Anda di halaman 1dari 19

Makalah UAS

TOLERANSI TANAMAN TERHADAP PENCEMARAN UDARA


MK. Topik Khusus (ARL 600)

DESI ANJANA DWIPUTRI


A451130081

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Topik Khusus


Judul Bahasa Inggris
Nama
NIM
Program Studi
Jumlah sks

: Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara


: Tolerance of Plants to Air Pollution
: Desi Anjana Dwiputri
: A451130081
: Arsitektur Lanskap
:1
Mengetahui
Dosen Pengajar Mata Kuliah Topik Khusus

Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr

Diketahui oleh

Ketua Program Studi


Arsitektur Lanskap

Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini disusun
sebagai tugas akhir dalam Mata Kuliah Topik Khusus (ARL 600) pada program Studi
Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Dalam Mata Kuliah
Topik Khusus (ARL 600), penulis mengajukan tema khusus, yaitu toleransi tanaman
terhadap pencemaran udara. Pemilihan tema tersebut diselaraskan dengan penelitian
tesis penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015


Desi Anjana Dwiputri

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat

1
1
2
2

METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN


2
Toleransi Tanaman
2
Mekanisme Tanaman Mempertahankan Diri terhadap Polutan
3
Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara
4
Metode Penelitian untuk Mengetahui Dampak Polusi Udara terhadap Tanaman
11
Pedoman Penanaman untuk Mengurangi Pencemaran Udara
11
SIMPULAN

12

DAFTAR PUSTAKA

13

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Polusi udara saat ini sudah banyak menimbulkan masalah yang harus segera
diatasi terutama di daerah perkotaan yang berlalu lintas padat serta pada kawasan
industri. Pencemaran udara di Indonesia disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor
(60-70%), industri (10-15%), dan sisanya berasal dari rumah tangga, pembakaran
sampah, kebakaran hutan, dan lain-lain (Kusnoputranto 1996). Pencemaran udara yang
melampaui batas kewajaran akan menimbulkan dampak terhadap makhluk hidup yang
hidup di atas bumi ini. Strategi dalam mengurangi masalah pencemaran udara ini dapat
dilakukan dalam berbagai pendekatan, yaitu pendekatan teknologi, pendekatan
kelembagaan atau hukum, pendekatan ekonomi, dan pendekatan ekologi. Pendekatan
teknologi dilakukan dengan mengurangi pada sumber polutan, penggunaan mesin dan
kendaraan dengan emisi rendah, penggunaan bahan bakar beremisi rendah serta
mengendalikan difusi ke udara. Pendekatan secara kelembagaan atau hukum yaitu
dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No 41 tahun 1999
tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Pendekatan ekonomi dengan menetapkan
insentif dan pinalti, pajak input dan output produksi, ongkos emisi dan izin
perdagangan. Sedangkan pendekatan ekologi dengan memaksimumkan peranan
vegetasi dalam mengurangi polutan, yaitu dengan pengadaan ruang terbuka hijau.
Pengadaan ruang terbuka hijau berupa taman, jalur hijau, kebun, pekarangan, atau
hutan kota merupakan alternatif untuk mengurangi pencemaran udara. Secara ekologis
unsur alam sebagai pembentuk RTH seperti vegetasi dapat meningkatkan kualitas
lingkungan, terutama dalam memperbaiki iklim mikro atau ameliorasi iklim,
penyerapan polusi udara (terutama CO2) dan produksi O2 yang sangat diperlukan oleh
manusia dalam pernapasan (Ismaun 2008). Dengan adanya ruang terbuka hijau, udara
akan dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan (menempel pada daun) dan
serapan (masuk ke dalam sel daun). Vegetasi akan menyerap dan menjerap polutan yang
dihasilkan melalui daun. Vegetasi berperan efektif dalam menyerap (absorbsi) polutan
udara dan mampu membersihkan polutan tersebut dari udara.
Tanaman yang digunakan sebagai elemen ruang terbuka hijau harus efektif
menyerap gas pencemar udara dalam jumlah relatif besar tanpa mengalami gangguan
fisiologis yang berarti pada tanaman tersebut (Udayana 2004). Kemampuan tanaman
menyerap pencemar udara bervariasi, dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi pencemar,
sensitivitas tanaman terhadap pencemar, dan faktor pertumbuhan tanaman (Wilmer
1986). Toleransi tanaman terhadap pencemar udara merupakan faktor yang perlu
diperhatikan dalam menentukan jenis tanaman sebagai elemen ruang terbuka hijau. Jika
tanaman toleran terhadap pencemar udara maka fungsi tanaman sebagai agen pereduksi
pencemar udara dapat berjalan baik dengan tetap mempertahankan kondisi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman yang optimum. Oleh karena itu perlu dikaji tingkat
toleransi spesies-spesies tanaman terhadap pencemaran udara secara makroskopis,
mikroskopis, dan fisiologis.
Tujuan
Tujuan dari Mata Kuliah Topik Khusus ini adalah mempelajari toleransi tanaman
terhadap pencemaran udara, adaptasi dan mekanisme tanaman dalam mempertahankan

diri terhadap polutan yang terserap atau terjerap pada tanaman, mempelajari metode
penelitian terkait toleransi tanaman terhadap pencemaran udara serta penanaman yang
tepat untuk mengurangi pencemaran udara.
Manfaat
Manfaat dari Mata Kuliah Topik Khusus ini adalah menghasilkan metode yang
tepat untuk penelitian yang akan dilakukan sehingga memudahkan pada saat penelitian
berlangsung, mengetahui hasil yang mungkin akan didapatkan dari penelitian
berdasarkan studi literatur dan penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan
topik penelitian yang akan dilakukan.

METODE
Metode yang dilakukan dalam mata kuliah topik khusus ini adalah dengan
menggunakan metode kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan
melalui bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, jurnal,
artikel, dan laporan-laporan penelitian yang ada hubungannya dengan topik penelitian
yang akan dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Toleransi Tanaman
Tanaman menanggapi kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan melalui
dua cara, yaitu dengan meniadakan atau menghindari cekaman dan toleran terhadap
cekaman. Mekanisme resistensi tanaman terhadap kondisi cekaman lingkungan
tergantung pada kemampuan tanaman sendiri dalam menghindari atau mempertahankan
diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan tersebut. Apabila tanaman
masih mampu untuk menyesuaikan diri maka tanaman tersebut akan mampu hidup,
tumbuh dan berkembang di wilayah tersebut.
Toleransi mencerminkan tanggapan relatif suatu genotip terhadap kendala,
sehingga toleransi sering digunakan sebagai kriteria seleksi. Toleransi didefinisikan
sebagai selisih antara hasil di lingkungan tanpa kendala dan hasil di lingkungan
berkendala, atau secara nisbi adalah persentase penurunan hasil sebagai akibat cekaman
lingkungan (Rosielle dan Hamblin 1981).
Mekanisme Tanaman Mempertahankan Diri terhadap Polutan
Pada kebanyakan pencemaran udara, menyebabkan kerusakan dan perubahan
fisiologi tanaman kemudian diekspresikan dalam ganggguan pertumbuhan (Kozlowski
1991). Pencemaran menyebabkan perubahan pada tingkatan biokimia sel kemudian
diikuti oleh perubahan fisiologi pada tingkat individu hingga tingkat komunitas

tanaman. Namun, pengaruh pencemaran udara pada pertumbuhan tanaman tidak hanya
berpengaruh merusak yang dipaksakan yang dikendalikan oleh lingkungan, namun juga
memberikan respon untuk beradaptasi, yakni dikendalikan oleh tanaman dengan
mekanisme mempertahankan diri. Hal ini yang disebut dengan toleransi tanaman
terhadap pencemaran udara.
Fitter (1981) menyatakan bahwa kisaran zat-zat yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman amat luas dan pengaruh khusus racun-racun ini amatlah banyak
untuk diuraikan. Walaupun tidak mungkin bagi tanaman untuk menjadi resisten atau
bertahan terhadap gas-gas polutan pada segala konsentrasi yang dialaminya di atmosfer,
terdapat banyak bukti tentang spesies dan populasi dalam suatu spesies yang biasanya
tahan terhadap kerusakan. Penyelidikan tentang mekanisme ketahanan sangat dihambat
oleh beberapa ketidakpastian tentang tempat utamanya berlangsungnya kerja polutan.
Tumbuhan yang tumbuh di daerah tercemar polutan, akan menyerap gas-gas
lain ke dalam mesofil daun pada saat proses asimilasi CO 2. Pada kecepatan angin yang
lebih tinggi, umumnya terjadi penambahan yang besar dalam pengambilan SO 2 yang
disertai dengan membukanya stomata. Absorbsi SO2 secara normal akan dibatasi oleh
lubang/celah stomata, dengan kutikula daun yang memberikan tahanan yang sangat
tinggi. Jika polutan masuk ke dalam sel mesofil, pengaruh utamanya akan terletak pada
tingkat molekuler atau tingkat ultrastruktural (Garty et al. 2001).
Salah satu faktor yang bisa menghambat kerusakan daun akibat pencemaran udara
yaitu adanya lapisan lilin pada daun. Lapisan lilin pada daun berfungsi sebagai penahan
kandungan air, mengontrol pertukaran gas, mengurangi pelepasan nutrient dan metabolit
serta sebagai pelindung dari bahan pencemar yang reaktif seperti SO 2, NO2, dan O3.
Akan tetapi lilin daun dapat dirusak oleh abrasi angin, gesekan dan interaksi kimia
dengan polutan dalam waktu yang lama.
Pada tingkat fisiologis, pengaruh SO2 terhadap tanaman dapat dilihat pada
Gambar 1. Di dalam daun, SO2 terkarut dalam jaringan mesofil yang mengandung air.
Reaksi dengan air menghasilkan bisufit (HSO3-) yang non toksik dan Sulfit (SO 3) yang
bersifat toksik, selanjutnya didistribusikan ke dalam sel kloroplas, sitosol dan vakuola.
Keduanya di dalam kloroplas teroksidasi menjadi Sulfat (SO4-), makan akan terjadi
kerusakan yang berupa nekrotik dan klorosis. Namun sebaliknya, jika pembentukan
SO4- lebih cepat, maka tidak ada kerusakan yang mudah terlihat. Metabolisme sulfur
akhirnya menghasilkan asam amino yang mengandung sulfur, yaitu sistein dan
metionin. Jika terlalu banyak sulfur yang terserao dan konsentrasi thiol semakin
meningkat, sulfur akan diakumulasikan ke dalam bentuk glutation (Nugrahani 2013).

Gambar 1 Skema asimilasi sulfat dan pembentukan glutation di dalam tanaman.


Sumber: modifikasi Hartmann et al. (2004) dalam Nugrahani (2013)
Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara
Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara merupakan kemampuan tanaman
dalam merespon tekanan lingkungan yang ekstrem dari kondisi normal dalam hal ini
adalah pencemaran udara, dan mampu menghindari seluruh tekanan tersebut serta
memperbaiki kerusakan yang terjadi, sehingga paling tidak proses metabolisme dapat
dilindungi. Kemampuan tanaman menyerap pencemar udara bervariasi, dipengaruhi
oleh jenis dan konsentrasi pencemar, sensitivitas tanaman terhadap pencemar, dan faktor
pertumbuhan tanaman (Wilmer 1986). Respons stress tanaman dapat dibagi menjadi
tiga tingkat, yaitu pertumbuhan, fisiologi, dan biologi molekuler (Oguntimehin et al.
2010). Oleh karena itu, toleransi tanaman terhadap pencemaran udara dapat dilihat
secara makroskopis, mikroskopis, dan fisiologis.
1. Makroskopis
Respon tanaman terhadap iklim mikro dan adanya bahan pencemar udara sangat
bervariasi bergantung kepada jenis tanaman, konsentrasi bahan pencemar dan
kemampuan tanaman menyesuaikan diri (Heggestad dan Heck 1971). Respon tanaman
berupa laju pertambahan tinggi tanaman dan laju pertumbuhan relatif dapat memberikan
gambaran toleransi tanaman terhadap bahan pencemar udara.
Tinggi tanaman dapat menjadi salah satu indikator respon tanaman terhadap bahan
pencemar udara seperti yang dilaporkan Pandey dan Agrawal (1994) yang menunjukkan

terjadinya reduksi tinggi tanaman, diameter batang, biomassa tanaman, dan jumlah daun
dari tanaman-tanaman di lingkungan urban. Namun demikian parameter pertambahan
tinggi tanaman saja tidak cukup untuk menduga respon tanaman terhadap pencemar
udara. Pertumbuhan tanaman berdasarkan pertambahan luas daun relatif merupakan
indikator yang lebih baik sebagai respon terhadap pencemar udara. Jika pada kondisi
terpolusi tanaman mempunyai pertambahan luas daun yang tinggi, maka kemampuan
untuk menyerap pencemar udara diharapkan juga lebih besar. Pertumbuhan relatif
berdasarkan pertambahan luas daun (RGR) yang berbeda antar jenis tanaman menunjukkan
terdapat perbedaan respon tiap jenis tanaman terhadap pencemar udara (Sulistijorini et al.
2008). Berdasarkan penelitian Sulistijorini et al. (2008), secara umum kurva RGR dari 7
jenis tanaman tepi jalan dalam kondisi terpolusi berada di bawah RGR kontrol kecuali
Lagerstroemia speciosa dan Swietenia macrophylla. Semua kurva RGR dari 7 jenis
tanaman sampel menunjukkan penurunan mulai minggu ke-12 hingga ke-14.
Berdasarkan Wuytack et al. (2011), luas daun spesifik atau specific leaf area
(SLA) dapat digunakan sebagai alat biologis untuk me-monitoring tingkat polusi udara
sedangkan leaf area fluctuating assymetric (FAA) tidak dapat digunakan terutama untuk
menganalisis polusi udara berkonsentrasi rendah. Namun, nilai SLA ini pengaruhnya
akan berbeda pada setiap tanaman karena bergantung spesies dan berhubungan dengan
mekanisme adaptasi dan proteksi tanaman itu sendiri. Pada kondisi polusi udara yang
meningkat, SLA pada Machilus chinensis meningkat sebesar 20% sedangkan Ilex
rotunda dan Ficus microcarpa mengalami penurunan (Wen et al. 2004). Poorter et al.
(2009) menyatakan bahwa pada konsentrasi ozon yang tinggi, SLA pada tanaman
monokotil meningkat sedangkan pada tanaman dikotil menurun. Berdasarkan
penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, mekanisme adaptasi Salix sp.
terhadap polusi udara tidak dapat ditentukan dengan pasti. Pada satu sisi, jika
konsentrasi O3 tinggi, SLA pada tanaman Salix alba mengalami penurunan untuk
meminimalisasi dampak polutan, yaitu dengan penurunan luas daun, peningkatan
kerapatan dan atau ketebalan daun serta peningkatan konsentrasi starch pada daun.
Sedangkan pada penelitian lainnya, pada konsentrasi NOx tinggi, nilai SLA meningkat
sehingga mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis dan kerapatan stomata
menurun karena NOx yang meningkat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan kombinasi
paparan NOx dan O3 mestimulasi perubahan SLA pada tanaman Salix alba namun tidak
dapat diprediksi perubahan yang terjadi akibat polusi udara (Wuytack et al. 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Sulistijorini et al. (2008), SLA dari Lagerstromia
speciosa, Swietenia macrophylla, dan Mimusops elengi terpolusi lebih besar daripada
kontrol, menunjukkan bahwa pada kondisi terpolusi ketiga jenis tersebut membentuk
daun yang lebih luas dan lebih tipis. Daun yang lebih luas dan lebih tipis diduga
meningkatkan efisiensi fotosintesis tumbuhan karena semakin semakin meningkatkan
penerimaan cahaya dan daya hantar CO2. Dugaan ini diperkuat oleh nilai RGR
Lagerstromia speciosa dan Swietenia macrophylla terpolusi yang lebih tinggi daripada
control. Demikian juga peningkatan SLA pada Mimusops elengi, didukung oleh RGR
terpolusi yang meningkat mulai minggu ke-8 sampai ke-14.
2. Mikroskopis
a. Stomata
Perubahan dalam ukuran pori stomata disebabkan oleh perubahan dalam
keseimbangan turgor antara sel-sel penutup dan sel tetangga atau sel-sel epidermis yang
berdekatan (Goldsworthy dan Fisher 1992). Suatu kenaikan turgor dalam sel penutup

atau suatu penurunan turgor dalam sel tetangga menghasilkan pembukaan stomata
melalui gerakan menjauhnya dinding-dinding antiklial sel penutup. Pengaruh polusi
udara terhadap parameter kerapatan stomata pada permukaan abaksial daun
menunjukkan respon yang bervariasi. Pembukaan stomata berkurang bila kadar CO2
ruang-ruang antarsel bertambah. Apabila fotosintesis bersih berkurang, kadar CO2 di
ruang antar sel meningkat dan tahanan stomata akan meningkat. Hal ini akan
mengurangi transpirasi dan juga mempertahankan kadar air. Sebaliknya, apabila
fotosintesis bersih meningkat, maka terjadi penurunan dalam CO2 di ruang antar sel
akan menyebabkan terbukanya stomata.
Menurut Grey dan Deneke (1978), jenis pohon dengan kerapatan stomata sangat
tinggi memiliki potensi sebagai agen untuk mengurangi polusi udara. Berdasarkan hasil
penelitian Udayana (2004) tanaman akasia, bintaro, beringin, glodogan bulat, akasia
mangium memiliki kerapatan stomata lebih tinggi di daerah terpolusi dan berbeda nyata
dibandingkan control. Oleh karena itu, spesies tanaman tersebut memberikan respon
terhadap polutan udara dengan cara meningkatkan jumlah stomatanya. Namun, polutan
udara tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kerapatan stomata trembesi,
dadap merah serta sengon, asam londo, dan tanjung. Hal tersebut disebabkan oleh
perbedaan lingkungan tempat tumbuh dan faktor genetik yang berpengaruh terhadap
morfogenesis stomata (Wilmer 1983).
b. Jaringan
Hasil pengamatan parameter tebal daun dan palisade menunjukkan terdapat
respon yang berbeda pada setiap spesies tanaman (Udayana 2004). Perbedaan respon
tersebut sebagai reaksi tanaman dalam mempertahankan keseimbangan fungsi fisiologis
tanaman terhadap tekanan yang diberikan oleh lingkungan berupa polusi udara. Polutan
udara tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tebal daun trembesi dan
dadap merah (tanaman toleran) di daerah terpolusi dibandingkan kontrol, sedangkan
polutan menurunkan tebal daun secara nyata pada tanaman sengon dan mahoni
(tanaman sensitif) serta mengurangi tebal palisade (Udayana 2004). Pada penelitian
Ferdinand et al. (2000) dalam Oksanen et al. (2001) pada chery hitam yang merupakan
tanaman sensitif mengalami penurunan tebal jaringan palisade akibat paparan ozon.
Peningkatan tebal daun dan palisade diduga sebagai respon detoksifikasi terhadap
pencemar udara. Pada proses detoksifikasi terhadap paparan ozon, setelah terjadi difusi
melalui stomata pada permukaan abaksial daun, ozon atau hasil reaksinya menembus ke
dalam rongga udara, berpindah melalui dinding sel dan membran sel yang akhirnya
mencapai organel-organel sel (kloroplas dan mitokondria). Pada daun-daun tebal,
reaktifitas terhadap ozon tinggi dan mekanisme detoksifikasi diduga menekan pengaruh
ozon yang berbahaya sebelum mencapai jaringan palisade sebagai tempat
berlangsungnya fotosintesis.
Selain mengalami penurunan tebal palisade, paparan lebih dari satu jenis polutan
memberikan kerusakan jaringan yang lebih berat dibandingkan dengan satu jenis
polutan (Wilmer 1983). Kerusakan yang terjadi pada jaringan palisade dan bunga
karang mengakibatkan hilangnya kloroplas pada jaringan tersebut sehingga
menghambat proses fotosintesis. Kerusakan ini terjadi diawali oleh penyerapan polutan
melalui stomata selanjutnya polutan bereaksi dengan sel-sel lainnya hingga terjadi
kerusakan. Epidermis merupakan target pertama polutan setelah melewati stomata,
kemudian memasuki ruan interselular, bereaksi dengan permukaan air sel daun dan
mempengaruhi pH sel dan akhirnya terjadi kerusakan pada sel. Pada penelitian Udayana

(2004), kerusakan jaringan daun terjadi pada tanaman dadap merah, beringin, angsana,
sengon, cemara laut, asam londo, mahoni, dan tanjung.
Menurut hasil penelitian Fauqani (2011), pengamatan pada anatomi tumbuhan
Cyperus kyllingia, Eleusine indica, dan Rottboelia exaltata terjadi modifikasi tebal
kutikula sebagai respon untuk mengurangi transpirasi dan reaksi tanaman terhadap
bahan pencemar. Seperti yang dikemukakan Weryszko et al (2005) bahwa pengaruh Pb
yang termasuk dalam salah satu bahan pencemar udara meningkatkan tebal kutikula
pada Glycine max.
3. Fisiologis
Gejala kerusakan daun timbul karena terdapat gangguan dalam proses fisiologi
tanaman. Dengan demikian, toleransi tanaman terhadap pencemar udara dapat dinilai
berdasarkan perubahan parameter fisiologi berupa kandungan asam askorbat total,
klorofil total, pH ekstrak daun, serta kadar air daun yang dihitung menurut formulasi
APTI (Singh et al. 1991).
a. Asam askorbat
L-asam askorbat (vitamin C) merupakan vitamin penting dalam diet manusia dan
tersedia melimpah dalam jaringan tanaman (Noctor dan Foyer 2005). Daun-daun hijau
mengandung askorbat sama banyaknya dengan klorofil. Askorbat berperan penting
dalam beberapa proses fisiologis tanaman diantaranya adalah pertumbuhan, diferensiasi,
dan metabolisme. Selain itu askorbat juga berfungsi sebagai pereduktor untuk beberapa
radikal bebas sehingga dapat meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh oxidative
stress (Mc Kersie dan Leshem 1994). Askorbat dapat ditemukan dalam kloroplas,
sitosol, vakuola, dan ruang ekstra seluler sel. Sekitar 20-40 % askorbat di dalam mesofil
berada dalam kloroplas. Kloroplas mengandung banyak enzim yang dapat mereduksi
askorbat dari bentuk teroksidasi (Mc Kersie dan Leshem 1994).
Tanaman yang toleran terhadap polusi udara memiliki kandungan asam askorbat
tinggi karena asam askorbat memiliki fungsi sebagai anti oksidan atau reduktor kuat
yang dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi (Lima et al. 2000; Rai et al. 2013). Jika
reaksi oksidasi sampai berlangsung, maka akan terbentuk senyawa yang dapat meracuni
tanaman. Asam askorbat banyak dimanfaatkan dalam metabolism sel, dibutuhkan untuk
sintesis. Berdasarkan hasil penelitian Rai et al. (2013) konsentrasi asam askorbat pada
kawasan industri berkisar antara 0,2-0,53 mg/g dengan Bougainvillea spectabilis dan
Ficus bengalensis sebagai tanaman dengan nilai terendah dan tertinggi. Sedangkan
konsentrasi asam askorbat di kawasan non industri dhasilkan nilai lebih kecil pada
tanaman Bougainvillea spectabilis (0,1 mg/g) dan Psidium guajava memiliki nilai
tertinggi (0,28 mg/g). Konsentrasi asam askorbat lebih tinggi untuk mengurangi stress
tanaman pada spesies tanamn yang toleran. Tripathi dan Gautam (2007) menyatakan
beban polusi bergantung peningkatan kadar asam askorbat pada seluruh spesies tanaman
yang menyebabkan peningkatan laju produksi spesies reaktif oksigen (ROS) ketika
proses foto oksidasi.
b. Kandungan klorofil
Kadar klorofil pada tanaman berpengaruh langsung terhadap aktifitas fotosintesis
dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
biomassa. Kadar klorofil dalam tanaman bervariasi dari satu spesies dan spesies lainnya
bergantung umur daun, tingkat polusi seperti halnya kondisi biotik dan abiotik lainnya.
Keberadaan polutan dapat menurunkan kandungan klorofil karena masuknya polutan
pada daun dapat mengakibatkan rusaknya kutikula sehingga respirasi terhambat dan

proses fotosintesis juga terhambat. Pada tanaman yang toleran, kandungan klorofil yang
dimiliki tinggi karena secara fisiologis tanaman dapat menolak atau menetralkan
polutan sehngga tidak merusak klorofil.
Carter & Knapp (2001) menyatakan bahwa bahan pencemar dapat menginduksi
pengurangan klorofil. Ditambahkan oleh Kozlowski dan Mudds (1975) menyatakan
bahwa adanya pencemaran udara dapat menimbulkan nekrosis dan klorosis yang
melibatkan mekanisme kerusakan klorofil. Penelitian Pandey dan Agrawal (1994)
membuktikan bahwa tanaman pada daerah urban yang relatif tercemar mempunyai
klorofil lebih rendah dan berbeda nyata dengan tanaman pada daerah yang tidak
tercemar. Berdasarkan penelitian Rai et al. (2013), kadar klorofil di seluruh tanaman
hasilnya bervariatif sesuai dengan kondisi polusi di kawasan. Pada tingkat polusi tinggi,
kadar klorofil rendah seperti yang diduga, polutan menurunkan kadar klorofil total
(Agrawal et al. 2003). Namun, pada penelitian Sulistijorini et al. (2008) konsentrasi
bahan pencemar di lokasi terpolusi belum memberikan pengaruh yang nyata pada
kandungan klorofil total. Perbedaan hasil ini diduga karena konsentrasi bahan pencemar
di lokasi terpolusi pada penelitian ini relatif lebih rendah jika dibandingkan penelitian
Pandey dan Agrawal (1994). Konsentrasi NO2, SO2, O3, dan debu pada penelitian
Sulistijorini et al. (2008) secara berurutan adalah 19, 21; 10,07; 0,06, 96,05 g m -3,
sementara konsentrasi bahan pencemar pada daerah penelitian Pandey dan Agrawal
masing-masing adalah 42.1; 50.6; 35.3, dan 245.8 g m-3.
c. pH
Derajat keasaman (pH) daun dapat menjadi indikator toleransi tanaman karena pH
berperan penting dalam berbagai reaksi fisiologi tanaman. Hartung dan Radin (1989)
menyatakan bahwa pH merupakan media respon fisiologi terhadap kondisi stress.
Tanaman yang toleran memiliki pH daun yang cukup tinggi (sekitar 6-7) walaupun
dalam kondisi terpolusi.
Pengaruh polutan yang bersifat asam secara langsung dapat menurunkan pH,
misalnya NO2 dan SO2. Pada kondisi terpolusi pH daun Pterocarpus indicus (5,8),
Casuarina sumatrana (4,8) Gmelina arborea (5,7), Swietenia macrophylla (5,5), dan
Mimusops elengi (5,1) lebih tinggi daripada tanaman kontrol, masing-masing adalah
5,5; 4,1; 5,4; 5,3; dan 4,5 (Sulistijorini et al. 2008). Berdasarkan penelitian Rai (2013),
spesies tanaman yang berada di kawasan industri memiliki pH asam, yaitu sekitar 5-7,
sedangkan di kawasan non industri memiliki pH asam hingga alkaline, yaitu sebesar 69. Hal ini dikarenakan paparan SOx, NOx, dan polutan penghasil asam lainnya yang
berasal dari emisi dari kawasan industri sehingga memberikan perubahan pH daun
menjadi asam. pH ekstrak daun rendah menunjukkan korelasi yang baik terhadap polusi
udara dan juga menghambat proses fotosintesis pada tanaman (Yan-Ju dan Hui 2008;
Thakar dan Mishra 2010), sedangkan pH yang tinggi meningkatkan toleransi tanaman
terhadap polusi (Shannigrahi et al. 2011).
Penyerapan gas SO2 melalui stomata dalam konsentrasi yang tinggi diduga
menyebabkan terjadinya proses asidifikasi dalam tanaman. Proses asidifikasi
menyebabkan turunnya pH dalam sitoplasma (Marcshner 1995). Untuk menstabilkan
pH dalam sitoplasma tetap dalam kisaran yang optimum, maka terjadi pembongkaran
asam organik (dekarboksilasi). Terjadinya proses dekarboksilasi berarti mengurangi
hasil fotosintesis, yang tercermin dalam pertambahan luas daun tanaman terpolusi lebih
rendah daripada tanaman kontrol (tidak terpolusi) (Sulistijorini et al. 2008).
d. Kadar air

Konsentrasi polutan udara yang tinggi dapat mengakibatkan tanaman mengalami


defisit air sehingga tanaman tampak layu. Kandungan air relatif berkaitan dengan
permeabilitas sel (Oleinikova 1969 dalam Singh et al. 1991), polutan udara dapat
meningkatkan permeabilitas sel yang disebabkan oleh kehilangan air dan terlarutnya
bahan nutrisi, akibatnya daun cepat mengalami senescene (Masuch et al. 1988 dalam
Singh et al. 1991) sehingga dimungkinkan tanaman yang memiliki kandungan air relatif
tinggi dalam kondisi terpapar polusi akan toleran terhadap polutan.
Pembukaan stomata biasanya mengecil bila potensial air daun menurun (menjadi
lebih negatif). Perubahan pembukaan ini biasanya dianggap disebabkan oleh kenaikan
kadar asam absisat. Bila kekurangan air secara cepat, seperti yang terjadi pada
tumbuhan yang ditanam dalam pot-pot kecil, stomata dapat tetap terbuka lebar
sementara potensial air daun berkurang dari tingkatnya yang lebih tinggi sebelum
stomata mulai menutup, atau segera mulai menutup begitu ada penurunan yang berarti
dalam potensial air.
Berdasarkan penelitian Rai et al. (2013), kadar air relatif tanaman di kawasan
industri lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan non industri. Kadar air tertinggi
terlihat pada Hibiscus rosasinensis dan terendah pada tanaman Bougainvillea
spectabilis (kawasan industri). Di kawasan non industri, kadar air tertinggi adalah
Mangifera indica dan terendah Lantana camara. Kadar air relatif yang tinggi pada
tanaman akan membantu dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis di bawah
kondisi stress seperti paparan polusi udara ketika laju transpirasi tinggi yang dapat
mengakibatkan kekeringan. Oleh karena itu, kadar air relatif tanaman dapat
menunjukkan toleransi tanaman terhadap paparan polusi udara. Kadar air lebih tinggi di
kawasan industri memberikan respon bahwa terjadi fungsi yang normal dalam proses
biologi pada tanaman (Meerabai et al. 2012)
e. Karbohidrat
Selain keempat parameter fisiologis yang dipaparkan oleh Singh et al. (1991),
terdapat satu parameter fisiologis yang juga dapat mempengaruhi tingkat toleransi
tanaman terhadap pencemaran udara, yaitu karbohidrat. Seperti yang telah diketahui
bahwa karbohidrat merupakan produk utama dari proses fotosintesis. Pencemaran udara
secara tidak langsung mempengaruhi laju fotosintesis dan mengakibatkan perubahan
terhadap hasil produknya, termasuk pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang terpapar gas polutan pada konsentrasi
tertentu dengan jangka waktu yang relatif lebih lama akan menghasilkan reduksi
pertumbuhan yang tidak optimum dibandingkan tanaman kontrol. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan dari Kovacs (1992) yang menyatakan bahwa tanaman-tanaman dapat
tumbuh dengan cepat apabila berada di dalam habitat yang produktif, sedangkan
tempat-tempat yang tidak baik dan beracun akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih
lambat. Hal tersebut dikarenakan tanaman pada kelompok ini akan cenderung
menggunakan karbohidrat yang dihasilkan dari proses fotosintesis untuk berbagai fungsi
seperti pendukung, menangkal terhadap reduktor, reproduksi dan sebagainya sehingga
menyebabkan pengurangan kecepatan pertumbuhan dari potensi maksimumnya.
Adanya perbedaan tingkat pertumbuhan terhadap parameter tinggi tanaman,
jumlah daun, panjang daun, dan keliling batang antara tanaman yang terpapar 7 jam, 24
jam, dan tanaman kontrol menjelaskan bahwa daun-daun yang dihadapkan pada dosis
SO2 dan NO2 yang rendah tidak menyebabkan luka yang nampak walaupun mengalami
perobekan sistem membran tilakoid dalam kloroplast. Akibatnya tanaman lebih
cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan oleh proses fotosintesis untuk

10

berbagai fungsi pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak produktif tersebut
sehingga menyebabkan penurunan kecepatan tumbuhan dari potensi maksimumnya.
Fructans (polyfructosylsucrose) merupakan penyimpanan utama karbohidrat pada
tanaman. Sintesis fructans dalam daun berhubungan dengan sintesis sukrosa fotosintesis
dan translokasi serta melanjutkan metabolisme sukrosa pada batang dan akar. Fructans
berperan dalam pertumbuhan tanaman di bawah kondisi lingkungan yang tidak baik,
salah satunya adalah pada kondisi tercemar polusi udara karena fructans berperan
sebagai pengambil oksigen reaktif atau secara tidak langsung menstimulasi mekanisme
bertahan antioksidatif. Penelitian (Seyyednejad et al. 2011) menyatakan bahwa tanaman
dengan konsentrasi gula yang tinggi merupakan spesies yang toleran terhadap polusi
udara karena polimer fruktosa dapat membantu spesies toleran di bawah kondisi yang
tidak menguntungkan. Contohnya adalah pada tanaman rumput ryegrass terjadi
peningkatan fructans pada saat terpapar polusi udara sesaat di Sao Paolo (Brazil)
(Moretto et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian Sandrin et al. (2013) terjadi
peningkatan fructans khususnya pada akar tanaman Lollium multiflorum ketika siang
hari pada musim semi dan gugur, bertepatan saat suhu tinggi, intensitas cahaya rendah
dan konsentrasi tertinggi polutan udara. Pada kondisi tersebut, fotosintesis terstimulasi
dengan baik sehingga mengakumulasikan konsentrasi gula lebih tinggi.
Namun, polutan SO2 berpengaruh negatif terhadap nilai fructans dalam akar yang
menghambat proses fisiologis tersebut (Sandhu et al. (1994) dalam Sandrin et al.
(2013). Hal tersebut dikarenakan banyak gas yang phytotoxic yang mudah berasimilasi
dan menyebabkan kerusakan langsung pada vegetasi lebih cepat daripada material
partikulat. Berbanding terbalik dengan SO2, setelah terjadi deposisi pada permukaan
tanah dan masuk ke dalam akar, komponen beracun teradsorbsi pada partikel
meningkatkan konsentrasi gula dalam akar. Pada tanaman Lollium multiflorum
akumulasi fructans menjadi respon untuk mepertahankan diri tanaman melawan oksigen
reaktif yang diproduksi oleh PM10.
Metode Penelitian untuk Mengetahui Dampak Polusi Udara terhadap Tanaman
Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui dampak polusi udara terhadap
tanaman serta toleransi tanaman terhadap pencemaran udara terdiri atas dua metode,
yaitu metode survei dan percobaan. Metode survei yaitu pengamatan dilakukan pada
tanaman yang ada pada eksisting tapak, contohnya adalah pada penelitian Udayana
(2004) dengan pengamatan spesies pohon di jalan raya, dan Rai et al. (2013) dengan
pengamatan di kawasan industri, serta Nugrahani dan Sukartiningrum (2008) dengan
pengamatan semak di area median jalan. Sedangkan metode percobaan adalah
pengamatan tanaman dilakukan dengan menyiapkan bahan tanaman sendiri sehingga
jenis tanaman yang digunakan sesuai dengan yang diinginkan peneliti, contohnya
adalah penelitian Sulistijorini et al. (2008) dengan pengamatan beberapa spesies pohon
yang sengaja dipapar polusi udara jalan raya dan Salama et al. (2011) dengan
pengamatan Datura innoxia yang terpapar polusi dari pabrik semen. Kedua metode
tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu mengetahui dampak polusi udara terhadap
tanaman dan juga dilakukan pengamatan di area yang tidak terkena polusi atau tingkat
pencemaran relatif rendah untuk mengetahui perbedaan yang terjadi antara tanaman
yang terpapar polusi dan tidak sehingga dapat diketahui seberapa besar dampak paparan
polusi terhadap tanaman.

11

Pengamatan dilakukan secara makroskopis mikroskopis, dan fisiologis.


Pengamatan secara makroskopis yaitu mengamati dampak polutan secara morfologi
spesies tanaman yang terpapar polusi dengan parameter luas daun, jumlah daun dan
bunga serta warna daun. Pengamatan mikroskopis dengan parameter anatomi daun.
Pengamatan secara fisiologis diteliti dengan mengukur komponen APTI (Air Pollution
Tolerance Index) dengan parameter yang diamati adalah asam askorbat, kandungan
klorofil, pH daun, dan kadar air. Selain itu, dilakukan pengukuran kualitas udara untuk
mengetahui tingkat pencemaran udara pada tapak.
Pedoman Penanaman untuk Mengurangi Pencemaran Udara
Usaha untuk menurunkan tingkat polusi dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat adalah dengan upaya green belt development. Green belt development
merupakan solusi yang tepat karena secara ekonomi dan teknologi layak dikembangkan.
Upaya ini dibagi menjadi dua solusi yaitu berdasarkan parameter biofisik dan sosial
ekonomi. Parameter biofisik yang dimaksud disini adalah bagaimana pengembangan
green belt yang ideal dan bermanfaat optimum untuk suatu kota dari segi spesies
tanaman, tinggi tanaman, lebar green belt dan jarak green belt dari pusat pencemar.
Parameter sosial-ekonomi yaitu pertimbangan keefektifan biaya yang dikeluarkan,
kegunaan jangka panjang, keberlanjutan, dan kelayakan teknologi serta interaksi dan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan green belt. Bentuk dari green belt dapat
diaplikasikan pada beberapa kawasan yang terkena dampak pencemaran udara, seperti
kawasan industri berupa penanaman di sekeliling kawasan industri, serta pembuatan
jalur hijau jalan di jalan yang terkena dampak polusi udara dari transportasi.
Dari segi spesies tanaman, toleransi tanaman terhadap pencemar udara merupakan
faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan jenis tanaman sebagai elemen green
belt. Jika tanaman toleran terhadap pencemar udara maka fungsi tanaman sebagai agen
yang mengurangi dampak pencemaran udara dapat berjalan baik dengan tetap
mempertahankan kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimum. Oleh
karena itu, selain efektif menyerap polusi udara, pemilihan tanaman yang toleran lebih
diprioritaskan untuk mengurangi dampak pencemaran tanaman udara.
Penataan yang tepat untuk beberapa kawasan akan berbeda bergantung tingkat
pencemaran udara. Pada jalur hijau, yang mendapatkan dampak pencemaran dari
transportasi, penataan tanaman pada jalan dilakukan dengan membagi zona luar (dekat
jalan) dan zona dalam. Pada zona luar (10 meter pertama dari tepi jalan) dipilih tanaman
dari kelompok toleran dan cukup toleran berdasarkan kriteria sensitifitas dan toleransi
tanaman yang diikuti. Menurut Nasrullah et al. (1994) vegetasi akan efektif sebagai
penyaring polusi bila penanaman tersebut terletak dekat dengan jalan terutama pada 10
meter pertama dari tepi jalan. Demikian pula menurut Grey dan Deneke (1978), pohon
untuk dapat mereduksi polutan harus tegak lurus terhadap arah angina dan terkonsentrasi di
sekitar sumber polutan.
Penataan ruang terbuka hijau di kawasan industri direncanakan sebagai green belt
bagi kegiatan industri yang bermaanfaat baik secara fisik dan sosial pada tapak.
Pembuatan site plan dikembangkan berdasarkan studi skematik untuk mengurangi
tingkat pencemaran lingkungan terutama akibat kegiatan produksi, bengkel,
pengangkutan bahan baku dari sumber bahan baku menuju tempat penimbunan bahan
baku, maupun pengangkutan bahan baku dari penimbunan menuju area tangki serta lalu
lintas kendaraan (Dwiputri 2012). Pengembangan site plan selain untuk menjaga
kualitas dan keseimbangan lingkungan, konservasi air dan tanah juga untuk

12

meningkatkan produktivitas karyawan dengan menyediakan fasilitas istirahat dan


rekreasi dalam kawasan. Pemilihan vegetasi di kawasan industri berdasarkan
keefektifannya dalam menyerap polutan serta tingkat toleransi tanaman terhadap
pencemar udara. Kriteria tanaman khusus untuk penjerap debu terutama yang memiliki
daun yang rimbun, permukaan daun yang kasar atau berbulu, berdaun jarum, memiliki
kerapatan trikoma tinggi, serta toleran terhadap polutan. Penataan tanaman di kawasan
industri dibagi dua, yaitu area dengan konsentrasi polutan paling rendah ditanami oleh
kelompok tanaman yang sensitif sedangkan area dengan konsentrasi tertinggi dan
berada di atas baku mutu lingkungan ditanami oleh kelompok tanaman yang toleran
terhadap pencemaran udara. Penanaman tegak lurus dengan arah angin, penanaman
rapat/massif, penanaman semak dan pohon yang lebat dan beraneka ragam serta massif,
serta konfigurasi tanaman dapat berbentuk gerombol atau menumpuk atau berbentuk
jalur mengikuti bentukan jalan.

SIMPULAN
Pencemaran menyebabkan perubahan pada tingkatan biokimia sel kemudian
diikuti oleh perubahan fisiologi pada tingkat individu hingga tingkat komunitas
tanaman. Namun, pengaruh pencemaran udara pada pertumbuhan tanaman tidak hanya
berpengaruh merusak yang dipaksakan yang dikendalikan oleh lingkungan, namun juga
memberikan respon untuk beradaptasi, yakni dikendalikan oleh tanaman dengan
mekanisme mempertahankan diri. Hal ini yang disebut dengan toleransi tanaman
terhadap pencemaran udara. Tingkat toleransi setiap jenis tanaman berbeda-beda,
bergantung konsentrasi pencemar, jenis tanaman, tingkat sensitifitas terhadap pencemar.
Hal tersebut dapat diamati dengan makroskpis (pertumbuhan dan morfologi tanaman),
mikroskopis (anatomi jaringan tanaman), serta fisiologis (proses metabolism tanaman).
Metode yang dapat digunakan yaitu metode survei dan metode percobaan dengan
membandingkan pengamatan di area terpapar polusi dan tidak. Hasil yang didapatkan
dari penelitian dampak tanaman dan toleransi tanaman terhadap polusi udara dapat
dijadikan pedoman dalam pemilihan tanaman di area terpapar polusi seperti di jalan
raya maupun kawasan industry.

DAFTAR PUSTAKA
Agrawal M, Singh B, Rajput M, Marshall F, Bell JNB. 2003. Effect of pollution on periurban agriculture: A case study. Environ Pollut. 126:323-329.
Carter GA, Knapp AK. 2001. Leaf optical properties in higher plants: Linking spectral
characteristics to stress and chlorophyll concentration. American J Botany. 84: 677684.
Dwiputri DA. 2012. Perencanaan ruang terbuka hijau di kawasan pembangkit listrik
tenaga uap PT Krakatau Daya Listrik Cilegon Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Fauqani A. 2011. Respon pertumbuhan dan anatomi jaringan daun cyperus kyllingia,
Eleusine indica, dan Rottboellia exaltata pada perbedaan tingkat pencemaran udara
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 19 hlm.

13

Fitter AH, Hay RKM. 1998. Fisiologi lingkungan tanaman. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Garty J, Tamir O, Hassid I, Eshel A, Cohen Y, Karnieli A, Orlovsky L. 2001.
Photosynthesis, chlorophyll integrity, and spectral reflectane in lichens exposed to air
pollution. J Environ Qual. 30: 884-893.
Goldsworthy, P.R. dan Fisher, N.M. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Grey GW, Deneke FJ. 1978. Urban forestry. New York: John Willey and Sons.
Hartung WJ, Radin JW, and Hendrix DL. 1988. Absisic acid movement into the
apoplastic solution of water stressed cotton leaves. Plant Physiol. 86: 908913.Heggestad, Heck. 1971.
Ismaun I. 2008. Ruang terbuka hijau kawasan reklamasi Jakarta International Resort. J
Ars Lans (Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam). 2 (1): 2.
Kovacs. 1991. Trees as biological indicators. In: Biological indicators in environmental
protection. New York: Kovacs, M. (ed), Ellis Horwood.
Lima JS, Fernandes EB, Fawcett WN. 2000. Mangifera indica and Phaseolus vulgaris in
the bioindicator of air pollution in Bahia, Brazil. Ecotoxicol Environ. Saf. 46(3): 275278.
Kozlowski TT, Mudds JB. 1975. Response of plants to air pollution. New York:
Academic Press.
Kusnoputranto H. 1996. Dampak Pencemaran Udara dan Air terhadap Kesehatan dan
Lingkungan. J Ling Pembangun. 16 (3): 210-224.
Mc Kersie BD, LeshemYY. 1994. Stress and stress coping in cultivated plants.
Dordrecht: Kluwer Academic.
Marschner H. 1995. Mineral nutrition in higher plants. 2nd ed. London: Academic Pr.
Meerabai G, Venkata Ramana C, Rasheed M. 2012. Effect of industrial pollutants on
Physiology of Cajanus cajan (L.) - Fabaceae. Int J Environ Sci. 2(4): 1889-1894.
Moretto R, Sandrin CZ, Itaya NM, Domingos M, Figueiredo-Ribeiro RCL,2009.
Fructan variation in plants of Lolium multiflorum ssp. italicum Lema (Poaceae)
exposed to an urban environment contaminated by high ozone concentrations. In:
Benkeblia N, Shiomi N.(Eds.). Proceedings of the Sixth International Fructan
Symposium. Dynamic Biochemistry, Process Biotechnology and Molecular Biology
3(Special Issue 1), pp.19.
Nasrullah N, Hideki T, Misawa A. 1994. Effect of roadside planting and road structures
on NO2 concentration near road. J Japanese Toxico Enviro Health. 40(4): 328-337.
Noctor G, Foyer CH. 2005. Ascorbate and gluthatione: keeping active oxygen under
control. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol. 49: 249-279.
Nugrahani P. 2013. Glutation dan APTI [disertasi]. Surabaya (ID): Universitas
Airlangga.
Nugrahani P, Sukartiningrum. 2008. Indeks toleransi polusi udara (APTI) tanaman
taman median jalan Kota Surabaya. J Pertani Maper. 10(2): 86-92).
Oguntimehin I, Kondo H, Sakugawa H. 2010. The use of Sunpatiens (Impatiens spp.) as
a bioindicator of some simulated air pollutants-Using an ornamental plant as
bioindicator. Chemosphere. 81: 273-281.
Oksanen E, Sober J, Karnosky DF. 2001. Impacts of elevated CO 2 and/or O3 on leaf
ultrastructure of aspen (Populus tremuloides) and birch (Betula papyrifera) in the
Aspen FACE Experiment. Environ Pollut. 115(2001): 437-446.

14

Pandey J, Agrawal M. 1994. Evaluation of air pollution phytotoxicity in seasonally dry


tropical urban environment using three woody perennials. New Phytol.126: 53-64.
Poorter H, Niinemets U, Poorter L, Wright IJ, Villar R, 2009. Transley review: causes
and consequences of variation in leaf mass area (LMA): a meta-analysis. New
Phytol. 182: 565-588.
Rai PK, Panda LLS, Chutia BM, Singh MM. 2013. Comparative assessment of air
pollution tolerance index (APTI) in the industrial (Rourkela) and non industrial area
(Aizawl) of India: An eco-management approach. African J Environ Sci Tech. 7(1):
944-948.
Rosielle AA, Hamblin J. 1981. Effect of Intergenotypic Competition on Genetic
Parameter Estimation. Crop Sci. 18: 51-54.
Salama HMH, Al-Rumaih MM, Al-Dosary MA. 2011. Effect of Riyadh cement industry
pollutions on some physiological and morphological factors of Datura innoxia Mill.
Plant. Saudi J Bio Sci. 18: 227-237
Sandrin CZ, Ribeiro ACF, Delitti WBC, Domingos M. 2013. Short-term changes of
fructans in ryegrass (Lolium multiflorum Lema) in response to urban air pollutants
and meteorological conditions. Ecotoxico Environ Saf. 96 (2013): 80-85.
Seyyednejad SM, Niknejad M, Koochak H. 2011. A review of some different effect of
air pollution on plants. J Environ Sci. 5: 302-309.
Shannigrahi AS, Fukushim T, Sharma RC. 2004. Anticipated Air Pollution Tolerance of
some plant species considered for green belt development in and around an
industrial/urban area in India: An overview. Int J Environ Stud. 61(2): 125-137.
Singh SK, Rao DN, Agrawal M, Pandey J, Narayan D. 1991. Air Pollution Tolerance
Index of Plant. J Environ Mgmt. 32: 45-55.
Sulistijorini, Masud ZA, Nasrullah N, Bey A, Tjitrosemito S. 2008. Tolerance level of
roadside trees to air pollutants based on relative growth rate and air pollution
tolerance index. Hayati J Biosci. 15 (3): 123-129
Thakar BK, Mishra PC. 2010. Dust collection potential and air pollution tolerance index
of tree vegetation around Vedanta Aluminium Limited, Jharsuguda. Int Q J Life Sci.
3: 603-612.
Tripathi AK, Gautam M. 2007. Biochemical parameters of plants as indicators of air
pollution. J Environ Biol. 28: 127-132.
Udayana C. 2004. Toleransi spesies pohon tepi jalan terhadap pencemaran udara di
simpang susun Jakarta (Jakarta Interchange) Cawang, Jakarta Timur [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor. 94 hlm.
Wuytack T, Wuyts K, Dongen SV, Baeten L, Kardel F, Veryehen K, Samson R. 2011.
The effect of air pollution and other environmental stressors on leaf fluctuating
asymmetry and specific leaf area of Salix alba L. Environ Pollut. 159(2011): 24052411.
Wen D, Kuang Y, Zhou G. 2004. Sensitivity analyses of woody species exposed to air
pollution based on ecophysiological measurements. Environ Sci Pollution Research.
11: 165-170.
Weryszko-Chmielewska E, Hwil M. 2005. Lead induced histological and ultrastructural
changes in the leaves of soybean (Glycine max L. Merr). Soil Sci Plant Nutri. 51:
203-212.
Wilmer CM. 1986. Stomata. London: Longman. 166 hlm.

15

Yan-Ju L, Hui D. 2008. Variation in air pollution tolerance index of plant near a steel
factory; implication for landscape- plant species selection for industrial areas.
Environ Dev. 1(4): 24-30.

Anda mungkin juga menyukai