Wound Healing Chapter 2 (Grab and Smith)
Wound Healing Chapter 2 (Grab and Smith)
terluka. Ini merupakan proses pembentukan bekas luka. Proses kedua adalah gabungan akhir
(rekapitulasi) dari proses perkembangan yang awalnya menyebabkan organ menjadi cedera.
Dengan mengaktifkan kembali jalur perkembangan dibentuk kembali arsitektur organ yang asli.
Ini adalah proses regenerasi.
Keseimbangan dinamis antara jaringan parut dan regenerasi jaringan berbeda pada setiap
jaringan dan organ (Gambar 2.1). Misalnya, cedera saraf ditandai dengan sedikitnya regenerasi
dan banyaknya jaringan parut, sedangkan cedera hepar dan cedera tulang biasanya sembuh
terutama melalui regenerasi. Penting untuk dicatat, bahwa hepar dapat merespon cedera dengan
jaringan parut seperti halnya dalam menanggapi paparan berulang terhadap alkohol selama
proses sirosis hati. Selain itu, cedera yang sama pada spesies filogenetis terkait dapat
menimbulkan respon yang sangat berbeda. Sehingga, amputasi pada bagian tubuh kadal air akan
menimbulkan regenerasi terhadap bagian tubuh yang diamputasi tadi, sedangkan pada manusia,
jika amputasi tersebut dilakukan, maka hanya akan timbul jaringan parut (scar).
Gambar 2.1. Respon organisme dan sistem organ yang berbeda terhadap cedera. Pembentukan
jaringan parut (scar) merujuk pada pembentukan defek dengan jaringan yang berbeda atau
dimodifikasi (yaitu jaringan parut). Regenerasi jaringan merujuk pada pembentukan ulang
lengkap dari suatu arsitektur jaringan aslinya. Kebanyakan proses penyembuhan luka melibatkan
keduanya, namun biasanya salah satu mendominasi dan menjadi sumber timbulnya efek yang
tidak diinginkan. Untuk luka di kulit, pembentukan jaringan parut biasanya mendominasi
(kecuali pada situasi penyembuhan luka tertentu pada fetus) dan menjadi sumber banyaknya
masalah dalam hal bedah plastik.
Penting untuk disadari bahwa keseimbangan antara pembentukan jaringan parut dan
regenerasi cenderung bergantung pada tekanan evolusioner dan pada kenyataannya, mungkin
dapat berfungsi. Dengan demikian, cedera kulit pada nenek moyang prasejarah kita akan
mengganggu homeostasis mereka sehubungan dengan termoregulasi, blood loss, dan yang paling
penting, pencegahan infeksi secara invasif. Pada era sebelum dikembangkan antibiotik dan
sterilitas, infeksi invasif jelas merupakan ancaman terhadap nyawa seseorang. Dengan demikian,
penanganan luka inflamasi untuk menutup luka secepat mungkin sangat berguna (respon
adaptif). Namun, dalam dunia modern, respon-respon adaptif ini sering menimbulkan disfigurasi
dan disabilitas fungsional pada scar bekas luka bakar. Yang tadinya merupakan respon
fungsional malah menjadi respon yang tidak diinginkan, sebagian dikarenakan kemampuan kita
untuk menutup luka dengan jahitan, tidak membutuhkan respon kontraktil kuat setelah
pembentukan luka.
Dengan cara yang sama pembentukan bekas luka tidak selalu buruk, regenerasi jaringan
juga tidak selalu baik. Neuroma dan disfungsi saraf perifer dan beberapa upaya regenerasi sistem
organ menimbulkan kondisi yang mengancam organisme. Dalam kasus ini, pembentukan
jaringan parut lebih baik. Memang, ukuran-ukuran ablatif yang digunakan dalam mengobati
neuroma ini merupakan upaya untuk mencegah regenerasi lanjut.
Saat menganalisis respon yang tidak diinginkan atau disfungsional terhadap cedera pada
sistem jaringan atau organ, sangat berguna untuk mempertimbangkan (a) apa yang tidak
diinginkan dari respon terhadap cedera dan (b) apakah substitusi jaringan baru (bekas luka) atau
regenerasi jaringan yang sudah ada sebelumnya yang menyebabkan efek yang tidak diinginkan
ini. Penting untuk mempertimbangkan kemungkinan peran adaptif yang ada bahwa proses
disfungsional bisa saja terjadi.
Analisis seperti ini menunjukkan strategi untuk memperbaiki hasil akhir yang tidak
diinginkan pada suatu jaringan atau organ tertentu. Jika masalahnya adalah pembentukan
jaringan parut yang berlebihan, maka langkah-langkah untuk mengurangi jaringan parut akan
sangat membantu. Namun, karena keseimbangan ini merupakan suatu yang dinamis, upaya untuk
mempercepat regenerasi juga mungkin efektif. Mungkin bahkan lebih baik lagi jika terjadi
penurunan dalam pembentukan parut dan peningkatan regenerasi jaringan secara bersamaan. Hal
ini jelas bahwa respon terhadap cedera pada jaringan yang berbeda melibatkan proporsi
pembentukan bekas luka dan regenerasi jaringan yang berbeda.
Dengan memahami perbedaan pendekatan yang dijelaskan di atas, kita mulai mengerti
mengapa berbagai organ dan jaringan merespon cedera dengan cara yang sangat berbeda. Sama
seperti ulkus kornea, infark miokard, dan nyeri stadium IV memiliki dampak fungsional yang
berbeda bagi organisme, keseimbangan dinamis jaringan parut dan regenerasi akan berbeda
dalam upaya untuk membangun kembali homeostasis. Kegagalan baik dalam pembentukan
bekas luka atau regenerasi dapat menimbulkan masalah klinis serupa namun dengan etiologi
yang sangat berbeda. Semoga saja, jenis analisis ini akan mengarah pada pendekatan yang lebih
terorganisir dengan klasifikasi dan pengobatan cedera dalam berbagai sistem organ yang
berbeda. Yang paling penting, mungkin adalah rekomendasi strategi untuk intervensi agar
mengoptimalkan respon cedera dan mencegah gejala sisa (sequele) yang tidak diinginkan dari
suatu proses penyembuhan luka.
PENGERTIAN PENYEMBUHAN LUKA (WOUND HEALING)
Tata nama baik penelitian ilmiah maupun klinis dari penyembuhan luka dinilai tidak tepat
dan membingungkan. Sebagai contoh, apakah perbedaan antara sebuah luka kronis dan sebuah
luka yang tidak mengalami penyembuhan? Untuk kepentingan dalam bab ini, beberapa istilah
tetap ditetapkan. Mayoritas luas dari luka pembedahan adalah luka-luka insisional yang
diperkirakan melalui jahitan-jahitan atau pelekatan-pelekatan dan ketiadaan komplikasi akan
sembuh secara primer atau melalui jalur primer (primary intention). Secara umum, luka-luka
semacam itu sembuh dengan bekas luka dan tidak membutuhkan perawatan luka khusus atau
keterlibatan seorang ahli penyembuhan luka. Hal ini sangat berkebalikan dengan luka-luka yang
tidak diperkirakan (untuk alas an apapun) dan jaringan rusak yang timbul setelahnya terisi
dengan jaringan granulasi dan kemudian mengalami re-epitelisasi. Hal ini mengacu pada
penyembuhan melalui jalur sekunder (secondary intention) dan umumnya menghasilkan adanya
keterlambatan munculnya luka yang sembuh atau tertutup. Seringkali luka semacam ini
memerlukan dressing dan penatalaksanaan yang khusus (dibahas secara detail pada Bab 3) dan
memiliki kecenderungan yang lebih tinggi berkembang menjadi luka kronis. Pembahasan
mengenai penyembuhan luka yang normal selanjutnya membahas penyembuhan melalui jalur
sekunder, meskipun fase-fase yang sama terlihat pada semua jenis luka.
Luka akut (acute wound) adalah sebuah luka yang timbul dalam jangka waktu 3 sampai 4
minggu. Jika luka tersebut bertahan hingga 4 sampai 6 minggu maka disebut sebagai luka kronis
(chronic wound), sebuah istilah yang juga mencakup terhadap luka-luka yang ada selama
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Luka yang tidak mengalami penyembuhan (nonhealing
wound) atau luka dengan penyembuhan lambat (delayed healing wounds) adalah istilah-istilah
yang digunakan dengan dapat dipertukarkan untuk menjelaskan luka kronis. Selain itu, luka
kronis sering juga dikenal sebagai sebuah granulasi (lihat pembahasan mengenai proliferative
pada Tabel 3.3) dan merupakan suatu tanda yang menunjukkan bahwa luka tersebut mengalami
perkembangan, sekalipun berjalan lambat.
FASE-FASE PENYEMBUHAN LUKA NORMAL
Mamalia normal memberikan respon terhadap putusnya integritas kerusakan kulit yang
terjadi dalam tiga fase yang saling tumpang tindih, tetapi secara biologis jelas berbeda (Gambar
2.2). Setelah terjadi jejas awal, terjadi sebuah fase inflamasi awal dengan maksud
menghilangkan jaringan-jaringan yang mati dan mencegah infeksi yang invasif. Selanjutnya,
terjadi fase proliferative selama ada keseimbangan antara pembentukan bekas luka (scar) dan
regenerasi jaringan. Biasanya, pembentukan bekas luka lebih mendominasi, meskipun pada
penyembuhan luka janin sejumlah regenerasi yang mengesankan dapat mungkin terjadi.
Akhirnya, fase yang paling lama dan paling sedikit dimengerti pada penyembuhan luka, fase
remodeling, yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural dari
luka.
Gambar 2.2. Tiga fase penyembuhan luka (fase inflamasi, proliferasi, remodeling), waktu
terjadinya fase-fase ini pada penyembuhan luka kulit orang dewasa, dan sel-sel khas yang
tampak pada saat penyembuhan luka pada waktu-waktu tersebut.
Fase Inflamasi
Fase inflamasi (peradangan) (gambar 2.3) penyembuhan luka dimulai segera setelah
terjadi jejas jaringan. Prioritas fungsional mati dan mematikan jaringan, serta pencegahan
kolonisasi dan infeksi invasif oleh pathogen mikrobial, terutama bakteria.
Pada awalnya, komponen-komponen dari jaringan yang terluka, termasuk fibrillar
collagen dan factor jaringan, bertindak mengaktivasi kaskade pembekuan ekstrinsik dan
mencegah pendarahan lebih lanjut. Pembuluh darah yang terganggu memungkinkan elemen
darah memasuki bagian luka, serta platelet menggumpal dan membentuk agregasi untuk
menyumbat pembuluh-pembuluh darah yang rusak. Selama proses ini berlangsung, platelet
mengalami degranulasi, melepaskan growth factor seperti platelet-derived growth factor (PDGF)
dan transforming growth factor- (TGF-). Hasil akhir dari jalur kaskade pembekuan intrinsic
dan ekstrinsik ini adalah perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan polimerisasi selanjutnya
menjadi gel.
Gambar 2.3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka dimulai segera setelah cedera jaringan
untuk memperoleh hemotasis, mengangkat jaringan yang terluka, dan mencegah infeksi invasif
oleh mikorba patogenik.
Matriks fibrin sementara ini menghasilkan perancahan migrasi sel yang diperlukan bagi
fase-fase penyembuhan luka selanjutnya. Penghilangan matriks fibrin sementara ini akan
mengganggu penyembuhan luka.
Secara hamper bersamaan, sel-sel inflamasi ditarik ke tempat terjadinya luka. Selama
tahap-tahap awal penyembuhan luka, sel-sel inflamasi ditarik melalui aktivasi jalur komplemen
(C5a), TGF- yang dilepaskan oleh platelet dreganulasi, dan produk dari degradasi bakteri
seperti lipopolisakarida (LPS). Dalam 2 hari pertama setelah perlukaan, terdapat infiltrasi
neutrofilik ke dalam matriks fibrin mengisi kavitas dari luka. Peranan utama sel-sel ini adalah
menghilangkan jaringan yang telah mati melalui fagositosis dan untuk mencegah infeksi oleh
oxygen-dependent-serta
oxygen-independent
killing
mechanisms.
Sel-sel
tersebut
juga
melepaskan sejumlah protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang masih ada demi
membuat luka siap bagi proses penyembuhan. Penting untuk disadari bahwa meskipun neutrofil
berperan menurunkan infeksi selama proses penyembuhan luka, ketiadaannya tidak mencegah
perkembangan keseluruhan dari penyembuhan luka. Meskipun demikian, keberadaannya yang
lebih lama dalam luka dianggap sebagai suatu faktor primer perubahan luka akut menjadi luka
kronis yang tidak mengalami penyembuhan.
Monosit/makrofag mengikuti neutrofil menuju luka dan muncul 48 sampai 72 jam setelah
terjadi jejas. Mereka ditarik secara primer menuju luka yang sedang mengalami penyembuhan
melalui ekspresi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Monosit/makrofag merupakan
sel-sel pengatur yang menjadi kunci bagi tahap ini dan tahap- tahap selanjutnya dari perbaikan
luka. Makrofag jaringan berasal dari sirkulasi, dimana mereka dikenal sebagai monosit, dan
mengubah fenotip mereka mengikuti jalan keluarnya menuju jaringan. Pada hari ketiga setelah
terjadinya luka, sel-sel ini merupakan tipe sel yang predominan pada luka yang mengalami
penyembuhan. Makrofag memfagosit debris dan bakteri, tapi terutama bersifat kritis untuk
produksi faktor-faktor pertumbuhan secara teratur yang sangat diperlukan bagi produksi matriks
ekstraseluler oleh fibroblast serta produksi pembuluh darah baru pada luka yang mengalami
penyembuhan. Tabel 2.1 menunjukkan hanya sebagian daftar-daftar kemokin, sitokin, dan faktorfaktor pertumbuhan yang ada pada luka yang mengalami penyembuhan, sebagaimana daftar
tersebut berkembang setiap hari. Fungsi pasti dari masing-masing factor tersebut diketahui secara
terpisah-pisah (tidak lengkap), dan literatur yang dipakai berisi data-data yang bertentangan.
Meskipun demikian, dengan jelas diketahui bahwa, tidak seperti neutrofil, ketiadaan
monosit/makrofag menimbulkan berbagai konsekuensi berat bagi luka yang sedang
mengalami penyembuhan.
Tabel 2.1. Growth Factors, Sitokin, dan Molekul Lainnya yang Aktif secara Biologis Pada
Penyembuhan Luka
Nama
Vascular
endothelial
Singkatan
VEGF
Sumber
Sel endotel
Deskripsi
Memicu angiogenesis
growth factor
Fibroblast
FGF-2
Makrofag, sel
limfosit T
Platelet,
growth factor
makrofag, sel
kolagen
Keratinocyte
endotel
Fibroblas
growth factor 2
Platelet-derived
PDGF
KGF
growth factor
keratinosit
Menginduksi sekresi epitel dan growth
Epidermal
EGF
factor lainnya
Platelet, makrofag Menstimulasi sekresi kolagen melalui
growth factor
Transforming
Platelet,
matriks
Memicu angiogenesis
makrofag, sel T
dan B, hepatosit,
timosit, plasenta
TGF-
growth factor-
TNF-
factor-
Makrofag, sel T
fibroblas
Menginduksi sintesis kolagen dalam
dan B, NK-cell
luka
Mengatur leukosit PMN dan
Sel stroma,
sitotoksisitas
Menstimulasi proliferasi, ketahanan
colony-
fibroblas, sel
stimulating
endotel, limfosit
Menginduksi granulopoiesis
Makrofag, sel
stroma, fibroblas,
sel endotel,
serta makrofag
limfosit
Makrofag, sel B
Menginduksi granulopoiesis
Mengaktivasi makrofag; menghambat
Granulocyte
factor
Granulocytemacrophage
colonystimulating
factor
Interferon-
G-CSF
GM-CSF
IFN-
Interleukin -1
Interleukin-4
Interleukin-8
Endothelial nitric
oxide
synthase
Inducible nitric
oxide
synthase
IL-1
IL-4
IL-8
eNOS
iNOS
dan T, fibroblas,
proliferasi fibroblas
sel epitel
Makrofag,
Peptida proinflamasi
keratinosit,
fibroblas, sel
endotel, limfosit,
osteoblas
Sel T, basofil, sel
sumsum tulang
Monosit,
proteoglikan
Mengaktivasi leukosit PMN dan
neutrofil,
fibroblas, sel
endotel,
keratinosit
keratinosit, sel T
Sel endotel,
neuron
endotel
Neutrofil, sel
endotel
Limfosit adalah sel terakhir yang memasuki daerah luka, masuk pada hari ke 5 hingga 7
setelah terjadi luka. Perannya dalam penyembuhan luka belum dapat didefinisikan dengan pasti,
meskipun diperkirakan bahwa populasi sel-sel CD4 stimulatori dan CD8 inhibitori dapat
membawa masuk atau keluar dari fase proliferatif lanjutan pada penyembuhan luka. Dengan cara
yang sama, sel mast muncul pada bagian akhir dari fase inflamasi, tetapi, lagi-lagi, fungsinya
masih belum jelas. Baru-baru ini, hal ini menjadi area pemeriksaan penelitian yang intensif
dikarenakan hubungan antara sel-sel mast dan beberapa bentuk parut yang tidak biasa.
Ada kemungkinan bahwa faktor-faktor yang dapat larut dilepaskan dalam sebuah pola
yang klise yang mendasari fenomena ini. Sumber dari faktor-faktor tersebut, regulator-regulator
hulu pada produksinya dan konsekuensi hilir pada aktivitasnya, merupakan sebuah topik yang
rumit dan subyek dari penelitian yang sedang berlangsung secara intensif. Lagi-lagi, Tabel 2.1
menyajikan sebagian daftar dari faktor-faktor pertumbuhan yang diperkirakan berperan penting
selama penyembuhan luka. Semua itu adalah target-target perkembangan terapeutik untuk
meningkatkan atau menghambat aksi-aksi mereka dan juga mempercepat penyembuhan luka
atau menurunkan pembentukan parut. Meskipun demikian, relevansi biologis dari faktor apapun
dalam isolasi masih belum jelas.
Fase Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka secara umum disepakati terjadi dari hari ke-4 sampai
ke-21 setelah cedera. Namun, fase penyembuhan luka terjadi secara tumpang tindih. Aspek
tertentu dari fase proliferatif, seperti re-epitelisasi, dapat mulai terjadi segera setelah terjadi
cidera. Keratinosit yang berdekatan dengan daerah luka mengubah fenotipe mereka dalam
beberapa jam setelah cedera. Regresi dari hubungan desmosom antara keratinosit dan membran
basal yang mendasari membebaskan sel-sel dan memungkinkan sel-sel tersebut untuk
bermigrasi. Bersamaan dengan proses ini, terjadi pembentukan filament aktin dalam sitoplasma
keratinosit, yang memungkinkan sel-sel untuk secara aktif bermigrasi ke dalam luka. Keratinosit
kemudian bergerak melalui interaksi dengan matriks protein ekstraseluler (seperti fibronektin,
vitronectin, dan kolagen tipe I) melalui mediator integrin spesifik sebagaimana keratinosit
tersebut terus bergerak antara eschar kering dan matriks fibrin sementara di bawahnya (Gambar
2.4).
Gambar 2.4. Fase proliferasi penyembuhan luka terjadi dari hari ke-4 sampai 21 setelah
mengalami cedera. Selama fase ini, jaringan granulasi mengisi luka dan keratinosit bermigrasi
untuk mempertahankan kontinuitas epitel.
Matriks fibrin sementara secara bertahap diganti dengan platform baru untuk migrasi:
jaringan granulasi. Jaringan granulasi terdiri dari tiga jenis sel yang memiliki peran penting dan
independen dalam pembentukan jaringan granulasi: fibroblas, makrofag, dan sel endotel. Sel-sel
ini membentuk matriks ekstraseluler dan pembuluh darah baru, yang secara histologist
merupakan komposisi dari jaringan granulasi.Jaringan granulasi mulai muncul pada luka kirakira 4 hari setelah terjadi cidera. Fibroblast berperanan penting selama proses ini dan fibroblast
menghasilkan matriks ekstraseluler yang mengisi bekas luka yang mengalami penyembuhan dan
menyediakan platform untuk migrasi keratinosit. Akhirnya matriks ini akan menjadi komponen
yang paling terlihat dari bekas luka kulit. Makrofag terus menghasilkan factor pertumbuhan
seperti PDGF dan TGF-1 yang mendorong fibroblast untuk berproliferasi, bermigrasi, dan
untuk menyimpan matriks ekstraseluler, serta merangsang sel-sel endotel untuk membentuk
pembuluh darah baru. Seiring waktu, matriks fibrin sementara digantikan dengan kolagen tipe
III, yang akan, pada gilirannya, akan digantikan oleh kolagen tipe I selama fase remodeling.
Sel endotel merupakan komponen penting dari jaringan granulasi dan membentuk
pembuluh darah baru melalui angiogenesis dan proses vasculogenesis, yang melibatkan
perekrutan dan perakitan sel progenitor yang berasal dari sumsum tulang. Faktor proangiogenik
yang dilepaskan oleh makrofag termasuk factor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), factor
pertumbuhan fibroblast (FGF)-2, angiopoiten-1,dan thrombospondin. Aktivator awal yang
mengakibatkan transkripsi gen yang menghasilkan factor pertumbuhan dapat berupa keadaan
hipoksia melalui stabilisasi protein HIF-1.
Peranan dari faktor-faktor pertumbuhan pembuluh darah yang berbeda-beda tersebut serta
waktu munculnya dan menghilangnya, masih dalam penelitian yang lebih lanjut. Namun, sudah
jelas bahwa pembentukan pembuluh darah baru dan kelangsungan hidup jaringan granulasi
selanjutnya merupakan proses yang penting untuk penyembuhan luka selama fase proliferatif
penyembuhan luka. Memblokade proses ini dengan inhibitor angiogenesis mengganggu
penyembuhan luka eksisi dan dapat diperbaiki dengan pemberian factor pertumbuhan seperti
VEGF.
Salah satu elemen yang menarik dari fase proliferasi penyembuhan luka adalah bahwa
pada titik tertentu semua proses ini perlu dihentikan dan pembentukan jaringan granulasi/matriks
ekstraseluler perlu dihambat. Jelas bahwa proses ini adalah proses yang terregulasi karena sekali
matriks kolagen telah mengisi kavitas luka, fibroblast dengan cepat menghilang dan pembuluh
darah yang baru terbentuk mengalami regresi, sehingga menghasilkan bekas luka yang relatif
aselular pada kondisi normal. Jadi bagaimana proses-proses ini bias berhenti? Tampaknya
peristiwa ini telah deprogram dan terjadi melalui suatu proses menghancurkan diri (selfdestruction) secara bertahap yang disebut sebagai apoptosis. Sinyal yang mengaktifkan program
ini belum diketahui, tetapi harus melibatkan factor lingkungan serta sinyal molekular. Karena
disregulasi dari proses ini diyakini mendasari patofisiologi gangguan fibrotic seperti jaringan
parut hipertrofik (hypertrophic scar) dan memahami sinyal untuk menghentikan fase
proliferative ini jelas sangat penting untuk mengembangkan terapi baru untuk kondisi gangguan
fibrotik yang mengganggu tersebut.
Tahap Remodeling
Taha premodeling adalah fase terlama dari penyembuhan luka dan pada manusia diyakini
berlangsung dari hari ke-21 hari sampai 1 tahun setelah terjadi cidera. Setelah luka telah "diisi"
dengan jaringan granulasi dan setelah migrasi keratinosit mere-epitelisasi luka, proses
remodeling luka terjadi. Sekali lagi, proses-proses ini saling tumpang tindih, dan fase remodeling
kemungkinan dimulai bersamaan dengan regresi terprogram dari pembuluh darah dan jaringan
granulasi seperti telah dijelaskan di atas. Meskipun durasi panjang dari fase remodeling dan
relevansi yang nyata dengan penampilan luka akhir, fase ini merupakan fase
penyembuhan luka yang paling belum dimengerti.
Pada manusia, remodeling ditandai dengan terjadinya kedua proses kontraksi luka dan
remodeling kolagen (Gambar 2.5). Proses kontraksi luka dihasilkan oleh myofibroblast luka,
yang merupakan fibroblast dengan mikrofilamen aktin intraseluler yang mampu membangkitkan
tenaga dan kontraksi matriks.
Gambar 2.5. Fase remodeling penyembuhan luka merupakan fase yang paling lama dan
berlangsung dari hari ke-21 sampai 1 tahun setelah cedera. Remodeling, meskipun masih sangat
kurang dimengerti, dicirikan dengan adanya proses luka.
Masih belum jelas apakah myofibroblas adalah sel terpisah dari fibroblast atau apakah
semua fibroblast mempertahankan kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi myofibroblas pada
kondisi lingkungan yang tepat. Myofibroblas berlekatan dengan luka melalui interaksi integrin
spesifik dengan matriks kolagen.
Remodeling kolagen juga merupakan karakteristik dari fase ini. Kolagen tipe III pada
awalnya dihasilkan oleh fibroblast selama fase proliferasi, tapi selama beberapa bulan ke depan
kolagen tersebut akan digantikan oleh kolagen tipe I. Degradasi perlahan kolagen tipe III
dimediasi melalui matriks metalloproteinase yang disekresikan oleh makrofag, fibroblas, dan sel
endotel. Kekuatan untuk menghentikan dari penyembuhan luka meningkatkan perlahan selama
proses ini, mencerminkan pergantian subtype kolagen dan peningkatan persilangan kolagen.
Pada 3 minggu, awal tahap remodeling dimulai, suatu luka hanya memiliki sekitar 20% dari
kekuatan kulit yang tidak terluka, dan pada akhirnya akan hanya memiliki 70% dari kekuatan
kulit yang tidak terluka.
RESPON ABNORMAL TERHADAP CEDERA DAN PROSES PENYEMBUHAN LUKA
YANG ABNORMAL
Penyebutan berbagai respon tubuh terhadap cedera yang terjadi pada berbagai jaringan
tubuh dengan istilah penyembuhan luka (wound healing) saja nampaknya masih terlalu
sederhana. Naif adanya untuk mengklasifikasikan seluruh manifestasi dari berbagai abnormalitas
yang terjadi dalam proses ini ke dalam penyembuhan luka yang abnormal (abnormal wound
healing). Guna mengklasifikasikan berbagai macam jenis penyembuhan luka yang abnormal
dengan lebih akurat, klinisi perlu mempertimbangkan adanya upaya tubuh untuk mengganti
berbagai kerusakan yang terjadi pada jaringan dengan jaringan pengganti yang baru
(pembentukan scar) terhadap pembentukan kembali jaringan semula secara in situ (regenerasi)
seperti yang digambarkan dalam Gambar 2.1. Selain itu, akan dapat membantu ketika telah
ditentukan pada fase penyembuhan luka normal yang manakah yang mengalami masalah. Hal
tersebut bertujuan guna mengetahui dan memahami setiap proses abnormal yang dapat terjadi
dalam keseimbangan dinamis jaringan dan untuk membantu dalam memutuskan strategi terapik
ditujukan untuk mengurangi pembentukan scar juga dapat digunakan karena dapat menjadi
jendela bagi terjadinya regenerasi jaringan saraf, walaupun teknik ini juga tidak sepenuhnya
sukses. Beberapa contoh lain terjadinya regenerasi yang tidak adekuat adalah kasus tidak
menyatunya patahan tulang (bone nonunions) dan ulkus kornea.
diarahkan untuk memperbaiki defek pembentukan scar yang terjadi, tetapi keduanya memiliki
target terapeutik yang berbeda.
KESIMPULAN
Bab ini menyajikan berbagai kerangka teoritis guna memahami dan mengklasifikasikan respon
normal terhadap cedera yang terjadi pada berbagai jaringan yang berbeda, bahkan pada spesies
yang berbeda. Berbagai respon tersebut dapat dikelompokkan ke dalam penggantian jaringan
yang rusak dengan semacam lapisan tambalan/patch, yang dikenal dengan pembentukan scar
dan penggantian jaringan ke arah perkembangan/duplikasi ke arah arsitektur jaringan
sebelumnya, yang dikenal sebagai regenerasi. Keseimbangan dinamis antara dua proses tersebut
melatarbelakangi terjadinya serangkaian respon abnormal terhadap cedera yang terjadi pada
manusia. Diharapkan dari kerangka teoritis ini dapat dikembangkan berbagai strategi terapeutik
yang dapat mengatasi dan memperbaiki ketidakseimbangan yang terjadi, baik melalui
peningkatan atau penekanan satu komponen ataupun komponen yang lain. Dari sini diharapkan
dapat diwujudkan perkembangan dalam penatalaksanaan dan perawatan pasien yang menderita
respon abnormal atau disfungsional terhadap cedera jaringan yang terjadi pada manusia.