Anda di halaman 1dari 19

BAB 2.

PENYEMBUHAN LUKA (WOUND HEALING): NORMAL DAN ABNORMAL


GEOFFREY C. GURTNER

RESPON TERHADAP CEDERA


Apakah yang dimaksud dengan penyembuhan luka (wound healing)? Definisinya dapat
mencakup perbaikan atau pemulihan dari cacat pada suatu organ atau jaringan, biasanya kulit.
Namun, jelas bahwa proses perlukaan/cedera mengaktifkan proses-proses sistemik yang
mengubah fisiologi tubuh jauh melampaui batas-batas defek itu sendiri. Kaskade inflamasi yang
terjadi berdampak pada hampir semua organ tubuh dan menimbulkan akibat yang berpotensi
membahayakan kelangsungan hidup, seperti yang terjadi pada kegagalan organ-organ
multisistem. Selain itu, penelitian terbaru yang melibatkan peran sel-sel stem dan progenitor
dalam proses penyembuhan luka membutuhkan perspektif yang lebih luas daripada sekedar yang
hanya berfokus pada defek itu saja. Penyembuhan luka paling baik dipahami sebagai suatu
respon global organisme terhadap cedera yang terjadi, terlepas dari apakah lokasinya di kulit,
hati, atau jantung. Dilihat dari perspektif ini, tidak berlebihan jika menganggap respon terhadap
cedera sebagai salah satu proses fisiologis yang paling kompleks yang terjadi dalam kehidupan.
Kompleksitas proses ini ditunjukkan dalam penyembuhan luka pada kulit. Selama
perkembangan dari cedera traumatik menjadi skar/bekas luka yang stabil, sistem pembekuan
intrinsik dan ekstrinsik menjadi teraktivasi, terjadi pula respon inflamasi akut dan kronis, proses
neovaskularisasi melalui angiogenesis dan vasculogenesis, sel-sel berproliferasi, membelah, dan
mengalami apoptosis, dan matriks ekstraseluler disimpan dan di-remodelling. Peristiwa-peristiwa
ini (serta peristiwa lain) terjadi secara simultan/bersamaan, serta berinteraksi dan saling
berpengaruh satu sama lain secara dinamis dan berkesinambungan pada tingkat transkripsi gen
dan translasi protein. Pada puncak proses tersebut, normalnya jaringan steril akan berinteraksi
dengan bakteri dan elemen-elemen lainnya dari lingkungan eksternal dalm sebuah cara yang
tidak akan pernah terjadi kecuali setelah terjadi cedera. Tidak mengherankan jika penyembuhan
luka dan respon terhadap cedera masih kurang dipahami oleh para ilmuwan dan dokter, kecuali
pada tingkat yang murni deskriptif atau empirik. Jumlah produk-produk secara komersial

yang tersedia yang belum terbukti kemanjurannya merupakan bukti kekurangpahaman


terkait mekanisme mengenai masalah pembedahan yang paling umum ini (lihat bab 3).
Kebanyakan textbook tentang penyembuhan luka merupakan katalog ensiklopedi tentang
fenomenologi penyembuhan luka. Berbagai textbook tersebut membuat banyak daftar sitokin
dan faktor pertumbuhan yang diamati selama penyembuhan luka, biasanya didasarkan pada data
eksperimen, atau di dalam sistem in vitro yang rentan terhadap artefak. Dengan meningkatnya
sentsitivitas teknologi baru seperti quantitative polymerase chain reaction (Q-PCR), daftar-daftar
sitokin, faktor pertumbuhan, kemokin, dan sejenisnya yang muncul selama penyembuhan luka
terus bertambah.
Bagaimana kita bisa memahami banyaknya data ini sehingga kita dapat mengintervensi
dan memprediksi atau mengubah hasil dari penyembuhan luka/respon terhadap cedera? Dalam
bab ini, diusulkan kerangka teori untuk mengklasifikasikan penyembuhan luka. Dijelaskan
tentang transisi biologis yang luas yang terjadi selama penyembuhan luka kulit (yaitu, fase
inflamasi, fase proliferasi, tahap remodeling). Sebuah daftar berisi "faktor-faktor" utama
dijabarkan tapi tidak dibahas secara rinci karena masih belum jelas, dimana faktor-faktor ini
merupakan kepentingan utama atau insidentil baik dalam penyembuhan luka fungsional atau
abnormal. Di bagian akhir, diberikan pembahasan/diskusi tentang penyembuhan abnormal luka
pada manusia dalam konteks teoritis yang diusulkan. Untuk daftar yang lebih rinci tentang
peristiwa yang terjadi dalam berbagai penyembuhan luka, pembaca sebaiknya merujuk pada
sejumlah bahasan terbaru. Selain itu, pembaca juga dianjurkan untuk melihat bahasan dalam
Medline (www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/quercy.fcgi) dan mencari bahasan terbaru tentang
penyembuhan luka untuk memperoleh informasi yang terkini.
Pembentukan Scar versus Regenerasi Jaringan
Penyembuhan luka merupakan topik yang luas dan kompleks yang mencakup berbagai
respon terhadap cedera dalam berbagai sistem organ yang berbeda. Umumnya, penyembuhan
luka merupakan respon dari suatu organisme terhadap gangguan fisik dari jaringan/organ untuk
kembali membangun homeostasis dari jaringan/organ dan untuk menstabilkan fisiologi
keseluruhan pada suatu organisme. Pada dasarnya ada dua proses dimana pembentukan kembali
homeostasis in terjadi. Yang pertama adalah substitusi dari matriks seluler yang berbeda sebagai
jalur untuk segera membangun kembali baik kontinuitas fisik dan fisiologis pada organ yang

terluka. Ini merupakan proses pembentukan bekas luka. Proses kedua adalah gabungan akhir
(rekapitulasi) dari proses perkembangan yang awalnya menyebabkan organ menjadi cedera.
Dengan mengaktifkan kembali jalur perkembangan dibentuk kembali arsitektur organ yang asli.
Ini adalah proses regenerasi.
Keseimbangan dinamis antara jaringan parut dan regenerasi jaringan berbeda pada setiap
jaringan dan organ (Gambar 2.1). Misalnya, cedera saraf ditandai dengan sedikitnya regenerasi
dan banyaknya jaringan parut, sedangkan cedera hepar dan cedera tulang biasanya sembuh
terutama melalui regenerasi. Penting untuk dicatat, bahwa hepar dapat merespon cedera dengan
jaringan parut seperti halnya dalam menanggapi paparan berulang terhadap alkohol selama
proses sirosis hati. Selain itu, cedera yang sama pada spesies filogenetis terkait dapat
menimbulkan respon yang sangat berbeda. Sehingga, amputasi pada bagian tubuh kadal air akan
menimbulkan regenerasi terhadap bagian tubuh yang diamputasi tadi, sedangkan pada manusia,
jika amputasi tersebut dilakukan, maka hanya akan timbul jaringan parut (scar).

Gambar 2.1. Respon organisme dan sistem organ yang berbeda terhadap cedera. Pembentukan
jaringan parut (scar) merujuk pada pembentukan defek dengan jaringan yang berbeda atau
dimodifikasi (yaitu jaringan parut). Regenerasi jaringan merujuk pada pembentukan ulang
lengkap dari suatu arsitektur jaringan aslinya. Kebanyakan proses penyembuhan luka melibatkan
keduanya, namun biasanya salah satu mendominasi dan menjadi sumber timbulnya efek yang
tidak diinginkan. Untuk luka di kulit, pembentukan jaringan parut biasanya mendominasi
(kecuali pada situasi penyembuhan luka tertentu pada fetus) dan menjadi sumber banyaknya
masalah dalam hal bedah plastik.

Penting untuk disadari bahwa keseimbangan antara pembentukan jaringan parut dan
regenerasi cenderung bergantung pada tekanan evolusioner dan pada kenyataannya, mungkin
dapat berfungsi. Dengan demikian, cedera kulit pada nenek moyang prasejarah kita akan

mengganggu homeostasis mereka sehubungan dengan termoregulasi, blood loss, dan yang paling
penting, pencegahan infeksi secara invasif. Pada era sebelum dikembangkan antibiotik dan
sterilitas, infeksi invasif jelas merupakan ancaman terhadap nyawa seseorang. Dengan demikian,
penanganan luka inflamasi untuk menutup luka secepat mungkin sangat berguna (respon
adaptif). Namun, dalam dunia modern, respon-respon adaptif ini sering menimbulkan disfigurasi
dan disabilitas fungsional pada scar bekas luka bakar. Yang tadinya merupakan respon
fungsional malah menjadi respon yang tidak diinginkan, sebagian dikarenakan kemampuan kita
untuk menutup luka dengan jahitan, tidak membutuhkan respon kontraktil kuat setelah
pembentukan luka.
Dengan cara yang sama pembentukan bekas luka tidak selalu buruk, regenerasi jaringan
juga tidak selalu baik. Neuroma dan disfungsi saraf perifer dan beberapa upaya regenerasi sistem
organ menimbulkan kondisi yang mengancam organisme. Dalam kasus ini, pembentukan
jaringan parut lebih baik. Memang, ukuran-ukuran ablatif yang digunakan dalam mengobati
neuroma ini merupakan upaya untuk mencegah regenerasi lanjut.
Saat menganalisis respon yang tidak diinginkan atau disfungsional terhadap cedera pada
sistem jaringan atau organ, sangat berguna untuk mempertimbangkan (a) apa yang tidak
diinginkan dari respon terhadap cedera dan (b) apakah substitusi jaringan baru (bekas luka) atau
regenerasi jaringan yang sudah ada sebelumnya yang menyebabkan efek yang tidak diinginkan
ini. Penting untuk mempertimbangkan kemungkinan peran adaptif yang ada bahwa proses
disfungsional bisa saja terjadi.
Analisis seperti ini menunjukkan strategi untuk memperbaiki hasil akhir yang tidak
diinginkan pada suatu jaringan atau organ tertentu. Jika masalahnya adalah pembentukan
jaringan parut yang berlebihan, maka langkah-langkah untuk mengurangi jaringan parut akan
sangat membantu. Namun, karena keseimbangan ini merupakan suatu yang dinamis, upaya untuk
mempercepat regenerasi juga mungkin efektif. Mungkin bahkan lebih baik lagi jika terjadi
penurunan dalam pembentukan parut dan peningkatan regenerasi jaringan secara bersamaan. Hal
ini jelas bahwa respon terhadap cedera pada jaringan yang berbeda melibatkan proporsi
pembentukan bekas luka dan regenerasi jaringan yang berbeda.
Dengan memahami perbedaan pendekatan yang dijelaskan di atas, kita mulai mengerti
mengapa berbagai organ dan jaringan merespon cedera dengan cara yang sangat berbeda. Sama
seperti ulkus kornea, infark miokard, dan nyeri stadium IV memiliki dampak fungsional yang

berbeda bagi organisme, keseimbangan dinamis jaringan parut dan regenerasi akan berbeda
dalam upaya untuk membangun kembali homeostasis. Kegagalan baik dalam pembentukan
bekas luka atau regenerasi dapat menimbulkan masalah klinis serupa namun dengan etiologi
yang sangat berbeda. Semoga saja, jenis analisis ini akan mengarah pada pendekatan yang lebih
terorganisir dengan klasifikasi dan pengobatan cedera dalam berbagai sistem organ yang
berbeda. Yang paling penting, mungkin adalah rekomendasi strategi untuk intervensi agar
mengoptimalkan respon cedera dan mencegah gejala sisa (sequele) yang tidak diinginkan dari
suatu proses penyembuhan luka.
PENGERTIAN PENYEMBUHAN LUKA (WOUND HEALING)
Tata nama baik penelitian ilmiah maupun klinis dari penyembuhan luka dinilai tidak tepat
dan membingungkan. Sebagai contoh, apakah perbedaan antara sebuah luka kronis dan sebuah
luka yang tidak mengalami penyembuhan? Untuk kepentingan dalam bab ini, beberapa istilah
tetap ditetapkan. Mayoritas luas dari luka pembedahan adalah luka-luka insisional yang
diperkirakan melalui jahitan-jahitan atau pelekatan-pelekatan dan ketiadaan komplikasi akan
sembuh secara primer atau melalui jalur primer (primary intention). Secara umum, luka-luka
semacam itu sembuh dengan bekas luka dan tidak membutuhkan perawatan luka khusus atau
keterlibatan seorang ahli penyembuhan luka. Hal ini sangat berkebalikan dengan luka-luka yang
tidak diperkirakan (untuk alas an apapun) dan jaringan rusak yang timbul setelahnya terisi
dengan jaringan granulasi dan kemudian mengalami re-epitelisasi. Hal ini mengacu pada
penyembuhan melalui jalur sekunder (secondary intention) dan umumnya menghasilkan adanya
keterlambatan munculnya luka yang sembuh atau tertutup. Seringkali luka semacam ini
memerlukan dressing dan penatalaksanaan yang khusus (dibahas secara detail pada Bab 3) dan
memiliki kecenderungan yang lebih tinggi berkembang menjadi luka kronis. Pembahasan
mengenai penyembuhan luka yang normal selanjutnya membahas penyembuhan melalui jalur
sekunder, meskipun fase-fase yang sama terlihat pada semua jenis luka.
Luka akut (acute wound) adalah sebuah luka yang timbul dalam jangka waktu 3 sampai 4
minggu. Jika luka tersebut bertahan hingga 4 sampai 6 minggu maka disebut sebagai luka kronis
(chronic wound), sebuah istilah yang juga mencakup terhadap luka-luka yang ada selama
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Luka yang tidak mengalami penyembuhan (nonhealing
wound) atau luka dengan penyembuhan lambat (delayed healing wounds) adalah istilah-istilah

yang digunakan dengan dapat dipertukarkan untuk menjelaskan luka kronis. Selain itu, luka
kronis sering juga dikenal sebagai sebuah granulasi (lihat pembahasan mengenai proliferative
pada Tabel 3.3) dan merupakan suatu tanda yang menunjukkan bahwa luka tersebut mengalami
perkembangan, sekalipun berjalan lambat.
FASE-FASE PENYEMBUHAN LUKA NORMAL
Mamalia normal memberikan respon terhadap putusnya integritas kerusakan kulit yang
terjadi dalam tiga fase yang saling tumpang tindih, tetapi secara biologis jelas berbeda (Gambar
2.2). Setelah terjadi jejas awal, terjadi sebuah fase inflamasi awal dengan maksud
menghilangkan jaringan-jaringan yang mati dan mencegah infeksi yang invasif. Selanjutnya,
terjadi fase proliferative selama ada keseimbangan antara pembentukan bekas luka (scar) dan
regenerasi jaringan. Biasanya, pembentukan bekas luka lebih mendominasi, meskipun pada
penyembuhan luka janin sejumlah regenerasi yang mengesankan dapat mungkin terjadi.
Akhirnya, fase yang paling lama dan paling sedikit dimengerti pada penyembuhan luka, fase
remodeling, yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural dari
luka.

Gambar 2.2. Tiga fase penyembuhan luka (fase inflamasi, proliferasi, remodeling), waktu
terjadinya fase-fase ini pada penyembuhan luka kulit orang dewasa, dan sel-sel khas yang
tampak pada saat penyembuhan luka pada waktu-waktu tersebut.
Fase Inflamasi

Fase inflamasi (peradangan) (gambar 2.3) penyembuhan luka dimulai segera setelah
terjadi jejas jaringan. Prioritas fungsional mati dan mematikan jaringan, serta pencegahan
kolonisasi dan infeksi invasif oleh pathogen mikrobial, terutama bakteria.
Pada awalnya, komponen-komponen dari jaringan yang terluka, termasuk fibrillar
collagen dan factor jaringan, bertindak mengaktivasi kaskade pembekuan ekstrinsik dan
mencegah pendarahan lebih lanjut. Pembuluh darah yang terganggu memungkinkan elemen
darah memasuki bagian luka, serta platelet menggumpal dan membentuk agregasi untuk
menyumbat pembuluh-pembuluh darah yang rusak. Selama proses ini berlangsung, platelet
mengalami degranulasi, melepaskan growth factor seperti platelet-derived growth factor (PDGF)
dan transforming growth factor- (TGF-). Hasil akhir dari jalur kaskade pembekuan intrinsic
dan ekstrinsik ini adalah perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan polimerisasi selanjutnya
menjadi gel.

Gambar 2.3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka dimulai segera setelah cedera jaringan
untuk memperoleh hemotasis, mengangkat jaringan yang terluka, dan mencegah infeksi invasif
oleh mikorba patogenik.
Matriks fibrin sementara ini menghasilkan perancahan migrasi sel yang diperlukan bagi
fase-fase penyembuhan luka selanjutnya. Penghilangan matriks fibrin sementara ini akan
mengganggu penyembuhan luka.
Secara hamper bersamaan, sel-sel inflamasi ditarik ke tempat terjadinya luka. Selama
tahap-tahap awal penyembuhan luka, sel-sel inflamasi ditarik melalui aktivasi jalur komplemen
(C5a), TGF- yang dilepaskan oleh platelet dreganulasi, dan produk dari degradasi bakteri
seperti lipopolisakarida (LPS). Dalam 2 hari pertama setelah perlukaan, terdapat infiltrasi
neutrofilik ke dalam matriks fibrin mengisi kavitas dari luka. Peranan utama sel-sel ini adalah

menghilangkan jaringan yang telah mati melalui fagositosis dan untuk mencegah infeksi oleh
oxygen-dependent-serta

oxygen-independent

killing

mechanisms.

Sel-sel

tersebut

juga

melepaskan sejumlah protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang masih ada demi
membuat luka siap bagi proses penyembuhan. Penting untuk disadari bahwa meskipun neutrofil
berperan menurunkan infeksi selama proses penyembuhan luka, ketiadaannya tidak mencegah
perkembangan keseluruhan dari penyembuhan luka. Meskipun demikian, keberadaannya yang
lebih lama dalam luka dianggap sebagai suatu faktor primer perubahan luka akut menjadi luka
kronis yang tidak mengalami penyembuhan.
Monosit/makrofag mengikuti neutrofil menuju luka dan muncul 48 sampai 72 jam setelah
terjadi jejas. Mereka ditarik secara primer menuju luka yang sedang mengalami penyembuhan
melalui ekspresi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Monosit/makrofag merupakan
sel-sel pengatur yang menjadi kunci bagi tahap ini dan tahap- tahap selanjutnya dari perbaikan
luka. Makrofag jaringan berasal dari sirkulasi, dimana mereka dikenal sebagai monosit, dan
mengubah fenotip mereka mengikuti jalan keluarnya menuju jaringan. Pada hari ketiga setelah
terjadinya luka, sel-sel ini merupakan tipe sel yang predominan pada luka yang mengalami
penyembuhan. Makrofag memfagosit debris dan bakteri, tapi terutama bersifat kritis untuk
produksi faktor-faktor pertumbuhan secara teratur yang sangat diperlukan bagi produksi matriks
ekstraseluler oleh fibroblast serta produksi pembuluh darah baru pada luka yang mengalami
penyembuhan. Tabel 2.1 menunjukkan hanya sebagian daftar-daftar kemokin, sitokin, dan faktorfaktor pertumbuhan yang ada pada luka yang mengalami penyembuhan, sebagaimana daftar
tersebut berkembang setiap hari. Fungsi pasti dari masing-masing factor tersebut diketahui secara
terpisah-pisah (tidak lengkap), dan literatur yang dipakai berisi data-data yang bertentangan.
Meskipun demikian, dengan jelas diketahui bahwa, tidak seperti neutrofil, ketiadaan
monosit/makrofag menimbulkan berbagai konsekuensi berat bagi luka yang sedang
mengalami penyembuhan.
Tabel 2.1. Growth Factors, Sitokin, dan Molekul Lainnya yang Aktif secara Biologis Pada
Penyembuhan Luka
Nama
Vascular
endothelial

Singkatan
VEGF

Sumber
Sel endotel

Deskripsi
Memicu angiogenesis

growth factor
Fibroblast

FGF-2

Makrofag, sel

Memicu angiogenesis. Menstimulasi

mast, sel endotel,

migrasi dan pertumbuhan sel endotel

limfosit T

Memicu epitelisasi lewat keratinosit

Platelet,

dan migrasi fibrobas dan proliferasi


Merangsang sintesis proteoglikan dan

growth factor

makrofag, sel

kolagen

Keratinocyte

endotel
Fibroblas

Merekrut makrofag dan fibroblas


Mengontrol pertumbuhan dan maturasi

growth factor 2

Platelet-derived

PDGF

KGF

growth factor

keratinosit
Menginduksi sekresi epitel dan growth

Epidermal

EGF

factor lainnya
Platelet, makrofag Menstimulasi sekresi kolagen melalui

growth factor

fibroblas sampai me-remodeling

Transforming

Platelet,

matriks
Memicu angiogenesis

makrofag, sel T

Membentuk chemoattracttant gradient,

dan B, hepatosit,

menginduksi adhesi ekspresi molekul,

timosit, plasenta

dan memicu molekul proinflamasi yang

TGF-

growth factor-

menstimulasi migrasi leukosit dan


Tumor necrosis

TNF-

factor-

Makrofag, sel T

fibroblas
Menginduksi sintesis kolagen dalam

dan B, NK-cell

luka
Mengatur leukosit PMN dan

Sel stroma,

sitotoksisitas
Menstimulasi proliferasi, ketahanan

colony-

fibroblas, sel

hidup, maturasi, dan aktivasi granulosit

stimulating

endotel, limfosit

Menginduksi granulopoiesis

Makrofag, sel

Menstimulasi proliferasi, ketahanan

stroma, fibroblas,

hidup, maturasi, dan aktivasi granulosit

sel endotel,

serta makrofag

limfosit
Makrofag, sel B

Menginduksi granulopoiesis
Mengaktivasi makrofag; menghambat

Granulocyte

factor
Granulocytemacrophage
colonystimulating
factor
Interferon-

G-CSF

GM-CSF

IFN-

Interleukin -1

Interleukin-4

Interleukin-8

Endothelial nitric
oxide
synthase
Inducible nitric
oxide
synthase

IL-1

IL-4

IL-8

eNOS
iNOS

dan T, fibroblas,

proliferasi fibroblas

sel epitel
Makrofag,

Peptida proinflamasi

keratinosit,

Menginduksi kemotaksis leukosit

fibroblas, sel

PMN, fibroblas dan keratinosit

endotel, limfosit,

Mengaktivasi leukosit PMN

osteoblas
Sel T, basofil, sel

Mengaktivasi proliferasi fibroblas

mast, sel stroma

Menginduksi sintesis kolagen dan

sumsum tulang
Monosit,

proteoglikan
Mengaktivasi leukosit PMN dan

neutrofil,

makrofag untuk mulai kemotaksis

fibroblas, sel

Menginduksi merginasi dan maturasi

endotel,

keratinosit

keratinosit, sel T
Sel endotel,

Mensintesis oksida nitrit pada sel

neuron

endotel

Neutrofil, sel

Mensintesis oksida nitrit melalui

endotel

makrofag dan keratinosit basal

Limfosit adalah sel terakhir yang memasuki daerah luka, masuk pada hari ke 5 hingga 7
setelah terjadi luka. Perannya dalam penyembuhan luka belum dapat didefinisikan dengan pasti,
meskipun diperkirakan bahwa populasi sel-sel CD4 stimulatori dan CD8 inhibitori dapat
membawa masuk atau keluar dari fase proliferatif lanjutan pada penyembuhan luka. Dengan cara
yang sama, sel mast muncul pada bagian akhir dari fase inflamasi, tetapi, lagi-lagi, fungsinya
masih belum jelas. Baru-baru ini, hal ini menjadi area pemeriksaan penelitian yang intensif
dikarenakan hubungan antara sel-sel mast dan beberapa bentuk parut yang tidak biasa.
Ada kemungkinan bahwa faktor-faktor yang dapat larut dilepaskan dalam sebuah pola
yang klise yang mendasari fenomena ini. Sumber dari faktor-faktor tersebut, regulator-regulator
hulu pada produksinya dan konsekuensi hilir pada aktivitasnya, merupakan sebuah topik yang
rumit dan subyek dari penelitian yang sedang berlangsung secara intensif. Lagi-lagi, Tabel 2.1
menyajikan sebagian daftar dari faktor-faktor pertumbuhan yang diperkirakan berperan penting

selama penyembuhan luka. Semua itu adalah target-target perkembangan terapeutik untuk
meningkatkan atau menghambat aksi-aksi mereka dan juga mempercepat penyembuhan luka
atau menurunkan pembentukan parut. Meskipun demikian, relevansi biologis dari faktor apapun
dalam isolasi masih belum jelas.
Fase Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka secara umum disepakati terjadi dari hari ke-4 sampai
ke-21 setelah cedera. Namun, fase penyembuhan luka terjadi secara tumpang tindih. Aspek
tertentu dari fase proliferatif, seperti re-epitelisasi, dapat mulai terjadi segera setelah terjadi
cidera. Keratinosit yang berdekatan dengan daerah luka mengubah fenotipe mereka dalam
beberapa jam setelah cedera. Regresi dari hubungan desmosom antara keratinosit dan membran
basal yang mendasari membebaskan sel-sel dan memungkinkan sel-sel tersebut untuk
bermigrasi. Bersamaan dengan proses ini, terjadi pembentukan filament aktin dalam sitoplasma
keratinosit, yang memungkinkan sel-sel untuk secara aktif bermigrasi ke dalam luka. Keratinosit
kemudian bergerak melalui interaksi dengan matriks protein ekstraseluler (seperti fibronektin,
vitronectin, dan kolagen tipe I) melalui mediator integrin spesifik sebagaimana keratinosit
tersebut terus bergerak antara eschar kering dan matriks fibrin sementara di bawahnya (Gambar
2.4).

Gambar 2.4. Fase proliferasi penyembuhan luka terjadi dari hari ke-4 sampai 21 setelah
mengalami cedera. Selama fase ini, jaringan granulasi mengisi luka dan keratinosit bermigrasi
untuk mempertahankan kontinuitas epitel.
Matriks fibrin sementara secara bertahap diganti dengan platform baru untuk migrasi:
jaringan granulasi. Jaringan granulasi terdiri dari tiga jenis sel yang memiliki peran penting dan

independen dalam pembentukan jaringan granulasi: fibroblas, makrofag, dan sel endotel. Sel-sel
ini membentuk matriks ekstraseluler dan pembuluh darah baru, yang secara histologist
merupakan komposisi dari jaringan granulasi.Jaringan granulasi mulai muncul pada luka kirakira 4 hari setelah terjadi cidera. Fibroblast berperanan penting selama proses ini dan fibroblast
menghasilkan matriks ekstraseluler yang mengisi bekas luka yang mengalami penyembuhan dan
menyediakan platform untuk migrasi keratinosit. Akhirnya matriks ini akan menjadi komponen
yang paling terlihat dari bekas luka kulit. Makrofag terus menghasilkan factor pertumbuhan
seperti PDGF dan TGF-1 yang mendorong fibroblast untuk berproliferasi, bermigrasi, dan
untuk menyimpan matriks ekstraseluler, serta merangsang sel-sel endotel untuk membentuk
pembuluh darah baru. Seiring waktu, matriks fibrin sementara digantikan dengan kolagen tipe
III, yang akan, pada gilirannya, akan digantikan oleh kolagen tipe I selama fase remodeling.
Sel endotel merupakan komponen penting dari jaringan granulasi dan membentuk
pembuluh darah baru melalui angiogenesis dan proses vasculogenesis, yang melibatkan
perekrutan dan perakitan sel progenitor yang berasal dari sumsum tulang. Faktor proangiogenik
yang dilepaskan oleh makrofag termasuk factor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), factor
pertumbuhan fibroblast (FGF)-2, angiopoiten-1,dan thrombospondin. Aktivator awal yang
mengakibatkan transkripsi gen yang menghasilkan factor pertumbuhan dapat berupa keadaan
hipoksia melalui stabilisasi protein HIF-1.
Peranan dari faktor-faktor pertumbuhan pembuluh darah yang berbeda-beda tersebut serta
waktu munculnya dan menghilangnya, masih dalam penelitian yang lebih lanjut. Namun, sudah
jelas bahwa pembentukan pembuluh darah baru dan kelangsungan hidup jaringan granulasi
selanjutnya merupakan proses yang penting untuk penyembuhan luka selama fase proliferatif
penyembuhan luka. Memblokade proses ini dengan inhibitor angiogenesis mengganggu
penyembuhan luka eksisi dan dapat diperbaiki dengan pemberian factor pertumbuhan seperti
VEGF.
Salah satu elemen yang menarik dari fase proliferasi penyembuhan luka adalah bahwa
pada titik tertentu semua proses ini perlu dihentikan dan pembentukan jaringan granulasi/matriks
ekstraseluler perlu dihambat. Jelas bahwa proses ini adalah proses yang terregulasi karena sekali
matriks kolagen telah mengisi kavitas luka, fibroblast dengan cepat menghilang dan pembuluh
darah yang baru terbentuk mengalami regresi, sehingga menghasilkan bekas luka yang relatif
aselular pada kondisi normal. Jadi bagaimana proses-proses ini bias berhenti? Tampaknya

peristiwa ini telah deprogram dan terjadi melalui suatu proses menghancurkan diri (selfdestruction) secara bertahap yang disebut sebagai apoptosis. Sinyal yang mengaktifkan program
ini belum diketahui, tetapi harus melibatkan factor lingkungan serta sinyal molekular. Karena
disregulasi dari proses ini diyakini mendasari patofisiologi gangguan fibrotic seperti jaringan
parut hipertrofik (hypertrophic scar) dan memahami sinyal untuk menghentikan fase
proliferative ini jelas sangat penting untuk mengembangkan terapi baru untuk kondisi gangguan
fibrotik yang mengganggu tersebut.
Tahap Remodeling
Taha premodeling adalah fase terlama dari penyembuhan luka dan pada manusia diyakini
berlangsung dari hari ke-21 hari sampai 1 tahun setelah terjadi cidera. Setelah luka telah "diisi"
dengan jaringan granulasi dan setelah migrasi keratinosit mere-epitelisasi luka, proses
remodeling luka terjadi. Sekali lagi, proses-proses ini saling tumpang tindih, dan fase remodeling
kemungkinan dimulai bersamaan dengan regresi terprogram dari pembuluh darah dan jaringan
granulasi seperti telah dijelaskan di atas. Meskipun durasi panjang dari fase remodeling dan
relevansi yang nyata dengan penampilan luka akhir, fase ini merupakan fase
penyembuhan luka yang paling belum dimengerti.
Pada manusia, remodeling ditandai dengan terjadinya kedua proses kontraksi luka dan
remodeling kolagen (Gambar 2.5). Proses kontraksi luka dihasilkan oleh myofibroblast luka,
yang merupakan fibroblast dengan mikrofilamen aktin intraseluler yang mampu membangkitkan
tenaga dan kontraksi matriks.

Gambar 2.5. Fase remodeling penyembuhan luka merupakan fase yang paling lama dan
berlangsung dari hari ke-21 sampai 1 tahun setelah cedera. Remodeling, meskipun masih sangat
kurang dimengerti, dicirikan dengan adanya proses luka.
Masih belum jelas apakah myofibroblas adalah sel terpisah dari fibroblast atau apakah
semua fibroblast mempertahankan kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi myofibroblas pada
kondisi lingkungan yang tepat. Myofibroblas berlekatan dengan luka melalui interaksi integrin
spesifik dengan matriks kolagen.
Remodeling kolagen juga merupakan karakteristik dari fase ini. Kolagen tipe III pada
awalnya dihasilkan oleh fibroblast selama fase proliferasi, tapi selama beberapa bulan ke depan
kolagen tersebut akan digantikan oleh kolagen tipe I. Degradasi perlahan kolagen tipe III
dimediasi melalui matriks metalloproteinase yang disekresikan oleh makrofag, fibroblas, dan sel
endotel. Kekuatan untuk menghentikan dari penyembuhan luka meningkatkan perlahan selama
proses ini, mencerminkan pergantian subtype kolagen dan peningkatan persilangan kolagen.
Pada 3 minggu, awal tahap remodeling dimulai, suatu luka hanya memiliki sekitar 20% dari
kekuatan kulit yang tidak terluka, dan pada akhirnya akan hanya memiliki 70% dari kekuatan
kulit yang tidak terluka.
RESPON ABNORMAL TERHADAP CEDERA DAN PROSES PENYEMBUHAN LUKA
YANG ABNORMAL
Penyebutan berbagai respon tubuh terhadap cedera yang terjadi pada berbagai jaringan
tubuh dengan istilah penyembuhan luka (wound healing) saja nampaknya masih terlalu
sederhana. Naif adanya untuk mengklasifikasikan seluruh manifestasi dari berbagai abnormalitas
yang terjadi dalam proses ini ke dalam penyembuhan luka yang abnormal (abnormal wound
healing). Guna mengklasifikasikan berbagai macam jenis penyembuhan luka yang abnormal
dengan lebih akurat, klinisi perlu mempertimbangkan adanya upaya tubuh untuk mengganti
berbagai kerusakan yang terjadi pada jaringan dengan jaringan pengganti yang baru
(pembentukan scar) terhadap pembentukan kembali jaringan semula secara in situ (regenerasi)
seperti yang digambarkan dalam Gambar 2.1. Selain itu, akan dapat membantu ketika telah
ditentukan pada fase penyembuhan luka normal yang manakah yang mengalami masalah. Hal
tersebut bertujuan guna mengetahui dan memahami setiap proses abnormal yang dapat terjadi
dalam keseimbangan dinamis jaringan dan untuk membantu dalam memutuskan strategi terapik

manakah yang dapat digunakan untuk mengembalikan homeostasis sebelumnya. Proses-proses


tersebut bukan semata-mata teori saja, tetapi memang memiliki implikasi terapeutik yang
potensial. Meskipun kasus ulkus kornea, neuroma perifer, dan ulkus dekubitus stadium IV samasama menjadi contoh dari kondisi penyembuhan luka yang abnormal, tetapi terapi masingmasing kasus tersebut akan berbeda satu sama lain, sesuai dengan mekanisme-mekanisme yang
menyebabkan abnormalitas tersebut. Misal, pada kasus ulkus kornea yang dijumpai terjadinya
defek dalam regenerasi epitelial, terapi berupa pemberian faktor pertumbuhan (growth factor)
yang dapat merangsang terjadinya regenerasi jaringan akan dapat memberikan hasil yang baik.
Tetapi, terapi tersebut tidak akan masuk akal apabila diberikan pada defek yang terjadi pada
kasus neuroma perifer. Terapi pada kasus neuroma yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
regenerasi saraf akan dapat lebih diterima. Pada paragraf-paragraf berikut, berbagai tipe
penyembuhan luka abnormal akan diklasifikasikan ke dalam berbagai kelompok berdasarkan
aspek keseimbangan dinamis antara pembentukan scar dan regenerasi yang terjadi. Berbagai
analisis yang disertakan diharapkan dapat membentangkan dan mengklarifikasi berbagai
modalitas terapeutik baru yang menargetkan modifikasi terhadap satu atau lebih komponen
penyembuhan luka, sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2.1.

Regenerasi yang Tidak Adekuat Melatarbelakangi Terjadinya Respon Abnormal terhadap


Cedera
Contoh klasik akan terjadinya regenerasi yang tidak adekuat dapat dijumpai pada kasus
cedera pada sistem saraf pusat (SSP). Biasanya respon terhadap cedera yang terjadi pada kasus
ini berupa tidak dijumpainya adanya restorasi atau perbaikan fungsional jaringan saraf.
Ketiadaan regenerasi neural biasanya akan dikompensasi dengan proses fisiologis normal berupa
penggantian jaringan yang rusak dengan jaringan scar, walaupun pada sebagian kasus proses ini
berlangsung dengan tidak berlebihan. Meskipun telah diupayakan berbagai cara untuk
menurunkan pembentukan scar yang terjadi, nampaknya upaya tersebut akan menjadi tidak
efektif sepanjang tidak dijumpai terjadinya regenerasi saraf. Dari sini, berbagai upaya terkini
dipusatkan untuk meningkatkan terjadinya regenerasi berbagai komponen SSP, diantaranya
termasuk: penggunaan implanted neural stem/sel-sel progenitor dan penggunaan developmental
morphogens untuk menginduksi proses perkembangan jaringan saraf. Berbagai teknik yang

ditujukan untuk mengurangi pembentukan scar juga dapat digunakan karena dapat menjadi
jendela bagi terjadinya regenerasi jaringan saraf, walaupun teknik ini juga tidak sepenuhnya
sukses. Beberapa contoh lain terjadinya regenerasi yang tidak adekuat adalah kasus tidak
menyatunya patahan tulang (bone nonunions) dan ulkus kornea.

Pembentukan Scar yang Tidak Adekuat Melatarbelakangi Terjadinya Respon Abnormal


Terhadap Cedera
Contoh yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah berbagai kasus yang dialami oleh
ahli bedah plastik . Pada kebanyakan kasus, kelainan ini timbul diakibatkan oleh kegagalan
dalam penggantian jaringan yang rusak dengan lapisan scar (pembentukan scar yang tidak
adekuat). Pada berbagai kondisi tersebut, terbentuknya jaringan scar yang stabil akan dapat
mengembalikan integritas kutaneus dengan baik dan mengeliminasi proses patologis yang
terjadi. Regenerasi kulit yang idealnya terjadi, tidak selalu diperlukan dalam menangani kasus ini
asalkan keluaran fungsional sudah tercapai. Berbagai contoh dari kondisi ini, termasuk: ulkus
kaki penderita diabetes, ulkus dekubitus pada sakrum, dan ulkus yang terjadi akibat stasis vena.
Pada berbagai kasus tersebut, terjadinya restorasi integritas kutan yang baik sudah cukup adanya;
berbagai upaya perlu dilakukan guna memahami dan memperbaiki defek dalam pembentukan
scar yang terjadi pada berbagai stadium kasus-kasus tersebut.
Setelah defek dalam pembentukan scar dapat diketahui, strategi terapi mulai dapat
ditentukan secara rasional. Selain itu, hal ini dapat membantu dalam menggolongkan defek
pembentukan scar yang terjadi dan guna mengetahui apakah defek primer yang terjadi berada
dalam fase inflamatorik, proliferatif ataukah remodelling penyembuhan luka. Sebagai contoh,
pada manusia dan hewan uji model diabetes, ulkus diabetikum terjadi akibat adanya defek pada
fase inflamatorik dan proliferatif penyembuhan luka. Berdasarkan hal ini, penatalaksanaan ulkus
diabetikum ditargetkan agar dapat memperbaiki kerusakan-kerusakan tersebut (10). Berlawanan,
kelainan yang terjadi akibat deplesi/kekurangan asupan vitamin C (misal: scurvy) terjadi akibat
adanya crosslinking (pertautan) kolagen-kolagen yang abnormal yang terjadi dalam fase
remodelling dari penyembuhan luka. Penatalaksanaannya tentu diarahkan untuk memperbaiki
kerusakan yang terjadi pada fase tersebut. Walaupun pada penatalaksanaan kedua kasus tersebut

diarahkan untuk memperbaiki defek pembentukan scar yang terjadi, tetapi keduanya memiliki
target terapeutik yang berbeda.

Regenerasi yang Berlebihan Melatarbelakangi Terjadinya Respon Abnormal terhadap


Cedera
Sebenarnya kondisi ini termasuk relatif jarang dijumpai. Pada kondisi ini, regenerasi
jaringan menyebabkan terbentuknya jaringan mangkir/tidak serupa dengan jaringan seblumnya
(absent tissue) yang tidak memiliki kemampuan fungsional untuk berintegrasi dengan sistem
fisiologis tubuh. Seringkali hal ini terjadi pada jaringan saraf perifer, yang mana kadang
regenerasi jaringan saraf perifer dapat menimbulkan terbentuknya neuroma. Contoh lainnya
adalah terjadinya hiperkeratosis yang dijumpai pada kasus psoriasis kutan atau pembentukan
polip adenomatosa pada kolon. Kami memperkirakan kondisi-kondisi prekanker tersebut
terjadi akibat adanya upaya regenerasi jaringan yang berlebihan yang berlanjut dan
menyebabkan timbulnya kelainan dan pertumbuhan yang tidak teratur dan tidak terkontrol. Pada
kondisi-kondisi ini, pembentukan scar akan memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan regenerasi jaringan yang dapat menyebabkan transformasi jaringan ke arah kanker akibat
hilangnya kontrol terhadap pertumbuhan jaringan pengganti.
Pada penyakit-penyakit ini, penatalaksanaan ditujukan untuk mengurangi proliferasi
seluler dan menghambat atau memperlambat regenerasi jaringan yang menyimpang/abnormal.
Upaya menyuntikkan substansi iritan guna memaksimalkan pembentukan scar juga dapat
memberikan manfaat, yakni melalui penyuntikan alkohol ke dalam neuroma. Hal ini bertujuan
untuk membatasi kemampuan jaringan dalam mengaktivasi berbagai jalur yang menyebabkan
terjadinya regenerasi yang menyimpang. Temuan diatas memberikan suatu pemahaman baru
dimana walaupun berbagai penatalaksanaan ditargetkan agar dapat memaksimalkan regenerasi
jaringan, patut diingat terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pertumbuhan jaringan
yang disfungsional. Selain itu, hal ini juga mengingatkan para klinisi akan perlunya perawatan
dan kontrol yang ketat dalam penatalaksanaan yang menggunakan teknologi terkini, seperti
penggunaan sel-sel progenitor dan stem cells.

Pembentukan Scar yang Berlebihan Menyebabkan Respon Abnormal terhadap Cedera


Ketika kondisi ini terjadi pada kulit, umumnya akan ditatalaksana oleh ahli bedah plastik, tetapi
kondisi ini pun dapat mengenai bagian-bagian tubuh yang lain, misal pada kasus fibrosis
pulmoner dan sirosis hati. Kasus pembentukan scar cutaneous scar yang berlebihan ini terjadi
secara luas pada berbagai ras, sementara mekanisme terjadinya masih belum sepenuhnya dapat
dipahami dan terapi penatalaksanaannya pun masih terbatas. Pembentukan parut yang abnormal
(abnormal scarring) yang terjadi digolongkan ke dalam 2 golongan, yakni: pembentukan parut
hipertropik dan pembentukan keloid. Keduanya merupakan manifestasi klinis dari pembentukan
parut yang berlebihan, meskipun etiologi kondisi-kondisi tersebut dapat berbeda. Pembentukan
keloid lebih jarang terjadi dan biasanya terdapat aspek genetik yang melatarbelakangi sehingga
populasi penderitanya dalam masyarakat terbatas <6% populasi, utamanya populasi bangsa kulit
hitam (black/Negroid) dan Asia. Secara histologisnya, keloid merupakan pertumbuhan yang
berlebihan dari jaringan ikat padat (dense fibrous tissue) yang melebihi batas-batas luka yang
terjadi, berupa akumulasi serat-serat kolagen tebal yang tersusun dari banyak fibril-fibril yang
berdekatan dan ter-packed menjadi satu. Keloid lebih jarang dalam menyebabkan terjadinya
kontraktur disfungsional dibandingkan dengan kasus parut hipertropik yang lebih sering terjadi
pada manusia. Baik etiologi dan patofisiologi terjadinya kedua kondisi ini masih belum
sepenuhnya dapat dipahami. Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan untuk menjawab
bagaimana mekanisme terjadinya kedua kondisi tersebut, diantaranya adalah: mechanical strain,
inflamasi, kolonisasi bakterial, dan foreign-body reaction. Sayangnya investigasi terhadap
mekanisme terjadinya kedua kondisi ini terhambat akibat tidak adanya model hewan uji yang
memiliki karakteristik seperti yang terjadi pada kasus hypertrophic scars. Pada tahun 2004 dalam
review mayor kasus kombusio dan trauma dinyatakan Parut hipertropik masih tetap menjadi
masalah klinis yang besar... pemahaman terhadap patofisiologi dan pengembangan strategi
penatalaksanaan yang efektif dihambat oleh ketiadaan model hewan uji yang cocok (11).
Penghambatan proses pembentukan scar merupakan tujuan utama dari penatalaksanaan dua
kondisi tersebut. Modalitas penatalaksanaan yang digunakan antara lain berupa injeksi steroid,
terapi kompresi dengan menggunakan lembaran silikon, dan iradiasi eksternal. Walaupun
demikian, melalui penggunaan modalitas terapi tersebut masih didapatkan rekurensi yang tinggi
hingga mencapai 75%.

KESIMPULAN
Bab ini menyajikan berbagai kerangka teoritis guna memahami dan mengklasifikasikan respon
normal terhadap cedera yang terjadi pada berbagai jaringan yang berbeda, bahkan pada spesies
yang berbeda. Berbagai respon tersebut dapat dikelompokkan ke dalam penggantian jaringan
yang rusak dengan semacam lapisan tambalan/patch, yang dikenal dengan pembentukan scar
dan penggantian jaringan ke arah perkembangan/duplikasi ke arah arsitektur jaringan
sebelumnya, yang dikenal sebagai regenerasi. Keseimbangan dinamis antara dua proses tersebut
melatarbelakangi terjadinya serangkaian respon abnormal terhadap cedera yang terjadi pada
manusia. Diharapkan dari kerangka teoritis ini dapat dikembangkan berbagai strategi terapeutik
yang dapat mengatasi dan memperbaiki ketidakseimbangan yang terjadi, baik melalui
peningkatan atau penekanan satu komponen ataupun komponen yang lain. Dari sini diharapkan
dapat diwujudkan perkembangan dalam penatalaksanaan dan perawatan pasien yang menderita
respon abnormal atau disfungsional terhadap cedera jaringan yang terjadi pada manusia.

Anda mungkin juga menyukai