Kegawatdaruratan Psikiatri
Kegawatdaruratan Psikiatri
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah
tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera
yang harus dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera
pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara
ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.
Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi
dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak
kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat
berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan
kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi
terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan
ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika
perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus
dilakukan oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tandatanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah
diukur dan dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang
gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per
menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami
delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang
harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan
bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman
bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi,
perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik,
psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan
jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi
berat dengan demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau
gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental
yang menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat
darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab
gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa
jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya
tilikan. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan
yang kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
High-potency
antipsychotics
seperti
haloperidol,
Delirium
Skizofrenia katatonik
Gangguan skizotipal
Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
Amok
h.
i.
j.
k.
kekerasan.
Kegelisahan katatonik
Episode manik
Episode depresi agitatif
Gangguan Kepribadian tertentu
c.
d.
sendiri, psikosis
Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)
Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting
sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu
waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para
pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan
Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak
mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha
memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab
keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin
(Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna
untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka
suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya
trifluoperazine, haloperidol (5 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai,
biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi.
Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya
diazepam (5 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa
tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun keduaduanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan
Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai
dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan
susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan
sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan
berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah
tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia
jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau
merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka
pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga
dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita
berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga
suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk
mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).
terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari
dengan cara yang lebih baik.
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila
paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding
hallucination),
Intoksikasi alkohol atau zat lain,
Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
Katatonik furor
Depresi agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan
antisosial),
Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
kekerasan,
Adanya rencana spesifik,
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
Laki-laki,
Usia muda (15-24 tahun),
Tatus sosioekonomi rendah,
Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
Tindakan antisosial lainnya
Riwayat percobaan bunuh diri.
10
diterima,
Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap
11
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis
yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko
kejang. Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya
carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan
organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang
diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D
dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat
mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).
Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri.
Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat
daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah
perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
12
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa
bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: Hara-kiri: di
Jepang, puputan di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa
masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang
terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya
yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma
kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat
atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada
pengaturan dan
Hal ini
menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih
banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang
mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan
percobaan bunuh diri.
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai
berikut:
1.
2.
13
3.
Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding lakilaki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak
dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api.
Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan
racun.
m.
Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-
laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada
perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang
lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering
berhasil.
n.
Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
dibanding ras kulit hitam.
o.
Status perkawinan
14
Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai
dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain.
Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan
spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri
adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang
tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
q.
Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah
kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri
hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
r.
Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien
dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
s.
Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari
pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota
keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
t.
Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi.
Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol.
15
e.
f.
diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
bunuh dirinya?
Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
Seberapa pesimiskah mereka?
16
17
Diaforesis
Disfagia
Tremor
Inkontinensia
Penurunan kesadaran
Mutism
Takikardia
Tekanan darah yang meningkat atau labil
Leukositosis
Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.
Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor
D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area
di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio
retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur
18
kelamin
laki-laki
dua
kali
lebih
beresiko
dibanding
neuroleptik maligna.
Hentikna pemberian antipsikotik segera.
Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
Lakukan pmeriksaan laboratorium
Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
19
Terapi Psikofarmaka
sampai 45 mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus
DAFTAR PUSTAKA
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
20
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
21