Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Provinsi Jawa Tengah termasuk kedalam daerah risiko tinggi terhadap
insidensi demam berdarah, yaitu sebesar 55 per 100.000 penduduk (Mulyono &
Andiwibowo, 2010). Angka kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD)
cenderung meningkat setiap tahunnya, Namun secara nasional angka kematian
akibat DBD cenderung menurun. Walaupun demikian, angka kematian akibat
dengue syok sindrom (DSS) yang disertai dengan perdarahan gastrointestinal dan
ensefalopati masih tinggi. Patogenesis utama yang menyebabkan kematian pada
hampir seluruh pasien DBD adalah syok karena kebocoran plasma. Anak yang
berusia di bawah 15 tahun memiliki derajat keparahan yang lebih tinggi.
Semakin muda usia pasien semakin tinggi pula angka mortalitasnya. Selai itu,
kerentanan terhadap terjadinya DSS semakin tinggi pada rentang usia 4-12 tahun.
Hal tersebut diduga karena pada anak yang lebih muda endotel pembuluh darah
kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler yang akan mengakibatkan kebocoran plasma yang
berakibat pada terjadinya syok. Fase syok ini terjadi pada hari sakit ke-4 sampai
ke-7, kebocoran plasma terhebat terjadi setelah demam 3 hari dan berlangsung
selama 24-48 jam (Raihan, Hadinegoro, & Tumbelaka, 2010).
Pengobatan DBD pada dasarnya bersifat suportif, yaitu untuk mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler
dan

perdarahan.

Berdasarkan

panduan

manajemen

DBD

dari

WHO

direkomendasikan penggantian cairan plasma dengan menggunakan cairan


kristaloid yang kemudian diikuti oleh pemberian bolus cairan koloid untuk
pasien yang mengalami syok refrakter. Selama ini masih terjadi perdebatan
mengenai jenis cairan yang paling efektif untuk manajemen pasien DHF. Padahal
pemilihan terapi cairan yang tepat dan efektif sangat penting dilakukan untuk
mencegah terjadinya syok bahkan kematian.

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas jurnal mengenai perbandingan
efektifitas 3 jenis cairan, yaitu ringer laktat, dekstran 70%, dan 6% hydroxyethil
strach. Tujuannya adalah untuk membandingkan efektifitas 3 jenis cairan
tersebut untuk pasien anak dengan DBD.

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Resume Jurnal
1) Latar Belakang
Dengue Syok Syndrome (DSS) adalah manifestasi paling serius dari
demam berdarah dengue. Demam berdarah dengue ditandai dengan kebocoran
pembuluh darah sistemik dan gangguan hemostasis dan dapat berkembang
setelah infeksi dengan salah satu dari empat serotipe virus dengue. Pedoman
manajemen DBD menurut WHO pertama kali diusulkan pada tahun 1975,
awalnya merekomendasikan penggantian kehilangan plasma dengan larutan
kristaloid. Namun masih terjadi perdebatan yang cukup besar dalam literatur
medis

mengenai

penggunaan

kristaloid

dibandingkan

koloid

untuk

penggantian volume pada pasien DSS. Sebagai upaya untuk mengoptimalkan


manajemen terapi cairan pada pasie DSS ini, dilakukan uji coba
membandingkan tiga cairan resusitasi, kristaloid dan dua koloid sintetik
sebagai resusitasi utama anak-anak dengan sindrom syok dengue.
2) MetodePenelitian
a. Metodepenlitian:single center, dengan randomisasi sampel, double blind
b. Responden: pasien anak di unit perawatan intensif anak, Rumah Sakit
Penyakit Tropis di Kota Ho Chi Minh, Vietnam
c. Kriteriaresponden: pasien anak berusia 2-15 tahun yang mengalami DSS.
d. Intervensi:Anak-anak dengan syok keparahan sedang (tekanan darah ,>
10 dan 20 mm Hg) merupakan kelompok 1 dan secara acak ditentukan

untuk menerima Ringer laktat, dekstran, atau pati. Kelompok 2 terdiri


dari orang-orang dengan shock berat (tekanan nadi, 10 mm Hg); anakanak ini secara acak ditentukan untuk menerima baik dekstran atau pati.
Setiap anak menerima 15 ml per kilogram berat badan dari cairan yang
dialokasikan selama satu jam, diikuti oleh 10 ml per kilogram selama jam
kedua.
Setelah menerima infus 3 cairan tersebut, anak-anak menerima jadwal
standar Ringer laktat yang melibatkan pengurangan pada interval waktu
tertentu untuk tingkat pemeliharaan setelah delapan jam. Nadi, tekanan
darah, dan perfusi perifer dipantau setidaknya setiap jam sampai mereka
stabil selama minimal 24 jam, dan kemudian setiap 4 jam sampai debit.
Kapiler hematokrit diukur pada awal, dan 6 jam setelah awal penelitian,
dan kemudian kira-kira setiap 12 jam atau dalam hal kerusakan
kardiovaskular. Tambahan sampel plasma sitrat untuk skrining koagulasi
diperoleh dari studi hari 2 dan 4, bersama-sama dengan sampel serum
kedua untuk pengujian serologi untuk infeksi dengue di debit. Scan
ultrasound dari dada dan perut dilakukan pada studi hari 3 oleh salah satu
dari dua pengamat terlatih dengan menggunakan protokol standar untuk
mengukur kedalaman setiap efusi pleura dan menilai keparahan ascites.
Pasien yang statusnya kardiovaskular tidak membaik setelah
pemberian cairan studi (yaitu, mereka yang memiliki penyempitan lebih
lanjut atau tidak ada respon dalam tekanan nadi, bersama-sama dengan
Bertahan atau memburuknya penutupan perifer, hematokrit meningkat,
atau keduanya) menerima infus dari 5 sampai 10 ml per kilogram
penyelamatan koloid (biasanya dekstran) pada kebijaksanaan dokter.
Demikian pula, jika setelah respon yang menguntungkan awal, tekanan
nadi menyempit kemudian lagi untuk 20 mm Hg atau kurang dengan
vasokonstriksi perifer, hematokrit meningkat, atau keduanya, cairan
koloid dapat diberikan. Itu tidak mungkin untuk memperbaiki kriteria
mutlak untuk penggunaan penyelamatan koloid, tapi kelompok inti yang
sama dari dokter bertanggung jawab atas perawatan pasien selama

penelitian, dan kebijakan umum unit perawatan intensif anak untuk


intervensi setelah resusitasi awal konservatif. Pasien menerima inotropik,
transfusi darah, diuretik, dan terapi lain pada kebijaksanaan dokter yang
merawat.
e. Outcome:membandingkan efektifitas 3 jenis cairan yaitu kristaloid
isotonik (Ringer laktat) dan dua cairan koloid isotonik (6 persen
dextran 70 [dekstran] dan 6 persen HES 200 / 0,5 [pati]) untuk
resusitasi darurat anak-anak dengan DSS.
f. Analisis data:analisis data menggunakan soft ware StatsDirect dengan
uji chisquare dan Fishers exact test untuk data kategorik dan uji ManWhitney atau Kruskal-Wallis untuk data numerik.
3) Hasil
Sebanyak 512 anak-anak direkrut ke dalam studi antara Agustus 1999
dan Maret 2004, dan semua menerima cairan studi yang ditentukan. Dari 512
pasien, 476 (93 persen) telah dikonfirmasi dengue, yang terdaftar dengan
benar dan secara acak dilibatkan untuk menerima cairan, dan menerima cairan
dalam 10 persen dari volume dimaksud 25 ml per kilogram lebih dari dua jam
untuk resusitasi awal. Semua karakteristik awal yang serupa di antara
kelompok cairan pengobatan untuk 383 anak-anak dengan syok cukup parah
(kelompok 1) dan 129 anak-anak dengan shock berat (kelompok 2). Satu anak
(penerima pati) meninggal karena shock dan perdarahan gastrointestinal.
Pasien studi yang tersisa pulih sepenuhnya. Data hasil yang dilaporkan di sini
adalah untuk semua 512 anak-anak, kecuali di tempat yang ditentukan.
Perbedaan ditandai antara cairan dalam efek pada hematokrit kapiler
mereka. Dua jam setelah awal penelitian, penurunan median di hematokrit
dari awal adalah 9 persen (90 kisaran persen, 1-19 persen) untuk anak-anak
dalam kelompok 1 yang menerima laktat Ringer dibandingkan dengan 25
persen (kisaran 90 persen, 10 sampai 35 persen ) bagi mereka yang menerima
dekstran dan 22 persen (kisaran 90 persen, 7-31 persen) bagi mereka yang
menerima pati (P <0,001) (Tabel 2.1). Namun, peningkatan berikutnya dalam
hematokrit antara dua dan enam jam secara signifikan lebih besar untuk dua

koloid dibandingkan kristaloid tersebut. Peningkatan median hematokrit


selama periode ini adalah 5 persen (90 persen kisaran, 8 sampai 20 persen)
untuk dekstran dan 5 persen (kisaran 90 persen, 10 sampai 21 persen) untuk
pati dibandingkan dengan 0 persen (kisaran 90 persen , 12-12 persen) untuk
Ringer laktat dalam kelompok 1 (P <0,001), dan 8 persen (90 kisaran persen,
6-22 persen) dan 5 persen (90 kisaran persen, 9-21 persen) untuk dekstran
dan pati, masing-masing, dalam kelompok 2 (tidak ada perbedaan statistik).

Tabel 2.2
Karakteristik pasien

4) Diskusi
Meskipun penggantian volume diterima sebagai andalan pengobatan
untuk anak-anak dengan sindrom syok dengue, dua penelitian sebelumnya
yang menyelidiki kemanjuran cairan yang berbeda dalam situasi ini tidak
memadai didukung sehubungan dengan hasil klinis yang relevan untuk
memungkinkan perbandingan definitif antara manajemen dengan kristaloid
dan solusi koloid. Penelitian ini, dengan persyaratan untuk penyelamatan
koloid sebagai indikator hasil, menetapkan yang termurah dan pilihan paling
aman, Ringer laktat, sama efektifnya dengan salah satu dari koloid untuk
resusitasi awal anak-anak dengan syok cukup parah. Publikasi terbaru dari
Saline vs Albumin Fluid Evaluasi (SAFE) temuan studi, menunjukkan bahwa
albumin dan normal saline sama-sama efektif untuk resusitasi cairan pada
populasi heterogen pasien di unit perawatan intensif. Pengukuran hematokrit
seri mencerminkan kombinasi efek pengobatan cairan dan kebocoran
pembuluh darah yang sedang berlangsung. Data hematokrit menunjukan
bahwa kedua koloid mengerahkan efek langsung yang diikuti dengan
peningkatan rebound kebocoran pembuluh darah beberapa jam kemudian.
Teori mikrovaskuler ultrafiltrasi mendukung prinsip dasar Starling dari
keseimbangan yang seimbang antara perbedaan tekanan onkotik dan
hidrostatik tetapi menunjukan bahwa glycocalyx, daripada sel endotel sendiri,
adalah regulator utama dari aliran fluida. Ada bukti yang baik bahwa protein
plasma, terutama albumin, menyerap residu positif di lapisan glycocalyx dan
membatasi ultrafiltration. Albumin mungkin dibersihkan dari lapisan ini
selama infeksi dengue tetapi dapat digantikan sementara oleh koloid sintetik,
yang dikenal menyerap glycocalyx pada tingkat yang berbeda, tergantung
pada ukuran molekul. Dengan cara ini, koloid dapat singkat mengubah
permeabilitas selektif penghalang endotel, mengurangi fluks luar dan
memungkinkan tekanan hidrostatik rendah kapiler meningkat. Sebaliknya,
larutan

kristaloid

menyeimbangkan

cepat

ke

seluruh

ruang

cairan

intravaskular dan interstitial dan tampaknya tidak berpengaruh pada fungsi


penghalang endotel. Efek dari koloid bersifat sementara, bagaimanapun, dan

meskipun rebound di awal hematokrit terlihat pada anak-anak yang menerima


koloid, kami tidak menemukan perbedaan antara cairan yang berbeda dalam
keparahan keseluruhan kelebihan cairan saat itu dinilai 48 sampai 72 jam
setelah penelitian infus.
5) Kesimpulan
Sebagian besar anak-anak dengan dengue shock syndrome merespon
dengan baik terhadap pengobatan bijaksana dengan solusi kristaloid isotonik.
Intervensi dini dengan solusi koloid tidak diindikasikan. Regimen cairan
Ringer laktat pada 25 ml per kilogram selama dua jam kini didukung oleh
bukti calon yang kuat dan harus direkomendasikan untuk anak-anak dengan
syok cukup parah. Bagi mereka dengan shock berat, situasi yang kurang jelaspotong, dan dokter harus terus bergantung pada pengalaman pribadi,
keakraban dengan produk-produk tertentu, ketersediaan lokal, dan biaya.
Keuntungan kecil dalam pemulihan awal menunjukkan dengan tepung, dan
secara signifikan lebih banyak reaksi samping yang berhubungan dengan
dekstran, jadi jika penggunaan koloid dianggap perlu, pati mungkin menjadi
pilihan yang lebih disukai.
B. Landasan Teori
1) Demam Berdarah
Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: nyeri
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia / artralgia, ruam kulit, manifestasi
perdarahan (petekie atau uji bendung-rumple leed positif), leukopenia, dan
pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama (Suhendro, et.al.,
2006). Di Indonesia terdapat 2 jenis nyamuk aedes sebagai penyebab demam
berdarah, yaitu:
a. Aedes Aegypti, nyamuk hidup di daerah tropis dan berkembang biak di
dalam rumah yaitu biasanya di tempat penampungan air jernih atau
penampungan air di sekitar rumah. Karakteristik nyamuk biasanya

berbintik-bintik putih dan menggigit pada siang hari terutama pada pagi
dan sore hari.
b. Aedes Albopictus, nyamuk ini habitatnya di tempat air bersih. Biasanya di
sekitar rumah atau pohon-pohon, menggigit pada siang hari dan jarak
terbang sekitar 50 meter (Mansjoer, 2000).
2) Kriteria Klinik dan Laboratoris DBD
Kriteria klinik:
a. Demam tinggi mendadak, terus menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan seperti torniquet positif, petechiae,
echimosis, purpura,
c. perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi dan hematemesis dan
atau melena.
d. Pembesaran hati
e. Syok ditandai dengan nadi lemah dan cepat, tekanan nadi turun, tekanan
darah turun, kulit dingin dan lembab terutama di ujung jari dan ujung
hidung, sianosis.
f. sekitar mulut, dan gelisah.
Kriteria laboratoris:
a. Trombositopenia (100.000ul atau kurang)
b. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih (Sudarmo, et
al, 2002).
3) Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DB

Derajat

D
DD

Gejala

Laboratorium

Demam disertai 2 atau lebih Leukopenia


tanda: sakit kepala, nyeri retro- Trombositopenia, tidak ditemukan

bukti kebocoran plasma.


Serologi dengue positif
Gejala diatas ditambah uji Trombositopenia,
bukti

ada

DBD

II

bendung positif
Gejala
diatas

kebocoran plasma
ditambah Trombositopenia,

bukti

ada

DBD

III

perdarahan spontan
Gejala
diatas

kebocoran plasma
ditambah Trombositopenia,

bukti

ada

orbital, myalgia, arthralgia.


DBD

kegagalan
dingin
DBD

IV

dan

sirkulasi
lembab

(kulit kebocoran plasma


serta

gelisah)
Syok berat disertai dengan Trombositopenia,

bukti

tekanan darah dan nadi tidak kebocoran plasma


terukur
(Suhendro, et.al., 2006)

Gambar 2.1. Patogenesis dan spektrum klinis DBD(Chen, Pohan & Sinto, 2009)

ada

Gambar 2.2. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue(Wibowo, 2011).

Gambar 2.3. Patogenesis syok pada DBD (Wibowo, 2011)


4) Dengue Shock Syndrome (DSS)
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi
kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok.

SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan
penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Pada
keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh
dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut
dengue shock syndrome (DSS) (Sudarmo, et al, 2002)..
Pada DSS, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan
umum tiba-tiba memburuk, hal ini terjadi biasanya pada saat atau setelah
demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat di terangkan
dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (the immunological
enchancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda
kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis di
sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah,
dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri
di daerah perut sesaat sebelum syok (Sudarmo, et al, 2002)..
Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai
prognosis buruk. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi
lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun
menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati apabila terlambat pasien
dapat mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat
diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat
akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, pendarahan
gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya dengan
pengobatan yang tepat segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat.
Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari. Selera makan membaik
merupakan petunjuk prognosis baik. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit
<100.000/l ditemukan di antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar
hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, terjadi pula pada
kasus derajat ringan walaupun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil

laboratorium

lain

yang

sering

ditemukan

ialah

hipoproteinemia,

hiponatremia, kadar transaminase serum dan nitrogen darah meningkat. Pada


beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi
antara leukopenia dan leukositosis. Kadang kadang ditemukan albuminuria
ringan yang bersifat sementara (Sudarmo, et al, 2002).
5) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium

meliputi

kadar

hemoglobin,

kadar

hematokrit,jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat


adanyalimfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak
harike 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak
timbulnyademam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke3
demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaanterjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis(PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lainyang dapat dikerjakan
adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan
etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi
virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural
protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang
terinfeksi virus Dengue.
6) Penatalaksanaan

Gambar 2.4. Penanganan DBD tanpa syok(Chen, Pohan & Sinto, 2009)

Gambar 2.5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat(Chen,
Pohan & Sinto, 2009)

Gambar 2.6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%(Chen,


Pohan & Sinto, 2009)

Gambar 2.7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa(Chen, Pohan &
Sinto, 2009)

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah
jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan
diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan
cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat,
ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan(Chen, Pohan &
Sinto, 2009).
Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan
simtomatik. Terapi suportif yang diberikan adalah pemberian O2 melalui
nasal kanul 2 liter permenit. Pemberian oksigen harus selalu dilakukan pada
semua pasien syok. Saturasi oksigen pada pasien harus dipertahankan >
92%, oleh karena itu untuk pemantauan diperlukan pemasangan pulse
oximetry untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah (Wibowo, 2011).
Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk
mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38
C). Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati
maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian
yang diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat
manipulasi yang dilakukan terhadap pasien seperti pemasangan jalur infus
untuk pemberian cairan, pemasangan Douwer Catheter dan pengambilan
sampel darah yang secara rutin dilakukan (Wibowo, 2011).
a) Cairan
1. Ringer laktat (RL)
RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat
diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak
digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok
hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar. Laktat yang terdapat di
dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat
yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik.
Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan

sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium. Larutan RL tidak


mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan
rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah
terjadinya ketosis. Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di
pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109
mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya
sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml (P
Rudi, 2006).
2. Dextros
Larutan dextran dibuat dari sukrosa dengan bantuan kerja
bakteri

Leuconostoc

mesenteroides.

Dextran

adalah

suatu

polisakarida, terdiri dari glukosa dengan berbagai panjang rantai.


Klasifikasiberdasarkan berat molekul (BM). Dextran-40 memiliki
BM 40.00 dan Dextran-70 memiliki BM 70.000. Indikasi pemakaian
dextran: (1), Syak hipovolemik (2). Memperbaiki aliran darah perifer.
(3).Mencegah tromboemboli. Komplikasi pemberian dextran berupa
gagal ginjal akut, reaksi anafilaksisdan diatesis hemoragik (Sari,
2003).
3. HES
Hidroxyethyl strach (HES) merupakan kelompok senyawa
yang didapatkan dari kanji hidroksietil (diperoleh dari jagung).
Hetastarch adalah molekul sintetikyang menyerupai glikogen, yang
diproduksi sebagai upaya mencari koloid dengan reaksi minimal,
bebas dari sifat toksik dan dari reaksi imunologis. HES merupakan
modifikasi dari amilopektin, suatu cabang polimer glukosa dari jenis
jagung tertentu (Sari, 2003).
Indikasi pemakaian sebagai terapi dan profilaksis defisiensi
volume (hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume)
berkaitan dengan perdarahan (syok hemoragik), kombustio (syok
kombustio) dan infeksi (syok septik). Adapun kontraindikasi
pemakaian adalah gagal jantung kongestif berat, gagal ginjal,

gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang mengancam


nyawa), cairan berlebih (hiperhidrasi), kekurangan cairan yang berat
(dehidrasi), perdarahan serebral dan alergi terhadap kanji (Sari,
2003).
Efek samping HES yang menguntungkan adalah pada tekanan
onkotik koloid, dimana HES mempunyai kemampuan meningkatkan
tekanan onkotik. Efek pada volume darah, dapat meningkatkan
volume darah namun tingkatan dan durasi efek bervariasi tergantung
pada

berat

molekulnya.

Efek

pada

aliran

regional

yaitu

mengembalikan aliran darah regional seperti ginjal. Efek mikro


sirkulasi berbeda untuk berbagai macam HES karena menurunkan
viskositas, mengganggu rouleux dan menurunkan daya adesif
leukosit berdasarkan berat molekulnya. HES menurunkan deformasi
trombosit dan menurunkan aggregasi trombosit. Efek samping HES
yang merugikan yaitu tergantung berat molekul yang meliputi reaksi
anafilaktik,

pruritus,

akumulasi

dalam

jaringan,

pembatasan

pengguaan pada gagal ginjal (Satoto, 2008).


HES mempengaruhi sistem koagulasi melalui delusi faktorfaktor koagulasi yang meliputi penurunan pada vWF dan kemudian
menyebabkan

penurunan

pada

adhesi

trmbosit.

HES

dapat

meningkatkan perdarahan, berhubungan dengan penurunan vWF .


fibrin dapat menurun sebagai akibat polimerasi fibrin yang
dipercepat. Penggunaan HES yang berulang dengan dosis kecil
menyebabkan gangguan hemostasis dan dihubungkan dengan
manifestasi perdarahan. Efek yang merugikan pada koagulasi lebih
sering diamati sesudah penggunaan berulang HES dengan berat
molekul tinggi (Satoto, 2008).
HES merupakan polisakarida kompleks yang tersedia dalam
bentuk berat molekul besar (400KD), molekul sedang (200-400
KD), dan molekul kecil (<200KD) yang dapat digunakan sebagai
pengganti plasma. Pada molekul kecil efek samping berupa

perdarahan relatif lebih kecil dibanding dengan molekul sedang


ataupun besar (Satoto, 2008).
Larutan HES 200KD dengan derajat substitusi 0,4-0,55 (haes
steril) terdiri dari Na+ 154 mmol/L, Cl- 154 mmol/L. Dosis harian
sampai 20cc/kgBB/hari=1500 cc/kgBB/hari biasanya antara 5001000cc/hari (Satoto, 2008).
C. Analisis Jurnal
Hasil penelitiana dari jurnal menunjukan bahwa dari ketiga cairan yang
digunakan, ringer laktat merupakan cairan yang terbaik. Ringer laktat merupakan
cairan isotonis kristaloid. Hal tersebut sejalan dengan WHO (2005) dalam
dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context
of the integrated management of childhood illness, yang mengungkapkan terapi
kristaloid digunakan sebagai cairan standar pada terapi DBD karena
dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah.
Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan
antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah
diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi
yang minimal. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD
aman dan efektif (Chen, Pohan & Sinto, 2009).
Menurut hasil penelitia yang dilakukan oleh Hung (2012) juga menunjukan
bahwa penggunaan cairan kristaloid dan koloid dapat digunakan

untuk

menangani pasien anak dengan DSS. Namun, penggunaan Ringer laktat lebih
menguntungkan karena dapat menstabilkan fungsi kardiovaskuler lebih lama
dibandingkan cairan koloid. Penggunaan cairan koloid seperti HES dan dekstran
menimbulkan efek samping perdarahan dan terjadinya kelebihan volume cairan
yang akan meningkatkan angka mortalitas (Hung, 2012).
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang

singkat

sebelum

didistribusikan

ke

seluruh

kompartemen

interstisial

(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut


dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular
dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam
aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi
plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan
reaksi anafilaktik (Chen, Pohan & Sinto, 2009).
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid
memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil.
Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid
yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun
beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi
yang rendah (contoh: hetastarch) (Chen, Pohan & Sinto, 2009).
Cairan koloid yang digunakan dalam jurnal penelitian tersebut yaitu
dekstran dan Hydroxy ethyl starch (HES). Golongan Dekstran mempunyai sifat
isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan
menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular.
Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek
volume 10/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut
dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi
trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila
diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan
pada pasien dengan KID (Wibowo, 2011).
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES
450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5
adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10/o HES 200/0,5
menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES

450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan
terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena
pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu
protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan
(Wibowo, 2011). Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Satoto (2008) yang menunjukkan bahwa pada kelompok HES 200
kD selama 15 menit setelah pemberian terdapat pemanjangan waktu PTT yang
bermakna dibanding dengan kelompok HES 40 kD. Hal tersebut menunjukkan
bahwa semakin besar berat molekul HES akan semakin mengganggu fungsi
koagulasi. Pemberian HES 200 kD memperpanjang nilai Plasma Protombin Time
(PT) dan partial thromboplastin time (PTT), dan nilai tersebut lebih besar
daripada HES 40 kD (Satoto, 2008).
Jurnal dengan judul Comparison of three fluid solutions for resuscitation
in dengue shock syndromemenunjukkan bahwa cairan koloid dibandingkan
kristaloid pada pasien anak dengan DSSyang menggunakan parameter stabilisasi
hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada
kedua jenis cairan. Namun jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari
banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut
masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan
untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat
kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa
dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam;
sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat
badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan
pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam.
Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai
apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang
diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu
dilakukan

adalah

kondisi

klinis

diuresis(Chen, Pohan & Sinto, 2009).

pasien,

stabilitas

hemodinamik

serta

Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4)


cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan,
dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi
hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada
kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi
hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu
dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal(Chen,
Pohan & Sinto, 2009).
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ringer laktat merupakan cairan yang efektif untuk resusitasi awal
pasien anak dengan DSS. RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang
dapat diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. Hal tersebut
sejalan dengan WHO, yang mengungkapkan terapi kristaloid digunakan
sebagai cairan standar pada terapi DBD. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat
bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang
minimal.1-3 Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD
aman dan efektif.Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang
singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut
dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular
Dekstran memiliki efek samping jika digunakan untuk penatalaksanaan DSS.
Larutan dekstran dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara
menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor
VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Sedangkan
pemberian HES 200 kD selama 15 menit dapat mengakibatkan pemanjangan
waktu PTT yang bermakna dibanding dengan kelompok HES 40 kD. Hal

tersebut menunjukkan bahwa semakin besar berat molekul HES akan semakin
mengganggu fungsi koagulasi.

B. Implikasi Keperawatan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada jurnal Comparison of
Three Fluid Solutions for Resuscitationin Dengue Shock Syndromemaka, hal
yang perlu mendapatkan perhatian lebih pada pasien DHF dalam pemberian
cairan parenteral adalah :
1) Kemampuan personal perawat sangat dibutuhkan dalam melakukan
pengkajian secara komperhensif pada pasien DHF yang membutuhkan
pemberian cairan secara parenteral.
2) Perawat perlu memberi lebih banyak perhatian tentang kebutuhan cairan
yang masuk ke dalam tubuh pasienterutamapadapasiendengan DB atau
DSS. Infus Ringer Laktat dapat diberikan dengan tetesan 20 cc / Kg BB /
Jam selama 24 jam. Perawat perlu melakukan pemeriksaan laboratorium
secara rutin untuk mengevaluasi keberhasilan intervensi yang telah
dilakukan.
3) Pemantauan secara rutin tanda-tanda vital, perhitungan kebutuhan cairan
dan pengukuran kadar hematokrit dilakukan untuk memastikan bahwa
pasien menerima jumlah volume cairan intravena yang sesuai dengan
kebutuhan pasien sehingga memberikan cairan yang cukup untuk
mempertahankan fungsi vital selama periode kebocoran sistemik tanpa
overfillingruang intravaskular.
4) Terjadinya kelebihan cairan

merupakan

salah

satu

penyebab

kematianpada pasien DHF sehingga monitoring dan evaluasi stasus


hidrasi penting dilakukan oleh perawat untuk mencegah terjainya
komplikasi

DAFTAR PUSTAKA
Chen, Khie,. Pohan, Herdiman T,. Sinto, Robert. (2009). Diagnosis dan terapi cairan
pada demam berdarah dengue. Medicinus. 22(1). 1-7
Hung, Nguyen Thanh. (2012). Fluid management for dengue in children. Paediatrics
and international child health. 32(S1). 39-42
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Mulyono, S., & Andiwibowo, A. (2010). Buletin Jendela Epidemiologi: Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementerian Kesehatan RI.
Perel, P,. Roberts, I,. & Ker, K. (2013). Colloids versus crystalloids for fluid
resuscitation in critically ill patients. The Cochrane Collaboration. Published
by JohnWiley & Sons.
P Rudi, M Mukhlis. (2006). Pengaruh pemberian cairan ringer laktat dibandingkan
NaCl 0,9% terhadap keseimbangan asam basa pada pasien sectio caesaria
dengan anestesi regional. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Raihan, Hadinegoro, S. R., & Tumbelaka, A. (2010). Faktor prognosis terjadinya
syok pada demam berdarah dengue . Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Sari, Nina Kemala. (2003). Penggunaan cairan koloid di bidang penyakit dalam.
FKUI.
Satoto, Hari H. (2008). Perbedaan pengaruh pemberian infus HES dengan berat
molekul 40 kD dan 200 kD terhadap plasma prothrombin time dan partial
thromboplastin time. Tesis. Semarang: Universits Diponegoro.
Sudoyo, A. et.al. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan IPD FKUI.
World Health Organization (WHO). (2005). Dengue, dengue haemorrhagic fever and
dengue shock syndrome in the context of the integrated management of

childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and


Development.
Wibowo,Nur Rahmat. (2011). Laporan kasus: Dengue shock syndrome. Pontianak:
Universitas Tanjungpura.

Anda mungkin juga menyukai