase kepatuhan pengguna layanan

50

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Uraian mengenai keenam sub IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.
a. Persentase tingkat kepatuhan formal WP (KK-3.1.1)
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) adalah SPT PPh Tahunan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun
pajak yang disampaikan oleh WP (WP Badan dan WP OP) pada tahun berjalan.
WP Terdaftar Wajib SPT adalah WP yang terdaftar dalam administrasi per tanggal 31 Desember tahun sebelumnya meliputi WP Orang
Pribadi (WP OP) dan WP Badan dengan status domisili/pusat (kode status NPWP 000) yang mempunyai kewajiban menyampaikan
SPT Tahunan PPh. Dalam hal ini tidak termasuk bendahara pemerintah, joint operation, cabang/lokasi, WP Pajak Penghasilan Tertentu
sesuai dengan pasal 2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu
Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan, dan sejenis lainnya yang dikecualikan atau
tidak mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh.

Presiden RI
bersama
sejumlah pejabat
tinggi negara
menyampaikan
SPT Pajak dengan
disaksikan Menteri
Keuangan RI
(19/3)

SPT Tahunan PPh yang diterima adalah SPT Tahunan PPh Lengkap yaitu SPT yang semua elemen SPT Induk dan lampirannya
telah diisi dengan lengkap, SPT Induk telah ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya, dan telah dilengkapi dengan lampiran
khusus, serta keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan serta dalam hal e-SPT, e-SPT dapat diproses dalam sistem Informasi
Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Persentase tingkat kepatuhan formal WP dihitung dengan membandingkan antara jumlah SPT PPh tahunan yang diterima dengan
jumlah WP terdaftar wajib SPT.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan SPT PPh Tahunan. Pencapaian
indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.

51

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Sepanjang tahun 2013, Kementerian Keuangan menyusun strategi dan kebijakan yang dilaksanakan di seluruh kantor pelayanan pajak,
guna mendukung pencapaian target yang telah ditetapkan. Strategi peningkatan kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan antara lain:
1) Pemanfaatan database kependudukan (NIK/e-KTP) untuk WP OP;
2) Pemanfaatan data SISMINBAKUM untuk WP Badan;
3) Registrasi Ulang/Pencabutan WP Bendahara dalam rangka implementasi RPMK Pengawasan Bendahara. Setiap bendahara akan
ada kewajiban penyampaian realisasi transaksi harian;
4) Pembenahan data Wajib Pajak Non Efektif;
5) Tindak lanjut data SPN, dari sampel terdapat 40% WP yang tidak menyampaikan SPT Tahunan.
Selama 4 tahun terakhir (2010-2013) terjadi peningkatan jumlah penyampaian SPT Tahunan PPh walaupun secara persentase rasio
kepatuhan terjadi penurunan di tahun 2011 dan 2012 dibandingkan dengan tahun 2010.

Tabel 3.9
Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun 2009 s.d. 2013

Periode

Jumlah WP terdaftar

Target SPT

Jumlah SPT

Rasio

Tahun 2010
Tahun 2011

14.101.933

8.108.612

8.145.866

57,76%

17.694.317

11.058.948

9.332.626

52,74%

Tahun 2012

17.659.278

11.037.049

9.447.398

53,50%

Tahun 2013

17.731.736

11.525.628

10.790.650

60,86%

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013, jumlah WP terdaftar wajib SPT Tahunan PPh per 31 Desember
2012 sebanyak 17.731.736. Persentase target penerimaan SPT Tahunan adalah 65%, sehingga target penyampaian SPT Tahunan
PPh pada tahun 2013 sebanyak 11.525.628.
Penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 adalah 10.790.650 SPT atau sebesar 60,86% dari target
65%. Dengan demikian pencapaiannya adalah sebesar 93,63%. Tidak tercapainya target yang telah ditetapkan pada kontrak kinerja
disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1) Hasil penelitian Master File Wajib Pajak (MFWP) Orang Pribadi, banyak terdapat WP dengan identitas ganda;
2) Terdapat WP yang telah mempunyai NPWP namun belum masuk dalam MFWP sehingga menyulitkan dalam pengadministrasiannya;
3) Data alamat yang ada di database SIDJP/SIPMOD kurang valid;
4) Terdapat WP yang telah mempunyai NPWP namun belum masuk dalam MFWP sehingga menyulitkan dalam pengadministrasiannya;
5) Strategi Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak kurang efektif dan efisien, seperti Pemetaan Wajib Pajak berdasarkan risiko
kepatuhannya dan studi mengenai Perilaku Wajib Pajak belum ada; dan
6) Wajib Pajak tidak/belum melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar secara voluntary dikarenakan Wajib Pajak kurang
memahami ketentuan/kewajiban di bidang perpajakan dan proses pemenuhan kewajiban perpajakan yang belum cukup sederhana
bagi Wajib Pajak.
Guna menanggulangi permasalahan-permasalahan yang terjadi selama tahun 2013, Kementerian Keuangan telah mengambil langkahlangkah penanganan pencapaian indikator kinerja ini. Langkah-langkah tersebut antara lain:
1) Pemanfaatan data PT Taspen dan BPJS,
2) Implementasi SPT prepopulated WP OP Karyawan dan Pensiunan,
3) Integrasi NIK dan NPWP untuk memudahkan pemantauan terhadap setiap aktivitas ekonomi WP dalam rangka mengetahui
kepatuhan WP,
4) Penyusunan Model Manajemen Kepatuhan Wajib Pajak berbasis risiko,
5) Penyusunan strategi/kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak melalui pemanfaatan data pihak ketiga, dan
6) Penyusunan strategi/kebijakan mengenai Registrasi Wajib Pajak untuk memperluas Basis Pemajakan

52

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Kementerian Keuangan juga memiliki inisiatif strategis yang mendukung pencapaian indikator kepatuhan. Inisiatif tersebut yakni
penyempurnaan drop box yang memperbaiki sistem penerimaan SPT Tahunan PPh melalui aplikasi drop box dan perancangan formulir
yang user friendly. Penyederhanaan formulir SPT tersebut diselesaikan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-26/PJ/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya.
Sesuai dengan hasil capaian tahun 2013, telah disusun strategi pelaksanaan guna mendukung pencapaian target tahun 2014.
Beberapa strategi yang berhasil dilaksanakan pada tahun 2013 akan kembali diaplikasikan pada tahun 2014. Action plan yang akan
dilaksanakan untuk tahun 2014 antara lain:
1) Teningkatkan penyampaian SPT Tahunan melalui e-filing dengan mempermudah prosedur dan memperbaiki aplikasi e-filing;
2) Pemanfaatan data PT Taspen dan BPJS;
3) Implementasi SPT Tahunan prepopulated WP orang pribadi karyawan dan pensiunan;
4) Integrasi NIK dan NPWP untuk memudahkan pemantauan terhadap setiap aktivitas ekonomi Wajib Pajak dalam rangka mengetahui
kepatuhan wajib pajak;
5) Penyusunan strategi/kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui pemanfaatan data pihak ketiga;
6) Penyuluhan kepada WP tentang kewajiban penyampaian SPT melalui e-filing secara masif; dan
7) Bekerja sama dengan instansi terkait untuk mewajibkan tax clearence sebagai syarat perolehan beberapa pelayanan umum (misal
pembuatan paspor, pemberian kredit, dll).
Strategi tersebut diharapkan dapat diterapkan dengan baik dan dapat membantu pencapaian target lebih baik dari tahun 2013.
b. Persentase pengguna jasa kepabeanan yang tidak diblokir (KK-3.1.2)
Pemblokiran adalah tindakan pejabat bea dan cukai untuk menolak memberikan pelayanan kepabeanan terhadap Pengguna Jasa
sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, yang dilakukan mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal terakhir bulan yang dilaporkan.
Pengguna Jasa adalah importir di bidang kepabeanan yang telah memperoleh nomor registrasi importir (NIK). Perizinan adalah
perizinan yang ditetapkan pejabat bea dan cukai kepada pengusaha sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku.
Jumlah perizinan yang digunakan sebagai data capaian kinerja adalah jumlah data sebagaimana tercantum dalam database registrasi
kepabeanan. Pengukuran realisasi IKU ini dengan cara membandingkan antara jumlah pengguna jasa kepabeanan yang tidak diblokir
dengan jumlah pengguna jasa kepabeanan yang mendapatkan izin.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepatuhan pengusaha kepabeanan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kepabeanan. Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di
mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Realisasi IKU ini tahun 2013 adalah sebesar 96,92% dari target yang ditetapkan sebesar 95% sehingga nilai capaiannya adalah
102,02%.
c. Persentase Penerapan KPJM oleh penanggung jawab program (KK-3.1.3)
Kerangka Pembangunan Jangka Menengah (KPJM) adalah pendekatan penyusunan anggaran berdasarkan kebijakan, dengan
pengambilan keputusan yang menimbulkan implikasi anggaran dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran. Dalam rangka
penyusunan RKA-K/L dengan pendekatan KPJM, K/L perlu menyelaraskan kegiatan/program dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) dan rencana Strategi (Renstra) K/L, yang pada tahap sebelumnya juga menjadi acuan
dalam menyusun RKP dan Renja K/L.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mengukur kepatuhan satker dalam mengisi alokasi anggaran pada kolom isian KPJM aplikasi RKA
KL. Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi
dari target adalah capaian yang diharapkan.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

53

Capaian indikator kinerja ini diperoleh melalui pengisian kolom perkiraan kebutuhan anggaran sampai dengan tahun 2016 di dalam
aplikasi RKAKL oleh satker. Dari sekitar total 24.000 satker pada tahun 2012, sebanyak 22.265 satker telah mengisi KPJM sehingga
diperoleh capaian kinerja IKU sebesar 92,77%. Adapun pada tahun 2013 ini sebanyak 319 penanggung jawab program seluruhnya
telah mengisi alokasi anggaran pada kolom KPJM di aplikasi RKAKL sehingga indikator kinerja ini terealisasi 100%.
Selanjutnya, untuk meningkatkan kepatuhan K/L atas penerapan KPJM ini akan dilakukan beberapa rencana aksi, yaitu :
1) Melakukan monitoring dan evaluasi penerapan KPJM oleh penanggung jawab program;
2) Melakukan langkah-langkah perbaikan
d. Persentase rekonsiliasi realisasi APBN yang andal dan tepat waktu (KK-3.1.4)
Persentase UAPPA-W (Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah) yang melakukan rekonsiliasi adalah UAPPA-W yang
mengirimkan data laporan keuangannya (SAI) untuk dibandingkan dengan data laporan keuangan pemerintah pusat (SAU). Tepat
waktu dan andal adalah UAPPA-W melakukan rekonsiliasi dengan kanwil sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam ketentuan
dan sampai dengan tidak ada perbedaan antara data SAU dan data SAI.
Pengisian target disesuaikan dengan siklus dan karakteristik laporan keuangan yang bersifat historical report artinya, untuk data
realisasi triwulan I tahun berjalan, merupakan data realisasi yang bersumber dari triwulan IV tahun sebelumnya.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyusunan laporan keuangan Kementerian/Lembaga. Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
Capaian sampai dengan triwulan IV tahun 2013 adalah sebesar 99,36% dengan waktu penyelesaian rekonsiliasi tepat waktu yaitu 9
hari kerja setelah triwulan bersangkutan berakhir.
e. Persentase penyampaian APBD tepat waktu (KK-3.1.5)
Penyampaian APBD tepat waktu adalah penyampaian APBD sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan, yaitu sampai dengan akhir kuartal I (31 Maret). Pemerintah Daerah (Pemda) wajib mengirim APBD yang telah ditetapkan
sebagai wujud kinerja Pemda dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepatuhan Pemda dalam menyampaikan APBD dan menjaga kesinambungan
pembangunan daerah. Pencapaian indikator ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang
makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah dinyatakan
bahwa batas waktu penyampaian APBD adalah 31 Januari. Apabila Pemerintah Daerah tidak menyampaikannya hingga 1 (satu) bulan
setelah batas waktu yang ditetapkan maka diberikan peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan, dan apabila hingga 2 (dua) bulan
setelah diterbitkannya peringatan tertulis masih belum menyampaikan APBD-nya maka Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa
penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU).
Dengan diterbitkannya PP Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2005 tentang
Sistem Informasi Keuangan Daerah mengakibatkan beberapa perubahan yaitu:
1) Apabila Pemerintah Daerah belum menyampaikan APDB-nya hingga batas waktu yang telah ditetapkan maka diberikan peringatan
tertulis oleh Menteri Keuangan;
2) Peringatan tertulis tersebut diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari setelah batas waktu;
3) Dalam hal Pemerintah Daerah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya peringatan tertulis masih belum
menyampaikan APBD-nya, Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan DAU.

54

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Berdasarkan hasil pantauan Kementerian Keuangan, dalam kurun waktu tahun 2007-2010 menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah
semakin baik dalam menyampaikan Perda APBD-nya kepada Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari tahun 2007 sebanyak 5 daerah
dikenakan sanksi penundaan Dana Perimbangan, dalam hal ini Dana Alokasi Umum (DAU). Tahun 2008 menurun menjadi hanya 3
daerah yang dikenakan sanksi, tahun 2009 juga sebanyak 3 daerah, dan tahun 2010 menurun menjadi hanya 2 daerah saja. Dengan
berlakunya PP Nomor 65 Tahun 2010 maka pada tahun 2011 pengenaan sanksi dilakukan lebih cepat daripada tahun sebelumnya,
di mana sebanyak 19 daerah dikenakan sanksi penundaan DAU. Sedangkan pada tahun 2012 ada 16 daerah yang dikenakan sanksi
penundaan DAU.
Untuk tahun 2013 terdapat 17 daerah yang terlambat menyampaikan APBD dan dikenakan sanksi berupa penundaan penyaluran
DAU sebesar 25%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 3.10 berikut.

Tabel 3.10
Jumlah Daerah yang Dikenakan Sanksi

Tahun

Efektif Pengenaan Sanksi

Jumlah yang
Dikenakan
Sanksi

2007

Bulan Mei

2008

Bulan Mei

2009

Bulan Mei

2010

Bulan Mei

2011

Bulan April

19

2012

Bulan April

16

2013

Bulan April

17

Target yang ditetapkan untuk IKU yaitu Penyampaian APBD Tepat Waktu sebesar 97% pada triwulan 1. Adapun yang dimaksud
tepat waktu adalah daerah yang tidak dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU.
Ketepatan waktu penyampaian APBD dipengaruhi oleh situasi serta kondisi politik di daerah antara Pemerintah Daerah dan DPRD
sebagai counterpartner dalam menetapkan APBD.
Berdasarkan monitoring atas penyampaian APBD TA 2013, sampai dengan tanggal 20 Maret 2013 (batas waktu penyampaian APBD
TA 2013) masih terdapat 17 (tujuh belas) daerah (daftar terlampir) yang terlambat menyampaikan APBD TA 2013 sehingga dikenakan
sanksi berupa penundaan penyaluran DAU sebesar 25% dari DAU setiap bulan dan efektif berlaku mulai bulan April tahun 2013.
Dari 524 Pemerintah Daerah berarti hanya 507 Pemerintah Daerah yang menyampaikan APBD tepat waktu. Dari target IKU Direktur
atas Penyampaian APBD Tepat Waktu sebesar 97%, berarti hanya tercapat 96,75%, apabila dibulatkan menjadi 97%.
Pada tanggal 18 Juni 2013 posisi APBD yang telah diterima mencapai 100% sehingga kepada ke 17 daerah tersebut di atas telah
dikeluarkan KMK Pencabutan Sanksi (terlampir) dan DAU yang ditunda telah disalurkan kepada ke 17 daerah tersebut di atas.

55

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.11
Daftar Daerah yang Dikenakan Sanksi dari Tahun 2009 s.d. 2013

No. 2009

2010

2011

2012

2013

Kab. Nias

Kab. Puncak

Prov. NAD

Kab. Aceh Tenggara

Kab. Aceh Jaya

Kab. Blora

Kab. Bulukumba

Kab. Bireuen

Kab. Aceh Jaya

Kab. Dairi

Kab. Merauke

Kota Sabang

Kab. Tanah Karo

Kab. Kepahiang

Kota Langsa

Kab. Langkat

Kab. Blora

Kab. Aceh Jaya

Kab. Padang Lawas

Kab. Kudus

Kab. Tanah Karo

Kab. Indragiri Hilir

Kab. Lumajang

Kab. Langkat

Kab. Lebong

Kota Singkawang

Kab. Nias Selatan

Kab. Bengkulu Tengah

Kab. Banggai
Kepulauan

Kab. Batubara

Kab. Pesawaran

Kab. Jeneponto

10

Kab. Padang Lawas

Kab. Blora

Kab. Alor

11

Kota Bekasi

Kab. Pati

Kab. Kepulauan Aru

12

Kab. Blora

Kab. Alor

Kab. Tolikara

13

Kab. Jember

Kab. Sarmi

Kab. Boven Digoel

14

Kab. Jeneponto

Kab. Mappi

Kab. Mappi

Kab. Soppeng

Kab. Puncak

Kab. Mamberamo
Tengah

16

Kab. Biak Numfor

Kab. Teluk Wondama

Kab. Puncak

17

Kab. Mappi

18

Kab. Mamberamo
Tengah

19

Kab. Nduga

15

Kab. Lingga

Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.5 berikut. Dari grafik tersebut terlihat
bahwa meskipun untuk tahun 2013 IKU ini tidak mencapai target, namun target yang ditentukan telah lebih tinggi dari pada target 2
tahun sebelumnya.

Grafik 3.5
Perkembangan Capaian Persentase Penyampaian APBD Tepat Waktu
98%
96%

97.00%

96.75%
97%

96.37%

94%
92%
90%

Target
Realisasi

90%

90%

88%
86%
2011

2012

2013

56

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

f. Persentase kepatuhan pelaporan BMN oleh K/L (KK-3.1.6)


Kepatuhan pelaporan BMN dinilai dari ketepatan waktu penyampaian Laporan Barang Pengguna (LBP) oleh Kementerian/Lembaga
(K/L) kepada Pengelola Barang beserta kelengkapan dokumen LBP. LBP yang dimonitor penyampaiannya meliputi:
1) LBP Tahunan tahun sebelumnya dimonitor pada triwulan I tahun berjalan;
2) LBP Tahunan tahun sebelumnya (Audited) dimonitor pada triwulan II tahun berjalan dan
3) LBP Semester I tahun berjalan dimonitor pada triwulan III tahun berjalan
LBP adalah laporan yang disusun oleh Pengguna Barang yang menyajikan posisi BMN pada awal dan akhir periode tertentu secara
semesteran dan tahunan serta mutasi yang terjadi selama periode tersebut
Ketepatan waktu diukur dari tanggal penyampaian LBP oleh K/L sesuai dengan batas waktu penyampaian LBP yaitu :
1) LBP Tahunan tahun sebelumnya (Unaudited) disampaikan paling lambat 25 Februari tahun berjalan;
2) LBP Tahunan tahun sebelumnya (Audited) disampaikan paling lambat 20 Mei tahun berjalan;
3) LBP Semester I tahun berjalan disampaikan paling lambat 26 Juli tahun berjalan.
Kelengkapan dokumen diukur dari dokumen yang harus dilampirkan dalam LBP yaitu:
1) Laporan BMN intrakomptabel
2) Laporan BMN ekstrakomptabel
3) Laporan BMN gabungan
4) Laporan persediaan
5) Laporan BMN per perkiraan neraca
6) Laporan aset tak berwujud
7) Laporan konstruksi dalam pengerjaan / KDP
8) Laporan PNBP terkait pengelolaan BMN
9) Laporan barang bersejarah
Khusus untuk triwulan IV yang tidak melakukan monitoring kepatuhan pelaporan LBP, capaian kinerja menggunakan data capaian
kinerja sampai dengan triwulan III yang diperoleh dari: capaian triwulan I + capaian triwulan II + capaian triwulan III dibagi 3.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi dan mendukung tertib penatausahaan dan pengelolaan BMN.
Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari
target adalah capaian yang diharapkan.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, realisasi capaian IKU persentase Kepatuhan Pelaporan BMN oleh K/L ini mengalami peningkatan
yang sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.12 sebagai berikut.

Tabel 3.12
Perkembangan Capaian Persentase Kepatuhan Pelaporan BMN oleh K/L

2011

2012

2013

Target

Realisasi

Target

Realisasi

Target

Realisasi

85%

94,8%

111,53

95%

99,22%

104,44

95%

100%

105,26

Realisasi capaian IKU ini meningkat dari tahun 2011 sebesar 94,8% menjadi 99,22% pada tahun 2012 dan 100% pada tahun 2013.
Realisasi sebesar 100% diperoleh dari kepatuhan penyampain Laporan Barang Pengguna (LBP) semester I tahun 2013. Dari 89 K/L
yang wajib menyampaikan LBP paling lambat tanggal 25 Juli 2013, seluruh K/L telah menyampaikan LBP dengan tepat waktu.

57

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pencapaian target tersebut didukung oleh pelaksanaan pembinaan dan bimbingan teknis mengenai penatausahaan BMN yang
dilakukan kepada seluruh K/L. Kegiatan tersebut dapat meningkatkan kesadaran K/L untuk menyampaikan laporan BMN tepat waktu.
Rencana aksi berikutnya adalah melanjutkan pelaksanaan pembinaan, rapat koordinasi, dan bimbingan teknis penatausahaan dan
pengelolaan BMN kepada Kementerian/Lembaga dalam rangka penyampaian LBP tahunan tahun 2013.
4. Sasaran Strategis 4: Perencanaan dan rumusan kebijakan yang berkualitas (KK-4)
Perencanaan adalah pemilihan atau penetapan tujuan dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem,
anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Rumusan adalah pernyataan atau simpulan tentang asas, ketetapan, dan
sebagainya yang disebutkan dengan kalimat yang ringkas dan tepat.
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak. Kebijakan yang berkualitas mencakup kebijakan pemerintah mengenai pajak, utang negara (public
debt), pengadaan dan perbelanjaan dana pemerintah dan lain yang sejenis yang berdampak pada perekonomian secara keseluruhan.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU), sebagaimana
ditabulasikan dalam tabel 3.13 berikut.

Tabel 3.13

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Perencanaan dan Rumusan


Kebijakan yang Berkualitas

KK 4. Perencanaan dan rumusan kebijakan yang berkualitas


Indikator Kinerja
1.

Deviasi proyeksi kebijakan fiskal

2.

Waktu rata-rata penyelesaian PMK/KMK

Target

Realisasi

Kinerja

6%

3,64%

120%

10 hari kerja

8,71 hari kerja

112,90%

Uraian mengenai kedua IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.


a. Deviasi proyeksi kebijakan fiskal (KK-4.1)
IKU ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akurasi proyeksi indikator ekonomi makro dan tingkat akurasi proyeksi APBN sehingga
dapat dilakukan penyempurnaan kebijakan fiskal tahun berikutnya. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah
dari target (minimize), di mana capaian yang makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan.
Proyeksi indikator kebijakan fiskal meliputi proyeksi terhadap indikator ekonomi makro dan APBN. IKU ini merupakan gabungan dari
2 (dua) IKU pada tahun sebelumnya yaitu deviasi proyeksi indikator ekonomi makro dan deviasi proyeksi APBN.

Tabel 3.14
Capaian IKU Deviasi Proyeksi Indikator Kebijakan Fiskal Tahun 2013

T/R

Q1

Q2

Q3

Q4

6%

6%

6%

6%

6%

Realisasi

5,33%

3,95%

2,54%

2,74%

3,64%

Indeks capaian

111%

152%

157%

154%

139%

Target

V/C

Ket.

P/M

Min/Aver

1) Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro


Indikator ekonomi makro yang akurat sangat penting karena merupakan dasar bagi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN,
terdiri dari empat variabel ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap US Dolar, tingkat inflasi, dan suku
bunga. Indikator ini terdiri atas empat sub IKU yaitu Deviasi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi, Deviasi Proyeksi Inflasi, Deviasi
Proyeksi Nilai Tukar, dan Deviasi Proyeksi Suku Bunga SPN. Dalam menyusun proyeksi asumsi dasar makro pada tahun 2013,

58

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Kementerian Keuangan mempertimbangkan berbagai faktor baik eksternal maupun internal, antara lain (i) seberapa dalam dan
lama krisis perekonomian global akan berlangsung; (ii) efektivitas kerja sama global dalam mengatasi krisis dunia; dan (iii) efektivitas
langkah-langkah kebijakan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi dan memulihkan perekonomian nasional, perkembangan
harga minyak dunia dan faktor lainnya. Polarisasi sub IKU ini adalah minimize, artinya nilai realisasi angka deviasi proyeksi indikator
ekonomi makro diharapkan lebih kecil dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan.
Capaian sub IKU deviasi proyeksi indikator ekonomi makro kuartalan dan tahunan 2013 adalah sebagaimana tabel 3.15 berikut.

Tabel 3.15

Capaian sub IKU Deviasi Proyeksi Indikator Ekonomi Makro Tahun


2013

T/R

Q1

Q2

Q3

Q4

Target

6%

6%

6%

6%

6%

Realisasi

5,33%

3,95%

2,54%

2,74%

3,64%

Indeks capaian

111%

152%

157%

154%

139%

V/C

Ket.

P/M

Min/Aver

Realisasi deviasi proyeksi indikator ekonomi makro pada tahun 2013 (4,2%) lebih kecil dari target yang ditetapkan (6%), artinya
proyeksi indikator ekonomi lebih baik karena nilai realisasinya berada di bawah deviasi yang telah ditargetkan. Selain itu, capaian
kuartalan juga selalu lebih baik dari target kuartalan yang telah ditetapkan. Perhitungan asumsi di atas dilakukan dengan
menggunakan ModeI Auto Regressive Integrated Moving Average (ARIMA).
Apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2012, terlihat bahwa capaian tahun 2013 lebih rendah daripada tahun 2012. Hal
ini disebabkan oleh kondisi perekonomian yang lebih fluktuatif pada tahun 2013 sehingga target pun direvisi dari 5% pada tahun
2012 menjadi lebih besar yaitu 6% pada tahun 2013. Tabel perbandingannya adalah sebagaimana tabel 3.16 berikut:

Tabel 3.16
Perbandingan Kinerja Deviasi Proyeksi Indikator Ekonomi Makro Tahun 2012 dan Tahun 2013

Indikator Kinerja

Tahun 2012

Tahun 2013

Target

Realisasi

Target

Realisasi

5%

2,52%

6%

4,2%

Deviasi proyeksi
indikator ekonomi
makro
Deviasi Proyeksi Indikator Ekonomi Makro dijabarkan lebih lanjut lagi ke dalam 4 (empat) komponen yang lebih kecil yaitu deviasi
proyeksi pertumbuhan ekonomi, deviasi proyeksi inflasi, deviasi proyeksi nilai tukar, dan deviasi proyeksi suku bunga SPN. Nilai
keempat komponen tersebut adalah sebagaimana tabel 3.17 berikut.

Tabel 3.17
Deviasi Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, Nilai Tukar, dan Suku Bunga
Indikator Kinerja Utama

Target

Realisasi

Deviasi

5,8%

5,6%

3,44%

Deviasi Proyeksi Inflasi

0,23%

0,25%

10,14%

Deviasi Proyeksi Nilai Tukar

11633

11689

0,48%

4,70%

4,50%

4,20%

Deviasi Proyeksi Pertumbuhan


Ekonomi

Deviasi Proyeksi Suku Bunga


SPN

59

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

a) Deviasi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi


Pada kuartal III 2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 5,6% lebih rendah dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya yang sebesar 6,2%. Secara q-to-q, ekonomi tumbuh 2,96% dibandingkan Q2-2013. Sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi pada Q3-2013 adalah konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,5%, konsumsi pemerintah tumbuh
8,8%, dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 4,5%. Sementara itu, ekspor neto mengalami pertumbuhan
positif. Kontribusi PDB pengeluaran yang terbesar adalah dari konsumsi rumah tangga diikuti oleh PMTB dan konsumsi
pemerintah. Dari sisi sektoral, semua sektor tumbuh positif di mana sektor pengangkutan dan komunikasi tetap tumbuh
paling tinggi. Kontribusi sektoral yang terbesar berasal dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan
restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Ketiga sektor ini menyumbang lebih dari 50% terhadap angka
pertumbuhan ekonomi. Struktur PDB nominal didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor pertanian, serta sektor
perdagangan, hotel dan restoran.
b) Deviasi Proyeksi Inflasi
Laju inflasi Desember mengalami sedikit peningkatan sebagai dampak faktor musiman akhir tahun (liburan sekolah, Natal,
dan Tahun Baru), serta awal musim tanam. Selain itu, kebijakan PT Pertamina mengalihkan beban biaya distribusi dan
refueling kepada konsumen gas elpiji 12 kg juga berdampak terhadap peningkatan inflasi Desember.
c) Deviasi Proyeksi Nilai Tukar
Nilai Tukar Rupiah kembali mengalami tekanan pada 2 bulan terakhir seiring dengan sentimen negatif terkait dengan
keputusan pelaksanaan tapering. Selain itu, secara historis, dua bulan terakhir cenderung mengalami tekanan seiring
dengan peningkatan permintaan valas dalam memenuhi kewajiban pembiayaan dan pembayaran utang.
d) Deviasi Proyeksi Suku Bunga SPN
Rata-rata realisasi dari SPN di tahun 2013 mencapai 4,5% sedikit lebih rendah dari perkiraan yang mencapai 4,7%. Pada
lelang di bulan Januari 2013 suku bunga SPN 3 bulan 4% dan cenderung mengalami peningkatan di tahun 2013 hingga
pada lelang bulan November mencapai 5,4%. Kenaikan ini selain disebabkan oleh tekanan domestik yang bersumber dari
tingginya laju inflasi juga disebabkan tekanan dari luar terutama akibat dari rencana adanya tapering off di US. Pada lelang
SPN 3 bulan di Desember 2013 tidak ada nominal yang dimenangkan.
2) Deviasi proyeksi APBN
Deviasi proyeksi APBN merupakan rata-rata deviasi proyeksi tiga besaran indikator APBN, meliputi Defisit APBN, Penerimaan
perpajakan, dan Belanja K/L. Proyeksi APBN tersebut merupakan proyeksi yang disampaikan dalam paparan pemantauan dini
perekonomian Indonesia pada saat Rapat Pimpinan Kementerian Keuangan. Polarisasi sub IKU ini adalah minimize, artinya nilai
realisasi angka deviasi proyeksi APBN diharapkan lebih kecil dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan.
Capaian Kinerja Deviasi proyeksi APBN kuartalan dan tahunan 2013 adalah sebagaimana tabel 3.18 berikut:

Tabel 3.18
Capaian sub IKU Deviasi Proyeksi APBN Tahun 2013

T/R

Q1

Q2

Q3

Q4

Target

6%

6%

6%

6%

6%

5%

3,42%

2,96%

0,92%

3,08%

116,7%

175%

150%

185%

149%

Realisasi
Indeks capaian

V/C

Ket

P/M

Min/Aver

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa capaian deviasi proyeksi APBN selama tahun 2013 selalu berada di bawah target, baik
kuartalan maupun tahunan, artinya nilai proyeksi dianggap telah tepat.

60

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Deviasi Proyeksi APBN dijabarkan lebih lanjut lagi ke dalam 2 (dua) komponen yang lebih kecil yaitu deviasi proyeksi penerimaan
pajak dan deviasi proyeksi belanja K/L. Nilai kedua komponen tersebut adalah sebagaimana tabel 3.19 berikut.

Tabel 3.19
Deviasi Proyeksi Penerimaan Pajak dan Deviasi Proyeksi Belanja KL

IKU

Target

Realisasi

Deviasi

Deviasi proyeksi penerimaan perpajakan (miliar rupiah)

286.171,80

287.828,40

0,58%

Deviasi proyeksi belanja K/L (miliar rupiah)

249.120,00

252.231,81

1,25%

a) Deviasi Proyeksi Penerimaan Perpajakan


Realisasi sampai dengan kuartal IV 2013 sedikit di atas target disebabkan oleh tercapainya penerimaan pajak dari PPN
terutama PPN Impor yang diakibatkan dampak melemahnya nilai tukar rupiah.
b) Deviasi Proyeksi Belanja K/L
Realisasi sampai dengan kuartal IV 2013 sedikit di atas target disebabkan oleh kinerja penyerapan belanja modal dan belanja
bantuan sosial melebihi ekspektasi yang didasarkan pola penyerapan tahun sebelumnya.
b. Waktu rata-rata penyelesaian PMK/KMK (KK-4.2).
IKU ini bertujuan untuk mengukur lamanya waktu penelaahan dan perumusan PMK/KMK yang bersifat kebijakan. Pencapaian IKU ini
menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang makin rendah dari target adalah capaian yang
diharapkan.
Lamanya waktu penelaahan dan perumusan PMK/KMK yang bersifat kebijakan dihitung setelah disposisi Sekretaris Jenderal diterima
Kepala Biro Hukum. Dokumen yang diterima setelah pukul 13.00 WIB, dihitung untuk hari berikutnya. Waktu penghitungan akan
berhenti dalam hal:
1) Dokumen yang harus disertakan pada saat penyampaian RPMK/RKMK seperti misalnya softcopy, verbal RPMK/RKMK yang
ditandatangani pejabat unit eselon I pengusul dan/atau unit eselon I terkait dan dokumen-dokumen pendukung lainnya tidak
lengkap; dan
2) Substansi/rumusan materi dan/atau penyempurnaan Legal Drafting belum disepakati oleh unit-unit yang terkait.
Terkait penyelesaian Rancangan Peraturan Menteri Keuangan/Rancangan Keputusan Menteri Keuangan (RPMK/RKMK), RPMK/
RKMK dituntut untuk selesai dalam batas waktu yang telah ditargetkan (10 hari kerja) namun tetap senantiasa memperhatikan
peraturan perundang-undangan lainnya agar setiap PMK/KMK yang ditetapkan selaras dan harmonis dengan kebijakan yang telah
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya tersebut.
Selama tahun 2013, telah diselesaikan 277 (dua ratus tujuh puluh tujuh) RPMK dan 178 (seratus tujuh puluh delapan) RKMK dengan
rata-rata waktu penyelesaian PMK/KMK konten kebijakan adalah 8,71 hari.
Namun demikian, masih terdapat beberapa kendala dalam penyelesaian RPMK/RKMK tersebut, antara lain:
1) RPMK/RKMK yang disampaikan oleh unit pengusul masih berupa draft awal yang belum dilakukan pembahasan dengan unit-unit
terkait.
2) Waktu penyampaian RPMK/RKMK mendesak dengan waktu permintaan pengundangan/penetapan, khususnya biasa terjadi pada
akhir tahun.
Strategi yang ditempuh untuk mengatasi kendala-kendala tersebut di atas, antara lain:
1) Melakukan sosialisasi kembali perihal Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.01/2012 tentang Pedoman Penyusunan
Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Peraturan Pimpinan Unit Organisasi Eselon I, Dan Keputusan
Pimpinan Unit Organisasi Eselon I Di Lingkungan Kementerian Keuangan (terutama mengenai prosedur pengusulan RPMK/
RKMK);
2) Menghimbau agar unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menyampaikan daftar perencanaan usulan RPMK/RKMK
yang menjadi target untuk diterbitkan pada tahun berjalan yang dilengkapi dengan target waktu pengundangan/penetapan dan
melakukan monitoring dan evaluasi atas perencanaan dimaksud.

61

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

5. Sasaran Strategis 5: Pendapatan yang optimal (KK-5)


Angka penerimaan pajak dan non pajak diperoleh dari angka resmi yang diterbitkan Kementerian Keuangan dan yang telah ditetapkan
dengan peraturan resmi (UU APBN/P). Target yang ditetapkan sesuai dengan angka yang tersebut dalam peraturan resmi/undangundang terkait. Data target dan capaian merupakan akumulasi data dari DJP, DJBC, dan DJA.
Untuk mencapai sasaran tersebut, Kementerian Keuangan mengidentifikasi 1 (satu) Indikator Kinerja Utama (IKU) yaitu jumlah pendapatan
negara (KK.5.1), yang kemudian IKU tersebut dijabarkan ke dalam 3 (tiga) sub IKU sebagaimana tabel III.20 berikut.

Tabel 3.20
Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pendapatan yang Optimal

KK 5. Pendapatan yang optimal


Indikator Kinerja
1.

Target

Realisasi

Kinerja

Jumlah pendapatan negara

Rp1.497,53 T

Rp1.426,92 T

95,28%

a. Jumlah penerimaan pajak

Rp995.214 T

Rp921.269 T

92,57%

b. Jumlah penerimaan bea dan cukai

Rp153.150 T2)

Rp155,71 T

101,67%

c. Jumlah PNBP nasional

Rp349,16 T3)

Rp349,94 T

100,22%

1)

Ket:
1) Target berdasarkan APBN-P 2013, target semula Rp1.042.285 T
2) Target berdasarkan APBN-P 2013, target semula Rp150,708 T
3) Target berdasarkan APBN-P 2013, target semula Rp332,195 T
Uraian mengenai ketiga sub IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.
a. Jumlah penerimaan pajak (KK-5.1.1)
Secara umum, komponen perpajakan yang termasuk di dalam penerimaan perpajakan antara lain PPh, PPN, PPnBM, PBB, dan Bea
Meterai. Target jumlah penerimaan pajak sesuai dengan yang telah ditetapkan pada APBN/P 2013. Angka penerimaan pajak diperoleh
dari angka resmi yang diterbitkan Kementerian Keuangan yang tercermin dalam aplikasi penerimaan pajak yang ditetapkan.
Tujuan ditetapkannya indikator ini adalah untuk mengamankan pendapatan negara dari sektor pajak melalui optimalisasi pendapatan
negara serta memantau tingkat pencapaian penerimaan pajak agar sesuai dengan tingkat pencapaian berdasarkan target pada tiap
tahapannya. Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin
tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Beberapa langkah strategis yang ditempuh guna mengamankan penerimaan pajak di tahun 2013, antara lain sebagai berikut.
1) Upaya penggalian potensi berbasis sektoral.
a) Pelaksanaan program nasional yang dilakukan oleh seluruh unit di DJP, antara lain: sektor properti, pertambangan, perkebunan,
telekomunikasi, sektor retail, WP OP dan Bendahara
b) Pelaksanaan program sektor unggulan regional yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing daerah.
2) Penggalian potensi atas transaksi pengalian saham (akuisisi & merger).
3) Menyelesaikan pemeriksaan serentak atas WP sektor properti.
4) Optimalisasi pemanfaatan data-data Approweb & Portal DJP.
5) Sosialiasi terhadap Bendahara Umum Daerah untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan terkait penyerapan APBD.
6) Penguatan administrasi pengawasan penyetoran PPN dan PPh Final Sektor Properti dengan melibatkan bank dan notaris, juga
sektor lainnya atas pemotongan dan pemungutan PPh dan PPN.
Rincian penerimaan pajak tahun 2013 adalah sebagaimana tabel 3.21 berikut.

62

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.21

Penerimaan Pajak Tahun 2013

No

Jenis Pajak

(1)

(2)

PPh Non Migas


1. PPh Ps 21
2. PPh Ps 22

(3)

(4)

381.203,98

464.481,88

79.559,16

101.915,00

Realisasi s.d 31 Desember

Penc.
2012
(%)

Penc.
2013
(%)

(9)

(10)=7/4

2012

2013

Pert. (%)

(6)

(7)

(8)=(7-6)/6

21,85

381.203,98

417.656,59

9,56

85,52

89,92

28,10

79.559,16

90.130,28

13,29

89,20

88,44

(5)

5.495,81

6.600,93

20,11

5.495,81

6.834,03

24,35

69,41

103,53

31.609,47

42.704,15

35,10

31.609,47

36.331,69

14,94

82,78

85,08

4. PPh Ps 23

20.290,36

24.530,78

20,90

20.290,36

22.206,45

9,44

71,23

90,52

3.763,25

6.443,34

71,22

3.763,25

4.384,02

16,50

67,01

68,04

152.624.89

180.116,52

18,01

152.624,89

155.066,47

1,60

79,85

86,09

7. PPh Ps 26

27.458,53

32.779,51

19,38

27.458,53

31.100,12

13,26

92,16

94,88

8. PPh Final

60.369,81

69.349,09

14,87

60.369,81

71.565,73

18,55

109,04

103,20

32,70

42,56

30,16

32,70

37,80

15,61

76,16

88,83

PPN dan PPnBM

337.413,37

423.708,25

25,58

337.413,37

384.628,92

13,99

100,40

90,78

1. PPN Dalam
Negeri

191.769,44

245.433,51

27,98

191.769,44

226.679,71

18,20

97,97

92,36

2. PPN Impor

6. PPh Ps 25/29
Badan

9. PPh Non Migas


Lainnya

126.606,64

156.844,67

23,88

126.606,64

138.986,73

9,78

103,50

88,61

3. PPnBM Dalam
Negeri

10.428,41

13.440,75

28,89

10.428,41

11.547,97

10,74

91,35

85,92

4. PPNBM Impor

8.422,80

7.455,93

-11,48

8.422,80

7.281,23

-13,55

136,90

97,66

186,08

533,40

186,65

186,08

133,27

-28,38

43,66

24,99

5. PPN/PPnBM
Lainnya
C

Realisasi APBN-P Target %


2012
2013
20122013

3. PPh Ps 22 Impor
5. PPh Ps 25/29 OP

(Dalam Miliar Rupiah)

PBB

28.966,41

27.343,80

-5,60

28.966,41

25.302,49

-12,65

97,57

92,53

1. PBB Pedesaan

1.132,39

808,56

-28,60

1.132,39

750,00

-33,77

155,43

92,76

2. PBB Perkotaan

6.103,63

1.518,68

-75,12

6.103,63

1.366,09

-77,62

118,57

89,95

3. PBB Perkebunan

1.106,33

1.645,95

48,78

1.106,33

1.320,61

19,37

87,66

80,23

4. PBB Kehutanan

254,52

377,85

48,45

254,52

292,58

14,95

87,40

77,43

5. PBB
Pertambangan
Non Migas

565,03

734,86

30,06

565,03

632,54

11,95

107,24

86,08

6. PBB
Pertambangan
Migas

19.804,50

22.257,90

12,39

19.804,50

20.940,66

5,74

91,13

94,08

4.210,40

5.401,98

28,30

4.210,40

4.933,63

17,18

74,76

91,33

83.460,95

74.277,98

-11,00

83.460,95

88.747,47

6,33

122,89

119,48

835.255,12

995.213,90

19,15

835.255,12

921.269,09

10,30

94,38

92,57

Pajak Lainnya

PPh Migas

Total A + B + C + D + E

Pada tahun 2013 penerimaan pajak berdasarkan APBN-P 2013 ditargetkan sebesar Rp995,214 triliun. Jumlah tersebut meningkat
19,15% atau sejumlah Rp159,958 triliun dari realisasi tahun 2012 sebesar Rp835,255 triliun. Besar persentase kenaikan target tahun
2013 masih lebih besar jika dibandingkan dengan persentase kenaikan target dari tahun sebelumnya yang sebesar 15,89%.

63

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pada tahun 2013, total realisasi penerimaan pajak sebesar Rp921,269 triliun atau mencapai 92,57% dari target APBN-P 2013,
meningkat 10,90% dari realisasi tahun 2012. Sementara capaiannya mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Secara rinci, penerimaan tersebut terdiri dari:
1) PPh Non Migas
Penerimaan dari PPh Non Migas menyumbang peranan terbesar dengan kontribusi sebesar 45,33% dari total penerimaan pajak.
Kinerja penerimaan PPh Non Migas tahun 2013 sebesar Rp417.656,59 miliar atau mencapai 89,92% dari target APBN-P dengan
pertumbuhan realisasi penerimaannya sebesar 9,56%.
2) PPN dan PPnBM
Penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2013 terdiri dari jenis PPN Dalam Negeri, PPN Impor, PPnBM Dalam Negeri, PPnBM Impor,
serta PPN dan PPnBM Lainnya. Realisasi penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2013 sebesar Rp384.628,92 miliar atau mencapai
90,78%, lebih rendah dari target APBN-P 2013. Pertumbuhan jenis pajak ini dari tahun 2012 mencapai 13,99%.
3) PBB
Untuk penerimaan PBB, realisasi penerimaan PBB sebesar Rp25.302,49 miliar dengan capaian sebesar 92,53% dari target
APBN-P 2013. Jika dibandingkan penerimaan tahun 2012, penerimaan tahun 2013 mengalami pertumbuhan -12,65%. Hal tersebut
dikarenakan bertambahnya wilayah pendaerahan PBB-P2.
4) Pajak Lainnya
Penerimaan dari Pajak Lainnya terdiri dari Penjualan Benda Materai, Bea Materai, Bunga Penagihan dan PPn Batubara. Realisasi
dari penerimaan Pajak Lainnya sebesar Rp4.933,63 miliar atau mencapai 91,33% dari target APBN-P 2013. Meningkat tajam dari
capaian tahun 2012 yang sebesar 74,76%. Penerimaan pajak lainnya mengalami pertumbuhan sebesar 17,18% dari tahun 2012.
5) PPh Migas
Kinerja penerimaan PPh Migas tahun 2013, realisasinya sebesar Rp88.747,47 miliar. Kinerja penerimaan PPh Migas capaiannya di
atas target APBN-P 2013 dengan angka capaian sebesar 119,48% dengan pertumbuhan sebesar 6,33%.

Tabel 3.22

Rencana dan Realisasi 2013 per Triwulan

Triwulan

APBN

APBN-P

Realisasi 2013

Selisih

Capaian

Triwulan I

193,538

184,798

186,283

(1,485)

100,81%

Triwulan II

249,971

238,682

225,105

13,577

94,31%

Triwulan III

291,153

256,865

226,782

30,083

88,29%

Triwulan IV

307,622

314,870

283,098

35,650

89,91%

Th. 2013

1.042,285

995,214

921,269

73,945

92,57%

Sumber: Dashboard Penerimaan DJP, per 16 Januari 2014

Secara umum, kinerja penerimaan pajak di tahun 2013 realisasinya lebih rendah dari target APBN-P 2013. Beberapa kendala yang
mempengaruhi capaian penerimaan pajak antara lain:
1) Perlambatan ekonomi global;
a) Pemulihan ekonomi negara maju yang berjalan lambat,
b) Pelemahan harga komoditas, dan
c) Penurunan permintaan negara tujuan utama ekspor Indonesia.
2) Perekonomian nasional yang masih belum stabil;
a) Perlambatan ekonomi nasional,
b) Tingkat inflasi yang tinggi,
c) Defisit neraca perdagangan,
d) Penurunan volume ekspor,

64

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

e) Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan


f) Penyerapan anggaran yang belum maksimal.
3) Pengaruh kebijakan pemerintah.
a) Kenaikan PTKP,
b) Penyederhanaan Tarif Pajak Bagi UKM (PP 46 Tahun 2013), dan
c) Penyesuaian Tarif Dasar Listrik, Harga BBM, dan Upah Buruh.
4) Keterbatasan kapasitas jumlah SDM terutama yang menjalankan fungsi pengawasan mengakibatkan pengawasan terhadap
WP kurang maksimal.
Setiap jenis pajak memiliki kondisi dan permasalahan yang berbeda-beda. Setiap kendala tersebut juga memiliki alternatif solusi yang
kompleks dan beragam. Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak yang telah dibagi berdasarkan masing-masing
jenis pajak.
1) PPh Non Migas
a) Beberapa hal yang berpengaruh secara positif terhadap kinerja penerimaan PPh Non Migas diantaranya adalah:
(1) Membaiknya kinerja keuangan WP di sektor jasa keuangan, Industri pengolahan, pengadaan listrik dan gas, dan
transportasi;
(2) Meningkatnya pembayaran gaji, bonus, dan THR yang turut menopang pertumbuhan penerimaan pajak khususnya
PPh Pasal 21;
(3) Meningkatnya volume impor BBM dan melemahnya Rupiah terhadap Dollar AS sehingga pertumbuhan jenis pajak PPh
Pasal 22 Impor masih terjaga;
(4) Membaiknya kinerja keuangan khususnya WP di sektor jasa keuangan menyebabkan adanya kenaikan pembayaran
dividen kepada pemegang saham sehingga pertumbuhan PPh Pasal 23 sedikit lebih tinggi jika dibandingkan pertumbuhan di tahun 2012.
b) Beberapa hal yang menjadi kendala dalam kinerja penerimaan PPh Non Migas tahun 2013 di antaranya adalah:
(1) Harga komoditas dunia (komoditas unggulan ekspor) menunjukkan tren penurunan di sepanjang tahun 2013;
(2) Kinerja WP khususnya di sektor pertambangan dan penggalian masih menunjukkan tren penurunan yang di antaranya
disebabkan oleh penurunan produksi dan penjualan, rendahnya kandungan metal pada bahan tambang/galian, dan
faktor eksternal seperti pemogokan karyawan dan kondisi alam (bencana alam);
(3) Setoran PPh Pasal 21 yang mengalami penurunan akibat kenaikan PTKP di tahun 2013.
2) PPN dan PPnBM
a) Beberapa hal yang berpengaruh secara positif terhadap kinerja penerimaan PPN di antaranya adalah:
(1) Peningkatan volume dan penyerahan BBM bersubsidi serta pembayaran subsidi tahun 2012 pada bulan Mei 2013;
(2) Peningkatan omset dan mulai beroperasinya pabrik baru beberapa WP di sektor industri pengolahan, khususnya pupuk
dan semen;
(3) Peningkatan jumlah penjualan tiket bagi WP di sektor transportasi akibat penambahan armada dan rute penerbangan;
(4) Peningkatan jumlah proyek konstruksi yang utamanya berasal dari pemerintah.
b) Beberapa hal yang menjadi kendala dalam kinerja penerimaan PPN tahun 2013 di antaranya adalah:
(1) Kenaikan restitusi PPN terutama oleh WP yang masih dalam tahap konstruksi dan belum beroperasi, serta restitusi oleh
WP berorientasi ekspor dan yang melakukan penyerahan ke kawasan berikat (meningkatnya penyerahan ke kawasan
berikat);
(2) Penurunan nilai impor barang-barang yang diakibatkan stok yang masih menumpuk (tingginya impor di tahun 2012);
(3) Penurunan harga batu bara yang menyebabkan turunnya demand dan impor alat berat (dan peralatan penunjang
tambang).
3) PBB
Beberapa hal yang mempengaruhi capaian penerimaan PBB, antara lain:
a) Penerimaan PBB Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) mengalami penurunan pertumbuhan realisasi karena adanya
pengalihan pengelolaan PBB P2 ke Pemda;
b) Penerimaan PBB Sektor Pertambangan Migas tidak mencapai target yang ditetapkan dalam APBN 2013, karena beberapa
hal:

65

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

(1) Pokok ketetapan PBB Migas 2013 di bawah target yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P;
(2) Verifikasi SPPT PBB Migas oleh Ditjen Anggaran menghasilkan beberapa SPPT tidak dapat dibayarkan di tahun 2013
(Rp1,4T);
(3) Pembayaran PBB Migas yang harusnya disetorkan sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi masih sangat minim,
karena adanya penolakan dari Wajib Pajak.
4) Pajak Lainnya
Pertumbuhan realisasi penerimaan Pajak Lainnya di tahun 2013 salah satunya disebabkan oleh peningkatan penjualan Benda
Materai maupun bea materai selama tahun 2013 baik yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia maupun penggunaan bea materai
di sektor perbankan.
5) PPh Migas
Beberapa hal yang berpengaruh secara positif terhadap kinerja penerimaan PPh Migas diantaranya adalah:
a) Kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan minyak mentah dunia,
serta pengaruh dari kebijakan ekonomi Amerika Serikat untuk melanjutkan stimulus ekonomi;
b) Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika.
Pertumbuhan penerimaan pajak di berbagai sektor tersaji dalam tabel 3.23 berikut.

Tabel 3.23

Pertumbuhan Penerimaan Pajak Sektor Dominan

Sektor Usaha (KLU)

Realisasi s.d. 31 Des (miliar


Rp)

%
2011-2012

%
2012-2013

2012

2013

Industri Pengolahan

345,038.01

373,696.42

15.26

8.31

Perdagangan Besar dan Eceran

111,936.25

124,527.42

19.46

11.14

Jasa Keuangan dan Asuransi

81,053.04

96,720.94

13.58

19.33

Pertambangan dan Penggalian

63,052.88

54,224.17

(13.34)

(14.01)

Konstruksi

36,685.05

45,653.91

32.44

24.26

Informasi dan Komunikasi

25,892.83

29,953.81

3.46

15.68

Administrasi Pemerintahan dan


Jaminan Sosial Wajib

22,711.50

26,687.85

29.64

17.20

Transportasi dan Pergudangan

21,809.74

25,782.49

20.10

17.87

Real Estat

15,561.82

20,722.10

34.96

33.14

Jasa Profesional, Ilmiah danTeknis

14,530.87

17,991.40

13.59

23.67

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan

16,008.88

15,158.38

5.25

(5.31)

Sektor Lainnya

52,973.29

63,652.93

4.82

20.86

66

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Berdasarkan capaian atas kinerja yang telah dilaksanakan selama tahun 2013, Kementerian Keuangan mengevaluasi kegiatan-kegiatan
dan program-program yang telah dijalankan. Beberapa program yang belum optimal dilaksanakan di tahun 2013 akan disempurnakan
untuk dilaksanakan pada tahun 2014. Peringkat sektor usaha di tahun 2012 dan 2013 sebagaimana tergambar pada tabel, menjadi
fokus untuk dimaksimalkan di tahun 2014. Sektor tersebut di antaranya adalah real estat, industri pengolahan, pedagang besar dan
eceran, jasa keuangan dan akuntansi, serta jasa konstruksi.
Dengan perbaikan strategi yang disempurnakan dari tahun sebelumnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja penerimaan pajak dan
dapat mencapai target penerimaan sebesar Rp1.110.190 miliar. Action plan yang akan dilakukan pada tahun 2014 antara lain:
1) Penggalian Potensi Pajak berbasis sektoral Nasional dan Regional
Penggalian Potensi berbasis sektoral Nasional dan Regional secara lebih fokus dan terkoordinasi, melalui Pengawasan,
Pemeriksaan, Ekstensifikasi dan Penyuluhan. Empat sektor utama yang akan menjadi fokus utama di antaranya sektor real estat,
konstruksi, perhotelan, dan perbankan.
2) Optimalisasi pengawasan Bendahara
Perbaikan penggalian potensi WP Bendahara adalah dengan mengambangkan Sistem Informasi Keuangan Daerah (DTH/RTH),
merekonsiliasi secara nasional realisasi belanja Pemerintah dengan realisasi setoran pajak, dan registrasi ulang bendahara.
3) Penggalian potensi Wajib Pajak Orang Pribadi
Optimalisasi Penerimaan Wajib Pajak Orang Pribadi melalui ekstensifikasi, penyuluhan, pengawasan dan pemeriksaan secara lebih
fokus dan terkoordinasi.
4) Optimalisasi pengawasan dengan merelokasi WP Tambang (IUP), Perkebunan Sawit, Industri Rokok.
Pengawasan dilakukan dengan merelokasi WP ke KPP lokasi dan penerapan Nota Perhitungan dalam penghitungan Wajib Pajak
pertambangan.
5) Meningkatkan kepatuhan formal WP
Secara intensif melakukan registrasi terpadu WP OP dan Badan serta pelaksanaan SPT Prepopulated untuk mendukung e-filling.
6) Peningkatan kapasitas SDM
SDM merupakan salah satu faktor krusial dalam hal penggalian potensi perpajakan. Peningkatan kapasitas SDM akan dilaksanakan
dengan uji coba penataan tugas dan fungsi AR melalui pemisahan fungsi pengawasan dan pelayanan, serta pemanfaatan tenaga
Fungsional Penilai untuk penggalian potensi.
7) Pemanfaatan hasil SPN
Dengan dijalankannya kembali SPN di akhir tahun 2013, diharapkan hasilnya dapat dioptimalkan di tahun 2014 melalui maksimalisasi
responden yang belum diterbitkan NPWP terkait WP UKM dan kelanjutan pengawasan himbauan atas potensi PPN Kegiatan
Membangun Sendiri (KMS), PPh dan OPPT.
8) Penerapan regulasi yang mendukung penerimaan
Fokus regulasi yang akan digulirkan antara lain penyesuaian tarif PPh Final atas industri pelayaran, penunjukkan seluruh BUMN
sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas belanja barang, dan perluasan jenis jasa yang dikenai PPh Pasal 23.
b. Jumlah penerimaan bea dan cukai (KK-5.1.2).
Target penerimaan bea dan cukai adalah target penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai sebagaimana tercantum dalam APBN
atau APBN-P. Pencapaian penerimaan bea dan cukai adalah realisasi penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai sesuai dengan
Modul Penerimaan Negara.
IKU ini bertujuan untuk:
1) Mengamankan pendapatan negara dari sektor bea dan cukai melalui optimalisasi pendapatan negara
2) Memantau tingkat pencapaian penerimaan bea dan cukai agar sesuai dengan tingkat pencapaian pada tiap tahapannya mengukur
tingkat kepatuhan pengusaha kepabeanan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.

67

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Aktivitas
pengangkutan
barang dan
peti kemas di
Pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta

Total realisasi penerimaan bea masuk, bea keluar dan cukai tahun 2013 adalah sebesar Rp155.711,2 miliar dengan persentase capaian
101,67% dari target APBN-P sebesar Rp153,150,80 miliar atau terdapat kelebihan atau surplus penerimaan sebesar Rp2.560,20
miliar (1,67%). Penerimaan bea dan cukai tahun 2013 terdiri dari:
1) Bea masuk
Penerimaan bea masuk sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebesar Rp31.524,60 miliar dengan persentase capaian
102,31% dari target APBN-P sebesar Rp30.811,67 miliar. Sehingga terdapat kelebihan pencapain target atau surplus sebesar
Rp712,93 miliar (2,31%).
2) Bea keluar
Penerimaan bea keluar sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebesar Rp15.882,76 miliar dengan persentase capaian 90,19%
dari target APBN-P sebesar Rp17.609,41 miliar. Sehingga terdapat kekurangan pencapaian target atau defisit sebesar Rp1.726,65
miliar (9,81%).
3) Cukai
Penerimaan cukai sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebesar Rp108.303,83 miliar dengan persentase capaian 103,41%
dari target APBN-P sebesar Rp104.729,68 miliar. Sehingga terdapat kelebihan pencapaian target atau surplus sebesar Rp3.574,15
miliar (3,41%).
Rincian realisasi penerimaan bea dan cukai tersaji dalam tabel 3.24 berikut.

Tabel 3.24

Realisasi Jumlah Penerimaan Bea dan Cukai Tahun 2013


Bea Masuk

Bea Keluar

Cukai

Total

Target APBN-P

30.811,67 Miliar

17.609,41 Miliar

104.729,68 Miliar

153.150,80 Miliar

Realisasi

31.524,60 Miliar

15.882,76 Miliar

108.303,83 Miliar

155.711, 20 Miliar

102,31%

90,19%

103,41%

101,67%

Indeks APBN-P 2013

68

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Faktor yang mempengaruhi penerimaan bea dan cukai antara lain:


1) Bea Masuk (BM)
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan bea masuk tahun 2013 antara lain disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi global
sebesar (2,9%), pertumbuhan volume perdagangan dunia (sekitar 2,9%), dan pertumbuhan ekonomi Indonesia (5,7%) secara tidak
langsung meningkatkan impor dan penerimaan BM. Meskipun demikian, tercapainya penerimaan BM tidak terlepas dari faktorfaktor yang berkorelasi secara negatif terhadap pencapaian BM sebagai berikut:
a) Penurunan tarif BM kedelai menjadi 0% untuk mengatasi krisis kedelai di dalam negeri.
b) Pemberlakuan 7 (tujuh) Skema FTA (melibatkan lebih 16 negara) dan 6 skema FTA yang sedang negosiasikan. Data importasi di
KPU Tanjung Priok s.d. 15 Nov 2013 menunjukkan bahwa 41% dokumen PIB sudah menggunakan fasilitas FTA atau setara
dengan 38% dari total nilai impor sudah menggunakan fasilitas FTA.
2) Bea Keluar (BK)
Faktor utama yang paling berpengaruh terhadap Penerimaan BK adalah harga internasional atas komoditi ekspor utama yang wajib
BK, yaitu CPO & Turunan CPO dan Bijih Mineral dengan rincian sebagai berikut:
a) Terjadi penurunan rata-rata harga referensi CPO (USD839,87 per MT dengan rata-rata tarif BK hanya sebesar 9,63%)
dibandingkan periode yang sama (Januari-Desember) pada tahun 2012 (USD1.033,52 per MT dengan rata-rata tarif BK sebesar
15%).
b) Selain itu, kebijakan hilirisasi mengakibatkan pergeseran jenis komoditi ekspor dari CPO ke Produk turunannya yang memiliki tarif
BK yang jauh lebih rendah yang secara tidak langsung menyebabkan penurunan penerimaan BK.
3) Cukai
Selain upaya internal efforts seperti operasi pengawasan dan penindakan terhadap Barang Kena Cukai (BKC) ilegal dan pelanggaran
hukum lainnya, penerapan Sistem Aplikasi Cukai secara sentralisasi, sosialisasi dan penyuluhan kepada stakeholders, audit
terhadap para Pengusaha BKC, faktor-faktor yang mempengaruhi tercapainya penerimaan cukai adalah sebagai berikut:
a) Meningkatnya volume produksi HT pada tahun 2013 (sekitar 341,9 miliar batang SKM, SPM, dan SKT) dibandingkan tahun 2012
(326,8 miliar batang SKM, SPM, dan SKT).
b) Penyesuaian tarif cukai HT (PMK 179/PMK.011/2012 tanggal 12 November 2012), dengan rata-rata kenaikan (dibanding 2012)
sebesar 8,5%.
c) Perbaikan sistem tarif cukai HT menjadi full spesifik (Rp/batang), penyesuaian pada batasan HJE per batang dan gram, serta
perbaikan kebijakan penundaan pembayaran cukai HT.
Kendala dan risiko fiskal dalam pencapaian target penerimaan bea dan cukai tahun 2013 adalah sebagai berikut.
1) Sektor Bea Masuk
a) Konsekuensi Kerja sama Perdagangan Internasional melalui skema FTA (IJ-EPA, China, Korea, India, AANZ).
b) Fasilitas Pembebasan dan Keringanan BM.
c) Tarif umum BM (MFN) cenderung menurunkan tarif efektif rata-rata BM.
d) Kebijakan non tarif yang berorientasi pada pengendalian barang impor dan penggunaan produksi dalam negeri.
2) Sektor Bea Keluar
a) Bea keluar bukan merupakan instrumen penerimaan negara, karena tujuan penerapan bea keluar adalah untuk mengantisipasi
lonjakan harga yang tinggi, ketersediaan bahan baku dalam negeri, kelestarian SDA, dan menjaga kestabilan harga komoditas
dalam negeri (Pasal 2A UU Kepabeanan).
b) Harga internasional CPO cenderung fluktuatif, yang berpengaruh pada penerimaan bea keluar.
3) Sektor Cukai
a) Konsisten dengan Road Map Industri Hasil Tembakau.
b) Rencana pemberlakuan PP Pengendalian Tembakau.
c) Antisipasi Ratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).
d) Antisipasi Pemberlakuan Pajak Rokok.
Strategi dalam pencapaian target penerimaan bea dan cukai tahun 2013 meliputi hal-hal berikut:
1) Optimalisasi di Bidang Kepabeanan

69

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

a) Peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang impor dan peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang.
b) Optimalisasi fungsi unit pengawasan melalui peningkatan patroli darat dan laut dan peningkatan pengawasan di daerah
perbatasan terutama jalur rawan penyelundupan dan post audit.
2) Optimalisasi di Bidang Cukai
a) Kenaikan tarif cukai Hasil Tembakau.
b) Optimalisasi Pengawasan peredaran BKC ilegal.
c) Pembinaan kepatuhan pengguna jasa terhadap ketentuan di bidang cukai.
d) Penerapan manajemen risiko pelayanan dan pengawasan di bidang cukai.
3) Peningkatan Sektor Pelayanan
a) Penyempurnaan implementasi Indonesia National Single Windows (INSW), dalam rangka menyongsong ASEAN Single Windows
(ASW).
b) Pelayanan Kepabeanan 24 (dua puluh empat) jam sehari 7 (tujuh) hari seminggu di pelabuhan-pelabuhan utama, seperti pada
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok.
c) Pengembangan otomatisasi pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai.
d) Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia melalui berbagai diklat teknis dan kompetensi.
e) Penanganan pengaduan masyarakat secata otomasi dengan menggunakan aplikasi Sistem Penanganan Pengaduan Masyarakat
(SIPUMA).
f) Diagnosa dan desain program Transformasi Kelembagaan yang bekerja sama dengan konsultan McKinsey & Company yang
dituangkan dalam bentuk inisiatif jangka pendek dan menengah, dan jangka panjang.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.6 berikut:

Grafik 3.6

Perkembangan Capaian Jumlah Penerimaan Bea dan Cukai


Dalam triliun

180.00
160.00
140.00
120.00

155.71

144.46
131.10

153.15

131.21

115.02

100.00
Target
Realisasi

80.00
60.00
40.00
20.00
0.00

2011

2012

2013

c. Jumlah PNBP Nasional (KK-5.1.3)


Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan. Kelompok PNBP meliputi:
1) Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah
2) Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam
3) Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
4) Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah
5) Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi
6) Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah
7) Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

70

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pencapaian penerimaan PNBP adalah realisasi penerimaan PNBP sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Mengingat porsi PNBP yang signifikan menyumbang penerimaan, maka
diperlukan ukuran kinerja guna mengukur capaian perolehannya. Melalui penyusunan jumlah PNBP nasional ini diharapkan dapat
menjamin upaya pencapaian jumlah PNBP dengan cara sebagai berikut:
1) Mengamankan pendapatan negara dari PNBP melalui optimalisasi pendapatan negara
2) Memantau tingkat pencapaian penerimaan PNBP agar sesuai dengan tingkat pencapaian pada tiap tahapannya
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
Total realisasi PNBP pada tahun 2012 berdasarkan Buku Merah adalah sebesar Rp345 triliun (indeks pencapaian sebesar 101,13%
dari target PNBP dalam APBN-P sebesar Rp341.142 triliun). Pada tahun 2013 ditargetkan penerimaan PNBP sebesar Rp332.195 T.
Selanjutnya, berdasarkan realisasi APBN 2013 per 30 September 2013, diketahui total realisasi PNBP adalah sebesar Rp349,95 T
(100,22% dari target PNBP dalam APBN-P 2013 sebesar Rp349,16 T). Realisasi tersebut antara lain berasal dari:
1) Penerimaan Sumber Daya Alam sebesar Rp226,70 T;
2) Bagian Pemerintah atas Laba BUMN sebesar Rp33,82 T (berdasarkan catatan Dit. PNBP diketahui realisasi sebesar Rp34,02 T);
3) PNBP Lainnya sebesar Rp69,82 T;
4) Pendapatan BLU sebesar Rp19,60 T (belum termasuk pengesahan setelah tanggal 31 Desember 2013).
Beberapa upaya yang dilakukan untuk mencapai target PNBP tersebut dilakukan dengan cara :
1) Mengintensifkan koordinasi dengan instansi terkait dalam hal perhitungan migas dan panas bumi;
2) Mengintensifkan proses penyelesaian piutang migas dan dividen BUMN;
3) Meningkatkan koordinasi internal Kementerian Keuangan terkait monitoring realisasi PNBP;
4) Monitoring realisasi PNBP K/L.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.7 berikut:

Grafik 3.7

Perkembangan Capaian Jumlah Penerimaan PNBP


400.00
Dalam triliun

351.63

350.00
300.00

349.94
341.14

321.21

349.16

286.57

250.00
Target

200.00

Realisasi
150.00
100.00
50.00
0.00
2011

2012

2013

6. Sasaran Strategis 6: Belanja yang optimal (KK-6)


Pelaksanaan belanja negara yang optimal adalah kemampuan satuan kerja pada Kementerian Negara/Lembaga dalam mengelola
belanja dalam pelaksanaan kegiatan yang ada pada dokumen pelaksanaan anggaran sesuai perencanaan anggaran.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 3 (tiga) Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu
sebagaimana tabel 3.25 berikut.

71

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.25

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Belanja yang Optimal

KK 6. Belanja yang optimal


Indikator Kinerja
1.

Target

Realisasi

Kinerja

90%

89,01%

98,90%

2%

0,17%

120%

100%

105,56%

105,56%

Persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA


K/L

2.

Persentase dana blokir

3.

Persentase ketepatan waktu penyelesaian revisi


Anggaran non APBN-P

Uraian mengenai ketiga IKU tersebut tampak berikut ini.


a. Persentase penyerapan belanja negara dalam DIPA K/L (KK-6.1)
Persentase penyerapan belanja negara dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Kementerian/Lembaga (DIPA K/L) adalah jumlah
realisasi penyerapan belanja negara dalam satu periode dibandingkan pagu DIPA K/L dalam satu tahun.
IKU ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan pekerjaan, tingkat penyerapan anggaran dan terwujudnya optimalisasi dana
terhadap capaian kinerja yang telah direncanakan. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di
mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Penyerapan anggaran K/L sampai dengan triwulan IV tahun 2013 (data s.d tanggal 15 Januari 2014) adalah sebesar Rp570.568,98
Miliar atau sebesar 89,01% dari pagu DIPA K/L sebesar Rp641.009,57 Miliar. Capaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
capaian tahun 2013 yang hanya sebesar 88,20%.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan penyerapan anggaran pada tahun 2013 di bawah target yang ditetapkan, beberapa hal
yang menyebabkan hal tersebut adalah:
1) Terdapat blokir anggaran yang tidak dicairkan sebesar Rp4.644,72 miliar;
2) Realisasi yang belum bersifat final dikarenakan masih adanya dispensasi untuk pembayaran Tahun Anggaran 2013 serta pengajuan
SPM TUP dan SPM GUP Nihil yang masih dapat dilakukan s.d tanggal 8 Januari 2014.
Tabel III.26 berikut ini menggambarkan perbandingan penyerapan anggaran antara triwulan IV tahun 2012 dengan triwulan IV tahun
2013.

Tabel 3.26

Perbandingan Penyerapan Anggaran Triwulan IV Tahun 2012 dan Tahun 2013

Uraian

Triwulan IV 2012 (dalam miliar rupiah)

Triwulan IV 2013 (dalam miliar rupiah)

Pagu

Realisasi

Pagu

Realisasi

Belanja Pegawai

109.191,71

108.297,19

99,18

149.346,17

140.339,28

93,97

Belanja Barang

145.665,25

124.488,36

85,46

196.277,30

166.536,63

84,85

Belanja Modal

144.137,74

116.505,13

80,83

199.387,68

171.201,84

85,86

Bantuan Sosial

73.215,86

67.211,76

91,80

95.998,42

92.491,22

96,35

472.210,56

416.502,45

88,20

641.009,57

570.568,98

89,01

Total

72

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik 3.8

Perkembangan Capaian IKU Persentase Penyerapan Belanja Negara


dalam DIPA K/L
91%
90%

90%

90%

90%
90%
89.01%

89%

Target
89%

Realisasi

88.21%

88%
87.76%
88%
87%
87%
2011

2012

2013

b. Persentase dana blokir (KK-6.2)


Dana blokir merupakan dana dalam RKA-K/L dan DIPA yang belum dapat dicairkan karena belum memenuhi persyaratan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengukuran persentase dana blokir ditujukan untuk mengukur akurasi
perencanaan anggaran belanja. Formulasi yang dipergunakan untuk mengukur persentase dana blokir adalah membandingkan jumlah
dana yang diblokir dengan total anggaran belanja negara dalam setahun.
Semakin kecil persentase dana blokir berarti semakin akurat perencanaan anggaran belanja dan kesiapan satuan kerja untuk mengelola
belanja negara secara optimal. Pelaksanaan belanja negara yang optimal menunjukan kemampuan satuan kerja pada Kementerian
Negara/Lembaga dalam mengelola belanja dalam pelaksanaan kegiatan yang ada pada dokumen pelaksanaan anggaran sesuai
perencanaan anggaran. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang
makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan.
Persentase dana blokir menjadi salah satu ukuran kinerja yang cukup penting untuk menunjukan kualitas perencanaan yang disusun
masing-masing satuan kerja pada Kementerian Negara/Lembaga.
Adapun total dana blokir pada awal tahun anggaran 2013 sebesar Rp192,19 T dari total pagu anggaran belanja Kementerian Negara/
Lembaga (K/L) sebesar Rp603,48 T. Selanjutnya, hingga akhir tahun 2013 terdapat total dana K/L yang masih diblokir sebesar Rp1,04
T (atau 0,17% dari pagu anggaran belanja K/L) dengan rincian sebagaimana tabel berikut:

Tabel 3.27

Rincian Dana Blokir Per Unit Eselon II

No. Unit

Jumlah Dana Blokir

Direktorat Anggaran I

Rp 0,95 T

Direktorat Anggaran II

Rp 0,09 T

Direktorat Anggaran III

Rp 0

Kementerian Keuangan senantiasa berkomunikasi secara aktif kepada K/L yang untuk mengingatkan dan memfasilitasi pembukaan
blokir anggaran dalam koridor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, secara khusus juga dilakukan rapat koordinasi
percepatan pembukaan blokir anggaran yang dihadiri oleh seluruh K/L dan bimbingan teknis K/L pada beberapa wilayah regional. Pada
tanggal 25 Juni 2013 bertempat Ballroom Dhanapala dilaksanakan rapat koordinasi yang dihadiri oleh 66 K/L yang masih memiliki
beban blokir pada DIPA-nya. Upaya tersebut cukup efektif untuk mengurangi dana blokir yang ada dalam DIPA satuan kerja K/L.

73

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Adapun hingga akhir tahun masih terdapat sisa anggaran yang masih diblokir disebabkan adanya K/L yang hingga batas akhir penyampaian
usulan pembukaan blokir K/L dimaksud belum menyampaikan TOR/RAB atas kegiatan tertentu.
c. Persentase ketepatan waktu penyelesaian revisi Anggaran non APBN-P (KK-6.3)
Revisi Anggaran adalah perubahan Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat yang telah ditetapkan berdasarkan APBN Tahun
Anggaran 2013 dan disahkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2013. Penyelesaian revisi anggaran Non
APBN-P merupakan salah satu layanan unggulan Kementerian Keuangan dengan target waktu penyelesaian 5 hari kerja (sepanjang
dokumen data dukung diterima lengkap). Konsolidasi data untuk IKU ini adalah rata-rata (average) dari triwulan I hingga triwulan IV.
IKU ini bertujuan untuk Peningkatan pelayanan revisi anggaran sesuai dengan janji layanan yang telah dirumuskan dalam SOP Quick
Win dan PMK Revisi. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin
tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan. Pada tahun 2013 ditargetkan IKU ini mencapai 100% usulan revisi bisa dikerjakan
rata-rata 5 hari kerja. Dalam realisasinya ternyata mencapai nilai 105,56% yang berarti rata-rata revisi bisa dikerjakan kurang dari 5 hari
kerja. Rincian masing-masing triwulan adalah sebagaimana tabel 3.28 berikut.

Tabel 3.28
Realisasi IKU persentase Ketepatan Waktu Penyelesaian Revisi
Anggaran Non APBN-P

Q-1

Q-2

Q-3

Q-4

Rata-Rata

Target

Uraian

100,00%

100,00%

100,00%

100,00%

100,00%

Realisasi

104,29%

106,34%

106,33%

105,26%

105,56%

Adapun jumlah revisi anggaran non APBN-P yang dapat diselesaikan untuk tiap triwulan dapat dilihat pada grafik 3.9 berikut.

Grafik 3.9

Jumlah Penyelesaian Revisi Anggaran Non APBN-P Per Triwulan

400
355

349

350

312

300
250

Lebih Cepat (<5 Hari Kerja)

200

175

Tepat Waktu (5 Hari Kerja)

150
100
50
0

Terlambat (> 5 Hari Kerja)


Lorem

111
74

58

57

Q1

30

23

Q2

Q3

23

Q4

Secara keseluruhan, jumlah revisi anggaran non APBN-P pada tahun 2013 adalah sejumlah 1.569 permohonan, dengan rata-rata
waktu penyelesaian tersaji dalam pada grafik 3.10 berikut.

74

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik 3.10

Jumlah Revisi Anggaran Non APBN-P Selama Tahun 2013

78
Lebih Cepat (<5 Hari Kerja)

418
1073

Tepat Waktu (5 Hari Kerja)


Lorem Ipsum Lorem
Terlambat (> 5 Hari Kerja)
Lorem
Lorem Ipsum Dot Sit Dolor

Kementerian Keuangan dalam rangka memenuhi IKU ini secara intensif melakukan bimbingan teknis ke K/L dan mempercepat proses
usulan revisi yang diajukan K/L sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7. Sasaran Strategis 7: Pengelolaan Kekayaan Negara yang Optimal (KK-7)
Kegiatan pengelolaan kekayaan negara meliputi perencanaan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan
dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pengawasan/pengendalian. Kekayaan negara meliputi
persediaan, aset tetap, aset tak berwujud dan aset lainnya sebagaimana disebutkan dalam PP nomor 24/2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Pengelolaan kekayaan negara terdiri dari pengelolaan barang milik negara, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, dan pengelolaan
kekayaan negara lain-lain. Pengelolaan kekayaan negara dikatakan optimal apabila dapat mewujudkan APBN yang efektif dan efisien.
Upaya untuk mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal dilakukan melalui tertib hukum, tertib fisik, dan tertib administrasi.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU), yang
capaiannya dapat dilihat pada tabel 3.29.

Tabel 3.29

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pengelolaan Kekayaan Negara


yang Optimal

KK 7. Pengelolaan Kekayaan Negara yang Optimal


Indikator Kinerja
1.

Nilai kekayaan negara yang diutilisasi

2.

Persentase bidang tanah BMN yang


direkomendasikan untuk disertifikatkan

Target

Realisasi

Kinerja

Rp105 T

Rp115,72 T

110,21 %

80%

81,95%

(1600/2000 bidang)

(1639/2000 bidang)

102,44%

Uraian atas kedua IKU tersebut tampak berikut ini.


a. Nilai kekayaan negara yang diutilisasi (KK-7.1)
Nilai kekayaan negara yang diutilisasi diperoleh dari nilai kekayaan negara yang ditetapkan utilisasinya dengan rincian sebagai berikut:
1) Utilisasi melalui pemanfaatan kekayaan negara diperoleh dari:
a) Nilai BMN yang disewakan
b) Nilai BMN yang di-KSP-kan
c) Nilai BMN yang di-BGS/BSG-kan
d) Nilai BMN yang dipinjampakaikan
2) Utilisasi melalui penetapan status penggunaan diperoleh dari:

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

75

a) Nilai BMN yang ditetapkan status penggunaannya


b) Nilai BMN yang ditetapkan statusnya karena hibah masuk
c) Nilai aset yang ditetapkan statusnya yang berasal dari aset KKKS, aset eks. Kelolaan PT. PPA, dan aset eks. BPPN
3) Utilisasi melalui tukar menukar diperoleh dari nilai aset baru hasil tukar menukar dan
4) Utilisasi melalui penyertaan modal pemerintah dari nilai aset yang dikonversi sebagai penyertaan modal pemerintah
5) Utilisasi melalui underlying dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
IKU ini bertujuan untuk mengetahui optimalisasi pengelolaan kekayaan negara dalam rangka pengelolaan APBN yang efisien,
efektif, dan optimal melalui: (i) Peningkatan pembiayaan dalam negeri, (ii) Peningkatan penerimaan melalui hasil pengelolaan aset; (iii)
Penghematan Belanja Modal dan Belanja Barang (Pemeliharaan) BMN. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari
target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Realisasi sebesar Rp115,72 triliun yaitu dengan capaian 110,21% diperoleh dari penetapan utilisasi kekayaan negara pada masingmasing unit di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sebagaimana tampak pada tabel III.30 berikut.

Tabel 3.30

Rincian Realisasi Utilisasi Kekayaan Negara

No

Unit

Jumlah

Keterangan

Dit. PKN-SI

Rp76,80 T

Penetapan status penggunaan BMN, hibah, pemanfaatan

Dit. Penilaian

Rp20,07 T

Penyampaian Daftar Nominasi Aset (DNA) untuk penerbitan SBSN

Dit. KND

Rp12,08 T

Sewa aset Pertamina, Penetapan Bantuan Pemerintah Yang Belum


Ditetapkan Statusnya (BPYBDS)

Dit. PN-KNL

Rp0,75 T

Penetapan status dan sewa aset eks. Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS)

Kanwil

Rp6,02 T

Penetapan status penggunaan BMN, hibah, pemanfaatan

Target dapat tercapai karena terdapat penggalian potensi (official assesment) potensi utilisasi dan hasil koordinasi dengan K/L yang
menghasilkan penetapan utilisasi kekayaan negara dengan nilai yang signifikan antara lain:
1) Utilisasi pada Kementerian Pekerjaan Umum melalui KMK-355/MK.06/2013 sebesar Rp31,10 triliun;
2) Utilisasi pada Sekretariat Negara melalui KMK-76/MK.06/2013 sebesar Rp12,27 triliun;
3) Utilisasi pada Kementerian Perhubungan melalui KMK-352/MK.06/2013 sebesar Rp6,52 triliun;
4) Utilisasi pada Kementerian Riset dan Teknologi melalui KMK-119/MK.06/2013 sebesar Rp1,97 triliun;
5) Utilisasi pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui KMK-335/MK.06/2013 sebesar Rp1,57 triliun dan melalui KMK-331
MK.06/2013 sebesar Rp2,86 triliun;
6) Utilisasi pada Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif melalui KMK-16/MK.06/2013 sebesar Rp1,61 triliun dan melalui S-49
MK.06/2013 sebesar Rp1,57 triliun;
7) Utilisasi pada Kepolisian melalui KMK-182/MK.06/2013 sebesar Rp1,79 triliun dan melalui KMK-236/MK.06/2013 sebesar
Rp1,14 triliun;
8) Utilisasi pada Kementerian Keuangan sebesar Rp0,94 triliun yang ditetapkan melalui 35 penetapan utilisasi;
9) Penyampaian BMN sebagai daftar nominasi penerbitan SBSN sebesar Rp20,7 triliun melalui S-280/KN.6/2013 dan
S-421/KN.6/2013
10) Penetapan sewa aset Eks.Pertamina sebesar Rp1,65 triliun melalui S-150/MK.6/2013, S-481/KN/2013, S-379/MK.6/2013, dan
S-481/KN/2013
11) Penetapan PMN BPYBDS pada PT ASDP sebesar Rp0,58 triliun sesuai PP No. 16 th 2013 dan Penetapan PMN BPYBDS pada
sebesar PT Angkasa Pura II sebesar Rp0,30 melalui PP No. 50 tahun 2013.
Strategi untuk mencapai target rasio utilisasi aset terhadap total aset tetap tahun 2014 sebesar 26% akan dilakukan melalui:
1) Official assesment pengelola barang untuk mengidentifikasi aset yang berpotensi untuk ditetapkan utilisasinya;
2) Koordinasi dengan Sekretariat Negara dalam rangka penyelesaian Penetapan Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan

76

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Statusnya (BPYBDS) aset PLN melalui penetapan Peraturan Pemerintah tanpa menunggu persetujuan DPR, karena persetujuan DPR atas
penetapan Penyertaan Modal Negara (PMN) seluruh BPYBDS sudah diberikan dalam UU APBN sejak UU APBN-P 2010.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.11 berikut:

Grafik 3.11

Perkembangan Capaian Nilai Kekayaan Negara Yang Diutilisasi

120
115.72

115

110

Target
Realisasi

105

100

103.31

102.45

105

102.56

102.39

95
2011

2012

2013

b. Persentase bidang tanah BMN yang direkomendasikan untuk disertifikatkan (KK-7.2).


Pelaksanaan Sertifikasi tanah BMN sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bersama BPN dengan Kemenkeu Nomor 186/PMK.06/2009
dan MoU BPN dengan Kemenkeu tanggal 2 Oktober 2012 mengenai sertifikasi BMN untuk periode lima tahun, dengan tugas/
kewajiban masing-masing pihak sebagaimana tampak pada tabel 3.31 berikut.

Tabel 3.31

Tugas/Kewajiban Pelaksanaan Sertifikasi BMN

BPN

K/L

Kemenkeu

1. Melaksanakan pensertifikatan

1. Inventarisasi dan identifikasi BMN belum

1. Menyimpan asli sertifikat;

BMN;
2. Rekapitulasi data BMN berupa

bersertifikat beserta permasalahannya;


2. Melengkapi persyaratan pensertifikatan BMN;

2. Updating data BMN yang akan

3. Menunjukkan letak dan tanda batas tanah;

3. Permintaan data BMN bersertifikat

4. Menyampaikan rekapitulasi data yang akan

4. Pengalokasian anggaran sertifikasi

tanah yang telah disertifikatkan

disertifikatkan;
kepada BPN;
disertifikatkan;
5. Mengajukan permohonan sertifikasi;
6. Menyusun dan mengajukan anggaran
sertifikasi;
7. Mengajukan permohonan penetapan status
penggunaan BMN, paling lambat 1 (satu) bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya sertifikat.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

77

Pelaksanaan sertifikasi BMN berupa tanah terdiri dari tahapan:


1) Permintaan kepada K/L mengenai jumlah BMN yang sudah bersertifikat dan belum bersertifikat
2) Identifikasi BMN berupa tanah yang belum memiliki sertifikat. Identifikasi dilakukan dengan memetakan tanah belum bersertifikat
pada K/L berdasarkan lokasi, luas tanah, batas-batas, nilai BMN dan nama pemilik
3) Penyusunan data BMN belum bersertifkat yang diperkirakan dapat disertifikatkan
4) K/L melakukan pemenuhan kelengkapan dokumen persyaratan sertifikasi untuk BMN yang tidak memiliki pernasalahan
5) Penyampaian rekomendasi BMN berupa tanah berstatus clean and clear (dokumen persyaratan sertifikasi lengkap dan tidak
memiliki permasalahan hukum) kepada BPN untuk disertifikatkan
6) Pelaksanaan sertifikasi oleh BPN c.q. Kantor Pertanahan.
IKU pada tahun 2013 mengukur tahapan nomor 5 yaitu penyampaian bidang tanah BMN yang direkomendasikan dapat disertifikatkan
oleh BPN. Pada tahun 2013 telah dianggarkan biaya sertifikasi tanah BMN on top di BPN untuk 2.000 bidang tanah. Dari jumlah
tersebut ditargetkan sebanyak 1.600 bidang tanah (80%) direkomendasikan dapat sertifikasikan.
IKU ini bertujuan untuk memastikan bahwa aset-aset negara telah disertifikasi melalui kerja sama dengan K/L dan BPN. Pencapaian
IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian
yang diharapkan.
Realisasi sebesar 81,95% diperoleh dari penyampaian usulan bidang tanah sebanyak 1.275 bidang tanah kepada Badan Pertanahan
Nasional untuk program penyertifikatan BMN tahun 2013 yang berasal dari:
1) Provinsi Aceh sebanyak 160 bidang dari target 200 bidang.
2) Provinsi Sumut sebanyak 200 bidang dari target 200 bidang.
3) Provinsi Riau, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau sebanyak 270 bidang dari target 270 bidang.
4) Provinsi Sumsel, Jambi, Babel sebanyak 50 bidang dari target 50 bidang.
5) Provinsi Banten sebanyak 45 bidang dari target 50 bidang.
6) Provinsi DKI Jakarta sebanyak 20 bidang dari target 20 bidang.
7) Provinsi Jabar sebanyak 195 bidang dari target 200 bidang.
8) Provinsi Kalsel, Kalteng sebanyak 56 bidang dari target 100 bidang.
9) Provinsi Bali, Nusa Tenggara sebanyak 216 bidang dari target 220 bidang.
10) Provinsi Sulsel, Sultenggara, Sulbar sebanyak 36 bidang dari target 90 bidang.
11) Provinsi Sulut, Sulteng, Gorontalo, dan Maluku Utara sebanyak 233 bidang dari target 505 bidang.
12) Provinsi Papua, Maluku sebanyak 32 bidang dari target 90 bidang.
Dalam rangka pencapaian target bidang tanah yang direkomendasikan untuk disertifikatkan tahun 2014 sebanyak 2.800 bidang,
diperlukan koordinasi dengan K/L dan Kantor Pertanahan secara intensif.
8. Sasaran Strategis 8: Pembiayaan yang cukup, efisien, dan risiko yang terukur (KK-8)
Pembiayaan APBN harus dapat disediakan dalam jumlah yang cukup, dan tersedia pada saat diperlukan dengan biaya yang efisien
dan tingkat risiko terkendali (yang terukur). Pembiayaan meliputi pembiayaan defisit (deficit financing), dan pembayaran kembali utang
jatuh tempo (debt refinancing). Sumber pembiayaan dari utang meliputi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang terdiri dari Surat
Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) serta pengadaan Pinjaman yang terdiri dari Pinjaman Luar Negeri
(Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek) dan Pinjaman Dalam Negeri.
Penerbitan utang baru dalam rangka debt refinancing, diupayakan dengan terms and conditions yang lebih baik, sehingga didapatkan
biaya dan risiko yang lebih rendah. Penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman dilakukan di pasar keuangan domestik maupun
internasional, dari investor individu dan institusi, kreditor multilateral, kreditor bilateral, dan kreditor komersial. Penerbitan SBN harus
didukung dengan upaya pengembangan pasar domestik SBN yang dalam, likuid, dan aktif melalui diversifikasi instrumen SBN, dan
penggunaan metode penerbitan/penjualan SBN yang transparan dan efektif (private placement, book building, dan lelang), serta

78

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

pembangunan infrastruktur pasar sekunder (primary dealership, pengembangan benchmark yield curve, dan mekanisme pembentukan
harga yang efisien). Sedangkan pengadaan pinjaman harus didukung dengan usulan proyek/program yang dibiayai melalui pinjaman
secara selektif, penerapan readiness criteria yang ketat serta monitoring dan evaluasi pinjaman proyek yang efektif. Pembiayaan APBN
melalui utang harus didukung dengan pengelolaan berbagai risiko (risiko mata uang, risiko suku bunga, dan risiko refinancing) dengan
upaya mitigasi risiko yang efektif, antara lain melalui debt securities buyback, loan prepayment, debt-switch/reprofiling, debt swap,
restrukturisasi pinjaman, dan lindung nilai (hedging).
Untuk itu, demi mendukung tercapainya sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 3 (tiga) Indikator Kinerja
Utama (IKU), yaitu sebagaimana tabel 3.32 berikut.

Tabel 3.32

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pembiayaan yang Cukup,


Efisien, dan Risiko yang Terukur

KK 8. Pembiayaan yang cukup, efisien, dan risiko yang terukur


Indikator Kinerja
1.
2.
3.

Persentase pengadaan utang sesuai


kebutuhan pembiayaan
Persentase pencapaian target effective

cost
Persentase pemenuhan target risiko
portofolio utang

Target Realisasi Kinerja


110%

100,04%

101,89%

100%

96,72%

103,28%

100%

104,91%

110,18%

Uraian atas ketiga IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.


a. Persentase pengadaan utang sesuai kebutuhan pembiayaan (KK-8.1)
Persentase pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup yang menjadi IKU unit pengelola utang dihitung dari realisasi
penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bruto dan pengadaan pinjaman program. Pemenuhan pembiayaan dari pinjaman yang
digunakan sebagai komponen IKU hanya yang berasal dari pinjaman program, tidak termasuk pinjaman proyek karena sifat pinjaman
program yang relatif sama dengan SBN dalam hal pola penarikannya. Pinjaman proyek tidak dimasukkan ke dalam komponen IKU
karena penyerapan pinjaman proyek sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan kegiatan/proyek pada Kementerian/Lembaga sebagai
Executing Agency.
Dalam memenuhi target pembiayaan melalui utang, realisasi penerbitan SBN/pengadaan pinjaman program dilakukan dengan
menggunakan konsep gross agar lebih mencerminkan upaya/kinerja Pemerintah dalam memenuhi total kebutuhan pembiayaan APBN
yang berasal dari utang.
Adapun perhitungan target kebutuhan pembiayaan setiap triwulan dihitung dengan metode sebagai berikut:
1) Triwulan I berdasarkan proyeksi kebutuhan pembiayaan yang disusun dari target APBN/APBN-P dan strategi pembiayaan tahunan;
2) Triwulan II, III, dan IV berdasarkan keputusan rapat Komite ALM pada akhir periode triwulan sebelumnya, yang telah memperhitungkan
kebutuhan pengelolaan kas dan kebutuhan pengelolaan utang, agar operasi pembiayaan (pengadaan/ penerbitan utang) masih
dapat dilakukan secara optimal baik dari aspek target biaya dan risiko.
IKU ini menggunakan polarisasi stabilize, di mana capaian yang diharapkan adalah tepat sesuai target atau masih dalam kisaran
standar deviasi yang ditetapkan.
Pada tahun 2013, persentase pengadaan utang sesuai kebutuhan pembiayaan ditargetkan sebesar 110% atau Rp390,17 triliun
dengan realisasi sebesar 96,17% yaitu Rp341,13 triliun, sehingga terdapat selisih kekurangan sebesar Rp49,04 triliun sehingga nilai
capaiannya 101,89%, dengan rincian sebagai berikut:

79

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

1) Pinjaman Program
Pembiayaan atas defisit APBN diusahakan dalam jumlah yang cukup, tersedia pada saat diperlukan dan dengan biaya yang efisien
serta tingkat risiko yang terkendali. Sumber pembiayaan defisit APBN antara lain melalui pengadaan Pinjaman Program.
Pinjaman Program adalah pinjaman yang pencairannya bersifat tunai yang bersumber dari Development Partners yang dibedakan
dalam bentuk Pinjaman Tunai dengan Policy Matrix dan/atau Pinjaman Tunai tanpa Policy Matrix. Development Partners adalah
lembaga multilateral (misal: World Bank, Asian Development Bank, Islamic Development Bank atau European Union), lembaga
bilateral (misal: JICA, AFD) dan Pemerintah Negara Asing (misal: Jepang, Australia) yang mempunyai kerja sama pembangunan
dengan Pemerintah Indonesia.
Sesuai dengan target APBN 2013, pemenuhan pembiayaan defisit APBN dari Pinjaman Program ditargetkan sebesar Rp18,20
triliun (USD 1.561 juta) dan terealisasi sebesar Rp18,40 triliun (USD1.561juta), dengan rincian sebagai berikut:
a) Development Policy Loan VIII dari JICA Jepang sebesar Rp1,50 triliun;
b) Pinjaman Local Government Development Progam (LGDP) dengan sistem refinancing modality sebesar Rp673,63 miliar;
c) Pinjaman PNPM Perkotaan dan Perdedaan dengan sistem refinancing modality dari World Bank sebesar Rp394,21 miliar;
d) Pinjaman Instansi DPL dari World Bank sebesar Rp4,90 triliun ;
e) Pinjaman 2nd Connectivity DPL dari World Bank sebesar Rp3,67 triliun;
f) Pinjaman Inclusive Growth Through Improved Connectivity Program, Subprogram 2 dari ADB sebesar Rp4,90 triliun; dan
g) Pinjaman Connectivity DPL dari JICA sebesar Rp2,39 triliun.

Tabel 3.33

Rincian Pinjaman Program sesuai APBN 2013

Development Partners
(dalam USD)

Alokasi APBN 2013

World Bank

500,0

1Instansi - DPL

300,0

PNPM - Refinancing

60,0

Local Government Development Program/Dana Alokasi


Khusus - Refinancing

100,0

2nd Connectivity DPL

40,0

ADB

200,0

Inclusive Growth Through Improved Connectivity


Program, Subprogram 2

200,0

TOTAL

700,0

Namun, mengingat besarnya kebutuhan pembiayaan defisit APBN 2013 dan rendahnya penerimaan pajak sebagai salah satu
sumber pendanaan pada APBN 2013, maka target pembiayaan melalui Pinjaman Program pada APBN-P 2013 setelah mendapat
persetujuan dari DPR-RI, direvisi dengan rincian sebagaimana tabel III.34 berikut:

80

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.34

Rincian Pinjaman Program sesuai APBN-P 2013

Development Partners (dalam USD)

Alokasi APBN 2013

World Bank

600,0

Instansi - DPL

300,0

PNPM - Refinancing

60,0

Local Government Development Program/Dana Alokasi Khusus - Refinancing

40,0

2nd Connectivity DPL

200,0

ADB

300,0

Inclusive Growth Through Improved Connectivity Program, Subprogram 2

300,0

JICA

261,3

DPL 8, Cofinancing World Bank

161,3

Connectivity DPL, Cofinancing World Bank

100,0

TOTAL

1.161,3

Dalam kurun waktu semester II tahun 2013, penerbitan Surat Berharga Negara dalam bentuk valuta asing (SBN Valas) diperkirakan
tidak dapat memenuhi target pembiayaan mengingat kondisi pasar keuangan internasional yang tidak mendukung. Sebagai
implikasinya, sebagian target penerbitan SBN Valas dialihkan kepada penambahan Pinjaman Program. Hal ini sesuai dengan
Pasal 21 Ayat (5) Undang Undang Nomor 19 tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengamanatkan
bahwa dalam hal terdapat instrumen pembiayaan utang yang lebih menguntungkan, dan/ atau ketidaktersediaan salah satu
instrumen pembiayaan utang tunai, Pemerintah dapat melakukan perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang tunai tanpa
menyebabkan perubahan pada total pembiayaan utang tunai (selanjutnya disebut fleksibilitas pembiayaan).
Total jumlah dan nilai pemenuhan Pinjaman Program untuk tahun 2013 termasuk untuk pemenuhan fleksibilitas pembiayaan adalah
sebagaimana tabel 3.35 berikut:

Tabel 3.35

Rincian Pinjaman Program Tahun 2013 beserta Realisasi

Development Partners

APBN-P
2013

Penyesuaian Target sebagai


bagian dari fleksibilitas
Pembiayaan

Realisasi

World Bank

600,0

800,0

800,2

Instansi - DPL

300,0

400,0

400,0

PNPM - Refinancing

60,0

34,0

34,1

Local Government Development


Program/Dana Alokasi Khusus -

40,0

66,0

66,1

2nd Connectivity DPL

200,0

300,0

300,0

ADB

300,0

400,0

400,0

Inclusive Growth Through Improved


Connectivity Program, Subprogram 2

300,0

400,0

400,0

JICA

261,3

361,3

361,3

DPL 8, Cofinancing World Bank

161,3

161,3

161,3

Connectivity DPL, Cofinancing World


Bank

100,0

200,0

200,0

100,0

100,0

1.161,3

1.661,3

1.561,3

Refinancing

AFD Perancis

Connectivity DPL (Co-Financing


dengan World Bank)
TOTAL

81

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Khusus untuk Pinjaman Program Connectivity DPL yang bersumber dari AFD Perancis, penarikan akan dilaksanakan pada awal
Januari 2014 mempertimbangkan tidak dapat dipenuhinya penerbitan SBN Valas pada tahun 2014 akibat adanya isu tapering off
di Amerika Serikat sehingga memerlukan penambahan Pinjaman Program yang akan digunakan sebagai buffer pembiayaan APBN.
2) Surat Berharga Negara (SBN)
Realisasi penerbitan SBN pada tahun 2013 sebesar Rp322,73 triliun dari target sebesar Rp336,50 triliun. Terdapat kekurangan
pembiayaan dari SBN sebesar Rp13,78 triliun dikarenakan adanya penerbitan SUN Valuta Asing di pasar domestik di bawah target
yang direncanakan disebabkan karena kondisi pasar yang masih cenderung volatile dan likuiditas USD di pasar domestik yang
masih terbatas.
Target penerbitan gross SUN tidak terpenuhi dikarenakan target buy back yang transaksinya bersifat opsional dan bertujuan untuk
stabilisasi pasar dan pengelolaan portofolio, hanya terealisasi Rp1,551 triliun dari target sebesar Rp3 triliun. Di samping itu, target
penerbitan gross SUN yang tidak terpenuhi juga dikarenakan adanya pengalihan (shifting) target penerbitan SUN ke penarikan
pinjaman, karena berdasarkan hasil rapat pembahasan dalam rangka penetapan hasil lelang SBSN dan rencana lelang SUN pada
tanggal 26 November 2013, porsi pembiayaan melalui utang yang bersumber dari penerbitan SBSN sudah dinyatakan mencukupi.
Dalam hal ini, apabila penerbitan SBN, baik SUN maupun SBSN, dipaksakan untuk ditambah agar sesuai dengan target awal, maka
justru menimbulkan potensi pembiayaan utang yang melebihi target (over financing) dan dapat berdampak pada peningkatan biaya
utang (cost of fund). Hal ini dikarenakan, pada akhir tahun 2013, terdapat proyeksi penarikan Pinjaman Program, di mana dalam
mata uang Rupiah setara dengan Rp18,23 triliun. Nilai nominal Pinjaman Program ini dalam original currencies tidak mengalami
perubahan, namun menjadi lebih tinggi dalam mata uang Rupiah, akibat adanya pelemahan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap
USD.
a) Surat Utang Negara (SUN)
Realisasi penerbitan SUN Tahun 2013 adalah sebesar Rp269,55 triliun atau sebesar 95,28% dari target yang ditetapkan. Target
penerbitan gross SUN tidak dipenuhi mengingat target buy back yang tidak terpenuhi dan terdapat pengalihan target penerbitan
SUN ke penarikan pinjaman program. Target buy back tidak terpenuhi seluruhnya mengingat buy back merupakan transaksi
opsional yang bertujuan untuk menstabilkan pasar dan mengelola portofolio. Sepanjang tahun 2013 telah dilakukan buy back
sebesar Rp1.551 triliun dari target sebesar Rp3 triliun.
Dari sisi pemenuhan pembiayaan melalui SUN Tahun 2013 dapat tercapai sesuai target penerbitan sampai akhir tahun 2013. Secara
komposisi, penerbitan SUN melalui lelang dalam mata uang rupiah sebesar Rp207,85 triliun, sedangkan dalam mata uang asing
sebesar Rp41,49 triliun. Pada tahun 2013, SUN ritel diterbitkan satu kali yaitu seri ORI010 sebesar Rp20,205 triliun.

Tabel 3.36

Hasil Penerbitan SUN Tahun 2013T


(Dalam Jutaan)

Total Penawaran

Total Penawaran
Memenuhi Benchmark

Total Penawaran
Diterima

FR

300.110.800

194.985.000

165.450.000

ORI

20.367.945

20.205.255

SPN

134.930.400

75.364.000

42.400.000

ON Valas

144.059.244

46.475.500

41.494.700

Grand Total

599.468.389

316.824.500

269.549.955

Jenis

82

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

(1) Penerbitan SUN melalui lelang


Penerbitan SUN melalui lelang diawali dengan pelaksanaan rapat rencana lelang yang dilakukan beberapa hari sebelum
pelaksanaan lelang dan dihadiri oleh unit-unit terkait, antara lain Bank Indonesia selaku agen lelang dan otoritas moneter serta
Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Lelang SUN dilakukan secara elektronik dengan menggunakan sistem lelang BI-SSSS (Bank Indonesia- Scripless Securities

Settlement System) dengan peserta PDs, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan. Penawaran berupa seri, yield/
price, dan volume, hanya dapat dimasukkan pada waktu lelang. Selanjutnya, Pemerintah menetapkan penawaran yang
dimenangkan, mulai dari yield/price yang terbaik untuk Pemerintah. Tabel berikut menunjukkan hasil penerbitan SUN melalui
lelang tahun 2013.

Tabel 3.37

Hasil Penerbitan SUN Melalui Lelang Tahun 2013

Frekuensi
Lelang

Nominal
(triliun rupiah)

Obligasi Negara (ON)

23

165.450

Surat Perbendaharaan Negara (SPN)

23

42.400

Jenis Instrumen

(2) Penerbitan Surat Utang Negara Berdenominasi valuta asing


Sejak dilakukannya penerbitan, SBN (termasuk SUN) menjadi sumber utama pemenuhan target pembiayaan dalam APBN.
Pemerintah berupaya semaksimal mungkin untuk menggali potensi sumber pembiayaan dalam negeri. Namun, dengan
mempertimbangkan beberapa hal antara lain keterbatasan daya serap pasar SUN dalam negeri, pembentukan benchmark
SUN dalam denominasi USD di pasar internasional maupun JPY di pasar Jepang, kebutuhan untuk meningkatkan cadangan
devisa, pembayaran kewajiban dalam valuta asing, dan antisipasi terhadap kondisi pasar keuangan yang penuh ketidakpastian,
maka sejak tahun 2004 Pemerintah menerbitkan SUN dalam valuta asing. Pada tahun 2013 Pemerintah hanya menerbitkan
SUN dalam valuta asing berdenominasi US Dollar (USD) saja, dengan rincian sebagaimana tabel 3.38 berikut:

Tabel 3.38

Penerbitan Surat Utang Negara Berdenominasi valuta asing

Seri Surat Utang Negara


Penerbitan I

Keterangan

Penerbitan II

RI0423

RI0443

RI1023

(New Issuance)

(New Issuance)

(New Issuance)

USD1.500.000.000

USD1.500.000.000

USD1.000.000.000

Tingkat kupon

3,375%

4,625%

5,375%

Tingkat yield yang dimenangkan

3,500%

4,750%

5,450%

Jatuh tempo

15 April 2023

15 April 2043

17 Oktober 2023

Tanggal Setelmen

15 April 2013

15 April 2013

17 Juli 2013

Jumlah nominal yang


dimenangkan

Listing

Singapore Stock Exchange

Trustee, Registrar,
Transfer Agent,

Bank of New York Mellon

Paying Agent

(3) Penerbitan Obligasi Negara Ritel ORI010


Dalam rangka perluasan basis investor serta untuk mendorong terciptanya investment-oriented society, sejak tahun 2006,
Pemerintah menerbitkan ORI. ORI adalah obligasi negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara

83

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Indonesia melalui agen penjual. Pada tahun 2013, Pemerintah kembali menerbitkan ORI dengan seri ORI010. Pada penerbitan
ORI010 ini diberlakukan Minimum Holding Period (MHP). Berdasarkan ketentuan ini, pemilik ORI tidak dapat memindahbukukan
kepemilikan ORI-nya selama 1
periode kupon pertama. Tujuan penerapan MHP ini adalah:
(a) Mengurangi laju perpindahan kepemilikan ORI dari investor individu ke investor institusi/lainnya;
(b) Memperluas basis investor ritel; dan
(c) Memperluas kesempatan investor ritel untuk memperoleh penjatahan ORI di pasar perdana.
ORI010 diterbitkan dengan tenor 3 tahun dan tingkat kupon tetap yang dibayarkan secara bulanan sebesar 8,5 per tahun.
Berdasarkan hasil penjatahan ORI010 ditetapkan penjualan ORI010 sebesar Rp20,205 triliun.

Peluncuran ORI
010 dilakukan
Kemenkeu
bersamaan
dengan
penanaman
100 ribu batang
mangrove di
Pantai Utara dan
Selatan Jawa
(20/9)

b) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara


Realisasi penebitan SBSN sampai dengan akhir Desember 2013 sebesar Rp53,175 triliun atau 99,21% dari total target tahun
2013 yaitu Rp53,6 triliun, dengan rincian sebagaimana terdapat pada tabel 3.39 berikut ini.

Tabel 3.39

Realisasi Penerbitan SBSN Tahun 2013

Jumlah
(Rp miliar)

Porsi (%)

Lelang

9.316

18%

SPN-S

Lelang

11.653

22%

SR

Bookbuilding

14.968

28%

Bookbuilding Intl

17.238

32%

53.175

100%

Instrumen

Metode Penerbitan

PBS

SNI*

Total

*Penerbitan SBSN dalam valuta asing di pasar perdana internasional sebesar USD1.5 miliar dengan kurs setelah closing date Rp11.492,00

84

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Total realisasi penerbitan SBSN tahun 2013 tersebut lebih rendah dari target yang telah ditetapkan karena berdasarkan hasil rapat
penetapan hasil lelang SBSN dan rencana lelang SUN yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Utang pada tanggal 26
November 2013, porsi pembiayaan melalui utang yang bersumber dari penerbitan SBSN dinyatakan telah mencukupi. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya proyeksi penarikan Pinjaman Program pada akhir tahun dengan perkiraan nilai kurs Rp12.000/USD, yaitu
sebesar Rp18,233 triliun. Sedangkan total kekurangan penerbitan SBN tahun 2013 hanya sebesar Rp4,5 triliun, sehingga apabila
penerbitan SBN, baik SBSN maupun SUN ditambah, maka terdapat kemungkinan terjadinya potensi pembiayaan utang yang
melebihi target.
Faktor-faktor yang turut berkontribusi dalam pencapaian target penerbitan SBSN tahun 2013 tersebut, antara lain:
(1) Realisasi penerbitan Sukuk Ritel seri SR-005 yang mencapai Rp14,97 triliun melebihi dari target yang ditetapkan sebesar Rp13
triliun;
(2) Tingginya rata-rata incoming bid yang berada di atas target indikatif yang ditetapkan dalam setiap kali pelaksanaan lelang SBSN;
(3) Meningkatnya permintaan terhadap instrumen SPN-S secara signifikan;
(4) Adanya penawaran seri-seri PBS dengan tenor baru yang menarik minat investor;
(5) Respon yang baik dari investor internasional terhadap penerbitan Global Sukuk melalui Islamic GMTN Program, yang ditandai
dengan total pemesanan yang disampaikan 300 investor melalui bookrunners mencapai USD5,7 miliar atau mengalami
oversubscribed sebesar 3,8 kali dari target yang ditetapkan sebesar USD1,5 miliar.
Perkembangan penerbitan SBSN selama tiga tahun terakhir adalah sebagaimana terlihat pada tabel 3.40 berikut ini.

Tabel 3.40

Perkembangan Penerbitan SBSN Tahun 2011-2013

2011

Instrumen

Metode
Penerbitan

Frek.
8

2012

Rp (miliar)

Frek.

4.610,00

14

19

Rp (miliar)

2013
%

Frek.
20

Rp (miliar)
-

IFR

Lelang

400,00

0,7

PBS

Lelang

16.714,00

29,3

9.316,00

18

SPN-S

Lelang

1.320,00

1.380,00

11.653,00

22

SR

Bookbuilding

7.341,41

22

13.613,00

24

14.968,00

38

SNI

Bookbuilding
(intl)

9.035,00

27

9.638,00

17

17.238,00

32

SDHI

Private
Placement

11.000,00

33

15.342,00

27

33.306,41

100

57.088,81

100

53.175,00

Total

100

Terkait dengan perkembangan penerbitan SBSN tersebut dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
(1) Penerbitan SBSN dalam mata uang rupiah.
Penerbitan SBSN dalam mata uang rupiah sebesar Rp35,937 triliun atau 68% dari total penerbitan SBSN, yang terdiri dari:
(a) Penerbitan SBSN melalui metode lelang di pasar perdana dalam negeri.
Selama tahun 2013, lelang SBSN dilaksanakan secara berkesinambungan serta tepat waktu sesuai dengan calendar of issuance
yang dipublikasikan. Frekuensi lelang SBSN pada tahun 2013 bertambah menjadi 20 kali dari 19 kali pada tahun 2012 dengan
menawarkan seri-seri SPN-S dan PBS dalam berbagai variasi tenor dan dengan beberapa tenor baru. Pada tahun 2013 lelang
SBSN tidak menawarkan IFR seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Pelaksanaan lelang relatif tidak mengalami kendala karena underlying asset untuk penerbitan SBSN cukup tersedia. Demikian
juga dengan kesiapan infrastruktur lelang, peraturan, kesesuaian syariah serta sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Realisasi penerbitan SBSN secara lelang sebesar Rp20,969 triliun atau 40% dari total penerbitan SBSN. Realisasi tersebut

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

85

merupakan yang terbesar, baik dari jumlah nominal maupun porsinya, apabila dibandingkan dengan pelaksanaan lelang SBSN
pada periode-periode sebelumnya.
(b) Penerbitan SBSN/Sukuk Negara Ritel melalui metode bookbuilding di pasar perdana dalam negeri.
Penerbitan Sukuk Negara Ritel pada tahun 2013 merupakan penerbitan yang kelima kali dilaksanakan pada tanggal 27 Februari
2013. Penerbitan Sukuk Ritel seri SR-005 bertenor 3 tahun menggunakan akad ijarah asset to be leased dengan underlying
asset berupa proyek dan BMN, serta adanya batasan jumlah maksimal pembelian Rp5 miliar per investor.
Realisasi penerbitan Sukuk Negara Ritel seri SR-005 tersebut adalah sebesar Rp14,968 triliun atau 28% dari total penerbitan
SBSN, yang merupakan nilai penerbitan Sukuk Negara Ritel terbesar sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2009, baik
dari segi jumlah nominal maupun porsinya. Selain itu juga terdapat peningkatan, baik dari jumlah institusi yang berminat menjadi
Agen Penjual maupun jumlah investor, di mana total Agen Penjual sebanyak 25, yang terdiri dari 16 bank 9 perusahaan efek.
Sedangkan jumlah investor mencapai 17.783. Jumlah Agen Penjual dan investor tersebut merupakan yang terbanyak dalam
penerbitan Sukuk Ritel selama ini.
Berdasarkan data historis, jumlah nominal, porsi dan jumlah pemesanan dalam penerbitan Sukuk Negara Ritel menunjukkan tren
yang semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis intrumen ini makin diminati.
(c) Penerbitan SBSN dalam valuta asing di pasar internasional
Penerbitan Sukuk Global sebesar USD1 miliar pada tahun 2012 menggunakan format Islamic GMTN Program dan Reg S/144
A. Penerbitan dilaksanakan setelah Joint Lead Managers (JLM) mengumpulkan pemesanan dari para investor serta Pemerintah
melakukan price whispering, price tightening dan kemudian dilakukan pricing pada tanggal 10 September 2013.
Penerbitan Islamic GMTN Program tahun 2013 memperoleh rating BBB- (Fitch), BB+ (Standard & Poors) dan Baa3 (Moodys),
serta mendapat respon yang baik dari investor internasional ditandai dengan total pemesanan yang disampaikan investor
melalui bookrunners mencapai USD5,7 miliar dari 300 investor atau mengalami oversubscribed sebesar 3,8 kali dari target yang
ditetapkan sebesar USD1,5 miliar.
Berdasarkan distribusi investor menurut demografinya, jumlah investor terbesar berasal dari Asia (kecuali Indonesia) yang
mencapai 25% dari total investor, selanjutnya Amerika Serikat yang mencapai 24% dari total investor. Jumlah investor yang
berasal dari Middle East and Islamic mencapai 20% dari total investor dan disusul investor Eropa sebesar 16%. Sedangkan
investor yang berasal dari Indonesia cukup besar, yaitu mencapai 15%, hal ini menunjukkan antusiasme investor yang berasal
dari Indonesia cukup tinggi. Selanjutnya, dilihat dari sebaran/jumlah investor menurut tipe investor, investor terbanyak berasal
dari Reksadana (Mutual Funds) yang mencapai 51% dari total investor, disusul Banks yang mencapai 34% dari total investor,
dan Central Banks and Sovereign Wealth Funds sebesar 7%. Tipe investor terkecil berasal dari perusahaan asuransi dan Private
Banks masing-masing sebesar 4% dari total investor.
Realisasi penerbitan SBSN dalam valuta asing dengan seri SNI19 sebesar USD1,5 miliar atau 32% dari total penerbitan SBSN.
Jumlah tersebut ekivalen Rp17,238 triliun (kurs saat closing Rp11.492). Sedangkan pelaksanaan setelmen dilakukan pada
tanggal 17 September 2013. Realisasi tersebut merupakan yang terbesar, baik dari jumlah nominal maupun porsinya, apabila
dibandingkan dengan penerbitan SBSN dalam valuta asing pada periode-periode sebelumnya.

86

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Perkembangan kinerja lelang SBSN selama 3 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 3.41 berikut ini.

Tabel 3.41

Kinerja Lelang SBSN Tahun 2011-2013

No.

Deskripsi

2011

2012

2013

1.

Frekuensi lelang

8 kali

19 kali

20 kali

2.

Jumlah penawaran yang masuk

Rp33,70 T

Rp56,08 T

Rp71,21 T

3.

Jumlah penawaran yang memenuhi benchmark

Rp14,45 T

Rp26,35 T

Rp28,49 T

4.

Jumlah penawaran yang dimenangkan

Rp5,93 T

Rp18,49 T

Rp20,96 T

5.

Rata-rata penawaran yang masuk

Rp4,21 T

Rp2,95 T

Rp3, 56 T

6.

Rata-rata penawaran yang memenuhi benchmark

Rp1,80 T

Rp1,38 T

Rp1,42 T

7.

Rata-rata penawaran yang dimenangkan

Rp0,74 T

Rp0,97 T

Rp1,04 T

Penerbitan SBSN seri PBS dan SPN-S dengan metode lelang di pasar perdana dalam negeri dilakukan secara reguler selama tahun
2013 mengalami peningkatan dari tahun 2012, yaitu menjadi sebanyak 20 kali lelang dengan realisasi jumlah penerbitan sebesar
Rp20,969 triliun atau 40% dari total penerbitan SBSN. Demikian juga dari jumlah penawaran (bid) pembelian yang disampaikan
oleh investor lebih besar, yaitu mencapai Rp71,21 triliun atau rata-rata mencapai Rp3,56 triliun. Hal ini mencerminkan permintaan
pasar atas SBSN yang semakin baik dalam setiap penerbitan SBSN, namun Pemerintah tetap selalu memperhatikan cost and risk
of borrowing, sehingga tidak selalu memenangkan seluruh bid yang masuk.
Tantangan yang dihadapi dalam rangka pemenuhan target pembiayaan melalui utang yang cukup dengan menggunakan instrumen
SBSN, antara lain:
i) Rendahnya jumlah penawaran yang masuk dan tingginya imbal hasil yang diminta pada lelang perdana SBSN, disebabkan antara
lain:
t1FMBLVQBTBSNFNBOEBOHCBIXBUJOHLBUZJFME4#/DFOEFSVOHSFOEBITFIJOHHBNFOHBLJCBULBOSFOEBIOZBWPMVNFQFSEBHBOHBO
pelaku pasar.
t4QSFBEZJFME$PSQPSBUF#POETEFOHBOZJFME4#/ZBOHDVLVQCFTBSNFOBSJLNJOBUJOWFTUPSVOUVLNFNCFMJ$PSQPSBUF#POET
termasuk investor asing.
t,POEJTJQBTBSTBIBNZBOHCVMMJTIQBEBBXBMUBIVOTFIJOHHBNFNCFSJLBOJNCBMIBTJMZBOHMFCJILPNQFUJUJGEJCBOEJOHQBTBS
obligasi.
ii) Kondisi pasar global mengalami gejolak disebabkan ketidakpastian ketika the Fed mengumumkan rencana akan memperkecil
skala quantitative easing III (tappering) stimulus keuangan Amerika Serikat, sehingga asing banyak melakukan aksi jual terhadap
SBN yang dimiliki dan menahan diri untuk tidak melakukan pembelian di pasar perdana.
iii)Kondisi pasar domestik yang secara umum kurang kondusif, yang ditandai realisasi tingkat inflasi yang melampaui dari target
inflasiyang telah ditetapkan, melemahnya mata uang rupiah, serta kebijakan BI menaikkan rate FASBI dan BI rate mendorong
kenaikan imbal hasil yang diminta investor.
iv)Kapasitas daya serap dan partisipasi investor dan/atau institusi syariah, baik di pasar perdana maupun sekunder, yang masih
belum besar;
v) Pasar sekunder SBSN yang belum likuid.
Upaya yang dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:
i) Mengingat pasar SBSN domestik baru mulai terbentuk dan masih dalam tahap pengembangan, maka secara konsisten akan
terus melakukan berbagai aktivitas meliputi, penyempurnaan mekanisme penerbitan SBSN, penguatan infrastruktur dalam rangka
peningkatan kinerja pasar sekunder SBSN, dan transparansi harga SBSN, antara lain:
t,BKJBOQSPHSBN1SJNBSZ%FBMFST 1%T
EBO#FODINBSL4FSJFT4#4/
t1FOZJBQBOUSBOTBLTJCVZCBDLEBOTXJUDIJOH4#4/
t.FOJOHLBULBOTJ[FQFOFSCJUBO4#4/ZBOHUSBEBCMF

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

87

ii) Menerapkan strategi baru dalam pelaksanaan lelang SBSN, diantaranya dengan menawarkan seri baru yang tidak ditawarkan
pada lelang SUN, yaitu 7 tahun dan 30 tahun. Tenor 7 tahun selain ditujukan untuk meningkatkan stok SBSN jangka menengah
yang diharapkan dapat mendorong perdagangan SBSN di pasar sekunder, juga untuk dipersiapkan sebagai benchmarck series
SBSN tenor 5 tahun;
iii) Menjamin ketersediaan underlying asset sesuai dengan jumlah kebutuhan penerbitan, dengan terus melakukan kajian diversifikasi
Aset SBSN dan mengembangkan instrumen SBSN baru menggunakan underlying selain Barang Milik Negara;
iv) Meningkatkan efektifitas edukasi/sosialisasi/diseminasi SBSN kepada masyarakat, investor, dan pelaku pasar;
v) Melakukan riset/survey untuk mengetahui preferensi investor SBSN (termasuk terhadap jenis instrumen baru), serta mengukur
potensi demand SBSN.
Dengan demikian maka target pencapaian kinerja pengadaan utang sesuai kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan SBSN, pada
tahun 2013 dapat tercapai dengan baik.
b. Persentase pencapaian target effective cost (KK-8.2)
Effective cost merefleksikan biaya riil yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah dalam menerbitkan/mengadakan utang. IKU ini bertujuan
agar Pemerintah dalam menerbitkan/mengadakan utang dapat dengan biaya utang yang wajar sesuai target yang ditetapkan.
persentase pencapaian target effective cost adalah pengukuran tingkat biaya utang dalam berbagai mata uang dan jenis instrumen
utang yang diterbitkan dalam satu tahun terhadap target. Pencapaian target effective cost berarti kombinasi tingkat biaya utang yang
diterbitkan dalam satu tahun sama dengan atau di bawah target effective cost yang ditetapkan.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang makin rendah dari target
adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, pencapaian target effective cost ditargetkan sebesar 100%, dengan realisasi sebesar 96,72%. Adapun rincian
pencapaian effective cost berdasarkan mata uang sampai dengan kuartal lV tahun 2013 adalah sebagai berikut:
1) Realisasi effective cost IDR sebesar 6,939% dari target sebesar 6,93%.
2) Realisasi effective cost USD sebesar 4,904% dari target sebesar 4,93%.
3) Realisasi effective cost EUR sebesar 4,367% dari target sebesar 5,12%.
Keberhasilan penurunan biaya utang (target effective cost) antara lain disebabkan oleh:
1) Perumusan rencana portofolio utang yang efektif untuk membiayai kebutuhan pembiayaan tahunan;
2) Penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman yang dilakukan secara selektif.
3) Fleksibilitas pembiayaan atas instrumen utang untuk mencapai biaya optimal.
Tantangan yang dihadapi dalam rangka mencapai target indikator persentase pencapaian target effective cost adalah:
1) Kondisi pasar keuangan yang fluktuatif berpotensi dapat meningkatkan yield SBN, sehingga dapat mengakibatkan biaya utang yang
ditanggung pemerintah meningkat;
2) Tingginya biaya utang melalui pinjaman komersial yang disebabkan adanya tambahan biaya-biaya terkait penarikan utang.
Upaya yang dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:
1) Memperhatikan kondisi pasar keuangan untuk menentukan waktu penerbitan SBN yang optimal sehingga dapat menurunkan yield
penerbitan SBN;
2) Meningkatkan usaha negosiasi terms and conditions pinjaman untuk menekan/mengurangi biaya-biaya terkait penarikan pinjaman
komersial.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.12 berikut. Berdasarkan grafik
tersebut, tampak walau sempat menurun pada tahun 2012, capaian persentase pencapaian target effective cost meningkat kembali
di tahun 2013, lebih tinggi daripada capaian tahun 2011.

88

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik 3.12
Perkembangan Capaian Persentase Pencapaian Target Effective Cost

120
100

100

83.5
80

100

100
96.72

80.58

60

Target
Realisasi

40
20
0
2011

2012

2013

c. Persentase pemenuhan target risiko portofolio utang (KK-8.3)


persentase pemenuhan target risiko portofolio utang merefleksikan komposisi instrumen utang yang memiliki tingkat risiko yang
terkendali. Tujuan dari IKU ini adalah dalam rangka mewujudkan struktur portofolio dan risiko utang yang optimal sesuai target yang
ditetapkan dalam rangka mendukung kesinambungan fiskal.
Adapun target risiko portofolio adalah sebagaimana tercantum pada Kepdirjen Pengelolaan Utang tentang Strategi Pembiayaan
Tahunan Melalui Utang dan KMK tentang Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan
pengelolaan utang Pemerintah.
Tingkat risiko utang yang terkendali tercermin pada struktur portofolio utang yang optimal, yang terdiri dari komposisi utang dalam
valas/ currency risk (bobot 40%), utang dalam tingkat bunga mengambang (floating)/interest risk (bobot 20%), dan utang dalam jangka
pendek (Short Term Debt)/refinancing risk (bobot 40%). Pembobotan untuk risiko nilai tukar dan risiko refinancing yang lebih besar
daripada risiko tingkat bunga, dikarenakan risiko nilai tukar dan risiko refinancing memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap
perubahan biaya dan risiko utang secara agregat dibanding risiko tingkat bunga.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang diarahkan kepada ketepatan atas target (stabilize), di mana capaian yang makin
mendekati target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, persentase pemenuhan target risiko portofolio utang direncanakan sebesar 100%, dengan realisasi sebesar
104,91%.
Keberhasilan persentase pemenuhan target risiko portofolio utang antara lain disebabkan oleh:
1) Penerbitan/pengadaan utang baru sesuai strategi yang ditetapkan;
2) Pengurangan utang melalui pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buy back); dan
3) Restrukturisasi utang melalui skema debt switching.
Dengan perincian:
1) Realisasi utang valas sebesar 46,70% dari target sebesar 41,62%;

89

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

2) Realisasi utang Variable Rate (VR) sebesar 16,01% dari target sebesar 15,08%; dan
3) Realisasi Short Term Debt (STD) sebesar 6,67% dari target sebesar 6,88%.
Tantangan yang dihadapi dalam rangka pencapaian target indikator persentase pemenuhan target risiko portofolio utang antara lain:
1) Besarnya jumlah utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek yang disebabkan adanya tambahan penerbitan SPN 3 bulan yang
digunakan sebagai acuan tingkat bunga obligasi variable rate yang berpotensi meningkatkan risiko refinancing.
2) Melemahnya kurs rupiah terhadap USD pada akhir tahun antara lain disebabkan krisis keuangan di Eropa dan neraca perdagangan
defisit.
Upaya yang dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:
1) Melakukan debt switching dengan menukar utang yang jatuh tempo dalam 5 tahun dengan utang yang memiliki jangka waktu
pelunasan lebih panjang.
2) Menjaga penerbitan SBN valas dalam jumlah yang terkendali.
9. Sasaran Strategis 9: Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan transparan (KK-9)
Hubungan Keuangan pusat dan daerah mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara umum, yang ingin dituju adalah meminimumkan vertical fiscal imbalance dan
horizontal fiscal imbalance sehingga daerah mempunyai sumber daya fiskal yang cukup signifikan untuk menunjang tugas otonominya
tanpa membuat pusat kekurangan sumber daya fiskal untuk menjalankan fungsinya sebagai pemerintah negara kesatuan.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU), sebagaimana
ditabulasikan dalam tabel 3.42 berikut.

Tabel 3.42

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Hubungan Keuangan Pusat dan


Daerah yang Profesional dan Transparan

KK 9. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang profesional dan transparan


Indikator Kinerja
1.

Persentase ketepatan

Target

Realisasi

Kinerja

100%

99,26%

99,26%

93%

98%

105,38%

jumlah penyaluran
jumlah transfer ke
daerah
2.

Persentase Perda PDRD


yang sesuai dengan
peraturan perundangundangan

Uraian mengenai kedua IKU tersebut tampak berikut ini.


a. Persentase ketepatan jumlah penyaluran jumlah dana transfer ke daerah (KK-9.1)
Transfer ke Daerah merupakan dana desentralisasi yang bersumber dari APBN dan dialokasikan kepada daerah dalam bentuk Dana
Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil (Dana Perimbangan), Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian, serta
Hibah ke Daerah. Pelaksanaan belanja Transfer ke Daerah terkait dengan penyaluran dana-dana tersebut dari rekening Bendahara
Umum Negara (BUN) ke rekening Bendahara Umum Daerah yang dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
mengaturnya. Tanggung jawab Kementerian Keuangan dalam hal ini hanya terbatas pada penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM)
Transfer ke Daerah.
IKU ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengalokasian dan penyaluran dana transfer ke daerah. Pencapaian IKU ini menuju kepada
capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.

90

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Realisasi IKU persentase ketepatan jumlah penyaluran jumlah transfer ke daerah pada tahun 2013 adalah 99,26% terhadap pagu
alokasi dalam Peraturan Presiden untuk alokasi DAU dan Peraturan Menteri Keuangan untuk DBH, DAK, Dana Otsus, dan Dana
Penyesuaian, sehingga capaiannya adalah 99,26% dari target 100%. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.43 berikut ini:

Tabel 3.43

Realisasi Transfer ke Daerah s.d. 31 Desember 2013

No
1
1

Alokasi
Perpres/PMK

Jenis Anggaran
2

Realisasi Penyaluran s.d.


31 Desember 2013
4

% thd Alokasi
5

Dana Bagi Hasil (DBH)

90.284.573.789.187

88.462.161.839.452

97,98%

a. DBH Pajak

46.581.255.987.004

46.005.602.325.973

98,76%

b. DBH SDA

43.703.317.802.183

42.456.559.513.479

97,15%

Dana Alokasi Umum (DAU)

311.139.289.165.000

311.139.289.165.000

100,00%

Dana Alokasi Khusus (DAK)

31.697.143.000.000

30.752.380.876.800

97,02%

Dana Otonomi Khusus

13.445.571.566.000

13.445.571.566.000

100,00%

Dana Keistimewaan DIY

231.392.653.000

115.696.326.500

50%

Dana Penyesuaian

70.364.139.179.000

69.437.076.792.654

98,68%

517.162.109.352.187

513.352.176.566.406

99,26%

Jumlah

Pelaksanaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah selama TA 2013 dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/
PMK.07/2012 tanggal 9 Januari 2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Secara singkat
mekanisme penyaluran dana diuraikan dalam tabel 3.44 berikut:

Tabel 3.44

Mekanisme Pola Penyaluran Anggaran Transfer ke Daerah

Dana Bagi Hasil Pajak


A. DBH PBB
a. DBH PBB Bagian Pusat (10%)

Tahap I : 25%; Tahap II : 50%; Tahap III : selisih alokasi definitif dengan
yang telah disalurkan

b. DBH PBB Bagian Daerah (81%)

Setiap minggu yaitu sebesar 81% (64,8 % untuk Kabupaten/Kota;


16,2% untuk Provinsi) dari realisasi penerimaan secara mingguan

c. DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah

Setiap minggu, yaitu sebesar 9 % dari realisasi penerimaan secara


mingguan

d. DBH PBB & Biaya Pemungutan DBH PBB


Sektor Pertambangan Migas & Panas Bumi

Setiap triwulan sebesar 25%(Maret, Juni, September, Desember);


Triwulan IV : selisih alokasi definitif dengan yang telah tersalur

(9%)

B. DBH PPh

II

a. DBH PPh Pasal 21

Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; Triwulan IV : selisih


definitif dengan yang telah disalurkan

b. DBH PPh Pasal 25/29

Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; Triwulan IV : selisih


definitif dengan yang telah disalurkan

DBH Cukai Hasil Tembakau

Triwulan I : 20%; Triwulan II & Triwulan III: 30% ; Triwulan IV : selisih


alokasi definitif dengan yang telah disalurkan

III Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam


A. Migas & Panas Bumi

Triwulan I & II: 20% ; Tw III: selisih realisasi penerimaan s/d Tw III
dengan yang telah tersalur; Tw IV selisih realisasi penerimaan s/d Tw
IV dengan yang telah tersalur

91

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

B. Pertambangan Umum

Triwulan I & II: 20% & 15% ; selisih realisasi penerimaan s/d Tw III
dengan yang telah tersalur; Tw IV selisih realisasi penerimaan s/d Tw
IV dengan yang telah tersalur

C. Kehutanan & Perikanan

Triwulan I & II: masing-masing 15% ; selisih realisasi


penerimaan s/d Tw III dengan yang telah tersalur; Tw IV selisih
realisasi penerimaan s/d Tw IV dengan yang telah tersalur

IV Dana Alokasi Umum

Tiap bulan sebesar 1/12 dari alokasi

1. Penyaluran tahap I (30% dari total DAK)


Dilaksanakan setelah daerah menyampaikan Perda APBD tahun
2012, Laporan Penggunaan DAK tahun sebelumnya, dan Surat Pe
nyataan Dana Pendamping DAK TA 2012.

V Dana Alokasi Khusus

2. Penyaluran Tahap II (45%) dan Tahap III (25%)


Dilaksanakan setelah menyampaikan Laporan Penggunaan DAK
tahap sebelumnya yang secara kumulatif telah mencapai 90%

VI Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian


A. Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Penyaluran dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dari
Mendagri - Tahap I (Maret) : 30%; Tahap II (Juli) : 45%; Tahap III
Infrastruktur
(Oktober) : 25%

B. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD


C. Tunjangan Profesi Guru

Penyaluran dilakukan per triwulan, masing-masing sebesar 25%;


Triwulan I disalurkan tanpa syarat. triwulan II s/d IV disalurkan dengan
syarat Pemda menyampaikan laporan realisasi Semester II TA 2011.

D. Dana Insentif Daerah

Penyaluran dilakukan setelah menyampaikan perda APBD 2011 dan


surat pernyataan, disalurkan sekaligus

E. BOS Terpencil

Tw I: Januari; Tw II: April; Tw III: Juli; Tw IV: Oktober. 25% penyaluran


per triwulan sebesar 25% dari alokasi

G. BOS Tidak Terpencil

Triwulanan. Disalurkan setiap akhir triwulan (tentative berdasarkan


rekomendasi kurang salur BOS dari Mendikbud)

Perkembangan alokasi Dana Transfer ke Daerah selama lima tahun terakhir telah mencapai sasaran sesuai Renstra tahun 2010-2014
dan mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Norma dan standardisasi kebijakan telah diselaraskan dengan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, Undang-Undang APBN Tahun 2012 dan Undang-undang
APBN-P Tahun 2012, serta Kesepakatan Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah sebagai bagian tak terpisahkan dari UU APBN.
Perhitungan dan pengalokasian diberlakukan secara keseluruhan daerah berdasarkan perhitungan tertentu. DBH dengan persentase
tertentu, DAU dengan formula, DAK dengan kriteria, Dana Otsus dan Penyesuaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
terkait. Di sisi lain, perkembangan jumlah daerah penerima dana transfer ke daerah dari tahun 2006 sebanyak 467 menjadi 524 pada
tahun 2013, atau meningkat 57 daerah selama 7 tahun, sebagaimana terlihat pada tabel 3.45 berikut.

Tabel 3.45

Perkembangan Jumlah Daerah dan Besaran Transfer Tahun 2006 s/d 2013

No Daerah

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Provinsi

33

33

33

33

33

33

33

33

Kabupaten/Kota

434

434

451

477

491

491

491

491

Jumlah

467

467

484

510

524

524

524

524

Realisasi Transfer
(Triliun rupiah)

226,2

253,3

292,6

303,1

344,6

411,2

479,62

513,35

% Kenaikan

50,30

11,98

15,51

3,59

13.69

16,63

16,64

7,03

1) Dana Bagi Hasil (DBH)


DBH telah mencapai sasaran sesuai dengan Renstra 2010-2014 dan dalam pelaksanaannya mengacu pada kebijakan yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang mengatur bagian Pemerintah Pusat dan bagian Pemerintah Daerah dengan
persentase tertentu dari realisasi penyetoran ke kas negara atas penerimaan negara pajak (PNP) dan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP). Jenis DBH dalam undang-undang tersebut sebanyak 8 (delapan) jenis yang dalam tahun 2005 s/d 2008 telah dilaksanakan 7

92

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

jenis sedangkan satu jenis DBH, yaitu Panas Bumi dilaksanakan mulai tahun 2009. Untuk pertama kalinya DBH Panas Bumi pada tahun
2009 dibagikan kepada daerah di wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu DBH dari PNBP tahun 2006 s/d 2009. Adapun perkembangan
alokasi DBH SDA dan Pajak selama kurun waktu 2007-2013 sebagaimana tabel 3.46 berikut:

Tabel 3.46

Perkembangan Alokasi DBH per Komponen Tahun 2007 s/d 2012


(dalam triliun rupiah)

No

Komponen

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

A. Pajak
1

PBB

21,79

22,37

22,8

27,12

27,59

26,03

BPHTB

4,29

7,35

7,65

7,69

PPh

7,94

9,98

10,09

10,93

13,16

19,37

19,09

Cukai HT

0,2

0,96

1,2

1,35

1,73

2,15

34,02

39,9

41,5

46,94

42,10

47,13

46,00

22,02%

17,28%

4,01%

13.11%

-10,31%

11,95%

-2,40%

2,85

4,24

6,98

7,79

15,14

12,86

11,6

Sub jumlah (A)


% kenaikan

24,76

B. Sumber Daya Alam


1

Pertambangan Umum

Kehutanan

Minyak & Gas

Perikanan

Panas Bumi
Sub jumlah (B)
% kenaikan

1,52

1,71

1,51

1,75

1,75

1,53

0,88

24,46

23,44

17,6

35,196

37,306

47,39

29,32

0,20

0,16

0,12

0,12

0,12

0.179

0,149

0,26

0,305

0,351

0,626

0,451

29,03

29,55

26,82

45,165

54,673

62,60

42,45

-6,39%

1,79%

-9,24%

68,4%

21,05%

14,5%

-32,19%

Total (A+B)

63,05

69,45

68,32

92.1

96,77

109,98

88,46

% Kenaikan

7,06%

10,15%

-1,63%

34,81%

4,98%

13,65%

-19,57%

Catatan:
t%#)4%"5"NFOHBDVQBEB"1#/1FSVCBIBO
t%#)4%"5"NFOHBDVQBEB"1#/1FSVCBIBO
t%#)4%"5"NFOHBDVQBEB"1#/1FSVCBIBO
t%#)1BKBL5" EBOCFMVNUFSNBTVL#JBZB1FNVOHVUBO1##CBHJBO%BFSBI

Pada tahun 2008 dikenal DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) berdasarkan UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No
11 Tahun 1999 tentang Cukai. Pada Tahun 2008 dan 2009 DBH-CHT diberikan kepada lima daerah di wilayah provinsi penghasil CHT,
yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berbeda dengan DBH SDA yang pada umumnya
bersifat block grant, DBH Cukai bersifat specific grant.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, DBH SDA Migas dibagikan kepada daerah
dengan porsi 15,5% dari PNBP Minyak Bumi dan 30,5% dari PNBP Gas Bumi. Porsi tambahan 0,5% tersebut sebagai specific grant
yang harus dimanfaatkan untuk menambah anggaran pendidikan dasar di daerah dengan pembagian untuk provinsi/daerah penghasil/
daerah lainnya masing-masing sebesar 0,1%, 0,2% dan 0,2%. Perkembangan alokasi DBH Pajak dan DBH SDA dapat dilihat pada
Tabel 3.46.
Mengingat ketentuan mengenai perhitungan DBH dan penetapan alokasinya kepada daerah telah diatur secara jelas dalam UU Nomor
33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, kebijakan pengalokasian dari tahun ke tahun lebih mengarah pada penyempurnaan
proses perhitungan, penetapan alokasi dan ketepatan waktu penyaluran. Hal tersebut dilaksanakan melalui peningkatan koordinasi
dengan institusi pengelola PNBP seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, dan unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan (DJA, DJP, dan DJPB)
dalam rangka penyediaan data perhitungan dana bagi hasil yang lebih akurat. Koordinasi tersebut dilakukan dengan:
a) Konsultasi regional untuk semua komponen DBH-SDA yang dihadiri pengelola DBH-SDA kementerian/lembaga dan daerah
penghasil dengan tujuan mendorong daerah untuk turut berperan dalam optimalisasi penyetoran PNBP dan menghimpun data

93

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

setoran, dan mendorong daerah dapat berperan aktif dalam acara rekonsiliasi PPNBP/DBH, agar setoran PNBP per daerah dapat
dibagikan secara optimal.
b) Rekonsiliasi data PNBP dan perhitungan DBH yang dilakukan bersama institusi pengelola PNBP/DBH SDA dengan daerah
penghasil dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyaluran DBH SDA.
c) Rapat kerja antara unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mengelola penerimaan pajak dan cukai hasil tembakau
dengan daerah penghasil.
Perubahan yang penting dalam pengelolaan DBH pada tahun 2008 adalah pola penyaluran SDH SDA yang semula murni berdasarkan
realisasi penyetoran PNBP berdasarkan hasil rekonsiliasi triwulanan menjadi penyaluran dengan pola penggabungan antara penetapan
persentase dengan realisasi penyetoran PNBP melalui rekonsiliasi.
a) Penyaluran DBH Pajak 2013
Realisasi DBH Pajak yang terdiri atas DBH PPh, DBH PBB, dan DBH CHT mencapai Rp46.005.602.325.973,00 atau 98,76% dari
pagu alokasi Rp46.581.225.987.004,00. Rincian atas realisasi DBH Pajak tersebut adalah sebagaimana tabel 3.47 berikut:

Tabel 3.47

Penyaluran DBH Pajak Tahun 2013


Jenis Dana

Pagu

Realisasi

DBH PPh

19.091.529.508.064

19.091.529.508.064

100,00 %

DBH PBB

25.305.789.884.583

24.762.581.557.738

97,85%

DBH CHT
TOTAL

2.183.936.594.357

2.151.491.260.171

98,51%

46.581.255.987.004

46.005.602.325.973

98,76%

b) Penyaluran DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2013


Realisasi DBH CHT pada tahun 2013 mencapai Rp2.151.491.260.171,00 atau 98,51% dari alokasi DBH CHT sebesar
Rp2.183.936.594.357,00. Penyaluran tidak mencapai 100% karena terdapat daerah yang hingga batas akhir tahun 2013 tidak
menyampaikan laporan penggunaan DBH CHT TA 2013.
c) Penyaluran DBH Sumber Daya Alam (SDA) 2013
Realisasi untuk semua jenis DBH SDA baik DBH SDA Migas, Pertambangan Umum, Kehutanan, Perikanan, dan Panas Bumi
mencapai Rp42.456.559.513.479,00 atau 97,15% dari pagu alokasi sebesar Rp43.703.317.802.183,00 rincian selengkapnya
sebagaimana tabel 3.48 berikut:

Tabel 3.48

Penyaluran DBH SDA Tahun 2013


Jenis Dana

Pagu

Realisasi

DBH Migas

29.344.878.584.008

29.329.989.115.655

99,95 %

DBH Pertambangan Umum

12.469.089.379.137

11.636.718.665.675

93,32 %

1.258.156.181.722

889.055.732.766

70,66 %

DBH Perikanan

149.774.724.480

149.774.724.480

100,00 %

DBH Panas Bumi

481.418.932.836

451.021.274.903

93,69 %

43.703.317.802.183

42.456.559.513.479

97,15 %

DBH Kehutanan

TOTAL

94

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

2) Dana Alokasi Umum (DAU)


Capaian sasaran selama 2007-2013 antara lain telah menerbitkan beberapa peraturan baik Peraturan Presiden maupun Peraturan
Menteri Keuangan yang ditabulasikan dalam tabel 3.49:

Tabel 3.49

Perpres Alokasi DAU dan Permenkeu Dana Penyeimbang yang Diterbitkan


Tahun Anggaran 2007 2013

Alokasi Tahun

Peraturan Presiden
(Miliar Rp)

Peraturan Menteri Keuangan


(Miliar Rp)

Jumlah
Daerah

2007

164.787,40

842,91

33 Provinsi

Perpres 104 Tahun 2006

PMK No. 129 Tahun 2006

434 Kab/Kota

179.507,14

242,84

33 Provinsi

Perpres 110 Tahun 2007

PMK No. 172 Tahun 2007

451 Kab/Kota

186.414,1

33 Provinsi

Perpres 74 Tahun 2008

477 Kab/Kota

2008
2009
2010
2011
2012
2013

192.490,34

187,35

33 Provinsi

Perpres 53 Tahun 2009

PMK No. 225 Tahun 2009

477 Kab/Kota

225.532,83

0,89

33 Provinsi

Perpres Nomor 6 Tahun 2011

PMK No.73 Tahun 2011

491 Kab/Kota

273.814,4

33 Provinsi

Perpres Nomor 96 Tahun 2011

491 Kab/Kota

311.139.29

33 Provinsi

Perpres Nomor 10 Tahun 2013

491 Kab/Kota

Telah terjadi perubahan yang mendasar selama periode tahun 2007 hingga tahun 2013 ditandai dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 menggantikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, di mana Indonesia memasuki fase kedua dari penerapan
Desentralisasi Fiskal. Terdapat perubahan yang mendasar dengan berlakunya UU tersebut, antara lain penyederhanaan formulasi
perhitungan DAU, penerapan kebijakan non-holdharmless, dan peningkatan persentase penentuan pagu DAU Nasional sekurangkurangnya 25% menuju 26% terhadap Penerimaan Dalam Negeri Netto. Menghilangkan unsur lumpsum dan proporsi belanja pegawai
sebagai komponen pembentuk perhitungan Alokasi Minimum untuk menyederhanakan formulasi perhitungan DAU. Perubahan
persentase, meskipun baru berlaku efektif mulai tahun 2006, telah ditentukan pagu DAU Nasional sebesar 25,5% terhadap PDN
Netto selama kurun waktu transisi. Penerapan kebijakan non-holdharmless merupakan salah satu pencapaian dalam prinsip keadilan
dalam proses pengalokasian DAU yang memungkinkan suatu daerah memperoleh alokasi lebih kecil dari tahun sebelumnya. Fokus
penerapan kebijakan tersebut dapat mengurangi beban APBN yang harus ditanggung dengan penambahan Dana Penyeimbang DAU.
Selain itu, penerapan formula AD+CF sangat berbeda dengan AM+AKF di mana AD (Alokasi Dasar) ketika disandingkan dengan CF
(Celah Fiskal) memiliki beberapa kemungkinan yang akan menghasilkan perhitungan DAU, yaitu :
a) Daerah yang memiliki nilai CF lebih besar dari nol (CF > 0) akan menerima DAU sebesar AD (Alokasi Dasar) ditambah dengan CF.
b) Daerah yang memiliki nilai CF = 0 akan menerima alokasi DAU sebesar AD.
c) Daerah yang memiliki nilai CF negatif (CF < 0) dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari AD (CF < 0; |CF| < AD), akan menerima DAU
sebesar AD setelah dikurangi dengan nilai CF.
d) Daerah yang memiliki nilai CF negatif dan nilai negatif tersebut sama dengan atau lebih besar dari AD (CF < 0 ; |CF| >= AD), maka
DAU yang diterima daerah tersebut adalah negatif atau disesuaikan menjadi 0 (nol).
Sedangkan formula sebelumnya AM+AKF, tidak ada proses persandingan antara AM dan AKF untuk menghasilkan alokasi DAU. Hal
ini mengandung makna bahwa alokasi gaji suatu daerah yang direpresentasikan dalam AD, dengan penerapan formula sesuai UU
No. 33 tahun 2004, diperhitungkan terhadap Celah Fiskalnya. Implikasi kebijakan ini yang perlu dicermati suatu daerah bahwa DAU
dialokasikan dengan menitikberatkan pada upaya mengurangi kesenjangan horizontal (horizontal fiscal imbalances) antardaerah.

95

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tahun anggaran 2013 total alokasi DAU adalah sebesar Rp311.139.289.165.000,00. Dari alokasi tersebut telah diterbitkan SPM
dengan nilai sebesar Rp311.139.289.165.000,00 atau 100%, dengan rincian sebagaimana tabel 3.50 berikut:

Tabel 3.50

Penyaluran DAU Tahun 2013


JENIS DANA

PAGU

DAU Propinsi (murni)

REALISASI

31.113.928.916.500

31.113.928.916.500

100,00%

DAU Kabupaten/Kota (murni)

280.025.360.248.500

280.025.360.248.500

100,00%

TOTAL

311.139.289.165.000

311.139.289.165.000

100.00%

3) Dana Alokasi Khusus (DAK)


DAK dalam waktu antara tahun 2003 s/d 2005 dikenal dengan terminologi DAK Non Dana Reboisasi (DAK Non-DR), selanjutnya pada
tahun 2006 dipakai istilah DAK. Sejak tahun 2007 s/d 2013 telah terjadi perkembangan jumlah bidang dalam DAK dari mulai 2003
sebanyak 5 bidang menjadi 19 bidang pada tahun 2013 sebagaimana ditunjukkan oleh tabel III.51 berikut.

Tabel 3.51

Perkembangan Jumlah bidang-bidang DAK 2007 s/d 2013

No
1

Bidang

2009
Prov

2010

K/K

Pendidikan

Prov

2011

K/K

Prov

2012

K/K

Prov

2013

K/K

Prov

K/K

t
t

Kesehatan

t

t

t

Jalan

Irigasi

Air Bersih

Pras. Pem

Pertanian

Lingkungan Hidup

Kelautan & Perikanan

10

Kel. Berencana

11

Kehutanan

12

PDT

13

Perdagangan

14

Sanitasi

t

t

t

15

Listrik Pedesaan

t

16

Perumahan&Pemukiman

t

17

Transportasi Pedesaan

t

18

Sarpras Perbatasan

t

19

Keselamatan Transportasi

t

Pagu DAK (triliun)

24,82

21,13

25,23

26,11

31,69

% Kenaikan

17,08

-14,85

19,40%

3,49%

21,37%

Keterangan:
tBidang yang tahun sebelumnya sudah ada
tBidang baru pada tahun yang bersangkutan

96

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pada tahun 2008 hingga 2011 penambahan bidang DAK dikaitkan dengan pelaksanaan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2008 bahwa kegiatan kementerian/lembaga yang sebenarnya merupakan kewenangan daerah dialihkan secara bertahap ke DAK.
Penambahan bidang DAK pada tahun 2008 ditandai dengan pengalihan sebagian anggaran Badan Koordinasi Keluarga Berencana
(BKKBN) dan Kementerian Kehutanan, sementara pada tahun 2009 dilakukan pengalihan sebagian anggaran dari Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan pada tahun 2010 pengalihan sebagian anggaran K/L
dilakukan terhadap sebagian anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Sejak tahun 2006 pola perhitungan DAK per daerah dengan menggunakan Kriteria Umum, Kriteria Khusus, dan Kriteria Teknis yang
dari tahun ke tahun diupayakan untuk disempurnakan dalam rangka memperbaiki aspek keadilan pengalokasian sesuai dengan kondisi
daerah. Kriteria Umum mencerminkan kondisi keuangan daerah, kriteria khusus menggambarkan kondisi kekhususan wilayah yang
diasumsikan menjadi beban daerah dalam pengelolaan wilayah, dan kriteria teknis menunjukkan kondisi sarana prasarana dasar di
daerah.
Selama tahun 2006 hingga 2008 perhitungan DAK per daerah lebih banyak ditentukan oleh kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria
teknis lebih banyak digunakan untuk mengukur alokasi bagi daerah-daerah yang dinyatakan layak mendapatkan DAK berdasarkan
kriteria umum dan kriteria khusus. Perkembangan pola perhitungan terjadi pada DAK tahun 2011 dan 2012, dengan menggunakan
ketiga kriteria tersebut secara bersamaan, baik dalam menentukan kelayakan daerah penerima DAK, maupun besaran alokasinya.
Pola ini memungkinkan daerah yang tidak layak menurut kriteria umum dan kriteria khusus untuk mendapatkan DAK sepanjang indeks
teknisnya cukup tinggi sehingga daerah tersebut menjadi layak memperoleh DAK pada bidang tertentu.
Selanjutnya pencapaian yang cukup penting dari pengelolaan DAK adalah:
a) Menggunakan kebijakan penyaluran DAK Tahap I untuk mendorong percepatan penyelesaian Perda tentang APBD. Strategi tersebut
dituangkan dalam ketentuan bahwa bagi daerah yang belum menyampaikan Perda APBD kepada Kementerian Keuangan/DJPK,
DAK Tahap I sebesar 30% belum dapat disalurkan.
b) Menggunakan kebijakan laporan penyerapan DAK untuk mendorong percepatan penyerapan dan pelaksanaan kegiatan fisik DAK.
Bagi daerah yang cepat menyerap DAK Tahap I dengan menyampaikan laporan penyerapan hingga 90%, Tahap II sebesar 45%
akan disalurkan, demikian seterusnya hingga tahap akhir pernyaluran, yaitu sebesar 25% pada Tahap III.
c) Menggunakan kebijakan laporan pelaksanaan DAK dalam satu tahun (tahunan) untuk mendorong kelengkapan sistem informasi
keuangan daerah (SIKD) di Kementerian Keuangan/DJPK dari mulai alokasi, penyaluran, sampai realisasi penyerapan DAK per
bidang.
Alokasi DAK seluruh Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar Rp31.697.143.000.000,00. Alokasi DAK 2013 mengalami kenaikan
dari tahun 2012 yang sebesar Rp26.115.948.000.000,00 atau naik sebesar 21,37%.
DAK tahun anggaran 2013 dialokasikan untuk mendanai 19 bidang. Penyaluran DAK dilakukan dalam 3 tahap, yaitu masing-masing
sebesar 30%, 45% dan 25%. Dari alokasi pagu tersebut telah diterbitkan SPM dengan nilai sebesar Rp30.752.380.876.800,00 atau
97,02%.

97

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.52

Penyaluran DAK Tahun 2013

Tahap

Pagu

Realisasi (Rp)

Jml Daerah

DAK I (30%)

8.909.142.900.000

8.909.142.900.000

100,00%

518

DAK II (45%)

13.363.714.350.000

13.157.446.234.000

98,46%

513
475

7.424.285.750.000

6.741.218.897.800

90,80%

29.697.143.000.000

28.807.808.031.800

97,01%

DAK Tambahan I (30%)

600.000.000.000

600.000.000.000

100,00%

183

DAK Tambahan II (45%)

900.000.000.000

895.717.993.000

99,52%

182

DAK Tambahan III (25%)

500.000.000.000

448.854.852.000

89,77%

165

2.000.000.000.000

1.944.572.845.000

97,23%

31.697.143.000.000

30.752.380.876.800

97,02%

DAK III (25%)


Jumlah DAK

Jumlah DAK Tambahan


JUMLAH TOTAL DAK

Dalam rangka percepatan penyerapan alokasi DAK oleh daerah-daerah penerima DAK, dilakukan upaya inisiatif strategis antara lain
dengan menerbitkan PMK 165/PMK.07/2013 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2013.
4) Penyaluran Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Penyesuaian Tahun 2013
Pada tahun 2013, total pagu Dana Otsus dan Penyesuaian sebesar Rp84.041.103.398.000,00 telah dapat diterbitkan SPM dengan
nilai sebesar Rp82.998.344.685.154,00 atau 98,76%, dengan rincian sebagaimana tabel 3.53 berikut:

Tabel 3.53

Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian Tahun 2013

Pagu

Realisasi

Dana Otonomi Khusus untuk PAPUA

Jenis Dana

4.355.950.048.000

4.355.950.048.000

100,00%

Dana Otonomi Khusus untuk PAPUA BARAT

1.866.835.735.000

1.866.835.735.000

100,00%

Dana Otonomi Khusus untuk Aceh

6.222.785.783.000

6.222.785.783.000

100,00%

Dana Tambahan Infrastruktur untuk Papua

571.428.572.000

571.428.572.000

100,00%

Dana Tambahan Infrastruktur untuk Papua Barat

428.571.428.000

428.571.428.000

100,00%

Dana Keistimewaan DIY

231.392.653.000

115.696.326.500

50,00%

Tunjangan Profesi Guru

43.057.800.000.000

43.049.824.362.000

99,98%

Bantuan Operasional Sekolah

23.446.900.000.000

22.545.585.063.654

96,16%

Tambahan Penghasilan Guru PNSD

2.412.000.000.000

2.394.228.188.000

99,26%

Dana Insentif Daerah

1.387.800.000.000

1.387.800.000.000

100,00%

59.639.179.000

59.639.179.000

100,00%

84.041.103.398.000

82.998.344.685.154

98,76%

Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi


Total
a) Dana Otonomi Khusus dan Tambahan Infrastruktur

Realisasi penyaluran dana Otsus untuk Provinsi Papua, Papua Barat dan Aceh sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 mencapai
Rp13.445,57 miliar, atau 100% dari pagu alokasi APBN 2013.
b) Dana Tunjangan Profesi Guru
Realisasi penyaluran TPG s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp43.049,82 miliar, atau 99,98% dari pagu APBN Rp43.057,80
miliar. Realisasi penyaluran TPG yang tidak mencapai 100% tersebut disebabkan oleh adanya 4 daerah dari total 489 daerah,
yakni Kab. Nias Selatan, Kab. Tolikara, Kab. Mamberamo Raya, dan Kab. Puncak yang tidak menyampaikan Laporan Realisasi
Penyerapan dana semester II 2012, sehingga TPG untuk triwulan II s.d. IV TA 2013 tidak dapat disalurkan. Sesuai dengan ketentuan
PMK No.41/PMK.07/2013 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada
Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2013, penyaluran TPG dilakukan secara triwulanan, yakni sebesar 25% per triwulan.

98

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Adapun penyaluran triwulan II s.d. IV dilakukan setelah daerah menyampaikan laporan realisasi penyerapan dana semester II tahun
sebelumnya.
c) Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD
Realisasi penyaluran dana Tambahan Penghasilan Guru s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp2.394,23 miliar, atau 99,26%
dari pagu APBN sebesar Rp2.412,00 miliar. Realisasi penyaluran yang tidak mencapai 100% tersebut disebabkan oleh adanya
19 daerah dari total 515 daerah yang tidak menyampaikan laporan realisasi penyerapan dana Tamsil Guru semester II TA 2013,
sehingga dana Tamsil Guru untuk triwulan II s.d. IV TA 2013 tidak dapat disalurkan. Adapun 19 daerah tersebut adalah sebagaimana
tabel 3.54 berikut:

Tabel 3.54

Daftar Provinsi Yang Tidak Menyampaikan Laporan Realisasi


Penyerapan Dana Tamsil Guru

No

Daerah

No

Daerah

Prov. Sumut

11

Kab. Tolikara

Prov. Bengkulu

12

Kab. Mamberamo Raya

Prov. Lampung

13

Kab. Mamberamo Tengah

Prov. Jawa Timur

14

Kab. Yalimo

Prov. Kalimantan Barat

15

Kab. Lanny Jaya

Kota Palangkaraya

16

Kab. Puncak

Prov. Sulawesi Tenggara

17

Prov. Maluku Utara

Prov. Nusa Tenggara Barat

18

Prov. Papua Barat

Kab. Puncak Jaya

19

Prov. Sulawesi Barat

10

Kab. Yahukimo

Sesuai dengan ketentuan PMK No. 42/PMK.07/2013 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Tambahan Penghasilan Guru
Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2013, penyaluran dana Tamsil Guru
dilakukan secara triwulanan, yakni sebesar 25% per triwulan. Adapun penyaluran triwulan II s.d. IV dilakukan setelah daerah
menyampaikan laporan realisasi penyerapan dana semester II tahun sebelumnya.
d) Dana Insentif Daerah (DID)
Realisasi penyaluran DID s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp1.387,80 miliar, atau 100% dari pagu alokasi APBN 2013.
DID tersebut disalurkan kepada 74 daerah penerima guna membantu pelaksanaan fungsi pendidikan.
e) Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Realisasi penyaluran dana BOS s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp22.545,59 miliar, atau 96,16% dari pagu APBN
sebesar Rp23.446,90 miliar. Dana BOS disalurkan guna meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan.
f) Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (PPDD)
Realisasi penyaluran dana P2D2 s.d. tanggal 31 Desember 2013 mencapai Rp59,6 miliar, 100% dari pagu APBN. Dana P2D2
disalurkan kepada daerah sebagai reward atas pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan yang didanai dari
DAK, khususnya DAK bidang infrastruktur.
b. Persentase Perda PDRD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan (KK-9.2)
IKU ini ditetapkan untuk menciptakan sistem pajak daerah dan retribusi daerah yang menjamin bahwa pungutan-pungutan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan perpajakan nasional untuk mendukung efisien alokasi sumber daya
nasional dan meningkatkan fungsi akuntabilitas fiskal daerah. Persentase jumlah perda PDRD yang berkualitas adalah jumlah
perda hasil evaluasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.

99

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Penetapan perubahan UU Nomor 34 tahun 2000 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
menuntut Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan evaluasi Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Perda
PDRD yang dibuat berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 dan jumlah
Perda PDRD berdasarkan UU Nomor 34 tahun 2000 yang telah diterima oleh Pemerintah Pusat namun belum dievaluasi masih cukup
besar sehingga diperlukan percepatan evaluasi.

Tabel 3.55

Jumlah Perda yang Dievaluasi Tahun 20092013

Tahun 2009

Tahun 2010

Target

Realisasi

Target

Realisasi

1.600

1.984

545

545

Tahun 2011
Target Realisasi
1.400

1.400

Tahun 2012
Target
1.400

Tahun 2013

Realisasi Target
1952

1.223

Realisasi
1.194

Pada tahun 2009, Kementerian Keuangan telah melakukan percepatan evaluasi melalui task force yang telah berhasil menyelesaikan
evaluasi Perda sebanyak 1984 Perda melebihi target yang telah ditetapkan sebanyak 1600 Perda. Dan pada tahun 2010, Perda yang
belum dievaluasi hanya sebanyak 545 Perda karena dengan diberlakukannya UU 28 Tahun 2009 telah memberikan dampak yang
cukup signifikan terkait dengan kebijakan PDRD yang mengharuskan Pemerintah Daerah untuk melakukan penggantian Peraturan
Daerah tentang PDRD yang masih menggunakan dasar hukum UU Nomor 34 Tahun 2000 dengan Peraturan Daerah yang sesuai
dengan UU Nomor 28 Tahun 2009. Pada tahun 2011 jumlah Perda PDRD yang sudah dievaluasi sebanyak 1.531 Perda. Dari evaluasi
yang dilakukan, Perda yang sesuai peraturan perundangan sebanyak 1.501 sedangkan Perda PDRD yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan sampai dengan akhir tahun 2011 sebanyak 30 Perda. Tahun 2012 jumlah perda PDRD yang sudah
dievaluasi sampai dengan 31 Desember 2012 yaitu sebanyak 1.952 perda. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.854 Perda telah sesuai
dengan hasil evaluasi raperdanya.
Pada tahun 2013 Jumlah perda PDRD yang sudah dievaluasi sampai dengan 31 Desember 2013 yaitu sebanyak 1.223 perda. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 1.194 Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi raperdanya (sesuai dengan peraturan-perundangan). Jadi
telah melebihi target yaitu 98% dari target yang ditentukan yaitu 93%. Hal ini sesuai dengan maksud UU No. 28 Tahun 2009 di mana
sebelum Perda ditetapkan telah dilaksanakan pengawasan preventif dan korektif.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.13 berikut:

Grafik 3.13
Perkembangan Capaian persentase Perda PDRD yang Sesuai Dengan
Peraturan Perundang-Undangan
120

100

80

94.98%

95.92%

90%

98%

93%

70%

60

Target
Realisasi

40

20

2011

2012

2013

100

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

10. Sasaran Strategis 10: Pengendalian mutu dan penegakan hukum yang efektif (KK-10)
Pengendalian mutu dan penegakan hukum yang efektif adalah mengawasi, mengamati, mengecek dengan cermat, memantau
pekerjaan maupun laporan agar pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku. Dalam pencapaian
sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 4 (empat) Indikator Kinerja Utama (IKU) dan 6 (enam) sub IKU
ditabulasikan dalam tabel 3.56 berikut.

Tabel 3.56

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pengendalian Mutu dan


Penegakan Hukum yang Efektif

KK 10. Pengendalian Mutu dan penegakan hukum yang efektif


Target

Realisasi

Kinerja

1. Rata-rata persentase penegakan hukum

Indikator Kinerja

49,50 %

54,26%

109,61%

a. Tingkat efektivitas pemeriksaan pajak

75%

85,48%

113,97%

b. Persentase pencairan piutang pajak

35%

35,48%

101,37%

c. Persentase hasil penyidikan DJP yang


telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan
(P21)

50%

30%

60%

d. Persentase hasil penyidikan DJBC yang


telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan
(P21)

55%

81,76%

120%

e. Persentase penyelesaian piutang bea dan


cukai

75%

82,49%

109,99%

f. Persentase pelaksanaan audit terhadap


perusahaan penerima fasilitas kepabeanan
dan cukai

10%*

10,34%

104,30%

2. Indeks ketepatan waktu penyelesaian


tindak anjut Instruksi Presiden

80%

87,39%

109,24%

3. Persentase ketepatan pola penarikan dana


DIPA K/L

85%

76,67%

100,40%

4. Rata-rata indeks opini BPK RI atas LK BA


15, LK BUN, dan LK BA 999

4 (WTP)

3,94

98,50%

addendum Kontrak Kinerja Nomor : 4A/KK/2013, target semula 35%

Uraian mengenai keempat IKU tersebut tampak berikut ini.


a. Rata-rata persentase penegakan hukum (KK-10.1).
Penegakan hukum adalah segala upaya hukum yang dilakukan agar segala tindakan yang diambil dalam rangka pengelolaan
keuangan dan kekayaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
IKU ini merupakan rata-rata dari 6 sub IKU, yaitu:
1) Tingkat efektivitas pemeriksaan pajak;
2) persentase pencairan piutang pajak;
3) persentase hasil penyidikan yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) (DJP);
4) persentase hasil penyidikan yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) (DJBC);
5) persentase penyelesaian piutang bea dan cukai;
6) persentase pelaksanaan audit terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai.
IKU ini bertujuan untuk mengukur pelaksanaan penegakan hukum untuk memastikan kegiatan dilakukan sesuai ketentuan yang
berlaku. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari
target adalah capaian yang diharapkan.

101

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Penjelasan atas capaian keenam sub IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.
1) Tingkat efektivitas pemeriksaan pajak (KK-10.1.1).
Pemeriksaan perpajakan adalah pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil pemeriksaan pajak adalah surat ketetapan pajak (SKP), yaitu surat
ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
Persentase capaian IKU efektivitas pemeriksaan pajak adalah perbandingan antara jumlah SKP yang diterbitkan (yang merupakan
jumlah lembar SKP hasil pemeriksaan yang diterbitkan oleh fungsional) dengan jumlah SKP yang diajukan keberatan (yang
merupakan jumlah lembar SKP hasil pemeriksaan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak). SKP yang dihitung merupakan SKP
hasil pemeriksaan sampai dengan triwulan III tahun berjalan. Untuk SKP hasil pemeriksaan yang diterbitkan pada periode triwulan IV
tahun berjalan, akan dihitung pada periode triwulan tahun berikutnya. IKU ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan
pajak agar dapat menunjang penerimaan negara. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize),
di mana capaian yang makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan.

Tabel 3.57

Rincian Capaian IKU Tingkat Efektivitas Pemeriksaan Pajak


Jumlah SKP yang diajukan keberatan

7.390

Jumlah SKP yang diterbitkan

59.568

Jumlah SKP yang tidak diajukan keberatan

52.178

Jumlah keberatan yang ditolak atau dikabulkan sebagian

6.412

Saldo Permohonan Keberatan Tahun Sebelumnya

8.325

Jumlah SKP yang diajukan keberatan selama periode pelaporan tahun 2013 adalah sebanyak 7.390 SKP. Sementara jumlah SKP
yang diterbitkan selama periode pelaporan tahun 2013 adalah sebanyak 59.568 SKP. Jumlah SKP yang keberatannya ditolak atau
dikabulkan sebagian sampai dengan bulan September 2013 adalah 6.412 SKP. Saldo Permohonan Keberatan Tahun Sebelumnya
adalah 8.325.
Usaha Kementerian Keuangan di tahun 2013 antara lain dengan meningkatkan kualitas pemeriksaan yang makin baik sehingga
memperkecil jumlah SKP yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak. Satu hal yang dangat menopang peningkatan kualitas
pemeriksaan tersebut adalah dengan dilakukannya kegiatan penelaahan sejawat (peer review) atas pemeriksaan pajak. Selain itu
juga dilakukan penyempurnaan aplikasi ALPP sehingga terdapat menu masukan untuk SKP yang diajukan keberatan dan tetap
meneruskan strategi-strategi yang telah berhasil dilakukan pada tahun 2012.
Realisasi tingkat efektivitas pemeriksaan sebesar 85,48%, di atas dari target yang sebesar 75%. Capaian IKU efektivitas penerimaan
mencapai 113,97%.
Untuk mengamankan capaian tahun 2013 di tahun 2014, Kementerian Keuangan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas pemeriksa melalui sosialisasi peraturan terkait pemeriksaan, dan
b) Melanjutkan pelaksanaan kegiatan Penelaahan Sejawat (peer review).

102

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.14 berikut:

Grafik 3.14

Perkembangan Capaian Tingkat Efektivitas Pemeriksaan Pajak

90%

85.48%

80%

75%

70%
60%

55%

50%

Target
Realisasi

40%
30%
20%
10%
0%

3.66%
2012

2013

2) Persentase pencairan piutang pajak (KK-10.1.2)


Indikator pencairan piutang pajak membandingkan jumlah pencairan piutang pajak selama tahun 2013 dengan jumlah piutang pajak
di awal tahun. Pencairan piutang pajak merupakan pelaksanaan fungsi penegakan hukum (law enforcement) terhadap Wajib Pajak
yang tidak sepenuhnya melunasi hutang pajak dalam bentuk surat setoran pajak (SSP) dan pemindah-bukuan (Pbk).
Jumlah pencairan piutang pajak adalah jumlah piutang pajak dari tahun sebelum tahun berjalan yang dilunasi oleh Wajib Pajak
termasuk hasil dari upaya hukum seperti pengurangan/pembatalan, keberatan, dan banding, serta Keputusan Menteri Keuangan atas
penghapusan piutang pajak. Jumlah piutang pajak awal tahun adalah saldo piutang pajak akhir tahun sebelumnya. Jumlah piutang
pajak awal tahun adalah jumlah saldo piutang awal tahun dikurangi piutang yang disisihkan.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan stakeholder dan kepatuhan Wajib Pajak agar dapat menunjang tingkat
pendapatan yang optimal dan mengamankan pendapatan negara melalui peningkatan pencairan piutang pajak. Pencapaian indikator
kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian
yang diharapkan.

Tabel 3.58

Realisasi Persentase Pencairan Piutang Pajak

IKU
Persentase
Pencairan
Piutang Pajak

Formula
Jumlah Pencairan
Piutang Pajak
Jumlah Piutang
Pajak Awal Tahun

Target

Target (%)

Realisasi

Rp16.517 miliar

35

Rp16.686 miliar

Realisasi (%)
35,48

Rp47.514 miliar

Rp47.514 miliar

Jumlah piutang pajak yang telah jatuh tempo pada tahun 2013 adalah sebesar Rp77.514 miliar. Jumlah tersebut masih harus dikurangi
piutang kualitas macet sebesar Rp30,323 triliun, sehingga outsanding piutang 2013 adalah Rp47.191 miliar. Piutang outstanding
adalah saldo awal 2013 audited ditambah penambahan piutang selama tahun 2013 yang sudah jatuh tempo dan dikurangi piutang
PBB Migas, PBB P2 yang dialihkan ke Pemda dan piutang kategori macet.
Target pencairan piutang pajak outstanding tahun 2013 adalah sebesar Rp16.517 miliar, sementara realisasi pencairan piutang pajak
outstanding tahun 2013 adalah Rp16,686 triliun. Dengan demikian capaian pencairan piutang pajak tahun 2013 mencapai 101,37%.
Capaian tersebut sedikit di bawah capaian tahun sebelumnya yang mencapai 107,68%.

103

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Untuk mempertahankan dan meningkatkan kembali capaian pencairan piutang pajak, Kementerian Keuangan mengambil langkahlangkah sebagai action plan yang akan dilaksanakan pada 2014, yaitu:
a) Pemberdayaan tim Asset Tracing dalam mencari keberadaan aset Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
b) Pembentukan tim uji coba Outbound Call Program Penagihan untuk mendukung pencairan piutang.
c) Penyempurnaan peraturan tentang pemblokiran.
d) Penyusunan Aplikasi Laporan Pemeriksaan dan Penagihan Tahap II di tahun 2014 untuk optimalisasi tindakan penagihan dalam
rangka penyusunan kertas kerja analisis risiko penagihan.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.15 berikut.

Grafik 3.15

Perkembangan Capaian Persentase Pencairan Piutang Pajak

60%
50%
50%
40%
32.30%
30%

24.70%

30%
Target
Realisasi

30%

20%
20%
10%
0%
2011

2012

2013

3) Persentase hasil penyidikan DJP yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) (KK-10.1.3)
Indikator penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan ini membandingkan antara jumlah sprindik atau berkas perkara yang
dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan dengan jumlah penyidikan. Status P21 adalah Jumlah Sprindik atau Berkas perkara kasus pidana di
bidang perpajakan yang sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (dinyatakan memenuhi syarat untuk proses selanjutnya). Termasuk
dalam status P21 apabila WP menggunakan pasal 44B UU KUP. Sementara jumlah penyidikan adalah jumlah akumulasi tunggakan
penyidikan awal tahun ditambah dengan Sprindik yang diterbitkan tahun berjalan.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan kepercayaan stakeholder dalam rangka pengamanan
pendapatan negara melalui tindakan hukum terhadap kasus pidana di bidang perpajakan. Pencapaian indikator kinerja ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Sampai dengan Triwulan IV tahun 2013 telah diserahkan 15 berkas perkara P-21 atau sebesar 60% dari target. Penyebab tidak
tercapainya target ini karena dinamika koordinasi dalam proses pembahasan kelengkapan kasus dari P-19 menjadi P-21 dapat
berbeda antara satu kasus dengan kasus yang lainnya. Alasan lain yang menjadi kendala penghambat adalah adanya perbedaan
pandangan antara Fungsional Pemeriksa Pajak (PPNS) dengan jaksa peneliti di Kejaksaan sehingga cukup sulit untuk dapat mencapai
status P-21. Selain itu, atas beberapa kasus penyidikan AAG yang diharapkan dapat P-21 segera setelah putusan kasasi MA, menjadi
tertunda karena terdapat kendala eksternal dari jaksa-jaksa peneliti yang baru

104

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Sebagai langkah evaluasi atas kinerja tahun 2013, Kementerian Keuangan mengambil rencana aksi yang akan dilaksanakan pada
tahun 2014 sebagai berikut:
a) Pembentukan Tim Asistensi DJP-Polri-Kejagung,
b) Pemberdayaan kegiatan penyidikan di unit vertikal, dan
c) Bimbingan dan asistensi ke unit vertikal dalam rangka membantu penyelesaian kasus-kasus penyidikan yang telah mencapai tahap
P-19.
4) Persentase hasil penyidikan DJBC yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) (KK-10.1.4)
Indikator kinerja ini bertujuan untuk mendorong kinerja penyidikan kasus tindak pidana kepabeanan dan cukai sampai dinyatakan
lengkap oleh Kejaksaan yang berasal dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang terbit sejak tahun 2011 sampai
dengan 2013. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari
target adalah capaian yang diharapkan.
Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai adalah segala perbuatan yang berhubungan dengan Kepabeanan dan Cukai yang atas
perbuatan tersebut diancam dengan pidana. SPDP adalah Surat Perintah Dimulainya Penyidikan sebagai penugasan penyidik untuk
memulai kegiatan penyidikan. Penyidikan merupakan tahap di mana penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti
atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut.

Pegawai DJBC
menunjukkan satu
kontainer rotan
hasil pencegahan
di Pelabuhan
Tanjung Priok
pada konferensi
pers (14/2).

Status P-21 adalah status dinyatakan lengkapnya berkas perkara pidana yang dilakukan penyidik Bea Cukai oleh Kejaksaan dan siap
untuk dilimpahkan ke pengadilan untuk menjalani proses persidangan. Jumlah berkas perkara yang berstatus P-21 adalah berkas
perkara kasus pidana di bidang kepabeanan dan cukai yang sudah diserahkan ke Kejaksaan dan memperoleh status P-21 pada
periode tahun berjalan yang berasal dari SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) yang terbit sejak tahun 2011 sampai tahun
2013.
SPDP yang dihentikan penyidikannya berarti bahwa proses penyidikan telah dinyatakan berhenti. Pasal 109 ayat (2) KUHAP memberi
wewenang kepada penyidik untuk dapat menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Setiap penghentian penyidikan yang
dilakukan oleh pihak penyidik maka secara resmi harus menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pasal 109 ayat (2) KUHAP menyatakan: Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut
ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

105

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Alasan-alasan penyidik dapat menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut :
a) Karena tidak terdapat cukup bukti, meliputi juga SPDP yang daluwarsa karena tidak tidak terdapat cukup bukti;
b) Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
c) Penyidikan dihentikan demi hukum.
Jumlah Penyelesaian Penyidikan adalah jumlah penyidikan yang telah berstatus P-21 dan/atau SP3 yang terbit tahun 2013 yang berasal
dari SPDP outstanding sejak tahun 2011 sampai dengan 2013. Jumlah penyidikan adalah jumlah akumulasi tunggakan penyidikan
(SPDP outstanding) yang terbit sejak tahun 2011 ditambah dengan jumlah penyidikan (SPDP) yang diterbitkan pada tahun 2013.
Pengukuran persentase hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) dilakukan dengan membandingkan antara
jumlah penyelesaian penyidikan dengan jumlah penyidikan yang dilakukan.
Pada tahun 2013 capaian IKU ini adalah 81,76% dari target yang ditetapkan sebesar 55%. Pada tahun 2013 kegiatan penyidikan
mencapai 159 kasus (terdiri dari SPDP outstanding tahun 2012 sebanyak 27 kasus dan SPDP tahun 2013 sebanyak 132 kasus).
Dari 159 kasus tersebut sebanyak 130 kasus telah diserahkan ke kejaksaan dengan status P-21 (penyidikan tindak pidana di bidang
kepabeanan dan cukai yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan).
Capaian realisasi IKU persentase Hasil Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap oleh Kejaksaan (P-21) tahun 2013 sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 3.59 berikut:

Tabel 3.59

Persentase Hasil Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap oleh


Kejaksaan (P-21) Tahun 2013

No

Kantor

s.d. Desember 2013


PDP

P-21 & SP3

Direktorat P2

88%

Aceh

60,00%

Sumut

17

16

94,12%

Riau & Sumbar

Khusus Kepri

6
7
8

Jakarta

Jabar

10

Jateng & DIY

11
12
13
14

100%

25

18

72%

Sumbagsel

100%

Banten

25,00%

67,67%

12

10

83,33%

13

10

76,92%

Jatim I

15

13

86,67%

Jatim II

27

26

96,30%

Bali, NTB & NTT

100%

Kalbagbar

0,00%

15

Kalbagtim

100%

16

Sulawesi

83,33%

17

MPP

100%

18

KPU Batam

100%

19

KPU Tg. Priok

20,00%

159

130

81,76%

Total

Sumber data: Capaian IKU Kemenkeu-One DJBC Tahun 2013

Target 2013
55%

106

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Capaian IKU persentase Hasil Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap oleh Kejaksaan (P-21) selama tiga tahun terakhir selalu melampau
target dengan jumlah kasus yang berfluktuatif, dan target tahun 2013 ini dinaikkan menjadi 55% yang pada tahun 2012 dan 2011
target ditetapkan 50%. Berikut perbandingan capaian IKU persentase Hasil Penyidikan yang Dinyatakan Lengkap oleh Kejaksaan
(P-21) dari tahun 2011 s.d. 2013 sebagaimana tabel 3.60.

Tabel 3.60

Perbandingan Capaian IKU Persentase Hasil Penyidikan yang


Dinyatakan Lengkap oleh Kejaksaan (P-21) Tahun 2011 s.d 2013

Tahun

SPDP

P-21/SP3

Realisasi

Target

2011
2012

121

96

79,34%

50%

150

118

78,67%

2013

50%

159

130

81,76%

55%

Walaupun pada tahun 2013 capaian indikator kinerja ini dapat melampaui target yang ditetapkan. Akan tetapi dalam pelaksanaan
penyidikan terdapat beberapa kendala yang dihadapi yang mana kendala-kendala tersebut akan sangat berpotensi menghambat
kinerja proses penyidikan pada tahun-tahun mendatang yaitu :
a) Kurangnya tenaga PPNS Bea Cukai yang terampil, yang antara lain disebabkan karena adanya perubahan persyaratan administrasi
untuk mengikuit pendidikan PPNS yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, yang mempersyaratkan calon peserta
diklat PPNS dengan pangkat minimal III/a dan telah memiliki ijazah S1.
b) Jumlah penyidik yang relatif sedikit, khususnya untuk kualifikasi Pelaksana. Banyak penyidik yang telah menduduki jabatan
struktural serta telah tersebar ke seluruh Indonesia serta penyebaran tenaga PPNS yang tidak merata dan proporsional dengan
beban penyidikan pada masing-masing kantor Bea Cukai.
c) Belum adanya kesepahaman dengan instansi penegak hukum lain di beberapa daerah berkaitan dengan pelaksanaan penegakan
hukum Kepabeanan dan Cukai.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk pencapaian target persentase hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21) dengan cara melakukan koordinasi antara penyidik pada masing-masing unit kerja dengan Jaksa Penuntut.
5) Persentase penyelesaian piutang bea dan cukai (KK-10.1.5)
Tujuan IKU ini adalah untuk mengukur tingkat ketertagihan piutang di DJBC. Piutang adalah piutang yang timbul atas pendapatan
sebagaimana diatur dalam undang-undang Pabean dan Cukai, yang belum diselesaikan sampai akhir periode Laporan Keuangan.
Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah
capaian yang diharapkan.
Jumlah piutang adalah akumulasi jumlah saldo awal piutang per 1 Januari 2013 (piutang outstanding) dan jumlah piutang terbit pada
tahun 2013. Piutang outstanding adalah jumlah piutang yang telah jatuh tempo dan belum diselesaikan sampai akhir periode Laporan
Keuangan. Sedangkan piutang terbit adalah jumlah piutang yang timbul pada tahun berjalan.
Jumlah piutang yang diselesaikan adalah akumulasi jumlah piutang yang telah diselesaikan pada tahun 2013 baik penyelesaian untuk
piutang yang berasal dari jumlah saldo awal piutang tahun 2013 maupun piutang terbit tahun 2013. Bentuk penyelesaian piutang
selama tahun berjalan (mutasi piutang sebagaimana dimaksud pada P-47/BC/2011 jo. PER-58/BC/2011) terdiri dari beberapa
mekanisme sesuai dengan Pasal 9 PER-58/BC/2011 yang dapat berupa :
a) Pembayaran/pelunasan
b) Penundaan pelunasan piutang
c) Pengangsuran pembayaran tagihan utang cukai
d) Pengalihan piutang pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
e) Penggunaan kompensasi cukai
f) Penggunaan kompensasi PPN
g) Keputusan Dirjen atas keberatan

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

107

h) Pengajuan banding ke Pengadilan Pajak


i) Pembatalan surat penetapan tagihan karena adanya persetujuan Direktur Jenderal untuk mengurangi dan menghapus tagihan dalam
surat penetapan
j) Pembatalan surat penetapan tagihan karena adanya persetujuan Direktur Jenderal untuk mengurangi atau menghapus sanksi
administrasi berupa denda
Pengukuran IKU persentase penyelesaian piutang bea dan cukai dengan cara membandingkan antara jumlah piutang bea dan cukai
yang diselesaikan dan jumlah piutang.
Pada tahun 2013 realisasi IKU ini adalah sebesar 82,49% dari target yang ditetapkan sebesar 75% sehingga nilai capaiannya 109,99%.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian indikator kinerja persentase penyelesaian piutang bea dan cukai, yaitu:
a) Beberapa KWBC belum dapat melakukan penagihan terutama piutang outstanding, karena antara laian :
t.BTJIUFSCBUBTOZBKVNMBIKVSVTJUBQBEB,8#$
t5JEBLEJUFNVLBOOZBBMBNBUQFSVTBIBBOZBOHCFSVUBOH 
t4FSUBQVUVTBOQFOHBEJMBOOJBHBZBOHNFNQBJMJULBOQFSVTBIBBO
b) Pada KWBC Kalimantan Bagian Timur terdapat piutang outstanding yang berumur lebih dari 3 tahun yang disebabkan oleh faktor
eksternal yang tidak dapat ditagih dan jumlahnya cukup besar, yaitu :
t157JDP*OEPOFTJBUPUBMQJVUBOHTFCFTBS3Q
t15)FOESBUOB1MZXPPEUPUBMQJVUBOHTFCFTBS3Q 
t15-JOUBT(MPCBM"SNBEBUPUBMQJVUBOHTFCFTBS3Q 
t.JHBT#1UPUBMQJVUBOHTFCFTBS3Q  
t155SJBT+BZBHVOBUPUBMQJVUBOHTFCFTBS3Q 
t15"SUIB#JOUBOH$FNFSMBOHUPUBMQJVUBOHTFCFTBS3Q 
t),BEJSEBO)4VMBJNBO4VQVUPUBMQJVUBOHTFCFTBS3Q 
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka pencapaian target penangihan piutang bea dan cukai adalah sebagai berikut:
a) Memberikan asistensi kepada KWBC dan KPPBC yang memiliki piutang yang belum tertagih;
b) Mengoptimalkan penagihan terutama piutang yang sedang dalam proses penagihan atau penagihannya sudah berjalan;
c) Terhadap perusahaan-perusahaan yang masih memiliki utang dan belum diblokir agar dilakukan pemblokiran;
d) Terhadap perusahaan yang masih memiliki utang dan tidak ditemukan lagi eksistensinya atau dinyatakan pailit oleh pengadilan, agar
dilakukan penelitian dan pembuktian sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
e) Sisa piutang yang belum tertagih akan dimaksimalkan penagihannya pada tahun 2014.
f) Melaksanakan diklat juru sita Bea Cukai.

108

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.16 berikut:

Grafik 3.16

Perkembangan Capaian Persentase Penyelesaian Piutang Bea dan


Cukai
90%

82.50%

79.34%

82.49%

80%
75%

70%
60%

50%

50%

Target
Realisasi

50%

40%
30%
20%
10%
0%
2011

2012

2013

6) Persentase pelaksanaan audit terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai (KK-10.1.6)
Efektivitas pelaksanaan audit kepabeanan dan cukai selain diukur dari penyelesaian jumlah LHA juga diukur dari persentase audit
terhadap perusahaan penerima fasilitas Kepabeanan dan Cukai. Indikator kinerja persentase audit terhadap perusahaan penerima
fasilitas Kepabeanan dan Cukai bertujuan untuk mengukur tingkat pengawasan terhadap pengusaha penerima fasilitas kepabeanan
dan cukai melalui kegiatan audit.
Audit kepabeanan dan cukai adalah pemeriksaan terhadap buku, catatan, surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor,
dan sediaan barang dalam rangka menguji kepatuhan perusahaan terhadap peraturan kepabeanan dan cukai. Fasilitas kepabeanan
dan cukai adalah pemberian insentif terhadap pengusaha berupa fasiltas yang terkait dengan pelayanan dan fasilitas terkait dengan
fiskal kepabeanan dan cukai.
Indikator kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap pengusaha penerima fasilitas kepabeanan dan cukai.
Pencapaian indikator kinerja ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari
target adalah capaian yang diharapkan.
Pengukuran persentase audit terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai dengan cara membandingkan antara
jumlah audit terhadap pengusaha penerima fasilitas yang dilaksanakan dengan jumlah pengusaha penerima fasilitas.
Pada tahun 2013 pelaksanaan audit terhadap pengusaha fasilitas kepabeanan telah dilakukan terhadap 334 perusahaan dari total
pengusaha penerima fasilitas kepabeanan dan cukai sejumlah 3.230. Realisasi capaian IKU ini adalah 10,34% dari target yang
ditetapkan sebesar 10% (sesuai addendum Kontrak Kinerja Nomor : 4A/KK/2013).

109

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.61

Audit Terhadap Perusahaan Penerima Fasilitas


Kepabeanan dan Cukai Tahun 2013

Audit Fasilitas Kepabeanan dan Cukai


Telah dilakukan Audit fasilitas Kepabeanan dan Cukai
sebanyak = 334

Realisasi
(%)

Target
(%)

10,34%

10,00%

Dari Perusahaan penerima Fasilitas Kepabeanan dan


Cukai = 3230
Sumber data : Capaian IKU Kemenkeu-One DJBC Tahun 2013
Realisasi capaian indikator kinerja ini di tahun 2013 sebesar 10,34% mengalami peningkatan dibandingkan capaian tahun 2012 yang
sebesar 8,07%. Berikut perbandingan realisasi capaian indikator kinerja persentase audit terhadap perusahaan penerima fasilitas
Kepabeanan dan Cukai sebagaimana tabel 3.62.

Tabel 3.62

Perbandingan Audit Terhadap Perusahaan Penerima Fasilitas Kepabeanan


dan Cukai Tahun 2012 s.d 2013

Tahun

Perusahaan
Perusahaan
Penerima Fasilitas Penerima Fasilitas
Kepabeanan dan
Kepabeanan
Cukai
dan Cukai yang
diaudit

Realisasi
(%)

Target
(%)

2012

3.655

295

8,07%

5%

2013

3.230

334

10,34%

10%

Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 2 (dua) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.17 berikut:

Grafik 3.17

Perkembangan Capaian Persentase Pelaksanaan Audit


Terhadap Perusahaan Penerima Fasilitas Kepabeanan Dan Cukai

12%
10.34%
10%
8.07%

10%

8%

Target
Realisasi

6%

5%

4%
2%
0%
2012

2013

110

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

b. Indeks ketepatan waktu penyelesaian tindak lanjut Instruksi Presiden (KK-10.2)


IKU ini bertujuan untuk memonitor pelaksanaan tindak lanjut instruksi presiden. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang
melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan. Instruksi Presiden (Inpres)
yang perlu ditindaklanjuti adalah seluruh aksi dan keluaran dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013 yang harus dilaksanakan atau dihasilkan pada periode tahun berjalan dan menjadi tanggung
jawab langsung Kemenkeu. Indeks ketepatan waktu tindak lanjut atas Inpres tersebut dijadikan sebagai salah satu indikator untuk
mengukur pengendalian mutu dan penegakan hukum yang efektif di lingkungan Kemenkeu.
Pelaksanaan aksi serta monitoring dan evaluasi keluaran Inpres dilaksanakan oleh unit eselon I yang memiliki tugas, fungsi, dan
kewenangan terkait atau unit yang ditunjuk langsung oleh Menteri Keuangan. Inpres dinyatakan telah selesai ditindaklanjuti apabila
ukuran keberhasilan target antara aksi dalam Inpres telah dilaksanakan.
Selama tahun 2013, Itjen selaku APIP Kemenkeu telah melaksanakan pemantauan tindak lanjut Inpres Nomor 1 Tahun 2013 yang
dilaksanakan oleh unit in charge (UIC) di lingkungan Kemenkeu. Dari 12 (dua belas) rencana aksi pencegahan dan pemberantasan
korupsi yang menjadi tanggung jawab Kemenkeu sebagaimana diamanatkan dalam Inpres dimaksud, seluruh UIC di lingkungan
Kemenkeu telah menindaklanjuti seluruh target antara aksinya dengan nilai indeks ketepatan waktu keseluruhan sebesar 87,39. Tindak
lanjut atas Inpres tersebut telah dilaporkan APIP dan telah diverifikasi oleh UKP4. Adapun rincian indeks ketepatan waktu penyelesaian
tindak lanjut Inpres Nomor 1 Tahun 2013 berdasarkan UIC, adalah sebagaimana dituangkan dalam tabel 3.63.

Tabel 3.63

Indeks Ketepatan Waktu Penyelesaian Tindak Lanjut


Instruksi Presiden Tahun 2013

UIC

TW I

TW II

TW III

TW IV

% Capaian

DJP

77,07

82,76

86,13

87,73

109,67%

DJBC

100

100

93,33

93,33

116,67%

BKF

100

78,67

80

84,00

105,00%

DJA

80,00

86,33

86,67

88,39

110,49%

SETJEN

82,67

100

82,67

82,67

103,33%

ITJEN

94,22

91,56

89,50

90,44

113,06%

KEMENKEU

81,05

86,60

86,35

87,39

109,24%

Capaian atas indeks ketepatan waktu penyelesaian tindak lanjut Inpres Nomor 1 tahun 2013 telah memenuhi bahkan melebihi target
nilai indeks yaitu sebesar 80. Hal ini menunjukkan bahwa aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang telah ditetapkan dan
diamanatkan untuk dilaksanakan Kemenkeu telah terealisasi secara efektif di tahun 2013.
Beberapa realisasi atas target rencana aksi dalam Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2013 yang telah ditindaklanjuti Kemenkeu pada
tahun 2013 antara lain:
1) Seluruh rekomendasi hasil survei indeks kepuasan di lingkungan DJP telah ditindaklanjuti 100%;
2) Sebagai upaya peningkatan penerimaan negara, DJBC dan DJP telah melaksanakan joint audit pada beberapa perusahaan;
3) Terintegrasinya database anotasi/risalah putusan pengadilan pajak dengan database putusan peradilan di website Mahkamah
Agung;
4) Sebagai upaya penguatan fungsi supervisi dan pengendalian atas PNBP, telah diterapkan Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI)
serta dilakukan penyempurnaan proses bisnisnya;
5) Terintegrasinya Whistle Blowing System dan penanganan pengaduan masyarakat di Kemenkeu;
6) Terselesaikannya 60% kasus pengaduan yang tercatat, secara transparan dan konsisten di lingkungan DJP; serta
7) Terlaksananya strategi komunikasi Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi melalui sosialisasi dan kampanye budaya anti korupsi di
lingkungan internal/seluruh Satker Kementerian Keuangan.

111

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 2 (dua) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.18 berikut:

Grafik 3.18

Perkembangan Capaian Indeks Ketepatan Waktu


Penyelesaian Tindak Lanjut Instruksi Presiden

87.39%

12%
10%
8%

83.62%

Target
Realisasi

6%
80%

4%

80%

2%
0%

2012

2013

c. Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L (KK-10.3).


Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L adalah persentase realisasi penarikan dana DIPA K/L dalam satu periode
dibandingkan dengan tolok ukur trend penarikan dana DIPA K/L dalam satu periode.
IKU ini bertujuan untuk mewujudkan optimalisasi dana terhadap capaian kinerja yang telah direncanakan. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Persentase ketepatan pola penarikan dana DIPA K/L Triwulan IV 2013 (data s.d tanggal 15 Januari 2014) adalah sebesar 89,01%
dibandingkan dengan persentase target realisasi penyerapan DIPA K/L Triwulan IV 2013 sebesar 90% adalah 98,92%.
Penyerapan anggaran yang masih di bawah target antara lain disebabkan adanya blokir yang tidak dicairkan sebesar Rp4.644,72 miliar
dan realisasi yang belum bersifat final, karena masih adanya dispensasi untuk pembayaran TA 2013 serta pengajuan SPM PTUP dan
SPM GUP Nihil masih dapat dilakukan s.d. tanggal 8 Januari 2014.

Grafik 3.19

Pola Penyerapan DIPA K/L Sepanjang Tahun 2013

100%

0.9

90%
80%

0.87

0.6

70%
60%
0.4

50%

0.49

Target

40%
30%
20%

Realisasi

10%
0%

0.26

0.15
0.08
Q1

Q2

Q3

Q4

112

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Upaya yang dilakukan dalam rangka pencapaian target adalah dengang mengadakan rapat koordinasi dengan Kementerian/Lembaga
untuk me-review penyerapan anggaran tahun 2013, mengembangkan Aplikasi Monitoring dan Evaluasi Penyerapan Anggaran serta
melakukan pengembangan Website Monev dan helpdesk terkait pelaksanaan anggaran
Penyerapan anggaran K/L sampai dengan Triwulan IV tahun 2013 (data s.d tanggal 15 Januari 2014) adalah sebesar Rp570.568,98
miliar atau sebesar 89,01% dari pagu DIPA K/L sebesar Rp641.009,57 miliar. Capaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
capaian tahun 2013 yang hanya sebesar 88,20%.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan penyerapan anggaran pada tahun 2013 dibawah target yang ditetapkan, beberapa hal
yang menyebabkan hal tersebut adalah:
1) Terdapat blokir anggaran yang tidak dicairkan sebesar Rp4.644,72 miliar;
2) Realisasi yang belum bersifat final dikarenakan masih adanya dispensasi untuk pembayaran Tahun Anggaran 2013 serta pengajuan
SPM TUP dan SPM GUP Nihil yang masih dapat dilakukan s.d tanggal 8 Januari 2014.
Tabel 3.64 menggambarkan perbandingan penyerapan anggaran antara triwulan IV tahun 2012 dengan triwulan IV tahun 2013.

Tabel 3.64

Perbandingan Penyerapan Anggaran


Triwulan IV Tahun 2012 dan Tahun 2013

Triwulan IV 2012
(dalam miliar rupiah)

Uraian

Triwulan IV 2013
(dalam miliar rupiah)

Pagu

Realisasi

Pagu

Realisasi

Belanja Pegawai

109.191,71

108.297,19

99,18

149.346,17

140.339,28

93,97

Belanja Barang

145.665,25

124.488,36

85,46

196.277,30

166.536,63

84,85

Belanja Modal

144.137,74

116.505,13

80,83

199.387,68

171.201,84

85,86

Bantuan Sosial

73.215,86

67.211,76

91,80

95.998,42

92.491,22

96,35

Total

472.210,56

416.502,45

88,20

641.009,57

570.568,98

89,01

Pada tahun 2013 terdapat beberapa Kementerian Negara/Lembaga dengan blokir dana terbesar dan berpengaruh terhadap
penyerapan anggaran. Tabel 3.65 menjelaskan rincian Kementerian Negara/Lembaga dengan blokir dana terbesar.

Tabel 3.65

Daftar Dana Blokir Kementerian/Lembaga Tahun 2013

No

Kementerian Negara/Lembaga

Dana Blokir

Kejaksaan Republik Indonesia

111.360.000.000

Kementerian Dalam Negeri

304.375.432.000

Kementerian Pertahanan

642.615.589.000

Kementerian Perhubungan

319.147.256.000

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

355.720.123.000

Kementerian Pekerjaan Umum

Kepolisian Negara Republik Indonesia

1.839.443.723.000

Total

3.826.727.793.020

254.065.670.020

Proporsi Pagu DIPA per jenis Belanja Tahun Anggaran 2013 dan persentase Penyerapan DIPA Tahun Anggaran 2013 dapat
digambarkan seperti grafik 3.20.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

113

Grafik 3.20

Proporsi Pagu DIPA per Jenis Belanja TA 2013

Barang

31%

31%

Bansos
Pegawai

15%

Modal

23%

d. Rata-rata indeks opini BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 (KK-10.4)
Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel diwujudkan dengan penyusunan Laporan Keuangan (LK) yang lengkap oleh Pemerintah
Pusat. Bentuk dari peningkatan kualitas LK dapat diidentifikasi dari ketepatan penyusunan pertanggungjawaban anggaran dan opini
yang baik dari pemeriksa atas unsur-unsur pembentuk laporan keuangan.
Untuk memperoleh nilai indeks opini BPK RI, opini yang diberikan oleh BPK RI terhadap tiap-tiap laporan keuangan sebagaimana
tercantum dalam Tabel 3.4 dikonversikan ke dalam indeks berskala 1 s.d. 4 di mana masing-masing skala memilki makna: 1 untuk
opini Tidak Wajar; 2 untuk opini Tidak Memberikan Pendapat; 3 untuk opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP); dan 4 untuk opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (WTP DPP) atau Wajar Tanpa
Pengecualian Modifikasi Kata-kata, dan dihitung dengan bobot tertentu. Indeks ini digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pengawasan (monitoring, review, dan pendampingan audit BPK RI) yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)
dalam membantu meningkatkan kualitas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.09/2011 tanggal 2 Mei 2011 tentang Kebijakan Pengawasan Intern
Kementerian Keuangan, Arah kebijkan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) adalah untuk mewujudkan
sistem pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kemenkeu. Pelaksanaan kebijakan pengawasan tersebut dilaksanakan APIP salah
satunya melalui pelaksanaan review dalam rangka menjamin kualitas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999.
Untuk menjamin kualitas laporan keuangan tersebut, sejak tahun 2008 APIP melaksanakan berbagai kegiatan monitoring, review, dan
pendampingan audit BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 terhadap unit-unit terkait di lingkungan Kemenkeu. Melanjutkan
upaya sebagaimana telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, selama tahun 2013 telah direalisasikan berbagai kegiatan

monitoring, review, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 tahun 2012. Hasil
opini BPK RI atas LK tahun 2012 disajikan secara rinci dalam Tabel 3.66

114

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.66

Rincian Opini BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 tahun 2012

Kode
BA 15

Nama LK

Opini LK Tahun 2012


Target

Realisasi

Opini LK Tahun
2011

WTP

WTP

WTP

WTP

WDP

WDP

Kementerian Keuangan
Bendahara Umum
Negara

BA 999.01

Pengelolaan Utang

WTP

WTP DPP

WTP

BA 999.02

Pengelolaan Hibah

WTP

WTP DPP

WDP

BA 999.03

Investasi Pemerintah

WTP

WTP DPP

WTP

BA 999.04

Penerusan Pinjaman

WTP

WTP

WTP

BA 999.05

Transfer ke Daerah

WTP

WTP

WTP

BA 999.07

Belanja Subsidi

WTP

WTP DPP

WTP

BA 999.08

Belanja Lain-lain

WTP

WTP

WTP

BA 999.99

Transaksi Khusus

WTP

N/A

Keterangan:

Sesuai dengan pembobotan yang dilakukan (50% untuk BA 15 dan 50% untuk LK BUN, BA 999.01 s.d. BA 999.05, BA 999.07
s.d. BA 999.08 dan BA 999.99), maka didapatkan indeks dengan skor 3,94. Adapun BA 999.99 (Transaksi Khusus) pada tahun
2012 belum dilakukan penilaian oleh BPK RI.

Realisasi IKU rata-rata indeks opini BPK RI atas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999 tidak tercapai sesuai dengan target (nilai indeks
3,94 dari target nilai indeks 4). Hal ini disebabkan karena opini BPK RI atas LK BUN Tahun 2012 hanya memperoleh opini BPK RI
berupa WDP dari target opini berupa WTP. Diketahui bahwa opini WDP atas LK BUN Tahun 2012 tersebut disebabkan masih terdapat
permasalahan terkait dengan untung/rugi selisih kurs yang belum dilakukan sesuai Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan,
kelemahan penganggaran dan penggunaan belanja barang, modal dan belanja bantuan sosial, penelusuran dan penilaian aset
eks-BPPN dan PT PPA yang masih belum selesai dilaksanakan, serta permasalahan terkait dengan adanya perbedaan nilai Saldo
Anggaran Lebih (SAL) yang dilaporankan dengan keberadaan fisiknya. Sebagai wujud concern Kemenkeu atas permasalahan ini,
pada tahun 2013 dan tahun-tahun berikutnya peningkatan kualitas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999 menjadi salah satu tema
pengawasan unggulan yang harus dilaksanakan oleh Itjen.
Meskipun nilai indeks opini BPK RI atas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999 tahun 2012 belum mencapai nilai 4,00 sebagaimana
yang ditargetkan pada tahun 2013, namun secara umum kualitas LK tersebut telah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal
tersebut dapat dilihat dari trend nilai indeks opini BPK RI yang terus mengalami peningkatan yaitu 3,13 di tahun 2010, 3,19 di tahun
2011, 3,88 di tahun 2012, dan di tahun 2013 nilai indeks opini BPK RI atas LK BA 015, LK BUN, dan LK BA 999 adalah sebesar
3,94. Trend meningkat atas nilai indeks opini BPK RI tersebut merupakan salah satu bukti nyata bahwa Kemenkeu terus berupaya
untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Kerjasama yang baik antara unit penyusun dan pengelola LK dengan
APIP selaku unit monitoring dan review juga telah ikut andil dalam mendorong peningkatan kualitas laporan keuangan dan telah
menumbuhkan semangat dan keyakinan bahwa target nilai 4,00 atas indeks opini BPK RI dapat tercapai di tahun-tahun mendatang.
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas laporan keuangan sebagai salah satu wujud dari pengelolaan Keuangan
Negara yang akuntabel, action plan yang akan dilaksanakan pada tahun 2014 antara lain:
1) Mengintensifkan kegiatan monitoring, review, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK RI atas LK BA 015, LK BUN,
dan LK BA 999;
2) Asistensi penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan;
3) Monitoring tindak lanjut hasil audit BPK RI; serta
4) Terkait dengan permasalahan penyelesaian dan penelusuran aset eks-BPPN dan PT PPA akan dilakukan koordinasi dengan unit
terkait (BPK RI, DJKN, PPATK, dan unit lainnya) untuk mencari kemungkinan alternatif solusi atas aset eks-BPPN dan PT PPA yang
tidak ditemukan dokumen pendukungnya.

115

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.21.

Grafik 3.21

Perkembangan Capaian Rata-rata Indeks Opini


BPK RI atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999

4.5

3.94

3.88

3.19

3.5

3.25

Target
Realisasi

2.5
2
1.5
1
0.5
0
2011

2012

2013

11. Sasaran Strategis 11: SDM yang berkompetensi tinggi (KK-11)


Pembentukan SDM adalah upaya untuk menyiapkan SDM yang berkompetensi tinggi untuk kepentingan jangka panjang. Dalam
pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 5 (lima) Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagaimana
ditabulasikan dalam tabel III.67 berikut.

Tabel 3.67

Capaian IKU pada Sasaran Strategis SDM yang Berkompetensi Tinggi

KK 11. SDM yang berkompetensi tinggi


Indikator Kinerja
1.

Persentase pejabat yang telah


memenuhi standar kompetensi jabatan

2.

Persentase diklat yang berkontribusi


terhadap peningkatan kompetensi

3.

Persentase pegawai yang memenuhi


standar jamlat

4.

Persentase penyelesaian blueprint


manajemen SDM

5.

Persentase akurasi data SIMPEG

Target

Realisasi

Kinerja

87%

88,52%

101,75%

90%

98,31%

109,23%

50%

66,21%

120%

100%

N/A

N/A

100%

99,56%

99,56%

Uraian mengenai kelima IKU tersebut adalah sebagaimana berikut ini.


a. Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya (KK-11.1)
IKU ini bertujuan untuk mengukur persentase pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai kompetensi sesuai
dengan Standar Kompetensi Jabatannya (SKJ). SKJ (Standar Kompetensi Jabatan) adalah jenis dan level kompetensi yang menjadi
syarat keberhasilan pelaksanaan tugas suatu jabatan. Angka yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai Job Person Match (JPM)
seluruh pejabat eselon II dan III di lingkungan Kementerian Keuangan dibagi dengan jumlah pejabat eselon II dan III yang telah

116

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

mengikuti assesment. JPM merupakan skor kesesuaian antara level kompetensi pejabat dengan Standar Kompetensi Jabatan
(SKJ). JPM diperoleh dengan menghitung persentase perbandingan level kompetensi pejabat dengan SKJ target dan nilai JPM yang
disyaratkan adalah minimum 72%. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian
yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Di tahun 2013 pejabat eselon II dan III yang telah di-assess sejumlah 1.604. Dari keseluruhan pejabat tersebut, 1.420 orang telah
memenuhi standar kompetensi yaitu skor Job Person Match (JPM) 72. Sedangkan 184 orang lainnya belum memenuhi standar JPM
yang ditetapkan. Dari hasil ini diperoleh realisasi persentase pejabat Kementerian Keuangan yang telah memenuhi standar kompetensi
sebesar 88,52% lebih tinggi dari target yang ditentukan yaitu sebesar 87%.

Tabel 3.68

Capaian JPM Kementerian Keuangan

No

Pejabat Eselon Il Dan Eselon III

1.

Total pejabat yang sudah mengikuti

Jumlah
1.604

assesment center
2.

Pejabat dengan JPM 72

1.420

3.

Pejabat dengan JPM 72

184

Capaian JPM

88,53%

Teknis pelaksanaan kegiatan untuk pencapaian IKU dimaksud adalah dengan melakukan pemantauan pergerakan mutasi dan
promosi pejabat struktural Kementerian Keuangan, untuk selanjutnya dilakukan pemetaan (mapping) atas pejabat-pejabat yang masih
perlu di-reassess. Hal ini dilaksanakan dengan payung hukum yang diatur dalam Peraturan Sekretaris Jenderal nomor 55 Tahun
2008 tentang Pelaksanaan Assessment Center Departemen Keuangan. Adapun di setiap kuartal dilakukan monitoring atas pejabatpejabat eselon II dan III Kementerian Keuangan yang belum di-assess setelah menduduki jabatan struktural definitifnya maupun bagi
pejabat yang skor JPM masih di bawah 72. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Assessment Center (AC) bagi pejabat eselon
II dan III Kementerian Keuangan adalah lebih ke teknis pemanggilan/penjadwalan AC para pejabat dimaksud. Solusi atas kesulitan
menyesuaikan jadwal AC dengan jadwal kegiatan peserta AC adalah dengan melakukan koordinasi dan konfirmasi lebih awal untuk
memperoleh kepastian jadwal.

117

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.22 berikut:

Grafik 3.22

Perkembangan Capaian Persentase Pejabat Yang


Telah Memenuhi Standar Kompetensi Jabatan

90.00%

88.52%

88.00%
85.90%

86.00%

87.00%

84.00%
82.00%

81.66%
Target

82.50%

Realisasi

80.00%
78.00%

80.00%

76.00%
74.00%
2011

2012

2013

b. Persentase diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kompetensi (KK-11.2)


Diklat adalah program pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi yang memiliki kurikulum sesuai dengan kebutuhan pemenuhan
kompetensi SDM, baik berupa hard maupun soft competencies. Kompetensi diartikan sebagai kemampuan (capability) atau keahlian
(expertise) yang lebih dari sekedar keterampilan (skill) belaka. Kompetensi juga merupakan hasil dari pengalaman yang melibatkan
pemahaman/pengetahuan, tindakan nyata, serta proses mental yang terjadi dalam jangka waktu tertentu serta berulang-ulang sehingga
menghasilkan kemampuan/keahlian dalam bidang tertentu. Oleh karena itu dikatakan pula bahwa kompetensi dibentuk oleh interaksi
antara faktor pengalaman dan faktor bawaan. Kompetensi digunakan pula untuk menggambarkan pengelompokan pengetahuan,
keahlian dan perilaku yang menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam pekerjaan.
Diklat yang berkontribusi terhadap peningkatan kinerja adalah program pendidikan dan pelatihan untuk Kementerian Keuangan yang
dinilai memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai setelah mengikuti program diklat di BPPK. Penilaian ini
diperoleh dari hasil evaluasi pascadiklat terhadap program-program diklat yang didesain oleh BPPK, melalui kuesioner yang disampaikan
kepada unit-unit pengguna pada periode tertentu.
IKU ini bertujuan untuk mengukur efektivitas diklat yang didesain dan diselenggarakan oleh BPPK untuk meningkatkan kompetensi
SDM Kementerian Keuangan. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang
makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.

118

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pada tahun 2013, capaian Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan adalah 98,31% dari target 90%. Data tersebut diperoleh dari
hasil evaluasi pasca diklat terhadap program-program yang dirancang dan dilaksanakan oleh BPPK. Kegiatan yang diajukan untuk
dievaluasipascadiklatkan adalah sebagaimana tabel 3.69 berikut.

Tabel 3.69

Daftar Diklat Yang Dievaluasi Tahun 2013

No.
1.

2.

3.

4.

5.

Unit
Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan

Pusdiklat Pajak

Pusdiklat Bea dan Cukai

Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan


Keuangan

Nama Diklat
1.

DBK Pelaksana

2.

DKK Kreativitas dan Inovasi

1.

Diklat Bendahara Pengeluaran

2.

DTSS Pengadaan Barang dan Jasa

3.

DTSS Pejabat Pembuat Komitmen

4.

DTSS Budget Reviewer

5.

DTSS Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja

6.

DTSS Pembinaan Perbendaharaan pada Kanwil DJPBn

1.

DTSS Account Representative

2.

DTSS Ekstensifikasi

3.

DTSS KUP Tingkat Menengah

4.

DTSS Penyegaran Juru Sita Pajak

5.

DTSS Penyuluh Perpajakan

6.

DTSS Perpajakan Tingkat Menengah

7.

DTSS Petugas Pelayanan

8.

DTSS Manajemen Ekstensifikasi

9.

DTSS Manajemen Pemeriksaan

10.

DTSS Manajemen Pengawasan dan Konsultasi

11.

DTSS Manajemen TU dan Umum

12.

Diklat Penyegaran Fungsional PBB

1.

DTU Kesamaptaan

2.

DTSD Kepabeanan dan Cukai

3.

DTU Keterampilan dan Pemeliharaan Senjata DJBC

4.

DTSS Teknik Pemeriksaan

5.

DTSS Intelijen Taktis

6.

DTSS Intelijen Analis

7.

DTSS Kepatuhan Internal

8.

DTSS Layanan Informasi

9.

DTSS Penyidik Kepabeanan dan Cukai

10.

DTSS Pemeriksaan Sarana Pengangkut Udara

11.

DTSS Penggunaan Pemindai Kabin dan Kargo

12.

DTSS Juru Sita

13.

DTSS Patroli dan Pemeriksaan Sarana Pengangkut Laut

14.

DTSS Audit Forensik

15.

DTSS Cukai Lanjutan

16.

DF Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen

17.

Workshop Frontliner Indonesian Airport Customs

18.

Workshop Rules Of Origin

19.

Workshop Ketua Auditor

20.

Workshop Pengendali Teknis Audit

1.

DTSD Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

119

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

6.

Pusdiklat Keuangan Umum

2.

DTSS Pengelolaan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (Bagi


Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan)

3.

DTSS Analisis Perekonomian Daerah Tingkat Lanjutan

4.

DTSS Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Miliki Negara (Bagi Pengguna Barang)

5.

DTSS Pemeriksa Piutang Negara Dasar

6.

DTSS Supervisor Teknologi Informasi dan Komunikasi DJKN


Tingkat Pemula

7.

DTSS Penilaian Properti Dasar

8.

DTSS Pejabat Lelang Angkatan I

9.

DTSS Pengelolaan Barang Milik Negara (Bagi Pengelola)

1.

Diklat Analisis Beban Kerja

2.

Diklat Manajemen Risiko

3.

Diklat Ekonometrika

4.

Diklat Evaluasi Pasca Diklat

5.

Diklat Penulisan Laporan Hasil Audit untuk Anggota Tim

6.

Diklat Manajemen Diklat

7.

Diklat Legal Drafting

8.

Diklat Pranata Komputer Ahli

9.

Diklat Akuntansi PSAK Konvergensi IFRS

10.

Diklat Business English

Program diklat yang dievaluasipascadiklatkan adalah program diklat pada Semester I tahun 2013. Berkenaan dengan jumlah program
diklat yang harus diukur terlalu banyak sehingga tidak dapat dilakukan pengukuran sepenuhnya, akan dilakukan sampling atas programprogram diklat tersebut. Pengukuran kontribusi terhadap kompetensi difokuskan pada munculnya perilaku yang sesuai dengan tujuan
kurikulum diklat yang dievaluasi, dengan melakukan survei kepada alumni diklat atau atasan/rekan kerja alumni diklat.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.23 berikut:

Grafik 3.23
Perkembangan Capaian Persentase Diklat Yang Berkontribusi Terhadap Peningkatan Kompetensi

120
100
80

100%

96.88%

98.31%
90%

85%

80%

Target
Realisasi

60
40
20
0

2011

2012

2013

120

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

c. Persentase pegawai yang memenuhi standar jamlat (KK-11.3)


Standar jamlat adalah jumlah minimal jam pelatihan yang harus dipenuhi oleh setiap pegawai pada level jabatan tertentu
dalam waktu satu tahun. Lingkup pelatihan adalah diklat yang diselenggarakan di BPPK maupun di luar BPPK, meliputi
seminar, sosialisasi, internship/on the job training, basic training (DTSD, Semapta), workshop, bimbingan teknis, sharing

session, in-house training. Untuk bimbingan teknis, sharing session dan in-house training harus yang melibatkan narasumber
eksternal satker penyelenggara. Dikecualikan dari lingkup pelatihan adalah tugas belajar yang meliputi Program Diploma III
Kurikulum Khusus dan Diploma IV STAN, serta Program Sarjana dan Pascasarjana.
Target pegawai yang memenuhi standar jamlat adalah sebesar 50% dari jumlah pegawai pada tiap unit Eselon I. Standar jamlat per
tahun per pegawai adalah sebagai berikut:
Pelaksana: 30 Jamlat

Eselon III : 30 Jamlat

Fungsional: 40 Jamlat

Eselon II : 15 Jamlat

Eselon IV:

Eselon I

30 Jamlat

: 15 Jamlat

IKU ini bertujuan untuk mengukur upaya Kementerian Keuangan dalam mengembangkan SDM-nya melalui alokasi waktu kerja
yang digunakan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. IKU ini bermanfaat untuk mencermati kebutuhan pengembangan SDM
dan menempatkannya dalam program kerja pengembangan SDM melalui diklat secara proporsional. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, seluruh unit eselon I telah mencapai IKU ini. Adapun rincian capaian IKU ini adalah sebagaimana tabel 3.70 berikut.

Tabel 3.70

Rincian Capaian IKU Persentase Pegawai Yang Memenuhi Standar Jamlat

Unit

Jumlah Pegawai

Memenuhi

Capaian

1.871

1.327

70,92%

Setjen
DJA

774

774

100,00%

DJP

30.112

21.330

70,84%

DJBC

10.701

5.819

54,38%

DJPB

7748

4346

56,09%

DJKN

3.449

2.346

68,02%

DJPK

426

231

54,23%

DJPU

301

228

75,75%

Itjen

547

508

92,87%

BKF

466

256

54,94%

BPPK

1.165

943

80,94%

Kemenkeu

57.560

38.108

66,21%

d. Persentase penyelesaian blueprint manajemen SDM (KK-11.4)


Program Penyusunan Blueprint SDM adalah rangkaian kegiatan yang akan menghasilkan output:
1) Sistem manajemen SDM berbasis kompetensi sesuai dengan misi dan visi Kementerian Keuangan;
2) Desain organisasi pengelola SDM yang mendukung pelaksanaan Cetak Biru Manajemen SDM Kementerian Keuangan;
3) Tata Kelola (proses bisnis) organisasi pengelola SDM Kementerian Keuangan yang mendukung pelaksanaan Cetak Biru
Manajemen SDM Kementerian Keuangan;
4) Strategi implementasi dan time table Cetak Biru Manajemen SDM berbasis kompetensi yang terdiri dari sasaran strategis,
program kerja dan KPI masing-masing program kerja.
IKU ini bertujuan untuk memberikan pedoman dan panduan untuk pengembangan SDM di Lingkungan Kementerian Keuangan. Cetak
Biru Manajemen SDM diharapkan dapat menyatukan langkah unit-unit di Lingkungan Kementerian Keuangan untuk mengembangkan

121

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

manajemen SDM. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi
dari target adalah capaian yang diharapkan.
Dalam perkembangannya IKU ini telah dihapuskan melalui addendum Kontrak Kinerja Nomor: 1A/KK/2013 dan diintegrasikan
capaiannya dalam IKU persentase Penyelesaian Blueprint Transformasi Kelembagaan (KK-12.4).
e. Persentase akurasi data SIMPEG (KK-11.5)
SIMPEG merupakan aplikasi kepegawaian yang berfungsi untuk menyimpan data pribadi atau data kepegawaian di lingkungan
Kementerian Keuangan. Yang dimaksud dengan akurasi data adalah kelengkapan dan kebenaran komponen data pegawai yang
terdapat pada aplikasi meliputi Nama Lengkap, Nomor Induk Pegawai, Pangkat (golongan/Ruang), Tempat Tanggal Lahir, dan Jabatan
(dirinci sampai unit terendah), pendidikan terakhir. Jika salah satu komponen data seorang pegawai tidak lengkap atau tidak benar,
maka data tersebut dinyatakan tidak akurat.
IKU ini bertujuan untuk mengukur akurasi terhadap data SIMPEG untuk mendukung pengelolaan pegawai. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Persentase Akurasi data SIMPEG sebagian besar unit sudah tercapai, kecuali DJBC dan DJKN. Rincian capaian akurasi data SIMPEG
ditabulasikan dalam tabel 3.71 berikut.

Tabel 3.71

Rincian Capaian Akurasi Data SIMPEG Tahun 2013

Unit

Jumlah Sampel

Jumlah data yang


Akurat

Capaian

Setjen

1891

1891

100.00%

DJA

394

394

100.00%

DJP

1515

1515

100.00%

DJBC

910

883

97.03%
100.00%

DJPB

600

600

DJKN

609

603

99.01%

DJPK

445

445

100.00%

DJPU

299

299

100.00%

Itjen

390

390

100.00%

BKF

423

423

100.00%

BPPK

100

100

100.00%

Total

7576

7543

99.56%

12. Sasaran Strategis 12: Organisasi yang adaptif (KK-12)


Organisasi yang adaptif adalah organisasi baik tingkat pusat, instansi vertikal maupun unit pelaksana teknis yang sesuai dengan
perkembangan kebutuhan pelaksanaan tugas dan tuntutan masyarakat. Dalam pencapaian sasaran strategis ini Kementerian
Keuangan mengidentifikasikan 4 (empat) Indikator Kinerja Utama (IKU), dengan rincian sebagaimana tabel 3.72 berikut:

122

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.72

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Organisasi yang Adaptif

KK 12. Organisasi yang adaptif


Indikator Kinerja
1.

Nilai reformasi birokrasi

2.

Persentase policy recommendation hasil


pengawasan yang ditindaklanjuti

3.

Persentase penyelesaian blueprint Transformasi


Kelembagaan

4.

Tingkat kematangan penerapan manajemen risiko

Target

Realisasi

Kinerja

92

94,78

103,02%

90%

94,34%

104,82%

100%

98%

98%

55 (risk defined)

58,66 (risk defined)

106,55%

Uraian mengenai keempat IKU adalah sebagai berikut.


a. Nilai reformasi birokrasi (KK-12.1)
Sebagai pelopor reformasi birokrasi, Kemenkeu dituntut untuk selalu dapat membangun organisasi yang adaptif, sesuai dengan
perkembangan kebutuhan pelaksanaan tugas, serta tuntutan masyarakat. Untuk melihat sejauh mana kesesuaian reformasi birokrasi
yang dijalankan Kemenkeu mampu memenuhi harapan masyarakat, maka diperlukan adanya penilaian atas pelaksanaan programprogram reformasi birokrasi di lingkungan Kemenkeu dengan menggunakan metode penilaian sesuai dengan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi (PMPRB).
Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi merupakan instrumen penilaian kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi yang
dilakukan secara mandiri (self assessment) oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Model PMPRB ini menitikberatkan
penilaian pada 2 (dua) komponen utama yaitu Komponen Pengungkit (Enablers) meliputi kriteria kepemimpinan, perencanaan strategik,
SDM aparatur, kemitraan dan sumber daya, serta proses; dan Komponen Hasil (Result) yang terdiri dari kriteria hasil pada masyarakat/
pengguna layanan, kriteria hasil pada komunitas lokal, nasional dan internasional, kriteria hasil pada sumber daya manusia aparatur,
dan kriteria hasil kinerja utama.
IKU ini bertujuan untuk menilai pelaksanaan program reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan. Pencapaian IKU ini
menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang
diharapkan.
Dari hasil PMPRB pada tingkat Kemenkeudiperoleh dari rata-rata nilai reformasi birokrasi unit eselon I Kemenkeu, dengan melibatkan
397 responden diperoleh nilai reformasi birokrasi Kemenkeu sebesar 94,78 dari target 92. Hasil penilaian beserta kertas kerja PMPRB
tersebut, selanjutnya di-submit secara online ke website Menpan dan RB pada hari Sabtu, 30 Maret 2013 pukul 10.50 WIB (batas
waktu submit 31 Maret 2013). Rincian nilai reformasi birokrasi Kemenkeu untuk setiap kriteria pada masing-masing komponen penilaian
dapat dilihat seperti pada Tabel 3.73.

Tabel 3.73

Rincian Nilai Reformasi Birokrasi Kemenkeu Tahun 2013

No

Kriteria

Nilai

KOMPONEN PENGUNGKIT

Bukti Dokumen (Bobot nilai 60%)

Kriteria Kepemimpinan

97,32

Kriteria Perencanaan Strategik

96,95

Kriteria SDM Aparatur

94,85

Kriteria Kemitraan dan Sumber Daya

94,91

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Kriteria Proses

95,97

Nilai Responden (Bobot nilai 40%)

92,50

Nilai Komponen Pengungkit

94,60

II

KOMPONEN HASIL

Kriteria Hasil Pada Masyarakat/Pengguna

123

95,13

Layanan
2

Kriteria Hasil Pada SDM Aparatur

99,00

Kriteria Hasil Pada Komunitas Lokal,

91,50

Nasional, dan Internasional


4

Kriteria Hasil Kinerja Utama

94,20

Nilai Komponen Hasil

94,96

Nilai Reformasi Birokrasi

94,78

Capaian atas nilai reformasi birokrasi sebagaimana tersaji dalam tabel di atas di mana tiap kriteria komponen penilaian memiliki nilai di
atas 90, menunjukan bahwa saat ini Kemenkeu sedang berada dalam tahap Plan, Do, Check, and Act (continuous improvement cycle)
dan terus akan berupaya melakukan perbaikan guna mencapai hasil yang berkesinambungan dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Pelaksanaan penilaian dilaksanakan mulai pertengahan tahun 2012 hingga 30 Maret 2013 dengan rangkaian kegiatan sebagai
berikut:
1) Melakukan serangkaian asistensi dan sosialisasi kepada seluruh asesor di lingkungan Kementerian Keuangan untuk
meningkatkan pemahaman dan penyamaan persepsi mengenai ketentuan PMPRB;
2) Mengkoordinasikan penentuan jumlah responden dan proses pengisian kuesioner oleh 397 responden untuk memberikan
penilaian pada Komponen Pengungkit dan Hasil secara online ke website Menpan;
3) Melakukan pembahasan, mendatangkan narasumber dari Kementerian PAN dan RB serta menghadiri undangan rapat dari
Kementerian PAN dan RB terkait narasi dan dokumen bukti yang harus disiapkan Kementerian Keuangan;
4) Melakukan verifikasi Kertas Kerja PMPRB seluruh unit eselon I pada:
a) Komponen Pengungkit meliputi Kriteria Kepemimpinan, Perencanaan Strategik, SDM Aparatur, Kemitraan dan Sumber Daya
serta Proses.
b) Komponen Hasil meliputi Komponen Hasil untuk Kriteria Hasil pada Masyarakat/Pengguna Layanan, Hasil pada SDM
Aparatur, Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional, serta Hasil Kinerja Utama.
b. Persentase policy recommendation hasil pengawasan yang ditindaklanjuti (KK-12.2)
Perubahan proses bisnis yang mengedepankan pendekatan audit berbasis risiko merupakan salah satu upaya yang dilakukan Itjen
untuk memberikan nilai tambah bagi kinerja Kemenkeu. Sebagai strategic business partner bagi seluruh unit eselon I di lingkungan
Kemenkeu, APIP harus mampu berperan sebagai unit yang menjalankan fungsi assurance dan konsultatif. Kondisi tersebut menuntut
Itjen agar mampu menghasilkan output berupa usulan strategis yang dituangkan dalam policy recommendation dari setiap penugasan
pengawasannya baik berupa usulan draf revisi PMK, usulan draf revisi KMK, Rancangan PMK, Rancangan KMK, usulan draf SOP,
usulan Surat Edaran, usulan Kebijakan, serta usulan perbaikan lainnya.
Policy recommendation tersebut diharapkan mampu menjadi solusi alternatif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi
unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Adapun untuk melihat tingkat efektifitas hasil pengawasan APIP dapat diukur dari
seberapa besar tingkat implementasi atas policy recommendation yang diusulkan mampu ditindaklanjuti oleh unit eselon I terkait.
IKU ini bertujuan untuk mengoptimalkan perbaikan sebagai tindak lanjut atas policy recommendation. Pencapaian IKU ini menuju
kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2012, APIP telah menghasilkan 53 (lima puluh tiga) policy recommendation dari berbagai kegiatan Tema Pengawasan
Unggulan terhadap unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Dari jumlah policy recommendation tersebut, diketahui bahwa
50 (lima puluh) policy recommendation telah ditindaklanjuti oleh unit eselon I pada tahun 2013. Dengan kata lain, persentase policy

124

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

recommendation hasil pengawasan yang ditindaklanjuti unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan adalah sebesar 94,34% dari
target sebesar 90%. Rekapitulasi persentase policy recommendation hasil pengawasan yang ditindaklanjuti Kemenkeu pada tahun
2013 dapat dilihat pada tabel 3.74.

Tabel 3.74

Rincian Policy Recommendation Hasil Pengawasan


yang Ditindaklanjuti Kementerian Keuangan pada Tahun 2013

Target Polrec Yang


Direncanakan Ditindaklanjuti

Y-13

Polrec
Ditindaklanjuti
Tahun 2013

100%

100%

100%

No.

Unit

Q1

Q2

Q3

Q4

Setjen

DJA

DJP

DJBC

100%

DJPB

12

12

11

91,67%

DJKN

83,33%

DJPK

100%

DJPU

100%

Itjen

100%

10

BKF

11

BPPK

Total

0%

15

20

28

53

53

50

94,34%

Capaian ini menunjukkan bahwa secara umum hasil pengawasan APIP selama tahun 2012 telah secara efektif dilaksanakan oleh unit
eselon I di lingkungan Kemenkeu. Lebih jauh lagi, peningkatan persentase atas IKU ini92,86% di tahun 2012 menjadi 94,34% di
tahun 2013, merupakan salah satu bukti nyata bahwa seluruh unit eselon I di lingkungan Kemenkeu terus berupaya dalam melakukan
perbaikan dan penyempurnaan sistem maupun prosedur/operasinya.
Adapun 3 (tiga) policy recommendation yang masih belum selesai ditindaklanjuti akan terus dilakukan monitoring penyelesaiannya oleh
APIP. Target policy recommendation yang belum selesai ditindaklanjuti adalah terkait dengan:
1) Penyusunan pedoman oleh DJKN mengenai pelaksanaan tindak lanjut hasil penertiban BMN yang berasal dari KKKS Hulu Minyak
dan Gas Bumi;
2) Usulan perubahan PMK Nomor:99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara (MPN) oleh DJPB; dan
3) Penyusunan pedoman oleh BPPK mengenai analisis kebutuhan dan identifikasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan di Kemenkeu.
Sampai dengan 31 Desember 2013, draft RPMK/RKMK tentang hal tersebut di atas masih dalam proses finalisasi di Biro Hukum
untuk kemudian diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Jumlah policy recommendation yang telah dihasilkan dan
disampaikan APIP ke unit-unit eselon I di lingkungan Kemenkeu dari pelaksanaan Tema Pengawasan Unggulan selama tahun 2013
adalah sebanyak 48 (empat puluh delapan) policy recommendation, yang akan dimonitor tindak lanjutnya di tahun 2014 mendatang.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 2 (dua) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.24 berikut:

125

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik 3.24

Perkembangan Capaian Persentase Policy Recommendation Hasil Pengawasan Yang Ditindaklanjuti


96%
94%

94.34%
92.86%

92%
90%

90%

88%

Target
Realisasi

86%
84%

85%

82%
80%
2012

2013

c. Persentase penyelesaian blueprint Transformasi Kelembagaan (KK-12.3)


Persentase penyelesaian blueprint Transformasi Kelembagaan adalah tingkat proses penyelesaian penyusunan blueprint program
Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan yang dibantu oleh konsultan bertaraf internasional dimulai dari proses persiapan,
proses lelang, diagnostic, penyusunan rencana strategis, persetujuan dan penetapan blueprint oleh Kementerian Keuangan. Blueprint
Transformasi Kelembagaan, meliputi 7 (tujuh) elemen utama terdiri atas: (1) Proses Bisnis dan Model Operasional, (2) Teknologi
Informasi dan Komunikasi, (3) Kapasitas, Kapabilitas, dan Struktur Organisasi, (4) Tata Kelola, Risiko, dan Kepatuhan, (5) Manajemen
SDM, (6) Peraturan Perundang-undangan, dan (7) Manajemen Perubahan dan Komunikasi.
Program Transformasi Kelembagaan pada dasarnya mencakup seluruh Kementerian Keuangan dan difokuskan pada 5 (lima) unit
Eselon I, yaitu (a) Sekretariat Jenderal, (b) Ditjen Anggaran, (c) Ditjen Pajak, (d) Ditjen Bea dan Cukai, dan (e) Ditjen Perbendaharaan.
Penyusunan blueprint Transformasi Kelembagaan ditujukan dalam rangka pencapaian target Kementerian Keuangan, antara lain:
1) Peningkatan rasio pajak, berdasarkan model OECD, dari kisaran 15% saat ini menjadi 19% terhadap PDB;
2) Peningkatan rasio penyerapan anggaran menjadi sekitar 95%;
3) Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah; dan
4) Peningkatan kepuasan pengguna layanan Kementerian Keuangan dari 3,91 (skala 5) menjadi 4,2 (skala 5).
Pencapaian target tersebut harus didukung dengan terlaksananya setiap kegiatan yang terkait antara lain persiapan, proses lelang,
tahap diagnostik, tahap penyusunan rencana strategis, dan persetujuan dan penetapan hasil pekerjaan akhir melalui serah terima
laporan akhir, blueprint, Change Management Plan, dan manual implementasi Program Transformasi Kelembagaan Kementerian
Keuangan oleh McKinsey kepada jajaran pimpinan Kementerian Keuangan. Oleh karena pelaksanaan yang telah dilaksanakan masih
sampai persetujuan pimpinan, sedangkan penetapan Keputusan Menteri Keuangan mengenai Cetak Biru Program Transformasi
Kelembagaan Kementerian Keuangan Tahun 2014-2025 masih dalam proses, menyebabkan realisasi penyelesaian blueprint
Transformasi Kelembagaan adalah 98%.
Proses penetapan terkendala waktu mengingat persetujuan pimpinan baru dapat dilakukan pada tanggal 3 Desember 2013.
Sedangkan proses penyelesaian administrasi pengadaan barang dan jasa baru dapat terselesaikan pada tanggal 27 Desember 2013.
Hal ini dikarenakan padatnya kegiatan unit-unit organisasi Kementerian Keuangan pada akhir tahun. Konsep Keputusan Menteri
Keuangan cetak biru (blueprint) Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan 2014-2025 telah disiapkan dan ditargetkan pada
bulan Januari 2014.

126

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

d. Tingkat kematangan penerapan manajemen risiko (KK-12.4)


Tingkat Kematangan Penerapan Manajemen Risiko (TKPMR) merupakan suatu model yang menggambarkan tahapan
perkembangan dan tingkat kemampuan organisasi dalam menerapkan manajemen risiko. Kegiatan Penilaian Tingkat Kematangan
Penerapan Manajemen Risiko (TKPMR) bertujuan untuk mengetahui TKPMR di Kementerian Keuangan dan seluruh unit eselon
I di lingkungan Kementerian Keuangan, serta memberikan rekomendasi perbaikan untuk meningkatkan level TKPMR di masa
mendatang. Untuk mengukur TKPMR Kemenkeu diperoleh dari rata-rata nilai TKPMR atas penerapan manajemen risiko periode
semester I tahun 2013 di setiap Unit Pemilik Risiko (UPR) pada 11 (sebelas) unit eselon I di lingkungan Kemenkeu.
Pada tahun 2013, APIP sebagai unit yang menjalankan fungsi compliance office for risk management telah melaksanakan kegiatan
penilaian TKPMR Kemenkeu dengan melibatkan 33 (tiga puluh tiga) UPR sebagai sample objek penilaian. Adapun variabel yang
menjadi parameter penilaian TKPMR yang dilakukan Itjen mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.09/2008
tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan, yaitu terdiri dari: (1) Kepemimpinan, (2) Proses
Manajemen Risiko, (3) Aktivitas Penanganan Risiko, dan (4) Hasil Penerapan Manajemen Risiko. TKPMR ditetapkan dengan
indeksasi sebagaimana tabel 3.75 berikut:

Tabel 3.75

Indeks Kematangan Penerapan Manajemen Risiko


Level 1:

Risk Naive

(Rentang Nilai 0 - 29,99)

Level 2:

Risk Aware

(Rentang Nilai 30 - 54,99)

Level 3:

Risk Defined

(Rentang Nilai 55 - 74,99)

Level 4:

Risk Managed

(Rentang Nilai 75 - 89,99)

Level 5:

Risk Enabled

(Rentang Nilai 90 100)

Penilaian dilakukan atas penerapan manajemen risiko untuk periode 1 Januari s.d. 30 Juni 2013. Unit penerapan manajemen risiko
yang dinilai adalah unit organisasi eselon II (Unit Pemilik Risiko) seluruh unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Untuk
kepentingan penilaian, masing-masing unit eselon I telah mengajukan 3 (tiga) UPR sebagai sample penilaian.
Hasil penilaian TKPMR oleh Inspektorat Jenderal selaku Compliance Office for Risk Management menunjukkan bahwa TKPMR
Kementerian Keuangan untuk periode penilaian semester I tahun 2013 berada pada Level 3 (Risk Defined) dari 5 level kematangan
dengan nilai rata-rata tertimbang 58,66 dari target 55. Nilai tersebut diperoleh dari rata-rata nilai TKPMR pada 11 (sebelas) unit
eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan rincian sebagaimana tabel 3.76 berikut:

Tabel 3.76

Rekapitulasi Hasil Penilaian TKPMR Kemenkeu Tahun 2013

Keterangan

Kepemimpinan

Proses
Manajemen
Risiko

Aktivitas
Penanganan
Risiko

Hasil
Penerapan
Manajemen
Risio

Nilai TKPMR

SETJEN

7,89

29,33

9,70

11,00

57,92

ITJEN

10,13

35,74

9,32

10,00

65,19

DJP

10,25

31,80

9,94

10,25

62,24

DJBC

8,46

28,41

11,91

12,00

60,78

DJPB

10,72

29,48

11,69

10,00

61,89

DJKN

9,25

30,26

7,66

10,00

57,17

DJA

8,22

29,47

6,09

12,89

56,67

DJPU

9,84

29,59

9,27

13,00

61,70

DJPK

9,01

25,43

8,87

12,00

55,31

BPPK

9,31

29,66

9,84

9,00

57,81

BKF

5,28

29,03

6,21

8,09

48,61

KEMENKEU

8,94

29,84

9,14

10,75

58,66

127

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Untuk meningkatkan level TKPMR di lingkungan Kemenkeu di masa yang akan datang, seluruh UPR di lingkungan Kemenkeu akan
terus berupaya untuk meningkatkan intensifikasi pengelolaan manajemen risiko melalui peningkatan komitmen pimpinan, integrasi
manajemen risiko dalam setiap proses pengambilan keputusan pimpinan, peningkatan kualitas register risiko, serta melalui proses
pembelajaran yang berkelanjutan tentang konsep dan penerapan manajemen risiko.
13. Sasaran Strategis 13: Perwujudan TIK yang terintegrasi (KK-13)
Integrasi TIK adalah penyatuan berbagai sistem TIK ke dalam satu sistem DC (Data Center)- DRC (Data Recovery Center). TIK yang
andal adalah TIK yang mampu mengelola data dan informasi yang memenuhi kriteria lengkap, akurat, mutakhir, dan terpercaya.
Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama (IKU)
sebagaimana tabel 3.77 berikut:

Tabel 3.77

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Perwujudan TIK yang Terintegrasi

KK 13. Perwujudan TIK yang terintegrasi


Indikator Kinerja

Target

Realisasi

Kinerja

1.

Persentase integrasi TIK Kemenkeu

80%

80%

100%

2.

Persentase downtime layanan TIK

5%

0,04%

120%

Uraian mengenai kedua IKU tersebut tampak berikut ini.


a. Persentase integrasi TIK Kemenkeu (KK-13.1)
Integrasi TIK adalah kegiatan konsolidasi infrastruktur TIK, dan sistem informasi Unit Eselon I pada Data Center (DC) dan Disaster
Recovery Center (DRC) Kementerian Keuangan. IKU ini bertujuan untuk mengukur proses integrasi TIK di Kemenkeu sesuai blueprint
TIK. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang melebihi dari target (maximize), di mana capaian yang makin tinggi dari target
adalah capaian yang diharapkan.
Berdasarkan Renstra Tahun 2010-2014, target integrasi TIK Kementerian Keuangan adalah sebagaimana tabel 3.78 berikut.

Tabel 3.78

Target Integrasi TIK Kementerian Keuangan Tahun 2011-2013

Tahun

Target

2011

40%

2012

60%

2013

80%

2014

90%

2015

100%

Pada tahun 2012 pencapaian persentase Integrasi TIK adalah sebesar 55,78% dari target 60%. Sementara, pada tahun 2013
ditargetkan penambahan target integrasi TIK sebesar 24,22% sehingga total capaian menjadi 80%. Berikut ini capaian kegiatan 2012
yang dilaksanakan di tahun 2013 tercapai 4,22%:
1) Pelaksanaan Manajemen Konstruksi DRC Kemenkeu di Balikpapan tercapai 0,33%;
2) Pelaksanaan Pembangunan DRC Kementerian Keuangan di Balikpapan tercapai 0,89%;
3) Penyiapan SDM TIK Kementerian Keuangan (Jasa konsultansi Gap Analysis SDM TIK) tercapai 2%;
4) Penyusunan Strategi Konsolidasi Infrastruktur TIK DRC Kementerian Keuangan (tercapai 1%)

128

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Kinerja yang berhasil dicapai pada tahun 2013 adalah sebesar 20%, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Persentase integrasi akses komunikasi Data Kementerian Keuangan (Akses Internet, Intranet dan Data Eksternal) tercapai 5%;
a) Internet
(1) Telah selesai dilakukan implementasi Mirroring link DC/DRC;
(2) Telah selesai dilakukan implementasi Internet DC/DRC.
b) Intranet
(1) Telah selesai dilakukan implementasi link intranet kantor pusat DJBC, DJP dan BPPK;
(2) Telah selesai dilakukan implementasi Intranet kantor vertikal BPPK, GKN, KPKNL, KPPBC dan Rumah Dinas;
(3) Telah selesai dilakukan implementasi Intranet kantor vertikal BPPK, GKN, KPKNL dan KPPBC.
c) Data Eksternal
Telah selesai dilakukan implementasi link eksternal Bloomberg, UN Comtrade, Reuters, CEIC, IBFD.
2) Pelaksanaan konsolidasi infrastruktur TIK DRC Kemenkeu tercapai 5%
a) Telah ditentukan pemenang pengadaan konsolidasi infrastruktur yaitu PT Telkom Sigma.
b) Pelaksanaan konsolidasi:
(1) Pemindahan DRC Setjen (non SPAN) ke Balikpapan;
(2) Pemindahan perangkat MPN DJP ke DC Kementerian Keuangan dan redundancy pada DRC Kementerian Keuangan;
(3) Implementasi redundancy Sistem DJBC pada DC Kementerian Keuangan.
3) Implementasi DRP pada DRC Kementerian Keuangan (mencakup dokumen DRP, dokumen strategy redundancy DC/DRC)
tercapai 5%;
a) Telah dilaksanakan penyusunan dokumen DRP untuk 6 unit yaitu DJA, DJKN, ITJEN, DJPU, DJPK dan SETJEN;
b) Telah disepakati oleh Pusintek dan Mc. Kinsey format Business Impact Analysis (BIA) dari bidang PTIK. Telah selesai dilakukan
analisis pada unit DJPU, DJPK, ITJEN, SETJEN, DJA, dan DJKN. Saat ini sedang dilakukan analisis pada BPPK dan DJPBN.
Untuk BKF, sudah ada form BIA yang sudah diisi tetapi belum ditandatangani oleh pengisi kuesioner;
c) Dokumen Strategy Redudancy telah selesai disusun dan ditandatangani oleh Kepala Bidang PSI;
d) Telah dilaksanakan DRC drill tahap 2 pada tanggal 29-30 November 2013.
4) Integrasi Domain Kementerian Keuangan pada DC/DRC tercapai 5%.
a) Telah dilakukan pendaftaran PTR record untuk webmail.kemenkeu.go.id dan autodiscover.kemenkeu.go.id;
b) Untuk setiap permintaan hosting baru, telah dilakukan penambahan untuk domain kemenkeu.go.id.
Perkembangan pencapaian target IKU ini selama 3 (tiga) tahun terakhir dapat dilihat pada grafik 3.25 berikut:

Grafik 3.25

Perkembangan Capaian Persentase Integrasi TIK Kemenkeu

90%

80%

80%

80%

70%
60%
50%

53.78%
40%

60%

Target
Realisasi

40%
30%

40%

20%
10%
0%

2011

2012

2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

129

b. Persentase downtime layanan TIK (KK-13.2)

Downtime Layanan TIK adalah terhentinya layanan TIK yang memiliki kritikalitas sangat tinggi, yang disebabkan oleh gangguan pada
infrastruktur TIK (server fisik, server virtual, jaringan intranet, dan jaringan internet) yang dikelola oleh Sekretariat Jenderal c.q. Pusintek.
Layanan TIK adalah layanan TIK pada masing-masing unit Eselon I yang mendukung proses bisnis Kementerian Keuangan dan
memiliki kritikalitas sangat tinggi. Downtime Layanan TIK yang memiliki kritikalitas sangat tinggi ditentukan berdasarkan hasil BIA atau
berdasarkan penilaian Service Desk atas laporan yang diterima. Penghitungan downtime Layanan TIK tidak termasuk downtime yang
direncanakan (planned downtime) dan disetujui unit Eselon I terkait untuk tujuan pemeliharaan.
IKU ini bertujuan untuk mengukur ketersediaan sistem pelayanan dalam rangka meningkatkan pelayanan TIK dengan tingkat downtime
yang seminimal mungkin. Pencapaian IKU ini menuju kepada capaian yang lebih rendah dari target (minimize), di mana capaian yang
makin rendah dari target adalah capaian yang diharapkan.
Pada tahun 2013, IKU ini terealisasi 0,04% dari target 5%, sehingga diperoleh nilai capaian 120%. persentase downtime Layanan TIK
sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebagaimana tabel 3.79 berikut.

Tabel 3.79

Persentase Downtime Layanan TIK

Triwulan

Uptime

Downtime

Triwulan I

99,99%

0,01%

Triwulan II

99,92%

0,08%

Triwulan III

99,98%

0,02%

Triwulan IV

99,98%

0,02%

Tahunan

99,96%

0,04%

Dalam melaksanakan IKU ini ditemui beberapa kendala, antara lain:


1) Terdapat kegiatan maintenance PLN yang waktu penyelesaiannya melebihi dari waktu pemberitahuan melalui surat dari PLN;
2) Adanya serangan Distributed Denial of Services (DDOS) terhadap server.
Strategi yang ditempuh untuk mengatasi kendala tersebut, antara lain:
1) Melakukan koordinasi dengan PLN agar waktu maintenance sesuai dengan surat pemberitahuan;
2) Akan dilakukan implementasi perangkat anti DDOS pada Pusat Data dan koordinasi dengan penyedia jasa terkait
keberlangsungan layanan TIK.
14. Sasaran Strategis 14: Pelaksanaan anggaran yang optimal (KK-14)
Salah satu pengelolaan sumber daya organisasi adalah dana. Dana yang tersedia dalam dokumen pelaksanaan anggaran, harus
dikelola dengan optimal sesuai rencana yang telah ditetapkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Dokumen yang dipakai dalam
pengelolaan dana adalah DIPA. DIPA merupakan dokumen pelaksanaan anggaran yang sesuai ketentuan menjadi dasar pengelolaan
belanja negara. Dalam pencapaian sasaran strategis ini, Kementerian Keuangan mengidentifikasikan 2 (dua) Indikator Kinerja Utama
(IKU) sebagaimana tabel 3.80 berikut:

130

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Tabel 3.80

Capaian IKU pada Sasaran Strategis Pelaksanaan Anggaran yang Optimal

KK 14. Pelaksanaan anggaran yang optimal


Target

Realisasi

Kinerja

1.

Persentase penyerapan DIPA (non belanja pegawai)

Indikator Kinerja

95%

87,%

91,74 %

2.

Persentase penyelesaian kegiatan belanja modal dalam

98%

94,89%

96,83%

DIPA

Uraian mengenai kedua IKU tersebut tampak berikut ini.


a. Persentase penyerapan DIPA (non belanja pegawai) (KK-14.1)
Persentase penyerapan DIPA Kementerian Keuangan pada triwulan IV tahun 2013 tercapai sebesar 87,15% (per 31 Desember
2013) dengan rincian sebagaimana tabel 3.81 berikut.

Tabel 3.81

Rincian Penyerapan DIPA Kuartal IV TA 2013

No

Belanja

Pagu DIPA

Realisasi

% Realisasi Q4
2013

Barang

Rp7.816,15 M

Rp6.943,73 M

88,84%

Modal

Rp2.042,31 M

Rp1.648,22 M

80,70%

Rp394,09 M

Rp9.959,73 M

Rp8.591,95 M

87,15%

Rp1.266,51 M

Jumlah

Sisa Pagu
2013
Rp872,42 M

Data tersebut merupakan capaian per 31 Desember sehingga bukan merupakan capaian final karena proses rekonsiliasi masih
berlangsung sampai akhir Januari.
Selanjutnya berdasarkan data SAU per 27 Januari 2014, realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan TA 2013 untuk belanja
barang dan belanja modal adalah sebesar Rp8.584,21 miliar atau 87,07% dari jumlah pagu dalam DIPA sebesar Rp9.858,46
miliar. Realisasi tersebut masih belum mencapai target dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Keuangan sebesar 95%.
Secara total (termasuk belanja pegawai), realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan adalah sebesar Rp16.688,61 miliar atau
mencapai 90,45% dari total pagu sebesar Rp18.408,68 miliar.
Perbandingan realisasi penyerapan DIPA per jenis belanja untuk tahun anggaran 2010 sampai dengan 2013 tersaji dalam tabel 3.82
berikut:

Tabel 3.82

Penyerapan DIPA Per Jenis Belanja


dalam miliar rupiah
Jenis
Belanja
Belanja
Pegawai
Belanja
Barang
Belanja
Modal
Total

Tahun Anggaran 2010*

Tahun Anggaran 2011*

Pagu

Realisasi

Pagu

Realisasi

7.626,57

7.194,52

94,34

8.161,58

7.510,46

92,02

5.161,99

3.931,94

76,17

6.315,76

5.279,31

83,59

2.603,30

1.850,19

71,07

2.869,53

2.084,80

72,56

15.391,86

12.976,65

84,31

17.346,87

14.874,57

85,75

131

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

(Lanjutan)

Jenis
Belanja
Belanja
Pegawai
Belanja
Barang
Belanja
Modal
Total

Tahun Anggaran 2012*

Tahun Anggran 2013**

Pagu

Realisasi

Pagu

Realisasi

8.375,08

7.993,25

95,44

8.550,21

8.066,10

94,34

7.127,78

6.105,90

85,66

7.816,15

6.936,22

88,74

1.899,23

1.635,85

86,13

2.042,31

1.647,99

80,69

17.402,10

15.736,15

90,42

18.408,68

16.650,31

90,45

*) data sesuai LK BA015 Audited; **)data per 27 Januari 2014

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, meskipun sampai dengan saat ini target IKU tersebut belum tercapai, namun telah terjadi
peningkatan atas realisasi penyerapan belanja secara total setiap tahunnya.
Beberapa kendala yang menyebabkan tidak tercapainya target realisasi persentase penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (non
belanja pegawai), antara lain:
1) Keterbatasan SDM yang memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa dan pola mutasi pegawai bersertifikat, sehingga
menghambat proses pengadaan barang dan jasa.
2) Adanya gagal lelang dalam proses pengadaan barang dan jasa yang antara lain disebabkan rendahnya jumlah penyedia barang
dan jasa yang memenuhi kualifikasi dan rendahnya minat dari penyedia untuk mengikuti pelelangan.
3) Terhambatnya pelaksanaan pembangunan dan renovasi gedung karena kendala persetujuan teknis dari pihak eksternal.
4) Kurangnya kesiapan dokumen perencanaan dan penganggaran yang antara lain terkait dokumen sertifikasi dan IMB yang belum
siap, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang terlalu tinggi.
5) Adanya perubahan mekanisme revisi anggaran anggaran namun tidak langsung diikuti penerbitan aturan dan revisi aplikasi
RKA-KL DIPA, serta terhambatnya proses revisi anggaran karena adanya proses APBN-P.
Selain kendala-kendala tersebut, realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan juga dipengaruhi penggunaan proses e-procurement
dalam proses pengadaan barang dan jasa, yang mampu menghasilkan efisiensi belanja. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Keuangan, dengan proses pengadaan barang dan jasa melalui proses
e-procurement sebesar Rp3.197,96 miliar, dapt dilakukan penghematan sebesar 12,18% atau Rp389,55 miliar.

132

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Penghematan tersebut cukup signifikan mempengaruhi realisasi penyerapan anggaran belanja barang dan belanja modal karena
penghematan yang dilakukan mencapai 2,16% dari total belanja barang dan belanja modal di Kementerian Keuangan pada tahun 2013
yang mencapai Rp18.048,68 miliar. Adapun rincian penghematan dimaksud sebagaimana tampak pada tabel 3.83 sebagai berikut.

Tabel 3.83

Rincian Penghematan Hasil Lelang Tahun 2013


(dalam jutaan rupiah)

Paket

Pagu
Pengadaan

Nilai Hasil
Lelang

Penghematan

No.

Unit Eselon I

1.

BKF

16

26.331,03

18.843,57

7.487,45

28,44%

2.

BPPK

168

138.066,39

114.988,09

23.078,30

16,72%

3.

DJA

13

10.780,94

8.700,83

2.080,11

19,29%

4.

DJBC

156

1.669.390,94

1.552.213,44

117.177,50

7,02%

5.

DJKN

168

138.066,39

114.988,09

23.078,30

16,72%

6.

DJP

220

515.026,15

405.145,84

109.880,31

21,33%

7.

DJPB

144

176.577,79

154.343,38

22.234,41

12,59%

8.

DJPK

16

15.500,37

12.939,47

2.560,90

16,52%

9.

DJPU

13

7.605,85

6.686,70

919,15

12,08%

10.

Itjen

11.

Setjen

184

TOTAL

1104

Rp.

8.738,00

6.769,16

1.968,84

22,53%

491.873,88

412.785,64

79.088,24

16,08%

3.197.957,71

2.808.404,20

389.553,51

12,18%

Sumber: LPSE Kementerian Keuangan, 2013

Dengan memperhitungkan realisasi penyerapan belanja barang dan modal sebesar 87,07% dan nilai penghematan yang mencapai
2,16%, maka dapat disimpulkan bahwa realisasi DIPA Kementerian Keuangan untuk belanja barang dan belanja modal tahun anggaran
2013 mencapai 89,23%.
Adapun, hal-hal yang telah diupayakan dalam rangka mencapai target realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan (Non
Belanja Pegawai), antara lain:
1) Pelaksanaan Rapat Koordinasi Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Tahun 2013 dengan melibatkan 66 satuan kerja vertikal lingkup
Kementerian Keuangan dengan kriteria memiliki belanja modal TA 2013 di atas Rp1 miliar pada Bulan Agustus 2013.
2) Percepatan penunjukan Pejabat Pengelola Anggaran pada bulan Desember 2012 dan percepatan penyelenggaraan pelatihan dan
sertifikasi pengadaan barang dan jasa bagi PPK dan diklat bagi Bendahara di awal tahun anggaran.
3) Percepatan pemaketan pengadaan barang dan jasa serta pengumuman RUP pengadaan barang dan jasa pada pertengahan
bulan Januari 2013.
4) Penelaahan kembali DIPA untuk percepatan pelaksanaan revisi anggaran yang diperlukan.
5) Penggunaan aplikasi Monitoring Keuangan dan Aset (MONIKA) sebagai alat pemantauan realisasi dan kendala penyerapan
anggaran secara berkala, serta penyelenggaraan help desk untuk membantu proses pengadaan barang dan jasa.
6) Melakukan koordinasi dengan kantor pusat agar selesai mengisi kekosongan pejabat/pegawai definitif yang bertugas
melaksanakan pengelolaan keuangan satker.
7) Menyelenggarakan diklat perencanaan dan penganggaran bekerja sama dengan BPPK agar satker dapat menyusun dokumen
pendukung penganggaran dengan baik, khusunya TOR dan RAB.
8) Melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam proses perizinan antara lain dengan Biro Perlengkapan untuk proses
penghapusan BMN, dengan Dinas PU untuk proses penilaian teknis PU, dengan Pemda setempat untuk IMB.
9) Memperbaiki rencana kegiatan dan rencana pencairan anggaran (disbursement plan) agar lebih sistematis dan realistis dengan
merujuk pada RUP yang telah disempurnakan.

133

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pada Renstra Kementerian Keuangan tahun 2010-2014, target realisasi penyerapan anggaran Kementerian Keuangan untuk tahun
2014 adalah 90% (untuk belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal), meningkat 5% dari kondisi pada tahun 2010 yang
masih ditargetkan sebesar 5%. Adapun realisasi belanja pada tahun 2010 s.d. 2013 adalah sebagaimana grafik 3.26 berikut.

Grafik 3.26

Realisasi Belanja Tahun 2010 s.d. 2013


100%
90%

85.70%

84.17%

90.43%

90.45%

80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

2010

2011

2012

2013

Berdasarkan data di atas, secara umum realisasi penyerapan anggaran Kementerian Keuangan sejak 2010 s.d. tahun 2013 selalu
mengalami peningkatan. Selain itu, dapat disampaikan pula bahwa target realisasi penyerapan anggaran dalam Renstra Kementerian
Keuangan tahun 2010-2014 telah dapat dicapai pada tahun 2012 dan dapat dipertahankan serta ditingkatkan pada tahun 2013.
b. Persentase penyelesaian kegiatan belanja modal dalam rencana pencairan DIPA (KK-14.2)
IKU persentase penyelesaian kegiatan belanja modal dalam rencana pencairan DIPA mengukur realisasi output atas belanja modal
dan juga mempertimbangkan realisasi belanja modal tersebut. IKU ini disusun untuk mendorong pelaksanaan belanja modal yang
selama ini masih belum mencapai target yang ditetapkan, baik realisasi fisik maupun realisasi belanja modal tersebut.
Capaian atas IKU ini pada tahun 2013 untuk Kementerian Keuangan adalah sebesar 96,83% dengan rincian capaian kinerja per
eselon I adalah tampak pada tabel III.84 berikut:

Tabel 3.84

Persentase Realisasi Belanja Modal Dalam DIPA Unit Eselon I


No.

Unit

Target

Realisasi

1.
2.

Setjen

98,00%

76,22%

77,78%

DJA

98,00%

99,99%

102,03%

3.

DJP

98,00%

82,66%

84,58%

4.

DJBC

98,00%

99,92%

101,96%

5.

DJPB

98,00%

99,48%

101,51%

6.

DJKN

98,00%

96,64%

98,61%

7.

DJPK

98,00%

99,94%

101,98%

8.

DJPU

98,00%

90,86%

92,71%

9.

Itjen

98,00%

100,00%

102,04%

10.

BKF

98,00%

99,60%

101,63%

11.

Capaian

BPPK

98,00%

98,47%

100,48%

Rata-rata

98,00%

94,89%

96,83%

134

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Pencapaian realisasi penyelesaian kegiatan belanja modal yang baru mencapai 94,89% dari target sebesar 98% dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain:
1) Adanya gagal lelang dalam proses pengadaan barang dan jasa terkait belanja modal, terutama pembangunan gedung. Adapun,
waktu yang tersedia tidak mencukupi untuk pelaksanaan lelang ulang;
2) Belum lengkapnya dokumen pendukung sehingga anggaran belanja modal yang masih diblokir tidak dapat direalisasikan pada tahun
2013;
3) Pengunduran diri pemenang lelang, yang antara lain disebabkan perubahan nilai kurs US Dollar; dan
4) Gagal bayar karena keterlambatan pada pengadaan perangkat IT.
Pada tahun 2013 telah dilakukan upaya-upaya untuk mendorong pencapaian IKU tersebut yang antara lain melalui:
1) Percepatan pemaketan pengadaan barang dan jasa serta pengumuman RUP pengadaan barang dan jasa pada pertengahan bulan
Januari 2013, serta pelaksanaan monitoring RUP;
2) Melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam proses perijinan antara lain dengan Biro Perlengkapan untuk proses penghapusan
BMN, dengan Dinas PU untuk proses penilaian teknis PU, dengan Pemda setempat untuk IMB; dan
3) Pelaksanaan Rapat Koordinasi Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Tahun 2013 dengan melibatkan 66 satuan kerja vertikal lingkup
Kementerian Keuangan dengan kriteria memiliki belanja modal TA 2013 di atas Rp1 miliar pada Bulan Agustus 2013.

135

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

AKUNTABILITAS
KEUANGAN
B. Akuntabilitas Keuangan
1. Perbandingan Pagu DIPA dan Realisasi DIPA Kementerian Keuangan 2013 per Jenis Belanja
Berdasarkan data Sistem Akuntansi Umum (SAU) per 27 Januari 2014, realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan TA 2013
untuk seluruh belanja (belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal) adalah sebesar Rp16.688,61 miliar atau mencapai
90,45% dari total pagu sebesar Rp18.408,68 miliar.
Perbandingan realisasi penyerapan DIPA per jenis belanja untuk tahun anggaran 2010 sampai dengan 2013 tersaji dalam tabel 3.85
berikut:

Tabel 3.85

Penyerapan DIPA Per Jenis Belanja


dalam miliar rupiah
Jenis

Tahun Anggaran 2010*

Tahun Anggaran 2011*

Belanja

Pagu

Realisasi

Pagu

Realisasi

Belanja

7.626,57

7.194,52

94,34

8.161,58

7.510,46

92,02

5.161,99

3.931,94

76,17

6.315,76

5.279,31

83,59

2.603,30

1.850,19

71,07

2.869,53

2.084,80

72,56

15.391,86

12.976,65

84,31

17.346,87

14.874,57

85,75

Pegawai
Belanja
Barang
Belanja
Modal
Total
Jenis

Tahun Anggaran 2012*

Tahun Anggran 2013**

Belanja

Pagu

Realisasi

Pagu

Realisasi

Belanja

8.375,08

7.993,25

95,44

8.550,21

8.066,10

94,34

7.127,78

6.105,90

85,66

7.816,15

6.936,22

88,74

1.899,23

1.635,85

86,13

2.042,31

1.647,99

80,69

17.402,10

15.736,15

90,42

18.408,68

16.650,31

90,45

Pegawai
Belanja
Barang
Belanja
Modal
Total

*) data sesuai LK BA015 Audited; **)data SAU per 27 Januari 2014

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, realisasi Belanja Pegawai pada TA 2013 94,34% (Rp8.066,10 miliar dari pagu sebesar
Rp8.500,21 miliar), untuk realisasi Belanja Barang sebesar 88,74% (Rp6.936,22 miliar dari pagu sebesar Rp7.816,15 miliar), dan
untuk realisasi Belanja Modal sebesar 80,69% (Rp1.647,99 miliar dari pagu sebesar Rp2.042,31 miliar).
Kendala-kendala yang mempengaruhi capaian realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan antara lain:
1) Keterbatasan SDM yang memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa dan pola mutasi pegawai bersertifikat, sehingga
menghambat proses pengadaan barang dan jasa.
2) Adanya gagal lelang dalam proses pengadaan barang dan jasa yang antara lain disebabkan rendahnya jumlah penyedia barang
dan jasa yang memenuhi kualifikasi dan rendahnya minat dari penyedia untuk mengikuti pelelangan.
3) Terhambatnya pelaksanaan pembangunan dan renovasi gedung karena kendala persetujuan teknis dari pihak eksternal.
4) Kurangnya kesiapan dokumen perencanaan dan penganggaran yang antara lain terkait dokumen sertifikasi dan IMB yang belum
siap, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang terlalu tinggi.

136

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Adapun, hal-hal yang telah diupayakan dalam rangka meningkatkan realisasi penyerapan DIPA Kementerian Keuangan, antara lain:
1) Menyelenggarakan diklat perencanaan dan penganggaran bekerja sama dengan BPPK agar satker dapat menyusun dokumen
pendukung penganggaran dengan baik, khusunya TOR dan RAB.
2) Percepatan pemaketan pengadaan barang dan jasa serta pengumuman RUP pengadaan barang dan jasa pada pertengahan
bulan Januari 2013.
3) Melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam proses perijinan antara lain dengan Biro Perlengkapan untuk proses
penghapusan BMN, dengan Dinas PU untuk proses penilaian teknis PU, dengan Pemda setempat untuk IMB.
4) Pelaksanaan Rapat Koordinasi Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Tahun 2013 dengan melibatkan 66 satuan kerja vertikal lingkup
Kementerian Keuangan dengan kriteria memiliki belanja modal TA 2013 di atas Rp1 miliar pada Bulan Agustus 2013.
5) Percepatan penunjukan Pejabat Pengelola Anggaran pada bulan Desember 2012 dan percepatan penyelenggaraan pelatihan
dan sertifikasi pengadaan barang dan jasa bagi PPK dan diklat bagi Bendahara di awal tahun anggaran.
6) Penelaahan kembali DIPA untuk percepatan pelaksanaan revisi anggaran yang diperlukan.
7) Penggunaan aplikasi Monitoring Keuangan dan Aset (MONIKA) sebagai alat pemantauan realisasi dan kendala penyerapan
anggaran secara berkala, serta penyelenggaraan help desk untuk membantu proses pengadaan barang dan jasa.
2. Perbandingan Pagu DIPA dan Realisasi DIPA Kementerian Keuangan TA 2013 per Program
Pada TA 2013 Kementerian Keuangan melaksanakan 11 program, yang masing-masing dilaksanakan oleh unit Eselon I sesuai
dengan tugas dan fungsinya. Adapun total pagu DIPA dari 11 program tersebut adalah sebesar Rp18.408,68 miliar. Realisasi dari 11
program tersebut adalah sebagaimana tabel 3.86 berikut:

Tabel 3.86

Realisasi Anggaran 2013 Per Program

No.
1

Program

Jumlah
Pagu

Realisasi

Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian


Keuangan

7,072.56

6,157.42

%
87.06%

Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Apartur Kementerian Keuangan

106.47

100.13

94.04%

Pengelolaan Anggaran Negara

134.10

126.08

94.02%

Peningkatan dan Pengamanan Penerimaan Pajak

5,203.78

4,710.53

90.52%

Pengawasan, Pelayanan, dan Penerimaan di Bidang Kepabeanan dan Cukai

2,557.30

2,451.85

95.88%

Peningkatan Pengelolaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

121.74

111.27

91.40%

78.88

74.39

94.31%

1,759.38

1,637.35

93.06%

674.74

617.13

91.46%

542.12

525.68

96.97%

Pemerintah Daerah
7

Pengelolaan dan Pembiayaan Utang

Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Pengelolaan Kekayaan Negara, Penyelesaian Pengurusn Piutang Negara, dan


Pelayanan Lelang

10

Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Kementerian Keuangan

11

Perumusan Kebijakan Fiskal


Total

157.59

138.49

87.88%

18,408.68

16,650.32

90.45%

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Halaman Ini sengaja dikosongkan

137

138

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

BAB 4
KINERJA LAIN-LAIN
Bidang Perpajakan
Bidang Kepabeanan Dan Cukai
Bidang Pengelolaan Anggaran
Bidang Kekayaan Negara
Bidang Pengelolaan Utang
Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal
Bidang Pengawasan

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

139

140

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Selain 14 (empat belas) Sasaran Strategis (SS) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dengan capaian sebagaimana diuraikan
pada bab III, Kementerian Keuangan juga menghasilkan kinerja-kinerja lain yang tidak masuk dalam Kontrak Kinerja, namun terkait
dengan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan. Kinerja lain tersebut adalah sebagai berikut:

BIDANG
PERPAJAKAN
Pajak Final Bagi Pelaku UKM
Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan baru pada pertengahan tahun 2013. Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4,8 miliar akan mendapat fasilitas tarif rendah dan kemudahan penghitungan pajak. Jika sebelumnya pengusaha dengan omset tidak
lebih Rp4,8 miliar harus membayar sesuai ketentuan umum pasal 17 UU PPh, maka mulai 1 Juli 2013 mereka akan membayar pajak
sebesar 1% dari omzet setahun bersifat final. Dasar dari lahirnya PP 46 tahun 2013 ialah pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7)
UU PPh.
Objek Pajak yang dikenakan ialah penghasilan dari usaha yang diperoleh wajib pajak OP dan badan dengan peredaran bruto yang tidak
lebih dari Rp4,8 miliar setahun. Sementara itu, yang bukan objek pajak yaitu penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
dan penghasilan yang sudah dikenai PPh final.

BIDANG
KEPABEANAN DAN CUKAI
1. Patkor Kastima Ke-19 Tahun 2013
Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bersama Jabatan Kastam Diraja Malaysia (JKDM) mengadakan
Patroli Koordinasi Customs Indonesia Malaysia (Patkor Kastima) ke-19 tahun 2013 yang dimulai sejak tahun 1994. Patkor Kastima
ini merupakan kegiatan patroli laut bersama yang bertujuan untuk meneningkatkan penegakan hukum kepabeanan kedua negara,
disamping itu untuk menjalin saling pengertian dan kerja sama antara DJBC dan JKDM dalam pelaksanaan patroli laut baik secara
terkoordinasi mapun patroli laut rutin. Patkor Kastima juga sebagai upaya preventif maupun represif untuk menghambat, menangkal,
dan memberantas berkembangnya perdagangan illegal dan penyelundupan narkotika dan psikotropika yang merugikan kedua negara.
Tahun 2013 ini kegiatan Patkor Kastima dilakukan dalam dua kali penyelenggaraan, pada tanggal 215 September 2013 yang upacara
pembukaannya berlangsung di Batam Indonesia dipimpin oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Agung Kuswandono) dan Ketua
Pengarah Kastam Diraja Malaysia (Dato Sri Khazali bin Hj Ahmad). Kemudian penyelengaraan yang kedua pada tanggal 22 Oktober 4
November 2013 yang ditutup dengan upacara penutupan di Malaysia.
Untuk lebih memperluas jangkauan wilayah pengawasan laut, kedua negara sepakat untuk melakukan penjajakan kepada Singapore
Customs atau instansi yang berwenang melakukan penegakan hukum bidang kepabeanan laut di Singapura, untuk bekerjasama di
masa yang akan datang melakukan patroli laut terkoordinasi antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
2. Program Authorized Economic Operator (AEO)
Dipicu dari berkembangnya praktek terorisme yang mengancam keamanan global, World Customs Organization (WCO) mengeluarkan
standar keamanan yang dikenal dengan istilah WCO SAFE Framework of Standards / SAFE FoS.
WCO SAFE FoS merupakan standarisasi keamanan dan fasilitas terhadap mata rantai pasokan perdagangan internasional untuk
meningkatkan kepastian dan kemudahan pemantauan arus barang yang dapat diprediksi guna tersedianya sistem yang terintegrasi atas
manajemen transportasi/jasa transportasi dalam mata rantai pasokan, serta mengukuhkan hubungan antar institusi kepabeanan internasional
khususnya untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi pengiriman barang yang mempunyai risiko tinggi, serta memperkuat hubungan
antara institusi kepabeanan dengan pelaku bisnis.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

141

Program AEO merupakan satu dari banyak program untuk mewujudkan WCO SAFE FoS tersebut. AEO adalah pengakuan yang
diberikan oleh administrasi pabean (di Indonesia adalah DJBC) kepada pihak-pihak yang terkait dalam pergerakan barang internasional
bahwa pihak-pihak tersebut telah memenuhi standar WCO SAFE FoS atau standar keamanan rantai pasokan. Adapun pihak yang
dapat diakui antara lain Importir, eksportir, PPJK, pengangkut, dan pihak lainnya.
AEO dibentuk dengan sasaran untuk mengamankan rantai pasokan, meningkatkan partisipasi berbagai pihak yang terlibat dalam
rantai perdagangan internasional, praktek bisnis yang efisien, simplifikasi prosedur kepabeanan, dan pemenuhan dan pengakuan
standar internasional.
Meskipun sepintas telihat serupa dengan program Jalur Prioritas, AEO dipandang berbeda karena AEO bukanlah program fasilitas
akan tetapi program sertifikasi yang berlandaskan partnership, mutual trust, security, dan bersifat internasional. AEO yang terpenting
adalah customs to customs, karena treatment yang dilakukan di sini dipercaya oleh Customs di luar negeri, begitu pula sebaliknya,
atau semacam mutual trust. Pada tanggal 11 Desember 2013, DJBC me-launching AEO dan akan mulai mengembangkannya di tahun
2014.
3. Customs To Customs Talks DJBC dan ACBPS

Customs To Customs Talks menjadi sebuah program Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menjaga
hubungan yang baik dengan Customs negara lain. Customs To Customs Talks juga merupakan salah satu bentuk hubungan bilateral
yang dijalin antara Indonesia dengan Australia yaitu pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Australian Customs and

Border Protection Service (ACBPS). Program ini telah diadakan sejak lama dan tahun 2013 ini menjadi tahun ketiga belas yang
diadakan di Sydney Customs Headquarters, Australia.

Customs To Customs Talks pada dasarnya dilaksanakan dengan maksud untuk mempererat kerjasama antara DJBC dengan ACBPS
karena melalui pertemuan ini kedua administrasi dalam bidang pabean dapat saling bertukar informasi dan praktik kepabeanan demi
peningkatan pengawasan dan pelayanan kepabeanan di masing-masing Negara. Selain itu, pertemuan Customs To Customs Talks
juga dapat dilakukan kesepakatan kesepakatan antara kedua negara.

BIDANG
PENGELOLAAN ANGGARAN
1. Peningkatan Peran Aparat Pengawas Intern (API) Kementerian Negara/Lembaga dalam Perencanaan dan
Penganggaran
Ada hal baru dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran untuk tahun 2014, yaitu dilibatkannya Aparat Pengawas Intern (API) Kementerian
Negara/Lembaga (K/L) dalam kegiatan tersebut. Dasar hukum keterlibatan API K/L ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
94/PMK.02/2013 tanggal 28 Juni 2013 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L Tahun 2014. Kebijakan tersebut mendorong
peran API K/L dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran ini terutama dilaksanakan pada tahap penyusunan RKA-K/L.
Dalam PMK tersebut juga untuk pertama kalinya diperkenalkan pemisahan pengaturan yang tegas dalam kegiatan perencanaan dan
penganggaran yaitu pengaturan tentang Tata Cara Penyusunan RKA-K/L dan pengaturan tentang Tata Cara Penelaahan RKA-K/L.
Pemisahan tersebut sangat penting. Hal ini menunjukkan ketegasan posisi masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan perencanaan
dan penganggaran. Dalam tahap penyusunan RKA-K/L menggambarkan peran yang begitu besar kepada K/L beserta unit-unit yang ada
pada K/L termasuk satuan kerja dibawahnya. Peran tersebut berupa mempersiapkan kegiatan dan menuangkannya dalam RKA-K/L dengan
mempedomani ketentuan-ketentuan yang ada.
Pada tahap penyusunan RKA-K/L ini juga termasuk didalamnya keterlibatan API K/L untuk memberikan Quality Assurance. Artinya,
RKA-K/L yang disusun telah mempedomani peraturan-peraturan yang ada berupa aturan tentang Standar Biaya, Bagan Akun Standar,
Rencana Kerja Pemerintah, komposisi sumber dana, dan sebagainya. Sementara pada tahap penelaahan RKA-K/L menggambarkan

142

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

peran Kementerian Keuangan bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk mendalami RKA-K/L yang telah
disusun oleh K/L dan telah melalui proses penelitian oleh API K/L.
Hal tersebut merupakan langkah maju dalam sistim perencanaan dan penganggaran kita. Pemisahan tugas dan tanggung jawab tersebut
sebenarnya sudah ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemisahan tugas dan tanggungjawab tersebut meliputi Menteri/
Pimpinan Lembaga selaku Chief Operational Officer (COO) yang bertanggung jawab di dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, serta
pertanggungjawaban atas anggaran yang menjadi tanggung jawabnya. Menteri Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO) bertanggung
jawab dalam menjamin ketersediaan anggaran sesuai kemampuan keuangan negara untuk mendukung pelaksanaan program dan kegiatan
yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing K/L serta mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran.
Menteri Perencanaan selaku Chief Planning Officer (CPO) bertanggung jawab dalam menyusun dan menetapkan prioritas serta fokus
prioritas pembangunan nasional beserta target kinerja yang direncanakan yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah. Dalam rangka
menyelenggarakan fungsi sebagai Chief Operational Officer (COO), maka Menteri/Pimpinan Lembaga mempunyai kewajiban untuk memimpin
proses penyusunan RKA-K/L dalam lingkup Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. RKA-K/L yang disusun harus mempedomani
peraturan, ketentuan dan rambu-rambu yang sudah ditetapkan. Tugas untuk memberikan jaminan bahwa RKA-K/L yang disusun sudah
mengikuti pedoman dan peraturan yang ada serta telah dilengkapi dengan data pendukung terkait dilakukan oleh API K/L.
Dengan demikian, API K/L mempunyai tugas untuk melakukan verifikasi atas RKA-K/L yang disusun melalui kegiatan reviu atau penelitian.
Dahulu peran untuk melakukan verifikasi tersebut dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran dalam forum penelaahan. Dengan adanya
pergeseran peran tersebut kepada API K/L, maka Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
dalam kegiatan penelaahan dapat lebih fokus melakukan hal-hal yang lebih strategis. Kegiatan strategis tersebut antara lain meneliti relevansi
output dengan kegiatan, meneliti relevansi komponen dengan output, dll. Peran Kementerian Keuangan tidak hanya menguji dan meneliti
dokumen pendukung seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK) maupun Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Tingginya angka anggaran yang diblokir di awal tahun turut menjadi salah satu indikator yang menunjukkan bahwa proses perencanaan
dan penganggaran masih belum optimal. Sesungguhnya K/L masih belum benar-benar siap melaksanakan kegiatan di awal tahun karena
masih adanya anggaran yang diblokir. Di samping itu, blokir terkadang juga merupakan modus bagi K/L dengan tidak melengkapi KAK/
RAB. Kekurangsiapan melaksanakan kegiatan tersebut bisa jadi kesengajaan atau karena memang kegiatan tersebut direncanakan tidak
dilaksanakan di awal tahun sehingga memang sengaja diblokir. Blokir baru dicairkan dengan melengkapi data pendukungnya ketika kegiatan
baru akan dilaksanakan. Belum lagi jika dilihat pada kedalaman RKA-KL, maka proses evaluasi kinerja mengalami kesulitan karena banyak
kegiatan dan output, atau output dengan komponen inputnya yang tidak relevan.
Fenomena-fenomena itulah yang menjadi salah satu pemikiran untuk melibatkan API K/L pada tahap perencanaan. Hal tersebut ditujukan
untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dituangkan dalam RKA-K/L merupakan kegiatan yang benar-benar siap dilaksanakan.
Termasuk kelengkapan dokumen pendukung yang dipersyaratkan. Dengan demikian, tujuan dilibatkannya API-K/L dalam perencanaan dan
penganggaran antara lain :
a. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran serta meningkatkan kualitas belanja. API K/L menjamin
bahwa RKA-KL sudah disusun dengan tepat dan mematuhi petunjuk/peraturan/pedoman yang ada.
b. Sebagai upaya untuk melakukan percepatan pencapaian sasaran kinerja K/L. Artinya, K/L sudah mempersiapkan kegiatan dengan
baik sejak awal dan diharapkan dapat dieksekusi lebih awal pula.
c. Perbaikan standar pelayanan kepada stakeholder. Kebijakan tersebut akan mengubah fokus penelaahan pada relevansi
komponen input, output dan kegiatannya. Dengan demikian, hal-hal yang sifatnya administratif dan kepatuhan pada aturan
dapat diselesaikan oleh K/L itu sendiri.
d. Menghindari terjadinya kesalahan diawal perencanaan. API K/L selaku auditor dapat melaksanakan tugas preventifnya
untuk memastikan bahwa RKA-K/L yang disusun sudah benar.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

143

2. Penyederhanaan Proses Usulan Revisi Dokumen Anggaran di Kementerian Pertahanan


Semenjak terbitnya Peraturan Bersama antara Menteri Pertahanan dan Menteri Keuangan tanggal 27 Maret 2013 Nomor 67/PMK.05/2013
dan Nomor 15 Tahun 2013, Kementerian Pertahanan telah melaporkan ke Menteri Keuangan bahwa sejak bulan Juli s.d. September 2013
belum dapat merealisasikan anggaran secara maksimal. Implementasi Peraturan Bersama Menteri tersebut ternyata berdampak luas yaitu
bertambahnya jumlah satker di Kementerian Pertahanan. Satker di lingkup Kementerian Pertahanan yang semula 260 satker bertambah
menjadi 1.070 satker. Dengan demikian, DIPA Petikan Kementerian Pertahanan dan TNI jumlahnya berubah dari semula 260 DIPA menjadi
1.070 DIPA. Hal ini tentunya mengakibatkan penambahan waktu untuk proses pencetakan dan pendistribusian DIPA Petikan untuk satker
baru. Selama ini proses revisi di Kementerian Pertahanan memakan waktu lama dan pengajuannya pun cukup berbelit. Untuk itu, Kementerian
Pertahanan mengajukan usulan perlunya dibuat aturan khusus untuk revisi yang diberlakukan bagi Kementerian Pertahanan dan TNI mengingat
masing-masing angkatan memerlukan otorisasi dalam setiap prosesnya.
Kebijakan internal di lingkungan Kementerian Pertahanan/TNI dikenal dengan istilah one gate policy. Artinya, setiap usulan revisi dari masingmasing-masing unit organisasi Kementerian Pertahanan dan angkatan diajukan oleh Dirjen Renhan Kementerian Pertahanan. Padahal alokasi
anggaran pada Kementerian Pertahanan/TNI masih terpusat pada 5 (lima) unit organisasi di atas. Dengan demikian, proses pengajuan usulan
revisi internal Kementerian Pertahanan dan TNI ternyata memerlukan waktu yang cukup lama. Hal tersebut terjadi karena setiap usulan revisi
harus memperoleh persetujuan dari unit organisasi angkatan dan unit organisasi Markas Besar TNI (sebelum diusulkan oleh Dirjen Renhan
Kementerian Pertahanan). Oleh karena itu, dapat dipahami apabila realisasi anggaran tertunda sampai dengan 3 (tiga) bulan. Hal tersebut
semata-mata disebabkan proses internal di Kementerian Pertahanan yang cukup lama. Terlebih Dirjen Renhan memerlukan ekstra kehatihatian untuk menghindari pagu minus pada saat revisi sebagian belanja barang operasional ke satker-satker daerah.
Di lain pihak, proses dimaksud akan menambah waktu proses penyelesaian revisi dokumen anggaran di Kementerian Keuangan. Berdasarkan
data Kementerian Keuangan, apabila proses revisi satker Kementerian Pertahanan disetujui maka keseluruhan proses usulan dimaksud
diselesaikan dalam waktu 20 (dua puluh) hari kalender. Waktu penyelesaian tersebut di luar proses pencetakan dan pendistribusian DIPA
untuk satker baru di daerah. Padahal sesuai SOP harusnya proses revisi yang dilakukan Kementerian Keuangan memerlukan waktu maksimal
5 (lima) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap.
Memperhatikan kendala yang dialami Kementerian Pertahanan tersebut, Kementerian Keuangan berupaya mempercepat proses pengalokasi
anggaran pada Kementerian Pertahanan dan TNI yang selama ini terpusat pada 5 (lima) unit organisasi. Dari kebijakan sentralisasi diubah menjadi
desentralisasi ke satker-satker daerah. Berpedoman pada PMK Nomor 112/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKAK/L TA 2013, dilakukan perubahan dari semula sebagian belanja barang operasional menjadi seluruhnya belanja barang operasional pada TA 2013.
Selanjutnya, secara bertahap diberlakukan untuk seluruh alokasi anggaran pada tahun-tahun anggaran berikutnya dengan mempertimbangkan
karakteristik (kekhususan) Kementerian Pertahanan dan TNI. Hal tersebut ditempuh sembari mendorong percepatan proses internal di Kementerian
Pertahanan dan TNI. Dengan demikian, apabila terjadi revisi segera dapat diusulkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) satker daerah langsung
ke Kementerian Keuangan, baik ke Ditjen Anggaran maupun Kanwil Ditjen Perbendaharaan sesuai kewenangannya.

BIDANG
KEKAYAAN NEGARA
1. Penerapan Penyusutan Aset Tetap
Dalam menerapkan penyusutan aset tetap, pada tahun 2013, Kementerian Keuangan telah menetapkan 3 (tiga) peraturan sebagai dasar hukum
penerapan penyusutan aset, yaitu PMK Nomor 1/PMK.06/2013 tentang Penyusutan BMN berupa Aset Tetap, KMK Nomor 59/KMK.6/2013
tentang Tabel Masa Manfaat dalam rangka Penyusutan BMN Aset Tetap, dan KMK Nomor 94/KMK.6/2013 tentang Modul Penyusutan BMN
Aset Tetap.
Selain itu, Menteri Keuangan telah menyampaikan penerapan penyusutan aset tetap kepada Presiden RI melalui surat nomor S-993/MK.06/2013
tanggal 18 Desember 2013. Dalam surat tersebut telah dilaporkan progress, dampak, potensi risiko dan mitigasi dari penerapan penyusutan
aset tetap.

144

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Penyusutan aset tetap telah diterapkan pada seluruh K/L mulai Semester I 2013. Sebelum melakukan penyusutan per semester, K/L harus
melakukan penyusutan pertama kali per 1 Januari 2013 (akumulasi penyusutan sejak aset diperoleh s.d. 31 Desember 2012).
Penerapan penyusutan aset tetap akan memberikan dampak berupa berkurangnya nilai aset tetap yang disajikan di neraca Pemerintah.
Berdasarkan LBMN Semester I tahun 2013, total akumulasi penyusutan sebesar Rp297,03 triliun terdiri dari :
a. Penyusutan pertama kali per 1 Jan 2013 sebesar Rp275,62 triliun, dan
b. Penyusutan semester I 2013 sebesar Rp21,42 triliun.
Namun demikian, penurunan aset per semester sebesar Rp21,42 triliun tersebut, tidak berpengaruh secara signifikan mengingat pada periode
tahun 2013 terdapat penambahan nilai aset tetap dari belanja modal K/L sebesar Rp171,80 triliun, terdiri dari:
a. Belanja modal semester I 2013 sebesar Rp34,03 triliun, dan
b. Belanja modal semester II 2013 sebesar Rp137,77 triliun
Selain itu, penerapan penyusutan aset tetap akan menimbulkan potensi risiko. Potensi risiko yang muncul yaitu apabila terdapat kesalahan
dalam penggunaan aplikasi penyusutan, sehingga dapat mengakibatkan kesalahan penyajian di neraca.
Untuk menimalisasi potensi risiko tersebut, mitigasi yang telah dilaksanakan antara lain
a. Telah dilakukan sosialisasi penyusutan dan aplikasinya.
b. Pendampingan K/L dalam menyusun Laporan BMN dan neraca.
c. Pelaksanaan rekonsiliasi BMN dengan K/L.

2. Penawaran lelang melalui e-mail


Pada tahun 2013, Kementerian Keuangan telah mengembangkan penawaran lelang melalui e-mail. Hal ini sebagai tindak lanjut dari penetapan
PMK Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan Peraturan
Dirjen Kekayaan Negara Nomor 06/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang. Dalam pasal 54 PMK dimaksud antara lain mengatur
mengenai penawaran lelang secara tertulis tanpa kehadiran peserta lelang, yaitu melalui surat elektronik (e-mail), surat melalui tromol pos, atau
internet.
Untuk mendukung pelaksanaan penawaran lelang melalui e-mail tersebut, kegiatan yang telah dilakukan antara lain:
a. Penyelesaian aplikasi penawaran lelang melalui e-mail.
b. Pemanfaatan layanan virtual account, bekerja sama dengan BNI dan Bank Mandiri.
c. Sosialisasi, Simulasi dan Role Play penawaran lelang melalui e-mail di KPKNL.
Penawaran lelang melalui e-mail pertama kali dilaksanakan dalam pelaksanaan lelang non-eksekusi sukarela tanggal 5 Desember 2013 pada
KPKNL Jakarta V. Adapun hasil dari kegiatan tersebut sebagaimana berikut:
a. Lelang diikuti 114 orang peserta lelang dari seluruh Indonesia, dan peserta lelang tidak perlu hadir.
b. Harga lelang naik 10x lipat dari nilai limit
c. Pengembalian uang jaminan dilakukan melalui mekanisme pemindahbukuan/transfer antar rekening dalam tempo 15 menit setelah
penunjukan pemenang lelang, dengan menggunakan virtual account.

3. Percepatan pengurusan piutang Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D)


Dalam rangka percepatan pengurusan piutang negara telah dilaksanakan road map percepatan pengurusan piutang negara tahun 2010-2014.
Sampai dengan tahun 2013, pelaksanaan road map tersebut meliputi:
a. Jumlah BKPN yang dikembalikan kepada Penyerah Piutang sebanyak 3.765 BKPN.
b. Jumlah BKPN yang lunas/selesai sebanyak 3.778 BKPN.
c. Jumlah BKPN PSBDT sebanyak 4.473 BKPN.
d. Jumlah BKPN yang ditarik oleh Penyerah Piutang dalam rangka restrukturisasi sebanyak 878 BKPN.
e. Jumlah piutang negara yang dapat diselesaikan sebesar Rp655,83 miliar.
f. Jumlah PNBP berupa biaya administrasi pengurusan piutang negara sebesar Rp56,73 miliar.

4. Percepatan penyelesaian Penyertaan Modal Negara Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya
Untuk menyelesaikan Penyertaan Modal Negara (PMN) Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS), Kementerian
Keuangan telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2013 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia

145

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Angkasa Pura II, selain itu juga telah disampaikan 3 (tiga) kajian dan Rancangan
Peraturan Pemerintah PMN BPYBDS ke Presiden yaitu:
a. Rancangan Peraturan Pemerintah PMN BPYBDS pada PT ASDP,
b. Rancangan Peraturan Pemerintah PMN BPYBDS pada Perum PPD, dan
c. Rancangan Peraturan Pemerintah PMN BPYBDS pada Perum Damri.

BIDANG
PENGELOLAAN UTANG
1. Perkembangan pengelolaan kewajiban kontinjensi
Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur diperlukan campur tangan pemerintah mengingat besarnya kebutuhan
dana investasi yang dibutuhkan. Bentuk campur tangan pemerintah tersebut diantaranya dengan menyediakan fasilitas pemberian jaminan
kepada pelaksanaan proyek infrastruktur.
Dukungan penjaminan pemerintah diterjemahkan dalam mekanisme pembiayaan dengan penjaminan pemerintah dan kerjasama pemerintah
dengan swasta, dengan tujuan untuk memberikan kepastian investasi sehingga dapat menarik minat investor/kreditur untuk berpartisipasi
dalam pembangunan infrastruktur. Namun di sisi lain, program ini memberikan konsekuensi timbulnya kewajiban kontinjensi dan risiko fiskal,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk itu, diperlukan pengelolaan kewajiban kontinjensi yang prudent dimulai dari proses
evaluasi, mitigasi risiko transaksi, penerbitan jaminan Pemerintah, sampai monitoring potensi gagal bayar.
Program yang mendapatkan penjaminan Pemerintah sampai dengan akhir tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Program Penjaminan proyek 10.000 MW tahap I
Pemerintah memberikan jaminan terhadap pembayaran seluruh kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur yang menyediakan pendanaan
Kredit Perbankan untuk proyek 10.000 MW tahap I. Jumlah penjaminan program ini adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1

Eksposur Penjaminan Pemerintah pada Proyek FTP I


Porsi

Jumlah Surat Jaminan

USD

11

$3.958.718.574,41

$3.223.622.734,00

IDR

23

Rp36.105.992.211.891,00

Rp22.157.879.454.242,00

Rp75.693.177.955.991,00

Rp54.394.106.794.242,00

Total IDR

Nilai Penjaminan

Outstanding

Kurs USD 1 = Rp10.000


b. Program Percepatan Penyediaan Air bersih
Pemerintah memberian jaminan sebesar 70% dari pembayaran pokok kredit investasi PDAM kepada perbankan dalam program percepatan
penyediaan air minum yang dilaksanakan oleh PDAM. Nilai penjaminannya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2

Eksposur Penjaminan Pemerintah terhadap Proyek Percepatan Penyediaan Air Minum


Pihak Terjamin

Lender

Nilai

Outstanding

PDAM Kab. Ciamis

BJB

14.700.000.000

12.831.094.772

PDAM Kab. Bogor

BRI

24.312.000.000

22.078.794.082

PDAM Kab. Lombok Timur

BNI

11.175.000.000

4.499.752.000

PDAM Kota Malang

BNI

44.974.000.000

4.236.000.000

PDAM Bandarmasih

Bank Kalsel

110.000.000.000

77.000.000.000

205.161.000.000

120.645.640.854

Eksposure Penjaminan (IDR)

146

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

c. Program Penjaminan pada proyek 10.000 MW tahap II


Pemerintah memberikan jaminan kepada pengembang listrik swasta atas kelayakan usaha PT PLN (Persero) untuk membeli tenaga listrik
berdasarkan Perjanjian Jual Beli Listrik pada program pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan energi terbarukan
(panas bumi), batubara, dan gas (10.000 MW tahap II).

Tabel 4.3

Eksposur Penjaminan Pemerintah pada Proyek FTP II


Proyek

Penerima Jaminan

Nilai

PLTP Rajabasa

PT. Supreme Energy Rajabasa

663.328.250

PLTP Muaralaboh

PT. Supreme Energy Muaralaboh

602.669.500

PLTA Wampu

PT. Wampu Electric Power

174.168.238

PLTP Rantau Dedap

PT. Supreme Energy Rantau Dedap

PLTP Sarulla

Sarulla Operation Ltd

1.399.486.000

Eksposure Penjaminan

USD

3.503.701.488

664.049.500

d. Penjaminan pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta


Dalam penjaminan infrastruktur untuk proyek Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), Pemerintah menerapkan single window policy, di
mana PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) PT PII sebagai pelaksana dalam kebijakan dimaksud. Sampai dengan tahun 2013
Pemerintah dan PT PII telah melakukan penjaminan bersama sebesar USD3.2 miliar (PT PII menjamin USD300 juta dan sisanya dijamin
Pemerintah) untuk pembangunan PLTU Jawa tengah yang dilaksanakan oleh PT Bhimasena Power Indonesia.
2. Pengendalian Utang Pemerintah
a. Batas Maksimal Pinjaman Luar Negeri (BMPLN)
Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman
Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, Menteri Keuangan telah menerbitkan surat nomor S-23/MK.08/2012 tanggal 11 Januari
2012 hal Batas Maksimal Pinjaman Luar Negeri Tahun 2013-2015. Batas Maksimal Pinjaman Luar Negeri (BMPLN) merupakan
alat pengendali Pinjaman Luar Negeri yang berupa perkiraan besaran kebutuhan pembiayaan APBN melalui Pinjaman Luar
Negeri termasuk untuk pembiayaan penerusan pinjaman yang disusun berdasarkan proyeksi rencana penarikan pinjaman yang
dilaksanakan dalam periode 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun. BMP ditinjau setiap tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan tahunan dengan berpedoman pada strategi pengelolaan utang yang dapat dipenuhi dengan komitmen pinjaman, baik
yang sudah ditandatangani maupun yang berpotensi untuk ditandatangani.
Hasil review yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat perubahan asumsi dasar dalam penyusunan BMP Luar
Negeri Tahun 2013-2015. Perubahan asumsi dimaksud mencakup: (i) asumsi perkiraan penarikan pinjaman luar negeri tahun 2013
dan 2014; dan (ii) proyeksi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri. Dari sisi implementasi, BMPLN Tahun 2013-2015 pada
prinsipnya telah dilaksanakan untuk APBN 2013 dan penyusunan RAPBN 2014 di mana total penarikan pinjaman luar negeri yang
dialokasikan lebih rendah dibandingkan dengan BMPLN Tahun 2013-2015. Namun demikian, besarnya komitmen yang dilakukan
pada periode tahun 2012 dan 2013 menyebabkan besarnya undisbursed loans yang cukup besar juga.
Dengan mempertimbangkan hasil review tersebut di atas, perlu dipertimbangkan untuk menyusun BMPLN sesuai dengan strategi
pengelolaan utang negara jangka menengah 2014-2017, antara lain:
1)

Batas Maksimal Pinjaman Luar Negeri (BMPLN) perlu menetapkan batasan komitmen pinjaman luar negeri baru (new
commitment). Dengan memperhatikan besarnya stock undisbursed loans saat ini dan dikaitkan dengan kinerja pemanfaatan
pinjaman, penurunan outstanding pinjaman luar negeri baik secara relatif maupun absolut dapat ditempuh melalui penurunan
komitmen baru secara konsisten.

2)

Pembiayaan melalui pinjaman luar negeri untuk periode 2014-2017 diutamakan untuk kegiatan dalam rangka pembangunan
Minimum Essential Force (MEF), kegiatan infrastruktur (fisik), dan kegiatan di bidang energi.

3)

Komitmen baru pinjaman tunai/program perlu dilakukan secara lebih selektif, terutama dalam rangka mendukung fleksibilitas
sumber pembiayaan utang dalam hal terjadi pasar SBN yang tidak kondusif.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

4)

147

Mengambil langkah-langkah proaktif dalam menangani slow disbursement. Hasil review merekomendasikan bahwa pemanfaatan
ruang yang tersedia melalui percepatan penarikan pinjaman lebih bermakna bila dibandingkan dengan penambahan komitmen baru.

5)

Pendekatan penyusunan BMPLN mengacu pada Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah, yaitu melalui penurunan
stok/outstanding pinjaman luar negeri dalam jangka menengah.

b. Batas Maksimal Pinjaman Dalam Negeri (BMPPDN)


Periode jangka menengah 2010-2014 merupakan periode awal dalam pemanfaatan Pinjaman Dalam Negeri (PDN) sebagai salah satu
instrumen pembiayaan utang, sehingga masih memerlukan sosialisasi dan berbagai penyempurnaan di setiap tahapan. Besaran PDN
dalam kurun waktu tersebut ditetapkan dengan jumlah yang relatif kecil, yaitu total sebesar Rp5 triliun dengan alokasi setiap tahun sebesar
Rp1 triliun. Kementerian/Lembaga yang menjadi pelaksana kegiatan pun masih terbatas untuk 2 (dua) Kementerian/Lembaga, yaitu
Kementerian Pertahanan/TNI dan Kepolisian RI.
Pada tahun 2013, telah dilaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan PDN untuk periode 2010-2013. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa
secara umum pelaksanaan PDN masih mengalami berbagai hambatan yang mengakibatkan realisasi penyerapan menjadi tidak optimal.
Permasalahan pelaksanaan PDN tersebut diantaranya adalah kurang akuratnya perencanaan kegiatan dan/atau terlambatnya pelaksanaan
kegiatan serta terlambatnya penyediaan barangnya oleh pihak ketiga.
Dokumen perencanaan kegiatan (Daftar Kegiatan Prioritas PDN) untuk tahun 2013 mengalami keterlambatan. Dokumen dimaksud dibagi
menjadi 2 (dua) tahap. Tahap I ditetapkan pada bulan Januari 2013 dan tahap II pada bulan Desember 2013. Idealnya Daftar Kegiatan
Prioritas PDN tersebut ditetapkan pada tahun sebelumnya (2012) sehingga pada tahun berjalan sudah dapat dilaksanakan pengadaan
barang/jasa. Dengan adanya keterlambatan dimaksud, pengadaan barang/jasa juga terlambat yang pada akhirnya berakibat pada
penyerapan PDN yang rendah.
Untuk tahun 2014, BMPPDN ditetapkan lebih awal, yaitu pada bulan April 2013. BMPPDN tahun 2014 sebesar Rp1,25 triliun yang
merupakan tahun terakhir periode jangka menengah 2010-2014. Besaran dimaksud merupakan sisa dari total Rp5 triliun dalam jangka
menengah. Berdasarkan BMPPDN Tahun 2014 dimaksud, Bappenas menetapkan dokumen Daftar Kegiatan Prioritas PDN Tahun 2014
pada bulan Desember 2014. Dengan demikian, diharapkan pengadan barang/jasa untuk alokasi tahun 2014 dapat segera dilaksanakan
lebih cepat.
c. Batas Maksimal Penerbitan SBSN (BMP SBSN) untuk Pembiayaan Proyek
Dalam rangka efisiensi pengelolaan utang, diperlukan pengembangan instrumen yang dapat digunakan untuk pembiayaan. Salah
satu yang dilakukan adalah penerbitan SBSN dengan skema project financing. Salah satu peran middle office agar instrumen ini dapat
digunakan adalah penetapan indikasi proyek yang akan dibiayai dari penerbitan SBSN yang meliputi besaran dan jenis/kriteria proyek yang
siap dilaksanakan. Penetapan indikasi tersebut dilakukan dengan Batas Maksimal Penerbitan SBSN untuk membiayai proyek (BMP-SBSN
Proyek) yang bersifat tahunan dan digunakan sebagai dasar penyusunan resource envelope dan penetapan pagu anggaran. BMP-SBSN
juga merupakan pedoman bagi Bappenas dalam melakukan perencanaan kegiatan yang akan dibiayai dengan penerbitan SBSN.
Pada bulan April tahun 2013, telah ditetapkan BMP-SBSN Proyek Tahun Anggaran 2014 sebesar Rp1,571 triliun. Nilai dimaksud
merupakan batas tertinggi nilai penyerapan berbagai proyek Kementerian/Lembaga yang dibiayai melalui penerbitan SBSN yang alokasi
anggarannya ditetapkan dalam UU APBN Tahun 2014. Berdasarkan BMP-SBSN Proyek Tahun Anggaran 2014, Bappenas melakukan
perencanaan proyek dengan kriteria dan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memenuhi prinsip
syariah sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
d. Penerapan Fleksibilitas Pembiayaan Utang
Fleksibilitas pembiayaan utang merupakan suatu mekanisme yang untuk mengganti instrumen utang yang digunakan untuk membiayai
kegiatan prioritas dengan instrumen utang yang lain yang lebih efisien dan tersedia di pasar keuangan. Tujuannya adalah untuk menjamin
terlaksananya kegiatan prioritas dan untuk memperoleh instrumen utang yang lebih efisien bagi pemerintah. Mekanisme dapat dijalankan
dalam hal terdapat instrumen pembiayaan utang yang lebih efisien dan/atau ketidaktersediaan salah satu instrumen pembiayaan

148

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

utang. Pertimbangan tersebut menjadi relevan ketika kondisi pasar keuangan internasional tidak kondusif sehingga menyebabkan
ketidaktersediaan instrumen pinjaman luar negeri atau pinjaman tersebut tersedia namun dengan cost of borrowing yang tinggi. Dalam
penerapannya, diperlukan upaya agar fleksibilitas pembiayaan melalui utang dapat dilaksanakan, antara lain:
1)

Perlu kepastian kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran berkenaan;

2)

Persyaratan efektif kontrak tidak dikaitkan dengan pembiayaan, namun dipersyaratkan agar kegiatan telah disetujui oleh DPR melalui
UU APBN;

3)

Dengan adanya jaminan atas pembiayaan kegiatan, pemblokiran (tanda bintang) anggaran tidak diperlukan; dan

4)

Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan memastikan agar kegiatan dapat dilaksanakan pada awal tahun anggaran berkenaan.

Selama tahun 2013, DJPU telah melakukan beberapa upaya agar kebijakan fleksibilitas pembiayaan utang dapat dilaksanakan. Salah
satu upaya yang telah dilakukan yaitu dengan mengusulkan klausul mengenai fleksibilitas pembiayaan utang dalam APBN-P tahun 2013
dan APBN tahun 2014. Klausul dimaksud diperlukan mengingat dalam APBN yang berlaku, anggaran untuk masing-masing instrumen
pembiayaan melalui utang bersifat mengikat. Anggaran SBN dan Pinjaman merupakan anggaran nilai bersih maksimal yang dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah. Selanjutnya pelaksanaan fleksibilitas pembiayaan utang perlu didukung oleh mekanisme operasional
yang dituangkan dalam peratuan pelaksanaan. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan mengupayakan penyusunan peraturan dan/atau
mekanisme yang memuat operasionalisasi fleksibilitas pembiayaan utang.
3. Optimalisasi Sistem Aplikasi Debt Management and Financial Analysis System (DMFAS) untuk pemanfaatan
pengelolaan pinjaman
The Debt Management and Financial Analysis System (DMFAS) Program adalah perangkat lunak dari UNCTAD yang dirancang untuk
membantu negara-negara dalam mengelola utang luar negeri dan dalam negeri mereka. DMFAS dapat digunakan untuk memonitor kewajiban
utang pemerintah, hibah, dan juga pinjaman utang yang dijamin pemerintah. Kementerian Keuangan sendiri telah menggunakan DMFAS sejak
tahun 1988 sebagai sistem utama untuk merekam data utang, mengelola pembayaran utang, dan untuk melaporkan posisi utang luar negeri.
Saat ini DMFAS sudah mencapai versi 6.0, di mana selama tahun 2013 DMFAS 6.0 telah mengalami 2 kali proses update dari UNCTAD.
Ditahun ini juga aplikasi Pusat Manajemen Obligasi Negara (PMON) yang digunakan untuk mengelola data terkait Surat Berharga Negara (SBN)
mulai dintegrasikan ke dalam sistem DMFAS 6.0.
4. Kajian mengenai Saving Bond
Untuk menyediakan alternatif instrumen investasi bagi masyarakat dan memperluas basis investor dalam negeri, serta memberikan kesempatan
kepada Warga Negara Indonesia untuk ikut serta memberikan kontribusi secara langsung dalam pembiayaan pembangunan, perlu dilakukan
upaya untuk meningkatkan jangkauan investor ritel domestik di Surat Berharga Negara (SBN). Hasil analisis kinerja Obligasi Negara Ritel (ORI)
di pasar perdana dan sekunder, terlihat ORI semakin diminati oleh masyarakat berpendapatan menengah ke atas dan masyarakat yang sering
bersentuhan dengan produk-produk investasi (sophisticated investor).
Dengan demikian, untuk menjaring investor dari kalangan masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah dan masih berorientasi
menyimpan dananya dalam bentuk tabungan (saving oriented), perlu dikembangkan sebuah produk yang menjangkau kelas masyarakat
tersebut. Sebelum melahirkan produk tersebut, telah dilakukan kajian untuk melihat peluang Pemerintah untuk menerbitkan instrumen baru
yang mencerminkan produk tersebut, yakni dengan melakukan kajian saving bond.
Saving Bonds merupakan pengembangan produk obligasi negara ritel yang diharapkan untuk dapat menjangkau investor ritel yang lebih luas.
Pada umumnya saving bonds hanya dijual kepada individu atau perseorangan dan tidak dapat diperdagangkan (non tradable).
5. Kajian mengenai Peningkatan Partisipasi Investor Institusional Domestik
Untuk meminimalkan efek negatif dari sudden reversal, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas daya serap pasar domestik. Salah
satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut, telah dilakukan kajian mengenai peningkatan partisipasi investor institusional domestik tergabung
dalam industri dana pensiun, asuransi, reksadana, dan Badan Layanan Umum (BLU). Secara singkat hasil kajian tersebut mengulas hal-hal
sebagai berikut, antara lain: penyusunan roadmap pendalaman pasar SBN, penyusunan rencana inisiatif strategis pendalaman pasar bersama
dengan konsultan dari McKinsey, pembentukan IRU DJPU, pembentukan tim pendalaman pasar surat utang bersama dengan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia, terlibat langsung dalam forum rapat koordinasi, kerjasama dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal
dan sektor jasa keuangan yang dipimpin oleh Anggota Dewan Komisioner Ex-Officio Kementerian Keuangan, diskusi dengan konsultan asal
Inggris Nicholas de Boursac berkenaan dengan pendalaman pasar SBN, dan identifikasi dan penjajakan investor potensial baru.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

149

BIDANG
PERUMUSAN KEBIJAKAN FISKAL
1. Pengelolaan Regional Economist (RE)
Sejak tahun 2012 Kementerian Keuangan telah menjalin hubungan dengan para pakar di berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia
dalam bentuk kerja sama Kementerian Keuangan c.q. Badan Kebijakan Fiskal dengan Jaringan Ahli Ekonomi Daerah (Regional Economist/
RE), yang berjumlah 14 orang ekonom. Kerja sama ini bertujuan untuk saling sharing informasi dan masukan, serta memperkuat analisis dan
rekomendasi kebijakan yang dihasilkan, salah satunya dalam hal melakukan kajian terhadap kondisi ekonomi untuk penetapan asumsi dalam
rangka penyusunan kebijakan ekonomi makro.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan Kementerian Keuangan, maka pada tahun 2013 dilakukan pengembangan Regional Economist
dengan menambah jumlah ekonom menjadi 22 orang yang mencakup 33 provinsi di Indonesia. Tujuan utama Regional Economist tahun 2013,
yaitu sebagai berikut:
a. Memberikan masukan terkait kebijakan publik yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, yang bersifat strategis, berdampak luas
terhadap masyarakat, dan mempunyai kepentingan terhadap daerah.
b. Memberikan informasi kepada daerah mengenai kebijakan ekonomi dan fiskal yang dikeluarkan Kementerian Keuangan.
c. Mengidentifikasi masalah-masalah di bidang ekonomi sesuai dengan kondisi daerah asal perguruan tinggi.
d. Melakukan pertukaran informasi dan pengembangan sumber daya manusia di perguruan tinggi dan Kementerian Keuangan.
e. Menjadi Konsultan Ekonomi bagi kantor vertikal Kementerian Keuangan (Kanwil-Kanwil) di daerah, dengan cara
1) Melakukan analisis ekonomi daerah;
2) Memberikan masukan kepada Kanwil-Kanwil Kementerian Keuangan di daerah;
3) Melakukan capacity building dan training bagi pegawai Kemenkeu di daerah.
Untuk memenuhi tujuan dibentuknya Jaringan Ahli Ekonomi Daerah/Regional Economist, maka pada tahun 2013 Regional Economist telah
melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Melakukan analisis ekonomi dan keuangan secara berkala (bulanan dan kuartalan);
b. Sosialisasi kebijakan ekonomi dan fiskal, baik wawancara, berita maupun tulisan di media cetak/elektronik secara berkala;
c. Menyusun Policy Paper/ Policy Recommendation, dengan lima topik utama yaitu Kebijakan Infrastruktur, Kebijakan Hilirisasi
Pertambangan, Kebijakan Transfer Daerah, Kebijakan untuk Pengurangan Defisit Perdagangan Internasional, dan Kebijakan untuk
Pengurangan Subsidi Energi (BBM dan Listrik);
d. Menjadi narasumber dalam training/capacity building/diklat di kantor-kantor wilayah Kementerian Keuangan;
e. Bersama Kantor Wilayah setempat memberikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah;
f. Menjadi Pembicara dalam seminar yang dilakukan di daerah, sekaligus penghubung antara Kementerian Keuangan dengan
Perguruan Tinggi setempat;
g. Menghadiri dan berkontribusi aktif dalam kegiatan seminar/workshop yang dilakukan terkait Regional Economist baik Jakarta
maupun di daerah.
h. Bersama dengan Kementerian Keuangan, telah dilaksanakan sosialisasi di 22 kota di Indonesia.
Di samping itu, Regional Economist juga telah menghasilkan output yang berarti bagi Kementerian Keuangan. Output yang dihasilkan selama
tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Masukan kepada pimpinan terkait kebijakan publik yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, yang bersifat strategis, berdampak luas
terhadap masyarakat, dan mempunyai kepentingan terhadap daerah;
b. Adanya informasi kepada daerah mengenai kebijakan ekonomi dan fiskal yang dikeluarkan Kementerian Keuangan;
c. Penyampaian identifikasi masalah-masalah di bidang ekonomi sesuai dengan kondisi daerah masing masing oleh Anggota Regional
Economist dalam berbagai kesempatan;
d. Pertukaran informasi dan pengembangan sumber daya manusia antar kalangan kampus dan Kementerian Keuangan baik secara
langsung maupun tidak langsung;
e. Penguatan kanwil-kanwil di daerah dengan memanfaatkan anggota Regional Economist yang ada. Hal ini belum bisa dilakukan
maksimal ke seluruh propinsi, karena keterbatasan jumlah dan asal anggota Regional Economist yang ada.

150

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

2. APEC Finance Ministers Process Chairmanship 2013


Pada chairmanship Indonesia di forum APEC tahun 2013, Kementerian Keuangan cq Badan Kebijakan Fiskal ditunjuk untuk menjadi chair
pada jalur APEC Finance Ministers Process (APEC FMP). Sesuai dengan tema keketuaan Indonesia yaitu Resilient Asia-Pacific, Engine of
Global Growth, agenda utama yang dibahas pada APEC FMP 2013 mengerucut menjadi empat agenda utama, yaitu:
a. Infrastructure;
b. Financial Inclusion;
c. Trade Finance; dan
d. Treasury and Budget Reform.
Selain 4 (empat) agenda utama tersebut, Indonesia juga mendapat mandat untuk menyelesaikan agenda Disaster Risk Management yang
belum terselesaikan pada keketuaan Rusia yang diselenggarakan pada tahun 2012. Agenda yang belum terselesaikan yaitu:
a. memonitor perkembangan Asia Region Fund Passport (ARFP), serta
b. rencana pembentukan Asia Pacific Financial Forum.
Dalam rangka keketuaan Indonesia pada APEC Finance Ministers Process, Kementerian Keuangan telah melaksanakan 12 (dua belas)
pertemuan yang diselenggarakan di 7 (tujuh) kota di seluruh Indonesia. Berdasarkan pertemuan tersebut, keketuaan Indonesia pada APEC
FMP 2013 menghasilkan output berupa:
a. Guiding Principles on Financial Inclusion;
b. Guiding Principles on Treasury and Budget Reforms;
c. Survei mengenai perkembangan Trade Finance di kawasan;
d. Survei mengenai Disaster Risk Financing best practices;
e. Pembentukan APEC PPP Experts Advisory Panel, serta
f. Penunjukan PPP Unit di Kementerian Keuangan Indonesia sebagai pilot project PPP Center di kawasan.
3. Penyusunan kajian pada Kebijakan Pendapatan Negara, Kebijakan APBN, Kebijakan Pengelolaan Risiko Fiskal,
Kebijakan Ekonomi Makro, Kebijakan Kerjasama Regional dan Bilateral, serta Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim
dan Multilateral.
Adapun kajian-kajian yang telah dihasilkan oleh Kementerian Keuangan adalah sebagaimana berikut:
a. Kebijakan Pendapatan Negara, diantaranya Kajian Kebijakan Bea Materai Dalam Rangka Optimalisasi Penerimaan Negara, Kajian
Kebijakan Pengenaan PPnBM Atas Kelompok Barang Selain Kendaraan Bermotor, Kajian Kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Pada Sektor
Pertambangan Umum dan Panas Bumi, Kajian Perluasan Kebijakan Tarif Bea Masuk Pada Bab 98 Terhadap Industri Tertentu, Kajian
Manfaat Implementasi AANZ FTA Terhadap Industri Tertentu, Kajian Efektivitas Hilirisasi Industri Melalui Pengenaan Bea Keluar, Kajian
Ekstensifikasi Barang Kena Cukai, Kajian Formulasi Insentif Pengembangan Manufaktur dan Kajian Evaluasi Tarif PNBP Pertambangan
Umum.
b. Kebijakan APBN, diantaranya Kajian Dampak perubahan kebijakan perpajakan terhadap potensi penerimaan perpajakan sektoral,
Kajian potensi penerimaan perpajakan di indonesia berdasarkan pendekatan makro, Kajian faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan perpajakan, kajian Penggalian potensi pajak sektoral berbasis karakteristik provinsi di Indonesia, Kajian Penilaian Kinerja
BUMN Perkebunan dan Konstruksi terhadap Peningkatan Konstribusi terhadap APBN, Kajian Sistem Fiskal Perminyakan Indonesia,
Permasalahan dan Alternatif Pemecahannya, Kajian Pengembangan Model Simulator Optimalisasi APBN, Kajian Penguatan Ketahanan
Fiskal untuk Mendukung Kesinambungan Fiskal, Kajian Efektivitas Subsidi Kredit Program Bagi Pengembangan Sektor Pertanian, Kajian
Usulan Pembiayaan Asuransi Komersial terkait Penyakit Dampak Asap Rokok, Kajian Singkat Tinjauan Hukum Perpajakan atas Usulan
Government Refunded Program (GRP), Kajian Dampak Pelarangan Ekspor Bijih Mineral, Kajian Skema Pendanaan Revitalisasi Bulog,
Kajian Pembiayaan Surplus 10 (sepuluh) Juta ton Beras Subsidi Output versus Subsidi Input, Kajian Subsidi Listrik Tepat Sasaran, Dana
Pendamping DAK untuk Daerah Tertinggal dan Infrastruktur, Perhitungan Proyeksi Pajak Daerah Tahun 2014, Intervensi Pemerintah Pusat
dalam Alokasi Belanja APBD, Kajian Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Kinerja Pelayanan Dasar Publik di Indonesia dan Kajian Kinerja
Fiskal Daerah Otonom Baru (DOB).
c. Kebijakan Pengelolaan Risiko Fiskal, diantaranya Kajian Kesinambungan APBN atas Pelaksanaan Jaminan Sosial Untuk Kesehatan dan
Ketenagakerjaan, Kajian Efektivitas Penugasan PSO kepada BUMN Sektor Energi (PLN dan atau Pertamina), Kajian Risiko Fiskal atas
Proyek Fast Track Tahap I dan Tahap II pada PT. PLN (Persero) serta Dukungan Pemerintah Lainnya, Kajian Hukum: Implikasi Percepatan
Pembangunan oleh BUMN dalam rangka MP3EI terhadap Kewajiban Kontijensi Pemerintah (Risiko Fiskal).

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

151

d. Kebijakan Ekonomi Makro, diantaranya Kajian Possible Impact of The Abe-Kuro Monetary Expansion On The Indonesian Economy (Kajian
Dampak Perluasan Sistem Keuangan Abe-Kuro Terhadap Perekonomian Indonesia). Kajian Leading Indicators Indonesia, Kajian Revitalisasi
Investasi Pengembangan Energi Panas Bumi diIndonesia, dan Kajian Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas ASEAN.
e. Kebijakan Kerjasama Regional dan Bilateral, diantaranya Kajian mengenai Penambahan Perwakilan Kementerian Keuangan di Luar Negeri,
Kajian mengenai Pengembangan Regional-Internasional Infrastruktur Fund.
Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, diantaranya Kajian Penghitungan Emisi dari Konversi Minyak Tanah ke Tabung
LPG, Kajian Dana Bergulir Efisiensi Energi (DBEE), Budget Marking, Insentif bagi Energi Surya dan Kajian Penggantian LED bagi Lampu
Penerangan Jalan Umum.

BIDANG
PENGAWASAN
Konferensi Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI)
Reformasi yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya dalam bidang keuangan negara dan birokrasi telah menghasilkan berbagai perbaikan bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi keuangan negara telah memperlihatkan peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara
baik pada aspek perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan keuangan, serta audit/pengawasan. Demikian
pula reformasi birokrasi telah menampakkan hasil berupa proses bisnis dan perilaku aparatur yang semakin membaik. Namun demikian, masih
terdapat kondisi-kondisi yang masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan, diantaranya:
1. Pola penyerapan anggaran yang belum proporsional, baik di lingkungan instansi pemerintah pusat maupun daerah,
2. Penggunaan anggaran yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat luas belum cukup efektif,
3. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2012 masih memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian, serta
4. Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan Pemerintah Daerah masih banyak yang baru memperoleh opini WDP
atau bahkan Tidak Menyatakan Pendapat.
Perbaikan dan Peningkatan atas kondisi-kondisi tersebut secara menyeluruh sedang dijalankan oleh Pemerintah melalui program reformasi
birokrasi. Upaya ini perlu dijalankan dengan lebih sistematis dan terstruktur, terutama untuk menyelesaikan berbagai kekurangan tersebut oleh
segenap unsur pemerintah, terutama pihak manajemen.
Dalam proses pembenahan tersebut, APIP pada tiap kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah semestinya dapat ditingkatkan
kualitas pengawasannya sesuai dengan tugas dan fungsinya. APIP harus dapat memberikan keyakinan bahwa tata kelola penganggaran,
pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran dapat bebas dari praktik penyimpangan. Selain itu, APIP juga perlu mengembangkan
peran utama lainnya yang sangat penting yaitu membantu manajemen instansi pemerintah untuk merancang berbagai perbaikan sistem agar
pengendalian intern dan manajemen risiko dapat berjalan efektif untuk mendapatkan kondisi governance yang lebih baik.
Dalam rangka menguatkan peran APIP bagi peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara dan kinerja instansi pemerintah tersebut,
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan konferensi bagi segenap APIP di lingkungan kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah. Konferensi ini diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 2013 di Gedung Dhanapala dengan tema Peningkatan Kualitas
Pengawasan oleh APIP dalam Tata Kelola Penganggaran, Pelaksanaan Anggaran, dan Pertanggungjawaban Anggaran.
Konferensi selama satu hari ini diikuti oleh kurang lebih 350 peserta yang terdiri dari beberapa Menteri/Pimpinan Lembaga, seluruh Inspektur
Jenderal/Inspektur Utama, Seluruh Inspektur Provinsi, beberapa pimpinan APIP Daerah, para pejabat di lingkungan Kemenkeu, para Sekretaris
Inspektorat Jenderal Kementerian Negara/Lembaga, serta perwakilan auditor dari beberapa Inspektorat Jenderal Kementerian Negara/
Lembaga. Konferensi diisi dengan keynote speech Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, dilanjutkan dengan penyajian konsep standar profesi
(Standar Audit APIP, Kode Etik APIP, dan Telaah Sejawat APIP), dan diskusi panel oleh Plt. Direktur Jenderal Anggaran, Inspektur Jenderal
Kementerian Pekerjaan Umum, dan Ketua Komite Pengembangan Profesi AAIPI.

152

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

BAB 5
PENINGKATAN
AKUNTABILITAS KINERJA
KEMENTERIAN KEUANGAN
Penguatan Sistem Balance Scorecard
Peningkatan Kualitas Dokumen Perencanaan
Integrasi Pengelolaan Kinerja Berbasis BSC dengan SAKIP
Peningkatan Kualitas Evaluator AKIP Kemenkeu

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

153

154

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Berdasarkan amanat Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Nomor 25 Tahun 2012,
setiap tahun AKIP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dievaluasi oleh Kementerian PAN dan RB. Pada tahun 2013, AKIP Kemenkeu
dievaluasi selama 12 (dua belas) hari kerja mulai tanggal 10 Juni 2013 dengan on desk evaluation dilaksanakan pada tanggal 10 Juni
2013. Hasil evaluasi tersebut telah disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui surat nomor B/3761/M.PAN-RB/11/2013 tanggal
22 November 2013 hal Hasil Evaluasi atas Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam LHE tersebut, Kementerian PAN dan RB
memberikan beberapa rekomendasi untuk peningkatan kualitas AKIP Kemenkeu. Rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan integrasi manajemen kinerja yang dibangun dengan pendekatan Balance Scorecard dengan Sistem AKIP.
2. Menyempurnakan kualitas dokumen-dokumen perencanaan, indikator kinerja, dan laporan keungan di unit kerja secara menyeluruh.
3. Meningkatkan evaluasi akuntabilitas kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan.
4. Meningkatkan kapasitas SDM dalam bidang akuntabilitas dan manajemen kinerja di seluruh jajaran Kementerian Keuangan untuk
mempercepat terwujudnya pemerintahan yang berkinerja dan akuntabel.
Sebagai langkah nyata Kemenkeu untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut, Kemenkeu telah melaksanakan hal-hal sebagai berikut.

PENGUATAN SISTEM
BALANCE SCORECARD
Pada tahun 2013 Kemenkeu melaksanakan program transformasi kelembagaan. Program transformasi kelembagaan merupakan kelanjutan dari
program reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan pada beberapa tahun sebelumnya. Kedua program tersebut merupakan upaya berkelanjutan
dalam rangka peningkatan kualitas kinerja Kemenkeu. Salah satu hasil program transformasi kelembagaan adalah penyempurnaan visi dan misi
Kemenkeu beserta sebelas unit eselon I di lingkungan Kemenkeu.
Dalam rangka mencapai visi dan misi, Kemenkeu telah menerapkan pengelolaan kinerja berbasis Balance Scorecard (BSC) sejak tahun 2008.
Sistem Pengelolaan Kinerja berbasis BSC ini merupakan alat eksekusi strategi, yang menerjemahkan visi dan misi menjadi sasaran-sasaran
strategis yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sasaran-sasaran strategis tersebut kemudian disusun hubungan sebab-akibatnya,
sehingga menggambarkan suatu Peta Strategi yang menunjukkan perjalanan organisasi dalam mewujudkan visi dan misi organisasi. Sasaran
Strategis (SS) tersebut kemudian diukur keberhasilan pencapaiannya melalui Indikator Kinerja Utama (IKU).
Kemenkeu terus-menerus melakukan upaya peningkatan kualitas kinerja organisasi dan pegawai, antara lain dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menyempurnakan peraturan terkait pengelolaan kinerja
Sampai dengan tahun 2013, sistem pengelolaan kinerja Kemenkeu dijalankan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 454/
KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Keputusan Menteri tersebut mengatur tentang pengelolaan
kinerja bagi organisasi maupun pegawai. Memperhatikan perkembangan implementasinya, penyempurnaan atas KMK dimaksud harus
dilakukan dalam rangka :
a. Menjaga kualitas IKU
Beberapa ketentuan ditetapkan untuk mendorong peningkatan kualitas rumusan IKU dan targetnya, seperti:
1) Menyelaraskan rumusan Sasaran Strategis (SS) dan IKU dalam Kontrak Kinerja dengan dokumen perencanaan dan pelaporan akuntabilitas;
2) Memberikan bobot yang jauh lebih tinggi bagi IKU yang secara langsung mendukung pencapaian sasaran strategis dan IKU pada level
organisasi yang lebih tinggi;
3) Tidak memperbolehkan IKU yang mengukur aktivitas dalam kendali rendah dan tinggi bagi unit yang memiliki Peta Strategi;
4) Mengharuskan penetapan target IKU yang menantang (challenging) dan diupayakan terus meningkat.
b. Streamlining IKU untuk memperketat jumlah IKU sehingga kontrak kinerja hanya memuat IKU-IKU yang berkualitas baik dengan kriteria IKU
yang lebih challenging, mengukur outcome/output dan mengukur pencapaian SS secara;
Pengetatan jumlah IKU tersebut dimaksudkan untuk menjaring IKU berkualitas melalui pembatasan jumlah IKU agar berada pada rentang
jumlah yang relatif mudah dikelola/monitor. Tujuannya adalah agar organisasi lebih fokus dan memberi prioritas pada IKU yang lebih akurat
dalam mengukur pencapaian sasaran strategis organisasi.
c. Mengakomodasi masukan-masukan (feedback) implementasi pengelolaan kinerja sesuai hasil review kinerja serta monitoring dan evaluasi.
d. Menyelaraskan ketentuan pengelolaan kinerja Kemenkeu dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Pelaksanaan

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

155

Pekerjaan PNS dan Peraturan Kepala BKN No. 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Penilaian Kinerja PNS yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2014.
2. Melakukan monitoring perkembangan capaian Nilai Kinerja Organisasi
Monitoring capaian kinerja organisasi dilakukan secara periodik sesuai dengan ketentuan KMK nomor 454/KMK.01/2011. Adapun periode
rapat monitoring adalah triwulanan untuk level Kemenkeu-Wide, dan secara bulanan untuk level Kemenkeu-One, Two, Three, Four, dan Five.
Monitoring dilakukan untuk mengendalikan progres pencapaian target IKU berada pada jalur yang diharapkan (on the track) serta dapat
menjadi early warning system dan mitigasi atas potensi kegagalan pencapaian target IKU. Monitoring juga dilakukan untuk melihat apakah
IKU ataupun target yang telah ditetapkan benar-benar efektif untuk mengukur pencapaian Sasaran Strategis serta mendapatkan feedback
secara komprehensif dari jajaran pimpinan. Tindak lanjut monitoring pun dilakukan antara lain melalui:
a. Penetapan action plan jika terdapat target IKU yang belum tercapai atau untuk menjaga konsistensi pencapaian target;
b. Addendum kontrak kinerja jika terdapat perubahan kebijakan dalam rangka menjaga peningkatan kinerja.
Disamping melalui rapat monitoring, perkembangan pencapaian kinerja juga dipantau melalui aplikasi e-performance yang secara berkala
dilakukan pemutakhiran data.
3. Melakukan review Kontrak Kinerja
Dalam rangka menjaga kualitas IKU Kemenkeu, secara periodik dilakukan review atas Kontrak Kinerja (KK) yang ditetapkan pada seluruh level
organisasi dan pegawai. Tujuan dan ruang lingkup review kontrak kinerja antara lain adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan review KK ditujukan untuk mendapatkan umpan balik dari pelaksanaan kontrak kinerja demi perbaikan pengelolaan kinerja di
masa mendatang.
b. Kegiatan ini diupayakan meliputi seluruh aspek pengelolaan kinerja, tidak terbatas pada KK saja tetapi juga terhadap dokumen atau
informasi pendukungnya, seperti Rencana Strategis (Renstra) yang memuat pernyataan visi dan misi organisasi, uraian jabatan,
tugas dan fungsi, Manual IKU, Matriks Cascading, serta data pendukung laporan capaian kinerja triwulan I tahun 2013.
4. Melakukan refinement Kontrak Kinerja dan IKU
Refinement merupakan proses evaluasi dan penelaahan atas peta strategi dan IKU tahun sebelumnya hingga merumuskan kembali peta
strategi dan IKU baru untuk tahun berikutnya yang lebih berkualitas. Refinement tersebut dimaksudkan untuk menyelaraskan strategi dengan
perubahan kondisi internal maupun eksternal yang terjadi dan berpotensi mempengaruhi pencapaian visi dan misi Kemenkeu. Pelaksanaan
refinement dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan menteri, wakil menteri, pejabat eselon I, pejabat eselon II terkait, serta seluruh
pengelola kinerja organisasi. Pada proses refinement IKU tahun 2014, Kemenkeu berkesempatan mengundang ahli/konsultan transformasi
kelembagaan untuk memberi masukan atas Peta Strategi dan IKU Kemenkeu-Wide dan One serta sistem pengelolaan kinerja Kemenkeu.
5. Meningkatkan kapasitas pengelola kinerja dan awareness seluruh pegawai Kemenkeu
Program peningkatan kapasitas pengelola kinerja meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka memberikan penyegaran, serta
peningkatan pemahaman dan ketrampilan para pengelola kinerja organisasi. Penyegaran perlu diberikan untuk mengurangi kejenuhan
pengelola kinerja yang sudah bertugas cukup lama dengan rutinitas yang sama. Mutasi/rotasi pegawai pengelola kinerja organisasi juga
menjadi latar belakang diselengarakannya program capacity building. Pembekalan hardskills dan softskills juga diberikan, agar peserta juga
mampu menjadi trainers di unit kerja masing-masing.
Peningkatan awareness bagi pegawai Kemenkeu perlu dilakukan agar seluruh elemen organisasi memahami pentingnya implementasi BSC
sebagai alat manajemen strategis dan eksekusi strategi. Harapannya, pegawai memiliki pemahaman yang baik tentang visi dan misi organisasi,
strategi organisasi dalam mewujudkan visi dan misi, serta eksekusi strategi melalui alat manajemen yang disebut Balance Scorecard.
Capacity building pengelolaan kinerja dan peningkatan awareness dilaksanakan dalam bentuk sertifikasi BSC, training of trainers, sosialisasi,
workshop, maupun Focus Group Discussion (FGD).
Kemenkeu pun telah melakukan survei Strategy Focused Organization (SFO) untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi pengelolaan
kinerja organisasi di Kemenkeu. Pelaksanaan survei ini didasarkan oleh konsep SFO yang diperkenalkan oleh Robert Kaplan dan David Norton.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level implementasi prinsip-prinsip SFO pada Kementerian Keuangan dan masing-masing unit Eselon
I, prinsip SFO yang harus dipertahankan serta ditingkatkan atau diperbaiki serta hal-hal yang mempengaruhi pencapaiannya.

156

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Hasil survei menggambarkan bahwa Indeks implementasi SFO Kemenkeu pada tahun 2013 adalah sebesar 4,49 dalam skala 1 s.d 6 atau
dapat didefinisikan sebagai we are good at this. Prinsip SFO tertinggi adalah prinsip SFO 3 Menyelaraskan organisasi dengan strategi
sebesar 5.22. Kemudian diikuti dengan prinsip SFO 2 Menerjemahkan strategi menjadi kerangka operasional sebesar 4.95. Prinsip SFO 4
Memotivasi untuk menjadikan strategi sebagai pekerjaan seluruh pegawai memiliki skor 4,43. Sedangkan, prinsip terendah adalah prinsip
SFO 1 Memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan dengan skor 3,92.

PENINGKATAN KUALITAS
DOKUMEN PERENCANAAN
Dalam rangka peningkatan kualitas dokumen-dokumen perencanaan di lingkungan Kementerian Keuangan pada tahun 2013 telah dilakukan tindaklanjut sebagaimana direkomendasikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yaitu menyempurnakan kualitas
dokumen-dokumen perencanaan, indikator kinerja, dan laporan keuangan di unit kerja secara menyeluruh. Langkah tindak lanjut tersebut antara
lain melalui penyusunan Pedoman Penyusunan Dokumen Perencanaan di Lingkungan Kementerian Keuangan. Pedoman Penyusunan Dokumen
Perencanaan di Lingkungan Kementerian Keuangan disusun dengan tujuan untuk menyelaraskan dan menyinkronkan dokumen perencanaan dan
dokumen pelaporan kinerja, serta meningkatkan kualitas dokumen perencanaan dan dokumen pelaporan kinerja. Penyelarasan dilakukan antara
dokumen Rencana Kerja (Renja) yang merupakan dokumen perencananaan sekaligus dasar penyusunan dokumen penganggaran (RKA-KL atau
DIPA) dengan Balance Scorecard dan Rencana Kinerja Tahunan yang merupakan dokumen kinerja tahunan.

INTEGRASI PENGELOLAAN KINERJA


BERBASIS BSC DENGAN SAKIP
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-K/L) adalah dokumen perencanaan K/L untuk periode 5 (lima) tahun yang disusun dengan
berpedoman pada rancangan awal RPJMN dari Bappenas. Renstra memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan
pokok sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan. Rencana Strategis tersebut kemudian dijabarkan dalam dokumen perencanaan
yang berisi program dan kegiatan dalam periode 1 (satu) tahun anggaran.
Dokumen perencanaan yang merupakan penjabaran Renstra, harus direncanakan dengan baik oleh suatu organisasi dalam rangka mencapai
tujuannya, tidak terkecuali organisasi pemerintahan. Perencanaan yang dimaksud meliputi rencana program dan kegiatan maupun anggaran
pendukungnya. Dokumen perencanaan yang disusun dan berisisi kebiajkan-kebijakan strategis harus dapat dieksekusi atau implementatif
sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
Dalam rangka mencapai visi dan misi, Kementerian Keuangan menerapkan pengelolaan kinerja berbasis Balance Scorecard (BSC). Sistem
Pengelolaan Kinerja berbasis BSC ini merupakan alat eksekusi strategi, yang menerjemahkan visi dan misi menjadi sasaran-sasaran strategis
yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu.
Pengelolaan kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan terdiri atas 3 tahapan utama, yaitu perencanaan, monitoring, serta penetapan hasil
kinerja dan evaluasi.
1. Tahapan perencanaan
Rencana kerja tahunan menjadi dasar penyusunan kontrak kinerja tahun yang bersangkutan.
2. Tahapan monitoring
Berdasarkan kontrak kinerja yang telah ditetapkan dilaksanakan monitoring atas capaian IKU dan perilaku pegawai untuk kemudian
dijadikan bahan dalam melakukan bimbingan dan konsultasi.
3. Tahapan penetapan hasil kinerja dan evaluasi
Setelah tahun pelaksanaan kontrak kinerja berakhir, hasil penilaian kinerja ditetapkan dan menjadi acuan dalam evaluasi
kinerja dan penataan organisasi/pegawai.
Adapun gambaran Kerangka Umum Pengelolaan Kinerja di Kemenkeu tampak pada grafik 5.1 berikut.

157

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik 5.1

Kerangka Umum Pengelolaan Kinerja Kementerian Keuangan

Perencanaan

Monitoring

Penetapan Hasil
Kinerja dan Evaluasi

Rencana Strategis
(Visi, Misi, Nilai, Strategi)

Refine Renja Tahun Y


(program/kegiatan, anggaran,
indikator kinerja)

Konsep Peta Strategi Tahun Y

Maret
y-1
Penilaian dan pelaporan
capaian IKU secara
berkala

April
y-1
Bimbingan dan Konsultasi

Peta Strategi Tahun Y


(plus inisiatif baru)

Kontrak KinerjaTahun Y

Maret Y-1 - 31 Jan. Y

Penetapan
Hasil
Penilaian
Kinerja dan
Prestasi
Kerja
Pegawai

Evaluasi kinerja
organisasi
dan
penghargaan
bagi pegawai

Penataan
organisasi
dan pegawai

Nov-Des
y-1
Penilaian dan pelaporan
nilai perilaku secara
berkala

31

Januari y

Jan. Y - Jan. Y+1

31 Jan. Y+1

Secara umum, pengelolaan kinerja dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja baik pegawai maupun organisasi. Keberhasilan suatu organisasi
dalam meningkatkan kinerja diantaranya dapat diukur melalui pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan dalam kontrak kinerja. Kontrak
kinerja tersebut merupakan bagian dari eksekusi sistem perencanaan strategis sebagaimana digambarkan dalam grafik 5.2 berikut ini.

Grafik 5.2

Kedudukan Kontrak Kinerja dalam Sistem Perencaan Strategis

Analisis Eksternal

Pemangku Kepentingan dan


Pengguna Layanan

Analisis internal

Nilai-nilai Kemenkeu
Visi
Peluang dan
Ancaman

Misi

Perumusan Strategi
(TOWS Matrik)

Renstra
Rencana Kerja (Renja)
Peta Strategi dan IKU
Kontrak Kinerja

Kekuatan dan
Kelemahan

158

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Bagian dari perencanaan adalah terkait dengan penyusunan anggaran sebagai dukungan dalam pencapaian setiap rencana strategis. Dengan
penganggaran berbasis kinerja, penyusunan rencana dan anggaran tidak lagi berorientasi pada ketersediaan dana (input), tetapi lebih berorientasi
pada kinerja (output dan outcome) yang akan dicapai.
Dalam setiap kegiatan perencanaan, dengan mengacu pada berbagai peraturan perundang-undanggan, Kementerian Keuangan harus menyusun
berbagai dokumen perencanaan kinerja yang meliputi:
1. Rencana Strategis (Renstra);
2. Rencana Kerja (Renja);
3. Penetapan Kinerja (PK) dan Rencana Kinerja Tahunan (RKT); dan
4. Kontrak Kinerja (KK).
Dari beberapa jenis dokumen tersebut yang dengan nama yang berbeda-beda, tetapi pada prinsipnya memiliki persamaan, namun hanya
ditampilkan dalam format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan kementerian/lembaga (K/L) pembina. Persamaan mendasar dalam
semua dokumen perencanaan Kementerian Keuangan adalah adanya ukuran keberhasilan yang di sebut Indikator Kinerja dan setiap indikator
kinerja ditetapkan target kinerja. Pencapaian indikator Kinerja yang ditetapkan harus menggambarkan pencapaian visi dan misi organisasi yang
merupakan terjemahan dari Renstra.
Rencana Strategis merupakan janji nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sehingga
target kinerjanya seharusnya merupakan target minimum yang harus dicapai dalam setiap dokumen perencanaan. Namun demikian, pada
kenyataannya dalam dokumen perencanaan di Kementerian keuangan terdapat perbedaan dalam penentuan Indikator Kinerja dan besaran
targetnya.
Faktor penyebab perbedaan indikator kinerja beserta target pada dokumen perencanaan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Adanya perbedaan periode penyusunan;
2. Perbedaan unit kerja yang bertanggung jawab dalam penyusunan dokumen perencanaan;
3. Pergeseran skala prioritas unit kerja;
4. Perbedaan intepretasi para perencana atas istilah yang sama dalam dokumen perencanaan;
5. Adanya perubahan perubahan organisasi (reorganisasi).
Dengan adanya perbedaan pada Indikator Kinerja pada beberapa dokumen perencanaan tersebut, maka diperlukan pengintegrasian indikator
kinerja dalam sistem perencanaan, penganggaran dan kinerja K/L.
Pengelolaan Kinerja berbasis BSC yang diterapkan oleh Kementerian Keuangan adalah suatu alat manajemen strategis yang menerjemahkan Visi,
Misi, Tujuan, dan Strategi, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategi (Renstra), ke dalam suatu Peta Strategi yang kemudian pada akhirnya
ditetapkan IKU sebagai alat ukur pengukuran keberhasilan pencapaian Renstra. Pada awal tahun 2013 Kementerian Keuangan menginisiasi untuk
mensinkronkan dan menyelaraskan semua dokumen yang ada dengan satu indikator kinerja yang sama dengan menggunakan pendekatan BSC.
Hal tersebut dilakukan agar pada pelaporan capaian kinerja, hasil kerja yang dilaporkan adalah capaian kinerja yang sama yang menggambarkan
apa yang dicapai oleh Kementerian Keuangan.
Adapun dokumen pelaporan yang harus disusun oleh Kementerian Keuangan adalah Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
LAKIP adalah laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggungjawaban kinerja suatu instansi dalam mencapai tujuan/sasaran strategis instansi
yang berisi gambaran perwujudan AKIP yang disusun dan disampaikan secara sistematik dan melembaga. Penyusunan LAKIP harus mengikuti
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). SAKIP adalah instrumen yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban
untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi.
Korelasi antara Kontrak Kinerja, PK-RKT, dan LAKIP tergambar dalam grafik 5.3 sebagai berikut:

159

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Grafik 5.3

Korelasi Kontrak Kinerja, PK-RKT, dan LAKIP

Kontrak Kinerja

PK-RKT

LAKIP

Visi dan Misi

Visi dan Misi

Visi dan Misi

Peta Strategi

Peta Strategi

1
Sasaran Strategis

Sasaran Strategis

Indikator Kinerja
Utama

Indikator Kinerja
Utama

Realisasi IKU &


Anggaran Serta
Penjelasan

Pagu Anggaran

Inisiatif Strategis

PENINGKATAN KUALITAS EVALUATOR


AKIP KEMENKEU
Dalam rangka peningkatan kualitas Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Kementerian Keuangan melalui Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan mengadakan Diklat Teknis Substantif Spesialisasi (DTSS) Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Diklat dilaksanakan pada
tanggal 14 18 Januari 2013 dengan peserta pegawai dari Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Diklat tersebut disusun dengan harapan
peserta mampu.
1. Menjelaskan konsep dasar AKIP dengan baik;
2. Menjelaskan konsep dasar evaluasi AKIP dengan baik;
3. Menggunakan metode dan teknik evaluasi AKIP yang tepat;
4. Mengevaluasi AKIP dengan kertas kerja evaluasi;
5. Menyelesaikan studi kasus evaluasi AKIP dengan baik dan efektif.
Selain mata diklat pokok seperti Metode dan Teknik Evaluasi AKIP, Evaluasi dan Kertas Kerja Evaluasi AKIP, dan lain-lain, peserta diklat juga
mendapatkan ceramah Current Issue dengan narasumber baik dari Kementerian Keuangan maupun dari Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan dan Kementerian PAN dan RB. Dengan adanya diklat ini, diharapkan kualitas SDM dalam evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah Kementerian Keuangan meningkat sehingga dapat memberikan masukan dan kontribusi dalam pelaksanaan AKIP bagi unit Eselon I
Kementerian Keuangan.

160

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

BAB 6
PENUTUP

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

161

162

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

LAKIP Kementerian Keuangan ini merupakan laporan pertanggungjawaban atas pencapaian pelaksanaan visi dan misi Kementerian
Keuangan menuju good governance dengan mengacu pada Rencana Strategis tahun 2010-2014.Penyusunan LAKIP Kementerian
Keuangan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP),
InstruksiPresidenNomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, LAKIP ini merupakan LAKIP tahun keempat pelaksanaan RPJMN tahun
2010-2014.
Sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara, Kementerian Keuangan telah mampu menjalankan tugasnya dengan baik.Dalam
situasi dan kondisi perekonomian yang sangat fluktuatif, tugas pengelolaan keuangan Negara dirasakan semakin berat dan penuh
tantangan. Namun demikian, aparatur Kementerian Keuangan telah berhasil mengatasi tantangan tersebut, sehingga tugas yang diemban
dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Hal ini tampak pada pencapaian IKU pada tahun 2013 sudah sesuai dengan target yang
ditetapkan, walaupun masih terdapat beberapa IKU belum mencapai target yang ditentukan.
Akhirnya dengan disusunnya LAKIP ini, diharapkan dapat memberikan informasi secara transparan kepada seluruh pihak yang terkait
mengenai tugas fungsi Kementerian Keuangan, sehingga dapat memberikan umpan balik guna peningkatan kinerja pada periode
berikutnya.Secara internal LAKIP tersebut harus dijadikan motivator untuk lebih meningkatkan kinerja organisasi dengan jalan selalu
menyesuaikan indikator-indikator kinerja yang telah ada dengan perkembangan tuntutan stakeholders, sehinggaa Kementerian Keuangan
dapat semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat dengan pelayanan yang profesional.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Halaman Ini sengaja dikosongkan

163

164

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

LAMPIRAN
FORMULIR PENGUKURAN KINERJA

Kementerian/Unit Eselon I

: Kementerian Keuangan

TahunAnggaran

: 2013

No.
1.

Sasaran Strategis
KK-1

Kondisi fiskal yang sehat,


efektif, dan berkelanjutan untuk
memperkuat
pertumbuhan
ekonomi yang inklusif dan
berkualitas

Indikator Kinerja

16%

15,32%

95,75%

KK-1.2

Rasio utang
terhadap PDB

23%

26,02%

86,87%

KK-1.3

Rasio Defisit APBN


terhadap PDB

2,38%

2,30%

103,36%

KK-1.4

Indeks opini BPK


atas LKPP

4 (WTP)

3 (WDP)

75%

KK-1.5

Indeks pemerataan
keuangan antardaerah

0,76

0,75

101,32%

4,02

100,50%

88,17%

92,32%

104,70%

Persentase tingkat
kepatuhan formal
WP

65%

60,86%

93,63%

Persentase pengguna
jasa kepabeanan
yang tidak diblokir

95%

96,92%

102,02%

Persentase
Penerapan KPJM
oleh penanggung
jawab program

80%

100%

125,00%

Persentase
rekonsiliasi realisasi
APBN yang andal
dan tepat waktu

97%

99,36%

102,43%

Persentase
penyampaian APBD
tepat waktu

97%

96,75%

99,74%

Persentase
kepatuhan pelaporan
BMN oleh K/L

95%

100%

105,26%

KK-4.1

Deviasi proyeksi
kebijakan fiskal

6%

3,64%

120,00%

KK-4.2

Waktu rata-rata
penyelesaian
PMK/KMK konten
kebijakan

10 hari kerja

8,71 hari
kerja

112,90%

KK-2

Kepuasan Pengguna Layanan


yang Tinggi

KK- 2.1

Indeks kepuasan
pengguna layanan

3.

KK-3

Kepatuhan pengguna layanan


yang tinggi

KK- 3.1

Rata-rata persentase
kepatuhan
pengguna layanan

KK-3.1.1

KK-3.1.2

KK-3.1.3

KK-3.1.4

KK-3.1.5

KK-3.1.6

KK-4

Perencanaan
dan
rumusan
kebijakan yang berkualitas

Realisasi Persentase

Rasio pajak
terhadap PDB

2.

4.

Target

KK-1.1

165

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

No.
5.

Sasaran Strategis
KK-5

Pendapatan yang optimal

Indikator Kinerja

7.

8.

KK-6

KK-7

KK-8

Belanja yang optimal

Pengelolaan Kekayaan Negara


yang optimal

Pembiayaan yang cukup,


efisien, dan risiko yang terukur

Jumlah Pendapatan
negara (Triliun)

1.497,53

1.426,92

95,28%

KK-5.1.1

Jumlah penerimaan
pajak (Triliun)

995,214

921,269

92,57%

KK-5.1.2

Jumlah Penerimaan
Bea dan Cukai
(Triliun)

153,15

155,71

101,67%

Jumlah PNBP
Nasional (Triliun)

349,17

349,94

100,22%

Persentase
penyerapan Belanja
Negara dalam DIPA
K/L

90%

89,01%

98,90%

KK-6.2

Persentase dana
blokir

2%

0,17%

120,00%

KK-6.3

Persentase ketepatan
waktu penyelesaian
revisi anggaran non
APBN-P

100%

105,56%

105,56%

KK-7.1

Nilai kekayaan negara


yang diutilisasi

105 T

115,72 T

110,21%

KK-7.2

Persentase bidang
tanah BMN yang
direkomendasikan
untuk disertifikatkan

80% (1.600
bidang)

81,95%
(1.639
bidang)

102,44%

110%

100,04%

101,89%

KK-6.1

KK-8.1

Persentase
pengadaan utang
sesuai kebutuhan
pembiayaan

KK-8.2

Persentase
pencapaian target
effective cost

100%

96,72%

103,28%

Persentase
pemenuhan target
risiko portofolio utang

100%

104,91%

110,18%

Persentase
ketepatan jumlah
penyaluran dana
transfer ke daerah

100%

99,26%

99,26%

Persentase Perda
PDRD yang sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan

93%

98%

105,38%

49,50%

54,26%

109,61%

KK-8.3

9.

KK-9

Hubungan Keuangan Pusat dan


Daerah yang profesional dan
transparan

KK-9.1

KK-9.2

10.

KK-10

Pengendalian
Mutu
dan
penegakan hukum yang efektif

Realisasi Persentase

KK-5.1

KK-5.1.3
6.

Target

KK- 10.1

Rata-rata persentase
penegakan hukum

KK-10.1.1

Tingkat efektivitas
pemeriksaan pajak

75%

85,48%

113,97%

KK-10.1.2

Persentase pencairan
piutang pajak

35%

35,48%

101,37%

KK-10.1.3

Persentase
Hasil penyidikan
Pajak yang telah
dinyatakan lengkap
oleh kejaksaan (P21)

50%

30%

60,00%

166

No.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Sasaran Strategis

Indikator Kinerja
KK-10.1.4

KK-10.1.5

KK-10.1.6

KK-10.2

KK-10.3

KK-10.4

11.

KK-11

SDM yang berkompetensi tinggi

KK-11.1

KK-11.2

KK-11.3

KK-11.4

Target

Realisasi Persentase

Persentase
Hasil peyidikan
DJBC yang telah
dinyatakan lengkap
oleh kejaksaan (P21)

55%

81,65%

120,00%

Persentase
penyelesaian piutang
Bea dan Cukai

75%

82,49%

109,99%

Persentase
pelaksanaan audit
terhadap perusahaan
penerima fasilitas
kepabeanan dan
cukai

10%

10,43%

104,30%

Indeks ketepatan
waktu penyelesaian
tindak lanjut Instruksi
Presiden

80%

87,39%

109,24%

Persentase ketepatan
pola penarikan dana
DIPA K/L

85%

76,67%

100,40%

Rata-rata indeks
opini BPK atas LK
BA 15, LK BUN, dan
LK BA 999

4 (WTP)

3,94

98,50%

Persentase pejabat
yang telah memenuhi
standar kompetensi
jabatannya

87%

88,52%

101,75%

Persentase diklat
yang berkontribusi
terhadap peningkatan
kompetensi

90%

98,31%

109,23%

Persentase pegawai
yang memenuhi
standar jamlat

50%

66,21%

120,00%

Persentase Akurasi
data SIMPEG

100%

99,56%

99,56%

167

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

No.
12.

Sasaran Strategis
KK-12

Indikator Kinerja

Organisasi yang adaptif

KK-12.1

Nilai reformasi
birokrasi

KK-12.2

94,78

103,02%

Persentase policy
recommendation
hasil pengawasan
yang ditindaklanjuti

90%

94,34%

104,82%

Persentase
penyelesaian
blueprint Transformasi
Kelembagaan

100%

98%

98,00%

Tingkat kematangan
implementasi
manajemen risiko

55 (risk
defined)

58,66

106,65%

KK-13.1

Persentase integrasi
TIK Kemenkeu

80%

80%

100,00%

KK-13.2

Persentase downtime
layanan TIK

5%

0,04%

120,00%

KK-14.1

Persentase
Penyerapan DIPA
(non belanja pegawai)

95%

87,15%

91,74%

KK-14.2

Persentase
penyelesaian kegiatan
belanja modal dalam
rencana pencairan
DIPA

98%

94,89%

96,83%

KK-12.4

14.

KK- 13

KK-14

Perwujudan TIK yang terintegrasi

Pelaksanaan
optimal

anggaran

Jumlah Anggaran Tahun 2013


Jumlah Realisasi Anggaran Tahun 2013

yang

Realisasi Persentase

92

KK-12.3

13.

Target

: Rp18.408,68 miliar
: Rp16.650,31 miliar (Data SAU per 27 Januari 2014)

168

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

LAMPIRAN
PENGHARGAAN
PENGHARGAAN-PENGHARGAAN YANG
DITERIMA KEMENTERIAN KEUANGAN
SEPANJANG TAHUN 2013

1. Predikat A Evaluasi AKIP Pemerintah Pusat Tahun 2013


Pada hari Senin, 02 Desember 2013, bertempat di Istana Wakil
Presiden, Menteri PAN dan RB telah menyerahkan Laporan
Hasil Evaluasi Kinerja terhadap 88 Kementerian/Lembaga
yang di evaluasi, sekaligus memberikan penghargaan kepada
Kementerian Lembaga yang memperoleh predikat A dan
B berdasarkan hasil evaluasi Tahun 2013. Kementerian
Keuangan termasuk dalam 6 Kementerian/Lembaga yang
menerima piagam atas kinerja Tahun 2013 dengan predikat
nilai A (Sangat Baik) dan nilai 80,04, sebagaimana diterangkan
dalam surat Kementerian PAN dan RB Nomor B/3761/M.
PAN-RB/11/2013 hal Hasil Evaluasi atas Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah.
2. Peringkat Bronze sebagai Most Trusted Public Institution
Penghargaan bergengsi tersebut diberikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berdasarkan hasil
survei terhadap instansi Layanan Publik di Indonesia yang
diadakan oleh Lembaga Independen MarkPlus Insight bersama
Marketeers yang dilakukan pada medio September 2013
dengan melibatkan responden masyarakat umum di enam kota
besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan
dan Makassar. Survei dilakukan dengan metode kuantitatif
melalui survei telepon. Menurut penyelenggara survei, tujuan
survei adalah untuk mengukur penilaian masyarakat terhadap
kebijakan dan layanan yang diterima dalam setahun terakhir
ini.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

3. Penghargaan platinum, gold, silver, dan bronze dari Call


Center Association (ICCA) dan Contact Center World
(CCW)
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan kembali
meraih penghargaan melalui call center 500200. Beberapa
penghargaan dianugerahkan oleh Indonesia Call Center
Association (ICCA) maupun Contact Center World (CCW)
kepada Kring Pajak 500200 pada tahun 2013. Sejak
berdiri, Kring Pajak selalu aktif ikut serta dalam acara yang
diselenggarakan oleh ICCA tersebut Call Center andalan
Ditjen Pajak ini berhasil memborong berbagai gelar juara
dalam beberapa nomor yang dilombakan. Mereka berhasil
meraih dua penghargaan platinum, lima penghargaan gold
dan beberapa penghargaan silver dan bronze pada malam
penganugerah di Bidakara Hotel, Jakarta.
4. Islamic Deal of the Year Best Sovereign Sukuk dari The
Asset Triple A Awards
Penghargaan yang diterima atas penerbitan Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) pada tahun 2013, dalam hal ini adalah
Penerbitan Sukuk Global Tahun 2013 seri SNI 22.

169

170

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH 2013

Halaman Ini sengaja dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai