Anda di halaman 1dari 14

Dosis dan Jenis Terapi Cairan Kristaloid

pada Pasien Dewasa Rawat Inap


Annemieke Smorenberg, Can Ince and AB Johan Groeneveld*
Abstrak
Tujuan : Artikel ini membandingkan keuntungan dan kerugian berbagai jenis cairan
kristaloid yang sering digunakan dalam resusitasi awal dan rumatan pada pasien dewasa
yang dirawat inap. Perhatian khusus diberikan dalam hal dosis, komposisi cairan, ada
tidaknya kandungan cairan penyangga dan elektrolit, berdasarkan literatur terbaru.
Kami juga membahas penggunaan cairan hipertonik.
Metode : Kami mengutip literatur berbahasa Inggris yang relevan mengenai luaran
pasien berkaitan dengan volume dan jenis cairan yang digunakan.
Hasil : Terapi pembatasan cairan menunjukkan hasil lebih baik dalam mencegah
komplikasi dibandingkan dengan penggunaan cairan dengan volume besar, walaupun
pembatasan penggunaan kristaloid tidak menunjukkan efek hemodinamik yang
bermakna pada pasien operatif atau sepsis. Cairan hipertonik dapat dipakai sebagai
terapi resusitasi dengan volume kecil tetapi di sisi lain menyebabkan hipernatremia.
Cairan hipotonik merupakan kontraindikasi pada edema serebri, sebaliknya cairan
hipertonik lebih bermanfaat dalam pencegahan dan perbaikan hasil. Larutan buffer
mempunyai komposisi yang lebih identik dengan plasma dibandingkan larutan tidak
setimbang, dan telah terbukti memperbaiki morbiditas dan mortalitas, khususnya karena
mencegah gagal ginjal akut.
Simpulan : Cairan kristaloid isotonik dan hipertonik adalah cairan pilihan untuk
resusitasi hipovolemia dan syok. Fakta semakin menguatkan bahwa larutan buffer lebih
memberi manfaat dibandingkan dengan cairan tidak setimbang. Cairan salin hipertonik
efektif digunakan pada hipertensi intrakranial yang refrakter terhadap manitol,
sebaliknya cairan hipotonik adalah kontraindikasi dalam kondisi tersebut.
Review
Penggunaan terapi cairan pada pasien operasi dan kritis masih menjadi bahan
perdebatan, sebagian karena data yang tidak tidak lengkap, perbedaan historis dan
geografis, dan pengalaman yang kurang. Perdebatan tersebut juga mencakup jenis dan
1

jumlah cairan yang akan diberikan pada pasien yang mengalami hipovolemia dengan
volume plasma kurang atau normal, dalam keadan syok, dan membutuhkan cairan untuk
resusitasi dan larutan. Lebih jauh lagi, komposisi, ada tidaknya kandungan cairan
penyangga, dan penambahan elektrolit, seperti natrium kalsium, dan magnesium, masih
menjadi kontroversi.
Tujuan ulasan ini adalah untuk menggambarkan penggunaan berbagai jenis cairan
kristaloid pada penatalaksanaan pasien dewasa yang dirawat inap, dengan metode narasi
untuk tujuan pendidikan, yang disadur dari berbagai penelitian klinis. Kami mengawali
dengan membahas komposisi normal cairan dan elektolit tubuh, keseimbangan dan
dosis cairan kristaloid. Selanjutnya kami membahas keuntungan dan kerugian relatif
dari berbagai jenis cairan yang saat ini tersedia. Kami tidak membahas studi
eksperimental pada binatang, maupun pada anak-anak. Artikel ini diakhiri dengan
pembahasan mengenai terapi pengganti elektrolit.
Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Tubuh
Tabel 1 menunjukkan keseimbangan cairan harian laki-laki dewasa dengan berat
badan 70 kg, dengan 45 liter total cairan tubuh (60% berat badan). Kebutuhan
perharinya adalah 80-120 mEq natrium, 2-4 mEq kalsium, dan 20-30 mEq magnesium.
Tujuan terapi cairan adalah mengoreksi defisit dan memenuhi kebutuhan harian serta
mempertahankan konsentrasi normalnya dalam tubuh.
Tabel 1 Keseimbangan cairan harian pada Laki-Laki Dewasa dengan Berat Badan 70 Kg

Cairan yang masuk


Minuman
1400 ml
Air
dalam 850 ml
makanan
Air hasil oksidasi

350 ml

Total

2600 ml

Cairan yang keluar


Urin
1500 ml
Kulit
500 ml
Pernapasan
Feses
Total

400 ml
200 ml
2600 ml

Pada pasien rawat inap atau penyakit kritis dapat terjadi peningkatan kebutuhan
cairan dan elektrolit. Hal ini dikarenakan demam, muntah, diare, kehilangan
darah/plasma (trauma atau operasi), dan polyuria. Pada pasien demam di atas 37 0C,
perkiraan kehilangan cairan dapat dihitung dengan rumus 10 ml/kgBB untuk setiap

kenaikan 10C. Perhitungan yang teliti tentang analisis masukan dan keluaran cairan serta
estimasi kehilangan cairan diperlukan untuk menentukan kondisi keseimbangan cairan
pasien. Penilaian ini juga mencakup pengukuran berat badan harian, meskipun hal
tersebut dapat dikacaukan oleh asupan makanan. Di ICU, pengukuran berat badan agak
sulit walaupun hal tersebut secara klinis relevan dengan perburukan keadaan pada
kelompok pasien tertentu yang mengalami gangguan ginjal, berkaitan dengan
keseimbangan cairan.
Penilaian hipovolemia sulit dilakukan pada pasien rawat inap, baik dengan
pemeriksaan fisis sederhana maupun pemeriksaan fisiologis yang lebih lengkap.
Hipovolemia sering terjadi pada keadaan hipotensi, saturasi oksigen rendah, atau pada
keadaan yang membutuhkan pengobatan isotropik atau obat vasopresor. Keadaankeadaan tersebut memerlukan penanganan terapi cairan meskipun manfaat yang didapat
hanya pada preload dan berespon terhadap terapi cairan. dan tidak berpengaruh terhadap
volume plasma sirkulasi. Respon tersebut ditandai dengan peningkatan volume
sekuncup atau cardiac output jika dilakukan penambahan cairan, atau secara sederhana
dapat dilakukan dengan mengangkat tungkai secara pasif dengan tujuan meningkatkan
aliran balik vena. Penggabungan beberapa strategi ini digunakan dalam terapi pengisian
volume plasma, bahkan pada pasien syok untuk menghindari bahaya overhidrasi.
Hipovolemia berat dapat terjadi sampai interstisial bahkan ruang interseluler, dan
penggantian kehilangan cairan ini dapat dilakukan dengan pemberian terapi cairan
intravena. Hipovolemia dan hipoperfusi jaringan dapat menyebabkan hipoksia jaringan.
Kehilangan cairan di sisi lain juga selalu melibatkan konstituen plasma yang lain, antara
lain natrium, kalium, magnesium, serta anion lain seperti klorida dan bikarbonat.
Dengan demikian kehilangan elektrolit menyertai kehilangan cairan, sebagai contoh
pada pasien perioperatif. Sebagai tambahan, keadaan postoperatif ditandai dengan
pelepasan vasopresin non osmotik, dan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron dan
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dengan pelepasan hormon yang menyebabkan
retensi air dan natrium di ginjal sebagai kompensasi kehilangan cairan ekstrarenal.
Penggantian plasma yang hilang harus mencakup semua komponen plasma, untuk
mencegah gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa, walaupun penyebabnya
bukan hipovolemia dan syok yang mengakibatkan perubahan pada produksi dan
eliminasi asam dan mengubah distribusi elektolit antara ruang intra dan ekstravaskuler.

Elektrolit pasien juga harus diperiksa sebagai pertimbangan jenis cairan yang akan
digunakan untuk resusitasi dan mempertahankan euvolemia.
Penatalaksanaan Hipovolemia dan Syok
Pada bagian ini akan dibahas dosis dan jenis cairan kristaloid. Pengisisan cairan
kristaloid dapat menurunkan mortalitas pada pasien hipovolemia, seperti pada kasus
perdarahan. Namun jenis dan dosis yang optimal tergantung pada berbagai kondisi
klinis yang terjadi.
Tabel 2 Komposisi Cairan Tubuh

Plasma
Cairan
plasma
Cairan
interstisial
Cairan
intraselule

Na+
(mmol/l)

K+
(mmol/l)

Ca+2
(mmol/l)

Mg2+
(mmol/l)

HCO3
(mmol/l)

Lactate
(mmol/l)

Other
buffer

Cl(mmol/l)

Organic
acid

Protein

142

101

27

16

153

4,3

5,4

2,2

109

29

2,2

6,5

17

139

114

31

10

160

26

10

100

20

65

Berbeda dengan kristaloid, cairan koloid bertahan dalam sirkulasi dan


meningkatkan tekanan intravaskuler dengan cara meningkatkan tekanan osmotik koloid.
Cairan koloid memberikan efek pengganti plasma 3-4 kali lipat lebih kuat daripada
cairan kristaloid. Perbandingan 1:3 sampai 1:4 antara koloid dan kristaloid dapat terjadi
pada keadaan seperti sepsis karena terjadi peningkatan permeabilitas yang
mengakibatkan retensi substansi koloid berkurang, dengan syarat target hemodinamik
terkait dengan volume plasma telah tercapai. Penulis berpendapat bahwa pada
praktiknya hanya dibutuhkan volume kristaloid 10-40% lebih banyak dibanding koloid,
untuk menghasilkan hasil resusitasi yang sama. Oleh sebab itu, perbandingan tiga
sampai empat kali lipat kebutuhan kristaloid untuk penggantian plasma terlalu
berlebihan. Pada pasien perdarahan, 100-200% ringer asetat sudah mencukupi untuk
penggantian kehilangan darah. Dalam studi lain hanya 20% volume kristaloid yang
bertahan intravaskuler dan >60% mengisi ruang ekstravaskuler dalam beberapa menit
atau diekskresi melalui ginjal dalam beberapa jam. Dalam sebuah penelitian SAFE
study (sebuah penelitian di Australia yang meneliti kegunaan cairan albumin di ICU),
4

albumin hanya menghemat 40% volume salin disertai peningkatan sedikit tekanan vena
sentral dan tekanan darah arteri, serta penurunan denyut jantung.
Memang semakin sederhana target hemodinamik, seperti tekanan hidrostatik yang
statis, semakin sedikit target tersebut menggambarkan volume plasma, semakin tidak
akurat dalam memantau resusitasi. Hal ini menjelaskan bahwa efek hemodinamik
kristaloid jauh lebih rendah daripada koloid. Sebaliknya semakin berat hipovolemia,
semakin lambat clearance dan semakin panjang waktu paruh volume cairan kristaloid,
sesuai dengan penghitungan konsentrasi hemoglobin. Penyesuaian volume pada vena
yang terlibat akan mengurangi efek ekspansi volume plasma dari cairan infus.
Meskipun terapi cairan sangat penting dalam penanganan syok dan hipoperfusi
jaringan, overhidrasi dan keseimbangan cairan terlalu positif juga berbahaya karena
mengakibatkan disfungsi organ pasca sepsis, trauma atau operasi. Kenyataan ini
menimbulkan pertanyaan mengenai jenis dan dosis cairan yang dapat mengoptimalisasi
hemodinamik dan status volume, dengan resiko minimal overhidrasi. Pada pasien bedah
dan sakit kritis dengan hipovolemia atau syok, kristaloid nampaknya tidak berbeda jauh
dengan koloid dalam

meningkatkan mortalitas. Kelebihan cairan kristaloid dapat

diekskresikan oleh ginjal, kadang-kadang bahkan melebihi ekskresi koloid, dengan


demikian membatasi peningkatan keseimbangan cairan selama beberapa jam atau hari.
Hal ini memberikan gambaran bahwa resusitasi dengan kristaloid menghasilkan
keseimbangan cairan lebih positif dan resiko edema paru lebih besar daripada cairan
koloid. Besarnya efek ini telah ditekankan sebelumnya.
Kecenderungan cairan kristaloid untuk meningkatkan resiko terjadinya edema
paru, pada keadaan meningkatnya permeabilitas vaskuler dan edema (sepsis), belum
diketahui pasti. Dalam suatu penelitian, dapat dijelaskan bahwa edema paru, yang
ditandai perubahan secara radiologis dan pertukaran gas, terjadi karena peningkatan
ekstrim pengisian cairan pada jantung (tidak berespon terhadap terapi cairan) dan
pengisian vaskuler paru (kongesti paru). Mekanisme ini tidak bergantung pada jenis
cairan yang digunakan. Selama hipotermia pasca serangan jantung, cairan kristaloid
lebih memberi manfaat daripada salin hipertonik, dan cairan ini tidak menyebabkan
edema serebri. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian kristaloid
berlebihan memiliki kecenderungan lebih besar untuk menyebabkab edema perifer (dan
sindrom kompartemen) dibandingkan resusitasi koloid, terutama pada kasus pasca

trauma. Table 3 merangkum keuntungan dan kerugian penggunaan cairan kristaloid


(setimbang dan tidak setimbang) terkait dengan volume cairan.
Dibandingkan cairan kristaloid isotonik, cairan hipertonik dalam volume relatif
kecil dapat mengembalikan volume normal dan hemodinamik tanpa ekspansi cairan ke
ruang interstisial.

Cairan salin hipertonik 3-7% (dengan atau tanpa cairan koloid)

umumnya digunakan pada pasien trauma perdarahan dan atau trauma otak berat.
Volume larutan hipertonik yang dibutuhkan untuk mempertahankan hemodinamik lebih
kecil daripada larutan isotonik. Jenis cairan ini mempercepat ekspansi volume plasma,
dan efeknya lebih cepat daripada cairan isotonik. Cairan ini juga memiliki efek
inotropik positif, tidak mempengaruhi dilusi faktor koagulasi, dan memperbaiki atau
mencegah kerusakan akibat peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus luka bakar,
pembatasan kebutuhan volume cairan hipertonik dapat mencegah terjadinya sindrom
kompartemen abdominal, dibandingkan dengan

penggunaan ringer laktat. Namun

demikian belum ada bukti dalam studi klinis lebih bahwa penggunaannya menurunkan
morbiditas dan mortalitas.
Table 3 Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid tidak setimbang terkait dosis

Dosis kurang
Hipooksigensi jaringan
Resiko gagal ginjal akut
Asidosis laktat dan anion lain

Dosis Berlebihan
Edema jaringan dan hipooksigenasi
Sindrom kompartemen dan disfungsi ginjal
Asidosis metabolic hiperkloremik dan resiko

Gangguan gastrointestinal

hypernatremia
Kebocoran anastomosis, diare, dan gangguan
gastrointestinal lain
Edema paru, kongesti hepar
Memperpanjang penggunaan ventilator

Cairan laktat hipertonik juga tersedia, dan seperti halnya cairan hipertonik yang
lain, cairan ini juga memiliki efek inotropik positif terhadap jantung. Cairan salin
hipertonik 3-7% juga dapat dianggap sebagai osmoterapi apabila digunakan untuk
menurunkan tekanan intrakranial, dipakai sebagai obat utama bila penggunaan manitol
tidak berhasil. Namun kadar natrium >160mmol/l menyulitkan dalam penanganan
edema serebri. Penggunaannya dalam mengontrol tekanan intrakranial lebih efektif
dibandingkan mannitol, tetapi tidak memperbaiki outcome (hasil). Jelas bahwa efek

samping utamanya adalah hypernatremia berat yang kadang sulit dikontrol. Sebaliknya
pada keadaan tersebut cairan hipotonik harus dihindari karena meningkatkan resiko
edema, sedangkan resusitasi yang tidak adekuat dan hipotensi juga memperburuk
outcome (hasil). Oleh sebab itu dibutuhkan keseimbangan antara hemodinamik sistemik
dan perfusi serebral, dengan cara pemantauan hemodinamik dan tekanan intrakranial.
Strategi terapi cairan perioperatif : dosis dan target
Dosis dan penggunaan terapi cairan kristaloid pada operasi emergensi atau
perioperatif masih kontroversial. Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa, infus koloid
lebih menimbulkan efek ekspansi dan hemodinamik dibanding infus koloid. Namun
pemberian infus kristaloid dengan dosis dibatasi (<7ml/kgBB/jam) justru kurang
menimbulkan komplikasi dibandingkan dosis standar yang sering digunakan. Penelitian
tersebut melibatkan sampel pasien operasi perut, pankreas, usus, kandung empedu,
vaskuler, pinggul, dan lutut, dengan dosis cairan yang berbeda-beda pada setiap operasi.
Komplikasi yang dapat dicegah termasuk kebocoran anastomosis, gangguan
gastrointestinal, infeksi, komplikasi paru, dll. Banyak komplikasi tersebut yang
diakibatkan oleh overhidrasi terutama kristaloid, sedangkan pembatasan cairan biasaya
merujuk pada pembatasan kristaloid.
Namun pembatasan cairan yang berlebihan juga dapat mengakibatkan resusitasi
tidak adekuat dan berpotensi menimbulkan kekambuhan, hipoperfusi gastrointestinal,
kebocoran anastomosis, mual, muntah, dll. Komplikasi-komplikasi tersebut dapat
dicegah dengan pemberian cairan (koloid dan kristaloid) yang tidak dibatasi.
Optimalisasi hemodiamik perioperatif dengan terapi cairan dengan dosis tepat (baik
koloid maupun kristaloid) dapat mengurangi komplikasi pascaoperasi.
Volume cairan, target hemodinamik, serta jenis cairan yang lebih efektif masih
menjadi bahan perdebatan. Dengan meningkatnya keraguan tentang keamanan
penggunaan koloid pada pasien sepsis, penggunaan kristaloid lebih disarankan. Hal itu
juga tergantung pada tingkat keparahan hipovolemia atau syok ketika pasien diinfus.
Dalam beberapa kasus, keadaan terlalu lapar pra operasi dapat menyebabkan
hipovolemia pasca operasi. Penulis telah mempelajari efek optimalisasi pra operasi
dengan pemberian ringer laktat dan menemukan bahwa tindakan tersebut mengurangi

morbiditas pasca operasi. Dalam perawatan trauma emergensi, pemberian cairan


kristaloid dengan volume yang tepat dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Sebagai penutup, kristaloid merupakan terapi pilihan pertama untuk resusitasi
hipovolemia dan syok, yaitu infus cepat 500-1000 ml, dengan catatan pasien berespon
terhadap terapi awal cairan dan selama pemberian infus. Resusitasi dan larutan dengan
pertimbangan khusus berlaku untuk cedera otak, trauma, dan operasi, karena
pembatasan cairan diperlukan untuk membatasi keseimbangan cairan positif, mencegah
gagal jantung serta edema.
Komposisi dan Penggunaan Klinis Berbagai Jenis Cairan Kristaloid
Sekarang kita akan membahas berbagai jenis cairan kristaloid dan sifat-sifatnya.
Salin normal atau fisiologis merupakan cairan pertama yang diperkenalkan dan
digunakan pada tahun 1831. Sejak saat itu NaCl 0,9% menjadi cairan intravena yang
paling banyak digunakan di rumah sakit, meskipun ada perdebatan mengenai sifat
normal atau fisiologis-nya. Penambahan laktat sebagai penyangga agar komposisiya
menyerupai elektrolit manusia menghasilkan ringer laktat atau larutan Hartmann.
Namun cairan ini masih bersifat sedikit hipotonis dan sifatnya menurunkan osmolaritas
serum.
Cairan hipotonik, termasuk koloid (albumin) dan kristaloid dapat meningkatkan
resiko edema serebral pada cedera otak traumatis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
tekanan osmotik, sebaliknya ekskresi urin melalui ginjal mempertahankan osmolalitas
plasma. Dengan demikian, infus dextrose 5% hipotonik juga kontraindikasi pada cedera
otak traumatis karena menurunkan osmolalitas plasma. Cairan ini memiliki efek
minimum pada volume plasma sehingga bukan merupakan cairan resusitasi yang baik.
Oleh karena itu cairan normal salin atau cairan solusi setimbang lebih disukai untuk
penatalaksanaan cedera otak. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk larutan
hipertonik. Meskipun manfaatnya dalam mengobati asidosis laktat metabolik selama
iskemia dan resusitasi masih kotroversial, natrium bikarbonat masih banyak digunakan
untuk mengatasi asidosis metabolik karena penyebab lain dan sebagai terapi tambahan
untuk menjaga pH antara 7,15-7,20 pada pasien beresiko tinggi. Natrium bikarbonat
juga digunakan dalam pencegahan nefropati kontras, meskipun mungkin pemberian
normal salin prehidrasi lebih efektif. Sebaliknya penggunaan sebagai infus dapat

megakibatkan hipernatremia dan alkalosis jika penggunaan larutan hipertonik terlalu


banyak. Osmolaritas, kationik, dan anionik larutan kristaloid dijelaskan pada table 4.
Klorida dan larutan bufffer
Kandungan klorida salin normal (NaCl 0,9%), suatu larutan tidak setimbang,
adalah 154 mmol/l. Kadar tersebut jauh lebih tinggi daripada plasma (101-110 mmol/l)
dan lebih tinggi daripada cairan setimbang (dimodifikasi) yaitu larutan ringer atau
Hartmann. Pada larutan setimbang beberapa anion adalah penyangga (buffer) seperti
laktat, asetat, atau glukonat, dan bukan klorida. Perbedaan ion pada larutan buffer lebih
kuat daripada larutan salin (lebih menyerupai plasma, 42 mEq/l). Meskipun perbedaan
pH larutan-larutan ini tidak berbeda jauh, namun, efek in vivo-nya pada keseimbangan
asam basa sangat signifikan. Infus NaCl dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik
hiperkloremik dan hiperkalemia terutama apabila pemberian infus berlebihan,
sedangkan infus larutan buffer tidak menimbulkan efek tersebut.
Meskipun penggunaan NaCl dapat menyebabkan disfungsi organ (telah dibuktikan
dalam percobaan terhadap hewan) dan dapat menimbulkan gejala gastrointestinal pasca
operasi, kerusakan akibat asidosis hiperkloremik dalam penelitian masih belum
diketahui pasti. Selain itu, delusi plasma akibat infus cairan yang tidak mengandung
bikarbonat (atau anion prekursor buffer), termasuk dekstrosa 5%, mengurangi
perbedaan ion kuat dan pH darah.
Shaw dkk, dalam sebuan penelitian retrospektif, baru-baru ini menemukan bahwa
penggunaan NaCl menghasilkan angka mortalitas lebih tinggi daripada menggunakan
larutan buffer selama dan pasca operasi (5,6% vs 2,9%), juga mencegah asidosis
metabolik hiperkloremik. Selain itu, pemberian larutan buffer juga dikaitkan dengan
penurunan morbiditas yang dibuktikan dengan berkurangnya hari penggunaan
ventilator, pengurangan kebutuhan cairan, pengurangan kebutuhan transfusi, penuruan
resiko infeksi dan penurunan angka hemodialisa. Hal ini menunjukkan bahwa larutan
buffer lebih dianjurkan daripada salin mengingat penggunaan salin meningkatkan risiko
gangguan

metabolik

seperti

asidosis

metabolik

hiperkloremik,

meningkatkan

morbiditas, dan memperburuk klinis. Namun, mekanisme dari beberapa efeknya masih
belum jelas sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut tentang morbiditas dan
mortalitas pada manusia.

Pada akhirnya, harus hati-hati menggunakan larutan buffer yang mengandung


kalium pada pasien auria dengan insufisiensi ginjal karena kalium yang diinfuskan tidak
dapat diekskresikan.

Osm
(mOsm/kg)

pH

NaCl 0,0%
Ringer
Ringer
laktat
Ringer
laktat

308
309

5,5

273

Na+
(mmol/l
)

K+
(mmol/l)

Ca+2
(mmol/l
)

154
147

6,5

130

5,4

2,7

273

6,5

130

5,4

2,7

Hartman
Modifikasi
Seimbang
Cairan

280
290
294
299

6,5

131
145
140
140

5,4
4
5
10

2
2,5

Na
bikarbonat
1,4%

333

>7,
0

167

Na
bikarbonat
4,2 %

1,000

>7,
0

2,000

>7,
0

Na
bikarbonat
8,4 %
NaCl 3%
NaCl 7%

5,5
5,5

Mg+2
(mmol/l
)

HCO3
(mmol/l)

Laktat
(mmol/l)

Cl(mmol/l)

154
156
29

109
29a

29
1
1,5
3

24a
50b
47a

112

167

127

500

500

98

1,000

1,000

103

1,026

514

2,394

1,197

Penyangga
lain

513
1,119
7

Laktat dimetabolisme melalui Siklus Cori


Ambilan

hepar

diproses

melalui

glukoneogenesis,

suatu

proses

yang

membutuhkan energi. 30-60% infus laktat akan mengalami oksidasi, bahkan pada
keadaan sepsis dan syok kardiogenik, sehingga menghemat substrat lain. Hal ini
menunjukkan bahwa laktat dapat menjadi sumber bahan bakar untuk hati, bahkan
jantung dan otak terutama ketika substrat lain kurang tersedia. Infus laktat dalam
kuantitas besar akan sedikit meningkatkan serum laktat, tetapi tidak menurunkan pH,
khususnya pada disfungsi hati. Ini dapat meningkatkan kadar glukosa pada pasien DM
terkontrol atau meningkatkan glukoneogenesis. Pada resusitasi syok septik, penggunaan
ringer laktat lebih aman dan menurunkan angka kematian daripada larutan dekstros.

10

Ringer asetat hampir identik dengan riger laktat. Asetat, komponen dari ringer
laktat dan larutan lain, sama halnya dengan laktat, cepat dimetabolisme. Asetat masuk
ke siklus asam trikarboksilat kemudian dioksidasi sehingga membutuhkan oksigen.
Memang ketika diinfus sekitar 90% laktat akan teroksidasi. Asetat berperan sebagai
penyangga, sehingga setelah diinfus konsentrasi bikarbonat dan pH naik, seperti ketika
menginfuskan bikarbonat pada keadaan asidosis karena diare atau insufisienasi ginjal.
Selain itu, asetat mempunyai efek vasodilatasi dan sifat menekan miokard, dan sehingga
dapat membahayakan pada pasien dengan syok, tetapi teori ini telah disangkal oleh
penelitian lain. Baru-baru ini penelitian menunjukkan bahwa resusitasi syok septik
dengan ringer asetat menghasilkan usia harapan hidup lebih panjang dibanding
resusitasi koloid, tetapi hal ini mungkin merupakan efek samping dekstros.
Efek Renal
Di satu sisi, larutan kristaloid memiliki keunggulan dibanding koloid dalam
mempertahankan diuresis dan fungsi ginjal, dan mencegah kebutuhan hemodialisa.
Namun hal ini hanya berlaku pada pasien dengan penyakit kritis, tidak pada objek
penelitian yang sehat.

Mungkin hal ini karena penurunan tekanan osmotik koloid

plasma memperbaiki filtrasi glomerulus. Namun, cairan kristaloid yang berlebihan


dapat meningkatkan kebutuhan hemodialisa.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa hal ini juga tergantung pada jenis kristaloid
yang diberikan dan ada bukti bahwa larutan kristaloid setimbang memiliki efek protektif
terhadap ginjal., tetapi hal ini adalah diakibatkan hipotonisitas, bukan pencegahan
hiperkloremia. Perlu diingat bahwa normokloremia dapat mencegah penurunan aliran
darah ginjal (dan lambung) karena hiperkloremia. Percobaan pada hewan menunjukkan
bahwa hiperkloremia dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan
menurunkan aliran darah karena efek vasokonstriksi ginjal dari anion klorida.
Hadimioglu dkk meneliti keseimbangan cairan dengan menggunakan NaCl sebagai
cairan intraoperatif pada operasi transplantasi ginjal. Hasilnya NaCl menurunkan pH,
bikarbonat, dan peningkatan basa. Penelitian ini dan beberapa penelitian lain tidak
menujukkan perbedaan efek pada fungsi ginjal, tetapi penelitian-penelitian tersebut
mungkin sudah tidak valid.

11

Sebaliknya, sebuah studi kohort terbaru menunjukkan bahwa penggunaan larutan


RL yang dimodifikasi dengan klorida teresktriksi (dibandingkan dengan RL dengan
klorida dan larutan berbasis salin) tidak menurunkan angka kematian, tetapi
menurunkan gagal ginjal akut dan kebutuhan untuk hemodialisa. Dalam penelitian
Shaw dkk yang disebutkan di atas, pemberian cairan bermanfaat dengan berkurangnya
angka kebutuhan hemodialisa setelah laparotomi, sekitar 4,8-1,0% (P <0,001), bahkan
setelah penyesuaian faktor bias. Insiden cedera tubular dan gagal ginjal akut pada pasien
bedah jantung yang diterapi dengan natrium bikarbonat lebih rendah daripada terapi
salin. Namun, implikasi untuk pasien rawat inap dengan faktor risiko disfungsi ginjal
masih harus dibuktikan.
Depresi imun dan koagulasi
Kontroversi lain berkaitan dengan efek sistem imun larutan buffer dibandingkan
larutan tidak setimbang. Telah diduga bahwa larutan salin buffer memiliki sifat
proinflamasi, yaitu dengan aktivasi neutrofil. Hal ini dapat menyebabkan efek
merugikan pada kasus trauma dan resusitasi sepsis. Ringer laktat juga diduga bersifat
proinflamasi tetapi ternyata sifat tersebut merupakan efek resusitasi D-laktat dengan
campuran racemic. Pendapat tersebut kemudian ditinggalkan. Salin hipertonik diklaim
memiliki sifat anti inflamasi tetapi pendapat tersebut masih meragukan. Sedangkan
anion klorida diduga mengganggu fungsi koagulasi. Selain itu, salin dan ringer laktat
sama-sama menginduksi hiperkoagulasi pada pengenceran darah 20-40% Sebaliknya
terjadi penurunan koagulabilitas pada pengenceran 60%.
Larutan elektrolit untuk penanganan gangguan elektrolit
Gangguan elektrolit merupakan kondisi yang sering terjadi pada pasien rawat inap,
operasi, atau penyakit kritis. Telah tersedia larutan yang dapat mengoreksi secara
spesifik gangguan elektrolit tertentu. Alkalosis hipokalemia sering terjadi dengan faktor
risikonya antara lain penggunaan diuretik, muntah, diare, dan keadaan lain yang
menyebabkan penurunan klorida. Kondisi ini dapat disertai dengan hipomagnesemia
dan bisa menjadi risiko faktor untuk depresi jantung, hipooksigenasi jaringan dan
gangguan

irama

jantung.

Koreksi

hipokalemia

akan

lebih

mudah

apabila

hipomagnesemia juga dikoreksi secara bersamaan. Suplementasi dapat diberikan secara

12

oral dan enteral, dan jika memungkinkan melalui cairan intravena dengan dosis
20mEq/jam, atau dapat ditingkatkan jika ada indikasi. Infus larutan buffer yang
mengandung kalium harus hati-hati jika diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal
dan anuria. Di sisi lain, pencegahan asidosis dapat mencegah efek berbahaya
peningkatan konsentrasi kalium.
Gangguan natrium sering ditemukan pada pasien ICU dan berkaitan dengan
mortalitas di rumah sakit. Pada hiponatremia, salin hipertonik merupakan terapi
emergensi yang sering digunakan. Glukosa 5% umumnya digunakan dalam penanganan
hipernatremia. Untuk terapi cairan larutan pada pasien yang kelaparan, larutan buffer
yang kandungannya lebih lengkap digunakan untuk memelihara konsentrasi elektrolit
plasma dan keseimbangan asam-basa. Glukosa 5% dapat ditambahkan untuk memenuhi
kebutuhan energi.
Hipokalsemia relatif sering dijumpai pada pasien post operatif dan penyakit kritis.
Keadaan ini memiliki efek yang membahayakan. Kebanyakan pasien sakit kritis berada
dalam keseimbangan kalsium negatif. Defisit kalsium dapat menyebabkan keropos
tulang secara bertahap. Hipokalsemia disebabkan oleh hipoalbuminemia pergeseran
kalsium dari ekstra ke intraseluler serta hipovitaminosis D. Keadaan ini diduga sebagai
penyebab beberapa penyakit neuropati dan miopati. Kalsium sulit untuk dimasukkan
melalui cairan alkalis karena sifatnya tidak larut dalam air.
Terapi pangganti ginjal berkelanjutan sudah diketahui sebagai faktor resiko
hipofosfatemia. Hipofosfatemia relatif sering ditemukan pada pasien sakit kritis yang
disertai atau tanpa gagal ginjal. Hal ini mungkin berhubungan dengan kelemahan otot
dan kebutuhan berkepanjangan untuk ventilator mekanik, dan karena itu memerlukan
pencegahan dan koreksi dengan larutan natrium-kalium-fosfat, lebih dianjurkan
pemberian melalui infus secara kontinyu. Saat ini, cairan pengganti yang mengandung
fosfat telah tersedia untuk mencegah hipofosfatemia selama hemodialisa berkelanjutan.
Kesimpulan
Cairan kristaloid adalah cairan pilihan untuk menambah dan mempertahankan
volume plasma pada pasien rawat inap dengan hipovolemia atau syok, meskipun
dibutuhkan volume relatif besar untuk meningkatkan volume plasma sirkulasi dan
oksigenasi jaringan. Pemberian terapi kristaloid yang berlebihan meningkatkan resiko
overhidrasi dengan hipernatremia, edema perifer dan paru serta sindrom kompartemen.

13

Oleh karena itu, baik resusitasi yang tidak adekuat maupun overhidrasi harus dihindari
dengan pemantauan secara cermat. Telah terbukti bahwa larutan buffer lebih unggul
dibanding larutan tidak setimbang, terutama dalam membantu mencegah gagal ginjal
akut. Larutan hipotonik adalah kontraindikasi dalam kondisi dengan atau berisiko untuk
edema serebral. Pada tahap cairan rumatan, larutan yang lebih menyerupai komposisi
cairan plasma lebih direkomendasikan dibanding larutan salin normal. Pada akhirnya
kami merekomendasikan pengobatan dengan salin hipertonik untuk edema serebral dan
hipertensi intrakranial yang refrakter dengan manitol.

14

Anda mungkin juga menyukai