Definisi
Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis untuk waktu yang cukup
sehingga tercapai kepuasan dalam melakukan aktivitas seksual
Etiologi
Penyebab disfungsi ereksi dapat dibagi menjadi faktor organik dan psikogenik.
1. Penyebab organik
a. Neurologik
Lesi lobus temporalis anterior
Lesi medulla spinalis
Neuropati otonom
b. Vaskular
Sindrom Leriche
Insufisiensi vaskuler pelvis
Penyakit sel sabit
Kebocoran vena
c. Endokrin
Diabetes mellitus
Hipogonadisme
Hiperprolaktinemia
Insufisiensi adrenal
Feminizing tumors
Hipotiroidisme
Hipertiroidisme
d. Urogenital
Trauma
Kastrasi
Priapismus
Penyakit Peyronie
e. Penyakit Sistemik
Insufisiensi kardiak
Sirosis hepatis
Uremia
Insufisiensi respiratorik
Keracunan logam berat
f. Pasca Operasi
Rekonstruksi aortailial atau aortofemoral
Simpatektomi lumbal
Prostatektomi perineal
Diseksi retroperineal
2. Penyebab Psikogenik
Penyebab psikogenik berupa penghambatan dan abnormalitas pengendalian sentral terhadap
mekanisme ereksi tanpa diikui kelainan fisik. Pasien dengan disfungsi ereksi psikogenik,
masih mampu mengalami ereksi nocturnal atau ereksi selama masturbasi, atau ereksi pada
waktu foreplay, atau ereksi dengan pasangan lain.
Patofisiologi
DE dapat disebabkan dari tiga mekanisme dasar ini: (1) kegagalan menginisiasi
(psikogenik, endokrinologik, atau neurogenic); (2) kegagalan pengisian (arteriogenik); atau
(3) kegagalan untuk menyimpan volume darah yang adekuat didalam jaringan lacunar
(disfungsi venooklusif). Kategori ini dapat terjadi secara bersamaan. Sebagai contoh,
mengurangnya tekanan pengisian (filling pressure) dapat menyebabkan adanya kerusakan
venous. Faktor psikogenik seringkali terjadi bersama dengan faktor etiologi lainnya.
Diabetes, atherosclerosis, dan penyebab akibat obat terhitung pada 80% kasus DE pada pria
dewasa.
a. Vaskulogenik
Penyebab organic paling sering untuk DE adalah gangguan aliran darah ked an dari
penis. Atherosclerosis atau penyakit arterial traumatic dapat menurunkan aliran ke ruang
lacunar, menyebabkan menurunnya rigiditas dan memanjangnya waktu untuk ereksi penuh.
Aliran yang berlebihan pada vena, walaupun adekuat jumlahnya, dapat menyebabkan DE.
Perubahan structural pada komponen fibroelastik pada corpora dapat menyebabkan
berkurangnya komplians dan ketidakmampuan untuk menyempitkan vena pada.
b. Neurogenic
Gangguan yang mengenai medulla spinalis bagian sacral atau jaras saraf otonom
menuju penis dapat mencegah terjadinya aktivitas sistem relaksasi saraf pada otot halus
penis, sehingga hal ini mengakibatkan DE. Pada pasien dengan cedera medulla spinalis,
derajat dari DE bergantung pada tingkat kerusakan dan lokasi lesi. Pasien dengan lesi parsial
atau cedera pada bagian atas dari medulla spinalis cenderung masih memiliki kemampuan
ereksi dibandingkan seseorang yang memiliki lesi sempurna atau terdapat pada bagian
bawah medulla spinalis. Walaupun sekitar 75% pasien dengan cedera medulla spinalis
memiliki kemampuan untuk ereksi, hanya 25% dari jumlah tersebut yang memiliki ereksi
yang cukup untuk penetrasi. Gangguan neurologist lainnya yang umumnya berkaitan dengan
DE termasuk multiple sclerosis atau neuropati perifer. Yang terakhir disebabkan oleh
diabetes atau alkoholisme. Operasi pelvis juga dapat menyebabkan DE akibat terganggunya
suplai saraf otonom.
c. Endokrinologik
Androgen meningkatkan libido, namun peran pastinya terhadap fungsi ereksi masih
tetap belum jelas. Seseorang dengan kadar testosterone yang rendah dapat mencapai ereksi
dari stimulus visual atau seksual. Namun, kadar testosteron normal sepertinya penting untuk
fungsi ereksi, terutama pada pria tua. Terapi alih androgen dapat memperbaiki fungsi ereksi
yang menurun jika diakibatkan hypogonadism; namun, terapi ini tidak bermanfaat pada DE
jika kadar testosterone masih normal. Peningkatan hormon prolactin dapat menurunkan
libido dengan menekan hormone gonadotropin-releasing hormone (GnRH), dan juga dapat
menurunkan kadar testosterone. Terapi untuk hiperprolaktinemia dapat menggunakan agonis
dopamine yang dapat mengembalikan libido dan testosterone.
d. Diabetes
DE terjadi pada 35-75% pria dengan diabetes mellitus. Mekanisme patologis
utamanya berkaitan dengan komplikasi vaskuler dan neurologik DM. Komplikasi
makrovaskuler diabetes biasanya berkaitan dengan umur, dimana komplikasi mikrovaskuler
berhubungan dengan durasi lamanya diabetes dan derajat pengendalian glikemia. Seseorang
dengan diabetes juga memiliki penuruna nitric oxide synthase pada jaringan endotel dan
neural.
e. Psikogenik
Dua mekanisme yang berkontribusi terhadap inhibisi ereksi pada DE psikogenik.
Pertama, stimulus psikogenik pada sacral medulla spinalis dapat menghambat respon
reflexogenik, akibatnya menghambat aktivasi aliran vasodilator menuju penis. Kedua,
stimulasi simpatis berlebihan pada pria cemas dapat meningkatkan tonus otot halus penis.
Penyebab paling umum dari DE psikogenik adalah kecemasan, depresi, konflik suatu
hubungan, kehilangan rasa memikat, hambatan seksual, konflik dengan partner sex,
pelecehan sexual pada masa kecil, dan ketakutan akan penyakit menular sexual. Kebanyakan
pasien dengan DE yang sudah jelas memiliki dasar penyebab organic, dapat terkena efek
psikologis sebagai reaksi terhadap DE, sehingga memberikan beban ganda.
f. Akibat Pengobatan
DE yang disebabkan oleh obat diperkirakan terjadi pada 25% pria yang ditemukan
pada klinik rawat jalan. Diantara agen antihipertensi, diureik thiazida dan beta blocker yang
paling sering menjadi penyebab. Calcium channel blocker dan ACE inhibitor lebih jarang
dilaporkan. Obat-obat ini dapat bekerja secara langsung pada tingkat corporal (mis. Ca
channel blocker) atau secara tidak langsung dengan menurunkan tekanan darah pada pelvis,
dimana penting untuk mempertahankan kontraksi penis. Adrenergik blocker jarang menjadi
penyebab DE. Estrogen, agonis GnRH, H2 antagonis, dan spironolactone menyebabkan ED
dengan menekan produksi gonadotropin atau dengan menghambat kerja androgen. Agen
Classification
Drugs
Diuretics
Thiazides, Spironolactone
Antihypertensives
Cardiac/anti-hyperlipidemics
Antidepressants
Tranquilizers
Butyrophenones, Phenothiazines
H2 antagonists
Ranitidine, Cimetidine
Hormones
Cytotoxic agents
Cyclophosphamide,
Roferon-A
Methotrexate
Anticholinergics
Disopyramide, Anticonvulsants
Recreational
Ethanol, Cocaine,Marijuana
yaitu sakit kepala (19%), wajah merah merona/flushing (9%), dyspepsia (6%) dan kongesti
nasal (4%). Sekitar 7% pria yang mengkonsumsi sildanefil dapat mengalami perubahan
penglihatan warna transient (blue halo effect), sementara 5% pria yang mengkonsumsi
tadalafil mengalami nyeri pada penis. Kontraindikasi PDE-5 inhibitors adalah terapi nitrat
(yang diberikan lewat oral, siblingual, atau topical) pada pasien penyakit jantung. Agen ini
dapat mengeluarkan efek hipotensinya dan dapat menyebabkan shock yang sangat serius.
Begitupula pada amyl/butyl nitrat memiliki sinergestik fatal pada efeknya terhadap tekanan
darah. PDE-5 inhibitors sebaiknya dihindari pada pasien dengan gagal jantung kongestif dan
cardiomyopati karena adanya resiko kolaps vaskuler. Karena aktivitas seksual dapat
meningkatkan penggunaan kalori fisiologis [56 metabolic equivalents (METS)], dokter
dianjurkan untuk memberikan peringatan terhadap pemakaian obat untuk aktivitas seksual
pada pasien dengan penyakit koroner, gagal jantung, hypotensi borderline, dan hypovolemia,
dan pemakian regimen antihypertensive..
Walaupun diantara 3 PDE-5 inhibitors memiliki mekanisme yang sama, terdapat
sedikit perbedaan diantara 3 agen ini. Telah lama tersedia di pasaran, sildenafil memiliki
banyak data yang menyatakan aktivitas, keamanan, dan toleransinya. Obat ini baru-baru saja
digunakan untuk hipertensi pulmoner. Tadalafil mempunyai keunikan dalam waktu panjang
yang lama. Semua tiga jenis obat ini efektif untuk pasien DE dengan umur, keparahan, dan
penyebab apapun. Walaupun terdapat perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik
diantara obat ini, perbedaan klinis yang relevan tidak jelas.
c. Terapi Androgen
Terapi penggantian hormon testosterone digunakan untuk mengatasi penyebab
primer dan sekunder hipogonadisme. Suplemen androgen pada keadaan testosterone yang
normal tidak efektif dan tidak dianjurkan. Metode dari terapi ini yaitu dengan plaster (patch)
dan gel transdermal, pemberian parenteral dari testosterone ester long-acting (enenthate dan
cypionate), dan sediaan oral (17 -alkylated derivatives). Pemberian testosterone transdermal
menggunakan patch atau gel (50-100mg/d) lebih mendekati kadar testosterone
fisiologik. Pemberian 200-300mg intramuskuler setiap 2-3 minggu memberikan pilihan lain
namun jauh ideal daripada terapi penggantian fisiologis. Sediaan androgen oral memiliki
potensi hepatotoxic dan sebaiknya dihindari. Pria dengan kanker yang sensitive dengan
androgen (mis. Kanker prostat) merupakan kontraindikasi untuk terapi testosterone dan tidak
cocok juga diberikan pada pasien dengan obstruksi kantung kemiih (buli-buli). Dianjurkan
untuk mengukur kadar PSA sebelum melakukan terapi testosteron. Fungsi hati sebaiknya
diperiksa sebelum dan selama terapi testosterone berjalan.
d. Vacuum Constriction Devices
Vacuum constriction devices (VCD) merupakan peralatan terapi noninvasine yang
tersedia. Alat ini merupakan pilihaan terapi untuk pasien yang tidak mau mengkonsumsi
sildenafil atau tidak menginginkan intervensi lainnya. VCD mengalirkan darah vena menuju
ke penis dan menggunakan semacam cincin penjepit untuk menahan aliran darah balik