Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Istilah Geriatri barasal dari bahasa Yunani Geras yang berarti usia lanjut, dan
iatros yang berarti dokter. Dengan demikian Geriatri berarti terapi medis atau
penyembuhan untuk lanjut usia. Psikogeriatri atau psikiatri geriatri adalah cabang
ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan
fisik dan psikologik atau psikiatri pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah
berkembang menjadi suatu cabang psikiatri, analog dengan psikiatri anak. Usia lanjut
bukanlah sebuah penyakit melainkan sebuah fase dalam siklus kehidupan yang
memiliki karakter tersendiri pada setiap fase perkembangan. Usia lanjut terkait
dengan matangnya pemikiran yang bijak yang bisa diwariskan kepada generasi
berikutnya, salah satu tugas pada usia lanjut yang dikemukakan oleh Erik Erikson
tentang usia lanjut yang sehat yaitu integritas dan bukan putus asa.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil
dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun
2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3
tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70
tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih
atau sekitar 9,77 % dari total penduduk.
Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi,
namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25 persen memiliki gejala psikiatri
yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia
diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.
Pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang berlaku pada
dewasa muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien
mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan
kognitif pada pasien lanjut usia. Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut
usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam

manifestasi klinis, patogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara patogenesis


dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga perlu
dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis
penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap
gangguan kognitif.
Referat ini membahas secara singkat mengenai macam-macam gangguan
psikiatri yang mungkin terjadi pada pasien lanjut usia, berhubungan dengan proses
penuaan yang terjadi. Pemeriksaan psikiatri yang baik diperlukan untuk dapat
mendiagnosis gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia dan pengetahuan akan proses
penuaan berpengaruh terhadap penatalaksaan yang akan direncanakan.

BAB II
PROSES PENUAAN PADA LANJUT USIA
II. 1

BATASAN LANJUT USIA


WHO (1989) telah mencapai konsensus bahwa yang dimaksud dengan lanjut

usia (elderly) adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih. Menurut
Departemen Kesehatan RI, batasan lanjut usia adalah seseorang dengan usia 60-69
tahun. Sedangkan usia lebih dari 70 tahun dan lanjut usia berumur 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan seperti kecacatan akibat sakit disebut lanjut usia resiko
tinggi.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil
dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun
2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3
tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70
tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih
atau sekitar 9,77 % dari total penduduk.
Diperkirakan pada akhir tahun 2030, populasi penduduk lanjut usia
keseluruhan mencapai jumlah 70 juta dan pada tahun 2050 mencapai 82 juta.
II. 2. PROSES PENUAAN[1],[2]
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian dunia medis terhadap proses
penuaan dan permasalahan yang timbul pada orang usia lanjut meningkat. Banyak
penelitian dilakukan untuk lebih memahami proses penuaan baik dari segi fisiologis,
psikologis, dan sosiologis. Para peneliti menyadari pentingnya membedakan proses
penuaan yang fisiologis dan penuaan yang bersifat patologis. Efek proses penuaan
yang fisiologis penting untuk dipahami sebagai dasar respons terhadap pengobatan
atau terapi serta komplikasi yang timbul.

Variabel-variabel fisiologis seperti kardiovaskuler, sistem imun, endokrin,


ginjal, dan paru, menunjukan penurunan fungsi dan perubahan seiring dengan
meningkatnya usia. Namun, perubahan pada salah satu organ akibat usia tidak
menjadikannya sebagai prediktor atau tolak ukur bahwa akan terjadi perubahanperubahan pada organ yang lainnya. Sebagai contoh, seseorang yang tampak sehat
pada usianya yang ke-60 ternyata ditemukan curah jantungnya menurun. Hasil
pemeriksaan tersebut tidak bernilai dalam memprediksikan kapan ginjal, kelenjar
tiroid, sistem saraf simpatis, atau organ lain orang tersebut mengalami perubahan.
Perubahan fisiologis dengan tidak disertainya suatu penyakit yang terjadi pada
individu yang lebih tua merupakan hal yang tidak berbahaya dan bukan merupakan
suatu faktor risiko yang signifikan. Perubahan fisiologis pada usia normal yang
tidak disertai dengan penyakit, sangat bervariasi. Akan tetapi dipengaruhi

oleh

faktor-faktor intrinsik seperti gaya hidup, diet, aktivitas, nutrisi, paparan lingkungan,
dan komposisi tubuh memegang peran yang penting.
Perjalanan dari perubahan fisiologis atau psikologis dengan bertambahnya
usia pada masing-masing individu dipengaruhi proses penuaan intrinsik dan
bermacam faktor ekstrinsik, contohnya genetik, pengaruh lingkungan, gaya hidup,
diet, faktor psikososial.
Ada perubahan yang terjadi seiring dengan peningkatan usia tampak
menyerupai gejala klinis yang sesungguhnya berbeda, hal ini menyebabkan sulitnya
mendiagnosis secara tepat pada orang usia lanjut.
Proses penuaan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses normal yang
harus dimengerti dengan jelas untuk mendiagnosis secara tepat kemudian
memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga beban yang dirasakan akibat
penyakit dapat berkurang. Namun, perubahan fungsi beberapa organ patut
diperhitungkan dalam pemberian terapi farmasi agar tepat sasaran dan tidak
membahayakan.

BAB III
PEMERIKSAAN PSIKIATRIK PADA PASIEN LANJUT USIA
Format pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang
berlaku pada dewasa muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan
pasien mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi
gangguan kognitif pada pasien lanjut usia. Jika pasien mengalami gangguan kognitif,
riwayat tersendiri harus didapatkan dari anggota keluarga atau pengasuhnya.[1],[3].
Namun, penderita juga tetap harus diperiksa tersendiri (walaupun terlihat adanya
gangguan yang jelas) untuk mempertahankan privasi hubungan dokter dan penderita
dan untuk menggali adakah pikiran bunuh diri atau gagasan paranoid dari penderita
yang mungkin tidak diungkapkan dengan kehadiran sanak saudara atau seorang
perawat.
III.1.

PEMERIKSAAN FISIK DAN LABORATORIUM[1],[4],[5]


Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan mengingat banyaknya

perubahan fisiologis yang terjadi pada proses penuaan. Pemeriksaan


laboratorium dan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis dan
mendeteksi kondisi yang dapat diobati. Tomografi komputer, pencitraan
resonansi magnetik, atau pemeriksaan penunjang lainnya dapat diindikasikan
bilamana ditemukan perubahan status mental yang belum jelas. Termasuk
medikasi yang saat ini sedang digunakan untuk mengatasi penyakit fisiknya,
untuk mengetahui apakah ada efek samping psikiatriknya.
III.2.

RIWAYAT PSIKIATRI[1],[4],[5]
Bisa didapatkan dari alo- atau auto- anamnesis. Riwayat psikiatrik

lengkap termasuk identifikasi awal (nama, usia, jenis kelamin, status


perkawinan), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu (termasuk gangguan fisik yang pernah diderita ), riwayat pribadi dan

riwayat keluarga. Pemakainan obat (termasuk obat yang dibeli bebas), yang
sedang atau pernah digunakan penderita juga penting untuk diketahui.
Pasien yang berusia di atas 65 tahun sering memiliki keluhan subjektif
adanya gangguan daya ingat yang ringan, seperti tidak mengingat nama orang
atau keliru meletakkan benda. Masalah kognitif ringan juga dapat terjadi
karena kecemasan dalam situasi wawancara. Fenomena ini dapat dijelaskan
dalam istilah kelupaan lanjut usia yang ringan (benign sensecent
forgetfulness).
Riwayat medis termasuk riwayat penyalahgunaan zat harus dicatat
sebagai kemungkinan penyebab defisit yang terjadi sekarang. Begitu juga
dengan riwayat masa kanak dan remaja untuk mengetahui organisasi
kepribadian pasien dan mekanisme pertahanan yang dia gunakan. Riwayat
keluarga harus termasuk penjelasan tentang sikap orang tua penderita dan
adaptasi terhadap ketuaan mereka. Jika mungkin informasi tentang kematian
orang tua, riwayat gangguan jiwa dalam keluarga.
Penting juga untuk dokter mengetahui riwayat pekerjaan pasien dan
hubungan sosial pasien. Berhubungan dengan masalah pensiun dan rencana
masa depan serta apakah ada ketakutan ataupun harapan pasien. Situasi sosial
pasien sekarang harus dinilai yaitu siapa yang merawat pasien sekarang,
bagaimana keadaan keluarga ataupun anak-anak pasien. Semua ini menjadi
bekal pertimbangan dokter dalam membuat anjuran terapi yang realistik.
Riwayat perkawinan dan riwayat seksual pasien juga perlu ditanyakan.
Karena masalah yang sering dihadapi pada usia lanjut adalah kematian
pasangan dan peristiwa tersebut dapat berdampak pada defisit yang terjadi
saat ini.
III.3.PEMERIKSAAN STATUS MENTAL[1],[4],[5]
Pada pasien lanjut usia, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
status mental berulang-ulang karena adanya perubahan yang berfluktuasi

dalam status mental pasien. Riwayat longitudinal dari pasien atau keluarga
penting nilainya. Pemeriksaan status mental meliputi bagaimana penderita
berfikir (proses pikir), merasakan dan bertingkah laku selama pemeriksaan.
Keadaan

umum

penderita

adalah

termasuk

penampilan,

aktivitas

psikomotorik, sikap terhadap pemeriksaan dan aktivitas bicara.


DESKRIPSI UMUM
Termasuk di dalam bagian ini adalah penampilan pasien, aktivitas
psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktivitas bicara. Gangguan
motorik seperti gaya berjalan yang menyeret, postur bungkuk, gerakan jari
memilin pil, tremor harus dicatat. Gerakan involunter pada mulut atau lidah
mungkin merupakan efek samping fenotiazine. Wajah seperti topeng pada
penyakit Parkinson. Air mata atau menangis dapat ditemukan pada gangguan
depresif dan gangguan kognitif, terutama jika pasien merasa frustasi tidak bisa
menjawab pertanyaan pemeriksa.
PENILAIAN FUNGSI
Tanyakan

mengenai

kemampuan

mereka

mempertahankan

kemandirian dan melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yaitu toilet,


menyiapkan makanan, berpakaian, berdandan. Derajat kemampuan fungsional
dari perilaku sehari-hari adalah suatu pertimbangan penting dalam menyusun
rencana terapi selanjutnya.
ALAM PERASAAN
Gangguan pada keadaan mood, terutama adalah depresi dan
kecemasan dapat mengganggu fungsi daya ingat. Tanyakan mengenai pikiran
bunuh diri, apakah pasien merasa tidak lagi berharga, merasa lebih baik mati
dan jika mati, tidak membebani orang lain lagi. Suatu mood yang meluas atau
euforik mungkin menyatakan suatu episode manik atau mungkin merupakan

bagian dari gangguan demensia. Afek yang datar, tumpul, terbatas, dangkal
atau tidak sesuai, dapat merujuk ke gangguan depresif, skizofrenia atau
disfungsi otak.
GANGGUAN PERSEPSI
Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia mungkin merupakan fenomena
transien yang disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa
harus mencatat dengan teliti kelainan yang terjadi apakah berhubungan
dengan suatu kondisi organik. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak
dan patologi lokal.
KEMAMPUAN BERBAHASA
Mencakup afasia, yang merupakan gangguan pengeluaran bahasa yang
berhubungan dengan lesi organik otak. Pada afasia Broca, pengertian pasien
tetap utuh tetapi kemampuan untuk berbicara terganggu, salah diucapkan.
Pada afasia Wernicke, pasien diminta menunjukkan beberapa benda sederhana
yang umum (kunci, pensil, tombol lampu). Pasien mungkin tidak dapat
menunjukkan kegunaan benda sederhana tersebut (apraksia ideomotorik).
FUNGSI VISUOSPASIAL
Suatu penurunan kapasitas fungsi visuospasial adalah normal dengan
bertambahnya usia. Meminta penderita untuk mencotoh gambar atau
menggambar

mungkin

membantu

dalam

penilaian.

Pemeriksaan

neuropsikologi harus dilakukan jika fungsi visuospasial sangat terganggu.


ALAM PIKIRAN
Hilangnya kemampuan untuk berpikir abstrak merupakan tanda awal
dari demensia. Isi pikiran harus diperiksa mengenai fobia, obsesi, preokupasi
somatik dan kompulsi. Gagasan bunuh diri pun harus diperiksa dengan teliti.
Pemeriksaan harus menentukan apakah terdapat waham dan bagaimana

waham tersebut mempengaruhi kehidupan penderita. Waham mungkin


merupakan alasan untuk dirawat.
SENSORIUM DAN KOGNISI
Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indera tertentu dan kognisi
mempermasalah proses informasi dan intelektual. Gangguan orientasi
terhadap waktu, tempat dan orang berhubungan dengan gangguan kognisi.
Gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan
kecemasan, gangguan buatan, gangguan konversi dan gangguan kepribadian,
terutama selama periode stres fisik atau lingkungan yang tidak mendukung.

PERTIMBANGAN
Adalah kapasitas umtuk bertindak sesuai dalam berbagai situasi.
Sebagai contoh, apakah yang akan pasien lakukan bila menemukan sebuah
amplop di jalan dengan perangko dan alamat sudah tertulis? Apa yang akan
dilakukan bila mencium bau asap di dalam bioskop? Dapatkah pasien
membedakan?
III.4. PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI[1],[4],[5]
Mini Mental State Examination (MMSE) adalah tes fungsi kognitif
yang paling sering digunakan. Menilai orientasi, atensi, berhitung, daya ingat
segera dan jangka pendek, bahasa dan kemampuan untuk mengikuti perintah
sederhana. MMSE digunakan untuk mendeteksi gangguan sederhana,
perjalanan penyakit dan untuk monitor respon pasien terhadap terapi. Tes ini
tidak digunakan untuk membuat suatu diagnosis resmi.
Weschler Adult Intelligence Scale Revised (WAIS-R) dapat
memeriksa kemampuan intelektual yang memberikan skor verbal, skor

intelegensia (IQ) dan kinerja. Bagian kinerja dari WAIS-R adalah indikator
yang lebih peka dari kerusakan otak dibandingkan bagian verbalnya.
Geriatric Depression Scale adalah instrumen penyaring yang berguna
untuk memeriksaan depresi pada pasien lanjut usia, walaupun tanpa adanya
demensia, sering mengganggu kinerja psikomotorik.

10

BAB IV
EPIDEMIOLOGI GANGGUAN MENTAL PADA PASIEN LANJUT USIA
Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi,
namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25 persen memiliki gejala psikiatri
yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia
diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.
Prevalensi nasional Gangguan Mental Emosional Pada Penduduk Umur lebih
dari sama dengan 15 tahun adalah 11,6% (berdasarkan Self Reported Questionnarie).
Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi Gangguan Mental Emosional Pada
Penduduk Umur 15 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Papua Barat.
Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 4,6. Prevalensi
tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3) yang kemudian secara berturut
turut diikuti oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (18,5), Sumatera Barat
(16,7), Nusa Tenggara Barat (9,9), Sumatera Selatan (9,2). Prevalensi
terendah terdapat di Maluku (0,9).
Prevalensi

gangguan

mental

emosional

meningkat

sejalan

dengan

pertambahan usia. Berdasarkan umur, tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas
(33,7%). Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah
kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%), kelompok yang memiliki
pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah, yaitu 21,6%),
kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di pedesaan (12,3%), serta pada
kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita terendah.

11

12

BAB V
GANGGUAN MENTAL PADA LANJUT USIA
Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institude of
Mental Health telah menemukan bahwa gangguan mental yang paling sering pada
lanjut usia adalah gangguan depresif, gangguan kognitif, fobia dan gangguan
pemakaian alkohol. Lanjut usia juga memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri dan
gejala psikiatrik akibat obat. Banyak gangguan mental pada lanjut usia dapat dicegah,
dihilangkan atau bahkan dipulihkan. Jika tidak didiagnosis dengan akurat dan diobati
tepat waktu, kondisi tersebut dapat berkembang menjadi keadaan ireversibel yang
membutuhkan institusionalisasi pasien.[4],[5]
Sejumlah faktor resiko psikososial juga mempredisposisikan lanjut usia pada
gangguan mental. Faktor resiko tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya
otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan
isolasi, keterbatasan finansial dan penurunan fungsi kognitif.[5]
V. 1. GANGGUAN DEMENSIA[6],[7]
Demensia, suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif dan
ireversibel, meningkat prevalensinya dengan bertambahnya usia. Dari orang Amerika
yang berusia lebih dari 65 tahun, kira-kira 5 persen mengalami demensia parah, dan
15 persen mengalami demensia ringan. Dari orang Amerika yang berusia lebih dari
80 tahun, kira-kira 20 persennya menderita demensia parah.
Berbeda dengan retardasi mental, gangguan intelektual pada demensia terjadi
dengan berjalannya waktu yaitu fungsi mental yang sebelumnya telah tercapai secara
bertahap akan hilang. Perubahan karakteristik dari demensia melibatkan fungsi
kognisi, daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial, tetapi gangguan perilaku adalah
sering.

Gangguan

perilaku

adalah

berupa

13

agitasi,

kegelisahan,

berkelana,

penyerangan, kekerasan, berteriak, disinhibisi social dan seksual, impulsivitas,


gangguan tidur dan waham. Waham dan demensia terjadi selama perjalanan demensia
pada hampir 75 persen dari semua pasien.
Walaupun demensia yang berhubungan dengan lanjut usia biasanya
disebabkan oleh penyakit degenerative primer sistem saraf pusat dan penyakit
vascular, banyak faktor berperan dalam gangguan kognitif, pada lanjut usia, penyebab
campuran dari demensia sering ditemukan.
Demensia telah diklasifikasikan sebagai kortikal dan subkortikal, tergantung
pada letak lesi serebral. Suatu demensia subkortikal adalah ditemukan pada penyakit
Huntington, penyakit Parkinson, hidrosefalus tekanan normal, demensia multi-infark,
dan penyakit Wilson. Demensia subkortikal adalah disertai dengan gangguan
pergerakan, apraksia gaya berjalan, retardasi psikomotor, apati dan mutisme akinetik
yang dapat dikacaukan dengan katatonia. Demensia kortikal adalah ditemukan pada
demensia tipe Alzheimer dan penyakit Pick, yang sering menunjukkan afasia,
agnosia, dan apraksia. Dalam praktek klinis, dua jenis demensia ini tumpang tindih,
dan diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan otopsi.
DEMENSIA TIPE ALZHEIMER[6],[7]
Dari semua pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen nya memiliki
demensia tipe Alzheimer, yang merupakan tipe demensia tersering. Prevalensi
demensia tipe Alzheimer adalah lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Demensia tipe Alzheimer ditandai oleh penurunan fungsi kognitif dengan
onset yang bertahap dan progresif. Daya ingat mengalami gangguan dan sekurangnya
ditemukan satu seperti afasia, apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif.
Urutan umum defisit adalah daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial. Awalnya
pasien mungkin memiliki suatu ketidakmampuan mempelajari dan mengingat
informasi baru, selanjutnya gangguan penamaan, selanjutnya ketidakmampuan untuk
mencontoh gambar.

14

Penyebab penyakit Alzheimer adalah tidak diketahui, walaupun pemeriksaan


neuropatologi dan biokimiawi postmortem telah menemukan kehilangan selektif
neuron kolinergik. Temuan anatomik makroskopis adalah penurunan volume girus
pada lobus frontalis dan temporalis, dengan relatif terjaganya korteks motorik dan
sensorik primer.
Demensia tipe Alzheimer tidak memiliki pencegahan atau penyembuhan yang
tidak diketahui. Terapi adalah paliatif, terdiri dari nutrisi yang tepat, latihan dan
pengawasan aktifitas sehari-hari. Medikasi mungkin berguna dalam menangani
agitasi dan gangguan perilaku. Propanolol, pindolol, buspirone dan valproate
semuanya telah dilaporkan membantu menurunkan agitasi dan agresi. Haloperidol
berguna untuk mengendalikan gangguan perilaku akut.
DEMENSIA VASKULAR[6],[7]
Demensia vaskular adalah tipe demensia kedua yang tersering. Demensia ini
ditandai oleh defisit kognitif yang sama seperti demensia tipe Alzheimer ,tetapi
demensia ini memiliki tanda gejala neurologis fokal, seperti meningkatnya refleks
tendon dalam, respon plantar ekstensor, palsi pseudobulbar, kelainan gaya berjalan,
dan kelemahan pada anggota gerak. Dibandingkan dengan demensia tipe Alzheimer,
demensia vaskular memiliki onset yang tiba-tiba dan merupakan penyebab
pemburukan yang bertahap. Demensia vaskular mungkin dapat dicegah dengan
menurunkan factor resiko yang diketahui, seperti hipertensi, diabetes, merokok, dan
aritmia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dan
pemeriksaan aliran darah serebral.
V. 2. GANGGUAN DEPRESIF[8],[9]
Gejala depresif ditemukan pada kira-kira 25 persen dari semua penduduk
komunitas lanjut usia dan pasien rumah perawatan. Tanda dan gejala yang sering dari
gangguan depresif adalah penurunan energi dan konsentrasi, gangguan tidur
(terutama terbangun dini hari dan sering terbangun di malam hari), penurunan nafsu

15

makan, penurunan berat badan, dan keluhan somatik. Gejala yang tampak mungkin
berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa muda, pada pasien lanjut usia terdapat
peningkatan pada keluhan somatik.
Lanjut usia rentan terhadap episode depresif berat dengan ciri melankolik,
ditandai oleh depresi, hipokondriasis, harga diri yang rendah, perasaan tidak berharga,
dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri, dengan ide paranoid dan bunuh diri.
Hampir 75 persen dari semua korban bunuh diri menderita depresi dan
penyalahgunaan alkohol. Resiko bunuh diri yang tinggi bila diapatkan perasaan
kesepian, tidak berguna, tidak berdaya, putus asa terutama bila hidup sendirian,
kematian pasangan yang belum lama terjadi dan nyeri somatik.
Pada pasien lanjut usia yang mengalami depresi, kadang terdapat gangguan
kognitif yang dinamakan sindroma pseudodemensia. Sindrom ini harus dibedakan
dengan demensia yang sebenarnya. Pada pseudodemensia, ada defisit konsentrasi dan
atensi dan jarang disertai dengan gangguan berbahasa.
Depresi juga kemungkinan berhubungan dengan penyakit fisik yang dialami
dan medikasi yang digunakan untuk mengobati penyakit tersebut.
V. 3. GANGGUAN BIPOLAR I[8]
Gangguan bipolar I biasanya dimulai pada masa dewasa pertengahan,
walaupun prevalensi seumur hidup sebesar 1 persen adalah stabil sepanjang hidup.
Kerentanan akan rekurensi tetap, sehingga pasien dengan riwayat gangguan bipolar I
mungkin datang dengan periode manik di kemudian hari.
Tanda dan gejala mania pada lanjut usia adalah serupa dengan tanda dan
gejala pada orang dewasa yang lebih muda dan berupa mood yang meninggi,
ekspansif, atau mudah tersinggung; penurunan kebutuhan akan tidur; distraktibilitas;
impulsivitas; dan, sering kali, asupan alkohol yang berlebihan. Perilaku bermusuhan
atau paranoid biasanya ditemukan. Adanya gangguan kognitif, disorientasi, atau
tingkat kesadaran yang berfluktuasi harus menyebabkan klinisi curiga akan penyebab
organik.

16

Lithium tetap merupakan terapi terpilih untuk mania; tetapi, pemakaiannya


pada pasien lanjut usia harus dimonitor dengan cermat, karena penurunan klirens
pada lanjut usia menyebabkan toksisitas lithium adalah resiko yang bermakna. Efek
neurotoksik juga lebih sering pada lanjut usia dibandingkan pada dewasa yang lebih
muda.
V. 4. SKIZOFRENIA[10]
Skizofrenia biasanya mulai pada masa remaja akhir atau masa dewasa muda
dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia onset lambat
dibandingkan laki-laki. Prevalensi skizofrenia paranoid tinggi pada tipe onset lambat.
Kira-kira 20 persen orang skizofrenia tidak menunjukkan gejala aktif pada
usia 65 tahun, 80 persen menunjukkan gangguan dengan berbagai tingkatan.
Psikopatologi menjadi kurang jelas saat pasien bertambah tua. Skizofrenia tipe
residual terjadi pada kira-kira 30 persen. Pasien yang tidak mampu merawat dirinya
sendiri, dianjurkan dirawat di rumah sakit dalam waktu jangka panjang.
Orang lanjut usia dengan skizofrenik adalah berespon baik terhadap obat
antipsikotik. Medikasi harus diberikan dengan hati-hati. Dosis yang lebih rendah dari
biasanya sering efektif pada lanjut usia.
V. 5. GANGGUAN DELUSIONAL[1],[2],[4],[10]
Usia onset gangguan delusional biasanya antara usia 40 dan 55 tahun; tetapi,
gangguan ini dapat terjadi kapan saja dalam periode geriatrik. Gangguan delusional
terjadi dibawah stress fisik dan psikologis pada orang yang rentan dan mungkin
dicetuskan oleh kematian pasangan, kehilangan pekerjaan, pensiun, isolasi sosial,
keadaan finansial yang tidak baik, penyakit medis atau pembedahan yang
menimbulkan kecacatan, gangguan penglihatan, dan ketulian.
Waham yang tersering adalah waham kejar dan gangguan delusional dengan
onset lambat yang ditandai dengan waham kejar, disebut parafrenia. Gangguan ini
timbul selama beberapa tahun dan tidak disertai dengan demensia. Pasien dengan

17

riwayat keluarga skizofrenia menunjukkan peningkatan parafrenia. Tidak jarang,


waham somatik juga dapat ditemukan. Sindroma delusional mungkin juga
diakibatkan oleh medikasi atau merupakan tanda awal tumor otak.
Prognosis cukup baik pada sebagian besar kasus, dengan hasil terbaik dicapai
melalui kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi.
V. 6. GANGGUAN KECEMASAN[2],[5]
Gangguan kecemasan berupa gangguan panic, fobia, gangguan obsesif
kompulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, dan gangguan stress
pascatraumatik. Menurut ECA, gangguan paling sering adalah fobia sebanyak 4
persen dan gangguan panik sebanyak 1 persen. Onset awal gangguan panik adalah
jarang tetapi dapat terjadi.
Orang lanjut usia telah harus menyiapkan diri menghadapi kematian dan
kecemasan dapat timbul akibat pikiran mengenai kematian, bukan dengan ketenangan
hati dan rasa integritas menurut Erik Erikson. Tanda dan gejala fobia pada lanjut usia
kurang parah dibandingkan pada orang yang lebih muda tetapi efeknya sama.
Gangguan pascatraumatik sering lebih parah pada lanjut usia dibandingkan pada
orang muda karena adanya kecacatan fisik yang menyertai pada lanjut usia.
V. 7. GANGGUAN SOMATOFORM[2],[4],[5]
Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang menyerupai penyakit
medis, adalah relevan dengan psikiatri geriatrik karena keluhan somatic sering
ditemukan pada lanjut usia.
Hipokondriasis sering ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun,
walaupun insiden puncak adalah pada kelompok usia 40 sampai 50 tahun. Gangguan
biasanya kronis dan pemeriksaan fisik ulang berguna untuk menentramkan pasien
bahwa mereka tidak memiliki penyakit yang mematikan. Tetapi prosedur invasif yang
memiliki resiko tinggi, harus dihindari.

18

V. 8. GANGGUAN TIDUR[3],[5]
Fenomena yang berhubungan dengan tidur yang lebih sering pada orang usia
lanjut adalah gangguan tidur, mengantuk di siang hari, tidur sejenak di siang hari dan
pemakaian obat hipnotik.
Disamping perubahan fisiologis dan sistem regulasi, penyebab gangguan tidur
pada lanjut usia adalah gangguan tidur primer, gangguan mental lain, kondisi medis
umum, dan faktor sosial dan lingkungan. Di antara gangguan tidur primer, disomnia
adalah yang paling sering, terutama insomnia primer, mioklonus nocturnal, sindroma
kaki gelisah (restless leg syndrome) dan apnea tidur. Kondisi yang sering menggangu
tidur pada lanjut usia adalah nyeri, nokturia, sesak nafas, dan nyeri perut.
Alkohol dengan jumlah yang kecil sekalipun dapat mengganggu kualitas tidur,
yang menyebabkan fragmentasi tidur dan terbangun di dini hari. Alkohol juga dapat
mencetuskan atau memperberat apnea tidur obstruktif. Banyak pasien lanjut usia
menggunakan alkohol, hipnotik, dan depresan sistem saraf pusat lain unutk
membantu mereka tertidur. Tetapi, data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
lanjut usia lebih banyak mengalami terbangun dini hari dibandingkan gangguan
dalam tertidur.
Perubahan dalam struktur tidur di lanjut usia adalah tidur gerakan mata cepat
(rapid aye movement, REM) sepanjang malam, peningkatan jumlah episode REM,
penurunan lama episode, penurunan tidur REM total. Perubahan tidur gerakan mata
lambat (non rapid eye movement, NREM) yaitu penurunan amplitude gelombang
delta. Di samping pada lanjut usia juga mengalami bertambahnya terjaga setelah
onset tidur.
V. 9. GANGGUAN PENGGUNAAN ALKOHOL DAN ZAT LAIN
Pasien lanjut usia dengan ketergantungan alkohol biasanya memberikan
riwayat minum berlebihan yang mulai pada masa remaja atau dewasa pertengahan.
Mereka biasanya memiliki penyakit medis, terutama dengan penyakit hati, dan
mereka adalah bercerai, duda, atau laki-laki yang tidak pernah menikah. Sejumlah

19

besar menderita penyakit demensia yang kronis, seperti ensefalopati Wernicke dan
sindrom Korsakoff.
Secara keseluruhan, gangguan penggunaan alkohol dan zat lain adalah
berjumlah 10% dari semua masalah emosional pada lanjut usia, dan ketergantungan
pada zat tertentu seperti hipnotik, ansiolitik, dan narkotik adalah lebih sering pada
lanjut usia. Pasien lanjut mungkin menyalahgunakan ansiolitik untuk mengatasi
kecemasan kronis atau untuk mempermudah tidur.
Onset delirium yang tiba-tiba pada orang lanjut usia yang dirawat untuk
penyakit medis paling sering disebabkan oleh putus alkohol.

20

BAB VI
PENATALAKSANAAN GANGGUAN PSIKIATRI PADA PASIEN LANJUT
USIA
VI.1. TERAPI PSIKOFARMAKOLOGIS[4],[5]
Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas dan menunda atau
menghindari penempatan mereka di rumah perawatan.
Prinsip dasar psikofarmakologi geriatri adalah individualisasi dosis, karena
berhubungan dengan perubahan fisiologis pada proses penuaan. Penurunan klirens
obat dapat terjadi pada gangguan ginjal, gangguan kardiovaskular dan penurunan
curah jantung. Penyakit hati menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme obat.
Penyakit gastrointestinal dan penurunan sekresi asam lambung mempengaruhi
absorpsi obat. Massa tubuh yang tidak berlemak (lean body mass) menurun pada
lanjut usia dan lemak tubuh meningkat mempengaruhi distribusi obat.
Pada lanjut usia, pedoman tertentu tentang pemakaian semua obat harus
diikut. Pemeriksaan medis praterapi adalah penting, termasuk elektrokardiogram
(EKG). Seluruh obat-obatan yang sedang diminum penting untuk dievaluasi efek
sampingnya dan efek interaksi dengan obat psikotropika yang akan diberikan.
Sebagian besar obat psikotropika harus diberikan dalam dosis terbagi yang
sama tiga atau empat kali selama periode 24 jam. Pasien lanjut usia mungkin tidak
mampu mentoleransi peningkatan kadar obat dalam darah yang tiba-tiba yang
disebabkan dari dosis sekali sehari yang besar. Klinisi harus sering memeriksa
kembali semua pasien untuk menentukan perlunya medikasi pemeliharaan, perubahan
dalam dosis dan perkembangan efek samping. Jika pasien sedang menggunakan obat
psikotropika saat pemeriksaan, klinisi harus mengentikan medikasi tersebut jika
dimungkinan dan setelah periode pembersihan (washout period), periksa ulang pasien
selama keadaan dasar yang bebas dari obat.

21

VI.2

PSIKOTERAPI[4]
Intervensi psikoterapi standar seperti psikoterapi berorientasi tilikan,

psikoterapi suportif, terapi kognitif, terapi kelompok dan terapi keluarga harus
tersedia bagi pasien lanjut usia. Menurut Freud, orang berusia lebih dari 50 tahun
tidak cocok untuk psikoanalisi karena tidak adanya elastisitas pada proses mental
mereka.
Masalah dalam terapi yang berkaitan dengan usia dan yang sering adalah
kebutuhan untuk beradaptasi terhadap kehilangan pasangan hidup, perlunya
menerima peran baru (pensiun, lepas dari peran yang sebelumnya) dan kebutuhan
untuk menerima kematian diri sendiri. Psikoterapi membantu lanjut usia menghadapi
masalah tersebut, meningkatkan hubungan interpersonal, psikoterapi meningkatkan
harga diri dan keyakinan diri, menurunkan perasaan ketidakberdayaan dan kemarahan
dan memperbaiki kualitas hidup. Bentuk psikoterapi yang dilakukan adalah
transferensi, terapi kelompok, terapi keluarga dan terapi singkat.

22

BAB VII
KESIMPULAN
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil
dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun
2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3
tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70
tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih
atau sekitar 9,77 % dari total penduduk.
Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia diperkirakan
meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti. Prevalensi gangguan
mental emosional meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan umur,
tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (33,7%).
Maka dari itu, diperlukan pemeriksaan psikiatri yang rinci pada pasien lanjut
usia agar dapat memastikan pasien mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan
dikarenakan tingginya prevalensi gangguan kognitif pada pasien lanjut usia. Karena
proses penuaan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses normal yang harus
dimengerti dengan jelas untuk mendiagnosis secara tepat kemudian memberikan
penatalaksanaan yang tepat sehingga beban yang dirasakan akibat penyakit dapat
berkurang.
Seluruh stressor pada pasien lanjut usia baik yang bersifat fisik dan
psikososial harus dapat dinilai agar penatalaksanaan yang holistik dapat tercapai
dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka
dalam komunitas dan menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah

23

perawatan. Oleh karena itu kesiapan fisik serta mental maupun kerasnya ikhtiar
diperlukan untuk dapat bersama-sama mewujudkan keinginan melihat generasi tua
kita dapat menjalani hari tua yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. Kaplan-Sadock. Sinopsis Psikiatri. Jilid
1. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 2010. Hal 867891.
2. Busse EW and Blazer DG. Textbook of Geriatry Psychology. Edisi kedua.
Washington : The American Psychiatric Press. 1997. Hal 155-263.
3. Sadock BJ, Sadock VA. Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Edisi kedua.
Philadelphia : The William-Wilkins. 2004. Hal 599-602.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Synopsis of Psychiatry. Edisi kesepuluh.
Philadelphia : The William-Wilkins. 2007. Hal 1348-1358.
5. Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri jilid
1. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 2010. Hal 116134.
6. WebMD. Alzheimer's Disease and Other Forms of Dementia. Diunduh dari :
http://www.webmd.com/alzheimers/guide/alzheimers-dementia.

Diakses

tanggal 31 Mei 2011.


7. Alzheimer's Society. What is vascular dementia? Diunduh dari :
http://alzheimers.org.uk/site/scripts/documents_info.php?
categoryID=200137&documentID=161&pageNumber=1. Diakses tanggal 31
Mei 2011.

24

8. Helpguide.org. Depression in Older Adults and Elderly. Diunduh dari :


http://helpguide.org/mental/depression_elderly. Diakses tanggal 31 Mei 2011.
9. Covino, Jennifer. Depression in Geriatric Patients. Diunduh dari :
http://www.medscape.com/viewarticle/520534. Diakses tanggal 31 Mei 2011.
10. Moran M, Lawlor B; Late-life Schizophrenia; PSYCHIATRY 4:11; 2005 The
Medicine Publishing Company Ltd, 2005 (ebook).

25

Anda mungkin juga menyukai