Geriatri Psikiatri
Geriatri Psikiatri
PENDAHULUAN
Istilah Geriatri barasal dari bahasa Yunani Geras yang berarti usia lanjut, dan
iatros yang berarti dokter. Dengan demikian Geriatri berarti terapi medis atau
penyembuhan untuk lanjut usia. Psikogeriatri atau psikiatri geriatri adalah cabang
ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan
fisik dan psikologik atau psikiatri pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah
berkembang menjadi suatu cabang psikiatri, analog dengan psikiatri anak. Usia lanjut
bukanlah sebuah penyakit melainkan sebuah fase dalam siklus kehidupan yang
memiliki karakter tersendiri pada setiap fase perkembangan. Usia lanjut terkait
dengan matangnya pemikiran yang bijak yang bisa diwariskan kepada generasi
berikutnya, salah satu tugas pada usia lanjut yang dikemukakan oleh Erik Erikson
tentang usia lanjut yang sehat yaitu integritas dan bukan putus asa.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil
dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun
2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3
tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70
tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih
atau sekitar 9,77 % dari total penduduk.
Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi,
namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25 persen memiliki gejala psikiatri
yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia
diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.
Pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang berlaku pada
dewasa muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien
mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan
kognitif pada pasien lanjut usia. Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut
usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam
BAB II
PROSES PENUAAN PADA LANJUT USIA
II. 1
usia (elderly) adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih. Menurut
Departemen Kesehatan RI, batasan lanjut usia adalah seseorang dengan usia 60-69
tahun. Sedangkan usia lebih dari 70 tahun dan lanjut usia berumur 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan seperti kecacatan akibat sakit disebut lanjut usia resiko
tinggi.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil
dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun
2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3
tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70
tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih
atau sekitar 9,77 % dari total penduduk.
Diperkirakan pada akhir tahun 2030, populasi penduduk lanjut usia
keseluruhan mencapai jumlah 70 juta dan pada tahun 2050 mencapai 82 juta.
II. 2. PROSES PENUAAN[1],[2]
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian dunia medis terhadap proses
penuaan dan permasalahan yang timbul pada orang usia lanjut meningkat. Banyak
penelitian dilakukan untuk lebih memahami proses penuaan baik dari segi fisiologis,
psikologis, dan sosiologis. Para peneliti menyadari pentingnya membedakan proses
penuaan yang fisiologis dan penuaan yang bersifat patologis. Efek proses penuaan
yang fisiologis penting untuk dipahami sebagai dasar respons terhadap pengobatan
atau terapi serta komplikasi yang timbul.
oleh
faktor-faktor intrinsik seperti gaya hidup, diet, aktivitas, nutrisi, paparan lingkungan,
dan komposisi tubuh memegang peran yang penting.
Perjalanan dari perubahan fisiologis atau psikologis dengan bertambahnya
usia pada masing-masing individu dipengaruhi proses penuaan intrinsik dan
bermacam faktor ekstrinsik, contohnya genetik, pengaruh lingkungan, gaya hidup,
diet, faktor psikososial.
Ada perubahan yang terjadi seiring dengan peningkatan usia tampak
menyerupai gejala klinis yang sesungguhnya berbeda, hal ini menyebabkan sulitnya
mendiagnosis secara tepat pada orang usia lanjut.
Proses penuaan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses normal yang
harus dimengerti dengan jelas untuk mendiagnosis secara tepat kemudian
memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga beban yang dirasakan akibat
penyakit dapat berkurang. Namun, perubahan fungsi beberapa organ patut
diperhitungkan dalam pemberian terapi farmasi agar tepat sasaran dan tidak
membahayakan.
BAB III
PEMERIKSAAN PSIKIATRIK PADA PASIEN LANJUT USIA
Format pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang
berlaku pada dewasa muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan
pasien mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi
gangguan kognitif pada pasien lanjut usia. Jika pasien mengalami gangguan kognitif,
riwayat tersendiri harus didapatkan dari anggota keluarga atau pengasuhnya.[1],[3].
Namun, penderita juga tetap harus diperiksa tersendiri (walaupun terlihat adanya
gangguan yang jelas) untuk mempertahankan privasi hubungan dokter dan penderita
dan untuk menggali adakah pikiran bunuh diri atau gagasan paranoid dari penderita
yang mungkin tidak diungkapkan dengan kehadiran sanak saudara atau seorang
perawat.
III.1.
RIWAYAT PSIKIATRI[1],[4],[5]
Bisa didapatkan dari alo- atau auto- anamnesis. Riwayat psikiatrik
riwayat keluarga. Pemakainan obat (termasuk obat yang dibeli bebas), yang
sedang atau pernah digunakan penderita juga penting untuk diketahui.
Pasien yang berusia di atas 65 tahun sering memiliki keluhan subjektif
adanya gangguan daya ingat yang ringan, seperti tidak mengingat nama orang
atau keliru meletakkan benda. Masalah kognitif ringan juga dapat terjadi
karena kecemasan dalam situasi wawancara. Fenomena ini dapat dijelaskan
dalam istilah kelupaan lanjut usia yang ringan (benign sensecent
forgetfulness).
Riwayat medis termasuk riwayat penyalahgunaan zat harus dicatat
sebagai kemungkinan penyebab defisit yang terjadi sekarang. Begitu juga
dengan riwayat masa kanak dan remaja untuk mengetahui organisasi
kepribadian pasien dan mekanisme pertahanan yang dia gunakan. Riwayat
keluarga harus termasuk penjelasan tentang sikap orang tua penderita dan
adaptasi terhadap ketuaan mereka. Jika mungkin informasi tentang kematian
orang tua, riwayat gangguan jiwa dalam keluarga.
Penting juga untuk dokter mengetahui riwayat pekerjaan pasien dan
hubungan sosial pasien. Berhubungan dengan masalah pensiun dan rencana
masa depan serta apakah ada ketakutan ataupun harapan pasien. Situasi sosial
pasien sekarang harus dinilai yaitu siapa yang merawat pasien sekarang,
bagaimana keadaan keluarga ataupun anak-anak pasien. Semua ini menjadi
bekal pertimbangan dokter dalam membuat anjuran terapi yang realistik.
Riwayat perkawinan dan riwayat seksual pasien juga perlu ditanyakan.
Karena masalah yang sering dihadapi pada usia lanjut adalah kematian
pasangan dan peristiwa tersebut dapat berdampak pada defisit yang terjadi
saat ini.
III.3.PEMERIKSAAN STATUS MENTAL[1],[4],[5]
Pada pasien lanjut usia, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
status mental berulang-ulang karena adanya perubahan yang berfluktuasi
dalam status mental pasien. Riwayat longitudinal dari pasien atau keluarga
penting nilainya. Pemeriksaan status mental meliputi bagaimana penderita
berfikir (proses pikir), merasakan dan bertingkah laku selama pemeriksaan.
Keadaan
umum
penderita
adalah
termasuk
penampilan,
aktivitas
mengenai
kemampuan
mereka
mempertahankan
bagian dari gangguan demensia. Afek yang datar, tumpul, terbatas, dangkal
atau tidak sesuai, dapat merujuk ke gangguan depresif, skizofrenia atau
disfungsi otak.
GANGGUAN PERSEPSI
Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia mungkin merupakan fenomena
transien yang disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa
harus mencatat dengan teliti kelainan yang terjadi apakah berhubungan
dengan suatu kondisi organik. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor otak
dan patologi lokal.
KEMAMPUAN BERBAHASA
Mencakup afasia, yang merupakan gangguan pengeluaran bahasa yang
berhubungan dengan lesi organik otak. Pada afasia Broca, pengertian pasien
tetap utuh tetapi kemampuan untuk berbicara terganggu, salah diucapkan.
Pada afasia Wernicke, pasien diminta menunjukkan beberapa benda sederhana
yang umum (kunci, pensil, tombol lampu). Pasien mungkin tidak dapat
menunjukkan kegunaan benda sederhana tersebut (apraksia ideomotorik).
FUNGSI VISUOSPASIAL
Suatu penurunan kapasitas fungsi visuospasial adalah normal dengan
bertambahnya usia. Meminta penderita untuk mencotoh gambar atau
menggambar
mungkin
membantu
dalam
penilaian.
Pemeriksaan
PERTIMBANGAN
Adalah kapasitas umtuk bertindak sesuai dalam berbagai situasi.
Sebagai contoh, apakah yang akan pasien lakukan bila menemukan sebuah
amplop di jalan dengan perangko dan alamat sudah tertulis? Apa yang akan
dilakukan bila mencium bau asap di dalam bioskop? Dapatkah pasien
membedakan?
III.4. PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI[1],[4],[5]
Mini Mental State Examination (MMSE) adalah tes fungsi kognitif
yang paling sering digunakan. Menilai orientasi, atensi, berhitung, daya ingat
segera dan jangka pendek, bahasa dan kemampuan untuk mengikuti perintah
sederhana. MMSE digunakan untuk mendeteksi gangguan sederhana,
perjalanan penyakit dan untuk monitor respon pasien terhadap terapi. Tes ini
tidak digunakan untuk membuat suatu diagnosis resmi.
Weschler Adult Intelligence Scale Revised (WAIS-R) dapat
memeriksa kemampuan intelektual yang memberikan skor verbal, skor
intelegensia (IQ) dan kinerja. Bagian kinerja dari WAIS-R adalah indikator
yang lebih peka dari kerusakan otak dibandingkan bagian verbalnya.
Geriatric Depression Scale adalah instrumen penyaring yang berguna
untuk memeriksaan depresi pada pasien lanjut usia, walaupun tanpa adanya
demensia, sering mengganggu kinerja psikomotorik.
10
BAB IV
EPIDEMIOLOGI GANGGUAN MENTAL PADA PASIEN LANJUT USIA
Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi,
namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25 persen memiliki gejala psikiatri
yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia
diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.
Prevalensi nasional Gangguan Mental Emosional Pada Penduduk Umur lebih
dari sama dengan 15 tahun adalah 11,6% (berdasarkan Self Reported Questionnarie).
Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi Gangguan Mental Emosional Pada
Penduduk Umur 15 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Papua Barat.
Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 4,6. Prevalensi
tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3) yang kemudian secara berturut
turut diikuti oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (18,5), Sumatera Barat
(16,7), Nusa Tenggara Barat (9,9), Sumatera Selatan (9,2). Prevalensi
terendah terdapat di Maluku (0,9).
Prevalensi
gangguan
mental
emosional
meningkat
sejalan
dengan
pertambahan usia. Berdasarkan umur, tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas
(33,7%). Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah
kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%), kelompok yang memiliki
pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah, yaitu 21,6%),
kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di pedesaan (12,3%), serta pada
kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita terendah.
11
12
BAB V
GANGGUAN MENTAL PADA LANJUT USIA
Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institude of
Mental Health telah menemukan bahwa gangguan mental yang paling sering pada
lanjut usia adalah gangguan depresif, gangguan kognitif, fobia dan gangguan
pemakaian alkohol. Lanjut usia juga memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri dan
gejala psikiatrik akibat obat. Banyak gangguan mental pada lanjut usia dapat dicegah,
dihilangkan atau bahkan dipulihkan. Jika tidak didiagnosis dengan akurat dan diobati
tepat waktu, kondisi tersebut dapat berkembang menjadi keadaan ireversibel yang
membutuhkan institusionalisasi pasien.[4],[5]
Sejumlah faktor resiko psikososial juga mempredisposisikan lanjut usia pada
gangguan mental. Faktor resiko tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya
otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan
isolasi, keterbatasan finansial dan penurunan fungsi kognitif.[5]
V. 1. GANGGUAN DEMENSIA[6],[7]
Demensia, suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif dan
ireversibel, meningkat prevalensinya dengan bertambahnya usia. Dari orang Amerika
yang berusia lebih dari 65 tahun, kira-kira 5 persen mengalami demensia parah, dan
15 persen mengalami demensia ringan. Dari orang Amerika yang berusia lebih dari
80 tahun, kira-kira 20 persennya menderita demensia parah.
Berbeda dengan retardasi mental, gangguan intelektual pada demensia terjadi
dengan berjalannya waktu yaitu fungsi mental yang sebelumnya telah tercapai secara
bertahap akan hilang. Perubahan karakteristik dari demensia melibatkan fungsi
kognisi, daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial, tetapi gangguan perilaku adalah
sering.
Gangguan
perilaku
adalah
berupa
13
agitasi,
kegelisahan,
berkelana,
14
15
makan, penurunan berat badan, dan keluhan somatik. Gejala yang tampak mungkin
berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa muda, pada pasien lanjut usia terdapat
peningkatan pada keluhan somatik.
Lanjut usia rentan terhadap episode depresif berat dengan ciri melankolik,
ditandai oleh depresi, hipokondriasis, harga diri yang rendah, perasaan tidak berharga,
dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri, dengan ide paranoid dan bunuh diri.
Hampir 75 persen dari semua korban bunuh diri menderita depresi dan
penyalahgunaan alkohol. Resiko bunuh diri yang tinggi bila diapatkan perasaan
kesepian, tidak berguna, tidak berdaya, putus asa terutama bila hidup sendirian,
kematian pasangan yang belum lama terjadi dan nyeri somatik.
Pada pasien lanjut usia yang mengalami depresi, kadang terdapat gangguan
kognitif yang dinamakan sindroma pseudodemensia. Sindrom ini harus dibedakan
dengan demensia yang sebenarnya. Pada pseudodemensia, ada defisit konsentrasi dan
atensi dan jarang disertai dengan gangguan berbahasa.
Depresi juga kemungkinan berhubungan dengan penyakit fisik yang dialami
dan medikasi yang digunakan untuk mengobati penyakit tersebut.
V. 3. GANGGUAN BIPOLAR I[8]
Gangguan bipolar I biasanya dimulai pada masa dewasa pertengahan,
walaupun prevalensi seumur hidup sebesar 1 persen adalah stabil sepanjang hidup.
Kerentanan akan rekurensi tetap, sehingga pasien dengan riwayat gangguan bipolar I
mungkin datang dengan periode manik di kemudian hari.
Tanda dan gejala mania pada lanjut usia adalah serupa dengan tanda dan
gejala pada orang dewasa yang lebih muda dan berupa mood yang meninggi,
ekspansif, atau mudah tersinggung; penurunan kebutuhan akan tidur; distraktibilitas;
impulsivitas; dan, sering kali, asupan alkohol yang berlebihan. Perilaku bermusuhan
atau paranoid biasanya ditemukan. Adanya gangguan kognitif, disorientasi, atau
tingkat kesadaran yang berfluktuasi harus menyebabkan klinisi curiga akan penyebab
organik.
16
17
18
V. 8. GANGGUAN TIDUR[3],[5]
Fenomena yang berhubungan dengan tidur yang lebih sering pada orang usia
lanjut adalah gangguan tidur, mengantuk di siang hari, tidur sejenak di siang hari dan
pemakaian obat hipnotik.
Disamping perubahan fisiologis dan sistem regulasi, penyebab gangguan tidur
pada lanjut usia adalah gangguan tidur primer, gangguan mental lain, kondisi medis
umum, dan faktor sosial dan lingkungan. Di antara gangguan tidur primer, disomnia
adalah yang paling sering, terutama insomnia primer, mioklonus nocturnal, sindroma
kaki gelisah (restless leg syndrome) dan apnea tidur. Kondisi yang sering menggangu
tidur pada lanjut usia adalah nyeri, nokturia, sesak nafas, dan nyeri perut.
Alkohol dengan jumlah yang kecil sekalipun dapat mengganggu kualitas tidur,
yang menyebabkan fragmentasi tidur dan terbangun di dini hari. Alkohol juga dapat
mencetuskan atau memperberat apnea tidur obstruktif. Banyak pasien lanjut usia
menggunakan alkohol, hipnotik, dan depresan sistem saraf pusat lain unutk
membantu mereka tertidur. Tetapi, data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
lanjut usia lebih banyak mengalami terbangun dini hari dibandingkan gangguan
dalam tertidur.
Perubahan dalam struktur tidur di lanjut usia adalah tidur gerakan mata cepat
(rapid aye movement, REM) sepanjang malam, peningkatan jumlah episode REM,
penurunan lama episode, penurunan tidur REM total. Perubahan tidur gerakan mata
lambat (non rapid eye movement, NREM) yaitu penurunan amplitude gelombang
delta. Di samping pada lanjut usia juga mengalami bertambahnya terjaga setelah
onset tidur.
V. 9. GANGGUAN PENGGUNAAN ALKOHOL DAN ZAT LAIN
Pasien lanjut usia dengan ketergantungan alkohol biasanya memberikan
riwayat minum berlebihan yang mulai pada masa remaja atau dewasa pertengahan.
Mereka biasanya memiliki penyakit medis, terutama dengan penyakit hati, dan
mereka adalah bercerai, duda, atau laki-laki yang tidak pernah menikah. Sejumlah
19
besar menderita penyakit demensia yang kronis, seperti ensefalopati Wernicke dan
sindrom Korsakoff.
Secara keseluruhan, gangguan penggunaan alkohol dan zat lain adalah
berjumlah 10% dari semua masalah emosional pada lanjut usia, dan ketergantungan
pada zat tertentu seperti hipnotik, ansiolitik, dan narkotik adalah lebih sering pada
lanjut usia. Pasien lanjut mungkin menyalahgunakan ansiolitik untuk mengatasi
kecemasan kronis atau untuk mempermudah tidur.
Onset delirium yang tiba-tiba pada orang lanjut usia yang dirawat untuk
penyakit medis paling sering disebabkan oleh putus alkohol.
20
BAB VI
PENATALAKSANAAN GANGGUAN PSIKIATRI PADA PASIEN LANJUT
USIA
VI.1. TERAPI PSIKOFARMAKOLOGIS[4],[5]
Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas dan menunda atau
menghindari penempatan mereka di rumah perawatan.
Prinsip dasar psikofarmakologi geriatri adalah individualisasi dosis, karena
berhubungan dengan perubahan fisiologis pada proses penuaan. Penurunan klirens
obat dapat terjadi pada gangguan ginjal, gangguan kardiovaskular dan penurunan
curah jantung. Penyakit hati menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme obat.
Penyakit gastrointestinal dan penurunan sekresi asam lambung mempengaruhi
absorpsi obat. Massa tubuh yang tidak berlemak (lean body mass) menurun pada
lanjut usia dan lemak tubuh meningkat mempengaruhi distribusi obat.
Pada lanjut usia, pedoman tertentu tentang pemakaian semua obat harus
diikut. Pemeriksaan medis praterapi adalah penting, termasuk elektrokardiogram
(EKG). Seluruh obat-obatan yang sedang diminum penting untuk dievaluasi efek
sampingnya dan efek interaksi dengan obat psikotropika yang akan diberikan.
Sebagian besar obat psikotropika harus diberikan dalam dosis terbagi yang
sama tiga atau empat kali selama periode 24 jam. Pasien lanjut usia mungkin tidak
mampu mentoleransi peningkatan kadar obat dalam darah yang tiba-tiba yang
disebabkan dari dosis sekali sehari yang besar. Klinisi harus sering memeriksa
kembali semua pasien untuk menentukan perlunya medikasi pemeliharaan, perubahan
dalam dosis dan perkembangan efek samping. Jika pasien sedang menggunakan obat
psikotropika saat pemeriksaan, klinisi harus mengentikan medikasi tersebut jika
dimungkinan dan setelah periode pembersihan (washout period), periksa ulang pasien
selama keadaan dasar yang bebas dari obat.
21
VI.2
PSIKOTERAPI[4]
Intervensi psikoterapi standar seperti psikoterapi berorientasi tilikan,
psikoterapi suportif, terapi kognitif, terapi kelompok dan terapi keluarga harus
tersedia bagi pasien lanjut usia. Menurut Freud, orang berusia lebih dari 50 tahun
tidak cocok untuk psikoanalisi karena tidak adanya elastisitas pada proses mental
mereka.
Masalah dalam terapi yang berkaitan dengan usia dan yang sering adalah
kebutuhan untuk beradaptasi terhadap kehilangan pasangan hidup, perlunya
menerima peran baru (pensiun, lepas dari peran yang sebelumnya) dan kebutuhan
untuk menerima kematian diri sendiri. Psikoterapi membantu lanjut usia menghadapi
masalah tersebut, meningkatkan hubungan interpersonal, psikoterapi meningkatkan
harga diri dan keyakinan diri, menurunkan perasaan ketidakberdayaan dan kemarahan
dan memperbaiki kualitas hidup. Bentuk psikoterapi yang dilakukan adalah
transferensi, terapi kelompok, terapi keluarga dan terapi singkat.
22
BAB VII
KESIMPULAN
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil
dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun
2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3
tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70
tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih
atau sekitar 9,77 % dari total penduduk.
Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia diperkirakan
meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti. Prevalensi gangguan
mental emosional meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan umur,
tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (33,7%).
Maka dari itu, diperlukan pemeriksaan psikiatri yang rinci pada pasien lanjut
usia agar dapat memastikan pasien mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan
dikarenakan tingginya prevalensi gangguan kognitif pada pasien lanjut usia. Karena
proses penuaan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses normal yang harus
dimengerti dengan jelas untuk mendiagnosis secara tepat kemudian memberikan
penatalaksanaan yang tepat sehingga beban yang dirasakan akibat penyakit dapat
berkurang.
Seluruh stressor pada pasien lanjut usia baik yang bersifat fisik dan
psikososial harus dapat dinilai agar penatalaksanaan yang holistik dapat tercapai
dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka
dalam komunitas dan menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah
23
perawatan. Oleh karena itu kesiapan fisik serta mental maupun kerasnya ikhtiar
diperlukan untuk dapat bersama-sama mewujudkan keinginan melihat generasi tua
kita dapat menjalani hari tua yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. Kaplan-Sadock. Sinopsis Psikiatri. Jilid
1. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 2010. Hal 867891.
2. Busse EW and Blazer DG. Textbook of Geriatry Psychology. Edisi kedua.
Washington : The American Psychiatric Press. 1997. Hal 155-263.
3. Sadock BJ, Sadock VA. Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Edisi kedua.
Philadelphia : The William-Wilkins. 2004. Hal 599-602.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Synopsis of Psychiatry. Edisi kesepuluh.
Philadelphia : The William-Wilkins. 2007. Hal 1348-1358.
5. Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri jilid
1. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 2010. Hal 116134.
6. WebMD. Alzheimer's Disease and Other Forms of Dementia. Diunduh dari :
http://www.webmd.com/alzheimers/guide/alzheimers-dementia.
Diakses
24
25