Dosis Dan Jenis Terapi Cairan Kristaloid
Dosis Dan Jenis Terapi Cairan Kristaloid
jumlah cairan yang akan diberikan pada pasien yang mengalami hipovolemia dengan
volume plasma kurang atau normal, dalam keadan syok, dan membutuhkan cairan untuk
resusitasi dan larutan. Lebih jauh lagi, komposisi, ada tidaknya kandungan cairan
penyangga, dan penambahan elektrolit, seperti natrium kalsium, dan magnesium, masih
menjadi kontroversi.
Tujuan ulasan ini adalah untuk menggambarkan penggunaan berbagai jenis cairan
kristaloid pada penatalaksanaan pasien dewasa yang dirawat inap, dengan metode narasi
untuk tujuan pendidikan, yang disadur dari berbagai penelitian klinis. Kami mengawali
dengan membahas komposisi normal cairan dan elektolit tubuh, keseimbangan dan
dosis cairan kristaloid. Selanjutnya kami membahas keuntungan dan kerugian relatif
dari berbagai jenis cairan yang saat ini tersedia. Kami tidak membahas studi
eksperimental pada binatang, maupun pada anak-anak. Artikel ini diakhiri dengan
pembahasan mengenai terapi pengganti elektrolit.
Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Tubuh
Tabel 1 menunjukkan keseimbangan cairan harian laki-laki dewasa dengan berat
badan 70 kg, dengan 45 liter total cairan tubuh (60% berat badan). Kebutuhan
perharinya adalah 80-120 mEq natrium, 2-4 mEq kalsium, dan 20-30 mEq magnesium.
Tujuan terapi cairan adalah mengoreksi defisit dan memenuhi kebutuhan harian serta
mempertahankan konsentrasi normalnya dalam tubuh.
Tabel 1 Keseimbangan cairan harian pada Laki-Laki Dewasa dengan Berat Badan 70 Kg
350 ml
Total
2600 ml
400 ml
200 ml
2600 ml
Pada pasien rawat inap atau penyakit kritis dapat terjadi peningkatan kebutuhan
cairan dan elektrolit. Hal ini dikarenakan demam, muntah, diare, kehilangan
darah/plasma (trauma atau operasi), dan polyuria. Pada pasien demam di atas 37 0C,
perkiraan kehilangan cairan dapat dihitung dengan rumus 10 ml/kgBB untuk setiap
kenaikan 10C. Perhitungan yang teliti tentang analisis masukan dan keluaran cairan serta
estimasi kehilangan cairan diperlukan untuk menentukan kondisi keseimbangan cairan
pasien. Penilaian ini juga mencakup pengukuran berat badan harian, meskipun hal
tersebut dapat dikacaukan oleh asupan makanan. Di ICU, pengukuran berat badan agak
sulit walaupun hal tersebut secara klinis relevan dengan perburukan keadaan pada
kelompok pasien tertentu yang mengalami gangguan ginjal, berkaitan dengan
keseimbangan cairan.
Penilaian hipovolemia sulit dilakukan pada pasien rawat inap, baik dengan
pemeriksaan fisis sederhana maupun pemeriksaan fisiologis yang lebih lengkap.
Hipovolemia sering terjadi pada keadaan hipotensi, saturasi oksigen rendah, atau pada
keadaan yang membutuhkan pengobatan isotropik atau obat vasopresor. Keadaankeadaan tersebut memerlukan penanganan terapi cairan meskipun manfaat yang didapat
hanya pada preload dan berespon terhadap terapi cairan. dan tidak berpengaruh terhadap
volume plasma sirkulasi. Respon tersebut ditandai dengan peningkatan volume
sekuncup atau cardiac output jika dilakukan penambahan cairan, atau secara sederhana
dapat dilakukan dengan mengangkat tungkai secara pasif dengan tujuan meningkatkan
aliran balik vena. Penggabungan beberapa strategi ini digunakan dalam terapi pengisian
volume plasma, bahkan pada pasien syok untuk menghindari bahaya overhidrasi.
Hipovolemia berat dapat terjadi sampai interstisial bahkan ruang interseluler, dan
penggantian kehilangan cairan ini dapat dilakukan dengan pemberian terapi cairan
intravena. Hipovolemia dan hipoperfusi jaringan dapat menyebabkan hipoksia jaringan.
Kehilangan cairan di sisi lain juga selalu melibatkan konstituen plasma yang lain, antara
lain natrium, kalium, magnesium, serta anion lain seperti klorida dan bikarbonat.
Dengan demikian kehilangan elektrolit menyertai kehilangan cairan, sebagai contoh
pada pasien perioperatif. Sebagai tambahan, keadaan postoperatif ditandai dengan
pelepasan vasopresin non osmotik, dan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron dan
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dengan pelepasan hormon yang menyebabkan
retensi air dan natrium di ginjal sebagai kompensasi kehilangan cairan ekstrarenal.
Penggantian plasma yang hilang harus mencakup semua komponen plasma, untuk
mencegah gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa, walaupun penyebabnya
bukan hipovolemia dan syok yang mengakibatkan perubahan pada produksi dan
eliminasi asam dan mengubah distribusi elektolit antara ruang intra dan ekstravaskuler.
Elektrolit pasien juga harus diperiksa sebagai pertimbangan jenis cairan yang akan
digunakan untuk resusitasi dan mempertahankan euvolemia.
Penatalaksanaan Hipovolemia dan Syok
Pada bagian ini akan dibahas dosis dan jenis cairan kristaloid. Pengisisan cairan
kristaloid dapat menurunkan mortalitas pada pasien hipovolemia, seperti pada kasus
perdarahan. Namun jenis dan dosis yang optimal tergantung pada berbagai kondisi
klinis yang terjadi.
Tabel 2 Komposisi Cairan Tubuh
Plasma
Cairan
plasma
Cairan
interstisial
Cairan
intraselule
Na+
(mmol/l)
K+
(mmol/l)
Ca+2
(mmol/l)
Mg2+
(mmol/l)
HCO3
(mmol/l)
Lactate
(mmol/l)
Other
buffer
Cl(mmol/l)
Organic
acid
Protein
142
101
27
16
153
4,3
5,4
2,2
109
29
2,2
6,5
17
139
114
31
10
160
26
10
100
20
65
albumin hanya menghemat 40% volume salin disertai peningkatan sedikit tekanan vena
sentral dan tekanan darah arteri, serta penurunan denyut jantung.
Memang semakin sederhana target hemodinamik, seperti tekanan hidrostatik yang
statis, semakin sedikit target tersebut menggambarkan volume plasma, semakin tidak
akurat dalam memantau resusitasi. Hal ini menjelaskan bahwa efek hemodinamik
kristaloid jauh lebih rendah daripada koloid. Sebaliknya semakin berat hipovolemia,
semakin lambat clearance dan semakin panjang waktu paruh volume cairan kristaloid,
sesuai dengan penghitungan konsentrasi hemoglobin. Penyesuaian volume pada vena
yang terlibat akan mengurangi efek ekspansi volume plasma dari cairan infus.
Meskipun terapi cairan sangat penting dalam penanganan syok dan hipoperfusi
jaringan, overhidrasi dan keseimbangan cairan terlalu positif juga berbahaya karena
mengakibatkan disfungsi organ pasca sepsis, trauma atau operasi. Kenyataan ini
menimbulkan pertanyaan mengenai jenis dan dosis cairan yang dapat mengoptimalisasi
hemodinamik dan status volume, dengan resiko minimal overhidrasi. Pada pasien bedah
dan sakit kritis dengan hipovolemia atau syok, kristaloid nampaknya tidak berbeda jauh
dengan koloid dalam
umumnya digunakan pada pasien trauma perdarahan dan atau trauma otak berat.
Volume larutan hipertonik yang dibutuhkan untuk mempertahankan hemodinamik lebih
kecil daripada larutan isotonik. Jenis cairan ini mempercepat ekspansi volume plasma,
dan efeknya lebih cepat daripada cairan isotonik. Cairan ini juga memiliki efek
inotropik positif, tidak mempengaruhi dilusi faktor koagulasi, dan memperbaiki atau
mencegah kerusakan akibat peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus luka bakar,
pembatasan kebutuhan volume cairan hipertonik dapat mencegah terjadinya sindrom
kompartemen abdominal, dibandingkan dengan
demikian belum ada bukti dalam studi klinis lebih bahwa penggunaannya menurunkan
morbiditas dan mortalitas.
Table 3 Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid tidak setimbang terkait dosis
Dosis kurang
Hipooksigensi jaringan
Resiko gagal ginjal akut
Asidosis laktat dan anion lain
Dosis Berlebihan
Edema jaringan dan hipooksigenasi
Sindrom kompartemen dan disfungsi ginjal
Asidosis metabolic hiperkloremik dan resiko
Gangguan gastrointestinal
hypernatremia
Kebocoran anastomosis, diare, dan gangguan
gastrointestinal lain
Edema paru, kongesti hepar
Memperpanjang penggunaan ventilator
Cairan laktat hipertonik juga tersedia, dan seperti halnya cairan hipertonik yang
lain, cairan ini juga memiliki efek inotropik positif terhadap jantung. Cairan salin
hipertonik 3-7% juga dapat dianggap sebagai osmoterapi apabila digunakan untuk
menurunkan tekanan intrakranial, dipakai sebagai obat utama bila penggunaan manitol
tidak berhasil. Namun kadar natrium >160mmol/l menyulitkan dalam penanganan
edema serebri. Penggunaannya dalam mengontrol tekanan intrakranial lebih efektif
dibandingkan mannitol, tetapi tidak memperbaiki outcome (hasil). Jelas bahwa efek
samping utamanya adalah hypernatremia berat yang kadang sulit dikontrol. Sebaliknya
pada keadaan tersebut cairan hipotonik harus dihindari karena meningkatkan resiko
edema, sedangkan resusitasi yang tidak adekuat dan hipotensi juga memperburuk
outcome (hasil). Oleh sebab itu dibutuhkan keseimbangan antara hemodinamik sistemik
dan perfusi serebral, dengan cara pemantauan hemodinamik dan tekanan intrakranial.
Strategi terapi cairan perioperatif : dosis dan target
Dosis dan penggunaan terapi cairan kristaloid pada operasi emergensi atau
perioperatif masih kontroversial. Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa, infus koloid
lebih menimbulkan efek ekspansi dan hemodinamik dibanding infus koloid. Namun
pemberian infus kristaloid dengan dosis dibatasi (<7ml/kgBB/jam) justru kurang
menimbulkan komplikasi dibandingkan dosis standar yang sering digunakan. Penelitian
tersebut melibatkan sampel pasien operasi perut, pankreas, usus, kandung empedu,
vaskuler, pinggul, dan lutut, dengan dosis cairan yang berbeda-beda pada setiap operasi.
Komplikasi yang dapat dicegah termasuk kebocoran anastomosis, gangguan
gastrointestinal, infeksi, komplikasi paru, dll. Banyak komplikasi tersebut yang
diakibatkan oleh overhidrasi terutama kristaloid, sedangkan pembatasan cairan biasaya
merujuk pada pembatasan kristaloid.
Namun pembatasan cairan yang berlebihan juga dapat mengakibatkan resusitasi
tidak adekuat dan berpotensi menimbulkan kekambuhan, hipoperfusi gastrointestinal,
kebocoran anastomosis, mual, muntah, dll. Komplikasi-komplikasi tersebut dapat
dicegah dengan pemberian cairan (koloid dan kristaloid) yang tidak dibatasi.
Optimalisasi hemodiamik perioperatif dengan terapi cairan dengan dosis tepat (baik
koloid maupun kristaloid) dapat mengurangi komplikasi pascaoperasi.
Volume cairan, target hemodinamik, serta jenis cairan yang lebih efektif masih
menjadi bahan perdebatan. Dengan meningkatnya keraguan tentang keamanan
penggunaan koloid pada pasien sepsis, penggunaan kristaloid lebih disarankan. Hal itu
juga tergantung pada tingkat keparahan hipovolemia atau syok ketika pasien diinfus.
Dalam beberapa kasus, keadaan terlalu lapar pra operasi dapat menyebabkan
hipovolemia pasca operasi. Penulis telah mempelajari efek optimalisasi pra operasi
dengan pemberian ringer laktat dan menemukan bahwa tindakan tersebut mengurangi
metabolik
seperti
asidosis
metabolik
hiperkloremik,
meningkatkan
morbiditas, dan memperburuk klinis. Namun, mekanisme dari beberapa efeknya masih
belum jelas sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut tentang morbiditas dan
mortalitas pada manusia.
Osm
(mOsm/kg)
pH
NaCl 0,0%
Ringer
Ringer
laktat
Ringer
laktat
308
309
5,5
273
Na+
(mmol/l
)
K+
(mmol/l)
Ca+2
(mmol/l
)
154
147
6,5
130
5,4
2,7
273
6,5
130
5,4
2,7
Hartman
Modifikasi
Seimbang
Cairan
280
290
294
299
6,5
131
145
140
140
5,4
4
5
10
2
2,5
Na
bikarbonat
1,4%
333
>7,
0
167
Na
bikarbonat
4,2 %
1,000
>7,
0
2,000
>7,
0
Na
bikarbonat
8,4 %
NaCl 3%
NaCl 7%
5,5
5,5
Mg+2
(mmol/l
)
HCO3
(mmol/l)
Laktat
(mmol/l)
Cl(mmol/l)
154
156
29
109
29a
29
1
1,5
3
24a
50b
47a
112
167
127
500
500
98
1,000
1,000
103
1,026
514
2,394
1,197
Penyangga
lain
513
1,119
7
hepar
diproses
melalui
glukoneogenesis,
suatu
proses
yang
membutuhkan energi. 30-60% infus laktat akan mengalami oksidasi, bahkan pada
keadaan sepsis dan syok kardiogenik, sehingga menghemat substrat lain. Hal ini
menunjukkan bahwa laktat dapat menjadi sumber bahan bakar untuk hati, bahkan
jantung dan otak terutama ketika substrat lain kurang tersedia. Infus laktat dalam
kuantitas besar akan sedikit meningkatkan serum laktat, tetapi tidak menurunkan pH,
khususnya pada disfungsi hati. Ini dapat meningkatkan kadar glukosa pada pasien DM
terkontrol atau meningkatkan glukoneogenesis. Pada resusitasi syok septik, penggunaan
ringer laktat lebih aman dan menurunkan angka kematian daripada larutan dekstros.
10
Ringer asetat hampir identik dengan riger laktat. Asetat, komponen dari ringer
laktat dan larutan lain, sama halnya dengan laktat, cepat dimetabolisme. Asetat masuk
ke siklus asam trikarboksilat kemudian dioksidasi sehingga membutuhkan oksigen.
Memang ketika diinfus sekitar 90% laktat akan teroksidasi. Asetat berperan sebagai
penyangga, sehingga setelah diinfus konsentrasi bikarbonat dan pH naik, seperti ketika
menginfuskan bikarbonat pada keadaan asidosis karena diare atau insufisienasi ginjal.
Selain itu, asetat mempunyai efek vasodilatasi dan sifat menekan miokard, dan sehingga
dapat membahayakan pada pasien dengan syok, tetapi teori ini telah disangkal oleh
penelitian lain. Baru-baru ini penelitian menunjukkan bahwa resusitasi syok septik
dengan ringer asetat menghasilkan usia harapan hidup lebih panjang dibanding
resusitasi koloid, tetapi hal ini mungkin merupakan efek samping dekstros.
Efek Renal
Di satu sisi, larutan kristaloid memiliki keunggulan dibanding koloid dalam
mempertahankan diuresis dan fungsi ginjal, dan mencegah kebutuhan hemodialisa.
Namun hal ini hanya berlaku pada pasien dengan penyakit kritis, tidak pada objek
penelitian yang sehat.
11
irama
jantung.
Koreksi
hipokalemia
akan
lebih
mudah
apabila
12
oral dan enteral, dan jika memungkinkan melalui cairan intravena dengan dosis
20mEq/jam, atau dapat ditingkatkan jika ada indikasi. Infus larutan buffer yang
mengandung kalium harus hati-hati jika diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal
dan anuria. Di sisi lain, pencegahan asidosis dapat mencegah efek berbahaya
peningkatan konsentrasi kalium.
Gangguan natrium sering ditemukan pada pasien ICU dan berkaitan dengan
mortalitas di rumah sakit. Pada hiponatremia, salin hipertonik merupakan terapi
emergensi yang sering digunakan. Glukosa 5% umumnya digunakan dalam penanganan
hipernatremia. Untuk terapi cairan larutan pada pasien yang kelaparan, larutan buffer
yang kandungannya lebih lengkap digunakan untuk memelihara konsentrasi elektrolit
plasma dan keseimbangan asam-basa. Glukosa 5% dapat ditambahkan untuk memenuhi
kebutuhan energi.
Hipokalsemia relatif sering dijumpai pada pasien post operatif dan penyakit kritis.
Keadaan ini memiliki efek yang membahayakan. Kebanyakan pasien sakit kritis berada
dalam keseimbangan kalsium negatif. Defisit kalsium dapat menyebabkan keropos
tulang secara bertahap. Hipokalsemia disebabkan oleh hipoalbuminemia pergeseran
kalsium dari ekstra ke intraseluler serta hipovitaminosis D. Keadaan ini diduga sebagai
penyebab beberapa penyakit neuropati dan miopati. Kalsium sulit untuk dimasukkan
melalui cairan alkalis karena sifatnya tidak larut dalam air.
Terapi pangganti ginjal berkelanjutan sudah diketahui sebagai faktor resiko
hipofosfatemia. Hipofosfatemia relatif sering ditemukan pada pasien sakit kritis yang
disertai atau tanpa gagal ginjal. Hal ini mungkin berhubungan dengan kelemahan otot
dan kebutuhan berkepanjangan untuk ventilator mekanik, dan karena itu memerlukan
pencegahan dan koreksi dengan larutan natrium-kalium-fosfat, lebih dianjurkan
pemberian melalui infus secara kontinyu. Saat ini, cairan pengganti yang mengandung
fosfat telah tersedia untuk mencegah hipofosfatemia selama hemodialisa berkelanjutan.
Kesimpulan
Cairan kristaloid adalah cairan pilihan untuk menambah dan mempertahankan
volume plasma pada pasien rawat inap dengan hipovolemia atau syok, meskipun
dibutuhkan volume relatif besar untuk meningkatkan volume plasma sirkulasi dan
oksigenasi jaringan. Pemberian terapi kristaloid yang berlebihan meningkatkan resiko
overhidrasi dengan hipernatremia, edema perifer dan paru serta sindrom kompartemen.
13
Oleh karena itu, baik resusitasi yang tidak adekuat maupun overhidrasi harus dihindari
dengan pemantauan secara cermat. Telah terbukti bahwa larutan buffer lebih unggul
dibanding larutan tidak setimbang, terutama dalam membantu mencegah gagal ginjal
akut. Larutan hipotonik adalah kontraindikasi dalam kondisi dengan atau berisiko untuk
edema serebral. Pada tahap cairan rumatan, larutan yang lebih menyerupai komposisi
cairan plasma lebih direkomendasikan dibanding larutan salin normal. Pada akhirnya
kami merekomendasikan pengobatan dengan salin hipertonik untuk edema serebral dan
hipertensi intrakranial yang refrakter dengan manitol.
14