PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Provinsi Jawa Tengah termasuk kedalam daerah risiko tinggi terhadap
insidensi demam berdarah, yaitu sebesar 55 per 100.000 penduduk (Mulyono &
Andiwibowo, 2010). Angka kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD)
cenderung meningkat setiap tahunnya, Namun secara nasional angka kematian
akibat DBD cenderung menurun. Walaupun demikian, angka kematian akibat
dengue syok sindrom (DSS) yang disertai dengan perdarahan gastrointestinal dan
ensefalopati masih tinggi. Patogenesis utama yang menyebabkan kematian pada
hampir seluruh pasien DBD adalah syok karena kebocoran plasma. Anak yang
berusia di bawah 15 tahun memiliki derajat keparahan yang lebih tinggi.
Semakin muda usia pasien semakin tinggi pula angka mortalitasnya. Selai itu,
kerentanan terhadap terjadinya DSS semakin tinggi pada rentang usia 4-12 tahun.
Hal tersebut diduga karena pada anak yang lebih muda endotel pembuluh darah
kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler yang akan mengakibatkan kebocoran plasma yang
berakibat pada terjadinya syok. Fase syok ini terjadi pada hari sakit ke-4 sampai
ke-7, kebocoran plasma terhebat terjadi setelah demam 3 hari dan berlangsung
selama 24-48 jam (Raihan, Hadinegoro, & Tumbelaka, 2010).
Pengobatan DBD pada dasarnya bersifat suportif, yaitu untuk mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler
dan
perdarahan.
Berdasarkan
panduan
manajemen
DBD
dari
WHO
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas jurnal mengenai perbandingan
efektifitas 3 jenis cairan, yaitu ringer laktat, dekstran 70%, dan 6% hydroxyethil
strach. Tujuannya adalah untuk membandingkan efektifitas 3 jenis cairan
tersebut untuk pasien anak dengan DBD.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Resume Jurnal
1) Latar Belakang
Dengue Syok Syndrome (DSS) adalah manifestasi paling serius dari
demam berdarah dengue. Demam berdarah dengue ditandai dengan kebocoran
pembuluh darah sistemik dan gangguan hemostasis dan dapat berkembang
setelah infeksi dengan salah satu dari empat serotipe virus dengue. Pedoman
manajemen DBD menurut WHO pertama kali diusulkan pada tahun 1975,
awalnya merekomendasikan penggantian kehilangan plasma dengan larutan
kristaloid. Namun masih terjadi perdebatan yang cukup besar dalam literatur
medis
mengenai
penggunaan
kristaloid
dibandingkan
koloid
untuk
Tabel 2.2
Karakteristik pasien
4) Diskusi
Meskipun penggantian volume diterima sebagai andalan pengobatan
untuk anak-anak dengan sindrom syok dengue, dua penelitian sebelumnya
yang menyelidiki kemanjuran cairan yang berbeda dalam situasi ini tidak
memadai didukung sehubungan dengan hasil klinis yang relevan untuk
memungkinkan perbandingan definitif antara manajemen dengan kristaloid
dan solusi koloid. Penelitian ini, dengan persyaratan untuk penyelamatan
koloid sebagai indikator hasil, menetapkan yang termurah dan pilihan paling
aman, Ringer laktat, sama efektifnya dengan salah satu dari koloid untuk
resusitasi awal anak-anak dengan syok cukup parah. Publikasi terbaru dari
Saline vs Albumin Fluid Evaluasi (SAFE) temuan studi, menunjukkan bahwa
albumin dan normal saline sama-sama efektif untuk resusitasi cairan pada
populasi heterogen pasien di unit perawatan intensif. Pengukuran hematokrit
seri mencerminkan kombinasi efek pengobatan cairan dan kebocoran
pembuluh darah yang sedang berlangsung. Data hematokrit menunjukan
bahwa kedua koloid mengerahkan efek langsung yang diikuti dengan
peningkatan rebound kebocoran pembuluh darah beberapa jam kemudian.
Teori mikrovaskuler ultrafiltrasi mendukung prinsip dasar Starling dari
keseimbangan yang seimbang antara perbedaan tekanan onkotik dan
hidrostatik tetapi menunjukan bahwa glycocalyx, daripada sel endotel sendiri,
adalah regulator utama dari aliran fluida. Ada bukti yang baik bahwa protein
plasma, terutama albumin, menyerap residu positif di lapisan glycocalyx dan
membatasi ultrafiltration. Albumin mungkin dibersihkan dari lapisan ini
selama infeksi dengue tetapi dapat digantikan sementara oleh koloid sintetik,
yang dikenal menyerap glycocalyx pada tingkat yang berbeda, tergantung
pada ukuran molekul. Dengan cara ini, koloid dapat singkat mengubah
permeabilitas selektif penghalang endotel, mengurangi fluks luar dan
memungkinkan tekanan hidrostatik rendah kapiler meningkat. Sebaliknya,
larutan
kristaloid
menyeimbangkan
cepat
ke
seluruh
ruang
cairan
berbintik-bintik putih dan menggigit pada siang hari terutama pada pagi
dan sore hari.
b. Aedes Albopictus, nyamuk ini habitatnya di tempat air bersih. Biasanya di
sekitar rumah atau pohon-pohon, menggigit pada siang hari dan jarak
terbang sekitar 50 meter (Mansjoer, 2000).
2) Kriteria Klinik dan Laboratoris DBD
Kriteria klinik:
a. Demam tinggi mendadak, terus menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan seperti torniquet positif, petechiae,
echimosis, purpura,
c. perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi dan hematemesis dan
atau melena.
d. Pembesaran hati
e. Syok ditandai dengan nadi lemah dan cepat, tekanan nadi turun, tekanan
darah turun, kulit dingin dan lembab terutama di ujung jari dan ujung
hidung, sianosis.
f. sekitar mulut, dan gelisah.
Kriteria laboratoris:
a. Trombositopenia (100.000ul atau kurang)
b. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih (Sudarmo, et
al, 2002).
3) Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DB
Derajat
D
DD
Gejala
Laboratorium
ada
DBD
II
bendung positif
Gejala
diatas
kebocoran plasma
ditambah Trombositopenia,
bukti
ada
DBD
III
perdarahan spontan
Gejala
diatas
kebocoran plasma
ditambah Trombositopenia,
bukti
ada
kegagalan
dingin
DBD
IV
dan
sirkulasi
lembab
gelisah)
Syok berat disertai dengan Trombositopenia,
bukti
Gambar 2.1. Patogenesis dan spektrum klinis DBD(Chen, Pohan & Sinto, 2009)
ada
SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan
penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Pada
keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh
dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut
dengue shock syndrome (DSS) (Sudarmo, et al, 2002)..
Pada DSS, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan
umum tiba-tiba memburuk, hal ini terjadi biasanya pada saat atau setelah
demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat di terangkan
dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (the immunological
enchancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda
kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis di
sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah,
dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri
di daerah perut sesaat sebelum syok (Sudarmo, et al, 2002)..
Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai
prognosis buruk. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi
lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun
menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati apabila terlambat pasien
dapat mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat
diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat
akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, pendarahan
gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya dengan
pengobatan yang tepat segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat.
Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari. Selera makan membaik
merupakan petunjuk prognosis baik. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit
<100.000/l ditemukan di antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar
hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, terjadi pula pada
kasus derajat ringan walaupun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil
laboratorium
lain
yang
sering
ditemukan
ialah
hipoproteinemia,
meliputi
kadar
hemoglobin,
kadar
Gambar 2.4. Penanganan DBD tanpa syok(Chen, Pohan & Sinto, 2009)
Gambar 2.5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat(Chen,
Pohan & Sinto, 2009)
Gambar 2.7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa(Chen, Pohan &
Sinto, 2009)
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah
jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan
diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan
cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat,
ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan(Chen, Pohan &
Sinto, 2009).
Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan
simtomatik. Terapi suportif yang diberikan adalah pemberian O2 melalui
nasal kanul 2 liter permenit. Pemberian oksigen harus selalu dilakukan pada
semua pasien syok. Saturasi oksigen pada pasien harus dipertahankan >
92%, oleh karena itu untuk pemantauan diperlukan pemasangan pulse
oximetry untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah (Wibowo, 2011).
Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk
mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38
C). Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati
maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian
yang diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat
manipulasi yang dilakukan terhadap pasien seperti pemasangan jalur infus
untuk pemberian cairan, pemasangan Douwer Catheter dan pengambilan
sampel darah yang secara rutin dilakukan (Wibowo, 2011).
a) Cairan
1. Ringer laktat (RL)
RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat
diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak
digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok
hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar. Laktat yang terdapat di
dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat
yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik.
Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan
Leuconostoc
mesenteroides.
Dextran
adalah
suatu
berat
molekulnya.
Efek
pada
aliran
regional
yaitu
pruritus,
akumulasi
dalam
jaringan,
pembatasan
penurunan
pada
adhesi
trmbosit.
HES
dapat
untuk
menangani pasien anak dengan DSS. Namun, penggunaan Ringer laktat lebih
menguntungkan karena dapat menstabilkan fungsi kardiovaskuler lebih lama
dibandingkan cairan koloid. Penggunaan cairan koloid seperti HES dan dekstran
menimbulkan efek samping perdarahan dan terjadinya kelebihan volume cairan
yang akan meningkatkan angka mortalitas (Hung, 2012).
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang
singkat
sebelum
didistribusikan
ke
seluruh
kompartemen
interstisial
450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan
terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena
pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu
protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan
(Wibowo, 2011). Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Satoto (2008) yang menunjukkan bahwa pada kelompok HES 200
kD selama 15 menit setelah pemberian terdapat pemanjangan waktu PTT yang
bermakna dibanding dengan kelompok HES 40 kD. Hal tersebut menunjukkan
bahwa semakin besar berat molekul HES akan semakin mengganggu fungsi
koagulasi. Pemberian HES 200 kD memperpanjang nilai Plasma Protombin Time
(PT) dan partial thromboplastin time (PTT), dan nilai tersebut lebih besar
daripada HES 40 kD (Satoto, 2008).
Jurnal dengan judul Comparison of three fluid solutions for resuscitation
in dengue shock syndromemenunjukkan bahwa cairan koloid dibandingkan
kristaloid pada pasien anak dengan DSSyang menggunakan parameter stabilisasi
hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada
kedua jenis cairan. Namun jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari
banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut
masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan
untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat
kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa
dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam;
sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat
badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan
pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam.
Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai
apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang
diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu
dilakukan
adalah
kondisi
klinis
pasien,
stabilitas
hemodinamik
serta
tersebut menunjukkan bahwa semakin besar berat molekul HES akan semakin
mengganggu fungsi koagulasi.
B. Implikasi Keperawatan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada jurnal Comparison of
Three Fluid Solutions for Resuscitationin Dengue Shock Syndromemaka, hal
yang perlu mendapatkan perhatian lebih pada pasien DHF dalam pemberian
cairan parenteral adalah :
1) Kemampuan personal perawat sangat dibutuhkan dalam melakukan
pengkajian secara komperhensif pada pasien DHF yang membutuhkan
pemberian cairan secara parenteral.
2) Perawat perlu memberi lebih banyak perhatian tentang kebutuhan cairan
yang masuk ke dalam tubuh pasienterutamapadapasiendengan DB atau
DSS. Infus Ringer Laktat dapat diberikan dengan tetesan 20 cc / Kg BB /
Jam selama 24 jam. Perawat perlu melakukan pemeriksaan laboratorium
secara rutin untuk mengevaluasi keberhasilan intervensi yang telah
dilakukan.
3) Pemantauan secara rutin tanda-tanda vital, perhitungan kebutuhan cairan
dan pengukuran kadar hematokrit dilakukan untuk memastikan bahwa
pasien menerima jumlah volume cairan intravena yang sesuai dengan
kebutuhan pasien sehingga memberikan cairan yang cukup untuk
mempertahankan fungsi vital selama periode kebocoran sistemik tanpa
overfillingruang intravaskular.
4) Terjadinya kelebihan cairan
merupakan
salah
satu
penyebab
DAFTAR PUSTAKA
Chen, Khie,. Pohan, Herdiman T,. Sinto, Robert. (2009). Diagnosis dan terapi cairan
pada demam berdarah dengue. Medicinus. 22(1). 1-7
Hung, Nguyen Thanh. (2012). Fluid management for dengue in children. Paediatrics
and international child health. 32(S1). 39-42
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Mulyono, S., & Andiwibowo, A. (2010). Buletin Jendela Epidemiologi: Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementerian Kesehatan RI.
Perel, P,. Roberts, I,. & Ker, K. (2013). Colloids versus crystalloids for fluid
resuscitation in critically ill patients. The Cochrane Collaboration. Published
by JohnWiley & Sons.
P Rudi, M Mukhlis. (2006). Pengaruh pemberian cairan ringer laktat dibandingkan
NaCl 0,9% terhadap keseimbangan asam basa pada pasien sectio caesaria
dengan anestesi regional. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Raihan, Hadinegoro, S. R., & Tumbelaka, A. (2010). Faktor prognosis terjadinya
syok pada demam berdarah dengue . Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Sari, Nina Kemala. (2003). Penggunaan cairan koloid di bidang penyakit dalam.
FKUI.
Satoto, Hari H. (2008). Perbedaan pengaruh pemberian infus HES dengan berat
molekul 40 kD dan 200 kD terhadap plasma prothrombin time dan partial
thromboplastin time. Tesis. Semarang: Universits Diponegoro.
Sudoyo, A. et.al. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan IPD FKUI.
World Health Organization (WHO). (2005). Dengue, dengue haemorrhagic fever and
dengue shock syndrome in the context of the integrated management of