Anda di halaman 1dari 237

LAPORAN PENCAPAIAN

TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM


DI INDONESIA
2013
2014

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

ISBN 978-602-1154-11-3

Diterbitkan oleh:

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Tim Penyusun:

Penanggung Jawab
Ketua Tim Pengarah
Sekretaris
Anggota

Mitra Pendukung

: Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA


: Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA
: Dra. Nina Sardjunani, MA
: Prof. Endang L. Achadi; Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, MS; Dr. Sudarti Surbakti;
Dr. Sudarno Sumarto; Dr. I Nyoman Kandun; Ir. Risyana Sukarma; dr. Fitri Nandiaty;
Dr. Sonny Harry Budiutomo Harmadi; Ir. Rudy Soeprihadi Prawiradinata, MCRP,
Ph.D; Dr. Ir. Subandi, MSc; dr. Sanjoyo, M.Ec; Dr. Hadiat, MA; Ir. Wahyuningsih
Darajati, MSc; Dra. Tuti Riyati, MA; Riza Hamzah, SE, AK, ME; Dadang Rizki Ratman,
SH, MPA; Dr. Arum Atmawikarta, MPH; Mukhlis Hanif Nurdin, SKM.
: United Nations Development Programme (UNDP)

LAPORAN PENCAPAIAN
TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM
DI INDONESIA
2013

Diterbitkan Oleh:

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

ii

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

iii

KATA PENGANTAR
Keikutsertaan Indonesia dalam menyepakati Deklarasi Milenium bersama dengan 189 negara lain
pada tahun 2000 bukan semata-mata untuk memenuhi tujuan dan sasaran Millenium Development
Goals (MDGs), namun keikutsertaan itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran
MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran pembangunan Indonesia. Konsisten dengan itu, Pemerintah
Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai
pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan 2010-2014 serta Rencana Kerja
Tahunan berikut dokumen penganggarannya. Berdasarkan strategi pro-growth, pro-job, pro-poor, dan
pro-environment alokasi dana dalam anggaran pusat dan daerah untuk mendukung pencapaian berbagai
sasaran MDGs terus meningkat setiap tahunnya. Kemitraan produktif dengan masyarakat madani dan
sektor swasta berkontribusi terhadap percepatan pencapaian MDGs.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013 ini merupakan laporan ke
delapan yang bersifat nasional sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2004. Penerbitan laporan
ini bertujuan untuk melaporkan berbagai keberhasilan yang telah kita capai sebagai perwujudan dari
komitmen dan kerja keras Pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia yang
lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk menunjukkan komitmen Indonesia sebagai
bagian dari Masyarakat bangsa-bangsa dalam mewujudkan cita-cita Deklarasi Milenium Perserikatan
Bangsa-Bangsa tahun 2000. Laporan ini secara ringkas menguraikan keadaan dan kecenderungan serta
upaya penting untuk percepatan pencapaian MDGs sampai dengan posisi tahun 2013, sehingga dapat
digunakan sebagai dasar dalam menyusun kegiatan yang diperlukan agar sasaran MDGs tahun 2015 dapat
dicapai.
Laporan ini disusun oleh Tim yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis/Kelompok Kerja yang
bertanggungjawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS.
Kepada seluruh anggota Tim Penyusun disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih setinggitingginya atas kerja keras dan kontribusinya sehingga Laporan Pencapaian MDGs ini tersusun dengan baik.
Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada:
Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, Wakil Menteri Negara PPN/Wakil Kepala Bappenas dan Dra.
Nina Sardjunani, MA, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas yang telah
mengkoordinasikan penyusunan dan sekaligus melakukan quality assurance atas substansi Laporan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2013.
Dr. Sudarti Surbakti; Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, MS; Prof. Endang L. Achadi; Dr. Sudarno Sumarto; Dr.
I Nyoman Kandun; Ir. Risyana Sukarma; Dr. Sonny Harry Budiutomo Harmadi dan dr. Fitri Nandiaty yang
telah menyusun laporan dari setiap goal MDGs.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian
Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pengawas Obat dan
Makanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian
Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Kementerian Luar Negeri, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pusat

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

iv
Statistik yang telah memberikan kontribusi dalam penyediaan data, informasi, dan penyiapan naskah.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mitra pembangunan dari United Nations Development
Programme (UNDP) yang telah membantu penyusunan Laporan Pencapaian MDGs ini, serta semua
pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga laporan ini menjadi kontribusi berharga bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita
pembangunan manusia yang lebih baik dan masyarakat yang lebih sejahtera di masa yang akan datang.

Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA


Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

iii

Daftar Isi

Daftar Gambar

vi

Daftar Tabel

ix

Daftar Kotak

Daftar Foto

xi

Daftar Singkatan

xi

Pendahuluan

Ringkasan Status Pencapaian MDGs di Indonesia

Tinjauan Status Pencapaian MDGs di Indonesia


TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN

5
9
15

Target 1A:

Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat


pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per hari dalam kurun waktu
1990-2015

17

Target 1B:

Menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan


yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda

27

Target 1C:

Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita


kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015

31

TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA


Target 2A:

Menjamin pada 2015 semua anak, laki-laki maupun perempuan


dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar

TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN


PEREMPUAN
Target 3A:

Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan


lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak
lebih dari tahun 2015

TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK


Target 4A:

Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua-pertiga dalam


kurun waktu 1990-2015

TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU

35
37

47
49

65
67

87

Target 5A:

Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga-perempat dalam kurun


waktu 1990 - 2015

89

Target 5B:

Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun


2015

89

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

vi
TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT
MENULAR LAINNYA

121

Target 6A:

Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus


baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015

123

Target 6B:

Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS bagi semua


yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010

123

Target 6C:

Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus


baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015

130

TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

147

Target 7A:

Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan


dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan
sumberdaya lingkungan yang hilang

149

Target 7C:

Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses


terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak
pada 2015

165

Target 7D:

Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk


miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020

178

TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN


Target 8A:

Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka,


berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif

189
191

Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun
internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang

197

Target 8F:

200

Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru,


terutama teknologi informasi dan komunikasi

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.

Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Nasional

17

Gambar 1.2.

Penurunan Jumlah Penduduk Miskin , 2003 -2013 (Juta Jiwa)

18

Gambar 1.3.

Tingkat Kedalaman (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2), 2000-2013

18

Gambar 1.4.

Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Menurut


Provinsi tahun 1990 dan 2013

19

Gambar 1.5.

Salah Satu Tampilan Data Dalam Situs Basis Data Terpadu Untuk Program
Perlindungan Sosial

25

Gambar 1.6.

Laju Pertumbuhan PDB per Tenaga Kerja Tahun 2012

27

Gambar 1.7.

Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Tahun


2012

28

Gambar 1.8.

Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Provinsi Tahun 2012

28

Gambar 1.9.

Proporsi Tenaga Kerja yang Berusaha Sendiri dan Pekerja Bebas Keluarga
Terhadap Total Kesempatan Kerja Tahun 1998, 2009 dan 2012

29

Gambar 1.10

Prevalensi Kekurangan Gizi Pada Balita

31

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

vii
Gambar 1.11.

Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < 1.400 Kkal dan < 2.000 Kkal Tahun
2013

32

Gambar 2.1

Perkembangan APM dan APK Jenjang SD/MI dan SMP/MTs tahun 1992-2012

38

Gambar 2.2

Perbedaan APM dan APK jenjang SD/MI/sederajat menurut provinsi, tahun


ajaran 2012

38

Gambar 2.3

Perkembangan angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun dan 13-15
tahun, 1994 2012

39

Gambar 2.4.

Angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 menurut provinsi, 2012

39

Gambar 2.5.

Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar tahun 2012

40

Gambar 2.6.

Perkembangan persentase guru yang berkualifikasi akademik S1/D4


pendidikan dasar, 2004-2012

40

Gambar 2.7.

Perkembangan Angka Melek Huruf Penduduk Usia 15-24 tahun, 2000 2012

42

Gambar 2.8.

Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15-24 Tahun Menurut Provinsi dan
tipe wilayah, 2012

43

Gambar 3.1.

Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan


Gender di Indonesia, Tahun 2005 2011

50

Gambar 3.2.

Kecenderungan Rasio APM Perempuan terhadap Laki-laki menurut Jenjang


Pendidikan, Tahun 2000-2013

51

Gambar 3.3.

Kecenderungan Kontribusi Perempuan dalam Kerja Upahan di Sektor NonPertanian, Tahun 2000-2013

51

Gambar 3.4.

Kecenderungan Keterwakilan Perempuan dalam DPR menurut Periode


Pemilihan, Tahun 1950-2014

52

Gambar 3.5.

Rasio AMP menurut Jenjang Sekolah, Tipe Wilayah dan Status Ekonomi

54

Gambar 3.6.

Rasio AMH Perempuan terhadap AMH Laki-laki menurut Provinsi, 2013

55

Gambar 3.7.

Rasio AMH menurut Tipe Wilayah dan Status Ekonomi

55

Gambar 3.8.

Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan di Sektor Non-Pertanian,


Tahun 2013

56

Gambar 3.9.

Jumlah Korban TPPO yang diproses, 2011-2013

57

Gambar 3.10.

Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan di DPR, 2012

59

Gambar 4.1.

Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Anak Balita 5 Tahun Sebelum
Survei, Tahun 1991-2012 (SDKI)

68

Gambar 4.2.

Tren Proporsi Kematian Neonatal terhadap Kematian Bayi dan Balita,


Proporsi Kematian Bayi terhadap Kematian Balita (SDKI berbagai tahun)

69

Gambar 4.3.

Angka Kematian Bayi dan Proporsi Angka Kematian Neonatal terhadap AKB
di Provinsi dengan AKB Tinggi dan Rendah (SDKI 2012)

71

Gambar 4.4.

Angka Kematian Balita dan Proporsi Angka Kematian Neonatal terhadap


AKBa di Provinsi dengan AKB Tinggi dan Rendah (SDKI 2012)

71

Gambar 4.5.

Disparitas Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita berdasarkan Perdesaan/


Perkotaan, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Kuintil Kemiskinan (SDKI 2012)

72

Gambar 4.6.

Kematian Bayi dan Anak berdasarkan Berbagai Variabel (SDKI 2012)

73

Gambar 4.7.

Penyebab Kematian Neonatal Usia 0-6 Hari dan 7-28 Hari (Riskesdas 2007)

74

Gambar 4.8.

Proporsi BBLR berdasarkan Provinsi (Riskesdas 2010 dan 2013)

75

Gambar 4.9.

Distribusi BBLR (berat lahir kurang dari 2,5 kg) berdasarkan beberapa Variabel
(SDKI 2012)

76

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

viii
Gambar 4.10.

Proporsi Wanita Usia Subur (WUS) dengan Risiko Kekurangan Energi Kronis
(KEK) Tahun 2007 dan 2013

77

Gambar 4.11.

Penyebab Kematian Bayi dan Kematian Balita (Riskesdas 2007)

77

Gambar 4.12.

Insiden Diare dan Prevalensi Penumonia per 1000 Balita berdasarkan Provinsi
(Riskesdas 2013)

87

Gambar 4.13.

Disparitas Penyakit Diare dan ISPA berdasarkan berbagai Variabel (SDKI 2012)

78

Gambar 4.14.

Anak yang Mendapatkan Vaksinasi Campak, Berdasarkan Provinsi, SDKI 2012

79

Gambar 4.15.

Kematian Bayi, Kematian Balita, dan Imunisasi Campak berdasarkan Provinsi


2012

79

Gambar 4.16.

Praktek Pemberian ASI pada Bayi dan Anak Usia Dini, SDKI 2007 - 2012

80

Gambar 4.17.

Indikator Pola Makan pada Bayi dan Anak Usia Dini (SDKI 2007-2012)

81

Gambar 4.18.

Persen Anak Usia 6-59 Bulan yang Menerima Suplementasi Vitamin A dalam
6 Bulan Terakhir, berdasarkan Provinsi ( SDKI Tahun 2012)

81

Gambar 4.19.

Persen Anak Usia 6-59 Bulan yang Menerima Suplementasi Vitamin A dalam
6 Bulan Terakhir, berdasarkan Beberapa Variabel Tahun 2012 (SDKI 2012)

82

Gambar 4.20.

Prevalensi yang Menerima Vitamin A, Kematian Bayi, dan Kematian Balita


berdasarkan Provinsi, SDKI 2012

82

Gambar 4.21.

Persen Gizi Kurang dan Stunting pada Anak Balita, Tahun 2007 - 2012

83

Gambar 4.22.

Proporsi Balita Gizi Kurang, Pendek, Kurus, Gemuk menurut Umur dan Jenis
Kelamin, Tahun 2013

83

Gambar 5.1.

Angka Kematian Ibu Indonesia tahun 1994-2012

90

Gambar 5.2.

Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Tahun 1995-2012

91

Gambar 5.3.

Kerangka Konsep Pelayanan Kesehatan Kebidanan Berkesinambungan

92

Gambar 5.4.

Berbagai skenario miss-oportunities Penyelamatan Ibu di berbagai tingkat


pelayanan kebidanan

93

Gambar 5.5.

Tindakan yang Dilakukan Saat Terjadi Komplikasi

96

Gambar 5.6.

Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan Provinsi

98

Gambar 5.7.

Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan berbagai Variabel

99

Gambar 5.8.

Disparitas Persalinan di Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Berbagai


Karakteristik

99

Gambar 5.9.

Tren Kelahiran dengan Seksio di Indonesia berdasarkan kuintil kekayaan,


Tahun 1987-2002 (SDKI)

100

Gambar 5.10.

Tren Kelahiran dengan Seksio di Indonesia, berdasarkan Kuintil Kekayaan


Tahun 2007 dan 2012

100

Gambar 5.11.

Tren Total Fertility rate (TFR) di Indonesia, tahun 1994-2012 (SDKI)

101

Gambar 5.12.

Tren Angka Prevalensi Penggunaan KB (CPR) di Indonesia,


tahun 1994-2012 (SDKI)

102

Gambar 5.13.

Metode Kontrasepsi yang dipergunakan wanita menikah usia 15-49 tahun,


SDKI 2007 dan 2012

102

Gambar 5.14.

Perubahan peran pemerintah dan sektor swasta dalam pelayanan KB

103

Gambar 5.15.

Jenis Metoda KB yang digunakan oleh Sektor Swasta

103

Gambar 5.16.

Angka fertilits Remaja 15-19 tahun, SDKI 1994 2012

104

Gambar 5.17.

Persen perempuan 15-19 tahun yang sudah pernah melahirkan bayi hidup
atau sedang hamil anak pertama saat survei

105

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

ix
Gambar 5.18.

Kunjungan K1 dan K4 antara tahun 1994-2012 (SDKI)

107

Gambar 5.19.

Tren Unmet need di Indonesia tahun 1991 2012 (SDKI)

108

Gambar 5.20.

Total Fertility Rate (TFR) berdasarkan provinsi tahun 2012 (SDKI)

109

Gambar 5.21.

Total Fertility Rate berdasarkan Lokasi tempat tinggal, Pendidikan, dan Kuintil
Kekayaan, tahun 2012 (SDKI)

109

Gambar 5.22.

Persen perempuan usia 15-49 tahun yang menggunakan kontrasepsi modern


berdasarkan provinsi (SDKI 2012)

110

Gambar 5.23.

Distribusi wanita usia 15-49 tahun yang menggunakan metode KB modern


berdasarkan lokasi tempat tinggal, pendidikan dan kuintil kekayaan (SDKI
2012)

110

Gambar 5.24.

Metode Kontrasepsi yang digunakan wanita menikah usia 15-49 tahun berdasarkan jumlah anak yang masih hidup dan variabel lainnya (SDKI 2007 dan
2012)

111

Gambar 5.25.

Persen wanita usia 15-19 tahun yang telah melahirkan atau sedang hamil
anak pertama (childbearing) berdasarkan lokasi tempat tinggal, pendidikan,
dan kuintil kekayaan di Indonesia tahun 2007 dan 2012 (SDKI)

112

Gambar 5.26.

Persen ibu hamil yang menerima ANC dari tenaga kesehatan terampil
berdasarkan provinsi, SDKI 2012

112

Gambar 5.27.

Persen ibu hamil yang menerima ANC dari tenaga kesehatan terampil berdasarkan lokasi tempat tinggal, pendidikan dan kuintil kekayaan, SDKI 2012

113

Gambar 5.28.

Unmet need metode KB berdasarkan provinsi, SDKI 2012

113

Gambar 5.29.

Unmet need terhadap KB berdasarkan alasan pada berbagai karakteristik

114

Gambar 5.30.

Persen wanita menikah yang tidak menginginkan anak lagi berdasarkan jumlah anak, lokasi tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan kuintil kekayaan (SDKI
2007 dan 2012)

115

Gambar 6.1

Prevalensi HIV populasi umur 15-24 tahun (Kemenkes RI, 2012)

124

Gambar 6.2

Angka kumulatif HIV tahun 2013* (Kemenkes RI, 2012)

124

Gambar 6.3

Angka kumulatif AIDS sampai dengan September 2013* (Kemenkes RI, 2013)

125

Gambar 6.4

AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan September 2013
(Kemenkes RI, 2013)

125

Gambar 6.5

Penggunaan kondom pada populasi berisiko (Kemenkes RI, 2012)

126

Gambar 6.6

Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan


komprehensif tentang HIV dan AIDS (Kemenkes RI, 2013)

126

Gambar 6.7

Persentase ODHA yang mendapatkan ART (Kemenkes RI, 2013)

126

Gambar 6.8

Angka Insidensi dan Angka Kematian Yang Berhubungan Dengan Malaria

130

Gambar 6.9

Annual Parasite Incidence (API) menurut provinsi pada tahun 2013 (dengan
kelengkapan laporan kab/kota 90%) (Kemenkes RI, 2013)

131

Gambar 6.10

Jumlah kasus positif Malaria menurut provinsi di Indonesia Tahun 2013

131

Gambar 6.11

Jumlah Kasus Malaria Terkonfirmasi per Provinsi Tahun 2012 (Kemenkes RI,
2013)

132

Gambar 6.12

Persentase Pengobatan Sesuai Standar Program Malaria ( Kemenkes RI, 2013)

132

Gambar 6.13

Angka keberhasilan pengobatan / success rate (SR) (Kemenkes RI, 2012)

137

Gambar 6.14

Beban TB dalam rate (per 100.000 penduduk) tahun 1990-2012 (Kemenkes


RI, 2013)

137

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

x
Gambar 6.15

Perkiraan prevalensi TB per 100.000 penduduk per tahun berdasarkan


modeling TB (Kemenkes RI, 2013)

137

Gambar 6.16

Prevalensi stroke menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

141

Gambar 6.17

Prevalensi hipertensi menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

142

Gambar 6.18

Prevalensi penyakit jantung menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

142

Gambar 6.19

Prevalensi penyakit sendi menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

143

Gambar 6.20

Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

143

Gambar 6.21

Prevalensi DM menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

144

Gambar 6.22

Prevalensi tumor/kanker menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

144

Gambar 6.23

Prevalensi cedera menurut provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

145

Gambar 7.1

Tutupan Hutan dalam Laporan Terdahulu dan Data Tahun 2012

150

Gambar 7.2

Disparitas Tutupan Hutan

151

Gambar 7.3

Konsumsi Energi Pada Laporan Terdahulu

153

Gambar 7.4

Produksi Perikanan Dibandingkan dengan Jumlah Tangkapan Yang


Diperbolehkan (JTB), Tahun 2012-2013

155

Gambar 7.5

Rasio Kawasan Lahan Lindung Pada Laporan Terdahulu dan Data Tahun 2012

156

Gambar 7.6

Disparitas Provinsi untuk Kawasan Lahan Lindung

157

Gambar 7.7

Grafik Perkembangan Kawasan Konservasi Perairan, 2003-2013

158

Gambar 7.8

Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung pada Laporan Terdahulu


dan Data BPS Terakhir untuk Tahun 2011, 2012 dan 2013

167

Gambar 7.9

Disparitas Provinsi untuk Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air


Terlindung

169

Gambar 7.10

Disparitas Perkotaan-Perdesaan untuk Akses Berkelanjutan terhadap Sumber


Air Terlindung

169

Gambar 7.11

Akses Berkelanjutan terhadap Sanitasi Dasar pada Laporan Terdahulu dan


Data BPS 2013

170

Gambar 7.12

Disparitas Provinsi untuk Akses terhadap Sanitasi Dasar Tahun 2013

171

Gambar 7.13

Proporsi Penduduk Perkotaan yang Tinggal di Daerah Kumuh Pada Laporan


Terdahulu

179

Gambar 7.14

Disparitas Provinsi untuk penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh


Tahun 2012

180

Gambar 7.15

Target Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010 - 2014

186

Gambar 8.1.

Perkembangan Impor, Ekspor, PDB dan Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB

192

Gambar 8.2.

Perkembangan Outstanding Pinjaman Luar Negeri Pemerintah

198

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.

Cakupan Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2009-2012

22

Tabel 3.1.

Rasio APM menurut Jenjang Pendidikan dan Tipe Wilayah, Tahun 2013

53

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

xi
Tabel 3.2.

Daftar Provinsi yang Mempunyai Bias Gender Terbesar


Berdasarkan Rasio APM, 2012

53

Tabel 3.3.

Rasio APM Per Jenjang Pendidikan menurut Golongan Pengeluaran,


Tahun 2013

54

Tabel 3.4.

Korban TPPO yang Dipulangkan dan Didampingi IOM, Berdasarkan Jenis


Kelamin dan Usia (2010-2012 )

57

Tabel 4.1.

Angka kematian anak menurut provinsi

70

Tabel 5.1

Kelengkapan Peralatan dan Obat di Puskesmas Perawatan dan Puskesmas


PONED

96

Tabel 5.2.

Kelengkapan Tenaga dan Kesiapan Pelayanan PONEK di RSU Pemerintah

97

Tabel 5.3.

Data kualitas APN (Asuhan Persalinan Normal)

98

Tabel 7.1.

Konsumsi energi, 1990 2005

105

Tabel 7.2.

Perkembangan Luasan Kawasan Konservasi Perairan, 2003-2013

157

Tabel 7.3.

Jenis Kawasan Konservasi, Jumlah Kawasan, dan Status Luasan Kawasan


Konservasi Perairan, 2013

158

Tabel 8.1

Beberapa Indikator Terpilih Kondisi Bank Umum di Indonesia, 2011 - 2012

192

DAFTAR KOTAK
Kotak 1.1.

Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial

25

Kotak 1.2.

Kartu Perlindungan Sosial

26

Kotak 2.1

Perbaikan Mutu dan Distribusi Guru di Kabupaten Gorontalo

41

Kotak 3.1.

Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kuota Keterwakilan Perempuan


30 Persen di Lembaga Legislatif pada Tahun 2013

59

Kotak 3.2.

Upaya Penyediaan Data Gender dan Anak Melalui Publikasi: Profil Perempuan
Indonesia; Profil Anak Indonesia; dan Pembangunan Manusia Berbasis
Gender

60

Kotak 3.3.

Pelaksanaan Stranas Percepatan Pug Melalui Perencanaan Pembangunan yang


Responsif Gender (PPRG)

61

Kotak 4.1.

Pengalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara


Timur dalam Percepatan Penurunan Kematian Neonatal

84

Kotak 5.1.

Mewujudkan Angka Kematian Ibu Nol (AKINO) di Kabupaten Lombok Utara,


NTB

115

Kotak 6.1

Pengendalian HIV dan AIDS di Puskesmas Semeni Kota Surabaya, Jawa Timur

127

Kotak 6.2.

Upaya Juru Malaria Kampung di Teluk Bintuni Papua Barat , Peningkatan


Pemberdayaan dan penggerakan Masyarakat dalam memerangi malaria
dalam rangka percepatan pencapaian Goal 6 MDG dan menuju eliminasi 2030

133

Kotak 6.3.

PEJUANG TANGGUH (PETA) Suatu bentuk dukungan sebaya untuk pasien


Tuberkulosis

138

Kotak 6.4.

Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Penyakit Tidak Menular (PTM)

146

Kotak 7.1.

Kebijakan Umum Pemerintah dalam Pengamanan Lingkungan

160

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

xii
Kotak 7.2.

Pelaksanaan Hibah Air Minum untuk Masyarakat Miskin Perkotaan melalui


Pendekatan Bantuan Berdasar Hasil atau Kinerja (Output/Performance-based
Aid/OBA), sebuah Best Practice

172

Kotak 7.3.

Gerakan BASNO Sebagai Kebijakan Propinsi dalam Mendukung Percepatan


Program Melalui Pendekatan STBM, sebuah Best Practice

174

Kotak 7.4.

Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Air Minum dan Sanitasi, 2015-2019

177

Kotak 7.5.

Capaian dan Best Practice Pelaksanaan Penanganan Lingkungan Perumahan


dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) Tahun 2012 (di
Kelurahan 5 Ulu dan Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Seberang Ulu 1,
Kota Palembang)

181

Kotak 7.6.

Kebijakan Penanganan Permukiman Kumuh

185

Kotak 8.1.

Perkembangan Kerjasama Pembangunan Internasional Tahun 2013

202

DAFTAR FOTO
Foto 1.1.

Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat Raskin

22

Foto 1.2.

Kartu Perlindungan Sosial

26

Foto 7.1.

Masyarakat Perdesaan menikmati layanan air minum di Desa Tammerodo


Kab Majene Provinsi Sulawesi Barat melalui kegiatan Pembangunan SPAM
Berbasis Masyarakt (Program PAMSIMAS)

176

Foto 7.2.

SPAM Regional Petanu sangat bermanfaat bagi Masyarakat Berpenghasilan


Rendah Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar

176

Foto 7.3.

Masyarakat Nelayan di Pulau Mandangin mampu menikmati air minum hasil


olahan Sea Water Reverse Osmosis pada Program SPAM Kawasan Khusus

176

Foto 7.4.

Kondisi Jalan Lingkungan di Kel. 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1 setelah Diperbaiki

182

Foto 7.5.

Bangunan Serbaguna di Lingkungan di Kel. 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1 yang


Dibangun melalui PLP2K-BK

182

Foto 7.6.

Bangunan Dermaga di di Kel. Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1 yang dibangun
melalui PLP2K-BK (kiri).Bangunan Serbaguna di Kel. Tuan Kentang, Kec.
Sebrang Ulu 1 yang dibangun melalui PLP2K-BK (kanan)

183

Foto 7.7.

Peningkatan Kualitas Rumah di Kelurahan 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1,


Kota Palembang (kiri). Bangunan Tempat Bermain di Kelurahan Tuan Kentang,
Kec. Sebrang Ulu 1, Kota Palembang (kanan)

183

Foto 7.8.

Pengelolaan sempadan Boezem Morokrembangan, pengelolaan sampah 3R

184

DAFTAR SINGKATAN
ABAT

Aku Bangga Aku Tahu

AKBA

Angka Kematian Balita

APBD

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional

APK

Angka Partisipasi Kasar

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

xiii
APM

Angka Partisipasi Murni

APS
ARG

Angka Partisipasi Sekolah


Anggaran Responsif Gender

ART

Antiretroviral Treatment

ARV

Antiretroviral

ASEAN
ASFR
ASI

Association of South-East Asia Nations


Age Specific Fertility Rate
Air Susu Ibu

Balita

Bawah Lima Tahun

Bappenas
BBLR
BBM
BCG
BKKBN
BLM

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


Berat Badan Lahir Rendah
Bahan Bakar Minyak
Bacillus Calmette Guerin
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Bantuan Langsung Masyarakat

BOK

Bantuan Operasional Kesehatan

BOS

Bantuan Operasional Sekolah

BP3AKB

Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana

BPD
BPO

Bank Pembangunan Daerah


Bahan Perusak Ozon

BPR

Bank Perkreditan Rakyat

BPS

Badan Pusat Statistik

Perum Bulog
BUMN

Perusahaan Umum Bulog (Badan Urusan Logistik)


Badan Usaha Milik Negara

CAR

Capital Adequacy Ratio

CBEIS
CDR

Community-Based Education Information System


Case Detection Rate

CFCD
CFCs

Corporate Forum for Community Development


Clorofluorocarbons

CLTS
CO2
CPE
CPR

Comunity Led Total Sanitation


Carbon dioxide
Customer Premises Equipment
Contraceptive Prevalence Rate

CSR

Corporate Social Responsibility

CTU

Contraceptive Technology Update

DAD

Dana Alokasi Desa

DAK

Dana Alokasi Khusus

Desa Pinter
DO

Desa Punya Internet


Definisi Operasional

DOTS
DPR
DPT-HB
DSR

Directly Observed Treatment Shortcourse


Dewan Perwakilan Rakyat
Diphteria-Pertusis-Tetanus Hepatitis B
Debt Service Ratio

Fasyankes
FWT

Fasilitas pelayanan kesehatan


Fixed Wireless Telephone

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

xiv
GBS
GPI
GRK
GWM LDR

Gender Budget Statement


Gender Parity Index
Gas Rumah Kaca
Giro Wajib Minimum Loan to Deposit ratio

HCFCs

Hydrochlorofluorocarbons

HIV dan AIDs


HPB

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome


Harga pembelian beras

HPMP

HCFC Phase-Out Management Plan

IIX
IPG

Indonesia Internet Exchange


Indeks Paritas Gender

Jamkesda

Jaminan kesehatan daerah

Jamkesmas

Jaminan kesehatan masyarakat

Jampersal

Jaminan Persalinan

JPS

Jaring Pengaman Sosial

K1

Kunjungan Kehamilan ke-1

K4

Kunjungan Kehamilan ke-4

KB
Kemendagri
Kemdikbud
Kemenhut
Kemenkes
Kemenkeu
Kemenkokesra
Kemen PPN
Kemen PU
Kementan
Kominfo
KH
KIA

Keluarga Berencana
Kementerian Dalam Negeri
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kementerian Kehutanan
Kementerian Kesehatan
Kementerian Keuangan
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan rakyat
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
Kementerian Pekerjaan Umum
Kementerian Pertanian
Kementerian Komunikasi dan Informasi
Kelahiran Hidup
Kesehatan Ibu dan Anak

KIE
KKP
KLB
KLH
KPP&PA
KPU
KRR

Komunikasi, Informasi dan Edukasi


Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kejadian Luar Biasa
Kementerian Lingkungan Hidup
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Komisi Pemilihan Umum
Kesehatan Reproduksi Remaja

KS-1

Keluarga Sejahtera I

KUR

Kredit Usaha Rakyat

LDR

Loan to Deposit Ratio

LPA

Line Probe Assay

LSM
LULUCF

Lembaga Swadaya Masyarakat


Land Use, Land Use Change and Forestry

MDGs
MDR-TB
MI

Millennium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium)


Multi-Drug Resistant Tuberculosis
Madrasah Ibtidaiyah

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

xv
MKJP
MOP
MOW
MP3EI
MRV

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang


Medis Operasi Pria
Medis Operasi Wanita
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Measurable, Reportable dan Verifiable

MTBS
MTs

Manajemen Terpadu Balita Sakit


Madrasah Tsanawiyah

NPL

Non-Performing Loans

NTRL
NUSSP

National Tuberculosis Referral Laboratory


Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project

OJK

Otoritas Jasa Keuangan

Opsus

Operasi Pasar Khusus

P2DTK

PNPM Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus

PAMSIMAS
PAUD

Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat


Pendidikan Anak Usia Dini

PBB
PDB
Perda

Perserikatan Bangsa-Bangsa
Produk Domestik Bruto
Peraturan Daerah

PISEW

PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah

PKBR

Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja

PKH

Program Keluarga Harapan

PKK

Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

PLIK

Pusat Layanan Internet Kecamatan

PLP2K-BK

Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan

PMK
PMT
PMT-AS

Peraturan Menteri Keuangan


Pemberian Makanan Tambahan
Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah

PNPM

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

PNPM-KP

PNPM Kelautan dan Perikanan

PONED

Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar

PONEK

Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif

Poskesdes

Pos Kesehatan Desa

Posyandu

Pos Pelayanan Terpadu

PPIP

PNPM Infrastruktur Perdesaan

PPN
PPP
PPP
PPRG

Perencanaan Pembangunan Nasional


Public-Private Partnership
Purchasing Power Parity
Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender

Pra-KS

Pra-Keluarga Sejahtera

PSK
PT
PUAP

Pekerja Seks Komersial


Perguruan TInggi
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

PUG

Pengarus-utamaan Gender

PUGAR

Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

xvi
Puskesmas
PUS

Pusat Kesehatan Masyarakat


Pasangan Usia Subur

PUMP

Pengembangan Usaha Mina Perdesaan

Pustu

Puskesmas Pembantu

RA

Raudlatul Afthal

RAD

Rencana Aksi Daerah

Raskinda

Beras Miskin Daerah

Raskindes

Program Beras Miskin Desa

RDT
Renstra
Riskesdas
Risti

Rapid Diagnostic Test


Rencana Strategis
Riset Kesehatan Dasar
Resiko Tinggi

RK

Ruang Kelas

RKB

Ruang Kelas Baru

ROA

Return on Assets

RPJMN
RPJPN
RPJMD
RS
RTS

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Rumah Sakit
Rumah Tangga Sasaran

RTSM

Rumah Tangga Sangat Miskin

Sakernas
SBI
SBN

Survei Angkatan Kerja Nasional


Sertifikat Bank Indonesia
Surat Berharga Negara

SD
SDKI
SDLB

Sekolah Dasar
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
Sekolah Dasar Luar Biasa

SDM
SIP

Sumber Daya Manusia


Surat Ijin Praktek

SIPBM

Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat

SKRRI
SMA
SMP
SMPLB

Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia


Sekolah Menengah Atas
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa

SPAM

Sistem Penyediaan Air Minum

SR

Succes Rate

SSL

Satuan Sambungan Layanan

STBM

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat

STBP

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku

Susenas

Survei Sosial Ekonomi Nasional

TB
TPA
TOMA
TOGA

Tuberkulosis
Tempat Pembuangan Akhir
Tokoh Masyarakat
Tokoh Agama

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

xvii
UKBM
ULN

Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat


Utang Luar Negeri

UMKM
UNDP
UNESCO
UNFCCC
UNICEF

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah


United Nations Development Programme
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
United Nations Framework Convention on Climate Change
United Nations Childrens Fund

USO

Universal Service Obligation

Valas
VCT
WHO

Valuta Asing
Voluntary Counseling and Testing
World Health Organization

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

xviii

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

Pendahuluan
PENDAHULUAN
Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDGs mencerminkan komitmen negara untuk
menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia. Berkenaan
dengan itu maka MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2004-2009 dan 2010-2014, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahunan, dan dokumen Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Dalam memenuhi komitmen tersebut Indonesia menghadapi tantangan global yang tidak ringan.
Perdagangan bebas, harga minyak yang masih meningkat yang diikuti oleh subsidi BBM yang semakin
membengkak, perubahan iklim dan pemanasan global dan dampaknya pada harga pangan yang semakin
mahal, mewarnai dinamika sosial dan ekonomi pembangunan nasional.

Capaian Tujuan MDGs 2013


Capaian tujuan MDGs dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, tujuan yang telah berhasil dicapai.
Kedua, tujuan yang menunjukkan kemajuan bermakna dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum
tahun 2015. Ketiga, tujuan yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya.
Tujuan-tujuan MDGs yang telah tercapai adalah:
MDG 1, proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari.
MDG 3, rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi; dan
rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki umur 15-24 tahun.
MDG 6, angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian, serta proporsi jumlah kasus tuberkulosis
yang ditemukan, diobati dan disembuhkan dalam program Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS).
MDG 8, proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler.
Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada
tahun 2015 (on-track) adalah:
MDG 1, indeks kedalaman kemiskinan, proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja
bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja, dan prevalensi balita dengan berat badan rendah/
kekurangan gizi.
MDG 2, APM SD, proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, serta angka melek
huruf penduduk usia 15-24 tahun (perempuan dan laki-laki).
MDG 3, rasio APM perempuan/laki-laki di tingkat SD/MI/Paket A, SMP/MTs/Paket B, dan pendidikan
tinggi serta kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian, dan proporsi kursi
yang diduduki perempuan di DPR.
MDG 5, proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih, Angka pemakaian kontrasepsi /
CPR bagi perempuan menikah usia 15-49 semua cara, cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4
kali kunjungan, dan unmet need.
MDG 6, angka kejadian Malaria (per 1,000 penduduk), proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang
memiliki akses pada obat-obatan Antiretroviral (ARV)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

2
MDG 7, konsumsi bahan perusak ozon, proporsi tangkapan ikan yang tidak melebihi batas biologis
yang aman, serta rasio luas kawasan lindung terhadap total luas kawasan hutan dan rasio rasio
kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial, proporsi rumah tangga dengan akses
berkelanjutan terhadap sanitasi dasar layak di perkotaan.
MDG 8, rasio ekspor dan impor terhadap PDB, rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum,
dan rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR, rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dan rasio
pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR),
proporsi penduduk yang memiliki jaringan telepon tetap.

Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja
keras untuk mencapainya adalah:

MDG 1, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional; Proporsi penduduk
dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum
MDG 4, angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup; Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran
hidup.
MDG 5, angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup
MDG 6, proporsi jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif
tentang HIV dan AIDS; Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir; Prevalensi
HIV dan AIDS (persen) dari total populasi
MDG 7, jumlah emisi karbon dioksida (CO2); Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan
hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan; Proporsi rumah tangga
dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak di perdesaan; Proporsi rumah tangga dengan
akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di perdesaan; Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan
MDG 8, proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi; dan Proporsi rumah tangga dengan
akses internet
Prestasi pembangunan kesejahteraan yang dicapai oleh Indonesia telah berhasil memperoleh berbagai
penghargaan global. Indonesia diundang oleh negara-negara maju yang tergabung dalam Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk masuk dalam kelompok negara-negara yang
makin ditingkatkan keterlibatannya (enhanced engagement countries) dengan negara-negara maju. Bersama-sama dengan keterlibatan internasional dengan negara-negara maju, Indonesia telah masuk pada
forum G-20, yaitu kelompok 20 negara yang menguasai 85 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB)
dunia, peran serta Indonesia dalam penetapan kebijakan global menjadi sangat penting.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

3
Upaya-Upaya Penting dalam Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia
Untuk mempercepat pencapaian sasaran MDGs, Presiden telah menetapkan Instruksi Presiden No. 3
Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Salah satu amanat yang tercantum dalam
Inpres tersebut adalah agar setiap kementerian/lembaga, gubernur, dan para bupati/walikota mengambil
langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka
pelaksanaan program-program pembangunan yang berkeadilan, antara lain meliputi program pencapaian
Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs).
Implementasi dari Inpres No. 3 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:
1. Pengintegrasian tujuan, target, dan indikator MDGs ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran
Pemerintah baik di tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota baik jangka menengah (5
tahunan) maupun jangka pendek (tahunan);
2.

Penyusunan Peta Jalan Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia 2010-2015 yang digunakan sebagai
acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan
mengevaluasi berbagai program dan kegiatan dalam rangka percepatan pencapaian MDGs;

3.

Pembentukan Tim Koordinasi MDGs Nasional di bawah koordinasi Kementerian Perencanaan


Pembangunan Nasional/Bappenas dengan beranggotakan seluruh Kementerian/Lembaga yang
terkait dalam upaya percepatan pencapaian MDGs. Tugas pokok dari tim tersebut adalah bertanggung
jawab dalam koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi pencapaian sasaran
MDGs;

4.

Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) percepatan pencapaian MDGs di 33 Provinsi dengan
rangkaian kegiatan sebagai berikut:
a.

Penyusunan pedoman teknis Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi tentang percepatan
pencapaian tujuan MDGs untuk memberikan panduan bagi daerah, khususnya provinsi dalam
menyusun dokumen rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di daerah, sehingga
dapat dihasilkan dokumen rencana aksi yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan
nasional;

b.

Pelaksanaan fasilitasi penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi oleh Tim Koordinasi
MDGs Nasional kepada Tim Koordinasi MDGs Provinsi untuk menyamakan persepsi dalam
penyusunan target dan indikator MDGs di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, menyusun
langkah-langkah penyusunan RAD MDGs Provinsi, dan melakukan exercise penyusunan draft
RAD Percepatan Pencapaian Target MDGs di Provinsi termasuk penyusunan target, sasaran dan
indikator;

c.

Penyusunan pedoman teknis Definisi Operasional Indikator MDGs yang berisikan tentang
daftar tujuan, target, dan indikator MDGs, konsep definisi, manfaat, metode perhitungan, dan
sumber data yang digunakan untuk menyamakan persepsi sehingga data dan informasi MDGs
dapat dibandingkan antarprovinsi;

d.

Penyusunan pedoman teknis Review RAD MDGs Provinsi sebagai acuan dalam mereview RAD
MDGs Provinsi yang sejalan dengan kebijakan program, dan sasaran MDGs Nasional;

e.

Penyusunan pedoman laporan pencapaian MDGs provinsi untuk memberikan panduan bagi
provinsi untuk dapat melaporkan berbagai keberhasilan yang telah dicapai sebagai perwujudan
dari komitmen dan kerja keras Pemerintah Daerah dan segenap komponen masyarakat
untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

4
memperkuat ketersediaan data dan informasi mengenai data capaian target MDGs di setiap
provinsi sehingga dapat dijadikan dasar dalam penyusunan kebijakan/program/kegiatan untuk
mempercepat pencapaian MDGs di daerahnya masing-masing.
f.

Penyusunan pedoman penyusunan matrik RAD MDGs kabupaten dan kota sebagai panduan
bagi kabupaten dan kota untuk menyusun rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di
daerah, sehingga dapat dihasilkan suatu produk dokumen rencana aksi yang jelas, operasional
dan selaras dengan kebijakan nasional.

g.

Penyusunan pedoman teknis Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan RAD MDGs Provinsi
untuk memastikan pelaksanaan program dan kegiatan MDGs yang tertuang didalam RAD
MDGs Provinsi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, mengidentifikasi dan mengantisipasi
permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program percepatan pencapaian MDGs
sehingga dapat diatasi, dan merumuskan langkah tindak lanjut percepatan pencapaian target
MDGs;

5.

Penetapan Surat Edaran Kementerian PPN dan Kemendagri Nomor: 0068/M.PPN/02/2012 dan
Nomor: 050/583/SJ tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium
Development Goals) Tahun 2011-2015 antara lain untuk mendorong agar daerah menyusun program
dan kegiatan serta pengalokasian anggaran dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD),
Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah agar mengacu pada RAD MDGs di masing-masing provinsi untuk percepatan
pencapaian tujuan target dan indikator MDGs.

6.

Peningkatan dukungan pembiayaan untuk percepatan pencapaian MDGs, yaitu :


a.

Penyusunan kerangka kebijakan pendanaan percepatan sasaran MDGs melalui Public Private
Partnership (PPP) untuk mendorong pihak swasta bermitra dengan Pemerintah dalam upaya
percepatan pencapaian MDGs;

b.

Penyusunan pedoman harmonisasi Pelaksanaan Corporate Social Responsibilities (CSR)


untuk mensinergikan pelaksanaan kegiatan CSR dengan program dan kegiatan dalam rangka
pencapaian MDG yang mencakup upaya (i) pencapaian keselarasan antara tujuan pelaksanaan
CSR dengan MDG, (ii) keselarasan targeting atau sasaran kelompok masyarakat, (iii) keselarasan
lokasi pelaksanaan CSR dengan lokasi target pencapaian MDG; dan, (iv) keselarasan indikator
kinerja yang dipakai dalam pencapaian MDG dengan kegiatan CSR;

7.

Penyusunan pedoman pemberian insentif bagi daerah untuk mendukung percepatan pencapaian
MDGs sebagai panduan dalam penetapan, pelaksanaan dan pemantauan pemberian insentif daerah
yang memiliki kinerja baik dalam upaya pencapaian tujuan MDGs.

8.

Pelaksanaan diseminasi dan advokasi percepatan pencapaian MDGs kepada seluruh stakeholders
meliputi DPR, organisasi profesi, perguruan tinggi, media masa, lembaga swadaya masyarakat,
Kementerian/Lembaga di tingkat Pusat, dan SKPD;

9.

Pemberian MDGs Award dengan tujuan memberikan apresiasi kepada para pemangku kepentingan
dan pelaku pembangunan yang telah menghasilkan prestasi terbaik dalam upaya mendorong
percepatan pencapaian MDGs di Indonesia dan membangun sistem insentif dan disinsentif
berkesinambungan yang dapat menjadi katalis bagi upaya percepatan pencapaian MDGs di Indonesia.
Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP) RI untuk Millennium
Development Goals;

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

5
10. Penguatan ketersediaan data dan informasi mengenai indikator-indikator MDGs untuk memperkuat
sistem perencanaan, monitoring, dan evaluasi kinerja pencapaian MDGs. Kegiatannya merupakan
kerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Kemen PPN/Bappenas.
11. Dalam lingkup regional, khususnya ASEAN, Indonesia juga berperan aktif dalam mendukung upaya
peningkatan kerjasama MDGs dalam rangka mengurangi kesenjangan pembangunan di kawasan.
Diadopsinya ASEAN Roadmap for the Attainment of the Millennium Development Goals selama
Keketuaan Indonesia untuk untuk ASEAN pada tahun 2011 mencerminkan komitmen dan kontribusi
signifikan Indonesia untuk turut mendukung penetapan kebijakan regional terkait dengan upaya percepatan pencapaian MDGs.
12. Pelaksanaan MDGs Acceleration Framework (MAF) dalam upaya peningkatan kesehatan ibu di
Provinsi Jawa Tengah dan replikasinya di provinsi fokus
13. Penyusunan dokumen High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) yang merupakan gagasan agenda
post MDGs 2015 dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu co chair bersama Perdana
Menteri Inggris dan Presiden Liberia.

ingkasan Pencapaian Status MDGs di Indonesia

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

6
RINGKASAN PENCAPAIAN STATUS MDGs
DI INDONESIA

TUJUAN 1:
MENANGGULANGI KEMISKINAN
DAN KELAPARAN
Upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia menunjukkan kemajuan yang berarti
dan ini sudah sesuai dengan target MDGs yang ditunjukkan dengan menurunnya
proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional dari 15,10 persen
(tahun 1990) menjadi 11,47 persen (2013) dan Indeks Kedalaman Kemiskinan dari
2,70 menjadi 1,75 pada periode yang sama. Laju pertumbuhan PDB per tenaga
kerja meningkat dari 3,52 persen (tahun 1990) menjadi 5,24 persen (tahun 2012).
Di samping itu, terjadi penurunan proporsi penduduk yang menderita kelaparan dari
tahun 1989 ke tahun 2013 yang ditunjukkan dengan prevalensi balita dengan berat
badan rendah dari 31,00 persen menjadi 19,60 persen, serta proporsi penduduk
dengan asupan kalori kurang dari 1400 Kkal/kapita/hari dari 17,00 persen (tahun
1990) menjadi 19,04 persen (tahun 2013).

TUJUAN 2:
MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA
Upaya pencapaian pendidikan dasar untuk semua telah sejalan dengan sasaran
MDGs, hal ini ditunjukkan dengan sudah diterapkannya pendidikan dasar 9 tahun
di Indonesia. Pada tahun 2012, angka partisipasi murni SD telah mencapai 95,71
persen; proporsi murid kelas I yang berhasil mencapai kelas VI adalah 96,43 persen
pada tahun 2012; dan angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun perempuan
dan laki-laki sudah mencapai 99,08 persen pada tahun 2012.

TUJUAN 3:
MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Upaya untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
sebagian besar telah mencapai sasaran MDGs tahun 2015. Pada tahun 2013, Rasio
APM perempuan/laki-laki di tingkat SD adalah 99,81 persen; di tingkat SMP adalah

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

7
105,69 persen; di tingkat SMA adalah 100,66 persen; dan di tingkat pendidikan tinggi
adalah 109,73 persen.
Di bidang ketenagakerjaan, terlihat adanya peningkatan kontribusi perempuan dalam
pekerjaan upahan di sektor nonpertanian, yaitu 35,10 persen pada tahun 2013. Di
samping itu, proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR juga mengalami peningkatan, menjadi 16,79 persen (2013).

TUJUAN 4:
MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK
Upaya untuk menurunkan angka kematian anak sudah sejalan dengan sasaran MDGs.
Hal ini ditunjukkan dengan penurunan angka kematian balita dari 97 (tahun 1991)
menjadi 40 per seribu kelahiran hidup (tahun 2012); penurunan angka kematian bayi
dari 68 menjadi 32 per seribu kelahiran; dan neonatal dari 32 menjadi 19 per seribu
kelahiran. Sedangkan proporsi anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak meningkat
dari 44,50 persen (tahun 1991) menjadi 74,20 persen (tahun 2013).

TUJUAN 5:
MENINGKATKAN KESEHATAN IBU
Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih telah berhasil ditingkatkan
dari 40,70 persen (tahun 1992) menjadi 83,10 persen (tahun 2012), namun di sisi
lain angka kematian ibu baru dapat ditekan dari 390 (tahun 1991) menjadi 359 per
100.000 kelahiran hidup (tahun 2012). Sementara itu angka pemakaian kontrasepsi
bagi perempuan menikah usia 15-49 tahun dengan cara modern meningkat dari
47,10 persen (tahun 1991) menjadi 57,90 persen (tahun 2012).

TUJUAN 6:
MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN
PENYAKIT MENULAR LAINNYA
Upaya mengendalikan penyebaran, menurunkan jumlah kasus baru dan mewujudkan
akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS masih memerlukan upaya keras, inovatif,
dan kreatif untuk mencapainya. Prevalensi HIV dan AIDS masih cukup tinggi yaitu 0,43
persen pada tahun 2012. Selain itu, akses terhadap ARV sudah mencapai 84,67 persen
(tahun 2013) dari penduduk terinfeksi HIV dan AIDs lanjut. Angka kejadian malaria
menurun pesat dari 4,68 (tahun 1990) menjadi 1,69 per 1.000 penduduk pada tahun

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

8
2012. Sementara itu, angka kejadian Tuberkulosis sudah berhasil mencapai target
MDGs 2015 pada tahun 2012 yaitu dari 343 (1990) menjadi 187 kasus per 100.000
penduduk/tahun.

TUJUAN 7:
MEMASTIKAN KELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
Sebagian besar sasaran untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup masih
memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan
terhadap luas daratan menurun dari 59,97 persen pada tahun 1990 menjadi 52,54
persen pada 2012, sedangkan jumlah emisi CO2 meningkat dari 247.522 Gg CO2e
(2000) menjadi 356.823 GgCO2e (2008). Lebih lanjut, proporsi rumah tangga dengan
akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak meningkat dari 37,73 persen
(1993) menjadi 67,73 persen (2013), sedangkan untuk fasilitasi sanitasi dasar layak
dari 24,81 persen (1993) menjadi 59,71persen (2013).

TUJUAN 8:
MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL
UNTUK PEMBANGUNAN
Sistem keuangan dan perdagangan Indonesia kini semakin terbuka, berbasis
peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif. Hal ini diukur dari indikator
keterbukaan ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan rasio ekspor dan impor
terhadap PDB dari 41,60 persen tahun 1990 menjadi 43,62 persen tahun 2012.
Sedangkan rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB menurun dari 24,59 persen pada
tahun 1996 menjadi 7,40 persen pada tahun 2012.
Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler meningkat dari 14,79 persen pada
tahun 2004 menjadi 131,41 persen pada tahun 2012. Namun pada tahun 2012
proporsi rumah tangga dengan akses internet baru mencapai 30,66 persen dan
proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi baru mencapai 14,86 persen
pada tahun 2012.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

9
TINJAUAN STATUS PENCAPAIAN MDGS
DI INDONESIA
Status : Sudah TercapaiAkan TercapaiPerlu Perhatian Khusus

Acuan
Dasar

Indikator

Saat Ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

TUJUAN 1. MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN


Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1 (PPP)
per hari dalam kurun waktu 1990-2015
1.1

Proporsi penduduk dengan pendapatan


kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per
hari

20,60% (1990)

1.1a

Persentase penduduk yang hidup di bawah


garis kemiskinan nasional

15,10% (1990)

1.2

Indeks Kedalaman Kemiskinan

2,70% (1990)

5,90% (2008)

11,47% (2013)
1,75% (2013)

10,30%

Bank Dunia dan


BPS

7,55%

BPS, Susenas

Berkurang

BPS, Susenas

Target 1B: Mewujudkan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk
perempuan dan kaum muda
5,24%
1.4

Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja

3,52% (1990)

(2012)

1.5

1.7

Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk


usia 15 tahun ke atas
Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri
dan pekerja bebas keluarga terhadap total
kesempatan kerja

63,71%
65% (1990)

(2012)

dan Sakernas

BPS, Sakernas

55,32%
71% (1990)

BPS,PDB
Nasional

Menurun
(2012)

Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 19902015
31,00%
(1989)*

19,60% (2013) **

15,50%

1.8a Prevalensi balita gizi buruk

7,20%
(1989)*

5,70% (2013) **

3,60%

1.8b Prevalensi balita gizi kurang

23,80%
(1989)*

13,90% (2013) **

11,90%

8,50%

35,32%

1.8

Prevalensi balita dengan berat badan rendah / kekurangan gizi

1.9

Proporsi penduduk dengan asupan kalori di


bawah tingkat konsumsi minimum:

1400 Kkal/kapita/hari

2000 Kkal/kapita/hari

17,00%
(1990)
64,21%
(1990)

19,04%
(2013)
68,25%
(2013)

*BPS, Susenas
**Kemenkes
Riskesdas

BPS, Susenas

TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA

Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan di manapun dapat menyelesaikan
pendidikan dasar
2.1

Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah


dasar

88,70%
(1992)*

95.71%
100,00%
(2012)**

*BPS, Susenas
**Kemdikbud

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

10
Indikator

2.2.

2.3

Acuan
Dasar

Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar

62,00%
(1990)

Angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun, perempuan dan laki-laki

96,60%
(1990)

Saat Ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

100,00%

Kemdikbud

100,00%

BPS, Susenas

96.43%
(2012)
99.08%
(2012)

TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN


Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di
semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015
Rasio perempuan terhadap laki-laki di
tingkat pendidikan dasar, menengah dan
tinggi

3.1

100,27%
(1993)

99.81%

99,86%

105.69%

(1993)

(2013)

93,67%

100.66%

(1993)

(2013)

- Rasio APM perempuan/laki-laki di Perguruan Tinggi

74,06%

109.73%

(1993)

(2013)

Rasio melek huruf perempuan terhadap


laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun

98,44%
(1993)

100.10%

3.2

Kontribusi perempuan dalam pekerjaan


upahan di sektor nonpertanian

29,24%
(1990)

3.3

Proporsi kursi yang diduduki perempuan di


DPR

12,50%
(1990)

- Rasio APM perempuan/laki-laki di SD

- Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP

- Rasio APM perempuan/laki-laki di SMA

3.1a

(2013)

100,00

100,00

100,00

100,00

(2013)
35.10%
(2013)
16.79% (2013)

BPS, Susenas

100,00

Meningkat

BPS, Sakernas

Meningkat

KPU

TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK


Target 4A: Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015
4.1

Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran


hidup

97 (1991)

40 (2012)

32

4.2

Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup

68 (1991)

32 (2012)

23

BPS, SDKI

Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup

32 (1991)

19 (2012)

Menurun

*BPS, Susenas

Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak

44,50%
(1991)

74,20 % (2013)*

Meningkat

4.2a
4.3

TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU


Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015
5.1

Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran


hidup

390 (1991)

359 (2012)

102

BPS, SDKI

5.2

Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga


kesehatan terlatih

40,70%
(1992)

83,10 % (2012)

Meningkat

BPS, Susenas

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

11
Acuan
Dasar

Indikator

Saat Ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015
Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi
perempuan menikah usia 15-49, semua
cara

49,70%
(1991)

61,90 (2012)

Meningkat

Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada


5.3a perempuan menikah usia 15-49 tahun, cara
modern

47,10%
(1991)

57,90 (2012)

Meningkat

67 (1991)

48 (2012)

Menurun

5.3

5.4

Angka kelahiran remaja (perempuan usia


15-19 tahun) per 1000 perempuan usia 1519 tahun

5.5

Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya


satu kali kunjungan dan empat kali
kunjungan)
-
-

5.6

1 kunjungan:

75,00%

4 kunjungan:

Unmet
Need
(kebutuhan
keluarga
berencana/KB yang tidak terpenuhi)

BPS, SDKI 1991,


2012

96,90 % (2012)

56,00%
(1991)

73,50 % (2012)

12,70%
(1991)

11,40 % (2012)

Me-ningkat

Menurun

TUJUAN 6: MEMERANGI HIV dan AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA
Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015
6.1

Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total


populasi

0,43% (2012)*

Menurun

Kemenkes
2011

SKRRI
2002/2003

*BPS,
6.2

6.3

Penggunaan kondom pada hubungan seks


berisiko tinggi terakhir

12,80%
(2002/03)*

37,6% (2011)**

Proporsi jumlah penduduk usia 15-24 tahun


yang memiliki pengetahuan komprehensif
tentang HIV dan AIDS

21,25% (2012)*

Meningkat

**STBP, Kemenkes 2011


Meningkat

Kemenkes,
Riskesdas 2010

Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDs bagi semua yang membutuhkan sampai dengan
tahun 2010
6.5

Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut


yang memiliki akses pada obat-obatan antiretroviral

84,67% (2013)

Meningkat

Kemenkes

Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya
hingga tahun 2015
Angka kejadian dan tingkat kematian akibat
Malaria

Angka kejadian Malaria (per 1,000 penduduk):

4,68% (1990)

6.7

Proporsi anak balita yang tidur dengan


kelambu berinsektisida

6.8

Proporsi anak balita dengan demam yang


diobati dengan obat anti malaria yang tepat

6.6
66.a

1,38% (2013)
16,50% (2010)

Menurun

Kemenkes

Meningkat

Kemenkes,
Riskesdas

Kemenkes,
Riskesdas

34,70% (2010)

Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya
hingga tahun 2015
6.9

Angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

12
Acuan
Dasar

Saat Ini

Angka kejadian Tuberkulosis (semua kasus/100,000 penduduk/tahun)

343 (1990)

187 (2013)

6.9b

Tingkat prevalensi Tuberkulosis


100,000 penduduk)

443 (1990)

213 (2013)

6.9c

Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per


100,000 penduduk)

92 (1990)

27 (2012)

Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang


terdeteksi dan diobati dalam program DOTS

6.10a

Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang


terdeteksi dalam program DOTS

20,00%
(2000)*

84,41 % (2012)**

70,00%

6.10b

Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati


dan sembuh dalam program DOTS

87,00%
(2000)*

90,2 % (2012)**

85,00%

Indikator
6.9a

6.10

(per

Target
MDGs 2015

Status

Dihentikan, mulai
berkurang

Sumber

Laporan TB
Global WHO

*Laporan TB
Global WHO
**Laporan
Kemenkes

TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP


Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang
7.1

Rasio luas kawasan tertutup pepohonan


berdasarkan hasil pemotretan citra satelit
dan survei foto udara terhadap luas daratan

59,97%
(1990)

52,54%
(2012)

Meningkat

Kementerian
Kehutanan

356.823 Gg CO e
(2008) 2

Berkurang
26% pada
2020

Kementerian
Lingkungan
Hidup

Menurun
dari kondisi
BAU 6,99

247.522
7.2

Jumlah emisi karbon dioksida (CO2)

Gg CO2e
(2000)

7.2a. Jumlah konsumsi energi primer (per kapita)

2,64 BOE
(1991)

3,46 (2012)

7.2b. Intensitas Energi

5,28 SBM/
USD 1,000
(1990)

1,00 SBM/USD 1.000


(2012)

Menurun

7.2c. Elastisitas Energi

0,98 (1991)

1,6 (2010)

Menurun

3,50% (2000)

6,00 % (2011)

Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO)


dalam metrik ton

8.332,7
metric tons
(1992)

202 metric tons


methyl bromide,
5,001.87 metric tons
(2012)

0 CFCs
dengan

7.4

Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam


batasan biologis yang aman

66,08%
(1998)

93,25% (2012)

7.5

Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga


kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan

26,40%
(1990)

28,45% (2012)

7.2d. Bauran energi untuk energi terbarukan

7.3

7.6

Rasio kawasan lindung perairan terhadap


total luas perairan teritorial

0,14%
(1990)*

5,1% (2012)**

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

Kementerian
Energi dan
Sumber Daya
Mineral

Kementerian
Lingkungan
Hidup

tidak melebihi batas

Kementerian
Kelautan &
Perikanan

Meningkat

Kementerian
Kehutanan

*Kementerian
Kehutanan
** Kementerian Kelautan
& Perikanan

mengurangi

HCFCs

Meningkat

13
Acuan
Dasar

Indikator

Saat Ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

Target 7C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air
layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak hingga tahun 2015
Proporsi rumah tangga dengan akses
berkelanjutan terhadap air minum layak,
perkotaan dan perdesaan

37,73%
(1993)

67.73% (2013)

68,87%

7.8a Perkotaan

50,58%
(1993)

79,34% (2013)

75,29%

7.8b Perdesaan

31,61%
(1993)

56,17% (2013)

65,81%

24,81%
(1993)

59.71% (2013)

62,41%

7.9a Perkotaan

53,64%
(1993)

75.63% (2013)

76,82%

7.9b Perdesaan

11,10%
(1993)

44.09% (2013

55,55%

7.8

7.9

Proporsi rumah tangga dengan akses


berkelanjutan terhadap sanitasi layak,
perkotaan dan perdesaan

BPS, Susenas

Target 7D:Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal
100 juta) pada tahun 2020
7.10

Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan

20,75%
(1993)

13,39% (2013)

6% (2020)

BPS, Susenas

TUJUAN 8: MENGEMBANGKAN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN


Target 8A: Mengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan
tidak diskriminatif
8.6a

Rasio Ekspor + Impor terhadap PDB (indikator keterbukaan ekonomi)

41,60%
(1990)*

8.6b

Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank


umum

45,80%
(2000)*

8.6c Rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR

101,30%
(2003)*

43,62% (2012)**

Meningkat

Meningkat

83,58%
(2012)

*BPS dan Bank


Dunia
**BPS dan Kemendag

Bank Indonesia

111,03%
Meningkat
(2012)

Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola
utang dalam jangka panjang
8.12

Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB

Rasio pembayaran pokok utang dan bunga


8.12a utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR)

24,59%
(1996)

28,7% (2012)

Berkurang

Ke m e n t e r i a n
Keuangan

51,00%
(1996)*

34,9% (2012)

Berkurang

Ke m e n t e r i a n
Keuangan dan
Bank Indonesia

Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi
8.14

Proporsi penduduk yang memiliki jaringan


PSTN (kepadatan fasilitas telepon per jumlah penduduk)

(2004)

8.15

Proporsi penduduk yang memiliki telepon


seluler

8.16

4,02%

3,23% (2012)

Meningkat

14,79%
(2004)

131,41% (2012)

100,00%

Proporsi rumah tangga dengan akses internet

30,66% (2012)

50,00%

Proporsi rumah tangga yang memiliki kom8.16a


puter pribadi

14,86% (2012)

Meningkat

Kementerian
Komunikasi
dan Informatika
2010

BPS,
2011

Susenas

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

14

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

TUJUAN 1:
MENANGGULANGI
KEMISKINAN DAN KELAPARAN

Sumber foto : World Bank

17

TUJUAN 1:
MENANGGULANGI KEMISKINAN
DAN KELAPARAN

TARGET 1A

MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK


DENGAN TINGKAT PENDAPATAN KURANG DARI USD 1,00 (PPP) PER
HARI DALAM KURUN WAKTU 1990-2015
Indikator

Acuan
dasar

Saat ini

Target MDGs
2015

Status

Sumber

1.1

Proporsi penduduk dengan pendapatan


kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita
per hari

20,60%
(1990)

5,90%
(2008)

10,30%

Bank Dunia dan


BPS

1.1a

Persentase penduduk yang hidup di


bawah garis kemiskinan nasional

15,10%
(1990)

11,47%
(2013)

7,55%

BPS, Susenas

1.2

Indeks Kedalaman Kemiskinan

2,70%
(1990)

1,75%
(2013)

Berkurang

BPS, Susenas

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN

Gambar 1.1
Persentase Penduduk
yang Hidup di Bawah
Garis Kemiskinan
Nasional

Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun penerbitan

Persentase penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional terus menurun. Data
pada Maret 2013 menunjukkan proporsi penduduk miskin sebesar 11,47 persen, (Gambar 1.1). Namun

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

18
terdapat hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu adanya kecenderungan perlambatan laju penurunan
tingkat kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir ( Gambar 1.2). Salah satu faktor penyebabnya adalah
terjadinya perubahan kondisi perekonomian yang kurang menguntungkan, seperti tingginya laju inflasi
terutama harga komoditi kebutuhan pokok yang dikonsumsi penduduk miskin. Disamping stabilitas harga
barang kebutuhan pokok perlu dijaga agar daya beli penduduk miskin dan rentan tidak tergerus oleh
inflasi, juga diperlukan strategi khusus untuk mempertahankan prestasi yang telah diraih selama ini.

Gambar 1.2
Penurunan Jumlah
Penduduk Miskin,
2003 -2013
(Juta Jiwa)
Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun penerbitan.

Tingkat kesejahteraan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan juga terus mengalami
perbaikan. Hal ini ditunjukkan oleh menurunnya Indeks Kedalaman Kemiskinan dari 2,08 pada tahun
2011 menjadi 1,75 pada tahun 2013 (gambar 1.3). Kondisi ini, bersama dengan menurunnya persentase
penduduk miskin, menegaskan upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah Indonesia
selama ini telah berada di jalur yang tepat.

Gambar 1.3.
Tingkat Kedalaman
(P1) dan Keparahan
Kemiskinan (P2),
2000-2013

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

19
Peraturan Presiden No. 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
mengamanatkan empat klaster program penanggulangan kemiskinan sebagai instrumen penting
dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Empat klaster tersebut adalah:
1. Klaster 1, kegiatan yang bersifat bantuan dan perlindungan sosial berbasis rumah tangga/
keluarga/individu (Jamkesmas, Bantuan Siswa Miskin, Program Keluarga Harapan dan Raskin);
2. Klaster 2, pemberdayaan masyarakat miskin (PNPM Mandiri);
3. Klaster 3, pemberdayaan usaha kecil dan menengah (KUR dan program UKM lainnya); serta
4. Klaster 4, program-program pro-rakyat yang diarahkan untuk memberikan subsidi dalam
pemenuhan fasilitas dasar pada wilayah-wilayah khusus (masyarakat nelayan di Pangkalan
Pendaratan Ikan/PPI, masyarakat miskin perkotaan dan masyarakat daerah tertinggal).
Penguatan lebih lanjut terhadap 4 klaster tersebut diperlukan untuk memastikan ketepatan sasaran dan
komplementaritas antarprogram penanggulangan kemiskinan. Tujuan utamanya adalah memberikan
daya ungkit yang lebih besar bagi penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan agar keluar
dari kemiskinan.
Di tingkat provinsi, terdapat beberapa provinsi yang telah mencapai penurunan proporsi penduduk
miskin hingga setengahnya, yaitu provinsi DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan
(Gambar 1.3). Beberapa provinsi lainnya yang hampir dapat mencapai target yaitu Sumatera Barat, Riau
dan Sulawesi Utara. Perhatian khusus perlu diberikan kepada provinsi NAD yang tingkat kemiskinannya
pada 2013 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1990. Selain itu, disparitas kemiskinan antar wilayah
cukup tinggi, yaitu dari 3,55 persen sampai 31,13 persen. Lima provinsi dengan proporsi penduduk miskin
tertinggi adalah Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Bengkulu.

Gambar 1.4.
Persentase Penduduk
yang Hidup di Bawah
Garis Kemiskinan
Menurut Provinsi
tahun 1990 dan 2013
Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun penerbitan.
Keterangan: Beberapa provinsi tidak tersedia data tahun 1990, salah satunya karena provinsi pemekaran

TANTANGAN
Tantangan Umum:
1. Kecenderungan perlambatan laju penurunan tingkat kemiskinan sebagai akibat dari perubahan
kondisi perekonomian, seperti tingginya laju inflasi terutama komoditi kebutuhan pokok yang banyak
dikonsumsi penduduk miskin dan rentan.
2. Pendataan target sasaran yang berkelanjutan, terutama untuk program-program bantuan sosial
berbasis rumah tangga/keluarga/individu (klaster 1) seperti program Raskin, Jamkesmas, BSM, BLSM
dan PKH.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

20
3. Sinergitas antar program penanggulangan kemiskinan masih perlu ditingkatkan terutama untuk
pelaksanaan program klaster 1.
4. Pendampingan pelaksanaan program belum memadai, baik dari sisi kualitas sumber daya manusia
maupun dari sisi dukungan pemerintah daerah.
Tantangan Khusus:
1. Terkait PKH;
a. Fungsi pendampingan masih terkendala oleh rendahnya rasio jumlah personil organik dengan
jumlah peserta program serta terbatasnya kapasitas personil. Efektivitas kinerja pendamping
sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan mekanisme pengembangan kapasitas.
b. Keterkaitannya dengan program penanggulangan kemiskinan dan inisiatif program daerah lainnya masih lemah. Komplementaritas ini belum terintegrasi dengan baik padahal peningkatan
sumber daya tidak hanya diperlukan pada anak peserta PKH saja namun juga pada sumberdaya
rumah tangga atau keluarga secara keseluruhan.
c. Sistem Informasi Manajemen PKH (SIM-PKH) merupakan tulang punggung program yang
berkaitan dengan kondisi peserta. Terkait dengan perluasan cakupan, maka peningkatan jumlah
RTSM akan berdampak pada SIM secara keseluruhan. Selain itu perlu disiapkan mekanisme
yang dapat mengakomodasi pergeseran fungsi MIS dari pusat ke daerah untuk meningkatkan
efektivitas fungsi monitoring dan evaluasi program.
2. Jangkauan pelayanan program KB dan pelaksanaan advokasi-KIE program KB belum optimal dan
belum merata, terutama pada sasaran khusus atau sulit seperti masyarakat miskin dan wilayah
kumuh, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, serta wilayah kepulauan dan sungai. Kecenderungan
rumah tangga miskin memiliki jumlah anak yang lebih banyak dibanding rumah tangga non-miskin
akan menciptakan inter-generational poverty trap dalam jangka panjang. Kemampuan investasi
rumah tangga miskin yang memiliki anak lebih 2 akan semakin berat. Oleh karenanya Program KB bagi
rumah tangga miskin mutlak dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dalam jangka
panjang.Disamping itu, sasaran belum ditujukan/difokuskan kepada pasangan muda dan pasangan
yang memiliki dua anak. Hal ini mengakibatkan masih tingginya tingkat ketidakberlanjutan (DO)
kepesertaan ber-KB yang mencapai sekitar 20 persen.
3. Dalam pelaksanaan kegiatan redistribusi tanah, kendala yang dihadapi adalah semakin berkurangnya
jumlah sumber tanah obyek reforma agraria (TORA). Hal ini dikarenakan faktor kelangkaan tanah
TORA yang telah didistribusikan sejak 1961. Dari berbagai jenis sumber TORA tersebut, hanya tanah
terlantar dan kawasan hutan yang telah dilepaskan masih cukup tersedia.
4. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program klaster 2 adalah (i) minimnya dukungan
regulasi bagi pengembangan desa dan perdesaan dan (ii) belum memadainya kapasitas SDM, baik
pemerintah desa, lembaga desa dan lembaga kemasyarakatan. Terkait dengan hal ini, permasalahan
dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan desa melalui PNPMMP adalah (i) masih rendahnya komitmen daerah dalam pengalokasian Dana Daerah Urusan Bersama
(DDUB) untuk mendukung Program PNPM-MP dan (ii) kooodinasi lintas SKPD yang masih lemah.
Perkiraan permasalahan tersebut teridentifikasi dari beberapa kasus yang sering muncul dari tahun
ke tahun dan diperkirakan akan menjadi permasalahan pada tahun berikutnya. Dalam pelaksanaan
kegiatan PUAP masih ditemui kendala dalam bentuk (i) keterlambatan penyampaian bantuan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

21
PUAP kepada penerima manfaat karena lokasi penerima yang jauh (terpencil) dan (ii) ketidaksiapan
penerima manfaat memenuhi persyaratan, antara lain penyediaan rekening bank sebagai media
penyaluran bantuan.
5. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program-program di Klaster 3 yaitu belum optimalnya upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha mikro dan kecil. Usaha mikro dan kecil juga belum
banyak yang terhubung dengan layanan pendampingan usaha, kerja sama usaha yang berbasis nilai
tambah, dan pasar yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan usahanya serta meningkatkan
pendapatannya secara berkelanjutan.
6. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program-program di Klaster 4 antara lain:
(i) Koordinasi lintas sektor antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan program masih lemah,
(ii) Status lahan dalam rangka sertifikasi tanah dan pembangunan rumah untuk nelayan masih bermasalah,
(iii) Belum memadainya kesiapan kelompok penerima;
(iv) Belum maksimalnya sistem pelayanan di tingkat penyedia layanan, terutama dari segi kualitas
dan kemampuan layanan untuk menjangkau kelompok miskin yang sulit terjangkau;
(v) Masih adanya ketimpangan antar daerah dan antar kelompok masyarakat (miskin dan nonmiskin) untuk mengakses pelayananan dasar;
(vi) Belum tersedianya sistem pelayanan terpadu yang menyediakan informasi dan pendampingan
bagi kelompok penerima potensial untuk mengakses program-program yang ada, terutama di
tingkat komunitas.

KEBIJAKAN
Dalam rangka mendukung pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan,
program-program penanggulangan kemiskinan perlu dipertajam dan diperluas. Untuk itu, arah kebijakan
penanggulangan kemiskinan adalah:
1. Menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok agar daya beli masyarakat miskin dan rentan tidak tergerus
oleh inflasi
2. Mempercepat sasaran pengurangan kemiskinan melalui:
(i) Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
memperkuat pembangunan yang inklusif dan berkeadilan;
(ii) Penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung kebutuhan dasar berupa pangan, sandang,
perumahan, kesehatan, pendidikan, dan pemberian akses modal yang mendukung peningkatan
produktivitas usaha dan pendapatan.
(iii) Perbaikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan melalui sinergisitas pelaksanaan
berbagai program terutama di kantong-kantong kemiskinan yang telah ditentukan sebagai
daerah Quick Wins MP3KI pada 2014.
3. Memperluas dan menyempurnakan pelaksanaan sistem jaminan sosial sehingga semua penduduk
miskin dan rentan dapat berpartisipasi penuh dan menerima manfaatnya;
4. Mengoptimalkan sistem pembangunan partisipatif yang dirancang untuk menjamin partisipasi aktif
penduduk miskin dan rentan dalam pengambilan keputusan di berbagai tahapan proses pembangunan.
5. Memperkuat kegiatan usaha masyarakat miskin, termasuk membangun keterkaitan dengan Master
Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

22
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN
TUJUAN
Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan pemerintah sebagai bagian
dari upaya mencapai target angka kemiskinan 2014 sebesar 8%-10%. Tabel 1.1 menunjukkan
capaian dan cakupan beberapa program penanggulangan kemiskinan utama di Indonesia.
TABEL 1.1
Cakupan Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2009-2012
Kegiatan/
Indikator

Satuan

Tahun
2009

2010

2011

2012

816.000

Klaster I
1

PKH

RTS

720.000

1.116.000

1.516.000

Raskin

RTS

19.020.763 17.488.007

17.488.007

17.488.007

Jamkesmas

Juta Jiwa

76,4

76,4

76,4

76,4

Bantuan Siswa Miskin

Juta Siswa

5,5

4,6

6,8

7,7

Klaster II
1

PNPM Perdesaan

Kecamatan

4.371

4.805

5.020

5.100

PNPM Perkotaan

Kecamatan

1.145

885

1.153

1.151

PPIP/RIS

Kecamatan

479

215

215

187

PISEW

Kecamatan

237

237

237

237

Persen

100

100

100

100

Klaster III
1

Dukungan penjaminan KUR

Peningkatan dan perluasan akses Usaha


permodalan bagi koperasi, usaha Mikro/
mikro, kecil dan menengah
Koperasi

7.900
usaha
mikro

1.496
Koperasi

1.370 Koperasi

1.320 Koperasi

Perluasan KUR

33

33

33

33

Provinsi

Klaster 1 mencakup Program Keluarga Harapan (PKH), Raskin, Jamkesmas, dan lainnya. Cakupan
peserta PKH mengalami peningkatan signifikan pada 2013 menjadi 2,4 juta RTSM. Pada pembayaran tahap
I di bulan Mei 2013, 1.448.301 RTSM telah menerima bantuan tunai PKH, sebesar rata-rata Rp.230.000,00
per RTSM. Dengan penambahan RTSM baru ini, wilayah program PKH pada 2013 telah mencakup 3.216
kecamatan di 336 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi.
Sejaan dengan perluasan cakupan PKH, proses verifikasi komitmen peserta PKH dalam mengakses layanan
pendidikan dan kesehatan terus ditingkatkan. Hingga akhir 2012,
90,6 persen peserta PKH telah melalui proses verifikasi komitmen.
Terkait dengan perkembangan inflasi, mulai 2013 dilaksanakan
penyesuaian jumlah manfaat bantuan tunai PKH untuk RTSM. Ratarata bantuan tunai PKH yang diterima oleh RTSM bertambah dari
Rp.1.390.000,00 menjadi Rp.1.800.000,00 per tahun.

Foto 1.1

Rumah Tangga Sasaran Penerima


Manfaat Raskin

Kerjasama antarkementerian juga dilaksanakan untuk mendukung


pelaksanaan PKH, diantaranya melalui Program Penarikan Pekerja
Anak PKH (PPA PKH) yang dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi. PPA PKH pada pertengahan 2013 telah

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

23
melaksanakan penarikan 11.000 pekerja anak yang merupakan peserta PKH dari bentuk pekerjaan
terburuk anak (BPTA).
Berkaitan dengan pembangunan kependudukan dan KB, hingga Mei 2013 capaiannya antara lain adalah: (i)
meningkatnya jumlah peserta KB baru (PB) sebanyak 4,2 juta peserta dari target 7,5 juta peserta, termasuk
di dalamnya PB dari keluarga pra-sejahtera/KPS dan keluarga sejahtera-1/KS-1) dan rentan lainnya; (ii) PB
pria sebanyak 261.616 peserta dari target 318.340 peserta; (iii) PB Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
(MKJP) sebanyak 821.755 peserta dari target 1,2 juta peserta; (iv) meningkatnya pembinaan peserta KB
aktif (PA) sebanyak 35,2 juta peserta, termasuk di dalamnya PA dari KPS dan KS-1 sebanyak 14,2 juta
peserta, PA pria sebanyak 1,3 juta peserta, dan PA MKJP sebesar 8,8 juta peserta.
Pada 2013, peserta cakupan program Jamkesmas ditingkatkan sebesar 10 juta jiwa sehingga saat ini
terdapat 86,4 juta jiwa yang memiliki kartu peserta Jamkesmas. Selain itu, pada 2011 cakupan program
persalinan (Jampersal) telah mencapai 1.777.265 persalinan yang terdiri dari 1.572.751 persalinan di
pelayanan kesehatan dasar dan 204.512 persalinan di pelayanan kesehatan rujukan.
Pada 2013, cakupan siswa penerima BSM ditingkatkan menjadi 16,6 juta siswa SD/MI sampai dengan
SMA/SMK/MA. Cakupan Beasiswa Bidik Misi ditingkatkan menjadi 154.981 mahasiswa PT/PTA. Selain itu,
besaran beasiswa bertambah menjadi Rp.450 ribu/siswa untuk siswa SD/MI, Rp.750 ribu/siswa untuk
siswa SMP/MTs, dan Rp.1 juta/siswa untuk siswa SMA/SMK/MA per tahun.
Klaster 2 mencakup PNPM Mandiri yang telah berjalan selama 6 tahun sejak 2007. Selama 2009-2012,
alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) mencapai Rp.33,7 triliun untuk menstimulasi berbagai
kegiatan pembangunan perdesaan. Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan pada 2013 dilaksanakan di
5.146 kecamatan, 392 kabupaten dan 32 provinsi. Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan Perbatasan
berada di 80 kecamatan, 15 kabupaten pada 4 provinsi, dan PNPM Mandiri Perdesaan Integrasi SP-SPPN
di 85 kabupaten di 30 provinsi. Pelaksanaan PNPM Perkotaan 2012 dilakukan di 10.925 kelurahan/desa.
Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) mencakup 5.592 desa. Program Infrastruktur
Pendukung Kegiatan Ekonomi dan Sosial (RISE/PISEW) di 237 kecamatan, dan Program Infrastruktur Air
Limbah di 635 kawasan.
Klaster 3 mencakup pelaksanaan kegiatan-kegiatan pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Hasil-hasil
yang dicapai pada semester I 2013 antara lain:
a) Volume penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang mencakup kredit modal kerja dan kredit investasi
bagi UMKM dan koperasi secara kumulatif sejak 2007 sampai dengan 30 April 2013 telah mencapai
lebih dari Rp.111,9 triliun. Jumlah debitur KUR mencapai sekitar 8,45 juta debitur, dengan rata-rata
KUR yang diterima Rp.13,2 juta per debitur. Volume penyaluran KUR pada semester I tahun 2013
mencapai lebih dari Rp.14,2 triliun, yang disalurkan kepada 773.556 debitur, dengan rata-rata besar
pinjaman Rp.18,4 juta per debitur, dan NPL 4,4 persen.
b) Kedua, peningkatan akses permodalan bagi usaha mikro dan kecil juga dilaksanakan melalui: (i)
Penguatan kapasitas pembiayaan di 609 koperasi perkotaan dan pedesaan; (ii) Penyaluran start-up
capital bagi 1.757 wirausaha pemula; (iii) Peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga keuangan mikro
(LKM) yang bertransformasi menjadi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) sebanyak 100 LKM; (iv) Fasilitasi 2
jaringan kerjasama KSP dengan perbankan; (v) Fasilitasi pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit
Daerah (PPKD) di 4 provinsi; (vi) Penguatan kapasitas KSP untuk mengakses perbankan di 4 provinsi;
serta (vii) Penyaluran dana bergulir sebesar Rp.493,4 miliar bagi 398 mitra (4 koperasi sekunder,
188 koperasi primer, 5 bank, 2 perusahaan modal ventura dan 199 UKM), yang selanjutnya akan
menggulirkan dana kepada usaha mikro dan kecil

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

24
c) Upaya peningkatan kapasitas SDM, produksi, pemasaran, dan kelembagaan koperasi yang
dilaksanakan melalui: (i) Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN), diklat kewirausahaan bagi 600
orang di 14 provinsi dan diklat perkoperasian bagi 480 orang di 3 provinsi; (ii) Diklat dan sertifikasi
bagi 200 pengelola KSP; (iii) Bimbingan dan konsultasi penerapan teknologi tepat guna (TTG) bagi 450
koperasi, usaha mikro dan kecil; (iv) Dukungan TTG bagi 9 koperasi di 9 provinsi; (v) Revitalisasi 25 unit
pasar tradisional yang dikelola oleh koperasi di daerah tertinggal/perbatasan; (vi) Pemasyarakatan
dan penyuluhan perkoperasian yang melibatkan 425 Petugas Penyuluh Koperasi Lapangan (PPKL)
yang bertugas di 10 provinsi dan 98 kabupaten/kota pada 2012, dan akan diperluas dengan tambahan
115 PPKL pada 2013; dan (vii) Sosialisasi UU No.17/2012 tentang Perkoperasian.
Klaster 4 mencakup program-program prorakyat. Program prorakyat yang telah dilaksanakan pada 2012
antara lain:
a) Program Rumah Sangat Murah yaitu pembangunan baru perumahan swadaya 18.159 unit serta peningkatan kualitas perumahan swadaya sebanyak 230.000 unit;
b) Program Pamsimas/SPAM Perdesaan berlangsung di 2.312 kawasan;
c) Program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN) dilaksanakan di 816 Pelabuhan Pendaratan Ikan
(PPI), dengan rincian 100 PPI pada 2011, 400 PPI pada 2012 dan 200 PPI pada 2013 dan rencananya
116 PPI pada 2014. Pada 2012, Program PKN meliputi bantuan langsung pada individu nelayan,
kelompok nelayan, dan sarana prasarana PPI. Beberapa kegiatan untuk individu nelayan diantaranya
mencakup fasilitasi sertifikat hak atas tanah nelayan untuk 18.000 bidang tanah dan memberikan
bantuan 300 paket sarana sistem rantai dingin. Selain itu, upaya pemberdayaan kelompok nelayan
mencakup bantuan 125 unit Kapal >30 GT, bantuan 15 unit kapal 10-30 GT, pemberian bantuan
PUMP perikanan tangkap untuk 3.700 kelompok, bantuan PUMP pengolahan untuk 1.500 kelompok,
bantuan PUMP-perikanan budidaya untuk 600 kelompok, dan bantuan pemberdayaan usaha
garam rakyat di 23 kabupaten/kota. Sedangkan untuk penguatan sarana dan prasarana di PPI telah
dilaksanakan pembangunan 30 unit mini cold storage, 30 unit mesin pembuat es, 300 unit kendaraan
pengangkut ikan roda 3 berinsulasi, 5 unit sarana pemasaran roda 4 dan 50 unit SPDN (Solar Packed
Dealer Nelayan).
Terkait pelaksanaan redistribusi tanah, pada 2012 telah mencapai 113.804 bidang atau 76,1 persen dari
target 149.600 bidang. Pada 2013, target kegiatan redistribusi tanah akan mencakup 175.500 bidang
tanah.
Selain program-program di atas, pemerintah juga melakukan beberapa inovasi yang bertujuan memperkuat dan menyempurnakan pelaksanaan program dan memastikan pencapaian tujuan. Inovasi tersebut antara lain meliputi:
1. Pembangunan dan pemanfaatan Basis Data Terpadu (BDT) untuk Program Perlindungan Sosial
dalam penetapan sasaran program-program nasional seperti Raskin, Jamkesmas, Program Keluarga
Harapan (PKH) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Basis Data Terpadu adalah basis data yang diolah
dari hasil kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS). BDT berisikan informasi tentang rumah tangga yang layak menerima
program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Inisiatif ini merupakan implementasi
dari kebijakan unifikasi penetapan sasaran program perlindungan sosial yang telah dirumuskan
pemerintah.
2. Pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Program Perlindungan Sosial (Program P4S) dan
Program Kompensasi Khusus, termasuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Kedua
program ini diluncurkan sebagai tindak lanjut realokasi anggaran yang diperoleh dari pengurangan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

25
subsidi BBM dan dalam rangka membantu penduduk miskin dan rentan dalam mempertahankan
daya beli mereka karena adanya kenaikan inflasi sebagai akibat kenaikan harga BBM.
3. Penggunaan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) untuk mengakses program bantuan sosial dan
penanggulangan kemiskinan. KPS yang dibagikan bersamaan dengan program P4S dan BLSM,
berlaku sampai dengan akhir 2014. Tujuan pemberian KPS adalah untuk memastikan rumah tangga
penerima dapat memperoleh semua manfaat program perlindungan sosial dan penanggulangan
kemiskinan. Dengan demikian, KPS dapat meningkatkan ketepatan sasaran dan komplementaritas
antar program.
4. Persiapan peluncuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai bagian dari Sistem Jaminan
Sosial Nasional mulai awal 2014. Program yang dijalankan dengan prinsip asuransi sosial ini memiliki
tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap penduduk Indonesia
sehingga dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera.
5. Perluasan cakupan dan penyempurnaan pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH). PKH dapat
berkontribusi pada pencapaian beberapa komponen MDGs dari penanggulangan kemiskinan dan
kelaparan hingga pengurangan angka kematian ibu karena melahirkan. Oleh karena itu, pemerintah
terus memperluas cakupan PKH sehingga diharapkan pada 2014 pesertanya berjumlah 3,2 juta
rumah tangga. Selain itu penyempurnaan berkelanjutan terus dilaksanakan seperti peningkatan
rasio pendamping, revitalisasi family development session and pemanfaatan teknologi informasi
(seperti penggunaan kartu e-PKH dan Digital Mark Reader).

Kotak 1.1
Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial

Sumber: www.bdt.tnp2k.go.id

Gambar 1.5.
Salah Satu Tampilan
Data dalam Situs Basis
Data Terpadu untuk
Program Perlindungan
Sosial

Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan adalah
melakukan identifikasi dengan tepat kelompok sasaran penerima manfaat program sesuai dengan kriteria
dan aturan program. Ketepatan sasaran program akan berdampak langsung terhadap keberhasilan
pencapaian tujuan penanggulangan kemiskinan dan kerentanan. Untuk meningkatkan ketepatan sasaran
program, ketersediaan suatu basis data calon penerima manfaat program menjadi sangat penting.
Atas dasar itu, pemerintah telah mengembangkan BDT untuk Program Perlindungan Sosial yang berisikan
informasi nama, alamat dan karakteristik sekitar 24 juta rumah tangga dengan kondisi sosio ekonomi terendah
di Indonesia. Data awal rumah tangga ini dihimpun melalui kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial
(PPLS) 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. Data dari PPLS 2011 ini kemudian diolah

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

26
lebih lanjut menggunakan metodologi ilmiah dan selaras dengan praktik terbaik internasional menjadi BDT
untuk Program Perlindungan Sosial. Basis data ini dapat menjadi rujukan bagi program untuk memperoleh
daftar calon penerima manfaat sesuai dengan kriteria kepesertaan masing-masing program.
Terhitung sejak Januari 2012 BDT telah tersedia dan telah digunakan oleh program-program bantuan
sosial berbasis rumah tangga/individu utama di Indonesia seperti program Raskin, Jamkesmas, BSM, PKH,
dan BLSM. Selain program nasional, BDT juga telah diakses oleh lebih dari 300 Pemerintah Daerah untuk
keperluan penetapan sasaran program-program inisiatif daerah.

Kotak 1.2
Kartu Perlindungan Sosial

Foto 1.2
Kartu Perlindungan
Sosial
Sumber: Dokumentasi

Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan
P4S dan BLSM. KPS memuat informasi nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga,
Nomor Kartu Keluarga, dan dilengkapi dengan nomor identitas KPS yang unik. Rumah tangga penerima
KPS berjumlah 15.530.897 rumah tangga miskin dan rentan yang merupakan 25 persen rumah tangga
dengan status sosial ekonomi terendah. Data rumah tangga tersebut diperoleh dari BDT untuk Program
Perlindungan Sosial.
KPS didistribusikan secara langsung kepada rumah tangga sasaran dengan menggunakan jasa PT. Pos
Indonesia. Terdapat kemungkinan kartu tidak dapat diantarkan karena berbagai alasan, antara lain karena
rumah kosong, alamat tidak lengkap, alamat tidak dikenal, rumahtangga pindah, ditolak atau seluruh
anggota rumahtangga telah meninggal. Untuk menentukan rumahtangga pengganti penerima KPS karena
alasan-alasan tersebut, terdapat mekanisme penggantian penerima KPS melalui musyawarah desa/
kelurahan. Pelaksanaan penggantian ini difasilitasi oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK)
dari Kementerian Sosial Republik Indonesia. Bagi rumahtangga pengganti akan diberikan KPS setelah data
diterima dan disahkan.
Dengan adanya KPS ini seluruh anggota rumahtangga pemegang KPS berhak menerima program
perlindungan sosial sesuai dengan aturan yang berlaku di masing-masing program, seperti Program
Raskin, Program BLSM dan Program BSM. KPS memiliki masa berlaku hingga akhir 2014. Selanjutnya akan
dilaksanakan pemutakhiran data penerima KPS untuk menentukan penerima KPS selanjutnya. Diharapkan
penggunaan KPS ini akan semakin mempertajam penetapan sasaran program dan meningkatkan
komplementaritas program sehingga mendukung percepatan pencapaian tujuan dalam mengurangi
kemiskinan dan kerentanan di Indonesia.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

27
TARGET 1B

MENCIPTAKAN KESEMPATAN KERJA PENUH DAN PRODUKTIF DAN


PEKERJAAN YANG LAYAK UNTUK SEMUA, TERMASUK PEREMPUAN
DAN KAUM MUDA
Saat ini

Target
MDGs
2015

(1990)

5,24%
(2012)

Acuan
dasar

Indikator

3,52%

1.4

Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja

1.5

Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk


usia 15 tahun ke atas

65,00%
(1990)

63,71%
(2012)

1.7

Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri


dan pekerja bebas keluarga terhadap total
kesempatan kerja

71,00%
(1990)

55,32%
(2012)

Menurun

Status

Sumber
PDB Nasional
dan Sakernas

BPS, Sakernas

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN

Gambar 1.6
Laju Pertumbuhan
PDB per Tenaga Kerja
Tahun 2012
Sumber: PDB Nasional dan Sakernas 2012

Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja terus memperlihatkan peningkatan dari 5,04 persen pada 2011
menjadi 5,24 persen pada 2012 (Gambar 1.7). Hal ini menandakan adanya peningkatan produktifitas
tenaga kerja. Telaah lebih lanjut di tingkat provinsi menunjukkan perhatian khusus perlu diberikan terutama
untuk provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua yang pada 2012 PDB per tenaga kerjanya mengalami laju
pertumbuhan negatif. Terdapat beberapa provinsi lain yang menunjukkan penurunan laju pertumbuhan
PDB per tenaga kerja seperti DKI Jakarta, Lampung dan Banten.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

28

Gambar 1.7.
Rasio Kesempatan
Kerja Terhadap
Penduduk Usia 15
Tahun ke Atas Tahun
2012
Sumber BPS, Sakernas 2012

Untuk indikator rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas, kondisinya cenderung
tidak berubah pada kisaran 60-65 persen. Jika dipilah menurut jenis kelamin, rasio untuk tenaga kerja lakilaki cenderung tetap pada kisaran 80 persen dan untuk perempuan rasionya berada pada kisaran 40-50
persen. Pertumbuhan penduduk usia kerja yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan angkatan kerja
mengindikasikan adanya preferensi yang lebih besar untuk melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya
dibandingkan dengan mencari pekerjaan setelah lulus sekolah. Kondisi demikian juga diperkuat oleh data
yang menunjukkan pertumbuhan kelompok usia 15-19 tahun yang bukan merupakan tenaga kerja lebih
besar dibandingkan dengan angkatan kerja , serta turunnya rasio tingkat partisipasi angkatan kerja.
Penciptaan lapangan kerja di Indonesia yang meningkat juga ditunjukkan oleh menurunnya tingkat
pengangguran terbuka. Pada 2010 tingkat pengangguran terbuka tercatat 7,14 persen, pada 2011 dan
2012 angkanya menurun menjadi 6,56 persen dan 6,14 persen. Pada tingkat provinsi, Bali merupakan
provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka terendah (2,04 persen), sementara provinsi Banten tercatat sebagai provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi (10,13 persen). Terdapat delapan provinsi
lainnya yang memiliki tingkat pengangguran terbuka lebih tinggi dari rata-rata nasional seperti terlihat
dalam Gambar 1.9.

Gambar 1.8
Tingkat
Pengangguran
Terbuka menurut
Provinsi Tahun 2012
Sumber BPS, Sakernas 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

29
Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri (termasuk yang berusaha dibantu buruh tidak tetap),
pekerja bebas non-pertanian, dan pekerja keluarga terhadap total kesempatan kerja merupakan
indikator bagi kerentanan dalam lapangan kerja. Pada 1990 proporsi pekerja rentan tersebut mencapai
71,00 persen, namun pada 2012 proporsinya telah menurun secara signifikan menjadi 55,32 persen.
Proporsi pekerja rentan terhadap total kesempatan kerja menurut provinsi juga menunjukkan pola yang
sama, kecuali provinsi Papua yang justru menunjukkan peningkatan.

Gambar 1.9.
Proporsi Tenaga
Kerja yang Berusaha
Sendiri dan Pekerja
Bebas Keluarga
Terhadap Total
Kesempatan Kerja
Tahun 1998, 2009
dan 2012
Sumber BPS, Sakernas berbagai tahun penerbitan.

TANTANGAN
1. Meskipun pemerintah telah melaksanakan banyak program penciptaan lapangan kerja yang
tersebar di banyak kementerian/lembaga, namun koordinasi antar kementerian/lembaga
pelaksana masih perlu terus ditingkatkan.
2. Efektivitas program penciptaan lapangan kerja yang telah berjalan masih dapat ditingkatkan lebih
lanjut.
3. Pola pikir dan pola sikap wirausaha masih perlu terus dibangun dan ditingkatkan.

KEBIJAKAN
Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan, pemerintah telah menetapkan lima pilar utama programprogram perluasan dan penciptaan lapangan kerja, yaitu;
1. Pilar I: Perbaikan layanan dan Sistem Informasi Ketenagakerjaan. Pilar ini bertujuan untuk
memastikan terciptanya hubungan antara pekerjaan yang tersedia dengan tenaga yang
memerlukan pekerjaan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

30
2. Pilar II: Peningkatan kapasitas dan keterampilan angkatan kerja. Bertujuan untuk mengembangkan
dan menyelaraskan keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja dengan kebutuhan dunia usaha.
3. Pilar III: Pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta kewirausahaan. UMKM
merupakan penyerap tenaga kerja yang besar. Mengembangkan UMKM akan secara langsung
berdampak pada penciptaan lapangan kerja.
4. Pilar IV: Peningkatan pembangunan infrastruktur termasuk infrastruktur berbasis komunitas
(Program padat karya dan infrastruktur). Infrastruktur perdesaan yang baik dan berkembang akan
memberikan kemudahan bagi masyarakat setempat untuk melakukan aktivitas yang produktif
dan berdaya guna.
5. Pilar V: Program darurat ketenagakerjaan. Bertujuan untuk membantu masyarakat yang terkena
krisis, misalnya bencana alam.

UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN


TUJUAN
Lima pilar program perluasan dan penciptaan lapangan kerja telah dilaksanakan di 14 kementerian/
lembaga. Beragam upaya perluasan dan penciptaan lapangan kerja oleh masing-masing kementerian/
lembaga tersebut diharapkan dapat terintegrasi dan saling melengkapi sehingga dapat mempercepat
pencapaian tujuan pengurangan jumlah penganggur terbuka menjadi 5,1-5.3 persen pada 2014.
Penguatan penyelenggaran pemerintahan umum, pengembangan bursa kerja, pemberdayaan masyarakat
desa dan pemerintah desa, hingga peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan
pelayanan kepada tenaga kerja, terutama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan beberapa program yang
termasuk dalam pilar satu. Pilar dua berisi beragam program pelatihan teknis dan vokasional di berbagai
bidang seperti industri, pertanian, peternakan dan lainnya. Selain itu juga dilakukan pengembangan
standardisasi kompetensi kerja dan sertifikasi profesi, pelatihan dan pengembangan teknologi informasi
dan komunikasi, serta program magang.
Kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam pilar tiga diantaranya adalah pelatihan kewirausahaan,
pemberian bantuan modal awal, pendampingan berkelanjutan bagi UMKM termasuk dalam mengakses
KUR, dan dukungan fasilitasi peningkatan nilai tambah dan daya saing. Pilar empat berisikan program
pembangunan sarana dan prasarana pasar, infrastruktur perdesaan padat pekerja, perluasan areal dan
pengelolaan usaha, terutama bidang pertanian dan peternakan, penyediaan dan pengembangan sarana
dan prasarana usaha, termasuk sarana dan prasarana sekolah terutama sekolah kejuruan. Sementara
contoh dari program pilar lima adalah program padat pekerja di wilayah pasca bencana.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

31
TARGET 1C

MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK


YANG MENDERITA KELAPARAN DALAM KURUN WAKTU 1990-2015
Indikator

Acuan
dasar

Saat ini

Target
MDGs
2015

Status

Sumber

1.8.

Prevalensi balita dengan berat badan rendah / kekurangan gizi

31,00%
(1989)*

19,60%
(2013) **

15,50%

* BPS,
Susenas

1.8.a.

Prevalensi balita gizi buruk

7,20%
(1989)*

5,70%
(2013) **

3,60%

** Kemenkes,
Riskesdas

1.8.b.

Prevalensi balita gizi kurang

23,80%
(1989)*

13,90%
(2013) **

11,90%

1.9

Proporsi penduduk dengan asupan kalori di


bawah tingkat konsumsi minimum

- 1.400 Kkal/kapita/hari

17,00%
(1990)

19,04%
(2013)

8,50%

- 2.000 Kkal/kapita/hari

64,21%
(1990)

68,25%
(2013)

35,32%

BPS, Susenas

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN

Gambar 1.10
Prevalensi Kekurangan
Gizi Pada Balita
Sumber BPS, Susenas berbagai tahun peberbitandan Kemenkes, Riskesdas, 2007, 2010, dan 2013

Ketahanan pangan dan gizi merupakan landasan penting bagi peningkatan kualitas kesehatan individu
dan masyarakat dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berujung pada peningkatan
daya saing bangsa. Oleh karena itu, penanganan pangan dan gizi merupakan salah satu agenda penting
dalam pembangunan nasional.
Indonesia telah berada dalam jalur yang benar (on track) untuk mencapai MDGs khususnya target 1C, yaitu
telah berhasil menurunkan angka kekurangan gizi pada anak di bawah lima tahun (balita) dari 24,0 persen
pada 2005 menjadi 13,90 persen pada 2013 (Riskesdas 2013). Penurunan angka kekurangan gizi pada anak
balita harus terus dilakukan agar Indonesia dapat mencapai target MDG pata 2015, yaitu 15,50 persen.
Di sisi lain, proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum mengalami
sedikit peningkatan. Pada 2011 proporsi penduduk dengan asupan kalori harian di bawah 2.000 Kkal dan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

32
1.400 Kkl per hari secara nasional adalah 60,03 persen dan 14,65 persen. Angka ini meningkat pada 2012
menjadi 68,21 persen dan 21.16 persen. Pada 2013, proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah
2.000 Kkal kondisinya relatif sama (68 persen), sementara proporsi penduduk dengan asupan kalori di
bawah 1,400 Kkal meningkat menjadi 19,04 persen. Jumlah asupan kalori dapat menjadi salah satu
indikator kecukupan gizi, namun perubahan perilaku konsumsi di masyarakat dapat juga menyebabkan
terjadinya perubahan asupan kalori. Misalnya, masyarakat lebih memilih mengkonsumsi sayuran daripada
telur atau daging. Perubahan ini tidak langsung berarti telah terjadi kekurangan asupan gizi, melainkan
terjadinya perubahan pola diet yang pada akhirnya berpengaruh pada proporsi asupan nutrisi, lebih
sedikit kalori namun lebih banyak nutria lainnya. Namun demikian, perhatian dan upaya khusus perlu
diberikan kepada daerah dengan asupan kalori di bawah 1,400 Kkal per hari yang masih tinggi, seperti
Papua, Papua Barat dan Maluku.

Gambar 1.11
Proporsi Penduduk
dengan Asupan Kalori
< 1.400 Kkal dan <
2.000 Kkal Tahun 2013
Sumber BPS, Susenas 2013

TANTANGAN
1. Masih tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting). Data Riskesdas 2010 menunjukkan
prevalensi stunting sebesar 35,60 persen.
2. Beragamnya permasalahan pangan dan gizi antar wilayah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/
kota.
3. Masih terbatasnya pengetahuan akan pentingnya kecukupan gizi di masyarakat.

KEBIJAKAN
Pemerintah Indonesia telah merumuskan suatu rencana aksi yang disebut dengan Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi 2011 2015. Dalam rencana aksi ini, kebijakan pangan dan gizi di Indonesia disusun
melalui pendekatan lima pilar pembangunan pangan dan gizi yang meliputi:
i. perbaikan gizi masyarakat,
ii. aksesibilitas pangan,
iii. mutu dan keamanan pangan,
iv. perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan
v. kelembagaan pangan dan gizi.
Sejalan dengan rencana aksi nasional pangan dan gizi, Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Perpres
ini merupakanarahan upaya perbaikan gizi sebagai salah satu arus utama pembangunan sumber daya

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

33
manusia, sosial budaya dan perekonomian. Gerakan nasional percepatan perbaikan gizi adalah upaya
bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku
kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan
prioritas pada seribu hari pertama kehidupan.
Seribu hari pertama kehidupan, yang dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai anak
berusia dua tahun, menjadi fokus utama seiring dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan
ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilan dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Hal
inilah yang menjadi landasan pemikiran perumusan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Perpres
No 42 Tahun 2013 juga mengamanatkan rangkaian kegiatan gerakan yang meliputi kampanye nasional
dan daerah, advokasi dan sosialisasi lintas sektor dan lintas lembaga, dialog untuk menggalang kerja sama
dan kontribusi, pelatihan, diskusi, intervensi kegiatan gizi langsung (spesifik), intervensi kegiatan gizi tidak
langsung (sensitif); dan kegiatan lain.

UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN


TUJUAN
Program dan kegiatan penanganan pangan dan gizi di Indonesia telah dilaksanakan dengan strategi
nasional sebagai berikut;
1. Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil, dan anak melalui peningkatan
ketersedian dan jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan yang difokuskan pada intervensi gizi
efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil, bayi dan anak usia di bawah dua tahun.
2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas
pangan yang difokuskan pada keluarga rawan pangan dan miskin.
3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui peningkatan pengawasan keamanan
pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah
tangga (PIRT) yang tersertifikasi.
4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat
dan peran pimpinan formal serta non formal, terutama dalam perubahan perilaku atau budaya
konsumsi pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya
lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu.
5. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan kelembagaan pangan dan gizi di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan
program bidang pangan dan gizi, termasuk sumber daya serta penelitian pengembangan,
Beragam upaya juga telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan percepatan
perbaikan gizi melalui Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, antara lain meliputi:
1. Kampanye sadar gizi tingkat nasional dan daerah;
2. Sosialisasi pencegahan dan penanggulangan stunting;
3. Peningkatan kapasitas petugas di tingkat nasional dan daerah dalam perencanaan,
4. Koordinasi dan evaluasi;

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

34
5. Penyiapan tenaga kesehatan yang terlatih dan kompeten dalam menyampaikan informasi dan
pengetahuan dalam bidang gizi;
6. Peningkatan pengetahuan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui, ibu balita, anak sekolah, remaja, lanjut
usia dan masyarakat umum melalui media cetak dan elektronik yang meliputi materi penyuluhan
makanan bergizi seimbang, konseling ASI dan MP-ASI,
7. Penyuluhan tentang PMT dan Perilaku hidup bersih dan sehat;
8. Pelayanan gizi masyarakat meliputi penimbangan balita di Posyandu dan pemantauan status gizi dan
survey gizi;
9. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan bagi balita gizi kurang, pemberian vitamin A yang
terintegrasi dengan pelayanan kesehatan balita,
10. Pemberian Makanan Tambahan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dan pemberian tablet Fe yang
terintegrasi dengan pelayanan kesehatan ibu hamil, serta
11. Pemberian multimikronutrien/taburia pada balita usia di atas enam bulan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

TUJUAN 2:
MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR
UNTUK SEMUA

Sumber foto: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas

37

TUJUAN 2:
MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR
UNTUK SEMUA
TARGET 2A

MENJAMIN PADA 2015 SEMUA ANAK-ANAK, LAKI-LAKI MAUPUN


PEREMPUAN DI MANAPUN DAPAT MENYELESAIKAN PENDIDIKAN
DASAR
Indikator

Acuan
dasar

Saat ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

2.1

Angka Partisipasi Murni (APM)


Sekolah Dasar

88,70%
(1992)*

95.71%
(2012)**

100,00%

*BPS, Susenas
**Kemdikbud

2.2.

Proporsi murid kelas 1 yang


berhasil menamatkan sekolah
dasar

62,00%
(1990)

96.43%
(2012)

100,00%

Kemdikbud

2.3

Angka melek huruf penduduk


usia 15-24 tahun, perempuan
dan laki-laki

96,60%
(1990)

99.08%
(2012)

100,00%

BPS, Susenas

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Memperoleh pendidikan terutama pendidikan dasar yang mencakup jenjang sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama atau yang sederajat merupakan hak setiap warga negara yang dijamin dalam UndangUndang Dasar 1945. Berbagai kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia
dengan dukungan partisipasi masyarakat peluang anak Indonesia untuk memperoleh layanan pendidikan
dasar semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari membaiknya berbagai indikator kinerja pendidikan
seperti (i) angka partisipasi pendidikan jenjang SD/MI/sederajat; (ii) proporsi murid kelas I yang berhasil
menamatkan SD/MI/sederajat; dan (iii) angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun.
Angka partisipasi pendidikan jenjang sekolah dasar termasuk madrasah ibtidaiyah (SD/MI) terus
meningkat. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan bahwa angka partisipasi
murni (APM) jenjang SD/MI/sederajat di Indonesia pada tahun 2012 sudah mencapai 95,71 persen,
meningkat dari 95,55 persen pada tahun 2011. Pengukuran menggunakan angka partisipasi kasar (APK)
untuk jenjang SD/MI/sederajat sudah mencapai 115,88 persen pada tahun 2012 (Gambar 2.1).

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

38
120
100
80
60
40
20
0
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

APK SD/MI/Paket A
APK SMP/MTs/Paket B

APM SD/MI/Paket A
APM SMP/MTs/Paket B

Gambar 2.1.
Perkembangan APM
dan APK Jenjang SD/
MI dan SMP/MTs
tahun 1992-2012

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sebaran nilai APK dan APM untuk jenjang SD/MI/sederajat tahun ajaran 2012/2013 menurut provinsi
dapat dilihat dalam Gambar 2.2. Tampak nyata dalam gambar tersebut bahwa seluruh provinsi memiliki
APK lebih dari 100 persen meskipun masih ada 12 provinsi yang memiliki APM kurang dari 95 persen.
140
120
100
80
60

APM

40

APK

20
Bali
NTB
DKI Jakarta
Maluku Utara
DI Yogyakarta
Kepulauan Riau
Sumatera Barat
Kalimantan Timur
NTT
Bangka Belitung
Kalimantan Tengah
INDONESIA
Banten
Jawa Tengah
Sulawesi Utara
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Kalimantan Selatan
Jambi
INDONESIA
Lampung
Sulawesi Tengah
Sumatera Utara
Riau
Gorontalo
NTT
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
NTB
Maluku
Papua
Sulawesi Barat
Papua Barat
Aceh

Gambar 2.2.

Perbedaan APM dan


APK jenjang SD/MI/
sederajat menurut
provinsi, tahun
ajaran 2012

Sumber: Kemdikbud, 2013

Perbedaan secara signifikan antara APM dan APK tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan
komposisi siswa menurut umur. Angka partisipasi murni hanya mempertimbangkan siswa dengan usia
7-12 tahun sementara APK memperhitungkan semua siswa tanpa memperhatikan usia mereka. Dengan
hanya memperhitungkan siswa usia 7-12 tahun maka nilai APM tidak akan mencapai angka 100 persen
karena tidak sedikit anak yang berusia kurang dari 7 tahun sudah masuk sekolah SD/MI sehingga banyak
anak usia 12 tahun yang sudah menjadi murid SMP/MTs. Jumlah anak usia kurang dari 7 tahun yang
masuk kelas-1 SD/MI terus meningkat. Jika pada tahun 2000 proporsi anak usia dibawah 7 tahun di Kelas-1
SD/MI baru sekitar 35,5 persen, pada tahun 2012 angkanya meningkat menjadi 44,2 persen. Karena APM
dihitung sebagai persentasi anak usia 7-12 tahun yang bersekolah di SD/MI/sederajat, maka sampai titik
tertentu perubahan struktur umur ini dapat menyebabkan penurunan APM meskipun jumlah siswa SD/
MI terus mengalami peningkatan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

39

95,4

95,1

95,3

95,5

95,6

96,1

96,4

96,8

97,1

97,4

97,6

97,8

98,0

98,0

97,5

97,9

77,5

79,0

79,6

79,4

79,2

81,0

83,5

84,0

84,1

84,3

84,4

85,4

86,1

87,6

89,5

77,2

94,4

93,9
73,2

75,8

94,1

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

72,4

Indikator APM dan APK juga tidak mampu memperkirakan jumlah anak Indonesia yang tidak sekolah. Untuk itu dalam laporan ini diungkapkan juga indikator angka partisipasi sekolah (APS) untuk kelompok umur
tertentu atau di dalam terminologi internasional disebut age specific enrolment rate (ASER). Pada tahun
2012, APS usia 7-12 tahun mencapai 97,9 persen atau meningkat 2,4 persen dari keadaan tahun 2000
(Gambar 2.3). Dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang diperkirakan sebanyak 30,9 juta jiwa, pada
tahun 2012 diperkirakan masih ada sekitar 620 ribu anak yang tidak sekolah. Dari sejumlah tersebut,
sekitar 40 persennya adalah anak usia 7-8 tahun yang belum pernah masuk sekolah dan selebihnya adalah
anak usia 9-12 tahun yang umumnya putus sekolah di SD/MI.

Gambar 2.3.
Perkembangan angka
partisipasi sekolah anak
usia 7-12 tahun dan 1315 tahun, 1994 2012

7-12 Tahun

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

13 -15 Tahun

Sumber: BPS, 2012

Peningkatan kinerja pendidikan jenjang SD/MI/sederajat diikuti dengan menurunnya kesenjangan


baik kesenjangan gender maupun antar daerah. Perbaikan kesenjangan gender dijelaskan dalam bab
khusus untuk Goal 3. Kesenjangan antar propinsi tidak lagi mengemuka sebagaimana ditunjukkan dengan
data sebaran APS usia 7-12 tahun menurut provinsi. (Gambar 2.4). Dari gambar tersebut tampak bahwa
pada tahun 2012 hampir tidak ada perbedaan antar propinsi dengan nilai APS lebih dari 96.5 persen.
Hanya Provinsi Papua yang mempunyai APS 7-12 tahun kurang dari 80 persen.
97.95

DI Yogyakarta
Aceh
Ba l i
Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Bengkulu
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jambi
Sumatera Utara
Lampung
Kalimantan Tengah
Sumatera Barat
Jawa Barat
Maluku
Banten
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Sulawesi Utara
NTB
Ri a u
Sumatera Selatan
Indonesia
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung
Sulawesi Selatan
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
NTT
Sulawesi Barat
Papua Barat
Papua

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Gambar 2.4.
Angka partisipasi
sekolah anak usia 7-12
menurut provinsi, 2012

Sumber: BPS, 2012

Perbaikan kinerja pendidikan dapat juga ditunjukkan oleh membaiknya angka menyelesaikan sekolah yang diukur antara lain dengan proporsi murid kelas I yang berhasil menamatkan sekolah dasar
atau disebut angka bertahan. Dalam satu tahun terakhir angka ini mengalami sedikit peningkatan dari

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

40
95,78 persen pada tahun 2011 menjadi 96,43 persen pada tahun 2012. Kesenjangan antar provinsi juga
berubah. Jika tahun 2011 angka bertahan ini berkisar antara 95,11 persen di Provinsi Papua sampai dengan 96,88 persen di Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2012 angkanya beriksar antara 93,88 persen di Provinsi Kalimantan Timur sampai dengan 98,44 persen di Provinsi DI Yogyakarta (Gambar 2.5).
96,43

DI Yogyakarta
Bali
NTB
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Kalimantan Barat
NTT
Riau
Kalimantan Selatan
Lampung
Sulawesi Barat
INDONESIA
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Aceh
Jawa Barat
Kalimantan Tengah
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Papua Barat
Papua
Maluku
Jambi
Gorontalo
Banten
Bengkulu
Maluku Utara
Kepulauan Riau
Bangka Belitung
Kalimantan Timur

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Gambar 2.5.

Proporsi murid kelas


1 yang berhasil
menamatkan sekolah
dasar tahun 2012

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pembangunan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar tidak hanya diarahkan untuk meningkatkan akses tetapi juga untuk meningkatkan mutunya. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk melalui
peningkatan mutu dan kesejahteraan guru. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No.14/2005 tentang
Guru dan Dosen. Guru untuk jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah atas harus
berkualifikasi paling tidak S1/D4. Pada tahun 2012 untuk sekolah dibawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan persentase guru yang sudah berpendidikan S1/D4 sudah mencapai 53,0 persen
untuk jenjang SD dan 84,5 persen untuk jenjang SMP (Gambar 2.6). Angka tersebut meningkat, secara
berturut-turut dari 9,0 persen dan 54,9 persen pada tahun 2004. Selain itu, peningkatan kesejahteraan
guru juga dilakukan melalui pemberian berbagai tunjangan termasuk tunjangan profesi sebesar satu kali
gaji untuk guru yang sudah bersertifikasi pendidik dan tunjangan khusus untuk guru yang mengajar di
daerah terpencil yang juga sebesar satu kali gaji.
90
80
70

71,7

60
50

54,9

60,6

60,3

74,5

76,3

80,5

84,5

63,6
53,0

40
30

35,5

20
10
0

9,0
2004

15,2

15,3

2005

2006

22,2

18,6
2007

2008
SD

25,7

26,8

2009

2010

2011

2012

SMP

Sumber: Kemdikbud, 2013

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

Gambar 2.6.
Perkembangan
persentase guru yang
berkualifikasi akademik
S1/D4 pendidikan dasar,
2004-2012

41
Sertifikasi pendidik yang diterapkan sesuai UU No. 14/2005 telah meningkatkan persentase guru yang
bersertifikasi pendidik. Pada tahun 2012, guru SD yang sudah bersertifikat pendidik sudah mencapai 39,2
persen, sementara persentasi untuk guru SMP mencapai 55,4 persen. Mereka yang sudah bersertifikat
pendidik dan mengajar paling tidak 24 jam per minggu berhak untuk memperoleh tunjangan profesi
yang jumlahnya satu kali gaji. Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang belum memberikan dampak
yang signifikan. Sebagai contoh, hasil penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi pendidik dan pemberian
tunjangan profesi baru dapat meningkatkan kesejahteraan guru secara finansial dan belum berdampak
pada peningkatan kualitas pembelajaran (De Ree, 20121, Fahmi, dkk, 20112). Namun demikian, upaya
peningkatan kesejahteraan yang signifikan tersebut dalam jangka menengah dan jangka panjang mampu
menarik lulusan-lulusan terbaik untuk berkarir menjadi guru yang pada gilirannya dapat berdampak pada
peningkatan kualitas pendidikan.
Selain dilakukan melalui peningkatan kualitifikasi akademik, sertifikasi, dan kesejahteraan guru, peningkatan profesionalisme guru didukung pula oleh perbaikan sistem pembinaan guru. Peningkatan kompetensi guru terhadap konten dan pendekatan pedagogi dilakukan melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk
jenjang SD/MI dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk jenjang SMP/MTs. Program induksi
untuk guru baru juga dikembangkan untuk menjamin guru baru dapat melaksanakan pembelajaran secara
baik. Untuk mendukung program ini, di beberapa kabupaten/kota juga dilakukan redistribusi guru untuk
menyeimbangkan ketersediaan guru antar sekolah. Pembelajaran dari Kabupaten Gorontalo dapat dilihat
dalam Box 1.

Kotak 2.1.
Perbaikan Mutu dan Distribusi Guru di Kabupaten Gorontalo
Sejalan dengan visinya yaitu Kabupaten Gorontalo Cerdas, Sehat, Kreatif, dan Berwawasan
Lingkungan Menuju Masyarakat yang Sejahtera dan Mandiri, dengan dipimpin langsung
oleh Bupati, sejak tahun 2005 Kabupaten Gorontalo membuat berbagai terobosan untuk
meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan.
Karena kepercayaannya tentang pentingnya guru sebagai salah satu pilar utama
pendidikan, pembinaan guru menjadi perhatian utama Bapak Bupati. Kegiatan yang
dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru antara lain: (i) pembinaan KKG dan pelatihan
untuk pengembangan profesi berkelanjutan, pendampingan dan asistansi terhadap
kegiatan KKG untuk memperkuat sinergi kelompok; (ii) publikasi ilmiah dan simposium
daerah sebagai agenda tahunan untuk memfasilitasi guru, kepala sekolah dan pengawas
dalam pengembangan profesinya; dan (iii) pengembangan program kemitraan guru
melalui kerjasama dengan berbagai fihak. Selain itu, kabupaten ini juga melakukan
kegiatan rolling teachers. Melalui program ini guru-guru terbaik ditempatkan di sekolahsekolah yang guru-gurunya kurang berkualitas atau sebaliknya, sehingga pada akhirnya
diharapkan semua guru dapat meningkat kualitasnya.
Upaya meningkatkan pemerataan guru terutama dilakukan melalui mutasi guru dari daerah
perkotaan ke wilayah lain dan penempatan guru-guru PNS baru di wilayah tertinggal.
Upaya ini cukup efektif untuk mengatasi kekurangan guru antar wilayah di Gorontalo.
De Ree, Joppe Jaitze (2012). Policy Brief. Teacher certification in Indonesia: a doubling of salary, or a way to improve
learning?. World Bank. Indonesia.
2
Fahmi, Maulana, dan Yusuf (2011), Teacher Certification in Indonesia: A Confusion of Means and Ends. Center for Economics
and Development Studies (CEDS), Padjadjaran University, Indonesia
1

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

42
Dengan berbagai terobosan tersebut tidak mengherankan jika pada tahun 2009
Kabupaten Gorontalo mendapat Penghargaan Bidang pendidikan dan penghargaan
nasional dalam pengelolaan PAUD.
Sumber: Disarikan dari laporan Bupati Kabupaten Gorontalo dalam program BERMUTU, 2013
dan dilaporkan pula dalam Laporan Kinerja KIB I dan KIB II

Peningkatan mutu pendidikan dasar juga dilakukan melalui penetapan standar pelayanan minimal
(SPM) melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23/2013
yang merupakan revisi dari Permendikbud No.15/2010. Dalam peraturan ini setiap satuan pendidikan dasar harus memenuhi standar minimal ketersediaan dan kualitas pendidik dan tenaga
kependidikan lainnya, ketersediaan prasarana fisik seperti ruang kelas, ruang guru, dan laboratorium,
serta kegiatan non-fisik seperti pengembangan kurikulum dan supervisi sekolah. Penetapan SPM
ini secara tidak langsung juga dimaksudkan untuk mempersempit kesenjangan kualitas pendidikan.
Kerangka kerja legal untuk pelaksanaan peraturan ini sudah tersedia dan ditargetkan agar seluruh
satuan pendidikan dasar memenuhi SPM pada akhir tahun 2014. Namun demikian data terakhir
menunjukkan baru sebagian kecil satuan pendidikan dasar yang memenuhi SPM. Diperlukan
komitmen yang lebih besar dari Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab untuk
mempercepat pemenuhan SPM di wilayahnya masing-masing sehingga seluruh anak Indonesia dapat
mengikuti pembelajaran yang berkualitas.
Membaiknya kinerja pendidikan juga dapat dilihat dari membaiknya taraf keberaksaraan
penduduk Indonesia yang diukur menggunakan indikator angka melek huruf. Angka melek huruf
penduduk usia 15-24 tahun meningkat dari 96,60 persen pada tahun 1990 menjadi 98,94 persen
pada tahun 2012. Secara lebih rinci, Gambar 2.7 menunjukkan perkembangan angka melek huruf
penduduk usia 15-24 tahun yang dibedakan menurut jenis kelamin dalam kurun waktu 2000 - 2012.
98,98
98,90

98,80
98,75

99,53
99,46

99,55
99,40

99,54
99,38

98,92
98,76

98,80
98,73

98,78
98,71

98,90
98,50

98,70
98,40

98,80
98,60

98,50
98,10

80

98,70
98,20

100

60

40

20

Laki-Laki

Perempuan

0
2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Gambar 2.7 .
Perkembangan Angka
Melek Huruf Penduduk
Usia 15-24 tahun,
2000 2012

Sumber: BPS, Data Susenas berbagai tahun

Kesenjangan angka melek huruf antar kelompok masyarakat di Indonesia semakin mengecil dari waktu
ke waktu. Pada tahun 2012 tampak bahwa angka melek huruf di wilayah perdesaan (98,23 persen) hanya
sedikit lebih rendah dibandingkan di wilayah perkotaan (99,57 persen) sebagaimana dapat dilihat dalam
Gambar 2.8. Hanya di Papua yang perbedaannya cukup besar yaitu 68,32 persen di perdesaan dan 97,94
persen di perkotaan. Peningkatan angka melek huruf juga diikuti dengan penurunan kesenjangan antar
gender sebagaimana dibahas dalam Goal 3.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

43
100
90
80
70
60
50
40
Perkotaan

30

Perdesaan

20
10

Papua

INDONESIA

Papua Barat

Maluku

Maluku Utara

Gorontalo

Sulawesi Barat

Sulawesi Selatan

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Utara

Sulawesi Tengah

Kalimantan Timur

Kalimantan Selatan

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Nusa Tenggara Timur

Bali

Nusa Tenggara Barat

Banten

Jawa Timur

DI Yogyakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

DKI Jakarta

Kepulauan Riau

Lampung

Bangka Belitung

Bengkulu

Sumatera Selatan

Riau

Jambi

Sumatera Barat

Aceh

Sumatera Utara

Gambar 2.8.
Angka Melek Huruf
Penduduk Berusia 15-24
Tahun Menurut Provinsi
dan tipe wilayah, 2012

Sumber: BPS, Susenas 2012

Sangat jelas bahwa membaiknya angka melek huruf penduduk Indonesia sangat dipengaruhi oleh
membaiknya partipasi sekolah, khususnya sekolah dasar yang memberikan kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung. Oleh karena itu pemerintah perlu terus berupaya menurunkan angka putus
sekolah khususnya di kelas awal SD/MI sehingga kemampuan keberaksaraan penduduk dapat terus
bertahan dan tidak mengalami buta huruf kembali atau biasa disebut dengan relapsed illiteracy.
Penyediaan fasilitas membaca seperti melalui perpustakaan dan pusat sumber belajar di masyarakat
sangat diperlukan untuk mendorong minat membaca masyarakat.

TANTANGAN
1. Meningkatkan akses pendidikan kelompok tertinggal terutama karena kemiskinan. Sebagaimana
diungkapkan dalam bahasan terdahulu, pada tahun 2012 dengan APS usia 7-12 tahun sekitar 97,9
persen diperkirakan masih ada sekitar 620 ribu anak yang tidak sekolah karena sama sekali belum
pernah sekolah maupun karena putus sekolah. Kemiskinan merupakan penyebab utama karena anak
terpaksa harus bekerja membantu orangtuanya mencari nafkah. Kemiskinan pula yang menyebabkan
anak terlantar dan berkeliaran di jalanan. Data Susenas tahun 2012 menunjukkan bahwa APS 7-12
tahun kelompok 20 persen termiskin (Kuintil 1) masih sekitar 95,9 persen sementara APS kelompok
terkaya sudah hampir mencapai 100 persen (99,4 persen). Untuk kelompok usia 13-15 tahun, APS
dari kelompok 20 termiskin (Kuintil 1) baru mencapai 81 persen, sementara dari kelompok terkaya
(Kuintil 5) sudah mencapai 94,9 persen. Berdasarkan data tersebut, tantangan yang dihadapi adalah
meningkatkan upaya yang lebih sungguh-sungguh agar semua anak baik laki-laki maupun perempuan
di seluruh wilayah dapat menjangkau pelayanan pendidikan dasar termasuk sekolah menengah
pertama tanpa kecuali.
2. Meningkatkan kesiapan anak untuk bersekolah. Salah satu masalah yang dihadapi pembangunan
pendidikan dasar adalah masih terdapat anak yang putus sekolah terutama di kelas awal SD/MI.
Selain karna faktor kemiskinan hal ini juga disebabkan oleh kurang siapnya anak bersekolah. Program
pendidikan pra sekolah dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dapat membantu perkembangan
mental dan kecerdasan anak sehingga lebih mempunyai kesiapan untuk bersekolah. Selain dapat
mencegah terjadinya putus sekolah kesiapan anak untuk bersekolah juga berpengaruh terhadap
peningkatan kualitas pembelajaran. Akan tetapi sebagian besar anak yang masuk kelas satu SD/MI

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

44
belum mempunyai kesempatan untuk mengikuti pendidikan pra sekolah atau pendidikan anak usia
dini (PAUD). Data tahun 2012 dari Kemdikbud menyebutkan bahwa partisipasi PAUD baru mencapai
sekitar 40 persen. Dengan demikian tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan akses dan kualitas
PAUD terutama bagi anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu.
3. Meningkatkan mutu pendidikan secara lebih merata. Perbaikan kualitas pembelajaran dan hasil
belajar siswa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana prasarana yang memadai, serta kualitas
dan kesejahteraan guru. Masalah yang dihadapi adalah masih banyak sekolah yang belum mempunyai
sarana prasarana belajar yang memenuhi stadar pelayanan minimal (SPM). Berkenaan dengan tenaga
pendidik, masalah yang dihadapi antara lain rendahnya mutu dan tidak meratanya penyebaran guru
antar wilayah. Pada tahun 2012 data Kemdikbud menunjukan bahwa pada tahun 2012 masih terdapat
sekitar 47% guru SD (tidak termasuk MI) yang belum memenuhi persyaratan pendidikan yaitu minimal
S1/D4. Dengan demikian maka tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah
(i) meningkatkan ketersediaan sarana prasana agar memenuhi SPM; (ii) meningkatkan mutu dan
kesejahteraan guru; (iii) meningkatkan penyebaran guru agar lebih merata sampai ke daerah terpencil
dan tertinggal.

4. Meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas manajemen pendidikan. Keberhasilan pandidikan


sangat ditentukan oleh manajemen pendidikan baik pada tingkat sekolah maupun tingkat daerah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) belum sepenuhnya dilaksanakan di seluruh wilayah baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Selain itu, belum semua pimpinan daerah mempunyai komitmen
yang kuat terhadap pentingnya pendidikan.

KEBIJAKAN
1. Menurunkan kesenjangan partisipasi pendidikan untuk menjamin agar semua anak mendapat
pelayanan pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu. Hal ini akan dicapai melalui peningkatan
pelayanan pendidikan yang lebih terjangkau terutama bagi penduduk miskin dan mereka yang bermukim
di wilayah terpencil dan tertinggal, serta anak-anak terlantar dan anak-anak kebutuhan khusus.
Kebijakan ini akan didukung dengan penyediaan skema dan mekanisme pembiayaan pendidikan yang
lebih pro-masyarakat miskin dan tertinggal antara lain melalui penyediaan beasiswa untuk murid tidak
mampu, serta melakukan investasi yang lebih besar kepada daerah-daerah yang mempunyai komitmen
tinggi pada pendidikan namun kinerja pendidikannya masih rendah. Sesuai amanat konstitusi bahwa
anak-anak usia 7-15 tahun mempunyai hak untuk mandapat pelayanan pendidikan dasar Sembilan
tahun. Hal ini dilakukan dengan menjamin seluruh lulusan SD/MI untuk dapat melanjutkan ke SMP/
MTs dan memastikan tidak ada dari mereka yang putus sekolah.
2. Memperluas akses pendidikan PAUD yang bermutu untuk meningkatkan kesiapan anak bersekolah.
Program PAUD ditingkatkan mutunya dan diperluas jangkauannya sehingga dapat menjangkau anakanak di wilayah pedesaan dan tertinggal. Selain itu, program PAUD juga akan diselenggarakan dalam
kerangka pengembangan anak usia dini yang holistik dan integratif untuk menjamin agar anak dapat
tumbuh dan berkembang secara maksimal.
3. Meningkatkan mutu pendidikan dasar. Kebijakan akan ini dicapai antara lain melalui: (1) menyiapkan
dan melaksanakan road map pemenuhan standar pelayanan minimum untuk jenjang pendidikan
dasar; (2) mengembangkan karakter dan keterampilan (skill) siswa antara lain melalui pengembangan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

45
kurikulum dan proses belajar-mengajar yang tepat; (3) meningkatkan profesionalisme pendidik melalui
pelatihan dan penilaian kinerja secara berkesinambungan; (4) melakukan penyebaran guru secara
lebih merata; (5) memperkuat sistem seleksi guru sejak dari masuk perguruan tinggi sampai dengan
seleksi penerimaan guru; (6) meningkatkan kualitas lembaga pendidikan guru agar mampu mencetak
guru yang benar-benar berkualitas.
4. Memperkuat tata kelola pendidikan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas. Kebijakan ini
akan dilakukan antara lain melalui: (1) meningkatkan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS)
yang memberi kewenangan kepada sekolah sebagai unit otonom untuk mengelola sumberdaya sekolah;
(2) menyempurnakan sistem kepegawaian tenaga pendidik dan kependidikan; (3) meningkatkan
komitmen kepala daerah terhadap pentingnya penyelenggaraan pendidikan dasar berkualitas;
(4) menyebarluaskan best practices berkenaan dengan manajemen pendidikan; (5) memberi insentif
fiskal atau non-fiskal kepada pemerintah daerah yang telah sungguh-sungguh mengupayakan
pencapaian tujuan MDG bidang pendidikan; (6) meningkatkan akuntabilitas manajemen sumber daya
pendidikan; (7) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan antara lain
melalui penguatan komite sekolah.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

46

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

TUJUAN 3
MENDORONG KESETARAAN GENDER
DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Sumber foto: World Bank

Sumber: UNDP Indonesia

49

TUJUAN 3:
MENDORONG KESETARAAN GENDER
DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

TARGET 3A

MENGHILANGKAN KETIMPANGAN GENDER DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR


DAN LANJUTAN PADA TAHUN 2005, DAN DI SEMUA JENJANG PENDIDIKAN
TIDAK LEBIH DARI TAHUN 2015
Acuan
dasar

Indikator

Saat ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

Rasio perempuan terhadap lakilaki di tingkat pendidikan dasar,


menengah dan tinggi

- Rasio APM perempuan/laki-laki


di SD

100.27
(1993)

99.81
(2013)*

100.00

- Rasio APM perempuan/laki-laki


di SMP

99.86
(1993)

105.69
(2013)*

100.00

- Rasio APM perempuan/laki-laki


di SMA

93.67
(1993)

100.66
(2013)*

100.00

- Rasio APM perempuan/laki-laki


di Perguruan Tinggi

74.06
(1993)

109.73
(2013)*

100.00

Rasio angka melek huruf


perempuan terhadap laki-laki pada
kelompok usia 15-24 tahun

98.44
(1993)

100.10
(2013)*

100.00

Kontribusi perempuan dalam


pekerjaan upahan di sektor nonpertanian

29.24%
(1990)

35.10%
(2013)

Meningkat

BPS,
Sakernas

Proporsi kursi yang diduduki


perempuan di DPR

12.50%
(1990)

17.30%
(2014)

Meningkat

KPU

3.1

3.1a
3.2

3.3
Status :

BPS, Susenas

Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus;

Keterangan: *angka pada triwulan I tahun 2013

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Dalam rangka mengupayakan kesetaraan dan keadilan gender, pemerintah, antara lain, melalui Inpres
No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, menginstruksikan agar semua kementerian dan
lembaga mengintegrasikan kondisi, aspirasi, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan dalam seluruh

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

50
tahapan menejemen pembangunan. Sampai saat ini upaya tersebut belum membuahkan hasil yang
maksimal. Ketertinggalan perempuan dari laki-laki dalam kehidupan sosial dan terutama ekonomi di
Indonesia masih tergambar dari adanya perbedaan antara indeks pembangunan manusia dan indeks
pembangunan gender yang kondisinya dapat dikatakan hampir stagnan sejak tahun 2005. Kalau pada
tahun 2005 nilai dua indeks tersebut, berturut-turut adalah 68.7 dan 63.9 dengan gap sama dengan 4.8
poin dan pada tahun 2011 nilainya adalah 72.77 dan 67.8 dengan gap sama dengan 4.97, maka besarnya
gap tersebut bahkan meningkat, walaupun tidak signifikan.

68.7

63.9

2005

69.6

70.1

65.1

65.3

2006

2007

71.17

66.38

71.76

66.77

72.27

67.2

72.77

67.8

IPM
IPG

2008

2009

2010

2011

Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2006-2012, Kerjasama BPS dengan Kementerian PP dan PA

Gambar 3.1.
Perkembangan
Indeks
Pembangunan
Manusia dan Indeks
Pembangunan
Gender di
Indonesia, Tahun
2005 2011

Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2006-2012, Kerjasama BPS


dengan Kementerian PP dan PA

Dorongan terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah disepakati Indonesia
bersama para pemimpin dunia melalui Target 3A MDGs, yaitu penghapusan ketimpangan gender di
bidang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Perbaikan di bidang pendidikan perempuan ini secara
bertahap diharapkan dapat berdampak pada kehidupan fisik perempuan yang lebih sehat dan terutama,
kualitas di bidang kehidupan ekonomi yang lebih mapan, yang pada akhirnya akan meningkatkan
indeks pembangunan penduduk perempuan. Indikator pendidikan yang secara global digunakan untuk
mengukur Target 3A tersebut adalah rasio angka partisipasi murni perempuan terhadap angka untuk lakilaki (disingkat rasio APM) di jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Selain itu, dipakai pula
indikator rasio angka melek huruf yang merupakan indikator nasional.
Di samping dilihat dari indikator yang terkait langsung dengan pendidikan, disepakati pula dua indikator
lain untuk menilai capaian Tujuan 3. Indikator tersebut terkait dengan dampak pendidikan pada kehidupan
perempuan di sektor publik, yaitu a) kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian,
dan b) keterlibatan perempuan di parlemen.
Capaian Tujuan 3 di bidang pendidikan sudah menggembirakan (Tabel 3.1). Di bidang tersebut, kesetaraan
gender terlihat sudah tercapai pada berbagai jenjang pendidikan. Pada Tahun 2013, rasio APM-SD sudah
mencapai 99.81 persen; bahkan rasio APM-SMP, rasio APM-SMA, rasio APM-PerguruanTinggi dan rasio
AMH sudah melebihi target 100 persen. Di samping itu, walaupun tanpa target kuantitatif, Indikator 3.2
dan 3.3. menunjukkan arah kecenderungan yang sudah sesuai dengan harapan. Keterlibatan perempuan
dalam kerja upahan di sektor non-pertanian meningkat dari 29.24 persen pada tahun 1990 menjadi 35.10
persen di tahun 2013 dan keterwakilan di DPR meningkat dari 12.50 persen pada tahun 1990 menjadi
17.30 persen, pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2014.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

51
Kecenderungan empat indikator yang merupakan komponen dari Indikator 3.1 di bidang pendidikan
untuk menilai capaian Tujuan 3 MDGs dalam periode tahun 2000 sampai 2013 sangat bervariasi, tetapi
sejak tahun 2011 semuanya menuju arah yang positif, kecuali rasio APM SMA (Gambar 3.2). Rasio APM
SMA mengalami sedikit penurunan dari tahun 2010 ke tahun 2011, namun kembali meningkat pada tahun
2012. Berdasarkan perkembangan pada periode tersebut dapat diduga bahwa status capaian indikator
3.1 akan dapat bertahan sampai tahun 2015.
Hal yang perlu dicatat dari kecenderungan yang terjadi pada tahun 2000-2013 adalah terus melajunya
rasio APM pada jenjang SMP, SMA dan perguruan tinggi. Hal ini berarti terus menurunnya APM laki-laki
dibanding perempuan. Oleh karena itu motivasi terhadap pendidikan anak perempuan perlu dibarengi
dengan motivasi terhadap pendidikan untuk anak laki-laki juga, agar ada keseimbangan antara pendidikan
laki-laki dan perempuan di masa mendatang
Pada periode tahun 2000-2013, kecenderungan nilai kontribusi perempuan dalam kerja upahan di
sektor non-pertanian, berfluktuasi pada kisaran 31.5 persen (tahun 2004) sampai 37.1 persen (tahun
2009), lihat Gambar 3.3. Walaupun meningkat dibandingkan dengan angka tahun dasar 1990, kontribusi
perempuan yang menurun sejak tahun 2009, kurang mendukung percepatan capaian nilai indikator ini
di masa mendatang.

Gambar 3.2.
Kecenderungan
Rasio APM
Perempuan
terhadap Laki-laki
menurut Jenjang
Pendidikan, Tahun
2000-2013
Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun.

Gambar 3.3.
Kecenderungan
Kontribusi
Perempuan dalam
Kerja Upahan
di Sektor NonPertanian, Tahun
2000-2013
Sumber: BPS, Sakernas berbagai tahun.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

52
Kecenderungan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR tingkat nasional terus meningkat,
walaupun berfluktuasi (Gambar 3.4.) Sejak ditetapkannya keanggotaan legislatif periode tahun 1950,
sudah ada perempuan yang menduduki kursi di DPR, walaupun masih sangat sedikit (3.8 persen). Setelah
dikeluarkannya Undang-undang Pemilu Tahun 2003, keterwakilan perempuan terus meningkat sampai
Pemilu tahun 2009 sebelum menurun lagi sedikit pada Pemilu 2014.

Gambar 3.4.
Kecenderungan
Keterwakilan
Perempuan dalam
DPR menurut
Periode Pemilihan,
Tahun 1950-2014
Sumber: KPU.

Beberapa partai politik tertentu telah memperhatikan anjuran seperti apa yang tercantum pada Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4277 dalam Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang
menyatakan bahwa Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30 persen..... Namun beberapa partai politik lainnya baru tergerak
untuk mencalonkan perempuan pada Pemilu tahun 2014 yang ternyata hanya sebagian saja terpilih.
Bila dibandingkan dengan jumlah anggota DPR tingkat nasional yang terpilih dalam Pemilu 2009, yaitu
18,40 persen, maka keanggotaan perempuan yang terpilih dalam lembaga legislatif tahun 2014 menurun
1,10 persen menjadi 17,30 persen. Tanpa dibarengi dengan pendidikan politik yang komprehensif bagi
perempuan, ternyata affirmative action sebesar 30 persen untuk keanggotaan perempuan di DPR kurang
memenuhi harapan.

Kesenjangan Rasio APM


Keberhasilan capaian rasio APM pada tingkat nasional seperti yang disajikan di Gambar 3.2 tidak selalu
diikuti dengan keberhasilan di tingkat lokal. Nilai indikatornya bervariasi antar-wilayah perdesaan/
perkotaan, antar-provinsi, dan antar-golongan ekonomi.
Mulai jenjang SD sampai perguruan tinggi, ketersediaan gedung sekolah lebih langka di daerah perdesaan
daripada di daerah perkotaan. Walaupun begitu hal ini tidak menjadi halangan perempuan untuk
mengakses pendidikan sama dengan laki-laki. Nilai indikator rasio APM SD di perdesaan hampir sama
dengan nilai di perkotaan, sedangkan pada jenjang yang lebih tinggi rasio APM lebih dari 100 persen, yang
berarti lebih banyak perempuan di perdesaan yang bersekolah pada umur yang sesuai daripada laki-laki
(Tabel 3.2.)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

53
Tabel 3.1. Rasio APM menurut Jenjang Pendidikan dan Tipe Wilayah, Tahun 2013
Rasio APM

Perkotaan

SD

Perdesaan

Perkotaan +
Perdesaan

99.92

99.70

99.81

SMP

103.61

107.72

105.69

SMA

97.69

104.02

100.66

108.25

117.70

109.73

Perguruan Tinggi

Sumber: BPS, Susenas triwulan I tahun 2013

Tidak seperti ketimpangan pada jejang sekolah yang lebih tinggi, ketimpangan rasio APM SD antarprovinsi
tidak signifkan. Sementara itu, ketimpangan gender dalam partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan
SMP ke atas memperlihatkan adanya keberpihakan provinsi tertentu kepada laki-laki maupun
perempuan. Kalau dari seluruh provinsi di Indonesia dipilih enam provisi yang bias kepada laki-laki atau
kepada perempuan maka gambaran keberpihakan terlihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.2. Daftar Provinsi yang Mempunyai Bias Gender Terbesar


Berdasarkan Rasio APM, 2012
Bias kepada laki-laki
Provinsi
Rasio APM

Jenjang sekolah
SMP

SMA

Perguruan Tinggi

Bias kepada perempuan


Provinsi
Rasio APM

Papua Barat

89.65

Sulawesi Barat

113.54

DKI Jakarta

94.75

Sulawesi Tenggara

113.50

Riau

96.11

Sumatera Barat

112.25

Papua Barat

84.62

Gorontalo

139.52

Papua

84.68

Sumatera Barat

121.06

DKI Jakarta

88.70

Sulawesi Tengah

117.18

NTB

80.30

Bangka Belitung

163.39

Kalimantan Barat

81.47

Sulawesi Tengah

137.32

Papua

84.95

Aceh

134.25

Sumber: BPS, Susenas 2012

Ditinjau dari golongan pengeluaran, ternyata bahwa keberpihakan rumah tangga terkaya (20 persen
golongan teratas) lebih diberikan kepada laki-laki. Pada jenjang SD, rasio APM-SD pada semua golongan
ada di sekitar angka 100 (Tabel 3.4), namun hal yang tidak sama terjadi pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Rasio APM SMP dan SMA dari golongan termiskin lebih besar dari rasio APM dari golongan
menengah dan terkaya, yang berarti bahwa pada kelompok miskin partisipasi perempuan pada jenjang
pendidikan tersebut lebih diperhatikan daripada laki-laki. Berkaitan dengan pendidikan tinggi, golongan
terkaya pun lebih memilih untuk mengirim anak laki-laki kuliah ke perguruan tinggi tetapi golongan
menengah ke bawah lebih mementingkan anak perempuannya yang masuk perguruan tinggi.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

54
Tabel 3.3. Rasio APM Per Jenjang Pendidikan menurut Golongan Pengeluaran,
Tahun 2013
Kesenjangan
pendidikan

Termiskin
(40% terendah)

Menengah
(40% ditengah)

Terkaya
(20% teratas)

Rasio APM-SD

100.58

98.81

99.93

Rasio APM-SMP

108.97

103.36

101.86

Rasio APM-SMA

101.55

103.16

91.23

Rasio APM-P. Tinggi

134.15

128.63

98.94

Sumber: BPS, Susenas triwulan I tahun 2013

Gambaran tentang variasi rasio APM pada setiap jenjang pendidikan menurut tipe wilayah (perkotaan/
perdesaan) dan golongan ekonomi (termiskin/40 persen pendapatan terendah, menengah/40 persen
pendapatan sedang dan terkaya/20 persen pendapatan teratas) dapat dilihat dari Gambar 3.5. Seperti
telah disinggung sebelumnya, ada kesamaan pola angka Rasio APM pada semua jenjang sekolah, yaitu
kelompok masyarakat kaya lebih memilih anaknya laki-laki yang bersekolah, sedangkan masyarakat miskin
lebih memilih anaknya yang perempuan mengikuti pendidikan.

Gambar 3.5. Rasio AMP menurut Jenjang Sekolah, Tipe Wilayah dan Status Ekonomi
Sumber: BPS, Susenas

Kesenjangan Rasio AMH


Berkaitan dengan angka melek huruf yang dirinci menurut jenis kelamin, terdapat variasi antarprovinsi
yang lebar. Pada kelompok usia penduduk 15-24 tahun, di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat lebih

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

55
banyak laki-laki yang melek huruf daripada perempuan dengan rasio-AMH masing-masing 84.08 persen
dan 98.96 persen. Sementara itu di DI Yogyakarta dan Provinsi Sulawesi Selatan hal sebaliknya terjadi.
Rasio AMH di dua provinsi tersebut masing-masing adalah 102.88 persen dan 101.60 persen.
Variasi angka melek huruf kelompok remaja seperti juga indikator pendidikan lainnya di Proinsi
Papua dan Papua Barat pada umumnya, terjadi antardesa/kota, antarkelompok kaya/miskin dan
antarpendidikan ibu. Ketersediaan sekolah di berbagai jenjang pendidikan di wilayah pedesaan secara
historis lebih langka daripada di wilayah perkotaan. Hal ini menyebabkan banyaknya remaja buta huruf
lebih terkonsentrasi di daerah pedesaan. Hasil pendataan MICS di lima kabupaten di Tanah Papua juga
menunjukkan bahwa angka buta aksara remaja di sana sangat dipengaruhi oleh status ekonomi keluarga
dan pendidikan ibunya (Unicef, 2012).

Gambar 3.6.
Rasio AMH
Perempuan
terhadap AMH
Laki-laki menurut
Provinsi, 2013
Sumber: BPS, Susenas Triwulan I Tahun 2013

Pada tingkat nasional, variasi rasio AMH antar-tipe wilayah (perkotaan/perdesaan) dan antar-golongan
ekonomi dapat dilihat pada Gambar 3.7. Rasio AMH remaja berusia 15-24 tahun hampir tidak berbeda
antar-tipe wilayah maupun antar-golongan ekonomi. Semuanya berada pada sekitar angka 100; ini berarti
bahwa melek aksara sudah merata di antara remaja laki-laki/perempuan, di kota/desa, dan kelompok
kaya/miskin.

Gambar 3.7.
Rasio AMH menurut
Tipe Wilayah dan
Status Ekonomi

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

56
Kesenjangan Kontribusi dalam Kerja Upahan
Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian juga bervariasi antarprovinsi,
antardesa/kota, dan antargolongan ekonomi. Bila dirinci menurut provinsi, angkanya berkisar antara 44.7
persen (Gorontalo) dan 25.1 (Papua), sedangkan posisi nasional ada di angka 5.1 persen (Gambar 3.5).
Karena menyangkut sektor non-pertanian, maka kontribusi perempuan kota lebih besar dari kontribusi
perempuan pedesaan. Walaupun begitu, pada periode tahun 2012-2013, kesenjangan antara wilayah
perdesaan dari perkotaan makin menyempit.
Menurut hasil Sakernas perbedaan kontribusi perempuan dalam kerja upahan antara dua tipe wilayah itu
turun dari 2.9 persen pada tahun 2012 menjadi 2.0 persen pada tahun 2013. Apabila pengelompokan
didasarkan pada golongan pengeluaran, maka perbedaan kontribusi perempuan lebih besar pada
golongan terkaya, yaitu sekitar 39.90 persen daripada golongan termiskin yang angkanya hanya berkisar
33.72 persen.
Di samping dari sisi jumlah, kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian yang
rendah, terdapat kesenjangan upah yang diterima pekerja perempuan dibandingkan laki-laki. Rata-rata
upah buruh perempuan per bulan pada tahun 2013 di sektor formal adalah Rp 1,427,400.- hanya sekitar
69 persen dari jumlah yang diterima laki-laki, yaitu Rp 2,061,300.-.

Gambar 3.8
Kontribusi
Perempuan dalam
Pekerjaan Upahan
di Sektor NonPertanian, Tahun
2013
Sumber: BPS, Sakernas 2013

Keterbatasan pasar kerja formal di sektor non-pertanian, tidak menghalagi perempuan untuk berpartisipasi
dalam pasar kerja melalui jalur informal. Sebagai contoh, kontribusi perempuan secara total di sektor
perdagangan (formal dan informal) sudah mencapai 50 persen, sementara itu di sektor jasa mencapai 47
persen dan di sektor industri 42 persen.
Namun demikian keterbatasan lapangan kerja formal tersebut di beberapa tempat masih memicu maraknya
perdagangan orang, yang umumnya memakai modus operandi mencarikan pekerjaan yang lebih baik di
lain tempat. Jumlah yang pasti tentang berapa orang yang diperdagangkan tidak diketahui, namun dari
urutan daftar TPPO yang dipulangkan pada periode tahun 2010-2012 tergambar bahwa banyak di antara
mereka berasal dari Jawa Barat (276 orang), Jawa Tengah (142 orang) dan NTT (78 orang). Dari seluruh
korban TPPO yang dipulangkan sebagian besar, hampir 70 persen adalah perempuan (8.38 persen anak-

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

57
anak dan 61.44 persen dewasa). Rincian daftar korban TPPO yang dipulangkan secara lengkap disajikan
di Tabel 3.5.
Perdagangan orang tidak hanya terjadi dalam lingkup dalam negeri tetapi melintasi batas ke luar negeri.
Pada tahun 2012 kasus yang ditangani kedutaan RI sebanyak 315 yang pada tahun itu hanya dapat
diselesaikan 60 kasus, sedangkan yang lainnya masih dalam proses penyelesaian. Kasus perdagangan
orang yang paling banyak terungkap dan tertangani oleh perwakilan KBRI/KJRI adalah di Kualalumpur
(124 orang) dan Amman (105 orang).
Dengan pesatnya kemajuan tehnologi komunikasi saat ini, kegiatan para calo TPPO semakin bebas.
Kegiataan mereka semakin tidak kentara karena tidak selalu ada kontak langsung antara pelaku dan
korban. Komunikasi untuk bernegosiasi mereka lakukan melalui telpon atau media internet dan transaksi
uang kalau diperlukan dilakukan melalui ATM. Bahkan para korban dapat dipandu para calo sampai ke
tempat tujuan hanya dengan melalui telpon, tanpa diketahui oleh orang lain.
Tabel 3.4
Korban TPPO yang Dipulangkan dan Didampingi IOM,
Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia (2010-2012 )
Jenis Kelamin

Usia

2010

2011

2012

Grand Total

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Anak

14

20

65

99

Dewasa

121

96

508

725

Anak

13

16

Dewasa

111

221

340

146

227

807

1180

Perempuan
Laki-laki
Grand Total

Sumber : ATFF Tahun 2012

Gambar 3.9
Jumlah Korban TPPO
yang diproses, 20112013
Sumber : Bareskrim Polri

Bila dilihat dari jumlah korban yang sedang diproses, dalam 3 (tiga) tahun terakhir, terlihat kecenderungan
jumlah korban yang menurun (Gambar 3. 9). Selama tiga tahun tersebut jumlah korban TPPO yang

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

58
tercatat adalah 755 orang yang umumnya adalah perempuan-- dewasa dan anak-anak. Komposisinya
adalah perempuan sebanyak 84% ( dewasa 55 persen dan anak-anak 29 persen) sedangkan laki-laki
hanya sebanyak 16 persen (15 persen dewasa dan 1 persen anak-anak)
Di samping memicu tingginya angka perdagangan orang, terbatasnya pasar kerja formal juga menyebabkan
meningkatnya tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang sebagian menimbulkan banyak masalah. Tidak
seperti TKI di sektor formal, masalah yang dihadapai TKI di sektor non-formal sangat memprihatinkan dan
banyak menyita perhatian dari berbagai komponen masyarakat.
TKI yang bekerja di sektor informal mempunyai banyak permasalahan, antara lain karena faktor-faktor
berikut:
1. Kualitas tenaga kerja
Umumnya berpendidikan rendah sehingga kurang memahami hak dan kewajibannya sebagai TKI.
2. Jenis pekerjaan
Umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh perkebunan, sehingga sulit dipantau
keberadaannya.
3. Rekrutmen tidak sesuai aturan
Banyak pelanggaran aturan sejak pengisian formulir perjanjian kerja, pra penempatan, masa
penempatan maupun purna penempatan.
4. Kurangnya perlindungan
Koordinasi perlindungan TKI antar stakeholder, seperti antara KBRI/KJRI dengan kabupaten/kota
pengirim TKI, masih lemah. Belum ada mekanisme penyelesaian kasus yang efektif seperti, upah
rendah bahkan tidak dibayar, mengalami penyiksaan atau perkosaan, PHK sepihak, dan ketidaksesuaian
kondisi ketenegakerjaan dengan perjanjian kerja.
5. Sistem informasi tentang TKI yang lemah
Belum tertatanya system informasi yang memungkinkan adanya pemantauan terhadap kondisi para
TKI.
6. Jaminan terhadap keluarga
Terutama anak-anak yang turut tinggal di luar negeri, banyak yang berstatus ilegal sehingga tidak
memperoleh akses pelayanan dasar.
Perempuan yang tidak bekerja cenderung menjadi sasaran KDRT. Data kekerasan yang dikompilasi dari
sistim pencatatan pelaporan dari 32 Provinsi dan Kab/Kota per Januari 2013 adalah 20,430 kasus.
Sebagian besar korban, hampir 90 persen (18,718 Kasus) adalah perempuan tidak bekarja, dengan status
menikah (45.72 persen),mempunyai pendidikan (SLTA 35.57 persen), dengan rata-rata usia 25-59 tahun,
serta umumnya tercatat mengalami kekerasan fisik.

Kesenjangan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Legislatif


Berkaitan dengan keanggotaan di DPR/DPRD, hanya di dua provinsi yang perlu mendapat pujian, yaitu di
DPRD Provinsi Maluku yang mempunyai keterwakilan perempuan sebanyak 31.82 persen dan di DPRD
Provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah anggota perempuan yang mendekati anjuran, yaitu 28.89 persen.
Seperti halnya di tingkat nasional, keterwakilan perempuan di daerah sangat jauh dari jumlah yang dianjurkan. Masih terdapat 10 persen dari 490 kabupaten/kota tidak memiliki keterwakilan perempuan di
legislatif daerah.
Pada lembaga yang mengatur pemilihan umum, yaitu KPU, keanggotaan perempuan hanya 14 persen.
Kurangnya keterwakilan perempuan ini menyebabkan peraturan daerah yang disusun kurang responsif

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

59
gender. Hal ini dibuktikan dengan masih terdapatnya kurang lebih 200 Perda yang Diskriminatif (Sumber
Data: Komnas Perempuan 2013).

Gambar 3.10
Proporsi Kursi yang
Diduduki Perempuan
di DPR, 2012
Sumber: BPS; Keterangan: Data anggota DPR tingkat nasional adalah data pada akhir tahun 2013

Kotak 3.1:
Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kuota Keterwakilan Perempuan
30 Persen di Lembaga Legislatif pada Tahun 2013
Kota Depok
Kota Madiun
Kota Surabaya
Kota Batu

38.00
33.33
30.00
32.00

Kab Minahasa Utara


Kab Minahasa Tenggara
Kota Tomohon
Kota Kendari

32.00
32.00
35.00
33.33

Berkaitan dengan peran dalam pengambilan keputusan di sektor publik lainnya, seperti di bidang legislatif,
perempuan sedikit sekali yang memegang kendali di bidang yudikatif dan eksekutif. Keterwakilan perempuan di lima lembaga yudikatif dan lembaga hukum lainnya antara lain di Mahkamah Agung (12 persen),
11 persen di Mahkamah Konstitusi, dan tidak ada perempuan satu pun sebagai anggota di Komisi Yudisial
dan KPK. Di tingkat nasional jumlah pejabat Eselon I perempuan ada 16.41 persen dan jumlah pejabat Eselon II perempuan ada 12.41 persen, sementara keterwakilan perempuan di jajaran atas eksekutif dapat
diperlihatkan, sebagai berikut:
a. Satu orang Gubernur dari 33 Gubernur/Kada;
b. Tigapuluh delapanperempuan menjadi Bupati/Walikota atau 7.6 persen dari 497 kabupaten/kota;
c. Lima perempuan menjadi menteri/wakil menteri atau mencapai 11 persen dari 56 menteri/wakil
menteri atau setingkat menteri.
Kesenjangan kualitatif masih diperlihatkan pada komunitas perempuan yang belum siap berkompetisi
dengan laki-laki baik karena faktor biologis, sosiologis maupun kultural, sehingga perlu adanya pemberdayaan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

60
Kotak 3.2:
Upaya Penyediaan Data Gender Dan Anak Melalui Publikasi: Profil
Perempuan Indonesia; Profil Anak Indonesia; Dan Pembangunan
Manusia Berbasis Gender.
Penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin menjadi suatu keniscayaan; khususnya
terkait dengan keharusan melaksanakan pengarusutamaan gender (PUG) diseluruh bidang
pembangunan tingkat nasional maupun daerah (Inpres No.9/2000). Ini adalah sebagai
respons Indonesia terhadap the Beijing Platform for Action, yang merupakan hasil kesepakatan
Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 yang diselenggarakan di Beijing tahun 1995.
Ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin diperlukan sebagai input analisis gender
yang merupakan salah satu unsur penting dalam melaksanakan PUG. Data terpilah menurut
jenis kelamin antara lain memberikan : (i) indentifikasi perbedaan (kondisi/progress) keadaan
perempuan dan laki-laki dalam konteks tempat dan waktu (ii) gambaran umum dampak
dari intervensi pembangunan terhadap perempuan dan laki-laki; bahan untuk evaluasi,
monitor, outcome; (iii) informasi dan dampak dari suatu keadaan (iv) identifikasi masalah,
membangun opsi dan memilih opsi yang paling efektif untuk kemaslahatan perempuan dan
laki-laki; (v) dasar untuk alokasi sumberdaya yang adil dan lebih terfokus, (vi) input penting
untuk melakukan analisis gender dalam rangka melaksanakan PUG.
Dalam rangka ketersediaan data terpilah Kementerian menerbitkan Profil Perempuan
Indonesia, Profil Anak Indonesia, dan Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Publikasi
tersebut diterbitkan setiap tahun sejak tahun 2010, dengan menyajikan data dan analisis
terkait kondisi laki-laki, perempuan dan anak di berbagai bidang pembangunan. Sebagian
besar data yang digunakan bersumber dari hasil sensus dan survei yang dilakukan BPS, yaitu
Sensus Penduduk, Susenas dan Sakernas. Untuk Profil Perempuan dan Profil Anak menyajikan
data sampai tingkat provinsi, sedangkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender menyajikan
data sampai tingkat kabupaten/kota di Indonesia.
Profil Perempuan Indonesia berisi tentang data perempuan dan laki-laki di berbagai bidang
pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik dan pengambilan
keputusan, serta data kekerasan. Profil Anak Indonesia berisi tentang data anak yang terbagi
dalam 5 cluster terkait pemenuhan hak anak, yaitu 1). lingkungan keluarga dan pengasuhan
alternatif (antara lain berisi tentang data anak yang tinggal dengan kedua orang tuanya,
dan anak-anak yang hanya tinggal dengan salah satu orang tuanya atau dengan orang lain);
2). hak sipil dan kebebasan (antara lain berisi tentang data kepemilikan akte kelahiran dan
akses terhadap informasi dan komunikasi); 3). kesehatan dasar dan kesejahteraan (antara
lain berisi tentang data anak yang mengalami keluhan kesakitan dan pengobatan serta
pemberian ASI); 4). pendidikan (antara lain berisi tentang data status pendidikan anak dan
anak putus sekolah; serta 5). perlindungan khusus (berisi data anak bermasalah hukum, anak
yang mengalami kesulitan fungsional dan pekerja anak). Sedangkan Pembangunan Manusia
Berbasis Gender menyajikan indikator komposit, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) beserta datadata variabel pembentuknya dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Publikasi ini juga
menyajikan analisis disparitas antar wilayah.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

61
Kotak 3.3 .
Pelaksanaan Stranas Percepatan PUG melalui Perencanaan
Pembangunan yang Responsif Gender (PPRG)
Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG bertujuan untuk percepatan pelaksanaan
pengarusutamaan gender sesuai RPJMN 2010 2014 yang sekaligus menunjang pencapaian
kepemerintahan yang baik dan pembangunan yang berkelanjutan serta pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs) , sehingga pelaksanaan PPRG menjadi lebih terarah, sistematis
dan sinergis
Sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan
Nasional, berbagai upaya telah dilakukan untuk mempercepat pelaksanaan PUG di berbagai
bidang pembangunan. Hasil evaluasi pelaksanaan PPRG (Bappenas, 2011) di tujuh K/L
(KPP&PA, Kementerian Keuangan, Kementerian PU, Kementerian Pertanian, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian PPN/Bappenas) telah
menunjukkan kemajuan dengan terbentuknya kelembagaan PUG dan pelaksanaan PPRG.
Pelaksanaan PPRG di empat provinsi (Banten, DI Yogyakarta, Jateng, Jatim) telah berjalan
dengan baik. Beberapa hal yang menjadi tantangan ke depan adalah: (i) perspektif kesetaraan
gender perlu ditingkatkan dalam proses pembangunan, baik di tingkat nasional, maupun
daerah. (ii) koordinasi antar instasi penggerak masih perlu ditingkatkan, (iii) perlu penguatan
dasar hukum PPRG dan mekanisme pemantauan dan evaluasi, serta (iv) perlu penguatan
kapasitas instansi pelaksana PPRG.
Terkait dengan pelaksanaan PPRG di daerah, telah ada 5 (lima) provinsi yang turut melaksanakan
PPRG dengan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur/Instruksi Gubernur diantaranya, Banten,
DIY Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kep. Riau, dan Sulawesi Tengah. Namun demikian
hampir seluruh provinsi sudah mengintegrasikan gender dalam program dan kegiatannya,
meski belum didukung oleh peraturan daerah. Keberhasilan ini umumnya didukung oleh
komitmen Gubernur serta inisiatif dan keaktifan instansi penggerak PPRG.
Sementara itu, kebijakan PPRG ke depan diarahkan pada: (1) Pelembagaan PPRG dengan
membangun komitmen pejabat tertinggi dan tinggi K/L dan Pemerintah Daerah; (2) Koordinasi
instansi penggerak dengan K/L teknis dan SKPD teknis; dan (3) Peningkatan kapasitas K/L
dalam melakukan analisis gender untuk menyusun Lembar ARG.
Dalam rangka penerapan PPRG di Daerah, Kementerian Dalam Negeri, menerbitkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Kerja Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penyusunan APBD 2014 telah memasukkan Strategi Nasional ini sebagai salah satu dokumen
yang menjadi rujukan. Kementerian PP dan PA telah mengeluarkan Permen PP dan PA No. 2
Tahun 2013 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi PPRG sebagai alat bagi SKPD dalam
memantau seluruh pelaksanaan program dan kegiatan yang responsif gender mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan dan tahap hasil dari PPRG.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

62
TANTANGAN
Dari tiga kelompok indikator --pendidikan, ketenagakerjaan dan keterwakilan di DPR--yang capaiannya
sudah sesuai dengan harapan, laju percepatan dua indikator yang terakhir disebutkan adalah yang
sangat lamban. Masih perlu adanya upaya yang yang efektif dan efisien untuk memacunya.
Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian memang meningkat, tetapi
peningkatannya masih rendah; dalam jangka waktu 22 tahun pertumbuhannya hanya 6.53 persen. Di
samping itu juga terdapat kesenjangan upah yang diterima pekerja perempuan dibandingkan lakilaki. Rata-rata upah buruh perempuan per bulan di sektor formal hanya sekitar 79 persen dari jumlah
yang diterima laki-laki. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut di atas, antara lain, a)
rendahnya kesempatan perempuan dalam memperoleh pekerjaan formal terkait dengan rendahnya
control perempuan dalam rekrutmen pegawai, dan b) masih lemahnya regulasi terkait kesetaraan upah
tenaga kerja perempuan. Dampak dari rendahnya penyerapan kerja di sektor formal adalah antara
lain, adalah mengalirnya tenaga kerja ke luar negeri serta maraknya tindak pidana perdagangan orang
yang makin tersembunyi. Di samping itu rendahnya posisi tawar dalam keputusan rumah tangga dari
perempuan yang tidak bekerja, cenderung memicu adanya KDRT.
Keterwakilan perempuan dalam bidang legislatif sudah terlihat ada peningkatan di tingkat nasional, namum
laju peningkatannya masih sangat rendah. Walaupun di tingkat lokal sudah ada dua DPRD provinsi yang
mempunyai anggota perempuan sekitar 30 persen,namun di tingkat kabupaten/kota, masih ada 49 DPRD
yang belum mempunyai anggota perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa peraturan perundangan
yang diterbitkan sejak tahun 2003 yang menganjurkan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen belum
mendapatkan perhatian penuh dari para pimpinan partai politik.

Dari uraian tersebut di atas tantangan yang dihadapi dalam mencapai Tujuan 3 MDGs adalah:
1. Mindset para pengambil keputusan masih menginterpretasikan bahwa gender sebagai program
perempuan dan produk barat sehingga mereka masih bias gender dan diskriminatif,
2. Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender belum konseptual sekaligus kontekstual dengan isuisu internasional, nasional serta tematik dalam seluruh bidang-bidang pembangunan baik yang
merupakan kewenanngan pusat, maupun daerah dengan kompleksnya desentaralisasi serta otonomi
daerah,
3. Upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak yang belum optimal, apalagi isu globalisasi
tentang TPPO dan kekerasan yang semakin komplek dan beragam baik meliputi kekerasan fisik, psikis,
eksploitasi, penelantaran serta lainnya,
4. Upaya pendidikan politik bagi calon politisi perempuan dan pendidikan gender bagi politisi laki-laki
masih menghadapi banyak hambatan.

KEBIJAKAN
1.
2.
3.
4.

SE Menakertrans No. 60/MEN/SJ- HK/II/2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan Yang
Sama Dalam Pekerjaan di Indonesia/EEO,
SK Menakertrans No. 184 Tahun 2013 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kesempatan dan
Perlakuan Yang Sama Dalam Pekerjaan (Task Force Equal Employment)
UU No No. 80 Tahun 1957 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 100 tentang Ratifikasi Konvensi ILO
No. 100 Mengenai Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita
UU Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

63
5.

Surat EdaranMenteri Perencanaan Pembangunan/Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam


Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: NOMOR : 270/M.PPN/11/2012,
NOMOR : SE-33/MK.02/2012, NOMOR : 050/4379A/SJ, dan NOMOR : SE 46/MPP-PA/11/2012
tentang Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui PPRG.
STRA
EGI NASIONAL PERCEPATAN

UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


Di samping mengawal implementasi kebijakan yang sudah digariskan, secara umum upaya percepatan
pencapaian MDGs adalah a) Menguatkan peran 3 Kelembagaan (Kementerian PP-PA, Kementerian
KUMHAM, dan Kemendagri) untuk pengintegrasian gender dalam pembentukan Peraturan Per-UU
melalui parameter kesetaraan gender, b) Penguatan kapasitas SDM, telaah kebijakan pembangunan dan
rencana aksi yang lebih konkrit baik dilakukan oleh eksekutif, legislative, yudikatif maupun masyarakat,
serta c) Memperkuat kelembagaan perlindungan perempuan dan anak melalui pencegahan, pelayanan
dan pemberdayaan. Sementara itu, secara khusus upaya yang terkait dengan masing-masing indikator
diuraikan berikut.
Kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian
Mendorong terbitnya petunjuk teknis/regulasi terkait kesetaraan upah tenaga kerja perempuan:
1. SE Menakertrans No. 60/MEN/SJ-HK/II/2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama
Dalam Pekerjaan di Indonesia/EEO,
2. SK Menakertrans No. 184 Tahun 2013 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kesempatan dan Perlakuan
Yang Sama Dalam Pekerjaan (Task Force Equal Employment)
3. UU No No. 80 Tahun 1957 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 100 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.
100 mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan wanita

TPPO
Percepatan upaya pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dilakukan melalui
pembentukan lembaga koordinatif Gugus Tugas. Untuk itu Kementerian PP dan PA mendorong terbitnya
Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (PPTPPO) mengatur:
1. Keanggotaan, struktur organisasi, mekanisme koordinasi, dan pemantauan. Anggota Gugus Tugas
PPTPPO terdiri dari masyarakat, organisasi masyarakat, Perguruan Tingggi, dan Profesional.
2. Gugus Tugas PPTPPO dibentuk di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Data Sekretratiat Gugus
Tugas PPTPPO Tingkat Pusat menyebutkan bahwa sudah terbentuk 29 Gugus Tugas PPTPPO tingkat
provinsi dan 163 Gugus Tugas PPTPPO tingkat kabupaten/kota.
Pembentukan Sub Gugus Tugas Pencegahan dan Partisipasi Anak bertujuan untuk mencegah terjadinya
segala bentuk dan praktek yang berindikasi pada TPPO dan ESA. Berdasarkan RAN PP TPPO, Sub Gugus
Tugas Pencegahan dan Partisipasi Anak mempunyai target atau output yaitu: terbentuknya sistem
pengawasan yang efektif dalam upaya pencegahan TPPO dan ESA; menurunnya jumlah kasus TPPO dan
ESA; meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencegah praktek TPPO dan ESA; dan mengarusutamakan
gender dan hak anak dalam upaya pencegahan

TKI
Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan TKI:
1. Melakukan advokasi dan sosialisasi guna penerapan Modul Penguatan Mental TKI di 12 provinsi dan
34 kabupaten/kota pengirim TKI.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

64
2. Melakukan advokasi dan sosialisasi penerapan Kebijakan Bina Keluarga TKI di 8 provinsi dan 27
kabupaten/kota kantong utama pengirim TKI.
3. Menerapkan 3 Panduan Praktis bagi keluarga TKI di 12 provinsi dan 34 kabupaten/kota.
4. Mensosialisasikan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia Luar Negeri di 16 provinsi daerah pengirim
TKI dan daerah transit.
5. Menerapkan Instrumen Pencatatan Pelangaran Hak TKI Perempuan di 8 provinsi daerah embarkasi
dan debarkasi.

KDRT

1. Sosialisasi UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
2. Evaluasi Pelaksanaan UU NO 23 Tahun 2004 tentang PKDRT,
3. MOU dengan 6 K/L (KPP PA, Komnas Perempuan, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kepolisian dan
Peradi) tentang Akses Keadilan bagi Perempuan Korban Kekerasan,
4. Inisiasi pelaksanaan sistim Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan,
5. PP Nomor 4 tahun 2006 tentang Kerjasama Penanganan dan Pemulihan Kekerasan terhadap
Perempuan.
6. SPM Bidang Layanan Terpadu Permeneg PP No.1 tahun 2010 (SOP pelaksanaaan SPM, Sistem
pencatatan dan pelaporan, dan costing): disampaikan ke kabupaten kota. Kompilasi di provinsi
kemudian disampaikan laporannya ke pusat.
7. Evaluasi pelaksaan SPM Permen PP PA No.01 Tahun 2010 Provinsi dan Kabupaten Kota
8. Penguatan mekanisme koordinasi pencapaian target SPM dengan Kemenkes dalam pelayanan
Kesehatan dan Rehabilitasi Sosial (Kemensos) serta Dalam proses hokum dengan instansi Kepolisian,
Kekajsaan Agung, Mahkamah Agung dan Kementerian Agama.
9. Perda provinsi dan kabupaten/kota tentang penyelenggaraan perlindungan terhadap perempuan
10. Advokasi terbentuknya regulasi di Pemda dalam rangka Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan
Korban KDRT
11. Mendorong terbentuknya lembaga layanan korban kekerasan, baik yang berbasis pemerintah,
maupun swasta termasuk alikasi anggarannya oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Sebagai wujud dari upaya ini, sampai saat ini telah terbentuk:
a. P2TP2A (Pusat pelayanan terpadu pemmberdayaan perempuan dan anak) di 33 Provinsi dan
242 kab/kota,
b. Lembaga layanan korban kekerasan berbasis rumah sakit sebanyak 22 unit di seluruh Indonesia.
c. UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) di 456 di kepolisian (Polda dan Polres).
d. PPT/PKT(Pusat Pelayanan Terpadu/Pusat Krisis Terpadu) di sebanyak 22 RS.
e. Rumah Perlindunagn Sosial Anak 22 Provinsi, serta
f. Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan sebanyak 55.048.

Peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik


Melakukan langkah strategis dalam upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan
keputusan, dengan melakukan pembenahan aspek peraturan perundangan terkait politik dan pengambilan
keputusan yang mendukung keterwakilan perempuan di legislatif, eksekutif dan yudikatif antara lain:
- UU No.2 tahun 2011 tentang partai politik, yang telah mengakomodasi 30 persen keterwakilan
perempuan dalam kepengurusan partai politik.
- UU No.15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu, yang telah mengakomodasi 30 persen
keterwakilan perempuan di KPU dan KPUD.
- UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD yang telah mengakomodasi 30 persen
keterwakilan perempuan di parlemen.
Ketiga undang-undang ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi kementerian/lembaga dalam meningkatkan
peran perempuan dalam pengambilan keputusan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

TUJUAN 4:
MENURUNKAN ANGKA
KEMATIAN ANAK

Sumber: UNDP Indonesia

Sumber: UNDP Indonesia

67

TUJUAN 4:
MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN
ANAK
TARGET 4A

MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN BALITA (AKBA) HINGGA DUA PER


TIGA DALAM KURUN WAKTU 1990-2015
Indikator

Acuan
dasar

Saat ini

Target MDGs
2015

Status

4.1

Angka Kematian Balita (AKBa) per 1000


kelahiran hidup

97
(1991)

40 (2012)

32

4.2

Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000


kelahiran hidup

68
(1991)

32 (2012)

23

4.2a

Angka Kematian Neonatal per 1000


kelahiran hidup

32
(1991)

19 (2012)

Menurun

4.3

Persentase anak usia 1 tahun yang


diimunisasi campak

44,50%
(1991)*

74,20 %
(2013)*

Meningkat

Sumber

BPS, SDKI

*BPS, Susenas

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Angka Kematian Balita dan Kematian Bayi telah mengalami penurunan tajam tetapi
diperkirakan masih belum mencapai target MDG pada tahun 2015
Angka Kematian Neonatal turun, tetapi sejak tahun 2007 tidak mengalami penurunan
Kematian Neonatal memberikan kontribusi yang besar bagi kematian Bayi dan Balita
Target persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak telah tercapai
Terjadi disparitas yang konsisten dalam pencapaian MDG 4 antarprovinsi tempat tinggal,
pendidikan ibu, dan kuintil kekayaan
Angka Kematian Balita (AKBa) telah turun sebesar 58.8% dari 97 pada tahun 1991 menjadi 40 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 2012. Namun demikian, masih diperlukan upaya keras untuk dapat mencapai
target MDG 4 sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup. Dengan tren seperti ini, target MDG pada tahun 2015
diperkirakan tidak dapat tercapai, terutama karena kedua indikator tersebut sudah mencapai tahap yang
sulit untuk diturunkan (hard rock). Sementara itu Angka Kematian Bayi (AKB) turun sebesar 52.5 persen
pada kurun waktu yang sama. Seperti pada AKBa, penurunan ini masih perlu upaya keras untuk mencapai
target 23 per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Neonatal (AKN) turun sebesar 37.5 persen sampai

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

68
dengan tahun 2003, dari 32 menjadi 20 per 1000 kelahiran hidup, kemudian turun sedikit menjadi 19
pada tahun 2007, selanjutnya tidak berubah pada tahun 2012.

Gambar 4.1.
Tren Angka
Kematian Neonatal,
Bayi, dan Anak
Balita 5 Tahun
Sebelum Survei,
Tahun 1991-2012
(SDKI)
Sumber: SDKI berbagai tahun

Antara tahun 1991 sampai dengan 2003, AKBa dan AKB menurun cukup tajam, tetapi sesudah itu
penurunan terjadi lebih lambat sampai dengan tahun 2012. Penurunan AKBa terutama disebabkan oleh
kontribusi penurunan Angka Kematian Bayi (AKB), yang menurun dengan cepat antara tahun 1991 sampai
tahun 2003 dan selanjutnya melambat sampai tahun 2012. Perlu juga mendapatkan perhatian bahwa
kematian neonatal, bayi, dan balita di tingkat provinsi diukur untuk periode 10 tahun sebelum survei
sehingga tidak sepenuhnya menggambarkan pencapaian upaya terkini.
Analisis terhadap tren penurunan AKBa dan AKB yang melambat sejak tahun 2003 perlu dilihat setidaknya
dari dua aspek:
1. Aspek periode life-cycle, terutama periode neonatal (0-28 hari), periode bayi usia 1-11 bulan dan
anak balita usia 1-5 tahun, oleh karena faktor yang mempengaruhi dan program untuk ketiga periode
life-cycle tersbut mempunyai arti dan implikasi yang berbeda; dan
2. Aspek disparitas berdasarkan berbagai variabel, yaitu provinsi, tempat tinggal, pendidikan, kuintil
kekayaan, dan variabel lainnya. Kemiskinan merupakan faktor mendasar yang sangat penting yang
berpengaruh terhadap kematian bayi dan anak. Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas dan tingginya faktor risiko lain pada kelompok miskin seringkali sejalan dengan status
kesehatan yang buruk dan kematian bayi dan anak yang tinggi. Oleh karena itu, analisis terhadap
disparitas terkait kemiskinan dan faktor determinan lainnya perlu dilakukan.

Periode neonatal (bayi 0-28 hari)


Masih tingginya kematian neonatal secara global dan pentingnya kontribusi kematian neonatal terhadap
kematian bayi telah mendorong ditetapkannya Every Newborn Initiative baru-baru ini oleh WHO untuk
menghentikan kematian yang dapat dicegah.
Kematian neonatal perlu dianalisis secara lebih mendalam karena kontribusi kematian neonatal terhadap
kematian bayi dan anak balita sangat tinggi. Gambar 2 menunjukkan bahwa kematian bayi dan balita yang
terjadi pada periode neonatal proporsinya sangat besar. Bila dibandingkan dengan sebelumnya, proporsi

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

69
kematian neonatal terhadap kematian anak balita meningkat, dari 33 persen pada tahun 1991, meningkat
tajam sampai tahun 1999, kemudian menurun sedikit dan naik lagi menjadi 47.5 persen pada tahun
2012. Demikian pula proporsi kematian neonatal terhadap kematian bayi meningkat dari 47.1 persen
pada tahun 1991 menjadi 59.4 persen pada tahun 2012. Sementara itu, proporsi kematian bayi terhadap
kematian balita sangat tinggi, 70 persen pada tahun 1991 menjadi 80 persen pada tahun 2012. Hal ini
mengindikasikan bahwa tanpa penurunan kematian neonatal yang signifikan, target MDG 4 akan sulit
dicapai. Diperkirakan bahwa dengan menurunkan AKN sebesar 50 persen akan bisa menurunkan AKB
sebesar 30 persen dari 32 menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup dan menurunkan AKBa sebesar 23.5
persen dari 40 menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup.

Gambar 4.2.
Tren Proporsi
Kematian Neonatal
terhadap Kematian
Bayi dan Balita,
Proporsi Kematian
Bayi terhadap
Kematian Balita
(SDKI berbagai
tahun)

Sumber: BPS, SDKI berbagai tahun

Tren dan Disparitas Kematian Neonatal, Bayi dan Balita Menurut Provinsi
Kematian neonatal, bayi, dan balita di tingkat provinsi (yang merupakan angka 10 tahun sebelum survei)
pada umumnya mengalami penurunan antara tahun 2007 dan 2012. Walaupiun demikian, masih terjadi
kenaikan angka kematian neotanal di 13 provinsi yaitu DI Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Kepulauan
Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara,
Papua Barat, dan Papua. Kenaikan yang sangat tajam terjadi di Aceh dan Papua Barat. Kematian bayi dan
balita di tingkat provinsi juga sebagian besar mengalami penurunan. Tetapi di sembilan provinsi yaitu
Gorontalo, Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah, dan DI Aceh, kematian bayi dan balita (kecuali di Sulawesi Tenggara) justru mengalami kenaikan.
Disparitas tingkat kematian neonatal, bayi dan balita antar provinsi masih tetap tinggi. Pada tahun 2012,
kematian neonatal terendah adalah 12 per 1000 kelahiran hidup di Kalimantan Timur dan tertingi adalah
37 per 1000 kelahiran hidup di Maluku Utara. Kematian bayi, terendah adalah 21 per 1000 kelahiran hidup
di Kalimantan Timur dan tertinggi 74 per 1000 kelahiran hidup di Papua Barat. Sedangkan angka kematian
balita terendah adalah 28 per 1000 kelahiran hidup di Riau dan tertinggi 115 per 1000 kelahiran hidup di
Papua. Bahkan di Pulau Jawa dengan kondisi ekonomi dan akses pelayanan kesehatan yang relatif baik dan
merata, disparitas antarprovinsi masih cukup lebar yaitu dari 14 per 1000 kelahiran hidup di Jawa Timur
sampai dengan 23 per 1000 kelahiran hidup di Banten. Disparitas serupa juga terjadi di pulau Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

70
Tabel 4.1. Angka kematian anak menurut provinsi

Angka kematian neonatal, bayi, dan balita untuk periode 10 tahun sebelum survei menurut provinsi
(SDKI 2007 dan 2012)
Provinsi

Angka kematian
neonatal
2007

Angka kematian bayi

Angka kematian balita

2012

2007

2012

2007

2012

Sumatera
DI Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau

14
24
34
28
23
25
17
27
20
18

28
26
17
15
16
20
21
20
20
21

25
46
47
37
39
42
46
43
39
43

47
40
27
24
34
29
29
30
27
35

45
67
62
47
47
52
65
55
46
58

52
54
34
28
36
37
35
38
32
42

Jawa
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten

15
19
14
15
21
25

15
17
22
18
14
23

28
39
26
19
35
46

22
30
32
25
30
32

36
49
32
22
45
58

31
38
38
30
34
38

Bali dan Nusa Tenggara


Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur

14
34
31

18
33
26

34
72
57

29
57
45

38
92
80

33
75
58

Kalimantan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan timur

23
13
39
16

18
25
30
12

46
30
58
26

31
49
44
21

59
34
75
38

37
56
57
31

Sulawesi
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat

24
28
22
16
22
46

23
26
13
25
26
26

35
60
41
41
52
74

33
58
25
45
67
60

43
69
53
62
69
96

37
85
37
55
78
70

Maluku dan Papua


Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua

25
32
21
24

24
37
35
27

59
51
36
41

36
62
74
54

93
74
62
64

60
85
109
115

Telaah lebih lanjut terhadap kematian neonatal, bayi, dan balita berdasarkan provinsi menunjukkan hasil
yang menarik. Pada umumnya kontribusi kematian neonatal di negara maju dengan angka kematian
bayi sangat rendah, lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi kematian neonatal di negara dengan
kematian bayinya tinggi. Hal ini terjadi karena di negara maju penanganan terhadap neonatal semakin
canggih sehingga bayi prematur yang mempunyai resiko kematian sangat tinggi dapat diselamatkan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

71
Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi lebih tinggi
di provinsi yang AKBnya rendah, dan sebaliknya lebih rendah di provinsi yang AKBnya tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa pada provinsi dengan AKB rendah, penurunan kematian bayi dicapai keberhasilan
dallam penurunan penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi, penurunan infeksi karena diare,
dan upaya-upaya lainnya seperti perbaikan status gizi bayi karena asupan bayinya yang baik. Sementara
itu, kematian neonatal dengan penanganan dan teknologi yang lebih kompleks serta kualitas pelayanan
persalinan yang tinggi belum secara optimal bisa dicapai. Pada provinsi dengan AKB tinggi, tidak berarti
bahwa masalah kematian neonatal lebih baik, masalah kematian tetap ada, tetapi masalah penyakit infeksi
masih belum tertangani dengan baik. Demikian pula dengan perbaikan status gizi bayi dan anak belum
optimal.

Gambar 4.3.
Angka Kematian
Bayi dan Proporsi
Angka Kematian
Neonatal terhadap
AKB di
Provinsi dengan
AKB Tinggi dan
Rendah(SDKI 2012)
Sumber: BPS, SDKI 2012

Kecenderungan serupa juga terjadi pada kontribusi kematian nneonatal terhadap kematian balita. Provinsi
yang mempunyai angka kematian balita yang rendah, proporsi kematian neonatal terhadap kematian
balitanya lebih kecil dibandingkan dengan di provinsi yang mempunyai AKBa tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa di provinsi dengan kematian bayi dan balita masih tinggi, permasalahannya tidak hanya pada
pencegahan terjadinya dan penanganan neonatal, tetapi juga pada pencegahan dan penanganan penyakit
infeksi dan kurang gizi.

Gambar 4.4.
Angka Kematian
Balita dan Proporsi
Angka Kematian
Neonatal terhadap
AKBa di Provinsi
dengan AKB Tinggi
dan Rendah ( SDKI
2012)

Sumber: BPS, SDKI 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

72
Disparitas Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita berdasarkan daerah, kondisi ekonomi dan
demografi ibu
Kematian neonatal, bayi maupun balita lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Sedangkan
proporsi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan balita hampir tidak ada perbedaan antara daerah
perkotaan dan perdesaan, yaitu masing-masing . Kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi
adalah 58 persen di perkotaan dan 60 persen di perdesaan. Sedangkan kontribusi kematian neoatal
terhadap kematian balita adalah 44 persen di perkotaan dan 46 persen di perdesaan.
Kematian neonatal, bayi maupun balita secara umum juga lebih tinggi pada ibu dengan tingkat pendidikan
rendah serta ibu pada kuintil kekayaan yang lebih rendah. Kontribusi kematian neonatal terhadap
kematian bayi dan balita secara umum lebih besar pada ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Di antara ibu yang bersekolah, kontribusi kematian neonatalnya mencapai 32 persen, sedangkan di antara
ibu yang mempunyai pendidikan tertinggi, kontribusinya menjadi 56 persen. Disparitas kematian balita
berdasarkan status pendidikan ibu antara yang terendah dan tertinggi sangat besar, yaitu lebih dari 5 kali
lipat (96 dibanding 18 kematian per 1.000 kelahiran hidup). Disparitas ini jauh lebih besar dibandingkan
dengan disparitas pada kematian neonatal dan bayi. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan pola
asuh yang diberikan ibu/pengasuh terkait dengan asupan makanan yang adekuat, pencegahan penyakit
infeksi melalui imunisasi dan perilaku hidup bersih.
Data pada Gambar 15 menunjukkan bahwa pada anak balita, anak berusia 6-47 bulan mempunyai risiko
menderita penyakit ISPA lebih tinggi dan anak usia 6-35 bulan lebih beresiko menderita enyakit diare..
Gizi kurang dan stunting lebih banyak pada anak usia 12 bulan atau lebih, sedangkan kurus lebih banyak
pada usia yg lebih muda (Gambar 23). Sebagaimana perkiraan, kematian neonatal, bayi, dan balita lebih
tinggi pada kelompok keluarga yang lebih miskin (kuintil rendah). Kontribusi kematian neonatal terhadap
kematian bayi dan balita, tidak banyak berbeda antar golongan pendapatan, yaitu berturut-turut adalah
56 persen dan 41 persen pada kuintil terendah serta 59 persen dan 43 persen pada kuintil tertinggi

Gambar 4.5.
Disparitas Kematian
Neonatal, Bayi, dan
Balita berdasarkan
Perdesaan/
Perkotaan, Jenis
Kelamin, Pendidikan,
dan Kuintil
Kemiskinan ( SDKI
2012)
Sumber: BPS, SDKI 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

73
Analisis terhadap faktor usia ibu terhadap kematian neonatal, bayi, dan balita menunjukkan kecenderungan
hubungan berpola U-shape, yaitu kematian yang tinggi pada usia kurang dari 20 tahun,dan usia 40 tahun
atau lebih, serta rendah dinatar kedua kelompok usia tersebut. Seharusnya kematian neonatal lebih terkait
dengan faktor usia ibu , sementara kematian bayi dan balita lebaih karena faktor diluar usia ibu, atau
faktor sisa (retained effect) pada periode neonatal yang terbawa sampai bayi/anak selanjutnya. Kematian
neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi pada ibu yang melahirkan dengan jarak 2 tahun atau kurang.
Kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan balita antara jarak kelahiran yang berbeda, tidak
begitu berbeda. Pada kelompok dengan jarak kelahiran < 2 tahun kontribusi kematian neonatal terhadap
bayi adalah 56 persen sedangkan terhadap balita 44 persen. Selanjutnya pada kelompok yang mempunyai
jarak kelahiran 4 tahun atau lebih, kontribusi tersebut berturut-turut adalah 54 persen dan 41persen.
Pada umumnya, bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir rendah cenderung mempunyai status gizi
yang lebih rendah pada umur-umur selanjutnya dibandingkan bayi yang lahir dengan berat badan normal.
Gambar 6 mengkonfirmasikan besarnya pengaruh BBLR, yaitu menunjukkan bahwa resiko kematian
neonatal dan kematian bayi jauh lebih tinggi pada bayi BBLR dibandingkan dengan kematian pada bayi
dengan berat lahir normal, yaitu masing-masing 8 kali dan 5 kali lebih tinggi.

Gambar 4.6.
Kematian Bayi dan
Anak berdasarkan
Berbagai
Variabel(SDKI 2012)
Sumber: BPS, SDKI 2012

Penyebab Kematian Neonatal


Secara global penyebab utama kematian neonatal adalah prematuritas (28 persen), infeksi berat (36
persen, termasuk sepsis/pneumonia 26 persen, tetanus 7 persen, dan diare 3 persen) dan asfiksia (23
persen). Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada minggu pertama pascalahir, terutama pada hari
pertama kehidupan (Lawn, 2005). Artinya, masa persalinan dan 24 jam setelah persalinan merupakan
waktu yang sangat kritis dan strategis untuk mencegah kematian neonatal. Kematian neonatal setelah
minggu pertama biasanya disebabkan oleh infeksi.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

74
Di Indonesia, penyebab utama kematian neonatal usia 0-6 hari adalah gangguan pernapasan/asfiksia,
prematuritas, infeksi, dan hipotermi. Infeksi dan hipotermi dapat merupakan akibat dari berat badan lahir
yang rendah dan sebagian besar prematuritas juga mempunyai berat badan lahir rendah. Oleh karena itu,
peran BBLR terhadap kematian pada minggu pertama pascalahir cukup besar. Penyebab utama kematian
neonatal usia 7-28 hari adalah sepsis, malformasi kongenital, pneumonia, RDS, dan prematuritas.

Gambar 4.7. Penyebab Kematian Neonatal Usia 0-6 Hari dan 7-28 Hari (Riskesdas 2007)
Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007

Penanganan Persalinan dan Pascasalin


Proses persalinan merupakan faktor penting untuk mencegah kesakitan dan kematian bayi, terutama
yang disebabkan oleh asfiksia dan infeksi. Continuum of care atau pelayanan berkelanjutan kebidanan
dan neonatal mulai dari tingkat komunitas sampai fasilitas rujukan untuk kasus komplikasi menjadi sangat
penting, yaitu apakah proses persalinan berjalan dengan baik termasuk apakah persalinan yang disertai
komplikasi yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya ditangani dengan baik di fasilitas rujukan.
Dalam kenyataannya, akses terhadap pelayanan persalinan yang berkualitas masih menjadi permasalahan
besar di Indonesia. Kontinuitas pelayanan PONED dan PONEK 24/7 berkualitas yang ditunjang oleh
sistem rujukan yang kuat masih menghadapi berbagai tantangan. Akses terhadap pelayanan kebidanan
berkelanjutan dan berkualitas masih menjadi kendala dan karenanya perlu mendapatkan prioritas lebih
tinggi.
Selanjutnya, pola perawatan bayi baru lahir di rumah akan mempengaruhi kesakitan dan kematian
neonatal, termasuk tetanus. Program pemerintah untuk kunjungan neonatal (KN) sebanyak 3 kali, yaitu
pada 6-48 jam pertama (KN1), 3-7 hari pasca lahir (KN2) dan 8-28 hari pasca lahir (KN3), dimaksudkan
untuk mencegah dan mengidentifikasi dengan segera kesakitan pada periode neonatal ini. Hasil Riskesdas
tahun 2010 menunjukkan bahwa persentase KNI adalah sebesar 71.4 persen, KN2 sebesar 61.3persen,
dan KN3 hanya 38 persen. Kurang dari sepertiga (31.8 persen) yang mendapatkan KN lengkap, sementara
yang tidak pernah melakukan KN mencapai 20.8 persen.
Kematian neonatal terutama terjadi sekitar 24 jam pertama pascasalin. Data SDKI 2012 menunjukkan
bahwa hanya 40.5 persen bayi yang mendapatkan kunjungan dalam 24 jam pertama sesudah kelahirannya.
Kurang dari separuhnya, yaitu 45.6 persen, diperiksa oleh tenaga kesehatan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

75
Disparitas Kunjungan 24 jam pertama pascalahir
Terdapat disparitas antarprovinsi yang cukup lebar pada program KN1, KN2 dan dan KN3. KN1 bervariasi
antara antara 37.5 persen (Maluku Utara) sampai 96.2 persen (Yogyakarta), KN2 antara 25.9 persen
(Maluku Utara) sampai 83.7 persen (DI Yogyakata), dan KN3 antara 9.2 persen (Sulawesi Barat) sampai
77.1 persen (DIY). Sedangkan KN lengkap bervariasi antara 6.8 persen (Sulawesi Barat) sampai 71.2 persen
(DIY) (Riskesdas, 2010).
Gambar 8 menyajikan kunjungan dalam waktu kurang dari 4 jam dan 4-23 jam setelah lahir (SDKI 2012).
Secara umum kunjungan dalam 4 jam pertama jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kunjungan 4-23 jam
pascalahir. Penjumlahan keduanya menunjukkan kunjungan di dalam 24 jam pertama pascalahir. Terdapat
perbedaan yang mencolok pada kunjungan tersebut antara ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan dan
tempat lainnya, yang bisa dimengerti karena kunjungan tersebut mungkin merupakan kunjungan saat
ibu masih berada di fasilitas kesehatan. Perbedaan berdasarkan tempat tinggal tidak begitu mencolok.
Berdasarkan pendidikan, ibu yang dengan tingkat pendidikan paling rendah melaksanakan kunjungan
yang paling rendah juga, dan kunjungan tersebut terutama adalah antara 4-23 jam setelah persalinan.
Demikian pula berdasarkan tingkat kekayaan, kunjungan yang terendah adalah pada kelompok kuintil
terendah.

Gambar 4.8.
Proporsi BBLR
berdasarkan Provinsi
(Riskesdas 2010 dan
2013)

Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2010 dan 2013

Disparitas BBLR berdasarkan berbagai Variabel


BBLR lebih tinggi di perdesaan, di kelompok berpendidikan rendah dan kelompok dengan kuintil kekayaan
rendah. Data SDKI 2012 menunjukkan perbedaan prevalensi BBLR berdasarkan pendidikan yang sangat
mencolok pada 3 kelompok terendah tingkat pendidikan, sedangkan berdasarkan kuintil kekayaan,
perbedaan sangat nyata pada kelompok kuintil 1. Gambaran tersebut mengindikasikan panjangnya
proses yang mempengaruhi terjadinya BBLR, yaitu mulai dari status gizi remaja sampai ibu hamil, yang
sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Meningkatnya childbearing (hamil atau pernah
melahirkan anak pertama saat berumur 15-19 tahun) pada remaja puteri yaitu 8.5 persen pada tahun
2007 dan 9.5 persen pada tahun 2012 (SDKI), bisa juga terkait dengan rendahnya pendidikan remaja
puteri. Pada umumnya pertumbuhan remaja puteri telah selesai pada usia 18-20 tahun, yang berarti
setelah usia inilah remaja puteri siap untuk hamil. Kehamilan pada usia sebelum selesainya pertumbuhan
akan mengakibatkan terjadinya persaingan pemenuhan kebutuhan zat gizi untuk pertumbuhan bayi dan
pertumbuhan ibunya yang belum selesai. Akibatnya, pertumbuhan ibu dan bayi akan terhambat.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

76
Berbedanya prevalensi BBLR antara data SDKI 2012 (7.3 persen) dengan Riskesdas (10.2 persen)
mungkin disebabkan oleh berbedanya segmen penduduk yang digunakan di dalam kedua survei atau
metoda pengumpulan informasi yang berbeda. Penyajian kedua data yang berbeda tersebut tidak untuk
menggambarkan prevalensinya semata tetapi lebih dimaksudkan untuk melihat disparitas berdasarkan
berbagai variabel.

Gambar 4.9
Distribusi BBLR (berat
lahir kurang dari 2,5 kg)
berdasarkan beberapa
Variabel (SDKI 2012)
Sumber: BPS, SDKI 2012

Status Gizi Wanita Usia Subur


Faktor penting yang berhubungan dengan risiko terjadinya BBLR adalah status gizi ibu yaitu tinggi badan,
berat badan ibu terhadap tinggi badannya atau Index Massa Tubuhdan pertambahan berat badan selama
kehamilan. Berdasarkan hasil meta analisis dari berbagai negara berkembang yang dilakukan oleh Kramer
(1987), ketiganya merupakan faktor resiko yang diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 40 persen
terjadinya BBLR yang diakibatkan oleh IUGR (Intra Uterine Growth Restriction).
Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa prevalensi pendek dan sangat pendek pada remaja perempuan
umur 16-18 tahun adalah 25.9 persen, sedangkan prevalensi kurus berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)
pada perempuan dewasa > 18 tahun adalah 12.3 persen. Selain itu, data Riskesdas 2013 menunjukkan
bahwa perempuan dewasa yang mempunyai risiko terjadinya kurang energi kronis (KEK) berdasarkan
pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA) menunjukkan kenaikan dari tahun 2007 ke tahun 2013 (Riskesdas),
dan KEK terutama tinggi pada mereka yang berusia muda, 15-24 tahun.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

77

Gambar 4.10. Proporsi Wanita Usia Subur (WUS) dengan Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK)
Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007 dan 2013

Periode bayi usia 1-11 bulan dan anak usia 1-5 tahun
Penyebab utama kematian bayi adalah diare, pneumonia, dan meningitis, sementara penyebab utama
kematian anak 1-5 tahun adalah diare, pneumonia, NEC (necroticans entero colitis), meningitis, DBD, dan
campak. Turunnya AKB dan AKBa mengindikasikan bahwa program untuk menurunkan kematian bayi dan
balita cukup sukses. Program tersebut meliputi peningkatan imunisasi termasuk imunisasi campak yang
dapat menurunkan kematian melalui penurunan prevalensi pneumonia, dan penurunan prevalensi diare
dan penyakit infeksi lainnya yang berpengaruh terhadap kesakitan dan kematian bayi dan anak.

Gambar 4.11. Penyebab Kematian Bayi dan Kematian Balita (Riskesdas 2007)
Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007

Disparitas Penyakit pada Anak Balita berdasarkan provinsi dan variabel lainnya.
Dua penyakit yang paling sering diderita pada masa kanak-kanak adalah diare dan penyakit pernapasan
akut, termasuk pneumonia. Terdapat variasi yang besar pada insiiden diare pada Balita, yaitu 3.3 persen
di Kalimantan Timur sampai 10.2 persen di Aceh. Demikian pula dengan period prevalence pneumonia,
yaitu 6.6 per 1000 Balita di Kalimantan Timur sampai 38.5 per 100 Balita di provinsi Nusa Tenggara Timur
(Riskesdas 2013).

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

78

Gambar 4.12. Insiden Diare dan Prevalensi Penumonia per 1000 Balita berdasarkan Provinsi (Riskesdas 2013)
Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2013

Disparitas penyakit diare dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) juga terlihat berdasarkan usia ibu,
tempat tinggal, pendidikan ibu, dan kuintil kekayaan. ISPA lebih banyak terjadi pada bayi usia 6 bulan atau
lebih, di daerah perdesaan, pada kelompok berpendidikan lebih rendah, dan kelompok dengan kuintil
rendah. Untuk penyakit diare, perbedaan mencolok terutama adalah pada kelompok usia 6-35 bulan.
Disparitas berdasarkan tempat tinggal, pendidikan ibu, dan kuintil kekayaan tidak begitu mencolok seperti
pada ISPA (SDKI 2012).

Total: 5.1%

Total: 14.3%

Gambar 4.13.
Disparitas Penyakit Diare
dan ISPA berdasarkan
berbagai Variabel (SDKI
2012)
Sumber: BPS, SDKI 2012

Proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak


Indikator MDG 4 lainnya adalah meningkatnya proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi
campak. Cakupan imunisasi campak meningkat tajam sebesar 66.4 persen, yaitu dari 44.50 persen pada
tahun 1991 menjadi 80.10 persen pada tahun 2012.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

79
Disparitas Vaksinasi Campak
Proporsi anak yang pernah menerima vaksinasi campak secara umum cukup tinggi. Variasi cakupan
berdasarkan provinsi juga tinggi, yaitu antara 49 persen di Papua dan 97.1 persen di DI Yogyakarta. Lebih
dari separo dari 33 provinsi mempunyai cakupan vaksinasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional
(80.1 persen), 9 di antaranya mempunyai cakupan kurang dari 70 persen.

Gambar 4.14.
Anak yang
Mendapatkan
Vaksinasi Campak,
Berdasarkan
Provinsi, SDKI 2012
Sumber: BPS, SDKI 2012

IImunisasi campak berkaitan dengan angka kematian neonatal, bayi, dan balita. Secara umum kematian
neonatal, bayi dan balita rendah pada provinsi yang mempunyai cakupan imunisasi campak tinggi.

Gambar 4.15.
Kematian Bayi,
Kematian Balita, dan
Imunisasi Campak
berdasarkan Provinsi
2012
Sumber: BPS, SDKI 2012

Asupan Makanan Bayi dan Anak


Pemberian ASI merupakan praktik yang sangat efektif untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup
anak karena ASI mengandung zat gizi yang lengkap dan antibodi yang dibutuhkan bayi, mempunyai
risiko pencemaran yang rendah dibandingkan susu formula serta menciptakan kedekatan antara ibu dan
bayinya. Selanjutnya, saat usia bayi mencapai 6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI akan sangat
mempengaruhi status kesehatan dan gizi bayi. Oleh karena itu, WHO menganjurkan agar setiap anak
mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan, termasuk upaya inisasi menyusu (IMD) dini dalam 1 jam

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

80
pertama pasca lahir . Pada usia 6 bulan makanan pendamping ASI mulai diberikan dan dilanjutkan selama
dua tahun. Pemberian ASI ini sebaiknya on demand, atau sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
bayi. IMD akan merangsang produksi ASI dan memfasilitasi pengeluarannya sehingga bayi dapat segera
mendapatkan asupan makanannya. IMD juga penting karena ASI yang keluar pertama kali sampai dengan
beberapa hari setelahnya mengandung kolostrum yang kaya zat gizi dan antibodi sehingga segera
memenuhi kebutuhan makanan bayi dan memproteksi terhadap serangan penyakit infeksi.
Masalah utama dengan pola makan bayi dan anak di Indonesia adalah rendahnya praktik pemberian Air
Susu Ibu (ASI) eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang tidak adekuat. Hal ini akan
berpengaruh terhadap kesehatan dan status gizi bayi, yang kemudian akan meningkatkan risiko terjadinya
kematian. Gambar 18 menunjukkan bahwa prevalensi ASI eksklusif 0-6 bulan masih rendah yaitu hanya
41persen, sementara ASI ekslusif sampai usia 4-5 bulan lebih rendah lagi yaitu 27 persen.

Gambar 4.16.
Praktek Pemberian
ASI pada Bayi dan
Anak Usia Dini, SDKI
2007 - 2012
Sumber, BPS, SDKI 2007 dan 2012

Selain IMD, ASI eksklusif, dan pemberian ASI sampai dengan usia 2 tahun, pedoman yang direkomendasikan
WHO mengenai pemberian makanan pada bayi dan anak usia dini (IYCF- Infant and Young Child Feeding)
adalah waktu pemberian makanan pendamping ASI sejak usia 6 bulan, yang dimulai dengan jumlah
yang sedikit, selanjutnya jumlah dan frekuensi makanan ditingkatkan seiring dengan bertambahnya usia.
Pemberian makanan semisolid /solid untuk bayi usia 6-8 bulan adalah sebanyak 2-3 kali perhari dan
3-4 kali perhari untuk bayi usia 9 24 bulan, diselingi makanan kudapan (snack) di antaranya, 1 atau
2 kali perhari sesuai dengan keinginan bayi/anak.
Minimum IYCF untuk bayi usia 6-23 bulan yang diberi ASI adalah melanjutkan pemberian ASI, pemberian
makanan semisolid/solid untuk bayi usia 6-8 bulan sedikitnya 2 kali perhari dan sedikitnya 3 kali perhari
untuk bayi usia 9 24 bulan, dengan persyaratan makanan tersebut mengandung sedikitnya 3 kelompok
makanan perhari. Sedangkan untuk bayi yang tidak mendapatkan ASI, minimum IYCF adalah mendapatkan
pengganti ASI, pemberian makanan semisolid/solid sedikitnya 4 kali perhari, dengan persyaratan
makanan tersebut mengandung sedikitnya 4 kelompok makanan perhari, termasuk pengganti ASI.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

81

Gambar 4.17.
Indikator Pola
Makan pada Bayi
dan Anak Usia Dini
(SDKI 2007-2012)
Sumber: BPS, SDKI 2007 dan 2012

Gambar 19 menunjukkan bahwa bayi 6-23 bulan yang diberi makanan sesuai dengan rekomendasi IYCF
hanya 37 persen. Pada kelompok anak yang diberi ASI hanya 3 persen yang mendapatkan minimum diet
yg bisa diterima (minimum acceptable diet), dibandingkan 43 persen pada anak yang tidak diberi ASI.
Keragaman diet minimum pada anak yang diberi ASI hanya 52 persen dengan frekuensi diet minimum 61
persen, dibandingkan dengan anak non-ASI, yaitu berturut-turut 76 persen dan 79 persen.

Suplementasi Vitamin A

Defisiensi vitamin A berhubungan dengan risiko morbiditas dan mortalitas anak sehingga pencapaian
suplementasi vitamin A perlu dijadikan indikator penentu penurunan morbiditas dan mortalitas anak
balita.

Disparitas Suplementasi Vitamin A

Proporsi anak 6-59 bulan yang menerima suplementasi vitamin A mempunyai bervariasi antarprovinsi,
yaitu antara 32 persen (Provinsi Sulawesi Barat) dan 75 persen (Provinsi Nusa Tenggara Barat).

Gambar 4.18.
Persen Anak
Usia 6-59 Bulan
yang Menerima
Suplementasi
Vitamin A dalam
6 Bulan Terakhir,
berdasarkan Provinsi
( SDKI Tahun 2012)
Sumber: BPS, SDKI 2012

Variasi cakupan suplementasi vitamin A yang cukup besar antae kelompok pendidikan dan antar tingkat
pendapatan. Secara umum semakin rendah tingkat pendidikan dan semakin rendah tingkat pendapatan,
cakupan suplementasi vitamin A semakin kecil. Khusus untuk kelompok yang tidak pernah bersekolah,
cakupan suplementasi vitamin A hanya 28.2 persen.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

82

Sumber: BPS, SDKI 2012

Gambar 4.19.
Persen Anak
Usia 6-59 Bulan
yang Menerima
Suplementasi
Vitamin A dalam
6 Bulan Terakhir,
berdasarkan
Beberapa Variabel
Tahun 2012 (SDKI
2012)

Hubungan konsumsi vitamin A dan tingkat kematian mengindikasikan bahwa pada umumnya angka
kematian neonatal, bayi dan balita lebih rendah di provinsi dengan cakupan suplementasi vitamin A tinggi
atau sebalikya walaupun tidak selalu konsisten untuk individual provinsi.

Sumber: BPS, SDKI 2012

Gambar 4.20.
Prevalensi yang
Menerima Vitamin A,
Kematian Bayi, dan
Kematian Balita
berdasarkan Provinsi,
SDKI 2012

Status Gizi Bayi dan Anak Balita


Status gizi dan infeksi saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Infeksi dapat menyebabkan seorang
bayi/anak kekurangan gizi karena meningkatnya metabolisme, berkurangnya asupan makanan dan pada
diare disertai dengan kehilangan cairan dan zat gizi. Sebaliknya bayi/anak yang kekurangan gizi mudah
terinfeksi penyakit oleh karena daya tahannya menurun.
Salah satu penyebab belum tercapainya penurunan AKBa dan AKB adalah banyaknya balita yang
menderita gizi kurang, pendek atau kurus. Walaupun tatus gizi balita telah mengalami perbaikan dan
prevalensi gizi kurang pada anak balita hampir mencapai target MDG, yaitu sebesar 17.9 persen pada
tahun 2010, prevalensi balita pendek/stunting dan sangat pendek, masih sangat tinggi dan cenderung
bahkan cenderung meiningkat 36.8 persen (2007) menjadi 37.2 persen (2012). Tingginya stunting pada
anak balita mengindikasikan bahwa telah terjadi keadaan kurang gizi secara kronis dan/atau berulang
sejak usia dini. Prevalensi stunting meningkat mulai usia 12 bulan sampai dengan umur 59 bulan. Hal ini
mengindikasikan adanya proses kekurangan gizi kronis/berulang pada usia dini (<12 bulan) dan berlanjut
sampai usia selanjutnya. Tingginya prevalensi kurus pada usia yang lebih muda juga mengindikasikan
bahwa proses kekurangan gizi akut sudah terjadi sejak usia dini.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

83

Gambar 4.21. Persen Gizi Kurang dan Stunting pada Anak Balita, Tahun 2007 - 2012
Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007, 2010 dan 2013

Gambar 4.22. Proporsi Balita Gizi Kurang, Pendek, Kurus, Gemuk menurut Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2013
Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2013

TANTANGAN
Angka Kematian Balita dan Angka Kematian Bayi sudah turun dengan tajam, tetapi dengan pelambatan
laju penurunan di beberapa tahun terakhir, target MDG pada tahun 2015 diperkirakan tidakakan terrcapai.
Program untuk menurunkan AKBa dan AKB melalui imunisasi dan penurunan infeksi cukup berhasil.
Indikator penurunan AKN dan peningkatan imunisasi campak pada bayi dan anak 6-59 bulan telah
memenuhi target MDG. Beberapa hal yang dapat dijelaskan sehubungan upaya penurunan AKBa dan AKB
untuk mencapai tujuan MDG adalah sebagai berikut:
1. AKB dan AKBa akan sulit untuk turun jika AKN tidak dapat diturunkan dengan signifikan.
Pernurunan AKN sebesar 50 persen diperkirakan akan dapat menurunkan AKB sebesar 30 persen
(dari 32 menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup) dan menurunkan AKBa sebesar 23.5 persen (dari 40
menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup).

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

84
Oleh karena itu, upaya penurunan AKBa dan AKB sebaiknya difokuskan pada penurunan kematian
neonatal khususnya dengan menurunkan BBLR dan meningkatkan akses terhadap pelayanan
kebidanan berkelanjutan (PONED 24/7 dan PONEK 24/7 yang didukung oleh sistem rujukan yang
kuat). Akses terhadap pelayanan kebidanan berkualitas di sekitar waktu persalinan dapat menurunkan
risiko asfiksia dan infeksi dan memperbaiki manajemen BBLR. Karena sebagian kematian neonatal
sangat terkait dengan komplikasi maternal saat persalinan, maka penurunan kematian neonatal perlu
didesain dalam konteks program maternal dan neonatal secara terintegrasi.
2. Gizi kurang dan terutama stunting pada bayi dan balita masih tinggi. Oleh karena itu perbaikan
status gizi pada anak balita perlu dikaitkan dengan program perbaikan gizi pada 1000 Hari Pertama
Kehidupan (1000 HPK), yaitu ibu hamil dan anak usia 2 tahun pertama kehidupan.
3. Faktor penting yang berhubungan dengan risiko terjadinya BBLR adalah status gizi ibu, yaitu tinggi
badan ibu, berat badan ibu terhadap tinggi badannya atau Index Massa Tubuh (IMT) dan pertambahan
berat badan selama kehamilan. Ketiganya diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 40 persen
risiko terjadinya BBLR yang diakibatkan oleh IUGR (Intra Uiterine Growth Restriction).
4. Disparitas angka kematian bayi, kematian anak, BBLR dan dalam capaian program antra provinsi
masih lebar. Peran daerah dalam menurunkan AKB dan AKBa dapat lebih ditingkatkan dan difokuskan
pada penurunan AKN dan peningkatan status gizi 1000 HPK.
5. Kematian neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi di perdesaan, pada kelompok masyarakat dengan
pendidikan rendah dan pada kuintil terendah. Program perlu memfokuskan target pada kelompok
ini dan berintegrasi dengan sektor terkait.

Kotak 4.1.
Pengalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi
Nusa Tenggara Timur dalam Percepatan Penurunan Kematian
Neonatal
Kabupaten TTS merupakan kabupaten di provinsi NTT dengan jumlah penduduk tertinggi
yaitu 441,155 (BPS 2012), yang tinggal di 278 desa, dan 32 kecamatan. Kabupaten TTS
mempunyai 30 Puskesmas, 1 RSUD (RS Soe) dan 1 RS Swasta. Kabupaten TTS merupakan
kabupaten yang mempunyai kematian neonatal yang tinggi yang berfluktuasi dari tahun
2011, 2012, dan 2013 yakni 58, 93, dan 67 per 1000 kelahiran hidup.
Pemerintah Daerah dalam menurunkan kematian neonatal melakukan berbagai intervensi
baik di tingkat keluarga, masyarakat, pelayanan kesehatan primer, dan pelayanan kesehatan
rujukan. Beberapa upaya intervensi terkait erat dengan upaya penurunan kematian ibu,
antara lain Revolusi KIA yang dicanangkan pada tahun 2009 untuk mendorong persalinan
di fasilitas kesehatan. Terobosan lain dilaksanakan melalui AIPMNH Australia-Indonesia
Pertnership for Maternal Neonatal Health (AIPMNH) antara lain:
1.

Di tingkat masyarakat melalui desa siaga aktif dengan aktivitas meliputi kelompok
siaga ibu hamil (terdiri dari suami, orangtua, om dan tanta, penatua, kader dan
tokoh masyarakat)), gerakan TABULIN (tabungan ibu bersalin), kesiapan donor darah,
rumah tunggu berbasis masyarakat, ambulans desa serta membawa ibu melahirkan
ke fasilitas kesehatan. Kondisi ini diperkuat dengan adanya Regulasi KIA berupa
Perda dan Instruksi Bupati serta Peraturan Desa. Peningkatan cakupan pelayanan
KIA dikomunikasikan melalui tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat yang
menganjurkanpentingnya kesehatan ibu dan anak serta pemanfaatan pelayanan KIA.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

85
2.

Di tingkat keluarga diupayakan eliminasi budaya sei, yaitu ibu setelah melahirkan
melakukan panggang dengan bara api di dalam rumah bulat selama 40 hari. Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan melaksanakan studi dengan melaksanakan
beberapa intervensi yang menyadarkan masyarakat akan dampak negatif dari budaya
sei ini. Intervensi yang dilaksanakan antara lain membuat percontohan rumah bulat
sehat, budaya panggang yang semula menggunakan bara api diganti dengan arang
saja dan yang tadinya dilaksanakan 40 hari pertama setelah persalinan menjadi 5-6
hari. Kondisi ini diperkuat dengan adanya peraturan desa. Upaya ini menekan kasus
pneumonia pada ibu dan neonatal.

Salah satu strategi meningkatkan kualitas RS Soe dalam penanganan kasus emergensi
bagi maternal dan neonatal adalah program Sister Hospital sehingga mampu PONEK.
Kondisi ini meningkatkan akses rujukan kasus komplikasi maternal dan neonatal ke RS SOE
dan mengurangi rujukan kasus ke RS Kupang sehingga kasus emergency maternal dan
neonatal semakin cepat tertangani.
RS SOE juga berfungsi meningkatkan kualitas pelayanan Puskesmas termasuk Puskesmas
PONED melalui bimbingan tenis, magang, dan menyelenggarakan konferensi klinik terhadap
kasus komplikasi maternal dan neonatal. Peningkatan pelayanan di fasilitas kesehatan juga
diikuti oleh peningkatan fisik serta perubahan perilaku.
Agar rujukan dapat berjalan dengan baik dan terencana, Dinas kesehatan bersama
stakeholders terkait membuat Manual Rujukan yang didukung dengan adanya frontline
SMS, sistem kewaspadaan melalui pemantauan ibu hamil 7 hari sebelum melahirkan dan
7 hari sesudah melahirkan, serta audit maternal neonatal yang ditindaklanjuti dengan
implementasi dari rekomendasi .

KEBIJAKAN
1. Fokus intervensi pada penyebab terbanyak kematian bayi dan balita yaitu masalah neonatus (asfiksia,
berat badan lahir rendah, dan infeksi), penyakit infeksi (terutama diare dan pneumonia serta malaria
pada daerah endemis), dan masalah gizi kurang dan gizi buruk sebagai underlying factor penyebab
kematian bayi dan balita.
2. Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk neonatus-bayi dan balita sakit, dengan
penekanan pada penguatan di pelayanan primer. Khusus untuk mengatasi masalah pada neonatus
perlu peningkatan kualitas kesehatan sebelum dan selama kehamilan, masa persalinan dan pelayanan
kesehatan ibu pascasalin dan neonatus.
3. Meningkatkan pelayanan kesehatan neonatus, bayi, dan balita yang terstandardisasi, dan terakreditasi,
peningkatan distribusi tenaga kesehatan startegis dan kompetensi tenaga kesehatan (in- dan preservice), pendanaan (termasuk pelaporan dan akuntabilitas), ketersediaan obat-sarana dan prasarana
serta peralatan medis yang siap pakai dan aman, regulasi-manajemen dan sistem informasi serta
penelitian yang mendukung peningkatkan kesehatan bayi dan balita dengan pendekatan penguatan
sistem kesehatan (Health System Strengthening).
4. Meningkatkan peran serta keluarga (termasuk suami dan anggota keluarga lain) dan masyarakat
(peran kader, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat) melalui peningkatan pengetahuan dan
pemberdayaan untuk kesehatan neonatus-bayi dan balita serta deteksi dini faktor risiko dan pola
pencarian pertolongan pelayanan kesehatan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

86
5. Memperkuat implementasi registrasi vital serta meningkatkan pengetahuan menganalisis penyebab
kematian pada neonatus, bayi dan balita serta tindak lanjutnya.
6. Fokus pendekatan pada daerah dengan jumlah penduduk besar dan jumlah kematian bayi terbanyak
tanpa mengabaikan daerah terisolisasi, dengan memanfaatkan skema jainan kesehatan nasinal untuk
mempermudah akses bayi dan balita sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
7. Meningkatkan kerjasama dengan lintas sektor terkait, profesi, akademisi, LSM, dan mitra pembangunan
intarenasional serta institusi pendidikan untuk meningkatkan kelangsungan dan kualitas hidup bayi
dan balita.

UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


1. Upaya penurunan AKN, karena AKN merupakan proporsi yang tinggi terhadap Angka Kematian Bayi
dan Anak.
2. Upaya penjaminan akses terhadap pelayanan PONED dan PONEK 24/7 yang berkualitas karena proses
kelahiran berpengaruh terhadap kematian neonatal.
3. Melakukan koordinasi dan sinergi dengan Direktorat terkait agar upaya program perbaikan gizi remaja
puteri, dan kesehatan serta status gizi ibu hamil lebih baik.
4. Melakukan koordinasi dan sinergi dengan direktorat terkait agar upaya program perbaikan Gizi bayi
dan anak balita lebih baik, termasuk:
a. Upaya perbaikan status gizi bayi 0-5 bulan melalui peningkatan pemberian ASI eksklusif.
b. Upaya perbaikan status gizi bayi/anak 6-24 bulan: MP-ASI adekuat; ASI sampai usia 2 tahun;
suplementasi vit A; pemantauan berat badan secara teratur melalui Posyandu dll.
5. Upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi pada anak Balita termasuk imunisasi dan MTBS.
6. Memberikan penekanan yang berbeda untuk provinsi yang kematian Bayi dan Balitanya tinggi dan
rendah dan daerah perdesaan dan perkotaan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

TUJUAN 5:
MENINGKATKAN
KESEHATAN IBU

Sumber Foto: UNDP Indonesia

Sumber: UNDP Indonesia

89

TUJUAN 5:
MENINGKATKAN KESEHATAN IBU

TARGET 5A

MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU HINGGA TIGA PER EMPAT


DALAM KURUN WAKTU 1990-2015

TARGET 5B

MEWUJUDKAN AKSES KESEHATAN REPRODUKSI BAGI SEMUA PADA


TAHUN 2015
Acuan
dasar

Indikator

Saat ini

Target MDGs
2015

Status

Sumber

Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015
5.1

Angka Kematian Ibu per 100,000


kelahiran hidup

390
(1991)

359 (2012)

102

5.2

Proporsi kelahiran yang ditolong


tenaga kesehatan terlatih

40,70%
(1992)*

83,10%
(2012)*

Meningkat

BPS, SDKI
*BPS, Susenas

Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015
5.3

Angka pemakaian kontrasepsi


(CPR) bagi perempuan menikah
usia 15-49, semua cara

49,70%
(1991)

61,9 %
(2012)

Meningkat

5.3a

Angka pemakaian kontrasepsi


(CPR) pada perempuan menikah
usia 15-49 tahun, cara modern

47,10%
(1991)

57,90%
(2012)

Meningkat

5.4

Angka kelahiran remaja (perempuan usia 15-19 tahun) per 1000


perempuan usia 15-19 tahun

67 (1991)

48 (2012)

Menurun

5.5

Cakupan pelayanan Antenatal


(sedikitnya 1 kali kunjungan dan 4
kali kunjungan)

5.6

BPS, SDKI

- 1 kunjungan:

75,00%
(1991)

95.7%
(2012)

- 4 kunjungan:

56,00%
(1991)

73.5%
(2012)

Unmet Need (kebutuhan keluarga


berencana/KB yang tidak terpenuhi)

12,70%
(1991)

11,4%
(2012)

Meningkat

Menurun

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

90
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN
Target MDG 5A: Meningkatkan Kesehatan Ibu
Berdasarkan survei SDKI, AKI di Indonesia menurun yaitu dari 390 (SDKI 1994) menjadi 228 (SDKI 2007),
tetapi kemudian menunjukkan peningkatan menjadi 359 (SDKI 2012). Tren AKI dari hasil survei SDKI
ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Penghitungan AKI dalam survei SDKI selalu menghasilkan
confidence interval (CI) yang sangat lebar sehingga sulit untuk menginterpretasikan point prevalence AKI
secara tepat. Sebagai contoh nilai AKI 228 pada tahun 2007 mempunyai kisaran 132 sampai dengan 323,
sedangkan nilai 359 pada tahun 2012 berada pada kisaran 239 sampai dengan 478, sehingga terdapat
overlapping pada CI kedua periode pengukuran tersebut.
Selain itu terdapat perbedaan definisi AKI pada SDKI 2012 yaitu kematian oleh sebab apapun yang terjadi
saat kehamilan, selama persalinan atau dalam waktu 2 bulan setelah persalinan, untuk menyesuaikan
dengan kecilnya jumlah yang hanya mencatat 92 kematian.Sementara definisi kematian ibu mencakup
kematian saat kehamilan, persalinan dan dalam waktu 42 hari pasca persalinan. Namun demikian,
penggunaan definisi ini dianggap tidak akan menyebabkan over-reported kematian ibu, karena sebagian
besar kematian perempuan dalam periode umur tersebut disebabkan oleh sebab maternal, sementara
kematian maternal lebih cenderung under-reported. Selain itu, sampel SDKI 2012 adalah semua
perempuan umur 15-49 tahun, baik yang kawin atau tidak kawin, sementara sampel SDKI 2007 hanya
perempuan umur 15-49 tahun yang pernah kawin. Kenaikan AKI sesungguhnya konsisten dengan kenaikan
kematian perempuan dewasa di Indonesia.

Gambar 5.1
Angka Kematian
Ibu Indonesia tahun
1994-2012

Sumber: BPS, SDKI 1994-2012

Persalinan dengan tenaga kesehatan terampil


Indikator MDG 5A lainnya adalah proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih.Proporsi
persalinan ditolong tenaga kesehatan terus meningkat sejak tahun 1991 dan pada tahun 2012 menjadi
83 persen. Peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan yang tajam sebesar 25 persen antara tahun
1991 dan tahun 2004 kemungkinan disebabkan karena adanya program pemerintah yang menempatkan
bidan di setiap desa yang dimulai pada awal tahun 1990. Namun demikian akhir-akhir ini jumlah bidan
yang tinggal di desa menurun sehingga kenaikan persalinan dengan tenaga kesehatan dalam 8 tahun
berikutnya agak melambat, yaitu sekitar 12 persen.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

91

Gambar 5.2.
Persalinan oleh
Tenaga Kesehatan
Tahun 1995-2012
Sumber: BPS, Susenas 1995-2012

Inkonsistensi antara Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dengan AKI


Kenaikan persalinan oleh tenaga kesehatan yang signifikan ternyata tidak sejalan dengan penurunan AKI.
Hal ini menunjukkan bahwa pencegahan dan penanganganan komplikasi kebidanan serta pencegahan
kematian ibu tidak sepenuhnya bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini dapat dijelaskan oleh
dua hal. Pertama,peningkatan cakupan persalinan tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan
terutamakompetensi tenaga kesehatan dan kelengkapan alat dan obat, pada pelayanan persalinan
normal, upaya pencegahan komplikasi, identifikasi dini komplikasi dan pelayanan rujukan efektif bila
komplikasi terjadi. Kegagalan dalam melakukan identifikasi komplikasi secara dini, penanganansegera dan
rujukan efektif meningkatkan risiko kematian ibu. Kedua, sebagian besar kejadian komplikasi kebidanan
tidak dapat diprediksidan sebagian komplikasi tersebut memerlukan penanganan di rumah sakit dan
tidak dapat ditolong oleh tenaga kesehatandi tingkat pelayanan primer.Dengan demikian, perlu adanya
kesiapan pelayanan kebidanan setiap saat yaitu sepanjang 24 jam sehari, 7 hari seminggu (pelayanan
24/7) di semua tingkat pelayanan kesehatan. Kesiapan pelayanan kebidanan tersebut terdiri dari akses
terhadap pelayanan berkualitas di tingkat primer PONED (Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Dasar)
yang meliputi ketersediaan tenaga kesehatan yang terampil, alat, pemeriksaan laboratorium dan obat
dan kesiapan pelayanan rujukan yang efektif di Rumah Sakit PONEK (Pelayanan Obstetrik dan Neonatal
Emergensi Komprehensif) meliputi tenaga spesialis dan tenaga kesehatan lainnya, alat, obat, darah,
pemeriksaan laboratorium dan kamar operasi.
Sebagian besar kematian terjadi saat persalinan dan dalam 24 jam setelah persalinan, waktu yang sangat
pendek bila dibandingkan dengan periode kehamilan selama 9 bulan dan periode nifas selama 42 hari.
Oleh karena itu, kesiapan pelayanan 24/7 di semua tingkat pelayanan kebidanan ini perlu lebih difokuskan
pada periode persalinan dan 24 jam pertama pasca-persalinan.Tidak terjangkaunya pelayanan kebidanan
yang berkualitas pada masa tersebut meningkatkan risiko kematian ibu dan kematian neonatal.
Dengan mempertimbangkan unpredictability dari komplikasi kebidanan serta pentingnya penanganan
komplikasi pada periode persalinan dan 24 jam pertama pasca salin, maka kesinambungan pelayanan atau
continuum of care perlu dijaga, mulai padapelayanan primer sampai pelayanan di RS rujukan. Di tingkat
pelayanan primer, tenaga kesehatan mempunyai keterampilan untuk mengenali tanda-tanda komplikasi,
melakukan tindakan pencegahan komplikasimenangangi sebagian komplikasi apabila terjadi dan mencegah
komplikasi agar tidak menjadi lebih parah, memonitor tanda-tanda vital, melakukan penanganan pertama
kasus komplikasi dan akhirnya melakukan rujukan efektif ke RS kapanpun jika diperlukan. Selanjutnya,

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

92
RS rujukan yang siap 24/7, dapat menangani pasien dengan segera secara adekuat. Dengan demikian
manjaga continuum of careharus disertai dengan penanganan yang berkualitas,tepat waktu dan tepat
guna.

Gambar 5.3.
Kerangka Konsep
Pelayanan
Kesehatan
Kebidanan
Berkesinambungan
Sumber: Endang L. Achadi

Dalam kenyataannya, sering terjadi berbagai keterlambatan yang menyebabkan pelayanan kebidanan
tidak dapat terlaksana dengan baik. Keterlambatan tersebut adalah keputusan untuk merujuk pada tingkat
pelayanan primer (terlambat pertama), keterlambatan dalam proses rujukan ke RS (terlambat kedua) dan
keterlambatan dalam pelayanan di RS (terlambat ketiga).
1.

Terlambat pertama: Keterlambatan mengambil keputusanini dipengaruhi oleh prefrensi masyarakat


pemberi pelayanan dan kualitas tenaga kesehatan di tingkat komunitas. Jika preferensi masyarakat
terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan tinggi, maka tenaga kesehatan, khususnya bidan,
dapat melakukan pemeriksaan dan monitoring secara tepat waktu dan tepat guna yang dapat
mencegahkomplikasi, mengidentifikasi komplikasi dini dan melakukan rujukan bila diperlukan.
Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat sangat berpengaruh untuk menurunkan keterlambatan
pada periode ini. Dipihak lain, tenaga kesehatan di tingkat komunitas maupun di fasilitas pelayanan
tingkat primer harus mempunyai kemampuan untuk melakukan: 1)pertolongan persalinan normal,
2) pencegahan terjadinya komplikasi, antara lain dengan penggunaan Partograph dan Manajemen
Aktif Kala III (AMTSL Active Management ofthe Third Stage Labour);3) identifikasi komplikasi
sedini mungkin; 4) pertolongan pertama bila terjadi komplikasi; dan 5) rujukan efektif bila rujukan
diperlukan.

2.

Terlambat kedua: Keterlambatan untuk merujuk sangat dipengaruhi efektifitas sistem rujukan yang
meliputi transportasi yang memadai, kecepatan identifikasi komplikasi dan perujukan pasien yang
disertai dengan tindakan stabilisasi dan pendampingan (monitoring).Keberhasilan pencegahan
keterlambatan dalam merujuk ini sangat ditentukan oleh kompetensi tenaga kesehatan (bidan)
dalam mengidentifikasi dan menstabilisai pasien, serta menentukan jenis rujukan, apakah langsung
ke rumah sakit atau melalui Puskesmas PONED.

3.

Terlambat ketiga: Keterlambatan ketiga terjadi bila pasien yang dirujuk tidak segera mendapatkan
pelayanan secara tepat waktu dan tepat guna. Penanganan segera berarti bahwa rumah sakit rujukan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

93
seharusnya siap memberikan pelayanan dalam waktu 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu
sehinggadapat segera melakukan tindakan yang diperlukan untuk penyelamatan pasien. Kesiapan
tersebut meliputi ketersediaan dan kesiapan tenaga spesialis dan tenaga kesehatan lainnya, kamar
operasi, alat dan obat dan, pada keadaan tertentu, kesiapan darah.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam 15 tahun terakhir untuk menghilangkan hambatan
finansial dari sisi demand dalam menjangkau pelayanan kesehatan antara lain Jaringan Pengaman Sosial
bidang Kesehatan (1998-2004), Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin atau Askeskin (2005),
Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jamkesmas (2006-2013), Jaminan Persalinan atau Jampersal (20112013) dan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN (mulai 2014). Di tingkat daerah juga telah dilaksanakan
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Dari sisi suplai, dalam kurun waktu 6 tahun, pemerintah telah
mendidik dan menempatkan 54.000 bidan di seluruh desa di Indonesia dengan tujuan untuk mendekatkan
pelayanan kebidanan kepada masyarakat melalui program bidan di desa. Upaya ini berhasil meningkatkan
pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan secara signifikan. Tetapi untuk menurunkan kematian ibu
secara efektif, peningkatan cakupan ini perlu diikuti dengan kesinambungan pelayanan sampai pada
tingkat fasilitas rujukan.
Ilustrasi pada Gambar 4 menjelaskan beberapa skenario dampak dari kesinambungan pelayanan kesehatan
kebidanan terhadap penurunan kematian ibu. Pada skenario A, cakupan pelayanan di tingkat primer
tinggi tetapi tidak diikuti dengan sistem rujukan kasus komplikasiyang efektif. Pada skenario B, pelayanan
di tingkat primer kurang optimal, menyebabkan sedikitnya kasus yang dirujuk, sehingga pemanfaatan
rumah sakit rujukan kecil. Skenario A dan B menyebabkan menurunnya peluang untuk menyelamatkan
ibu hamil yang beresiko dan yang mengalami komplikasi. Skenario C menunjukkan bahwa tanpa sistem
rujukan yang efektif, pelayanan di tingkat primer dan pelayanan di rumas sakit yang bagus tidak akan
efektif untuk menyelamatkan ibu. Skenario D menggambarkan pelayanan berkesinambungan, yaitu
pelayanan di tingkat primer cukup efektif sehingga sebagian besar kasus komplikasi dapat dirujuk, dan
mendapatkan pelayanan yang mencukupi di rumah sakit. Skenario ini, akan meningkatkan peluang untuk
menyelematkan ibu secara signifikan.

Gambar 5.4.
Berbagai skenario
miss-oportunities
Penyelamatan
Ibu di berbagai
tingkat pelayanan
kebidanan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

94
Situasi kesinambungan pelayanan kebidanan antarpropinsi dan kabupaten/kota bervariasi dan masuk pada
salah satu skenario di atas. Oleh karena itu, prioritas penanganan dan pencapaian penurunan kematian
ibu akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, terutama karena sumber permasalahan
yang berbeda disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia, biaya, logistik, peraturan dan kebijakan.
Secara nasional, kualitas pelayanan kebidanan masih belum baik. Menurut data Rifaskes 2011, Puskesmas
mampu PONED baru mencapai 47 persen dan dari Puskesmas PONED yang mempunyai persediaan
MgSO4 baru mencapai 42 persen. Dari sisi ketenagaan, 35 persen bidan di desa tidak mempunyai Bidan
Kit, dan hanya 11 persen bidan yang mampu pelayanan GDON (Gawat Darurat Obstetri dan Neonatal).
Sementara itu bidan yang telah mengikuti pelatihan APN (Asuhan Persalinan Normal) untuk meningkatkan
keterampilan persalinan dasar masih kurang dari separuh. Pelatihan keterampilan bidan sangat diperlukan
mengingat sistem pendidikan sebelumnya yang tidak optimal.
Selanjutnya hasil Rifaskes menunjukkan bahwa sistem rujukan yang seharusnya merupakan komponen
sangat penting untuk menjamin kesinambungan pelayanan, juga masih belum kuat. Proporsi RS yang siap
memberikan pelayanan PONEK 24/7 masih rendah dan hanya 21 persen RS pemerintah yang memenuhi
Kriteria Umum PONEK, serta 52,7% RSU mempunyai dokter terlatih PONEK dan 50,4 persen mempunyai
Bidan telah terlatih PONEK.
Tempat persalinan. Pada tahun 2012, sebanyak 63,2 persen atau hampir dua pertiga persalinan
dilakukan di fasilitas kesehatan. Angka ini telah mengalami kenaikan yang bermakna dari 46,1 persen
pada tahun 2007. Persalinan di fasilitas kesehatan swasta mencapai 46 persen, sedangkan di fasilitas
pemerintah 17 persen. Dengan demikian persalinan di fasilitas kesehatan swasta dua kali lipat lebih banyak
dibandingkan dengan di fasilitas pemerintah.
Studi Badan Litbangkes (2012) terhadap kematian ibu yang teridentifikasi melalui Sensus Penduduk
2010 menunjukkan bahwa - tergantung jenis komplikasi - 49,7 persen-75,3 persen ibu meninggal di RS
pemerintah dan swasta; dan 17,1-37.,persen meninggal di rumah sendiri. Tingginya kematian di RS
mengindikasikan kemungkinan terjadinya 3 keterlambatan, yaitu pengambilan keputusan yang terlambat
dan/atau rujukan tidak efektif sehingga pasien saat mencapai rumah sakit berada dalam keadaan
parah, dan/atau penanganan di rumah sakit yang tidak tepat waktu dan tidak tepat guna. Sementara
yang meninggal di rumah mengindikasikan keluarga tidak atau terlambat mencari pelayanan dari tenaga
kesehatan, komplikasi tidak segera teridentifikasi oleh tenaga kesehatan; dan/atau pasien tidak dirujuk.

Persiapan Persalinan. Oleh karena komplikasi kehamilan dan persalinan dapat terjadi setiap saat
pada siapa saja, maka seharusnya ibu hamil melakukan persiapan yang cukup untuk mengantisipasi
terjadinya komplikasi. Persiapan tersebut termasuk membicarakan dengan suami dan keluarga mengenai
berbagai hal termasuk tempat persalinan, penolong persalinan, transportasi, biaya, dan donor darah.
Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa secara umum mereka telah mendiskusikan hal-hal tersebut, kecuali
tentang donor darah, hanya 15,4 persen yang mendiskusikannya dengan keluarga.
Studi Immpact dan FKM UI di provinsi Banten pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terlambat
mengambil keputusan mencapai 45 persen, terlambat mencapai fasilitas rujukan 66 persen dan terlambat
mendapatkan pelayanan di RS sebesar 44 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keterlambatan tidak hanya
terjadi di tingkat masyarakat dan akibat hambatan transportasi, tetapi juga pada masalah keterlambatan
penanganan di RS terutama karena RS tidak siap dalam 24/7.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai pelayanan PONEK adalah proporsi seksio. WHO
memperkirakan bahwa 5-15 persen persalinan memerlukan seksio. Persen seksio yang rendah
mengindikasikan bahwa banyak persalinan yang membutuhkan seksio tetapi tidak mendapatkannya,

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

95
sehingga meningkatkan resiko kematian. Sebaliknya tindakan seksio yang terlalu tinggi mengindikasikan
banyak seksio yang dilakukan tanpa indikasi medis. Menurut data SDKI, persentase seksio pada tahun
2002 sebesar 4,5 persen, tetapi kemudian meningkat menjadi 6,8 persen pada tahun 2007 dan pada
tahun 2012 mencapai 12,3 persen. Kenaikan signifikan pada tahun 2012 kemungkinan terjadi karena
diberlakukankannya Jampersal sejak tahun 2011.
Komplikasi selama Kehamilan dan Persalinan
Kematian ibu sangat tergantung pada apakah komplikasi kebidanan yang terjadi ditangani secara tepat
waktu dan tepat guna. Oleh karena itu, analisis terhadap kejadian komplikasi sangat penting, antara
lain apakah proporsi ibu yang mengalami komplikasi yang ditangani di rumah sakit tinggi atau rendah,
dan apakah kualitas pelayanan di rumah sakit dapat menyelamatkan ibu. Karenanyaindikator komplikasi
yang ditangani di rumah sakit merupakan indikator yang sangat dekat dengan indikator kematian ibu,
komplikasi selama kehamilan dan persalinan merupakan indikator yang sangat dekat dan terkait dengan
resiko kematian ibu. Menurut SDKI 2012, proporsi komplikasi selama kehamilan pada perempuan yang
hamil anak terakhir dalam 5 tahun sebelum survei adalah 12,8 persen; terdiri dari 3,6 persen perdarahan,
2,2 persen persalinan prematur, 0,7 persen panas, 0.3 persen kejang dan pingsan, dan 7.5 persen sebab
lainnya. SDKI 2012 juga menunjukkan bahwa proporsi komplikasi selama persalinan mencapai 45.6
persen, yang meliputi persalinan lama 34.7 persen, ketuban pecah 14.9 persen, perdarahan per vaginam
7.6 persen, keputihan yang berbau 7.6 persen, kejang-kejang 1.6 persen, dan sisanya oleh sebab lain.
Walaupun demikian diperlukan kehati-hatian dalam penggunaan data ini karena informasi didapatkan
dari pernyataan ibu yang bisa mempunyai persepsi dan pengetahuan yang berbeda. Misalnya persentase
komplikasi dalam survei tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi rata-rata yang diberikan oleh WHO sebesar
5-15 persen.
Dari hasil SDKI 2012, tindakan sebagian besar ibu yang mengalami komplikasi sudah cukup baik, yaitu
mengunjungi bidan 44 persen, mengunjungi dokter 29 persen dan ke fasilitas kesehatan lain 21 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa merujuk ke tenaga dan/atau fasilitas kesehatan sangat membantu dalam
menurunkan resiko kematian. Studi Kematian Maternal oleh Balitbangkes 2013 menunjukkan bahwa 29,4
persen kematian ibu terjadi di rumah. Tetapi pada saat yang sama kematian ibu yang tinggi juga terjadi di
fasilitas kesehatan, terutama di rumah sakit pemerintah (41,9 persen) dan RS swasta (16.1 persen). Hal
ini menunjukkan bahwa kematian ibu juga terjadi setelah ibu melakukan rujukan ke Rumah sakit yang
kemungkinan besar terkait dengan kualitas pelayanan di rumah sakit. Oleh karenanya kesiapan tenaga dan
fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas setiap saat menjadi kunci. Hasil Rifaskes
tahun 2011 menunjukkan bahwa masih banyak tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang tidak siap
memberikan pelayanan yang berkualitas, baik oleh karena tidak lengkapnya alat dan obat, maupun karena
masih banyak yang belum mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka, misalnya
pelatihan APN untuk bidan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

96

Gambar 5.5.
Tindakan yang
Dilakukan Saat
Terjadi Komplikasi,
SDKI 2012
Sumber: BPS, SDKI 2012

Kunjungan post-natal (PNC)


Kunjungan post-natal, khususnya para periode 24 jam pertama sudah cukup tinggi. Lebih dari dua-pertiga
(69,1 persen) ibu melahirkan melakukan kunjungan dalam 23 jam pertama setelah lahir, dan 10,9 persen
melakukan kunjungan antara 1-2 hari pasca lahir. Sebagian besar PNC dilakukan oleh Nakes (78 persen),
yang terdiri dari bidan/perawat (60 persen), spesialis kebidanan (16.6 persen dan dokter (1.4 persen).
Walaupun PNC cukup tinggi, tetapi bila pelayanan yang diberikan tidak adekuat maka kematian yang
tidak perlu terjadi dapat terjadi. Oleh karena itu keterampilan dan kelengkapan alat dan obat tenaga dan
fasilitas kesehatan sangat penting.

Kualitas Pelayanan
Untuk memberikan pelayanan yang optimal, kualitas pelayanan perlu ditingkatnya, setidaknya mempunyai
sumber daya manusia yang cukup, dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Kelengkapan alat dan obat merupakan faktor esensial yang harus dilengkapi. Hasil Rifaskes tahun 2011
menunjukkan bahwa ketersediaan alat dan obat di Puskesmas dan Puskesmas PONED masih belum baik
dan perlu mendapatkan perhatian yang besar.
Tabel 5.1. Kelengkapan Peralatan dan Obat di Puskesmas Perawatan
dan Puskesmas PONED (Rifaskes 2011)
Indikator Kelengkapan

Status

Kabupaten mempunyai minimal 4 PONED

39.5 %

Kota memiliki 4 Puskesmas PONED

13.0 %

Puskesmas perawatan mampu PONED

47.4 %

Puskesmas PONED tersedia MgSO4

42.6 %

Puskesmas PONED tersedia alatResusitasi bayi

46.3 %

Puskesmas mempunyai Gentamisin Injeksi 80 mg

25.2 %

Puskesmas mempunyaiAmpisilin Injeksi 1000 mg

25.2 %

Puskesmas mempunyai alat pemeriksaan Haemoglobine (Hb Sahli


atau yang lebih modern)

67.7%

P uskesmas mempunyai air bersih dan listrik 24 jam

65.5 %

Puskesmas perawatan mempunyai alat transport rujukan

76.5%

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

97
Kebijakan pemerintah saat ini adalah setiap kabupaten dan kota sedikitnya mempunyai 4 Puskesmas
PONED. Rifaskes menunjukkan kabupaten yang memiliki minimal 4 Puskesmas PONED, sesuai dengan
standar yang ditetapkan oleh Kemenkes, masih sekitar 40 persen diperdesaan sedangkan di kota jauh
lebih sedikit (13 persen). Namun demikian walaupun persen Puskesmas perawatan yang mampu PONED
cukup tinggi yaitu 47 persen. Kelengkapan alat dan obat di fasilitas kesehatan dasar juga masih belum
baik. Pada Puskesmas PONED, beberapa indikator penting yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan
Magnesium Sulfate (MgSO4) untuk pre-eklampsia/eklampsia yang merupakan salah satu penyebab
utama kematian ibu dan ketersediaan alat resusitasi bayi untuk penanganan asfixia yang merupakan
salah satu penyebab kematian utama pada neonatal. Data menunjukkan bahwa kurang dari separuh
Puskesmas PONED yang mempunyai MgSO4 dan alat resusitasi bayi. Ketersediaan obat injeksi antibiotik
(gentamisin dan ampisilin) hanya terdapat pada seperempat dari Puskesmas. Puskesmas yang mempunyai
alat pengukur hemoglobin hanya 68 persen, padahal ibu yang menderita anemia di Indonesia cukup besar
dan perdarahan merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu.
Dalam hal pelayanan rujukan, RSU Pemerintah yang memenuhi 9 kriteria PONEK1 hanya 21 persen.
Rumah Sakit Umum (RSU) Pemerintah yang mempunyai spesialis kebidanan dan kandungan sudah cukup
tinggi, yaitu 83 persen. Tetapi hanya separuh rumah sakit yang mempunyai dokter dan bidan yang telah
dilatih PONEK, dan kurang dari separuh RSU Pemerintah mempunyai Tim PONEK Esensial.Dalam kesiapan
pelayanan darurat, RSU yang mempunyai Tim operasi siap cukup tinggi yaitu 72 persen, tetapi RSU yang
mempunyai kesiapan kamar bersalin mampu operasi dalam waktu < 30 menit hanya 59 persen, yang siap
dengan darah 24 jam hanya 54 persen dan yang siap dengan pelayanan laboratorium hanya 64 persen.
Tabel 5.2. Kelengkapan Tenaga dan Kesiapan Pelayanan PONEK di RSU Pemerintah
(Rifaskes 2011)
Indikator Kelengkapan

Status

1.

RSU Pemerintah Memiliki Spesialis Kebidanan dan Kandungan

83 %

RSU pemerintah memenuhi 9 KriteriaPONEK

21 %

RSU Pemerintah mempunyai Dokter terlatih PONEK

52.7 %

RSU Pemerintah mempunyai Bidan terlatih PONEK

50.4 %

RSU Pemerintah dg Keberadaan Tim PONEK Esensial

43.2 %

RSU Pemerintah mempunyai Tim Operasi Siap meskipun on call

72.3 %

RSU Pemerinthah dg Kesiapan Kamar Bersalin Mampu Operasi


dalam Waktu < 30 menit

59.1 %

RSU Pemerintah dengan Kesiapan Darah 24 jam

54.2 %

RSU Pemerintah dg Kesiapan Pelayanan Laboratorium 24 jam

63.9 %

Kualitas pelayanan antara lain dapat dinilai dari kompetensi petugas di fasilitas kesehatan. Tabel 5.2
menggambarkan kompetensi bidan dalam Asuhan Persalinan Normal, baik di Rumah sakit maupun
di Puskesmas. Dari tabel dapat dilihat bahwa secara umum pencatatan dan pendokumentasian
belum dianggap sebagai hal yang perlu dilakukan untuk semua kasus. Proporsi bidan yang melakukan
pendokumentasian hasil pemeriksaan sangat kecil, terutama di rumah sakit. Demikian pula dengan
praktek melengkapi riwayat medis dan pemeriksaan fisik masih cukup rendah. Seharusnya pemahaman
1

Kriteria RSU PONEK adalah: 1) Tersedia kamar operasi yang siap (siaga 24 jam) untuk melakukan operasi, bila ada kasus emergensi
obstetrik atau umum; 2) Tersedia kamar bersalin yang mampu menyiapkan operasi dalam waktu kurang dari 30 menit; 3) Memiliki tim yang
siap melakukan operasi atau melaksanakan tugas sewaktu-waktu, meskipun on call; 4) Adanya dukungan semua pihak dalam tim pelayanan
PONEK, antara lain dokter kebidanan, dokter anak, dokter/petugas anestesi, dokter sesialis lain, dokter umum, bidan dan perawat;5)
Tersedia pelayanan darah yang siap 24 jam; 6)Tersedia pelayanan laboratorium 24 jam; 7)Tersedia pelayanan Radiologi 24 jam; 8)Tersedia
recovery room 24 jam; dan 9) Obat dan alat penunjang yang selalu siap sedia.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

98
mengenai pentingnya informasi klinis untuk keperluan monitoring dan evaluasi serta untuk memperbaiki
pelayanan, dipahami dengan baik oleh setiap petugas kesehatan. Bidan seharusnya menggunakan
partograf untuk semua kasus persalinan agar dapat melihat perkembangan persalinan dan mendeteksi
secara dini bila ada masalah. Pada kenyataannya, praktek tersebut belum dilaksanakan di banyak fasilitas
kesehatan. Demikian pula dengan penyiapan pertolongan persalinan, seharusnya dilakukan untuk setiap
persalinan, tetapi belum optimal.

Tabel 5.3. Data kualitas APN (Asuhan Persalinan Normal)


ASUHAN PERSALINAN NORMAL

Persentasi bidan yang melakukan APN


Rumah Sakit
Puskesmas

Melengkapi riwayat medis

68,6

61,4

Melengkapi pemeriksaan fisik umum dan obstetrik

52,1

57,3

Menggunakan partograf

41,0

68,3

Melakukan perawatan kala satu persalinan

73,8

83,8

Melihat tanda dan gejala kala dua

80,0

85,0

Menyiapkan pertolongan persalinan

60,6

65,8

Memastikan pembukaan lengkap

72,5

77,5

Memastikan kondisi janin baik

77,5

75,0

Mendokumentasikan hasil pemeriksaan

20,0

42,5

Data SDKI 2012 mengindikasikan bahwa tindakan seksio tidak sepenuhnya didasarkan pada indikasi
yang benar. Diantara ibu yang mendapatkan tindakan seksio, 76.5 persen menyatakan tidak mempunyai
komplikasi selama kehamilan, sementara 44.6 persen yang dioperasi seksio menyatakan tidak mempunyai
komplikasi selama persalinan.

Disparitas Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu


Persalinan oleh tenaga kesehatan
Persentase persalinan oleh tenaga kesehatan secara nasional sudah cukup tinggi, yaitu 83.1 persen.
Tetapi disparitas antarprovinsi sangat lebar, yaitu antara 40 persen di Papua dan 99 persen di Bali. Hal ini
kemungkinan besar terkait dengan perbedaan akses kepada bidan. Pada daerah-daerah dengan densitas
penduduk rendah dan hambatan geografis yang tinggi seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat dan
Maluku persalinan oleh nakes relatif rendah, sementara pada daerah dengan densitas tinggi dan akses
transportasi mudah seperti di Pulau Jawa dan Bali, persalinan terhadap nakes cukup tinggi.

Gambar 5.6.
Persalinan oleh
Tenaga Kesehatan
Berdasarkan
Provinsi, SDKI 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

99
Disparitas persalinan oleh nakes yang signifikan terjadi menurut tempat tinggal, tingkat pendidikan ibu
dan tingkat kemiskinan, tetapi tidak berbeda menurut umur ibu. Persalinan oleh tenaga kesehatan di
perdesaan hampir 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Tingkat pendidikan ibu
sangat berkorelasi dengan persalinan oleh nakes. Pada ibu dengan pendidikan tertinggi, persalinan oleh
nakes mencapai 97 persen, sedangkan pada ibu yang tidak bersekolah hanya mencapai 32 persen.Rentang
perbedaan berdasarkan kuintil kekayaan lebih kecil dibandingkan dengan pendidikan ibu, yaitu 58 persen
pada kelompok termiskin dan 97 persen pada kelompok terkaya. Perbedaan tajam ditemukan antara
kuintil 1 (kelompok termiskin) dan kuintil 2.

Gambar 5.7.
Persalinan oleh
Tenaga Kesehatan
Berdasarkan
berbagai Variabel,
SDKI 2012

Persalinan di Fasilitas Kesehatan


Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan di perkotaan dua kali lebih besar dibandingkan dengan di
perdesaan, lebih banyak pada mereka yang mempunyai pendidikan tinggi dan pada kelompok kuintil kaya.
Dibandingkan dengan tahun 2007, secara umum persalinan di fasilitas kesehatan mengalami kenaikan
pada semua kelompok sosial ekonomi dan demografi, dengan kenaikan pada ibu yang tinggal di perdesaan
dan kelompok miskin lebih tinggi. Seperti yang diharapkan, ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan
hampir semua ditolong tenaga kesehatan, sebaliknya mereka yang melahirkan di selain fasilitas kesehatan
hanya 55 persen yang ditolong tenaga kesehatan.

Gambar 5.8.
Disparitas
Persalinan di
Fasilitas Kesehatan
Berdasarkan
Berbagai
Karakteristik

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

100
Akses terhadap persalinan dengan Seksio
Data SDKI menunjukkan tren persalinan dengan seksio, terutama terjadi pada kelompok penduduk
terkaya, terutama kuintil 4 dan 5. Persen seksio pada kelompok kuintil 1 dan 2 adalah kurang dari 1 persen
dan nyaris tidak ada perubahan selama lebih dari 20 tahun, sementara pada kuintil 3, terjadi kenaikan
walaupun tetap masih di bawah 2 persen. Sedangkan kenaikan persentase seksio pada kelompok kuintil
5 cenderung mengalami peningkatan hingga hampir mencapai 10 persen pada tahun 2002. Rendahnya
proporsi yang mendapatkan tindakan seksio pada tiga kelompok kuintil terbawah mengindikasikan
rendahnya akses kelompok miskin pada seksio karena memerlukan biaya tinggi, sementara diperkirakan
sedikitnya 5 persen persalinan memerlukan tindakan seksio. Dengan demikian, sebagian besar mereka
yang membutuhkan seksio tidak mendapatkannya dan kemungkinan meninggal.

Gambar 5.9.
Tren Kelahiran
dengan Seksio
di Indonesia
berdasarkan kuintil
kekayaan, Tahun
1987-2002 (SDKI)

Untuk menghilangkan hambatan biaya dalam mengakses pelayanan kesehatan terutama rumah sakit,
pemerintah telah menjalankan Program Jampersal sejak tahun 2011. Melalui Jampersal, seluruh biaya
persalinan di fasilitas kesehatan ditanggung oleh pemerintah. Program ini diperkirakan meningkatkan
akses persalinan, termasuk tindakan seksio. Data SDKI menunjukkan terjadi kenaikan pelayanan seksio
dari 6,8 persen (2007) menjadi 12,3 persen (2012). Peningkatan tersebut terutama terjadi pada kelompok
kuintil 1 sampai 4, yaitu sekitar dua kalinya, sementara pada kuintil 5 terjadi kenaikan sebesar 40 persen.
Walaupun meningkat, persentase seksio pada kelompok kuintil 1 masih sangat rendah, yaitu 3.7 persen.

Gambar 5.10.
Tren Kelahiran
dengan Seksio
di Indonesia,
berdasarkan Kuintil
Kekayaan tahun
2007 dan 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

101
Target MDG 5 B: Mewujudkan Akses Kesehatan Reproduksi bagi Semua pada tahun 2015
Target mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua atau universal access of reproductive
health mengindikasikan bahwa pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi seharusnya tersedia, dapat
dijangkau, dan memenuhi beragam kebutuhan semua orang. Arti universal mensyaratkan pelayanan yang:
(1) dengan mudah dan aman terjangkau oleh semua orang, (2) tersedia bagi masyarakat miskin dengan
biaya yang murah; dan (3) peka terhadap nilai sosial, kultural, agama dan nilai-nilai lokal lainnya. Untuk
Indonesia, akses universal terhadap kesehatan reproduksi sangat penting mengingat lebih dari 60 juta
penduduk merupakan perempuan usia produktif.

Total Fertility rate (TFR) dan Contraceptive Prevalence Rate (CPR)


Dalam 10 tahun terakhir TFR Indonesia tidak mengalami penurunan. Beberapa hal bisa menjelaskan
stagnasi ini, antara lain proporsi wanita usia subur yang pernah kawin, tren CPR, penggunaan metoda
campuran (mixed methods) dan umur saat perkawinan pertama. Perkawinan usia remaja dan proporsi
childbearing pada usia remaja juga akan berpengaruh terhadap TFR. Tidak turunnya TFR di Indonesia
mungkin disebabkan karena sejak desentralisasi sistem pemerintahan yang dimulai tahun 2000, terjadi
perubahan organisasi BKKBN, yang implikasinya berbeda di setiap provinsi, tetapi pada umumnya terjadi
pelemahan kantor BKKBN di daerah, termasuk pendanaannya. Hal ini diikuti antara lain dengan menurunnya
jumlah Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) secara signifikan sehingga menyebabkan program
promosi KB di masyarakat sangat turun.

Gambar 5.11.
Tren Total Fertility
rate (TFR) di
Indonesia, tahun
1994-2012 (SDKI)

Prevalensi pemakaian kontrasepsi (CPR-contraceptive prevalence rate) merupakan indikator penting dalam
mengukur akses pelayanan KB. Target nasional CPR untuk tahun 2014 adalah 65,5 persen (RPJMN 20102014), sementara target MDGs adalah meningkatnya CPR, tanpa target angka. Data SDKI menunjukkan
sedikit peningkatan CPR dengan menggunakan cara modern yaitu dari 57,4 persen (2007) menjadi
57,9 persen (2012). Namun demikian perlu diperhatikan adanya perubahan sample dari ever married
dan currently married pada SDKI sebelumnya menjadi semua perempuan dan perempuan yang sedang
menikah (all women and currently married) pada SDKI 2012. Dengan demikian denominatornya lebih
besar, sehingga CPR menjadi lebih kecil. Sebaliknya bila menggunakan denominator yang sama dengan
tahun-tahun sebelumnya diperkirakan CPR akan lebih besar.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

102

Gambar 5.12.
Tren Angka
Prevalensi
Penggunaan KB
(CPR) modern pada
wanita kawin usia
15-49 tahun di
Indonesia,tahun
1994-2012 (SDKI)

Metode KB yang digunakan


CPR tidak sepenuhnya menunjukkan proteksi terhadap terjadinya kehamilan karena mengukur metode KB
yang berbeda dan tidak memperhitungkan diskontinuitas penggunaan KB. Data SDKI 2007 menunjukkan
rendahnya penggunaan metode KB berjangka waktu panjang (implan dan operasi) dibandingkan
dengan metode berjangka pendek. Perbandingan penggunaan metoda KB antara tahun 2007 dan 2012
menunjukkan bahwa penggunaan injeksi hampir sama, penggunaan implan meningkat dari 2.8 persen
menjadi 3.3 persen dan penggunaan IUD menurun dari 4.9 persen menjadi 3.9 persen.

Gambar 5.13.
Metode Kontrasepsi
yang dipergunakan
wanita menikah usia
15-49 tahun, SDKI
2007 dan 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

103
Perubahan peran sektor pemerintah dan sektor swasta
Rendahnya penggunaan metoda KB berjangka panjang perlu dikaji bersama-sama mengingat telah terjadi
perubahan peran sektor swasta dalam pemberian pelayanan KB. Data SDKI antara tahun 1991 dan 2012
menunjukkan semakin turunnya peran pemerintah dan semakin naiknya peran swasta, yang merupakan
keberhasilan program KB. Tetapi di pihak lain, penggunaan metoda KB ternyata lebih banyak pada metoda
yang berjangka pendek.

Gambar 5.14.
Perubahan peran
pemerintah dan
sektor swasta dalam
pelayanan KB

SDKI 2012 menunjukkan bahwa diantara penggunaan metoda KB yang digunakan, metode jangka pendek
injeksi 83,1 persen dan pill 68 persen diperoleh dari swasta dan hanya 16, persen untuk injeksi dan 18,7
persen pil yang diperoleh dari fasilitas pemerintah. Secara umum penggunaan injeksi, IUD, pil dan kondom
pria sebagian besar diperoleh dari fasilitas swatsa, sedangkan metode tubektomi dan implan diperoleh
lebih banyak yang diperoleh dari fasilitas pemerintah. Dengan demikian metoda KB jangka panjang
terutama implan dan operasi pada wanita sebagian besar diberikan oleh fasilitas pemerintah.

Gambar 5.15.
Metoda KB yang
digunakan menurut
sumber

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

104
Partisipasi laki-laki dalam program KB
Rendahnya partisipasi dalam penggunaan metode KB tergambar dari rendahnya operasi dan penggunaan
kondom. Operasi laki-laki hanya 0,2 persen, dan tidak mengalami perubahan antara tahun 2007 dan
2012. Penggunaan metode kondom meningkat dari 1,3 persen menjadi 1,8 persen, tetapi masih rendah.
Semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat mengikuti program Keluarga Berencana (KB) sangat
dirasakan dalam satu dasawarsa terakhir dan memberikan dampak yang signifikan terhadap tingginya laju
pertumbuhan jumlah penduduk. Karena itu revitalisasi program KB mutlak diperlukan. Bukan saja demi
menekan laju pertumbuhan penduduk, namun lebih jauh lagi diharapkan mampu meningkatkan kualitas
hidup masyarakat yang mengarah pada terwujudnya masyarakat sejahtera.
Kinerja BKKBN memberikan pelayanan kepada masyarakat harus lebih baik. Perlu berkonsultasi dan
melibatkan para pemuka agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, serta pemimpin informal lainnya. Sekaligus
juga harus dipikirkan metode dan cara-cara KB yang tepat, yang dapat melindungi hak azasi manusia
termasuk hak reproduksi, sekaligus hak-hak kaum perempuan.

Angka Fertilitas dan Child bearing pada Remaja perempuan usia 15 -19 tahun
Angka Fertilitas Remaja mengindikasikan kesempatan yang tersedia bagi setiap anak perempuan dan
kerentanan yang mereka hadapi selama dan setelah melewati masa remaja. Angka Fertilitas remaja per
1000 perempuan usia 15-19 tahun menurun dari 51 pada tahun 2002/2003 dan 2007, menjadi 48 pada
tahun 2012. Namun demikian angka tersebut masih relatif jauh dari target MDGs yang dicanangkan, yaitu
sebesar 30 kelahiran per 1000 wanita pada tahun 2015.

Gambar 5.16. Angka


Fertilitas Spesifik
Remaja usia 15-19
tahun,SDKI 1994
2012

Indikator penting lainnya adalah childbearing (pernah melahirkan anak hidup atau sedang hamil anak
pertama) pada usia remaja. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa 9,5 persen remaja telah memulai
childbearing-nya pada saat survei. Persentase remaja yang sudah pernah melahirkan anak hidup tiga
kali lebih besar (7 persen) dibandingkan dengan yang sedang hamil anak pertamanya (2.5 persen) saat
survei. Angka ini turun dari 11,2 persen pada tahun 1994, menjadi 8,5 persen pada tahun tahun 2007,
tetapi meningkat lagi pada tahun 2012. Hal ini sangat penting mendapatkan perhatian karena jumlah
penduduk remaja perempuan di Indonesia cukup besar yaitu sekitar 10 juta pada tahun 2010 (BPS, Sensus
Penduduk).

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

105
Meningkatnya angka childbearing pada remaja dapat disebabkan karena kurangnya akses terhadap
pelayanan dan informasi tentang kesehatan reproduksi yang mencukupi. Hal ini mungkin terkait dengan
melemahnya fungsi BKKBN dalam program KB di daerah sehingga promosi dan pelayanan program KB
pada remaja mengalami penurunan. Selain itu UU No. 1 tahun 1974 mengenai usia perkawinan, yang
memperbolehkan perempuan untuk menikah pada usia 16 tahun, dapat berpengaruh terhadap perkawinan
usia remaja. Angka childbearing pada remaja dua kali lebih tinggi di daerah perdesaan dibandingkan
dengan di perkotaan, jauh lebih tinggi pada perempuan yang mempunyai pendidikan rendah dan yang
berada dalam kelompok kuintil rendah.

Gambar 5.17.
Persen perempuan
15-19 tahun yang
sudah pernah
melahirkan bayi
hidup atau sedang
hamil anak pertama
saat survei

Gambar 5.17. menyajikan persentase wanita remaja umur 15-19 tahun yang sudah pernah melahirkan
dan atau sedang hamil saat survei dilakukan. Secara umum hasilnya menunjukkan bahwa tren fertilitas
remaja di Indonesia menurun, yaitu pada tahun 1997 sekitar 12,2 persen remaja sudah membina keluarga,
dimana 9,4 persen sudah pernah melahirkan anak dan 2,7 persen sedang mengandung anak pertama.
Pada SDKI tahun 2002/2003, menunjukkan penurunan menjadi 10,4 persen saja remaja yang sudah
pernah melahirkan atau sedang mengandung anak pertama. Pada tahun 2007 terdapat 8,5 persen remaja
sudah pernah melahirkan dan sedang mengandung anak pertama yaitu sebesar 6,6 persen remaja sudah
pernah melahirkan dan 1,9 persen remaja sedang mengandung anak pertama (SDKI, 2007). Sementara
itu hasil SDKI tahun 2012 menunjukkan adanya peningkatan fertilitas remaja dimana persentase remaja
wanita umur 15-19 tahun yang sudah melahirkan dan hamil anak pertama yaitu mencapai 10 persen. Hal
tersebut menunjukkan remaja merupakan pelaku seks aktif, namun masih memiliki pemahaman tentang
kesehatan reproduksi yang rendah.
Tabel 5.3. Distribusi persentase fertilitas remaja wanita 15-19 tahun menurut karakteristik demografi
dan sosio-ekonomi, SDKI 2012

Variabel

Fertilitas remaja

Jumlah

p-value

6,3

3.698

0,000

13,1

3.229

Tidak

Ya

Perkotaan

93,7

Perdesaan

86,9

Daerah tempat tinggal

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

106
Pendidikan (years of schooling)
9 tahun

84,7

15,3

3.546

> 9 tahun

96,6

3,4

3.381

Terbawah

83,2

16,8

1.187

Menengah bawah

86,3

13,7

1.372

Menengah

90,3

9,7

1.407

Menengah atas

93,4

6,6

1.415

Teratas

97,4

2,6

1.546

Tidak bekerja

89,9

10,1

4.915

Bekerja

91,9

8,1

2.012

0,000

Indeks kekayaan kuintil


0,000

Status bekerja
0,012

Menurut daerah tempat tinggal remaja wanita menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kejadian
fertilitasnya antara mereka yang tinggal di perkotaan dengan di perdesaan. Remaja wanita yang tinggal di
perdesaan memiliki persentase pernah melahirkan dan atau sedang hamil saat survei dua kali lebih tinggi
(13 persen) dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan (6 persen). Hal ini sejalan dengan
beberapa hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh McDevitt dkk (1996) yang menemukan bahwa
kejadian fertilitas remaja yang tinggal di perkotaan lebih rendah daripada di perdesaan. Hal tersebut
kemungkinan terkait dengan terbatasnya fasilitas, akses dan informasi tentang kesehatan reproduksi
remaja yang tersedia di wilayah perdesaan.
Apabila ditinjau menurut lamanya menjalani pendidikan formal, terlihat bahwa semakin lama seorang
wanita menduduki sekolah formal maka semakin kecil persentase wanita yang mengalami fertilitas pada
usia remaja. Persentase remaja wanita dengan lama pendidikan lebih dari sembilan tahun (memasuki SLTA
dan lebih tinggi) memiliki persentase kejadian fertilitas sebesar 3 persen, sementara persentase kejadian
fertilitas pada wanita dengan lama pendidikan maksimal sembilan tahun (lulus SLTP) tiga kali lebih tinggi
yaitu sebesar 15 persen. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Nahar dan Min (2008) yang menjelaskan bahwa wanita berpendidikan tinggi identik dengan penundaan
usia perkawinan dan menunda memiliki anak.
Berdasarkan status kesejahteraan yang dicerminkan dengan indeks kekayaan kuintil menunjukkan bahwa
terdapat pola dan hubungan yang kuat antara kejadian fertilitas pada remaja dengan tingkat kesejahteraan.
Semakin tinggi status kesejahteraan keluarga dari remaja maka akan memperkecil persentase kejadian
fertilitas remaja. Persentase tertinggi (17 persen) fertilitas remaja terjadi pada mereka yang memiliki
status kesejahteraan terbawah, sebaliknya remaja wanita dengan status kesejahteraan teratas memiliki
persentase kejadian fertilitas terendah yaitu sebesar tiga persen. Hasil ini juga sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Cesare dan Vignoli (2006) yang menjelaskan bahwa ada pengaruh tingkat
sosial ekonomi dengan probabilitas menjadi ibu pada umur muda. Remaja dengan indeks kekayaan tinggi
memiliki resiko menjadi ibu umur remaja lebih rendah dibandingkan dengan remaja dengan indeks
kekayaan rendah. Kondisi sosial ekonomi memiliki pengaruh negatif pada probabilitas menjadi ibu pada
umur remaja.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

107
Kunjungan Ante Natal 1 dan 4 (K1 dan K4)
Indikator MDG 5 B lainnya adalah kunjungan ANC 1 dan ANC 4 (K1 dan K4), yang telah memenuhi target
MDG 5. Kunjungan K1 sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi, naik dari 75 persen pada tahun 1991
menjadi 96,9 persen pada tahun 2012. Untuk K4, telah terjadi kenaikan cukup tajam (dari 56 persen di
tahun 1991 naik menjadi 73,5 persen di tahun 2012) walaupun masih perlu ditingkatkan lagi.
Angka K4 menunjukkan peningkatan antara tahun 2003 dan 2012, terutama antara tahun 2007 dan
2012. Namun demikian masih seperempat dari wanita hamil tidak mendapatkan pelayanan ANC yang
seharusnya (lengkap) sehingga mungkin sebagian komplikasi kehamilan tidak terdeteksi (misalnya preeklampsi dan kelainan letak), sehingga terlambat mendapatkan pertolongan yang mencukupi. Salah satu
penyebab tidak naiknya K4 lebih tinggi adalah karena banyak bidan yang tidak tinggal di desa sehingga
akses masyarakat terhadap pelayanan bidan kurang optimal.
Selain itu, pencapaian K4 saja perannya tidak akan optimal bila komponen pelayanan yang penting dalam
kunjungan antenatal tersebut tidak diberikan. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa pada saat antenatal,
hanya 53 persen ibu yang memperoleh informasi mengenai tanda-tanda kompliksi kehamilan, hanya
47,7 persen yg diperiksa urinnya, dan 41 persen yang diperiksa darahnya (untuk menentukan apakah
ibu mengalami anemia). Hal ini seharusnya sangat penting dilakukan karena perdarahan dan eklampsia
merupakan penyebab utama kematian ibu. Perdarahan kebidanan sangat terkait dengan status anemia
ibu hamil, sementara prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia tinggi.

Gambar 5.18.
Kunjungan K1 dan
K4 antara tahun
1994-2012 (SDKI)

Unmet need KB
Unmet need mengindikasikan bahwa permintaan terhadap kontrasepsi tidak terpenuhi, baik karena tidak
optimalnya pelayanan maupun karena biaya. Dengan menggunakan definisi unmet need yang baru, telah
terjadi penurunan persen unmet need, dari 17,0 persen pada tahun 1991 menjadi 13,1 persen dan 11,4
persen pada tahun 2007 dan 2012 sehingga telah memenuhi target MDG 5B. Namun demikian, angka
unmet need ini tinggi. Untuk mencapai universal coverage seharusnya angka unmet need nol.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

108
Masih tingginya unmet need KB, mengindikasikan bahwa masih cukup banyak perempuan yang
kebutuhannya terhadap KB tidak terpenuhi, baik karena alasan mengatur jarak kehamilan (spacing)
ataupun pembatasan kehamilan. Dari gambaran ini, 4,5 persen unmet need disebabkan karena alasan
penjarangan kehamilan, sedangkan 6,9 persen untuk pembatasan kehamilan. Sesuai dengan yg
diperkirakan, alasan spacing lebih besar pada kelompok usia muda, sedangkan alasan pembatasan lebih
besar pada mereka yang berusia lebih tua. Bagi wanita berstatus kawin yang berusia dibawah 25 tahun
yang mengalami unmet need KB, hampir seluruhnya ditujukan untuk menunda kelahiran. Sedangkan
untuk wanita kawin yang diatas usia 25 tahun, unmet need KB untuk membatasi kelahiran menunjukkan
peningkatan. Demikian pula, alasan pembatasan lebih banyak pada mereka yang telah mempunyai anak
3 atau lebih, sedangkan alasan spacing lebih banyak pada mereka yang mempunyai anak 2 atau kurang.
Tidak terdapat perbedaan nyata antara perkotaan dan perdesaan.

Gambar 5.19.
Tren Unmet need
(persen) di Indonesia
tahun 1991 2012
(SDKI)

Disparitas terhadap Akses Pelayanan Reproduksi


Disparitas TFR
Disparitas antar provinsi terlihat pada angka TFR, terendah di DIY dan tertinggi di provinsi Papua Barat.
Angka TFR lebih tinggi pada masyarakat perdesaan dibanding perkotaan. Diharapkan bahwa CPR yang
tinggi akan diikuti dengan TFR yang rendah. Tidak sejalannya antara CPR dan TFR mungkin disebabkan
karena perbedaan kecenderungan pengguna kontrasepsi tahun-tahun terakhir.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

109

Gambar 5.20.
Total Fertility Rate
(TFR) berdasarkan
provinsi tahun 2012
(SDKI)

Selanjutnya TFR secara umum lebih tinggi pada masyarakat yang berpendidikan lebih rendah (3 kelompok
masyarakat dengan pendidikan terendah) dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih tinggi.
Perbedaan TFR terlihat nyata antar kuintil kekayaan. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa telah
terjadi pola penggunaan kontrasepsi , dalam hal ini CPR rendah, pada kelompok yang berpendidikan dan
kuintil cukup tinggi.

Gambar 5.21.
Total Fertility Rate
berdasarkan Lokasi
tempat tinggal,
Pendidikan, dan
Kuintil Kekayaan,
tahun 2012 (SDKI)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

110
Disparitas CPR
Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa disparitas CPR antarprovinsi. CPR terendah adalah di provinsi Papua
(19,1 persen) dan tertinggi di provinsi Kalimantan Selatan (66,4 persen). Lebih lanjut, CPR di perdesaan
lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Kenyataan bahwa CPR di perkotaan lebih rendah dibandingkan
di perdesaan perlu dikaji lebih lanjut, terutama jika dikaitkan dengan TFR yang lebih tinggi di perkotaan
di bandingkan diperdesaan tertama pada kelompok usia yang lebih muda. Demikian juga untuk tingkat
pendidikan, pola disparitas cukup menarik karena angka CPR terendah pada kelompok masyarakat yang
mempunyai pendidikan tertinggi dan terendah. Demikian pula dengan kuintil kekayaan, CPR terendah
pada kuintil 5 dan kuintil 1.

Gambar 5.22.
Persen perempuan
usia 15-49 tahun
yang menggunakan
kontrasepsi modern
berdasarkan provinsi
(SDKI 2012)

Gambar 5.23.
Distribusi wanita
usia 15-49 tahun
yang menggunakan
metode KB modern
berdasarkan lokasi
tempat tinggal,
pendidikan dan
kuintil kekayaan
(SDKI 2012)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

111
Disparitas Metoda KB
Analisa terhadap metode kontrasepsi yang digunakanberdasarkan jumlah anak yang sudah dimiliki pada
tahun 2007 dan 2012 dilakukan untuk mengetahui apakah kelompok yang sudah mempunyai anak lebih
dari 2 orang lebih cenderung menggunakan metode KB jangka panjang (operasi dan implan) atau tidak.
Penggunaan Implan meningkat pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 2007. Kenaikan terutama
terjadi pada perempuan yang mempunyai anak 3 atau lebih. Metode operasi pada perempuan yang
mempunyai anak 3-4 meningkat. Namun pada perempuan yang mempunyai anak 5 atau lebih tidak
terjadi peningkatan.

Gambar 5.24.
Metode Kontrasepsi
yang digunakan
wanita menikah
usia 15-49 tahun
berdasarkan jumlah
anak yang masih
hidup dan variabel
lainnya (SDKI 2007
dan 2012)

Sementara itu metode operasi pada laki-laki sangat rendah dan bahkan turun dari 0.5 persen ke 0,1 persen
dari tahun 2007 ke 2012 pada mereka yang telah mempunyai anak 5 atau lebih. Sebaliknya penggunaan
metode kondom meningkat lebih dari 2 kalinya, yaitu dari 2.3 persen menjadi 5.1 persen pada tahun
2012, walaupun tetap masih rendah.

Disparitas childbearing pada Remaja


Bila dilihat berdasarkan umur, remaja yang telah memulai childbearing-nya meningkat dengan
meningkatnya umur, yaitu 1,2 peren pada remaja usia 15 tahun, meningkat menjadi 4,1 persen, 7,3
persen, 13,11 persen dan 24,1 persen secara berturut-turut pada remaja usia 16, 17, 18 dan 19 tahun.
Angka childbearing pada remaja dua kali lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan,
namun kenaikan antara tahun 2007 dan 2012 justru terjadi pada mereka yang tinggal di perkotaan. Angka
childbearing pada remaja pada kelompok dengan pendidikan lebih rendah (3 kelompok terendah) jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendidikan tinggi; dan terjadi kenaikan yang tajam pada
semua kelompok kecuali pada kelompok dengan pendidikan tertinggi.
Berdasarkan kuintil kekayaan, childbearing tahun 2007 lebih tinggi pada kuintil atas, terutama kuintil 4.
Tetapi kenaikan tajam pada tahun 2012 terjadi pada kelompok kuintil 1 dan 2, sebaliknya turun secara
tajam pada kuintil 3 dan terutama pada kuintil 4 dan 5.Tampaknya childbearing pada remaja yang
cenderung meningkat di perkotaan, berpendidikan rendah dan pada kelompok miskin terkait dengan
program penyuluhan KB pada remaja yang kurang efektif.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

112

Gambar 5.25.
Persen wanita usia
15-19 tahun yang
telah melahirkan
atau sedang hamil
anak pertama
(childbearing)
berdasarkan
berbagai variable,
SDKI 2007 dan 2012

Disparitas pemanfaatan layanan ANC


Secara umum, disparitas ANC antarpropinsi tidak terlalu besar. Kunjungan ANC (minimal sekali kunjungan)
telah melebihi 85 persen di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali di Papua yang baru mencapai 57,8
persen pada tahun 2012. Demikian pula dengan disparitas ANC antar tingkat pendidikan ibu, kecuali
pada ibu yang tidak pernah sekolah, ANC hanya 64 persen. Sedangkan berdasarkan variabel lainnya, yaitu
antara perkotaan dan perdesaan dan antara kuintil kekayaan, tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam
capaian ANC.

Gambar 5.26.
Persen ibu hamil
yang menerima
ANC dari tenaga
kesehatan terampil
berdasarkan
provinsi, SDKI 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

113

Gambar 5.27.
Persen ibu hamil
yang menerima
ANC dari tenaga
kesehatan terampil
berdasarkan lokasi
tempat tinggal,
pendidikan dan
kuintil kekayaan,
SDKI 2012

Disparitas Unmet need KB


Disparitas proporsi unmet need antarprovinsi cukup besar, yaitu antara 7,6 persen di Kalimantan Tengah
dan 23,8 persen di provinsi Papua. Dengan demikian, unmet need di propinsi tertinggi mencapai 3 kali
lipat di banding unmet di propinsi yang terendah. Dengan rata-rata unmet need 11,4 persen pada tahun
2012, kira-kira dua pertiga provinsi di Indonesia mempunya unmet need lebih besar dari 10 persen.

Gambar 5.28.
Unmet need metode
KB berdasarkan
provinsi, SDKI 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

114
Dilihat dari kondisi geografi dan sosial ekonomi keluarga dan karakateristik ibu, unmet need semakin
meningkat dengan jumlah anak yang hidup. Bahkan pada ibu yang mempunyai dua anak atau lebih, unmet
need mencapai hampir 40 persen dan kondisi ini tidak mengalami perubahan secara signifikan dari tahun
2007. Kebutuhan kontrasepsi dapat dibagi dua kelompok, yaitu untuk menjaga jarak kelahiran (pen-jarakan atau spacing) dan untuk membatasi jumlah kelahiran (limiting) berdasarkan umur, alasan pen-jarak-an
kehamilan lebih tinggi pada yang berusia muda, sedangkan pada kelompok yang bersuia lebih tua alasan
pembatasan kehamilan lebih mendominasi. Alasan pembatasan kehamilan juga lebih besar pada mereka
yang telah mempunyai anak 3 orang atau lebih.Alasan pembatasan kehamilan lebih dominan pada mereka
yang tinggal di perkotaan dan pada mereka yang mempunyai pendidikan rendah, dan sebaliknya pada
kelompok dengan kuintil kekayaan yang tinggi.

Gambar 5.29.
Unmet need
terhadap KB
berdasarkan alasan
pada berbagai
karakteristik

Di antara ibu yang telah mempunyai 2 anak, masih cukup banyak yang tidak menginginkan jumlah anak
lagi (limiting). Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan kontrasepsi pada kelompok ini perlu mendapat
perhatian yang serius. Demikian pula pada kelompok miskin dan ibu yang tidak pernah bersekolah,
keinginan untuk tidak mempunyai anak lagi cukup tinggi, tetapi pada saat yang sama unmet need pada
kelompok ini juga cukup tinggi, sehingga perlu perhatian yang lebih serius.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

115

Gambar 5.30.
Persen wanita
menikah yang tidak
menginginkan anak
lagi berdasarkan
berbagai variabel
(SDKI 2007 dan
2012)

5.1. Kotak Best practices


Mewujudkan Angka Kematian Ibu Nol (AKINO)
di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat
Pemda provinsi NTB sejak tahun 2010 mencanangkan Program AKINO, yaitu menekan AKI menjadi
Nol. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk penggratisan biaya pelayanan di fasilitas kesehatan dan
penempatan satu orang Bidan di setiap desa.
Sejak pencanangannya, Kabupaten Lombok Utara telah berhasil menurunkan kematian ibu menjadi
nol secara berturut-turut tahun 2012 dan 2013, dan menjadi kabupaten pertama yang mencapai AKI
nol. Upaya yang telah dilakukan di KLU meliputi penguatan kebijakan sistem, kebijakan pelayanan
kesehatan masyarakat, kebijakan program kesehatan di KLU dan kebijakan pemberdayaan masyarakat.
Kebijakan pemberdayaan masyarakat meliputi pelayanan kesehatan gratis di sarana kesehatan dan
rujukan melalui pemanfaatan program Jamkesmas, Jampersal dan Bansos; peningkatan pelayanan
Puskesmas oleh dokter dengan menempatkan minimal 1 dokter di setiap Puskesmas dibantu
setidaknya Perawat dan Kebidanan lulusan D3; dan setiap desa mempunyai 2 orang Bidan dan satu
Pustu. Kebijakan ini didukung oleh kebijakan lainnya, antara lain pendataan ketat Bumil secara dini
oleh kader; memberlakukan sistem pelaporan cepat Posyandu (SMS center) dan sistem pelaporan
cepat pasca salin; dan dikembangkannya model pembiayaan operasional INOVASI Puskesmas bersama
Kepala Desa. Penjaminan kualitas pelayanan, peningkatan kompetensi manajemen Puskesmas, dan
memperbaiki fungsi rujukan oleh masyarakat sampai ke RS juga merupakan komponen kegiatan yang
diprioritaskan.

Kebijakan yang cukup komprehensif tersebut telah memungkinkan dilakukannya


pelayanan yang berkesinambungan (continuum of care)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

116
1.1. Tantangan (Unfinished Business MDG 5 and Emerging Issues)
1. Secara umum akses terhadap pelayanan ANC dan persalinan oleh tenaga kesehatan
cukup tinggi, tetapi peningkatan cakupan ini belum mampu mendorong penurunan angka
kematian ibu. Tantangan yang dihadapi adalah menjamin keberlangungan pelayanan
secara konsisten dan berkualitas terutama meliputi:
a. Pemahaman konsep yang kurang mengenai continuum of care untuk penyelamatan
ibu terutama menjaminketersediaan pelayanan 24/7 di tingkat pelayanan dasar
(PONED, Puskesmas, Polindes) dan pelayanan rujukan (PONEK) 24/7 yang didukung
dengan sistem rujukan yang efektif.
b. Kualitas pelayanan PONED dan PONEK yang berfungsi 24/7 masih rendah, yang
disebabkan karena keterbatasan jumlah,distribusi, keterampilan tenaga,dan kualitas
pelayanan termasuk ketersediaan obat dan darah)
c. Sistem rujukan yang belum efektif, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam
mengambil keputusan, keterlambatan dalam merujuk dan keterlambatan dalam
mengambil tindakan.
d. Tingkat pengetahuan dan keterampilan bidan dalam pengenalan berbagai tandatanda komplikasi kehamilan dan kemampuan dalam merujuk masih rendah.
2. TFR yang masih tetap tinggi dan bahkan tidak mengalami penurunan dalam 10 tahun
terakhir, CPR yang tidak meningkat scara signifikasn, dan masih tingginya unmet
needmenyebabkan. Jumlah population at risk, yaitu ibu hamil yang masih tinggi, yang
pada gilirannya peluang untuk terjadinya kematian ibu juga tinggi.
3. Disparitas pelayanan kesehatan reproduksi serta pelayanan keluarga berencana baik antar
propinsi, antara perkotaan dan perdesaan serta antara tingkat sosial ekonomi keluarga
dan ibu masih tinggi, sehingga perlu adanya penajaman sasaran agar intervensi lebih
efektifitas
4. Pemakaian mixed method KB dan penggunaan metoda KB berjangka pendek jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan metoda jangka panjang, serta masih rendahnyaperan serta
laki-laki dalam KB perlu adanya penigkatan
5. Tingginya angka childbearing pada remaja yang dipengaruhi oleh keterbatasan
ketersediaaan dan akses ke informasi (kurikulum, promosi diluar institusi) perlu diatasi
antara lain terhadap pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi terutama untuk
remaja puteri serta upaya promosi melalui program KIE di masyarakat dan institusi formal;
UU perkawinan; target perdesaan dan terutama urban, kelompok pendidikan 3 terendah,
2 kuintil terbawah
6. Komitmen pemerintah daerah masih sangat bervariasi dalam hal pengadaan dan
distribusi tenaga kesehatan, pengadaan dan distribusi fasilitas kesehatan, peraturan
terkait pelayanan di fasilitas kesehatan serta kerjasama dengan PMI
1.2. Kebijakan
1. Dalam rangka percepatan penurunan AKI, Kementerian Kesehatan menetapkan 7
program utama. Dalam pelaksanaan kebijakan ini, perlu adanya monitoring dan evaluasi
yang kuat untuk mengetahui perkembangan program dan menjadi masukan untuk
perbaikan program maka sistem monitoring dan evaluasi perlu diperkuat. Program utama
percepatan penurunan AKI tersebut adalah sebagai berikut:
a. Penjaminan kompetensi bidan di desa sesuai standar
b. Penjaminan ketersediaan faslitas yankes mampu pertolongan persalinan 24/7 sesuai
standar

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

117
c. Penjaminan seluruh RS Kab./Kota mampu PONEK 24/7 sesuai standar
d. Penjaminan terlaksananya rujukan efektif
e. Penjaminan dukungan PEMDA terhadap regulasi yang diperlukan untuk mendukung
secara efektif pelaksanaan program
f. Peningkatan kemitraan swasta
g. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) di masyarakat

2. Dalam rangka meningkatkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015,
kebijakan yang ditetapkan adalah:
a. Secara Umum
i. Meningkatkan dan memperkuat Kelembagaan dan fungsi BKKBN agar mempunyai
otoritas koordinasi di tingkat nasional lebih kuat
ii. Memperkuat penggerakan lini lapangan sehingga penguatan demand dan supply
berjalan seimbang
b. Secara Khusus
i. Meningkatkan kualitas Supply Chain Management (mulai dari forecasting,
pengadaan, penyimpanan, distibusi sampai faskes dan akseptor KB) sehingga
dapat mencegah stock nol dan putus pakai KB
ii. Meningkatkan kualitas dan kompetensi provider pelayanan KB (pembangunan
kapasitas dan peningkatan kompetensi)
iii. Pengembangan jejaring kemitraan pelayanan KB berkualitas dan merata termasuk
dengan swasta
iv. Meningkatkan intensitas KIE yang berkesinambungan dan tepat
v. Peningkatan pendewasaan usia perkawinan pertama pada perempuan melalui
program GENRE (generasi berencana)
vi. Pembekalan calon pengantin tentang perencanaan kehidupan berkeluarga
vii. Penguatan peran pengelola dan motivator KB
3. Peningkatan akses, kualitas dan kemitraan dalam pembinaan kesertaan KB di 23.500 klinik
KB Pemerintah dan Swasta, dengan sasaran:
a. Tersedianya data basis basis dari 23.500 klinik KB Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
serta TNI , POLRI dan Swasta
b. Terselenggaranya pelayanan KB yg berkualitas di 23.500 klinik KB Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, serta TNI , POLRI dan Swasta
c. Tersedianya sarana penunjang pelayanan KB di 23.500 klinik KB Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, serta TNI , POLRI dan Swasta
d. Meningkatnya kompetensi sumber daya penyelenggara pelayanan KB di 23.500 klinik
KB Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta TNI , POLRI dan Swasta
4. Peningkatan kesertaan KB MKJP terutama di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan
(Galcitas), KB PUSMU (PUS Muda) atau PUSMUPAR (Pus Muda Paritas Rendah), KB Pria,
KB Pasca Persalinan-Pasca Keguguran (KB PP-PK), Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak
(KHIBA) dan Pencegahan Masalah Kesehatan Reproduksi (PMKR)
5. Kebijakan lain yang perlu mendapat perhatian khususnya dalam pelayanan KB antara lain
adalah:

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

118
a. Penyediaan alokon, Contraceptive Supply Chain dan menjamin bahwa alokon tersebut
dapat mencapai pengguna
b. Peningkatan keterampilan tenaga kesehatan khususnya dalam pelayanan metoda
kontrasepsi jangka panjang
c. Pemberian kewenangan yang jelas bagi tenaga kesehatan dalam memberikan metoda
kontraseptif jangka panjang
d. Peningkatan kemitraan dengan swasta

UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.

9.
10.
11.

Penjaminan kompetensi Bidan di desa sesuai standar


Penjaminan ketersediaan faslitas yankes mampu pertolongan persalinan 24/7 sesuai standar
Penjaminan seluruh RS Kab/Kota mampu PONEK 24/7 sesuai standar
Penjaminan terlaksananya Rujukan Efektif
Penjaminan dukungan PEMDA terhadap Regulasi yg diperlukan untuk mendukung secara efektif
pelaksanaan Program
Peningkatan Kemitraan swasta
a) Peningkatan koordinasi dengan fasilitas pelayanan kebidanan sawsta (klinik, Rumah Sakit,
Rumah Bersalin)
b) peningkatan peran industri farmasi dalam penyediaan dan pemantapan supply chain alat
kesehatan dan obat
c) peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal untuk masyarakat miskin
d) Pemanfaatan CSR untuk meningkatkan promosi dan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal
e) Peningkatan promosi dan penggunaan metoda KB jangka panjang oleh tenaga dan fasilitas
kesehatan swasta;
f) peningkatan peran industri farmasi dalam penyediaan dan pemantapan supply chain alat
kontrasepsi,
g) peningkatan pelayanan KB dan Kespro di tempat kerja, dan
h) pemanfaatan CSR untuk meningkatkan promosi dan pelayanan KB
Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K) di masyarakat
Meningkatkan strategi KIE yang berkesinambungan dan tepat sasaran yang terintegrasi dengan
pesan cegah 4 Terlalu dan pentingnya kehidupan 1000 hari pertama kehidupan dengan (i)
Pemberdayaan secara berjenjang: tenaga kesehatan di berbagai tingkat pelayanan kesehatan, dan
tenaga non-kesehatan (guru, TOMA, TOGA, LSM, dll); dan (ii) Pemanfaatan berbagai pendekatan,
termasuk media massa. Fokus Area Strategi KIE, yaitu (i) Konsep kesehatan reproduksi, dan
penitngnya 2 anak cukup yang dihubungkan dengan pencegahan 4 terlalu; (ii) informed choice
tentang KB dan pengambilan keputusan berKB; (iii) Genre dan penyiapan kehidupan berkeluarga;
(iv) Pentingnya pematangan usia perkawinan pertama; (v) Kelebihan dan kekurangan berbagai
metoda KB utama, metoda jangka pendek dan panjang; dan (vi) Akibat diskontinu penggunaan
metoda KB
Sinkronisasi program dan anggaran pusat dan daerah
Peningkatan kapasitas dan kompetensi provider pelayanan KB dan petugas lapanagan KB
Penguatan Koordinasi dalam hal menentukan dana operasional untuk penyuluhan dan pelaksanaan
program KB serta rekrutmen jumlah PLKB. Selain itu, dalam memperkuat Koordinansi Dinkes dan
RS pemerintash dan swasta, koordinasi tingkat Pusat dengan Kemendikbud tentang pendidikan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

119

12.

13.

Kespro melalui program formal (kurikulum) atau non-formal (UKS, kegiatan extra-kurikulum), dll.
Koordinasi tingkat Pusat dengan KemenAg tentang: 1) pendidikan Kespro melalui program formal
(kurikulum) di madrasah dan pesantren atau non-formal (UKS, kegiatan extra-kurikulum), dll; 2)
calon pengantin
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan:
a) Pengembangan strategi peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui: pengembangan
materi, pendekatan/metoda penyampaian, prioritas target.
b) Peningkatan ketersediaan informasi dan pelayanan Kespro untuk remaja melalui kerjasama
dengan berbagai pemangku kepentingan: Puskesmas, Sekolah, perkumpulan remaja, dll.
Penguatan sistem Informasi, Monitoring dan Evaluasi:
a) Antar jenjang sektor kesehatan
b) Antar program di sektor kesehatan
c) Antar sektor (RS pemerintah, Dinkes, Swasta, BKKBN, dll)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

120

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

TUJUAN 6:
MEMERANGI HIV DAN AIDS,
MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR
LAINNYA

Sumber foto: UNDP Indonesia

Sumber: UNDP Indonesia

123

TUJUAN 6:
MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN
PENYAKIT MENULAR LAINNYA
TARGET 6A

MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH


KASUS BARU HIV DAN AIDS HINGGA TAHUN 2015

TARGET 6B

MEWUJUDKAN AKSES TERHADAP PENGOBATAN HIV DAN AIDS BAGI


SEMUA YANG MEMBUTUHKAN SAMPAI DENGAN TAHUN 2010
Indikator

Acuan dasar

Saat ini

Target MDGs
2015

Status

Sumber

Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDs hingga tahun 2015
6.1

6.2

6.3

Prevalensi HIV dan AIDS (persen)


dari total populasi
Penggunaan kondom pada
hubungan seks berisiko tinggi
terakhir
Proporsi jumlah penduduk usia
15-24 tahun yang memiliki
pengetahuan komprehensif
tentang HIV dan AIDS

0,43% (2012)

Menurun

Kemenkes

12,80%
(2002/03)*

37,6% (2011)**

Meningkat

*BPS, SKRRI
** Kemenkes,
Surveilans
Terpadu
Biologis dan
Perilaku (STBP)

21,25% (2012)

Meningkat

Kemenkes

Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV DAN AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai
dengan tahun 2010
6.5

Proporsi penduduk terinfeksi


HIV lanjut yang memiliki akses
pada obat-obatan anti-retroviral

84,67% (2013)

Meningkat

Kemenkes

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Saat ini perhitungan angka prevalensi penyakit HIV dan AIDS dilakukan berdasarkan pemodelan
Matematika, berdasarkan perhitungan tersebut deperkirakan Indonesia memiliki prevalensi HIV dan AIDS
sebesar 0,43 pada tahun 2013. Angka prevalesni kejadian penyakit HIV dan AIDS dari tahun ke tahun terus
meningkat (gambar 6.1) akan tetapi angka prevalensi ini masih di bawah 0,5 persen sesuai dengan angka
yang ditargetkan oleh MDGs.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

124

Gambar 6.1.
Prevalensi HIV
populasi umur 15-24
tahun (Kemenkes RI,
2012)

Jumlah kumulatif kasus HIV sampai dengan triwulan ke tiga tahun 2013 ada 20.397 kasus yang dilaporkan.
Jumlah kasus HIV tertinggi yang dilaporkan pada triwulan ketiga 2013 adalah dari Provinsi DKI Jakarta
dengan jumlah kasus 4.299 kasus (Triwulan ke-3 2013), sedangkan pada urutan kedua adalah dari Provinsi
Papua 2.727 kasus, urutan ketiga ditempati oleh Provinsi Jawa Timur 2.411 (Triwulan ke-3 2013) (Gambar
6.2). Sedangkan untuk kasus AIDS yang dilaporkan sampai dengan triwulan ketiga tahun 2013, jumlah
kasus tertinggi adalah dari Provinsi Papua dengan jumlah 7.795 kasus, sedangkan urutan kedua dan ketiga
adalah Provinsi Jawa Timur sebanyak 7.714 kasus dan Provinsi DKI Jakarta 6.299 kasus (Gambar 6.3).

Gambar 6.2.
Angka kumulatif HIV
tahun 2013* (Kemenkes RI, 2013)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

125

Gambar 6.3.
Angka kumulatif
AIDS sampai dengan
September 2013*
(Kemenkes RI, 2013)

Gambar 6.4.
AIDS Case Rate
Provinsi dan Nasional
sampai dengan
September 2013
(Kemenkes RI, 2013)

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengendalikan laju penularan penyakit HIV dan AIDS diantaranya
adalah penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko tinggi menularkan HIV dan AIDS, akan tetapi
upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal. Berdasarkan hasil dari Surveilans Terpadu
Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2013 menunjukkan penggunaan kondom pada populasi berisiko
baru mencapai angka 43,52 persen, angka ini masih jauh dari target MDGs yaitu 65 persen (Gambar
6.5). Upaya lain yang juga dilakukan untuk menekan laju penularan penyakit HIV dan AIDS adalah dengan
meningkatkan pengetahuan penduduk melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Berdasarkan
rapid survey pada tahun 2012 tentang tingkat pengetahuan masyarakat pada usia 15-24 tahun mereka
yang memiliki tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah yaitu
21% angka ini masih jauh dari target MDGs yakni 95 persen (Gambar 6.6).
Sebagai tindak lanjut pada penduduk yang terinfeksi HIV tingkat lanjut dilakukan upaya pemberian obat
antiretroviral (ARV). Proporsi penduduk yang terinfeksi HIV lanjut yang tercakup dalam Antiretroviral
Therapy (ART) pada tahun 2011 adalah 84,10 persen (24.410 ODHA) dan meningkat menjadi 88 persen
pada tahun 2012 (30.663 ODHA) (Gambar 6.7). Sedangkan ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV
sampai dengan tahun 2013 adalah 93,28 persen (39.418 ODHA) dan telah mencapai target RPJMN 90
persen. Peningkatan ODHA yang mendapatkan ART didukung juga dengan peningkatan jumlah fasilitas
Konseling dan Testing (KT) serta pelayanan pengobatan di fasilitas-fasilitas kesehatan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

126

Gambar 6.5.
Penggunaan kondom
pada populasi
berisiko (Kemenkes
RI, 2013)

Gambar 6.6.
Persentase penduduk
usia 15-24 tahun
yang memiliki
pengetahuan
komprehensif
tentang HIV dan AIDS
(Kemenkes RI, 2013)

Target 6B: Mewujudkan Akses Terhadap Pengobatan HIV dan AIDS Bagi Semua Yang
Membutuhkan Sampai Dengan Tahun 2010

Gambar 6.7.
Persentase ODHA
yang mendapatkan
ART (Kemenkes RI,
2013)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

127
Kotak 6.1
Pengendalian HIV dan AIDS di Puskesmas Semeni Kota
Surabaya, Jawa Timur

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

128
TANTANGAN DAN KEBIJAKAN
Penyakit HIV / AIDS merupakan masalah global yang sampai saat ini terus mengancam penduduk dunia
tidak terkecuali di Indonesia. Beberapa program yang telah dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan
penularan penyakit ini dihadapkan pada tantangan-tantangan yang sampai saat ini terus dihadapi tentunya
agar penyakit ini tidak meluas dan angka kasusnya menurun. Tantangan tersebut diantaranya adalah;
Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengetahui status HIVnya baik ditawarkan ataupun secara
sukarela pada kelompok berisiko, selain itu juga tingginya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA baik
di masyarakat maupun petugas kesehatan menyebabkan penyakit ini semakin sulit untuk dikendalikan.
Tantangan-tantangan diatas ditanggapi pemerintah dengan berbagai upaya diantaranya melalui upaya
advokasi kepada pemerintah daerah untuk memasukkan kesehatan remaja (HIV/AIDS) ke dalam kurikulum
muatan lokal daerah pada tingkat sekolah menengah. Hal ini dilakukan untuk menjangkau berbagai tingkat
pendidikan terutama bagi para remaja yang duduk pada tingkat sekolah menengah yang sangat rentan
terhadap penyakit ini.
Selain upaya diatas, pemerintah juga melakukan promosi kesehatan melalui kampanye Aku Bangga Aku
Tahu (ABAT) di Provinsi Papua, Sulsel, Bali, Kalbar, Jatim, Jateng, Jabar, DKI, Riau, Sumut, Lampung, Sumsel,
DIY, Sulbar, NTB, Jambi, Maluku. Pemilihan provinsi-provinsi ini berdasarkan angka kasus di masing-masing
provinsi yang masih tinggi.
Untuk memperkuat upaya pegendalikan penyakit HIV/AIDS, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan
penting diantaranya adalah; (1) Permenkes nomor : 21 tahun 2013 tentang pengaturan penanggulangan
HIV-AIDS, (2) Surat Kesepakatan Bersama 5 Menteri (Menkes, Mendagri, Mendikbud, Mensos, Menag)
Tentang Peningkatan Pengetahuan Komprehensif HIV/ AIDS, (3) Surat Edaran Menkes nomor : GK/
Menkes/001/I/2013 tentang layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), (4) Instruksi
Mendagri nomor : 444.24/2259/SJ tentang penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat
dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, (5) Perluasan layanan HIV-AIDS dengan pendekatan
Layanan Komprehensif Berkesinambungan.

UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


Berdasarkan data persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif
tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah yaitu 21 persen dan masih jauh dari target MDGs (95 persen).
Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan remaja tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah dan
megakibatkan kelompok umur remaja tersebut sangat rentan terhadap penularan HIV dan AIDS.
Untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran serta untuk menurunkan jumlah kasus baru HIV dan
AIDS maka perlu dilakukan upaya khusus yang difokuskan pada kelompok usia remaja terutama untuk
meningkatkan pengetahuan mereka tentang penyakit HIV dan AIDS dan salah satunya adalah melalui
kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT). Kampanye ini merupakan strategi untuk menyampaikan dan
mensosialisasikan perilaku seksual yang berisiko yang harus dihindari sebelum adanya komitmen
pernikahan dan penyadaran tentang tata cara penularan penyakit HIV dan AIDS. Pada tahap pertama
kampanye ini dilakukan di 10 Provinsi terpilih yaitu; DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi dan Papua. Pada tahap selanjutnya kampanye ini akan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

129
dilakukan diseluruh Provinsi di Indonesia dengan harapan agar pemerintah, dunia usaha, dan seluruh
lapisan masyarakat, khususnya generasi muda dapat lebih mengenal serta melindungi diri dan orang lain
dari risiko penularan penyakit HIV dan AIDS.
Selain itu upaya lain yang dilakukan untuk menekan laju penyebaran penyakit HIV dan AIDS adalah dengan
peningkatan akses masyarakat terhadap pengobatan dan penyediaan layanan terpadu atau komprehensif
HIV dan AIDS. Dengan upaya ini maka pencegahan, perawatan dan pelayanan kasus HIV dan AIDS termasuk
layanan konseling dan testing, layanan perawatan dan dukungan pengobatan, serta pengurangan dampak
buruk dapat dilakukan di satu titik layanan. Upaya tepadu ini telah disepakati dan diterapkan di beberapa
daerah di Indonsia seperti di daerah Bogor, Tangerang dan Singkawang. Selain itu, peningkatan jumlah
layanan kesehatan untuk konseling telah dilakukan untuk mendukung program tersebut dimana dari
156 layanan pada tahun 2009 menjadi 500 layanan pada tahun 2011. Kemudian untuk fasilitas layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan (care, support and treatment) telah ditingkatkan dari 163 menjadi
303 rumah sakit yang terdiri dari 235 rumah sakit induk dan 68 rumah sakit satelit.
Penerbitan berbagai peraturan daerah mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS telah
diterbitkan sebagai upaya untuk menguatkan penanggulangan HIV dan AIDS. Sampai awal tahun 2011,
telah terbit 10 Peraturan Daerah (Perda) tingkat Provinsi; 1 Peraturan Gubernur, dan 13 Perda Kabupaten/
Kota tekait penanggulangan HIV dan AIDS.

Desentralisasi Obat Antiretroviral (ARV)


Saat ini Kementerian Kesehatan sedang mengembangkan desentralisasi obat ARV sebagai upaya untuk
meningkatkan pengelolaan supply chain management obat ARV sehingga diperoleh persediaan obat ARV
yang cukup dalam jumlah, waktu dan tempat yang tepat serta didukung oleh kualitas pelaporan yang
baik dan akurat. Dalam pelaksanaan desentralisasi, Dinas Kesehatan Provinsi bertanggung jawab terhadap
manajemen pelaporan rumah sakit dan distribusi obat ARV di daerahnya.
Tahun 2000 merupakan awal desentralisasi obat ARV dan saat ini ada 5 Provinsi yang telah melakukan
desentralisasi obat ARV antara lain; Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Papua.
Melalui desentralisasi ini Dinas Kesehatan Provinisi mengetahui dan mampu mengontrol distribusi obat
ARV di wilayahnya. Pelaksanaan desentralisasi juga dapat meningkatkan akurasi laporan di rumah sakit,
mencegah terjadinya stock out, serta mengurangi waktu lead time distribusi ARV dari 5 hari menjadi 2-3
hari. Desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antara institusi terkait dan mempermudah
evaluasi provinsi tehadap masalah-masalah yang ada di wilayahnya khususnya masalah manajemen
pelaporan dan pengelolaan logistik obat ARV.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

130

TARGET 6C

MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN


JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA
HINGGA TAHUN 2015

Indikator

Acuan
dasar

Saat ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015
Angka kejadian dan tingkat kematian
akibat malaria

6.6
66.a

Angka kejadian malaria (per 1,000


penduduk)

4,68
(1990)

1,38
(2013)

Menurun

Kementerian
Kesehatan

Meningkat

Kemenkes,
Riskesdas

Riskesdas

6.7

Proporsi anak balita yang tidur dengan


kelambu berinsektisida

16,50%
(2010)

6.8

Proporsi anak balita dengan demam


yang diobati dengan obat anti malaria
yang tepat

34,70%
(2010)

Meningkat

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Saat ini upaya untuk menurunkan angka kejadian malaria berdasarkan annual parasite Incidende (API)
menununjukan kecenderungan yang positif, hal ini dapat dilihat dari penurunan kasus malaria sejak
tahun 1990 (API 4,68/1000 penduduk) menurun menjadi 1,38/1000 penduduk pada tahun 2013. Angka
penurunan kasus ini sudah mendekati target yaitu 1,00 per 1000 penduduk (Gambar 6.8). Hal ini didukung
dengan semakin baiknya sistem surveilans di daerah sehingga semakin mudah mendeteksi keberadaan
kasus di masing-masing daerah terutama di daerah endemisalnya seperti Papua, Papua Barat dan Nusa
Tenggara Timur (Gambar 6.9). Kelengkapan laporan kabupaten/kota juga mengalami peningkatan, yaitu
79 persen pada tahun 2010 meningkat menjadi 87 persen pada tahun 2012 dan 90 persen pada tahun
2013.

Gambar 6.8.
Angka Insidensi dan
Angka Kematian
Yang Berhubungan
Dengan Malaria

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

131

Gambar 6.9.
Annual Parasite
Incidence (API) menurut provinsi pada
tahun 2013 (dengan
kelengkapan laporan
kab/kota 90 persen)
(Kemenkes RI, 2013)

Gambar 6.10.
Jumlah kasus positif
Malaria menurut
provinsi di Indonesia
Tahun 2013

Jika dilihat data lebih lanjut menurut kabupaten/kota, maka terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota
yang API nya telah di bawah 1 per 1000 penduduk. Pada tahun 2011 sebanyak 63 persen, meningkat
menjadi 68 persen pada tahun 2012 dan 71 persen pada tahun 2013, sehingga pada tahun 2013 sebanyak
88 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah dengan API < 1 per 1000.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

132

Gambar 6.11
Jumlah Kasus Malaria
Terkonfirmasi per
Provinsi Tahun 2012
(Kemenkes RI, 2013)

Cakupan penderita malaria yang diobati sesuai standar yaitu terhadap setiap penderita tersangka malaria
dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan apabila hasilnya positif maka diobati dengan menggunakan
ACT, pada tahun 2013 sebesar 84 persen. Angka ini meningkat dibandingkan dengan cakupan tahun 2012
sebesar 82 persen dan tahun 2010 baru mencapai 47 persen.

Gambar 6.12.
Persentase Pengobatan Sesuai Standar
Program Malaria (
Kemenkes RI, 2013)

Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida


Sebagai upaya mengurangi angka kejadian malaria khususnya di daerah endemisalnya tinggi,
upaya pencegahan dan penyebarluasan malaria adalah untuk mengurangi penularan malaria melalui
perlindungan kepada kelompok usia rentan seperti ibu hamil, bayi dan anak-anak usia balita dari gigitan
nyamuk penular malaria dengan penggunaan kelambu berinsektisida. Menurut data Riset Kesehatan
daerah Tahun 2010 proporsi anak yang tidur dengan kelambu berinsektisida sebesar 16,5 persen dan
diharapkan meningkat pada tahun 2015 sebesar 95 persen.
Upaya mencegah penularan khususnya di daerah endemi tinggi malaria dilaksanakan dengan kegiatan
distribusi kelambu berinsektisida secara massal dan program terpadu pengendalian malaria, kesehatan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

133
ibu hamil dan imunisasi untuk mencegah malaria pada ibu hamil, bayi dan balita. Pemakaian kelambu
berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi faktor risiko penularan malaria. Hingga
tahun 2013 triwulan kedua cakupan penduduk yang mendapat perlindungan kelambu berinsektisida di
daerah endemi tinggi, sebesar 64 persen.

Kotak 6.2.
Upaya Juru Malaria Kampung di Teluk Bintuni Papua Barat,
Peningkatan Pemberdayaan dan penggerakan Masyarakat
dalam memerangi malaria dalam rangka percepatan
pencapaian Goal 6 MDG dan menuju eliminasi 2030
Wilayah Papua Barat berupa pegunungan, dataran dan pesisir, sebagian besar penduduk
bermukim di daerah pesisir, yang kebanyakan adalah bekas rawa dengan banyak genangan
air. Situasi ini ideal bagi perkembangbiakan nyamuk malaria, termasuk Teluk Bintuni menjadi
daerah endemis malaria dan menjadi permasalahan utama kesehatan masyarakat di daerah
tersebut.
Upaya menurunkan kasus malaria dengan memberdayakan dan menggerakkan masyarakat
salah satunya dilakukan dengan Program Juru Malaria Kampung (JMK) di Teluk Bintuni Papua
Barat. Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses diagnosis yang cepat dan pengobatan
malaria yang terjangkau dan efektif di setiap desa, mengembangkan sistem surveilans yang
berkelanjutan, meningkatkan akses dan penggunaan kelambu berinsektisida yang tahan
lama, mengembangkan model yang didasarkan pada pendekatan pemasaran sosal dalam
peningkatan kesehatan yang berkesinambungan di TelukBintuni dan daerah sekitarnya.
Pembentukan JMK dimulai sejak tahun 2006 hingga sekarang. Peran JMK dalam pengendalian
malaria di Teluk Bintuni sangat strategis dimana angka kejadian malaria menurun dari
100,07 pada tahun 2008 menjadi 34,41 pada tahun 2010, lalu menurun kembali menjadi
3,56 pada tahun 2012.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

134
TANTANGAN DAN KEBIJAKAN
Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah Indonesia bagian timur. Di daerah
transmigrasi dimana terdapat campuran penduduk yang berasal dari daerah yang endemisalnya dan tidak
endemisalnya malaria. Di daerah endemisalnya malaria, masih sering terjadi kejadian luar biasa (KLB)
malaria. Kejadian luar biasa ini menyebabkan angka insiden penyakit malaria masih tinggi di daerahdaerah tersebut.
Dilihat dari gambaran epidemiologis malaria menurut provinsi di Indonesia, maka terdapat disparitas
yang cukup tinggi antara kejadian malaria di kawasan timur Indonesia dengan daerah lain, di mana kasus
tertinggi ditemukan di kawasan timur Indonesia (79 persen dari total kasus). Sementara di daerah Jawa
Bali, kejadian malaria sudah sangat rendah (1 per 1000 penduduk) sehingga sebagian besar kab/kota
sudah memasuki tahap pre eliminasi dan eliminasi.
Berdasarkan situasi tersebut, maka dilakukan upaya akselerasi di kawasan timur Indonesia berupa :
1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pengobatan di semua fasilitas kesehatan dan penemuan secara aktif
melalui MBS (mass blood survey).
2. Kelambunisasi melalui kampanye dan distribusi kelambu berinsektisida secara massal
3. Penyemprotan Dinding Rumah (Indoor Residual Spraying / IRS) di desa hiperendemisalnya
4. Penguatan Surveilans dan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB)

5.

Penguatan kemandirian masyarakat melalui Posmaldes dan UKBM lainnya

6.

Penguatan kemitraan melalui Forum Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak-Malaria)

Strategi distribusi kelambu berinsektisida di Indonesia :


1. Di daerah endemisalnya tinggi dilakukan pembagian kelambu massal
2. Di daerah endemisalnya sedang, kelambu dibagikan kepada kelompok risiko tinggi yaitu ibu hamil
dan bayi melalui integrasi dengan program KIA dan Imunisasi.

UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/Menkes/SK/IV tanggal 28 April 2009 tentang eliminasi
Malaria di Indonesia maka dalam upaya mencapai tujuan Eliminasi Malaria pada tahun 2030 ada delapan
strategi yaitu: 1) Melakukan penemuan dini dan pengobatan dengan tepat; 2) Memberdayakan dan
menggerakkan masyarakat; 3) Menjamin akses pelayanan berkualitas terhadap masyarakat yang berisiko;
4) Melakukan komunikasi, advokasi, motivasi dan sosialisasi kepada Pemerintah dan Pemerintah daerah;
5) Menggalang kemitraan dan sumber daya lokal, nasional maupun internasional; 6) Menyelenggarakan
sistem surveilans, monitoring dan evaluasi serta informasi kesehatan; 7) Melakukan upaya eliminasi
melalui forum kemitraan Gebrak Malaria; dan 8) meningkatkan kualitas SDM dan mengembangkan
teknologi dalam upaya eliminasi malaria.
Penyakit malaria banyak terjadi di daerah terpencil (remote) dan pedesaan (rural),hal ini dikarenakan
daerah tersebut mempunyai faktor risiko yang lebih besar dibandingkan daerah perkotaan,dikarenakan :
- Tempat perindukan (breeding places) nyamuk anopheles banyak terdapat di pedesaan dan
terpencil baik perindukan alami maupun akibat secara tidak sengaja dibuat oleh manusia misalnya
laguna,tambak terlantar dan galian pasir.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

135
-

Perilaku yang berisiko, mereka yang sering berada diluar rumah pada malam hari dengan tidak
menggunakan pakaian atau bahan pelindung dari gigitan nyamuk

Infrastruktur yang belum baik misalnyanya penyediaan air bersih yang belum sampai ke rumah tangga
sehingga banyak masyarakat mandi dan mengambil air pada malam hari di sumber mata air

Penyakit malaria sangat local specific sehingga antara satu daerah dengan yang lainnya terjadi perbedaan
baik menurut kelompok umur, jenis kelamin penderita maupun jenis pekerjaan penderita.Di beberapa
daerah penyakit malaria banyak menyerang usia produktif dan laki-laki,hal ini disebabkan karena
kebiasaan laki-laki lebih sering keluar rumah pada malam hari dan jenis pekerjaan misalnya penambang
emas, perambah hutan dan nelayan. Disamping itu di dalam kebijakan program pengendalian malaria ada
prioritas perlindungan terhadap ibu hamil dan balita yang sangat rentan terhadap penyakit malaria yaitu
pemberian kelambu dan skrining untuk ibu hamil dan bayi yang telah mendapat imunisasi lengkap
Upaya yang dilakukan untuk mengakselerasi pengendalian malaria di KTI sehingga angka kesakitan malaria
dapat diturunkan lebih cepat adalah dengan berfokus pada kampanye dan distribusi kelambu massal,
penemuan aktif penderita melalui pemeriksaan darah massal disertai dengan pengobatan, penyemprotan
dinding rumah terbatas pada daerah endemisalnya sangat tinggi. Di samping itu dilakukan pula perbaikan
lingkungan di pemukiman sehingga diharapkan mampu mengurangi risiko penularan malaria di masyarakat.
Strategi Akselerasi Pengendalian Malaria di KTI
1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pengobatan di semua fasilitas kesehatan dan penemuan secara aktif
melalui MBS (mass blood survey).
2. Kelambunisasi melalui kampanye dan distribusi kelambu berinsektisida secara massal
3. Penyemprotan Dinding Rumah (IRS) di desa dengan API > 40 .
4. Penguatan Surveilans dan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB)
5. Penguatan kemandirian masyarakat melalui Posmaldes dan UKBM lainnya
6. Penguatan kemitraan melalui Forum Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak-Malaria)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

136
TARGET 6C

MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN


JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA
HINGGA TAHUN 2015
Indikator

Acuan
dasar

Saat ini

Target
MDGs
2015

Status

Sumber

Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan
penyakit utama lainnya hingga tahun 2015
6.9

Angka kejadian, prevalensi dan tingkat


kematian akibat Tuberkulosis

6.9a

Angka kejadian Tuberkulosis(semua


kasus/100.000 penduduk/tahun)

343
(1990)

187
(2013)

6.9b

Tingkat prevalensi Tuberkulosis(per


100.000 penduduk)

443
(1990)

213
(2013)

6.9c

Tingkat kematian karena Tuberkulosis


(per 100.000 penduduk)

92 (1990)

27
(2012)

6.10

Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang


terdeteksi dan diobati dalam program
DOTS

6.10a

Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang


terdeteksi dalam program DOTS

20,0%
(2000)*

(2013)**

6.10b

Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati


dan sembuh dalam program DOTS

87,0%
(2000)*

(2013)**

84,41%
90,2%

Dihentikan,
mulai
berkurang

Laporan TB Global
WHO

70,0%

85,0%

*Laporan TB Global
WHO, 2009
**Laporan Kemenkes 2012-2013

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Program pengendalaan Tuberkolusis dari tahun ke tahun menunjukan hasil yang positif, hal ini terlihat dari
peningkatan indikator penemuan kasus / case detection rate (CDR) dan angka keberhasilan pengobatan
/ Succes rate (SR). Angka CDR pada tahun 2003 hanya 37,6 persen meningkat menjadi 84,4 persen
pada tahun 2012. Lama pengobatan TB memerlukan waktu sekitar 6-8 bulan, sehingga untuk menilai
angka keberhasilan pengobatan atau SR diperlukan waktu untuk evaluasi sekitar 9-12 bulan, sehingga
pasien yang berobat pada tahun 2011 baru dapat dilaporkan pada tahun 2012. Angka SR pada tahun
2011 mencapai 90,3 persen dan terjadi peningkatan pada tahun 2012 menjadi 90,2 persen. Indikator
SR merupakan salah satu target dari MDGs yang saat ini sudah melampaui target MDGs yaitu 85 persen,
dengan demikian Indonesia adalah Negara pertama dari 22 High Burden TB Countries di Wilayah Asia
Tenggara yang mencapai target global SR yaitu 85 persen pada tahun 2005.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

137

Gambar 6.13.
Angka keberhasilan
pengobatan / success rate
(SR) (Kemenkes RI, 2012)

Keberhasilan dalam mengendalikan laju penyakit TB juga dapat dilihat dari penurunan angka kejadian
TB, yaitu angka insidensi, prevalensi (gambar 6.15) dan angka mortalitas yang diukur berdasarkan jumlah
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Angka insidensi dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan
dari 204 kasus pada tahun 2000 menjadi 185 kasus pada tahun 2012. Penurunan angka insidensi diikuti
juga dengan penurunan angka mortalitas akibat TB. Kematian akibat TB 55 kasus pada tahun 2000 turun
menjadi 27 kematian pada tahun 2012.

Gambar 6.14.
Beban TB dalam rate (per
100.000 penduduk) tahun
1990-2012 (Kemenkes RI,
2013)

Gambar 6.15.
Perkiraan prevalensi TB
per 100.000 penduduk
per tahun berdasarkan
modeling TB (Kemenkes
RI, 2013)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

138
Kotak 6.3.
PEJUANG TANGGUH (PETA)
Suatu bentuk dukungan sebaya untuk pasien Tuberkulosis

Calon peer educator dipandu


untuk belajar bermain peran
(role play)

Memotivasi dan memberikan


semangat kepada pasien TB MDR
untuk menyelesaikan pengobatan

Pasien TB yang diobati tetapi tidak sesuai standar akan menyebabkan timbulnya TB resisten obat
atau TB MDR (Multi Drugs Resistance). Jumlah pasien TB MDR yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun, merupakan beban baru dalam masalah kesehatan di masyarakat. Pengobatan
TB MDR membutuhkan waktu yang lama yaitu 18-24 bulan dan biaya yang lebih besar dari
TB biasa menimbulkan permasalahan pada pasien seperti ekonomi, depresi bahkan kehilangan
pekerjaan, dan yang lebih mengenaskan adalah timbulnya penolakan maupun pandangan
negatif dari masyarakat.
Permasalahan yang dialami pasien TB MDR tersebut membutuhkan perhatian lebih terutama
untuk penanganan aspek psikososial pasien. Pasien-pasien tersebut membutuhkan dukungan
psikologis dari keluarga, masyarakat, petugas kesehatan dan juga dari pasien lainnya (peer/
sebaya). Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang dibentuknya Peer Educator (pendidik
sebaya) TB MDR.
Konsep peer educator ini adalah untuk memberikan motivasi dan edukasi yang dilakukan oleh
pasien kepada pasien. Pasien yang telah sembuh dilatih, diberdayakan dalam memberikan
edukasi dan terlibat aktif dalam mendampingi dan memotivasi pasien TB MDR yang masih
dalam masa pengobatan. Dukungan dan informasi dari rekan sebaya yang mempunyai latar
belakang yang sama akan lebih efektif secara psikologis bagi pasien agar semangat dan cepat
sembuh. Pelatihan untuk Peer Educator TB MDR pertama kali diselenggarakan di Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Persahabatan pada Mei 2013. Hasilnya ada 20 orang peer educator yang
siap untuk mendukung dan mendampingi para pasien TB MDR yang sedang dalam masa
pengobatan, mereka menamai organisasi mereka yaitu Pejuang Tangguh (PETA).
Saat ini, PETA sudah dapat membantu dokter dan petugas kesehatan di Rumah Sakit dalam
memberikan pendampingan kepada pasien TB MDR dan memotivasi dengan berbagi dan
memaparkan pengalamannya sendiri pada saat menjalani pengobatan, diharapkan dapat
menjadi inspirasi bagi pasien lainnya dan masyarakat bahwa TB MDR dapat disembuhkan. Dari
adanya kegiatan dan lahirnya kelompok PETA ini menunjukkan bahwa masyarakat dan bangsa
Indonesia sudah memulai suatu gerakan ke arah yang lebih baik, salah satunya adalah dengan
peduli terhadap penderitaan sesama, dan kita berharap semua tujuan mulia dari teman-teman
PETA ini akan membantu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

139
TANTANGAN DAN KEBIJAKAN
Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa Tuberculosis (TB) merupakan kedaruratan global bagi
kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban
penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003,
diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat
TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi
TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti jumlah pasien TB yang ditatalaksana di fasilitas pelayanan
kesehatan non pemerintah (swasta), masih rendahnya kasus TB resisten obat yang berhasil ditemukan
dan mendapatkan pengobatan, komitmen dari pemerintah masih kurang untuk pendanaan program TB,
masih kurangnya perhatian untuk tatalaksana kasus TB BTA negatif dan TB anak dan masih rendahnya
sumber daya manusia untuk mendukung ekspansi program dan penerapan inovasi baru.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut pemerintan Indonesia melakukan berbagai upaya,
diantaranya adalah; (1) Meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu, (2) Menangani MDRTB, TB anak dan masyarakat misalnyakin serta kelompok rentan lainnya. (3) Melibatkan seluruh penyedia
pelayanan kesehatan milik pemerintah, masyarakat dan swasta mengikuti International Standard of TB
Care (ISTC), (4) Memberdayakan masyarakat dan pasien TB, (5) Memperkuat sistem kesehatan, termasuk
sistem SDM dan manajemen program pengendalian TB, (6) Meningkatkan komitmen pemerintah pusat
dan daerah terhadap program TB, (7) Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.

UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN TUJUAN


Berbagai cara telah dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan TB diantaranya dengan peningkatan
penemuan kasus dan memastikan kesembuhan dari kasus yang telah ditemukan. Cara tersebut diwujudkan
melalui terebosan-terobosan, antara lain: (1) Memasukkan strategi DOTS dalam akreditasi Rumash Sakit
dan pelaksanaan Surat Tanda Registrasi (STR) atau surat Ijin Praktek (SIP) oleh IDI dan SIPA oleh IAI sebagai
unsur penilaian, untuk 33 Provinsi; (2) Inisiasi penggunaan Rapid Diagnostic Test (RDT) dalam pemeriksaan
TB dengan implementasi metode Line Prob Assay (LPA)/HAIN test di laboratorium mikrobilogi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia dan Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Dr, Soetomo serta RS
Labuan Baji Makasar; (3) Penetapan dan pelaksanaan 3 laboratorium sebagai National Tuberculosis
Referral Laboratory (NTRL); (4) Pengajuan pra kualifikasi obat TB ke WHO; (5) Inisiasi penerapan tes
tuberkulin untuk mendukung tes TB pada anak-anak di 33 Propinsi; (6) Penggunaan 17 Gene Expert
sebagai salah satu Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV secara bertahap di RS Adam Malik,
Laboratorium Mikro UI, RS Persahabatan, RS Cipinang, RS Hasan Sadikin, BLK Bandung, RS Moewardi Solo,
RS Karjadi, serta Laboratorium Mikro FK UGM, RS Dr. Soetomo, RS Syaiful Anwar, RS Labuan Baji, BBLK
Surabaya, RS Sanglah, BLK Jayapura, Lab. NECHRI FK Unhas, RSU Cilacap; (7) Kerjasama dengan asuransi
kesehatan dengan penggagasan penerapan standar pengobatan TB berbasis asuransi bagi pasien TB yang
ditangani serta pengembangan skema pembiayaan berbasis asuransi bagi pasien TB (bersama Jamsostek,
Jamkesmas, Jamkesda) dengan melibatkan 3 BUMN; (8) Pelaksanaan survei nasional prevalensi TB di 33
Provinsi; (9) Perluasan pelayanan pasien TB resisten obat ke seluruh wilayah Indonesia secara bertahap;
(10) Penyusunan exit strategy program pengendalian TB untuk mengurangi ketergantungan terhadap
donor.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

140
Selain terobosan-terobosan diatas, ditetapakan juga strategi nasional pengendalian TB yang merupakan
upaya untuk mencapai tujuan dengan penjabaran strategi kedalam rencana aksi nasional: Pertama,
meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu. Kedua, menangani MDR-TB, TB anak dan
masyarakat misalnyakin serta kelompok rentan lainnya. Ketiga, Melibatkan seluruh penyedia pelayanan
kesehatan milik pemerintah, masyarakat dan swasta mengikuti International Standard Of TB Care.
Keempat, memberdayakan masyarakat dan pasien TB. Kelima, memperkuat sistem kesehatan, termasuk
sistem SDM dan manajemen program pengendalian TB. Keenam, meningkatkan komitmen pemerintah
pusat dan daerah terhadap program TB. Ketujuh, mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan
informasi strategis.

PENYAKIT TIDAK MENULAR DAN CEDERA


KEADAAN DAN KECENDERUNGAN
Akibat perubahan perilaku dan gaya hidup manusia maka terjadi perubahan pola dan kecenderungan
penyakit. Telah terjadi transisi epidemiologi penyakit dari yang tadinya didominasi penyakit menular,
disusul dengan penyakit tidak menular, penyakit akibat kecelakaan dan cedera yang akan menjadi
tantangan pembangunan kesehatan di masa yang akan datang.
Saat ini penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Tahun 2007 proporsi kematian akibat PTM sebesar 59.5 persen dari seluruh penyebab kematian (Riskesdas 2007). Angka
ini meningkat dari sebelumnya 41.7 persen tahun 1995 dan 49.9persen tahun 2001 (SKRT 1995 dan 2001)

A. Kematian akibat PTM


No

GOALS-TARGET-INDIKATOR

ACUAN DASAR

1.

Persentase kematian akibat


stroke

15.4%
(Riskesdas 2007)

2.

Persentase kematian akibat


hipertensi

6.8%
(Riskesdas 2007)

3.

Persentase kematian akibat


penyakit iskemik

5.1%
(Riskesdas 2007)

4.

Persentase kematian akibat


penyakit jantung

4.6%
(Riskesdas 2007)

5.

Persentase kematian akibat


diabetes melitus

5.7%
(Riskesdas 2007)

6.

Persentase kematian akibat


tumor ganas

5.7%
(Riskesdas 2007)

7.

Persentase kematian akibat


cedera

6.5%
(Riskesdas 2007)

8.

Persentase kematian akibat


penyakit saluran nafas
bawah

5.1%
(Riskesdas 2007)

TARGET 2025
25% penurunan
relatif semua
kematian akibat
penyakit jantung dan
pembuluh darah,
kanker, diabetes, dan
penyakit pernafasan
kronis

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

141
B. Prevalensi PTM
No

GOALS-TARGET-INDIKATOR

ACUAN DASAR

CAPAIAN

TARGET 2025

1.

Prevalensi stroke penduduk usia 15+

8,3 per 1000 (Riskesdas 2007)

Riskesdas 2013
12,1 % / 1000

2.

Prevalensi hipertensi penduduk usia


15+

31,7%
(Riskesdas 2007)

Riskesdas 2013
25, 8 %

3.

Prevalensi penyakit jantung penduduk


usia 15+

7,2%
(Riskesdas 2007)

Riskesdas 2013
1,5 % (PJK)
0,3 %
(Gagal Jantung)

4.

Prevalensi penyakit sendi penduduk


usia 15+

30,3%
(Riskesdas 2007)

Riskesdas 2013
24,7 % (Rematik)

5.

Prevalensi asma penduduk usia 15+

3,5%
(Riskesdas 2007)

Riskesdas 2013
4,5%
(Semua Umur)

6.

Prevalensi Diabetes Mellitus penduduk


usia 15+

1,1%
(Riskesdas 2007)

Riskesdas 2013
2,1 %

7.

Prevalensi tumor/kanker penduduk


usia 15+

4,3 per 1000


(Riskesdas 2007)

Riskesdas 2013
1,4 % / 1000

8.

Prevalensi cedera penduduk usia 15+

7,5%
(Riskesdas 2007)

Riskesdas 2013
8,2 %
(Semua Umur)

10% penuruan
relatif prevalensi
PT,M

Keadaan dan Kecenderungan


Prevalensi PTM di Indonesia relatif tinggi. Prevalensi stroke sebesa 8,3 per 1000 penduduk, prevalensi
hipertensi 31,7 persen, penyakit jantung 7,2 persen, penyakit sendi 30,3 persen, asma 3,5 persen, DM 1,1
persen, tumor/kanker 4,3 per 1000, dan cedera 7,5 persen.

1. Prevalensi stroke

Gambar 6.16.
Prevalensi stroke menurut
provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

Terdapat 12 provinsi memiliki prevalensi stroke lebih tinggi dari prevalensi nasional (8.3 per 1000
penduduk). Prevalensi stroke tertinggi di provinsi NAD sebesar 16.6 per 1000 penduduk, disusul Gorontalo
14.9 per 1000 penduduk, dan Kepulauan Riau 14.9 per 1000 penduduk. Sedangkan prevalensi terendah di
Papua sebesar 3.8 per 1000 penduduk.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

142
2. Prevalensi hipertensi

Gambar 6.17.
Prevalensi hipertensi
menurut provinsi tahun
2007 (Kemenkes RI)

Terdapat 9 provinsi memiliki prevalensi hipertensi lebih tinggi dari prevalensi nasional (31,7 persen).
Prevalensi hipertensi tertinggi di provinsi Kalimantan Selatan sebesar 39,9 persen, disusul Jawa Timur
37,4 persen, dan Bangka Belitung 37,2 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Papua sebesar 20,1
persen.

3. Prevalensi penyakit jantung

Gambar 6.18.
Prevalensi penyakit
jantung menurut
provinsi tahun 2007
(Kemenkes RI)

Terdapat 16 provinsi memiliki prevalensi penyakit jantung lebih tinggi dari prevalensi nasional (7,2 persen).
Prevalensi penyakit jantung tertinggi di provinsi NAD sebesar 12,6 persen, disusul Sulawesi Tengah 11,8
persen, dan Sumatera Barat 11,3 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Bengkulu sebesar 0,3 persen.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

143
4. Prevalensi penyakit sendi

Gambar 6.19.
Prevalensi
penyakit
sendi menurut provinsi
tahun 2007 (Kemenkes
RI)

Terdapat 11 provinsi memiliki prevalensi penyakit sendi lebih tinggi dari prevalensi nasional (30,3 persen).
Prevalensi penyakit sendi tertinggi di provinsi Jawa Barat sebesar 41,7 persen, disusul Papua Barat 38,2
persen, dan NTT 38 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Kepulauan Riau sebesar 17,6 persen.

5. Prevalensi asma

Gambar 6.20.
Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2007
(Kemenkes RI)

Terdapat 17 provinsi memiliki prevalensi penyakit asma lebih tinggi dari prevalensi nasional (3,5 persen).
Prevalensi penyakit asma tertinggi di provinsi Gorontalo sebesar 7,2 persen, disusul Sulawesi Tengah 6,5
persen, dan Papua 5,5 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Lampung sebesar 1,5 persen.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

144
6. Prevalensi DM

Gambar 6.21.
Prevalensi DM menurut provinsi tahun 2007
(Kemenkes RI)

Terdapat 16 provinsi memiliki prevalensi DM lebih tinggi dari prevalensi nasional (1,1 persen). Prevalensi
DM tertinggi di provinsi NAD sebesar 1,7 persen, disusul DIY 1,6 persen, dan Sulawesi Tengah 1,6 persen.
Sedangkan prevalensi terendah di Lampung sebesar 0,4 persen.

7. Prevalensi tumor/kanker

Gambar 6.22.
Prevalensi tumor/kanker menurut provinsi
tahun 2007 (Kemenkes
RI)

Terdapat 11 provinsi memiliki prevalensi tumor/kanker lebih tinggi dari prevalensi nasional (4,3 persen).
Prevalensi penyakit tumor/kanker tertinggi di provinsi DIY sebesar 9,6 persen, disusul Jawa Tengah 8,1
persen, dan DKI Jakarta 7,4 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Maluku sebesar 1,5 persen.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

145
8.

Prevalensi cedera

Gambar 6.23.
Prevalensi cedera menurut
provinsi tahun 2007 (Kemenkes RI)

Terdapat 15 provinsi memiliki prevalensi cedera lebih tinggi dari prevalensi nasional (7,5 persen).
Prevalensi cedera tertinggi di provinsi NTT sebesar 12,9 persen, disusul Kalimantan Selatan 12 persen,
dan Gorontalo 11,1 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Sumatera Utara sebesar 3,8 persen.

TANTANGAN DAN KEBIJAKAN


Penyakit tidak menular merupakan masalah kesehatan masyarakat yang merupakan tantangan baru
kedepan. Hal ini diperberat dengan adanya beban ganda epidemiologi dimana sampai saat ini penyakit
menular juga belum teratasi. Penyakit tidak manular (PTM) merupakan salah satu penyebab kematian
tertinggi di Indonesia. Tahun 2007 proporsi kematian akibat PTM sebesar 59,5 persen dari seluruh
penyebab kematian (Riskesdas 2007). Angka ini meningkat dari sebelumnya 41,7 persen tahun 1995 dan
49,9 persen tahun 2001 (SKRT 1995 dan 2001).
Untuk megendalikan PTM di Indonesia pemerintah menargetkan beberapa hal diantaranya adalah
menurunkan angka kematian akibat PTM sebesar 25 persen dan menurunkan persentase prevalensi PTM
sebesar 10 persen.

UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN


TARGET
Upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat PTM dilakukan dengan advokasi untuk
mendapat dukungan dan komitmen politis serta upaya promosi gaya hidup sehat, yaitu tidak merokok,
diet sehat, aktivitas fisik cukup, membatasi konsumsi alkohol. Upaya lain dengan deteksi dini faktor risiko
dan PTM melalui kegiatan Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM). Deteksi dini tersebut meliputi
obesitas umum dan obesitas sentral, hipertensi, gula darah, kolesterol darah, kapasitas paru, amfetemin
urin, Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA) untuk kanker leher rahim dan Clinical Breast Examination
untuk kanker payudara. Program lain adalah dengan meningkatkan akses pengobatan dan penyiapan
peralatan diagnosis dan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Sedangkan untuk pasien
PTM stadium akhir dilakukan pelayanan paliatif dan rehabilitatif di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

146
Kotak 6.4
Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Penyakit Tidak Menular
(PTM)
Dalam
rangka
menyiapkan
SDM
pengendalian kanker di tingkat provinsi,
Direktorat PPTM mengadakan training
of trainers (TOT) Pengendaalian PTM
terintegrasi. Gambar tersebut adalah TOT
PPTM terintegrasi di provinsi Sulawesi
Tenggara tahun 2012. Tujuannya adalah
membentuk tim pelatih provinsi, yang
dibagi menjadi 3 katagori yaitu manajemen,
teknis PTM terintegrasi, dan kelas kanker.
Dengan TOT ini, pelatih yang dibentuk
akan menindaklanjuti dengan pelatihan di
wilayahnya dan pengembangan program
pengendalian PTM.

Dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan


kematian akibat kanker leher rahim (serviks) dan
kanker payudara, dilakukan pelatihan deteksi
dini kedua kenker tersebut pada dokter umum
dan bidan, dengan metode Inspeksi Visual
dengan Asam asetat (IVA) untuk kanker leher
rahim dan Clinical Breast Examination (CBE)
untuk kanker payudara.. Salah satu kegiatan
dilakukan di Karawang, Jawa Barat tahun 2007.
Tujuannya untuk membentuk provider deteksi
dini di Puskesmas. Dengan kegiatan ini, cakupan
deteksi dini kanker leher rahim dan payudara
dapat ditingkatkan untuk mencapai 80 persen
perempuan berusia 30-50 tahun.
Dalam rangka deteksi dini dan monitoring faktor risiko
PTM di masyarakat dilakukan kegiatan Pos Pembinaan
Terpadu (Posbindu) PTM. Salah satunya di Bekasi,
Jawa Barat tahun 2009. Pemeriksaan yang dilakukan
diantaranya dengan mengukur lingkar perut seperti
dalam foto (kiri), yang dilakukan oleh kader. Selain itu
dilakukan pemeriksaan faktor risiko lainnya dengan
wawancara seperti merokok, diet tidak sehat, aktivitas
fisik, dan konsumsi alkohol, serta pemeriksaan tekanan
darah, gula darah, dan kolesterol darah. Tujuannya agar
masyarakat mawas diri melalui kegiatan pemberdayaan
masyarakat tersebut. Selain pemeriksaan faktor risiko,
dilakukan juga kegiatan senam bersama (foto kanan).

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

TUJUAN 7:
MEMASTIKAN KELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP

Sumber foto: UNDP Indonesia

Sumber: UNDP Indonesia

149

TUJUAN 7:
MEMASTIKAN KELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
TARGET 7A

MEMADUKAN PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN


DALAM KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL SERTA MENGURANGI
KERUSAKAN PADA SUMBER DAYA LINGKUNGAN
Indikator

Acuan dasar

Saat ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan dan program nasional
serta mengurangi kerusakan pada sumberdaya lingkungan

7.1

Rasio luas kawasan tertutup


pepohonan berdasarkan hasil
pemotretan citra satelit dan
survei foto udara terhadap
luas daratan

59,97% (1990)

52,54% (2012)

Meningkat

7.2

Jumlah emisi karbon dioksida


(CO2)

247.522
Gg CO2
(2000)

339.426 Gg CO2e
(2005)
356.823Gg CO2e
(2008)

Berkurang

7.2a

Jumlah konsumsi energi


primer (per kapita)

2,64 BOE
(1991)

3,46 (2012)

Berkurang

1,00 SBM/USD
1.000 (2012)

Menurun
Menurun

Kementerian
Kehutanan

Kementerian
Lingkungan
Hidup

Kementerian
Energi dan
Sumber Daya
Mineral

7.2b

Intensitas energi

5,28 SBM/ USD


1.000 (1990)

7.2c

Elastisitas energi

0,98 (1991)

1.6 (2010)

7.2d

Bauran energi untuk energi


terbarukan

3,5% (2000)

6,00% (2012)

7.3

Jumlah konsumsi bahan


perusak ozon (BPO) dalam
metrik ton

8.332,7 metrik
ton BPO (1992)

202 metric tons


methyl bromide,
5,001.87 metric
tons (2012)

0 CFCs
sementara HCFCs
menurun

Kementerian
Lingkungan
Hidup

7.4

Proporsi tangkapan ikan yang


berada dalam batasan biologis
yang aman

66,08% (1998)

93,25% (2012)

Tidak
terlampaui

Kementerian
Kelautan &
Perikanan

7.5

Rasio luas kawasan lindung


untuk menjaga kelestarian
keanekaragaman hayati
terhadap total luas daratan (*)

26,40% (1990)

28,45% (2012)

Meningkat

Kementerian
Kehutanan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

150
7.6

Rasio kawasan lindung


perairan terhadap total luas
perairan teritorial

0,14% (1990)*

5,1% (2012)**

Meningkat

* Kementerian
Kehutanan
** Kementerian Kelautan &
Perikanan

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus


(*) Angka sebagai acuan dasar merujuk pada rasio luas kawasan lindung terhadap total luas daratan, bukan terhadap luas
kawasan hutan. Penjelasan lebih lanjut pada pembahasan Target 7.5.

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


PROPORSI KAWASAN DARATAN YANG TERTUTUP HUTAN
Laporan MDGs tahun 2010 dan 2011 memperlihatkan proporsi tutupan hutan tidak mengalami perubahan
yang berarti sebagaimana ditampilkan pada Gambar 7.1. Data Statistik Kehutanan terbaru memperlihatkan
bahwa rasionya pada tahun 2012 masih berkisar pada angka yang sama, yaitu 52,54 persen. Namun,
dibandingkan dengan tahun 2003, terjadi peningkatan sekitar 4 persen meskipun masih perlu upaya
keras sesuai dengan target untuk meningkat dari kondisi tahun 1990. Pada periode 1990-1996 terjadi
deforestasi yang cukup tinggi dengan laju rata-rata 1,87 juta hektar/tahun. Laju deforestasi ini meningkat
pada periode 1996-2000 hingga mencapai angka tertinggi, rata-rata 3,51 juta hektar/tahun. Pada periode
2000-2003 laju telah berkurang menjadi sekitar 1 juta hektar/tahun, tetapi tutupan hutan telah berkurang
drastis dari 59,97% pada tahun 1990 menjadi 48,97% pada tahun 2003. Belum mantapnya tata kelola
sumber daya hutan, pembukaan hutan untuk perkebunan, permukiman dan infrastruktur, banyaknya
penebangan liar, perdagangan liar, dan kebakaran hutan menjadi faktor tingginya pengurangan hutan.

Gambar 7.1
Tutupan Hutan dalam
Laporan
Terdahulu
dan Data Tahun 2012
Sumber: Kementerian Kehutanan

Upaya peningkatan tutupan hutan terus dilakukan melalui kegiatan reboisasi (di dalam kawasan hutan)
dan penghijauan (di luar kawasan hutan). Pada tahun 2003 diluncurkan Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (GN-RHL) dengan target seluas 3 juta hektar sampai tahun 2007. Pada RPJMN 20102014 ditetapkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 2,5 juta hektar untuk periode lima tahun.
Meskipun demikian, hasil rehabilitasi tidak dapat dihitung dalam waktu singkat mengingat perlu waktu

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

151
untuk tumbuhnya pepohonan. Dalam kurun waktu selama 10 tahun dari 2003 hingga 2012, peningkatan
tutupan hutan hanya tercapai sebesar 4%.
Data tutupan hutan per provinsi menunjukkan adanya disparitas dengan kecenderungan pada tiap
provinsi tidak sama. Di luar Provinsi DKI Jakarta, sekitar 17 provinsi memperlihatkan adanya kenaikan, 10
provinsi mengalami penurunan dan 5 provinsi cenderung tetap. Secara nasional, rata-rata tutupan hutan
tidak berubah.

Gambar 7.2
Disparitas Tutupan
Hutan
Sumber: Kementerian Kehutanan

PENURUNAN EMISI KARBON


Penurunan emisi karbon dioksida (CO2) mengindikasikan keberhasilan penurunan dalam intensitas
konsumsi energi. Emisi CO2, bersama-sama dengan metan dan chloro-uorocarbons (CFCs) adalah hasil
produksi aktivitas manusia dan dikategorikan sebagai efek Gas Rumah Kaca (Green House Gasses/GHGs).
Tingginya konsentrasi bahan kimia tersebut di lapisan biosfir memicu pemanasan global dan perubahan
iklim.1 Emisi efek Gas Rumah Kaca (GRK) diukur dalam tingkat konsentrasi CO2 atau CO2 ekivalen. Upaya
untuk mengurangi emisi GRK telah disepakati secara internasional melalui Protokol Kyoto, dimana
Indonesia meratifikasi Protokol ini dengan penerbitan UU No. 17/2004.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, untuk Laporan MDGs sebelumnya (tahun
2011), angka penurunan emisi karbon dioksida sebesar 1.377.983Gg CO2e (2000) dan1.791.372 Gg CO2e
(2005) merupakan angka total emisi gas rumah kaca (GRK) tahun 2000 dan 2005 dari sektor energi, proses
industri, pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, serta limbah, dan memuat gas rumah kaca
yang sudah disetarakan dari CO2, N2O dan CH4 disetarkan menjadi CO2 ekuivalen (e) (lihat tabel berikut).

Reports on the Achievement of Millennium Development Goals, Indonesia, 2011

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

152
Acuan
Dasar

Indikator
7.2

Jumlah
1.377.983
emisi karbon Gg CO2e
dioksida (CO2) (2000)

Target
MDGs
2015

Status

Berkurang

Data Terbaru

1.791.372 Gg CO2e
(2005)
1.711.626 Gg CO2e
(2008)

Sumber
Kementerian
Lingkungan
Hidup

Dengan demikian angka 1.377.983Gg CO2e (2000) dan1.791.372 Gg CO2e (2005) mencakup semua unsur
GRK yaitu CO2, N2O dan CH4. Jumlah emisi karbon dioksida (CO2) (Indikator 7.2) merupakan satu kesatuan
dengan Indikator 7.2a, 7.2b, 7.2c dan 7.2d yang semuanya menyangkut energi. Dengan demikian, emisi
CO2 yang dicantumkan untuk Indikator 7.2, sebagaimana terlihat dalam Tabel induk diatas, adalah emisi
CO2 yang bersumber dari kegiatan energi. Dengan demikian, angka CO2 sebesar 247.522 Gg CO2(2000),
339.426 Gg CO2 (2005) dan 356.823 Gg CO2 (2008) merupakan jumlah emisi CO2 yang bersumber dari
kegiatan energi.

Pengurangan rasio konsumsi energi


Konsumsi energi dicatat sebagai konsumsi energi konvensional dari penggunaan batubara, gas alam,
bahan bakar berbasis minyak, biomasa, briket, elpiji dan listrik. Laporan tahun 2007 dan 2010 keduanya
mencatat peningkatan konsumsi energi untuk 15 tahun terakhir. Sebagaimana tercatat pada Laporan tahun
2007 (Lihat tabel di bawah), konsumsi energi meningkat stabil dari 502 juta BOE (Barrel Oil Equivalent
atau Setara Barel Minyak/SBM) menjadi 864 juta BOE dengan peningkatan pertahun sebesar 4,8 persen.
Tabel 7.1. Konsumsi energi , 1990 2005 (dinyatakan dalam BOE)
Bahan Bakar
Tahun

Batubara

1990

Gas Alam

9,441,700

43,936,367

berbasis Minyak

LPG
2,705,853

173,135,825

Listrik
18,788,299

Biomasa
253,511,737

Total
501,519,781

1995

16,924,331

52,562,903

5,862,353

245,233,214

30,366,459

250,698,020

601,647,280

2000

36,950,289

84,004,525

8,127,722

307,580,862

49,569,525

269,042,410

755,275,333

2005

72,641,206

99,058,305

8,994,971

347,289,308

65,644,844

270,121,756

863,750,390

Sumber: Laporan MDGs tahun 2007

Sejak tahun 2010, rasio konsumsi energi diukur sebagai BOE per kapita. Laporan tahun 2010 mencatat
bahwa pada tahun 2008, rasio konsumsi energi dalam BOE per kapita adalah 4,3. Data terakhir yang
tersedia untuk tahun 2010 adalah 4,95. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 15 persen
dalam dua tahun, atau 7,5 persen pertahun. Meskipun demikian, menurut catatan terakhir2 konsumsi
energi final pada tahun 2011 tercatat lebih dari 1.000 juta BOE (lihat tabel di bawah ini).
Konsumsi energi final, juta BOE
Batubara
144.57

Minyak
363.83

Gas
92.80

Listrik
98.00

Briket
0.07

LPG
37.05

Biomasa
280.05

Total
1,016.37

Dengan jumlah penduduk total sebanyak 241.233.700, rasio konsumsi energi yang dinyatakan dalam
BOE per kapita, tercatat lebih kecil dari catatan tahun 2008. Tidak ada penjelasan yang diberikan kenapa
konsumsi energi ini berkurang. Apabila hal ini benar, maka pengurangan konsumsi energi ini merupakan
2

Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, 2012, Ministry of Energy and Mineral Resources

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

153
perkembangan yang menggembirakan. Diperlukan analisis lebih lanjut apakah pengurangan konsumsi
energi ini diakibatkan hanya karena adanya kebijakan baru atau karena faktor-faktor lain.

Pengurangan intensitas energi


Laporan tahun 2007 mencatat bahwa sejalan dengan berjalannya waktu, jenis bahan bakar yang digunakan
oleh rumah tangga untuk memasak telah beralih menjadi bahan bakar yang lebih aman dari segi emisi
yang diproduksi selama pembakaran. Proporsi penduduk yang menggunakan kayu bakar dan arang untuk
memasak baik di perkotaan maupun di perdesaan telah menurun secara rata-rata dari 87,4 persen pada
tahun 1971 menjadi 70,2 persen di tahun 1989. Sementara ini, penggunaan listrik, gas dan minyak tanah
telah meningkat dari 0,1-11,7 persen tahun 1971 menjadi 0,7-26,85 persen di tahun 1989.

Gambar 7.3
Konsumsi Energi Pada
Laporan Terdahulu
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

JUMLAH KONSUMSI BAHAN PERUSAK OZON (BPO)


Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina tentang perlindungan lapisan ozon dan Protokol Montreal
tentang pengaturan bahan-bahan yang dapat merusak ozon, melalui Keputusan Presiden No. 23 tahun
1992. Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan setiap keputusan yang ditetapkan, diantaranya
untuk menghapuskan konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dan melaporkan data konsumsi BPO setiap
tahunnya kepada Sekretariat Ozon dan Multilateral Fund (MLF) Protokol Montreal. Konsumsi BPO
dalam Protokol Montreal didefinisikan sebagai Konsumsi = (Produksi + Impor) Ekspor. Indonesia tidak
memproduksi dan mengekspor BPO, oleh karena itu, tingkat ketaatan Indonesia diukur dari kemampuan
Indonesia mengendalikan Impor BPO.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (2013), Chlorofluorocarbon (CFC), halon,
carbontetrachloride (CTC), methyl chloroform (TCA) dan methyl bromide (MBr) untuk keperluan fumigasi
non karantina dan pra-pengapalan merupakan jenis BPO yang telah dihentikan impornya di Indonesia
sejak 1 Januari 2008, atau dua tahun lebih awal dari jadwal yang ditetapkan oleh Protokol Montreal bagi
negara-negara Artikel 5 (negara-negara dengan konsumsi BPO kurang dari 0,3 kg/kapita/pertahun). Saat
ini BPO yang masih diperkenankan untuk diimpor yaitu jenis hydrochlorofluorocarbon (HCFC) dan methyl
bromide (MBr) untuk aplikasi karantina dan pra-pengapalan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

154
HCFC merupakan BPO yang saat ini masih digunakan secara luas terutama di negara berkembang sebagai
alternatif pengganti sementara CFC. Disebut sebagai pengganti sementara karena bahan tersebut masih
memiliki potensi merusak ozon walaupun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan CFC. Selain itu HCFC
juga memiliki nilai potensi pemanasan global yang cukup tinggi, dimana jenis HCFC yang paling umum
digunakan memiliki hampir 2.000 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO2) dalam meningkatkan
pemanasan global. Mempertimbangkan kondisi tersebut, Meeting of Parties Protokol Montreal pada
tahun 2007 memutuskan untuk mempercepat jadwal penghapusan BPO jenis HCFC. Sehingga setiap
negara pihak mulai menyusun strategi penghapusan HCFC secara bertahap sesuai dengan jadwal yang
telah ditetapkan.

PROPORSI CADANGAN IKAN DALAM BATAS BIOLOGIS AMAN


Proporsi penangkapan ikan harus dijaga agar selalu dibawah batas biologis aman. Pada tahun 1998
yang merupakan tahun dasar, prorporsi cadangan ikan di dalam batas biologis aman adalah 66,08%.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/MEN/2011tentang Estimasi
Potensi Sumber Daya Ikan (SDI) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi
lestari SDI di perairan laut atau Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah sebesar 6,52 juta ton/per tahun.
Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total
Allowable Catch (TAC) adalah sebesar 80% dari potensi lestari atau sebesar 5,216 juta ton.
Besaran angka potensi lestari SDI yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanandimaksud tidak menghitung seluruh jenis komoditas, tetapi hanya untuk sebagian komoditas
saja yakni: (1) pelagis besar, (2) tongkol, (3) pelagis kecil, (4) ikan karang konsumsi, (5) udang paraneid, (6)
lobster, (7) cumi-cumi. Untuk jenis sumber daya lainnya, karena sifat biologisnya, nilai ekonomisnya, atau
sangat beragamnya jenis sumber daya ikan, maka sumber daya tersebut tidak/belum diestimasi. Apabila
melihat produksi tahun 2012 dan 2013, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Produksi ikan, dalam ton

2012

2013

4.864.117

4.895.120

Kelompok sumber daya ikan yang tidak/belum


diestimasi potensinya (tuna, binatang lunak selain
cumi-cumi, kepiting, rajungan, udang lainnya,
binatang berkulit keras lainnya, binatang air lainnya,
rumput laut)

571.516

563.370

Perairan umum daratan

393.561

404.680

5.829.194

5.863.170

Kelompok sumber daya ikan yang diestimasi


potensinya (ikan pelagis besar, ikan pelagis
kecil, ikan demersal, udang penaeid, ikan karang
konsumsi, lobster, cumi-cumi)

Total
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Dari data tersebut terlihat bahwa apabila dibandingkan terdahap komoditas yang telah diestimasi
produksinya, produksi perikanan tangkap di laut tahun 2012 dan 2013 masih berada di bawah JTB (TAC),
yakni 93,25 persen pada tahun 2012 dan 93,84 persen pada tahun 2013, sebagaimana terlihat dalam
Gambar 7.4.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

155

Gambar 7.4
Produksi
Perikanan
Dibandingkan dengan
Jumlah
Tangkapan
Yang Diperbolehkan
(JTB), Tahun 20122013
Sumber: Kementerian Kelauatan dan Perikanan
Catatan: *) Produksi perikanan laut yang komoditasnya diperhitungkan dalam potensi lestari dan JTB

PROPORSI KAWASAN LINDUNG DARATAN


Kawasan lindung daratan dalam MDGs meliputi kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan konservasi
daratan dan hutan lindung. Kawasan hutan konservasi (daratan dan perairan) mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman hayati di tingkat ekosistem, tumbuhan dan satwa, serta genetik. Kawasan
hutan lindung berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi laut dan memelihara kesuburan tanah. Pada
tahun 2008 Indonesia memiliki kawasan lindung daratan seluas 49.553,6 ribu hektar dan terus meningkat
hingga tahun 2012 mencapai 53.433,9 ribu hektar.
Pada Laporan MDGs proporsi kawasan lindung daratan dihitung berdasarkan perbandingan luas kawasan
lindung daratan dibagi dengan total luas daratan. Pada tahun 1990 telah dihitung rasio sebesar 26,4%.
Angka ini sempat meningkat pada tahun 2005 sejalan dengan penetapan sejumlah kawasan konservasi
(taman nasional) baru sehingga proporsi meningkat menjadi sebesar 27,59% sebagaimana disampaikan
pada Laporan MDGs 2007. Namun, terjadinya konversi hutan menyebabkan berkurangnya kawasan
lindung daratan yang berdampak pada berkurangnya rasio pada tahun 2009, sebesar 26,39%. Upaya
peningkatan luas kawasan lindung daratan terus dilakukan sehingga pada tahun 2012 dicapai 28,45%.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

156

Gambar 7.5
Rasio Kawasan Lahan
Lindung Pada Laporan
Terdahulu dan Data
Tahun 2012

Perlu disampaikan bahwa pada Laporan MDGs 2010 dan 2011 indikator proporsi kawasan lindung daratan
dituliskan sebagai perbandingan luas kawasan lindung daratan dengan total luas kawasan hutan, bukan
total luas daratan. Meskipun demikian, angka persentase yang ditampilkan sebagai pencapaian merupakan
perbandingan luas kawasan lindung daratan dengan total luas daratan. Tabel berikut menjelaskan
perbedaan yang ada agar terjadi konsistensi dalam setiap laporan.

a. Luas kawasan lindung


daratan
b. Total luas kawasan hutan
Persentase (a:b)
c. Total luas daratan
Persentase (a:c)

2008

2009

2010

2011

2012

49.553,6

49.553,6

51.688,6

51.688,6

53.443,9

132.397,7

132.397,7

133.513,8

133.513,8

131.276,4

37,43%

37,43%

38,71%

38,71%

40,71%

187.784,7

187.784,7

187.670,6

187.840,9

187.840,9

26,39%

26,39%

27,54%

27,52%

28,45%

Sumber: Data Statistik Kehutanan 2009, 2010, 2011, 2012, 2013

Data proporsi luas kawasan lindung daratan dan total luas daratan untuk setiap provinsi menunjukkan
terjadinya disparitas sebagaimana ditampilkan pada Gambar 7.6. Hanya 5 provinsi yang memiliki persentase
kawasan lindung daratan sedikitnya 40%, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Barat, Papua dan Papua
Barat. Peningkatan sangat drastis terjadi pada Provinsi Kalimantan Tengah dengan dikeluarkannya Surat
keputusan Menteri Kehutanan pada tahun 2012 yang menetapkan adanya alih fungsi dari hutan produksi
menjadi hutan konservasi dan lindung sehingga terjadi kenaikan dari 10% pada tahun 2011 menjadi
19,23% pada tahun 2012. Terlihat juga bahwa sekitar 20 provinsi mengalami peningkatan sehingga secara
keseluruhan Indonesia pun mengalami kenaikan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

157

Gambar 7.6
Disparitas Provinsi
untuk Kawasan
Lindung Daratan

Sumber: Kementerian Kehutanan

RASIO KAWASAN LINDUNG PERAIRAN (Indikator 7.6)


Kawasan lindung perairan atau sering disebut sebagai kawasan konservasi perairan merupakan kawasan
pesisir dan laut yang dilindungi untuk melestarikan ekosistem dan menjamin ketersedian dan keberlanjutan
sumber daya pesisir . Kawasan konservasi perairan memelihara fungsi konservasi ekosistem kawasan
perairan pantai, termasuk biodiversitas kawasan sekitarnya. Laporan tahun 2007 mengindikasikan bahwa
tahun 2002 Indonesia telah memiliki kawasan konservasi perairan yang meliputi luas 5,07 juta hektar. Ini
meningkat pada tahun 2005 menjadi 6,08 juta hektar.
Di depan sidang Pertemuan Para Pihak CBD pada Maret 2006 di Brasil, Presiden menyatakan bahwa
Indonesia mempunyai target untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan (KKP) seluas 10 juta ha
pada tahun 2010 dan menjadi dua kali lipat pada tahun 2020. Lebih lanjut didalam rencana Kementerian
Kelautan dan Perikanan dinyatakan bahwa untuk menuju 20 juta ha, maka luasan KKP pada tahun 2014
ditargetkan sudah mencapai 15,5 juta ha, sehingga di dalam kurun waktu 6 tahun selanjutnya harus
mengembangkan minimal 4,5 juta KKP baru.

Sampai dengan tahun 2013, luas Kawasan Konservasi Perairan mencapai 15,76 juta ha yang
merupakan inisiasi Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan
Pemerintah Daerah (lihat tabel berikut dan grafik pada Gambar 7.7).
Tabel 7.2. Perkembangan Luasan Kawasan Konservasi Perairan, 2003-2013
Tahun

Kementerian Kelautan dan


Perikanan dan Pemerintah
Daerah

Kementerian
Kehutanan

Total (ha)

2003

733,00

5.418.931,55

5.419.664,55

2004

50.496,00

5.418.931,55

5.469.427,55

2005

1.417.889,53

5.418.931,55

6.836.821,08

2006

1.527.682,40

5.418.931,55

6.946.613,95

2007

3.512.019,66

5.418.931,55

8.930.951,21

2008

4.189.602,00

5.418.931,55

9.617.533,55

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

158
Tahun

Kementerian Kelautan dan


Perikanan dan Pemerintah
Daerah

Kementerian
Kehutanan

2009

8.868.634,31

4.694.947,55

13.563.581,86

2010

9.256.413,11

4.694.947,55

13.951.360,66

2011

10.717.578,78

4.694.947,55

15.412.526,33

2012

11.089.181,97

4.694.947,55

15.784.129,52

2013

11.069.263,30

4.694.947,55

15.764.210,85

Total (ha)

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Gambar 7.7
Grafik Perkembangan
Kawasan Konservasi
Perairan, 2003-2013

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Sebagaimana terlihat dalam grafik, luas Kawasan Konservasi Perairan pada tahun 2012 mencapai 15,78
juta Ha, dan menurun sedikit pada tahun 2013 menjadi 15,76 juta Ha. Hal tersebut dikarenakan adanya
penurunan luasan yang signifikan di KKP Daerah (KKPD) Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dari 1,27
juta Ha (Peraturan Bupati Berau No. 31/2005) menjadi 285,266 Ha (Surat Keputusan Bupati Berau No.
516/2013) dan penurunan luasan KKPD Batang dari 8.369,75 Ha menjadi 4.015,20 Ha. Sementara itu,
pada tahun 2013 terdapat 19 KKPD baru yang dibentuk atas inisiasi pemerintah daerah. Secara rinci, jenis
kawasan konservasi, jumlah kawasan, dan status luasan Kawasan Konservasi Perairan pada akhir 2013
adalah sebagai berikut:

Tabel 7.3. Jenis Kawasan Konservasi, Jumlah Kawasan, dan Status Luasan Kawasan Konservasi
Perairan, 2013
No

Kategori

Kategori

Luas (ha)

A. Kementerian Kehutanan

32

4.694.947,60

Taman Nasional Laut

4.043.541,30

Taman Wisata Alam Laut

14

491.248,00

Suaka Margasatwa Laut

5.678,30

Cagar Alam Laut

154.480,00

B. Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemda

99

11.073.887,80

Taman Nasional Perairan

3.521.130,00

Suaka Alam Perairan

445.630,00

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

159
No

Kategori

Kategori

Luas (ha)

Taman Wisata Perairan

1.541.040,20

Kawasan Konservasi Perairan Daerah

89

5.561.463,10

131

15.764.210,90

TOTAL

Pada tanggal 4 Maret 2009, telah dilakukan serah terima antara Kementerian Kehutanan dengan
Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk 8 (delapan) kawasan suaka alam yakni Suaka Alam Perairan
(SAP) Kepulauan Aru Tenggara; SAP Kepulauan Raja Ampat; SAP Kepulauan Waigeo sebelah Barat; Taman
Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang; TWP Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan; TWP
Kepulauan Padaido; TWP Laut Banda; dan TWP Pulau Pieh.

TANTANGAN
Pencapaian target pada Tujuan 7 menghadapi berbagai tantangan sehingga beberapa indikator masih
mendapatkan status Perlu Perhatian Khusus, yaitu Indikator 7.1 dan 7.2. Proporsi tutupan hutan sebagai
indikator 7.1 masih sulit untuk dicapai karena tantangan dalam upaya pemeliharaan atas hasil kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan. Penyediaan bibit dan penanaman dilaksanakan secara
masif, tetapi tidak adanya pemeliharaan atas hasil penanaman di tingkat tapak menyebabkan tingkat
keberhasilan dari rehabilitasi hutan dan lahan masih sangat rendah. Di samping itu, perlunya waktu bagi
bibit tanaman untuk tumbuh dan dapat diidentifikasi dari citra satelit sebagai tutupan hutan.
Tantangan lain yang dihadapai pada saat ini adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK)
yang disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic). Jenis/tipe GRK yang keberadaannya di atmosfir
berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, SF6, dan senyawasenyawa halocarbon yang tidak termasuk Protokol Montreal. Dari semua jenis gas tersebut, GRK utama
ialah CO2, CH4, dan N2O. Dari ketiga jenis gas ini, yang paling banyak kandungannya di atmosfer ialah
CO2 sedangkan yang lainnya sangat sedikit sekali. Sumber emisi GRK karbondioksida terutama dihasilkan
dari kegiatan penggunaan dan penyediaan energi. Sektor energi biasanya merupakan sektor yang paling
penting dalam kontribusi emisi gas rumah kaca, dan biasanya memberikan kontribusi lebih dari 90 persen
dari emisi CO2 dan 75 persen dari emisi gas rumah kaca total di negara maju.
Pada tahun 2010 total CO2 equivalen sebesar 430.516 Gg CO2 eq dengan emisi CO2 sebesar 400.344Gg
CO2 ekivalen, CH4 1.282Gg CO2 ekivalen dan N2O sebesar 10.54Gg CO2 ekivalen. Tabulasi Emisi tahun gas
rumah kaca tahun 2006-2009 adalah seperti yang terlihat pada table berikut ini. Emisi dari tahun ke tahun
cenderung naik kecuali pada tahun 2009 dimana emisi menurun sebesar 20.000 Gg ton atau sebesar 5%
dari tahun 2008. Pada tahun 2009, data konsumsi bahan bakar pada tabel keseimbangan energi menurun
hal ini mengakibatkan emisi gas rumah kaca pada tahun tersebut juga menurun.
CO2

CH4

N2O

Total

Gg CO2

GgCH4

GgN2O

CO2eq

2006

301.876,2

1.873,914

12,16

344.999,2

2007

338.565,9

1.566,421

9,63

374.446,8

2008

356.823

1.209,886

9,26

385.103,6

2009

337.245,6

1.223,92

9,28

365.825,6

2010

400.344,6

1.282,006

10,48

430.516

Tahun

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

160
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs
Telah banyak upaya yang telah dilakukan dalam memperbaiki kerusakan lingkungan oleh Pemerintah
Indonesia. Laporan sebelumnya telah memuat berbagai kebijakan, strategi dan program pemerintah
pada saat laporan tersebut disusun. Boks 7.1 dan uraian berikutnya menghimpun berbagai kebijakan
pemerintah dalam upaya untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, sesuai informasi yang didapatkan
dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kotak 7.1
Kebijakan Umum Pemerintah dalam Pengamanan Lingkungan
Isu kerusakan lingkungan dan perubahan iklim semakin hari menjadi isu yang sangat penting untuk
ditangani. Persoalan lingkungan tidak semakin membaik, penanganan perbaikan belum sebanding
dengan peningkatan persoalan lingkungan. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya fenomena
perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia telah menyampaikan komitmen untuk menangani persoalan kerusakan
lingkungan dan perubahan iklim. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2009-2014 telah menetapkan prioritas pembangunan pengelolaan lingkungan hidup yang diarahkan
pada Konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup mendukung pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan yang berkelanjutan, disertai penguasaan dan pengelolaan resiko bencana untuk
mengantisipasi perubahan iklim.
Berkenaan dengan hal tersebut, pada tanggal 19 Oktober 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
telah memberikan 3 (tiga) arahan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup. Pertama, agar KLH
memastikan bisnis bidang pertambangan benar-benar tidak merusak lingkungan. Kedua, peran KLH
dalam penurunan emisi 26% yang dikerjakan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Ketiga,
internasionalisasi KLH dalam masalah perubahan iklim global.
Dalam rangka menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), Indonesia secara sukarela telah menetapkan
target nasional dalam penurunan emisi GRK sebesar 26% dari bussiness as usual pada tahun 2020. Hal
ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi GRK secara global. Komitmen
secara sukarela dari negara berkembang untuk menurunkan emisi GRK, tentunya harus menjadi
stimulan bagi negara maju untuk meningkatkan komitmennya dalam menurunkan emisi GRK.
Kebijakan Umum Pengelolaan Energi Nasional, berdasarkan kepada UU 30/2007 tentang Energi dan
UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba menekankan perntingnya ketahanan energi yang dicapai
melalui (i) jaminan pasokan melalui kegiatan eksplorasi, optimasi dan diversifikasi produksi, (ii) harga
energi melalui subsidi langsung, dan (iii) kesadaran masyarakat tengan diversifikasi dan konservasi
(efisiensi).

Upaya untuk Meningkatkan Rasio Tutupan Hutan dan Kawasan Lahan Lindung
Dalam rangka meningkatkan rasio luas kawasan tertutup pepohonan dan rasio luas kawasan lindung,
Pemerintah Indonesia telah melakukan kegiatan prioritas rehabilitasi hutan dan lahan kritis, termasuk

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

161
hutan bakau (mangrove), pantai, gambut dan rawa pada 108 Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas di
seluruh Indonesia dengan target pada periode 2010-2014 seluas 2,5 juta hektar. Selain itu, dilakukan pula
berbagai upaya perbaikan pengelolaan kawasan hutan di tingkat tapak berupa percepatan penyelesaian
tata batas kawasan hutan dan percepatan beroperasinya Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Lebih lanjut, berbagai upaya untuk mempertahankan tutupan hutan yang ada dari risiko kebakaran hutan
juga telah dilakukan. Pengendalian kebakaran melalui peningkatan kapasitas Manggala Agni, partisipasi
Masyarakat Peduli Api, pengembangan sarana dan prasarana, serta penyediaan informasi terkait kejadian
titik api dan kebakaran. Dengan upaya tersebut, telah terjadi penurunan jumlah titik api (hotspots) dan
berkurangnya luas kawasan hutan yang terbakar, terutama di kawasan yang sering terjadi kebakaran, yaitu
Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Upaya untuk Meningkatkan Bauran Energi, dan Energi Baru dan Terbarukan
Dalam rangka meningkatkan bauran energi untuk energi terbarukan yang bersumber dari panas bumi,
upaya penting yang dilakukan adalah melakukan nota kesepahaman antara Kementerian ESDM dengan
Kementerian Kehutanan dengan tujuan mempercepat proses perijinan pengusahaan panas bumi di
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, serta mempersiapkan langkah-langkah agar kegiatan
panas bumi dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip
konservasi. Selain itu, juga dilakukan upaya revisi harga pengusahaan panas bumi melalui penyempurnaan
Permen ESDM No. 2 Tahun 2011 untuk penerapan feed-in tariff dengan mempertimbangkan ketersediaan
sumber energi untuk pembangkit listrik yang ada di suatu daerah dan daya dukung lingkungannya.
Beberapa upaya peningkatan pemanfaatan energi terbarukan antara lain dilakukan melalui (i)
penyempurnaan kebijakan dan regulasi; (ii) penciptaan pasar, diantaranya melalui kewajiban penyediaan
dan pemanfaatan bahan bakar nabati/BBN, kewajiban PLN untuk membeli listrik, penerapan SNI, dan
lain-lain; (iii) pemberian subsidi untuk BBM, yang telah berjalan sejak tahun 2009, diberikan atas selisih
harga BBM dengan harga BBN, dan disalurkan melalui Pertamina; (iv) penetapan harga jual listrik yang
ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM yang mengatur harga jual listrik dari energi terbarukan yang
dibeli oleh PLN; (v) pemberian insentif dan kemudahan, antara lain melalui pengurangan pajak dan
bea masuk; (vi) penyediaan anggaran dan pendukung lainnya; (vii) peningkatan kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia; (viii) peningkatan penelitian di bidang EBT; dan (ix) peningkatan kerjasama dengan
negara lain dan organisasi internasional. Tabel berikut memperlihatkan gambaran tentang implementasi
pemanfaatan EBT.
No

Sumber Daya

Cadangan

Produksi

Listrik dari
Panas Bumi

16.502 MW

Sampai dengan Mei 2013:


Kapasitas terpasang adalah 1.341 MW
Produksi uap tahun 2013 31.041.463 ton

Listrik berbasis
Biomassa *)

13.662 MWe

1.364 MWe
On Grid: 75,5 MWe

Biofuel (Bahan
Bakar Nabati)
- Biodiesel

Produksi CPO s.d. akhir


tahun 2013 diperkirakan
mencapai 28 Juta Ton.

Sampai dengan Juni 2013 sebesar 349.000 KL

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

162
No.

Sumber Daya

Cadangan

Produksi

Biogas

Sumber Kementan 28 Juni


2013:
Sapi Potong:
14.824.373 Ekor
Sapi Perah : 597.213
Ekor
Kerbau
:
13.050.078 Ekor

Sampai dengan Juni 2013 mencapai 12.359 m3


(produksi Biogas tahun 2012 mencapai 9.305
m3)

Listrik dari
Tenaga Air
Skala Besar

Potensi tenaga listrik dari


air skala besar sebesar
75.000 MW

Kapasitas terpasang PLTA saat ini adalah 7.059


MW

Listrik dari
Tenaga Mini/
Mikro Hidro

Potensi tenaga listrik dari


tenaga mini/mikro hidro
sebesar 769,69 MW

Kapasitas terpasang PLTM/PLTMH saat ini


adalah 512 MW

Listrik dari
Tenaga Surya
Fotovoltaik

Potensi tenaga listrik dari


tenaga surya adalah sebesar 4,80 kWh/m2/day

Kapasitas terpasang PLTS saat ini adalah 42,779


MW baik itu untuk PLTS Terpusat, PLTS Tersebar, PJU dan Pompa Air Tenaga Surya

Listrik dari
Tenaga Angin

Daerah daerah dengan


kecepatan angin di atas 5
m/s yang potensial untuk
dimanfaatkan sebagai
PLTB adalah di daerah DIY,
Jateng, NTB, NTT, Sulsel,
Sulut dan Sultra

Kapasitas terpasang PLTB saat in adalah 1,331


MW

Sumber: Kementerian ESDM

Untuk penggunaan energi yang lebih efisien, beberapa upaya telah dilakukan dalam konservasi energi
melalui penghematan energi dan audit energi. Upaya-upaya ini dilaksanakan melalui: (i) peningkatan
kesadarah masyarakat, (ii) pedoman teknis untuk penghematan energi, (iii) pelaksanaan program
kemitraan untuk koservasi energi melalui kasa audit energi untuk industri dan dunia konstruksi, (iv)
pelaksanaan manajer energi dalam standar kompetensi kerja nasional,(v) penamaan (labeling) tingkat
efisiensi energi, (vi) pemantauan dan pelaksanaan PP No. 13/2011, dan (vii) penerapan konservasi energi
pada SNI di sektor konstruksi.
Kebijakan, strategi dan program tersebut telah sebagian atau seluruhnya dilaksanakan oleh Pemerintah,
dan hasilnya telah mulai dapat dirasakan dalam memperbaiki lingkungan, dan menjamin lingkungan yang
berkelanjutan. Tidak dapat diragukan bahwa segala upaya tersebut telah memperlihatkan keseriusan
Pemerintah dalam rangka mencegah dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan. Apabila
beberapa indikator ada yang belum mencapai target, itu tidak berarti bahwa semua upaya itu tidak ada
gunanya. Sebaliknya, lebih banyak lagi upaya yang harus dilakukan, karena masalah lingkungan cenderung
menjadi lebih rumit dan lebih mengglobal.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

163
Upaya dalam Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan 2 (dua) peraturan presiden yaitu Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Kedua Peraturan
Presiden tersebut beserta peraturan lainnya akan menjadi kekuatan untuk keberhasilan pencapaian
penurunan emisi gas rumah kaca, dengan memenuhi prinsip yang diakui secara internasional, yaitu
measurable, reportable dan verifiable (MRV). Kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca tersebut
memerlukan percepatan dalam pelaksanaannya. Koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan di
tingkat pusat dan daerah, serta pemantauan dan evaluasi secara berkala diperlukan untuk mengetahui
perkembangan pelaksanaan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca.

Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya


Pada tahun 2011 pemerintah Indonesia telah melaksanakan serangkaian kegiatan dalam rangka
peningkatan kualitas sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain Penebaran Benih Ikan di Laut
Teritorial dan Perairan Kepulauan melalui kegiatan One Man One Thousand Fries yang dilaksanakan baik
oleh pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, dilakukan Pembangunan Rumah Ikan yang merupakan
bagian dari strategi pemulihan sumberdaya ikan dan pengkayaan stock.
Selain itu, dalam rangka inisiasi penerapan manajemen sumberdaya perikanan yang lebih baik,
bertanggungjawab dan berkelanjutan, telah dilakukan penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan
Wilayah Pengelolaan Perikanan (RPP WPP). Penyusunan RPP WPP tersebut dilakukan dengan pendekatan
Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem atau Ecosystem Approach to Fisheries Management
(EAFM).

Upaya untuk meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi perairan


Berdasarkan Undang-undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan diamanatkan
bahwa pengelolaan kawasan konservasi perairan diatur melalui sistem zonasi. Terdapat empat zona dalam
kawasan konservasi perairan yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona
lainnya. Penyusunan rencana zonasi untuk masing-masing kawasan konservasi perairan terus dilakukan.
Kawasan Konservasi Perairan direncanakan akan diperluas menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020.
Peningkatan luasan kawasan konservasi tersebut juga dibarengi dengan upaya menuju pengelolaan yang
efektif. Pada tahun 2011 telah disusun rancangan alat penilaian efektifitas pengelolaan kawasan konservasi
perairan Indonesia.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

164
Kerja sama pengelolaan eksosistem laut dan pesisir antar negara juga dilakukan secara terus menerus
untuk menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir. Indonesia berpartisipasi dalam pengelolaan Sulu-Sulawesi
Marine Ecoregion dan menjadi penggagas dalam Coral Triangle Initiative (CTI).Indonesia bekerja sama
dengan 5 negara tetangga yang tergabung dalam Coral Triangle Initiative/CTI, yaitu : Malaysia, Papua
Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste, sebagai sebuah upaya untuk melestarikan kekayaan
sumber daya laut di kawasan ini. Upaya-upaya untuk meningkatkan kelestarian lingkungan pesisir dan laut
akan terus dilakukan baik melalui kegiatan rehabilitasi maupun konservasi untuk habitat dan peningkatan
status dan upaya perlindungan untuk spesies atau jenis biota perairan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

165
TARGET 7C

MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI RUMAH


TANGGA TANPA AKSES BERKELANJUTAN TERHADAP SUMBER AIR
MINUM LAYAK DAN FASILITAS SANITASI DASAR LAYAK HINGGA
TAHUN 2015
Acuan
dasar

Indikator
Target 7C:

Saat ini

Target
MDGs
2015

Status

Sumber

Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber
air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015

7.8

Proporsi rumah tangga dengan akses


berkelanjutan terhadap sumber air minum
layak, perkotaan dan perdesaan

37,73%
(1993)

67,73%
(2013)

68.87%

7.8a

Perkotaan

50,58%
(1993)

79,34%
(2013)

75.29%

7.8b

Perdesaan

31,61%
(1993)

56,17%

65.81%

7.9

Proporsi rumah tangga dengan akses


berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar
layak, perkotaan dan perdesaan

24,81%
(1993)

59.71%

7.9a

Perkotaan

53,64%
(1993)

7.9b

Perdesaan

11,10%
(1993)

(2013)

BPS, Susenas
62.41%

75.63%
(2013)

76.82%

44.09%
(2013

55.55%

(2013)

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung
Akses yang berkelanjutan terhadap sumber air yang terlindung (dan terhadap sanitasi dasar) adalah
diantara indikator untuk menjamin lingkungan yang berkelanjutan, sebagaimana dinyatakan dalam Tujuan
7.Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air terlindung di daerah perkotaan
dan perdesaan memperlihatkan peningkatan sejak tahun 1993.Dari tahun 2001, kecenderungannya
menjadi tidak beraturan, tapi kemudian menurun setelah tahun 2009 (lihat grafik berikut, diambil dari
Figure 7.2 Laporan 2011).

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

166

Sumber: MDGs Report for Indonesia, 2011

Definisi akses berkelanjutan terhadap sumber terlindung (sustainable access to an improved


source) telah memicu pembahasan yang cukup panjang dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya
kemungkinan besar karena masalah definisi itu sendiri dan interpretasinya.
Untuk definisi, Laporan 2004 menyatakan tidak ada kriteria yang memberi definisi atas akses yang
berkelanjutan, namun ada disebutkan beberapa definisi tentang sumber air terlindung. Untuk sumber
air terlindung, laporan tersebut menyatakan bahwa status cakupan di Indonesia bervariasi berdasarakan
definisi mana yang digunakan:
1. Persentasi rumah tangga yang menggunakan air leding, definisi ini dianggap paling dapat diandalkan
(reliable) dan paling mendekati standar kesehatan.
2. Persentasi penduduk menggunakan air dari sumber terlindung yang jaraknya lebih dari 10 meter
dari lokasi pembuangan tinja. Sumber terlindung meliputi: air leding, air pompa, air kemasan, air
dari sumur terlindung atau mata air atau air hujan terlindung.
3. Persentasi rumah tangga yang menggunakan air dari sumber terlindung didefinisikan sebagaimana
diatas tapi tanpa melihat jarak dari lokasi pembuangan tinja. Definisi ini kemungkinan besar
memasukkan air yang terkontaminasi.
Dalam Laporan 2004, akses dibedakan berdasarkan air leding dan sumber air terlindung bukan leding,
dan tidak membedakan akses antara perkotaan dan perdesaan. Walau bagaimanapun, data yang tersedia
agak terbatas dan hanya menyajikan data berikut ini:

Data yang disajikan pada Laporan 2004:


Tahun
1992

Air leding
14.70%

1994
2000
2006

Sumber air terlindung bukan leding


38.20%

19.20%
18.40%

43.40%
57.20%

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

167
Laporan 2011 memberikan data yang lebih lengkap sejak tahun 1993 (lihat Gambar 7.8).Pada waktu
laporan ini disiapkan, serangkaian pembahasan telah dilakukan dengan BPS, Bappenas dan kementerian
terkait, dan BPS selanjutnya membuat kajian untuk akses terhadap air, yang akan diuraikan lebih lanjut
dalam laporan ini. Dari hasil kajian tersebut, angka baru untuk tahun 2011, 2012 dan 2013, sebagaimana
terlihat dalam Gambar 7.8 di bawah ini, menunjukkan peningkatan, dan yang jelas lebih tinggi dari angka
pada Laporan tahun 2011.

Gambar 7.8.
Akses
Berkelanjutan
terhadap Sumber Air
Terlindung pada Laporan
Terdahulu dan Data BPS
Terakhir untuk Tahun
2011, 2012 dan 2013
Sumber: Laporan MDGs sebelumnya dan BPS

Laporan 2011 menunjukkan angka yang menurun mulai tahun 2007.Data BPS yang terakhir untuk tahun
2011, 2012 dan 2013, setelah dilakukan kajian, menunjukkan kecenderungan menaik. Kecenderungan
yang terus menurun untuk akses terhadap airpada beberapa tahun sebelumnya dipertanyakan karena
tampaknya tidak sesuai dengan fakta bahwa investasi dalam bidang air minum telah meningkat cukup
signfikan dalam RPJMN saat ini (2010-2015) dan akan meningkat lebih besar lagi (tiga sampai lima kali
lipat) dalam RPJMN 2015-2019). Peningkatan ini cukup besar untuk bisa meningkatkan akses.
Pada tahun 2009 dan 2010, Pemerintah telah melaksanaan serangkaian program reformasi yang
difokuskan pada pemerintah daerah selaku pemilik dan penanggung jawab penyediaan air minum yang
terjangkau melalui jaringan pipa untuk semua lapisan masyarakat. Program reformasi tersebut termasuk
program untuk menjadual ulang utang PDAM kepada Kementerian Keuangan dan untuk mengubah
perusahaan milik daerah itu menjadi perusahaan yang bisa menutup biaya operasinya. Program reformasi
lainnya adalah tersedianya subsidi untuk sambungan rumah bagi masyarakat kurang mampu di daerah
perkotaan.3 Program-program tersebut telah menghasilkan peningkatan dalam program investasi (Lihat
Lampiran 7.1 untuk pembahasan lebih lanjut.
Kecenderungan yang menurun dimungkinkan karena meningkatnya penggunaan air kemasan. Dalam
Laporan 2011, kecenderungan penurunan ini tetlah dibahas, dan diindikasikan bahwa peningkatan
pemakaian air kemasan merupakan penyebab utamanya. Peningkatan penggunaan air kemasan dan air isi
3

Indonesia Water Investment Roadmap, 2011-2014, the World Bank, January 2012

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

168
ulang dikatakan sebagai salah satu penyebab menurunnya akses air minum yang aman (Laporan 2011
halaman 92). Laporan tersebut juga menyatakan bahwa data yang dikumpulkan tidak mempertimbangkan
kondisi rumah tangga, yang memiliki lebih dari satu sumber air (halaman 93).
BPS mengumpulkan data sosio-ekonomi pada akhir tahun, yang dilakukan setiap tahun, dimana
didalamnya termasuk data tentang akses terhadap air. BPS mengumpulkan data melalui serangkaian
pertanyaan.Sebelum tahun 2011, pertanyaan tentang air terdiri dari: (i) sumber air utama untuk minum,
dan (ii) jarak dari sumber ke tempat pembuangan limbah. Sejak tahun 2011 dan yang dilanjutkan pada
tahun 2012 (dan 2013), pertanyaan yang diajukan juga termasuk sumber air lainnya untuk memasak dan
mandi. Hasilnya, akses berkelanjutan terhadap sumber air terlindung menjadi lebih besar. Lihat Lampiran
7.2 untuk pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini.
Dari hasil kajian BPS dan dengan definisi baru, angka untuk akses berkelanjutan terhadap sumber air
terlindung pada tahun 2012 dan 2013 telah meningkat masing-masing menjadi 65,05 dan 67,73 persen.
Apabila diasumsikan bahwa peningkatan investasi saat ini sama, status Indikator 7.8 akan tetap Perlu
Perhatian Khusus, sementara status untuk Indikator 7.8a (akses berkelanjutan terhadao sumber air
terlindungi di daerah perkotaan) sekarang menjadi Sudah Tercapai). Data terakhir (2011, 2012 dan
2013) memperlihatkan angka yang berbeda (lebih besar) karena memasukkan akses terhadap sumber air
lain sesuai definisi yang baru, yang merupakan perbaikan terhadap definisi sebelumnya.Ini juga konsisten
dengan definisi yang digunakan oleh PBB.
Akses adalah salah satu indikator yang digunakan MDG untuk sektor air dan sanitasi, ada banyak indikator
lainnya seperti tingkat dan kualitas pelayanan dan kesehatan finansial dimana para penyedia layanan air
minum masih harus selesaikan.Tabel berikut ini memperlihatkan angka revisi untuk tahun 2011, 2012 dan
2013 dengan menggunakan definisi yang telah diperbaiki.
Indikator

Thn Dasar,
1993

2011

2012

2013

Sumber
BPS, Susenas
(Maret 2013)

7.8

Proporsi rumahtangga dengan


akses berkelanjutan terhadap
sumber air terlindung,
perkotaan dan perdesaan

37,73%

63,48%

65,05%

67,73%

7.8a

Perkotaan

50,58%

76,00%

76,95%

79,34%

7.8b

Perdesaan

31,61%

52,15%

53,39%

56,17%

Terlepas dari keberhasilan program nasional air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (PAMSIMAS), yang
saat ini dilanjutkan dengan generasi keempat (PAMSIMAS II), akses berkelanjutan di daerah perdesaan
masih dibawah target. Meskipun demikian tercatat adanya sedikit kenaikan dalam akses untuk tiga tahun
terakhir (2011 sampai 2013) sebagaimana terlihat pada tabel diatas.
Sebagaimana terlihat pada Gambar 7.9, disparitas provinsi (untuk akses berkelanjutan terhadap sumbe
air terlindung di perkotaan dan perdesaan) menunjukkan variasi yang tidak terlalu lebar, dengan angka
tertinggi di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, masing-masing 92 dan 90 persen, sedangkan untuk angka
terendah berada di Provinsi Bengkulu, Sulawesi Barat dan Papua, masing-masing 37, 42 dan 44 persen..
Perlu dicatat bahwa akses ini menggunakan definisi yang telah diperbaiki dimanasumber air minum
layak tidak hanya yang berasal dari air leding (PDAM), tapi juga termasuk sumber air terlindung lainnya
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

169

Gambar 7.9
Disparitas Provinsi untuk
Akses Berkelanjutan
terhadap Sumber Air
Terlindung
Sumber: BPS, 2013

Untuk disparitas antara perkotaan dan perdesaan, beberapa provinsi yang memperlihatkan gap dibawah
15 persen ada di Bali (7 persen), DI Yogyakarta (15 persen), Jawa Timur (14 persen) dan Jawa Tengah (11
persen). Angka gap rata-rata nasional adalah 23 persen. Gambar 7.10 memperlihatkan disparitas kota
desa untuk tahun 2013.

Sumber: BPS, 2013

Gambar 7.10
Disparitas PerkotaanPerdesaan untuk Akses
Berkelanjutan terhadap
Sumber Air Terlindung

Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelajutan terhadap Sanitasi Dasar


Dibandingkan dengan akses terhadap air, untuk sanitasi, data dari tahun-tahun sebelumnya lebih tidak
jelas. Laporan 2004, 2005 dan 2007 tidak menampilkan data lengkap, dan hanya dalam Laporan dua
tahun terakhir, yaitu tahun 2010 dan 2011, ditampilkan data yang lebih lengkap. Tidak ada penjelasan
atas ketiadaan data pada periode pembuatan laporan tersebut. Tabel berikut memperlihatkan data yang
tersedia pada Laporan tahun-tahun 2004, 2005 dan 2007.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

170
Lap 2004
Total

64% (2004)

Perkotaan

78% (2004)

Perdesaan

52% (2004)

Lap 2005
63,5% (2002)
67,1% (2004)

Lap 2007
30,9% (1992)
69,3% (2003)
19,1% (1992)
52,0% (2000)
60,0% (2006)


Dalam kedua Laporan tahun 2020 dan 2011, data yang tercata adalah sama, dimana pada Laporan tahun
2011 terdapat seri data lebih banyak setelah tahun 2009. Ini memberikan indikasi bahwa datanya lebih
dapat diandalkan (reliable) dan tampaknya tidak ada masalah definisi dan interpretasinya. Data dari
Laporan 2007 tidak sama dan karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Angka yang ditampilkan
termasuk data paling baru, Maret 2013 untuk tahun 2011, 2012 dan 2013 (Gambar 7.11). Dari seri
data tersebut, telihat nyata bahwa akses berkelanjutan terhadap sanitasi dasar meningkat secara tetap.
Meskipun demikian, beberapa laporan menunjukkan bahwa pengelolaan lumpur tinja masih banyak
kekurangannya.4 Sistem air limbah perpipaan hanya ditemukan di beberapa kota besar, dengan cakupan
yang rendah dibandingkan dengan beberapa kota Asia lainnya.5

Gambar 7.11
Akses Berkelanjutan
terhadap Sanitasi
Dasar pada Laporan
Terdahulu dan Data
BPS 2013
Sumber: Laporan MDGs 2010 dan 2011 dan Data BPS 2013

Disparitas diantara provinsi (tahun 2013, perkotaan dan perdesaan) memperlihatkan variasi yang cukup
lebar, dengan Provinsi DKI Jakarta memiliki akses tertinggi pada angka 87 persen, sedangkan Provinsi
Papua adalah paling rendah dengan 28 persen, lihat Gambar 7.12. Angka rata-tata nasional adalah 57,82
persen.Gambar 7.12 memperlihatkan disparitas antara provinsi dan antara perkotaan dan perdesaan,
dimana untuk akses di perkotaan, Bali adalah tertinggi dan NTT terrendah. Angka rata-rata nasional
Di daerah perkotaan di Indonesia, lebih dari 70 persen rumah tangga saat ini membuang limbahnya (kebanyakan dengan
sistem kakus siram) ke dalam tangki septic atau umumnya dikenal sebagai cubluk, yang
dasarnya lubang terbuka atau resapan. Meskipun SNI untuk perencanaan tangki septic sudah ada, akan tetapi umumnya tidak banyak diterapkan oleh Pemda
dan sedikit yang dibangun sesuai SNI (Diambil dari Indonesia Country Study, East Asia and Pacific Region Urban Sanitation
Review, the World Bank and Australian Aid, September 2013).
5
Sebagai ilustrasi, persentase penduduk yang memiliki sambungan ke jaringan air limbah di Jakarta addalah 2,0 persen,
dibandingkan dengan Manila (7 persen), Ho Chi Minh City (29 persen), Dhaka (30 persen), Phnom Penh (41 persen), Delhi
(60 persen) dan Kuala Lumpur (80 persen). (Diambil dari lamporan yang sama dalam Catatan kaki 7).
4

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

171
adalah 60,91 persen. Data BPS tidak memiliki akses sanitasi dasar untuk perkotaan dan perdesaan,
sehingga disparitas perkotaan-perdesaan tidak dapat ditampilkan. Gambar 7.12 memperlihatkan akses
keberlanjutan terhadap sanitasi dasar pada tiga tahun terakhir (2011-2013). Grafik menunjukkan bahwa
di hampir semua provinsi, kecenderungannya menaik.

Gambar 7.12
Disparitas Provinsi
untuk Akses terhadap
Sanitasi Dasar, 2013
Sumber: BPS

Sejak diterbitkannya UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah, tanggung jawab penyediaan sarana dasar
air minum dan sanitasi telah sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dan penyediaan
sarana air minum dan sanitasi telah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupatn/kota. Disparitas antara
provinsi tidak sepenuhnya memberikan gambaran kinerja sektor air minum dan sanitasi di provinsi yang
bersangkutan, karena pada setiap provinsi terdapat sejumlah kabupaten/kota yang memiliki kinerja yang
berbeda-beda.Angka tingkat provinsi hanya memberikan gambaran kinerja rata-rata pada tingkat provinsi
yang bersangkutan. Pada saat ini terdapat lebih dari500 (tepatnya 507) pemerintah kabupaten dan kota
di Indonesia. Menyajikan indikator akses air minum dan sanitasi pada tingkat pemerintah daerah menjadi
terlalu rumit.

TANTANGAN
Sektor air dan sanitasi menghadapi tantangan nyata setelah era desentralisasi, dimana sektor tersebut
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya.Laporan terdahulu memberikan kajian tentang
tantangan yang dihadapi sektor dan masing-masing Laporan memberikan pandangan serupa. Hal ini
dapat dirangkum sebagai berikut: (i) kemampuan untuk menyediakan pelayanan dengan kualitas prima;
(ii) ketergantungan PDAM dalam mengelola bisnisnya; (iii) mobilisasi pendanaan untuk investasi; (iv)
kemampuan untuk menciptakan kebutuhan, terutama untuk sanitasi; (iv) meningkatkan peranserta sektor
swasta (antara lain melalui kemitraan Pemerintah-Swasta atau KPS) dan masyarakat; (v) meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk masalah sanitasi; (vi) persepsi bahwa air minum dan sanitasi adalah urusan
bersama; (vii) persepsi politisi terhadap sanitasi; (viii) menyusun kerangka peraturan perundangan; (ix)
peningkatan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang tidak sebanding dengan peningkatan investasi
di bidang air minum dan sanitasi.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

172
Tantangan lainnya adalah perluasan pelayanan kepada masyarakat miskin di perkotaan.Pada umumnya
PDAM enggan melayani masyarakat miskin perkotaan karena rendahnya kemampuan masyarakat untuk
membayar, dan kadang kadang, masyarakat miskin tinggal di daerah kumuh yang tidak terjangkau oleh
sistem air minum PDAM. Untuk mengatasi hal ini Pemerintah telah melaksanakan program pelayanan
air minum bagi masyarakat miskin di perkotaan melalui bantuan dengan pendekatan berdasarkan hasil
(output-based aid atau OBA). Program dengan pendekatan OBA pada mulanya dicoba di Surabaya
dengan bantuan dana hibah dari GPOBA (Global Partnership for Output-based Aid) melalui Bank Dunia.
Pelaksanaan OBA di Surabaya pada awalnya berjalan kurang lancar, karena pada waktu program ini dimulai
belum ada mekanisme penyaluran hibah dari pemerintah pusat ke daerah. Baru setelah diterbitkannya
PMK No 168/2008 tentang Hibah Daerah dan PMK 169/2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah kepada
Pemeintah Daerah, program dengan pedekatan OBA dilaksanakan secara meluas melalui bantuan AusAID,
yang dikenal dengan Program Water Hibah (lihat Boks 7.2 untuk Best Practice pelaksanaan Water Hibah).

Kotak 7.2
Pelaksanaan Hibah Air Minum untuk Masyarakat Miskin Perkotaan
melalui Pendekatan Bantuan Berdasar Hasil atau Kinerja (Output/
Performance-based Aid/OBA), sebuah Best Practice
OBA Surabaya disiapkan pada tahun 2007 dimana kondisi ekonomi Indonesia sudah mulai
membaik setelah adanya perubahan fiscal dan moneter yang dramatis pada akhir tahun 2005.
Akan tetapi bencana alam yang berturut-turut menimpa sebagian dari tanah air (antara lain
gempa di Yogyakarta, tsunami di Jawa Barat selatan dan lumpur Lapindo di Jawa Timur) telah
mempengaruhi kondisi ekonomi dan meningkatkan angka kemiskinan.
Sektor air minum di Indonesia mengalami masa-masa sulit selama beberapa dasawarsa, dan
situasi diatas semakin memperburuk situasi. Sebagian besar PDAM menghadapi masalah
tarif yang rendah sehingga tidak bisa menutup biaya operasi, cakupan juga masih rendah,
sementara kehilangan air (air tak terhitung NRW) masih tinggi. Selain itu, manajamen
yang buruk serta besarnya hutang dan tunggakan menyebabkan banyak PDAM mengalami
kerugian. Situasi yang tidak menguntungkan ini diperburuk dengan tidak adanya strategi air
minum yang jelas di tingkat pusat, terutama setelah UU otonomi daerah diberlakukan pada
tahun 2004, dimana tanggung jawab pelayanan public telah diserahkan kepada pemerintah
daerah kabupaten/kota.
Dengan latar belakang seperti tersebut diatas, Bank Dunia melalui dana hibah dari GPOBA
(Global Partnership fo Output Based Aid), bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia
menginsiasi pendekatan Bantuan Berdasarkan Hasil atau Output Based Aid (OBA) dengan
menetapkan Surabaya sebagai lokasi uji coba. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akses
masyarakat kurang mampu terhadap air minum perpipaan. Hasil yang diharapkan adalah
sebagai berikut:
Terbukanya akses terhadap pelayanan air minum yang terjangkau;
Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang dihasilkan dari menurunnya resiko
lingkungan karena air yang terkontaminasi dan penyakit-penyakti yang ditularkan melalui
air (waterborne diseases);
Meningkatnya kondisi ekonomi yang dihasilkan dari harga air yang terjangkau,
penghematan untuk biaya pengobatan dan penghematan lainnya karena tersedianya air
bersih;

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

173

Meningkatnya kondisi sosial yang disebakan karena terbukanya akses secara lebih merata
bagi masyarakat kurang mampu; dan
Membaiknya kondisi lingkungan karena beralihnya menggunaan air sumur menjadi
air perpipaan, yang akan mengurangi pengambilan air tanah secara berlebihan, serta
mengurangi resiko penurunan muka tanah.

Target dari Proyek ini adalah masyarakat miskin di Kota Surabaya yang tinggal di daerah dimana
sistem perpipaan tersedia tapi mereka belum dilayani dengan sambungan rumah. Masyarakat
yang akan mendapat manfaat dari proyek ini dipilih berdasarkan data yang sudah ada pada
PDAM dengan kriteria miskin yang digunakan (misalnya lebar jalan dan ukuran lahan), dengan
target sekitar 15.000 sambungan. Selain itu, proyek ini juga dirancang melayani 500 rumah
tangga yang akan disambung melalui meter induk (master meter), sehingga secara keseluruhan
menerima manfaat dari proyek ini adalah 15.500 rumah tangga atau sekitar 77.500 jiwa (dengan
asumsi lima orang tiap rumah). Meskipun pada awalnya mengalami banyak hambatan, antara
lain karena belum adanya peraturan perundangan yang mengatur tentang penerusan hibah ke
daerah, akhirnya proyek uji coba ini berakhir pada tahun 2007 dengan capaian hampir 90%.
Dengan pendekatan yang sama, Pemerintah Australia memberikan dana bantuan hibah
melalui AusAID, yang diberi nama The Water and Sanitation Hibah. Program bantuan ini
menggunakan pendekatan yang sama yaitu mekanisme pembayaran berdasar hasil, dengan
tujuan agar pemerintah daerah nantinya mau menginvestasikan dananya untuk PDAM dalam
rangka memperluas jaringan melalui sambungan rumah yang baru. Program ini difokuskan
pada masyarakat berpendapatan rendah. Pemerintah Daerah diminta untuk melaksanakan
program terlebih dahulu dengan dana mereka sendiri, yang akan diganti setelah dilakukan
verifikasi. Prinsip yang sama juga diterapkan untuk sambungan air limbah.
Pada tahap pertama, ada 35 pemerintah daerah yang berpartisipasi dalam program Water Hibah
dan lima pemerintah daerah untuk program Sanitation Hibah. Keduanya telah menghasilkan
77.000 sambungan air minum dan 4.862 sambungan air limbah. Program dengan pendekatan
pembayaran berdasar kinerja (performance based) ini dianggap berhasil karena mempercepat
akses terhadap air minum dan air limbah perpipaan di perkotaan, sehingga direncanakan
untuk diperluas di kota-kota lainnya. Untuk air limbah perpipaan, AusAID telah meneruskannya
dengan program sAIIG (Australian Indonesian Infrastructure Grant for Sanitation) yang saat ini
sedang berjalan di 40 kabupaten kota.
Sumber:
1. Implementation Completion and Results Report (TF-91511) on a Grant in the Amount of US
2,407,500 to the Republic of Indonesia for an Expanding Piped Water Supply to Surabayas
Urban Poor (World Bank, 2013)
2. Independent Evaluation of Water and Sanitation Hibah (IndII/AusAID, 2012).
3. World Bank, Indonesia Country Brief, 2006
4. Draft Concept Note for a Performance Based Subsidy Fund for the Indonesian Water Sector,
World Bank.

Tantangan yang disebutkan dalam laporan-laporan terdahulu, sudah diantisipasi oleh Pemerintah, dengan
berbagai tingkat pencapaian dan hasil. Dalam meningkatkan kebutuhan untuk sanitasi, misalnya, lebih
dari 300 pemerintah daerah telah ikut bergabung dalam program Percepatan Pembangunan Sanitasi

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

174
Permukiman, melalui insiatif Bappenas dalam mendorong kesadaran akan sanitasi dan dalam menyiapkan
dokumen pengembagan sanitasi berdasarkan Peta Jalan Sanitasi 2010-2014. Hal ini sekarang sudah
menjadi portfolio rencana pembangunan di daerah, yang digunnakan oleh Pemda sebagai alat untuk
memprioritaskan program sanitasi di masing-masing Pemda. Target untuk tahun 2010-2014 adalah untuk
menyiapkan dokumen pengembangan sanitasi (satrategi sanitasi kota dan memorandum program) untuk
330 Pemda pada akhir tahun 2014. Target ini sudah terlampaui karena sudah 347 Pemda yang telah
menyelesaikan dokumen pengembangan sanitasinya dan sekitar 97 Pemda sudah akan menyelesaikannya
sebelum tahun 2014.
Program ini telah mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah yang berpartisipasi. Beberapa
walikota/bupati yang antusias kemudian membentuk aliansi walikota/bupati peduli sanitasi (AKKOPSI).
Dengan bantuan AsuAID (sekarang DFAT), program untuk Hibah Air Minum telah diperluas mencakup juga
sambungan air limbah di beberapa kota besar yang telah memiliki jaringan air limbah. Sebagai tambahan,
DFAT melanjutkan bantuan terhadap kota-kota yang berminat untuk membangun sistem jaringan air
limbahnya melalui program sAIIG (Australia-Indonesia Infrastructure Grant for Sanitation). Hal tersebut
diatas merupakan langkah penting dalam meningkatkan kesadaran akan sanitasi, dan dalam memperluas
cakupan sanitasi, sehingga akan meningkatkan akses terhadap sanitasi yang layak. Sama halnya dengan air
minum, dengan upaya yang ada, sektor sanitasi telah dapat memanfaatkan momentum dari hasil program
reformasi yang dilakuka beberapa tahun sebelumnya.

Kotak 7.3
Gerakan BASNO Sebagai Kebijakan Propinsi Dalam Mendukung
Percepatan Program Melalui Pendekatan STBM, sebuah Best
Practice
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2010 masih terdapat 34.8 persen penduduk NTB yang
berperilaku buang air besar di sembarang tempat baik itu
ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka lainnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat
mempunyai resiko tinggi untuk terkontaminasi berbagai
bakteri dan penyakit Karen kondisi lingkungan yang tercemar,
mengakibatkan rendahnya status gizi balita bahkan dapat menimbulkan kematian.
Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Provinsi NTB
mengambil tindakan strategis dengan mencanangkan
Gerakan Buang Air Besar Sembarangan menuju Nol
(BASNO). Dalam pelaksanaannya Gerakan ini mengadopsi
pendekatan STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang
fokus pada perubahan perilaku hidup bersih dan sehat
melibatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan yang
berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Perubahan perilaku menjadi penting dalam implemetasi BASNO karena dari program
peningkatan akses masyarakat terhadap sarana sanitasi (jamban sehat) yang sebelumnya
dilakukan ternyata belum mampu (i) meningkatkan kebutuhan (demand) dalam skala

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

175
besaruntuk pelayanan sanitasi dan perubahan perilaku; (ii) mendorong pelaku usaha sanitasi
menyediakan pilihan jenis saraan sanitasi yang beragam dan terjangkau (supply capacity)
bagi konsumen miskin maupun tidak; (iii) menghasilkan dampak kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat yang diinginkan.
Karena itu dalam implementasinya BASNO menggunakan pendekatan STBM mengembangkan
3 komponen kegiatan utama yaitu (i) penciptaan lingkungan pendukung (ii) penciptaan
kebutuhan untuk perubahan perilaku yang hygiene dan saniter (demand) dan (iii) peningkatan
penyediaan sarana sanitasi di masyarakat (supply). Dengan pendekatan STBM ini gerakan BASNO
mampu membangun perubahan perilaku dimasyarakat dalam mengakses dan menyediakan
sarana sanitasi rumah tangga dengan swadaya murni. Hal ini tentunya membawa pengaruh
pada penurunan kasus penyakit yang sangat signifikan terutama diare dengan peningkatan
akses masyarakat terhadap sanitasi yang sehat.
Kedepannya, dengan pendekatan STBM ini di harapkan Gerakan BASNO NTB bisa berkelanjutan
sampai terwujudnya kondisi Sanitasi Total di NTB, di mana seluruh masyarakat NTB mempraktikan
perilaku higiene dan saniter secara berkelanjutan. Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, 2013

UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


Sasaran MDGs telah ditempatkan sebagai tolok ukur penting dalam menyiapkan dan mengembangkan
program investasi sektor air minum dan sanitasi. Selain dari mengembangkan instrumen pembiayaan
dan program investasi, pemerintah telah memusatkan perhatiannya padamobilisasi sumber-sumber
pendanaan untuk menutup kesenjangan pendanaan sebagaimana diindikasikan dalam Peta Jalan Investasi
Air Minum, Hal ini diharapkan akan bersinergi dengan kebijakan pemerintah untuk program pembangunan
lima tahun berikutnya (RPJMN 2015-2019). Berdasarkan informasi dari Direktorat Pengembangan Air
Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, upaya untuk mempercepat
pencapaian tujuan MDGs dalam pengembangan air minum antara lain melalui:

Peningkatan kapasitas produksi di kawasan yang belum memiliki akses pelayanan air minum, melalui
(i) pembangunan SPAM bagi masyarakat Ibu Kota Kecamatan (SPAM IKK); (ii) pembangunan SPAM bagi
masyarakat yang belum terlayani di kawasan khusus (perbatasan/pemekaran dan pelabuhan perikanan);
dan (iii) pembangunan SPAM bagi masyarakat yang belum terlayani di perdesaan (desa rawan air, daerah
tertingal, pulau terluar dan daerah pesisir)
Percepatan pemanfaatan sisa kapasitas produksi pada SPAM yang memilki idle capacity, dengan cara
(i) mendukung Pemerintah Daerah membangun jaringan distribusi yang mampu melayani 40 persen
masyarakat berpenghasilan rendah dari penduduk daerah pelayanan; dan (ii) memasangsambungan
rumah bagi masyarakat miskin perkotaan dengan pendekatan output-based dimana Pemerintah Daerah
membangun terlebih dahulu selanjutnya biaya investasi akan dikembalikan bila masyarakat penerima
manfaat sudah sesuai dengan kriteria MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dalam program hibah
air minum.
Meningkatkan kinerja PDAM untuk mampu melakukan investasi untuk mampu secara mandiri
memperluas pelayanan dengan menggunakan Internal Cash, memanfaatkan fasilitas pinjaman perbankan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

176
dengan bunga bersubsidi atau alternatif pembiayaan lainnya (KPS, B to B, PIP, dan CSR) sehingga diharapkan
dapat menjadi PDAM yang mandiri.
Mendorong Kerja Sama Regional antar Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota dalam rangka meningkatkan
pelayanan air minum diperkotaan sekaligus mengatasi ketersediaan air baku tidak merata di Kab/Kota
dan mewujudkan operasional yang lebih efektif dan efisien.

Foto 7.1. Masyarakat Perdesaan menikmati


layanan air minum di Desa Tammerodo Kab
Majene Provinsi Sulawesi Barat melalui kegiatan
Pembangunan SPAM Berbasis Masyarakt
(Program PAMSIMAS)

Foto 7.2. SPAM Regional Petanu sangat bermanfaat


bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kabupaten
Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar

Pembangunan lebih dari 1000 SPAM sederhana berbasis masyarakat setiap tahun (PAMSIMAS) di
perdesaan dimana sumber air relatif mudah jarak tidak terlalu jauh

Foto 7.3. Masyarakat Nelayan di Pulau Mandangin (kiri) mampu menikmati air minum hasil olahan Sea Water
Reverse Osmosis pada Program SPAM Kawasan Khusus (kanan)

Diantara insiatif yang sedang diambil pemerintah adalah formulasi dan pengembangan fasilitas pendanaan
di bawah Kementerian Keuangan. Fasilitas pendanaan ini akan menyediakan dana hibah untuk modal,
hibah berdasarkan kinerja, dan pinjaman melalui fasilitas program kemitraan, dan dukungan perkuatan
kapasitas pemerintah pusat dan daerah. Fasilitas ini juga akan mencakup sanitasi.
Berdasarkan Peta Jalan Investasi Air Minum 2011-2014, dan Peta Jalan Pengembangan Sanitasi 20102014, melalui dukungan semua fihak, sektor air minum dan sanitasi telah melaksanakan sejumlah proyek
investasi, terutama yang berfokus pada pengentasan kemiskinan, seperti program hibah berdasarkan kinerja
untuk penambahan sambungan rumah, yang juga termasuk sambungan air limbah pada kota-kota yang
telah memiliki jaringan air limbah.Program ini utamanya dilaksanakan di perkotaan. Di daerah perdesaan,
generasi keempat PAMSIMAS (program air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah)
akan menjadi kegiatan penting dalam penyediaan sarana air minum dan sanitasi di daerah perdesaan. Di
daerah semi-perkotaan, Pemerintah telah memulai program Ibu Kota Kecamatan (IKK). Program ini, yang
sudah dimulai sejak tahun 1980-an, saat ini sedang dipertimbangkan untuk diperluas.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

177
Kotak 7.4.
Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Air Minum dan Sanitasi,
2015-2019
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2015-2019 mengamanatkan pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat berupa air minum dan sanitasi yang layak. Dalam penyusunan
Draft RPJMN 2015- 2019, dari enam isu strategis yang diangkat, dua isu yang erat kaitannya
dengan air minum dan sanitasi adalah: (i) menjamin ketahanan air, pangan dan energi untuk
mendukung ketahanan nasional; dan (ii) pemenuhan ketersediaan infrastruktur dasar dan
standar layanan minimum dalam rangka pemerataan pembangunan infrastruktur. Untuk isu
yang pertama, arah kebijakan dan strategi pembangunan yang relevan dengan air minum dan
sanitasi adalah:
a. Peningkatan cakupan pemenuhan dan kualitas layanan air baku
b. Menjamin ketahanan sumber daya air domestic melalui perwujudan keseimbangan
neraca air domestik dengan strategi menjaga kualitas air dan sumber air, ketersediaan,
efisiensi dan daur ulang air
Sedangkan yang berkaitan dengan isu kedua, arah kebijakan dan strategi pembangunan yang
relevan dengan air minum dan sanitasi adalah:
a. Penyediaan infrastruktur produktif melalui penerapan manajemen asset baik di
perencanaan, penganggaran dan investasi, termasuk untuk pemeliharaan dan
pembaharuan infrastruktur terbangun
b. Penyelenggaraan sinergi air minum dan sanitasi di tingkat nasional, kabupaten/kota dan
masyarakat
c. Peningkatan efektifitas dan efisiensi pendanaan infrastruktur air minum dan sanitasi
melalui sinergi dan koordinasi antar pelaku program dan kegiatan mulai tahap perencanaan
sampai implementasi baik secara vertical maupun horizontal
d. Mengembangkan mekanisme pendanaan alternative dengan memantapkan fasilitas
pendanaan di luar mekanisme anggaran pemerintah untuk mendukung percepatan
penyediaan layanan air minum dan sanitasi.
Sumber: Kedeputian Bidang Infrastruktur, Bappenas, 2013

Merujuk kepada kebijakan tersebut, pengembangan air minum dan sanitasi akan dilaksanakan melalui
paradigma Rencana Pengamanan Air minum (RPAM), dimana prinsip dasarnya adalah keseimbangan
neraca air domestik, yang mengupayakan efisiensi pada setiap tahapan penmakaian air. Konsep ini
mengatur efisiensi penggunaan air pada sumber, pada bangunan pengolahan air, dan pada saat air
digunakan di tingkat rumah tangga, dimana air yang sudah terpakai dapat dimanfaatkan untuk kegunaan
yang lain, sehingga mengurangi pencemaran pada badan-badan air. Dalam konsep ini, pengelolaan air
dan air limbah akanmenjadi sinergi dengan laju yang sama dan sektor akan terintegrasi secara lebih
holistik. Karena RPAM berkaitan dengan tiga komponan yaitu sumber, operator dan masyarakat, maka
ia mencakup sektor yang lebih luas dan melibatkan lebih banyak lembaga yang bertanggungjawab untuk
tiap sektornya.6

Draft Water Safety Plan: Review of the Results of Field Trials and Drafting WSP Academic Paper, Waspola, December
2013
6

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

178
MENCAPAI PENINGKATAN YANG SIGNIFIKAN DALAM KEHIDUPAN
PENDUDUK MISKIN DI PERMUKIMAN KUMUH (MINIMAL 100 JUTA)
PADA TAHUN 2020

TARGET 7D

Indikator

Acuan dasar

Saat ini

Target
MDGs

Status

Sumber

Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh
(minimal 100 juta) pada tahun 2020
7.10

Proporsi rumah tangga kumuh


perkotaan

Status : Sudah Tercapai

Akan Tercapai

20,75%
(1993)

13,39%
(2013)

6% (2020)

BPS, Susenas

Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Data paling akhir (Maret 2013) menunjukkan bahwa proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah
kumuh adalah 8,55 persen, tapi untuk menjaga konsistensi, data tahun 2012 digunakan dalam laporan
ini sebagaimana terlihat dari tabel diatas, sebesar 12,42 persen. Ini merupakan penurunan yang menerus
sejak tahun dasar sebesar 20,75 persen, dan jika upaya saat ini tetap dipertahankan, maka akan memiliki
potensi untuk terus menurun, dan akan mengubah status dari Perlu Perhatian Khusus dalam laporan
sebelumnya menjadi Akan Tercapai, sebagaimana diuraikan berikut ini.
Indikator yang digunakan untuk Sasaran 7D pada Laporan tahun 2004 berbeda. Yang digunakan adalah
proporsi rumah tangga yang memiliki atau menyewa rumah sebagai indikator. Meskipun demikian,
terdapat juga data tentang daerah kumuh, dimana catatan tahun 1999 mengindikasikan sekitar 47.393
hektar yang diklasifikasikan sebagai daerah kumuh, dengan jumlah penduduk sebanyak 2,3 juta jiwa
di 3.857 kampung. Angka ini menujukan peningkatan pesat dari tahun 1996, dimana 38.053 hektar
diklasifikasikan sebagai daerah kumuh. Laporan tahun 2005 tidak memiliki catatan proporsi penduduk
perkotaan di daerah kumuh, dan Laporan tahun 2007 masih menggunakan indikator yang sama seperti
pada Laporan tahun 2004. Hanya pada Laporan tahun 2010 dan 2011, proporsi penduduk perkotaan
yang tinggal di daerah kumuh digunakan sebagai indikator. Pada Laporan tahun 2010, rasionya adalah
12,12 persen tapi pada Laporan tahun 2011 agak meningkat lagi menjadi 12,57 persen. Gambar 7.14
memperlihatkan kecenderungan rasio untuk 19 tahun terakhir, berdasarkan catatan dari laporan-laporan
sebelumnya, termasuk data terakhir dan target tahun 2020. Angkanya menunjukan kecenderungan
penurunan yang konsisten dalam empat tahun terakhir.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

179

Gambar 7.13
Proporsi
Penduduk
Perkotaan
yang
Tinggal di Daerah
Kumuh Pada Laporan
Terdahulu
Sumber: BPS

Laporan tahun 2011 mengindikasikan bahwa angka rata-rata penurunan dalam proporsi rumah tangga
di daerah kumuh adalah 0,50 persen pertahun. Dalam Laporan tersebut diingingatkan bahwa tanpa
terobosan besar, target 6 persen akan sulit tercapai dalam waktu yang sudah ditetapkan, yaitu tahun 2020.
Penurunan yang tajam pada bulan Maret 2013, meskipun terjadi hanya pada bulan yang bersangkutan
saja, memberikan perkiraan yang positif untuk terus menurun pada tahun-tahun yang akan datang. Untuk
19 tahun terakhir , rasionya berubah naik turun dengan rata-rata 0,50 persen penurunan. Untuk mencapai
target 6 persen pada tahun 2020, hanya diperlukan penurunan sebesar 0,36 persen pertahun. Apabila
upaya yang saat ini dilakukan tetap dipertahankan, target secara optimis akan tercapai.
Disparitas regional, sebagaimana tercatat pada Laporan tahun 2011, memperlihatklan bahwa proporsi
rumah tangga yang tinggal di daerah kumuh masih cukup besar, dengan angka paling besar terdapat di
DKI Jakarta (diatas 25 persen) dan yang terkecil di Jawa Timur (kurang dari 5 persen). Pada data paling
akhir (2012), disparitas diantara provinsi memperlihatkan bahwa DKI Jakarta tetap paling tinggi (25,90
persen) diikuti oleh Papua dan Papua Barat (masing-masing 22,85 dan 22,53 persen), dan yang terrendah
adalah di Provinsi NAD (0,11 persen). Disparitas untuk daerah perdesaan mungkin bisa berbeda, tapi tidak
ditampilkan disini karena indikatornya berkaitan dengan kawasan kumuh perkotaan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

180

Gambar 7.14
Disparitas Provinsi
untuk penduduk
perkotaan yang
tinggal di daerah
kumuh (2012)
Sumber: BPS dan Susenas, Maret 2013

Laporan tahun 2011 menyatakan bahwa penurunan proporsi rumah tangga yang tinggal di daerah
tertinggal di perkotaan akan sesuai dengan penurunan rumah tangga miskin. Akan tetapi, dari sudut
pandang ekonomi, peningkatan pendapatan rumah tangga miskin tidak serta merta mendorong mereka
untuk memperbaiki kondisi perumahan mereka, mengingat bahwa untuk memperbaiki rumah yang
berkualitas dan lingkungan dimana mereka tinggal diperlukan biaya yang cukup besar. Masyarakat kurang
mampu akan memprioritaskan peningkatan pendapatannya untuk keperluan lain seperti makanan dan
pakaian.

TANTANGAN
Tantangan dalam mengurangi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh berkaitan dengan masalah
urbanisasi. Laporan tahun 2010 mengindikasikan bahwa angka urbanisasi yang pesat (0,96 persen) telah
menghasilkan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggal di daerah kumuh dengan angka absolut dari
2,7 juta jiwa tahun 1993 menjadi 3,4 juta jiwa tahun 2009. Selain masalah pendanaan perumahan dan
mekanisme subsidi, akses yang terbatas terhadap kepemilikan lahan, dan kurangnya sarana perkotaan
untuk masyarakat miskin, sebagaimana diindikasikan dalam laporan-laporan sebelumnya, tantangannya
lebih berat karena masalah utamanya terletak pada status ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan migrasi dari desa ke kota karena masyarakat mengharapkan kehidupan yang lebih baik di
perkotaan. Ini memicu peningkatan daerah kumuh di perkotaan. Tantangan terbesar terletak pada upaya
peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai suatu bangsa.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

181
Kotak 7.5.
Capaian dan Best Practice Pelaksanaan Penanganan Lingkungan
Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2KBK) Tahun 2012 (di Kelurahan 5 Ulu dan Kelurahan Tuan Kentang,
Kecamatan Seberang Ulu 1, Kota Palembang)
Penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh bukan hanya menjadi kewajiban
Pemerintah, akan tetapi yang menjadi pelaku utama dalam penanganan kumuh di daerah
justru adalah pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat dan stakeholder terkait
lainnya.
Program PLP2K-BK dinilai berhasil apabila seluruh sektor yang terkait baik di pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah, beserta masyarakat dan swasta, secara sinergis dan koordinatif,
berpartisipasi dalam penanganan kekumuhan di suatu lokasi. Salah satu best practise
pelaksanaan PLP2K-BK di daerah adalah penanganan kumuh di Kota Palembang yang dimotori
oleh Walikota Palembang. Pada Tahun 2012, Kota Palembang mendapatkan bantuan PLP2K-BK
dari Kemenpera, di 2 (dua) lokasi, yaitu: (i) Kelurahan 5 Ulu, Kecamatan Sebrang Ulu 1; and (ii)
Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Sebrang Ulu 1.

Penanganan PLP2K-BK Tahun 2012


Kelurahan 5 Ulu, Kecamatan Sebrang Ulu 1, Kota Palembang berada di pinggiran Sungai
Musi, dengan jumlah penduduk sebanyak 27.057 jiwa atau 8.648 KK (2012). Dengan luas 184
hektar, maka kepadatan penduduk adalah 147 jiwa/hektar. Kepadatan penduduk tiap tahunnya
mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Karena berada di pinggiran bahkan di atas Sungai Musi, masyarakat di kelurahan ini sudah
sangat terbiasa dengan genangan air pada permukimannya, ketika pasang air/banjir terjadi.
Pada saat air surut, endapan tanah dan sampah sudah sangat awam terlihat pada lokasi
ini.Bangunan-bangunan rumah dibangun tidak terencana dan kebanyakan berada di area
sepanjang sungai. Satu sama lain dihubungkan dengan jalan beton atau kayu yang dibuat
cukup tinggi agar tidak tertutup air ketika sungai sedang pasang.
Lokasi ini menghadapi masalah air bersih dan sanitasi lingkungan yang cukup buruk. Sungai
Musi dimanfaatkan sebagai sumber utama untuk air minum, mandi, mencuci, namun
sekaligus juga sebagai kakus. Prasarana persampahan juga masih sangat minim, demikian juga
dengan prasarana jalan lingkungan.Mayoritas penduduk yang tinggal di lokasi penanganan ini
bekerja sebagai buruh dengan upah harian di sektor transportasi, di pabrik-pabrikdan di pasar.
Ketergantungan terhadap upah harian menyebabkan rumah tangga yang tinggal di lokasi ini
termasuk cukup miskin. Di lokasi ini juga sering terjadi kebakaran dan rawan tindak kriminal.
Pada Tahun 2012, Kementerian Perumahan Rakyat memberikan bantuan PLP2K-BK di lokasi ini
berupa jalan lingkungan, drainase, TPS, PJU, dermaga, dan bangunan serbaguna, dengan total
nilai bantuan Rp 3,9 Milyar. Bantuan stimulan ini dilaksanakan berdasarkan indikasi program
yang telah direkomendasikan melalui Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) PLP2K-BK Kelurahan
5 Ulu yang telah disusun oleh Kemenpera pada Tahun 2011. Komponen fisik tersebut dapat
ditunjukkan pada foto-foto dokumen di bawah ini :

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

182

Foto 7.4. Kondisi Jalan Lingkungan di Kel. 5 Ulu, Kec.


Sebrang Ulu 1 setelah Diperbaiki

Foto 7.5. Bangunan Serbaguna di Lingkungan


di Kel. 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1 yang Dibangun
melalui PLP2K-BK

Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Sebrang Ulu 1, Kota Palembang


Sama seperti Kelurahan 5 Ulu, Kelurahan Tuan Kentang juga berada di wilayah pinggiran
Sungai Musi, dengan jumlah penduduk sekitar 11.095 jiwa atau 3.083 KK (2012). PSU
lingkungan secara umum baru dapat melayani 40 persen dari seluruh kebutuhan y ang ada.
Air bersih pada umumnya diambil langsung dari Sungai Musi. Sambungan PDAM masih minim
di lokasi ini. Selain itu, sanitasi lingkungan dan drainase dinilai cukup memprihatinkan. Hal
ini diindikasikan dengan masih intensnya aktivitas MCK dilakukan di sungai. Saluran drainase
masih banyak yang tersumbat dan tidak terhubung satu sama lain, yang mengakibatkan
genangan air pada waktu musim hujan maupun pasang, tidak dapat dihindari.
Secara umum, tata letak perumahan tidak teratur. Pola penyebaran cenderung mengikuti
alur sungai dan jalan, dengan intensitas kepadatan tinggi (70-90 persen kawasan terbangun).
Kawasan ini merupakan kawasan langganan banjir apabila musim hujan. Kepemilikan tanah
merupakan hanya pada beberapa individu saja. Masyarakat pada umumnya menyewa.
Pada umumnya masyarakat bekerja di industri rumah tangga (home industry) rajut
jumputan dan kain tajung. Kegiatan ekonomi ini dinilai merupakan potensi ekonomi yang
dapatdikembangkan di lokasi ini.
Pada Tahun 2012, Kementerian Perumahan Rakyat memberikan bantuan PLP2K-BK di
lokasi ini berupa jalan, drainase, PJU, MCK, Rumah Pintar, Dermaga, Bangunan Serbaguna,
Pembangunan Taman, dan Tempat Parkir, dengan total nilai bantuan sebesar Rp
3.339.698.000.
Bantuan stimulan ini dilaksanakan berdasarkan indikasi program yang telah direkomendasikan
melalui Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) PLP2K-BK Kelurahan Tuan Kentang yang telah
disusun oleh Kemenpera pada Tahun 2012.
Komponen fisik tersebut dapat ditunjukkan pada foto-foto dokumen di bawah ini :

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

183

Foto 7.6. Bangunan Dermaga di di Kel. Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1 yang dibangun melalui
PLP2K-BK (kiri).Bangunan Serbaguna di Kel. Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1 yang dibangun melalui
PLP2K-BK (kanan)

Tindak Lanjut Pelaksanaan PLP2K-BK di Kota Palembang oleh Pemerintah Kota


Palembang
Penanganan kumuh yang dilaksanakan oleh Kemenpera di Kelurahan 5 Ulu dan Kelurahan
Tuang Kentang, ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Palembang. Sebagai leader dalam
penanganan kumuh di daerah, Pemerintah Kota Palembang pada Tahun 2013 ini telah
melaksanakan beberapa kegiatan antara lain program pembebasan lahan untuk relokasi
penduduk, peningkatan kualitas rumah, peningkatan kualitas jalan, pembangunan rumah
pintar, dan show room untuk produk-produk home industry masyarakat setempat. Selain
itu, Kemenpera melalui program BSPS (Bantuan Stimulan Perumah Swadaya) juga turut
serta memberikan bantuan sebesar Rp 5 juta/unit rumah untuk peningkatan kualitas rumah
di lokasi ini, demikian juga dengan Kementerian Sosial. Dari pihak swasta, REI juga terlibat
dalam pembangunan rumah.
Foto-foto dokumentasi tindak lanjut upaya penanganan yang telah dilakukan di lokasi ini
disampaikan di bawah ini :

Foto 7.7. Peningkatan Kualitas Rumah di Kelurahan 5 Ulu, Kec. Sebrang Ulu 1, Kota Palembang (kiri).
Bangunan Tempat Bermain di Kelurahan Tuan Kentang, Kec. Sebrang Ulu 1, Kota Palembang (kanan)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

184
Sesuai dengan prinsip awalnya, bahwa penanganan PLP2K-BK merupakan pendekatan
sinergis dan berkelanjutan antar sektor di tingkat pusat dan daerah dengan pemerintah
daerah sebagai leader, diharapkan penanganan permasalahan kekumuhan di Kelurahan
5 Ulu, dan Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Sebrang Ulu 1, dapat terus dilaksanakan
sesuai dengan jangka waktu perencanaan penanganan (5 tahun). Penanganan tersebut
difokuskan tidak hanya pada sektor lingkungan/fisik, namun juga pada sektor ekonomi dan
sosial masyarakat. Dengan pendekatan seperti ini, diharapkan permasalahan kekumuhan
lokasi ini dapat terselesaikan. Sumber: Kemenpera, 2013

Revitalisasi Boezem Morokrembangan, Surabaya


Dalam rangka peningkatan manfaat Boezem (Kolam) Morokrembangan di Surabaya sebagai
kolam retensi untuk menjaga zona konservasi dan mengamankan system pengendali banjir
kota Surabaya, Direktorat Jenderal Cipta Karya telah berhasil melaksanakan revitalisasi
kawasan Boezem Morokrembangan, sebagaimana terlihat pada beberapa foto berikut
ini. Sumber: Direktorat Pengembangan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya,
Kementerian Pekerjaan Umum, 2013.

MCK komunal (kiri atas), Revitalisasi pasar (kiri bawah) dan jalan lingkungan (kanan)

Foto 7.8. Pengelolaan sempadan Boezem Morokrembangan (kiri dan kanan atas),
pengelolaan sampah 3R (kanan bawah)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

185
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs
Jumlah penduduk perkotaan saat ini sudah mencapai lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia.
Pesatnya perkembangan penduduk perkotaan tersebut, yang umumnya berasal dari urbanisasi tidak
selalu dapat diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga telah berakibat pada semakin
meluasnya perumahan dan permukiman kumuh. Kondisi ini dapat ditunjukkan melalui fakta bahwa luas
perumahan dan permukiman kumuh pada tahun 2004 yang tadinya sebesar 54.000 ha telah berkembang
menjadi sebesar 59.000 ha pada tahun 2009. Bahkan diperkirakan apabila tidak dilakukan penanganan
maka luas perumahan dan permukiman kumuh akan tumbuh menjadi 71.860 ha pada tahun 2025 dengan
pertumbuhan 1,37 persen pertahun.
Meluasnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh khususnya di perkotaan telah menimbulkan
dampak pada peningkatan frekuensi bencana kebakaran dan banjir, meningkatnya potensi kerawanan dan
konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat, menurunnya kualitas pelayanan prasarana dan
sarana permukiman, dan lain sebagainya.Perumahan dan permukiman kumuh yang cenderung meluas
ini perlu segera ditangani, sehingga diharapkan terwujud suatu lingkungan perumahan dan permukiman
yang layak huni dalam suatu lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
Upaya yang telah dilakukan Pemerintah c.q., Direktorat Jenderal Cipta Karya antara lain adalah melalui
pembangunan infrastruktur fisik sebagai stimulant, yang meliputi (i) penyediaan infrastruktur permukiman
kumuh di perkotaan dalam rangka peningkatan kualitas permukiman; (ii) peningkatan kehidupan
masyarakat miskin perkotaan sesuai amanat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim
Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro Rakyat (Klaster IV) yang dilakukan di 5 kawasan
yaitu : Belawan - Medan, Ciliwung - DKI Jakarta, Tamansari - Kota Bandung, Boezem Morokrembangan Surabaya, dan Tallo- Makassar dalam rangka penanganan kawasan permukiman kumuh skala besar di kota
metropolitan; (iii) pembangunan Rusunawa beserta infrastruktur pendukungnya sebagai salah satu solusi
dalam penanganan kawasan kumuh perkotaan serta untuk memfasilitasi MBR yang belum terjangkau
fasilitasi hunian layak.
Selain itu, telah disiapkan pula sejumlah peraturan perundangan dan pedoman, yang antara lain meliputi:
(i) Penyusunan Rapermen Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan: (ii)
penyusunan Road Map Penanganan Kumuh 2020; (iii) pemutakhiran Data Kumuh berdasarkan data
dan informasi yang diperoleh dari Bupati/Walikota (SK Kumuh sesuai amanah UU 1 Tahun 2011), dan
(iv) pendampingan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyusunan dokumen perencanaan (SPPIP dan
RPKPP) dan survey primer.

Kotak 7.6.
Kebijakan Penanganan Permukiman Kumuh
Berdasarkan arah kebijakan Kementerian Pekerjaan Umum (Direktorat Pengembangan
Permukiman, Ditjen Cipta Karya) dalam penanganan permukiman kumuh bidang Cipta Karya,
obyek penanganan permukiman kumuh terdiri dari rumah dan penyediaan sarana umum,
yang didukung sarana jaringan air minum, sistem sanitasi, jalan lingkungan, ruang terbuka
dan sarana prasarana lainnya. Penanganannya adalah melalui program peremajaan dan
permukiman kembali rumah kumuh melalui pengadaan rumah susun, penyediaan akses

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

186
terhadap air minum dan sanitasi, penyediaan jalan lingkungan, dan penyediaan ruang
terbukan dan sarana prasarana lainnya.
Program 2010-2014 adalah sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:
TA
2010

TA
2011

TA
2012

TA
2013

Rencana
TA 2014

Jumlah kawasan
permukiman kumuh perkotaan
yang ditangani

128
kws

221
kws

151
kws

171
kws

150 kws

821
kws

Jumlah satuan
unit hunian
rumah susun
yang terbangun
beserta
infrastrukturnya

40 TB

65
TB

53 TB

67 TB

25 TB

250
TB

No

Kegiatan

Uraian

1.

Penanganan
Kumuh

2.

Rusunawa

Total

Kebijakan Direktorat Pengembangan Permukiman dalam rangka mendukung upaya


pencapaian Tujuan 7, Target 7D MDGs bersumber dari:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
3. Peraturan Menteri PU 20/PRT/M/2012 tentang Renstra PU
4. Arahan Presiden dalam Rapat Kabinet bulan Agustus 2012 : Kota Bebas Permukiman
Kumuh Tahun 2020
Sumber: Kemenpera, 2013, Direktorat Pengembangan Permukiman Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan
Umum, 2013

Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang
setiap tahunnya mengalami perluasan tersebut, maka mulai tahun 2010 Kementerian Perumahan Rakyat
melaksanakan penanganan lingkungan perumahan kumuh dan permukiman kumuh dengan pendekatan
kawasan yang terpadu (multi sektor), yaitu program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman
Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK). Sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat
Tahun 2010 2014, target penataan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh seluas 655 hektar.

Gambar 7.15.
Target Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010 - 2014
Sumber: Kemenpera

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

187
PLP2K-BK pada prinsipnya adalah suatu upaya untuk menata dan meningkatkan kualitas lingkungan
perumahan kumuh dan permukiman kumuh secara berkelanjutan dengan pendekatan tridaya melalui
perbaikan dan penyediaan prasarana, sarana dan ulitilitas umum (PSU) yang memadai untuk mendukung
penghidupan dan kehidupan lingkungan menjadi layak dan produktif. Objek penanganan PLP2K-BK adalah
perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang sesuai dengan peruntukkannya sebagai perumahan
dalam rencana tata ruang wilayah kota/kabupaten setempat, dengan kriteria lokasi: 1) mengelompok
minimal 10 hektar; 2) ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai lokasi perumahan kumuh dan
permukiman kumuh; dan 3) memiliki intensitas kekumuhan dan permasalahan sosial kemasyarakatan.
PLP2K-BK memiliki beberapa komponen kegiatan utama yang satu dengan yang lainnya saling terintegrasi,
antara lain: 1) penyusunan rencana PLP2K-BK; 2) pembentukan tenaga penggerak masyarakat (TPM); 3)
penyusunan rencana tindak komunitas; 4) penyusunan detailed engineering design; 5) pembangunan
stimulan fisik; 6) supervisi pembangunan stimulan fisik dan 7) monitoring dan evaluasi. Seluruh kegiatan
tersebut diawali dengan verifikasi lokasi berdasarkan usulan lokasi dari pemerintah daerah, dengan
melakukan verifikasi kesesuaian lokasi dengan kriteria lokasi PLP2K-BK, hingga kemudian pembangunan
stimulan fisik PSU sesuai dengan kebutuhan masyarakat (parcipatory planning) melalui rembug warga.
Kabupaten/kota yang telah mendapat bantuan penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuhnya melalui PLP2K-BK pada Tahun 2010 - 2012, yaitu sebanyak 94 (sembilan puluh empat) lokasi pada 89
kabupaten/kota, dengan rincian sebagai berikut:
1) Tahun Anggaran 2010 sebanyak 10 (sepuluh) kabupaten/kota;
2) Tahun Anggaran 2011 sebanyak23 (duapuluh tiga) kabupaten/kota; dan
3) Tahun Anggaran 2012 sebanyak56(lima puluh enam) kabupaten/kota.
Luas wilayah penanganan pada masing-masing lokasi berbeda-beda, sesuai dengan intensitas dan sebaran
permasalahan kekumuhan. Luasan minimal sebuah perencanaan PLP2K-BK adalah 10 (sepuluh) hektar
dengan wilayah penanganan seluas 3 5 hektar, yaitu luasan pembangunan stimulan PSU PLP2K-BK.
Dengan asumsi 1 (satu) lokasi pada masing-masing kabupaten/kota telah ditangani seluas 5 (lima) hektar,
maka hingga TA 2012, perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang telah ditangani oleh PLP2K-BK
seluas 470 (empat ratus tujuh puluh) hektar atau sekitar 72% dari target Rencana Strategis Kementerian
Perumahan Rakyat, dengan jumlah penduduk yang mendapatkan manfaat 94.000 kepala keluarga (KK).
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya sebisanya. Laporan tahun 2011 mengindikasikan beberapa
program yang telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengelola masalah rumah tangga
yang tinggal di daerah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat. Diantaranya adalah Program Perbaikan
Lingkungan dan Perumahan (Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Program /NUSSP), Program
Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan atau P2KP (Urban Poverty Alleviation Program/UPP), CommunityBased Initiatives for Housing and Local Development (Co-Build), Life Improvement Program for Poor Urban
Communities dan Regional-Based Plans for Management of Slum Housing and Neighborhoods (PLP2KBK). Apabila program-program tersebut dilanjutkan, dipercepat dan diperluas, dan dilaksanakan dengan
strategi untuk menjamin integrasi, efektifitas dan efisiensi, maka hasilnya diharapkan tidak hanya akan
mencegah tumbuhnya daerah kumuh baru, tapi juga mengurangi daerah kumuh perkotaan pada tingkat
yang paling rendah.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

188

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

TUJUAN 8:
MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL
UNTUK PEMBANGUNAN

Sumber foto: Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan

191

TUJUAN 8:
MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL
UNTUK PEMBANGUNAN
TARGET 8A

MENGEMBANGKAN SISTEM KEUANGAN DAN PERDAGANGAN YANG


TERBUKA, BERBASIS PERATURAN, DAPAT DIPREDIKSI DAN TIDAK
DISKRIMINATIF
Indikator

Acuan dasar

Saat ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi
dan tidak diskriminatif
8.6a

Rasio ekspor dan impor terhadap PDB


(indikator keterbukaan ekonomi)

41,60%
(1990)*

43,62%
(2012)**

Meningkat

8.6b

Rasio pinjaman terhadap simpanan di


bank umum

45,80%
(2000)*

83,58%
(2012)

Meningkat

8.6c

Rasio pinjaman terhadap simpanan di


BPR

101,30%
(2003)*

111,03%
(2012)

Meningkat

* BPS &
Bank Dunia
** BPS

Bank Indonesia

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Perekonomian dunia di tahun 2012 mengalami kelesuan sebagai akibat dari pemulihan kondisi fiskal di
Amerika Serikat dan adanya krisis utang di kawasan Uni Eropa. Kelesuan ini mengakibatkan terjadinya
penurunan permintaan produk ekspor asal Indonesia di pasar ekspor tersebut. Berkurangnya permintaan
juga menyebabkan turunnya harga produk ekspor. Kedua hal ini berdampak pada penurunan nilai ekspor.
Kecenderungan ini nampaknya akan terus berlanjut pada tahun 2013.
Kinerja perdagangan luar negeri Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2012. Total ekspor Indonesia
di tahun 2012 mencapai USD 190.04 miliar atau mengalami penurunan sebesar -5,6 persen dari tahun
2011. Sementara itu total impor mengalami peningkatan sebesar 8,0 persen dari tahun sebelumnya,
dimana pada tahun 2012 mencapai nilai USD 191,67 miliar. Di sisi lain Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia pada tahun 2012 mengalami pertumbuhan sebesar 6,2 persen, dengan harga berlaku senilai
USD 875,07 miliar. Dari data ekspor, impor dan PDB ini kemudian dihitung indikator keterbukaan ekonomi,
yang dirumuskan sebagai rasio jumlah ekspor dan impor nasional terhadap PDB. Pada Gambar 8.1 dapat
dilihat terjadinya penurunan indikator keterbukaan ekonomi pada tahun 2012 menjadi sebesar 43,62

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

192
persen, dibandingkan pencapaian pada tahun 2011 yang mencapai 45,00 persen. Penurunan ini terus
berlanjut hingga semester pertama tahun 2013 menjadi 41,41 persen.

Gambar 8.1.
Perkembangan Impor,
Ekspor, PDB dan
Rasio Ekspor dan Impor
terhadap PDB

Sistem keuangan yang handal dan terbuka diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional
yang berkelanjutan. Berbagai kebijakan pembenahan sektor keuangan, terutama perbankan setelah krisis
ekonomi dan keuangan tahun 2008, telah berhasil meningkatkan ketahanan sektor keuangan maupun
perkembangan sektor keuangan secara keseluruhan sampai dengan tahun 2012 - 2013. Ketahanan
perbankan antara lain tercermin pada beberapa indikator seperti rasio kecukupan modal (Capital
Adequacy Ratio CAR) yang di tahun 2012 mencapai 17,43 persen. CAR mencerminkan kemampuan
perbankan menghadapi risiko krisis keuangan maupun perkembangan permintaan jasa perbankan pada
masa mendatang.
Meningkatnya stabilitas perbankan dan perkembangan kegiatan ekonomi juga terlihat antara lain pada
meningkatnya dana pihak ketiga perbankan dan penyaluran pinjaman perbankan. Ketahanan dan fungsi
intermediasi perbankan yang berhati-hati juga tercermin pada peningkatan indikator rasio pinjaman
terhadap simpanan (Loan to Deposit ratio - LDR) dan penurunan rasio kredit bermasalah (Non-Performing
Loan NPL) selama dua tahun terakhir. Indikator LDR pada perbankan umum dan BPR, sebagaimana
tersaji pada indikator 8.6b dan 8.6c di atas, belum memasukkan unsur perbankan syariah dan BPR syariah,
karena publikasi statistik perbankan yang belum menyatukan kedua jenis perbankan/BPR tersebut.
Kondisi perbankan di Indonesia pada tahun 2012 dapat dilihat pada capaian beberapa indikator
sebagaimana tersaji dalam Tabel 8.1.
Tabel 8.1. Beberapa Indikator Terpilih Kondisi Bank Umum di Indonesia, 2011 - 2012
Indikator

2011

2012

Total Aset (triliun Rp)

3.652,80

4.329,9

Dana Pihak Ketiga (triliun Rp)

2.784,90

3.225,2

Kredit Perbankan (triliun Rp)

2.200,10

2.707,9

78,80

83,58

3,00

3,11

2,2

2,3

16,10

17,43

Loan to Deposit Ration LDR (%)


Return on Assets ROA (%)
Non-Performing Loans NPL (%)
Capital Adequacy Ration CAR (%)

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

193
Meskipun terjadi krisis di Eropa dan gejolak politik dan ekonomi di Amerika Serikat, kinerja sektor
perbankan pada semester I tahun 2013 masih terjaga dengan baik. Indikator rasio kecukupan modal
(Capital Adequacy Ratio CAR) mencapai 18,4 persen meningkat dibanding status pada akhir 2012 (17,9
persen). Indikator lain seperti rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan NPL), tercatat mengalami
penurunan (semakin membaik statusnya) menjadi 1,9 persen pada pertengahan 2013. Capaian ini antara
lain merupakan implikasi dari kebijakan Loan to Value dan Down Payment perbankan. Dari segi aset, total
aset bank-bank umum pada Juni tahun 2013 tercatat sebesar Rp 4.533,6 triliun, meningkat dibanding
tahun 2012, yaitu sebesar Rp 4.329,9 triliun.

TANTANGAN
Indonesia perlu mewaspadai kemungkinan adanya risiko penurunan kinerja ekspor ke bawah (downside
risk) yang antara lain disebabkan oleh: (i) potensi penurunan harga komoditas di pasar internasional
yang akan mempengaruhi nilai ekspor Indonesia, dimana ekspor Indonesia masih bergantung kepada
komoditas primer, (ii) terhambatnya proses pemulihan ekonomi kawasan Eropa dan turunnya tingkat
pertumbuhan China sebagai salah satu pasar tujuan ekspor utama Indonesia, serta (iii) tingkat persaingan
di pasar barang kawasan Asia yang semakin meningkat.
Terkait dengan defisit neraca perdagangan, kebijakan moneter internasional, dan kenaikan harga BBM
dalam negeri, masih akan menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi. Tekanan ini
memerlukan antisipasi kebijakan moneter yang relatif ketat, dan menuntut adanya koordinasi kebijakan
yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia, baik di sektor riil dan keuangan, agar dapat melonggarkan
tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi tersebut. Kebijakan ini mendorong penurunan laju pertumbuhan
kredit yang diberikan oleh bank umum dan BPR.
Arah perekonomian yang mulai membaik pada triwulan IV 2013 menjadi modal penting bagi prospek
ekonomi ke depan. Bank Indonesia memperkirakan pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi akan lebih
berimbang sehingga akan semakin memperkuat stabilitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
diperkirakan berada pada kisaran 5,5%-5,9% dengan sumber pertumbuhan yang lebih seimbang antara
permintaan eksternal dan permintaan domestik. Permintaan eksternal diperkirakan terus membaik
sehingga ekspor akan meningkat sedangkan permintaan domestik masih moderat sehingga impor dan
inflasi akan tetap terkendali. Dengan demikian, rasio defisit transaksi berjalan terhadap PDB diprakirakan
akan menurun menjadi di bawah 3,0% dan laju inflasi diprakirakan akan berada pada kisaran sasaran
4,5%1%.
Meskipun membaik, prospek perekonomian Indonesia tahun 2014 masih dihadapkan pada beberapa
faktor risiko, baik yang bersifat global maupun domestik. Di sisi global, proses rebalancing ekonomi
China yang semula berorientasi investasi menjadi konsumsi dapat mengurangi ekspor. Selain itu, suasana
ketidakpastian yang mengiringi implementasi kebijakan tapering off oleh the Fed dapat mengurangi
arus masuk modal portofolio. Di sisi domestik, terdapat risiko kenaikan laju inflasi yang bersumber dari
dampak gangguan cuaca dan bencana alam terhadap harga bahan makanan serta dampak lanjutan
dari kenaikan harga barang administered dan pelemahan nilai tukar. Terkait implementasi UU Minerba,
kebijakan ini dalam jangka menengah berdampak positif terhadap ekspor, tetapi dalam jangka pendek
dapat mengurangi ekspor jika proses pembangunan smelter tidak berjalan lancar sesuai rencana.
Dinamika perekonomian Indonesia selama 2013 memberikan beberapa pelajaran berharga bagi kita dalam
menghadapi berbagai faktor risiko tersebut. Pertama, pentingnya kebijakan makroekonomi, baik fiskal

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

194
maupun moneter, yang disiplin dalam menjaga stabilitas dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, respons kebijakan tidak hanya dapat dengan menggunakan satu jenis kebijakan, tapi perlu dengan
satu bauran kebijakan. Ketiga, respon kebijakan yang kuat (bold) mensyaratkan pentingnya dukungan
sistem keuangan dan neraca korporasi yang sehat. Keempat, komunikasi yang intensif sangat penting
untuk menjangkar persepsi pasar. Kelima, pentingnya koordinasi yang erat di antara berbagai pemangku
kebijakan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan. Keenam, penguatan kebijakan struktural sangat
dibutuhkan untuk menopang keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, termasuk kebijakan pengelolaan
subsidi BBM, kebijakan di sektor keuangan, terutama terkait pendalaman pasar keuangan, dan kebijakan
di sektor riil.
Mengacu kepada beberapa pelajaran berharga tersebut, untuk memperkuat prospek ekonomi tersebut
sekaligus merespon berbagai risiko yang ada, arah kebijakan Bank Indonesia akan tetap difokuskan pada
upaya menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan. Kebijakan
moneter akan tetap diarahkan pada pencapaian sasaran inflasi dan penurunan defisit transaksi berjalan
ke tingkat yang lebih sehat melalui kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar sesuai fundamentalnya.
Penguatan operasi moneter, pengelolaan lalu lintas devisa, dan pendalaman pasar keuangan akan
diintensifkan untuk mendukung efektivitas transmisi suku bunga dan nilai tukar, sekaligus untuk
memperkuat struktur dan daya dukung sistem keuangan dalam pembiayaan pembangunan. Kebijakan
makroprudensial akan diarahkan pada mitigasi risiko sistemik di sektor keuangan serta pengendalian
kredit dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi. Bank Indonesia juga akan
meningkatkan upaya perluasan akses masyarakat terhadap perbankan (financial inclusion).
Kebijakan sistem pembayaran akan tetap diarahkan pada pengembangan industri sistem pembayaran
domestik yang lebih aman, efisien, dan lancar. Seluruh kebijakan tersebut akan diperkuat dengan berbagai
langkah koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas sektor keuangan terkait.
Dalam jangka menengah, perekonomian Indonesia diprakirakan dapat tumbuh lebih tinggi dengan laju
inflasi yang lebih rendah dan postur transaksi berjalan yang lebih sehat. Namun, prognosa ini sangat
bergantung pada kemampuan untuk mengatasi berbagai tantangan struktural yang saat ini masih
menyelimuti perekonomian domestik. Beberapa tantangan tersebut berkaitan dengan permasalahan
pada struktur pembiayaan, struktur produksi domestik, termasuk ketahanan energi dan ketahanan pangan
serta dampaknya terhadap pengelolaan subsidi di APBN, dan ketersediaan modal dasar pembangunan.
Berbagai langkah reformasi struktural telah ditempuh oleh Pemerintah dan Bank Indonesia untuk
mengatasi berbagai tantangan struktural tersebut. Terlepas dari capaian yang telah diraih, percepatan
implementasi berbagai kebijakan reformasi struktural yang telah dicanangkan masih diperlukan.
Kebijakan struktural tersebut meliputi upaya pendalaman pasar keuangan domestik, upaya penguatan
striktur produksi dan integrasi rantai nilai global, dan upaya mengelola subsidi BBM secara optimal guna
memberikan ruang gerak fiskal dalam mendukung pertumbuhan yang berkesinambungan. Percepatan
berbagai upaya reformasi struktural tersebut diperkirakan dapat menghindarkan Indonesia dari jebakan
negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Bank Indonesia memperkirakan apabila reformasi struktural dapat berjalan baik, pertumbuhan ekonomi
dapat mencapai 6,5% pada 2018 dengan tingkat inflasi yang menurun sesuai target jangka menengah dan
defisit transaksi berjalan yang lebih sehat. Prospek perekonomian dalam jangka bahkan dapat lebih tinggi
bila berbagai upaya peningkatan kapabilitas industri dapat berjalan sesuai harapan. Lebih jauh, prospek
ekonomi Indonesia dapat lebih meningkat apabila prakondisi kebijakan untuk mendukung kenaikan
produktivitas dan daya saing di perekonomian domestik juga terpenuhi. Namun, apabila pelaksanaan

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

195
kebijakan reformasi struktural tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan, pertumbuhan ekonomi
dapat lebih rendah dari perkiraan, dan diikuti inflasi yang lebih tinggi dan perbaikan defisit transaksi
berjalan yang lebih terbatas.

KEBIJAKAN
Kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang akan diambil oleh pemerintah dalam upaya menjaga
kinerja ekspor dan impor, antara lain sebagai berikut: (i) Meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia;
(ii) Meningkatkan penetrasi produk ekspor di pasar ekspor non-tradisional, terutama di negara-negara
Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur, yang dilakukan antara lain melalui optimalisasi
skema kerjasama perdagangan internasional terutama secara bilateral, memaksimalkan peran jaringan
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, kantor promosi perdagangan di negara-negara tersebut,
serta mengoptimalkan upaya promosi terpadu; (iii) melanjutkan upaya peningkatan ekspor produk hilir,
terutama produk mineral dan pertambangan agar dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar untuk
perekonomian nasional; (iv) meningkatkan pemanfaatan kesepakatan kerjasama perdagangan ASEAN dan
ASEAN+1; serta (v) meningkatkan kapasitas eksportir dan calon eksportir melalui pelatihan dan fasilitasi
pembiayaan ekspor.
Dari sisi pembiayaan kegiatan ekonomi, telah diupayAkan untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi
perbankan antara lain melalui penerapan kebijakan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Perbankan. Selain itu
telah pula dibangun Sistem informasi Debitur (SID) dengan tujuan untuk memudahkan lembaga keuangan
dalam mengidentifikasi debitur potensial yang layak menerima kredit.

UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


Gejolak di pasar keuangan dan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini, ditengarai akan berpengaruh kepada
stabilitas makro ekonomi, yang pada gilirannya akan menganggu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena
itu, pemerintah telah berupaya mengambil langkah-langkah kebijakan stabilisasi ekonomi dan reformasi
struktural. Di antara langkah-langkah yang telah diambil tersebut, antara lain diterbitkannya Paket Kebijakan
Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi pada 23 Agustus 2013 untuk tetap menjaga pertumbuhan ekonomi
dan menjaga kinerja perdagangan luar negeri Indonesia.
Kebijakan Keuangan Inklusif dalam rangka memperkuat akses ke lembaga keuangan formal dilakukan
melalui 6 pilar strategi yakni: a). Penguatan Edukasi keuangan, b). Peningkatan Fasilitas Keuangan Publik,
c). Pemetaan Informasi Keuangan d). Kebijakan Peraturan yang Mendukung e). Fasilitas Intermediasi dan
Saluran Distribusi f). Perlindungan Konsumen.
Pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, yang diimplementasikan dengan memperkuat ketentuan
makroprudensial. Kebijakan ini, bersama-sama dengan kebijakan suku bunga dan nilai tukar, merupakan
bagian dari bauran kebijakan makroprudensial yang terkait dengan prinsip kehati-hatian perbankan. Selain
itu, penguatan ketahanan dan daya saing sektor keuangan/perbankan ditempuh melalui: (i) penataan
struktur kepemilikan bank, dan (ii) pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor
bank berdasarkan modal (inti) yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan kesehatan bank.
Pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank sangat diperlukan dalam
rangka meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

196
Sedangkan kebijakan penguatan fungsi intermediasi diupayakan melalui peningkatan akses layanan
pemberian kredit/pembiayaan UMKM oleh bank umum dan BPR. Perluasan akses layanan keuangan
dilakukan pula tanpa melalui kantor bank atau dilakukan melalui cara non-konvesional, melalui pemanfaatan
teknologi informasi, dan kerjasama keagenan (branchless banking). Kebijakan intermediasi perbankan
juga didorong melalui berbagai langkah antara lain melalui perluasan akses keuangan (financial inclusion)
kepada masyarakat, yang meliputi layanan perbankan berbiaya rendah bagi masyarakat perdesaan dan
perkotaan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

197
TARGET 8D

MENANGANI UTANG NEGARA BERKEMBANG MELALUI UPAYA


NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL UNTUK DAPAT MENGELOLA
UTANG DALAM JANGKA PANJANG
Acuan
dasar

Indikator

Saat ini

Target
MDGs 2015

Status

Sumber

Target 8D: Menangani utang Negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat
mengelola utang dalam jangka panjang
8.12

Rasio pinjaman luar negeri terhadap


PDB

24,59%
(1996)

28,7%
(2012)

Berkurang

Statistik Utang
Luar Negeri
Indonesia, Bank
Indonesia

8.12a

Rasio pembayaran pokok utang dan


bunga utang luar negeri terhadap
penerimaan hasil ekspor (DSR)

51,00%
(1996)

34,9%
(2012)

Berkurang

Kementerian
Keuangan dan
Bank Indonesia

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Utang luar negeri Indonesia terdiri atas utang luar negeri pemerintah, bank sentral (Bank Indonesia),
dan sektor swasta. Dari 2006 sampai dengan 2012, posisi utang luar negeri Indonesia meningkat sebesar
USD119,7 miliar (90,3 persen). Peningkatan terjadi baik pada utang luar negeri pemerintah dan bank
sentral maupun swasta. Namun demikian, pada periode yang sama peningkatan utang luar negeri tersebut
diikuti peningkatan PDB yang relatif lebih besar yaitu sebesar USD 520,9 miliar (141,1 persen). Oleh
karenanya, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB cenderung mengalami penurunan menjadi
28,7 persen pada 2012.
Peningkatan posisi utang luar negeri Indonesia pada tahun 2012, banyak dipengaruhi oleh peningkatan
utang luar negeri swasta yang cukup signifikan menjadi USD 126.2 miliar (18.3 persen yoy). Peningkatan
ini terutama disebabkan berlakunya sanksi denda kepada perusahaan yang tidak melaporkan kewajiban
utang luar negeri berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 12/24/PBI/2010 tanggal 29 Desember 2010.
Sanksi dari peraturan tersebut telah berlaku efektif sejak Juli 2011, sehingga telah meningkatkan cakupan
pelaporan dan jumlah pelapor utang luar negeri swasta.
Peningkatan utang luar negeri juga disebabkan oleh peningkatan utang luar negeri bank sentral sebesar
59,8 persen (yoy) dari USD 6,2 miliar pada tahun 2011 menjadi USD9,9 miliar pada tahun 2012. Peningkatan
itu merupakan bagian dari upaya Bank Indonesia dalam optimalisasi pengelolaan cadangan devisa.
Outstanding Pinjaman Luar Negeri mengalami peningkatan dari Rp 614,81 triliun pada tahun 2012 menjadi
Rp 640,66 triliun pada pertengahan Agustus 2013. Kenaikan tersebut disebabkan oleh pelemahan kurs
rupiah terhadap valas. Sekalipun demikian, beban Pinjaman Luar Negeri Pemerintah sejak krisis tahun
1998 cenderung membaik yang dapat dilihat dari penurunan rasio Pinjaman Luar Negeri Indonesia
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu dari 8,30% pada tahun 2011, menjadi 7,40 persen pada
tahun 2012, bahkan mencapai 6,80 persen pada bulan Agustus 2013.
Penurunan tersebut mengindikasikan peningkatan kemampuan Pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal. Penurunan rasio ini antara lain dikontribusikan oleh kebijakan pemerintah yang lebih

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

198
mengutamakan instrumen utang domestik dalam pembiayaan APBN dan upaya untuk mengendalikan
ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Selain itu, upaya Pemerintah dalam mengarahkan
pemanfaatan utang untuk membiayai kegiatan produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,
juga memberikan konstribusi terhadap penurunan rasio ini. Pemerintah secara konsisten berupaya
mengendalikan pertumbuhan utang dan mengelola utang dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian,
akuntabilitas, efisensi, dan efektifitas.
Membaiknya kemampuan Pemerintah Indonesia untuk mengelola utang luar negerinya juga dapat dilihat
dari penurunan rasio pembayaran kewajiban utang luar negeri Pemerintah terhadap Penerimaan Hasil
Ekspor (debt service ratio/DSR). Seiring dengan penurunan posisi utang luar negeri Pemerintah, DSR pada
tahun 2012 atas dasar seluruh kewajiban utang luar negeri Pemerintah mencapai 4,61 persen.
Sementara itu, rasio pembayaran kewajiban utang utang luar negeri Indonesia secara terhadap
penerimaan hasil ekspor (debt service ratio/DSR) terlihat berfluktuasi, dimana pada 2011 tercatat sebesar
21,10 persen meningkat menjadi 34,9 persen pada tahun 2012. Peningkatan DSR ini dipengaruhi oleh
peningkatan pembayaran kewajiban utang luar negeri swasta dan penurunan nilai ekspor pada tahun
2012, sebagai imbas dari gejolak perekonomian yang melanda Amerika Serikat dan kawasan Eropa.

Gambar 8.2
Perkembangan
Outstanding
Pinjaman Luar Negeri
Pemerintah

TANTANGAN
Pemerintah perlu mewaspadai adanya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, mengingat
masih tingginya jumlah outstanding utang dalam valuta asing. Jumlah utang dalam valuta asing ini juga
dipengaruhi oleh (i) penetapan defisit APBN yang tinggi sehingga memerlukan pembiayaan utang yang
tinggi pula, dan (ii) kapasitas utang dalam negeri yang masih terbatas, baik dalam Surat berharga Negara
maupun Pinjaman Dalam Negeri

KEBIJAKAN
Untuk mengelola utang dengan baik, Pemerintah menyusun strategi pengelolaan utang negara jangka
menengah dalam rangka mencapai tujuan jangka panjang pengelolaan utang, untuk meminimalkan biaya
utang pada tingkat risiko yang terkendali. Dalam Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2013-2016

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

199
antara lain disebutkan strategi umum pengelolaan utang adalah sebagai berikut:
a) Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan memanfaatkan sumber
utang dari luar negeri sebagai pelengkap;
b) Melakukan pengembangan instrumen dan perluasan basis investor utang agar diperoleh fleksibilitas
dalam memilih sumber utang yang lebih sesuai kebutuhan dengan biaya yang minimal dan risiko
terkendali;
c) Memanfaatkan fleksibilitas pembiayaan utang untuk menjamin terpenuhinya pembiayaan APBN
dengan biaya dan risiko yang optimal;
d) Memaksimalkan pemanfaatan utang untuk belanja modal terutama pembangunan infrastruktur;
e) Melakukan pengelolaan utang secara aktif dalam kerangka ALM Negara;
f) Menghentikan kebijakan pemberian jaminan Pemerintah yang bersifat blanket guarantee, seperti
penerbitan support letter untuk proyek-proyek Independent Power Producer (IPP) PT. PLN;
g) Mendukung peningkatan modal perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah untuk melaksanakan
penjaminan infrastruktur agar mampu memberi jaminan tanpa melibatkan Pemerintah;
h) Meningkatkan transparansi pengelolaan utang dan kewajiban kontinjensi melalui penerbitan informasi
publik secara berkala;
i) melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan efisiensi APBN, mendukung
pengembangan pasar keuangan, meningkatkan sovereign credit rating, dan mengidentifikasi potensi
risiko penjaminan serta rekomendasi langkah mitigasinya.
Selain itu, Pemerintah secara konsisten juga berupaya melakukan pengendalian utang untuk menjaga
kesinambungan fiskal Pemerintah melalui penetapan target rasio total utang terhadap PDB (debt to GDP
ratio) sebesar 22,00 persen pada akhir 2014. Dari sisi pinjaman, pengendalian utang diwujudkan melalui
penerapan kebijakan negative netflow untuk Pinjaman Luar Negeri yaitu pinjaman yang ditarik diupayakan
lebih rendah dari pinjaman yang jatuh tempo.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

200
TARGET 8F

BEKERJA SAMA DENGAN SWASTA DALAM MEMANFAATKAN


TEKNOLOGI BARU, TERUTAMA TEKNOLOGI INFORMASI DAN
KOMUNIKASI
Indikator

Acuan
dasar

Saat ini

Target MDGs
2015

Status

Sumber

Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan
komunikasi
8.14

Proporsi penduduk yang memiliki


jaringan PSTN (kepadatan fasilitas
telepon per jumlah penduduk)

4,02%
(2004)

3,23%
(2012)

Meningkat

8.15

Proporsi penduduk yang memiliki


telepon seluler

14,79%
(2004)

131,41%
(2012)

100,00%

8.16

Proporsi rumah tangga dengan akses


internet

30,66%
(2012)

50,00%

BPS, Susenas

8.16a

Proporsi rumah tangga yang memiliki


komputer pribadi

14,86%
(2012)

Meningkat

BPS, Susenas

Kemkominfo

Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Dalam era masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society), akses untuk mendapatkan
informasi dan kemampuan untuk mengolah informasi merupakan suatu kebutuhan dasar. Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat saat ini memungkinkan hampir setiap orang
untuk mendapatkan informasi dalam waktu sesaat (real time). Bila sebelumnya jaringan Public Switched
Telephone Network (PSTN) merupakan moda utama bagi komunikasi, sejak tahun 2002 pola tersebut
bergeser ke akses nirkabel (wireless) termasuk seluler. Hal ini terlihat dari proporsi penduduk Indonesia
yang memiliki jaringan PSTN hanya 4,02 persen dibandingkan dengan seluler sebesar 14,79 persen pada
tahun 2004.
Cepatnya implementasi dan murahnya investasi akses nirkabel, serta semakin tingginya mobilitas
masyarakat, menyebabkan akses nirkabel khususnya seluler telah menjadi moda utama komunikasi dan
akses informasi dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini terlihat dari proporsi penduduk Indonesia yang
memiliki telepon seluler pada tahun 2012 yaitu 131,41 persen, jauh lebih besar dari PSTN yang hanya
mencapai 3,23 persen pada tahun yang sama. Sesuai dengan kecenderungan global, pembangunan PSTN
semakin ditinggalkan sehingga pembangunan PSTN akan terus mengalami penurunan.
Peningkatan pemanfaatan TIK juga dapat dilihat dari penggunaan internet dan kepemilikian komputer di
rumah tangga. Proporsi rumah tangga dengan akses internet meningkat dari 11,06 persen pada tahun
2009 menjadi 26,21 persen tahun 2011 dan 30,66 persen pada tahun 2012. Adapun proporsi rumah
tangga yang memiliki komputer pribadi juga meningkat dari 10,20 persen pada tahun 2009 menjadi 12,30
persen di tahun 2011 dan 14,86 persen di tahun 2012. Rendahnya kepemilikan komputer pribadi per
rumah tangga antara lain disebabkan oleh masih tingginya harga komputer pribadi. Masyarakat lebih
banyak mengakses internet melalui warung internet dan telepon pintar (smart phone) yang semakin
mudah diperoleh dengan harga terjangkau. Salah satu bentuk penggunaan internet yang digemari oleh
penduduk Indonesia adalah aplikasi media sosial. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah pengguna facebook
dan twitter Indonesia yang masing-masing merupakan pengguna terbesar nomor 4 dan nomor 5 di dunia
pada tahun 2012.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

201
TANTANGAN
Pada awal tahun 2000, sebagian penduduk Indonesia seperti halnya penduduk dunia mengalami
kesenjangan informasi karena terbatasnya akses informasi. Saat ini, penduduk Indonesia justru mengalami
tsunami informasi karena terlalu banyak informasi yang didapat dari berbagai media. Pada dasarnya, TIK
merupakan instrumen untuk mendapatkan informasi. Nilai sesungguhnya akan didapat dari pemahaman
dan kemampuan masyarakat untuk menggunakan TIK guna mendukung kegiatan yang produktif, serta
kemampuan masyarakat untuk memilah, memilih, dan mengolah informasi menjadi hal yang bermanfaat.
Tanpa kedua kemampuan tersebut, masyarakat Indonesia hanya akan menjadi pasar dan komoditas, namun
tidak mendapatkan manfaat bagi peningkatan kualitas hidup. Tantangan terbesar adalah mengedukasi
masyarakat untuk meningkatkan kedua kemampuan tersebut.

KEBIJAKAN
Sesuai dengan arah pembangunan TIK nasional, pembangunan pada tahun 2010-2014 difokuskan kepada
penyediaan infrastruktur TIK yang ditujukan untuk memastikan tersedianya konektivitas di seluruh pelosok
Indonesia. Upaya ini dilakukan melalui penyediaan layanan telepon dan internet di wilayah perdesaan,
yang menjadi bagian dari Program Universal Service Obligation (USO) atau kewajiban pelayanan universal.
Selain itu, Pemerintah juga mempercepat pembangunan pita lebar (broadband) sebagai konektivitas
antar dan intra pulau (Palapa Ring). Di samping agenda konektivitas, pembangunan TIK pada tahun 20102014 juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam penggunaan TIK. Agenda ini
dimaksudkan agar pemanfaatan TIK dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat.

UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


Dalam rangka implementasi Program USO, Pemerintah menargetkan penyediaan jasa telekomunikasi
(melalui program Desa Berdering) di 33.184 desa dan jasa internet (Pusat Layanan Internet Kecamatan/
PLIK) di 5.748 desa ibukota kecamatan. Pada tahun 2012 Desa Dering telah tersedia di 31.092 desa (93,7
persen), sedangkan PLIK telah tersedia di 5.897 kecamatan (102,6 persen). Selain itu Pemerintah juga
telah menyediakan unit Mobile PLIK (MPLIK) sebanyak 1.802 unit atau 94,5 persen dari target 1.907 unit.
Adapun dalam rangka pembangunan pita lebar, Pemerintah bersama PT Telkom akan membangun
jaringan serat optik ke 497 kabupaten/kota. Dari total target 497 kabupaten/kota tersebut, PT Telkom
akan membangun jaringan serat optik ke 446 kabupaten/kota, sedangkan Pemerintah akan membangun
ke 51 kabupaten/kota yang berada di wilayah non-komersial. Pembangunan jaringan serat optik oleh PT
Telkom telah menjangkau 346 kabupaten/kota (69,6 persen) pada tahun 2012, sedangkan pembangunan
oleh Pemerintah baru akan dimulai pada tahun 2014.
Untuk mendukung pengembangan layanan komunikasi seluler, Pemerintah sedang melakukan penataan
ulang spektrum frekuensi radio agar penyelenggara dapat menyediakan layanan secara optimal.
Pemerintah juga sedang melakukan migrasi sistem penyiaran televisi free-to-air dari analog ke digital
yang dijadwalkan selesai pada tahun 2018. Selain untuk mendapatkan kualitas siaran televisi yang lebih
baik, program migrasi ke sistem digital juga dimaksudkan untuk membebaskan lebih dari 100 MHz pita
spektrum frekuensi radio (digital dividend) yang dapat digunakan kemudian untuk penyediaan layanan
telekomunikasi.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

202
Kotak 8.1.
Perkembangan Kerjasama Pembangunan Internasional Tahun 2013
Dalam implementasi kebijakan luar negeri sejalan dengan tujuan negara dalam Pembukaan
UUD 1945, keterlibatan Pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional
diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional bangsa Indonesia. Partisipasi
Indonesia dalam berbagai forum dialog internasional diharapkan akan mendorong penguatan
dan peningkatan ekonomi. Menyikapi dinamika ekonomi global dan nasional, Pemerintah
Indonesia perlu memiliki andil dalam menciptakan lingkungan global yang kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi global yang kuat, stabil, berkesinambungan dan seimbang.
Indonesia sangat berkepentingan terhadap pembahasan berbagai isu dan sektor terkait upaya
percepatan implementasi Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Terkait hal ini,
Pemerintah Indonesia aktif dalam berbagai mekanisme forum, baik dalam konteks bilateral,
regional dan multilateral, diantaranya ASEAN, APEC, G20, dan PBB.
Disamping itu, Indonesia berperan aktif dalam kerjasama pembangunan internasional
melalui Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST). Perubahan lingkungan dan kondisi
global menuntut adanya terobosan baru dalam melakukan transformasi kemitraan kerja
sama pembangunan sehingga KSST dapat memberikan keuntungan, baik bagi dalam rangka
mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional Indonesia, maupun bagi negara
penerima.
Dalam kaitan ini, pada tahun 2013 Pemerintah Indonesia telah meningkatkan skala kegiatan
dalam kerangka KSST. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah penguatan koordinasi
dalam Tim Koordinasi Nasional KSST, memfinalisasi penyusunan peraturan sebagai dasar
hukum pelaksanaan KSST dan penyusunan Rencana Induk KSST Indonesia 2011-2025 dengan
visi: Kemitraan yang lebih baik untuk kesejahteraan. Rencana Induk KSST akan menjadi
landasan dan arah kebijakan dalam peningkatan KSST yang lebih terencana, terintegrasi dan
terarah sesuai dengan dinamika konstelasi global untuk mendukung kepentingan nasional.
Rencana Induk KSST akan dijabarkan secara lebih detail dalam cetak biru KSST dan terintegrasi
dengan pelaksanaan RPJMN dalam jangka waktu lima tahunan.
Selain itu kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan adalah pelaksanaan flagship KSST berupa
pelatihan di bidang inseminasi buatan, pengelolaan risiko bencana, dan workshop demokrasi.
Flagship dilaksanakan dengan tujuan agar kegiatan tersebut dapat menjadi benchmark KSST.
Untuk meningkatkan koordinasi dalam proses perencanaan program di kementerian/lembaga
maka pada tahun ini telah dimulai institusionalisasi kegiatan KSST dalam proses perencanaan
dan penganggaran melalui trilateral meeting. Selain itu untuk meningkatkan skala KSST
Indonesia maka telah dilakukan resource mobilization untuk kerjasama triangular dengan
beberapa mitra pembangunan.
Indonesia juga aktif dalam kerjasama pembangunan Global Partnership for Effective
Development Cooperation (GPEDC), dengan posisi dan komitmen tinggi untuk meningkatkan
efektivitas kerjasama pembangunan internasional yang diwujudkan dengan menginisiasi

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

203
knowledge sharing. Dalam forum GPEDC, Indonesia menjadi salah satu co-chair bersamasama dengan Nigeria dan Inggris.
Sementara itu pada forum G20, Indonesia mengedepankan pembangunan ekonomi yang
menyeluruh untuk menggerakkan pembangunan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
dan meningkatkan kesejahteraan. Sebagai the premier forum for international economic
cooperation yang dihadiri pimpinan level tertinggi, G20 memiliki peran strategis untuk
mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi dunia kuat, berkesinambungan dan seimbang.
Dalam hal ini, Indonesia berhasil mendorong adanya pembahasan dimensi pembangunan
sebagai bagian integral dari G20 Framework for Strong, Sustainable and Balanced Growth
(FSSBG), bersama dengan negara emerging G20 lainnya, serta mendorong pembentukan
global financial safety net (GFSN) untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dunia terhadap
kemungkinan krisis ekonomi di masa mendatang. Dengan desakan tersebut, mayoritas negara
G20 sependapat dengan pentingnya dorongan bagi implementasi percepatan target MDGs
dan mendorong kontribusi G20 lebih lanjut pada pembahasan isu pembangunan global
pasca-2015, khususnya terkait elemen global partnership, dengan memanfaatkan kapasitas
G20 terutama terkait knowledge sharing dan resources mobilization.
Dalam tingkat global, kebijakan nasional dan pencapaian Indonesia telah mendapatkan
pengakuan dan menjadi salah satu tolok ukur hasil MDGs. Pada tahun 2012, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah diminta oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk menjadi Ketua Bersama
High-level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda, bersama Perdana
Menteri Inggris dan Presiden Liberia, untuk membahas kerangka pembangunan pasca-2015.
Selanjutnya Indonesia juga terlibat dalam pembahasan Agenda Pembangunan Pasca-2015,
dimana Indonesia aktif dalam dialog pada Open Working Group on SDGs (OWG on SDGs)
untuk merumuskan Sustainable Development Goals (SDGs). Hal ini untuk memastikan
bahwa konsep pembangunan global sejalan dengan kepentingan negara-negara berkembang
termasuk Indonesia yang merupakan penyempurnaan konsep MDGs.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

204

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

DAFTAR PUSTAKA

206

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

207
Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA
TUJUAN 1
------------ Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
------------ Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Menengah 2010-2014.
------------ Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan No. 23/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang Perubahan atas
Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan No. 28/KEP/MENKO/KESRA/XI/2006 tentang Tim Pengendali Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat.
Badan Pusat Statistik (2010). Survei Tenaga Kerja Nasional 2010. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik (2011). Survei Tenaga Kerja Nasional 2011. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik (2012). Survei Tenaga Kerja Nasional 2012. Jakarta: BPS.
---------- (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2013). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989, 1990,
1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013. Jakarta: BPS.
Bappenas (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas.
---------- (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta: Bappenas.
---------- (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Bappenas, PNPM Support Facility, dan UNDP (2007). Sistem Informasi Manajemen Terpadu PNPM
Mandiri. simpadu-pnpm.bappenas.go.id/Desinventar/about
Kementerian Kesehatan (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan (2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013.
Kesehatan

Jakarta: Kementerian

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra.
Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Kota (KWK)
Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
------------ (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Desa (KWD) Jakarta: Kementerian
Pendidikan Nasional.
Purwadi, A. (2010). Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi: Program Mahasiswa Wirausaha 2009. Jakarta:
Kemdiknas.
------------ (2010). Pendidikan Kewirausahaan pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemdiknas.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

208
TUJUAN 2
---------- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pedoman Penyediaan
Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah.
---------- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 36 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis Penggunaan
Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk Peningkatan Mutu
Pendidikan di SD/SDLB.
---------- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis Penggunaan
Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk Peningkatan Mutu
Pendidikan di SMP/SMPLB.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang
2005-2025. Jakarta: Bappenas.
---------- (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta: Bappenas.
---------- (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2013). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990,
1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013. Jakarta: BPS.
Kementerian Agama (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin untuk, MI, MTs., dan MA.
Jakarta: Kemenag.
---------- (2011). Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Madrasah Negeri 2011. Jakarta:
Kemenag.
---------- (2011). Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Madrasah Negeri Swasta. Jakarta:
Kemenag
Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Rencana Strategis 2010-2014. Jakarta: Kemdiknas.
---------- (1990, 2010). Data Internal Angka Bertahan 1990, 2010. Jakarta: Kemdiknas.
---------- (2011). Pedoman Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2011. Jakarta: Kemdiknas.
---------- (2011). Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah. Jakarta: Kemdiknas.
---------- (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Dasar. Jakarta: Kemdiknas.
---------- (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Pertama. Jakarta:
Kemdiknas
---------- (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Atas. Jakarta:
Kemdiknas
---------- (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta:
Kemdiknas
---------- (2011). Panduan Gerakan Nasional Penuntasan Rehabilitasi Gedung SD dan SMP 2011. Jakarta:
Kemdiknas
Kemdiknas dan Unicef (2007). Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM). Jakarta:
Balitbang Kemdiknas dan Unicef.
---------- (2011). Studi Anak di Luar Sekolah (SALSA). Jakarta: Balitbang Kemdiknas dan Unicef.
The World Bank (2003). Gender Equality and the Millenium Development Goals. Washington: the World
Bank.
Unicef dan Unesco Institute for Statistics (2010). Global Initiative on Out-of-School Children. Jakarta:
UNICEF.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

209
TUJUAN 3
---------- Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional.
---------- Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional No. Kep. 30 /M.PPN/HK/03/2009 tentang Pembentukan Tim Pengarah dan
Tim Teknis Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender.
---------- Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan
Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan DIPA
tahun anggaran 2010.
---------- Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan
Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan DIPA
tahun anggaran 2011.
---------- Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.
Badan Pusat Statistik (1993, 2013). Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 1993 dan 2013. Jakarta:
BPS.
Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2013). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990,
1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013. Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006). Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di
Sembilan Sektor. Jakarta: Bappenas.
---------- (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2005). Parameter Gender dalam
peraturan Perundang-undangan 2005. Jakarta: Kementerian PP dan PA.
---------- (2010). Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi Daerah. Jakarta:
Kementerian PP dan PA.
---------- (2011). Statistik Gender 2011. Jakarta: Kementerian PP dan PA.
---------- (2011). Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian PP dan PA.
Komisi Pemilihan Umum (2011). Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan: Data Internal KPU.

TUJUAN 4
---------- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah
2010-2014. Jakarta: Bappenas.
---------- (2008). Pengembangan Database Pembangunan Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Dokumen
internal.
---------- (2008). Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia, Laporan Kajian. Jakarta: Bappenas.
---------- (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan. Jakarta:
Bappenas.
---------- (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan. Jakarta:
Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

210
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dan UNFPA (2006). Keluarga Berencana, Kesehatan
Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan. Jakarta: BKKBN dan UNFPA.
Badan Pusat Statistik (1992, 2011, 2012).
2011. Jakarta: BPS.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1991, 2010, dan

---------- (1992, 1995, 1997, 1999, 2003, 2007, 2012). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI),
1991, 1995,1997 2002/03, 2007, 2012. Jakarta: BPS.
Kementerian Kesehatan (2008).
Kementerian Kesehatan.

Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

Jakarta:

---------- (2008). Profil Kesehatan 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan.


---------- (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, 2002-2003 and 2007. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
---------- (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian
Kesehatan
World Health Organization. (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count.
Geneva: WHO.
---------- (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing
Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of theTask Force on Health
Systems Research, 2005.
---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage.
Geneva: WHO.
Badan Pusat Statistik (1995-1998). % Balita yang pernah Menerima Imunisasi Campak. www.bps.go.id/
tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=30&notab=33

TUJUAN 5
Adam Wagstaff , Mariam Claeson, Robert M. Hecht, Pablo Gottret, and Qiu Fang. (2004). Millennium
Development Goals for Health: What Will It Take to Accelerate Progress?.
Ahrizal Ahnaf. (2006). Angka Kematian Ibu di Indonesia Kecenderungan dan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh. Dipresentasikan pada Workshop Prakarsa Strategis Percepatan Penurunan AKI, di
Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah
2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Badan Pusat Statistik (1992, 2002, 2004-2012). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1991, 2001,
2003-2011. Jakarta: BPS.
---------- (1992, 1995, 1997, 1999, 2003, 2007). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), 1991,
1995,1997 2002/03, 2007. Jakarta: BPS.
---------- (2011). Profil Statistik Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: BPS.
Kementerian Kesehatan (2008). Profil Kesehatan 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, 2002-2003 and 2007. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
---------- (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

211
Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013.
Kesehatan

Jakarta: Kementerian

World Health Organization (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count.
Geneva: WHO.
---------- (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research
Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of the Task Force
on Health Systems Research, 2005
---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage.
Geneva: WHO.

TUJUAN 6
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1507/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan
Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Councelling and Test).
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1508/MENKES/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka
Menengah perawatan, Dukungan, dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan HIV/AIDS tahun
2005-2009.
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197/MENKES/SK/XI/2007 tentang Kelompok Kerja
Penanggulangan HIV/AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 043/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman Pengobatan
Malaria.
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria di
Indonesia.
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (TB).
---------- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan
Komisi Penangggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Penanggulangan HIV
dan AIDS di Daerah.
20th Meeting of The National AIDS Programme Managers; 2-4 Desember 2008: Recommendations to the
Member Countries.
Andy Barraclough, Malcolm Clark, et all. (2008). Report of HIV/AIDS Commodities Survey and Supply Chain
Status Assessment in Tanah Papua: A survey of HIV/AIDS Commodities Situation in Tanah Papua.
Februari.
ASAP UNAIDS (2008). Preparing National HIV/AIDS Strategies and Action Plans - Lessons ofExperience.
www.worldbank.org/asap.
Badan Pusat Statistik (2003, 2007, 2012). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/03,
2007, 2012. Jakarta: BPS.
---------- (2011). Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indoensia (SKRRI). Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah
2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Kementerian Kesehatan (1995-2011).
Dokumen Internal

CDR dan Success Rate Kasus TB Paru BTA Positif, 1995-2011.

---------- (2002). Laporan Eksekutif Menteri Kesehatan RI tentang Penanggulangan HIV/AIDS Respon
Menangkal Bencana Nasional apda Sidang Kabinet Maret 2002. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2007). Pedoman Nasional terapi Antiretroviral: panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIVpada
Orang Dewasa dan Remaja. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

212
---------- (2008). Pedoman Perluasan Jejaring Perawatan, Dukungan dan Pengobatan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
---------- (2008, 2011, 2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010, 2013. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
---------- (2008). Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2010). Profi l Penyakit Menular 2009. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2011). Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2011). Prevalensi HIV/AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2011). Angka Kejadian dan Tingkat Kematian Akibat Malaria. Dokumen internal.
---------- (2011). Proporsi Jumlah Kasus Tuberkulosis yang Terdeteksi dan Terobati. Dokumen internal.
---------- (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014: Terobosan Menuju Akses
Universal. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2008). Country report on the Follow up to the Declaration of
Commitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period 2006-2007. Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional. (2007). HIV and AIDS Response Strategies 2007-2010.
---------- (2010). Rencana Aksi dan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS, 2010-2014.
---------- (2010). Country report on the Follow up to the Declaration ofCommitment on HIV/AIDS, (UNGASS)
Reporting Period 2008-2009.
World Health Organization (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without
New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of
theTask Force on Health Systems Research, 2005.
---------- (2010). Global Tuberculosis Control 2009: Epidemiology Strategy Financing. Geneva: WHO.
---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage.
Geneva: WHO.
---------- (2012). Global Tuberculosis Control 2011. Geneva: WHO.
---------- (2013). Global Tuberculosis Control 2012. Geneva: WHO.
Yayasan Spiritia (2005). Protokol Penanggulangan terapi Antiretroviral. Diambil dari the PIH Guide to the
Community-Based Treatment of HIV in Resources-Poor Setting, July 2004. Jakarta: Yayasan Spiritia

TUJUAN 7
---------- Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan.
--------- Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca.
--------- Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
--------- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang
Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
---------- Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/MDAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan
Perusak Ozon.
---------- Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/MDAG/PER/1/2012 tentang Impor Bahan Perusak
Lapisan Ozon.
---------- Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
--------- Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

213
--------- Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
--------- Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Badan Pusat Statistik (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010. Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah
2004-2009. Jakarta: Bappenas.
------------ (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas.
------------ (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta: Bappenas.
------------ (2011). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2011. Jakarta: Bappenas.
------------ (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Bappenas, PNPM Support Fasility, dan UNDP (2007). Sistem Informasi Manajemen Terpadu PNPM
Mandiri. simpadu-pnpm.bappenas.go.id/Desinventar/about
Badan Pusat Statistik (1993 - 2013). Survai Sosial Ekonomi Nasional, 1993 - 2013. Jakarta: BPS
HCFC

Phase-out
Management
Plans.
www.undp.org/content/undp/en/home/ourwork/
environmentandenergy/focus_area/ozone_and_climate/hcfc_phase-out_managementplans/

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (1990 dan 2010).


Indonesia, 1990 dan 2010. Jakarta: Kementerian ESDM.

Buku Data Statistik Ekonomi Energi

Kementerian Kehutanan (1990 dan 2010). Luas Kawasan Tertutup Hutan, 1990 dan 2010. Dokumen
internal.
----------- (1990 dan 2010). Rasio Luas Kawasan Lindung untuk Menjaga Kelestarian Keanekaragaman
Hayati terhadap Total Luas Kawasan Hutan, 1990 dan 2010. Dokumen internal.
----------- (1990, 2002, 2005, 2008, 2010, 2012). Persentase Tutupan Hutan dari Luas Daratan, 1990,
2002, 2005, 2008, 2010, dan 2012. Dokumen internal.
----------- (1990 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 1990
dan 2010. Dokumen internal.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (1998 dan 2010). Proporsi Tangkapan Ikan yang Berada dalam
Batasan Biologis yang Aman, 1998 dan 2010. Dokumen internal.
----------- (1998 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 1998
dan 2010. Dokumen internal.
---------- (2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 2010. Dokumen
internal.
Kementerian Kesehatan (2008). Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan & WSP-EAP. (2008). Mobilisasi Pendanaan Guna Mendukung Pengembangan
Sanitasi. Jakarta
---------- (2008). Pendekatan Strategis Pengembangan Sanitasi di Indonesia. Jakarta.
---------- (2008). Peranserta Swasta Dalam Peningkatan Layanan Sanitasi. Jakarta.
---------- (2008). Public-Private Partnership in Handwashing with Soap (PPPHWWS)For Diarrheal Diseases
Prevention in Indonesia. Fact Sheets. Jakarta.
---------- (2008). SPM Sebagai Target Pencapaian Pengembangan Sanitasi.Jakarta.
---------- (2008). Strategi Sanitasi melalui Pendekatan Pengembangan Kelembagaan. Jakarta.
---------- (2010). Renstra Kementerian Kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

214
Kementerian Lingkungan Hidup (1992 dan 2010). Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO), 1992 dan
2010. Dokumen internal.
----------- (2000 dan 2005). Emisi Karbon, 2000 dan 2005. Dokumen internal.
----------- (2007). National Action Plan Adressing Climate Change. Jakarta: Kementerian Kesehatan
---------- (2010). Indonesia Second National Communication under the UNFCCC. Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup.
Kementerian Pendidikan Nasional (2004). Rencana Strategis 2004-2009. Jakarta: Kemdiknas.
Multilateral Fund for the Implementation of the Montreal Protocol. www. multilateral fund.org
PEACE (2007). Indonesia and Climate Change. Current Status and Policies. Jakarta: 2007.
Penataan Hukum terhadap Penggunaan dan Perdagangan Bahan Perusak Ozon (BPO). www.menlh.go.id/
penataan-hukum-terhadap-penggunaan-dan-perdagangan-bahan-perusak-ozon-bpo/
The Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Montreal Conference, 16 September
1987 beserta amadenen-amandemennya. untreaty.un.org/cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html
UNDP (2007). The Other Half of Climate Change Why Indonesia Must Adapt to Protect Its Poorest People.
New York: UNDP.
Vienna Convention for Protection of the Ozone Layer. Vienna Conference, 22 Maret 1985. untreaty.
un.org/cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html
WHO and UNICEF (2006). Meeting the MDG drinking water and sanitation target. New York: WHO and
Unicef.

TUJUAN 8
----------- Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
----------- Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
----------- Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang
Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi.
BPS dan Bank Dunia. Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB. Jakarta: BPS dan Bank Dunia.
Bank Indonesia (2003 dan 2011). Statistik Perbankan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
---------- (1990 dan 2012). Laporan Perekonomian Indonesia 1990 dan 2012. Jakarta: Bank Indonesia.
---------- (2011). Neraca Pembayaran Indoensia, Triwulan I, II, III, IV Tahun 2011. Jakarta: Bank Indonesia.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang
2005-2025. Jakarta: Bappenas.
------------ (2009). The Jakarta Commitment: Indonesia Roadmap to 2014. Jakarta: Bappenas
------------ (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta: Bappenas.
------------ (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas.
------------ (2011). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2011. Jakarta: Bappenas.
Badan Pusat Statistik (2012, 2013). Survai Sosial Ekonomi Nasional 2012, 2013. Jakarta: BPS.
------------ (2012). Statistik Perekonomian Indonesia 2011. Jakarta: BPS.
International Telecomunication Union. (2011). Yearbook of Statistics: Telecommunication /ICT Indicators
2001-2010. Geneve: ITU.
------------ (2011). M-Governmennt Mobile Technologies for Responsive Governments and Connected

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

215
Societies. Geneve: ITU.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (1997 dan 2012). Statistik Utang Luar Negeri, 1996 dan
2011. Jakarta: Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Jaringan
PSTN, 2004 dan 2010. Dokumen internal.
------------ (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Telepon Seluler, 2004 dan 2010. Dokumen
internal.
------------ (2010). Komunikasi dan Informatika White Paper 2010. Jakarta: Kemkominfo.
Kementerian Perdagangan (2011).
Perdagangan
Pangestu, Mari (2009).
November 2009.

Neraca Perdagangan Indonesia 2011.

Jakarta: Kementerian

Statement on Plenary Session of 7th WTO Ministerial Meeting. Geneva. 30th

Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK).


layanan-internet-kecamatan-plik

www.gatra.com/home/gatra-images/berita-foto/pusat-

Universal Service Obligation (USO) Telekomunikasi. universal-service-obligation-uso-telekomunikasi


---oleh-eddy-satriya_20081123135217_7-2.pdf Adobe reader

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

216

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013

Anda mungkin juga menyukai