Anda di halaman 1dari 98

PENGARUH PEMBERIAN JUS JAMBU BIJI MERAH (Psidium guajava L)

PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI PARU MENCIT


(Mus musculus) JANTAN GALUR BALB-C YANG
DIPAPAR ASAP ROKOK KRETEK

SKRIPSI

Oleh
Eka Dyah Wahyu
NIM 082210101081

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2013

PENGARUH PEMBERIAN JUS JAMBU BIJI MERAH (Psidium guajava L)


PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI PARU MENCIT
(Mus musculus) JANTAN GALUR BALB-C YANG
DIPAPAR ASAP ROKOK KRETEK

SKRIPSI
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Sarjana Farmasi (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Farmasi

Oleh
Eka Dyah Wahyu
NIM 082210101081

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2013

PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Ayahanda Sudarminto dan Ibunda Siti Nur Aini tercinta, yang telah mendoakan,
memberikan kasih sayang, dukungan dan pengorbanan yang tidak ternilai selama
ini.
2. Para pendidikku sejak SD sampai SMF, serta dosen-dosen Perguruan Tinggi
terhormat,

yang

telah

bersedia

memberikan

membimbingku dengan penuh kesabaran.


3. Almamater Fakultas Farmasi Universitas Jember.

ii

ilmu

pengetahuan

dan

MOTO
Kesempurnaan ilmu adalah bila diamalkan
Untuk kemaslahatan orang banyak
(Teguh Supriono)
Knowledge is the wing wherewith we fly to heaven
(William Shakespearse)
Ya Allah, beri saya keberanian untuk mengubah apa yang dapat saya ubah,
kesabaran untuk menerima apa yang tidak dapat diubah dan
kebijaksanaan untuk mengetahui bedanya
(Zigziglar)

iii

PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Eka Dyah Wahyu
NIM

: 082210101081

Menyatakan Dengan Sesungguhnya Bahwa Skripsi Yang Berjudul: Pengaruh


Pemberian Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L) pada Gambaran Histopatologi
Paru Mencit (Mus musculus) Jantan Galur Balb-C yang Dipapar Asap Rokok Kretek
adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali dalam pengutipan substansi
disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan pada institusi mana pun, serta
bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya
sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan
dan paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika
ternyata di kemudian hari ini tidak benar.

Jember, Januari 2013


Yang menyatakan,

Eka Dyah Wahyu


NIM. 082210101081

iv

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN JUS JAMBU BIJI MERAH (Psidium guajava L)


PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI PARU MENCIT
(Mus musculus) JANTAN GALUR BALB-C YANG
DIPAPAR ASAP ROKOK KRETEK

Oleh
Eka Dyah Wahyu
NIM. 082210101081

Pembimbing
Dosen Pembimbing Utama

: dr. Hairrudin, M.Kes.

Dosen Pembimbing Anggota

: Diana Holidah, S.F., M.Farm., Apt.

vi

RINGKASAN
Pengaruh Pemberian Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L) Pada
Gambaran Histopatologi Paru Mencit (Mus musculus) Jantan Galur Balb-C
Yang Dipapar Asap Rokok Kretek. Eka Dyah Wahyu, 082210101081; 2013; 53
halaman; Fakultas Farmasi Universitas Jember.
Angka kematian akibat asap rokok mencapai 5,4 juta/tahun dan dapat
meningkat sampai 8 juta/tahun dengan jumlah perokok mencapai 1,3 miliar orang
pada tahun 2030 dan 70% di antaranya terjadi di negara-negara berkembang (World
Health Organization, 2008). Sebagian besar penelitian epidemiologi terhadap efek
merokok terbukti bahwa merokok telah meningkatkan risiko kanker paru (Barnoya
dan Glantz, 2005). Penyakit tersebut berkaitan dengan meningkatnya stres oksidatif
dan berkurangnya antioksidan endogen akibat racun tembakau yang diisap oleh
perokok. Oleh karena itu, tubuh perokok memerlukan antioksidan eksogen untuk
menangkal radikal bebas (Edyson, 2005).
Buah jambu biji merah memiliki potensi di bidang medis sebagai sumber
senyawa antioksidan eksogen karena mengandung vitamin C, vitamin E, -karoten,
seng dan selenium (Fonnie, 2007). Dalam penelitian secara in vitro dibuktikan bahwa
jus buah jambu biji memiliki aktivitas antiradikal dengan nilai IC 50 sebesar 380,74
g/ml (Pribadi, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah jus jambu biji merah
(Psidium guajava L.) memiliki kemampuan mencegah kerusakan paru mencit jantan
galur Balb-C yang dipapar asap rokok kretek. Dan untuk mengetahui manakah dari
ketiga dosis 0,5 ml/hari, 1,0 ml/hari, 2,0 ml/hari jus buah jambu biji merah (Psidium
guajava L.) yang memiliki aktivitas paling kuat dalam mencegah kerusakan paru
mencit jantan galur Balb-C yang dipapar asap rokok.
Asap rokok, vitamin C dan jus jambu biji merah diberikan kepada mencit
sesuai kelompok perlakuan selama 35 hari. Pada hari ke-36 mencit dikorbankan dan

vii

diambil jaringan parunya untuk dibuat preparat histologi paru. Gambaran


histopatologi paru mencit diperiksa dan dilakukan analisis data.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa jus jambu biji
merah memiliki kemampuan dalam mencegah tingkat keparahan kerusakan jaringan
paru. Dosis jus jambu biji 0,5 ml/hari memiliki aktivitas paling kuat, kemudian
menurun pada dosis 1,0 ml/hari, dan semakin menurun pada dosis 2,0 ml/hari. Bila
dipersentasekan kemampuan jus jambu biji dalam mencegah kerusakan paru pada
dosis 0,5 ml/hari, 1,0 ml/hari dan 2,0 ml/hari masing-masing adalah 75% (pada 4
mencit), 60% (pada 5 mencit), dan 40% (pada 5 mencit).
Jus jambu biji merah (Psidium guajava L.) dapat mencegah kerusakan sel paru
mencit jantan galur Balb-C yang dipapar asap rokok kretek. Dosis

0,5 ml/hari

memiliki aktivitas paling kuat dalam mencegah kerusakan paru mencit jantan galur
Balb-C yang dipapar asap rokok kretek yaitu sebesar 75% (pada 4 mencit).

viii

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian Jus Jambu
Biji Merah (Psidium guajava L) pada Gambaran Histopatologi Paru Mencit (Mus
musculus) Jantan Galur Balb-C yang Dipapar Asap Rokok Kretek. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana
farmasi (S1) Fakultas Farmasi Universitas Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Jember, Bapak Prof. Drs. Bambang
Kuswandi, M.Sc., Ph.D atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
2. dr. Hairrudin, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing Utama dan ibu Diana Holidah,
S.F., M.Farm., Apt. selaku Dosen Pembimbing Anggota yang penuh kesabaran
memberi bimbingan, dorongan, meluangkan waktu, pikiran, perhatian dan saran
kepada penulis selama penyusunan skripsi ini sehingga bisa terlaksana dengan
baik.
3. Prof. drg. Mei Syafriadi, MD.Sc., Ph.D selaku Dosen Penguji I dan ibu Fifteen
Aprila Fajrin, M.Farm. selaku Dosen Penguji II, terima kasih atas bimbingan,
saran dan kritiknya.
4. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Jember yang telah memberikan
ilmu, bimbingan, saran dan kritik kepada penulis.
5. Mbak Indri dan Mbak Dhini yang selalu membantu penulis saat melakukan
penelitian di laboratorium.
6. Keluargaku, Ayahanda Sudarminto, Ibunda Siti Nur Aini, dan Adikku Yuniar
Dwi Lestari tersayang yang telah memberikan pengorbanan yang tak terhingga,

ix

perhatian, kasih sayang, tenaga, pikiran, doa dan semangat yang besar pada
penulis terutama selama penyusunan skripsi ini.
7. Fandhi Bagus Alwianto, yang telah menjadi cambuk semangat dalam
menyelesaikan karya ini. Kau yang terindah untukku.
8. Teman satu timku, mbak Noviana Rahmi yang selalu siap memberi bantuan
tenaga, pikiran, pengorbanan, kasih sayang dan perhatian yang besar selama ini.
9. Teman-teman lab. farmasi klinik seperjuangan Rosa, Septi, Mutia, Itum, aulia,
Mbak Intan, Rizka, Intan yang selalu memberikan motivasi yang besar.
10. Rekan-rekan seperjuangan (my lovely sista) Aprilia Ratna, Evi Lestari, Emy D
Frismandani, Margaretta Indra dan Tyta Ardhina yang telah berjuang bersamasama untuk mancapai kelulusan dan saling memberikan bantuan, semangat,
tenaga dan pikiran selama ini. Semoga tak hanya sebatas ini.
11. Angkatan 2008 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Hanya doa yang dapat penulis panjatkan semoga segala kebaikan dan dukungan
yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Tuhan. Dan semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu farmasi, Amin.

Jember, Januari 2013

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .........................................................................................

HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................

ii

HALAMAN MOTO ..........................................................................................

iii

HALAMAN PERNYATAAN...........................................................................

iv

HALAMAN PEMBIMBINGAN......................................................................

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................

vi

RINGKASAN ....................................................................................................

vii

PRAKATA .........................................................................................................

ix

DAFTAR ISI......................................................................................................

xi

DAFTAR TABEL .............................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................

xvi

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................

1.1

Latar Belakang ................................................................................

1.2

Rumusan Masalah...........................................................................

1.3

Tujuan Penelitian ............................................................................

1.4

Manfaat Penelitian ..........................................................................

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................

Jambu biji merah (Psidium guajava L.) ........................................

2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi jambu biji merah ..............................

2.1.2 Kandungan buah jambu biji merah ..........................................

2.2

Jus Buah...........................................................................................

2.3

Antioksidan......................................................................................

2.4

Vitamin C.........................................................................................

2.5

-Karoten .........................................................................................

11

2.6

Likopen ...........................................................................................

12

2.1

xi

2.6

Vitamin E .........................................................................................

13

2.7

Radikal bebas ..................................................................................

14

2.8

Rokok

...........................................................................................

17

2.9

Asap Rokok dan Kerusakan Paru .................................................

19

2.10 Sistem Respirasi ..............................................................................

20

BAB 3. METODE PENELITIAN....................................................................

27

3.1

Jenis Penelitian ................................................................................

27

3.2

Rancangan Penelitian .....................................................................

27

3.3

Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................

28

3.4

Jumlah Sampel ................................................................................

28

3.5

Variabel Penelitian..........................................................................

29

3.6

Definisi Operasional........................................................................

29

3.7

Alat dan Bahan Penelitian..............................................................

30

3.7.1 Alat yang Digunakan ...............................................................

30

3.7.2 Bahan yang Digunakan............................................................

30

Cara Kerja .......................................................................................

31

3.8.1 Tahap Persiapan dan Preparasi Jus Buah Jambu Biji ..............

31

3.8.2 Tahap Perlakuan ......................................................................

31

Analisis Data ...................................................................................

34

3.10 Skema Pelaksanaan Penelitian ......................................................

35

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................

36

3.8

3.9

4.1

Hasil dan Analisis Data ...................................................................

36

4.2

Pembahasan .....................................................................................

41

BAB 5. PENUTUP ...........................................................................................

46

5.1

Kesimpulan ......................................................................................

46

5.2

Saran ................................................................................................

46

xii

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................

47

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................

55

xiii

DAFTAR TABEL
Halaman
2.1

Kandungan buah jambu biji merah..............................................................

2.2

Kandungan vitamin C per 100g Buah ......................................................... 11

4.1

Hasil Pemeriksaan Histopatologi Paru ........................................................ 39

4.2

Skoring derajat kerusakan gambaran histopatologi paru............................. 40

4.3

Nilai p pada uji Mann Whitney antar kelompok .......................................... 40

xiv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1

Buah Jambu Biji Merah ...............................................................................

2.2

Struktur Kimia Vitamin C ........................................................................... 10

2.3

Struktur Kimia -karoten............................................................................. 12

2.4

Struktur Kimia Likopen............................................................................... 12

2.5

Siklus vitamin E........................................................................................... 14

2.6

Sistem Respirasi .......................................................................................... 21

2.7

Histologi Alveolus ....................................................................................... 22

2.8

Histologi Bronkiolus.................................................................................... 22

3.1

Rancangan Penelitian .................................................................................. 27

3.2

Skema penelitian pada hewan coba ............................................................. 35

4.1

Histopatologi paru mencit dengan pewarnaan Haematoxylin-Eosin


perbesaran 200X. (a) kontrol normal (b) kontrol negatif (c) kontrol positif
(d) dosis jus jambu biji merah 0,5 ml/hari (e) dosis jus jambu biji merah
1,0 ml/hari (f) dosis jus jambu biji merah 2,0 ml/hari. (1) bronkioli (2)
alveoli (3) jaringan granulomatuos (4) hipersekresi mukus (5) sel radang
(6) eksudat mukus........................................................................................ 37

4.2

Oksidasi askorbat untuk mereduksi radikal tocopheroxyl ........................... 44

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
A.

Tabel Perbandingan Luas Permukaan Hewan Coba Dengan Manusia ....... 55

B.

Volume Maksimal Pemberian Larutan Sediaan Uji Pada Beberapa


Hewan Uji.................................................................................................... 56

C.

Berat Badan Mencit Yang Digunakan......................................................... 57

D.

Perhitungan Dan Pemberian Dosis .............................................................. 59

E.

Data Hasil Penelitian.................................................................................... 66

F.

Hasil Analisis Data....................................................................................... 69

G.

Gambar Hasil Penelitian .............................................................................. 78

xvi

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jumlah perokok di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Pada saat ini saja
Indonesia termasuk lima besar konsumen rokok di dunia (Tandra, 2003). Konsumsi
rokok di Indonesia mencapai 240 Miliar batang per tahunnya atau setara 658 juta
batang tiap harinya. Jumlah konsumen rokok di negara-negara berkembang jauh lebih
banyak dibandingkan di negara maju. Hal ini dikarenakan pembatasan dan penurunan
pengguna rokok di negara-negara maju. Angka kematian akibat asap rokok mencapai
5,4 juta/tahun dan dapat meningkat sampai 8 juta/tahun dengan jumlah perokok
mencapai 1,3 miliar orang pada tahun 2030 dan 70% di antaranya terjadi di negaranegara berkembang (World Health Organization, 2008). Namun, merokok telah
menjadi gaya hidup bagi banyak pria dan wanita, bahkan anak-anak dan kaum remaja
(Skurnik dan Shoenfeld, 1998).
Berdasarkan bahan bakunya rokok terdiri dari empat jenis, yaitu rokok putih,
rokok kretek, rokok klembak dan cerutu. Rokok kretek berisi 75% tembakau dan 25%
cengkeh (Sitepoe, 1997). Rokok kretek lebih berbahaya daripada rokok putih, karena
kandungan tar, nikotin, dan karbon monoksida di dalamnya lebih tinggi. Komsumsi
rokok kretek di Indonesia mencapai 88% (Widodo et al., 2007). Dalam satu tahun,
produksi rokok kretek sekitar 86% dari total produksi rokok nasional yang mencapai
240 milyar batang (Wibisono, 2010).
Asap rokok terdiri atas asap utama (main stream smoke) dan asap sampingan
(side stream smoke). Asap utama adalah asap tembakau yang dihirup langsung oleh
perokok tersebut, sedangkan asap sampingan adalah asap yang disebarkan ke udara
bebas dan asap inilah yang akan dihirup oleh orang lain atau yang disebut sebagai
perokok pasif (Tandra, 2003). Asap rokok mengandung sekitar 4.000 bahan kimia
antara lain nikotin, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO), hydrogen sianida

(HCN), amoniak (NH4), acrolein, asetilen, benzaldehid, uretan, benzen, metanol,


kumarin, etilkatehol-4, ortokresol, perilen, dan lain-lain (Aditama, 2001).
Senyawa-senyawa tersebut potensial berkembang menjadi radikal bebas.
Radikal bebas akan menyebabkan kerusakan jaringan akibat proses oksidasi pada
lipoprotein membran sel (Marianti, 2009). Peroksidasi lipid dapat menyebabkan
kerusakan membran sel, kerusakan mitokondria, denaturasi protein sel, dan akhirnya
terjadi kerusakan paru (Kumar et al., 1997). Salah satu penelitian menyatakan
kerusakan paru nampak jelas pada alveoli paru, hal tersebut dikarenakan adanya
hubungan antara alveoli dengan kapiler darah saat pertukaran gas (Nurliani et al.,
2012). Bahkan, pada sebagian besar penelitian epidemiologi terhadap efek merokok
terbukti bahwa merokok telah meningkatkan risiko kanker paru (Barnoya dan Glantz,
2005). Penyakit tersebut berkaitan dengan meningkatnya stres oksidatif dan
berkurangnya antioksidan endogen akibat racun tembakau yang diisap oleh perokok.
Di dalam tubuh sudah terdapat enzim yang dapat menangkal radikal bebas
seperti Enzim Superoksida Dismutase (SOD), enzim katalase dan Gluthation
Peroxidase (GPx) serta antioksidan non enzimatik, namun bila jumlah radikal bebas
berlebihan, seperti pada perokok, tubuh memerlukan antioksidan eksogen untuk
menangkal radikal bebas (Edyson, 2005).
Buah jambu biji merah memiliki potensi di bidang medis sebagai sumber
senyawa antioksidan eksogen karena mengandung vitamin C, vitamin E, -karoten,
seng dan selenium (Fonnie, 2007). Dalam penelitian secara in vitro dibuktikan bahwa
jus buah jambu biji memiliki aktivitas antiradikal dengan nilai IC 50 sebesar 380,74
g/ml (Pribadi, 2009). Untuk mengetahui khasiat buah jambu biji merah dalam
meminimalkan efek negatif racun tembakau pada paru perokok, maka dilakukan
penelitian eksperimental laboratoris dengan memberikan jus buah jambu biji merah
berbagai dosis pada mencit (Mus musculus) yang dipapar dengan asap rokok kretek.

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, permasalahan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


1) Apakah jus jambu biji merah (Psidium guajava L.) dapat mencegah
kerusakan paru mencit jantan galur Balb-C yang dipapar asap rokok kretek?
2) Manakah diantara dosis 0,5 ml/hari, 1,0 ml/hari dan 2,0 ml/hari jus jambu
biji merah (Psidium guajava L.) yang memiliki aktivitas paling kuat dalam
mencegah kerusakan paru mencit jantan galur Balb-C yang dipapar asap
rokok kretek?
1.3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui apakah jus jambu biji merah (Psidium guajava L.)
memiliki kemampuan mencegah kerusakan paru mencit jantan galur Balb-C
yang dipapar asap rokok kretek.
2) Untuk mengetahui diantara dosis 0,5 ml/hari, 1,0 ml/hari dan 2,0 ml/hari jus
jambu biji merah (Psidium guajava L.) yang memiliki aktivitas paling kuat
dalam mencegah kerusakan paru mencit jantan galur Balb-C yang dipapar
asap rokok.

1.4

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1) Bagi peneliti dapat menambah wawasan keilmuan, khususnya tentang
pengaruh aktivitas jus jambu biji merah dalam memproteksi jaringan paru
akibat paparan asap rokok.
2) Bagi mahasiswa, dapat memberi dorongan dan sebagai dasar penelitian
untuk mahasiswa lain dalam mengadakan penelitian lebih lanjut

3) Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi tambahan dari efek


antioksidan jus buah jambu biji merah di Indonesia, sehingga dapat
dilakukan pengembangan produk antioksidan untuk menangkal efek radikal
bebas terutama pada pencegahan kerusakan paru.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.)
2.1.1 Klasifikasi dan Deskripsi Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.)
Jambu biji merah merupakan tanaman buah yang tumbuh dengan baik dan
banyak dijumpai di daerah tropis seperti Indonesia. Buah jambu biji merah dapat
dijumpai hampir di seluruh daerah di Indonesia dengan nama umum jambu biji,
jambu batu atau jambu klutuk. Berdasarkan taksonominya jambu biji diklasifikasikan
sebagai berikut (Soedarya, 2010):

Kingdom

: Plantae

Subkingdom

: Tracheobionta

Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Myrtales

Famili

: Myrtaceae

Genus

: Psidium

Spesies

: Psidium guajava L.

Gambar 2.1. Buah jambu biji merah

Jambu biji merah termasuk tanaman buah perdu. Jambu biji merah dapat
tumbuh didaerah ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut. Tanaman jambu biji
merah memiliki banyak cabang dan ranting dengan tinggi mencapai 12 meter.
Daunnya berbentuk bulat telur, kasar dan kusam. Batangnya keras dengan bunga
kecil berwarna putih. Buahnya mengandung banyak biji (Lakhanpal dan Rai, 2007).
Buah Jambu biji merah berbentuk bulat sampai dengan oval, berdiameter 4 cm
dan panjang 412 cm, berat buah 300600 gram. Kulit buah berwarna hijau tua pada
waktu muda, setelah buah masak kulit berwarna hijau kekuningan sampai dengan
kuning tua. Bagian tengah buah terdapat bijibiji kecil (Lakhanpal dan Rai, 2007).
2.1.2 Kandungan Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.)
Buah jambu biji merah diketahui memiliki kandungan vitamin C dan beta
karoten sehingga dapat berkhasiat sebagai antioksidan dan meningkatkan daya tahan
tubuh (Fonnie, 2007). Sekitar 15% kebutuhan likopen manusia juga dapat dipenuhi
dengan mengkonsumsi jambu biji merah, yang mempunyai efek memberikan
perlindungan pada tubuh dari beberapa jenis kanker (Rao dan Agarwal, 1998).
Kandungan-kandungan dalam buah jambu biji merah diperkirakan mempunyai efek
protektif terhadap kerusakan akibat proses stres oksidatif.
Buah jambu biji merah memiliki kandungan vitamin C yang tinggi diantara
berbagai jenis buah lainnya seperti jeruk, stroberi, dan pepaya. Kandungan vitamin C
pada buah jambu biji merah juga lebih tinggi dibandingkan dengan jambu biji putih
(Dzakiy, 2008).
Kandungan vitamin C jambu biji merah adalah 183,5 mg/100 g buah jambu
biji. Kandungan vitamin C jambu biji merah meningkat menjelang matangnya buah
dan kandungannya 3 kali lipat jeruk manis yang hanya 50 mg/100 g, sedangkan
kandungan vitamin C pepaya hanya 78 mg/100 g dan belimbing 35 mg/100 g (United
States Departement of Agriculture, 2001).

Kandungan kuersetin pada jambu biji merah berkhasiat untuk mengobati


kerapuhan pembuluh kapiler manusia (Harborne, 1987). Vitamin C yang tinggi dalam
buah jambu biji merah bermanfaat dalam meningkatkan kekebalan tubuh dan
mempercepat proses penyembuhan luka (Departemen Kesehatan, 2008). Kandungan
buah jambu biji merah secara lengkap tertera dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kandungan buah jambu biji merah
Nutrien kandungan (/100 gram)
air (g)
energi (kcal)
protein (g)
lemak total (g)
karbohidrat (g)
serat pangan, total (g)
abu (g)
mineral
kalsium, ca (mg)
besi, fe (mg)
magnesium, mg (mg)
fosfor, p (mg)
kalium, k (mg)
natrium, na (mg)
vitamin
vitamin c, total asam askorbat (mg)
tiamin (mg)
riboflavin (mg)
niasin (mg)
asam panthothenat (mg)
vitamin b-6 (mg)
folat, total (mcg)
folat, makanan (mcg)
vitamin a, (iu)
vitamin e, (mg-ate)

Sumber:

United States Departement of Agriculture, 2001.

86,10
51
0,82
0,6
11,88
5,4
0,60
20
0,31
10
25
284
3
183,5
0,05
0,05
1,2
0,15
0,143
14
14
792
1,12

Vitamin C sangat bermanfaat sebagai antioksidan yang berfungsi untuk


meningkatkan daya tahan tubuh dan berperan dalam pembentukan kolagen
intraseluler tubuh (Linder, 2006). Kolagen merupakan senyawa protein yang banyak
terdapat pada tulang rawan, kulit dalam, tulang, dentin, dan endotelium vaskular.
Vitamin C juga berperan dalam pembentukan hormon steroid dan kolesterol,
berperan pada sintesis neurotransmitter menjadi norepinefrin yang penting bagi

fungsi otak, untuk sintesis karnitin yang berfungsi dalam transport lemak ke
mitokondria untuk dikonversi menjadi energi, dan sebagai antioksidan (Higdon,
2004).
2.2 Jus Buah
Sari atau jus buah didefinisikan sebagai cairan yang diperoleh dengan
pemerasan buah, disaring atau tidak, tidak diperoleh dari hasil peragian (fermentasi)
dan dimaksudkan untuk minuman segar yang langsung dapat diminum. Sari atau jus
buah banyak disukai karena merupakan minuman bergizi yang banyak mengandung
vitamin dan mineral (Standar Industri Indonesia, 1979).
Bahan dasar pengolahan produk sari buah diperoleh dari berbagai jenis buahbuahan, diantaranya ada yang diolah dari buah segar (jambu dan mangga), bubur
buah (sirsak), dan ada yang dari bahan konsentrat padat (lychee, jeruk, dan apel).
Cocok atau tidaknya suatu jenis buah untuk diolah menjadi sari buah tergantung dari
jenis dan komponen phenolik, aroma dan jumlah vitaminnya terutama vitamin C
(Suwiah, 1990).
2.3 Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dapat memperlambat atau menghambat stres
oksidatif pada molekul. Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzimatik (enzim)
dan antioksidan non enzimatik (ekstraseluler). Antioksidan enzim di antaranya yaitu
superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH-Px), dan katalase.
Sedangkan antioksidan non enzimatik (ekstraseluler) antara lain vitamin E, vitamin
C, beta karoten, glutation, seruloplasmin, albumin, asam urat dan selenium (Priyanto,
2007). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu (Kumalaningsih, 2008):
1) Antioksidan primer
Antioksidan primer merupakan antioksidan yang bekerja dengan cara mencegah
terbentuknya radikal bebas yang baru dan mengubah radikal bebas menjadi

molekul yang tidak merugikan. Contohnya adalah Butil Hidroksi Toluen (BHT),
Tertier Butyl Hydro Quinon (TBHQ), propil galat, tokoferol alami maupun
sintetik dan alkil galat.
2) Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal
bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan
yang lebih besar. Contohnya adalah vitamin E, vitamin C, dan beta karoten yang
dapat diperoleh dari buah-buahan.
3) Antioksidan tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan
yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk kelompok ini
adalah jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang dapat
memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan
DNA pada penderita kanker.
2.4 Vitamin C
Vitamin C memiliki struktur yang menyerupai glukosa, pada sebagian besar
mamalia vitamin C berasal dari glukosa. Vitamin C terdapat dalam bentuk asam
askorbat maupun dehidroaskorbat (Lavoiser, 1998). Asam askorbat diabsorpsi usus
halus, dan hampir seluruh asam askorbat dari makanan terabsorpsi sempurna. Asam
askorbat masuk sirkulasi untuk didistribusikan ke sel-sel tubuh. Asam askorbat
dioksidasi in vivo menjadi radikal bebas askorbil. Sebagian proses reversibel menjadi
asam askorbat kembali, sebagian menjadi dehidroaskorbat yang akan mengalami
hidrolisis, oksidasi dan akhirnya diekskresi melalui urine (Horvart, 1992).
Vitamin C adalah salah satu jenis vitamin yang larut dalam air dan memiliki
peranan penting dalam menangkal berbagai penyakit. Vitamin ini juga dikenal
dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat (Davies et al., 1991).
Vitamin C termasuk golongan vitamin antioksidan yang mampu menangkal berbagai

10

radikal bebas ekstraselular. Beberapa karakteristiknya antara lain sangat mudah


teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam (Kim et al., 2002).

Gambar 2.2. Struktur kimia vitamin C (Sumber: Gallagher, M.L. 2004. Vitamins. In: Mahan
LK, Escott-Stump S. Krauses food, nutrition, & diet therapy. Saunders.
Pennsylvania)

Vitamin C bersifat hidrofilik dan berfungsi paling baik pada lingkungan air
sehingga merupakan antioksidan utama dalam plasma terhadap serangan reactive
oxygen species (ROS) dan juga berperan dalam sel (Frei et al., 1990). Sebagai zat
penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi dengan superoksida dan
anion hidroksil, serta berbagai hidroperoksida lemak. Hal ini dikarenakan vitamin C
memiliki gugus pendonor elektron berupa gugus enadiol Gugus ini terletak pada atom
C2 dan C3. Adanya gugus ini memungkinkan vitamin C mampu menangkap radikal
hidroksil (Purwakanta, 2005). Mekanisme reaksi antioksidan vitamin C adalah
radikal bebas bereaksi dengan asam askorbat menjadi radikal askorbat yang dengan
cepat berubah menjadi 2 bentuk berbeda yaitu askorbat dan dehidroaskorbat (Combs,
1992). Sedangkan sebagai antioksidan pemutus reaksi berantai, vitamin C mampu
mereduksi bentuk radikal dari vitamin E (Herbert, 1996).
Vitamin C sangat berperan penting dalam penyembuhan luka serta memiliki
kemampuan untuk melawan infeksi dan stress (Soerdjodibroto, 1985). Fungsi
fisiologi yang telah diketahui memerlukan vitamin C di antaranya yaitu kesehatan
substansi matriks jaringan ikat, integritas epitel melalui kesehatan zat perekat antar
sel, mekanisme immunitas terhadap berbagai serangan penyakit dan toksin, kesehatan

11

epitel pembuluh darah, penurunan kadar kolesterol, pertumbuhan tulang dan gigi
geligi (Sediaoetama, 1987).
Tabel 2.2. Kandungan vitamin C per 100g Buah
Buah

Nama latin

Kandungan vitamin C (mg)

alpukat
Persea americana
pisang
Musa paradisiaca
nanas
Ananus comosus
mangga
Mangifera indica
buah sukun
Artocarpus altilis
jeruk mandarin
Citrus reticulata
melon
Cucumis melo
jeruk (orange)
Citrus sinensis
stroberi
Fragaria x anansa
pepaya
Carica papaya
jambu biji
Psidium guajava
Sumber: The Natural Food Hub, 2001

8
9
15
28
29
31
42
53
57
62
183

2.5 -Karoten
Vitamin A adalah salah satu vitamin yang larut dalam lemak. Cukup stabil
dalam suhu yang tinggi dan tidak dapat diekstraksi oleh air yang dipakai untuk
merebus makanan, tetapi vitamin A dapat hancur oleh pengaruh oksidasi (William
dan Caliendo, 1984 dan Pudjiani, 2000).
Vitamin A hanya terdapat dalam jaringan hewan dan tidak terdapat dalam
tumbuhan. Namun tumbuhan memiliki pigmen yang disebut dengan karoten yang
dapat dirubah menjadi vitamin A (Pudjiani, 2000).
Karotenoid merupakan sebuah pigmen alami yang memberikan warna kuning,
jingga atau merah (Fennema, 1996). -Karoten merupakan salah satu dari karotenoid
yang mengandung cincin -ionon yang dapat diubah menjadi vitamin A, sehingga
pigmen -karoten disebut juga provitamin A (Hendry dan Houghton, 1996).
-Karoten merupakan provitamin A dengan aktivitas tertinggi karena memiliki
dua cincin bila dibandingkan dengan -karoten yang hanya memiliki satu cincin
(Ball, 1988 dan Gross, 1991).

12

Vitamin A berfungsi dalam penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi sel,


reproduksi dan integritas dari sistem kekebalan tubuh (Calder et al., 2002). Vitamin
A dibutuhkan untuk beberapa proses esensial di dalam tubuh seperti metabolisme,
hematopoiesis, pengaturan diferensiasi sel epitel, dan berperan dalam sistem imun
(Ball, 2004). Proses tersebut dapat didukung dengan semua bentuk vitamin A,
termasuk karotenoid provitamin A. Vitamin A juga berfungsi untuk kekebalan tubuh
(Olson, 2001). Vitamin A merupakan vitamin yang bersifat anti infektif didasarkan
pada peningkatan kejadian penyakit infeksi akibat defisiensi vitamin A baik pada
hewan maupun manusia. Pada keadaan kekurangan vitamin A, terjadi gangguan pada
mekanisme imun spesifik dan non spesifik, termasuk respon humoral terhadap infeksi
bakteri, parasit, dan virus (Olson, 2001).

Gambar 2.3. Struktur kimia -karoten (Sirjasonr, 2007)


2.6 Likopen

Likopen (C40H56) merupakan hidrokarbon alifatik dengan tiga belas ikatan


rangkap (Thompson et al., 2000). Fungsi likopen sebagai antioksidan dikarenakan
memiliki sebelas ikatan rangkap terkonjugasi yang dapat menahan serangan radikal
bebas membentuk produk inaktif, sehingga radikal bebas menjadi stabil (Chew,
1995).

Gambar 2.4. Struktur kimia likopen (Chew, 1995)

13

Struktur molekul likopen memiliki kemiripan dengan struktur -karoten, yang


membedakan keduanya yaitu likopen tidak memiliki cincin -ionon sedangkan karoten memiliki 2 cincin -ionon pada kedua ujung molekulnya. Cincin -ionon
menyebabkan -karoten berfungsi sebagai prekusor vitamin A, sedangkan likopen
tidak demikian. Vitamin A merupakan molekul yang tersusun dari satu inti -ionone
dan rantai lemak tidak jenuh dengan dua unit isopren dan satu gugus alkohol
tambahan (Makfoeld et al., 2002).
Likopen dikenal relatif lebih efisien sebagai penangkap singlet oksigen bila
dibandingkan dengan karotenoid lainnya, yaitu lebih tinggi daripada -karoten dan tokoferol. Kekuatan antioksidan likopen sebagai penangkap singlet oksigen (ROS
non-radikal) dua kali lipat dari -karoten dan sepuluh kali lipat dari -tokoferol (Shi
dan Maguer, 2000 dan Bohm et al., 2002). Mekanisme kerja antioksidasi likopen
adalah dengan meredam spesies oksigen reaktif dan meningkatkan potensi
antioksidan sehingga mengurangi kerusakan akibat proses oksidasi pada lipoprotein
dan membran (Palloza, 1998).
Delapan puluh lima persen sumber konsumsi likopen manusia berasal dari buah
tomat dan produk olahan tomat, sedangkan 15% sisanya berasal dari semangka,
jambu biji merah, dan papaya (Rao dan Agarwal, 1998). Likopen adalah karotenoid
yang paling mudah teroksidasi (Mortensen et al., 2001). Meskipun terbukti paling
kuat diantara sesama karotenoid, likopen tidak bekerja sendiri dalam menjalankan
fungsinya. Secara alami metabolisme dan aktivitas likopen juga memerlukan faktor
lain pada makanan, seperti zat-zat gizi dan fitokimia lainnya. Oleh karena itu,
mengkonsumsi berbagai jenis buah dan sayuran jauh lebih baik dibandingkan
langsung dari suplemen.
2.7 Vitamin E
Vitamin E adalah istilah umum untuk sejumlah senyawa tokol dan trienol.
Aktivitas biologi vitamin E dinyatakan oleh berbagai turunan dari tokoferol dan

14

tokotrienol dimana tokoferol memilaiki aktivitas terbesar. Vitamin E seringkali


disebut sebagai vitamin anti encephalomalasia, atau faktor anti sterilitas vitamin
reproduktif sterilamin, atau vitamin kesuburan (fertility) dan faktor X. Vitamin E
mempunyai fungsi utama sebagai antioksidan. Selain itu, fungsi penting lainnya
adalah fungsi struktural dalam memelihara integritas membran sel, sintesis DNA,
merangsang reaksi kekebalan, mencegah penyakit jantung koroner, mencegah
keguguran dan sterilisasi, dan mencegah gangguan menstruasi (Muhilal, 1998).

Gambar 2.5. Siklus vitamin E. (Sumber: Combs, G.F. 1998a. The vitamins: fundamental
aspects in nutrition and health, 2nd ed. Orlando: Academic Press.)

Vitamin E merupakan nutrien (zat gizi) esensial bagi hewan tingkat tinggi dan
juga manusia. Sebagian besar vitamin E berasal dari jaringan tanaman. Pada struktur
jaringan hewan hanya sedikit mengandung vitamin E. Struktur yang mempunyai
aktivitas vitamin E paling tinggi adalah -tokoferol. Di dalam jaringan tanaman, tokoferol umumnya terdapat dalam bentuk tidak teresterifikasi. Vitamin E adalah
substansi yang larut dalam lemak. Vitamin ini merupakan antioksidan utama dalam
semua membran seluler, dan melindungi asam lemak tak jenuh terhadap peristiwa
oksidasi (Tuminah, 2000).

2.8 Radikal Bebas


Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik berupa atom maupun
molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya. Radikal
bebas juga merupakan suatu kelompok bahan kimia dengan reaksi jangka pendek

15

yang memiliki satu atau lebih elektron bebas (Proctor dan Reynolds, 1984 dan Droge,
2002).
Radikal bebas yang ada di tubuh manusia berasal dari 2 sumber :
a) Sumber endogen
1) Autoksidasi
Autoksidasi merupakan produk dari proses metabolisme aerobik. Molekul yang
mengalami autoksidasi berasal dari katekolamin, hemoglobin, mioglobin, sitokrom
C yang tereduksi, dan thiol. Autoksidasi dari molekul di atas menghasilkan reduksi
dari oksigen diradikal dan pembentukan kelompok reaktif oksigen. Superoksida
merupakan bentukan awal radikal. Ion ferrous (Fe II) juga dapat kehilangan
elektronnya melalui oksigen untuk membuat superoksida dan Fe III melalui proses
autoksidasi (Proctor dan Reynolds, 1984 dan Droge, 2002).
2) Oksidasi enzimatik
Beberapa jenis sistem enzim mampu menghasilkan radikal bebas dalam jumlah
yang

cukup

bermakna,

meliputi

santin

oksidase

(activated

in

ischemiareperfusion), prostaglandin sintase, lipooksigenase, aldehid oksidase, dan


asam

amino

oksidase.

Enzim

mieloperoksidase

hasil

aktivasi

netrofil,

memanfaatkan hidrogen peroksida untuk oksidasi ion klorida menjadi suatu


oksidan yang kuat yaitu asam hipoklor (Inoue, 2001).
3) Respiratory burst
Respiratory burst merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
proses di mana sel fagositik menggunakan oksigen dalam jumlah yang besar
selama fagositosis. Lebih kurang 70-90 % penggunaan oksigen tersebut dapat
diperhitungkan dalam produksi superoksida. Sel fagositik tersebut memiliki sistem
membran ikatan flavoprotein sitokrom-b-245 nicotinamide adenine dinucleotide
phosphate-oxidase (NADPH) oksidase. Enzim membran sel seperti NADPHoksidase keluar dalam bentuk inaktif. Paparan terhadap bakteri yang diselimuti
imunoglobulin,

kompleks

imun,

komplemen

5a,

atau

leukotrien

dapat

16

mengaktifkan enzim NADPH-oksidase. Aktivasi tersebut mengawali respiratory


burst pada membran sel untuk memproduksi superoksida. Kemudian H 2O2
dibentuk dari superoksida dengan cara dismutasi bersama generasi berikutnya dari
OH dan HOCl oleh bakteri (Abate et al., 1990 dan Albina dan Reichner, 1998).
b) Sumber eksogen
1) Obat-obatan
Beberapa macam obat dapat meningkatkan produksi radikal bebas dalam bentuk
peningkatan tekanan oksigen. Bahan-bahan tersebut bereaksi bersama hiperoksida
dapat mempercepat tingkat kerusakan. Termasuk di dalamnya yaitu antibiotika
kelompok quinoid, obat kanker seperti bleomycin, anthracyclines (adriamycin),
dan methotrexate, yang memiliki aktifitas pro-oksidan. Selain itu, radikal juga
berasal dari fenilbutason, beberapa asam fenamat dan komponen aminosalisilat
dari sulfasalasin dapat menginaktivasi protease, dan penggunaan asam askorbat
dalam jumlah banyak mempercepat peroksidasi lemak (Proctor dan Reynolds,
1984 dan Inoue, 2001)
2) Radiasi
Radioterapi memungkinkan terjadinya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh
radikal bebas. Radiasi elektromagnetik (sinar X, sinar gamma) dan radiasi partikel
(partikel elektron, poton, neutron, alfa, dan beta) menghasilkan radikal primer
dengan cara memindahkan energinya pada komponen seluler seperti air. Radikal
primer tersebut dapat mengalami reaksi sekunder bersama oksigen yang terurai
atau bersama cairan seluler (Droge, 2002).
3) Asap rokok
Oksidan dalam rokok mempunyai jumlah yang cukup untuk memainkan peranan
yang besar terjadinya kerusakan saluran napas. Telah diketahui bahwa oksidan
asap tembakau menghabiskan antioksidan intraseluler dalam sel paru (in vivo)
melalui mekanisme yang dikaitkan terhadap tekanan oksidan. Diperkirakan bahwa
tiap hisapan rokok mempunyai bahan oksidan dalam jumlah yang sangat besar,

17

meliputi aldehida, epoksida, peroksida, dan radikal bebas lain yang mungkin
cukup berumur panjang dan bertahan hingga menyebabkan kerusakan alveoli.
Bahan lain seperti nitrit oksida, radikal peroksil, dan radikal yang mengandung
karbon ada dalam fase gas, juga mengandung radikal lain yang relatif stabil dalam
fase tar. Contoh radikal dalam fase tar meliputi semiquinone moieties dihasilkan
dari bermacam-macam quinone dan hydroquinone. Perdarahan kecil berulang
merupakan penyebab yang sangat mungkin dari disposisi besi dalam jaringan paru
perokok, dan meyebabkan pembentukan radikal hidroksil yang mematikan dari
hidrogen peroksida. Ditemukan juga bahwa perokok mengalami peningkatan
netrofil dalam saluran napas bawah yang mempunyai kontribusi pada peningkatan
lebih lanjut konsentrasi radikal bebas (Proctor dan Reynolds, 1984 dan Droge,
2002).
2.9 Rokok
Rokok merupakan bentuk olahan dari tembakau yang sediaannya berbentuk
gulungan tembakau (rolls of tobacco) yang dibakar dan dihisap. Contohnya yaitu
cigar, bidi, cigarette. Sigaret/Cigarette merupakan sediaan yang paling dikenal dan
paling banyak digunakan (Gondodiputro, 2007).
Terdapat dua jenis produk rokok di Indonesia yaitu rokok putih dan rokok
kretek. Rokok putih sudah dikenal di seluruh dunia, namun rokok kretek merupakan
produksi yang unik dari Indonesia. Berdasarkan bahan dan ramuan, rokok
digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu:
(1) Rokok kretek, yaitu rokok dengan atau tanpa filter yang memiliki ciri khas
adanya campuran cengkeh pada tembakau rajangan yang menghasilkan bunyi
kretek-kretek ketika dihisap (Nugroho, 2001). Berdasarkan cara pembuatannya,
rokok kretek dapat dibedakan menjadi sigaret kretek tangan (SKT) yaitu rokok
kretek yang dibuat menggunakan tangan dan sigaret kretek mesin (SKM) yang
menggunakan mesin (Susanto, 2001),

18

(2) Rokok putih, adalah rokok yang menggunakan tembakau tanpa menggunakan
cengkeh, digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan
tambahan kecuali yang tidak diijinkan berdasarkan ketentuan Pemerintah RI
(Badan Standarisasi Nasional, 1999 dan Nugroho, 2001),
(3) Rokok Klembak, adalah rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun
tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek
rasa dan aroma tertentu (Sitepoe, 1997), dan
(4) Cerutu, adalah produk dari tembakau tertentu berbentuk seperti rokok dengan
bagian pembalut luarnya berupa lembaran daun tembakau dan bagaian isisnya
campuran serpihan tembakau tanpa penambahan bahan lainnya (Gondodiputro,
2007).
Komsumsi rokok kretek di Indonesia mencapai 88% (Widodo et al., 2007).
Rokok kretek lebih berbahaya daripada rokok putih, karena kandungan tar, nikotin,
dan karbon monoksida di dalamnya lebih tinggi. Setiap tahunnya, produksi rokok
kretek di Indonesia sekitar 86% dari total produksi rokok nasional yang mencapai 240
milyar batang (Wibisono, 2010).
Rokok mengandung radikal bebas dalam jumlah yang sangat tinggi. Dalam satu
kali hisapan rokok saja diperkirakan terdapat sebanyak 1.014 molekul radikal bebas
yang masuk ke dalam tubuh (Yueniwati dan Ali, 2004). Asap rokok terdiri atas asap
utama (main stream smoke) dan asap sampingan (side stream smoke). Asap utama
adalah asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok tersebut, sedangkan asap
sampingan adalah asap yang disebarkan ke udara bebas dan asap inilah yang akan
dihirup oleh orang lain atau yang disebut sebagai perokok pasif (Tandra, 2003).
Mengingat bahwa kandungan dalam asap sekunder lebih toksik dibandingkan asap
primer maka akibat yang timbul pada orang yang kontinyu terpapar dengan asap
rokok atau yang disebut perokok pasif tidak berbeda dengan perokok aktif (Marianti,
2009). Asap rokok mengandung sekitar 4.000 bahan kimia antara lain nikotin, CO,
NO, HCN, NH4, acrolein, asetilen, benzaldehid, uretan, benzen, metanol, kumarin,

19

etilkatehol-4, ortokresol, perilen, dan lain-lain. Selain komponen gas, terdapat pula
komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar (Aditama, 2001).
Komponen asap rokok seperti nikotin, tar, dan hidrokarbon dapat memicu
terbentuknya radikal bebas pada berbagai sel tubuh, juga dapat menyebabkan
terjadinya reaksi rantai yang dapat menyebar ke seluruh sel (Setijowati et al., 1998).
2.10 Asap Rokok dan Kerusakan Paru
Rokok mengandung sekitar 107 molekul oksidan per batang yang cukup untuk
memainkan peranan yang besar dalam meningkatkan stres oksidatif tidak hanya
melalui produksi radikal oksigen reaktif dalam tar rokok dan asap, tetapi juga melalui
melemahnya sistem pertahanan antioksidan. Sejumlah penelitian telah melaporkan
bahwa hasil merokok adalah rendahnya konsentrasi antioksidan dalam plasma. The
Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dan studi
lainnya melaporkan bahwa perokok mempunyai kadar vit C, -karoten, -karoten, Cryptoxanthin, melatonin, -tokoferol, dan lutein/zeaxanthin lebih rendah secara
signifikan (Astawan dan leomitro, 2008).
Oksidan asap rokok menurunkan antioksidan intraseluler melalui mekanisme
yang dikaitkan terhadap tekanan oksidatif. Definisi tekanan oksidatif (oxidative
stress) adalah suatu keadaan di mana tingkat ROS yang toksik melebihi pertahanan
antioksidan endogen. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas, yang akan
bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler, sehingga terjadi kerusakan
lokal dan disfungsi organ tertentu (Tanaka et al., 2003). Salah satu disfungsi organ
yang terjadi adalah paru, yang dikarenakan adanya perubahan struktur, fungsi saluran
napas dan jaringan paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi)
dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi
radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir.
Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli.

20

Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan pada
fungsi paru dengan segala macam gejala klinisnya (Tandra, 2003).
Terdapat hubungan erat antara kebiasaan merokok, dengan timbulnya kanker
paru. Partikel asap rokok, seperti benzopiren, dibenzopiren, dan uretan, dikenal
sebagai bahan karsinogen. Tar juga berhubungan dengan risiko terjadinya kanker.
Dibandingkan dengan bukan perokok, kemungkinan timbul kanker paru pada
perokok mencapai 10-30 kali lebih sering (Tandra, 2003).
2.11 Sistem Respirasi
Sistem respirasi dari masuknya udara hingga mencapai paru adalah hidung,
faring, laring, trakea, bronkus, alveolus, dan paru (Syahruddin, 2006).
Bagian-bagian dari sistem pernapasan di antaranya (Syahruddin, 2006):
a)

Rongga Hidung (cavum nasalis)


Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga
hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (sebasea)
dan kelenjar keringat (sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda
asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut
pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk
bersama udara. Di dalam rongga hidung juga terdapat banyak konka yang
mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang
masuk.

b) Faring (Tekak)
Faring merupakan percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofaring)
pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofaring) pada bagian belakang.
Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat
terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan
menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan sambil
berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasan karena

21

saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf
kita akan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi
bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan.

Gambar 2.6. Sistem respirasi (Syahruddin, 2006)

c)

Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya 10 cm, terletak sebagian di leher
dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku,
dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia.
Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran
pernapasan.

d) Cabang-Cabang Tenggorokan (Bronki)


Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan
bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang
rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar
cincin tulang rawannya melingkari lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-

22

cabang lagi menjadi bronkiolus. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar
daripada kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah
cabang utama lewat di bawah arteri yang disebut sebagai bronkus lobus bawah.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan dan berjalan di
bawah arteri pulmonalis. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi
menjadi bronkus lobaris dan kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan
ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil, sampai
akhirnya menjadi bronkiolus terminalis yaitu saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveoli (kantong udara) (Syahruddin, 2006).

Gambar 2.7. Histologi bronkiolus (Eroschenko, 2009)

e)

Alveolus

Gambar 2.8 Histologi alveolus (Eroschenko, 2009)

Alveolus merupakan kantong udara terminal yang berhubungan erat dengan


jaringan kaya pembuluh darah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi
anatominya. Ada 2 tipe sel epitel alveolus, yaitu tipe 1 berukuran besar, datar,

23

dan berbentuk skuamosa, dan bertanggung jawab untuk pertukaran udara.


Sedangkan tipe 2 yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta dalam pertukaran
udara. Sel tipe 2 inilah yang memproduksi surfaktan, yang melapisi alveolus dan
mencegah kolapnya alveolus. Alveolus merupakan jaringan kaya pembuluh
darah dan berselaput tipis sehingga memungkinkan terjadinya difusi gas
pernapasan dan bahaya akan adanya kerusakan oleh adanya zat polutan.
f)

Paru
Paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh
otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat.
Paru ada dua bagian yaitu paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus
dan paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru dibungkus oleh dua
selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung
menyelaputi paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang
menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura
luar (pleura parietalis). Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga
berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas paru. Cairan pleura berasal
dari plasma darah yang masuk secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat
permeabel terhadap air dan zat-zat lain.
Paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah.
Paru berstruktur seperti spons yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang
sangat lebar untuk pertukaran gas. Di dalam paru, bronkiolus bercabang-cabang
halus dengan diameter 1 mm, dindingnya makin menipis jika dibanding dengan
bronkus. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan, tetapi rongganya masih
mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus
bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus). Alveolus
terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu
sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena

24

alveolus berselaput tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka
memungkinkan terjadinya difusi gas pernapasan (Syahruddin, 2006).
Adapun fungsi pernapasan, yaitu (Syaifuddin, 1996) :
2) Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh (selselnya) untuk mengadakan pembakaran
3) Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran,
kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak berguna
lagi oleh tubuh)
4) Melembabkan udara.
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara berlangsung
di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan di dalamnya
aliran udara timbal balik (pernapasan), dan tergantung pada difusi oksigen dari
alveoli ke dalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas
dan uap yang dihirup. Paru-paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan
berbahaya lewat udara pada paparan kerja (WHO, 1993). Proses dari sistem
pernapasan atau sistem respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu (Alsagaf, 2005):
1) Ventilasi, yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru
2) Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut pernapasan luar
3) Transportasi gas melalui darah
4) Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut
pernapasan dalam
5) Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut
juga pernapasan seluler.
Sebab-sebab utama penyakit pernapasan, yaitu (WHO, 1993):
1) Mikroorganisme pathogen yang mampu bertahan terhadap fagositosis

25

2) Partikel-partikel mineral yang menyebabkan kerusakan atau kematian makrofag


yang menelannya, sehingga menghambat pembersihan dan merangsang reaksi
jaringan
3) Partikel-partikel organik yang merespons imun
4) Kelebihan beban sistem akibat paparan teru-menerus terhadap debu espirasi
berkadar tinggi yang menumpuk disekitar saluran napas terminal.
Stimulasi saluran napas berulang (bahkan mungkin juga oleh partikel-partikel
inert), menyebabkan penebalan dinding bronki, meningkatkan sekresi mucus,
merendahkan ambang reflex penyempitan dan batuk, meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi pernapasan (WHO, 1993).
Sistem pertahan pada paru-paru secara umum dapat dibagi menjadi sistem
pertahanan spesifik dan sistem pertahanan non spesifik. Sistem pertahanan non
spesifik terdiri silia, mukus yang dihasilkan, dan refleks batuk. Apabila sistem
pertahanan non spesifik tidak mampu menangkal antigen yang masuk maka antigen
akan berhadapan dengan sistem pertahanan spesifik.
Antibodi spesifik terdiri dari immunoglobulin yang dihasilkan oleh sel limfoid
yang banyak tersebar pada saluran pernafasan. Sel-sel limfoid ini berupa limfosit
yang tersebar secara acak. Pada saluran pernafasan bagian bawah, yaitu pada
bronkhiol dan alveoli sekreta yang dihasilkan lebih banyak mengandung IgG. IgG
yang banyak dihasilkan pada alveoli dan bronkhioli bertugas ketika terjadi
peradangan yang akut transudasi serum protein (Tizard, 1982).
Pada dinding alveoli banyak sekali terdapat makrofag. Dalam menjalankan
tugasnya makrofag bisa bersifat tetap (tidak berpindah tempat) atau bergerak. Karena
makrofag dapat bergerak bebas maka makrofag bisa bekerja secara maksimal dalam
membuang sisa antigen pada paru-paru. Makrofag yang bergerak ini dapat
meninggalkan paru-paru karena terbawa oleh mukus ke arah laring atau menembus
sel alveolar dan masuk ke dalam pembuluh limfe paru-paru. Alveolar makrofag
merupakan sel yang utama yang melindungi paru-paru dari iritan yang masuk ke

26

dalam paru-paru. Alveolar makrofag memakan iritan baik dengan mekanisme


oksidatif maupun non-oksidatif. Selain berfungsi untuk memakan iritan yang masuk
atau terhirup ke paru-paru, sekresi yang dikeluarkan alveolar makrofag juga berfungsi
sebagai inisiasi proses peradangan untuk membasmi iritan secara tuntas (Coonrod,
1989).

BAB 3. METODE PENELITIAN


3.1

Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorium

(true experimental laboratories).


3.2

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan yaitu rancangan penelitian untuk true

experimental laboratories. Bentuk rancangan penelitian yang dipilih adalah The


Posttest Only Control Group Design.
K

SP

KN

D1

K(-)

D2

K(+)

D3

P1

D4

P2

D5

P3

D6

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian


Keterangan:
SP

: Sampel

: Randomisasi mencit

: Kontrol

: Perlakuan

KN

: Kontrol normal, tanpa perlakuan.

K(-)

: Kontrol negatif dengan dipapar batang asap rokok kretek selama 35 hari.

K(+)

: Kontrol positif dengan dipapar batang asap rokok kretek dan vitamin C 0,024
mg/g BB mencit selama 35 hari.

28

P1

: Kelompok dosis dengan dipapar batang asap rokok kretek dan jus buah jambu
biji 0,5 ml/hari selama 35 hari.

P2

: Kelompok dosis dengan dipapar batang asap rokok kretek dan jus buah jambu
biji 1,0 ml/hari selama 35 hari

P3

: Kelompok dosis dengan dipapar batang asap rokok kretek dan jus buah jambu
biji 2,0 ml/hari selama 35 hari

D1-6

3.3

: Data pemeriksaan gambaran histopatologi paru seluruh mencit pada hari ke-36

Tempat dan Waktu Penelitian


Pembuatan jus jambu biji merah dan pemeriksaan histopatologi paru mencit

dilakukan di Laboratorium Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Jember dan


Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Penelitian
dilakukan mulai bulan Juli Desember 2012
3.4

Jumlah Sampel
Sampel yang digunakan adalah mencit percobaan berjumlah 30 ekor yang

diambil secara random sampling sesuai dengan syarat yaitu mencit galur balb-C
berjenis kelamin jantan dengan umur 9-10 minggu dan berat badan 30-35 gram.
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus Federer:
{(p-1)(n-1)}15 (Hanafiah, 2001).
Keterangan :
n : jumlah sampel
p : jumlah kelompok kontrol dan perlakuan
jika, p = 6
maka,

{(6-1)(n-1)}

15

5n-5

15

29

Jadi jumlah sampel yang digunakan minimal adalah 4 ekor mencit untuk
masing-masing kelompok perlakuan. Pada penelitian ini digunakan 30 ekor mencit, 5
ekor untuk masing-masing perlakuan maupun kontrol.
3.5

Variabel Penelitian

a)

Variabel bebas pada penelitian ini adalah jus buah jambu biji (Psidium guajava
L) pada penelitian ini digunakan dosis 0,5 ml/hari, 1,0 ml/hari, dan 2,0 ml/hari
yang diberikan secara per oral pada kelompok perlakuan.

b)

Variabel terikat pada penelitian ini adalah gambaran histopatologi paru mencit.

c)

Variabel terkendali dalam penelitian ini meliputi jenis hewan coba, umur hewan
coba, jenis kelamin hewan coba, waktu, pemeliharaan hewan coba dan rokok
kretek merk TOPPAS.

3.6

Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain:
a) Jus buah yang dimaksud adalah cairan yang diperoleh dengan pemerasan buah
kemudian disaring. Jus buah jambu biji merah yang digunakan berasal dari
jambu biji merah yang matang, berwarna hijau kekuningan dengan bentuk
yang baik dan segar. Buah dihaluskan kemudian dipisah jus buah dari
ampasnya tanpa tambahan air (selengkapnya lihat hal.31).
b) Asap rokok yang dimaksud berasal dari rokok kretek non-filter (Merk
TOPPAS) yang dinyalakan dan dipaparkan pada mencit dengan bantuan alat
pompa hingga setengah batang rokok sekali sehari selama 35 hari. Pemaparan
asap rokok dilakukan dengan cara memompa rokok yang dinyalakan dengan
spuit ke dalam bak berukuran 30x15x15 cm ditutup dengan kain spunbond
yang berisi 5 ekor mencit per bak.

30

c) Gambaran histopatologi paru mencit diamati berdasarkan skor derajat


kerusakan yang di adaptasi dari penelitian sebelumnya (Sezer et al., 2006)
dengan kriteria sebagai berikut:
Skor 0 : Jika tidak terdapat perubahan histopatologis
Skor 1 : Jika terdapat peningkatan sekresi mucus pada bronkiolus, terdapat
debu/kotoran pada alveolus/bronkiolus, terdapat sel-sel radang akut
pada paru 2 fokus
Skor 2 : Jika terdapat peningkatan sekresi mucus pada bronkiolus, terdapat
debu/kotoran pada alveolus/bronkiolus dan sel-sel radang akut pada
paru 3 fokus
Skor 3 : Jika terdapat peningkatan sekresi mucus pada bronkiolus, terdapat
debu/kotoran pada alveolus/bronkiolus, sel-sel radang akut pada
paru 3 fokus dan jaringan granulomatous
Skor 4 : Jika terdapat peningkatan sekresi mucus pada bronkiolus, terdapat
debu/kotoran pada alveolus/bronkiolus, sel-sel radang akut pada
paru 3 fokus, jaringan granulomatous dan fibrosis sel.
3.7

Alat dan Bahan Penelitian

3.7.1 Alat
Alat yang digunakan adalah kandang mencit, kotak berukuran 30x15x15 cm
dengan tutup kawat kasa dan kain spunbond untuk tempat pemaparan asap rokok,
sonde, pisau bedah, mikroskop binokuler, vial, cover glass, deck glass, beaker glass,
juice cruiser, papan bedah meliputi papan, gunting dan pinset steril, timbangan
analitik, kain spunbond, timbangan hewan, spuit injeksi.
3.7.2 Bahan
Bahan sampel berupa buah jambu biji yang diperoleh dari Wande Echo Jember
Jawa Timur, rokok kretek merk TOPPAS, formalin 10%.

31

3.8

Cara Kerja

3.8.1 Tahap Persiapan dan Preparasi Jus Buah Jambu Biji.


Buah jambu biji diperoleh dari daerah Jember, Jawa Timur. Buah dipilih yang
memiliki bentuk fisik yang baik dan segar, yang baru matang, ditandai dengan warna
kulit yang hijau kekuningan dan daging buahnya berwarna merah. Buah dicuci
dengan air bersih kemudian dipotong kecil-kecil. Potongan buah dimasukkan ke
dalam juice cruicer dan dihaluskan selama 5 menit. Jus buah jambu biji kental yang
dihasilkan kemudian disaring menggunakan kain spunbond untuk memisahkan sari
buah dan ampasnya. Jus buah yang dihasilkan ditampung dalam beaker glass dan
siap diberikan ke mencit.
3.8.2 Tahap Perlakuan
a)

Adaptasi Hewan Coba


Sebelum perlakuan, mencit diadaptasikan pada kondisi laboratorium selama 7

hari dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yakni perubahan


kandangnya dan waktu makan. Pada awal percobaan semua mencit ditimbang berat
badannya kemudian dilakukan dengan metode simple random sampling agar setiap
hewan coba mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan perlakuan.
b)

Pemaparan Asap Rokok


Setiap 5 ekor mencit dari masing-masing kelompok, kecuali kontrol normal,

dimasukkan dalam kotak dengan ukuran 30x15x15 cm. Dengan menggunakan spuit
yang pada ujungnya diberi rokok yang dinyalakan, mencit dipapar dengan setengah
batang rokok per hari (Subekti, 2006).
c)

Perlakuan pada Hewan Coba


Dilakukan randomisasi 30 ekor mencit jantan, dibagi kedalam 6 kelompok

masing-masing 5 ekor. Kelompok kontrol normal tidak diberi perlakuan. Kelompok

32

kontrol negatif diberi paparan asap rokok. Kelompok control positif diberi paparan
asap rokok dan vitamin C 0,024 mg/g BB (Nugraheni et al., 2003). Sedangkan
kelompok dosis 1, 2, 3 diberi paparan asap rokok dan jus buah jambu biji dengan
dosis yang telah ditentukan selama 35 hari. Pada hari ke-36 mencit dikorbankan,
dengan cara dianastesi menggunakan eter, kemudian dibedah untuk memperoleh
organ paru mencit.
d)

Pembuatan Preparat Histopatologi Paru


Metode yang digunakan terdiri atas 4 tahap, yaitu fiksasi, dehidrasi, pencetakan

(embedding), dan pewarnaan (staining). Tahap fiksasi dilakukan dengan memotong


organ paru dengan ukuran 2x2x1 cm, dimasukkan ke dalam Formalin 10% selama
3x24 jam, kemudian dipotong lagi dengan ukuran lebih tipis. Potongan-potongan
paru tersebut dilanjutkan ke tahap dehidrasi, yaitu dengan perendaman menggunakan
etanol bertingkat (etanol 70%, 80%, 96%, absolut I, absolut II). Kemudian etanol
dihilangkan dengan xylol I dan II masing-masing selama 40 menit. Infiltrasi
menggunakan parafin cair dilakukan pada suhu 60C selama 4 kali masing-masing
selama 30 menit. Sebelum dilakukan pencetakan, cetakan dicuci dengan campuran
etanol 96%, xylol, dan air.
Pencetakan dilakukan dengan menuangkan parafin panas dalam blok cetakan
sebanyak setengah cetakan dengan alat Tissue Tec. Potongan paru dimasukkan secara
perlahan-lahan agar tidak menyentuh dasar cetakan lalu ditutup lagi dengan parafin
cair. Setelah beku, organ dalam parafin tersebut dipotong dengan alat mikrotom
setebal 4-5 m. Potongan yang diperoleh dimasukkkan ke dalam air hangat (40C)
untuk melelehkan parafin, kemudian diletakkan dalam kaca objek. Potongan tadi
dikeringkan dalam oven inkubator bersuhu 56C selama satu malam.
Tahap pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) dilakukan setelah diparafinisasi,
yaitu preparat direndam menggunakan xylol I dan xylol II masing-masing selama 2
menit, rehidrasi dengan etanol absolut selama 2 menit, kemudian dengan etanol 96%

33

dan 80% masing-masing selama 1 menit, dan dicuci dengan air mengalir. Kemudian
preparat direndam dalam pewarnaan Mayers Haemotoxylin selama 8 menit, dicuci
dengan air mengalir, dimasukkan ke dalam LiCl selama 30 detik, dan dicuci lagi
dengan air mengalir. Kemudian irisan preparat diberi pewarna eosin selama 2-3
menit, lalu dicuci. Setelah itu, irisan paru dicelupkan dalam etanol 96% dan absolut I
masing-masing sebanyak 10 kali dan diteruskan dengan etanol absolut II selama 2
menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit. Setelah diangin-anginkan
beberapa saat, preparat yang telah diwarnai tersebut kemudian diberi permounting
medium dan ditutup dengan kaca penutup (Junquiera, 1998).
e)

Pemeriksaan Histopatologi Paru


Pengamatan gambaran histopatologi paru dianalisis secara deskriptif kualitatif

dan dibuat skor derajat kerusakan dengan kriteria sebagai berikut:


Skor 0 : Jika tidak terdapat perubahan histopatologis
Skor 1 : Jika terdapat peningkatan sekresi mucus pada bronkiolus, terdapat
debu/kotoran pada alveolus/bronkiolus, terdapat sel-sel radang akut
pada paru 2 fokus
Skor 2 : Jika terdapat peningkatan sekresi mucus pada bronkiolus, terdapat
debu/kotoran pada alveolus/bronkiolus dan sel-sel radang akut pada
paru 3 fokus
Skor 3 : Jika terdapat peningkatan sekresi mucus pada bronkiolus, terdapat
debu/kotoran pada alveolus/bronkiolus, sel-sel radang akut pada
paru 3 fokus dan jaringan granulomatous
Skor 4 : Jika terdapat peningkatan sekresi mucus pada bronkiolus, terdapat
debu/kotoran pada alveolus/bronkiolus, sel-sel radang akut pada
paru 3 fokus, jaringan granulomatous dan fibrosis sel.

34

3.9

Analisis Data
Pengamatan gambaran histopatologi paru dilakukan dengan menggunakan uji

statistik non parametrik. Untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok


digunakan uji Kruskal Wallis, dan apabila didapatkan nilai yang berbeda signifikan
maka untuk melihat kelompok mana yang berbeda dapat dilanjutkan dengan uji
Mann-Whitney. Pada uji digunakan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05).

35

3.10 Skema Pelaksanaan Penelitian


Pembuatan jus buah jambu biji merah
30 ekor mencit dibagi 6 kelompok

Dosis 0,5 ml/hari


Dosis 1,0 ml/hari
Kontrol normal

Dosis 2,0 ml/hari

Kontrol negatif
Kontrol positif

Seluruh mencit dikorbankan,


kemudian diambil organ parunya

Dibuat preparat histopatologi paru dan dilakukan


pemeriksaan gambaran histopatologi paru

Analisis Data

Gambar 3.2. Skema penelitian pada hewan coba

Hari ke-36

35
hari

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1

Hasil dan Analisis Data


Asap rokok kretek yang dipaparkan pada kelompok mencit (Mus musculus)

jantan galur Balb-C selama 35 hari menimbulkan dampak negatif terhadap paru
mencit jika dibandingkan dengan kelompok mencit yang tidak diberi perlakuan
paparan asap rokok kretek (Gambar 4.1.a.). Pada pengamatan gambaran histopatologi
paru mencit yang dipapar asap rokok kretek memberikan dampak berupa peningkatan
sekresi mukus di dalam bronkiol, terminal bronkiol serta alveolar. Selain itu, paparan
asap rokok kretek juga mengakibatkan inflamasi kronis pada alveolus paru mencit
hingga terbentuknya jaringan granulomatus (Gambar 4.1.b.).
Dampak pemaparan asap rokok kretek terhadap paru mencit juga menunjukkan
suatu perubahan gambaran histopatologi paru pada kelompok mencit yang diberi
proteksi vitamin C maupun jus jambu biji merah. Tetapi perubahan gambaran
histopatologi yang terjadi lebih ringan jika dibandingkan dengan gambaran
histopatologi paru mencit kelompok kontrol negatif tanpa adanya proteksi dari
vitamin C maupun jus jambu biji.
Pada gambaran histopatologi paru kelompok mencit yang dipapar asap rokok
dengan proteksi vitamin C masih banyak ditemukan sekresi mukus dan juga adanya
inflamasi kronis pada sepertiga jaringan paru (gambar 4.1.c.). Namun inflamasi yang
terbentuk tidak mencapai tingkat pembentukan jaringan granulomatus seperti pada
kelompok mencit dengan dipapar asap rokok kretek saja.
Jus jambu biji merah memiliki kemampuan proteksi terhadap jaringan paru
yang nampak pada gambaran histopatologi kelompok dosis 0,5 ml/hari, 1,0 ml/hari
dan 2,0 ml/hari (Gambar 4.1.d., 4.1.e., dan 4.1.f.). Masing-masing menunjukkan
perubahan gambaran histopatologi paru yang lebih ringan jika dibandingkan dengan
kelompok mencit yang dipapar asap rokok kretek saja bahkan jika dibandingkan
dengan kelompok mencit yang mendapatkan proteksi Vitamin C.

37

1
4
2

(a)

(d)

3
5

(b)

(e)

5
5

(c)

(f)

Gambar 4.1. Histopatologi paru mencit dengan pewarnaan Haematoxylin-Eosin


perbesaran 200X. (a) kontrol normal (b) kontrol negatif (c) kontrol
positif (d) dosis jus jambu biji merah 0,5 ml/hari (e) dosis jus jambu biji
merah 1,0 ml/hari (f) dosis jus jambu biji merah 2,0 ml/hari. (1)
bronkioli (2) alveoli (3) jaringan granulomatuos (4) hipersekresi mukus
(5) sel radang (6) eksudat mukus

38

Pada kelompok normal, yaitu mencit tanpa perlakuan paparan asap rokok
kretek dan pemberian jus jambu biji merah memberikan data 3 dari 5 sampel yang
menunjukkan jaringan paru normal, dimana jaringan intrapulmonary bronchiole yang
dilapisi oleh epitel pseudostratified kolumnar bersilia, plate kartilago hialin,
respiratori bronkiol, terminal bronkiol, dan alveolar bersih tidak tampak adanya
sekresi mukus dan tidak terlihat adanya tanda peradangan. Satu sampel menunjukkan
adanya peningkatan sekresi mukus di dalam alveolar dan respiratori bronkiol,
sedangkan 1 sampel sulit terbaca. Berbeda dengan kelompok kontrol normal, kontrol
negatif menunjukkan adanya peningkatan sekresi mukus di dalam bronkiol dan
terminal bronkiol serta alveolar, selain itu juga terdapat infiltrasi sel radang limfosit,
histosit, jaringan granulomatous dan jaringan fibrous pada 4 sampel, sedangkan 1
sampel lainnya sulit terbaca. Dua dari 5 sampel mencit pada kelompok kontrol positif
menunjukkan respon normal paru terhadap iritasi yaitu berupa pembentukan cairan
mukus yang ringan pada alveolar, sedangkan 3 sampel lainnya menunjukkan adanya
peningkatan sekresi mukus yang banyak di dalam bronkiol dan duktus alveolar,
adanya flek kecoklatan dan infiltrasi sel radang limfosit, histosit pada sepertiga
jaringan paru.
Pada kelompok dosis 0,5 ml/hari, 3 dari 5 sampel menunjukkan adanya sedikit
peningkatan sekresi mukus di dalam bronkiol dan terminal bronkiol serta alveolar
tanpa adanya infiltrasi sel radang. Satu sampel masih menunjukkan peningkatan
sekresi mukus yang disertai adanya sel-sel radang yang melibatkan hampir sebagian
luas jaringan paru, sedangkan 1 sampel lainnya sulit terbaca. Dua sampel pada
kelompok dosis 1,0 ml/hari menunjukkan jaringan paru normal mencit, 1 diantaranya
memberikan respon normal bronkiol terhadap iritasi dan 2 lainnya menunjukkan
infiltrasi sel radang yang disertai adanya peningkatan sekresi mukus dan flek
kecoklatan. Pada dosis 2,0 ml/hari, dua dari 5 sampel tidak menunjukkan adanya
penumpukkan cairan mukus serta sel radang, sedangkan 3 sampel lainnya masih
menunjukkan adanya sedikit penumpukan eksudat mukus di terminal bronkiol dan

39

alveolar disertai infiltrasi sel radang diantara duktus alveolar. Hasil pengamatan
secara rinci gambaran histopatologi paru mencit dari masing-masing kelompok dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Paru
Parameter
Jaringan paru normal
respon iritasi ringan
respon iritasi ringan +
infiltasi sel radang
respon iritasi ringan +
infiltasi sel radang +
Jaringan granulomatous
respon iritasi ringan +
infiltasi sel radang +
Jaringan granulomatous
+ Fibrosis sel

Jumlah mencit
K(-)
P1
3
1

KN
3
1
-

K(+)
2
3

P2
2
1
2

P3
2
3

Hasil pemeriksaan gambaran histopatologi paru mencit yang diperoleh


kemudian diskoring berdasarkan skor derajat kerusakan yang telah ditentukan.
Persentase skoring derajat kerusakan paru mencit pada Tabel 4.2. menunjukkan
respon jaringan paru mencit terhadap setiap perlakuan yang diberikan pada masingmasing kelompok. Tanda (-) menunjukkan adanya preparat histopatologi paru mencit
yang sulit terbaca, jika tetap dilakukan pembacaan akan memberikan hasil yang
kurang tepat. Kelompok kontrol normal menunjukkan 75% persen jaringan paru
normal dari total sampel. Pada kontrol negatif, sebanyak 100% sampel menunjukkan
kerusakan pada tahap pembentukan jaringan fibrosis. Sebanyak 40% dari sampel
pada kelompok kontrol positif memberikan respon normal paru terhadap iritan,
sedangkan 60% lainnya masih ditemukan infiltrasi sel radang. Pada kelompok dosis
0,5 ml/hari, 1,0 ml/hari dan 2,0 ml/hari masing-masing menunjukkan respon normal
paru terhadap iritan sebesar 75%, 60 % dan 40% dari total sampel, sedangkan sisanya
telah masuk pada tahap terbentuknya infiltrasi sel-sel radang.

40

Tabel 4.2. Persentase skoring derajat kerusakan gambaran histopatologi paru


Kelompok
Perlakuan
KN
K(-)
K(+)
P1
P2
P3

Jumlah
Mencit
4
4
5
4
5
5

Skor Perubahan Histopatologi Paru (%)


0
1
2
3
4
75%
25%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
100%
0%
40%
60%
0%
0%
0%
75%
25%
0%
0%
40%
20%
40%
0%
0%
40%
0%
60%
0%
0%

Total
100%
100%
100%
100%
100%
100%

Data skoring pada Tabel 4.2. selanjutnya dianalisis menggunakan uji nonparametrik Kruskall Wallis dan didapatkan perbedaan bermakna antar keenam
kelompok perlakuan dengan nilai p=0,012, dimana p<0,05 berarti terdapat perbedaan
yang bermakna. Kemudian dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk melihat
adanya perbedaan bermakna diantara 2 kelompok dari beberapa kelompok uji.
Hasil uji Mann Whitney pada Tabel 4.3. menunjukkan skor tingkat kerusakan
pada luas jaringan paru antara masing-masing kelompok perlakuan, baik kelompok
kontrol maupun kelompok dosis. Data yang diperoleh yaitu antara K(-) dan KN
(p=0,029), K(-) dan K(+) (p=0,016), K(-) dan P1 (p=0,029), K(-) dan P2 (p=0,016),
K(-) dan P3 (p=0,016) dimana p<0,05 berarti terdapat perbedaan yang bermakna. P1
dan P2 (p=0,730), P1 dan P3 (p=0,905), serta P2 dan P3 (p=0,841) dimana p>0,05
berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Tabel 4.3. Nilai p pada uji Mann Whitney antar kelompok
Perlakuan
KN
KN
K(+)
0,032(*)
K(-)
0,029(*)
P1
0,057
P2
0,286
P3
0,286
(*) : berbeda bermakna

K(+)

K(-)

P1

P2

0,016(*)
0,413
0,421
0,690

0,029(*)
0,016(*)
0,016(*)

0,730
0,905

0,841

P3

41

4.2

Pembahasan
Asap rokok kretek mengandung radikal bebas berupa gas dan partikel yang

dapat memicu terbentuknya radikal bebas baru dari proses stress oksidatif (Setijowati
et al., 1998). Adanya paparan asap rokok kretek selama 35 hari mengakibatkan
respon inflamasi kronis hingga menyebabkan kerusakan pada jaringan paru mencit.
Ketika ada rangsangan iritan dari partikel asap rokok kretek, akan terjadi fagositosis
oleh makrofag. Partikel tersebut juga akan merangsang makrofag untuk
mengeluarkan mediator inflamasi (Demedts et al., 2003). Mediator-mediator
inflamasi tersebut akan memicu kelenjar dalam mensekresi mukus dan peningkatan
sel goblet, akibatnya akan terjadi hipersekresi mukus (Sitepoe, 1997).
Asap rokok kretek mengandung nikotin, tar, dan hidrokarbon (Setijowati et al.,
1998). Adanya hipersekresi mukus yang terjadi diakibatkan oleh kandungan tar
didalam asap rokok. Hal ini dikarenakan tar bersifat lengket dan menempel pada
paru-paru dan menyebabkan paralisis silia yang ada di dalam saluran pernafasan
(Aulia, 2010). Sehingga fungsi silia untuk membersihkan mukus terganggu. Keadaan
ini akan memicu epitelium jalan nafas untuk membentuk sel radang sebagai reaksi
perbaikan yang berdampak pada perubahan anatomi dan fungsi jalan nafas. Proses
perbaikan jaringan ini akan menimbulkan fibrosis matriks ekstraselular atau jaringan
ikat sehingga terjadi penyempitan jalan napas (Anzueto dan Schaberg, 2003). Oleh
karenanya pembentukan sel radang secara terus menerus akan memicu pembentukan
jaringan

granulomatus

dan berkembang menjadi jaringan fibrosis. Secara

keseluruhan, pemaparan asap rokok akan menyebabkan peningkatan limfosit, sel


Poly Morpho Nuclear (PMN) dan kongesti yang tinggi, yang mengindikasikan
terjadinya peradangan sebagai respon imun terhadap iritan (asap rokok) (Haryoko,
2008).
Gambaran histopatologi paru mencit yang dipapar asap rokok kretek juga akan
menunjukkan penampakan warna yang kemerahan dan juga timbul suatu flek
kecoklatan disekitar alveolus paru. Warna kemerahan timbul karena respon inflamasi

42

yang terjadi hingga tahap terbentuknya jaringan ikat. Salah satu pemicu terbentuknya
jaringan ikat adalah banyaknya jaringan yang nekrosis. Perubahan nekrosa terjadi
pada inti sel dan sitoplasma. Nekrosa yang terbentuk menyebabkan sitoplasma sel
akan lebih banyak mengambil warna eosin, sehingga berwarna lebih merah dari sel
normal (Cheville, 1999). Sedangkan flek kecoklatan yang terbentuk berasal dari tar
dalam asap rokok. Pada saat rokok dihisap, tar masuk kedalam rongga mulut sebagai
uap padat asap rokok, setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan
berwarna coklat pada paru-paru (Sitepoe, 1997).
Kerusakan jaringan paru akibat radikal bebas asap rokok kretek dapat dicegah
dengan menggunakan senyawa-senyawa seperti vitamin C, vitamin E, -karoten,
likopen, dan selenium. Jambu biji merah diketahui memiliki kandungan senyawasenyawa tersebut. Menurut Pribadi (2009), jus jambu biji merah memiliki aktivitas
antiradikal bebas dengan nilai IC 50 sebesar 380,74 g/ml. Sehingga jus jambu biji
dapat digunakan dalam pencegahan terhadap serangan radikal bebas dari asap rokok
kretek yang mengakibatkan kerusakan paru.
Kemampuan jus jambu biji merah dalam mencegah kerusakan paru akibat
radikal bebas asap rokok dapat dilihat dari gambaran histopatologi paru mencit yang
diberi jus jambu biji merah selama dipapar asap rokok kretek. Gambaran
histopatologi paru yaitu berupa hipersekresi mukus dan infiltrasi sel radang yang
tidak berlanjut pada pembentukan jaringan granulomatus ataupun jaringan fibrosis
seperti pada mencit yang hanya terpapar asap rokok kretek. Hal ini dikarenakan
aktivitas beberapa senyawa antioksidan pada jus jambu biji merah. Adanya vitamin C
dalam jambu biji mampu menangkap radikal hidroksil (OH*) dari reaksi gas NO
maupun NO2 pada asap rokok dengan hidrogen peroksida, karena vitamin C memiliki
gugus pendonor elektron berupa gugus enadiol yang terletak pada atom C 2 dan C3
(Purwakanta, 2005). Senyawa vitamin E pada jambu biji merah memiliki gugus
hidroksil pada cincin kromanol yang akan bereaksi dengan radikal peroksil organik
yang diperoleh dari peroksidasi lipid akibat radikal bebas asap rokok, untuk

43

membentuk senyawa hidroperoksida dan radikal tokoferoksil. (Tuminah, 2000).


Likopen jambu biji merah juga akan mengikat radikal lipid yang terbentuk pada
proses peroksidasi lipid, sehingga mencegah terjadinya reaksi rantai (Suryohudoyo,
2000).
Berdasarkan persetase skoring derajat kerusakan paru mencit, aktivitas
pertahanan paru pada dosis 0,5 ml/hari, 1,0 ml/hari dan 2,0 ml/hari jus jambu biji
merah masing-masing adalah sebesar 75%, 60% dan 40%. Hal ini menunjukkan
adanya aktivitas lain dari senyawa antioksidan yang terkandung dalam jus jambu biji.
Dimana, beberapa senyawa antioksidan memiliki kemampuan sebagai antioksidan
dan prooksidan. Senyawa tersebut akan memiliki aktivitas sebagai antioksidan disaat
radikal bebas dalam tubuh meningkat, dan menjadi prooksidan dalam keadaan
sebaliknya (Yomes, 2006 dan Khasanah, 2008). Jadi, semakin tinggi dosis yang
diberikan belum tentu dapat memberikan aktivitas yang lebih baik.
Pada hasil pengamatan gambaran histopatologi paru mencit yang hanya diberi
proteksi vitamin C juga menunjukkan adanya aktivitas pencegahan kerusakan paru
akibat asap rokok kretek namun lebih lemah bila dibandingkan jus jambu biji merah.
Nampak bahwa hanya 40% sampel yang menunjukkan respon inflamasi ringan,
sedangkan sisanya sudah masuk ke dalam inflamasi kronis. Dari data p uji Mannwhitney juga terdapat perbedaan bermakna antara K(+) dengan KN. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dosis 0,024 mg/gram berat badan mencit
pada kelompok kontrol positif memiliki aktivitas yang rendah dalam menghambat
kerusakan paru mencit. Diduga hal ini terjadi kerena kurangnya daya proteksi vitamin
C tunggal. Diketahui bahwa vitamin C bersifat hidrofilik yang lebih berperan
memproteksi sel di dalam sitosol (Combs, 1998a). Oleh karena itu, dibutuhkan juga
antioksidan yang mampu memberikan perlindungan mulai dari membrane sel.
Vitamin E dan likopen bersifat lipofilik sehingga mampu melindungi membran sel
dari degradasi oksidatif (Gallagher, 2004).

44

Vitamin C bersifat hidrofilik lebih berperan memproteksi sel di dalam sitosol


(Combs, 1998a). Vitamin C efektif dalam mereduksi superoksida (O 2*), radikal
hidroksil (OH*), dan hydrogen peroksida (H2O2). Hal ini dikarenakan vitamin C
memiliki gugus pendonor elektron berupa gugus enadiol Gugus ini terletak pada atom
C2 dan C3. Adanya gugus ini memungkinkan vitamin C mampu menangkap radikal
hidroksil (Purwakanta, 2005). Mekanisme reaksi antioksidan vitamin C adalah
radikal bebas bereaksi dengan asam askorbat menjadi radikal askorbat yang dengan
cepat berubah menjadi 2 bentuk berbeda yaitu askorbat dan dehidroaskorbat (Combs,
1992).
Vitamin E terdapat pada bagian lemak dalam membran sel, melindungi
fosfolipid unsaturated dalam membran dari degradasi oksidatif (Gallagher, 2004).
Vitamin E adalah antioksidan pemutus rantai untuk mencegah propagasi aktivitas
radikal bebas dan melindungi asam lemak tak jenuh terhadap peristiwa oksidasi.
Aktivitas antioksidan vitamin E ditentukan oleh gugus hidroksil pada cincin
kromanol. Gugus hidroksil akan bereaksi dengan radikal peroksil organik untuk
membentuk senyawa hidroperoksida dan radikal tokoferoksil. Radikal tokoferoksil
adalah bentuk prooksidan dari vitamin E dan akan kembali membentuk oksidan
melalui reaksinya dengan antioksidan lain, seperti vitamin C dan glutation (Tuminah,
2000).

Gambar 4.2. Oksidasi askorbat untuk mereduksi radikal tocopheroxyl (Sumber:


Combs, G.F. 1998b. Vitamin E. In: Combs, G.F. The vitamins,
fundamental aspects in nutrition and health, 2nd ed. California:
Academic Press.)

45

Mekanisme kerja antioksidasi likopen adalah meredam spesies oksigen reaktif


dan meningkatkan potensi antioksidan sehingga mengurangi kerusakan akibat proses
oksidasi pada lipoprotein dan membran (Palloza 1998). Likopen memiliki
kemampuan mengikat oksidan tunggal dua kali lebih daripada karoten dan sepuluh
kali lebih tinggi daripada tokoferol (Sudaratjat dan Gunawan, 2003). Likopen
adalah kelompok karotenoid, bersifat lipofilik sehingga berperan pada membran sel
paru untuk mencegah peroksidasi lipid membran. Antioksidan jenis ini akan
mengikat radikal lipid yang terbentuk pada proses peroksidasi lipid, sehingga
mencegah terjadinya reaksi rantai. Jadi, jumlah radikal bebas yang terbentuk dapat
ditekan, proses peroksidasi lipid berikutnya dapat digagalkan sehingga mencegah
kerusakan membran sel paru lebih lanjut (Suryohudoyo, 2000). Dengan demikian,
kerusakan sel paru mencit dapat dicegah.

BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa jus jambu biji
merah (Psidium guajava L.) dapat mencegah kerusakan paru mencit jantan galur
Balb-C yang dipapar asap rokok kretek yang diduga melalui mekanisme antioksidan.
Dosis 0,5 ml/hari jus jambu biji merah (Psidium guajava L.) memiliki aktivitas
paling kuat dalam mencegah kerusakan paru mencit jantan galur Balb-C yang dipapar
asap rokok kretek.
5.2 Saran
Dari penelitian ini telah terbukti bahwa jus jambu biji merah (Psidium guajava
L.) dapat mencegah kerusakan paru mencit. Saran yang dapat diberikan oleh peneliti
yaitu:
a)

Bagi peneliti agar melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek protektif jus
jambu biji merah terhadap jaringan paru pada hewan coba dengan ukuran yang
lebih besar dengan variasi waktu, dosis dan penelitian mengenai efek antioksidan
dari buah jambu biji merah dalam mencegah kerusakan organ lain akibat radikal
bebas.

b) Bagi masyarakat agar lebih cerdas dalam mengkonsumsi antioksidan. Konsumsi


antioksidan berlebih tidak akan meningkatkan aktivitasnya di dalam tubuh.
c)

Bagi pemerintah agar lebih giat dalam menyelenggarakan kampanye mengenai


penggunaan antioksidan kepada masyarakat, terutama untuk produsen yang
mempromosikan produk antioksidan.

DAFTAR PUSTAKA
Abate, C., Patel, L., Raucher, F.J. 1990. Redox regulation of fos dan jun DNAbinding activity in vitro. Science. 249.1157-61.
Aditama, T.Y. 2001. Masalah merokok dan penanggulangannya. Jakarta: Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Albina, J.E. dan Reichner, J.S. 1998. Role of nitric oxide in mediation of macrophage
cytotoxicity dan apoptosis. Cancer Metatasis Rev. 17.38-53.
Alsagaf, H. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan ketiga. Surabaya:
Airlangga University Press.
Anzueto, A.R. dan Schaberg, T. 2003. Acute exacerbation of Chronic bronchitis.
London. Science Press Ltd.
Astawan, M. dan leomitro, A. 2008. Raw Food Diet : Khasiat Makanan Mentah. p.
189 192. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Aulia, L.E. 2010. Stop Merokok!. Yogyakarta: Garailmu.
Badan Standarisasi Nasional. 1999. Rokok Putih. Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional. SNI 01-0765-1999.
Ball, G.F.M. 1988. Fat-Soluble Vitamin Assays in Food Analysis. USA: Elsevier
Science Publishers Co.,Inc.
Ball, G.F.M. 2004. Vitamins : Their Role in the Human Body. London: Blackwell
Publishing.
Barnoya, J. dan Glantz, S.A. 2005. Cardiovascular effects of secondhdan smoke.
Circulation.111:2684-2698.
Bohm, V., Puspitasari-Nienaber, N.L., Ferruzi, M.G. dan Schwartz, S.J. 2002.Trolox
equivalent antioxidant capacity of different geometrical isomer of carotene, -carotene, lycopene, and zeaxanthin. J. Agric. Food Chem.50:
221-226.
Calder P.S., Field, C., Gill, H.S. 2002. Nutrition dan Immune Function. London :
CABI Publishing, UK.
47

48

Chevile, N.F. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. United States Of


America: Iowa State University Press.
Chew, B.P. 1995. Antioxidant vitamins affect food animal immunity and health. J.
Nutr. 125: 1804-1808.
Combs, G.F. 1992. The Vitamin. USA: Academic press. 223-49.
Combs, G.F. 1998a. The vitamins: fundamental aspects in nutrition and health, 2nd
ed. Orlando: Academic Press.
Combs, G.F. 1998b. Vitamin E. In: Combs GF. The vitamins, fundamental aspects in
nutrition and health 2nd ed. California: Academic Press; p. 189-223.
Coonrod, D. 1989. Role of Leukocytes in Lung Defences. Respiration 1989;55
(Suppl. 1):9-13.
Davies, M.B., Austin, J., Partridge, D.A. 1991. Vitamin C: Its Chemistry dan
Biochemistry. Hal : 97-100. The Royal Society of Chemistry: Cambridge.
Departemen Kesehatan. 2008. Tatalaksana penanganan DBD. Jakarta.
Demedts, M., Nemey, B., Elnes, P.. Pneumoconioses. 2003. In: Gibson, G.J., Gedder,
D.M., Costales, U., Sterk, P.J., Cervin, B., editor. Respiratory Medicine. 3rd
ed. London: Elsevier Science. p. 675-92.
Droge, W. 2002. Free radicals in the physiological control of cell function. Physiol
Rev. 82:47-95.
Dzakiy,

U.N.
2006.
Jambu
biji
http://www.agribisnis.deptan.go.id/index.php?files=BeritaDetaildanid=52105k [15 September 2012].

Edyson. 2005. Pengaruh Pemberian Kombinasi Vitamin C dan E terhadap Kadar


Malondialdehyde (MDA) pada Eritrosit Rattus norvegicus Galur Wistar
yang Dipajanan L-Tiroksin. Berkala Kedokteran Vol.4 No.1
Eroschenco, V. 2009. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Edisi ke-9.
Terjemah dari: di Fiores Atlas of Histology with Functional Correlation.
Penerjemah: Tambayong, J. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

49

Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Third Edition. New York : Marcel Dekker
Inc.
Fonnie, E.H. 2007. Efek jus jambu biji (Psidium Guajava L) dalam menghambat
peroksidasi lipid dan meningkatkan ketahanan membran eritrosit tikus yang
diperlakukan diabetes mellitus. Malang: Universitas Brawijaya. Tesis.
Frei, B., Stocker, R., Egldan, L., Ames, B.N. 1990. Ascorbate: The most effective
antioxidant in human blood plasma. Adv Exp Med Biol. 269. 155-63.
Gallagher, M.L. 2004. Vitamins. In: Mahan, L.K., Escott-Stump, S. Krauses food,
nutrition, & diet therapy. Pennsylvania: Saunders. p. 75-119.
Gondodiputro, S. 2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-bentuk Tembakau. Bagian
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
Bandung:1-2.
Gross, J. 1991. Pigment in Vegetabes: Chlorophyls and Carotenoids.New York: Van
Nostrand Reinhold.Guyton AC. John EH. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi
ke-9. Diterjemahkan oleh Irawati, Ken Arita Tenggadi, dan Alex Santoso.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Hanafiah, K.A. 1991. Rancangan Penelitian. Jakarta: Rajawali Press.
Harborne. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Penerjemah: Padmawinata dan Soediro I. Bandung: ITB Press.
Haryoko, N.R. 2008. Efektifitas Ekstrak Klorofil Daun Alfafa (Medicago Sativa)
Terhadap Gambaran Histopatologis Pulmo (Studi In Vivo Pada Rattus
Norvegicus, L Yang Terpapar Rokok Secara Aktif). Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi.
Hendry, G.A.F. dan Houghton, J.D. 1996. Natural Food Colorants. Second edition.
New York: Blackie Academic and Professional.
Herbert, V. 1996. Prooxidant effects of antioxidant vitamins: Introduction. J Nutr.126
Higdon,

J.
2004.
Vitamin
http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamins/vitaminC/printc.html.
September 2012]

C.
[15

50

Horvath, P.J. 1992. Vitamins as therapeutic agent. In: Smith CM, Reynard AM. Ed,
Texbook of pharmacology. WB Saunders Company. Philadelphia. p1067-78.
Inoue, M. 2001. Protective mechanisms against reactive oxygen species. In: Arias IM
The liver biology dan pathobiology Lippincott Williams dan Wilkins 4th-ed.
Philadelphia. 281-90.
Junquiera, L.C. 1998. Histologi Dasar Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Khasanah, N. 2008. Pengaruh Madu Sebagai Antioksidan Terhadap Alveoli Paru
Tikus (Rattus novergicus) yang dipapari asap rokok secara subakut.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Tesis.
Kim, D.O., Lee, K.W., Lee, H.J., Lee, C.Y. 2002. Vitamin C equivalent antioxidant
capacity (VCEAC) of phenolic phytochemicals. J Agric Food Chem
50(13):371317.
Kumalaningsih,
S.
2008.
Antioksidan,
Sumber
http://www.antioxidantcentre.com. [13 Juli 2012].

dan

Manfaatnya.

Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.I. 1997. Basic pathology, 6th. Ed. USA: WB
Saunders Co.
Lakhanpal, P. dan Rai, K.D. 2007. Quercetin : a versatile flavonoid. Int J. Med.; 2(2).
Lavoiser, A.I. 1998. Chemical dan physiological properties of vitamins. In: Combs
GF,Ed. The vitamins. Fundamental aspects in nutrition dan health. 2nd ed.
London; Academic Press. p. 191-263.
Linder, M. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan dari: Nutritional
Biochemistry dan Metabolisme. Penerjemah : Parakkasi A. Jakarta: UI Pr.
Makfoeld, D., Marseno, D.W., Hastuti, P., Anggrahini, S., Raharjo, S.,
Sastrosuwignyo, S., Suhardi, Martoharsono, S., Hadiwiyoto, S. dan
Tranggono. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Penerbit
Kanisius.Yogyakarta.
Marianti, A. 2009. Aktivitas Antioksidan Jus Tomat pada Pencegahan Kerusakan
Jaringan Paru-Paru Mencit yang Dipapar Asap Rokok. Biosaintifika. Vol.1,
No.1:1-10.

51

Mortensen, A., Skibsted, L. H. dan Truscott, T. G. 2001. The interaction of dietary


carotenoids with radical species. Archives of Biochemistry and Biophysics.
Vol. 385. No. 1: 13-19.
Muhilal. 1991. Studi manfaat minyak kelapa sawit untuk kesehatan. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Gizi. Laporan penelitian.
Nugraheni, T., Astirin, O.P., Widiyani, T. 2003. Pengaruh Vitamin C terhadap
Perbaikan Spermatogenesis dan Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus
musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Tembakau (Nicotiana tabacum L.).
Biofarmasi 1 (1): 13-19.
Nugroho, B. 2001. Dilematika Industri Rokok. Malang: Techno-Fakultas Tekhnik
Pertanian Universitas brawijaya.
Nurliani, A., Santoso, H., Rusmiati. 2012. Efek Antioksidan Ekstrak Bulbus Bawang
Dayak (Eleutherine palmifolia) pada Gambaran Histopatologis Paru-Paru
Tikus Yang Dipapar Asap Rokok. Bioscientiae Vol. 9, No.1.
Olson. 2001. Vitamin A. Di dalam : Rucker et al. Hdanbook of Vitamins 3 Edition.
New York : Marcel Dekker Inc. hlm 1-50.
Palloza, P. 1998. Prooxidant action carotenoid in biologic system. Nutr Rev.56:257265.
Pribadi, I. 2009. Uji Aktivitas Antiradikal Buah Psidium Guajava Linn Dengan
Metode Dpph (1,1- Difenil-2-Pikril Hidrazil) Serta Penetapan Kadar
Fenolik Dan Flavonoid Totalnya, Fakultas Farmasi Universitas
Muhamadiyah Surakarta. Skripsi.
Priyanto. 2007. Toksisitas Obat, Zat Kimia dan Terapi Antidotum. Leskonfi. Depok.
Hal 43-44, 48, 51,53.
Proctor, P.H. dan Reynolds, E.S. 1984. Free radicals dan disease in man. Physiol
Chem Phys Med.16. Hal 175-95.
Pudjiani, S. 2000. Ilmu gizi klinis pada anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 158-67.
Purwantaka. 2005. Validasi metode deoksiribosa sebagai uji penangkapan radikal
bebas hydroksil oleh vitamin C secara in-vitro. Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.

52

Rao, A. V. dan Agarwal, S. 1998. Bioavailability and in vivo antioxidant properties of


lycopene from tomato products and their possible role in the prevention of
cancer. Nutr. Cancer. 31: 199-203.
Sediaoetama, A.D.1987. Ilmu Gizi dan Ilmu Diet di Daerah Tropik. Balai Pustaka,
Indonesia.
Setijowati, N., Sujudi, H., Astuti, T.W., Widodo, A. 1998. Pengaruh radikal bebas
dan vitamin E terhadap jumlah circulating endotel pada darah tikus yang
dipapar asap rokok kretek secara kronik. Majalah Kedokteran UNIBRAW.
vol XIV: 94-9.
Sezer, M., Fidan, F., nl, M., ahin, O., Esme, H., Kken, T. 2006. Effects of Nacetylcysteine on the lung histopathology and oxidant-antioxidant status in
rabbits exposed to cigarette smoke. Tberkloz ve Toraks Dergisi. 54(2):
144-151.
Shi, J. dan Maguer, M.L. 2000. Lycopene in tomatoes: chemical and physical
properties affected by food processing. Crit. Rev. Food Sci. Nutr.40:1-42.
Skurnik, Y. dan Shoenfeld, Y. 1998. Health effects of cigarette smoking. Clin
Dermatol.16:545-56.
Soedarya, A.P. 2010. Budidaya Usaha Pengolahan Agribisnis Guava (Jambu
Batu). Bandung: Pustaka Grafika.
Soerjodibroto, W.S. 1985. Vitamin C Dipdanang dari Sudut Ilmu Gizi. Dalam A.
Tjoronegoro (ed.), Vitamin C dan Penggunaannya Saat Ini. Balai Penerbitan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Sirjasonr.
2007.
Beta-carotene
with
conjugation
highlighted.
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Beta-carotene-conjugation.png.
[15
Desember 2012].
Sitepoe, M. 1997. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Standar Industri Indonesia. 1979. Sari Buah. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

53

Subekti,

S.U. 2006. Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Proses


Spermatogenesis Mencit Jantan Strain Balb/C Yang Diberi Paparan Asap
Rokok. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Skripsi.

Sudaratjat, S.S. dan Gunawan, I. 2003. Likopen (Lycopen). Majalah Gizi Medik
Indonesia Vol 2 No 5: 7-8.
Suryohudoyo, P. 2000. Kapita selekta ilmu kedokteran molekuler. Jakarta: CV.
Sagung Seto.
Susanto, A. 2001. Pengendalian Kualitas fisik Rokok Di Perusahaan Rokok Djagung
Padi Malang Berdasarkan Standar Militer 1057. Skripsi. TIP-FTP.
Unibraw. Malang.
Suwiah, A. 1990. Proses Produksi Buavita dan Pengawasan Mutunya di PT
Ultrajaya Milk Industry & Trading Co. Padalarang, Bandung. Laporan
KKN Profesi. Facultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Syahruddin, E. 2006. Kanker Paru. Unrestricted Educational Grant from PT.Roche
Indonesia.
Syaifuddin. 1996. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran.
Tanaka, Y., Takauji, R., Kobayashi, C., Muramatsu, I., Iwasaki, H., Nakamura, K.
2003. Nicotine induces human neutrophils to produce IL-8 through the
generation of peroxynitite dan subsequent activation of NF kB. Jleukbio.
74:942 51.
Tandra,

H.
2003.
Merokok
dan
http://www.domeclinic.com/lifestyle/merokok-a-kesehatan.pdf
September 2012].

Kesehatan.
[23

The Natural Food Hub. 2001. Natural food Fruit of Vitamin C_Content..
http://www.naturalhub.com/naturalfood.guide.fruit.vitaminc.htm
[21
September 2012].
Thompson, K.A., Marshall, M.R, Sims, C.A., Sargent, S.A., dan Scott, J.W. 2000.
Cultivar, maturity, and heat treatment on lycopene content in tomatoes.
Journal of Food Sci. Vol. 65. No. 5: 791-795.

54

Tizard, I. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. Philadelphia: WB


Saunders Company: 154-156.
Tuminah, S. 2000. Radikal Bebas dan Anti Oksidan-kaitannya dengan nutrisi dan
penyakit kronis. Jurnal Cermin Dunia kedokteran No.128. Jakarta: Pusat
Penelitian Penyakit Tidak Menular dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.
United States Departement of Agriculture. 2001. USDA Nutrient Database for
Stdanard
Reference.
http://nal.usda.gov/fnic/foodcomp/search.
[21
September 2012].
Wibisono, B. K. 2010. Produksi rokok 2010 turun 2 persen jadi 240 miliar batang.
Antaranews.com.
Widodo E, Priosoeryanto BP, Estuningsih S, Agungpriyono DR, Utji R. Effect of
clove cigarette exposure on white rat: special emphasis on the
histopathology of respiratory tract. Medical Journal of Indonesia vol. 16 no.
4 . 2007.
William, E.R. dan Caliendo, M.A. 1984. Nutrition principles, issues, dan application.
New York: Mc Graw Hill Co.310-21.
World Health Organitation. 1993. Deteksi Penyakit Dini Penyakit Akibat Kerja.
Cetakan Pertama. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
World

Health
Organitation.
2008.
http://whoindonesia.healthrepository.org/bitstream/123456789/643/1/Bookle
t%20of%20Tobacco%20Economics...%28INO%20FFC%20011%20XK%2
008%20SE-09-228726%29.pdf [23 September 2012].

Yomes, A.T. 2006. Sifat Prooksidan dan Antioksidan Vitamin C dan Teh Hijau pada
Sel Khamir Candida sp. Berdasarkan Peroksidasi Lipid. Bogor: Institut
Pertanian Bogor. Skripsi.
Yueniwati, Y. dan Ali, M. 2004. Pengaruh paparan asap rokok kretek terhadap
peroksidasi lemak dan system proteksi superoksid dismutase hepar tikus
wistar. Jurnal kedokteran YARSI. 2(1): 85-92.

LAMPIRAN
A. TABEL PERBANDINGAN LUAS PERMUKAAN HEWAN COBA
DENGAN MANUSIA (*)
20 g
200 g
400 g 1,5 kg
2 kg
4 kg 12 kg
70 kg
mencit Tikus marmut kelinci kucing kera Anjing manusia
20 g
1,0
7,0
12,25
27,8
29,7
64,1 124,2
287,0
Mencit
200 g
0,14
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
Tikus
400 g
0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
Marmot
1,5 kg
0,04
0,25
0,44
1,0
1,05
2,4
4,5
14,2
Kelinci
2 kg
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
Kucing
4 kg
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
Kera
12 kg
0,008
0,06
0,1
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
Anjing
70 kg
0,0026 0,018
0,031
0,07
0,076 0,16
0,32
1,0
Manusia
Dikutip dari: Paget and Barnes. 1964. A Pharmacometrics Evaluation of Drug
Activities. New York: Academics Press.
*) Digunakan untuk perkiraan konversi dosis dari spesies hewan yang satu
terhadap yang lain dengan satuan dosis perbobot bahan tertentu

55

56

B.

VOLUME MAKSIMAL PEMBERIAN LARUTAN SEDIAAN UJI PADA


BEBERAPA HEWAN UJI
Jenis Hewan Uji

Volume maksimal (ml) sesuai jalur pemberian


i.v
i.m
i.p
s.c
p.o
Mencit (20-30 g)
0,5
0,05
1,0
0,5 1,0
1,0
Tikus (100 g)
1,0
0,1
25
25
5,0
Hamster (50 g)
0,1
12
2,5
2,5
Marmot (250 g)
0,25
25
5,0
10,0
Kelinci (2,5 kg)
5 10
0,5
10 20
5 10
20,0
Kucing (3 kg)
5 10
1,0
10 20
5 10
50,0
Anjing (5 kg)
10 20
5,0
20 50
10,0
100,0
Dikutip dari: Ritschell. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics.
Hamilton: Drug Intellegence Publication.

57

C. BERAT BADAN MENCIT YANG DIGUNAKAN


Minggu I
Berat Badan Mencit (gram)
Mencit 1

Mencit 2

Mencit 3

Mencit 4

Mencit 5

K Normal

32,5

35

33

33,5

30

K (+)

35

33

31

34,5

33,5

K (-)

30,5

33,5

35

30

32,5

P1

33,4

32

31

34,5

31,5

P2

34,9

32

33,7

34,5

35

P3

34

34,5

34

31,5

33,5

Minggu II
Berat Badan Mencit (gram)
Mencit 1

Mencit 2

Mencit 3

Mencit 4

Mencit 5

K Normal

32,5

34,7

33,1

33

30,8

K (+)

35

33

31

34,2

33,8

K (-)

30,2

33

34,5

30,2

31,5

P1

33

32

30,8

34

31,8

P2

34,5

32,4

33

34

34,2

P3

34,2

34,5

34

31,5

33,5

Minggu III
Berat Badan Mencit (gram)
Mencit 1

Mencit 2

Mencit 3

Mencit 4

Mencit 5

K Normal

33

34,7

33,5

34

30,8

K (+)

34,8

33

32

34,2

34

K (-)

30

32,6

34,2

30

31,1

P1

33,2

33

30,4

34

31,8

P2

34,2

32

33,5

34,6

34

P3

34

34,8

35

32,5

33

58

Minggu IV
Berat Badan Mencit (gram)
Mencit 1

Mencit 2

Mencit 3

Mencit 4

Mencit 5

K Normal

33,1

34,7

33,8

34

30,8

K (+)

34,2

33

32,5

34

34,5

K (-)

29,6

31,6

33

28

30

P1

33,2

33,5

30,4

34

31,8

P2

34

32,8

33,5

34

34,3

P3

34,2

34,7

35

32,9

33

Minggu V
Berat Badan Mencit (gram)
Mencit 1

Mencit 2

Mencit 3

Mencit 4

Mencit 5

K Normal

33

35

34,2

34,6

32

K (+)

34,4

33

32

34,5

34,8

K (-)

28,4

30

31,9

27,2

30,4

P1

33,6

33

30,8

34

31,8

P2

34

32,8

33,5

34

34,3

P3

34,2

34,7

35

32,9

33

59

D. PERHITUNGAN DAN PEMBERIAN DOSIS


1) Perhitungan Larutan Kontrol (+) Vitamin C
Dibuat Larutan vitamin C 1 mg/ml BB

= 100 mg/100ml
= 1 mg/ml

2) Perhitungan Dosis K(+)


Minggu I
Mencit 1
Bobot

= 35 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 35 g x 0,024 mg/g BB
= 0,84 mg

Disonde

= 0,84 mg x 1 mg/ml
= 0,84 ml

Mencit 2
Bobot

= 33 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 33 g x 0,024 mg/g BB
= 0,79 mg

Disonde

= 0, 79 mg x 1 mg/ml
= 0, 79 ml

Mencit 3
Bobot

= 31 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 31 g x 0,024 mg/g BB
= 0,74 mg

Disonde

= 0, 74 mg x 1 mg/ml
= 0, 74 ml

Mencit 4
Bobot

= 34,5 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB

60

= 34,5 g x 0,024 mg/g BB


= 0,83 mg
Disonde

= 0,83 mg x 1 mg/ml
= 0,83 ml

Mencit 5
Bobot

= 33,5 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 33,5 g x 0,024 mg/g BB
= 0,80 mg

Disonde

= 0,80 mg x 1 mg/ml
= 0,80 ml

Minggu II
Mencit 1
Bobot

= 35 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 35 g x 0,024 mg/g BB
= 0,84 mg

Disonde

= 0,84 mg x 1 mg/ml
= 0,84 ml

Mencit 2
Bobot

= 33 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 33 g x 0,024 mg/g BB
= 0,79 mg

Disonde

= 0, 79 mg x 1 mg/ml
= 0, 79 ml

Mencit 3
Bobot

= 31 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 31 g x 0,024 mg/g BB

61

= 0,74 mg
Disonde

= 0, 74 mg x 1 mg/ml
= 0, 74 ml

Mencit 4
Bobot

= 34,2 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34,2 g x 0,024 mg/g BB
= 0,82 mg

Disonde

= 0,82 mg x 1 mg/ml
= 0,82 ml

Mencit 5
Bobot

= 33,8 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 33,8 g x 0,024 mg/g BB
= 0,81 mg

Disonde

= 0,81 mg x 1 mg/ml
= 0,81 ml

Minggu III
Mencit 1
Bobot

= 34,8 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34,8 g x 0,024 mg/g BB
= 0,84 mg

Disonde

= 0,84 mg x 1 mg/ml
= 0,84 ml

Mencit 2
Bobot

= 33 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 33 g x 0,024 mg/g BB
= 0,79 mg

62

Disonde

= 0, 79 mg x 1 mg/ml
= 0, 79 ml

Mencit 3
Bobot

= 32 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 32 g x 0,024 mg/g BB
= 0,77 mg

Disonde

= 0, 77 mg x 1 mg/ml
= 0, 77 ml

Mencit 4
Bobot

= 34,2 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34,2 g x 0,024 mg/g BB
= 0,82 mg

Disonde

= 0,82 mg x 1 mg/ml
= 0,82 ml

Mencit 5
Bobot

= 34 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34 g x 0,024 mg/g BB
= 0,82 mg

Disonde

= 0,82 mg x 1 mg/ml
= 0,82 ml

Minggu IV
Mencit 1
Bobot

= 34,2 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34,2 g x 0,024 mg/g BB
= 0,82 mg

Disonde

= 0,82 mg x 1 mg/ml

63

= 0,82 ml
Mencit 2
Bobot

= 33 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 33 g x 0,024 mg/g BB
= 0,79 mg

Disonde

= 0, 79 mg x 1 mg/ml
= 0, 79 ml

Mencit 3
Bobot

= 32,5 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 32,5 g x 0,024 mg/g BB
= 0,78 mg

Disonde

= 0, 78 mg x 1 mg/ml
= 0, 78 ml

Mencit 4
Bobot

= 34 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34 g x 0,024 mg/g BB
= 0,82 mg

Disonde

= 0,82 mg x 1 mg/ml
= 0,82 ml

Mencit 5
Bobot

= 34,5 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34,5 g x 0,024 mg/g BB
= 0,83 mg

Disonde

= 0,83 mg x 1 mg/ml
= 0,83 ml

Minggu V
Mencit 1

64

Bobot

= 34,4 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34,4 g x 0,024 mg/g BB
= 0,83 mg

Disonde

= 0,83 mg x 1 mg/ml
= 0,83 ml

Mencit 2
Bobot

= 33 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 33 g x 0,024 mg/g BB
= 0,79 mg

Disonde

= 0, 79 mg x 1 mg/ml
= 0, 79 ml

Mencit 3
Bobot

= 32 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 32 g x 0,024 mg/g BB
= 0,77 mg

Disonde

= 0, 77 mg x 1 mg/ml
= 0, 77 ml

Mencit 4
Bobot

= 34,5 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34,5 g x 0,024 mg/g BB
= 0,83 mg

Disonde

= 0,83 mg x 1 mg/ml
= 0,83 ml

Mencit 5
Bobot

= 34,8 gram

Vit C

= bobot x 0,024 mg/g BB


= 34,8 g x 0,024 mg/g BB

65

= 0,84 mg
Disonde

= 0,84 mg x 1 mg/ml
= 0,84 ml

66

E.

DATA HASIL PENELITIAN

67

68

69

F.

HASIL ANALISIS DATA


NPar Tests
Kruskal-Wallis Test
Ranks
perlaku
an

Skor

Mean Rank

5.75

15.80

25.50

13.00

11.40

13.00

Total

27

Test Statistics

a,b

skor
Chi-Square
Df
Asymp. Sig.

14.744
5
.012

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable:
perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

2.75

11.00

6.80

34.00

Total

70

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

1.000
11.000
-2.324
.020
a
.032

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan
a. Based on availability of workspace memory.

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

2.50

10.00

6.50

26.00

Total

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.000
10.000
-2.530
.011
a
.029

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

2.88

11.50

6.12

24.50

Total

71

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

1.500
11.500
-2.055
.040
a
.057

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

3.88

15.50

5.90

29.50

Total

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

5.500
15.500
-1.220
.223
a
.286

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

3.75

15.00

6.00

30.00

Total

72

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

5.000
15.000
-1.369
.171
a
.286

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

3.00

15.00

7.50

30.00

Total

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.000
15.000
-2.619
.009
a
.016

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

5.70

28.50

4.12

16.50

Total

73

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

6.500
16.500
-.990
.322
a
.413

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

6.40

32.00

4.60

23.00

Total

10

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

8.000
23.000
-1.021
.307
a
.421

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan
Ranks
perlaku
an
Skor

Mann-Whitney Test

Mean Rank

Sum of Ranks

5.90

29.50

5.10

25.50

Total

10

74

Test Statistics

Skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

10.500
25.500
-.474
.635
a
.690

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

6.50

26.00

2.50

10.00

Total

Test Statistics

Skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.000
10.000
-2.530
.011
a
.029

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

7.50

30.00

3.00

15.00

Total

75

Test Statistics

Skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.000
15.000
-2.582
.010
a
.016

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

7.50

30.00

3.00

15.00

Total

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.000
15.000
-2.619
.009
a
.016

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Mann-Whitney Test
Ranks
perlaku
an
Skor

Mean Rank

Sum of Ranks

5.38

21.50

4.70

23.50

Total

76

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

8.500
23.500
-.393
.694
a
.730

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
perlaku
an
Skor

Mann-Whitney Test

Mean Rank

Sum of Ranks

4.88

19.50

5.10

25.50

Total

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

9.500
19.500
-.131
.896
a
.905

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks
perlaku
an
Skor

Mann-Whitney Test

Mean Rank

Sum of Ranks

5.20

26.00

5.80

29.00

Total

10

77

Test Statistics

skor
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan

11.000
26.000
-.346
.729
a
.841

78

G. GAMBAR HASIL PENELITIAN

Pemaparan Asap Rokok

Rokok+Smoking pump

Buah Jambu Biji Merah

79

Jus Buah Jambu Biji Merah

Mikroskop Olympus BX53

Hewan Uji

80

Alat dan bahan Pembedahan

Anastesi dengan eter

Pembedahan

81

Organ paru mencit

Organ paru mencit dalam formalin 10%

Anda mungkin juga menyukai