Anda di halaman 1dari 24

PENANGANAN LUKA

Prof. Dr. David S Perdanakusuma, dr., SpBP-RE(K)


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya

1. Pendahuluan

Luka adalah suatu keadaan putusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan oleh berbagai
hal. Kondisi ini akan segera diikuti dengan proses penyembuhan luka, yang berlangsung sangat
kompleks. Luka dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan terjadi pada siapa saja, untuk itu perlu
pemahaman yang cukup bagi setiap orang yang terkait dengan masalah kesehatan. Permasalahan
luka tidak sesederhana yang dikira, sering dianggap sebagai hal yang mudah dan baru disadari
setelah mengalami masalah sulitnya luka menyembuh ditandai dengan pemanjangan waktu dari
yang diperkirakan untuk sembuh. Penanganan luka secara umum dilakukan masih banyak hanya
mengandalkan penggunaan antiseptik, antibiotik serta ditutup dengan pembalut yang sederhana.
Seringkali dalam praktek perawatan luka berjalan secara rutin tanpa tujuan yang jelas seolah
hanya sekedar menutup/membalut luka saja. proses penyembuhan dibiarkan berjalan tanpa
pengawalan dan kendali yang terbangun dari konsep berbasis masalah. Masalah luka bukan
hanya karena masalah bakterial semata sehingga antiseptik maupun antibiotik sepertinya dapat
menyelesaikan masalah luka yang terjadi. Hal ini dapat menyebabkan masalah luka akan menjadi
berkepanjangan seperti jalan yang tidak berujung. Konsep pengelolaan luka saat ini telah banyak
berubah, luka dikelola berdasarkan kondisi luka yang ada serta berupaya mengawal luka supaya
penyembuhan dapat berjalan dengan baik. Konsep preparasi luka saat ini menjadi fokus utama
dalam perawatan luka dan menjadi dasar yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum melakukan
penutupan luka.
Peran perawatan luka sangat penting untuk membuat kondisi luka menjadi optimal serta
mengawal proses penyembuhan luka berlangsung dengan baik. Pada perawatan luka akut maupun
kronik, penilaian luka dan pemilihan dressing merupakan hal yang penting disamping tindakan
yang dilakukan baik berupa pembedahan maupun non bedah. Penilaian luka sangat menentukan
tindakan yang perlu dilakukan dan dressing yang akan dipilih. Dalam proses perawatan luka,
kondisi luka mengalami beberapa perubahan dimana kondisi tersebut merupakan cerminan suatu
proses yang lebih parah atau suatu keberhasilan perawatatan luka dan hal ini sangat menentukan
dalam tindakan serta dressing yang diperlukan. Perubahan kondisi luka akan selalu diikuti dengan
perubahan strategi perawatan luka. Metode perawatan luka bukanlah sesuatu yang statis dari awal
sampai akhir tetap sama, melainkan suatu yang dinamis dapat berubah setiap saat tergantung pada
kondisi yang ada. Tidak bisa di klaim bahwa suatu cara atau dressing dapat si aplikasikan pada
berbagai kondisi luka.
Saat ini di Indonesia telah banyak dapat ditemukan dressing/material perawatan luka
modern, material tersebut ada dalam berbagai bentuk seperti kasa, gel, film transparan, foam dan
sebagainya. Ada anggapan dari banyak sejawat bahwa material perawatan luka modern mahal
sehingga kurang cocok untuk masyarakat Indonesia serta adanya alasan bahwa pengalaman

0
puluhan tahun menggunakan cara yang dianut selama ini juga bisa membuat luka menjadi
sembuh juga. Material perawatan luka modern memang secara signifikan lebih mahal harga per
unitnya dibandingkan dengan cara tradisional, namun penggunaan material perawatan luka
modern jauh lebih baik dari segi cost effective. Hal ini berkaitan dengan penyembuhan luka yang
lebih cepat dan penggantian balut yang lebih sedikit (Jones AM, San Miguel L, 2006). Tujuan
perawatan luka tidak sekedar mencapai hasil sembuh tetapi juga perlu mempertimbangkan lama
sembuhnya serta gangguan yang ditimbulkan akibat luka yang lama sembuh belum lagi jika
dipertimbangkan dari sisi gangguan produktivitas kerja, sangatlah berbeda sembuh dalam 2
minggu dengan sembuh dalam 2 bulan atau 2 tahun atau bisa pula 20 tahun, menyangkut berbagai
dampak multi aspek yang dapat ditimbulkan.

2. Apa Itu Luka ?

Gambar 1. Luka
(Perdanakusuma DS & Noer MS, 2006)

` Luka adalah suatu keadaan putusnya kontinuitas jaringan (gambar 1) yang dapat terjadi
akibat trauma, pembedahan, masalah neuropatik, masalah vaskuler, penekanan dan keganasan
(Baranoski S, Ayello EA, 2004). Setelah terjadi luka akan segera disusul dengan proses
penyembuhan luka yang berlangsung sangat kompleks melalui beberapa fase.
Luka diklasifikasikan dalam 2 bagian :
1. Luka akut : merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan
biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. (Lazarus GS, Cooper DM,
Knighton DR, 1994) Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya
sesuai dengan waktu yang diperkirakan (Moreau D, 2003). (gambar 2)
Contoh : Luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury. Luka operasi dapat dianggap
sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli bedah. (Asmussen & Sollner, 1995) Contoh : luka
jahit, skin grafting.

1
Gambar 2. Contoh Luka Akut (luka sayat)

Permasalahan pada luka akut biasanya pada penilaian vitalitas jaringan yang kurang
cermat dan penanganan yang kurang optimal, hal ini dapat menyebabkan morbiditas
yang tinggi karena lukanya berlanjut menjadi luka kronik yang menimbulkan banyak
masalah sehingga tidak dapat diperkirakan waktu penyembuhannya misalnya kasus
trauma degloving.
2. Luka kronik : luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren) dimana
terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah
multifaktor dari penderita (Fowler E, 1990). Pada luka kronik luka gagal sembuh pada
waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk
timbul kembali. (Moreau D, 2003) Contoh : Ulkus tekan/dekubitus, ulkus diabetik, ulkus
vena, luka bakar dll. (gambar 3)

Gambar 3. Contoh Luka Kronik (ulkus tekan/dekubitus)

3. Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah proses fisiologis yang kompleks dan melibatkan berbagai jenis
sel dan mediator biokimia. Proses ini membutuhkan berbagai macam peran dari bahan biokimia
yang membentuk proses bertahap (Wahl et al, 1992). Penyembuhan luka merupakan suatu proses
intrinsik dimana jaringan kulit atau organ lainnya berupaya untuk memperbaiki diri setelah terjadi

2
luka dimana akan terjadi suatu proses fisiologis yang kompleks. Komponen utama dalam proses
penyembuhan luka adalah jaringan ikat atau kolagen, pembuluh darah dan epitel (Marzoeki,
1993). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase yang saling tumpang tindih (gambar 4).
Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami beberapa fase yaitu :
1. Fase inflamasi : fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera setelah
luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi, disertai reaksi
hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah. Pada
fase ini proses inflamasi, vasodilatasi dan akumulasi lekosit PMN terjadi. Agregat
trombosit akan mengeluarkan sitokin dan growth factor mediator inflamasi TGF-1 yang
juga dikeluarkan oleh makrofag (Baratawidjaja, 1996; Subowo, 2000). TGF-1
mempunyai peran yang paling utama dalam penyembuhan luka dan terjadinya fibrosis
(Bayat, et al., 2003). Sel endotel pembuluh darah di sekitar luka akan berproliferasi
membentuk kapiler baru yang manandakan dimulainya proses angiogenesis. Beberapa
faktor dapat menginduksi angiogenesis, tetapi yang terpenting adalah basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan vascular endotel growth factor (VEGF).
2. Fase proliferasi atau fibroplasi : fase ini dimulai pada akhir fase inflamasi (sekitar hari ke-
5) dan berlangsung sampai sekitar 3 minggu (Marzoeki, 1993). Proses fase ini ditandai
dengan proliferasi yang melibatkan produksi matriks, angiogenesis dan epitelialisasi. Fase
ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol perannya. Fibroblas
mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat kolagen yang terbentuk
menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Secara perlahan matriks fibrin
digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan granulasi terdiri dari 3 tipe sel: fibroblas,
makrofag dan sel endotel. Sel ini membentuk matrik ekstraseluler dan neovaskularisasi.
Jaringan granulasi mulai tampak pada luka sekitar 4 hari setelah trauma. Fibroblas
menghasilkan matriks ekstraseluler yang mengisi luka untuk pergerakan keratinosit.
Matriks ini merupakan komponen utama yang terlihat pada pembentukan parut. Makrofag
menghasilkan growth factor seperti PDGF, FGF dan TGF-1 yang merangsang fibroblas
untuk proliferasi, migrasi dan membentuk matriks ekstraseluler. Epitelialisasi terjadi pada
fase ini, melibatkan migrasi keratinosit dari jaringan sekitar epitel untuk menutupi luka.
Membran basalis secara perlahan mengikuti tepi sel tersebut untuk bergerak menutupi
permukaan luka.(Stadelmann, 1998; Lawrence, 1998; Singer, 1999).
3. Fase remodelling atau maturasi : fase yang terakhir dan terpanjang pada proses
penyembuhan luka terjadi pada masa ini. Pada fase ini terjadi upaya untuk memulihkan
struktur jaringan normal. Tanda inflamasi pada fase ini sudah mulai menghilang. Tubuh
berusaha menormalkan kembali semua keadaan yang abnormal karena proses
penyembuhan luka. Sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup
dan diserap kembali. Pada fase ini kolagen mulai menggantikan matriks temporer
(Gurtner, 2007). Fase ini merupakan proses yang dinamis berupa remodelling kolagen
dan terbentuknya parut yang matang serta terjadi keseimbangan aktivitas sintesis dan
degradasi kolagen. Akhir dari proses penyembuhan luka adalah terbentuknya parut.

Tiga fase tersebut diatas berjalan normal selama tidak ada gangguan baik faktor luar
maupun dalam. Gangguan akan membuat penyembuhan luka memanjang dan pada akhirnya akan

3
terbentuk parut yang tidak normal. Parut hipertrofik dan keloid merupakan suatu parut produk
proses penyembuhan luka yang tidak normal (Perdanakusuma DS, 1998).
Aktivitas penyembuhan

Inflamasi Proliferasi Remodelling


Maturasi

5 21 365
Hari setelah luka
Gambar 4. Fase Penyembuhan Luka

4. Penanganan Luka Umum

Penanganan luka akut dan kronik secara umum meliputi 2 hal, yaitu preparasi
bed luka dan penutupan luka. Kedua hal tersebut saling berkaitan untuk menghasilkan
penyembuhan luka yang baik. Istilah preparasi bed luka umumnya digunakan untuk mengelola
luka kronik, tetapi karena komponen penanganannya sebagian sama, kecuali pengelolaan
eksudat yang merupakan tanda khas dari luka kronik tidak terdapat pada luka akut. (gambar 5)
Sedangkan prosedur yang spesifik pada luka akut adalah tes vitalitas jaringan. Preparasi bed
luka dilakukan setelah melakukan penilaian luka, langkah yang dilakukan adalah pengelolaan
jaringan non vital atau nekrotik, kontrol bakteri dan pengelolaan eksudat. Upaya tersebut
dilakukan dengan debridement, antibakteri atau antiseptik dan produk absortif yang dilakukan
berdasarkan penilaian kondisi atau masalah yang ada pada luka. Setelah luka terpreparasi dengan
baik dapat dilakukan penutupan luka.

A. Preparasi Bed Luka

Preparasi bed luka adalah suatu upaya untuk mempersiapkan luka supaya dapat melalui
proses penyembuhan luka dengan baik, merupakan proses pembuangan barrier yang terdapat di
luka yang dapat dilakukan dengan cara melakukan debridement, kontrol bakteri dan pengelolaan
eksudat luka (Falanga V, 2000; Falanga V, 2001; Vowden K & Vowden P, 2002).

4
Debridement merupakan proses usaha menghilangkan jaringan nekrotik atau jaringan
nonvital dan jaringan yang sangat terkontaminasi dari bed luka dengan mempertahankan secara
maksimal struktur anatomi yang penting seperti syaraf, pembuluh darah, tendo dan tulang (Preuss
S, et al., 2000). Debridement dilakukan pada luka akut maupun pada luka kronis. Setelah luka
dibersihkan dari jaringan nekrotik diharapkan akan memperbaiki dan mempermudah proses
penyembuhan luka. Timbunan jaringan nekrotik biasanya terjadi akibat buruknya suplai darah
pada luka atau dari peningkatan tekanan interstitiel (Ayello EA, et al., 2004). Hasil studi
didapatkan ada peningkatan penyembuhan luka secara statistik setelah debridement dibandingkan
tanpa debridement pada kasus ulkus vena (Wiliam D, et al., 2005).

Gambar 5. Algoritma Penanganan Luka


akut kronik
Penilaian Luka

Preparasi bed luka

Kontrol bakteri Pengelolaan jaringan non vital Pengelolaan


eksudat

Antibiotik Debridement Produk Absorbtif

Luka telah terpreparasi

Penutupan luka

Primer Sekunder Graft Flap

Luka sembuh
Gambar 3. Algoritma Pengelolaan Luka

Tujuan dasar debridement adalah mengurangi kontaminasi pada luka untuk mengontrol
dan mencegah infeksi. Jika jaringan nekrotik tidak dihilangkan akan berakibat tidak hanya
menghalangi penyembuhan luka tetapi juga dapat terjadi kehilangan protein, osteomielitis, infeksi

5
sistemik dan kemungkinan terjadi sepsis, amputasi tungkai atau kematian. Setelah
debridement/membuang jaringan nekrotik akan terjadi perbaikan sirkulasi dan terpenuhi
pengangkutan oksigen yang adekuat ke luka (Ayello EA, et al., 2004)
Ambrose Pare (1509-1590) pertama kali memperkenalkan bahwa membuang jaringan
nonvital penting pada penyembuhan luka. Istilah Debridement pertama kali digunakan oleh
Desault (1744-1795) saat menjelaskan tentang upaya pembedahan untuk membuang debris dari
luka terbuka. (Dolynchuck KN, 2001) Banyak tindakan rekonstruksi pasca trauma dan infeksi
mengalami kegagalan lebih disebabkan karena tidak adekuatnya debridement dibandingkan
dengan kegagalan teknik rekonstruksi. (Preuss S, et al., 2000) Debridement merupakan upaya
untuk mempercepat penyembuhan luka dimana luka yang mengandung jaringan nekrotik akan
lama sembuhnya. Jaringan nekrotik akan menjadi tempat koloni bakteri dan menimbulkan bau
yang tidak enak (Perdanakusuma DS, 2002).
Istilah debridement sangat erat kaitannya dengan pembedahan, sehingga seolah-olah
tindakan debridement merupakan tindakan bedah saja. Sejak berkembangnya konsep
preparasi bed luka secara luas dimana debridement merupakan bagian penting disamping
kontrol bakteri dan pengelolaan eksudat. Mulai banyak dikenal beberapa teknik
debridement non bedah yang sebenarnya sudah cukup lama dilakukan. Teknik debridement
dapat dilakukan mulai dari yang kurang invasif sampai yang paling invasif dimana irigasi
merupakan tindakan yang paling sedikit mencederai jaringan serta pembedahan merupakan
prosedur yang paling ablatif (Dolynchuck KN, 2001) Debridement dapat dilakukan dengan
teknik pembedahan, enzimatik, otolitik, mekanik dan biologik (Perdanakusuma, 2002).
Debridement pembedahan adalah tindakan menggunakan skalpel, gunting, kuret atau
instrumen lain untuk membuang jaringan mati dari luka. Tindakan ini merupakan pilihan pertama
jika faktor kecepatan dan ketuntasan menjadi pertimbangan, cara ini paling efektif mengatasi
jaringan nekrotik, eksudat dan mengatasi infeksi, tetapi mempunyai kekurangan yaitu rasa nyeri
dan biaya yang relatif lebih tinggi.
Debridement enzimatik merupakan teknik debridement menggunakan topikal ointment
enzim yang mempunyai tingkat selektivitas yang paling tinggi untuk membuang jaringan
nekrotik. Topikal ointment yang populer saat ini adalah kolagenase (Santyl) yang telah
dipakai secara luas. Enzim kolagenase adalah hasil fermentasi dari Clostridium histolyticum
yang mempunyai kemampuan unik mencerna kolagen dalam jaringan nekrotik. Kolagenase
dapat membersihkan luka dari jaringan mati dan menjadikan bed luka siap untuk
penyembuhan. Enzim kolagenase terutama efektif untuk luka ulkus kronis seperti ulkus tekan,
ulkus arterial, ulkus vena, ulkus diabetik dan juga luka bakar. (Perdanakusuma DS, 2002). Saat
ini sedang dikembangkan penggunaan enzim bromelain dari ekstrak nanas yang terbukti cukup
efektif dalam melakukan pengangkatan eskar pada luka bakar dan jaringan nekrotik pada luka
kronik.
Debridement otolitik atau invivo enzymes self digest devitalized tissue adalah proses usaha
tubuh untuk melakukan pembuangan jaringan mati dengan cara mempertahankan suasana
luka supaya tetap lembab. Dalam keadaan luka lembab akan mengaktifkan enzim
proteolitik yang berefek melisiskan jaringan nekrotik, sehingga mampu membersihkan luka
dari jaringan nekrotik. Tindakan ini merupakan prosedur debridement yang tidak nyeri dan relatif
biayanya rendah.

6
Debridement mekanik disebut juga gauze debridement, prinsip kerjanya adalah wet to
dry dressing. Luka ditutup dengan kasa yang telah dibasahi normal saline, setelah kasa
kering jaringan yang mati /debris akan melekat pada kasanya. Saat mengganti balut jaringan
mati akan ikut terbuang. Tindakan ini dilakukan berulang 2 sampai 6 kali perhari. Biasanya
tindakan ini sebagai pelengkap surgical debridement. Prosedur ini membuat tidak nyaman bagi
penderita karena sering diganti balutannya, dapat merusak jaringan granulasi baru, merusak epitel
yang masih fragile dan potensial timbul maserasi di sekitar luka. Biasanya dipilih bila teknik lain
belum memungkinkan untuk dilakukan, secara umum teknik ini kurang efektif dan berbiaya
tinggi karena frekuensi perawatannya tinggi.
Debridement biologik merupakan upaya debridement menggunakan larva disebut sebagai
Maggot Debridement Therapy (MDT). Larva yang digunakan Phaenicea sericata (green blow
fly). Prosedur ini dapat membersihkan jaringan nekrotik dan infeksi, desinfeksi membunuh
bakteridan stimulasi penyembuhan luka (Falanga V, 2005; Perdanakusuma DS, 2005). Metode ini
merupakan biomechanical debridement, telah digunakan sejak tahun 1932 dan sukses untuk
menangani abses, luka bakar, selulitis, gangren, ulkus, osteomielitis dan mastoiditis.
Kontrol bakteri dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan koloni bakteri yang
akan meningkatkan jumlah eksudat dan kemungkinan infeksi yang akan mengganggu
penyembuhan luka. Infeksi luka ditentukan oleh keseimbangan daya tahan luka dengan jumlah
mikroorganisme. Bila jumlah mikroorganisme < 10 4/ gram jaringan kemungkinan terjadi infeksi
adalah 6%, Bila >10 4/ gram jaringan kemungkinan infeksi 89 % dan bila >10 5/ gram jaringan
hampir dapat dipastikan terjadi infeksi dan penutupan luka akan gagal (Teh BT, 1979). Dalam
hal ini mungkin diperlukan pemberian antibiotik disamping tindakan debridement. Hasil
eksperimen menunjukkan jumlah antara 105-106 organisme/gram di bed luka akan mengganggu
penyembuhan luka. Kuman patogen tidak tergantung jumlahnya, seperti streptococcus bisa
menimbulkan masalah walaupun dalam jumlah sedikit (Dow G, Browne A, Sibbald RG, 1999).
Untuk mengatasi masalah bakteri pada perawatan luka modern tidaklah tergantung pada
antibiotik atau antiseptik semata, saat ini lebih banyak digunakan silver (Ag) atau material yang
mengandung bahan yang dapat membunuh bakteri.
Mengatasi eksudat merupakan hal yang penting dalam pengelolaan luka kronik. Cara
untuk menilai bed luka yang tidak sembuh pada luka kronik adalah dari jumlah eksudat yang
ada. Tujuan pengelolaan eksudat adalah mempertahankan kondisi luka dalam keadaan lembab
(moist). Dilakukan balut tekan dengan menggunakan kasa absorben, selain itu dapat pula
dilakukan dengan sistem vacuum. Kasa absorben yang dipilih tergantung jumlah eksudat yang
ada, yang mempunyai daya serap biasa sampai yang mempunyai daya serap tinggi. Selain itu bisa
juga dilakukan pencucian dan irigasi menggunakan air steril untuk membuang eksudat dan
seluler debris dan juga dapat menurunkan jumlah bakteri yang sering menyebabkan berlebihnya
jumlah eksudat. Prosedur tidak langsung ditujukan untuk mengurangi penyebab yang mendasari
timbulnya eksudat seperti adanya koloni bakteri yang ekstrim (Falanga V, 2000).
Pembalut/dressing luka bertujuan melindungi luka dari trauma dan infeksi (Wiseman
DM, Rovee DT, Alvare OM, 1992). Dalam kondisi lembab penyembuhan luka lebih cepat 50%
dibanding luka kering, didapatkan peningkatan reepitelialisasi (Geronemus RG and Robins P,
1982). Perawatan luka dalam suasana lembab akan membantu penyembuhan luka dengan
memberikan suasana yang dibutuhkan untuk pertahanan lokal oleh makrofag, akselerasi

7
angiogenesis dan mempercepat proses penyembuhan luka. Suasana lembab membuat suasana
yang optimal untuk akselerasi penyembuhan dan memacu pertumbuhan jaringan (Field CK,
Kerstein MD, 1994).
Pemilihan balutan yang sesuai untuk keseimbangan cairan pada luka (Ovington LG,
1999):
1. Penggunaan balutan yang dapat mempertahankan kondisi luka tetap lembab, merupakan
hal yang penting.
2. Memilih jenis balutan yang dapat mempertahankan kulit disekitar luka tetap kering
sementara kondisi luka itu sendiri dipertahankan tetap lembab.
3. Balutan yang dipilih harus dapat mengontrol eksudat agar tidak mengakibatkan
kekeringan atau kelebihan eksudat yang dapat mengakibatkan maserasi disekitar luka.
4. Gunakan balutan yang mudah digunakan dan tidak perlu sering diganti.
5. Mengisi tiap rongga dalam luka merupakan hal yang penting saat penggunaan balutan
karena dapat mencegah gangguan penyembuhan luka dan mencegah peningkatan invasi
bakteri.

Beberapa Contoh Jenis Produk/Material Perawatan Luka


A. Produk untuk menjaga/mempertahankan kelembaban luka
 Tranparans dressing/film (gambar 6)
Untuk melindungi dari kontaminasi dan gesekan serta memudahkan evaluasi
luka.

Gambar 6. Tranparans dressing/film

 Hydrocolloid (gambar 7)

Gambar 7. Hydrocolloid
B. Produk membuat/memberi kelembaban

 Hydrogel (gambar 8)

8
Untuk debridement otolitik

Gambar 8. Hydrogel

C. Produk menyerap cairan (gambar 9)

Kasa Absorben Calcium Alginate

Hydrofibre Foam
Gambar 9. Produk absorbtif

B. Penutupan Luka
Dapat dilakukan bila keadaan luka sudah terpreparasi dengan baik kondisi lokal sudah
bersih dan tidak infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur pembedahan secara persekundam
terjadi proses epitelialisasi. Selain itu dapat pula dilakukan penjahitan primer (per-primam),
skin grafting dan flap. Semua ini tergantung lokasi, besar defek luka dan tehnik yang dikuasai
ahli bedah (gambar 10) (Place MJ, et al., 1997; Perdanakusuma DS, 1998; Preuss S, et al.,
2000).

9
Alternatif lain untuk menutup luka apabila kulit donor tidak mencukupi untuk menutup
defek yang luas adalah : Cultured Epithelial Autograft (CEA), Allograft, Xenograft, Biological
dressing, Synthetic dressing (Moenadjat Y, 2001). Saat ini sudah berkembang dan digunakan
produk tissue engineered sebagai pengganti kulit. Penggunaan yang ada saat ini seperti jenis
Epidermal adalah Epicel, Laserskin, Cell spray, Bioseed-S, LiphoDerm. Jenis dermal
aseluler adalah Integra, alloderm, Biobrane. Jenis dermal seluler adalah Transcyte dan
Dermagraft. Jenis composite adalah Apligraf dan OrCel (Enoch S, Grey JE, Harding KG,
2006). Biological dressing yang mudah dijumpai dan banyak digunakan di Indonesia adalah
amniotic membrane.

6 Free flap / bedah mikro


5 Flap jauh
4 Flap lokal
3 Skin graft
2 Jahit primer/ per primam
1 Sembuh spontan/ per sekundam
Gambar 10. Penutupan Luka

5. Cara Pintas Penanganan Luka

Peran perawatan luka adalah mengawal proses penyembuhan luka agar dapat berlangsung
dengan baik (Perdanakusuma DS, 2008). Gol dari perawatan luka terkini adalah penderita
sembuh dari lukanya dan dapat kembali menjadi orang yang produktif serta hidupnya berarti
(Krasner DL, Rodeheaver GT, Sibbald RG, 2001).
Hal penting yang perlu dipahami dalam perawatan luka adalah tidak terpaku pada
diagnosis yang menyebabkan luka tersebut, tidak ada metode perawatan luka yang hanya
diperuntukan pada suatu diagnosis luka. Luka dengan diagnosis apapun dapat berubah tampilan
maupun problemnya. Jadi luka dikelola berdasarkan tampilan atau problem yang ada. Perawatan
luka merupakan proses yang dinamis selalu berubah tergantung pada berbagai macam tampilan
dan problem. Pada gambar 11 tampak luka dengan diagnosis luka bakar dengan penampilan dan
problem yang berbeda, penanganan lukanya berbeda atau tidak sama antara satu tampilan luka
dengan tampilan luka yang lain. Kebalikannya seperti pada gambar 12 luka dengan diagnosis
yang berbeda, tetapi dengan penampilan dan problem yang sama penanganannya mempunyai
prinsip yang sama seperti yang akan diuraikan dibawah ini.

10
Gambar 11. Diagnosis luka bakar dengan berbagai tampilan

Gambar 12. Luka dengan berbagai diagnosis dan tampilan yang relatif sama

Untuk dapat melakukan penilaian luka dan pemilihan dressing serta menentukan tindakan
yang diperlukan pada perawatan luka tidaklah harus ahli dalam perawatan luka. Dapat dilakukan
dengan cara pintas dalam waktu yang singkat. Cara pintas yang bisa dilakukan : Menilai warna;
Menilai basah keringnya (moist) permukaan luka; Menilai problem yang ada; Menentukan
tindakan yang perlu dilakukan berdasarkan warna; moist permukaan dan problem luka; Memilih
dressing yang sesuai dengan warna, moist permukaan dan problem luka. Menggunakan cara
diatas akan dapat dinilai dan ditentukan tindakan yang akan dilakukan serta dressing yang
diperlukan pada luka oleh sebab apapun secara cepat dan tepat. Selain itu dapat digunakan

11
sebagai dasar komunikasi, informasi dan edukasi terhadap pasien maupun keluarganya terkait
dengan perkembangan kondisi luka penderita.
Cara pintas menilai luka model 1 dapat dilakukan berdasarkan problem yang terdapat
pada luka tersebut. Seperti diketahui problem luka secara umum meliputi problem bakteri,
problem jaringan nekrotik dan problem eksudat. Secara cepat setelah dapat dinilai problem yang
ada berdasarkan gambar dibawah dapat dilakukan upaya mengontrol bakteri dengan pemberian
antibiotik/material antibakteri dan debridement (gambar 13). Untuk problem jaringan nekrotik
dapat diatasi dengan debridement yang telah diketahui dalam kajian pustaka diatas dapat
dilakukan dengan memilih salah satu metode debridement yang ada yaitu : pembedahan, otolitik,
enzimatik, mekanik dan biologik. Problem eksudat dapat diatasi dengan kontrol menggunakan
produk absorbtif perawatan luka seperti kasa absorben, calcium alginate, hydrofibre dan foam.

Gambar 13. Problem luka dan solusinya (Model 1)

Cara pintas menilai luka model 2 dapat dilakukan dengan menilai warna dari luka tersebut,
yang mana sesuai dengan macam jenis luka (gambar 14).
Terdapat 6 macam jenis luka antara lain. :
1. Luka akut : luka akibat trauma, biasanya berwarna merah dan masih berdarah.
2. Luka Nekrotik (hitam) : luka berupa jaringan nekrotik yang dapat disebabkan oleh
berbagai hal.
3. Luka Slough (nekrotik kuning) : luka berupa jaringan nekrotik berwarna kuning yang
melekat erat dijaringan bawahnya dan mudah berdarah, dapat merupakan luka basah
maupun kering.
4. Luka Granulasi : berwarna merah biasanya permukaannya basah, masalah yang ada
adalah raw surface yang memerlukan penutupan luka.
5. Luka Infeksi (kuning hijau) : adalah luka infeksi ditandai dengan adanya nanah dan
radang disekitarnya.

12
6. Luka Epitelialisasi : berwarna pink adalah luka yang sudah tertutup lapisan epitel dan
dapat dinyatakan luka telah sembuh secara sederhana.

Gambar 14. Enam macam warna luka (Model 2)

Dari tampilan warna yang ada dapat ditentukan problem yang ada serta solusinya. Misalnya
warna nekrotik hitam solusinya adalah debridement. Luka infeksi problemnya adalah bakteri dan
penyelesaiannya adalah mengontrol bakteri dengan cara pemberian antibiotik, material
antibakteri lain atau debridement termasuk didalamnya tindakan irigasi dan pencucian. Penilaian
warna luka dapat dikombinasi dengan penilaian problem untuk menghasilkan solusi sesuai
gambar 13.

Gambar 15. Pemilihan dressing luka (Model 3)


Cara pintas menilai luka model 3 adalah menilai basah keringnya permukaan luka sekaligus
menentukan solusi yang dilakukan untuk melakukan atau memilih dressing yang tepat. Bila
permukaan luka basah, diupayakan dibawa menuju kering sehingga didapatkan kondisi lembab,
demikian pula kebalikannya bila luka kering dibawa kearah basah sampai mendapatkan kondisi
lembab. Kondisi lembab adalah kondisi yang ideal untuk penyembuhan luka dimana

13
dimungkinkan terjadinya epitelialisasi yang optimal dan pembersihan luka secara otolitik dengan
mengaktifkan enzim proteolitik tubuh (autolytic debridement) (gambar 15).
Dengan menggunakan konsep berpikir model 1, 2 dan 3 dapat menilai dan sekaligus
menentukan upaya perawatan luka yang tepat untuk dilakukan dalam waktu cepat. Konsep ini
dapat dapat diingat dan diaplikasikan secara mudah dalam praktik perawatan luka. Konsep ini
selain dapat menilai luka dan menentukan tindakan yang tepat untuk merawat luka dapat pula
digunakan untuk menilai atau mengevaluasi hasil perawatan luka yang telah dilakukan terutama
dalam rangka komunikasi, informasi dan edukasi terhadap pasien dan keluarganya.

Penerapan cara pintas penanganan luka


Kasus pasien mengalami luka kronik akibat ekstravasasi cairan infus, dengan tampilan
seperti pada gambar 16, kita lakukan penilaian berdasarkan cara pintas model 1, 2 dan 3
didapatkan hasil penilaian pintas sekaligus solusinya seperti pada gambar 17. Tampak luka
berwarna hitam, kuning dengan problem nekrotik serta permukaan yang kering. Solusinya adalah
dilakukan debridement dan perawatan moist.
Setelah dilakukan penilaian dan penanganan tindakan debridement serta perawatan/dressing
moist menggunakan hydrogel akan didapatkan tampilan dan problem luka yang berubah/berbeda.
Selanjutnya dilakukan penilaian kembali sekaligus solusi dengan tampilan dan problem yang ada
seperti yang tampak pada gambar 18.
Dari penilaian selanjutnya didapatkan luka berwarna kuning slough dengan problem
nekrotik dan eksudat serta permukaan luka basah karena eksudat. Solusinya adalah tindakan
debridement dan perawatan dengan dressing yang dapat membuat dari basah menjadi moist
menggunakan kasa absorben untuk menyerap eksudat yang ada. Setelah dilakukan perawatan
untuk waktu tertentu dilakukan penilaian kembali, didapatkan kondisi seperti gambar 19.

Gambar 16. Luka kronik akibat ekstravasasi cairan infus

14
Gambar 17. Penilaian luka dan penanganannya awal

Gambar 18. Penilaian luka dan penanganan selanjutnya

Gambar 19. Luka granulasi dengan eksudat terkontrol


Kondisi luka selanjutnya didapatkan luka granulasi berwarna merah dengan permukaan yang
basah. Pada kondisi ini tidak ada problem nekrotik, tidak ada infeksi dan terdapat eksudat yang
relatif terkontrol. Pada kondisi ini luka dinilai sudah tidak ada problem lagi, luka dapat dinilai
sebagai luka yang telah terpreparasi. Pada luka yang bed nya telah terpreparasi dengan baik dapat
dilakukan penutupan luka. Penutupan luka yang bisa dilakukan pada kasus ini adalah
skingrafting atau dapat ditunggu epitelialisasi sembuh per-sekundam dengan kecepatan
epitelialisasi 1 mm/hari dengan perawatan luka moist.
Pada kasus ini tidak dilakukan skingrafting karena penderita mengharapkan tidak

15
dioperasi dan juga lukanya tidak terlalu besar, dilakukan perawatan moist dengan kasa absorben,
terjadi proses epitelialisasi sampai luka tertutup epitel dalam bentuk parut (gambar 20).

Gambar 20. Luka epitelialisasi dan berakhir sebagai parut


Dari tampilan luka diatas tampak bahwa luka dengan diagnosis yang sama begitu berubah
tampilan dan problemnya akan berubah pula cara/strategi penanganannya, hal ini menunjukkan
bahwa pada perawatan luka akan selalu berubah penanganannya walaupun orang dan
diagnosisnya tetap sama. Tampilan luka sangat menentukan solusi yang akan dipilih.
Menggunakan metode ini diharapkan dapat merawat luka secara cepat dan tepat dengan
menggunakan metode cara pintas. Metode cara pintas merawat luka dapat digunakan untuk
pelatihan semua orang yang berkecimpung dalam bidang kesehatan pada semua jenjang maupun
semua bidang ilmu dalam kedokteran atau keperawatan.

6. Adjuvant Therapy
Dalam proses penanganan luka menuju kesembuhan dapat dilakukan beberapa upaya
tambahan yang telah dikembangkan untuk membantu mengawal penyembuhan luka sebagai
Adjuvant Therapy diantaranya adalah Hydrotherapi/Whirlpool, Negative Pressure Therapy,
Hyperbaric Therapy, Hidrosurgery, dan Ultrasonic Wound Treatment. Terapi Adjuvant ini pada
penyembuhan luka bertujuan mensuport proses penyembuhan agar dapat berjalan dengan baik
disamping upaya utama dalam perawatan luka.

Hydrotherapy / Whirlpool
Adalah adjuvant therapy yang paling tua, yang sampai saat ini masih digunakan.
Tujuannya membuang kontaminan dan debris toksik serta dilusi jumlah bakteri. Disamping itu
dapat berguna untuk mempermudah penggantian balut serta mengurangi rasa sakit/analgesi
(gambar 21).

16
Gambar 21. Hydrotherapy

Hyperbaric Therapy
Terapi Oksigen Hiperbarik adalah suatu terapi medik yang dilaksanakan di ruang tertutup
dengan cara meningkatkan tekanan atmosfir berkisar antara 2-3 ATA (atm absolut) dan bernafas
memakai oksigen murni 100% atau udara campuran. Prinsip dasar terapi oksigen hiperbarik
adalah oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk terlarut di plasma dan berbentuk ikatan
dengan hemoglobin (Hb). Sifat dari oksigen terlarut yang lebih mudah dikonsumsi oleh jaringan
melalui proses difusi langsung dibandingkan oksigen yang terikat oleh sistem Hb. Terapi Oksigen
Hiperbarik dapat meningkatkan jumlah oksigen terlarut sehingga mencapai keadaan kebutuhan
oksigen dapat dipenuhi dari oksigen terlarut tanpa menggunakan oksigen dari oxyhemoglobin.
Indikasi terapi oksigen hiperbarik : crush injury, replantasi, luka bakar, skin grafting, flap, luka
yang sulit sembuh. Alat hiperbarik ada 3 macam yaitu untuk pemakaian perorangan disebut
Monoplace chamber (gambar 22), untuk pemakaian beberapa orang sekaligus disebut Muliplace
chamber (gambar 23) dan pemakaian untuk area kecil atau bagian tubuh seperti lengan atau kaki
disebut Topical Oxygen chamber (gambar 24).

Gambar 22. Hiperbarik Monoplace chamber


http://www.underwater.pg.gda.pl

17
Gambar 23. Hiperbarik Multiplace chamber
http://www.uniklinik-duesseldorf.de

Gambar 24. Hiperbarik Topical Oxygen Chamber


http://lymphedema-pump.com

Hidrosurgery
Versajet Hydrosurgery System termasuk kategori alat untuk debridement secara tangensial
eksisi yang dapat dilakukan pada daerah sempit dan berlekuk. Alat ini merupakan kombinasi
eksisi, cleansing dan aspirasi. Metoda ini sesuai dengan prinsip venturi effect, yaitu aliran air
dipancarkan keluar dan kembali ditarik dengan cepat. Aliran air yang cepat ini yang memberikan
efek sayat pada jaringan. (gambar 25, 26). Pada gambar 26 tampak pengunaan versajet
hydrosurgery untuk debridement pada luka kronik.

Gambar 25. Versajet Hydrosurgery

18
Gambar 26. Debridement kasus ulkus tekan dan luka kronik luka bakar listrik dengan
Versajet Hydrosurgery

Ultrasonic Wound Treatment


Metode kerja alat ultrasonik ini adalah : fibrinolitik, anti-mikroba, high selective
dissecting akibat efek kavitasi and gelombang akustik yang dikeluarkan. Prinsip kerja :
Transducer Piezo Ceramic mentransformasi gelombang Elektronik menjadi vibrasi ultrasonik
pada 25 kHz (sonotrode) lalu sonotrode bersamaan dengan larutan debridement menghasilkan
gelembung mikro gas yang memutar secara siklis. Ledakan gelembung gas menghasilkan
kerusakan mekanis bakteri, debridement luka dan pemijatan mikro pada lapisan jaringan
dibawahnya. Hasilnya proses penyembuhan luka kronik akan distimulasi. Perawatan luka akan
efektif pada gelombang 25 kHz. Keuntungan Ultrasonic Wound Treatment adalah debridement
selektif pada jaringan mati, melindungi jaringan sehat, syaraf dan pembuluh darah, eradikasi
bakteri dan bakteri biofilm, merangsang jaringan granulasi dan sirkulasi mikrovaskular, dapat
dikombinasikan dengan metode perawatan luka lainnya. (gambar 27 ).

Gambar 27. Alat Ultrasonic Wound Treatment untuk debridement

Negative Pressure Therapy


Penggunaan terapi negative pressure secara kontinyu atau intermiten dengan tekanan 125
mmHg. Prinsip perawatan luka dengan tekanan negatif/sub atmosfir untuk mengontrol
lingkungan lokal luka telah berkembang dengan pesat lebih dari 20 tahun. Metode ini telah
dipakai secara luas dan memberikan hasil yang sangat memuaskan dalam perawatan luka. Secara

19
evidence didukung oleh publikasi sekitar 40 randomized controlled trial. Komponen sistem
perawatan luka dengan tekanan negatif ini terdiri dari pompa vacuum, slang untuk evakuasi,
foam polyurethan, canister penampung cairan dan adhesive film (pembalut tranparan) (gambar
28). Mekanisme kerja tekanan negatif pada permukaan luka meningkatkan penyembuhan luka
dengan mengurangi udem, mengurangi eksudat, mengurangi koloni bakteri, stimulasi aliran
darah, merangsang granulasi, kontraksi luka, kondisi moist, meningkatkan migrasi epitel,
meningkatkan angiogenesis dan meningkatkan proliferasi seluler.
Perawatan dengan tekanan negatif dapat diaplikasikan pada luka akut seperti luka trauma,
luka bakar, luka operasi dengan raw surface yang tidak dapat ditutup segera atau luka yang
ditutup skin graft, flap dan luka pasca debridement. Selain itu dapat pula diaplikasikan pada luka
yang sulit sembuh karena berbagai sebab (luka kronik). Metode ini diindikasikan untuk luka
kronis, ulkus diabetik, ulkus dekubitus, ulkus stasis vena, luka dehisensi, dll. Secara umum
metode ini digunakan untuk promosi penyembuhan non bedah, pengoptimalan kondisi luka untuk
pembedahan dan stabilisasi flap, graft dan luka traumatik jaringan lunak. Kontra indikasi
negative pressure therapy adalah luka keganasan, fistula ke organ atau rongga dalam tubuh,
exposed pembuluh darah atau organ (harus dilindungi protective barrier). Prinsip perawatan luka
dengan negative pressure therapy mencakup semua komponen preparasi bed luka yaitu kontrol
bakteri, kontrol eksudat dan upaya pembersihan jaringan nekrotik dengan kondisi moist yang ada
sesuai prinsip debridement otolitik.

http://www.vasezdravlje.com http://centegramedsource.com
Gambar 28. Negative Pressure Wound Therapy (NPWT)

Gambar 29 adalah contoh kasus dengan luka post trauma Kecelakaan lalu lintas,
setelah penanganan luka debridement dan skingrafting masih didapatkan luka yang sulit
sembuh di daerah gluteus dan perianal. Dilakukan perawatan dengan negative pressure
wound therapy (NPWT) luka dapat sembuh per-sekundam.

20
Gambar 29. Luka post trauma KLL di regio gluteus dan perianal .

8. Kesimpulan

 Penilaian Luka tidak hanya berdasarkan etiologi dan klasifikasi. Diagnosis


diperlukan untuk ditegakan guna pengelolaan secara komprehensif untuk
mengatasi penyebab luka dan juga berguna untuk pencegahan terjadinya
rekuren. Penampilan klinis merupakan hal yang sangat penting dan
bermanfaat untuk penanganan luka. Tampilan menjadi pedoman yang penting
dalam menangani luka yang dapat berubah sejalan dengan proses perawatan
dan proses menuju kesembuhan.
 Produk perawatan luka/dressing yang berbentuk kasa, foam ditujukan untuk
luka yang permukaannya basah. Produk yang berbentuk gel atau cair untuk
luka yang permukaannya kering. Permukaan luka yang moist dapat dilakukan
perawatan dengan transparans dressing atau hydrocolloid. Hal ini
menyimpulkan bahwa tidak ada satu jenis produk yang dapat mengatasi
problem luka sepanjang rangkaian proses. Perubahan kondisi luka akan selalu
diikuti dengan perubahan strategi perawatan luka. Jenis material produk
perawatan luka akan berganti/berubah sesuai dengan kondisi luka yang ada.
 Perawatan luka dapat dilakukan dengan metode cara pintas dalam menilai
luka dan menentukan upaya yang bisa dilakukan dalam merawat luka
terutama dalam menentukan atau memilih dressing yang sesuai. Metode yang
dilakukan adalah menentukan problem luka terdiri dari infeksi, nekrotik,
eksudat. Menentukan macam dan warna luka yaitu : hitam, kuning, kuning
hijau, merah, pink. Dilengkapi dengan penilaian kering basahnya permukaan
luka, dibuat kondisi moist. Metode diatas selanjutnya dapat menentukan
tindakan dan memilih dressing yang tepat. Model ini dapat juga dilakukan
untuk mengevaluasi suatu modalitas terapi, juga sebagai cara KIE dengan
pasien dan keluarganya.
 Beberapa upaya tambahan dapat dilakukan dan telah dikembangkan untuk
membantu penyembuhan luka sebagai Adjuvant Therapy. Terapi Adjuvant ini pada
penyembuhan luka bertujuan mensuport proses penyembuhan agar dapat berjalan
dengan baik disamping upaya utama yang dilakukan dalam perawatan luka.

21
9. Daftar Pustaka
1. Asmussen PD, Sollner B, 1995. Wound Care. Wound Management Principles and
Practice. Hamburg: Beiersdorf medical Bibliothek, pp. 9-14.
2. Ayello EA, Baranoski S, Kerstein MD, Cuddigan J, 2004. Wound Debridement. In
(Baranoski S, Ayello EA, eds). Wound Care Essentials Practise Principles. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins, pp.117-126
3. Baranoski S, Ayello EA, 2004. Wound assesment. In ((Baranoski S, Ayello EA, eds).
Wound Care Essentials Practise Principles. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
pp.79-90
4. Baratawidjaja KG, 1996. Imunologi dasar. Edisi 3, Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, hlm 38-75.
5. Subowo, 2000. Aspek bioseluler dalam penyembuhan luka. Pertemuan Ilmiah Tahunan
Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia. Bandung:. hlm. 1-10.
6. Bayat A, Bock O, M Rowletz U, Ollier WE, Ferguson MW, 2003. Genetic Susceptibility
to Keloid Disease and Hyperthrophic Scarring : Transforming Growth Factor beta I
common polymorphysm and plasma levels. Plast Reconstr Surg 111 (2) : 535-543.
7. Dolynchuk KN, 2001. Debridement. In (Krasner D, Rodeheaver GT,Sibbald RG, eds).
Chronic wound care : A clinical source book for healthcare professionals. 3rd ed. Wayne,
Pa : HMP Communications, pp. 385-390
8. Dow G, Browne A, Sibbald RG, 1999. Infection in chronic wounds : Controversies in
diagnosis and treatment. Ostomy/Wound Management 45, pp.23-40
9. Enoch S, Grey JE, Harding KG, 2006. Recent advances and emerging treatment. In:
Grey JE, Harding KG (eds). ABC of Wound Healing. Oxford, Blackwell Publishing
Ltd.pp.43-46
10. Falanga V, 2000. Classifications for wound bed preparation and stimulation of chronic
wounds. Wound Rep Reg 8, pp. 347-352
11. Falanga V, 2001. Introducing the concept of wound bed preparation. Int Forum Wound
Care 16(1), pp.1-4
12. Falanga V, 2005. Wound Bed Preparation. Available fom : URL :
http://www.bu.edu./woundbiotech/index.html
13. Field CK, Kerstein MD, 1994. Overview of Wound Healing in a Moist Environment. Am
J Surg 167(1), pp.2S-6S
14. Fowler E, 1990. Chronic Wounds : an Overview . In :. Krasner D (ed). Chronic Wound
Care : A clinical Sourcebook for Healthcare Professional. Pennsylvania, Health
Management Publications Inc
15. Geronemus RG and Robins P, 1982. The effect of two new dressings on epidermal wound
healing. J Dermatol Surg Oncol 8, pp.850-852
16. Gurtner GC. 2007. Wound healing, normal and abnormal. In: Thorne CH, Beasly RW,
Aston SJ, Bartlett SP, Gurtner GC, Spear SL (Eds). Grabb and Smith’s plastic surgery. 6th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 15-22
17. Jones AM,. San Miguel L, 2006. Are modern wound dressings a clinical and cost-
effective alternative to the use of gauze? Journal of Wound Care 15(2) : 65 - 69
18. Kelly AP, 1988. Keloid. Dermatol Clin 6: 413-424
19. Krasner DL, Rodeheaver GT, Sibbald RG, 2001. Advance Wound Caring for a New
Millenium. In : Krasner D, Rodeheaver GT,Sibbald RG (eds). Chronic wound care : A
clinical source book for healthcare professionals. 3rd ed. Wayne, Pa : HMP
Communications, pp. 3 - 17

22
20. Lawrence WT. 1998. Physiology of The Acute Wound. Clinics in Plastic Surgery.
25(3):321-340
21. Lazarus GS, Cooper DM, Knighton DR,1994. Definition and guidelines for assessment
of wounds and evaluation of healing. Arch Dermatol 130(4), pp.489-93
22. Marzoeki D, 1993. Ilmu bedah luka dan perawatannya (luka, asepsis/antisepsis dan
desinfektan, luka bakar). Surabaya: Airlangga University Press, 3-9.
23. Moenajat Y, 2001. Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. Edisi II, Jakarta : Balai
Penerbit UI.
24. Moreau D, ed, 2003. Wound care made incredible easy. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkin, pp.71,126
25. Ovington LG, 1999. Dressing and adjunctive therapies : AHCPR guidelines revisited.
Ostomy/Wound Management 45, pp.94S-106S
26. Perdanakusuma DS, 1998. Skin Grafting. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 29-
30.
27. Perdanakusuma DS, 2002. Enzymatic Debridement. Jurnal Bedah Plastik Indonesia 1(1),
pp.1-2
28. Perdanakusuma DS, 2005. General acute and chronic wound management. Course Book,
One Day Instructure Course. Evidence Based Wound Care Management from evidence to
therapy.
29. Perdanakusuma DS, 2008. Perawatan Luka. Pedoman Keterampilan Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, pp 57 - 87
30. Perdanakusuma DS & Noer MS, 2006. Penanganan Parut Hipertrofik dan Keloid.
Surabaya: Airlangga University Press.
31. Place MJ, Herber SC, Hardesty RA, 1997. Basic Techniques and Principles in Plastic
Surgery. In : Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM (eds). Grabb & Smith’s Plastic Surger.y
5th ed. Philadelphia, Lippincott Raven. pp.13-25.
32. Preuss S, Breuing KH, Eriksson E, 2000. Plastic Surgery Techniques. In: Achauer BM,
Erickson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, Vander Kolk CA (eds). Plastic
Surgery Indications, Operations, and Outcomes. St.Louis, Mosby A Harcourt Health
Sciences Company. pp.147-161
33. Singer AJ, Clark RA, 1999. Cutaneous wound healing. N Engl J Med.; 341: 738-46
34. Stadelmann WK, Digenis AG, Tobin GR. 1998. Impediments to Wound Healing. The
American Journal of Surgery. 176:39S-47S
35. Teh BT, 1979. Why do skin graft fail. Plast Reconstr Surg 63(3), pp.323-332
36. Vowden K, Vowden P, 2002. Wound Bed Preparation.. Available from : URL :
www.worldwidewound.com/2002//vowden/wound-bed-preparation.html.
37. Wahl L, Wahl S, 1992. Inflammation. In Wound Healing Biochemical and Clinical
Aspects. Edited by Cohen I, Diegelman RF, Lindblad WJ. Philadelphia: W.B. Saunders:
pp 40–60
38. William D, Enoch S, Miller D, Harris K, Price P, Harding KG, 2005. Effect of sharp
deberidement using currete on recalcitrant non-healing venous ulcers: a concurrently
controlled, prospective cohort study. Wound Repair and Regenerative 13(2 :131-137
39. Wiseman DM, Rovee DT, Alvare OM, 1992. Wound dressings : design and use. In :
Cohen IK, Diegelman RF, Linblad WJ (eds). Wound Healing Biochemical and Clinical
Aspect. Philadelphia, WB Saunders Company. pp. 562 -580

23

Anda mungkin juga menyukai